Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN TUTORIAL

BLOK 10 MODUL 2 “ODONTOLOGI FORENSIK”

KELOMPOK 3
Tutor : Drg.Dedi Sumantri, M.Dsc

Ketua : Oryza Safira Aldi


Sekretaris Papan : Arfi Azkia Firdian
Sekretaris Meja : Dini Anita Marlin
Anggota :
Muhammad Iqbal Amir
Mutia Oktori Yelfitri
Nabilla Dayuning Harisman
Raihan Ryoza
Sri Fika Wahyuni
Valdelrama Gatra Pratama Nugraha
Brillianti Venny Ciska

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI


UNIVERSITAS ANDALAS
2017
MODUL 2
ODONTOLOGI FORENSIK
SKENARIO 2
Oh Facebook
Kemajuan teknologi informasi saat ini sangatlah pesat , hal ini merupakan hal yang
sangat menguntungkan dan positif tentunya bagi yang dapat memanfaatkan secara benar,
namun dapat menjadi hal yang negatif bila disalah gunakan .Akibat dari kemajuan tersebut
antara lain seperti yang diberitakan akhir akhir ini masalah Facebook yang telah menelan
korban korban , diantaranya di tempat tugas drg.Amatsial disebuah dusun dikaki bukit
dimana ditemukan sesosok mayat wanita muda yang cantik.
Sebagai Dokter gigi lulusan PSPDG UNAND dengan keunggulan ilmu Dental
Forensik , maka mempunyai kewajiban untuk menerapkan ilmunya, apalagi ia juga pimpinan
Puskesmas. Maka ia langsung ke TKP dan melakukan beberapa kegiatan untuk
mengidentifikasi mayat tersebut. Setelah cukup data dari TKP selanjutnya mayat dibawa ke
Puskesmas tempat drg.Amatsial melengkapi foto foto serta mengambil rontgen foto gigi
giginya.Setelah melakukan analisa dapat diketahui bahwa mayat tersebut adalah Roimah
seorang gadis belia masih SMA yang dibunuh , hal ini akibat rayuan yang dilakukan oleh
seseorang melalui media Facebook .
Saat akan dibawa pulang, keluarganya marah marah kepada drg.Amatsial karena
melarang membawa mayat pulang sebelum selesai dilakukan Visum Et Repertum yang
dilakukan , serta hak pasien dan hal yang menjadi rahasia Dokter.

Jelaskan kasus ini menurut pandangan saudara sesuai ilmu yang ada.
Langkah Seven Jumps :
1. Mengklarifikasi terminologi yang tidak diketahui dan mendefinisikan hal-hal yang
dapat menimbulkan kesalahan interpretasi
2. Menentukan masalah
3. Menganalisa masalah melalui brain storming dengan menggunakan prior
knowledge
4. Membuat skema atau diagram dari komponen-komponen permasalahan dan
mencari korelasi dan interaksi antar masing-masing komponen untuk membuat
solusi secara terintegrasi
5. Memformulasikan tujuan pembelajaran/ learning objectives
6. Mengumpulkan informasi di perpustakaan, internet, dan lain-lain
7. Sintesa dan uji informasi yang telah diperoleh

URAIAN
Langkah I Mengklarifikasi terminologi yang tidak diketahui dan mendefinisikan hal-
hal yang dapat menimbulkan kesalahan interpretasi
1. Visum Et Repertum
adalah Surat keterangan dokter yang berisi pemdapat tentang hasil pemeriksaan
tubuh orang hidup , orang mati , bagian dari tubuh bahkan dari benda yang diduga
bagian tubuh manusia .
2. Dental Forensik
Kedokteran gigi forensik, ilmu yang mempelajari gigi geligi untuk identifikasi

Langkah II Menentukan masalah


1. Apa peran dari odontologi forensik dari skenario ?
2. Apa saja yang bisa diidentifik asi oleh drg ?
3. Aspek apa saja yang harus diperhatikan drg dalam mengidentifikasi korban ?
4. Apa peran drg dalam mengidentifikasi korban ?
5. Apa alasan gigi digunakan sebagai alat identifikasi?
6. Apa jenis data dalam odontologi forensik?
7. Apa kegunaan dari rontgen gigi?
8. Apa kegunaan VER ?
9. Siapa yang berhak membuat VER?
10. Apa saja hak hak dari pasien ?
11. Hal hal apa saja yang menjadi rahasia bagi seorang dokter ?
12. Apa ada hukum yang mengatur tentang rahasia kedokteran ?
Langkah III Menganalisa masalah melalui brain storming dengan menggunakan prior
Knowledge
1. Peran dari odontologi forensik dari skenario :
1) Untuk mengidentifikasi korban
2) Untuk memberikan keterangan medik mengenai korban
3) Menentukan jenis kelamin dan usia korban
4) Membantu penegakan hukum
5) Pembuatan VER, surat keterangan ahli
6) Menentukan golongan darah korban

2. Yang bisa diidentifikasi oleh drg untuk korban yaitu:


1) Usia
2) Ras
3) Jenis kelamin
4) Golongan darah
5) Kebiasaan korban
6) Adanya fraktur, gigi missing

3. Aspek yang harus diperhatikan drg dalam mengidentifikasi korban:


1) Memeriksa dokumen korban , seperti dompet, kartu kartunya
2) Jangan sampai merusak bagian tubuh yang akan diidentifikasi
3) Melihat ciri khas korban seperti tahilalat, jahitan luka
4) Melakukan pemeriksaan korban secepatnya
5) Melihat riwayat rekam medis korban

4. Peran drg dalam mengidentifikasi korban:


Untuk melakukan pemeriksaan terhadap keadaan mulut dan gigi korban.

