Anda di halaman 1dari 13

Kemoterapeutik pada Penyakit

Periodontal

Disusun oleh : Kelompok 3

JIHAN FADHILAH 1710025001


ANANDA RIZKY ADELIA 1910026003
SATYA MEILISA RAUDHANTI 1910026004
DESTY TRI DAMAYANTI 1910026009
FANNY DINDA NUR AULIA 1910026012
AZKA NURIL AZIZAH 1910026017
TIARA HANIFAH SANTOSA 1910026020
PUTRI AZ ZAHRA ARIANTO 1910026023
KRISNA WAHYU WICAKSONO 1910026027
NURAINI ILHAM 1910026031

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN GIGI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
2021
Kemoterapeutik pada Penyakit Periodontal

Semenjak diketahui bahwa penyakit periodontal disebabkan oleh bakteri, maka


perkembangan perawatan untuk menanggulangi penyakit periodontal mengarah
pada strategi pengobatan dengan kemoterapi. Kemoterapi adalah istilah umum yang
berkaitan dengan kemampuan substansi kimia secara aktif sehingga dapat
memberikan efek terapi secara klinis. Kemoterapi dalam perawatan penyakit
periodontal dikenal banyak macam, antara lain antiinflamasi, analgesik serta
antimikroba. Antimikroba adalah bahan kemoterapi yang bersifat membunuh
mikroorganisme, sehingga berkurang jumlah mikroorganisme spesifik maupun non
spesifik. Sedangkan antibiotika adalah salah satu jenis antimikroba yang
mempunyai kemampuan untuk membunuh maupun menghambat pertumbuhan
mikroorganisme jenis lain secara selektif pada konsentrasi rendah. Selain itu, ada
juga antiseptic yang merupakan salah satu jenis dari antimikroba yang
penggunaannya diberikan secara topical atau subgingiva pada membrane mukosa.

