Anda di halaman 1dari 37

REFERAT

DISASTER VICTIM IDENTIFICATION


(Identifikasi Jenazah Pada Kasus Bencana Massal)
Pembimbing:
dr. Dirwan Suryo Soularto, Sp.F., M.Sc
LATAR BELAKANG
Indonesia memiliki kondisi geografis, geologis, hidrologis, dan demografis yang
memungkinkan terjadinya bencana, baik yang disebabkan oleh faktor alam, faktor non
alam maupun faktor manusia yang menyebabkan timbulnya korban jiwa manusia,
kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis yang dalam keadaan
tertentu dapat menghambat pembangunan nasional

Umumnya korban yang hidup telah banyak dapat diatasi oleh tim medis, para medis dan
tim pendukung lainnya. Namun berbeda bagi korban yang sudah mati yang perlu
ditangani secara khusus dengan membentuk tim khusus pula.

Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan telah memberikan amanat


kepada pemerintah dan masyarakat untuk melakukan upaya identifikasi terhadap mayat
yang tidak dikenal. Identifikasi korban mati dilakukan untuk memenuhi hak korban agar
dapat dikembalikan kepada keluarga dan dikubur secara layak sesuai dengan keyakinannya
semasa hidup. Ada dampak hukum dengan meninggalnya seseorang seperti waris,
asuransi, serta pada kasus kriminal maka akan dapat dihentikan apabila pelaku telah
meninggal dunia
DEFINISI BENCANA
setiap kejadian yang menyebabkan kerusakan, gangguan ekologis,
hilangnya nyawa manusia atau memburuknya derajat kesehatan
WHO atau pelayanan kesehatan pada skala tertentu yang memerlukan
respon dari luar masyarakat atau wilayah yang terkena

peristiwa/kejadian pada suatu daerah yang mengakibatkan kerusakan


DEPKES ekologi, kerugian kehidupan manusia serta memburuknya kesehatan dan
RI pelayanan kesehatan yang bermakna sehingga memerlukan bantuan luar
biasa dari pihak luar

peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu


kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh
UU NO. 24 faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga
TH 2007 mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan,
kerugian harta benda, dan dampak psikologis
IDENTIFIKASI JENAZAH PADA KASUS BENCANA MASSAL

• Tujuan utama  mengenali korban sehingga


dapat dilakukan upaya merawat, mendoakan
serta akhirnya menyerahkan kepada
keluarganya.
• Proses identifikasi ini sangat penting bukan
hanya untuk menganalisis penyebab bencana,
tetapi memberikan ketenangan psikologis bagi
keluarga dengan adanya kepastian identitas
korban.
DISASTER VICTIM IDENTIFICATION
(Identifikasi Jenazah Pada Kasus Bencana Massal)
• Definisi
Suatu prosedur untuk mengidentifikasi korban mati akibat bencana
masal secara ilmiah yang dapat dipertanggung jawabkan dan
mengacu pada standar baku

ditujukan untuk kepentingan forensik, yaitu kepentingan proses


peradilan. Peran ilmu kedokteran forensik terutama pada jenazah
yang tidak dikenal, jenazah yang telah membusuk, pada kecelakaan
masal, maupun bencana alam yang mengakibatkan banyak korban
mati
Proses Identifikasi Korban Bencana
Menggabungkan data
Ante Mortem and Post Mortem

Ante Mortem Post Mortem


• Data dikumpulkan oleh • Data dikumpulkan oleh
Polisi atau keluarga ahli Pathology dan tim
yang kehilangan Identifikasi Forensik
anggota keluarga
Proses Identifikasi Korban Bencana
Menggabungkan dan mencocokkan data Ante
Mortem dan Post Mortem
Tujuan Identifikasi Forensik
Pemastian kematian
Kebutuhan etis dan
seseorang secara
kemanusiaan
resmi dan yuridis

Pencatatan identitas
Pengurusan klaim
untuk keperluan
dibidang hukum publik
administratif dan
dan perdata
pemakaman

Upaya awal dalam


Pembuktian klaim
suatu penyelidikan
asuransi, pensiun, dll
kriminal
Tim DVI
Dokter spesialis forensik
Dokter gigi
Ahli anthropology
Kepolisian
Fotografi
Ahli DNA
Proses DVI

Fase 1 : Fase TKP/The Scene

Fase 2 : Fase pengumpulan data jenazah Post Mortem/ The Mortuary

Fase 3: Fase pengumpulan data jenazah Ante Mortem/Ante Mortem Information Retrieval

