(08156502117-Pak Triyono)
A. HUKUM PERORANGAN
Peristilahan Hukum Perorangan
Hukum Perorangan: R. Soerojo Wignodipoero, SH.
Hukum Perserorangan: Ter Haar
Pribadi Hukum: Prof. Soekanto;
Hukum Keorangan: Prof. Djoyodiguno;
Hukum Pribadi: Sr. Suroyo
Ruang Lingkup:
Hukum perorangan pada prinsipnya mengatur hak dan kewajiban dari subjek hukum.
Pengertian Dewasa:
Ter Haar: seseorang yang telah tidak menjadi tanggungan orang tua dan tidak
serumah lagi dengan orang tua.
Prof. Djoyodiguno: kedewasaan datang secara berangsur, dewasa penuh jika sudah
“mentas” dan “mencar” (hidup mandiri dan berkeluarga sendiri).
Prof Soepomo, dianggap dewasa apabila:
Kuwat Gawe (dapat/mampu bekerja sendiri);
Cakap mengurus harta benda serta keperluannya sendiri;
Bertanggung jawab atas segala perbuatannya.
B. HUKUM KELUARGA
Keluarga adalah ketunggalan leluhur;
Artinya ada perhubungan darah antara orang yang satu dengan yang lain.
Keluarga dengan keturunan itu berbeda, karena kalau keturunan merupakan
keluarga dalam garis lurus ke bawah, sedangkan kalau dalam garis lurus ke atas
maka dikatakan sebagai leluhur.
Keluarga:
Bisa dalam garis lurus dan garis menyamping.
Keluarga dalam garis lurus:
Lurus ke atas (anak – orang tua – kakek nenek – dst)
Lurus ke bawah (kakek nenek – orang tua – anak – cucu)
Keluarga garis menyamping (saudara kandung / dua atau lebih)
Keluarga dikenal beberapa istilah:
a. Silsilah: gambar atau bagan yang menunjukan hubungan antara satu orang dengan
yang lain dalam sebuah keluarga;
b. Derajat:
Satuan/sebutan jarak antara orang-orang dalam sebuah keluarga.
Hubungan antara satu orang dengan yang lain dalam sebuah keluarga diukur
dengan “derajat”.
SILSILAH:
A B
C D
E
F G H
Yang dinamakan derajat misalnya antara orang tua A dan B dengan C itu disebut dengan
satu derajat. Setiap satu kelahiran disebut satu derajat. Antara C dan D ada dua
kelahiran maka C dengan D itu 2 derajat. Antara E dengan G ada 4 derajat.
Penting untuk mengetahui derajat ini misalnya berkaitan dengan pernikahan tidak boleh
dalam satu keluarga yang masih dalam 6 derajat. Dalam KUH Perdata boleh menikah
setalah derajat ketujuh.
Jenis-Jenis Anak:
Anak Sah: adalah anak yang dilahirkan dalam masa perkawinan yang sah (Kalau
hari ini ijab qabul hari ini juga lahiran anak tersebut tetap sah) atau sebagai akibat
dari perkawinan yang sah (dilihat dari prosesnya yaitu sebagai akibat perkawinan
yang sah, misalnya setelah cerai anak tersebut lahir, maka anak tersebut tetap sah –
berkaitan dengan prosesnya hitungannya dalam masa 9 bulan 10 hari). Anak yang
dilahirkan sah beribu pada pada ibu yang melahirkan, berbapak pada bapak yang
menjadi suami ibunya pada anak yang dilahirkan dalam masa perkawinan yang sah.
Kalau pada sebagai akibat perkawinan yang sah berbapak pada suami ibunya belum
tentu bapak biologisnya.
Kawin tambelan: bapak tiri menikahi anak tirinya, atau mencari laki-laki lain yang
mau menikahi itu.
Anak Luar Kawin: adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah.
Bujang dengan perawan yang melakukan hubungan kemudian melahirkan anak,
anak tersebut beribu pada ibu yang melahirkan dan tidak mempunyai bapak secara
hukum.
