Anda di halaman 1dari 39

LAPORAN

DISKUSI TUTORIAL

Tugas ini disusun untuk memenuhi persyaratan nilai


Modul DVI semester genap tahun ajaran 2017/2018

Oleh: Kelompok II

1. Fenti Hanifah (14011103001)


2. Uswatun Khasanah (14011103004)
3. Charlene Pioh (14011103007)
4. Kleysia Wuon (14011103010)
5. Noviana Tandra (14011103011)
6. Claudya Mundung (14011103014)
7. Dwi Suci Ramadhany (14011103015)
8. Loisaviny Wondal (14011103017)
9. Vena Fernanda (14011103018)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER GIGI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SAM RATULANGI
MANADO
2018
SKENARIO KASUS DVI

Saat bencana kebakaran terjadi pada sebuah klub malam di kota wisata X yang
menimbulkan korban massal, tim DVI menghubungi dokter gigi A yang merupakan satu-satunya
dokter gigi yang praktek di kota tersebut. Dokter A diminta untuk membantu proses identifikasi
korban bencana pada kejadian tersebut. Korban meninggal kira-kira 200 orang yang berasal dari
turis domestik dan turis mancanegara. Jenazah korban sudah sangat sulit untuk dikenali.

STEP 1
DVI atau Disaster Victim Identification adalah suatu definisi yang diberikan sebagai
prosedur untuk mengidentifikasi korban mati akibat bencana massal secara ilmiah yang dapat
dipertanggungjawabkan dan mangacu pada standar baku Interpol. Dalam melakukan proses
identifikasi terdapat bermacam-macam metode dan teknik identifkasi yang dapat digunakan.
Namun demikian Interpol menentukan Primary Identifiers yang terdiri dari Fingerprints, Dental
Records dan DNA serta Secondary Indentifiers yang terdiri dari Medical, Property dan
Photography.

STEP 2
1. Apa yang melatarbelakangi sehingga Tim DVI melibatkan dokter gigi A dalam proses
identifikasi korban bencana kebakaran tersebut?
2. Apa saja permasalahan yang ada dalam skenario tersebut?
3. Apa yang harus dilakukan oleh dokter gigi?
4. Apa saja kendala yang dihadapi saat identifikasi serta apa solusi yang dapat dilakukan?
5. Apa saja faktor-faktor yang memengaruhi gigi sehingga memenuhi syarat untuk dijadikan
pemeriksaan identifikasi?

STEP 3
1. Latar belakang Tim DVI melibatkan dokter gigi A dalam proses identifikasi korban bencana
kebakaran tersebut :
a. Karena hanya dokter gigi A yang berada di kota/wilayah tersebut
b. Kemungkinan besar data dental banyak di peroleh dari dokter gigi tersebut
Selain itu yang melatarbelakangi Tim DVI Melibatkan Dokter Gigi dalam proses identifikasi
adalah :
a. The Odontologist’s Role Sebagai Saksi yang Ahli
Forensic odontologist tidak boleh lupa bahwa dasar peran dalam judicial system
adalah untuk membantu jaksa dan juri dalam pencarian mereka untuk mendapatkan
kebenaran. Peran dari ahli berbeda dengan pengacara. Pengacara adalah penyokong,
dimana berperan untuk mendorong pihak yang bersangkutan. Sebaliknya, padandangan
ahli sebaiknya berdiri sendiri dan objektif. Jika konklusi dari ahli tidak membantu pihak
yang bersangkutan, ini sebaiknya diselesaikan oleh pengacara. Jaksa bebas dalam
menerima atau menolak pendangan ahli, bahkan jika tidak ada bukti yang berkaitan
disajikan.
b. Pre-Trial Preparation
Persiapan untuk permulaan hari pemeriksaan pengadilan yang pertama forensic
odontologist dihubungi mengenai kasus yang terjadi. Mencatat waktu dan tanggal dari
peristiwa tersebut. Demikian pula, setiap waktu ahli bekerja pada kasus, mereka
sebaiknya mencatat apa yang telah didapatkan sehinga informasi dapat tersedia. Bukti
harus ditangani dengan benar untuk mempertahankan rantai dari penjagaan. Ketika bukti
pertama kali diterima itu sebaiknya diresmikan dan diberi tanggal tanpa merugikan bukti
tersebut. Jika bukti dimodifikasi sebagai hasil dari uji ahli, atau di berikan kepada orang
lain, informasi ini sebaiknya dicatat dengan hati-hati.
Sangatlah penting untuk menyediakan bukti yang terbaik untuk digunakan di
pengadilan. Original x-rays, charts, casts, dll sebaiknya di perlihatkan sebagai bukti
dimana itu memungkinkan. Persiapan untuk menulis laporan dengan hati-hati, karena ahli
harus siap untuk setiap kata di pengadilan. Ahli pun dianjurkan untuk memberikan
pandangan visual yang membantu jaksa untuk mengerti dan menerima informasi secara
relevan.
Selain itu, ahli forensik harus dengan seksama memeriksa fakta-fakta yang ada
yang terkait dengan kasus, termasuk tanggal-tanggal penting, sepeti tanggal kejadian
pembunuhan, tanggal penemuan mayat, dan sebagainya. Penemuan-penemuan yang
familiar sangat penting guna melengkapi hasil otopsi, seperti apakah pola gigitan
menyebabkan inflamasi jaringan, dan sebagainya.
Kontak langsung antara tim forensik dan pengacara sebaiknya dihindari, sebab
hal ini dapat mempengaruhi pembelaan dan hasil yang bisa berat sebelah. Tapi jika
memang harus bertemu langsung, harus dalam koridor yang terkontrol. Selain itu juga
harus disertai saksi untuk meyakinkan pernyataan-pernyataan yang muncul agar tidak
nantinya terjadi kesalahpahaman.
c. Syarat Saksi Ahli
Saksi ahli adalah seseorang yang dapat menyimpulkan berdasarkan pengalaman
keahliannya tentang fakta atau data suatau kejadian, baik yang ditemukan sendiri maupun
oleh orang lain, serta mampu menyampaikan pendapatnya tersebut (Franklin C.A, 1988).
Ketika pengadilan bersiap untuk menerima kesaksian, saksi ahli akan dipanggil untuk
memberi kesaksian. Sebelum memberikan kesaksian, terlebih dahulu disumpah untuk
tidak memberikan kesaksian palsu. Setelah itu pengacara biasanya diberikan kesempatan
untuk bertanya.
Pertanyaan pertama yang biasanya muncul adalah “apa pekerjaan atau jabatan
anda?” pertanyaan ini secara umum juga diikuti beberapa pertanyaan tentang pendidikan,
pelatihan yang terkait dengan forensik kedokteran gigi dan pengalaman saksi di lapangan.
Hal ini untuk memastikan apakah saksi yang dipanggil sudah sesuai dengan bidangnya.
Terkadang pengacara juga mendapatkan informasi tentang keabsahan saksi ahli
dengan cara meminta saksi untuk menjelaskan sendiri secara singkat dan jelas, atau
bahkan dapat juga dengan cara tes kemampuan. Seorang odontologist tidak perlu cemas
ketika kemampunnya dipetanyakan. Jika sudah memiliki banyak pengalaman, maka harus
menjawab jika ditanyakan, tetapi tetapi juga dapat menekankan jumlah dan kualitas
pelayanan pelatihan yang diterima.

