Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH BLOK VI.

4
SKENARIO 2

Pembimbing: drg. Firdaus, M.Si

Oleh : Kelompok 1

Ketua : Septi Herliza Nofianty (1910070110017)

Sekretaris : Aulia Zarvi (1910070110084)

Anggota :

Nanda Febrianti (1910070110009)

Lily Oktariza (1910070110037)

Amia Pratama (1910070110038)

Riza Fitriani. M (1910070110046)

Amanda Septiana. L (1910070110051)

Santun Mutia (1910070110056)

Hartati Sinaga (1910070110060)

Elphira Darma Putri (1910070110071)

Difa Dirgantara (1910070110075)

Miratin Khairah (1910070110085)

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI


UNIVERSITAS BAITURRAHMAH PADANG

2
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh


Dengan menyebut nama Allah SWT yang maha Pengasih lagi Maha
penyayang kami ucapkan puji dan syukur atas kehadirat-Nya yang telah
melipahkan Rahmat Hidayah, dan Inayah-Nya kepada kami. Sholawatan
beriringkan salam tak lupa kami sanjungkan untuk nabi besar Muhammad
SAW yang telah membawa kita dari zaman jahiliyah menuju zaman yang
penuh ilmu pengetahuan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
tentang “PETAKA PESAWAT JATUH”.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan
bantuan dari berbagai pihak, terutama drg. Firdaus, M.Si sebagai dosen
pembimbing sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk
itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang
telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih
ada kekurangan, baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasa. Oleh
karena itu, dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik
dari dosen pembimbing agar kami dapat memperbaiki makalah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ilmiah Skenario 1 Blok VI.4
tentang “THE DISASTER“ ini dapat memberikan manfaat maupun
inspirasi terhadap pembaca.

Padang, 11 Mei 2022

Kelompok Tutor 1

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.....................................................................................i
DAFTAR ISI...................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................1
1.1 Latar Belakang Masalah.....................................................................1
1.2 Rumusan Masalah...............................................................................2
1.3 Tujuan Pembelajaran...........................................................................2
BAB II PEMBAHASAN................................................................................3
2.1 Klarifikasi Istilah................................................................................3
2.2 Penetapan masalah..............................................................................4
2.3 Curah Pendapat...................................................................................4
2.4 Analisis permasalahan........................................................................6
2.5 Belajar Mandiri...................................................................................7
2.5 Melaporkan Hasil Belajar Mandiri.....................................................7
BAB III PENUTUP......................................................................................17
3.1 Kesimpulan........................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................18

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Definisi bencana sangat bervariasi. Menurut WHO, bencana adalah
setiap kejadian yang menyebabkan kerusakan, gangguan ekologis,
hilangnya nyawa manusia atau memburuknya derajat kesehatan atau
pelayanan kesehatan pada skala tertentu yang memerlukan respon dari luar
masyarakat atau wilayah yang terkena. Sedangkan menurut Departemen
Kesehatan RI, bencana adalah peristiwa/kejadian pada suatu daerah yang
mengakibatkan kerusakan ekologi, kerugian kehidupan manusia serta
memburuknya kesehatan dan pelayanan kesehatan yang bermakna sehingga
memerlukan bantuan luar biasa dari pihak luar.
Proses identifikasi terhadap mayat seseorang yang kondisinya tidak
lagi utuh atau sulit dikenali sebagai akibat terjadinya bencana atau
kecelakaan massal sering membutuhkan waktu yang relatif lama, hal ini
karena pihak kepolisian harus berhati-hati membandingkan setiap data ciri-
ciri seseorang yang diberikan oleh keluarga dengan data yang terdapat pada
mayat saat ditemukan. Dalam proses identifikasi, penggunaan data rekam
gigi merupakan salah satu data primer penting yang bisa menjadi penentu
identitas seseorang melalui tahap rekonsiliasi tim DVI atau Disaster Victim
Identification (Interpol, 2014; Jenny & Singh, 2017).
Proses identifikasi pada mayat yang sulit dikenali selama ini
membutuhkan waktu yang lama terutama jika kondisi mayat sudah rusak,
dan ciri-ciri fisik seperti wajah, rambut, maupun warna kulit tidak bisa lagi
memberikan petunjuk karena rusak. Proses identifikasi akan dimulai dengan
tahapan pengumpulan data post-mortem yang di ambil langsung dari mayat
tidak dikenal dan kemudian dibandingkan dengan data sebelum meninggal
atau antemortem. Kecepatan proses identifikasi ini sangat tergantung
terhadap tersedia atau tidaknya data ante-mortem yang memadai. Selain
ketersediaan data ante-mortem, tahapan proses yang akan dikerjakan juga
turut memperlama proses ini, seperti kebutuhan tes analisis DNA yang harus

