Anda di halaman 1dari 24

1

PAPER
ODONTOLOGI FORENSIK

Disusun Oleh:
Devina Monica (110100113)
Mukhamad Faried (110100351)
Fanny Muslim (110100017)
Swapna Chandrasegaran (110100380)
Saravana Selvi (110100426)

Pembimbing:
dr. Dessy Darmayani Harianja, Sp.F

PROGRAM KEPANITERAAN KLINIK


DEPARTEMEN ILMU KEDOKTERAN KEHAKIMAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
RSUP H ADAM MALIK / RSUD DR PIRNGADI
MEDAN
2016
i

KATA PENGANTAR

Puji syukur terhadap hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena rahmat dan
karunia-Nya yang memberikan kesehatan dan kelapangan waktu bagi penulis
sehingga dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Dessy
Darmayani Harianja, Sp.F selaku supervisor dalam penyelesaian makalah ini. Judul
makalah ini ialah mengenai “Odontologi Forensik”. Adapun tujuan penulisan
makalah ini ialah untuk memberikan informasi mengenai “Odontologi Forensik”.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena
itu, penulis menerima saran dan masukan yang bersifat membangun dan bermanfaat
bagi makalah ini.

Medan, November 2016

Penulis

i
ii

DAFTAR ISI

Kata Pengantar i

Daftar Isi ii

BAB I Pendahuluan 1

BAB 2 Tinjauan Pustaka 3

2.1 Identifikasi 3

2.2 Perkembangan Gigi 5

2.2 Odontologi Forensik 7

BAB 3 Kesimpulan 21

Daftar Pustaka 22

ii
1

BAB 1

LATAR BELAKANG

Bidang ilmu odontologi forensik merupakan bagian dari ilmu kedokteran forensik
yang akhir - akhir ini menunjukkan perannya dalam usaha upaya identifikasi korban
bencana massal, kecelakaan, kejahatan, terorris maupun dalam rangka penegakan
hukum. Kondisi pada saat ini dalam upaya identifikasi korban dalam bidang forensik
semakin komplek. Kasus kejahatan yang disertai memotong tubuh menjadi beberapa
bagian atau korban membakar diri hingga hangus yang tidak bisa dikenali lagi
jenazahnya adalah dalam usaha tersangka menghilangkan jejak. Identifikasi melalui
bidang forensik memiliki keterbatasan tertentu dalam mengungkap jenazah korban
ini, keadaan ini dapat dibantu oleh bidang odontologi forensik dengan melalui metode
odontologi forensik.1,2
Bidang odontologi forensik merupakan bagian dari bidang forensik yang
menggunakan ilmu kedokteran gigi untuk mengungkap identitas korban melalui gigi
geligi. Rongga mulut memliki peran yang sangat penting dalam identifikasi di bidang
odontologi forensik. Jumlah gigi manusia 32 dengan 5 permukaan. Gigi geligi dalam
rongga mulut merupakan bagian tubuh yang terkeras, memiliki sifat individual serta
tahan terhadap suhu, kimia, dan trauma. Posisi gigi geligi dalam mulut memiliki
rangkaian jaringan yang secara anatomis, antropologis dan morpologis terlindungi
dengan baik oleh otot pipi, bibir, lidah serta selalu dibasahi oleh air liur, sehingga
jaringan tersebut yang terlebih dahulu mengalami kerusakan apabila terjadi kebakaran
ataupun trauma. Hal semacam ini dapat menjadi bagian yang sangat baik untuk
sarana identifikasi, sehingga metode odontologi forensic memiliki derajad ketepatan
sangat tinggi dan hampir sama dengan sidik jari.1
Geligi yang rusak dapat dirawat melalui tambalan atau pembuatan restorasi
gigi. Bahanbahan yang digunakan untuk maksud tersebut, antara lain; akrilik,
porselen, amalgam, logam campur dan lain-lainnya yang memiliki sifat tahan
terhadap mekanis, kimia serta mencair pada panas yang tinggi. Idendifikasi korban di
2

