Disusun oleh :
1
Selvi Kartika L
Pembimbing :
Riani Setiadhi, drg.Sp.PM.
UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
BANDUNG
2016
38
JUDUL
160112130002
160112130011
160112130048
Pembimbing Utama,
39
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
ii
DAFTAR GAMBAR
BAB I PENDAHULUAN
BAB II LAPORAN KASUS
1 Status Klinik IPM I
2 Status Klinik IPM II
3 Status Klinik IPM III
BAB III TINJAUAN PUSTAKA
1 Pemphigus
1
Definisi
2
Klasifikasi
2 Pemphigus Vulgaris
1
Definisi
2
Etiologi
3
Patogenesis
4
Manifestasi Klinis
1
Tanda dan Gejala
2
Manifestasi Sistemik
3
Manifestasi Oral
5
Pemeriksaan dan Penegakkan Diagnosis
6
Diagnosis Banding
7
Penatalaksaan
1
Prinsip Penatalaksanaan Pemphigus Vulgaris
2
Kortikosteroid
3
Deksametason
BAB IV PEMBAHASAN
BAB V KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
iii
1
2
2
4
6
9
9
9
9
17
18
18
18
19
19
19
20
21
25
26
26
28
33
37
45
46
40
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
Pemphigus Vulgaris
Pemphigus Vegetans
Pemphigus Foliaceus
Fogo Selvagem
Pemphigus Erythematosus
Drug Induced Pemphigus
Pemphigus Paraneoplastik
Akantolisis Tzank cells
(A) Bulla pada kulit pasien dengan PV
(B) Lesi erosif di kulit
(A) erosi dangkal irregular pada mukosa bukal dan
permukaan palatum disebabkan pemphigus
(B) Lesi bula pada pemphigus
Gambar histologi PV : Bulla Suprabasilar dengan
Akantolisis
Gambaran Direct Immunofluorescence
Struktur Kimia Deksametason
12
13
13
14
15
16
17
19
20
20
21
21
22
23
33
41
BAB I
PENDAHULUAN
Pemphigus berasal dari bahasa Yunani yaitu pemphix yang artinya
gelembung atau bullae (Lubis, 2008). Pemphigus vulgaris adalah penyakit
autoimun berupa bula yang bersifat kronik, dapat mengenai membran mukosa
maupun kulit. Pada penyakit ini ditemukan antibodi IgG yang bersirkulasi dan
terikat pada permukaan sel keratinosit, menyebabkan timbulnya reaksi akantolisis
yaitu reaksi pemisahan sel-sel epidermis karena tidak adanya kohesi antara sel-sel
epidermis tersebut, hal iniyang nantinya akan menyebabkan terbentuknya bula di
suprabasal. Penyebab pemphigus vulgaris tidak diketahui secara pasti, namun
terdapat beberapa faktor potensial yang dapat mempengaruhi, disamping
pembentukan antibodi IgG(Lubis, 2008).
Pemphigus vulgaris merupakan tipe pemphigus yang paling sering
ditemukan. Pemphigus sendiri dalam ICD 10 dikategorikan menjadi beberapa tipe
yaitu, pemphigus vulgaris, pemphigus vegetans, pemphigus foliaceus, fogo
selvagam, pemphigus erythematous, drug-induced pemphigus, dan pemphigus
paraneoplastik.
Pada laporan kasus ini, pasien perempuan berusia 52 tahun datang ke
Rumah Sakit Hasan Sadikin dengan keluhan awal berupa sakit dan bengkak pada
bibir. Setelah dilakukan observasi dan pemeriksaan klinis maupun pemeriksaan
penunjang, pasien didiagnosislesi oral terkait pemphigus vulgaris.
42
BAB II
OVERVIEW CASE
2.1
2.1.2
Anamnesis
Keadaan bibir dan rongga mulut sudah membaik, rasa sakit dan
mudah berdarah berkurang, sudah dapat makan nasi lunak, obat digunakan
teratur.
