BLOK 18 MODUL 2
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas limpahan
rahmat serta hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan laporan yang berjudul
“Identifikasi Forensik dalam Kedokteran Gigi” ini tepat pada waktunya. Laporan
ini disusun dari berbagai sumber ilmiah sebagai hasil dari Diskusi Kelompok Kecil
(DKK) kami.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
sehingga terselesaikannya laporan ini, antara lain :
1. Dr. drg. Lilies Anggarwati Astuti, Sp. Perio selaku tutor kelompok 3 yang
telah membimbing kami dalam menyelesaikan Diskusi Kelompok Kecil
(DKK).
2. Teman-teman kelompok 3 yang telah menyumbangkan pemikiran dan
tenaganya sehingga Diskusi Kelompok Kecil (DKK) 1 dan 2 dapat berjalan
dengan baik, serta dapat menyelesaikan laporan hasil Diskusi Kelompok Kecil
(DKK).
3. Teman-teman mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman
angkatan 2019 dan pihak-pihak lain yang tidak dapat kami sebutkan satu per
satu.
Kami menyadari bahwa kemampuan kami dalam menyusun laporan ini sangat
terbatas. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun demi tercapainya kesempurnaan dari isi laporan hasil Diskusi
Kelompok Kecil (DKK) ini.
Kelompok 3
i
DAFTAR ISI
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
c. Klasifikasi bite mark
d. Jenis-jenis bite mark
e. Cara menganalisa bite mark
2. Mahasiswa mampu menjelaskan cara pengambilan DNA
1.3 Manfaat
Manfaat dari penulisan laporan ini adalah agar mahasiswa dapat memahami
dan menjelaskan mengenai definisi, manfaat, keuntungan dan kerugian
pemeriksaan bite mark, klasifikasi, jenis-jenis, dan cara menganalisa bite mark,
serta cara pengambilan DNA.
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Skenario
Rubrik kriminalitas
3
2. Teethmark : suatu pola gigit pada objek yang merupakan tanda atau
jejak yang ditinggalkan, tanda gigit yang tidak aktif;
teeth mark terjadi ketika benda atau obejek berkontak
pada gigi; berbeda dengan bite mark yg terjadi karena
dua kontak gigi atau hanya tanda; teeth mark bersifat
pasif dan tidak disengaja.
3. Kelas 1 : pola gigitan yang masih terdapat jarak antara gigi I dan
gigitan C.
manusia
4. Teknik : salah satu metode untuk mengidentifikasi gigitan
overlay dengan teknik overlay dengan digital.
digital
5. Rubrik : Rubrik merupakan kepala karangan baik pada surat
kriminalitas kabar/majalah, sebagai suatu halaman yang 7
mempunyai kepala halaman pada media cetak.
Kriminalitas adalah kejahatan/perbuatan criminal yang
melanggar hukum pidana. Rubrik kriminalitas
merupakan salah satu rubric yang membahas dunia
criminal/perilaku kejahatan baik berupa pencurian,
penipuan, pembunuhan, dan lain sebagainya.
4
2.3 Identifikasi Masalah
1. Bagaimana cara mengambil bukti DNA dari cedera?
2. Apa tujuan diambil foto cedera dari korban?
3. Apakah harus diambil foto rontgen pada korban ataupun tersangka?
4. Apa perbedaan dari bite mark dan teeth mark?
5. Apa saja klasifikasi dari bite mark?
6. Bagaimana cara menganalisis bite mark?
7. Apa keuntungan menggunakan teknik overlay digital dengan teknik lain?
8. Apakah ada teknik lain untuk forensic selain teknik overlay digital?
9. Apa saja identifikasi forensik lain selain bite mark terkait kedokteran gigi?
10. Apa saja keuntungan menggunakan gigi sebagai objek forensik?
2.4 Analisa Masalah
1. Bagaimana cara mengambil bukti DNA dari cedera?
Mengambil bukti DNA dari cedera berguna untuk mengidentifikasi karena
DNA tidak dapat diubah. Untuk pengambilan DNA seperti pada
diskenario yanitu bisa diambil dari saliva, keringat, rambut ataupun darah,
kuku yang menempel pada pakaian. Pada bite mark pasti terdapat saliva
dari penggigit maka dapat dijadikan bukti DNA dan dapat diambil dengan
kapas steril, amplop steril untuk menyimpan bukti tersebut, dengan cara:
1) Pastikan apakah luka cedera belum dibersihkan / disentuh
2) Menggunakan kapas steril, air destilasi steril/saline steril, amplop
kertas berpori
3) Mengambil dengan menggunakan sarung tangan steril.
Teknik double swab, bite mark dilembabkan dengan kapas steril
dan saline, lalu dikeringkan dengan kapas kering.
2. Apa tujuan diambil foto cedera dari korban?
Memar pada korban yang masih hidup akan terjadi penyembuhan, oleh
karena itu dibutuhkan rekam forensik dan untuk diajukan pada dokter
forensik sebagai bukti.
