Oleh :
Sarah Shaumi Yusra 2040312083
Preseptor :
dr. Fauzil, SpB
2021
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kita ucapkan kepada Allah SWT, yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya, sehingga karya tulis ilmiah berupa Case Report Session yang
berjudul Ruptur arteri aksilaris dapat penulis selesaikan.
Terima Kasih penulis ucapakan kepada staf pengajar yang telah membimbing
penulis selama menjalani kepaniteraan klinik senior di bagian Ilmu Bedah, serta dr.
Fauzil Sp.B sebagai pembimbing dalam penulisan karya tulis ilmiah ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa karya tulis ilmiah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan segala kritik dan saran
yang membangun demi perbaikan di masa yang akan datang.
Akhir kata penulis berharap semoga karya tulis ilmiah ini dapat memberi
manfaat bagi kita semua di masa mendatang.
Penulis
ii
BAB 1
PENDAHULUAN
3
1.2 Tujuan Penulisan
4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Trauma arteri adalah trauma pada pembuluh darah arteri yang bisa
disebabkan oleh trauma tembus atau trauma tumpul terhadap eksterimitas yang jika
tidak diketahui dan tidak dilakukan tindakan sedini mungkin akan mengakibatkan
hilangnya atau matinya ekstremitas tersebut atau bahkan bisa menyebabkan kematian
bagi pasien.1
2.2 Epidemiologi
Di Amerika Serikat, sekurang-kurangnya 2.6 juta orang dirawat di rumah sakit
setiap tahunnya karena trauma akibat kecelakaan. Kebanyakan pasien berumur 25-44
tahun, namun laki-laki muda adalah kelompok dengan risiko tertinggi karena mereka
sering melakukan aktivitas yang juga berisiko tinggi. Secara keseluruhan, risiko
kematian yang disebabkan trauma akibat kecelakaan adalah tujuh kali lipat lebih
tinggi pada populasi pria daripada wanita. Penyebab kematian karena kecelakaan di
antaranya adalah kecelakaan kendaraan bermotor, terjatuh, terbakar, tertembak, dan
terkena benda tajam. Trauma vaskular perifer mencakup 80% dari total kasus trauma
vaskular. Dan kebanyakan dari trauma vaskular perifer tersebut terjadi pada
ekstremitas bawah. Kasus-kasus trauma vaskular tersebut terutama disebabkan oleh
luka tembak kecepatan tinggi (70- 80%), luka tusuk (10-15%), dan luka tumpul (5-
10%).2 4
Vena-vena superficial
Vena superfisial utama : Vena basilica & vena cephalica yang berasal dari arcus
venosus dorsalis manus. Vena cephalica melintas ke proksimal pada fascia superfisial,
mengikuti tepi lateral pergelangan tangan dan permukaan anterolateral lengan atas dan
lengan bawah. Disebelah proksimal vena cephalica melintas antara m.deltoideus dan
m.pectoralis mayor dan memasuki trigonum deltopectoral, bergabung dengan vena
aksilaris.5
Vena basilica melintas pada fascia superfisialis dan melintas kedalam dan ke
proksimal sampai di fossa cubiti untuk bergabung dengan vena brachialis, membentuk
vena aksilaris. Vena mediana cubiti merupakan penghubung antara vena basilica dan vena
cephalica didepan daerah fossa cubiti. Vena-vena superfisial berhubungan dengan vena-
vena profunda melalui vena perforans.5
Persarafan
Pleksus brachialis dibentuk didalam trigonum colli posterior oleh gabungan rami
anterior n.spinales cervicales 5,6,7,8 dan thoracalis 1 Pleksus dibagi menjadi radiks,
truncus, divisi dan fasciculus. Radiks C5,6 trunkus superior Radiks C7 trunkus medius
Radiks C8 dan T1 truncus inferior. Masing-masing truncus terbagi menjadi divisi anterior
dan posterior. Divisi anterior truncus superior dan medius membentuk fasciculus lateralis.