2. Permasalahan dalam skenario tersebut :


a. Sulitnya mengidentifikasi korban kebakaran karena jumlah korban yang sangat banyak
dan bervariasi rasnya.
b. Keterbatasan jumlah tenaga dokter gigi.
c. Identifikasi ini juga dipersulit oleh keadaan mayat korban yang sebagian besar sudah
hangus dan bahkan tidak utuh karena terbakar.
d. Tidak adanya data lengkap terutama warga negara asing (WNA), sehingga identitas sulit
didapatkan, karena tempat kejadian merupakan tempat informal (sebagai contoh, bukan
darmawisata, pesawat, kereta api, bus dan lain-lain).

3. Yang harus dilakukan dokter gigi :


a. Tugas utama dari dokter gigi A dalam identifikasi korban kebakaran yang ada di skenario
adalah melakukan identifikasi jasad individu yang sudah rusak, mengalami dekomposisi,
atau sudah tidak dalam keadaan utuh.
b. Adapun informasi yang bisa menjadi catatan pada pemeriksaan jasad individu adalah
c. perkiraan usia (misalnya dari panjang akar gigi pada gigi anak),
d. perkiraan jenis ras (dari bentuk dan karakteristk tengkorak dapat ditentukan ras
Kaukasiod, Mongoloid, dan Negroid)
e. jenis kelamin (dari bentuk tengkorak, dari tidak adanya kromatin Y pada pemeriksaan
mikroskopik, atau dari pemeriksaan DNA)
f. Informasi tambahan lainnya yang mungkin bisa diambil adalah jenis pekerjaan (jejas jepit
rambut pada capster), konsumsi makanan (dari erosi gigi karena alkohol ataupun stain
rokok) atau kebiasaan lainnya ( seperti menggunakan pipa rokok), serta penyakit gigi atau
penyakit sistemik lainnya (misalnya gangguan makan, stain akibat pemakaian antibiotik
tetraskilin).
g. Apabila data post-mortem tidak memungkinkan suatu identifikasi, maka dapat dilakukan
reproduksi wajah semasa hidup berdasarkan profil tengkorak dan gigi.

Beberapa macam identifikasi yang bisa dilakukan oleh dokter gigi A tersebut, khususnya
bersama dokter gigi lainnya dalam tim identifikasi DVI yaitu :
a. Identifikasi ras korban dari gigi geligi dan antropologi ragawi.
b. Identifikasi jenis kelamin korban melalui gigi geligi dan tulang rahang.
c. Identifikasi umur korban melalui gigi susu, gigi campuran atau gigi tetap.
d. Identifikasi korban melalui kebiasaan/pekerjaan menggunakan gigi.
e. Identifikasi DNA korban dari jaringan sel dalam rongga mulut.
f. Identifikasi korban dari gigi palsu yang dipakai.
g. Identifikasi wajah korban dari rekonstruksi tulang rahang.
4. Kendala yang dihadapi saat identifikasi serta apa solusi yang dapat dilakukan :
a. Kendala :
 Minimnya pemilihan penerapan prosedur DVI dalam bencana, karena tubuh korban
sudah sangat sulit dikenali.
 Sulitnya mendapatkan data ante mortem, sebagai contoh karena kurangnya kesadaran
untuk pergi ke dokter gigi, dan lain-lain.
b. Solusi :
 Penerapan prosedur DVI, pada korban yang sudah sangat sulit dikenali maka dapat
menggunakan pemeriksaan dental dan DNA karena tidak dapat lagi menggunakan
fingger print.
 Pemerintah setempat / aparat sesegera muingkin memberikan informasi baik melalui
media massa, media informasi dan lain-lain kepad masyarakat. Sehingga keluarga
yang merasa kehilangan dapat segera memberikan suatu data / informasi yang dapat
membantu dalam proses identifikasi.
 Jika memang sudah tidak ada lagi data yang dapat membantu proses identifikasi, dan
tidak ada keluarga yang merasa kehilangan, maka korban akan dikuburkan.

5. Gigi memenuhi syarat untuk dijadikan sebagai sarana pemeriksaan identifikasi karena
mempunyai faktor-faktor sebagai berikut :
a. Derajat individualitas yang sangat tinggi
Kemungkinan menemukan dua orang yang sama giginya adalah satu banding dua triliun.
Adanya dua kali pertumbuhan gigi (20 gigi susu dan 32 gigi tetap), serta dengan adanya
perubahan kerena rusak atau tindakan perawatan seperti pencabutan, penambalan dengan
berbagai bahan pada berbagai permukaan mahkotanya, perawatan saluran akar, ditambah
ciri-ciri khas seperti bentuk lengkung, kelainan posisi gigi dan sebagainya, menyebabkan
gigi sangat khas pada orang yang memilikinya.
b. Kuat dan tahan terhadap berbagai pengaruh kerusakan
Gigi memiliki sifat yang sangat kuat, tahan terhadap berbagai pengaruh kerusakan seperti
trauma mekanis, termis, kimiawi, dekomposisi dan sebagainya. Keadaan demikian karena
gigi disamping strukturnya yang mengandung bahan anorganik yang kuat, juga karena
gigi merupakan jaringan tubuh yang terdapat di bagian badan, yaitu mulut yang cukup
memberikan perlindungan terhadap berbagai pengaruh kerusakan tadi.

