Anda di halaman 1dari 18

JOURNAL READING

“DEATH BY ARTERY INJURY: TWO


PECULIAR CASES OF SHARP FORCE
FATALITY”

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Kepanieteraan Klinik dan Melengkapi Salah


Satu Syarat Menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter
Bagian Ilmu Forensik dan Medikolegal RS Bhayangkara
Semarang Periode 10 April 2023 – 13 Mei 2023
Disusun Oleh :
1. Arina sulusi anggraeni 30101900033
2. Chyril Diaz Ilyasa 30101900051
3. Dyah Ayu Fitri Istiqomah 30101700053
4. Erviannisa Destrinandia Harahap 30101900073
5. Kemal Fathur Rachmawan 30101700084
6. Natasya Intan Purwita Sari 30101800126
7. Nisa Salisa Puspitasuci 30101900143
8. Nisa Puspita H 30101800132
Pembimbing :
dr. Ratna Relawati, M.Si.Med., Sp.KF
KEPANITERAAN KLINIK ILMU FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNISSULA SEMARANG
2023
DAFTAR ISI
.

HALAMAN JUDUL................................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
DOKUMEN JURNAL.............................................................................................1
DOKUMEN TERJEMAHAN JURNAL.................................................................7
TINJAUAN PUSTAKA........................................................................................13
3.1. DEFINISI................................................................................................13
3.2. TRAUMA TAJAM.................................................................................13
3.3. TRAUMA VASKULER.........................................................................14
3.4. IDENTIFIKASI TKP..............................................................................20
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................29
DOKUMEN POWER POINT...............................................................................30

ii
TINJAUAN PUSTAKA

3.1. DEFINISI
Traumatologi adalah ilmu yang mempelajari luka dan cedera serta
hubungannya dengan berbagai kekerasan. Traumatologi berasal dari kata
trauma dan logos. Trauma berarti kekerasan atas jaringan tubuh dari orang
yang masih hidup, sedangkan logos berarti ilmu. Luka adalah suatu keadaan
ketidaksinambungan jaringan tubuh akibat kekerasan. (Budiyanto et.al.,1997;
Dahlan dan Trisnadi, 2019).
3.2.TRAUMA TAJAM
Kekerasan yang diakibatkan oelh benda yang memiliki permukaan tajam,
ciri umum luka akibat benda tajam berupa :
• Garis batas luka teratur, tepi rata & sudut runcing
• Jika kedua tepi luka ditautkan akan menjadi rapat & membentuk garis
lurus/sedikit lengkung
• Tebing luka rata dan tidak ada jembatan jaringan
• Daerah di sekitar batas luka tidak ada memar
Bentuk luka akibat kekerasan benda tajam dengan benda setengah tajam dapat
dilihat pada Tabel 1. berikut :

Luka iris bercirikan panjang luka lebih besar dari dalamnya luka,
sedangkan luka tusuk bercirikan dalam luka lebih besar daripada panjangnya
luka. Luka bacok menimbulkan ciri-ciri ukuran luka yang besar dan menganga,
panjang luka kurang lebih sama dengan dalamnya luka (Dahlan dan Trisnadi,
21
2019) Luka akibat kekerasan benda tajam dapat Nampak berbeda jika
berdasarkan etiologic terjadinya, dapat dibedakan pada kasus pembunuhan,
bunuh diri, dan kecelakaan. Perbedaan antara deskripsi luka dapat dilihat pada
Tabel 2. berikut :
Tabel 2. Perbedaan luka pada Pembunuhan, Bunuh Diri dan Kecelakaan
(Budiyanto et.al.,1997)

Luka tangkis dihasilkan karena adanya perlawanan dari korban.


