Anda di halaman 1dari 32

Referat

ODONTOLOGI FORENSIK

Oleh:
Hutomo Widyanugraha Viko Duvadilan Wibowo Sabrina Imania Tia Monita Ginda Chitra Puspita Agung Putra Evasha Tri Agus Hermawati Fieka Soraya 04114708040 04114708070 04114708005 04114708009 04114708028 G1A108053 G1A108077 G1A108076

Pembimbing: Dr. Indra Syakti Nasution, SpF

DEPARTEMEN FORENSIK RUMAH SAKIT MOH. HOESIN PALEMBANG FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA 2013 BAB I

PENDAHULUAN

Dalam beberapa tahun terakhir, kita banyak dikejutkan oleh terjadinya bencana massal yang menyebabkan kematian banyak orang. Selain itu kasus kejahatan yang memakan banyak korban jiwa juga cenderung tidak berkurang dari waktu ke waktu. Pada kasus-kasus seperti ini tidak jarang kita jumpai korban jiwa yang tidak dikenal sehingga perlu di identifikasi. Identifikasi forensik merupakan upaya yang dilakukan dengan tujuan membantu penyidik untuk menentukan identitas seseorang.1 Peran ilmu kedokteran forensik dalam identifikasi terutama pada jenazah tidak dikenal, jenazah yang rusak, membusuk, hangus terbakar dan kecelakaan masal, bencana alam, huru hara yang mengakibatkan banyak korban meninggal, serta potongan tubuh manusia atau kerangka. Selain itu identifikasi forensik juga berperan dalam berbagai kasus lain seperti penculikan anak, bayi tertukar, atau diragukan orangtua nya. Identitas seseorang yang dipastikan bila paling sedikit dua metode yang digunakan memberikan hasil positif (tidak meragukan).1 Dan salah satu identifikasi yang paling penting adalah umur. Penentuan umur dapat dilakukan dengan pemeriksaan penutup sutura, inti penulangan, penyatuan tulang serta pemeriksaan gigi.2 Forensik odontologi sudah dikenal sejak tahun 1894. Pada tahun 1894, Oscar Amudo yang lahir di Matanzas Cuba mulai menerapkan gigi geligi untuk penegakan hukum. Di Norwegia (1894) ditetapkan bahwa tim odontologi forensik terdiri dari anggota kepolisian, seorang dokter yang biasanya ahli patologi dan seorang dokter gigi.3 Forensik odontologi adalah salah satu metode penentuan identitas individu yang telah dikenal sejak era sebelum masehi. Kehandalan teknik identifikasi ini bukan saja disebabkan karena ketepatannya yang tinggi sehingga nyaris menyamai ketepatan teknik sidik jari, gigi dan tulang adalah material biologis yang paling tahan terhadap perubahan lingkungan dan terlindung. Penggunaan gigi sebagai identifikasi memberikan keuntungan dikarenakan sifat gigi yang keras dan tahan terhadap cuaca, kimia, maupun trauma. Selain itu gigi manusia mempunyai sifat diphypodensi dimana setiap gigi mempunyai konfigurasi dan relief yang berbeda dan perubahan yang terjadi karena umur atau proses patologis/intervensi pada gigi dapat menjadi informasi lain.4

Pada kasus Bom Bali I, dimana korban yang teridentifikasi berdasarkan gigi-geligi mencapai 56%, korban kecelakaan lalu lintas di Situbondo mencapai 60%, dan korban jatuhnya Pesawat Garuda di Yogyakarta mencapai 66,7%.3,4 Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia secara geografis terletak pada wilayah yang rawan terhadap bencana alam baik yang berupa tanah longsor, gempa bumi, letusan gunung berapi, tsunami, banjir dan lain-lain, yang dapat memakan banyak korban, dan salah satu cara mengidentifikasi korban adalah dengan metode forensik odontologi. Oleh karena itu forensik odontologi sangat penting dipahami peranannya dalam menangani korban bencana massal.3 Saat ini identifikasi yang paling baik adalah berdasarkan pada pemeriksaan gigi dan sidik jari, kedua cara ini merupakan prosedur yang fundamental di dalam investigasi medikolegal kematian. Prosedur identifikasi gigi merupakan metode positif untuk membuat identifikasi.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Odontologi Forensik

Ilmu kedokteran gigi kehakiman, secara internasional disebut Odontologi Forensik. Kata ini berasal dari gabungan bahasa Yunani dan Romawi. Odons berarti gigi, logia atau logos berarti pengetahuan, pelajaran, akal, berasal dari bahasa Yunani. Sedangkan forensik berarti tempat pengadilan, berasal dari bahasa Romawi. Odontologi forensik adalah suatu cabang ilmu kedokteran gigi yang mempelajari cara penanganan dan pemeriksaan benda bukti gigi serta cara evaluasi dan presentasi temuan gigi tersebut untuk kepentingan peradilan.5 Sebagai suatu metode identifikasi pemeriksaan gigi memiliki keunggulan sbb: 1. Gigi merupakan jaringan keras yang resisten terhadap pembusukan dan pengaruh lingkungan yang ekstrim. 2. Karakteristik individual yang unik dalam hal susunan gigi geligi dan restorasi gigi menyebabkan identifikasi dengan ketepatan yang tinggi. 3. Kemungkinan tersedianya data antemortem gigi dalam bentuk catatan medis gigi (dental record) dan data radiologis. 4. Gigi geligi merupakan lengkungan anatomis, antropologis, dan morfologis, yang mempunyai letak yang terlindung dari otot-otot bibir dan pipi, sehingga apabila terjadi trauma akan mengenai otot-otot tersebut terlebih dahulu. 5. Bentuk gigi geligi di dunia ini tidak sama, karena berdasarkan penelitian bahwa gigi manusia kemungkinan sama satu banding dua miliar. 6. Gigi geligi tahan panas sampai suhu kira-kira 400C. Gigi geligi tahan terhadap asam keras, terbukti pada peristiwa Haigh yang terbunuh dan direndam dalam asam pekat, jaringan ikatnya hancur, sedangkan giginya masih utuh.

