Anda di halaman 1dari 34

Journal Reading

The Role of Forensic Anthropology in Disaster Victim


Identification (DVI): Recent Developments
and Future Prospects

Oleh:

Debbi Yulanda Putri 1840312623

Fajria Khalida 1940312010

Sri Yulia Esti 1940312009

Muhammad Hazqi Rama 1940312052

Preseptor:

dr. Taufik Hidayat, M. Sc, Sp. F

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL


PERIODE 26 DESEMBER 2019 -25 JANUARI 2020
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR M. DJAMIL PADANG
2020
Peran Antropologi Forensik dalam Disaster Victim
Identification (DVI): Perkembangan Terkini dan Prospek
Masa Depan

Abstrak
Pengetahuan antropologi forensik telah digunakan dalam Disaster Victim
Identification (DVI) selamlebih dari seabad, tetapi selama beberapa dekade terakhir,
telah terjadi sejumlah peristiwa bencana yang meningkatkan peran antropologi forensik.
Pengalaman yang didapat dari beberapa operasi DVI terbaru telah memberikan pelajaran
berharga yang memiliki pengaruh pada peran dan pentingnya antropologi forensik dari
tim yang mengelola proses DVI. Tulisan ini memberikan ikhtisar tentang bagaimana
antropologi forensik dapat berkontribusi pada proses DVI dengan penekanan pada
bagaimana pengalaman dan perkembangan terkini dalam antropologi forensik
menambah kontribusi ini. Karena itu tulisan ini mengulas pentinya keahlian antropologi
forensik di lokasi bencana dan di kamar mayat, dan membahas cara dimana antropologi
forensik dapat menggunakan keahliannya pada proses DVI. Strategi pengambilan sampel
jaringan untuk analisis DNA, terutama dalam kasus bencana dengan sejumlah besar sisa-
sisa tubuh yang terfragmentasi juga dibahas. Selain itu, pertimbangan yang diberikan
untuk identifikasi korban; dasar identifikasi statistik, tantangan terkait dengan beberapa
skenario bencana tertentu; dan pendidikan dan pelatihan. Meskipun antropolog forensik
dapat memainkan peran yang penting dalam berbagai fase operas i DVI, mereka tidak
pernah bekerja secara terpisah. Proses DVI membutuhkan pendekatan multidisiplin dan,
oleh karena itu, memiliki kerja sama yang erat dengan berbagai spesialis forensik
lainnya.

Pendahuluan
Bencana telah didefinisikan sebagai “gangguan serius dari fungsi komunitas
atau masyarakat yang menyebabkan kerugian manusia, material, ekonomi dan
atau lingkungan yang meluas yang melebihi kemampuan orang yang terkena
dampak komunitas atau masyarakat untuk mengatasinya ”[1]. Sementara bencana
mungkin disebabkan oleh alam atau manusia, beberapa negara melarikan diri dari
peristiwa yang mengakibatkan beberapa kematian [2, 3]. Identifikasi para korban
peristiwa-peristiwa ini dianggap sebagai tanda penghormatan yang penting bukan
hanya bagi almarhum tetapi juga untuk keluarga dan teman yang selamat. Selain
itu, identifikasi mungkin diperlukan secara hukum, contohnya untuk membantu
proses pidana, memfasilitasi penyelesaian tanah dan / atau warisan, atau hak
pasangan untuk menikah kembali. Karena itu proses spesifik telah dikembangkan
untuk memfasilitasi identifikasi positif dari korban [4].
Jumlah minimum kematian yang dikatakan merupakan "bencana massal"
berbeda antara yurisdiksi, bervariasi antara dua [5] dan 10 korban (2016, personal
communication with Leditschke; tidak direferensikan). Untuk meresmikan proses
identifikasi setelah bencana massal, International Criminal Police Organization
(INTERPOL) mengembangkan pedoman khusus dan protokol untuk identifikasi
korban bencana yang melibatkan pengumpulan dan perbandingan data
antemortem (AM) dan postmortem (PM). Interpol memiliki 190 negara anggota
dan, meskipun pedoman tersebut tidak wajib, namun diakui secara global [6].

Proses DVI telah memiliki cakupan luas dalam literatur. Ini sudah termasuk
uraian terperinci tentang lima fase yang mencakup waktu secara langsung
mengikuti bencana sampai dengan penguburan / kremasi mayat [4]:

Fase 1: lokasi bencana

Fase 2: pengumpulan data di kamar mayat / PM

Fase 3: pengumpulan data AM

Fase 4: rekonsiliasi

Fase 5: debrief

Selain itu, literatur telah membahas kebutuhan untuk data AM yang terperinci
[7, 8]; membangun kamar mayat sementara untuk kepentingan DVI [9, 10];
metode pengemasan dan pengawetan untuk bagian tubuh yang ditemukan di
tempat kejadian [11]; pengembangan kuantitatif alat pendukung keputusan [12,
13]; pendekatan khusus negara terhadap DVI [14, 15] bersama dengan studi-studi
kasus DVI [16]; politik yang terkait dengan DVI [17]; kebutuhan sensitivitas
budaya terhadap para korban dan keluarga [18, 19]; persiapan dan pelatihan [4,
20, 21], serta peran berbagai spesialis forensik yang terlibat dalam DVI termasuk
forensik patolog [22], odontolog forensik [23–25], ahli biologi molekuler [26-29],
ahli radiologi forensik [30–33], dan relatif baru-baru ini, para antropologi forensik
[34, 35].
Pengetahuan antropologi forensik telah digunakan dalam DVI selama lebih
dari seabad [34], tetapi baru hingga 1970 antropologi Amerika, Thomas Dale
Stewart menekankan pentingnya antropologi forensik dalam proses identifikasi
[36]. Sejak saat ini, telah ada sejumlah peristiwa bencana yang telah terjadi
meningkatkan peran antropolog forensik pada proses DVI. Peningkatan peran ini
ditambah dengan umpan balik yang diberikan setelah kejadian Boxing Day
Tsunami tahun 2004 di mana kehadiran antropolog forensik diakui bisa
bermanfaat dalam banyak kesempatan [37, 38]. Kurangnya protokol forensik
antropologi dengan INTERPOL dan kemungkinan terbatas untuk memasukkan
data antropologi fisik ke dalam sistem manajemen kasus yang digunakan (PLASS
DATA) ditambah dengan masalah dengan penggunaan spesialisasi ini. Pengakuan
nilai peran antropologi forensik dalam proses DVI telah tercermin dalam
dimasukkannya antropolog forensik dalam INTERPOL Patologi dan Antropologi
Sub-Kelompok Kerja (PASWG) [39]. Grup sub-kerja ini telah menyediakan
dokumen untuk INTERPOL yang merinci peran dan tanggung jawab forensik
antropolog untuk DVI yang akan dimasukkan dalam versi berikutnya dari
panduan INTERPOL DVI.

Sementara antropolog forensik berperan dalam fase yang berbeda pada DVI,
mereka tidak bekerja sendiri[40]. Antropolog forensik bekerja sebagai bagian dari
tim spesialis forensik, yang biasanya terdiri dari ahli patologi forensik, ahli
odontologi forensik, ahli radiologi, pemeriksa sidik jari, molekul ahli biologi,
teknisi kamar mayat, dan fotografer. Peran spesifik antropolog forensik dalam
masing-masing dari lima fase operasi DVI akan ditentukan oleh kondisi dan
mempertahankan mayat dan konteks dan skala bencana [41, 42].

Ada beberapa jenis bencana dengan skala yang berbeda yang dapat terjadi
secara alami (mis. badai, tsunami, kebakaran hutan, dan kebakaran rumah), atau
yang diinduksi manusia (mis. kecelakaan penerbangan, kereta api dan kendaraan,
pengepungan dan serangan teroris). Lebih lanjut, bencana mungkin digambarkan
sebagai "terbuka" (ketika jumlah tepatnya orang yang meninggal tidak diketahui
pada saat insiden, seperti pemboman bangunan oleh teroris), atau "tertutup"
(ketika ada daftar orang yang meninggal, seperti pada kecelakaan penerbangan)
[4]. Terlepas dari jenis atau skala, bencana melibatkan berbagai kekuatan yang
berdampak pada tubuh, berpotensi mengakibatkan berbagai jenis pengawetan. Ini
mungkin termasuk (tetapi tidak terbatas) utuh atau tubuh yang hampir utuh,
bagian-bagian tubuh yang dapat dikenali; massa jaringan lunak; trauma tulang
atau trauma yang terisolasi (dengan atau tanpa derajat luka bakar dan / atau yang
jaringan lunak yang membusuk); fragmen kecil tulang yang tidak terdiagnostik;
atau kombinasi keduanya. Tujuan dari tulisan ini adalah untuk memberikan
gambaran umum dari cara di mana antropolog forensik dapat berkontribusi pada
operasi DVI, dengan penekanan pada bagaimana pengalaman yang didapat dari
beberapa operasi DVI yang baru dan perkembangan terbaru dalam forensik
antropologi berdampak pada berbagai aspek proses DVI.

