Anda di halaman 1dari 24

REFERAT

HERPES ZOSTER

Disusun Oleh :
Jaclintus Mario Krisno
2265050127

Pembimbing :
dr. Jihan Rosita, Sp.KK

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN


KULIT DAN KELAMIN
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PASAR MINGGU
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
PERIODE 6 FEBRUARI – 11 MARET 2023
B

AB I

PENDAHULUAN

Herpes Zoster adalah infeksi kulit dan mukosa yang disebabkan oleh virus Variselazoster
(VZV). Herpes zoster atau shingles merupakan manifestasi klinis karena reaktivasi virus varisela
zoster (VZV). Selama terjadi infeksi varisela zoster, VZV meninggalkan lesi di kulit dan permukaan
mukosa menuju ujung saraf sensorik. Kemudian menuju ganglion dorsalis. Dalam ganglion, virus
memasuki masa laten dan tidak mengadakan multiplikasi lagi.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Berdasarkan buku Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin FKUI, Herpes zoster atau shingles
adalah penyakit neurokutan dengan manifestasi erupsi vesikular berkelompok dengan dasar
eritematosa disertai nyeri radikular unilateral yang umumnya terbatas di satu dermatom. Herpes zoster
merupakan manifestasi reaktivasi infeksi laten endogen virus varisela zoster di dalam neuron ganglion
sensoris radiks dorsalis, ganglion saraf kranialis atau ganglion saraf autonomik yang menyebar ke
jaringan saraf dan kulit dengan segmen yang sama.

2.2. Epidemiologi
2.3. Faktor risiko

Seperti yang telah disebutkan, bahwa anak-anak berusia dua hingga lima tahun
memiliki daya tahan tubuh yang belum sempurna. Diakibatkan oleh turunnya daya tahan
tubuh, bakteri yang seharusnya merupakan flora normal, menyerang kulit lapisan
epidermis. Selain itu anak-anak yang sering melakukan aktivitas yang melibatkan kontak
kulit, misalnya sepak bola, juga merupakan anak-anak dengan risiko penularan yang
tinggi. Adapun faktor risiko berupa iklim. Pada iklim tropis, yang cenderung panas dan
lembab, merupakan media yang sesuai untuk bakteri berkembang, terutama pada musim
panas. Kebersihan juga mempunyai peranan yang baik untuk mengurangi prevalensi
terserang oleh impetigo. Kebersihan yang buruk mengakibatkan bakteri mudah
berkembang.8

Walaupun impetigo lebih sering menyerang pada anak, tidak menutup


kemungkinan untuk menyerang orang dewasa, terutama pada mereka yang memiliki
kondisi imunodefisiensi, misalnya HIV/AIDS atau yang menggunakan kortikosteroid
sistemik. Luka bedah, luka bakar, trauma, dermatitis atopik, sisa benda asing dimana
berupa riwayat cedera jaringan atau peradangan berisiko lebih tinggi terhadap infeksi
S.aureus. Kondisi-kondisi yang menyebabkan jumlah atau fungsi neutrofil yang rusak
rentan terhadap infeksi S. aureus. Hal ini termasuk kelainan genetik misalnya, penyakit
granulomatosa kronis atau didapat, seperti diabetes, pasien kanker yang sedang menjalani
kemoterapi. Ada juga pasien dengan genetik atau defisiensi respon IL-17 yang didapat
(misalnya, sindrom Ayub) juga rentan terhadap infeksi kulit dan jaringan lunak.6

2.4. Etiologi

Kasus impetigo sebesar 50-70% disebabkan oleh S. aureus dan S. pyogenes atau
kombinasi kedua organisme. Streptococcus merupakan patogen awal dalam patogenesis
impetigo, sedangkan Staphylococcus menggantikan Streptococcus pada lesi yang sudah
matang. Streptococcus grup B berkaitan dengan neonatal impetigo. Impetigo bulosa
disebabkan paling sering oleh Staphylococcus aureus, sedangkan impetigo non-bulosa
biasanya disebabkan oleh Group A Streptococcus, Streptococcus B hemolyticus.9,10

Karakteristik Group A Streptococcus, yaitu bakteri gram positif, cocci in pair,


yang mempunyai kapsul yang terbuat dari asam hialuronat, berfungsi sebagai faktor
virulensi. Kapsul ini mencegah fagositosis oleh PMN dan makrofag dari host. GAS
(Group A Streptococcus) berupa komensal pada kulit, membrane mukus, gastrointestinal
tract, yang dapat dibagi menjadi beberapa serotipe, berdasarkan protein M yang dapat
resisten terhadap fagositosis oleh PMN serta dapat multiplikasi pada darah. Streptococcus
adalah kuman yang invasif yang dapat menembus jaringan epidermis (impetigo), dermis
(ecthyma), jaringan subkutan yang lebih dalam (selulitis). Streptococcus dapat
menyebabkan edema, localized lymphadenopathy dan demam. Komplikasi yang dapat
terjadi seperti rheumatic fever, akut difus glomerulonefritis, dan eritema nodosum.
Rheumatic fever dapat menjadi komplikasi dari streptococcal pharyngitis atau tonsillitis.
Sedangkan glomerulonefritis dapat terjadi akibat komplikasi dari streptococcal cutaneous
atau infeksi saluran pernafasan atas, dengan port d entry di kulit.3,5

