Anda di halaman 1dari 17

KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL TUGAS HARIAN

RS BHAYANGKARA DESEMBER 2019


PROVINSI SULAWESI TENGGARA
KEPANITERAAN KLINIK FK UHO

DVI (FORMULIR ANTE MORTEM – POST MORTEM) DAN


ANTROPOLOGI FORENSIK

Oleh:

Maliftha Dwi Aini

K1A1 13 031

Pembimbing:

Dr. dr. Mauluddin M., S.Sos., SH., MH., M.Kes., Sp.F

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

BAGIAN KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL

RS BHAYANGKARA KENDARI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2019
BAB I
PENDAHULUAN

Identifikasi forensik merupakan upaya yang dilakukan dengan tujuan


membantu penyidik untuk menentukan identitas seseorang. Identifikasi personal sering
merupakan suatu masalah dalam kasus pidana maupun perdata. Menentukan identitas
personal dengan tepatamat penting dalam penyidikan karena adanya kekeliruan dapat
berakibat fatal dalam proses peradilan. Peran ilmu kedokteran forensik dalam
identifikasi terutama pada jenazah tidak dikenal, jenazah yang rusak , membusuk,
hangus terbakar dan kecelakaan masal, bencana alam, huru hara yang mengakibatkan
banyak korban meninggal, serta potongan tubuh manusia atau kerangka. Selain itu
identifikasi forensik juga berperan dalam berbagai kasus lain seperti penculikan anak,
bayi tertukar, atau diragukan orang tuanya. Identitas seseorang yang dapat dipastikan
bila paling sedikit dua metode yang digunakan memberikan hasil positif (tidak
meragukan).
Pada dasarnya prinsip identifikasi adalah membandingkan data ante mortem
(data semasa hidup) dan data post mortem (data setelah kematian) pada orang yang
tidak dikenal. Data yang diduga sebagai orang hilang terkadang kurang lengkap,
bahkan tidak ada. Identifikasi dilakukan melalui berbagai metode, seperti sidik jari,
medik, odontologi (ilmu gigi dan mulut), anthropologi sampai dengan pemeriksaan
biomolekuler. Pada kasus bencana massal dengan potongan tubuh yang sulit dikenal,
memerlukan keahlian kedokteran forensik yang meliputi berbagai bidang keilmuan dan
bidang keahlian penunjang untuk dapat melakukan identifikasi. Identifikasi korban tak
dikenal dalam pelaksanaannya dapat bekerja sama dengan berbagai disiplin ilmu,
antara lain keahlian bidang forensik patologi, forensik odontologi, forensik
anthropologi, ahli sidik jari, ahli DNA, radiologi dan fotografer.
Bencana dapat diakibatkan baik oleh alam maupun manusia. Kondisi alam
memegang peran penting akan timbulnya suatu bencana, termasuk Indonesia.
Indonesia merupakan negara kepulauan yang sangat luas dengan luas keseluruhan lima
juta kilometer persegi. Terletak pada pertemuan tiga lempeng tektonik utama dunia
yang memiliki setidaknya 400 gunung berapi dengan 150diantaranya adalah gunung
berapi aktif. Disamping itu iklim tropis membuat beberapa bagian daerah basah oleh
curah hujan yang melimpah sehingga beresiko timbul bencana banjir dan longsor.
Sebaliknya pada daerah lain dapat mengalami kekeringan. Faktor manusia juga turut
berperan menimbulkan bencana. Hal ini sering menyebabkan banjir ataupun longsor
akibat penggundulan hutan, kecelakaan lalu lintas dan terorisme. Berbagai kejadian
yang memakan banyak korban jiwa, terutama sejak kejadian Bom Bali I membuat
kegiatan identifikasi korban bencana massal(Disaster Victim Identification ) menjadi
kegiatan yang penting dan dilaksanakan hampir pada setiap kejadian yang
menimbulkan korban jiwa dalam jumlah yang banyak. Tujuan utama pemeriksaan
identifikasi pada kasus musibah bencana massal adalah untuk mengenali korban.
Dengan identifikasi yang tepat selanjutnya dapat dilakukan upaya merawat,
mendoakan serta akhirnya menyerahkan. Disaster Victim Identification kepada
keluarganya. Proses identifikasi ini sangatpenting bukan hanya untuk menganalisis
penyebab bencana, tetapi memberikan ketenangan psikologis bagi keluarga dengan
adanya kepastian identitas korban.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi DVI (Disaster Victim Identification)