STEP 4
Berdasarkan skenario bahwa dalam kasus tersebut dapat disimpulkan bahwa sangat
dibutuhkan peran dokter gigi dalam proses identifikasi korban yang sudah tidak dapat dikenali.
Peran dokter gigi dalam DVI meliputi pra bencana dan pasca bencana. Dalam hal ini peran
dokter gigi dilandasi oleh dasar hukum dalam membantu DVI. Dokter gigi juga harus
menyiapkan berbagai peralatan yang dibutuhkan dalam prosedur identifikasi para korban. Proses
identifikasi dimulai apabila tubuh korban sudah berada di kamar mayat. Struktur rongga mulut
harus diamati secara superfisial dan segera dicari kemungkinan adanya bagian-bagian gigi yang
hilang. Catatan gambaran gigi yang dapat diambil untuk proses identifikasi adalah bentuk
anatomi gigi, lengkung rahang, restorasi dan protesa, karies gigi dan kehilangan gigi.

STEP 5
1. Bagaimana prosedur pemeriksaan dental pada jenazah korban dilakukan?
2. Apa yang menjadi dasar/landasan hukum bagi seorang dokter gigi berperan dalam
membantu tim DVI?
3. Apa aspek hukum dalam identifikasi korban mati massal akibat bencana?
4. Alat-alat apa saja yang dibutuhkan/dipersiapkan oleh seorang dokter gigi forensik/forensic
odontologist saat melakukan prosedur identifikasi korban bencana?
5. Apa saja fase-fase dari proses DVI?
6. Bagaimana pengisian data ante mortem dan post mortem dilakukan?
7. Bagaimana tatacara pengisian odontogram (simbol-simbol yang digunakan serta
tatawarnanya)?

STEP 6
Belajar Mandiri
STEP 7
1. Prosedur pemeriksaan dental pada jenazah korban :
Pemeriksaan dental dalam proses identifikasi korban bencana, dalam hal ini mengidentifkasi
korban kebakaran di sebuah club di kota X dilakukan setelah jasad pada korban sudah
berada di ruang khusus (bukan di tempat kejadian).

Sebagai aturan, dua atau tiga dokter gigi bekerjasama dalam mencatat status gigi-geligi PM
(post-mortem) jenazah dan dalam menghasilkan rekaman radiografi (foto ronsen) dan juga
foto. Tenaga dokter gigi yang dimaksud terdiri dari: Pemeriksa odontologi forensik,
Perekam odontologi forensik dan/atau asisten radiografi odontologi forensik. Setelah data
dikumpulkan, tim dokter gigi ini bertukar posisi (bertukar tugas) dan mengulangi
pemeriksaan untuk memastikan data yang tepat dan akurat melalui sistem kontrol kualitas
pemeriksaan dua kali, sambil dengan teliti mengamati pemeriksaan dari setiap dokter gigi
dan memeriksa catatan.

a. Pemeriksa Odontologi Forensik


Dokter gigi pemeriksa yaitu dokter gigi yang mengamati (memeriksa) rongga mulut
menggunakan prosedur yang diperlukan, termasuk namun tidak hanya terbatas pada:
insisi jaringan lunak, membersihkan gigi dan rahang, memeriksa struktur, dan menilai
status dental jasad (jenazah).
b. Pencatat Odontologi Forensik
Dokter gigi perekam yaitu dokter gigi yang membantuk dokter gigi pemeriksa untuk
mencatat status dental korban. Dokter gigi pencatat mempersiapkan dan melengkapi form
post-mortem yang bersangkutan dan mencatat data dental seperti yang diperintahkan oleh
dokter gigi pemeriksa; mengecek kualitas catatan post-mortem (ketepatan, dapat dibaca,
kejelasan); menandatangani catatan dan memastikan dokter gigi dan memastikan dokter
gigi pemeriksa dan asisten dokter gigi radiografi juga menandatangani catatan tersebut.
c. Asisten Radiografi Odontologi Forensik
Asisten dokter gigi radiografi membantu dokter gigi pemeriksa dan dokter gigi pencatat
dalam persiapan, mengekspos dan mengembangkan radiografi dari gigi dan sama-sama
bertanggungjawab atas kualitas radiografi post-mortem dengan anggota tim dokter gigi
lainnya.
Sebagai prinsip umum, rahang tidak bisa dikeluarkan dari jasad (jenazah korban).
Pengeluaran rahang mungkin dilakukan hanya ketika diperlukan dan dibenarkan malalui
pemberitahuan sebelumnya yang sah atau melibatkan pihak yang berwenang pada DVI
dan/atau yuridiksi. Dalam kasus dimana prosedur pembedahan disetujui, pengeluaran rahang
atas harus dihindari sebisa mungkin. Ketika sebuah rahang dikeluarkan, itu tetap harus selalu
disimpan dengan jasad (jenazah). Rahang harus diposisikan kembali pada jasad (jenazah)
agar anggota keluarga dapat melihat jenazah yang dipulangkan dengan layak.

Dari pemeriksaan gigi geligi, jenazah dapat diidentifikasi mulai dari jenis kelamin,
umur, ras, dan golongan darah. Dibawah ini cara mengidentifikasi jenazah yang dapat
diterapkan dalam mengidentifikasi korban kebakaran di kota X.

Identifikasi jenis kelamin


a. Identifikasi jenis kelamin melalui gigi geligi
Menurut Cotton (1982), identifikasi pria dan wanita antara lain :

Gigi Geligi Wanita Pria


b. Outline gigi Relatif lebih kecil Relatif lebih besar
Lapisan email dan dentin Relatif lebih tipis Relatif lebih tebal
Bentuk lengkung gigi Cenderung oval Tapered
Ukuran cervico incisal dan mesio Lebih kecil Lebih besar
distal gigi caninus bawah
Outline incisivus pertama atas Lebih bulat Lebih persegi
Ukuran lengkung gigi Relatif lebih kecil Relatif lebih besar
Identifikasi jenis kelamin melalui tulang rahang
1) Lengkung rahang atas
Lengkung rahang pria lebih besar daripada wanita, hal ini disebabkan karena jarak
mesio-distal gigi pria lebih besar daripada wanita. Selain itu palatum wanita lebih
kecil dan berbentuk parabola sedangkan palatum pria lebih luas dan berbentuk huruf
“U”.
2) Lengkung rahang bawah
Sama halnya dengan lengkung rahang atas. Lengkung rahang pria lebih besar
daripada wanita karena ukuran mesio-distal gigi wanita lebih kecil daripada pria.

