Anda di halaman 1dari 3

3.

Bagaimana Hukum Adat Toraja Dapat Melindungi Serta Menjamin Hak-Hak Anak
Angkat?

3.1 Kedudukan Anak Angkat Menurut Hukum Adat Toraja


Pada hakikatnya, sistem kekerabatan yang dianut oleh Suku Toraja adalah sistem
kekerabatan parental. Sistem kekerabatan parental mengakui adanya kesamaan hak dan
kewajiban antara anak perempuan dan laki-laki, baik dalam meneruskan keturunan maupun
menjadi ahli waris dari orang tua angkatnya. Selain itu, dalam hal sebagai penerus keturunan
dan ahli waris, anak angkat memiliki kedudukan yang sama dengan anak kandung menurut
ketentuan Hukum Adat Toraja.1
Dengan mengadopsi kekerabatan parental, pengangkatan anak oleh Suku toraja
dilaksanakan tanpa memutuskan hubungan anak angkat dengan orang tua kandungnya serta
memberikan hak waris bagi anak angkat atas harta orang tua angkat dan harta orang tua
kandungnya. Oleh karena itu, pengangkatan anak dalam Hukum Toraja ini telah sesuai
dengan peraturan perundang-undangan sebagaimana termaktub dalam Pasal 4 PP No. 54
Tahun 2007 Tentang Pengangkatan Anak bahwa pengangkatan anak pada sistem kekerabatan
parental tidak berimplikasi pada pemutusan hubungan kekerabatan antara anak angkat dengan
orang tua kandungnya. Namun, hak waris dapat diperoleh anak angkat sepanjang ia telah
melaksanakan segala kewajiban-kewajiban sebagai anak, baik kepada orang tua kandung
maupun kepada orang tua angkat.2 Kewajiban-kewajiban anak angkat yang dimaksud adalah
kewajiban anak kepada orang tua, baik kepada orang tua angkat dan orang tua kandung
sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 19 UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
sebagai berikut:
1. menghormati orang tua, wali, dan guru;
2. mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman;
3. mencintai tanah air, bangsa, dan negara;
4. menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan
5. melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.
Adapun kewajiban-kewajiban anak angkat terhadap orang tua, baik orang tua angkat
maupun orang tua kandung sebagai berikut:3
1. Anak angkat wajib memelihara dan memperhatikan orang tua angkat di hari tua;
2. Anak angkat wajib berpartisipasi dalam melaksanakan upacara penguburan orang tua
angkatnya atau to masara’;
3. Anak angkat wajib berpartisipasi dengan baik dalam pelaksanaan upacara rambu
solo’ (upacara kematian) maupun rambu tuka’ (upacara syukuran), baik yang
diselenggarakan orang tua angkat maupun keluarga orang tua angkat (mangngiu’);
4. Anak angkat wajib mangngiu’ terhadap tongkonan orang tua angkatnya dengan
memberikan sumbangan untuk perbaikan, melakukan pemeliharaan atau

1 Ellyne Dwi Poespasari dan Trisadini Prasastinah Usanti, 2019, Tradisi Pengangkatan Anak Menurut
Hukum Adat Suku Toraja, cet. Ke-1, Surabaya: CV Jakad Media Publishing, hlm. 97.
2 Ibid, hlm. 93.
3 Ratna Putri Indrasari, 2010, “Kedudukan Anak Sebagai Ahli Waris Menurut Hukum Adat Tana Toraja,”
Tesis Magister Universitas Diponegoro, Semarang, hlm. 101.
pembangunan tongkonan orang tua angkatnya, baik tongkonan tang merambu (liang)
maupun tongkonan merambu (rumah adat); dan
5. Keturunan dari anak angkat berkewajiban untuk mangngiu’ terhadap tongkonan orang
tua angkat dan juga ikut berpartisipasi dalam upacara rambu solo maupun rambu
tuka’.
Berdasarkan kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan anak angkat di atas,
tercermin dua norma yang diadopsi dalam Hukum Adat Toraja sebagai berikut:4
1. Banua tongkonan atau rumah adat.
Kata “tongkonan” berasal dari “tongkon” yang memiliki arti tempat duduk
untuk mendengarkan perintah, penjelasan, dan penyelesaian masalah. Masyarakat
Adat Suku Toraja memiliki kewajiban untuk mengabdi pada tongkonan dengan cara
memberikan bantuan dan/atau sumbangan sesuai dengan kemampuan dalam rangka
pemeliharaan, perbaikan, dan/atau pembangunan kembali Tongkonan. Hal ini sifatnya
wajib bagi siapa saja yang termasuk dalam sistem kekerabatan keluarga tersebut.
Sehingga, apabila keturunan dari suatu keluarga lalai terhadap Tongkonan, hak waris
yang ia milik berpotensi hilang, karena dianggap melupakan jasa orang tua dan
leluhur yang telah membangun Tongkonan.
2. Liang atau kuburan keluarga.
Liang sangat memiliki relasi yang kuat dengan leluhur, sehingga Masyarakat
Adat Toraja yang terikat dalam sistem kekerabatan tertentu wajib memelihara liang
secara gotong royong. Tujuannya, keturunan-keturunan yang terikat dalam suatu
kekerabatan tersebut mengingat kebaikan leluhur.

