HUKUM WARIS
PEWARISAN ANAK LUAR KAWIN
DOSEN PENGAMPU
Dr. Dhenny Asmarazisa Azis, SH., M.M
DISUSUN OLEH :
Dengan mengucap puji dan syukur kepada “ ”ﷲatas karunia yang telah diberikan kepada
saya selaku penulis, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah penelitian ini dengan baik.
Penyusunan makalah ini adalah salah satu syarat pemenuhan nilai saya dalam mata kuliah
Hukum Waris. Makalah ini sebagai butki bahwa saya selaku penulis telah melakukan riset
sederhana terkait materi yang telah diberikan.
Selama mempelajari pembahasan ini, saya merasa mendapatkan pengetahuan yang lebih
mendalam, terkait Pewarisan Anak Luar Kawin dan hal-hal lain yang tercakup didalamnya.
Pada kesempatan kali,ini penulis ingin berterimakasih yang sebesar-besarnya kepada :
Dr. Dhenny Asmarazisa Azis, SH., M.M Selaku dosen pengampu mata kuliah Hukum
Waris di Universitas Riau Kepulauan.
Ivanika Satria
i
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR ............................................................................................. i
DAFTAR ISI ............................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .............................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................... 2
1.3 Tujuan ........................................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Bagian Warisan yang Diperoleh Anak Luar Kawin ...................... 4
2.2 Status Anak Luar Kawin ..................................... ......................... 7
2.3 Cara Agar Anak Luar Kawin Mendapatkan Warisan ................... 8
2.4 Kasus Pewarisan Anak Luar Kawin Dengan Putusan Pengadilan Tetap ..11
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 15
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
dalam akta kelahiran anak luar kawin akan tercatat bahwa anak tersebut adalah anak luar
kawin dengan hanya mencantumkan nama ibunya saja, sedangkan nama bapaknya tidak
tercantum. Fakta tersebut menunjukan adanya diskriminasi dan tidak adanya
perlindungan hukum bagi anak yang lahir dari perkawinan yang tidak dicatatkan. Situasi
tersebut muncul karena adanya ketentuan pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang
Perkawinan yang dalam pelaksanaannya menimbulkan kesulitan dan diskriminasi khusus
terhadap perempuan dan anak. Selain itu, juga sangat bertentangan dengan nilai-nilai
kemanusiaan, keberagaman agama dan budaya yang sangat majemuk di Indonesia.
Beberapa ketentuan peraturan perundangan tersebut diatas yang menjadi dasar
hukum hak atas anak tetap masih membutuhkan peran KUH Perdata sebagai salah satu
sumber hukum dalam pembagian hak dan kedudukan anak luar nikah. Sebagaimana
diatur dalam pasal 280 KUH Perdata yang bebunyi “dengan pengakuan terhadap anak
luar kawin, terlahirlah hubungan perdata antara anak itu dan bapak atau ibunya”.
Hal ini sejalan juga dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010
mengenai status anak luar nikah, yang berdampak baik dalam hal kedudukan secara
yuridis seorang ayah terhadap anaknya apabila dapat dibuktikan berdasarkan ilmu
pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain yang menurut hukum mempunyai
hubungan darah termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.
Berdasarkan penjelasan tersebut diatas, maka penulis merasa tertarik untuk
melihat secara ilmiah, bagaimanakah aturan mengenai status anak luar nikahtersebut
dalam sistem perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, teristimewa tentang
bagaimanakah hak dan kedudukan anak di luar nikah yang telah diakui dalam pewarisan
menurut KUH Perdata.
2
4. Contoh kasus pewarisan anak luar kawin dengan putusan pengadilan tetap.
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah agar kita sama-sama mengetahui
Pewaarisan Anak Luar Kawin. Secara khusus tujuan dari makalah ini adalah sebagai
berikut :
1. Untuk mengetahui bagian warisan yang diperoleh anak luar kawin.
2. Untuk mengetahui status anak luar kawin.
3. Untuk mengetahui apa yang harus dilakukan agar anak luar kawin mendapatkan
warisan.
4. Untuk mengetahui contoh kasus pewarisan anak luar kawin dengan putusan
pengadilan yang tetap.
