Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN

Indonesia memiliki kondisi geografis, geologis, hidrologis, dan demografis

yang memungkinkan terjadinya bencana, baik yang disebabkan oleh faktor

alam, faktor non alam maupun faktor manusia yang menyebabkan timbulnya korban

jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis

yang dalam keadaan tertentu dapat menghambat pembangunan nasional (Manja,

2015).

Identifikasi adalah sebuah upaya dalam mengenali jati diri seorang manusia,

baik yang masih hidup maupun telah meninggal. Identifikasi pada bencana massal

adalah serangkaian proses pengenalan jati diri pada korban massal yang terjadi

akibat bencana. Serangkaian proses identifikasi pada bencana massal tersebut

meggunakan metode Disaster Victim Identification (DVI) yang direkomendasikan

oleh Interpol. DVI merupakan prosedur yang telah ditentukan untuk mengidetifikasi

korban dalam sebuah insiden atau bencana yang dapat dipertanggung-jawabkan

kepada masyarakat serta merupakan bagian dari investigasi, rekonstruksi tentang

sebab bencana (BNPB, 2012).

Berbagai model telah diusulkan untuk penanggulangan bencana oleh para

peneliti dan lembaga. Terlepas dari efisiensinya di beberapa lokasi, bencana masih

merupakan tantangan mendasar dalam hal pembangunan berkelanjutan. Sehingga

perlunya pengembangan model konseptual yang komprehensif untuk manajemen

bencana menggunakan analisis tematik. Dalam hal ini, pertama, model manajemen

1
bencana dikumpulkan. Pada tahap berikutnya, tema masing-masing model

diekstraksi dan dikategorikan dalam tiga fase. Pada fase pertama yaitu pengkodean

deskriptif, elemen yang tersedia di setiap model diekstraksi sebagai kode dan tema

dasar dikenali. Kemudian, pada fase pengkodean interpretatif, tema dasar

diklasifikasikan dalam tiga kategori yang disebut tema pengorganisasian (yaitu

penilaian bahaya, manajemen risiko dan tindakan manajemen). Pada fase terakhir,

manajemen strategis dipilih sebagai tema global atau menyeluruh untuk

mengintegrasikan semua tema lainnya (Kraas, 2008).

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Bencana

Definisi bencana sangat bervariasi. Menurut WHO, bencana adalah setiap

kejadian yang menyebabkan kerusakan, gangguan ekologis, hilangnya nyawa

manusia atau memburuknya derajat kesehatan atau pelayanan kesehatan pada skala

tertentu yang memerlukan respon dari luar masyarakat atau wilayah yang terkena.

Sedangkan menurut Departemen Kesehatan RI, bencana adalah peristiwa/kejadian

pada suatu daerah yang mengakibatkan kerusakan ekologi, kerugian kehidupan

manusia serta memburuknya kesehatan dan pelayanan kesehatan yang bermakna

sehingga memerlukan bantuan luar biasa dari pihak luar (BPDMP. 2013).

Undang-undang Nomor 24 tahun 2007 mendefinisikan bencana sebagai

peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan

penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non

alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa

manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Secara

singkat, bencana adalah suatu kejadian yang tidak diharapkan, yang dapat

menimbulkan korban luka atau meninggal dengan jumlah cukup banyak. Umumnya

korban yang hidup telah banyak dapat diatasi oleh tim medis, para medis dan tim

pendukung lainnya. Namun berbeda bagi korban yang sudah mati yang perlu

ditangani secara khusus dengan membentuk tim khusus pula (BNPB, 2012).

3
Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan telah memberikan

amanat kepada pemerintah dan masyarakat untuk melakukan upaya

identifikasi terhadap mayat yang tidak dikenal. Identifikasi korban mati dilakukan

untuk memenuhi hak korban agar dapat dikembalikan kepada keluarga dan dikubur

secara layak sesuai dengan keyakinannya semasa hidup. Ada dampak hukum dengan

meninggalnya seseorang seperti waris, asuransi, serta pada kasus kriminal maka

akan dapat dihentikan apabila pelaku telah meninggal dunia (BNPB, 2012).

2.2 Disaster Victim Identification

Disaster Victim Identification (DVI) adalah suatu istilah atau definisi yang

diberikan sebagai sebuah prosedur untuk mengidentifikasi korban meninggal akibat

bencana massal yang dapat dipertanggungjawabkan secara sah oleh hukum dan

ilmiah serta mengacu pada standar baku Interpol DVI Guideline. Tim DVI terdiri

dari dokter spesialis forensik, dokter gigi, ahli anthropology (ilmu yang mempelajari

tulang), kepolisian, fotografi, dan ahli DNA (Mulyono, 2006).

DVI diperlukan untuk menegakkan Hak Asasi Manusia, sebagai bagian dari

proses penyidikan, jika identifikasi visual diragukan, sebagai penunjang kepentingan

hukum (asuransi, warisan, status perkawinan) dan dapat dipertanggungjawabkan.

Prosedur DVI diterapkan jika terjadi bencana yang menyebabkan korban massal,

seperti kecelakaan bus dan pesawat, gedung yang runtuh atau terbakar, kecelakaan

kapal laut dan aksi terorisme. Dapat diterapkan terhadap bencana dan insiden

lainnya dalam pencarian korban. Prinsip dari proses identifikasi ini adalah dengan

membandingkan data ante-mortem dan post-mortem, semakin banyak yang

cocok maka akan semakin baik (Mulyono, 2006).

4
Penerapan prosedur DVI Interpol di Indonesia diawali dengan dilakukannya

identifikasi korban bencana massal akibat Bom Bali yang terjadi pada bulan

Oktober 2002 dimana terdapat korban meninggal sebanyak 202 orang. Pada proses

identifikasi yang berjalan kurang lebih 3 bulan tersebut berhasil diidentifikasi

sebesar hamper 99% yang teridentifikasi secara positif melalui metode ilmiah yang

dapat dipertanggungjawabkan (Pusponegoro, 2006).

Penatalaksanaan korban mati mengacu pada Surat Keputusan Bersama

Menteri Kesehatan dan Kapolri No. 1087/Menkes/SKB/IX/2004 dan No. Pol

Kep/40/IX/2004 Pedoman Pelaksanaan Identifikasi Korban Mati pada Bencana

Massal (Mulyono, 2006).

2.3 Prosedur Disaster Victim Identification

Penanggung jawab DVI adalah Kepolisian yang dalam pelaksanaan operasinya

dapat bekerjasama dengan berbagai pihak lintas institusi, sektoral dan fungsi. Ketua

tim dan koordinator fase berasal pihak kepolisian. Pada kasus yang lebih

mementingkan aspek penyidikan, kecepatan dan hot issues seperti pada man made

disaster, ketua tim DVI lebih mengedepankan timnya sesuai dengan keahlian dan

pengalaman, sedangkan pada kasus yang lebih mengedepankan aspek kemanusiaan

pada natural disaster maka ketua DVI dapat melibatkan beberapa tim dari

berbagai institusi (Pusponegoro, 2006).

