Oleh:
Preseptor:
Abstrak
Pengetahuan antropologi forensik telah digunakan dalam Disaster Victim
Identification (DVI) selamlebih dari seabad, tetapi selama beberapa dekade terakhir,
telah terjadi sejumlah peristiwa bencana yang meningkatkan peran antropologi forensik.
Pengalaman yang didapat dari beberapa operasi DVI terbaru telah memberikan pelajaran
berharga yang memiliki pengaruh pada peran dan pentingnya antropologi forensik dari
tim yang mengelola proses DVI. Tulisan ini memberikan ikhtisar tentang bagaimana
antropologi forensik dapat berkontribusi pada proses DVI dengan penekanan pada
bagaimana pengalaman dan perkembangan terkini dalam antropologi forensik
menambah kontribusi ini. Karena itu tulisan ini mengulas pentinya keahlian antropologi
forensik di lokasi bencana dan di kamar mayat, dan membahas cara dimana antropologi
forensik dapat menggunakan keahliannya pada proses DVI. Strategi pengambilan sampel
jaringan untuk analisis DNA, terutama dalam kasus bencana dengan sejumlah besar sisa-
sisa tubuh yang terfragmentasi juga dibahas. Selain itu, pertimbangan yang diberikan
untuk identifikasi korban; dasar identifikasi statistik, tantangan terkait dengan beberapa
skenario bencana tertentu; dan pendidikan dan pelatihan. Meskipun antropolog forensik
dapat memainkan peran yang penting dalam berbagai fase operas i DVI, mereka tidak
pernah bekerja secara terpisah. Proses DVI membutuhkan pendekatan multidisiplin dan,
oleh karena itu, memiliki kerja sama yang erat dengan berbagai spesialis forensik
lainnya.
Pendahuluan
Bencana telah didefinisikan sebagai “gangguan serius dari fungsi komunitas
atau masyarakat yang menyebabkan kerugian manusia, material, ekonomi dan
atau lingkungan yang meluas yang melebihi kemampuan orang yang terkena
dampak komunitas atau masyarakat untuk mengatasinya ”[1]. Sementara bencana
mungkin disebabkan oleh alam atau manusia, beberapa negara melarikan diri dari
peristiwa yang mengakibatkan beberapa kematian [2, 3]. Identifikasi para korban
peristiwa-peristiwa ini dianggap sebagai tanda penghormatan yang penting bukan
hanya bagi almarhum tetapi juga untuk keluarga dan teman yang selamat. Selain
itu, identifikasi mungkin diperlukan secara hukum, contohnya untuk membantu
proses pidana, memfasilitasi penyelesaian tanah dan / atau warisan, atau hak
pasangan untuk menikah kembali. Karena itu proses spesifik telah dikembangkan
untuk memfasilitasi identifikasi positif dari korban [4].
Jumlah minimum kematian yang dikatakan merupakan "bencana massal"
berbeda antara yurisdiksi, bervariasi antara dua [5] dan 10 korban (2016, personal
communication with Leditschke; tidak direferensikan). Untuk meresmikan proses
identifikasi setelah bencana massal, International Criminal Police Organization
(INTERPOL) mengembangkan pedoman khusus dan protokol untuk identifikasi
korban bencana yang melibatkan pengumpulan dan perbandingan data
antemortem (AM) dan postmortem (PM). Interpol memiliki 190 negara anggota
dan, meskipun pedoman tersebut tidak wajib, namun diakui secara global [6].
Proses DVI telah memiliki cakupan luas dalam literatur. Ini sudah termasuk
uraian terperinci tentang lima fase yang mencakup waktu secara langsung
mengikuti bencana sampai dengan penguburan / kremasi mayat [4]:
Fase 4: rekonsiliasi
Fase 5: debrief
Selain itu, literatur telah membahas kebutuhan untuk data AM yang terperinci
[7, 8]; membangun kamar mayat sementara untuk kepentingan DVI [9, 10];
metode pengemasan dan pengawetan untuk bagian tubuh yang ditemukan di
tempat kejadian [11]; pengembangan kuantitatif alat pendukung keputusan [12,
13]; pendekatan khusus negara terhadap DVI [14, 15] bersama dengan studi-studi
kasus DVI [16]; politik yang terkait dengan DVI [17]; kebutuhan sensitivitas
budaya terhadap para korban dan keluarga [18, 19]; persiapan dan pelatihan [4,
20, 21], serta peran berbagai spesialis forensik yang terlibat dalam DVI termasuk
forensik patolog [22], odontolog forensik [23–25], ahli biologi molekuler [26-29],
ahli radiologi forensik [30–33], dan relatif baru-baru ini, para antropologi forensik
[34, 35].