3
BAB II
PEMBAHASAN
4
seorang anak luar kawin yang sudah diakui. Pembagiannya adalah anak luar kawin
tersebut dihitung seakan-akan dia anak yang sah, sehingga bagian masing ahli waris
adalah seperlima. Akan tetapi khusus untuk anak luar kawin maka bagiannya adalah
sepertiga kali seperlima, sehingga yang diterima oleh anak luar kawin adalah
seperlimabelas bagian dari harta peninggalan (pasal 863 KUH-Perdata). Sedang sisa harta
peninggalan yang berjumlah empat belas per lima belas bagian dibagi bersama di antara
para ahli waris yang sah, yaitu tiga anak-anaknya dan isterinya.
2. Bagian anak luar kawin jika mewaris Bersama ahli waris golongan II dan III
Apabila seorang pewaris tidak meninggalkan keturunan yang sah dan juga tidak
ada suami/isteri yang hidup terlama, akan tetapi pewaris tersebut meninggalkan keluarga
sedarah dalam garis ke atas maupun saudara laki-laki dan perempuan atau meninggalkan
keturunan saudara, dengan meninggalkan anak luar kawin, maka berapa bagian anak luar
kawin dan bagaimana cara pembagiannya. Menurut pasal 863 B.W dikatakan bahwa
apabila anak luar kawin mewaris bersama-sama dengan ahli waris golongan II atau
golongan III, maka anak luar kawin mendapat setengah atau separoh dari harta warisan.
3. Bagian warisan anak luar kawin jika mewaris bersama ahli waris golongan IV
Bagian anak luar kawin akan semakin besar jika dia mewaris dengan ahli waris
dari golongan yang derajatnya lebih jauh lagi dari pewaris. Menurut Pasal 863 ayat 1
B.W dikatakan bahwa bagian anak luar kawin apabila hanya ada sanak saudara dalam
derajat yang lebih jauh adalah tiga per empat. Maksud kata “sanak saudara dalam
derajat yang lebih jauh” dalam pasal 863 (1) B.W tersebut adalah ahli waris golongan
IV. Sebagai contoh jika seorang pewaris tidak meninggalkan saudara-saudara dan orang
tua (ibu-bapak), akan tetapi pewaris mempunyai paman dan bibi dari pihak bapak
maupun dari pihak ibu atau keturunannya sampai derajat keenam/ saudara sepupu atau
saudara misanan (bhs jawa), maka bagian anak-anak luar kawin adalah tiga per empat
dari harta warisan, sedang sisa harta warisan yang seperempat dibagi bersama di antara
para ahli waris golongan IV yaitu paman dan bibi, atau keturunannya/saudara sepupu
atau misanan tersebut. Dari ketentuan mengenai bagian warisan anak luar kawin seperti
tesebut diatas maka dapat dikatakan bahwa semakin dekat derajad ahli waris sah yang
mewaris bersama-sama dengan anak luar kawin, maka semakin kecil bagian yang
diterima oleh anak luar kawin.Sebaliknya semakin jauh derajat hubungan ahli waris yang
5
sah dengan pewaris yang mewaris dengan anak-anak luar kawin, maka bagian yang
diperoleh anak luar kawin semakin besar. Hal ini adalah wajar karena meski menjadi
anak luar kawin, namun hubungan antara anak luar kawin dengan Pewaris adalah lebih
dekat dibandingkan dengan ahli waris golongan II, III dan golongan IV meski mereka
adalah ahli waris yang sah menurut undang-undang, sehingga oleh karenanya anak-anak
luar kawin akan mendapat bagian yang lebih besar dari harta warisan orang tua yang
sudah mengakuinya.
4. Bagian anak luar kawin jika menjadi satu-satunya ahli waris
Uraian pada beberapa bab di atas adalah jika anak luar kawin mewaris bersama-
sama dengan ahli waris golongan lain, baik dari golongan I, II, III atau dengan golongan
IV, serta jika mewaris dengan golongan yang berlainan derajad. Namun ada
kemungkinan seorang pewaris tidak meninggalkan ahli waris dari golongan I sampai
golongan IV, akan tetapi hanya meninggalkan anak luar kawin. Dalam hal keadaan yang
demikian, maka anak luar kawin yang diakui oleh pewaris secara sah akan mewaris
seluruh harta warisan (Pasal 865 B.W).
