Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Menurut laporan Federasi Palang Merah Internasional (IFRC)
(12/12/2007), sebagian besar bencana alam yang terjadi di dunia sepanjang
2007 merupakan dampak dari pemanasan global. Setiap tahun, jumlah
bencana alam naik hampir 20 persen dari tahun sebelumnya. Hingga 10
Oktober 2007, Federasi telah mencatat ada 410 bencana dan 56 persen dari
jumlah itu disebabkan oleh perubahan cuaca atau iklim. Pada 2006, IFRC
mencatat 427 bencana alam. Angka tersebut meningkat sebesar 70 persen
dalam dua tahun sejak 2004. Selama 10 tahun terakhir, jumlah bencana
alam meningkat 40 persen dari dekade sebelumnya. Sedangkan angka
kematian yang disebabkan oleh bencana alam meningkat dua kali lipat
menjadi 1,2 juta orang dari 600.000 pada dekade sebelumnya. Jumlah
korban bencana alam juga meningkat setiap tahun. Tahun 2007, 270 juta
orang menjadi korban bencana alam sedangkan tahun sebelumnya 230
orang (Suara Pembaruan, 2007).
Hingga pertengahan tahun 2013, BNPB mencatat terjadi bencana
sebanyak 632 kejadian. Dalam 6 bulan tersebut, bencana di dominasi oleh
banjir, tanah longsor, dan puting beliung, sedangakan jumlah bencana
lainnya tidak sampai 10 % dari total seluruh kejadian. Selama 3 bulan
pertama, puting beliung selalu menjadi bencana yang paling sering terjadi,
sedangkan pada 3 bulan berikutnya digantikan oleh banjir. Korban
meninggal dan hilang mencapai 380 jiwa sedangkan korban yang
menderita dan mengungsi lebih dari 570 ribu jiwa, kerusakan bangunan
akibat bencana mencapai lebih dari 33 ribu unit. (BNPB, 2013).
Seperti kita ketahui bahwa bencana merupakan kejadian yang
mendadak, tidak terduga dan dapat terjadi pada siapa saja, dimana saja,
kapan saja serta mengakibatkan kerusakan dan kerugian harata benda,
korban manusia yang relative besar baik mati maupun cedera.
Penanggulangan penderita korban masal dengan berbagai tingkat
kegawat- daruratannya harus melalui suatu sistem yang menjamin
kecepatan, ketepatan pertolongan baik di tingkat pra rumah sakit maupun
di tingkat rumah sakit. Dalam pelaksanaannya diperlukan suatu pengaturan
yang jelas mengenai organisasi, tata laksana, koordinasi penyiapan tenaga
dan fasilitas, komunikasi dan pola operasional terpadu antar semua unsur
terkait.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud korban massal ?
2. Apa yang menyebabkan adanya korban massal ?
3. Bagaimana Triage System korban bencana massal?
4. Bagaimana Primary dan Secondary Survey korban bancana massaal?
5. Tahapan penanganan pada penanganan bencana massal ?

C. Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Tujuan Umum
Menjelaskan keperawatan kegawatdaruratan: penanganan korban
bencana massal.
2. Tujuan Khusus
Menguraikan keperawatan kegawatdaruratan: penanganan korban
bencana massal.
a. Menjelaskan definisi korban massal.
b. Menjelaskan penyebab korban missal.
c. Menjelaskan proses Triage System korban bencana massal.
d. Menjelaskan Primary dan Secondary Survey korban bancana
massaal.
e. Menjelaskan penanganan pada penanganan bencana massal.
BAB II
ISI

A. Definisi Bencana Dan Manajemen Korban Missal


Kita sering mendengar dari televisi atau radio berita mengenai bencana
yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia atau luar negeri. Berita tentang
bencana selalu terkait dengan musibah atau hal yang menyedihkan.
Sekarang mari kita mencoba memahami pengertian dari bencana. Pengertian
bencana dapat ditemukan dari berbagai sumber, sebagai berikut. Definisi
bencana menurut UN-ISDR tahun 2004 menyebutkan bahwa bencana adalah
suatu gangguan serius terhadap keberfungsian suatu masyarakat, sehingga
menyebabkan kerugian yang meluas pada kehidupan manusia dari segi
materi, ekonomi atau lingkungan dan yang melampaui kemampuan
masyarakat yang bersangkutan untuk mengatasi dengan menggunakan
sumberdaya mereka sendiri.
Menurut Federasi Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah
dalam WHO – ICN (2009) bencana adalah sebuah peristiwa, bencana yang
tiba-tiba serius mengganggu fungsi dari suatu komunitas atau masyarakat
dan menyebabkan manusia, material, dan kerugian ekonomi atau lingkungan
yang melebihi kemampuan masyarakat untuk mengatasinya dengan
menggunakan sumber dayanya sendiri. Meskipun sering disebabkan oleh
alam, bencana dapat pula berasal dari manusia.
Adapun definisi bencana menurut Undang-Undang Republik Indonesia
No. 24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana yang mengatakan
bahwa bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam
dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan,
baik oleh faktor alam dan/atau non-alam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan,
kerugian harta benda dan dampak psikologis.
Dari ketiga definisi diatas dapat kita simpulkan bahwa bencana adalah
suatu keadaan yang tiba-tiba mengancam kehidupan masyarakat karena
faktor alam dan/atau non alam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan korban jiwa, kerusakan lingkungan yang melebihi
kemampuan masyarakat untuk mengatasinya sendiri.
Klasifikasi Bencana :
1. Bencana tingkat 1 : korban kurang dari 50 orang
2. Bencana tingkat 2 : korban 51-100 orang
3. Bencana tingkat 3 : korban 101-300 orang
4. Bencana tingkat 4 : korban lebih dari 300 orang
Dalam Kepmenkes No.45/Menkes/Sk/1/2007 korban massal adalah
korban akibat kejadian dengan jumlah relatif banyak oleh karena sebab
yang sama dan perlu mendapatkan pertolongan kesehatan segera dengan
menggunakan sarana, fasilitas dan tenaga yang lebih dari yang tersedia
sehari-hari. Manajemen korban massal akibat kedaruratan komplek harus
mengutamakan keselamatan penolongnya kemudian menyelamatkan
korban. Manajemen korban massal harus dilakukan secepat mungkin
untuk menghindari cedera dan kecacatan lebih lanjut.
Penyebab dari bencana massal ini diantaranya dapat disebabkan oleh
beberapa hal, yaitu :
1. Alam : seperti : banjir, gempa bumi,tsunami dan lain sebagainya.
2. Teknologi : seperti : tabrakan kereta api, rubuhnya gedung dan lain
sebagainya.
3. Konflik : seperti : konflik antar etnis,terorisme dan lain sebagainya

