Anda di halaman 1dari 35

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Case 1

Seorang dokter gigi pada lokasi X dihubungi dari pihak manajemen DVI

untuk membantu proses identifikasi dari bencana masal, korban kebakaran dari

suatu hotel dengan jumlah korban yang meninggal kurang lebih 400 orang dari

berbagai daerah dan mancanegara, apakah yang harus dilakukan oleh dokter gigi

tersebut dan apa yang melatar belakangi Tim DVI melibatkan dokter gigi dalam

proses mengidentifikasi serta dasar hukum apa dokter gigi berperan untuk

membantu tim DVI.

 Apa yang menjadi permasalahan dalam kasus ini ?

 Berikan hipotesis dari permasalahan ini !

 Apakah topik utama dalam permasalahan ini ?

Dalam beberapa tahun terakhir, kita banyak dikejutkan oleh terjadinya

bencana massal yang menyebabkan kematian banyak orang. Selain itu kasus

kejahatan yang memakan banyak korban jiwa juga cenderung tidak berkurang

dari waktu ke waktu. Pada kasus-kasus seperti ini tidak jarang kita jumpai korban

jiwa yang tidak dikenal sehingga perlu diidentifikasi.

1
Forensik odontologi adalah salah satu metode penentuan identitas individu

yang telah dikenal sejak era sebelum masehi. Kehandalan teknik identifikasi ini

bukan saja disebabkan karena ketepatannya yang tinggi sehingga nyaris

menyamai ketepatan teknik sidik jari, akan tetapi karena kenyataan bahwa gigi

dan tulang adalah material biologis yang paling tahan terhadap perubahan

lingkungan dan terlindung. Gigi merupakan sarana identifikasi yang dapat

dipercaya apabila rekaman data dibuat secara baik dan benar. Beberapa alasan

dapat dikemukakan mengapa gigi dapat dipakai sebagai sarana identifikasi

adalah sebagai berikut, pertama karena gigi bagian terkeras dari tubuh manusia

yang komposisi bahan organik dan airnya sedikit sekali dan sebagian besar terdiri

atas bahan anorganik sehingga tidak mudah rusak, terletak dalam rongga mulut

yang terlindungi. Kedua, manusia memiliki 32 gigi dengan bentuk yang jelas dan

masing-masing mempunyai lima permukaan.

Berdasarkan pengalaman di lapangan, identifikasi korban meninggal

massal melalui gigi-geligi mempunyai kontribusi yang tinggi dalam menentukan

identitas seseorang. Pada kasus Bom Bali I, dimana korban yang teridentifikasi

berdasarkan gigi-geligi mencapai 56%, korban kecelakaan lalu lintas di

Situbondo mencapai 60%, dan korban jatuhnya Pesawat Garuda di Jogyakarta

mencapai 66,7%.

Identifikasi korban pada kasus-kasus ini diperlukan karena status kematian

korban memiliki dampak yang cukup besar pada berbagai aspek yang

ditinggalkan. Identifikasi tersebut merupakan perwujudan HAM dan merupakan

penghormatan terhadap orang yang sudah meninggal.selain itu juga merupakan

2
menentukan apakah seseorang tersebut secara hukum sudah meninggal atau

masih hidup.

Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia secara geografis terletak

pada wilayah yang rawan terhadap bencana alam baik yang berupa tanah longsor,

gempa bumi, letusan gunung berapi, tsunami, banjir dan lain-lain, yang dapat

memakan banyak korban, dan salah satu cara mengidentifikasi korban adalah

dengan metode forensik odontologi. Oleh karena itu forensik odontologi sangat

penting dipahami peranannya dalam menangani korban bencana massal.

3
BAB II

PEMBAHASAN

Ilmu kedokteran gigi forensik adalah semua aplikasi dari disiplin ilmu

kedokteran gigi yang terkait dalam suatu penyelidikan dalam memperoleh data-data

postmortem, berguna untuk menentukan otentitas dan identitas korban maupun

pelaku demi kepentingan hukum dalam suatu proses peradilan dan menegakkan

kebenaran.

Ada beberapa jenis identifikasi melalui gigi geligi dan rongga mulut yang

dapat dilakukan dalam terapan semua disiplin Ilmu Kedokteran Gigi yang terkait

dalam penyelidikan demi kepentingan umum dan peradilan serta dalam membuat

surat keterangan ahli.