bidang forensic merupakan suatu proses menemukan identitas hidup atau matinya
seorang korban yang antara lain karena kejahatan, bencana alam, kecelakaan,
kebakaran dan untuk kepentingan keluarga dan peradilan. Kepastian hukum dapat
dipergunakan oleh keluarga korban untuk kepentingan menguruswarisan, perkawinan
dll.1
Pasal 118 ayat (1) undang-undang no. 36 tahun 2009 tentang kesehatan, mayat
yang tidak dikenal harus dilakukan upaya identifikasi. Proses identifikasi merupakan
hal yang kompleks, untuk mendapatkan identitas dari jenazah korban yang harus
didukung oleh sejumlah data-data yang akurat, antara lain data ante mortem dan data
post mortem. Data ante mortem adalah data gigi geligiyang merupakan keterangan
tertulis, catatan atau gambaran pada kartu perawatan gigi, keterangan keluarga atau
teman dekat. Kartu perawatan gigi tertulis ini berisi: (1) nama penderita; (2) umur; (3)
jenis kelamin; (4) pekerjaan; (5) tanggal perawatan; dan (6) jenis perwatan. Sumber
data ante mortem tentang perawatan gigi dapat diperoleh, anatara lain: (1) klinik gigi
rumah sakit pemerintah/TNI-Polri dan swata; (2) Puskesmas; (3) Rumah Sakit
Pendidikan Universitas/Fakultas Kedokteran Gigi; (4) klinik gigi swatsa; (5) praktek
pribadi dokter gigi. Data post mortem gigi adalah data yang diperoleh dari hasil
pemeriksaan gigi dari dokter gigi forensik atau dokter gigi yang terlatih terhadap
jenazah korban. Hasil pemeriksaan akan maksimal ataurepresentatif memenuhi
tujuan: (1) agar dapat diungkap kondisi / keadaan gigi geligi dari rahang atas dan
rahang bawah; (2) menyelesaikan tugas secepetnya atau sesuai dengan hasil yang
tepat; (3) melindungi atau menjaga semua bukti yang ada untuk kepentingan forensik
umum maupun kedokteran forensik; (4) mengingat akan kepentingan keluarga
korban, Data ante mortem akan dicocokan dengan data post mortem kemudian
dilakukan evaluasi untuk mendapatkan identitas korban dengan tepat.1
Berdasarkan hal tersebut, penulis ingin mengetahui tentang peran restorasi
gigi yang merupakan hasil perawatan dokter gigi terhadap kepentingan identifikasi
odontologi forensik.1
BAB 2
3

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Identifikasi

Identifikasi adalah penentuan dan pemastian identitas orang yang hidup


maupun orang mati, dari yang masih utuh dan belum mengalami pembusukan sampai
tinggal jaringan, berdasarkan ciri khas yang terdapat pada orang tersebut.
Pemeriksaan identifikasi forensik merupakan pemeriksaan yang pertama kali
dilakukan, terutama pada kasus tindak kejahatan yang korbannya tidak dikenal
walaupun identifikasi juga bisa dilakukan pada kasus non kriminal seperti
kecelakaan, korban bencana alam dan perang, serta kasus paternitas (menentukan
orang tua).2,3,4
Ruang lingkup identifikasi dalam kedokteran gigi forensik cukup luas, tidak
hanya meliputi masalah forensik namun juga masalah nonforensik. Identitas yang
mendukung identifikasi dari suatu korban dapat berupa identitas biologis dan non
biologis. Identitas non biologis dapat berupa kartu tanda penduduk, surat izin
mengemudi, pakaian, dan lain-lain. Identitas biologis dapat diketahui melalui tulang
belulang, gigi, ciri tubuh (anthropologi), darah, sidik jari, rambut, profil, DNA dan
identitas pada bibir.2,4
Pengetahuan identifikasi secara ilmiah diperkenalkan pertama kali oleh dokter
Perancis pada awal abad ke 19 bernama Alfonsus Bertillon tahun 1853-1914 dengan
memanfaatkan ciri umum seseorang seperti ukuran anthropometri, warna rambut,
mata dan lain-lain. Kenyataan cara ini banyak kendala-kendalanya oleh karena
perubahan- perubahan yang terjadi secara biologis pada seseorang dengan
bertambahnya usia selain kesulitan dalam menyimpan data secara sistematis.5
Pemeriksaan identitas seseorang memerlukan berbagai metode dari yang
sederhana sampai yang rumit.
a. Metode sederhana
4

 Cara visual, dapat bermanfaat bila kondisi mayat masih baik, cara ini mudah
karena identitas dikenal melalui penampakan luar baik berupa profil tubuh
atau muka. Cara ini tidak dapat diterapkan bila mayat telah busuk, terbakar,
mutilasi serta harus mempertimbangkan faktor psikologi keluarga korban
(sedang berduka, stress, sedih, dll)
 Melalui kepemilikan (property) identititas cukup dapat dipercaya terutama
bila kepemilikan tersebut (pakaian, perhiasan, surat jati diri) masih melekat
pada tubuh korban.
 Dokumentasi, foto diri, foto keluarga, foto sekolah, KTP atau SIM dan lain
sebagainya.
b. Metode ilmiah, antara lain:3
 Sidik jari
Identifikasi melalui sidik jari sangat penting. Kadang-kadang dijumpai
mayat yang sudah tidak utuh lagi atau sudah mengalami pembusukan,
pengambilan sidik jari masih tetap dapat dilakukan. Cap jari adalah saluran-
saluran kulit dan pori-pori yang bersifat tetap dan tidak berubah seumur
hidup. Kemungkinan gambaran sidik jari yang sama dari 2 orang yang
berlainan adalah 1:64.000.000 Jadi tanda tersebut dianggap tanda pasti untuk
identitas seseorang.
 Serologi
 Odontologi
 Biologi
 Antropologi
5