Pasien datang pertama kali pada tanggal 09 Juli 2015 mengeluhkan
sakit dan bengkak pada bibir yang dirasakan sejak sekitar 3 bulan yang
lalu.Pernah dirawat secara rutin di poli Penyakit Mulut tahun 2011 hingga
2012 dengan keluhan yang sama. Keadaan sakit saat ini dirasakan muncul
kembali setelah berobat ke dokter Penyakit Dalam dengan keluhan batuk.
2.1.3
2.1.4
sakit.
: plak putih, dapat dikerok, kaku, tidak terasa sakit
43
Palatum
Diagnosis
- Lesi oral terkait pemphigus vulgaris
- Gingivitis marginalis kronis generalisata
- Susp. kandidiasis oral
2.1.6
Rencana Perawatan dan Perawatan
- Oral Hygiene Instruction dan KIE
(melanjutkan kompres bibir dengan NaCl 0.9% berkumur dan minum
-
44
2 dd 1
R/ Dexamethasone 0.05mg
Avil 0.25 mg
Lanoline 2.5 gr
Add vaseline 25 gr
mf unguentum
3 dd 1 p.a (oles bibir tipis-tipis)
R/ NaCl 0.9% fl No I
kompres bibir 4-5x / hari
R/ Chlorhexidine gluconate 0.2% 150 ml fl No. I
col oris 3 dd 1
-
2.2
2.2.1
2.2.2
2.2.3
45
Palatum
sakit
: erosif, multipel, difus, tidak terdapat plak
Mukosa bukal
2.2.4
Diagnosis
- Lesi oral terkait pemphigus
-
vulgaris
Gingivitis marginalis kronis
generalisata
2.2.5
Rencana Perawatan
- Oral Hygiene Instruction dan KIE (kompres bibir dengan rutin 5x
-
46
2.3
2.3.1
2.3.2
berdarah, terasasakit
: plak putih, dapat dikerok, tidak terasa kaku dan
tidak sakit
2.3.3
Palatum
Mukosa bukal
sakit
:erosif, multipel, difus (sudah berkurang), tidak
sakit
47
2.3.4
Diagnosis
- Lesi oral terkait pemphigus vulgaris
- Gingivitis marginalis kronis generalisata
2.3.5
Rencana Perawatan
- Oral Hygiene Instruction dan KIE (kompres bibir dengan rutin 5x
-
48
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
1
1
Pemphigus
Definisi
Pemphigus berasal dari bahasa Yunani yaitu pemphix yang artinya
gelembung atau bullae (Lubis, 2008). Definisi pemphigus dalam Kamus Saku
Kedokteran Dorland (2010) adalah kelompok penyakit khusus yang dicirikan
oleh rangkaian kumpulan bula intraepitelial. Pemphigus merupakan kelompok
penyakit autoimun yang ditandai dengan lepuhan di daerah intraepitelial,
menyebabkan vesikel atau bula superfisial yang mudah ruptur membentuk
ulserasi pada mukosa dan/ atau daerah kutaneus. Pemphigus pada beberapa
kasus dapat menyebabkan kematian (Moore, 2008).
2
Klasifikasi
Pemphigus terdiri dari beberapa subklas dan varian yaitu pemphigus
49
Pemphigus Vulgaris
Pemphigus vulgaris merupakan suatu penyakit autoimun kronik
yang tersebar di seluruh dunia, dapat mengenai semua ras, frekuensi
terjadinya hampir sama pada laki-laki dan perempuan. Pemphigus
vulgaris merupakan bentuk yang sering dijumpai kira-kira 70% dari
semua kasus pemphigus, biasanya pada usia 50-60 tahun dan jarang
pada anak-anak. Insidensi pemphigus vulgaris bervariasi antara 0,53,2 kasus per 100.000 (Lubis, 2008).
Pada pemphigus vulgaris ditemukan antibodi IgG
yang
tenggorokan,
dan
genital
(British
Association
of
50
51
Pemphigus Vegetans
Pemphigus vegetans merupakan varian dari pemphigus vulgaris.