Apabila seorang dokter gigi dengan suatu surat permintaan sebagai anggota

penyidik, anggota tim identifikasi, dan sebagai saksi ahli apabila hakim sulit

memutuskan suatu perkara dalam suatu sidang peradilan sedangkan pada tubuh

korban terdapat pola bekas gigitan, menggunakan protesa, dan serta seluruh data-data

gigi yang telah dilakukan dari semua disiplin ilmu kedokteran gigi maka hakim akan

meminta seorang ahli untuk memastikan hal tersebut di atas demi memantapkan

keputusan yang akan diambilnya. Ini sesuai dengan dasar hukum pasal 133, pasal

244, pasal 242, pasal 130, dan pasal 5 KUHP.

4
Disaster Victim Identification (DVI) adalah suatu defenisi yang diberikan

sebagai prosedur untuk mengidentifikasi korban mati akibat bencana massal secara

ilmiah yang dapat dipertanggung-jawabkan dan mangacu pada standar baku Interpol.

Tim DVI sendiri terdiri dari dokter spesialis forensik, dokter gigi, ahli anthropology

(ilmu yang mempelajari tulang), kepolisian, fotografi, dan ada yang berasal dari

masyarakat juga. Tugasnya adalah mengidentifikasi korban.

Sebagai suatu metode identifikasi pemeriksaan gigi memiliki keunggulan sbb:

1. Gigi merupakan jaringan keras yang resisten terhadap pembusukan dan

pengaruh lingkungan yang ekstrim.

2. Karakteristik individual yang unik dalam hal susunan gigi geligi dan restorasi

gigi menyebabkan identifikasi dengan ketepatan yang tinggi.

3. Kemungkinan tersedianya data antemortem gigi dalam bentuk catatan medis

gigi (dental record) dan data radiologis.

4. Gigi geligi merupakan lengkungan anatomis, antropologis, dan morfologis,

yang mempunyai letak yang terlindung dari otot-otot bibir dan pipi, sehingga

apabila terjadi trauma akan mengenai otot-otot tersebut terlebih dahulu.

5. Bentuk gigi geligi di dunia ini tidak sama, karena berdasarkan penelitian

bahwa gigi manusia kemungkinan sama satu banding dua miliar.

6. Gigi geligi tahan panas sampai suhu kira-kira 400ºC.

7. Gigi geligi tahan terhadap asam keras, terbukti pada peristiwa Haigh yang

terbunuh dan direndam dalam asam pekat, jaringan ikatnya hancur, sedangkan

giginya masih utuh.

5
Peranan Forensik Odontologi Dalam menangani bencana Massal

Kematian yang tidak wajar atau tidak terduga, atau dalam kondisi bencana

massal, kerusakan fisik yang direncanakan, dan keterlambatan dalam penemuan

jenazah, bisa mengganggu identifikasi. Dalam kondisi inilah forensik odontologi

diperlukan walaupun tubuh korban sudah tidak dikenali lagi.

-Identifikasi dalam kematian penting dilakukan, karena menyangkut masalah

kemanusiaan dan hukum. Masalah kemanusian menyangkut hak bagi yang

meninggal, dan adanya kepentingan untuk menentukan pemakaman berdasarkan

agama dan permintaan keluarga. Mengenai masalah hukum, seseorang yang tidak

teridentifiksi karena hilang, tidak dipersoalkan lagi apabila telah mencapai 7 tahun

atau lebih. Dengan demikian surat wasiat, asuransi, masalah pekerjaan dan hukum

yang perlu diselesaikan, serta masalah status pernikahan menjadi tidak berlaku lagi.

Sebelum sebab kematian ditemukan atau pemeriksa medis berhasil menentukan

jenazah yang sulit diidentifikasi, harus diingat bahwa kegagalan menemukan

rekaman gigi dapat mengakibatkan hambatan dalam identifikasi dan menghilangkan

semua harapan keluarga, sehingga sangat diperlukan rekaman gigi setiap orang

sebelum dia meninggal.

6
2.1 Latar Belakang Tim DVI Melibatkan Dokter Gigi dalam Proses

Identifikasi

2.1.1 The Odontologist’s Role Sebagai Saksi yang Ahli

Forensic odontologist tidak boleh lupa bahwa dasar peran dalam

judicial system adalah untuk membantu jaksa dan juri dalam pencarian

mereka untuk mendapatkan kebenaran.

