Anda di halaman 1dari 13

PENETAPAN ASAL USUL ANAK DAN AKIBAT HUKUMNYA

DALAM HUKUM POSITIF


Oleh: Drs. Asrofi, SH., MH. (Ketua PA Ponorogo)

A. PENDAHULUAN

Anak merupaka karunia sekaligus amanat dari Allah SWT, yang senantiasa
harus dijaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai
manusia yang harus dijunjung tinggi. Bagi orang tua anak merupakan asset dan
karunia Allah yang tak ternilai, ia sebagai penyejuk hati, penerus keturunan dan cita-
cita ideal orang tua, dan dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah
masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa.

Pada Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 dinyatakan, “Setiap anak berhak atas
kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas
perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan”.

Secara rinci hak-hak anak disebutkan dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 18
UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah
dengan UU Nomor 35 Tahun 2014, yang antara lain “anak berhak mengetahui
orang tuanya”. Mengetahui orang tuanya berkaitan dengan asal-usul anak. Asal usul
anak ini dapat dibuktikan antara lain dengan akta kelahiran. Bagi anak yang lahir dari
perkawinan yang sah untuk mendapatkan akta kelahiran tidaklah sulit, tinggal diurus
sesuai dengan prosedur dan persyaratan yang ditentukan, sehingga anak yang lahir
dari perkawinan yang sah mendapatkan perlindungan yang sempurna berkaitan
dengan “hifdlun nasl” (pemeliharaan keturunan) dengan segala akibat hukumnya.
Namun bagi anak yang dilahirkan tidak dari perkawinan yang sah, untuk mengetahui
asal-usul anak harus melalui putusan Pengadilan, dan tidaklah semua permohonan
asal-usul anak dikabulkan oleh Pengadilan. Pengadilan hanya mengabulkan
permohonan asal-usul anak, jika permohonan tersebut terbukti berdasarkan dan
beralasan hukum. Jika permohonan tidak berdasarkan dan tidak beralasan hukum,
maka permohonan tersebut akan ditolak.
Bagaimana permohonan asal usul anak dan apa akibat hukum penetapan
Pengadilan tentang asal usul anak, akan diuraikan di bawah ini.
_______________
Pernah disampaikan pada “Bahsul Masail dan Buka Bersama” Kepala KUA, Penghulu dan Penyuluh
Agama Islam se Kab. Ponorogo, 19 Ramadhan 1438 H. / 14 Juni 2017 M.
B. MACAM-MACAM STATUS ANAK
Menurut Chatib Rasyid dalam makalahnya “Anak lahir di luar nikah (secara
hukum) berbeda dengan anak hasil zina”, bahwa ditinjau dari status kelahirannya,
ada tiga (3) macam status anak, yaitu : Anak yang lahir dalam atau sebagai akibat
perkawinan yang sah (anak yang sah); Anak yang lahir di luar perkawinan; dan Anak
yang lahir tanpa perkawinan (anak hasil zina).

1. Anak yang sah


Berdasarkan Pasal 42 UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (UUP),
”Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan
yang sah”. Sedangkan menurut Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam (KHI) ada dua
kemungkinan anak yang sah, yatu :
a. anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah;
b. hasil perbuatan suami isteri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh isteri
tersebut.

Adapun yang dimaksud dengan perkawinan yang sah menurut UUP adalah
perkawinan yang secara materiil dilakukan menurut hukum masing-masing agama
dan kepercayaannya, dan secara formil dicatat menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku (vide : Pasal 2 ayat 1 dan ayat 2 UUP).

