Anda di halaman 1dari 25

REFERAT

STROKE HEMORAGIK

Disusun Oleh :
Jaclintus Mario Krisno
2265050125

Pembimbing :
dr. Marijanty Learny, Sp.S

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF


PERIODE 02 Januari – 04 Februari 2023
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
JAKARTA
2023
LEMBAR PENGESAHAN
Referat:
“Stroke Hemoragik”

Disusun dan diajukan untuk melengkapi tugas Kepaniteraan Klinik


Departemen Saraf
Rumah Sakit Umum Daerah Pasar Minggu

Disusun Oleh:
Jaclintus Mario Krisno
Fakultas Kedokteran
Universitas Kristen Indonesia
2265050125

Telah disetujui pada tanggal:

…………………………………

Pembimbing:

dr. Marijanty Learny, Sp.S


KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas berkat, rahmat, dan anugerahNya
sehingga saya dapat menyelesaikan penulisan referat yang berjudul “Stroke Hemoragik” dengan baik.
Penulisan referat ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu tugas Kepaniteraan Klinik Ilmu
Penyakit Saraf di Departemen Saraf Rumah Sakit Umum Daerah Pasar Minggu.
Saya menyadari bahwa tanpa arahan, bimbingan, serta bantuan dari berbagai pihak, referat ini
tidak mungkin dapat terselesaikan dengan baik. Oleh karena itu pada kesempatan ini saya mengucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. dr. Marijanty Learny, Sp.S selaku pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu untuk
membimbing dengan sabar, memberikan arahan dan masukan sehingga referat ini dapat
diselesaikan dengan baik.
Saya menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan referat ini. Oleh karena
itu, saya mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak untuk penyempurnaan
penulisan ini.
Saya berharap semoga referat ini dapat memberikan manfaat bagi banyak orang.

Jakarta, 24 Januari 2023

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

Stroke menempati peringkat pertama dan sangat penting dari semua kasus penyakit
neurologi pada orang dewasa. Stroke terdiri dari dua kategori, yaitu iskemik dan hemoragik.
Pada kondisi stroke iskemik, terjadi oklusi dari pembuluh darah serebral dan menyebabkan
infark pada serebri. Sedangkan stroke hemoragik dibagi menjadi dua yaitu karena
intraserebral hemoragik atau subarachnoid hemoragik.1
Pada stroke hemoragik, perdarahan dapat terjadi langsung pada parenkim otak.
Mekanisme terjadinya perdarahan bersumber dari kebocoran arteri intraserebral kecil yang
rusak akibat hipertensi kronik. Stroke hemoragik lebih jarang terjadi dibandingkan stroke
iskemik (stroke karena trombosis atau emboli) ; suatu penelitian epidemiologi menyebutkan
hanya sekitar 8-18 % stroke merupakan hemoragik. Meskipun demikian, stroke hemoragik
berhubungan dengan tingginya angka mortalitas dibandingkan stroke iskemik.2,3,4
Kecenderungan prevalensi stroke di Indonesia berdasarkan wawancara menunjukkan
kenaikan dari 8,3 per mil tahun 2007 menjadi 12,1 per mil. Terlihat kecenderungan menurun
yang cukup berarti di dua provinsi yaitu Kepulauan Riau dan Aceh, provinsi lainnya
cenderung meningkat.5

Gambar 1. Kecenderungan prevalensi stroke permil pada usia ≥ 15 tahun menurut provinsi
pada tahun 2007 dan 2013.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Definisi Stroke Hemoragik


Definisi stroke menurut World Health Organization yaitu manifestasi klinis gangguan
fungsi serebral fokal (atau global) dengan onset mendadak dan berlangsung lebih dari 24 jam,
atau sampai menyebabkan kematian, dengan penyebab yang berasal dari vaskular tanpa
adanya penyebab lain. Stroke merupakan gangguan neurologis yang menempati peringkat
pertama dalam frekuensi dan kepentingan dari semua penyakit neurologi yang menyerang
kehidupan orang dewasa. Bentuk manifestasi tersering stroke yaitu adanya defisit (gangguan)
neurologis fokal secara tiba-tiba.1 Sekitar 8-18 % dari seluruh stroke disebabkan oleh
pecahnya pembuluh darah pada atau di sekitar otak, yang disebut sebagai stroke perdarahan
atau stroke hemoragik.2,3,4
Stroke hemoragik dibagi menjadi dua yaitu karena intraserebral hemoragik atau
subarachnoid hemoragik. Intraserebral hemoragik dapat disebabkan oleh hipertensi kronis,
koagulopati, malformasi vaskular otak, trauma serebral dan perdarahan yang terjadi disekitar
area stroke iskemik. Subarachnoid hemoragik dapat disebabkan oleh pecahnya aneurisma
dari pembuluh darah sirkulus Willisi, tetapi dapat juga disebabkan oleh trauma serebral dan
malformasi arteri-vena.1

II.2 Epidemiologi
Berdasarkan data World Health Organization, persentase stroke pada populasi
Kaukasia yaitu 80% untuk stroke iskemik, 10%-15% stroke hemoragik tipe perdarahan
intraserebral (ICH), dan 5% stroke hemoragik tipe perdarahan subarachnoid (SAH). Studi
dari negara- negara Asia menyatakan bahwa proporsi perdarahan intraserebral (ICH) lebih
tinggi dibandingkan Kaukasia yaitu berkisar 20%-30%.6 Kecenderungan prevalensi stroke di
Indonesia berdasarkan wawancara menunjukkan kenaikan dari 8,3 per mil tahun 2007
menjadi 12,1 per mil. Terlihat kecenderungan menurun yang cukup berarti di dua provinsi
yaitu Kepulauan Riau dan Aceh, provinsi lainnya cenderung meningkat.5

