Anda di halaman 1dari 5

Metode Identifikasi Forensik

Identitas seseorang dipastikan bila paling sedikit dua metode yang digunakan
memberikan hasil positip (tidak meragukan). Secara garis besar ada dua metode
pemeriksaan, yaitu:

a. Identifikasi primer

Merupakan identifikasi yang dapat berdiri sendiri tanpa perlu dibantu oleh kriteria
identifikasi lain. Teknik identifikasi primer yaitu :

Pemeriksaan DNA

Pemeriksaan sidik jari

Pemeriksaan gigi

Pada jenazah yang rusak/busuk untuk menjamin keakuratan dilakukan dua sampai
tiga metode pemeriksaan dengan hasil positif.
b. Identifikasi sekunder
Pemeriksaan dengan menggunakan data identifikasi sekunder tidak dapat berdiri
sendiri dan perlu didukung kriteria identifikasi yang lain. Identifikasi sekunder terdiri
atas cara sederhana dan cara ilmiah. Cara sederhana yaitu melihat langsung ciri
seseorang dengan memperhatikan perhiasan, pakaian dan kartu identitas yang
ditemukan. Cara ilmiah yaitu melalui teknik keilmuan tertentu seperti pemeriksaan
medis.
Ada beberapa cara identifikasi yang biasa dilakukan, yaitu:

1) Pemeriksaan sidik jari


Metode ini membandingkan gambaran sidik jari jenazah dengan data sidik jari
antemortem. Pemeriksaan sidik jari merupakan pemeriksaan yang diakui paling tinggi
akurasinya dalam penentuan identitas seseorang, oleh karena tidak ada dua orang
yang memiliki sidik jari yang sama.
2) Metode visual
Metode ini dilakukan dengan cara keluarga/rekan memperhatikan korban (terutama
wajah). Oleh karena metode ini hanya efektif pada jenazah yang masih utuh (belum
membusuk), maka tingkat akurasi dari pemeriksaan ini kurang baik.
3) Pemeriksaan dokumen
Metode ini dilakukan dengan dokumen seperti kartu identitas (KTP, SIM, kartu
golongan darah, paspor dan lain-lain) yang kebetulan dijumpai dalam saku pakaian
yang dikenakan. Namun perlu diingat bahwa dalam kecelakaan massal, dokumen
yang terdapat dalam saku, tas atau dompet pada jenazah belum tentu milik jenazah
yang bersangkutan.
4) Pengamatan pakaian dan perhiasan
Metode ini dilakukan dengan memeriksa pakaian dan perhiasan yang dikenakan
jenzah. Dari pemeriksaan ini dapat diketahui merek, ukuran, inisial nama pemilik,
badge, yang semuanya dapat membantu identifikasi walaupun telah terjadi
pembusukan pada jenazah. Untuk kepentingan lebih lanjut, pakaian atau perhiasan
yang telah diperiksa, sebaiknya disimpan dan didokumentsikan dalam bentuk foto.
5) Identifikasi medik
Metode ini dilakukan dengan menggunakan data pemeriksaan fisik secara
keseluruhan, meliputi tinggi dan berat badan, jenis kelamin, warna rambut, warna tirai
mata, adanya luka bekas operasi, tato, cacat atau kelainan khusus dan sebagainya.
Metode ini memiliki akurasi yang tinggi, oleh karena dilakukan oleh seorang ahli
dengan menggunakan berbagai cara atau modifikasi.
6) Pemeriksaan Gigi
Pemeriksaan ini meliputi pencatatan data gigi yang dapat dilakukan dengan
menggunakan pemeriksaan manual, sinar x, cetakan gigi serta rahang. Odontogram
memuat data tentang jumlah, bentuk, susunan, tambalan, protesa gigi dan
sebagainya. Bentuk gigi dan rahang merupakan ciri khusus dari seseorang,
sedemikian khususnya sehingga dapat dikatakan tidak ada gigi atau rahang yang
identik pada dua orang yang berbeda, bahkan kembar identik sekalipun.
7) Serologi
Pemeriksaan ini bertujuan untuk menentukan golongan darah yang diambil baik dari
tubuh korban atau pelaku, maupun bercak darah yang terdapat di tempat kejadian
perkara. Ada dua tipe orang dalam menentukan golongan darah, yaitu:
Sekretor : golongan darah dapat ditentukan dari pemeriksaan darah, air mani dan
cairan tubuh.
Non-sekretor : golongan darah hanya dari dapat ditentukan dari pemeriksaan darah.
8) Metode ekslusi
Metode ini digunakan pada identifikasi kecelakaan massal yang melibatkan sejumlah
orang yang dapat diketahui identitasnya. Bila sebagian besar korban telah dipastikan
identitasnya dengan menggunakan metode identifikasi lain, sedangkan identitas sisa
korban tidak dapat ditentukan dengan metode tersebut di atas, maka sisa
diidentifikasi menurut daftar penumpang.
9) Identifikasi kasus mutilasi
Pemeriksaan ini bertujuan untuk menentukan apakah potongan berasal dari manusia
atau binatang. Bila berasal dari manusia ditentukan apakah potongan tersebut
berasal dari satu tubuh. Untuk memastikan apakah potongan tubuh berasal dari
manusia dilakukan beberapa pemeriksaan seperti pengamatan jaringan secara
makroskopik, mikroskopik dan pemeriksaan serologik berupa reaksi antigen-antibodi.
10) Identifikasi kerangka
Identifikasi ini bertujuan untuk membuktikan bahwa kerangka tersebut adalah
kerangka manusia, ras, jenis kelamin, perkiraan umur, tinggi badan, ciri-ciri khusus,
deformitas dan bila memungkinkan dapat dilakukan rekonstruksi wajah. Kemudian
dicari pula tanda kekerasan pada tulang serta keadaan kekeringan tulang untuk
memperkirakan saat kematian.
11) Forensik molekuler
Pemeriksaan ini memanfaatkan pengetahuan kedokteran dan biologi pada tingkatan
molekul dan DNA. Pemeriksaan ini biasa dilakukan untuk melengkapi dan
menyempurnakan berbagai pemeriksaan identifikasi personal pada kasus mayat tak
dikenal, kasus pembunuhan, perkosaan serta berbagai kasus ragu ayah (paternitas).

