Anda di halaman 1dari 51

37

LAPORAN KASUS MAYOR


ILMU PENYAKIT MULUT

LESI ORALTERKAIT PEMPHIGUS VULGARIS

Disusun oleh :
1

Selvi Kartika L

1601 1213 0002

Niken Tri Hapsari

1601 1213 0011

Anita Putri Isabela

1601 1213 0048

Pembimbing :
Riani Setiadhi, drg.Sp.PM.

UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
BANDUNG
2016

38

JUDUL

: LESI ORAL TERKAIT PEMPHIGUS VULGARIS

PENYUSUN : SELVI KARTIKA L

160112130002

NIKEN TRI HAPSARI

160112130011

ANITA PUTRI ISABELA

160112130048

Bandung, Oktober 2016


Menyetujui :

Pembimbing Utama,

drg. Riani Setiadhi, Sp PM


NIP. 19541024 198003 2 002

39

DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
ii
DAFTAR GAMBAR
BAB I PENDAHULUAN
BAB II LAPORAN KASUS
1 Status Klinik IPM I
2 Status Klinik IPM II
3 Status Klinik IPM III
BAB III TINJAUAN PUSTAKA
1 Pemphigus
1
Definisi
2
Klasifikasi
2 Pemphigus Vulgaris
1
Definisi
2
Etiologi
3
Patogenesis
4
Manifestasi Klinis
1
Tanda dan Gejala
2
Manifestasi Sistemik
3
Manifestasi Oral
5
Pemeriksaan dan Penegakkan Diagnosis
6
Diagnosis Banding
7
Penatalaksaan
1
Prinsip Penatalaksanaan Pemphigus Vulgaris
2
Kortikosteroid
3
Deksametason
BAB IV PEMBAHASAN
BAB V KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA

iii
1
2
2
4
6
9
9
9
9
17
18
18
18
19
19
19
20
21
25
26
26
28
33
37
45
46

40

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13

Pemphigus Vulgaris
Pemphigus Vegetans
Pemphigus Foliaceus
Fogo Selvagem
Pemphigus Erythematosus
Drug Induced Pemphigus
Pemphigus Paraneoplastik
Akantolisis Tzank cells
(A) Bulla pada kulit pasien dengan PV
(B) Lesi erosif di kulit
(A) erosi dangkal irregular pada mukosa bukal dan
permukaan palatum disebabkan pemphigus
(B) Lesi bula pada pemphigus
Gambar histologi PV : Bulla Suprabasilar dengan
Akantolisis
Gambaran Direct Immunofluorescence
Struktur Kimia Deksametason

12
13
13
14
15
16
17
19
20
20
21
21
22
23
33

41

BAB I
PENDAHULUAN
Pemphigus berasal dari bahasa Yunani yaitu pemphix yang artinya
gelembung atau bullae (Lubis, 2008). Pemphigus vulgaris adalah penyakit
autoimun berupa bula yang bersifat kronik, dapat mengenai membran mukosa
maupun kulit. Pada penyakit ini ditemukan antibodi IgG yang bersirkulasi dan
terikat pada permukaan sel keratinosit, menyebabkan timbulnya reaksi akantolisis
yaitu reaksi pemisahan sel-sel epidermis karena tidak adanya kohesi antara sel-sel
epidermis tersebut, hal iniyang nantinya akan menyebabkan terbentuknya bula di
suprabasal. Penyebab pemphigus vulgaris tidak diketahui secara pasti, namun
terdapat beberapa faktor potensial yang dapat mempengaruhi, disamping
pembentukan antibodi IgG(Lubis, 2008).
Pemphigus vulgaris merupakan tipe pemphigus yang paling sering
ditemukan. Pemphigus sendiri dalam ICD 10 dikategorikan menjadi beberapa tipe
yaitu, pemphigus vulgaris, pemphigus vegetans, pemphigus foliaceus, fogo
selvagam, pemphigus erythematous, drug-induced pemphigus, dan pemphigus
paraneoplastik.
Pada laporan kasus ini, pasien perempuan berusia 52 tahun datang ke
Rumah Sakit Hasan Sadikin dengan keluhan awal berupa sakit dan bengkak pada
bibir. Setelah dilakukan observasi dan pemeriksaan klinis maupun pemeriksaan
penunjang, pasien didiagnosislesi oral terkait pemphigus vulgaris.

42

BAB II
OVERVIEW CASE
2.1

Status Klinik IPMI (Kunjungan 28 Desember 2015)


2.1.1 Data Umum Pasien
Nama
: Ny. ER
Nomor Rekam Medik : 0652732
Usia
: 52 tahun
Status Perkawinan
: Menikah
Jenis Kelamin
: Perempuan
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Ibu Rumah Tangga
Alamat
: Sumedang

2.1.2

Anamnesis
Keadaan bibir dan rongga mulut sudah membaik, rasa sakit dan
mudah berdarah berkurang, sudah dapat makan nasi lunak, obat digunakan
teratur.
Pasien datang pertama kali pada tanggal 09 Juli 2015 mengeluhkan
sakit dan bengkak pada bibir yang dirasakan sejak sekitar 3 bulan yang
lalu.Pernah dirawat secara rutin di poli Penyakit Mulut tahun 2011 hingga
2012 dengan keluhan yang sama. Keadaan sakit saat ini dirasakan muncul
kembali setelah berobat ke dokter Penyakit Dalam dengan keluhan batuk.

2.1.3

Pemeriksaan Ekstra Oral


Bibir atas dan bawah: erosif, multipel, difus, dilapisi krusta kekuningan
dan merah kehitaman, mudah berdarah, terasa
Sudut bibir

2.1.4

sakit.
: plak putih, dapat dikerok, kaku, tidak terasa sakit

Pemeriksaan Intra Oral


Lidah
: erosif, multipel, difus, dilapisi bercak plak putih yang
dapat dikerok meninggalkan daerah eritema, terasa sakit

43

Palatum

: erosif, multipel, difus, dilapisi bercak plak putih yang

dapat dikerok meninggalkan daerah eritema, terasa sakit


Mukosa Bukal : erosif, multipel, difus, dilapisi bercak plak putih yang
dapat dikerok meninggalkan daerah eritema, terasa sakit
2.1.5

Diagnosis
- Lesi oral terkait pemphigus vulgaris
- Gingivitis marginalis kronis generalisata
- Susp. kandidiasis oral

2.1.6
Rencana Perawatan dan Perawatan
- Oral Hygiene Instruction dan KIE
(melanjutkan kompres bibir dengan NaCl 0.9% berkumur dan minum
-

obat rutin dan teratur)


R/ Dexamethasone 0,5 mg tab No XV
1-0-1 pc
R/ Dexamethasone 1 mg
disp. pulv dtd No. XV
1-0-1 pc
(1 pulv add aqua 10 ml, kumur, buang)
R/ Entrasol gold 360mg box No. I

44

2 dd 1
R/ Dexamethasone 0.05mg
Avil 0.25 mg
Lanoline 2.5 gr
Add vaseline 25 gr
mf unguentum
3 dd 1 p.a (oles bibir tipis-tipis)
R/ NaCl 0.9% fl No I
kompres bibir 4-5x / hari
R/ Chlorhexidine gluconate 0.2% 150 ml fl No. I
col oris 3 dd 1
-

2.2
2.2.1

Pro kontrol tanggal 4 Januari 2016

Status Klinik IPM II (Kunjungan 07 Januari 2016)


Anamnesis
Keadaan bibir dan rongga mulut tidak ada perubahan yang berarti,
namun dapat makan dengan lebih nyaman, salep bibir racikan sejak hari
Minggu (3 Januari 2016) hanya digunakan 2x sehari dan mengkompres
bibir hanya 3x saja.

2.2.2

Pemeriksaan Ekstra Oral


Bibir
: lesi erosif (berkurang), multipel, dan difus dilapisi
krusta kekuningan dan merah kehitaman masih ada
Sudut bibir

namun juga berkurang, mudah berdarah, terasa sakit


: terdapat plak putih namun sudah berkurang, tidak
terasa kaku dan tidak terasa sakit

2.2.3

Pemeriksaan Intra Oral


Lidah (2/3 posterior)
: terdapat nodul, ukuran 1 cm, eritema
dilapisi selaput putih kekuningan yang tidak
dapat dikerok, terasa sakit

45

Lidah (1/3 anterior)

: makula, erosif, difus, dilapisi selaput putih


kekuningan yang tidak dapat dikerok, terasa

Palatum

sakit
: erosif, multipel, difus, tidak terdapat plak

Mukosa bukal

putih dan tidak terasa sakit


: erosif, multipel, difus, tidak terdapat plak
putih dan tidak terasa sakit

2.2.4

Diagnosis
- Lesi oral terkait pemphigus
-

vulgaris
Gingivitis marginalis kronis
generalisata

2.2.5

Rencana Perawatan
- Oral Hygiene Instruction dan KIE (kompres bibir dengan rutin 5x
-

sehari, mempraktikkan berkumur dengan benar dan rutin)


Salep bibir racikan (dexamethasone add vaseline) dihentikan!
R/ Dexamethasone 0,5 mg tab No XX
1-0-1 pc
R/ Dexamethasone 0.5 mg No. XL
2-0-2 pc (gerus add aqua 10 ml, kumur, buang)
R/ Entrasol gold 360mg box No. I
2 dd 1

Kontrol tanggal 18 Januari 2016

46

2.3
2.3.1

Status Klinik IPM III (Kunjungan 18 Januari 2016)


Anamnesis
Keadaan bibir sudah mengering dan terasa jauh lebih baik, rasa
sakit berkurang, dan tidak terlalu mudah berdarah lagi. Di dalam mulut
masih terasa sakit namun lebih baik dari kontrol sebelumnya. Obat
digunakan secara teratur.

