Anda di halaman 1dari 39

MAKALAH MODUL 1

LUKA BEKAS GIGITAN

BLOK ETIKA, HUKUM DAN FORENSIK KEDOKTERAN GIGI

KELOMPOK 9

Asny Syahriani J011171005


Yunita Sri Wulani J011171006
Rifqiyanti Ismi J011171027
Aulia Anindita Ainayyah J011171028
Melati Eka Putri SR J011171315
Andi Tenri Manggabarani J011171316
Miftah Farid Nur J011171337
Retna Warih Mustika J011171338
Diesyahwati Melania Sutarsa J011171517
Agil Malinda J011171518
Nurfadhilah Saleh J011171519
Hemayu Aditung J011171002

TUTOR : Prof. drg. Mansjur Nasir, Ph.D

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI


UNIVERSITAS HASANUDDIN
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-
Nya, serta salam dan shalawat kepada Rasulullah Muhammad SAW beserta
sahabat dan keluarganya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah modul 1
yang berjudul “Luka bekas gigitan” sebagai salah satu syarat dalam
menyelesaikan tugas kami.
Selama persiapan dan penyusunan makalah ini rampung, penulis mengalami
kesulitan dalam mencari referensi.Namun berkat bantuan, saran, dan kritik dari
berbagai pihak akhirnya makalah ini dapat terselesaikan.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. drg. Mansjur Nasir, Ph.D selaku tutor atas masukan dan bimbingan
yangn telah diberikan pada penulis selama ini.
2. Para dosen pemateri Blok Etika, hukum dan forensik kedokteran gigi yang
telah memberikan ilmu.
3. Teman-teman kelompok 9 dan semua pihak yang telah membantu dalam
menyelesaikan laporan ini. Semoga amal dan budi baik dari semua pihak
mendapatkan pahala dan rahmat yang melimpah dari Allah SWT.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini terdapat banyak
kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran untuk menyempurnakan penulisan yang serupa
dimasa yang akan datang. Penulis berharap sekiranya laporan ini dapat bermanfaat
bagi kita semua. Aamiin

Makassar, 16 Mei 2020


Hormat Kami

Kelompok 9

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................ ii


DAFTAR ISI...................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .......................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN .................................................................................................... 3
2.1 Definisi DVI (Disaster Victim Identification) .......................................................... 3
2.2 Definisi Visum Et Repertum ..................................................................................... 5
2.3 Peran Visum et Repertum .......................................................................................... 8
2.4 Definisi Luka Bekas Gigitan ..................................................................................... 9
2.5 Klasifikasi luka bekas gigitan ................................................................................. 10
2.6 Perbedaan luka bekas gigitan hewan dan manusia ................................................. 13
2.7 Perbedaan luka bekas gigitan antemortem dan postmortem ................................... 15
2.8 Derajat keparahan luka yang melanggar hukum ..................................................... 16
2.9 Patomekanisme terjadinya luka bekas gigitan ........................................................ 17
2.10 Waktu terjadinya luka bekas gigitan ..................................................................... 22
2.11 Cara pengambilan foto pada luka bekas gigitan ................................................... 23
2.12 Analisis pola luka bekas gigitan............................................................................ 25
2.13 Cara menentukan penyebab kematian................................................................... 31
BAB III PENUTUP .......................................................................................................... 33
A. Kesimpulan ............................................................................................................. 33
B. Saran ........................................................................................................................ 33
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 34

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Ilmu forensik sangat dibutuhkan untuk mengidentifikasi kasus-kasus
seperti pembunuhan, penganiayaan, pemerkosaan dan sebagainya. Ilmu
kedokteran gigi forensic yaitu suatu disiplin ilmu kedokteran gigi yang
terkait dalam suatu penyelidikan dalam memperoleh data-data postmortem,
berguna untuk menentukan otentitas dan identifikasi korban meupun pelaku
demi kepentingan hukum dalam suatu proses peradilan dan menegakkan
kebenaran.
Ada beberapa jenis identifikasi melalui gigi geligi dan rongga mulut
yang dapat dilakukan dalam terapan semua disiplin ilmu kedokteran gigi
yang terkait pada penyidikan demi kepentingan umum dan peradilan serta
dalam membuat surat keterangan ahli. Bukti yang sering terdapat dalam
kasus-kasus tersebut yaitu luka bekas gigitan. Luka bekas gigitan
merupakan suatu perubahan fisik pada bagian tubuh yang disebabkan oleh
kontak antara gigi atas dengan gigi bawah sehingga struktur jaringan terluka
baik oleh gigi manusia maupun hewan.
Dalam menjalankan profesinya, dokter gigi akan menghadapi situasi
yang mengharuskan mereka untuk memeriksa orang yang terluka akibat
gigitan terutama pada kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT),
kekerasan pada anak, pelecehan seksual, dan kasus kriminal lainnya.
Kondisi luka bekas gigitan kemungkinan bisa ringan, sedang, parah atau
dapat menyebabkan kematian. Oleh karena itu sangat diperlukan adanya
pemeriksaan yang seksama untuk mengidentifikasi dan mendeskripsikan
luka bekas gigitan. Hasil yang ditemukan pada pemeriksaan selanjutnya
dituliskan dalam bentuk VeR (Visum Et Repertum) setelah adanya surat
perintah dari pihak kepolisian atau yang berwenang untuk melakukan
visum. Dengan adanya VeR ini, dapat dijadikan sebagai barang bukti untuk
mengadili pelaku kejahatan.

1.2. Rumusan Masalah


Dengan memperhatikan latar belakang masalah di atas, maka
Rumusan masalah yang dapat diambil dari skenario modul “Luka Bekas
Gigitan” sebagai berikut :
1. Apa yg dimaksud DVI ?
2. Apa definisi dariVisum Et Repertum ?
3. Apa peran visum et Repertum ?
4. Apa yang dimaksud luka bekas gigitan ?
5. Apa saja klasifikasi luka bekas gigitan ?
6. Bagaimana perbedaan luka bekas gigitan hewan dan manusia ?
7. Apa perbedaan luka bekas gigitan antemortem dan postmortem ?
8. Apa saja derajat keparahan luka yg termasuk pelanggran hukum ?
9. Bagaiamana patomekanisme luka bekas gigitan ?
10. Bagaimana cara mengetahui waktu luka bekas gigitan ?
11. Bagaimana cara pengambilan foto pd luka bekas gigitan ?
12. Bagaimana analisis pola luka bekas gigitan ?
13. Bagaimana cara menentukan penyebab kematian ?

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi DVI (Disaster Victim Identification)


DVI adalah suatu prosedur untuk mengidentifikasi korban yang
meninggal akibat bencana massal secara ilmiah yang mengacu pada standar
baku International Criminal Police Organization (Interpol). Tim DVI terdiri
dari dokter spesialis forensik, dokter gigi, ahli antropologi (ilmu yang
mempelajari tulang), kepolisian, fotografi dan ada yang berasal dari
masyarakat.1
Disaster victim identification (DVI) adalah suatu istilah yang
digunakan untuk menjelaskan prosedur dalam mengidentifikasi korban
meninggal akibat suatu bencana massal yang tetap harus dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan mengacu pada standar baku
Interpol. Metode identifikasi ada dua macam, yaitu identifikasi primer dan
sekunder. Metode identifikasi primer yang diakui oleh Interpol adalah sidik
jari, analisis DNA, status gigi geligi dan antropologi forensik. Sedangkan
metode identifikasi sekunder berasal dari Medical, property dan photography,
dengan prinsip identifikasi adalah membandingkan data antemortem dan
postmortem. Keakuratan metode identifikasi primer dinilai lebih akurat dalam
menetapkanidentitas korban dan metode identifikasi sekunder dianggap
sebagai data tambahan.2,3
Proses DVI terdiri dari 5 fase yaitu The Scene, Post Mortem
Examination, Ante Mortem Information Retrieval, Reconciliation dan
Debriefing.4
A. The Scene (Olah TKP)
Pada fase pertama, tim awal yang datang ke TKP melakukan
pemilahan antara korban hidup dan korban mati selain juga mengamankan
barang bukti yang dapat mengarahkan pada pelaku apabila bencana yang
terjadi merupakan bencana yang diduga akibat ulah manusia. Pada korban

