Anda di halaman 1dari 13

Indoprogress.

Com (/)

!
/ Analisa Politik (https://indoprogress.com/analisa-politik/), Analisis
(https://indoprogress.com/harian/analisis/), Harian Indoprogress
(https://indoprogress.com/harian/)
/ Keluarga Bahagia yang Tidak Benar-Benar Bahagia

Keluarga Bahagia yang Tidak


Benar-Benar Bahagia
24 June 2021
" Syarif Maulana (/penulis/syarif-maulana/)
# Harian IndoPROGRESS (/kanal)

Foto: Houston Museum of Natural Science (http://blog.hmns.org/wp-


content/uploads/2017/10/post-mortem-2.jpg)
KELUARGA seperti yang kita kenal sekarang—dengan formasi ibu, ayah dan
anak—tampak seperti konsep yang terberi atau ‘begitu adanya.’ Konsep keluarga
semacam ini, atau disebut juga dengan keluarga batih (nuclear family), dianggap
sebagai kondisi ideal. Ia berbeda dengan konsep orang tua tunggal (single
parent), keluarga besar (extended family) atau keluarga dengan beberapa orang
tua yang keseluruhannya diterima oleh pandangan umum tetapi sebagai kondisi
yang kurang sempurna atau lazim.

Antropolog Amerika Serikat Lewis H. Morgan dalam buku berjudul Ancient


Society; or, Researches in the Lines of Human Progress from Savagery, Through
Barbarism to Civilization (1877) menunjukkan bahwa keluarga batih adalah
konsep yang tergolong baru. Pada masa ‘kebuasan’ (savagery) atau sekitar 60
ribu tahun yang lalu, bentuk keluarga yang umum adalah keluarga sedarah.
Keluarga sedarah adalah kelompok perkawinan yang dipisah berdasarkan
generasi. Dalam keluarga sedarah, praktik seksual boleh dilakukan selama masih
dalam satu generasi, tetapi dilarang dengan yang berbeda generasi. Semua
generasi kakek nenek adalah sekaligus sesama suami istri. Anak-anak mereka,
yang menjadi ayah dan ibu bagi cucu-cucu, adalah juga sesama suami istri.
Begitu seterusnya turun temurun.

Pada perkembangannya muncul jenis keluarga yang bernama keluarga punaluan.


Praktik seksual dalam keluarga ini lebih rumit ketimbang keluarga sedarah dan
batasannya lebih banyak. Dalam keluarga punaluan, praktik seksual tak hanya
dilarang dilakukan antar generasi, tapi juga antar saudara. Larangan ini
diberlakukan secara bertahap, dimulai dari antar saudara dari ibu yang sama
sampai akhirnya antar saudara sepupu pertama, kedua, ketiga dan seterusnya.

Kemudian muncul variasi lain yang disebut dengan keluarga berpasangan.


Keluarga berpasangan adalah konsep perkawinan di mana seorang laki-laki
memiliki satu perempuan sebagai istri utama di samping istri-istri lain.
Sebaliknya, bagi si istri, laki-laki itu merupakan suami yang paling penting di
antara suami-suami yang lain. Jadi, dalam periode ini mulai ada laki-laki dan
perempuan yang mengikat diri dalam ikatan suami istri, tetapi masing-masing
dari mereka mempunyai pasangan lain. Ringkasnya si suami melakukan poligini
dan si istri menjalankan poliandri, namun di antara beberapa pasangan tersebut
ada yang menjadi ‘prioritas.’

Analisis Engels atas Keluarga Monogami

Konsep keluarga batih dibangun di atas prinsip hubungan yang disebut


monogami atau individu yang hanya memiliki satu pasangan. Keluarga
monogami ini merupakan ciri penting dan tanda dari dimulainya masa yang oleh
Morgan disebut dengan peradaban (civilization).

Friedrich Engels dalam bukunya yang berjudul The Origin of the Family, Private
Property and the State (1884) menyebutkan bahwa keluarga monogami ini
bukan sesuatu yang ‘alamiah,’ melainkan diawali oleh keinginan pihak laki-laki
untuk memproduksi ‘anak-anak ayah’ atau paternity. Paternity menjadi
tuntutan karena anak-anak ini didorong untuk menjadi ahli waris dari kekayaan
sang ayah dan pemusatan kekayaan pada laki-laki. Dalam perjalanan historisnya,
monogami merupakan implikasi dari kecenderungan laki-laki yang mempunyai
budak perempuan—yang membuat mereka tidak lagi mempunyai kebebasan
untuk melakukan poliandri.

