Anda di halaman 1dari 35

PERANAN SIDIK BIBIR (Cheiloscopy) DALAM

IDENTIFIKASI JENIS KELAMIN


REFARAT

Oleh :
Rahmi Mardeli (102120026)
Dela Rohmedeska (102120027)
Nisya Ovirianda (102120030)
Oris Sandhy R H S (102121039)

Pembimbing :
dr. H. Indra Faisal, M.H., Sp. FM

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR ILMU FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL

SAKIT UMUM DAERAH RAJA AHMAD TABIB


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BATAM
2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT, yang telah mencurahkan nikmat
dan karunia-Nya sehingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan tugas refarat ini.
Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi besar Muhammad
shalallahu ‘alaihiwasallam, yang telah membawa manusia dari zaman jahiliah ke
alam yang penuh ilmu pengetahuan ini.
Alhamdulillah berkat kemudahan yang diberikan Allah
subhanahuwata’ala, penulis dapat menyelesaikan tugas refarat yang berjudul
“PERANAN SIDIK BIBIR (Cheiloscopy) DALAM IDENTIFIKASI JENIS
KELAMIN”. Dalam penyusunan referat ini, penulis mendapatkan beberapa
hambatan serta kesulitan, akan tetapi dengan bantuan dari berbagai pihak hal
tersebut dapat teratasi. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih yang
sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan
refarat ini, terutama kepada dr. H. Indra Faisal, M.H., Sp.FM selaku
pembimbing. Semoga segala bantuan yang penulis terima akan mendapat balasan
yang setimpal dari Allah subhanahuwata’ala.
Adapun penulisan tugas refarat ini dibuat sebagai salah satu syarat dalam
mengikuti kegiatan kepaniteraan klinik senior bagian Ilmu Kedokteran Forensik
di Rumah Sakit Raja Ahmad Tabib.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan masih banyak kekurangan dan
jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu Penulis sangat mengharapkan kritikdan
saran yang ditujukan untuk membangun.

Tanjung Pinang, 22 Oktober 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i

DAFTAR ISI...........................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
A. Latar Belakang.........................................................................................1
B. Rumusan Masalah....................................................................................3
C. Tujuan Penulisan.....................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN
A. Identifikasi Forensik................................................................................4
1. Definisi Identifikasi Forensik.............................................................4
2. Metodologi Identifikasi Forensik........................................................5
3. Sumber Identifikasi Forensik..............................................................7
B. Sidik Bibir................................................................................................9
1. Definisi Sidik Bibir.............................................................................9
2. Sejarah Sidik Bibir............................................................................10
3. Anatomi Bibir...................................................................................11
4. Histologi Bibir..................................................................................13
5. Pertumbuhan dan Perkembangan Bibir............................................14
6. Klasifikasi Sidik Bibir.......................................................................15
7. Metode Pengambilan Sidik Bibir......................................................18
8. Metode Pengamatan Sidik Bibir.......................................................23
9. Identifikasi Jenis Kelamin dari Sidik Bibir.......................................24
BAB III KESIMPULAN
Kesimpulan.................................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA

ii
iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Identifikasi forensik merupakan upaya yang dilakukan untuk membantu

penyidik dalam menentukan identitas seseorang. Ilmu kedokteran gigi forensik

merupakan cabang dari ilmu kedokteran forensik. Pemerikasaan utama dari

kegiatan kedokteran gigi forensik adalah pemeriksaan dan evaluasi terhadap gigi,

rahang, serta jaringan rongga mulut. Dalam proses identifikasi di kedokteran gigi

forensik ada banyak teknik yang dapat digunakan, seperti cheiloscopy,

pemeriksaan gigi geligi, pemeriksaan DNA, bite mark, palatoscopy, dan banyak

lainnya (Randhawa K, 2011).

Salah satu teknik yang digunakan dalam identifikasi kedokteran gigi

forensik yaitu cheiloscopy. Cheiloscopy berasal dari kata cheilos yang berarti bibir

dan e skopein yang berarti melihat sehingga didefinisikan sebagai teknik

identifikasi forensik dengan melihat pola dan alur kerutan pada permukaaan

mukosa bibir. Cheiloscopy pertama kali dikenalkan oleh seorang antropolog yang

bernama Fischer pada tahun 1902. Cheiloscopy dapat digunakan untuk

mengidentifikasi individu karena setiap individu memiliki karakteristik yang khas

pada pola dan alur sidik bibir yang tidak akan sama dengan individu lainnya

(Bharati S, 2015).

Sidik bibir merupakan suatu pola berupa celah atau fisur yang terdapat pada

permukaan mukosa bibir. Sidik bibir dapat digunakan untuk mengidentifikasi

1
2

individu karena memiliki sifat yang unik dan stabil meskipun usia bertambah.

Sidik bibir telah lama digunakan sebagai salah satu metode identifikasi individu

karena bersifat personal, unik, dan khas pada seseorang. Penentuan identitas

personal dapat dilakukan dengan menggunakan dua metode identifikasi, yaitu

identifikasi primer seperti pemeriksaan sidik jari, DNA, gigi, dan metode

identifikasi sekunder seperti pemeriksaan visual, fotografi, properti, medis, dan

termasuk pemeriksaan sidik bibir (Remya dkk, 2016).

Sidik bibir terbentuk pada saat permukaan bibir bersentuhan dengan suatu

permukaan lain, misalnya dalam suatu kasus criminal, sidik bibir sering

ditemukan pada gelas kaca, surat cinta, baju, dan beberapa objek lain pada tempat

kejadian perkara. Sidik bibir yang terdapat pada permukaan tersebut bisa

dibandingkan dengan sidik bibir tersangka atau pun korban, sehingga hasil

pemeriksaan sidik bibir tersebut dapat dijadikan sebagai salah satu alat bukti

untuk kepentingan identifikasi (Karki, 2012).

