Anda di halaman 1dari 13

1

1. Definisi

Folikulitis didefinisikan sebagai adanya sel-sel radang di dalam dinding dan
ostia folikel rambut, menyebabkan folikel berisi pustul. Folikulitis dapat
disebabkan oleh beberapa patogen yang dapat menyebabkan folikulitis yaitu
bakteri, virus dan jamur. Ketiga etiologi folikulitis ini dapat menyebabkan
folikulitis superfisialis dan folikulitis profunda. Folikulitis superfisial merupakan
inflamasi yang terjadi pada infundibulum folikel rambut. Folikulitis profunda
adalah peradangan yang sudah melewati infundibulum melibatkan perifolikel.
Folikulitis profunda ini merupakan kelanjutan dari folikulitis superfisial yang
telah menjadi kronis.
1,2,3
2. Epidemiologi
Folikulitis merupakan salah satu jenis dari pioderma. Prevalensi tertinggi
pioderma di sub Saharan Afrika diderita oleh anak-anak yaitu antara 0.2-35% dan
6.9-35% pada tahun 2005. Folikulitis dapat terjadi pada semua umur. Folikulitis
bersifat self-limiting sehingga pasien jarang datang ke dokter. Pasien yang
menderita folikulitis yang mencari pertolongan dapat disebabkan oleh folikulitis
superfisial yang persiten atau rekuren serta folikulitis profunda. Tidak ada
insidensi folikulitis secara spesifik. Folikulitis banyak diderita pada pasien dengan
riwayat bercukur, imunosupresan, penggunaan antibiotik yang lama, diabetes
mellitus dan daerah yang lembab.
3,4
3. Etiologi
Folikulitis dapat disebabkan oleh beberapa patogen yang dapat
menyebabkan folikulitis yaitu bakteri, virus dan jamur. Folikulitis bakteri dapat
disebabkan oleh Staphylococcus aureus (S.aureus), Pseudomonos aeruginosa
(P.aeruginosa), dan bakteri gram negarif. Folikulitis fungal disebabkan oleh
Dermatophyta, Pityrosporum, dan Candida sp. Folikulitis virus disebabkan oleh
virus Molluscum contangiosum dan virus Herpes simplex. Penyebab folikulitis
yang paling umum menyebabkan folikulitis adalah S.aureus. Tempat predileksi
penyakit ini yang paling sering terjadi pada kulit kepala anak-anak, leher, daerah
janggut, aksila, ekstremitas dan bokong pada dewasa.
1,2

2

4. Patogenesis
Kolonisasi oleh S. Aureus mungkin terjadi secara berkepanjangan.
Staphylococuus aureus memproduksi berbagai macam komponen dan produk
ekstraselular yang dapat berkontribusi terhadap tingkat patogenitasnya. Faktor
inang seperti imunosupresi, terapi glukokortikoid dan atopi memiliki peran besar
pada patogenesis dari infeksi staphylococcal. Adanya kerusakan jaringan
sebelumnya atau inflamasi (karena minyak ataupun pelumas dan keringat
berlebihan yang menutupi dan menyumbat saluran folikel rambut, gesekan saat
bercukur atau gesekan pakaian pada folikel rambut maupun trauma atau luka pada
kulit) adalah hal yang terpenting dalam patogenesis folikulitis karena ini
merupakan port de entry dari berbagai mikroorganisme terutama S. aureus
sebagai penyebab folikulitis. Beberapa strain S. aureus memproduksi beberapa
toksin seperti staphylococcal enterotoxins (SEA, SEB, SECn, SED, SEE, SEG,
SEH, dan SEI), toxin exfoliative (ETA dan ETB), TSS toxin-1 (TSST-1), dan
leukocidin. Toxsin ini memiliki keunikan efek yang potent pada sel imun dan efek
biologis lainnya, yang mana secara luar biasa menginhibisi respon imun inang.
TSST-1 dan enterotoxin staphylococcal juga diketahui sebagai pyrogenic toxin
superantigens. Molekul ini bereaksi dengan berikatan secara langsung untuk
secara kontitusif mengepresikan molekul HLA-DR (sebuah komplek
histocompatibility mayor type II) pada sel presenting-antigen tanpa pemrosesan
antigen. Meskipun antigen konvesional memerlukan pengenalan oleh kelima
elemen dari kompleks reseptor sel T, super antigen hanya membutuhkan region
variable dari rantai beta. Mengakibatkan, 5% sampai 30% T sel yang istirahat
mungkin diaktivasi, dimana pada antigen normal respon hanya 0,0001 sampai
0,01 persen T sel. Aktivasi T sel non spesifik menyebabkan pelepsasan sitokin
besar-besaran, terutama interlukin 2, interferon gamma, dan tumor necrosis factor
beta dari sel T dan interlukin 1 dan tumor necrosis factor alpha dari makrofag.
Stimulasi superantigen dari sel T juga menghasilkan aktivasi dan ekpansi dari
limfosit ekspressing sepesifik sel T reseptor pada rantai beta. Mereka mungkin
mengaktifkan sel B, menyebabkan peningkatan level dari IgE atau autoantibody.
Juga terdapat kejadian dimana superantigen secara selektif menginduksi limfosit
kutaneus antigen pada sel T yang membuat mereka berkumpul dikulit. Terdapat
3