2.3.2

Pemeriksaan Ekstra Oral


Bibir
: erosif, multipel, diffus (sudah berkurang) dilapisi
krusta kekuningan dan merah kehitaman, mudah
Sudut bibir

berdarah, terasasakit
: plak putih, dapat dikerok, tidak terasa kaku dan
tidak sakit

2.3.3

Pemeriksaan Intra Oral


Lidah (2/3 posterior): terdapat nodul, ukuran 1 cm, eritema dilapisi
selaput putih kekuningan yang tidak dapat dikerok
Lidah (1/3 anterior)

(sudah berkurang), terasa sakit


: makula, erosif, multipel, diffus (sudah berkurang)
dilapisi krusta kekuningan dan merah kehitaman,

Palatum

mudah berdarah, terasasakit


: erosif, multipel, difus (sudah berkurang), tidak

Mukosa bukal

sakit
:erosif, multipel, difus (sudah berkurang), tidak
sakit

47

2.3.4

Diagnosis
- Lesi oral terkait pemphigus vulgaris
- Gingivitis marginalis kronis generalisata

2.3.5

Rencana Perawatan
- Oral Hygiene Instruction dan KIE (kompres bibir dengan rutin 5x
-

sehari, mempraktikkan berkumur dengan benar dan rutin)


R/ Dexamethasone 0,5 mg tab No XV
1-0-1 pc
R/ Dexamethasone 0.5 mg No. XXX
2-0-2 pc (gerus add aqua 10 ml, kumur, buang)
R/ Entrasol gold 360mg box No. I
2 dd 1

Salep bibir racikan (dexamethasone add vaselin) dioleskan 5x sehari


setelah mengkompres bibir dengan NaCl 0,9%)
Kontrol tanggal 25 Januari 2016

48

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

1
1

Pemphigus
Definisi
Pemphigus berasal dari bahasa Yunani yaitu pemphix yang artinya

gelembung atau bullae (Lubis, 2008). Definisi pemphigus dalam Kamus Saku
Kedokteran Dorland (2010) adalah kelompok penyakit khusus yang dicirikan
oleh rangkaian kumpulan bula intraepitelial. Pemphigus merupakan kelompok
penyakit autoimun yang ditandai dengan lepuhan di daerah intraepitelial,
menyebabkan vesikel atau bula superfisial yang mudah ruptur membentuk
ulserasi pada mukosa dan/ atau daerah kutaneus. Pemphigus pada beberapa
kasus dapat menyebabkan kematian (Moore, 2008).
2

Klasifikasi
Pemphigus terdiri dari beberapa subklas dan varian yaitu pemphigus

vulgaris, pemphigus vegetans, pemphigus foliaceus, fogo selvagam, pemphigus


eritem, drug-induced pemphigus, dan pemphigus paraneoplastik (Thomas,
et.al, 2000).
Klasifikasi ini secara lebih jelas di dalam ICD 10 dapat digambarkan
sebagai berikut
1
2
3
4
5
6

L10.0 Pemphigus vulgaris


L10.1 Pemphigus vegetans
L10.2 Pemphigus foliaceous
L10.3 Brazilian pemphigus (fogo selvagem)
L10.4 Pemphigus erythematosus
L10.5 Drug-induced pemphigus

49

L10.8 Other pemphigus


a L10.81 Paraneoplastik pemphigus

Pemphigus Vulgaris
Pemphigus vulgaris merupakan suatu penyakit autoimun kronik
yang tersebar di seluruh dunia, dapat mengenai semua ras, frekuensi
terjadinya hampir sama pada laki-laki dan perempuan. Pemphigus
vulgaris merupakan bentuk yang sering dijumpai kira-kira 70% dari
semua kasus pemphigus, biasanya pada usia 50-60 tahun dan jarang
pada anak-anak. Insidensi pemphigus vulgaris bervariasi antara 0,53,2 kasus per 100.000 (Lubis, 2008).
Pada pemphigus vulgaris ditemukan antibodi IgG

yang

bersirkulasi dan terikat pada permukaan sel keratinosit menimbulkan


suatu reaksi pemisahan sel-sel epidermis dan membentuk bula (Lubis,
2008). Bullae atau bula berupa kantung berisi cairan yang berkembang
pada bagian atas kulit, sehingga tampak tipis dan rapuh, mudah pecah
serta menimbulkan area erosi yang dapat meluas dan terasa nyeri.
Predileksi bula terdapat pada kulit dan membran mukosa dasar mulut,
hidung,

tenggorokan,

dan

genital

(British

Association

of

Dermatologists, 2013). Hal ini diakibatkan hilangnya integritas pada


perlekatan interselular normal antara epidermis kulit dan epitel
mukosa yang berhubungan dengan kehadiran autoantibodi terhadap
desmoglein-3. Lepuhan pada pemphigus vulgaris terlihat menyerupai
lesi terbakar dari ringan sampai berat. Apabila tidak dirawat dengan

50

tepat, maka lesi akan menetap dan semakin meluas, menyebabkan


kerusakan kulit dan membran mukosa sehingga terjadi kehilangan
cairan dan ketidakseimbangan elektrolit, infeksi, sepsis, bahkan
kematian (Rezeki & Setyawati, 2009).
Pasien sering mengeluhkan rasa sakit dan terdapat ulser persisten
yang sering terjadi di kavitas oral, lebih sering ditemukan pada
mukosa bukal, mukosa palatal, dan bibir. Ulserasi ini juga dapat
terjadi di membran mukosa lainnya, termasuk konjungtiva, mukosa
nasal, faring, laring, esofagus, dan mukosa genital. Pemphigus
vulgaris cenderung dilatarbelakangi oleh faktor genetik, berikatan
dengan molekul major histocompatibility complex (MHC) kelas II.
Selain itu, pemphigus vulgaris juga sering terjadi pada pasien dengan
penyakit autoimun yang lain terutama pada myasthenia gravis.
Penggunaan obat seperti d-penicillamine dan captopril dilaporkan
dapat menginduksi terjadinya pemphigus vulgaris, namun jarang
terjadi (Lubis, 2008).

Gambar 3.1 Pemphigus Vulgaris (Greenberg & Glick, 2003;


Langlais, 2009)

51

Pemphigus Vegetans
Pemphigus vegetans merupakan varian dari pemphigus vulgaris.
Lepuhan biasanya berkembang cepat, memiliki bau tajam, lesi besar,
dan sering ditemukan di daerah pangkal paha dan bawah lengan
(Crescent, 2008). Onset dari pemphigus ini berupa vesikel dan
pustula, yang apabila ruptur akan membentuk erosi dengan jaringan
granulasi berlebihan dan krusta.
Pemphigus vegetans memiliki dua tipe, yaitu tipe Neumann dan
tipe Hallopeau. Onset dari tipe Neumann ditandai dengan lepuhan dan
bentuk lepuhan yang erosif menyerupai pemphigus vulgaris. Pustula
banyak ditemukan di tipe Hallopeau, tipe ini memiliki prognosis yang
lebih baik.

Gambar 3.2 Pemphigus Vegetans (Dhamija, 2012)


3

Pemphigus Foliaceus

52

Pemphigus foliaceus non endemik biasanya terjadi pada usia


pertengahan atau dewasa tua, sedangkan pemphigus foliaceus
endemik lebih sering terjadi pada anak-anak dan dewasa muda. Sering
terjadi pada wajah, kulit kepala, dada bagian atas dan perut, namun
dapat juga mengenai seluruh tubuh. Bula jarang terbentuk, lesi
mengandung bercak eritem dan erosi tertutup oleh keropeng.
(Thomas, et.al, 2000). Penyakit ini terjadi disebabkan serangan
autoantibodi terhadap desmoglein (Neville, 2002).

Gambar 3.3 Pemphigus Foliaceus (Fernando, 2013)


Fogo Selvagem
Penyakit ini mempunyai gejala klinis dan pemeriksaan histologis
sama dengan pemphigus foliaceus namun terjadi secara endemik di
Brasil tengah bagian selatan. Autoantibodi yang ditemukan adalah
desmoglein-1, sama dengan pemphigus foliaceus. Kondisi pasien
membaik apabila keluar dari daerah endemik namun akan mengalami
rekurensi apabila kembali. Transmisi dari penyakit ini kemungkinan
terkait dengan lalat hitam dari famili Simuliidae. Lebih dari 1000
kasus baru pertahun muncul di daerah endemik (Thomas, et.al, 2000).

53

Gambar 3.4 Fogo Selvagem (Aoki, 2009)

Pemphigus Erythematosus
Pemphigus erythematosus merupakan subtipe dari pemphigus
foliaceus dan terjadi kebanyakan pada usia paruh baya dan orang tua.
Terdapat lesi eritem, berkeropeng dan erosif, berbentuk kupu-kupu di
daerah wajah, dahi, daerah sternum, dan daerah tulang skapula. Secara
histologik sama dengan gambaran pada pemphigus foliaceus.
Pemphigus erythematosus dikaitkan juga dengan penyakit thymomas
dan myastenia gravis (Thomas, et.al, 2000).

Gambar 3.5 Pemphigus Erythematosus (Salami, 2012)

54

Drug-Induced Pemphigus
Sindroma dari penyakit ini sama seperti pada pemphigus vulgaris
dan pemphigus foliaceus yang dipicu oleh penggunaan obat (Thomas,
et.al, 2000). Obat yang dilaporkan memacu pemphigus terbagi tiga
kelompok sesuai struktur kimianya: obat yang mengandung radikal
sulfhydryl seperti penisilamin; phenol seperti rifampin, levodopa,
aspirin; dan obat nonthiol nonphenol, seperti calcium channel locker,
angiotensin

converting

enzyme

inhibitors,

NSAIDS,

dipiron,

glibenklamid (Moore, 2008; Brenner, 2008).


