Anda di halaman 1dari 7

Dasar Penyakit Bakteri

Terhadap bakteri, tubuh manusia merupakan kumpulan tempat lingkungan yang memberi
kehangatan, moisture, dan makanan yang penting untuk pertumbuhan. Bakteri mempunyai
genetic traits yang mempu masuk (menyerang) lingkungan, tetap di sini (melekat atau
kolonisasi) mendapat kentungan dari sumber makanan (degradative enzymes), dan lepas dari
klirens oleh protektif respons imun/ respons nonimun pejamu (misalnya kapsul). Celakanya
banyak mekanisme bakteri memakai tempat dan produk pertumbuhan bakteri (misalnya
asam, gas) dan menyebabkan kerusakan serta problem pada pejamu manusia. Banyak genetic
trait ini sebagai factor virulen yang memperbesar kemampuan bakteri untuk menyebabkan
penyakit. Walau banyak bakteri menyebabkan penyakit karena langsung merusak jaringan,
beberapa bakteri melepaskan toksin yang menyebar melalui darah menyebabkan patogenesis
luas (Boks 1.2.1). struktur permukaan bakteri merupakan stimulator yang kuat terhadap
respons imun pejamu (fase akut: IL-1, IL-6, TNF)-dapat sebagai protektif tetapi seting
bermakna menyebabkan gejala penyakit (misalnya sepsis).

Boks.

Tidak semua bakteri atau infeksi bakteri menyebabkan penyakit. Tubuh manusia
dikolonisasi bermacam mikrob (flora normal) banyak berperan fungsi penting pejamu. Flora
normal bakteri membantu dalam mencerna makanan, menghasilkan vitamin (misalnya
vitamin K), dan dapat mencegah pejamu dari kolonisasi mikrob pathogen. Walau banyak
endogen bakteri dapat menimbulkan penyakit, bakteri ini normal tinggal di lokasi seperti
gastrointestinal, kulit, dan saluran nafas atas yang secara teknik berada di luar tubuh (Gambar
1.2.1). Flora normal bakteri menyebabkan penyakit bila masuk ke tempat tubuh yang secara
normal steril. Bakteri virulen mempunyai mekanisme merangsang pertumbuhan pejamu yang
mengganggu jaringan atau fungsi organ. Penyakit terjadi karena kerusakan atau hilangnya
jaringan atau fungsi organ atau timbulnya respons inflamasi pejamu. Opportunistic bacteria
mengambil keuntungan dari keadaan ini dengan memperbesar kerentanan pasien, seperti
imunosupresi, untuk tumbuh dan menyebabkan penyakit yang lebih serius. Misalnya
Pseudomonas aeruginosa menginfeksi korban luka bakar dan paru-paru pasien cystic fibrosis
serta pasien acquired immune deficiency syndrome (AIDS) yang sangat rentan terhadap
infeksi yang disebabkan oleh pertumbuhan bakteri intraseluler, seperti Mycobacteria.
Tanda dan gejala penyakit (signs and symptoms) ditentukan oleh fungsi jaringan yang
terkena. Respons sistemik dihasilkan oleh pembentukan toksin dan sitokin dalam respons
terhadap infeksi. Beratnya penyakit bergantung pada pentingnya organ yang terkena dan
luasnya kerusakan yang disebabkan infeksi. Infeksi system saraf pusat selalu serius.
Strainbbakteri dan inoculum size juga merupakan factor utama apakah terjadi penyakit –
dapat bervariasi dari inoculum relative kecil (misalnya kurang dari 200 Shigella untuk
shigellosis) sampai inoculum sangat luas *misalnya 108 Vibrio cholerar satau organisnme
Campylobacter untuk infeksi saluran pencernaan). Faktor pejamu juga penting (misalnya
walau jutaan atau lebih organisme Salmonella diperlukan untuk terjadi gastoenteritis pada
orang sehat, hanya beberapa ribu organisme diperlukan pada orang dengan pH gaster netral).

