Anda di halaman 1dari 10

HUKUM KELUARGA TENTANG

PERCERAIAN,PERPISAHAN TEMPAT TIDUR,DAN


ANAK SAH
TUGAS MATA KULIAH HUKUM PERDATA

Dosen Pembimbing :
Kaliandra Pulungan, M.H.

Disusun Oleh :

Kelompok 7
Hafidz Deva Rucci
Agus Setiadi
Siwarji

PRODI AKHWAL SYAKHSIYAH

STAI TUANKU TAMBUSAI

PASIR PANGARAIAN, KABUPATEN ROKAN HULU

TA. 2022 M / 1443 H


KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah mengizinkan
kita semua berada dalam kasih sayangNya. Tak lupa mari kita haturkan pujian
untuk Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita kemasa dimana kita bisa
belajar dan tumbuh kembang dengan baik dengan sikap-sikap teladannya.

Dalam makalah ini, kami membahas tentang “Hukum keluarga tentang


perceraian,perpisahan tempat tidur,dan anak sah ”. Makalah ini dibuat dalam
rangka memperdalam pemahaman tentang Hukum keluarga tentang
perceraian,perpisahan tempat tidur,dan anak sah dalam suatu harapan
mendapatkan ilmu yang baik dalam memanfaatkan pengetahuan dalam bidang
Hukum Perdata.

Dalam proses pendalaman materi ini, tentunya kami mendapatkan


bimbingan, arahan, koreksi dan saran, untuk itu rasa terimakasih yang dalam-
dalamnya kami sampaikan :
1. Kaliandra Pulungan, M.H. selaku dosen mata kuliah Hukum Perdata
2. Teman - teman mahasiswa yang telah membantu terselesaikannya makalah ini.

Kami menyadari bahwa makalah ini belumlah sempurna. Oleh karena itu,
saran dan kritik yang membangun dari teman – teman sangat dibutuhkan untuk
penyempurnaan makalah ini.

Ujungbatu, 22 Juni 2022

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................

DAFTAR ISI ...........................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang .......................................................................................................
Rumusan Masalah ...................................................................................................
Tujuan .....................................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Perceraian .............................................................................................
B. Akibat Dari Perceraian............................................................................................
C. tata cara ,pisah rumah akibat putusnya perceraian...................................................
D. hak asuh anak ketika terjadinya perceraian.............................................................

BAB III PENUTUP


Kesimpulan ............................................................................................................
Saran.......................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Perkawinan merupakan reunifikasi sifat kemanusiaan. Suami isteri


mempunyai satu visi misi yang sama dalam perkawinan, satu dengan yang lain
sebagai unsur perekat dan penyatu dalam membangun rumah tangga, satu dengan
lainnya tidak ada subordinasi.Dominasi suami terhadap isteri dalam hal thalak
sangat kuat dan isteri menjadi pihak yang lemah. Patut dipertimbangkan adanya
kewenangan yang berimbang antara suami isteri dalam hal kewenangan ikrar
cerai. Adapun penyelesaian sengketa perceraian tetap melalui proses di
pengadilan. Perlu dilakukan upaya untuk merekonstruksi konseptual thalak.
Pertama, perceraian harus dilatarbelakangi oleh kondisi darurat dan merupakan
solusi terakhir untuk keluar dari problematika rumah tangga Kedua, proses
perceraian harus melalui pembicaraan yang mengedepankan
musyawarah (syura) dengan penuh kekeluargaan, adil, dan lebih mengedepankan
akal sehat. Ketiga, bahwa `iddah disyariatkan dalam Islam lebih berorientasi pada
nilai-nilai ketuhanan dan nilai-nilai kemanusiaan. Keempat, tidak
bolehnya mu`taddah keluar rumah pada dasarnya bukanlah tujuan syari`at, tetapi
lebih menyentuh pada etika moral sosial.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang di sebut dengan perceraian ?
2. Apa akibat dari perceraian ?
3. Bagaimana tata cara ,pisah rumah akibat putusnya perceraian ?
4. Bagaimana hak asuh anak ketika terjadinya perceraian ?
C. TUJUAN PENULISAN
1. Untuk mengetahui apa itu perceraian.
2. Untuk mengetahui apahukum akibat perceraian
3. Untuk mengetahui dan memahamitata cara percerayan,pisah rumah akibat
putusnya perkawinan
4. Untukmengetahui dan memahami tentang hak asuh anak ketika terjadinya
percerayan.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Perceraian