Karakteristik Staphylococcus, yaitu merupakan gram positif cocci in cluster,


dengan diameter 0.5-1.5 μm, berbentuk seperti anggur. Staphylococci tidak motile, tidak
berspora dan biasanya positif pada katalase. S.aureus berkolonisasi pada permukaan
mukosa kulit. Ditemukan pada 30% anterior nares. S.aureus dapat menyebabkan penyakit
yang berbeda (distant disease). Contohnya seperti infective endocarditis, osteomyelitis,
SSSS, dan toxic shock syndrome. Inisiasi berbagai penyakit kulit dilakukan oleh ETA dan
ETB yang merupakan aktif serin protease yang diproduksi oleh beberapa strain S.aureus.
ETA dan ETB ini menyebabkan pembelahan pada epidermal, melalui efek desmoglein-1
yang merupakan cadherin desmosomal. Pembelahan epidermal ini berkaitan dengan
blistering skin disease contohnya pemphigus neonatorum atau Staphylococcal Scalded
Skin Syndrome (SSSS) dan impetigo bulosa.3,5

2.5. Patofisiologi
Banyak faktor virulensi berbeda yang meningkatkan kolonisasi dan infeksi serta
menghindari deteksi dan fungsi kekebalan inang dalam patogenesis infeksi S. aureus.
Sebagai contoh, S. aureus mengeluarkan Toksin berpori yang melisiskan sel inang seperti
neutrofil dan makrofag adalah salah satu faktor yang berperan, yang mana mencegah
fungsi pertahanan inang dari sel-sel ini. Komponen tunggal α-hemolisin (α-toksin) dan
leukotoksin biokomponen adalah 2 keluarga utama toksin pembentuk pori S.aureus.6
Selain itu, S. aureus mengeluarkan modulin yang larut dalam fenol (PSM), yang
melisiskan leukosit manusia dan eritrosit. Setidaknya ada 24 superantigen berbeda yang
diproduksi oleh S. aureus yang akan mengaktifkan sel-sel T yang tidak spesifik dengan
berinteraksi dengan molekul-molekul HLA-DR pada sel-sel yang mempresentasikan
antigen dan wilayah variabel subunit β dari reseptor sel-T tanpa presentasi antigen yang
menyebabkan aktivasi sel T CD4 + spesifik. Superantigen ini, terutama SEB dapat
meningkatkan keparahan dermatitis atopik dengan menginduksi peradangan kulit,
mempromosikan respons Th2, dan mendorong produksi antibodi Ig E.6

Kulit merupakan pertahanan tubuh pertama terhadap lingkungan. Adanya


homeostasis yang tidak seimbang antara mikroba kulit dengan host dapat menyebabkan
timbulnya impetigo bulosa. Impetigo bulosa disebabkan oleh exfoliative toxin
Staphylococcus aureus tipe A dan B (ETA dan ETB). Kulit normal mempunyai pH 5.6
dan cairan sebasea yg untuk menghambat pertumbuhan bakteri dan jamur. Sel-sel dalam
kulit disatukan dengan protein adhesi yang bernama desmoglein-1.3
Serin protease yang berupa ETA dan ETB ini akan berikatan dengan molekul
adhesi sel desmoglein-1. Hilangnya adhesi sel-sel disebabkan oleh pembelahan dari
desmoglein-1 yang diinduksi pengikatan tersebut. Epidermolisis biasanya terjadi antara
stratum spinosum dan granulosum, hal ini sesuai dengan pola ekspresi protein
desmoglein-1, yang ditemukan di bagian atas epidermis. Oleh karena itu, terbentuk bula
flaccid yang sangat tipis yang mudah pecah dan menunjukkan tanda Nikolsky positif.11

Karena sama-sama mengganggu desmoglein-1, dapat dikatakan patofisiologi


impetigo bulosa ini mirip dengan patofisiologi penyakit bula autoimun pemphigus
foliaceus.6 Namun, bula pada pemfigus foliaceus menunjukkan akantolisis tepat di bawah
stratum korneum dan di lapisan granular sedangkan epidermis yang lebih dalam tetap
utuh.4 Sedangkan pada impetigo, bakteri S. aureus telah berevolusi dan toksin ini
memungkinkan bakteri berkembang biak dan menyebar di bawah penghalang stratum
korneum kulit, tepatnya pada stratum spinosum dan granulosum.11
Selain impetigo bulosa yang bersifat lokal, SSSS yang bersifat sistemik juga terjadi
akibat toksin eksfoliatif ini. Menurut penelitian, sebagian besar impetigo bulosa
disebabkan oleh ETA dan SSSS biasanya disebabkan oleh ETB. Titer yang lebih rendah
dari antibodi penawar anti-ETB pada populasi umum mungkin merupakan salah satu
alasan dibalik hal tersebut.11
Dalam kondisi tertentu patogen dapat penetrasi pada barrier kulit dan
menyebabkan kerusakan jaringan yang akan menstimulasi respon inflamasi. Kondisi yang
mengakibatkan terjadinya infeksi kulit seperti chicken pox, herpes simplex, pedikulosis,
terapi radiasi, skabies, trauma, kerusakan pada lapisan kornea untuk penetrasi bakteri.
Infeksi bakteri awalnya terjadi dalam jumlah rendah dan dengan adhesi yang dimediasi
asam teichoic yang menyebabkan terjadinya mikroorganisme. Perlekatan asam teichoic
untuk Group A streptococcus dan S.aureus memerlukan komponen reseptor sel epitel lain
dan fibronektin untuk kolonisasi. Reseptor fibronektin tidak dapat menempel pada kulit
utuh, namun kerusakan kulit dapat menyebabkan adanya reseptor fibronektin di
permukaan kulit, sehingga kolonisasi atau invasi terjadi.12

