Anda di halaman 1dari 3

PERTANYAAN DAN JAWABAN KEL EKA :

1. Apa saja macam macam Identifikasi Forensik ?


Terdapat beberapa metode identifikasi yang dapat digunakan dalam
menentukan identitas seseorang. Metode identifikasi ini dapat
dibagi menjadi identifikasi primer dan identifikasi sekunder.
Identifikasi primer antara lain sidik jari, DNA dan data gigi geligi.
Identifikasi sekunder seperti deformitas, tanda lahir atau bekas luka,
sinar X dan pakaian/perhiasan pribadi. (James, 2011) Identitas
seseorang tersebut dapat dipastikan apabila didapatkan paling
sedikit dua hasil positif dari metode berbeda.
2. Kapan dilakukan Identifikasi Visual ?
Metode ini dilakukan dengan memperlihatkan jenazah pada orang-orang yang merasa
kehilangan anggota keluarga atau temannya.Cara ini hanya efektif pada jenazah yang
belum membusuk, sehingga masih mungkin dikenali wajah dan bentuk tubuhnya oleh lebih
dari satu orang.
 Bencana alam dengan korban yang banyak
 Orang hilang
 Kasus kematian massal ( kecelakaan / terror bom dll )
3. Apakah ada Step khusus ketika melakukan identifikasi pada bencana alam ?
etika sebuah bencana terjadi, baik secara alami maupun akibat buatan manusia, terdapat lima
langkah dalam identifikasi korban bencana/Disaster Victim Identification (DVI) berdasarkan acuan
komite polisi internasional/International Police (Interpol). Indonesia menggunakan prosedur DVI
Interpol ini untuk menemukan dan mengidentifikasi jasad manusia. Namun, tidak semua negara
menggunakan acuan ini. Ada negara-negara yang tidak menggunakan prosedur DVI berdasarkan
acuan Interpol, misalnya Amerika Serikat. Lima langkah prosedur DVI berdasarkan acuan Interpol
ialah: 1) proses pencarian dan evakuasi, 2) memasukkan ke kamar mayat untuk pemeriksaan
postmortem, 3) mengumpulkan data antemortem, 4) rekonsiliasi data antemortem, dan 5)
menyampaikan atau mengeksekusi hasil/release debrief.[3]

Fase I: Lokasi[sunting | sunting sumber]


Pada fase I ini, berlokasi di tempat kejadian dan area di sekitarnya, dilakukan proses pencarian
tubuh/anggota tubuh dan benda-benda yang mempunyai keterkaitan, pemetaan terhadap area
bencana, pemberian label (untuk setiap lokasi yang berbeda diberi label yang berbeda),
dokumentasi, dan penyimpanan tubuh/anggota tubuh ke dalam kantung yang telah disiapkan.
Informasi mengenai tempat ditemukan tubuh/sisa tubuh serta posisi anatomis tubuh/sisa tubuh juga
sangat penting. Para evakuator yang telah mendapat pelatihan DVI akan sedapat mungkin
mendapatkan informasi tersebut. Namun, yang seringnya terjadi ialah orang-orang di sekitar lokasi
kejadian yang tidak mengetahui prosedur DVI yang datang melakukan evakuasi pertama kali.

Fase II: Mortuarium[sunting | sunting sumber]