3
mati diberikan label sebagai penanda. Label ini harus memuat informasi tim
pemeriksa, lokasi penemuan, dan nomor tubuh/mayat. Label ini akan sangat
membantu dalam proses penyidikan selanjutnya.
B. Post Mortem Examination
Pada fase kedua dilakukan pemeriksaan mayat.Pada fase ini, para ahli
identifikasi, dokter forensik dan dokter gigi forensik melakukan pemeriksaan
untuk mencari data postmortem sebanyak-banyaknya. Sidik jari, pemeriksaan
terhadap gigi, seluruh tubuh, dan barang bawaan yang melekat pada mayat.
Dilakukan pula pengambilan sampel jaringan untuk pemeriksaan DNA. Data
ini dimasukkan ke dalam pink form berdasarkan standar interpol.
C. Ante Mortem Information Retrieval
Pada fase ketiga dilakukan pengumpulan data antemortem dimana ada
tim kecil yang menerima laporan orang yang diduga menjadi korban. Tim ini
meminta masukan data sebanyak-banyaknya dari keluarga korban. Data yang
diminta mulai dari pakaian yang terakhir dikenakan, ciri-ciri khusus (tanda
lahir, tato, tahi lalat, bekas operasi, dan lainlain), data rekam medis dari
dokter keluarga dan dokter gigi korban, data sidik jari dari pihak berwenang
(kelurahan atau kepolisian), serta sidik DNA apabila keluarga memilikinya.
Apabila tidak ada data sidik DNA korban maka dilakukan pengambilan
sampel darah dari keluarga korban. Data Ante Mortem diisikan ke dalam
yellow form berdasarkan standar interpol.
D. Reconciliation
Pada fase keempat yaitu fase rekonsiliasi apabila terdapat kecocokan
antara data Ante Mortem dan Post Mortem dengan kriteria minimal 1 macam
Primary Identifiers atau 2 macam Secondary Identifiers.
E. Debriefing
Setelah selesai keseluruhan proses identifikasi, dengan hasil
memuaskan maupun tidak, proses identifikasi korban bencana dilakukan satu
fase lagi yaitu fase kelima yang disebut fase debriefing. Fase ini dilakukan 3-
6 bulan setelah proses identifikasi selesai. Pada fase debriefing, semua orang
yang terlibat dalam proses identifikasi berkumpul untuk melakukan evaluasi

4
terhadap semua hal yang berkaitan dengan pelaksanaan proses identifikasi
korban bencana, baik sarana, prasarana, kinerja, prosedur, serta hasil
identifikasi. Hal-hal baik apa yang dapat terus dilakukan di masa yang akan
datang, apa yang bisa ditingkatkan, hal-hal apa yang tidak boleh terulang lagi
di masa datang, kesulitan apa yang ditemui dan apa yang harus dilakukan
apabila mendapatkan masalah yang sama di kemudian hari, adalah beberapa
hal yang wajib dibahas pada saat debriefing.
Sejarah DVI 5
a. -1881 (otopsy forensik) kasus kebakaran di austria memakan 449 korban
dimana 284 di identifikasi.
b. 4 mei 1897 (odontology forensik) dokter gigi bernama Davenport, pertama
mengidentifikasi menggunakan gigi pada kasus kebakaran di paris dengan
korban tewas 126 korban.
c. 1949 (radiology forensik) radiografi digunakan oleh Culbert dan Law
dengan membandingkan radiografi antermortem dan post-mortem dari
sinus frontal korban pembunuhan.
d. 1993 (DNA) awal mulanya forensik genotyping.

2.2 Definisi Visum Et Repertum


Visum et Repertum adalah keterangan tertulis yang dibuat dokter atas
permintaan tertulis (resmi) penyidik tentang pemeriksaan medis terhadap
seseorang manusia baik hidup maupun mati ataupun bagian dari tubuh
manusia, berupa temuan dan interpretasinya, di bawah sumpah dan untuk
kepentingan.6
Pengertian harfiah Visum Et Repertum berasal dari kata-kata “visual”
yaitu melihat dan “repertum” yaitu melaporkan. Berarti, “apa yang dilihat di
ketemukan” sehingga Visum Et Repertum merupakan suatu laporan tertulis
dari dokter (ahli) yang dibuat berdasarkan sumpah, perihal apa yang dilihat
dan di ketemukan atas bukti hidup, mayat atau fisik ataupun barang bukti
lain, kemudian dilakukan pemeriksaan berdasarkan pengetahuan yang sebaik-
baiknya. Atas dasar itu selanjutnyan diambil. kesimpulan, yang juga

5
merupakan pendapat dari seorang ahli atau kesaksian (ahli) secara tertulis,
sebagai mana yang tertuang dalam bagian pemberitaan (hasil pemeriksaan).7
Menurut Abdul Mun’im Idries Visum et Repertum adalah Suatu
laporan tertulis dari Dokter yang telah disumpah tentang apa yang dilihat dan
ditemukan pada barang bukti yang diperiksanya serta memuat pula
kesimpulan dan pemeriksaan tersebut guna kepentingan peradilan.8
Berdasarkan ketentuan hukum acara pidana Indonesia, khususnya
KUHAP tidak diberikan pengaturan secara eksplisit mengenai pengertian
visum et repertum. Satu-satunya ketentuan perundangan yang memberikan
pengertian mengenai visum et repertum yaitu Staatsblad Tahun 1937 Nomor
350. Disebutkan dalam ketentuan Staatsblad tersebut bahwa : “Visum et
Repertum adalah laporan tertulis untuk kepentingan peradilan (pro yustisia)
atas permintaan yang berwenang, yang dibuat oleh dokter, terhadap segala
sesuatu yang dilihat dan ditemukan pada pemeriksaan barang bukti,
berdasarkan sumpah pada waktu menerima jabatan, serta berdasarkan
pengetahuannya yang sebaik-baiknya.” 9
Kesimpulan visum et repertum adalah pendapat dokter pembuatnya
yang bebas, tidak terikat oleh pengaruh suatu pihak tertentu. Tetapi di dalam
kebebasannya tersebut juga terdapat pembatasan, yaitu pembatasan oleh ilmu
pengetahuan dan teknologi, standar profesi dan ketentuan hukum yang
berlaku. Kesimpulan visum et repertum haruslah dapat menjembatani antara
temuan ilmiah dengan manfaatnya dalam mendukung penegakan hukum.
Kesimpulan bukanlah sekedar resume hasil pemeriksaan, melainkan lebih ke
arah interpretasi hasil temuan dalam kerangka ketentuan-ketentuan hukum
yang berlaku.6
Sebagai suatu hasil pemeriksaan dokter terhadap barang bukti yang
diperuntukkan untuk kepentingan peradilan VeR digolongkan menurut obyek
yang diperiksa sebagai berikut:
a. Visum et Repertum untuk orang hidup Jenis ini dibedakan lagi dalam:
1) Visum et Repertum biasa.

6
Visum ini diberikan kepada pihak peminta (penyidik) untuk korban yang
tidak memerlukan perawatan lebih lanjut.
2) Visum et Repertum sementara.
Visum ini sementara diberikan apabila korban memerlukan perawatan
lebih lanjut karena belum dapat membuat diagnosis dan derajat lukanya.
Apabila sembuh dibuat VeR lanjutan.
3) Visum et Repertum lanjutan.
Dalam hal ini korban tidak memerlukan perawatan lebih lanjut karena
sudah sembuh, pindah dirawat dokter lain, atau meninggal dunia.
b. Visum et Repertum untuk orang mati (jenazah)
Pada pembuatan VeR ini, dalam hal korban mati maka penyidik
mengajukan permintaan tertulis kepada pihak Kedokteran Forensik untuk
dilakukan bedah mayat (autopsi).
1) Visum et Repertum tempat Kejadian Perkara
Visum ini dibuat setelah dokter selesai melaksanakan pemeriksaan TKP.
2) Visum et Repertum penggalian jenazah
Visum ini dibuat setelah dokter selesai melaksanakan penggalian jenazah.
3) Visum et Repertum psikiatri
Visum pada terdakwa yang pada saat pemeriksaan di sidang
pengadilan menunjukkan gejalagejala penyakit jiwa.
4) Visum et Repertum barang bukti
Misalnya visum terhadap barang bukti yang ditemukan yang ada
hubungannya dengan tindak pidana, contohnya darah, bercak mani,
selongsong peluru, pisau. 10
Jenis Visum Et Repertum dapat dibagi berdasarkan korbannya adalah sebagai
berikut:
1) Visum et repertum korban mati
2) Visum et repertum korban hidup, yang terdiri atas:
- Visum et repertum kejahatan susila;
- Visum et repertum penganiyaan / perlukaan;
- Visum et repertum psikiatri

7
Sedangkan berdasarkan waktunya, maka visum et repertum dapat dibagi
menjadi visum et repertum sementara dan visum et repertum definitif.11

2.3 Peran Visum et Repertum


Peran Visum et repertum yaitu:12
a. Sebagai alat bukti yang sah
Hal ini sebagaimana disebutkan dalam KUHAP Pasal 184 ayat (1) jo Pasal
187 huruf c.
b. Bukti penahanan Tersangka
Didalam suatu perkara yang mengharuskan penyidik melakukan
penahanan tersangka pelaku tindak pidana, maka penyidik harus
mempunyai bukti-bukti yang cukup untuk melakukan tindakan tersebut.
Salah satu bukti adalah akibat tindak pidana yang dilakukan oleh tersangka
terhadap korban. Visum Et Repertum yang dibuat oleh dokter dapat
dipakai oleh penyidik sebagai pengganti barang bukti untuk melengkapi
surat perintah penahanan tersangka.
c. Sebagai bahan pertimbangan hakim
Meskipun bagian kesimpulan Visum Et Repertum tidak mengikat hakim,
namun apa yang diuraikan di dalam bagian pemberitaan sebuah Visum Et
Repertum adalah merupakan bukti materiil dari sebuah akibat tindak
pidana, disamping itu bagian pemberitaan ini adalah dapat dianggap
sebagai pengganti barang bukti yang telah dilihat dan ditemukan oleh
dokter. Dengan demikian dapat dipakai sebagai bahan pertimbanganbagi
hakim yang sedang menyidangkan perkara tersebut.
Bagi penyidik (Polisi/Polisi Militer) Visum et Repertum berguna
untuk mengungkapkan perkara. Bagi Penuntut Umum (Jaksa) keterangan
itu berguna untuk menentukan pasal yang akan didakwakan, sedangkan
bagi hakim sebagai alat bukti formal untuk menjatuhkan pidana atau
membebaskan seseorang dari tuntutan hukum. Untuk itu perlu dibuat suatu
Standar Prosedur Operasional (SPO) pada suatu Rumah Sakit / pelayanan
kesehatan tentang tata laksana pengadaan visum et repertum.6

8
Barang bukti seperti visum et repertum sangat diperlukan untuk
kepentingan-kepentingan sebagai berikut:12
1) Mendukung kelancaran upaya penyidikkan perkara.
2) Mendukung keakuratan hasil pemeriksaan medis visum et repertum.
3) Dijadikan sebagai sarana pembuktian pada sidang pengadilan.