Divisi anterior dari truncus inferior fasciculus medialis. Divisi posterior ke-tiga truncus
membentuk fasciculus posterior.5
Cabang-cabang pleksus brachialis:
Radiks : - N. dorsalis scapulae (C5)
-N. thoracalis longus (C5, 6 dan 7)
Truncus superior : -N. subclavius (C5 dan 6)
-N. suprascapularis (mensarafi m.supraspinatus & infraspinatus)
Fasciculus lateralis : N. pectoralis lateralis, N. musculocutaneus, N. lateralis nervi medianus
Fasciculus medialis : N. pectoralis medialis N.cutaneus brachii medialis & n.cutaneus
antebrachii medialis N. ulnaris Radiks medialis n.medianus
Fasciculus posterior : N. subscapularis superior & inferior N. thoracodorsalis N. aksilaris N.
radialis.5
2.4 Etiologi
Penyebab paling sering trauma pada pembuluh darah ekstremitas adalah luka tembak
( 70-80%), luka tusuk ( 5-10%), luka akibat pecahan kaca. Selain itu trauma pada pembuluh
darah yang disebabkan oleh trauma tumpul seperti pada korban kecelakaan atau seorang
atlet yang cedera biasanya jarang ( 5-10%). Penyebab iatrogenik sekitar 10 % dari semua
kasus yang diakibatkan oleh prosedur endovaskuler seperti kateterisasi jantung.6
Trauma Tajam
Derajat I adalah robekan adventisia dan media, tanpa menembus dinding. Derajat II
adalah robekan parsial sehingga dinding arteri juga terluka dan biasanya menyebabkan
perdarahan hebat karena tidak mungkin terjadi retraksi. Derajat III pembuluh putus total.6
Trauma tumpul
Derajat I adalah robekan tunika intima yang luas. Pada derajat II, terjadi robekan tunika
intima dan tunika media disertai hematoma dan trombosis dinding arteri. Derajat III
merupakan kerusakan seluruh tebal dinding arteri diikuti dengan tergulungnya tunika
intima dan media ke dalam lumen serta pembentukan trombus pada tunika adventisia yang
utuh. 6
Trauma iatrogenik
Tindak diagnosis maupun penanganan kedokteran dapat menimbulkan trauma arteri derajat
I, baik berupa trauma tumpul yang merobek intima, atau trauma tajam yang merobek
sebagian dinding. Penyebab tersering adalah pungsi arteri untuk pemeriksaan darah, dialisis
darah, atau penggunaan kateter arteri untuk diagnosis atau pengobatan.6
Trauma luka tembak
Luka tembak umumnya melibatkan arteri besar. Trauma ini dapat ditolong dengan
rekonstruksi arteri. Pertolongan pertama selalu berupa bebat tekan tanpa turniket di daerah
perlukaan arteri.6
Setelah terjadi trauma tumpul akan terbentuk kavitas jaringan sementara yang
disebabkan oleh deselerasi atau akselerasi yang cepat. Tegangan ekstrim terjadi pada
titik fiksasi anatomis selama pembentukan kavitas sementara tersebut. Tekanan dapat
terjadi baik sepanjang sumbu longitudinal (tegangan tensil atau kompresi) dan sumbu
transversal (teganan shear). Tekanan tersebut dapat menyebabkan deformitas, robekan,
dan fraktur jaringan. Sementara itu, trauma penetrasi menyebabkan kavitasi sementara
yang diakibatkan oleh penyaluran energi kinetik dari alat proyektil ke jaringan yang
bersangkutan. Hal ini dapat diikuti oleh pembentukan kavitas permanen yang
disebabkan oleh pemindahan jaringan.1 7
Gejala klinis yang ditampilkan bergantung kepada tipe trauma arteri yang
dialami. Tipe trauma yang paling sering terjadi adalah laserasi parsial dan transeksi
komplit. Transeksi komplit dapat berakibat kepada retraksi dan trombosis pada ujung
proksimal dan distal pembuluh darah, yang dapat menyebabkan iskemia. Sementara itu,
laserasi parsial dapat menyebabkan perdarahan persisten atau pembentukan
pseudoaneurisma. Laserasi parsial, seperti halnya kontusio, dapat dibarengi dengan flap
intima, yang dapat berujung kepada trombosis. Kontusio arteri kecil dengan intima flap
yang terbatas dapat tidak menyebabkan penurunan hemodinamik daerah distal, dan
karena itu dapat tidak terdiagnosis. Hal ini disebut sebagai trauma arteri occult atau
minimal jika dilihat dari angiografi. Trauma ini memiliki risiko trombosis yang kecil,
dan seringkali dapat sembuh secara spontan.1 7
2.7 Tatalaksana
Pada dasarnya, semakin cepat tindakan semakin baik hasilnya. Bila ada perdarahan
yang banyak dan atau memancar yang akan membahayakan jiwa, tentunya pertolongan
pertama adalah menghentikan perdarahan sedangkan tindakan definitif dilakukan setelah
perdarahan berhenti. Perdarahan diatasi dengan penekanan di atas daerah perdarahan.
Pemasangan turniket tidak boleh dilakukan karena dapat merusak sistem kolateral yang
ikut terbendung. Golden period pada lesi vaskuler adalah 6-12 jam. Tanda-tanda iskemia
yang jelas terlihat umumnya pada kulit, tetapi sebenarnya otot dan saraf lebih tidak tahan
terhadap adanya iskemia.1 9
Penatalaksanaan Non Operatif
Penatalaksanaan cedera arteri minimal dan asimptomatik masih kontroversial.
Beberapa ahli bedah bersikeras bahwa semua cedera arteri yang terdeteksi harus
diperbaiki,sedangkan yang lain mengusulkan tindakan non operatif bila terdapat kriteria
klinis dan radiologis seperti low-velocity injury, disrupsi dinding arteri yang minimal (<
5mm) pada kelainan intima dan pseudoaneurisma, tidak ada perdarahan aktif, dan sirkulasi
distal masih utuh. Pendekatan ini dapat dilakukan pada arteri yang memiliki kolateral dan
terutama pada orang muda. Bila pendekatan non operatif yang digunakan, disarankan untuk
melakukan pencitraan vaskular untuk memantau penyembuhan atau stabilisasi.9
Penatalaksanaan Endovascular
Embolisasi transkateter dengan coil atau balon dapat digunakan untuk terapi beberapa
cedera arteri seperti fistula arteriovenosa aliran rendah, khususnya pada lokasi anatomis
yang jauh. Coil berguna untuk mengoklusi perdarahan dan fistula arteriovenosa.
Pendekatan endovaskular lainnya pada cedera ekstremitas adalah dengan penggunaan
teknologi stent-graft. Dengan kombinasi alat fiksasi seperti stent dan graft, perbaikan
endoluminal pada false aneurysm atau fistula arteriovenosa besar dapat dimungkinkan.1
Penatalaksanaan Operasi
Penatalaksanaan operasi pada cedera arteri perifer memerlukan persiapan seluruh
ekstremitas yang cedera. Sebagai tambahan, ekstremitas atas atau bawah kontralateral yang
sehat harus ikut disertakan untuk mengantisipasi apabila diperlukan autograft vena. Pada
umumnya, insisi dilakukan secara longitudinal langsung pada pembuluh darah yang cedera
dan diekstensi ke arah proksimal atau distal sesuai dengan kebutuhan. Kontrol arteri
proksimal dan distal dilakukan sebelum eksposur pada cedera. Arteri proksimal dikontrol
dengan benang kasar yang melingkari arteri (seperti jerat) atau bila perlu dengan
menggunakan klem vaskuler. Hal ini juga dilakukan pada arteri distal.1 9
Terkadang diperlukan pintasan sementara pada arteri yang terputus (thromboresistent
plastic tube) untuk mencegah iskemia selama operasi. Debridemen, fasiotomi, fiksasi
fraktur, neurorhaphy, reparasi vena dapat dilakukan kemudian tanpa harus terburu-buru.
Pemakaian heparin secara sistemik pada kasus trauma memang berbahaya, namun
pemberian heparin dosis kecil yang diberikan langsung terutama ke bagian distal dapat
mencegah terbentuknya trombus.9
Cara rekonstruksi arteri tergantung dari luas dan mekanisme trauma. Reparasi cedera
pembuluh darah dapat dilakukan dengan lateral suture patch angioplasty, end-toend
anastomosis, interposition graft, dan bypass graft. Extra-anatomic bypass graft berguna
pada pasien dengan cedera jaringan lunak ekstensif atau sepsis.9
Graft diperlukan untuk mencegah terjadinya penyempitan atau tegangan pada
anastomosis pembuluh darah apabila kehilangan arteri lebih dari 1.5 cm. Pada umumnya
graft vena autogen lebih disenangi untuk mengatasi persoalan vaskuler. Autograft vena
pertama kali dilakukan untuk memperbaiki cedera arteri pada masa perang Korea.