Anak yang sah secara otomatis mempunyai hubungan nasab dengan ayah dan
keluarga ayahnya kecuali ayah (suami dari ibu yang melahirkannya)
mengingkari/menyangkalnya. Sabda Nabi SAW :

‫ إن ﻓﻼﻧ ًﺎ‬،‫ ﯾﺎ رﺳﻮل ﷲ‬:‫ ﻗﺎم رﺟﻞ ﻓﻘﺎل‬:‫ﻋﻦ ﻋﻤﺮو ﺑﻦ ﺷﻌﯿﺐ ﻋﻦ أﺑﯿﮫ ﻋﻦ ﺟﺪه ﻗﺎل‬
‫ ﻻ دﻋﻮة ﻓﻲ‬:‫ ﻓﻘﺎل رﺳﻮل ﷲ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ‬،‫ ﻋَﺎھَﺮْ تُ ﺑﺄﻣﮫ ﻓﻲ اﻟﺠﺎھﻠﯿﺔ‬،‫اﺑﻨﻲ‬
(‫ وﻟﻠﻌﺎھﺮ اﻟﺤﺠﺮ )رواه أﺑﻮ داود‬،‫ اﻟﻮﻟﺪ ﻟﻠﻔﺮاش‬،‫ ذھﺐ أﻣﺮ اﻟﺠﺎھﻠﯿﺔ‬،‫اﻹﺳﻼم‬
“Dari ‘Amr ibn Syu’aib ra dari ayahnya dari kakeknya ia berkata: seseorang berkata: Ya
rasulallah, sesungguhnya si fulan itu anak saya, saya menzinai ibunya ketika masih masa
jahiliyyah, rasulullah saw pun bersabda: “tidak ada pengakuan anak dalam Islam, telah
lewat urusan di masa jahiliyyah. Anak itu adalah bagi pemilik kasur/suami dari perempuan
yang melahirkan (firasy) dan bagi pezina adalah batu (dihukum)” (HR. Abu Dawud).

Berdasarkan hadits ini, Imam Ibnu Abdil Barr dalam kitabnya, “At Tamhid”
(8/183) sebagaimana dikutip dalam fatwa MUI Nomor 11 Tahun 2012 menyatakan

2
“Para Ulama telah sepakat, apabila ada seseorang berzina dengan perempuan yang
memiliki suami kemudian melahirkan anak, maka anak tidak dinasabkan kepada
lelaki yang menzinainya, melainkan kepada suami dari ibunya tersebut, dengan
ketentuan ia tidak menafikan/mengingkari anak tersebut.

‫ وﺟﻌﻞ رﺳﻮل ﷲ‬،‫"وأﺟﻤﻌﺖ اﻷﻣﺔ ﻋﻠﻰ ذﻟﻚ ﻧﻘﻼ ً ﻋﻦ ﻧﺒﯿﮭﺎ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ‬
‫ إﻻ أن‬،‫ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ ﻛﻞ وﻟﺪ ﯾﻮﻟﺪ ﻋﻠﻰ ﻓﺮاش ﻟﺮﺟﻞ ﻻﺣﻘ ًﺎ ﺑﮫ ﻋﻠﻰ ﻛﻞ ﺣﺎل‬
"‫ﯾﻨﻔﯿﮫ ﺑﻠﻌﺎن ﻋﻠﻰ ﺣﻜﻢ اﻟﻠﻌﺎن‬

Umat telah ijma’ (bersepakat) tentang hal itu dengan dasar hadis nabi saw, dan rasul saw
menetapkan setiap anak yang terlahir dari ibu, dan ada suaminya, dinasabkan kepada
ayahnya (suami ibunya), kecuali ia menafikan anak tersebut dengan li’an, maka hukumnya
hukum li’an.

Juga disampaikan oleh Imam Ibnu Qudamah dalam Kitab al-Mughni (9/123)
sebagai berikut:

‫وأﺟﻤﻌﻮا ﻋﻠﻰ أﻧﮫ إذا وﻟﺪ ﻋﻠﻰ ﻓﺮاش رﺟﻞ ﻓﺎدﻋﺎه آﺧﺮ أﻧﮫ ﻻ ﯾﻠﺤﻘﮫ‬
Para Ulama bersepakat (ijma’) atas anak yang lahir dari ibu, dan ada suaminya, kemudian
orang lain mengaku (menjadi ayahnya), maka tidak dinasabkan kepadanya.