Kolonisasi Group A streptococcus dapat terjadi jika kontak langsung dengan


individu yang terkena infeksi kulit Group A streptococcus. Kulit normal yang
terkolonisasi, trauma kecil seperti abrasi atau gigitan serangga, akan muncul dari
perkembangan lesi dalam waktu 1-2 minggu. Pada 30% populasi terkolonisasi oleh
S.aureus pada anterior nares. Beberapa populasi pernah terkolonisasi sebelumnya oleh
S.aureus di daerah hidung dan bibir. Bakteri S.aureus menyebar dalam jangka waktu 7-14

hari, kemudian timbul lesi kulit. Lesi biasanya timbul pada wajah di sekitar hidung atau
ekstremitas setelah trauma.12

2.6. Klasifikasi

Impetigo primer dan sekunder adalah salah satu pembagian impetigo. 4 Impetigo
primer, yaitu impetigo yang terjadi pada kulit yang sebelumnya normal dan terjadi invasi
bakteri langsung.4 Sedangkan, impetigo sekunder melibatkan pembentukan infeksi di
tempat luka kulit sebelumnya, seperti pada dermatitis atopik atau kondisi kulit lainnya. 4
Impetigo dibagi menjadi 2, yaitu impetigo bulosa dan impetigo non-bulosa. 11 Impetigo
bulosa sering terjadi pada periode neonatal, dimulai setelah minggu kedua kehidupan,
tetapi bisa juga ada saat lahir jika terjadi ketuban pecah dini/prematur. Kondisi ini paling
sering terjadi pada anak berusia 2-5 tahun (preschool age).7,13

Faktor predisposisi berupa kerumunan (crowding), dermatitis kronik dan cedera


kulit yang diabaikan.7 Impetigo jenis ini biasanya disebabkan Staphylococcus aureus,
terutama kelompok II dengan tipe fage 71 (60%), namun bisa juga tipe fage 3A, 3C, dan
55. Selain S. aureus, Streptococcus grup A juga bisa menyebabkan kondisi ini. Toksin
eksfoliatif yang diproduksi S. aureus menyebabkan disosiasi sel epidermis dengan formasi
bula. Secara klinis dapat dimulai dengan munculnya vesikel kecil, kemudian menjadi bula
yang flaccid (diameter sampai 2 cm) dengan isi yang jernih atau kuning dan nantinya bisa
purulen atau hitam, biasanya tanpa ada eritema dan edema di sekitarnya.13

Bula mudah pecah dan jika pecah akan terlihat dasar eritematosa, mengkilap dan
basah. Collarette di pinggiran sisa dari atap bula meninggalkan krusta coklat dan tipis
pada sisa erosi.6 Pada impetigo bulosa, tidak ada krusta berwarna seperti madu (honey-
colored crust). Pada traksi lateral, akan terjadi sloughing dari kulit (tanda Nicolsky
positif).6 Daerah intertriginosa, seperti area popok dan badan adalah daerah yang paling
sering terjadi impetigo bulosa.6 Selain daerah tersebut, area kulit lain juga bisa, seperti
pada telapak tangan dan kaki. Jika lesi bertahan selama beberapa minggu, maka dapat
terlihat central healing.14 Lesi pada impetigo bulosa lebih sedikit daripada impetigo

non-bulosa. Biasanya tidak ada pembesaran kelenjar getah bening regional. Demam lebih
sering terjadi di impetigo bulosa daripada impetigo non-bulosa.13

Lebih dari 70% kasus impetigo merupakan impetigo non-bulosa. Pada tipe ini,
sering kali terjadi pada dewasa dan anak-anak namun, jarang terjadi pada usia < 2 tahun.
Faktor predisposisi kondisi ini adalah malnutrisi dan kebersihan yang buruk. Penyebab
dari impetigo non-bulosa biasanya adalah S. aureus dan bisa kombinasi dengan
streptococcus beta hemolitik grup A (80%). Impetigo jenis ini dapat terjadi pada kulit
normal atau muncul pada daerah dermatosis sebelumnya (dermatitis atopik, dermatitis
kontak, gigitan serangga, pedikulosis dan skabies).13

Awalnya, lesi berupa vesikel atau pustul. Vesikel-vesikel yang mudah pecah
tersebut akan menyatu (koalesen) dan jika pecah membentuk krusta berwarna madu
(honey-colored crust) disertai dasar eritematosa. Tanda Nicolsky negatif pada impetigo
non-bulosa. Biasanya lesi multipel dengan diameter 1 sampai > 3 cm dan tubuh secara
sentrifugal pada wajah dan ekstremitas, terutama daerah dimana gangguan pada skin
barrier terjadi.6 Di daerah yang tidak terlihat ada kerusakan pada skin barrier, sering kali
terjadi penyebaran yang cepat dan terbentuknya lesi satelit serta dilanjutkan
autoinokulasi.6,13

Pada impetigo non-bulosa, sering kali ditemukan limfadenopati regional ringan.


