Anda di halaman 1dari 13

PENETAPAN ASAL USUL ANAK

DAN AKIBAT HUKUMNYA DALAM HUKUM POSITIF

Drs. Asrofi, SH., MH. (Ketua PA Mojokerto)

A. PENDAHULUAN

Anak merupaka karunia sekaligus amanat dari Allah SWT, yang senantiasa harus dijaga karena dalam
dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Bagi orang
tua anak merupakan asset dan karunia Allah yang tak ternilai, ia sebagai penyejuk hati, penerus
keturunan dan cita-cita ideal orang tua, dan dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah
masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa.

Pada Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 dinyatakan, “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh,
dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi
serta hak sipil dan kebebasan”.

Secara rinci hak-hak anak disebutkan dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 18 UU Nomor 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 35 Tahun 2014, yang antara
lain “anak berhak mengetahui orang tuanya”. Mengetahui orang tuanya berkaitan dengan asal-usul
anak. Asal usul anak ini dapat dibuktikan antara lain dengan akta kelahiran. Bagi anak yang lahir dari
perkawinan yang sah untuk mendapatkan akta kelahiran tidaklah sulit, tinggal diurus sesuai dengan
prosedur dan persyaratan yang ditentukan, sehingga anak yang lahir dari perkawinan yang sah
mendapatkan perlindungan yang sempurna berkaitan dengan “hifdlun nasl” (pemeliharaan keturunan)
dengan segala akibat hukumnya. Namun bagi anak yang dilahirkan tidak dari perkawinan yang sah,
untuk mengetahui asal-usul anak harus melalui putusan Pengadilan, dan tidaklah semua permohonan
asal-usul anak dikabulkan oleh Pengadilan. Pengadilan hanya mengabulkan permohonan asal-usul anak,
jika permohonan tersebut terbukti berdasarkan dan beralasan hukum. Jika permohonan tidak
berdasarkan dan tidak beralasan hukum, maka permohonan tersebut akan ditolak.
Bagaimana permohonan asal usul anak dan apa akibat hukum penetapan Pengadilan tentang asal usul
anak, akan diuraikan di bawah ini.

B. MACAM-MACAM STATUS ANAK

Menurut Chatib Rasyid dalam makalahnya “Anak lahir di luar nikah (secara hukum) berbeda dengan
anak hasil zina”, bahwa ditinjau dari status kelahirannya, ada tiga (3) macam status anak, yaitu : Anak
yang lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah (anak yang sah); Anak yang lahir di luar
perkawinan; dan Anak yang lahir tanpa perkawinan (anak hasil zina).

1.Anak yang sah

Berdasarkan Pasal 42 UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (UUP), ”Anak yang sah adalah anak
yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”. Sedangkan menurut Pasal 99
Kompilasi Hukum Islam (KHI) ada dua kemungkinan anak yang sah, yatu :

a. anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah;

b. hasil perbuatan suami isteri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut.

Adapun yang dimaksud dengan perkawinan yang sah menurut UUP adalah perkawinan yang secara
materiil dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya, dan secara formil dicatat
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (vide : Pasal 2 ayat 1 dan ayat 2 UUP).

Anak yang sah secara otomatis mempunyai hubungan nasab dengan ayah dan keluarga ayahnya kecuali
ayah (suami dari ibu yang melahirkannya) mengingkari/menyangkalnya. Sabda Nabi SAW :

ُ ْ‫ عَاهَر‬،‫ إن فالنًا ابني‬،‫ يا رسول هللا‬:‫ قام رجل فقال‬:‫عن عمرو بن شعيب عن أبيه عن جده قال‬
‫ فقال رسول هللا صلى هللا‬،‫ت بأمه في الجاهلية‬
)‫ وللعاهر الحجر (رواه أبو داود‬،‫ الولد للفراش‬،‫ ذهب أمر الجاهلية‬،‫ ال دعوة في اإلسالم‬:‫عليه وسلم‬
“Dari ‘Amr ibn Syu’aib ra dari ayahnya dari kakeknya ia berkata: seseorang berkata: Ya rasulallah,
sesungguhnya si fulan itu anak saya, saya menzinai ibunya ketika masih masa jahiliyyah, rasulullah saw
pun bersabda: “tidak ada pengakuan anak dalam Islam, telah lewat urusan di masa jahiliyyah. Anak itu
adalah bagi pemilik kasur/suami dari perempuan yang melahirkan (firasy) dan bagi pezina adalah batu
(dihukum)” (HR. Abu Dawud).