Identifikasi forensik adalah sebuah upaya kerjasama dan koordinasi aparat


penegak hukum, patologi forensik, dokter gigi forensik, antropologi forensik, ahlu
ilmu hukum pidana dan spesialisasi terkait lainnya. Identifikasi korban yang tidak
diketahui identitasnya wajib dilakukan sebagaimana yang telah diamanatkan di
dalam Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 .Prosedur identifikasi
yang dilakukan terhadap korban bencana alam banjir dan tanah longgsor,
kecelakaan lalu lintas, terorisme, kebakaran, kecelakaan kerja. Identifikasi penting
untuk dilakukan terkait pelaksanaan penyelidikan kasus kriminal, penentuan
tatacara prosesi pemakaman, pembayaran asuransi kematian.
Disaster Victim Identification (DVI) adalah suatu definisi yang diberikan
sebagai sebuah prosedur untuk mengidentifikasi korban mati akibat bencana
massal secara ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan dan mengacu pada
standar baku Interpol. Proses DVI meliputi 5 faseyang pada setiap fase memiliki
keterkaitan antarasatu dengan yang lain. Proses DVI menggunakan bermacam-
macam metode dan teknik. Interpol telah menentukan adanya Primary Identifier
yang terdiri dari fingerprint (FP), dental records DR) dan DNA serta Secondary
Identifiers yang terdiri dari medical (M), property (P) dan photography (PG),
dengan prinsip identifikasi adalah membandingkan data antemortem dan
postmortem. Primary identifiers mempunyai nilai yang sangat tinggi bila
dibandingkan dengan secondary identifiers.
Setiap bencana massal yang menimbulkan banyak korban jiwa, baik akibat
Natural Disaster ataupun Man Made Disaster, memiliki spesifikasi tertentu yang
berbeda antara kasus yang satu dengan yang lain. Perbedaan ini menyebabkan
tindakan pemeriksaan identifikasi dengan skala prioritas bahan yang akan
diperiksa sesuai dengan keadaan jenazah yang ditemukan. Kejadian bencana
massal tersebut akan menghasilkan keadaan jenazah yang mungkin dapat intak,
separuh intak, membusuk, tepisah berfragmen-fragmen, terbakar menjadi abu,
separuh terbakar, terkubur ataupun kombinasi dari bermacam-macam keadaan.
Masalah akan timbul dengan berbagai variasi tingkat kesulitan dimana tindakan
identifikasi termudah dan sederhana yaitu secara visual tidak lagi dapat digunakan.
Demikian juga pada jenazah yang mengalami pembusukan lanjut, pemeriksaan
identifikasi primer berdasarkan sidik jari akan sulit dilakukan, maka dapat
digantikan dengan pemeriksaan gigi geligi karena gigi bersifat lebih tahan lama
terhadap proses pembusukan. Namun keadaan gigi tersebut juga dipengaruhi
faktor lingkungan tempat jenazah itu berada. Fakta pengalaman di lapangan
menunjukkan bahwa identifikasi korban meninggal massal melalui gigi geligi
mempunyai kontribusi yang tinggi dalam menentukan identitas seseorang.

