Anda di halaman 1dari 7

1. Bagaimana kedudukan anak yang di lahirkan di luar perkawinan ?

kedudukan anak di luar perkawinan jika dilihat dari hukum adat Bali, anak di luar perkawinan
yang sah tidak mempunyai kedudukan di dinas maupun di adat. Dalam hukum adat

Bali, mengenai masalah pewarisan ini

dapat dilihat di dalam ketentuan pasal

217 Undang-Undang Majapahit yang

disebutkan dengan tegas terutama poin 1

bahwa: Anak yang tidak diketahui

ayahnya atau anak yang dibawa ibunya

ke dalam perkawinan berikutnya adalah

tidak berhak mewaris. Dengan demikian

dapat dikatakan anak bersangkutan mempunyai hubungan apa-apa terhadap

suami ibunya. Oleh karena itu dengan

sendirinya anak bersangkutan hanya

mewaris terhadap ibunya sebab hanya

mempunyai hubungan perdata dengan

ibunya. Hal ini dipertegas lagi dengan

ketentuan Hukum Adat Bali Lombok

yang menentukan sahnya pewarisan

adalah sebagai berikut: Antara pewaris

dengan ahli warisnya terdapat adanya

hubungan darah atau ditentukan menurut

hukum, seperti adanya pengangkatan

(Suadnyana, 2019). Agama ahli waris

dengan agama pewaris harus sama, atau

ahli waris tidak kehilangan haknya,

misalkan beralih agama (meninggalkan

keluarganya), mepegat (dibuang dari

keluarga), meninggalkan dharma dan

lain sebagainya. Diatur oleh hukum

materiil yang dianutnya kecuali


ditentukan lain, misalkan karena tidak

dijumpai aturan-aturan itu kemudian

dipergunakan penafsiran lain

berdasarkan kedudukan dan kewenangan

yang diberikan oleh hukum Hindu.

(Penetje, 1977:65)

Masyarakat Hindu di Bali yang

menganut sistem kekeluargaan

patrilineal dan keanggotaan dalam

keluarga dihitungkan menurut garis laki-

laki. Selain itu hubungan kekeluargaan

tidak hanya dapat dilihat dari hubungan

darah tetapi juga dilihat dari kesamaan

sanggah/merajan (sanggah pemujaan

keluarga). Dengan demikian sistem

kekeluargaan di Bali disamping didasari

hubungan darah juga dengan satu

kepercayaan Hindu. Oleh karena itu, jika

disimpulkan dari pemaparan di atas

mengenai aturan yang mengatur tentang

pewarisan maka tidak ada aturan khusus

yang mengatur anak di luar perkawinan

akan mewaris pada pihak keluarga ibu

atau pihak keluarga ayahnya. Ini

disebabkan belum adanya perarem

(aturan adat) yang mengatur mengenai

hal tersebut.

2.Apakah yang di maksud dengan pertalian adat, jelaskan dengan contoh !

Dalam pertalian sanak berdasarkan pertalian adat, maka yang terutama dibicarakan adalah
tentang hubungan hukum antara “anak angkat”, termasuk anak tiri, anak asuh, atau anak akuan.
Terjadinya pengankatan anak adalah dikarenakan tidak mempunyai keturunan (penerus keturunan).
[15]

Perlindungan terhadap anak telah diatur oleh UU No. 4 Tahun 1979 yang telah berlaku sejak
tanggal 23 Juni 1979, Undang-Undang tentang Kesejahteraan Anak yang memuat 5 bab dan 16 pasal.
Di dalam UU ini yang dimaksud dengan anak adalah Anak Yatim, Anak Tidak Mampu, Anak Terlantar,
Anak berkelakuan menyimpang dan Anak Cacat.[16]

Adapun hubungan hukum antara anak tiri, anak angkat, anak asuh dan anak akuan dengan
orang tua dan kerabat menurut hukum adat adalah:

1.      Anak Tiri[17]

Anak tiri adalah anak kandung bawaan istri janda atau bawaan suami duda yang mengikat tali
perkawinan. Di dalam perkawinan leviraat (Batak: pareakhon, mangabia; Karo: lakoman; Sumatra
Selatan: anggau; Lampung: Nyikok, semalang) dimana istri kawin dengan saudara suami. Anak tiri
tetap berkedudukan sebagai anak dari bapak kandungnya. Begitu pula jika terjadi kawi duda yang
telah mempunyai anak, dengan saudara istri, yaitu kawin sororat. Di masyarakat Jawa yang parental
pun demikian, anak tiri adalah ahli waris dari orang tua yang melahirkannya, kecuali anak-anak tiri
itu diangkat oleh bapak tiri sebagai penerus keturunannya karena ia tidak mempunyai anak.