Di lokasi bencana

Di lokasi bencana, tekanan untuk mencari dan mengumpulkan tubuh untuk


memfasilitasi identifikasi yang tepat waktu secara umum bersaing dengan
kekacauan di lokasi dan sumber daya yang terbatas. Dalam lingkungan yang
menantang seperti itu, pengalaman telah menunjukkan bahwa pemetaan yang
lengkap, dan pencatatan tubuh, bagian tubuh, tulang (lengkap atau terfragmentasi)
dan bukti yang terkait sangat penting [43–45]. Seperti yang disorot Hinkes [46]
hampir 30 tahun yang lalu, kemampuan untuk mengenali sisa-sisa yang
terfragmentasi dan bangian tubuh sangat penting dalam situasi DVI [34]. Adalah
aksiomatis untuk menyatakan bahwa sisa tubuh manusia terlepas dari usaha
mempertahankannya, tidak bisa dikenali di TKP maka tidak bisa dicatat dan
dikumpulkan dengan tepat.

Evaluasi awal dari kondisi dan penjagaan jenazah di tempat kejadian secara
signifikan berdampak pada perencanaan logistik untuk pencatatan lengkap dan
pemulihan jenazah dan, setelah itu, tahap selanjutnya dari proses DVI [34].
Manajemen yang tepat waktu penting untuk mencegah fragmentasi atau
dekomposisi yang tak perlu. Berdasarkan keahlian mereka dalam berurusan
dengan jenaazah yang berbeda, antropolog forensik dapat memberikan kontribusi
penting di lokasi bencana. Bantuan mereka di tempat kejadian akan membantu
mencegah pengumpulan benda yang bukan berasal dari manusia atau benda bukan
tulang, sehingga mengurangi alokasi kasus dan pengunpulan data yang
berlebihan[45]. Selain itu, bantuan mereka di TKP memastikan bahwa setiap
bagian tubuh/fragmen telah dikumpulkan, dengan demikian meminimalisir
keperluan untuk pemeriksaan ulang tempat kejadian. Terakhir, ketika bagian
tubuh rentan untuk kerusakan, mereka dapat memberitahu cara terbaik
pengemasan dan transportasi sisa-sisa tubuh dalam meminimalisir kerusakan
dalam perjalanan.

Nilai yang ditambahkan dalam ekspertise antropologi forensik pada tempat


kejadian diilustrasikan dalam beberapa contoh. Seperti saat serangan teroris di
world trade center, new York tahun 2001, Sebagian umum pemadam kebakaran
melakukan proses pengumpulan awal. Sebagaimana mereka tidak terlatih dalam
teknik antropologi/arkeologi forensik dan tidak memiliki pengalaman dalam
mengetahui sisa-sisa fragmen yang banyak atau bagian-bagian yang terputus pada
manusia, proses penyelematan menimbulkan hasil yang bercampur sehingga
menyebabkan identifikasi yang lama dan membingungkan. (47) Demikian juga,
pada kebakaran hutan yang memengaruhi negara bagian Victoria, Australia di
tahun 2009, pemeriksaan awal pada banyak tempat kejadian tidak melibatkan
antropologis forensik (pada umumnya karena keterbatasan jumlah antropologis
forensik). Ini artinya bahwa tempat kejadian harus diselidiki lebih dari sekali yang
berimplikasi pada waktu dan finansial proses identifikasi. (48). Baru-baru ini juga,
setelah insiden MH17 di Ukraina tahun 2014, sukarelawan lokal yang secara
umum melakukan proses penyelamatan awal. Hal ini tidak terhindari akibat
adanya latar belakang perang saudara, tetapi membuat proses identifikasi
setelahnya menjadi rumit dan lama.

Pemetaan pada daerah bencana secara umum bukan menjadi hal utama yang
diperhatikan antropologis forensik. Tetapi, pada banyak negara, arkeologis
forensik dan antropologis forensik bekerja bersama saling terkait, dan kadang para
praktisi memiliki kedua kemampuan antropologikal dan arkeologikal (49) dengan
demikian, perkembangan forensik antropologi pada pemetaan, pencarian, dan
pemrosesan lokasi kejadian kejahatan atau daerah bencana berefek langsung pada
kemampuan yang di bawa oleh seorang antropologis forensik ke dalam scenario.
Guide INTERPOL DVI menganjurkan penggunaan sistem penandaan untuk
memetakan tempat kejadian bencana dan penggunaan label pengumpulan yang
dicetak untuk menandai seluruh tubuh atau bagian tubuh yang ditemukan di lokasi
kejadian (50) Metode ini mempunyai kelebihan tersendiri, terutama pada
lingkungan dengan keterbelakangan teknologi, tetapi selama beberapa tahun ini
metode-metode yang lebih maju telah dikembangkan (43,44,51,52). Penggunaan
alat pemetaan elektronik seperti total station, drone, atau alat GPS hand-held telah
menjadi hal utama pada forensik arkeologi (51,53) dan penggunaan kombinasi
alat-alat tersebut mampu membuat tim DVI memetakan daerah bencana secara
cepat. Penggabungan alat-alat penyedia pemetaan tersebut akan menyediakan
informasi penting, tidak hanya untuk tujuan perencanaan tetapi juga pencatatan
selanjutnya pada sisa-sisa tubuh manusia, Sejauh ini, penggunaan alat hand-held
(seperti hp atau alat yang tersambung dengan GPS) bisa digunakan untuk
mencatat secara elektronik lokasi bagian tubuh atau tipe pembuktian lainnya. Di
antara yang lain, ini bisa menghasilkan data yang dikompilasi otomatis pada
benda-benda yang diselamatkan. Hubungan langsung pada database DVI seperti
DVI system (dengan PLASS DATA) mengurangi kesulitan administrasi.

Teknik-teknik yang lebih maju ini secara khusus akan terbukti berguna pada
daerah bencana yang luas dan rumit, dan daerah bencana dimana sisa-sisa tubuh
manusia dan tipe pembuktian forensik lainnya diselamatkan secara simultan.

Pada kamar mayat

Selama bertahun-tahun, antropologis forensik telah membantu pada investigasi


bencana besar dengan melakukan suatu jangkauan analisis seperti:

 Memisahkan material tulang dan non tulang;


 Mengkonfirmasi sisa-sisa bagian yang ditemukan adalah milik manusia
(atau bukan manusia – jika tidak dilakukan di tempat kejadian (45) )
 Memisahkan fragmen yang dikenali dengan tidak dikenali yang
membutuhkan analisis DNA;
 Mengidentifikasi dan mengatur sisa-sisa tubuh yang bercampur aduk
(54,55) (yang mungkin membutuhkan penyusunan kembali bagian-
bagian tubuh yang terpisah (56) )
 Menyediakan profile biologis (perkiraan asal, jenis kelamin, usia dan
perawakan seseorang), jika mungkin termasuk informasi yang
diidentifikasi lainnya seperti riwayat fraktur, penyakit, dan variasi
anatomi sebelumnya;
 Membantu dalam rekonstruksi cara kematian, contohnya pada kasus
arah tembakan peluru dan menemukan pecahan peluru

Pada beberapa kasus, pemeriksaan pada kamar mayat menginformasikan


bagaimana lokasi kejadian baru harus dilakukan. Sebagai contoh, setelah
pemeriksaan awal pada bagian tubuh teroris yang terpisah-pisah pada serangan di
paris tahun 2015, fase pengumpulan kedua dilakukan di Bataclan concert hall
untuk menemukan bagian-bagian tubuh yang hilang.

Pada banyak konteks DVI, identifikasi akan dikonfirmasi secara relative lebih
cepat melalui odontologi, sidik jari atau DNA (57) Namun, ada banyak alasan
kenapa metode-metode tersebut bisa tertunda atau pada beberapa kasus mustahil
dilakukan. Pengawetan tubuh (bagian-bagian) (misalnya disebabkan oleh
penulangan, fragmentasi, dan atau degradasi), dan kualitas, kuantitas dan
ketersediaan data antemortem bisa membatasi kegunaan metode-metode yang
telah disebutkan. Telah dikenal dengan baik, sebagai contoh, komunitas yang
terpinggirkan adalah yang paling sering rentan terhadap kematian massal dan juga
menjadi yang paling rendah kemungkinannya memiliki data antemortem seperti
skema gigi, dan x-ray. Pengembangan profile biologis pada tahap triase dengan
demikian dapat menyediakan “potret” yang membantu pada identitas seseorang
sebelum informasi antemortem ditemukan. Hal ini bisa menyediakan suatu
pengarah yang penting untuk identifikasi yang positif dan dengan demikian
mempercepat proses identifikasi. Khasnya, parameter biologi yang paling berguna
dalam kasus ini adalah perkiraan jenis kelamin dan usia saat kematian, kegunaan
riwayat keturunan dan kerangka secara umumnya bernilai terbatas. (58) Informasi
lain yang secara potensial berguna dan bisa disediakan oleh antropologis forensik
adalah detail tentang kelainan tulang (57) dan anomali dan variasi tulang (59)

Saat ini telah dikenal baik bahwa standar populasi spesifik dibutuhkan ketika
mengembangkan profil biologis. Untuk alasan ini, projek penelitian dalam jumlah
besar dilakukan untuk mengembangkan metode antropologikal yang objektif dan
standar, atau untuk memeriksa keakuratan pada metode di luar populasi yang
berasal dari mereka. Penelitian yang sedang berlangsung secara terus menerus
memperluas kontribusi forensik antropologi pada identifikasi manusia (60).
Tingkatan untuk yang mana yang bisa dipakai pada dasarnya bergantung kepada
konteks dan sifat bencana.

