Anda di halaman 1dari 45

LAPORAN TUTORIAL

SKENARIO A BLOK 28

Tutor : dr. Aidyl Fitrisyah, Sp.An


DISUSUN OLEH : KELOMPOK 4
KELAS : BETA 2016

Miranti Adi Ningsih (04011281621008)


Anis Illiana (04011281621047)
Nendy Oktari (04011281621223)
Raden Ayu Adelia Safitri (04011281621085)
Ahmad Ghozian Adani (04011281621087)
Imanuel Soni Tanudjaya (04011281621123)
Evalina (04011281621124)
Andyra Priandhana (04011281621127)
Dibyo Wiranto (04011281621133)
Ully Febra Kusuma (04011281621155)
Biaggi Prawira Nugraha (04011281621156)

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
TAHUN 2019
Kata pengatar

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa atas segala
rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan laporan tutorial
yang berjudul “Laporan Tutorial Skenario A Blok 28” sebagai tugas
kompetensi kelompok.
Kami menyadari bahwa laporan tutorial ini jauh dari sempurna. Oleh
karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna
perbaikan di masa mendatang.
Dalam penyelesaian laporan tutorial ini, kami banyak mendapat bantuan,
bimbingan dan saran. Pada kesempatan ini, kami ingin menyampaikan syukur,
hormat, dan terimakasih kepada :
1. Tuhan yang Maha Esa, yang telah merahmati kami dengan kelancaran
diskusi tutorial.
2. dr. Aidyl Fitrisyah, Sp.An selaku tutor kelompok 4.
3. Teman-teman sejawat FK Unsri, terutama kelas PSPD Beta 2016.
Semoga Tuhan memberikan balasan pahala atas segala amal yang
diberikan kepada semua orang yang telah mendukung kami dan semoga laporan
tutorial ini bermanfaat bagi kita dan perkembangan ilmu pengetahuan. Semoga
kita selalu dalam lindungan Tuhan.

Palembang, 20 November 2019

Kelompok 4

ii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar........................................................................................................ii
Daftar Isi................................................................................................................iii
Kegiatan Diskusi.....................................................................................................4
Skenario..................................................................................................................5
I. Klarifikasi Istilah................................................................................................. 5
II. Identifikasi Masalah........................................................................................... 6
III. Analisis Masalah............................................................................................... 6
IV. Sintesis............................................................................................................ 25
V. Kerangka konsep.............................................................................................. 44
VI. Kesimpulan..................................................................................................... 45
Daftar Pustaka.......................................................................................................46

iii
KEGIATAN DISKUSI

Tutor : dr. Aidyl Fitrisyah, Sp.An


Moderator : Miranti Adiningsih
Sekretaris 1 : Biaggi Prawira Nugraha
Sekretaris 2 : Andyra Priandhana
Pelaksanaan : 1. Senin , 18 November 2019
Pukul 13.00 – 15.00 WIB
2. Rabu , 20 November 2019
Pukul 13.00 – 15.00 WIB

Peraturan selama tutorial :


 Semua peserta wajib aktif dalam kegiatan diskusi
 Mengangkat tangan sebelum menyampaikan pendapat.
 Menjawab dan menyampaikan pendapat apabila telah diizinkan oleh
moderator.
 Tidak langsung menyanggah pendapat orang lain.
 Tidak diperbolehkan mengoperasikan hp.
 Meminta izin terlebih dahulu dari moderator jika hendak keluar.
SKENARIO A BLOK 28 TAHUN 2019

Seorang laki-laki tidak dikenal ditemukan mati di sungai musi. Masyarakat melapor ke polisi
terdekat, lalu polisi membawa mayat ke rumah sakit untuk dilakukan visum. Dokter yang
memeriksa menemukan jenazah dengan kondisi memakai baju kaos oblong warna hitam
merk adidas ukuran XL, celana jeans panjang warna hitam ukuran 36 merk levis, celana
dalam warna hitam merk crocodile ukuran XL, kemudian kaos kaki warna cokelat tanpa merk
dan ukuran. Ditemukan tattoo di dada kanan bergambar burung Garuda, jam tangan merk
casio, cincin pada jari manis kanan bermata batu akik warna biru. Panjang badan 160 cm, gigi
geraham belakang semua sudah tumbuh. Satu gigi depan atas kanan patah sebagian, wajah
menggembung, kedua tangan menggenggam, tangan dan kaki tampak keriput dengan posisi
mayat terlentang. Pada mayat juga ditemukan keluar buih besar dan mudah pecah yang keluar
dari mulut dan hidung, serta pada korban ditemukan luka iris lengan bawah kanan sepanjang
2 cm dengan dalam 0,5 cm. berdasarkan informasi dari kepolisian jenazah ini diduga korban
begal di atas jembatan musi IV.

I. KLARIFIKASI ISTILAH

No Istilah Klarifikasi
1 Mati Ketiadaan nyawa dalam organisme biologi
2 Visum Keterangan tertulis yang dibuat oleh dokter forensik
atas permintaan penyidik yang berwenang mengenai
pemeriksaan medik pada manusia hidup atau mati atau
bagian tubuh manusia berdasarkan keilmuannya
3 Mayat Badan atau tubuh orang yang sudah mati
4 Luka iris Teriris oleh benda yang tajam dengan suatu tekanan
ringan atau goresan pada permukaan tubuh
5 Wajah menggembung Wajah yang membesar
6 Keriput Lipatan garis atau kerutan yang muncul pada kulit

5
II. IDENTIFIKASI MASALAH
1. Seorang laki-laki tidak dikenal ditemukan mati di sungai Musi. Masyarakat
melapor ke polisi terdekat, lalu polisi membawa mayat ke rumah sakit untuk
dilakukan visum.
2. Dokter yang memeriksa menemukan jenazah dengan kondisi memakai baju kaos
oblong warna hitam merk adidas ukuran XL, celana jeans panjang warna hitam
ukuran 36 merk levis, celana dalam warna hitam merk crocodile ukuran XL,
kemudian kaos kaki warna cokelat tanpa merk dan ukuran. Ditemukan tattoo di
dada kanan bergambar burung Garuda, jam tangan merk casio, cincin pada jari
manis kanan bermata batu akik warna biru. Berdasarkan informasi dari kepolisian
jenazah ini diduga korban begal di atas jembatan Musi IV.
3. Panjang badan 160 cm, gigi geraham belakang semua sudah tumbuh. Satu gigi
depan atas kanan patah sebagian, wajah menggembung, kedua tangan
menggenggam, tangan dan kaki tampak keriput dengan posisi mayat terlentang.
Pada mayat juga ditemukan keluar buih besar dan mudah pecah yang keluar dari
mulut dan hidung, serta pada korban ditemukan luka iris lengan bawah kanan
sepanjang 2 cm dengan dalam 0,5 cm.

III. ANALISIS MASALAH


1. Seorang laki-laki tidak dikenal ditemukan mati di sungai musi. Masyarakat
melapor ke polisi terdekat, lalu polisi membawa mayat ke rumah sakit untuk
dilakukan visum.
a. Apa saja pemeriksaan yang dilakukan pada saat visum
Jawab :
ANDYRA
Tidak ada ketentuan khusus yang mengatur pemeriksaan apa saja yang
harus dan boleh dilakukan oleh dokter. Hal ini berarti bahwa pemilihan jenis
pemeriksaan yang dilakukan diserahkan sepenuhnya kepada dokter dengan
mengandalkan tanggung jawab profesi kedokteran.
ULLY
- Pemeriksaan luar
Segala sesuatu yang terdapat pada bagian luar tubuh korban seperti bekas
tusukan, bekas robekan, darah dan busa yang keluar dari mulut dsb
- Pemeriksaan dalam
6
Semua pemeriksaan yang etrkait dengan kondisi tubuh bagian dalam
korban seperti keadaan paru-parunya, lambung, jantung, hati dll
b. Bagaimana proses pembuatan visum?
Jawab :
PROSEDUR PEMBUATAN VISUM ET REPERTUM
(VISUM LUAR)
Pengertian           : Visum et Repertum adalah suatu keterangan medis tentang
kondisi seorang yang dapat digunakan sebagai alat bukti dalam kasus hukum.
Tujuan                 : Sebagai acuan bagi dokter dalam pembuatanVisum et
Repertum
Kebijakan            : pembuatan Visum et Repertum dibuat berdasarkan surat
permintaan dari kepolisian (penyidik)
Korban datang ke RS tampa disertai surat permintaan Visum hasil di catat di
Rekam Medik Rumah sakit.
Prosedur              :
1. Korban datang ke Rumah sakit yang diantar oleh penyidik kepolisian
dan membawa permintaan Visum et Repertum.
2. Dilakukan pemeriksaan dan pencatatan terhadap temuan klinis dan
didokumentasikan dengan label yang berisi nomor VER, Nama,
Umur, Pemeriksa, tanggal dan waktu.
3. Korban yang memerlukan perawatan dan pengobatan dilayani
petugas yang bertugas seperti luka-luka dan obat-obatan sesuai
dengan standar pelayanan medis di Rumah Sakit.
4. Hasil/ data  yang didapatkan dari korban dicatat dibuku visum yang
telah disiapkan.
5. Hasil visum yang buat oleh dokter diserahkan kebagian dokpol
Rumah Sakit untuk pencatatan hasil dengan cara komputerisasi, hasil
yang sudah dibuat di tanda tangani oleh dokter yang membuat dan
diketahui oleh kepala rumah sakit.
6. Petugas Rumah Sakit menjaga kerahasiaan data korban.
Unit Terkait: IGD, perawatan, ICU, Instalasi Forensik, Dokumentasi.
PROSEDUR PEMBUATAN VISUM ET REPERTUM
(VISUM DALAM / OTOPSI)

7
Pengertian           : Visum et Repertum adalah suatu keterangan medis tentang
kondisi seorang yang dapat digunakan sebagai alat bukti dalam kasus hukum.
Tujuan                 : Sebagai acuan bagi dokter dalam pembuatanVisum et
Repertum .
Kebijakan            : pembuatan Visum et Repertum dibuat berdasarkan surat
permintaan dari kepolisian (penyidik)
Korban datang ke RS tampa disertai surat permintaan Visum hasil di catat di
Rekam Medik Rumah sakit.
Prosedur              : Pelaksanaan otopsi di lengkapi dengan persetujuan
keluarga korban.
1. Korban datang ke Rumah sakit yang diantar oleh penyidik kepolisian
dan membawa permintaan Visum et Repertum dan lembar 
persetujuan dari pihak penyidik yang ditangani oleh keluarga korban.
2. Dikoordinasikan dengan pimpinan Kepala Rumah Sakit atau Kepala
Bidang Dokter Kesehatan Kepolisian .
3. Petugas menyiapkan peralatan medis untuk otopsi.
4. Sebelum melaksanakan otopsi petugas yang bertugas melaksanakan
doa untuk menghormati jenazah.
5. Bila ada organ tubuh yang diambil akan dijadikan sampel, organ di
letakkan diwadah/botol yang dilengkapi dengan ukuran panjang,
berat, nama organ, jam, dan tanggal pengambilan sampel .
6. Setelah pemeriksaan otopsi dilakukan korban atau jenazah di
Rekonstruksi (perbaikan tubuh korban seperti semula).
7. Hasil atau data yang didapatkan dari korban dicatat di buku visum
yang telah disiapkan.
c. Apa saja jenis jenis visum?
Jawab :

1) Visum et repertum psikiatri


2) Visum et repertum ragawi / fisik

 Visum et repertum jenazah

 Visum et repertum korban hidup

- Visum et repertum perlukaan

8
- Visum et repertum keracunan

- Visum et repertum kejahatan seksual

d. Apa saja indikasi dilakukannya visum?