Maka dari itu, lebih tepat dikatakan bahwa monogami dilakukan secara ketat
terhadap perempuan—dan tidak serius pada laki-laki—untuk menjaga jalur
kepemilikan pribadi yang cenderung patriarkal.

Analisis Engels tersebut berangkat dari penelitian Morgan yang menunjukkan


bahwa dalam kondisi perkawinan di masa sebelum peradaban, praktik seksual
yang cenderung poligamistik membuat masyarakat menjadi sukar untuk
mengidentifikasi ayah dari si anak, sementara ibu yang mengandung dan
melahirkan lebih mudah diketahui. Dengan demikian dapat dikatakan juga
perkawinan monogami yang berwatak paternity telah menggeser sistem
perkawinan sebelumnya yang cenderung menghasilkan ‘anak-anak ibu’ atau
maternity.
Engels melihat asal usul pemusatan kekayaan tersebut adalah aktivitas laki-laki
seperti penggembalaan, penjinakan dan pemeliharaan hewan ternak. Lama
kelamaan laki-laki menjadi terikat pada pekerjaannya dan membuat mereka
menjadi pihak yang memiliki ternak itu. Ternak menjadi hak milik pribadi dan
komoditas untuk dipertukarkan dengan apa pun yang dianggap sebagai simbol
kekayaan—salah satunya budak. Perempuan dalam hal ini boleh menikmati
bagiannya, tapi tidak lebih banyak dari laki-laki.

Premis tersebut membawa kita pada kesimpulan tentang relasi antara


penguasaan properti oleh laki-laki dengan perkawinan monogami. Laki-laki
merasa terancam jika perempuan tetap pada insting primitifnya untuk
menerapkan praktik keluarga berpasangan. Hak ayah tidak hanya diperkenalkan
melalui pergulatan supremasi ini, melainkan juga dikukuhkan dan diabadikan.
Dengan demikian, hak ibu, yang dalam sejarahnya punya posisi penting dalam
masyarakat, disingkirkan pelan-pelan lewat modus perkawinan monogamistik.

Kepemilikan individu dan konfliknya dengan kepemilikan individu lain


membuat sistem komunistik dalam masyarakat pelan-pelan luntur. Misalnya,
tidak ada lagi pengelolaan tanah secara bersama-sama. Tanah yang tadinya
digarap secara komunal kemudian dibagi-bagikan untuk digarap secara pribadi,
yang meskipun pada awalnya hanya untuk sementara lama kelamaan menjadi
permanen.

Inilah awal mula transformasi masyarakat komunal ke masyarakat individual,


yang bertalian dengan transformasi dari keluarga berpasangan ke keluarga
monogami. Pada titik ini, tidak dapat dipungkiri bahwa keluarga monogami
adalah juga semacam unit ekonomi.

Konsepsi keluarga dari ruang publik juga semakin kabur dan hilang. Pada rumah
tangga komunistik kuno, yang terdiri dari banyak pasangan, tugas-tugas
mengatur rumah tangga diserahkan kepada perempuan. Situasi ini membuat
perempuan berkontribusi besar terhadap masyarakat luas. Dalam keluarga
monogami, hal demikian tidak lagi dilakukan. Pengaturan rumah tangga tidak
lagi dipandang sebagai sesuatu yang bersifat publik dan diurus bersama-sama.
Rumah tangga menjadi semata-mata urusan pribadi dan domestikasi terhadap
istri membuat mereka tidak berperan dalam produksi sosial.
Kembali ke Keluarga Batih

Keluarga batih yang terdiri dari ayah, ibu dan anak, yang dianggap sebagai
bentuk kodrati, dapat dianalisis sebagai perpanjangan dari konsep keluarga
monogami yang juga bisa dikritisi. Dalam artikel “The Nuclear Family Was a
Mistake (https://www.theatlantic.com/magazine/archive/2020/03/the-nuclear-
family-was-a%20mistake/605536/)” (2020), David Brooks melacak awal mula
bentuk tersebut dari era Victoria, abad ke-19 di Inggris. Pada era itu mulai
muncul konsep tentang ‘kehangatan rumah’ sebagai hal yang ideal. Rumah
dipandang sebagai tempat yang sakral dan sumber segala cinta. Paradigma ini
berasal dari kelas menengah atas. Mereka mentransformasikan keluarga dari
yang tadinya merupakan unit ekonomi menjadi unit moral dan unit emosional:
jendela Tuhan untuk pembentukan hati dan jiwa.