2.4 Definisi Luka Bekas Gigitan


Bite marks atau pola gigitan ialah tanda gigitan dari pelaku yang
tertera pada kulit korban dalam bentuk luka, jaringan kulit maupun jaringan
ikat dibawah kulit sebagaia kibat dari pola permukaan gigitan dari gigi-gigi
pelaku melalui kulit korban. Bite marks atau pola gigitan sering digunakan
sebagai alternatif dalam penyelidikan identifikasi korban pelaku kekerasan,
informasi yang diperoleh dari bite marks berupa jenis kelamin, usia dan jenis
kekerasan yang berguna bagi proses penegakan hukum.13
Bite marks dapat didefinisikan sebagai tanda yang dibuat oleh gigi baik
sendiri atau dalam kombinasi dengan bagian mulut lainnya. Bite marks adalah
bentuk dari pola cedera, yang berarti bahwa konfigurasi disebabkan oleh
objek tertentu. Kadang-kadang, bekas gigitan diperoleh pada berbagai jenis
zat makanan, cokelat, permenkaret, buah-buahan, sayuran. Seperti sidik jari,
tanda yang dibuat oleh gigi manusia dapat menjadi alat untuk
mengidentifikasi karena ini unik pada setiap individu. Bekas gigitan
mengungkapkan jejak gigi individu. Dalam beberapa kasus, bekas gigitan
memungkinkan identifikasi penggigit. Menggigit dianggap sebagai jenis
serangan primitif dan terjadi ketika gigi digunakan sebagai senjata dalam
tindakan dominan atau putus asa. Akibatnya, bekas gigitan biasanya dikaitkan
dengan kejahatan seks, perkelahian kekerasan, dan pelecehan anak. Bekas
gigitan juga telah ditemukan dari tempat pencurian. Oleh karena itu,
mencocokkan tanda gigitan dengan gigi tersangka dapat memungkinkan
petugas investigasi untuk menghubungkan tersangka dengan kejahatan dan
tidak termasuk yang tidak bersalah.14

9
2.5 Klasifikasi luka bekas gigitan
Secara umum, tanda gigitan terdiri dari lecet dangkal, atau perdarahan
bawah permukaan, atau memar kulit karena menggigit. Pola cedera
dipengaruhi oleh gaya dan lamanya waktu gigitan, dalam kombinasi dengan
mekanik lainnya dan faktor fisiologis. Gigitan manusia dapat diklasifikasikan
dalam berbagai cara, misalnya, defensif atau ofensif.
Klasifikasi macdonald paling banyak dikutip. Macdonald menyarankan
klasifikasi etiologi. Ini berkaitan dengan bekas gigitan manusia tetapi sama-
sama berlaku untuk tanda pada bahan lain.15
a. Tanda tekanan gigi (tooth pressure marks): ini disebabkan oleh tepi
insisal gigi anterior. Mereka stabil dan mengalami distorsi minimal
b. Tanda tekanan lidah (tongue pressure marks): karena tekanan lidah,
kesan permukaan palatal gigi, cingulum, atau rugae palatal dapat
dihasilkan. Ini menyebabkan distorsi tanda
c. Tanda gesekan gigi (tooth scrape marks): ini dihasilkan karena
penyimpangan pada gigi karena fraktur, restorasi, dll.
d. Tanda kompleks (complex marks): ini adalah kombinasi dari jenis tanda
di atas. Bentuknya tergantung pada jumlah jaringan yang diambil ke
dalam mulut.
Klasifikasi berdasarkan subjek penggigit:16
a. Tanda gigitan manusia gigi manusia menciptakan pola; kemungkinan
lain dipertimbangkan dan dikecualikan
b. Tanda gigitan manusia yang sugestif – pola ini menunjukkan tanda
gigitan manusia, tetapi tidak ada bukti yang cukup untuk mencapai
kesimpulan yang pasti.
c. Bukan tanda gigitan manusia – gigi manusia tidak menciptakan tanda.
Tanda gigitan dapat secara luas diklasifikasikan sebagai:17
a. Non-manusia (bekas gigitan hewan)
b. Manusia.
Berdasarkan cara sebab-akibat, tanda gigitan dapat berupa:17
a. Non-kriminal (seperti gigitan cinta)

10
b. Pidana
Klasifikasi: tanda gigitan ofensif (pada korban oleh penyerang) dan
defensif (atas penyerang oleh korban)
Berdasarkan tipenya, ada tujuh jenis bekas gigitan;17
a. Haemorrhage (tempat perdarahan kecil),
b. Abrasi (tanda tidak merusak pada kulit),
c. Contusion (pembuluh darah pecah, memar),
d. Laserasi (dekat tusukan kulit),
e. Insisi (kulit tertusuk rapi atau kulit sobek),
f. Avulsion (pengangkatan kulit), dan
g. Artefact (potongan tubuh yang digigit).
Klasifikasi berdasarkan penampakannya:
a. Jelas didefinisikan yang dihasilkan dari penerapan tekanan yang
signifikan, jelas didefinisikan yang merupakan efek dari tekanan tingkat
pertama,
b. Cukup terlihat karena tekanan kekerasan
c. Terpotong ketika kulit sobek dari tubuh dengan keras.
Klasifikasi berdasarkan kelas gigitan terbagi atas:
a. Kelas I: ini termasuk tanda gigitan menyebar, yang memiliki
karakteristik kelas terbatas dan tidak memiliki karakteristik individu.
Seperti memar, bekas gigitan menyebar, cincin merokok atau, bekas
gigitan samar.
b. Kelas II: pola cedera ini disebut sebagai gigitan lengkung tunggal atau
tanda gigitan parsial karena memiliki beberapa karakteristik individu dan
beberapa kelas.
c. Kelas III: klasifikasi ini mencakup karakteristik individu maupun kelas.
Gigitan ini memiliki nilai pembuktian yang bagus dan digunakan
sebagian besar untuk tujuan perbandingan. Situs utama untuk jenis
gigitan pada tubuh ini adalah bokong, bahu, lengan atas atau dada.
Tekanan dan penetrasi dalam jaringan dilakukan untuk merekam
permukaan lingual gigi anterior.

11
d. Kelas IV: terutama, avulsi atau laserasi jaringan disebabkan oleh gigitan.
Di kelas ini, karakteristik kelas dan karakteristik individu tidak ada. Jenis
gigitan ini adalah umumnya ditemukan di mana ada avulsi telinga atau
jari.17
Klasifikasi bite mark berdasarkan variasinya:18
a. Area ekimotik sentral atau "tanda mengisap" dikelilingi dengan
memancarkan lecet linier yang menyerupai "sun burst" ditemukan
biasanya setelah kejahatan berorientasi seksual. Pusat ecchymosis
disebabkan oleh tekanan negatif saat menggigit, menyebabkan kebocoran
atau pecahnya kapiler dan lecet linier yang disebabkan oleh pergerakan
gigi gigi. Jejak permukaan bagian dalam gigi terhadap kulit disebut
penandaan seret
b. Tipe kedua sangat mirip dengan pola "tanda gigi". Ini adalah tanda
gigitan "serangan" atau "pertahanan" yang paling sering terlihat dalam
pembunuhan anak “batteral”. Selanjutnya, gigitan ganda dapat dilihat
ketika dua gigi tanda lakukan dengan cepat di lokasi yang sama pada
kulit sedangkan parsial bekas gigitan dapat dilihat dalam situasi ketika
korban bergerak selama gigitan.
Klasifikasi Bekas gigitan:19
a. Klasifikasi berdasarkan tampakan klinis (Gustafson pada 1996)
- Gigitan sadis atau seksual
- Gigitan agresif
- Gigitan paling agresif melibatkan telinga, hidung dan putting
b. Klasifikasi Etiologis (Mc Donald pada 1979)
- Tanda tekanan gigi
- Tanda tekanan lidah
- Tanda goresan gigi
- Tanda kompleks (kombinasi di atas)
c. Berdasarkan tingkat kesan yang terlihat (Shashikala K pada tahun 2003)
- Pendarahan
- Abrasi

12
- Memar
- Laserasi
- Sayatan
- Avulsion
- Artefak
d. Agen menghasilkan tanda
- Manusia: dewasa, anak-anak
- Hewan: mamalia, reptil, ikan
- Mekanik: gigi palsu, mata gergaji
e. Bahan yang menghasilkan bekas gigitan
- Jaringan kulit dan tubuh
- Zat makanan
- Bahan yang dikunyah biasanya mis. Batang pipa, pulpen dan pensil
f. Definisi tanda gigitan (Shashikala K padatahun 2003)
- Clearly defined
- Obviously defined
- Quite noticeable
- Lacerate
g. Klasifikasi lain
- Gigitan yang berorientasi seksual
- Kasus pelecehan anak
- Tanda yang ditimbulkan sendiri

2.6 Perbedaan luka bekas gigitan hewan dan manusia20,21,22,23


Menurut Sopher (1976) mengatakan bahwa pola gigitan yang
ditimbulkan oleh hewan berbeda dengan manusia oleh karena perbedaan
morfologi dan anatomi gigi geligi serta bentuk rahangnya. Menurut
Curranetal (1680) mengatakan bahwa pola gigitan pada hewan buas yang
dominan membuat perlukaan adalah gigi kaninus atau taring yang berbentuk
kerucut.