2.2 Tuags DVI (Disaster Victim Identification)


Tugas utama DVI secara umum adalah sebagai berikut :
1. Melakukan koordinasi dengan tim medis dan aparat keamanan untuk
melakukan evakuasi korban meninggal dan tempat kejadian
2. Malakukan koordinasi dengan rumah sakit setempat atau rumah sakit
tempat rujukan korban meninggal
3. Melakukan identifikasi terhadap korban meninggal dengan sumber daya
yang ada
4. Membuat kesimpulan sementara terhadap hasil pemeriksaan
5. Melaporkan hasil identifikasi kepada badan pemerintahan terkait.
2.3 Tahap – tahap DVI (Disaster Victim Identification)
Tahap DVI
Proses DVI tersebut mempunyai lima fase, dimana setiap fasenya
mempunyai keterkaitan satu dengan yang lainnya. Fase-fase tersebut yaitu :
a. Fase I – TKP (The Scene)
Merupakan tindakan awal yang dilakukan di tempat kejadian peristiwa (TKP)
bencana.Ketika suatu bencana terjadi, prioritas yang paling utama adalah
untuk mengetahui seberapa luas jangkauan bencana. Sebuah organisasi resmi
harus mengasumsikan komando operasi secara keseluruhan untuk
memastikan koordinasi personil dan sumber daya material yang efektif dalam
penanganan bencana. Dalam kebanyakan kasus, polisi memikul tanggung
jawab komando untuk operasi secara keseluruhan. Sebuah tim pendahulu
(kepala tim DVI, ahli patologi forensik dan petugas polisi) harus sedini
mungkin dikirim ke TKP untuk mengevaluasi situasi berikut :
1) Keluasan TKP : pemetaan jangkauan bencana dan pemberian koordinat
untuk area bencana
2) Perkiraan jumlah korban
3) Keadaan mayat
4) Evaluasi durasi yang dibutuhkan untuk melakukan DVI
5) Institusi medikolegal yang mampu merespon dan membantu proses DVI
6) Metode untuk menangani mayat
7) Transportasi mayat
8) Penyimpanan mayat
9) Kerusakan properti yang terjadi

Pada prinsipnya untuk fase tindakan awal yang dilakukan di situs bencana,
ada tiga langkah utama. Langkah pertama adalah to secure atau untuk
mengamankan, langkah kedua adalah to collect atau untuk mengumpulkan dan
langkah ketiga adalah documentation atau pelabelan.
Pada langkah to secure organisasi yang memimpin komando DVI harus
mengambil langkah untuk mengamankan TKP agar TKP tidak menjadi rusak.
Langkah – langkah tersebut antara lain adalah :
1) Memblokir pandangan situs bencana untuk orang yang tidak berkepentingan
(penonton yang penasaran, wakil – wakil pers, dll), misalnya dengan
memasang police line.
2) Menandai gerbang untuk masuk ke lokasi bencana.
3) Menyediakan jalur akses yang terlihat dan mudah bagi yang berkepentingan.
4) Menyediakan petugas yang bertanggung jawab untuk mengontrol siapa saja
yang memiliki akses untuk masuk ke lokasi bencana.
5) Periksa semua individu yang hadir di lokasi untuk menentukan tujuan
kehaditan dan otorisasi.
6) Data terkait harus dicatat dan orang yang tidak berwenang harus
meninggalkan area bencana

Pada langkah to collect organisasi yang memimpin komando DVI harus


mengumpulkan korban – korban bencana dan mengumpulkan properti yang terkait
dengan korban yang mungkin dapat digunakan untuk kepentingan identifikasi
korban.
Pada langkah documentation organisasi yang memimpin komando DVI
mendokumentasikan kejadian bencana dengan cara memfoto area bencana dan
korban kemudian memberikan nomor dan label pada korban.
Setelah ketiga langkah tersebut dilakukan maka korban yang sudah diberi
nomor dan label dimasukkan ke dalam kantung mayat untuk kemudian dievakuasi.
b. Fase II – Kamar Mayat/Post Mortem (The Mortuary)
Pengumpulan data post-mortem atau data yang diperoleh paska
kematian dilakukan oleh post-mortem unit yang diberi wewenang oleh
organisasi yang memimpin komando DVI. Pada fase ini dilakukan berbagai
pemeriksaan yang kesemuanya dilakukan untuk memperoleh dan mencatat
data selengkap–lengkapnya mengenai korban. Pemeriksaan dan pencatatan
data jenazah yang dilakukan diantaranya meliputi :
1) Dokumentasi korban dengan mengabadikan foto kondisi jenazah korban
2) Pemeriksaan fisik, baik pemeriksaan luar maupun pemeriksaan dalam jika
diperlukan
3) Pemeriksaan sidik jari
4) Pemeriksaan rontgen
5) Pemeriksaan odontologi forensik : bentuk gigi dan rahang merupakan ciri
khusus tiap orang ; tidak ada profil gigi yang identik pada 2 orang yang
berbeda
6) Pemeriksaan DNA
7) Pemeriksaan antropologi forensik : pemeriksaan fisik secara keseluruhan,
dari bentuk tubuh, tinggi badan, berat badan, tatto hingga cacat tubuh dan
bekas luka yang ada di tubuh korban.