3) Sudut gonion
Sudut gonion pria lebih kecil dibanding sudut gonion wanita
4) Tinggi dan lebar ramus ascendes
Ramus ascendens pria lebih tinggi dan lebih lebar daripada wanita

5) Inter-prosesus
Jarak proc. Condyloideus dengan proc. Coronoideus pria lebih besar atau lebih
panjang dibanding pada wanita. Tinggi tulang proc. Coronoideus pria lebih tinggi
daripada pria dalam arah vertical.
6) Tulang menton
Tulang menton pria lebih tebal dan lebih ke anterior daripada wanita.

7) Panjang basalis mandibular


Dalam bidang horizontal pars basalis mandibula pria lebih panjang dibandingkan
dengan wanita.
Identifikasi umur
Identifikasi umur korban melalui gigi geligi harus diingat kembali periode tumbuh kembang
gigi sulung dan gigi permanen. Selain itu juga harus diingat adanya periode geligi campuran.
Menurut Gusstafson (1996), identifikasi umur dari gigi tetap terdapat enam kriteria yang
disebut “six changes of the physiological age – process in teeth”, yaitu :
a. Derajat atrisi gigi (pola atrisi)
Maksudnya adalah derajat keparahan dari atrisi pada permukaan kunyah gigi baik incisal
maupun oclusal sesuai dengan penggunaannya. Makin lanjut usia maka derajat atrisi
makin parah.
b. Perubahan perlekatan gingiva
Perubahan fisiologis akibat penggunaan gigi dari epitel attachment ditandai dengan
dalamnya sulkus gingival yang melebihi 2 mm sesuai dengan pertambahan usia.
Sehingga terkesan bahwa seakan-akan mahkota gigi lebih panjang.

c. Pembentukan dentin sekunder


Pembentukan dentin sekunder karena penggunaan gigi biasanya terbentuk di atas atap
pulpa sehingga makin lanjut usia pulpa seakan-akan terlihat menyempit secara
roentgenografis. Ini disebabkan karena semakin menebalnya dentin karena pembentukan
dentin sekunder tersebut.
d. Ketebalan sementum di sekitar akar
Dengan bertambahnya usia maka akan bertambah ketebalan jaringan sementum pada akar
gigi. Pembentukan ini oleh karena pelekatan serat-serat periodontal dengan aposisi yang
terus-menerus dari gigi tersebut selama hidup.

e. Translusensi akar
Dengan pertambahan usia maka terjadi proses kristalisasi dari bahan-bahan mineral akar
gigi hingga jaringan dentin pada akar gigi berangsur-angsur mulai dari akar gigi kea rah
cervical menjadi transparan. Translusensi dentin ini dimulai pada dekade ketiga.
f. Resorpsi akar
Menurut Gusstaffon (1950) resorbsi akar gigi tetap akibat tekanan fisiologis seiring
dengan pertambahan usia.

Identifikasi ras
a. Identifikasi ras dari gigi geligi
Identifikasi ras dapat dilakukan dengan melihat anatomi cingulum gigi incisivus dan
jarak mesiodistal dengan buccopalatal atau buccolingual gigi premolar serta anatomi
fisur, jumlah pit, ada atau tidaknya tuberculum carabeli, dan jumlah gigi molar.
Identifikasi ras antara lain :
1) Ras Caucasoid
 Permukaan lingual yang rata pada gigi 1.2 ; 1.1 ; 2.1 ; 2.2 (tidak terdapat
cingulum)
 Gigi geligi sering crowded
 Gigi molar pertama bawah (3.6 dan 4.6) lebih panjang dan tapered
 Pada gigi premolar 2 atas (1.5 dan 2.5), jarak bucco-palatal lebih besar dari jarak
mesio-distal
 Tuberculum carabeli gigi 1.6 dan 2.6 sering kali di bagian palatal
 Bentuk lengkung rahang yang sempit

2) Ras Mongoloid
 Gigi incisivus 1.1 ; 1.2 ; 2.1 ; 2.2 mempunyai pertumbuhan penuh pada
permukaan palatal bahkan lingual sehingga shoves shaped incisor cingulum jelas
dominan (Herdlicka, 1921)
 Bentuk gigi molar berupa segiempat dominan

3) Ras Negroid
 Akar gigi premolar 1.4 ; 1.5 ; 2.4 ; 2.5 cenderung membelah atau terdapat tiga
akar (R. Biggerstaf)
 Cenderung potrusi bimaksilaris dan terlihat monyong
 Banyak ditemukan kasus adanya molar keempat
 Gigi premolar pertama 1.4 dan 2.4 memiliki 2 atau 3 cups
 Gigi molar berbentuk segiempat membulat

4) Ras Australoid

5) Ras Khusus
Terdiri dari Bushman, suku ini bermukim di Spanyol; ras Vedoid, suku ini bermukim
di afrika tengah; Polynesian, yang termasuk suku ini yang bermukim di pulau-pulau
kecil di lautan Hindia dan lautan Afrika; Ainu, suku ini bermukim di kepulauan kecil
Jepang.

b. Identifikasi ras dari lengkung gigi


1) Ras Mongoloid
Lengkung gigi berbentuk ellipsoid
2) Ras Negroid
Lengkung gigi berbentuk huruf U
3) Ras Caucasoid
Lengkung gigi berbentuk parabola
4) Ras Australoid
Lengkung gigi berbentuk parabola dengan gigi insisivus yang besar
5) Ras Khusus
Lengkung gigi berbentuk “U” yang sangat nyata dengan gigi incisivus berukuran
kecil

Identifikasi Korban melalui Restorasi dan Protesa yang Digunakan


Restorasi dan protesa yang digunakan setiap orang bersifat individual dimana tidak
sama satu dengan yang lainnya dan memiliki ciri-ciri khusus yang tergantung pada
pemakainya. Restorasi dan protesa yang ditemukan pada korban harus dicatat secara teliti.
Jika ditemukan adanya restorasi, harus dicatat jenis restorasi yang dipakai, pada gigi apa,
permukaan yang terkena, dan luasnya restorasi. Pada protesa harus diperhatikan gigi
sandarannya, jumlah dan bentuk pontik, serta desain protesa.
Beberapa ciri individu konstruksi dari protesa diketahui melalui :
a. Bentuk daerah relief di bagian langit-langit
b. Bentuk dan kedalaman “post-dam”
c. Disain sayap labial
d. Penutupan daerah retromolar
e. Warna akrilik
f. Bentuk, ukuran dan bahan gigi artifisial
g. Bentuk dan ukuran lingir alveolar