Penyakit ini mempunyai gejala klinis, temuan histologis, dan
imunohistologis yang bermacam-macam. Akantolisis ditemukan di
bagian epidermis dari lesi. Deposit IgA invivo ditemukan juga di
bagian epidermis lesi.

Gambar 3.6 Drug-Induced Pemphigus (Baroni, 2012; Pilih, 2003)

Pemphigus Paraneoplastik

55

Pemphigus paraneoplastik merupakan penyakit yang jarang


terjadi, ditandai oleh onset mendadak pada kulit serta membran
mukosa, dan selalu melibatkan mukosa oral. Limphoma, leukimia, dan
thymomas sering merangsang pembentukan antibodi pemphigus dan
antibodi yang mirip pemphigus. Neoplasma yang sering menyebabkan
pemphigus adalah limphoma, leukimia, sarkoma, dan tumor thymus.
Waldenstroms macroglobulinemia dan penyakit Castlemans juga
dilaporkan sebagai pencetus terjadinya pemphigus.
Pemphigus paraneoplastik terjadinya berhubungan

dengan

keganasan (cancer). Kebanyakan pasien mempunyai penumpukan


antibodi pada kulit dan komponen antibodi (BP230 antigen) pada
membran basalis kulit. Berbeda dengan pemphigus vulgaris antibodi
sirkulasi juga berikatan pada epitel kantung kemih. Identitas antigen
yang terlibat tidak diketahui namun berat molekulnya adalah 250, 230,
210, dan 90 kd (Dahl, 2001). Gambaran klinis biasanya ditandai
dengan mukositis yang erosif, konjungtivitis dan bula yang
menyeluruh pada kulit. Aktivitas penyakit akan berkurang apabila
tumor yang menyebabkannya diangkat secara operasi atau mendapat
perawatan kemoterapi (Kerdel & Jimenez, 2000).

56

Gambar 3.7 Pemphigus paraneoplastik (Greenberg & Glick,


2003)
2 Pemphigus Vulgaris
Dalam makalah ini akan membahas lebih lengkap mengenai pemphigus vulgaris.
1 Definisi
Definisi pemphigus vulgaris menurut Dorland (2010) adalah

dermatitis

vesikulobulosa rekuren yang merupakan kelainan herediter paling sering pada


aksila, lipat paha, dan leher disertai lesi berkelompok dan mengadakan regresi
sesudah beberapa minggu atau beberapa bulan.
Pemphigus vulgaris merupakan penyakit autoimun kronik yang jarang
terjadi, yaitu 1-5 pasien per 1 juta orang dalam suatu populasi per tahun dengan
onset usia 50-60 tahun. Penyebarannya di seluruh dunia dan dapat mengenai
semua ras. Frekuensi antara laki-laki dan perempuan hampir sama (Chaudhary et
al., 2014).
2 Etiologi
Etiologi dari penyakit ini adalah autoimun saat terjadi perikatan antara IgG
autoantibodi dengan permukaan sel keratinosit. Dalam beberapa penelitian yang
dilakukan dengan cara pewarnaan indirect immunofluorescence telah ditemukan

57

autoantibodi di dalam serum penderita pemphigus vulgaris. Hal ini membuktikan


pemphigus vulgaris mempunyai kaitan dengan autoimunitas (Chan, 2002).
3 Patogenesis
PV disebabkan oleh auto antibodi terhadap komponen interseluler, terutama
desmoglein. Antibodi IgG mengikat antigen PV yaitu desmoglein 3 pada
permukaan sel keratinosit, mengakibatkan pembentukan aktivator plasminogen
yang mengubah plasminogen menjadi plasmin. Plasmin yang terbentuk
menyebabkan kerusakan desmosom, sehingga terjadi penarikan tonofilamen dari
sitoplasma keratinosit, akibatnya terjadi pemisahan sel-sel keratinosit (tidak
adanya kohesi antara sel-sel). Proses tersebut dinamakan akantolisis. Selanjutnya
terjadi pembentukan celah di suprabasal dan akhirnya terbentuk bullae yang
sebenarnya. (Lubis, 2008)

Gambar 3.8 Akantolisis - Tzank cells (sel epitel yang lebih kecil dan lebih
bundar) (Greenberg, 2008)
4

Manifestasi Klinis
1
Tanda dan Gejala
Gejala klinis pada pemphigus vulgaris yaitu berupa keluhan
subjektif seperti malaise, anoreksia, subfebris, kulit terasa panas dan sakit

58

serta sulit menelan. Pruritus (rasa gatal) jarang ditemui. Bila lesi meluas ke
bagian laring maka akan timbul kesulitan menelan karena rasa nyeri.
Permukaan mukosa lain juga dapat terkena, seperti konjungtiva,
esophagus, labia, vagina, serviks, penis, uretra, dan anus (Harahap, 2000).
2

Manifestasi Sistemik
Pada penderita PV biasanya keadaan umumnya buruk. Penyakit

dapat dimulai dengan adanya lesi di kulit kepala berambut atau di rongga
mulut sehingga sering terjadi kesalahan diagnosis sebagai pioderma pada
kulit kepala yang berambut atau dermatitis dengan infeksi sekunder. Lesi
di tempat tersebut dapat berlangsung selama berbulan-bulan sebelum
timbul bullae generalisata (Harahap, 2000).

Gambar 3.9 (A) Bulla pada kulit pasien dengan PV, (B) Lesi erosif di kulit
(Greenberg, 2008)
Bullae berdinding tipis akan pecah meninggalkan area kulit yang
gundul dan menjadi keropeng. Karakteristik lesi ekstra oral pada
pemphigus adalah apabila ditekan pada bagian normal di lokasi tersebut
akan menimbulkan lesi baru. Hal ini dinamakan sebagai Nikolskys sign.

59

Bullae biasanya mengenai epitel skuamosa bertingkat yaitu mukosa nasal


anterior, konjungtiva, kulit, laring, faring, dan kadang-kadang dapat
mencapai esophagus. Beberapa kasus dilaporkan terdapat bullae pada
daerah ketiak dan ujung kuku. Perkembangan lesi ekstra oral
membutuhkan waktu beberapa bulan(Fields, 2004; Greenberg, 2008).
3

Manifestasi Oral
Enampuluh persen dari kasus pemphigus, lesi awalnya terjadi pada

intra oral. Butuh waktu rata-rata sekitar 5 bulan dari waktu onset lesi oral
untuk menentukan diagnosis pemphigus. Pada awalnya, terdapat bullae
berdinding tipis dengan dasar tidak inflamasi muncul di mukosa oral
kemudian bullae pecah menjadi lesi ulser irregular yang tertutup benangbenang fibrin (Fields, 2004; Greenberg, 2008).
Pada lesi ulser terlihat gundul karena telah kehilangan lapisan
epitel. Lesi meluas ke perifer dalam waktu beberapa minggu. Mukosa
bukal merupakan lokasi awal terdapat bullae namun lesi dapat meluas
dalam beberapa minggu hingga ke palatum dan gingiva (Fields, 2004;
Greenberg, 2008).

60

Gambar 3.10 (A) erosi dangkal irregular pada mukosa bukal dan
permukaan palatum disebabkan pemphigus, (B) Lesi bula pada
pemphigus (Greenberg, 2008)
5

Pemeriksaan dan Penegakkan Diagnosis


Diagnosis ditegakkan oleh seorang Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin dan

juga bagian lain yang berhubungan seperti Dokter Gigi Spesialis Ilmu Penyakit
Mulut, namun harus dilakukan pemeriksaan penunjang agar lebih akurat. Terdapat
beberapa pemeriksaan yang bisa dilakukan untuk mendiagnosis Pemphigus
Vulgaris (Greenberg, 2008) :
a

Pemeriksaan Visual
Pemphigus Vulgaris memiliki tanda visual khusus yaitu bullae
yang mudah ruptur. Pemeriksaan secara visual dilakukan dengan cara
melihat anggota bagian tubuh yang terlibat. Selain itu ada cara khusus
yang dapat dilakukan melalui Nikolskys sign, caranya dengan menekan
mukosa sekitar bullae yang berisi cairan sehingga cairan dapat
berpindah dan menimbulkan lesi baru (Greenberg, 2008).

b Pemeriksaan Melalui Biopsi


Diagnosis ditegakkan melalui pemeriksaan biopsi. Biopsi sangat
baik dilakukan pada vesikel dan bullae yang terbentuk kurang dari 24
jam. Spesimen biopsi diambil dari perilesi dengan karakteristik sel
berupa akantolisis suprabasilar (Greenberg, 2008; Lubis, 2008).

61

Gambar 3.11 Gambar histologi PV. Bulla suprabasilar dengan


akantolisis (Lubis, 2008)

Histopatologi
Spesimen diambil dari jaringan sekitar bullae. Histopatologi
menunjukkan bullae intradermal. Perubahan awal yang terjadi adalah
adanya odem interselular dengan kehilangan perlekatan interselular
pada lapisan basal. Sel epidermis suprabasal terpisah dari sel basal
membentuk suatu ruang dan bullae. Sel basal terpisah satu dengan
lainnya dan tampak berjajar seperti tombstone pada dasar bullae namun
sel tersisa tetap menempel pada membran basal. Bullae berisi sel
inflamasi termasuk eosinofil dan sel akantolisis dengan sitoplasma
eosinofilik dan halo perinukleus. Histopatologi dapat membantu
membedakan tipe pemphigus (Lubis, 2008).