Pemeriksaan pakaian ditunjukkan untuk mengetahui interaksi antara pisau-
kain-dan tubuh korban. Luka percobaan merupakan luka khas pada kasus
bunuh diri, dan luka pada kasus kecelkaan terbentuk dari kekerasan tajam
tanapa ada unsur kesengajaan (Budiyanto et.al., 1997)
3.3.TRAUMA VASKULER
Secara klasik, mekanisme trauma terbagi dua, yaitu trauma tajam dan
tumpul. Trauma tumpul pada jaringan yang disebabkan oleh kompresi lokal
atau deselerasi dengan kecepatan tinggi. Luka jaringan pada trauma tajam
diakibatkan oleh kehancuran dan separasi jaringan. Dengan memahami
biomekanika dari trauma yang spesifik akan memudahkan untuk melakukan
evaluasi awal karena trauma pada arteri berhubungan dengan beberapa faktor,
yaitu tipe trauma, lokasi trauma, konsekuensi hemodinamik, dan mekanisme
trauma.
Tingkat keparahan trauma berbanding lurus dengan jumlah energi kinetik
(KE) yang disalurkan kepada jaringan, yang merupakan fungsi dari massa (M)

22
dan kecepatan (V), dan dapat dirumuskan sebagai berikut : KE = M x V2 /2.
Rumus ini berlaku baik untuk trauma tumpul maupun penetrasi. Perubahan
pada kecepatan berefek lebih siginifikan dibandingkan dengan perubahan pada
massa.
Kavitasi adalah sebuah fenomena yang terjadi ketika jaringan bergerak
menjauhi titik trauma yang disebabkan oleh bergeraknya tubuh, menghindari
objek penyebab trauma. Setelah terjadi trauma tumpul akan terbentuk kavitas
jaringan sementara yang disebabkan oleh deselerasi atau akselerasi yang cepat.
Tegangan ekstrim terjadi pada titik fiksasi anatomis selama pembentukan
kavitas sementara tersebut. Tekanan dapat terjadi baik sepanjang sumbu
longitudinal (tegangan tensil atau kompresi) dan sumbu transversal (teganan
shear). Tekanan tersebut dapat menyebabkan deformitas, robekan, dan fraktur
jaringan. Sementara itu, trauma penetrasi menyebabkan kavitasi sementara
yang diakibatkan oleh penyaluran energi kinetik dari alat proyektil ke jaringan
yang bersangkutan. Hal ini dapat diikuti oleh pembentukan kavitas permanen
yang disebabkan oleh pemindahan jaringan.
Gejala klinis yang ditampilkan bergantung kepada tipe trauma arteri yang
dialami. Tipe trauma yang paling sering terjadi adalah laserasi parsial dan
transeksi komplit. Transeksi komplit dapat berakibat kepada retraksi dan
trombosis pada ujung proksimal dan distal pembuluh darah, yang dapat
menyebabkan iskemia. Sementara itu, laserasi parsial dapat menyebabkan
perdarahan persisten atau pembentukan pseudoaneurisma. Laserasi parsial,
seperti halnya kontusio, dapat dibarengi dengan flap intima, yang dapat
berujung kepada trombosis. Kontusio arteri kecil dengan intima flap yang
terbatas dapat tidak menyebabkan penurunan hemodinamik daerah distal, dan
karena itu dapat tidak terdiagnosis. Hal ini disebut sebagai trauma arteri occult
atau minimal jika dilihat dari angiografi. Trauma ini memiliki risiko trombosis
yang kecil, dan seringkali dapat sembuh secara spontan. Trauma arteri dan
vena yang bersamaan dapat menyebabkan terbentuknya fistula arteriovena.

23
3.3.1 Diagnosis Trauma Vaskuler
Trauma vaskuler harus dicurigai pada setiap trauma yang terjadi pada
daerah yang secara anatomis dilalui pembuluh darah besar. Hal ini terjadi
terutama pada kejadian luka tusuk, luka tembak berkecepatan rendah, dan
trauma tumpul yang berhubungan dengan fraktur dan dislokasi. Keparahan
trauma arteri bergantung kepada derajat invasifnya trauma, mekanisme, tipe,
dan lokasi trauma, serta durasi iskemia.
Gambaran klinis dari trauma arteri dapat berupa perdarahan luar, iskemia,
hematoma pulsatil, atau perdarahan dalam yang disertai tanda-tanda syok.
Gejala klinis paling sering pada trauma arteri ekstremitas adalah iskemia akut.
Tanda-tanda iskemia adalah nyeri terus- menerus, parestesia, paralisis, pucat,
dan poikilotermia. Pemeriksaan fisik yang lengkap, mencakup inspeksi,
palpasi, dan auskultasi biasanya cukup untuk mengidentifikasi adanya tanda-
tanda akut iskemia. Adanya trauma vaskular pada ekstremitas dapat diketahui
denganmelihat tanda dan gejala yang dialami pasien. Tanda dan gejala tersebut
berupa hard sign dan soft sign.