Peran dari ahli berbeda dengan pengacara. Pengacara adalah

penyokong, dimana berperan untuk mendorong pihak yang bersangkutan.

Sebaliknya, padandangan ahli sebaiknya berdiri sendiri dan objektif. Jika

konklusi dari ahli tidak membantu pihak yang bersangkutan, ini sebaiknya

diselesaikan oleh pengacara.

Jaksa bebas dalam menerima atau menolak pendangan ahli, bahkan

jika tidak ada bukti yang berkaitan disajikan.

2.1.2 Pre-Trial Preparation

Persiapan untuk permulaan hari pemeriksaan pengadilan yang pertama

forensic odontologist dihubungi mengenai kasus yang terjadi. Mencatat waktu

dan tanggal dari peristiwa tersebut. Demikian pula, setiap waktu ahli bekerja

pada kasus, mereka sebaiknya mencatat apa yang telah didapatkan sehinga

informasi dapat tersedia.

Bukti harus ditangani dengan benar untuk mempertahankan rantai dari

penjagaan. Ketika bukti pertama kali diterima itu sebaiknya diresmikan dan

diberi tanggal tanpa merugikan bukti tersebut. Jika bukti dimodifikasi sebagai

7
hasil dari uji ahli, atau di berikan kepada orang lain, informasi ini sebaiknya

dicatat dengan hati-hati.

Sangatlah penting untuk menyediakan bukti yang terbaik untuk

digunakan di pengadilan. Original x-rays, charts, casts, dll sebaiknya di

perlihatkan sebagai bukti dimana itu memungkinkan. Persiapan untuk menulis

laporan dengan hati-hati, karena ahli harus siap untuk setiap kata di

pengadilan. Ahli pun dianjurkan untuk memberikan pandangan visual yang

membantu jaksa untuk mengerti dan menerima informasi secara relevan.

Selain itu, ahli forensik harus dengan seksama memeriksa fakta-fakta

yang ada yang terkait dengan kasus, termasuk tanggal-tanggal penting, sepeti

tanggal kejadian pembunuhan, tanggal penemuan mayat, dan sebagainya.

Penemuan-penemuan yang familiar sangat penting guna melengkapi hasil

otopsi, seperti apakah pola gigitan menyebabkan inflamasi jaringan, dan

sebagainya.

Kontak langsung antara tim forensik dan pengacara sebaiknya dihindari,

sebab hal ini dapat mempengaruhi pembelaan dan hasil yang bisa berat

sebelah. Tapi jika memang harus bertemu langsung, harus dalam koridor yang

terkontrol. Selain itu juga harus disertai saksi untuk meyakinkan pernyataan-

pernyataan yang muncul agar tidak nantinya terjadi kesalahpahaman.

8
2.1.3 Syarat Saksi Ahli

Saksi ahli adalah seseorang yang dapat menyimpulkan berdasarkan

pengalaman keahliannya tentang fakta atau data suatau kejadian, baik yang

ditemukan sendiri maupun oleh orang lain, serta mampu menyampaikan

pendapatnya tersebut (Franklin C.A, 1988).

Ketika pengadilan bersiap untuk menerima kesaksian, saksi ahli akan

dipanggil untuk memberi kesaksian. Sebelum memberikan kesaksian, terlebih

dahulu disumpah untuk tidak memberikan kesaksian palsu. Setelah itu

pengacara biasanya diberikan kesempatan untuk bertanya.

Pertanyaan pertama yang biasanya muncul adalah “apa pekerjaan atau

jabatan anda?” pertanyaan ini secara umum juga diikuti beberapa pertanyaan

tentang pendidikan, pelatihan yang terkait dengan forensik kedokteran gigi dan

pengalaman saksi di lapangan. Hal ini untuk memastikan apakah saksi yang

dipanggil sudah sesuai dengan bidangnya.

Terkadang pengacara juga mendapatkan informasi tentang keabsahan

saksi ahli dengan cara meminta saksi untuk menjelaskan sendiri secara singkat

dan jelas, atau bahkan dapat juga dengan cara tes kemampuan.

