PENDAHULUAN
alam, faktor non alam maupun faktor manusia yang menyebabkan timbulnya korban
jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis
2015).
Identifikasi adalah sebuah upaya dalam mengenali jati diri seorang manusia,
baik yang masih hidup maupun telah meninggal. Identifikasi pada bencana massal
adalah serangkaian proses pengenalan jati diri pada korban massal yang terjadi
oleh Interpol. DVI merupakan prosedur yang telah ditentukan untuk mengidetifikasi
peneliti dan lembaga. Terlepas dari efisiensinya di beberapa lokasi, bencana masih
bencana menggunakan analisis tematik. Dalam hal ini, pertama, model manajemen
1
bencana dikumpulkan. Pada tahap berikutnya, tema masing-masing model
diekstraksi dan dikategorikan dalam tiga fase. Pada fase pertama yaitu pengkodean
deskriptif, elemen yang tersedia di setiap model diekstraksi sebagai kode dan tema
penilaian bahaya, manajemen risiko dan tindakan manajemen). Pada fase terakhir,
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
manusia atau memburuknya derajat kesehatan atau pelayanan kesehatan pada skala
tertentu yang memerlukan respon dari luar masyarakat atau wilayah yang terkena.
sehingga memerlukan bantuan luar biasa dari pihak luar (BPDMP. 2013).
peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan
penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non
manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Secara
singkat, bencana adalah suatu kejadian yang tidak diharapkan, yang dapat
menimbulkan korban luka atau meninggal dengan jumlah cukup banyak. Umumnya
korban yang hidup telah banyak dapat diatasi oleh tim medis, para medis dan tim
pendukung lainnya. Namun berbeda bagi korban yang sudah mati yang perlu
ditangani secara khusus dengan membentuk tim khusus pula (BNPB, 2012).
3
Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan telah memberikan
identifikasi terhadap mayat yang tidak dikenal. Identifikasi korban mati dilakukan
untuk memenuhi hak korban agar dapat dikembalikan kepada keluarga dan dikubur
secara layak sesuai dengan keyakinannya semasa hidup. Ada dampak hukum dengan
meninggalnya seseorang seperti waris, asuransi, serta pada kasus kriminal maka
akan dapat dihentikan apabila pelaku telah meninggal dunia (BNPB, 2012).
Disaster Victim Identification (DVI) adalah suatu istilah atau definisi yang
bencana massal yang dapat dipertanggungjawabkan secara sah oleh hukum dan
ilmiah serta mengacu pada standar baku Interpol DVI Guideline. Tim DVI terdiri
dari dokter spesialis forensik, dokter gigi, ahli anthropology (ilmu yang mempelajari
DVI diperlukan untuk menegakkan Hak Asasi Manusia, sebagai bagian dari
Prosedur DVI diterapkan jika terjadi bencana yang menyebabkan korban massal,
seperti kecelakaan bus dan pesawat, gedung yang runtuh atau terbakar, kecelakaan
kapal laut dan aksi terorisme. Dapat diterapkan terhadap bencana dan insiden
lainnya dalam pencarian korban. Prinsip dari proses identifikasi ini adalah dengan
4
Penerapan prosedur DVI Interpol di Indonesia diawali dengan dilakukannya
identifikasi korban bencana massal akibat Bom Bali yang terjadi pada bulan
Oktober 2002 dimana terdapat korban meninggal sebanyak 202 orang. Pada proses
sebesar hamper 99% yang teridentifikasi secara positif melalui metode ilmiah yang
dapat bekerjasama dengan berbagai pihak lintas institusi, sektoral dan fungsi. Ketua
tim dan koordinator fase berasal pihak kepolisian. Pada kasus yang lebih
mementingkan aspek penyidikan, kecepatan dan hot issues seperti pada man made
disaster, ketua tim DVI lebih mengedepankan timnya sesuai dengan keahlian dan
pada natural disaster maka ketua DVI dapat melibatkan beberapa tim dari
Prinsip dalam bekerja bagi tim DVI adalah team work sesuai dengan
5
berbeda yang menjadi pertimbangan bagi seorang ketua tim DVI. Misalnya tim DVI
fase I diperuntukkan bagi tim yang telah terlatih dan mempunyai pengalaman di
Dilaksanakan oleh tim DVI unit TKP dengan aturan umum sebagai berikut:
(Silver, 2006)
b. Pada kesempatan pertama label anti air dan anti robek harus diikat pada
setiap tubuh korban atau korban yang tidak dikenal untuk mencegah
dipisahkan;
e. Identifikasi tidak dilakukan di TKP, namun ada proses kelanjutan yakni masuk
Pada prinsipnya untuk fase tindakan awal yang dilakukan di situs bencana, ada
tiga langkah utama. Langkah pertama adalah to secure atau untuk mengamankan,
langkah kedua adalah to collect atau untuk mengumpulkan dan langkah ketiga
6
Pada langkah to secure organisasi yang memimpin komando DVI
harus mengambil langkah untuk mengamankan TKP agar TKP tidak menjadi
3. Menyediakan jalur akses yang terlihat dan mudah bagi yang berkepentingan
6. Data terkait harus dicatat dan orang yang tidak berwenang harus
korban kemudian memberikan nomor dan label pada korban. Setelah ketiga
langkah tersebut dilakukan maka korban yang sudah diberi nomor dan label
7
Gambar 1. Kontainer dan perbendaharaan pemeriksaan badan korban post
mortem.