Identifikasi korban melalui golongan darah dari jaringan pulpa


Menurut Alfonsius dan penelitian Ladokpol tahun 1992 serta Forum Ilmiah
International FKG Usakti tahun 1993, analisis golongan darah dari jaringan pulpa
merupakan identifikasi golongan darah untuk pelaku dan korban dengan cara Absorpsi-
Erupsi.
Analisa golongan darah dengan metode absorpsi-erupsi dari jaringan pulpa gigi adalah
sebagai berikut :
a. Gigi yang masih memiliki jaringan pulpa diambil sebagai bahan. Gigi tersebut ditumbuk
dalam lubang besi hingga hancur menjadi bubuk dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi
yang terbagi menjadi 3 tabung.
b. Ke dalam masing-masing tabung dimasukkan antisera, yaitu: ɑ ke tabung I, ß ke tabung
II, dan Ɣ ke tabung III
c. Ketiga tabung tersebut disimpan dalam lemari pendingin dengan suhu 5 °C sellama 24
jam
d. Lalu dicuci dengan saline solution sebanyak 7 kali, kemudian larutan saline dibuang dari
tabung tetapi endapan tidak terbuang.
e. Ketiga tabung diteteskan aquades sebanyak 2 tetes dengan pipet dan dipanaskan dengan
suhu 56 °C selama 12 menit lalu diangkat dari tunggu pemanas
f. Kedalam tabung dimasukkan sel indicator A,B, dan O dengan konsentrasi 3% - 5%.
Kemudian ketiga tabung disentrifugasi dengan alat pemutar agar terjadi aglutinasi
g. Perhatikan pada tabung mana yang mengalami aglutinasi. Pada tabung yang mengalami
aglutinasi ini merupakan identifikasi golongan darah dari hasil analisa laboratories
tersebut
2. Dasar/landasan hukum bagi seorang dokter gigi yang berperan dalam membantu tim DVI
a. Pada saat pra bencana, berperan dalam pembuatan rekam medis yang lengkap beserta
odontogramnya ditur dalam UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dan Permenkes
No. 269/MENKES/PER/III/2008 tentang rekam medis.
b. Aspek medikolegal rekam medis :
1) UU RI NO 29 TAHUN 2004 Pasal 46:
 Setiap dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran wajib
membuat rekam medis.
 Rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus segera dilengkapi
setelah pasien selesai menerima pelayanan kesehatan.
 Setiap catatan rekam medis harus dibubuhi nama, waktu, dan tanda tangan
petugas yang memberikan pelayanan atau tindakan.
2) UU RI NO 29 TAHUN 2004 Pasal 47:
 Dokumen rekam medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 merupakan milik
dokter, dokter gigi, atau sarana pelayanan kesehatan, sedangkan isi rekam medis
merupakan milik pasien.
 Rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disimpan dan dijaga
kerahasiaannya oleh dokter atau dokter gigi dan pimpinan sarana pelayanan
kesehatan.
 Ketentuan mengenai rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) diatur dengan Peraturan Menteri.
c. Peraturan Menteri Kesehatan RI No 1419/Menkes/Per/X/2005 Pasal 16:
1) Dokter dan dokter gigi dalam pelaksanaan praktik kedokteran wajib membuat rekam
medis.
2) Rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai ketentuan
perundang-undangan.

3. Aspek hukum dalam identifikasi korban mati massal akibat bencana :


 Pasal 120 (1) KUHAP :
Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta pendapat  seorang ahli atau orang
yang memiliki keahlian khusus.
 Pasal 133 (1) KUHAP :
Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka,
keracunan atau mati yang diduga karena peristiwa pidana, ia berhak mengajukan
permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan ahli
lainnya.
 Pasal 179 (1) KUHAP :
Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter
atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan.

4. Alat-alat yang dibutuhkan/dipersiapkan oleh seorang dokter gigi forensik/forensic


odontologist saat melakukan prosedur identifikasi korban bencana
Seorang forensik odontologist yang baik, tentu saja memiliki alat alat untuk
pemeriksaan standar masing masing, terutama beberapa ruang pemeriksaan mayat tidak
menyediakan alat alat sederhana tersebut.
Beberapa alat yang sebaiknya disiapkan secara pribadi adalah kaca mulut, sonde,
cotton pliers, serta impression material, siapkan juga disclosing solution untuk mengetahui
adanya tambalan komposit atau silikat. Wedges juga sebaiknya disiapkan untuk membuka
dan menahan mulut terutam bila mayat masih dalam keadaan kaku. Siapkan juga sikat gigi
yang sudah tidak terpakai untuk membersihkan gigi dari debris dan kotoran yang menempel.
Pada waktu pemeriksaan, sebaiknya siapkan catatan untuk mencatat setiap proses
pemeriksaan. Pemeriksaan itu sendiri sebaiknya dilakukan oleh 2 orang, karena cukup sulit
untuk mencatat ketika tangan kita menggunakan sarung tangan karet (hand gloves) yang
kotor. Asisten tersebut haruslah memiliki pengetahuan tentang gigi dan mulut juga, sehingga
tidak mempersulit proses pencatatan. Beri label pada setiap bagian yang dipisahkan dari
mayat berupa tanggal, waktu serta tempat pemeriksaan. Setelah itu beri tanda tangan
pemeriksa serta orang yang menyaksikan pemeriksaan tersebut. Setelah melakukan, mayat
sebaiknya dibersihkan kembali. Setelah itu simpan mayat ketempatnya semula. Setelah itu
melapor pada pihak yang berwenang bahwa pemeriksaan telah dilakukan.
Peralatan
a. Kantong Jenazah.
b. Kantong Tempat Properti Korban.
c. Label Mayat Tahan Air.
d. Alat Tulis Menulis.
e. Formulir Antemortem (Yellow Form) Dan Post Mortem (Pink Form).
f. Kamera Digital Atau Video.
g. Komputer Dan Printer .
h. Perlengkapan Perorangan
 Sepatu Lars Karet
 Sarung Tangan Panjang.
 Masker.
 Dll