13
Pola gigitan hewan umumnya terjadi sebagai akibat dari penyerangan
hewan peliharaan kepada korban yang tidak disukai oleh hewan tersebut.
Kejadian tersebut dapat terjadi tanpa instruksi dari pemeliharanya atau
dengan instruksi dari pemeliharanya. Beberapa hewan yang menyerang
korban karena instruksi dari pemeliharanya biasanya berjenis herder atau
Doberman yang memang secara khusus dipelihara pawang anjing di jajaran
kepolisian untuk menangkap pelaku atau tersangka. Pola gigitan hewan juga
disebabkan sebagai mekanisme pertahanan diri maupun sebagai pola
penyerangan terhadap mangsanya.
Karakteristik gigitan manusia menyebabkan abrasi superficial dan atau
perdarahan pada permukaan tampak seperti lengkungan. Gigitan tersebut
disebabkan oleh gigi kaninus, insisivus, dan premolar. Abrasi dan atau
perdarahan disebabkan oleh hewan atau manusia karena gigi kaninus
berbentuk point atau titik. Gigitan yang disebabkan oleh hewan biasanya
menampakkan abrasi paralel dari gigi Insisivus. Pada binatang khususnya
anjing memiliki 3 insisivus, 1 kaninus, 4 premolar dan 2 molar pada setiap
regio. Salah satu parameter untuk membedakan bekas gigitan manusia atau
hewan adalah jarak antar gigi kaninus melalui cetakan dari bekas gigitan
selama investigasi.
Gigitan hewan biasanya menghasilkan robekan dibanding tekanan.
Lengkung gigi pada anjing bebrbentuk ‘V’.Seringkali pada area sentral dari
luka gigitan terdapat eccymosis atau memar dan umumnya pola memar
berbentuk oval atau melingkar dengan dua lengkung berbentuk ‘U’ yang
saling berlawanan dan terdapat sebuah space diantaranya.
a. Morfologi gigi Manusia
- Insisivus : berbentuk persegi panjang, kadang-kadang terdapat perforasi
pada area sudut incisal
- Caninus : tanda segita dengan apex pada arah labial dan pangkal pada
aral lingual
- Premolar : segitiga tunggal atau segitaga ganda dengan basis yang
saling berhadapan

14
- Molar: jarang meninggalkan bekas gigitan biasanya tanda segiempat
b. Morfologi gigi anjing
- Insisivus: memiliki bentuk oval - persegi panjang.
- Kaninus: menjukan bentuk oval sampai bulat

2.7 Perbedaan luka bekas gigitan antemortem dan postmortem


Untuk membedakan luka antemortem dan postmortem dapat diketahui
dari reaksi peradangan. Tanda-tanda proses inflamasi yang dapat diamati
secara makroskopik antara lain rubor, calor, tumor, dolor, dan functiolaesa.
Tubuh secara normal akan berespon terhadap cedera melalui proses radang
yang merupakan tindakan protektif dalam melawan agen penyebab jejas sel.
Sel-sel radang melakukan misi pertahanan dengan cara melarutkan,
menghancurkan, atau menetralkan agen patologis. Namun, Inflamasi tidak
hanya terjadi saat tubuh dalam keadaan hidup, tetapi juga setelah kematian;
untuk hal itu diperlu-kan pengamatan mikroskopik24,25.
Pada luka antemortem, akan trjadi reaksi radang. Reaksi radang
merupakan respon jaringan kompleks terhadap cedera atau antigen, yang
terdiri dari (1) peningkatan vasodilatasi dan permeabilitas vaskular dengan
ektravasasi dari cairan dan (2) emigrasi dari leukosit yang berasal dari
sirkulasi menuju jaringan dimana leukosit akan tersebar dan diaktifkan untuk
meregulasi penyembuhan dan perbaikan. Terlepas dari agen yang
merangsang, mekanisme dari pertahanan tubuh tetap konsisten dan
bermanifestasi klinis sebagai nyeri, panas, kemerahan, dan bengkak. Respon
inflamasi berfungsi untuk menurunkan, menyingkirkan, atau menahan
patogen atau jaringan cedera disaat leukosit bergerak untuk melindungi tubuh
dari cedera. Pada keadaan postmortem, semua sistem kerja tubuh berhenti
sehingga oksigen tidak dialirkan lagi ke seluruh tubuh. Dalam keadaan
hipoksia saat tubuh tidak mendapat pasokan oksigen yang cukup, proses
penyembuhan luka akan mengalami gangguan25.

15
2.8 Derajat keparahan luka yang melanggar hukum26
Hukum pidana indonesia mengenal delik penganiayaan yang terdiri dari
tiga tingkatan dengan hukuman yang berbeda yaitu:
A. Penganiayaan ringan (pidana maksimum 3 bulan penjara),
B. Penganiayaan sedang (pidana maksimum 2 tahun 8 bulan), dan
C. Penganiayaan yang menimbulkan luka berat (pidana maksimum 5 tahun).
Ketiga tingkatan penganiayaan tersebut diatur dalam pasal 352 (1)
KUHP untuk penganiayaan ringan, pasal 351 (1) KUHP untuk penganiayaan,
dan pasal 352 (2) KUHP untuk penganiayaan yang menimbulkan luka berat.
Setiap kecederaan harus dikaitkan dengan ketiga pasal tersebut. Untuk hal
tersebut seorang dokter yang memeriksa cedera harus menyimpulkan dengan
menggunakan bahasa awam, termasuk pasal mana kecederaan korban yang
bersangkutan.
Rumusan hukum tentang penganiayaan ringan sebagaimana diatur
dalam pasal 352 (1) KUHP menyatakan bahwa “penganiayaan yang tidak
menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan
atau pencarian, diancam, sebagai penganiayaan ringan”. Jadi bila luka pada
seorang korban diharapkan dapat sembuh sempurna dan tidak menimbulkan
penyakit atau komplikasinya, maka luka tersebut dimasukkan ke dalam
kategori tersebut.
Penganiayaan (sedang) sebagaimana diatur dalam pasal 351 (1) KUHP
tidak menyatakan apapun tentang penyakit. Sehingga bila kita memeriksa
seorang korban dan didapati “penyakit” akibat kekerasan tersebut, maka
korban dimasukkan ke dalam kategori tersebut.1Penganiayaan yang
menimbulkan luka berat diatur dalam pasal 351 (2) KUHP yang menyatakan
bahwa jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam
dengan pidana penjara paling lama lima tahun”. Luka berat itu sendiri telah
diatur dalam pasal 90 KUHP secara limitatif. Sehingga bila kita memeriksa
seorang korban dan didapati salah satu luka sebagaimana dicantumkan dalam
pasal 90 KUHP, maka korban tersebut dimasukkan dalam kategori tersebut.4
luka berat menurut pasal 90 KUHP adalah :

16
A. Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh
sama sekali, atau yang menimbulkan bahaya maut.
B. Tidak mampu terus-menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau
pekerjaan pencarian.
C. Kehilangan salah satu panca indera.
D. Mendapatcacat berat.
E. Menderita sakit lumpuh.
F. Terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih.
G. Gugur atau matinya kandungan seorang perempuan.