Menurut Pederson (1969), odontologi forensik adalah suatu cabang ilmu kedokteran gigi yang mempelajari cara penanganan dan pemeriksaan benda bukti gigi serta cara evaluasi dan presentasi temuan gigi tersebut untuk kepentingan peradilan.6 Sebagai suatu metode identifikasi pemeriksaan gigi memiliki keunggulan sebagai berikut: 1. Gigi dan restorasinya merupakan jaringan keras yang resisten terhadap pembusukan dan pengaruh lingkungan yang ekstrem. 2. Karakteristik individual yang unik dalam hal susunan gigi geligi dan restorasi gigi menyebabkan dimungkinkannya identifikasi dengan ketepatan yang tinggi (1:1050). 3. Kemungkinan tersedianya data antemortem gigi dalam bentuk catatan medis gigi (dental record) dan data radiologis.

2.2 Ruang Lingkup Odontologi Forensik Ruang lingkup Odontologi Forensik dibagi atas tiga bidang yaitu6: a. Bidang perdata (non kriminal), termasuk di dalamnya adalah malpraktek, kelalaian dan penipuan b. Bidang Pidana Identifikasi gigi-geligi baik terhadap orang hidup ataupun orang mati. Identifikasi bekas gigitan pada makanan, diri tersangka, diri korban, dapat karena perbuatan sendiri ataupun perbuatan orang lain c. Riset Akademis dengan mengikuti latihan-latihan dan kursus-kursus untuk tingkat pasca sarjana. Identifikasi dari orang yang hidup, orang hilang atau terganggu ingatannya. Identifikasi dari sisa-sisa tubuh manusia dimana kematiannya mencurigakan Identifikasi pada kecelakaan massal.

d. Batasan forensik odontologi terdiri dari: 1. Identifikasi dari mayat yang tidak dikenal melalui gigi, rahang dan kraniofasial. 2. Penentuan umur dari gigi. 3. Pemeriksaan jejas gigit (bite-mark). 4. Penentuan ras dari gigi. 5. Analisis dari trauma oro-fasial yang berhubungan dengan tindakan kekerasan. 6. Dental jurisprudence berupa keterangan saksi ahli. 7. Peranan pemeriksaan DNA dari bahan gigi dalam identifikasi personal

2.3 Odontologi Forensik di Indonesia Di Indonesia dapat dikatakan saat ini belum ada pakar odontologi forensik yang sesungguhnya, dalam arti yang memang mendapatkan pendidikan khusus tentang itu. Hal ini disebaban karena bidang ini masih kurang peminatnya dan untuk memperdalamnya diperlukan pendidikan khusus di luar negeri. Meskipun demikian, hal itu tidak berarti tidak ada dokter gigi yang berperan sebagai dokter gigi forensik dan membantu pengungkapan identitas korban. Pada banyak kasus kriminal yang memerlukan bantuan identifikasi dokter gigi, tercatat ada beberapa dokter gigi yang kerap membantu penyidik.7 Berbeda dengan penerapan odontologi forensik di luar negeri, peranan pemeriksaan gigi di Indonesia memiliki banyak keterbatasan. Hal yang menjadi masalah utama adalah

masih kurang membudayanya perilaku berobat ke dokter gigi sehingga hanya sedikit masyarakat yang pernah ke dokter gigi.7 Dari antara yang berobat ke dokter gigipun, hanya sedikit saja yang mempunyai rekam medis yang baik dan lengkap. Hal ini menyebabkan identifikasi personal berdasarkan ciri khas susunan gigi, adanya restorasi gigi dsb sulit dilakukan karena ketiadaan data antemortem. Dengan demikian, sebagai pemecahannya, terhadap material gigi dilakukan pemeriksaan untuk mendapatkan data lain, antara lain ras, jenis kelamin, umur, golongan darah, profil DNA dsb. 2.4 Peranan Odontologi Forensik Dalam Menangani Bencana Massal Kematian yang tidak wajar atau tidak terduga, atau dalam kondisi bencana massal, kerusakan fisik yang direncanakan, dan keterlambatan dalam penemuan jenazah, bisa mengganggu identifikasi. Dalam kondisi inilah forensik odontologi diperlukan walaupun tubuh korban sudah tidak dikenali lagi. Identifikasi dalam kematian penting dilakukan, karena menyangkut masalah kemanusiaan dan hukum. Masalah kemanusian menyangkut hak bagi yang meninggal, dan adanya kepentingan untuk menentukan pemakaman berdasarkan agama dan permintaan keluarga. Mengenai masalah hukum, seseorang yang tidak teridentifiksi karena hilang, tidak dipersoalkan lagi apabila telah mencapai 7 tahun atau lebih. Dengan demikian surat wasiat, asuransi, masalah pekerjaan dan hukum yang perlu diselesaikan, serta masalah status pernikahan menjadi tidak berlaku lagi.8 Sebelum sebab kematian ditemukan atau pemeriksa medis berhasil menentukan jenazah yang sulit diidentifikasi, harus diingat bahwa kegagalan menemukan rekaman gigi dapat mengakibatkan hambatan dalam identifikasi dan menghilangkan semua harapan keluarga, sehingga sangat diperlukan rekaman gigi setiap orang sebelum dia meninggal.

2.5 Perkembangan dan Erupsi Gigi-Geligi sebagai Teori Dasar dalam Perkiraan

Usia

Sebagian besar ahli setuju bahwa data perkembangan dan erupsi gigi-geligi merupakan alat bantu yang paling akurat dalam perkiraan usia. Pada kenyataannya gigi mempunyai ketahanan yang tinggi terhadap faktor-faktor fisik seperti air dan api juga mempunyai struktur yang sangat kompleks dan khas pada setiap individu sehingga pola perkembangan erupsi gigi-geligi dijadikan sebagai metoda pilihan untuk memperkirakan usia dalam bidang forensik.1,6

Perkiraan usia dilakukan dengan membandingkan status perkembangan gigi-geligi dari indiviud yang tidak diketahui identitasnya dengan teori perkembangan dan erupsi gigigeligi yang telah dipublikasikan berdasarkan survey dari para ahli. Salah satu teori yang dipakai perkiraan usia postmortem adalah yang dikembangkan oleh Schour dan Massler (1941) yang mempublikasikan grafik perkembangan dan erupsi gigi-geligi permanen maupun decidui. Grafik ini terus diperbaharui secara periodik dan dipublikasikan dalam ukuran yang sebenarnya oleh American Dental Association.1 Berdasarkan grafik dari Schour dan Massler (1941) di atas, dapat ditentukan lima kelompok usia berdasarkan perkembangan dan erupsi gigi-geligi yaitu1: a. Kelompok usia prenatal: 5-7 bulan intra uteri b. Kelompok infant: saat lahir sampai 1,5 tahun c. Kelompok usia kanak-kanak awal (pra sekolah): 2-6 tahun d. Kelompok usia kanak-kanak akhir (usia sekolah): 7-10 tahun e. Kelompok usia remaja dan dewasa: 11-35 tahun