5. Digunakan gigi dalam mengidentifikasi korban, karena:


1) Merupakan jaringan keras yang resisten terhadap lingkungan sekitarnya
2) Bagian tubuh yang sulit hncur
3) Termasuk identifikasi primer

6. Jenis data:
1) Post Mortem yaitu pengumpulan data korban pasca kematian atau kejadian,
contoh : sidik jari, foto diri korban pada saat ditemukan
2) Ante Mortem yaitu pengumpulan data korban sebelum kejadian, contoh :
bekas luka,tato, pakaian dan perhiasan yang melekat

7. Guna foto rontgen gigi yang dibuat :


1) Melihat dan menetapkan rekonstruksi pada gigi
2) Melengkapi data post mortem

8. Kegunaan VER:
1) Menentukan sebab, dan cara kematian korban
2) Sebagai bahan pertimbangan hakim
3) Bukti yang sah secara hukum
4) Memungkinkan hakim memanggil dokter yang lainnya
5) Pengganti barang bukti
9. Yang berhak membuat VER :
1) Dokter atau dokter gigi
2) Ahli keodkteran kehakiman

10. Hak hak dari pasien:


1) Hak untuk mengetahui penyakit yang dideritanya
2) Berhak mencari opini dar dokter lain
3) Memperoleh pelayanan kesehatan
4) Memperoleh privasi penyakit
5) Hak atas persetujuan tindakan medis
6) Hak untuk mendapatkan ganti rugi

11. Hal hal yang menjadi rahasia bagi seorang dokter :


1) Kondisi dan keadaan pasien
2) Hal tersebut dapat dibuka dengan menjaga identitas pasien

12. Hukum yang mengatur tentang rahasi kedokteran :


1) Kode etik kedokteran
2) Peraturan pemerintah
3) UUD No 29 Tahun 2009 pasal 52
4) PP No 10 Tahun 1966
5) Pasal 2 UU Kesehatan
Langkah IV Membuat skema atau diagram dari komponen-komponen permasalahan
dan mencari korelasi dan interaksi antar masing-masing komponen untuk membuat
solusi secara terintegrasi

Ditemukan mayat seorang wanita

drg. Amatsial

Odontologi Forensik

Visum Et Repertum Rahasia Kedokteran


Peranan drg dalam
penyelidikan

Fungsi Isi Hal yang Dasar


Rekam medik Peranan drg dirahasiakan hukum
DVI dalam Prosedur Orang yang
tindakan berhak
pidana
Foto rontgen

Langkah V Memformulasikan tujuan pembelajaran/ learning objectives


1. Mahasiswa mampu memahami & menjelaskan peranan drg dalam penyelidikan
2. Mahasiswa mampu memahami & menjelaskan Visum Et Repertum
3. Mahasiswa mampu memahami & menjelaskan rahasia kedokteran dan dasar
hukumnya
Langkah VI Mengumpulkan informasi di perpustakaan, internet, dan lain-lain
1. Mahasiswa mampu memahami & menjelaskan peranan drg dalam
penyelidikan