Anak Zina: anak yang dilahirkan sebagai hasil hubungan laki-laki dan perempuan
dimana salah satu dari keduanya sudah terikat perkawinan dengan orang lain. Anak
tersebut beribu pada ibu yang melahirkan, dan berbapak pada suami ibunya apabila
bapak tersebut tidak mempermasalahkan, dalam hal ini disebut anak sah. Kalau
suami dari ibunya mempermasalahkan/tidak mengakui anak tersebut, maka anak
tersebut tidak mempunyai bapak.
Anak Tiri: Ketika seorang laki-laki dan perempuan menikah dan salah satu
membawa anak kandung, maka dalam perkawinan tersebut terdapat anak tiri. Atau
anak yang dibawa dalam perkawinan terbaru dari kedua orang Tuanya. Anak tiri
tidak mewaris dari orang tua tirinya. Anak tiri ini dapat mewaris dari orang tua
tirinya dilakukan dengan pengangkatan anak, dalam hal ini derajat si anak didirikan.
Anak Angkat: anak yang bukan keturunannya sendiri dimasukan dalam
keluarganya dan diperlakukan layaknya anak kandung. Pengangkatan anak ini diatur
dalam Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2007. Dalam PP tersebut pengangkatan
menurut hukum adat diakui (Pasal 8). Pada Pasal 9 dikatakan pengangkatan anak
menurut hukum dapat dimintakan penetapan pengadilan. Di dalam Pasal 1 dalam
PP itu dikatakan “harus dengan penetapan pengadilan”.
Pengangkatan anak menurut hukum adat alasannya: 1) Karena tidak
mempunyai keturunan/mempunyai keturunan tetapi belum sesuai dengan ketentuan
adat; 2) Untuk pancingan agar memiliki anak kandung sendiri; 3) karena kasihan
melihat Nasib anak; 4) Ingin menaikan derajat anak (anak tiri diangkat menjadi anak
angkat untuk dapat mewaris dari orang tua angkatnya); 5) Untuk Kepentingan sosial
(kalau dahulu untuk kepentingan sosial bapaknya, setelah keluar UU kesejahteraan
anak kepentingan sisal disini semata-mata peduli pada kepentingan sosial anak); 6)
Untuk mempunyai anak laki laki pada masyarakat patrilineal dan untuk mempunyai
anak perempuan dalam masyarakat matrilineal.
C. HUKUM PERKAWINAN
Mengenai perkawinan ini diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 yang telah diubah
dengan UU No. 16 Tahun 2019, yang pada intinya perubahan itu terletak pada
ketentuan usia calon mempelai perempuan yang semula 16 tahun berubah menjadi
19 tahun.
Kemudian BKKBN dalam pengaturannya menyebutkan bahwa idealnya untuk
melangsungkan perkawinan laki-laki berumur 25 tahun dan perempuan berumur 21
tahun didasarkan pada kesehatan reproduksi.
Dalam UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 1 tercantum tujuan dari perkawinan dan definisi
dari perkawinan itu sendiri. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-
laki sebagai suami dan perempuan sebagai istri, untuk membentuk keluarga yang
Bahagia, sejahtera, kekal, berdasarkan ketuhanan yang maha esa.
“Ikatan Lahir batin” menunjukan bahwa perkawinan seseorang didasarkan oleh
rasa cinta, maka bukan sebagai perkawinan kontrak, yang dalam realitanya
pernah terjadi di Jepara untuk dapat mengatasnamakan perusahaan mebelnya
atas nama istri yang berkewarganegaraan Indonesia.
Antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, meskipun dalam UU
Perkawinan dimungkinkan terjadinya poligami. Kemudian “laki-laki sebagai
suami dan perempuan sebagai istri” maknanya bahwa UU Perkawinan tidak
mengenal perkawinan sejenis.
“Kekal” maknanya berlangsung satu kali dan idealnya berlangusng seumur
hidup.
“Berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa”, jadi
Pasal 2 ayat (1): Perkawinan adalah sah sepanjang dilakukan menurut masing-
masing hukum agamanya dan kepercayaannya itu.
Dari kalimat itu, jadi perkawinan di Indonesia kalau mengacu pada Pasal itu
pertanyannya penganut kepercayaan diakui atau tidak.
