Anda di halaman 1dari 17

Jurnal Review Ilmu Penyakit Mulut

Aphthous ulcer, saliva peroksidase, dan stres: apakah


berhubungan?
Kiran, G. C.; B. A. Reginald. 2015. Departement of Oral Maxillofacial Pathology, Narayana
Dental College and Hospital, Nellore, Andhra Pradesh, India

Pembimbing
Tenny Setiani Dewi, drg., M.Kes., Sp. PM

Seminaris
Tiara Sahayani 160110090027
Erizka Vidiantari 160110090028
Rio Rudiyanto 160110090029

Fakultas Kedokteran Gigi


Universitas Padjadjaran
Bandung
2015
Abstrak

Latar belakang: Dalam gaya hidup bertekanan tinggi yang terjadi saat ini, stres
memegang peranan utama pada kesehatan kita. Penelitian menggunakan
ultraweak chemiluminescence telah mampu menunjukkan efek dari stres
psikologis pada sistem imun, dengan menggunakan saliva sebagai penanda stres
psikologis. Dampak dari faktor psikososial pada lesi mukosa oral pada individu
ditemukan bahwa stres berkontribusi dalam melemahnya imun dan meningkatkan
kerentanan terhadap infeksi.

Tujuan: Untuk mempelajari peran saliva perkosidase (SPOx) dalam stres


psikologis pada individu dengan atau tanpa adanya aphthous ulcer.

Bahan dan metode: Penelitian ini melibatkan evaluasi subjek dari stres,
menggunakan Perceived Stress Scale. Berdasarkan nilai stres dan kehadiran atau
tidak adanya oral aphthae, subjek dibagi menjadi 3 kelompok yang masing-
masing 30 orang. Setelah pemeriksaan intraoral menyeluruh, sampel saliva dari
setiap individu dikumpulkan dan dan dikenakan estimasi mikroprotein dengan
menggunakan analisis biokimia.

Penggunaan analisis statistik: Analisis variasi (ANOVA) dan student’s t-test

Hasil: Penurunan level peroksidase ditemukan pada individu dengan aphthous


ulcers, sedangkan peningkatan terjadi ketika tidak ada lesi yang ditemukan dan
juga skala stres yang rendah.

Kesimpulan: analisis penelitian menunjukkan variasi dalam level enzim antara


kelompok yang berbeda yang menunjukkan pengaruh stres pada level
peroksidase, yang apabila tidak seimbang, menghasilkan kerusakan jaringan, yang
mengarah pada pembentukan aphthous.

Kata kunci: Aphthous ulcers, perceived stress scale, stres psikologis, spesies
oksigen reaktif, level saliva peroksida
Pendahuluan

Dalam gaya hidup bertekanan tinggi yang terjadi saat ini, stres memegang
peranan utama pada kesehatan kita. Sistem stres mengkoordinasikan respon
adaptif terhadap organisme stresor apapun (albanidou, 2007). Sumbu
hipotalamus-hipofisis-adrenal (HPA) menjadi aktif dalam respon terhadap stres.
Oleh karena itu, peningkatan level masalah kecemasan yang persisten telah
dikaitkan dengan perubahan fungsi sumbu HPA (Albanidou-Farmaki, 2008). Stres
dapat mempengaruhi imun baik melalui inervasi langsung dari sistem saraf pusat
dan sistem imun (saraf menghentikan fungsi organ limfoid) atau melalui jalur
imun neuroendokrin (pelepasan hormon). Bahkan perubahan perilaku yang terjadi
sebagai adaptasi atau cara mengatasi stres, seperti peningkatan merokok, minum
dan perubahan dalam diet mungkin mempengaruhi imunitas dan juga bergantung
pada paparan agen patogen, serta periode paparan (Cohen, 1991).

Dalam laporannya, mengenai dampak faktor psikososial pada lesi mukosa


oral dari individu, ditemukan bahwa stres dapat berkontribusi dengan penyakit
yang menyebabkan pikiran dan tubuh menjadi lunglai, lelah dan rusak sehingga
melemahkan imunitas dan meningkatkan kerentanan terhadap infeksi (Dagli,
2008).