2.2 Perkembangan Gigi


Pertumbuhan/perkembangan gigi atau disebut juga odontogenesis terjadi pada
waktu usia embrio intrauterin 4–5 minggu yang dengan proses berkesinambungan
berupa inisiasi, proliferasi, morfodiferensiasi, aposisi, dan proses kalsifikasi disebut
fase preerupsi dan fase erupsi. Erupsi merupakan proses kompleks berkesinambungan
yang terdiri atas pergerakan preerupsi, tahapan intaroseus, penetrasi mukosa, tahapan
preoklusal, dan tahapan oklusal. Erupsi gigi sulung yang kemudian akan diikuti oleh
proses tanggalnya gigi sulung dan diikuti lagi dengan pergantian gigi permanen
terjadi secara berurutan sesuai dengan usia anak. Waktu erupsi ini sangatlah
bervariasi dan dipengaruhi oleh genetik, ras, etnik, serta faktor lingkungan.6
Gigi merupakan suatu cara identifikasi yang dapat dipercaya, khususnya bila
rekam dan foto gigi pada waktu masih hidup yang pernah dibuat masih tersimpan
dengan baik. Pemeriksaan gigi ini menjadi amat penting apabila mayat sudah dalam
keadaan membusuk atau rusak, seperti halnya kebakaran.5
Ada dua jenis gigi yaitu gigi susu dan gigi permanen. Gigi susu disebut juga
gigi sementara, dengan jumlah 20 buah, yakni: 4 buah incisivus, 2 caninus dan 4
molar disetiap rahang. Bayi akan mengalami pertumbuhan gigi susu pada umur 6
bulan dan selesai pertumbuhannya pada umur 24 bulan. Jika ada gigi susu incisivus
tumbuh, maka umurnya diperkirakan sekitar 6-8 bulan.3
Gigi permanen disebut juga gigi tetap, jumlahnya 32 buah yakni 4 buah
incisivus, 2 caninus, 4 premolar dan 6 molar disetiap rahang.
Penentuan umur berdasarkan jumlah dan jenis gigi hanya dapat ditentukan
secara umum sampai umur 17-25 tahun. Diatas umur ini yang diperhatikan adalah
keausan gigi (atrisi), warna dan lain-lain.
Gustafson menemukan formula penentuan umur diatas 18-20 tahun
berdasarkan adanya perubahan gigi karena penuaan dan pembusukan gigi. Perubahan
ini meliputi atrisi, periodontosis, dentin sekunder, resorpsi akar, aposisi sementum
dan transparensi akar gigi. Formula tersebut hanya dapat dipakai untuk penentuan
umur pada orang yang telah meninggal, karena gigi harus dicabut dari soket gigi,
6

kecuali pada orang hidup pengamatan atrisi dan periodontosis dapat dilakukan tanpa
pencabutan gigi.
Penentuan umur dari gigi, misalnya gigi molar permanen pertama sudah
tampak erupsi, maka diperkirakan umur si anak berkisar sekitar 6-7 tahun. Bila
tampak gigi molar permanen erupsi, maka diperkirakan umur anak berkisar 12-14
tahun. Erupsi gigi molar III tidak pasti kapan, biasanya antara umur 17-25 tahun.

Tabel 1. Erupsi gigi susu dan permanen3

Gigi Umur Gigi Susu Umur Gigi Permanen


Incisivus centralis
-rahang bawah 6-9 bulan 6-9 tahun
- rahang atas 7-9 bulan 6-9 tahun
Incisivus lateralis
-rahang bawah 10-12 bulan 7-9 tahun
- rahang atas 7-9 bulan 7-9 tahun
Caninus
-bawah 17-19 bulan 11-12 tahun
Premolar I
-bawah & atas Tidak ada 9-11 tahun
Premolar II Tidak ada 10-12 tahun
Molar I 12-14 bulan 6-7 tahun
Molar II 20-30 bulan 12-14 tahun
Molar I Tidak ada 17-25 tahun

Cara-cara ini sekarang berkembang dengan pesat berbagai disiplin ilmu


ternyata dapat dimanfaatkan untuk identifikasi korban tidak dikenal. Dengan metode
ilmiah ini didapatkan akurasi yang sangat tinggi dan juga dapat dipertanggung-
jawabkan secara hukum. Metode ilmiah yang paling mutakhir saat ini adalah DNA
Profiling (Sidik DNA). Cara ini mempunyai banyak keunggulan tetapi memerlukan
pengetahuan dan sarana yang canggih dan mahal. Dalam melakukan identifikasi
7

selalu diusahakan cara-cara yang mudah dan tidak rumit. Apabila dengan cara yang
mudah tidak bisa, baru meningkat ke cara yang lebih rumit.