Pengetahuan antropologi forensik telah digunakan dalam DVI selama lebih
dari seabad [34], tetapi baru hingga 1970 antropologi Amerika, Thomas Dale
Stewart menekankan pentingnya antropologi forensik dalam proses identifikasi
[36]. Sejak saat ini, telah ada sejumlah peristiwa bencana yang telah terjadi
meningkatkan peran antropolog forensik pada proses DVI. Peningkatan peran ini
ditambah dengan umpan balik yang diberikan setelah kejadian Boxing Day
Tsunami tahun 2004 di mana kehadiran antropolog forensik diakui bisa
bermanfaat dalam banyak kesempatan [37, 38]. Kurangnya protokol forensik
antropologi dengan INTERPOL dan kemungkinan terbatas untuk memasukkan
data antropologi fisik ke dalam sistem manajemen kasus yang digunakan (PLASS
DATA) ditambah dengan masalah dengan penggunaan spesialisasi ini. Pengakuan
nilai peran antropologi forensik dalam proses DVI telah tercermin dalam
dimasukkannya antropolog forensik dalam INTERPOL Patologi dan Antropologi
Sub-Kelompok Kerja (PASWG) [39]. Grup sub-kerja ini telah menyediakan
dokumen untuk INTERPOL yang merinci peran dan tanggung jawab forensik
antropolog untuk DVI yang akan dimasukkan dalam versi berikutnya dari
panduan INTERPOL DVI.
Sementara antropolog forensik berperan dalam fase yang berbeda pada DVI,
mereka tidak bekerja sendiri[40]. Antropolog forensik bekerja sebagai bagian dari
tim spesialis forensik, yang biasanya terdiri dari ahli patologi forensik, ahli
odontologi forensik, ahli radiologi, pemeriksa sidik jari, molekul ahli biologi,
teknisi kamar mayat, dan fotografer. Peran spesifik antropolog forensik dalam
masing-masing dari lima fase operasi DVI akan ditentukan oleh kondisi dan
mempertahankan mayat dan konteks dan skala bencana [41, 42].
Ada beberapa jenis bencana dengan skala yang berbeda yang dapat terjadi
secara alami (mis. badai, tsunami, kebakaran hutan, dan kebakaran rumah), atau
yang diinduksi manusia (mis. kecelakaan penerbangan, kereta api dan kendaraan,
pengepungan dan serangan teroris). Lebih lanjut, bencana mungkin digambarkan
sebagai "terbuka" (ketika jumlah tepatnya orang yang meninggal tidak diketahui
pada saat insiden, seperti pemboman bangunan oleh teroris), atau "tertutup"
(ketika ada daftar orang yang meninggal, seperti pada kecelakaan penerbangan)
[4]. Terlepas dari jenis atau skala, bencana melibatkan berbagai kekuatan yang
berdampak pada tubuh, berpotensi mengakibatkan berbagai jenis pengawetan. Ini
mungkin termasuk (tetapi tidak terbatas) utuh atau tubuh yang hampir utuh,
bagian-bagian tubuh yang dapat dikenali; massa jaringan lunak; trauma tulang
atau trauma yang terisolasi (dengan atau tanpa derajat luka bakar dan / atau yang
jaringan lunak yang membusuk); fragmen kecil tulang yang tidak terdiagnostik;
atau kombinasi keduanya. Tujuan dari tulisan ini adalah untuk memberikan
gambaran umum dari cara di mana antropolog forensik dapat berkontribusi pada
operasi DVI, dengan penekanan pada bagaimana pengalaman yang didapat dari
beberapa operasi DVI yang baru dan perkembangan terbaru dalam forensik
antropologi berdampak pada berbagai aspek proses DVI.
Di lokasi bencana
Evaluasi awal dari kondisi dan penjagaan jenazah di tempat kejadian secara
signifikan berdampak pada perencanaan logistik untuk pencatatan lengkap dan
pemulihan jenazah dan, setelah itu, tahap selanjutnya dari proses DVI [34].