3. Apakah harus diambil foto rontgen pada korban ataupun tersangka?
Perlu, karena sebagai bukti ke pengadilan yang nantinya dapat
menentukan siapa tersangka. Pada korban, menggunakan foto berwarna
5
bekas gigitan dapat berubah dalam beberapa waktu (terutama pada korban
yang hidup), dengan interval 24 jam pada 3-5 hari. Pada tersangka,
merekam gigi dan dagu dalam berbagai sudut untuk ketajaman dan kontur
gigi.
4. Apa perbedaan dari bite mark dan teethmark?
Bite mark merupakan cedera dari kulit yang terdapat keterlibatan otot
dalam gigitan, kontak antara dua rahang, dpata disebabkan manusia
ataupun hewan yang mengggigit dengan sengaja. Sedangkan teeth mark
tidak terlibat otot, bersifat tidak sengaja atau pasif karena tidak ada
pergerakan contoh bekas ditinggalkan oleh gigi pada sekitar lokasi saat
kecelakaan seperti siapa yang menyetir.
5. Apa saja klasifikasi dari bite mark?
Bite mark terbagi dua yaitu gigitan dari hewan dan manusia.
Klasifikasi gigitan manusia:
a. Bite mark kelas 1 : luka ringan, pola menyebar, Pola gigitan jarak gigi
I dan C
b. Bite mark kelas 2 : mirip klas 1 pola cedera disebut gigitan tunggal
pada gigi P
c. Bite mark kelas 3 : luka gigitan lebih parah dari klas 2, melihatkan
morfologi yang jelas, memiliki klasifikasi dan biasa dijadikan
perbandingan, terlihat penyatuan gigitan I
d. Bite mark kelas 4 : terjadi oklusi biasanya terdapat pada telinga atau
jari
e. Bite mark kelas 5: terlihat luka yang menyatu pada I rahang atas dan
rahang bawah
f. Bite mark kelas 6 : jaringan kulit terlepas luka sudah mencapai otot
Jenis-jenis bite mark:
a. Central contusion : area yang batasnya dikelilingi oleh bekas gigitan,
dapat berupa pola positif atau negatif.
b. Linear abrasion : ditemukan biasanya di sudut bite mark, dengan tanda
"terseret" oleh karena korban yang mencoba melepas diri dari biter.
6
c. Weave pattern : pola gigitan pada bagian tubuh yang tertutup kain atau
pakaian, biasanya pola ini yang akan dilakukan tes DNA.
d. Peripheral ecchymosis : pada bite mark terdapat perdarahan. partial
bitemark, akibat distribusi gigitan yang tidak rata.
e. Multiple bitemark : dua atau lebih bitemark di satu bbagian tertentu.
f. Avulsive bites : pola gigitan yang parah, biasanya jaringan terkoyak
hingga terlepas, umumnya disebabkan oleh hewan.
6. Bagaimana cara menganalisis bite mark?
Tahap menentukan apakah pola luka adalah gigitan manusia/hewan.
Gigitan manusia bermacam-macam tergantung peristiwa.
a. Dental history : riwayat perawatan gigi tersangka - Foto eksternal,
terdiri dari foto seluruh muka dan profil wajah - Foto intraoral : foto
frontal, lateral, oklusal tiap rahang dengan foto hitam putih, setiap 24
jam pada beberapa hari Pemeriksaan ekstra oral: observasi jaringan
keras dan lunak akibat dinamis gigitan
b. Pemeriksaan intra oral: swab saliva dan keadaan periodontal serta
mobiltas gigi
c. Pencetakan : pencetakan permukaan bite mark, dan rahang tersangka.
Bahan cetak dengan viskositas rendah, diperkuat dengan baahn
pendukung yang bersifat rigid untuk hasil pencetakan yang lebih
akurat, contoh dental stone, resin akrilik
d. Gigitan sampel: untuk menentukan tipe gigitan saat dilakukan analisis
- Analisis dental case dengan teknik bite mark overlay : cetakan gigi
tersangka di duplikat
e. Hasil analisis : dokter gigi forensik dapat mencatat pada kesimpulan
post mortem hasil analisis yang dilakukan.
7. Apa keuntungan menggunakan teknik overlay digital dengan teknik lain?
a. Untuk menentukan dari inklinasi gigi dengan lebih tepat dan lebih
mudah ditemukan
b. Lebih canggih dibanding teknik manual
c. Pemanfaat teknologi
8. Apakah ada teknik lain untuk forensic selain teknik overlay digital?
7
a. Teknik overlay manual: menggunakan spidol yang berujung halus
pada cetakan gigi lalu diberikan tanda pada gigitan dan ditempel pada
suatu lebaran kertas.
b. Fotpcopy: model studi diletakan diatas mesin foto kopi untuk
memperlihatkan bagian gigitan.
c. Digital/komputerisasi: gambar diambil menggunakan aplikasi, Dengan
dental print ataupun photoshop.