Penelitian mengenai sidik bibir pertama di Eropa dilakukan di Hungaria

pada tahun 1961. Penelitian ini bermula ketika ditemukannya jejas bibir yang

tertinggal di pintu kaca pada tempat kejadian suatu kasus pembunuhan. Penelitian

ini membuktikan bahwa sang pembunuh mendorong pintu tersebut menggunakan

kepala karena tangannya berlumur darah, sehingga sidik bibir pembunuh

tertinggal di kaca (Kiftiyah, 2018).

Sidik bibir jarang digunakan delam identifikasi forensik, bahkan

kegunanaannya belum diketahui secara luas, terutama di Indonesia. Padahal

penggunaan sidik bibir sebagai metode identifikasi sangat sederhana, murah, dan
3

mudah digunakan untuk menentukan identitas seseorang. Salah satu kelebihan

sidik bibir yaitu dapat menentukan jenis kelamin. Perbedaan pola sidik bibir

antara laki-laki dan perempuan berhubungan erat dengan jenis kelamin seseorang

(Qomariah, 2016).

Beberapa riset telah membuktikan, bahwasanya pola sidik bibir ini dapat

mengidentifikasi jenis kelamin seseorang. Berdasarkan klasifikasi Suzuki dan

Tsuchihashi bentuk alur pola bibir yang dihasilkan berdasarkan penelitian terdapat

pola garis vertikal lebih umum dijumpai pada perempuan dan pola berpotongan

lebih banyak dijumpai pada laki-laki. Pola sidik bibir juga erat kaitannya dengan

suku bangsa, dinyatakan bahwa ada perbedaan signifikan antara bangsa Melayu,

Cina, dan India (Valerio, 2018).

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sidik bibir dapat dijadikan sebagai alat bukti identifikasi

forensic ?

2. Bagaimana sidik bibir dapat menentukan jenis kelamin dalam identifikasi

forensic ?

3. Bagaimana metode pengambilan sidik bibir dalam identifikasi forensic ?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui sidik bibir dapat dijadikan sebagai alat bukti

identifikasi forensik.

2. Untuk mengetahui Sidik bibir dapat menentukan jenis kelamin dalam

identifikasi forensic.

3. Untuk mengetahui metode pengambilan sidik bibir dalam identifikasi

forensic
4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Identifikasi Forensik

1. Definisi Identifikasi Forensik

Identifikasi merupakan upaya yang dilakukan dengan tujuan membantu

penyidik untuk menentukan identitas seseorang yang disebut juga sebagai proses

pengenalan jati diri yang pertama kali diperkenalkan oleh Alfonsus Bertillon

(1853-1914), seorang dokter berkebangsaan Perancis. Teknik identifikasi ini

semakin berkembang setelah kepolisian Perancis berhasil menemukan banyak

pelaku tindakan kriminal. Saat ini proses identifikasi telah dimanfaatkan untuk

kepentingan asuransi, penentuan keturunan, ahli waris, penyebab kecelakaan dan

kematian seseorang, menemukan orang hilang, serta menentukan apakah

seseorang dapat dinyatakan bebas dari hukuman. Proses ini juga sangat diperlukan

dalam identifikasi korban bencana massal (Disaster Victim Identification/DVI),

baik yang disebabkan oleh alam (gempa bumi, tsunami, tanah longsor, banjir)

maupun ulah manusia (kecelakaan darat, udara, laut, kebakaran hutan serta

terorisme) (Yudianto, 2019).

Identifikasi forensik memberi pengaruh besar terhadap proses

berjalannya sistem pengadilan. Istilah forensik (for the courts) sendiri berarti

“untuk pengadilan” menunjukkan bahwa tujuan utama forensik adalah

memberikan bukti-bukti aktual dan temuan yang diperlukan dalam penegakan

hukum di pengadilan. Kedokteran forensik bersama kepolisian saat ini


5
6

menggunakan sistem identifikasi dalam merekonstruksi kejahatan, salah satunya

pada kasus penemuan mayat (Yudianto, 2019).

Pada kasus penemuan mayat, identifikasi forensik pada sisa-sisa tubuh

manusia sangatlah penting baik untuk alasan hukum maupun kemanusiaan. Proses

identifikasi dilakukan untuk mengetahui apakah sisa-sisa tubuh berasal dari

manusia atau bukan, jati diri mayat, penyebab kematian, dan perkiraan waktu

kematian berdasarkan data sebelum seseorang meninggal/hilang (antemortem

data/AMD) untuk dibandingkan dengan temuan pada mayat (postmortem

data/PMD (Yudianto, 2019).

Identifikasi akan menjadi lebih sulit jika mayat sudah tidak dapat

dikenali lagi, misalnya pada korban bencana alam, kecelakaan yang menewaskan

banyak orang serta pada kasus mutilasi, dimana potongan-potongan yang

ditemukan mungkin tidak lengkap. Pada kasus seperti ini, dokter diharapkan dapat

memberikan penjelasan kepada penyidik dalam hal perkiraan saat kematian, usia,

jenis kelamin, tinggi badan, dan ras, serta asal sisa-sisa potongan tubuh (Yudianto,

2019).

2. Metodologi Identifikasi Forensik

Dalam proses identifikasi dikenal dua jenis metodologi identifikasi, yaitu

metodologi komparatif dan metodologi rekonstruktif. Metodologi komparatif

digunakan apabila terdapat Antemortem Data dan Postmortem Data untuk

disesuaikan. Antemortem Data biasanya didapat dari sanak keluarga dan teman-

teman dekat. Yang merupakan Antemortem Data adalah informasi pribadi secara

umum/informasi sosial (nama, usia, alamat tempat tinggal, tempat bekerja, status
7

pernikahan dan sebagainya), gambaran fisik (tinggi dan berat badan, warna mata

dan rambut), riwayat kesehatan dan gigi (penyakit, fraktur, gigi yang hilang, dan

mahkota gigi), ciri khas (kebiasaan, skar, tanda lahir dan tato), pakaian dan benda-

benda lain yang terakhir kali dipakai, serta hal-hal yang diduga berhubungan

dengan hilangnya seseorang (Yudianto, 2019).

