Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN DISKUSI TUTORIAL

BLOK 9 HUKUM DAN ETIKA KEDOKTERA

MODUL 2

SKENARIO 2

OLEH

INSISIVUS 7

KETUA : Wenny Frianti Putri (1811411005)

SEKRETARIS I : Resty Pratama Nurliyani (1811413020)

SEKRETARIS II : Natasha Rifdah Salviana (1811412002)

ANGGOTA : Melinda Marseli Kurnia (1811412028)

Ulfah Ramadhani M (1811412021)

Aidha Mestika Amril (1811413015)

Mayang Bellia Sari (1811413005)

Safira Aziza (1811413017)

Ricky Chandra Harahap (1811411013)

Qaireenisa Naila (1811411008)

Febri yanda Dewimar Putri (1811411021)

TUTOR : Dr.drg.Lendrawati,MDSc
Modul III

PERAN ODONTOLOGI FORENSIK DALAM IDENTIFIKASI KORBAN

Skenario 3

RECHARGE OUR SPIRIT

Ketika liburan Blok IX pepeng mahasiswa PSPDG UNAND pulang ke


kampung halamannya di Kota Nopan, lelah rasanya setelah berjuang keras
menghadapi ujian Blok IX yang dirasakan amat sulit. Hujan lebat mengguyur
sepanjang perjalanannya, dalam pikirannya terbayang biasanya kalau begini sering
terjadi longsor. Sesampainya dikampung langsung tertidur pulas sesudah makan
malam karena terlalu capek dalam perjalannya.

Menjelang fajar ia terjaga dari tidurnya karena mendengar bunyi gemuruh


yang keras, dari informasi radio komunikasi yang dibawa terdengar berita bahwa ada
tanah longsor di kampungnya dan menimbun beberapa rumah, korban belum dapat
diperkirakan.

Pepeng berpartisipasi membantu Tim SAR yang terjun kelapangan mencari


korban, ia diberi tugas menerima laporan masyarakat yang kehilangan keluarganya.
Pepeng melihat ada anggota tim mewawancarai masyarakat yang kehilangan
keluarganya dan mengisi formulir Data Ante mortem dan Post mortem, karena
penasaran maka ia bertanya pada drg.Amitmundur yang bertugas dalam tim untuk
apa semua data-data itu, dijelaskan bahwa ada prosedur tertentu yang harus
dilaksanakan dalam mengidentifikasi korban salah satunya adalah melengkapi Date
Ante mortem yang agar dapat mengidentifikasi korban secara cepat dan akurat.
Drg.Bawor juga menjelaskan bahwa identifikasi gigi seseorang sangat amat penting
dan membantu sekali dalam mengidentifikasi korban seperti pengalamannya selama
ini dalam Tim SAR. Sehingga disarankan agar bila nanti telah menjadi Dokter gigi
yang kabarnya dari PSPDG UNAND mempunyai keuungulan dalam hal DVI harus
mengetahui dengan baik serta tahu peranannya sebagai Dokter gigi dalam Tim SAR.

Mendengar penjelasan dr.Amit semakin menggugah semangat pepeng untuk


rajin belajar dan segera menyelesaikan studinya agar dapat mendharmabatikan diri
kepada Negara dan sesama manusia.

Jelaskan pendapatmu dalam masalah ini


Langkah Seven Jumps :
1. Mengklarifikasi terminologi yang tidak diketahui dan mendefinisikan hal–hal
yang dapat menimbulkan kesalahan interpretasi.
2. Menentukan Rumusan Masalah
3. Menganalisa masalah melalui brain storming dengan menggunakan prior
knowledge
4. Membuat skema atau diagram dari komponen-komponen permasalahan dan
mencari korelasi dan interaksi antar masing-masing komponen untuk
membuat solusi secara terintegrasi
5. Memformuladikan tujuan pembelajaran/ learning objectives
6. Mengumpulkan informasi di perpustakaan, internet dan lain-lain
7. Sintesa dan uji informasi yang telah diperoleh

Langkah 1. Mengklarifikasi terminology yang tidak diketahui dan


mendefinisikan hal-hal yang dapat menimbulkan kesalahan interpretasi

a. Data Antemortem
Proses mengumpulkan data sebelum korban meninggal, contohnya adalah
rekam medic, foto rontgen, dan juga cetakan rahang. Data ini bisa diambil
dari orang-orang terdekat korban.

b. Data Postmortem
Data korban setelah korban meninggal dan diperoleh oleh Tim DVI.

Langkah 2. Menentukan masalah

1. Apa saja macam-macam identifikasi ?


2. Apa saja metode untuk mengidentifikasi korban ?
3. Apa saja prosedur untuk mengidentifikasi korban ?
4. Bagaimana cara mengindentifikasi korban melalui gigi ?
5. Mengapa gigi menjadi unsur penting dalam identifikasi korban ?
6. Apa saja isi Data Antemortem dan Postmortem ?
7. Bagaimana peran dokter gigi dalam Tim SAR ?
Langkah 3. Menganalisa masalah melalui brain storming dengan menggunakan
prior knowledge

1. Apa saja macam-macam identifikasi ?


 Terbuka
Jenis identifikasi dimana korban susah untuk dikenali dan dibutuhkan
bantuan kelurga atau kerabat terdekat
 Tertutup
Jenis identifikasi dimana korban dapat dikenali, seperti korban
kecelakaan pesawat. Karena pihak penerbangan sudap mempunyai
data-data korban
 Semi Terbuka-Tertutup
Data dari korban sebagian sudah diketahui
 Komperatif
Jenis identifikasi dengan cara membandingkan data Antemortem dan
Postmortem dari korban
 Rekonstruktif
Jenis identifikasi dengan cara melakukan pengulangan kejadian di
TKP

2. Apa saja metode untuk mengidentifikasi korban ?


 Sederhana (Sekunder)
o Melalui visual
o Melihat pakaian yang terpakai oleh korban
o Melalui dokumen seperti SIM,KTP
 Ilmiah (Primer)
o DNA, sidik jari, dan gigi
o Cerologi, melalui rambut dan kuku yang dapat
mengidentifikasi golongan darah korban
 Metode Ekskuisi
Jika 9 dari 10 korban sudah diidentifikasi, 1 korban yang tersisa sudah
pasti teridentifikasi
 Superimposisi
Membandingkan foto dengan tengkorak