Teknik Imaging

Metode-metode imaging seperti radiografi dan postmortem computed


tomography (PMCT) scan semakin sering digunakan selama pengoperasian DVI,
terutama akibat munculnya mesin portable x-ray dan mobile ct scanners. Analisa
yang dilakukan di kamar jenazah oleh antropologis forensik, yang melibatkan
analisis seperti gambaran radiologi kemungkinan meningkat. (61-64)

Penggunaan radiologikal imaging telah terbukti menguntungkan pada proses


identifikasi dalam berbagai cara. Hal ini dapat membantu dalam mengidentifikasi
dan mengumpulkan kembali bagian-bagian tubuh (65). Beserta mendokumentasi
informasi yang dapat berguna untuk identifikasi, seperti tampakan tampilan-
tampilan secara individu. (66), restorasi gigi, (67), implant/intervensi bedah, bukti
dari (sembuh sebagian) trauma tulang, dan bentuk tubuh tertentu masing-masing
orang, (30,64,68). Sebagai tambahan, ketika tersedia, lokasi kejadian AM dapat
dibandingkan dengan lokasi kejadian PM dalam rangka menyediakan sebuah
identifikasi (opsional). Ciri-ciri anatomi yang bisa digunakan untuk tujuan ini
termasuk pada morfologi sinus paranasal (66) atau alur pembuluh darah pada
permukaan endosteal di cranium (69)

Penggunaan scanning PMCT juga berguna dalam memberikan gambaran


singkat pada isi kantong mayat dan menyediakan cara yang mudah untuk
mencatat sisa-sisa tubuh yang diterima dalam keadaan “in-situ” masing-masing.
Hal ini terutama sangat berguna ketika pengoperasian tim DVI tidak melakukan
pengumpulan. Penggunaan scan dapat lebih jauh membantu ketika korban tidak
di otopsi secara penuh, sebagai contoh pada tujuan dokumentasi atau pemeriksaan
ulang (70-72)

Imaging juga dapat digunakan antropologis forensik untuk pengembangan


aspek-aspek variasi dari profil biologis orang yang meninggal. Selama bertahun-
tahun, telah terdapat peningkatan yang signifikan dalam jumlah penelitian yang
mengkombinasikan teknik radiologi imaging dengan metode forensik
antropologikal (73-75). Saat ini, teknik forensik antropologikal metrik tidak dapat
diterapkan sesegera mungkin pada rekonstruki volume rendered 3d karena
pengetahuan yang sedikit tentang bagaimana keakuratan metode tersebut
dipengaruhi oleh penggunaan gambar digital, sebagai contoh melalui petunjuk
yang diketahui atau variabilitas observer (76). Batasan ini tampaknya tidak
berlaku untuk rekonstruksi biasa planar yang dapat memberikan hasil yang
sebanding dibandingkan dengan pengukuran materi original osteologikal.
Penelitian telah menunjukkan bahwa hasil yang didapatkan ketika menggunakan
beberapa metode morfologi forensik antropologikal dapat dibandingkan dengan
hasil yang digunakan dengan metode yang sama menggunakan ct scan (77), tetapi
dibutuhkan penelitian lebih lanjut.

Pada banyak kasus, pekerjaan yang melibatkan penggunaan imaging dapat


bertumpang tindih dengan radiologis forensik (62,72,78) dan odontologis forensik
(79). Oleh karena itu sangat penting bahwa antropologis forensik bekerja sama
erat bersama kolega-kolega tersebut.

Sampling dna dan penanganan sisa-sisa fragmen

Ketika DNA diperlukan dalam proses identifikasi, antropologis forensik


(dalam kolaborasi dengan biologis) dapat berkontribusi dalam pengembangan
protokol sampling DNA. (80,81). Pada kasus sisa-sisa tubuh yang hancur berat
yang dimana biasanya akibat ledakan bom atau kecelakaan pesawat, antropologis
forensik dapat berkontribusi secara substansial dengan menggunakan pengetahuan
mereka tentang biologi tulang dan taphonomy untuk memilih sampel yang paling
layak untuk analisis DNA (82-84). Sebagai contoh, selama pengoperasian tim
DVI pada saat bom bali 2002, yang sangat megandalkan analisis DNA (85),
pengumpulan dan pengidentifikasian jaringan lunak dan fragmen tulang yang
layak untuk pemeriksaan DNA merupakan yang terpenting. Akibat fragmentasi
tingkat tinggi itu khas pada individu yang dekat dengan daerah ledakan, (86),
kemampuan untuk mengenali sisa-sisa berfragmen yang banyak juga penting
untuk menyediakan detail tentang pola pikir individu yang berada di pusat
ledakan. (87)

Berdasarkan sifat dari bencana, skala fragmentasi dan bagian bercampur aduk
hal tersebut dapat membutuhkan rencana manajemen yang secara spesifik
mengurus sisa-sisa fragmen (88). Jika keputusan untuk mengumpulkan kembali
setiap bagian tubuh dengan individu yang bernama definisi dari apa yang
merupakan bagian tubuh harus secara jelas dinyatakan dan dikomunikasikan
kepada petugas tempat kejadian dan kamar mayat. Saat ini, tidak ada definisi
standar dari "bagian tubuh" dan definisi termasuk: semua jaringan manusia yang
dicurigai lebih besar dari 5 cm x 5 cm; jaringan manusia yang mengandung
setidaknya 5 cm tulang; jaringan manusia dengan "peluang identifikasi yang adil";
dan hanya bagian-bagian yang dapat diidentifikasi secara anatomis, terlepas dari
ukurannya.

Menyusul insiden pesawat MH17 pada tahun 2014, sebagian besar sisa-sisa
manusia yang ditemukan adalah tipikal dari bencana penerbangan, yaitu
bercampur secara luas, kerangka, dan / atau terfragmentasi. Selama operasi DVI
akhirnya diputuskan bahwa setiap fragmen tulang manusia yang tidak dikalsinasi
dengan berat lebih dari 3 g yang tidak dapat dikaitkan kembali dengan fragmen
kerangka lain akan diserahkan untuk analisis DNA. Sementara pengecualian
material non-manusia dan re-asosiasi fragmen kerangka manusia yang lebih besar
oleh antropolog forensik sangat mengurangi jumlah sampel yang diajukan untuk
DNA, namun ribuan fragmen tulang memerlukan analisis (baik morfologis dan
DNA). Ini menggambarkan perlunya manajemen yang efektif dari bagian-bagian
tubuh dengan perencanaan strategis yang proaktif dan keputusan manajerial ketika
sejumlah besar fragmen tetap ditemukan. Pengalaman telah menunjukkan bahwa
masalah-masalah ini harus ditangani sedini mungkin, lebih pada tahap
perencanaan strategis awal operasi DVI. Masukan oleh pakar forensik, termasuk
antropolog forensik, sangat penting untuk menyelesaikan rencana kerja yang
bijaksana untuk setiap konteks tertentu. Sementara beberapa organisasi seperti
Badan Hukum Medico Asia Pasifik (APMLA) telah menghasilkan dokumen yang
berkaitan dengan pengelolaan fragmen manusia yang tersisa [88], INTERPOL
PASWG saat ini bekerja mengembangkan dokumen yang akan memfasilitasi
identifikasi keputusan manajerial yang paling penting. dan menambah rekaman
kerangka / sisa-sisa yang terfragmentasi.

Identifikasi korban hidup

Meskipun DVI umumnya berfokus pada identifikasi orang yang meninggal,


identifikasi korban yang selamat dari peristiwa kematian massal juga perlu
dipertimbangkan dalam setiap tanggapan DVI. Sebagian besar identifikasi
makhluk hidup tidak memerlukan keahlian antropologis forensik, tetapi bencana
baru-baru ini menunjukkan bahwa antropolog forensik dapat dimasukkan dalam
proses [89].

Identifikasi korban hidup penting dalam bencana terbuka dan tertutup.


Namun, identifikasi yang tepat waktu dari korban yang selamat dalam bencana
terbuka memiliki dampak penting pada proses identifikasi karena memungkinkan
mereka untuk dihilangkan dari daftar orang hilang. Ini juga dapat berdampak pada
mereka yang selamat, karena tim medis akan dihadapkan dengan kebutuhan untuk
memberikan perawatan medis tanpa adanya informasi latar belakang (medis).
Ketika orang yang selamat adalah anak di bawah umur yang tidak dikenal,
kurangnya persetujuan untuk perawatan medis dari orang dewasa yang tepat juga
harus diperhitungkan.

Korban selamat milik salah satu dari empat kelompok. Kelompok pertama
termasuk mereka yang tidak terluka dan dengan demikian diharapkan
meninggalkan lokasi kejadian kematian sendiri. Kelompok kedua termasuk
mereka yang terluka tetapi masih sadar. Keterlibatan antropolog forensik dalam
kedua kelompok minimal [90]. Untuk individu yang menerima perawatan medis,
harus diingat bahwa setiap data identifikasi yang dikumpulkan oleh tim medis
perlu diteruskan ke tim identifikasi dan berisi rincian yang diperlukan untuk
identifikasi. Untuk ini, orang yang bertanggung jawab atas proses identifikasi
harus menugaskan petugas untuk secara khusus memulihkan dan menyusun data
ini di pusat perawatan medis.