Stres menyebabkan stres oksidatif dengan memproduksi radikal bebas


seperti spesies oksigen reaktif dan spesies nitrogen reaktif. Spesies oksigen reaktif
merupakan istilah kolektif yang mencangkup oksigen-radikal bebas yang
diturunkan seperti radikal superoksida (O2), radikal hidroksil (OH) dan spesies
radikal nitrat oksida dan derivat nonradikal seperti hidrogen peroksida dan asam
hipoklorus.

Dalam rongga mulut, beberapa patologi telah dihubungkan dengan stres.


Termasuk kondisi seperti penyakit periodontal, acute necrotizing ulcerative
gingivitis, karies gigi, recurrent aphthous ulcerations dan infeksi pernapasan atas.
Keadaan ini mungkin disebabkan oleh akumulasi bakteri dalan saliva (Bosch,
1996).
Rongga mulut mengandung faktor pertahanan spesifik dan non spesifik
dalam jumlah besar. Faktor nonspesifik termasuk mucin, proline kaya protein,
salivary glycoprotein, lactoferrin, lysozyme, histatin, cystatin, dan peroxidase.
Antara mereka, sistem pertahanan bawaan terdiri dari enzim peroxidase dan
lysozyme (Ashby, 2008). Dismutase superoksida, glutathione peroksidase,
glutation reduktase, katalase, peroksonase, peroksidase, dan lain-lain merupakan
enzim yang dianggap sebagai penanda stres psikologis.

Sistem peroksidase dalam saliva terdiri dari tiga komponen (Welk, 2009):

a. Enzim peroksidase (enzim glikoprotein), saliva peroksidase (SPOx)


dari kelenjar saliva mayor dan myeloperoksidase (MPO) dari leukosit
polimorfonukleat, disaring ke dalam saliva dari gingival crevicular
fluid.
b. Hidrogen peroksida, yang memiliki tiga sumber, pertama bersumber
dari endogen H2O2; kedua dari bakteri selama glikolisis anaerob dan
terakhir dari aktivasi neutrofil selama ledakan oksidatif
c. Substrat teroksidasi seperti pseudihalidethiocyanate (SCN-) berasal
dari diet dan asap rokok.

Sebagian besar aktivitas SPOx dihubungkan dengan bagian yang larut


dalam saliva, sedangkan sebagian besar aktivitas MPO dihubungkan dengan
endapan (Ashby, 2008). Konsumsi H2O2 secara biologis dan klinis yang
signifikan karena H2O2 sangat toksik pada beberapa sel mamalia termasuk
fibroblas dan sel epitel. Dengan demikian, perubahan H2O2 dan SCN- oleh saliva
peroksidase (SPO) ke OSCN-, O2 dan air, menghilangkan sitotoksisitas, produksi
H2O2 dari sel bakteri, sehingga mencegah kerusakan toksik pada sel (Ihalin,
2006).

Beberapa penelitian terdahulu telah terbukti hubungan stres dengan


kejadian recurrent aphtous stomatitis. Hasil penelitian ini telah mengacu bahwa
selama stres diduga dapat mempengaruhi sistem imun, merupakan salah satu agen
menyebab utama RAS (Kanehira, 2006).
Penelitian literatur menunjukkan bahwa mayoritas penelitian telah
dievaluasi secara independen, hubungan stres dengan oral ulcer dan adanya
recurrent aphthae terhadap level enzim peroksidase, sedangkan penelitian
korelasi hubungan stres, enzim peroksidase dan oral aphthae tidak ada

Oleh karena itu, upaya yang dilakukan untuk membandingkan level SPOx
dalam stres psikologis individu dengan dan tanpa adanya aphthous ulcer, yang
akan memberikan titik terang pada peran stres psikologis dan enzim saliva, dalam
etiopatogenesis oral aphthae.

Subjek dan metode

Subjek dipilih dari pasien di departemen rawat jalan institusi serta relawan
mahasiswa. Kedua jenis kelamin termasuk dalam kriteria penelitian. Subjek
merupakan kelompok usia 18-25 tahun dan dipilih yang bukan perokok. Subjek
dengan riwayat pengguna tembakau, wanita hamil dan menyusui, memiliki
riwayat penyakit sistemik, serta pengguna obat-obatan saat ini merupakan kriteria
ekslusi dalam penelitian ini.