Seorang odontologist tidak perlu cemas ketika kemampunnya

dipetanyakan. Jika sudah memiliki banya pengalaman, maka harus menjawab

jika ditanyakan, tetapi tetapi juga dapat menekankan jumlah dan kualitas

pelayanan pelatihan yang diterima.

9
Adapun proses DVI meliputi 5 fase yang saling berkaitan, yaitu :

1. Initial Action at the Disaster Site

Merupakan tindakan awal yang dilakukan di tempat kejadian peristiwa

(TKP) bencana. Ketika suatu bencana terjadi, prioritas yang paling utama

adalah untuk mengetahui seberapa luas jangkauan bencana. Sebuah organisasi

resmi harus mengasumsikan komando operasi secara keseluruhan untuk

memastikan koordinasi personil dan sumber daya material yang efektif dalam

penanganan bencana. Dalam kebanyakan kasus, polisi memikul tanggung

jawab komando untuk operasi secara keseluruhan. Sebuah tim pendahulu

(kepala tim DVI, ahli patologi forensik dan petugas polisi) harus sedini

mungkin dikirim ke TKP untuk mengevaluasi situasi berikut :

a. Keluasan TKP, pemetaan jangkauan bencana dan pemberian koordinat

untuk area bencana.

b. Perkiraan jumlah korban.

c. Keadaan mayat.

d. Evaluasi durasi yang dibutuhkan untuk melakukan DVI.

e. Institusi medikolegal yang mampu merespon dan membantu proses

DVI.

f. Metode untuk menangani mayat.

g. Transportasi mayat.

h. Penyimpanan mayat.

i. Kerusakan properti yang terjadi.

10
2. Collecting Post Mortem Data

Pengumpulan data post-mortem atau data yang diperoleh paska

kematian dilakukan oleh post-mortem unit yang diberi wewenang oleh

organisasi yang memimpin komando DVI. Pemeriksaan dan pencatatan data

jenazah yang dilakukan diantaranya meliputi :

a. Dokumentasi korban dengan mengabadikan foto kondisi jenazah

korban.

b. Pemeriksaan fisik, baik pemeriksaan luar maupun pemeriksaan dalam

jika diperlukan.

c. Pemeriksaan sidik jari.

d. Pemeriksaan rontgen.

e. Pemeriksaan odontologi forensik: bentuk gigi dan rahang merupakan

ciri khusus tiap orang ; tidak ada profil gigi yang identik pada 2 orang

yang berbeda.

f. Pemeriksaan DNA.

g. Pemeriksaan antropologi forensik : pemeriksaan fisik secara

keseluruhan, dari bentuk tubuh, tinggi badan, berat badan, tatto hingga

cacat tubuh dan bekas luka yang ada di tubuh korban.

Data – data hasil pemeriksaan tersebut kemudian digolongkan ke dalam

data primer dan data sekunder sebagai berikut :

a. PRIMER : sidik jari, profil gigi, DNA

11
b. SECONDARY : visual, fotografi, properti jenazah, medik-antropologi

(tinggi badan, ras, dll.)

3. Collecting Ante Mortem Data

Pada fase ini dilakukan pengumpulan data mengenai jenazah sebelum

kematian. Data ini biasanya diperoleh dari keluarga jenazah maupun orang

yang terdekat dengan jenazah. Data yang diperoleh dapat berupa foto korban

semasa hidup, interpretasi ciri – ciri spesifik jenazah (tattoo, tindikan, bekas

luka, dll), rekaman pemeriksaan gigi korban, data sidik jari korban semasa

hidup,

4. Reconciliation

Dilakukan pembandingan data post mortem dengan data ante mortem.

Ahli forensik dan profesional lain yang terkait dalam proses identifikasi

menentukan apakah temuan post mortem pada jenazah sesuai dengan data

ante mortem milik korban yang dicurigai sebagai jenazah.

5. Returning to the Family

Korban yang telah diidentifikasi direkonstruksi hingga didapatkan

kondisi kosmetik terbaik kemudian dikembalikan pada keluarganya untuk

dimakamkan. Apabila korban tidak teridentifikasi maka data post mortem

jenazah tetap disimpan sampai ditemukan data ante mortem yang sesuai

dengan temuan post mortem jenazah,

12
2.2 Pemeriksaan Mayat

Pegawai yang memeriksa sebab kematian seseorang mempunyai

yurisdiksi untuk memimpin suatu pemeriksaan kematian, yang terjadi karena

kebakaran, dan phenomena lainnya. Sebab kematian merupakan fakta

terjadinya kematian. Jika terjadi ketidakpuasan dalam memeriksa sebab

kematian seseorang, pegawai tidak dapat menangani pemeriksaan seluruhnya

atau jika pemeriksaan telah dilakukan, pegawai tidak akan dapat menemukan

sebab kematian seluruhnya.