Menurut Pederson, odontologi forensik adalah suatu cabang ilmu


kedokteran gigi yang mempelajari cara penanganan dan pemeriksaan benda bukti
gigi serta cara evaluasi dan presentasi temuan gigi tersebut untuk kepentingan
peradilan. Sebagai suatu metode identifikasi pemeriksaan gigi memiliki
keunggulan sbb :
a. Gigi dan restorasinya merupakan jaringan keras yang resisten terhadap
pembusukan dan pengaruh lingkungan yang ekstrem.
b. Karakteristik individual yang unik dalam hal susunan gigi geligi dan
restorasi gigi menyebabkan dimungkinkannya identifikasi dengan ketepatan yang
tinggi (1:1050).
c. Kemungkinan tersedianya data antemortem gigi dalam bentuk catatan
medis gigi (dental record) dan data radiologis.
Sebagaimana telah diterangkan diatas, benda bukti gigi sudah sejak lama
disadari mempunyai peran yang besar dalam identifikasi personal dan
pengungkapan kasus kejahatan. Bagi para aparat penegak hukum dan pengadilan,
pembuktian melalui gigi merupakan metode yang valid dan terpercaya (reliable),
sebanding dengan nilai pembuktian sidikjari dan penentuan golongan darah.
Seorang dokter gigi forensik harus memiliki beberapa kualifikasi sbb :
a. Kualifikasi sebagai dokter gigi umum. Kualifikasi terpenting yang
harus dimiliki oleh seorang dokter gigi forensik adalah latar belakang kedokteran
gigi umum yang luas, meliputi semua spesialisasi kedokteran gigi. Sebagai
seorang dokter gigi umum, kadang-kadang ia perlu memanggil dokter gigi
spesialis untuk membantunya memecahkan kasus.
b. Pengetahuan tentang bidang forensik terkait. Seorang dokter gigi
forensik harus mengerti sedikit banyak tentang kualifikasi dan bidang keahlian
forensik lainnya yang berkaitan dengan tugasnya, seperti penguasaan akan konsep
peran dokter spesialis forensik, cara otopsi, dsb.
c. Pengetahuan tentang hukum.Seorang dokter gigi forensik harus
memiliki pengetahuan tentang aspek legal dari odontologi forensik, karena ia
akan banyak berhubungan dengan para petugas penegak hukum, dokter forensik
dan juga pengadilan. Dalam hal kasus kriminal ia juga harus paham mengenai
tata cara penanganan benda bukti yang merupakan hal yang amat menentukan
untuk dapat diterima atau tidaknya suatu bukti di pengadilan
Ruang lingkup odontologi forensik sangat luas meliputi semua bidang
keahlian kedokteran gigi. Secara garis besar odontologi forensik membahas
beberapa topik sbb:
1) Identifikasi Forensik Odontologi
Ketika tidak ada yang dapat diidentifikasi, gigi dapat membantu untuk
membedakan usia seseorang, jenis kelamin,dan ras. Hal ini dapat membantu
untuk membatasi korban yang sedang dicari atau untuk
membenarkan/memperkuat identitas korban.6

2) Penentuan Usia
Perkembangan gigi secara regular terjadi sampai usia 15 tahun.
Identifikasi melalui pertumbuhan gigi ini memberikan hasil yang yang lebih baik
daripada pemeriksaan antropologi lainnya pada masa pertumbuhan. Pertumbuhan
gigi desidua diawali pada minggu ke 6 intra uteri. Mineralisasi gigi dimulai saat
12 – 16 minggu dan berlanjut setelah bayi lahir. Trauma pada bayi dapat
merangsang stress metabolik yang mempengaruhi pembentukan sel gigi.
Kelainan sel ini akan mengakibatkan garis tipis yang memisahkan enamel dan
dentin di sebut sebagai neonatal line. Neonatal line ini akan tetap ada walaupun
seluruh enamel dan dentin telah dibentuk. Ketika ditemukan mayat bayi, dan
ditemukan garis ini menunjukkan bahwa mayat sudah pernah dilahirkan
sebelumnya. Pembentukan enamel dan dentin ini umumnya secara kasar
berdasarkan teori dapat digunakan dengan melihat ketebalan dari struktur di atas
neonatal line. Pertumbuhan gigi permanen diikuti dengan penyerapan kalsium,
dimulai dari gigi molar pertama dan dilanjutkan sampai akar dan gigi molar
kedua yang menjadi lengkap pada usia 14 – 16 tahun. Ini bukan referensi standar
yang dapat digunakan untuk menentukan umur, penentuan secara klinis dan
radiografi juga dapat digunakan untuk penentuan perkembangan gigi.
Gambar 26
Gambar 2 memperlihatkan gambaran panoramic X ray pada anak-anak (a)
gambaran yang menunjukkan suatu pola pertumbuhan gigi dan perkembangan
pada usia 9 tahun (pada usia 6 tahun terjadi erupsi dari akar gigi molar atau gigi 6
tapi belum tumbuh secara utuh). Dibandingkan dengan diagram yang diambil dari
Schour dan Massler (b) menunjukkan pertumbuhan gigi pada anak usia 9 tahun.

3) Penentuan Jenis Kelamin


Ukuran dan bentuk gigi juga digunakan untuk penentuan jenis kelamin.
Gigi geligi menunjukkan jenis kelamin berdasarkan kaninus mandibulanya.
Anderson mencatat bahwa pada 75% kasus, mesio distal pada wanita berdiameter
kurang dari 6,7 mm, sedangkan pada pria lebih dari 7 mm. Saat ini sering
dilakukan pemeriksaan DNA dari gigi untuk membedakan jenis kelamin.
4) Penentuan Ras
Gambaran gigi untuk ras mongoloid adalah sebagai berikut
a. Insisivus berbentuk sekop. Insisivus pada maksila menunjukkan nyata
berbentuk sekop pada 85-99% ras mongoloid. 2 sampai 9 % ras kaukasoid dan 12
% ras negroid memperlihatkan adanya bentuk seperti sekop walaupun tidak
terlalu jelas.
b. Dens evaginatus. Aksesoris berbentuk tuberkel pada permukaan
oklusal premolar bawah pada 1-4% ras mongoloid.
c. Akar distal tambahan pada molar 1 mandibula ditemukan pada 20%
mongoloid.
d. Lengkungan palatum berbentuk elips.
e. Batas bagian bawah mandibula berbentuk lurus.