9. Apa saja identifikasi forensik lain selain bite mark terkait kedokteran gigi?
a. Bentuk gigi, karena bentuk gigi setiap orang berbeda dan lebih kuat.
b. Gigi, dapat menganalisis umur dari perkiraan erupsin giginya.
c. Saliva, sering digunakan karena biasa terdapat pada beberapa area
penyelidik contoh makanan, sikat gigi, kulit manusia.
10. Apa saja keuntungan menggunakan gigi sebagai objek forensik?
a. Gigi merupakan bagian lengkung secara anatomis yang memiliki letak
terlindungi dari otot, sehingga lebih terjaga
b. Gigi manusia tidak ada yang sama,
c. Gigi tahan panas
d. Gigi sukar membusuk
e. Gigi memiliki ciri-ciri yang berbeda pada masing-masing individu
sehingga memudahkan identifikasi
f. Gigi dapat dilakukan rontgen.
8
2.5 Strukturisasi konsep
Odontologi
forensik
Pengambilan
Bite mark
DNA
Definisi dan
manfaat
Keuntungan
dan kerugian
Klasifikasi
Jenis-jenis
Cara
menganalisa
9
American Board of Forensic Odontology (ABFO) mendefinisikan
bite mark sebagai "pola" tertinggal dalam suatu benda atau jaringan
oleh struktur gigi hewan atau manusia. Dan sebagai tanda yang
disebabkan oleh gigi baik dari gigi itu sendiri atau dalam kombinasi
dengan bagian rongga mulut lainnya. (Sunil, et al., 2019).
Bite mark juga didefinisikan sebagai suatu bentuk jejas berpola
yang diakibatkan oleh gigi dengan konfigurasi gigi pelaku, atau dapat
terjadi pola kombinasi antara pola gigi dengan benda lain pada gigi
atau rongga mulut. Jejas gigitan dapat ditemukan pada seseorang
yang masih hidup atau yang telah meninggal, dimana orang tersebut
mungkin merupakan korban kejahatan atau pelaku kejahatan. Selain
itu, jejas gigitan juga dapat ditemukan pada makanan atau benda lain
di tempat kejadian perkara. Jejas gigitan dapat terbentuk saat
terjadinya penyerangan pada seseorang, atau tindakan yang
berhubungan dengan kekerasan seksual. (Kristanto, 2020).
Bite mark atau jejas gigitan menunjukkan pola unik dari gigi
seseorang, karena setiap individu memiliki pola yang berbeda-beda.
Sehingga, bite mark dapat membantu pengungkapan sebuah kasus
seperti kekerasan seksual, kekerasan dalam rumah tangga, dan kasus
lainnya dengan menyingkirkan terduga tersangka yang bukan
tersangka sesungguhnya. (Sunil, et al., 2019)
Jejas gigitan harus diperiksa dan mungkin ditemukan pada
hampir seluruh permukaan tubuh. Jejas gigi pada tempat yang
spesifik dapat membantu untuk mengasosiasikan jejas dengan jenis
motif kejahatan tertentu. Jejas gigitan pada leher, payudara, dan
pundak dapat diasosiasikan dengan serangan yang bermotif seksual,
sedangkan untuk kasus kekerasan pada anak, jejas gigitan sering
ditemukan pada lengan dan pantat. Jejas gigitan yang dibuat sendiri
(self-inflicted) paling sering ditemukan pada bagian medial dari
lengan. Seorang dokter gigi, terlebih dokter gigi forensik, dapat
memperoleh data yang banyak tentang gigi seseorang dari jejas
gigitan. (Kristanto, 2020).
10
Dokter gigi pada kondisi ini melakukan perannya sebagai
dokter penilai (assessing doctor), yang membantu penyidik atau
aparat penegak hukum lain melalui: identifikasi mayat yang tidak
dikenal melalui gigi, rahang, dan kraniofasial; penentuan umur gigi;
pemeriksaan jejas gigi (bite mark); penentuan ras; analisis trauma
orofasial yang berkaitan dengan tindakan kekerasan; memberikan
keterangan ahli/saksi ahli; dan melakukan pengumpulan sampel DNA
dari bahan gigi dalam penentuan identitas seseorang. (Kristanto,
2020).
b. Keuntungan dan kerugian dari pemeriksaan bite mark
Pada bite marks dapat dilakukan pemeriksaan DNA yang dapat
diambil dari saliva, stain yang menempel, sisa-sisa epitel mukosa
pada saliva dan sebagainya. Hal ini dapat dibuktikan saat melakukan
uji kuantifikasi dengan UV Spechtrophotometer yakni terdapat
kandungan DNA dalam sampel bite marks yang berdasarkan hasil
penelitian memiliki kadar DNA rata-rata 52,61 ng/µl. (Sutrisno,
2013). Selain itu, gigi memiliki ciri-ciri yang dikhususkan untuk satu
gigi dan membuat satu gigi berbeda dari yang lain. Gigi dari individu
berbeda-beda satu sama lain dalam hal ukuran, posisi pada lengkung
gigi, dan bentuknya.