3. Apa saja prosedur untuk mengidentifikasi korban ?


 Mengevakuasi korban
 Mengumpulkan data Antemortem dan Postmortem
 Membandingkan data Antemortem dan Postmortem
 Jika korban sudah dapat diidentifikasi, buatlah surat keterangan
kematian

4. Bagaimana cara mengindentifikasi korban melalui gigi ?


 Radiologi
Bandingkan hasil radiologi korban (antemortem) dengan korban
 Bitemark
 Rekam medic
 Foto korban

5. Mengapa gigi menjadi unsur penting dalam identifikasi korban ?


 Gigi jaringan paling keras dalam tubuh manusia sehingga dijadikan
identifikasi primer
 Gigi tahan terhadap suhu ekstrim
 Gigi dapat menentukan ras, jenis kelamin, dan perkiraan usia
 Karakteristik gigi tiap manusia berbeda-beda
 Alternative dari DNA
 Perbandingan kesamaan variasi gigi manusia di dunia yaitu 1 : 2
milyar

6. Apa saja isi Data Antemortem dan Postmortem ?


a. Data Antemortem
 Data pribadi
 Pemeriksaan gigi
 Perawatan yang pernah dilakukan
 Pakaian yang terakhir digunakan
 Bisa didapatkan dari kerabat terdekat
b. Data Postmortem
 Gigi masih lengkap atau tidak
 Menggunakan protesa atau tidak
 Oklusi
 Rontgen
 Anomali gigi

7. Bagaimana peran dokter gigi dalam Tim SAR ?


 Dokter gigi dapat mengidentifikasi dengan jenis primer
 Rekam medic dokter gigi sangat penting dalam proses identifikasi
 Jika ada bitemark, dokter gigi dapat mengidentifikasi nya

Langkah 4. Membuat skema atau diagram dari komponen-komponen


permasalahan dan mencari korelasi dan interaksi antar masing-masing
komponen untuk membuat solusi secara integritas

Bencana Alam

Mahasiswa FKG
membantu Tim
Sar

Identifikasi
Korban

Odontologi
Forensik

Jenis, Prosedur, Teknik


Peran drg
dan Metode Identifikasi
Langkah 5. Memformulasikan tujuan pembelajaran

1. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan jenis identifikasi korban


2. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan prosedur identifikasi korban
3. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan metode identifikasi korban
4. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan teknik identifikasi korban
5. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan peran dokter gigi dalam
identifikasi korban

Langkah 6. Mengumpulkan informasi di perpustakaan, internet, dan lain-lain

Langkah 7. Sintesa dan uji informasi yang telah diperoleh

1. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan jenis identifikasi korban


 Sistem terbuka
Korban tidak dikenali,data antemortemnya sulit didapatkan atau
bahkan tidak ada data. Identifikasi sistem terbuka adalah identifikasi
pada kasus yang terbuka kepada siapapun dimaksudkan sebagai si
korban tidak dikenal. Pola permasalahan kasusnya biasanya : kriminal,
korban tunggal, sulit diperoleh data ante-mortem, identifikasinya
biasanya dilakukan dengan cara rekonstruksi, contoh: identifikasi
korban pembunuhan tidak dikenal.

 Sistem tertutup
Korban memiliki data antemortem. Identifikasi sistem tertutup adalah
identifikasi pada kasus yang jumlah dan daftar korban tak dikenalnya
sudah diketahui. Pola permasalahan kasus biasanya: non-kriminal,
korban massal, dimungkinkan diperoleh data antemortem, identifikasi
dapat dilakukan dengan cara membandingkan data, contoh:
identifikasi korban kecelakaan pesawat terbang menabrak gunung.

 Semi terbuka tertutup


Sebagian data korban diketahui dan sebagiannya lagi tidak.
Identifikasi sistem semi terbuka atau semi tertutup adalah identifikasi
pada suatu kasus yang sebagian korban tidak dikenalnya sudah
diketahui dan sebagian lainnya belum diketahui sama sekali atau
belum diektahui tetapi sudah tertentu, contoh : identifikasi korban
kecelakaan pesawat terbang di Malioboro (semi terbuka) atau di suatu
perumahan (semi tertutup).
 Komperatif
Membandingkan data antemortem dan postmortem. Identifikasi
membandingkan data adalah identifikasi yang dilakukan dengan cara
membandingkan antara data ciri hasil pemeriksaan hasil orang tak
dikenal dengan data ciri orang yang hilang yang diperkirakan yang
pernah dibuat sebelumnya. Pada penerapan penanganan identifikasi
kasus korban jenazah tidak dikenal, maka kedua data ciri yang
dibandingkan tersebut adalah data post mortem dan data ante mortem.
Data ante mortem yang baik adalah berupa medical record dan dental
record.

 Rekonstruktif
identifikasi rekonstruktif, yaitu bila tidak tersedia data ante mortem
dan komunitas tidak terbatas. Apabila identifikasi dengan cara
membandingkan data tidak dapat diterapkan, bukan berarti kita tidak
dapat mengidentifikasi. Apabila demikian halnya, kita masih dapat
mencoba mengidentifikasi dengan cara merekonstruksi data hasil
pemeriksaan post-mortem ke dalam perkiraan-perkiraan mengenai
jenis kelamin, umur, ras, tinggi dan bentuk serta ciri-ciri spesifik
badan.
Sebagaicontoh:
- Dengan mengamati lebar-sempitnya tulang panggul terhadap
kriteria dan ukuran laki-laki dan perempuan, dapat
diperkirakan jenis kelaminnya.
- Dengan mengamai interdigitasi dutura-sutura tengkorak dan
pola waktu erupsi gigi, dapat diperkirakan umurnya. Pada
kasus infantisid dengan mengukur tinggi badan ( kepala-tumit
atau kepala-tulang ekor) dapat diperkirakan umur bayi dalam
bulan.
- Dengan formula matematis, dapat diperhitungkan perkiraan
tinggi badan individu dari ukuran barang bukti tulang-tulang
panjangnya.
- Dengan perhitungan indeks-indeks dan modulus kefalometri
atau kraniometri, dapat diperhitungkan perkiraan ras dan
bentuk muka individu.
- Dengan ciri-ciri yang spesifik, dapat menuntun kepada siapa
individu yang memilikinya.Meskipun identifikasi cara
rekonstruksi ini tidak sampai menghasilkan dapat menentukan
identitas sampai pada tingkat individual, namun demikian
perkiraan-perkiraan identitas yang dihasilkan dapat
mempersempit dan memberikan arah penyidikan.
Meskipun identifikasi cara rekonstruksi ini tidak sampai
menghasilkan dapat menentukan identitas sampai pada tingkat
individual, namun demikian perkiraan-perkiraan identitas yang
dihasilkan dapat mempersempit dan memberikan arah penyidikan.