24
Semua pasien trauma dengan mekanisme yang signifikan dan
menunjukkan gejala soft signs harus dilakukan evaluasi sirkulasi distal. Salah
satu cara yang praktis adalah dengan ABI (ankle-brachial index). Jika ABI < 1,
hal tersebut menandakan adanya trauma arteri. Adanya psudoaneurisma atau
fistula arteriovena harus dipikirkan pada kasus trauma penetrasi ekstremitas
yang didapati hematoma pulsatil dengan disertai bruit atau thrill.
Adanya tanda trauma vaskular disertai fraktur terbuka merupakan suatu
indikasi harus dilakukan eksplorasi untuk menentukan adanya trauma vaskular.
Kesulitan untuk mendiagnosis adanya trauma vaskular sering terjadi pada
hematoma yang luas pada patah tulang tertutup. Tanda lain yang bisa
menyertai trauma vaskular adalah adanya defisit neurologis baik sensoris
maupun motoris seperti rasa baal dan penurunan kekuatan motoris pada
ekstremitas. Aliran darah yang tidak adekuat dapat menimbulkan hipoksia
sehingga ekstremitas akan tampak pucat dan dingin pada perabaan. Pengisian
kapiler tidak menggambarkan keadaan sirkulasi karena dapat berasal dari arteri
kolateral, namun penting untuk menentukan viabilitas jaringan.
Diagnosis dapat menggunakan alat penunjang seperti pulse oxymetry,
doppler ultrasound atau duplex ultrasound untuk menentukan lesi vaskular,
tapi belum memberikan hasil yang memuaskan. Selain itu ada arteriografi
intra-operatif yang berguna dalam mengetahui hasil rekonstruksi secara
langsung, apakah masih ada lesi vaskular yang tertinggal.
Arteriografi bukan prosedur rutin karena akan memperlama penanganan
sehingga akan menyebabkan iskemia pada ekstremitas lebih lama lagi.
Arteriografi dilakukan bila terdapat keraguan diagnosis pada reeksplorasi atau
pasca operasi. Arteriografi juga dianjurkan pada trauma luas untuk mengetahui
lesi vaskular yang multiple dan kondisi kolateral yang ada.
Angiografi berguna untuk mengevaluasi luasnya trauma, sirkulasi distal,
dan perencanaan operasi. Akurasi angiografi cukup tinggi, yakni 92-98%. Alat
25
ini terutama berguna untuk mendiagnosis trauma arteri minimal yang dapat
luput dari pengamatan karena minimalnya gejala klinis yang ditampilkan.
Indikasi untuk melakukan angiografi di antaranya trauma tumpul yang
signifikan pada ekstremitas yang berhubungan dengan dislokasi dan fraktur,
tanda-tanda iskemia atau ABI < 1, trauma penetrasi multipel pada ekstremitas,
dan adanya tanda defisit neurologis. Berdasarkan laporan yang telah
dipublikasikan, pasien dengan luka tembus maupun tumpul yang pulsasi
ektremitasnya tidak terganggu, dengan nilai ankle-brachial indeks (ABI) yang
≥1, tidak memerlukan pemeriksaan angiografi namun tetap perlu dilakukan
pengawasan selama 12 – 24 jam.
Pemeriksaan ultrasonografi Doppler dapat merekam pantulan gelombang
suara diagnosis awal, pemeriksaan ini dapat menilai hasil sesudah anastomosis
arteri. Ultrasonografi color-flow duplex (CFD) telah disarankan sebagai
pengganti ataupun tambahan pemeriksaan arteriografi. Keuntungannya adalah
sifatnya yang noninvasif dan tidak menimbulkan nyeri. Alat ini portabel
sehingga dapat dibawa ke sampai tempat tidur pasien, unit gawat darurat,
maupun ruang operasi.pemeriksaan ulangan dan tindak lanjut dapat dilakukan
dengan mudah tanpa adanya angka kecacatan dan alat ini relatif lebih
murah.ditimbulkan oleh sel darah merah sehingga dapat menilai aliran darah.
Selain untuk diagnosis awal, pemeriksaan ini dapat menilai hasil sesudah
anastomosis arteri. Ultrasonografi color-flow duplex (CFD) telah disarankan
sebagai pengganti ataupun tambahan pemeriksaan arteriografi. Keuntungannya
adalah sifatnya yang noninvasif dan tidak menimbulkan nyeri. Alat ini portabel
sehingga dapat dibawa ke sampai tempat tidur pasien, unit gawat darurat,
maupun ruang operasi.pemeriksaan ulangan dan tindak lanjut dapat dilakukan
dengan mudah tanpa adanya angka kecacatan dan alat ini relatif lebih murah
Berikut ini adalah algoritma diagnosa gangguan arteri:

26
3.4.IDENTIFIKASI TKP
3.4.1 Pengertian Tempat Kejadian Perkara (TKP)
Apabila telah terjadi suatu tindak pidana maka dengan segera petugas yang

berwenang menangani suatu tindak pidana, berkewajiban untuk melakukan

pemeriksaan di tempat kejadian perkara (TKP), yaitu tempat dimana tersangka dan

atau korban dan atau barang-barang bukti yang berhubungan dengan tindak pidana

tersebut dapat ditemukan. (Afiah, 1989)

Pengertian tempat kejadian perkara dalam petunjuk lapangan No. Pol.

Skep/1205/IX/2000 tentang Penanganan Tempat Kejadian Perkara terbagi menjadi

2 (dua) :

a. Tempat dimana suatu tindak pidana dilakukan/terjadi atau akibat yang

ditimbulkan olehnya.

b. Tempat-tempat lain yang berhubungan dengan tindak pidana tersebut dimana

barang-barang bukti, tersangka, atau korban ditemukan.

27
Adapun pengertian dari penanganan tempat kejadian perkara, yaitu tindakan

penyidik atau penyidik pembantu berupa tindakan kepolisian yang dilakukan di

TKP yang dapat dibedakan ke dalam dua bagian: (Afiah, 1989)

1. Tindakan pertama di TKP (tempat kejadian perkara), yaitu tindakan

penyidik/penyidik pembantu TKP untuk:

a. Memberikan perlindungan dan pertolongan pertama dalam hal situasi

tempat kejadian tindak pidana masih membahayakan keamanan terhadap

korban maupun masyarakat disekitarnya, dalam hal korban luka berat,

dalam hal korban dalam keadaan kritis, dalam hal korban mati.

b. Segera menutup dan mengamankan TKP (mempertahankan status quo)

dengan membuat batas di TKP dengan tali atau alat lain, memerintahkan

orang yang berada di TKP pada saat terjadi tindak pidana untuk tidak

meninggalkan TKP, melarang setiap orang yang tidak berkepentingan

masuk ke TKP, berusaha menangkap pelaku yang diperkirakan masih

berada di TKP, minta partisipasi warga untuk mengamankan kerumunan

massa, dan tidak menambah atau mengurangi barang bukti yang ada di

TKP.

c. Segera menghubungi/memberitaukan kepada kesatuan polri

terdekat/PAMAPTA dengan mempergunakan alat komunikasi yang ada

tanpa mengabaikan segala sesuatu yang telah dikerjakan.

2. Pengolahan di tempat kejadian perkara (crime scene processing) adalah

tindakan-tindakan atau kegiatan-kegiatan setelah dilakukannya tindakan

pertama di TKP yang dilakukan untuk mencari, mengumpulkan, menganalisa,

mengevaluasi petunjuk-petunjuk, keterangan dan bukti serta identitas tersangka

menurut teori “segi tiga” guna memberi arah terhadap penyidikan selanjutnya.

