Anda di halaman 1dari 4

TUGAS MATA KULIAH HUKUM ADAT BALI

SI LUH DWITA CANIASTI

1804551113

KELAS B

42

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2020
Jelaskan konsep pelanggaran adat menurut hukum adat bali !
Mengenai pelanggaran adat (delik adat), B. Ter Haar menulis bahwa “di
masyarakat-masyarakat hukum kecil rupa-rupanya yang dianggap suatu (delict)
adalah setiap gangguan segi satu (eenzijdig) terhadap keseimbangan dan setiap
penubrukan dari segi satu pada barang-barang kehidupan materiil dan imatereel orang
seorang, atau dari pada orang-orang banyak yang merupakan satu kesatuan
(segerombolan); tindakan itu menimbulkan suatu reaksi yang sifatnya dan besar
kecilnya ditentukan oleh hukum adat ialah kenyataan reaksi adat (adatreactie), karena
reaksi mana keseimbangan dapat dan (kebanyakan dengan jalan pembayaran berupa
barang-barang atau uang)”. Menurut R. Soepomo, dalam sistem hukum adat segala
perbuatan yang bertentangan dengan peraturan hukum adat perbuatan ilegal harus
dipulihkan kembali dan hukum adat mengenal pula ikhtiar-ikhtiar untuk metmperbaiki
kembali hukum, jika hukum itu diperkosa. Senada dengan uraian Ter Haar dan
Soepomo di atas, Bushar Muhamad, seperti dikutip oleh I Made Widnyana,
memberikan definisi tentang delik adat sebagai perbuatan sepihak dari seseorang atau
kumpulan perseorangan, mengancam atau menyinggung atau mengganggu
keseimbangan dan kehidupan persekutuan bersifat material atau imaterial, terhadap
orang seorang atau terhadap masyarakat berupa kesatuan. Tindakan atau perbuatan
yang demikian akan mengakibatkan suatu reaksi adat.
Pengertian pelanggaran adat di atas menekankan pada adanya perbuatan
sepihak dari orang perseorangan atau kelompok yang menimbulkan gangguan
keseimbangan dan kehidupan dalam masyarakat, baik material maupun imaterial.
Agak berbeda dengan pengertian para sarjana di atas, Hilman Hadikusuma melihat
"kejadian" dapat juga menimbulkan pelanggaran adat, disamping perbuatan orang
perorangan atau kelompok. Dalam bukunya yang berjudul Hukum Pidana Adat,
Hilman Hadikusuma menyatakan bahwa yang dimaksud pelanggaran adat (delik adat)
itu adalah semua perbuatan atau kejadian yang bertentangan dengan kepatutan,
kerukunan, ketertiban, keamanan, rasa keadilan dan kesadaran hukum masyarakat.
Dengan demnikian, suatu kejadian (bukan suatu perbuatan yang disengaja oleh
manusia) dapat meninbulkan delik jika kejadian itu dirasakan oleh masyarakat
mengganggu keseimbangan dalam masyarakat.
Dalam pandangan masyarakat adat di Bali yang Hinduis, keseimbangan yang
wajib dipertahankan adalah keseimbangan dalam hubungan antara unsur-unsur tri
hita karana, yaitu keseimbangan hubungan antara manusia dengan sesamanya,
kesimbangan hubungan antara manusia dengan alam lingkungan, dan keseimbangan
hubungan antara manusia dengan Tuhan. Menurut konsep orang Bali setiap gangguan
keseimbangan hubungan tri hita karana ini dapat dipandang sebagai pelanggaran adat
yang wajib mendapatkan penyelesaian.
Uraikan jenis dan bentuk sanksi menurut hukum adat Bali !
Sanksi dikalangan masyarakat tradisional atau masyarakat adat, dikenal
dengan sebutan “sanksi adat”, “koreksi adat”, atau “reakasi adat”. Untuk di Bali,
sanksi adat itu umumnya disebut danda, atau pamidanda. Tujuan sanksi adat ini
adalah untuk mengembalikan keseimbangan yang terganggu karena adanya
pelanggaran adat. Soepomo mengemukakan bahwa dalam hubungan dengan
pengenaan sanksi, yang penting adalah adanya pengutamaan terhadap terciptanya
suatu keseimbangan antara dunia lahir dan dunia gaib, antara golongan manusia
seluruhnya dan orang seorang, antara persekutuan dan teman masyarakatnya. Oleh
karena pelanggaran adat (delik adat) dapat menimbulkan gangguan keseimbangan
dalam kehidupan nyata maupun tidak nyata, maka dalam hukum adat Bali dikenal
golongan-golongan sanksi adat yang menyangkut kehidupan nyata dan tidak nyata
(sekala niskala). Dalam Adat di Bali terdapat 3 golongan sanksi adat yang disebut
dengan istilah Tri Danda, yaitu :
a. Artha Danda, yaitu tindakan hukum berupa penjatuhan denda (berupa uang atau
barang).
b. Jiwa Danda, tindakan hukum berupa pengenaan penderitaan jasmani maupun
rohani bagi pelaku pelanggaran (hukuman fisik dan psikis).
c. Sangaskara Danda, berupa tindakan hukuman untuk mengembalikan
keseimbangan magis (hukuman dalam bentuk melakukan upacara agama).