2.3 Pembuktian Kematian

Bukti bahwa seseorang telah meninggal atau sisa-sisa tubuhnya dapat

dipecahkan oleh bukti-bukti yang didapat oleh para ahli.Dalam hal ini, aturan

standar bukti ahli berlaku: orang yang memberikan bukti harus memiliki

pengetahuan khusus dalam kaitannya dengan bukti-bukti yang akan diberikan,

baik berdasarkan keahlian, pengalaman pelatihan; bukti harus berasal dari

bidang keahlian, yaitu tidak keluar dari lingkup intelektual untuk dapat

diandalkan atau tidak berlaku umum di antara pakar relevan, dan data yang

didapat dari pendapat ahli harus didasarkan pada bukti yang relevan.

Gambaran langsung dari parameter para ahli dan kepastian sangat penting

dalam kaitannya dengan identifikasi tetap atau konstruksi identitas dan modus

dan waktu kematian yang diajukan ke pengadilan. Bukti pendapat(opini) tidak

dapat berfungsi sebagai alasan untuk spekulasi yang tidak didapat dari data.

Bukti ahli seringkali hanya merupakan bagian dari upaya untuk merekonstruksi

13
identitas dari sisa-sisa yang ada dan waktu kematian. Ahli bukti hanya berupa

salah satu bagian dari mosaik informasi yang disajikan ke pengadilan. Sebagian

akan terdiri dari bukti dari fakta, beberapa, bukti dalam bentuk kesimpulan

yang ditarik dari fakta. Tugas pemeriksa silang adalah untuk membuat kedua

bentuk bukti yang benar akuntabel dengan mengeksplorasi hubungan logis

antara data dan pendapat, yang potensial untuk hipotesis alternatif, saksi ahli

dan kebenaran dasar dari kesaksian.

2.4 Prosedur Yang Dilakukan Saat terjadi Bencana Masal

Pada saat bencana alam terjadi, anda mungkin akan dipanggil oleh

petugas medis/koroner atau petugas polisi yang berkuasa, untuk membentuk tim

pengidentifikasi korban; atau anda mungkin akan diminta bergabung dalam tim

yang telah terbentuk oleh kolega anda. Tim pengidentifikasi ini terbagi atas dua

kelompok.

Kelompok yang pertama dikenal sebagai ‘home team’ yang tugasnya

mengumpulkan data antemortem dental pada korban yang dilaporkan hilang atau

diduga terkait dalam dalam bencana dan mengirimkan informasi ini pada

kelompok ke dua; yang dikenal sebagai ‘away team’, yang bersituasi di tempat

penyimpanan jenazah sementara di dekat lokasi bencana.

Fungsi ‘away team’ adalah pemeriksaan dental dari tiap korban yang

berhasil ditemukan, persiapan data postmortem dental, kemudian

membandingkan data ini dengan data antemortem dari orang hilang dan, jika

mungkin, dental identifikasi dari korban.

14
2.5 Cara Mengidentifikasi Korban

2.5.1 Identifikasi Jenis Kelamin Korban

2.5.1.1 Identifikasi jenis kelamin melalui gigi geligi

Menurut Cotton (1982), identifikasi pria dan wanita antara lain :

Gigi Geligi Wanita Pria

Outline gigi Relatif lebih kecil Relatif lebih besar

Lapisan email dan dentin Relatif lebih tipis Relatif lebih tebal

Bentuk lengkung gigi Cenderung oval Tapered

Ukuran cervico incisal dan mesio Lebih kecil Lebih besar

distal gigi caninus bawah

Outline incisivus pertama atas Lebih bulat Lebih persegi

Ukuran lengkung gigi Relatif lebih kecil Relatif lebih besar

2.5.1.2 Identifikasi jenis kelamin melalui tulang rahang

a. Identifikasi jenis kelamin melalui lengkung rahang atas

Lengkung rahang pria lebih besar daripada wanita, hal ini

disebabkan karena jarak mesio-distal gigi pria lebih besar daripada

wanita. Selain itu palatum wanita lebih kecil dan berbentuk parabola

sedangkan palatum pria lebih luas dan berbentuk huruf “U”.