Direct Immunofluorescence

62

Direct

Immunofluorescence

(DIF)

biasanya

menunjukkan

immunoglobulin G (IgG) yang mengendap pada permukaan keratinosit


dan sekitar lesi. Tes ini dilakukan secara in vivo menggunakan antibodi
dan reaktan imun. Lokasi yang baik untuk dilakukan DIF yaitu pada
kulit perilesi yang terlihat normal. Ketika dilakukan tes DIF, kulit yang
terkena lesi kemungkinan menunjukkan hasil false-positive. IgG1 dan
IgG4 merupakan

subkelas IgG yang paling umum. Komponen

pelengkap seperti C3 dan immunoglobulin M lebih sedikit jumlahnya


dibandingkan immunoglobulin G. Melalui tes DIF dapat terlihat
gambaran immunoglobulin interselular menembus jaringan epidermis
sehingga terjadi perubahan posisi interseluler. Pola reaktan imun
tersebut tidak terlalu terlihat secara spesifik pada pemphigus vulgaris,
lebih mungkin terlihat pada pemphigus jenis lain (Greenberg, 2008).

Gambar 3.12 Gambaran Direct Immunofluorescence (Zeina, 2015).


d Indirect Immunofluorescence
Tes Indirect Immunofluorescence (IDIF) merupakan tes yang
spesifik dan sensitif pada kasus PV sehingga dapat membedakan
penyakit pemphigus dengan pemphigoid atau lesi oral kronis lainnya.
Pada serum pasien, IDIF menunjukkan adanya kehadiran sirkulasi

63

autoantibodi IgG yang mengikat jaringan epidermis serta desmoglein.


Sirkulasi antibodi interseluler terdeteksi melalui IDIF pada 80-90%
pasien PV. Titer sirkulasi antibodi berhubungan dengan perjalanan
kelainan ini. IDIF menggunakan serum pasien, hal ini dilakukan bila
DIF menunjukkan hasil positif. Media yang digunakan berupa bagian
esophagus monyet atau jaringan kulit normal manusia. Caranya dengan
mengambil serum pasien dari lesi bullae kemudian diletakkan pada
preparat epidermis. Preparat kemudian dilapisi fluorescence antihuman
gamma globulin. Pasien dengan PV memiliki antibodi yang melawan
antikeratinosit interselular. Hal ini dapat terlihat pada mikroskop
fluoresen. Autoantibodi desmoglein 1 mendominasi pada pemphigus
foliaceus (mirip pemphigus erythematosus) dan desmoglein 3
autoantibodi yang muncul pada pemphigus vulgaris (mirip pemphigus
vegetans) (Greenberg, 2008).
e

Pemeriksaan ELISA
Pasien

dengan

pemphigus

vulgaris

memiliki

antibodi

antikeratinosit melawan substansi interseluler yang terlihat dibawah


fluorescent microscope. ELISA (Enzyme-Linked Immunosorbent Assay)
dapat mendeteksi desmoglein 1 dan 3 pada sampel serum pasien PV.
Pemeriksaan ini sangat akurat yaitu dengan cara menghitung jumlah
antibodi PV dalam darah namun tes ini hanya dapat dilakukan pada
laboratorium yang besar dan lengkap. Tes ini juga dapat memantau

64

keaktifan PV sehingga membantu merencanakan perawatan dan terapi


yang sedang dilakukan (Greenberg, 2008).
6

Diagnosis Banding
Herpes simpleks, bullous pemphigoid, dermatitis herpetiformis, erythema

multiforms, dan lichen planus merupakan penyakit dengan gejala klinis sama
dengan pemphigus vulgaris yaitu memiliki lesi menyerupai erosi pada bagian
orofaring dan kulit. Bullous pemphigoid dan dermatitis herpetiformis dapat
dibedakan

dengan

pemphigus

vulgaris

dari

bentuk

IgG

melalui

tes

Immunofluorescence (Greenberg, 2008).


Dariers disease juga menjadi diagnosis banding pemphigus vulgaris
karena jika dilakukan tes Tzanck, kedua penyakit ini memiliki sel akantolisis yang
dikenali sebagai sel Tzanck (Greenberg, 2008). Tes Tzanck adalah pemeriksaan
cairan dari bulla (lepuh) untuk mencari sel Tzanck yang merupakan karakteristik
varicella (cacar air), herpes zoster, herpes simpleks, dan pemphigus vulgaris. Sel
akantolisis mempunyai inti lebih kecil dan hiperkromatik, sitoplasmanya sering
dikelilingi halo (Domonkos, 2000).
Pemphigoid, epidermolysis bullousa acquisita, eosinophilic granuloma,
infeksi parasit dan traumatic eosinophilic ulcer memiliki lesi vesiko ulseratif yang
mengandung sel radang kronik maupun akut, termasuk eosinofil. Kehadiran
eosinofil pada lesi vesikoulseratif merupakan suatu hal yang unik pada pemphigus
vulgaris tetapi dapat juga terjadi pada penyakit-penyakit ini (Greenberg, 2008).

65

Penatalaksanaan
Berdasarkan percobaan klinis dan penelitian selama ini, terapi pilihan untuk

penatalaksanaan pemphigus vulgaris sangat beragam. Kombinasi obat-obatan


yang biasa digunakan adalah steroid yang disertai dengan adjuvant drugs. Terapi
dilanjutkan dengan perawatan maintenance secara periodik menggunakan obat
dengan dosis minimal yang dibutuhkan untuk kontrol penyakit tersebut. (Harman
et al., 2003; Greenberg, 2008).

Prinsip Penatalaksanaan Pemphigus Vulgaris


Tujuan awal dari terapi pemphigus vulgaris adalah untuk memicu

terjadinya remisi penyakit. Terapi harus dilanjutkan dengan perawatan


maintenance secara periodik menggunakan obat dengan dosis minimal
yang dibutuhkan untuk kontrol penyakit tersebut, sehingga efek samping
dapat dikurangi. Tujuan terakhir dari penatalaksanaan adalah penarikan
perlakuan (treatment withdrawal). Setelah dilakukan penatalaksanaan
perawatan ini diharapkan dapat memicu remisi penyakit sehingga
perawatan dapat dihentikan. Studi terakhir menunjukkan adanya remisi
sebesar 38%, 50%, dan 75% dalam waktu 3, 5, dan 10 tahun setelah
diagnosis ditegakkan (Herbst, 2000).
Pasien pada umumnya dirawat dengan kortikosteroid sistemik.
Adjuvant drugs juga umum digunakan sebagain kombinasi untuk
meningkatkan efikasi kortikosteroid. Penggunaan adjuvant drugs juga

66

berperan sebagai steroid-sparing actions sehingga dapat mengurangi dosis


maintenance kortikosteroid dan juga efek samping dari kortikosteroid itu
sendiri (Dick, 2006).
Walaupun penggunaan obat kombinasi menyebabkan peningkatan
remisi

penyakit,

namun

demikian,

penelitian

belakangan

ini

membandingkan antara penggunaan kombinasi kortikosteroid disertai


adjuvant drugs dengan penggunaan kortikosteroid tunggal serupa dalam
perubahan tingkat remisi dan mortalitas dari penderita pemphigus vulgaris.
Belum ada penelitian yang secara konklusif menyatakan keuntungan dari
penggunaan obat kombinasi. Penggunaan obat kombinasi, bagaimana pun
juga masih dijadikan standar prosedur penatalaksanaan (Ioannides, 2000).
Pengobatan penyakit immunobullous terdiri dari 3 fase, diantaranya :
1

Kontrol : periode terapi untuk menekan aktivitas penyakit sampai


lesi tidak muncul kembali. Terapi ini membutuhkan waktu.

Konsolidasi : obat dan dosis mulai dikurangi dan tetap diberikan


hingga lesi benar-benar hilang.

Kambuh : mungkin dapat timbul sewaktu-waktu sehingga


membutuhkan penanganan ulang.
Pengobatan utama dari pemberian obat-obatan kortikosteroid

adalah untuk menekan produksi antibodi.


2
1

Kortikosteroid

Definisi

67

Kortikosteroid adalah suatu kelompok hormon steroid yang dihasilkan di


bagian korteks kelenjar adrenal yang terletak di atas ginjal, sebagai tanggapan atas
hormon adrenokortikotropik (ACTH) yang dilepaskan oleh kelenjar hipofisis.
Reaksi pembentukannya dikatalisis oleh enzim golongan sitokrom P450. Hormon
ini berperan pada banyak sistem fisiologis tubuh, misalnya tanggapan terhadap
stres, tanggapan sistem kekebalan tubuh, dan pengaturan inflamasi, metabolisme
karbohidrat, pemecahan protein, kadar elektrolit darah, serta tingkah laku
(Gilman, 2007; Katzung, 2004).
Kortikosteroid dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan aktivitas
biologisnya,

yakni

glukokortikoid

(contohnya

kortisol)

yang

berperan

mengendalikan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein, juga bersifat anti


inflamasi dengan cara menghambat pelepasan fosfolipid, serta dapat pula
menurunkan kerja eosinofil. Kelompok lain dari kortikosteroid adalah
mineralokortikoid (contohnya aldosteron), yang berfungsi mengatur kadar
elektrolit dan air, dengan cara merangsang reabsorbsi Na+ dan Cl- dalam tubulus
ginjal (Gilman, 2007; Katzung, 2004).