1
mengambil sampel milik keluarga dan akan memerlukan waktu hingga 2
minggu dan biaya yang relatif mahal (Prawestiningtyas et al., 2009).
1.2 Rumusan Masalah

1. Apa saja pemeriksaan yang dilakukan pada fase postmortem sesuai


dg SK?
2. Bagaimana cara mendapatkan data antermortem?
3. Sebutkan prosedur identifikasi yang sesuai dengan DVI?

1.3 Tujuan Pembelajaran

1. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang fase


antemortem
2. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang fase
postmortem
3. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang
pemeriksaan fase postmortem
4. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang fase dari
standar DVI
5. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang prosedur
identifikasi
6. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang peran
dokter gigi pada kasus di skenario

2
BAB II

PEMBAHASAN

SKENARIO 2
"PETAKA PESAWAT JATUH"
Insiden jatuhnya pesawat Lion Air JT 610 diperairan laut karawang
oktober 2018, diperkirakan semua penumpang pesawat tidak ada yang
selamat. Hasil pencarian tim SAR didapatkan salah satu potongan tubuh
rahang bawah, dan potongan tersebut diperiksa pada fase postmortem.
Kemudia hasilnya dicocokkan dengan data antemortem. Prosedur
indentifikasi dilakukan sesuai dengan standar DVI.
Diskusikan dengan Langkah seven jump!

2.1 Klarifikasi Istilah


1.Fase post mortem
Fase post mortem adalah data yang didapat setelah tim menemukan
dan mengevakuasi korban. Dengan kata lain, data-data ini didapat dari
tubuh korban. Post mortem meliputi sidik jari, golongan darah, DNA, serta
konstruksi gigi. Foto diri korban beserta pakaian atau barang yang melekat
saat ditemukan juga termasuk dalam data post mortem.
2.Antemortem
Salah satu data yang dibutuhkan dalam proses identifikasi adalah
ante mortem, yaitu data-data sebelum korban meninggal. Biasanya, data
ante mortem didapat dari pihak keluarga, meliputi penampilan atau visual
korban sebelum mengalami kecelakaan. Ante mortem bisa meliputi pakaian
yang dikenakan, perhiasan, aksesoris, tanda lahir, tato, bekas luka, serta
sampel DNA dari anggota keluarga kandung.
3.Standar DVI
DVI adalah suatu prosedur standar yang dikembangkan oleh Interpol
(International Criminal Police Organization) untuk mengidentifikasi korban
yang meninggal akibat bencana massa.

3
4. SAR
Lembaga Pemerintah Non Kementrian Indonesia yang bertugas
melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pencarian dan pertolongan
(SAR/search and rescue).
2.2 Menetapkan permasalahan
1. Apa saja pemeriksaan yang dilakukan pada fase postmortem sesuai
dg SK?
2. Bagaimana cara mendapatkan data antermortem?
3. Sebutkan prosedur identifikasi yang sesuai dengan DVI?
2.3 Curah pendapat
1. Apa saja pemeriksaan yang dilakukan pada fase postmortem sesuai
dg SK?
Fase kedua dalam proses DVI adalah fase pemeriksaan mayat(Post
Mortem Examination). Fase ini dapat berlangsung bersamaan
dengan fase pertama dan fase ketiga. Pada fase ini, para ahli
identifikasi, dokter forensik dan dokter gigi forensik melakukan
pemeriksaan untuk mencari data postmortem sebanyak-banyaknya.
Sidik jari, pemeriksaan terhadap gigi, seluruh tubuh, dan barang
bawaan yang melekat pada mayat. Dilakukan pula pengambilan
sampel jaringan untuk pemeriksaan DNA. Data ini dimasukkan ke
dalam pink form berdasarkan standar Interpol.
2. Bagaimana cara mendapatkan data antermortem?
Antemortem atau data sebelum kematian merupakan salah satu fase
dalam mengidentifikasi korban bencana atau kecelakaan. Tim
antemortem bekerja mengumpulkan segala informasi maupun data-
data korban yang akan diidentifikasi. Tim ini meminta masukan
data sebanyak-banyaknya dari keluarga korban. Data yang diminta
mulai dari pakaian yang terakhir dikenakan, ciri-ciri khusus (tanda
lahir, tato, tahi lalat, bekas operasi, dan lainlain), data rekam medis
dari dokter keluarga dan dokter gigi korban, data sidik jari dari
pihak berwenang (kelurahan atau kepolisian), serta sidik DNA
apabila keluarga memilikinya. Apabila tidak ada data sidik DNA