2.5.1 Perkembangan dan Erupsi Gigi-geligi Decidui Mahkota gigi-geligi decidui mulai berkalsifikasi pada usia 3-4 bulan intra uteri. Kalsifikasi ini terus berlanjut selama usia prenatal sampai mendekati periode neo-natal. Akar gigi-geligi decidui biasanya terbentuk pada usia 1,5 sampai 3 tahun setelah lahir. Pada umur 2 sampai 2,5 tahun, semua gigi decidui telah erupsi di muut dan fungsi pengunyahnya sudah baik. Gigi-geligi decidui lengkap berada di mulut dan fungsi penguyahannya sudah baik. Gigi geligi decidui lengkap berada di mulut tanpa mengalami banyak perubahan berlangsung pada usia 2,5 sampai 5 tahun. Pada umur sekitar 3 tahun semua akar gigi-geligi decidui telah sempurna terbentuk.9,10,11 Urutan erupsi gigi-geligi decidui adalah sebagai berikut. Insisivus sentralis-insisivus lateralis-molar pertama-caninus-molar kedua. Pedoman yang harus dingat adalah bahwa gigi mandibula biasanya erupsi lebih awal daripada gigi maksila dan gigi di kedua rahang erupsi secara berpasangan, satu di kiri dan satu di kanan.10

Tabel 1. Perkembangan dan Erupsi Gigi-geligi decidui Gigi-Geligi Kalsifikasi Mahkota Erupsi Akar

Pertama Rahang Atas I Sentralis I lateralis Caninus Molar I Molar II Rahang Bawah I Sentralis I lateralis Caninus Molar I Molar II
1984;24)

Lengkap 4 bln 5 bln 9 bln 6 bln 10-12 bln 4 bln 4 bln 9 bln 6 bln 10-12 bln 7 bln 8 bln 16-20 bln 12-16 bln 20-30 bln 6 bln 7 bln 16-20 bln 12-16 bln 20-30 bln

lengkap 1 - 2 thn 1 -2 thn 2 - 3 thn 2-2 thn 3 thn 1 - 2 thn 1 -2 thn 2 - 3 thn 2-2 thn 3 thn

3-4 bln IU 4,5 bln IU 5 bln IU 5 bln IU 6 bln IU 4 bln IU 4 bln IU 5 bln IU 5 bln IU 6 bln IU

(Wheeler, C Russel. Wheelers Dental Anatomy, Physiology and Oclusion. WB Saunders Company.

2.5.2 Perkembangan dan Erupsi Gigi-geligi Permanen Perkembangan dan erupsi gigi-geligi permanen berlangsung dari saat kelahiran sampai umur sekitar 14 tahun. Molar permanen pertama mulai berkalsifikasi pada saat kelahiran dan kalsifikasi gigi permanen lainnya berlangsung sampai umur 9 tahun, kecuali gigi molar ketiga tidak mengalami pembentukan jaringan keras sampai umur 8-9 tahun.9,12 Dan umur 14 sampai 23 tahun, perkembangan molar kedua dan molar ketiga mempunyai arti penting dalam perkiraan usia.hal ini disebabkan pada usia ini terjadi perkembangan yang lebih lanjut dari akar molar kedua, juga terjadi penutupan foramen apikal dari molar ketiga. Urutan erupsi pada gigi permanen adalah sebagai berikut: Molar pertamainsisivus sentralis dan lateralis mandibula-insisivus sentralis maksila-insisivus lateralis maksila-caninus mandibula-premolar pertama-premolar kedua-caninus maksila-molar keduamolar ketiga.10,12

Tabel 2. Perkembangan dan Erupsi Gigi-geligi Permanen Gigi-Geligi Kalsifikasi Pertama Rahang Atas I Sentralis I lateralis 3-4 bln 10 bln Mahkota Lengkap 4-5 thn 4-5 thn 7-8 thn 8-9 thn Erupsi Akar lengkap 10 thn 11 thn

Caninus Premolar I Premolar II Molar I Molar II Molar III Rahang Bawah I Sentralis I lateralis Caninus Premolar I Premolar II Molar I Molar II Molar III
1984;24)

4-5 bln 1-1 thn 2-2 thn

6-7 thn 5-6 thn 6-7 thn

11-12 thn 10-11 thn 10-12 thn 6-7thn 12-13 thn 17-21 thn 6-7thn 7-8 thn 9-10 thn 10-12 thn 11-12 thn 6-7 thn 11-13 thn 17-21 thn

13-15 thn 12-13 thn 12-14 thn 9-10 thn 14-16 thn 18-25 thn 9 thn 10 thn 12-14 thn 12-13 thn 13-14 thn 9-10 thn 15 thn 18-25 thn

Waktu lahir 2 - 3 thn 2 - 3 thn 7-9 thn 3-4 bln 10 bln 4-5 bln 1 1/4 -2 thn 2- 2 thn 7-8 thn 12-16 thn 4-5 thn 4-5 thn 6-7 thn 5-6 thn 6-7 thn

Waktu lahir 2 -3 thn 2 - 3 thn 8-10 thn 7-8 thn 12-16 thn

(Wheeler, C Russel. Wheelers Dental Anatomy, Physiology and Oclusion. WB Saunders Company.