1. Antibiotik
Perawatan tambahan setelah perawatan mekanis seperti scaling dan root
planning diperlukan untuk membersihkan gigi geligi secara menyeluruh.
Karena walaupun perawatan mekanis telah dapat mengurangi jumlah
bakteri dalam poket, tetapi bakteri periodontopatogen yang berada pada
tubulus dentin, gingiva dan sementum masih tertinggal. Oleh karenanya
banyak peneliti mengemukakan perlunya pemberian antibiotika pada
perawatan penyakit periodontal, terutama yang bersifat progressive dan
destruktif.
Pemberian antibiotika menguntungkan karena dapat mengurangi
pengaruh root instrumentation, sehingga dapat meminimalkan kerusakan
jaringan lunak dan keras sekitar poket, mengurangi resesi gingiva serta
menghindari abrasi pada permukaan akar.
Pemberian antibiotika dalam perawatan penyakit periodontal dapat
dilakukan secara sistemik maupun lokal. Secara sistemik pemberian
antibiotika menguntungkan karena melalui serum, obat didistribusikan ke
seluruh jaringan tubuh termasuk dalam poket.
a. Antibiotik lokal
Secara historis, terapi antibiotik lokal pertama untuk penyakit
periodontal adalah sistem serat Actisite™ (sekarang tidak tersedia
secara komersial). Actisite™ disuplai sebagai serat berongga dan non-
absorbable yang diisi dengan tetrasiklin (serat 12,7 mg/9 inci). Serat
dimasukkan ke dalam poket, dibungkus berulang kali melingkar di
sekitar gigi menjaga serat di dalam poket. Seringkali dressing
periodontal ditempatkan untuk membantu menjaga serat di dalam
poket. Serat ditahan selama sepuluh hari sampai diangkat oleh operator.
Selama periode sepuluh hari ini konsentrasi obat lebih dari 1300 g/ml
tetrasiklin dicapai dan dipertahankan. Ketika serat dihilangkan,
jaringan lunak sering mengalami distensi yang memungkinkan akses
sementara yang lebih baik dan visibilitas permukaan akar untuk setiap
root planing tambahan atau penghilangan kalkulus. Setelah
pengangkatan serat, jaringan lunak umumnya menunjukkan
penyusutan, pengurangan kedalaman dan pengurangan tanda-tanda
klinis peradangan.
Sistem Actisite™, meskipun sangat efektif, membosankan
untuk digunakan dan memerlukan kunjungan kedua untuk
menghilangkan seratnya. Masalah-masalah ini memicu pengembangan
sistem yang dapat diserap untuk pengiriman antibiotik.
Sistem antibiotik lokal pertama yang dapat diserap adalah
Atridox™ (Atrix Laboratories). Dalam sistem ini, doksisiklin dengan
waktu paruh yang lebih lama menggantikan tetrasiklin yang disuplai
pada konsentrasi 42,5 mg per unit dosis bahan. Sistem ini
membutuhkan pencampuran komponen bubuk dan cairan
menggunakan dua jarum suntik yang terhubung. Setelah pencampuran
yang memadai, kanula tumpul dipasang ke salah satu jarum suntik dan
bahan dikeluarkan dari jarum suntik ke dalam poket.
Atridox™ diserap setelah tujuh hari dan laporan konsentrasi
antibiotik 250 g/ml di kantong telah dilaporkan. Tidak diperlukan
kunjungan kedua untuk menghilangkan materi. Penerapan Atridox™
bisa jadi agak membosankan karena bahannya cenderung keluar dari
kantong saat jarum suntik dilepas. Mempertahankan bahan dengan
dressing periodontal dapat membantu tetapi seringkali tidak diperlukan.
Atridox™ meningkatkan pengiriman antibiotik lokal dengan
memungkinkan penempatan bahan hingga kedalaman sebagian besar
poket dan dengan cara yang memungkinkannya menyesuaikan dengan
bentuk poket tidak seperti serat padat Actisite™. Tergantung pada
ukuran poket, lebih dari satu tempat dapat diobati dengan dosis tunggal
Atridox™.
Kemanjuran keseluruhan terapi antibiotik lokal telah dievaluasi
menggunakan metaanalisis dari lima puluh artikel, masing-masing
melaporkan studi setidaknya enam bulan tindak lanjut. Metaanalisis
mempertimbangkan studi tentang penambahan bahan tambahan lokal
dan menemukan bahwa penambahan tersebut memberikan perbedaan
yang umumnya menguntungkan tetapi minimal dibandingkan dengan
scaling dan root planing saja. Pengurangan kedalaman tambahan yang
signifikan secara statistik sebesar 0,1-0,5 mm dapat dimungkinkan dan
lebih kecil, peningkatan yang lebih jarang secara statistik signifikan
pada tingkat perlekatan dicatat. Efek klinis dari berbagai sistem ini telah
dilaporkan dalam beberapa publikasi. Efek pengobatan secara
keseluruhan agak bervariasi dan meskipun ditemukan signifikan secara
statistik belum menghasilkan penggunaan sistem ini secara luas oleh
komunitas klinis.
b. Antibiotik sistemik
Konsep pemberian antibiotika secara sistemik dalam perawatan
penyakit periodontal dilandasi teori bahwa konsentrasi obat antibiotika
pada poket periodontal mampu membunuh bakteri spesifik yang
dianggap sebagai penyebabnya. Antibiotik sistemik mencapai jaringan
periodontal melalui transudasi dari serum kemudian melintasi epitel