Terdapat banyak bentuk pamidanda yang dapat diklasifikasikan ke dalam Tri


Danda. Beberapa contoh lain pamidanda tersebut antara lain adalah dosa atau dedosan
yaitu hukuman denda berupa pembayaran sejumlah uang, kasepekang yakni sanksi
pengucilan atau pemberhentian sementara sebagai warga adat, maprayascita,
nyaranunin desa yaitu kewajiban melakukan upacara keagamaan untuk
menghilangkan leteh atau kekotoran gaib, kanorayang yakni sanksi pengusiran dari
lingkungan tempatnya tinggal, dan lain-lain.
Adapun jenis-jenis sanksi adat di Bali, seperti :
a. Kapademang, yaitu berupa sanksi dibunuh.
b. Katugel limane, yaitu berupa sanksi dipotong tangannya.
c. Pemarisuda, Prayascita, Pecaruan, yaitu sanksi berupa upacara pembersihan.
d. Mengaksama, Mapilaku, Lumaku, Mangolas-olas, Nyuaka, yaitu sanksi berupa
permintaan maaf.
e. Matirta Gemana/ Matirta Yatra, yaitu sanksi berupa melakukan perjalanan suci.
f. Kaselong, yaitu sanksi berupa dibuang ke luar dari kerajaan.
g. Mapulang ka pasih, yaitu sanksi berupa ditenggelamkan ke laut.
h. Kablagbag, yaitu sanksi berupa pemasungan.
i. Katundung, Kairit, yaitu sanksi berupa pengusiran.
j. Kerampag, yaitu sanksi berupa pengambilan paksa harta miliknya.
k. Kasepekang, yaitu sanksi berupa pengucilan.
l. Ayahan panukun kasisipan, yaitu sanksi berupa wajib kerja pengganti kesalahan.
m. Danda artha, yaitu sanksi berupa denda-denda baik materiil maupun immateriil.
n. Kedaut karang ayahan, yaitu sanksi berupa pengambilan tempat kediamannya yaitu
karang ayahan desa.
o. Kawusang mabanjar/ madesat adat, yaitu sanksi berupa pemberhentian sebagai
warga desa/ banjar.
p. Kalatengan, yaitu sanksi berupa penyiksaan menggunakan daun lateng.
q. Kaople, yaitu sanksi berupa pengarakan keliling desa.
r. Kapelungguh, Kapesajen, Karepotang, yaitu sanksi berupa pemberian peringatan
secara lisan.
s. Kataban, yaitu sanksi berupa diambil dan dimiliki.
t. Kaginggsiran, yaitu sanksi beruoa penempatan sementara dekat kuburan/ di luar
tegak desa.
u. Ngingu banjar/ desa, yaitu sanksi berupa menjamu seluruh warga banjar/ desa.
DAFTAR BACAAN :

Putra Astiti, Tjok Istri et Al, 2017, Buku Ajar Hukum Adat Lanjutan, Fakultas Hukum
Universitas Udayana, Denpasar.

Windia, Wayan, dan Ketut Sudantra, 2016, Pengantar Hukum Adat Bali, Swasta Nulus,
Denpasar.

Anda mungkin juga menyukai