Prinsip dalam bekerja bagi tim DVI adalah team work sesuai dengan

keahlian/kompetensi dan pengalaman. Masing‐masing tim yang bekerja dalam

masing‐masing fase mempunyai tanggung jawab, keahlian dan pengalaman yang

5
berbeda yang menjadi pertimbangan bagi seorang ketua tim DVI. Misalnya tim DVI

fase I diperuntukkan bagi tim yang telah terlatih dan mempunyai pengalaman di

TKP dibandingkan dengan seorang dokter forensik/dokter gigi forensik yang

lebih berkompeten di DVI fase 2 untuk memeriksa jenasah (Mulyono, 2006).

2.3.1 Fase 1 : Fase TKP/The Scene

Dilaksanakan oleh tim DVI unit TKP dengan aturan umum sebagai berikut:

(Silver, 2006)

a. Tidak diperkenankan seorang pun korban meninggal yang dapat dipindahkan

dari lokasi, sebelum dilakukan olah TKP aspek DVI;

b. Pada kesempatan pertama label anti air dan anti robek harus diikat pada

setiap tubuh korban atau korban yang tidak dikenal untuk mencegah

kemungkinan tercampur atau hilang;

c. Semua perlengkapan pribadi yang melekat di tubuh korban tidak boleh

dipisahkan;

d. Untuk barang‐barang kepemilikan lainnya yang tidak melekat pada tubuh

korban yang ditemukan di TKP, dikumpulkan dan dicatat;

e. Identifikasi tidak dilakukan di TKP, namun ada proses kelanjutan yakni masuk

dalam fase kedua dan seterusnya.

Pada prinsipnya untuk fase tindakan awal yang dilakukan di situs bencana, ada

tiga langkah utama. Langkah pertama adalah to secure atau untuk mengamankan,

langkah kedua adalah to collect atau untuk mengumpulkan dan langkah ketiga

adalah documentation atau pelabelan (Pusponegoro, 2006).

6
Pada langkah to secure organisasi yang memimpin komando DVI

harus mengambil langkah untuk mengamankan TKP agar TKP tidak menjadi

rusak. Langkah – langkah tersebut antara lain adalah: (Silver, 2006)

1. Memblokir pandangan situs bencana untuk orang yang tidak

berkepentingan (penonton yang penasaran, wakil – wakil pers, dll),

misalnya dengan memasang police line.

2. Menandai gerbang untuk masuk ke lokasi bencana.

3. Menyediakan jalur akses yang terlihat dan mudah bagi yang berkepentingan

4. Menyediakan petugas yang bertanggung jawab untuk mengontrol siapa

saja yang memiliki akses untuk masuk ke lokasi bencana.

5. Periksa semua individu yang hadir di lokasi untuk menentukan tujuan

kehaditan dan otorisasi.

6. Data terkait harus dicatat dan orang yang tidak berwenang harus

meninggalkan area bencana

Pada langkah to collect organisasi yang memimpin komando DVI harus

mengumpulkan korban – korban bencana dan mengumpulkan properti yang terkait

dengan korban yang mungkin dapat digunakan untuk kepentingan identifikasi

korban (BPDMP, 2013).

Pada langkah documentation organisasi yang memimpin komando DVI

mendokumentasikan kejadian bencana dengan cara memfoto area bencana dan

korban kemudian memberikan nomor dan label pada korban. Setelah ketiga

langkah tersebut dilakukan maka korban yang sudah diberi nomor dan label

dimasukkan ke dalam kantung mayat untuk kemudian dievakuasi (Kraas, 2008).

7
Gambar 1. Kontainer dan perbendaharaan pemeriksaan badan korban post

mortem.

Rincian yang harus dilakukan pada saat di TKP adalah sebagai berikut:

(Mulyono, 2006).

1. membuat sektor‐sektor atau zona pada TKP;

2. memberikan tanda pada setiap sektor;

3. memberikan label orange (human remains label) pada jenazah dan

potongan jenazah, label diikatkan pada bagian tubuh / ibu jari kiri

jenazah;

4. memberikan label hijau (property label) pada barang‐barang

pemilik yang tercecer.

5. membuat sketsa dan foto setiap sektor;

6. foto mayat dari jarak jauh, sedang dan dekat beserta label jenasahnya;

7. isi dan lengkapi pada formulir Interpol DVI PM dengan

keterangan sebagai berikut :

a. pada setiap jenazah yang ditemukan, maka tentukan perkiraan umur,

tanggal dan tempat tubuh ditemukan, akan lebih baik apabila di

foto pada lokasi dengan referensi koordinat dan sektor TKP;

8
b. selanjutnya tentukan apakah jenazah lengkap/tidak lengkap, dapat

dikenali atau tidak, atau hanya bagian tubuh saja yang ditemukan;

c. diskripsikan keadaannya apakah rusak, terbelah,

dekomposisi/membusuk, menulang, hilang atau terlepas;

d. keterangan informasi lainnya sesuai dengan isi dari formulir Interpol

DVI PM

8. masukkan jenazah dalam kantung jenazah dan atau potongan jenazah di

dalam karung plastik dan diberi label sesuai jenazah;

9. formulir Interpol DVI PM turut dimasukkan ke dalam kantong jenasah

dengan sebelumnya masukkan plastik agar terlindung dari basah dan robek;

10. masukkan barang‐barang yang terlepas dari tubuh korban ke dalam

kantung plastik dan diberi label sesuai nomor properti;

11. evakuasi jenasah dan barang kepemilikan ke tempat

pemeriksaan dan penyimpanan jenazah kemudian dibuatkan berita acara

penyerahan kolektif.

2.3.2 Fase 2 : Fase pengumpulan data jenazah Post Mortem/ The Mortuary

Pengumpulan data post-mortem atau data yang diperoleh paska kematian

dilakukan oleh post-mortem unit yang diberi wewenang oleh organisasi yang

memimpin komando DVI. Pada fase ini dilakukan berbagai pemeriksaan

yang kesemuanya dilakukan untuk memperoleh dan mencatat data selengkap–

lengkapnya mengenai korban (INTERPOL, 2009).