Terhadap pola permasalahan kasusnya, dikenal ada tiga macam sistem


identifikasi, yaitu :
1. Identifikasi sistem terbuka adalah identifikasi pada kasus yang terbuka kepada
siapapun dimaksudkan sebagai si korban tidak dikenal. Pola permasalahan kasusnya
biasanya : kriminal, korban tunggal, sulit diperoleh data ante-mortem, identifikasinya
biasanya dilakukan dengan cara rekonstruksi, contoh: identifikasi korban
pembunuhan tidak dikenal.
2. Identifikasi sistem tertutup adalah identifikasi pada kasus yang jumlah dan
daftar korban tak dikenalnya sudah diketahui. Pola permasalahan kasus biasanya:
non-kriminal, korban massal, dimungkinkan diperoleh data antemortem, identifikasi
dapat dilakukan dengan cara membandingkan data, contoh: identifikasi korban
kecelakaan pesawat terbang menabrak gunung.
3. Identifikasi sistem semi terbuka atau semi tertutup adalah identifikasi pada
suatu kasus yang sebagian korban tidak dikenalnya sudah diketahui dan sebagian
lainnya belum diketahui sama sekali atau belum diektahui tetapi sudah tertentu,
contoh : identifikasi korban kecelakaan pesawat terbang di Malioboro (semi terbuka)
atau di suatu perumahan (semi tertutup).

PERBEDAAN POST-MORTEM DAN ANTE-MORTEM

Post-Mortem atau otopsi adalah prosedur bedah yang sangat khusus yang
terdiri dari pemeriksaan menyeluruh terhadap mayat untuk menentukan penyebab
dan cara kematian dan untuk mengevaluasi setiap penyakit atau cedera yang
mungkin ada.
Misalnya sidik jari, pemeriksaan terhadap gigi, seluruh tubuh, dan barang bawaan
yang melekat pada mayat dan dilakukan pula pengembilan sampel jaringan untuk
pemeriksaan DNA (Amir, 2003).
data gigi post-mortem yang perlu dicatat pada pemeriksaan antara lain :
1. Gigi yang ada dan tidak ada, bekas gigi yang tidak ada apakah masih baru atau
sudah lama.
2. Gigi yang ditambal, jenis dan klasifikasi bahan tambal.
3. Anomali bentuk dan posisi.
4. Karies atau kerusakan yang ada.
5. Jenis dan bahan restorasi.
6. Atrisi dataran kunyah gigi merupakan proses fisiologs untuk fungsi mengunyah.
7. Derajat atrisi ini sebanding dengan umur.
8. Gigi molar kketiga sudah tumbuh atau belum.
9. Ciri-ciri populasi ras dan geografis.

Ante-Mortem adalah data-data pribadi dari korban seperti cirri-ciri fisik, pakaian,
identitas khusus (tanda lahir), bekas luka/operasi, dan sebagainya sebelum korban
meninggal, data rekam medi dari dokter keluaraga dan dokter gigi korban, data sidik
jari dari pihak berwenang (kelurahan atau kepolisian), serta sidik DNA apabila
keluarga memilikinya (Amir, 2003).

Untuk data gigi data ante-mortem tersebut berupa dental record, yaitu
keterangan tertulis berupa odontogram atau catatan keadaan gigi pada waktu
pemeriksaan, pengobatan dan perawatan gigi.

1. Foto rontgen gigi.

2. Cetakan gigi.

3. Prosthesis gigi atau orthodonsi


4. Foto close up muka atau profil daerah mulut dan gigi.

5. Keterangan dari orang-orang terdekat di bawah sumpah.

Pengertian bite mark

Menurut William Eckert pada tahun 1992, bahwa yang dimaksud dengan bite mark
ialah tanda gigitan dari pelaku yang tertera pada kulit korban dalam bentuk luka,
jaringn kulit maupun jaringan ikat dibawah kulit sebagai akibat dari pola permukaan
gigitan dari gigi-gigi pelaku melalui kulit korban.
Menurut Bowes dan Bell pada tahun 1955 mengatakan bahwa bite mark merupakan
suatu perubahan fisik pada bagian tubuh yang disebabkan oleh kontak atau
interdigitasi antara gigi atas dengan gigi bawah sehingga struktur jaringan terluka
baik oleh gigi manusia maupun hewan.