“Agama dan kepercayaannya itu”
Ada yang berpendapat bahwa kata “itu” menunjuk pada agama. Maka disini
aliran kepercayaan dalam pernikahan tidak diakui.
Pendapat lain bahwa karena adanya kata “kepercayaan” maka pernikahan
tetaplah sah, menurut agam dan kepercayaan.
Sebelum Gusdur menjadi Presiden, perkawinan penganut kepercyaan tidak
dapat dicatatkan. Dibolehkan karena memang dalam realitanya ada, namun tidak
dapat dicatatkan.
Setelah Gusdur menjadi Presiden tahun 1999, perkawinan penganut kepervyaan
bisa di catatkan.
Tidak semua perkawinan aliran kepercyaan yang tidak dapat dicatatkan, salah
satunya adalah aliran kepercayaan sunda wiwitan, mereka mengannggap bahwa
hal itu merupakan agamanya. Karena mereka melihat kenapa agama lain tidak
perlu didaftarakan di kementerian dalam negeri, sedangkan penganut sunda
wiwitan harus didaftarkan ke kementrian dalam negeri dan dalam pendaftaran
ini dilakukan secara periodik.
Lalu apakah perkawinan yang tidak dicatatkan itu sah atau tidak?
Beberapa berpendapat bahwa perkawinan yang tidak dicatatkan sah menurut
agama tetapi tidak sah menurut undang-undang.
Kemudian ada pendapat dari Prof. Mahfud mengatakan bahwa perncatatan
perkawinan adalah sebuah hal yang penting dalam suatu perkawinan, tetapi
bukan merupakan syarat sahnya perkawinan. Artinya bahwa antara syarat
sahnya perkawinan dengan hal-hal di luar itu, pencatatan perkawinan hanya
semata-mata syarat administrative.
Tidal berarti sesuatu yang tidak memiliki alat bukti itu tidak sah, bahkan dalam
penjelas PP Tahun 1975 dikatakan bahwa pencatatan perkawinan itu sama
halnya dengan pencatatan persitiwa-peristiwa hukum yang terjadi pada
kehidupan manusia:
1) Kelaihiran
2) Perkawinan
3) Kematian
Perkawinan menurut hukum adat dengan keluarnya UU No. 1 Tahun 1994 dan UU
No. 16 Tahun 2019 itu masih diakui atau tidak?
Berkaitan dengan perkawinan Endomagami, Eksogami, dan Eleterogami tidak
diatur dalam UU Perkawinan.
1) Sistem Perkawinan Endogami: mewajibkan perkawinan dengan sesama
marga. Alasanya:
Supaya hartanya tidak lari keluar
Sudah mengerti siapa calonnya
Oleh karena itu orang adat dalam menikahkan harus melihat pada 3 hal:
a. Bibit: berkaitan dengan keturunannya siapa, tidak dilihat dari pangkat
dan derajat, tetapi lebih dilihat dari kesehatan jasmani dan rohani.
b. Bebet: berkaitan dengan budi pekertinya.
c. Bobot: melihat pada intelegensinya
2) Sistem Perkawinan Eksogami: kewajiban mencari pasangan hidup dari luar
marga atau sukunya. Seperti yang dilakukan masyarakat patrilineal.
Misalnya siregar tidak boleh menikah dengan siregar.
Hibah dapat menjadi solusi atas pemberian harta kekayaan kepada anak
perempuan yang tidak dapat menerima waris dari orang tua kandungnya.
3) Eleterogami: merupakan sistem hukum yang bebas, boleh menikah sesama
marga dengan batasnya adalah nasab.
Catatan:
Ada yang menyebutkan perkawinan pada sistem masyarakat yang dalam
kekerabatan patrilineal, dengan Eksogami jujur, ini bermakna harus menikah dengan
orang yang dilaur marganya/sukunya, dan pada keluarga perempuan diberikan
sejumlah uang atau barang, uang dan barang ini memiliki makna magis religious.
Maka disini bukan berarti menbeli perempuan, karena setelah pernikahan seorang
istri akan masuk dalam keluarga laki-laki.