B. Macam Bencana
Dari uraian di atas kita dapat memahami definisi atau pengertian
bencana. Selanjutnya, bila kita lihat kembali UU No. 24 tahun 2007 bencana
dapat digolongkan menjadi tiga macam, yaitu bencana alam, bencana non-
alam dan bencana sosial. Di bawah ini akan diuraikan macam-macam
bencana yaitu sebagai berikut:
1. Bencana Alam
Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa
gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan,
dan tanah longsor. Di bawah ini akan diperlihatkan gambar tentang
bencana alam yang telah terjadi di Indonesia.

Gambar 2.1. Bencana Banjir Terjadi di Jakarta Tahun 2012

Gambar 2.2 Bencana Gunung Merapi, Jawa Tengah yang meletus pada
tahun 2010

2. Bencana Non Alam


Bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa
non-alam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi,
epidemi, dan wabah penyakit. Bencana non-alam termasuk terorisme
biologi dan biokimia, tumpahan bahan kimia, radiasi nuklir, kebakaran,
ledakan, kecelakaan transportasi, konflik bersenjata, dan tindakan
perang. Sebagai contoh gambar 3 adalah gambaran bencana karena
kegagalan teknologi di Jepang, yaitu ledakan reaktor nuklir.

Gambar 2.3.Ledakan Reaktor Nuklir di Jepang


3. Bencana Sosial
Bencana karena peristiwa atau rangkaian peristiwa yang
diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antarkelompok
atau antarkomunitas. Misalnya konflik sosial antar suku dan agama di
Poso seperti terlihat pada gambar berikut.

Gambar. 2.4Konflik Sosial di Poso, Sulawesi Tengah pada Tahun


1998
C. Triage System
Triage adalah suatu cara untuk menseleksi atau memilah korban
berdasarkan tingkat kegawatan. Menseleksi dan memilah korban tersebut
bertujuan untuk mempercepat dalam memberikan pertolongan terutama
pada para korban yang dalam kondisi kritis atau emergensi sehingga nyawa
korban dapat diselamatkan. Untuk bisa melakukan triage dengan benar maka
perlu Anda memahami tentang prinsip-prinsip triage.
Triage seharusnya segera dan tepat waktu, penanganan yang segera dan
tepat waktu akan segera mengatasi masalah pasien dan mengurangi terjadi
kecacatan akibat kerusakan organ. Pengkajian seharusnya adekuat dan
akurat, data yang didapatkan dengan adekuat dan akurat menghasilkan
diagnosa masalah yang tepat. Keputusan didasarkan dari pengkajian,
penegakan diagnose dan keputusan tindakan yang diberikan sesuai kondisi
pasien.
Intervensi dilakukan sesuai kondisi korban, penanganan atau tindakan
yang diberikan sesuai dengan masalah/keluhan pasien. Kepuasan korban
harus dicapai, kepuasan korban menunjukkan teratasinya masalah.
Dokumentasi dengan benar, dokumentasi yang benar merupakan sarana
komunikasi antar tim gawat darurat dan merupakan aspek legal.
Anda telah memahami tentang prinsip triage, sekarang Anda akan
belajar tentang klasifikasi triage. Klasifikasi ini penting untuk menseleksi
korban yang datang sehingga keselamatan korban segera ditolong.
Klasifikasi ini dibagi menjadi 3 yaitu :

Ketika Anda melakukan triage,waktu yang dibutuhkan adalah kurang


dari 2 menit karena tujuan triage bukan mencari diagnose tapi mengkaji dan
merencanakan untuk melakukan tindakan.
a. Ada beberapa petunjuk saat Anda melakukan pengkajian triage
yaitu: Riwayat pasien, karena sangat penting dan bernilai untuk
mengetahui kondisi pasien;
b. Tanda, keadaaan umum pasien seperti tingkat kesadaran, sesak,
bekas injuri dan posisi tubuh;
c. Bau, tercium bau alkohol, keton dan melena;
d. Sentuhan (palpasi), kulit teraba panas, dingin dan berkeringat,
palpasi nadi dan daerah yang penting untuk dikaji serta sentuh
adanya bengkak;
e. Perasaan (commonsense), gunakan perasaan dalam memutuskan
jawaban yang relevan dengan kondisi pasien.
Di saat Anda menemukan korban yang datang dalam kondisi
kegawatdaruratan maka Anda melakukan proses triage dengan menerapkan
S-O-A-P-I-Esystem. Tahap-tahap SOAPIE system adalah :