Oral Kortikosteroid
Penggunaan

kortikosteroid

sistemik

pada

uji

klinis

17

pasien,

menunjukkan adanya remisi total sebesar 29% dalam 4-6 tahun. Efek
peningkatannya secara klinis dapat dilihat jelas dalam beberapa hari setelah
penggunaan kortikosteroid. Rata-rata penurunan bullae membutuhkan waktu 2-3

68

minggu, dan penyembuhan total biasanya membutuhkan waktu selama 6-8


minggu (Harman, 2003).
Dosis optimal dari kortikosteroid belum diketahui hingga saat ini.
Pemberian kortikosteroid sejauh ini masih bersifat empiris, dan didasari oleh
pengalaman klinisi. Penelitian dilakukan untuk membandingkan pemberian dosis
inisial kortikosteroid dosis rendah prednisolone 45-60mg/hari dengan dosis tinggi
prednisolone 120-180mg/hari. Tidak ditemukan perbedaan signifikan pada durasi
untuk mencapai remisi. Pemberian dosis kortikosteroid dibagi berdasar tingkat
keparahan penyakit itu sendiri. Pasien dengan penyakit ringan dirawat dengan
dosis inisial prednisolone 40-60mg/hari, sedangkan pada kasus yang lebih parah
dirawat dengan dosis 60-100mg/hari. Jika tidak ada respon positif (tidak ada lesi
yang membaik) dalam 5-7 hari, dosis dapat ditingkatkan dengan penambahan 50100%. Pemberian dosis di atas 100mg/hari dapat dilakukan melalui pulsed IV
kortikosteroid. Adanya remisi dan terlihat kestabilan penyembuhan mayoritas lesi,
dosis kortikosteroid dapat dikurangi. Pengurangan dosis sebesar 50% tiap 2
minggu disarankan (Harman et al., 2003).
Saat steroid digunakan dalam jangka waktu lama, adjuvant drugs seperti
azathioprine atau cyclophosphamide ditambahkan dalam regimen untuk
mengurangi komplikasi dari terapi kortikosteroid jangka panjang. Prednisone 1-2
mg/kgBB per hari digunakan untuk mengontrol penyakit, dan saat hal ini tercapai,
dosis prednisone dikurangi hingga mencapai level maintenance serendah

69

mungkin. Pasien yang hanya terdapat manifestasi oral, hanya membutuhkan


prednisone dalam jangka waktu pendek dan dosis rendah (Arini, 2005).

Efek Samping Kortikosteroid


Kortikosteroid merupakan obat yang mempunyai khasiat dan indikasi

klinis yang sangat luas. Manfaat dari kortikosteroid cukup besar tetapi karena efek
samping yang tidak diharapkannya juga cukup banyak, maka penggunaannya
dibatasi (Gilman, 2007; Katzung, 2004).
Tabel 3.1 Efek Samping Kortikosteroid Menurut Organ yang Terkena (Barret,
2010)
Tempat
Saluran cerna

Otot
Susunan saraf pusat

Tulang
Kulit
Mata
Darah
Pembuluh darah
Kelenjar adrenal bagian
korteks
Metabolisme
protein,
karbohidrat, dan lemak
Elektrolit
Sistem imunitas

Macam Efek Samping


Hipersekresi asam lambung, mengubah proteksi gaster,
ulkus peptikum/ perforasi, pankreatitis, ileitis regional,
kolitis ulseratif
Hipotrofi, fibrosis, miopati
Perubahan kepribadian (euforia, insomnia, gelisah,
mudah tersinggung, psikosis, paranoid, hiperkinesis,
kecenderungan bunuh diri), nafsu makan bertambah
Osteoporosis, fraktur, kompresi vertebra, skoliosis,
fraktur tulang panjang
Strie atrofise, dermatosis acneiformis, purpura,
telengiektasis
Glaukoma dan katarak
Kenaikan Hb, eritrosit, leukosit, dan limfosit
Kenaikan tekanan darah
Atrofi
Kehilangan protein (efek katabolik), hiperlipidemia,
obesitas, buffalo hump
Retensi Na, kehilangan Kalium (astenia, paralisis, tetani)
Rentan terhadap infeksi, reaktivasi Tb dan herpes
simplek, keganasan dapat timbul

70

Berikut akan dijelaskan efek samping kortikosteroid secara sistemik dan


topikal:

Tabel 3.2 Efek Samping Kortikosteroid Secara Sistemik dan Topikal (Gilman,
2007; Katzung, 2004)
Sistemik
Insufisiensi adrenal akut/ krisis adrenal
dapat terjadi pada penggunaan jangka
panjang (>2 minggu) yang dihentikan
secara mendadak.
b Habitus Cushing
Kortikosteroid yang berlebihan akan memicu
katabolisme lemak sehingga terjadi redistribusi
lemak di bagian tertentu tubuh. Gejala yang
timbul : moon face, buffalo hump,
penumpukan
lemak
supraklavikular,
ekstremitas kurus, striae acne, dan hirsutism
c Hiperglikemia dan glikosuria

Hal ini terjadi karena kortikosteroid


(glukokortikoid) berperan dalam metabolisme
glukosa melalui peningkatan glukoneogenesis
dan aktivitas enzim glukosa-6-pospat
d Penurunan absorpsi kalsium intestinal
e Keseimbangan nitrogen negatif
Kortikosteroid menyebabkan mobilisasi asam
amino dari jaringan ekstrahepatik, yang
digunakan
sebagai
substrat
untuk
glukoneogenesis sehingga kadar asam amino
dalam
plasma
tinggi,
meningkatkan
pembentukan urea, dan keseimbangan nitrogen
menjadi negatif
f Mudah terkena infeksi

Efek antiinflamasi ini terjadi melalui berbagai


mekanisme salah satunya penekanan aktivitas
fosfolipase sehingga mencegah pembentukan
prostaglandin, prostasiklin, tromboksan, dan
leukotrien. Penekanan sistem imun ini dapat
menghentikan reaksi peradangan, namun
memudahkan pasien terkena infeksi
g Tukak peptik
h Osteoporosis
(steroid-induced
osteoporosis)
Kortikosteroid dapat menurunkan kadar Ca 2+
dalam darah dengan enghambat pembentukan
a

Topikal
a. Atrofi
b. Striae atrofi
c. Telangiektasis
d. Purpura
e. Dermatosis acneformis
f.
Hipertrikosis
setempat
:
pertumbuhan rambut dalam tubuh yang
jumlahnya dianggap abnormal
g. Hipopigmentasi
h. Dermatitis peroral
Efek Epidermal
Penipisan epidermal yang disertai dengan
peningkatan aktivitas kinetik dermal, suatu
penurunan ketebalan rata-rata lapisan
keratosit, dengan pendataran dari konvulsi
dermo-epidermal. Efek ini bisa dicegah
dengan penggunaan tretinoin topikal secara
konkomitan
Inhibisi dari melanosit, suatu keadaan
seperti
vitiligo,
telah
ditemukan.
Komplikasi ini muncul pada keadaan oklusi
steroid atau injeksi steroid intrakutan
Efek Dermal
Terjadi penurunan sintesis kolagen dan
pengurangan pada substansi dasar. Ini
menyebabkan terbentuknya striae dan
keadaan vaskulator dermal yang lemah
akan menyebabkan mudah ruptur jika
terjadi trauma atau terpotong. Pendarahan
intradermal yang terjadi akan menyebar
dengan cepat untuk menghasilkan semacam
blot hemorrhage atau bisa disebut juga
aneurysms
yaitu
pembengkakan/

71
osteoklast, namun dalam jangka waktu lama
malah menghambat pembentukan tulang
(sintesis
protein
di
osteoblast)
dan
meningkatkan resorpsi sehingga memicu
terjadinya osteoporosis
i Miopatik
Katabolisme protein akibat penggunaan

kortikosteroid yang dapat menyebabkan


berkurangnya
massa
otot,
sehingga
menimbulkan kelemahan dan miopatik
j Psikosis
Kemungkinan hal ini terjadi karena adanya
gangguan keseimbangan elektrolit dalam otak,
sehingga mempengaruhi kepekaan otak
k Hiperkoagubilitas darah
Biasanya ditemukan pada pasien yang
mempunyai penyakit yang memudahkan
terjadinya trombosis intravaskular
l Pertumbuhan terhambat
Mekanisme terjadinya melalui stimulasi
somatostatin, yang menghambat growth
hormone; menyebabkan kehilangan Ca2+
melalui ginjal sehinbgga terjadi sekresi PTH
yang meningkatkan aktivitas osteoklas
meresorpsi tulang; menghambat hormonhormon gonad, yang dapat menyebabkan
gangguan proses penulangan sehingga
menghambat pertumbuhan
m Peningkatan tekanan darah
Efek retensi natrium yang mengakibatkan
retensi air dan meningkatkan tekanan darah
n Glaukoma (steroid-induced glaucoma)
Diduga terdapat defek berupa peningkatan
akumulasi glikosaminoglikan atau peningkatan
aktivitas respon protein trabecular-meshwork
inducible glucocorticoid (TIGR) sehingga
menyebabkan obstruksi cairan.

pembesaran pembuluh darah. Ini nantinya


akan terserap dan membentuk jaringan
parut stellata, yang akan membuat kulit
terlihat seperti kulit prematur.

Efek Vaskular
Vasodilatasi yang terfiksasi. Kortikosteroid
pada awalnya menyebabkan vasokontriksi
pada pembuluh darah yang kecil di
superfisial
Fenomena rebound. Vasokontriksi yang
lama akan menyebabkan pembuluh darah
perifer mengalami dilatasi berlebihan, bisa
mengakibatkan edema, inflamasi lanjut, dan
kadang-kadang pustulasi.