Data – data hasil pemeriksaan tersebut kemudian digolongkan ke


dalam data primer dan data sekunder sebagai berikut :
1) Primer (sidik jari, profil gigi, DNA)
2) Sekunder (visual, fotografi, properti jenazah, antropologi medis)

Di dalam menentukan identifikasi seseorang secara positif, Badan


Identifikasi DVI Indonesia mempunyai aturan-aturan, yaitu minimal apabila
salah satu identifikasi primer dan atau didukung dengan minimal dua dari
identifikasi sekunder.
Selain mengumpulkan data pasca kematian, pada fase ini juga
sekaligus dilakukan tindakan untuk mencegah perubahan–perubahan paska
kematian pada jenazah, misalnya dengan meletakkan jenazah pada lingkungan
dingin untuk memperlambat pembusukan.
c. Fase III – Ante Mortem
Pada fase ini dilakukan pengumpulan data mengenai jenazah sebelum
kematian.Data ini biasanya diperoleh dari keluarga jenazah maupun orang
yang terdekat dengan jenazah. Data yang diperoleh dapat berupa foto korban
semasa hidup, interpretasi ciri – ciri spesifik jenazah (tattoo, tindikan, bekas
luka, dll), rekaman pemeriksaan gigi korban, data sidik jari korban semasa
hidup, sampel DNA orang tua maupun kerabat korban, serta informasi –
informasi lain yang relevan dan dapat digunakan untuk kepentingan
identifikasi, misalnya informasi mengenai pakaian terakhir yang dikenakan
korban.

d. Fase IV – Rekonsiliasi
Pada fase ini dilakukan pembandingan data post mortem dengan data
ante mortem. Ahli forensik dan profesional lain yang terkait dalam proses
identifikasi menentukan apakah temuan post mortem pada jenazah sesuai
dengan data ante mortem milik korban yang dicurigai sebagai jenazah. Apabila
data yang dibandingkan terbukti cocok maka dikatakan identifikasi positif atau
telah tegak. Apabila data yang dibandingkan ternyata tidak cocok maka
identifikasi dianggap negatif dan data post mortem jenazah tetap disimpan
sampai ditemukan data ante mortem yang sesuai dengan temuan post mortem
jenazah.

e. Fase V – Debriefing
Korban yang telah diidentifikasi direkonstruksi hingga didapatkan
kondisi kosmetik terbaik kemudian dikembalikan pada keluarganya untuk
dimakamkan. Apabila korban tidak teridentifikasi maka data post mortem
jenazah tetap disimpan sampai ditemukan data ante mortem yang sesuai
dengan temuan post mortem jenazah, dan pemakaman jenazah menjadi
tanggung jawab organisasi yang memimpin komando DVI. Sertifikasi jenazah
dan kepentingan mediko-legal serta administrative untuk penguburan menjadi
tanggung jawab pihak yang menguburkan jenazah.