Pelaksanaan S-O-A-P-I-E system merupakan suatu siklus. Setelah Anda


mendapatkan data subjektif dan objektif maka Anda bisa merumuskan
masalah pasien, dilanjutkan merumuskan rencana tindakan keperawatan.
Setelah Anda merumuskan rencana tindakan keperawatan kemudian
melakukan tindakan keperawatan sesuai kondisi pasien saat itu, dilanjutkan
dengan melakukan evaluasi. Tahap evaluasi bisa dilaksanakan pada semua
tahap.
Jika di daerah dimana terjadi bencana tidak tersedia fasilitas kesehatan
yang cukup untuk menampung dan merawat korban bencana massal
(misalnya hanya tersedia satu Rumah Sakit tipe C/ tipe B), memindahkan
seluruh korban ke sarana tersebut hanya akan menimbulkan hambatan bagi
perawatan yang harus segera diberikan kepada korban dengan cedera serius.
Lebih jauh, hal ini juga akan sangat mengganggu aktivitas Rumah Sakit
tersebut dan membahayakan kondisi para penderita yang dirawat di sana.
Perlu dipertimbangkan jika memaksa memindahkan 200 orang korban ke
Rumah Sakit yang hanya berkapasitas 300 tempat tidur, dengan tiga kamar
operasi dan mengharapkan hasil yang baik dari pemindahan ini.
Dalam keadaan dimana dijumpai keterbatasan sumber daya, utamanya
keterbatasan daya tampung dan kemampuan perawatan, pemindahan korban
ke Rumah Sakit dapat ditunda sementara. Dengan ini harus dilakukan
perawatan di lapangan yang adekuat bagi korban dapat lebih mentoleransi
penundaan ini. Jika diperlukan dapat didirikan rumah sakit lapangan
(Rumkitlap). Dalam mengoperasikan rumkitlap, diperlukan tenaga medis,
paramedic dan non medis (koordinator, dokter, dokter spesialis bedah,
dokter spesialis anastesi, tiga perawat mahir, radiolog, farmasis, ahli gizi,
laboran, teknisi medis, teknisi non medis, dan pembantu umum).
Triage adalah cara penseleksian korban berdasarkan skala prioritas
kebutuhan therapy korban dengan sumber daya yang tersedia. Triage
dilakukan untuk mengidentifikasi secara cepat korban yang membutuhkan
stabilisasi segera (perawatan di lapangan) dan mengidentifikasi korban yang
hanya dapat diselamatkan dengan pembedahan darurat (life-saving surgery).
Dalam aktivitasnya, digunakan kartu merah, kuning, hijau dan hitam sebagai
kode identifikasi korban, seperti berikut:
1. Merah, sebagai penanda korban yang membutuhkan stabilisasi segera
dan korban yang mengalami:
 Syok oleh berbagai kausa
 Gangguan pernapasan
 Trauma kepala dengan pupil anisokor
 Perdarahan eksternal massif
Pemberian perawatan lapangan intensif ditujukan bagi korban
yang mempunyai kemungkinan hidup lebih besar, sehingga setelah
perawatan di lapangan ini penderita lebih dapat mentoleransi proses
pemindahan ke Rumah Sakit, dan lebih siap untuk menerima
perawatan yang lebih invasif. Triase ini korban dapat
dikategorisasikan kembali dari status “merah” menjadi “kuning”
(misalnya korban dengan tension pneumothorax yang telah dipasang
drain thoraks (WSD).
2. Kuning, sebagai penanda korban yang memerlukan pengawasan ketat,
tetapi perawatan dapat ditunda sementara. Termasuk dalam kategori
ini:
 Korban dengan risiko syok (korban dengan gangguan jantung
trauma abdomen)
 Fraktur multipel
 Fraktur femur / pelvis
 Luka bakar luas
 Gangguan kesadaran / trauma kepala
 Korban dengan status yang tidak jelas
Semua korban dalam kategori ini harus diberikan infus,
pengawasan ketat terhadap kemungkinan timbulnya komplikasi, dan
diberikan perawatan sesegera mungkin.
3. Hijau, sebagai penanda kelompok korban yang tidak memerlukan
pengobatan atau pemberian pengobatan dapat ditunda, mencakup
korban yang mengalami:
 Fraktur minor
 Luka minor, luka bakar minor
 Korban dalam kategori ini, setelah pembalutan luka dan atau
pemasangan bidai dapat dipindahkan pada akhir operasi lapangan.
 Korban dengan prognosis infaust, jika masih hidup pada akhir
operasi lapangan, juga akan dipindahkan ke fasilitas kesehatan.
4. Hitam, sebagai penanda korban yang telah meninggal dunia.
Triase lapangan dilakukan pada tiga kondisi:
1. Triase di tempat (triase satu)
Triase di tempat dilakukan di “tempat korban ditemukan” atau pada
tempat penampungan yang dilakukan oleh tim Pertolongan Pertama
atau Tenaga Medis gawat Darurat. Triase di tempat mencakup
pemeriksaan, klasifikasi, pemberian tanda dan pemindahan korban ke
pos medis lanjutan.
2. Triase medik (triase dua)
Triase ini dilakukan saat korban memasuki pos medis lanjutan oleh
tenaga medis yang berpengalaman (sebaiknya dipilih dari dokter yang
bekerja di Unit Gawat Darurat, kemudian ahli anestesi dan terakhir oleh
dokter bedah). Tujuan triase medik adalah menentukan tingkat
perawatan yang dibutuhkan oleh korban.
3. Triase evakuasi (triase tiga)
Triase ini ditujukan pada korban yang dapat dipindahkan ke Rumah
Sakit yang telah siap menerima korban bencana massal. Jika pos medis
lanjutan dapat berfungsi efektif, jumlah korban dalam status “merah”
akan berkurang, dan akan diperlukan pengelompokan korban kembali
sebelum evakuasi dilaksanakan.Tenaga medis di pos medis lanjutan
dengan berkonsultasi dengan Pos Komando dan Rumah Sakit tujuan
berdasarkan kondisi korban akan membuat keputusan korban mana
yang harus dipindahkan terlebih dahulu, Rumah Sakit tujuan, jenis
kendaraan dan pengawalan yang akan dipergunakan.
Ada beberapa tahap kegiatan penanganan dengan TRIAGE SYSTEM
1. Awareness Stage (Tahap Siaga): tahap mengetahui adanya bencana.
2. Initial Action Stage (Tahap Aksi Awal): tahap pengolahan
informasi dan pengiriman tim.
3. Planning Stage : pencatatan data lapangan, jumlah korban, jumlah
kebutuhan ambulan, logistic, serta bantuan tenaga medis serta
nonmedis
4. Operasional Stage (Tahap Operasional)
5. Final Stage (Tahap Akhir Tugas) : pencatatan, pelaporan, evaluasi.
D. Perbedaan Keperawatan Gawat Darurat Dan Keperawatan Bencana