Fase 4 : Fase Analisa/Reconciliation

Fase 5 : Fase Evaluasi/Debriefing


Fase 1 : Fase TKP/The Scene
• Dilaksanakan oleh tim DVI unit TKP dengan aturan umum sebagai berikut: 1,6,8
a. Tidak diperkenankan seorang pun korban meninggal yang dapat dipindahkan dari
lokasi, sebelum dilakukan olah TKP aspek DVI;
b. Pada kesempatan pertama label anti air dan anti robek harus diikat pada setiap tubuh
korban atau korban yang tidak dikenal untuk mencegah kemungkinan tercampur atau
hilang;
c. Semua perlengkapan pribadi yang melekat di tubuh korban tidak boleh dipisahkan;
d. Untuk barang‐barang kepemilikan lainnya yang tidak melekat pada tubuh korban
yang ditemukan di TKP, dikumpulkan dan dicatat;
e. Identifikasi tidak dilakukan di TKP, namun ada proses kelanjutan yakni masuk dalam
fase kedua dan seterusnya.
• Ada tiga langkah utama. to secure atau untuk mengamankan, to collect atau
untuk mengumpulkan dan documentation atau pelabelan
to secure atau untuk mengamankan
• Organisasi yang memimpin komando DVI harus mengambil langkah untuk
mengamankan TKP agar TKP tidak menjadi rusak. Langkah – langkah tersebut
antara lain adalah : 8
1. Memblokir pandangan situs bencana untuk orang yang tidak berkepentingan (penonton
yang penasaran, wakil – wakil pers, dll), misalnya dengan memasang police line.
2. Menandai gerbang untuk masuk ke lokasi bencana.
3. Menyediakan jalur akses yang terlihat dan mudah bagi yang berkepentingan.
4. Menyediakan petugas yang bertanggung jawab untuk mengontrol siapa saja yang
memiliki akses untuk masuk ke lokasi bencana.
5. Periksa semua individu yang hadir di lokasi untuk menentukan tujuan kehadiran dan
otorisasi.
6. Data terkait harus dicatat dan orang yang tidak berwenang harus meninggalkan area
bencana
to collect atau untuk mengumpulkan
• Organisasi yang memimpin komando DVI harus mengumpulkan
korban – korban bencana dan mengumpulkan properti yang
terkait dengan korban yang mungkin dapat digunakan untuk
kepentingan identifikasi korban
documentation atau pelabelan
• Organisasi yang memimpin
komando DVI mendokumentasikan
kejadian bencana dengan cara
memfoto area bencana dan korban
kemudian memberikan nomor dan
label pada korban. Setelah ketiga
langkah tersebut dilakukan maka
korban yang sudah diberi nomor
dan label dimasukkan ke dalam
kantung mayat untuk kemudian Kontainer dan perbendaharaan pemeriksaan badan
korban post mortem
dievakuasi.
Fase 2 : Fase pengumpulan data jenazah Post Mortem/ The
Mortuary
• Pengumpulan data post-mortem atau data yang diperoleh paska kematian dilakukan oleh
post-mortem unit yang diberi wewenang oleh organisasi yang memimpin komando DVI.
• Pada fase ini dilakukan berbagai pemeriksaan yang kesemuanya dilakukan untuk
memperoleh dan mencatat data selengkap–lengkapnya mengenai korban (data primer &
sekunder)
• Badan Identifikasi DVI Indonesia syarat identifikasi yang tepat, yaitu menentukan identitas
seseorang secara positif berdasarkan Identification Board DVI Indonesia adalah didukung
minimal salah satu primary identifiers positif atau didukung dengan minimal dua
secondary identifiers positif.
• Pada fase ini juga sekaligus dilakukan tindakan untuk mencegah perubahan–perubahan
paska kematian pada jenazah, misalnya dengan meletakkan jenazah pada lingkungan
dingin untuk memperlambat pembusukan
Skema Pemeriksaan Post
Mortem Jenazah
Finger print

Dental
Primer
record

Analisa DNA
Metode
Identifikasi
Medis

Sekunder Photography

Properti
Identifikasi Primer

• Analisa sidik jari


– Khusus
– Tidak berubah
– Dapat diklasifikasikan
• Forensik Odontology
– Pemeriksaan ini meliputi pencatatan data gigi (odontogram) dan
rahang
• Analisa DNA
– sampel darah dari korban, tulang, kuku, dan rambut.
IDENTIFIKASI SEKUNDER
Deskripsi Pribadi/Temuan Medis
Data umum meliputi:
–tinggi badan
–berat badan
–Rambut
–Mata
–Hidung
–Gigi
•Data khusus meliputi
–Tato
–tahi lalat
–jaringan parut
–cacat kongenital
–patah tulang
Metode Properti/Kepemilikan
(seperti pakaian, perhiasan, dokumen)

