Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN HASIL DISKUSI KELOMPOK KECIL

BLOK 18 MODUL 3
Disaster Victim Identification (DVI)

Disusun oleh : Kelompok 3

ANANDA RIZKY ADELIA 1910026003


SATYA MEILISA RAUDHANTI 1910026004
DESTY TRI DAMAYANTI 1910026009
FANNY DINDA NUR AULIA 1910026012
AZKA NURIL AZIZAH 1910026017
TIARA HANIFAH SANTOSA 1910026020
PUTRI AZZAHRA 1910026023
KRISNA WAHYU WICAKSONO 1910026027
NUR AINI ILHAM 1910026031
FAIRUZ SALSABILA FAISAL 1810025023

Tutor : Dr. drg. Lilies Anggarwati Astuti, Sp. Perio

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN GIGI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas limpahan
rahmat serta hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan laporan yang berjudul
“Disaster Victim Identification (DVI)” ini tepat pada waktunya. Laporan ini
disusun dari berbagai sumber ilmiah sebagai hasil dari Diskusi Kelompok Kecil
(DKK) kami.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
sehingga terselesaikannya laporan ini, antara lain :
1. Dr. drg. Lilies Anggarwati Astuti, Sp. Perio selaku tutor kelompok 3 yang
telah membimbing kami dalam menyelesaikan Diskusi Kelompok Kecil
(DKK).
2. Teman-teman kelompok 3 yang telah menyumbangkan pemikiran dan
tenaganya sehingga Diskusi Kelompok Kecil (DKK) 1 dan 2 dapat berjalan
dengan baik, serta dapat menyelesaikan laporan hasil Diskusi Kelompok Kecil
(DKK).
3. Teman-teman mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman
angkatan 2019 dan pihak-pihak lain yang tidak dapat kami sebutkan satu per
satu.
Kami menyadari bahwa kemampuan kami dalam menyusun laporan ini sangat
terbatas. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun demi tercapainya kesempurnaan dari isi laporan hasil Diskusi
Kelompok Kecil (DKK) ini.

Samarinda, 26 Mei 2022

Kelompok 3

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................i

DAFTAR ISI ................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1

1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1


1.2 Tujuan ......................................................................................................1
1.3 Manfaat .................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................... 3


2.1 Skenario ................................................................................................... 3
2.2 Identifikasi Istilah Sulit ............................................................................ 4
2.3 Identifikasi Masalah ................................................................................. 5
2.4 Analisa Masalah ....................................................................................... 5
2.5 Kerangka Teori ........................................................................................ 8
2.6 Learning Objectives ................................................................................. 8
2.7 Belajar Mandiri ........................................................................................ 9
2.8 Sintesis ..................................................................................................... 9

BAB III PENUTUP ..................................................................................... 25


3.1 Kesimpulan ............................................................................................ 25
3.2 Saran ...................................................................................................... 25

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pada tahun 2021 angka kejadian bencana alam di Indonesia mencapai 3.058.
Undang-undang Nomor 24 tahun 2007 mendefinisikan bencana sebagai
peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu
kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor
alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan,
kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Bencana itu sendiri ada yang
merupakan bencana alam, seperti banjir, gempa, longsor, gunung meletus,
tsunami, serta angin topan. Ada pula bencana yang diakibatkan oleh ulah
manusia, misalnya ledakan bom dan kecelakaan transportasi seperti pesawat
jatuh, atau kapal tenggelam. Serangkaian kejadian bencana ini telah
mengakibatkan banyak korban jiwa yang tidak dikenali atau tidak memiliki
identitas.
Kesulitan mengenali korban akibat bencana atau kecelakaan masal
sering menimbulkan permasalah dalam bidang kedokteran forensik. Dengan
demikian, kegiatan identifikasi korban bencana masal (Disaster Victim
Identification) menjadi kegiatan yang sangat penting dan dilaksanakan hampir
pada setiap kejadian yang menimbulkan korban jiwa dalam jumlah yang
banyak agar dapat mengenali identitas korban. Disaster Victim Identification
(DVI) adalah sebuah prosedur untuk mengidentifikasi korban mati akibat
bencana masal secara ilmiah dan dapat dipertanggungjawabkan serta mengacu
pada standar Interpol.

1.2 Tujuan
1. Mahasiswa mampu menjelaskan tentang tugas dan fungsi tim DVI
2. Mahasiswa mampu menjelaskan tentang prinsip dan prosedur DVI
a. Pembentukan tim
b. Prosedur kerja
3. Mahasiswa mampu menjelaskan tentang keterkaitan odontologi forensik
dengan identifikasi
4. Mahasiswa mampu menjelaskan tentang tugas dan wewenang odontologi
forensik

1
1.3 Manfaat
Laporan ini dapat bermanfaat bagi mahasiswa untuk mengetahui dan
menjelaskan tentang tugas dan fungsi DVI, prinsip dan prosedur DVI,
keterkaitan odontologi forensik dengan identifikasi, serta tugas dan wewenang
odontologi forensik.

2
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Skenario

Ahli: 113 Korban Bom Bali Diindentifikasi Melalui Gigi


Sabtu, 29 Mei 2010 18:36 WIB | 2.562 Views

Padang (ANTARA News) - Ahli Odontologi Forensik Polri, Drg Sindhy R


Malingkas mengungkapkan, sebanyak 113 orang atau 56,5 persen dari 202
korban meninggal dunia pada kasus bom Bali 2002, berhasil diidentifikasi
melalui gigi.
"Petugas Disaster Victim Identification (DVI) yang dikerahkan pada
peristiwa itu berhasil mengidentifikasi sebagian besar korban tewas melalui
susunan gigi," kata Sindhy, yang juga anggota Komite DVI Nasional
Indonesia, di Padang, Sumatra Barat, Sabtu.
Ia menyampaikan itu saat tampil sebagai pemakalah dalam seminar ilmiah
bertema "Dokter Gigi Berperan Dalam Evakuasi Bencana Massal".
Seminar dua hari di Hotel Pangeran Beach itu diselenggarakan Persatuan
Dokter Gigi Indonesia (PDGI) Cabang Padang, diikuti sedikitnya 450
perserta dari berbagai provinsi di Nusantara.
Sindhy mengatakan, odontologi forensik berkembang seiiring dengan
pelaksanaan operasi DVI di Indonesia sejak kasus bom Bali pada 2002,
hingga bom Bali berikutnya, 2005.
Jadi, keberhasilan identifikasi melalui gigi --merupakan salah satu metode
`primary indentifiers`-- pada proses DVI tersebut, dapat terwujud apabila
tersedia data.
Data yang dimaksud, yaitu berupa data gigi ante mortem serta dimilikinya
standar pemeriksaan kedokteran gigi forensik yang baku.
Namun, di Indonesia yang menjadi salah satu hambatan di dalam pelaksanaan
proses DVI pada aspek gigi, karena hampir seluruh penduduk Indonesia
belum memiliki catatan data gigi ante mortem.

