Anda di halaman 1dari 32

Case Report Session

Ruptur Arteri Aksilaris

Oleh :
Sarah Shaumi Yusra 2040312083

Preseptor :
dr. Fauzil, SpB

BAGIAN ILMU BEDAH

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

RST DR. REKSODIWIRYO PADANG

2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita ucapkan kepada Allah SWT, yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya, sehingga karya tulis ilmiah berupa Case Report Session yang
berjudul Ruptur arteri aksilaris dapat penulis selesaikan.
Terima Kasih penulis ucapakan kepada staf pengajar yang telah membimbing
penulis selama menjalani kepaniteraan klinik senior di bagian Ilmu Bedah, serta dr.
Fauzil Sp.B sebagai pembimbing dalam penulisan karya tulis ilmiah ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa karya tulis ilmiah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan segala kritik dan saran
yang membangun demi perbaikan di masa yang akan datang.
Akhir kata penulis berharap semoga karya tulis ilmiah ini dapat memberi
manfaat bagi kita semua di masa mendatang.

Padang, Februari 2021

Penulis

ii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Trauma pada pembuluh darah menyebabkan ancaman pada kelangsungan hidup
bagian tubuh yang diperdarahinya. Trauma vaskuler memerlukan diagnosis dan tindakan
penanganan yang cepat untuk menghindarkan akibat fatal berupa amputasi. Trauma
vaskular dapat melibatkan pembuluh darah arteri dan vena. Perdarahan yang tidak
terdeteksi atau tidak terkontrol dengan cepat akan mengarah kepada kematian pasien,
atau bila terjadi iskemia akan berakibat kehilangan tungkai, stroke, nekrosis dan
kegagalan organ multipel. Trauma vaskular dapat disebabkan oleh luka tajam, luka
tumpul, maupun luka iatrogenik. Trauma vaskuler sering terdapat bersamaan dengan
trauma organ lain seperti syaraf, otot dan jaringan lunak lainnya atau bersamaan dengan
fraktur atau dislokasi pada ekstremitas. Bentuk trauma vaskular biasanya tangensial atau
transeksi komplit. Perdarahan akan menjadi lebih berat pada lesi arteri yang inkomplit,
sedangkan pada pembuluh yang putus seluruhnya akan terjadi retraksi dan konstriksi
pembuluh darah sehingga dapat mengurangi atau menahan perdarahan.1
Insiden terjadinya trauma pada pembuluh darah pada ekstremitas atas adalah 30-
50% dari semua trauma pada pembuluh darah perifer dan 80 % diantaranya adalah
trauma tembus. Trauma pada arteri brachialis adalah yang paling sering dilaporkan.
Angka kejadiannya adalah 15-30% dari semua trauma pada arteri perifer. Lokasi lain
adalah arteri aksilaris ( 5-10%) dan arteri radialis dan ulnaris ( 5 -30%). Sedangkan pada
ekstremitas bawah angka kejadiannya adalah 2/3 dari semua kasus trauma pada
pembuluh darah dengan penyebab tersering adalah trauma tembus 70 -90 %.
Kebanyakan dari trauma vaskular perifer tersebut terjadi pada ekstremitas bawah. Kasus-
kasus trauma vaskular tersebut terutama disebabkan oleh luka tembak kecepatan tinggi
(70- 80%), luka tusuk (10-15%), dan luka tumpul (5-10%).2
Tujuan dari penanganan trauma vaskuler sama seperti trauma lainnya yaitu live
saving dan diikuti oleh limb salvage dan pemulihan fungsi. Prognosis tergantung dari
penanganan awal pada pasien semakin cepat pasien di tangani maka semakin bagus
prognosisnya. Karena ini merupakan kasus kegawatdaruratan maka penting bagi kita
untuk memahami bagaimana tatalaksana segera pada kasus trauma atau ruptur pada
arteri.3

3
1.2 Tujuan Penulisan

Makalah ini bertujuan untuk memahami serta menambah pengetahuan


tentang ruptur arteri aksilaris.
1.3 Batasan Masalah

Makalah ini membahas tentang definisi, epidemiologi, etilogi,


patofisiologi, manifestasi klinis, diagnosa, diagnosa banding, tatalakasana,
komplikasi serta prognosis dari ruptur arteri aksilaris.

1.4 Metode Penulisan

Penulisan makalah ini menggunakan metode tinjauan pustaka dengan


merujuk ke berbagai literatur.

4
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Trauma arteri adalah trauma pada pembuluh darah arteri yang bisa
disebabkan oleh trauma tembus atau trauma tumpul terhadap eksterimitas yang jika
tidak diketahui dan tidak dilakukan tindakan sedini mungkin akan mengakibatkan
hilangnya atau matinya ekstremitas tersebut atau bahkan bisa menyebabkan kematian
bagi pasien.1

2.2 Epidemiologi
Di Amerika Serikat, sekurang-kurangnya 2.6 juta orang dirawat di rumah sakit
setiap tahunnya karena trauma akibat kecelakaan. Kebanyakan pasien berumur 25-44
tahun, namun laki-laki muda adalah kelompok dengan risiko tertinggi karena mereka
sering melakukan aktivitas yang juga berisiko tinggi. Secara keseluruhan, risiko
kematian yang disebabkan trauma akibat kecelakaan adalah tujuh kali lipat lebih
tinggi pada populasi pria daripada wanita. Penyebab kematian karena kecelakaan di
antaranya adalah kecelakaan kendaraan bermotor, terjatuh, terbakar, tertembak, dan
terkena benda tajam. Trauma vaskular perifer mencakup 80% dari total kasus trauma
vaskular. Dan kebanyakan dari trauma vaskular perifer tersebut terjadi pada
ekstremitas bawah. Kasus-kasus trauma vaskular tersebut terutama disebabkan oleh
luka tembak kecepatan tinggi (70- 80%), luka tusuk (10-15%), dan luka tumpul (5-
10%).2 4