Dengan menggunakan Perceived Stress Scale, tiap individu dinilai pada


skala yang ditentukan dan hasilnya diperoleh secara statistik dengan
menggunakan analysis of variance (ANOVA).

Individu disaring dan dievaluasi, dan yang memenuhi kriteria


dikelompokan dan ditampilkan dalam Tabel 1.

Tabel 1. Kategori partisipan


Kelompok I Kelompok II Kelompok III
Kelompok Stres dengan oral Stres tanpa oral Kontrol
aphthae aphthae
Jumlah individu 30 (M:7; F:23) 30 (M:9; F:21) 30 (M:11; F:19)
Prosedur yang diikuti adalah seperti yang dinyatakan oleh Kanehira et al
(2006), dimana partisipan harus menahan makan dan minum selama 2 jam
sebelum mengumpulkan air liur di pagi hari. Setelah itu kumur menggunakan air
suling, sekitar 2-3 ml seluruh saliva non stimulasi dikumpulkan selama 20 menit.
(metode pemisahan).

Sampel air kumur yang dikumpulkan disentrifugasi pada 6,500 rpm


selama 10 menit pada 4ºC untuk menghilangkan mikroorganisme, saburra, dan sel
epitel deskuamasi. Supernatan yang dihasilkan dianalisis untuk aktitifitas SPOx
mengikuti metode Pruit et al. (1990), menggunakan analisabiokimia otomatis
untuk estimasi nilai mikroprotein. Hasilnya, aktivitas enzim dinyatakan dalam
unit per milligram protein dalam air liur. Nilai rata-rata dari data dibandingkan
antar grup menggunakan Student’s t-test dan ANOVA.

Hasil

Ditemukan bahwa tingkat saliva peroksidase paling tinggi adalah pada


kelompok yang tidak memiliki oral aphthae, sedangkan tingkat peroksida
menurun ketika lesi terbentuk. Ditemukan juga bahwa tingkat SPOx lebih tinggi
pada pria dari keseluruhan kelompok. Hasil-hasil tersebut diringkas dalam tabel 2,
tabel 3, dan gambar 1.

Tabel 2. Rata-rata kelompok individu dengan stres dihitung dan dibandingkan


lebih lanjut dari jumlah total individu menghasilkan masing-masing F-value
signifikan
Kelompok 1 Kelompok II Kelompok III F- P value
Rata SD Rata- SD Rata SD valu
-rata rata -rata e
Total 22.0 3.92 20.1 2.928 13.0 2.612 66.0 0.0001
kelompok 6 8 (signifikan)
Perempuan 22.4 4.190 20.15 3.484 14.2 1.649 28.4 0.0001
28 1 7 3 9 4 1 (signifikan)
Laki-laki 21.2 3.382 20 1.732 11.4 2.817 45.5 0.0001
22 9 0 6 0 4 (signifikan)
Tabel 3. Perbandingan level enzim SPOx antara ketiga kelompok menunjukkan
F-value, dengan perbedaan yang signifikan antara laki-laki dari ketiga kelompok
Kelompok 1 Kelompok II Kelompok III F- P value
Rata- SD Rata- SD Rata- SD value
rata rata rata
Total 0.687 0,767 1.1936 0.933 1.079 0.999 2.546 0.084 (tidak
kelompok signifikan)
Perempuan 0.8111 0.8903 1.3252 1.1116 0.8957 0.8299 1.616 0.208 (tidak
signifikan)
Laki-laki 0.4002 0.1433 0.9661 0.46 1.3178 1.1783 3.549 0.041
(signifikan)