Dua kelompok terakhir termasuk mereka yang terluka, penurunan kesadaran


dan selamat dari cedera mereka; dan mereka yang terluka, penurunan kesadaran,
dan membutuhkan taalaksana luka-luka mereka di rumah sakit. Kelompok-
kelompok ini menyajikan apa yang mungkin dianggap sebagai masalah terbesar
dalam proses identifikasi, yang merupakan individu-individu yang sangat terluka
sehingga mereka tidak dapat menyampaikan rincian mereka. Dalam kasus-kasus
ini menjadi semakin umum untuk melakukan identifikasi melalui penerapan
proses yang sama yang digunakan untuk mengidentifikasi orang yang meninggal.
Pendekatan ini terbukti sangat efektif setelah serangan teroris di Paris pada 2015
dan Nice pada 2016 [71, 91]. Namun, keefektifan pendekatan ini bergantung pada
fakta bahwa sampai diidentifikasi, bagian yang terluka parah dari kelompok yang
hilang yang diduga untuk siapa data AM akan dikumpulkan.

Untuk melengkapi dokumentasi DVI untuk tujuan identifikasi, informasi


yang sama dikumpulkan dari pasien yang tidak sadar dan orang yang meninggal
[92]. Usap DNA dipulihkan untuk membuat profil DNA. Sidik jari dan status gigi
juga dapat dipulihkan jika memungkinkan, meskipun keberhasilannya tergantung
pada cedera yang diterima [93].

Untuk mendapatkan informasi lebih lanjut, pmeriksaan pencitraan memiliki


peran penting dan penggunaan dari radiografi dan CT scan selama triase medis
dan perawatan. Antropolog forensik dapat melengkapi analisis ahli radiologi, ahli
patologi forensik, dan odontolog forensik, dengan mengembangkan profil
biologis, atau mengomentari keberadaan patologi atau implan dan informasi lain
yang dapat digunakan untuk mengarahkan pengumpulan dan pencocokan data
identifikasi. Juga pengetahuan tentang variasi fitur eksternal seperti warna kulit
dan warna rambut mungkin terbukti bermanfaat untuk proses identifikasi.
Identifikasi orang yang hidup dengan cara ini dapat bekerja berdampingan dengan
identifikasi orang yang sudah meninggal untuk memastikan bahwa proses
identifikasi tidak macet karena kurangnya informasi.

Penggunaan teorema Bayes dalam identifikasi antropologis forensik

Antropolog forensik semakin sadar bahwa mereka perlu mengukur kinerja


metode mereka dan ini telah menyebabkan peningkatan selanjutnya metode
statistik probabilistik dalam antropologi forensik. Ini pada gilirannya memiliki
efek penting pada cara di mana antropolog forensik mendekati identifikasi
manusia. Pengetahuan tentang latar belakang teoritis dari perkembangan ini, dan
kemampuan untuk menggabungkan metode statistik terbaru dalam kerja lapangan
DVI bermanfaat untuk memperkuat identifikasi yang diusulkan dan, oleh karena
itu, semakin banyak diminta oleh para antropolog forensik.

Secara karakteristik, antropolog forensik fokus pada bias, presisi, dan akurasi
metode mereka. Bias dan presisi berhubungan dengan kesalahan sistematis dari
suatu metode, misalnya, variasi antar dan intra-pengamat dan varians statistik.
Keakuratan suatu metode ditentukan oleh sejauh mana hasil dari metode tersebut
sesuai dengan nilai sebenarnya, misalnya persentase estimasi jenis kelamin yang
benar.

Untuk tujuan identifikasi manusia, karakteristik pengujian ini sebaiknya


dikombinasikan dengan data kontekstual menggunakan pendekatan Bayes, dan
meningkatnya penggunaan pendekatan ini mengharuskan antropolog forensik
untuk memahami penggunaannya. Teorema Bayes menggambarkan keyakinan
sebelumnya tentang suatu peristiwa yang telah diinformasikan atau diperbarui
berdasarkan pertimbangan bukti tambahan. Ini umumnya digunakan dalam
berbagai metode identifikasi manusia yang analisis perbandingan DNA. Teorema
tersebut menyatakan bahwa peluang posterior dari suatu identifikasi disediakan
oleh perbanyakan dari peluang sebelumnya dari identifikasi tersebut dengan nilai
bukti dari pengamatan tertentu. Dengan kata lain, probabilitas identifikasi yang
benar (posterior odds) sama tergantungnya pada probabilitas identifikasi yang
benar sebelum melakukan metode identifikasi (prior odds) seperti pada nilai bukti
metode identifikasi yang sama.
Nilai bukti ini diperoleh dari rasio kemungkinan. Rasio kemungkinan adalah
rasio dua probabilitas, yaitu probabilitas pengamatan dari hipotesis yang diajukan
adalah benar, dan probabilitas pengamatan yang sama dari hipotesis alternatif
(saling eksklusif) benar. Dengan demikian, rasio kemungkinan menyatakan
besarnya dengan mana bukti spesifik mempengaruhi kemungkinan dua hipotesis
yang bersaing. Dalam konteks antropologi forensik dan identifikasi manusia, rasio
kemungkinan dapat digunakan untuk menyatakan sejauh mana identifikasi
menjadi lebih atau kurang mungkin, mengingat hasil tes (forensik antropologi).
Sebagai efek samping, ini juga dapat digunakan sebagai sarana untuk
memprediksi nilai tambah dari metode identifikasi yang diberikan konteks kasus.

Teorema Bayes dapat digunakan dalam dua skenario yang berbeda sehingga
antropolog forensik mungkin bisa menghadapi dua skenario. Dalam skenario
pertama, antropolog forensik menyusun profil biologis sisa-sisa untuk
memberikan arahan untuk identifikasi. Dalam skenario kedua, ahli antropologi
forensik menguji identifikasi tentatif terhadap informasi biologis sisa-sisa.

Adopsi pendekatan Bayesian memiliki banyak manfaat. Pertama, ini


memungkinkan seorang antropolog forensik untuk mengukur nilai bukti dari
pengamatan secara transparan. Kedua, memungkinkan untuk penilaian cepat
informasi referensi mana yang diperlukan untuk pernyataan probabilistik yang
tepat. Pengumpulan data referensi semacam itu umumnya menantang, tetapi
diharapkan dengan pengembangan metode yang lebih canggih untuk mengukur
variabilitas manusia (mis. Pembelajaran mesin dan pemrosesan gambar otomatis)
dan meningkatnya ketersediaan data referensi skala besar (misalnya melalui
pemerintah atau database medis) pengetahuan kita tentang peluang sebelumnya
dan nilai bukti metode antropologis forensik akan meningkat secara substansial.
Ketiga, penggunaan rasio kemungkinan memungkinkan untuk kombinasi yang
relatif mudah dari berbagai bukti, baik antropologis forensik di alam atau dari
disiplin forensik lainnya.

Penting untuk dicatat bahwa subjektivitas aspek metodologi antropologis


forensik tidak menghalangi perhitungan rasio kemungkinan. Suatu sifat tidak
harus unik atau langka untuk memiliki nilai bukti. Setiap sifat memiliki nilai
bukti. Secara alami, metode yang kurang subyektif dan lebih akurat akan
menghasilkan rasio kemungkinan yang lebih tinggi, tetapi bahkan rasio
kemungkinan yang relatif rendah pun dapat memberikan informasi yang
bermanfaat. Pengamatan antropologis forensik yang umumnya memberikan rasio
kemungkinan yang relatif rendah dapat menghasilkan bukti yang sangat kuat
untuk identifikasi tentatif ketika dikombinasikan [109]. Ini sangat relevan dalam
kasus-kasus di mana metode ilmiah yang disebut dengan nilai-nilai bukti
umumnya lebih tinggi (seperti DNA, sidik jari atau odontologi) tidak layak.

Meskipun Hal ini sangat relevan dalam kasus-kasus di mana metode ilmiah
yang disebut dengan nilai-nilai bukti umumnya lebih tinggi (seperti DNA, sidik
jari atau odontologi) tidak layak.

Perubahan sistem operasi DVI

Setiap bencana memiliki ciri khas dan akibat yang berbeda-beda, respon dari
DVI dihadapkan pada tantangan yang berbeda dan terkadang hal tersebut tidak
pernah terjadi sebelumnya. Meskipun demikian, trend khusus dalam skala dan
jenis bencana dapat terlihat jelas. Trend ini telah mengubah cara pikir otoritas dan
ahli forensik tentang mempersiapkan dan mengimplementasikan DVI dan
memiliki beberapa keterbatasan terkait dengan proses INTERPOL DVI
tradisional. Bencana skala besar - peristiwa yang mengakibatkan kematian
puluhan hingga ratusan ribu orang - semakin sering terjadi. Sebagai contoh, total
13 negara terkena dampak tsunami Boxing Day 2004 dengan lebih dari 226.000
kematian. Operasi Identifikasi Korban Tsunami Thailand / Thai Tsunami Victim
Identification (TTVI) adalah operasi identifikasi korban terbesar dalam sejarah.
Awalnya 5.395 korban ditemukan, dimana sekitar 3.308 diidentifikasi (terutama
dari catatan gigi) dari 40 negara setelah tiga setengah tahun penyelidikan. Operasi
ini dianggap oleh beberapa orang sebagai salah satu yang paling sukses dari
jenisnya, tetapi laporan keuangan dan waktu dari proses tersebut telah membuat
orang lain menggambarkannya sebagai upaya yang sangat besar dengan hasil
yang sederhana. Akibatnya, semakin banyak pengakuan tentang pentingnya
manajemen mayat yang tepat, yang biasanya melibatkan penguburan massal yang
direncanakan dengan tepat. Manajemen mayat profesional tidak hanya merupakan
cara awal untuk menghormati almarhum pada saat infrastruktur dan kapasitas
lokal hancur, tetapi juga merupakan sarana untuk menambah kemungkinan
identifikasi di masa depan. Manajemen mayat membutuhkan peningkatan
kesadaran di antara mereka yang awalnya terkena dampak bencana dan antropolog
forensik telah memainkan peran penting dalam memberikan pelatihan manajemen
tubuh mayat kepada responden pertama ini.