Klasifikasi bite mark


Bite mark mepunyai derajat perlukaan sesuai dengan kerasnya gigitan, pada bite
mark manusia terdapat 6 kelas yaitu :8
1. Kelas I : Bite mark terdapat jarak dari gigi insisivus dan kaninus. Polanya menyebar.
Tidak ada tanda-tanda gigi individu diidentifikasi. Mungkin ada tanda salah satu atau
kedua lengkung rahang. Mungkin ada sedikit atau tidak ada nilai pembuktian untuk
pencocokan pada tersangka. Bahkan, mungkin gigitan kelas I tidak dapat diidentifikasi
sebagai pola gigitan manusia, hanya luka berbentuk bulat. Bagaimanapun, yang
mungkin menjadi nilai besar dalam hal ini yaitu seperti saliva, DNA, bentuk lengkung,
dan sebagainya.

2. Kelas II : Bite mark kelas II seperti bite mark kelas I, tetapi terlihat cusp bukalis dan
palatalis maupun cusp bukalis dan cusp lingualis tetapi derajat bite marknya masih
sedikit. Luka gigitan ini memiliki karakteristik kedua kelas dan karakteristik individual.
Lengkung rahang atas (maksila) dan rahang bawah (mandibula) dapat diidentifikasi.
Gigi yang spesifik mungkin diidentifikasi. Gigitan kelas II mungkin lebih digunakan
untuk eksklusi daripada inklusi pada tersangka.

3. Kelas III : Bite mark kelas III derajat luka lebih parah dari kelas II yaitu permukaan
gigi insisivus telah menyatu akan tetapi dalamnya luka gigitan mempunyai derajat
lebih parah dari bite mark kelas II. Gigitan ini akan memperlihatkan morfologi gigi
yang sangat baik paling sedikit pada satu rahang. Bentuk gigi spesifik dan posisinya
pada lengkung geligi dapat diidentifikasi. Pola gigitan kelas ini dapat menghasilkan
profil geligi dari si penggigit dan akan digunakan baik pada inklusi maupun eksklusi.
Dimensi ketiga lekukan-lekukan ini mungkin tampak dan dapat membantu
memperkirakan waktu gigitan diberikan dalam hubungannya dengan waktu kematian.

4. Kelas IV : Bite mark kelas IV terdapat luka pada kulit dan otot di bawah kulit yang
sedikit terlepas atau rupture sehingga terlihat bite mark irregular. Gigitan ini akan
menjadi eksisi atau insisi pada jaringan. Darah tampak pada permukaan dan DNA
mungkin terkontaminasi. Gigitan kelas ini sulit jika tidak memungkinkan untuk
mendapatkan profil gigi yang menyebabkannya. Bagaimanapun, gigitan kelas IV akan
hampir selalu menghasilkan luka permanen atau cacat : hilangnya jari atau telinga.
Atau bekas luka permanen.

5. Kelas V : Bite mark kelas V terlihat luka yang menyatu bite mark insisivus, kaninus
dan premolar baik pada rahang atas maupun bawah.
6. Kelas VI : Bite mark kelas VI memperlihatkan luka dari seluruh gigitan dari rahang
atas dan rahang bawah dan jaringan kulit serta jaringan otot terlepas sesuai dengan
kekerasan oklusi dan pembukaan mulut.

metode identifikasi pemeriksaan gigi memiliki keunggulan sbb:


1. Gigi merupakan jaringan keras yang resisten terhadap pembusukan dan pengaruh
lingkungan yang ekstrim.
2. Karakteristik individual yang unik dalam hal susunan gigi geligi dan restorasi gigi
menyebabkan identifikasi dengan ketepatan yang tinggi.
3. Kemungkinan tersedianya data antemortem gigi dalam bentuk catatan medis gigi
(dental record) dan data radiologis.
4. Gigi geligi merupakan lengkungan anatomis, antropologis, dan morfologis, yang
mempunyai letak yang terlindung dari otot-otot bibir dan pipi, sehingga apabila terjadi
trauma akan mengenai otot-otot tersebut terlebih dahulu. 5. Gigi geligi tahan panas
sampai suhu kira-kira 400oC. 6. Gigi geligi tahan terhadap asam keras, terbukti pada
peristiwa Haigh yang terbunuh dan direndam dalam asam pekat, jaringan ikatnya
hancur, sedangkan giginya masih utuh (Lukman,2006).

Kekurangan penggunaan gigi dalam odontologi forensik


1. Untuk memperoleh gigi antemortem, dental record, kesulitan yang dijumpai, pertama
adalah adanya kenyataan bahwa sebelum semua orang terarsipkan data gigi dengan
baik.
2. Keadaan gigi setiap orang dapat berubah karena pertumbuhan, kerusakan,
perkembangan serta perawatannya (Lukman, 2006).

Anda mungkin juga menyukai