Anda di halaman 1dari 21

REFERAT

DISASTER VICTIM IDENTIFICATION


(DVI)
Referat ini di buat untuk melengkapi persyaratan mengikuti
Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Forensik RSUD. Deeli Serdang

Pembimbing:
dr. Mistar , Sp.B (K) KL

Disusun Oleh:
Dhani Risandy 20360178
Afif Husein Faizar 20360232
Wawan Setiawan 20360266
Didza Dzikrivan 20360241
Rendy Grinaldy Fadila R 20360214

KEPANITRAAN KLINIK SENIOR ILMU FORENSIK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DELI SERDANG
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan proses
penyusunan referat ini dengan judul “Disaster Victim Identification”.
Penyelesaian referat ini banyak bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu
adanya kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terimakasih yang sangat tulus
kepada dr. Sp. F selaku pembimbing yang telah banyak memberikan ilmu,
petunjuk, nasehat dan memberi kesempatan kepada kami untuk menyelesaikan
referat ini.
Penulis menyadari bahwa referat ini tentu tentu tidak lepas dari
kekurangan karena kebatasan waktu, tenaga, dan pengetahuan penulis. Maka
sangat diperlukan masukan dan saran yang membangun. Semoga referat ini dapat
memberikan manfaat.

Sumatra Utara, Febuari’ 2021

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Belakangan ini, di Indonesia, angka kejadian bencana yang merenggut
banyak nyawa semakin meningkat. Kondisi ini tercermin dari pemberitaan
media massa yang seringkali memuat berita mengenai kejadian bencana, seperti
aksi teror bom, kecelakaan transportasi, gempa bumi, tsunami, banjir, tanah
longsor, letusan gunung berapi, puting beliung, dan lain-lain. Badan Nasional
Penanggulangan Bencana telah memiliki data sebaran kejadian bencana di
Indonesia mulai dari tahun 1815 – 2012, dan angka kejadian bencana cenderung
meningkat dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir. (Henky, Oktavinda
Safitry, 2012)
Bencana telah didefinisikan sebagai “gangguan serius terhadap fungsi
komunitas atau masyarakat yang menyebabkan kerugian manusia, material,
ekonomi dan / atau lingkungan yang meluas yang melebihi kemampuan
komunitas atau masyarakat yang terkena untuk mengatasinya”. Meskipun
bencana dapat disebabkan oleh alam atau manusia, hanya sedikit negara yang
lolos dari peristiwa yang mengakibatkan banyak kematian. Identifikasi korban
peristiwa ini dianggap sebagai tanda penghormatan penting tidak hanya untuk
almarhum tetapi juga untuk keluarga dan teman yang masih hidup. Selain itu,
identifikasi mungkin diperlukan secara hukum, misalnya untuk membantu
proses pidana, memfasilitasi penyelesaian harta dan / atau warisan, atau hak
pasangan yang tersisa untuk menikah kembali. Akibatnya, proses khusus telah
dikembangkan untuk memfasilitasi identifikasi positif dari almarhum. (Henky,
Oktavinda Safitry, 2012)
Jumlah minimum kematian yang merupakan "bencana massal" berbeda
antar yurisdiksi, bervariasi antara dua dan 10 almarhum (2016, komunikasi
pribadi dengan Leditschke; tidak dirujuk). Untuk memformalkan proses
identifikasi setelah bencana massal, Organisasi Polisi Kriminal Internasional
(INTERPOL) mengembangkan pedoman dan protokol khusus untuk identifikasi
korban bencana (DVI) yang melibatkan pengumpulan dan perbandingan data
antemortem (AM) dan postmortem (PM). INTERPOL memiliki 190 negara
anggota dan, meskipun pedoman tersebut tidak wajib, mereka diakui secara
global. (Henky, Oktavinda Safitry, 2012)

B. Tujuan
Adapun tujuan dari penyusunan referat ini adalah untuk mengetahui dan
memahami tentang “Disaster Victim Identification” sebagai pembelajaran ilmu
bedah , serta sebagai salah satu pemenuhan tugas kepanitraan anak Fakultas
Kedokteran Universitas Malahayati.

C. Manfaat
1. Menambah pengetahuan tentang penyakit “Disaster Victim Identification”

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
DVI (Disaster Victim Identification) adalah suatu definisi yang diberikan
sebagai sebuah prosedur untuk mengidentifikasi korban mati akibat bencana massal
secara ilmiah yang dapat dipertanggung-jawabkan dan mengacu kepada standar baku
Interpol. Adapun proses DVI meliputi 5 fase, dimana setiap fasenya mempunyai
keterkaitan satu dengan yang lainnya, yang terdiri dari ‘The Scene’, ‘The Mortuary’,
‘Ante Mortem Information Retrieval’, ‘Reconciliation’ and ‘Debriefing’. Dalam
melakukan proses tersebut terdapat bermacam-macam metode dan tehnik identifikasi
yang dapat digunakan. Namun demikian Interpol menentukan Primary Indentifiers yang
terdiri dari Fingerprints, Dental Records dan DNA serta Secondary Indentifiers yang
terdiri dari Medical, Property dan Photography. Prinsip dari proses identifikasi ini
adalah dengan membandingkan data Ante Mortem dan Post Mortem, semakin banyak
yang cocok maka akan semakin baik. Primary Identifiers mempunyai nilai yang sangat
tinggi bila dibandingkan dengan Secondary Identifiers. (Surjit Singh, 2008)

B. Identifikasi Korban

Pengetahuan mengenai identifikasi (pengenalan jati diri seseorang) pada


awalnya berkembang karena kebutuhan dalam proses penyidikan suatu tindak pidana
khususnya untuk menandai ciri pelaku tindak kriminal, dengan adanya perkembangan
masalahmasalah sosial dan perkembangan ilmu pengetahuan maka identifikasi
dimanfaatkan juga untuk keperluan-keperluan yang berhubungan dengan kesejahteraan
umat manusia. Pengetahuan identifikasi secara ilmiah diperkenalkan pertama kali oleh
dokter Perancis pada awal abad ke 19 bernama Alfonsus Bertillon tahun 1853-1914
dengan memanfaatkan ciri umum seseorang seperti ukuran anthropometri, warna
rambut, mata dan lain-lain. Kenyataan cara ini banyak kendala-kendalanya oleh karena
perubahanperubahan yang terjadi secara biologis pada seseorang dengan bertambahnya
usia selain kesulitan dalam menyimpan data secara sistematis.2,5,6 Sistem yang
berkembang kemudian adalah pendeteksian melalui sidik jari (Daktiloskopi) yang
awalnya diperkenalkan oleh Nehemiah Grew tahun 1614-1712, kemudian oleh Mercello
Malphigi tahun 1628-1694 dan dikembangkan secara ilmiah oleh dokter Henry Fauld
tahun 1880 dan Francis Dalton tahun 1892 keduanya berasal dari Inggris. Berdasarkan
perhitungan matematis penggunaan sidik jari sebagai sarana identifikasi mempunyai
ketepatan yang cukup tinggi karena kemungkinan adanya 2 orang yang memiliki sidik
jari yang sama adalah 64 x 109 : 1, kendala dari sistem ini adalah diperlukan data dasar
sidik jari dari seluruh penduduk untuk pembanding. (Surjit Singh, 2008)

C. Metodelogi Identifikasi
Prinsipnya adalah pemeriksaan identitas seseorang memerlukan berbagai metode
dari yang sederhana sampai yang rumit.
a. Metode sederhana
1) Cara visual, dapat bermanfaat bila kondisi mayat masih baik, cara ini mudah karena
identitas dikenal melalui penampakan luar baik berupa profil tubuh atau muka. Cara ini
tidak dapat diterapkan bila mayat telah busuk, terbakar, mutilasi serta harus
mempertimbangkan faktor psikologi keluarga korban (sedang berduka, stress, sedih, dll)
2) Melalui kepemilikan (property) identititas cukup dapat dipercaya terutama bila
kepemilikan tersebut (pakaian, perhiasan, surat jati diri) masih melekat pada tubuh
korban.
3) Dokumentasi, foto diri, foto keluarga, foto sekolah, KTP atau SIM dan lain
sebagainya.
b. Metode ilmiah, antara lain
1) Sidik jari
2) Serologi
3) Odontologi
4) Antropologi
5) Biologi
Cara-cara ini sekarang berkembang dengan pesat berbagai disiplin ilmu ternyata
dapat dimanfaatkan untuk identifikasi korban tidak dikenal. Dengan metode ilmiah ini
didapatkan akurasi yang sangat tinggi dan juga dapat dipertanggung-jawabkan secara
hukum. Metode ilmiah yang paling mutakhir saat ini adalah DNA Profiling (Sidik
DNA). Cara ini mempunyai banyak keunggulan tetapi memerlukan pengetahuan dan
sarana yang canggih dan mahal. Dalam melakukan identifikasi selalu diusahakan cara-
cara yang mudah dan tidak rumit. Apabila dengan cara yang mudah tidak bisa, baru
meningkat ke cara yang lebih rumit. Selanjutnya dalam identifikasi tidak hanya
menggunakan satu cara saja, segala cara yang mungkin harus dilakukan, hal ini penting
oleh karena semakin banyak kesamaan yang ditemukan akan semakin akurat. Identifikasi
tersebut minimal harus menggunakan 2 cara yang digunakan memberikan hasil yang
positif (tidak meragukan). Prinsip dari proses identifikasi adalah mudah yaitu dengan
membandingkan datadata tersangka korban dengan data dari korban yang tak dikenal,
semakin banyak kecocokan semakin tinggi nilainya. Data gigi, sidik jari, atau DNA
secara tersendiri sudah dapat digunakan sebagai faktor determinan primer, sedangkan
data medis, property dan ciri fisik harus dikombinasikan setidaknya dua jenis untuk
dianggap sebagai ciri identitas yang pasti.3,4 Gigi merupakan suatu cara identifikasi
yang dapat dipercaya, khususnya bila rekam dan foto gigi pada waktu masih hidup yang
pernah dibuat masih tersimpan dengan baik. Pemeriksaan gigi ini menjadi amat penting
apabila mayat sudah dalam keadaan membusuk atau rusak, seperti halnya kebakaran.
Adapun dalam melaksanakan identifikasi manusia melalui gigi, kita dapatkan 2
kemungkinan:
1) Memperoleh informasi melalui data gigi dan mulut untuk membatasi atau
menyempitkan identifikasi.
Informasi ini dapat diperoleh antara lain mengenai:
a. umur
b. jenis kelamin
c. ras
d. golongan darah
e. bentuk wajah
f. DNA
Dengan adanya informasi mengenai perkiraan batas-batas umur korban misalnya,
maka pencarian dapat dibatasi pada data-data orang hilang yang berada di sekitar umur
korban. Dengan demikian penyidikan akan menjadi lebih terarah.
2) Mencari ciri-ciri yang merupakan tanda khusus pada korban tersebut. Di sini
dicatat ciri-ciri yang diharapkan dapat menentukan identifikasi secara lebih akurat dari
pada sekedar mencari informasi tentang umur atau jenis kelamin. Ciri-ciri demikian
antara lain: misalnya adanya gigi yang dibungkus logam, gigi yang ompong atau patah,
lubang pada bagian depan biasanya dapat lebih mudah dikenali oleh kenalan atau teman
dekat atau keluarga korban. Di samping ciri-ciri di atas, juga dapat dilakukan
pencocokan antara tengkorak korban dengan foto korban semasa hidupnya. Metode yang
digunakan dikenal sebagai Superimposed Technique yaitu untuk membandingkan antara
tengkorak korban dengan foto semasa hidupnya.

c. Identifikasi dengan Teknik Superimposisi


Superimposisi adalah suatu sistem pemeriksaan untuk menentukan identitas seseorang
dengan membandingkan korban semasa hidupnya dengan tengkorak yang ditemukan.
Kesulitan dalam menggunakan tehnik ini adalah:
1) Korban tidak pernah membuat foto semasa hidupnya.
2) Foto korban harus baik posisinya maupun kwalitasnya.
3) Tengkorak yang ditemukan sudah hancur dan tidak berbentuk lagi.
4) Membutuhkan kamar gelap yang perlu biaya tersendiri.
Khusus pada korban bencana massal, telah ditentukan metode identifikasi yang dipakai
yaitu:
a. Primer/utama
1) gigi geligi
2) sidik jari
3) DNA b. Sekunder/pendukung 1) visual 2) properti 3) medik

D. Setelah Korban Teridentifikasi


Setelah korban teridentifikasi sedapat mungkin dilakukan perawatan jenazah yang
meliputi antara lain:
a. Perbaikan atau rekonstruksi tubuh jenazah
b. Pengawetan jenazah (bila memungkinkan)
c. Perawatan sesuai agama korban
d. Memasukkan dalam peti jenazah
Kemudian jenazah diserahkan kepada keluarganya oleh petugas khusus dari Komisi
Identifikasi berikut surat-surat yang diperlukan pencatatan yang penting pada proses
serah terima jenazah antara lain:
a. Tanggal dan jamnya
b. Nomor registrasi jenazah
c. Diserahkan kepada siapa, alamat lengkap penerima, hubungan keluarga dengan
korban.
d. Dibawa kemana atau dimakamkan dimana
Perawatan jenazah setelah teridentifikasi dilaksanakan oleh unsur Pemerintah
Daerah, dalam hal ini Dinas Sosial dan Dinas Pemakaman yang dibantu oleh keluarga
korban. Adalah sangat penting untuk tetap memperhatikan file record dan segala
informasi yang telah dibuat untuk dikelompokkan dan disimpan dengan baik.
Dokumentasi berkas yang baik juga berkepentingan agar pihak lain (Interpol misalnya)
dapat melihat, mereview kasusnya, sehingga menunjukkan bahwa proses identifikasi ini
dikerjakan dengan baik dan penuh perhatian.
Identifikasi pada korban bencana masal adalah suatu hal yang sangat sulit mengingat
berapa hal di bawah ini:
ƒ Jumlah korban banyak dan kondisi buruk
ƒ Lokasi kejadian sulit dicapai
ƒ Memerlukan sumber daya pelaksanaan dan dana yang cukup besar
ƒ Bersifat lintas sektoral sehingga memerlukan koordinasi yang baik
Sehingga penting pada pelaksanaan tugas identifikasi massal ini adalah koordinasi
yang baik antara instansi dan dukungan peralatan komunikasi dan transportasi.
Pada prinsipnya, tim identifikasi pada korban massal tetap berada di bawah koordinasi
Badan Penanggulangan Bencana seperti: Badan Penanggulangan Bencana Daerah yang
telah terbentuk di Provinsi Sumatera Utara diketuai oleh Gubernur dan instansi terkait
seperti: Kepolisian Daerah Sumatera Utara/Polda Sumut, Dinas Kesehatan Tk. I Sumut,
Universitas Sumatera Utara, Dinas Perhubungan, Dinas Sosial, Palang Merah Indonesia
dan instansi terkait lainnya serta Bakorlak, Satkorlak dan Satlak. Khusus tim
identifikasi di lapangan berada di bawah tim investigasi (Penyidik Polri/PPNS) yang
melakukan peyelidikan dan penyidikan sebab dan akibat dari bencana massal tersebut,
karena hasil identifikasi korban banyak membantu dalam proses penyelidikan sebab dan
akibat, selain tentunya pengeluaran surat-surat legalitas harus melalui tim investigasi.
Bencana dapat terjadi karena alam, atau ulah manusia berupa kecelakaan, kelalaian
ataupun kesengajaan (teroris bom). Masih diperdebatkan mengenai jumlah korban
untuk dimasukkan dalam kriteria korban massal.
D. Fase DVI
 Tahap 1: lokasi bencana
 Tahap 2: pengumpulan data kamar mayat / PM
 Tahap 3: Pengumpulan data AM
 Tahap 4: rekonsiliasi
 Tahap 5: tanya jawab

1). Di lokasi bencana, tekanan untuk mencari dan mengumpulkan sisa-sisa untuk
memfasilitasi identifikasi yang tepat waktu umumnya bersaing dengan latar belakang
kekacauan dan sumber daya yang terbatas. Dalam lingkungan yang menantang,
pengalaman telah menunjukkan bahwa pemetaan rinci dan pencatatan tubuh, bagian
tubuh, tulang (lengkap atau terfragmentasi) dan bukti terkait sangat penting . Seperti
yang disoroti Hinkes hampir 30 tahun yang lalu, kemampuan untuk mengenali sisa-sisa
yang terfragmentasi dan dikompromikan sangat penting dalam situasi DVI. Adalah
aksiomatik untuk menyatakan bahwa jika jenazah manusia, terlepas dari pelestariannya,
tidak dapat dikenali di tempat kejadian, maka mereka tidak dapat direkam dan
dikumpulkan dengan tepat.
Evaluasi awal dari kondisi dan pelestarian sisa-sisa di tempat kejadian secara signifikan
berdampak pada perencanaan logistik untuk pencatatan lengkap dan pemulihan jenazah
manusia dan, setelah itu, tahapan selanjutnya dari proses DVI . Manajemen lokasi yang
tepat waktu penting untuk mencegah fragmentasi atau dekomposisi yang tidak perlu
lebih lanjut. Berdasarkan keahlian mereka dalam menangani sisa-sisa yang diawetkan
secara berbeda, antropolog forensik dapat memberikan kontribusi penting di lokasi
bencana. Bantuan mereka di tempat kejadian akan membantu untuk mencegah
pengumpulan barang-barang seperti sisa-sisa non-manusia atau barang-barang non-
tulang, sehingga mengurangi alokasi nomor kasus dan pembentukan data yang
berlebihan. Selain itu, bantuan mereka di tempat kejadian memastikan hal
itusemua bagian tubuh / fragmen telah dikumpulkan, sehingga meminimalkan
kebutuhan untuk memeriksa kembali pemandangan tersebut. Terakhir, ketika jenazah
dikompromikan, mereka dapat memberi nasihat tentang cara terbaik untuk mengemas
dan mengangkut jenazah untuk meminimalkan kerusakan dalam perjalanan.
2). Kamar Mayat
Selama beberapa tahun terakhir, antropolog forensik telah membantu penyelidikan
bencana massal dengan melakukan berbagai analisis, termasuk:
 memisahkan tulang dari bahan non-tulang;
 mengkonfirmasikan bahwa jenazah adalah manusia (atau bukan manusia - jika
tidak dilakukan di tempat kejadian
 memisahkan fragmen yang dapat dikenali versus yang tidak dapat dikenali yang
membutuhkan analisis DNA
 mengidentifikasi dan mengelola sisa-sisa bercampur (yang mungkin melibatkan
penggabungan kembali bagian tubuh yang berbeda
 memberikan profil biologis (perkiraan keturunan, jenis kelamin, usia, dan tinggi
badan seseorang), jika mungkin termasuk informasi pengenal lain seperti patah
tulang sebelumnya, penyakit, atau varian anatomi;
 membantu dalam merekonstruksi cara kematian, misalnya dalam kasus lintasan
peluru atau menemukan pecahan peluru.

3). Teknik pencitraan


Metode pencitraan seperti radiograf dan scan postmortem computed tomography
(PMCT) semakin banyak digunakan selama operasi DVI, terutama karena munculnya
mesin sinar-X portabel dan pemindai CT bergerak. Analisis yang dilakukan di kamar
mayat oleh antropolog forensik, oleh karena itu, semakin mungkin melibatkan analisis
gambar radiologis tersebut.
Penggunaan pencitraan radiologi telah terbukti bermanfaat untuk proses identifikasi
dalam berbagai cara. Ini dapat membantu dalam mengidentifikasi dan menghubungkan
kembali bagian tubuh , serta mendokumentasikan informasi yang dapat digunakan
untuk identifikasi, seperti adanya fitur individualisasi , restorasi gigi , implan /
intervensi bedah, bukti dari (sebagian sembuh) trauma tulang, dan artefak
pribadi. Selain itu, jika tersedia, scan AM dapat dibandingkan dengan scan PM untuk
memberikan identifikasi (tentatif). Ciri-ciri anatomis yang dapat digunakan untuk tujuan
ini termasuk morfologi sinus paranasal atau alur vaskular pada permukaan endosteal
kranium.
4). Pengambilan sampel DNA dan penanganan sisa-sisa yang terfragmentasi
Di mana DNA diperlukan untuk proses identifikasi, antropolog forensik (bekerja sama
dengan ahli biologi) dapat berkontribusi pada pengembangan protokol pengambilan
sampel DNA . Dalam kasus sisa-sisa manusia yang sangat terganggu yang biasanya
diakibatkan oleh pemboman atau kecelakaan pesawat, antropolog forensik dapat
berkontribusi secara substansial dengan menggunakan pengetahuan mereka tentang
biologi tulang dan taphonomy untuk memilih sampel yang paling tepat untuk analisis
DNA. Misalnya pada operasi DVI pasca Bom Bali 2002 yang sangat mengandalkan
DNA , pengambilan dan identifikasi jaringan lunak dan fragmen tulang yang sesuai
untuk pengujian DNA adalah yang terpenting. Karena tingkat fragmentasi yang tinggi
adalah tipikal individu yang dekat dengan lokasi ledakan , kemampuan untuk mengenali
sisa-sisa yang sangat terfragmentasi juga penting dalam memberikan rincian tentang
individu yang diduga berada di pusat ledakan.
5). Identifikasi yang hidup

Meskipun DVI pada umumnya berfokus pada identifikasi almarhum, namun


identifikasi korban yang selamat dari peristiwa fatalitas massal juga perlu
dipertimbangkan dalam setiap tanggapan DVI. Sebagian besar identifikasi makhluk
hidup tidak memerlukan keahlian antropologi forensik, tetapi bencana baru-baru ini
menunjukkan bahwa antropolog forensik dapat dimasukkan dalam proses .
Identifikasi makhluk hidup penting baik dalam bencana terbuka maupun
tertutup. Akan tetapi, identifikasi orang yang selamat dalam bencana terbuka secara
tepat waktu memiliki dampak penting pada proses identifikasi karena memungkinkan
mereka dikeluarkan dari daftar orang hilang. Ini mungkin juga berdampak pada mereka
yang merawat korban, karena tim medis akan dihadapkan pada kebutuhan untuk
memberikan perawatan medis jika tidak ada informasi latar belakang (medis). Jika
korban adalah anak di bawah umur yang tidak teridentifikasi, kurangnya persetujuan
untuk perawatan medis dari orang dewasa yang sesuai juga harus dipertimbangkan.
6). Penggunaan teorema Bayes dalam identifikasi antropologi forensik

Antropolog forensik semakin (dibuat) sadar bahwa mereka perlu mengukur kinerja
metode mereka dan ini telah menyebabkan peningkatan selanjutnya dari metode
statistik probabilistik dalam antropologi forensik . Hal ini pada gilirannya memiliki efek
penting pada cara pendekatan antropolog forensik identifikasi manusia. Pengetahuan
tentang latar belakang teoritis perkembangan ini, dan kemampuan untuk
menggabungkan metode statistik terbaru dalam kerja lapangan DVI bermanfaat untuk
mendukung identifikasi yang diusulkan dan, oleh karena itu, semakin banyak diminta
oleh antropolog forensik.
Secara karakteristik, antropolog forensik berfokus pada bias, presisi, dan akurasi metode
mereka. Bias dan presisi berhubungan dengan kesalahan sistematik suatu metode,
misalnya variasi antar dan intra-pengamat serta varians statistik. Keakuratan suatu
metode ditentukan oleh sejauh mana hasil metode tersebut sesuai dengan nilai
sebenarnya, misalnya persentase estimasi jenis kelamin yang benar.
Untuk tujuan identifikasi manusia, karakteristik pengujian ini sebaiknya digabungkan
dengan data kontekstual menggunakan pendekatan Bayesian, dan meningkatnya
penggunaan pendekatan ini membutuhkan antropolog forensik untuk menyadari
penggunaan dan premisnya. Teorema Bayes menggambarkan cara keyakinan seseorang
sebelumnya tentang peristiwa tertentu diinformasikan atau diperbarui berdasarkan
pertimbangan bukti tambahan. Ini umumnya digunakan dalam berbagai metode
identifikasi manusia yang analisis DNA komparatifnya mungkin merupakan contoh
yang paling terkenal. Teorema menyatakan bahwa peluang posterior dari suatu
identifikasi disediakan oleh perkalian peluang sebelumnya dari identifikasi tersebut
dengan nilai bukti.dari pengamatan spesifik. Dengan kata lain, probabilitas identifikasi
yang benar (peluang posterior) sangat bergantung pada probabilitas identifikasi yang
benar sebelum melaksanakan metode identifikasi (peluang sebelumnya) seperti pada
nilai bukti dari metode identifikasi yang sama.

BAB III
BAB III
KESIMPULAN

Diperlukan keterampilan
khusus dalam menghadapi
anak dalam keadaan
gawat-darurat.
Pendekatan dan
penilaian harus
dilakukan dengan
mempertimbangkan fase
tumbuh
kembang anak. Penilaian
awal dilakukan secara
observasi, yaitu dengan
metoda PAT,
dilanjutkan dengan
pemeriksaan tanda vital
dengan metoda
ABCDE. Pemeriksaan
ini
dilakukan untuk
memutuskan tindakan
selanjutnya, seperti
meneruskan resusitasi,
pemeriksaan dan
pemantauan lebih lanjut,
atau merujuk.
Diperlukan keterampilan
khusus dalam menghadapi
anak dalam keadaan
gawat-darurat.
Pendekatan dan
penilaian harus
dilakukan dengan
mempertimbangkan fase
tumbuh
kembang anak. Penilaian
awal dilakukan secara
observasi, yaitu dengan
metoda PAT,
dilanjutkan dengan
pemeriksaan tanda vital
dengan metoda
ABCDE. Pemeriksaan
ini
dilakukan untuk
memutuskan tindakan
selanjutnya, seperti
meneruskan resusitasi,
pemeriksaan dan
pemantauan lebih lanjut,
atau merujuk
Diperlukan keterampilan
khusus dalam menghadapi
anak dalam keadaan
gawat-darurat.
Pendekatan dan
penilaian harus
dilakukan dengan
mempertimbangkan fase
tumbuh
kembang anak. Penilaian
awal dilakukan secara
observasi, yaitu dengan
metoda PAT,
dilanjutkan dengan
pemeriksaan tanda vital
dengan metoda
ABCDE. Pemeriksaan
ini
dilakukan untuk
memutuskan tindakan
selanjutnya, seperti
meneruskan resusitasi,
pemeriksaan dan
pemantauan lebih lanjut,
atau merujuk
Secara teoritis, kelima fase DVI seharusnya dikerjakan sesuai standar pada
setiap kasus bencana namun dalam kenyataannya sering kali menemui kendala teknis,
maupun nonteknis. Jumlah jenazah yang banyak, tempat penyimpanan jenazah yang
minim, waktu yang terbatas, jumlah dokter forensik yang terbatas, otoritas keluarga
serta kurangnya koordinasi menimbulkan masalah dalam menerapkan prosedur DVI
secara konsisten.
DAFTAR PUSTAKA

de Boer, HH, Blau, S., Delabarde, T. dan Hackman, L., 2019. Peran antropologi
forensik dalam identifikasi korban bencana (DVI): perkembangan terkini dan prospek
masa depan. Penelitian ilmu forensik , 4 (4), hlm. 303-315.

Henky, H. and Safitry, O., 2012. Identifikasi korban bencana massal: praktik DVI
antara teori dan fakta. Jurnal Ilmu Hukum dan Forensik Indonesia , 2 , hlm. 282232.

Singh, S., Kata kunci: identifikasi, bencana massal, primary identifiers. REFLEKSI
AKHIR TAHUN, p.254.

Anda mungkin juga menyukai