Keperawatan Bencana Keperawatan Gawat


Darurat

Sumber Kebutuhan Perawatan Kesehatan


(SDM/ obat- obatan/ peralatan)

Kebutuhan Sumber (SDM/


obat-
Perawatan obatan/peralatan)

Kesehatan

Terbaik untuk semua Terbaik untuk satu orang


Gambar 2.5. Perbedaan Keperawatan Gawat Darurat dan Bencana
Perbedaan utama di antara keduanya terletak pada keseimbangan antara
“kebutuhan perawatan kesehatan dan pengobatan” dan ”sumber-sumber
medis (tenaga kesehatan, obat-obatan, dan peralatan)".
Keperawatan gawat darurat yang diberikan dalam keadaan normal,
memungkinkan tersedianya sumber daya medis yang banyak dalam
memberikan pelayanan sesuai kebutuhan pasien, baik yang penyakitnya
ringan maupun berat.Sehingga pengobatan dan perawatan intensif dapat
diberikan dengan segera kepada setiap pasien yang datang secara bergantian.
Tetapi selama fase akut bencana, pengobatan dan kesehatan masyarakat
membutuhkan sangat banyak sumber tenaga medis sehingga terjadi
ketidakseimbangan. Pada fase akut bencana, fasilitas penunjang kehidupan
(listrik, gas, air) tidak berfungsi secara sempurna, obat-obatan tidak tersedia,
dan tenaga medisnya kurang,namun banyak korban luka ringan atau luka
sedangyang datang ke rumah sakit. Sebagian korban tersebut menjadikan
rumah sakit sebagai tempat mengungsi sementara, karena mereka
beranggapan bahwa "rumah sakit adalah aman" dan ”akan mendapatkan
pengobatan”. Beberapa korban dengan luka parah dan luka kritis dapat juga
dibawa ke beberapa fasilitas kesehatan oleh orang lain, namun jika pasien
tidak dapat berjalan sendiri, atau jika tidak ada orang yang membawa
mereka, maka mereka akan tetap tertinggal di lokasi bencana tersebut
E. Primary dan Secondary Survey
1. Primary Survey
Langkah-langkahnya sebagai ABCDE (Airway and C-spine
control, Breathing, Circulation and hemorrhage control, Disability,
Exposure/Environment). Jalan nafas merupakan prioritas pertama.
Pastikan udara menuju paru-paru tidak terhambat. Temuan kritis seperti
obstruksi karena cedera langsung, edema, benda asing dan akibat
penurunan kesadaran. Tindakan bisa hanya membersihkan jalan nafas
hingga intubasi atau krikotiroidotomi atau trakheostomi.
Nilai pernafasan atas kemampuan pasien akan ventilasi dan
oksigenasi. Temuan kritis bisa tiadanya ventilasi spontan, tiadanya atau
asimetriknya bunyi nafas, dispnea, perkusi dada yang hipperresonans
atau pekak, dan tampaknya instabilitas dinding dada atau adanya defek
yang mengganggu pernafasan. Tindakan bisa mulai pemberian oksigen
hingga pemasangan torakostomi pipa dan ventilasi mekanik. Nilai
sirkulasi dengan mencari hipovolemia, tamponade kardiak, sumber
perdarahan eksternal.
Cedera spinal bisa diperiksa dengan mengamati gerak ekstremitas
spontan dan usaha bernafas spontan. Pupil yang tidak simetris dengan
refleks cahaya terganggu atau hilang serta adanya hemiparesis
memerlukan tindakan atas herniasi otak dan hipertensi intrakranial yang
memerlukan konsultasi bedah saraf segera.
Tidak adanya gangguan kesadaran, adanya paraplegia atau
kuadriplegia menunjukkan cedera kord spinal hingga memerlukan
kewaspadaan spinal dan pemberian metilprednisolon bila masih 8 jam
sejak cedera (kontroversial). Bila usaha inspirasi terganggu atau diduga
lesi tinggi kord leher, lakukan intubasi endotrakheal. Tahap akhir survei
primer adalah eksposur pasien dan mengontrol lingkungan segera.
Buka seluruh pakaian untuk pemeriksaan lengkap. Pada saat yang
sama mulai tindakan pencegahan hipotermia yang iatrogenik biasa
terjadi diruang ber AC, dengan memberikan infus hangat, selimut, lampu
pemanas, bila perlu selimut dengan pemanas. Prosedur lain adalah
tindakan monitoring dan diagnostik yang dilakukan bersama survei
primer. Pasang lead ECG dan monitor ventilator, segera pasang
oksimeter denyut.
Monitor memberi data penuntun resusitasi. Setelah jalan nafas
aman, pasang pipa nasogastrik untuk dekompresi lambung serta
mengurangi kemungkinan aspirasi cairan lambung. Katater Foley
kontraindikasi bila urethra cedera (darah pada meatus, ekimosis skrotum
/ labia major, prostat terdorong keatas). Lakukan urethrogram untuk
menyingkirkan cedera urethral sebelum kateterisasi.
Sepanjang survei primer, saat menegakkan diagnosis dan
melakukan intervensi, lanjutkan sampai kondisi pasien stabil, tindakan
diagnosis sudah lengkap, dan prosedur resusitatif serta tindakan bedah
sudah selesai. Usaha ini termasuk kedalamnya monitoring tanda vital,
merawat jalan nafas serta bantuan pernafasan dan oksigenasi bila perlu,
serta memberikan resusitasi cairan atau produk darah.
Pasien dengan cedera multipel perlu beberapa liter kristaloid dalam