Di Rejang Bengkulu, anak tiri dapat diangkat oleh seorang suami yang tidak mempunyai
keturunan anak kandung untuk menjadi penerus keturunannya setelah ayah kandung si anak
meninggal. Dengan di angkatnya anak tiri tersebut maka terjadilah hubungan hukum antara anak tiri
dengan bapak tiri sebagaimana anak kandung dengan bapak kandungnya. Pengangkatan anak tiri
menjadi anak angkat oleh bapak yang putus keturunan harus dilakukan dengan upacara adat, terang
di hadapan prowatin (para pemuka adat).

2.      Anak Angkat[18]

Kedudukan anak angkat dapat dibedakan antara anak angkat sebagai penerus keturunan
(Lampung: tegak tegi), anak angkat adat karena perkawinan atau untuk penghormatan. Di Lampung
anak orang lain yang diangkat menjadi tegak tegi biasanya diambil dari anak yang masih bertali
kerabat dengan bapak angkat.

Disebut anak angkat adat karena perkawinan, terjadi dikarenakan perkawinan campuran antara
suku (adat) yang berbeda. Di Batak, jika suami yang diangkat itu oarang luar maka yang diangkat
sebagai anak dari kerabat “namboru” (marga penerima darah) dan jika istri yang diangkat itu orang
luar, ia diangkat sebagai anak tiri kerabat “hula-hula” (tulang, marga pemberi darah).di Lampung,
jika suami orang luar, ia dapat diangkat oleh kerabat lelaki pihak ibu (kelama) dan jika istri yang
orang luar maka ia dapat diangkat oleh saudara wanita dari bapak (menulung) atau yang bersaudara
ibu (kenubi). Anak angkat karena perkawinan ini dilakukan hanya memenuhi syarat perkawinan adat,
pengangkatan tersebut tidak menyebabkan si anak angkat menjadi ahli waris dari ayah angkatnya,
melainkan hanya mendapatkan kedudukan keawargaan adat dalam keasatuan kekerabatan yang
bersangkutan.

Dikatakan anak angkat adat sebagai kehormatan adalah pengangkatan anak atau pengangkatan
saudara (Lampung: adat mewari) tertentu sebagai tanda penghargaan,misalnya mengangkat
seorang pejabat pemerintah menjadi saudara angkat. Termasuk pula dalam golongan anak angkat
sebagai kehormatan ialah pengangkatan anak karena baik budi, sebagaimana dikatakan orang
Minangkabau “kemenakanbetali emas” atau juga pengangkatan anak karena perdamaian, sebagai
penyelesai perselisihan (akibat perseteruan yang panjang, pembunuhan dan sebagainya).
pengangkatan anak karena kehormatan ini juga tidak berakibat menjadi waris dari ayah angkat si
anak, kecuali diadakan tambahan perikatan ketika upacara adat di hadapan para pemuka adat
dilaksanakan.

3.      Anak Asuh[19]

Anak asuh adalah anak orang lain yang diasuh oleh suatu keluarga, sebagaimana anak sendiri.
Termasuk dalam golongan ini adalah anak-anak yang disebut “anak pancingan” karena belum atau
tidak mempunyai anak,”anak pungut”, “anak pupuan”  (anak pupon), “anak piara”. Dikarenakan
belas kasihan, anak yatim piatu, anak terlantar, anak cacat, anak nakal, anak titipan. Anak-anak ini
tetap mempunyai hubungan perdata dengan orang tua yang melahirkannya, dan tidak langsung
menjadi warga adat dari kerabat orang tua asuhnya, kecuali kemudian diangkat menjadi anak
angkat. Begitu juga anak akuan, dalam hubungan kekaryaan sebagai pembantu rumah tangga,
pembantu pekerjaan orang tua yang mengakui tanpa balas jasa tertentu. Di Minahasa, apabila orang
tua asuh atau orang tua yang mengaku anak memberikan hadiah (tanah) kepada anak akuan
(parade) maka kedudukan anak berubah dari anak asuh menjadi seperti anak kandung sendiri dan
berhak menjadi waris dari keluarga yang mengasuhnya
3.Sebutkan 1 kasus adat yang andai ketahui, bagaimana penyelesaianya ?
sengketa