Perceraian adalah putusnya ikatan perkawinan antara suami isteri dengan


keputusan pengadilan dan ada cukup alasan bahwa diantara suami isteri tidak akan
dapat hidup rukun lagi sebagai suami isteri (Soemiyati, 1982:12).Dan percerayan
adalah masing-masing suami istri mengambil sebuah keputusan yang telah di atur
dalam syariat ataw hukum agama dan juga di atur dalam hukum Negara. bahwa
rumah tangga ataw hubungan dalam keluarga dapat dipisahkan secara sah ataw
resmi melalui yang namanya perceraian.

Hukum perceraian dalam Islam patut dipahami oleh setiap muslimin dan
muslimat. Perceraian adalah perbuatan atau langkah yang dilakukan oleh
pasangan suami istri untuk berpisah apabila rumah tangganya tidak dapat
dipersatukan kembali, dan jika diteruskan akan menimbulkan mudharat untuk
suami, istri, anak, maupun lingkungannya. Perceraian dalam pandangan Islam
bukan sesuatu yang dilarang. Namun, Allah membenci adanya sebuah perceraian.
Jika terpaksa, perceraian memang adalah jalan terakhir ketika semua upaya
mempertahankan rumah tangga telah dilakukan namun tidak membuahkan hasil.
Kendati demikian, perceraian dalam pandangan Islam disyariatkan untuk
dilakukan secara baik demi mewujudkan kemaslahatan bagi semua pihak yang
berkepentingan.

Dalam ajaran Islam, perceraian sering disebut sebagai talak. Secara


‫اْل إ‬
bahasa, talak memiliki arti melepaskan ikatan. Akar katanya berasal dari ‫ط اَلق‬ ِ‫إ‬
“thalaq”, yang berarti melepas atau meninggalkan. Akibat Hukum
Perceraian, Menurut Undang-undang Perkawinan. Akibat pokok
dari perceraian adalah bekas suami dan bekas istri, lalu setelah bercerai para pihak
Perceraian termasuk perkara perdata yang diawali dari adanya gugatan dari
penggugat. Menurut Pasal 118 ayat 1 HIR (Pasal 142 ayat 1 Rbg) disebut sebagai
tuntutan perdata (burgerlijke vordering) tidak lain adalah tuntutan hak yang
mengandung sengketa dan lazimnya disebut gugatan.iharuskan untuk hidup
sendiri-sendiri secara terpisah. Perceraian termasuk perkara perdata yang diawali
dari adanya gugatan dari penggugat. Menurut Pasal 118 ayat 1 HIR (Pasal 142
ayat 1 Rbg) disebut sebagai tuntutan perdata (burgerlijke vordering) tidak lain
adalah tuntutan hak yang mengandung sengketa dan lazimnya disebut gugatan.

B. Dampak perceraian

Dari masa dahulu dimana orang belum mengenal peradaban yang


modern, perceraian sudah menjadi masalah yang cukup rumit, lebih-lebih pada
masa sekarang. Dimana orang-orang telah dipengaruhi peradaban yang modern,
pergaulan yang bebas, dan hal-hal lain yang dapat mempengaruhi manusia.
Kenyataan menunjukkan sebagai akibat perceraian menyebabkan keadaan yang
negatif, dari kehidupan anak-anak yang dihasilkan oleh pernikahan itu. Hal
semacam itu bagi anak-anak akan menimbulkan kegelisahan didalam hidupnya
akan membawa akibat yang tidak diinginkan. Perceraian membawa pengaruh
yang besar kepada suami-istri, anak-anak, harta kekayaan, maupun masyarakat
dimana mereka hidup. Dampak perceraian yang dilakukan oleh pasangan suami-
istri, Dampak terhadap suami-isteri yaitu bagi bekas suami dan isteri dengan
perceraian sudah kehilangan statusnya menjadi duda dan janda. Dampak
terhadap anak yaitu anak akan merasa bingung, resah, risau, malu, sedih, dan
sering diliputi perasaan dendam, benci, sehingga anak menjadi kacau dan liar.
Dampak terhadap harta kekayaan yaitu adanya pembagian harta bersama.