Pada masyarakat matrilineal dikenal dengan eksogami semanda/menjemput, pada
perkawinan yang demikian laki-laki tetap pada marga asalnya, perempuan tetap pada
marga asalnya, anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan mengikuti marga ibunya.
Di jawa berlaku yang eleterogami, sistem perkawinannya mentas (mampu mengurus
harta kekayaannya sendiri) dan mencar (harus berpisah dengan keluarga orang
tuanya).
E. HUKUM WARIS
Hukum waris adat adalah peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan dan
mengoperasikan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud
benda dari suatu Angkatan manusia (generasi) kepada keturunannya.
3 Unsur Utama:
1) Subjek hukum: adalah pewaris (orang yang meninggal dunia dan orang yang
meninggalkan harta kekayaan) dan ahli waris (orang yang menerima warisan), baik
pewaris maupun ahli waris ditentukan oleh sistem kekerabatan, untuk patrilineal
yang menjadi ahli waris dan pewaris adalah laki-laki, perempuan disini tidak dapat
mewaris atau menjadi ahli waris, tetapi justru dapat diwariskan dalam hal adanya
perkawinan “Turun Ranjang” (dinikahi oleh adik dari suaminya yang meninggal
dunia) ditujukan untuk tidak keluar dari marga mantan suaminya.
2) Objek Hukum: adalah harta warisan. Dalam hukum islam dan hukum perdata barat
tidak dibedakan antara harta peninggalan dan harta warisan, tetapi dalam hukum adat
dibedakan antara hukum peninggalan (harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal
tetapi belum bersih atau masih ada utang-utang dalam harta tersebut) dan hukum
warisan (harta peninggalan yang sudah bersih yang sudah siap untuk dibagi).
Dalam suatu adat, pada saat orang meninggal ada yang menyembeli sapi biasanya
pas 7 harian, hal ini sebagai bentuk sodaqoh yang ditujukan kepada orang yang sudah
meinggal tadi. Harta warisan dapat berwujud benda dan dapat berwujud tidak benda
(berupa takhta hal ini biasanya berlaku pada wilayah kerajaan-kerajaan).
3) Peristiwa Hukum: dalam hukum adat pewarisan dapat dilakukan ketika pewaris
masih hidup. Dan ini tidak menjadi akut ketika pewaris meninggal. Misalnya si A
mendapat harta warisan dari orang tuanya ketika orang tuanya masih hidup, dan
ketika orang tuan A meninggal maka A tidak lagi mendapat warisan, yang mendapat
warisan hanyalah B dan C (adek dari A), A mendapat warisan lagi ketika harta
warisan masih ada.
Pewarisan yang dilakukan ketika seseorang masih hidup disebut “hibah”, dalam
hukum adat, ada hibah dalam artian hibah yang sebenarnya, kemudian ada hibah
yang dimengerti suatu proses di dalam pewarisan.
Sistem Kewarisan:
1) Individual: setiap ahli waris akan mendapat bagian sesuai dengan haknya.
2) Kolektif: harta warisan tidak dibagi-bagi, tetapi dimanfaatkan untuk bersama.
Contohnya rumah gadang di padang, yang dibagi hanya mengenai hak pakainya saja.
3) Mayorat: sistem kewarisan yang menjadi ahli waris adalah anak tertua saja. Tetapi dia
mempunyai kewajiban untuk menggantikan orang tuanya untuk membiayai adik-
adiknya yang berlum “mentas” atau berdikari. Contohnya pewarisan di Lampung.
Ketiga sistem ini tidak berjalan lurus dengan sistem kekerabatan yang ada di Indonesia
atau tidak menunjuk langsung pada salah satu dari sistem kekerabatan.
