Anda di halaman 1dari 11

IDENTIFIKASI KORBAN BENCANA

MASSAL
July 22, 2010 adjisuwandono
0 Comment
sekilas DVI

Seperti kita ketahui bahwa bencana merupakan kejadian yang mendadak, tidak
terduga dan dapat terjadi pada siapa saja, dimana saja, kapan saja serta
mengakibatkan kerusakan dan kerugian harata benda, korban manusia yang relative
besar baik mati maupun cedera.

Bencana dapat disebabkan karena alamiah seperti gunung meletus, banjir, tanah
longsor atau karena kesalahan manusia. Beberapa hal yang diakibatkan oleh
kesalahan manusia antara lain karena kelalaian yaitu kecelakaan lalu lintas udara,
laut dan darat, serta kebakaran dan runtuhnya gedung. Adapula bencana yang
sengaja dilakukan oleh manusia antara lain peledakan bom oleh teroris, pembakaran
serta kerusuhan.

Beberapa macam bencana yang telah terjadi antara lain bencana alam, kecelakaan
lalu lintas darat, udara dan laut serta bom semuanya mengakibatkan banyak korban
yang meninggal. Identifikasi Korban Massal sangat penting mengingat kepastian
seseorang hidup dan mati sangat diperlukan untuk kepentingan hukum yang
berkaitan dengan Asuransi, Pensiun, Warisan, dan lain-lain.

Penanganan korban mati pada bencana selama ini belum mendapat perhatian yang
serius, penuh tantangan serta memerlukan dana, sarana dan prasarana yang cukup
mahal serta dibutuhkan profesionalisme dari para petugas yang menangani hal
tersebut.

Selain itu terbatasnya sumber daya manusia yang menangani korban mati baik
dalam kuantitas maupun kualitas memerlukan perhatian khusus agar dapat
memenuhi kebutuhan saat ini.

Keberhasilan penanganan korban bencana diperlukan pedoman penatalaksanaan


identifikasi korban pada bencana massal untuk dipakai dalam penanganan korban
pada setiap bencana.

Identifikasi Massal adalah proses pengenalan jati diri korban missal yang terjadi
akibat bencana. Identifikasi dilakukan dengan memanfaatkan ilmu kedokteran dan
kedokteran gigi pada korban baik hidup maupun mati.

Yang dimaksud dengan Metode identifikasi adalah cara atau teknik yang dapat
digunakan untuk menentukan identifikasi seseorang melalui metode Daktiloskopi,
Fotografi, Superimpuse, Odontologi, Antropometri, DNA, Sinyalemen dan Raut
Wajah.

Dalam pelaksanaan identifikasi diperlukan data-data yang berupa data ante mortem
mapun data post mortem. Data ante mortem adalah data-data yang penting dari
korban sebelum kejadian atau pada waktu korban masih hidup, termasuk data vital
tubuh, data gigi, data sidik jari, dan data kepemilikan yang dipakai atau dibawa.
Adapun data post mortem adalah data-data hasil pemeriksaan forensic yang dilihat
dan ditemukan pada jenazah korban.

Tentunya penanganan bencana massal merupakan usaha terpadu antar berbagai


disiplin dan instansi baik pemerintah maupun swasta yang semuanya bertujuan
untuk menguranngi dan memulihkan dampak suatu bencana.

Pada setiap bencana tentunya ada korban baik hidup maupun mati,
penanggulangannya akan bersifat kegawat daruratan. Identifikasi korban mati
dianggap masih bagian dari pelayanan kesehatan mengingat korban mati adalah
korban juga. Oleh karena itu identifikasi medik tidak memerlukan atau menunggu
surat permintaan dari penyidik atau polisi.

Sesuai dengan peraturan dan perundangan yang berlaku, maka apabila pihak
penyidik ingin mendapatkan hasil pemeriksaan identifikasi berupa visum et repertum
dapat dimintakan pada Dinas Kesehatan atau Rumah Sakit setempat sesuai dengan
prosedur yang berlaku, sedangnkan informasi dan surat-surat resmi yang berkaitan
denganhasil identifikasi akan dikeluarkan oleh Tim Identifikasi yang ditanda-tangani
oleh ahli-ahlli terkait.

Tim Identifikasi dapat dibentuk di tingkat nasional, tingkat regional maupun tingkat
propinsi. Tim ini berkoordinasi secara lintas sektoral dan lintas disiplin. Unit-unit yang
terdapat dalam tim identifikasi harus bekerja sebagai suatu kesatuan yang kompak
dan terkoordinir. Tim identifikasi dapat menngadakan serta mengupayakan
koordinasi dan kerjasama dengan lembaga asing atau Negara lain yang akan
membantu pelaksanaan identifikasi.

Pembiayaan yang timbul dari pelaksanaan Tim Identifikasi korban Mati Pada
Bencana Massal tentunya bisa dibebankan pada Negara sesuai dengan peraturan
dan perundang-undangan yang berlaku. Disamping itu guna mengantisipasi
kekurangan dana dapat dilakukan berbagai upaya bantuan luar negeri dan bantuan-
bantuan lain yang tidak mengikat.

Setelah korban teridentifikasi sedapat mungkin sebelum diserahkan kepada keluarga


dilakukan perawatan jenazah dengan melakukan perbaikan atau rekonstruksi tubuh,
pengawetan, perawatan sesuai agama korban dan memasukkan dalam peti jenazah.