Gambar 1. Korelasi antara stres dan level SPOx antara ketiga kelompok

Diskusi

a. Hubungan reccurent aphthous ulceration dengan stres


Reccurent aphthous ulceration merupakan suatu kelainan yang
dikarakteristikan sebagai ulcer berulang yang terbatas pada mukosa oral tanpa
tanda penyakit lainnya. Aphthous ulcer adalah lesi mukosa oral yang paling sering
terjadi. Frekuensi terjadinya hingga 20% pada populasi umum dan 5-50% pada
kelompok etnis atau kelompok sosial tertentu. Aphthous ulcer terbagi menjadi
tiga, ulcer minor dengan diameter kurang dari 10 mm, ulcer mayor dengan
diameter lebih dari 10 mm, dan ulcer herpetiform yaitu ulcer dengan diameter 1-3
mm sebanyak 20-200 yang menyebar di rongga mulut (Greenberg and Glick,
2008; Vivek, V. and Bindu, 2011).
Aphthous ulcer dapat menyerang mukosa oral non keratin yaitu mukosa
bukal, labial, lateral dan ventral lidah, dasar mulut, palatum lunak, dan mukosa
orofaring. Aphthous ulcer merupakan kondisi idiopatik pada sebagian besar
penderita. Ulcer pada RAU terjadi bukan karena satu faktor saja, tetapi
multifaktoral. Faktor-faktor ini meliputi trauma, genetik, gangguan imun,
penggunaan obat-obatan, hormonal, alergi, infeksi bakteri, dan stres (Greenberg
and Glick, 2008).
Setiap trauma fisik atau mental akan memicu reaksi untuk menghambat
stres, daya tahan tubuh akan menurun sehingga tubuh lebih rentan terhadap
infeksi dan penyakit. Apabila stres tidak berlangsung lama, tubuh akan kembali
normal dan pulih dengan cepat. Namun apabila berlangsung lama, tubuh akan
beradaptasi dan menyebabkan tubuh lebih tahan terhadap penyakit karena sistem
imun bekerja lebih untuk memenuhi kebutuhan yang diharapkan. Jika stres
berkepanjangan, tubuh mungkin tidak dapat beradaptasi dan mengalami
penurunan. Tubuh akan mengalami kelelahan adrenal yang hebat dan terjadi
penurunan kadar gula darah, kelelahan mental dan fisik, serta timbulnya penyakit
(Jeffrey, 2006 ).
Beberapa peneliti telah membuktikan adanya hubungan yang signifikan
antara stres dengan aphthous ulcer. Rangsang nyeri atau isyarat saraf pada
keadaan stres mampu menekan sistem saraf pusat pada aksis hipotalamus-
hipofisis-adrenal (HPA) untuk mensekresi corticotropin releasing factor (CRF)
dari hipotalamus. CRF diangkut ke kelenjar hipofisis anterior dan kemudian
merangsang hormon adrenocorticotropic (ACTH). Peningkatan sekresi ACTH
dapat meningkatkan pelepasan hormon glukokortikoid (kortisol) 20 kali dari
kondisi normalnya dalam beberapa menit. Peningkatan hormon kortisol akan
menyebabkan efek anti-inflamasi yang poten dan menekan respon imun melalui
penekanan aktivitas neutrofil, penekanan produksi imunoglobulin G (IgG), dan
penekanan sekresi IgA pada saliva sehingga terjadi peningkatan kolonisasi
biofilm dan berkurangnya kemampuan untuk mencegah invasi bakteri pada
jaringan. Pada jalur lain, stres mental dan fisik dapat menimbulkan respon yang
dapat ditransmisikan ke sistem saraf otonom dan medula adrenal yang
menyebabkan disekresinya katekolamin berupa epinephrine dan norephinephrine.
Katekolamin menginduksi pelepasan prostaglandin dan protease. Apabila
keduanya dalam keadaan tinggi dapat memperberat destruksi jaringan (Dewi,
2006; Guyton, 1995).