Pemeriksaan pada kasus jejas gigitan (bite mark) sebaiknya
sesegera mungkin dilakukan, karena jejas gigitan ini akan berubah
seiring berjalannya waktu, baik karena proses peradangan maupun
proses lain pada tubuh. Impresi dari jejas gigitan pada kulit yang
tidak menyebabkan luka/diskontinuitas kulit dapat menghilang mulai
dari beberapa menit sampai 24 jam, tergantung kekuatan penekanan
rahang pada kulit. (Kristanto, 2020).
Penggunaan bite mark dalam identifikasi forensik
memunculkan keraguan tentang keakuratan jejak gigitan karena kulit
dianggap sebagai media yang kurang baik untuk cetakan yang akurat
karena lekukan dan ketidakteraturan lainnya yang menghasilkan
distorsi intrinsik.Dengan demikian, perbandingan gigi seseorang
11
dengan bekas gigitan pada tubuh korban rentan terhadap kesalahan
yang mengarah pada implikasi yang salah dari orang-orang dalam
kejahatan yang tidak mereka lakukan. (Sunil, et al., 2019).
c. Klasifikasi bite mark
1) Klasifikasi Cameron dan Sim
Sebuah klasifikasi yang relatif sederhana, mencakup luas,
berdasarkan jenis agen yang memproduksi bekas gigitan dan
bahan yang menunjukkannya.
a) Agen: (Manusia, hewan)
b) Bahan: (Kulit, jaringan tubuh, bahan makanan dll)
2) Klasifikasi Mc Donald tahun 1979
Klasifikasi yang paling banyak dikutip, Mc Donald menyarankan
klasifikasi etiologi. Klasifikasi ini berkaitan dengan bekas gigitan
manusia, tetapi Mc Donald menambahkan, 'klasifikasi ini juga
berlaku untuk bekas pada bahan lain'.
a) Tooth pressure marks
Tanda yang dihasilkan pada jaringan sebagai akibat dari
'aplikasi langsung' dari tekanan oleh gigi. Ini umumnya
dihasilkan oleh tepi insisal atau permukaan oklusal gigi.
b) Tongue pressure marks
Terlibatnya lidah yang menekan ke area yang kaku seperti
permukaan lingual gigi dan rugae palatal. Bekas yang
tertinggal di kulit dihasilkan oleh kombinasi antara menghisap
dan menjulurkan lidah.
c) Tooth scraps marks
Merupakan tanda yang disebabkan karena gesekan gigi pada
bahan yang digigit. Mereka sebenarnya disebabkan oleh gigi
anterior dan muncul sebagai goresan atau lecet superfisial.
d) Complex marks
Kombinasi dari tanda-tanda diatas
3) Klasifikasi Webster
12
Tidak jarang ditemukan bekas gigitan pada bahan makanan. Hal
ini terutama terjadi dalam kasus pencurian atau perampokan di
tempat tinggal di mana pencuri dapat menggigit makanan selama
melakukan kejahatan.
a) Tipe 1: Bahan makanan mudah patah dengan kedalaman
penetrasi gigi yang terbatas (mis. Cokelat keras).
b) Tipe 2: Fraktur fragmen makanan dengan penetrasi gigi yang
cukup besar. (mis. Bekas gigitan pada apel dan buah keras
lainnya).
c) Tipe 3: Penetrasi lengkap atau hampir lengkap dari item
makanan dengan tanda geser (mis. Keju, pisang).
4) Klasifikasi klinis menurut Gustafson tahun 1996
a) Gigitan sadis atau seksual.
b) Gigitan agresif.
c) Gigitan paling agresif meliputi telinga, hidung dan puting.
5) Klasifikasi berdasarkan derajat kesan menurut Shashikala K tahun
2003
a) Pendarahan = titik pendarahan kecil.
b) Abrasi = tanda yang tidak merusak pada kulit.
c) Kontusio = pembuluh darah pecah, memar.
d) Laserasi = dekat tusukan kulit.
e) Sayatan = kulit yang tertusuk atau robek dengan rapi.
f) Avulsi = pengangkatan kulit.
g) Artefak = potongan tubuh yang tergigit.
6) Klasifikasi berdasarkan agen penyebab
a) Manusia = orang dewasa, anak kecil.
b) Hewan = mamalia, reptile, ikan.
c) Mekanik = gigi tiruan, mata gergaji.
7) Klasifikasi berdasarkan material yang digigit
a) Jaringan tulang dan kulit.
b) Substansi makanan.
13
c) Barang yang biasa dikunyah seperti batang rokok, pulpen,
pensil.