Gambar 1.2.1

Bakteri masyk ke dalam tubuh manusia


Agar infeksi dapat ditegakkan, bakteri pertama harus masuk ke dalam tubuh (Gambar
1.2.1 dan Tabel 1.2.1). Mekanisme pertahanan natural dan barrier, seperti kulit, mucus, silia
epitel, dans ekresi mengandung substansi antibakteri (misalnya lisozim) menyebabkan
bakteru sukar masuk ke dalam tubuh. Kadang-kadang barrier ini terganggu membuat portal
of entry bakteri sehingga bakteri menyerang tubuh dan masuk ke dalam aliran darah serta
tempat lain. Kulit mempunyai lapisan sel mati yang keras dan tebal serta melindungi tubuh
dari infeksi. Staphylococcus aureus dan Staphylococcus epidermidis merupakan bagian flora
normal kulit yang dapat masuk ke dalam tubuh melalui breaks pada kulit. Mulut, hidungk
saluran nafas, telingan, mata, saluran kemih, dan anus merupakan tempat bakteri dapat masuk
ke dalam tubuh. Lubang natural pada kulit dan rongga tubuh diproteksi oleh pertahanan
natural seperti mucus dan epitel bersilia yang melindungi saluran napas atas dan lisozim serta
sekresi antibakteri lain dalam airmata dan mukus, serta asam empedu dalam saluran cerna.
Membran luar bakteri Gram negative membuat bakteri lebih resisten terhadap lisozim, asam,
dan empedu. Bakteri endogen normalnya benigna dan terbatas dalam rongga tubuh yang
dikolonisasi, tetapi dapat masuk ke tempat tubuh normal lain yang steril (peritoneum, aliran
dataj) melalui break barrier normal.

Table 1.2.1.

Kolonisasi, adhesi, dan invasi


Saluran cerna secara natural dikolonisasi bakteri benigna dan potensial
menguntungkan. Pada beberapa kasus, kondisi lingkungan menentukan bakteri yang dapat
atau akan berkolonisasi. Misalnya Legionella tumbuh dalam paru-paru tetapi tidak dengan
mudah menyebar karena tidak dapat tahan terhadap temperature tinggi (misalnya 35 C).
pasien cystic fibrosis mempunyai defek seperti itu karena berkurangnya fungsi silia
mukoepitel dan perubahan sekresi mukosa – sebagai akibatnya paru-paru dikolobi oleh S.
aureus dan P. aeruginosa. Bakteri dapat memakai mekanisme spesifik untuk melekat dan
tinggal pada permukaan tubuh yang berbeda. Jika bakteri dapat melekat dapa sel epitel atau
sel endotel kandung kencing, usus, dan pembuluh darah, mereka tidak dapat dikeluarkan
sehingga menyebabkan kolonisasi di dalam jaringan. Escherichia coli dan bakteri lain
mempunyai adhesin yang terikat pada reseptor spesifik permukaan jaringan dan tahan
terhadap washed away (penghanyutan). Banyak protein adhesin terdapat pada ujung fimbira
(pili) yang terikat dengan gula spesifik pada jaringan target. Misalnya kebanyakan strain E.
coli yang menyebabkan pieloneftritis mengehasilkan fimbrial adhesin disebut P fimbriae.
Adhesin ini dapat terikat pada reseptor untuk. (Gal-Gal), yang merupakan bagian struktur
antigen P blood group pada eritrosit manusia dan sel uroepitel. Pili Neisseria honorrhoeae
juga sebagai factor virulensi penting yang terikat pada reseptor oligosakarida sel epitel.
Organisme Yersinia, Bordetella pertussis, dan Mycoplasma pneumoniae mengekspresikan
protein adhesin yang tidak ada fimbriae. S. pyogenes memakai lipoteichoic acid dan protein F
(terikat pada fibronectin) untuk terikat pada sle epitel.
Adaptasi bakteri khusus yang memudahkan kolonisasi, terutam alat-alat operasi
seperti katip atau indwelling catheter, adalah biofilm yang dihasilkan oleh bakteri. Bakteri
pada biofilm terikat dalam selaput polisakarida lengket yang terikat Bersama pada sel dan ke
permukaan. Beberpa bakteri seperti Psesudomonas aeruginosa merupakan bakteri yang cukup
untuk membuat biofilm dan mencetuskan komunitas bakteri. Matriks biofilm juga dapat
melindungi bakteri dari pertahanan pejamu dan antibiotic.
Bakteri tidak mempunyai mekanisme yang mampu melintasi kulit, beberapa bakteri
dapat menyeberang membran mukosa dan barrier jaringan lain untuk masyk ke tempat
normal yang steril dan jaringan yang lebih rentan. Bakteri invasive ini menghancurkan barrier
dan atau menembus sel barrier. Shigella, Salmonella, dan Yersinia adalah bakteri enteric
yang memakai fimbria untuk melekat pada sel M (microfold) kolon dan menyuntikkan
protein ke dalam sel M yang merangsang membran sel sekelilingnya dan menangkap bakteri.
Shigella dapat menyebar ke sel yang berdekatan. Salmonella dapat lewat ke tempat lain dan
memulai infeksi sistemil.
Salmonella spp. Dan strain enteropathigenic E. coli mengode protein untuk virulensi
dalam pathoigenicity islands dari deoxyribonucleic acid (DNA). Pathogenicity islands adlaah
regio kromosom luas yang terdiri dari set gen yang mengode bermacam faktor virulen. Dalam
banyak kasus proses virulensi memerlukan korrdinasi ekspresi beberapa gen yang dikode
dalam pathogenicity island. Gen ini dapat dipengaruhi oleh stimulus tunggal (misalnya
temperature usus, pH lisosom) dan dapat ditransfer sebagai unit ke tempat lain di dalam
koromosom atau kepada bakteri lain. Pathogenicity islands didapat dalam bakteri lain
mengode set gen virulen yang berbeda.