Rincian yang harus dilakukan pada saat di TKP adalah sebagai berikut:
(Mulyono, 2006).
potongan jenazah, label diikatkan pada bagian tubuh / ibu jari kiri
jenazah;
6. foto mayat dari jarak jauh, sedang dan dekat beserta label jenasahnya;
8
b. selanjutnya tentukan apakah jenazah lengkap/tidak lengkap, dapat
dikenali atau tidak, atau hanya bagian tubuh saja yang ditemukan;
DVI PM
dengan sebelumnya masukkan plastik agar terlindung dari basah dan robek;
penyerahan kolektif.
2.3.2 Fase 2 : Fase pengumpulan data jenazah Post Mortem/ The Mortuary
dilakukan oleh post-mortem unit yang diberi wewenang oleh organisasi yang
9
Kegiatan pada fase 2 sebagai berikut: (INTERPOL, 2009)
tersedia;
keseluruhan, dari bentuk tubuh, tinggi badan, berat badan, tatto hingga
khusus tiap orang ; tidak ada profil gigi yang identik pada 2 orang yang
berbeda
10
1. Primer (sidik jari, profil gigi, DNA)
Indonesia adalah didukung minimal salah satu primary identifiers positif atau
data pasca kematian, pada fase ini juga sekaligus dilakukan tindakan untuk
(BNPB, 2012)
pemeriksaan dari berbagai keahlian antara lain dokter ahli forensik, dokter umum,
dokter gigi forensik, sidik jari, fotografi, DNA dan ahli antropologi forensic (Baas,
2008)
11
Gambar 2. Skema Pemeriksaan Post Mortem Jenazah.
Dalam skema Gambar 2, meskipun DNA merupakan salah satu bagian dari
pemeriksaan primer namun diletakkan dalam sisi yang . Hal ini mengingat
(Silver, 2007).
1. Fingerprints
2. Dental Records
3. DNA
Secondary Indentifiers yang terdiri dari:(Silver, 2007).
1. Medical
2. Property
3. Photography
12
Prinsip dari proses identifikasi ini adalah dengan membandingkan data Ante
Mortem dan Post Mortem, semakin banyak yang cocok maka akan semakin baik.
a. Identifikasi
sering merupakan suatu masalah dalam kasus pidana maupun perdata. Menentukan
identitas personal dengan tepat amat penting dalam penyidikan karena adanya
Peran ilmu kedokteran forensik dalam identifikasi terutama pada jenazah tidak
dikenal, jenazah yang telah membusuk, rusak, hangus terbakar dan pada kecelakaan
masal, bencana alam atau huru-hara yang mengakibatkan banyak korban mati, serta
potongan tubuh manusia atau kerangka. Selain itu identifikasi forensik juga berperan
dalam berbagai kasus lain seperti penculikan anak, bayi yang tertukar atau diragukan
polisi, adalah latihan yang sulit dan menuntut yang hanya dapat membawa kepada
kesimpulan yang sukses jika direncanakan dengan baik dan yang memang
harus melibatkan partisipasi aktif dari banyak lembaga lainnya (Silver, 2007).
dengan membandingkan dan mencocokkan hasil ante mortem dan post mortem.