Sering kali tidak ada gejala sistemik, seperti demam pada impetigo non-bulosa. Namun,
gejala sistemik bisa terjadi pada kasus berat. Impetigo jenis ini dapat sembuh secara
spontan dalam 2-3 minggu.13

Gambar 1 & 2 Impetigo Krustosa

Gambar 3 Impetigo Bullosa


Impetigo Krustosa Impetigo Bulosa

Epidemiolo 70% 30%


gi
Usia Semua usia Anak-anak usia 2-5 tahun

Etiologi Staphylococcus aureus Staphylococcus aureus


atau kombinasi dengan
Streptococcus grup A

Manifest Honey-colored crust Krusta coklat tanpa dasar


asi klinis dengan dasar eritema dan eritema/eritema minimal,
dapat ekstensi tanpa ada dapat ekstensi secara perifer
central healing dengan central healing

Distribusi Anggota gerak dan wajah Area popok, aksilla dan leher

Limfadeno Sering Jarang


pa ti
regional

Nicolsky + -
sign

2.7. Manifestasi Klinis


Impetigo dapat timbul sendiri (primer) atau komplikasi dan kelainan lain (sekunder)
baik penyakit kulit (gigitan binatang, vanisela, infeksi herpes simpleks, dermatitis atopi) atau
penyakit sistemik yang menurunkan kekebalan tubuh (diabetes melitus, HIV).

a. Impetigo Bulosa
● Vesikel (gelembung berisi cairan dengan diameter <0,5cm) yang timbul sampai bulla
(gelembung berisi cairan berdiameter >0,5cm) kurang dari 1 cm pada kulit yang utuh,
dengan kulit sekitar normal atau kemerahan. Pada awalnya vesikel berisi cairan yang
jernih yang berubah menjadi berwarna keruh.
● Atap dan bulla pecah dan meninggalkan gambaran “collarette” pada pinggirnya.
Krusta “varnishlike” terbentuk pada bagian tengah yang jika disingkirkan
memperlihatkan dasar yang merah dan basah.
● Bulla yang utuh jarang ditemukan karena sangat rapuh.
● Bila impetigo menyertai kelainan kulit lainnya maka, kelainan itu dapat menyertai
dermatitis atopi, varisela, gigitan binatang dan lain-lain.
● Lesi dapat lokal atau tersebar, seringkali di wajah atau tempat lain, seperti tempat
yang lembab, lipatan kulit, ketiak atau lipatan leher.
● Tidak ada pembengkakan kelenjar getah bening di dekat lesi.
● Pada bayi, lesi yang luas dapat disertai dengan gejala demam, lemah, diare. Jarang
sekali disetai dengan infeksi sendi atau tulang.

b. Impetigo Krustosa
● Awalnya berupa wama kemerahan pada kulit (makula) atau papul (penonjolan padat
dengan diameter <0,5cm) yang berukuran 2-5 mm.
● Lesi papul segera menjadi vesikel atau pustul (papula yang berwarna
keruh/mengandung nanah/pus) yang mudah pecah dan menjadi papul dengan
keropeng/koreng berwarna kuning madu dan lengket yang berukuran <2cm dengan
kemerahan minimal atau tidak ada kemerahan disekelilingnya.
● Lesi muncul pada kulit normal atau kulit yang kena trauma sebelumnya atau
mengikuti kelainan kulit sebelumnya (skabies, vasisela, dermatitis atopi) dan dapat
menyebar dengan cepat.
● Lesi berada sekitar hidung, mulut dan daerah tubuh yang sering terbuka (tangan dan
kaki)
● Kelenjar getah bening dapat membesar dan dapat nyeri.
● Lesi juga menyebar ke daerah sekitar dengan sendirinya (autoinokulasi)
● Jika dibiarkan tidak diobati maka lesi dapat menyebar terus karena tindakan diri
sendiri (digaruk lalu tangan memegang tempat lain sehingga mengenai tempat lain).
● Lalu dapat sembuh dengan sendirinya dalarn beberapa minggu tanpa jaringan parut.
● Walaupun jarang, bengkak pada kaki dan tekanan darah tinggi dapat ditemukan pada
orang dengan impetigo krustosa sebagai tanda glomerulonefritis (radang pada ginjal)
akibat reaksi tubuh terhadap infeksioleh kuman Streptococcus penyebab impetigo.
2.8. Diagnosis

Pada anamnesis, dapat ditanyakan mengenai lesi kulit yang dialami, dan perjalanan
penyakitnya. Faktor risiko yang dimiliki pasien juga harus ditanya berupa kebiasaan yang
kurang bersih, penyakit dermatitis atopik, penyakit imunosupresi seperti diabetes melitus,
dan HIV/AIDS. Secara klinis, pada impetigo bulosa, ditemukan bula tegang yang mudah
ruptur, jika pecah, maka terlihat collarette di pinggir lesi dengan dasar eritematosa. 1 Pada
impetigo krustosa, terdapat makula eritematosa 2-4 mm, berukuran soliter, yang akan
menjadi vesikel atau pustul. Makula pada impetigo berstruktur lemah dan mudah pecah.
Apabila pecah, akan membentuk krusta berwarna kuning madu. Area yang sering terkena
pada bagian nostril dan perioral.4,5

Untuk pemeriksaan penunjang dapat digunakan pemeriksaan gram stain, kultur dan
biopsi. Pada gram stain, ditemukan kokus gram positif yang berkelompok. Selain gram
stain, dapat juga dilakukan kultur untuk menumbuhkan agen penyebab, yaitu S. aureus.
Materi gram stain dan kultur dapat diperoleh dengan melepas krusta terlebih dahulu
sehingga spesimen dapat diperoleh dari erosi yang basah dan mengkilap. Biasanya
dilakukan jika ada resistensi obat.7,14

Biopsi jarang dilakukan untuk menegakkan kasus impetigo, tapi jika dilakukan
menunjukan pustul/bula subkorneal, yang berisi beberapa cocci yang tersebar, bersama
dengan debris leukosit polimorfonuklear dan sel-sel epidermis. Reaksi inflamasi ringan,
dilatasi pembuluh darah, edema, dan infiltrasi leukosit polimorfonuklear dapat dilihat pada
dermis.7,1
2.9. Diagnosis Banding

