PAPER
ODONTOLOGI FORENSIK
Disusun Oleh:
Devina Monica (110100113)
Mukhamad Faried (110100351)
Fanny Muslim (110100017)
Swapna Chandrasegaran (110100380)
Saravana Selvi (110100426)
Pembimbing:
dr. Dessy Darmayani Harianja, Sp.F
KATA PENGANTAR
Puji syukur terhadap hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena rahmat dan
karunia-Nya yang memberikan kesehatan dan kelapangan waktu bagi penulis
sehingga dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Dessy
Darmayani Harianja, Sp.F selaku supervisor dalam penyelesaian makalah ini. Judul
makalah ini ialah mengenai “Odontologi Forensik”. Adapun tujuan penulisan
makalah ini ialah untuk memberikan informasi mengenai “Odontologi Forensik”.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena
itu, penulis menerima saran dan masukan yang bersifat membangun dan bermanfaat
bagi makalah ini.
Penulis
i
ii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar i
Daftar Isi ii
BAB I Pendahuluan 1
2.1 Identifikasi 3
BAB 3 Kesimpulan 21
Daftar Pustaka 22
ii
1
BAB 1
LATAR BELAKANG
Bidang ilmu odontologi forensik merupakan bagian dari ilmu kedokteran forensik
yang akhir - akhir ini menunjukkan perannya dalam usaha upaya identifikasi korban
bencana massal, kecelakaan, kejahatan, terorris maupun dalam rangka penegakan
hukum. Kondisi pada saat ini dalam upaya identifikasi korban dalam bidang forensik
semakin komplek. Kasus kejahatan yang disertai memotong tubuh menjadi beberapa
bagian atau korban membakar diri hingga hangus yang tidak bisa dikenali lagi
jenazahnya adalah dalam usaha tersangka menghilangkan jejak. Identifikasi melalui
bidang forensik memiliki keterbatasan tertentu dalam mengungkap jenazah korban
ini, keadaan ini dapat dibantu oleh bidang odontologi forensik dengan melalui metode
odontologi forensik.1,2
Bidang odontologi forensik merupakan bagian dari bidang forensik yang
menggunakan ilmu kedokteran gigi untuk mengungkap identitas korban melalui gigi
geligi. Rongga mulut memliki peran yang sangat penting dalam identifikasi di bidang
odontologi forensik. Jumlah gigi manusia 32 dengan 5 permukaan. Gigi geligi dalam
rongga mulut merupakan bagian tubuh yang terkeras, memiliki sifat individual serta
tahan terhadap suhu, kimia, dan trauma. Posisi gigi geligi dalam mulut memiliki
rangkaian jaringan yang secara anatomis, antropologis dan morpologis terlindungi
dengan baik oleh otot pipi, bibir, lidah serta selalu dibasahi oleh air liur, sehingga
jaringan tersebut yang terlebih dahulu mengalami kerusakan apabila terjadi kebakaran
ataupun trauma. Hal semacam ini dapat menjadi bagian yang sangat baik untuk
sarana identifikasi, sehingga metode odontologi forensic memiliki derajad ketepatan
sangat tinggi dan hampir sama dengan sidik jari.1
Geligi yang rusak dapat dirawat melalui tambalan atau pembuatan restorasi
gigi. Bahanbahan yang digunakan untuk maksud tersebut, antara lain; akrilik,
porselen, amalgam, logam campur dan lain-lainnya yang memiliki sifat tahan
terhadap mekanis, kimia serta mencair pada panas yang tinggi. Idendifikasi korban di
2
bidang forensic merupakan suatu proses menemukan identitas hidup atau matinya
seorang korban yang antara lain karena kejahatan, bencana alam, kecelakaan,
kebakaran dan untuk kepentingan keluarga dan peradilan. Kepastian hukum dapat
dipergunakan oleh keluarga korban untuk kepentingan menguruswarisan, perkawinan
dll.1
Pasal 118 ayat (1) undang-undang no. 36 tahun 2009 tentang kesehatan, mayat
yang tidak dikenal harus dilakukan upaya identifikasi. Proses identifikasi merupakan
hal yang kompleks, untuk mendapatkan identitas dari jenazah korban yang harus
didukung oleh sejumlah data-data yang akurat, antara lain data ante mortem dan data