II.3 Sirkulasi Darah Otak7,8


Otak menerima darah dari dua sumber yaitu sirkulasi anterior (arteri karotis)
memperdarahi hemisfer serebri kecuali lobus temporal medial dan sebagian lobus occipital;
sirkulasi posterior (arteri vertebralis) memperdarahi batang otak, talamus, serebrum, dan
bagian posterior hemisfer serebri.
Arteri karotis interna bercabang membentuk arteri cerebri anterior dan arteri cerebri
media. Arteri vertebralis kanan dan kiri keluar setinggi pons pada bagian ventral batang otak
untuk membentuk batas tengah arteri basilaris. Arteri basilaris bergabung dengan aliran darah
dari arteri karotis interna pada cincin arteri di dasar otak yang disebut circle of Willis
(lingkaran Willis). Arteri cerebri posterior berasal dari pertemuan ini, seperti halnya arteri
komunikans anterior dan posterior. Gabungan dari dua sumber vaskularisasi serebral melalui
circle of Willis memungkinkan bagian-bagian dari otak tetap menerima darah bila salah satu
arteri tersebut tersumbat.
Arteri cerebri anterior dan arteri cerebri media membentuk sirkulasi anterior yang
memperdarahi forebrain (otak depan). Masing-masing mempunyai cabang yang memasok
korteks dan cabang yang menembus batang otak, struktur dalam seperti ganglia basal,
thalamus, dan kapsula interna. Sirkulasi posterior otak memasok korteks posterior, otak
tengah dan batang otak. Ini terdiri dari cabang arteri yang timbul dari arteri serebral, basilar
posterior, dan vertebralis. Pola distribusi arteri serupa untuk semua subdivisi batang otak:
Arteri garis pertengahan memasok struktur medial, arteri lateral memasok batang otak lateral,
dan arteri lateral-lateral memasok struktur batang otak lateral-lateral dan serebelum. Di antara
arteri dorsal-lateral yang paling penting (juga disebut arteri sirkumferensia longus) adalah
arteri cerebellaris inferior posterior (PICA) dan arteri cerebellar inferior (AICA) anterior,
yang memasok daerah yang berbeda dari medula dan pons. Arteri ini, serta cabang arteri
basilar yang menembus batang otak dari permukaan ventral dan lateral (disebut paramedian
dan arteri melingkar pendek), merupakan tempat oklusi umum dan menghasilkan defisit
fungsional khusus saraf kranial, sensorik somatik, dan fungsi motor.

Gambar 2. Sirkulasi Pembuluh Darah Otak


II.4 Faktor Risiko9,10
Faktor risiko stroke hemoragik dibagi menjadi 2:
1. Faktor risiko yang tak dapat dimodifikasi
- Jenis kelamin laki-laki
- Usia tua
- Etnis negro dan asia
- Malformasi arteriovenosa (AVM)
- Vaskulitis
- Koagulopati
2. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi
- Hipertensi
- Diabetes mellitus
- Konsumsi alkohol
- Kebiasaan atau riwayat merokok
- Kolesterol
- Penggunaan obat antikoagulan dan trombolitik
- Penyalahgunaan obat (kokain)

II.5 Patofisiologi9
1. Perdarahan Intraserebral (ICH)
Perdarahan intraserebral (ICH) menggambarkan perdarahan intrakranial yang
terjadi langsung pada parenkim otak. Hal ini terutama disebabkan oleh hipertensi
kronis dan perubahan degeneratif pada arteri serebral. Dalam beberapa dekade
terakhir, dengan meningkatnya kesadaran akan kebutuhan untuk mengendalikan
tekanan darah, proporsi perdarahan yang disebabkan oleh penyebab selain hipertensi,
terutama antikoagulan, telah meningkat pesat sehingga lebih dari setengah perdarahan
terjadi pada individu normotensif, dan perdarahan lebih sering timbul di lokasi yang
tidak khas untuk hipertensi. Ekstravasasi darah ke dalam substansi otak membentuk
massa melingkar atau oval yang mengganggu jaringan dan volumenya dapat
bertambah jika pendarahan berlanjut. Jaringan otak yang berdekatan terdistorsi dan
terkompresi. Jika perdarahannya besar, struktur garis tengah (midline) bergeser ke sisi
berlawanan dari cranium dan pusat pengaktifan retikuler dan pernapasan terganggu,
yang dapat menyebabkan koma dan kematian.1
Hipertensi kronis dapat mengarah pada vaskulopati hipertensi, yang
menyebabkan perubahan degeneratif mikroskopik di dinding pembuluh kecil hingga
menengah, yang dikenal sebagai lipohyalinosis. Pada amiloid angiopati ditandai oleh
pengendapan amyloid-beta peptide di dinding pembuluh darah leptomeningeal dan
kortikal. Meskipun mekanisme yang mendasari akumulasi amiloid masih belum
diketahui, konsekuensi terakhirnya adalah perubahan degeneratif pada dinding
pembuluh yang ditandai dengan hilangnya sel otot polos, penebalan dinding,
penyempitan lumen, pembentukan mikroaneurisma, dan mikro hemoragik. Setelah
pecahnya pembuluh darah awal, hematoma menyebabkan cedera mekanis langsung
pada parenkim otak. Edema perihematoma berkembang dalam 3 jam pertama dari
onset gejala dan puncaknya antara 10 dan 20 hari. Selanjutnya, produk darah dan
plasma menengahi proses cedera sekunder, termasuk respons inflamasi, aktivasi
kaskade koagulasi, dan deposisi besi dari degradasi hemoglobin. Akhirnya, hematoma
dapat terus berkembang hingga 38% pasien selama 24 jam pertama.

