Com (/)
!
/ Analisa Politik (https://indoprogress.com/analisa-politik/), Analisis
(https://indoprogress.com/harian/analisis/), Harian Indoprogress
(https://indoprogress.com/harian/)
/ Keluarga Bahagia yang Tidak Benar-Benar Bahagia
Friedrich Engels dalam bukunya yang berjudul The Origin of the Family, Private
Property and the State (1884) menyebutkan bahwa keluarga monogami ini
bukan sesuatu yang ‘alamiah,’ melainkan diawali oleh keinginan pihak laki-laki
untuk memproduksi ‘anak-anak ayah’ atau paternity. Paternity menjadi
tuntutan karena anak-anak ini didorong untuk menjadi ahli waris dari kekayaan
sang ayah dan pemusatan kekayaan pada laki-laki. Dalam perjalanan historisnya,
monogami merupakan implikasi dari kecenderungan laki-laki yang mempunyai
budak perempuan—yang membuat mereka tidak lagi mempunyai kebebasan
untuk melakukan poliandri.
Maka dari itu, lebih tepat dikatakan bahwa monogami dilakukan secara ketat
terhadap perempuan—dan tidak serius pada laki-laki—untuk menjaga jalur
kepemilikan pribadi yang cenderung patriarkal.
Konsepsi keluarga dari ruang publik juga semakin kabur dan hilang. Pada rumah
tangga komunistik kuno, yang terdiri dari banyak pasangan, tugas-tugas
mengatur rumah tangga diserahkan kepada perempuan. Situasi ini membuat
perempuan berkontribusi besar terhadap masyarakat luas. Dalam keluarga
monogami, hal demikian tidak lagi dilakukan. Pengaturan rumah tangga tidak
lagi dipandang sebagai sesuatu yang bersifat publik dan diurus bersama-sama.
Rumah tangga menjadi semata-mata urusan pribadi dan domestikasi terhadap
istri membuat mereka tidak berperan dalam produksi sosial.
Kembali ke Keluarga Batih
Keluarga batih yang terdiri dari ayah, ibu dan anak, yang dianggap sebagai
bentuk kodrati, dapat dianalisis sebagai perpanjangan dari konsep keluarga
monogami yang juga bisa dikritisi. Dalam artikel “The Nuclear Family Was a
Mistake (https://www.theatlantic.com/magazine/archive/2020/03/the-nuclear-
family-was-a%20mistake/605536/)” (2020), David Brooks melacak awal mula
bentuk tersebut dari era Victoria, abad ke-19 di Inggris. Pada era itu mulai
muncul konsep tentang ‘kehangatan rumah’ sebagai hal yang ideal. Rumah
dipandang sebagai tempat yang sakral dan sumber segala cinta. Paradigma ini
berasal dari kelas menengah atas. Mereka mentransformasikan keluarga dari
yang tadinya merupakan unit ekonomi menjadi unit moral dan unit emosional:
jendela Tuhan untuk pembentukan hati dan jiwa.
‘Kehangatan rumah’ ini belum bisa dibayangkan dalam konteks keluarga kecil
yang kita kenal hari ini. Di era Victoria, masih lumrah jika rumah diisi oleh
keluarga besar (extended family). Keluarga besar, meski memiliki kekuatan,
tetapi ternyata dapat sekaligus melelahkan dan menyesakkan. Konsep keluarga
besar memberikan ruang privasi yang sempit. Kita dipaksa untuk berhubungan
erat dengan orang-orang yang tidak kita pilih. Keluarga besar membangun
stabilitas namun menyisakan sedikit mobilitas. Ikatan keluarga menjadi lebih
erat, namun pilihan individual pun lenyap. Ruang untuk membangun jalan
hidup mandiri menjadi sempit.
Di Amerika, mereka yang gelisah dengan keluarga besar ini seolah menemukan
jalan keluar ketika pabrik-pabrik dibuka di kota-kota besar pada akhir abad ke-
19 dan awal abad ke-20. Para pria dan wanita muda meninggalkan keluarga besar
mereka untuk mengejar ‘American Dream.’ Di tengah upaya meraih cita-cita
dalam keadaan mandiri, pemuda pemudi ini menikah sesegera mungkin. Para
lelaki di pedesaan dapat menunggu hingga usia 26 sebelum menikah; sementara
di perkotaan (yang waktu itu masih relatif lengang), lelaki menikah pada usia 22
atau 23. Inilah asal usul keluarga batih, kelompok kecil dalam masyarakat yang
lebih solid dalam mempertahankan kepemilikan pribadi.