Berdasarkan hadits ini, Imam Ibnu Abdil Barr dalam kitabnya, “At Tamhid” (8/183) sebagaimana dikutip
dalam fatwa MUI Nomor 11 Tahun 2012 menyatakan “Para Ulama telah sepakat, apabila ada seseorang
berzina dengan perempuan yang memiliki suami kemudian melahirkan anak, maka anak tidak
dinasabkan kepada lelaki yang menzinainya, melainkan kepada suami dari ibunya tersebut, dengan
ketentuan ia tidak menafikan/ mengingkari anak tersebut.

"‫ وجعل رسول هللا صلى هللا عليه وسلم كل ولد يولد على فراش لرجل الحقًا به‬،‫وأجمعت األمة على ذلك نقالً عن نبيها صلى هللا عليه وسلم‬
‫ إال أن ينفيه بلعان على حكم اللعان‬،‫"على كل حال‬

Umat telah ijma’ (bersepakat) tentang hal itu dengan dasar hadis nabi saw, dan rasul saw menetapkan
setiap anak yang terlahir dari ibu, dan ada suaminya, dinasabkan kepada ayahnya (suami ibunya),
kecuali ia menafikan anak tersebut dengan li’an, maka hukumnya hukum li’an.

Juga disampaikan oleh Imam Ibnu Qudamah dalam Kitab al-Mughni (9/123) sebagai berikut:

‫وأجمعوا على أنه إذا ولد على فراش رجل فادعاه آخر أنه ال يلحقه‬

Para Ulama bersepakat (ijma’) atas anak yang lahir dari ibu, dan ada suaminya, kemudian orang lain
mengaku (menjadi ayahnya), maka tidak dinasabkan kepadanya.

Apabila suami menyangkal/mengingkari sahnya anak yang dilahirkan istrinya, dan ia dapat membuktikan
bahwa istrinya telah berzina baik dengan cara sumpah li’an maupun dengan bukti-bukti lainnya, maka
suami tersebut harus mengajukan gugatan pengingkaran anak kepada Pengadilan. Apabila berdasarkan
pemeriksaan di Pengadilan, gugatan tersebut terbukti kebenarannya (berdasarkan dan beralasan
hukum), maka gugatan pengingkaran/penyangkalan anak dari suami tersebut dikabulkan. Sehingga
kelahiran anak tersebut merupakan akibat dari perzinaan. (vide: Pasal 44 UUP jo. Pasal 101 KHI).
Gugatan pengingkaran/penyangkalan anak diajukan kepada Pengadilan Agama dalam jangka waktu 180
hari sesudah hari lahirnya atau 360 hari sesudah putusnya perkawinan atau setelah suami itu
mengetahui bahwa istrinya melahirkan anak dan berada di tempat yang memungkinkan dia mengajukan
perkaranya kepada Pengadilan Agama. Pengingkaran yang diajukan sesudah lampau waktu terebut tidak
dapat diterima. (vide : Pasal 102 KHI).

2. Anak Yang Lahir di Luar Perkawinan

Berdasarkan Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012, Pasal 43 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar
perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, tidak memiliki
kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang
dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum
ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut harus dibaca, “Anak yang
dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta
dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi
dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata
dengan keluarga ayahnya”;

Menurut Chatib Rasyid (mantan Ketua PTA Semarang), Anak yang lahir di luar perkawinan adalah anak
yang lahir dari perkawinan yang dilakukan menurut masing-masing agamanya dan kepercayaannya.
Pengertian ini menunjukkan adanya perkawinan, dan jika dilakukan menurut agama Islam, maka
perkawinan yang demikian ”sah” dalam perspektif fikih Islam sepanjang memenuhi syarat dan rukun
perkawinan. Dengan demikian anak tersebut sah dalam kacamata agama, yaitu sah secara materiil,
namun karena perkawinannya tidak tercatat baik di Kantor Urusan Agama (KUA) maupun di Kantor
Catatan Sipil (anak hasil nikah sirri, seperti halnya Machica Mochtar dengan Moerdiono), maka
pernikahan tersebut secara formil tidak sah sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum.