2.3 Anatomi arteri aksilaris


Aksila berisi arteri aksilaris dan cabang-cabangnya yang mendarahi ekstremitas
superior, vena aksilaris dan cabang-cabangnya yangg mengalirkan darah dari ekstremitas
superor dan p.lymph serta kelenjar lymph yang mengalirkan cairan lymph dari ekstremitas
supeior dan mamma serta dari kulit tubuh sp setinggi umbilicus. Di aksila terdapat pleksus
brachialis yang mensarafi ekstremitas superior.5
A. aksilaris mulai dari pinggir lateral costa I sbg lanjutan a.subclavia & berakhir pada
pinggir bawah m.teres mayor a.aksilaris a.brachialis. M. pectoralis minor menyilang di
depan a.aksilaris dan membagi a.aksilaris menjadi 3 bagian :
1. Terletak mulai dari pinggir lateral costa I sp pinggir atas m.pectoralis minor.
2. Terletak di belakang m.pectoralis minor
3. Terletak mulai dari pinggir bawah m.pectoralis minor sp pinggir bawah m.teres mayor.
Cabang-cabang a.aksilaris :
1. Bagian I punya 1 cabang a.thoracica superior berjalan diatas m.pectoralis minor
2. Bagian ke-2 punya 2 cabang : a. thoracoacromialis selanjutnya bercabang menjadi
cabang-cabang terminal a.thoracica lateralis berjalan di pinggir bawah m.pectoralis minor
3. Bagian ke-3 penya 3 cabang : A.subscapularis berjalan dilateral m.subscapularis
A.circumfleksa humeri anterior dan posterior masing-masing melingkari bagian depan &
belakang collum chirurgicum humeri.
Vena aksilaris
Dibentuk pada pinggir bawah m.teres mayor sebagai gabungan dari vena comitantes
a.brachialis & vena basilica . Vena aksilaris berjalan keatas pada sisi medial a.aksilaris &
berakhir pada pinggir lateral costa I kemudia melanjutkan diri sebagai vena subclavia.
Vena aksilaris menampung darah dari vena brachialis yang mengikuti a.brachialis (vena
comitans).5

Vena-vena superficial
Vena superfisial utama : Vena basilica & vena cephalica yang berasal dari arcus
venosus dorsalis manus. Vena cephalica melintas ke proksimal pada fascia superfisial,
mengikuti tepi lateral pergelangan tangan dan permukaan anterolateral lengan atas dan
lengan bawah. Disebelah proksimal vena cephalica melintas antara m.deltoideus dan
m.pectoralis mayor dan memasuki trigonum deltopectoral, bergabung dengan vena
aksilaris.5
Vena basilica melintas pada fascia superfisialis dan melintas kedalam dan ke
proksimal sampai di fossa cubiti untuk bergabung dengan vena brachialis, membentuk
vena aksilaris. Vena mediana cubiti merupakan penghubung antara vena basilica dan vena
cephalica didepan daerah fossa cubiti. Vena-vena superfisial berhubungan dengan vena-
vena profunda melalui vena perforans.5

Persarafan
Pleksus brachialis dibentuk didalam trigonum colli posterior oleh gabungan rami
anterior n.spinales cervicales 5,6,7,8 dan thoracalis 1 Pleksus dibagi menjadi radiks,
truncus, divisi dan fasciculus. Radiks C5,6 trunkus superior Radiks C7 trunkus medius
Radiks C8 dan T1 truncus inferior. Masing-masing truncus terbagi menjadi divisi anterior
dan posterior. Divisi anterior truncus superior dan medius membentuk fasciculus lateralis.
Divisi anterior dari truncus inferior fasciculus medialis. Divisi posterior ke-tiga truncus
membentuk fasciculus posterior.5
Cabang-cabang pleksus brachialis:
Radiks : - N. dorsalis scapulae (C5)
-N. thoracalis longus (C5, 6 dan 7)
Truncus superior : -N. subclavius (C5 dan 6)
-N. suprascapularis (mensarafi m.supraspinatus & infraspinatus)
Fasciculus lateralis : N. pectoralis lateralis, N. musculocutaneus, N. lateralis nervi medianus
Fasciculus medialis : N. pectoralis medialis N.cutaneus brachii medialis & n.cutaneus
antebrachii medialis N. ulnaris Radiks medialis n.medianus
Fasciculus posterior : N. subscapularis superior & inferior N. thoracodorsalis N. aksilaris N.
radialis.5

Saraf-saraf lengan atas dan bawah:


1. N.radialis. Mensarafi otot-otot posterior (ekstensor) lengan atas. Memasuki lengan atas
disebelah posterior a.brachialis, medial terhadap humerus dan anterior terhadap caput
longum m.triceps. Melintas keinferior bersama a.profunda brachii dalam sulcus radialis
menembus septum intermuscularis lateral kedistal diantara m.brachialis dan
m.brachioradialis setinggi epicondylus lateral humeri terbagi 2 menjadi ramus profundus
(bersifat muskular & artikular) dan ramus superfisial (mengantar serabut sensoris ke tangan
dan jari tangan).5
2. n.medianus. Saraf utama kompartemen anterior. Saraf ini meninggalkan fossa cubiti
melintas antara caput m.pronator teres melintas disebelah dalam m.fleksor digitorum
superfisial (FDS) dan berlanjut ke distal antara FDS dan m. fleksor diditorum profunda.
3. n.musculocutaneus. Mensarafi otot-otot kompartemen anterior (fleksor) lengan atas.
Saraf ini menembus m.coracobrachialis dan melintas kedistal antara m.biceps dan
m.brachialis. Dalam sela antara m.biceps dan m. brachialis, n.musculocutaneus bercabang
menjadi n.cutaneus antebrachii lateralis dan mengurus persarafan kulit lateral lengan
bawah.5
4. n. Ulnaris. Memasuki lengan bawah melintas antara caput m. fleksor carpi nulnaris
kedistal diantara m.fleksor carpi ulnaris dan m.fleksor digitorum profundus. N. ulnaris
menjadi superfisial di pergelangan tangan dan mensarafi kulit pada sisi medial lengan.5

2.4 Etiologi
Penyebab paling sering trauma pada pembuluh darah ekstremitas adalah luka tembak
( 70-80%), luka tusuk ( 5-10%), luka akibat pecahan kaca. Selain itu trauma pada pembuluh
darah yang disebabkan oleh trauma tumpul seperti pada korban kecelakaan atau seorang
atlet yang cedera biasanya jarang ( 5-10%). Penyebab iatrogenik sekitar 10 % dari semua
kasus yang diakibatkan oleh prosedur endovaskuler seperti kateterisasi jantung.6
Trauma Tajam
Derajat I adalah robekan adventisia dan media, tanpa menembus dinding. Derajat II
adalah robekan parsial sehingga dinding arteri juga terluka dan biasanya menyebabkan
perdarahan hebat karena tidak mungkin terjadi retraksi. Derajat III pembuluh putus total.6
Trauma tumpul
Derajat I adalah robekan tunika intima yang luas. Pada derajat II, terjadi robekan tunika
intima dan tunika media disertai hematoma dan trombosis dinding arteri. Derajat III
merupakan kerusakan seluruh tebal dinding arteri diikuti dengan tergulungnya tunika
intima dan media ke dalam lumen serta pembentukan trombus pada tunika adventisia yang
utuh. 6
Trauma iatrogenik
Tindak diagnosis maupun penanganan kedokteran dapat menimbulkan trauma arteri derajat
I, baik berupa trauma tumpul yang merobek intima, atau trauma tajam yang merobek
sebagian dinding. Penyebab tersering adalah pungsi arteri untuk pemeriksaan darah, dialisis
darah, atau penggunaan kateter arteri untuk diagnosis atau pengobatan.6
Trauma luka tembak
Luka tembak umumnya melibatkan arteri besar. Trauma ini dapat ditolong dengan
rekonstruksi arteri. Pertolongan pertama selalu berupa bebat tekan tanpa turniket di daerah
perlukaan arteri.6