2. Perdarahan Subarachnoid (SAH)


Perdarahan subarachnoid (SAH) didefinisikan sebagai ekstravasasi darah ke
dalam ruang subarachnoid. Penyebab SAH yang paling umum adalah trauma; di
antara kasus nontraumatic, pecahnya aneurisma intrakranial adalah penyebab utama,
mewakili hingga 85% kasus. Aneurisma lebih sering terjadi pada bifurkasio arteri
yang terletak di dasar otak, terutama arteri besar yang membentuk lingkaran Willis.
Faktor hemodinamik yang berkontribusi terhadap pembentukan dan perkembangan
aneurisma adalah wall shear stress, tekanan hidrostatik dan transmural. Wall shear
stress yang tinggi ditemui di titik cabang arteri serebral, dan paparan jangka panjang
ini dapat menyebabkan remodeling dinding pembuluh darah melalui interaksi dengan
endotel dan sekresi faktor-faktor seperti nitrit oksida (NO) dan faktor pertumbuhan
endothelial (endothelial growth factors). Tekanan hidrostatik dan transmural
menghasilkan tarikan mekanik dari dinding yang menginduksi regulasi molekul
seperti endothelin-1 B reseptor (ETBR) yang lebih lanjut mempengaruhi sel otot
polos vaskuler dengan apoptosis. Mekanisme pembentukan dan pertumbuhan
aneurisma sebagian dipahami, tetapi masih belum jelas apa yang menyebabkan ruptur
aneurisma.
II.6 Manifestasi Klinis11,12
Gejala klinis stroke ada berbagai macam, diantaranya adalah ditemukan perdarahan
intraserebral (ICH) yang dapat dibedakan secara klinis dari stroke iskemik, hipertensi
biasanya ditemukan, tingkat kesadaran yang berubah atau koma lebih umum pada stroke
hemoragik dibandingkan dengan stroke iskemik. Seringkali, hal ini disebabkan peningkatan
tekanan intrakranial. Meningismus dapat terjadi akibat adanya darah dalam ventrikel.
Defisit neurologis fokal. Jenis defisit tergantung pada area otak yang terlibat. Jika
belahan dominan (biasanya kiri) terlibat, suatu sindrom yang terdiri dari hemiparesis kanan,
kerugian hemisensory kanan, meninggalkan tatapan preferensi, bidang visual kana terpotong,
dan aphasia mungkin terjadi. Jika belahan nondominant (biasanya kanan) terlibat, sebuah
sindrom hemiparesis kiri, kerugian hemisensory kiri, preferensi tatapan ke kanan, dan
memotong bidang visual kiri. Sindrom belahan nondominant juga dapat mengakibatkan
pengabaian dan kekurangan perhatian pada sisi kiri.
Jika cerebellum yang terlibat, pasien beresiko tinggi untuk herniasi dan kompresi
batang otak. Herniasi bisa menyebabkan penurunan cepat dalam tingkat kesadaran, apnea,
dan kematian. Tanda-tanda lain dari keterlibatan cerebellar atau batang otak antara lain:
ekstremitas ataksia, vertigo atau tinnitus, mual dan muntah, hemiparesis atau quadriparesis,
hemisensorik atau kehilangan sensori dari semua empat anggota, gerakan mata yang
mengakibatkan kelainan diplopia atau nistagmus, kelemahan orofaringeal atau disfagia,
wajah ipsilateral dan kontralateral tubuh.

1. Perdarahan Intraserebral (ICH)


Sebuah perdarahan intraserebral dimulai tiba-tiba. Di sekitar setengah dari
jumlah penderita, serangan dimulai dengan sakit kepala parah, sering selama aktivitas.
Namun, pada orang tua, sakit kepala mungkin ringan atau tidak ada. Gejala disfungsi
otak menggambarkan perkembangan yang terus memburuk sebagai perdarahan.
Beberapa gejala, seperti kelemahan, kelumpuhan, hilangnya sensasi, dan mati rasa,
sering hanya mempengaruhi satu sisi tubuh. Orang mungkin tidak dapat berbicara
atau menjadi bingung. Visi dapat terganggu atau hilang. Mata dapat menunjukkan
arah yang berbeda atau menjadi lumpuh. Mual, muntah, kejang, dan hilangnya
kesadaran yang umum dan dapat terjadi dalam beberapa detik untuk menit.

2. Perdarahan Subarachnoid (SAH)


Sebelum robek, aneurisma yang biasanya tidak menimbulkan gejala kecuali
menekan pada saraf atau kebocoran sejumlah kecil darah, biasanya sebelum pecah
besar (yang menyebabkan sakit kepala), menghasilkan tanda-tanda peringatan, seperti
berikut:
- Sakit kepala, yang mungkin luar biasa tiba-tiba dan parah (kadang-kadang
disebut sakit kepala halilintar)
- Sakit pada mata atau daerah fasial
- Penglihatan ganda
- Kehilangan penglihatan tepi
Tanda-tanda peringatan dapat terjadi menit ke minggu sebelum pecahnya
aneurisma. Individu harus melaporkan setiap sakit kepala yang tidak biasa ke dokter
segera. Aneurisma yang pecah biasanya menyebabkan sakit kepala, tiba-tiba parah
dan mencapai puncak dalam beberapa detik. Hal ini sering diikuti dengan kehilangan
kesadaran singkat. Hampir setengah dari orang yang terkena meninggal sebelum
mencapai rumah sakit. Beberapa orang tetap berada dalam koma atau tidak sadar dan
sebagian lainnya bangun, merasa bingung, dan mengantuk. Dalam beberapa jam atau
bahkan menit, penderita mungkin menjadi tidak responsif dan sulit untuk
dibangunkan.
Dalam waktu 24 jam, darah dan cairan serebrospinal di sekitar otak
mengiritasi lapisan jaringan yang menutupi otak (meninges), menyebabkan leher kaku
serta sakit kepala terus, sering dengan muntah, pusing, dan nyeri pinggang.