Pada fase II dilakukan yang disebut pemeriksaan postmortem, biasanya dilakukan di rumah
mayat/kamar mayat yang ada di rumah sakit. Tahapan pada fase II ini yaitu:
1. Menerima kantung berisi tubuh/bagian tubuh di rumah mayat setelah pengambilan sidik jari
dan penandatanganan formulir pelacakan untuk menunjukkan dari mana kantung itu
berasal.
2. Menuliskan nomer kantung tubuh dan mencocokkannya dengan formulir postmortem
(merupakan tugas ahli patologi forensik dan orang yang melakukan pencatatan).
3. Melepaskan pakaian, perhiasan, atribut pada tubuh/sisa tubuh, membersihkan (mencuci dan
membilas) tubuh/sisa tubuh tersebut, memberikan deskripsi, dan membuat dokumentasi
(merupakan tugas ahli fotografi dan orang yang melakukan pencatatan).
4. Melakukan identifikasi jenis kelamin, umur, tinggi badan, serta ras oleh ahli antropologi
forensik.
5. Mengambil pemeriksaan Sinar-X pada dada bila para korban berusia lanjut untuk lebih
memudahkan pada proses pencocokan dengan rekaman yang sudah ada.
6. Melakukan otopsi, merekam tato, luka, bukti luka-luka, penyakit, dan ketidaknormalan fisik
yang dapat teramati (merupakan tugas ahli patologi forensik).
7. Menandatangani formulir pelacakan.
8. Memeriksa gigi, mengambil radiografi gigi, mengamati bila ada tambalan gigi, gigi palsu, dll
untuk dicocokkan dengan rekaman gigi yang sudah ada.
9. Merekam fragmentasi tubuh (pada kasus tubuh yang terfragmentasi) untuk mendapat
informasi bagian tubuh yang hilang (kanan atau kiri, atas atau bawah, dst.), yang berguna
dalam proses identifikasi. Misalnya, seseorang tidak mungkin mempunyai dua telinga kiri,
dsb., pada kasus tubuh yang kehilangan kepala atau kepala yang kehilangan tubuh, dst.
10. Mengambil sampel (darah, jaringan tubuh) untuk kemungkinan pemeriksaan tes DNA lebih
jauh.
Seluruh data postmortem atau seluruh data yang didapatkan dari fase II ini kemudian disimpan
dalam formulir yang berwarna merah muda.

Fase III: Data Antemortem  [sunting | sunting sumber]


Data antemortem dikumpulkan melalui informasi dari anggota keluarga maupun teman-teman, orang
terdekat, berupa data mengenai tanda di tubuh/ciri khusus, barang-barang yang dikenakan-
perhiasan, jam tangan, pakaian- untuk dicocokkan dan dijadikan kriteria sekunder teridentifikasi.
Selain itu, catatan medis dari dokter dan dokter gigi juga dibutuhkan untuk keperluan mencocokkan
kriteria primer teridentifikasi dengan data yang sudah ada.
Data antemortem ini seluruhnya dimasukkan ke dalam formulir berwarna kuning. Pembedaan warna
formulir data antemortem dari hasil pemeriksaan postmortem sangat penting agar tidak tercampur.
Terdapat formulir A hingga G di dalam formulir kuning antemortem yang membutuhkan ketelitian
dalam pengisiannya. Data antemortem yang dikumpulkan dari anggota keluarga dan teman,
contohnya: kapan waktu terakhir bertemu, pakaian apa yang dikenakan, berapa ukuran
sepatu, berapa tinggi badan, apakah menyimpan foto terakhir, apakah pernah dioperasi atau
memiliki karakter fisik yang unik. Dan untuk mendapatkan data mengenai tinggi badan, diperlukan
informasi jenis kelamin, golongan darah, sidik jari, serta catatan kesehatan atau catatan gigi, dsb.

Fase IV: Rekonsiliasi[sunting | sunting sumber]


Fase ini merupakan tahap dimana hasil pemeriksaan postmortem dicocokkan dengan data
antemortem. Perdebatan sering terjadi pada fase IV ini ketika metode identifikasi primer yang
meliputi gigi, sidik jari, dan DNA tidak sesuai dengan metode identifikasi sekunder yang meliputi
barang-barang properti, rekaman medis, foto, serta dokumen lainnya.

Fase V: Release Debrief[sunting | sunting sumber]


Pada fase ini jenazah sudah dapat diidentifikasi dan dikembalikan kepada keluarga bersamaan
dengan surat pelepasannya.
Peran seorang ahli antropologi forensik pada skenario DVI adalah sebagai bagian dari tim medis
pada fase lokasi/TKP, antemortem, postmortem, dan rekonsiliasi. Dalam menghadapi hal-hal yang
berhubungan dengan korban bencana, seperti pencarian, pemulihan, proses identifikasi,
penanganan bencana serta keluarga korban, idealnya juga ditangani oleh ahli antropologi forensik
karena mereka telah terlatih dalam menangani hal-hal tersebut. [5]

4. Menurut penelitian apakah Teknik bubbling bermanfaat ?


Ya, karena dapat mempersingkat waktu dalam melakukan identifikasi visual.
5. Bagaimana alur melakukan Identifikasi post mortem pada forensic ?

Anda mungkin juga menyukai