Dokumen seperti kartu identitas


(KTP, SIM, Paspor) dan sejenisnya

Pada kecelakaan masal, dokumen yang


terdapat dalam tas atau dompet yang berada
dekat jenazah belum tentu adalah milik
jenazah yang bersangkutan.
Lanjutan…

• Dari pakaian dan perhiasan yang dikenakan jenazah, mungkin


dapat diketahui merek atau nama pembuat, ukuran, inisial
nama pemilik, badge yang semuanya dapat membantu proses
identifikasi walaupun telah terjadi pembusukan pada jenazah
tersebut.
• Khusus anggota ABRI, identifikasi dipemudah oleh adanya
nama serta NRP yang tertera pada kalung logam yang
dipakainya
Fase 3: Fase pengumpulan data jenazah Ante Mortem/Ante
Mortem Information Retrieval
• Pada fase ini dilakukan pengumpulan data mengenai jenazah sebelum kematian (diperoleh dari keluarga
jenazah maupun orang yang terdekat dengan jenazah)
• Kegiatan :
– menerima keluarga korban;
– mengumpulkan data‐data korban semasa hidup seperti foto dan lain-lainnya yang dikumpulkan dari keluarga terdekat yang
kehilangan anggota keluarganya dalam bencana tersebut;
– mengumpulkan data‐data korban dari instansi tempat korban bekerja, RS/Puskesmas/Klinik, dokter pribadi, dokter yang
merawat, dokter‐dokter gigi pribadi, polisi (sidik jari), catatan sipil, dll;
– data‐data Ante Mortem gigi‐geligi;
• data‐data Ante Mortem gigi‐geligi adalah keterangan tertulis atau gambaran dalam kartu perawatan gigi atau keterangan dari keluarga atau
orang yang terdekat;
• sumber data‐data Ante Mortem tentang kesehatan gigi diperoleh dari klinik gigi RS Pemerintah, TNI/Polri dan Swasta; lembaga‐lembaga
pendidikan Pemerintah/TNI/Polri/Swasta; praktek pribadi dokter gigi.
– mengambil sampel DNA pembanding;
– apabila diantara korban ada warga Negara asing maka Data‐data Ante Mortem dapat diperoleh melalui perantara Set NCB
Interpol Indonesia dan perwakilan Negara asing (kedutaan/konsulat);
– memasukkan data‐data yang ada dalam formulir Interpol DVI AM;
– mengirimkan data‐data yang telah diperoleh ke Unit Pembanding Data.
Fase 4 : Fase Analisa/Reconciliation
• Pada fase ini dilakukan pembandingan data post mortem dengan data ante
mortem.
• Ahli forensik dan profesional lain yang terkait dalam proses identifikasi
menentukan apakah temuan post mortem pada jenazah sesuai dengan data
ante mortem milik korban yang dicurigai sebagai jenazah.
• Apabila data yang dibandingkan terbukti cocok maka dikatakan identifikasi
positif atau telah tegak.
• Apabila data yang dibandingkan ternyata tidak cocok maka identifikasi dianggap
negatif dan data post mortem jenazah tetap disimpan sampai ditemukan data
ante mortem yang sesuai dengan temuan post mortem jenazah.
Fase 5 : Fase Evaluasi/Debriefing
• Korban yang telah diidentifikasi direkonstruksi hingga didapatkan kondisi
kosmetik terbaik kemudian dikembalikan pada keluarganya untuk dimakamkan.
• Apabila korban tidak teridentifikasi maka data post mortem jenazah tetap
disimpan sampai ditemukan data ante mortem yang sesuai dengan temuan post
mortem jenazah, dan pemakaman jenazah menjadi tanggung jawab organisasi
yang memimpin komando DVI.
• Fase ini dilakukan 3-6 bulan setelah proses identifikasi selesai. Pada fase
debriefing, semua orang yang terlibat dalam proses identifikasi berkumpul untuk
melakukan evaluasi terhadap semua hal yang berkaitan dengan pelaksanaan
proses identifikasi korban bencana, baik sarana, prasarana, kinerja, prosedur,
serta hasil dentifikasi
• Secara teoritis, kelima fase DVI seharusnya dikerjakan sesuai standar pada setiap kasus
bencana. Namun pada kenyataannya, banyak hambatan dan kendala yang ditemui di
lapangan untuk menerapkan prosedur DVI.2
• Pada kasus tenggelamnya kapal Rimba III, mayat sudah dalam kondisi membusuk lanjut.
Proses identifikasi sesuai kelima fase tersebut menemui hambatan karena polisi
mengirimkan mayat ke instalasi kamar jenazah dengan Surat Permintaan Visum yang sudah
berisi identitas korban. Identifikasi dilakukan oleh pihak penyidik bersamasama dengan
keluarga di TKP berdasarkan property (pakaian, tas, dompet, perhiasan) yang melekat pada
tubuh korban. Akibat tindakan tersebut, keluarga menolak dilakukan pemeriksaan
terhadap korban dengan alasan sudah dikenali. Properti yang ada pada jenazah juga sudah
langsung diserahkan pada keluarga di TKP, sehingga sempat terjadi insiden tertukarnya
jenazah. Hal ini dapat diatasi setelah dilakukan pemeriksaan fisik terhadap mayat korban
CONTOH KASUS
Bencana Kapal Senopati Nusantara
Bencana Pesawat Garuda Indonesia
Perbedaan Umum
Perbedaan Bencana Kapal Senopati Bencana Pesawat
Nusantara Garuda Indonesia
lokasi Air Darat
Cara kejadian tenggelam terbakar
Sifat bencana Open disaster Close disaster
Waktu pemeriksaan 2 hari -30 hari 1-3 hari
setelah kejadian
Paparan pembusukan Terpapar tempat terbuka Terpapar oleh udara,
oleh udara dan air diletakkan di tempat
tertutup.
Identifikasi jenazah Sulit diidentifikasi Jenazah masih bisa
akibat pembusukan melalui pemeriksaan diidentifikasi melalui
tersebut primer pemeriksaan primer
Kapal Senopati Nusantara
Identifikasi jenazah korban tenggelamnya Kapal Senopati
Nusantara jenazah dengan keadaan membusuk awal yaitu
ditemukan 2 hari setelah kejadian