Gambaran gigi untuk Ras kaukasoid adalah sebagai berikut


1) Cusp carabelli, yakni berupa tonjolan pada molar 1.
2) Pendataran daerah sisi bucco-lingual pada gigi premolar kedua dari
mandibula.
3) Maloklusi pada gigi anterior.
4) Palatum sempit, mengalami elongasi, berbentuk lengkungan parabola.
5) Dagu menonjol.
Gambaran gigi untuk ras negroid adalah sebagai berikut:
a) Pada gigi premolar 1 dari mandibula terdapat dua sampai tiga tonjolan.
b) Sering terdapat open bite.
c) Palatum berbentuk lebar.
d) Protrusi bimaksila.

2. Mahasiswa mampu memahami & menjelaskan Visum Et Repertum

Visum et repertum adalah laporan tertulis untuk peradilan yang dibuat


dokter berdasarkan sumpah/janji yang diucapkan pada waktu menerima
jabatan dokter, memuat berita tentang segala hal yang dilihat dan ditemukan
pada barang bukti berupa tubuh manusia/benda yang berasal dari tubuh
manusia yang diperiksa sesuai pengetahuan dengan sebaik-baiknya atas
permintaan penyidik untuk kepentingan peradilan. (Amir, 1995)
Visum et repertum merupakan pengganti barang
bukti,Oleh karena barang bukti tersebut berhubungan dengan tubuh manusia
(luka, mayat atau bagian tubuh). KUHAP tidak mencantum kata visum et
repertum. Namun visum et repertum adalah alat bukti yang sah. Bantuan
dokter pada penyidik : Pemeriksaan Tempat Kejadian Perkara (TKP),
pemeriksaan korban hidup, pemeriksaan korban mati. Penggalian mayat,
menentukan umur seorang korban / terdakwa, pemeriksaan jiwa seorang
terdakwa, pemeriksaan barang bukti lain (trace evidence). (Idries, 1997)

Yang berhak meminta visum et repertum adalah :


1. Penyidik
2. Hakim pidana
3. Hakim perdata
4. Hakim agama
Yang berhak membuat visum et repertum.(KUHAP Pasal 133 ayat 1) :
1. Ahli kedokteran kehakiman
2. Dokter atau ahli lainnya.
3.1 Prosedur Permintaan Visum Et Repertum

Tata cara permintaan visum et repertum sesuai peraturan perundang


undang adalah diminta oleh penyidik, permintaan tertulis, dijelaskan
pemeriksaan untuk apa, diantar langsung oleh penyidik, mayat dibuat label,
tidak dibenarkan visum et repertum diminta tanggal yang lalu. (Idries,
1997)
Seperti yang telah di cantumkan dalam pasal 133 KUHP ayat 1

Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang


korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa
yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan
keterangan ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.
Ayat 2 Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas
untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan
bedah mayat.

Ayat 3 Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau


dokter pada rumah sakit harus diperlakukan secara baik dengan penuh
penghormatan terhadap mayat tersebut dan diberi label yang memuat
identitas mayat, dilakukan dengan diberi cap jabatan yang diletakkan pada
ibu jari atau bagian lain badan mayat. (Idries, 1997)

a. Bentuk dan Isi Visum Et Repertum

Bentuk dan isi visum et repertum ( Idries, 1997)


1. Pro justisia, pada bagian atas, untuk memenuhi persyaratan yuridis,
pengganti materai.
2. Visum et repertum, menyatakan jenis dari barang bukti atau pengganti
barang bukti
3. Pendahuluan, memuat identitas dokter pemeriksa pembuat visum et
repertum, identitas peminta visum et repertum, saat dan tempat
dilakukanya pemeriksaan dan identitas barang bukti (manusia), sesuai
dengan identitas yang tertera di dalam surat permintaan visum et repertum
dari pihak penyidik dan lebel atau segel
4. Pemberitaan atau hasil pemeriksaan, memuat segala sesuatu yang di
lihat dan ditemukan pada barang bukti yang di periksa oleh dokter, dengan
atau tanpa pemeriksaan lanjutan (pemeriksaan laboratorium), yakni bila
dianggap perlu, sesuai dengan kasus dan ada tidaknya indikasi untuk itu
5. Kesimpulan, memuat inti sari dari bagian pemberitaan atau hasil
pemeriksaan, yang disertai dengan pendapat dokter yang bersangkutan
sesuai dengan pengetahuan dan pengalaman yang dimilikinya
6. Penutup, yang memuat pernyataan bahwasanya visum et repertum
tersebut dibuat atas sumpah dokter dan menurut pengetahuan yang sebaik-
baiknya dan sebenar-benarnya

b. Peranan dan Fungsi Visum Et Repertum

Peranan dan fungsi visum et repertum adalah salah satu alat bukti yang
sah sebagaimana tertulis dalam pasal 184 KUHP. Visum et repertum turut
berperan dalam proses pembuktian suatu perkara pidana terhadap kesehatan
dan jiwa manusia, dimana visum et repertum menguraikan segala sesuatu
tentang hasil pemeriksaan medik yang tertuang di dalam bagian
pemberitaan, yang karenanya dapat dianggap sebagai pengganti barang
bukti.