Dengan demikian, anak yang lahir di luar perkawinan berbeda dengan anak yang lahir tanpa perkawinan.
Pengertian luar perkawinan berbeda dengan pengertian tanpa perkawinan. Meskipun tidak sama persis
tetapi pengertian ini dapat dianalogikan dengan dengan pengertian “Fulan berkeja di luar kantor”
dengan “Fulan bekerja tanpa kantor”. Fulan bekerja di luar kantor berarti ada kantornya tetapi dia
sedang bekerja di luar kantor, sedang Fulan bekerja tanpa kantor berarti dia bekerja tanpa ada
kantornya.
Demikian pula anak yang lahir di luar perkawinan, berarti anak tersebut lahir dari pria dan wanita yang
secara materiil ada ikatan perkawinan tetapi perkawinan tersebut secara formil tidak ada karena tidak
dicatatkan/tidak dilaksanakan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah.

Ada beberapa istilah yang digunakan untuk menunjuk sebuah perkawinan yang tidak tercatat, ada yang
menyebut kawin di bawah tangan, kawin syar'i, kawin modin, dan kerap pula disebut kawin kiyai
(Mukhlisin Muzarie, Kontroversi Perkawinan Wanita Hamil, hal 110). Perkawinan tidak tercatat ialah
perkawinan yang secara material telah memenuhi ketentuan syari'ah sesuai dengan maksud Pasal 2 ayat
(1) UUP tetapi secara formil tidak memenuhi ketentuan ayat (2) Pasal tersebut jo Pasal 10 ayat (3) PP
Nomor 9 Tahun 1975.

Berdasarkan Pasal 4, 5 dan 6 KHI, perkawinan tersebut sah menurut hukum Islam tetapi tidak
mempunyai kekuatan hukum. Agar perkawinan tersebut mempunyai kekuatan hukum, maka harus
dimintakan itsbat nikah kepada Pengadilan Agama. (Pasal 7 ayat (2) KHI).

Oleh karena perkawinan yang dilakukan sesuai ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUP dalam perspektif fikih
Islam merupakan perkawinan yang sah, maka konsekuwensinya anak yang lahir dari perkawinan yang
demikian ini, juga merupakan anak sah, yang mempunyai hubungan nasab dengan ayahnya (suami dari
istri yang melahirkannya) dengan segala akibat hukumnya.

Berdasarkan uraian tersebut, penulis cenderung memaknai Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010


tersebut ditujukan terhadap anak yang dilahirkan dalam ikatan perkawinan yang memenuhi syarat dan
rukun sesuai dengan ketentuan hukum agama tetapi tidak dicatatkan. Hal ini sesuai dengan klarifikasi
yang dilakukan oleh Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, SH. (Ketua MK saat itu) yang menyatakan bahwa yang
dimaksu Majelis dengan frasa “Anak diluar perkawinan “bukan anak hasil zina, melainkan hasil nikah
sirri. Hubungan perdata yang diberikan kepada anak diluar perkawinantidak bertentangan dengan
nasab,waris, dan wali nikah. Hak yang dapat dituntut anak diluarperkawinan yang tidak diatur fikih,
antara lain, berupa hak menuntut pembiayaan pendidikan atau hak menuntut ganti rugi karena
perbuatan melawan hukum yang merugikan orang lain seperti yang diatur dalam Pasal 1365 KUH
perdata atau hak untuk menuntut karena ingkar janji. Intinya adalah “hak-hak perdata selain hak nasab,
hak waris, wali nikah, atau hak perdata apapun yang tidak terkait dengan prinsip-prinsip munakahat
sesuai fikih” (Jawa Pos, edisi, Rabu, 28 Maret 2012).
3. Anak Yang Lahir Tanpa Perkawinan (Anak Hasil Zina)

Anak zina adalah anak yang lahir akibat hubungan biologis antara laki-laki dan perempuan tanpa adanya
ikatan perkawinan. Meskipun terlahir sebagai anak zina, ia tetap dilahirkan dalam keadaan suci dan
tidak membawa dosa turunan. Namun demikian, anak hasil zina tetap tidak mempunyai hubungan
nasab dengan laki-laki yang menzinai ibunya, ia hanya dinasabkan dengan ibu yang melahirkannya.
Sabda Nabi SAW.