Khusus pada korban bencana massal, telah ditentukan metode identifikasi yang
dipakai yaitu:5
a. Primer/utama
 gigi geligi
 sidik jari
 DNA
b. Sekunder/pendukung
 visual
 property
 medik

2.3 Odontologi Forensik

Ilmu kedokteran gigi forensik merupakan cabang dari ilmu kedokteran


forensik yang sekarang telah menjadi ilmu yang berdiri sendiri. Ilmu kedokteran gigi
forensik atau odontologi forensik merupakan cabang dari ilmu kedokteran gigi
mengenai cara penanganan dan pemeriksaan bukti-bukti melalui gigi dan evaluasi
serta pemaparan hasil-hasil penemuan yang berhubungan dengan rongga mulut untuk
kepentingan pengadilan. Definisi odontologi forensik adalah cabang ilmu dari ilmu
kedokteran gigi kehakiman yang bertujuan untuk menerapkan pengetahuan
kedokteran gigi dalam memecahkan masalah hukum dan kejahatan.2
Sejarah odontologi forensik telah ada sejak zaman prasejarah, akan tetapi baru
mulai mendapat perhatian pada akhir abad ke-19. Sekitar tahun 1960 ketika program
instruksional formal kedokteran gigi forensic pertama dibuat oleh Armen Force pada
tahun 1962 dari Institute of Pathology. Sejak saat itu banyak kasus penerapan
odontologi forensic dilaporkan dalam literatur sehingga nama odontologi forensik
8

mulai banyak dikenal bukan hanya di kalangan dokter gigi, tetapi juga di kalangan
penegak hukum dan ahli forensik.2

Identifikasi adalah penentuan dan pemastian identitas orang yang hidup


maupun orang mati berdasarkan ciri khas yang terdapat pada orang tersebut. Ruang
lingkup identifikasi dalam kedokteran gigi forensik cukup luas, tidak hanya meliputi
masalah forensik namun juga masalah nonforensik. Identitas yang mendukung
identifikasi dari suatu korban dapat berupa identitas biologis dan non biologis.
Identitas non biologis dapat berupa kartu tanda penduduk, surat izin mengemudi,
pakaian, dan lain-lain. Identitas biologis dapat diketahui melalui tulang belulang, gigi,
darah, sidik jari, rambut, profil, DNA, ruga palatal dan identitas pada bibir. Sidik
bibir sebagai sarana identifikasi dapat digunakan untuk mengidentifikasi kasus kasus
forensik maupun non forensik. Pada kasus forensik sidik bibir digunakan untuk
memecahkan kasus pembunuhan, sedangkan pada kasus non forensik digunakan
untuk mengidentifikasi usia, jenis kelamin, ras dan sebagainya.2

2.3.1 Identifikasi ras korban dari ciri-ciri gigi7


Identifikasi ras tersebut antara lain:
1. Ras Caucasoid dengan ciri-ciri sebagai berikut :
a. Permukaan lingual rata pada gigi seri / insisive 1.21.1,2.1 2.2
b. Sering gigi-geligi rapat
c. Gigi molar pertama bawah (3.6,4.6), lebih panjang, tapered
d. Dalberg (1956): buko-palatal < (P2, 1.5, 2.5), mesio-distal
e. Sering cups carabeli pada 1.6,2.6 palatal
f. Lengkung rahang sempit

2. Ras Mongoloid dengan ciri-ciri sebagai berikut:


9

a. Menurut Herdlicka (1921) bahwa gigi insisive mempunyai


perkembangan penuh pada permukaan palatal bahkan lingual sehingga
shovel shaped insicor cungulum jelas dominan (pada gigi
1.1,1.2,2.1,2.2)
b. Fissure-fissure gigi molar
c. Bentuk gigi molar: segiempat dominan

3. Ras Negroid dengan ciri-ciri sebagai berikut :


a. Menurut R.Biggerstaf bahwa premolar akar premolar (1.4,1.5,2.4,2.5)
cenderung membelah atau terdapat tiga akar (trifurkasi)
b. Cenderung terdapat protrusi bimaksilar
c. Bahwa molar ke-4 sering ditemukan (banyak)
d. Premolar pertama bawah (1.4,2.4) terdapat 2 atau 3 cups
e. Gigi molar berbentuk segiempat

2.3.2 Ruga Palatal (Rugoscopy)8


Ruga palatal merupakan membran mukosa yang irregular dan asimmetris
meluas kelateral dari papila insisivus dan bagian anterior dari median palatal raphe.
Fungsi dari ruga palatal adalah untuk memfasilitasi transportasi makanan dan
membantu proses pengunyahan. Selain itu, dengan adanya reseptor gustatori dan
taktil pada ruga palatal, maka ikut berkontribusi dalam persepsi rasa, persepsi posisi
lidah dan tekstur dari makanan. Ruga palatal memiliki morfologi yang sangat
individualistik. Bahkan pada individu kembar juga tidak didapati pola ruga palatal
yang sama. Karena individualistik tersebut, maka pemeriksaan terhadap ruga palatal
dapat ikut berperan dalam bidang forensik sebagai salah satu bentuk identifikasi. Ilmu
yang mempelajari tentang ruga palatal disebut sebagai rugoskopi atau palatoskopi.
Pola ruga palatal yang dapat dipelajari meliputi jumlah, panjang, lokasi dan
bentuknya. Pola dari rugapalatal itu sendiri dapat dilihat melalui cetakan gigi atau
foto intra oral. Sejumlah klasifikasi penilaian ruga palatal telah dikembangkan, mulai
10