Jawab :
a) Untuk memberikan kepada hakim (majelis) suatu kenyataan akan fakta-
fakta dari  bukti-bukti tersebut atas semua keadaan, hal sebagaimana
tertuang pembagian  pemberitaan agar hakim dapat mengambil
keputusannya dengan tepat atas dasar kenyataan atau fakta-fakta tersebut
sehingga dapat menjadi pendukung atas keyakinan hakim
b) Membantu penyidik untuk mengungkapkan tindak pidana
c) Sebagai alat bukti sah. Karena visum et repertum merupakan suatu
keterangan ahli dari dokter maka termasuk salah satu alat bukti sah dalam
KUHAP 184
d) Visum et repertum merupakan pengganti barang bukti tersebut yang diperiksa secara
ilmiah oleh dokter ahli karena barang bukti yang diperiksa akan
mengalami perubahan alamiah
e) Mencari, menentukan sebab kematian pada korban meninggal dunia
f) Untuk memberikan kepada hakim (majelis)suatu kenyataan akan fakta-
fakta dari bukti-bukti atas semua keadaan/hal sebagaimana tertuang
dalam pembagian pemberitaan agar hakim dapat mengambil putusannya
dengan tepat atas dasar kenyataan atau fakta-fakta tersebut,sehingga
dapat menjadi pendukung atas keyakinan hakim. (Barama, M. 2011)
e. Apa saja bagian-bagian laporan visum?
Jawab :
Unsur penting dalam VeR yang diusulkan oleh banyak ahli adalah sebagai
berikut:
1. Pro Justitia
Kata tersebut harus dicantumkan di kiri atas, dengan demikian
VeR tidak perlu bermaterai.
2. Pendahuluan
Pendahuluan memuat: identitas pemohon visum et repertum,
tanggal dan pukul diterimanya permohonan VeR, identitas dokter
yang melakukan pemeriksaan, identitas subjek yang diperiksa :
9
nama, jenis kelamin, umur, bangsa, alamat, pekerjaan, kapan
dilakukan pemeriksaan, dan tempat dilakukan pemeriksaan.
3. Pemberitaan (Hasil Pemeriksaan)
Memuat hasil pemeriksaan yang objektif sesuai dengan apa yang
diamati, terutama dilihat dan ditemukan pada korban atau benda
yang diperiksa. Pemeriksaan dilakukan dengan sistematis dari
atas ke bawah sehingga tidak ada yang tertinggal.
Pada pemeriksaan korban hidup, bagian pemberitaan terdiri dari:
a. Pemeriksaan anamnesis atau wawancara mengenai apa yang
dikeluhkan dan apa yang diriwayatkan yang menyangkut tentang
‘penyakit’ yang diderita korban sebagai hasil dari
kekerasan/tindak pidana/diduga kekerasan.
b. Hasil pemeriksaan yang memuat seluruh hasil pemeriksaan, baik
pemeriksaan fisik maupun pemeriksaan laboratorium dan
pemeriksaan penunjang lainnya. Uraian hasil pemeriksaan korban
hidup berbeda dengan pada korban mati, yaitu hanya uraian
tentang keadaan umum dan perlukaan serta hal-hal lain yang
berkaitan dengan tindak pidananya (status lokalis).
c. Tindakan dan perawatan berikut indikasinya, atau pada keadaan
sebaliknya, ‘alasan tidak dilakukannya suatu tindakan yang
seharusnya dilakukan’. Uraian meliputi juga semua temuan pada
saat dilakukannya tindakan dan perawatan tersebut. Hal tersebut
perlu diuraikan untuk menghindari kesalahpahaman tentang tepat/
tidaknya penanganan dokter dan tepat/tidaknya kesimpulan yang
diambil.
d. Keadaan akhir korban, terutama tentang gejala sisa dan cacat
badan merupakan hal penting untuk pembuatan kesimpulan
sehingga harus diuraikan dengan jelas.

10
f. Bagaimana alur pelaporan ketika ditemukan jenazah?
Jawab :

Adanya alur mekanisme dalam pembuatan Laporan kasus Penemuan Mayat


dan Pembunuhan sangat diperlukan bagi masyarakat/keluarga korban untuk
mengetahui proses laporan masyarakat yang ditangani oleh petugas.

SPKT : Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu


RIKSA : Pemeriksaan
LIDIK : Penyelidikan
IDENT : Identifikasi
RESKRIM : Reserse Kriminal
Berikut adalah prosedur melaporkan tindak pidana kepada polisi:
1. Melaporkan peristiwa tindak pidana atau kriminal ke kantor polisi
terdekat terlebih dahulu.
Terdapat daerah hukum kepolisian Negara Republik Indonesia, yang
diatur dalam Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun
2007:
a. Markas Besar (Mabes) Polri untuk wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia

11
b. Kepolisian Daerah (Polda) untuk wilayah provinsi
c. Kepolisian Resort (Polres) untuk wilayah kabupaten/kota
d. Kepolisan Sektor (Polsek) untuk wilayah kecamatan
Terkait hal di atas, warga dapat melaporkan tindak pidana atau kriminal
kepada kepolisian tingkat sektor di mana tindak pidana tersebut terjadi.
2. Berdasarkan Pasal 106 Ayat (2) Peraturan Kepala Kepolisian Negara
Nomor 23 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja pada
Tingkat Kepolisian Resor dan Kepolisian Sektor, SPKT (Sentra
Pelayanan Kepolisian Terpadu) bertugas untuk memberikan pelayanan
kepolisian secara terpadu terhadap laporan atau pengaduan masyarakat,
memberikan bantuan dan pertolongan, serta memberikan pelayanan
informasi. Maka dari itu setelah mendatangi kantor polisi, bisa langsung
ke bagian SPKT untuk memberi laporan atau pengaduan. Selanjutnya
penyidik akan memberikan surat tanda penerimaan laporan atau
pengaduan kepada yang bersangkutan.
3. Setelah itu, penyidikan terhadap suatu tindak pidana dilaksanakan
berdasarkan laporan polisi dan surat perintah penyidikan. Setelah laporan
polisi dibuat, terhadap pelapor akan dilakukan pemeriksaan yang
dituangkan dalam “Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Saksi Pelapor”.
g. Apa saja tanda-tanda seseorang telah meninggal?
Jawab :
Tanda kematian tidak pasti:
a. Pernapasan berhenti, dinilai selama lebih dari 10 menit
b. Terhentinya sirkulasi yang dinilai selama 15 menit, nadi karotis tidak
teraba
c. Kulit pucat
d. Tonus otot menghilang dan relaksasi
e. Pembuluh darah retina mengalami segmentasi beberapa menit setelah
kematian
f. Pengeringan kornea menimbulkan kekeruhan dalam waktu 10 menit
yang masih dapat dihilangkan dengan meneteskan air mata

12
Tanda kematian pasti:

a. Livor mortis (lebam mayat)


Livor mortis adalah bercak atau noda besar merah kebiruan atau merah
ungu (livide) pada lokasi terendah tubuh mayat akibat penumpukan
eritrosit atau stagnasi darah karena terhentinya kerja pembuluh darah dan
gaya gravitasi bumi, bukan bagian mayat yang tertekan oleh alas keras.
Bercak mulai tampak 20-30 menit pasca kematian klinis.
b. Rigor mortis (kaku mayat)
Rigor mortis adalah kekakuan yang terjadi pada otot yang kadang-
kadang disertai dengan sedikit pemendekan serabut otot, yang terjadi
setelah periode pelemasan/relaksasi primer, disebabkan oleh perubahan
kimiawi pad aprotein yang terdapat dalam serabut-serabut otot. Keadaan
yang menyerupai kekakuan mayat, antara lain:
- Cadaveric spasme  kekakuan pada sekelompok otot dan kadang-
kadang pada seluruh otot, segera setelah terjadi kematian somatis
dan tanpa melalui relaksasi primer
- Heat stiffening  kekakuan akibat suhu tinggi, misal pada kasus
kebakaran
- Cold stiffening kekakuan akibat suhu rendah, cairan tubuh
terutama yang terdapat dalam sendi-sendi akan membeku
c. Algor mortis (penurunan suhu tubuh) Algor mortis terjadi akibat
terhentinya produksi panas dan terjadinya pengeluaran panas secara terus
menerus akibat perbedaan suhu antara mayat dengan lingkungannya.
Penilaian algor mortis:
- Lingkungan sangat mempengaruhi ketidakteraturan penurunan suhu
tubuh mayat
- Tempat pengukuran suhu memegang peranan penting
- Dahi dingin setelah 4 jam post-mortem
- Badan dingin setelah 12 jam post-mortem
- Suhu organ dalam mulai berubah setelah 5 jam post-mortem
- Bila korban mati dalam air, penurunan suhu tubuhnya tergantung
dari suhu, aliran, dan keadaan airnya