Ada beberapa penyakit yang dapat menyerupai impetigo. Pemfigus vulgaris juga
memiliki manifestasi bula yang flaccid kemudian bisa ada pembentukan krusta setelahnya
mirip dengan impetigo bulosa. Namun, pemfigus vulgaris biasanya disertai nyeri, lesi
dimulai pada kulit kepala yang berambut dan rongga mulut, biasanya di selaput lendir
dengan epitel skuamosa.1,16,17 Pemfigus bulosa dapat menyerupai impetigo bulosa, namun
vesikel dan bula bersifat tegang muncul secara cepat pada plak urtikaria yang pruritus. 16,17
Impetigo bulosa bisa memiliki konfigurasi annular yang mirip dengan tinea corporis jika
bertahan dalam waktu yang lama. Untuk membedakan dengan impetigo, penemuan vesikel,
pustul dan krusta lebih mengarah ke impetigo, sedangkan tinea corporis didapatkan tepi
aktif dan central healing, lesi biasanya bercak terpisah. Pemeriksan KOH juga dapat
berperan untuk menyingkirkan diagnosis banding ini.1,16
- Impetigo Bulosa9,12
a. Varisela

Vesikel bermula di badan dan menyebar ke tangan kaki dan wajah


berdinding tipis yang berdasar eritem; vesikel pecah dan terbentuk krusta.
b. Pemfigoid Bulosa
Vesikel dan bula muncul secara cepat pada daerah yang gatal serta muncul
plak urtikaria
c. Pemfigus Vulgaris

Manifestasi klinis berupa bula yang tidak terasa gatal, ukurannya


bervariasi antara 1 sampai beberapa sentimeter, muncul secara bertahap dan
menjadi generalisata. Terjadi erosi selama beberapa minggu sebelum
penyembuhan disertai hiperpigmentasi.

- Impetigo non-bulosa
a. Virus Herpes Simplex dan Herpes Zoster
Vesikel berkelompok yang berdasar eritem pecah sehingga menimbulkan
erosi yang dikelilingi oleh krusta, terjadi pada kulit dan bibir.
b. Candidiasis
Papul eritema atau merah, plak lembab biasanya terbatas pada membran
mukosa dan area intertriginosa.

c. Dermatitis Atopik
Lesi pruritik yang kronik atau relaps dan kulit kering yang abnormal,
berlangsung lama. Likenifikasi fleksural biasanya terjadi pada orang dewasa.
Pada anak-anak biasanya berpredileksi di area wajah dan ekstensor
d. Skabies
Papula yang kecil dan menyebar, terdapat terowongan pada sela-sela jari,
gatal pada malam hari.
e. Insect bite
Terdapat papul pada daerah gigitan, dapat nyeri.

2.10. Pemeriksaan Penunjang

Pada keadaan khusus, dimana diagnosis impetigo masih diragukan, atau pada suatu
daerah dimana impetigo sedang mewabah, atau pada kasus yang kurang berespons terhadap
pengobatan, maka diperlukan pemeriksaan-pemeriksaan sebagai berikut:

a. Pemeriksaan Laboratorium
● Pewarnaan gram
Pada pemeriksaan ini akan mengungkapkan adanya neutrofil dengan kuman
coccus gram positif berbentuk rantai atau kelompok.
● Kultur cairan
Pada pemeriksaan ini umumnya akan mengungkapkan adanya Streptococcus
aureus, atau kombinasi antara Streptococcus pyogenes dengan Streptococcus-β-
hemoliticus grup A (GABHS), atau kadang-kadang dapat berdiri sendiri.
b. Pemeriksaan Lain
● Titer anti-streptolysin-O (ASTO), mungkin akan menunjukkan hasil positif lemah
untuk Streptococcus, tetapi pemeriksaan ini jarang dilakukan. Streptozyme,
menunjukkan hasil positif untuk Streptococcus, tetapi pemeriksaan ini jarang
dilakukan.
● Pemeriksaan kultur dan sensitifitas bakteri.

2.11. Tatalaksana

Tujuan pengobatan impetigo adalah menghilangkan rasa tidak nyaman dan


memperbaiki kosmetik dan lesi impetigo, mencegah penyebaran infeksi ke orang lain dan
mencegah kekambuhan.
Medikamentosa

a. Terapi topical

Jika bula besar dan banyak, sebaiknya dipecahkan, krusta sedikit dilepaskan,
selanjutnya dibersihkan dengan betadine dan diberikan salep antibiotik. Pada pengobatan
topikal impetigo bulosa bisa dilakukan dengan pemberian antiseptik atau salap antibiotik.

1. Antiseptik
Antiseptik yang dapat dijadikan pertimbangan dalam pengobatan impetigo
terutama yang telah dilakukan penelitian di Indonesia khususnya Jember dengan
menggunakan Methicillin Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) adalah triklosan
2%. Pada hasil penelitian didapatkan jumlah koloni yang dapat tumbuh setelah kontak
dengan triklosan 2% selama 30”, 60”, 90”, dan 120” adalah sebanyak 0 koloni.
Sehingga dapat dikatakan bahwa triklosan 2%mampu untuk mengendalikan
penyebaran penyakit akibat infeksi Staphylococcus aureus.