2.9 Patomekanisme terjadinya luka bekas gigitan


Tiga mekanisme utama yang terkait dengan produksi bekas gigitan
adalahtekanan gigi, tekanan lidah dan gesekan gigi.
A. Tanda tekanan gigi disebabkan oleh aplikasi tekanan langsung oleh tepi
insisal gigi anterior/tepi oklusal gigi posterior. Keparahan tanda gigitan
tergantung pada durasi, tingkat kekuatan yang diterapkan dan tingkat
pergerakan antara gigi dan jaringan. Presentasi klinis dari tekanan gigi
menunjukkan area pucat yang mewakili tepi insisal dan memar yang
mewakili margin insisal.
B. Tekanan lidah disebabkan ketika sesuatu yang dimasukkan ke mulut
ditekan oleh lidah ke gigi/ rugae palatal dan tanda khas hadir karena
mengisap/mendorong lidah.
C. Goresan gigi disebabkan oleh gesekan gigi dengan permukaan gigi yang
umumnya melibatkan gigi anterior. Presentasi klinis dapat berupa goresan
dan lecet. Goresan dan lecet yang mengindikasikan ketidakteraturan dan
kekhasan tepi insisal berguna dalam identifikasi.
Tanda gigitan manusia yang ideal adalah berbentuk donat yang terdiri
dari dua lengkungan berbentuk 'U' yang mewakili mandibula dan lengkung
rahang atas yang terpisah satu sama lain. Lengkungan individu diproduksi
oleh enam gigi anterior. Ketika gigi hanya satu dari dua lengkung
bersentuhan dengan kulit selama menggigit, maka alih-alih dari dua tanda
berbentuk 'U', hanya satu tanda berbentuk 'C' yang diproduksi dengan

17
menggigit. Diameter cedera bekas gigitan bervariasi dan biasanya
berdiameter antara 25-40 mm. Karena tekanan yang diciptakan oleh gigitan
gigi dan tekanan negatif yang diciptakan oleh lidah dan efek pengisapan, ada
pendarahan ekstra-vaskular yang menyebabkan memar di bagian tengah luka
bekas gigitan. Memar ini menunjukkan perubahan warna selama periode
waktu karena cedera mengalami proses penyembuhan pada kulit individu
yang hidup.15
Jumlah dan tingkat detail direkam di permukaan yang digigit bervariasi
dari kasus untuk kasus. Pertama, penting untuk menentukan yang mana gigi
yang membuat tanda. Istilah 'karakteristik', adalah fitur yang membedakan,
sifat, atau pola di dalamnya Tanda. Ini dari dua jenis, karakteristik kelas &
karakteristik individu. Karakteristik kelas adalah fitur, pola, atau sifat yang
mencerminkan kelompok tertentu dan tidak terkait dengan individu tertentu.
Menggigit permukaan gigi terkait dengan fungsinya mengiris, merobek atau
menggiling. Gigi depan adalah menggigit gigi primer dalam bekas gigitan.
Dua gigi seri tengah atas lebar, gigi seri lateral lebih sempit dan cuspid
berbentuk kerucut. Dua sentral yang lebih rendah dan dua lateral lebar dan
cuspids lebih rendah seragam berbentuk kerucut. Rahang atas lebih lebar dari
rahang bawah.
Karakteristik individu gigi adalah:22
A. Gigi insisivus: tanda berbentuk persegi panjang, kadang-kadang dengan
perforasi di bidang sudut insisal
B. Caninus: Tanda segitiga dengan puncak menuju labial dan basis mengarah
ke lingual
C. Premolar: Segitiga tunggal atau ganda dengan dasar segitiga saling
berhadapan atau bersamaan menyerupai diamond-shape
D. Molar: Jarang meninggalkan bekas gigitan, biasanya tanda segiempat.

18
Mekanisme terjadinya luka bekas gigitan:27
A. Memar (bruise)
Istilah kontusio dan ekimosis telah digunakan untuk membedakan
antara berbagai jenis cedera yang secara lebih sederhana dapat disebut
memar. Istilah-istilah ini telah digunakan dengan berbagai cara untuk
menggambarkan ukuran cedera yang berbeda tetapi tidak meningkatkan
pemahaman tentang penyebab atau mekanisme cedera dan seharusnya
tidak lagi digunakan. Hematoma paling baik digunakan untuk merujuk
pada koleksi darah membentuk massa yang berfluktuasi di bawah kulit dan
dapat dikaitkan dengan trauma besar. Perbedaan antara memar dan
hematoma, hematoma mungkin mampu disedot dengan cara yang sama
dengan aspirasi pus.
Memar disebabkan ketika dampak merusak pembuluh darah bahwa
darah ruptur ke jaringan perivaskular dan terlihat jelas pada permukaan
kulit sebagai perubahan warna. Perubahan warna tersebut berubah dalam
warna, bentuk, dan lokasi pigmen darah dipecah dan diserap kembali.
Dalam beberapa kasus, meskipun darah pembuluh darah bisa rusak,
mungkin tidak ada bukti nyata pada kulit. Di kasus-kasus tertentu,
mungkin diperlukan berjam-jam atau berhari-hari untuk memar apa pun
menjadi jelas, karena darah berdifusi melalui jaringan yang rusak.
Kekuatan tumpul mengakibatkan pecah pembuluh darah kecil di bawah
kulit yang utuh, dan darah kemudian lolos untuk menyusup ke jaringan
subkutan di sekitarnya di bawah aksi pemompaan dari jantung. Jadi,
setidaknya secara teoritis, memar tidak terjadi setelahnya kematian.
Bahkan, pukulan parah yang ditimbulkan setelah kematian dapat
menyebabkan beberapa derajat memar, meskipun ini biasanya hanya
sedikit. Memar dapat dikaitkan dengan bukti cedera lain yang terlihat,
seperti abrasi dan laserasi, dan lesi dapat mengaburkan memar yang
mendasarinya. Memar mungkin perlu dibedakan dari purpura, yang
berkembang secara spontan pada mereka yang memiliki kecenderungan
hemoragik dan pada orang tua dan cenderung menjadi agak bernoda,

19
kurang teratur dalam garis besar, dan biasanya terbatas pada lengan bawah
dan tungkai bawah. Memar bervariasi dalam tingkat keparahan menurut
situs dan sifat jaringan. Bahkan ketika kekuatan yang sama diberikan dapat
menghasilkan memar yang berbeda.

Proses Terjadinya Memar

B. Abrasi
Abrasi (atau goresan) adalah cedera superfisial yang hanya melibatkan
bagian luar lapisan kulit dan tidak menembus ketebalan epidermis
sepenuhnya. Abrasi memancarkan serum, yang semakin mengeras
membentuk kerak luka, tetapi bisa juga berdarah karena kadang-kadang luka
cukup dalam dan menembus pembuluh darah papillae yang berombak-ombak
di bawah permukaan epidermis sehingga perdarahan mungkin terjadi pada
tahap awal. Abrasi yang lebih dangkal tidak merusak kulit dengan sedikit atau
tanpa eksudasi serum (sedikit atau tidak ada pembentukan kerak luka) dapat
disebut sikat atau lecet lecet.
Goresan adalah abrasi linier yang biasanya disebabkan oleh kuku di
permukaan kulit. Objek yang runcing tapi tidak terpotong juga dapat
menyebabkan abrasi linier dan untuk membedakannya dari goresan kuku
dapat disebut abrasi titik. Abrasi sering terjadi akibat pergerakan permukaan

20
kulit yang kasar atau sebaliknya. Dengan demikian mereka mungkin memiliki
penampilan linier, dan pemeriksaan dapat menunjukkan luka acak pada
epidermis superfisial ke satu ujung, menunjukkan arah perjalanan dari
permukaan yang berlawanan. Jadi, tangensial pukulan bisa horisontal atau
vertikal, atau dimungkinkan untuk menyimpulkan bahwa korban terseret di
permukaan yang kasar.

Proses Terjadinya Abrasi

C. Laserasi
Laserasi disebabkan oleh gaya tumpul yang membelah ketebalan penuh
kulit, paling sering ketika kulit dan jaringan lunak dihancurkan antara
kekuatan impak dan tulang yang mendasarinya. Seperti abrasi, situs luka
menunjukkan lokasi dampak. Laserasi dapat berdarah deras, khususnya pada
wajah dan kulit kepala. Ketika dilakukan dengan sengaja, kekuatan dapat
menyebabkan penyerang dan senjata terkontaminasi dengan darah.
Laserasi memiliki ciri khas tetapi sering menyerupai luka iris, khususnya
di mana kulit sangat dekat dengan yang mendasarinya tulang, misalnya, kulit
kepala. Laserasi adalah luka kasar yang disebabkan oleh perusakan dan
sobekan kulit, cenderung terbuka, dan margin mereka sering memar dan
terkelupas. Pembuluh darah, saraf, dan jembatan jaringan halus dapat terpapar
di kedalaman luka, mungkin kotor oleh pasir, pecahan cat, atau kaca.

21
Proses Terjadinya Laserasi

2.10 Waktu terjadinya luka bekas gigitan28


Memar pada kulit manusia berubah warna saat penyembuhan terjadi.
Perubahan warna ini berbeda dari orang ke orang. Perkiraan usia dari bekas
gigitan bukanlah proses ilmiah atau akurat. Penuaan memar dan bekas gigitan
bisa ditentukan oleh perubahan warna dan dapat dideteksi menggunakan
berbagai fotografi.