13
Dalam banyak kasus , meskipun, mengidentifikasi korban sungguh kompleks, dan
dapat terjadi permasalahan. Permasalahan yang dapat terjadi adalah tantangan untuk
ini sangat penting bukan hanya untuk menganalisis penyebab bencana, tetapi
b. Identifikasi Korban
2002)
1) Data orang hilang (misal : orang yang berada di tempat kejadian namun
ante mortem dengan post mortem. Dahulu dikenal 2 metode pokok identifikasi yaitu
: (Manja, 2015)
14
2) Metode Ilmiah yakni, sidik jari, serologi, odontologi, antropologi,
biologi molekuler.
Khusus pada korban bencana massal, saat ini berdasarkan standar Interpol
untuk proses identifikasi pada DVI telah ditentukan metode identifikasi yang dipakai
memperlihatkan tubuh terutama wajah korban kepada pihak keluarga, metode ini
akan member hasil jika keadaan mayat tidak rusak berat dan tidak dalam busuk
lanjut. Metode visual tidak dipakai di dalam metode identifikasi untuk DVI saat ini
karena metode ini tidak dapat diterapkan bila mayat telah busuk, terbakar, mutilasi
dll).8,13
15
Gambar 5. Pemeriksaan sekunder medis:
2. Kepemilikan/Property
Termasuk metode identifikasi yang baik walaupun tubuh korban telah rusak
atau hangus. dari pakaian, dapat diperoleh model pakaian, bahan yang dipakai,
merek penjahit, label binatu yang dapat merupakan petunjuk siapa pemilik
16
3. Dokumentasi : KTP, SIM, Paspor, kartu pelajar dan tanda pengenal
1. Sidik jari
Sidik jari atau Finger prints dapat menentukan identitas secara pasti oleh
karena sifat kekhususannya yaitu pada setiap orang akan berbeda walaupun pada
tubuh. Walaupun Fingerprinting sangat sulit karena kondisi tubuh tetapi dapat
Gambar 9. Glove on. Teknik Fingerprinting.9 Gambar 10. Analisis Sidik Jari. 8
17
2. Serologi
golongan darah seseorang dapat ditentukan dari pemeriksaan darah, air mani, dan
cairan tubuh lainnya. Penentuan golongan darah yang diambil baik dari dalam tubuh
korban, maupun bercak darah yang berasal dari bercak yang terdapat pada pakaian,
akan dapat mengetahui golongan darah si korban. Orang yang demikian termasuk
golongan sekretor (penentuan golongan darah dapat dilakukan dari seluruh cairan
tubuh) 75-80% dari penduduk termasuk dalam golongan ini. Pada mereka yang
3. Odontologi
Odontology adalah cabang kedokteran forensic yang melibatkan dokter gigi. Gigi
adalah bagian tubuh yang paling keras dan yang paling tahan terhadap trauma,
pemeriksaan primer masih dapat dilakukan dengan pemeriksaan gigi geligi yaitu
pada jenazah terbakar karena gigi merupakan medium yang tidak mudah rusak
seperti fingerprint tissue dan memiliki daya tahan terhadap dekomposisi dan
panas. Gigi merupakan suatu sarana identifikasi yang dapat dipercaya, khususnya
bila rekam dan foto gigi pada waktu masih hidup yang pernah dibuat masih
tersimpan dengan baik. Pemeriksaan gigi ini menjadi amat penting apabila mayat
sudah dalam keadaan membusuk atau rusak, seperti halnya kebakaran (Manja,
2015).
18
Gambar 11. Gigi tetap dalam keadaan utuh pada suhu yang tinggi, walaupun
tubuh telah rusak, tetapi gigi masih dapat diidentifikasi.
Gigi dapat juga dipakai untuk membantu dalam hal perkiraan umur serta
merokok akan meninggalkan pewarnaan akibat nikotin pada gigi, gigi yang dipangur
kekerasan.
19
1. Pembukaan rahang bawah untuk melepaskan rahang bawah.
4. Melakukan rontgen foto pada seluruh gigi geligi di rahang atas dan
rahang bawah.