Akibat perceraian adalah suami-isteri hidup sendiri-sendiri, suami/ isteri dapat


bebas menikah lagi dengan orang lain. Perceraian membawa konsekwensi yuridis
yang berhubungan dengan status suami, isteri dan anak serta terhadap harta
kekayaannya. Misal: bagi bekas suami mendapat gelar sebagai duda dan bagi
bekas isteri mendapat gelar sebagai janda. Untuk bekas isteri dapat menikah lagi
setelah masa iddah berakhir baik dengan bekas suami atau dengan bekas isteri.
Persetubuhan antara bekas suami dengan bekas isteri dilarang, sebab mereka
sudah tidak terikat lagi dalam pernikahan yang sah. Dengan adanya perceraian
akan menghilangkan harapan untuk mempunyai keturunan yang dapat
dipertanggungjawabkan perkembangan masa depannya. Perceraian
mengakibatkan kesepian dalam hidup, karena kehilangan patner hidup yang
mantap, karena setiap orang tentunya mempunyai cita-cita supaya mendapatkan
patner hidup yang abadi. Jika patner yang diharapkan itu hilang akan
menimbulkan kegoncangan, seakan-akan hidup tidak bermanfaat lagi, karena
tiada tempat untuk mencurahkan dan mengadu masalah-masalah untuk
dipecahkan bersama. Jika kesepian ini tidak segera diatasi aakan menimbulkan
tekanan batin, merasa rendah diri, dan merasa tidak mempunyai harga diri lagi.
Setelah perkawinan putus karena perceraian, maka suami-istri bebas kawin lagi,
dengan ketentuan bagi bekas istri harus memperhatikan waktu tunggu

C. Bagaimana tata cara pisah rumah akibat putusnya perceraian

Pisah ranjang diatur dalam Bab XI Buku Pertama Kitab Undang-Undang


Hukum Perdata, Pasal 233 sampai Pasal 249. Pisah ranjang merupakan perpisahan
antara suami-istri yang tidak mengakhiri pernikahan. Pasal 233 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata menyatakan, jika ada hal-hal yang dapat menjadi dasar
untuk menuntut perceraian perkawinan, suami atau istri berhak untuk menuntut
pisah meja dan ranjang.Perpisahan meja dan ranjang pada hakikatnya adalah
perpisahan antara suami dan isteri tanpa mengakhiri ikatan perkawinan. Akibat
hukum terpenting dari perpisahan meja dan ranjang antara pasangan suami isteri
tersebut adalah ditiadakannya kewajiban bagi suami isteri untuk tinggal bersama,
dan di bidang harta perkawinan akibat hukumnya sama dengan perceraian. Hal ini
ditegaskan oleh Pasal 243 Kita Undang-Undangan Hukum Perdata yang
menyatakan, “Perpisahan meja dan ranjang selamanya mengakibatkan perpisahan
harta kekayaan dan karenanya merupakan alasan untuk mengadakan perpisahan
persatuan, seolah-olah perkawinan telah dibubarkan”.Pasangan suami istri yang
tidak dapat hidup bersama di sebabkan berbagai hal, tetapi menurut kepercayaan
kedua belah pihak, masih menaruh keberatan-keberatan terhadap suatu perceraian,
maka oleh undang-undang diberi kemungkinan-kemungkinan untuk meminta
perpisahan meja dan tempat tidur, oleh karena lembaga perpisahan meja dan
tempat tidur ini merupakan suatu cara pemecahan dalam menanggulangi
keganjilan-keganjilan yang terjadi dalam kehidupan rumah tangga.
D. Bagaimana hak asuh anak ketika terjadinya perceraian

Kompilasi Hukum Islam ini pun sejalan dengan Putusan Mahkamah Agung RI
No.126 K/Pdt/2001 pada tanggal 28 Agustus 2003. Putusan tersebut mengatakan
jika terjadi perceraian dan anak masih di bawah umur, maka pemeliharaannya
diserahkan pada orang terdekat dan akrab dengan anak yaitu ibunya.
Hak asuh dapat diserahkan atau jatuh kepada ayah apabila, terjadi kesepakatan
antara kedua pihak sebagai orang tua pada saat setelah perceraian. Sehingga
hakim dapat mengambulkan permohonan suami untuk mendapatkan hak asuh.
Dalam hal terjadinya perceraian: Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau
belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya; Pemeliharaan anak yang sudah
mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya
sebagai pemegang hak pemeliharaannya; Biaya pemeliharaan ditanggung oleh
ayahnya.