sulkus dan junctional untuk memasuki sulkus gingiva. Konsentrasi
antibiotik di situs ini mungkin tidak memadai untuk efek antimikroba
yang diinginkan tanpa gangguan mekanis dari biofilm plak. Selain efek
apa pun yang dihasilkan di sulkus, antibiotik yang diberikan secara
sistemik akan menghasilkan efek antimikroba di area lain dari rongga
mulut.
Pemberian antibiotika secara sistemik juga menguntungkan bila
dibandingkan dengan pemberian secara lokal. Melalui pemberian
secara sistemik, bakteri pada sisi non dental (mukosa bukal, lidah,
gingiva dan tonsil) dapat dihambat perkembangannya serta dibunuh.
Dengan demikian dapat mengurangi resiko penyakit kambuhan akibat
migrasi bakteri ke dalam poket.
Pemberian antibiotika secara sistemik juga mempunyai
kerugian. Kerugian tersebut adalah kemungkinan timbulnya efek
samping, diantaranya pusing, jantung berdebar serta gangguan pada
gastrointestinal. Gangguan tersebut dapat bersifat ringan maupun
parah. Bahkan keparahan akibat efek samping dapat melebihi penyakit
yang dideritanya. Kerugian lain adalah berhubungan dengan
keseimbangan flora normal. Perawatan penyakit dengan pemberian
antibiotika secara sistemik, terutama yang berspektrum luas, dapat
mempengaruhi keseimbangan mikroorganisme di tempat lain yang
berakibat superinfeksi.
Perawatan penyakit periodontal dengan pemberian antibiotika
secara sistemik juga berdasarkan tipe dan keparahan penyakit
periodontal. Hal ini berhubungan dengan macam dan jumlah
mikroorganisme penyebab infeksi. Mikroorganisme yang sering
ditemukan dalam poket periodontal dalam jumlah yang cukup banyak
adalah: porphyromonas gingivalis, prevotella intermedia,
actinobacillus actinomycetemcomitans, fusobacterium nucleatum dan
eikenella corrodens. Bakteri-bakteri tersebut mendominasi penyakit
periodontal tertentu. Misalnya actinobacillus actinomycetemcomitans
mendominasi pada penyakit periodontal tipe adult periodontitis.
Beberapa macam antibiotic yang biasanya digunakan dalam perawatan
penyakit periodontal antara lain, golongan : penisilin, tetrasiklin,
metronidazole, dan klindamisin. Antibiotic tersebut digunakan baik secara
lokal dan sistemik.
a. Penisilin
Penisilin banyak dipakai, baik untuk penyakit infeksi dalam rongga
mulut maupun penyakit infeksi pada bagian tubuh yang lain. Penisilin
bersifat bakterisid dengan aktifitas kerja merusak dinding sel bakteri.
Penisilin dikenal sebagai first line antibiotic karena penisilin
mempunyai kemampuan melawan sebagaian besar bakteri penyebab
infeksi. Banyak bakteri yang peka terhadap penisilin, kecuali bakteri
yang memproduksi enzim β-laktamase, karena cincin β-laktam yang
terdapat pada struktur kimia penisilin dirusak oleh enzim tersebut
sehingga penisilin menjadi tidak aktif.
Penisilin termasuk antibiotika berspektrum luas. Penisilin
efektif terhadap bakteri penyebab periodontitis, yaitu golongan
porphyromonas, fusobacterium maupun prevotella. 2,3 Derivat
penisilin yang banyak digunakan dalam perawatan penyakit periodontal
adalah amoksisilin. Amoksisilin merupakan antibiotika semi sintetik.
Spektrum antibiotikanya lebih luas disbanding penisilin, efektif
terhadap bakteri gram positif dan negatif. Amoksisilin bermanfaat
sebagai antibiotika penunjang pada kasus refractory maupun juvenile
periodontitis. Dosis yang disarankan adalah 500mg 3x1 sehari selama
7 hari. Amoksisilin dosis tersebut diberikan pada awal perawatan
setelah scaling dan root planing, kemudian diulang pemberiannya pada
bulan ke-1, 2, 3, 6, 9 dan 12 dengan sebelumnya dilakukan perawatan
mekanis, yaitu scaling dan polishing. Setiap kontrol, penderita selalu
diberi instruksi oral hygiene serta ditekankan melakukan kontrol plak
dengan baik. Setelah 1 tahun dilakukan pemeriksaan, didapatkan
penurunan kedalaman poket serta peningkatan level perlekatan jaringan
yang signifikan dibandingkan sebelum dilakukan perawatan.
Untuk meningkatkan efektifitas amoksisilin terhadap bakteri
periodontopatogen, banyak peneliti mengkaji kombinasi pemberian
amoksisilin dengan asam klavulanat, maupun amoksisilin dengan
metronidazole. Gordon and Walker menyebutkan bahwa kombinasi
amoksisilin dengan asam klavulanat menghasilkan antibiotika yang
potensial, karena tahan terhadap enzim β-laktamase yang dihasilkan
oleh bakteri. Sanctis et al. menyebutkan bahwa kombinasi amoksisilin
dan asam klavulanat (Augmentin) dengan dosis 375mg yang diberikan
selama 14 hari dapat mengurangi kedalaman poket, insiden perdarahan
saat probing serta meningkatkan terbentuknya perlekatan periodontal
setelah 1 (satu) tahun evaluasi.
b. Metronidazole
Metronidazole adalah antibiotika sintetik yang berasal dari imidazole.
Secara sistemik, metronidazole dapat berpenetrasi dengan baik ke