Segalanya terlihat berjalan dengan baik. Dari 1950 hingga 1965, angka
perceraian menurun, fertilitas meningkat, dan keluarga batih ala Amerika
nampak sempurna. Pada masa ini, terbentuk semacam kultus dalam keluarga
batih—sesuatu yang oleh McCall’s, majalah perempuan terkenal di Amerika
abad ke-20, disebut sebagai ‘kebersamaan.’ Masyarakat umumnya percaya bahwa
orang yang sehat adalah mereka yang tinggal dalam keluarga dengan sepasang
orang tua. Pada survei tahun 1957, lebih dari setengah responden mengatakan
bahwa mereka yang tidak menikah adalah orang ‘sakit,’ ‘tidak bermoral,’ atau
‘neurosis.’
Tanggapan
Engels benar dalam arti motif ekonomi, disadari atau tidak, tidak pernah benar-
benar dapat dilepaskan dari perkawinan monogami. Motif ini, di masa sekarang,
agar tidak terlalu nampak sebagai insting tribal, dihaluskan dalam berbagai
konsepsi kultural seperti misalnya bibit, bebet, bobot dalam masyarakat Jawa
atau ajaran Islam yang mengajarkan untuk mencari pasangan dengan
mempertimbangkan harta, keturunan, kecantikan dan agama. Dalam dua
konsepsi tersebut, terlihat bahwa unsur kekayaan saja tidak cukup melainkan
juga harus dapat dialirkan melalui garis keturunan yang jelas.
Dalam pandangan kritis lain, kita bisa melihat bahwa keluarga batih sebenarnya
juga merupakan unit ekonomi yang berupaya mempertahankan kekayaan pada
wilayah yang lebih kecil, tapi ‘cukup bermoral’ untuk tidak sampai dikatakan
individualistis. Sering kita dengar bagaimana seseorang bekerja demi keluarga,
dengan prinsip bahwa keluarganya itu adalah idealisme yang tertinggi.
Keluarganya sendiri ini bukan keluarga besar, melainkan keluarga batih yang
mungkin hanya terdiri dari istri atau suami dengan satu atau dua orang anak.
Padahal yang demikian bisa dikatakan juga sebagai upaya pelanggengan
kepemilikan pribadi, tetapi melalui jalur keluarga batih yang lebih bisa
memusatkan kekayaan (ketimbang bentuk keluarga besar, misalnya).
Kita bisa bayangkan jika setiap keluarga batih menunjukkan sikap individualistis
yang kuat beserta keinginan untuk menumpuk kekayaan, maka ketimpangan
sosial akan semakin lebar. Keluarga batih, bisa jadi, tidak punya pandangan
sosial yang luas kecuali sebatas keluarganya sendiri saja.
Jika Anda merasa situs ini bermanfaat, silakan menyumbang melalui PayPal
(https://indoprogress.com/kirim-donasi): redaksi.indoprogress@gmail.com;
atau melalui rekening BNI 0291791065. Terima kasih.
Sponsored
She sticks a needle into a banana and what happens next is unbelievable!
Good to know this
Did Her Family Squandered All The Fortune? This Photo Confirms The
Rumors
Networthus.com
1 Comment Indoprogress ! Disqus' Privacy Policy "
1 Login
LOG IN WITH
OR SIGN UP WITH DISQUS ?
Name
MrDabboe − ⚑
2 days ago
diskursus yg menggoda sekaligus mengandung jebaan betmen. belum apa2 orang
langsung akan menutup mata dan telinga dengan kajian kiri karena apa2 milik bersama
termasuk istri juga milik bersama. sering dibantah orang kiri dengan diplomasi tapi
kenyataanya memang demikian. kesakralan "ayah,ibu dan 2 anak" tentu saja harus
didobrak. msh bnyk wacana yg bisa dikemukakan spt misalnya keawajiban pengasuhan
anak diambil oleh negara dst, dampak hubungan toksik ayah ibu pd tumbuh kembang
anak, menghapus stigma anak broken home dst. bukan langsung istrimu itu milik
bersama, bisa kupakai juga.
△ ▽ Reply
Sponsored
She sticks a needle into a banana and what happens next is unbelievable!
Good to know this
" Tentang IndoPROGRESS
IndoPROGRESS adalah media pemikiran progresif yang menawarkan ruang untuk bertukar
gagasan dan pengalaman politik praktis...» Selengkapnya (/tentang-kami)
$ Kirim Donasi
Dukung kami menyajikan konten situs yang lebih baik lagi bagi publik. Salurkan donasi dan
support sebagai bukti dukungan...» Selengkapnya (/kirim-donasi)
% Kirim Tulisan
Jadilah bagian dari perubahan dengan ikut berdiskusi dan berdebat di IndoPROGRESS.
Kirim tulisan, podcast dan video karya...» Selengkapnya (/kirim-tulisan)