beberapa mekainsme lain dimana S.Aureus lolos dari pembersihan system imun.
Sekitar 60% dari S. aureus strin, mensekresikan sekret yang merupakan inhibitor
kemotaksis protein dari staphylococci, dimana menginhibisi kemotaksis neutrofil.
Sebagai tambahan, protein A, staphylokinase, capsular polysaccaharide, pengikat
fibrinogen protein, dan clumping A factor, semua beraksi untuk menghindari dari
fagositosis dan oponiosis. Hal tersebut yang dapat meningkatkan kontribusi untuk
invasi dan membantu mempertahankan kehidupan stafilokokus dalam jaringan.
Produk-produk yang dihasilkan di dinding sel bakteri ini menimbulkan berbagai
efek pada sistem kekebalan tubuh penderita.
1,5
Produk-produk yang dihasilkan pada dinding sel ini adalah asam teichoic,
peptidoglikan dan protein A. Protein A ini membantu pelekatan bakteri pada sel
inang. Selanjutnya, bakteri akan terikat pada porsi Fc dari IgG sebagai tambahan
pada fragmen Fab pada IgE. Pada folikulitis superfisial, populasi sel neutrofil
dapat memfiltrasi pada bagian infundibulum pada folikel rambut dan mencetuskan
suatu infeksi. Ini merupakan satu contoh yang disebut sebagai suatu invasi secara
langsung.
5

Selain bakteri jamur juga mempunyai jalur untuk menyebabkan folikulitis.
Jamur ini ditemukan pada stratum korneum dan folikel pilar dimana jamur ini
menggunakan lipase dan fosfolipase jamur itu sendiri untuk menghidrolisis
trigleserida dari sebum menjadi asam lemak bebas sebagai sumber nutrisi lipid
untuk metabolismenya yang akan menyebabkan prolifesasi jamur tersebut. Jamur
merupakan organisme oportunistik yang dapat mengalami perubahan dari fase
safrofit menjadi fase patogen meselial dalam kondisi tertentu seperti peningkatan
temperatur, kulit yang berminyak, berkeringat dan imunosupresan.
1
Komponen peradangan dari Malassezia furfur memiliki banyak
kemungkinan mekanisme. Salah satu kemungkinannya adalah Malassezia
menginduksi sitokin peradangan melalui Toll-like receptor 2 (TLR 2). Sitokin-
sitokin peradangan ini diantaranya interleukin (IL) 1, IL-6, IL-8, IL-12, dan
tumor necrosis factor (TNF) sementara itu terdapat sitokin anti peradangan
yaitu IL-4 dan IL-10. Malassezia mengaktivasi kaskade komplemen baik dengan
jalur klasik dan jalur alternatif. Mekanisme patogenesis lainnya adalah
peradangan menyebabkan kerusakan fungsi barrier epitel oleh karena aktivitas
4

lipase dan fosfolipase Malassezia, sensitasi terhadap reaksi silang alergen yang
diproduksi oleh Malassezia dan faktor iritan merupakan stimulasi non
immunogenic dari sistem imun. Mekaninsme ini didukung oleh adannya
peningkatan jumlah sel natural killer (NK)1+ dan CD16+ yang ditemukan pada
biopsi dari lesi-lesi di kulit.
7
5. Tipe Folikulitis
1. Folikulitis bakteri
Folikulitis bakteri dapat disebabkan oleh bakteri S.aureus ataupun
P.aeruginosa. Folikulitis yang disebabkan oleh S. aureus terjadi akibat
trauma yang berulang seperti mencukur dan waxing. Selain itu juga dapat
disebabkan oleh pakaian yang ketat dan keringat yang berlebihan.
Folikulitis yang disebabkan oleh P. aeruginosa berasal didapatkan dari hot
tub tempat umum ataupun kolam renang umum.
6