Metodologi ini biasa dipakai pada mayat yang masih utuh pada

komunitas yang terbatas. Metodologi rekonstruktif digunakan apabila tidak

tersedia Antemortem Data dengan menyusun kembali sisa-sisa potongan tubuh

manusia yang tidak utuh lagi pada komunitas yang tidak terbatas seperti misalnya

pada kasus mutilasi ataupun bencana massal. Yang merupakan Postmortem Data

adalah informasi umum tentang sisa tubuh (rentang usia, jenis kelamin, tinggi),

fakta-fakta medis dan dental (tanda fraktur lama, bekas operasi, kondisi gigi,

misalnya tambalan gigi), trauma dan kerusakan post-mortem, informasi mengenai

sidik jari, DNA, pakaian dan benda-benda lain yang ditemukan bersama/dekat sisa

tubuh, informasi tambahan, seperti: dimana dan bagaimana sisa tubuh ditemukan

berdasarkan pengakuan para saksi (Yudianto, 2019).

Pada kasus bencana massal, Interpol menentukan identifikasi (DVI) yang

dipakai, yaitu (Yudianto, 2019):

 Identifikasi primer (primary identifier), yaitu gigi geligi (dental

record/DR), sidik jari (finger print/FP), dan DNA.

 Identifikasi sekunder (secondary identifier), yaitu visual

(photography/PG), properti (property/P), medis (medical/M).


8

Dalam mengidentifikasi sisa-sisa tubuh manusia, ada tiga tahapan yang

perlu dilaksanakan, yaitu penelitian latar belakang, penemuan sisa-sisa tubuh,

serta analisis laboratorium dan rekonsilasi. Dalam mencari latar belakang,

diperlukan Antemortem Data yang bisa didapat dari wawancara anggota keluarga,

para saksi, dokter, dokter gigi, ataupun dari laporan/data tertulis seperti rekam

medis, surat keterangan kepolisian, sidik jari, dan fotograf (Yudianto, 2019).

Identifikasi dimulai dari metode yang sangat sederhana sampai yang

rumit. Metode yang sederhana misalnya dengan cara visual (mengamati profil luar

tubuh dan wajah), kepemilikan identitas yang masih melekat pada tubuh mayat

(misalnya: pakaian, perhiasan, tato, dll) serta dokumentasi seperti foto diri, foto

keluarga, SIM, dll. Metode sederhana kemudian dilanjutkan dengan metode

ilmiah, yaitu pemeriksaan sidik jari, serologi, odontologi, antropologi, dan biologi

yang hasilnya lebih spesifik pada seseorang. Metodologi selanjutnya adalah teknik

superimposisi, yaitu pemeriksaan identitas seseorang dengan membandingkan

korban semasa hidupnya dengan tengkorak yang ditemukan. Metodologi ini

menjadi sulit jika foto korban tidak ada atau jelek kualitasnya, serta apabila

tengkorak sudah hancur/tidak berbentuk lagi (Yudianto, 2019).

3. Sumber Identifikasi Forensik

Dalam mengidentifikasi suatu mayat, ada beberapa sumber dan data yang

dapat dipergunakan, yaitu (Yudianto, 2019):

 Visual /penampilan wajah dan tubuh mayat yang ditunjukkan kepada

pihak keluarga dapat membantu apabila keadaan mayat tidak rusak

berat atau belum mengalami pembusukan.


9

 Dokumen seperti KTP, SIM, paspor, dan kartu identitas lainnya juga

dapat membantu proses identifikasi. Akan tetapi, dalam kasus

pembunuhan biasanya pelaku memusnahkan kartu identitas.

 Sidik jari setiap orang memiliki pola/kontur yang berbeda, sehingga

dapat menggambarkan diri seseorang. Akan tetapi metode ini dapat

digunakan jika belum terjadi pembusukan pada mayat.

 Gigi setiap orang memiliki bentuk yang khas, sehingga dapat dipakai

dalam proses identifikasi meskipun mayat sudah mengalami

pembusukan.

 X-Ray yang paling baik untuk dibandingkan dengan AMD adalah foto

kepala dan pelvis.

 DNA yang didapat dari darah, rambut, cairan semen, gigi, dan

jaringan lainnya sangat berbeda pada setiap orang, sehingga dapat

dibandingkan dengan AMD atau dibandingkan dengan DNA keluarga.

 Sisa tulang yang diperiksa dapat menentukan usia, tinggi badan, jenis

kelamin bahkan ras seseorang dengan banyak formula yang telah

ditentukan.

 Pakaian, perhiasaan, tato dan bentuk fisik seseorang juga dapat

membantu proses identifikasi apabila mayat tidak dalam keadaan

busuk dan hancur.


10

B. Sidik Bibir (Cheiloscopy)

1. Definisi Sidik Bibir

Sidik bibir adalah suatu pola dan alur yang khas berupa garis dan fisur

yang ada di zona transisi bibir manusia yaitu antara mukosa labial pada bagian

dalamnya dan kulit pada bagian luarnya dan peneliti kemudian menamakan alur

pada sidik bibir dengan sebutan “figura linearum labiorum rubrorum”. Sidik bibir

sudah ada sejak kita lahir yang sampai saat ini belum diketahui dengan pasti

kapan pembentukannya, namun ada yang berpendapat bahwa sidik bibir terbentuk

pada minggu keenam kehidupan intrauterine dan sudah dapat diidentifikasi saat

bayi berusia empat bulan. Sejak saat itu polanya tidak berubah bahkan setelah

kematian (Bharathi dkk, 2015).

Cheiloscopy berasal dari kata cheilos yang berarti bibir dan e skopein

yang berarti melihat sehingga didefinisikan sebagai teknik identifikasi forensik

dengan melihat pola dan alur kerutan pada permukaan mukosa bibir yang

berhubungan dengan identifikasi personal pada manusia (Gupta S, 2011).

