Anda di halaman 1dari 40

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Disaster Victim Identification

Disaster Victim Identification (DVI) adalah suatu istilah atau definisi yang

diberikan sebagai sebuah prosedur untuk mengidentifikasi korban meninggal akibat

bencana massal yang dapat dipertanggungjawabkan secara sah oleh hukum dan

ilmiah serta mengacu pada standar baku Interpol DVI Guideline. Tim DVI terdiri dari

dokter spesialis forensik, dokter gigi, ahli antropologi (ilmu yang mempelajari

tulang), kepolisian, fotografi, dan ahli DNA.2,3

DVI diperlukan untuk menegakkan Hak Asasi Manusia, sebagai bagian dari

proses penyidikan, jika identifikasi visual diragukan, sebagai penunjang kepentingan

hukum (asuransi, warisan, status perkawinan) dan dapat dipertanggungjawabkan.

Prosedur DVI diterapkan jika terjadi bencana yang menyebabkan korban massal,

seperti kecelakaan bus dan pesawat, gedung yang runtuh atau terbakar, kecelakaan

kapal laut dan aksi terorisme. Dapat diterapkan terhadap bencana dan insiden lainnya

dalam pencarian korban. Prinsip dari proses identifikasi ini adalah dengan

membandingkan data ante-mortem dan post-mortem, semakin banyak yang cocok

maka akan semakin baik. 2,3

Penerapan prosedur DVI Interpol di Indonesia diawali dengan dilakukannya

identifikasi korban bencana massal akibat Bom Bali yang terjadi pada bulan Oktober

2002 dimana terdapat korban meninggal sebanyak 202 orang. Pada proses identifikasi
1
yang berjalan kurang lebih 3 bulan tersebut berhasil diidentifikasi sebesar hampir

99% yang teridentifikasi secara positif melalui metode ilmiah yang dapat

dipertanggungjawabkan. Penatalaksanaan korban mati mengacu pada Surat

Keputusan Bersama Menteri Kesehatan dan Kapolri No. 1087/Menkes/SKB/IX/2004

dan No. Pol Kep/40/IX/2004 Pedoman Pelaksanaan Identifikasi Korban Mati pada

Bencana Massal. 2,3

Rujukan Hukum: 2,3

a. UU No.24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana

b. UU No.2 tahun 2002 tentang Polri

c. UU No.23 tentang kesehatan

d. PP No.21 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana

e. Resolusi Interpol No.AGN/65/RES/13 year 1996 on Disaster Victim Identification

f. MOU Depkes RI-Polri tahun 2004

g. MOU Depkes RI-Polri tahun 2003

B. Proses Disaster Victim Identification

Penanggung jawab DVI adalah Kepolisian yang dalam pelaksanaan

operasinya dapat bekerjasama dengan berbagai pihak lintas institusi, sektoral dan

fungsi. Ketua tim dan koordinator fase berasal pihak kepolisian. Pada kasus yang

lebih mementingkan aspek penyidikan, kecepatan dan hot issues seperti pada man

made disaster, ketua tim DVI lebih mengedepankan timnya sesuai dengan keahlian

dan pengalaman, sedangkan pada kasus yang lebih mengedepankan aspek

2
kemanusiaan pada natural disaster maka ketua DVI dapat melibatkan beberapa tim

dari berbagai institusi. Prinsip dalam bekerja bagi tim DVI adalah team work sesuai

dengan keahlian/kompetensi dan pengalaman. Masing‐masing tim yang bekerja

dalam masing‐masing fase mempunyai tanggung jawab, keahlian dan pengalaman

yang berbeda yang menjadi pertimbangan bagi seorang ketua tim DVI. Misalnya tim

DVI fase I diperuntukkan bagi tim yang telah terlatih dan mempunyai pengalaman di

TKP dibandingkan dengan seorang dokter forensik/dokter gigi forensik yang lebih

berkompeten di DVI fase 2 untuk memeriksa jenasah.2

Proses DVI meliputi 5 fase, dimana setiap fasenya mempunyai keterkaitan satu

dengan yang lainnya, yang terdiri dari:2

1. Fase 1 : Fase TKP/The Scene

Dilaksanakan oleh tim DVI unit TKP dengan aturan umum sebagai berikut:2

a. Tidak diperkenankan seorang pun korban meninggal yang dapat dipindahkan dari

lokasi, sebelum dilakukan olah TKP aspek DVI;

b. Pada kesempatan pertama label anti air dan anti robek harus diikat pada setiap

tubuh korban atau korban yang tidak dikenal untuk mencegah kemungkinan

tercampur atau hilang;

c. Semua perlengkapan pribadi yang melekat di tubuh korban tidak boleh dipisahkan;

d. Untuk barang‐barang kepemilikan lainnya yang tidak melekat pada tubuh korban

yang ditemukan di TKP, dikumpulkan dan dicatat;

3
e. Identifikasi tidak dilakukan di TKP, namun ada proses kelanjutan yakni masuk

dalam fase kedua dan seterusnya.

Pada prinsipnya untuk fase tindakan awal yang dilakukan di situs bencana,

ada tiga langkah utama. Langkah pertama adalah to secure atau untuk mengamankan,

langkah kedua adalah to collect atau untuk mengumpulkan dan langkah ketiga adalah

documentation atau pelabelan. Pada langkah to secure organisasi yang memimpin

komando DVI harus mengambil langkah untuk mengamankan TKP agar TKP tidak

menjadi rusak. Langkah – langkah tersebut antara lain adalah : 2

1) Memblokir pandangan situs bencana untuk orang yang tidak berkepentingan

(penonton yang penasaran, wakil-wakil pers, dll), misalnya dengan memasang

police line.

2) Menandai gerbang untuk masuk ke lokasi bencana.

3) Menyediakan jalur akses yang terlihat dan mudah bagi yang berkepentingan.

4) Menyediakan petugas yang bertanggung jawab untuk mengontrol siapa saja yang

memiliki akses untuk masuk ke lokasi bencana.

5) Periksa semua individu yang hadir di lokasi untuk menentukan tujuan kehaditan

dan otorisasi.