post mortem. Data ante mortem adalah data gigi geligiyang merupakan keterangan
tertulis, catatan atau gambaran pada kartu perawatan gigi, keterangan keluarga atau
teman dekat. Kartu perawatan gigi tertulis ini berisi: (1) nama penderita; (2) umur; (3)
jenis kelamin; (4) pekerjaan; (5) tanggal perawatan; dan (6) jenis perwatan. Sumber
data ante mortem tentang perawatan gigi dapat diperoleh, anatara lain: (1) klinik gigi
rumah sakit pemerintah/TNI-Polri dan swata; (2) Puskesmas; (3) Rumah Sakit
Pendidikan Universitas/Fakultas Kedokteran Gigi; (4) klinik gigi swatsa; (5) praktek
pribadi dokter gigi. Data post mortem gigi adalah data yang diperoleh dari hasil
pemeriksaan gigi dari dokter gigi forensik atau dokter gigi yang terlatih terhadap
jenazah korban. Hasil pemeriksaan akan maksimal ataurepresentatif memenuhi
tujuan: (1) agar dapat diungkap kondisi / keadaan gigi geligi dari rahang atas dan
rahang bawah; (2) menyelesaikan tugas secepetnya atau sesuai dengan hasil yang
tepat; (3) melindungi atau menjaga semua bukti yang ada untuk kepentingan forensik
umum maupun kedokteran forensik; (4) mengingat akan kepentingan keluarga
korban, Data ante mortem akan dicocokan dengan data post mortem kemudian
dilakukan evaluasi untuk mendapatkan identitas korban dengan tepat.1
Berdasarkan hal tersebut, penulis ingin mengetahui tentang peran restorasi
gigi yang merupakan hasil perawatan dokter gigi terhadap kepentingan identifikasi
odontologi forensik.1
BAB 2
3
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Identifikasi
Cara visual, dapat bermanfaat bila kondisi mayat masih baik, cara ini mudah
karena identitas dikenal melalui penampakan luar baik berupa profil tubuh
atau muka. Cara ini tidak dapat diterapkan bila mayat telah busuk, terbakar,
mutilasi serta harus mempertimbangkan faktor psikologi keluarga korban
(sedang berduka, stress, sedih, dll)
Melalui kepemilikan (property) identititas cukup dapat dipercaya terutama
bila kepemilikan tersebut (pakaian, perhiasan, surat jati diri) masih melekat
pada tubuh korban.
Dokumentasi, foto diri, foto keluarga, foto sekolah, KTP atau SIM dan lain
sebagainya.
b. Metode ilmiah, antara lain:3
Sidik jari
Identifikasi melalui sidik jari sangat penting. Kadang-kadang dijumpai
mayat yang sudah tidak utuh lagi atau sudah mengalami pembusukan,
pengambilan sidik jari masih tetap dapat dilakukan. Cap jari adalah saluran-
saluran kulit dan pori-pori yang bersifat tetap dan tidak berubah seumur
hidup. Kemungkinan gambaran sidik jari yang sama dari 2 orang yang
berlainan adalah 1:64.000.000 Jadi tanda tersebut dianggap tanda pasti untuk
identitas seseorang.
Serologi
Odontologi
Biologi
Antropologi
5
kecuali pada orang hidup pengamatan atrisi dan periodontosis dapat dilakukan tanpa
pencabutan gigi.
Penentuan umur dari gigi, misalnya gigi molar permanen pertama sudah
tampak erupsi, maka diperkirakan umur si anak berkisar sekitar 6-7 tahun. Bila
tampak gigi molar permanen erupsi, maka diperkirakan umur anak berkisar 12-14
tahun. Erupsi gigi molar III tidak pasti kapan, biasanya antara umur 17-25 tahun.
selalu diusahakan cara-cara yang mudah dan tidak rumit. Apabila dengan cara yang
mudah tidak bisa, baru meningkat ke cara yang lebih rumit.
Khusus pada korban bencana massal, telah ditentukan metode identifikasi yang
dipakai yaitu:5
a. Primer/utama
gigi geligi
sidik jari
DNA
b. Sekunder/pendukung
visual
property
medik
mulai banyak dikenal bukan hanya di kalangan dokter gigi, tetapi juga di kalangan
penegak hukum dan ahli forensik.2
dari yang sederhana hingga kompleks. Contoh dari klasifikasi sederhana adalah
klasifikasi Carrea yang hanya membagi ruga palatal berdasarkan arah dari ruga
palatal.