Hal ini, katanya, disebabkan karena pada umumnya orang di Indonesia jarang
pergi ke dokter gigi karena kurang memahami pentingnya kontrol rutin ke
dokter gigi.
"Kalau pun ada yang mengerti, kadang-kadang mereka memilih prioritas
yang lain, seiring dengan keterbatasan keuangan mereka," ujarnya.

3
Selain itu, katanya, kebanyakan para dokter gigi di Indonesia belum membuat
dan memiliki catatan gigi yang baik. Meskipun ada, tapi pada umumnya
mereka tidak menyimpan dengan cara yang tepat.
Bahkan, pada 2003 Kemenkes RI telak melaksanakan beberapa kali
pertemuan untuk mencoba menyusun standarisasi tentang catatan gigi, serta
menyiapkan sistem pencatatan yang lebih baik.
Anggota Komite DVI Nasional itu mengatakan, ketika dilakukan indentifikasi
bagi korban bencana di Indonesia, data post mortem gigi yang telah
terkumpul tidak dapat dibandingkan karena kurangnya data ante mortem
gigi.
"Di samping belum adanya catatan data gigi ante mortem penduduk
Indonesia, kendala lain dari upaya identifikasi juga disebabkan oleh belum
dimilikinya suatu standar operasi prosedur (SOP) yang baku dalam bidang
penanganan pemeriksaan kedokteran gigi forensik pada operasi DVI di negeri
ini," kata Sindhy di hadapan peserta seminar.(*)
2.2 Identifikasi Istilah Sulit
1. Antemortem: (AM) Data sebelum kematian. Adalah fase dalam salah
satu identifikasi korban bencana atau kecelakaan. Berupa data umum,
seperti nama, tinggi badan, berat badan, barang-barang yang digunakan,
surat kepemilikan lain yang identik dengan korban. Data AM didapat dari
keluarga.
2. Data postmortem gigi: (PM) Data setelah kematian. Adalah data yang
digunakan dalam mencocokkan identitas korban dengan data AM. Data
PM berupa kondisi gigi, didapatkan dari pemeriksaan klinis maupun
radiografi. Baik AM maupun PM bersifat rahasia, kecuali digunakan
sebagai data identifikasi forensik.
3. Disaster Victim Identification (DVI): Adalah suatu prosedur untuk
identifikasi korban meninggal dalam insiden massal, yang prosedurnya
berdasarkan “Interpol”. Komponen yang bekerja dan terlibat dalam DVI
adalah dokter forensik, ahli antropologi, kepolisian, fotografer, dan
bantuan masyarakat. DVI dimaksudkan untuk kepentingan kemanusiaan,
seperti untuk dikembalikan ke keluarga, dimakamkan dengan layak, dsb.
Mengacu pada UU No 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
DVI terdiri dari beberapa fase, termasuk antemortem, postmortem, dll.

4
4. Primary Identifier: Adalah metode primer atau utama yang digunakan
dan diidentifikasi langsung dari korban maupun pelaku. Seperti sidik jari,
gigi, dan DNA. Prosedurnya berdasarkan “Interpol”. Pemeriksaan ini
lebih diutamakan karena lebih akurat dibanding secondary.
2.3 Identifikasi Masalah
1. Apa saja fungsi dan tugas dari tim DVI?
2. Apa saja prinsip dari kegiatan DVI? (Fase)
3. Bagaimana prosedur kerja dari tim DVI?
4. Apa saja metode identifikasi yang dilakukan pada DVI?
5. Kesulitan atau hambatan apa yang dapat terjadi selama prosedur DVI?
6. Apa perbedaan antara antemortem dan postmortem? Dan bagaimana
prosedur identifikasinya?
2.4 Analisis Masalah
1. Apa saja fungsi dan tugas dari tim DVI?
Tugas utama: melakukan koordinasi dengan tim medis dan keamanan,
dengan RS setempat atau RS rujukan identifikasi korban dengan sumber
daya yang ada, membuat kesimpulan semnetara, dan melaporkan hasil
identifikasi. Menjadi pertolongan pertama pada luka, umumnya diterapkan
pada bencana atau kejadian yang melibatkan korban massal.
Tim DVI juga bekerja untuk mencapai identifikasi yang dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum sebagai wujud dari kebutuhan
HAM, mengumpulkan data AM dan PM, mengamankan barang bukti
untuk mencari pelaku apabila sebuah kejadian adalah ulah manusia, untuk
kepentingan aspek hukum perdata seperti asuransi dan warisan, serta
sebagai awal dari proses penyidikan kejadian.
2. Apa saja prinsip dari kegiatan DVI? (Fase)
Prinsip-prinsip DVI berkaitan dengan fase-fase, yaitu:
a. TKP (Tempat Kejadian Perkara)
Pada TKP dilakukan untuk memilah korban, mengamankan barang
bukti, pada korban meninggal diberi penanda atau label. Pada TKP
juga dilakukan dokumentasi.
b. Postmortem
Pemeriksaan mengenai korban berupa data primer seperti DNA,
sidik jari dan gigi. Dan data sekunder. Data didapatkan dari
keluarga, seperti foto korban. Juga didapatkan dari dokter gigi

5
mengenai kondisi gigi korban. Pemeriksaan gigi dilakukan secara
lengkap, bisa dengan Radiografi (anatomis,yang hasilnya tidak
ambigu), DNA (jika secara konvensional gagal dapat dilakukan
dengan DNA), dll.
Forensic dentistry:
a. Pemeriksaan gigi: Dilakukan insisi lateral, kulit dan
jaringan didorong keatas untuk mengekspos rahang atas
dan bawah. Tim lain mendokumentasikan proses tersebut.
Gigi dibersihkan, dilakukan foto dan diberi label.
Gigi dicocokkan dan dikembalikan ke saluran akar
yang akan digunakan untuk pemeriksaan lebih lanjut seperti
pemeriksaan radiografi. Juga dapat digunakan dalam
pemeriksaan DNA, gigi yang diekstraksi biasanya gigi
Molar.
b. Interpol : Mengidentifikasi gigi berkaitan dengan kuadran
gigi. Gigi dilambangkan dengan kode 2 digit.
c. Antemortem
Data didapatkan dari keluarga, juga sebisa mungkin catatan gigi
atau dental records korban sangat penting.
d. Rekonsiliasi
Perbandingan data AM dan PM, atau pencocokkan data. Jika data
tidak cocok, data akan tetap disimpan sampai menemukan yang
sama identitasnya. Kriteria data yaitu 1 macam data primer dan 1
data sekunder.
e. Debriefing
Terkhusus untuk tim DVI, yang dilakukan dalam bentuk evaluasi
dari proses identifikasi yang telah dilakukan.
3. Bagaimana prosedur kerja dari tim DVI?
Prosedur pembentukan tim DVI
a. Di Indonesia terdiri dari anggota kepolisian, departemen
kesehatan (FK, FKG), instalasi kedokteran forensik
b. DVI juga terdiri dari 4 region, regional merupakan perpanjangan
dari DVI nasional.