6) Data terkait harus dicatat dan orang yang tidak berwenang harus meninggalkan

area bencana

Pada langkah to collect organisasi yang memimpin komando DVI harus

mengumpulkan korban-korban bencana dan mengumpulkan properti yang terkait

dengan korban yang mungkin dapat digunakan untuk kepentingan identifikasi korban.
4
Pada langkah documentation organisasi yang memimpin komando DVI

mendokumentasikan kejadian bencana dengan cara memfoto area bencana dan

korban kemudian memberikan nomor dan label pada korban. Setelah ketiga langkah

tersebut dilakukan maka korban yang sudah diberi nomor dan label dimasukkan ke

dalam kantung mayat untuk kemudian dievakuasi.2

Gambar 2.1. Kontainer dan perbendaharaan pemeriksaan badan korban post mortem.

Rincian yang harus dilakukan pada saat di TKP adalah sebagai berikut: 1,2

1) membuat sektor‐sektor atau zona pada TKP;

2) memberikan tanda pada setiap sektor;

3) memberikan label orange (human remains label) pada jenazah dan potongan

jenazah, label diikatkan pada bagian tubuh / ibu jari kiri jenazah;

4) memberikan label hijau (property label) pada barang‐barang pemilik yang

tercecer.

5) membuat sketsa dan foto setiap sektor;

6) foto mayat dari jarak jauh, sedang dan dekat beserta label jenasahnya;

7) isi dan lengkapi pada formulir Interpol DVI PM dengan keterangan sebagai

berikut :
5
a. pada setiap jenazah yang ditemukan, maka tentukan perkiraan umur, tanggal

dan tempat tubuh ditemukan, akan lebih baik apabila di foto pada lokasi

dengan referensi koordinat dan sektor TKP;

b. selanjutnya tentukan apakah jenazah lengkap/tidak lengkap, dapat dikenali

atau tidak, atau hanya bagian tubuh saja yang ditemukan;

c. diskripsikan keadaannya apakah rusak, terbelah, dekomposisi/membusuk,

menulang, hilang atau terlepas;

d. keterangan informasi lainnya sesuai dengan isi dari formulir Interpol DVI PM

8) masukkan jenazah dalam kantung jenazah dan atau potongan jenazah di dalam

karung plastik dan diberi label sesuai jenazah;

9) formulir Interpol DVI PM turut dimasukkan ke dalam kantong jenasah dengan

sebelumnya masukkan plastik agar terlindung dari basah dan robek;

10) masukkan barang‐barang yang terlepas dari tubuh korban ke dalam kantung

plastik dan diberi label sesuai nomor properti;

11) evakuasi jenasah dan barang kepemilikan ke tempat pemeriksaan dan

penyimpanan jenazah kemudian dibuatkan berita acara penyerahan kolektif.

2. Fase 2 : Fase pengumpulan data jenazah Post Mortem/The Mortuary

Pengumpulan data post-mortem atau data yang diperoleh paska kematian

dilakukan oleh post-mortem unit yang diberi wewenang oleh organisasi yang

memimpin komando DVI. Pada fase ini dilakukan berbagai pemeriksaan yang

6
kesemuanya dilakukan untuk memperoleh dan mencatat data selengkap–lengkapnya

mengenai korban.1,2

Kegiatan pada fase 2 sebagai berikut : 2

a. Menerima jenazah/potongan jenazah dan barang bukti dari unit TKP;

b. Mengelompokkan kiriman tersebut berdasarkan jenazah utuh, tidak utuh, potongan

jenazah dan barang‐barang;

c. membuat foto jenazah;

d. mengambil sidik jari korban dan golongan darah;

e. melakukan pemeriksaan korban sesuai formulir interpol DVI PM yang tersedia;

f. melakukan pemeriksaan terhadap property yang melekat pada mayat;

g. Pemeriksaan antropologi forensik : pemeriksaan fisik secara keseluruhan, dari

bentuk tubuh, tinggi badan, berat badan, tatto hingga cacat tubuh dan bekas luka

yang ada di tubuh korban.

h. Pemeriksaan odontologi forensik : bentuk gigi dan rahang merupakan ciri khusus

tiap orang ; tidak ada profil gigi yang identik pada 2 orang yang berbeda

i. membuat rontgen foto jika perlu;

j. mengambil sampel DNA;

k. menyimpan jenasah yang sudah diperiksa;

l. melakukan pemeriksaan barang‐barang kepemilikan yang tidak melekat di mayat

yang ditemukan di TKP;

m. mengirimkan data‐data yang telah diperoleh ke unit pembanding data.

7
Data-data hasil pemeriksaan tersebut kemudian digolongkan ke dalam data

primer dan data sekunder sebagai berikut: 2,3

1) Primer (sidik jari, profil gigi, DNA)

2) Sekunder (visual, fotografi, properti jenazah, antropologi, medis)

Di dalam menentukan identifikasi seseorang secara positif, Badan Identifikasi

DVI Indonesia mempunyai aturan-aturan atau syarat identifikasi yang tepat, yaitu

menentukan identitas seseorang secara positif berdasarkan Identification Board DVI

Indonesia adalah didukung minimal salah satu primary identifiers positif atau

didukung dengan minimal dua secondary identifiers positif. Selain mengumpulkan

data pasca kematian, pada fase ini juga sekaligus dilakukan tindakan untuk mencegah

perubahan–perubahan paska kematian pada jenazah, misalnya dengan meletakkan

jenazah pada lingkungan dingin untuk memperlambat pembusukan.2,3

Data‐data post mortem diperoleh dari tubuh jenazah berdasarkan pemeriksaan

dari berbagai keahlian antara lain dokter ahli forensik, dokter umum, dokter gigi

forensik, sidik jari, fotografi, DNA dan ahli antropologi forensik.2,3

8
Gambar 2.2. Skema Pemeriksaan Post Mortem Jenazah.

Meskipun DNA merupakan salah satu bagian dari pemeriksaan primer namun

diletakkan dalam sisi yang. Hal ini mengingat bagaimanapun pemeriksaan DNA, baik

nukleus maupun mitokondria merupakan pemeriksaan identifikasi yang terpercaya,

dalam pelaksanaannya tetap memerlukan waktu dan biaya yang relatif mahal,

meskipun bersifat sensitive. Sebaliknya pemeriksaan sekunder tetap dilakukan

sebagai tugas rutin sesuai prosedur meskipun hasil pemeriksaan primer sudah dapat

dilakukan identifikasi.2,3

Dalam melakukan proses tersebut terdapat bermacam-macam metode dan

tehnik identifikasi yang dapat digunakan. Namun demikian, Interpol menentukan

Primary Indentifiers yang terdiri dari:

9
1) Fingerprints

2) Dental Records

3) DNA

Secondary Indentifiers yang terdiri dari :

1) Medical

2) Property

3) Photography

Prinsip dari proses identifikasi ini adalah dengan membandingkan data Ante

Mortem dan Post Mortem, semakin banyak yang cocok maka akan semakin baik.