72

Deksametason

Gambar 3.13 Struktur Kimia Deksametason (Sweetman, 2009)


Deksametason termasuk glukokortikoid sintetik yang memiliki
efek anti inflamasi dan anti alergi dengan pencegahan pelepasan histamin
(Suherman, 2007). Kerja utama deksametason adalah untuk menekan
proses peradangan akut. Aktivitas anti inflamasi deksametason dengan
jalan menekan atau mencegah respon jaringan terhadap proses inflamasi
dan menghambat akumulasi sel yang mengalami inflamasi, termasuk
makrofag dan leukosit pada tempat inflamasi (Katzung, 2002).
Deksametason adalah obat anti inflamasi dan anti alergi yang sangat kuat.
Sebagai perbandingan deksametason 0,75 mg setara dengan 25 mg
cortisone, 20 mg hydrocortisone, 5 mg prednisone, dan 5 mg prednisolone
(Yagiela, 2010).
Deksametason memiliki waktu kerja yang lama sekitar dua jam
dan mempunyai waktu paruh 36-72 jam. Deksametason mempunyai efek
yang sama pada anak-anak dan dewasa. Penggunaan klinis kortikosteroid
sebagai anti inflamasi merupakan terapi paliatif, inilah yang menyebabkan
obat ini banyak digunakan untuk berbagai penyakit bahkan sering disebut

73

life saving drugs (Suherman, 2007). Penggunaan deksametason di


masyarakat sering dijumpai, antara lain (Tatro, 2003; Kester, 2007):
a Reaksi alergi, seperti asma bronkial, dermatitis atopik, alergi obat,
b

rhinitis alergi
Gangguan kolagen, seperti reumatik, karditis akut, lupus eritematosus

sistemik
Reumatik, seperti rheumatoid arthritis, ankylosis spondilitis, arthritis

d
e

gout akut
Gangguan dermatologik, seperti eksim, neurodermatitis, pemfigus
Alergi dan inflamasi akut dan kronik pada mata seperti konjungtivitis,

f
g
h
i

keratitis, neuritis optik


Gangguan pernafasan, seperti gejala-gejala sarkoidosis, pneumonitis
Gangguan hematologik, seperti trombositopenia, eritroblastopenia
Gangguan neoplastik, seperti leukimia dan limfoma
Gangguan gastrointestinal, seperti kolitis dan enteritis
Kortikosteroid seperti deksametason bekerja dengan cara

mempengaruhi kecepatan sintesis protein. Molekul hormon memasuki sel


jaringan melalui membran plasma secara difusi pasif di jaringan target,
kemudian bereaksi dengan reseptor protein yang spesifik dalam sitoplasma
sel jaringan dan membentuk kompleks reseptor steroid. Kompleks ini
mengalami perubahan konformasi, lalu bergerak menuju nukleus dan
berikatan dengan kromatin. Ikatan ini menstimulasi transkripsi RNA dan
sintesis protein spesifik. Induksi sintesis protein ini merupakan perantara
efek fisiologik steroid (Suherman, 2007). Kortikosteroid mempengaruhi
metabolisme karbohidrat, protein, lemak, dan juga mempengaruhi fungsi
sistem kardiovaskular, ginjal, otot lurik, sistem saraf, dan organ lainnya
(Katzung, 2002).

74

Kortisol dan analog sintetiknya pada pemberian oral diabsorpsi


cukup baik. Glukokortikoid dapat diabsorpsi melalui kulit, sarkus
konjungtiva, dan ruang sinovial. Metabolitnya merupakan senyawa inaktif
atau berpotensi rendah. Setelah penyuntikan IV, sebagian besar dalam
waktu 72 jam diekskresi dalam urin, sedangkan di feses dan empedu
hampir tidak ada. Diperkirakan paling sedikit 70% kortisol yang diekskresi
mengalami metabolisme di hepar (Suherman, 2007).
Efek terapeutik glukokortikoid seperti deksametason yang paling
penting adalah kemampuannya untuk mengurangi respon peradangan dan
untuk menekan imunitas. Penurunan dan penghambatan limfosit serta
makrofag perifer memegang peranan penting, penghambatan fosfolipase
A2 secara tidak langsung juga menghambat pelepasan asam arakhidonat,
prekursor prostaglandin dan leukotrien dari fosfolipid yang terikat di
membran (Mycek, 2001).
Deksametason di metabolisme di hepar dan diekskresikan melalui
ginjal. Dosis deksametason adalah 0,5 - 10 mg per hari untuk dewasa dan
0,08 - 0,3 mg/kgBB per hari dibagi dalam tiga atau empat dosis untuk
anak-anak (Suherman, 2007).
Deksametason mempunyai efek samping seperti intoleransi
glukosa, supresi adrenal, dan peningkatan infeksi, terjadinya insomnia,
osteoporosis, retensi cairan tubuh, glaukoma, dan lain-lain (Suherman,
2007).

75

BAB IV
PEMBAHASAN

Pada tanggal 28 Desember 2015, pasien perempuan, 52 tahun, datang


untuk kontrol ke poli IPM Rumah Sakit Hasan Sadikin dengan keadaan bibir dan
rongga mulut membaik, rasa sakit dan mudah berdarah berkurang, sudah dapat
makan nasi lunak, obat digunakan teratur.
Pasien datang pertama kali pada tanggal 09 Juli 2015 mengeluhkan sakit
dan bengkak pada bibir yang dirasakan sejak sekitar 3 bulan yang lalu. Pasien
pernah dirawat secara rutin di poli Penyakit Mulut tahun 2011 hingga 2012
dengan keluhan yang sama. Keadaan sakit saat ini dirasakan muncul kembali
setelah berobat ke dokter Penyakit Dalam dengan keluhan batuk.
Pada pemeriksaan ekstra oral di bibir atas dan bawah ditemukan lesi erosif,
multipel, difus, dilapisi krusta kekuningan dan merah kehitaman, mudah
berdarah,terasa sakit; di sudut bibir ditemukan plak putih, dapat dikerok, kaku,
dan tidak terasa sakit.Pada pemeriksaan intra oral di mukosa bukal, lidah, dan
palatum ditemukan lesi erosif, sakit, multipel, difus, dilapisi bercak plak putih
yang dapat dikerok meninggalkan daerah eritema.
Berdasarkan hasil anamnesis tersebut, ditegakkan diagnosis yaitu lesi oral
terkait pemphigus vulgaris dan diagnosis banding berupa bullous pemphigoid dan
erythema multiform, suspek kandidiasis oral, dan gingivitis marginalis kronis
generalisata.
Alasan ditegakkannya diagnosis pemphigus vulgaris bahwa terjadi
rekurensi penyakit yang sebelumnya telah diderita pasien. Gambaran klinis

76

pemphigus vulgaris pada pasien sama seperti yang diungkapkan oleh Greenberg
dan Glick (2008) yaitu lesi oral dimulai dengan bulla berdinding tipis pada
daerah kulit atau mukosa normal yang mudah ruptur namun akan terus melebar
dan pada akhirnya akan meninggalkan area dengan lapisan epitel yang hilang.
Pemphigus vulgaris dapat dibedakan dengan bullous pemphigoid melalui
bentuk bulanya. Menurut Greenberg and Glick (2008), lesi awal bullous
pemphigoid adalah bula yang meluas meliputi daerah subepitelial, sedangkan pada
pemphigus vulgaris bula meluas ke arah intraepitelial sehingga terjadi akantolisis.
Selain itu gambaran histologis dasar bullous pemphigoid memiliki gambaran khas
berupa infiltrasi sel-sel inflamasi yang kaya akan eosinofil.
Menurut Greenberg and Glick (2008), pemphigus vulgaris dan erythema
multiforme merupakan penyakit yang masuk ke dalam kelompok penyakit
vesicobullous. Lesi kulit pada pemphigus vulgaris berupa bullae yang ruptur
dengan cepat meninggalkan area yang tidak tertutup oleh epitel, sedangkan
erythema multiforme memiliki lesi target yang khas. Selain observasi lesi pada
kulit, diperlukan pemeriksaan penunjang serologi untuk menentukan diagnosis
yang tepat bagi pasien.
Pasien diduga mengalami kandidiasis oral sebagai efek samping dari
pemakaian kortikosteroid topikal. Menurut Tarigan dan Setyawati (2009),
pemberian kortikosteroid secara topikal memiliki efek samping: kandidiasis,
penipisan

mukosa

pengaplikasiannya.

rongga

mulut,

dan

ketidaknyamanan

sewaktu

77

Pada kunjungan ini pasien diberikan terapi berupa Oral Hygiene


Instruction dan KIE (Komunikasi, Instruksi, Edukasi) untuk melanjutkan kompres
bibir dengan NaCl 0.9% berkumur dan minum obat rutin dan teratur, mengompres
bibir dengan gunakan kasa steril yang direndam dalam larutan NaCl 4-5x sehari,
anjuran untuk meminum entrasol gold 2 kali sehari, serta resep deksametason
0,5mg 15 butir diminum 1 butir setiap pagi dan malam, deksametason 1mg 15
butir dilarutkan 1 butir dalam 10 ml air lalu digunakan sebagai obat kumur
buang setiap pagi dan malam, aplikasi obat oles bibir mengandung deksametason
0,005mg; avil 0,25mg; lanoline 2,5mg; vaselin 25gr setiap pagi, siang, dan malam
hari.
Tujuan awal dari terapi pemphigus vulgaris adalah memicu remisi
penyakit, kemudian dilanjutkan dengan terapi maintenance secara periodik
dengan dosis minimal untuk mengontrol penyakit sehingga menurunkan efek
samping yang ditimbulkan (Harman et al., 2003).
Kortikosteroid sistemik merupakan perawatan terbaik yang telah
ditetapkan sebagai managemen pemphigus vulgaris. Penggunaan obat ini pada
awal tahun 1950-an menghasilkan penurunan mortalitas yang signifikan menjadi
sekitar 30% dengan remisi sempurna berkisar antara 13-20%. (Harman et al.,
2003).
Ada 2 macam kortikosteroid berdasarkan fungsi utamanya yaitu :
mineralokortikoid