Respon imun terhadap bakteri ekstraseluler


Bakteri ekstrasel adalah bakteri yang bereplikasi di luar sel tubuh. Kelompok bakteri
ini bereplikasi di dalam sirkulasi tubuh, jaringan ikat ekstrasel, serta di berbagai ruang di
antara jaringan, seperti saluran nafas dan lumen intestinal. Sebagian besar bakteri masuk
dalam kelompok bakteri ekstrasel atau sebagian bakteri saat sebelum menginvasi sel pejamu.
Beberapa bakteri ektraseluler bahkan tidak melakukan penetrasi ke dalam jaringan tubuh
(misalnya V. cholera), melainkan melekat pada permukaan epitel dan menyebabkan penyakit
dengan menyekresi toksin. Bakteri ekstraseluler utama antara lain adalah Haemophilus
influenza, Pseudomonas aeruginosa, Staphylococcus aureus, Streptococcus pyogenes,
Enterotoxigenic Escherichia coli, Mycoplasma spp, Bacillus anthracis, Vibrio cholera, dan
Clostridium tetani.
Bakteri ekstrasel menyebabkan penyakit melakui 2 mekanis dasra, yaitu menginduksi
inflamasi yang mengakibatkan kerusakan jaringan di sekitar tempat infeksi dan dengan cara
memproduksi toksin patologis. Respons imun terhadap bakteri ekstrasel bertujuan
mengeliminasi bakteri dan menetralisasi efek toksinnya. Mekanisme imun alami dan adaptif
terhdap infeksi bakteri adlah berdasarkan pengenalan struktur bakteri. Pathogen-associated
moleculer pattern (PAMP) yang ada di permukaan sel bakteri akan dikenali oleh pattern
recognition receptor (PRR) yang ada di sel-sel imun