Gambar 1. Folikulitis yang terjadi setelah melakukan waxing.
6
2. Folikulitis fungal
Pityrosporum folliculitis merupakan kelainan kulit yang berasal dari
pertumbuhan jamur Malassezia yang berlebihan. Malassezia
merupakan flora normal kulit. Malassezia biasanya ditemukan di
infundibulum dari kelenjar minyak di mana terdapat produksi lipid.
Malassezia biasa ditemukan pada kulit remaja oleh karena
peningkatan aktivitas kelenjar sebasea. Terdapat penelitian mengenai
frekuensi dan densitas kolonisasi jamur yang berkaitan dengan umur
dan aktivitas kelejar sebasea. Malassezia juga biasa ditemukan pada
5

orang yang tinggal di daerah panas dengan kelembapan yang tinggi.
Pityrosporum folliculitis lebih sering terjadi pada laki-laki.
7


Gambar 2. Papul dan pustul pada folikulitis fungal.
7
3. Folikulitis virus
Folikulitis virus merupakan kasus yang jarang. Folikulitis virus
disebabkan oleh virus herpes simplex dan virus molluscum
contagiousum yang menginfeksi struktur pilosebasea pada area
janggut pada laki-laki, dengan manifestasi klinis membetuk kelompok
papulovesikel eritematous ataum vesikel dengan delle.
2

6. Gejala Klinis
Folikulitis adalah peradangan yang disebabkan oleh proses infeksi.
Gambaran kilinis lesi folikulitis adalah pustul atau papul yang mengalami
inflamasi. Pustul berwarna kekuningan dan dikelilingi oleh eritema. Rambut
sebagai pusat lesi mungkin dapat terlihat pada bagian tengah lesi. Papul dan
pustul yang awalnya berukuran kecil dapat bertambah besar seiring dengan
aktivitas mencukur yang terus-menerus. Folikulitis profunda memiliki gambaran
lesi berupa pustul folikel yang dikelilingi oleh eritema dan pembengkakan. Lesi
folikulitis dapat ditemukan di daerah kulit kepala, wajah, daerah janggut, aksila,
badan, pantat, pubis dan ekstremitas. Lesi berupa pustul dan papul dapat bersifat
nyeri ataupun gatal. Selain itu juga terdapat gejala sistemik seperti demam dan
terdapat limpadenopati saat melibatkan penyeberan yang luas.
8,9,10
6


Gambar 3. Folikulitis di daerah leher
1
7. Diagnosa
Diagnosa ditegakkan berdasarkan anamnesa, gambaran klinis,
pemeriksaan fisik kulit. Pemeriksaan penunjang diperlukan pada kasus-kasus
yang resisten terhadap pengobatan. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan
Antara lain: kultur, pewarnaan gram, preparat KOH, dan biopsi.
3
1. Anamnesis dan Pemeriksaan fisik
Anamnesis akan ditemukan riwayat trauma yang berulang seperti
mencukur dan waxing. Selain itu juga dapat disebabkan oleh pakaian yang ketat
dan keringat yang berlebihan. Folikulitis yang disebabkan oleh P. aeruginosa
berasal didapatkan dari hot tub tempat umum ataupun kolam renang umum.
Pasien akan mengeluhkan rasa gatal atau nyeri pada lesi tersebut. Pemeriksaan
fisik kulit akan ditemukan lesi pada folikel rambut di daerah kulit kepala, dagu,
ketiak dan ektremitas. Kelainan kulit diawali dengan papul atau pustul pada
folikel rambut. Papul dan pustul yang awalnya berukuran kecil dapat bertambah
besar seiring dengan aktivitas mencukur yang terus-menerus. Folikulitis profunda
memiliki gambaran lesi berupa pustul folikel yang dikelilingi oleh eritema dan
pembengkakan. Selain itu, pasien mungkin merasakan gejala seperti demam dan
mungkin terdapat limpadenopati saat melibatkan penyeberan yang luas.
2,8,9
7


Gambar 4. Papul-papul eritematosa, diskret,diatasnya terdapat pustul.
11
2. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk folikulitis yang disebabkan oleh
bakteri yaitu kultur, pewarnaan Gram dan tes sensitivitas antibiotik. Pemerikasaan
preparat KOH digunakan untuk mengidentifikasi spesies jamur.
3
Pemeriksaan kultur

(a) (b)
Gambar 5. Kultur (a) P. aeruginosa dan (b) S. aureus
12

Pewarnaan Gram

(a) (b)
Gambar 6. Gram Staining (a) S. aureus dan (b) P .aeruginosa.
12,13

8

Pemeriksaan preparat KOH

Gambar 7. preparat KOH Malassezia menunjukkan gambaran meat ball and spagetty.
14