6
c. Unit dalam operasi DVI harus bekerja dengan kompak dan
terkoordinir, dan bekerja jika tim keamanan sudah menyebutkan
TKP sudah aman untuk dilakukan pemeriksaan.
d. Operasi DVI dalam 1 kasus, berbeda dengan kasus lain. Namun
prinsipnya tetap harus dijalankan sesuai prinsip (5 fase)
4. Apa saja metode identifikasi yang dilakukan pada DVI?
Secara umum:
a. Metode visual
Yang dilakukan secara visual atau melihat korban langsung,
seperti pakaian, properti yang digunakan, dll.
b. Metode ilmiah
Metode yang dilakukan secara ilmiah seperti sidik jari, serologi,
odontologi, antropologi (karakteristik skeletal dengan atau tanpa
jar. lunak), biomolekuler, dan radiologi.
Berdasarkan Interpol DVI Guideline:
a. Metode primer
Merupakan data utama yang digunakan. Berupa DNA, catatan
gigi, sidik jari dan antropologi serta radiologi. Data primer
biasanya merupakan data yang setiap individu memiliki khas atau
perbedaan masing-masing.
b. Metode sekunder
Merupakan data pendukung. Contohnya seperti temuan medis,
properti dan bukti.
5. Kesulitan atau hambatan apa yang dapat terjadi selama prosedur DVI?
Kesulitan lebih mengarah pada proses identifikasi dan keadaan korban
a. Korban utuh atau impak, membusuk dan terpisah dari fragmen
tubuh lainnya. Tubuh yang terbakar hingga menjadi abu yang
cukup menyulitkan dalam proses identifikasi.
b. Korban yang tidak memiliki dental records, cukup menyulitkan
untuk diperiksa antara AM dan PM.
c. Kesulitan berkomunikasi, dan koordinasi dengan keluarga korban.
Keluarga korban juga terkadang tidak percaya sehingga
menyulitkan penyidik untuk meminta data AM dari keluarga.

7
6. Apa perbedaan antara antemortem dan postmortem? Dan bagaimana
prosedur identifikasinya?
Antemortem Postmortem
➢ Data sebelum kematian ➢ Data setelah kematian
➢ Didapat dari pihak keluarga, ➢ Didapatkan secara langsung dari
meliputi visual korban sebelum tubuh korban seperti sidik jari,
meniggal seperti perhiasan, dna, dan visual korban PM
pakaian, tanda-tanda pada ➢ Data kemudian dilakukan
tubuh pencocokkan dengan data AM
➢ Berupa data primer seperti sidik
jari dan gigi. Yang digunakan
sebagai acuan pemeriksaan
pada PM.

2.5 Kerangka Teori

DVI

Tugas dan Fungsi Keterkaitan


Prinsip dan Prosedur
Tim DVI Odontologi Forensik

Tugas dan
Pembentuakan tim wewenang
odontologi forensik

Prosedur kerja

2.6 Learning Objectives


1. Mahasiswa mampu menjelaskan tentang tugas dan fungsi tim DVI
2. Mahasiswa mampu menjelaskan tentang prinsip dan prosedur DVI
A. Pembentukan tim
B. Prosedur kerja
3. Mahasiswa mampu menjelaskan tentang keterkaitan odontologi forensik
dengan identifikasi

8
4. Mahasiswa mampu menjelaskan tentang tugas dan wewenang odontologi
forensik
2.7 Belajar Mandiri
Pada step ini, masing-masing anggota kelompok belajar secara mandiri untuk
menjawab learning objectives yang telah disepakati bersama.
2.8 Sintesis
1. Tugas dan Fungsi Tim DVI
Organisasi DVI di Indonesia berada dalam organisasi Kepolisian Nasional
sebagaimana dinyatakan dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5
tahun 2017 tentang Markas Besar Kepolisian Nasional SOTK, yang
berdomisili di bawah kendali Kepala Dinas Kesehatan Republik Indonesia.
Bidang DVI merupakan unsur pelaksana utama yang berada dibawah
Kepala Pusat Kedokteran Dan Kesehatan (Kapusdokkes) POLRI.2,3
Bidang DVI bertugas:
A. Membina dan menyelenggarakan kegiatan/ dukungan operasi DVI
ditingkat pusat dan kewilayahan.
B. Melaksanakan kerjasama serta pembinaan dan pelatihan
Bidang DVI menyelenggarakan fungsi:
A. Pelaksanaan operasi DVI di tingkat pusat dan dukungan kewilayahan
pada kejadian bencana alam maupun non alam;
B. Koordinasi dan kerjasama dengan instansi atau kelembagaan terkait di
dalam maupun luar negeri dalam hal pengembangan kompetensi SDM,
sarana dan prasarana, operasi DVI, pelatihan, serta penelitian dan
pengembangan.2,3
2. Prinsip dan Prosedur DVI
A. Pembentukan Tim
1. Struktur Operasional
a. Struktur operasional organisasi bencana (Disaster
Organization) menurut Interpol adalah Kepolisian sebagai
penanggung jawab secara umum (Investigator in charge), yang
dibawahnya mempunyai tiga direktur masing-masing yaitu
Direktur Komunikasi, Direktur Operasi Penyelamatan dan
Direktur DVI, sebagai berikut:6

9
Tim Post
Mortem

b. Struktur operasional organisasi DVI bersifat profesional, lintas


fungsi dan lintas sektoral yang meliputi unsur-unsur:6
1) Pusat Kedokteran dan Kesehatan Polri
2) Pusat Identifikasi Bareskrim Polri/Inafis
3) Pusat Laboratorium Forensik Bareskrim Polri
4) Bareskrim Polri
5) Polda
6) Polres
7) Polsek
8) TNI
9) BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana)
10) BNPP (Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan=
Basarnas)
11) Kementerian terkait (Kemlu, Kemdagri, KemKes,
KemenSos, KemMen PU)
12) Pemda setempat
13) Fakultas Kedokteran dan Kedokteran Gigi
14) Persatuan Dokter Gigi Indonesia
15) Himpunan Psikologi