Perkembangan bahan prostetik (ePTFE) memungkinkan penggunaan rutin bahan prostetik
sebagai pengganti autograft. Pengalaman membuktikan bahwa ePTFE lebih tahan terhadap
infeksi daripada bahan prostetik lainnya dan memiliki tingkat patency yang lebih tinggi
ketika digunakan pada posisi di atas lutut.9
Pada trauma vaskular yang disertai dengan kerusakan vena, dapat dilakukan
rekonstruksi tersendiri atau bersamaan dengan kerusakan sistem arteri. Sebaiknya
dilakukan penyambungan vena lebih dahulu setelah mengeluarkan thrombus yang terjadi
terutama pada vena utama, sedangkan vena yang kecil dapat diikat saja. Hal ini dapat
menolong untuk mengurangi edema pasca bedah dan menekan angka amputasi pada
penderita trauma vaskular dengan kerusakan jaringan lunak dan tulang yang hebat serta
membantu memperbaiki aliran arteri. Bila terjadi edema yang mengganggu di daerah
ekstremitas, maka sebaiknya dipertimbangkan untuk dilakukan fasiotomi. Dengan
fasiotomi ini diharapkan terjadinya perbaikan sirkulasi pada kapiler dan otot yang rusak
kerena iskemia akibat oklusi total (ruptur arteri dan trombus). Apabila tidak dilakukan
fasiotomi, iskemia dapat menimbulkan gangren. Pada oklusi parsial (robekan intima), bila
sirkulasi kolateral tidak adekuat maka perfusi yang tidak sempurna dan iskemia otot
menyebabkan meningginya tekanan kompartemen.1 9
Pada trauma vaskular yang disertai adanya fraktur tulang, dianjurkan batasan waktu 12
jam setelah trauma. Bila lebih dari 12 jam dilakukan perbaikan arteri terlebih dahulu. Untuk
menangani fraktur ini terlebih dahulu dilakukan fiksasi eksterna, terutama pada fraktur
ekstremitas bawah karena pada ekstremitas bawah biasanya disertai kerusakan jaringan
lunak.1 9
Faktor terpenting yang menentukan prognosis dari terapi pada trauma ekstremitas pada
waktu dirawat adalah adanya trauma rusak remuk, perbaikan vaskular yang terhambat dan
fraktur tibia yang segmental. Pada trauma rusak remuk biasanya terjadi kerusakan jaringan
yang berat yang dengan cepat mengalami nekrosis dan penderita akan kehilangan tungkai
walaupun pembuluh darahnya berfungsi dengan baik. Sedangkan fraktur tibia sebelah
proksimal dan perbaikan pembuluh darah dapat dengan cepat ditangani, maka hasilnya
akan jauh lebih memuaskan.1 9
Trauma tumpul memiliki hubungan yang dengan tingginya kegagalan graft (35%), dan
kegagalan graft menyebabkan harus dilakukannya amputasi. Faktor resiko independen yang
menyebabkan harus dilakukannya amputasi setelah perbaikan arteri adalah oklusi bypass
graft, cedera kombinasi di atas dan di bawah lutut, dan transeksi arteri9.
Tujuan akhir dari rekonstruksi pada trauma vaskular adalah untuk menurunkan angka
amputasi. Untuk mencegah hal ini yang dapat kita lakukan adalah:
a. Secepat mungkin mengenal dan memberikan perawatan
b. Arterigrafi preoperatif dan intraoperatif dipertimbangkan sebaik mungkin
c. Mengerjakan trombektomi ke bagian proksimal dan distal
d. Pemakaian heparin yang sepantasnya
e. Mengutamakan vena autogen sebagai graft.
Primary Survey
Primary survey merupakan langkah awal untuk mengidentifikasi
secara cepat masalah yang timbul pada kasus trauma. Kelima hal dalam
primary survey diterangkan menurut urutan prioritas namun dalam
prakteknya di lapangan dikerjakan secara simultan. Primary survey
meliputi:10
a. Airway with C-spine control
Masalah airway dapat dilihat dengan memeriksa suara napas
dengan metode look, listen, and feel. Masalah yang mungkin timbul
pada airway adalah:
– Obstruksi jalan napas karena benda asing, cairan, ataupun
fraktur maksilofasial.
– Fraktur servikal harus selalu dicurigai terutama pada kondisi:
• kesadaran menurun,
• adanya jejas di atas clavicula, dan
• nyeri leher.
b. Breathing
Hal–hal yang dapat dilakukan untuk mengidentifikasi masalah
breathing
adalah:
– menghitung frekuensi napas/Respiratory rate (RR);
– melihat gerakan dada simetris atau tidak;
– perkusi: redup, hipersonor; dan suara napas: vesikuler,
meningkat atau menurun.