Primary Identifiers mempunyai nilai yang sangat tinggi bila dibandingkan dengan

Secondary Identifiers. 2,3

Identifikasi forensik merupakan upaya yang dilakukan dengan tujuan

membantu penyidik untuk menentukan identitas seseorang. Identifikasi personal

sering merupakan suatu masalah dalam kasus pidana maupun perdata. Menentukan

identitas personal dengan tepat amat penting dalam penyidikan karena adanya

kekeliruan dapat berakibat fatal dalam proses peradilan.2

Peran ilmu kedokteran forensik dalam identifikasi terutama pada jenazah tidak

dikenal, jenazah yang telah membusuk, rusak, hangus terbakar dan pada kecelakaan

masal, bencana alam atau huru-hara yang mengakibatkan banyak korban mati, serta

potongan tubuh manusia atau kerangka. Selain itu identifikasi forensik juga berperan

dalam berbagai kasus lain seperti penculikan anak, bayi yang tertukar atau diragukan

orang tuanya. Identifikasi korban bencana, biasanya menjadi tanggung jawab polisi,
10
adalah latihan yang sulit dan menuntut yang hanya dapat membawa kepada

kesimpulan yang sukses jika direncanakan dengan baik dan yang memang harus

melibatkan partisipasi aktif dari banyak lembaga lainnya.2,3

Tujuan utama pemeriksaan identifikasi pada kasus musibah bencana massal

adalah untuk mengenali korban serta membangun identitas setiap korban dengan

membandingkan dan mencocokkan hasil ante mortem dan post mortem. Dalam

banyak kasus , meskipun, mengidentifikasi korban sungguh kompleks, dan dapat

terjadi permasalahan. Permasalahan yang dapat terjadi adalah tantangan untuk

mendapatkan informasi ante mortem dan post mortem sebagai perbandingan. Dengan

identifikasi yang tepat selanjutnya dapat dilakukan upaya merawat, mendoakan serta

akhirnya menyerahkan kepada keluarganya. Proses identifikasi ini sangat penting

bukan hanya untuk menganalisis penyebab bencana, tetapi memberikan ketenangan

psikologis bagi keluarga dengan adanya kepastian identitas korban. 2,3

Identifikasi Korban

Untuk mengidentifikasi korban bencana, diperlukan dua macam data : 2

a. Data orang hilang (misal : orang yang berada di tempat kejadian namun terdaftar

sebagai korban selamat)

b. Data dari jenazah yang ditemukan di tempat kejadian

Dalam mengidentifikasi korban, Interpol DVI Guide membentuk beberapa

tim atau unit, diantaranya : 2

Bagian Korban Hilang (Missing Brunch), terdiri dari :

 Unit pengumpulan data ante-mortem (Ante-mortem record unit)


11
 Unit pendataan berkas ante mortem (Ante-mortem files unit)

 Daftar korban (Victim list)

Pengumpulan dan klasifikasi jenazah (Victim Recovery), terdiri dari :

 Koordinator tim pemulihan (Recovery Co-ordinatory)

 Tim pencari (Search teams)

 Tim dokumentasi (Photography)

 Tim pemulihan jenazah (Body Recovery team)

 Tim pemulihan barang-barang pribadi (Property Recovery team)

 Tempat administrasi dan penyimpanan sementara jenazah (Morgue Station)

Bagian Kamar Mayat (Mortuary Branch), terdiri dari :

 Unit keamanan (Security unit)

 Unit transportasi jenazah (Body movement unit)

 Unit pengumpul data post-mortem (Post-mortem record unit)

Unit pemeriksa jenazah (Body Examination unit), terdiri dari:

 Unit dokumentasi (Post-mortem photography unit)

 Unit sidik jari (Post-mortem property unit)

 Unit barang-barang pribadi (Post-mortem property unit)

 Unit media (Post-mortem medical unit)

 Unit pemeriksa gigi geligi (Post-mortem dental unit)

Pusat Identifikasi (Identification Centre), terdiri dari :

 Bagian administrasi berkas identifikasi (Identification centre file section)

12
 Bagian khusus pusat identifikasi (Identification centre specialized section),

terdiri dari:

o Bagian penyelidikan data dokumentasi (Photography section)

o Bagian penyelidikan sidik jari (Finger print)

o Bagian penyelidkan barang-barang pribadi (Property section)

o Bagian penyelidikan medis (Medical section)

o Bagian penyelidikan gigi geligi (Dental section)

o Bagian analisis DNA (DNA analysis)

o Badan identifikasi (Identification board)

o Bagian pelepasan jenazah (Body realese section)

Metode dan Teknik Identifikasi

Secara umum, identifikasi yang akurat diperoleh dari mencocokan data ante

mortem dengan post mortem. Dahulu dikenal 3 metode pokok identifikasi yaitu:2,3

A. Metode Sederhana yakni, visual, kepemilikan (perhiasan dan pakaian) dan

dokumentasi.

B. Metode Ilmiah yakni, sidik jari, serologi, odontologi, antropologi, biologi

molekuler.

C. Identifikasi dengan Teknik Superimposisi.

Khusus pada korban bencana massal, saat ini berdasarkan standar Interpol

untuk proses identifikasi pada DVI telah ditentukan metode identifikasi yang dipakai

yaitu :1,3

13
A. Metode identifikasi primer, yaitu sidik jari, gigi geligi, DNA.

B. Metode identifikasi sekunder, yaitu medis, property, fotografi/visual

Metode Sederhana / Identifikasi sekunder

1. Visual/Photography dan Medis

Termasuk metode yang sederhana dan mudah dikerjakan yaitu dengan

memperlihatkan tubuh terutama wajah korban kepada pihak keluarga, metode ini

akan member hasil jika keadaan mayat tidak rusak berat dan tidak dalam busuk

lanjut. Metode visual tidak dipakai di dalam metode identifikasi untuk DVI saat ini

karena metode ini tidak dapat diterapkan bila mayat telah busuk, terbakar, mutilasi

serta tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah oleh karena melibatkan faktor

psikologi keluarga yang melakukannya (sedang berduka, stress, sedih dan lain-lain).1

Gambar 2.3. Jenazah dapat Gambar 2.4. Pemeriksaan sekunder medis:

Diidentifikasi sederhana secara visual. adanya sikatrik.