1. Respons Imun Alami Bakteri Ekstraseluler


Mekanisme imun alami (innate) sangat ekfektif untuk menghadapi infeksi bakteri
ekstraseluler. Untuk dapat melewati respons imun ini, bakteri membutuhkan
virulence factors dan underlying conditions yang mendukung untuk menjadi
infeksi yang menyebar dan memberat. Barrier fisik seperti kuliit dan mukosan
selalu menjadi penghalang pertama bakteri masuk ke dalam tubuh. Respons imun
innate lain dipaparkan sebagi berikut.
a. Protein dan peptide antimikroba. Lysozyme merupakan enzim antibakteri yang
terdapat di sekresi mukosa, air mata, dan saliva yang dapat menghancurkan
peptidoglikan dinding sel bakteri. Enzim lainnya adalah protease dan
peroxidase yang juga ada di sekresi mukosa. Protein lain yang memiliki
aktivitas antimikroba adalah laktoferin. Peptide antimikroba seperti defensin
ditemukan dalam granula sitoplasmik sel fagosit. Peptide ini dapat masuk ke
dalam membrane bakteri dan menyebabkan bakteri lisis.
b. Collectins, ficolins, dan pentraxins. Collectins (mannose-binding lectin
(MBL), surfactant protein A (SP-A), surfactant protein D (Sp-D)), pentaxins,
dan ficolins merupakan PRR terlarut yang dapat mengenali molekul
karbohidrat mikrob untuk kemudian memicu respons pertahanan tubuh. MBL
berikatan dengan bakteri Gram-positif dan Gram-negatif seperti
Staphylococcus aureus, Mycobacterium avium, Salmonella so., Neisseria
meningitidis, dan Neisseria gonorrhoeae, dan mengaktivasi system
komplemen serta berperan sebagain opsonin untuk memicu fagositosis oleh
makrofag. Ficolin dapat berikatan dengan lipopolysaccharide (LPS) bakteri
dan mengaktivasi jalur komplemen. C-reactive protein (CRP) adalah salah
satu pentraxin yang merupakan protein fase akut, yang dapat mengenali
polisakarida bakteri untuk kemudia mengaktivasi jalur komplemen.
c. Komplemen. Aktivasi komplemen dapat diinisiasi lewat 3jalur, jalur
alternative dan jalur lektin merupakan bagian dari imun innate, sedangkan
jalur klasik membutuhkan respons spesifik antibody. Ketiga jalur ini akan
berujuang pada jalur lisis (lythic pathway). Jalur lektin dimulai sejak MBL
berikatan dengan molekul karbohidrat di permukaan bakteri. Jalur lisis
berakhir pada terbentuknya membrane attack complex (MAC). MAC dapat
masuk ke dalam lapisan lipid bilayer dan menghancurkan barrier permeabilitas
membrane sel bakteri. Dinding sel bakteri Gram-negatif suseptibel (dapat
dihancurkan) terhadap MAC, namun bakteri Gram-positif tidak memiliki outer
mebrane dan memiliki lapisan peptidoglikan yan tebal sehinggal bakteri
Gram-positif tidak dapat dihancurkan oleh system komplemen.
d. Toll-like receptor (TLR) dan Nod-like receptor (NLR). TLR dan NLR
merupakan signaling PRR yang dapat beirkatan dnegan bakteri. Setelah TLR
traktivasi, sel-sel fagosit, serperti makrofag, akan menghasilkan sitokin
proinflamasi seperti IL-1, IL-6, dan tumor necrosis factor alpha (TNF-) serta
IL-8 sehingga terjaid rekasi inflamasi yang dapat melisiskan bakteri dan
menghambat perluasan bakteri.
e. Reaksi inflamasi dan fagositosis. Interaksi antara bakteri dan sel imun innate
memicu respons infalamsi yang dapat membunuh bakteri. Reaksi inflamasi
akan mengundang sel-sel fagosit dating ke tempat infeksi. Sel fagosit
merupakan sel-sel imun innate yabg dapat memakan dan membunuh bakteri.
Sel-sel fagosit ini memilii banyak reseptor di permukaannya yang dapat
mengenali bakteri dan juga berperan dalam opsonisasi. Reaksi opsonisasi ini
menjembatani antara respons imun innate dan adaptif. Sel-sel fagosit juga
memproduksi nitrit oksida yang dapat menghancurkan DNA bakteri. Sel
neutofil dapat mengkan bakteri dengan membentuk struktur neutrophils
extracellular trap (NET) yang berisi peptide dan enzim bakteri. NET ini dapat
membunuh kuman S. aureus, Streptococcus penumoniae, S. pyogenes,
Shigella spp., dan Salmonella enterica serovar Typhimurium.