Anak luar kawin menurut hukum dianggap tidak sah, meskipun demikian anak
tersebut boleh memperoleh haknya, akan tetapi bukan waris, misalnya berupa hibah dan
sedekah, dikarenakan anak tersebut dianggap anak luar nikah yang hanya memiliki
hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya saja, terkecuali terhadap anak luar
kawin yang diakui (vide pasal 862-866 KUH-Perdata).Disamping itu anak luar kawin
tersebut juga berhak atas nafkah alimentasi atau hak nafkah atas anak luar kawin,
termasuk anak yang dilahirkan dari perzinahan dan anak sumbang (Lihat Pasal 867
B.W).kendati demikian, khusus anak zina dan anak sumbang tidak mungkin memiliki
hubungan secara yuridis dengan ayah kandungnya karena orang tua dari anak tersebut
dilarang oleh undang-undang untuk memberikan pengakuan.
Dalam hal demikian yang berlangsung dalam kehidupan bermasyarakat yang
menjadi perhatian merupakan tugas dari aparat Negara dalam menangani masaalah
tersebut serta penjamin adanya kepastian hukum. oleh sebab itu melalui saluran hukum
yang berlaku dan yang tersedia, langkah hukum yang ditempuh dalam hal ini Pengujian
Undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 adalah merupakan hal yang tepat
6
apabila undangundang yang diuji materil tersebut bertentangan dengan Konstitusi. (dalam
hal iniyang diajukan untuk diuji materil adalah UUP No.1 tahun 1974 pasal 43 ayat (1)).
7
Pasca keluarnya Putusan MK RI No 46/PUU-VII/2010, hubungan hukum bagi
anak luar kawin dengan ibu dan ayah Biologisnya semakin jelas hal ini terlihat dari amar
Putusan MK yang mengatakan hubungan keperdataan anak luar kawin bukan hanya
memilik hubungan keperdataan dengan ibunya saja akan tetapi juga memiliki hubungan
keperdataan dengan ayah bilogisnya sepanjang anak luar kawin dan ibu dari anak luar
kawin dapat membuktikan ayah biologisnya dengan tes DNA. Fatwa MUI yang tadinya
menentang bahwa anak hasil zina ( Anak Luar Kawin) tidak diakui dan hanya memiliki
hubungan dengan ibunya saja, juga mendukung Putusan MK untuk mewajibkan
mencukupi kebutuhan hidup anak dan memberikan harta setelah meninggal melalui
wasiat wajibah.
Dengan demikian seorang ayah biologis tidak lagi dapat menolak untuk tidak
menafkahi kebutuhan dari Anaknya hasil hubungan diluar Perkawinan. Dengan Putusan
MK semakin mempertegas kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam hubungan
antara anak luar kawin dengan ayah biologis dalam hal bertanggung jawab untuk
menafkahi dan memberikan penghidupan kepada anak luar kawin tersebut, jadi beban
untuk memelihara, memberikan nafkah bagi anak luar kawin bukan hanya ditanggung
oleh salah satu keluarga saja (ibu dari anak luar kawin) akan tetapi juga harus ditanggung
bersama dengan keluarga dari si ayah biologisnya juga.
8
Seorang perempuan dan/atau anaknya apabila dapat membuktikan dengan ilmu
pengetahuan dan teknologi (yaitu tes DNA) dan/atau dengan alat bukti hukum lainnya
bahwa terdapat hubungan darah diantara anak dan laki-laki yang dituntut, maka hakim
dapat mengeluarkan penetapan mengenai hubungan keperdataan diantara mereka. Dalam
hal ini dapat dikatakan bahwa terjadi pengakuan secara terpaksa.
Secara hukum seorang ayah biologis yang hendak mengakui anaknya secara
sukarela juga mengalami kendala apabila ingin mengakui anak luar kawin sebab
pengakuan anak luar kawin sebab pengakuan anak luar kawin hanya dapat dilakukan
dengan satu cara yakni dengan membuat akta pengakuan anak dan juga harus ada
persetujuan dari ibu kandung anak tersebut. Jika seorang ibu kandung dari anak luar
kawin dapat menafkahi dan mencukupi kebutuhan anak luar kawin hingga dewasa
sementara ayah biologis dari anak luar kawin tersebut hendak mengakui anaknya secara
sukarela akan tetapi ibu kandung anak luar kawin tidak setuju maka pengakuan anak ini
tidak bisa terjadi dan hal ini tidak menjadi persoalan hukum bagi ibu kandung karena
tidak setuju dengan pengakuan ayah biologisnya tersebut, terlepas dari persoalan tersebut
pada dasarnya putusan MK RI No 46/PUU-VII/2010 hendak memberikan suatu upaya
perlindungan hukum bagi anak luar kawin dan bagi seorang ibu kandung dari anak luar
kawin bila mana seorang ibu kandung tidak dapat menafkahi dan memelihara anak luar
kawin hingga dewasa, dalam hal ini seorang ibu kandung dalam mengurus anak nya
dibawah umur dapat menuntut hak dari ayahnya dengan menggunakan dasar hukum
putusan MK RI No 46/PUU-VII/2010 ini tentunya upaya upaya yang dapat ditempuh
tetap melalui proses pembuktian di pengadilan sesuai putusan MK RI No
46/PUU-VII/2010.