13
d. Pembusukan
Pembusukan mayat adalah proses degradasi jaringan terutama protein
akibat autolisis dan kerja bakteri pembusuk terutama Clostridium
welchii. Syarat terjadinya degradasi jaringan yaitu adanya
mikroorganisme dan enzim proteolitik. Tanda-tanda pembusukan akan
mulai tampak setelah kira-kira 24 jam pasca kematian. Tanda-tanda
pembusukan antara lain:
1. Wajah dan bibir membengkak
2. Mata menonjol
3. Lidah terjulur
4. Lubang hidung dan mulut mengeluarkan darah
5. Lubang lainnya keluar isinya seperti feses (usus), isi lambung,
dan partus (gravid)
6. Badan menggembung
7. Bulla atau kulit ari terlepas
8. Aborescent pattern/marbling  vena superfisialis kulit berwarna
kehijauan
9. Pembuluh darah bawah kulit melebar
10. Dinding perut pecah
11. Skrotum atau vulva membengkak
12. Kuku terlepas
13. Rambut terlepas
14. Organ dalam membusuk
15. Ditemukannya larva lalat (36-48 jam pasca kematian)
e. Adipocere (lilin mayat)
Adipocere adalah keadaan dimana tubuh mayat mengalami hidrolisis dan
hidrogenasi pada jaringan lemaknya. Hidrolisis dapat terjadi akibat
terbentuknya lestinase, suatu enzim yang dihasilkan oleh Klostridium
welchii, yang berpengaruh terhadap jaringan lemak. Pembentukan
adipocere membutuhkan waktu yang lama yaitu beberapa minggu
sampai beberapa bulan.
f. Mummifikasi
Mummifikasi dapat terjadi bila keadaan lingkungan menyebabkan
pengeringan dengan cepat sehingga dapat menghentikan proses
14
pembusukan. Jaringan akan menjadi gelap, keras, dan kering.
Pengeringan akan menyebabkan menyusutnya alat-alat dalam tubuh,
sehingga tubuh akan menjadi lebih kecil dan ringan.
2. Dokter yang memeriksa menemukan jenazah dengan kondisi memakai baju kaos
oblong warna hitam merk adidas ukuran XL, celana jeans panjang warna hitam
ukuran 36 merk levis, celana dalam warna hitam merk crocodile ukuran XL,
kemudian kaos kaki warna cokelat tanpa merk dan ukuran. Ditemukan tattoo di
dada kanan bergambar burung Garuda, jam tangan merk casio, cincin pada jari
manis kanan bermata batu akik warna biru. Berdasarkan informasi dari kepolisian
jenazah ini diduga korban begal di atas jembatan musi IV.
a. Bagaimana makna klinis dari kalimat diatas?
Jawab :
Jika dilihat dari ukuran pakaian dan tinggi badan korban, korban
memiliki IMT overweight-obese sehingga luas permukaan tubuhnya lebih
luas membuat tubuhnya mudah mengapung di sungai. Dilihat dari merk
pakaian yang dikenakan, maka korban berada di tingkat ekonomi di atas rata-
rata sehingga membuat korban menjadi target pembegalan. Pelaku
kemungkinan ada dua orang karena dengan maksud mengambil motor
korban. Satu pelaku membawa motor sendiri untuk jaga-jaga jika ingin
kabur/lari dari TKP, satu rekannya memukul korban dan mengambil motor
korban.
b. Bagaimana pemeriksaan untuk mengidentifikasi jenazah yang tidak dikenal?
Jawab :
Umumnya identifikasi forensik bertujuan untuk membantu penyidik
dalam menentukan identitas seseorang yang berkaitan dengan suatu kasus
pidana maupun perdata.
Terdapat beberapa metode identifikasi yang dapat digunakan dalam
menentukan identitas seseorang. Metode identifikasi ini dapat dibagi menjadi
identifikasi primer dan identifikasi sekunder. Identifikasi primer antara lain
sidik jari, DNA dan data gigi geligi. Identifikasi sekunder seperti deformitas,
tanda lahir atau bekas luka, sinar X dan pakaian/perhiasan pribadi. Identitas
seseorang tersebut dapat dipastikan apabila didapatkan paling sedikit dua
hasil positif dari metode berbeda.
Beberapa metode yang dapat digunakan adalah :
15
1. Pemeriksaan Sidik Jari
Metode ini membandingkan data sidik jari jenazah dengan data sidik jari
antemortem. Merode ini diakui memiliki ketepatan yang tinggi.
2. Pemeriksaan DNA
Gambaran DNA tiap individu sangat spesifik dan dapat dijadikan
patokan dalam identifikasi. Keungkinan dua individu yang tidak
memiliki hubungan darah untuk memiliki sekuens DNA yang sama
sangat kecil yaitu 1 : 1.000.000.000.
3. Pemeriksaan Gigi
Pemeriksaan ini membandingkan data gigi dan rahang jenazah dengan
data antemortem. Seperti sidik jari, data gigi setiap individu juga berbeda
satu sama lainnya. Pencatatan data gigi dan rahang (odontogram).
dilakukan secara manual, sinar-X, dan pencetakan gigi dan rahang. Data
ini berisi tentang jumlah gigi, susunan, bentuk, tambalan, gigi palsu dan
sebagainya.
4. Metode Visual
Metode ini dilakukan dengan memperlihatkan jenazah kepada orang-
orang yang merasa kehilangan kerabatnya. Jenazah sebaiknya dalam
keadaan yang belum membusuk sehingga wajah dan bentuk tubuh masih
dapat dikenali oleh lebih dari satu orang. Metode ini juga harus
memperhatikan faktor emosi kerabat dalam mebenarkan atau
menyangkal identitas jenazah tersebut.
5. Pemeriksaan Dokumen
Metode ini dapat dilakukan apabila ditemukan dokumen yang berisikan
identitas seperti kartu identitas pribadi, surat izin mengemudi dan
sebagainya di dalam saku pakaian yang dikenakan jenazah. Dokumen
yang berada didekat jenazah belum tentu merupakan milik jenazah yang
bersangkutan, terutama pada kasus seperti kecelakaan masal.
6. Pemeriksaan Pakaian dan Perhiasan
Pada pakaian dan perhiasan yang dikenakan jenazah kemungkinan dapat
diperoleh data berupa merk pakaian, ukuran, inisial nama, lencana dan
sebagainya yang dapat membantu, walaupun telah terjadi proses
pembusukan pada jenazah tersebut.
7. Identifikasi Medik
16
Metode ini menggunakan data tinggi badan, berat badan, warna rambut,
warna mata, kelainan khusus, tato dan sebagainya. Ketepatan metode ini
cukup tinggi karena dilakukan seorang ahli dengan menggunakan
beberapa cara.
8. Pemeriksaan Serologik
Pemeriksan ini bertujuan untuk menetukan golongan darah jenazah. Pada
jenazah yang sudah membusuk dapat diperiksa dari rambut, kuku dan
tulang.
9. Metode Ekslusi
Metode ini digunakan pada kecelakaan massal yang melibatkan sejumlah
korban yang data identitasnya dapat diketahui, seperti penumpang
pesawat dan kapal laut. Metode ini dilakukan terhadap sisa koban yang
tidak dapat diidentifikasi dengan metode lain.
10. Identifikasi Potongan Tubuh Manusia
Pemeriksaan ini bertujuan untuk menentukan apakah potongan tubuh
yang ditemukan merupakan potongan tubuh manusia dan apakah berasal
dari satu tubuh atau tidak. Penentuan potongan tubuh manusia dilakukan
dengan pemeriksaan jaringan makroskopik, mikroskopik dan serologik.
Selain itu dari pemeriksaan juga ditentukan jenis kelamin, ras, perkiraan
umur, tinggi badan dan keterangan lain.
11. Identifikasi Kerangka
Identifikasi ini bertujuan untuk menetukan apakah itu kerangka manusia,
jenis kelamin, ras, perkiraan umur, tinggi badan, deformitas, tanda
kekerasan dan perkiraan saat kematian.

3. Panjang badan 160 cm, gigi geraham belakang semua sudah tumbuh. Satu gigi
depan atas kanan patah sebagian, wajah menggembung, kedua tangan
menggenggam, tangan dan kaki tampak keriput dengan posisi mayat terlentang.
Pada mayat juga ditemukan keluar buih besar dan mudah pecah yang keluar dari
mulut dan hidung, serta pada korban ditemukan luka iris lengan bawah kanan
sepanjang 2 cm dengan dalam 0,5 cm.
a. Bagaimana cara menentukan sebab kematian?
Jawab :

17
 Periksa tanda-tanda kematian (livor mortis, rigor mortis, perubahan pada
mata, algor mortis, pembusukan)
 Pemeriksaan fisik umum (kepala, mata, hidung, telinga, mulut, leher,
dada, perut, alat kelamin, lubang pernapasan, lengan, dan tungkai
 Pemeriksaan tanda-tanda kekerasan
 Pemeriksaan laboratorium (pemeriksaan darah, urin, dan pemeriksaan
penunjang lain)
 Pemeriksaan yang dilakukan meliputi pemeriksaan luar dan dalam.
b. Bagaimana cara menentukan berapa lama waktu kematian? Biagi adel
Jawab :
Setelah terjadi kematian maka akan terdapat beberapa perubahan pada
tubuh. Perubahan tersebut dapat timbul dini pada saat meninggal atau
beberapa saat setelah meninggal atau beberapa menit kemudian, misalnya
kerja jantung dan peredaran darah berhenti, pernafasan berhenti, refleks
cahaya dan kornea mata hilang, kulit pucat dan relaksasi otot. Setelah
beberapa waktu timbul perubahan pasca mati yang jelas dan dapat digunakan
untuk mendiagnosis kematian lebih pasti (termasuk lama waktu kematian).
Tanda-tanda tersebut antara lain :
1) Rigor mortis (kaku mayat)

Berasal dari bahasa latin Rigor berarti “stiff” atau kaku, dan
mortis yang berarti tanda kematian (sign of death). Rigor mortis
merupakan tanda kematian yang disebabkan oleh perubahan kimia
pada otot setelah terjadinya kematian, dimana tanda ini susah
digerakkan dan dimanipulasi. Awalnya ketika rigor mortis terjadi otot
berkontraksi secara acak dan tidak jelas bahkan setelah kematian
somatis.
Kaku mayat dapat dipergunakan untuk menunjukan tanda
pasti kematian. Faktor yang mempengaruhi rigor mortis antara lain :
1. Suhu lingkungan
2. Derajat aktifitas otot sebelum mati
3. Umur
4. Kelembapan
Rigor mortis akan mulai muncul 2 jam postmortem semakin