jaringan. Konsentrasinya ditemukan cukup tinggi pada GCF dan serum.
Pada mulanya metronidazole di bidang kedokteran gigi digunakan
sebagai antibiotika pada perawatan ANUG (Acute Necrotizing
Ulcerative Gingivitis), kemudian berkembang mengarah
penggunaannya pada perawatan kasuskasus periodontal yang
destruktif. Metronidazole efektif terhadap bakteri anaerob, antara lain:
bacteroides, porphyromona gingivalis, prevotella intermedia dan
fusobacterium nucleatum. Untuk bakteri actinobacillus
actinomycetemcomitans dan eikenella corodens, metronidazole kurang
efektif.
Loesche et al. melaporkan hasil penelitiannya pada pasien adult
periodontitis, yang dirawat dengan metronidazole secara sistemik
dengan pemberian per oral dosis 250mg 3x1 sehari selama 7 hari
mengikuti perawatan scaling dan root planing. Evaluasi pada minggu
ke-15 sampai minggu ke-30 menunjukkan penurunan kedalaman poket
yang berbeda bermakna dibandingkan kondisi sebelum perawatan.
Efek samping metronidazole terutama pada saluran pencernaan.
Disamping itu pernah pula dilaporkan adanya keluhan pusing, kulit
kemerahan serta depresi pada penggunaan metronidazole secara
sistemik. Urin berwarna merah kecoklatan pernah pula dilaporkan pada
penggunaan metronidazole jangka panjang.
c. Tetrasiklin
Tetrasiklin populer pada tahun 1970an sebagai antibiotika spektrum
luas dengan toksisitas rendah. Tetrasiklin menghambat multiplikasi sel
dengan cara menghambat sintesa protein tetapi tidak membunuhnya,
oleh karena itu tetrasiklin disebut sebagai antibiotika bakteriostatik.
Tetrasiklin merupakan antibiotika yang telah lama digunakan, generasi
baru dari golongan ini antara lain adalah minosiklin, doksisiklin dan
demeklosiklin. Tetrasiklin mampu menghambat kerja enzim
kolagenase yang dihasilkan oleh bakteri, oleh karena itu tetrasiklin
disebut sebagai antibiotika yang bersifat anti kolagenolitik. Sifat ini
menguntungkan jaringan periodontal karena menghambat kerusakan
yang terjadi pada penyakit periodontal.
Tetrasiklin efektif terhadap bakteri actinobacillus
actinomycetemcomitans yang banyak ditemukan pada kasus juvenile
periodontitis. Tetrasiklin tidak efektif terhadap subspesies bakteri
capnocytophaga dan eikenella corrodens, walaupun kedua macam
bakteri tersebut banyak pula ditemukan dalam poket periodontal.
Scopp (1994) melaporkan hasil studi kasus terhadap penderita
laki-laki usia 30 tahun dengan localized juvenile periodontitis yang
dirawat menggunakan tetrasiklin 250mg 4x1 sehari selama 2 minggu,
kemudian setelahnya diikuti dosis tunggal 250mg selama 1 tahun.
Evaluasi selama 1 tahun didapatkan hasil tidak ada pembengkakan yang
sebelumnya bersifat kambuhan setiap 1 bulan sekali. Pemeriksaan
jaringan rongga mulut tidak ada kelainan, kecuali karies tahap awal
pada beberapa gigi. Secara umum gingiva normal, 90% permukaan gigi
bebas plak, tidak ada kegoyangan. Rata-rata kedalaman poket 1-3 mm,
kecuali pada molar pertama atas dan bawah + 8 mm, hal ini diduga
merupakan ciri khas LJP.
Tetrasiklin yang diberikan secara sistemik dapat terikat pada
permukaan akar dan dilepaskan sedikit demi sedikit dalam bentuk aktif
selama jangka waktu tertentu. Efek samping yang ditimbulkan dengan
pemberian tetrasiklin secara sistemik adalah staining pada gigi dan
hipoplasi enamel.
d. Klindamisin
Klindamisin merupakan derivat linkomisin, termasuk antibiotika
bakteriostatik dengan aktifitas kerja menghambat sintesa protein
bakteri. Klindamisin mempunyai aktifitas penetrasi yang baik ke
jaringan lunak dan keras. Klindamisin efektif terhadap bakteri stric
anaerob yang memproduksi enzim β-laktamase, antara lain pigmented
dan non-pigmented prevotella.
Klindamisin berpotensi meningkatkan daya tahan tubuh serta
menghambat transmisi neuromuskuler, sehingga dapat membantu
mengurangi rasa sakit. Efek samping klindamisin antara lain: mual,
pusing, diare, serta yang perlu diwaspadai adalah timbulnya colitis
pseudomembran.
Pada umumnya klindamisin secara sistemik digunakan pada
perawatan penyakit periodontal khususnya refractory adult
periodontitis. Menurut Kuriyama et al., klindamisin digunakan pada
perawatan penyakit periodontal yang bersifat kambuhan, terutama bila
perawatan secara mekanis maupun perawatan dengan antibiotika yang
lain (penisilin dan tetrasiklin) tidak menunjukkan keberhasilan.
Mombelli and Winkelhoff menyebutkan bahwa supurasi, kedalaman
poket, kehilangan perlekatan jaringan periodontal serta bleeding on
probing dapat berkurang secara signifikan pada pasien-pasien yang
dirawat kombinasi antara perawatan mekanis dengan klindamisin
150mg 3x sehari selama 7 (tujuh) hari. Rata-rata aktifitas penyakit
setiap sisi setiap pasien menurun dari 10% menjadi 0,5% setelah 1
tahun evaluasi.
2. Antiseptik