II.7 Diagnosis13
1. Pemeriksaan Penunjang
Beberapa pemeriksaan yang dilakukan saat pasien dicurigai stroke saat masuk ke unit
gawat darurat:
- Elektrokardiogram (EKG)
- Pencitraan: CT Scan Non Kontras atau MRI
- Pemeriksaan laboratorium darah, meliputi:
a. Hematologi rutin
b. Gula darah sewaktu
c. Fungsi ginjal (ureum, kreatinin)
d. Activated Partial Thrombin Time (APTT)
e. Prothrombin Time (PT)
f. Profil lipid
g. C-Reactive Protein (CRP)
h. Laju Endap Darah
i. Pemeriksaan atas indikasi seperti: enzim jantung (troponin / CKMB),
serum elektrolit, analisis hepatik, dan pemeriksaan elektrolit
j. Pemeriksaan tambahan yang disesuaikan dengan indikasi (sebagian
dapat dapat dilakukan diruang rawat) meliputi ekokardiografi
(transthoracic clan atau transesophageal), foto rontgen dada, saturasi
oksigen dan analisis gas darah, pungsi lumbal jika dicurigai adanya
perdarahan subaraknoid dan CT scan tidak ditemukan adanya
perdarahan, EEG jika dicurigai adanya kejang, dan skrining
toksikologi (alkohol, kecanduan obat)

2. Skoring Siriraj Score14

Kesadaran: sadar = 0; mengantuk, stupor = 1; semikoma, koma = 2


Muntah: tidak = 0 ; ya = 1
Sakit kepala dalam 2 jam: tidak = 0 ; ya = 1
Tanda-tanda ateroma: tidak ada = 0 ; 1 atau lebih tanda ateroma = 1 (anamnesis
diabetes; angina; klaudikasio intermiten)

Pembacaan:
Skor > 1 → Stroke Hemoragik
Skor < 1 → Stroke Non Hemoragik
Skor antara -1 dan 1 → Borderline
3. National Institute of Health Stroke Scale

II.8 Diagnosis Banding2


- Lesi/massa intrakranial: tumor, hematoma subdural
- Infeksi: encephalitis, meningitis, abses otak
- Cedera kepala
- Ensefalopati metabolik (hipoglikemia, hiperglikemia non-ketotik, hiponatremia,
Wernicke-Korsakoff syndrome, ensefalopati hepatic, intoksikasi obat dan
alkohol, septicemia
- Ensefalopati hipertensi

II.9 Komplikasi
1. Perdarahan Intraserebral15
- Edema perihematoma dengan peningkatan TIK
- Perluasan perdarahan
- Perdarahan intraventrikuler disertai hidrosefalus
- Kejang
- Demam
- Infeksi
- Defisit neurologis
2. Perdarahan Subarachnoid2,8,16
- Perdarahan ulang (hari pertama 15%, satu bulan pertama 40%, setelah 6 bulan
3% pertahun)
- Iskemia serebral (immediate/delayed); karena peningkatan tekanan
intrakranial dan tekanan perfusi serebral yang berkurang
- Hidrosefalus
- Defisit neurologis
- Kejang
- Hiponatremia atau hipomagnesemia

II.10 Prognosis

Interpretasi Indeks Barthel


- 0-20 : Dependen total
- 21-60 : Dependen berat
- 61-90 : Dependen sedang
- 91-99 : Dependen ringan
- 100 : Mandiri
II.11 Penatalaksanaan di Ruang Gawat Darurat13
1. Terapi Umum
a. Stabilisasi Jalan Napas dan Pernapasan
- Pemantauan secara terus menerus terhadap status neurologis, nadi,
tekanan darah, suhu tubuh, dan saturasi oksigen dianjurkan dalam 72
jam, pada pasien dengan defisit neurologis yang nyata
- Pemberian oksigen dianjurkan pada keadaan dengan saturasi oksigen <
95%
- Intubasi ETT (Endotracheal Tube) atau LMA (Laryngeal Mask
Airway) diperlukan pada pasien dengan hipoksia (p02:50 mmHg), atau
syok, atau pada pasien yang berisiko untuk terjadi aspirasi
- Pipa endotrakeal diusahakan terpasang tidak lebih dari 2 minggu. Jika
pipa terpasang lebih dari 2 minggu, maka dianjurkan dilakukan
trakeostomi
b. Stabilisasi Hemodinamik
- Berikan cairan kristaloid atau koloid intravena (hindari pemberian
cairan hipotonik seperti glukosa)
- Dianjurkan pemasangan CVC (Central Venous Catheter), dengan
tujuan untuk memantau kecukupan cairan dan sebagai sarana untuk
memasukkan cairan dan nutrisi
- Usahakan CVC 5 -12 mmHg
- Optimalisasi tekanan darah. Bila tekanan darah sistolik <120 mmHg
dan cairan sudah mencukupi, maka obat-obat vasopressor dapat
diberikan secara titrasi seperti dopamin dosis sedang/ tinggi,
norepinefrin atau epinefrin dengan target tekanan darah sistolik
berkisar 140 mmHg
c. Pengendalian Peninggian Tekanan Intrakranial (TIK)
- Pemantauan ketat terhadap penderita dengan resiko edema serebral
harus dilakukan dengan memperhatikan perburukan gejala dan tanda
neurologis pada hari-hari pertama setelah serangan stroke
- Monitor TIK harus dipasang pada pasien dengan GCS <9 dan
penderita yang mengalami penurunan kesadaran karena kenaikan TIK
- Sasaran terapi adalah TIK kurang dari 20 mmHg dan CPP >70 mmHg
- Penatalaksanaan penderita dengan peningkatan tekanan intrakranial
meliputi:
● Tinggikan posisi kepala 20 sampai 30 derajat
● Posisi pasien hendaklah menghindari tekanan vena jugular
● Hindari pemberian cairan glukosa atau cairan hipotonik
● Hindari hipertermia
● Jaga normovolemia
● Osmoterapi atas indikasi: manitol 0.25 - 0.50 gr/kgBB, selama
> 20 menit, diulangi setiap 4 sampai 6 jam dengan target ≤ 310
mOsm/L. Kalau perlu, diberikan furosemid dengan dosis inisial
1 mg/kgBB IV
● Intubasi untuk menjaga normoventilasi (pCO2 35 - 40 mmHg).
Hiperventilasi mungkin diperlukan bila akan dilakukan
tindakan operatif
d. Pengendalian Kejang
- Diazepam bolus lambat intravena 5-20mg dan diikuti oleh fenitoin,
loading dose 15- 20 mg/kg bolus dengan kecepatan maksimum 50
mg/menit
- Bila kejang belum teratasi, maka perlu dirawat di ICU
- Pada stroke perdarahan intraserebral, obat antikonvulsan profilaksis
dapat diberikan selama 1 bulan, kemudian diturunkan, dan dihentikan
bila tidak ada kejang selama pengobatan
e. Pengendalian Suhu Tubuh
- Setiap penderita stroke yang disertai demam harus diobati dengan
antipiretika dan diatasi penyebabnya
- Berikan Asetaminofen 650 mg bila suhu lebih dari 38,5 0C (AHA/ASA
Guideline)1 atau 37,5 0C (ESO Guideline)
- Pada pasien febris atau berisiko terjadi infeksi, harus dilakukan kultur
dan hapusan (trakea, darah dan urin) dan diberikan antibiotik