Lepuhan biasanya berkembang cepat, memiliki bau tajam, lesi besar,
dan sering ditemukan di daerah pangkal paha dan bawah lengan
(Crescent, 2008). Onset dari pemphigus ini berupa vesikel dan
pustula, yang apabila ruptur akan membentuk erosi dengan jaringan
granulasi berlebihan dan krusta.
Pemphigus vegetans memiliki dua tipe, yaitu tipe Neumann dan
tipe Hallopeau. Onset dari tipe Neumann ditandai dengan lepuhan dan
bentuk lepuhan yang erosif menyerupai pemphigus vulgaris. Pustula
banyak ditemukan di tipe Hallopeau, tipe ini memiliki prognosis yang
lebih baik.
Pemphigus Foliaceus
52
53
Pemphigus Erythematosus
Pemphigus erythematosus merupakan subtipe dari pemphigus
foliaceus dan terjadi kebanyakan pada usia paruh baya dan orang tua.
Terdapat lesi eritem, berkeropeng dan erosif, berbentuk kupu-kupu di
daerah wajah, dahi, daerah sternum, dan daerah tulang skapula. Secara
histologik sama dengan gambaran pada pemphigus foliaceus.
Pemphigus erythematosus dikaitkan juga dengan penyakit thymomas
dan myastenia gravis (Thomas, et.al, 2000).
54
Drug-Induced Pemphigus
Sindroma dari penyakit ini sama seperti pada pemphigus vulgaris
dan pemphigus foliaceus yang dipicu oleh penggunaan obat (Thomas,
et.al, 2000). Obat yang dilaporkan memacu pemphigus terbagi tiga
kelompok sesuai struktur kimianya: obat yang mengandung radikal
sulfhydryl seperti penisilamin; phenol seperti rifampin, levodopa,
aspirin; dan obat nonthiol nonphenol, seperti calcium channel locker,
angiotensin
converting
enzyme
inhibitors,
NSAIDS,
dipiron,
Pemphigus Paraneoplastik
55
dengan
56
dermatitis
57
Gambar 3.8 Akantolisis - Tzank cells (sel epitel yang lebih kecil dan lebih
bundar) (Greenberg, 2008)
4
Manifestasi Klinis
1
Tanda dan Gejala
Gejala klinis pada pemphigus vulgaris yaitu berupa keluhan
subjektif seperti malaise, anoreksia, subfebris, kulit terasa panas dan sakit
58
serta sulit menelan. Pruritus (rasa gatal) jarang ditemui. Bila lesi meluas ke
bagian laring maka akan timbul kesulitan menelan karena rasa nyeri.
Permukaan mukosa lain juga dapat terkena, seperti konjungtiva,
esophagus, labia, vagina, serviks, penis, uretra, dan anus (Harahap, 2000).
2
Manifestasi Sistemik
Pada penderita PV biasanya keadaan umumnya buruk. Penyakit
dapat dimulai dengan adanya lesi di kulit kepala berambut atau di rongga
mulut sehingga sering terjadi kesalahan diagnosis sebagai pioderma pada
kulit kepala yang berambut atau dermatitis dengan infeksi sekunder. Lesi
di tempat tersebut dapat berlangsung selama berbulan-bulan sebelum
timbul bullae generalisata (Harahap, 2000).
Gambar 3.9 (A) Bulla pada kulit pasien dengan PV, (B) Lesi erosif di kulit
(Greenberg, 2008)
Bullae berdinding tipis akan pecah meninggalkan area kulit yang
gundul dan menjadi keropeng. Karakteristik lesi ekstra oral pada
pemphigus adalah apabila ditekan pada bagian normal di lokasi tersebut
akan menimbulkan lesi baru. Hal ini dinamakan sebagai Nikolskys sign.
59
Manifestasi Oral
Enampuluh persen dari kasus pemphigus, lesi awalnya terjadi pada
intra oral. Butuh waktu rata-rata sekitar 5 bulan dari waktu onset lesi oral
untuk menentukan diagnosis pemphigus. Pada awalnya, terdapat bullae
berdinding tipis dengan dasar tidak inflamasi muncul di mukosa oral
kemudian bullae pecah menjadi lesi ulser irregular yang tertutup benangbenang fibrin (Fields, 2004; Greenberg, 2008).