Tantangan lain yang relatif baru adalah banyaknya kematian yang terkait
dengan migrasi (pengungsi) yang terjadi di misalnya wilayah Mediterania, Afrika
Sub-Sahara, di perbatasan AS-Meksiko dan di Australasia. Intinya, setiap wilayah
harus mempertimbangkan kematian ini sebagai bagian dari bencana besar,
multinasional, dan berlarut-larut yang membutuhkan respons DVI yang sama-
sama internasional dan rumit. Kurangnya daftar orang hilang secara umum (dan
akibatnya dari data AM), dan kebutuhan untuk mengintegrasikan data PM dari
berbagai negara dan kamar mayat, membutuhkan tingkat kolaborasi yang belum
pernah terjadi sebelumnya antara pemerintah, organisasi kemanusiaan dan praktisi
forensik. Karena identifikasi para migran yang meninggal umumnya tidak layak
dengan analisis DNA, odontologi atau sidik jari, pengembangan dan penerapan
metode identifikasi alternatif, seperti profil biologis antropologis diperlukan.

Korban massal setelah serangan teroris merupakan jenis bencana lain yang
mewakili tantangan khusus bagi tim DVI. Sifat kriminal dari peristiwa semacam
itu biasanya mengubah prioritas lembaga pemerintah yang mengawasi, karena
pihak berwenang dihadapkan dengan kebutuhan untuk menggabungkan
penyelidikan pidana dengan identifikasi korban yang meninggal. Dalam kasus ini,
operasi DVI biasanya bersifat sekunder untuk hal-hal yang lebih mendesak seperti
pencarian pelaku dan / atau antisipasi serangan lebih lanjut. Beberapa negara
memiliki tim responden pertama khusus untuk insiden teroris, dan sangat penting
bahwa tim DVI menyadari peran mereka dalam investigasi kriminal yang lebih
luas. Berdasarkan pengalaman terakhir, tim DVI harus siap untuk berbagai
skenario seperti lokasi bencana tunggal atau ganda, baik yang terjadi sekaligus
atau secara berurutan. Selain itu, mereka harus siap untuk berbagai jenis serangan
seperti penembakan, penikaman, pemboman (bunuh diri), kendaraan atau skenario
Kimia, Biologis, Radiologis dan Nuklir (CBRN). Kolaborasi erat antara
penyelidik kriminal dan tim DVI, yang mau tidak mau akan bersama-sama
melakukan investigasi masing-masing, memastikan bahwa korban, pelaku, dan
semua jenis bukti dipulihkan secara tepat waktu dan tepat sasaran. Penting untuk
diingat bahwa tim DVI selalu tunduk pada batasan dan hukum negara tempat
mereka bekerja dan harus menyesuaikan prosedur investigasi dan identifikasi
mereka.

Pendidikan antropologi forensik dan DVI

Selain keahlian umum mereka untuk mengenali dan mengidentifikasi


kerangka, serta pemahaman ilmiah yang kuat, terdapat sejumlah keterampilan
tambahan yang diperlukan dari antropolog forensik yang bekerja sebagai bagian
dari tim DVI. Ini termasuk tetapi tidak terbatas pada pemahaman tentang lima fase
proses DVI; yaitu keterbiasaan dengan dokumentasi yang diperlukan; pemahaman
tentang undang-undang dan hierarki negara tempat operasi DVI dilakukan; dan
pengalaman dalam analisis gambar termasuk pemindaian PMCT.

Dalam beberapa tahun terakhir, terjadi peningkatan dalam jumlah sarjana


dan program pascasarjana yang ditawarkan dalam antropologi forensik dan terus
ada permintaan siswa yang besar untuk program tersebut. Banyak yang memiliki
gelar sarjana ini, namun, mereka tidak mendapatkan skenario pelatihan dalam
kematian massal sehingga tidak cukup untuk melengkapi. ahli antropologi
forensik yang baru dengan keterampilan untuk menjadi bagian dari tim DVI.
Selain mata kuliah di universitas, banyak negara telah mencoba untuk
menciptakan sebuah sistem di mana pengalaman dan keahlian antropolog forensik
diakui secara formal. Ini biasanya dalam bentuk proses akreditasi atau sertifikasi
yang diawasi oleh badan profesional. Saat ini, kontrol kualitas ini bervariasi dari
satu negara ke negara dan bahkan di mana ini ada, kepatuhan tidak wajib (lihat
Amerika Serikat (http://theabfa.org/), ForensicAnthropology Society Europe
(FASE) (http: // www.
forensicanthropology.eu/index.php/activities/fasecertification-process) dan Royal
Anthropological Institute, Inggris
(https://www.therai.org.uk/forensicanthropology)). Namun, dalam masing-masing
kasus ini, proses sertifikasi memiliki keuntungan menyediakan pengguna akhir
(yaitu tim DVI) dengan indikasi pengalaman dan keahlian antropolog forensik.
Proses sertifikasi menyediakan akses bagi antropolog forensik untuk pembinaan
dan pengembangan untuk menjadi seorang yang profesional, yang memungkinkan
mereka untuk maju ketika mereka mendapatkan pengalaman. Bahkan di mana
sistem ini ada, namun, tidak ada persyaratan untuk antropolog forensik untuk
mendapatkan pengalaman DVI bekerja dalam lingkungan kamar mayat bencana.
Banyak praktisi baik yang berbasis di institut kedokteran forensik, kantor
pemeriksa medis, atau universitas hanya akan memperoleh pengalaman bekerja
secara mandiri atau sebagai bagian dari tim kecil dalam kasus domestik.

Oleh karena itu, sangat penting bahwa peluang pelatihan dalam DVI
disediakan untuk antropolog forensik untuk mengembangkan kesiapan DVI.
Kesadaran yang meningkat tentang proses DVI dapat diperluas dengan sejumlah
cara termasuk penyediaan kursus singkat dalam tingkat universitas. Di luar
lembaga-lembaga ini pelatihan praktis juga penting untuk memastikan
pemahaman tentang peran mereka di kamar mayat atau tempat. Selain itu,
memahami peran mereka sendiri, sangat penting bagi antropolog forensik untuk
memiliki pemahaman tentang peran staf lain yang akan mereka tangani bersama.
Pelatihan-pelatihan yang dilakasanakan dapat membantu, dan sistem pelatihan
lokal apa pun harus mencakup semua anggota tim DVI. Suatu hal yang sangat
penting yaitu ketersediaan waktu untuk refleksi jujur tentang pelajaran yang
dipetik dari latihan; disebut dengan fase "debrief".

Saat latihan ada, refleksi transparan pada tanggapan masa lalu terhadap
peristiwa kematian massal juga dapat berperan dalam proses pembelajaran ini dan
publikasi dari praktisi menambah kumpulan pengetahuan yang tersedia untuk
semua praktisi. Seperti yang diuraikan sebelumnya, antropolog forensik dapat
bekerja dengan teknisi kamar mayat, ilmuwan DNA, dan ahli patologi forensik
dalam tahap audit dan peninjauan DVI. Pendekatan lain juga dapat membantu
pelatihan karena penerapan proses DVI tidak terbatas pada peristiwa kematian
massal. Di beberapa bagian Inggris dan Australia, tim DVI lokal (atau personel
yang terlatih dalam proses DVI) digunakan sebagai tanggapan terhadap peristiwa
domestik, yang mungkin tidak memenuhi kriteria untuk digambarkan sebagai
"kematian massal" (lihat diskusi di atas), tetapi yang melibatkan fragmentasi
tubuh / badan. Termasuk ahli antropologi forensik dalam kasus-kasus ini
memastikan peningkatan kesadaran akan peran berbeda yang dimainkan anggota
DVI serta proses dan dokumentasi DVI.

Akhirnya, untuk menjamin bahwa pelatihan antropolog forensik yang


kurang berpengalaman dalam tanggapan DVI didukung penuh oleh antropolog
forensik senior, setiap negara harus memiliki proses pembinaan yang memastikan
bahwa ketika seorang antropolog forensik yang lebih berpengalaman ditempatkan,
tim mereka, di mana saja mungkin, harus menyertakan seorang antropolog
forensik yang masih mendapatkan pengalaman DVI. Hal ini memungkinkan
transfer pengetahuan dan meningkatkan kumpulan antropolog forensik potensial
yang tersedia ketika bencana terjadi.

Penutup

Memiliki pengetahuan khusus tentang anatomi manusia dan


variabilitasnya, para antropolog forensik terus-menerus mempertimbangkan
metode dan teknik baru untuk menambah identifikasi manusia saat hasil
pelestarian pelestarian kerangka sangat terganggu. Sehingga, tergantung pada sifat
bencana, adanya seorang antropolog forensik dalam operasi DVI akan secara
substansial berkontribusi untuk mempercepat identifikasi, seperti yang
ditunjukkan oleh peran kuat yang dimainkan oleh para antropolog forensik dalam
peristiwa kematian massal baru-baru ini. Peran antropolog forensik dalam DVI
akan terus berkembang, tergantung pada perkembangan terakhir dan masa depan,
dalam disiplin mereka sendiri, dan terkait, forensik. Makalah ini telah
memberikan beberapa contoh perkembangan tersebut dan pengaruhnya terhadap
proses DVI.