)‫قال النبي صلى هللا عليه وسلم في ولد الزنا " ألهل أمه من كانوا" (رواه أبو داود‬

Nabi saw bersabda tentang anak hasil zina: “Bagi keluarga ibunya ...” (HR. Abu Dawud).

Dalam hadits yang lain, Nabi SAW juga menyatakan tidak adanya hubungan kewarisan antara anak hasil
zina dengan lelaki yang mengakibatkan kelahirannya, antara lain:

‫ ال يرث وال‬، ‫ " أيما رجل عاهر بحرة أو أمة فالولد ولد زنا‬:‫عن عمرو بن شعيب عن أبيه عن جده أن رسول هللا صلى هللا عليه وسلم قال‬
1717 ‫ سنن الترمذى‬- ‫يورث " ( رواه الترمذى‬

“Dari ‘Amr ibn Syu’aib ra dari ayahnya dari kakeknya bahwa rasulullah saw bersabda: Setiap orang yang
menzinai perempuan baik merdeka maupun budak, maka anaknya adalah anak hasil zina, tidak mewarisi
dan tidak mewariskan“. (HR. Al-Turmudzi).

Dalam rangka memberikan perlindungan hak-hak dasar anak hasil zina, MUI melalui Fatwanya Nomor 11
Tahun 2012 menyatakan “Pemerintah berwenang menjatuhkan hukuman ta’zir kepada lelaki pezina
yang mengakibatkan lahirnya anak dengan mewajibkan untuk : a. Mencukupi kebutuhan hidup anak
tersebut, b. Memberikan harta setelah ia meninggal melalui wasiat wajibah.
C. PENETAPAN PENGADILAN TENTANG ASAL USUL ANAK DAN AKIBAT HUKUMNYA

Pada Pasal 55 UUP jo. Pasal 103 KHI dinyatakan :

(1) Asal usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akte kelahiran yang authentik, yang
dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang. Pasal 103 ayat (1) KHI, “Asal usul seorang anak hannya dapat
dibuktiakn dengan akta kelahiran atau alat bukti lainnya”.

(2) Bila akte kelahiran tersebut dalam ayat (1) pasal ini tidak ada, maka pengadilan dapat mengeluarkan
penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-
bukti yang memenuhi syarat.

(3) Atas dasar ketentuan Pengadilan tersebut ayat (2) ini, maka instansi pencatat kelahiran yang ada
dalam daerah hukum Pengadilan yang bersangkutan mengeluarkan akte kelahiran bagi anak yang
bersangkutan.

Apabila ketentuan ini dihubungkan dengan 3 (tiga) macam status anak tersebut, maka anak sah dengan
mudah akan mendapatkan akta kelahiran yang pertalian nasabnya dihubungan dengan ayah dan ibu
yang melahirkannya dengan segala akibat hukumnya karena akta kelahirannya didasarkan alas hukum
antara lain Akta Nikah orang tuanya. Adapun untuk anak hasil perzinaan, akta kelahirannya pertalian
nasabnya hanya dihubungkan dengan ibunya dan tidak dapat diajukan permohonan asal usul anak
karena kelahirannya tanpa adanya ikatan perkawinan. Kalaupun diajukan permohonan asal usul anak
bagi anak hasil perzinaan, tentu akan ditolak oleh Pengadilan Agama. Sedangkan anak yang dilahirkan
dari perkawinan di bawah tangan yang secara meteriil sah berdasarkan hukum Islam, tetapi tidak
dicatatkan sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum, maka untuk mendapatkan akta kelahiran anak
yang pertalian nasabnya dihubungkan dengan ayah dan ibu yang melahirkannya, dapat ditempuh
beberapa kemungkinan sebagai berikut :