2. Penatalaksanaan Umum di Ruang Rawat13


a. Cairan
- Berikan cairan isotonis seperti 0,9% salin dengan tujuan menjaga
euvolemia. Tekanan vena sentral dipertahankan antara 5-12 mmHg
- Pada umumnya, kebutuhan cairan 30 ml/kgBB/hari (parenteral maupun
enteral)
- Balans cairan diperhitungkan dengan mengukur produksi urin sehari
ditambah dengan pengeluaran cairan yang tidak dirasakan (produksi
urin sehari ditambah 500 ml untuk kehilangan cairan yang tidak
tampak dan ditambah lagi 300 ml per derajat celcius pada penderita
panas)
- Elektrolit (natrium, kalium, kalsium dan magnesium) harus selalu
diperiksa dan diganti bila terjadi kekurangan sampai tercapai nilai
normal
- Asidosis dan alkalosis harus dikoreksi sesuai dengan hasil analisa gas
darah
- Cairan yang hipotonik atau mengandung glukosa hendaklah dihindari
kecuali pada keadaan hipoglikemia
b. Nutrisi
- Nutrisi enteral paling lambat sudah harus diberikan dalam 48 jam,
nutrisi oral hanya boleh diberikan setelah hasil tes fungsi menelan baik
- Bila terdapat gangguan menelan atau kesadaran menurun makanan,
nutrisi diberikan melalui pipa nasogastrik
- Pada keadaan akut, kebutuhan kalori 25-30 kkal/kg/hari dengan
komposisi:
● Karbohidrat 30-40 % dari total kalori
● Lemak 20-35 % (pada gangguan nafas dapat lebih tinggi 35-55
%)
● Protein 20-30% (pada keadaan stress kebutuhan protein 1.4-2.0
g/kgBB/hari (pada gangguan fungsi ginjal <0.8 g/kgBB/hari)
- Apabila kemungkinan pemakaian pipa nasogastrik diperkirakan >6
minggu, pertimbangkan untuk gastrostomi
- Pada keadaan tertentu yaitu pemberian nutrisi enteral tidak
memungkinkan, dukungan nutrisi boleh diberikan secara parenteral
- Perhatikan diit pasien yang tidak bertentangan dengan obat-obatan
yang diberikan. Contohnya, hindarkan makanan yang banyak
mengandung vitamin K pada pasien yang mendapat warfarin
3. Penatalaksanaan Khusus Intraserebral Hemoragik13
a. Tekanan Darah
Tingginya tekanan darah berkaitan dengan kematian dan kecacatan
pada penderita stroke. Penurunan tekanan darah yang tinggi pada stroke akut
sebagai tindakan rutin tidak dianjurkan, karena kemungkinan akan
memperburuk keluaran neurologis. Sebagian pasien mengalami penurunan
tekanan darah dalam 24 jam pertama. Penurunan tekanan darah pada stroke
perdarahan intraserebral harus memperhatikan hal-hal berikut:
- Pada pasien stroke perdarahan intraserebral akut, apabila TDS >200
mmHg atau Mean Arterial Pressure (MAP) >150 mmHg, tekanan
darah diturunkan dengan menggunakan obat antihipertensi intravena
secara kontinu dengan pemantauan tekanan darah setiap 5 menit
- Apabila TDS >180 mmHg atau MAP >130 mmHg disertai dengan
gejala dan tanda peningkatan tekanan intrakranial, dilakukan
pemantauan tekanan intrakranial. Tekanan darah diturunkan dengan
menggunakan obat antihipertensi intravena secara kontinu atau
intermiten dengan pemantauan tekanan perfusi serebral ≥60 mmHg
- Apabila TDS >180 mmHg atau MAP >130 mmHg tanpa disertai gejala
dan tanda peningkatan tekanan intrakranial, tekanan darah diturunkan
secara hati-hati dengan menggunakan obat antihipertensi intravena
kontinu atau intermiten dengan pemantauan tekanan darah setiap 15
menit hingga MAP 110 mmHg atau tekanan darah 160/90 mmHg.
Pada studi INTERACT 2010, penurunan TDS hingga 140 mmHg
masih diperbolehkan
- Pada pasien stroke perdarahan intraserebral dengan TDS 150-220
mmHg, penurunan tekanan darah dengan cepat hingga TDS 140
mmHg cukup aman. Setelah kraniotomi, target MAP adalah 100
mmHg
- Penanganan nyeri termasuk upaya penting dalam penurunan tekanan
darah pada penderita stroke perdarahan intraserebral
- Pemakaian obat antihipertensi parenteral golongan penyekat beta
(labetalol dan esmolol), penyekat kanal kalsium (nikardipin dan
diltiazem) intravena, digunakan dalam upaya diatas
- Penurunan tekanan darah pada stroke akut dapat dipertimbangkan
hingga lebih rendah dari target di atas pada kondisi tertentu yang
mengancam target organ lainnya, misalnya diseksi aorta, infark
miokard akut, edema paru, gagal ginjal akut dan ensefalopati
hipertensif. Target penurunan tersebut adalah 15-25% pada jam
pertama, dan TDS 160/90 mmHg dalam 6 jam pertama