Pemeriksaan
Jenazah dapat diidentifikasi Pemeriksaan sekunder sekunder
sederhana melalui visual medis: sikatrik medis: kumis,
tahi lalat
Semakin lama terpapar dalam air

Pembusukan

Terbatasnya upaya pemeriksaan primer

Identifikasi wajib diperlukan kombinasi dengan pemeriksaan sekunder


dengan cermat dan akurat

Hasil dapat disebut teridentifikasi bila memenuhi 2 kriteria


pemeriksaan sekunder, seperti pemeriksaan medis, propery maupun
fotografi.
Kasus korban ditemukan setelah 9-29 hari setelah kejadian
mengandalkan pemeriksaan sekunder .

Disebut teridentifikasi bila memenuhi 2 kriteria pemeriksaan


sekunder
TERBAKARNYA PESAWAT GARUDA GA 200 PK-GZC
BOEING 737-400

Pesawat yang membawa 133 penumpang dan 7 awak pesawat ini terbakar dan menewaskan 21
penumpangnya (20 penumpang, 1 crew pesawat). 20 dari 21 jenazah yang ditemukan (95%)
mengalami kondisi menjadi separuh arang dan hanya 1 jenazah yang relatif tidak menjadi arang.
Kelebihan keberhasilan identifikasi pada kasus ini
antara lain adalah karena sifat bencana yang terjadi
adalah bencana dengan tipe Close Disaster, yaitu
kejadian bencana dengan jumlah korban meninggal
dapat diketahui secara pasti dan jelas.

Pemeriksaan primer secara optimal meskipun sidik jari


tidak dapat digunakan namun masih terdapat gigi yang
melekat utuh.
Sifat bencana close disaster disertai mayoritas keadaan
sosial ekonomi menengah keatas dengan kesadaran
pemeriksaan gigi meskipun tetap harus dilakukan
pemeriksaan sekunder lain, seperti pemeriksaan
fotografi dan property.
Pemeriksaan sekunder fotografi,gigi Pemeriksaan primer gigi disertai
dapat dijadikan bahan identifikasi dengan gigi palsu
superimposed
Berdasarkan data pemeriksaan jenazah dari dua
kejadian bencana massal yang berbeda maka tampak
bahwa keduanya memiliki karakter yang berbeda pula
terutama dari keadaan kondisi jenazah, proses
pemeriksaan jenazah dan keberhasilan identifikasi
jenazah. Hal tersebut terutama disebabkan karena
kondisi utama jenazah yang semakin tidak utuh maka
akan semakin mempersulit proses identifikasi
jenazah, sehingga akan mempengaruhi keberhasilan
penentuan identitas individu.
Kesimpulan
Metode identifikasi terus berkembang,
berbagai ilmu pengetahuan baik yang
bersifat ilmiah, komputerized atau yang
sederhana lebih meningkatkan akurasi
identifikasi korban mati atau hidup.

Diperlukan kerjasama dan pengertian


yang baik di antara semua pihak yang
terlibat dalam penerapannya, sehingga
proses identifikasi mencapai ketepatan
dalam identifikasi dan bukan hanya
kecepatan dalam prosesnya.
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai