Anda di halaman 1dari 9

1.

Definisi DVI
DVI atau Disaster Victim Identification adalah satu definisi yang diberikan
sebagai sebuah prosedur untuk mengidentifikasi korban mati akibat bencana massal
secara ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan dan mengacu kepada standar baku
interpol.
Yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan DVI adalah polisi didukung oleh
para ahli seperti patologi forensik, odontologi forensik, ahli sidik jari, ahli DNA,
fotografer, dan tim bantuan lain. Prosedur DVI diperlukan dalam menegakkan HAM,
merupakan bagian dari proses penyidikan, jika identifikasi visual diragukan, serta untuk
kepentingan hukum (asuransi, warisan, dan status perkawinan).
Prinsip dari proses identifikasi ini adalah dengan membandingkan data ante-
mortem dan post-mortem, semakin banyak yang cocok maka akan semakin baik. Tujuan
penerapan DVI adalah dalam rangka mencapai identifikasi yang dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum, sempurna dan paripurna dengan semaksimal
mungkin sebagai wujud dari kebutuhan dasar hak asasi manusia,dimana seorang mayat
pempunyai hak untuk dikenali.
DVI diterapkan pada bencana yang menyebabkan korban massal, seperti
kecelakaan bus dan pesawat, gedung yang runtuh atau terbakar, kecelakaan kapal laut
dan aksi terorisme. Selain itu juga dapat diterapkan pada bencana alam, seperti gempa
bumi, tsunami, dan gunung meletus.
Rujukan Hukum :
a. UU No.24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
b. UU No.2 tahun 2002 tentang Polri
c. UU No.23 tentang kesehatan
d. PP No.21 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana
e. Resolusi Interpol No.AGN/65/RES/13 year 1996 on Disaster Victim Identification
f. MOU Depkes RI-Polri tahun 2004
g. MOU Depkes RI-Polri tahun 2003
2. Tahap DVI
Proses DVI tersebut mempunyai lima fase, dimana setiap fasenya mempunyai
keterkaitan satu dengan yang lainnya. Fase-fase tersebut yaitu :
a. Fase I TKP (The Scene)
Merupakan tindakan awal yang dilakukan di tempat kejadian peristiwa
(TKP) bencana. Ketika suatu bencana terjadi, prioritas yang paling utama adalah
untuk mengetahui seberapa luas jangkauan bencana. Sebuah organisasi resmi
harus mengasumsikan komando operasi secara keseluruhan untuk memastikan
koordinasi personil dan sumber daya material yang efektif dalam penanganan
bencana. Dalam kebanyakan kasus, polisi memikul tanggung jawab komando
untuk operasi secara keseluruhan. Sebuah tim pendahulu (kepala tim DVI, ahli
patologi forensik dan petugas polisi) harus sedini mungkin dikirim ke TKP untuk
mengevaluasi situasi berikut :
1) Keluasan TKP : pemetaan jangkauan bencana dan pemberian koordinat
untuk area bencana
2) Perkiraan jumlah korban
3) Keadaan mayat
4) Evaluasi durasi yang dibutuhkan untuk melakukan DVI
5) Institusi medikolegal yang mampu merespon dan membantu proses DVI
6) Metode untuk menangani mayat
7) Transportasi mayat
8) Penyimpanan mayat
9) Kerusakan properti yang terjadi
Pada prinsipnya untuk fase tindakan awal yang dilakukan di situs bencana,
ada tiga langkah utama. Langkah pertama adalah to secure atau untuk
mengamankan, langkah kedua adalah to collect atau untuk mengumpulkan dan
langkah ketiga adalah documentation atau pelabelan.
Pada langkah to secure organisasi yang memimpin komando DVI harus
mengambil langkah untuk mengamankan TKP agar TKP tidak menjadi rusak.
Langkah langkah tersebut antara lain adalah :
1) Memblokir pandangan situs bencana untuk orang yang tidak berkepentingan
(penonton yang penasaran, wakil wakil pers, dll), misalnya dengan
memasang police line.
2) Menandai gerbang untuk masuk ke lokasi bencana.