berperan

dalam

menyeimbangkan cairan dengan

mempercepat retensi natrium dan glukokortikoid berperan dalam metabolisme

78

karbohidrat. Glukokortikoid

digolongkan menjadi 3 berdasarkan durasi kerja

obat, yaitu short-acting bekerja selama kurang dari 12 jam, intermediate-acting


12-36 jam, dan long-acting lebih dari 36 jam (Yagiela, 2010).
Pada pasien diberikan deksametason 0,5mg 15 butir diminum 1 tablet
setiap pagi dan malam. Deksametason diberikan secara peroral agar pasien dapat
mengontrol pemberian obat sendiri. Hal ini disebabkan pasien memiliki masalah
biaya sehingga menginginkan rawat jalan.
Deksametason merupakan steroid golongan glukokortikoid yang bersifat
long-acting sehigga memiliki rasio glukokortikoid

yang lebih banyak

dibandingkan mineralokortikoid. Obat ini dipilih dalam penggunaan jangka


panjang untuk mengobati kelainan inflamasi kronis karena lebih sedikit
menyebabkan gangguan fungsi elektrolit dan keseimbangan cairan (Yagiela,
2010).
Obat ini juga merupakan anti inflamasi dan anti alergi yang sangat kuat.
Sebagai perbandingan deksamethasone 0,75 mg setara dengan 25 mg cortisone,
20 mg hydrocortisone, 5 mg prednisone, dan 5 mg prednisolone (Yagiela, et al.,
2010). Obat ini juga memiliki aksi yang lebih lama dibandingkan dengan
prednison yang hanya termasuk kortikosteroid intermediate-acting (Field and
Longman, 2003). Efek terapeutik deksamethasone yang paling penting adalah
kemampuannya untuk mengurangi respon peradangan dan untuk menekan
imunitas (Mycek, 2001).

79

Selain itu, diperlukan nutrisi yang adekuat dalam pengobatan pasien ini.
Entrasol merupakan makanan cair dengan kandungan gizi yang lengkap dan
seimbang, diindikasikan pada pasien ini sebagai makanan selingan atau makanan
pengganti karena pasien mengalami sariawan hebat dan mengakibatkan
ketidaknyamanan dalam mengunyah maupun menelan makanan Selain itu,
Entrasol gold mengandung tinggi kalsium untuk mencegah osteoporosis, omega 3
dan omega 6 yang baik untuk kesehatan jantung, serta antioksidan (Vitamin C
dan

vitamin

E)

untuk

melindungi

organ

tubuh

secara

keseluruhan

(www.kalbenutritionals.com). Pemberian makanan cair ini dapat mecegah efek


samping kortikosteroid sistemik dosis tinggi dalam jangka panjang, seperti
hipertensi, perdarahan gastrointestinal, osteoporosis dan hiperglikemia (Rezeki
dan Setyawati, 2009). Efek samping lain yang mungkin terjadi pada penggunaan
kortikosteroid sistemik jangka panjang adalah insomnia, diare, gangguan pada
system saraf pusat seperti psychotic, retensi natrium dan cairan, lelah, rentan
terhadap infeksi, dan supresi adrenal,sehingga riwayat medis merupakan faktor
penting dalam pertimbangan penggunaannya (Tarigan dan Setyawati, 2009).
Pada tanggal 07 Januari 2016, pasien kontrol. Pada kunjungan ini keadaan
bibir dan rongga mulut tidak ada perubahan yang berarti, namun dapat makan
dengan lebih nyaman, salep bibir racikan sejak hari Minggu (3 Januari 2016)
hanya digunakan 2x sehari dan mengkompres bibir hanya 3x saja.
Pada pemeriksaan ekstra oral di bibir atas dan bawah ditemukan lesi erosif
yang sudah berkurang dibanding pertemuan sebelumnya, multipel dan difus

80

dilapisi krusta kekuningan dan merah kehitaman masih ada namun juga
berkurang, mudah berdarah, terdapat rasa sakit, dan terdapat perbaikan jaringan;
di sudut bibir terdapat plak putih namun sudah berkurang, tidak terasa kaku dan
tidak terasa sakit juga. Pada pemeriksaan intraoral di 2/3 posterior dorsum lidah
terdapat nodul, ukuran 1 cm, eritema dilapisi selaput putih kekuningan yang
tidak dapat dikerok, terasa sakit; 1/3 anterior lidah terdapat makula, erosif, difus,
dilapisi selaput putih kekuningan yang tidak dapat dikerok, terasa sakit; di mukosa
palatum dan bukal terdapat lesi erosif, multipel, difus, tidak terdapat plak putih
dan tidak terasa sakit.
Pasien diberikan terapi berupa Oral Hygiene Instruction dan KIE
(Komunikasi, Instruksi, dan Edukasi) berupa kompres bibir dengan rutin 5x
sehari, mempraktikkan berkumur dengan benar dan rutin, serta menghentikan
salep bibir racikan mengandung deksametason 0,005mg; avil 0,25mg; lanoline
2,5mg; vaselin 25gr, meminum entrasol gold 2kali sehari, dan resep
Deksametason 0,5mg 20 butir diminum 1 tablet setiap pagi dan malam,
Deksametason 0.5mg sebanyak 40 butir dilarutkan 2 butir dalam air 10 ml lalu
digunakan sebagai obat kumur buang setiap pagi dan malam.
Pada kunjungan ini penggunaan salep kortikoteroid topikal harus
dihentikan

terlebih dahulu sampai terbentuk re-epitelisasi pada luka. Hal ini

dilakukan agar tidak mengganggu proses penyembuhan luka itu tersebut.


Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada hewan, kortikosteroid dapat
menyebabkan penurunan serat-serat kolagen, penebalan pada kulit, menghambat

81

pertumbuhan fibroblas dan pembentukan granuloma pada luka. Fibroblas, salah


satu komponen selular dari jaringan ikat yang paling penting,adalah sel target dari
kortikosteroid pada proses penyembuhan luka. Perawatan kortikosteroid
mempengaruhi hampir semua tahap penyembuhan luka dan menghambat
terbentuknya sel-sel inflamasi, fibroblas, dan deposisi ground subtance, kolagen,
regenerasi kapiler, dan migrasi epitel. (Cerci, Celai., et al. 2008).
Tanggal 18 Januari 2016, pasien datang kembali untuk kontrol. Pada
kunjungan ini keadaan bibir sudah mengering dan terasa jauh lebih baik, rasa
sakit berkurang, dan tidak terlalu mudah berdarah lagi. Di dalam mulut masih
terasa sakit namun lebih baik dari kontrol sebelumnya. Obat digunakan secara
teratur.
Pada pemeriksaan ekstra oral di bibir atas dan bawah ditemukan lesi
erosif, multipel, difus (sudah berkurang) dilapisi krusta kekuningan dan merah
kehitaman, mudah berdarah, dan terasa sakit; di sudut bibir ditemukan plak putih,
dapat dikerok, tidak terasa kaku dan tidak sakit. Pada pemeriksaan intra oral di 1/3
anterior lidah ditemukan lesi erosif, multipel, difus (sudah berkurang) dilapisi
krusta kekuningan dan merah kehitaman, mudah berdarah, sakit; di palatum dan
mukosa bukal ditemukan lesi erosif, multipel, difus, dilapisi selaput putih
kekuningan yang tidak dapat dikerok, dan terasa sakit.
Pasien diberikan terapi berupa Oral Hygiene Instruction dan KIE
(Komunikasi, Instruksi, dan Edukasi) berupa kompres bibir dengan rutin 5x
sehari, mempraktikkan berkumur dengan benar dan rutin, serta aplikasi kembali

82

obat oles bibir mengandung deksametason 0,005mg; avil 0,25mg; lanoline 2,5mg;
vaselin 25gr; sebanyak 5 kali sehari setelah mengkompres bibir dengan NaCl
0,9%, meminum entrasol gold 2kali sehari, dan pemberian resep Deksametason
0,5mg sebanyak 40 butir diminum setiap pagi dan malam masing-masing 1 butir,
Deksametason 0.5mg sebanyak 30 butir dilarutkan 2 butir dalam 10 ml air lalu
digunakan sebagai obat kumur buang setiap pagi dan malam.
BAB V
SIMPULAN

Laporan kasus ini membahas mengenai pasien perempuan berusia 52


tahun yang datang ke Rumah Sakit Hasan Sadikin untuk kontrol dengan keluhan
awal berupa sakit dan bengkak pada bibir. Setelah dilakukan observasi,
pemeriksaan klinis, dan pemeriksaan penunjang, pasien didiagnosis lesi oral
terkait pemphigus vulgaris.
Pasien mendapatkan terapi yaitu pemberian kortikosteroid : deksametason
secara sistemik dan topical; terapi suportif berupa pemberian makanan cair :
entrasol gold untuk membantu mendapatkan nutrisi yang adekuat; diberikan
komunikasi, instruksi, dan edukasi untuk mengompres bibir menggunakan NaCl
0,9%. Setelah diberikan terapi, keadaan intra oral dan ekstra oral pada pasien
berangsur-angsur membaik, walaupun sempat terjadi infeksi sekunder suspek
kandidiasis oral akibat penggunaan kortikosteroid jangka panjang.

