kedudukan anak di luar perkawinan jika dilihat dari hukum adat Bali, anak di luar perkawinan
yang sah tidak mempunyai kedudukan di dinas maupun di adat. Dalam hukum adat
(Penetje, 1977:65)
hal tersebut.
Dalam pertalian sanak berdasarkan pertalian adat, maka yang terutama dibicarakan adalah
tentang hubungan hukum antara “anak angkat”, termasuk anak tiri, anak asuh, atau anak akuan.
Terjadinya pengankatan anak adalah dikarenakan tidak mempunyai keturunan (penerus keturunan).
[15]
Perlindungan terhadap anak telah diatur oleh UU No. 4 Tahun 1979 yang telah berlaku sejak
tanggal 23 Juni 1979, Undang-Undang tentang Kesejahteraan Anak yang memuat 5 bab dan 16 pasal.
Di dalam UU ini yang dimaksud dengan anak adalah Anak Yatim, Anak Tidak Mampu, Anak Terlantar,
Anak berkelakuan menyimpang dan Anak Cacat.[16]
Adapun hubungan hukum antara anak tiri, anak angkat, anak asuh dan anak akuan dengan
orang tua dan kerabat menurut hukum adat adalah:
1. Anak Tiri[17]
Anak tiri adalah anak kandung bawaan istri janda atau bawaan suami duda yang mengikat tali
perkawinan. Di dalam perkawinan leviraat (Batak: pareakhon, mangabia; Karo: lakoman; Sumatra
Selatan: anggau; Lampung: Nyikok, semalang) dimana istri kawin dengan saudara suami. Anak tiri
tetap berkedudukan sebagai anak dari bapak kandungnya. Begitu pula jika terjadi kawi duda yang
telah mempunyai anak, dengan saudara istri, yaitu kawin sororat. Di masyarakat Jawa yang parental
pun demikian, anak tiri adalah ahli waris dari orang tua yang melahirkannya, kecuali anak-anak tiri
itu diangkat oleh bapak tiri sebagai penerus keturunannya karena ia tidak mempunyai anak.
Di Rejang Bengkulu, anak tiri dapat diangkat oleh seorang suami yang tidak mempunyai
keturunan anak kandung untuk menjadi penerus keturunannya setelah ayah kandung si anak
meninggal. Dengan di angkatnya anak tiri tersebut maka terjadilah hubungan hukum antara anak tiri
dengan bapak tiri sebagaimana anak kandung dengan bapak kandungnya. Pengangkatan anak tiri
menjadi anak angkat oleh bapak yang putus keturunan harus dilakukan dengan upacara adat, terang
di hadapan prowatin (para pemuka adat).
2. Anak Angkat[18]
Kedudukan anak angkat dapat dibedakan antara anak angkat sebagai penerus keturunan
(Lampung: tegak tegi), anak angkat adat karena perkawinan atau untuk penghormatan. Di Lampung
anak orang lain yang diangkat menjadi tegak tegi biasanya diambil dari anak yang masih bertali
kerabat dengan bapak angkat.
Disebut anak angkat adat karena perkawinan, terjadi dikarenakan perkawinan campuran antara
suku (adat) yang berbeda. Di Batak, jika suami yang diangkat itu oarang luar maka yang diangkat
sebagai anak dari kerabat “namboru” (marga penerima darah) dan jika istri yang diangkat itu orang
luar, ia diangkat sebagai anak tiri kerabat “hula-hula” (tulang, marga pemberi darah).di Lampung,
jika suami orang luar, ia dapat diangkat oleh kerabat lelaki pihak ibu (kelama) dan jika istri yang
orang luar maka ia dapat diangkat oleh saudara wanita dari bapak (menulung) atau yang bersaudara
ibu (kenubi). Anak angkat karena perkawinan ini dilakukan hanya memenuhi syarat perkawinan adat,
pengangkatan tersebut tidak menyebabkan si anak angkat menjadi ahli waris dari ayah angkatnya,
melainkan hanya mendapatkan kedudukan keawargaan adat dalam keasatuan kekerabatan yang
bersangkutan.
Dikatakan anak angkat adat sebagai kehormatan adalah pengangkatan anak atau pengangkatan
saudara (Lampung: adat mewari) tertentu sebagai tanda penghargaan,misalnya mengangkat
seorang pejabat pemerintah menjadi saudara angkat. Termasuk pula dalam golongan anak angkat
sebagai kehormatan ialah pengangkatan anak karena baik budi, sebagaimana dikatakan orang
Minangkabau “kemenakanbetali emas” atau juga pengangkatan anak karena perdamaian, sebagai
penyelesai perselisihan (akibat perseteruan yang panjang, pembunuhan dan sebagainya).
pengangkatan anak karena kehormatan ini juga tidak berakibat menjadi waris dari ayah angkat si
anak, kecuali diadakan tambahan perikatan ketika upacara adat di hadapan para pemuka adat
dilaksanakan.
3. Anak Asuh[19]
Anak asuh adalah anak orang lain yang diasuh oleh suatu keluarga, sebagaimana anak sendiri.
Termasuk dalam golongan ini adalah anak-anak yang disebut “anak pancingan” karena belum atau
tidak mempunyai anak,”anak pungut”, “anak pupuan” (anak pupon), “anak piara”. Dikarenakan
belas kasihan, anak yatim piatu, anak terlantar, anak cacat, anak nakal, anak titipan. Anak-anak ini
tetap mempunyai hubungan perdata dengan orang tua yang melahirkannya, dan tidak langsung
menjadi warga adat dari kerabat orang tua asuhnya, kecuali kemudian diangkat menjadi anak
angkat. Begitu juga anak akuan, dalam hubungan kekaryaan sebagai pembantu rumah tangga,
pembantu pekerjaan orang tua yang mengakui tanpa balas jasa tertentu. Di Minahasa, apabila orang
tua asuh atau orang tua yang mengaku anak memberikan hadiah (tanah) kepada anak akuan
(parade) maka kedudukan anak berubah dari anak asuh menjadi seperti anak kandung sendiri dan
berhak menjadi waris dari keluarga yang mengasuhnya
3.Sebutkan 1 kasus adat yang andai ketahui, bagaimana penyelesaianya ?
sengketa
Sengketa antara Desa Pakraman Cekik dengan Desa Pakraman Gablogan bermula
karena merasa
dirugikan
Pakraman Gablogan
tersebut dan segera dicarikan jalan keluarnya. Akhirnya Desa Pakraman Gablogan mau
rugi
ekarang menjadi
2.2.2
Upaya
penyelesaian
dengan
desa
pakraman gablogan
Dalam upaya penyelesaian sengketa yang terjadi, ada 3 (tiga) upaya yang dilakukan
upaya
dengan
cara mediasi.
membentuk p
intelektualitas
masing
I Nyoman Gunarta
ya
ng menjabat sebagai
memang
setra
dan membuat
setra
baru di wilayah desa pakramannya.
Berselang beberapa bulan, belum juga ada tindakan membuat setra dari Desa Pakraman
penguburan di
setra
bentrok
Dengan adanya kejadian itu, maka dilakukan lagi upaya yang kedua.
Drs.
penyelesaian kedua ini hampir sama kejadiannya dengan yang pertama tadi, dimana
aman Gablogan.
bersama dengan
Forum
dimi
liki Bupati,
setra
dan mempunyai
setra
sendiri.
Setra
quo
ya, dan
Pada
akhirnya setelah
setra
Desa Pakraman Ga
sengketa yang