10
16) Ahli IT
17) Antropologi
18) Pemuka agama
c. Pada setiap kegiatan Operasi DVI, maka minimal harus
disiapkan unit-unit, antara lain :6
1) Unit Tempat Kejadian Perkara (TKP)
2) Unit pengumpul data Post Mortem
3) Unit pengumpul data Ante Mortem
4) Unit Pembanding Data
5) Unit Pendukung dan Logistik.
d. Struktur Organisasi DVI
Pada tahun 2007 s.d 2010 yang merupakan hasil Rakernas DVI
ke-II di Jakarta tahun 2007 dan tertuang dalam Surat
Keputusan Kapolri No. Pol. : Skep/450/IX/2007 tanggal
September 2007 tentang Susunan Personalia Tim DVI Nasional
dan Tim DVI Regional Indonesia Periode 2007 – 2010, maka
ini adalah bentuk struktur organisasi DVI yang terakhir dimana
susunan organisasinya berbentuk Komite dan merupakan
kerjasama antara Polri dan Kemenkes.
Selanjutnya pada tahun 2010, organisasi DVI telah
berada di bawah kendali sepenuhnya Polri dan tertuang di
dalam Peraturan Kapolri Nomor 21 Tahun 2010 tanggal 14
September 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja
Satuan Organisasi dimana pada Tingkat Mabes Polri adalah
berbentuk Subbidang yang membantu pelaksanaan tugas
Bidang Kedokteran Kepolisian dan pada tingkat kewilayahan,
maka struktur organisasi DVI berada di bawah kendali
Kasubbid Dokpol Biddokkes Polri. Selanjutnya berdasarkan
Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2017 tanggal 6 April 2017
tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Satuan Organisasi
pada Tingkat Mabes Polri, maka bentuk organisasi ditingkatkan
menjadi berbentuk Bidang yang merupakan unsur pelaksana
utama yang berada di bawah Kapusdokkes Polri.6
Bidang DVI Pusdokkes Polri merupakan unsur
pelaksana utama yang berada di bawah Kapusdokkes Polri;

11
Dalam melaksanakan tugas, Bidang DVI Pusdokkes Polri
dibantu oleh:
1) Subbidopsnal, yang bertugas menyelenggarakan kegiatan
operasional DVI pada bencana alam maupun non alam;
2) Subbidkermabinlat, yang bertugas menyelenggarakan
koordinasi dan kerjasama dengan institusi atau
kelembagaan terkait di dalam dan luar negeri serta
membina penyelenggaraan pendidikan, pelatihan, penelitian
dan pengembangan kegiatan DVI;6
2. Prinsip Kerja
a. Unit-unit yang terdapat di dalam suatu kegiatan Operasi DVI
harus bekerja sebagai suatu kesatuan yang kompak dan
terkoordinir.
b. Tim DVI bekerja setelah daerah TKP dinyatakan aman oleh
penguasa TKP/Penyidik dan setelah Tim Medis melakukan
pertolongan dan evakuasi korban hidup, dengan catatan bahwa
korban mati dan benda-benda yang ada di TKP harus tetap
dipertahankan seperti apa adanya (status quo).
c. Prinsip identifikasi dalam DVI adalah membandingkan data
Ante Mortem dan Post Mortem, semakin banyak yang cocok
maka semakin baik. Ketentuan tentang pinsip identifikasi ini
lebih detail akan dibahas dalam bab selanjutnya.
d. Informasi hasil identifikasi hanya dapat disampaikan oleh Div
Humas Polri/Bidhumas Polda atau pejabat Polri yang telah
ditunjuk atau ditetapkan.6
B. Prosedur Kerja
Terdapat 5 fase prosedur DVI, dimana setiap fasenya mempunyai
keterkaitan satu dengan yang lainnya, yang terdiri dari:
1. Initial Action at the Disaster Site (The Scene)
Initial Action at the Disaster Site adalah tindakan awal yang
dilakukan di tempat kejadian peristiwa (TKP) bencana. Ketika
suatu bencana terjadi, prioritas yang paling utama adalah untuk
mengetahui seberapa luas jangkauan bencana. Sebuah organisasi
resmi harus mengasumsikan komando operasi secara keseluruhan
untuk memastikan koordinasi personil dan sumber daya material

12
yang efektif dalam penanganan bencana. Dalam kebanyakan kasus,
polisi memikul tanggung jawab komando untuk operasi secara
keseluruhan. Sebuah tim pendahulu seperti kepala tim DVI, ahli
patologi forensik dan petugas polisi harus sedini mungkin dikirim
ke TKP untuk mengevaluasi situasi berikut :
a. Keluasan TKP : pemetaan jangkauan bencana dan pemberian
koordinat untuk area bencana
b. Perkiraan jumlah korban
c. Keadaan mayat
d. Evaluasi durasi yang dibutuhkan untuk melakukan DVI
e. Institusi medikolegal yang mampu merespon dan membantu
proses DVI
f. Metode untuk menangani mayat
g. Transportasi mayat
h. Penyimpanan mayat
i. Kerusakan properti yang terjadi.
Pada prinsipnya untuk fase tindakan awal yang dilakukan di
situs bencana, ada tiga langkah utama. Langkah pertama adalah to
secure atau untuk mengamankan, langkah kedua adalah to collect
atau untuk mengumpulkan dan langkah ketiga adalah
documentation atau pelabelan.
Pada langkah to secure organisasi yang memimpin
komando DVI harus mengambil langkah untuk mengamankan
TKP agar TKP tidak menjadi rusak. Langkah-langkah tersebut
yaitu:
a. Memblokir pandangan situs bencana untuk orang yang tidak
berkepentingan (penonton yang penasaran, wakil-wakil pers,
dll), misalnya dengan memasang police line
b. Menandai gerbang untuk masuk ke lokasi bencana
c. Menyediakan jalur akses yang terlihat dan mudah bagi yang
berkepentingan
d. Menyediakan petugas yang bertanggung jawab untuk
mengontrol siapa saja yang memiliki akses untuk masuk ke
lokasi bencana