Perkembangan dan erupsi gigi-geligi hanyalah sebagai alat bantu dalam perkiraan usia, karena tidak ada dua individu yang sama persis dalam hal perkembangan. Proses perkembangan gigi antara lain dipengaruhi oleh jenis kelamin dimana pada perempuan biasanya perkembangannya lebih cepat daripada laki-laki. Juga dipengaruhi oleh faktor nutrisi dimana pada kasus malnutrisi yang hebat perkembangan giginya akan lebih lambat.10,11

2.6 Identifikasi Ras Korban maupun Pelaku dari Gigi-geligi Ras di dunia ini dahulu terdapat 3 ras besar yaitu ras caucasoid, mongoloid, dan ras negroid. Setelah jaman penjajahan, maka terdapat perkawinan campuran sehingga terdapat ras khusus dan ras australoid, yakni ras aborigin dan ras-ras kecil di kepulauan. Ras tersebut memiliki ciri-ciri sendiri yang dapat digunakan sebagai sarana identifikasi. Menurut Hoebel ciri-ciri ras yang berbeda tersebut disebabkan hal berikut13: 1. Komponen masyarakat setempat/sekitarnya 2. Komponen perkawinan (pernikahan/garis keturunan)

3. Komponen genetik 4. Komponen ciri-ciri fisik, gigi, dan mulut 2.6.1. Identifikasi Ras atau Korban dari Ciri-ciri Gigi Ciri-ciri kelima ras tersebut ditinjau dari gigi insisive, premolar, dan molar, yakni dari gigi insisive dari cingulum, gigi premolar dari jarak mesiodistal dengan bucopalatal atau relasi jarak mesiodistal dengan bucolingual dan gigi molar dari visurnya, jumlah pitnya dan adanya caraballi ataupun jumlah gigi molarnya.13 Identifikasi masing-masing ras tersebut antara lain: 1. Ras caucasoid dengan ciri-ciri sebagai berikut: a. Permukaan lingual rata (Kiernberger 55 dan Pederson 49) pada gigi seri/insisive 1.21.1,2.12.2 b. Sering gigi-geligi (crowded) c. Gigi molar pertama bawah (3.6,4.6) lebih panjang, tapered d. Dalberg (1956): Bukopalatal < (P2, 1.5, 2.5), mesio-distal e. Sering, cusp carabeli pada 1.6, 2.6 (palatal) f. Lengkung rahang sempit

Gambar 1. Gambar Gigi Insisive atas Bagian Atas tidak Terdapat Cingulum dan Gigi Molar I dengan Visur dan Dua Pit yakni Pit Distal dan Pit Mesial

Gambar 2. Cusp Carabeli pada Molar I atas pada Bagian Mesiopalatal

2. Ras mongoloid dengan ciri-ciri sebagai berikut:

a. Menurut Herdlicka (1921) bahwa gigi insisive mempunyai perkembangan penuh pada permukaan palatal bahkan lingual sehingga shovel shaped incisor cungulum jelas dominan {(pada gigi 1.1 1.2, 2.1 2.2)} b. Fisur-fisur gigi molar c. Bentuk gigi molar segiempat dominan Oleh karena itu satu individu tidak murni satu ras. Maka gigi sesuai untuk pnentuan ras yang didapat dari phenotype gigi dari genotypenya.

Gambar 3. Singulum pada Permukaan Palatal pada Gigi Insisive Atas 3. Ras negroid dengan ciri-ciri sebagai berikut: a. Menurut R. Biggerstaf bahwa premolar akan premolar (1.4 1.5, 2.4 2.5) cenderung membelah atau terdapat tiga akar yakni trifurkasi b. Bahwa cenderung bimaxillary protrusion (monyong) c. Bahwa molar ke-4 sering ditemukan (banyak) d. Premolar pertama bahwa (1.4, 2.4) terdapat 2 atau 3 cusp e. Gigi molar berbentuk segiempat

Gambar 4. Visura pada Gigi Molar I seperti Sarang Laba-laba dan Memperlihatkan Gigi Insisive Tidak Terdapat Cingulum 4. Ras Australoid

Ras suku ini adalah: suku aborigin dan suku-suku di kepulauan kecil pasifik.

Ras ini mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

Gambar 5. Gigi Depan Ras Australoid Suku Aborigin 5. Ras Khusus Menurut Nursial Luth dan Daniel Fernandez (1995) yakni: a. Bushman: suku ini bermukim di spanyol b. Vedoid: suku ini bermukim di Afrika Tengah. c. Polynesian: suku ini bermukim di pulau-pulau terkecil di lautan Hindia dan lautan Arfika d. Ainu: suku ini bermukim di kepulauan kecil Jepang.

Gambar 6. Gigi Depan Ras Khusus yang Relatif Semua Gigi Insisive Hampir Sama 2.6.2 Identifikasi Ras Korban dari Lengkung Gigi Tabel 3. Perbedaan Lengkungan Rahang antar Ras13 Lengkung Rahang Elipsoid Berbentuk U Paraboloid

Ras Mongoloid Ras Negroid Ras Caucasoid Ras Australoid Ras Khusus

(+) (+) (+) (+) lebar, insisive besar-besar (+) sangat nyata, insisive kecil-kecil

Gambar 7. Memperlihatkan Lengkung Rahang Ras Mongoloid, Negroid, dan Caucasoid

Gambar 8. Memperlihatkan Lengkung Rahang Ras Australoid dan Khusus 2.7 Identifikasi Jenis Kelamin dari Gigi-geligi Identifikasi jenis kelamin melalui gigi-geligi menurut Cotton (1982) antara pria dan wanita dapat dibuat tabel sebagai berikut13: Tabel 4. Perbedaan Gigi-Geligi Berdasarkan Jenis Kelamin Gigi Geligi Outline Bentuk Gigi Lapisan Dentin Bentuk Lengkung Gigi Cenderung oval Tapered Email Wanita Relatif lebih kecil dan Relatif lebih tipis Pria Relatif lebih besar Relatif lebih tebal

Ukuran Cervico Incisal Lebih kecil Mesio Bawah Outline Incisive Pertama Lebih bulat Atas Lengkung Gigi Relatif lebih kecil Distal Caninus

Lebih besar

Lebih persegi

Relatif lebih besar

2.8 Identifikasi Jenis Kelamin dari Tulang Rahang Selain dengan pemeriksaan internal dan eksternal, perbedaan pria dan wanita dapat dilihat dari tulang-tulang yang ada. Salah satu tulang yang dapat diidentifikasi untuk membedakan jenis kelamin tersebut adalah tulang rahang.13 1. Identifikasi Jenis Kelamin melalui Lengkung Rahang Atas Pada pria, lengkung rahang lebih besar daripada wanita karena relatif gigi-geligi pria jarak mesio distal lebih panjang dibandingkan dengan wanita. Sedangkan palatum pada wanita lebih kecil dan berbentuk parabol. Dan pada pria, palatum lebih luas serta berbentuk huruf U,

Gambar 9. Lengkung Rahang Atas Pria dan Wanita

2. Identifikasi Jenis Kelamin melalui Lengkung Rahang Bawah Lengkung rahang pria lebih besar dari wanita karena gigi-geligi wanita jarak mesio distalnya lebih kecil daripada pria,