dari yang sederhana hingga kompleks. Contoh dari klasifikasi sederhana adalah
klasifikasi Carrea yang hanya membagi ruga palatal berdasarkan arah dari ruga
palatal.
Klasifikasi ini membagi ruga palatal menjadi 4 tipe yaitu tipe I: ruga dengan
arah posterior-anterior, tipe II: ruga dengan arah perpendikuler ke raphe mediana, tipe
III: ruga dengan arah anterior-posterior dan tipe IV: ruga dengan berbagai arah.
Sedangkan yang kompleks contohnya adalah klasifikasi sistem Cormoy. Klasifikasi
lain yang cukup sering dipakai adalah klasifikasi yang dibuat oleh Thomas CF dan
Kotze TFW5. Klasifikasi tersebut meliputi jumlah, panjang, ukuran dan unifikasi dari
ruga. Panjang ruga dibagi atas: lebih dari 10 mm, 5- 10 mm, dan kurang dari 5 mm
(fragmented rugae). Bentuk ruga diklasifikasikan menjadi kurva (curved),
bergelombang (wavy), lurus (straight) dan sirkular (circular) seperti yang terlihat
pada gambar dibawah.

2.3.2 Penentuan Umur Berdasarkan Data Gigi10


Estimasi umur merupakan ilmu dari forensik dan harus menjadi bagian
penting dari identifikasi korban, Proses, terutama ketika informasi yang berkaitan
dengan korban tidak ada. Gigi manusia mengikuti urutan perkembangan dan dimulai
11

sekitar 4 bulan setelah pembuahan dan terus ke awal dekade ketiga kehidupan saat
pembentukan semua gigi permanen komplit. Penggunaan radiografi adalah
karakteristik dari teknik yang melibatkan pengamatan tahap morfologis yang berbeda
dari mineralisasi.Klasifikasi tersebut juga didasarkan pada tingkat pembentukan akar
dan mahkota struktur, tahap erupsi,dan percampuran dari dentisi primer dan dewasa.

2.3.4 Pemeriksaan sidik bibir (Cheiloscopy)2


Sidik bibir didefinisikan sebagai gambaran alur pada mukosa bibir atas dan
bawah, dan oleh Suzuki dinamakan “figura linearum labiorum rubrorum”. Garis-
garis normal atau alur pada bibir memiliki karakteristik yang individual sama halnya
seperti yang terdapat pada sidik jari. Sidik bibir merupakan kumpulan lekukan yang
terdapat pada tepian vermilion atau bagian merah bibir. Lekukan-lekukan tersebut
diantaranya dapat berupa garis vertikal, pola bercabang, pola retikuler, dan pola
perpotongan.13 Sidik bibir sampai saat ini belum diketahui dengan pasti sejak kapan
pembentukannya, namun ada yang berpendapat bahwa sidik bibir telah dapat berusia
empat bulan. Ilmu yang mempelajari sidik bibir dinamakan Cheiloscopy.
Beberapa peneliti melakukan identifikasi dan mengklasifikasikan pola sidik bibir,
namun belum ada kesepakatan mengenai pola sidik bibir yang digunakan sebagai
acuan internasional.
12

Santos (1967) mengklasifikasikan lekukan pada bibir dan membaginya menjadi 4


tipe yaitu:
a. Garis lurus
b. Garis bergelombang
c. Garis bersudut
d. Garis berbentuk sinus
Renaud (1973) membagi pola sidik bibir menjadi 10 tipe. Domiaty et al
mengganggap bahwa klasifikasi menurut Renaud inilah yang paling lengkap.
13

2.3.5 Rekonstruksi wajah10


Mungkin perlu untuk merekonstruksi penampilan individu selama hidup
untuk mengidentifikasi korban. Ini adalah tanggung jawab ahli forensik yang
memanfaatkan profil gigi untuk membantu dengan rekontruksi wajah korban.
Penggunaan foto-foto ante mortem untuk melihat wajah, rangka dan gigi yang telah
patah dalam mengidentifikasi kasus-kasus identifikasi. Teknik ini membutuhkan
ketersediaan foto ante mortem yang menunjukkan gigi.
14

