Anda di halaman 1dari 8

Tugas Kelompok

Mata Kuliah : Epidemiologi Kesehatan Darurat Lanjut


Dosen : Prof. Dr. drg. Arsunan Arsin, M.Kes

RUANG LINGKUP KESEHATAN DARURAT;


MUSIBAH MASSAL

DISUSUN OLEH:

RAHMAT K012171006
NURPATWA WILDA NINGSI K012171079

DEPARTEMEN EPIDEMIOLOGI
PROGRAM PASCA SARJANA
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018
MUSIBAH MASSAL

Beberapa macam bencana yang telah terjadi antara lain bencana


alam, kecelakaan lalu lintas darat, udara dan laut serta bom semuanya
mengakibatkan banyak korban yang meninggal. Identifikasi Korban
Massal sangat penting mengingat kepastian seseorang hidup dan mati
sangat diperlukan untuk kepentingan hukum yang berkaitan dengan
Asuransi, Pensiun, Warisan, dan lain-lain.
Penanganan korban mati pada bencana selama ini belum
mendapat perhatian yang serius, penuh tantangan serta memerlukan
dana, sarana dan prasarana yang cukup mahal serta dibutuhkan
profesionalisme dari para petugas yang menangani hal tersebut. Selain itu
terbatasnya sumber daya manusia yang menangani korban mati baik
dalam kuantitas maupun kualitas memerlukan perhatian khusus agar
dapat memenuhi kebutuhan saat ini.
Berdasarkan dalam jurnal Identifikasi Personal dan Identifikasi
Korban Bencana Massal di BLU RSUP PROF DR R.D KANDOU Manado
Periode Januari 2010 – Desember 2012 oleh Gladys L, dkk (2013)
menyebutkan bahwa Angka kejadian bencana di Indonesia mengalami
peningkatan dan menimbulkan korban jiwa serta kerugian yang besar.
Keadaan ini dapat terlihat laporan berbagai media massa yang memuat
berita mengenai kejadian bencana, kecelakaan transportasi, aksi teror
bom, gempa bumi, tsunami, banjir, tanah longsor, letusan gunung berapi,
puting beliung, dan lain-lain. Badan Nasional Penang-gulangan Bencana
(BNPB) merilis jumlah bencana alam yang terjadi di Indonesia sepanjang
tahun 2012 yaitu mencapai angka 1.598 yang sangat meningkat diban-
dingkan tahun 2010 yang hanya mencapai angka 644.
Identifikasi forensik merupakan upaya yang dilakukan dengan
tujuan membantu penyidik untuk menentukan identitas seseorang.
Penentuan identitas korban seperti halnya penentuan identitas tersangka
pelaku kejahatan merupakan bagian terpenting dalam penyidikan.

2
Identifikasi tersebut penting sekali dilakukan terhadap korban meninggal
karena merupakan perwujudan HAM dan penghormatan terhadap orang
yang sudah meninggal.
Identifikasi dapat dilakukan dalam tiga cara: visual (kerabat atau
kenalan melihat jenazah); data secara rinci (misalnya, data ante-mortem
yang cocok dengan informasi yang dikumpulkan selama autopsy dan
informasi situasional lainnya); dan secara ilmiah atau objektif (misalnya,
pemeriksaan gigi, sidik jari, atau DNA). Identifikasi tidak mutlak
berdasarkan urutan diatas; jika perlangsungan proses identifikasi menjadi
lebih sulit, cara selanjutnya yang dilakukan. Bila memungkinkan,
identifikasi visual harus dilengkapi dengan salah satu dari dua metode lain
Pada dasarnya, identifikasi terdiri dari dua metode utama, yaitu:
1) Identifikasi komparatif, yaitu bila selain data post mortem juga tersedia
data ante mortem, dalam suatu komunitas yang terbatas, dan
2) Identifikasi rekonstruktif, yaitu bila tidak tersedia data ante mortem dan
komunitas tidak terbatas.
Penentuan identitas personal dapat menggunakan metode
identifikasi visual, doukumen, properti, pemeriksaan medik, gigi, serologik,
sidik jari, analisis DNA, dan secara eksklusi. Identitas seseorang dapat
dipastikan bila paling sedikit dua metode yang digunakan memberikan
hasil positif (tidak meragukan). Prosedur identifikasi pada korban bencana
massal mengacu pada prosedur Disaster Victim Identification (DVI) yang
dikeluarkan oleh Interpol. Proses DVI yang terdiri dari lima fase, yaitu: the
scene, post mortem examination, ante mortem information retrieval,
reconciliation, dan debriefing. Proses identifikasi tidak jarang
diperhadapkan dengan berbagai kendala sehingga dapat memperlambat
penyidikan identitas dari jenazah tersebut. Terdapatnya kendala dalam
proses identifikasi, antara lain karena tidak konsistennya pengumpulan
data ante mortem (misalanya pendataan gigi) sehingga identifikasi
jenazah tersebut menjadi sulit dan membutuhkan waktu lama untuk
dikonfirmasi walaupun sudah mendapatkan pengelolaan professional