15
b. Identifikasi jenis kelamin melalui lengkung rahang bawah

Sama halny dengan lengkung rahang atas. Lengkung rahang pria

lebih besar daripada wanita karena ukuran mesio-distal gigi wanita lebih

kecil daripada pria.

c. Identifikasi jenis kelamin melalui sudut gonion

Sudut gonion pria lebih kecil dibanding sudut gonion wanita.

16
d. Identifikasi jenis kelamin melalui tinggi dan lebar ramus ascendens

Ramus ascendens pria lebih tinggi dan lebih lebar daripada wanita

e. Identifikasi jenis kelamin melalui inter processus

Jarak proc. Condyloideus dengan proc. Coronoideus pria lebih besar

atau lebih panjang dibanding pada wanita. Tinggi tulang proc.

Coronoideus pria lebih tinggi daripada pria dalam arah vertical

17
f. Identifikasi jenis kelamin melalui tulang menton

Tulang menton pria lebih tebal dan lebih ke anterior daripada wanita.

g. Identifikasi jenis kelamin melalui pars basalis mandibula

Dalam bidang horizontal pars basalis mandibula pria lebih panjang

dibandingkan dengan wanita.

18
2.5.2 Identifikasi Umur Korban

Identifikasi umur korban melalui gigi geligi harus diingat kembali

periode tumbuh kembang gigi sulung dan gigi permanen. Selain itu juga

harus diingat adanya periode geligi campuran.

19
20
Menurut Gusstafson (1996), identifikasi umur dari gigi tetap terdapat enam

criteria yang disebut “six changes of the physiological age – process in

teeth”, yaitu :

21
2.5.2.1 The degress of attrition

Maksudnya adalah derajat keparahan dari atrisi pada permukaan

kunyah gigi baik incisal maupun oclusal sesuai dengan

penggunaannya. Makin lanjut usia maka derajat atrisi makin parah.

2.5.2.2 Alteration in the level of the gingival attachment

Perubahan fisiologis akibat penggunaan gigi dari epitel

attachment ditandai dengan dalamnya sulkus gingival yang melebihi 2

mm sesuai dengan pertambahan usia. Sehingga terkesan bahwa

seakan-akan mahkota gigi lebih panjang.

22
2.5.2.3 The amount of secondary dentine

Pembentukan dentin sekunder karena penggunaan gigi biasanya

terbentuk di atas atap pulpa sehingga makin lanjut usia pulpa seakan-

akan terlihat menyempit secara roentgenografis. Ini disebabkan karena

semakin menebalnya dentin karena pembentukan dentin sekunder

tersebut.

23
2.5.2.4 The thickness of cementum around the root

Dengan bertambahnya usia maka akan bertambah ketebalan

jaringan sementum pada akar gigi. Pembentukan ini oleh karena

pelekatan serat-serat periodontal dengan aposisi yang terus-menerus

dari gigi tersebut selama hidup.

2.5.2.5 Transluecency of the root

Dengan pertambahan usia maka terjadi proses kristalisasi dari

bahan-bahan mineral akar gigi hingga jaringan dentin pada akar gigi

berangsur-angsur mulai dari akar gigi kea rah cervical menjadi

transparan. Translusensi dentin ini dimulai pada decade ketiga.

24
2.5.2.6 Root resorption

Menurut Gusstaffon (1950) resorbsi akar gigi tetap akibat

tekanan fisiologis seiring dengan pertambahan usia.

2.5.3 Identifikasi Ras korban

2.5.3.1 Identifikasi ras korban dari gigi geligi

Identifikasi ras dapat dilakukan dengan melihat anatomi cingulum

gigi incisivus dan jarak mesiodistal dengan buccopalatal atau buccolingual

25
gigi premolar serta anatomi fisur, jumlah pit, ada atau tidaknya tuberculum

carabeli, dan jumlah gigi molar.