Manajemen yang tepat waktu penting untuk mencegah fragmentasi atau
dekomposisi yang tak perlu. Berdasarkan keahlian mereka dalam berurusan
dengan jenaazah yang berbeda, antropolog forensik dapat memberikan kontribusi
penting di lokasi bencana. Bantuan mereka di tempat kejadian akan membantu
mencegah pengumpulan benda yang bukan berasal dari manusia atau benda bukan
tulang, sehingga mengurangi alokasi kasus dan pengunpulan data yang
berlebihan[45]. Selain itu, bantuan mereka di TKP memastikan bahwa setiap
bagian tubuh/fragmen telah dikumpulkan, dengan demikian meminimalisir
keperluan untuk pemeriksaan ulang tempat kejadian. Terakhir, ketika bagian
tubuh rentan untuk kerusakan, mereka dapat memberitahu cara terbaik
pengemasan dan transportasi sisa-sisa tubuh dalam meminimalisir kerusakan
dalam perjalanan.
Pemetaan pada daerah bencana secara umum bukan menjadi hal utama yang
diperhatikan antropologis forensik. Tetapi, pada banyak negara, arkeologis
forensik dan antropologis forensik bekerja bersama saling terkait, dan kadang para
praktisi memiliki kedua kemampuan antropologikal dan arkeologikal (49) dengan
demikian, perkembangan forensik antropologi pada pemetaan, pencarian, dan
pemrosesan lokasi kejadian kejahatan atau daerah bencana berefek langsung pada
kemampuan yang di bawa oleh seorang antropologis forensik ke dalam scenario.
Guide INTERPOL DVI menganjurkan penggunaan sistem penandaan untuk
memetakan tempat kejadian bencana dan penggunaan label pengumpulan yang
dicetak untuk menandai seluruh tubuh atau bagian tubuh yang ditemukan di lokasi
kejadian (50) Metode ini mempunyai kelebihan tersendiri, terutama pada
lingkungan dengan keterbelakangan teknologi, tetapi selama beberapa tahun ini
metode-metode yang lebih maju telah dikembangkan (43,44,51,52). Penggunaan
alat pemetaan elektronik seperti total station, drone, atau alat GPS hand-held telah
menjadi hal utama pada forensik arkeologi (51,53) dan penggunaan kombinasi
alat-alat tersebut mampu membuat tim DVI memetakan daerah bencana secara
cepat. Penggabungan alat-alat penyedia pemetaan tersebut akan menyediakan
informasi penting, tidak hanya untuk tujuan perencanaan tetapi juga pencatatan
selanjutnya pada sisa-sisa tubuh manusia, Sejauh ini, penggunaan alat hand-held
(seperti hp atau alat yang tersambung dengan GPS) bisa digunakan untuk
mencatat secara elektronik lokasi bagian tubuh atau tipe pembuktian lainnya. Di
antara yang lain, ini bisa menghasilkan data yang dikompilasi otomatis pada
benda-benda yang diselamatkan. Hubungan langsung pada database DVI seperti
DVI system (dengan PLASS DATA) mengurangi kesulitan administrasi.
Teknik-teknik yang lebih maju ini secara khusus akan terbukti berguna pada
daerah bencana yang luas dan rumit, dan daerah bencana dimana sisa-sisa tubuh
manusia dan tipe pembuktian forensik lainnya diselamatkan secara simultan.
Pada banyak konteks DVI, identifikasi akan dikonfirmasi secara relative lebih
cepat melalui odontologi, sidik jari atau DNA (57) Namun, ada banyak alasan
kenapa metode-metode tersebut bisa tertunda atau pada beberapa kasus mustahil
dilakukan. Pengawetan tubuh (bagian-bagian) (misalnya disebabkan oleh
penulangan, fragmentasi, dan atau degradasi), dan kualitas, kuantitas dan
ketersediaan data antemortem bisa membatasi kegunaan metode-metode yang
telah disebutkan. Telah dikenal dengan baik, sebagai contoh, komunitas yang
terpinggirkan adalah yang paling sering rentan terhadap kematian massal dan juga
menjadi yang paling rendah kemungkinannya memiliki data antemortem seperti
skema gigi, dan x-ray. Pengembangan profile biologis pada tahap triase dengan
demikian dapat menyediakan “potret” yang membantu pada identitas seseorang
sebelum informasi antemortem ditemukan. Hal ini bisa menyediakan suatu
pengarah yang penting untuk identifikasi yang positif dan dengan demikian
mempercepat proses identifikasi. Khasnya, parameter biologi yang paling berguna
dalam kasus ini adalah perkiraan jenis kelamin dan usia saat kematian, kegunaan
riwayat keturunan dan kerangka secara umumnya bernilai terbatas. (58) Informasi
lain yang secara potensial berguna dan bisa disediakan oleh antropologis forensik
adalah detail tentang kelainan tulang (57) dan anomali dan variasi tulang (59)
Saat ini telah dikenal baik bahwa standar populasi spesifik dibutuhkan ketika
mengembangkan profil biologis. Untuk alasan ini, projek penelitian dalam jumlah
besar dilakukan untuk mengembangkan metode antropologikal yang objektif dan
standar, atau untuk memeriksa keakuratan pada metode di luar populasi yang
berasal dari mereka. Penelitian yang sedang berlangsung secara terus menerus
memperluas kontribusi forensik antropologi pada identifikasi manusia (60).