1.Melalui Itsbat Nikah

Agar perkawinan dibawah tangan/perkawinan sirri tersebut mempunyai kekuatan hukum, maka harus
diajukan permohonan itsbat nikah ke Pengadilan Agama (Pasal 7 KHI). Jika permohonan itsbat nikah
tersebut dikabulkan, maka penetapan Pengadilan Agama menjadi alas hukum bagi KUA setempat untuk
menerbitkan Akta Nikah atas nama suami istri yang bersangkutan. Penetapan Itsbat Nikah ini berlaku
sejak pernikahan sirri tersebut dilakukan. Sehingga dengan Akta Nikah dimaksud, anak yang lahir dari
perkawinan/pernikahan sirri dapat diurus akta kelahirannya kepada instansi yang berwenang (Dinas
Kependudukan dan Pencatatan Sipil) tanpa melalui pengajuan permohonan asal usul anak.

Contoh : - A+B karena satu dan lain hal nikah sirri tanggal 2 Februari 1995 di wilayah kecamatan Pacet
Kabupaten Mojokerto;

- Pada tanggal 5 Mei 2000 lahir anak laki-laki yang bernama Y;

- Pada tanggal 6 Juni 2019 A+B hendak mengurus Akta Kelahiran Y ke Disdukcapil dengan meminta
agar Y dinyatakan lahir dari suami istri A+B tetapi oleh Disdukcapil ditolak karena tidak ada Akta
Nikahnya.

- Pada tanggal 1 Juli 2019 A+B mengajukan permohonan itsbat nikah pada Pengadilan Agama
Mojokerto.

- Setelah dilakukan pemeriksaaan sesuai dengan Hukum Acara ternyata terbukti A+B telah
menikah sesuai ketentuan hukum Islam dan tidak melanggar UUP, sehingga misalnya pada hari Rabu,
tanggal 24 Juli 2019 Pengadilan Agama Mojokerto menjatuhkan penetapan yang inti amarnya,
“Menyatakan sah perkawinan antara A dengan B yang dilaksanakan pada tanggal 2 Februari 1995 di
Wilayah Kantor Urusan Agama Kecamatan Pacet Kabupaten Mojokerto” (Buku II Pedoman Pelaksanaan
Tugas dan Administrasi Peradilan Agama, hal 156).

- A+B menyampaikan salinan penetapan itsbat nikah tersebut kepada KUA Kecamatan Pacet
Kabupaten Mojokerto. Kemudian KUA Pacet menerbitkan Akta Nikah berdasarkan penetapan
Pengadilan Agama Mojokerto, dimana tanggal pernikahannya diisi tanggal 2 Februari 1995.

- Oleh karena anak tersebut ( Y ) lahir pada tanggal 5 Mei 2000 berarti kelahirannya setelah
pernikahan, maka berdasarkan Akta Nikah dimaksud, A+B dapat mengurus Akta Kelahiran anak laki-
lakinya Y dan kalau pengurusan tersebut sesuai dengan ketentuan dan prosedur yang berlaku, niscaya
Disdukcapil akan menerbitkan Akta Kelahiran Y tersebut. Jadi dalam kasus yang seperti ini tidak perlu
ada penetapan asal usul anak dari Pengadilan.
- Akta kelahiran menjadi bukti otentik tentang asal usul anak tersebut.

2.Melalui Akad Nikah dan Permohonan Asal Usul Anak

Dalam kasus A + B di atas, boleh jadi A+B tidak mengajukan permohonan itsbat nikah tetapi melakukan
akad nikah baru. Misalnya A+B mengikuti nikah massal yang diadakan instansi pemerintah atau ormas
Islam pada tanggal setelah kelahiran anak. Misalnya tanggal 2 Februari 2005 A+B melakukan akad nikah
di hadapan Pegawai Pencatat Nikah dan dicatat pada KUA Kecamatan Pacet. Maka untuk mengurus akta
kelahiran Y sesuai dengan tanggal lahirnya 5 Mei 2000 tentu tidak bisa dilakukan, karena alas hukum
Akta Nikahnya menyatakan pernikahannya tanggal 2 Februari 2005, sementara anaknya Y lahir tanggal 5
Mei 2000.