9
Kegiatan pada fase 2 sebagai berikut: (INTERPOL, 2009)

a. Menerima jenazah/potongan jenazah dan barang bukti dari unit TKP;

b. Mengelompokkan kiriman tersebut berdasarkan jenazah utuh, tidak utuh,

potongan jenazah dan barang‐barang;

c. membuat foto jenazah;

d. mengambil sidik jari korban dan golongan darah;

e. melakukan pemeriksaan korban sesuai formulir interpol DVI PM yang

tersedia;

f. melakukan pemeriksaan terhadap property yang melekat pada mayat;

g. Pemeriksaan antropologi forensik : pemeriksaan fisik secara

keseluruhan, dari bentuk tubuh, tinggi badan, berat badan, tatto hingga

cacat tubuh dan bekas luka yang ada di tubuh korban.

h. Pemeriksaan odontologi forensik : bentuk gigi dan rahang merupakan ciri

khusus tiap orang ; tidak ada profil gigi yang identik pada 2 orang yang

berbeda

i. membuat rontgen foto jika perlu;

j. mengambil sampel DNA;

k. menyimpan jenasah yang sudah diperiksa;

l. melakukan pemeriksaan barang‐barang kepemilikan yang tidak melekat di

mayat yang ditemukan di TKP;

m. mengirimkan data‐data yang telah diperoleh ke unit pembanding data.

Data – data hasil pemeriksaan tersebut kemudian digolongkan ke dalam data

primer dan data sekunder sebagai berikut: (INTERPOL, 2009)

10
1. Primer (sidik jari, profil gigi, DNA)

2. Sekunder (visual, fotografi, properti jenazah, antropologi, medis)

Di dalam menentukan identifikasi seseorang secara positif, Badan

Identifikasi DVI Indonesia mempunyai aturan-aturan atau syarat identifikasi yang

tepat, yaitu menentukan identitas seseorang secara positif berdasarkan

Identification Board DVI (ADPC, 2000)

Indonesia adalah didukung minimal salah satu primary identifiers positif atau

didukung dengan minimal dua secondary identifiers positif. Selain mengumpulkan

data pasca kematian, pada fase ini juga sekaligus dilakukan tindakan untuk

mencegah perubahan–perubahan paska kematian pada jenazah, misalnya dengan

meletakkan jenazah pada lingkungan dingin untuk memperlambat pembusukan

(BNPB, 2012)

Data‐data post mortem diperoleh dari tubuh jenazah berdasarkan

pemeriksaan dari berbagai keahlian antara lain dokter ahli forensik, dokter umum,

dokter gigi forensik, sidik jari, fotografi, DNA dan ahli antropologi forensic (Baas,

2008)

11
Gambar 2. Skema Pemeriksaan Post Mortem Jenazah.

Dalam skema Gambar 2, meskipun DNA merupakan salah satu bagian dari

pemeriksaan primer namun diletakkan dalam sisi yang . Hal ini mengingat

bagaimanapun pemeriksaan DNA, baik nukleus maupun mitokondria merupakan

pemeriksaan identifikasi yang terpercaya, dalam pelaksanaannya tetap memerlukan

waktu dan biaya yang relatif mahal, meskipun bersifat sensitive.

Sebaliknya pemeriksaan sekunder tetap dilakukan sebagai tugas rutin sesuai

prosedur meskipun hasil pemeriksaan primer sudah dapat dilakukan identifikasi

(Silver, 2007).

Dalam melakukan proses tersebut terdapat bermacam-macam metode

dan tehnik identifikasi yang dapat digunakan. Namun demikian Interpol

menentukan, Primary Indentifiers yang terdiri dari : (Silver, 2007).

1. Fingerprints
2. Dental Records
3. DNA
Secondary Indentifiers yang terdiri dari:(Silver, 2007).

1. Medical
2. Property
3. Photography

12
Prinsip dari proses identifikasi ini adalah dengan membandingkan data Ante

Mortem dan Post Mortem, semakin banyak yang cocok maka akan semakin baik.

Primary Identifiers mempunyai nilai yang sangat tinggi bila dibandingkan

dengan Secondary Identifiers (Nordblad, 2000).

a. Identifikasi

Identifikasi forensik merupakan upaya yang dilakukan dengan tujuan

membantu penyidik untuk menentukan identitas seseorang. Identifikasi personal

sering merupakan suatu masalah dalam kasus pidana maupun perdata. Menentukan

identitas personal dengan tepat amat penting dalam penyidikan karena adanya

kekeliruan dapat berakibat fatal dalam proses peradilan (Nordblad, 2000).

Peran ilmu kedokteran forensik dalam identifikasi terutama pada jenazah tidak

dikenal, jenazah yang telah membusuk, rusak, hangus terbakar dan pada kecelakaan

masal, bencana alam atau huru-hara yang mengakibatkan banyak korban mati, serta

potongan tubuh manusia atau kerangka. Selain itu identifikasi forensik juga berperan

dalam berbagai kasus lain seperti penculikan anak, bayi yang tertukar atau diragukan

orang tuanya. Identifikasi korban bencana, biasanya menjadi tanggung jawab

polisi, adalah latihan yang sulit dan menuntut yang hanya dapat membawa kepada

kesimpulan yang sukses jika direncanakan dengan baik dan yang memang

harus melibatkan partisipasi aktif dari banyak lembaga lainnya (Silver, 2007).

Tujuan utama pemeriksaan identifikasi pada kasus musibah bencana massal

adalah untuk mengenali korban serta membangun identitas setiap korban

dengan membandingkan dan mencocokkan hasil ante mortem dan post mortem.

13
Dalam banyak kasus , meskipun, mengidentifikasi korban sungguh kompleks, dan

dapat terjadi permasalahan. Permasalahan yang dapat terjadi adalah tantangan untuk

mendapatkan informasi ante mortem dan post mortem sebagai perbandingan.

Dengan identifikasi yang tepat selanjutnya dapat dilakukan upaya merawat,

mendoakan serta akhirnya menyerahkan kepada keluarganya. Proses identifikasi

ini sangat penting bukan hanya untuk menganalisis penyebab bencana, tetapi

memberikan ketenangan psikologis bagi keluarga dengan adanya kepastian identitas

korban (Manja, 2015).

b. Identifikasi Korban

Untuk mengidentifikasi korban bencana, diperlukan dua macam data : (Blaikie,

2002)

1) Data orang hilang (misal : orang yang berada di tempat kejadian namun

terdaftar sebagai korban selamat)

2) Data dari jenazah yang ditemukan di tempat kejadian

3) Bagian Kamar Mayat (Mortuary Branch)

4) Pusat Identifikasi (Identification Centre)

c. Metode dan Teknik Identifikasi

Secara umum, identifikasi yang akurat diperoleh dari mencocokan data

ante mortem dengan post mortem. Dahulu dikenal 2 metode pokok identifikasi yaitu

: (Manja, 2015)

1) Metode Sederhana yakni, visual, kepemilikan (perhiasan dan

pakaian) dan dokumentasi.

14
2) Metode Ilmiah yakni, sidik jari, serologi, odontologi, antropologi,

biologi molekuler.

3) Identifikasi dengan Teknik Superimposisi.