83

DAFTAR PUSTAKA

Aoki, Valerie, Luis A. Diaz. 2009. Environmental Triggers to Endemic Pemphigus


Foliaceus
(Fogo
Selvagem).
Tersedia
online
di
[http://www.fapesp.br/week2013/northcarolina/media/pdf/aoki.pdf]
Arini Setiawati, Zunilda S. Bustamin. Antihipertensi. Dalam Farmakologi dan
terapi Edisi 4. Amir Syarif, Azalia Arif, Hendra Utama, Rianto Setiabudy,
Sukarno Sukarban ed. Jakarta. Farmakologi Fakultas UI, 2005: 320-22.
Baroni, Adone, et.al. 2012. Amoxicillin/ Clavulanic Acid-Induced Pemphigus
Vulgaris: Case Report. Acta Dermatovenerologica Croatica. Tersedia online
di
[https://www.google.co.id/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=6&cad=rja&uact=8&ved=0ahU
KEwjjpfim_5bMAhVEL6YKHYnEARwQFghKMAU&url=http%3A%2F
%2Fadc.mef.hr%2Findex.php%2Fadc%2Farticle%2Fdownload
%2F889%2F590&usg=AFQjCNGotwoOWi2WL2r58yK6mhXPFI_P9A]
Barret K, et. al. 2010. Ganongs Review of Medical Physiology. 23rd ed. The
McGraw-Hill Companies: New York.
Brenner S., Mashiah ., Tamir E., Goldberg I., Wohl Y. Pemphigus: An Acronym
for A Disease With Multiple Causes. Tersedia online di
[http://www.pemphigus.org/index.php?
option=com_content&view=article&catid=2:medialarticlesid=44:pemphigus-an-acronym-for-a-disease-with-multiplecauses&Itemid=100081]
British Association of Dermatologists. 2013. Pemphigus Vulgaris. 4 Fitzroy
Square, London WIT 5HQ.
Cawson R. and Odell E. 2003. Essentials of Oral Pathology and Oral Medicine.
7th ed. Churcill Livingstone: Edinburg.
Chan PT. Review on pathogenesis of pemphigus. Hong Kong Dermatology &
Vepereology Bulletin 2002; 10(2): 62-8.
Cerci, Celai., et al. 2008. The Effects of Topical and Systemic Beta Glucan
Administration on Wound Healing Impaired by Corticosteroids. Tersedia

84

online di : [http://www.woundsresearch.com/content/the-effects-topical-andsystemic-beta-glucan-administration-wound-healing-impaired-corticost]
Crescent Healthcare, Inc. Pemphigus and Pemphigoid. Tersedia online di
[http:/www.crescenthealthcare.com/patient_Pemphigus.htm].
Dahl MV. 2001. Clinical Immunodermatology. 2nd ed. CV Mosby Co.: St. Louis.
Darling, Mark R. 2006. Blistering Mucocutaneous Diseases of the Oral Mucosa
A Review: Part 2. Pemphigus Vulgaris. J Can Dent Assoc Vol. 72.
Dhamija, Ashish, et.al. 2012. Pemphigus Vegetans: Am Usual Presentation. Indian
Dermatology

Online

Journal

Vol.

3.

Tersedia

online

di

[http://www.idoj.in/temp/IndianDermatolOnlineJ331937564721_210047.pdf]
Dick SE, Werth VP. Pemphigus: a treatment update.Autoimmunity 2006; 39:5919.
Domonkos AN, Arnold HN, Odom RD. 2000. Chronic Blistering Dermatoses in
Andrews Disease of The Skin. 7th edition. Philadelphia : W. B. Saunders
Company.
Dorland. 2010. Kamus Saku Kedokteran Dorland. Edisi 31. Penerbit Buku
Kedokteran EGC: Jakarta.
Fernando, Suran L., Jamma Li, and Mark Schifter. 2013. Pemphigus Vulgaris and
Pemphigus Foliaceus. Tersedia online di [http://cdn.intechopen.com/pdfswm/45418.pdf]
Fields, A & Longman, L. 2004. Tyldesleys Oral Medicine.5th edition. New York:
Oxford.
Gilman, A.G. 2007. Goodman & Gilman Dasar Farmakologi Terapi.
Diterjemahkan oleh Tim Alih Bahasa Sekolah Farmasi ITB. Edisi X.
Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta.
Greenberg, M.S; M. Glick. 2003. Burkets Oral Medicine Diagnosis and
Treatment. 10th ed. Hamilton. BC Decker Inc.
Harahap, M. 2000. Infeksi Jamur Kulit, Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta : Hipokrates.

85

Harman, et al. 2003. Guidelines for the management of pemphigus vulgaris.


British Journal of Dermatology 149: 926937
Herbst A, Bystryn JC. Patterns of remission in pemphigus vulgaris. J Am Acad
Dermatol 2000; 42: 4227.
International Classification of Diseases, 10th Revision, Clinical Modification
(ICD-10-CM).

Tersedia

online

di

[http://www.cdc.gov/nchs/icd/icd10cm.htm].
Ioannides D, Chrysomallis F, Bystryn JC. Ineffectiveness of cyclosporin as an
adjuvant to corticosteroids in the treatment of pemphigus. Arch Dermatol
2000; 136: 86872.
Katzung, B.G. 2004. Farmakololgi Dasar dan Klinik. Diterjemahkan oleh bagian
Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Edisi 6. Salemba
Medika: Jakarta.
Kerdel FA., Jimenez-Acosta F. 2000. Dermatology Just The Facts. McGraw-Hill:
New York.
Kester M., et. al. 2007. Elseviers Integrated Pharmacology. Mosby Inc: USA.
Langlais, R.P., Miller C.S., Nield-Gehrig J.S. 2009. Color Atlas of Common Oral
Diseases. Lippincott William & Wilkins: Philadelphia.
Lubis, R.D. 2008. Gambaran Histopatologis Pemphigus Vulgaris. Departemen
Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera
Utara
:
USU
e-repository.Tersedia
online
di
[http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3419/1/08E00888.pdf]
Moore E, House F, Dorfman, Gerber M, Fogarty M, Cowie R. Pemphigus
Vulgaris: The Blistering Oral and Skin Lesions of Vesicobullous PV.
Tersedia
online
di
[http:/autoimmunedisease.suite101.com/article.cfm/pemphigus_vulgaris].
Mycek, M.J., et. al. 2001. Farmakologi Ulasan Bergambar. Edisi II. Widya
Medika: Jakarta.
Neville, B. W., et. al. 2002. Oral and Maxillofacial Pathology. 2nd ed. W. B
Saunders Company: Philadelphia.

86

Pilih, A. Benedicic. 2003. Drug Induced Linear IgA Dermatosis: Case Report and
A Short Review. Acta Dermatoven APA Vol. 12. Tersedia online di
[https://www.google.co.id/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=24&cad=rja&uact=8&ved=0ahU
KEwi0i5SfgJfMAhWCqJQKHQ0YCow4FBAWCDQwAw&url=http%3A
%2F%2Fwww.dlib.si%2Fstream%2FURN%3ANBN%3ASI%3AdocPAAIYNGS%2Fb1eb5ca8-0d7b-4021-a042b16c1eb20e54%2FPDF&usg=AFQjCNEnOv-YJ-dZlbmnLtR4JwYWZkqBA]
Rezeki, Sri dan Titik Setyawati. 2009. Pemphigus Vulgaris: Pentingnya Diagnosis
Dini, Penatalaksanaan yang Komprehensif dan Adekuat (Laporan Kasus).
Indonesian Journal of Dentistry: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas
Indonesia.Tersedia
online
di
[http://www.jdentistry.ui.ac.id/index.php/JDI/article/viewFile/20/17]
Salami, T.A.T, et.al. 2012. Pemphigus Erythematosus in A Young Nigerian
Woman: Case Presentation and Short Review of The Literature. Journal of
Medicine and Medical Science Vol. 3. Tersedia online di
[http://www.interesjournals.org/full-articles/pemphigus-erythematosus-in-ayoung-nigerian-woman-case-presentation-and-short-review-of-theliterature.pdf?view=inline]
Shimizu, Hiroshi. 2007. Shimizus Textbook of Dermatology. Tersedia online di
[www.derm-hokudai.jp/shimizu-dermatolog/profile/index.html].
Suherman, K.S. 2007. Adrenokortikotropin, Adrenokortikosteroid, AnalogSintetik dan Antagonisnya dalam Farmakologi dan Terapi. Edisi kelima.
Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta.
Sweetman, Sean C. 2009. Martindale The Complete Drug Reference. Vol. 2.
Pharmaceutical Press: USA.
Tarigan, Ravina dan Titiek Seyawati. 2009. Tantangan dalam Perawatan Oral
Lichen Planus pada Pasien Diabetes Mellitus : Laporan Kasus. Indonesian
Journal
of
Dentistry;
16(1):8-17.
Tersedia
online
di
[https://www.google.com/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&ved=0ahUKEwjQpcjtx8LLA
hUJW5QKHaFgAZ8QFggcMAA&url=http%3A%2F
%2Fwww.jdentistry.ui.ac.id%2Findex.php%2FJDI%2Farticle%2Fdownload

87

%2F19%2F16&usg=AFQjCNHuWKDdOD6q5Xh7B58_hIPyYS6zQ&cad=rja]
Tatro, David S. 2003. A to Z Drug Facts. Ovid: San Fransisco.
Thomas B., Johnson RA., Klauswoff, Suurmond D. 2000. Color Atlas and
Synopsys of Clinical Dermatology, Common and Serious Disease. McGrawHill: New York.
Yagiela, et. al. 2010. Pharmacology and Therapeutics for Dentistry. Elsevier:
Illinois.
Zeina, B. 2015. Pemphigus Vulgaris Workup : Laboratory Studies. Tersedia online
di [http://emedicine.medscape.com/article/1064187-workup].
www.kalbenutritionals.com/about_you_product.asp?id=12&strlang=ind

Anda mungkin juga menyukai