Tingkatan untuk yang mana yang bisa dipakai pada dasarnya bergantung kepada
konteks dan sifat bencana.
Teknik Imaging
Berdasarkan sifat dari bencana, skala fragmentasi dan bagian bercampur aduk
hal tersebut dapat membutuhkan rencana manajemen yang secara spesifik
mengurus sisa-sisa fragmen (88). Jika keputusan untuk mengumpulkan kembali
setiap bagian tubuh dengan individu yang bernama definisi dari apa yang
merupakan bagian tubuh harus secara jelas dinyatakan dan dikomunikasikan
kepada petugas tempat kejadian dan kamar mayat. Saat ini, tidak ada definisi
standar dari "bagian tubuh" dan definisi termasuk: semua jaringan manusia yang
dicurigai lebih besar dari 5 cm x 5 cm; jaringan manusia yang mengandung
setidaknya 5 cm tulang; jaringan manusia dengan "peluang identifikasi yang adil";
dan hanya bagian-bagian yang dapat diidentifikasi secara anatomis, terlepas dari
ukurannya.
Menyusul insiden pesawat MH17 pada tahun 2014, sebagian besar sisa-sisa
manusia yang ditemukan adalah tipikal dari bencana penerbangan, yaitu
bercampur secara luas, kerangka, dan / atau terfragmentasi. Selama operasi DVI
akhirnya diputuskan bahwa setiap fragmen tulang manusia yang tidak dikalsinasi
dengan berat lebih dari 3 g yang tidak dapat dikaitkan kembali dengan fragmen
kerangka lain akan diserahkan untuk analisis DNA. Sementara pengecualian
material non-manusia dan re-asosiasi fragmen kerangka manusia yang lebih besar
oleh antropolog forensik sangat mengurangi jumlah sampel yang diajukan untuk
DNA, namun ribuan fragmen tulang memerlukan analisis (baik morfologis dan
DNA). Ini menggambarkan perlunya manajemen yang efektif dari bagian-bagian
tubuh dengan perencanaan strategis yang proaktif dan keputusan manajerial ketika
sejumlah besar fragmen tetap ditemukan. Pengalaman telah menunjukkan bahwa
masalah-masalah ini harus ditangani sedini mungkin, lebih pada tahap
perencanaan strategis awal operasi DVI. Masukan oleh pakar forensik, termasuk
antropolog forensik, sangat penting untuk menyelesaikan rencana kerja yang
bijaksana untuk setiap konteks tertentu. Sementara beberapa organisasi seperti
Badan Hukum Medico Asia Pasifik (APMLA) telah menghasilkan dokumen yang
berkaitan dengan pengelolaan fragmen manusia yang tersisa [88], INTERPOL
PASWG saat ini bekerja mengembangkan dokumen yang akan memfasilitasi
identifikasi keputusan manajerial yang paling penting. dan menambah rekaman
kerangka / sisa-sisa yang terfragmentasi.
Korban selamat milik salah satu dari empat kelompok. Kelompok pertama
termasuk mereka yang tidak terluka dan dengan demikian diharapkan
meninggalkan lokasi kejadian kematian sendiri. Kelompok kedua termasuk
mereka yang terluka tetapi masih sadar. Keterlibatan antropolog forensik dalam
kedua kelompok minimal [90]. Untuk individu yang menerima perawatan medis,
harus diingat bahwa setiap data identifikasi yang dikumpulkan oleh tim medis
perlu diteruskan ke tim identifikasi dan berisi rincian yang diperlukan untuk
identifikasi. Untuk ini, orang yang bertanggung jawab atas proses identifikasi
harus menugaskan petugas untuk secara khusus memulihkan dan menyusun data
ini di pusat perawatan medis.