Apabila suami menyangkal/mengingkari sahnya anak yang dilahirkan istrinya,


dan ia dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzina baik dengan cara sumpah
li’an maupun dengan bukti-bukti lainnya, maka suami tersebut harus mengajukan
gugatan pengingkaran anak kepada Pengadilan. Apabila berdasarkan pemeriksaan di
Pengadilan, gugatan tersebut terbukti kebenarannya (berdasarkan dan beralasan
hukum), maka gugatan pengingkaran/penyangkalan anak dari suami tersebut
dikabulkan. Sehingga kelahiran anak tersebut merupakan akibat dari perzinaan.
(vide: Pasal 44 UUP jo. Pasal 101 KHI).

Gugatan pengingkaran/penyangkan anak diajukan kepada Pengadilan Agama


dalam jangka waktu 180 hari sesudah hari lahirnya atau 360 hari sesudah putusnya
perkawinan atau setelah suami itu mengetahui bahwa istrinya melahirkan anak dan
berada di tempat yang memungkinkan dia mengajukan perkaranya kepada

3
Pengadilan Agama. Pengingkaran yang diajukan sesudah lampau waktu terebut tidak
dapat diterima. (vide : Pasal 102 KHI).

2. Anak Yang Lahir di Luar Perkawinan

Berdasarkan Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012,


Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang
menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai
hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, tidak memiliki kekuatan
hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-
laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat
bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya,
sehingga ayat tersebut harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan
mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan
laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan
teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah,
termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”;

Menurut Chatib Rasyid (mantan Ketua PTA Semarang), Anak yang lahir di
luar perkawinan adalah anak yang lahir dari perkawinan yang dilakukan menurut
masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Pengertian ini menunjukkan adanya
perkawinan, dan jika dilakukan menurut agama Islam, maka perkawinan yang
demikian ”sah” dalam perspektif fikih Islam sepanjang memenuhi syarat dan rukun
perkawinan. Dengan demikian anak tersebut sah dalam kacamata agama, yaitu sah
secara materiil, namun karena perkawinannya tidak tercatat baik di Kantor Urusan
Agama (KUA) maupun di Kantor Catatan Sipil (anak hasil nikah sirri, seperti halnya
Machica Mochtar dengan Moerdiono), maka pernikahan tersebut secara formil tidak
sah sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum.

Dengan demikian, anak yang lahir di luar perkawinan berbeda dengan anak
yang lahir tanpa perkawinan. Pengertian luar perkawinan berbeda dengan pengertian
tanpa perkawinan. Meskipun tidak sama persis tetapi pengertian ini dapat
dianalogikan dengan dengan pengertian “Fulan berkeja di luar kantor” dengan
“Fulan bekerja tanpa kantor”. Fulan bekerja di luar kantor berarti ada kantornya

4
tetapi dia sedang bekerja di luar kantor, sedang Fulan bekerja tanpa kantor berarti dia
bekerja tanpa ada kantornya.

Demikian pula anak yang lahir di luar perkawinan, berarti anak tersebut lahir
dari pria dan wanita yang secara materiil ada ikatan perkawinan tetapi perkawinan
tersebut secara formil tidak ada karena tidak dicatatkan/tidak dilaksanakan di
hadapan Pegawai Pencatat Nikah.

Ada beberapa istilah yang digunakan untuk menunjuk sebuah perkawinan yang
tidak tercatat, ada yang menyebut kawin di bawah tangan, kawin syar'i, kawin
modin, dan kerap pula disebut kawin kiyai (Mukhlisin Muzarie, Kontroversi Perkawinan
Wanita Hamil, hal 110). Perkawinan tidak tercatat ialah perkawinan yang secara material

telah memenuhi ketentuan syari'ah sesuai dengan maksud Pasal 2 ayat (1) UUP
tetapi secara formil tidak memenuhi ketentuan ayat (2) Pasal tersebut jo Pasal 10 ayat
(3) PP Nomor 9 Tahun 1975.