3
yang baik dalam proses identifikasi. Proses identifikasi pada korban
bencana massal juga mengalami banyak hambatan di penyidikan
lapangan dalam menerapkan prosedur DVI.
Dalam jurnal ini juga terdapat Kasus bencana yang dilaporkan di BLU
RSUP Prof Dr. R.D Kandou Manado ialah kecelakaan lintas udara
jatuhnya helikopter di wilayah perkebunan Kelurahan Danowudu
Kecamatan Ranowulu Kota Bitung tahun 2011 (jumlah korban 10 orang)
dan bencana longsor di Kota Manado pada tahun 2011 dan 2012 (jumlah
korban masing 10 dan dua orang), tetapi prosedur DVI hanya diterapkan
pada korban jatuhnya helikopter sedangkan korban kedua bencana
lainnya langsung dibawa pulang oleh keluarga.
Hasil pemeriksaan jenazah dimasukkan dalam laporan deduksi yang
memuat data jenazah seperti nama, alamat, kematian menurut polisi, jenis
kelamin, dan pekerjaan. Selain data jenazah, juga dicantumkan waktu
pemeriksaan yaitu: hari, tanggal, serta jam dilaksanakan pemeriksaan
tersebut. Penanggung jawab, pembantu, pelaksana dan penulis laporan
juga dicantumkan setelah data jenazah. Selanjutnya, dituliskan data-data
hasil pemeriksaan luar, yaitu berupa keterangan label pada jenazah,
bungkus mayat dan apa yang menutupi mayat, catatan-catatan mengenai
identifikasi, tanda kematian, patah tulang, dan tanda kekerasan. Bila
pemeriksaan dalam (otopsi) dilakukan, hasilnya juga dimasukkan dalam
laporan deduksi. Setelah kedua pemeriksaan atau salah satu dari
pemeriksaan itu dilakukan, ditarik simpulan yang tertulis di bagian akhir
dari laporan tersebut.
Berdasarkan hasil di atas, dapat diuraikan bahwa faktor pengemudi,
yaitu kelalaian dapat menyebabkan terjadinya kecelakaan. Salah satunya
adalah pengendara yang lengah. pengendara yang lengah dalam
mengemudikan kendaraannya terjadi penurunan daya konsentrasi dan
sikap responsibilitas dalam berkendara. Ditambah lagi bila mengemudi
dengan kecepatan tinggi. Kondisi seperti ini dapat mengakibatkan
kecelakaan yang dapat menyebabkan korban meninggal dunia. Begitu