4. Penanganan di Rumah Sakit dan Pencegahan Kerusakan Otak Sekunder


a. Pemantauan dan penanganan pasien sebaiknya dilakukan di ICU dengan
dokter dan perawat yang memiliki keahlian intensif neurosains
b. Penanganan glukosa
c. Obat kejang dan anti epilepsi, kejang sebaiknya diterapi dengan obat
antiepilepsi. Pemantauan EEG secara kontinu dapat diindikasikan pada pasien
perdarahan intrakranial dengan kesadaran menurun tanpa mempertimbangkan
kerusakan otak yang terjadi. Pasien dengan perubahan status kesadaran yang
didapatkan gelombang epileptogenik pada EEG sebaiknya diterapi dengan
obat antiepilepsi. Pemberian antikonvulsan profilaksis tidak direkomendasikan

5. Prosedur/Operasi
a. Penanganan dan pemantauan tekanan intrakranial
- Pasien dengan skor GCS <8, dengan tanda klinis herniasi
transtentorial,atau dengan perdarahan intraventrikuler yang luas atau
hidrosefalus, dapat dipertimbangkan untuk penanganan dan
pemantauan tekanan intrakranial. Tekanan perfusi otak 50-70 mmHg
dapat dipertahankan tergantung pada status autoregulasi otak.
- Drainase ventrikular sebagai tatalaksana hidrosefalus dapat
dipertimbangkan pada pasien dengan penurunan tingkat kesadaran.
b. Evakuasi hematom
- Pasien dengan perburukan neurologis, kompresi batang otak,
hidrosefalus akibat obstruksi ventrikel sebaiknya menjalani operasi
evakuasi bekuan darah secepatnya
- Pada pasien dengan bekuan darah di lobus > 30 ml dan terdapat di 1
cm dari permukaan, evakuasi perdarahan intrakranial supratentorial
dengan kraniotomi standar dipertimbangkan
6. Rehabilitasi dan pemulihan
Rehabilitasi secara multidisiplin dilakukan untuk menangani kecacatan yang
serius dan kompleks akibat perdarahan intrakranial. Rehabilitasi dapat dilakukan
sedini mungkin dan berlanjut di sarana rehabilitasi komunitas, agar tercapai
koordinasi yang baik dari perawatan berbasis RS dan perawatan berbasis rumah
(home care)

7. Penatalaksanaan Khusus Subarachnoid Hemoragik13


Tatalaksana dilaksanakan berdasarkan derajat perdarahan subarachnoid menurut Hunt
& Hess.
Derajat Perdarahan Subarachnoid (Hunt dan Hess)
Derajat 0: Tidak ada gejala dan aneurisma belum
ruptur Derajat 1: Sakit kepala ringan
Derajat 2: Sakit kepala berat dengan tanda rangsang meningeal dan kemungkinan
adanya defisit saraf kranialis
Derajat 3: Kesadaran menurun dengan derajat defisit fokal neurologi ringan
Derajat 4: Stupor, hemiparesis sedang sampai berat, awal deserebrasi
Derajat 5 : Koma dalam, deserebrasi

a. Tatalaksana pasien SAH derajat I atau II berdasarkan Hunt & Hess


(H&H) adalah sebagai berikut:
- Identifikasi dan atasi nyeri kepala sedini mungkin
- Tirah baring total dengan posisi kepala ditinggikan 300 dan nyaman,
bila perlu berikan O2 2-3 L per menit
- Hati-hati dalam pemakaian sedatif (kesulitan dalam penilaian tingkat
kesadaran)
- Pasang infus di ruang gawat darurat, usahakan euvolemia dan monitor
ketat sistem kardiopulmoner dan kelainan neurologi yang timbul
b. Pasien SAH derajat III, IV atau V berdasarkan H&H,perawatan harus lebih
intensif
- Lakukan penatalaksanaan ABC sesuai dengan protokol pasien di ruang
gawat darurat
- Perawatan sebaiknya dilakukan di ruang intensif atau semi intensif
- Untuk mencegah aspirasi dan menjamin jalan nafas yang adekuat perlu
dipertimbangkan intubasi endotrakeal dengan hati-hati terutama
apabila didapatkan tanda-tanda tekanan tinggi intrakranial
- Hindari pemakaian obat-obatan sedatif yang berlebihan karena akan
menyulitkan penilaian status neurologi