Putusan tersebut diberikan dengan alasan-alasan Ibu (Termohon) dari anak-


anak tersebut: Tidak amanah, tidak mempunyai kemauan dalam mendidik anak-
anak; Tidak dapat menjaga pertumbuhan, pendidikan dan kenyamanan anak-
anak; Tidak mampu menjaga kemaslahatan dan kepentingan anak-anak.

Mengacu pada UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, meski telah


bercerai, mantan suami dan istri tetap berkewajiban memelihara dan mendidik
anak-anak mereka berdasarkan kepentingan anak. Kewajiban ini berlaku sampai
anak itu menikah atau dapat berdiri sendiri. Artinya, kasih sayang orang tua
terhadap anak tidak boleh dihalangi oleh pihak mana pun meski mereka telah
bercerai..
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

1. Hukum perceraian dalam Islam patut dipahami oleh setiap muslimin dan
muslimat. Perceraian adalah perbuatan atau langkah yang dilakukan oleh
pasangan suami istri untuk berpisah apabila rumah tangganya tidak dapat
dipersatukan kembali, dan jika diteruskan akan menimbulkan mudharat untuk
suami, istri, anak, maupun lingkungannya. Perceraian dalam pandangan Islam
bukan sesuatu yang dilarang. Namun, Allah membenci adanya sebuah
perceraian. Jika terpaksa, perceraian memang adalah jalan terakhir ketika
semua upaya mempertahankan rumah tangga telah dilakukan namun tidak
membuahkan hasil.
2. Akibat perceraian adalah suami-isteri hidup sendiri-sendiri, suami/ isteri dapat
bebas menikah lagi dengan orang lain.
3. Pisah ranjang diatur dalam Bab XI Buku Pertama Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, Pasal 233 sampai Pasal 249. Pisah ranjang merupakan
perpisahan antara suami-istri yang tidak mengakhiri pernikahan. Pasal 233
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan, jika ada hal-hal yang
dapat menjadi dasar untuk menuntut perceraian perkawinan, suami atau istri
berhak untuk menuntut pisah meja dan ranjang.Perpisahan meja dan ranjang
pada hakikatnya adalah perpisahan antara suami dan isteri tanpa mengakhiri
ikatan perkawinan.
4. Kompilasi Hukum Islam ini pun sejalan dengan Putusan Mahkamah Agung RI
No.126 K/Pdt/2001 pada tanggal 28 Agustus 2003. Putusan tersebut
mengatakan jika terjadi perceraian dan anak masih di bawah umur, maka
pemeliharaannya diserahkan pada orang terdekat dan akrab dengan anak yaitu
ibunya.

Saran
1. Agar suami dan istri dalam hal terjadi perceraian mempertimbangkan, tidak
merugikan salah satu pihak terkait harta bersama.
2. Hendaknya suami dan istri membagi harta bersama secara adil tanpa
mempersoalkan hasil jerih payah masing-masing.
DAFTAR PUSTAKA

Afandi, Al, Hukum Keluarga menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata


(Burgerlijk Wetboek), Yogyakarta: Yayasan Badan Penerbit Gajah Mada

Djamaan Nur, H., 1993, Fiqih Munakahat, Semarang: Dina Utama Semarang.

Manan, Abdul, dan M. Fauzan, 2001, Pokok-pokok Hukum Perdata Wewenang


Peradilan Agama, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada

Mardani, 2009, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama&Syariah, Jakarta:


Sinar Grafika

Mardani, 2011, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern,


Yogyakarta: Graha Ilmu

Anda mungkin juga menyukai