3) Menyediakan jalur akses yang terlihat dan mudah bagi yang berkepentingan.
4) Menyediakan petugas yang bertanggung jawab untuk mengontrol siapa saja
yang memiliki akses untuk masuk ke lokasi bencana.
5) Periksa semua individu yang hadir di lokasi untuk menentukan tujuan
kehaditan dan otorisasi.
6) Data terkait harus dicatat dan orang yang tidak berwenang harus
meninggalkan area bencana
Pada langkah to collect organisasi yang memimpin komando DVI harus
mengumpulkan korban korban bencana dan mengumpulkan properti yang
terkait dengan korban yang mungkin dapat digunakan untuk kepentingan
identifikasi korban.
Pada langkah documentation organisasi yang memimpin komando DVI
mendokumentasikan kejadian bencana dengan cara memfoto area bencana dan
korban kemudian memberikan nomor dan label pada korban.
Setelah ketiga langkah tersebut dilakukan maka korban yang sudah diberi
nomor dan label dimasukkan ke dalam kantung mayat untuk kemudian
dievakuasi.
b. Fase II Kamar Mayat/Post Mortem (The Mortuary)
Pengumpulan data post-mortem atau data yang diperoleh paska kematian
dilakukan oleh post-mortem unit yang diberi wewenang oleh organisasi yang
memimpin komando DVI. Pada fase ini dilakukan berbagai pemeriksaan yang
kesemuanya dilakukan untuk memperoleh dan mencatat data selengkap
lengkapnya mengenai korban. Pemeriksaan dan pencatatan data jenazah yang
dilakukan diantaranya meliputi :
1) Dokumentasi korban dengan mengabadikan foto kondisi jenazah korban
2) Pemeriksaan fisik, baik pemeriksaan luar maupun pemeriksaan dalam jika
diperlukan
3) Pemeriksaan sidik jari
4) Pemeriksaan rontgen
5) Pemeriksaan odontologi forensik : bentuk gigi dan rahang merupakan ciri
khusus tiap orang ; tidak ada profil gigi yang identik pada 2 orang yang
berbeda
6) Pemeriksaan DNA
7) Pemeriksaan antropologi forensik : pemeriksaan fisik secara keseluruhan,
dari bentuk tubuh, tinggi badan, berat badan, tatto hingga cacat tubuh dan
bekas luka yang ada di tubuh korban.
Data data hasil pemeriksaan tersebut kemudian digolongkan ke dalam data
primer dan data sekunder sebagai berikut :
1) Primer (sidik jari, profil gigi, DNA)
2) Sekunder (visual, fotografi, properti jenazah, antropologi medis)
Di dalam menentukan identifikasi seseorang secara positif, Badan
Identifikasi DVI Indonesia mempunyai aturan-aturan, yaitu minimal apabila salah
satu identifikasi primer dan atau didukung dengan minimal dua dari identifikasi
sekunder.
Selain mengumpulkan data pasca kematian, pada fase ini juga sekaligus
dilakukan tindakan untuk mencegah perubahanperubahan paska kematian pada
jenazah, misalnya dengan meletakkan jenazah pada lingkungan dingin untuk
memperlambat pembusukan.
c. Fase III Ante Mortem
Pada fase ini dilakukan pengumpulan data mengenai jenazah sebelum
kematian. Data ini biasanya diperoleh dari keluarga jenazah maupun orang yang
terdekat dengan jenazah. Data yang diperoleh dapat berupa foto korban semasa
hidup, interpretasi ciri ciri spesifik jenazah (tattoo, tindikan, bekas luka, dll),
rekaman pemeriksaan gigi korban, data sidik jari korban semasa hidup, sampel
DNA orang tua maupun kerabat korban, serta informasi informasi lain yang
relevan dan dapat digunakan untuk kepentingan identifikasi, misalnya informasi
mengenai pakaian terakhir yang dikenakan korban.
d. Fase IV Rekonsiliasi
Pada fase ini dilakukan pembandingan data post mortem dengan data ante
mortem. Ahli forensik dan profesional lain yang terkait dalam proses identifikasi
menentukan apakah temuan post mortem pada jenazah sesuai dengan data ante
mortem milik korban yang dicurigai sebagai jenazah. Apabila data yang
dibandingkan terbukti cocok maka dikatakan identifikasi positif atau telah tegak.