Penggunaan bahan kimia dengan tindakan anti-plak atau anti-gingivitis
sebagai tambahan untuk kebersihan mulut tampaknya memiliki nilai yang
terbatas, karena obat kumur tidak cukup menembus ke dalam celah gingiva,
tetapi mereka menunjukkan manfaat khusus bila digunakan sebagai
tambahan untuk mengontrol peradangan gingiva. terutama dalam situasi
akut, pasca operasi dan selama periode kebersihan yang terganggu
American Dental Association (ADA) Seal of Acceptance dipandang sebagai
standar untuk produk perawatan kesehatan mulut. Program Seal ADA
memastikan bahwa produk gigi profesional dan konsumen memenuhi
kriteria ADA yang ketat untuk keamanan dan efektivitas.
Tantangan untuk kontrol plak kimia adalah untuk mengembangkan
agen antiplak aktif yang tidak mengganggu mikroflora komensal rongga
mulut. Antiseptik oral telah berkembang dari antimikroba generasi pertama
yang berumur pendek (efektif segera setelah berkumur), menjadi produk
generasi kedua, yang memiliki efek antimikroba yang bertahan lebih lama
setelah obat kumur dikeluarkan.
Berdasarkan bahan aktif yang dikandungnya, obat kumur dapat
dibedakan atas beberapa golongan, yaitu minyak esensial, triklosan,
bisbiguanides, fluoride, dan heksetidine
a. Minyak esensial
Obat kumur senyawa fenol termasuk obat kumur deodorant dan
antiseptik, semula banyak dipakai untuk penyegar napas dan
pengobatan sariawan serta infeksi tenggorokan, ternyata kemudian
terbukti efektif untuk mencegah pertumbuhan plak supragingiva dan
gingivitis. Mekanisme kerja obat ini adalah merusak dinding sel dan
menghambat pembentukan enzim bakteri.
b. Triklosan
Triklosan mempunyai aktivitas melawan jamur dan bakteri mulut, baik
gram positif maupun yang gram negatif, termasuk mikroorganisme
anaerob. Pada kasus gingivitis ternyata triklosan dapat mengurangi
akumulasi dan gingivitis, bakteri aerob dan anaerob dan beberapa jenis
actinomyces, juga dapat mengurangi inflamasi yang terjadi pada
penyakit periodontal. Mekanisme kerja triklosan dalam menghambat
pertumbuhan bakteri adalah bekerja pada dinding sel dan mengganggu
peningkatan asam amino dan asam nukleat yang dapat berakibat
langsung terhadap sintesis RNA dan protein dari bakteri. Selain itu
triklosan dapat melisis bakteri sehingga menjadi sel mati.
c. Bisbiguanides
Klorheksidin yang merupakan bisbiguanides glukonat, efek
antiplaknya dapat mencegah akumulasi plak serta mengurangi
keradangan. Adesivitas klorheksidin yang lama pada permukaan gigi,
membuat klorheksidin efektif bila digunakan 2 kali dalam satu hari.
Pemakaian satu kali dapat mengurangi gingivitis tetapi efek antiplaknya
akan berkurang dan sifat prolong retensinya menurun. Keuntungan lain
bahan ini berasal dari segi sifat bahan itu sendiri yaitu ikatannya yang
lama pada berbagai area dalam rongga mulut, dan dilepaskan secara
perlahan, sehingga berfungsi sebagai antibakteri untuk waktu yang
cukup lama. Efek bakterisid dari bahan ini berupa kerusakan intergritas
sel dan presipitasi kandungan sitoplasmik.4,5 Selain keuntungan,
klorheksidin juga memiliki kerugian berupa efek samping yang tidak
diinginkan. Efek samping reversible akibat pemakaian obat kumur
klorheksidin cukup bervariasi, tetapi
diskolorisasi merupakan merupakan efek yang sering dikeluhkan dan
dapat dianalisis secara objektif. Diskolorisasi terjadi berupa warna
kuning kecoklatan pada sepertiga gingiva dan interproksimal gigi dan
lidah, mukositis, peningkatan penumpukan plak dan kalkulus
supragingiva, dan gangguan pengecapan sementara.
d. Fluoride
Fluor yang dipakai secara topical telah terbukti dapat menghambat
pembentukan asam oleh bakteri mikroorganisme plak. Fluor yang
diberikan secara topikal ternyata tidak melekat secara stabil pada email,
oleh karena itu dapat dengan mudah diserap oleh mikroorganisme plak
sehingga dapat menyebabkan gangguan pada fungsi metabolisme
mikroorganisme plak itu sendiri. Konsentrasi yang dianggap efektif
untuk mengurangi karies adalah sodium fluorida 2%, stannous fluoride
8-10%. Meskipun demikian, kemampuan fluoride dalam mengurangi
karies tidak boleh disamakan dengan kemampuannya dalam
mengurangi gingivitis dan periodontitis. Hal ini ditunjukkan dengan
tidak dianjurkannya pemakaian fluoride untuk mengurangi gingivitis
oleh ADA. Perlu juga diketahui bahwa pemakaian stannous floride
dapat menimbulkan stain, akan tetapi stain tersebut mudah dilepaskan.
Contoh obat kumur yang mengandung fluoride adalah Sensodyne.
e. Heksetidine
Heksetidine adalah salah satu jenis obat kumur yang merupakan derivat
piridin. Menurut beberapa peneliti, senyawa ini berkhasiat antibakteri
dan anti protozoa serta bermanfaat untuk bakteri garam positif dan
garam negatif. Contoh produk obat kumur jenis ini adalah Bactidol dan
Hexadol.
Daftar Pustaka