Memakai teori perlindungan yang dikemukakan oleh Suhardjo yaitu teori
pengayoman, Bahwa perlindungan anak dapat dibedakan dalam dua pengertian
yaitu :Perlindungan yang bersifat yuridis yang meliputi Perlindungan dalam : Bidang
Hukum Publik, Bidang Hukum keperdataan. Perlindungan yang bersifat non yuridis yang
meliputi antara lain : Bidang Sosial, Bidang kesehatan, Bidang Pendidikan.
Perlindungan anak luar kawin dalam hal ini mencakup perlindungan secara
Yuridis. Sebelum keluarnya putusan Mahakamah Konstitusi terhadap anak diluar kawin
menurut Undang Undang Perkawinan Pasal 43 ayat 1 anak luar kawin hanya memiliki
9
hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya, jadi Pasca adanya Putusan
Mahkamah Konstitusi memberikan perlindungan hak keperdataan yang selama ini tidak
diakui negara dan secara otomatis tidak tercantum nama ayahnya di akta kelahiran dan
tentu berimplikasi tidak mendapatkan “hak Waris” dengan tidak tercantumkanya nama
ayah tentu akan merugikan anaknya tersebut.
Didalam konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa juga pengakuan keperdataan
dalam bentuk idenditas nama dan kewarganegaraan itu harus diberikan oleh negara,tidak
harus bergantung pada sah tidaknya perkawinan tetapi juga sebagai Hak Konstitusi, Hak
Keperdataan,itu adalah hak yang sangat mendasar dan konstitusional.
Pasca keluarnya Putusan MK terhadap pembuktian ayah anak diluar kawin
dengan Kitab Undang Undang Hukum Perdata yang melarang menyelidiki siapa ayah
biologisnya dengan tes DNA dapat dimungkinkan dengan memintakan penetapan
pengadilan untuk menyelidiki anak luar kawin tersebut akan tetapi jika dikemudian hari
ternyata pembuktian tersebut tidak tepat maka terhadap anak atau ibu yang menyelidiki
ayah si anak luar kawin harus bersedia untuk dituntut balik atas perbuatan pencemaran
nama baik.
Pembuktian siapa ayah biologis oleh seorang anak dilarang oleh KUHPer. Dalam
pasal 287 berbunyi “menyelidiki soal siapakah bapap seorang anak adalah terlarang”
yang dapat diartikan bahwa melalui suatu keputusan Pengadilan tidak bisa ditetapkan
siapa ayah seorang anak.
Namun J Satrio menjelaskan pendapatnya bahwa lahirnya Pasal tersebut
kemungkinan berangkat dari kenyataan bahwa pada saat itu belum ada teknik atau ilmu
kedokteran yang dapat digunakan sebagai patokan pasti untuk menentukan seorang anak
adalah keturunan dari laki laki tertentu.Sehingga untuk menyelidiki siapa ayah biologis
seorang anak tidak mungkin. Akan tetapi mengingat perkembangan Ilmu Kedokteran
mengenai DNA yang sudah begitu maju sudah sepantasnya pasal 287 Kitab Undang
Undang Hukum Perdata disimpangi karena sekarang untuk membuktikan siapa ayah dari
seorang anak menjadi sangat mudah.
Dengan demikian sebenarnya terdapat kontradiksi antara Putusan MK dengan
Pasal 287 Kitab Undang Undang Hukum Perdata, oleh karena itu menurut Rehngena
Purba masih perlu pembahasan yang lebih mendalam lagi dan diharapkan supaya
10
dikeluarkan semacam peraturan pelaksana atau hukum acara pengukuhan status anak luar
kawin yang dapat digunakan sebagai pedoman untuk para praktisi hukum.