‘Kehangatan rumah’ ini belum bisa dibayangkan dalam konteks keluarga kecil
yang kita kenal hari ini. Di era Victoria, masih lumrah jika rumah diisi oleh
keluarga besar (extended family). Keluarga besar, meski memiliki kekuatan,
tetapi ternyata dapat sekaligus melelahkan dan menyesakkan. Konsep keluarga
besar memberikan ruang privasi yang sempit. Kita dipaksa untuk berhubungan
erat dengan orang-orang yang tidak kita pilih. Keluarga besar membangun
stabilitas namun menyisakan sedikit mobilitas. Ikatan keluarga menjadi lebih
erat, namun pilihan individual pun lenyap. Ruang untuk membangun jalan
hidup mandiri menjadi sempit.

Di Amerika, mereka yang gelisah dengan keluarga besar ini seolah menemukan
jalan keluar ketika pabrik-pabrik dibuka di kota-kota besar pada akhir abad ke-
19 dan awal abad ke-20. Para pria dan wanita muda meninggalkan keluarga besar
mereka untuk mengejar ‘American Dream.’ Di tengah upaya meraih cita-cita
dalam keadaan mandiri, pemuda pemudi ini menikah sesegera mungkin. Para
lelaki di pedesaan dapat menunggu hingga usia 26 sebelum menikah; sementara
di perkotaan (yang waktu itu masih relatif lengang), lelaki menikah pada usia 22
atau 23. Inilah asal usul keluarga batih, kelompok kecil dalam masyarakat yang
lebih solid dalam mempertahankan kepemilikan pribadi.
Segalanya terlihat berjalan dengan baik. Dari 1950 hingga 1965, angka
perceraian menurun, fertilitas meningkat, dan keluarga batih ala Amerika
nampak sempurna. Pada masa ini, terbentuk semacam kultus dalam keluarga
batih—sesuatu yang oleh McCall’s, majalah perempuan terkenal di Amerika
abad ke-20, disebut sebagai ‘kebersamaan.’ Masyarakat umumnya percaya bahwa
orang yang sehat adalah mereka yang tinggal dalam keluarga dengan sepasang
orang tua. Pada survei tahun 1957, lebih dari setengah responden mengatakan
bahwa mereka yang tidak menikah adalah orang ‘sakit,’ ‘tidak bermoral,’ atau
‘neurosis.’

Tanggapan

Engels benar dalam arti motif ekonomi, disadari atau tidak, tidak pernah benar-
benar dapat dilepaskan dari perkawinan monogami. Motif ini, di masa sekarang,
agar tidak terlalu nampak sebagai insting tribal, dihaluskan dalam berbagai
konsepsi kultural seperti misalnya bibit, bebet, bobot dalam masyarakat Jawa
atau ajaran Islam yang mengajarkan untuk mencari pasangan dengan
mempertimbangkan harta, keturunan, kecantikan dan agama. Dalam dua
konsepsi tersebut, terlihat bahwa unsur kekayaan saja tidak cukup melainkan
juga harus dapat dialirkan melalui garis keturunan yang jelas.

Perkawinan monogami juga berimplikasi pada kemunculan keluarga batih yang


dikritisi sebagai aparatus sosial dalam struktur masyarakat, yang seolah menjadi
acuan paling sempurna untuk keluarga. ‘Nilai-nilai keluarga’ (family values),
yang digaungkan oleh keluarga batih, kadang hanya bersifat retoris saja—yang
menyingkirkan kemungkinan bentuk keluarga lain seperti keluarga LGBT atau
single parent. Dalam hal kejiwaan, muncul kesan seolah-olah keluarga batih
merupakan resep bagi pertumbuhan anak yang normal dan, maka itu, yang
tumbuh di luar lingkungan tersebut akan bermasalah secara psikologis.

Dalam pandangan kritis lain, kita bisa melihat bahwa keluarga batih sebenarnya
juga merupakan unit ekonomi yang berupaya mempertahankan kekayaan pada
wilayah yang lebih kecil, tapi ‘cukup bermoral’ untuk tidak sampai dikatakan
individualistis. Sering kita dengar bagaimana seseorang bekerja demi keluarga,
dengan prinsip bahwa keluarganya itu adalah idealisme yang tertinggi.
Keluarganya sendiri ini bukan keluarga besar, melainkan keluarga batih yang
mungkin hanya terdiri dari istri atau suami dengan satu atau dua orang anak.
Padahal yang demikian bisa dikatakan juga sebagai upaya pelanggengan
kepemilikan pribadi, tetapi melalui jalur keluarga batih yang lebih bisa
memusatkan kekayaan (ketimbang bentuk keluarga besar, misalnya).