Kelanjutan pengembangan profesional dalam antropologi forensik sangat


penting untuk terus memberikan masukan yang sangat terampil di masa depan.
Peran yang dimainkan oleh para antropolog forensik senior dalam memastikan
bahwa mereka mendukung pelatihan dalam proses DVI dan memberikan
bimbingan profesional kepada kolega yang kurang berpengalaman akan
memastikan bahwa peran ini tetap menjadi peran yang terus menambah nilai pada
respons tim DVI.

Identifikasi para korban peristiwa kematian massal massal adalah suatu


pekerjaan yang penuh tekanan dan kompleks yang membutuhkan upaya gabungan
dari semua anggota tim multidisiplin. Tidak selalu diperlukan untuk
memanfaatkan keterampilan dan keahlian seorang antropolog forensik, tetapi
dalam banyak operasi DVI mereka akan terbukti menjadi aset yang berharga.

Ucapan Terimakasih
Hans H. de Boer ingin mengucapkan terimakasih kepada Mike Groen, forensik
arkelolog dari Netherlands Forensic Institute untuk masukan pada paragraf
bencana.

Kepatuhan dengan Standar Etika


Arikel ini tidak mengandung studi dengan objek manusia atau hewan.

Pernyataan Penutup
Tidak ada konflik kepentingan penulis

ORCID
Hans H. de Boer http://orcid.org/0000-0001-8590-0945
DAFTAR PUSTAKA

1. United Nations International Strategy for Disaster Reduction: United


Nations; 2018 [14/02/18].
2. Kiv S, Douthit N, Shack A, et al. Epidemiology and history of natural
disasters and mass casualties. In: Wolfson N, Lerner A, Roshal L, editors.
Orthopedics in disasters: orthopedic injuries in natural disasters and mass
casualty events. Berlin:Springer-Verlag; 2016. p. 7–20.
3. Li W, Redmond A. Individual preparedness in disaster response. In:
Wolfson N, Lerner A, Roshal L, editors. Orthopedics in disasters:
orthopedic injuries in natural disasters and mass casualty events. Berlin:
Springer-Verlag; 2016. p. 83–95.
4. Blau S, Hill T. Disaster victim identification: a review. Minerva
Medicolegale. 2009;129:35–46.
5. Stevens PJ. Investigation of mass disaster. In: Mant AK, editor. Modern
trends in forensic medicine no. 3. London: Butterworths; 1973. p. 170–
192.
6. Bikker J. Identification of missing persons and unidentified remains in
disaster victim identification recommendations and best practice. In:
Mallett X, Blythe T, Berry R, editors. Advances in forensic human
identification. Boca Raton (FL):Taylor and Francis; 2014. p. 37–58.
7. Blau S, Hill A, Briggs C, et al. Missing persons – missing data: examining
the need for the collection of ante-mortem dental records of missing
persons. J Forensic Sci. 2006;51:386–389.
8. Simmons T, Skinner M, editors. The accuracy of ante-mortem data and
presumptive identification: appropriate procedures, application and ethics.
Proceedings of the American Academy of Forensic Sciences; 2005;
Seattle: AAFS.
9. Eitzen D, Zimmermann A. Setting up an off-site emergency mortuary
facility (EMF) to deal with a DVI incident: disaster victim management
(DVM). Forensic Sci Med Pathol. 2011;8:189–193.
10. Byard RW, Cooke C, Leditsche J. Practical issues involved in setting up
temporary mortuaries after mass disasters. Forensic Sci Med Pathol.
2006;2:59–61.
11. Khoo LS, Lai PS, Saidin MH, et al. Cling film plastic wrap: an innovation
for dead body packaging, preservation and transportation by
firstresponders as a replacement for cadaver body bag in large scale
disasters. Forensic Sci Int. 2018;285:50–57.
12. de Cosmo S, Barbera JA. Rapid disaster victim identification in mass
fatality incidents: decision support tool to facilitate human remains
identification. Disaster Med Public Health Prep. 2012;6:277–290.
13. Slooten K. Validation of DNA-based identification software by
computation of pedigree likelihood ratios. Forensic Sci Int Genet.
2011;5:4.
14. Levison J. Israeli response to mass death. Disaster Prev Manage: Int J.
2011;20:485–498.
15. de Boer HH, Maat GJR. The Dutch approach in disaster victim
identification. J Med Leg Droit Med. 2016;59:85–91.
16. Black S, Sunderland G, Hackman L, et al., editors. Disaster victim
identification: experience and practice. Boca Raton (FL): CRC Press;
2011.
17. Merli C, Buck T. Forensic identification and identity politics in 2004 post-
tsunami Thailand: negotiating dissolving boundaries. Hum Remains
Violence. 2015;1:3–22.
18. Wilder A. “Locals within locals”: cultural sensitivity in disaster aid.
Anthropol Today. 2008;24:1–3.
19. Sahelangi P, Novita M. Role of dentists in Indonesian disaster victim
identification operations: religious & cultural aspects. J Forensic
Odontostomatol. 2012;30:60–71.
20. Byard RW, Winskog C. Potential problems arising during international
disaster victim identification (DVI) exercises. Forensic Sci Med Pathol.
2010;6:1–2.
21. Winskog C, Tonkin A, Byard RW. The educational value of disaster
victim identification (DVI) missions—transfer of knowledge. Forensic Sci
Med Pathol. 2012;8:84–87.
22. Schuliar Y, Knudsen PJT. Role of forensic pathologists in mass disasters.
Forensic Sci Med Pathol. 2012;8:164–173.
23. Verma AK, Kumar S, Rathore S, et al. Role of dental expert in forensic
odontology. Natl J Maxillofac Surg. 2014;5:2–5.
24. Tengrove HG. Forensic odontology in disaster victim identification. In:
Taylor JA, Kieser JA, editors. Forensic odontology: principles and
practice. London: A. Taylor and Jules A. Kieser; 2016. p. 286–335.
25. Berketa JW, James H, Lake AW. Forensic odontology involvement in
disaster victim identification. Forensic Sci Med Pathol. 2012;8:148–156.
FORENSIC SCIENCES RESEARCH 311
26. Montelius J, Lindblom B. DNA analysis in disaster victim identification.
Forensic Sci Med Pathol. 2012;8:140–147.
27. Parsons TJ, Huel R, Davoren J, et al. Application of novel “miniamplicon”
STR multiplexes to high volume casework on degraded skeletal remains.
Forensic Sci Int Genet. 2007;1:175–179.
28. Sozer AC. DNA analysis for missing person identification in mass
fatalities. Boca Raton (FL): CRC Press; 2014.
29. Prinz M, Carracedo A, Mayr WR, et al. DNA Commission of the
International Society for Forensic Genetics (ISFG): recommendations
regarding the role of forensic genetics for disaster victim identification
(DVI). Forensic Sci Int Genet. 2007;1:3–12.
30. Sidler M, Jackowski C, Dirnhofer R, et al. Use of multislice computed
tomography in disaster victim identification—advantages and limitations.
Forensic Sci Int. 2006;169:118–123.
31. Walsh M, Reeves P, Scott S. When disaster strikes; the role of the forensic
radiographer. Radiography. 2004;10:33–43.
32. O’Donnell C, Iino M, Mansharan K, et al. Contribution of postmortem
multidetector CT scanning to identification of the deceased in a mass
disaster: experience gained from the 2009 Victorian bushfires. Forensic
Sci Int. 2011;205:15–28.
33. Ruder TD, Kraehenbuehl M, Gotsmy WF, et al. Radiologic identification
of disaster victims: a simple and reliable method using CT of the paranasal
sinuses. Eur J Radiol. 2012;81:e132–e138.
34. Mundorff AZ, Black S, Blau S, et al. Disaster Victim Management—the
role of the anthropologist. In: Payne-James J, Byard RW, editors.
Encyclopedia of forensic and legal medicine. 2nd ed. London (UK):
Elsevier; 2016. p. 288–304.
35. Sledzik P, Mundorff AZ. Forensic anthrology in disaster responce. In:
Blau S, Ubelaker DH, editors. Handbook of forensic anthropology and
archaeology. 2nd ed. London (UK): Routlegde; 2016. p. 477–495.
36. Stewart TD, editor. Personal identification in mass disasters. Washington,
DC: Smithsonian Institution; 1970.
37. Kieser J. Silence of the limbs – reinventing forensic anthropology. HOMO
– J Comp Hum Biol. 2009;60:247.
38. Black S. Disaster anthropology: the 2004 Asian tsunami. In: Blau S,
Ubelaker DH, editors. Handbook of forensic anthropology and
archaeology. 2nd ed. London (UK): Routlegde; 2016. p. 507–519.
39. Blau S. It’s all about the context: reflections on the changing role of
forensic anthropology in medico-legal death investigations. Aust J
Forensic Sci. 2018;8:1–11.
40. Christensen A, Passalacqua NV, Bartelink EJ. Forensic anthropology:
current methods and practice. New York (NY): Elsevier; 2014.
41. Congram D, Fondebrider L, Fernandez E. The interconnectedness of
missing persons as a problem and as a solution. In: Congram D, editor.
Missing persons: multidisciplinary prespectives on the disappeared.
Toronto (Canada): Canadian Scholar’s Press; 2016. p. 311–318.