2.5 Mekanisme Trauma


Secara klasik, mekanisme trauma terbagi dua, yaitu trauma tajam dan tumpul.
Trauma tumpul pada jaringan yang disebabkan oleh kompresi lokal atau deselerasi
dengan kecepatan tinggi. Luka jaringan pada trauma tajam diakibatkan oleh kehancuran
dan separasi jaringan. Dengan memahami biomekanika dari trauma yang spesifik akan
memudahkan untuk melakukan evaluasi awal karena trauma pada arteri berhubungan
dengan beberapa faktor, yaitu tipe trauma, lokasi trauma, konsekuensi hemodinamik,
dan mekanisme trauma. Tingkat keparahan trauma berbanding lurus dengan jumlah
energi kinetik (KE) yang disalurkan kepada jaringan, yang merupakan fungsi dari massa
(M) dan kecepatan (V), dan dapat dirumuskan sebagai berikut : KE = M x V2 /2.
Rumus ini berlaku baik untuk trauma tumpul maupun penetrasi. Perubahan pada
kecepatan berefek lebih siginifikan dibandingkan dengan perubahan pada massa.
Kavitasi adalah sebuah fenomena yang terjadi ketika jaringan bergerak menjauhi titik
trauma yang disebabkan oleh bergeraknya tubuh, menghindari objek penyebab trauma.1
7

Setelah terjadi trauma tumpul akan terbentuk kavitas jaringan sementara yang
disebabkan oleh deselerasi atau akselerasi yang cepat. Tegangan ekstrim terjadi pada
titik fiksasi anatomis selama pembentukan kavitas sementara tersebut. Tekanan dapat
terjadi baik sepanjang sumbu longitudinal (tegangan tensil atau kompresi) dan sumbu
transversal (teganan shear). Tekanan tersebut dapat menyebabkan deformitas, robekan,
dan fraktur jaringan. Sementara itu, trauma penetrasi menyebabkan kavitasi sementara
yang diakibatkan oleh penyaluran energi kinetik dari alat proyektil ke jaringan yang
bersangkutan. Hal ini dapat diikuti oleh pembentukan kavitas permanen yang
disebabkan oleh pemindahan jaringan.1 7

Gejala klinis yang ditampilkan bergantung kepada tipe trauma arteri yang
dialami. Tipe trauma yang paling sering terjadi adalah laserasi parsial dan transeksi
komplit. Transeksi komplit dapat berakibat kepada retraksi dan trombosis pada ujung
proksimal dan distal pembuluh darah, yang dapat menyebabkan iskemia. Sementara itu,
laserasi parsial dapat menyebabkan perdarahan persisten atau pembentukan
pseudoaneurisma. Laserasi parsial, seperti halnya kontusio, dapat dibarengi dengan flap
intima, yang dapat berujung kepada trombosis. Kontusio arteri kecil dengan intima flap
yang terbatas dapat tidak menyebabkan penurunan hemodinamik daerah distal, dan
karena itu dapat tidak terdiagnosis. Hal ini disebut sebagai trauma arteri occult atau
minimal jika dilihat dari angiografi. Trauma ini memiliki risiko trombosis yang kecil,
dan seringkali dapat sembuh secara spontan.1 7

Trauma arteri dan vena yang bersamaan dapat menyebabkan terbentuknya


fistula arteriovena. Tipe Trauma Gejala Klinis Laserasi parsial Pulsasi menurun,
hematoma, perdarahan Transeksi Hilangnya pulsasi distal, iskemia Kontusio Awal :
pemeriksaan dapat normal Dapat progresif menjadi thrombosis Kompresi eksternal
Pulsasi menurun, pulsasi dapat menjadi normal ketika fraktur diluruskan.1 7
2.6 Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang
Trauma vaskuler harus dicurigai pada setiap trauma yang terjadi pada daerah
yang secara anatomis dilalui pembuluh darah besar. Hal ini terjadi terutama pada
kejadian luka tusuk, luka tembak berkecepatan rendah, dan trauma tumpul yang
berhubungan dengan fraktur dan dislokasi. Keparahan trauma arteri bergantung kepada
derajat invasifnya trauma, mekanisme, tipe, dan lokasi trauma, serta durasi iskemia.
Gambaran klinis dari trauma arteri dapat berupa perdarahan luar, iskemia, hematoma
pulsatil, atau perdarahan dalam yang disertai tanda-tanda syok. Gejala klinis paling
sering pada trauma arteri ekstremitas adalah iskemia akut. Tanda-tanda iskemia adalah
nyeri terus- menerus, parestesia, paralisis, pucat, dan poikilotermia. Pemeriksaan fisik
yang lengkap, mencakup inspeksi, palpasi, dan auskultasi biasanya cukup untuk
mengidentifikasi adanya tanda-tanda akut iskemia. Adanya trauma vaskular pada
ekstremitas dapat diketahui denganmelihat tanda dan gejala yang dialami pasien. Tanda
dan gejala tersebut berupa hard sign dan soft sign.8