Gambar 1.1 Contoh Sidik Bibir (Indri S, 2013)


11

2. Sejarah Sidik Bibir

Antropolog pertama yang memperkenalkan tentang sidik bibir pada

tahun 1902 merupakan R. Fischer. Pada tahun 1930 Diou de Lille

mengembangkan studi tentang penggunaan sidik bibir di kriminologi. Pada tahun

1950, Synder melaporkan dalam bukunya yang berjudul Homicide Investigation

bahwa karakteristik dari sidik bibir sama khasnya dengan sidik jari yang dimiliki

setiap individu.

Di Poland tahun 1966 mulai tertarik menggunakan sidik bibir untuk

memecahkan kasus pencurian karena keberhasilan mengungkap kasus

perampokan pada tahun yang sama. Suzuki pada tahun 1967 membuat detail

identifikasi dengan menggunakan sidik bibir yakni dengan melihat warna dan

bentuk. Selanjutnya Suzuki-Tsuchihashi tahun 1970-1971 melakukan penelitian

kepada 107 keluarga Jepang dengan melihat sulci laborium yaitu celah atau fisur

pada permukaan bibir dan mereka menyatakan bahwa susunan garis-garis pada

bibir manusia adalah individual dan unik setiap manusia (Reddy, 2011).

Mc Donell melakukan penelitian pada tahun 1972 terhadap anak

kembar yang secara fisik sama dan tidak dapat dibedakan namun, memiliki sidik

bibir yang berbeda. Cotton pada tahun 1981 melaporkan dalam bukunya berjudul

Outline of Forensik Dentistry bahwa cheiloscopy merupakan salah satu teknik

yang spesial dalam mengidentifikasi personal.

Di Polandia antara tahun 1985-1987 pemeriksaan sidik bibir

digunakan pada 85 kasus, yakni 65 kasus pencurian, 15 kasus pembunuhan, dan 5

kasus pemerkosaan dengan 34 kasus diantaranya berhasil dipecahkan


12

menggunakan sidik bibir. Vahanwala pada tahun 2000 mempromosikan betapa

pentingnya sidik bibir dalam mengidentifikasi personal. Oleh karena itu, dari

seluruh penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa sidik bibir dapat dijadikan

alat bantu untuk mengidentifikasi individu (Reddy, 2011).

3. Anatomi Bibir

Bibir merupakan jaringan lunak yang melindungi mulut. Bibir

memiliki variasi dalam bentuk dan warna. Bibir dalam keseharian memiliki peran

penting antara lain berbicara, minum, menghisap, meniup, dan sebagainya. Pada

tubuh yang terbakar sering dijumpai bibir tertutup rapat bila sudah meninggal

sebelum api membakar tubuh mereka, tetapi akan ditemukan bibir terbuka lebar

pada kasus terbakar hidup-hidup. Dalam kekerasan pada bayi sering ditemukan

luka robek pada frenulum bagian atas (Venkatesh, 2011).

Bibir merupakan dua lipatan otot yaitu orbicularis oris yang

membentuk gerbang mulut, terdiri dari bibir bagian atas dan bibir bagian bawah.

Bibir luar ditutupi oleh jaringan kulit, sedangkan bagian dalam ditutupi oleh

bagian mukosa mulut. Bagian luar dan dalam tersebut perbatasan pada zona

transisi atau vermilion zone. Zona transisi ini memliki warna merah karena banyak

terdapat pleksus pembuluh darah dibawahnya. Vermilion zone merupakan

karakteristik khas yang dimiliki individu. Perbatasan dari vermilion zone dan kulit

disebut vermilion border (Indri S, 2015).

Menurut The American Join Committee of Cancer, bibir merupakan

bagian dari cavum oris, mulai dari perbatasan vermilion-kulit dan meliputi seluruh

vermilion saja. Bibir terdiri dari tiga bagian, yaitu kulit, vermilion, dan mukosa.
13

Bibir bagian atas disusun oleh tiga unit, yaitu dua lateral dan satu medial. Cuspid

bow adalah proyeksi kebawah dari unit philtrum yang memberi bentuk bibir

dengan khas. Bagian tengah dari vermilion bibir atas lebih menonjol yang disebut

dengan tuberkulum. Bibir bawah menunjukkan sedikit lekukan kedalam pada

bagian tengahnya sesuai dengan tuberkulum.

Bentuk bibir semakin menyempit dari tengah bibir sampai ke sudut

bibir. Proyeksi linier tipis yang memberi batas bibir atas dan bawah secara

melingkar pada batas kutaneus dan vermilion disebut white roll. Bibir bagian

bawah memiliki satu unit yaitu bagian mental crease yang memisahkan bibir

dengan dagu (Indri S, 2015).

Gambar 3.1 Anatomi Permukaan Bibir (Indri S, 2013)

Persyarafan sensoris bibir atas berasal dari cabang syaraf kranialis V

N. trigeminus dan N. infraorbitalis. Bibir bawah mendapat innervasi sensoris dari

N. mentalis. Inervasi motorik bibir berasal dari syaraf kranialis VII N. facialis.

Pada Ramus buccalis terdapat N. facialis mempersyarafi muscularis orbicularis

oris dan musculus levator labii. Ramus mandibularis terdapat N. facialis yang

mempersyarafi musculus orbicularis oris dan depressor labii (Indri S, 2015).


14

Otot bibir terdiri dari kelompok otot sfingter bibir (orbicularis oris)

dan otot dilator yang terdiri dari satu seri otot kecil yang menyebar keluar dari

bibir. Fungsi otot sfingter bibir adalah untuk merapatkan bibir, sedangkan fungsi

otot dilator bibir adalah untuk membuka bibir (Indri S, 2015).