4
halnya faktor lelah pada pengemudi akan mengurangi kemampuan
pengemudi untuk dapat mengambil keputusan dengan cepat dan kesulitan
berkonsentrasi. Kelelahan juga dapat mempengaruhi keseimbangan dan
pandangan seseorang dalam berkendara. Pengemudi yang mengantuk
juga dapat sebagai pemicu terjadinya kecelakaan dimana pengemudi
kehilangan daya reaksi dan konsentrasi akibat kurang istirahat dan atau
sudah mengemudikan kendaraan lebih dari 5 jam tanpa istirahat.
Identifikasi personal di BLU RSUP Prof. Dr. R.D. Kandou Manado
dilakukan pada semua jenazah, baik yang sudah diketahui identitasnya
maupun yang belum. Laporan hasil identifikasi tercakup dalam
pemeriksaan luar pada laporan deduksi, yaitu: pakaian dan perhiasan
yang dikenakan mayat, benda disamping mayat, jenis kelamin, status gizi,
suku bangsa, warna kulit, berat badan, identifikasi khusus, rambut kepala
beserta alis, kumis dan janggut, mata kanan dan mata kiri, hidung telinga
dan mulut, patah tulang, serta tanda kekerasan yang ditemukan. Hasil
pemeriksaan luar akan dicantumkan dalam Visum et Repertum dan
ditandatangani oleh dokter yang melakukan pemeriksaan. Pada 10
jenazah yang menjadi korban dari kecelakan lintas udara jatuhnya
helikopter di Bitung (2011), proses identifikasi dilakukan sesuai dengan
prosedur yang telah dibahas di atas. Semua data hasil identifikasi korban
bencana dimasukan dalam laporan deduksi sama seperti perlakuan pada
jenazah personal. Selain itu, data hasil identifikasi korban juga
dimasukkan dalam formulir post mortem yang memenuhi standar Interpol
(Pink form).
Sedangkan dalam Nigerian Medical Journal; Forensic Investigation
of mass disasters in Nigeria oleh Niger Med J, dkk (2015) menyatakan
bahwa Bencana massal umumnya mengakibatkan korban massal yang
biasanya terjadi akibat insiden yang sangat besar. Sebuah bencana
massal dapat diasumsikan sebagai definisi fungsional dalam situasi di
mana korban jiwa melebihi kapasitas kamar mayat lokal dan personil yang
tersedia.

5
Di Nigeria, ada beberapa kasus yang merupakan bencana massal
termasuk ledakan gasolena di Jesse pada Oktober 1998, di mana 500
orang meninggal dan sekitar 100 terluka; kecelakaan EAS Airline di Kano
pada Mei 2002 yang mencatat 148 kematian; sekitar setengah dari yang
meninggal adalah mereka yang berada di daratan pada hari kejadian;
penerbangan Bellview 210 yang jatuh di desa Lisa pada bulan Oktober
2005; menewaskan 117 orang di kapal dan kecelakaan Sosoliso Airline di
Port Harcourt pada bulan Desember 2005, menewaskan sekitar 108
siswa. Kasus-kasus lain termasuk ledakan pipa di desa Ilado pada Mei
2006, setelah vandalisasi pipa yang menewaskan lebih dari 200 orang;
ADC Airline, penerbangan 53, Boeing 737 yang jatuh pada Oktober 2006
setelah tinggal landas di Abuja di mana 96 orang meninggal termasuk
banyak dokter serta Sultan Sokoto dan hanya 9 orang yang selamat;
ledakan pipa di Abule Egba pada bulan Desember 2006, setelah
vandalisme meninggalkan lebih dari 100 mayat hangus, yang sebagian
besar terkubur di lokasi kejadian; dan DANA Airline crash pada Juni 2012
di mana semua penumpang tewas dan pada proses penyelamatan korban
di temukan 152 tubuh yang sudah tidak utuh dan patah tulang.
Mengenai manajemen bencana di Nigeria, semua bencana massal
yang terjadi seharusnya dilakukan DVI justru tidak dilakukan kecuali di
Lagos pada tahun 2012; namun biasanya mereka melakukannya dengan
pemakaman massal pada anggota keluarga korban mengalami
keputusasaan. Dalam penyelidikan global juga terdapat hukum investigasi
medico mengenai kematian akibat dari bencana massal dan Nigeria tidak
memiliki itu. Tidak ada komite siaga bencana massal yang bertanggung
jawab untuk melakukan investigasi terhadap korban jiwa, dan tidak
memiliki protokol yang komprehensif dan latihan rutin dengan berbagai
subkomite lainnya.
Adapun Manajemen bencana massal pada saat ini dikarenakan
jumlah korban bencana massal semakin besar maka di adakanlah tim
investigasi darurat, lembaga penegak hokum, wartawan dan karena

6
adanya tekanan dari semua pihak sehingga identifikasi korban menjadi
sedikit sulit. Negara ini juga tidak memiliki personil forensik dari semua
kategori seperti halnya laboratorium sains forensik yang tepat dan baik
untuk menyelidiki dan mengelola bencana massal. Manajemen bencana
massal saat ini Identifikasi korban adalah salah satu fungsi paling penting
dari tim DVI terutama ahli patologi forensik, odotonlogist dan ahli sidik jari.
Proses identifikasi terdiri dari empat fase yaitu: Penemuan tubuh,
pengumpulan data ante mortem, pemeriksaan tubuh dan pengumpulan
data post mortem dan perbandingan data ante dan post mortem untuk
rekonsiliasi dan identifikasi.
Pengumpulan data ante mortem sangat penting. Tim ante mortem
harus terdiri dari orang-orang yang terlatih dan berpengalaman dalam
berhubungan dengan calon kerabat korban berikutnya. Sementara data
gigi, DNA dan sidik jari sangat penting untuk mengidentifikasi tubuh
(metode utama identifikasi), penting untuk Mempertimbangkan informasi
seperti data medis dan barang-barang pribadi (metode identifikasi
sekunder). Proses triase jenazah di tempat memungkinkan proses
identifikasi untuk memulai lebih mudah dengan kasus-kasus yang seperti
mutilasi. The Interpol DVI Guide merekomendasikan bahwa protokol
pemeriksaan post mortem harus mencakup fase-fase berikut;
pemeriksaan radiologi, pemeriksaan eksternal termasuk sidik jari dan
otopsi, pemeriksaan gigi dan pengambilan sampel untuk penyelidikan
DNA. Tim post mortem terdiri dari ahli patologi forensik, dua ahli
odontologi forensik, asisten otopsi, dan sejumlah teknisi polisi.
Tujuan pemeriksaan radiologi adalah untuk memberikan informasi
tentang penyebab, cara dan mekanisme kematian, untuk mencari barang-
barang identifikasi seperti bukti perawatan gigi sebelumnya (tidak selalu di
tempat yang tepat), perhiasan, efek penyakit, kelainan dan prostesis dan
untuk mengevaluasi cedera. Alasan penting lainnya adalah
memperkirakan usia, perbandingan radiologi antemortem / postmortem,
untuk mencari benda asing ( barang logam, alat peledak, proyektil senjata

7
api) dan dalam kecelakaan pesawat udara, untuk mencari lesi karakteristik
tertentu dari anggota awak pesawat. Pemeriksaan sisa dari radiologis
sangat penting untuk evaluasi lengkap kecelakaan pesawat terbang dan,
misalnya, dalam memperkirakan posisi pilot pada saat jatuh.
Tujuan utama dari otopsi dalam operasi DVI adalah untuk
mengumpulkan informasi post mortem yang dapat dibandingkan dengan
catatan ante mortem yang relevan, tetapi tidak terbatas pada itu saja. Ini
digunakan, sebagai tambahan, untuk menjelaskan penyebab, keadaan
dan mekanisme kematian, dan jika memungkinkan, untuk menetapkan
waktu bertahan hidup dan mengambil keuntungan dari teknik investigasi
yang berbeda untuk mendokumentasikan lesi atau bukti lain yang
tersedia.
Identifikasi korban diwujudkan dengan proses perbandingan antara
data ante mortem yang biasanya diberikan oleh keluarga dan data post
mortem yang diperoleh dari pemeriksaan jenazah. Identifikasi korban
bencana adalah proyek multidisiplin dan keputusan untuk memberikan
identitas harus dilakukan di antara sejumlah ahli dan orang yang relevan;
ini terdiri dari dokter dan dokter gigi dari tim antemortem, ahli patologi
forensik dan ahli odontologi forensik dari tim post mortem, bersama
dengan mereka yang bertanggung jawab untuk pemulihan, dan ahli polisi
yang berbeda yang terlibat dalam operasi ante mortem dan postmortem.

Anda mungkin juga menyukai