Berdasarkan Pasal 4, 5 dan 6 KHI, perkawinan tersebut sah menurut hukum


Islam tetapi tidak mempunyai kekuatan hukum. Agar perkawinan tersebut
mempunyai kekuatan hukum, maka harus dimintakan itsbat nikah kepada Pengadilan
Agama. (Pasal 7 ayat (2) KHI).

Oleh karena perkawinan yang dilakukan sesuai ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUP
dalam perspektif fikih Islam merupakan perkawinan yang sah, maka
konsekuwensinya anak yang lahir dari perkawinan yang demikian ini, juga
merupakan anak sah, yang mempunyai hubungan nasab dengan ayahnya (suami dari
istri yang melahirkannya) dengan segala akibat hukumnya.

Berdasarkan uraian tersebut, penulis cenderung memaknai Putusan MK


Nomor 46/PUU-VIII/2010 tersebut ditujukan terhadap anak yang dilahirkan
dalam ikatan perkawinan yang memenuhi syarat dan rukun sesuai dengan
ketentuan hukum agama tetapi tidak dicatatkan. Hal ini sesuai dengan klarifikasi
yang dilakukan oleh Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, SH. (Ketua MK saat itu) yang
menyatakan bahwa yang dimaksu Majelis dengan frasa “Anak diluar perkawinan
“bukan anak hasil zina, melainkan hasil nikah sirri. Hubungan perdata yang
diberikan kepada anak diluar perkawinantidak bertentangan dengan nasab,waris, dan
wali nikah. Hak yang dapat dituntut anak diluarperkawinan yang tidak diatur fikih,

5
antara lain, berupa hak menuntut pembiayaan pendidikan atau hak menuntut ganti
rugi karena perbuatan melawan hukum yang merugikan orang lain seperti yang
diatur dalam Pasal 1365 KUH perdata atau hak untuk menuntut karena ingkar janji.
Intinya adalah “hak-hak perdata selain hak nasab, hak waris, wali nikah, atau hak
perdata apapun yang tidak terkait dengan prinsip-prinsip munakahat sesuai fikih”
(Jawa Pos, edisi, Rabu, 28 Maret 2012).

3. Anak Yang Lahir Tanpa Perkawinan (Anak Hasil Zina)

Anak zina adalah anak yang lahir akibat hubungan biologis antara laki-laki dan
perempuan tanpa adanya ikatan perkawinan. Meskipun terlahir sebagai anak zina, ia
tetap dilahirkan dalam keadaan suci dan tidak membawa dosa turunan. Namun
demikian, anak hasil zina tetap tidak mempunyai hubungan nasab dengan laki-laki
yang menzinai ibunya, ia hanya dinasabkan dengan ibu yang melahirkannya. Sabda
Nabi SAW.

(‫ﻗﺎل اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ ﻓﻲ وﻟﺪ اﻟﺰﻧﺎ " ﻷھﻞ أﻣﮫ ﻣﻦ ﻛﺎﻧﻮا" )رواه أﺑﻮ داود‬
Nabi saw bersabda tentang anak hasil zina: “Bagi keluarga ibunya ...” (HR. Abu
Dawud).