Sengketa antara Desa Pakraman Cekik dengan Desa Pakraman Gablogan bermula

dari adanya keluhan oleh beberapa warga Desa Pakraman Cekik

karena merasa

dirugikan

dari akibat yang

ditimbulkan dalam proses upacara pemakaman oleh Desa

Pakraman Gablogan

. Keluhan ini segera dirundingkan oleh kedua desa pakraman

tersebut dan segera dicarikan jalan keluarnya. Akhirnya Desa Pakraman Gablogan mau

menanggung setiap kerugian yang diderita war

ga Desa Pakraman Cekik dari akibat

ditimbulkan dalam proses upacara pemakamannya.


Namun, selang beberapa tahun Desa

Pakraman Gablogan tidak lagi memberikan ganti

rugi

kepada warga Desa Pakraman

Cekik. Dari situlah mulai gesekan

gesekan yang dulunya kecil s

ekarang menjadi

masalah hingga menimbulkan sengketa yang sifatnya kompleks.

2.2.2

Upaya

penyelesaian

sengketa antara desa pakraman cekik

dengan

desa

pakraman gablogan

Dalam upaya penyelesaian sengketa yang terjadi, ada 3 (tiga) upaya yang dilakukan

kedua desa pakraman tersebut.

Bentuk semua dari

upaya

penyelesaian itu adalah

dengan

cara mediasi.

Dalam upaya menyelesaikan sengketa, masing

masing desa pakraman

membentuk p

erwakilan yang dipilih menurut

intelektualitas

yang dimiliki seseorang

dan juga dianggap cakap dalam menyelesaikan sengketa

Upaya penyelesaian sengketa yang pertama

dilakukan oleh masing

masing

perwakilan desa yang

dimediasi oleh Bapak

I Nyoman Gunarta

ya

ng menjabat sebagai

Kepala Desa, Desa Berembeng. Upaya

penyelesaian sengketa pertama ini

memang

menghasilkan suatu kesepakatan bersama

yang pada intinya Desa Pakraman Gablogan

setuju untuk pindah

setra

dan membuat

setra
baru di wilayah desa pakramannya.

Berselang beberapa bulan, belum juga ada tindakan membuat setra dari Desa Pakraman

Gablogan, maka Desa Pakraman Cekik memutuskan melarangnya melakukan

penguburan di

setra

yang menjadi obyek sengketa. Sampai akhirnya ada kematian di

Desa Pakraman Gablogan,

dalam proses penguburan itu kedua desa pakraman hampir

bentrok

Dengan adanya kejadian itu, maka dilakukan lagi upaya yang kedua.

Upaya penyelesaian sengketa yang kedua

juga sama seperti yang pertama. Yang

menjadi mediator dalam upaya penyelesaian sengke

ta yang kedua ini adalah Bapak

Drs.

I Nengah Judiana, Msi

selaku Sekretaris Daerah Kabupaten Tabanan. Dalam

penyelesaian kedua ini hampir sama kejadiannya dengan yang pertama tadi, dimana

kesepakatan tidak dilaksanakan sampai ada kematian lagi di Desa Pakr

aman Gablogan.

Upaya penyelesaian sengketa yang ketiga ini

dimediasi langsung oleh Bupati

Kabupaten Tabanan yaitu Bapak

Nyoman Adi Wiryatama, S.Sos.

bersama dengan

Forum

Koordinasi Pimpinan Daerah Kabupaten Tabanan

. Dengan kewenangan yang

dimi

liki Bupati,

maka diterbitkan suatu keputusan

yang menyatakan Desa Pakraman

Gablogan harus pindah

setra

dan mempunyai

setra

sendiri.

Setra

yang menjadi sengketa

berubah status menjadi tanah

quo

Dengan isi keputusan

seperti itu, maka Desa

Pakraman Gablogan menyetujuin

ya, dan

isi keputusan tersebut dapat diwujudkan oleh


Desa Pakraman Gablogan setelah empat bulan semenjak keputusan itu dibuat.

Pada

akhirnya setelah

setra

Desa Pakraman Ga

blogan terwujudkan, maka

sengketa yang

terjadi antara Desa Pakraman Cekik dengan Desa

Pakraman Gablogan berakhir

Anda mungkin juga menyukai