Khusus pada korban bencana massal, saat ini berdasarkan standar Interpol

untuk proses identifikasi pada DVI telah ditentukan metode identifikasi yang dipakai

yaitu: (Blaikie, 2002).

a) Metode Sederhana / Identifikasi sekunder

1. Visual/Photography dan Medis

Termasuk metode yang sederhana dan mudah dikerjakan yaitu dengan

memperlihatkan tubuh terutama wajah korban kepada pihak keluarga, metode ini

akan member hasil jika keadaan mayat tidak rusak berat dan tidak dalam busuk

lanjut. Metode visual tidak dipakai di dalam metode identifikasi untuk DVI saat ini

karena metode ini tidak dapat diterapkan bila mayat telah busuk, terbakar, mutilasi

serta tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah oleh karena melibatkan

faktor psikologi keluarga yang melakukannya (sedang berduka, stress, sedih

dll).8,13

Gambar 3. Jenazah dapat Gambar 4. Pemeriksaan sekunder medis

15
Gambar 5. Pemeriksaan sekunder medis:

Gambar 6. Pemeriksaan sekunder medis dari sex dan Tinggi Badan.

2. Kepemilikan/Property

Termasuk metode identifikasi yang baik walaupun tubuh korban telah rusak

atau hangus. dari pakaian, dapat diperoleh model pakaian, bahan yang dipakai,

merek penjahit, label binatu yang dapat merupakan petunjuk siapa pemilik

pakaian tersebut dan tentunya identitas korban (Blaikie, 2002).

Gambar 7. Barang bukti berupa pakaian dan perhiasan.

16
3. Dokumentasi : KTP, SIM, Paspor, kartu pelajar dan tanda pengenal

lainnya merupakan sarana yang dapat dipakai untuk menentukan identitas.

Gambar 8. Pemeriksaan sekunder properti dari KTP yang melekat. 7

b) Metode Ilmiah (Identifikasi Primer)

1. Sidik jari

Sidik jari atau Finger prints dapat menentukan identitas secara pasti oleh

karena sifat kekhususannya yaitu pada setiap orang akan berbeda walaupun pada

kasus saudara kembar. Keterbatasannya hanyalah cepat rusak/membusuknya

tubuh. Walaupun Fingerprinting sangat sulit karena kondisi tubuh tetapi dapat

berhasil dilakukan oleh ahli ilmiah (Pusponegoro, 2006).

Gambar 9. Glove on. Teknik Fingerprinting.9 Gambar 10. Analisis Sidik Jari. 8

17
2. Serologi

Prinsipnya ialah dengan menentukan golongan darah, dimana pada umumnya

golongan darah seseorang dapat ditentukan dari pemeriksaan darah, air mani, dan

cairan tubuh lainnya. Penentuan golongan darah yang diambil baik dari dalam tubuh

korban, maupun bercak darah yang berasal dari bercak yang terdapat pada pakaian,

akan dapat mengetahui golongan darah si korban. Orang yang demikian termasuk

golongan sekretor (penentuan golongan darah dapat dilakukan dari seluruh cairan

tubuh) 75-80% dari penduduk termasuk dalam golongan ini. Pada mereka yang

termasuk non-sekretor, penentuan golongan darah hanya dapat dilakukan

dengan pemeriksaan darahnya saja (Blaikie, 2002).

3. Odontologi

Odontology adalah cabang kedokteran forensic yang melibatkan dokter gigi. Gigi

adalah bagian tubuh yang paling keras dan yang paling tahan terhadap trauma,

pembusukan, air, dan api. Penentuan identifikasi forensik berdasarkan

pemeriksaan primer masih dapat dilakukan dengan pemeriksaan gigi geligi yaitu

pada jenazah terbakar karena gigi merupakan medium yang tidak mudah rusak

seperti fingerprint tissue dan memiliki daya tahan terhadap dekomposisi dan

panas. Gigi merupakan suatu sarana identifikasi yang dapat dipercaya, khususnya

bila rekam dan foto gigi pada waktu masih hidup yang pernah dibuat masih

tersimpan dengan baik. Pemeriksaan gigi ini menjadi amat penting apabila mayat

sudah dalam keadaan membusuk atau rusak, seperti halnya kebakaran (Manja,

2015).

18
Gambar 11. Gigi tetap dalam keadaan utuh pada suhu yang tinggi, walaupun
tubuh telah rusak, tetapi gigi masih dapat diidentifikasi.

Gigi dapat juga dipakai untuk membantu dalam hal perkiraan umur serta

kebiasaan /pekerjaan dan kadang-kadang golongan suku tertentu. Kebiasaan

merokok akan meninggalkan pewarnaan akibat nikotin pada gigi, gigi yang dipangur

(diratakan) menujukkan ras/suku tertentu (Mulyono, 2006).

a) Identifikasi Forensik Odontology:

1 Identifikasi dari mayat yang tidak dikenal melalui gigi,

rahang dan kraniofasial.

2 Penentuan umur dari gigi.

3 Pemeriksaan jejas gigit (bite-mark).

4 Penentuan ras dari gigi.

5 Analisis dari trauma oro-fasial yang berhubungan dengan tindakan

kekerasan.

6 Dental jurisprudence berupa keterangan saksi ahli.

7 Peranan pemeriksaan DNA dari bahan gigi dalam identifikasi personal.

8 Penentuan Usia berdasarkan gigi

b) Langkah langkah penanganan aspek odontologi forensik:

Bila rahang atas dan bawah lengkap :

19
1. Pembukaan rahang bawah untuk melepaskan rahang bawah.

2. Melakukan pembersihan rahang bawah dan rahang atas.

3. Melakukan dental charting/odontogram.

4. Melakukan rontgen foto pada seluruh gigi geligi di rahang atas dan

rahang bawah.

5. Pencabutan gigi molar 1 atas atau bawah untuk pemeriksaan DNA.

6. Melakukan pemotretan dengan ukuran close-up

7. Melakukan perbandingan data dental antemortem dengan post mortem

8. Proses rekonsilasi untuk penentuan identifikasi.

Pada rahang yang tidak utuh :

Melakukan rekonstruksi bentuk rahang serta susunan gigi geliginya dengan

menggunakan wax/malam. Kenudian diperkuat dengan menggunakan self curing

acrylic. Lalu melakukan pencetakan, dilakukan pemotretan close- up, dan

pengembalian pada jenazah.Tujuan rekonstruksi diharapkan dapat memperoleh

gambaran perkiraan raut wajah korban untuk membantu memudahkan

identifikasi (Blaikie, 2002).

4. DNA

DNA adalah materi genetik yang membawa informasi yang dapat diturunkan.

Di dalam sel manusia DNA dapat ditemukan di dalam inti sel dan di dalam

mitokondria. Hampir semua sampel biologis dapat dipakai untuk tes DNA, seperti

buccal swab (usapan mulut pada pipisebelah dalam), darah, rambut beserta akarnya,

20
walaupun lebih dipilih penggunaan darah dalam tabung (sebanyak 2 ml) sebagai

sumber DNA. Tes DNA dilakukan dengan berbagai alasan seperti persoalan pribadi

dan hukum antara lain ; tunjangan anak, perwalian anak, adopsi, imigrasi,

warisan dan masalah forensik (dalam identifikasi korban bencana) (Mulyono, 2006).