1. Newman MG, Takei H, Carranza FA. (2002). Clinical Periodontology. 9th


Ed. Philadelphia - London - New York
2. Goodman and Gillman’s. (2001). The Pharmacological Basic of
Therapeutics. 10th Ed. New York: McGraw-Hill
7th
3. Katzung BG. (2001). Basic and Clinical Fharmacology. Ed. MedPub.
California
4. Seymour RA, Heasman PA. (1995). Pharmacological Control of
Periodontal Disease II : Antimicrobial agents. Journal of Dentistry. Great
Britain.
5. Brook I. (2003). Microbiology and Management of Periodontal Infections.
Pubmed : Gen Dent
6. Krayer J, Leite R, Kirkwood K. (2010). Non-Surgical Chemotherapeutic
Treatment Strategies for the Management of Periodontal Diseases. NIH
Public Access. South Carolina
7. Boel T. (1999). Daya Antibakteri Kombinasi Triklosan dan Zink Sitrat
dalam Beberapa Konsentrasi terhadap Pertumbuhan Streptococcus
Mutans. Dentika Dent Journal
8. Asdar A. (2007). Bahan Kemoterapeutik sebagai Pengontrol Plak dan
Gingivitis. Journal of Dentomaxillofacial Science. Directory of Open
Access Journal.
9. Scopp IW, Froum SJ, Sullivan M, Kazandijan G, Wank D, Fine A. Local
chemotherapeutics as an adjunct to scaling and root planing. J Periodontol
10. Loesche W, Giordano J, Hujoel P, Schwarzc J, Smith B. (1992).
Metronidazole in Periodontitis: Reduced Need for Surgery. Journal Clinical
Periodontology. USA

Anda mungkin juga menyukai