14
Gambar 2.5. Pemeriksaan sekunder medis: Gambar 2.6. Pemeriksaan sekunder medis

dari pada korban terlihat kumis, tahi lalat. tatto sebagai sarana identifikasi.

Gambar 2.7. Pemeriksaan sekunder medis dari sex dan Tinggi Badan.

2. Kepemilikan/Property

Termasuk metode identifikasi yang baik walaupun tubuh korban telah rusak

atau hangus. Initial yang terdapat pada cincin dapat memberikan informasi siapa si

pemberi cincin tersebut, dengan demikian dapat diketahui pula identitas korban.

Sedangkan dari pakaian, dapat diperoleh model pakaian, bahan yang dipakai, merek

penjahit, label binatu yang dapat merupakan petunjuk siapa pemilik pakaian tersebut

dan tentunya identitas korban.1


15
Gambar 2.8. Barang bukti berupa pakaian dan perhiasan.

3. Dokumentasi : KTP, SIM, Paspor, kartu pelajar dan tanda pengenal lainnya

merupakan sarana yang dapat dipakai untuk menentukan identitas.1

Gambar 2.9. Pemeriksaan sekunder properti dari KTP yang melekat.

Metode Ilmiah (Identifikasi Primer)

1. Sidik jari

Sidik jari atau Finger prints dapat menentukan identitas secara pasti oleh

karena sifat kekhususannya yaitu pada setiap orang akan berbeda walaupun pada

kasus saudara kembar. Keterbatasannya hanyalah cepat rusak/membusuknya tubuh.

16
Walaupun Fingerprinting sangat sulit karena kondisi tubuh tetapi dapat berhasil

dilakukan oleh ahli ilmiah. Teknik pengembangan sidik jari pada jari telah keriput,

serta mencopotnya kulit ujung jari yang telah mengelupas dan memasangnya pada

jari yang sesuai jari pemeriksa, baru kemudian dilakukan pengambilan sidik jari,

merupakan prosedur yang harus diketahui oleh dokter.1

Dalam persiapan untuk fingerprinting, jari dan tangan harus bersih dengan air

atau dengan sabun emulsi dan dikeringkan dengan kain atau handuk selulosa.

Pembersihan tangan pertama kali memakai alcohol akan menghasilkan print yang

lebih bagus. Tergantung pada kondisi dari tangan, jari-jari (jika permukaan kulit

masih melekat), permukaan kulit yang terpisah atau dermis (setelah pemberian

acetone) diwarnai dengan bubuk sidik jari dengan menggunakan sikat (zephr, fairy

hair atau kosmetik). Kemudian pelindung belakang dikeluarkan dari herma adhesive

label berwarna putih (ukuran 32 mm x 40 mm), lalu label diletakkan pada body pan

dengan permukaan yang halus dibawah, dan permukaan yang cekung menghadap

keatas. Cetakan individu kemudian diambil dengan body pan, lalu diperiksa

viabilitasnya dan dijajarkan dari sebelah kanan ke kiri (ibu jari dikanan, jari

kelingking di kiri) pada slide transparan. Lalu kemudian slide dibalik. Hasilnya akan

terlihat satu set sidik jari normal (positif dan memiliki warna akurat) pada latar putih.1

Kulit pada jari dihapus dengan dengan hati-hati dengan teknik ‘degloving’dan

ditempatkan pada ujung jari salah satu dari dua operator. Setelah powdering, sidik jari

kemudian dicetak di kertas. Penggunaan terpisah kamar untuk pemeriksaan sidik jari

terbukti berguna. 1
17
Gambar 2.10. Glove on. Teknik Fingerprinting. Gambar 2.11. Analisis Sidik Jari.

Gambar 2.12. Pada foto pertama tampak Prosedur Hand boiling dan pada foto

kedua tampak foto sidik jari setelah Hand boiling.

18
Gambar 2.13. Kulit terlepas, double-rowed pappillaries sudah tampak pada kondisi tangan

setelah hand boiling. Pada gambar kedua, tampak jejak dari ibu jari dan jari telunjuk tangan

kanan setelah dilakukan hand boiling, diwarnai dengan bubuk arang, dicetak dengan adhesive

labels dan ditekankan pada slide transparan.

2. Serologi

Prinsipnya ialah dengan menentukan golongan darah, dimana pada umumnya

golongan darah seseorang dapat ditentukan dari pemeriksaan darah, air mani, dan

cairan tubuh lainnya. Penentuan golongan darah yang diambil baik dari dalam tubuh

korban, maupun bercak darah yang berasal dari bercak yang terdapat pada pakaian,

akan dapat mengetahui golongan darah si korban. Orang yang demikian termasuk

golongan sekretor (penentuan golongan darah dapat dilakukan dari seluruh cairan

tubuh) 75-80% dari penduduk termasuk dalam golongan ini. Pada mereka yang

termasuk non-sekretor, penentuan golongan darah hanya dapat dilakukan dengan

pemeriksaan darahnya saja.1

3. Odontologi

Odontologi adalah cabang kedokteran forensik yang melibatkan dokter gigi.

Gigi adalah bagian tubuh yang paling keras dan yang paling tahan terhadap trauma,

19
pembusukan, air, dan api. Penentuan identifikasi forensik berdasarkan pemeriksaan

primer masih dapat dilakukan dengan pemeriksaan gigi geligi yaitu pada jenazah

terbakar karena gigi merupakan medium yang tidak mudah rusak seperti fingerprint

tissue dan memiliki daya tahan terhadap dekomposisi dan panas. Gigi merupakan

suatu sarana identifikasi yang dapat dipercaya, khususnya bila rekam dan foto gigi

pada waktu masih hidup yang pernah dibuat masih tersimpan dengan baik.