2.4 Kasus Pewarisan Anak Luar Kawin Dengan Putusan Pengadilan Tetap
Perseteruan warisan di keluarga Eka Tjipta sempat menjadi sorotan lantaran status
anak luar kawin praktisi hukum Universitas Jayabaya, Fahmi H. Bachmid menyebut anak
dari hasil perkawinan yang dilakukan menurut agama, memiliki hak terhadap harta orang
tua. Fahmi menyatakan pandangannya, menyusul Langkah anak konglomerat Eka Tjipta
Widajaja, Freddy widajaja, menggugat lima kakak tiri atas hak warisan/wasiat ayahnya di
12 perusahaan.
Siding perdana atas gugatan Freddy dengan nomor 301/Pdt.G/2020/PN Jkt.Pst,
telah digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Juli 2020 lalu.
Freddy merupakan anak luar kawin dari pernikahan resmi yang pernah dilakukan Eka
Tjipta Bersama Lidia Herawaty Rusli, sebagaimana dinyatakan putusan Pengadilan
Negeri (PN) Jakarta Pusat Nomor 36/PDT.P/2020/PN.JKT/PST.
Menurut Fahmi, harus bisa dibedakan anttara sahnya perkawinan dan tercatatnya
perkawinan. Dalam pasal 2 ayat (1) UU No. 1/1974 tentang perkawinan disebutkan
“perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaan itu.
“jadi sah atau tidaknya suatu perkawinan bukan ditentukan tercatat atau tidaknya
perkawinan, melainkan disyaratkan dengan dilangsungkan secara hukum agama masing-
masing”, ujar Fahmi.
Menurutnya, konsekuensi dari adanya perkawinan yang sah ialah memiliki
pasangan yang sah, melahirkan anak yang sah dan saling mewarisi. Karena itu, belum
tercatanya suatu perkawinan bukan berarti itu tidak pernah ada atau tidak pernah terjadi.
Bila timbul permasalahan terkait anak yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak
tercatatkan, maka anak tersebut bisa menempuh Langkah hukum, dengan mengajukan ke
penetapan pengadilan.
Praktisi hukum asal Surabaya ini lebih lanjut mengatakan, Ketika penetapan anak
sudah ada, maka kedudukan hukum anak tersebut menjadi anak yang lahir dari
11
perkawinan yang dicatatkan dan berhak menjadi ahli waris dari harta peninggalan
orangtuanya.
Hal ini juga diperkuat dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.
46/PUU-VIII/2010, yang pada pokoknya anak memiliki hubungan keperdataan dengan
ayahnya. Dalam kasus ini, saudara Freddy sudah memiliki penetapan pengadilan, maka
dia sah secara hukum meminta bagian atas harta kekayaan peninggalan Eka Tjipta
(ayahnya). Karena secara hukum kedudukannya setara dengan ahli waris dan
mempunyai hak yang sama dalam mendapat bagian atas harta ayahnya.
12
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Setiap anak yang dilahirkan di luar suatu ikatan perkawinan yang sah adalah
merupakan anak luar kawin. Berdasarkan ketentuan KUH-Perdata Anak luar kawin
dianggap tidak mempunyai hubungan hukum apapun dengan orang tuanya apabila
tidak ada pengakuan dari ayah maupun ibunya, dengan demikianbila anak luar kawin
tersebut diakuimaka ia dapat mewaris harta peninggalan dari orang tua yang
mengakuinya, dan tentunya pembagian warisan berdasarkan Undang-undang. Akan
tetapi, disatu sisi juga dengan berlakunya Undang-Undang Perkawinan yaitu UU No.1
tahun 1974 (Pasal 43 ayat 1), maka anak luar kawin yang tidak diakui pun dengan
otomatis mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Dengan
demikian, maka keharusan seorang ibu untuk mengakui anak luar kawinnya seperti
yang disebutkan dalam Burgerlijk Wetboek adalah tidak diperlukan lagi. Begitu juga
telah ditegaskan di dalam Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 tersebut yang juga
merupakan bahagian dari reformasi hukum, sehingga si anak juga mempunyai
hubungan yuridis dengan ayah biologisnya apabila dapat dibuktikan berdasarkan ilmu
pengetahuan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum.
13
anak, agar hak dari pada si Anak tidak diterlantarkan oleh Ayah yang tidak mau
mengakui anaknya, Putusan MK juga merubah pandangan dari Hukum Islam terhadap
hak anak luar kawin/zina dengan mengeluarkan suatu Fatwa MUI No 11 tahun 2012
tentang kedudukan anak zina yang juga harus dilindungi haknya terkait pemeliharaan
dan pernafkahan Anak zina.
14
Daftar Pustaka
15