2.3.6 Radiologi11
Setelah rekonstruksi gigi selesai dan tulang rahang selesai maka dicekatkan ke
tulang tengkorak maka kemudian dilakukan pula rekonstruksi ruling tulang maka
(tulang wajah) apabila terjdi pecahan pecahan atau patahan patahan yang tidak
ditemukan dari tulang tersebut , begitu pula bentuk tulang tulang tengkorak laiinya ,
hal ini penting karena demi untuk identifikasi wajah dan tulang kepala membentuk
sketsa korban lengkap, semanya itu harus dilakukan roentgenografi proyeksi
posterior anterior, lateral tulang tengkorak, lateral tulang muka, serta panoramik.
15

Situasi di mana radiologi forensik dapat diterapkan untuk menyelesaikan


masalah hukum banyak dan beragam. Pentingnya teknik radiografi dalam kedokteran
forensik klinis secara luas telah diakui. Hal ini dipraktis secara umum untuk
mendapatkan radiografi sebagai bagian dari pemeriksaan postmortem dalam rangka
untuk mencari benda asing atau dokumentasi patah tulang atau cedera lainnya. Tahap
di mana radiologi diimplementasikan selama otopsi bervariasi sesuai dengan keadaan
individu, tetapi biasanya setelah pemeriksaan luar dan sebelum diseksi. Pemanfaatan
radiografi dalam identifikasi adalah berharga jika catatan antemortem yang cukup
tersedia. Berbagai perubahan morfologi dan patologis dapat dipelajari dari radiografi.
Morfologi crown dan root membantu dalam identifikasi. Adanya pembusukan,
sisaan, terisi, dan gigi retak, berbagai tahap penyembuhan luka di soket ekstraksi,
tingkat pembentukan akar, dan pola trabekular tulang rahang membantu dalam
identifikasi

2.3.7 Fotografi11
Fotografi dilakukan sebelum penyikikan lain dengan perkataan lain yang
mula-mula dilakukan dari penyidik atau tim penyidik identifikasi adalah fotografi
dari TKP, fotografi korban, fotografi temuan-temuan disekitar TKP, fotografi tapak
ban, fotografi tapak sepatu dan sandal, fotogarfi bercak-bercak darah, fotografi bekas
gigitan, fotografi cairan-cairan dari tubuh korban biarpun telah mengering misalnya
pada sprei, pada bantal maupun pada lantai, ataupun permadani. Oleh karna banyak
pembunuhan dengan mutilasi diatas permadani sehingga darah korban meresap dalam
permadanidan pendapat dari pelaku mudah membuang bercak darah tersebut oleh
karna dapat lansung dibuang atau dibakar permadani tersebut dalam menghilangny
abarang bukti dan bercak darah yang dapat diidentifikasi golongan darah dan DNA
korban.
16

2.3.8 Bite Mark12


Bite mark atau bekas gigitan dapat ditemukan dalam kejahatan kekerasan
seperti kekerasan seksual, pembunuhan, kasus kekerasan terhadap anak, dan selama
acara olahraga. Pengaturan ukuran dan penyelarasan gigi manusia yang dimiliki oleh
setiap orang sangat berbeda-beda. Gigi dapat bertindak sebagai alat bukti, yang
meninggalkan bekas dan dapat dikenali tergantung pada pengaturan gigi, maloklusi,
kebiasaan, pekerjaan, fraktur gigi, dan hilang atau gigi ekstra. Identifikasi
Klasifikasi bekas gigitan mepunyai derajat perlukaan sesuai dengan kerasnya
gigitan, pada bekas gigitan manusia terdapat 6 kelas yaitu:
Kelas I : Bekas gigitan terdapat jarak dari gigi insisivus dan kaninus.
Kelas II : Bekas gigitan kelas II seperti bekas gigitan kelas I, tetapi terlihat
cusp bukalis dan palatalis maupun cusp bukalis dan cusp lingualis
tetapi derajat bekas gigitannya masih sedikit.
Kelas III : Bekas gigitan kelas III derajat luka lebih parah dari kelas II yaitu
permukaan gigi insisivus telah menyatu akan tetapi dalamnya luka
gigitan mempunyai derajat lebih parah dari bekas gigitan kelas II.
Kelas IV : Bekas gigitan kelas IV terdapat luka pada kulit dan otot di bawah
kulit yang sedikit terlepas atau rupture sehingga terlihat bekas
gigitan irregular.
Kelas V : Bekas gigitan kelas V terlihat luka yang menyatu bekas gigitan
insisivus, kaninus dan premolar baik pada rahang atas maupun
bawah.
Kelas VI : Bekas gigitan kelas VI memperlihatkan luka dari seluruh gigitan
dari rahang atas dan rahang bawah dan jaringan kulit serta
jaringan otot terlepas sesuai dengan kekerasan oklusi dan
pembukaan mulut.