Apa Yang Dimaksud Dengan Data Ante Mortem dan Post Mortem

Indonesia memang negara yang tingkat kecelakaan dan bencana alamnya cukup tinggi. Banyak
korban yang berhasil ditemukan namun banyak juga yang tidak berhasil ditemukan. Ketika proses
identifikasi korban juga sering menyulitkan, misalnya korban pesawat terbang yang tubuhnya telah
hancur. Berita duka AIRASIA masih berlanjutan, banyak sekali korban yang terus berdatangan. Pasti
kalian pernah mendengar Apa itu Post Mortem dan Apa itu Ante Mortem , betul tidak ? Sebagian dari
kalian pasti terdengar agak asing, tapi kedua kata tersebut sudah tidak asing lagi bagi Tim DVI
(Disaster Victim Identification) POLRI. Berita yang berkaitan dengan Hilangnya Pesawat AirAsia
QZ8501 ini memakan banyak korban jiwa.
Dengan banyaknya jumlah korban, maka POLRI melakukan Identifikasi jenazah yang di lakukan oleh
Tim DVI. Nah sebenarnya apa arti kedua kata tersebut ? ini dia.. Data Ante Mortem
Data Ante Mortem adalah data-data korban sebelum seseorang meninggal dunia,sedangkan Data
Post Mortem Data Post Mortem adalah data-data korban setelah seseorang meninggal dunia. Kedua
data diatas sangat-sangat penting sekali dan Data Ante Mortem harus berkaitan dengan Data Post
Mortem. Jika terjadi kesalahan maka itu sangat fatal sekali. Bagaimana cara mendapatkan data Ante
Mortem dan Post Mortem ? Data Ante Mortem : Warna Kulit, Umur, Tanda lahir, Sidik Jari, DNA, Ciri
Fisik, dan sebagainya.
Data Post Mortem : Pakaian yang dikenakan, Seragam, Data-data di dalam dompet
(KTP,SIM,STNK,dll), Name Tag, dan sebagainya.

Mengenal Ante Mortem Pada Proses


Identifikasi Korban Bencana
Christina Andhika Setyanti , CNN Indonesia

Rabu, 31/12/2014 12:43 WIB

 Sebarkan:

Suasana Posko DVI tempat pengumpulan data ante mortem guna identifikasi jenasah,
Bandara Juanda, Surabaya, 31 Desember 2014 (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia -- Kasus hilangnya pesawat AirAsia QZ 8501 beberapa waktu lalu sudah
menemukan titik terang. Jenazah korban yang sudah dievakuasi dari lokasi jatuhnya pesawat segera
diidentifikasi.

Untuk mengidentifikasi para korban, Ketua DVI (Disaster Victim Identification) Polda Jatim, Budiyono
menyatakan pihaknya telah melakukan proses pengambilan data ante mortem, sejak korban pesawat
AirAsia QZ8501 mulai ditemukan pada Selasa (31/12) kemarin.

Dalam kondisi bencana atau insiden yang menimbulkan korban jiwa, pengambilan data ante mortem
sangatlah penting. Ante mortem diperlukan untuk membantu mengidentifikasi korban yang
ditemukan.

Ante mortem sendiri adalah data diri korban sebelum meninggal dunia. Data-data sebelum korban
meninggal atau ante mortem ini didapatkan dari keluarga terdekatnya.

Pilihan Redaksi Pengumpulan data


ante mortem biasanya
 Tim Medis Siap Identifikasi Jasad Penumpang AirAsia QZ8501 dilakukan lewat dua
 Menunggu Jenazah, Polda Jatim Ambil Data Ante Mortem metode, yaitu metode
 RS Bhayangkara Siagakan 162 Ambulans di Bandara Juanda
sederhana dan
metode ilmiah.
Metode sederhana
dilakukan dengan mengidentifikasi fisik, perhiasan dan pakaian yang dipakai sebelumnya, serta foto
dokumentasi.

Metode lainnya adalah metode ilmiah yang menyangkut sidik jari, rekam medis, serologi
(pemeriksaan cairan tubuh seperti darah, air mani, air liur, keringat, dan kotoran di tempat kejadian
perkara), odontologi (gigi), antropologi, biologi (termasuk tanda lahir atau cacat).

Untuk mendapatkan sidik jari ante mortem, sidik jari ini didapatkan dari data pribadi sebelumnya
misalnya, ijazah, SIM, akta kelahiran dan lainnya. Sedangkan untuk data perhiasan dan pakaian yang
digunakan saat kejadian bisa didapatkan dengan foto-foto yang mungkin sebelumnya dikirim korban
kepada keluarga. Di zaman sekarang, kebanyakan orang sekarang ini sering berfoto selfie dan
mengunggahnya ke media sosial.

Keterangan lain yang dibutuhkan tim medis adalah ciri-ciri fisik dari para penumpang. Di antaranya
berupa umur, tinggi badan, jenis kelamin, rambut, bentuk wajah, tanda lahir, tahi lalat jika ada, dan
penjelasan mengenai rekam medis sebelum terbang.

Jika identifikasi ante mortem tak bisa dilakukan dengan metode sederhana, maka metode ilmiah bisa
dilakukan. Misalnya dengan pengambilan DNA. DNA ante mortem bisa diambil dari keluarga kandung
terdekat, misalnya ayah, ibu, adik atau kakak.