Secara karakteristik, antropolog forensik fokus pada bias, presisi, dan akurasi
metode mereka. Bias dan presisi berhubungan dengan kesalahan sistematis dari
suatu metode, misalnya, variasi antar dan intra-pengamat dan varians statistik.
Keakuratan suatu metode ditentukan oleh sejauh mana hasil dari metode tersebut
sesuai dengan nilai sebenarnya, misalnya persentase estimasi jenis kelamin yang
benar.
Teorema Bayes dapat digunakan dalam dua skenario yang berbeda sehingga
antropolog forensik mungkin bisa menghadapi dua skenario. Dalam skenario
pertama, antropolog forensik menyusun profil biologis sisa-sisa untuk
memberikan arahan untuk identifikasi. Dalam skenario kedua, ahli antropologi
forensik menguji identifikasi tentatif terhadap informasi biologis sisa-sisa.
Meskipun Hal ini sangat relevan dalam kasus-kasus di mana metode ilmiah
yang disebut dengan nilai-nilai bukti umumnya lebih tinggi (seperti DNA, sidik
jari atau odontologi) tidak layak.
Setiap bencana memiliki ciri khas dan akibat yang berbeda-beda, respon dari
DVI dihadapkan pada tantangan yang berbeda dan terkadang hal tersebut tidak
pernah terjadi sebelumnya. Meskipun demikian, trend khusus dalam skala dan
jenis bencana dapat terlihat jelas. Trend ini telah mengubah cara pikir otoritas dan
ahli forensik tentang mempersiapkan dan mengimplementasikan DVI dan
memiliki beberapa keterbatasan terkait dengan proses INTERPOL DVI
tradisional. Bencana skala besar - peristiwa yang mengakibatkan kematian
puluhan hingga ratusan ribu orang - semakin sering terjadi. Sebagai contoh, total
13 negara terkena dampak tsunami Boxing Day 2004 dengan lebih dari 226.000
kematian. Operasi Identifikasi Korban Tsunami Thailand / Thai Tsunami Victim
Identification (TTVI) adalah operasi identifikasi korban terbesar dalam sejarah.
Awalnya 5.395 korban ditemukan, dimana sekitar 3.308 diidentifikasi (terutama
dari catatan gigi) dari 40 negara setelah tiga setengah tahun penyelidikan. Operasi
ini dianggap oleh beberapa orang sebagai salah satu yang paling sukses dari
jenisnya, tetapi laporan keuangan dan waktu dari proses tersebut telah membuat
orang lain menggambarkannya sebagai upaya yang sangat besar dengan hasil
yang sederhana. Akibatnya, semakin banyak pengakuan tentang pentingnya
manajemen mayat yang tepat, yang biasanya melibatkan penguburan massal yang
direncanakan dengan tepat. Manajemen mayat profesional tidak hanya merupakan
cara awal untuk menghormati almarhum pada saat infrastruktur dan kapasitas
lokal hancur, tetapi juga merupakan sarana untuk menambah kemungkinan
identifikasi di masa depan. Manajemen mayat membutuhkan peningkatan
kesadaran di antara mereka yang awalnya terkena dampak bencana dan antropolog
forensik telah memainkan peran penting dalam memberikan pelatihan manajemen
tubuh mayat kepada responden pertama ini.
Tantangan lain yang relatif baru adalah banyaknya kematian yang terkait
dengan migrasi (pengungsi) yang terjadi di misalnya wilayah Mediterania, Afrika
Sub-Sahara, di perbatasan AS-Meksiko dan di Australasia. Intinya, setiap wilayah
harus mempertimbangkan kematian ini sebagai bagian dari bencana besar,
multinasional, dan berlarut-larut yang membutuhkan respons DVI yang sama-
sama internasional dan rumit. Kurangnya daftar orang hilang secara umum (dan
akibatnya dari data AM), dan kebutuhan untuk mengintegrasikan data PM dari
berbagai negara dan kamar mayat, membutuhkan tingkat kolaborasi yang belum
pernah terjadi sebelumnya antara pemerintah, organisasi kemanusiaan dan praktisi
forensik. Karena identifikasi para migran yang meninggal umumnya tidak layak
dengan analisis DNA, odontologi atau sidik jari, pengembangan dan penerapan
metode identifikasi alternatif, seperti profil biologis antropologis diperlukan.