28
Pada dasarnya tindakan-tindakan yang dilakukan oleh penyidik di TKP

meliputi: (Afiah, 1989)

a. Pengamatan umum (general observation)

b. Pemotretan dan pembuatan sketsa

c. Penanganan korban, saksi dan pelaku

d. Penanganan barang bukti

3.4.2 Pentingnya Penentuan Tempat Kejadian Perkara (TKP)

Untuk menuntut seseorang ke pengadilan karena melakukan suatu tindak

pidana, maka harus mengetahui secara pasti dimana tempat terjadinya tindak pidana

itu (locus delicti). Hal ini diperlukan untuk menetapkan kewenangan Pengadilan

Negeri manakah yang berhak dalam memeriksa suatu perkara tindak pidana

(kompetensi relatif). Adapun teori untuk menetapkan locus delicti, yaitu: (Sudarto,

1990:37)

1. Teori perbuatan materiil (perbuatan jasmaniah) adalah penentuan tempat

terjadinya tindak pidana ditentukan oleh perbuatan badan dari pelaku yang

dilakukan untuk mewujudkan tindak pidana itu.

2. Teori instrumen (alat) adalah penentuan tempat terjadinya tindak pidana

berdasarkan dimana bekerjanya alat yang digunakan oleh pembuat. Alat dalam

hal ini dapat berupa benda atau orang yang tidak dapat

dipertanggungjawabkan.

3. Teori akibat adalah penentuan tempat terjadinya tindak pidana berdasarkan dari

akibat yang ditimbulkan oleh tindak pidana.

29
3.4.3. Pelaksanaan Olah Tempat Kejadian Perkara oleh Penyidik Pada Tindak
Pidana (TKP)
Tempat Kejadian Perkara merupakan tempat berlangsungnya tindak pidana serta
di lingkungan sekitarnya ditemukan barang bukti dan jejakjejak kejahatan, karena tidak
ada suatu kejahatan yang tidak meninggalkan bekas, untuk itu dalam mengungkap suatu
kejahatan petugas kepolisian harus tahu darimana dan bagaimana memulai kegiatan.
Setiap penyidik dalam melakukan kegiatan olah TKP tetap mengacu pada petunjuk
pelaksanaan (JUKLAK) Kepolisian Republik Indonesia dengan nomor polisi 04/I/1982
yang berisi sebagai berikut :
a) Pengolahan tempat kejadian perkara (TKP) yang benar dan professional
sesuai dengan urutan tata kerja yang telah disesuaikan dengan JUKLAK dan JUKNIS.
b) Pengamatan Umum
c) Pemotretan secara umum
d) Pemotretan secara close up terhadap barang temuan yang ada di TKP
e) Pengambilan barang bukti yang berkaitan dengan TKP secara cermat dan
benar
f) Melakukan olah TKP yang bertujuan untuk mempersempit ruang penyidikan
unit olah tempat kejadian perkara untuk memecahkan kasus tersebut dan menemukan
pelakunya
g) Mencari keterangan saksi yang betul-betul mengerti mengenai tentang
peristiwa pidana tersebut
h) Melakukan interogasi terhadap korban, pelaku dan keluarganya.
i) Segera membuat berita acara pemeriksaan (BAP).
Pelaksanaan Olah tempat kejadian Perkara dilakukan dengan 2 tindakan :
(1) Penanganan Tempat Kejadian Perkara dengan melakukan Tindakan Pertama di
Tempat Kejadian Perkara (TPTKP), yaitu tindakan yang harus dilakukan segera untuk
melakukan pertolongan atau perlindungan pada korban, penutupan dan pengamanan
Tempat Kejadian Perkara guna penyidikan lebih lanjut.
(2) Pengolahan Tempat Kejadian Perkara, yaitu tindakan atau kegiatan setelah tindakan
pertama untuk mencari, mengumpulkan, mengevaluasi, menganalisa petunjuk-petunjuk,
keterangan dan bukti serta identitas tersangka, guna memberi arah kepada penyidikan
selanjutnya.
30
Dari kegiatan penanganan Tempat Kejadian Perkara, maka penyidik memperoleh
informasi tentang waktu terjadinya tindak pidana, tempat terjadinya tindak pidana,
jalannya kejadian tindak pidana, motif atau alasan dilakukannya tindak pidana, serta
akibat yang ditimbulkan oleh tindak pidana. Adapun urutan Penanganan dan pengolahan
Tempat Kejadian Perkara, yaitu diantaranya :
1) Persiapan Penanganan TKP
Sebelum mendatangi tempat kejadian perkara polisi menyiapkan
personil dan sarana/peralatan yang memadai atau sesuai dengan situasi
dan kondisi kasus yang akan dihadapi. Persiapan dibagi kedalam 3 (tiga)
bidang, yaitu pertama bidang personil yang terdiri dari unsur
PAMAPTA, RESKRIM, BANTEK seperti labkrim (labolatorium
kriminal), identifikasi dan kedokteran forensik.Kedua, bidang
transportasi dan komunikasi yang meyiapkan alat komunikasi dan alat
angkutan untuk kecepatan bertindak dan memilihara kendali dan
hubungan petugas dengan induk kesatuan. Ketiga, bidang peralatan
utama dan RESKRIM menyiapkan peralatan yang dianggap perlu
dengan disesuaikan dengan situasi TKP pada tindak pidana yang terjadi.
2) Perjalanan ke Tempat Kejadian Perkara
Polisi mendatangi Tempat Kejadian Perkara harus dari arah yang
berbeda-beda, hal ini dilakukan karena polisi mungkin saja memergoki
pelarian tersangka. Pada saat mendatangi Tempat Kejadian Perkara
polisi melakukannya dengan 2 (dua) cara, yaitu dengan cara
demonstratif (pakai sirine), dan dengan cara diamdiam.
3) Tindakan Pertama di Tempat Kejadian Perkara
Tindakan pertama adalah melakukan pertolongan pada korban,
melindungi korban, melakukan pengamanan dan penutupan Tempat
Kejadian Perkara dengan mempertahankan status quo, yaitu seperti
memasang garis polisi (police line) yang berfungsi melarang siapapun
masuk ke TKP kecuali penyidik atau petugas polisi lainnya, dan
membuat batas Tempat Kejadian Perkara dengan tujuan agar keaslian
Tempat Kejadian Perkara tetap terjaga guna kelancaran penyidikan
selanjutnya. Pada Tindakan Pertama di Tempat Kejadian Perkara
(TPTKP) ini penyidik memperoleh bukti segitiga.