5. Antropologi

Ahli Antropologi forensik adalah seseorang yang ahli dalam

mengidentifikasikan tulang dan rangka manusia. Ilmu mereka mencakup tentang

jenis kelamin, suku, usia, dan perkiraan waktu kematian (Manja, 2015).

2.3.3 Fase 3: Fase pengumpulan data jenazah Ante Mortem/Ante

Mortem Information Retrieval

Pada fase ini dilakukan pengumpulan data mengenai jenazah sebelum

kematian. Data ini biasanya diperoleh dari keluarga jenazah maupun orang

yang terdekat dengan jenazah (Blaikie, 2002).

Kegiatan: (Pusponegoro, 2006).

1. menerima keluarga korban;

2. mengumpulkan data‐data korban semasa hidup seperti foto dan lain-lainnya

yang dikumpulkan dari keluarga terdekat yang kehilangan anggota

keluarganya dalam bencana tersebut;

3. mengumpulkan data‐data korban dari instansi tempat korban

bekerja, RS/Puskesmas/Klinik, dokter pribadi, dokter yang merawat,

dokter‐dokter gigi pribadi, polisi (sidik jari), catatan sipil, dll;

4. data‐data Ante Mortem gigi‐geligi;

21
5. apabila diantara korban ada warga Negara asing maka Data‐data Ante

Mortem dapat diperoleh melalui perantara Set NCB Interpol Indonesia dan

perwakilan Negara asing (kedutaan/konsulat);

6. memasukkan data‐data yang ada dalam formulir Interpol DVI AM;

7. mengirimkan data‐data yang telah diperoleh ke Unit Pembanding Data.

2.3.4 Fase 4 : Fase Analisa/Reconciliation

Pada fase ini dilakukan pembandingan data post mortem dengan data

ante mortem. Ahli forensik dan profesional lain yang terkait dalam proses

identifikasi menentukan apakah temuan post mortem pada jenazah sesuai

dengan data ante mortem milik korban yang dicurigai sebagai jenazah. Apabila data

yang dibandingkan terbukti cocok maka dikatakan identifikasi positif atau telah

tegak. Apabila data yang dibandingkan ternyata tidak cocok maka identifikasi

dianggap negatif dan data post mortem jenazah tetap disimpan sampai ditemukan

data ante mortem yang sesuai dengan temuan post mortem jenazah (Mulyono,

2006).

Kegiatan :

1. mengkoordinasikan rapat‐rapat penentuan identitas korban mati antara Unit

TKP, Unit Post Mortem dan Unit Ante Mortem;

2. mengumpulkan data‐data korban yang dikenal untuk dikirim ke

Rapat

3. Rekonsiliasi;

22
4. mengumpulkan data‐data tambahan dari Unit TKP, Unit Post Mortem

dan Unit Ante Mortem untuk korban yang belum dikenal;

5. membandingkan data Ante Mortem dan Post Mortem;

6. check and Recheck hasil Unit Pembanding Data;

7. mengumpulkan hasil identifikasi korban;

8. membuat sertifikat identifikasi, surat keterangan kematian untuk korban

yang dikenal dan surat‐surat lainnya yang diperlukan;

9. publikasi yang benar dan terarah oleh Unit Rekonsiliasi

sangat membantunmasyarakat untuk mendapatkan informasi yang terbaru

dan akurat.

3.3.5 Fase 5 : Fase Evaluasi/Debriefing

Korban yang telah diidentifikasi direkonstruksi hingga didapatkan kondisi

kosmetik terbaik kemudian dikembalikan pada keluarganya untuk dimakamkan.

Apabila korban tidak teridentifikasi maka data post mortem jenazah tetap disimpan

sampai ditemukan data ante mortem yang sesuai dengan temuan post mortem

jenazah, dan pemakaman jenazah menjadi tanggung jawab organisasi yang

memimpin komando DVI. Sertifikasi jenazah dan kepentingan mediko-legal serta

administrative untuk penguburan menjadi tanggung jawab pihak yang

menguburkan jenazah (Blaikie, 2002).

Fase ini dilakukan 3-6 bulan setelah proses identifikasi selesai. Pada fase

debriefing, semua orang yang terlibat dalam proses identifikasi berkumpul

untuk melakukan evaluasi terhadap semua hal yang berkaitan dengan pelaksanaan

23
proses identifikasi korban bencana, baik sarana, prasarana, kinerja, prosedur,

serta hasil dentifikasi (Mulyono, 2006).

Perawatan jenazah yang dapat dilakukan meliputi antara lain: (Pusponegoro,

2006).

1) Perbaikan atau rekonstruksi tubuh jenazah

2) Pengawetan jenazah (bila memungkinkan)

3) Perawatan sesuai agama korban

4) Memasukkan dalam peti jenazah

Kemudian jenazah diserahkan kepada keluarganya oleh petugas khusus dari

Komisi Identifikasi berikut surat-surat yang diperlukan pencatatan yang penting

pada proses serah terima jenazah yakni, Tanggal dan jam, Nomor registrasi jenazah,

Diserahkan kepada siapa, alamat lengkap penerima, hubungan keluarga dengan

korban, serta Dibawa kemana atau dimakamkan dimana perawatan jenazah setelah

teridentifikasi dilaksanakan oleh unsur Pemerintah Daerah, dalam hal ini Dinas

Sosial dan Dinas Pemakaman yang dibantu oleh keluarga korban (Contreras, 2016).

2.4 Perubahan Konsep Dalam Penanggulangan Bencana

Manajemen bencana dianggap sebagai salah satu faktor utama yang

mempengaruhi pencegahan bencana dan strategi yang efektif ketika itu terjadi.

Namun, terlepas dari kenyataan bahwa bencana selalu bersama dengan manusia,

manajemen bencana masih merupakan profesi dan bidang ilmiah yang relatif baru

(Cannon, 2004). Sebagai profesi baru dan bidang ilmiah, manajemen bencana juga

perlu mengembangkan prinsip-prinsip dan fondasinya untuk dapat terus sebagai

bidang profesional dan ilmiah. Sejalan dengan itu, para peneliti dan pakar selalu

24
berusaha menemukan prinsip untuk bidang dan profesi ini. Kelly (1998)

mendefinisikan empat alasan utama perlunya mengembangkan model (teoritis) untuk

manajemen bencana alam. Dia menyatakan bahwa model dapat menyederhanakan

peristiwa kompleks dengan membantu membedakan antara elemen kritis.