Agar anak laki-laki yang bernama Y tersebut mendapatkan Akta Kelahiran sesuai tanggal lahirnya, maka
A+B harus mengajukan permohonan asal usul anak yang bernama Y tersebut. Jika permohonan tersebut
terbukti berdasarkan dan beralasan hukum, maka Pengadilan Agama akan menjatuhkan penetapan yang
mengabulkan permohonan Pemohon, dengan amar penetapan, pada intinya, “Menetapkan anak laki-
laki yang bernama Y , lahir di Mojokerto tanggal 5 Mei 2000 adalah anak kandung dari suami istri A+B”.

Berdasarkan penetapan Pengadilan Agama tersebut, dapat diurus akta kelahiran anak Y sesuai tanggal
lahirnya, dan anak tersebut dinyatakan lahir dari suami istri A+B.

3.Melalui Permohonan/Gugatan Asal Usul Anak tanpa Itsbat Nikah

Perkawinan di bawah tangan/pernikahan sirri boleh jadi dilakukan oleh laki-laki yang ketika melakukan
akad nikah sirri, masih terikat perkawinan sah dengan perempuan lain. Sebagai contoh C seorang laki-
laki masih terikat perkawinan dengan D, melakukan nikah sirri (poligami sirri) dengan E misalnya tanggal
3 Maret 2005. Pada tanggal 6 Juni 2008 lahir anak perempuan bernama X.

Dalam kasus tersebut anak perempuan X tentu tidak akan mendapatkan akta kelahiran yang pertalian
nasabnya dihubungkan dengan kedua orang tuanya C + E kecuali melalui permohonan/gugatan asal-usul
anak yang diajukan oleh C atau E atau C+E kepada Pengadilan Agama. Apabila permohonan/gugatan
asal-usul anak tersebut terbukti berdasarkan dan beralasan hukum, maka Pengadilan Agama akan
menjatuhkan penetapan/putusan yang mengabulkan permohonan/gugatan asal usul anak, dengan amar
penetapan/putusan, yang pada intinya, “Menetapkan anak perempuan yang bernama X, lahir di
Mojokerto tanggal 6 Juni 2008 adalah anak kandung dari C+E”.

Adapun pernikahan poligami yang dilakukan dibawah tangan (poligami sirri) tidak dapat diitsbatkan
karena pernikahan tersebut merupakan pelanggaran atas Pasal 4 dan 5 UUP, yaitu tidak ada ijin poligami
dari Pengadilan.

Meskipun demikian pernikahan tersebut telah memenuhi syarat dan rukunnya sesuai dengan ketentuan
hukum Islam, sehingga sah berdasarkan hukum Islam dan secara materiil juga sah berdasarkan Pasal 2
ayat (1) UUP.

Dalam kasus yang demikian ini anak harus mendapatkan perlindungan hukum, “anak berhak
mengetahui orang tuanya”, sehingga terwujud tujuan hukum Islam “hifdlun nasl” melalui akta kelahiran
dan penetapan asal-usul anak, sebagaimana Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari
2012, yang menguji terhadap Pasal 43 ayat (1) UUP sebagaimana diuraikan di atas.

Permohonan/gugatan asal usul anak yang dikabulkan oleh Pengadilan mempunyai akibat hukum yang
sempurna baik dalam hubungan nasab maupun keperdataan lainnya antara anak dan kedua orang
tuanya. Antara anak dan orang tuanya timbul hubungan mahram, wali nikah (Q.S. An Nisa’ : 23-24, Pasal
8-9 UUP dan Pasal 39, 40 dan 41 KHI), hubungan saling mewarisi (Q.S. An Nisa’ : 11-12 dan 176, Pasal
174 KHI), orang tua berkewajiban memenuhi nafkah, mendidik anak, dan lain-lain (QS. Al Baqarah : 233,
Luqman: 12 – 19, Pasal 45 – 49 UUP), anak juga berkewajiban hormat dan berbakti kepada orang tua,
dan lain-lain.

