Identitas seseorang dipastikan bila paling sedikit dua metode yang digunakan
memberikan hasil positip (tidak meragukan). Secara garis besar ada dua metode
pemeriksaan, yaitu:
a. Identifikasi primer
Merupakan identifikasi yang dapat berdiri sendiri tanpa perlu dibantu oleh kriteria
identifikasi lain. Teknik identifikasi primer yaitu :
Pemeriksaan DNA
Pemeriksaan gigi
Pada jenazah yang rusak/busuk untuk menjamin keakuratan dilakukan dua sampai
tiga metode pemeriksaan dengan hasil positif.
b. Identifikasi sekunder
Pemeriksaan dengan menggunakan data identifikasi sekunder tidak dapat berdiri
sendiri dan perlu didukung kriteria identifikasi yang lain. Identifikasi sekunder terdiri
atas cara sederhana dan cara ilmiah. Cara sederhana yaitu melihat langsung ciri
seseorang dengan memperhatikan perhiasan, pakaian dan kartu identitas yang
ditemukan. Cara ilmiah yaitu melalui teknik keilmuan tertentu seperti pemeriksaan
medis.
Ada beberapa cara identifikasi yang biasa dilakukan, yaitu:
Post-Mortem atau otopsi adalah prosedur bedah yang sangat khusus yang
terdiri dari pemeriksaan menyeluruh terhadap mayat untuk menentukan penyebab
dan cara kematian dan untuk mengevaluasi setiap penyakit atau cedera yang
mungkin ada.
Misalnya sidik jari, pemeriksaan terhadap gigi, seluruh tubuh, dan barang bawaan
yang melekat pada mayat dan dilakukan pula pengembilan sampel jaringan untuk
pemeriksaan DNA (Amir, 2003).
data gigi post-mortem yang perlu dicatat pada pemeriksaan antara lain :
1. Gigi yang ada dan tidak ada, bekas gigi yang tidak ada apakah masih baru atau
sudah lama.
2. Gigi yang ditambal, jenis dan klasifikasi bahan tambal.
3. Anomali bentuk dan posisi.
4. Karies atau kerusakan yang ada.
5. Jenis dan bahan restorasi.
6. Atrisi dataran kunyah gigi merupakan proses fisiologs untuk fungsi mengunyah.
7. Derajat atrisi ini sebanding dengan umur.
8. Gigi molar kketiga sudah tumbuh atau belum.
9. Ciri-ciri populasi ras dan geografis.
Ante-Mortem adalah data-data pribadi dari korban seperti cirri-ciri fisik, pakaian,
identitas khusus (tanda lahir), bekas luka/operasi, dan sebagainya sebelum korban
meninggal, data rekam medi dari dokter keluaraga dan dokter gigi korban, data sidik
jari dari pihak berwenang (kelurahan atau kepolisian), serta sidik DNA apabila
keluarga memilikinya (Amir, 2003).
Untuk data gigi data ante-mortem tersebut berupa dental record, yaitu
keterangan tertulis berupa odontogram atau catatan keadaan gigi pada waktu
pemeriksaan, pengobatan dan perawatan gigi.
2. Cetakan gigi.
Menurut William Eckert pada tahun 1992, bahwa yang dimaksud dengan bite mark
ialah tanda gigitan dari pelaku yang tertera pada kulit korban dalam bentuk luka,
jaringn kulit maupun jaringan ikat dibawah kulit sebagai akibat dari pola permukaan
gigitan dari gigi-gigi pelaku melalui kulit korban.
Menurut Bowes dan Bell pada tahun 1955 mengatakan bahwa bite mark merupakan
suatu perubahan fisik pada bagian tubuh yang disebabkan oleh kontak atau
interdigitasi antara gigi atas dengan gigi bawah sehingga struktur jaringan terluka
baik oleh gigi manusia maupun hewan.
2. Kelas II : Bite mark kelas II seperti bite mark kelas I, tetapi terlihat cusp bukalis dan
palatalis maupun cusp bukalis dan cusp lingualis tetapi derajat bite marknya masih
sedikit. Luka gigitan ini memiliki karakteristik kedua kelas dan karakteristik individual.
Lengkung rahang atas (maksila) dan rahang bawah (mandibula) dapat diidentifikasi.
Gigi yang spesifik mungkin diidentifikasi. Gigitan kelas II mungkin lebih digunakan
untuk eksklusi daripada inklusi pada tersangka.
3. Kelas III : Bite mark kelas III derajat luka lebih parah dari kelas II yaitu permukaan
gigi insisivus telah menyatu akan tetapi dalamnya luka gigitan mempunyai derajat
lebih parah dari bite mark kelas II. Gigitan ini akan memperlihatkan morfologi gigi
yang sangat baik paling sedikit pada satu rahang. Bentuk gigi spesifik dan posisinya
pada lengkung geligi dapat diidentifikasi. Pola gigitan kelas ini dapat menghasilkan
profil geligi dari si penggigit dan akan digunakan baik pada inklusi maupun eksklusi.
Dimensi ketiga lekukan-lekukan ini mungkin tampak dan dapat membantu
memperkirakan waktu gigitan diberikan dalam hubungannya dengan waktu kematian.
4. Kelas IV : Bite mark kelas IV terdapat luka pada kulit dan otot di bawah kulit yang
sedikit terlepas atau rupture sehingga terlihat bite mark irregular. Gigitan ini akan
menjadi eksisi atau insisi pada jaringan. Darah tampak pada permukaan dan DNA
mungkin terkontaminasi. Gigitan kelas ini sulit jika tidak memungkinkan untuk
mendapatkan profil gigi yang menyebabkannya. Bagaimanapun, gigitan kelas IV akan
hampir selalu menghasilkan luka permanen atau cacat : hilangnya jari atau telinga.
Atau bekas luka permanen.
5. Kelas V : Bite mark kelas V terlihat luka yang menyatu bite mark insisivus, kaninus
dan premolar baik pada rahang atas maupun bawah.
6. Kelas VI : Bite mark kelas VI memperlihatkan luka dari seluruh gigitan dari rahang
atas dan rahang bawah dan jaringan kulit serta jaringan otot terlepas sesuai dengan
kekerasan oklusi dan pembukaan mulut.