Hard Sign Soft Sign


Hilangnya pulsasi distal Berkurangnya pulsasi distal
Perdarahan pulsatil yang aktif Riwayat perdarahan sedang
Tanda-tanda iskemia Trauma pada daerah dekat PD utama
Thrill arteri dengan palpalsi manual Defisit neurologis
Bruit pada daerah cedera dan sekitarnya Hematoma sekitar lesi yang tidak meluas
Hematoma yang meluas
Semua pasien trauma dengan mekanisme yang signifikan dan menunjukkan gejala
soft signs harus dilakukan evaluasi sirkulasi distal. Salah satu cara yang praktis adalah
dengan ABI (ankle-brachial index). Jika ABI < 1, hal tersebut menandakan adanya trauma
arteri. Adanya psudoaneurisma atau fistula arteriovena harus dipikirkan pada kasus trauma
penetrasi ekstremitas yang didapati hematoma pulsatil dengan disertai bruit atau thrill.8
Adanya tanda trauma vaskular disertai fraktur terbuka merupakan suatu indikasi harus
dilakukan eksplorasi untuk menentukan adanya trauma vaskular. Kesulitan untuk
mendiagnosis adanya trauma vaskular sering terjadi pada hematoma yang luas pada patah
tulang tertutup. Tanda lain yang bisa menyertai trauma vaskular adalah adanya defisit
neurologis baik sensoris maupun motoris seperti rasa baal dan penurunan kekuatan motoris
pada ekstremitas. Aliran darah yang tidak adekuat dapat menimbulkan hipoksia sehingga
ekstremitas akan tampak pucat dan dingin pada perabaan.8
Pengisian kapiler tidak menggambarkan keadaan sirkulasi karena dapat berasal dari
arteri kolateral, namun penting untuk menentukan viabilitas jaringan. Diagnosis dapat
menggunakan alat penunjang seperti pulse oxymetry, doppler ultrasound atau duplex
ultrasound untuk menentukan lesi vaskular, tapi belum memberikan hasil yang memuaskan.
Selain itu ada arteriografi intra-operatif yang berguna dalam mengetahui hasil rekonstruksi
secara langsung, apakah masih ada lesi vaskular yang tertinggal.8
Arteriografi bukan prosedur rutin karena akan memperlama penanganan sehingga akan
menyebabkan iskemia pada ekstremitas lebih lama lagi. Arteriografi dilakukan bila terdapat
keraguan diagnosis pada reeksplorasi atau pasca operasi. Arteriografi juga dianjurkan pada
trauma luas untuk mengetahui lesi vaskular yang multiple dan kondisi kolateral yang ada.
Angiografi berguna untuk mengevaluasi luasnya trauma, sirkulasi distal, dan
perencanaan operasi. Akurasi angiografi cukup tinggi, yakni 92-98%. Alat ini terutama
berguna untuk mendiagnosis trauma arteri minimal yang dapat luput dari pengamatan
karena minimalnya gejala klinis yang ditampilkan. Indikasi untuk melakukan angiografi di
antaranya trauma tumpul yang signifikan pada ekstremitas yang berhubungan dengan
dislokasi dan fraktur, tanda-tanda iskemia atau ABI < 1, trauma penetrasi multipel pada
ekstremitas, dan adanya tanda defisit neurologis.8
Berdasarkan laporan yang telah dipublikasikan, pasien dengan luka tembus maupun
tumpul yang pulsasi ektremitasnya tidak terganggu, dengan nilai ankle-brachial indeks
(ABI) yang ≥1, tidak memerlukan pemeriksaan angiografi namun tetap perlu dilakukan
pengawasan selama 12 – 24 jam. Pemeriksaan ultrasonografi Doppler dapat merekam
pantulan gelombang suara yang ditimbulkan oleh sel darah merah sehingga dapat menilai
aliran darah. Selain untuk diagnosis awal, pemeriksaan ini dapat menilai hasil sesudah
anastomosis arteri. Ultrasonografi color-flow duplex (CFD) telah disarankan sebagai
pengganti ataupun tambahan pemeriksaan arteriografi. Keuntungannya adalah sifatnya yang
noninvasif dan tidak menimbulkan nyeri. Alat ini portabel sehingga dapat dibawa ke
sampai tempat tidur pasien, unit gawat darurat, maupun ruang operasi.pemeriksaan ulangan
dan tindak lanjut dapat dilakukan dengan mudah tanpa adanya angka kecacatan dan alat ini
relatif lebih murah. Berikut ini adalah algoritma diagnosa gangguan arteri:8