Salah satu metode ante mortem yang dilakukan oleh DVI Jatim adalah dengan identifikasi
ortodontologi atau gigi geligi. Identifikasi bisa dilakukan dengan menggunakan foto-foto korban yang
sedang tersenyum sehingga terlihat gigi geliginya. Pemeriksaan ordontologi yang lebih mendalam
bisa dilakukan dengan catatan data atau rekam medis gigi. Sayang, belum semua orang memiliki data
medis catatan gigi lengkap.

Padahal, proses identifikasi lewat pengenalan gigi ini adalah cara yang paling mungkin dilakukan,
terutama jika korban meninggal sudah tak bisa lagi dikenali secara fisik. Gigi memegang peranan
penting dalam setiap identifikasi karena dibanding seluruh bagian tubuh manusia, gigi adalah bagian
terkeras dan tak mudah hancur.

Setelah pengumpulan data anti mortem ini lengkap, maka data ini kemudian akan dicocokkan
dengan data tubuh asli korban yang ditemukan. Proses ini dikenal dengan nama post mortem (data
setelah korban meninggal). Proses pencocokan data ante mortem dan post mortem yang sudah
cocok ini berguna untuk mengenali data diri korban.

Penanganan Korban Bencana Post Mortem Macz Tags forensik Definisi bencana sangat
bervariasi. Menurut WHO, bencana adalah setiap kejadian yang menyebabkan kerusakan,
gangguan ekologis, hilangnya nyawa manusia atau memburuknya derajat kesehatan atau
pelayanan kesehatan pada skala tertentu yang memerlukan respon dari luar masyarakat atau
wilayah yang terkena. Sedangkan menurut Departemen Kesehatan RI, bencana adalah
peristiwa/kejadian pada suatu daerah yang mengakibatkan kerusakan ekologi, kerugian
kehidupan manusia serta memburuknya kesehatan dan pelayanan kesehatan yang bermakna
sehingga memerlukan bantuan luar biasa dari pihak luar. Undang-undang Nomor 24 tahun
2007 mendefinisikan bencana sebagai peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam
dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor
alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya
korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
Secara singkat, bencana adalah suatu kejadian yang tidak diharapkan, yang dapat
menimbulkan korban luka atau meninggal dengan jumlah cukup banyak. Suatu bencana
dengan jumlah korban massal memiliki patokan yang berbeda- beda. Dari sudut pandang
medis, 25 orang, menurut Popzacharieva dan Rao, 10 orang. Silver dan Souviron menyatakan
patokan ini tentunya akan berbeda-beda tergantung dari lokasi bencana, terkait dengan
sumber daya dan fasilitas yang tersedia. Sebagai contoh, jumlah lemari pendingin yang
tersedia untuk menyimpan jenazah akan bervariasi dari 4 hingga 400 unit antara satu rumah
sakit dengan rumah sakit lainnya. Dengan demikian, menurut Hadjiiski, suatu bencana
digolongkan sebagai bencana massal apabila jumlah korban melebihi 10% dari kapasitas
tempat yang tersedia di masing-masing rumah sakit. Sedangkan menurut pedoman
penanganan bencana di bidang kesehatan Menteri Kesehatan RI, korban massal adalah korban
akibat kejadian dengan jumlah relatif banyak oleh karena sebab yang sama dan perlu
mendapatkan pertolongan kesehatan segera dengan menggunakan sarana, fasilitas, dan tenaga
yang lebih dari yang tersedia sehari- hari. Penting untuk membedakan apakah suatu bencana
bersifat terbuka atau tertutup. Bencana terbuka merupakan bencana besar yang menyebabkan
kematian sejumlah orang yang tidak diketahui identitasnya dan tidak tersedia data yang jelas
tentang para korban tersebut. Sulit untuk memperoleh informasi yang akurat tentang jumlah
korban pada kejadian bencana jenis ini. Bencana tertutup adalah bencana besar yang
menyebabkan kematian sejumlah orang yang memiliki identitas yang dapat diketahui dengan
jelas (misalnya, kecelakaan pesawat yang memiliki data- data penumpang). Pada kasus
bencana tertutup biasanya data antemortem dapat diperoleh dengan cepat. PEMBAHASAN
Untuk penatalaksanaan korban mati akibat bencana mengacu pada Surat Keputusan Bersama
Menteri Kesehatan dan Kapolri No. 1087/Menkes/SKB/IX/2004 dan No. Pol Kep/40/IX/2004
Pedoman Pelaksanaan Identifikasi Korban Mati pada Bencana Massal. Undang-undang
Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan telah memberikan amanat kepada pemerintah dan
masyarakat untuk melakukan upaya identifikasi terhadap mayat yang tidak dikenal.
Identifikasi korban mati dilakukan untuk memenuhi hak korban agar dapat dikembalikan
kepada keluarga dan dikubur secara layak sesuai dengan keyakinannya semasa hidup. Ada
dampak hukum dengan meninggalnya seseorang seperti waris, asuransi, serta pada kasus
kriminal, maka akan dapat dihentikan apabila pelaku telah meninggal dunia. Untuk
identifikasi korban mati akibat bencana tersebut dilakukan oleh Tim Disaster Victim