Dalam hadits yang lain, Nabi SAW juga menyatakan tidak adanya hubungan
kewarisan antara anak hasil zina dengan lelaki yang mengakibatkan kelahirannya,
antara lain:

‫ " أﯾﻤﺎ‬:‫ﻋﻦ ﻋﻤﺮو ﺑﻦ ﺷﻌﯿﺐ ﻋﻦ أﺑﯿﮫ ﻋﻦ ﺟﺪه أن رﺳﻮل ﷲ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ ﻗﺎل‬
‫ ﺳﻨﻦ‬- ‫ ﻻ ﯾﺮث وﻻ ﯾﻮرث " ) رواه اﻟﺘﺮﻣﺬى‬، ‫رﺟﻞ ﻋﺎھﺮ ﺑﺤﺮة أو أﻣﺔ ﻓﺎﻟﻮﻟﺪ وﻟﺪ زﻧﺎ‬
1717 ‫اﻟﺘﺮﻣﺬى‬

“Dari ‘Amr ibn Syu’aib ra dari ayahnya dari kakeknya bahwa rasulullah saw bersabda:
Setiap orang yang menzinai perempuan baik merdeka maupun budak, maka anaknya adalah
anak hasil zina, tidak mewarisi dan tidak mewariskan“. (HR. Al-Turmudzi).

Dalam rangka memberikan perlindungan hak-hak dasar anak hasil zina, MUI melalui
Fatwanya Nomor 11 Tahun 2012 menyatakan “Pemerintah berwenang menjatuhkan
hukuman ta’zir kepada lelaki pezina yang mengakibatkan lahirnya anak dengan

6
mewajibkan untuk : a. Mencukupi kebutuhan hidup anak tersebut, b. Memberikan
harta setelah ia meninggal melalui wasiat wajibah.

C. PENETAPAN PENGADILAN TENTANG ASAL USUL ANAK DAN


AKIBAT HUKUMNYA
Pada Pasal 55 UUP jo. Pasal 103 KHI dinyatakan :
(1) Asal usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akte kelahiran yang
authentik, yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang. Pasal 103 ayat (1)
KHI, “Asal usul seorang anak hannya dapat dibuktiakn dengan akta kelahiran
atau alat bukti lainnya”.
(2) Bila akte kelahiran tersebut dalam ayat (1) pasal ini tidak ada, maka pengadilan
dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah
diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi
syarat.
(3) Atas dasar ketentuan Pengadilan tersebut ayat (2) ini, maka instansi pencatat
kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan yang bersangkutan
mengeluarkan akte kelahiran bagi anak yang bersangkutan.
Apabila ketentuan ini dihubungkan dengan 3 (tiga) macam status anak tersebut,
maka anak sah dengan mudah akan mendapatkan akta kelahiran yang
pertalian nasabnya dihubungan dengan ayah dan ibu yang melahirkannya
dengan segala akibat hukumnya karena akta kelahirannya didasarkan alas hukum
antara lain Akta Nikah orang tuanya. Adapun untuk anak hasil perzinaan, akta
kelahirannya pertalian nasabnya hanya dihubungkan dengan ibunya dan tidak
dapat diajukan permohonan asal usul anak karena kelahirannya tanpa adanya
ikatan perkawinan. Kalaupun diajukan permohonan asal usul anak bagi anak hasil
perzinaan, tentu akan ditolak oleh Pengadilan Agama. Sedangkan anak yang
dilahirkan dari perkawinan di bawah tangan yang secara meteriil sah berdasarkan
hukum Islam, tetapi tidak dicatatkan sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum,
maka untuk mendapatkan akta kelahiran anak yang pertalian nasabnya dihubungkan
dengan ayah dan ibu yang melahirkannya, dapat ditempuh beberapa kemungkinan
sebagai berikut :

1. Melalui Itsbat Nikah


Agar perkawinan dibawah tangan/perkawinan sirri tersebut mempunyai kekuatan
hukum, maka harus diajukan permohonan itsbat nikah ke Pengadilan Agama

7
(Pasal 7 KHI). Jika permohonan itsbat nikah tersebut dikabulkan, maka penetapan
Pengadilan Agama menjadi alas hukum bagi KUA setempat untuk menerbitkan
Akta Nikah atas nama suami istri yang bersangkutan. Penetapan Itsbat Nikah ini
berlaku sejak pernikahan sirri tersebut dilakukan. Sehingga dengan Akta Nikah
dimaksud, anak yang lahir dari perkawinan/pernikahan sirri dapat diurus akta
kelahirannya kepada instansi yang berwenang (Dinas Kependudukan dan
Pencatatan Sipil) tanpa melalui pengajuan permohonan asal usul anak.

Contoh : - A+B karena satu dan lain hal nikah sirri tanggal 2 Februari 1990 di
wilayah kecamatan Kauman Kabupaten Ponorogo;
- Pada tanggal 5 Mei 1995 lahir anak laki-laki yang bernama Y;
- Pada tanggal 6 Juni 2014 A+B hendak mengurus Akta Kelahiran Y
ke Disdukcapil dengan meminta agar Y dinyatakan lahir dari suami
istri A+B tetapi oleh Disdukcapil ditolak karena tidak ada Akta
Nikahnya.
- Pada tanggal 1 Juli 2014 A+B mengajukan permohonan itsbat nikah
pada Pengadilan Agama Ponorogo.
- Setelah dilakukan pemeriksaaan sesuai dengan Hukum Acara
ternyata terbukti A+B telah menikah sesuai ketentuan hukum Islam
dan tidak melanggar UUP, sehingga misalnya pada hari Kamis,
tanggal 24 Juli 2014 Pengadilan Agama Ponorogo menjatuhkan
penetapan yang inti amarnya, “Menyatakan sah perkawinan antara
A dengan B yang dilaksanakan pada tanggal 2 Februari 1990 di
Wilayah Kantor Urusan Agama Kecamatan Kauman Kabupaten
Ponorogo” (Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi
Peradilan Agama, hal 156).
- A+B menyampaikan salinan penetapan itsbat nikah tersebut kepada
KUA Kecamatan Kauman Kabupaten Ponorogo. Kemudian KUA
Kauman menerbitkan Akta Nikah berdasarkan penetapan Pengadilan
Agama Ponorogo, dimana tanggal pernikahannya diisi tanggal 2
Februari 1990.
- Oleh karena anak tersebut ( Y ) lahir pada tanggal 5 Mei 1995 berarti
kelahirannya setelah pernikahan, maka berdasarkan Akta Nikah

8
dimaksud, A+B dapat mengurus Akta Kelahiran anak laki-lakinya Y
dan kalau pengurusan tersebut sesuai dengan ketentuan dan prosedur
yang berlaku, niscaya Disdukcapil akan menerbitkan Akta Kelahiran
Y tersebut. Jadi dalam kasus yang seperti ini tidak perlu ada
penetapan asal usul anak dari Pengadilan.
- Akta kelahiran menjadi bukti otentik tentang asal usul anak tersebut.

2. Melalui Akad Nikah dan Permohonan Asal Usul Anak


Dalam kasus A + B di atas, boleh jadi A+B tidak mengajukan permohonan itsbat
nikah tetapi melakukan akad nikah baru. Misalnya A+B mengikuti nikah massal
yang diadakan instansi pemerintah atau ormas Islam pada tanggal setelah
kelahiran anak. Misalnya tanggal 2 Februari 2000 A+B melakukan akad nikah di
hadapan Pegawai Pencatat Nikah dan dicatat pada KUA Kecamatan Kauman.
Maka untuk mengurus akta kelahiran Y sesuai dengan tanggal lahirnya 5 Mei
1995 tentu tidak bisa dilakukan, karena alas hukum Akta Nikahnya menyatakan
pernikahannya tanggal 2 Februari 2000, sementara anaknya Y lahir tanggal 5 Mei
1995.
Agar anak laki-laki yang bernama Y tersebut mendapatkan Akta Kelahiran sesuai
tanggal lahirnya, maka A+B harus mengajukan permohonan asasl usul anak yang
bernama Y tersebut. Jika permohonan tersebut terbukti berdasarkan dan beralasan
hukum, maka Pengadilan Agama akan menjatuhkan penetapan yang mengabulkan
permohonan Pemohon, dengan amar penetapan, pada intinya, “Menetapkan anak
laki-laki yang bernama Y , lahir di Ponorogo tanggal 5 Mei 1995 adalah anak
kandung dari suami istri A+B”.
Berdasarkan penetapan Pengadilan Agama tersebut, dapat diurus akta kelahiran
anak Y sesuai tanggal lahirnya, dan anak tersebut dinyatakan lahir dari suami istri
A+B.