4
korban maka dilakukan pengambilan sampel darah dari keluarga
korban. Data Ante Mortem diisikan ke dalam yellow form.
Selain itu, data data yang mencakup informasi umum korban
seperti nama, umur, berat badan, tinggi badan, pakaian dan
aksesoris yang dikenakan korban terakhir kali, hingga barang
bawaan korban serta kepemilikan lainnya juga membantu dalam
identifikasi. Data medis korban sebelum meninggal juga sangat
penting dalam pengumpulan data antemortem seperti warna kulit,
warna dan jenis rambut, warna mata, golongan darah, tanda seperti
tato, cacat, dan tanda khusus lainnya, sampai dengan catatan medis
gigi geligi.
3. Sebutkan prosedur identifikasi yang sesuai dengan DVI?
Proses DVI tersebut mempunyai empat fase, dimana setiap fasenya
mempunyai keterkaitan satu dengan yang lainnya. Fase-fase
tersebut yaitu :
a. Fase I – TKP (The Scene)
Merupakan tindakan awal yang dilakukan di tempat kejadian
peristiwa (TKP) bencana. Ketika suatu bencana terjadi, prioritas
yang paling utama adalah untuk mengetahui seberapa luas
jangkauan bencana.
b. Fase II – Kamar Mayat/Post Mortem (The Mortuary)
Pengumpulan data post-mortem atau data yang diperoleh paska
kematian dilakukan oleh post-mortem unit yang diberi wewenang
oleh organisasi yang memimpin komando DVI. Pada fase ini
dilakukan berbagai pemeriksaan yang kesemuanya dilakukan untuk
memperoleh dan mencatat data selengkap– lengkapnya mengenai
korban.
c. Fase III – Ante Mortem
Pada fase ini dilakukan pengumpulan data mengenai jenazah
sebelum kematian. Data ini biasanya diperoleh dari keluarga
jenazah maupun orang yang terdekat dengan jenazah. Data yang
diperoleh dapat berupa foto korban semasa hidup, interpretasi ciri –

5
ciri spesifik jenazah (tattoo, tindikan, bekas luka, dll), rekaman
pemeriksaan gigi korban, data sidik jari korban semasa hidup,
sampel DNA orang tua maupun kerabat korban, serta informasi –
informasi lain yang relevan dan dapat digunakan untuk kepentingan
identifikasi, misalnya informasi mengenai pakaian terakhir yang
dikenakan korban.
d. Fase IV – Rekonsiliasi
Pada fase ini dilakukan pembandingan data post mortem dengan
data ante mortem. Ahli forensik dan profesional lain yang terkait
dalam proses identifikasi menentukan apakah temuan post mortem
pada jenazah sesuai dengan data ante mortem milik korban yang
dicurigai sebagai jenazah. Apabila data yang dibandingkan terbukti
cocok maka dikatakan identifikasi positif atau telah tegak. Apabila
data yang dibandingkan ternyata tidak cocok maka identifikasi
dianggap negatif dan data post mortem jenazah tetap disimpan
sampai ditemukan data ante mortem yang sesuai dengan temuan
post mortem jenazah.