Identification (DVI). STRUKTUR ORGANISASI TIM DISASTER VICTIM
IDENTIFICATION (DVI) Disaster Victim Identification (DVI) adalah istilah yang telah
disepakati secara internasional untuk menggambarkan proses dan prosedur penemuan dan
identifikasi korban mati akibat suatu bencana. Proses dan prosedur DVI atau identifikasi
korban mati pada bencana massal mengacu pada prosedur DVI Interpol yang disesuaikan
dengan kebijakan nasional. Penanggung jawab DVI adalah kepolisian yang dalam
pelaksanaan operasinya dapat bekerjasama dengan berbagai pihak lintas institusi, sektoral dan
fungsi. Ketua tim dan koordinator fase berasal pihak kepolisian. Pada kasus yang lebih
mementingkan aspek penyidikan, kecepatan dan hot issues seperti pada man made disaster,
ketua tim DVI lebih mengedepankan timnya sesuai dengan keahlian dan pengalaman,
sedangkan pada kasus yang lebih mengedepankan aspek kemanusiaan pada natural disaster
maka ketua DVI dapat melibatkan beberapa tim dari berbagai institusi. Struktur organisasi
dalam tim DVI diperlukan untuk kontrol tim yang baik. Seorang investigator penanggung
jawab ditunjuk untuk bertanggung jawab dalam keseluruhan operasi. Investigator penanggung
jawab bertugas untuk mengkoordinasi upaya penyelamatan hidup dan mengamankan barang
bukti, untuk mengidentifikasi kematian dan menginvestigasi penyebab bencana. Tugas
seorang investigator sangat banyak dan bervariasi sehingga untuk kontrol dan koordinasi yang
efektif diperlukan beberapa pegawai kepolisian senior untuk membantunya. Paling sedikit
diperlukan tiga orang asisten yang masing- masing bertanggung jawab untuk aspek-aspek
mayor dari keseluruhan operasi. Ketiga asisten tersebut yaitu: Direktur Komunikasi, Direktur
Operasi Penyelamatan, dan Direktur Identifikasi Korban. Setiap direktur yang ditunjuk
diberikan kewenangan untuk memperoleh peralatan dan anggota yang dibutuhkan. Mereka
juga dibolehkan untuk menunjuk seorang koordinator untuk mengontrol suatu tugas yang
bekerja di bawah perintah dan pengawasannya. Seorang koordinator perlu untuk menunjuk
seorang kepala unit dan pemimpin tim sesuai kebutuhan untuk bertanggung jawab pada setiap
aspek spesifik operasi. Berikut ini diagram struktur organisasi tim Disaster Victim
Identification (DVI) yang direkomendasikan oleh Interpol: struktur organisasi tim Disaster
Victim Identification (DVI) Prinsip dalam bekerja bagi tim DVI adalah team work sesuai
dengan keahlian/kompetensi dan pengalaman. Masing‐masing tim yang bekerja dalam
masing‐masing fase mempunyai tanggung jawab, keahlian dan pengalaman yang berbeda
yang menjadi pertimbangan bagi seorang ketua tim DVI. Misalnya tim DVI fase I
diperuntukkan bagi tim yang telah terlatih dan mempunyai pengalaman di TKP dibandingkan
dengan seorang dokter forensik/dokter gigi forensik yang lebih berkompeten di DVI fase 2
untuk memeriksa jenasah. Proses Disaster Victim Identification Disaster victim investigation
(DVI) adalah suatu prosedur standar yang dikembangkan oleh Interpol (International Criminal
Police Organization) untuk mengidentifikasi korban yang meninggal akibat bencana massal.
Masing‐masing tim yang bekerja dalam masing‐masing fase mempunyai tanggung jawab,
keahlian dan pengalaman yang berbeda. Poses DVI yang terdiri dari 5 fase yaitu : The Scene,
Post Mortem Examination, Ante Mortem Information Retrieval, Reconciliation dan
Debriefing. 2.2.1 Fase TKP Fase pertama ini dilaksanakan setelah para korban yang terluka
telah dipindahkan dari area TKP dan area tersebut telah diamankan. Fase TKP dilaksanakan
oleh tim DVI unit TKP yang terdiri dari pemeriksa tempat kejadian perkara, fotografer, dan
pencatat kejadian. Ahli patologi dan odontologi forensik mendukung setiap tim. Tim ini
melakukan pemilahan antara korban hidup dan korban mati selain juga mengamankan barang
bukti yang dapat mengarahkan pada pelaku apabila bencana yang terjadi merupakan bencana
yang diduga akibat ulah manusia. Aturan umum yang berlaku di TKP adalah sebagai berikut:
1. Tidak diperkenankan seorang pun korban meninggal yang dapat dipindahkan dari lokasi,
sebelum dilakukan olah TKP aspek DVI; 2. Pada kesempatan pertama label anti air dan anti
robek harus diikat pada setiap tubuh korban atau korban yang tidak dikenal untuk mencegah
kemungkinan tercampur atau hilang; 3. Semua perlengkapan pribadi yang melekat di tubuh
korban tidak boleh dipisahkan; 4. Untuk barang‐barang kepemilikan lainnya yang tidak
melekat pada tubuh korban yang ditemukan di TKP, dikumpulkan dan dicatat; 5. Identifikasi
tidak dilakukan di TKP, namun ada proses kelanjutan yakni masuk dalam fase kedua dan