31
Berdasarkan dari bukti segitiga ini berakibat ditemukannya jejak, antara lain :
Pertama, Dari korban, pelaku, alat yang dipakai di TKP. Kedua, Pelaku, TKP dan alat
yang dipakai pada korban. Ketiga,Dari korban, TKP dan alat yang dipakai pada korban.
Keempat, Dari korban, TKP dan pelaku pada alat yang dipakai

4) Olah Tempat Kejadian Perkara


Pengolahan Tempat Kejadian Perkara (TKP) adalah tindakan atas kegiatan-
kegiatan setelah tindakan pertama di tempat kejadian perkara (TPTKP), dengan maksud
untuk mencari, mengumpulkan, mengevaluasi, menganalisa, petunjuk-petunjuk,
keterangan dan bukti serta identitas tersangka menurut teori “bukti segitiga” guna
memberi arah terhadap penyidikan selanjutnya.
Adapun tata urutan pelaksanaan olah Tempat Kejadian Perkara yang berdasar
pada petunjuk teknis Kepolisian Republik Indonesia dengan nomor polisi JUKNIS
01/II/1982 tentang penanganan tempat kejadian perkara (TKP) menyebutkan sebagai
berikut :
a) Pengamatan umum (general observation)
Polisi melakukan pengamatan umum dengan mengarah kepada hal-hal atau
obyek-obyek seperti, jalan masuk/keluarnya pelaku, alat yang digunakan atau
ditinggalkan oleh pelaku, memperhatikan tanda-tanda perlawanan atau kekerasan,
memperhatikan kejanggalan-kejanggalan yang ditemukan di Tempat Kejadian
Perkara dan sekitarnya.