2. Respon Imun Adaptif Bakteri Ekstraselular


Penangkapan antigen bakteri oleh antigen-presenting vells (APCs) dan
presentasinya kepada sel Th merupakan langkah pertama terjadinya respon imun
spesifik (adaptif). Sel Th yang teraktivasi akan memicu maturase sel limfosit B
yang kemudian dapat memproduksi antibody. Sel Th teraktivasi ini juga penting
untuk reaksi cell-mediated immunity (CMI) Bersama sel T sitotoksik.
a. Pengenalan antigen oleh sel T-helper. Pathogen yang ditangkap oleh APC
akan diproses dengan jalur eksogen dan dipresentasikan ke permukaan sel oleh
molekul MHC kelas II yang kemudian akan dikenali dan diikat oleh reseptor
TCR sel CD4+ T-helper. Sel T-helper yang teraktivasi akan berdiferensiasi
menjadi Th1 atau Th2. Sel Th1 akan memproduksi IL-2, IFN-, dan TNF-,
sedangkan sel Th2 akan memproduksi IL-4, IL-5, IL-10, dan IL-13. Karena
IL-2 dibutuhkan untuk aktivasi sel sitotoksik CD8+ dan IFN dibutuhkan untuk
aktivasi sel makrofag, maka Th1 penting untuk respons imun pathogen
intrasel. IL-4 da IL-5 dibutuhkan sel B teraktivasi untuk berdiferensiasi
menjadi sel plasma yang dapat memproduksi antibodi.
b. Respons antibody. Sel limfosit B dapat langsung berinteraksi dengan antigen
melalui perantaraan B-cell recptor (BCR). Setelah berikatan dengan reseptor
ini, antigen akan diendositosis dan diproses, dimana sel B berperan sebagai
APC yang mempresentasikan antigen tersebut sebagai kompleks Bersama
MHC kelas II kepada sel limfosiit T-helper melalui T-cell receptor (TCR).
Ikatan ini akan mengaktifkan sel B dan menginduksi isotype switching
immunoglobulin untuk menghasilkan immunoglobulin IgM, IgG, IgE, IgA,
dan IgD.
Beberapa bakteri memiliki antigen yang T-independent (TI), artinya antigen
bakteri tersebut tidak dapat diproses oleh APC dan dengan demikian tidak
dipresentasikan kepada sel T-helper, namun mereka tetap dapat mengaktivasi
sel B. LPS dan flagellin termasuk dalam antigen TI. Antigen TI tidak dapat
membentuk sel memori, tetapi respons imun terhadap antigen TI tetap penting
untuk beberapa bakteri pathogen.
c. Superantigen. Superantigen bakteri merupakan protein toksin yang
menginduksi aktivasi system imun secara massif. Superantigen tidak
mengalami endositosis dan tidak diproses olej APC, namun langsung
berikatan dengan MHC kelas II dari APC dan TCR. Sitokin yang dilepaskan
akibat respons dari eksotoksin superantigen S. aureus dan S. pyogenes dapat
menyebabkan toxic shock syndrome.
d. Cell-mediated immunity. Respons cell-mediated immunity (CMI) diperankan
oleh Th1 dan sel T sitotoksik CD8+. Sitokin yang diproduksi Th1
meningkatkan fungsi bakterisidal makrofag dan mengaktivasi neutofil. Rspns
CMI diinisiasi oleh APC yang mempresentasikan kompleks MHC kelas II-
peptida kepada TH1 dan kompleks MHC kelas I-peptoda kepada sel CD8+.
Sel Th1 mengaktifkan CTL dan penting untuk pembentukan sel memori
CD8+. Sitokin yang diproduksi sel Th1, seperti TNF-, mengaktivasi sel
endotel mikrovaskular yang kemudian berperan dalam reaksi hipersensitivitas
tiper lambat (delayed-type hypersensitivity). Sel-sel ibfiltrat yang terbentuk
terutama adalah makrofag yang teraktivasi. Reaksi ini terjadi pada jaringan
yang mengalami inflamasi. Reaksi DTH kemudian dapat menjadi kronis dan
membentuk granuloma. Contoh dari reaksi ini adalah infeksi M. tuberculosis.