4. Histologi Bibir

Permukaan bibir bagian luar adalah kulit dan permukaan dalamnya

adalah mukosa labial. Diantara dua jaringan ini terdapat zona bibir yang berwarna

merah disebut dengan vermilion zone. Bibir memiliki striated muscle pada bagian

intinya yang merupakan bagian daripada otot ekspresi wajah. Vermilion zone

memiliki dukungan kulit yang kurang. Kalenjar minyak dapat ditemukan

khususnya pada daerah sudut mulut walaupun sangat jarang. Karena vermilion

zone juga kurang dukungan kalenjar lendir maka dibutuhkan kelembaban dengan

air liur oleh lidah untuk mencegah kekeringan pada bibir. Epitel daripada

vermilion zone adalah epitel berkeratin yang tipis dan tranlusen. Jaringan ikat

papilla daripada lamina propria relative panjang dan sempit, serta mengandung

lubang-lubang keluaran pembuluh kapiler (Sadler, 2012).

Permukaan luar bibir ditutupi kulit dengan folikel rambut, kelenjar

sebasea dan keringat. Kemudian pada tepi vermilion yang merupakan peralihan

antara kulit dan membran mukosa, bibir berubah menjadi kulit yang sangat tipis

tanpa rambut, dengan epidermis yang transparan (Verghese dkk, 2010). Lapisan

submukosa mengandung serat elastin yang berlanjut di sekitar otot rangka di

tengah bibir dan di dalam lamina propria. Serat elastin ini mengikat erat membran

mukosa sehingga mencegah terbentuknya lipatan mukosa yang dapat tergigit saat
15

gigi geligi atas dan bawah berkontak. Warna merah yang ada pada vermilion zone

didapat dari pembuluh darah yang dekat ke permukaan serta epitel diatas nya yang

tipis dan translusen. Perbatasan antara vermilion zone dan mukosa labial disebut

dengan intermediate zone. Daerah ini memiliki lapisan granular yang sedikit dan

cenderung memiliki lapisan tebal daripada parakeratin (Sadler, 2012).

Bagian dalam bibir meliputi mukosa yang tersusun atas epitel berlapis

gepeng tanpa lapisan tanduk, terletak di atas jaringan ikat lamina propria dengan

papilla yang tinggi. Bagian epidermis dari tepian vermilion bibir yang transparan

serta dermis yang memiliki banyak pleksus pembuluh darah membuat bibir

berwarna merah (Indri S, 2015).

5. Pertumbuhan dan Perkembangan Bibir

Pertumbuhan dan perkembangan bibir terjadi pada minggu keenam

dan ketujuh. Pada minggu ini tonjolan maksila bertambah terus ukurannya.

Bersamaan dengan itu, tonjolan maksila ini tumbuh kearah medial sehingga

mendesak tonjolan hidung kearah garis tengah. Selanjutnya, celah antara tonjolan

hidung medial dan tonjolan maksila hilang sehingga keduanya bersatu. Oleh

karena itu, bibir atas dibentuk oleh tonjolan hidung medial dan kedua tonjolan

maksila tersebut. Tonjolan hidung lateral tidak ikut dalam pembentukan bibir atas.

Bibir bawah dan rahang bawah dibentuk dari tonjolan mandibular yang menyatu

digaris tengah (Sadler, 2012).

Pertumbuhan bibir atas pada awalnya lebih cepat dibandingkan

dengan bibir bawah. Hal ini berkaitan dengan pertumbuhan maksila yang juga

lebih cepat dibandingkan mandibula. Saat embrio berusia sekitar tujuh sampai
16

delapan minggu, mandibula masih terlihat lebih kecil dan terletak lebih

kebelakang dibandingkan maksila. Hal ini disebabkan karena kepala embrio

masih menekuk kebawah sehingga mandibula belum bisa tumbuh secara

maksimal. Ketika embrio berusia sembilan minggu, kepala sudah terangkat dan

mandibula akan tumbuh cepat untuk menyamakan posisinya dengan maksila.

Dengan demikian posisi maksila dan mandibula akan sejajar begitu juga dengan

bibir atas dan bibir bawah (Rebecca, 2018).

Laju pertumbuhan bibir sejalan dengan laju pertumbuhan wajah,

dimana mencapai puncaknya sewaktu lahir dan akan mengalami penurunan

dengan tajam dan mencapai laju minimalnya mencapai masa pubertas. Menurut

penelitian yang telah dilakukan, pertumbuhan bibir akan melambat saat individu

berusia 16 tahun hingga akhirnya berhenti dan stabil. Laju pertumbuhannya dua

tahun lebih cepat pada anak perempuan dibanding anak laki-laki (Rebecca, 2018).

6. Klasifikasi Sidik Bibir

Beberapa peneliti melakukan identifikasi dan mengklasifikasikan pola

sidik bibir, namun belum ada kesepakatan mengenai pola sidik bibir yang

digunakan sebagai acuan internasional.

a. Klasifikasi Suzuki – Tsuchihashi

Suzuki-Tsuchihashi mempertimbangkan 6 jenis pola sidik bibir yang

berbeda. Klasifikasi ini paling banyak digunakan dalam penelitian-penelitian

menggunakan sidik bibir, yaitu :

Tipe I : Alur yang jelas secara vertical pada seluruh bibir.

Tipe I’ : Alur vertical yang tidak pada seluruh bagian bibir.


17

Tipe II : Alur yang bercabang.

Tipe III : Alur yang saling menyilang.

Tipe IV : Alur yang membentuk kotak-kotak.

Tipe V : Alur yang tidak termasuk dalam tipe I-IV.

Tabel 6.1 Klasifikasi Suzuki dan Tsuchihashi (Dedi A, 2017)

Tipe Gambar Deskripsi

I : Full Vertical Grooves Terlihat pola alur vertical


pada seluruh bagian bibir.

I’ : Short Vertical Grooves Terlihat mirip seperti tipe


I namun pola alur tidak
pada seluruh bagian bibir.

II : Branched Grooves Terlihat pola alur yang


bercabang.

III : Diamond Grooves Terlihat pola alur yang


saling menyilang.