 Elektroforsa
Identifikasi jenis ini ialah dengan cara mengelompokan hasil potongan
DNA menurut panjang potongan tersebut.
 Pelacakan atau Probing
Identifikasi jenis ini dilakukan dengan cara menandai area khas yang
dicari.

2. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan prosedur identifikasi korban


Prosedur:
Pada saat jenazah diminta untuk dilakukan otopsi, pihak kepolisian
akan membuat surat yang berisi permintaan otopsi dengan merujuk pada pasal
133, 134 dan 136 KUHAP serta Undang-undang No. 2 tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia. Selain itu, surat tersebut memuat
identitas dari jenazah, yaitu: nama, jenis kelamin, umur, kewarganegaraan,
agama, pekerjaan, dan alamat. Jika data tersedia, kondisi saat mayat
ditemukan beserta tempat ditemukan mayat tersebut juga dicantumkan dalam
laporan. Dokter ahli forensik akan melakukan pemeriksaan terhadap mayat
tersebut. Proses identifikasi di BLU RSUP Prof. Dr. R.D. Kandou dilakukan
oleh dokter ahli Forensik dibantu oleh staf bagian Ilmu Kedokteran Forensik
dan Instalasi Pemulasaran Jenazah.
Hasil pemeriksaan jenazah dimasukkan dalam laporan deduksi yang
memuat data jenazah seperti nama, alamat, kematian menurut polisi, jenis
kelamin, dan pekerjaan. Selain data jenazah, juga dicantumkan waktu
pemeriksaan yaitu: hari, tanggal, serta jam dilaksanakan pemeriksaan tersebut.
Penanggung jawab, pembantu, pelaksana dan penulis laporan juga
dicantumkan setelah data jenazah. Selanjutnya, dituliskan data-data hasil
pemeriksaan luar, yaitu berupa keterangan label pada jenazah, bungkus mayat
dan apa yang menutupi mayat, catatan-catatan mengenai identifikasi, tanda
kematian, patah tulang, dan tanda kekerasan. Bila pemeriksaan dalam (otopsi)
dilakukan, hasilnya juga dimasukkan dalam laporan deduksi. Setelah kedua
pemeriksaan atau salah satu dari pemeriksaan itu dilakukan, ditarik simpulan
yang tertulis di bagian akhir dari laporan tersebut.
Identifikasi personal di BLU RSUP Prof. Dr. R.D. Kandou Manado
dilakukan pada semua jenazah, baik yang sudah diketahui identitasnya
maupun yang belum. Laporan hasil identifikasi tercakup dalam pemeriksaan
luar pada laporan deduksi, yaitu: pakaian dan perhiasan yang dikenakan
mayat, benda disamping mayat, jenis kelamin, status gizi, suku bangsa, warna
kulit, berat badan, identifikasi khusus, rambut kepala beserta alis, kumis dan
janggut, mata kanan dan mata kiri, hidung telinga dan mulut, patah tulang,
serta tanda kekerasan yang ditemukan.
Hasil pemeriksaan luar akan dicantumkan dalam Visum et Repertum
dan ditandatangani oleh dokter yang melakukan pemeriksaan. Pada 10
jenazah yang menjadi korban dari kecelakan lintas udara jatuhnya helikopter
di Bitung (2011), proses identifikasi dilakukan sesuai dengan prosedur yang
telah dibahas di atas. Semua data hasil identifikasi korban bencana dimasukan
dalam laporan deduksi sama seperti perlakuan pada jenazah personal. Selain
itu, data hasil identifikasi korban juga dimasukkan dalam formulir post
mortem yang memenuhi standar Interpol (Pink form).

AKURASI DAN KEAMANAN DALAM INDENTIFIKASI


ODONTOLOGI
Dengan semakin meningkatnya kesehatan gigi semakin banyak
anakanak dan remaja yang memiliki gigi teratur. Dalam hal ini, data yang ada
tidak cukup untuk menjadi dasar dari identifikasi. Radiografi harus digunakan
untuk menggambarkan perbedaan anatomis (bentuk dan ukuran mahkota dan
akar, posisi dalam lengkung gigi, jarak antara gigi) dapat dipergunakan. Usaha
ideentifikasi pada bencana besar dengan korban berusia muda lebih banyak
menghabiskan waktu dan lebih sulit. Hal lainnya yang membuat identifikasi
odontologi semakin sulit adalah estetika dan perkembangan mode yang
banyak digunakan pada gigi. Jika ahli forensik tidak menyadari hal ini maka
akan dapat salah dalam mengidentifikasi. Permasalahan lainnya adalah masih
banyak negara yang belum memiliki data gigi yang baik dan terorganisir,
seperti Indonesia contohnya.