8) Klasifikasi berdasarkan definisi bite mark menurut Shashikala K
tahun 2003
a) Didefinisikan dengan jelas, yang dihasilkan dari penerapan
tekanan yang signifikan.
b) Jelas didefinisikan, yang dihasilkan oleh efek tekanan tingkat
pertama
c) Cukup terlihat, karena tekanan kekerasan
d) Terkoyak, ketika kulit terkoyak dengan keras dari tubuh.
9) Klasifikasi yang lain
a) Gigitan berorientasi seksual
b) Kasus pelecehan anak
c) Tanda yang ditimbulkan sendiri
10) Klasifikasi kelas yang terbukti signifikan pada aplikasi praktik
a) Kelas 1: Meliputi bekas gigitan menyebar yang memiliki
karakteristik kelas terbatas dan tidak memiliki karakteristik
individu. Seperti memar, bekas gigitan menyebar, cincin
merokok atau, bekas gigitan samar.
b) Kelas 2: Pola cedera ini disebut sebagai single archbite atau
partial bite mark karena memiliki beberapa karakteristik
individu dan beberapa kelas.
c) Kelas 3: Klasifikasi ini mencakup karakteristik individu dan
juga kelas. Gigitan ini memiliki nilai pembuktian yang besar
dan sebagian besar digunakan untuk tujuan perbandingan.
Jenis gigitan ini terdapat pada area seperti: bokong, bahu,
lengan atas atau dada. Tekanan dan penetrasi jaringan yang
dalam dilakukan untuk merekam permukaan lingual gigi
anterior.
d) Kelas 4: Terutama, avulsi atau laserasi jaringan disebabkan
oleh gigitan. Di kelas ini, karakteristik kelas dan karakteristik
14
individu tidak ada. Jenis gigitan ini biasanya ditemukan di
mana ada avulsi pada telinga atau jari.
d. Jenis-jenis bite mark
1) Bite mark manusia
Jejas gigitan manusia biasanya berbentuk semi sirkular atau
kresentik yang disebabkan tekanan bagian depan gigi (insisivus
dan kaninus), dengan gap pada kedua sisinya karena terpisahnya
rahang atas dan rahang bawah. Gigi dapat membentuk jejas yang
terpisah atau membentuk jejas garis kontinu atau bias, juga garis
intermitten. Dari sisi jenis jejas, jejas gigitan dapat membentuk
jejas abrasi, kontusi atau luka terbuka, atau bahkan kombinasi
dari dua atau ketiganya.
Pada saat seseorang menggigit sesuatu, gigi pada rahang
atas berfungsi untuk menstabilisasi objek yang akan digigit,
sementara pada gigi rahang bawah akan berusaha melakukan
tekanan untuk memotong objek tersebut. Indentasi yang
dihasilkan gigi pada rahang atas amat penting dalam memperoleh
informasi seperti pola jajaran gigi (dental alignment), ukuran gigi,
dan bentuk gigi.
Bite mark oleh manusia dapat muncul pada beberapa
situasi seperti saat perkelahian antar orang dewasa dan anak,
kejadian kekerasan seksual dan fisik pada anak, pemerkosaan dan
aktivitas homoseksual.
2) Bite mark hewan
Bite mark umumnya terjadi sebagai akibat dari penyerangan
hewan peliharaan kepada korban yang tidak disukai dari hewan
tersebut. Kejadian tersebut dapat terjadi tanpa atau dengan
instruksi dari pemeliharanya/majikannya. Beberapa hewan yang
menyerang korban karena instruksi dari pemeliharanya biasanya
berjenis Herder atau Doberman yang memang secara khusus
dipelihara pawang anjing pada jajaran kepolisian untuk
15
menangkap pelaku atau tersangka. Macam-macam bite mark
hewan antara lain :
a) Bite mark anjing
Bite mark anjing biasanya terjadipada serangan langsung oleh
hewan tersebut atau atas perintah pawangnya.
b) Bite mark hewan peliharaan
Bite mark ini terjadi sebagai akibat dari tidak adanya makanan
yang dikonsumsi oleh hewan peliharaan dalam beberapa
waktu yang agak lama sehingga sangatlah lapar.
c) Bite mark hewan pesisir pantai
Bite mark ini terjadi apabila korban meninggal di tepi pantai
atau korban meninggal dibuang di pesisir pantai sehingga
dalam beberapa hari atau beberapa minggu korban tersebut
digerogoti oleh hewan laut, antara lain buaya, kerang, tiram,
dan sebagainya.
e. Cara menganalisa bite mark
Langkah pertama dalam melakukan analisis jejas gigitan ialah
mengidentifikasi jejas apakah jejas tersebut ditimbulkan oleh manusia
atau binatang. Jejas gigi binatang akan memberi pola yang amat
berbeda dengan gigi manusia karena anatominya yang berbeda.
Dokter gigi selanjutnya akan mengukur masing-masing jejas gigi dan
mencatatnya ke dalam odontogram. Langkah berikutnya ialah
melakukan analisis apakah jejas gigitan tersebut dibuat sendiri (self
inflicted) atau oleh manusia lain.