24 jam untuk mempertahankan volume intravaskuler, perfusi jaringan
dan organ vital, serta keluaran urin. Berikan darah bila hipovolemia
tidak terkontrol oleh cairan. Perdarahan yang tidak terkontrol dengan
penekanan dan pemberian produk darah, operasi. Titik capai resusitasi
adalah tanda vital normal, tidak ada lagi kehilangan darah, keluaran urin
normal 0,5-1 cc/kg/jam, dan tidak ada bukti disfungsi end-organ.
Parameter (kadar laktat darah, defisit basa pada gas darah arteri) bisa
membantu.
2. Secondary Siurvey
Formalnya dimulai setelah melengkapi survei primer dan setelah
memulai fase resusitasi. Pada saat ini kenali semua cedera dengan
memeriksa dari kepala hingga jari kaki. Nilai lagi tanda vital, lakukan
survei primer ulangan secara cepat untuk menilai respons atas
resusitasi dan untuk mengetahui perburukan.
Selanjutnya cari riwayat,termasuk laporan petugas pra RS,
keluarga, atau korban lain.Bila pasien sadar, kumpulkan data penting
termasuk masalah medis sebelumnya, alergi dan medikasi sebelumnya,
status immunisasi tetanus, saat makan terakhir, kejadian sekitar
kecelakaan.Data ini membantu mengarahkan survei sekunder
mengetahui mekanisme cedera, kemungkinan luka bakar atau cedera
karena suhu dingin (cold injury), dan kondisi fisiologis pasien secara
umum.
a. Pemeriksaan Fisik Berurutan.
Diktum “jari atau pipa dalam setiap lubang“ mengarahkan
pemeriksaan. Periksa setiap bagian tubuh atas adanya cedera,
instabilitas tulang, dan nyeri pada palpasi. Periksa lengkap dari
kepala hingga jari kaki termasuk status neurologisnya.
b. Pemeriksaan laboratorium.
Pemeriksaan radiologis memberikan data diagnostik penting
yang menuntun penilaian awal. Saat serta urutan pemeriksaan
adalah penting namun tidak boleh mengganggu survei primer dan
resusitasi. Pastikan hemodinamik cukup stabil saat membawa
pasien keruang radiologi.
c. Pemeriksaan Laboratorium saat penilaian awal
Paling penting adalah jenis dan x-match darah yang harus
selesai dalam 20 menit. Gas darah arterial juga penting namun
kegunaannya dalam pemeriksaan serial digantikan oleh oksimeter
denyut. Pemeriksaan Hb dan Ht berguna saat kedatangan, dengan
pengertian bahwa dalam perdarahan akut, turunnya Ht mungkin
tidak tampak hingga mobilisasi otogen cairan ekstravaskuler atau
pemberian cairan resusitasi IV dimulai.
Urinalisis dipstick untuk menyingkirkan hematuria
tersembunyi. Skrining urin untuk penyalahguna obat dan alkohol,
serta glukosa, untuk mengetahui penyebab penurunan kesadaran
yang dapat diperbaiki. Pada kebanyakan trauma, elektrolit serum,
parameter koagulasi, hitung jenis darah, dan pemeriksaan
laboratorium umum lainnya kurang berguna saat 1-2 jam pertama
dibanding setelah stabilisasi dan resusitasi.
F. Tahapan Penanganan pada Penanganan Bencana Massal
Manajemen penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang
meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya
bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi.
Dalam penanggulangan bencana, kegiatannya juga mengikuti siklus
bencanayaitu:
1. Fase Pra Bencana; disebut sebagai fase kesiapsiagaan yang terdiri dari
pencegahan dan mitigasi (prevention and mitigation)
Upaya penanggulangan bencana mengikuti tahapan/siklus bencana.
Penanggulangan bencana pada tahap pra bencana dimulai jauh sebelum
terjadi bencana; dan dalam situasi terdapat potensi terjadinya bencana.
Penanggulangan bencana lebih diprioritaskan pada fase prabencana yang
bertujuan untuk mengurangi resiko bencana. Sehingga semua kegiatan
yang berada dalam lingkup pra bencana lebih diutamakan.
Pada fase pra bencana, kegiatan penanggulangan bencana disebut
jugatahap kesiapsiagaan bencana. Kesiapsiagaan bencana (preparedness)
adalah aktivitas- aktivitas dan langkah-langkah yang diambil sebelumnya
untuk memastikan respons yang efektif terhadap dampak bahaya,
termasuk dengan mengeluarkan peringatan dini yang tepat dan efektif
dan dengan memindahkan penduduk dan harta benda untuk sementara
dari lokasi yang terancam (ISDR, 2004 dalam MPBI, 2007) Dalam hal
ini bisa diimplementasikan dengan adanya tim siaga, standar operasional
tetap yang berkaitan dengan pengurangan risiko bencana dan rencana
aksi komunitas yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan pengurangan
risiko bencana.
Kesiapsiagaan (preparedness) adalah aktivitas-aktivitas dan langkah-
langkah kesiapsiagaan dilaksanakan untuk mengantisipasi kemungkinan
terjadinya bencana guna menghindari jatuhnya korban jiwa, kerugian
harta benda dan berubahnya tata kehidupan masyarakat. Upaya