8. Tindakan untuk mencegah perdarahan ulang setelah perdarahan subaraknoid


a. Kontrol dan monitor tekanan darah. Tekanan darah sistolik yang dianjurkan
dalam pencegahan perdarahan berulang adalah 140-160 mmHg
b. Istirahat total di tempat tidur
c. Terapi antifibrinolitik (epsilon-aminocaproic acid: loading 1 g IV kemudian
dilanjutkan 1 g setiap 6 jam sampai aneurisma tertutup atau biasanya
disarankan 72 jam). Kontraindikasi pada pasien dengan koagulopati, riwayat
infark miokard akut, stroke iskemik, emboli paru, atau trombosis vena dalam.
Lebih dianjurkan pada pasien dengan resiko rendah terhadap terjadinya
vasospasme atau pada pasien dengan penundaan operasi.

9. Tindakan operasi pada aneurisma yang ruptur


a. Operasi Clipping atau endovaskuler coiling sangat direkomendasikan untuk
mengurangi perdarahan ulang setelah ruptur aneurisma
b. Operasi yang dilakukan segera akan mengurangi risiko perdarahan ulang
setelah SAH, namun banyak penelitian yang memperlihatkan bahwa secara
keseluruhan hasil akhir tidak berbeda dengan operasi yang ditunda.
c. Tindakan endovaskuler coiling lebih bermanfaat pada ruptur aneurisma

10. Pencegahan dan tatalaksana vasospasme


a. Pencegahan nimodipin dimulai dengan dosis 1-2 mg/jam IV pada hari ke 3
atau secara oral 60 mg setiap 6 jam setiap 21 hari. 2 Pemakaian nimodipin oral
terbukti memperbaiki defisit neurologi yang ditimbulkan oleh vasospasme
b. Pengobatan vasospasme serebral dimulai dengan penanganan aneurisma yang
ruptur, dengan mempertahankan volume darah sirkulasi yang normal
(euvolemia) dan menghindari terjadinya hipovolemia
c. Terutama pada pasien SAH dengan tanda-tanda vasospasme, terapi
hiperdinamik yang dikenal dengan triple H
(Hypervolemic-Hypertension-Hemodilution) perlu dipertimbangkan dengan
tujuan mempertahankan tekanan perfusi serebral. Hati-hati terhadap
kemungkinan terjadinya perdarahan ulang pada pasien yang tidak dilakukan
embolisasi atau Clipping.
d. Cara lain untuk penatalaksanaan vasospasme adalah sebagai berikut:
- Pencegahan vasospasme
I. Nimodipin 60 mg per oral 4 kali sehari
II. NaCl 3% intravena 50 ml 3 kali sehari (hati-hati terhadap timbulnya
komplikasi berupa Central Pontine Myelinolysis (CPM)
III. Jaga keseimbangan elektrolit
- Delayed vasospasm
I. Stop nimodipin, antihipertensi dan diuretika
II. Berikan 5% albumin 250 ml intravena
III. Bila memungkinkan melakukan pemasangan Swangans dan
usahakan wedge pressure 12-14 mmHg
IV. Jaga cardiac index sekitar 4 L/min/sgmeter
V. Berikan dobutamin 2-15 ug/kg/min

11. Tekanan Darah


a. Tekanan darah harus dipantau dan dikendalikan bersama pemantauan tekanan
perfusi serebral untuk mencegah resiko terjadinya stroke iskemik sesudah
SAH serta perdarahan ulang. Untuk mencegah terjadinya perdarahan
subaraknoid berulang, tekanan darah diturunkan hingga TDS 140-160 mmHg
b. Calcium Channel Blocker (nimodipin) telah diakui dalam berbagai panduan
penatalaksanaan SAH karena dapat memperbaiki keluaran fungsional pasien
apabila vasospasme serebral telah terjadi
c. Penurunan tekanan darah pada stroke akut dapat dipertimbangkan hingga lebih
rendah dari target di atas pada kondisi tertentu yang mengancam target organ
lainnya, misalnya diseksi aorta, infark miokard akut, edema paru, gagal ginjal
akut dan ensefalopati hipertensif. Target penurunan tersebut adalah 15-25%
pada jam pertama, dan TDS 160/90 mmHg dalam 6 jam pertama

12. Tata Laksana Hiponatremia pada SAH


a. Bila natrium dibawah 120 mEq/L, berikan NaCL 0,9% 2-3 L/hari. Berikan
NaCl hipertonik 3% 50 ml 3 kali sehari bila perlu. Praktik di Indonesia
maksimal 0,5 mEq/L/jam, sehingga kadar natrium diharapkan dapat terkoreksi
0,5-1 mEq/L/jam dan tidak melebihi 130 mEq/L dalam 48 jam pertama
b. Hindari pemberian cairan hipotonik dan kontraksi volume intravaskular pada
pasien perdarahan subarachnoid
c. Pantau status volume cairan pada pasien SAH dengan kombinasi tekanan vena
sentral, tekanan arteri pulmoner, balans cairan. Terapi untuk kontraksi volume
cairan adalah dengan cairan isotonic
d. Pemberian fludrocortisone acetate dan cairan hipertonik berguna untuk
mengoreksi hiponatremia. Dosis fludrocortisone 0,4 mg/hari secara oral atau
0,4 mg dalam dextrose 5% intravena 2 kali sehari
BAB III
KESIMPULAN