3. Melalui Permohonan/Gugatan Asal Usul Anak tanpa Itsbat Nikah


Perkawinan di bawah tangan/pernikahan sirri boleh jadi dilakukan oleh laki-laki
yang ketika melakukan akad nikah sirri, masih terikat perkawinan sah dengan

9
perempuan lain. Sebagai contoh C seorang laki-laki masih terikat perkawinan
dengan D, melakukan nikah sirri (poligami sirri) dengan E misalnya tanggal 3
Maret 2000. Pada tanggal 6 Juni 2003 lahir anak perempuan bernama X.
Dalam kasus tersebut anak perempuan X tentu tidak akan mendapatkan akta
kelahiran yang pertalian nasabnya dihubungkan dengan kedua orang tuanya D + E
kecuali melalui permohonan/gugatan asal-usul anak yang diajukan oleh D atau E
atau D+E kepada Pengadilan Agama. Apabila permohonan/gugatan asal-usul anak
tersebut terbukti berdasarkan dan beralasan hukum, maka Pengadilan Agama akan
menjatuhkan penetapan/putusan yang mengabulkan permohonan/gugatan asal
usul anak, dengan amar penetapan/putusan, yang pada intinya, “Menetapkan anak
perempuan yang bernama X, lahir di Ponorogo tanggal 6 Juni 2003 adalah anak
kandung dari D+E”.
Adapun pernikahan poligami yang dilakukan dibawah tangan (poligami sirri)
tidak dapat diitsbatkan karena pernikahan tersebut merupakan pelanggaran atas
Pasal 4 dan 5 UUP, yaitu tidak ada ijin poligami dari Pengadilan.
Meskipun demikian pernikahan tersebut telah memenuhi syarat dan rukunnya
sesuai dengan ketentuan hukum Islam, sehingga sah berdasarkan hukum Islam
dan secara materiil juga sah berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UUP.
Dalam kasus yang demikian ini anak harus mendapatkan perlindungan hukum,
“anak berhak mengetahui orang tuanya”, sehingga terwujud tujuan hukum
Islam “hifdlun nasl” melalui akta kelahiran dan penetapan asal-usul anak,
sebagaimana Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012,
yang menguji terhadap Pasal 43 ayat (1) UUP sebagaimana diuraikan di atas.

Permohonan/gugatan asal usul anak yang dikabulkan oleh Pengadilan


mempunyai akibat hukum yang sempurna baik dalam hubungan nasab maupun
keperdataan lainnya antara anak dan kedua orang tuanya. Antara anak dan orang
tuanya timbul hubungan mahram, wali nikah (Q.S. An Nisa’ : 23-24, Pasal 8-9 UUP
dan Pasal 39, 40 dan 41 KHI), hubungan saling mewarisi (Q.S. An Nisa’ : 11-12 dan
176, Pasal 174 KHI), orang tua berkewajiban memenuhi nafkah, mendidik anak, dan

10
lain-lain (QS. Al Baqarah : 233, Luqman: 12 – 19, Pasal 45 – 49 UUP), anak juga
berkewajiban hormat dan berbakti kepada orang tua, dan lain-lain.

D. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Ditinjau dari statusnya ada 3 (tiga) macam anak, yaitu : 1. Anak yang sah adalah
anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah; 2. Anak
yang lahir dari perkawinan di bawah tangan (nikah sirri); dan 3. Anak yang lahir
dari hubungan biologis antara pria dan wanita tanpa ikatan perkawinan (anak
hasil zina).