2. Antibiotik Topikal

a) Mupirocin
Mupirocin topikal merupakan salah satu antibiotik yang sudah mulai
digunakan sejak tahun 1980an. Mupirocin ini b sedangkan pada pioderma
profunda, mengenai epidermis dan dermis contohnya erisipelas, selulitis, abses
multipel kelenjar keringat ekerja dengan menghambat sintesis RNA dan protein
dari bakteri. Pada salah satu penelitian yang telah dilakukan dengan menggunakan
mupirocin topikal yang dibandingkan dengan pemberian eritromisin oral pada
pasien impetigo yang dilakukan di Ohio didapatkan hasil sebagai berikut:
Mupirocin topikal jauh lebih unggul dalam mempercepat penyembuhan
pasien impetigo, meskipun pada awal kunjungan diketahui lebih baik penggunaan
eritromisin oral, namun pada akhir terapi dan pada evaluasi diketahui jauh lebih
baik penggunaan eritromisin oral, namun pada akhir terapi dan pada evaluasi
diketahui jauh lebih baik mupirocin topikal dibandingkan dengan eritromisin oral
dan penggunaan mupirocin topikal memiliki sedikit failure. Mupirocin 2% topikal
(di berikan di kulit terinfeksi 2x sehari selama 3-5 hari).

b) Fusidic Acid

Tahun 2002 telah dilakukan penelitian terhadap fusidic acid yang


dibandingkan dengan plasebo pada praktek dokter umum yang diberikan pada
pasien impetigo. dapat dilihat bahwa penggunaan plasebo jauh lebih baik
dibandingkan dengan menggunakan fassidic acid.

c) Ratapamulin
Pada tanggal 17 April 2007 ratapamulin telah disetujui oleh Food and
Drug Administration (FDA) untuk digunakan sebagai pengobatan impetigo.
Namun bukan untuk yang disebabkan oleh metisilin resisten ataupun vankomisin
resisten. Ratapamulin berikatan dengan subunit 50S ribosom pada protein L3
dekat dengan peptidil transferase yang pada akhirnya akan menghambat protein
sintesis dari bakteri.
Pada salah satu penelitian yang ah dilakukan pada 210 pasien impetigo
yang berusia diantara 9 sampai 73 tahun dengan luas lesi tidak lebih dari 100 cm2
atau >2% luas dari total luas badan. Kultur yang telah dilakukan pada pasien
tersebut didapatkan 82% dengan infeksi Staphylococcus aureus. Pada pasien-
pasien tersebut diberi ratapamulin sebanyak 2 kali sehari selama 5 hari terapi.
Evaluasi dilakukan mulai hari ke dua setelah hari terakhir terapi, dan didapatkan
luas lesi berkurang, lesi telah mengering, dan lesi benar-benar telah membaik
tanpa penggunaan terapi tambahan. Pada 85,6% pasien dengan menggunakan
ratapamulin didapatkan perbaikan klinis dan hanya hanya 52,1% pasien
mengalami perbaikan klinis yang menggunakan plasebo.

b. Terapi Sistemik
Impetigo staphylococcal berespon baik dengan terapi yang tepat. Pada orang
dewasa dengan lesi berat atau lesibulosa, dicloxacillin (atau penisilin sejenis-penisilin
semisintetik resisten), 250 – 500 mg secara oral, 4 kali sehari, atau eritromisin (pada
pasien alergi penisilin), 250 – 500 mg secara oral, 4 kali sehari, biasa diberikan, dosis
pada anak 12,5-50 mg/Kg/dosis, 4 x sehari. Pengobatan sebaiknya dilanjukan selama 5 –
7 hari (10 hari jika Streptococcusdiisolasi). Pemberian azitromisin oral (pada dewasa 500
mg pada hari pertama, 250 mg per hari pada 4 hari selanjutnya) telah menunjukkan
efektivitas yang sama dengan dicloxacilin untuk infeksi kulit pada orang dewasa dan
anak-anak.
Untuk impetigo yang disebabkan oleh S. Aureus resisten eritromisin, yang
biasanya
diisolasi dari lesi impetigo anak-anak, amoksisilin ditambah asam clavulanic (25 mg/kg
BB/haridiberikan 3 kali sehari), cephalexin (40 – 50 mg/kg BB/hari), cefaclor (20
mg/kgBB/hari), cefprozil (20 mg/kg BB 1 kali sehari), atau klindamisin (15
mg/kgBB/hari 3-4 kali sehari ) diberikanselama 10 hari adalah terapi alternatif yang
efektif.Jika dicurigai gambaran CA-MRSA (Community Aquirred – Methicillin resistant
Staphylococcus aureus) TMP-SMX (Cotrimoxazole) dan rifampisin, klindamisin, dan
tetrasiklin..
Untuk impetigo yang disebabkan oleh Streptococcus, penicillin merupakan drug of
choice.
Injeksi single dose benzathine penicillin (300.000-600.000 unit untuk anak, 1,2
juta unit untuk dewasa) atau per oral (25.000-100.000 unit/kg/hari tiap 6 jam selama 10
hari). Obat lain adalah Eritromisin (30-50 mg/kg/hari po tiap 6 jam untuk anak, 250-500
mg po tiap 6 jam untuk dewasa selama 10 hari).
TOPIKAL SISTEMIK
FIRST LINE Mupirocin 2x1 Dicloxacillin 250-500mg PO 4x1 (5-7
hari)
Retapamurin 2x1 Amoxicillin plus clavulanic 25mg/kg 3x1; 250-500 mg
acid; cephalexin 4x1
Fusidic acid 2x1
SECOND Azitromycin 500mg x1, lanjut 250mg/hari
LINE selama 4 hari
(alergi
peniisilin)
Clindamycin 15mg/kg/hari 3x1
Erithromycin 250-500mg PO 4x1 (5-7
hari)
Jika curiga Mupirocin 2x1 TMP-SMX 160/800mg PO 2x1 (7 hari)
CA-MRSA
Clindamycin 15mg/kg/hari 3x1
Tetracycline 250-500 mg PO 4x1 (7 hari)
Doxycycline 100mg PO 2x1 (7 hari)