Pemeriksaan gigi ini menjadi amat penting apabila mayat sudah dalam keadaan

membusuk atau rusak, seperti halnya kebakaran. 1

Gambar 2.14. Gigi tetap dalam keadaan utuh pada suhu yang tinggi,

walaupun tubuh telah rusak, tetapi gigi masih dapat diidentifikasi.

Gigi dapat juga dipakai untuk membantu dalam hal perkiraan umur serta

kebiasaan /pekerjaan dan kadang-kadang golongan suku tertentu. Kebiasaan merokok

akan meninggalkan pewarnaan akibat nikotin pada gigi, gigi yang dipangur

(diratakan) menujukkan ras/suku tertentu. Adapun dalam melaksanakan identifikasi

manusia melalui gigi, kita dapatkan 2 (dua) kemungkinan: 1

a). memperoleh informasi melalui data gigi dan mulut untuk membatasi atau

menyempitkan identifikasi; Informasi ini dapat diperoleh antara lain mengenai


20
umur, jenis kelamin, ras, golongan darah, bentuk wajah dan salah satu sampel

DNA. Dengan adanya informasi mengenai perkiraan batas‐batas umur korban

misalnya, maka pencarian dapat dibatasi pada data‐data orang hilang yang berada

di sekitar umur korban. Dengan demikian penyidikan akan menjadi lebih

terarah.1

b). mencari ciri‐ciri yang merupakan tanda khusus pada korban tersebut; Disini

dicatat ciri‐ciri yang diharapkan dapat menentukan identifikasi secara lebih

akurat dari pada sekedar mencari informasi tentang umur atau jenis kelamin.

Ciri‐ciri demikian antara lain : misalnya adanya gigi yang dibungkus logam, gigi

yang ompong atau patah, lubang pada bagian depan biasanya dapat lebih mudah

dikenali oleh kenalan atau teman dekat atau keluarga korban.1

Forensik odontologis akan melakukan pemeriksaan terhadap gigi, gusi, bagian

lain dari kavitas oral, rahang/maxilla, dan komponen dari hidung pada wajah.

Pemeriksaan ini meliputi pencatatan data gigi (Odontogram) dan rahang yang dapat

dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan manual, sinar X dan pencetakan gigi

dan rahang. Odontogram memuat data tentang jumlah, bentuk, susunan, tambalan,

protesa gigi, dan sebagainya. 1

21
Gambar 2.15. Pemeriksaan gigi : pada gigi emas terdapat inisial korban

Kondisi pembusukan awal juga masih memungkinkan diidentifikasi melalui

proses pemeriksaan primer yang bersifat ekonomis dan efisien yaitu pemeriksaan

gigi, meskipun keluarga tidak dapat merinci kondisi gigi korban dengan tepat.

Semakin lama terpapar dalam air maka proses pembusukan juga akan berlangsung

dengan cepat sehingga akan menyebabkan terbatasnya upaya pemeriksaan primer.

Proses identifikasi pada konsisi harus dilakukan kombinasi pemeriksaan primer

dengan sekunder secara cermat dan akurat. Pada kasus ini korban berikutnya

ditemukan setelah 9-29 hari setelah kejadian sehingga tidak ada satu pun yang

berhasil diidentifikasi berdasarkan pemeriksaan primer yang terjangkau yaitu sidik

jari maupun gigi karena terjadi pembusukan lanjut. 1

Selain itu akibat pemanasan terjadi koagulasi protein yang menyebabkan otot

mengecil diikuti mengkerutnya kulit, termasuk pengerutan peridontal ligament atau

periodontal membran sebagai jaringan penyangga tulang dan gigi. Hal ini akan sulit

22
dilakukan pada jenazah yang meninggal dengan cara tenggelam. Pada jenazah yang

meninggal dalam air pada saat proses pembusukan berlangsung disertai dengan

proses pembusukan pada maksila dan mandibula yang akan diikuti dengan

terlepasnya gigi dari tulang akibat lisis jaringan penyangga. Gigi yang terlepas akan

sulit dilakukan pemeriksaan karena sebagian besar akan jatuh dalam air. Hal ini pula

yang mempengaruhi keberhasilan identifikasi primer melalui pemeriksaan gigi geligi

pada korban tenggelam.1

Gambar 2.16. Pemeriksaan Primer Gigi Tidak Akurat Akibat Avulsi Gigi

Postmortem dan Hilangnya Jaringan Lunak.

Gambar 2.17. Proses Pemeriksaan Jenazah Terbakar : Pemeriksaan gigi yang

tetap utuh dan merupakan ciri khas masing-masing.

23
a). Identifikasi Forensik Odontology

Batasan dari forensik odontologi terdiri dari:1

1. Identifikasi dari mayat yang tidak dikenal melalui gigi, rahang dan

kraniofasial.

2. Penentuan umur dari gigi.

3. Pemeriksaan jejas gigit (bite-mark).

4. Penentuan ras dari gigi.

5. Analisis dari trauma oro-fasial yang berhubungan dengan tindakan kekerasan.

6. Dental jurisprudence berupa keterangan saksi ahli.

7. Peranan pemeriksaan DNA dari bahan gigi dalam identifikasi personal.

 Penentuan Usia berdasarkan gigi

Perkembangan gigi secara regular terjadi sampai usia 15 tahun.

Identifikasi melalui pertumbuhan gigi ini memberikan hasil yang lebih baik

daripada pemeriksaan antropologi lainnya pada masa pertumbuhan.

Pertumbuhan gigi desidua diawali pada minggu ke 6 intra uteri. 1

Mineralisasi gigi dimulai saat 12-16 minggu dan berlanjut setelah bayi

lahir. Trauma pada bayi dapat merangsang stress metabolik yang

mempengaruhi pembentukan sel gigi. Kelainan sel ini akan mengakibatkan

garis tipis yang memisahkan enamel dan dentin di sebut sebagai neonatal line.