Visum et repertum juga memuat keterangan atau pendapat dokter


mengenai hasil pemeriksaan medik tersebut yang tertuang di dalam bagian
kesimpulan. Dengan demikian visum et repertum secara utuh telah
menjembatani ilmu kedokteran dengan ilmu hukum sehingga dengan
membaca visum et repertum, dapat diketahui dengan jelas apa yang telah
terjadi pada seseorang, dan para praktisi hukum dapat menerapkan norma-
norma hukum pada perkara pidana yang menyangkut tubuh dan jiwa
manusia.( Afif, 2010)

Apabila visum et repertum belum dapat menjernihkan duduk persoalan


di sidang pengadilan, maka hakim dapat meminta keterangan ahli atau
diajukannya bahan baru, seperti yang tercantum dalam KUHAP, yang
memungkinkan dilakukannya pemeriksaan atau penelitian ulang atas barang
bukti, apabila timbul keberatan yang beralasan dari terdakwa atau penasehat
hukumnya terhadap suatu hasil pemeriksaan. Hal ini sesuai dengan pasal
180 KUHP.( Afif, 2010)

Bagi penyidik (Polisi/Polisi Militer) visum et repertum berguna untuk


mengungkapkan perkara. Bagi Penuntut Umum (Jaksa) keterangan itu
berguna untuk menentukan pasal yang akan didakwakan, sedangkan bagi
hakim sebagai alat bukti formal untuk menjatuhkan pidana atau
membebaskan seseorang dari tuntutan hukum. Untuk itu perlu dibuat suatu
Standar Prosedur Operasional Prosedur (SPO) pada suatu Rumah Sakit
tentang tata laksana pengadaan visum et repertum.( Histar Situmorang,
2007)

c. Manfaat Visum Et Repertum

Manfaat dari visum et repertum ini adalah untuk menjernihkan suatu


perkara pidana, bagi proses penyidikan dapat bermanfaat untuk
pengungkapan kasus kejahatan yang terhambat dan belum mungkin
diselesaikan secara tuntas. (Soeparmono, 2002)

Visum et repertum juga berguna untuk membantu pihak tersangka


atau terdakwa berhak untuk mengusahakan dan mengajukan saksi ahli dan
atau seseorang yang memiliki keahlian khusus untuk memberikan
keterangn yang meringankan atau menguatkan bagi dirinya yaitu saksi ahli.
(Soeparmono, 2002)

Visum et repertum ini juga dapat bermanfaat sebagai petunjuk,


dimana petunjuk itu adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena
persesuaianya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan
tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak
pidana dan siapa pelakunya. (Hamzah, 1996)

d. Jenis-jenis Visum Et Repertum

Jenis visum et repertum pada orang hidup terdiri dari (Idries, 2009)
1. Visum seketika adalah visum yang dibuat seketika oleh karena
korban tidak memerlukan tindakan khusus atau perawatan dengan
perkataan lain korban mengalami luka - luka ringan
2. Visum sementara adalah visum yang dibuat untuk sementara
berhubung korban memerlukan tindakan khusus atau perawatan. Dalam hal
ini dokter membuat visum tentang apa yang dijumpai pada waktu itu agar
penyidik dapat melakukan penyidikan walaupun visum akhir menyusul
kemudian
3. Visum lanjutan adalah visum yang dibuat setelah berakhir masa
perawatan dari korban oleh dokter yang merawatnya yang sebelumnya telah
dibuat visum sementara untuk awal penyidikan. Visum tersebut dapat lebih
dari satu visum tergantung dari dokter atau rumah sakit yang merawat
korban.

Seperti yang telah kita ketahui permintaan visum et repertum orang


hidup lebih banyak dari pada permintaan pada mayat, karena mayat masih
banyak diperdebatkan oleh karena pihak keluarga yang tidaka mengizinkan
(Amir, 2005)
Visum et repertum orang hidup dapat terdiri dari luka (Abdussalam,
2006)
1. Luka yang paling banyak terjadi adalah luka mekanis, biasanya
luka ini bisa Karena a. Luka benda tumpul
b. Luka benda tajam
c. Luka tembakan senjata api

2. Kemudian luka akibat kekerasan fisis diantaranya adalah


a. Luka akibat suhu tinggi atau luka bakar
b. Luka akibat listrik.

3. Luka akibat zat kimia terdiri dari


a. Luka akibat asam kuat
b. Akibat basa kuat

Semua luka yang tertera diatas dapat diperiksa sesuai lokalisasi,


ukuran, jenis kekerasan yang menjadi penyebab luka. Sehingga dapat
digunakan untuk pembuktian pada suatu kasus.