2.4 Menganalisis Permasalahan

Petaka Pesawat Jatuh

Jatuhnya Pesawat Lion


Air JT 610

Fase Post Mortem Fase Ant Mortem Standar DVI

6
2.5 Tujuan Pembelajaran
1. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang fase
antemortem
2. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang fase
postmortem
3. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang
pemeriksaan fase postmortem
4. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang fase dari
standar DVI
5. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang prosedur
identifikasi
6. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang peran
dokter gigi pada kasus di skenario

2.6 Belajar Mandiri


2.7 Melaporkan Hasil Belajar Mandiri
1. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang fase
antemortem
Antemortem atau data sebelum kematian merupakan salah satu fase
dalam mengidentifikasi korban bencana atau kecelakaan. Tim
antemortem bekerja mengumpulkan segala informasi maupun data-
data korban yang akan diidentifikasi. Tim ini meminta masukan data
sebanyak-banyaknya dari keluarga korban. Data yang diminta mulai
dari pakaian yang terakhir dikenakan, ciri-ciri khusus (tanda lahir,
tato, tahi lalat, bekas operasi, dan lainlain), data rekam medis dari
dokter keluarga dan dokter gigi korban, data sidik jari dari pihak
berwenang (kelurahan atau kepolisian), serta sidik DNA apabila
keluarga memilikinya. Apabila tidak ada data sidik DNA korban
maka dilakukan pengambilan sampel darah dari keluarga korban.
Data Ante Mortem diisikan ke dalam yellow form.
Selain itu, data data yang mencakup informasi umum korban seperti
nama, umur, berat badan, tinggi badan, pakaian dan aksesoris yang

7
dikenakan korban terakhir kali, hingga barang bawaan korban serta
kepemilikan lainnya juga membantu dalam identifikasi. Data medis
korban sebelum meninggal juga sangat penting dalam pengumpulan
data antemortem seperti warna kulit, warna dan jenis rambut, warna
mata, golongan darah, tanda seperti tato, cacat, dan tanda khusus
lainnya, sampai dengan catatan medis gigi geligi.
Adapun data primer antemortem yaitu ada 3: gigi, sidik jari, dan
DNA.
Data sidik jari bisa di dapatkan dari riwayat mengurus berkas berkas
pribadi seperti SKCK, E-KTP, paspor dan catatan kepolisian. Selain
data antemortem primer, ada data antemortem sekunder yang bisa
dijadikan bahan indentifikasi. Namun, keluarga korban harus
menyerahkan setidaknya 2 barang jenis antemortem sekunder. Data
sekunder biasanya berupa foto, berupa foto terduga korban dan foto
terakhir sebelum bencana atau foto diduga memakai pakaian yang
sama saat bencana terjadi. Selain itu, bisa juga yang menunjukkan
perhiasan atau pakaian yang sering dipakai. Bisa juga foto yang
menunjukkan secara jelas ciri fisik tertentu dari korban.

2. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang fase


postmortem
Post Mortem merupakan data-data fisik yang diperoleh melalui
Personal Identification setelah korban meninggal. Data-data tersebut
seperti sidik jari, golongan darah, ciri-ciri fisik korban yang spesifik,
konstruksi gigi geligi, foto rontgen dan foto diri korban lengkap
dengan pakaian dan aksesoris yang melekat di tubuh korban.
Pencatatan data postmortem menurut formulir DEPKES bewarna
merah dengan catatan Victim Identification (identifikasi korban)
pada mayat atau dead body ( tubuh korban). Pencatatan data
postmortem ini mula mula dilakukan topografi kemudian proses
pembukaan rahang bila kaku mayat untuk memperoleh data gigi dan
rongga mulut, dilakukan pencatatan rahang atas dan rahang bawah,