Kita bisa bayangkan jika setiap keluarga batih menunjukkan sikap individualistis
yang kuat beserta keinginan untuk menumpuk kekayaan, maka ketimpangan
sosial akan semakin lebar. Keluarga batih, bisa jadi, tidak punya pandangan
sosial yang luas kecuali sebatas keluarganya sendiri saja.

Pada akhirnya, kepemilikan pribadi sebagai salah satu sumber persoalan


keadilan distributif bisa ditelaah melalui kajian kritis terhadap keluarga.
Berbagai jargon tentang keluarga sebagai institusi yang ‘serba-normal’
menyembunyikan dimensi material–historisnya sebagai kelompok dalam
masyarakat yang melanggengkan kepemilikan pribadi itu sendiri.

Syarif Maulana, pengajar di Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan,


mahasiswa program doktoral di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, dan inisiator
kelas belajar filsafat daring Kelas Isolasi.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi ×


dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam
bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja
berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin
banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap
bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis
pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Jika Anda merasa situs ini bermanfaat, silakan menyumbang melalui PayPal
(https://indoprogress.com/kirim-donasi): redaksi.indoprogress@gmail.com;
atau melalui rekening BNI 0291791065. Terima kasih.

$ Kirim Donasi (https://indoprogress.com/kirim-donasi)


ALSO ON INDOPROGRESS

Ketidaksetaraan Membayangkan Politik


Virus dan Kapitalisme Pendidikan yang … Dunia Setelah Korona

Sponsored

Tiga Khasiat Menakjubkan Bakar Daun Salam dalam Ruangan


Petanidigital

She sticks a needle into a banana and what happens next is unbelievable!
Good to know this

Ketidaksetaraan Membayangkan Politik


48 Broke Celebrities Now Working Normal Jobs
Virus dan Kapitalisme Pendidikan yang … Dunia Setelah Korona
Genius-Story.com

Did Her Family Squandered All The Fortune? This Photo Confirms The
Rumors
Networthus.com
1 Comment Indoprogress ! Disqus' Privacy Policy "
1 Login

) Recommend t Tweet f Share Sort by Newest

Join the discussion…

LOG IN WITH
OR SIGN UP WITH DISQUS ?

Name

MrDabboe − ⚑
2 days ago
diskursus yg menggoda sekaligus mengandung jebaan betmen. belum apa2 orang
langsung akan menutup mata dan telinga dengan kajian kiri karena apa2 milik bersama
termasuk istri juga milik bersama. sering dibantah orang kiri dengan diplomasi tapi
kenyataanya memang demikian. kesakralan "ayah,ibu dan 2 anak" tentu saja harus
didobrak. msh bnyk wacana yg bisa dikemukakan spt misalnya keawajiban pengasuhan
anak diambil oleh negara dst, dampak hubungan toksik ayah ibu pd tumbuh kembang
anak, menghapus stigma anak broken home dst. bukan langsung istrimu itu milik
bersama, bisa kupakai juga.
△ ▽ Reply

✉ Subscribe d Add Disqus to your siteAdd DisqusAdd ⚠ Do Not Sell My Data

Sponsored

Tiga Khasiat Menakjubkan Bakar Daun Salam dalam Ruangan


Petanidigital
Did Her Family Squandered All The Fortune? This Photo Confirms The
Rumors
Networthus.com

30 Most Dangerous Dogs in the World


StyleReads.com

She sticks a needle into a banana and what happens next is unbelievable!
Good to know this
" Tentang IndoPROGRESS
IndoPROGRESS adalah media pemikiran progresif yang menawarkan ruang untuk bertukar
gagasan dan pengalaman politik praktis...» Selengkapnya (/tentang-kami)

$ Kirim Donasi
Dukung kami menyajikan konten situs yang lebih baik lagi bagi publik. Salurkan donasi dan
support sebagai bukti dukungan...» Selengkapnya (/kirim-donasi)

% Kirim Tulisan
Jadilah bagian dari perubahan dengan ikut berdiskusi dan berdebat di IndoPROGRESS.
Kirim tulisan, podcast dan video karya...» Selengkapnya (/kirim-tulisan)

& Berlangganan Konten


Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami

Ketik alamat email... Subscribe!


Redaksi (/redaksi) - Tentang (/tentang-kami) - Donasi (/kirim-donasi) - Kontak (/kontak) - Kontribusi
(/kirim-tulisan) - IP Press (/ip-press) - Laporan Keuangan (/laporan-keuangan/)
Konten dikelola oleh IndoPROGRESS (/) @ 2006 - 2021

Anda mungkin juga menyukai