seterusnya. Rincian yang harus dilakukan pada saat di TKP adalah sebagai berikut: 1.
Membuat sektor‐sektor atau zona pada TKP; 2. Memberikan tanda pada setiap sektor; 3.
Memberikan label orange (human remains label) pada jenazah dan potongan jenazah, label
diikatkan pada bagian tubuh / ibu jari kiri jenazah. Label ini harus memuat informasi tim
pemeriksa, lokasi penemuan, dan nomor tubuh/mayat. 4. Memberikan label hijau (property
label) pada barang‐barang pemilik yang tercecer; 5. Membuat sketsa dan foto setiap sektor; 6.
Foto mayat dari jarak jauh, sedang dan dekat beserta label jenasahnya; 7. Isi dan lengkapi
pada formulir Interpol DVI PM halaman B dengan keterangan sebagai berikut : Pada setiap
jenazah yang ditemukan, maka tentukan perkiraan umur, tanggal dan tempat tubuh
ditemukan, akan lebih baik apabila difoto pada lokasi dengan referensi koordinat dan sektor
TKP; Selanjutnya tentukan apakah jenazah lengkap/tidak lengkap, dapat dikenali atau tidak,
atau hanya bagian tubuh saja yang ditemukan; Deskripsikan keadaannya apakah rusak,
terbelah, dekomposisi/membusuk, menulang, hilang atau terlepas; Keterangan informasi
lainnya sesuai dengan isi dari formulir Interpol DVI PM halaman B. 8. Masukkan jenazah
dalam kantung jenazah dan atau potongan jenazah di dalam karung plastik dan diberi label
sesuai jenazah; 9. Formulir interpol DVI PM turut dimasukkan ke dalam kantong jenasah
dengan sebelumnya masukkan plastik agar terlindung dari basah dan robek; 10. Masukkan
barang‐barang yang terlepas dari tubuh korban ke dalam kantung plastik dan diberi label
sesuai nomor properti; 11. Evakuasi jenasah dan barang kepemilikan ke tempat pemeriksaan
dan penyimpanan jenazah kemudian dibuatkan berita acara penyerahan kolektif. Tempat-
penyimpanan-mayat Tempat penyimpanan mayat 2.2.2 Fase Pemeriksaan Postmortem Fase
kedua dalam proses DVI adalah fase pemeriksaan mayat. Pada fase ini tubuh korban
diradiografi dan diotopsi. Fase ini dapat berlangsung bersamaan dengan fase pertama dan fase
ketiga. Pada fase ini, para ahli identifikasi, dokter forensik dan dokter gigi forensik
melakukan pemeriksaan untuk mencari data postmortem sebanyak-banyaknya. Sidik jari,
pemeriksaan terhadap gigi, seluruh tubuh, dan barang bawaan yang melekat pada mayat.
Dilakukan pula pengambilan sampel jaringan untuk pemeriksaan DNA. Data ini dimasukkan
ke dalam pink form berdasarkan standar Interpol. Kegiatan pada fase kedua dapat dijabarkan
sebagai berikut: 1) Menerima jenazah/potongan jenazah dan barang bukti dari unit TKP; 2)
Mengelompokkan kiriman tersebut berdasarkan jenazah utuh, tidak utuh, potongan jenazah
dan barang‐barang; 3) Membuat foto jenazah; 4) Mengambil sidik jari korban dan golongan
darah; 5) Melakukan pemeriksaan korban sesuai formulir interpol DVI PM yang tersedia; 6)
Melakukan pemeriksaan terhadap properti yang melekat pada mayat; 7) Melakukan
pemeriksaan gigi‐geligi korban; 8) Membuat rontgen foto jika perlu; 9) Mengambil sampel
DNA; 10) Menyimpan jenasah yang sudah diperiksa; 11) Melakukan pemeriksaan barang‐
barang kepemilikan yang tidak melekat di mayat yang ditemukan di TKP; 12) Mengirimkan
data‐data yang telah diperoleh ke unit pembanding data. Data‐data post mortem diperoleh dari
tubuh jenazah berdasarkan pemeriksaan dari berbagai keahlian antara lain dokter ahli
forensik, dokter umum, dokter gigi forensik, sidik jari, fotografi, DNA dan ahli antropologi
forensik. Urutan pemeriksaan pada jenazah adalah sebagai berikut : 1) Mayat diletakkan pada
meja otopsi atau meja lain; 2) Dicatat nomor jenazah; 3) Foto keseluruhan sesuai apa adanya;
4) Ambil sidik jari (bila dimungkinkan keadaannya); Contoh-pengambilan-sidik-jari Contoh
pengambilan sidik jari 5) Deskripsi pakaian satu persatu mulai dari luar, kemudian dilepas
dan dikumpulkan serta diberi nomor sesuai nomor jenazah (bila diperlukan untuk mengambil
foto jika dianggap penting dan khusus); 6) Barang milik pribadi dan perhiasan difoto dan
didiskripsi kemudian dikumpulkan dan diberi nomor sesuai nomor jenazah; Contoh-barang-
milik-pribadi Contoh barang milik pribadi 7) Periksa secara teliti mulai dari ujung rambut
sampai ujung kaki yang meliputi : Identifikasi umum (jenis kelamin‐umur‐BB‐TB, dll);
Identifikasi khusus (tato, jaringan parut, cacat, dll). 8) Lakukan bedah jenazah dan
diskripsikan temuan, prinsipnya mencari kelainan yang khas, penyakit/patologis, bekas patah
tulang, bekas operasi dan lain‐lain; 9) Ambil sampel untuk pemeriksaan serologi, DNA atau
lain‐lain; 10) Foto akhir keseluruhan sesuai kondisi korban; 11) Buat kesimpulan berdasarkan
pemeriksaan patologi forensik. Contoh-foto-rontgen-telapak-tangan Contoh foto rontgen