13
e. Periksa semua individu yang hadir di lokasi untuk menentukan
tujuan kehaditan dan otorisasi
f. Data terkait harus dicatat dan orang yang tidak berwenang
harus meninggalkan area bencana.
Pada langkah to collect, organisasi yang memimpin
komando DVI harus mengumpulkan korban-korban bencana dan
mengumpulkan properti yang terkait dengan korban yang mungkin
dapat digunakan untuk kepentingan identifikasi korban.
Pada langkah documentation, organisasi yang memimpin
komando DVI mendokumentasikan kejadian bencana dengan cara
memfoto area bencana dan korban kemudian memberikan nomor
dan label pada korban. Setelah ketiga langkah tersebut dilakukan
maka korban yang sudah diberi nomor dan label dimasukkan ke
dalam kantung mayat untuk kemudian dievakuasi.6
2. Collecting Post Mortem Data (The Mortuary)
Pengumpulan data post mortem atau data yang diperoleh paska
kematian dilakukan oleh post mortem unit yang diberi wewenang
oleh organisasi yang memimpin komando DVI. Pada fase ini
dilakukan berbagai pemeriksaan yang kesemuanya dilakukan untuk
memperoleh dan mencatat data selengkap-lengkapnya mengenai
korban. Pemeriksaan dan pencatatan data jenazah yang dilakukan
diantaranya meliputi :
a. Dokumentasi korban dengan mengabadikan foto kondisi
jenazah korban
b. Pemeriksaan fisik, baik pemeriksaan luar maupun pemeriksaan
dalam jika diperlukan
c. Pemeriksaan sidik jari

Gambar 2.1 Perbandingan dan identifikasi pencarian sidik jari


postmortem melalui Sistem Identifikasi Sidik Jari Otomatis
(AFIS).7
14
d. Pemeriksaan rontgen
e. Pemeriksaan odontologi forensik : bentuk gigi dan rahang
merupakan ciri khusus tiap orang; tidak ada profil gigi yang
identik pada 2 orang yang berbeda
f. Pemeriksaan DNA
g. Pemeriksaan antropologi forensik : pemeriksaan fisik secara
keseluruhan, dari bentuk tubuh, tinggi badan, berat badan, tatto
hingga cacat tubuh dan bekas luka yang ada di tubuh korban

Gambar 2.2 Perbandingan antara dua sidik jari secara


detail7

15
h. Data-data hasil pemeriksaan tersebut kemudian digolongkan ke
dalam data primer dan data sekunder sebagai berikut :
1) Primer : Sidik Jari, Profil Gigi, DNA
2) Secondary : Visual, Fotografi, Properti Jenazah, Medik-
Antropologi seperti tinggi badan, ras, dan lainnya
Selain mengumpulkan data paska kematian, pada fase ini juga
sekaligus dilakukan tindakan untuk mencegah perubahan-
perubahan paska kematian pada jenazah, misalnya dengan
meletakkan jenazah pada lingkungan dingin untuk memperlambat
pembusukan.6
3. Collecting Ante Mortem Data Ante Mortem Information Retrieval
Pada fase ini dilakukan pengumpulan data mengenai jenazah
sebelum kematian. Data ini biasanya diperoleh dari keluarga
jenazah maupun orang yang terdekat dengan jenazah. Data yang
diperoleh dapat berupa foto korban semasa hidup, interpretasi ciri-
ciri spesifik jenazah seperti tattoo, tindikan, bekas luka, rekaman
pemeriksaan gigi korban, data sidik jari korban semasa hidup,
sampel DNA orang tua maupun kerabat korban, serta informasi-
informasi lain yang relevan dan dapat digunakan untuk
kepentingan identifikasi, misalnya informasi mengenai pakaian
terakhir yang dikenakan korban.6
4. Reconciliation
Pada fase ini dilakukan pembandingan data post mortem dengan
data ante mortem. Ahli forensik dan profesional lain yang terkait
dalam proses identifikasi menentukan apakah temuan post mortem
pada jenazah sesuai dengan data ante mortem milik korban yang
dicurigai sebagai jenazah. Apabila data yang dibandingkan terbukti
cocok maka dikatakan identifikasi positif atau telah tegak. Apabila
data yang dibandingkan ternyata tidak cocok maka identifikasi
dianggap negatif dan data post mortem jenazah tetap disimpan
sampai ditemukan data ante mortem yang sesuai dengan temuan
post mortem jenazah.6
5. Returning to the Family (Debriefing)
Korban yang telah diidentifikasi direkonstruksi hingga didapatkan
kondisi kosmetik terbaik kemudian dikembalikan pada keluarganya

16
untuk dimakamkan. Apabila korban tidak teridentifikasi maka data
post mortem jenazah tetap disimpan sampai ditemukan data ante
mortem yang sesuai dengan temuan post mortem jenazah, dan
pemakaman jenazah menjadi tanggung jawab organisasi yang
memimpin komando DVI. Sertifikasi jenazah dan kepentingan
mediko-legal serta administrative untuk penguburan menjadi
tanggung jawab pihak yang menguburkan jenazah.6
3. Keterkaitan Odontologi Forensik dengan Identifikasi
Perkembangan ilmu forensik saat ini sudah sangat pesat dengan tingkat
akurasi, validasi dan teknik yang digunakan sangat tinggi. Proses
identifikasi merupakan bagian dari ilmu forensik sebagai upaya yang
dilakukan dengan tujuan membantu penyidik untuk menentukan
identitas seseorang. Proses penentuan identitas seseorang ini sangat
penting dan harus tepat karena apabila ada kekeliruan akan berakibat fatal
dalam proses peradilan.1,5
Kedokteran gigi forensik merupakan bagian dari ilmu kedokteran
forensik. kedokteran gigi forensik atau odontologi forensik adalah suatu
aplikasi semua ilmu pengantar tentang gigi yang digunakan dalam
memecahkan masalah hukum perdata dan pidana. Dokter gigi
berkualifikasi dalam ilmu forensik kedokteran gigi memberikan
pendapat dalam kasus yang berkaitan dengan identifikasi manusia,
estimasi usia melalui gigi, analisis bitemark, trauma kraniofasial, dan
malpraktik. Odontologi forensik merupakan salah satu metode penentuan
identitas individu. Keunggulan teknik identifikasi ini adalah tingkat
akurasi yang tinggi, low cost dan cepat.1,5
Ahli odontologi forensik di zona bencana terlibat dalam mengenali
bukti gigi, mengumpulkan, merekam, dan menganalisisnya. Laporan
kemudian disiapkan berdasarkan temuan yang dianalisis dengan
memeriksa gigi dan struktur anatomi sekitarnya. Di sebagian besar negara,
ahli odontologi forensik termasuk dalam tim identifikasi korban bencana.
Tim ini biasanya terdiri dari anggota dari latar belakang multi-disiplin,
semuanya didedikasikan untuk memastikan manajemen menyeluruh
selama bencana. Semua perawatan dilakukan untuk memastikan
penanganan yang tepat dari bukti atau informasi yang dikumpulkan dari
lokasi bencana. Untuk menjaga integritas lokasi bencana, penting untuk