2. Penetapan asal usul anak oleh Pengadilan mempunyai akibat hukum pertalian
nasab dan hubungan keperdataan lainnya antara anak dan orang tuanya, sehingga
antara anak dan orang tuanya ada hubungan mahram, wali nikah, saling mewarisi,
kewajiban orang tua memberi nafkah, membiayai pendidikan anak, dan lain-lain,
demikian pula anak berkewajiban hormat dan berbakti kepada orang tua, dan
lain-lain.

3. Berdasarkan putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012,


Pasal 43 ayat (1) UUP harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan
mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan
laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan
dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan
darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”. Penulis
cenderung ketentuan ini diberlakukan terhadap anak yang dilahirkan dari
perkawinan di bawah tangan yang secara materiil perkawinan tersebut sah
menurut hukum Islam sesuai ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUP, tetapi secara formal
tidak dicatatkan (Pasal 2 ayat (2) UUP) sehingga tidak mempunyai kekuatan
hukum. Karena itu Penetapan Pengadilan Agama tentang asal usul anak
diberlakukan terutama terhadap anak yang dilahirkan dari perkawinan di bawah
tangan (nikah sirri) yang memenuhi syarat dan rukun nikah menurut hukum
Islam.

11
4. Anak hasil zina tidak mempunyai hubungan nasab dan hubungan kewarisan
dengan laki-laki yang menzinai ibunya, ia hanya dinasabkan dengan ibu yang
melahirkannya. Namun demikian untuk memberikan perlindungan hak-hak dasar
anak hasil zina yang secara prinsip lahir dalam keadaan suci dan tidak membawa
dosa turunan, MUI melalui Fatwanya Nomor 11 Tahun 2012 menyatakan
“Pemerintah berwenang menjatuhkan hukuman ta’zir kepada lelaki pezina yang
mengakibatkan lahirnya anak dengan mewajibkan untuk : a. Mencukupi
kebutuhan hidup anak tersebut, b. Memberikan harta setelah ia meninggal
melalui wasiat wajibah. Dengan demikian Pasal 43 ayat (1) UUP tidak dapat
diberlakukan untuk anak hasil dari perzinaan.

PENUTUP
Dalam kesempurnaan, ada kekurangan. Dalam kelebihan, ada kelemahan. Atas
segala kekurangan dan kelemahan, penulis mohon maaf, dan sekaligus mohon saran
dan kritik konstruktif demi kebaikan dimasa mendatang.
Kepada Allah kita berharap, semoga percikan pemikiran tentang asal usul anak
ini bermanfaan serta dapat meningkatkan wawasan keilmuan dan ketrampilan dalam
menjalankan profesi yang berhubungan dengan hukum. Amien.

Ponorogo, 19 Ramadhan 1438 H. / 14 Juni 2017 M.

12
DAFTAR RUJUKAN

Departemen Agama, Alqur’an dan Terjemahannya, Raja Grafindo Persada, Jakarta, cetakan
ketiga, April 2002.
Undang-Undang Dasar 1945.
UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah dengan
UU Nomor 35 Tahun 2014.
UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012.
Inpres Nomor 1 tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam.
Mahkamah Agung RI, Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan
Agama
Fatwa MUI Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Kedudukan Anak hasil Zina dan Perlakuan
Terhadapnya.
Abu Daud, Sunan Abu Daud.
Ibnu Qudamah, Al Mughni.
Chatib Rasyid, Anak yang lahir di Luar Nikah Secara Hukum Berbeda dengan Anak Hasil
Zina, makalah disampaikan pada Seminar Status Anak Di Luar Nikah dan Hak
Keperdataan lainnya, di IAIN Walisongo, Semarang, tanggal 10 April 2012.
Mukhlisin Muzarie, Kontroversi Perkawinan Wanita Hamil, Yogyakarta: Pustaka Dinamika,
2002

13

Anda mungkin juga menyukai