18
bertambah hingga mencapai maksimal pada 12 jam postmortem.
Kemudian berangsur-angsur akan menghilang sesuai dengan
kemunculannya. Pada 12 jam setelah kekakuan maksimal (24 jam
postmortem) rigor mortis menghilang.
Memperkirakan waktu kematian dengan menggunakan rigor
mortis akan memberikan petunjuk yang kasar, akan tetapi lebih baik
daripada lebam mayat oleh karena progresifitasnya dapat ditentukan.
Knigh mengatakan bahwa perkiraan saat kematian dengan rigor
mortis hanya mungkin digunakan sekitar dua hari, bila suhu tubuh
sudah sama dengan suhu lingkungan tetapi pembusukan belum
terjadi. Selain itu penentuan kematian dengan rigor mortis sangat
berpengaruh dengan kondisi lingkungannya.
2) Livor mortis (lebam mayat)
Lebam mayat adalah perubahan warna kulit berupa warna
biru kemerahan akibat terkumpulnya darah di dalam vena kapiler
yang dipengaruhioleh gaya gravitasi di bagian tubuh yang lebih
rendah di sepanjang penghentian sirkulasi.
Lebam mayat mulai terbentuk 30 menit sampai 1 jam setelah
kematian somatis dan intensitas maksimal setelah 8-12 jam
postmortem. Sebelum waktu ini, lebam mayat masih dapat
berpindah-pindah jika posisi mayat diubah. Setelah 8-12 jam
postmortem lebam mayat tidak akan menghilang dan dalam waktu 3-
4 hari lebam masih dapat berubah.
Secara medikolegal yang terpenting dari lebam mayat ini
adalah letak dari warna lebam itu sendiri dan distribusinya.
Perkembangan dari lebam mayat ini terlalu besar variasinya untuk
digunakan sebagai indikator penentu saat kematian. sehingga lebih
banyak digunakan untuk menentukan apakah sudah terjadi
manipulasi pada posisi mayat.
3) Algor mortis (penurunan suhu)
Manusia memiliki panas badan yang tetap sepanjang ia dalam
keadaan sehat dan tidak dipengaruhi oleh iklim sekitarnya, hal ini
disebabkan oleh karena mekanisme isologi alat-alat tubuh manusia
melalui proses oksidasi memproduksi panas tubuh. Panas tersebut
19
diatur dan dikendalikan oleh kulit. Jika seseorang mengalami
kematian, maka produksi panas serta pengaturan panas di dalam
tubuhnya tidak berhenti. Dengan demikian sejak saat kematiannya
manusia tidak lagi memiliki suhuh tubuh tetap, oleh karena suhu
badannya mengalami penurunan (decreasing proses).
Penurunan suhu mayat akan terjadi setelah kematian dan
berlanjut sampai tercapainya suatu keadaan di mana suhu mayat sama
dengan suhu lingkungan. Panas yang dilepaskan melalui permukaan
tubuh, dalam hal ini kulit, adalah secara radiasi dan oleh karena tubuh
terdiri dari berbagai lapisan yang tidak homogen, maka lapisan yang
berada di bawah kulit akan menyalurkan panasnya ke arah kulit,
sedangkan lapisan tersebur juga menerima panas dari lapisan
dibawahnya. Keadaan tersebut yaitu dimana terjadi pelepasan atau
penyaluran panas secara bertingkat dengan sendirinya membutuhkan
waktu.
Metode ini tidak dianjurkan karena kesalahan sering terjadi
apabila orang yang melakukan tidak ahli dalam bidangnya.
Pemeriksaan suhu sering tidak akurat karena banyak faktor yang
mempengaruhi seperti suhu lingkungan
4) Pembusukan
Pembusukan adalah proses degradasi jaringan yang terjadi
akibat autolisis dan kerja bakteri. Proses autolisis terjadi sebagai
akibat dari pengaruh enzim yang dilepaskan oleh sel-sel yang sudah
mati. Mula-mula yang terkena ialah nucleoprotein yang terdapat pada
kromatin dan sesudah itu sitoplasmanya. Seterusnya dinding sel akan
mengalami kehancuran dan akibatnya jaringan akan menjadi lunak
atau mencair.
Banyak variasi dari laju dan onset pembusukan. Media mayat
memiliki peranan penting dalam kecepatan pembusukan mayat.
Menurut Casper mayat yang dikubur ditanah umunya membusuk 8x
lebih lama dari pada mayat yang terdapat di udara terbuka. Hal ini
disebabkan suhu didalam tanah yang lebih rendah terutama dikubur
ditempat yang lebih dalam, terlindung dari binatang dan insekta, dan
rendahnya oksigen menghambat berkembang biaknya organisme
20
aerobik.
5) Hal-hal lain yang ditemukan baik pada pemeriksaan di tempat kejadian
maupun pada waktu melakukan otopsi, seperti:
 Larva lalat
Cara ini dipakai untuk memperkirakan saat kematian dengan jalan
menentukan umur larva dalam siklus hidupnya. Dimana tidak
boleh ada kepompong dan yang dicari larva lalat yang paling besar.
Bila sudah ada kepompong, maka penentuan saat kematian
berdasarkan umur larva tidak dapat dipakai.
 Proses pencernaan makanan di lambung
Apabila lambung ditemukan berisi makanan kasar berarti korban
meninggal dalam waktu ±6 jam setelah makan terakhir. Bila
ditemukan lambung tak berisi makanan, duodenum dan ujung atas
usus halus berisi makanan yang telah tercerna, berarti korban
meninggal dalam waktu lebih dari 6 jam setelah makan terakhir.
Namun hal ini dapat dipengaruhi juga oleh motilitas lambung dan
aktivitas getah lambung, jumlah makanan dalam lambung dan isi
lambung, sifat makanan, emosi, dan keadaan fisik korban
 Keadaan kuku
Kuku terlepas setelah 14 hari
 Pemeriksaan cairan serebrospinal
 Kadar asam laktat meningkat 15 mg% (normal) menjadi lebih dari
200 mg% dalam waktu sekitar 15 jam. Kadar asam amino juga
meningkat dari 1 mg% menjadi 15 mg% dalam waktu 15 jam.

21
c. Bagaimana interpretasi hasil temuan jenazah di atas?
Jawab :

No Pemeriksaan Hasil Pemeriksaan Interpretasi


1. Panjang badan 160 cm Korban memiliki
postur badan gemuk
(mengingat ukuran
bajunya XL dan
ukuran celana 36).
2. Gigi geraham Sudah tumbuh semua Gigi geraham
belakang belakang tumbuh di
usia 16-25 tahun,
perkiraan usia korban
yaitu di atas 25 tahun
3. Gigi depan atas Satu gigi patah sebagian Abnormal, telah
kanan terjadi trauma
mekanik
4. Wajah Menggembung Abnormal, salah satu
tanda pembusukan
5. Kedua tangan Menggenggam Abnormal, salah satu
tanda tenggelam
(cadaveric spasme)
dan ada usaha untuk
tidak tenggelam
6. Tangan dan kaki Keriput Abnormal, salah satu
tanda tenggelam (wet
drowning)  washer
woman hands
7. Posisi mayat Terlentang Korban yang
diperiksa sudah
diangkat dari lokasi
tenggelam (jika masih
di tkp  posisi
telungkup)

22
8. Mulut dan hidung Keluar buih besar dan Abnormal, salah satu
mudah pecah tanda pembusukan
9. Lengan bawah Luka iris sepanjang 2 cm Kemungkinan luka
kanan dengan kedalaman 0,5 cm iris didapatkan saat
korban menangkis
benda tajam

d. Bagaimana mekanisme abnormal dari hasil pemeriksaan di atas?


Jawab :

 Wajah menggembung

Wajah yang menggembung dapat diakibatkan dari :

- Akumulasi cairan karena posisi mayat yang terlungkup sehingga


cairan berkumpul di bagian terbawah dari tubuh. Bisa karena
permeabilitas kapiler darah yangmeningkat yang menyebabkan
plasma darah keluar dari kapiler dan masuknya air akibat dari
perbedaan tekanan osmotik.

- Proses pembusukan

Terjadi proses degradasi jaringan autolisis dan kerja bakteri


sehingga terbentuk gas yang menyebabkan pembengkakan.

 Kedua tangan menggenggam

Keadaan ini terjadi karena korban melakukan aktivitas berlebihan


sebelum kematian.

 Tangan dan kaki tampak keriput dengan posisi mayat terlentang

Terjadi karena tekanan osmolaritas jaringan tangan dan kaki lebih rendah
dari tekanan osmolaritas air.

 Keluar buih besar dan mudah pecah dari mulut dan hidung

23
Terjadi pelepasan gas dari saluran intestinal yang bercampur dengan
cairan. Meningkat tekanan gas di intestinal membuat gas dan cairan tadi
keluar lewat mulut dan hidung, mengeluarkan buih besar dan mudah
pecah. Proses ini biasa terjadi pada fase dekomposisi

e. Bagaimana kemungkinan kronologis kasus di atas?


Jawab :
Korban dengan kendaraannya melewati jembatan Musi IV  sasaran begal
 pelaku membawa senjata/alat yang digunakannya untuk menyerang
korban  korban diserang (dipukul di wajah  giginya patah)  korban
sempat memberikan perlawanan (di tangan kanan  luka iris)  korban
mengalami luka (kekerasan fisik)  korban dibuang di sungai dalam konsisi
masih hidup  tenggelam  asfiksia  meninggal.
f. Bagaimana aspek medikolegal pada kasus ini?
Jawab :
Visum et repertum adalah salah satu alat bukti yang sah sebagaimana
tertulis dalam pasal 184 KUHP. Visum et repertum turut berperan dalam proses
pembuktian suatu perkara pidana terhadap kesehatan dan jiwa manusia. VeR
menguraikan segala sesuatu tentang hasil  pemeriksaan medik yang tertuang di
dalam bagian pemberitaan, yang karenanya dapat dianggap sebagai
pengganti barang bukti. Visum et repertum juga memuat keterangan atau
pendapat dokter mengenai hasil pemeriksaan medik tersebut yang tertuang di
dalam bagian kesimpulan. Dengan demikian visum et repertum secara utuh
telah menjembatani ilmu kedokteran dengan ilmu hukum sehingga dengan membaca
visum et repertum, dapat diketahui dengan jelas apa yang telah terjadi pada
seseorang, dan para praktisi hukum dapat menerapkan norma-norma hukum pada
perkara pidana yang menyangkut tubuh dan jiwa manusia.
Pada pasal 120 KUHAP mengatakan bahwa dalam hal penyidik
menganggap perlu, ia dapat minta pendapat orang ahli atau orang
yangmemiliki keahlian khusus.
Pasal 133 KUHAP ayat 1 berbunyi “Dalam hal penyidik untuk
kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan
ataupunmati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia
berwenang mengajukan permintaan keteranganahli kepada ahli kedokteran

