DEFINISI BENCANA
Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu
kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau
faktor non alam maupun faktor manusia sehigga mengakibatkan timbulnya korban jiwa
manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. (UU No.24
Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana)
MACAM BENCANA
Bencana alam adalah bencana yang diakiatkan oleh peristiwa atau serangkaian
peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung
meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor.
Bencana non alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian
peristiwa non alam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi,
epidemi, dan wabah penyakit.
Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian
peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antarkelompok
atau antarkomunitas masyarakat dan terror.
Open Disaster
Korbannya merupakan individu-individu yang tidak diketahui dan tidak adanya data
deskripsi mengenai korban yang tersedia sehingga lebih sulit untuk menentukan jumlah
pasti korban.
Closed Disaster
Dvi merupakan Suatu prosedur ilmiah yang digunakan untuk identifikasi korban tewas
akibat bencana dalam skala besar juga dapat diterapkan terhadap bencana dengan jumlah
korban dalam skala kecil serta insiden lainnya dalam pencarian korban..
A. Landasan Hukum
a. Pasal 120 (1) KUHAP
i. Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta
pendapat seorang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus.
b. Pasal 133 (1) KUHAP
i. Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang
korban baik luka, keracunan atau mati yang diduga karena peristiwa
pidana, ia berhak mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli
kedokteran kehakiman atau dokter dan ahli lainnya.
c. Pasal 179 (1) KUHAP
i. Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran
kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan
ahli demi keadilan.
B. Tujuan dan Fungsi DVI
a. Bermanfaat dalam merekonstruksi tentang sebab suatu bencana
b. Proses identifikasi untuk segala kepentingan umum perdata yang menyangkut
kematian (asuransi, warisan, status dll) yang dapat dipertanggungjawabkan
c. Identifikasi kondisi korban yang sudah tidak mungkin lagi dikenali
d. Pemenuhan salah satu Hak Asasi Manusia (HAM)
C. Sejarah DVI
a. Peristiwa Bom Bali 1 (Oktober 2002)
i. Melalui prosedur DVI dapat teridentifikasi secara positif hampir 99%
pada korban tewas sebanyak 202 orang yang berjalan kurang lebih 3
bulan
b. Kasus JW Marriott (Agustus 2003)
c. Bencana Tsunami dan Gempa Bumi di Aceh dan Nias (Desember 2004 s/d
Januari 2005)
d. Peristiwa Bom Bali II (Oktober 2005)
e. Pendirian kantor sekretariat Tim DVI Nasional di Jalan Cipinang Baru Bunder
No. A 5 Jakarta Timur- 13240 (Awal tahun 2006)
f. DVI Indonesia telah diakui secara internasional pada pertemuan Interpol di
Eropa
g. Peresmian gedung sekretariat Tim DVI Nasional Indonesia oleh Kapolri
Jenderal Polisi Drs. Sutanto, SH. (26 Maret 2007)
h. Kini telah terbentuk Tim DVI Indonesia di setiap provinsi
a. DVI REGIONAL
Keterangan:
Tim DVI Regional terdiri dari
1. Tim DVI Regional Barat I berkedudukan di Medan
2. Tim DVI Regional Barat II berkedudukan di Jakarta
3. Tim DVI Regional Tengah berkedudukan di Surabaya
4. Tim DVI Regional Timur berkedudukan di Makassar
Jumlah dari personel yang bertugas tergantung dari situasi dari bencana tersebut.
B. Prosedur Pemeriksaaan
g) Property processor, dibantu oleh autopsy assistant membuka baju mayat dan
mencari apakah ada barang bukti yang terdapat pada tubuh tersebut, kemudian
mencatumkan lokasi dimana barang bukti ditemukan.
k) Mengumpulkan sidik jari, sidik telapak tangan dan kaki oleh fingerprint
specialist.
a. Sampel DNA PM
Keberhasilan penggunaan sampel DNA ini tergantung dari seberapa cepat sampel itu
diperoleh dan diproses.Menurut kondisi dari tubuh mayat, jaringan yang diambil untuk
sampel pun bermacam-macam. Dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
Condition of Body Recommended Sample
Pengawet dapat digunakan untuk mengawetkan jaringan lunak pada suhu kamar. Sampel
tidak boleh disimpan dalam formalin, karena formalin akan menghancurkan DNA.