Apabila data yang dibandingkan ternyata tidak cocok maka identifikasi dianggap
negatif dan data post mortem jenazah tetap disimpan sampai ditemukan data ante
mortem yang sesuai dengan temuan post mortem jenazah.
e. Fase V Debriefing
Korban yang telah diidentifikasi direkonstruksi hingga didapatkan kondisi
kosmetik terbaik kemudian dikembalikan pada keluarganya untuk dimakamkan.
Apabila korban tidak teridentifikasi maka data post mortem jenazah tetap
disimpan sampai ditemukan data ante mortem yang sesuai dengan temuan post
mortem jenazah, dan pemakaman jenazah menjadi tanggung jawab organisasi
yang memimpin komando DVI. Sertifikasi jenazah dan kepentingan mediko-legal
serta administrative untuk penguburan menjadi tanggung jawab pihak yang
menguburkan jenazah.
3. Metode Identifikasi
Secara umum, identifikasi yang akurat diperoleh dari mencocokan data ante
mortem dengan post mortem yang didapatkan dari :
a. Bukti sirkumstansial (pakaian, perhiasan, dan isi kantong)
b. Bukti fisik, yang diperoleh dari :
1) Pemeriksaan eksternal, misal : deskripsi secara umum, maupun sidik jari.
2) Pemeriksaan internal, misal : bukti medis, hasil pemeriksaan gigi geligi
(dental record), hasil labolatorium, dan identifikasi genetik.
4. Identifikasi Korban
Untuk mengidentifikasi korban bencana, diperlukan dua macam data :
a. Data orang hilang (misal : orang yang berada di tempat kejadian namun terdaftar
sebagai korban selamat)
b. Data dari jenazah yang ditemukan di tempat kejadian
Dalam mengidentifikasi korban, Interpol DVI Guide membentuk beberapa tim atau unit,
diantaranya :
a. Bagian Korban Hilang (Missing Brunch), terdiri dari :
1) Unit pengumpulan data ante-mortem (Ante-mortem record unit)
2) Unit pendataan berkas ante mortem (Ante-mortem files unit)
3) Daftar korban (Victim list)
b. Pengumpulan dan klasifikasi jenazah (Victim Recovery), terdiri dari :
1) Koordinator tim pemulihan (Recovery Co-ordinatory)
2) Tim pencari (Search teams)
3) Tim dokumentasi (Photography)
4) Tim pemulihan jenazah (Body Recovery team)
5) Tim pemulihan barang-barang pribadi (Property Recovery team)
6) Tempat administrasi dan penyimpanan sementara jenazah (Morgue Station)
c. Bagian Kamar Mayat (Mortuary Branch), terdiri dari :
1) Unit keamanan (Security unit)
2) Unit transportasi jenazah (Body movement unit)
3) Unit pengumpul data post-mortem (Post-mortem record unit)
4) Unit pemeriksa jenazah (Body Examination unit), terdiri dari:
a) Unit dokumentasi (Post-mortem photography unit)
b) Unit sidik jari (Post-mortem property unit)
c) Unit barang-barang pribadi (Post-mortem property unit)
d) Unit media (Post-mortem medical unit)
e) Unit pemeriksa gigi geligi (Post-mortem dental unit)
d. Pusat Identifikasi (Identification Centre), terdiri dari :
1) Bagian administrasi berkas identifikasi (Identification centre file section)
2) Bagian khusus pusat identifikasi (Identification centre specialized section),
terdiri dari :
a) Bagian penyelidikan data dokumentasi (Photography section)
b) Bagian penyelidikan sidik jari (Finger print)
c) Bagian penyelidkan barang-barang pribadi (Property section)
d) Bagian penyelidikan medis (Medical section)
e) Bagian penyelidikan gigi geligi (Dental section)
f) Bagian analisis DNA (DNA analysis)
g) Badan identifikasi (Identification board)
h) Bagian pelepasan jenazah (Body realese section)

Anda mungkin juga menyukai