Klasifikasi ini membagi ruga palatal menjadi 4 tipe yaitu tipe I: ruga dengan
arah posterior-anterior, tipe II: ruga dengan arah perpendikuler ke raphe mediana, tipe
III: ruga dengan arah anterior-posterior dan tipe IV: ruga dengan berbagai arah.
Sedangkan yang kompleks contohnya adalah klasifikasi sistem Cormoy. Klasifikasi
lain yang cukup sering dipakai adalah klasifikasi yang dibuat oleh Thomas CF dan
Kotze TFW5. Klasifikasi tersebut meliputi jumlah, panjang, ukuran dan unifikasi dari
ruga. Panjang ruga dibagi atas: lebih dari 10 mm, 5- 10 mm, dan kurang dari 5 mm
(fragmented rugae). Bentuk ruga diklasifikasikan menjadi kurva (curved),
bergelombang (wavy), lurus (straight) dan sirkular (circular) seperti yang terlihat
pada gambar dibawah.
sekitar 4 bulan setelah pembuahan dan terus ke awal dekade ketiga kehidupan saat
pembentukan semua gigi permanen komplit. Penggunaan radiografi adalah
karakteristik dari teknik yang melibatkan pengamatan tahap morfologis yang berbeda
dari mineralisasi.Klasifikasi tersebut juga didasarkan pada tingkat pembentukan akar
dan mahkota struktur, tahap erupsi,dan percampuran dari dentisi primer dan dewasa.
2.3.6 Radiologi11
Setelah rekonstruksi gigi selesai dan tulang rahang selesai maka dicekatkan ke
tulang tengkorak maka kemudian dilakukan pula rekonstruksi ruling tulang maka
(tulang wajah) apabila terjdi pecahan pecahan atau patahan patahan yang tidak
ditemukan dari tulang tersebut , begitu pula bentuk tulang tulang tengkorak laiinya ,
hal ini penting karena demi untuk identifikasi wajah dan tulang kepala membentuk
sketsa korban lengkap, semanya itu harus dilakukan roentgenografi proyeksi
posterior anterior, lateral tulang tengkorak, lateral tulang muka, serta panoramik.
15
2.3.7 Fotografi11
Fotografi dilakukan sebelum penyikikan lain dengan perkataan lain yang
mula-mula dilakukan dari penyidik atau tim penyidik identifikasi adalah fotografi
dari TKP, fotografi korban, fotografi temuan-temuan disekitar TKP, fotografi tapak
ban, fotografi tapak sepatu dan sandal, fotogarfi bercak-bercak darah, fotografi bekas
gigitan, fotografi cairan-cairan dari tubuh korban biarpun telah mengering misalnya
pada sprei, pada bantal maupun pada lantai, ataupun permadani. Oleh karna banyak
pembunuhan dengan mutilasi diatas permadani sehingga darah korban meresap dalam
permadanidan pendapat dari pelaku mudah membuang bercak darah tersebut oleh
karna dapat lansung dibuang atau dibakar permadani tersebut dalam menghilangny
abarang bukti dan bercak darah yang dapat diidentifikasi golongan darah dan DNA
korban.
16
analisa Bekas gigitan. Analisis seperti itu sering dapat berguna selama investigasi
kejahatan kekerasan, terutama yang melibatkan kekerasan seksual. Gigitan dari
hewan jarang menjadi objek dari identifikasi bekas gigitan. Gigi hewan meninggalkan
motif cedera yang berbeda dengan Bekas gigitan oleh gigi manusia. Hal ini berlaku
pada anjing, yang merupakan penyebab dominan dalam gigitan manusia. Anjing
menggigit manusia delapan kali lebih sering daripada manusia yang saling menggigit.
Namun gigitan tersebut mungkin perlu di analisis untuk membedakan apa spesies
hewan yang telah penyerang. Kasus yang khas dari analisis Bekas gigitan rutin
dihadapi oleh FOS. FOS sering terlibat dalam tahap akhir dari penyelidikan. Ini
merupakan salah satu alasan dari masalah yang terkait dengan analisis bekas gigitan
dalam kasus-kasus yang disajikan. Selain itu kualitas dokumentasi motif cedera
sering tidak lengkap. Analisa Bekas gigitan dan perbandingan Bekas gigitan
merupakan kasus yang rumit. Teknik-teknik standar untuk memeriksa dan menilai
Bekas gigitan didasarkan pada interpretasi fotografi bukti yang gigitan dibandingkan
dengan model dari gigi pelaku.