Gambar 10. Lengkung Rahang Bawah Pria dan Wanita

3. Identifikasi Jenis Kelamin melalui Tulang Rahang Terdapat berbagai sudut pandang pada setiap regio dan bentuk serta besar rahang pria maupun wanita yang sangat berbeda. Hal ini dapat digunakan sebagai sarana atau data identifikasi jenis kelamin melalui tulang rahang bawah. a. Identifikasi Jenis Kelamin melalui Sudut Genion Sudut gonion pria lebih kecil dibandingkan sudut gonion wanita

Gambar 11. Sudut Genion Pria dan Wanita

b. Identifikasi Jenis Kelamin melalui tinggi Ramus Ascendens Ramus Ascendens pria lebih tinggi dan lebih besar daripada wanita

Gambar 12. Tinggi Ramus Ascenden Pria dan Wanita

c. Identifikasi Jenis Kelamin melalui Inter Processus Jarak processus condyloideus dengan processus coronoideus pada pria lebih jauh dibandingkan dengan wanita. Dengan kata lain pada pria mempunyai jarak lebih panjang dibandingkan dengan wanita.

Gambar 13. Jarak Interprossus Coronoideus dan Condylus pada Pria dan Wanita

d. Identifikasi Jenis Kelamin melalui Lebar Ramus Ascendens Identifikasi jenis kelamin melalui Ramus Ascendens pada pria mempunyai jarak yang lebih lebar dibandingkan dengan wanita.

Gambar 14. Lebar ramus Ascendens pada Pria dan Wanita

e. Identifikasi Jenis Kelamin melalui Tulang Menton (dagu) Identifikasi jenis kelamin melalui tulang menton pria atau tulang dagu pria yang dimaksud lebih anterior dan lebih besar

Gambar 15. Dagu Pria dan Wanita

f. Identifikasi Jenis Kelamin melalui Pars Basalis Mandibula Pada pria, pars Basalis Mandibula lebih panjang dibandingkan dengan wanita dalam bidang horizontal.

Gambar 16. Panjang Basalis Mandibula pada Pria dan Wanita

g. Identifikasi Jenis Kelamin melalui Processus Coronoideus Tinggi Processus Coronoideus pada pria lebih tinggi dibandingkan dalam bidang vertikal.

Gambar 17. Tinggi Coronoideus pada Pria dan Wanita

h. Identifikasi Jenis Kelamin melalui Tebal Tulang Menton Tulang menton pria dalam ukuran pabio lebih tebal dibandingkan dengan wanita, hal ini kemungkinan masa pertumbuhan dan perkembangan rahang pria lebih lama dibandingkan dengan wanita. Ukuran ini sangatlah relatif tergantung dari ras, sub ras dan hanya dibandingkan sesama etnik-etnik saja. i. Identifikasi Jenis Kelamin melalui Lebar dan Tebal Processus Condyloideus bermacam-macam baik pria maupun wanita, tetapi mempunyai tebal dan lebar yang berbeda.

Pada pria ukuran diameter processusnya lebih besar dibandingkan dengan wanita, hal ini karena ukuran anterior posterior dan latero medio lebih besar dibandingkan dengan wanita. 2.9 Identifikasi Korban melalui Gigi Berdasarkan Kebiasaan Menggunakan Gigi Identifikasi umur melalui gigi berdasarkan kebiasaan menggigit benda-benda keras baik pada gigi seri maupun gigi premolar ataupun gigi-gigi lain yang mempunyai interdigitasi gigi atas dengan gigi bawah.13 A. Kebiasaan menggunakan pipa saat merokok akan mengakibatkan ausnya gigi yang digunakan untuk menggigit pipa. Biasanya gigitan pipa ini atau yang disebut cangklong letaknya di daerah kaninus sampai dengan premolar 2. Kemudian setelah bertahun tahun akan terlihat suatu open bite diantara gigi tersebut sesuai dengan pipa yang digunakan.

Gambar 18. Atrisi atau Aus Gigi

B. Bagi mereka yang kebiasaannya Brezism yakni menggerakan aclusi aktif pada waktu tidur maka akan terlihat artrisi di sekitar gigi atas dan bawah sesuai dengan interdigitasi antara gigi atasdan gigi bawah.

Gambar 19. Aus Gigi atau Atrisi Sesuai dengan Tekanan Oklusi Gigi Atas dan Bawah C. Bagi mereka yang mempunyai kebiasaan Brezism yang terbentuk tekanan oklusi pada gigi molar atau geraham maka permukaan kunyah gigi tersebutlah akan terlihat artrisi derajat keparahan lebih tinggi bahkan email sudah habis D. Bagi yang memiliki gigitan open bitasatu maupun beberapa gigi maka gigi tersbut akan terlihat adanya artrisi sedangkan gigi yang mempunyai kontak oklusi gigi atas dengan gigi bawah maka akan terjadi artrisi sesuai dengan derajat keparahannya. Identifikasi korban yang memiliki kebiasaan menggunakan gigi dapat langsung diketahui atau dipastikan adanya artrisi pada gigi-gigi yang menderita akibat kebiasaan tersebut, data-data ini dituliskan dalam odontogram yang terdapat kolom-kolom catatan selain kode-kode gigi. 2.10 Identifikasi Korban melalui Gigi Berdasarkan Pekerjaan Menggunakan Gigi Bagi mereka yang mempunyai pekerjaan dengan menggunakan gigi antara lain tukang jahit, penata rambut/pegawai salon, tukang kayu maka akan terlihat artrisi permukaan aclusi sesuai dengan benda keras yang dipergunakan dalam pekerjaannya.13 a. Misalnya tukang jahit akan menggigit jarum baik diameter kecil sampai diameter besar.