Serangkaian proses DVI tersebut meliputi 5 tahapan yang mana pada


setiap tahapan memiliki keterkaitan satu dengan yang lainnya, 
1.Tahapan pertama adalah The Scene atau Tempat Kejadian Perkara (TKP)
adalah tempat terjadinya peristiwa dan akibat yang timbulkan oleh peristiwa
tersebut, atau tempat-tempat lain ditemukannya korban dan barang-barang
bukti yang berkaitan dengan peristiwa tersebut. Saat dilakukan penanganan di
TKP runtutan yang dilakukan oleh tim DVI antara lain 1) Memberikan tanda
dan label di TKP yang meliputi pembuatan sektor-sektor atau zona pada TKP
dengan ukuran 5x5 m yang sesuai dengan situasi dan kondisi geografis,
memberikan tanda pada setiap sektor, memberikan label orange pada jenazah
dan potongan jenazah, label diikat pada tubuh atau ibu jari kanan jenazah,
memberikan label putih pada barang-barang pemilik yang tercecer, membuat
sketsa dan foto tiap sektor. 2) Evakuasi dan transportasi jenazah dan barang,
memasukkan jenazah dan potongan jenazah dalam kantong jenazah dan diberi
label sesuai label jenazah, memasukkan barang-barang yang terlepas dari
tubuh korban dan diberi label sesuai nama jenazah, diangkut ke tempat
pemeriksaan dan penyimpanan jenazah dan dibuat berita acara penyerahan
kolektif.
2.Tahapan kedua adalah The Mortuary yaitu pengumpulan data-data post
mortem, data hasil pemeriksaan forensik yang ditemukan pada jenazah
korban. Dalam penanganan post mortem ini tim DVI menerima jenazah atau
potongan dan barang dari unit TKP, lalu melakukan registrasi ulang dan
mengelompokkan kiriman tersebut berdasarkan jenazah utuh tidak utuh,
potongan jenazah dan barang-barang korban, lalu membuat foto jenazah serta
mencatat ciri-ciri korban sesuai formulir yang tersedia, mengambil sidik jari
korban dan golongan darah, mencatat gigi-geligi korban, membuat foto ronsen
jika dibutuhkan, melakukan autopsi serta mengambil data-data ke unit
pembanding data.

3.Tahapan ketiga adalah Ante Mortem information yaitu pengumpulan


data-data yang penting dari korban sebelum bencana terjadi atau ketika
korban belum meninggal, data-data tersebut yaitu nama, umur, berat badan,
tinggi badan, golongan darah,  warna kulit, warna rambut, mata, cacat, tattoo,
pakaian, perhiasan serta kepemilikan lainnya lalu memasukkan data-data yang
ada ke formulir yang tersedia, mengelompokkan data-data ante mortem
berdasarkan jenis kelamin dan umur, lalu mengirimkan data-data yang telah
diperoleh ke unit pembanding data.

4.Tahapan ke empat adalah Reconciliation yaitu merupakan pencocokan


data-data dengan berbagai metode identifikasi berupa identifikasi primer,
sidik jari, catatan gigi, DNA dan identifikasi sekunder, deskripsi personal atau
temuan medis dan harta benda milik korban. y Lebih detailnya pada tahapan
ke empat ini team DVI mengkoordinasikan rapat-rapat penentuan identitas
korban antara unit TKP, unit data ante mortem dan unit post mortem lalu
mengumpulkan data-data korban yang dikenal untuk dikirim ke tim
identifikasi serta mengumpulkan data-data tambahan dari unit TKP, post
mortem dan ante mortem untuk korban yang identitasnya belum diketahui.

5.Tahapan ke lima atau tahapan terakhir adalah Debriefing yaitu


merupakan evaluasi dari pelaksanaan DVI, detailnya pada tahapan ini tim
meninjau kembali semua pelaksanaan yang telah dilakukan, mengetahui
dampa positif dan negatif operasi DVI, menentukan keefektifan persiapan tim
DVI secara psikologis, dan melaporkan temuan serta memberikan masukan
untuk meningkatkan operasi berikutnya.

3. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan metode identifikasi korban

 Metode Identifikasi Primer


Merupakan identifikasi yang dapat berdiri sendiri tanpa perlu dibantu oleh
kriteria identifikasi lain. Teknik identifikasi primer yaitu :
1) Pemeriksaan DNA
2) Pemeriksaan sidik jari
3) Pemeriksaan gigi
Pada jenazah yang rusak/busuk untuk menjamin keakuratan dilakukan dua sampai
tiga metode pemeriksaan dengan hasil positif.

Berdasarkan DVI Interpol (2014), metode primer dan yang merupakan paling
reliable adalah analisis sidik jari, analisis perbandingan dental, dan analisis
DNA.1Menurut Taylor (2016), identifikasi primer dilakukan dengan analisis visual,
sidik jari, data dental, dan analisis medis antropologis.2 Senn dan Weems (2013)
menyatakan analisis sidik jari, forensik odontologi, analisis dna, dan alat-alat
kesehatan digunakan dalam metode identifikasi primer.3 Namun demikian,
identifikasi yang hanya didasari foto sangat bersifat unreliable dan sebisa mungkin
dihindari. Identifikasi visual mungkin memberikan indikasi identitas namun tidak
cukup untuk memberikan identifikasi positif korban dalam skala bencana massal,
karena korban biasanya mengalami trauma berat sehingga perbandingan visual
hampir tidak mungkin dilakukan. Alasan lainnya juga karena kerabat seringkali tidak
mampu mengatasi emosi dan stress psikologis dalam kasus keluarga meninggal
dunia. Jadi, identifikasi yang hanya berdasar pada foto tidak reliable dan harus
dihindari. Semua data post-mortem yang diperoleh dari jenazah nantinya dievaluasi
dengan referensi pada informasi mengenai orang hilang.

1) Pemeriksaan Sidik jari

Keuntungan dari metode ini mudah dilakukan secara massal dan biaya yang murah.
Metode ini membandingkan sidik jari jenazah dengan data sidik jari antemortem.
Sampai saat ini, pemeriksaan sidik jari merupakan pemeriksaan yang diakui paling
tinggi ketepatannya untuk menentukan identitas seseorang. Dengan demikian harus
dilakukan penanganan yang sebaik-baiknya terhadap jari tangan jenazah untuk
pemeriksaan sidik jari, misalnya dengan melakukan pembungkusan kedua tangan
jenazah dengan kantong plastik.