Jenis visum et repertum pada orang mati atau mayat :

1. Pemeriksaan luar adalah dapat diminta oleh penyidik tanpa pemeriksaan


dalam atau otopsi berdasarkan KUHP pasal 133.

2. Pemeriksaan luar dan dalam adalah jenazah : sesuai dengan KUHAP


pasal 134 ayat 1 Dalam hal sangat diperlukan dimana untuk keperluan
pembuktian bedah mayat tidak mungkin lagi dihindari, penyidik wajib
memberitahukan terlebih dahulu kepada keluarga korban. Ayat 2 Dalam
hal keluarga korban keberatan, penyidik wajib menerangkan dengan
sejelas-jelasnya tentang maksud dan tujuan dilakukan pembedahan
tersebut. Ayat 3 Apabila dalam waktu 2 hari tidak ada tanggapan apapun
dari keluarga pihak yang perlu diberitahu tidak ditemukan, penyidik
segera melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 133 ayat
(3) undang-undang ini.
e. Hambatan Visum et repertum
1. Hambatan dalam pembuatan antara lain adalah jauhnya rumah sakit dan
terbatasnya tenaga kedokteran kehakiman yang membuat visum et
repertum (Widy Hargus, 2010).
2. Hambatan dalam penerapan adalah, pembuatan Visum et
repertum terkadang kurang lengkap dan pembuatan Visum et
repertum tidak dilakukan sesegera mungkin. (Widy Hargus, 2010).
3. Keadaan mayat sudah membusuk. Keadaan seperti ini dapat
mempengaruhi hasil dari visum. Biasanya organ tubuh yang memberikan
hasil positif untuk pemeriksaan toksikologi sudah mengalami
pembusukan maka dapat mengakibatkan hasil menjadi negatif. (Edward
Sinaga, 2010).
4. Kurangnya koordinasi antara penyidik dengan dokter yang
mengakibatkan prosedur permintaan visum menjadi memakan waktu
yang lama (Edward Sinaga, 2010).
5. Dari pihak penyidik seperti keterlambatan permintaan visum, (Husnul
Muasyaroh, 2002).
6. Dari pihak keluarga karena tidak mengijinkan dilakukannya autopsi
(Husnul Muasyaroh, 2002).
7. Dari pihak dokter karena butuh tempat untuk melaksanakan pemeriksaan
lanjutan (Husnul Muasyaroh, 2002).
8. Untuk korban kecelakaan yang hidup, banyak korban yang menolak
untuk dilakukan visum et repertum oleh karena belum mengetahui
manfaat dan kegunaaannya (Budi Sampurna, 2007).

Adanya hambatan-hambatan seperti yang disebutkan diatas yang


terjadi dalam pelaksanaan visum et repertum memerlukan solusi.
Diantaranya dengan memperbaiki koordinasi antara penyidik dan
dokter sehingga SPVR datang tepat waktu dan visum dapat dilakukan
dengan cepat.

Dapat pula menambah pengetahuan dan keterampilan dalam


membuat visum dengan cara membuat SOP (standar operasional).
Motivasi kepada korban hidup ataupun korban meninggal tentang
tujuan dan pentingnya otopsi. Mengadakan kerjasama lintas sektoral
mengeenai perbaikan sarana dan prasarana yang mungkSSin
dibutuhkan dalam pemeriksaan visum et repertum.

3. Mahasiswa mampu memahami & menjelaskan rahasia kedokteran dan


dasar hukumnya
Didalam bidang pengobatan, jelas ada hubungan atau persetujuan
antara pasien atau keluarga pasien dengan satu orang dokter atau beberapa
dokter. Disatu pihak, pasien atau keluarga pasien memerlukan kepandaian dan
keterampilan dokter untuk mengatasi masalah kesehatannya atau dokter
mempunyai kepandaian dan keterampilan yang dapat diberikannya untuk
kesembuhan pasien. Kedua belah pihak dalam suatu perjanjian, harus
mempunyai kemauan yang bebas untuk mengikatkan diri dan kemauan itu
harus dinyatakan.2 Hubungan hukum antara dokter dengan pasien adalah
transaksi terapeutik yang dalam hukum dapat dikaitkan sebagai suatu
perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu.
Adanya perjanjian ini, dimaksudkan untuk mendapatkan hasil dari
suatu tujuan tertentu yang dikehendaki pasien dengan harapan minimal
seorang dokter dapat memberikan pelayanan yang memadai sesuai dengan apa
yang diharapkan pasien. Hubungan dokter dengan pasien ini secara hukum
dapat dibatasi sesuai dengan apa yang menjadi hak dan kewajibannya, dengan
demikian dalam menjalankan profesinya, seorang dokter tidak boleh
melampaui batas-batas apa yang menjadi hak dan kewajiban terhadap pasien
sesuai dengan apa yang sudah digariskan oleh kode etik profesinya.
Lafal sumpah dokter: ”Demi Allah saya bersumpah,bahwa saya akan
merahasikan segala sesuatu yang saya ketahui karena perkerjaan saya dan
karena keilmuan saya sebagai dokter”.
Kodeki pasal 13: ”Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang
diketahuinya tentang seorang penderita, bahkan setelah penderita itu
meninggal dunia”.
Pada Lembaran Negara No. 21 th.1966: Pasal 1 “Yang dimaksud dengan
rahasia kedokteran ialah segala sesuatu yang diketahui oleh orang-orang
tersebut dalam pasal 3 pada waktu atau selama melakukan pekerjaannya dalam
lapangan kedokteran” Pasal 2 “Pengetahuan tersebut dalam pasal 1 harus
dirahasiakan oleh orang-orang yang tersebut dalam pasal 3, kecuali apabila
suatu peraturan lain yang sederajat atau lebih tinggi daripada Peraturan-
Peraturan ini menentukan lain.” Pasal 3 “Yang diwajibkan menyimpan rahasia
yang dimaksud dalam pasal 1 ialah:
● Dokter/Dokter ahli
● Mahasiswa Kedokteran
● Perawat/Bidan
● Petugas Administrasi Kedokteran Forensik/kamar jenazah”
Walaupun demikain, rahasia kedokteran dapat dibuka pada keadaan:
a. Terpaksaan. Dasar : KUHP pasal 48: “Barangsiapa
melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana”.
b. Ada undang-undang yang mengatur. Dasar : KUHP
pasal 50: “Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan
ketentuan undang-undang, tidak dipidana”.