Gambar 20. Gigi Seorang Penjahit yang Sering Menggigit Jarum sehingga Artrisi Berongga Sesuai dengan Ukuran jarum b. Bagi penata rambut atau yang biasa disebut capster maka akan terlihat pada gigi insisive central khususnya, umumnya gigi insisive central lateral. Suatu artrisi pada gigi atas dan bawah yang berbentuk rongga sesuai dengan jepit rambut beberapa buah pada gigi insisivenya, rongga tersebut sama dengan jepit rambut yang besar maupun kecil

Gambar 21. Seorang Penata Rambut Menggigit Alat Sisir dan lainnya Sehingga Terbentuk Rongga Artrisi Gigi Insisive.

c. Bagi pekerja bangunan khususnya yang dianggap sebagai tukang kayu maka dalam melakukan pekerjaannya sebeleum memaku kayu atau papan ia menggigit paku pada gigi depannya. Maka gigi depan tersebut akan atrisi berbentuk bulat sesuai dengan paku yang digunakan, derajat artrisi bisa kecil sampai dengan besar sesuai dengan diameter kayu

Gambar 22. Artrisi Gigi Insisive akibat Menggigit Paku 2.11 Identifikasi Golongan Darah Korban dan Pelaku melalui Air Liur atau Saliva Identifikasi golongan darah korban melalui air liur atau saliva haruslah dibuat sediaan ulas pada TKP maupun pada korban yang masih terdapat air liur baik masih basah maupun sudah kering.13 Identifikasi ini harus di cross check dengan anggota keluarga yang secarah semenda yakni saudara kandung, ibu, ayah. Identifikasi golongan darah dari air liur yang disebut juga sebagai saliva washing atau analisis air liur maka sediaan ulas yang tim identifikasi buat haruslah dikirim ke laboratorium serologi, apabila air liur atau saliva tersebut sekretor maka dapat diketahui golongan darah dari air liur tersebut. Sedangkan apabila air liur tersebut non-sekretorik maka sulit ditentukan golongan darah oleh karena terlampau banyak kemungkinan yang mempengaruhinya. Menurut penelitian laboratorium kedokteran kepolisian di Jakarta bahwa anggota kepolisian yang diteliti 75% adalah sekretorik, sedangkan menurut buku-buku acuan yang digunakan bahwa manusia di dunia ini 85% sekretorik. Dalam penentuan golongan darah dari analisis air liur haruslah diingat teori paternalis yakni teori yang menentukan garis keturunana dengan kata lain apabila korban maupun pelaku diketahui sedarah semendanya maka sedarah semendanya haruslah diambil salivanya untuk kepastian golongan darahnya. Menurut Musa Perdanakusuma tahun 1984 bahwa tabel golongan darah dari keturunan (paternalis) sebagai berikut13: Tabel 5. Golongan Darah Paternalis.

Golongan Darah Ibu O O O O A A A B B AB Anak O O,B O,A A,B O,A O,A,B A,B,AB O,B A,B,AB A,B,AB Ayah O B A AB A B AB B AB AB

2.12 Identifikasi Golongan Darah Korban melalui Pulpa Gigi Menurut James dan Standison pada tahun 1982, identifikasi golongan darah dapat dibuat dari sediaan yang diambil dari bagian tubuh sebagai berikut: akar rambut, jaringan tulang, jaringan kuku, jaringan ikat, air mata, saliva, dan cairan darah sendiri. Dalam Ilmu Kedokteran Gigi Forensik, identifikasi golongan darah dapat diketahui dari analisis jaringan pulpa gigi.13 Menurut Alfonsius dan penelitian Ladokpol pada tahun 1992, dan forum ilmiah internasional FKG Usakti tahun 1993, bahwa analisis golongan darah dari pulpa gigi merupakan identifikasi golongan darah untuk pelaku maupun korban adalah dengan cara Absorbsi-Ellusi. Setelah diproses maka pada tahap akhir dilihat apakah terdapat penggumpalan yang mengindikasikan kelompok golongan darahnya. 2.13 Identifikasi Korban melalui Pola Gigigitan Pelaku Menurut William Eckert pada tahun 1992 bahwa yang dimaksud dengan pola gigitan pelaku yang tertera di kulit korban dalam bentuk luka, jaringan kulit maupun jaringan ikat di bawah kulit sebagai akibat dari pola permukaan gigitan dari gigi-gigi pelaku dengan perkataan lain pola gigitan merupakan suatu produksi dari gigi-gigi pelaku melalui kulit korban.13

Menurut Bowers dan Bell pada tahun 1955 mengatakan bahwa pola gigitan merupakan suatu perubahan fisik pada bagian tubuh yang disebabkan oleh kontak atau interdigitasi antara gigi atas dengan gigi bawah sehingga struktur jaringan terluka baik oleh gigi manusia maupun hewan. Menurut Sopher pada tahun 1976 bahwa pola gigitan yang ditimbulkan oleh hewan berbeda dengan mnusia oleh karena perbedaan morfologi dan anatomi gigi geligi serta bentuk rahang. Menurut Curran pada tahun 1976 bahwa pola gigitan baik pola permukaan kunyah maupun permukaan hasil gigitan yang mengakibatkan putusnya jaringan kulit dan dibawahnya baik pada jaringan tubuh manusia maupun pada buah-buahan tertentu misalnya buah apel dapat ditemukan baik korban hidup ataupun sudah meninggal. Menurut Soderman dan Oconnel pada tahun 1952 mengatakan bahwa yang paling sering terdapat pola gigigtan pada buah-buahan yakni buah apel, pear, dan bengkuang yang sangat terkenal dengan istilah Apple Bite Mark. baik pola permukaan kunyah maupun permukaan hasil gigitan yang mengakibatkan putusnya jaringan kulit. Sedangkan menurut Lukman pada tahun 2003 pola gigitan mempunyai suatu gambaran dari anatomi gigi yang sangat karakteristik yang meninggalkan pola gigitan pada jaringan ikat manusia baik disebabkan oleh hewan maupun manusia yang msing-msing individu sangat berbeda. 2.14 Klasifikasi Pola Gigitan Pola gigitan mempunyai derajat perlukaan sesuai dengan kerasnya gigitan, pada pola gigitan manusia terdapat 6 kelas yaitu13: 1. Kelas I: Pola gigitan terdapat jarak dari gigi insisive dan kaninus

Gambar 23. Pola Gigi Seri Sentralis dan Naturalis dan Kaninus dengan Jarak Sesuai dengan Susunan Gigi Geliginya

2. Kelas II: Pola gigitan kelas II seperti pola gigitan kelas I tetapi terlihat pola gigitan cusp bukalis dan palatalis maupun cusp bukalis dan cusp lingualis tetapi derajat pola gigitannya masih sedikit

Gambar 24. Pola gigitan dari gigi insisive pertama, kaninus, dan cusp premolar rahang atas dan bawah 3. Kelas III: Pola gigitan kelas III derajat luka lebih parah dari kelas II yakni permukaan gigit insisive telah menyatu akan tetapi dalamnya luka gigitan mempunyai derajat lebih parah dari pola gigitan kelas II

Gambar 25. Pola Gigigitan yang Mempunyai Pola Luka Lebih Dalam 4. Kelas IV: Pola gigitan kelas IV terdapat luka pada kulit dan otot di bawah kulit yang sedikit terlepas dan ruptur sehingga terlihat pola gigitannya ireguler.