Dibawah ini merupakan Sifat-sifat khusus yang dimiliki sidik jari :


- Perennial nature : yaitu guratan-guratan pada sidik jari yang melekat pada
kulit manusia seumur hidup.
- Immutability : yaitu sidik jari seseorang tidak pernah berubah, kecuali
mendapatkan kecelakaan yang serius.
- Individuality : pola sidik jari adalah unik dan berbeda untuk setiap orang.
- Secara teoritis, kemungkinan terjadinya dua orang dengan sidik jari sama
adalah sebesar seper sepuluh ribu bilyun. Selain itu sidik jari tak mengalami
perubahan karena umur. Oleh sebab itu sidik jari yang diambil beberapa tahun
sebelumnya masih dapat dipakai sebagai pembanding

Klasifikasi Sidik Jari


Dalam sistem klasifikasi Henry, terdapat tiga pola dasar sidik jari: Arch
(lengkungan), Loop (uliran), dan Whorl (lingkaran).
 Tipe Arch, Pada patern ini kerutan sidik jari muncul dari ujung, kemudian
mulai naik di tengah, dan berakhir di ujung yang lain.
 Tipe Loop, Pada patern ini kerutan muncul dari sisi jari, kemudian
membentuk sebuah kurva, dan menuju keluar dari sisi yang sama ketika
kerutan itu muncul.
 Tipe Whorl, Pada patern ini kerutan berbentuk sirkuler yang mengelilingi
sebuah titik pusat dari jari.
Dari ketiga klasifikasi diatas terdapat juga klasifikasi yang lebih kompleks
yang mengikutsertakan pola plain arches (lengkungan sederhana atau tented
arches (lekukan yang seperti tenda) . Pola Loop dapat berarah radial atau
ulnar, tergantung arah ekor dari loop tersebut. Pola Whorl juga dibagi dalam
subgrup-subgrup: plain whorl, accidental whorls, dan central pocket loop.

Cara Pengambilan Dan Pemeriksaan Sidik Jari


 Cara pengangkatan sidik jari yang paling sederhana adalah dengan metode
dusting (penaburan bubuk). Biasanya metode ini digunakan pada sidik jari
paten / yang tampak dengan mata telanjang. Sidik jari laten biasanya
menempel pada lempeng aluminium, kertas, atau permukaan kayu. Agar dapat
tampak, para ahli dapat menggunakan zat kimia, seperti lem (sianoakrilat),
iodin, perak klorida, dan ninhidrin. Lem sianoakrilat digunakan untuk
mengidentifikasi sidik jari dengan cara mengoleskannya pada permukaan
benda aluminium yang disimpan di dalam wadah tertutup, misalnya stoples.
Dalam stoples tersebut, ditaruh juga permukaan benda yang diduga
mengandung sidik jari yang telah diolesi minyak. Tutup rapat stoples.
Sianoakrilat bersifat mudah menguap sehingga uapnya akan menempel pada
permukaan benda berminyak yang diduga mengandung sidik jari. Semakin
banyak sianoakrilat yang menempel pada permukaan berminyak, semakin
tampaklah sidik jari sehingga dapat diidentifikasi secara mudah.

 Cara lainnya dengan menggunakan iodin. Iodin dikenal sebagai zat


pengoksidasi. Jika dipanaskan, iodin akan menyublim, yaitu berubah wujud
dari padat menjadi gas. Kemudian, gas iodin ini akan bereaksi dengan
keringat atau minyak pada sidik jari. Reaksi kimia ini menghasilkan warna
cokelat kekuning-kuningan. Warna yang dihasilkan tidak bertahan lama
sehingga harus segera dipotret agar dapat didokumentasikan.

2)Analisis DNA

DNA telah terbukti sebagai sumber material yang digunakan untuk identifikasi
karena bagian signifikan dari informasi genetik yang terkandung dalam sel sifatnya
unik pada setiap individu spesifik, dan dengan demikian, kecuali pada kembar
identik, dapat membedakan satu orang dengan lainnya. Tes DNA dapat dilakukan
bahkan pada sisa-sisa bagian tubuh. Pencocokan DNA adalah cara terbaik untuk
identifikasi bagian tubuh yang terpisah. Pencocokan DNA dapat dilakukan
berdasarkan profil keluarga, sampel pribadi, atau barang kepunyaan. Untuk DNA
profilling, dibutuhkan sampel yang dari tubuh atau bagian tubuh korban, dikirim ke
laboratorium, dan dianalisis sesuai standar internasional1.

I. Panduan Pengambilan DNA Dental


Berikut adalah panduan pengambilan DNA dental:
a. Tentukan apakah terdapat jaringan lunak atau darah yang menempel
dengan gigi yang harus dijadikan sampel.
b. Bersihkan gigi dari plak atau kalkulus dengan kuret dan bersihkan dengan
hidrogen peroksida diikuti etanol.
c. Apabila gigi utuh dan diperkirakan belum lama dicabut, dapat dilakukan
akses dan instrumentasi endodontik
d. Memotong gigi memberikan akses yang lebih besar ke pulpa.
e. Setelah gigi terbuka, dinding pulpa dapat dikuret dengan bur. Kemudian
jaringan pulpa dapat diambil dengan tube steril.
f. Pada kasus spesimen keting, pulpa dapat termumufikasi. Setelah
instrumentasi, ruang pulpa diirigasi dengan larutan buffer. Selanjutnya,
ultrafiltrasi (penyaringan) dari larutan akan didapat materi sel yang
dibutuhkan untuk analisis..
g. Terakhir, gigi mungkin harus dihancurkan.

II. Sumber DNA (barang bukti DNA)


I. DNA dari Gigi
Gigi dikenal akan kemampuannya bertahan dari kebanyakan kejadian
postmortem, termasuk kejadian dekomposisi natural dan autolisis,
kejadian lingkungan seperti perendaman (immersion), penguburan
(burial), dan api hingga 1.100 oC. Di dalam gigi, dentin dan pulpa
merupakan sumber kaya DNA, yang dapat diambil dengan sukses.
Jumlah DNA yang memadai dapat diambil dari mahkota, akar, dan
ujung akar gigi (akar merupakan area yang memiliki DNA yang paling
banyak). Sel-sel neurovascular pada pulpa dan odontoblas, yang
tertanam pada lapisan predentin dan terperangkap saat mineralisasi di
tubulus dentin, terbukti menjadi sumber penting bukti DNA ketika
jaringan tubuh lainnya telah hancur atau hilang

Metode ekstraksi DNA dari gigi:


Terdapat banyak metode yang digunakan untuk melakukan akses sel
dalam proses pengambilan DNA. Untuk melakukan akses materi
seluler secara konservatif, Smith et al mengajukan teknik horizontal
sectioning, dimana gigi dipotong secara horizontal dekat dengan CEJ
untuk mengakses materi sel. Langkahnya adalah tandai 1 mm di
bawah cementoenamel junction dengan bur bulat panjang,
meninggalkan 3-4 mm ismus jaringan gigi pada permukaan bukal.
Kemudian mahkota dipisahkan dari akar. Bur bulat kemudian
digunakan untuk menghilangkan dentin mahkota dan dentin akar
sebanyak-banyaknya. Teknik ini menjaga mahkota untuk pemeriksaan
forensik dan mengekspos ruang pulpa, predentin, dan dentin untuk
pengambilan DNA. Setelah dentin dihilangkan dari mahkota, enamel
dan restorasi dibiarkan tetap utuh. Kasus yang membutuhkan cara ini
adalah yang memiliki nilai kultural atau spesimen museum dimana
perusakan material harus diminimalkan. Contohnya adalah analisis
bukti dental dari keluarga besar George Washington. Teknik ini juga
digunakan oleh militer Amerika untuk mengidentifikasi pasukan yang
hilang saat bertugas dan pada kasus masal dimana gigi diambil dan
mungkin hanya gigi tersebut yang diberikan kepada anggota
keluarganya.

Metode yang lebih tidak destruktif seperti yang dilakukan oleh


Krzyzanska, menggunakan microfluidic pump untuk membilas sel gigi
dengan membilas pulpa dari orifis ke lubang kecil di permukaan
oklusal. Metode ini memungkina recovery DNA tanpa merusak gigi.

Selanjutnya, Sweet menyarankan penghancuran (crushing) atau


penghalusan (grinding) seluruh gigi menjadi bubuk/serbuk halus akan
memberikan jumlah kuantitas DNA maksimal. Metode ini akan
mendapatkan DNA dari sisa-sisa sel pulpa dan sel-sel pada jaringan
keras.
II. DNA dari Saliva
Ahli forensik odontologi juga harus ditanyakan mengenai rekomendasi
terhadap masalah megenai karakter biologis mukosa oral dan DNA
saliva. DNA saliva dapat ditemukan di berbagai tempat seperti objek
mati, termasuk pakaian, makanan, produk tembakau, alat kebersihan
oral, tempat minum, protesa dental, perangko, dan amplop.

DNA saliva dari lokasi bitemarks:


Saliva keluar dari tiga kelenjar saliva mayor dan ratusan kelenjar kecil
lainnya yang menyebar pada regio orofaringeal. Lebih dari 2/3 dari 1-
1.5 L saliva yang diproduksi keluar dari kelenjar submandibular,
sedangkan kelenjar parotid menghasilkan 25% dari total volume, dan
kelenjar sublingual hanya 5%. Komposisi biologis cairan saliva
berbeda tergantung pada kelenjar yang mensekresi, dan volume saliva
yang disekresi bervariasi sesuai dengan stimulasi fisiologis atau
kondisi medis dan farmakologis seseorang. Namun secara umum,
sekresi saliva paling banyak saat makan.

Komponen selular yang ada di saliva yang membuatnya menjadi


sumber DNA. Ssel-sel ini tidak diproduksi oleh kelenjar saliva,
melainkan terdapat pada lingkungan mulut dan bergabung dengan
saliva. Contohnya, sel mukosa oral lepas dan bergabung ke saliva
ketika pergantian sel dan aktivitas masktikasi.

 Metode identifikasi sekunder

INTERPOL DVI Guideline (2014) meyatakan identifikasi sekunder meliputi


deskripsi personal, temuan medis, tato, dan segala pakaian maupun aksesoris
yang ditemukan pada jenazah. Tujuan identifikasi ini adalah mendukung
metode identifikasi lainnya dan biasanya tidak cukup kuat jika dipakai sebagai
satu-satunya metode dalam identifikasi. Identifikasi sekunder jika
dikombinasikan dapat memberikan informasi memadai untuk membuat
identifikasi pada kasus-kasus tertentu, dan pada kasus dimana identifikasi
primer dapat dilakukan dengan terbatas atau bahkan tidak mungkin dilakukan.
Oleh sebab itu data-data sekunder ini tidak boleh diabaikan saat
mengumpulkan data AM.

Informasi medik:
Informasi medik yang dikumpulkan mungkin dapat dikategorikan dalam
beberapa cara: eksternal vs. internal, kongenital vs. acquired, dan variasi
normal vs. penyakit. Informasi ini biasanya diambil oleh profesi kesehatan,
namun keterlibatan forensik antropologis juga disarankan.
Deskripsi personal terdiri atas data basic (umur, jenis kelamin, tinggi, suku)
dan ciri pembeda lainnya. Temuan medis, seperti luka, temuan penyakit, serta
pengangkatan organ merupakan informasi krusial mengenai riwayat medis
korban. Tipe-tipe operasi seperti appendicectomy perlu diperhatikan. Nomor
unik yang ditemukan pada heart pacemaker dan alat prostetik lainnya
merupakan informasi penting. Tato, tahi lalat, dan disfiguration juga
merupakan indikator identifikai.

Informasi Patolog:
Kondisi kongenital eksternal yang dicatat adalah yang benar-benar berdeviasi
dari kondisi normal yang ditemukan pada umumnya. Bentuk kepala mungkin
diperlukan begitu juga dengan karakter unik pada mata. Warna mata biasanya
tidak terlalu membantu dalam kondisi meninggal dunia namun bentuk pupil
mungkin membantu. Bentuk dan ukuran hidung juga mungkin diperlukan.
Malformasi kongenital thorax mungkin dapat dilihat secara eksternal. Pada
alat gerak, terdapat variasi seperti pronounced bow knee, tidak adanya atau
justru supernumerari jari jemari.
Kondisi acquired eksternal mungkin merupakan akibat dari penyakit atau juga
karena operasi kostemtik. Kondisi akibat penyakit biasanya meninggalkan
luka atau dan deformitas tulang. Hernia ventral dan ingual juga merupakan
karakteristik lainnya. Hernia ingual meliputi tato dan tindik. Operasi kosmetik
mungkin memerlukan perhatian dari ahli untuk dideteksi namun biasanya
meninggalkan luka yang tersembunyi pada natural openings atau lipatan kulit.
Yang paling umum adalah breast implants.
Kondisi internal mungkin akan sangat berguna, tetapi memerlukan full
autopsy dan/atau fullbody x-rey/CT scan untuk dokumentasinya. Sangat
disarankan untuk melakukan keduanya karena mereka saling melengkapi.
Perubahan kongenital ataupun acquired pada skeleton dideteksi dengan CT
scan, sedangkan keunikan pada jaringan lunak membutuhkan otopsi.