32
b) Pemotretan
Pemotretan dilakukan dengan maksud untuk mengabadikan situasi atau keadaan
Tempat Kejadian Perkara termasuk korban dan barang bukti lain pada saat
diketemukan dan memberikan gambaran nyata tentang situasi dan kondisi tempat
kejadian perkara.
c) Pembuatan sketsa
Pembuatan sketsa digunakan untuk menggambarkan situasi atau keadaan Tempat
Kejadian Perkara seteliti mungkin dan untuk rekonstruksi Tempat Kejadian
Perkara dikemudian hari jika diperlukanPengumpulan Barang Bukti
1) Pencarian Barang Bukti
Salah satu tindakan yang dilakukan petugas di Tempat Kejadian Perkara
adalah mencari barang bukti. Terdapat beberapa metode didalam melakukan
pencarian barang bukti. Metode Pertama, menggunakan metode spiral yaitu,
beberapa orang petugas Kepolisian Resor Malang bergerak beriringan dengan
jarak tertentu, mengikuti bentuk spiral berputar kearah dalam. Metode kedua
yang digunakan adalah metode strip ganda (strip and double method), yaitu 3
petugas berdampingan dengan jarak tertentu, bergerak bersama-sama secara
serentak dari sisi lebar ke sisi lain TKP, dan bisa berputar kearah semula.
Metode ketiga, menggunakan Metode Zone (Zone Method) yaitu dengan cara
daerah dibagi menjadi beberapa bagian untuk menggeladahnya. Metode
keempat, menggunakan metode Roda dalam hal ini, tempat atau ruangan
dianggap sebagai suatu lingkaran, caranya adalah beberapa petugas bergerak
bersama-sama kearah luar dimulai dari titik tengah tempat kejadian.
2) Penanganan Bukti
a) Penanganan Bukti-Bukti Objektif
Bukti Obyektif adalah bukti-bukti mati atau bukti-bukti fisik yang ditemukan di
TKP.
(b) Penanganan Bukti-Bukti subjektif
Penanganan bukti subjektif merupakan keterangan dari saksi dan tersangka, cara
penanganan yang dilakukan polisi yaitu Pertama, bertanya langsung atau
wawancara (interview) terhadap orang-orang yang diduga melihat, mendengar,
mengetahui tindak pidana, maka dapat diperoleh dari masyarakat yang berada
disekitar TKP guna membantu memberikan keterangan
d) Penanganan Korban, Saksi, dan Pelaku
33
1) Penanganan Korban Penanganan korban pada kasus tindak pidana pembunuhan
berencana, penyidik melakukan dengan beberapa tahapan sebagai berikut :
(a) Pemotretan mayat menurut letak dan posisinya dilakukan secara umum
ataupun close-up yang dilakukan dari berbagai arah dengan ditujukan pada bagian
badan yang mencurigakan.
(b) Meneliti dan mengamankan bukti-bukti yang berhubungan dengan mayat.
(c) Memanfaatkan bantuan teknis dokter yang didatangkan dengan menanyakan
beberapa hal yaitu, Pertama Jangka waktu/lama kematian berdasarkan
pengamatan tandatanda kematian antara lain kaku mayat.
(d) Memberikan tanda garis pada letak posisi mayat.
(e) Setelah diambil sidik jarinya segera di kirim kerumah sakit untuk dimintakan
Visum Et Repertum.
2) Penanganan Saksi
Dalam hal ini penyidik melakukannya dengan 4 (empat) cara, yaitu Pertama,
melakukan interview/wawancara. Kedua, menggolongkan sebagai saksi dan atau
orang-orang yang diduga sebagai tersangka. Ketiga, melakukan pemeriksaan
singkat terhadap saksi dan orang-orang yang diduga sebagai tersangka. Keempat,
melakukan pemeriksaan terhadap korban, keadaan korban, sikap korban atau
dibawa ke rumah sakit/dokter ahli untuk dimintakan VER (visum et repertum).
3) Penanganan Pelaku
Tindakan yang dilakukan penyidik terhadap pelaku dilakukan dengan 3 (tiga)
cara, yaitu Pertama, penyidik melakukan penangkapan, penggeledahan badan, dan
pengamanannya. Kedua, penyidik meneliti dan mengamankan bukti-bukti yang
terdapat pada pelaku. Ketiga, penyidik melakukan pemeriksaan singkat untuk
memperoleh keterangan sementara mengenai hal-hal berhubungan dengan
kejadian.
d) Pengorganisasian Olah Tempat Kejadian Perkara
Pada pengorganisasian Olah TKP, untuk pengolahan TKP sederhana cukup
dilakukan oleh satu atau dua orang petugas polisi saja, sedangkan TKP besar
diperlukan suatu khusus.
5) Akhir Penanganan Tempat Kejadian Perkara
a) Konsolidasi
Konsolidasi merupakan kegiatan pengecekan terhadap personel, perlengkapan
dan segala hal yang diketahui/ditemukan di TKP.
34
b) Pembukaan/ pembebasan tempat kejadian perkara
(a) Pembukaan/pembebasan TKP dilakukan oleh Pamapta setelah mendapat
pemberitahuan dari penyidik bahwa pengolahan TKP telah selesai.
c) Dalam hal petugas pengolahan TKP baik dari reserse maupun dari bantuan
teknis (identifikasi, labfor dan dokfor) masih memerlukan waktu untuk
pengolahan TKP.
d) Pembuatan berita acara pemeriksaan di tempat kejadian perkara.
(1) Berita acara pemeriksaan di tempat kejadian perkara dibuat oleh penyidik atau
penyidik pembantu yang melakukan pengolahan tempat kejadian perkara adalah
yang merupakan:
(a) Hasil yang ditemukan di tempat kejadian perkara.
(b) Tindakan yang dilakukan oleh petugas terhadap hasil yang ditemukan di
tempat kejadian perkara.
(c) Sebagai bahan untuk pelaksanaan dan pengembangan penyidikan selanjutnya.
(d) Bahan bagi penyidik selanjutnnya.
(e) Bahan evaluasi bagi atasan
(2) Disamping berita acara pemeriksaan di TKP, penyidik membuat pula berita acara
lainnya, sebagai berikut:
(a) Berita Acara Penemuan dan Penyitaan barang bukti di TKP.
(b) Berita Acara Penemuan dan Pengambilan jejak di TKP bila ditemukan. 18
(c) Berita Acara Memasuki rumah di TKP.
(d) Berita Acara Pemotretan di TKP.
(e) Berita Acara lain-lain sesuai tindakan yang dilakukan.