17
mengumpulkan dan memproses bukti sedemikian rupa sehingga hasil yang
akurat dapat dicapai dan pada gilirannya memberikan penutupan bagi
keluarga mereka yang terlibat dalam bencana.1,5
Tugas utama ahli odontologi forensik adalah melakukan investigasi
gigi pada korban, radiografi gigi dan pembuatan grafik gigi atau
memasukkan temuan ke dalam lembar Post-Mortem. Namun, di zona
bencana, ahli Odontologi Forensik dapat membagi beberapa tugas yang
membantu dalam pembentukan identitas positif menggunakan bukti gigi.
Pekerjaan post mortem dapat dilakukan di lokasi pemulihan yang didirikan
di atau dekat zona bencana atau di ruang otopsi tetapi bagaimanapun juga
investigasi dilakukan di laboratorium yang sebagian besar diatur oleh sifat
bencana . Odontologis forensik dapat memulai dengan prosedur dasar
seperti mengumpulkan, mengidentifikasi dan menggambarkan gigi di
lokasi pemulihan. Misalnya, detail seperti rahang utuh atau terfragmentasi,
kondisi gigi pada rahang tersebut dan gigi palsu jika ada dapat dicatat.
Informasi tentang kerusakan seperti patah tulang dan kerusakan baik yang
disebabkan oleh luka bakar dapat diidentifikasi dan dicatat. Dalam kasus
kerusakan ekstrim seperti ketika rahang rusak parah karena kebakaran atau
ketika gigi bergerak, ahli odontologi forensik mengambil foto dan
radiografi gigi di lokasi. Kehilangan gigi selama transportasi dan
penanganan biasanya dapat terlihat pada anak-anak dengan gigi
bercampur, korban dengan penyakit periodontal yang parah atau bahkan
tubuh yang mengalami dekomposisi parah. Oleh karena itu, perawatan
harus dilakukan oleh ahli odontologi forensik untuk memastikan bahwa
semua bukti yang dikumpulkan harus diamankan dengan kepala. Hasil
yang diharapkan dari proses identifikasi korban yang berhasil setelah
bencana massal adalah identifikasi korban yang benar. Hal ini dapat
dicapai dengan mengikuti proses yang sistematis dan menjaga manajemen
mutu sepanjang proses.5
Gigi, pada dasarnya sangat kuat walaupun melalui banyak
peristiwa yang merusak secara fisik dan oleh karena itu dapat memainkan
peran penting sebagai sisa-sisa untuk identifikasi karena sifatnya yang
resisten. Hal ini jelas merupakan peran penting bagi ahli odontologi
forensik untuk menjadi bagian dari proses DVI terintegrasi. Identifikasi
gigi di DVI dapat digambarkan sebagai identifikasi orang menggunakan

18
catatan gigi yang tersedia dan karakteristik gigi orang tersebut dengan
membandingkan temuan yang diamati dari penyelidikan catatan ante-
mortem dan post-mortem. Odontologis forensik harus membuat laporan
temuan yang rinci dan akurat sehingga perbandingan menyeluruh dapat
dibuat antara informasi ante-mortem dan post-mortem. Proses identifikasi
gigi melibatkan serangkaian proses yang sederhana namun sistemik. Hal
ini bersifat komparatif dan dapat diakui sebagai metode antropologis
dengan kecakapan deskriptif dan biologi. Odontologi Forensik
memerlukan identifikasi bukti gigi yang tersedia, pengumpulan,
pemeriksaan, analisis dan pelestarian bukti yang dikumpulkan. Sangat
penting bahwa data yang dikumpulkan melewati manajemen kualitas yang
ketat untuk memfasilitasi interpretasi data yang akurat untuk mencapai
hasil standar yang tinggi seperti yang diantisipasi oleh otoritas instruksi
Identifikasi Korban Bencana bersama dengan pihak-pihak yang terlibat.5
Pemeriksaan gigi dalam proses Disaster Victim Identification
meliputi pengumpulan dan pencatatan informasi tentang kondisi rahang
dan gigi, khususnya analisis sistematis status klinis setiap gigi, misalnya
sehat, karies, tambal. Jika gigi hilang maka harus diperhatikan apakah gigi
tersebut hilang ante mortem atau post mortem. Radiografi dan foto yang
menunjukkan karakter tambahan bertindak sebagai alat penting dalam
proses identifikasi. Analisis riwayat gigi individu juga dapat menunjukkan
beberapa keadaan patologis yang unik (misalnya: gigi supernumerary,
impaksi) yang diambil dalam komposit dengan bukti lain dapat
meningkatkan kualitas identifikasi. Estimasi usia memainkan peran
penting dalam identifikasi korban bencana, terlebih lagi pada kasus anak-
anak dengan perawatan gigi minimal atau tanpa perawatan gigi. Radiografi
periapikal yang menunjukkan apeks dapat digunakan dalam estimasi usia.
Dalam beberapa kasus gigi utuh dapat diekstraksi untuk memberikan
sampel DNA dari pulpa gigi yang dilindungi. Identifikasi gigi terutama
bergantung pada informasi yang tepat tentang siapa yang terlibat dalam
bencana, apakah mereka memiliki catatan gigi, dan bagaimana cara
mengakses catatan tersebut.5
Tugas utama bagi odontolog forensik yang terlibat selama investigasi
identifikasi korban bencana:5
Pengumpulan bukti Ahli odontologi forensik dapat

19
melakukan pemulihan jaringan yang
terfragmentasi atau
rahang lengkap, gigi, setiap restorasi
atau prostesis gigi yang bisa saja
dipotong-potong dari tubuh. Ahli
odontologi forensik juga dapat
memberikan saran tentang dokumentasi
dan transportasi yang aman dari
informasi yang dikumpulkan.
Pemeriksaan dan catatan Tanggung jawab odontolog forensik
adalah untuk menjaga standar kesehatan
dan keselamatan kerja selama
pemeriksaan dan pencatatan informasi.
Harus dilakukan kualitas kontrol yang
ketat dan dipertahankan selama proses
dengan pertimbangan khusus terhadap
lintas
kontaminasi.
Interpretasi Ahli odontologi forensik mencari dan
membandingkan data yang
dikumpulkan
terhadap data ante mortem yang
tersedia. Setelah kecocokan positif,
informasi dan dua ahli odontologi
forensik berpengalaman yang
sebelumnya tidak terlibat dalam
prosedur harus memeriksa kembali
informasi yang dikumpulkan dan
hasilnya untuk menghilangkan
kesalahan pemeriksa silang.
Pelaporan Laporan kemajuan penting karena jika
terdapat potensi maka dapat
diidentifikasi lebih awal dalam proses.
Hal ini juga membantu menjaga catatan
kesehatan dan keselamatan kerja

20
bersama dengan kontrol kualitas.
Presentasi Format standar untuk penyajian data
harus digunakan (misalnya: plassdata).
Hal ini akan memberikan akurasi yang
sangat dibutuhkan, ringkasan yang jelas
dan faktual dari bukti yang
dikumpulkan dan ditafsirkan, dan juga
dapat digunakan untuk mengakhiri
proses identifikasi.
Protokol Sangat penting untuk mengikuti
protokol untuk menggunakan,
menangani, menyimpan data dan
menggunakan informasi. Data ini dapat
digunakan kapan saja di masa depan
untuk referensi silang jika diperlukan.