Table 1: Penuaan memar dan bekas gigitan

Adelson Rentoule Camps Spitz et al. Rai and


(1974 and Smith (1976) (1980) Kaur
(1973) (2011)
Initial Merahh/ biru Violet Merah Biru/merah Merah
colour
1-3 hari Biru/coklat Biru gelap Ungu, Ungut gelap Ungu
hitam gelap
1 minggu Kuning/hijau Hijau Hijau Hijau/kungin Kuning ke
hijauan
8-10 hari Kuning Kuning Coklat Hiaju
2 minggu Normal Normal Normal Coklat
20 hari normal

22
Table 2: Ringkasan dokumentasi bekas gigitan dan cedera yang bercorak
dengan fotografi (Rai dan Kaur 2011)

Photography Estimasi usia (estimasi waktu untuk


pemulihan gambar)
Colour photography (400-700 nm) 12-16 hari
Hitam dan putih (400-700 nm) 10-14 hari
Cahaya UV (300-375 nm) 10-46 hari
Cahaya ALI (350 nm) 5-9 hari
Cahaya IR (750-900 nm) 7-13 hari

2.11 Cara pengambilan foto pada luka bekas gigitan


Pengambilan foto bekas gigitan
Kamera yang digunakan sebaiknya kamera digital tipe DSLR dengan
flash. Foto pendahuluan harus mengambil gambar bekas gigitan apa adanya,
bekas gigitan belum disentuh, jika pada mayat maka mayat belum digerakkan
dari posisinya, belum dicetak, belum diambil swab untuk tes DNA, dicuci,
maupun diotopsi. Setelah dilakukan perubahan semisalnya pembersihan dari
darah dan tanah atau dilakukan perubahan-perubahan maka diambil foto
kembali. Selanjutnya dilakukan foto orientasi. Foto orientasi ini harus
mendokumentasikan lokasi bekas gigitan pada tubuh dan harus memuat
anatomical landmarks yang memungkinkan untuk mengidentifikasi lokasi
bekas gigitan dari foto. Dikarenakan foto orientasi tidak selalu digunakan
sebagai foto analisis, maka pola bekas gigitan mungkin akan nampak kecil.
Selanjutnya dilakukan foto kerja close-up (close-up working photographs).
Foto ini dilakukan untuk membandingkan ukuran dan bentuk bekas gigitan
dengan pola gigitan tersangka. Pengambilan foto ini harus mencakup seluruh
detail dan mempunyai teknik standar untuk memastikan akurasi, resolusi,
fokus, kedalaman bidang, kontrol perspektif, dan duplikasi ukuran.
Digunakan penggaris kaku seperti skala ABFO no. 2 yang harus diletakkan di
sekitar bekas gigitan. Skala ABFO ini harus diletakkan pada bidang yang

23
sama dengan bekas gigitan dan dengan sudut sensor kamera tegak lurus
dengan bekas gigitan dan skala. Pada luka bekas gigitan maksila, biasanya
arah pengambilan foto berbeda dengan untuk yang dihasilkan oleh
mandibula, hal ini dilakukan untuk menghindari distorsi. Distorsi ini biasa
terjadi jika bekas gigitan difoto dengan dari arah dengan aksis lensa selain
tegak lurus terhadap bidang yang akan difoto. Biasanya bisa juga dilakukan
foto close-up dengan pembanding lain yang juga berbentuk membulat, tetapi
hal ini dilakukan sebagai tambahan setelah foto close-up dengan skala ABFO
no.2. Foto close-up bekas luka disertai skala ABFO ini harus memenuhi
seluruh foto agar resolusi yang didapatkan sesuai dengan yang diinginkan.
Pengambilan foto dapat dilakukan dengan flash, tanpa flash, dengan
menggunakan spektrum elektromagnetik, dan fluorescent photography.29,30.

Gambar Skala ABFO no.2 (Sumber: Senn DR, Weems RA, editors. Manual of
forensic odontology. 5th Ed; 2013. p. 278.)

Gambar Contoh foto close-up (sumber: Senn DR, Weems RA, editors. Manual of
forensic odontology. 5th Ed; 2013. p. 279.)

24
2.12 Analisis pola luka bekas gigitan17,19,31,32,33,34
Orang pertama yang menerbitkan analisis kasus bekas gigitan adalah
Sorup. Dia menyebut metode "odontoskopi," analog dengan identifikasi sidik
jari yang disebut "dactyloscopy." Dengan metode ini, gips gigi tersangka
diperoleh, dikeringkan, dan dipernis setelah itu tepi insisal dan oklusal
permukaan dilapisi dengan tinta printer. Setelah ini bertinta permukaan,
selembar kertas lembab ditekan, dan cetak ditransfer dari itu ke kertas
transparan. Cetakan ini ditempatkan lebih dari foto seukuran seumur hidup
dari tanda gigitan dan dibandingkan.
Identifikasi yang tepat dari orang yang hidup menggunakan individu
sifat dan karakteristik gigi dan rahang adalah dasar dari ilmu forensik. Tanda
gigitan yang tersisa pada seseorang mungkin digunakan untuk
mengidentifikasi pelaku. Identifikasi tanda gigitan didasarkan pada
individualitas gigi, yang digunakan untuk mencocokkan tanda gigitan dengan
orang yang dicurigai. Langkah terpenting dalam analisis tanda gigitan adalah
mengenali motif cedera sebagai tanda gigitan manusia diikuti oleh pola
analisis tanda gigitan yang menyediakan informasi tentang tersangka atau
pelaku dan menghubungkannya orang yang terlibat dalam kejahatan. Bekas
gigitan mengandung nilai bukti yang dapat digunakan dalam perbandingan
dengan gigi tersangka akan menyertakan tanda dari gigi tertentu itu merekam
karakter yang berbeda. Abrasi permukaan atau bawah permukaan perdarahan
yang disebabkan oleh gigitan manusia muncul sebagai lengkungan. Mereka
disebabkan oleh gigi seri, gigi taring dan gigi premolar. Luka memar adalah
jenis tanda gigitan yang paling umum dan bisa ditentukan dari jenis
perdarahan di bawah kulit apakah korban masih hidup atau mati pada saat
bekas gigitan itu dikirim.
Informasi berikut harus dicatat dalam analisis pola bekas gigitan:
a. Demografi: Nama pasien, usia, dan jenis kelamin Bersama nomor kasus,
tanggal pemeriksaan, dan nama pemeriksa harus dicatat

25
b. Lokasi tanda gigitan: Lokasi anatomi, kontur permukaan (datar,
melengkung, atau tidak teratur) yang mendasarinya seperti jaringan seperti
tulang, tulang rawan, otot, atau lemak tercatat
c. Bentuk tanda gigitan: Bentuk tanda gigitan seperti bulat, bulatm telur,
bulan sabit, atau tidak teratur harus dicatat
d. Warna dan ukuran tanda: Baik vertikal maupun horizontal dimensi harus
direkam
e. Jenis cedera: Petekie, memar, lecet, dan laserasi yang disebabkan oleh
bekas gigitan harus diperhatikan
f. Sifat dari tanda gigitan manusia: Tanda gigitan manusia biasanya setengah
lingkaran atau crescentic, dengan celah pada kedua sisinya. Gigi dapat
menyebabkan tanda yang jelas atau terpisah sebagai garis terputus-putus.
Tanda gigitan mungkin berbentuk lecet (abrasi), memar atau laserasi, atau
kombinasi.
Pembentukan tanda gigitan sebagai catatan yang dapat diterima
Identifikasi memerlukan analisis gigi tertentu karakteristik. Temuan gigi
harus mencakup:
a. Ada atau tidaknya setiap gigi,
b. Bentuk setiap gigi,
c. Hubungan antara rahang atas dan bawah,
d. Bentuk lengkung gigi,
e. Dimensi Mesiodistal dan
f. Setiap ciri yang tidak biasa (gigi supernumerary, rotasi, gigipatah,
diastema).

26
Ada empat metode perbandingan untuk mendeteksi bekas gigitan,
yaitu:
a. Perbandingan langsung
b. Overlay
c. Perbandingan tigadimensi (3D)
d. Perangkat lunak dalam bekas gigitan.
Metode Baru dalam Analisis Tanda Gigitan
a. Pemindai 3D dalam analisis tanda gigi
Pemindai 3D mengumpulkan data geometris dari permukaan suatu
objek dan membantu rekonstruksi bentuk objek. Dua jenis pemindai 3D
yang digunakan dalam tanda gigi analisis adalah pemindai kontak dan
laser. Pemindai 3D (point to point atau linear) menganalisis permukaan
objek dengan bantuan probe dengan baja keras atau ujung safir posisi
spasial dari probe ditentukan oleh serangkaian sensor internal,
menghasilkan rekonstruksi objek dari titik awal. Dalam pemindai laser 3D,
sinar laser dipancarkan dan mendeteksi kembalinya untuk merekam
geometri objek dengan triangulasi. Untuk mengumpulkan data dari semua
sisi dan merekonstruksi objek, beberapa pemotretan dibuat dari posisi
yang berbeda. Sistem referensi digunakan untuk mengoordinasikan semua
pemotretan dan untuk membuat model yang lengkap dengan menyatukan
masing-masing pemindaian melakukan penelitian untuk membandingkan

27
akurasi kontak dan pemindai laser yang digunakan di Indonesia analisis
tanda gigi.
b. Analisis morfometrik geometris
Analisis geometri morfometrik (GM) digunakan untuk
menggambarkan dan membandingkan bentuk biologis dalam analisis
bitemark. Kontribusi signifikan dari GM adalah mendefinisikan secara
matematis bentuk dan ukuran. Analisis kuantitatif bentuk dilakukan oleh
menangkap geometri struktur morfologi yang menarik dan informasinya
diawetkan dengan analisis statistic. Metode GM membantu dengan evaluasi
konfigurasi yang memungkinkan investigasi bentuk dan ukuran. Titik-titik,
kurva, dan permukaan ditempatkan dalam tiga dimensi dengan bantuan
perangkat lunak dan digunakan untuk menggambarkan fitur gigi seperti
lebar gigi taring, panjang mesial-distal, rotasi dan variasi ketinggian gigi.
Metode analisis bekas gigitan:
a. Metode Segitiga Odontometrik
Dalam metode segitiga odontometrik (metode objektif), sebuah segitiga
dibuat pada jejak bekas gigitan dan model gigi dengan menandai tiga titik -
A, B, dan C. titik A dan B digambar pada titik-titik cembung terluar pada
gigi taring. Pusat dua gigi seri sentral dipilih sebagai Titik C. Ketiganya
titik digabungkan untuk membentuk segitiga ABC. Baris AB, BC, dan CA
diukur, dan sudut a, b, dan c dihitung. Ini dilakukan untuk model gigi
rahang atas dan bawah dan dibandingkan dengan bekas gigitan lilin, apel,
dan kulit.
b. Teknik perbandingan Terbagi atas dua jenis: (1) langsung dan (2) tidak
langsung. Dalam metode langsung, model dari tersangka dapat langsung
ditempatkan di atas foto tanda gigitan untuk menunjukkan poin yang
sesuai. Rekaman video bisa digunakan untuk menunjukkan selip pada gigi
yang menghasilkan gambar terdistorsi dan mempelajari dinamika dari
bekas gigitan. Tanda gigitan dan gips belajar dapat dibandingkan dengan
menggunakan gambar tiga dimensi (3D). Metode tidak langsung