Odontologi forensik umumnya membahas masalah mengidentifikasi individu
berdasarkan sifat-sifat gigi atau mengidentifikasi individu berdasarkan bekas gigitan.
Hal ini secara hukum, relevan untuk secara akurat sesuai. bekas gigitan untuk
menempatkan penjahat di tempat kejahatan. Klasifikasi bekas gigitan dapat secara
luas diklasifikasikan sebagai nonmanusia (Bekas gigitan hewan) dan orang-orang
yang ditimbulkan oleh manusia. Berdasarkan cara penyebab, tanda gigitan dapat
menjadi non-kriminal (seperti gigitan yan disengaja) serta pidana yang selanjutnya
dapat diklasifikasikan ke dalam ofensif (pada korban oleh penyerang) dan defensif
(setelah penyerangan pada korban)
Ada tujuh jenis bekas gigitan ; 'Perdarahan', 'Abrasi', 'Memar', 'Laserasi',
'Insisi', 'Avulsion', dan 'Artefact'. Ini lebih lanjut dapat diklasifikasikan menjadi empat
derajat. Berikut ini kelas yang penting terbukti dalam aplikasi praktis mengenai bekas
gigitan adalah:
18
Struktur gigi relatif lebih tahan terhadap suhu tinggi. Teknik yang melibatkan
DNA Forensik Kedokteran Gigi merupakan alat baru yang digunakan ketika metode
identifikasi tradisional gagal karena efek panas, traumatisme atau proses autolitik,
serta distorsi dan kesulitan dalam analisis. Mereka dapat menyediakan sumber DNA
untuk memudahkan identifikasi. Karena kelimpahan materi ini, penggunaan teknik
berdasarkan PCR (Polymerase Chain Reaction) telah mengakuisisi penting dalam
DNA analisis post-mortem pada kasus forensik. Polymerase Chain Reaction adalah
amplifikasi urutan DNA secara enzimatik spesifik, bertujuan produksi jutaan salinan
dari urutan ini dalam tabung reaksi, yang pertama kali dijelaskan oleh Kary Mullis.
Metode menggunakan PCR memungkinkan perbedaan subjek di antara yang lainnya
dengan tingkat kehandalan yang tinggi, dimulai dengan 1NG (nanogram), setara
dengan satu bagian dalam satu miliar gram, dari target DNA. Air liur merupakan
sumber DNA sangat berguna rasa sakit dan dan cara non-evasive, dan mampu
digunakan walaupun disimpan dalam kondisi yang sangat berbeda. Namun, metode
molekuler relatif baru dan perlu dievaluasi metode yang berbeda dari identifikasi
19
BAB 3
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
1. Budi, AT, 2014. Peran Restorasi Gigi Dalam Proses Identifikasi Korban.
Jurnal PDGI. Hal. 41-45
2. Septadina IS, 2015. Identifikasi Individu dan Jenis Kelamin Berdasarkan Pola
Sidik Bibir. Jurnal Kedokteran Dan Kesehatan. 2(2): 231-236.
3. Amir A, 2016. Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi Kedua.
4. Pertiwi KR, 2015. Penerapan Teknologi DNA dalam Identifikasi Forensik.
Staf Pengajar pada Jurdik Biologi FMIPA UNY.
5. Singh S, 2008. Penatalaksanaan Identifikasi Korban. Majalah Kedokteran
Nusantara. 41(6).
6. Effendi SH, dan Soewondo, W, 2014. Erupsi Gigi Sulung pada Anak dengan
Riwayat Lahir Prematur, Berat Badan Lahir Rendah. MKB. 46(1).
7. McClanahan JG, 2003. Forensic Dentistry: Dental Indicators for
Identification. [Thesis]
8. Chairani S, Auerkari EI, 2008. Pemanfaatan Rua Palatal untuk Identifikasi
Forensik. Indonesian Journal of Dentistry. 15(3): 261-269.
9. Avon SL, 2004. Forensic Odontology: The Roles and Responcibilities of the
Dentist. J Can Dent Assoc. 70(7): 453-458.
10. Pramod JB, Marya A, Sharma V, 2012. Role of forensic ondontologist in post
mortem person identification. Dent Res J. 9(5):522-536.
11. Kavitha B, Einstein A, Sivapathasundharam B, Saraswati TR, 2009.
Limitations in Forensic Odontology. Journal od Forensic Dental Siences.
1(1): 8-11.
12. Mamile H, 2015. Analisis “Bite Mark” dalam Identifikasi Pelaku Kejahatan.
[Skripsi]