4. Tugas dan Wewenang Odontologi Forensik


Forensic odontologist memiliki peran yang sangat penting untuk menjadi
bagian dari proses DVI terintegrasi. Identifikasi gigi di DVI dapat
digambarkan sebagai identifikasi orang menggunakan dental records atau
catatan gigi yang tersedia dan karakteristik gigi orang tersebut dengan
membandingkan temuan yang diamati dari penyelidikan catatan ante-
mortem dan post-mortem. Forensic odontologist harus membuat laporan
temuan yang rinci dan akurat sehingga perbandingan menyeluruh dapat
dibuat antara informasi ante-mortem dan post-mortem. Odontologi
forensik memerlukan identifikasi bukti gigi yang tersedia, pengumpulan,
pemeriksaan, analisis, dan pemeliharaan bukti yang dikumpulkan.4,5
Peran dari forensic odontologist antara lain :
A. Peran forensic odontologist di tempat kejadian
Tim kedokteran gigi forensik yang hadir ke lokasi bencana terlibat
dalam keempat fase DVI seperti saat di tempat kejadian, post-mortem,
ante-mortem, dan rekonsiliasi, untuk mengumpulkan dan mencatat
semua data secara sistematis. Peran forensic odontologist
direkomendasikan untuk dimulai sebagai bagian dari recovery team
yang berada di bawah fase pertama DVI, untuk mengkonsolidasikan

21
atau menggambarkan bukti gigi di tempat, sebelum dikeluarkan atau
dibersihkan untuk menghindari kerusakan bahan gigi yang rapuh
(dalam kasus tubuh yang hangus) selama pemindahan ke kamar
jenazah. Odontologist harus berhati-hati dalam mencari struktur gigi
yang terlepas seperti implant, gigi tiruan, dan peralatan gigi di lokasi
serta gambar dengan resolusi tinggi harus diambil untuk analisis
komparatif dengan data ante-mortem untuk memastikan rekonsiliasi
yang jelas dan prosedur debriefing.
Forensic odontologist di lokasi bencana terlibat dalam
mengenali bukti gigi, mengumpulkan, mencatat, dan menganalisisnya.
Laporan kemudian disiapkan berdasarkan temuan yang dianalisis
dengan memeriksa gigi dan struktur anatomi sekitarnya. Di lokasi
bencana, odontologist dapat membagi beberapa tugas yang membantu
dalam pembentukan identitas positif menggunakan bukti gigi.5
B. Post-mortem team
Jenazah manusia yang diangkut dari lokasi bencana disimpan di kamar
jenazah sementara, disiapkan untuk penyimpanan dan pemeriksaan
jenazah. Pemeriksaan gigi dari jenazah akan dilakukan oleh tim yang
terdiri dari pemeriksa odontologi forensik yang menilai struktur rongga
mulut, dan memeriksa status gigi, kemudian pencatat odontologi
forensik yang menyiapkan, mencatat, dan melengkapi data form post-
mortem yang relevan dan asisten radiografi odontologi forensik yang
membantu dalam mempersiapkan dan mengembangkan radiografi
gigi.4
Sistem penomoran nomenklatur FDI digunakan untuk
memeriksa dan mencatat detail gigi. Estimasi usia biasanya dilakukan
dengan menilai struktur gigi dan juga dengan metode radiologi. Foto-
foto gigi, rahang dan tengkorak, serta radiografi meliputi bitewing,
periapikal, occlusal, dan orthopantomogram biasanya diambil. Semua
data termasuk fotografi dan radiografi harus dalam format digital dan
diunggah dalam software atau perangkat lunak DVI yang dapat
menghemat banyak waktu dan risiko kesalahan transposisi. DNA dari
tulang dan gigi paling stabil bahkan setelah pembusukan tubuh dan
isolasi DNA dari pulpa gigi berfungsi sebagai alat vital dalam
identifikasi korban pada tubuh yang termutilasi parah. Teknik

22
identifikasi genetik semacam ini juga dilakukan selama fase ini jika
diperlukan. Pencatat odontologi forensik mencatat semua detail atau
rincian ini dalam bentuk post-mortem DVI form untuk perbandingan
lebih lanjut dengan data ante-mortem.4 Rincian seperti rahang utuh
atau terfragmentasi, kondisi gigi pada rahang tersebut dan gigi tiruan
jika ada dapat dicatatat. Informasi tentang kerusakan seperti fraktur
dan kerusakan baik yang disebabkan oleh luka bakar dapat
diidentifikasi dan dicatat.5
C. Ante-mortem team
Ante-mortem team terdiri dari para ahli yang mengumpulkan,
mencatat, dan memproses informasi mengenai orang hilang, terluka,
dan meninggal. Informasi dapat diperoleh dari anggota
keluarga/kerabat. Informasi ante-mortem medis/gigi biasanya
diperoleh dengan menghubungi dokter/dokter gigi yang bersangkutan.
Dokter gigi berperan dalam memberikan detail maksimal dari orang
tersebut seperti lembar kasus, x-ray, CT, foto dan model, dan juga
berkomunikasi dengan forensic odontologist untuk klarifikasi lebih
lanjut jika diperlukan. Selain itu, barang-barang seperti mouth guard,
gigi tiruan, dan splint yang digunakan oleh orang tersebut juga
dikumpulkan. Catatan ante-mortem yang dikumpulkan harus diarahkan
ke pusat DVI untuk dokumentasi dan entri data yang sesuai.
Odontologist di tim DVI mengumpulkan dan menyalin semua
informasi pada ante-mortem form, termasuk tanggal saat informasi
diperoleh. Setiap catatan kualitas yang buruk harus diklarifikasi oleh
odontologist dengan dokter gigi umum, yang mengungkapkan
informasi korban. Pada akhir fase, protokol kontrol kualitas dilakukan
untuk mencegah perbedaan dalam proses input data.4
D. Rekonsiliasi
Perbandingan detail post-mortem dan ante-mortem beserta laporan
kecocokannya yang hampir mirip disampaikan kepada dewan
rekonsiliasi oleh tim ahli dalam fase rekonsiliasi. Forensic odontologist
membandingkan catatan yang diperoleh ini dengan metode
komputerisasi dan manual dan bertanggung jawab untuk menjelaskan
jika terdapat perbedaan kecil. Identifikasi positif dari korban harus
dibuktikan dengan setiap data yang tersedia yang diperoleh dari tim