Gambar 26. Ketidakteraturan Keparahan Derajat Pola Gigitan dengan Pola Gigitan Gigi Premolar yang Hampir Menyatu 5. Kelas V: Pola gigitan kelas V terlihat luka yang menyatu pola gigitan insisive, kaninus dan premolar baik pada rahang atas maupun bawah.

Gambar 27. Pola Luka Gigitan yang Sangat Lebar serta Ketidakteraturan dari Semua Gigi Depan dan Premolar

6. Kelas VI: Pola gigitan kelas VI memeperlihatkan luka dari seluruh gigitan dari gigi rahang atas dan bawah dan jaringan kulit serta jaringan otot terlepas sesuai dengan kekerasan oklusi dan pembukaan mulut.

Gambar 28. Luka Akibat Pola Gigitan Sangat Dalam dan Buas pada Jaringan Kulit dan Jaringan Ikat Terlepas Seluruhnya Berbagai Jenis Pola Gigitan Manusia Pola gigitan pada jaringan manusia sangatlah berbeda tergantung organ tubuh mana yang terkena, apabila pola gigitan pelaku seksual mempunyai lokasi tertentu, pada penyiksaan anak akan mempunyai pola gigitan pada lokasi tertentu juga akan tetapi pada gigitan yang dikenal dengan child abuse maka pola gigitannya hampir semua bagian tubuh.13

1. Pola gigitan heteroseksual Pola gigitan pelaku-pelaku hubungan intin antar lawan jenis dengan perkataan lain hubungan seksual antara pria dan wanita terdapat penyimpangan yang sifatnya sedikit melakukan penyiksaan yang menyebabkan lawan jenis sedikit kesakitan atau menimbulkan rasa sakit a. Pola gigitan dengan aksi lidah dan bibir Pola gigitan ini terjadi pada waktu pelaksanaan birahi antara pria dan wanita

Gambar 29. Pola Gigitan Gigi Geligi tapi Terdapat Aksi Lidan dan Bibir b. Pola gigitan pada wajah Pola gigitan ini terjadi pada pria yang biasanya digigit oleh orang terdekatnya misal istrinya atau teman selingkuh yang mengalami cemburu buta.

Gambar 30. Pola Gigitan Kelas V akibat Gigitan dari Lawan Jenis saat Tertidur Pulas c. Pola gigitan pada sekitar organ genital Pola gigitan ini terjadi akibat pelampiasan dari pasangannya atau istrinya akibat cemburu buta yang dilakukan pada waktu suaminya tertidur pulas setelah melakukan hubungan seksual.

Gambar 31. Luka Bekas Gigitan Kelas VI pada Paha Kiri Akibat Pelampiasan dengan Menggunakan Gigi dari Lawan Jenis saat Korban Tertidur

d. Pola gigitan pada organ genital

Pola gigitan ini modus operandinya sama dengan seperti di atas yakni pelampiasan emosional dari lawan jenis atau istri karena cemburu buta. Biasanya hal ini terjadi pada waktu korban tertidur lelap setelah melakukan hubungan intim

Gambar 32. Gigitan pada Gland Penis sehingga Terputus sebagai Akibat Gigitan Wanita karena Cemburu Buta

e. Pola gigitan pada mammae Pola gigitan ini terjadi pada waktu pelaksanaan senggama atau berhubungan intim dengan lawan jenis. Pola gigitan ini baik disekitar papilla mammae dan lateral dari mammae. Oleh karena mammae merupakan suatu organ tubuh setengah bulatan maka pola gigitan yang dominan adalah gigitan kaninus. Sedangkan pola gigitan gigi seri terlihat sedikit atau hanya memar saja.

Gambar 33. Luka pada Bagian Lateral Mammae dan Papilla Mammae Berikut pola gigitan yang terjadi pada kasus tertentu:

1. Pola gigitan pada penyiksaan anak Lokasi dapat ditemukan dimana saja yang dilakukan ibunya sendiri. Hal ini disebabkan suatu aplikasi dari pelampiasan gangguan psikis dari ibunya oleh karena kenakalan anaknya atau kerewelan anaknya maupun kebandelan anaknya. 2. Pola gigitan child abuse Hal ini terjadi akibat dari faktor iri dengan dari teman ibunya, atau ibu anak tetangganya oleh karena anak tersebut lebih pandai, lebih lincah, lebih komunikatif dari anaknya sendiri maka ia melakukan pelampiasan dengan menggunakan gigitannya dari anak tersebut. Hal ini terjadi dengan rencana oleh karena ditunggu pada waktu korban tersebut melewati pinggir atau depan rumahnya dan kemudian setelah melakukan gigitan ibu tersebut melarikan diri melalui jalan yang sempit. Pola gigitan ini dapat terjadi pada masyarakat menengah ke bawah yang umumnya penghuni flat atau kondominiium sehingga terdapat jalan sempit antar bangunan yang dipakai untuk melarikan diri. Lokasi gigitan biasanya terdapat padadaerah punggung, bahu atas, dan leher. 3. Pola gigitan hewan Hal ini biasanya terjadi akibat dari penyerangan hewan peliharaan kepada korban yang tidak disukai dari hewann tersebut. Apabila korban hidup mengalami kejadian yang terjadi di atas biasanya tanpa instruksi dari pemelihara. Bila instrujsi dari pemeliharanya maka hal ini sering terjadi pada hewan khusus yang berjenis herder atau doberman yang memang spesial dipelihara untuk menangkap orang. a. Pola gigitan anjing Pola gigitan ini biasanya terjadi pada serangan atau atas perintah pawangnya atau induk semangnya. Hal ini terjadi pada serangan atau atas perintah pemiliknya. b. Pola gigitan hewan pesisir pantai Pola gigitan ini terjadi bila korban meninggal di tepi pantau atau korban meninggal dibuang di tepi pantai sehingga dalam beberapa hari atau minggu korban digerogoti oleh hewan laut seprti tiram, kerang. 4. Pola gigitan homoseksual atau lesbian Pola gigitan ini biasanya terjadi pada waktu pelampisan birahinya dengan pola gigitan disekitar organ genital yakni paha, leher, dan lainnya.