4. DNA
DNA adalah materi genetik yang membawa informasi yang dapat diturunkan.
Di dalam sel manusia DNA dapat ditemukan di dalam inti sel dan di dalam
mitokondria. Hampir semua sampel biologis dapat dipakai untuk tes DNA, seperti
buccal swab (usapan mulut pada pipisebelah dalam), darah, rambut beserta akarnya,
20
walaupun lebih dipilih penggunaan darah dalam tabung (sebanyak 2 ml) sebagai
sumber DNA. Tes DNA dilakukan dengan berbagai alasan seperti persoalan pribadi
dan hukum antara lain ; tunjangan anak, perwalian anak, adopsi, imigrasi,
warisan dan masalah forensik (dalam identifikasi korban bencana) (Mulyono, 2006).
5. Antropologi
jenis kelamin, suku, usia, dan perkiraan waktu kematian (Manja, 2015).
kematian. Data ini biasanya diperoleh dari keluarga jenazah maupun orang
21
5. apabila diantara korban ada warga Negara asing maka Data‐data Ante
Mortem dapat diperoleh melalui perantara Set NCB Interpol Indonesia dan
Pada fase ini dilakukan pembandingan data post mortem dengan data
ante mortem. Ahli forensik dan profesional lain yang terkait dalam proses
dengan data ante mortem milik korban yang dicurigai sebagai jenazah. Apabila data
yang dibandingkan terbukti cocok maka dikatakan identifikasi positif atau telah
tegak. Apabila data yang dibandingkan ternyata tidak cocok maka identifikasi
dianggap negatif dan data post mortem jenazah tetap disimpan sampai ditemukan
data ante mortem yang sesuai dengan temuan post mortem jenazah (Mulyono,
2006).
Kegiatan :
Rapat
3. Rekonsiliasi;
22
4. mengumpulkan data‐data tambahan dari Unit TKP, Unit Post Mortem
dan akurat.
Apabila korban tidak teridentifikasi maka data post mortem jenazah tetap disimpan
sampai ditemukan data ante mortem yang sesuai dengan temuan post mortem
Fase ini dilakukan 3-6 bulan setelah proses identifikasi selesai. Pada fase
untuk melakukan evaluasi terhadap semua hal yang berkaitan dengan pelaksanaan
23
proses identifikasi korban bencana, baik sarana, prasarana, kinerja, prosedur,
2006).
pada proses serah terima jenazah yakni, Tanggal dan jam, Nomor registrasi jenazah,
korban, serta Dibawa kemana atau dimakamkan dimana perawatan jenazah setelah
teridentifikasi dilaksanakan oleh unsur Pemerintah Daerah, dalam hal ini Dinas
Sosial dan Dinas Pemakaman yang dibantu oleh keluarga korban (Contreras, 2016).
mempengaruhi pencegahan bencana dan strategi yang efektif ketika itu terjadi.
Namun, terlepas dari kenyataan bahwa bencana selalu bersama dengan manusia,
manajemen bencana masih merupakan profesi dan bidang ilmiah yang relatif baru
(Cannon, 2004). Sebagai profesi baru dan bidang ilmiah, manajemen bencana juga
bidang profesional dan ilmiah. Sejalan dengan itu, para peneliti dan pakar selalu
24
berusaha menemukan prinsip untuk bidang dan profesi ini. Kelly (1998)
Dalam hal ini, berbagai model telah diusulkan untuk manajemen bencana oleh
prinsip manajemen bencana. Baginya, 'prinsip perencanaan bencana yang baik dan
efisien memiliki karakteristik tertentu yang dapat digunakan sebagai prinsip umum.