8
apabila terjadi kaku mayat maka lidah yang kaku tersebut diikat dan
ditarik ke atas sehingga lengkung rahang bebas dari lidah baru
dilakukan pencetakan, untuk rahang atas tidak bermasalah karena
lidah kaku ke bawah. Kemudian studi model rahang korban juga
merupakan suatu bukti
Fase kedua dari DVI adalah fase pengumpulan data postmortem atau
data yang diperoleh dari mayat korban/paska kematian. Pencarian
dan pengumpulan data dilakukan oleh postmortem unit yang diberi
wewenang oleh organisasi yang memimpin komando DVI. Pada fase
ini, dilakukan berbagai pemeriksaan yang keseluruhannya dilakukan
untuk memperoleh dan mencatat data selengkap-lengkapnya
mengenai mayat korban.
Kegiatan pada fase ini adalah sebagai berikut :
• Menerima jenazah/potongan jenazah dan barang bukti dari unit
TKP.
• Mengelompokkan kiriman tersebut berdasarkan jenazah utuh, tidak
utuh, potongan jenazah dan barang-barang.
• Membuat foto jenazah.
• Mengambil sidik jari jenazah/korban dan golongan darah.
• Melakukan pemeriksaan korban sesuai formulir interpol DVI
postmortem (PM) yang telah tersedia.
• Melakukan pemeriksaan terhadap properti yang melekat pada
jenazah.
• Pemeriksaan antropologi forensik : pemeriksaan fisik secara
keseluruhan, dari bentuk tubuh, tinggi badan, berat badan, tatoo,
hingga cacat tubuh dan bekas luka yang terdapat di tubuh
korban/jenazah.
• Pemeriksaan odontologi forensik : pemeriksaan bentuk gigi dan
rahang yang merupakan ciri khusus pada setiap manusia (tidak ada
profil gigi yang identik pada 2 orang yang berbeda).
• Membuat rontgen foto jika diperlukan.
• Mengambil sampel DNA.

9
• Menyimpan jenazah yang sudah diperiksa.
• Melakukan pemeriksaan barang-barang kepemilikan yang tidak
melekat di jenazah yang ditemukan di TKP.
• Mengirimkan data-data yang telah diperoleh kepada unit
pembanding data.
Data hasil pemeriksaan tersebut akan digolongkan menjadi dua tipe,
yaitu :
• Data Primer (sidik jari, profil gigi dan DNA).
• Data Sekunder (visual, fotografi, properti jenazah, antropologi dan
medis).
Dalam menentukan identifikasi seseorang secara positif, Badan
Identifikasi DVI Indonesia (Identification Board DVI Indonesia)
memiliki aturan atau syarat identifikasi yang harus dipenuhi, yaitu
didukung minimal salah satu dari data primer atau didukung minimal
dua data sekunder. Selain mengumpulkan data paska kematian, pada
fase ini juga dilakukan tindakan untuk mencegah perubahan-
perubahan paska kematian pada jenazah. Misalnya dengan
meletakan jenazah pada lingkungan dingin untuk memperlambat
pembusukan.

3. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang


pemeriksaan fase postmortem
Fase kedua dalam proses DVI adalah fase pemeriksaan mayat(Post
Mortem Examination). Fase ini dapat berlangsung bersamaan
dengan fase pertama dan fase ketiga. Pada fase ini, para ahli
identifikasi, dokter forensik dan dokter gigi forensik melakukan
pemeriksaan untuk mencari data postmortem sebanyak-banyaknya.
Sidik jari, pemeriksaan terhadap gigi, seluruh tubuh, dan barang
bawaan yang melekat pada mayat. Dilakukan pula pengambilan
sampel jaringan untuk pemeriksaan DNA. Data ini dimasukkan ke
dalam pink form berdasarkan standar Interpol.
a. Metode Sidik Jari