IV : Rectangular Grooves Terlihat pola alur yang


membentuk kotak-kotak.

V : Irregular Pola alur yang bukan


salah satu dari tipe-tipe di
atas atau pola alur bentuk
lainnya.
18

b. Klasifiaksi Renaud

Renaud membagi bibir menjadi kanan dan kiri, dan setiap alur

berdasarkan bentuknya memiliki penomoran, kemudian dilakukan formulasi

dengan mendiskripsikan bagian bibir atas terlebih dahulu menggunakan huruf

kapital untuk kanan (R), kiri (L), dan huruf kecil sesuai topologi alur kemudian

bagian bibir bawah huruf kecil untuk kanan (r), kiri (l), dan huruf kapital untuk

topologi alurnya. Dalam hal ini Renaud membagi pola tersebut menjadi 10

bagian, yaitu : (Domiaty dkk, 2010)

a. Vertikal penuh

b. Vertikal tidak penuh

c. Bifurkasi lengkap

d. Bifurkasi tidak lengkap

e. Percabangan lengkap

f. Percabangan tidak lengkap

g. Bentuk reticular

h. Bentuk X atau koma

i. Horizontal

j. Bentuk lain (segitiga, elips)

Gambar 6.2 Pola Sidik Bibir

menurut Renaud (Indri S, 2013)


19

c. Klasifikasi Martin Santos

Santos memberikan klasifikasi pola dan alur sidik bibir menjadi 2

bagian, yaitu : (Berrios dkk, 2013)

a. Sederhana apabila terdiri dari satu elemen topologi saja, seperti

garis, kurva, sudut, dan sinusoid.

b. Mejemuk apabila terdiri dari beberapa elemen topologi walaupun

terdapat berbagai klasifikasi lain yang merupakan variasi dari

klasifikasi utama yang ada namun, perbedaan yang ditunjukkan

tidak signifikan.

d. Klasifikasi Afcharbayat

A1 : Alur vertical dan lurus meluas sepanjang bibir.

A2 : Alurnya seperti A1, tetapi tidak meluas sepanjang bibir.

B1 : Alur bercabang yang lurus.

B2 : Alur bercabang yang bersudut.

C : Alur yang bertemu disatu titik.

D : Alur yang reticular.

E : Alur dengan bentuk lain.

7. Metode Pengambilan Sidik Bibir

a. Metode Lipstik

Metode untuk pengambilan dan dokumentasi sidik bibir

menggunakan lipstik dapat dilakukan dengan menggunakan teknik yaitu teknik

single motion. Dalam teknik single motion dibutuhkan beberapa alat dan bahan
20

antara lain, lipstik, selotip transparan, gunting, kertas putih polos, kaca pembesar

dan kertas tissue (Atmaji dkk, 2013).


21

Gambar 7.1 Alat dan Bahan yang digunakan dalam Metode Lipstik (Atmaji
dkk, 2013)

Tahapan pengambilan dan dokumentasi sidik bibir dengan

menggunakan metode lipstik dilakukan dengan cara lipstik dioleskan pada bibir

subjek secara merata, kemudian selotip ditempelkan pada bibir yang telah diolesi

lipstik, lalu ditekan secara perlahan, setelah itu selotip ditarik satu arah dari kanan

ke kiri atau kiri ke kanan (Atmaji dkk, 2013).

Gambar 7.2 Prosedur Tehnik pengambilan Sidik Bibir dengan menggunakan


Metode Lipstik (Atmaji dkk, 2013)

b. Metode Bahan Cetak

Metode untuk pengambilan dan dokumentasi sidik bibir menggunakan

bahan cetak kedokteran gigi dapat menggunakan bahan cetak seperti alginat, dan

elastomer (polyvinyl silaxone). Hasil cetakan sidik bibir dengan menggunakan


22

alginat memeberikan hasil yang cukup detail sehingga mudah dianalisa dan dapat

bertahan lama. Dalam metode ini dibutuhkan alat dan bahan antara lain, rubber

bowl, spatula, alginat, dan sendok cetak perorangan (Atmaji dkk, 2013).

Gambar 7.3 Alat dan Bahan yang digunakan dalam Metode Bahan Cetak
Alginate (Atmaji dkk, 2013)

Tahapan pencetakan sidik bibir dengan menggunakan alginat

dilakukan dengan cara bibir diolesi menggunakan vaseline, kemudian adonan

alginat diaduk dan dituangkan keseluruh permukaan bibir, lalu ditekan

menggunakan sendok cetak perorangan yang telah disesuaikan dengan ukuran

bibir subjek, setelah alginat agak mengeras sendok cetak diangkat, dan akhirnya

didapatkan cetakan negatif dari sidik bibir, setelah itu cetakan tersebut diisi

dengan menggunakan gips biru (Atmaji dkk, 2013).


23

Gambar 7.4 Prosedur Pencetakan Sidik Bibir dengan menggunakan


Alginate (Atmaji dkk, 2013)

Pengambilan dan pendokumentasian sidik bibir dapat dilakukan

dengan bahan cetak lain yaitu polyvinyl siloxane. Vorghese melaporkan bahwa

dengan menggunakan metode bahan cetak elastomer, dapat dihasilkan hasil

cetakan sidik bibir yang sangat detail. Dalam metode ini dibutuhkan alat dan

bahan antara lain mangkuk karet, spatula, polyvinyl siloxane, dan sendok cetak

perorangan (custom tray), vaseline dan aplicating gun (Atmaji dkk, 2013).
24

Gambar 7.5 Alat dan Bahan yang digunakan dalam Metode Bahan Cetak

dengan menggunakan polyvinyl siloxane (Atmaji dkk, 2013)

Tahapan pencetakan sidik bibir dengan menggunakan polyvinyl

siloxane dilakukan dengan cara bibir pasien diolesi vaseline, kemudian bahan

light body dioleskan keseluruh permukaan bibir dengan menggunakan alat bantu

applicating gun, lalu sendok cetak perorangan yang telah diisi dengan

menggunakan heavy body ditekankan ke bibir yang telah terolesi light body,

kemudian ditunggu sampai 15-20 menit, setelah agak mengeras sendok cetak

diangkat dan akhirnya didapatkan cetakan negatif sidik bibir, setelah itu cetakan

tersebut diisi dengan menggunakan dental plester (Atmaji dkk, 2013).