Penghibahan (Motif/Tujuan)
Umum: harta merupakan dasar kehidupan materiil bagi “Somah”
Khusus: cara bagi orang tua (unilateral) memberikan secara langsung hartanya kepada
anaknya. (pada masyarakat Patrilineal, anak perempuan tidak sebagai ahli waris
(berdasarkan ab intestato) diketahui bahwa anak perempuan tidak akan memperoleh
harta, maka bapak boleh memberikan secara langsung kepada anak prempuannya pada
saat masih hidup, disini anak perempuan bisa mendapat sebagian harta)
Tidak boleh melakukan penghibahan harta secara keseluruhan kepada pihak tertentu,batasnya
sepanjang tidak merugikan ahli waris yang lain. Jadi hibah itu dibagikan hanya sebagian.
Macam-macam Hibah:
1. Hibah yang sebenarnya hibah: hibah yang diberikan/ditujukan kepada yang bukan ahli
waris.
2. Hibah yang merupakan awal dari suatu proses pewarisan: merupakan hibah yang
diberikan kepada ahli waris, selama pewaris masih hidup. Karena ketika pewaris
meninggal dunia, atas harta yang sudah diberikan tetap diperhitungkan.
Apakah perlu orang tua yang menghibahkan hartanya, perlu meminta izin ke anaknya? Tidak
perlu, karena harta yang masih dimiliki oleh orang yang masih hidup, maka mutlak harta
tersebut milik orang tuanya.
AHLI WARIS
Dibedakan 2 Golongan:
1) Ahli waris karena hubungan darah: bisa dalam garis pokok keutaman (ahli waris yang
lebih diutamakan dari pada ahli waris yang lain) dan bisa dalam garis pokok penggantian
(ahli waris yang dapat menggantikan keutaman dari ahli waris garis pokok keutamanaan)
Garis Pokok Keutamaan Penggantian:
a. Anak
b. Orang tua (dapat menggantikan anak pada poin 1, selama anak tersebut sudah
meninggal dan tidak memiliki cucu)
c. Saudara
d. Kakek nenek
e. Paman bibi
f. Cucu (merupakan yang menggantikan kedudukan orang tuanya yang menerima
warisan yang telah meninggal terlebih dahulu)
2) Ahli waris karena hubungan hukum (misalnya istri atau suami; anak angkat): hanya
berhak atas harta gono nini saja, bukan harta bawaan. Kalo disuatu daerah ada ketentuan
“Trang dan Tunai” seperti di Bali, maka anak angkat berhak atas harta bawaan dan harta
gono gini, berbeda dengan Masyarakat Jawa tidak ada yang demikian.
Terdapat garis pokok keutamanaan dan garis pokok penggantian. Pada hakikatnya anak
merupakan satu-satunya ahli waris. Meminta surat keterangan masih kuliah (ketika
masih 21 tahun)
Bagaimana cara menentukan ahli waris? Dalam masyarakat adat cukup dengan keterangan
dari kepala desa
Harta Peninggalan:
Harta peninggalan yang tidak bisa dibagi-bagi:
1) Karena sifatnya memang tidak mungkin (contohnya rumah gadang)
2) Kedudukan hukumnya terikat tempat/kejadian (bengkok kepala desa)
3) Belum bebas dari kekuasaan persekutuan hukum (misalnya tanah ulayat, di Cirebon ada
tanah tasikepan, di Purbalingga ada tanah Norowito) > untuk menguasai tanah yang
demikian: merupakan penduduk asli bertempat tinggal di tempat tanah tersebut berada,
belum pernah menguasai tanah tasikepan.
4) Sementara ditunda (terjadi kalau ahli warisnya belum cukup umur)
5) Diwaris seorang saja (seperti yang di Lampung, harta warisan hanya dibagi kepada anak
paling tua saja)
Bagaimana apabila harta warisan sudah dibagi, tiba tiba ada orang yang menagih
utang ke pewaris yang sudah meninggal dan jumlah nya lebih tinggi dari harta yang
dibagikan ke ahli warisnya? Dalam Hukum adat ahli waris hanya berkewajiban membayar
sejumlah dari harta yang diterimanya dari pewaris. Tetapi dalam kenyataannya tetap
dibayarkan lunas oleh ahli warisnya, karena dalam hukum adat ada pemikiran “Religio
Magis”. Padahal tidak terbayar lunasnya utang merupakan resiko dari kreditur atas debitur
yang sudah meninggal.