2.4 Metodologi Identifikasi


Metode identifikasi forensik dibagi menjadi metode identifikasi primer dan
sekunder.Identifikasi primer (DNA, sidik jari dan odontologi) adalah metode
identifikasi ilmiah yang mampu bertahan secara global dan telah terbukti sebagai
metode identifikasi yang efektif. DNA dan sidik jari seringkali tidak dapat
digunakan apabila telah terjadi kerusakan berat dan meluas terhadap jaringan
lunak korban seperti pada kasus terbakar, skeletonisasi dan dekomposisi. Jaringan
pada tubuh yang keras seperti gigi sangat dibutuhkan terkait kendala
tersebut. Jaringan gigi dilapisi oleh materi anorganik kristal hidroksiapatit
sehingga resisten terhadap beragam jenis pengaruh eksternal, iritasi mekanik,
termal dan kimia.
Untuk metode ilmiah biasa disebut dengan identifikasi primer yaitu :
a. Pemeriksaan DNA
Pemeriksaan identifikasi forensik merupakan pemeriksaan yang pertama
kali dilakukan, terutama pada kasus tindak kejahatan yang korbannya tidak dikenal
walaupun identifikasi juga bisa dilakukan pada kasus non kriminal seperti
kecelakaan, korban bencana alam dan perang, serta kasus paternitas (menentukan
orang tua).DNA merupakan gambaran pola potongan DNA dari setiap individu.
Para ahli menggunakan daerah yang berbeda ini untuk menghasilkan profil
DNA dari seseorang individu, menggunakan sampel dari darah, tulang, rambut
atau jaringan tubuh yang lain. Pada kasus kriminal, biasanya melibatkan sampel
dari barang bukti dan tersangka, mengekstrak DNAnya, dan menganalisanya untuk
melihat suatu daerah khusus pada DNA (marker). Para ilmuwan telah menemukan
marker di dalam sampel DNA dengan mendesain sepotong kecil DNA (probe)
yang masing-masing akan mencari dan berikatan dengan sekuen DNA
pasangan/komplementernya pada sampel DNA. Satu seri probe akan berikatan
dengan DNA sampel dan menghasilkan pola yang berbeda antara satu individu
dengan individu yang lain. Para ahli forensik membandingkan profil DNA ini
untuk menentukan apakah sampel dari tersangka cocok dengan sampel pada bukti.
Marker sendiri biasanya tidak bersifat khusus untuk setiap individu, jika dua
sampel DNA mirip pada empat atau lima daerah, sampel tersebut mungkin berasal
dari individu yang sama. jika profil sampel tidak sama, berarti seseorang tersebut
bukan pemilik DNA yang ditemukan pada lokasi kriminalitas. Jika pola yang
ditemukan sama, tersangka tersebut kemungkinan memiliki DNA pada sampel
bukti. DNA yang biasa digunakan dalam tes adalah DNA mitokondria dan DNA
inti sel. DNA yang paling akurat untuk tes adalah DNA inti sel karena inti sel tidak
bisa berubah sedangkan DNA dalam mitokondria dapat berubah karena berasal
dari garis keturunan ibu, yang dapat berubah seiring dengan perkawinan
keturunannya. Kasus-kasus kriminal, penggunaan kedua tes DNA di atas,
bergantung pada barang bukti apa yang ditemukan di Tempat Kejadian Perkara
(TKP). Seperti jika ditemukan puntung rokok, maka yang diperiksa adalah DNA
inti sel yang terdapat dalam epitel bibir karena ketika rokok dihisap dalam mulut,
epitel dalam bibir ada yang tertinggal di puntung rokok.Epitel ini masih
menggandung unsur DNA yang dapat dilacak.Misalnya dalam kasus korban
ledakan bom, serpihan tubuh para korban yang sulit dikenali diambil sekuens
genetikanya.Bentuk sidik DNA berupa garis-garis yang mirip seperti bar-code di
kemasan makanan atau minuman. Membandingkan kode garis-garis DNA, antara
30 sampai 100 sekuens rantai kode genetika, dengan DNA anggota keluarga
terdekatnya, biasanya ayah atau saudara kandungnya, maka identifikasi korban
forensik atau kecelakaan yang hancur masih dapat dilacak. Untuk kasus
pemerkosaan diperiksa spermanya tetapi yang lebih utama adalah kepala
spermatozoanya yang terdapat DNA inti sel di dalamnya.Jika di TKP ditemukan
satu helai rambut maka sampel ini dapat diperiksa asal ada akarnya. Namun untuk
DNA mitokondria tidak harus ada akar, cukup potongan rambut karena diketahui
bahwa pada ujung rambut terdapat DNA mitokondria sedangkan akar rambut
terdapat DNA inti sel. Teknologi DNA memiliki keunggulan mencolok dalam hal
potensi diskriminasinya dan sensitifitasnya maka tes sidik DNA menjadi pilihan
dalam penyelidikan kasus-kasus forensik dibanding teknologi konvensional
seperti serologi dan elektroforesis.
b. Pemeriksaan Odontologi
Gigi merupakan suatu cara identifikasi yang dapat dipercaya, khususnya bila
rekam dan foto gigi pada waktu masih hidup yang pernah dibuat masih tersimpan
dengan baik. Pemeriksaan gigi ini menjadi amat penting apabila mayat sudah
membusuk atau rusak.
Adapun dalam melaksanakan identifikasi manusia melalui gigi, kita
dapatkan 2 kemungkinan:
1. Memperoleh informasi melalui data gigi dan mulut untuk membatasi atau
menyempitkan identifikasi. Informasi ini dapat diperoleh antara lain mengenai:
a. Umur
b. Jenis kelamin
c. Ras
d. Golongan darah
e. Bentuk wajahDNA
Dengan adanya informasi mengenai perkiraan batas-batas umur korban
misalnya, maka pencarian dapat dibatasi pada data-data orang hilang yang berada
di sekitar umur korban. Dengan demikian penyidikan akan menjadi lebih terarah.
2. Mencari ciri-ciri yang merupakan tanda khusus pada korban tersebut. Di sini
dicatat ciri-ciri yang diharapkan dapat menentukan identifikasi secara lebih
akurat dari pada sekedar mencari informasi tentang umur atau jenis kelamin.
Ciri-ciri demikian antara lain : misalnya adanya gigi yang dibungkus logam gigi
yang ompong atau patah, lubang pada bagian depan biasanya dapat lebih mudah
dikenali oleh kenalan atau teman dekat atau keluarga korban. Disamping ciri-
ciri di atas, juga dapat dilakukan pencocokan antara tengkorak korban dengan
foto korban semasa hidupnya. Metode yang digunakan dikenal sebagai
Superimposed Technique yaitu untuk membandingkan antara
tengkorak korban dengan foto semasa hidupnya.
c. Pemeriksaan Sidik jari
mengidentifikasi pada pola-pola garis sidik jari seseorang (garis papiler)
yang secara genetik permanen melekat pada seseorang.3 Pola atau gambaran
sidik jari terdiri dari 3, yaitu arch, whorl, dan loop. Masing-masing pola terbagi
beberapa subgroup dan yang membedakan adalah pada keberadaan core dan
delta pada lukisan sidik jarinya. Populasi sidik jari terbesar adalah loop, lalu
whorl dan paling sedikit arch.
Cara atau teknik pengambilan sidik jari mayat tergantung keadaan mayat
yang bersangkutan. Masing-masing keadaan membutuhkan cara atau teknik
penanganan yang berbeda
1. Pada jenasah yang baru