kesiapsiagaan dilakukan pada saat bencana mulai teridentifikasi akan
terjadi, kegiatan yang dilakukan antara lain:
a. Pengaktifan pos-pos siaga bencana dengan segenap unsur
pendukungnya.
b. Pelatihan siaga/simulasi/gladi/teknis bagi setiap sektor
penanggulangan bencana (SAR, sosial, kesehatan, prasarana dan
pekerjaan umum).
c. Inventarisasi sumber daya pendukung kedaruratan
d. Penyiapan dukungan dan mobilisasi sumberdaya/logistik.
e. Penyiapan sistem informasi dan komunikasi yang cepat dan terpadu
guna mendukung tugas kebencanaan.
f. Penyiapan dan pemasangan instrumen sistem peringatan dini (early
warning)
g. Penyusunan rencana kontinjensi (contingency plan)
h. Mobilisasi sumber daya (personil dan prasarana/sarana peralatan)
Pada fase/tahap kesiapsiagaan ini, masanya panjang. Banyak sekali
yang bisa dilakukan dan batas waktunya tidak dapat ditentukan. Tahap
kesiapsiagaan ini akan berakhir atau berlanjut ke tahap berikutnya bila
bencana terjadi. Karena itu pada fase kesiapsiagaan ini, kita membagi
menjadi dua fase yaitu pencegahan bencana dan mitigasi.
a. Pencegahan Bencana
Pencegahan bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan
untuk mengurangi atau menghilangkan risiko bencana, baik melalui
pengurangan ancaman bencana maupun kerentanan pihak yang
terancam bencana.
Peringatan dini adalah serangkaian kegiatan pemberian peringatan
sesegera mungkin kepada masyarakat tentang kemungkinan
terjadinya bencana pada suatu tempat oleh lembaga yang berwenang.
b. Mitigasi
Mitigasi (mitigation) adalah langkah-langkah struktural dan non
struktural yang diambil untuk membatasi dampak merugikan yang
ditimbulkan bahaya alam, kerusakan lingkungan dan bahaya
teknologi (ISDR, 2004 dalam MPBI, 2007). Mitigasi dapat dilakukan
secara struktural yaitu pembangunan infrastruktur sabo, tanggul, alat
pendeteksi atau peringatan dini, dan dapat dilakukan secara non
struktural seperti pelatihan dan peningkatan kapasitas di masyarakat.
Tindakan mitigasi dilihat dari sifatnya dapat digolongkan menjadi 2
(dua) bagian, yaitu mitigasi pasif dan mitigasi aktif. Tindakan
pencegahan yang tergolong dalam mitigasi pasif antara lain adalah:
1) Penyusunan peraturan perundang-undangan
2) Pembuatan peta rawan bencana dan pemetaan masalah.
3) Pembuatan pedoman/standar/prosedur
4) Pembuatan brosur/leaflet/poster
5) Penelitian/pengkajian karakteristik bencana
6) Pengkajian/analisis risiko bencana
7) Internalisasi penanggulangan bencana dalam muatan lokal
pendidikan
8) Pembentukan organisasi atau satuan gugus tugas bencana
9) Perkuatan unit-unit sosial dalam masyarakat, seperti forum
10) Pengarusutamaan penanggulangan bencana dalam perencanaan
pembangunan
Sedangkan tindakan pencegahan yang tergolong dalam mitigasi
aktif antara lain:
1) Pembuatan dan penempatan tanda-tanda peringatan, bahaya,
larangan memasuki daerah rawan bencana dan sebagainya.
2) Pengawasan terhadap pelaksanaan berbagai peraturan tentang
penataan ruang, ijin mendirikan bangunan (IMB), danperaturan
lain yang berkaitan dengan pencegahan bencana.
3) Pelatihan dasar kebencanaan bagi aparat dan masyarakat.
4) Pemindahan penduduk dari daerah yang rawan bencana ke daerah
yang lebih aman.
5) Penyuluhan dan peningkatan kewaspadaan masyarakat.
6) Perencanaan daerah penampungan sementara dan jalur-jalur
evakuasi jika terjadi bencana
7) Pembuatan bangunan struktur yang berfungsi untuk mencegah,
mengamankan dan mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh
bencana, seperti: tanggul, dam, penahan erosi pantai, bangunan
tahan gempa dan sejenisnya.
Adakalanya kegiatan mitigasi ini digolongkan menjadi mitigasi
yang bersifat non- struktural (berupa peraturan, penyuluhan,
pendidikan) dan yang bersifat struktural (berupa bangunan dan
prasarana).
2. Fase Bencana; disebut sebagai fase tanggap darurat (response ) yang
terdiri dari fase akut (acute phase) dan fase sub akut (sub acute phase)
Manajemen penanggulangan bencana pada fase bencana disebut
sebagai fase tanggap darurat. Fase tanggap darurat merupakan tahap
penindakan atau pengerahan pertolongan untuk membantu masyarakat
yang tertimpa bencana, guna menghindari bertambahnya korban jiwa.
Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada saat tanggap darurat
meliputi: pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan,
kerugian, dan sumber daya; penentuan status keadaan darurat bencana;
penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana; pemenuhan
kebutuhan dasar; perlindungan terhadap kelompok rentan; dan pemulihan
dengan segera prasarana dan sarana vital.
Fase tindakan adalah fase dimana dilakukan berbagai aksi darurat