c. Atas permintaan atasan dokter yang memeriksa

Dasar : KUHP pasal 51:


1. Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan
yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana.
2. Perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana,
kecuali jika yang diperintah, dengan itikad baik mengira bahwa perintah yang
diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan
pekerjaannya.
PERMENKES No. 36 Tahun 2012 tentang Rahasia Kedokteran.
Pasal 1 Ayat 1, “Rahasia kedokteran adalah data dan informasi tentang
kesehatan seseorang yang diperoleh tenaga kesehatan pada waktu menjalankan
pekerjaan atau profesinya.”
Pasal 2 Ayat 1, “Rahasia kedokteran mencakup data dan informasi mengenai:
identitas pasien; kesehatan pasien meliputi hasil anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan penunjang, penegakan diagnosis, pengobatan dan/atau tindakan
kedokteran; dan hal lain yang berkenaan dengan pasien. Pasal 2 Ayat 2. “Data
dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat bersumber dari
pasien, keluarga pasien, pengantar pasien, surat keterangan konsultasi atau
rujukan, atau sumber lainnya.”
Pasal 3 Ayat 1, “Semua pihak yang terlibat dalam pelayanan kedokteran
dan/atau menggunakan data dan informasi tentang pasien wajib menyimpan
rahasia kedokteran.” Pasal 3 Ayat 2, “Pihak sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi: dokter dan dokter gigi serta tenaga kesehatan lain yang memiliki
akses terhadap data dan informasi kesehatan pasien; pimpinan fasilitas
pelayanan kesehatan; tenaga yang berkaitan dengan pembiayaan pelayanan
kesehatan;
tenaga lainnya yang memiliki akses terhadap data dan informasi kesehatan
pasien di fasilitas pelayanan kesehatan; badan hukum/korporasi dan/atau
fasilitas pelayanan kesehatan; dan mahasiswa/siswa yang bertugas dalam
pemeriksaan, pengobatan, perawatan, dan/atau manajemen informasi di
fasilitas pelayanan kesehatan. Pasal 3 ayat 3, “Kewajiban menyimpan rahasia
kedokteran berlaku selamanya, walaupun pasien telah meninggal dunia.”
Pasal 4 ayat 1, “Semua pihak yang terlibat dalam pelayanan kedokteran
dan/atau menggunakan data dan informasi tentang pasien wajib menyimpan
rahasia kedokteran.” Pasal 4 ayat 2,

“Pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:


1. dokter dan dokter gigi serta tenaga kesehatan lain yang memiliki
akses terhadap data dan informasi kesehatan pasien;
2. pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan;
3. tenaga yang berkaitan dengan pembiayaan pelayanan kesehatan;
4. tenaga lainnya yang memiliki akses terhadap data dan informasi
kesehatan pasien di fasilitas pelayanan kesehatan;
5. badan hukum/korporasi dan/atau fasilitas pelayanan kesehatan;
dan
6. mahasiswa/siswa yang bertugas dalam pemeriksaan, pengobatan,
perawatan, dan/atau manajemen informasi di fasilitas pelayanan
kesehatan.
Pasal 4 ayat 3, “Kewajiban menyimpan rahasia kedokteran berlaku selamanya,
walaupun pasien telah meninggal dunia.”
Pasal 5 ayat 1, “Rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepentingan
kesehatan pasien, memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam
rangka penegakan hukum, permintaan pasien sendiri, atau berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan.” Pasal 5 Ayat 2, “Pembukaan
rahasia kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terbatas
sesuai kebutuhan.
Pasal 6 ayat 1, “Pembukaan rahasia kedokteran untuk kepentingan
kesehatan pasien sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 meliputi:
a. kepentingan pemeliharaan kesehatan, pengobatan, penyembuhan, dan
perawatan pasien; dan
b. keperluan administrasi, pembayaran asuransi atau jaminan pembiayaan
kesehatan.
Pasal 6 ayat 2, “Pembukaan rahasia kedokteran sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a dilakukan dengan persetujuan dari pasien.” Pasal 6 ayat
3, “Pembukaan rahasia kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b dilakukan dengan persetujuan dari pasien baik secara tertulis maupun sistem
informasi elektronik.” Pasal 6 ayat 4, “Persetujuan dari pasien sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dinyatakan telah diberikan pada saat pendaftaran
pasien di fasilitas pelayanan kesehatan.” Pasal 6 ayat 5, “Dalam hal pasien
tidak cakap untuk memberikan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), persetujuan dapat diberikan oleh keluarga terdekat atau pengampunya.”
Pasal 7 ayat 1, “Pembukaan rahasia kedokteran untuk memenuhi permintaan
aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 dapat dilakukan pada proses penyelidikan,
penyidikan, penuntutan, dan sidang pengadilan.” Pasal 7 ayat 2, “Pembukaan
rahasia kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melalui
pemberian data dan informasi berupa visum et repertum, keterangan ahli,
keterangan saksi, dan/atau ringkasan medis.” Pasal 7 ayat 3, “Permohonan
untuk pembukaan rahasia kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus dilakukan secara tertulis dari pihak yang berwenang.” Pasal 7 ayat 4,
“Dalam hal pembukaan rahasia kedokteran dilakukan atas dasar perintah
pengadilan atau dalam sidang pengadilan, maka rekam medis seluruhnya dapat
diberikan.”
Pasal 8 ayat 1, “Pembukaan rahasia kedokteran atas dasar permintaan
pasien sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dapat dilakukan dengan
pemberian data dan informasi kepada pasien baik secara lisan maupun
tertulis.” Pasal 8 ayat 2, “Keluarga terdekat pasien dapat memperoleh data dan
informasi kesehatan pasien, kecuali dinyatakan sebaliknya oleh pasien.” Pasal
8 ayat 3, “Pernyataan pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan
pada waktu penerimaan pasien.”
Pasal 9 ayat 1, “Pembukaan rahasia kedokteran berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
dilakukan tanpa persetujuan pasien dalam rangka kepentingan penegakan etik
atau disiplin, serta kepentingan umum.” Pasal 9 ayat 2, “Pembukaan rahasia
kedokteran dalam rangka kepentingan penegakan etik atau disiplin
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan atas permintaan tertulis dari
Majelis Kehormatan Etik Profesi atau Majelis Kehormatan Disiplin
Kedokteran Indonesia.” Pasal 9 ayat 3, “Pembukaan rahasia kedokteran dalam
rangka kepentingan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
tanpa membuka identitas pasien.” Pasal 9 ayat 4, “Kepentingan umum
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi : auditmedis; ancaman Kejadian
Luar Biasa/wabah penyakit menular; penelitian kesehatan untuk kepentingan
negara; pendidikan atau penggunaan informasi yang akan berguna
di masa yang akan datang; dan ancaman keselamatan orang lain secara
individual atau masyarakat. Pasal 9 ayat 5, “Dalam hal pembukaan rahasia
kedokteran untuk kepentingan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b
dan huruf e, identitas pasien dapat dibuka kepada institusi atau pihak yang
berwenang untuk melakukan tindak lanjut sesuai ketentuan peraturan
perundang- undangan.”
Daftar Pustaka
1. Rai B, Kaur J. Evidence-Based Forensic Dentistry. Heidelberg: Springer. 2013.
p.1-2, 6

2. Senn DR, Stinson PG. Forensic Dentistry. 2nd Edition. USA: Taylor & Francis
Group. 2010. p.4

3. Averkari EL. Progress in Challenges in Forensic Odontology, Faculty of


Dentistry. University of Indonesia. Jakarta. 2013

4. Lukman D. Buku Ajar Ilmu Kedokteran Gigi Forensik. Jilid 1. CV Sagung Seto.
Jakarta: 2006.

5. Dix J. Color Atlas Of. CRC Press. Boca Raton: 2000.

6. Eckert WG. Forensic Odontology. In: Introduction to Forensic Sciences. 2nd


edition. CRC Press. Boca Raton: 1997.

7. Standish SM, Stimson PG. The scope of Forensic Dentistry. The Dental Clinics of
North Amerika 1997; 21(1) : 3-5.

8. Luntz LL. History of Forensic Dentistry. The Dental Clinics of North America
1997; 21(1): 7-18.

9. Harvey W. Dental Identification and Forensic Odontology. First ed. London:


Henry Kimpton Pub 1976: 1-6.

10. Brown KA. Dental Identification of Unknown Bodies. Proceedings of the First
Asian Pacific Congress on Legal Medicine and Forensic Sciences. Singapore
1983: 136-40

Anda mungkin juga menyukai