b. Hubungan stres dengan saliva


Stres dalam ilmu psikologi diartikan sebagai suatu kondisi kebutuhan tidak
terpenuhi secara adekuat, sehingga menimbulkan adanya ketidakseimbangan.
Rathus dan Nevid (2002) menyatakan bahwa stres merupakan suatu kondisi
adanya tekanan fisik dan psikis akibat adanya tuntutan dalam diri dan lingkungan.
Taylor (1995) mendeskripsikan stres sebagai pengalaman emosional negatif
disertai perubahan reaksi biokimiawi, fisiologis, kognitif dan perilaku yang
bertujuan untuk mengubah atau menyesuaikan diri terhadap situasi yang
menyebabkan stres. Stres merupakan perasaan berada terlalu dibawah tekanan
mental dan emosional. Menurut Hans Selye (1936), stres adalah sebuah respon
non spesifik tubuh untuk setiap permintaan untuk perubahan. Selye melakukan
penelitian pada hewan yang mengalami rangsang akut dan semuanya mengalami
perubahan patologis yang berbeda. Penelitiannya menyimpulkan bahwa stres terus
menerus dapat menyebabkan hewan-hewan mengembangkan penyakit yang mirip
terlihat pada manusia, seperti serangan jantung, stroke, dan rheumatoid arthritis
(Selye, 1936; Gunawan, 2007).
Pada keadaan stres terdapat perubahan-perubahan yang terjadi pada anggota
tubuh, yaitu rambut yang berubah warna menjadi kecoklatan serta kusam atau
beruban dan rontok; ketajaman mata dan pendengaran terganggu; kemampuan
berfikir dan mengingat menurun, kesulitan konsentrasi dan sering mengeluh sakit
kepala; gangguan pernapasan, kardiovaskuler, perkemihan, sistem endokrin serta
pencernaan; dan mulut terasa kering (Selye, 1950).
Stres dianggap sebagai etiologi paling penting dan faktor resiko untuk
banyak penyakit akhir-akhir ini. Stres telah dikaitkan dengan banyak lesi atau
kondisi yang mempengaruhi kesehatan umum suatu individu, yang kemudian
dikaitkan dengan lesi oral. Efek dari stres fisiologis tercermin oleh antioksidan
dan aktivitas antimikrobial dari saliva, dimana banyak dari enzim saliva dianggap
sebagai penanda stres.

Komposisi saliva terdiri dari air, bahan organik dan anorganik. Komponen
anorganik antara lain Na+, K+, Ca2+, Mg2+, Cl-, SO42-, H+, PO4, dan HPO42-.
Sedangkan komponen organik utamanya adalah protein yang berupa enzim
amilase, lisosim, kalikren, laktoperosidase, laktoferin, imunoglobulin, protein
kaya prolin dan musin. Selain itu ditemukan pula lipida, glukosa, asam amino,
ureum amoniak, vitamin dan beberapa hormon seperti kortisol 2,12.

Pada keadaan gangguan emosional seperti stres, dapat merangsang


terjadinya pengaruh simpatik dari sistem saraf otonom dan menghalangi sistem
saraf parasimpatik sehingga sekresi saliva menurun. Kondisi stres juga dapat
menyebabkan perubahan signifikan pada saliva seperti penurunan pengeluaran
IgA dan peningkatan amilase. Sistem peroksidase saliva berkontribusi dalam
beberapa cara untuk pemeliharaan kesehatan mulut yang baik. Sistem peroksidase
merupakan salah satu faktor pertahanan non-imunoglobulin yang mengatur
kuantitas dan spesies mikroorganisme oral. Sistem ini juga mencegah akumulasi
beracun dari hidrogen peroksida serta menonaktifkan banyak senyawa
karsinogenik dan mutagenik. Kelenjar saliva mengeluarkan enzim peroksidase
serta ion tiosianat (SCN-). Saliva peroksidase ini mengkatalisasi reaksi oksidasi
SCN- dengan hidrogen peroksida. H2O2 diekskresikan oleh bakteri mulut dan oleh
sel inang. Bentuk teroksidasi SCN- menghambat pertumbuhan, respirasi dan
metabolisme sebagian spesies bakteri dalam mulut. Hasil oksidasi utama yang
dihasilkan di mulut adalah ion hypotiocyanit (OSCN-).(Gupta, 2006; Tenovuo,
1984)
c. Hubungan reccurent aphthous ulceration, stres, dan saliva