Individualitas dari gigi manusia sering memungkinkan Forensik Odonto-


Stomatologist (FOS) untuk mendapat bukti yang kuat dalam kasus identifikasi dan
17

analisa Bekas gigitan. Analisis seperti itu sering dapat berguna selama investigasi
kejahatan kekerasan, terutama yang melibatkan kekerasan seksual. Gigitan dari
hewan jarang menjadi objek dari identifikasi bekas gigitan. Gigi hewan meninggalkan
motif cedera yang berbeda dengan Bekas gigitan oleh gigi manusia. Hal ini berlaku
pada anjing, yang merupakan penyebab dominan dalam gigitan manusia. Anjing
menggigit manusia delapan kali lebih sering daripada manusia yang saling menggigit.
Namun gigitan tersebut mungkin perlu di analisis untuk membedakan apa spesies
hewan yang telah penyerang. Kasus yang khas dari analisis Bekas gigitan rutin
dihadapi oleh FOS. FOS sering terlibat dalam tahap akhir dari penyelidikan. Ini
merupakan salah satu alasan dari masalah yang terkait dengan analisis bekas gigitan
dalam kasus-kasus yang disajikan. Selain itu kualitas dokumentasi motif cedera
sering tidak lengkap. Analisa Bekas gigitan dan perbandingan Bekas gigitan
merupakan kasus yang rumit. Teknik-teknik standar untuk memeriksa dan menilai
Bekas gigitan didasarkan pada interpretasi fotografi bukti yang gigitan dibandingkan
dengan model dari gigi pelaku.
Odontologi forensik umumnya membahas masalah mengidentifikasi individu
berdasarkan sifat-sifat gigi atau mengidentifikasi individu berdasarkan bekas gigitan.
Hal ini secara hukum, relevan untuk secara akurat sesuai. bekas gigitan untuk
menempatkan penjahat di tempat kejahatan. Klasifikasi bekas gigitan dapat secara
luas diklasifikasikan sebagai nonmanusia (Bekas gigitan hewan) dan orang-orang
yang ditimbulkan oleh manusia. Berdasarkan cara penyebab, tanda gigitan dapat
menjadi non-kriminal (seperti gigitan yan disengaja) serta pidana yang selanjutnya
dapat diklasifikasikan ke dalam ofensif (pada korban oleh penyerang) dan defensif
(setelah penyerangan pada korban)
Ada tujuh jenis bekas gigitan ; 'Perdarahan', 'Abrasi', 'Memar', 'Laserasi',
'Insisi', 'Avulsion', dan 'Artefact'. Ini lebih lanjut dapat diklasifikasikan menjadi empat
derajat. Berikut ini kelas yang penting terbukti dalam aplikasi praktis mengenai bekas
gigitan adalah:
18

- Kelas I: ini termasuk bekas gigitan menyebar, yang memiliki karakteristik


kelas yang terbatas dan tidak memiliki karakteristik individu. Seperti memar, Bekas
gigitan tersebar.
- Kelas II: Pola cedera disebut sebagai lengkungan gigitan tunggal atau tanda
gigitan parsial karena memiliki beberapa karakteristik gigitan.
- Kelas III: Klasifikasi gigitan ini memiliki nilai pembuktian yang besar dan
digunakan terutama untuk tujuan perbandingan. Situs utama untuk jenis gigitan pada
tubuh adalah bokong, bahu, lengan atas atau dada. Tekanan dan penetrasi dalam
jaringan berguna untuk mencetak permukaan lingual gigi anterior.
- Kelas IV: Terutama avulsi atau laserasi jaringan disebabkan oleh gigitan.
Jenis gigitan umum ditemukan dimana ada avulsi dari telinga atau jari.

2.3.9 Metode DNA11

Struktur gigi relatif lebih tahan terhadap suhu tinggi. Teknik yang melibatkan
DNA Forensik Kedokteran Gigi merupakan alat baru yang digunakan ketika metode
identifikasi tradisional gagal karena efek panas, traumatisme atau proses autolitik,
serta distorsi dan kesulitan dalam analisis. Mereka dapat menyediakan sumber DNA
untuk memudahkan identifikasi. Karena kelimpahan materi ini, penggunaan teknik
berdasarkan PCR (Polymerase Chain Reaction) telah mengakuisisi penting dalam
DNA analisis post-mortem pada kasus forensik. Polymerase Chain Reaction adalah
amplifikasi urutan DNA secara enzimatik spesifik, bertujuan produksi jutaan salinan
dari urutan ini dalam tabung reaksi, yang pertama kali dijelaskan oleh Kary Mullis.
Metode menggunakan PCR memungkinkan perbedaan subjek di antara yang lainnya
dengan tingkat kehandalan yang tinggi, dimulai dengan 1NG (nanogram), setara
dengan satu bagian dalam satu miliar gram, dari target DNA. Air liur merupakan
sumber DNA sangat berguna rasa sakit dan dan cara non-evasive, dan mampu
digunakan walaupun disimpan dalam kondisi yang sangat berbeda. Namun, metode
molekuler relatif baru dan perlu dievaluasi metode yang berbeda dari identifikasi
19

yang berlaku dalam kedokteran gigi forensik yang tersedia. Namun, masing-masing


memiliki keterbatasan sendiri dan ini harus diingat saat menerapkan teknik
tersebut. Hal ini diperlukan untuk memperluas penelitian terkait tema dalam rangka
membangun protokol untuk memungkinkan alat tambahan dalam penyelidikan
kriminal.