Direkomendasikan menggunakan no-sweat alcohol (minuman keras). Bahkan ketika korban
telah diidentifikasi berdasarkan metode lain, sampel DNA harus tetap diambil untuk tujuan
pencocokan dan memudahkan identifikasi orang hilang.
Pada kasus mutilasi, pencampuran bagian tubuh dapat mengganggu integritas sampel
sehingga dapat mengakibatkan pencocokan DNA yang salah.Oleh karena itu dianjurkan
bahwa beberapa metode yang digunakan untuk setiap identifikasi.
b. PM Fingerprinting
Pencatatan sidik jari ini diambil dengan menggunaka plastik transparan dan harus diberi
label. Sebelum pengambilan sampel, jari dan tangan dibersihkan dengan air dan sabun
kemudian dikeringkan. Penggunaan alcohol sebelum mencuci tangan dapat menghasilkan
hasil sidik jari yang lebih jelas.Usapkan alcohol dan keringkan dengan kipas angin.Alcohol
ini membuat permukaan kulit menjadi lebih lembut.
Posisi tangan saat pengambilan sidik jari adalah posisi terbuka, telapak tangan menghadap ke
petugas.Pengambilan sidik dimulai dari sebelah kanan (ibu jari tangan kanan) lalu ke kiri
(terakhir kelingking tangan kanan).Cara mencetak sidik jari adalah menggunakan bubuk sidik
jari dan label adesif, misal Handiprint. Jari, epidermis atau dermis dicelup dengan bubuk
sidik jari menggunakan kuas Kemudian label adesif putih, yang sebelumnya telah dipotong
seukuran jari, dibuka (ukuran 32 mm x 40 mm) dan label diletakkan dengan sisi perekat
menghadap ke jari. Label direkatkan mulai dari bawah sendi pertama dan membungkus ujung
jari.
c. PM Dental Examination
Dapat menggunakan radiograf untuk perbandingan dental AM dan PM. Rahang atas dan
bawah korban harus dibiarkan dan tidak boleh dipisahkan karena ini adalah prosedur
destruktif yang memutilasi tubuh korban lebih lanjut.Mungkin perlu dipertimbangkan untuk
pemisahan rahang dalam keadaan tertentu. Jika rahang bawah akan dipisahkan, setiap usaha
harus dilakukan untuk meminimalkan tingkat intervensi bedah dan mengurangi risiko
kehilangan jaringan.
Rahang bawah yang longgar dan rahang atas yang masih melekat ini dapat dibersihkan dan
dilakukan pemeriksaan gigi dan radiografi . Setelah pemeriksaan selesai , rahang bawah
direposisi dan sayatan ditutup. Dalam kasus-kasus di mana tidak mungkin lagi untuk
mereposisikan rahang bawah, rahang bawah harus ditempatkan dalam wadah, dilabeli nomor
tubuh mayat dan disimpan dalam kantong mayat dengan semua bagian tubuh lainnya.
2. Data hasil pemeriksaan digolongkan menjadi :
a. Data Primer : sidik jari, profil gigi, DNA
b. Data Sekunder : visual, fotografi, properti jenazah,
antropologi medis (tinggi badan, dll)
Fase ketiga adalah fase pengumpulan data antemortem dimana ada tim kecil yang menerima
laporan orang yang diduga menjadi korban. Tim ini meminta masukan data sebanyak-
banyaknya dari keluarga korban. Data yang diminta mulai dari pakaian yang terakhir
dikenakan, ciri-ciri khusus (tanda lahir, tato, tahi lalat, bekas operasi), data rekam medis dari
dokter keluarga dan dokter gigi korban, data sidik jari dari pihak berwenang (kelurahan atau
kepolisian), serta sidik DNA apabila keluarga memilikinya. Apabila tidak ada data sidik DNA
korban maka dilakukan pengambilan sampel darah dari keluarga korban. Data Ante Mortem
diisikan ke dalam yellow form berdasarkan standar interpol.