Pada kasus bite mark, analisis dilakukan dengan cara :
1. Dilakukan pencetakan gigi tersangka
2. Pencetakan bekas bite mark
3. Melakukan fotografi pada bite mark
4. Serta analisis pada data ante mortem atau rekam medis gigi
tersangka.
Kasus-kasus yang melibatkan bite mark antara lain kasus
kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kekerasan pada anak,
16
pelecehan seksual, gigitan seksual, kegiatan olahraga, dan gigitan
yang disebabkan oleh diri sendiri.
2. Cara pengambilan DNA
a. Ekstraksi DNA
Ekstraksi DNA adalah proses dan tahapan pertama yang dilakukan
untuk mendapatkan total DNA dari suatu biota. Secara umum,
ekstraksi DNA meliputi beberapa tahapan proses penting, yaitu dari
mulai tahap persiapan hingga akhirnya diperoleh ekstrak DNA yang
terlarut dalam suatu larutan penyangga (buffer) khusus. Larutan
tersebut digunakan untuk menyimpan dan mempertahankan kondisi
DNA secara kualitatif dan kuantitatif dalam jangka waktu yang relatif
lama. Seeara kualitatif, berarti larutan penyangga tersebut harus dapat
mempertahankan kualitas DNA yang terlarut tetap dalam kondisi
baik. Sedangkan secara kuantitatif berarti larutan penyangga tersebut
harus mampu mempertahankan jumlah DNA yang terlarut, sehingga
jumlahnya tetap (tidak terdegradasi/rusak) dan cukup untuk
digunakan dalam tahapan selanjutnya tanpa mengalami penurunan
kualitas maupun kuantitas DNA terlarut. Adapun tahapan proses
ekstraksi DNA, dimulai dari persiapan sampel, pemilihan metode
ekstraksi yang tepat, hingga didapatkan ekstrak DNA. Proses
ekstraksi DNA dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai
macam metode dan dengan berbagai jenis reagen.
- Metode Phenol Chloroform Isoamly Alcohol (PClA)
Pada dasamya, metode ini merupakan metode ekstraksi DNA
yang konvensional (tanpa kit) dengan menggunakan perpaduan
reaksi kimia dari berbagai macam reagen kimia yang
digunakan dalam metode ini, PClA merupakan serangkaian
larutan yang terdiri dari larutan phenol, klorofrom, dan isoarnil-
alkohol yang digunakan untuk mengekstrak DNA yang
kemudian dikenal sebagai salah satu metode ekstraksi DNA,
yaitu. Metode tersebut sering digunakan untuk mengekstrak
17
DNA dari beberapa macam wujud sampel, antara lain berupa
daging/otot, sirip, darah, dan beberapa wujud sampel lainnya.
- Metode Ion Exchange Resin Chelex
Istilah Chelex merupakan siogkatan kata dari Chelating Ion
Exchange Resin yang kemudian oleh sebuah perusahaan
biokimia digunakan menjadi sebuah nama dagang suatu produk
ekstraksi DNA, yaitu Chelex". Reagen yang tcrkandung dalam
produk tersebut adalah sebuah resin yang dapat digunakan
untuk roengekstrak DNA yaitu resin Chelex. Resin Chelex
digunakan untuk mengekstrak DNA dengan eara
memanaskannya pada suhu tertentu (hot shock), biasanya
dilakukan dengan menggunakan hot plate pada suhu 95-100°C
selama 30-45 menit. Selama proses ekstraksi, resin Chelex
mampu melindungi sampel dari eozim DNAse yang mungkin
tetap aktif selama proses ekatraksi. Hal ini dilakukan melalui
pengikatan ion dan kation, salah satunya adalah pengikatan ion
Magnesium (Mg2+).
Secara alami, enzim DNAse terdapat pada semua jaringan
tubuh. Enzim ini mampu memotong DNA menjadi fragmen
kecil, hingga mampu menghancurkan DNA, sebingga
keberadaan cnzim ini dapat mengurangi kuantitas ekstrak DNA
yang dihasilkan. Jika jumlah DNA di dalam ekstrak DNA
kurang, maka hal ini akan berpengaruh terhadap keberbasilan
proses selanjutnya, seperti proses PCR (Polymerase Chain
Reaction). Terkait dengan ion Magnesium (Mg2+), Mg2+
adalah kofaktor penting untuk DNAse. Resin Chelex akan
mengikat erat ion dan kation yang terlarut dalam larutan resin
tersebut, termasuk ion Mg2<. Dengan pengikatan tersebut,
resin Chelex membuat DNAse tidak bereaksi, sehingga akan
melindungi DNA dari aktivitas enzim tersebut. Setelah
mendidih, resin Chelex DNA akan berada dalam kondisi stabil
dan selanjutnya dapat disimpan pada suhu 4°C selama 3-4
18
bulan. Setelah proses ekstraksi, komponen seluler bersama
dengan DNA dan RNA akan terlarut di kolom larutan Chelex,
dimana DNA akan berada di permukaan kolom laeutan
(supernatant). Setelah proses sentrifugasi, DNA dan RNA akan
tetap berada di permukaan sedangkan komponen seluler akan
berada di bawah (endapan). Dengan demikian, ekstrak DNA
dapat diambil dengan mudah.