Identifikasi ras antara lain :

a. Ras Caucasoid

1. Permukaan lingual yang rata pada gigi 1.2 ; 1.1 ; 2.1 ; 2.2 (tidak

terdapat cingulum)

2. Gigi geligi sering crowded

3. Gigi molar pertama bawah (3.6 dan 4.6) lebih panjang dan tapered

4. Pada gigi premolar 2 atas (1.5 dan 2.5), jarak bucco-palatal lebih besar

dari jarak mesio-distal

5. Tuberculum carabeli gigi 1.6 dan 2.6 sering kali di bagian palatal

6. Bentuk lengkung rahang yang sempit

26
b. Ras Mongoloid

1. Gigi incisivus 1.1 ; 1.2 ; 2.1 ; 2.2 mempunyai pertumbuhan penuh

pada permukaan palatal bahkan lingual sehingga shoves shaped incisor

cingulum jelas dominan (Herdlicka, 1921)

2. Bentuk gigi molar berupa segiempat dominan

c. Ras Negroid

1. Akar gigi premolar 1.4 ; 1.5 ; 2.4 ; 2.5 cenderung membelah atau

terdapat tiga akar (R. Biggerstaf)

2. Cenderung potrusi bimaksilaris dan terlihat monyong

3. Banyak ditemukan kasus adanya molar keempat

4. Gigi premolar pertama 1.4 dan 2.4 memiliki 2 atau 3 cups

5. Gigi molar berbentuk segiempat membulat

27
d. Ras Australoid

e. Ras Khusus

Menurut Nursial Luth dan Daniel Fernandez (1995) ras khusus yaitu :

Bushman

Suku ini bermukim di Spanyol

Vedoid

Suku ini bermukim di afrika tengah

Polynesian

Yang termasuk suku ini yang bermukim di pulau-pulau kecil di

lautan Hindia dan lautan Afrika

Ainu

Suku ini bermukim di kepulauan kecil Jepang

28
2.5.3.2Identifikasi ras korban dari lengkung gigi

Identifikasi ras melalui lengkung gigi mempunyai lima jenis, yaitu :

a. Ras Mongoloid

Lengkung gigi berbentuk ellipsoid

b. Ras Negroid

Lengkung gigi berbentuk huruf “U”

c. Ras Caucasoid

Lengkung gigi berbentuk parabola

d. Ras Australoid

Lengkung gigi berbentuk parabola lebar dengan gigi incisivus yang besar

e. Ras Khusus

Lengkung gigi berbentuk “U” yang sangat nyata dengan gigi incisivus

berukuran kecil

29
2.5.4 Identifikasi Korban melalui Restorasi dan Protesa yang Digunakan

Restorasi dan protesa yang digunakan setiap orang bersifat individual

dimana tidak sama satu dengan yang lainnya dan memiliki ciri-ciri khusus

yang tergantung pada pemakainya. Restorasi dan protesa yang ditemukan

pada korban harus dicatat secara teliti. Jika ditemukan adanya restorasi,

harus dicatat jenis restorasi yang dipakai, pada gigi apa, permukaan yang

terkena, dan luasnya restorasi. Pada protesa harus diperhatikan gigi

sandarannya, jumlah dan bentuk pontik, serta desain protesa.

Beberapa ciri individu konstruksi dari protesa diketahui melalui :

a. Bentuk daerah relief di bagian langit-langit

b. Bentuk dan kedalaman “post-dam”

c. Disain sayap labial

d. Penutupan daerah retromolar

e. Warna akrilik

f. Bentuk, ukuran dan bahan gigi artifisial

g. Bentuk dan ukuran lingir alveolar

2.5.5 Identifikasi korban melalui golongan darah dari jaringan pulpa

Menurut Alfonsius dan penelitian Ladokpol tahun 1992 serta Forum

Ilmiah International FKG Usakti tahun 1993, analisis golongan darah dari

jaringan pulpa merupakan identifikasi golongan darah untuk pelaku dan

korban dengan cara Absorpsi-Erupsi.

30
Analisa golongan darah dengan metode absorpsi-erupsi dari jaringan pulpa

gigi adalah sebagai berikut :

1. Gigi yang masih memiliki jaringan pulpa diambil sebagai bahan. Gigi tersebut

ditumbuk dalam lubang besi hingga hancur menjadi bubuk dan dimasukkan

ke dalam tabung reaksi yang terbagi menjadi 3 tabung.