Korban massal setelah serangan teroris merupakan jenis bencana lain yang
mewakili tantangan khusus bagi tim DVI. Sifat kriminal dari peristiwa semacam
itu biasanya mengubah prioritas lembaga pemerintah yang mengawasi, karena
pihak berwenang dihadapkan dengan kebutuhan untuk menggabungkan
penyelidikan pidana dengan identifikasi korban yang meninggal. Dalam kasus ini,
operasi DVI biasanya bersifat sekunder untuk hal-hal yang lebih mendesak seperti
pencarian pelaku dan / atau antisipasi serangan lebih lanjut. Beberapa negara
memiliki tim responden pertama khusus untuk insiden teroris, dan sangat penting
bahwa tim DVI menyadari peran mereka dalam investigasi kriminal yang lebih
luas. Berdasarkan pengalaman terakhir, tim DVI harus siap untuk berbagai
skenario seperti lokasi bencana tunggal atau ganda, baik yang terjadi sekaligus
atau secara berurutan. Selain itu, mereka harus siap untuk berbagai jenis serangan
seperti penembakan, penikaman, pemboman (bunuh diri), kendaraan atau skenario
Kimia, Biologis, Radiologis dan Nuklir (CBRN). Kolaborasi erat antara
penyelidik kriminal dan tim DVI, yang mau tidak mau akan bersama-sama
melakukan investigasi masing-masing, memastikan bahwa korban, pelaku, dan
semua jenis bukti dipulihkan secara tepat waktu dan tepat sasaran. Penting untuk
diingat bahwa tim DVI selalu tunduk pada batasan dan hukum negara tempat
mereka bekerja dan harus menyesuaikan prosedur investigasi dan identifikasi
mereka.
Oleh karena itu, sangat penting bahwa peluang pelatihan dalam DVI
disediakan untuk antropolog forensik untuk mengembangkan kesiapan DVI.
Kesadaran yang meningkat tentang proses DVI dapat diperluas dengan sejumlah
cara termasuk penyediaan kursus singkat dalam tingkat universitas. Di luar
lembaga-lembaga ini pelatihan praktis juga penting untuk memastikan
pemahaman tentang peran mereka di kamar mayat atau tempat. Selain itu,
memahami peran mereka sendiri, sangat penting bagi antropolog forensik untuk
memiliki pemahaman tentang peran staf lain yang akan mereka tangani bersama.
Pelatihan-pelatihan yang dilakasanakan dapat membantu, dan sistem pelatihan
lokal apa pun harus mencakup semua anggota tim DVI. Suatu hal yang sangat
penting yaitu ketersediaan waktu untuk refleksi jujur tentang pelajaran yang
dipetik dari latihan; disebut dengan fase "debrief".
Saat latihan ada, refleksi transparan pada tanggapan masa lalu terhadap
peristiwa kematian massal juga dapat berperan dalam proses pembelajaran ini dan
publikasi dari praktisi menambah kumpulan pengetahuan yang tersedia untuk
semua praktisi. Seperti yang diuraikan sebelumnya, antropolog forensik dapat
bekerja dengan teknisi kamar mayat, ilmuwan DNA, dan ahli patologi forensik
dalam tahap audit dan peninjauan DVI. Pendekatan lain juga dapat membantu
pelatihan karena penerapan proses DVI tidak terbatas pada peristiwa kematian
massal. Di beberapa bagian Inggris dan Australia, tim DVI lokal (atau personel
yang terlatih dalam proses DVI) digunakan sebagai tanggapan terhadap peristiwa
domestik, yang mungkin tidak memenuhi kriteria untuk digambarkan sebagai
"kematian massal" (lihat diskusi di atas), tetapi yang melibatkan fragmentasi
tubuh / badan. Termasuk ahli antropologi forensik dalam kasus-kasus ini
memastikan peningkatan kesadaran akan peran berbeda yang dimainkan anggota
DVI serta proses dan dokumentasi DVI.
Penutup
Ucapan Terimakasih
Hans H. de Boer ingin mengucapkan terimakasih kepada Mike Groen, forensik
arkelolog dari Netherlands Forensic Institute untuk masukan pada paragraf
bencana.
Pernyataan Penutup
Tidak ada konflik kepentingan penulis
ORCID
Hans H. de Boer http://orcid.org/0000-0001-8590-0945
DAFTAR PUSTAKA