Gambar 7.6 Prosedur pencetakan Sidik Bibir menggunakan polyvinyl


siloxane (Atmaji dkk, 2013)

c. Metode Fotografi

Metode untuk pengambilan dan dokumentasi sidik bibir menggunakan

fotografi dapat menggunakan foto konvensional maupun foto digital. Pemanfaatan

foto digital lebih sering digunakan karena hasilnya dapat dilihat secara langsung
25

sehingga pengambilan foto dapat diulang jika hasilnya kurang bagus. Selain itu,

hasil foto dapat dilakukan perbaikan kualitas gambar (Atmaji dkk, 2013).

d. Metode Bubuk Sidik Jari

Tahapan pengambilan sidik bibir dengan menggunakan bubuk sidik

jari dilakukan dilakukan dengan cara subjek diinstruksikan untuk menempelkan

bibir ke sebuah kertas, kemudian kertas yang telah terdapat sidik bibir laten

tersebut ditaburkan bubuk sidik jari, lalu diratakan dengan menggunakan kuas

sampai terlihat sidik bibir yang menempel pada kertas tersebut (Atmaji dkk,

2013).

8. Metode Pengamatan Sidik Bibir

a. Pengamatan Pola Sidik Bibir secara Keseluruhan

Metode ini pertama kali dilakukan oleh Tsuchihashi pada 22 orang

laki-laki dan 42 orang perempuan yang tinggal di Yokohama, Jepang. Setelah

dilakukan pengamatan yang lebih mendetail, terlihat bahwa pola sidik bibir

bukanlah sebuah pola tunggal, tetapi gabungan dari beberapa pola. Untuk itu,

Tsuchihashi menyarankan agar pola sidik bibir dibagi menjadi empat kuadran

terlebih dahulu sebelum diamati (Adamu dkk, 2015).

b. Pengamatan Pola Sidik Bibir di 4 kuadran

Pada metode ini dibuat garis horizontal untuk memisahkan bibir atas

dan bibir bawah, selanjutnya dibuat garis vertical pada median bibir untuk

memisahkan belahan bibir sebelah kiri dan kanan. Kedua garis ini tegak lurus satu

sama lain. Dengan demikian, sidik bibir terbagi menjadi 4 kuadran. Penamaan

kuadran-kuadran tersebut dimulai dari kuadran pertama, yaitu sebelah kanan atas,
26

kuadran kedua pada sebelah kiri atas, kuadran ketiga adalah sebelah kiri bawah,

dan kuadran keempat sebelah kanan bawah (Adamu dkk, 2015).

Terdapat dua metode pencatatan pola sidik bibir yang muncul pada

masing-masing kuadran. Metode pertama mencatat semua pola yang muncul di

tiap-tiap kuadran sehingga dalam satu kuadran didapatkan lebih dari satu pola

sidik bibir. Metode ini adalah metode yang disarankan oleh Tsuchihashi untuk

identifikasi individu yang spesifik. Metode kedua mencatat pola dominan yang

muncul ditiap-tiap kuadran. Jadi, dalam satu kuadran terdapat satu pola sidik bibir

dominan. Metode ini digunakan oleh beberapa peneliti untuk melihat hubungan

anatara sidik bibir dan jenis kelamin (Adamu dkk, 2015).

9. Identifikasi Jenis Kelamin dari Sidik Bibir

Sidik bibir dapat digunakan dalam identifikasi individu. Identitas yang

mendukung pengidentifikasi dari suatu korban dapat berupa identitas biologis atau

non biologis. Identitas non biologis dapat berupa kartu tanda penduduk, surat izin

mengemudi, pakaian, dan lain-lain. Identitas biologis dapat berupa tulang

belulang, gigi-geligi, darah, sidik jari, rambut, profil DNA, dan identitas pada

bibir (Rhandawa, 2011).

Pola sidik bibir bersifat stabil dan tidak mengalami perubahan oleh

perbedaan iklim atau adanya penyakit disekitar mulut. Kondisi bibir dalam

keadaan terbuka, tersenyum, dan mengecup tetap menghasilkan pola yang unik

pada setiap individu. Hal ini tidak mengalami perubahan walaupun individu

mengalami trauma, penyakit, serta perawatan bedah yang bisa mengubah bentuk

dan warna bibir. Meskipun masih kontroversi, pola sidik bibir masih dapat
27

digunakan sebagai metode alternative identifikasi individu karena polanya sangat

unik (Indri S, 2015).

Sejumlah penelitian membuktikan bahwa pola sidik bibir dapat digunakan

untuk mengidentifikasi jenis kelamin individu. Pola garis vertikal lebih umum

ditemukan pada perempuan dan pola berpotongan lebih banyak ditemukan pada

laki-laki (Sharma, 2009).

Identifikasi sidik bibir lebih mudah dilakukan pada kelompok usia 21-40

tahun karena perubahan usia dapat memengaruhi ukuran dan bentuk bibir

sehingga dapat mengubah bentuk pola sidik bibir yang dihasilkan. Tidak ada

satupun pola sidik bibir yang memiliki kesamaan, sehingga pengelompokan dapat

dilakukan lebih mudah. Variasi juga ditemukan untuk membedakan jenis kelamin

(Singh dkk, 2010).

Pola bibir tipe I merupakan pola sidik bibir yang paling banyak muncul

pada kelompok jenis kelamin pria dan tipe IV banyak ditemukan pada jenis

kelamin wanita. Pola tipe III paling sedikit muncul pada jenis kelamin wanita,

sedangkan pola tipe V paling sedikit dijumpai pada jenis kelamin pria dengan

menggunakan klasifikasi Suzuki (Indri S, 2015).