a. Pada jenazah dengan jari-jari yang bisa digerakkan :


- Telungkupkan mayat
- Jari seperti biasa

b. Pada jenazah dengan jari-jari yang sulit digerakkan


- Gunting Formulir AK-23 pada batas kolom tangan kiri dan kanan
tangan kiri dan kanan.
- Jepit potongan formulir tersebut pada kedua sisi sendok mayat bagian
cekung dengan kolom sidik jari menghadap ke luar (dapat juga pada
bagian cembung).
- Bersihkan jari mayat dengan hati-hati, kemudian bubuhkan tinta
dengan alat pembubuh tinta atau dengan roller setelah tintanya
diratakan
- Capkan jari mayat tersebut dengan menekannya pada kolom sidik jari
dari formulir yang terjepit di sendok mayat. Geser formulir menurut
kolom sidik jarinya sehingga semua jari terekam.
- Rekatkan hasil pengambilan tersebut pada sehelai formulir AK-23
dan rumuslah sidik jari tersebut
c. Mayat telah kaku dan mulai membusuk
- Tarik jari-jari mayat tersebut sehingga menjadi lurus; bila jari-jari
sulit diluruskan, sayatlah pada bagian dalam jari pada ruas kedua
sehingga jari dapat diluruskan. Untuk ibu jari sayatan antara ibu jari
dan telunjuk.
- Ambilah sidik jari mayat tersebut dengan menggunakan sendok
mayat seperti dijelaskan pada di atas
d. Ujung-ujung jari mayat sudah lembek (belum rusak tetapi sudah
mengkerut):
- Suntiklah jari tersebut dengan cairan pengembang (tissue builder)
atau air panas sehingga kulit jari mengembang. Jarum suntik ditusuk
pada ujung jari atau pada bagian dalam jari antara ruas pertama dan
kedua.
- Ambil sidik jari mayat tersebut denga menggunakan sendok mayat
seperti dijelaskan di atas.
e. Mayat mulai membusuk/awal dekomposisi (kulit ari mulai terlepas):
- Periksa kulit jari tersebut apakah masih baik atau ada bagian yang
rusak. Bersihkan kulit jari tersebut dengan hati-hati.