28
melibatkan persiapan overlay transparan yang kemudian ditempatkan di
atas foto 1: 1 yang diskalakan dan perbandingan dibuat.
c. Prosedur persepsi gambar dengan software Ini merupakan metode baru
untuk membandingkan dan menganalisis foto dari bekas gigitan dengan
hamparan gigi yang diduga penggigit menggunakan perangkat lunak
persepsi gambar. Sebuah foto tanda gigitan adalah dibuka dengan
perangkat lunak persepsi gambar, dan kemudian dipilih. Setelah pemilihan
semacam itu, warna bisa menjadi ditambahkan ke berbagai area skala abu-
abu pada gambar. Berwarna gambar tanda gigitan sekarang berlapis di atas
gigitan asli tandai foto menggunakan Photoshop of Adobe Systems.
Dengan perangkat lunak persepsi gambar, dimungkinkan untuk
menggambarkan 2D gambar sebagai objek 3D.
Metode khusus lainnya dalam analisis tanda gigitan adalah:
a. Vectron Ini digunakan untuk mengukur jarak antara titik tetap dan sudut.
b. Analisis grafis stereometrik Ini digunakan untuk menghasilkan peta balik
dari tersangka pertumbuhan gigi. Metode plot grafik stereometrik
memungkinkan garis tanda gigi atau tepi gigi yang menggigit diperiksa
secara sangat rinci dalam ketiga dimensi dalam bentuk peta kontur.
c. Pemindai analisis mikroskopis elektron dari bekas gigitan Tingkat korelasi
seperangkat gigi tertentu dengan tanda gigitan tertentu sebanding dengan
jumlahnya dan karakteristik umum untuk keduanya. Namun, karakteristik
individual jauh lebih signifikan karena kurang kemungkinan terjadi murni
secara kebetulan pada populasi tertentu. Sejak mikroskop elektron
pemindaian dapat dengan mudah menunjukkan karakteristik individu dan
itu bisa menjadi alat yang sangat berguna untuk odontolog forensic.
Analisa luka bekas gigitan terdiri atas:
a. Jalur inklusif tempat gigi geligi tersangka bisa diidentifikasi secara positif
karena gigi yang kuat dan konsisten dan perbandingan lengkung dengan
pola yang dicatat
b. Jalur pengecualian tempat gigi geligi tersangka diketahui tidak cocok
dengan pola yang tercatat dalam tanda gigitan cedera dan tersangka dapat

29
dikecualikan sebagai penyebabnya untuk bekas gigitan. Pengecualian
biasanya dilakukan lebih banyak sering dari pada inklusi
Kesimpulan analisis gigitan:
ABFO menyediakan serangkaian kesimpulan untuk menggambarkan
hasil perbandingan tanda gigitan:
a. Dikecualikan: Perbedaan dalam bekas gigitan dan tersangka pertumbuhan
gigi
b. Tidak meyakinkan: Detail forensik yang tidak mencukupi untuk
menggambar kesimpulan
c. Kemungkinan penggigit: Gigi seperti tersangka bisa diharapkan untuk
membuat topeng seperti yang diperiksa tapi bisa juga yang lain
pertumbuhan gigi
d. Kemungkinan penggigit: Tersangka kemungkinan besa rmenggigit; paling
orang dalam populasi tidak akan meninggalkan gigitan seperti itu
e. Kepastian medis yang masuk akal: Tersangka diidentifikasi untuk semua
tujuan praktis dan masuk akal dengan tanda gigitan.
Istilah yang digunakan untuk menggambarkan bitemark adalah:
a. Unik: Di sini, bekas gigitannya khas dan tidak biasa sedemikian rupa
sehingga tidak ada orang lain yang bisa membuat pola yang identik dengan
gigi mereka
b. Khas: Sangat spesifik dan individual, bervariasi dari normal, mis., tidak
biasa atau jarang
c. Tanda gigitan (positif) yang pasti disebut ketika ada tidak diragukan lagi
bahwa tanda itu disebabkan oleh gigi, dan lainnya kondisi telah
dipertimbangkan dan dihilangkan
d. Sangat mungkin menyarankan dengan kepastian virtual tanda menjadi
tanda gigitan, tetapi ada ruang untuk kemungkinan yang lain
menyebabkan, meskipun ini sangat tidak mungkin
e. Kemungkinan / mirip dengan / konsisten dengan / dibayangkan / mungkin/
tidak dapat dikesampingkan /tidak dapat dikecualikan: Istilah ini
menyiratkan bahwa tanda gigitan dapat diproduksi oleh gigi atau bisa

30
dibuat oleh sesuatu yang serupa yang menghasilkan penandaan itu terlihat
seperti bekas gigitan
f. Tidak mungkin /tidak konsisten – digunakan ketika tidak mungkin Pola
cedera adalah tanda gigitan
g. Tidak kompatibel /dikecualikan /tidak mungkin menyiratkan bahwa itu
bukan bekas gigitan tetapi sesuatu yang lain
h. Tidak dapat ditentukan /tidak boleh digunakan /tidak cukup. Pola
sedemikian rupa sehingga bisa berhubungan dengan gigi atau gigi sebagai
penyebabnya dari injuri.

2.13 Cara menentukan penyebab kematian


Kematian di mana penyebab yang diketahui dan yang dianggap tidak
wajar diselidiki. Yurisdiksi ini dilakukan oleh "ahli patologi forensik",
koroner, pemeriksa medis, atau kantor pemeriksa pemeriksa medis hibrida. Di
beberapa negara, undang-undang mengharuskan pemeriksa medis oleh
dokter, ahli patologi, atau ahli patologi forensik terpilih untuk penyelidikan
kematian hukum medico.35
Penyebab kematian telah didefinisikan sebagai semua penyakit atau
kondisi tidak wajar atau cedera baik karena kekerasan/kecelakaan yang
mengakibatkan atau berkontribusi pada kematian. Kematian sering terjadi
akibat efek gabungan dari dua atau lebih kondisi. Kondisi ini mungkin sama
sekali tidak terkait tetapi hadir secara bersamaan; atau mungkin terkait secara
kausal satu sama lain dalam urutan patologis-fisiologis. Dimana secara
berurutan, penting untuk memastikan penyebab kematian.24 Penyebab
kematian terbagi atas:36
a. Penyebab dasar kematian (underlying cause of death) Hal yang mengawali
peristiwa yang mengarah kekematian
b. Penyebab langsung kematian (immediate cause of death) Hal/peristiwa
terakhir yang menyebabkan kematian
c. Penyebab perantara kematian (antecedent cause of death) Hal yang
menjadi penghubung penyebab awal dan penyebab akhir kematian

31
d. Penyebab kontribusi (contributory cause of death) Hal yang turut
berkontribusi menyebabkan kematian
Penyebab kematian bisa akibat proses patologis, cedera, atau penyakit
yang secara langsung mengakibatkan atau memulai serangkaian peristiwa
yang mengarah pada kematian seseorang (juga disebut mekanisme kematian),
seperti luka tembak di kepala, exsanguination yang disebabkan oleh luka
tusuk, pencekikan manual atau ligatur, infark miokard akibat penyakit arteri
koroner,dll).36
Autopsi adalah prosedur medis yang terdiri dari pemeriksaan
menyeluruh tubuh dan organ dalam setelah kematian mengevaluasi penyakit
atau cedera dan untuk menentukan penyebab dan cara kematian seseorang.
Dalam pengaturan perawatan intensif, otopsi biasanya dilakukan untuk
menentukan penyebab kematian atau pengetahuan medis lebih lanjut.36
Otopsi juga memberikan peluang bagi masalah lain yang diangkat
oleh kematian untuk ditangani, seperti pengumpulan jejak bukti atau
menentukan identitas almarhum serta penentuan penyebab kematian, antara
lain dengan cara:35
a. Memeriksa dan mendokumentasikan luka dan cedera
b. Mengumpulkan dan memeriksa spesimen jaringan di bawah mikroskop
(histologi) untuk mengidentifikasi keberadaan atau tidak adanya penyakit
alami dan temuan mikroskopis lainnya seperti tubuh asbes di paru-paru
atau bubuk mesiu partikel di sekitar luka tembak.
c. Mengumpulkan dan menginterpretasikan analisis toksikologis pada
jaringan dan cairan tubuh untuk menentukan penyebab kimianya,
overdosis yang tidak disengaja atau keracunan yang disengaja.
"Cara kematian", keadaan di sekitar penyebab kematian, yang di
sebagian besar wilayah hukum meliputi:
a. Pembunuhan, kebetulan/accident
b. Bencana alam
c. Bunuh diri
d. Yang tidak dapat ditentukan (undetermined)