Non-medikamentosa

a. Menghilangkan krusta dengan cara mandikan anak selama 20-30 menit, disertai
mengelupaskan krusta dengan handuk basah

b. Mencegah anak untuk menggaruk daerah lecet. Dapat dengan menutup daerah yang lecet
dengan perban tahan air dan memotong kuku anak

c. Lanjutkan pengobatan sampai semua luka lecet sembuh

d. Lakukan drainase pada bula dan pustule secara aseptic dengan jarum suntik untuk
mencegah penyebaran local

e. Dapat dilakukan kompres dengan menggunakan larutan NaCl 0,9% pada impetigo
krustosa.
Penanganan dini yang dapat dilakukan oleh ibu jika mendapati anaknya dengan
tanda dan gejala impetigo yaitu :

1. Rendam bagian kulit yang sakit dalam air sabun selama 15-20 menit. Lakukan 2-3 kali
sehari untuk melunturkan kerak pada kulit.

2. Gunakan sabun obat seperti Betadin. Gosoklah kulit sakit yang mengering.

3. Oleskan salep obat seperti polysporin pada kulit yang sakit. Lakukan 2-3 kali sehari
setelah kerak pada kulit hilang.

4. Tutup kulit yang sakit dengan perban yang bersih. Jangan biarkan anak menyentuh atau
menggaruknya.

Lakukan beberapa hal berikut ini untuk menghentikan penyebaran impetigo:

a. Cuci tangan dengan sabun setelah menyentuh kulit anak yang sakit atau pakaian maupun
handuknya.

b. Cuci tangan anak sampai bersih. Potong pendek kuku tangan anak.

c. Jaga agar tangan anak tidak menyentuh hidungnya.

d. Simpan pakaian, handuk, dan barang-barang anak terpisah dengan anggota keluarga yang
lain. Cucilah dengan sabun dan air panas.

2.12. Komplikasi
Impetigo biasanya sembuh tanpa penyulit dalam dua minggu walaupun tidak diobati.
Bila tidak diobati, infeksi dapat menimbulkan komplikasi S.Aureus impetigo dengan selulitis,
lymphangitis, dan bakterimia. Produksi exfoliatin juga dapat berujung menyebabkan SSSS
(Staphylococcal Scalded Skin Syndrome) pada bayi dan dewasa dengan defisiensi imun.
Komplikasi lain berupa radang ginjal pasca infeksi Streptococcus terjadi pada 1-5% pasien
terutama usia 2-6 tahun dan hal ini tidak dipengaruhi oleh pengobatan antibiotik. Gejala
berupa bengkak tekanan darah tinggi, terdapat urin seperti warna teh. Keadaan ini umumnya
sembuh secara spontan walaupun gejala-gejala tadi muncul.

2.13. Pencegahan
Kebersihan sederhana dan perhatian dapat mencegah timbulnya impetigo. Seseorang
yang sudah terkena impetigo atau gejala-gejala infeksi/peradangan Streptococcus-β-
hemoliticus grup A (GABHS) membuthkan perawatan medik dan jika perlu dimulai dengan
pemberian antibiotik secepat mungkin untuk mencegah menyebarnya infeksi ke orang lain.
Penderita impetigo harus diisolasi dan dicegah agar tidak terjadi kontak dengan orang lain
minimal dalam 24 jam setelah pemberian antibiotik.
Adapun pencegahan yang harus di lakukan yaitu:

1. Cuci tangan segera dengan menggunakan air mengalir setelah kontak dengan pasien,
terutama apabila terkena luka.

2. Jangan menggunakan pakaian yang sama dengan penderita.

3. Bersihkan dan lakukan desinfektan pada mainan yang mungkin bisa menularkan pada
orang lain, setelah digunakan pasien.

4. Mandi teratur dengan sabun dan air (sabun antiseptik dapat digunakan, namun dapat
mengiritasi pada sebagian kulit orang yang kulit sensitive.

5. Higiene yang baik, mencakup cuci tangan teratur, menjaga kuku jari tetap pendek dan
bersih. Cuci pakaian, handuk dan sprei dari anak dengan impetigo terpisah dari yang
lainnya. Cuci dengan air panas dan keringkan di bawah sinar matahari atau pengering
yang panas. Mainan yang dipakai dapat dicuci dengan disinfektan.

6. Gunakan sarung tangan saat mengoleskan antibiotik topikal di tempat yang terinfeksi dan
cuci tangan setelah itu.

2.14. Prognosis
Secara umum prognosis dari penyakit ini adalah baik jika dilakukan pengobatan yang
teratur, meskipun dapat pula komplikasi sistemik seperti glomerulonefritis dan lain-lain. Lesi
mengalami perbaikan setelah 7-10 hari pengobatan.