24
kehakiman atau dokter danatau ahli lainnya.” Dan ayat 2 berbunyi
“Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk
pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah
mayat”.
IV. SINTESIS MASALAH
a. VISUM
Prosedur permintaan visum et repertum korban mati telah diatur dalam
pasal 133 dan 134 KUHAP yaitu dimintakan secara tertulis, mayatnya harus
diperlakukan dengan baik, disebutkan dengan jelas pemeriksaan yang diminta,
dan mayat diberi label yang memuat identitas yang diberi cap jabatan dan
dilekatkan ke bagian tubuh mayat tersebut. Pemeriksaan terhadap mayat harus
dilakukan selengkap mungkin dan hasil pemeriksaan tersebut dituangkan
dalam bentuk visum et repertum yang harus dapat dianggap sebagai salinan
dari mayat tersebut. Pemeriksaan kedokteran forensik terhadap mayat
sebenarnya bersifat obligatory atau keharusan dan tidak boleh dicegah.
Pemberian informasi yang jelas tentang maksud, tujuan dan cara pemeriksaan
mayat serta manfaatnya kepada keluarga korban diharapkan akan dapat
menghindari kesalahpahaman antara pihak penyidik dengan pihak keluarga
korban. Namun apabila jalan damai ini tidak dapat ditempuh, maka
pemeriksaan mayat tetap dapat dilaksanakan secara paksa dan dapat dengan
menerapkan pasal 222 KUHP. Berbeda dengan prosedur pemeriksaan korban
mati, prosedur permintaan visum et repertum korban hidup tidak diatur secara
rinci di dalam KUHAP. Tidak ada ketentuan yang mengatur tentang
pemeriksaan apa saja yang harus dan boleh dilakukan oleh dokter. Hal ini
berarti bahwa pemilihan jenis pemeriksaan yang dilakukan diserahkan
sepenuhnya kepada dokter dengan mengandalkan tanggung jawab profesi
kedokteran. KUHAP juga tidak memuat ketentuan tentang bagaimana
menjamin keabsahan korban sebagai barang bukti. Yang merupakan barang
bukti pada tubuh korban hidup adalah perlukaannya beserta akibatnya dan
segala sesuatu yang berkaitan dengan perkara pidananya. Sedangkan orangnya
sebagai manusia tetap diakui sebagai subyek hukum dengan segala hak dan
kewajibannya. Dengan demikian, oleh karena barang bukti tersebut tidak
dapat dipisahkan dari orangnya maka tidak dapat disegel maupun disita. Yang
25
dapat dilakukan adalah menyalin barang bukti tersebut ke dalam bentuk visum
et repertum. KUHAP tidak mengatur prosedur rinci apakah korban harus
diantar oleh petugas kepolisian atau tidak. Padahal petugas pengantar tersebut
sebenarnya dimaksudkan untuk memastikan kesesuaian antara identitas orang
yang akan diperiksa dengan identitas korban yang dimintakan visum et
repertumnya seperti yang tertulis di dalam surat permintaan visum et
repertum. Situasi tersebut membawa dokter turut bertanggung jawab atas
pemastian kesesuaian antara identitas yang tertera di dalam surat permintaan
visum et repertum dengan identitas korban yang diperiksa. Dalam praktek
sehari-hari, korban perlukaan akan langsung ke dokter baru kemudian
dilaporkan ke penyidik. Hal ini membawa kemungkinan bahwa surat
permintaan visum et repertum korban luka akan datang terlambat
dibandingkan dengan pemeriksaan korbannya. Sepanjang keterlambatan ini
masih cukup beralasan dan dapat diterima maka keterlambatan ini tidak boleh
dianggap sebagai hambatan pembuatan visum et repertum. Sebagai contoh,
adanya kesulitan komunikasi dan sarana perhubungan, overmacht (berat
lawan) dan noodtoestand (darurat). Hal penting yang harus diingat adalah
bahwa surat permintaan visum et repertum harus mengacu kepada perlukaan
akibat tindak pidana tertentu yang terjadi pada waktu dan tempat tertentu.
Surat permintaan visum et repertum pada korban hidup bukanlah surat
yang meminta pemeriksaan, melainkan surat yang meminta keterangan ahli
tentang hasil pemeriksaan medis. Adanya keharusan membuat visum et
repertum pada korban hidup tidak berarti bahwa korban tersebut, dalam hal ini
adalah pasien, untuk tidak dapat menolak sesuatu pemeriksaan. Korban hidup
adalah juga pasien sehingga mempunyai hak sebagai pasien. Apabila
pemeriksaan ini sebenarnya perlu menurut dokter pemeriksa sedangkan pasien
menolaknya, maka hendaknya dokter meminta pernyataan tertulis singkat
penolakan tersebut dari pasien disertai alasannya atau bila hal itu tidak
mungkin dilakukan, agar mencatatnya di dalam catatan medis.

TATA LAKSANA UMUM VISUM ET REPERTUM


1. Ketentuan standar dalam penyusunan visum et repertum
a. Pihak yang berwenang meminta keterangan ahli menurut KUHAP
pasal 133 ayat (1) adalah penyidik yang menurut PP 27/1983 adalah
26
Pejabat Polisi Negara RI. Sedangkan untuk kalangan militer maka
Polisi Militer (POM) dikategorikan sebagai penyidik.
b. Pihak yang berwenang membuat keterangan ahli menurut KUHAP
pasal 133 ayat (1) adalah dokter dan tidak dapat didelegasikan pada
pihak lain.
c. Prosedur permintaan keterangan ahli kepada dokter telah ditentukan
bahwa permintaan oleh penyidik harus dilakukan secara tertulis yang
secara tegas telah diatur dalam KUHAP pasal 133 ayat (2).
d. Penyerahan surat keterangan ahli hanya boleh dilakukan pada Penyidik
yang memintanya sesuai dengan identitas pada surat permintaan
keterangan ahli. Pihak lain tidak dapat memintanya.
2. Pihak yang terlibat dalam kegiatan pelayanan forensik klinik
a. Dokter
b. Perawat / petuga pemulasaraan jenazah
c. Petugas Administrasi
3. Tahapan-tahapan dalam pembuatan visum et repertum
a. Penerimaan korban yang dikirim oleh Penyidik.
Yang berperan dalam kegiatan ini adalah dokter, mulai dokter
umum sampai dokter spesialis yang pengaturannya mengacu pada
Standar Prosedur Operasional (SPO). Yang diutamakan pada kegiatan
ini adalah penanganan kesehatannya dulu, bila kondisi telah
memungkinkan barulah ditangani aspek medikolegalnya. Tidak
tertutup kemungkinan bahwa terhadap korban dalam penanganan
medis melibatkan berbagai disiplin spesialis.
b. Penerimaan surat permintaan keterangan ahli/visum et revertum.
Adanya surat permintaan keterangan ahli/visum et repertum
merupakan hal yang penting untuk dibuatnya visum et repertum
tersebut. Dokter sebagai penanggung jawab pemeriksaan medikolegal
harus meneliti adanya surat permintaan tersebut sesuai ketentuan yang
berlaku. Hal ini merupakan aspek yuridis yang sering menimbulkan
masalah, yaitu pada saat korban akan diperiksa surat permintaan dari
penyidik belum ada atau korban (hidup) datang sendiri dengan
membawa surat permintaan visum et repertum. Untuk mengantisipasi
masalah tersebut maka perlu dibuat kriteria tentang pasien/korban yang
27
pada waktu masuk Rumah Sakit/UGD tidak membawa SpV. Sebagai
berikut :
1) Setiap pasien dengan trauma
2) Setiap pasien dengan keracunan/diduga keracunan
3) Pasien tidak sadar dengan riwayat trauma yang tidak jelas
4) Pasien dengan kejahatan kesusilaan/perkosaan
5) Pasien tanpa luka/cedera dengan membawa surat permintaan visum
Kelompok pasien tersebut di atas untuk dilakukan kekhususan dalam
hal pencatatan temuan-temuan medis dalam rekam medis khusus,
diberi tanda pada map rekam medisnya (tanda“VER”), warna sampul
rekam medis serta penyimpanan rekam medis yang tidak digabung
dengan rekam medis pasien umum.
“Ingat ! kemungkinan atas pasien tersebut di atas pada saat yang akan
datang, akan dimintakan visum et repertumnya dengan surat
permintaan visum yang datang menyusul.” Pada saat menerima surat
permintaan visum et repertum perhatikan hal-hal sebagai berikut : asal
permintaan, nomor surat, tanggal surat, perihal pemeriksaan yang
dimintakan, serta stempel surat. Jika ragu apakah yang meminta
penyidik atau bukan maka penting perhatikan stempel nya. Jika
stempelnya tertulis “KEPALA” maka surat permintaan tersebut dapat
dikatakan sah meskipun ditanda tangani oleh pnyidik yang belum
memiliki pangkat
inspektur dua (IPDA). Setelah selesai meneliti surat permintaan
tersebut dan kita meyakini surat tersebut sah secara hukum, maka
isilah tanda terima surat permintaan visum et repertum yang biasanya
terdapat pada kiri bawah. Isikan dengan benar tanggal, hari dan jam
kita menerima surat tersebut, kemudian tuliskan nama penerima
dengan jelas dan bubuhi dengan tanda tangan. Pasien atau korban yang
datang ke rumah sakit atau ke fasilitas
pelayanan kesehatan tanpa membawa Surat Permintaan Visum (SPV)
tidak boleh ditolak untuk dilakukan pemeriksaan. Lakukan
pemeriksaan sesuai dengan standar dan hasilnya dicatat dalam rekam
medis. Visum et Repertum baru dibuat apabila surat permintaan visum
telah disampaikan ke rumah sakit atau fasilitas pelayanan kesehatan.
28
c. Pemeriksaan korban secara medis
Tahap ini dikerjakan oleh dokter dengan menggunakan ilmu
forensik yang telah dipelajarinya. Namun tidak tertutup kemungkinan
dihadapi kesulitan yang mengakibatkan beberapa data terlewat dari
pemeriksaan. Ada kemungkinan didapati benda bukti dari tubuh
korban misalnya anak peluru, dan sebagainya. Benda bukti berupa
pakaian atau lainnya hanya diserahkan pada pihak penyidik. Dalam hal
pihak penyidik belum mengambilnya maka pihak petugas sarana
kesehatan harus me-nyimpannya sebaik mungkin agar tidak banyak
terjadi perubahan. Status benda bukti itu adalah milik negara, dan
secara yuridis tidak boleh diserahkan pada pihak keluarga/ahli
warisnya tanpa melalui penyidik.
d. Pengetikan surat keterangan ahli/visum et repertum
Pengetikan berkas keterangan ahli/visum et repertum oleh
petugas administrasi memerlukan perhatian dalam bentuk/formatnya
karena ditujukan untuk kepentingan peradilan. Misalnya penutupan
setiap akhir alinea dengan garis, untuk mencegah penambahan kata-
kata tertentu oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.
Contoh : “Pada pipi kanan ditemukan luka terbuka, tapi tidak rata
sepanjang lima senti meter --------“
e. Penandatanganan surat keterangan ahli / visum et repertum
Undang-undang menentukan bahwa yang berhak
menandatanganinya adalah dokter. Setiap lembar berkas keterangan
ahli harus diberi paraf oleh dokter. Sering terjadi bahwa surat
permintaan visum dari pihak penyidik datang terlambat, sedangkan
dokter yang menangani telah tidak bertugas di sarana kesehatan itu
lagi. Dalam hal ini sering timbul keraguan tentang siapa yang harus
menandatangani visum et repertun korban hidup tersebut. Hal yang
sama juga terjadi bila korban ditangani beberapa dokter sekaligus
sesuai dengan kondisi
penyakitnya yang kompleks. Dalam hal korban ditangani oleh hanya
satu orang dokter, maka yang menandatangani visum yang telah selesai
adalah dokter yang menangani tersebut (dokter pemeriksa). Dalam hal
korban ditangani oleh beberapa orang dokter, maka idealnya
29
yang menandatangani visumnya adalah setiap dokter yang terlibat
langsung dalam penanganan atas korban. Dokter pemeriksa yang
dimaksud adalah dokter pemeriksa yang melakukan pemeriksaan atas
korban yang masih berkaitan dengan luka/cedera/racun/tindak pidana.
Dalam hal dokter pemeriksa sering tidak lagi ada di tempat (diluar
kota) atau sudah tidak bekerja pada Rumah Sakit tersebut, maka visum
et repertum ditandatangani oleh dokter penanggung jawab pelayanan
forensik klinik yang ditunjuk oleh Rumah Sakit atau oleh Direktur
Rumah Sakit tersebut.
f. Penyerahan benda bukti yang telah selesai diperiksa
Benda bukti yang telah selesai diperiksa hanya boleh
diserahkan pada penyidik saja dengan menggunakan berita acara.
g. Penyerahan surat keterangan ahli/visum et repertum.
Surat keterangan ahli/visum et repertum juga hanya boleh
diserahkan pada pihak penyidik yang memintanya saja. Dapat terjadi
dua instansi penyidikan sekaligus meminta surat visum et repertum.
Penasehat hukum tersangka tidak diberi kewenangan untuk meminta
visum et repertum kepada dokter, demikian pula tidak boleh meminta
salinan visum et repertum langsung dari dokter. Penasehat hukum
tersangka dapat meminta salinan visum et repertum dari penyidik atau
dari pengadilan pada masa menjelang persidangan.