Informasi antropolog:
Forensik antropologi akan berkonsentrasi pada modifikasi jaringan keras.
Mereka juga akan berkonsentrasi pada identifikasi lokasi dari riwayat fraktur
bahkan jika alat ortopedik telah dimasukkan. Hal lainnya adalah pada
penyakit dan trauma di skeleton dalam usaha untuk identifikasi riwayat-
riwayat penyakit dan kejadian, agar terbentuk koneksi dengan rekam medik
atau ingatan keluarga dengan bukti yang diambil saat post-mortem. Akses
pada radiograf AM juga diperlukan.

Articles/Evidence/Clothing:
Kategori ini mencakup seluruh efek yang ditemukan pada jenazah (perhiasan,
desain baju, dan dokumen personal). Adakalanya pakaian yang ada pada
korban bukan milik korban seperti misalnya dipinjami oleh orang lain atau
alasan lainnya. Oleh sebab itu, perhiasan atau aksesoris yang terpasang
langsung pada tubuh seperti anting atau cincin bisa membantu proses
identifikasi.
4. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan teknik identifikasi korban

 Bitemark
a) Definisi Bite mark
Pola gigitan ialah bekas gigitan dari pelaku yang tertera pada kulit korban
dalam bentuk luka, jaringan kulit maupun jaringan ikat di bawah kulit
sebagai akibat dari pola permukaan gigitan dari gigi-gigi pelaku dengan
perkataan lain pola gigitan merupakan suatu produksi dari gigi-gigi pelaku
melalui kulit korban (Eckert, 2008).
Menurut Levine (1977), pola gigitan baik pola permukaan kunyah maupun
permukaan hasil gigitan yang mengakibatkan putusnya jaringan kulit dan
dibawahnya baik pada jaringan tubuh manusia maupun pada buah-buahan
tertentu misalnya buah apel dapat ditemukan baik korban hidup maupun yang
sudah meninggal.
Analisis pola gigitan pada buah hanyalah buah tertentu saja misalnya pada
apel yang dikenal dengan Apple Bite mark, dapat pula dengan buah pear dan
bengkuang. Pola gigitan ini adalah penapakan dari hasil gigtan yang putus
akibat gigi atas yang beradu dengan gigi bawah, sehingga terlihat hasil dari
gigitan permukaan bukalis dari gigi atas dengan gigi bawah (Lukman, 2006).

b) Cara Kerja Analisis Bite mark


Studi analisis bite mark ini dilakukan oleh subkelompok yang terdiri dari empat
orang anggota, dengan tahap-tahap kerja sebagai berikut :

 Model gigi rahang atas (RA) dan rahang bawah (RB) masing-masing
anggota dikumpulkan terkebih dahulu pada pembimbing.
 Salah satu anggota kelompok melakukan gigitan (gigitan dangkal dan
gigitan dalam) pada apel hijau yang telah disediakan.
 Hasil gigitan dicetak dengan alginate dengan perluasan tepi area
gigitan 1 cm. cetakan kemudian diisi gips stone.
 Identifikasi pola gigitan dan cirri spesifik gigi-gigi yang terlihat pada
cetakan bite mark.
 Dilakukan penapakan (tracing) pada cetakan bite mark menggunakan
plastic transparan dan kemudian dihitung lebar mesiodistal gigi yang
teridentifikasi pada bite mark.
 Membandingkan ciri spesifik yang telah diidentifikasi pada cetakan
bite mark dengan model gigi RA dan RB milik masing-masing
anggota kelompok.
 Menentukan satu anggota kelompok sebagai pelaku gigitan sesuai
dengan hasil perbandingan yang telah dilakukan.
 Dilakukan hasil perhitungan lebar mesiodistal dari model gigi orang
yang dianggap sebagai pelaku gigitan.
 Membandingkan hasil pengukuran lebar mesiodistal gigi dari hasil
penapakan bite mark dan dari model gigi, kemudian distorsi yang
diperoleh dicatat dalam tabel.

c) Klasifikikasi Bite Mark


Pola gigitan mempunyai derajat perlukaan sesuai dengan kerasnya gigitan,
pada pola gigitan manusia terdapat 6 kelas yaitu:
 Kelas I : pola gigitan terdapat jarak dari gigi insisive dan kaninus.
 Kelas II : pola gigitan kelas II seperti pola gigitan kelas I tetapi
terlihat pola gigitan cusp bukalis dan palatalis maupun cusp bukalis
dan cusp lingualis tetapi derajat pola gigitannya masih sedikit.
 Kelas III: pola gigitan kelas III derajat luka lebih parah dari kelas II
yaitu permukaan gigit insisive telah menyatu akan tetapi dalamnya
luka gigitan mempunyai derajat lebih parah dari pola gigitan kelas II.
 Kelas IV: pola gigitan kelas IV terdapat luka pada kulit dan otot di
bawah kulit yang sedikit terlepas atau rupture sehingga terlihat pola
gigitan irreguler.
 Kelas V: pola gigitan kelas V terlihat luka yang menyatu pola gigitan
insisive, kaninus dan premolar baik pada rahang atas maupun bawah.
 Kelas VI: pola gigitan kelas VI memperlihatkan luka dari seluruh
gigitan dari rahang atas, rahang bawah, dan jaringan kulit serta
jaringan otot terlepas sesuai dengan kekerasan oklusi dan pembukaan
mulut.

 Radiologi
Radiografi berperan penting dalam odontologi forensik terutama
penentuan identifikasi . Ketepatan bentuk perbandingan antara radiograf
ante mortem dan post mortem berdasarkan satu gigi, bentuk satu
restorasi, protesa gigi, bentuk akar gigi, dan trabekular tulang alveolar.