2. Ke dalam masing-masing tabung dimasukkan antisera, yaitu: ɑ ke tabung I, ß

ke tabung II, dan Ɣ ke tabung III

3. Ketiga tabung tersebut disimpan dalam lemari pendingin dengan suhu 5 °C

sellama 24 jam

4. Lalu dicuci dengan saline solution sebanyak 7 kali, kemudian larutan saline

dibuang dari tabung tetapi endapan tidak terbuang.

5. Ketiga tabung diteteskan aquades sebanyak 2 tetes dengan pipet dan

dipanaskan dengan suhu 56 °C selama 12 menit lalu diangkat dari tunggu

pemanas

6. Kedalam tabung dimasukkan sel indicator A,B, dan O dengan konsentrasi 3%

- 5%. Kemudian ketiga tabung disentrifugasi dengan alat pemutar agar terjadi

aglutinasi

7. Perhatikan pada tabung mana yang mengalami aglutinasi. Pada tabung yang

mengalami aglutinasi ini merupakan identifikasi golongan darah dari hasil

analisa laboratories tersebut

31
32
BAB III

PENUTUP

Odontologi forensik sebagai suatu ilmu terapan Kedokteran Gigi telah

lama dikenal, meskipun sempat mengalami kevakuman perkembangan untuk

waktu yang cukup lama. Saat ini dengan semakin canggihnya ilmu

pengetahuan dan teknologi, kasus-kasus kematian massal dengan korban tidak

dikenal juga meningkat tajam. Pada kasus kasus ini serta kasus-kasus kriminil,

bantuan dokter gigi dalam melakukan pemeriksaan odontologi forensik

merupakan kebutuhan yang nyata.

Perkembangan mutakhir teknologi kedokteran gigi dan kedokteran

telah menyebabkan banyak perubahan dalam metode identifikasi personal.

Dari bahan gigi dan tulang misalnya, pada saat ini kita telah dapat melakukan

analisis DNA yang dapat menunjukkan identitas, jenis kelamin dsb secara

cepat dan tepat.

3.1 Kesimpulan

3.1.1 Kasus

Seorang dokter gigi pada lokasi X dihubungi dari pihak manajemen

DVI untuk membantu proses identifikasi dari bencana masal, korban

kebakaran dari suatu hotel dengan jumlah korban yang meninggal kurang

lebih 400 orang dari berbagai daerah dan mancanegara, apakah yang harus

dilakukan oleh dokter gigi tersebut dan apa yang melatarbelakangi Tim DVI

33
melibatkan dokter gigi dalam proses mengidentifikasi serta dasar hukum apa

dokter gigi berperan untuk membantu tim DVI.

3.1.2 Permasalahan dalam kasus

Memberikan dasar hukum akan suatu peran dokter gigi dalam tim

DVI. Sulitnya mengidentifikasi korban kebakaran karena jumlah korban

yang sangat banyak dan bervariasi rasnya. Identifikasi ini juga dipersulit

oleh keadaan mayat korban yang sebagian besar sudah hangus dan bahkan

tidak utuh karena terbakar.

3.1.3 Hipotesis dari permasalahan

Dalam kasus ini, dokter gigi akan bekerja sama dengan tenaga medis

lainnya. Proses identifikasi dimulai apabila tubuh korban sudah berada di

kamar mayat. Namun bila memungkinkan pemeriksaan gigi pasca kematian

dilakukan di tempat korban ditemukan, ini bertujuan untuk menghindari

hilangnya bagian-bagian tubuh korban pada saat proses pengangkutan tubuh

ke kamar mayat.

Struktur rongga mulut harus diamati secara superfisial dan segera

dicari kemungkinan adanya bagian-bagian gigi yang hilang. Catatan

gambaran gigi yang dapat di ambil untuk proses identifikasi adalah:

a. Bentuk anatomi gigi

b. Lengkung rahang

c. Restorasi dan protesa

34
d. Karies gigi dan kehilangan gigi

3.1.4 Topik Utama dalam Permasalahan

Topik utama yang dibahas dalam kasus ini adalah dasar-dasar hukum

peran seorang dokter gigi dalam tim DVI dan berbagai cara untuk

mengidentifikasi korban dengan jumlah banyak dan ras yang bervariatif.

35

Anda mungkin juga menyukai