Distres napas antara lain dapat disebabkan oleh pneumotorakss,
flail chest dengan contusio pulmonum, hematotorakss, atau
fraktur costa.
c. Circulation with haemorrhage control
Hal–hal yang dapat dilihat untuk mengidentifikasi masalah
circulation
secara cepat adalah:
– tingkat kesadaran;
– warna kulit yang menandakan perfusi jaringan; dan
– nadi.
Hati–hati pada orang tua, anak kecil, atlet, dan riwayat
pemakaian obat–obatan karena pasien tidak bereaksi secara
normal. Sumber perdarahan dapat berasal dari dalam tubuh
yang tidak terlihat maupun yang terlihat dari luar.
– Internal bleeding paling banyak disebabkan oleh perdarahan
intraabdomen, hematotorakss masif, dan fraktur pelvis.
– Eksternal bleeding terutama pada ekstremitas.
d. Disability
Masalah disability atau kesadaran menurun dapat disebabkan oleh
perdarahan intrakranial atau edem otak. Lucid interval karena epidural
haemorrhage harus diwaspadai dan terus dilakukan re-evaluasi. Hal-
hal yang dapat dilakukan untuk mengidentifikasi masalah disability
adalah:
– Memeriksa skala kesadaran antara lain dengan metode AVPU
(Alert, Verbal, Pain, Unresponsive) atau GCS (Glasgow Coma
Scale).
– Memeriksa adakah lateralisasi dengan melihat ukuran pupil dan
reflek cahaya.
e. Exposure atau kontrol lingkungan.
Pakaian pasien harus dibuka semua agar dapat dilakukan
pemeriksaan dan evaluasi secara menyeluruh namun harus tetap
dijaga agar tidak terjadi hipotermi.
Resusitasi
Evaluasi
Secondary Survey
Usia : 23 tahun
Status Internus
- Rambut : Hitam, tidak mudah dicabut
- Kulit dan kuku : Tampak Pucat, Turgor kulit
- Kelenjer Getah Bening : Tidak ditemukan pembesaran
- Kepala : Tidak ditemukan kelainan
- Mata : Konjungtiva anemis, sklera tidak ikterik
- Hidung : Tidak ditemukan kelainan
- Telinga : Tidak ditemukan kelainan
- Leher : JVP 5-2 cmH2O
- Paru :
Inspeksi : Simetris, kiri = kanan
Palpasi : Fremitus kiri = kanan
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-
- Jantung :
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis teraba 2 jari medial línea mid clavicula
sinistra RIC V
Perkusi : Batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : Bunyi jantung 1 dan 2 normal, murmur (-), Gallop (-)
- Regio Abdomen :
Inspeksi : Distensi (-), DC (-), DS (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Timpani
Palpasi : nyeri tekan dan defence muskular pada titik Mc
Burney (+).
Status Lokalis
Inspeksi : Vulnus laceratum 10x5x5cm pada daerah aksilaris dextra, dengan
dasar otot dan perdarahan aktif deras.
Palpasi : Pulsasi arteri radialis dextra (-), pulsasi arteri dextra (-)
3.7 Tatalaksana
Repair arteri aksilaris dextra
BAB 4
DISKUSI
Seorang pasien laki-laki usia 23 tahun datang ke IGD Rumah Sakit Tentara Dr
Reksodiwiryo Padang dengan diagnosis perdarahan aktif pada daerah aksilaris dextra.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik. Daerah luka
di bagian aksilaris dextra akibat trauma tajam, karena pasien terjatuh pada jembatan
bambu yang ambruk, sementara tangan kanan pasien tersangkut di patahan bambu yang
runcing. Sesuai dengan tinjauan pustaka, bahwasannya mekanisme tersering dari ruptur
arteri diakibatkan oleh trauma tajam.
Setelah pasien mengalami trauma tersebut pasien langsung dibawa ke IGD
Rumah Sakit Tentara Dr Reksodiwiryo 1 jam setelah kejadian, tempat kejadian yaitu di
Kuranji, sehingga tidak membutuhkan waktu yang lama untuk sampai di rumah sakit.