2.7 Tatalaksana
Pada dasarnya, semakin cepat tindakan semakin baik hasilnya. Bila ada perdarahan
yang banyak dan atau memancar yang akan membahayakan jiwa, tentunya pertolongan
pertama adalah menghentikan perdarahan sedangkan tindakan definitif dilakukan setelah
perdarahan berhenti. Perdarahan diatasi dengan penekanan di atas daerah perdarahan.
Pemasangan turniket tidak boleh dilakukan karena dapat merusak sistem kolateral yang
ikut terbendung. Golden period pada lesi vaskuler adalah 6-12 jam. Tanda-tanda iskemia
yang jelas terlihat umumnya pada kulit, tetapi sebenarnya otot dan saraf lebih tidak tahan
terhadap adanya iskemia.1 9
Penatalaksanaan Non Operatif
Penatalaksanaan cedera arteri minimal dan asimptomatik masih kontroversial.
Beberapa ahli bedah bersikeras bahwa semua cedera arteri yang terdeteksi harus
diperbaiki,sedangkan yang lain mengusulkan tindakan non operatif bila terdapat kriteria
klinis dan radiologis seperti low-velocity injury, disrupsi dinding arteri yang minimal (<
5mm) pada kelainan intima dan pseudoaneurisma, tidak ada perdarahan aktif, dan sirkulasi
distal masih utuh. Pendekatan ini dapat dilakukan pada arteri yang memiliki kolateral dan
terutama pada orang muda. Bila pendekatan non operatif yang digunakan, disarankan untuk
melakukan pencitraan vaskular untuk memantau penyembuhan atau stabilisasi.9
Penatalaksanaan Endovascular
Embolisasi transkateter dengan coil atau balon dapat digunakan untuk terapi beberapa
cedera arteri seperti fistula arteriovenosa aliran rendah, khususnya pada lokasi anatomis
yang jauh. Coil berguna untuk mengoklusi perdarahan dan fistula arteriovenosa.
Pendekatan endovaskular lainnya pada cedera ekstremitas adalah dengan penggunaan
teknologi stent-graft. Dengan kombinasi alat fiksasi seperti stent dan graft, perbaikan
endoluminal pada false aneurysm atau fistula arteriovenosa besar dapat dimungkinkan.1
Penatalaksanaan Operasi
Penatalaksanaan operasi pada cedera arteri perifer memerlukan persiapan seluruh
ekstremitas yang cedera. Sebagai tambahan, ekstremitas atas atau bawah kontralateral yang
sehat harus ikut disertakan untuk mengantisipasi apabila diperlukan autograft vena. Pada
umumnya, insisi dilakukan secara longitudinal langsung pada pembuluh darah yang cedera
dan diekstensi ke arah proksimal atau distal sesuai dengan kebutuhan. Kontrol arteri
proksimal dan distal dilakukan sebelum eksposur pada cedera. Arteri proksimal dikontrol
dengan benang kasar yang melingkari arteri (seperti jerat) atau bila perlu dengan
menggunakan klem vaskuler. Hal ini juga dilakukan pada arteri distal.1 9
Terkadang diperlukan pintasan sementara pada arteri yang terputus (thromboresistent
plastic tube) untuk mencegah iskemia selama operasi. Debridemen, fasiotomi, fiksasi
fraktur, neurorhaphy, reparasi vena dapat dilakukan kemudian tanpa harus terburu-buru.
Pemakaian heparin secara sistemik pada kasus trauma memang berbahaya, namun
pemberian heparin dosis kecil yang diberikan langsung terutama ke bagian distal dapat
mencegah terbentuknya trombus.9
Cara rekonstruksi arteri tergantung dari luas dan mekanisme trauma. Reparasi cedera
pembuluh darah dapat dilakukan dengan lateral suture patch angioplasty, end-toend
anastomosis, interposition graft, dan bypass graft. Extra-anatomic bypass graft berguna
pada pasien dengan cedera jaringan lunak ekstensif atau sepsis.9
Graft diperlukan untuk mencegah terjadinya penyempitan atau tegangan pada
anastomosis pembuluh darah apabila kehilangan arteri lebih dari 1.5 cm. Pada umumnya
graft vena autogen lebih disenangi untuk mengatasi persoalan vaskuler. Autograft vena
pertama kali dilakukan untuk memperbaiki cedera arteri pada masa perang Korea.
Perkembangan bahan prostetik (ePTFE) memungkinkan penggunaan rutin bahan prostetik
sebagai pengganti autograft. Pengalaman membuktikan bahwa ePTFE lebih tahan terhadap
infeksi daripada bahan prostetik lainnya dan memiliki tingkat patency yang lebih tinggi
ketika digunakan pada posisi di atas lutut.9
Pada trauma vaskular yang disertai dengan kerusakan vena, dapat dilakukan
rekonstruksi tersendiri atau bersamaan dengan kerusakan sistem arteri. Sebaiknya
dilakukan penyambungan vena lebih dahulu setelah mengeluarkan thrombus yang terjadi
terutama pada vena utama, sedangkan vena yang kecil dapat diikat saja. Hal ini dapat
menolong untuk mengurangi edema pasca bedah dan menekan angka amputasi pada
penderita trauma vaskular dengan kerusakan jaringan lunak dan tulang yang hebat serta
membantu memperbaiki aliran arteri. Bila terjadi edema yang mengganggu di daerah
ekstremitas, maka sebaiknya dipertimbangkan untuk dilakukan fasiotomi. Dengan
fasiotomi ini diharapkan terjadinya perbaikan sirkulasi pada kapiler dan otot yang rusak
kerena iskemia akibat oklusi total (ruptur arteri dan trombus). Apabila tidak dilakukan
fasiotomi, iskemia dapat menimbulkan gangren. Pada oklusi parsial (robekan intima), bila
sirkulasi kolateral tidak adekuat maka perfusi yang tidak sempurna dan iskemia otot
menyebabkan meningginya tekanan kompartemen.1 9
Pada trauma vaskular yang disertai adanya fraktur tulang, dianjurkan batasan waktu 12
jam setelah trauma. Bila lebih dari 12 jam dilakukan perbaikan arteri terlebih dahulu. Untuk
menangani fraktur ini terlebih dahulu dilakukan fiksasi eksterna, terutama pada fraktur
ekstremitas bawah karena pada ekstremitas bawah biasanya disertai kerusakan jaringan
lunak.1 9
Faktor terpenting yang menentukan prognosis dari terapi pada trauma ekstremitas pada
waktu dirawat adalah adanya trauma rusak remuk, perbaikan vaskular yang terhambat dan
fraktur tibia yang segmental. Pada trauma rusak remuk biasanya terjadi kerusakan jaringan
yang berat yang dengan cepat mengalami nekrosis dan penderita akan kehilangan tungkai
walaupun pembuluh darahnya berfungsi dengan baik. Sedangkan fraktur tibia sebelah
proksimal dan perbaikan pembuluh darah dapat dengan cepat ditangani, maka hasilnya
akan jauh lebih memuaskan.1 9
Trauma tumpul memiliki hubungan yang dengan tingginya kegagalan graft (35%), dan
kegagalan graft menyebabkan harus dilakukannya amputasi. Faktor resiko independen yang
menyebabkan harus dilakukannya amputasi setelah perbaikan arteri adalah oklusi bypass
graft, cedera kombinasi di atas dan di bawah lutut, dan transeksi arteri9.
Tujuan akhir dari rekonstruksi pada trauma vaskular adalah untuk menurunkan angka
amputasi. Untuk mencegah hal ini yang dapat kita lakukan adalah:
a. Secepat mungkin mengenal dan memberikan perawatan
b. Arterigrafi preoperatif dan intraoperatif dipertimbangkan sebaik mungkin
c. Mengerjakan trombektomi ke bagian proksimal dan distal
d. Pemakaian heparin yang sepantasnya
e. Mengutamakan vena autogen sebagai graft.
Primary Survey
Primary survey merupakan langkah awal untuk mengidentifikasi
secara cepat masalah yang timbul pada kasus trauma. Kelima hal dalam
primary survey diterangkan menurut urutan prioritas namun dalam
prakteknya di lapangan dikerjakan secara simultan. Primary survey
meliputi:10
a. Airway with C-spine control
Masalah airway dapat dilihat dengan memeriksa suara napas
dengan metode look, listen, and feel. Masalah yang mungkin timbul
pada airway adalah:
– Obstruksi jalan napas karena benda asing, cairan, ataupun
fraktur maksilofasial.
– Fraktur servikal harus selalu dicurigai terutama pada kondisi:
• kesadaran menurun,
• adanya jejas di atas clavicula, dan
• nyeri leher.
b. Breathing
Hal–hal yang dapat dilakukan untuk mengidentifikasi masalah
breathing
adalah:
– menghitung frekuensi napas/Respiratory rate (RR);
– melihat gerakan dada simetris atau tidak;
– perkusi: redup, hipersonor; dan suara napas: vesikuler,
meningkat atau menurun.
Distres napas antara lain dapat disebabkan oleh pneumotorakss,
flail chest dengan contusio pulmonum, hematotorakss, atau
fraktur costa.
c. Circulation with haemorrhage control
Hal–hal yang dapat dilihat untuk mengidentifikasi masalah
circulation
secara cepat adalah:
– tingkat kesadaran;
– warna kulit yang menandakan perfusi jaringan; dan
– nadi.
Hati–hati pada orang tua, anak kecil, atlet, dan riwayat
pemakaian obat–obatan karena pasien tidak bereaksi secara
normal. Sumber perdarahan dapat berasal dari dalam tubuh
yang tidak terlihat maupun yang terlihat dari luar.
– Internal bleeding paling banyak disebabkan oleh perdarahan
intraabdomen, hematotorakss masif, dan fraktur pelvis.
– Eksternal bleeding terutama pada ekstremitas.
d. Disability
Masalah disability atau kesadaran menurun dapat disebabkan oleh
perdarahan intrakranial atau edem otak. Lucid interval karena epidural
haemorrhage harus diwaspadai dan terus dilakukan re-evaluasi. Hal-
hal yang dapat dilakukan untuk mengidentifikasi masalah disability
adalah:
– Memeriksa skala kesadaran antara lain dengan metode AVPU
(Alert, Verbal, Pain, Unresponsive) atau GCS (Glasgow Coma
Scale).
– Memeriksa adakah lateralisasi dengan melihat ukuran pupil dan
reflek cahaya.
e. Exposure atau kontrol lingkungan.
Pakaian pasien harus dibuka semua agar dapat dilakukan
pemeriksaan dan evaluasi secara menyeluruh namun harus tetap
dijaga agar tidak terjadi hipotermi.