yang nyata untuk menjaga diri sendiri atau harta kekayaan. Aktivitas
yang dilakukan secara kongkret yaitu: instruksi pengungsian, pencarian
dan penyelamatan korban, menjamin keamanan di lokasi bencana,
pengkajian terhadap kerugian akibat bencana, pembagian dan
penggunaan alat perlengkapan pada kondisi darurat, pengiriman dan
penyerahan barang material, menyediakan tempat pengungsian, dan lain-
lain.
Dari sudut pandang pelayanan medis, bencana lebih dipersempit lagi
dengan membaginya menjadi “fase akut” dan “fase sub akut”. Dalam
fase akut, 48 jam pertama sejak bencana terjadi disebut “fase
penyelamatan dan pertolongan/pelayanan medis darurat”. Pada fase ini
dilakukan penyelamatan dan pertolongan serta tindakan medis darurat
terhadap orang-orang yang terluka akibat bencana.
Kira-kira satu minggu sejak terjadinya bencana disebut dengan “fase
sub akut”. Dalam fase ini, selain tindakan “penyelamatan dan
pertolongan/pelayanan medis darurat”, dilakukan juga perawatan
terhadap orang-orang yang terluka pada saat mengungsi atau dievakuasi,
serta dilakukan tindakan-tindakan terhadap munculnya permasalahan
kesehatan selama dalam pengungsian.
3. Fase Pasca Bencana; disebut sebagai fase rekonstruksi yang terdiri dari
fase pemulihan (recovery phase) dan fase rehabilitasi/rekonstruksi
(rehabilitation/reconstruction phase).
1. Fase Pemulihan
Fase pemulihan sulit dibedakan secara akurat dari dan sampai
kapan, tetapi fase ini merupakan fase dimana individu atau
masyarakat dengan kemampuannya sendiri dapat memulihkan
fungsinya seperti sediakala (sebelum terjadi bencana). Orang-orang
melakukan perbaikan darurat tempat tinggalnya, pindah ke rumah
sementara, mulai masuk sekolah ataupun bekerja kembali sambil
memulihkan lingkungan tempat tinggalnya. Kemudian mulai
dilakukan rehabilitasi lifeline dan aktivitas untuk membuka kembali
usahanya. Institusi pemerintah juga mulai memberikan kembali
pelayanan secara normal serta mulai menyusun rencana-rencana
untuk rekonstruksi sambil terus memberikan bantuan kepada para
korban. Fase ini bagaimanapun juga hanya merupakan fase
pemulihan dan tidak sampai mengembalikan fungsi-fungsi normal
seperti sebelum bencana terjadi. Dengan kata lain, fase ini
merupakan masa peralihan dari kondisi darurat ke kondisi tenang.
Tahap pemulihan meliputi tahap rehabilitasi dan rekonstruksi.
Upaya yang dilakukan pada tahap rehabilitasi adalah untuk
mengembalikan kondisi daerah yang terkena bencana yang serba
tidak menentu ke kondisi normal yang lebih baik, agar kehidupan
dan penghidupan masyarakat dapat berjalan kembali.
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan meliputi:
1) Perbaikan lingkungan daerah bencana;
2) Perbaikan prasarana dan sarana umum;
3) Pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat;
4) Pemulihan sosial psikologis;
5) Pelayanan kesehatan;
6) Rekonsiliasi dan resolusi konflik;
7) Pemulihan sosial, ekonomi, dan budaya;
8) Pemulihan keamanan dan ketertiban;
9) Pemulihan fungsi pemerintahan; dan
10) Pemulihan fungsi pelayanan publik
2. Fase Rekonstruksi
Setelah fase tanggap darurat terlewati, berikutnya adalah fase
rekonstruksi/ rehabilitasi. Jangka waktu fase rehabilitasi/rekonstruksi
juga tidak dapat ditentukan, namun ini merupakan fase dimana
individu atau masyarakat berusaha mengembalikan fungsi-fungsinya
seperti sebelum bencana dan merencanakan rehabilitasi terhadap
seluruh komunitas. Tetapi, seseorang atau masyarakat tidak dapat
kembali pada keadaan yang sama seperti sebelum mengalami
bencana, sehingga dengan menggunakan pengalamannya tersebut
diharapkan kehidupan individu serta keadaan komunitas pun dapat
dikembangkan secara progresif.
Sedangkan tahap rekonstruksi merupakan tahap untuk
membangun kembali sarana dan prasarana yang rusak akibat
bencana secara lebih baik dan sempurna. Oleh sebab itu
pembangunannya harus dilakukan melalui suatu perencanaan yang
didahului oleh pengkajian dari berbagai ahli dan sektor terkait.
1) Pembangunan kembali prasarana dan sarana;
2) Pembangunan kembali sarana sosial masyarakat;
3) Pembangkitan kembali kehidupan sosial budaya masyarakat
4) Penerapan rancang bangun yang tepat dan penggunaan peralatan
yang lebih baik dan tahan bencana;
5) Partisipasi dan peran serta lembaga dan organisasi
kemasyarakatan, dunia usaha dan masyarakat;
6) Peningkatan kondisi sosial, ekonomi, dan budaya;
7) Peningkatan fungsi pelayanan publik; atau
8) Peningkatan pelayanan utama dalam masyarakat.
Supaya lebih jelas, siklus bencana dan manajemen penanggulangan
bencana diperlihatkan pada gambar berikut ini.