Pada lesi ulser terlihat gundul karena telah kehilangan lapisan
epitel. Lesi meluas ke perifer dalam waktu beberapa minggu. Mukosa
bukal merupakan lokasi awal terdapat bullae namun lesi dapat meluas
dalam beberapa minggu hingga ke palatum dan gingiva (Fields, 2004;
Greenberg, 2008).
60
Gambar 3.10 (A) erosi dangkal irregular pada mukosa bukal dan
permukaan palatum disebabkan pemphigus, (B) Lesi bula pada
pemphigus (Greenberg, 2008)
5
juga bagian lain yang berhubungan seperti Dokter Gigi Spesialis Ilmu Penyakit
Mulut, namun harus dilakukan pemeriksaan penunjang agar lebih akurat. Terdapat
beberapa pemeriksaan yang bisa dilakukan untuk mendiagnosis Pemphigus
Vulgaris (Greenberg, 2008) :
a
Pemeriksaan Visual
Pemphigus Vulgaris memiliki tanda visual khusus yaitu bullae
yang mudah ruptur. Pemeriksaan secara visual dilakukan dengan cara
melihat anggota bagian tubuh yang terlibat. Selain itu ada cara khusus
yang dapat dilakukan melalui Nikolskys sign, caranya dengan menekan
mukosa sekitar bullae yang berisi cairan sehingga cairan dapat
berpindah dan menimbulkan lesi baru (Greenberg, 2008).
61
Histopatologi
Spesimen diambil dari jaringan sekitar bullae. Histopatologi
menunjukkan bullae intradermal. Perubahan awal yang terjadi adalah
adanya odem interselular dengan kehilangan perlekatan interselular
pada lapisan basal. Sel epidermis suprabasal terpisah dari sel basal
membentuk suatu ruang dan bullae. Sel basal terpisah satu dengan
lainnya dan tampak berjajar seperti tombstone pada dasar bullae namun
sel tersisa tetap menempel pada membran basal. Bullae berisi sel
inflamasi termasuk eosinofil dan sel akantolisis dengan sitoplasma
eosinofilik dan halo perinukleus. Histopatologi dapat membantu
membedakan tipe pemphigus (Lubis, 2008).
Direct Immunofluorescence
62
Direct
Immunofluorescence
(DIF)
biasanya
menunjukkan
63
Pemeriksaan ELISA
Pasien
dengan
pemphigus
vulgaris
memiliki
antibodi
64
Diagnosis Banding
Herpes simpleks, bullous pemphigoid, dermatitis herpetiformis, erythema
multiforms, dan lichen planus merupakan penyakit dengan gejala klinis sama
dengan pemphigus vulgaris yaitu memiliki lesi menyerupai erosi pada bagian
orofaring dan kulit. Bullous pemphigoid dan dermatitis herpetiformis dapat
dibedakan
dengan
pemphigus
vulgaris
dari
bentuk
IgG
melalui
tes
65
Penatalaksanaan
Berdasarkan percobaan klinis dan penelitian selama ini, terapi pilihan untuk
66
penyakit,
namun
demikian,
penelitian
belakangan
ini
Kortikosteroid
Definisi
67
yakni
glukokortikoid
(contohnya
kortisol)
yang
berperan
Oral Kortikosteroid
Penggunaan
kortikosteroid
sistemik
pada
uji
klinis
17
pasien,
menunjukkan adanya remisi total sebesar 29% dalam 4-6 tahun. Efek
peningkatannya secara klinis dapat dilihat jelas dalam beberapa hari setelah
penggunaan kortikosteroid. Rata-rata penurunan bullae membutuhkan waktu 2-3
68
69
klinis yang sangat luas. Manfaat dari kortikosteroid cukup besar tetapi karena efek
samping yang tidak diharapkannya juga cukup banyak, maka penggunaannya
dibatasi (Gilman, 2007; Katzung, 2004).