BAB III
KESIMPULAN

Impetigo merupakan pioderma superfisialis yang terbatas pada epidermis. Impetigo


terbagi atas 2 bentuk yaitu impetigo krustosa dan impetigo bulosa. Impetigo krustosa merupakan
bentuk pioderma yang paling sederhana, menyerang epidermis dengan gambaran yang dominan
ialah krusta. Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan gambaran klini dari lesi. Penatalaksanaan
dapat dilakukan dengan melakukan perawatan diri, pengobatan sistemik dan topikal.
Pengenalan klinis dari impetigo tidaklah sulit karena biasanya memberikan gambaran
yang khas dan umumnya terjadi pada anak. Pemeriksaan penunjang tidak perlu dilakukan untuk
menegakkan diagnosa, akan tetapi dapat dilakukan pada pasien yang tidak respon setelah
mendapat pengobatan, sehingga dapat dilakukan kultur dan tes sensitivitas.
Terapi umumnya berupa medikamentosa dan non medikamentosa dengan prinsip tetap
menjaga higiene tubuh penderita agar tidak mudah terinfeksi penyakit kulit. Prognosis umumnya
baik. Impetigo umumnya sembuh tanpa penyulit dalam 2 minggu apabila diobati secara teratur.
Komplikasi berupa radang ginjal pasca infeksi Streptococcus terjadi pada 1-5% pasien terutama
usia 2-6 tahun dan hal ini tidak dipengaruhi oleh pengobatan antibiotik. Pengobatan utama pada
impetigo adalah pemberian antibiotik topikal. Pemberian antibiotik sistemik umumnya tidak
dianjurkan kecuali lesi sangat luas. Dari beberapa literatur dikatakan antibiotik topikal yang
paling baik diberikan pada impetigo adalah mupirocin 2% dan asam fusidat 2% selama 3 sampai
5 hari. Antibiotik sistemik yang dapat diberikan adalah amoksisilin/clavulanate (augmentin) 3 x
250-500 mg sehari selama 10 hari.

DAFTAR PUSTAKA
1. Djuanda A. Pioderma. In: Menaldi S, Bramono K, Indriatmi W, editors. Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin. 7th ed. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2018. p.71-73

2. Pioderma. In: Widaty S, Soebono H, Nilasari H, Listiawan M, Siswati A, Triwahyudi D et


al. Panduan Praktik Klinis bagi Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin di Indonesia. Jakarta;
2017. p.121

3. Ghazvini P, Treadwell P, Woodberry K, Jr E, Powery II H. Impetigo in the Pediatric


Population. Journal of Dermatology and Clinical Research [Internet]. 2017 [cited 08
Januari 2023];5(1):1092. Available from:
https://www.jscimedcentral.com/Dermatology/dermatology-5-1092.pdf

4. Nardi N, Schaefer T. Impetigo [Internet]. Ncbi.nlm.nih.gov. 2020 [cited 08 Januari


2023]. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK430974/

5. Lior Z, Lior C, Gideon C. Current Microbiological, Clinical and Therapeutic Aspects of


Impetigo. Clinical Medical Reviews and Case Reports. 2018;5(2).

6. Miller L. Superficial Cutaneous Infections and Pyodermas. In: Kang S, Amagai M,


Bruckner A, Enk A, Margolis D, McMichael A, et al, editors. Fitzpatrick’s
Dermatology In General Medicine. 9th ed. New York: McGrawHill Education LLC;
2019. p.2719-45.

7. Vesicles and Bullae. In: Marks J, Miller J, Lookingbill D, Marks J. Lookingbill and Marks'
Principles of Dermatology. 6th ed. Elsevier; 2019. p.135-38

8. Infeksi Bakteri. In: Tias M, Basuki R, Ratnaningrum K. Buku Ajar Sitim Integumen. 1th
ed. Semarang: Unimus Press; 2017. p.10

9. Bacterial Infections. In: James W, Elston D, Berger T, Andrews G. Andrews' Diseases


of the skin. 11th ed. London: Elsevier; 2011. p.251-252

10. Infeksi Bakteri. In: Hidayati A, Sari M, Alinda M, Reza N, Anggraeni S, Widia Y.
Penyakit Kulit dan Kelamin. 2nd ed. Surabaya: Airlangga University Press. p.27-29
11. Travers J. Gram-Positive Infections Associated with Toxin Production. In: Kang S,
Amagai M, Bruckner A, Enk A, Margolis D, McMichael A, et al, editors.
Fitzpatrick’s Dermatology In General Medicine. 9th ed. New York: McGrawHill
Education LLC; 2019. p.2757-58.

12. Sarah Sahraoui D. Impetigo in Children and Adolescents [Internet]. Uspharmacist.com.


2020 [cited 08 Januari 2023]. Available from:
https://www.uspharmacist.com/article/impetigo-in-children-and-adolescents

13. Pereira L. Impetigo - review. Anais Brasileiros de Dermatologia [Internet]. 2014 [cited 08
Januari 2023];89(2):293-299. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4008061/

14. Pustules. In: Marks J, Miller J, Lookingbill D, Marks J. Lookingbill and Marks'
Principles of Dermatology. 6th ed. Elsevier; 2019. p.176-79

15. Lewis L. Impetigo Clinical Presentation: History, Physical Examination, Complications


[Internet]. Emedicine.medscape.com. 2020 [cited 08 Januari 2023]. Available from:
https://emedicine.medscape.com/article/965254-clinical#showall

16. Hartman-Adams H, Banvard C, Juckett G. Impetigo: Diagnosis and Treatment [Internet].


Aafp.org. 2020 [cited 08 Januari 2023]. Available from:
https://www.aafp.org/afp/2014/0815/p229.html

17. Cordts S, Sitzman J. New-Onset Bullous Rash [Internet]. Aafp.org. 2015 [cited 08
Januari 2023]. Available from: https://www.aafp.org/afp/2015/0215/p231.html

18. Vesiculo-Bullous, Papulo-Pustular Disorders. In: Trozak D, Tennenhouse D, Russell


J. Dermatology Skills for Primary Care. Totowa, N.J.: Humana Press; 2010. p.32

Anda mungkin juga menyukai