telapak tangan Urutan pemeriksaan gigi‐geligi : 1) Pemeriksaan dilakukan oleh dokter gigi
atau dokter gigi forensik; 2) Jenazah diletakkan pada meja atau brankar; 3) Untuk
memudahkan pemeriksaan jenazah, jenazah diberi bantalan kayu pada punggung atas/bahu
sehingga kepala jenazah menengadah ke atas; 4) Pemeriksaan dilakukan mulai dari bibir, pipi,
dan bagian‐bagian lain yang dianggap perlu; 5) Guna memperoleh hasil pemeriksaan yang
maksimal, maka rahang bawah harus dilepaskan dan jaringan kulit atau otot pada rahang atas
dikupas ke atas agar gigi tampak jelas kemudian dibersihkan. Hal ini untuk mempermudah
melakukan pemeriksaan secara teliti baik pada rahang atas maupun bawah; 6) Apabila rahang
atas dan bawah tidak dapat dipisahkan dan rahang kaku, maka dapat diatasi dengan membuka
paksa menggunakan tangan dan apabila tidak bisa dapat menggunakan `T chissel’ yang
dimasukkan pada region gigi molar atas dan bawah kiri atau kanan atau dapat dilakukan
pemotongan musculus masetter dari dalam sepanjang tepi mandibula sesudah itu condylus
dilepaskan dari sendi; 7) Catat kelainan‐kelainan sesuai formulir yang ada; 8) Lakukan
rontgen gigi; 9) Bila perlu rontgen tengkorak jenazah; Contoh-foto-Rontgen-kepala Contoh
foto Rontgen kepala 10) Selanjutnya bila perlu dibuat cetakan gigi jenazah untuk analisa lebih
lanjut. Foto-Gigi-geligi Foto Gigi-geligi 2.2.3 Fase Pengumpulan Data Antemortem Fase
ketiga adalah fase pengumpulan data antemortem dimana ada tim kecil yang menerima
laporan orang yang diduga menjadi korban. Tim ini meminta masukan data sebanyak-
banyaknya dari keluarga korban. Data yang diminta mulai dari pakaian yang terakhir
dikenakan, ciri-ciri khusus (tanda lahir, tato, tahi lalat, bekas operasi, dan lain-lain), data
rekam medis dari dokter keluarga dan dokter gigi korban, data sidik jari dari pihak berwenang
(kelurahan atau kepolisian), serta sidik DNA apabila keluarga memilikinya. Apabila tidak ada
data sidik DNA korban maka dilakukan pengambilan sampel darah dari keluarga korban. Data
Ante Mortem diisikan ke dalam yellow form berdasarkan standar Interpol. Kegiatan pada fase
ketiga dapat dijabarkan sebagai berikut : 1) Menerima keluarga korban; 2) Mengumpulkan
data‐data korban semasa hidup seperti foto dan lainnya yang dikumpulkan dari keluarga
terdekat yang kehilangan anggota keluarganya dalam bencana tersebut; 3) Mengumpulkan
data‐data korban dari instansi tempat korban bekerja, rs/puskesmas/klinik, dokter pribadi,
dokter yang merawat, dokter‐dokter gigi pribadi, polisi (sidik jari), catatan sipil, dll; 4) Data‐
data antemortem gigi‐geligi; Data‐data antemortem gigi‐geligi adalah keterangan tertulis atau
gambaran dalam kartu perawatan gigi atau keterangan dari keluarga atau orang yang terdekat.
Sumber data‐data antemortem tentang kesehatan gigi diperoleh dari : Klinik gigi RS
Pemerintah, TNI/Polri dan Swasta; Lembaga‐lembaga pendidikan
Pemerintah/TNI/Polri/Swasta; Praktek pribadi dokter gigi. 5) Mengambil sampel DNA
pembanding; 6) Apabila diantara korban ada warga negara asing maka data‐data antemortem
dapat diperoleh melalui perantara Set NCB Interpol Indonesia dan perwakilan negara asing
(kedutaan/konsulat); 7) Memasukkan data‐data yang ada dalam formulir Interpol DVI AM; 8)
Mengirimkan data‐data yang telah diperoleh ke Unit Pembanding Data. 2.2.4 Fase
Rekonsiliasi Form data antemortem dan postmortem yang telah selesai selama fase pertama
dan kedua dibandingkan selama fase rekonsiliasi. Perbandingan ini dicapai secara sistematis
menggunakan bagan rekonsiliasi dan masing- masing dikelompokkan berdasarkan jenis
kelamin, warna kulit, dan umur. Seseorang dinyatakan teridentifikasi pada fase rekonsiliasi
apabila terdapat kecocokan antara data antemortem dan postmortem dengan kriteria minimal
1 macam Primary Identifiers atau 2 macam Secondary Identifiers. Kegiatan pada fase
rekonsiliasi dapat dijabarkan sebagai berikut : 1) Mengkoordinasikan rapat‐rapat penentuan
identitas korban mati antara Unit TKP, Unit Postmortem dan Unit Antemortem; 2)
Mengumpulkan data‐data korban yang dikenal untuk dikirim ke Rapat Rekonsiliasi; 3)
Mengumpulkan data‐data tambahan dari Unit TKP, Unit Postmortem dan Unit Antemortem
untuk korban yang belum dikenal; 4) Membandingkan data antemortem dan postmortem; 5)
Check and Recheck hasil Unit Pembanding Data; 6) Mengumpulkan hasil identifikasi korban;
7) Membuat sertifikat identifikasi, surat keterangan kematian untuk korban yang dikenal dan
surat‐surat lainnya yang diperlukan; 8) Publikasi yang benar dan terarah oleh Unit
Rekonsiliasi sangat membantu masyarakat untuk mendapatkan informasi yang terbaru dan