b. ASFIKSIA FORENSIK
Tenggelam telah didefinisikan sebagai kematian sebelumnya
sekunder untuk sesak napas sementara terbenam dalam suatu cairan, biasanya
air, atau dalam waktu 24 jam perendaman. Pada Kongres Dunia 2002 yang
diadakan di Amsterdam, sekelompok ahli menyarankan sebuah definisi
konsensus baru untuk tenggelam dalam rangka mengurangi kebingungan atas
jumlah istilah dan definisi (> 20) merujuk kepada proses ini yang telah muncul
dalam literatur. Grup yang percaya bahwa definisi yang seragam akan
memungkinkan analisa lebih akurat dan perbandingan studi, memungkinkan
peneliti untuk menarik kesimpulan lebih bermakna dari mengumpulkan data,
dan meningkatkan kemudahan kegiatan surveilans dan pencegahan (Shepherd,
2009).
30
Definisi Tenggelam
Secara definisi tenggelam diartikan sebagai suatu keadaan tercekik
dan mati yang disebabkan oleh terisinya paru dengan air atau bahan lain atau
cairan sehingga pertukaran gas menjadi tidak mungkin. Sederhananya,
tenggelam adalah merupakan akibat dari terbenamnya seluruh atau sebagian
tubuh ke dalam cairan (Idries, 1997)

Jenis Tenggelam
Tenggelam dibagi menjadi beberapa jenis antara lain (A) wet
drowning, (B) dry drowning, (C) secondary drowning, dan (D) the immersion
syndrome (cold water drowning) (Modi, 1988). Wet drowning adalah
kematian tenggelam akibat terlalu banyaknya air yang terinhalasi. Pada kasus
wet drowning ada tiga penyebab kematian yang Universitas Sumatera Utara
terjadi, yaitu akibat asfiksia, fibrilasi ventrikel pada kasus tenggelam di air
tawar, dan edema paru pada kasus tenggelam di air asin. Dry drowning adalah
suatu kematian tenggelam dimana air yang terinhalasi sedikit. Penyebab
kematian pada kasus ini sendiri dikarenakan terjadinya spasme laring yang
menimbulkan asfiksia dan terjadinya refleks vagal, cardiac arrest, atau kolaps
sirkulasi (Modi, 1988). Secondary drowning adalah suatu keadaan dimana
terjadi gejala beberapa hari setelah korban tenggelam (dan diangkat dari dalam
air) dan korban meninggal akibat komplikasi. Immersion drowning adalah
suatu keadaan dimana korban tiba-tiba meninggal setelah tenggelam dalam air
dingin akibat refleks vagal. Pada umumnya alkohol dan makan terlalu banyak
merupakan faktor pencetus pada kejadian ini (Modi, 1988).

Pemeriksaan pada Kasus Tenggelam


1. Pemeriksaan luar
Penurunan suhu mayat, berlangsung cepat, rata-rata 50 F per
menit. Suhu tubuh akan sama dengan suhu lingkungan dalam waktu 5
atau 6 jam. Lebam mayat, akan tampak jelas pada dada bagian depan,
leher dan kepala. Lebam mayat berwarna merah terang yang perlu
dibedakan dengan lebam mayat yang terjadi pada keracunan CO.
Pembusukan sering tampak, kulit berwarna kehijauan atau merah gelap.
31
Pada pembusukan lanjut tampak gelembung-gelembung pembusukan,
terutama bagian atas tubuh, dan skrotum serta penis pada pria dan labia
mayora pada wanita, kulit telapak tangan dan kaki mengelupas.
Gambaran kulit angsa (goose-flesh, cutis anserina), sering
dijumpai; keadaan ini terjadi selama interval antara kematian somatik dan
seluler, atau merupakan perubahan post mortal karena terjadinya rigor
mortis. Cutis anserina tidak mempunyai nilai sebagai kriteria diagnostik.
Busa halus putih yang berbentuk jamur (mushroom-like mass) tampak
pada mulut atau hidung atau keduanya. Terbentuknya busa halus tersebut
adalah masuknya cairan ke dalam saluran pernapasan merangsang
terbentuknya mukus, substansi ini ketika bercampur dengan air dan
surfaktan dari paru-paru dan terkocok oleh karena adanya upaya
pernapasan yang hebat. Pembusukan akan merusak busa tersebut dan
terbentuknya pseudofoam yang berwarna kemerahan yang berasal dari
darah dan gas pembusukan.
Perdarahan berbintik (petechial haemmorrhages), dapat
ditemukan pada kedua kelopak mata, terutama kelopak mata bagian
bawah. Pada pria genitalianya dapat membesar, ereksi atau semi-ereksi.
Namun yang paling sering dijumpai adalah semi-ereksi. Pada lidah dapat
ditemukan memar atau bekas gigitan, yang merupakan tanda bahwa
korban berusaha untuk hidup, atau tanda sedang terjadi epilepsi, sebagai
akibat dari masuknya korban ke dalam air.
Cadaveric spasme, biasanya jarang dijumpai, dan dapat diartikan
bahwa berusaha untuk tidak tenggelam, sebagaimana sering
didapatkannya dahan, batu atau rumput yang tergenggam, adanya
cadaveric spasme menunjukkan bahwa korban masih dalam keadaan
hidup pada saat terbenam. Luka-luka pada daerah wajah, tangan dan
tungkai bagian depan dapat terjadi akibat persentuhan korban dengan
dasar sungai, atau terkena benda-benda di sekitarnya; luka-luka tersebut
seringkali mengeluarkan “darah”, sehingga tidak jarang memberi kesan
korban dianiaya sebelum ditenggelamkan. Pada kasus bunuh diri dimana
korban dari tempat yang tinggi terjun ke sungai, kematian dapat terjadi
akibat benturan yang keras sehingga menyebabkan kerusakan pada kepala
atau patahnya tulang leher.
32
Bila korban yang tenggelam adalah bayi, maka dapat dipastikan
bahwa kasusnya merupakan kasus pembunuhan. Bila seorang dewasa
ditemukan mati dalam empang yang dangkal, maka harus dipikirkan
kemungkinan adanya unsur tindak pidana, misalnya setelah diberi racun
korban dilempar ke tempat tersebut dengan maksud mengacaukan
penyidikan (Idries, 1997).
2. Pemeriksaan dalam
Untuk sebagian kasus asfiksia merupakan penyebab umum
terjadinya kematian ini. Hal tersebut dikarenakan air yang masuk ke
paruparu akan bercampur dengan udara dan lendir sehingga menghasilkan
buih-buih halus yang memblok udara di vesikula. Dalam beberapa kasus,
kematian dapat terjadi dari asfiksia obstruktif yang juga dikenal sebagai
tenggelam kering yang disebabkan oleh kejang laring yang dibentuk oleh
sejumlah kecil air yang memasuki laring. Pada beberapa kasus lainnya air
tidak masuk ke paru-paru sehingga tanda-tanda klasik tenggelam tidak
dapat kita temukan (Modi, 1988) Sebelum kita melakukan pemeriksaan
dalam pada korban tenggelam, kita harus memperhatikan apakah mayat
korban tersebut sudah dalam keadaan pembusukan lanjut atau belum.
Apabila keadaan mayat telah mengalami pembusukan lanjut, maka
pemeriksaan dan pengambilan kesimpulan akan menjadi lebih sulit.
Pemeriksaan terutama ditujukan pada sistem pernapasan, busa halus putih
dapat mengisi trakhea dan cabang-cabangnya, air juga dapat ditemukan,
demikian pula halnya dengan benda-benda asing yang ikut terinhalasi
bersama air. Benda asing dalam trakhea dapat tampak secara makroskopik
misalnya pasir, lumpur, binatang air, tumbuhan air dan sebagainya.
Sedangkan yang tampak secara mikroskopik diantaranya telur cacing dan
diatome (Idries, 1997).
Diatome adalah sejenis ganggang yang mempunyai dinding dari
silikat. Silikat ini tahan terhadap pemanasan dan asam keras. Diatome
dijumpai di air tawar, air laut, sungai, sumur, dan lain-lain. Pada korban
mati tenggelam diatome akan masuk ke dalam saluran pernafasan dan
saluran pencernaan, karena ukurannya yang sangat kecil, ia diabsorpsi dan
mengikuti aliran darah. Diatome ini dapat sampai ke hati, paru, otak,
ginjal, dan sumsum tulang. Bila diatome positif berarti korban masih
33
hidup sewaktu tenggelam. Oleh karena banyak terdapat di alam dan
tergantung musim, maka tidak ditemukannya diatome tidak dapat
menyingkirkan bahwa korban bukan mati tenggelam. Relevansi diatome
terbatas pada tenggelam dengan mekanisme asfiksia. Pleura juga dapat
kita temukan pada pemeriksaan kasus ini. Pleura yang ditemukan dapat
berwarna kemerahan dan terdapat bintik-bintik perdarahan, perdarahan ini
dapat terjadi karena adanya kompresi terhadap septum inter alveoli atau
oleh karena terjadinya fase konvulsi akibat kekurangan oksigen. Bercak
perdarahan yang besar (diameter 3-5 cm), terjadi karena robeknya partisi
interalveolar dan sering terlihat di bawah pleura. Bercak ini disebut
bercak “Paltouf” yang ditemukan pada tahun 1882 dan diberi nama sesuai
dengan nama yang pertama mencatat kelainan tersebut. Bercak paltouf
berwarna biru kemerahan dan banyak terlihat pada bagian bawah paru-
paru, yaitu pada permukaan anterior dan permukaan antar bagian paru-
paru. (Spitz, 1997). Kongesti pada laring merupakan kelainan yang
berarti, paru-paru biasanya sangat mengembang, seringkali menutupi
perikardium dan pada permukaan tampak adanya jejas dari tulang iga,
pada perabaan kenyal. Edema dan kongesti paru-paru dapat sangat hebat
sehingga beratnya dapat mencapai 700-1000 gram, dimana berat paru-
paru normal adalah sekitar 250-300 gram (Williams, 1998). Paru-paru
pucat dengan diselingi bercak-bercak merah di antara daerah yang
berwarna kelabu. Pada pengirisan tampak banyak cairan merah kehitaman
bercampur buih keluar dari penampang tersebut, yang pada keadaan paru-
paru normal, keluarnya cairan bercampur busa tersebut baru tampak
setelah dipijat dengan dua jari. Gambaran paru-paru seperti tersebut diatas
dikenal dengan nama “emphysema aquosum” atau “emphysema
hydroaerique”. Obstruksi pada sirkulasi paru-paru akan menyebabkan
distensi jantung kanan dan pembuluh vena besar dan keduanya penuh
berisi darah yang berwarna merah gelap dan cair, tidak ada bekuan
(Idries, 1997).
c. KEMATIAN
a. Tanda-tanda fisik kematian.
Perubahan postmortem merupakan perkembangan alami dari
dekomposisi tubuh setelah kematian, dimulai pada tingkat sel. Prosesnya
34
melibatkan fenomena seluler dan biologis yang kompleks. Perubahan
yang dimulai segera setelah kematian terus terjadi selama periode yang
lama dengan laju yang berbeda untuk organ yang berbeda. Onset dan
luasnya perubahan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor intrinsik dan
ekstrinsik. Kecepatannya tidak sama dan berbeda dari satu wilayah
geografis ke wilayah lain, dan juga berbeda di wilayah geografis yang
sama dari satu musim ke musim yang lain. Pemahaman tentang
perubahan postmortem sangat penting untuk estimasi interval postmortem
(PMI) atau waktu sejak kematian, salah satu tujuan utama otopsi forensik.
Perubahan postmortem diklasifikasikan berdasarkan urutan
penampilannya menjadi perubahan postmortem segera, awal dan akhir.