Tabel 3.1 Efek Samping Kortikosteroid Menurut Organ yang Terkena (Barret,
2010)
Tempat
Saluran cerna
Otot
Susunan saraf pusat
Tulang
Kulit
Mata
Darah
Pembuluh darah
Kelenjar adrenal bagian
korteks
Metabolisme
protein,
karbohidrat, dan lemak
Elektrolit
Sistem imunitas
70
Tabel 3.2 Efek Samping Kortikosteroid Secara Sistemik dan Topikal (Gilman,
2007; Katzung, 2004)
Sistemik
Insufisiensi adrenal akut/ krisis adrenal
dapat terjadi pada penggunaan jangka
panjang (>2 minggu) yang dihentikan
secara mendadak.
b Habitus Cushing
Kortikosteroid yang berlebihan akan memicu
katabolisme lemak sehingga terjadi redistribusi
lemak di bagian tertentu tubuh. Gejala yang
timbul : moon face, buffalo hump,
penumpukan
lemak
supraklavikular,
ekstremitas kurus, striae acne, dan hirsutism
c Hiperglikemia dan glikosuria
Topikal
a. Atrofi
b. Striae atrofi
c. Telangiektasis
d. Purpura
e. Dermatosis acneformis
f.
Hipertrikosis
setempat
:
pertumbuhan rambut dalam tubuh yang
jumlahnya dianggap abnormal
g. Hipopigmentasi
h. Dermatitis peroral
Efek Epidermal
Penipisan epidermal yang disertai dengan
peningkatan aktivitas kinetik dermal, suatu
penurunan ketebalan rata-rata lapisan
keratosit, dengan pendataran dari konvulsi
dermo-epidermal. Efek ini bisa dicegah
dengan penggunaan tretinoin topikal secara
konkomitan
Inhibisi dari melanosit, suatu keadaan
seperti
vitiligo,
telah
ditemukan.
Komplikasi ini muncul pada keadaan oklusi
steroid atau injeksi steroid intrakutan
Efek Dermal
Terjadi penurunan sintesis kolagen dan
pengurangan pada substansi dasar. Ini
menyebabkan terbentuknya striae dan
keadaan vaskulator dermal yang lemah
akan menyebabkan mudah ruptur jika
terjadi trauma atau terpotong. Pendarahan
intradermal yang terjadi akan menyebar
dengan cepat untuk menghasilkan semacam
blot hemorrhage atau bisa disebut juga
aneurysms
yaitu
pembengkakan/
71
osteoklast, namun dalam jangka waktu lama
malah menghambat pembentukan tulang
(sintesis
protein
di
osteoblast)
dan
meningkatkan resorpsi sehingga memicu
terjadinya osteoporosis
i Miopatik
Katabolisme protein akibat penggunaan
Efek Vaskular
Vasodilatasi yang terfiksasi. Kortikosteroid
pada awalnya menyebabkan vasokontriksi
pada pembuluh darah yang kecil di
superfisial
Fenomena rebound. Vasokontriksi yang
lama akan menyebabkan pembuluh darah
perifer mengalami dilatasi berlebihan, bisa
mengakibatkan edema, inflamasi lanjut, dan
kadang-kadang pustulasi.
72
Deksametason
73
rhinitis alergi
Gangguan kolagen, seperti reumatik, karditis akut, lupus eritematosus
sistemik
Reumatik, seperti rheumatoid arthritis, ankylosis spondilitis, arthritis
d
e
gout akut
Gangguan dermatologik, seperti eksim, neurodermatitis, pemfigus
Alergi dan inflamasi akut dan kronik pada mata seperti konjungtivitis,
f
g
h
i
74
75
BAB IV
PEMBAHASAN
76
pemphigus vulgaris pada pasien sama seperti yang diungkapkan oleh Greenberg
dan Glick (2008) yaitu lesi oral dimulai dengan bulla berdinding tipis pada
daerah kulit atau mukosa normal yang mudah ruptur namun akan terus melebar
dan pada akhirnya akan meninggalkan area dengan lapisan epitel yang hilang.