Cuny (1998) mendefinisikan siklus untuk manajemen bencana, yang merupakan salah
satu siklus paling lengkap di mana tindakan manajerial dan eksekutif dan kegiatan
bencana. Dalam model ini, perhatian khusus telah diberikan kepada manajemen
Sekolah organisasi, yang merupakan sekolah terbaru tentang bahaya alam, telah
dibentuk berdasarkan konsep ketahanan. Van der Waldt (2013) juga mengusulkan
Namun, proses pembentukan model yang berbeda telah dikritik langkah demi
langkah sepanjang sejarah dan pendekatan baru telah dibentuk dan masing-masing
dari mereka telah dikritik, mengingat peristiwa bersejarah. Alexander (1997) percaya
25
bahwa pendekatan dan model manajemen dan perencanaan bencana belum memiliki
skala besar belum terjadi dan bantuan bencana belum dikombinasikan secara
hari yang dihadapi para peneliti, cendekiawan dan praktisi yang bekerja di bidang
pengurangan risiko bencana. Dia menyatakan bahwa ada kebutuhan untuk revisi
dinamis di dunia modern. Di sisi lain, teori bencana harus beradaptasi dengan kondisi
baru jika ingin tetap menjadi 'peta jalan' yang mengklarifikasi realitas yang kompleks
dan memungkinkan bencana dikelola. Model dan pendekatan yang disarankan sejauh
ini memiliki beberapa keterbatasan. Sebagai contoh, desain sebagian besar model
respons dan pemulihan. Dengan kata lain, model-model ini tidak dirancang untuk
risiko dan sub-komponennya. Juga, tidak ada model atau pendekatan yang dapat
kerangka kerja.
mengukur kerentanan terhadap bencana, tetapi sedikit perhatian telah diberikan pada
indeks pemulihan. Dalam penelitian lain, Bendito dan Barrios (2016) membahas
disiplin, pendekatan dan sistem pengetahuan akan mengarah pada dampak yang lebih
26
besar dan lebih berkelanjutan, bersama dengan penggunaan sumber daya keuangan
yang lebih efisien.). Mengembangkan kerangka kerja pemantauan dan evaluasi yang
unik untuk digunakan oleh program manajemen risiko bencana untuk melacak hasil
a) model manajemen,
terpadu dalam konteks manajerial yang menekankan aspek teknologi dari analisis
risiko dikeluarkan dari database. Kategori pertama adalah model logis. Model logis
dasar dan tindakan yang merupakan bencana. Model tradisional manajemen bencana
adalah salah satu model logis yang terkenal dan umum. Dalam model ini, proses
tradisional penanggulangan bencana memiliki tiga fase: sebelum, selama dan setelah
bencana. Fase pertama terdiri dari kegiatan-kegiatan seperti pencegahan, mitigasi dan
reaksi dan respons dan fase ketiga mencakup aktivitas seperti pemulihan, rekonstruksi
b) Model terintegrasi.
yang terlibat untuk memastikan implementasi yang efektif dan efisien, dan empat
faktor dapat diidentifikasi untuk itu: penilaian bahaya, manajemen risiko, mitigasi dan
27
kesiapsiagaan. Model Manitoba adalah salah satu model terintegrasi yang terkenal.
Model ini umumnya terdiri dari enam elemen independen, yaitu rencana strategis,
penilaian bahaya, manajemen risiko, mitigasi, kesiapan, dan pemantauan dan evaluasi.
dan prosesnya sendiri. Keuntungan dari model ini adalah memberikan keseimbangan
spesifik bencana. Karena model ini menyediakan hubungan antara tindakan dan
peristiwa dalam bencana, tautan semacam itu bisa ketat atau longgar (Mileti, 1999)
c) Model penyebab
Model Crunch adalah salah satunya yang mengusulkan kerangka untuk memahami
penyebab bencana (ADPC 2000; Cannon 2004). Model ini didasarkan pada
bencana. Dalam model ini, faktor-faktor ini disebut sebagai komponen yang
d) Model kombinatorial
Model Cuny adalah salah satu model ini yang dibuat oleh kompilasi fitur dari tiga
28
e) Model tanpa fitur
dan templat model tidak terletak di salah satu dari empat kategori yang disebutkan.
Model ini terdiri dari delapan fase: permulaan kesalahan, akumulasi kesalahan,
peringatan, kegagalan koreksi, tahap bencana yang akan datang, peristiwa pemicu,
(pengumpulan, klasifikasi dan analisis) bahaya untuk secara efektif merencanakan dan
Manajemen risiko, tentu saja, merupakan pendekatan baru yang telah menemukan
tradisional manajemen krisis, dan dalam beberapa kasus mencoba bersama dengannya
untuk menyelesaikan masalah dan menyelesaikan kemajuan Subjek ini Tema tindakan
3. Jaringan tematik
Salah satu alat analisis tematik adalah menggambar jaringan tematik yang
Stirling 2001). Berdasarkan tema dasar dan pengorganisasian yang diperoleh dari analisis
29
struktural interpretif. Jaringan ini menunjukkan koneksi lintas kolom dan antar
komponen.