32
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Disaster Victim Identification (DVI) adalah prosedur untuk
mengidentifikasi korban meninggal dunia akibat bencana massal. Proses
DVI menggunakan berbagai metode. Identifikasi primer terdiri dari sidik
jari, dental record, dan DNA. Pada identifikasi dengan menggunakan
metode dental record, salah satunya dengan menggunakan bite mark atau
tanda gigitan. bite mark dapat didefinisikan sebagai tanda yang terjadi
sebagai akibat dari perubahan fisik pada media yang disebabkan oleh
kontak gigi, atau pola representatif yang tertinggal dalam suatu objek atau
jaringan oleh struktur gigi hewan. atau manusia.Bite mark ini ditemui
dalam sejumlah kejahatan terutama dalam kasus pembunuhan,
pertengkaran, penculikan, kasus pelecehan anak, kekerasan seksual. Bite
mark jika dianalisis dengan benar dapat membuktikan keterlibatan orang
atau orang tertentu dalam kejahatan tertentu. Seorang dokter harus mampu
meganalisis tanda gigitan yang ada pada korban dengan berbagai macam
metode sehingga proses identifikasi pelaku dapat segera diketahui.

B. Saran
Pada era sebelumnya atau bahkan sekarang proses identifikasi
korban menjadi hal yang penting melihat kondisi daerah rawan bencana di
Indonesia, sehingga ilmu pengetahuan tentang odontologi forensik perlu
ditingkatkan oleh seorang dokter gigi.
Demikianlah makalah yang kami buat ini, Semoga bermanfaat dan
menambah pengetahuan bagi para pembaca. Mohon maaf apabila ada
kesalahan ejaan dalam penulisan kata dan kalimat yang kurang jelas. Atas
segala kekurangan dari isi makalah ini, kiranya dimaklumi. Kami juga
sangat mengharapkan saran dan kritik dari para pembaca demi
kesempurnaan makalah ini dan untuk proses pembelajaran selanjutnya.
Sekian dan terima kasih.

33
DAFTAR PUSTAKA

1. Singh S. Instalasi/SMF kedokteran forensic dan medicolegal rumah sakit


umum Dr. Pirngadi Medan/FK-USU Medan. MajalahKedokteran Nusantara.
2008;41(4):254-7
2. Yunus M, Djais AI, Wulansari DP, Thunru M. Peranan dokter gigi dalam
disaster victim identification. Makassar Dental Journal. 2019; 8(1): 43-45
3. Prawestiningtyas E, Algozi AM. Forensic Identification Based on Both
Primary and Secondary Examination Priority in Victim Identifiers on Two
Different Mass Disaster Cases/ Identifikasi Forensik Berdasarkan
Pemeriksaan Primer dan Sekunder Sebagai Penentu Identitas Korban pada
Dua Kasus. J Kedokt Brawijaya. 2009;XXV(2):87–94
4. Henky, Safitry O. Identifikasi korban bencana massal: praktik DVI antara
teori dan kenyataan. Asosiasi Ilmu Forensik Indonesia. 2012; 2(1) : 6 p.
5. See KL, Aziz S, Mahmood MS. Beyond DVI: Future Identification, Research
and Archiving. J Forensic Res. 2016;7(6):1.
6. Afandi D. Visum et repertum. Ed.2. Pekanbaru : Fakultas Kedokteran
Universitas Riau. 2017. Oktober. Hal 1-11.
7. Shara DW, Amelia NR, Manalu BR. Peranan visum et repertum dalam proses
pembuktian perkara pidana penganiayaan biasa yang mengakibatkan
kematian. Jurnal mercatoria.Jun 2019; 12(1): 7
8. Ramadani SA, Salenda K, Kahpi A. Beban pembuktian visum et repertum
dalam penanganan kasus tidak pidana penganiayaan di kota Makassar.
ALDEV.2019;1(2): 3-4
9. Syamsuddin R. Peranan visum et repertum di pengadilan. Al-Risalah 2011;
11(1): 197-8, 202
10. Utama WT. Visum et repertum: a medicolegal report as a combination of
medical knowledge and skill with legal jurisdiction. JUKE. 2014 ; 4(8) : 270-
4 pp.
11. Badan Diklat Kejaksaan RI. Kedokteran Forensik. 2019. Jakarta: Kejaksaan
Ri. Pp. 7-8.

34
12. Ardhyan Yosy. Analasis atas permintaan penyidik untuk dilakukannya visum
et repertum menurut KUHP. Lex Administratum. Mar-Apr 2017; 5(2): 111-8
13. Meikahani R, Kriswanto ES. Pengembangan Buku Saku Pengenalan
Pertolongan dan Perawatan Cedera Olahraga untuk Siswa Sekolah Menengah
Pertama. Jurnal Pendidikan Jasmani Indonesia 2015; 11(1): 17-18.
14. Ulfa RA, Purnamasari R, Murniati N. Identifikasi Pola Gigitan Berdasarkan
Gender Dengan Metode Adaptive Region Growing dan Klasifikasi K-Nearest
Neighbor. e-Proceeding of Engineering 2019; 6(2): 3928.
15. Modak R, Tamgadge1 S, Mhapuskar A, Hebbale M, Vijayarabhavan N. V.
Bite Mark Analysis: Chasing The Bite! Indian J Oral Health Res 2016;2:61-6.
16. Weeratna J. Are They Dermatological Lesions, Bottle Top Burns Or Bite
Mark Injuries? Jfos. July 2014; 32(1): Pp. 1-8.
17. Kaur Sandeep, KrishanKewal, ChatterjeePreetika M, KanchanTanuj.Analysis
and Identification of Bite Marks In Forensic Casework. Ohdm; 12(3): 127-30.
18. Rao DS, Ali IM, Annigeri RG. Bitemarks - A review. J Dent Res Rev
2016;3:31-5.
19. Shah SS. Bite marks: A potent tool in forensic dentistry: A review.
International Journal of Medical and Health Research 2017; 3(3): 21-23.
20. Lukman D. Ilmu kedokteran gigi forensik. Jilid 2. Jakarta: Sagung Seto; 2006.
hal. 115-9, 126-33
21. Lynch VA, Duval JB. Forensic Nursing Science. 2nd. Missouri: Elsevier
Mosby. 2011. p 314
22. Yadav N, Srivastava PC. Bite marks : an indispensable forensic odontological
evidence in rape cases. J Indian Acad Forensic Med. Sep 2014;36 (3) :303 – 7
23. Silva RHA, Musse JDO, Melani RFH, Oliveira RN. Human bite mark
identification and DNA technology in forensic dentistry. Braz J Oral Sci
2006; 5(19) : 1193 – 97
24. Kawulusan FR, Kalangi SJ, Kaeke MM. Gambaran reaksi radang luka ante
mortem yang diperiksa 1 jam post mortem pada hewan coba. Jurnal e-
Biomedik (eBM)2014; 2(1): 393-7

35
25. Wijaya YA, Kalangi SJ, Kaeke MM. Gambaran reaksi radang luka post
mortem pada hewan coba. Jurnal e-Biomedik (eBM)2015: 3(1); 539-542
26. Afandi D. Visum et Repertum Perlukaan: Aspek Medikolegal dan Penentuan
Derajat Luka. Maj Kedokt Indon; 60(4): 188-95 pp.
27. Payne JJ, Crane Jack, Hinchliffe Judith A. Clinical Forensic Medicine: A
Physician’s Guide. 2nd Ed. Totowa: Humana Press Inc. 127-50 pp.
28. Rai B, Kaur J. Evidence- Based Forensic Dentistry. 2013. New York:
Springer. p.91.
29. Jain N. Forensic odontology. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers; 2013.
p. 144.
30. Senn DR, Weems RA, editors. Manual of forensic odontology. 5th Ed. Boca Ranton:
CRC Press; 2013. pp. 258, 277-9, 283-6, 289, 293.
31. Odak R, Tamgadge1 S, Mhapuskar A, Hebbale M, Vijayarabhavan N. V. Bite
Mark Analysis: Chasing the Bite! Indian J Oral Health Res 2016; 2: 61-6.
32. Ali IM, Annigeri RG. Bitemarks - A review. J Dent Res Rev 2016;3:31-5.
33. Abirami A, Nagabhushana D, Karthikeya P, Shankar HPJ, Vidhya A. Bite
mark: Is it still valid??.Int J Forensic Odontol 2019;4(1):14-20.
34. Kuttikara Swapna Jagadees. Methods in bitemark analysis.Osloensis 2017
May; 1(1): 1-20.
35. Sutharsana V. Forensic Pathology. International Journal of Pharmaceutical
Science Invention; 2(12); 7-11.
36. Wong Adrian, Osborn Michael, Waldmann Carl. Autopsy and Critical Care.
Journal of the Intensive Care Society 2015, Vol. 16(4) 278–281.

36

Anda mungkin juga menyukai