b. Amplifikasi (Kuantitas dan PCR)
Sebelum beralih ke langkah amplifikasi, sebaiknya tentukan berapa
banyak DNA manusia yang sebenarnya ada sehingga ini dapat
ditargetkan dalam prosedur selanjutnya dengan menggunakan volume
dan pengenceran yang benar. Jumlah DNA yang berlebihan dapat
membanjiri reaksi amplifikasi dan mengganggu interpretasi data
akhir. Sebaliknya, DNA cetakan yang tidak mencukupi dapat
memberikan hanya sebagian profil atau tidak ada profil sama sekali.
Beberapa metode telah digunakan untuk menentukan konsentrasi
DNA yang diekstraksi dari bukti, sebuah langkah yang disebut
kuantitasi. Metode ini mencakup pengujian slot blot yang lebih lama
dan pengujian kuantitatif polimerase chain reaction (PCR) waktu
nyata yang lebih modern.
c. Analisis (Elektroforesis, Deteksi, dan Interpretasi)
Setelah nucDNA diurutkan atau mtDNA diurutkan dengan
elektroforesis menggunakan matriks gel poliakrilamida, hasilnya
harus digambarkan secara visual dengan cara yang dapat dianalisis
dan dibandingkan dengan sampel lain. Deteksi amplikon yang
dipisahkan bervariasi antara analisis STR alel inti dan analisis
sekuensing yang dilakukan pada bidang yang diminati dalam genom
mitokondria.
Hal yang perlu diperhatikan saat pengambilan sampel untuk hasil yang
optimal. Pada pemeriksaan DNA di bidang forensik, ada beberapa
patokan yang dapat dijadikan penuntun bagi sebuah hasil yang optimal,
sebagai berikut :
19
- Sampel DNA haruslah diambil sebanyak mungkin. Hal ini perlu
dilakukan untuk mengimbangi mutu sampel yang kemungkinan
jelek akibat adanya efek bakar yang menyebabkan putusnya
fragmen-fragmen DNA.
- Metode pemeriksaan DNA yang digunakan harus berbasis pada
metode Polymerase Chain Reaction (PCR), yang dapat
menganalisis DNA berukuran lebih pendek, karena terfragmentasi
oleh efek panas.
- Pemeriksaan sebaiknya dilakukan terhadap fragmen DNA pendek,
contohnya Short Tandem Repeats (STR), yang tetap dapat
dianalisis meskipun sampelnya sudah terdegradasi sekalipun.
- Sebaiknya pemeriksaan dilakukan terhadap beberapa lokus DNA
sehingga dapat dihasilkan kesimpulan yang akurat.
20
digunakan. Bahan tersebut bekerja menangkap ion metalik (kalsium) dan
bekerja hanya pada lapisan luar bagian tulang maupun gigi (kristal
apatit).
Bahan :
- 2 cotton swab yang sterile
- 3 ml air suling yang steril
- Kotak swab
Tahapan :
- Celupkan satu cotton swab yang steril ke dalam air suling steril untuk
membasahi ujungnya secara menyeluruh (~10 detik). Setelah
dibasahi kemudian letakkan di atas noda saliva menggunakan
gerakan melingkar dan tekanan sedang untuk membersihkan noda
dari permukaan. Tempatkan swab ini di kotak swab untuk benar-
benar kering di udara (= 30 menit).
- Dalam waktu 10 detik setelah menyelesaikan prosedur swab pertama,
Letakkan lagi cotton swab lainnya di atas area kulit yang sekarang
basah dari swab pertama. Gunakan gerakan memutar dengan tekanan
ringan untuk menyerap kelembapan dari kulit ke swab. Tempatkan
swab ini di kotak swab dan biarkan mengering dengan sendirinya
(=30 menit).
- Kirim ke laboratorium.