Perubahan Postmortem Segera


"Perubahan segera postmortem" atau "perubahan cepat setelah
kematian" berhubungan dengan penghentian fungsi tubuh termasuk
sistem pernapasan, peredaran darah, dan sistem saraf. Perubahan-
perubahan ini secara khusus merupakan "tanda-tanda kematian" atau
"indikasi kematian." Singkatnya, kematian dianggap telah terjadi ketika
fungsi vital tubuh telah berhenti.
Respirasi sepenuhnya berhenti setelah kematian yang
mengakibatkan hilangnya gerakan pernapasan dan suara pernapasan. Tes
bulu dan tes cermin adalah beberapa tes tradisional yang digunakan untuk
mengkonfirmasi ini. Namun, tes ini sangat tidak bisa diandalkan.
Penghentian peredaran darah menyebabkan hilangnya denyut nadi, yang
juga dapat dikonfirmasikan dengan elektrokardiogram datar (EKG) dalam
pengaturan rumah sakit. Tidak adanya bunyi pernapasan dan jantung pada
auskultasi selama 5 menit menunjukkan tanda kematian sebagaimana
dianjurkan oleh dokter ahli. Temuan pemecahan kolom darah di
pembuluh darah retina (segmentasi vaskular retina) pada oftalmoskopi
mengkonfirmasi penghentian sirkulasi dan merupakan salah satu indikasi
awal kematian. Berhentinya fungsi sistem saraf menyebabkan hilangnya
fungsi sensorik dan motorik serta refleks. Otot-otot mulai menjadi lembek
dengan kehilangan nada. Pupil juga melebar karena hal ini. Dalam
35
pengaturan rumah sakit, electroencephalogram datar (EEG) adalah
konfirmasi hilangnya aktivitas listrik di otak.

Perubahan Postmortem Awal


Tiga perubahan postmortem awal yang terjadi ketika tubuh masih
dalam tahap segar, sebelum kerusakan jaringan lunak, yaitu algor mortis,
livor mortis, dan rigor mortis adalah signifikansi forensik.Perubahan mata
yang terjadi selama periode postmortem awal termasuk kekeruhan /
opacity kornea dan pembentukan tache noire. Ketegangan intraokular
semakin berkurang hingga sekitar 2 jam setelah kematian, meskipun hal
ini masih bisa diperdebatkan.
Algor mortis adalah pendinginan postmortem suhu tubuh sampai
menyamakan suhu lingkungan sekitarnya. Tingkat pendinginan tertinggal
pada awalnya, kemudian menjadi linier sebelum melambat lagi saat
mendekati suhu sekitar, memberikan kurva berbentuk sigmoid ketika
secara grafis terwakili. Suhu sekitar adalah faktor penting yang
mempengaruhi laju pendinginan postmortem tubuh. Pendinginan
postmortem tubuh berlanjut selama sekitar 6 jam setelah kematian, dan
laju pendinginan terutama tergantung pada perbedaan suhu tubuh pada
saat kematian dan suhu lingkungannya. Laju pendinginan akan cepat
dalam tubuh yang terbenam dalam air, tubuh telanjang, dan tubuh yang
kurus. Tingkat pendinginan akan lebih lambat di tubuh yang berpakaian
bagus dan tubuh yang gemuk. Seorang ahli patologi forensik yang
bijaksana tidak akan memperkirakan waktu sejak kematian berdasarkan
kriteria tunggal algor mortis karena tingkat pendinginan postmortem
tubuh dipengaruhi oleh beberapa variabel.
Livor mortis, juga dikenal sebagai postmortem hypostasis atau
postmortem lividity, adalah proses pasif penumpukan darah di dalam
pembuluh darah di bagian-bagian tubuh yang bergantung sebagai akibat
dari gravitasi, menyebabkan perubahan warna kulit yang bervariasi dari
merah muda ke ungu keunguan. Hal ini mulai tampak sekitar satu jam
setelah kematian, terbentuk dengan baik dalam waktu sekitar 3 hingga 4
jam setelah kematian, dan menetap dalam waktu sekitar 6 hingga 8 jam
setelah kematian. Namun, perlu dicatat bahwa waktu livor mortis sangat
36
bervariasi. Hemolisis menyebabkan fiksasi pada lividitas. Setelah
diperbaiki, lividitas tidak menggeser distribusinya ketika posisi tubuh
berubah. Manifestasi dermal dari postmortem lividity mungkin tidak ada
pada anemia berat atau pada mereka yang telah meninggal karena
pendarahan hebat. Ini mungkin tidak terlihat di kulit gelap.Livor mortis
harus dibedakan dari memar atau memar, yang terjadi sebagai akibat
pecahnya pembuluh darah dari benturan kekuatan tumpul dan pengusiran
darah ke jaringan di sekitarnya.
Rigor mortis (postmortem rigidity) adalah pengerasan otot-otot
mayat karena penipisan adenosin trifosfat (ATP) setelah kematian dengan
penumpukan laktat berikutnya dalam jaringan otot, yang mengakibatkan
ketidakmampuan untuk melepaskan ikatan aktin-myosin. Perubahan otot
postmortem ini secara kasar mengikuti fase awal dari flacciditas primer
otot dan itu sendiri diikuti oleh flacciditas sekunder otot yang bertepatan
dengan awal perubahan pembusukan. Proses rigor mortis secara seragam
melibatkan semua otot tubuh. Namun, pertama-tama terlihat secara umum
pada otot yang lebih kecil seperti rahang dan kelopak mata karena
penipisan ATP yang lebih cepat relatif terhadap otot yang lebih besar
pada batang dan tungkai. Rigor mortis terjadi pada otot sukarela dan tidak
sadar termasuk otot jantung. Ini pertama kali terlihat pada otot-otot wajah
pada 1 hingga 4 jam setelah kematian. Pembentukan protein otot tampak
sebagai kekakuan otot dalam waktu sekitar 6 jam setelah kematian di
seluruh otot dan selesai dalam sekitar 12 jam setelah kematian. Kekakuan
otot ini berlangsung sekitar 12 jam atau lebih. Tubuh kemudian kembali
ke keadaan lembek setelah pemecahan enzimatik dari situs pengikatan
aktin dan miosin. Tingkat di mana rigor mortis berlalu akan cepat di
lingkungan yang panas karena timbulnya pembusukan dipercepat di
lingkungan seperti itu. Suhu dingin memperpanjang durasi kekakuan.
Secara singkat, perubahan postmortem pada otot meliputi:
 Flacciditas primer otot
 Kekakuan otot (rigor mortis)
 Flacciditas sekunder otot
Rigor mortis dari otot pili arrector yang melekat pada pangkal
folikel rambut juga bertanggung jawab atas fenomena cutis anserina (cutis
37
anserine), atau dikenal sebagai postmortem goosebumps. Rigor mortis
perlu dibedakan dari kejang kadaver / kekakuan seketika, yang
merupakan kontraksi langsung dari sekelompok kecil otot pada saat
kematian, terlihat dalam skenario kematian dengan kekerasan seperti
dalam kasus tenggelam.

Perubahan Postmortem Lanjut


Dekomposisi
Dua mekanisme terlibat dalam dekomposisi: autolisis dan
pembusukan. Meskipun dekomposisi dimulai segera setelah kematian
dalam bentuk autolisis, perubahan makroskopis yang disebabkan oleh
dekomposisi menjadi jauh lebih jelas ketika pembusukan terjadi.
Autolisis adalah proses yang terjadi karena kebocoran enzim
seluler hidrolitik dari sel setelah kematian. Perubahan yang terjadi dalam
proses ini terutama pada tingkat mikroskopis dan bukan makroskopik.
Secara internal, perubahan autolitik paling menonjol di pankreas dan
organ lain dengan konsentrasi tinggi enzim seluler. Sebagai perbandingan,
prostat dan rahim yang tidak hamil membutuhkan waktu lebih lama untuk
terurai.
Kebocoran konten seluler juga mengarah ke lingkungan yang
cocok untuk mikroba seperti bakteri, jamur, dan protozoa, yang biasanya
ada dalam mikrobiota manusia, untuk tumbuh dan menurunkan jaringan
di sekitarnya, yang dikenal sebagai proses pembusukan.
Tidak seperti perubahan autolitik, perubahan pembusukan terlihat
pada tingkat makroskopis sebagai perubahan warna kulit atau kembung
bagian tubuh seperti wajah, perut, payudara, dan skrotum. Ini dapat
muncul dalam berbagai bentuk seperti cairan putrefactive dan gas
putrefactive.