Resusitasi

Setelah primary survey, maka dikerjakan resusitasi terhadap


permasalahan yang ada:10
a. Penanganan masalah airway dapat dengan cara noninvasif
maupun invasif.
Non invasif dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:
• Tanpa alat dengan chin lift dan jaw thrust.
• Dengan alat seperti tube nasofaring, tube orofaring, suction cairan/
darah.
– Invasif dengan cricothyroidotomy, endo tracheal tube (ETT).
C-spine immobilisation dengan collar brace atau dengan
meletakkan bantal pasir yang mengapit leher.
b. Penanganan masalah breathing dengan cara:
– Pemberian oksigen.
– Needle toraksocintesis pada kasus tension pneumotorakss.
– Punksi pleura atau pemasangan chest tube.
c. Penanganan masalah circulation dengan cara:
– Pemasangan double infus untuk resusitasi cairan. Resusitasi
dilakukan dengan pemberian kristaloid (Ringer lactate), koloid
maupun darah tergantung dari derajat shock. Hindari
penggunaan vasopresor, steroid, atau Nabic. Pemberian cairan
atau darah yang masih dingin dapat memicu terjadinya
hipotermi.
– Pelvic sling untuk kecurigaan fraktur pelvis.
– Bebat tekan untuk menghentikan sementara perdarahan eksternal.
Pemakaian tourniquet sebaiknya tidak dilakukan karena dapat
menyebabkan iskemia di bagian distal, kecuali bila telah terjadi
amputasi traumatika.

Adjunct to Primary Survey

Pada primary survey dapat dikerjakan beberapa tindakan tambahan


seperti:10
– Monitor EKG.
– Kateter urin dan lambung.
Kateter urin tidak boleh dipasang bila ada dugaan ruptur uretra yang
ditandai dengan:
• Bloody dischrage.
• Hematom di scrotum atau perineum.
• Pada colok dubur didapatkan prostat melayang.
Katerer lambung tidak boleh dipasang bila ada dugaan fraktur basis
cranii (FBC) yang ditandai dengan:
• Bloody rinorhea
• Bloody otorhea
• Brill hematoma
• Battle sign.
– Monitor hasil resusitasi seperti blodd gas analysis (BGA), pulse
oximetry, dan tekanan darah.
– Pemeriksaan penunjang lainnya seperti:
• Radiologi: Foto cervical lateral, torakss AP, dan pelvis AP.
• USG FAST (Focused Assessment with Sonography for Trauma) atau DPL
(Diagnostic Peritoneal Lavage).

Evaluasi

Setelah penanganan awal, dilakukan evaluasi ulang mulai primary


survey sampai didapatkan kondisi pasien yang stabil. Setelah kondisi
stabil, barulah dilakukan secondary survey. Bila kondisi pasien belum
stabil, maka perlu dilakukan surgical resuscitation.10

Secondary Survey

Secondary survey adalah pemeriksaan komplit dari kepala sampai kaki


(head to toe examination) yang dilakukan pada pasien dengan
hemodinamik yang stabil. Pada pasien dengan trauma yang mengancam
nyawa, secondary survey dikerjakan setelah surgical resuscitation.
Anamnesis pada secondary survey meliputi riwayat Mode of Injury (MOI)
dan AMPLE. MOI trauma dapat terjadi karena:10
– Trauma tajam
– Trauma tumpul
– Trauma thermal, baik karena suhu panas maupun dingin
– Bahan berbahaya seperti bahan kimia, toksin, atau radiasi.

Riwayat AMPLE meliputi:


A: Alergi
M:Medication
P: Past illness
L: Last meal
E: Event/environment.
Pemeriksaan fisik pada secondary survey dapat dijabarkan
berdasarkan regio maupun sistem organ (B1-B6). Hal–hal yang dapat
ditemukan pada pemeriksaan fisik berdasarkan regio adalah sebagai
berikut:
a. Kepala
– Trauma oculi
– Fraktur maksilofacial
b. Vertebra
– Nyeri di daerah vertebra
– Paresis pada ekstremitas
– RT: tonus sfingter ani yang longgar menandakan ada trauma pada
vertebra.
c. Torakss
– Kelainan pada paru: pneumotorakss, hematotorakss,
contusio pulmonum
– Kelainan pada jantung: tamponade jantung
– Kelainan pada mediastinum: ruptur aorta
– Kelainan pada tulang: fraktur costa, clavicula.
d. Abdomen
– Adanya jejas di daerah abdomen
– Adanya tanda-tanda peritonitis
– Adanya tanda-tanda internal bleeding termasuk retroperitoneal
bleeding
karena fraktur pelvis.
e. Perineum (termasuk genitalia)
– Tanda-tanda ruptur uretr
– Tes kehamilan pada wanita usia subur.
f. Muskuloskeletal/ekstremitas
– Luka dan deformitas. Tanda–tanda fraktur ditegakkan dengan
adanya nyeri, krepitasi, atau gerakan abnormal
– Fraktur pelvis
– Penilaian pulsasi perifer
– Kompartemen sindrom.
g. Neurologis
– Pemeriksaan tingkat kesadaran
– Adanya lateralisasi
– Adanya tanda-tanda fraktur basis cranii (FBC)
– Pemeriksaan motorik dan sensorik.
Sedangkan untuk pemeriksaan berdasarkan sistem organ dapat
ditemukan hal-hal sebagai berikut:
B1. Breathing. Pemeriksaan yang mungkin didapatkan pada B1 adalah:
– RR yang meningkat atau menurun
– Tanda-tanda pneumotorakss, hematotorakss, contusio
pulmonum.
B2. Blood. Pemeriksaan yang mungkin didapatkan pada B2 adalah:
– Hipotensi
– Narrow pulse pressure
– Takikardi
– Tanda–tanda perfusi yang tidak adekuat
– Tanda-tanda tamponade jantung.
B3. Brain. Pemeriksaan yang mungkin didapatkan pada B3 adalah:
– GCS yang menurun
– Lateralisasi
– Tanda-tanda FBC.
B4. Bladder. Pemeriksaan yang mungkin didapatkan pada B4 adalah:
– Hematuria
– Bloody discharge
– RT: prostat melayang menandakan adanya ruptur uretra.
B5. Bowel. Pemeriksaan yang mungkin didapatkan pada B5 adalah:
– Tanda-tanda peritonitis: nyeri perut, defans musculer
– RT: nyeri sirkuler menandakan adanya peritonitis, darah pada
sarung tangan menandakan ada trauma pada GIT.
B6. Bone. Pemeriksaan yang mungkin didapatkan pada B6 adalah:
– Tanda-tanda fraktur pada ekstremitas
– RT: tonus sfingter ani longgar menandakan ada trauma pada
vertebra.