10
Metode ini membandingkan dan menyesuaikan sidik jari korban
dengan data sidik jari ante mortem yang dimana metode ini dapat
dikatakan metode dengan ketepatan palig tinggi untuk menentukan
identitas korban. Karena melalui sidik jari tidak mungkin ada data
yang sama dengan yang lainnya.
b. Metode Visual
Metode ini dilakukan dengan cara memperlihatkan jenazah korban
kepada keluarga yang kehilangan anggota keluarganyaa atau
kerabatnya jika korban masih dengan kondidi dapat di lihat secara
visual, alam arti korban belum membusuk dan bentuk tubuhnya
masih jelas dan dapat di yakini secara visual. Tetapi dalam
kecelakaan masal (pesawat) korban berkemungkinan besar sudah
tidak lagi utuh dan tidak dapat di kenali secara visual. Oleh karena
itu dalam proses identifikasi di gunakan metode lainnya. 1) Jika
dalam investigasi dan evakuasi di temukan dokumen dokumen dari
para korban kecelakaan maka dapat dilakukan pemeriksaan
dokumen 2) Selanjutnya dengan metode pemeriksaan pakaian yang
di pakai dan barang lainnya yang di gunakan korban seperti
perhiasan, jam, dll.
c. Metode Medik
Metode ini menggunakan data tinggi badan, berat badan, warna
rambut, warna mata,cacat/kelainan khusus. Metode ini dilakukan
oleh ahli dengan cara modifikasi seperti penggunaan sinar-x dan
pencetakan gigi serta rahang. Dalam metode ini dapat di peroleh data
jenis kelamin, ras, perkiraan umur, dan tinggi badan, kelainan pada
tulang, dan sebaginya.
1) Pemeriksaan Gigi
Pemeriksaan ini meliputi pencataan data gigi (odontogram) dan
rahang yang dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan
manual, sinar-x dan pencetakan gigi serta rahang. Odontogram
memuat data tentang jumlah, bentuk, susunan, tambalan, protesa
gigi, dan sebagainya. Seperti halnya dengan sidik jari, maka setiap

11
individu memiliki susunan gigi yang khas. Dengan demikian, dapat
dilakukan identifikasi dengan cara membandingkan data temuan
dengan data pembanding ante mortem.
2) Pemeriksaan serologic
Pemeriksaan serologi bertujuan untuk menentukan golongan darah
jenazah. Penentuan golongan darah pada jenazah yang telah
membusuk dapat dilakukan dengan memeriksa rambut, kuku dan
tulang.

4. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang fase


dari standar DVI
Proses DVI tersebut mempunyai empat fase, dimana setiap fasenya
mempunyai keterkaitan satu dengan yang lainnya. Fase-fase tersebut
yaitu :
a. Fase I – TKP (The Scene)
Merupakan tindakan awal yang dilakukan di tempat kejadian
peristiwa (TKP) bencana. Ketika suatu bencana terjadi, prioritas
yang paling utama adalah untuk mengetahui seberapa luas jangkauan
bencana. Sebuah organisasi resmi harus mengasumsikan komando
operasi secara keseluruhan untuk memastikan koordinasi personil
dan sumber daya material yang efektif dalam penanganan bencana.
Dalam kebanyakan kasus, polisi memikul tanggung jawab komando
untuk operasi secara keseluruhan. Sebuah tim pendahulu (kepala tim
DVI, ahli patologi forensik dan petugas polisi) harus sedini mungkin
dikirim ke TKP untuk mengevaluasi situasi.
b. Fase II – Kamar Mayat/Post Mortem (The Mortuary)
Pengumpulan data post-mortem atau data yang diperoleh paska
kematian dilakukan oleh post-mortem unit yang diberi wewenang
oleh organisasi yang memimpin komando DVI. Pada fase ini
dilakukan berbagai pemeriksaan yang kesemuanya dilakukan untuk
memperoleh dan mencatat data selengkap– lengkapnya mengenai
korban.

12
Pemeriksaan dan pencatatan data jenazah yang
dilakukan diantaranya meliputi :
1) Dokumentasi korban dengan mengabadikan foto kondisi jenazah
korban
2) Pemeriksaan fisik, baik pemeriksaan luar maupun pemeriksaan
dalam
jika diperlukan
3) Pemeriksaan sidik jari
4) Pemeriksaan rontgen
5) Pemeriksaan odontologi forensik : bentuk gigi dan rahang
merupakan ciri khusus tiap orang ; tidak ada profil gigi yang identik
pada 2 orang yang berbeda
6) Pemeriksaan DNA
7) Pemeriksaan antropologi forensik : pemeriksaan fisik secara
keseluruhan, dari bentuk tubuh, tinggi badan, berat badan, tatto
hingga cacat tubuh dan bekas luka yang ada di tubuh korban.
Data – data hasil pemeriksaan tersebut kemudian digolongkan ke
dalam data primer dan data sekunder sebagai berikut :
1) Primer (sidik jari, profil gigi, DNA)
2) Sekunder (visual, fotografi, properti jenazah, antropologi medis)
Di dalam menentukan identifikasi seseorang secara positif, Badan
Identifikasi DVI Indonesia mempunyai aturan-aturan, yaitu minimal
apabila salah satu identifikasi primer dan atau didukung dengan
minimal dua dari identifikasi sekunder.
Selain mengumpulkan data pasca kematian, pada fase ini juga
sekaligus dilakukan tindakan untuk mencegah perubahan–perubahan
paska kematian pada jenazah, misalnya dengan meletakkan jenazah
pada lingkungan dingin untuk memperlambat pembusukan.
c. Fase III – Ante Mortem
Pada fase ini dilakukan pengumpulan data mengenai jenazah
sebelum kematian. Data ini biasanya diperoleh dari keluarga jenazah
maupun orang yang terdekat dengan jenazah. Data yang diperoleh