akurat. 2.2.5 Fase Debriefing Setelah selesai keseluruhan proses identifikasi, dengan hasil
memuaskan maupun tidak, proses identifikasi korban bencana ini belumlah selesai. Masih ada
satu fase lagi yaitu fase kelima yang disebut fase debriefing. Fase ini dilakukan 3-6 bulan
setelah proses identifikasi selesai. Pada fase debriefing, semua orang yang terlibat dalam
proses identifikasi berkumpul untuk melakukan evaluasi terhadap semua hal yang berkaitan
dengan pelaksanaan proses identifikasi korban bencana, baik sarana, prasarana, kinerja,
prosedur, serta hasil identifikasi. Berikut ini beberapa kegiatan yang dilakukan pada fase
debriefing: 1) Melakukan analisa dan evaluasi terhadap keseluruhan proses identifikasi dari
awal hingga akhir; 2) Mencari hal yang kurang yang menjadi kendala dalam operasi DVI
untuk diperbaiki pada masa mendatang sehingga penanganan DVI selanjutnya dapat menjadi
lebih baik; 3) Mencari hal yang positif selama dalam proses identifikasi untuk tetap
dipertahankan dan ditingkatkan pada operasi DVI mendatang. 2.3 METODE DAN TEKNIK
IDENTIFIKASI Dahulu dikenal 2 metode pokok identifikasi yaitu : a) Metode Sederhana
Visual Kepemilikan (perhiasan dan pakaian) Dokumentasi b) Metode Ilmiah Sidik jari
Serologi Odontologi Antropologi Biologi molekuler. Saat ini berdasarkan standar Interpol
untuk proses identifikasi pada DVI telah ditentukan metode identifikasi yang dipakai yaitu : a)
Metode Identifikasi Primer: Sidik jari Gigi geligi DNA. b) Metode Identifikasi Sekunder:
Medik Properti. Metode visual tidak dipakai di dalam metode identifikasi untuk DVI saat ini
karena metode ini tidak dapat diterapkan bila mayat telah busuk, terbakar, mutilasi serta tidak
dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah oleh karena melibatkan faktor psikologi keluarga
yang melakukannya (sedang berduka, stress, sedih dll). Gigi merupakan suatu sarana
identifikasi yang dapat dipercaya, khususnya bila rekam dan foto gigi pada waktu masih
hidup yang pernah dibuat masih tersimpan dengan baik. Pemeriksaan gigi ini menjadi amat
penting apabila mayat sudah dalam keadaan membusuk atau rusak, seperti halnya kebakaran.
Adapun dalam melaksanakan identifikasi manusia melalui gigi, kita dapatkan dua
kemungkinan : 1) Memperoleh informasi melalui data gigi dan mulut untuk membatasi atau
menyempitkan identifikasi; Informasi ini dapat diperoleh antara lain mengenai umur, jenis
kelamin, ras, golongan darah, bentuk wajah dan salah satu sampel DNA. Dengan adanya
informasi mengenai perkiraan batas‐batas umur korban misalnya, maka pencarian dapat
dibatasi pada data‐data orang hilang yang berada di sekitar umur korban. Dengan demikian
penyidikan akan menjadi lebih terarah. 2) Mencari ciri‐ciri yang merupakan tanda khusus
pada korban tersebut; Disini dicatat ciri‐ciri yang diharapkan dapat menentukan identifikasi
secara lebih akurat dari pada sekedar mencari informasi tentang umur atau jenis kelamin. Ciri‐
ciri demikian antara lain : misalnya adanya gigi yang dibungkus logam, gigi yang ompong
atau patah, lubang pada bagian depan biasanya dapat lebih mudah dikenali oleh kenalan atau
teman dekat atau keluarga korban. Disamping ciri‐ciri di atas, juga dapat dilakukan
pencocokan antara tengkorak korban dengan foto korban semasa hidupnya. Tehnik yang
digunakan dikenal sebagai superimpossed technique yaitu untuk membandingkan antara
tengkorak korban dengan foto semasa hidupnya. 2.4 PRINSIP IDENTIFIKASI Prinsip dari
proses identifikasi adalah mudah yaitu dengan membandingkan data‐data korban (data
postmortem) dengan data dari keluarga (data antemortem), semakin banyak kecocokan akan
semakin baik. Data gigi, sidik jari, atau DNA secara tersendiri sudah dapat digunakan sebagai
faktor determinan primer, sedangkan data medis, property harus dikombinasikan untuk
dianggap sebagai ciri identitas yang pasti. Identifikasi terhadap mayat dapat dikatakan positif
apabila minimal satu dari metode identifikasi primer adalah cocok atau jika tidak ada yang
cocok dari metode identifikasi primer, maka seluruh metode identifikasi sekunder harus
cocok. Penentuan identifikasi ini dilakukan di dalam rapat rekonsiliasi. Adalah sangat penting
untuk tetap memperhatikan file record dan segala informasi yang telah dibuat untuk
dikelompokkan dan disimpan dengan baik. Dokumentasi berkas yang baik juga
berkepentingan agar pihak lain (Interpol misalnya) dapat melihat, me‐review kasusnya,
sehingga menunjukkan bahwa proses identifikasi ini dikerjakan sesuai prosedur dan
berdasarkan prinsip ilmiah. 2.5 TATA LAKSANA KORBAN YANG TERIDENTIFIKASI