5. Lima fase dari proses DVI :


a. Initial Action at the Disaster Site (The Scene)
Merupakan tindakan awal yang dilakukan di tempat kejadian peristiwa (TKP)
bencana. Ketika suatu bencana terjadi, prioritas yang paling utama adalah untuk
mengetahui seberapa luas jangkauan bencana. Sebuah organisasi resmi harus
mengasumsikan komando operasi secara keseluruhan untuk memastikan koordinasi
personil dan sumber daya material yang efektif dalam penanganan bencana. Dalam
kebanyakan kasus, polisi memikul tanggung jawab komando untuk operasi secara
keseluruhan. Sebuah tim pendahulu (kepala tim DVI, ahli patologi forensik dan petugas
polisi) harus sedini mungkin dikirim ke TKP untuk mengevaluasi situasi berikut :
1) Keluasan TKP, pemetaan jangkauan bencana dan pemberian koordinat untuk area
bencana.
2) Perkiraan jumlah korban.
3) Keadaan mayat.
4) Evaluasi durasi yang dibutuhkan untuk melakukan DVI.
5) Institusi medikolegal yang mampu merespon dan membantu proses DVI.
6) Metode untuk menangani mayat.
7) Transportasi mayat.
8) Penyimpanan mayat.
9) Kerusakan properti yang terjadi.

Fungsi The Scene (TKP)


1) Memulai langkah identifikasi
2) Mencari sisa tubuh manusia dan properti/barang bukti
3) Mencatat dan mengumpulkan sisa tubuh manusia dan properti terkait tubuh tersebut
Tahapan mengamankan TKP :
1) Lokasi dianggap sebagai TKP/crime scene
2) TKP diperiksa dg teliti dan direkam sebelum pemindahan sisa tubuh
3) Kolaborasi dengan tim lain untuk pengamanan pengambilan barang bukti
4) Membuat sektor atau zona pada TKP tiap luas area 5 x 5 m dan foto (dokumentasi)
pada tiap sektor.
5) Memberikan tanda pada setiap sektor.
6) Mengamankan dan memberikan pertolongan pada korban yang masih hidup.
7) Mengamankan (dengan memasukan dalam kantong-kantong plastik serta memberikan
label) korban mati atau potongan tubuh mayat (orange) dan barang-barang korban
yang tercecer (putih).
Tahapan evakuasi dan transportasi :
1) Mengangkut korban hidup yang telah dilakukan pertolongan utama di TKP ke RS/ pos
yang ditentukan.
2) Mengangkut kantung-kantung jenazah dan barang-barang ke tempat pemeriksaan dan
penyimpanan (RS/ pos yang telah ditentukan).

b. Collecting Post Mortem Data


Pengumpulan data post-mortem atau data yang diperoleh paska kematian
dilakukan oleh post-mortem unit yang diberi wewenang oleh organisasi yang memimpin
komando DVI. Pemeriksaan dan pencatatan data jenazah yang dilakukan diantaranya
meliputi :
1) Dokumentasi korban dengan mengabadikan foto kondisi jenazah korban.
2) Pemeriksaan fisik, baik pemeriksaan luar maupun pemeriksaan dalam jika diperlukan.
3) Pemeriksaan sidik jari.
4) Pemeriksaan rontgen.
5) Pemeriksaan odontologi forensik: bentuk gigi dan rahang merupakan ciri khusus tiap
orang ; tidak ada profil gigi yang identik pada 2 orang yang berbeda.
6) Pemeriksaan DNA.
7) Pemeriksaan antropologi forensik : pemeriksaan fisik secara keseluruhan, dari bentuk
tubuh, tinggi badan, berat badan, tatto hingga cacat tubuh dan bekas luka yang ada di
tubuh korban.

Data-data hasil pemeriksaan tersebut kemudian digolongkan ke dalam data primer dan
data sekunder sebagai berikut :
1) PRIMER : sidik jari, profil gigi, DNA
2) SECONDARY : visual, fotografi, properti jenazah, medik-antropologi (tinggi
badan, ras, dan lain-lain.)

Tahapan Collecting Post Mortem Data


1) Menerima kantong-kantong dari unit TKP.
2) Registrasi ulang dan mengelompokkan kiriman tersebut berdasarkan kantong : mayat
utuh, tidak utuh dan barang-barang korban.
3) Membuat foto pada mayat dan barang-barang.
4) Melakukan pemeriksaan dan mencatat ciri-ciri korban sesuai dengan data pada Pink
Formulir yang tersedia.
5) Mengirimkan data yang telah diperoleh ke Unit Pembanding Data (reconsiliasi).

Pemeriksaan yang dilakukan, seperti :


1) Memeriksa dan mencatat sidik jari korban.
2) Memeriksa dan mencatat gigi-geligi korban.
3) Mengambil dan memeriksa DNA serta gol darah (bila memungkinkan).
4) Memeriksa dan mencatat data identifikasi umum dan khusus korban (jika perlu
dengan bedah mayat/ autopsi).
5) Pengambilan darah (golongan darah) atau mengambil data- data ke unit pembanding
data (jika memerlukan masukan untuk tindakan selanjutnya sebagai data tambahan).
c. Collecting Ante Mortem Data
Pada fase ini dilakukan pengumpulan data mengenai jenazah sebelum kematian.
Data ini biasanya diperoleh dari keluarga jenazah maupun orang yang terdekat dengan
jenazah. Data yang diperoleh dapat berupa foto korban semasa hidup, interpretasi ciri –
ciri spesifik jenazah (tattoo, tindikan, bekas luka, dll), rekaman pemeriksaan gigi korban,
data sidik jari korban semasa hidup.
Prosedur collecting Ante Mortem Data
1) Mengumpulkan data-data korban semasa hidup dari keluarga/ kenalan korban, spt :
foto, data gigi pribadi, sidik jari, gol darah dll.
2) Memasukkan data-data yang ada (dilaporkan) ke dalam Yellow Formulir yang
tersedia.
3) Mengelompokkan data-data Ante Mortem/ berdasarkan jenis kelamin dan batasan
umur (misalnya : anak-anak, remaja, dwasa, orang tua).
4) Mengirimkan data yang telah diperoleh ke Unit Pembanding Data (reconsiliasi).
Fungsi collecting Ante Mortem Data :
1) Mengumpulkan dan analisa info ttg org hilang dari keluarga/teman
2) Menyusun daftar orang hilang
3) Mengumpulkan DNA kerabat
4) Mengumpulkan data properti yang dimiliki sebelum kematian

d. Reconciliation
Dilakukan pembandingan data post mortem dengan data ante mortem. Ahli
forensik dan profesional lain yang terkait dalam proses identifikasi menentukan apakah
temuan post mortem pada jenazah sesuai dengan data ante mortem milik korban yang
dicurigai sebagai jenazah.

Fungsi :
1) Membandingkan data ante dan post mortem
2) Konfirmasi identitas
Prosedur Reconciliation :
1) Mengkoordinasikan rapat penentuan identitas korban (dari data yang diperoleh melalui
unit TKP, unit data PostMortem dan unit data AnteMortem).
2) Mengumpulkan data-data korban yang telah dikenal untuk dikirim ke Tim Identifikasi.
3) Mengumpulkan data-data tambahan dari unit TKP, unit data Post Mortem dan unit
data Ante Mortem untuk korban yang masih belum juga dapat dikenal.

Prosedur Membandingkan Data Antemortem dan Postmortem:


Setiap antemortem record pertama di bandingkan dengan record file postmortem
berkemungkinan besar. Sebagai contoh orang hilang tanpa mahkota atau gigi palsu
pertama diperiksa dengan melihatkesamaan pada jenis kelamin pada korban yang ada di
file postmortem, banyaknya kemungkinan yang secara cepat dihasilkan adalah banyaknya
ketidakcocokan smpai salah satu yang cocok ditemukan atau kemungkinan kecil yang
sama. Jika postmortem record yang disimpan tidak menyediakan informasi yang berguna,
maka pencarian tetap berdasarkan file selanjutnya yang paling mungkin.
Program dental komputer akan mengurangi jumlah pemeriksaan secra manual,
menghasilkan daftar yang paling mungkin sesuai dengan yang diharapkan. Komputer
tidak pernah melewatkan identifikasi, ini akan mengurangi banyaknya record yang
dibandingkan dan dental team membuat keputusan akhir.
Mengonsultasikan dengan tim lain tentang pencatatan gambaran fisik, sidik jari,
pakaian, dokumen dan perhiasan dan lain-lain. Setelah identifikasi gigi positif dilakukan
secara menyeluruh, antemortem dan postmortem record digabungkan dengan pernyataan
yang mendukung positif identifikasi.
Salinan dokumen seharusnya disusun secara alphabet untuk sistem penyusunan,
nama lengkap korban dan marga yanh digarisbawahi dimasukan pada kolom yang tepat
di chart dan salinan utama diputuskan polisi setelah di double checking.
Satu prosedur yang paling utama pada prosedur managemen dan identifikasi
bencana masal adalah menyusun pertemuan harian antara pimpinan dan bagian tim
identifikasi. Orang yang memegang keseluruhan intruksi dalam pertemuan harus seorang
yang senior dalam bidang patologi. Pada pertemuan ini setiab bagian tubuh yang
diperiksa dan ditemukan oleh setiam tim ditaruh kedepan. Jika identifikasi positif dicpai
dengan berbagai metode, pemimpin tim yang lain akan memeriksa hasil penemuannya
bila terdapat ketidaksesuaian. Bila semua setuju, lalu sebelumnya, patolog akan
mengkonfirmasi identifikasi akhir. Kesalahan dalam menyusun pertemuan harian akan
menghasilkan konsekuensi, yaitu hasil identifikasi yang didasarkan pada suatu metode
yang tidak ilmiah seperti identifikasi visual, pakaian, atau dokumen.
Seiring waktu jumlah positif identifikasi dental akan berkembang dan
pertambahan data antemortem akan berhenti. Tim kemudian mungkin akan keliru dengan
beberapa masalah pada korban yang diambil saat itu. Pada poin ini pembuatan chart perlu
disusun, dengan nama dari orang yang hilang pada kolom vertikal sebelah kanan dan
banyak tubuh yang tidak dapat diidentifikasi pada bagian atas mendatar. Setiap orang
yang hilang dibandingkan dengan tiap tubuh yang tidak diidentifikasi dan banyaknya
kemungkinan yang dihasilkan.
Hampir semua pasien gigi tiruan tanpa tanda identitas gigi tiruan tidak bisa
diidentifikasi, ketua tim harus mengkomunikasikan pada pertemuan harian bahwa positif
identifikasi tidak dapat dibuat pada kasus ini, dan juga pada kasus dimana terdapat chart
yang identik dan gambaran yang tidak dapat dibedakan, paling sering terdapat 32 atau 28
gigi tanpa pengawetan, yang terakhir banyaknya molar ketiga yang tidak ada.
Bagaimanapun positif identifikasi dibuat dnegan sungguh-sungguh dan catatan
dental antemortem yang disetujui, pernyataan tentang gigi mungkin dibuat berdasarkan
penemuan gigi yang konsisten dengan antemortem record.
e. Returning to the Family (Debriefing)
Korban yang telah diidentifikasi direkonstruksi hingga didapatkan kondisi
kosmetik terbaik kemudian dikembalikan pada keluarganya untuk dimakamkan. Apabila
korban tidak teridentifikasi maka data post mortem jenazah tetap disimpan sampai
ditemukan data ante mortem yang sesuai dengan temuan post mortem jenazah, dan
pemakaman jenazah menjadi tanggung jawab organisasi yang memimpin komando DVI.
Sertifikasi jenazah dan kepentingan mediko-legal serta administratif untuk penguburan
menjadi tanggung jawab pihak yang menguburkan jenazah.
Perawatan jenazah setelah teridentifikasi dilaksanakan oleh unsur Pemerintah
Daerah, dalam hal ini Dinas Sosial dan Dinas Pemakaman yang dibantu oleh keluarga
Korban. Sangat penting juga untuk tetap memperhatikan file record dan segala informasi
yang telah dibuat untuk dikelompokkan dan disimpan dengan baik. Dokumentasi berkas
juga penting agar pihak lain (Interpol misalnya) dapat melihat, mereview kasusnya,
sehingga dapat menunjukkan bahwa proses identifikasi ini dikerjakan dengan baik dan
penuh perhatian.
Prosedur Debriefing :
1) Check dan recheck hasil kerja dari unit pembanding data.
2) Menyatakan hasil identifikasi korban (teridentifikasi atau tidak).
3) Membuat surat keterangan kematian untuk korban (mati) yang sudah teridentifikasi
dengan surat-surat lain yang diperlukan.
4) Menerima keluarga korban untuk serah terima korban dan barang-barang korban.
5) Publikasi yang benar dan terarah (team identifikasi) kepada masyarakat agar
mendapat informasi yang terbaru dan akurat.
6) Proses perawatan dan penyerahan jenazah
7) Perbaikan/rekonstruksi tubuh jenazah.
8) Perawatan dan pengawetan jenazah sesuai dengan agama korban.
9) Memasukan dalam peti jenazah.
10) Serah terima jenazah dengan dicatat secara resmi : nomor nama dan waktu registrasi
jenazah, data mengenai jenazah diserahkan kepada siapa, alamat (lengkap),
hubungan dengan korban, atau akan dimakamkan dimana korban?