Pemeriksaan kultur nasal anggota keluarga diperlukan untuk mencari
kolonisasi S. aureus pada kasus-kasus kronik folikulitis. Kultur virus atau biopsi
dilakukan untuk mengindentifikasi folikulitis yang disebabkan oleh virus herpes
simplex. Biopsi lesi yang aktif perlu dilakukan pada kasus folikulitis yang atipikal
atau pada pasien-pasien dengan pengobatan standard yang resisten.
3
3. Pemeriksaan Histopatologi
Secara histologis, pada kasus folikulitis superfisial terdapat infiltrasi sel-sel
inflamasi di ostium folikuler dan di daerah folikel bagian atas. Dalam kebanyakan
kasus, peradangan awalnya terdiri dari neutrofil dan kemudian menjadi lebih
beragam dengan penambahan limfosit dan makrofag. Apabila infeksi adalah
penyebab terjadinya folikulitis, maka berbagai organisme dapat diidentifikasi
dalam folikel.
8

8. Diagnosa Banding
Penyakit folikulitis superfisial di diagnosa banding dengan :
1. Pseudofolliculitis barbae (PFB)
Pseudofolliculitis barbae (PFB) adalah kelainan akibat reaksi benda asing
terhadap rambut. Reaksi inflamasi yang terjadi lebih kecil dibandingkan dengan
folikulitis stafilokokus. Lesi kelainan ini sering dijumpai pada pipi dan leher pada
orang yang memiliki rambut yang keriting, spiral yang tumbuh ke dalam. Kondisi
ini ditemukan pada 45-83% orang berkulit hitam dan 3-5% orang berkulit putih
setelah mereka bercukur. Papul atau pustul yang merah dan lunak muncul pada
tempat masuknya bakteri dan menetap hingga bulu rambut dihilangkan.
Umumnya masalah ini lebih berat pada area leher. Pseudofolliculitis dapat muncul
9

pada area aksila, genital dan kaki. Flora normal kulit dapat terganti dengan
organisme patogen apabila perlangsungan penyakit menjadi kronis.
5


Gambar 8. Pseudofolliculitis barba.
5
2. Keratosis pilaris
Keratosis pilaris sering ditemukan pada bagian posterolateral dari lengan
atas dan anterior paha. Puncak insidens penyakit ini pada usia remaja dan
membaik setelah melewati masa tersebut. Erupsi penyakit ini berkaitan dengan
keadaan atopi. Gambaran klinis yang tampak adalah pustul folikular kecil yang
berkelompok yang menetap pada area yang sama sepanjang tahun. Gambaran
histologi menunjukkan inflamasi hanya terjadi pada bagian luar folikel rambut.
Garukan, memakai pakaian yang ketat, dan proses pengobatan yang bersifat
abrasif dapat menyebabkan infeksi pada pustul yang steril dan menyebabkan
erupsi yang bersifat difus. Keratosis pilaris resisten terhadap segala jenis
pengobatan. Antibiotik oral digunakan apabila muncul folikulitis akibat S. Aureus.
Steroid topikal digunakan apabila area lesi berubah menjadi kering dan meradang.
Krim urea (vanamide) dan pelembab asam lactic (Lac-Hydrin, AmLactin)
digunakan untuk menghaluskan kulit.
1
10


Gambar 9. Keratosis Pilaris.
1
3. Acne vulgaris
Acne vulgaris adalah penyakit peradangan menahun folikel pilosebasea
yang umumnya terjadi pada masa remaja dan dapat sembuh sendiri. Defenisi lain
Acne vulgaris adalah penyakit radang menahun dari apparatus pilosebasea, lesi
paling sering di jumpai pada wajah, dada dan punggung. Kelenjar yang meradang
dapat membentuk papul kecil berwarna merah muda, yang kadang kala
mengelilingi komedo sehingga tampak hitam pada bagian tengahnya, atau
membentuk pustul atau kista; penyebab tak diketahui, tetapi telah dikemukakan
banyak faktor, termasuk stress, faktor herediter, hormon, obat dan bakteri,
khususnya Propionibacterium acnes, Staphylococcus albus, dan Malassezia
furfur, berperan dalam etiologi.
1