Pemphigus vulgaris dapat dibedakan dengan bullous pemphigoid melalui
bentuk bulanya. Menurut Greenberg and Glick (2008), lesi awal bullous
pemphigoid adalah bula yang meluas meliputi daerah subepitelial, sedangkan pada
pemphigus vulgaris bula meluas ke arah intraepitelial sehingga terjadi akantolisis.
Selain itu gambaran histologis dasar bullous pemphigoid memiliki gambaran khas
berupa infiltrasi sel-sel inflamasi yang kaya akan eosinofil.
Menurut Greenberg and Glick (2008), pemphigus vulgaris dan erythema
multiforme merupakan penyakit yang masuk ke dalam kelompok penyakit
vesicobullous. Lesi kulit pada pemphigus vulgaris berupa bullae yang ruptur
dengan cepat meninggalkan area yang tidak tertutup oleh epitel, sedangkan
erythema multiforme memiliki lesi target yang khas. Selain observasi lesi pada
kulit, diperlukan pemeriksaan penunjang serologi untuk menentukan diagnosis
yang tepat bagi pasien.
Pasien diduga mengalami kandidiasis oral sebagai efek samping dari
pemakaian kortikosteroid topikal. Menurut Tarigan dan Setyawati (2009),
pemberian kortikosteroid secara topikal memiliki efek samping: kandidiasis,
penipisan
mukosa
pengaplikasiannya.
rongga
mulut,
dan
ketidaknyamanan
sewaktu
77
berperan
dalam
78
karbohidrat. Glukokortikoid
79
Selain itu, diperlukan nutrisi yang adekuat dalam pengobatan pasien ini.
Entrasol merupakan makanan cair dengan kandungan gizi yang lengkap dan
seimbang, diindikasikan pada pasien ini sebagai makanan selingan atau makanan
pengganti karena pasien mengalami sariawan hebat dan mengakibatkan
ketidaknyamanan dalam mengunyah maupun menelan makanan Selain itu,
Entrasol gold mengandung tinggi kalsium untuk mencegah osteoporosis, omega 3
dan omega 6 yang baik untuk kesehatan jantung, serta antioksidan (Vitamin C
dan
vitamin
E)
untuk
melindungi
organ
tubuh
secara
keseluruhan
80
dilapisi krusta kekuningan dan merah kehitaman masih ada namun juga
berkurang, mudah berdarah, terdapat rasa sakit, dan terdapat perbaikan jaringan;
di sudut bibir terdapat plak putih namun sudah berkurang, tidak terasa kaku dan
tidak terasa sakit juga. Pada pemeriksaan intraoral di 2/3 posterior dorsum lidah
terdapat nodul, ukuran 1 cm, eritema dilapisi selaput putih kekuningan yang
tidak dapat dikerok, terasa sakit; 1/3 anterior lidah terdapat makula, erosif, difus,
dilapisi selaput putih kekuningan yang tidak dapat dikerok, terasa sakit; di mukosa
palatum dan bukal terdapat lesi erosif, multipel, difus, tidak terdapat plak putih
dan tidak terasa sakit.
Pasien diberikan terapi berupa Oral Hygiene Instruction dan KIE
(Komunikasi, Instruksi, dan Edukasi) berupa kompres bibir dengan rutin 5x
sehari, mempraktikkan berkumur dengan benar dan rutin, serta menghentikan
salep bibir racikan mengandung deksametason 0,005mg; avil 0,25mg; lanoline
2,5mg; vaselin 25gr, meminum entrasol gold 2kali sehari, dan resep
Deksametason 0,5mg 20 butir diminum 1 tablet setiap pagi dan malam,
Deksametason 0.5mg sebanyak 40 butir dilarutkan 2 butir dalam air 10 ml lalu
digunakan sebagai obat kumur buang setiap pagi dan malam.