Kegiatan
- Mengumpulkan
data-data korban
semasa hidup
seperti foto dan
lain-lainnya
dikumpulkan dari
instansi tempat
korban bekerja,
keluarga/kenalan,
dokter-dokter gigi
pribadi, polisi
(sidik jari).
- Medis: warna kulit, warna-jenis rambut, mata, cacat, tato, tanda khusus
lainnya, golongan darah serta catatan medis lainnya
Tugas awal tim AM adalah mengumpulkan dan mencatat semua informasi yang berkaitan
dengan individu yang dapat dianggap sebagai korban bencana potensial. Pengalaman yang
diperoleh dalam operasi tanggap bencana sebelumnya telah menunjukkan bahwa jumlah
korban yang diduga bervariasi dan secara substansial melebihi jumlah korban yang
sebenarnya terlibat.Perbandingan terus-menerus dengan daftar yang disimpan oleh Tim SAR
(daftar korban terluka dan tidak terluka) dapat memberikan hasil pengurangan sistematis dari
jumlah korban yang diduga.
Tujuan dari pendekatan ini ada dua: untuk memastikan bahwa kasus yang sebenarnya dari
orang yang hilang tidak diabaikan dan untuk menyusun daftar sebenarnya dari semua orang
yang hilang untuk memfasilitasi pengumpulan data AM dari kerabat atas dasar daftar korban
yang sesuai. Tim AM tidak dapat memulai pengumpulan data AM dari saudara, teman, dll
sampai daftar korban yang sebenarnya tersedia.
Semua data AM yang diperoleh oleh Tim AM tersebut akan didokumentasikan. Dengan cara
ini, dapat ditentukan data apa yang diperoleh dari tim yang mana. File pribadi terkait harus
diatur untuk setiap orang yang potensial hilang untuk digunakan dalam mendokumentasikan
semua informasi masuk dan keluar yang berkaitan dengan individu yang bersangkutan. File
pribadi harus berisi sampul dengan checklist (daftar agenda) dari semua langkah yang
diperlukan untuk memperoleh data AM. Pada checklist ini, Tim AM ditugaskan membuat
catatan progresif dari langkah yang dilakukan, langkah yang masih harus dilakukan dan
informasi yang tidak dapat diperoleh meskipun dengan upaya penyelidikan intensif.
Tim AM harus memastikan bahwa semua data identifikasi korban dikumpulkan hanya
berdasarkan Formulir Ante Mortem DVI Interpol (kuning).Hal ini juga penting untuk
memastikan bahwa data AM dikumpulkan oleh masing-masing spesialis yang ditugaskan
selengkap mungkin.Ketidaktersediaan data AM yang spesifik juga harus didokumentasikan.
Untuk tujuan pengumpulan fitur identifikasi primer, baik domisili dan tempat kerja masing-
masing orang yang hilang dan daerah lain di mana orang yang diduga hilang harus
diberlakukan seperti TKP.