Adjunct to Secondary Survey

Pemeriksaan penunjang yang dapat dikerjakan pada tahapan


secondary survey adalah:10
– Laboratorium: SE, RFT, LFT, GDA, FH, urinalisis, laktat, toksikologi.
– Radiologi: CT-Scan kepala, retrograde urethrogram/cystogram, IVP,
foto polos abdomen (BOF, LLD, BOF erect), CT-Scan abdomen, foto
polos ekstremitas.
– USG abdomen.
2.8 Komplikasi
Komplikasi trauma vaskular dapat terjadi segera setelah dilakukan perbaikan lesi
pembuluh darah, atau lama setelah trauma berlalu tanpa tindakan yang adekuat. Komplikasi
yang dapat terjadi antara lain thrombosis, infeksi, stenosis, fistula arteri-vena, dan
aneurisma palsu. Trombosis, infeksi, dan stenosis merupakan komplikasi yang dapat terjadi
segera pasca operasi, sedangkan fistula arteri-vena dan aneurisma palsu merupakan
komplikasi lama.11
Rekomstruksi pembuluh darah harus ditangani secara sungguh-sungguh dan teliti
sekali karena bila terjadi kesalahan teknis operasi karena ceroboh atau penatalaksanaan
pasca bedah yang kurang terarah, akan berakibat fatal bagi kelangsungan hidup ekstremitas
berupa amputasi, atau terjadi emboli paru.11
a. Trombosis
Trombosis akut langsung pasca-rekonstruksi vascular adalah komplikasi yang paling
sering terjadi, tetapi bila dilakukan koreksi segera dapat memberikan hasil yang
memuaskan. Bila debridemen arteri kurang adekuat dan aproksimasi intima kurang akurat
pada waktu rekonstruksi dikerjakan, maka sangat mungkin akan terjadi trombosis segera
setelah anastomosis dilakukan. Untuk memperbaiki kesinambungan pembuluh arteri,
pemakaian graft vena autogen jauh lebih unggul dari koreksi dengan jahitan lateral ataupun
anastomosis ujung ke ujung, terutama pada trauma yang luas.12
b. Infeksi
Peradangan yang menyebabkan pecahnya anastomosis pada rekonstruksi trauma
vaskular dapat menyebabkan perdarahan yang hebat dan sukar untuk diatasi. Untuk
membantu pencegahan terhadap infeksi, diagnosis trauma vaskular harus cepat ditegakkan,
pemberian antibiotik yang sesuai, debridement luka yang adekuat, kesinambungan
pembuluh vaskular harus secepat mungkin diusahakan dan pemberian nutrisi yang baik
secara sistemik penting untuk dilakukan. Diperlukan observasi yang ketat selama fase pasca
operasi. Pada kecelakaan dengan luka terkontaminasi, maka semua benda asing sedapat
mungkin dikeluarkan dan kalau perlu luka dibilas dengan larutan antibiotik12.
c. Aneurisma Palsu
Penyebab aneurisma palsu adalah luka tembus yang merusak ketiga lapisan dinding
pembuluh arteri secara menyamping (tangensial). Kadang-kadang disebabkan oleh
kesalahan pada prosedur diagnostik atau terapi, yaitu kerusakan dinding arteri yang
disebabkan oleh jarum atau kateter atau kecelakaan pada waktu operasi hernia nukleus
pulposus dan fraktur ganda tulang pada kecelakaan lalu lintas. Biarpun jarang trauma
tumpul juga dapat menyebabkan terjadinya aneurisma palsu.13
d. Sindrom Kompartemen
Sindroma kompartemen disebabkan oleh kenaikan tekanan internal pada kompartemen
fascia. Tekanan ini dapat menekan pembuluh darah dan syaraf tepi. Perfusi menjadi kurang,
serat syaraf rusak dan akhirnya terjadi iskemia atau bahkan nekrosis otot. Sindrom
kompartemen ditandai oleh 5 P yaitu pain, pulseless, paresthesia, pallor, dan paralysis.
Akibat dari sindroma kompartemen antara lain:14
1. Kerusakan jaringan akibat hipoksemia Sindroma kompartemen dengan peningkatan
tekanan intramuskuler (IM) dan kolaps aliran darah lokal sering terjadi pada cedera dengan
hematoma otot, cedera remuk (crushed injury), fraktur atau amputasi. Bila tekanan perfusi
(tekanan darah sistolik) rendah, sedikit saja kenaikan tekanan IM dapat menyebabkan
hipoperfusi lokal. Pada pasien normotermik, shunting aliran darah mulai terjadi pada
tekanan sistolik sekitar 80mmHg. Sedang pada pasien hipotermik shunting terjadi pada
tekanan darah lebih tinggi.14
2. Kerusakan akibat reperfusi Jika hipoksemia lokal (tekanan IM tinggi, tekanan darah
rendah) berlangsung lebih dari 2 jam, reperfusi dapat menyebabkan kerusakan pembuluh
darah yang ekstensif. Pada kasus-kasus ekstremitas dengan syok berkepanjangan,
kerusakan akibat reperfusi sering lebih buruk dibanding cedera primernya. Karena itu
dekompresi harus dikerjakan lebih awal, terutama kompartemen di lengan atas.14
BAB 3
ILUSTRASI KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : Tn. H

Jenis Kelamin : Pria

Usia : 23 tahun

Status : Belum menikah


Alamat : Padang

3.2 Primary Survey


a. Airway + C Spine
Patensi airway, tidak ada tanda-tanda trauma servikal, tidak ada
tanda-tanda obstruksi.
b. Breathing
Spontan, gerakan dada simetris kiri dan kanan, RR 28x/menit
c. Circulation
Terdapat adanya perdarahan aktif sumber perdarahan pada aksilaris dextra, nadi
110x/menit, Akral dingin, Tekanan Darah 60/40mmHg palpitasi halus, kulit pucat,
CRT > 2 detik
d. Disability
GCS 11 (E3M4V4), pupil isokor, reflek cahaya +/+
e. Exposure
Luka robek pada aksilaris dextra dengan diameter 15cm
Tatalaksana Awal :
- Kontrol perdarahan, dengan bebat tekan untuk menghentikan sementara.
- Pemasangan double infus untuk resusitasi cairan, dengan kristaloid 2000cc dan
koloid 500cc
-Pasang kateter untuk mengontrol output urin
- Pemberian Oksigen 6 liter/menit
3.3 Anamnesa
Keluhan Utama
Perdarahan yang mengalir aktif pada ketiak sebelah kanan
Riwayat Penyakit Sekarang
- Pasien datang dengan perdarahan aktif pada ketiak kanan sejak 1 jam sebelum
masuk rumah sakit. Awalnya pasien sedang berjalan di atas jembatan yang
terbuat dari bambu. Lalu tiba-tiba jembatan tersebut ambruk, sehingga
membuat pasien terjatuh dan tangan kanan pasien tersangkut di patahan bambu
yang runcing. Lalu pasien di bawa ke IGD rumah sakit Dr. Reksodiwiryo
menggunakan becak. Pasien mengaku masih sadar dan mengetahui lingkungan
disekitar.Darah yang keluar dari luka robek tersebut menyembur dan tidak
terkontrol.
- Muntah (-) dan mual (-).
- Keluar darah dari mulut (-), keluar darah dari hidung (-)

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien pernah mengalami kecelakaan tahun 2013 dan mengalami patah tulang pada
tungkai kanan.
Pasien tidak punya riwayat DM, Hipertensi, Asma, Riwayat alergi tidak ada.