Perbandingan radiografi adalah faktor esensial untuk memperkuat


identifikasi korban bencana masal dengan konsekuen data ante mortem
tersedia dari praktek dokter gigi.Seperti dalam bentuk radiograf
panoramik, sepalometri, periapikal, lateral, bite-wing

Peran radiologi dalam identifikasi korban,diantaranya :


1. Jenis kelamin dapat ditentukan berdasarkan perhitungan dan
pengamatan pada morfologi tengkorak kepala dan mandibula
2. Pada perkiraan usia biasanya digunakan radiografi gigi
dibandingkan dengan standar tertentu ataupun melalui analisis
statistik.
3. Penentuan tinggi badan melalui gambaran radiografi dapat
dilakukan dengan bantuan sefalogram lateral. Berdasarkan
penelitian Mahalaksmi et al (2013) tinggi badan dapat diukur
melalui 10 variabel sefalometri linear, dan kemudian dianalisis
dengan menggunakan rumus regresi yang berbeda antara laki-laki
dan perempuan
4. Metode Van Heerden
Van Heerden mengevaluasi perkembangan akar mesial dari molar
ketiga menggunakan radiografi panoramik. Biasanya dilakukan
dengan sefalogram lateral, radiografi panoramik, dan radiografi
tengkorak kepala.
 Fotografi
Metode ini dilakukan bertujuan yaitu untuk memotret kondisi korban maupun
TKP sebelum berubah. Standart dari fotografi forensick berdasarkan ABFO
No.2.

Bagian-bagian yang di foto sebagai data yaitu


1) Keseluruhan TKP
2) Seutuh badan dari korban
3) Close up bagian-bagian yang penting seperti bitemark, bekas tusukan
dsb.
5. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan peran dokter gigi dalam
identifikasi korban

Kematian yang tidak wajar atau tidak terduga, atau dalam kondisi bencana
massal, kerusakan fisik yang direncanakan, dan keterlambatan dalam
penemuan jenazah, bisa mengganggu identifikasi. Dalam kondisi inilah
forensik odontologi diperlukan walaupun tubuh korban sudah tidak dikenali
lagi.

Identifikasi dalam kematian penting dilakukan, karena menyangkut masalah


kemanusiaan dan hukum. Masalah kemanusian menyangkut hak bagi yang
meninggal, dan adanya kepentingan untuk menentukan pemakaman
berdasarkan agama dan permintaan keluarga. Mengenai masalah hukum,
seseorang yang tidak teridentifiksi karena hilang, tidak dipersoalkan lagi
apabila telah mencapai 7 tahun atau lebih.
Dengan demikian surat wasiat, asuransi, masalah pekerjaan dan hukum yang
perlu diselesaikan, serta masalah status pernikahan menjadi tidak berlaku lagi.
Sebelum sebab kematian ditemukan atau pemeriksa medis berhasil
menentukan jenazah yang sulit diidentifikasi, harus diingat bahwa kegagalan
menemukan rekaman gigi dapat mengakibatkan hambatan dalam identifikasi
dan menghilangkan semua harapan keluarga, sehingga sangat diperlukan
rekaman gigi setiap orang sebelum dia meninggal.
Peran profesi kedokteran forensic/kedokteran gigi forensik berkaitan dengan
kepentingan peradilan dengan melibatkan pengetahuan patologi forensik dan
patologi klinik. Profesi kedokteran forensik bisa juga mencakup ruang lingkup
bukan peradilan yaitu berperan dalam identifikasi, keterangan medis, uji
keayahan, dan pemeriksaan barang bukti lainnya.
Pendekatan kedokteran forensik selain menjadi ahli klinik medikalisasi dan
terapi, ilmu forensik juga berperan dalam hal non-terapi , yaitu pembuktian.
Ilmu forensik sangat komprehensif mencakup psikososial, yuridis. Akan tetapi
forensik juga tidak bisa dikatakan hukum karena forensik tidak menentukan
suata peristiwa disebut pembunuhan, perkosaan atau mengatakan siapa
pelaku. Forensik hanya memberi petunjuk cara kematian atau pidana atau
petunjuk siapa pelaku. Ilmu kedokteran forensik mengutamakan prinsip dasar
etika kedokteran meliputi: prinsip tidak merugikan (non maleficence), prinsip
berbuat baik (beneficence), prinsip menghormati otonomi pasien (autonomy),
dan prinsip keadilan (justice). Prinsip tidak merugikan (non maleficence),
merupakan prinsip dasar menurut tradisi Hipocrates.
Dokter gigi dimintai bantuan pada:
 Kasus cedera pada daerah mulut
 Kasus susila: penentuan umur
 Kasus cedera/ keracunan dengan komplikasi penyakit gigi dan
mulut
 Kasus identifikasi: bencana missal,pembunuhan
 Kasus kedokteran olahraga

Cara Pemberian Bantuan Dokter Gigi :


 Pembuatan berita acara
 Pembuatan VeR
 Pembuatan surat keterangan ahli
 Pemberian kesaksian ahli pengadilan
 Meyakinkan hakim mengenai tindak pidana yang terjadi

Seorang dokter gigi forensik harus memiliki beberapa kualifikasi sbb :


1. Kualifikasi sebagai dokter gigi umum
Kualifikasi terpenting yang harus dimiliki oleh seorang dokter gigi
forensik adalah latar belakang kedokteran gigi umum yang luas,
meliputi semua spesialisasi kedokteran gigi. Sebagai seorang dokter
gigi umum, kadang-kadang ia perlu memanggil dokter gigi spesialis
untuk membantunya memecahkan kasus.
2. Pengetahuan tentang bidang forensik terkait.
Seorang dokter gigi forensik harus mengerti sedikit banyak tentang
kualifikasi dan bidang keahlian forensik lainnya yang berkaitan dengan
tugasnya, seperti penguasaan akan konsep peran dokter spesialis
forensik, cara otopsi, dsb.
3.Pengetahuan tentang hukum.
Seorang dokter gigi forensik harus memiliki pengetahuan tentang
aspek legal dari odontologi forensik, karena ia akan banyak
berhubungan dengan para petugas penegak hukum, dokter forensik
dan juga pengadilan. Dalam hal kasus kriminal ia juga harus paham
mengenai tata cara penanganan benda bukti yang merupakan hal yang
amat menentukan untuk dapat diterima atau tidaknya suatu bukti di
pengadilan.
LAPORAN DISKUSI
TUTORIAL

BLOK 9 MODUL 3

“PERAN ODONTOLOGI FORENSIK DALAM IDENTIFIKASI KORBAN”

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS ANDALAS
2019

Anda mungkin juga menyukai