23
ante-mortem termasuk radiografi, foto, model, dan peralatan gigi.
Informasi gigi yang jelas, tidak bias, dan terstandarisasi ini kemudian
diajukan dan dipresentasikan ke badan identifikasi atau identification
board (IB) oleh forensic odontologist diikuti dengan peninjauan,
verifikasi, dan persetujuan.4
Tugas utama dan wewenang forensic odontologist yang terlibat selama
investigasi disaster victim identification (DVI) atau identifikasi korban
bencana antara lain:
A. Pengumpulan bukti
Forensic odontologist dapat memberikan petunjuk pemulihan rahang
yang terfragmentasi atau lengkap, gigi, dan restorasi atau prosthesis
gigi yang mungkin telah terpotong-potong dari tubuh. Forensic
odontologist juga dapat memberikan saran mengenai dokumentasi dan
transportasi yang aman dari informasi yang dikumpulkan.5
B. Pemeriksaan dan PencatatanMerupakan tanggung jawab forensic
odontologist untuk menjaga standar kesehatan dan keselamatan kerja
selama pemeriksaan dan pencatatan informasi. Kontrol kualitas yang
ketat harus dipertahankan selama proses dengan pertimbangan khusus
terhadap kontaminasi silang.5
C. Interpretasi
Forensic odontologist mencari dan membandingkan data yang
dikumpulkan dengan data ante mortem yang tersedia. Setelah
kecocokan positif, informasi dari dua forensic odontologist
berpengalaman yang sebelumnya tidak terlibat dalam prosedur harus
memeriksa kembali informasi yang dikumpulkan dan hasilnya untuk
mencegah cross examiner error atau kesalahan pemeriksa silang.5
D. Pelaporan
Laporan kemajuan sangat penting dan jika ada potensial kekurangan
dapat diidentifikasi lebih awal dalam proses. Hal ini juga dapat
membantu menjaga catatan kesehatan dan keselamatan kerja bersama
dengan kontrol kualitas.5
E. Presentasi
Format standar untuk penyajian data harus digunakan. Ini akan
memberikan akurasi yang sangat dibutuhkan, ringkasan yang jelas dan

24
faktual dari bukti yang dikumpulkan dan diinterpretasikan, dan juga
digunakan untuk menyimpulkan proses identifikasi.5
F. Protokol
Sangat penting untuk mengikuti protokol untuk menggunakan,
menangani, dan menyimpan data serta menggunakan informasi. Data
ini dapat digunakan kapan saja di masa depan untuk cross referencing
atau referensi silang jika dibutuhkan dalam suatu situasi.5

25
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
DVI atau Identifikasi Korban Bencana adalah definisi istilah yang diberikan
sebagai prosedur untuk mengidentifikasi korban kematian akibat bencana
massal secara ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan di depan hukum dan
mengacu pada standar standar internasional. Bidang DVI merupakan unsur
pelaksana utama yang berada dibawah Kepala Pusat Kedokteran Dan
Kesehatan (Kapusdokkes) POLRI. Bidang DVI memiliki tugas membina dan
menyelenggarakan kegiatan/ dukungan operasi DVI ditingkat pusat dan
kewilayahan dan fungsi untuk berkoordinasi dan kerjasama dengan instansi
atau kelembagaan terkait di dalam maupun luar negeri dalam hal
pengembangan kompetensi SDM, sarana dan prasarana, operasi DVI,
pelatihan, serta penelitian dan pengembangan. Bidang DVI bersifat
profesional, lintas fungsi dan lintas sektoral yang meliputi unsur-unsur: pusat
Kedokteran dan Kesehatan Polri , pusat Identifikasi Bareskrim Polri/Inafis,
BNPB, BNPP, Fakultas Kedokteran dan Kedokteran Gigi, dll. Bidang DVI
tersebut terlibat dalam prosedur kerja yaitu fase the scene, post mortem
examination, ante mortem information retrieval, reconciliation dan
debriefing.
Didalam DVI ahli odontology forensik terlibat di zona bencana dalam
mengenali bukti gigi, mengumpulkan, merekam, dan menganalisisnya.
Laporan kemudian disiapkan berdasarkan temuan yang dianalisis dengan
memeriksa gigi dan struktur anatomi sekitarnya. Sedangkan tugas utama ahli
odontologi forensik adalah melakukan investigasi gigi pada korban, radiografi
gigi dan pembuatan grafik gigi atau memasukkan temuan ke dalam lembar
Post-Mortem.
3.2 Saran
Demikian laporan diskusi ini kami, setelah membaca laporan ini diharapkan
pembaca dapat mengetahui dan memahami tentang hal-hal yang terkait
dengan DVI yang dibahas dalam laporan ini. Berikut beberapa saran yang
ingin kami sampaikan:
a. Pembaca harus lebih memperdalam materi ini dan berusaha memahami
dan mengingatnya sebaik mungkin.

25
b. Pembaca harus memperbanyak sumber referensi atau literasi yang lebih
lengkap dan valid lagi untuk dapat menguasai materi ini dengan baik.
c. Kami berpesan agar teruslah belajar dimanapun, kapanpun dan pada
siapapun.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Annariswati, I. A., & Agitha, S. R. A. (2021). Anomali gigi sebagai


sarana identifikasi forensik. Jurnal radiologi dentomaksilofasial
Indonesia, 5(1), 31-8.
2. DVI Indonesia. (2019). Tugas dan Fungsi DVI. Diakses dari http://dvi-
indonesia.polri.go.id/tentangdvi/tugasfungsi
3. Henky, Safitry O. 2012. Identifikasi Korban Bencana Massal: Praktik
DVI Antara Teori dan Kenyataan. Indonesian Journal of Legal and
Forensic Sciences.
4. Prabhakar, M., Murali, P., & Sivapathasundharam, B. (2020). Role of
Forensic Odontologist in Disaster Victim Identification. European
Journal of Molecular & Clinical Medicine, 7(09), 978–985.
5. Rajshekar, M., & Tennant, M. (2014). The role of the Forensic
Odontologist in disaster victim identification: a brief review.
Malaysian journal of Forensic Sciences, 5(1), 78-85.
6. Tim Pokja Lemdiklat Polri T.A. (2018). BUKU KEDOKTERAN
FORENSIK DAN LABORATORIUM FORENSIK. Bagian
Kurikulum Bahan Ajar Pendidikan Pembentukan Biro Kurikulum
Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Polri
7. Senn David, Stimson P. 2010. Forensc Dentistry Second Edition. CRC
Press Taylor and Franciss Group. Amerika Serikat.

Anda mungkin juga menyukai