Personil pengumpul data ante mortem harus berpengalaman dalam memperoleh laporan yang
rinci dan harus memiliki pengetahuan mendalam tentang layout dan tujuan formulir yang
sesuai. Sebisa mungkin wawancara dilakukan dengan tatap muka.Apabila tidak
memungkinkan, wawancara dilakukan lewat telepon.Waktu dan lokasi wawancara tergantung
lokasi kerabat/keluarga orang yang hilang atau korban potensial. Hal yang harus
dipertimbangkan ketika melakukan wawancara:
Sebelum wawancara, tim wawancara DVI Ante Mortem yang dipimpin oleh petugas
polisi harus menghubungi keluarga terdekat untuk mengatur jadwal untuk wawancara
Saat sampai di tempat wawancara, tim wawancara DVI Ante Mortem yang dipimpin
oleh petugas polisi harus memperkenalkan masing-masing personil tim
Tim harus memastikan keluarga atau teman yang diwawancara bersedia untuk
diwawancarai dan mereka boleh meminta waktu istirahat kapan saja selama
wawancara
Bila keluarga atau teman yang diwawancara bertanya kepada tim, tim harus
menjawab pertanyaan mereka sesegera dan sebaik mungkin. Bila pertanyaan tidak
dapat dijawab, tim memberitahu yang diwawancara bahwa tim akan mencari
informasi mengenai pertanyaan mereka dan akan menjawabnya di kemudian hari.
Tidak ada pertanyaan yang boleh diabaikan.
Tim harus mengumpulkan informasi dan barang berikut sebelum wawancara selesai:
Setiap catatan medis dan/atau gigi yang asli, grafik, catatan perawatan, x-ray dalam
kepemilikan kerabat atau teman;
nama dan alamat dari setiap dokter atau dokter gigi yang berkonsultasi dengan orang
hilang/korban potensial
deskripsi perhiasan dan harta yang dikenakan oleh orang hilang/korban potensial
smear bukal atau sampel darah yang diambil dari orang tua kandung atau anak orang
hilang/korban potensial
deskripsi dan/atau foto tato atau karakteristik fisik lainnya yang signifikan
benda yang mungkin memuat satu-satunya sidik jari dan/atau DNA orang
hilang/korban potensial
Tim wawancara DVI Ante Mortem harus memberikan atau mengatur pengiriman sampel
DNA, catatan gigi asli atau catatan medis asli dan pemaparan sinar-X serta foto-foto yang
diperoleh selama atau setelah wawancara kepada Bagian File DVI Ante Mortem.
File harus disimpan dalam amplop atau folder untuk mencegah hilangnya material.
File harus memiliki lembar sampul dengan nama dan jenis kelamin orang yang
hilang/korban potensial yang ditulis dengan jelas. Lembar sampul juga harus berisi
bagian untuk pencatatan langkah-langkah yang digunakan dari file tersebut.
Catatan Ante Mortem harus diteruskan ke Pusat Ante Mortem DVI hanya untuk
penerjemahan, transkripsi dan pencatatan data, disertai dengan dokumentasi yang
sesuai (formulir kuning Interpol DVI Ante Mortem dan bukti identifikasi primer).
Catatan Ante Mortem harus dikeluarkan untuk petugas dari Pusat Ante Mortem DVI
dan ditandatangani oleh petugas itu.
Setiap catatan ante mortem yang tidak dilanjutkan ke Pusat Ante Mortem DVI harus
dikembalikan ke sumber dimana mereka diperoleh dalam jangka waktu yang wajar
Pada fase ini dilakukan pembandingan data post mortem dengan data ante mortem. Ahli
forensik dan profesional lain yang terkait dalam proses identifikasi menentukan apakah
temuan post mortem pada jenazah sesuai dengan data ante mortem milik korban yang
dicurigai sebagai jenazah. Apabila data yang dibandingkan terbukti cocok maka dikatakan
identifikasi positif. Apabila data yang dibandingkan ternyata tidak cocok maka identifikasi
dianggap negatif dan data post mortem jenazah tetap disimpan sampai ditemukan data ante
mortem yang sesuai dengan temuan post mortem jenazah.
Proses Rekonsiliasi:
Tim Rekonsiliasi menerima file AM dan PM segera setelah mereka tiba dan telah dilakukan
quality control di bagian AM dan PM. Kontrol kualitas terus di Unit Rekonsiliasi, dalam
rangka untuk memastikan kepatuhan terhadap standar data yang seragam.