21
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
American Board of Forensic Odontology (ABFO) mendefinisikan bite mark
sebagai “pola” tertinggal dalam suatu benda atau jaringan oleh struktur gigi
hewan atau manusia. Bite mark dapat membantu dalam pengungkapan sebuah
kasus seperti kekerasan seksual, kekerasan dalam rumah tangga, dan kasus
lainnya. Bite mark memiliki beberapa klasifikasi antara lain Klasifikasi Cameron
dan Sim berdasarkan jenis agen yang memproduksi bekas gigitan dan bahan,
Klasifikasi Mc Donald tahun 1979 yang terdiri dari tooth pressure mark, tongue
pressure marks, tooth scraps marks dan complex marks, Klasifikasi Webster yang
terdiri dari tipe 1, tipe 2, dan tipe 3, Klasifikasi klinis menurut Gustafson tahun
1996 yang terdiri dari gigitan sadis atau seksual, gigitan agresif, dan gigitan
paling agresif meliputi telinga, hidung dan puting, Klasifikasi berdasarkan derajat
kesan menurut Shashikala K tahun 2003 yang terdiri dari pendarahan, abrasi,
kontusio, laserasi, sayatan, avulsi, dan artefak, Klasifikasi berdasarkan agen
penyebab yaitu manusia, hewan dan mekanik, Klasifikasi berdasarkan material
yang digigit yang terdiri dari jaringan tulang dan kulit, substansi makanan, dan
barang yang biasa dikunyah seperti batang rokok, pulpen, pensil, Klasifikasi
berdasarkan definisi bite mark menurut Shashikala K tahun 2003 yang terdiri dari
didefinisikan dengan jelas, jelas didefinisikan, cukup terlihat, dan terkoyak,
Klasifikasi yang lain yang terdiri dari gigitan berorientasi seksual, kasus
pelecehan anak, dan tanda yang ditimbulkan sendiri, serta Kelas yang terbukti
signifikan pada aplikasi praktik yang terdiri dari kelas 1, kelas 2, kelas 3, dan
kelas 4.
Bite mark memiliki jenis-jenis antara lain bite mark manusia dan bite mark
hewan seperti bite mark anjing, bite mark hewan peliharaan, dan bite mark hewan
pesisir pantai. Pada kasus bite mark, analisis dapat dilakukan dengan cara
pencetakan gigi tersangka, pencetakan bekas bite mark, melakukan fotografi pada
bite mark, serta analisis pada data ante mortem atau rekam medis gigi tersangka.
Pada pemeriksaan DNA di bidang forensik, ada beberapa patokan yang dapat
dijadikan penuntun bagi sebuah hasil yang optimal salah satunya adalah sampel
DNA haruslah diambil sebanyak mungkin dan metode pemeriksaan DNA yang
digunakan harus berbasis pada metode Polymerase Chain Reaction (PCR), yang
dapat menganalisis DNA berukuran lebih pendek, karena terfragmentasi oleh efek
panas.
22
3.2 Saran
Mengingat masih banyaknya kekurangan dari kelompok kami, baik dari segi
diskusi kelompok maupun dalam penyusunan laporan ini, oleh karena itu kami
sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca
demi tercapainya kesempurnaan dari isi laporan hasil diskusi kelompok kecil ini.
23
DAFTAR PUSTAKA
Dorion R. (2011). Bite Mark Evidence. Bite Mark Evidence A Color Atlas And Text 2
Eds. Boca Raton: CRC Press.
Kristanto, Erwin. (2020). Analisis Jejas Gigitan pada Kasus Forensik Klinik. Jurnal e-
GiGi, Vol. 8, No. 1, 1-7
Khan T, Sunil M K, Yeluri G, Srivastava S, Srivastava M, Mehfooz A (2020), Bite
marks : the odntologic metaphor for finger prints. TMU J Dent, 7(1):22-26.
Malinda, Y., & Zakiawati, D. (2015). Acquintance of Bite Mark Identification
Procedures in Forensic Odontology. Padjajaran Journal of
Marwayana, O. N. (2015). Ekstraksi asam Deoksiribonukleat (DNA) dari sampel
jaringan otot. Jurnal oseana, 11(2), 1-9.
Mohapatra, M., et al (2017), Bitemarks in Forensic Odontology, Indian Journal of
Forensic, 10(1).
Rao, D., Ali, I., & Annigeri, R. (2016). Bitemarks-A review. Journal of Dental Research
and Review, 3(1), 31-35
Sunil, M. K. Malik, Upender. Malhotra, Sourav. Gulzar, Arishah. Sharma, Radhika.
(2019). Bite Marks: An Indispensible Tool for Forensic Odontological
Evidence. Medico-legal Update, Vol.19, No. 1
Sutrisno, I. K. Arundina, Ira. Sosiawan, Agung. (2013). Identifikasi bite marks dengan
ekstraksi DNA metode Chelex. Dental Journal (Majalah Kedokteran Gigi,
46(2), 107-112
Senn, D. R., & Stimson, P. G. (Eds.). (2010). Forensic dentistry. CRC press
Taylor, J., & Kieser, J. (Eds.). (2016). Forensic odontology: principles and practice.
John Wiley & Sons.
Vanessa. (2021). Kegagalan Analisis Bite mark dalam Identifikasi Forensik. Jurnal
Kedokteran Gigi Terpadu, 3(2), 21-23.
Yudianto, A. (2020). Buku Referensi Pemeriksaan Forensik DNA Tulang dan Gigi:
Identifikasi pada DNA Lokus STR CODIS, Y-STRs, dan mtDNA. Sintesa
Prophetica SINTESA BOOK.