- Kulit dipasang kembali pada jari mayat atau dimasukkan dalam jari
terugas sehingga pengambilan dapat dilakukan.
- Jika kulit jari sudah terlepas sama sekali:
a. Kulit ari diolesi tinta
b. Kulit jari yang bertinta tersebut dijepit diantara 2 (dua) lembar
kaca kemudian di potret/direproduksi.
c. Tempelkan potret sidik jari tersebut pada formulir AK-23 sesuai
kolomnya dan rumuslah sidik jari mayat tersebut.
Setelah dilakukan pengambilan sidik jari, maka dilakukan
perbandingan antara sidik jari yang dicurigai dan sidik jari yang diketahui
dengan melihat pola sidik jari dan galton detail yang ada. Galton detail atau
karakteristik adalah garis-garis papiler yang terdapat pada tapak jari, telapak
tangan dan telapa kaki yang bentuknya berupa garis membelah, garis pendek,
garis berhenti,pulau, jembatan, taji dan titik.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

1. Metode identifikasi terus berkembang, berbagai ilmu pengetahuan baik yang


bersifat ilmiah, komputerized atau yang sederhana lebih meningkatkan akurasi
indentifikasi korban mati atau hidup. Tantangan yang dihadapi para pelaksana
identifikasi di kemudian hari adalah apabila ada bencana massal, karena
kuantitas korban makin meningkat.
2. Penanganan identifikasi korban bencana massal berdasarkan standar yang
berlaku merupakan suatu proses yang dapat dipertanggung-jawabkan, baik
secara ilmiah dan secara hukum. Diperlukan kerjasama dan pengertian yang
baik di antara semua pihak yang terlibat dalam penerapannya, sehingga proses
identifikasi mencapai ketepatan dalam identifikasi dan bukan hanya kecepatan
dalam prosesnya.
3. Tes DNA dalam identifikasi forensik terbukti sangat efektif karena
menunjukkan sensitifitas dan akurasi yang luar biasa sehingga dapat
memberikan sumbangan berharga bagi kepentingan penyidikan kasus-kasus
kriminal maupun musibah masal, namun pelaksanaannya memerlukan
keahlian, keterampilan dan pengalaman. Hal ini berkaitan dengan prosedur
pemeriksaannya yang harus bersih dari kontaminasi karena dapat menurunkan
tingkat kepercayaan apabila dipakai sebagai barang bukti forensik pada
persidangan.

DAFTAR PUSTAKA
1. Dikshit Pc. Forensic Medicine And Toxicology. New Delhi:
Peepeepublishersand Distributors Ltd:2014.

2. Amri A. Ilmu Kedokteran Forensik. Medan: Percetakan Ramadan: 2010. 


3. Bernard K. Forensic Pathology. New York: Oxforduniversitypressinc: 2011.


4. Gladys L. Monica, Et All. Identifikasi Personal Dan Identifikasi Korban
Bencana Massal Di Blu Rsup Prof Dr R.D Kandou Manado Periode Januari
2010 – Desember 2012. Jurnal Biomedik (Jbm), Volume 5, Nomor 1,
Suplemen: 2013
5. Prawestiningtyas, Dkk. Forensic Identification Based On Both Primary And
Secondary Examination Priority In Victim Identifiers On Two Different Mass
Disaster Cases. Jurnal Kedokteran Brawijaya, Vol. Xxv No. 2: 2009
6. Ibrahim E. Aplikasi Analisis Dna Di Bidang Forensik. Jurnal Kedokteran Gigi
Universitas Indonesi Volune 3. :2009
7. Rose Nandiasa, Dkk. Penggunaan Radiograf Gigi Untuk Kepentingan
Identifikasi Forensik. Odonto Dental Journal. Volume 3. Nomer 1: 2016
8. Pertiwi,Kr. Penerapan Teknologi Dna Dalam Identifikasi Forensik. Jurnal
Kedokteran. Bandung:2011
9. Wilianto, Wl. Pratikum Pembuatan Odontogram Pada Kepaniteraan Klinik
Dokter Muda Di Departemen Ilmu Kedokteran Forensik Dan Medikolegal Fk
Unair – Rsud Dr Soetomo Surabaya. Jurnal Kedokteran Forensik Indonesia,
Vol. 15 No. 1: 2013
10. Saliyah, Kusuma,Se. Pengambilan Sidik Jari Pada Jenazah Guna Identifikasi.
Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia The Indonesian Association Of
Forensic Medicine: 2017

Anda mungkin juga menyukai