Melihat dari sistem kekerabatan anak menurut hukum toraja, kedudukan anak angkat
sesuai dengan“asas “ma’bun dua ma’saruruan patomali”. Artinya, mempunyai dua sumber
mata air. Dengan demikian, kedudukan anak angkat menurut Hukum Adat Toraja dapat
diklasifikasikan menjadi dua, yaitu kedudukan anak angkat dalam sistem kekerabatan orang
tua kandung dan kedudukan anak angkat dalam sistem kekerabatan orang tua angkat.

2.2 Kedudukan Anak Angkat dalam Sistem Kekerabatan Orang Tua Kandung
Menurut Hukum Adat Toraja
Dengan tidak putusnya hubungan antara anak angkat dan orang tua kandungnya,
keluarga dari orang tua kandung tidak masuk ke dalam sistem kekerabatan orang tua angkat.
Namun, pada prakteknya, seolah-olah terjadi hubungan antara keluarga orang tua angkat
dengan keluarga orang tua kandung. Sehingga, anak angkat memiliki dua kedudukan menurut
Hukum Adat Toraja, yaitu kedudukan sebagai anak kandung dari orang tua kandung dan
kedudukan sebagai anak angkat dari orang tua angkat.
Kedudukan anak angkat dalam sistem kekerabatan orang tua kandung, sebagai
keturunan dan ahli waris dari orang tua kandung, melahirkan konsekuensi bahwa anak angkat
berkewajiban untuk menyelesaikan upacara adat penguburan orang tua kandung sebagai
status sosial. Dalam penguburan orang tua kandungnya, anak harus melakukan pengorbanan
dengan cara membeli kerbau yang dianggap sebagai hewan suci untuk dikorbankan dalam

4 Ellyne Dwi Poespasari dan Trisadini Prasastinah Usanti, op. Cit., hlm. 95-97.
upacara adat. Bahkan, sekalipun anak angkat tidak memiliki harta pribadi, anak angkat dapat
menjual harta peninggalan orang tua kandung, seperti menjual sawah atau kebun untuk
membeli kerbau.

2.3 Kedudukan Anak Angkat dalam Sistem Kekerabatan Orang Tua Angkat Menurut
Hukum Adat Toraja
Dalam hal sebagai penerus keturunan dan ahli waris dalam sistem kekerabatan orang
tua angkat, anak angkat memiliki kedudukan yang sama dengan anak kandung menurut
ketentuan Hukum Adat Toraja selama anak angkat menjalankan kewajiban-kewajibannya
sebagai anak dengan baik.5 Khususnya, menurut Hukum Adat Toraja, anak angkat memiliki
kewajiban lain terhadap orang tua angkatnya, yaitu tetap berpartisipasi bersama dengan
keturunannya dalam pelaksanaan rambu tuka’ (upacara syukuran) dan rambu solo’ (upacara
kematian).
Setelah melaksanakan segala kewajiban sebagai anak, anak angkat berhak
mendapatkan warisan dari orang tua angkat. Namun, terkait pembagian harta waris, selama
orang tua angkat memiliki anak kandung, penyelesaiannya berdasarkan musyawarah di antara
anak angkat dengan anak kandung yang sah. Sementara itu, jika orang tua angkat tidak
memiliki keturunan, maka pembagian harta waris kepada anak angkat harus berdasarkan
kesepakatan dengan keluarga atau ahli waris dari golongan lain tanpa mengesampingkan
segala kewajiban yang telah dilaksanakan oleh anak angkat.6

Daftar Pustaka

Ellyne Dwi Poespasari dan Trisadini Prasastinah Usanti. 2019. Tradisi Pengangkatan Anak
Menurut Hukum Adat Suku Toraja. Cet. Ke-1. Surabaya: CV Jakad Media Publishing.

Indonesia. Peraturan Pemerintah Tentang Pengangkatan Anak, PP No. 54 Tahun 2007. LN


No. 123, TLN. No. 4768.

Indonesia. Undang-Undang Tentang Perlindungan Anak, UU No. 23 Tahun 2002. LN No.


109, TLN. No. 4235.

Indrasari, Ratna Putri Indrasari. 2010. “Kedudukan Anak Sebagai Ahli Waris Menurut
Hukum Adat Tana Toraja”. Tesis Magister Universitas Diponegoro. Semarang.

5 Ibid, hlm. 97.


6 Ibid, hlm. 98.

Anda mungkin juga menyukai