2.3.10 Antropometri Forensik11

Kini, studi antropometri dilakukan untuk berbagai tujuan yang


berbeda. antropolog akademik menyelidiki makna evolusi perbedaan dalam proporsi
tubuh antara populasi yang nenek moyangnya tinggal di pengaturan lingkungan yang
berbeda. Populasi manusia menunjukkan pola variasi iklim yang mirip dengan
mamalia berbadan besar lainnya, mengikuti aturan Bergmann, yang menyatakan
bahwa individu-individu di iklim dingin akan cenderung lebih besar dari yang di
iklim hangat, dan aturan Allen yang menyatakan bahwa individu-individu di iklim
dingin akan cenderung memiliki limb yang lebih pendek dan stubbier daripada
mereka di iklim hangat. Hari ini orang melakukan antropometri dengan scanner tiga
dimensi. subjek memiliki scan tiga dimensi yang diambil dari tubuh mereka dan
antropometris mengekstrak pengukuran dari skan dan bukan langsung dari
individu. Hal ini menguntungkan untuk antropometris di mana mereka dapat
menggunakan scan untuk mengekstrak pengukuran setiap saat dan individu tidak
harus menunggu untuk setiap pengukuran yang harus diambil secara terpisah. Metode
ini memegang peran penting dalam investigasi yang melibatkan penggunaan
odontologi forensik.
20

BAB 3
KESIMPULAN

Identifikasi adalah penentuan dan pemastian identitas orang yang hidup


maupun orang mati, dari yang masih utuh dan belum mengalami pembusukan sampai
tinggal jaringan, berdasarkan ciri khas yang terdapat pada orang tersebut.
Pemeriksaan identifikasi forensik merupakan pemeriksaan yang pertama kali
dilakukan, terutama pada kasus tindak kejahatan yang korbannya tidak dikenal
walaupun identifikasi juga bisa dilakukan pada kasus non kriminal seperti
kecelakaan, korban bencana alam dan perang, serta kasus paternitas (menentukan
orang tua
Ilmu kedokteran gigi forensik merupakan cabang dari ilmu kedokteran
forensik yang sekarang telah menjadi ilmu yang berdiri sendiri. Ilmu kedokteran gigi
forensik atau odontologi forensik merupakan cabang dari ilmu kedokteran gigi
mengenai cara penanganan dan pemeriksaan bukti-bukti melalui gigi dan evaluasi
serta pemaparan hasil-hasil penemuan yang berhubungan dengan rongga mulut untuk
kepentingan pengadilan. Definisi odontologi forensik adalah cabang ilmu dari ilmu
kedokteran gigi kehakiman yang bertujuan untuk menerapkan pengetahuan
kedokteran gigi dalam memecahkan masalah hukum dan kejahatan.
21

DAFTAR PUSTAKA

1. Budi, AT, 2014. Peran Restorasi Gigi Dalam Proses Identifikasi Korban.
Jurnal PDGI. Hal. 41-45
2. Septadina IS, 2015. Identifikasi Individu dan Jenis Kelamin Berdasarkan Pola
Sidik Bibir. Jurnal Kedokteran Dan Kesehatan. 2(2): 231-236.
3. Amir A, 2016. Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi Kedua.
4. Pertiwi KR, 2015. Penerapan Teknologi DNA dalam Identifikasi Forensik.
Staf Pengajar pada Jurdik Biologi FMIPA UNY.
5. Singh S, 2008. Penatalaksanaan Identifikasi Korban. Majalah Kedokteran
Nusantara. 41(6).
6. Effendi SH, dan Soewondo, W, 2014. Erupsi Gigi Sulung pada Anak dengan
Riwayat Lahir Prematur, Berat Badan Lahir Rendah. MKB. 46(1).
7. McClanahan JG, 2003. Forensic Dentistry: Dental Indicators for
Identification. [Thesis]
8. Chairani S, Auerkari EI, 2008. Pemanfaatan Rua Palatal untuk Identifikasi
Forensik. Indonesian Journal of Dentistry. 15(3): 261-269.
9. Avon SL, 2004. Forensic Odontology: The Roles and Responcibilities of the
Dentist. J Can Dent Assoc. 70(7): 453-458.
10. Pramod JB, Marya A, Sharma V, 2012. Role of forensic ondontologist in post
mortem person identification. Dent Res J. 9(5):522-536.
11. Kavitha B, Einstein A, Sivapathasundharam B, Saraswati TR, 2009.
Limitations in Forensic Odontology. Journal od Forensic Dental Siences.
1(1): 8-11.
12. Mamile H, 2015. Analisis “Bite Mark” dalam Identifikasi Pelaku Kejahatan.
[Skripsi]

Anda mungkin juga menyukai