28
BAB III

KESIMPULAN

1. Sidik bibir terbentuk pada saat permukaan bibir bersentuhan dengan suatu

permukaan lain, misalnya dalam suatu kasus criminal, sidik bibir sering

ditemukan pada gelas kaca, surat cinta, baju, dan beberapa objek lain pada

tempat kejadian perkara. Sidik bibir yang terdapat pada permukaan

tersebut bisa dibandingkan dengan sidik bibir tersangka atau pun korban,

sehingga hasil pemeriksaan sidik bibir tersebut dapat dijadikan sebagai

salah satu alat bukti untuk kepentingan identifikasi.

2. Beberapa riset telah membuktikan, bahwasanya pola sidik bibir ini dapat

mengidentifikasi jenis kelamin seseorang. Berdasarkan klasifikasi Suzuki

dan Tsuchihashi bentuk alur pola bibir yang dihasilkan berdasarkan

penelitian terdapat pola garis vertikal lebih umum dijumpai pada

perempuan dan pola berpotongan lebih banyak dijumpai pada laki-laki.

Pola sidik bibir juga erat kaitannya dengan suku bangsa, dinyatakan bahwa

ada perbedaan signifikan antara bangsa Melayu, Cina, dan India.

3. Beberapa peneliti melakukan identifikasi dan mengklasifikasikan pola

sidik bibir, namun belum ada kesepakatan mengenai pola sidik bibir yang

digunakan sebagai acuan internasional. Namun, Klasifikasi Suzuki-

Tsuchihashi paling banyak digunakan dalam penelitian-penelitian

menggunakan sidik bibir.

29
DAFTAR PUSTAKA

Adamu LH, Taura MG, Hamman WO, Ojo SA, Dahiru AU, dan Sadeeq AA.
(2015). Study of Lip Prints Types among Nigerians. J Comparative
Human Bio.

Atmaji M, Mindya Yuni, dan Atmadja DS. (2013). Metode pengambilan Sidik
Bibir untuk kepentingan Identifikasi Individu. Jurnal PDGI vol. 62, no.3.

Berrios JZ, Garcia MC, Mojica JM, Mujica A, Penalver MG, Jaure JLF, dkk.
(2013). Cheiloscopy as a Tool for Human Identification. Attoneys
General’s Office Magazine.

Bharathi S, dan Thenmozhi MS. (2015). Cheiloscopy-Lip Print an Determination


of Sex and Individual. J Pharm Sci Res 2015.

Domiaty MAE, Al-Gaidi SA, Elavat AA, Safwat MD, dan Galal SA. (2010).
Morphological Patterns of Lip Prints in Saudi Arabia at Al Madinah Al
Monawarah Province. Forensic Science Int.

Gupta S, Gupta K, dan Gupta OP. (2011). A Study of Morphological Patterns of


Lip Prints in Relation to Gender of North Indian Population. J Oral Bio
Craniofacial Res 2011.

Idries A dan Tjiptomartono A. (2013). Penerapan Ilmu Kedokteran Forensik


dalam Proses Penyidikan. Jakarta: Sagung Seto.

Karki, RK. (2012). Lip Prints an Identification Aid. Khatmandu University


Journal

Kiftiyah, Ramadhanti. (2018). Perbandingan Pola Sidik Bibir Berdasarkan Jenis


Kelamin pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.
Diploma Thesis, Universitas Andalas.

Karki, RK. (2012). Lip Prints an Identification Aid. Khatmandu University


Journal

Kiftiyah, Ramadhanti. (2018). Perbandingan Pola Sidik Bibir Berdasarkan Jenis


Kelamin pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.
Diploma Thesis, Universitas Andalas.

Qomariah, Siti Nur., Masniari Novita, dan Erawati Wulandari. (2016).


Hunbungan antara Pol Sidik Bibir dengan Jenis Kelamin pada
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Jember. e-Jurnal
Pustaka Kesehatam, vol. 4, no.2.
Randhawa K, Narang RS, dan Arora PC. (2011). Study of the Effect of age
Changes on Lip Print Pattern and its Reliability in Sex Determination. J
Forensic Odontostomal.

Rebecca. (2018). Sidik Bibir sebagai Sarana Identifikasi dalam Kedokteran gigi
forensik pada Etnis Batak Toba. Fakultas Kedokteran Gigi. Universitas
Sumatera Utara. Medan.

(Reddy LVK. (2011). Lip Prints: an Overview in Forensic Dentistry. J Adv


Dental Research 2011.

Remya S, Priyadarshini T, dkk. (2016). Cheiloscopy A Study of Lip Prints for


Personal Identification. IOSR J Dent Med Sci.

Sadler TW. (2012). Langman’s Medical Embriology. Ed 12. Baltimore:


Lippincott William&Wilkins.

Sharma P, Saxena S, Rtahod V. (2009). Cheiloscopy: Study of Lip Prints in Sex


Identification. J Forensic Dent Sci.

Singh, N.N, V R Brave, dan Shally K. (2010). Natural Dyes versus Lysochrome
Dyes in Cheiloscopy: A Comparative Evolution. Journal of Forensic
Dental Sciences vol.2.

Valerio, Alfa Agung. (2018). Perbandingan Bentuk Pola Sidik Bibir antara Suku
Asli Mentawai dan Suku Campuran Mentawai. Diploma Thesis.
Universitas Andalas.

Venkatesh R, dan David MP. (2011). Cheiloscopy: an Aid for Personal


Identification. J Forensic Dent Sci: 2011.

Verghese AJ, Somasekar M, dan Babu RU. (2010). Original Research Paper: A
Study of Lip Prints Types among The People of Kerala. J Indian Acad
Forensic Med.

Yudianto, Ahmad. (2019). DNA Touch dalam Identifikasi Forensik. Surabaya :


Scopindo Media Pustaka.

Anda mungkin juga menyukai