2. Collective classification
Karena mencari temuan PM dalam semua temuan data AM memakan waktu, maka data
kolektif harus diklasifikasikan sesuai dengan kriteria tertentu. Sebuah klasifikasi sederhana
dengan jenis kelamin dan usia sangat membantu untuk kedua catatan AM dan PM. Klasifikasi
berdasarkan afiliasi etnis atau tinggi badan tidak praktis dalam banyak kasus, karena tubuh
korban bencana besar mungkin hancur (misalnya kecelakaan penerbangan, kecelakaan kereta
api) dan / atau karena telah terjadi pembusukan yang harus diantisipasi dalam banyak kasus
(misalnya bencana di daerah hangat).
Untuk mendapatkan kecocokan pertama antara temuan AM dan PM, perlu adanya daftar
penanda utama tubuh (key marker) pada data AM dan PM. Penanda ini berisi fitur unik dari
seseorang.
4. First matches
5. Individual comparison
Ahli sidik jari membandingkan bukti sidik jari AM dengan bukti print yang diperoleh dari
tubuh korban menggunakan teknologi AFIS
Sejumlah besar rincian spesifik dapat dibandingkan untuk keperluan pencocokan berdasarkan
status gigi . Perbandingan individu harus dilakukan oleh ahli profesional ( dokter gigi)
iii. DNA
Pada bagian DNA, temuan AM dibandingkan dengan profil PM oleh ahli biologi yang terlatih
khusus.Program komputer membuat perbandingan kecocokan dan menghitung statistik
probabilitas. Jika masalah muncul, tim AM atau PM harus dikonsultasikan.
6. Identification/Rejection
Identifikasi akhir dari korban bencana dibuat dengan persetujuan Identification Board (IB).
IB memiliki tanggung jawab khusus sebagai berikut:
IB bertanggung jawab untuk identifikasi akhir dari setiap korban dan karenanya harus terdiri
dari para ahli identifikasi paling berpengalaman terlibat dalam seluruh operasi, yaitu kepala
bagian berbagai / unit (patologi forensik, odontologi, sidik jari) dan Direktur Tim DVI.
v. Debriefing Phase
Setelah korban teridentifikasi sedapat mungkin dilakukan perawatan jenazah yang meliputi
antara lain:
Perawatan jenazah setelah teridentifikasi ini dilaksanakan oleh unsur Pemerintah Daerah,
dalam hal ini Dinas Sosial dan Dinas Pemakaman yang dibantu oleh keluarga korban. Sangat
penting untuk tetap memperhatikan file record dan segala informasi yang telah dibuat untuk
dikelompokkan dan disimpan dengan baik. Dokumentasi berkas yang baik juga
berkepentingan agar pihak lain (Interpol misalnya) dapat melihat, mereview kasusnya,
sehingga menunjukkan bahwa proses identifikasi ini dikerjakan dengan baik dan penuh
perhatian.Sementara, identifikasi pada korban bencana masal merupakan suatu hal yang
sangat sulit mengingat berapa hal di bawah ini:
Sehingga penting pada pelaksanaan tugas identifikasi massal ini adalah koordinasi yang baik
antara instansi dan dukungan peralatan komunikasi dan transportasi.
Pada prinsipnya, tim identifikasi pada korban massal tetap berada di bawah koordinasi Badan
Penanggulangan Bencana seperti Badan Penanggulangan Bencana Daerah yang juga dibantu
instansi-instansi seperti: Kepolisian Daerah/Polda, Dinas Kesehatan, Dinas Perhubungan,
Dinas Sosial, Palang Merah Indonesia serta instansi terkait lainnya serta Bakorlak, Satkorlak
dan Satlak.
Apabila korban tidak teridentifikasi maka data post mortem jenazah tetap disimpan sampai
ditemukan data ante mortem yang sesuai dengan temuan post mortem jenazah, dan
pemakaman jenazah menjadi tanggung jawab organisasi yang memimpin komando DVI.