4. Tipologi model
Perbedaan dan beberapa varian di antara berbagai model manajemen bencana telah
menyebabkan komplikasi dalam struktur konseptual dan kekacauan teoretis ini. Bailey
(1994) mengklaim bahwa tipologi yang terbentuk dengan baik bisa sangat efektif dalam
membangun disiplin dalam lingkungan yang kacau dan dalam mengurangi komplikasi.
30
BAB III
LAPORAN KASUS
operasi DVI kasus jatuhnya pesawat Hercules C-130 bernomor Alpha-1325 di Desa
Geplak Kecamatan Karas, Kabupaten Magetan Jawa Timur pada 20 Mei 2009 pukul
06.24 WIB. Dengan tim evakuasi gabungan yang berjumlah kurang lebih 1.000 orang
31
BAB IV
Identification) Interpol. Poses DVI yang terdiri dari 5 fase yaitu The Scene, Post
Pada fase pertama, tim awal yang datang ke TKP melakukan pemilahan
antara korban hidup dan korban mati selain juga mengamankan barang bukti yang
bencana yang diduga akibat ulah manusia. Pada korban mati diberikan label sebagai
penanda. Label ini harus memuat informasi tim pemeriksa, lokasi penemuan, dan
nomor tubuh/mayat. Label ini akan sangat membantu dalam proses penyidikan
Fase kedua dalam proses DVI adalah fase pemeriksaan mayat. Fase ini dapat
berlangsung bersamaan dengan fase pertama dan fase ketiga. Pada fase ini, para ahli
identifikasi, dokter forensik dan dokter gigi forensik melakukan pemeriksaan untuk
seluruh tubuh, dan barang bawaan yang melekat pada mayat. Dilakukan pula
Fase ketiga adalah fase pengumpulan data antemortem dimana ada tim kecil
yang menerima laporan orang yang diduga menjadi korban. Tim ini meminta
32
masukan data sebanyak-banyaknya dari keluarga korban. Data yang diminta mulai
dari pakaian yang terakhir dikenakan, ciri-ciri khusus (tanda lahir, tato, tahi lalat,
bekas operasi, dan lain- lain), data rekam medis dari dokter keluarga dan dokter gigi
korban, data sidik jari dari pihak berwenang (kelurahan atau kepolisian), serta sidik
DNA apabila keluarga memilikinya. Apabila tidak ada data sidik DNA korban maka
dilakukan pengambilan sampel darah dari keluarga korban. Data Ante Mortem
rekonsiliasi apabila terdapat kecocokan antara data Ante Mortem dan Post Mortem
maupun tidak, proses identifikasi korban bencana ini belumlah selesai. Masih ada
satu fase lagi yaitu fase kelima yang disebut fase debriefing. Fase ini dilakukan 3-6
bulan setelah proses identifikasi selesai. Pada fase debriefing, semua orang yang
semua hal yang berkaitan dengan pelaksanaan proses identifikasi korban bencana,
baik sarana, prasarana, kinerja, prosedur, serta hasil identifikasi. Hal-hal baik apa
yang dapat terus dilakukan di masa yang akan datang, apa yang bisa ditingkatkan,
hal-hal apa yang tidak boleh terulang lagi di masa datang, kesulitan apa yang ditemui
dan apa yang harus dilakukan apabila mendapatkan masalah yang sama di
kemudian hari, adalah beberapa hal yang wajib dibahas pada saat debriefing
(Interpol, 2009) Secara teoritis, kelima fase DVI seharusnya dikerjakan sesuai standar
33
pada setiap kasus bencana. Namun pada kenyataannya, banyak hambatan dan
kendala karena ada kurang koordinasi antara fase TKP dengan fase II & III;
pemeriksaan fase II dan fase III dilakukan oleh orang yang sama secara bersama-sama
sehingga pada akhir pemeriksaan didapatkan 4 mayat yang tidak teridentifikasi terdiri
dari 2 anak, 1 wanita dewasa, serta 1 laki-laki dewasa. Data antemortem yang
tersisa terdiri dari 2 anak, 1 wanita dewasa, dan 1 laki-laki dewasa namun tidak cocok
Kesulitan yang dihadapi adalah mengumpulkan kembali para anggota tim yang
Oleh karena itu Manajemen bencana dianggap sebagai salah satu faktor utama yang
mempengaruhi pencegahan bencana dan strategi yang efektif ketika itu terjadi.