42. Blau S. Missing persons investigations and identification: issues of scale,
infrastructure, and political will. In: Morewitz SJ, Sturdy Colls C, editors.
Handbook of missing persons. Switzerland: Springer; 2016. p. 227–235.
43. Dirkmaat DC. Forensic anthropology at the mass fatality incident
(commercial airliner) crash scene. In: Dirkmaat DC, editor. A companion
to forensic anthropology. Chichester (UK): John Wiley and Sons; 2012. p.
136–156.
44. Dirkmaat DC, Olson GO, Klales AR, et al. The role of forensic
anthropology in the recovery and interpretation of the fatal-fire victim. In:
Dirkmaat DC, editor. A companion to forensic anthropology. Chichester
(UK): John Wiley and Sons; 2012. p. 113–135
45. Mundorff AZ. Integrating forensic anthropology into disaster victim
identification. Forensic Sci Med Pathol. 2012;8:131–139.
46. Hinkes MJ. The role of forensic anthropology in mass disaster resolution.
Aviat Space Environ Med. 1989;60:A18–A25.
47. Mundorff AZ. Anthropologist-directed triage: three distinct mass fatality
events involving fragmentation of human remains. In: Recovery, analysis,
and identification of commingled human remains. New York (NY):
Springer; 2008. p. 123–144.
48. Blau S, Briggs C. The 2009 Victorian Bushfires disaster: the role of
forensic anthropology in disaster victim identification (DVI). Forensic Sci
Int. 2010;205:29–35.
49. Groen M, Marquez-Grant N, Janaway R, editors. Forensic archaeology: a
global perspective. Chichester (UK): Wiley; 2015.
50. INTERPOL disaster victim identification guide. Lyon, France:
INTERPOL; 2018. Available from: https://www.interpol.int/How-we-
work/Forensics/ Disaster-Victim-Identification-DVI
51. Anson T, Trimble M. The role of the biological anthropologist in mass
grave investigations. In: Oxenham M, editor. Forensic approaches to
death, disaster and abuse. Bowen Hills (Australia): Australian Academic
Press; 2008. p. 55–62.
52. Warnasch SC. Forensic archaeological recovery of a large-scale mass
disaster scene: lessons learned from two complex recovery operations at
the world trade center site. J Forensic Sci. 2016;61:584–593.
53. Dupras TL, Schultz JJ, Wheeler SM, et al. Forensic recovery of human
remains: archaeological approaches. London (UK): CRC Press; 2011.
54. Osterholtz A, Kathryn MB, Martin DL, editors. Commingled and
disarticulated human remains: working toward improved theory, method,
and data. New York (NY): Springer; 2014.
55. Adams BJ. Commingled human remains: methods in recovery, analysis,
and identification. Boston (MA): Academic Press; 2014.
56. Thomas RM, Ubelaker DH, Byrd JE. Tables for the metric evaluation of
pair-matching of human skeletal elements. J Forensic Sci. 2013;58:952–
956
57. Hurst CV, Soler A, Fenton TW. Personal identification in forensic
anthropology. In: Siegel JA, Saukko PJ, editors. Encyclopedia of forensic
sciences. 2nd ed. New York (NY): Elsevier; 2013. p. 68–75. 312 H. H. DE
BOER ET AL.
58. Hackman L. Forensic anthropology and missing persons investigations. In:
Morewitz SJ, Sturdy Colls C, editors. Handbook of missing persons. Cham
(Switzerland): Springer; 2016. p. 415–425.
59. Nawrocki SP, Latham KE, Bartelink EJ. Human skeletal variation and
forensic anthropology. In: Latham KE, Bartelink EJ, Finnegan M, editors.
New perspectives in forensic human skeletal identification. London (UK):
Academic Press; 2018. p. 5–11.
60. Latham KE, Bartelink EJ, Finnegan M, editors. New perspectives in
forensic human skeletal identification. London (UK): Academic Press;
2018.
61. Dedouit F, Savall F, Mokrane F-Z, et al. Virtual anthropology and forensic
identification using multidetector CT. Br J Radiol. 2014;87:20130468.
62. Franklin D, Swift L, Flavel A. “Virtual anthropology” and radiographic
imaging in the forensic medical sciences. Egypt J Forensic Sci. 2016;6:31–
43.
63. Brough AL, Rutty GM, Black S, et al. Post-mortem computed tomography
and 3D imaging: anthropological applications for juvenile remains.
Forensic Sci Med Pathol. 2012;8:270–279.
64. Vallis J. The role of radiography in disaster victim identification. In:
Errickson D, Thompson T, editors. Human remains: another dimension.
London (UK): Academic Press; 2017. p. 57–69.
65. Blau S, Robertson S, Johnston M. Disaster victim identification: new
applications for postmortem computed tomography. J Forensic Sci.
2008;53:1–6.
66. Gascho D, Philipp H, Flach PM, et al. Standardized medical image
registration for radiological identification of decedents based on paranasal
sinuses. J Forensic Legal Med. 2018;54:96–101.
67. Wood RE, Kogon SL. Dental radiology considerations in DVI incidents: a
review. Forensic Sci Int. 2010;201:27–32.
68. Blau S, Ranson D, O’Donnell C. An atlas of skeletal trauma in medico-
legal contexts. London (UK): Elsevier; 2018.
69. Messmer JM, Fierro MF. Personal identification by radiographic
comparison of vascular groove patterns of the calvarium. Am J Forensic
Med Pathol. 1986;7:159–162.
70. Prieto JL, Tortosa C, Bedate A, et al. The 11 March 2004 Madrid terrorist
attacks: the importance of the mortuary organisation for identification of
victims. A critical review. Int J Legal Med. 2007;121:517–522.
71. Ludes B. Attentats du 13 novembre a Paris: premieres considerations. Rev
Med Legale. 2016;7:2–4. French.
72. Iino M, Aoki Y. The use of radiology in the Japanese tsunami DVI
process. J Forensic Radiol Imaging. 2016;4:20–26.
73. Aalders MC, Adolphi NL, Daly B, et al. Research in forensic radiology
and imaging; identifying the most important issues. J Forensic Radiol
Imaging. 2017;8:1–8.
74. Colman KL, Janssen MCL, Stull KE, et al. Dutch population specific sex
estimation formulae using the proximal femur. Forensic Sci Int.
2018;286:268.e1–268.e8.
75. Ramsthaler F, Kettner M, Gehl A, et al. Digital forensic osteology:
morphological sexing of skeletal remains using volume-rendered cranial
CT scans. Forensic Sci Int. 2010;195:148–152.
76. Colman KL, Dobbe JGG, Stull KE, et al. The geometrical precision of
virtual bone models derived from clinical computed tomography data for
forensic anthropology. Int J Legal Med. 2017;131:1155–1163.
77. Sitchon ML, Hoppa RD. Assessing age-related morphology of the pubic
symphysis from digital images versus direct observation. J Forensic Sci.
2005;50:791–795.
78. Viner MD, Alminyah A, Apostol M, et al. Use of radiography and
fluoroscopy in disaster victim identification. J Forensic Radiol Imaging.
2015;3:141–145.
79. Bassed R, Bott E. Application of post-mortem computed tomography to
forensic odontology. In: Taylor JA, Kieser JA, editors. Forensic
odontology: principles and practice. London (UK): A. Taylor and Jules A.
Kieser; 2016. p. 419–437.
80. Algee-Hewitt BFB, Goldberg A. Better together: thinking
anthropologically about genetics. Am J Phys Anthropol. 2016;160:557–
560.
81. Westen AA, Gerretsen RR, Maat GJ. Femur, rib, and tooth sample
collection for DNA analysis in disaster victim identification (DVI).
Forensic Sci Med Pathol. 2008;4:15–21.
82. Johnston E, Stephenson M. DNA profiling success rates from degraded
skeletal remains in Guatemala. J Forensic Sci. 2016;61:898–902.
83. Mundorff A, Davoren JM. Examination of DNA yield rates for different
skeletal elements at increasing post mortem intervals. Forensic Sci Int
Genet. 2014;8:55–63.
84. Mundorff AZ, Daroven J, Weitz S. Developing an empirically based
ranking order for bone sampling: examining the differential DNA yield
rates between human skeletal elements over increasing post mortem
intervals. Washington, DC: Department of Justice; 2013.
85. Wright K, Mundorff A, Chaseling J, et al. An evaluation of the Thai
Tsunami Victim Identification DNA operation. Forensic Sci Policy
Manage: Int J. 2015;6:69–78.
86. Christensen AM, Smith VA, Ramos V, et al. Primary and secondary
skeletal blast trauma. J Forensic Sci. 2012;57:6–11.
87. Buck A, Briggs CA. The role of the anthropologists in disaster victim
identification: case studies from the 2002 and 2004 terrorist attacks in
Bali, Indonesia. In: Blau S, Ubelaker DH, editors. Handbook of forensic
anthropology and archaeology. 2nd ed. London (UK): Routlegde; 2016. p.
520–531.
88. Weeratna JB, Shrestha R, Augustinus D, et al. Management of
fragmentary human remains in mass disasters and catastrophes. Asia
Pacific Medico-Legal Agencies (APMLA); 2017.
89. Quatrehomme G, Toupenay S, Delabarde T, et al. Forensic answers to the