Neonatal line ini akan tetap ada walaupun seluruh enamel dan dentin telah

dibentuk. Ketika ditemukan mayat bayi, dan ditemukan garis ini menunjukkan

24
bahwa mayat sudah pernah dilahirkan sebelumnya. Pembentukan enamel dan

dentin ini umumnya secara kasar berdasarkan teori dapat digunakan dengan

melihat ketebalan dari struktur di atas neonatal line. Pertumbuhan gigi

permanen diikuti dengan penyerapan kalsium, dimulai dari gigi molar pertama

dan dilanjutkan sampai akar dan gigi molar kedua yang menjadi lengkap pada

usia 14 – 16 tahun. Ini bukan referensi standar yang dapat digunakan untuk

menentukan umur, penentuan secara klinis dan radiografi juga dapat

digunakan untuk penentuan perkembangan gigi. Penentuan usia antara 15 dan

22 tahun tergantung dari perkembangan gigi molar tiga yang pertumbuhannya

bervariasi. Setelah melebihi usia 22 tahun, terjadi degenerasi dan perubahan

pada gigi melalui terjadinya proses patologis yang lambat dan hal seperti ini

dapat digunakan untuk aplikasi forensik. 1

Gambar 2.18. memperlihatkan gambaran panoramic X ray pada anak-anak (a)

gambaran yang menunjukkan suatu pola pertumbuhan gigi dan perkembangan pada

usia 9 tahun (pada usia 6 tahun terjadi erupsi dari akar gigi molar atau gigi 6 tapi

belum tumbuh secara utuh). Dibandingkan dengan diagram yang diambil dari Schour

dan Massler (b) menunjukkan pertumbuhan gigi pada anak usia 9 tahun. 1

25
 Penentuan Jenis Kelamin berdasarkan gigi

-Ukuran dan bentuk gigi juga digunakan untuk penentuan jenis

kelamin. Gigi geligi menunjukkan jenis kelamin berdasarkan kaninus

mandibulanya. Anderson mencatat bahwa pada 75% kasus, mesio distal pada

wanita berdiameter kurang dari 6,7 mm, sedangkan pada pria lebih dari 7 mm.

Saat ini sering dilakukan pemeriksaan DNA dari gigi untuk membedakan

jenis kelamin.1

 Penentuan Ras berdasarkan gigi

Penentuan ras pada gigi dan rahang tidak dapat diandalkan, meskipun

beberapa morfologi menunjukkan statistic perbedaan dalam frekuensi antara

ras. Contoh gambaran gigi pada ras mongoloid adala, Insisivus berbentuk

sekop. Insisivus pada maksila menunjukkan nyata berbentuk sekop pada 85-

99% ras mongoloid. 2 sampai 9 % ras kaukasoid dan 12 % ras negroid

memperlihatkan adanya bentuk seperti sekop walaupun tidak terlalu jelas.

Dens evaginatus. Aksesoris berbentuk tuberkel pada permukaan oklusal

premolar bawah pada 1-4% ras mongoloid, Akar distal tambahan pada molar

1 mandibula ditemukan pada 20% mongoloid, Lengkungan palatum

berbentuk elips, serta batas bagian bawah mandibula berbentuk lurus.1

26
Gambar 2.19. Gigi seri berbentuk sekop pada wanita cina.

b). Langkah langkah penanganan aspek odontologi forensik:

- Bila rahang atas dan bawah lengkap : 1

1. Pembukaan rahang bawah untuk melepaskan rahang bawah.

2. Melakukan pembersihan rahang bawah dan rahang atas.

3. Melakukan dental charting/odontogram.

4. Melakukan rontgen foto pada seluruh gigi geligi di rahang atas dan rahang

bawah.

5. Pencabutan gigi molar 1 atas atau bawah untuk pemeriksaan DNA.

6. Melakukan pemotretan dengan ukuran close-up

7. Melakukan perbandingan data dental antemortem dengan post mortem

8. Proses rekonsilasi untuk penentuan identifikasi.

Pada rahang yang tidak utuh dengan melakukan rekonstruksi bentuk rahang

serta susunan gigi geliginya dengan menggunakan wax/malam. Kenudian diperkuat

dengan menggunakan self curing acrylic. Lalu melakukan pencetakan, dilakukan

pemotretan close-up, dan pengembalian pada jenazah. Tujuan rekonstruksi

diharapkan dapat memperoleh gambaran perkiraan raut wajah korban untuk

membantu memudahkan identifikasi.1


27
4. DNA

DNA adalah materi genetik yang membawa informasi yang dapat diturunkan.

Di dalam sel manusia DNA dapat ditemukan di dalam inti sel dan di dalam

mitokondria. Hampir semua sampel biologis dapat dipakai untuk tes DNA, seperti

buccal swab (usapan mulut pada pipisebelah dalam), darah, rambut beserta akarnya,

walaupun lebih dipilih penggunaan darah dalam tabung (sebanyak 2 ml) sebagai

sumber DNA. Tes DNA dilakukan dengan berbagai alasan seperti persoalan pribadi

dan hukum antara lain ; tunjangan anak, perwalian anak, adopsi, imigrasi, warisan

dan masalah forensik (dalam identifikasi korban bencana).1

5. Antropologi

Ahli Antropologi forensik adalah seseorang yang ahli dalam

mengidentifikasikan tulang dan rangka manusia. Ilmu mereka mencakup tentang jenis

kelamin, suku, usia, dan perkiraan waktu kematian.1

a). Penentuan jenis kelamin pada rangka.

Penentuan ini didasarkan pada ciri-ciri yang mudah dikenali pada tulang, seperti

tulang panggul, tengkorak, tulang panjang, tulang dada. Tulang mempunyai nilai

tinggi dalam hal penentuan jenis kelamin, yaitu tulang panggul dan baru kemudian

tengkorak. Secara umum dapat dikatakan bahwa rangka wanita mempunyai bentuk

dan tekstur yang lebih halus bila dibandingkan dengan rangka seorang pria.

 Panggul : Dari pemeriksaan panggul secara tersendiri tanpa pemeriksaan lain,

jenis kelamin sudah dapat ditentukan pada sekitar 90% kasus. Indeks ischium-

28
pubis pada wanita 15% lebih besar dari pria, ini terdapat pada lebih dari 90%

wanita. Indeks tersebut diukur dari ischium dan pubis dari titik tempat mereka

bertemu pada acetabulum. Bentuk dari “Greater schiatic notch”mempunyai

nilai tinggi dalam penentuan jenis kelamin dari tulang panggul, 75% kasus

dapat ditentukan hanya dari pemeriksaan tersebut.