13
dapat berupa foto korban semasa hidup, interpretasi ciri – ciri
spesifik jenazah (tattoo, tindikan, bekas luka, dll), rekaman
pemeriksaan gigi korban, data sidik jari korban semasa hidup,
sampel DNA orang tua maupun kerabat korban, serta informasi –
informasi lain yang relevan dan dapat digunakan untuk kepentingan
identifikasi, misalnya informasi mengenai pakaian terakhir yang
dikenakan korban.
d. Fase IV – Rekonsiliasi
Pada fase ini dilakukan pembandingan data post mortem dengan data
ante mortem. Ahli forensik dan profesional lain yang terkait dalam
proses identifikasi menentukan apakah temuan post mortem pada
jenazah sesuai dengan data ante mortem milik korban yang dicurigai
sebagai jenazah. Apabila data yang dibandingkan terbukti cocok
maka dikatakan identifikasi positif atau telah tegak. Apabila data
yang dibandingkan ternyata tidak cocok maka identifikasi dianggap
negatif dan data post mortem jenazah tetap disimpan sampai
ditemukan data ante mortem yang sesuai dengan temuan post
mortem jenazah.

5. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang


prosedur identifikasi
Proses identifikasi merupakan hal yang kompleks, untuk
mendapatkan identitas dari jenazah korban harus didukung oleh
sejumlah data-data. Agar memperoleh data yang dibutuhkan,
identifikasi dibidang odontologi forensik dilakukan melalui beberapa
tahap: (1) olah TKP; (2) membuat data pos mortem; (3) mencari data
ante motem; (4) pencocokan; (5) evaluasi. Kehandalan identifikasi
melalui metode odontologi forensik memilki ketepatan yang tinggi,
hingga hampir menyamai cara sidik jari.
Identifikasi dengan metode odontologi forensik ini dilakukan dengan
cara membandingkan dan melakukan evaluasi data antara ante
mortem dan pos mortem. Data yang ditemukan setelah pemeriksaan

14
dari jenasah tubuh korban, antara lain: pemeriksaan mulut, gigi,
rahang, kranium dan restorasi gigi. Data ini dilengkapi dengan
pengambilan foto radiografis dan foto radiologis, pemeriksaan intra
oral dicatat dengan lengkap pada odontogram, dilakukan dengan
hati-hati dll, sehingga diperoleh data post mortemi. Restorasi gigi
mudah dilihat pada pemeriksaan intra oral serta ditunjukkan dengan
gambaran radiopak pada foto radiologis, sehingga restorasi gigi
dapat digunakan sebagai alat bukti dalam mengungkap identitas
korban. Alat bukti lain yang dapat mendukung identifiksi jenazah
korban, antara lain catatan adanya properti yang melekat pada tubuh
korban.
Dimulai dari keterangan keluarga, teman dekat atau orang yang
mengenali korban untuk melengkapi data-data yang diperlukan
dalam proses identifikasi. Keterangan ini dipergunakan untuk
mencari data ante mortem yang dimiliki korban, antar lain: tambalan
gigi, mahkota selubung, dan lain-lain, selanjutnya properti yang
melekat pada tubuh korban. Data ante mortem yang diperoleh
Budi: Peran restorasi gigi dalam proses identifikasi korban dari data
perawatan dokter gigi kepada pasennya sebelum menjadi korban,
yang disimpan sebagai rekam medis minimal selama 5 tahun.
Keterangan dokter gigi untuk kepentingan di bidang odontologi
forensik diupayakan lengkap dan akurat, sehingga bilamana perlu
mencari data tambahan perawatan gigi dari dokter gigi lain yang
pernah merawat korban. Keberhasilan proses identifikasi tergantung
dari kecocokan antara data ante mortem dan post mortem,
selanjutnya dilakukan evaluasi agar mendapat hasil identitas korban
dengan tepat.

6. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang peran


dokter gigi pada kasus di scenario
Identifikasi korban berdasarkan analisis keadaan gigi geligi
merupakan metode identifikasi primer (utama) yang diakui oleh

15
Interpol. Gigi geligi dapat bertahan hingga temperatur 1600°C dan
tahan lama terhadap proses pembusukan sehingga identifikasi gigi
menjadi salah satu peran kunci dalam identifikasi korban, terutama
peristiwa korban massal. Oleh karena itu, dokter gigi memiliki
peranan yang sangat penting dalam DVI, mulai dari pengumpulan
data postmortem dan antemortem hingga rekonsiliasi. Sebagai tindak
lanjut disarankan data identitas penduduk tidak hanya tergantung
atas kartu sidik jari melainkan mulai digalakkan kartu identitas yang
memuat data rekam medis gigi geligi (odontogram).

16
BAB III
PENUTUP

1.1 Kesimpulan
Antemortem atau data sebelum kematian merupakan salah satu fase
dalam mengidentifikasi korban bencana atau kecelakaan. Data yang
diminta mulai dari pakaian yang terakhir dikenakan, ciri-ciri khusus
(tanda lahir, tato, tahi lalat, bekas operasi, dan lainlain), data rekam
medis dari dokter keluarga dan dokter gigi korban, data sidik jari dari
pihak berwenang (kelurahan atau kepolisian), serta sidik DNA apabila
keluarga memilikinya. Apabila tidak ada data sidik DNA korban maka
dilakukan pengambilan sampel darah dari keluarga korban.
Post Mortem merupakan data-data fisik yang diperoleh melalui
Personal Identification setelah korban meninggal. Data-data tersebut
seperti sidik jari, golongan darah, ciri-ciri fisik korban yang spesifik,
konstruksi gigi geligi, foto rontgen dan foto diri korban lengkap dengan
pakaian dan aksesoris yang melekat di tubuh korban.
Proses DVI tersebut mempunyai empat fase, dimana setiap fasenya
mempunyai keterkaitan satu dengan yang lainnya. Fase-fase tersebut
yaitu, a. Fase I – TKP (The Scene), b. Fase II – Kamar Mayat/Post
Mortem (The Mortuary), c. Fase III – Ante Mortem, d. Fase IV –
Rekonsiliasi

17
DAFTAR PUSTAKA

Henky and Safitry, O. (2012) ‘Identifikasi Korban Bencana Massal : Praktik


DVI Antara Teori dan Kenyataan’, Indonesian Journal of Legal and
Forensic Sciences, 2(1), pp. 5–7. Available at:
http://ejournal.unud.ac.id/new/detail-39-61-indonesian-journal-of-
legal-and-forensic-sciences-ijlfs.html.
Budi, A. T. (2014) ‘Peran restorasi gigi dalam proses identifikasi korban
(The role of dental restoration in victim identification)’, Journal of
the Indonesian Dental Association, 63(2), pp. 41–45. Available at:
http://jurnal.pdgi.or.id/index.php/jpdgi/article/view/68/70.
Denvy, R. and Arafat, M. R. (2021) ‘Identifikasi Forensik Terhadap Korban
Kecelakaan Massal (Pesawat) Di Tinjau Dari Ilmu Kedokteran
Forensik’, Jurnal Hukum POSITUM, 6(2), pp. 273–283.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Data dan informasi bencana
Indonesia. Diakses 14 Jan 2012. Diunduh dari: URL:
http://dibi.bnpb.go.id/DesInventar/dashboard Rao D.
Mass disaster management at scene. Diakses 14 Jan 2012.
Diunduhdari:URL:http://www.forensicpathologyonline.com/
index.php?option=com_content&view=a rticle&id=89&Itemid=112

18

Anda mungkin juga menyukai