Pada kunjungan ini penggunaan salep kortikoteroid topikal harus
dihentikan
81
82
obat oles bibir mengandung deksametason 0,005mg; avil 0,25mg; lanoline 2,5mg;
vaselin 25gr; sebanyak 5 kali sehari setelah mengkompres bibir dengan NaCl
0,9%, meminum entrasol gold 2kali sehari, dan pemberian resep Deksametason
0,5mg sebanyak 40 butir diminum setiap pagi dan malam masing-masing 1 butir,
Deksametason 0.5mg sebanyak 30 butir dilarutkan 2 butir dalam 10 ml air lalu
digunakan sebagai obat kumur buang setiap pagi dan malam.
BAB V
SIMPULAN
83
DAFTAR PUSTAKA
84
online di : [http://www.woundsresearch.com/content/the-effects-topical-andsystemic-beta-glucan-administration-wound-healing-impaired-corticost]
Crescent Healthcare, Inc. Pemphigus and Pemphigoid. Tersedia online di
[http:/www.crescenthealthcare.com/patient_Pemphigus.htm].
Dahl MV. 2001. Clinical Immunodermatology. 2nd ed. CV Mosby Co.: St. Louis.
Darling, Mark R. 2006. Blistering Mucocutaneous Diseases of the Oral Mucosa
A Review: Part 2. Pemphigus Vulgaris. J Can Dent Assoc Vol. 72.
Dhamija, Ashish, et.al. 2012. Pemphigus Vegetans: Am Usual Presentation. Indian
Dermatology
Online
Journal
Vol.
3.
Tersedia
online
di
[http://www.idoj.in/temp/IndianDermatolOnlineJ331937564721_210047.pdf]
Dick SE, Werth VP. Pemphigus: a treatment update.Autoimmunity 2006; 39:5919.
Domonkos AN, Arnold HN, Odom RD. 2000. Chronic Blistering Dermatoses in
Andrews Disease of The Skin. 7th edition. Philadelphia : W. B. Saunders
Company.
Dorland. 2010. Kamus Saku Kedokteran Dorland. Edisi 31. Penerbit Buku
Kedokteran EGC: Jakarta.
Fernando, Suran L., Jamma Li, and Mark Schifter. 2013. Pemphigus Vulgaris and
Pemphigus Foliaceus. Tersedia online di [http://cdn.intechopen.com/pdfswm/45418.pdf]
Fields, A & Longman, L. 2004. Tyldesleys Oral Medicine.5th edition. New York:
Oxford.
Gilman, A.G. 2007. Goodman & Gilman Dasar Farmakologi Terapi.
Diterjemahkan oleh Tim Alih Bahasa Sekolah Farmasi ITB. Edisi X.
Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta.
Greenberg, M.S; M. Glick. 2003. Burkets Oral Medicine Diagnosis and
Treatment. 10th ed. Hamilton. BC Decker Inc.
Harahap, M. 2000. Infeksi Jamur Kulit, Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta : Hipokrates.
85
Tersedia
online
di
[http://www.cdc.gov/nchs/icd/icd10cm.htm].
Ioannides D, Chrysomallis F, Bystryn JC. Ineffectiveness of cyclosporin as an
adjuvant to corticosteroids in the treatment of pemphigus. Arch Dermatol
2000; 136: 86872.
Katzung, B.G. 2004. Farmakololgi Dasar dan Klinik. Diterjemahkan oleh bagian
Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Edisi 6. Salemba
Medika: Jakarta.
Kerdel FA., Jimenez-Acosta F. 2000. Dermatology Just The Facts. McGraw-Hill:
New York.
Kester M., et. al. 2007. Elseviers Integrated Pharmacology. Mosby Inc: USA.
Langlais, R.P., Miller C.S., Nield-Gehrig J.S. 2009. Color Atlas of Common Oral
Diseases. Lippincott William & Wilkins: Philadelphia.
Lubis, R.D. 2008. Gambaran Histopatologis Pemphigus Vulgaris. Departemen
Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera
Utara
:
USU
e-repository.Tersedia
online
di
[http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3419/1/08E00888.pdf]
Moore E, House F, Dorfman, Gerber M, Fogarty M, Cowie R. Pemphigus
Vulgaris: The Blistering Oral and Skin Lesions of Vesicobullous PV.