Gambar 2.20. Struktur dari pelvis a) wanita dan b) pria.

 Tengkorak : Untuk dapat menentukan jenis kelamin dari tengkorak, diperlukan

penilaian dari berbagai data ciri-ciri yang terdapat pada tengkorak tersebut. Ciri

utama adalah tonjolan di atas orbita (supraorbital ridges); prosesus mastoideus;

palatum; serta bentuk rongga mata dan rahang bawah. Ciri-ciri tersebut akan

tampak jelas setelah usia 14-16 tahun. Menurut Krogman ketepatan penentuan

jenis kelamin atas dasar pemeriksaan tengkorak dewasa adalah 90%. Luas

permukaan prosesus mastoideus pada pria lebih besar dibanding wanita. Hal ini

dikaitkan dengan adanya insersi otot leher yang lebih kuat pada pria.

29
Gambar 2.21. Perbedaan tulang tengkorak pria dan wanita.

Gambar 2.22. Pelvis pria memiliki sudut subpubic yang lebih sempit,bentuk triangular

pubic,dan sacrum yang lebar, berbeda dengan sudut subpubic yang lebar, tubuh persegi pubic

dan sacrum yang lebih kecil pada wanita. Tengkorak pria memiliki dahi yang menonjol,

proc.mastoid yang besar,dagu yang cekung disertai ramus yang tertekuk dan oksipital yang

menonjol. Pada wanita, dahi kurang menonjol, ramus lurus, dan dagu bulat.

30
 Tulang dada : Rasio panjang dari manubrium sterni dan korpus sterni

menentukan jenis kelamin. Pada wanita manubrium sterni melebihi separuh

panjang korpus sterni; dan ini mempunyai ketepatan sekitar 80%.

 Tulang panjang : Pria pada umumnya memiliki tulang yang lebih panjang, lebih

berat, dan lebih kasar, serta impresinya lebih banyak. Tulang paha (Os.Femur)

merupakan tulang panjang yang dapat diandalkan dalam penentuan jenis

kelamin. Ketepatannya pada orang dewasa sekitar 80%. Konfigurasi, ketebalan,

ukuran dan caput femoris serta bentukan dari otot dan ligament serta perangai

radiologis perlu diperhatikan.

b). Penentuan Tinggi Badan

Penentuan tinggi badan menjadi penting pada keadaaan dimana yang harus

diperiksa adalah tubuh yang sudah terpotong-potong atau yang didapatkan rangka,

atau sebagian dari tulang saja. Pada umumnya perkiraan tinggi badan dapat

dipermudah dengan pengertian bahwa tubuh yang diperiksa itu pendek,sedang atau

jangkung. Perkiraan tinggi badan dapat diketahui dari pengukuran tulang panjang

yaitu:

 Tulang paha (femur) menunjukkan 27% dari tinggi badan

 Tulang kering (tibia) 22% dari tinggi badan

 Tulang lengan atas (humerus) 35% dari tinggi badan

 Tulang belakang, 35% dari tinggi badan

Yang perlu diperhatikan di dalam pengukuran tulang :

31
 Pengukuran dengan osteometric board

 Tulang harus dalam keadaan kering (dry bone)

 Formula yang dapat dipergunakan untuk pengukuran tinggi badan adalah :

1. Formula Stevenson

TB Femur = 61,7207 + 2,4378 x Femur + 2,1756

TB Humerus = 81,5115 + 2,8131 x Humerus+2,8903

TB Tibia = 59,2256 + 3,0263 x Tibia + 1,8916

TB Radius = 80,0276 + 3,7384 x Radius + 2,6791

2. Formula Trotter dan Gleser

TB = 70,37 + 1,22 (Femur + Tibia) + 3,24

Untuk mendapatkan tinggi badan yang mendekati ketepatan sebaiknya

pengukuran dilakukan menurut kedua formula tersebut.

Identifikasi dengan Teknik Superimposisi.

Superimposisi adalah suatu system pemeriksaan untuk menentukan identitas

seseorang dengan membandingkan korban semasa hidupnya dengan tengkorak yang

ditemukan. Foto ante mortem dan post mortem korban dibuka dan digabung

menggunakan Adobe Photoshop.

32
Gambar 2.23. Teknik Superimposisi yang menggunakan anterior dari gigi sebagai panduan.

Tingkat kejernihan : a. 1% b. 25% c. 50% dan d. 90%.

33
Gambar 2.24. Teknik ini menggunakan Adobe Photoshop-Mediated superimposition

Kesulitan dalam menggunakan tehnik ini adalah:1

1) Korban tidak pernah membuat foto semasa hidupnya.

2) Foto korban harus baik posisinya maupun kwalitasnya.

3) Tengkorak yang ditemukan sudah hancur dan tidak berbentuk lagi.

4) Membutuhkan kamar gelap yang perlu biaya tersendiri

34
3. Fase 3: Fase pengumpulan data jenazah Ante Mortem/Ante Mortem

Information Retrieval

Pada fase ini dilakukan pengumpulan data mengenai jenazah sebelum

kematian. Data ini biasanya diperoleh dari keluarga jenazah maupun orang yang

terdekat dengan jenazah. Kegiatan yang dilakukan: 1

1. menerima keluarga korban;

2. mengumpulkan data‐data korban semasa hidup seperti foto dan lain-lainnya yang

dikumpulkan dari keluarga terdekat yang kehilangan anggota keluarganya dalam

bencana tersebut;

3. mengumpulkan data‐data korban dari instansi tempat korban bekerja,

RS/Puskesmas/Klinik, dokter pribadi, dokter yang merawat, dokter‐dokter gigi

pribadi, polisi (sidik jari), catatan sipil, dll;

4. data‐data Ante Mortem gigi‐geligi;

a. data‐data Ante Mortem gigi‐geligi adalah keterangan tertulis atau gambaran

dalam kartu perawatan gigi atau keterangan dari keluarga atau orang yang

terdekat;

b. sumber data‐data Ante Mortem tentang kesehatan gigi diperoleh dari klinik

gigi RS Pemerintah, TNI/Polri dan Swasta; lembaga‐lembaga pendidikan

Pemerintah/TNI/Polri/Swasta; praktek pribadi dokter gigi.