Dalam hal ini, berbagai model telah diusulkan untuk manajemen bencana oleh

para peneliti dan lembaga. Quarantelli (1994) berusaha mengembangkan prinsip-

prinsip manajemen bencana. Baginya, 'prinsip perencanaan bencana yang baik dan

efisien memiliki karakteristik tertentu yang dapat digunakan sebagai prinsip umum.

Cuny (1998) mendefinisikan siklus untuk manajemen bencana, yang merupakan salah

satu siklus paling lengkap di mana tindakan manajerial dan eksekutif dan kegiatan

yang akan diambil selama bencana telah dipertimbangkan. Mileti (1999)

mengembangkan seperangkat prinsip untuk mencegah dan mengurangi efek negatif

dari bencana alam. Kimberly (2003) mengusulkanmodel empat fase manajemen

bencana. Dalam model ini, perhatian khusus telah diberikan kepada manajemen

darurat. McEntire, (2010) mengusulkan pendekatan terintegrasi untuk pemodelan

kerentanan berdasarkan ilmu fisika, teknik, struktural dan sekolah organisasi.

Sekolah organisasi, yang merupakan sekolah terbaru tentang bahaya alam, telah

dibentuk berdasarkan konsep ketahanan. Van der Waldt (2013) juga mengusulkan

langkah-langkah menuju teori pemersatu sebagai paradigma menyeluruh untuk

manajemen risiko bencana (Contreras, 2016).

Namun, proses pembentukan model yang berbeda telah dikritik langkah demi

langkah sepanjang sejarah dan pendekatan baru telah dibentuk dan masing-masing

dari mereka telah dikritik, mengingat peristiwa bersejarah. Alexander (1997) percaya

25
bahwa pendekatan dan model manajemen dan perencanaan bencana belum memiliki

kemajuan yang signifikan berdasarkan faktor-faktor berikut: korban tewas belum

turun secara dramatis dalam menanggapi peningkatan mitigasi, transfer teknologi

skala besar belum terjadi dan bantuan bencana belum dikombinasikan secara

memadai dengan mitigasi dan pembangunan ekonomi. Modern- tantangan sehari-

hari yang dihadapi para peneliti, cendekiawan dan praktisi yang bekerja di bidang

pengurangan risiko bencana. Dia menyatakan bahwa ada kebutuhan untuk revisi

besar dalam tubuh teori bencana sehingga dapat memperhitungkan perubahan

dinamis di dunia modern. Di sisi lain, teori bencana harus beradaptasi dengan kondisi

baru jika ingin tetap menjadi 'peta jalan' yang mengklarifikasi realitas yang kompleks

dan memungkinkan bencana dikelola. Model dan pendekatan yang disarankan sejauh

ini memiliki beberapa keterbatasan. Sebagai contoh, desain sebagian besar model

berputar di sekitar empat fase utama manajemen bencana: pencegahan, mitigasi,

respons dan pemulihan. Dengan kata lain, model-model ini tidak dirancang untuk

mencakup semua aspek manajemen bencana, seperti penilaian bahaya, manajemen

risiko dan sub-komponennya. Juga, tidak ada model atau pendekatan yang dapat

merangkum kegiatan utama dan utama penanggulangan bencana dalam suatu

kerangka kerja.

Menurut Contreras (2016), sejumlah indeks telah dikembangkan untuk

mengukur kerentanan terhadap bencana, tetapi sedikit perhatian telah diberikan pada

indeks pemulihan. Dalam penelitian lain, Bendito dan Barrios (2016) membahas

bahwa mengembangkan strategi lintas disiplin yang secara efektif mengintegrasikan

disiplin, pendekatan dan sistem pengetahuan akan mengarah pada dampak yang lebih

26
besar dan lebih berkelanjutan, bersama dengan penggunaan sumber daya keuangan

yang lebih efisien.). Mengembangkan kerangka kerja pemantauan dan evaluasi yang

unik untuk digunakan oleh program manajemen risiko bencana untuk melacak hasil

intervensi mereka dan akhirnya meningkatkan standar di bidang ini.

1. Analisis tematik bencana

a) model manajemen,

untuk menemukan model manajemen bencana, Tinjauan literatur yang

komprehensif dari World Wide Web dilakukan dengan mempertimbangkan model

manajemen bencana dengan kerangka kerja konseptual manajemen risiko bencana

terpadu dalam konteks manajerial yang menekankan aspek teknologi dari analisis

risiko dikeluarkan dari database. Kategori pertama adalah model logis. Model logis

memberikan definisi sederhana tentang tahapan bencana dan menekankan peristiwa

dasar dan tindakan yang merupakan bencana. Model tradisional manajemen bencana

adalah salah satu model logis yang terkenal dan umum. Dalam model ini, proses

tradisional penanggulangan bencana memiliki tiga fase: sebelum, selama dan setelah

bencana. Fase pertama terdiri dari kegiatan-kegiatan seperti pencegahan, mitigasi dan

kesiapsiagaan, sedangkan fase kedua mencakup aktivitas yang terhubung dengan

reaksi dan respons dan fase ketiga mencakup aktivitas seperti pemulihan, rekonstruksi

dan pengembangan (ADPC 2000).

b) Model terintegrasi.

Model terintegrasi manajemen bencana adalah alat untuk mengatur kegiatan

yang terlibat untuk memastikan implementasi yang efektif dan efisien, dan empat

faktor dapat diidentifikasi untuk itu: penilaian bahaya, manajemen risiko, mitigasi dan

27
kesiapsiagaan. Model Manitoba adalah salah satu model terintegrasi yang terkenal.

Model ini umumnya terdiri dari enam elemen independen, yaitu rencana strategis,

penilaian bahaya, manajemen risiko, mitigasi, kesiapan, dan pemantauan dan evaluasi.

Setiap elemen mengamati batasannya sendiri dan melibatkan serangkaian kegiatan

dan prosesnya sendiri. Keuntungan dari model ini adalah memberikan keseimbangan

antara kesiapsiagaan dan fleksibilitas untuk merespon dengan lancar kebutuhan

spesifik bencana. Karena model ini menyediakan hubungan antara tindakan dan

peristiwa dalam bencana, tautan semacam itu bisa ketat atau longgar (Mileti, 1999)

c) Model penyebab

Kategori penyebab tidak didasarkan pada ide untuk menentukan tahapan

dalam suatu bencana. Kategori ini menunjukkan beberapa penyebab bencana.

Model Crunch adalah salah satunya yang mengusulkan kerangka untuk memahami

penyebab bencana (ADPC 2000; Cannon 2004). Model ini didasarkan pada

keyakinan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi kerentanan terhadap

bencana. Dalam model ini, faktor-faktor ini disebut sebagai komponen yang

berisiko seperti nyawa dan properti manusia, lingkungan dan infrastruktur.