Tahap Dari Dekomposisi


Ada lima tahap pembusukan, yaitu segar, kembung, pembusukan
aktif, pembusukan lanjut, dan tahap kerangka. Tahap-tahap ini dapat
terjadi secara bersamaan di berbagai bagian mayat yang sama, dan

38
mungkin sulit bagi ahli patologi forensik untuk memberi label keadaan
mayat dengan satu tahap.
Tahap segar adalah periode segera setelah kematian di mana
autolisis terjadi. Algor mortis, livor mortis, dan rigor mortis terlihat jelas
pada tahap ini.
Tanda eksternal awal pembusukan adalah perubahan warna
kehijauan dari kulit dinding perut anterior di daerah iliaka fossa kanan. Di
daerah perut ini, sekum, sarat dengan isi usus semi-padat dan bakteri usus
komensal terletak sangat dangkal. Perubahan warna kehijauan pada kulit
ini disebabkan oleh pembentukan sulfhemoglobin yang difasilitasi oleh
bakteri usus komensal yang menyerang jaringan setelah kematian.
Perubahan warna kulit di daerah fossa iliaka kanan ini muncul dalam
waktu sekitar 18 jam setelah kematian. Di daerah beriklim sedang,
penghijauan ini mungkin pertama kali muncul 2 hingga 3 hari setelah
kematian. Suhu sekitar memengaruhi kecepatan onset pembusukan dan
laju progresinya.
Lalat (Calliphoridae) dan lalat daging (Sarcophagidae) seringkali
merupakan serangga pertama yang tertarik pada mayat. Singkatnya, invasi
tubuh oleh lalat dan siklus hidup lalat (oviposition, penetasan telur,
aktivitas makan larva atau belatung, transformasi belatung menjadi lalat
dewasa) bertepatan terutama dengan tahap pembusukan dan pembusukan
yang membusuk. Lalat-lalat itu bahkan mungkin tertarik ke mayat
sebelum akhir fase segar.
Pada tahap kembung, bagian tubuh, termasuk organ dan jaringan
lunak membengkak karena akumulasi gas pembusuk atau produk
dekomposisi lainnya dari proses pembusukan. Biasanya dimulai di perut
dan kemudian perlahan mempengaruhi bagian lain termasuk wajah,
payudara, dan alat kelamin. Juga selama tahap ini, perubahan kulit terjadi
seperti lepuh dan selip. Selipan kulit pada ekstremitas dikenal sebagai
degloving. Selain itu, fenomena pemudaran warna kulit juga hadir selama
tahap ini, di mana pembuluh darah terlihat pada kulit sebagai garis-garis
kehitaman-hitam dan akhirnya menghasilkan perubahan warna kulit mulai
dari hijau ke hitam. Perubahan postmortem ini tampak jelas dalam waktu
sekitar 24 hingga 48 jam setelah kematian.
39
Peluruhan aktif adalah tahap di mana pembusukan meningkat
setelah kembung. Pembersihan postmortem di mana cairan tubuh yang
membusuk dipaksa keluar dari lubang tubuh diamati selama tahap
pembusukan ini. Pelepasan rambut atau peluruhan rambut dan perubahan
warna hitam pada kulit yang pecah diamati.
Peluruhan lanjut, juga disebut pembusukan hitam atau peluruhan
lambat adalah tahap di mana tulang mulai terkena, dan tubuh
mengasumsikan penampilan "menyerah". Jaringan yang tahan degradasi
seperti rambut (meskipun sudah mengelupas) dan tulang rawan terhindar
hingga tahap ini.
Tahap kerangka, juga disebut tahap sisa-sisa kering atau
skeletonisasi, dimulai ketika paparan tulang luas, tetapi tulang belum
rusak. Kulit kering, tulang rawan, dan tendon yang tersisa minimal pada
tahap ini. Dekomposisi secara signifikan melambat pada tahap ini, dan
butuh bertahun-tahun atau puluhan tahun agar kerangka tetap hancur.
Literatur juga melaporkan dekomposisi diferensial yang
melibatkan mumifikasi atau pembentukan adipocere.
Mumifikasi
Mumi hasil dari pengeringan jaringan dan merupakan fenomena
yang terjadi ketika mayat berada di lingkungan yang panas dan kering.
Kulit mayat menjadi gelap, kering dan tampak kasar dalam penampilan.
Secara keseluruhan tubuh tampak kering; ini melindungi mayat untuk
periode yang lebih lama. Hal ini dapat terjadi pada mayat secara
keseluruhan, atau di daerah terlokalisasi seperti ekstremitas atau lidah.
Formasi Adipocere
Adipocere berwarna kekuningan sampai abu-abu seperti zat lilin berwarna
yang dapat mengawetkan mayat secara keseluruhan atau sebagian.
Pembentukan adipocere pada buccal pad lemak akan mempertahankan
garis pipi. Tidak seperti mumifikasi, proses pembentukan adipocere
terjadi pada mayat di lingkungan yang kelembabannya tinggi. Kondisi
anaerob, seperti penguburan banjir atau perendaman dalam air
memfasilitasi pembentukan adipocere. Proses ini terutama melibatkan
hidrolisis dan hidrogenasi lemak tubuh menjadi asam lemak dan sabun
serta pembentukan adipocere. Meskipun pembentukan adipocere
40
dilaporkan telah terjadi sedini mungkin sekitar 3 minggu setelah
kematian, dalam banyak kasus, itu menjadi jelas hanya beberapa bulan
setelah kematian.

b. Cara identifikasi jenazah yang tidak dikenal.

Beberapa metode yang dapat digunakan adalah :

1. Pemeriksaan Sidik Jari


Metode ini membandingkan data sidik jari jenazah dengan data sidik
jari antemortem. Metode ini diakui memiliki ketepatan yang tinggi.
(Budiyanto, 1997)
2. Pemeriksaan DNA
Gambaran DNA tiap individu sangat spesifik dan dapat dijadikan
patokan dalam identifikasi. Keungkinan dua individu yang tidak
memiliki hubungan darah untuk memiliki sekuens DNA yang sama
sangat kecil yaitu 1 : 1.000.000.000. (James, 2011)
3. PemeriksaanGigi
Pemeriksaan ini membandingkan data gigi dan rahang jenazah dengan
data antemortem. Seperti sidik jari, data gigi setiap individu juga
berbeda satu sama lainnya. Pencatatan data gigi dan rahang
(odontogram) dilakukan secara manual, sinar-X, dan pencetakan gigi
dan rahang. Data ini berisi tentang jumlah gigi, susunan, bentuk,
tambalan, gigi palsu dan sebagainya. (Budiyanto, 1997)
4. Metode Visual
Metode ini dilakukan dengan memperlihatkan jenazah kepada orang-
orang yang merasa kehilangan kerabatnya. Jenazah sebaiknya dalam
keadaan yang belum membusuk sehingga wajah dan bentuk tubuh
masih dapat dikenali oleh lebih dari satu orang. Metode ini juga harus
memperhatikan faktor emosi kerabat dalam mebenarkan atau
menyangkal identitas jenazah tersebut. (Budiyanto, 1997)
5. Pemeriksaan Dokumen
Metode ini dapat dilakukan apabila ditemukan dokumen yang
berisikan identitas seperti kartu identitas pribadi, surat izin mengemudi
dan sebagainya di dalam saku pakaian yang dikenakan jenazah.

41
Dokumen yang berada didekat jenazah belum tentu merupakan milik
jenazah yang bersangkutan, terutama pada kasus seperti kecelakaan
masal. (Budiyanto, 1997)
6. Pemeriksaan Pakaian dan Perhiasan
Pada pakaian dan perhiasan yang dikenakan jenazah
kemungkinan dapat diperoleh data berupa merk pakaian, ukuran,
inisial nama, lencana dan sebagainya yang dapat membantu, walaupun
telah terjadi proses pembusukan pada jenazah tersebut. (Budiyanto,
1997)
7. Identifikasi Medik
Metode ini menggunakan data tinggi badan, berat badan, warna
rambut, warna mata, kelainan khusus, tato dan sebagainya. Ketepatan
metode ini cukup tinggi karena dilakukan seorang ahli dengan
menggunakan beberapa cara. (Budiyanto, 1997)
8. Pemeriksaan Serologik
Pemeriksan ini bertujuan untuk menetukan golongan darah
jenazah. Pada jenazah yang sudah membusuk dapat diperiksa dari
rambut, kuku dan tulang. (Budiyanto, 1997)
9. Metode Ekslusi
Metode ini digunakan pada kecelakaan massal yang melibatkan
sejumlah korban yang data identitasnya dapat diketahui, seperti
penumpang pesawat dan kapal laut. Metode ini dilakukan terhadap sisa
koban yang tidak dapat diidentifikasi dengan metode lain. (Budiyanto,
1997)
10. Identifikasi Potongan Tubuh Manusia
Pemeriksaan ini bertujuan untuk menentukan apakah potongan
tubuh yang ditemukan merupakan potongan tubuh manusia dan apakah
berasal dari satu tubuh atau tidak. Penentuan potongan tubuh manusia
dilakukan dengan pemeriksaan jaringan makroskopik, mikroskopik
dan serologik. Selain itu dari pemeriksaan juga ditentukan jenis
kelamin, ras, perkiraan umur, tinggi badan dan keterangan lain.
(Budiyanto, 1997)
11. IdentifikasiKerangka
Identifikasi ini bertujuan untuk menetukan apakah itu kerangka
42
manusia, jenis kelamin, ras, perkiraan umur, tinggi badan, deformitas,
tanda kekerasan dan perkiraan saat kematian. (Budiyanto, 1997)

43
VI. KERANGKA KONSEP

Kekerasan fisik

Satu gigi depan Korban dibuang Korban melawan


kanan patah di sungai

Tenggelam

Asfiksia

Meninggal

Cadaveric spasme Pembusukan (>24 jam


setelah kematian)

Tangan
menggenggam
Wajah Keluar buih
menggembung besar mudah
pecah dari mulut

VII. KESIMPULAN
Korban meninggal karena tenggelam, dibuang ke sungai dalam kondisi masih hidup.

44
DAFTAR PUSTAKA
Njowito Hamdani, Ilmu Kedokteran Kehakiman, (jakarta: Gramedia Pustaka
Tama, 1992), 26 as cited at http://eprints.umm.ac.id/36217/3/jiptummpp-gdl-
elganelova-47629-3-babii.pdf
Afandi, D. (2017) Tata Laksana dan Teknik Pembuatan Visum et Repertum.
University of Riau Press. 2nd edn. Edited by I. Putra. Fakultas Kedokteran
Universitas Riau.
Almulhim AM, Menezes RG. 2019. Postmortem Changes. In: StatPearls
[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2019 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK539741/.
Universitas Indonesia. 1997; James JP, Jones R, Karch SB, Manlove J.
Principles of Forensic Science. In: Simpson’s Forensic Medicine. 13th Ed. London:
Hodder & Stoughton. 2011.
Bardale, R. 2011. Principles of Forensic Medicine and Toxicology. New
Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers.
Budiyanto, A., Widiatmaka, W., Sudiono, S., Winardi, T., Idries, A.M., Sidhi.
1997. Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi Pertama, Cetakan Kedua. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Eng, V dan Oktavinda S. 2014. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media
Aesculapius.
Sampurna, Budi, et al. 2003. Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta : Universitas
Indonesia.
Idries AM. Pedoman ilmu kedokteran forensik edisi pertama. Jakarta:
Binarupa aksara. 1997. Hal 169-190

45

Anda mungkin juga menyukai