Pada penelitian ini dibahas mengenai hubungan antara reccurent aphthous


ulceration, stres, dan enzim peroksidase pada saliva. Penelitian dilakukan dengan
mengukur tingkat stres individu menggunakan Perceived Stress Scale. Metode ini
lebih dipilih dari metode-metode lain untuk menilai stres karena terdapat sejumlah
pertanyaan langsung mengenai tingkat stres yang sedang dialami. Pertanyaan-
pertanyaan ini bersifat umum dan relatif bebas dari konten yang spesifik untuk
kelompok subpopulasi. Penilaian dilakukan pada tingkat yang telah ditetapkan
yaitu dengan reversing responses (sebagai contoh, 0=4, 1=3, 2=2, 4=0) terhadap
empat soal yang bersifat positif (pertanyaan 4,5,7, dan 8) dan menjumlahkan nilai
jawaban masing-masing. Stres yang dirasakan selama bulan sebelumnya
mencerminkan kejadian objektif yang masih mempengaruhi tingkat stres
responden. Responden diminta untuk mengindikasikan seberapa sering perasaan
ataupun pikiran dengan membulatkan jawaban atas pertanyaan. Jika tidak pernah
diberi nilai 0, hampir tidak pernah diberi nilai 1, kadang-kadang diberi nilai 2,
cukup sering diberi nilai 3, dan sangat sering diberi nilai 4. Semua penelitian
diakumulasikan, kemudian disesuaikan dengan tingkatan stres, yaitu stres ringan
(total nilai 1-14), stres sedang (total nilai 15-26), dan stres berat (total nilai >26).
Skala ini dapat dipercaya dan valid pada banyak penelitian (Andreou, 2011;
Chaaya, 2010; Cohen, 1988; Leung, 2010).

Selanjutnya sampel penelitian dibagi menjadi tiga kelompok masing-


masing 30 orang, antara lain kelompok individu dengan stres yang disertai
aphthous ulcer, stres tanpa aphthous ulcer dan kelompok kontrol. Penelitian ini
juga membandingkan level saliva peroksidase pada semua sampel. Pengukuran
dilakukan dengan pengumpulan saliva dua jam setelah sarapan, yaitu sekitar jam
sepuluh pagi untuk meminimalisir efek circadian rhythm. Selain itu juga
mikroorganisme mulut relatif tidak aktif antara periode penelanan makanan.
Bakteri menjadi aktif secara metabolis ketika makanan sudah ditelan dan H2O2
dihasilkan oleh banyak spesies, dimana mungkin dapat mempengaruhi tingkat
enzim peroxidase. Kelenjar saliva mendapat stimulasi ketika dan segera setelah
asupan makanan dan sekresi saliva berlebih pada periode ini, aktivitas enzim
rendah pada saliva yang distimulasi (Tenovuo, 1984). Oleh karena itu jarak waktu
dua jam setelah sarapan diberikan, untuk mengumpulkan saliva pada penelitian
ini.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbandingan nilai stres antara ketiga


kelompok menunjukkan perbedaan yang signifikan. Nilai rata-rata tingkat stres
tertinggi terdapat pada kelompok dengan aphthous ulcer dan yang terendah
terdapat pada kelompok kontrol, dengan jumlah perbedaan nilai rata-rata wanita
sedikit lebih tinggi daripada laki-laki pada semua kelompok. Kondisi psikososial
dan fisik dapat mempengaruhi mekanisme pertahanan host sehingga terjadi efek
imunosupresif serta kerentanan terhadap penyakit yang dalam penelitian ini
ditunjukkan dengan adanya aphthous ulcer. Perbedaan nilai rata-rata antara
perempuan dan laki-laki mungkin disebabkan karena adanya perubahan hormonal
periodik pada wanita (Ballieux, 1991; Rogers, 1979).

Perbedaan tingkat enzim antara pria dan wanita dalam kelompok tidak
signifikan, serupa dengan penelitian oleh Kraus et al (1958)., yang menyatakan
bahwa dapat juga ditemukan aktivitas enzim peroksidase yang sama pada kedua
jenis kelamin. Tingkat perbedaan yang signifikan terdapat diantara kelompok
populasi pria yang mungkin disebabkan karena stabilitas yang lebih tinggi dari
keadaan oksidan/antioksidan pada wanita karena adanya mekanisme regulasi
hormon.