3.4 Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan Fisik Umum
- Keadaan Umum : tampak sakit berat
- Kesadaran : Somnolen (GCS 11)
- TekananDarah : 60/33 mmHg
- Nadi : 110 kali/menit
- Nafas : 24 kali/menit
- Suhu : 36° C

Status Internus
- Rambut : Hitam, tidak mudah dicabut
- Kulit dan kuku : Tampak Pucat, Turgor kulit
- Kelenjer Getah Bening : Tidak ditemukan pembesaran
- Kepala : Tidak ditemukan kelainan
- Mata : Konjungtiva anemis, sklera tidak ikterik
- Hidung : Tidak ditemukan kelainan
- Telinga : Tidak ditemukan kelainan
- Leher : JVP 5-2 cmH2O
- Paru :
 Inspeksi : Simetris, kiri = kanan
 Palpasi : Fremitus kiri = kanan
 Perkusi : Sonor
 Auskultasi : Vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-
- Jantung :
 Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
 Palpasi : Iktus kordis teraba 2 jari medial línea mid clavicula
sinistra RIC V
 Perkusi : Batas jantung dalam batas normal
 Auskultasi : Bunyi jantung 1 dan 2 normal, murmur (-), Gallop (-)
- Regio Abdomen :
Inspeksi : Distensi (-), DC (-), DS (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Timpani
Palpasi : nyeri tekan dan defence muskular pada titik Mc
Burney (+).

Status Lokalis
Inspeksi : Vulnus laceratum 10x5x5cm pada daerah aksilaris dextra, dengan
dasar otot dan perdarahan aktif deras.

Palpasi : Pulsasi arteri radialis dextra (-), pulsasi arteri dextra (-)

3.5 Rencana Pemeriksaan Penunjang


- Laboratorium
Hasil Pemeriksaan : Hb 8 g/dL
Kesan : Anemia

3.6 Diagnosis kerja


Ruptur arteri aksilaris dextrra

3.7 Tatalaksana
Repair arteri aksilaris dextra
BAB 4

DISKUSI

Seorang pasien laki-laki usia 23 tahun datang ke IGD Rumah Sakit Tentara Dr
Reksodiwiryo Padang dengan diagnosis perdarahan aktif pada daerah aksilaris dextra.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik. Daerah luka
di bagian aksilaris dextra akibat trauma tajam, karena pasien terjatuh pada jembatan
bambu yang ambruk, sementara tangan kanan pasien tersangkut di patahan bambu yang
runcing. Sesuai dengan tinjauan pustaka, bahwasannya mekanisme tersering dari ruptur
arteri diakibatkan oleh trauma tajam.
Setelah pasien mengalami trauma tersebut pasien langsung dibawa ke IGD
Rumah Sakit Tentara Dr Reksodiwiryo 1 jam setelah kejadian, tempat kejadian yaitu di
Kuranji, sehingga tidak membutuhkan waktu yang lama untuk sampai di rumah sakit.
Pada ruptur arteri gold standar dalam melakukan repair adalah 6 jam, apabila sudah
lewat dari waktu tersebut maka daerah distal tidak akan teraliri oleh daerah sehingga
bisa menyebabkan nekrosis dan mengharuskan tindakan amputasi pada bagian
eksterimitas tersebut.
Pada primery survey ditemukan masalah utama terdapat pada circulation karena
perdarahan yang terjadi pada aksilaris dextra, pada pemeriksaan nadi teraba lemah
dengan frekuensi 110x/menit, tekanan darah 60/40mmHg, dan kulit pucat. Akibat dari
perdarahan yang aktif pasien mengalami syok hipovolemik. Sehingga saat tatalaksana
awal pasien di lakukan pemasangan double infus untuk resusitasi cairan dengan kristaloid
dan juga koloid, sedangkan pada perdarahan aktif dilakukan kontrol perdarahan dengan
bebat tekan untuk menghentikan sementara.
Aksila berisi arteri aksilaris dan cabang-cabangnya yg mendarahi eksremitas
superior, vena aksilaris dan cabang-cabangnya yang mengalirkan darah dari ekstremitas
superior, sehingga apabila arteri aksilaris ruptur maka vaskularisasi kebagian distal
tidak adekuat.
Pemeriksaan fisik pada pasien dalam keadaan tampak sakit sedang dengan GCS
11. Pulsasi arteri radialis dextra (-), pulsasi arteri dextra (-) pada ekstremitas yang
mengalami perdarahan. Hal ini menandakan bahwa pada vaskularisasi sudah tidak
sampai pada bagian ekstermitas bagian distal.
Tatalaksana yang dini dan tepat pada ruptur arteri dapat menyelamatkan
ekstermitas tersebut, tatalaksana yang dilakukan adalah repair arteri, sehingga
vaskularisasi dapat kembali normal.
DAFTAR PUSTAKA
1. Jusi HD. Dasar-Dasar Ilmu Bedah Vaskuler Edisi ke-4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
2008. H:50-65.
2. Rich NM, Mattox KL, Hirshberg A. Vascular Trauma 2 nd Ed. USA: Elsevier Saunders.
2004.
3. Davies AH, Brophy CM (2006). Vascular Surgery. Springer Science & Business Media.
4. Hands L, Sharp M, Ray-Chaundhuri S dan Murphy M (2007). Vascular Surgery. Oxford
University Press.
5. Hansen J.T., 2011. Netter’s Anatomy Coloring Book 2nd ed. : Saunders Publications,
United Kingdom.
6. Nuraini P, 2013. Ruptur Arteri Brachialis, Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran.
10. Rich NM, Mattox KL, Hirshberg A. Vascular Trauma 2nd Ed. USA: Elsevier Saunders.
2004.
7. Dennis JW, Frykberg ER, Crump JM. New perspectives on the management of
penetrating trauma in proximity to major limb arteries. J Vasc Surg. Jan 1990;11(1):84-92;
discussion 92-3. [Medline].
8. Espinosa GA, Chiu JC, Samett EJ. Clinical assessment and arteriography for patients
with penetrating extremity injuries: a review of 500 cases with the Veterans Affairs West
Side Medical Center. Mil Med. Jan 1997;162(1):19-23. [Medline].
9. Hafez HM, Woolgar J, Robbs JV. Lower extremity arterial injury: results of 550 cases
and review of risk factors associated with limb loss. J Vasc Surg. Jun 2001;33(6):1212-9.
[Medline].
10. Ali, J., Aprahamian, C., Bell, RM., et al. 1997. Advanced Trauma Life Support.
11. Durham JR, Yao JS, Pearce WH. Arterial injuries in the thoracic outlet syndrome. J
Vasc Surg. Jan 1995;21(1):57-69; discussion 70. [Medline].
12. Skandari MK, Yao JST. Occupational Vascular Problems. In: Rutherford RB, ed.
Vascular Surgery, 6th ed. Philadelphia, Pa:. WB Saunders;2005, in press.
13. Kaar G, Broe PJ, Bouchier-Hayes DJ. Upper limb emboli. A review of 55 patients
managed surgically. J Cardiovasc Surg (Torino). Mar-Apr 1989;30(2):165- 8. [Medline].
14. McCroskey BL, Moore EE, Pearce WH. Traumatic injuries of the brachial artery. Am J
Surg. Dec 1988;156(6):553-5. [Medline].

Anda mungkin juga menyukai