D. KESIMPULAN

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut :

Ditinjau dari statusnya ada 3 (tiga) macam anak, yaitu : 1. Anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam
atau sebagai akibat perkawinan yang sah; 2. Anak yang lahir dari perkawinan di bawah tangan (nikah
sirri); dan 3. Anak yang lahir dari hubungan biologis antara pria dan wanita tanpa ikatan perkawinan
(anak hasil zina).
Penetapan asal usul anak oleh Pengadilan mempunyai akibat hukum pertalian nasab dan hubungan
keperdataan lainnya antara anak dan orang tuanya, sehingga antara anak dan orang tuanya ada
hubungan mahram, wali nikah, saling mewarisi, kewajiban orang tua memberi nafkah, membiayai
pendidikan anak, dan lain-lain, demikian pula anak berkewajiban hormat dan berbakti kepada orang tua,
dan lain-lain.

Berdasarkan putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012, Pasal 43 ayat (1) UUP,
“Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga
ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan
teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan
perdata dengan keluarga ayahnya”. Penulis cenderung ketentuan ini diberlakukan terhadap anak yang
dilahirkan dari perkawinan di bawah tangan yang secara materiil perkawinan tersebut sah menurut
hukum Islam sesuai ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUP, tetapi secara formal tidak dicatatkan (Pasal 2 ayat
(2) UUP) sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum. Karena itu Penetapan Pengadilan Agama tentang
asal usul anak diberlakukan terutama terhadap anak yang dilahirkan dari perkawinan di bawah tangan
(nikah sirri) yang memenuhi syarat dan rukun nikah menurut hukum Islam.

Anak hasil zina tidak mempunyai hubungan nasab dan hubungan kewarisan dengan laki-laki yang
menzinai ibunya, ia hanya dinasabkan dengan ibu yang melahirkannya. Namun demikian untuk
memberikan perlindungan hak-hak dasar anak hasil zina yang secara prinsip lahir dalam keadaan suci
dan tidak membawa dosa turunan, MUI melalui Fatwanya Nomor 11 Tahun 2012 menyatakan
“Pemerintah berwenang menjatuhkan hukuman ta’zir kepada lelaki pezina yang mengakibatkan lahirnya
anak dengan mewajibkan untuk : a. Mencukupi kebutuhan hidup anak tersebut, b. Memberikan harta
setelah ia meninggal melalui wasiat wajibah. Dengan demikian Pasal 43 ayat (1) UUP tidak dapat
diberlakukan untuk anak hasil dari perzinaan.

PENUTUP

Dalam kesempurnaan, ada kekurangan. Dalam kelebihan, ada kelemahan. Atas segala kekurangan dan
kelemahan, penulis mohon maaf, dan sekaligus mohon saran dan kritik konstruktif demi kebaikan
dimasa mendatang.

Kepada Allah kita berharap, semoga percikan pemikiran tentang asal usul anak ini bermanfaan serta
dapat meningkatkan wawasan keilmuan dan ketrampilan dalam menjalankan profesi yang berhubungan
dengan hukum. Amien.

Mojokerto, 24 Maret 2020


DAFTAR RUJUKAN

Departemen Agama, Alqur’an dan Terjemahannya, Raja Grafindo Persada, Jakarta, cetakan ketiga, April
2002.

Undang-Undang Dasar 1945.

UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 35
Tahun 2014.

UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012.

Inpres Nomor 1 tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam.

Mahkamah Agung RI, Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama

Fatwa MUI Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Kedudukan Anak hasil Zina dan Perlakuan Terhadapnya.

Abu Daud, Sunan Abu Daud.

Ibnu Qudamah, Al Mughni.


Chatib Rasyid, Anak yang lahir di Luar Nikah Secara Hukum Berbeda dengan Anak Hasil Zina, makalah
disampaikan pada Seminar Status Anak Di Luar Nikah dan Hak Keperdataan lainnya, di IAIN Walisongo,
Semarang, tanggal 10 April 2012.

Mukhlisin Muzarie, Kontroversi Perkawinan Wanita Hamil, Yogyakarta: Pustaka Dinamika, 2002

Anda mungkin juga menyukai