Pada ruptur arteri gold standar dalam melakukan repair adalah 6 jam, apabila sudah
lewat dari waktu tersebut maka daerah distal tidak akan teraliri oleh daerah sehingga
bisa menyebabkan nekrosis dan mengharuskan tindakan amputasi pada bagian
eksterimitas tersebut.
Pada primery survey ditemukan masalah utama terdapat pada circulation karena
perdarahan yang terjadi pada aksilaris dextra, pada pemeriksaan nadi teraba lemah
dengan frekuensi 110x/menit, tekanan darah 60/40mmHg, dan kulit pucat. Akibat dari
perdarahan yang aktif pasien mengalami syok hipovolemik. Sehingga saat tatalaksana
awal pasien di lakukan pemasangan double infus untuk resusitasi cairan dengan kristaloid
dan juga koloid, sedangkan pada perdarahan aktif dilakukan kontrol perdarahan dengan
bebat tekan untuk menghentikan sementara.
Aksila berisi arteri aksilaris dan cabang-cabangnya yg mendarahi eksremitas
superior, vena aksilaris dan cabang-cabangnya yang mengalirkan darah dari ekstremitas
superior, sehingga apabila arteri aksilaris ruptur maka vaskularisasi kebagian distal
tidak adekuat.
Pemeriksaan fisik pada pasien dalam keadaan tampak sakit sedang dengan GCS
11. Pulsasi arteri radialis dextra (-), pulsasi arteri dextra (-) pada ekstremitas yang
mengalami perdarahan. Hal ini menandakan bahwa pada vaskularisasi sudah tidak
sampai pada bagian ekstermitas bagian distal.
Tatalaksana yang dini dan tepat pada ruptur arteri dapat menyelamatkan
ekstermitas tersebut, tatalaksana yang dilakukan adalah repair arteri, sehingga
vaskularisasi dapat kembali normal.
DAFTAR PUSTAKA
1. Jusi HD. Dasar-Dasar Ilmu Bedah Vaskuler Edisi ke-4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
2008. H:50-65.
2. Rich NM, Mattox KL, Hirshberg A. Vascular Trauma 2 nd Ed. USA: Elsevier Saunders.
2004.
3. Davies AH, Brophy CM (2006). Vascular Surgery. Springer Science & Business Media.
4. Hands L, Sharp M, Ray-Chaundhuri S dan Murphy M (2007). Vascular Surgery. Oxford
University Press.
5. Hansen J.T., 2011. Netter’s Anatomy Coloring Book 2nd ed. : Saunders Publications,
United Kingdom.
6. Nuraini P, 2013. Ruptur Arteri Brachialis, Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran.
10. Rich NM, Mattox KL, Hirshberg A. Vascular Trauma 2nd Ed. USA: Elsevier Saunders.
2004.
7. Dennis JW, Frykberg ER, Crump JM. New perspectives on the management of
penetrating trauma in proximity to major limb arteries. J Vasc Surg. Jan 1990;11(1):84-92;
discussion 92-3. [Medline].
8. Espinosa GA, Chiu JC, Samett EJ. Clinical assessment and arteriography for patients
with penetrating extremity injuries: a review of 500 cases with the Veterans Affairs West
Side Medical Center. Mil Med. Jan 1997;162(1):19-23. [Medline].
9. Hafez HM, Woolgar J, Robbs JV. Lower extremity arterial injury: results of 550 cases
and review of risk factors associated with limb loss. J Vasc Surg. Jun 2001;33(6):1212-9.
[Medline].
10. Ali, J., Aprahamian, C., Bell, RM., et al. 1997. Advanced Trauma Life Support.
11. Durham JR, Yao JS, Pearce WH. Arterial injuries in the thoracic outlet syndrome. J
Vasc Surg. Jan 1995;21(1):57-69; discussion 70. [Medline].
12. Skandari MK, Yao JST. Occupational Vascular Problems. In: Rutherford RB, ed.
Vascular Surgery, 6th ed. Philadelphia, Pa:. WB Saunders;2005, in press.
13. Kaar G, Broe PJ, Bouchier-Hayes DJ. Upper limb emboli. A review of 55 patients
managed surgically. J Cardiovasc Surg (Torino). Mar-Apr 1989;30(2):165- 8. [Medline].
14. McCroskey BL, Moore EE, Pearce WH. Traumatic injuries of the brachial artery. Am J
Surg. Dec 1988;156(6):553-5. [Medline].