Setelah korban teridentifikasi sedapat mungkin dilakukan perawatan jenazah yang meliputi
antara lain: 1) Perbaikan atau rekonstruksi tubuh jenazah 2) Pengawetan jenazah (bila
memungkinkan) 3) Perawatan sesuai agama korban 4) Memasukkan dalam peti jenazah.
Kemudian jenazah diserahkan kepada keluarganya oleh petugas khusus dari Tim Unit
Rekonsiliasi berikut surat‐surat yang diperlukan pencatatan yang penting pada proses serah
terima jenazah antara lain: 1) Tanggal (hari, bulan, tahun) dan jamnya 2) Nomor registrasi
jenazah 3) Diserahkan kepada siapa, alamat lengkap penerima, hubungan keluarga dengan
korban 4) Dibawa kemana atau akan dimakamkan di mana. Perawatan jenazah setelah
teridentifikasi dapat dilaksanakan oleh unsure Pemerintah Daerah dalam hal ini Dinas Sosial
dan Dinas Pemakaman dengan dibantu seorang dokter spesialis forensik dalam teknis
pelaksanaannya. 2.6 TATA LAKSANA KORBAN YANG TIDAK TERIDENTIFIKASI
Salah satu keterbatasan yang akan timbul di lapangan adalah adanya kemungkinan korban
yang tak teridentifikasi. Hal ini mungkin saja disebabkan seringkali begitu banyaknya laporan
korban atau orang hilang sedangkan yang diperiksa tidak sama jumlahnya seperti yang
dilaporkan. Atau pada kecelakaan pesawat misalnya, pada passenger list terdapat sejumlah
penumpang termasuk crew pesawat, namun setelah terjadi bencana dan pada waktu korban
ditemukan untuk diperiksa ternyata kurang dari jumlahnya dari daftar penumpang pesawat
tersebut. Dalam proses identifikasi pada kenyataannya tidaklah selalu mudah walaupun data
antemortemnya lengkap. Hal ini dapat disebabkan karena beberapa faktor antara lain: 1)
Keadaan jenazah yang ditemukan dalam kondisi: Mayat membusuk lanjut, tergantung derajat
pembusukannya dan kerusakan jaringannya, atau mayat termutilasi berat dan kerusakan
jaringan lunak yang banyak maka metode identifikasi yang digunakan sidik jari bila masih
mungkin atau dengan ciri anatomis dan medis tertentu, serologi, DNA atau odontologi; Mayat
yang telah menjadi kerangka, identifikasi menjadi terbatas untuk sedikit metode saja yaitu:
serologis, ciri anatomis tertentu dan odontologi. 2) Tidak adanya data antemortem, tidak
adanya data orang hilang atau sistem pendataan yang lemah; 3) Jumlah korban yang banyak,
baik pada populasi yang terbatas ataupun pada populasi yang tak terbatas. Menjadi suatu
masalah, jika ahli waris keluarga korban meminta surat kematian untuk kepentingan
administrasinya seperti akta kematian, pengurusan warisan, asuransi dan sebagainya,
sedangkan Tim DVI tidak mempunyai data postmortemnya oleh karena memang tidak
dilakukan pemeriksaan atau tidak ditemukan jasad atau bagian tubuhnya. Lalu sampai berapa
lama orang yang hilang dalam suatu bencana jika tidak ditemukan atau tidak diperiksa bisa
dikatakan meninggal dan dikeluarkan surat kematiannya? Salah satu solusi adalah
dilakukannya kesepakatan bersama antara beberapa ahli hukum dengan Tim DVI untuk
berdiskusi dari situasi dan kondisi bencana, alasan tidak ditemukannya dan sebagainya.
Selanjutnya hasil keputusan tersebut diajukan ke pengadilan dan menghasilkan suatu
ketetapan, yang berdasarkan keputusan pengadilan inilah kemudian dipakai sebagai acuan
untuk menentukan orang tadi dinyatakan sudah meninggal serta dikeluarkannya surat
kematian. Apabila dalam proses tersebut ada yang tidak teridentifikasi, maka Tim DVI
melakukan koordinasi dengan pihak terkait untuk melakukan penguburan massal dengan
beberapa ketentuan antara lain mayat harus diambil sampel DNAnya terlebih dahulu dan
dikuburkan dengan dituliskan nomor label mayat pada bagian nisannya. 2.7 BEBERAPA
HAL PENTING BERKAITAN DENGAN TATA LAKSANA Penting untuk memperhatikan
legalitas dan pengaturan pada organisasi dan prosedur DVI, serta pendataan antemortem,
yaitu sidik jari dan odontologi. Networking yang dapat terdiri dari kerjasama, koordinasi,
pelatihan, pembagian informasi dan lain‐lain harus diperbaiki dan dikontrol dengan baik.
Berikan perhatian juga terhadap sarana dan fasilitas seperti lemari pendingin atau tempat agar
mayat tidak cepat membusuk (cold storage), fasilitas tempat pemeriksaan jenazah, kantung
jenazah, insektisida, peralatan otopsi dan alat pendukung lainnya. Sebagai catatan kamar
mayat rumah sakit, untuk korban mati dalam jumlah yang banyak, melebihi kapasitas
tampung jenazah di rumah sakit tersebut, maka dapat dipilih untuk menggunakan fasilitas
kamar jenazah yang dimiliki oleh rumah sakit sekitar atau mendatangkan kontainer dengan
fasilitas pendingin.

Read more at: http://www.medicinestuffs.com/2013/03/penanganan-korban-bencana-post-


mortem.html
Copyright © MedStuffs

Anda mungkin juga menyukai