d) Evakuasi kegiatan Pada kegiatan evakuasi penyidik dapat melakukannya secara khusus
terhadap tempat kejadian tertentu yang memerlukan penanganan Tempat Kejadian
Perkara lanjutan, karena sifat dan kualitas penanganan dan pengolahan TKP dinilai tinggi
sehingga perlu melakukan evakuasi terhadap kegiatan yang telah dilakukan

35
DAFTAR PUSTAKA

Budiyanto A, Widiatmaka W, Sudiono S, Mun’im TWA, Sidhi, Hertian S, Sampurna B, et al. Ilmu kedokteran
forensik. Edisi 1. Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 1997;
James JP, Jones R, Karch SB, Manlove J. Principles of Forensic Science. In: Simpson’s Forensic Medicine. 13th Ed.
London: Hodder & Stoughton. 2011
Rich NM, Mattox KL, Hirshberg A. Vascular Trauma 2 nd Ed. USA: Elsevier Saunders. 2004.
Bjerke HS, 2010. Extremity Vascular Trauma. From emedicine.medscape.com/article/462753-
treatmentandmanagement [Accessed on : 19th October 2014]
Brohi K, 2002. Peripheral Vascular Trauma. From : www.trauma.org/archive/vascular/PVTmanage.html. [Accessed
on : 19th October 2014]
Rahtinuka T, 2014. Pelaksanaan Olah Tempat Kejdian Perkara Pada Tindak Pidana Pembunuhan. Malang. Bagian
Hukum Universitas Brawijaya

Anda mungkin juga menyukai