Pada tingkat saliva peroksidase paling tinggi terdapat pada kelompok II


yaitu kelompok yang tidak memiliki aphthous ulcer, kemudian diikuti dengan
kelompok III dan kelompok I, tetapi tidak signifikan secara statistik. Peningkatan
tingkat enzim ini mencerminkan mekanisme kompensasi dari tubuh untuk
mencegah kerusakan oksidatif (Arana, 2006). Akan tetapi ketika tingkat stres
terus meningkat, mekanisme regulasi dari tubuh gagal, menyebabkan
ketidakseimbangan dalam aktivitas oksidan/antioksidan, menghasilkan penurunan
tingkat enzim dan sebagai gantinya yaitu terjadi kerusakan jaringan, seperti yang
dapat terlihat pada individu kelompok I, menyebabkan terjadinya aphthous ulcer.
Korelasi dari peningkatan tingkat enzim peroksidase dan perubahan jaringan pada
lesi awal dan menurunnya tingkat enzim peroksidase ketika lesi terbentuk telah
didokumentasikan oleh Smith et al (1984), dan Guven et al (1996)., serupa
dengan hasil penelitian ini.

Penelitian menunjukkan bahwa tingkat rata-rata dari enzim peroksidase


memperlihatkan variasi yang pasti, meskipun tidak signifikan secara statistik.
Hasil ini menunjukkan pengaruh dari enzim peroksidase dengan terjadinya
aphthous ulcer. Hubungan stres ditemukan lebih tinggi pada individu dengan
aphthous ulcer, hal ini menjelaskan bahwa terdapat hubungan sebab akibat antara
meningkatnya stres, menurunnya tingkat peroksidase, dan terjadinya aphthous
ulcer.

Hasil penelitian ini menunjukkan perlunya untuk meninjau lesi oral


dengan perspektif yang lebih luas, diluar faktor-faktor lokal, yang akan membantu
dalam memahami lesi tersebut dengan lebih baik dan menghasilkan perawatan
alternatif untuk lesi tersebut.
Daftar Pustaka

Ashby MT. 2008. Inorganic chemistry of defensive peroxidases in the human oral
cavity. J Dent Res

Andreou, E. Alexopoulos EC, Lionis C, Varvogli L, Gnardellis C, Chrousos GP,


et al. 2011. Perceived stress scale: Reability and validity study in Greece.
Int J Environ Res Public Health

Ballieux RE. 1991. Impact of Mental Stress on the Immune Response. J Clin
Periodontal

Bosch JA, Brand HS, Ligtenberg TJ, Bermond B, Hoogstraten J, Nieuw


Amerongen AV. 1996. Psychological stress as a determinant of protein
levels and salivary-induced aggregation of streptococcus gordonii in
human whole saliva. Psychosom Med

Chaaya, M. Osman H. Naassan G, Mahfoud Z. 2010. Validation of the Arabic


version of the cohen perceived stress scale (PSS-10) among pregnant and
postpartum women. BMC Psychiatry

Cohen, S. and Williamson, G. 1988. Perceived Stress in a Probability Sample of


the United States. Spacapan, S. and Oskamp, S. (Eds.) The Social
Psychology of Health. Newbury Park, CA: Sage, 1988.

______. 1991. Stress and infectious disease in humans. Psychol Bull

Dagli RJ, Kumar S, Mathur A, Balasubrimanyam G, Duraiswamy P, Kulakarni S.


2008. Prevalence of leukoplakia, oral submucous fibrosis, papilloma
and its relation with stress among green marbles mine laborers. Med Oral
Patol Oral Cir Bucal

Dewi, Nurul M. 2006. Dampak mekanisme selular dan molekular dari respon stres
terhadap jaringan periodontal. JITEKGI
Goi N, Takagi K, Hirai Y, Harada H, Ikari A, Terashima Y et al. 2007. Effect of
psychologic stress on peroxidase and thiocyanate levels in human saliva
detected by ultra weak chemiluminiscence. J Health Sci

Greenberg, M.S; M. Glick. 2008. Burket’s Oral Medicine Diagnosis and


Treatment. 11th ed. Hamilton: BC Decker Inc.