Catatan :
Jenazah yang tidak teridentifikasi untuk tenggang waktu yang telah ditentukan,
(disepakati oleh team identifikasi dan pemerintah) akan diserahkan langsung kepada
kepolisian disaksikan pemerintah setempat (mewakili negara) untuk dapat dimakamkan
secara massal, setelah dilakukan perawatan jenazah sebagaimana mestinya.
6. Pengisian data ante mortem dan post mortem dilakukan :
a. Pengisian data ante mortem
1) Mengisi nama keluarga, nama depan, dan tanggal lahir
2) Mengisi data informasi gigi (alamat orang yang hilang, lingkungan tempat
kehilangan, informasi gigi yang diperoleh dari keluarga)
3) Mengisi siapa dokter gigi yang merawat dan dimana instansinya
4) Mengisi nama, alamat, nomor telepon, tanda tangan, dan tanggal dokter gigi
odontologi
5) Mengisi data odontogram ante mortem
b. Pengisian data post mortem
1) Mengisi formulir post mortem
 Merekam informasi setiap sisa tubuh manusia yang belum teridentifikasi
 Nomor formulir sesuai dengan tag
 Part B dari formulir dilengkapi tim pengamanan/polisi di TKP
 Formulir dimasukkan ke kantung jenazah
2) Formulir Post Mortem
 Bagian C dan D dilengkapi Polisi
 Bagian E dan F diisi DVI tim dengan bantuan ahli Patologi forensik dan
odontology Forensic

7. Tata cara pengisian odontogram (simbol-simbol yang digunakan serta tatawarnanya) :


Tata Cara Pengisian Odontogram Menurut Interpol :
a. Penulisan nomenklatur digunakan adalah two digit, FDI (Federal on Dentaire
Internationale) Numbering System yang dimulai pada :
 Kwadran 1 untuk gigi tetap atas kanan,
 Kwadran 2 untuk gigi tetap atas kiri,
 Kwadran 3 untuk gigi tetap bawah kiri,
 Kwadran 4 untuk gigi tetap bawah kanan,
 Kwadran 5 untuk gigi anak atas kanan,
 Kwadran 6 untuk gigi anak atas kiri,
 Kwadran 7 untuk gigi anak bawah kiri,
 Kwadran 8 untuk gigi anak bawah kanan.
b. Pengisian odontogram dilakukan dengan tanda-tanda sebagai berikut :
 Gambar :
 Kode-kode Gigi sesuai Interpol (Internasional Police)
Z = Tidak ada informasi mengenai gigi/ sebagian rahang hilang paska kejadian
Y = Tooth present, no futhar Information/ tooth lost post mortem
Gigi ada, tak ada informasi lain sebagian gigi hilang paska kejadian
S = Sound tooth/ gigi sehat
C = caries/ gigi karies
F = Filled/ tambalan
K = Crown/ mahkota
W = remaining root (s) only/ sisa akar
X = tooth missing (extracted, Unerupted, congenitally missing)
Gigi hilang (akibat pencabutan tidak tumbuh, hilang kongenital)

 Kode tambahan
a. Jika status “X”
U = Diastema, Rongga, jarak diukur dalam mililiter
mis : U4 = rongga 4 mm
RET = Gigi terbenam, hanya terlihat dengan Ro foto
ROT = Akar gigi dalam rahang, hanya terlihat dengan Ro foto
E = Perluasan dari mahkota untuk pengganti gigi yang hilang
H = Pontic dari bridgework
b. Jika status “S”
ERU = Gigi erupsi
RET = Gigi terbenam tapi terlihat mulut
UE = Un-Erupted
PE = Erupsi sebagian
c. Jika status “C”
Permukaan
M = Mesial
O = Oklusal, insisal
D = Distal
L = Lingual, palatinal
V = Vestibular, labial, bukal
d. Jika mengenai hanya sebagian permukaan (ditulis menggunakan huruf kecil)
mes = mesial
occ = occlusal
dis = distal
lin = lingual
ves = vestibular
cen = central
gin = gingival
e. Jika status “F” OR “K” ( menggunakan huruf kecil)
t = Tambalan sewarna gigi (komposit, glass ionomer, silikat)
g = Emas
p = Porcelen
ac = Akrilik
ce = Semen (tambalan semetara)
f. Jika status “F” , “K” , “W”
POS = Penjangkaran dalam pulpa
PIH = Pin di luar pulpa
g. Jika status “K”
B = Jembatan ( gigi menjadi tiang jembatan)

 Kode gigi Palsu


FU = Gigi Tiruan Penuh Rahang Atas
FL = Gigi Tiruan Penuh Rahang Bawah
PU = Gigi Tiruan Sebagian Rahang Atas
PL = Gigi Tiruan Sebagian Rahang Bawah
CC = Mahkota Tiruan Crom/Kobalt

 Kode Warna pada pengisian restorasi gigi :


Hijau = Komposit, silikat, resin, GIC, dan Sementum
Biru = Amalgam
Merah = Emas
Hitam = Material lainnya

ODONTOGRAM
Dibuat pada saat pasien pertama kali datang, sebagai pemeriksaan umum di dalam mulut.
Pembuatan diulang pada saat kontrol kembali, setelah satu tahun atau jika sudah terjadi
banyak permanen pada gigi-geligi. Odontogram lama dapat dibuang, atau diletakkan
dibawah odontogram baru.

Sumber referensi :
1. Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 No. 4 Desember 8 – Universitas Sumatera Utara
2. Direktorat Jenderal Bina Pelayanan. Standar Nasional Rekam Medik Kedokteran Gigi
Cetakan II. Jakarta : Departemen Kesehatan RI; 2007
3. Interpol DVI guide
4. http://www.scribd.com/document/369524819/CASE-1
5. http://www.academia.edu/35176789/Metode_Identifikasi_Primer_dan_Sekunder_Forensik_
Kedokteran_Gigi
6. Studi Pustaka Peran Dokter Gigi dalam Disaster Victim Identification

Anda mungkin juga menyukai