Kegawatdaruratan neurologi yang masih menyebabkan kematian tertinggi adalah


stroke. Lima belas juta orang dari seluruh dunia menderita stroke setiap tahunnya yang terdiri
dari 5 juta orang meninggal, 5 juta orang lainnya yang tersisa menderita cacat permanen,
sehingga keluarga dan masyarakat sendiri dapat terbebani. Menurut WHO MONICA project,
stroke didefinisikan sebagai gangguan fungsional otak yang terjadi secara mendadak dengan
tanda klinis fokal atau global yang berlangsung lebih dari 24 jam (kecuali akibat pembedahan
atau kematian), tanpa tanda-tanda penyebab non vaskular, termasuk didalamnya tanda-tanda
perdarahan subaraknoid, perdarahan intraserebral, iskemik atau infark serebri.
Faktor risiko yang potensial bisa dikendalikan pada penyakit stroke diantaranya
hipertensi, penyakit jantung, fibrilasi atrium, endokarditis, stenosis mitralis, infark jantung,
anemia sel sabit, Transient Ischemic Attack (TIA), stenosis karotis asimtomatik, diabetes
melitus, hiperhomosisteinemia, hipertrofi ventrikel kiri sedangkan faktor risiko yang tidak
bisa dikendalikan yaitu umur, jenis kelamin, herediter, ras (etnis), geografis. 1,4 Menit
pertama sampai beberapa jam setelah onset stroke defisit neurologis merupakan kesempatan
untuk mencegah kematian ataupun kecacatan permanen yang serius. Sistem diagnosis dan
penanganan yang cepat dan tepat sangat penting dalam terapi stroke akut yang optimal.
Diagnosis stroke akut didasarkan pada anamnesis, pemeriksaan neurologis dan pemeriksaan
penunjang.
Beberapa metode skrining untuk mendiagnosis stroke di luar rumah sakit adalah Face
Arm Speech Test (FAST), Los Angeles Paramedic Stroke Scale (LAPSS), Cincinnati
Prehospital Stroke Scale (CPSS) dan Melbourne Ambulance Stroke Screen (MASS).
Manajemen stroke terdiri dari beberapa fase yang saling berurutan, yaitu umum pada fase
akut, spesifik pada fase akut, surgical maupun medik dan rehabilitasi dan perawatan lanjutan.
Dari berbagai penelitian, fungsi neurologis dan fungsi aktivitas hidup sehari-hari
pasca stroke menurut waktu cukup bervariasi. Suatu penelitian menunjukkan bahwa terdapat
perbaikan fungsi paling cepat pada minggu pertama dan menurun pada minggu ketiga sampai
6 bulan pasca stroke.
DAFTAR PUSTAKA

1. Ropper AH, Samuels MA, Klein JP. Adams and Victor’s Principles of Neurology.
10th edition. McGraw Hill Education;2014.
2. Liebeskind DS, Schraga ED, O’Connor RE, Huff JS, Kirshner HS, Krause RS, et al.
Hemorrhagic Stroke. Accessed; July 25th 2017. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/1916662-overview#a3.
3. Feigin VL, Lawes CM, Bennett DA, Anderson CS. Stroke epidemiology: a review of
population-based studies of incidence, prevalence, and case-fatality in the late 20th
century. Lancet Neurol. 2003 Jan. 2(1):43-53.
4. Broderick J, Connolly S, Feldmann E, Hanley D, Kase C, Krieger D, et al. Guidelines
for the management of spontaneous intracerebral hemorrhage in adults: 2007 update:
a guideline from the American Heart Association/American Stroke Association
Stroke Council, High Blood Pressure Research Council, and the Quality of Care and
Outcomes in Research Interdisciplinary Working Group. Circulation. 2007 Oct 16.
116(16):e391-413.
5. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia 2013. Riset Kesehatan Dasar 2013. Available from:
www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskesdas%202013.pdf
6. Truelsen T, Begg S, Mathers C. The global burden of cerebrovascular disease. 2000.
7. Drislane FW, Benatar M, Chang BS, Acosta J, Taruli A, Caplan LR. Blueprints
Neurology. 3rd edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins;2009.
8. Lemonick DM. Subarachnoid hemorrhage: state of the artery. American Journal of
Clinical Medicine. 2010.
9. Caceres JA, Goldstein JN. Intracranial Hemorrhage. Emerg Med Clin North Am.
2012. August; 30(3): 771-794.
10. Magistris F, Bazak S, Martin J. Intracerebral Hemorrhage: Pathophysiology,
Diagnosis and Management. McMaster University Medical Journal Vol 10 No 1.
Available from:
https://pdfs.semanticscholar.org/dd6e/3f675e5f91884-115c3df2c48d53de4e284af.pdf
11. Nasissi, Denise. Hemorrhagic Stroke Emedicine. Medscape, 2010. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/793821-overview. Access on: July 26, 2017.
12. MERCK, 2007. Hemorrhagic Stroke. Accessed; July 25 2017. Available from:
http://www.merck.com/mmhe/sec06/ch086/ch086d.html
13. Kelompok Studi Stroke Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia.Guideline
Stroke 2011. Edisi Revisi. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia: Jakarta,
2011.
14. Poungvarin, N. Skor Siriraj stroke dan studi validasi untuk membedakan perdarahan
intraserebral supratentorial dari infark. Accessed; July 24 2017. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1670347/
15. Balami JS, Buchan AM. Complication of intracerebral hemorrhage. Lancet Neurol.
2012 Jan;11(1):101-18. doi: 10.1016/S1474-4422(11)70264-2.
16. Al-shahi R, White PM, Davenport RJ, Lindsay KW. Clinical Review: Subarachnoid
Hemorrhage. British Med J. Vol 333. 2006.

Anda mungkin juga menyukai