Kemajuan kerentanan suatu komunitas terungkap dan penyebab mendasar yang

gagal memenuhi tuntutan masyarakat diidentifikasi. Model kemudian melanjutkan

untuk memperkirakan tekanan dinamis dan kondisi yang tidak aman.

d) Model kombinatorial

Model logis, terintegrasi dan sebab digabungkan untuk mengusulkan model.

Model Cuny adalah salah satu model ini yang dibuat oleh kompilasi fitur dari tiga

kategori lainnya (Cuny 1998).

28
e) Model tanpa fitur

Model-model ini bermacam-macam dan merujuk pada kondisi bahwa struktur

dan templat model tidak terletak di salah satu dari empat kategori yang disebutkan.

Model ini terdiri dari delapan fase: permulaan kesalahan, akumulasi kesalahan,

peringatan, kegagalan koreksi, tahap bencana yang akan datang, peristiwa pemicu,

tahap darurat dan bencana

2. Tema Manajemen Resiko

Tujuan dari manajemen risiko umumnya adalah penilaian informasi

(pengumpulan, klasifikasi dan analisis) bahaya untuk secara efektif merencanakan dan

mengatur sumber daya yang diperlukan untuk rekonstruksi dan memberikan

keseimbangan dalam kekuatan operasional kota atau organisasi setelah bencana.

Manajemen risiko, tentu saja, merupakan pendekatan baru yang telah menemukan

tempat yang baik di bidang krisis dan perlahan-lahan mengatasi pendekatan

tradisional manajemen krisis, dan dalam beberapa kasus mencoba bersama dengannya

untuk menyelesaikan masalah dan menyelesaikan kemajuan Subjek ini Tema tindakan

manajemen (Cunny 1998).

3. Jaringan tematik

Salah satu alat analisis tematik adalah menggambar jaringan tematik yang

menyederhanakan pengorganisasian tema dan tujuannya adalah persepsi subjek (Attride-

Stirling 2001). Berdasarkan tema dasar dan pengorganisasian yang diperoleh dari analisis

model, jaringan tematik dikembangkan dan digambarkan menggunakan pemodelan

29
struktural interpretif. Jaringan ini menunjukkan koneksi lintas kolom dan antar

komponen.

4. Tipologi model

Perbedaan dan beberapa varian di antara berbagai model manajemen bencana telah

menyebabkan komplikasi dalam struktur konseptual dan kekacauan teoretis ini. Bailey

(1994) mengklaim bahwa tipologi yang terbentuk dengan baik bisa sangat efektif dalam

membangun disiplin dalam lingkungan yang kacau dan dalam mengurangi komplikasi.

30
BAB III

LAPORAN KASUS

operasi DVI kasus jatuhnya pesawat Hercules C-130 bernomor Alpha-1325 di Desa

Geplak Kecamatan Karas, Kabupaten Magetan Jawa Timur pada 20 Mei 2009 pukul

06.24 WIB. Dengan tim evakuasi gabungan yang berjumlah kurang lebih 1.000 orang

dengan melakukan pemotongan badan pesawat untuk mempermudah proses evakuasi.

Penumpang pesawat berjumlah 112 orang

31
BAB IV

HASIL DAN DISKUSI

Prosedur identifikasi mengacu pada prosedur DVI (Disaster Victim

Identification) Interpol. Poses DVI yang terdiri dari 5 fase yaitu The Scene, Post

Mortem Examination, Ante Mortem Information Retrieval, Reconciliation dan

Debriefing (Mulyono, 2006)

Pada fase pertama, tim awal yang datang ke TKP melakukan pemilahan

antara korban hidup dan korban mati selain juga mengamankan barang bukti yang

dapat mengarahkan pada pelaku apabila bencana yang terjadi merupakan

bencana yang diduga akibat ulah manusia. Pada korban mati diberikan label sebagai

penanda. Label ini harus memuat informasi tim pemeriksa, lokasi penemuan, dan

nomor tubuh/mayat. Label ini akan sangat membantu dalam proses penyidikan

selanjutnya ( Pusponegoro, 2006).

Fase kedua dalam proses DVI adalah fase pemeriksaan mayat. Fase ini dapat

berlangsung bersamaan dengan fase pertama dan fase ketiga. Pada fase ini, para ahli

identifikasi, dokter forensik dan dokter gigi forensik melakukan pemeriksaan untuk

mencari data postmortem sebanyak-banyaknya. Sidik jari, pemeriksaan terhadap gigi,

seluruh tubuh, dan barang bawaan yang melekat pada mayat. Dilakukan pula

pengambilan sampel jaringan untuk pemeriksaan DNA. Data ini dimasukkan ke

dalam pink form berdasarkan standar Interpol ( Pusponegoro, 2006).

Fase ketiga adalah fase pengumpulan data antemortem dimana ada tim kecil

yang menerima laporan orang yang diduga menjadi korban. Tim ini meminta

32
masukan data sebanyak-banyaknya dari keluarga korban. Data yang diminta mulai

dari pakaian yang terakhir dikenakan, ciri-ciri khusus (tanda lahir, tato, tahi lalat,

bekas operasi, dan lain- lain), data rekam medis dari dokter keluarga dan dokter gigi

korban, data sidik jari dari pihak berwenang (kelurahan atau kepolisian), serta sidik

DNA apabila keluarga memilikinya. Apabila tidak ada data sidik DNA korban maka

dilakukan pengambilan sampel darah dari keluarga korban. Data Ante Mortem

diisikan ke dalam yellow form berdasarkan standar Interpol ( Pusponegoro, 2006).

Seseorang dinyatakan teridentifikasi pada fase keempat yaitu fase

rekonsiliasi apabila terdapat kecocokan antara data Ante Mortem dan Post Mortem

dengan kriteria minimal 1 macam Primary Identifiers atau 2 macam Secondary

Identifiers (Manja, 2015).

Setelah selesai keseluruhan proses identifikasi, dengan hasil memuaskan

maupun tidak, proses identifikasi korban bencana ini belumlah selesai. Masih ada

satu fase lagi yaitu fase kelima yang disebut fase debriefing. Fase ini dilakukan 3-6

bulan setelah proses identifikasi selesai. Pada fase debriefing, semua orang yang

terlibat dalam proses identifikasi berkumpul untuk melakukan evaluasi terhadap

semua hal yang berkaitan dengan pelaksanaan proses identifikasi korban bencana,

baik sarana, prasarana, kinerja, prosedur, serta hasil identifikasi. Hal-hal baik apa

yang dapat terus dilakukan di masa yang akan datang, apa yang bisa ditingkatkan,

hal-hal apa yang tidak boleh terulang lagi di masa datang, kesulitan apa yang ditemui

dan apa yang harus dilakukan apabila mendapatkan masalah yang sama di

kemudian hari, adalah beberapa hal yang wajib dibahas pada saat debriefing

(Interpol, 2009) Secara teoritis, kelima fase DVI seharusnya dikerjakan sesuai standar

33
pada setiap kasus bencana. Namun pada kenyataannya, banyak hambatan dan

kendala yang ditemui di lapangan untuk menerapkan prosedur DVI.