Gunawan, B., Sumadiono. 2007. Stres dan Sistem Imun Tubuh: Suatu Pendekatan
Psikoneuroimunologi. Dalam: majalah: Cermin Dunia Kedokteran No.
154

Gupta A, J.B E, H S. 2006. Hyposalivation in Elderly Patients. Journal of The


Canadian Dental Association.

Guyton. 1995. Fisiologi Manusia. EGC: Jakarta

Ihalin R, Loimaranta V, Tenovuo J. 2006. Origin, structure, and biological


activities of peroxidases in human saliva. Arch Biochem Biophys

Jeffrey S. Nevid. Spencer A. Rathus. Beverly Greene. 2006. Psikologi Abnormal.


Jakarta: Erlangga

Kanehira T, Shibata K, Kashiwazaki H, Inoue N, Morita M. 2006. Comparison of


antioxidant enzymes in saliva of elderly smokers and non-smokers.
Gerodontology

Kraus FW, Perry WI, Nickerson JF. 1958. Salivary catalase and peroxidase
values in normal subjects and in persons with periodontal disease. Oral
Surg Oral Med Oral Pathol

Leung DY, Lam TH, Chan SS. 2010. Three versions of perceived stress scale:
Validation in a sample of Chinese cardiac patients who smoke. BMC
Public Health

Rathus, S.A. & Nevid, s.s. 2002. Psychology and The Challenge of Life:
Adjusment in the New Millenium. Eight Edition. Danver: John Willey &
Sons, Inc.
Rogers MP, Dubey, Reich P. 1979. The Influence of the Psyche and Brain on
Immunity and Disease Susceptibility. A Critical Review. Psychosomatic
Medicine

Selye H. 1936. A syndrome produced by diverse nocuous agents. Nature 138

_______. 1950. The physiology and pathology of exposure to stress, a treatise


based on the concepts of the general-adaptationsyndrome and the diseases
of adaptation. Montreal: ACTA, Inc., Medical Publishers.

Tenovuo J, Pruitt KM, Thomas EL. 1982. Peroxidase antimicrobial system of


human saliva: Hypothiocyanite levels in resting and stimulated saliva. J
Dent Res

Tenovuo J, Pruitt KM. 1984. Relationship of the human salivary peroxidase


system to oral health. J Oral Pathol

Vivek, V; Bindu J. N. 2011. Reccurent aphtous stomatitis: current concepts in


diagnosis and management. Journal of Indian Academy of Oral Medicine
and Radiology.
Welk A, Meller Ch, Schubert R, Schwahn Ch, Kramer A, Below H. 2009. Effect
of lactoperoxidase on the antimicrobial effectiveness of the thiocyanate
hydrogen peroxide combination in a quantitative suspension test. BMC
Microbiol
Perceived Stress Scale

0 = Never 1 = Almost Never 2 = Sometimes 3 = Fairly Often 4 = Very Often


1. In the last month, how often have you been upset because of
something that happened unexpectedly?...................................... 0 1 2 3 4
2. In the last month, how often have you felt that you were unable
to control the important things in your life? ................................. 0 1 2 3 4
3. In the last month, how often have you felt nervous
and “stressed”? ............................................................................. 0 1 2 3 4
4. In the last month, how often have you felt confident about
your ability to handle your personal problems? ........................... 0 1 2 3 4
5. In the last month, how often have you felt that things
were going your way?................................................................... 0 1 2 3 4
6. In the last month, how often have you found that you could
not cope with all the things that you had to do? .......................... 0 1 2 3 4
7. In the last month, how often have you been able to control
irritations in your life?................................................................... 0 1 2 3 4
8. In the last month, how often have you felt that you were on top
of things?....................................................................................... 0 1 2 3 4
9. In the last month, how often have you been angered because of
things that were outside of your control?...................................... 0 1 2 3 4
10. In the last month, how often have you felt difficulties were
piling up so high that you could not overcome them? .................. 0 1 2 3 4

Anda mungkin juga menyukai