Gambar 10. Acne vulgaris.
1

11

9. Penatalaksanaan
Folikulitis superfisial yang ringan sering sembuh sendiri tanpa pengobatan
atau dengan pembersih antiseptik atau antiseptik topikal dan menghindari faktor-
faktor predisposisi yang memicu terjadinya folikulitis. Pada kasus yang berat,
dibutuhkan penggunaan antibiotik topikal atau sistemik.
5

Folikulitis superfisial yang dapat diobati dengan antibakterial yang
mengandung chlorhexidine. Ointment antibakteri (bacitracin atau mupirocin 2%)
juga digunakan selama 7-10 hari terbatas pada daerah lesi. Apabila terjadi kasus
folikulitis stafilokokus yang menyebar luas pada tubuh atau rekuran mupirocin
ointment pada vestibulum hidung 2 kali sehari selama 5 hari dapat mengeliminasi
S. aureus carrier.

Anggota keluarga juga dapat menjadi carrier S. aureus
sehingga perlu juga pemberian ointment mupirocin atau rifampin 600 mg/hari
secara oral selama 10 hari. Jika diperlukan antibiotik, dikloksasilin atau golongan
sefalosporin merupakan antibiotik lini pertama. MRSA dapat diterapi dengan
antibiotik klindamisin, trimethoprim-sulfamethoxazole, minocycline, atau
linezolid.
3,10
Folikulitis fungal dapat diobati dengan pengobatan antifungal sistemik.
Pengobatan antifungal sistemik diantaranya adalah ketokonazol oral 200 mg
perhari selama 4 minggu, flukonazol oral 150 mg per minggu selama 2-4 minggu,
dan itrakonazol 200 mg perhari selama 2 minggu.
7
10. Prognosa
Folikulitis sering sembuh sendiri tanpa pengobatan atau dengan pembersih
antiseptik atau antiseptik topikal dan menghindari faktor-faktor predisposisi yang
memicu terjadinya folikulitis. Namun pada kasus yang berat dibutuhkan
penggunaan antibiotik topikal ataupun sistemik.
5







12



DAFTAR PUSTAKA

1. Craft N, Lee kp, Zipli TM, Weinberg NA, Swartz NM, Johnson AR.
Superficial Cutaneous Infections and Pyoderma. In Fitzpatricks
Dermatology General Medicine. 7
th
Ed. New york: Mc-Graw-Hill, Inc.
2008. p.1694 -31701

2. Liborija LM. 2011. Diferential Diagnosis Of The Scalp Hair Folliculitis.
Acta Clin Croat.; 50:395-402

3. Craft N, Lindy P. 2010. VisualDx: Essential adult dermatology.
Philadelpia: Lippincott Williams & Wilkins. p. 152-4.

4. World Health Organization. 2005. Epidemiology and Management of
Common Skin in Children in Developing Country.
WHO/FCH/CAH/05.12_eng.pdf. Diakses pada tanggal 25 juni 2014.

5. Hay RJ. Adriaans BM. 2010. Bacterial Infections in Rooks Textbook of
Dermatology 8
th
Edition. London: Wiley-Blackwell. P: 30.7-8, 30.22-3.

6. Goodheart, HP. 2009. Photoguide to Common Skin Disorder.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. P: 130-3.

7. Richard M. editor 2014. Malassezia (pityrosporom) folliculitis in
Dermatology Clinical Aesthetic 7(3): 37-41.

8. William RS, 2010. Inflamatory Diseases of the Dermis and Epidermis.
United Stase of America. p 76-78

9. Falco B, Plewing G. 2000. Dermatology and Venerologie. 4
th
edition.
Spinger Verlag Berlin Heidelberg New York. p 140-151

10. Fred FF. 2009. Bacterial Skin Infection In Ferris Color Atlas and Text of
Clinical Medicine. London: Saundes Elsevier. P. 139


11. Joe L, Sarah F, Andrew J. 2012. Attenuated Virulence and Bioflm
Formation in Staphylococcuc Aureus Folloing Sublethal Exposure to
Triclosan ;56:3092-3100

12. Jeanne MM, Jenna MR, Lucas CR, Steven R, Weishalla, Melissa MW.
2009. A Compariso of Heat Versus Methanol Fixation for Gram
Staining Bacteria;35:36-28

13

13. Hossain MG, Saha S, Rahman MM, Singha JK, Mamun AA. 2013.
Isolation Identification and Antibiogram Study of Pseudomonas
Aeruginosa from Cattle in Bangladesh;3(7);180-185

14. Shuaibu I. Hauwa S, Fatima UM, Muhd MM. 2013. Creener Journal
of Microbiology and Antimicrobials Vol 1 (1): p 2-4

Anda mungkin juga menyukai