Anda di halaman 1dari 5

TUGAS MATA KULIAH HUKUM ADAT BALI

SI LUH DWITA CANIASTI

1804551113

KELAS B

42

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2020
Bagaimana kedudukan hukum adat Bali setelah berlakunya UU Perkawinan?
Pengaturan mengenai perkawinan diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan yang sebagaimana telah diubah dengan UU No. 16 Tahun 2019 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-
undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan. Di dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) dirumuskan:
“Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Pengertian
perkawinan menurut hukum adat Bali, dirumuskan sebagai sebuah ikatan suci antara
seorang pria dengan seorang wanita dengan tujuan untuk membentuk keluarga yang
utama, yang keturunan purusa. Sehingga hal tersebut memiliki keterkaitan antara UU
Perkawinan dengan Hukum Adat Bali yang dimana juga lebih ditegaskan lagi dalam
Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa:
(1) Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu;
(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangan yang berlaku.
Disini telah tergambar adanya segi-segi material dan formal dari pada
perkawinan. Aspek materialnya adalah berpangkal tolak pada "hukum agama"
dan ''kepercayaan'' sebagai penentu keabsahan suatu perkawinan, sedangkan
aspek formalitasnya tergambar pada ketentuan berikutnya yang menyangkut
soal pencatatan.
Sebagaimana diketahui bahwa bunyi pasal 2 tersebut telah menempatkan hukum
agama dan juga kepercayaan pada suatu posisi. Dalam masyarakat di Bali hukum
agama dan hukum adat berjalan berdampingan, sehingga hal tersebut sangat sulit
untuk dibedakan. Memang ada hukum agama yang tempatnya berhadapan dengan
hukum adat, tetapi tidak sedikit pula yang keduanya berbaur antara satu dengan lain
sehingga sulit untuk membedakan mana yang hukum adat dan mana yang hukum
agama. Menurut Sudantra dan Laksana dalam beberapa aspek, hukum adat Bali
berada pada posisi melengkapi hukum perkawinan nasional karena pada prinsipnya
tidak ada satupun undang-undang yang mampu mengatur semua aspek kehidupan
yang diaturnya. itu sebabnya Undang-undang Perkawinan memberikan peluang
berlakunya hukum-hukum lain untuk mengatur aspek-aspek perkawinan yang belum
diatur oleh Undang-undang Perkawinan.
Pasal 66 Undang-undang Perkawinan dengan tegas menyatakan bahwa “Untuk
perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan
Undangundang ini, maka dengan berlakunya Undang-undang ini ketentuan-
ketentuan yang diatur dalam Peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang
perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku”.
Pasal 66 sengaja disediakan untuk menjadi ruang bagi berlakunya hukum agama
dan/atau hukum adat untuk mengatur aspek-aspek tertentu perkawinan yang belum
diatur dalam Undang-undang Perkawinan.
Perkawinan menurut hukum adat Bali dilandasi dari sistem kekeluargaan di Bali
yakni sistem kekeluargaan patrilinial atau disebut sistem kekeluargaan purusa yang
dianut umat Hindu di Bali. Sistem kekeluargaan kepurusa ini sesuai dengan ajaran
Agama Hindu yang dianut sebagian besar masyarakat bali, sehingga terdapat
perpaduan yang erat antara adat bali dengan agama hindu dalam hukum kekeluarga
yang berlaku. Berdasarkan garis kekeluargaan ini hubungan kekeluargaan antara anak
dengan keluarga dari pihak bapak atau keluarga pancer kapurusa memiliki nilai dan
derajat yang lebih penting dari keluarga dari pihak ibu (saking pradana). Dari segi
hukum, seorang anak hanya mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan
keluarga pancer kepurusa ini sedangkan hubungan dengan kelurga saking pradana
hanya mempunyai nilai sosial dan nilai moral saja. Masyarakat Bali menganal ada
tiga jenis perkawinan yaitu antara lain: perkawinan biasa, perkawinan nyeburin, dan
perkawinan pada gelahang. Dengan demikian, sangat penting pengaruh bentuk
perkawinan yang diatur dalam hukum adat terhadap kedudukan suami-istri dan anak-
anak yang dilahirkannya dalam keluarga, menyangkut hak-hak dan kewajiban
dibidang hukum keluarga dan waris. Jika sesorang ingin mengetahui kedudukan
seorang anak dalam suatu keluarga, dengan siapa dia mempunyai hubungan hukum
kekeluargaan, maka orang itu harus mengetahui bentuk perkawinan orang tuanya.
Selain itu, ketentuan lain dalam Undang-undang Perkawinan Pasal 37 mengatur
mengenai kedudukan harta bersama dalam perkawinan apabila terjadi perceraian.
Pasal ini menentukan bahwa: “Bila perkawinan putus karena perceraian, harta
bersama diatur menurut hukumnya masing-masing”. Jadi yang dimaksud dengan
“hukumnya masing-masing” adalah hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum
lainnya yang berkaitan dengan perkawinan. Sehingga dapat dikatakan jika pasangan
suami-istri perkawinannya putus karena perceraian mka pembagian harta bersama
setelah terjadinya perceraian akan ditentukan lebih lanjut menurut hukum agama
dan/atau hukum adat yang dianut oleh umat Hindu di Bali.
Jadi dari penjelasan diatas sudah sangat jelas bahwa hukum adat Bali mengenai
hukum perkawinan terhadap hukum nasional yang berlaku di bidang Perkawinan
yakni UU Perkawinan memiliki sifat saling melengkapi. Karena apa yang belum
diatur dalam hukum nasional khususnya UU Perkawinan akan dilengkapi dan diatur
berdasarkan hukum agama dan/atau hukum adat Bali khususnya berlaku bagi
masyarakat hukum adat di Bali.
DAFTAR BACAAN :

Agus Putra Sumardan, I Putu, 2020, Perkawinan Menurut Hukum Hindu, Artikel Advokat di
Bali.

Sudantra, I Ketut, dan I Gusti Ngurah Dharma Laksana, 2017, Pluralisme Hukum yang
Berlaku dalam Perkawinan Umat Hindu di Bali, SENASTEK-IV: 159-165.

Sudantra, I Ketut, I Gusti Ngurah Sudiana, dan Komang Gede Narendra, 2011, Perkawinan
Menurut Hukum Adat Bali, Udayana University Press, Denpasar.

Putu Dyatmikawati, 2011, “Perkawinan Pada Gelahang Dalam Masyarakat Hukum Adat Di
Provinsi Bali Ditinjau Dari Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan”, Jurnal
Ilmu Hukum, Agustus 2011, Vol. 7, No. 14 Universitas Dwijendra.

Windia, Wayan, dan Ketut Sudantra, 2016, Pengantar Hukum Adat Bali, Swasta Nulus,
Denpasar.

Anda mungkin juga menyukai