Gambar 2.6. Siklus Bencana dan Manajemen Penanggulanggannya

G. Peran Perawat dalam Penanggulangan Bencana


Perawat sebagai bagian dari petugas kesehatan yang ikut dalam
penanggulangan bencana dapat berada di berbagai tempat seperti di rumah
sakit, di pusat evakuasi, di klinik berjalan atau di puskesmas. Berikut
dibawah ini akan diuraikan peran perawat sesuai dengan tempat tugasnya.
1. Peran Perawat di Rumah Sakit yang terkena Dampak Bencana
Peran perawat di rumah sakit yang terkena bencana (ICN, 2009)
yaitu:
a. Sebagai manager, perawat mempunyai tugas antara lain:
mengelola pelayanan gawat darurat, mengelola fasilitas,
peralatan, dan obat-obatan live saving, mengelola administrasi
dan keuangan ugd, melaksanakan pengendalian mutu pelayanan
gadar, melakukan koordinasi dengan unit RS lain.
b. Sebagai Leadership, memiliki tugas untuk: mengelola tenaga
medis, tenaga keperawatan dan tenaga non medis, membagi
jadwal dinas.
c. Sebagai pemberi asuhan keperawatan (care giver), perawat harus
melakukan pelayanan siaga bencana dan memilah masalah fisik
dan psikologis yang terjadi pada pasien
2. Peran Perawat di Pusat Evakuasi
Di pusat evakuasi perawat mempunyai peran sebagai :
a. Koordinator, berwenang untuk: mengkoordinir sumberdaya baik
tenaga kesehatan, peralatan evakuasi dan bahan logistik,
mengkoordinir daerah yang menjadi tempat evakuasi
b. Sebagai pelaksana evakuasi: perawat harus melakukan
transportasi pasien, stabilisasi pasien, merujuk pasien dan
membantu penyediaan air bersih dan sanitasi di daerah bencana.
3. Peran Perawat di Klinik Lapangan (Mobile Clinic)
Peran perawat di klinik berjalan (mobile clinic) adalah melakukan:
triage, penanganan trauma, perawatan emergency, perawatan akut,
pertolongan pertama, kontrol infeksi, pemberian supportive,
palliative.
4. Peran Perawat di Puskesmas
Peran perawat di puskesmas saat terjadi bencana adalah melakukan:
perawatan pasien ringan, pemberian obat ringan, merujuk pasien.
Sedangkan fungsi dan tugas perawat dalam situasi bencana dapat
dijabarkan menurut fase dan keadaan yang berlaku saat terjadi
bencana seperti dibawah ini;
a. Fase Pra-bencana:
1) Perawat mengikuti pendidikan dan pelatihan bagi tenaga
kesehatan dalam penanggulangan ancaman bencana untuk
setiap fasenya.
2) Perawat ikut terlibat dalam berbagai dinas pemerintahan,
organisasi lingkungan, palang merah nasional, maupun
lembaga-lembaga kemasyarakatan dalam memberikan
penyuluhan dan simulasi persiapan menghadapi ancaman
bencana kepada masyarakat.
3) Perawat terlibat dalam program promosi kesehatan untuk
meningkatkan kesiapan masyarakat dalam menghadapi
bencana yang meliputi hal-hal berikut.
4) Usaha pertolongan diri sendiri (pada masyarakat tersebut).
5) Pelatihan pertolongan pertama pada keluarga seperti
menolong anggota keluarga yang lain.
6) Pembekalan informasi tentang bagaimana menyimpan dan
membawa persediaan makanan dan penggunaan air yang
aman.
7) Perawat juga dapat memberikan beberapa alamat dan nomor
telepon darurat seperti dinas kebakaran, rumah sakit, dan
ambulans.
8) Memberikan informasi tempat-tempat alternatif
penampungan dan posko-posko bencana.
9) Memberikan informasi tentang perlengkapan yang dapat
dibawa seperti pakaian seperlunya, radio portable, senter
beserta baterainya, dan lainnya.
b. Fase Bencana:
1) Bertindak cepat
2) Do not promise. Perawat seharusnya tidak menjanjikan
apapun dengan pasti, dengan maksud memberikan harapan
yang besar pada para korban selamat.
3) Berkonsentrasi penuh pada apa yang dilakukan.
4) Koordinasi danmenciptakan kepemimpinan.
5) Untuk jangka panjang, bersama-sama pihak yang terkait
dapat mendiskusikan dan merancang master plan of
revitalizing, biasanya untuk jangka waktu 30 bulan pertama.
c. Fase Pasca bencana
1) Bencana tentu memberikan bekas khusus bagi keadaaan fisik,
sosial, dan psikologis korban.
2) Stres psikologis yang terjadi dapat terus berkembang hingga
terjadi post- traumatic stress disorder (PTSD) yang
merupakan sindrom dengan tiga kriteria utama. Pertama,
gejala trauma pasti dapat dikenali. Kedua, individu tersebut
mengalami gejala ulang traumanya melalui flashback, mimpi,
ataupun peristiwa- peristiwa yang memacunya. Ketga,
individu akan menunjukkan gangguan fisik. Selain itu,
individu dengan PTSD dapat mengalami penurunan
konsentrasi, perasaan bersalah, dan gangguan memori.
3) Tim kesehatan bersama masyarakat dan profesi lain yang
terkait bekerja sama dengan unsur lintas sektor menangani
masalah kesehatan masyarakat pasca- gawat darurat serta
mempercepat fase pemulihan menuju keadaan sehat dan
aman.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Indonesia adalah super market bencana. Semua petugas medis bisa
terlibat dalam pengelolaan bencana. Semua petugas wajib melaksanakan
Sistim Komando Bencana dan berpegang pada SPGDT-S/B pada semua
keadaan gawat darurat medis baik dalam keadaan bencana atau sehari-
hari. Semua petugas harus waspada dan memiliki pengetahuan sempurna
dalam peran khusus dan pertanggung- jawabannya dalam usaha
penyelamatan pasien. Karena banyak keadaan bencana yang kompleks,
dianjurkan bahwa semua petugas harus berperan-serta dan menerima
pelatihan tambahan dalam pengelolaan bencana agar lebih terampil dan
mampu saat bencana sebenarnya.

B. Saran
Pada saat terjadinya bencana biasanya begitu banyak pihak yang
menaruh perhatian dan mengulurkan tangan memberikan bantuan tenaga,
moril maupun material. Banyaknya bantuan yang datang sebenarnya
merupakan sebuah keuntungan yang harus dikelola dengan baik, agar
setiap bantuan yang masuk dapat tepat guna, tepat sasaran, tepat manfaat,
dan terjadi efisiensi. Dengan demikian diharapkan pelaksanaan
manajemen logistik dan peralatan dapat berjalan secara efektif dan efisien
dan terkoordinasi dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA

Tyas, Maria Dyah Ciptaning. 2017. Keperawatan Kegawatdaruratan dan


Manajemen Bencana.http://bppsdmk.kemkes.go.id/pusdiksdmk/wp-
content/uploads/2017/08/ Keperawatan-GAdar-dan-MAnajemen-Bencana-
Komprehensif.pdf. Diakses pada tanggal 01 April 2018 pukul 03:09 WIB

Anda mungkin juga menyukai