Pada kasus jatuhnya pesawat hercules di Magetan, tim DVI mengalami

kendala karena ada kurang koordinasi antara fase TKP dengan fase II & III;

pemeriksaan fase II dan fase III dilakukan oleh orang yang sama secara bersama-sama

dan melibatkan keluarga; ini menimbulkan ketidakakuratan dalam proses identifikasi,

sehingga pada akhir pemeriksaan didapatkan 4 mayat yang tidak teridentifikasi terdiri

dari 2 anak, 1 wanita dewasa, serta 1 laki-laki dewasa. Data antemortem yang

tersisa terdiri dari 2 anak, 1 wanita dewasa, dan 1 laki-laki dewasa namun tidak cocok

dengan data postmortem jenazah., fase kelima (debriefing) tidak dilaksanakan.

Kesulitan yang dihadapi adalah mengumpulkan kembali para anggota tim yang

berasal dari seluruh wilayah di Indonesia untuk melakukan evaluasi kinerja.

Oleh karena itu Manajemen bencana dianggap sebagai salah satu faktor utama yang

mempengaruhi pencegahan bencana dan strategi yang efektif ketika itu terjadi.

mengembangkan strategi lintas disiplin yang secara efektif mengintegrasik an

disiplin, pendekatan dan sistem pengetahuan akan mengarah pada dampak yang

lebih besar dan lebih berkelanjutan, bersama dengan penggunaan sumber daya

keuangan yang lebih efisien.

34
BAB V

KESIMPULAN

Secara teoritis, kelima fase DVI seharusnya dikerjakan sesuai standar pada

setiap kasus bencana namun dalam kenyataannya sering kali menemui kendala teknis,

maupun nonteknis. Jumlah jenazah yang banyak, tempat penyimpanan jenazah yang

minim, waktu yang terbatas, jumlah dokter forensik yang terbatas, otoritas keluarga

serta kurangnya koordinasi menimbulkan masalah dalam menerapkan prosedur DVI

secara konsisten.

35
DAFTAR PUSTAKA

Asian Disaster Preparedness Centre (ADPC), 2000, Community Based Disaster


Management (CBDM): Trainer’s guide, Module 4: Disaster management,
Asian Disaster Preparedness Centre, Bangkok, Thailand

Baas, S., Ramasamy, S., DePryck, J.D. & Battista, F., 2008, Disaster risk
management systems analysis, A guide book, FAO, Rome.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Data dan informasi bencana Indonesia.


Diakses 14 Jan 2012. Diunduh dari: URL:
http://dibi.bnpb.go.id/DesInventar/dashboard.j
sp?countrycode=id&continue=y&lang=ID

Blaikie, P., Mainka, S. & McNeely, J., 2005, The Indian Ocean tsunami: Reducing
risk and vulnerability of future natural disasters and loss of ecosystem services,
Information Paper, The World Conservation Union (IUCN), Gland,
Switzerland.

BPDMP, 2013, Badakhshan provincial disaster management plan, Provincial


Disaster Management Committee, National Disaster Management Authority,
Islamic Republic of Afghanistan, Kabul.

Cannon, T., 2004, ‘At risk: Natural hazards, people’s vulnerability and disasters’,
paper presented at CENAT Conference, Ticino, Switzerland, 28 November–03
December

Contreras, D., 2016, ‘Fuzzy boundaries between post-disaster phases: The case of
L’Aquila, Italy’, International Journal of Disaster Risk Science 7, 277–292.
Cuny, F., 1998, Principles of management: Introduction to disaster
management, University of Wisconsin-Madison Press, Madison, WI.

INTERPOL. Disaster victim identification guide 2009.

Kelly, C., 1998, ‘Simplifying disasters: Developing a model for complex nonlinear
events’, paper presented at International Conference on Disaster Management:
Crisis and Opportunity: Hazard Management and Disaster Preparedness in
Australasia and the Pacific Region, Cairns, Queensland, Australia, November
1–4.

Kimberly, A., 2003, ‘Disaster preparedness in Virginia Hospital Centre-Arlington


after Sept 11, 2001’, Disaster Management Response 1(3), 80–86. https://doi.
org/10.1016/S1540-2487(03)00048-8

Kraas, F., 2008, ‘Megacities as global risk areas’, in J.M. Marzluff, W.


Endlicher, G. Bradley, U. Simon, E. Shulenberger, M. Alberti, et al. (eds.),

36
Urban ecology: An international perspective on the interaction between
humans and nature, pp. 583–596, Springer, New York, viewed 13 October
2016, from http://www. springer.com

Manja CD, Xiang LY. 2015. Analisis Ukuran Sinus Maksilaris Menggunakan
Radiografi Panoramik pada Mahasiswa Suku Batak Usia 20-30 Tahun di
Fakultas Kedokteran Gigi Sumatera Utara. Dentika Dental Journal ;18(2): 4-
101.

McEntire, D., Crocker, C.G. & Peters, E., 2010, ‘Addressing vulnerability through an
integrated approach’, Disaster Resilience in the Built Environment 1(1), 50–64.
https://doi.org/10.1108/17595901011026472

Mileti, D., 1999. Disasters by design: A reassessment of natural hazards in the


United States, Joseph Henry Press, Washington, DC.

Mulyono A, dkk., 2006, Pedoman penatalaksanaan identifikasi korban mati pada


bencana massal. 2nd ed. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta

Nordblad A. 2000. Quality Standard R elated to Forensic in General Dentistry.


In: Willems, Forensic odontology. Proceding of the European IOFOS
Millennium Meeting, Leuven, Belgium August 23-26. Belgium: Leuven
University Press: 17-22

Pusponegoro AD, dkk., 2006, Identifikasi korban bencana massal. In: Paturusi
IA, Pusponegoro AD, Hamuworno GB, (Eds)., Penatalaksanaan korban
bencana massal. 3rd ed, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta,
pages 123-30

Quarantelli, E.L., 1994, Twenty criteria for evaluating disaster planning and
managing and their applicability in developing societies, Preliminary Paper
#199, Disaster Research Center, University of Delaware, Delaware, Newarc, p.
49. Rich, P., 1992, ‘The organizational taxonomy: Definition and design’, The
Academy of Management Review 17(4), 758–781.

Silver WE, Souviron RR., 2009, Mass disaster. In: Dental autopsy, CRC Press
Taylor & Francis Group, Boca Raton, pages 133-43.

Van der Waldt, G., 2013, ‘Disaster risk management: Disciplinary status and prospects

for a unifying theory’, Jàmbá: Journal of Disaster Risk Studies 5(2), Art. #76, 1–11.

https://doi.org/10.4102/jamba.v5i2.76

37

Anda mungkin juga menyukai