14th July 2016 terrorist attack in Nice. Int J Legal Med. 2019;133: 277–
287.
90. Bikker J. Disaster victim identification. In: Greene KS, Alys L, editors.
Missing persons: a handbook FORENSIC SCIENCES RESEARCH 313 of
research. New York (NY): Routledge; 2016. p. 200.
91. Carli P, Pons F, Levraut J, et al. The French emergency medical services
after the Paris and Nice terrorist attacks: what have we learnt? Lancet.
2017;390:2735–2738.
92. Lessig R, Rothschild M. International standards in cases of mass disaster
victim identification (DVI). Forensic Sci Med Pathol. 2012;8:197–199.
93. Black SM, Walker G, Hackman L, et al. Disaster victim identification: the
practitioner’s guide. Dundee: Dundee University Press; 2010.
94. Kahana T, Hiss J. Identification of human remains: forensic radiology. J
Clin Forensic Med. 1997;4:7–15.
95. Sledzik PS. Forensic anthropology in disaster response. In: Blau S,
Ubelaker D, editors. Handbook of forensic anthropology and archeology.
2nd ed. New York (NY): Routledge; 2009. p. 477–495.
96. Telmon N, Gaston A, Chemla P. Application of the Suchey–Brooks
method to three-dimensional imaging of the pubic symphysis. J Forensic
Sci. 2005;50:1–6.
97. Wink AE. Pubic symphyseal age estimation from three-dimensional
reconstructions of pelvic CT scans of live individuals. J Forensic
Sci.2014;59:696–702.
98. Blau S, Briggs CA. The role of forensic anthropologyin disaster victim
identification (DVI).Forensic Sci Int. 2011;205:29–35.
99. Christensen AM, Crowder CM. Evidentiary standards for forensic
anthropology. J Forensic Sci. 2009;54:1211–1216.
100. Boyd CC, Boyd DC, editors. Forensic anthropology: theoretical
framework and scientific basis. Chichester (UK): Wiley; 2018.
101. Kimmerle EH, Konigsberg LW, Jantz RL, et al.Analysis of age-at-death
estimation through theuse of pubic symphyseal data. J Forensic
Sci.2008;53:558–568.
102. Konigsberg LW, Ross AH, Jungers LW.Estimation and evidence in
forensic anthropology.In: Schmitt A, Cunha E, Pinheiro J, editors.Forensic
anthropology and medicine. Totowa(NJ): Humana Press; 2006. p. 317–
331.
103. Langley-Shirley N, Jantz RL. A Bayesian approach to age estimation in
modern Americans from the clavicle. J Forensic Sci. 2010;55:571–583.
104. Figura BJ. Advances in disaster victim identification. In: Latham KE,
Bartelink EJ, Finnegan M, editor. New perspectives in forensic human
skeletal identification. London (UK): Elsevier; 2018. p. 333–341.
105. Bruijning-van Dongen CJ, Slooten K, Burgers W, et al. Bayesian
networks for victim identification on the basis of DNA profiles. Forensic
Sci Int: Genet Suppl Ser. 2009;2:466–468.
106. Parsons TJ, Huel RLM. DNA and missing persons identification:
practice, progress and perspectives. In: Amorim A, Budowle B, editors.
Handbook of forensic genetics: biodiversity and heredity in civil and
criminal investigation. Hackensack (NJ): World Scientific; 2017. p. 337–
376.
107. Budowle B, Ge J, Chakraborty R. Use of prior odds for missing persons
identifications. Invest Genet. 2011;2:15.
108. Robertson B, Vignaux GA, Berger CEA. Interpreting evidence:
evaluating forensic science in the courtroom. London (UK): John Wiley &
Sons; 2016.
109. Steadman DW, Adams BJ, Konigsberg LW. Statistical basis for positive
identification in forensic anthropology. Am J Phys Anthropol.
2006;131:15–26.
110. Cordner S, Ellingham STD. Two halves make a whole: both first
responders and experts are needed for the management and identification
of the dead in large disasters. Forensic Sci Int. 2017;279:60–64.
111. Acharya J, Shrestha R, Shrestha PK, et al. When protocols become fairy
tales and gods remain buried under: excerpts from the diary of forensic
experts at Ground Zero during the Mega Quake that hit Nepal. Am J
Forensic Med Pathol. 2017;38:5–8.
112. Cordner S, Tidball-Binz M. Humanitarian forensic action—its origins
and future. Forensic Sci Int. 2017;279:65–71.
113. Pickerell J. Facts and figures: Asian Tsunami Disaster. The New
Scientist; 2005. Available from:
https://www.newscientist.com/article/dn9931-factsand- figures-asian-
tsunami-disaster/
114. Chankaew P, Sagolj D. Hundreds of victims of the 2004 Indian Ocean
tsunami have still not been identified. Business Insider; 2014. Available
from: http://www.businessinsider.com/r-exclusivethai- police-see-little-
hope-of-putting-names-to-about- 370-tsunami-victims-2014-12
115. Cordner S. Humanitarian forensic science. The Academy: Past, Present
and Future: A Symposium for Lawyers, Forensic Scientists, Medical
Professionals and Others; 21/11/17; University of Technology, Sydney
(UTS); 2017.
116. Khoo LS, Aziz S, Mahmood MS. Beyond DVI: future identification,
research and archiving. Forensic Sci Criminol. 2016;1:1–5.
117. Cordner S, Coninx E, Kim H-J, et al., editors. Management of dead
bodies after disasters: a field manual for first responders. Geneva
(Switzerland): PAHO/WHO/ICRC; 2016.
118. Morgan OW, Sribanditmongkol P, Perera C, et al. Mass fatality
management following the South Asian tsunami disaster: case studies in
Thailand, Indonesia, and Sri Lanka. PLoS Med. 2006;3:809–815.
119. Perera C, Briggs C. Guidelines for the effective conduct of mass burials
following mass disasters: post-Asian tsunami disaster experience in
retrospect. Forensic Sci Med Pathol. 2008;4:1–8.
120. Nishikawa Y. Quake-ravaged Japan digs mass graves. Reuters. 2011.
Available from: https://af.reuters.com/
article/worldNews/idAFTRE72M1JF20110323
121. Olivieri L, Mazzarelli D, Bertoglio B, et al. Challenges in the
identification of dead migrants in the Mediterranean: the case study of the
Lampedusa shipwreck of October 3rd 2013. Forensic Sci Int.
2018;285:121–128.
122. Drawdy SM, Katzmarzyk C. The missing files: the experience of the
International Committee of the Red Cross. In: Congram D, editor. Missing
314 H. H. DE BOER ET AL. persons: multidisciplinary perspectives on
the disappeared. Toronto (Canada): Canadian Scholar’s Press; 2016. p.
60–73.
123. Kranioti E, Paine R. Forensic anthropology in Europe: an assessment of
current status and application. J Anthropol Sci. 2011;89:71–92.
124. Williams A. Forensic anthropology teaching practice. In: Williams A,
Cassella JP, Maskell PD, editors. Forensic science education and training:
a tool-kit for lectures and practitioner trainers. London (UK): John Wiley;
2017. p. 19–38.
125. Gamble C, MacKinnon G. New standards for professional practice in
forensic anthropology introduced in the United Kingdom. Aust J Forensic
Sci. 2014;46:125–126.
126. Park DK, Park KH, Ko JS, et al. The role of forensic anthropology in the
examination of the Daegu subway disaster (2003, Korea). J Forensic Sci.
2009;54:513–518.
127. Anderson M, Leditschke J, Bassed R, et al. Mortuary operations
following mass fatality natural disasters: a review. Forensic Sci Med
Pathol. 2017;13:67–77.
128. Black S, Hackman L. Disaster victim identification: process in United
Kingdom. London (UK): Wiley Online Library; 2010.
129. Hill AJ, Hewson I, Lain R. The role of the forensic odontologist in
disaster victim identification: lessons for management. Forensic Sci Int.
2011;205:44–47.
130. Rutty GN, Rutty JE. Did the participants of the mass fatality exercise
Operation Torch learn anything? Forensic Sci Med Pathol. 2012;8:88–93.
131. Kim H. Learning from UK disaster exercises: policy implications for
effective emergency preparedness. Disasters. 2014;38:846–857.
132. Andersen L, Juhl M, Solheim T, et al. Odontological identification of
fire victims-potentialities and limitations. Int J Legal Med. 1995;107:229–
234.
133. Bassed R, Leditschke J. Forensic medical lessons learned from the
Victorian Bushfire Disaster: recommendations from the Phase 5 debrief.
Forensic Sci Int. 2011;205:73–76.
134. Bassed RB, Hill AJ. The use of computed tomography (CT) to estimate
age in the 2009 Victorian Bushfire Victims: a case report. Forensic Sci Int.
2011; 1-3:48-51.
135. Bastiaan RJ. Dental identification of the Victorian bushfire victims. Aust
Dent J. 1984;29:105–110.
136. Cordner SM, Woodford N, Bassed R. Forensic aspects of the 2009
Victorian bushfires disaster. Forensic Sci Int. 2011;205:2–7.
137. Lain R, Taylor J, Croker S, et al. Comparative dental anatomy in disaster
victim identification: lessons from the 2009 Victorian Bushfires.Forensic
Sci Int. 2011;205:36–39.

Anda mungkin juga menyukai