Tersedia
online
di
[http:/autoimmunedisease.suite101.com/article.cfm/pemphigus_vulgaris].
Mycek, M.J., et. al. 2001. Farmakologi Ulasan Bergambar. Edisi II. Widya
Medika: Jakarta.
Neville, B. W., et. al. 2002. Oral and Maxillofacial Pathology. 2nd ed. W. B
Saunders Company: Philadelphia.
86
Pilih, A. Benedicic. 2003. Drug Induced Linear IgA Dermatosis: Case Report and
A Short Review. Acta Dermatoven APA Vol. 12. Tersedia online di
[https://www.google.co.id/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=24&cad=rja&uact=8&ved=0ahU
KEwi0i5SfgJfMAhWCqJQKHQ0YCow4FBAWCDQwAw&url=http%3A
%2F%2Fwww.dlib.si%2Fstream%2FURN%3ANBN%3ASI%3AdocPAAIYNGS%2Fb1eb5ca8-0d7b-4021-a042b16c1eb20e54%2FPDF&usg=AFQjCNEnOv-YJ-dZlbmnLtR4JwYWZkqBA]
Rezeki, Sri dan Titik Setyawati. 2009. Pemphigus Vulgaris: Pentingnya Diagnosis
Dini, Penatalaksanaan yang Komprehensif dan Adekuat (Laporan Kasus).
Indonesian Journal of Dentistry: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas
Indonesia.Tersedia
online
di
[http://www.jdentistry.ui.ac.id/index.php/JDI/article/viewFile/20/17]
Salami, T.A.T, et.al. 2012. Pemphigus Erythematosus in A Young Nigerian
Woman: Case Presentation and Short Review of The Literature. Journal of
Medicine and Medical Science Vol. 3. Tersedia online di
[http://www.interesjournals.org/full-articles/pemphigus-erythematosus-in-ayoung-nigerian-woman-case-presentation-and-short-review-of-theliterature.pdf?view=inline]
Shimizu, Hiroshi. 2007. Shimizus Textbook of Dermatology. Tersedia online di
[www.derm-hokudai.jp/shimizu-dermatolog/profile/index.html].
Suherman, K.S. 2007. Adrenokortikotropin, Adrenokortikosteroid, AnalogSintetik dan Antagonisnya dalam Farmakologi dan Terapi. Edisi kelima.
Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta.
Sweetman, Sean C. 2009. Martindale The Complete Drug Reference. Vol. 2.
Pharmaceutical Press: USA.
Tarigan, Ravina dan Titiek Seyawati. 2009. Tantangan dalam Perawatan Oral
Lichen Planus pada Pasien Diabetes Mellitus : Laporan Kasus. Indonesian
Journal
of
Dentistry;
16(1):8-17.
Tersedia
online
di
[https://www.google.com/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&ved=0ahUKEwjQpcjtx8LLA
hUJW5QKHaFgAZ8QFggcMAA&url=http%3A%2F
%2Fwww.jdentistry.ui.ac.id%2Findex.php%2FJDI%2Farticle%2Fdownload
87
%2F19%2F16&usg=AFQjCNHuWKDdOD6q5Xh7B58_hIPyYS6zQ&cad=rja]
Tatro, David S. 2003. A to Z Drug Facts. Ovid: San Fransisco.
Thomas B., Johnson RA., Klauswoff, Suurmond D. 2000. Color Atlas and
Synopsys of Clinical Dermatology, Common and Serious Disease. McGrawHill: New York.
Yagiela, et. al. 2010. Pharmacology and Therapeutics for Dentistry. Elsevier:
Illinois.
Zeina, B. 2015. Pemphigus Vulgaris Workup : Laboratory Studies. Tersedia online
di [http://emedicine.medscape.com/article/1064187-workup].
www.kalbenutritionals.com/about_you_product.asp?id=12&strlang=ind