BAB III KESIMPULAN

Odontologi Forensik dapat diartikan pengetahuan mengenai gigi untuk pengadilan. Odontologi Forensik adalah salah satu metode penentuan identitas individu yang telah dikenal sejak era sebelum masehi. Kehandalan teknik identifikasi ini bukan saja disebabkan karena ketepatannya yang tinggi sehingga nyaris menyamai ketepatan teknik sidik jari, akan tetapi karena kenyataan bahwa gigi dan tulang adalah material biologis yang paling tahan terhadap perubahan lingkungan dan terlindung. Gigi merupakan sarana identifikasi yang dapat dipercaya apabila rekaman data dibuat secara baik dan benar. Odontologi forensik merupakan cabang ilmu dari kedokteran forensik. Dimana mempelajari tentang identifikasi korban / barang bukti melalui data gigi nya baik itu data ante mortem maupun post mortem. Peran gigi dapat dipakai sebagai sarana identifikasi adalah identifikasi benda bukti manusia, penentuan umur dari gigi, penentuan jenis kelamin dari gigi, penentuan ras dari gigi, penentuan etnik dari gigi, analisis jejas gigit (bite marks), dan peran dokter gigi forensik dalam kecelanaan massal, serta peranan pemeriksaan DNA dari bahan gigi dalam identifikasi personal. Kematian yang tidak wajar atau tidak terduga, atau dalam kondisi bencana massal, kerusakan fisik yang direncanakan, dan keterlambatan dalam penemuan jenazah, bisa mengganggu identifikasi. Dalam kondisi inilah forensik odontologi diperlukan walaupun tubuh korban sudah tidak dikenali lagi. Identifikasi dalam kematian penting dilakukan, karena menyangkut masalah kemanusiaan dan hukum. Pemeriksaan gigi juga dapat memperkirakan usia, perkembangan gigi secara regular terjadi sampai usia 15 tahun. Pertumbuhan gigi desidua diawali pada minggu ke 6 intra uteri. Mineralisasi gigi dimulai saat 12 16 minggu dan berlanjut setelah bayi lahir. Perkembangan dan erupsi gigi-geligi permanen berlangsung dari saat kelahiran sampai umur sekitar 14 tahun. Molar permanen pertama mulai berkalsifikasi pada saat kelahiran dan kalsifikasi gigi permanen lainnya berlangsung sampai umur 9 tahun, kecuali gigi molar ketiga tidak mengalami pembentukan jaringan keras sampai umur 8-9 tahun. Urutan erupsi pada gigi permanen adalah sebagai berikut: Molar pertama-insisivus sentralis dan lateralis mandibulainsisivus sentralis maksila-insisivus lateralis maksila-caninus mandibula-premolar pertamapremolar kedua-caninus maksila-molar kedua-molar ketiga.

Ukuran dan bentuk gigi juga digunakan untuk penentuan jenis kelamin. Gigi geligi menunjukkan jenis kelamin berdasarkan kaninus mandibulanya. Anderson mencatat bahwa pada 75% kasus, mesio distal pada wanita berdiameter kurang dari 6,7 mm, sedangkan pada pria lebih dari 7 mm. Saat ini sering dilakukan pemeriksaan DNA dari gigi untuk membedakan jenis kelamin. Gambaran gigi juga dapat memperkirakan gambaran ras, yaitu ras mongoloid meliputi Insisivus berbentuk sekop, Dens evaginatus, Aksesoris berbentuk tuberkel pada permukaan oklusal premolar bawah pada 1-4% ras mongoloid. Sedangkan pada ras kaukasoid meliputi Cusp carabelli, yakni berupa tonjolan pada molar 1, pendataran daerah sisi bucco-lingual pada gigi premolar kedua dari mandibula, maloklusi pada gigi anterior. Pada ras negroid meliputi Sering terdapat open bite, pada gigi premolar 1 dari mandibula terdapat dua sampai tiga tonjolan, palatum berbentuk lebar. Pemeriksaan gigi-geligi sebagai identifikasi karena gigi melekat erat pada tulang rahang serta gigi bisa tahan pemasanan hingga 9000C, tahan kimawi, tahan abrasi dan atrisi karena kandungan non organik didalam gigi tinggi, bahkan lebih tinggi dari tulang. Namun, terdapat beberapa kendala dalam identifikasi gigi yakni banyak masyarakat Indonesia yang tidak melakukan perwatan gigi dan mempunyai data radiogram giginya sebagai rekam medis pada data ante mortem, dan sebagian besar masyarakat indonesia yang melakukan perawatan berpindah pindah, pencatatan tidak cukup dan tidak baku serta memiliki waktu yang lama.

DAFTAR PUSTAKA

1. Clark, D. H. Practical Forensic Odontology. Melksham, Great Britain: ButterworthHeinemann Ltd, 1992. 2. Stimson, P. G, Mertz, C. A. Forensic Dentistry. New York: CNC Press Boca Raton, 1997. 3. Atmadja. Peranan Odontologi Forensik dalam Penyidikan. http://odontologiforensikinvestigasi.blogspot.com. 4. Gigi Dapat Mengidentifikasi Korban Bencana Massal. http://www.jurnalnet.com. 5. International Criminal Police Organization. Disaster Victim Identification Guide. 1997. 6. Harmaini N. Odontologi forensik dan identifikasi gigi. Medan: USU Press, 2001:29 7. Humas Universitas Airlangga. Peran Dokter Gigi dalam Identifikasi Korban Bencana. http://www.unair.ac.id. 8. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1653/Menkes/SK/XII/2005/ tentang Pedoman Penanganan Bencana Bidang Kesehatan. http://125.160.76.194/peraturan/Permenkes%202005/KMK%20PENANGGULANGA N%20BENCANA 9. Evans KT, Knight b, Whittker DK. Forensic Radiology. Oxford: Blackwell Scientific Publication, 1981:49, 52-7,77,80 10. Wheeler, C Russel. Wheelers dental anatomy, physiology and oclusion. Philadelphia: W.B Saunders Company, 1984: 24-9 11. Mokhtar M. Dasar-dasar ortodonti-perkembangan dan pertumbuhan kraniodentofasial. Yayasan Penerbitan IDI, 1998; 139-161 12. Sopher, IM. Forensic Dentistry. Springfield. Charles C Thimas Publisher, 1976;81,116 13. Lukman, D. Buku Ajar Ilmu Kedokteran Gigi Forensik Jilid 2. Jakarta: Sagung Seto, 2006; 5-129.

Anda mungkin juga menyukai