disiplin, pendekatan dan sistem pengetahuan akan mengarah pada dampak yang
lebih besar dan lebih berkelanjutan, bersama dengan penggunaan sumber daya
34
BAB V
KESIMPULAN
Secara teoritis, kelima fase DVI seharusnya dikerjakan sesuai standar pada
setiap kasus bencana namun dalam kenyataannya sering kali menemui kendala teknis,
maupun nonteknis. Jumlah jenazah yang banyak, tempat penyimpanan jenazah yang
minim, waktu yang terbatas, jumlah dokter forensik yang terbatas, otoritas keluarga
secara konsisten.
35
DAFTAR PUSTAKA
Baas, S., Ramasamy, S., DePryck, J.D. & Battista, F., 2008, Disaster risk
management systems analysis, A guide book, FAO, Rome.
Blaikie, P., Mainka, S. & McNeely, J., 2005, The Indian Ocean tsunami: Reducing
risk and vulnerability of future natural disasters and loss of ecosystem services,
Information Paper, The World Conservation Union (IUCN), Gland,
Switzerland.
Cannon, T., 2004, ‘At risk: Natural hazards, people’s vulnerability and disasters’,
paper presented at CENAT Conference, Ticino, Switzerland, 28 November–03
December
Contreras, D., 2016, ‘Fuzzy boundaries between post-disaster phases: The case of
L’Aquila, Italy’, International Journal of Disaster Risk Science 7, 277–292.
Cuny, F., 1998, Principles of management: Introduction to disaster
management, University of Wisconsin-Madison Press, Madison, WI.
Kelly, C., 1998, ‘Simplifying disasters: Developing a model for complex nonlinear
events’, paper presented at International Conference on Disaster Management:
Crisis and Opportunity: Hazard Management and Disaster Preparedness in
Australasia and the Pacific Region, Cairns, Queensland, Australia, November
1–4.
36
Urban ecology: An international perspective on the interaction between
humans and nature, pp. 583–596, Springer, New York, viewed 13 October
2016, from http://www. springer.com
Manja CD, Xiang LY. 2015. Analisis Ukuran Sinus Maksilaris Menggunakan
Radiografi Panoramik pada Mahasiswa Suku Batak Usia 20-30 Tahun di
Fakultas Kedokteran Gigi Sumatera Utara. Dentika Dental Journal ;18(2): 4-
101.
McEntire, D., Crocker, C.G. & Peters, E., 2010, ‘Addressing vulnerability through an
integrated approach’, Disaster Resilience in the Built Environment 1(1), 50–64.
https://doi.org/10.1108/17595901011026472
Pusponegoro AD, dkk., 2006, Identifikasi korban bencana massal. In: Paturusi
IA, Pusponegoro AD, Hamuworno GB, (Eds)., Penatalaksanaan korban
bencana massal. 3rd ed, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta,
pages 123-30
Quarantelli, E.L., 1994, Twenty criteria for evaluating disaster planning and
managing and their applicability in developing societies, Preliminary Paper
#199, Disaster Research Center, University of Delaware, Delaware, Newarc, p.
49. Rich, P., 1992, ‘The organizational taxonomy: Definition and design’, The
Academy of Management Review 17(4), 758–781.
Silver WE, Souviron RR., 2009, Mass disaster. In: Dental autopsy, CRC Press
Taylor & Francis Group, Boca Raton, pages 133-43.
Van der Waldt, G., 2013, ‘Disaster risk management: Disciplinary status and prospects
for a unifying theory’, Jàmbá: Journal of Disaster Risk Studies 5(2), Art. #76, 1–11.
https://doi.org/10.4102/jamba.v5i2.76
37