5. mengambil sampel DNA pembanding;

35
6. apabila diantara korban ada warga Negara asing maka Data‐data Ante Mortem

dapat diperoleh melalui perantara Set NCB Interpol Indonesia dan perwakilan

Negara asing (kedutaan/konsulat);

7. memasukkan data‐data yang ada dalam formulir Interpol DVI AM;

8. mengirimkan data‐data yang telah diperoleh ke Unit Pembanding Data.

4. Fase 4 : Fase Analisa/Reconciliation

Pada fase ini dilakukan pembandingan data post mortem dengan data ante

mortem. Ahli forensik dan profesional lain yang terkait dalam proses identifikasi

menentukan apakah temuan post mortem pada jenazah sesuai dengan data ante

mortem milik korban yang dicurigai sebagai jenazah. Apabila data yang dibandingkan

terbukti cocok maka dikatakan identifikasi positif atau telah tegak. Apabila data yang

dibandingkan ternyata tidak cocok maka identifikasi dianggap negatif dan data post

mortem jenazah tetap disimpan sampai ditemukan data ante mortem yang sesuai

dengan temuan post mortem jenazah. Kegiatan yang dilakukan:1

1) mengkoordinasikan rapat‐rapat penentuan identitas korban mati antara Unit TKP,

Unit Post Mortem dan Unit Ante Mortem;

2) mengumpulkan data‐data korban yang dikenal untuk dikirim ke Rapat

Rekonsiliasi;

3) mengumpulkan data‐data tambahan dari Unit TKP, Unit Post Mortem dan Unit

Ante Mortem untuk korban yang belum dikenal;

4) membandingkan data Ante Mortem dan Post Mortem;

36
5) check and Recheck hasil Unit Pembanding Data;

6) mengumpulkan hasil identifikasi korban;

7) membuat sertifikat identifikasi, surat keterangan kematian untuk korban yang

dikenal dan surat‐surat lainnya yang diperlukan;

8) publikasi yang benar dan terarah oleh Unit Rekonsiliasi sangat

membantunmasyarakat untuk mendapatkan informasi yang terbaru dan akurat.

5. Fase 5 : Fase Evaluasi/Debriefing

Korban yang telah diidentifikasi direkonstruksi hingga didapatkan kondisi

kosmetik terbaik kemudian dikembalikan pada keluarganya untuk dimakamkan.

Apabila korban tidak teridentifikasi maka data post mortem jenazah tetap disimpan

sampai ditemukan data ante mortem yang sesuai dengan temuan post mortem

jenazah, dan pemakaman jenazah menjadi tanggung jawab organisasi yang

memimpin komando DVI. Sertifikasi jenazah dan kepentingan mediko-legal serta

administrative untuk penguburan menjadi tanggung jawab pihak yang menguburkan

jenazah.1,2

Fase ini dilakukan 3-6 bulan setelah proses identifikasi selesai. Pada fase

debriefing, semua orang yang terlibat dalam proses identifikasi berkumpul untuk

melakukan evaluasi terhadap semua hal yang berkaitan dengan pelaksanaan proses

identifikasi korban bencana, baik sarana, prasarana, kinerja, prosedur, serta hasil

dentifikasi.1,2

Perawatan jenazah yang dapat dilakukan meliputi antara lain: 1,2

37
a. Perbaikan atau rekonstruksi tubuh jenazah

b. Pengawetan jenazah (bila memungkinkan)

c. Perawatan sesuai agama korban

d. Memasukkan dalam peti jenazah

Kemudian jenazah diserahkan kepada keluarganya oleh petugas khusus dari

Komisi Identifikasi berikut surat-surat yang diperlukan pencatatan yang penting pada

proses serah terima jenazah yakni, Tanggal dan jam, Nomor registrasi jenazah,

Diserahkan kepada siapa, alamat lengkap penerima, hubungan keluarga dengan

korban, serta Dibawa kemana atau dimakamkan dimana. Perawatan jenazah setelah

teridentifikasi dilaksanakan oleh unsur Pemerintah Daerah, dalam hal ini Dinas Sosial

dan Dinas Pemakaman yang dibantu oleh keluarga korban. Sangat penting untuk

tetap memperhatikan file record dan segala informasi yang telah dibuat untuk

dikelompokkan dan disimpan dengan baik. Dokumentasi berkas yang baik juga

berkepentingan agar pihak lain (Interpol misalnya) dapat melihat, mereview

kasusnya, sehingga menunjukkan bahwa proses identifikasi ini dikerjakan dengan

baik dan penuh perhatian.1,2

Secara teoritis, kelima fase DVI seharusnya dikerjakan sesuai standar pada

setiap kasus bencana. Namun pada kenyataannya, banyak hambatan dan kendala yang

ditemui di lapangan untuk menerapkan prosedur DVI.1,2

38
BAB III

KESIMPULAN

DVI adalah suatu prosedur yang telah ditentukan untuk mengidentifikasi

korban mati secara ilmiah dalam sebuah insiden atau bencana masal berdasarkan

protokol Interpol. Bencana masal yang dimaksud seperti gunung api meletus, banjir,

tanah longsor, gempa bumi, kecelakaan lalu lintas, pesawat udara, kapal laut,

kebakaran, gedung runtuh, dan peledakan bom. Bagi korban kejadian tertentu dan

korban masal memerlukan proses identifikasi.

Proses DVI meliputi 5 fase yang mempunyai keterkaitan satu dengan lainnya.

Dalam melakukan proses tersebut terdapat bermacam-macam metode dan teknik

identifikasi yang dapat digunakan. Namun demikian, Interpol menentukan Primary

Identifiers yang terdiri dari sidik jari, hasil pemeriksaan gigi geligi, dan DNA serta

Secondary Identifiers yang terdiri dari data medis, barang kepemilikan, dan fotografi.

39
DAFTAR PUSTAKA

1. Surjit S. Penatalaksanaan identifikasi korban mati bencana masal. Majalah

Kedokteran Nusantara 2008; 41(4): 254-8.

2. National Policing Improvement Agency. Guidance on Disaster Victim

Identification. ACPOS 2011.

3. Interpol. Disaster Victim Identification Guide. Interpol 2009.

40

Anda mungkin juga menyukai