Sertifikasi jenazah dan kepentingan medikolegal serta administrasi untuk penguburan
menjadi tanggung jawab pihak yang menguburkan jenazah.
Contoh Kasus
1. Pada hari Rabu tanggal 9 Mei 2012 sekitar pukul 18.00 WIB kontak radar pesawat
Sukhoi Super Jet 100 yang sedang melakukan joyflight di wilayah udara sekitar Gunung
Salak dengan ATC Soekarno Hatta dinyatakan hilang. Sehubungan dengan kejadian
tersebut, maka Tim Disaster Victim Identification Indonesiasegera mengadakan koordinasi
dengan instansi terkait dalam hal ini pihak Basarnas yang telah bergerak di lapangan untuk
memperoleh informasi lebih lanjut tentang kejadian tersebut. Selanjutnya Tim DVI
Indonesia meminta kepada Tim DVI Propinsi Jabar untuk segera berkoordinasi dengan
pihak Basarnas untuk melaksanakan kegiatan Phase 1 DVI Olah TKP dan sementara
Direktur Eksekutif DVI Indonesia disertai Kasubbid DVI Biddokpol Pusdokkes Polri
segera bergerak menuju Bandara Halim Perdana Kusuma untuk melakukan koordinasi
dengan pihak penguasa Bandara dalam rangka membuka Posko Ante Mortem sebagai
tempat pelaporan pihak keluarga yang anggota keluarganya tercantum dalam manifest
penerbangan joyflightyang berjumlah 45 orang sesuai keterangan yang disampaikan oleh
pihak PT. Trimarga Rekatama selaku rekanan pihak Sukhoi. Pada saat yang bersamaan
Tim DVI Indonesia juga mempersiapkan Posko Post Mortem bertempat di Kompartemen
Dokpol Rumah Sakit Bhayangkara Tk. I R.Said Sukanto, Kramat Jati, Jakarta Timur
2. Dalam pelaksanaan operasi DVI, maka, Tim DVI Indonesia dibantu oleh para ahli
antara lain patologi forensik, odontologi forensik, anthropologi forensik, finger print, DNA
dan psikolog yang berasal dari Polri, TNI, perguruan tinggi, rumah sakit dan elemen
masyarakat seperti dari UI, UGM, UNPAD, UNAIR,UNIBRAW, UNUD, USAKTI,
RSUD Serang, RSUP Fatmawati dan Himpsi Jaya.
Tim DVI Indonesia mulai bertugas sejak hari Rabu tanggal 9 Mei 2012 pukul 22.30
WIB dengan membuka Posko Ante Mortem di Bandara Internasional Halim Perdana
Kusuma dan langsung menerima laporan dari pihak keluarga yang merasa kehilangan
anggota keluarganya dalam joyflight pesawat Sukhoi Super Jet 100 sedangkan kegiatan di
Posko Post Martem mulai pada hari Sabtu tanggal 12 Mei 2012 dengan menerima
pengiriman evakuasi jenazah dari BASARNAS. Dalam siaran pers nya, Direktur Eksekutif
Komite DVI Nasional Indonesia Kombes Pol dr. Anton R. Castilani, M.Si, DFM
menyatakan bahwa proses identifikasi membutuhkan waktu selama kurang lebih 2 minggu
setelah kantong jenazah pertama diterima Posko Post Mortem.
Identifikasi para korban dilakukan dengan melakukan perbandingan antara data Ante
Mortem dan Post Mortem melalui fingerprint, data gigi-geligi, DNA, data medis dan
properti korban. Kegiatan operasi Tim DVI berlangsung selama 11 hari dan telah berhasil
mengidentifikasi seluruh korban jatuhnya pesawat Sukhoi Super Jet 100 sejumlah 45
orang, proses identifikasi tersebut sendiri hanya membutuhkan waktu selama 8 hari dari
estimasi waktu selama 14 hari