Respons imun bakteri intraseluler


Sejumlah bakteri hidup dan bereplikasi di dalam sel tubuh. Kelompok bakteri
ini dapat terhindar atau tidak terjangkau oleh respons imun antibody maupun
komplemen sehingga memerlukan mekanisme lain untuk mengeliminasinya.
Bakteri intraselular dibagi menjadi 2 kelompok, yaotu bakteri intraselular
fakultatif dan intraselular obligat. Bakteri intraseluler fakultatif mengivasi sel
pejamu bila hal tersebut menguntungkan bagi bakteri. Bakteri yang masuk dan
bertahan hidup dalam sel eukariot akan terhindar dari antibody humoral dan
hanya dapat dieliminasi oleh respons imun seluler. Contoh bakteri intraselular
fakultastif adalah Legionella pneumophilla, R. rickettsia, Mycobacterium
tuberculosis, Listeria monocytogens, Salmonella spp., invasive Escherichia
coli, Neisseria spp., Brucella spp., dan Shigella spp. Bakteri intraseluler
obligat tidak dapat hidup di luar sel pejamu. Misalnya, Chlamidia sepenuhnya
bergantung pada ATP sel pejmau. Bakteri intraseluler obligat lainnya adalah
Mycobacterium leprae, Coxiella burnetti, dan Rickettsia spp.
1. Respons Imun Alami Bakteri Intraseluler
Sel-sel imun utama yang terlibat dalam mekanisme respons imun alami
bakteri intraseluler ada sel NK dan sel-sel fagosit (terutama makrofag dan
limfosit). Bakteri intrasel mampu hidup dan berkembang biak di dalam sel
fagosit dan tidak dapat terjangkau oleh antibody. Bakteri intrasel pertama
kali dimakan oleh neutrophil, tetapi usaha ini tidak dapat menghancurkan
sel bakteri. Setelah neutrophil, tugas ini diambil alih oleh makrofag.
Makrofag yabg teraktivasi akan memproduksi IL-12 yang merupakan
activator poten sel NK> setelah sel NK teraktivasi, akan memproduksi
IFN- yang kemudian akan mengaktifkan lebih banyak sel makrofag.
Kedua sel ini, NK dan makrofag, bekerja sama untuk menghambat
pathogen intraseluler. Respons imun alamiah terhadap bakteri intraseluler
hanya dapat mengurasi populasi bakteri. Untuk dapat mengeliminasi
seluruh bakteri intrasel, siperlukan respons imun adaptif. Respons imun
alami setelah infeksi M. tuberculosis diinisiasi oleh pengenalan komponen
M. tuberculosis oleh PRR (dalam hal ini TLR). DNA strain
Mycobacterium bovis, yaotu bacillus Calmette-Guerin (BCG), memiliki
kemampuan untuk meningkatkan aktivitas sel NK dan menginduksi IFN
tipe I. fagositosis mikrobakterium pengenalan oleh PRR ini mengaktifkan
makrofag. Maturase fasgosom merupakan aspek penting dalam upaya
untuk mengeliminasi bakteri intraseluler. Reaksi autophagy juga terlibat
dalam respns imun terhadap bakteri intraseluler yang ada dalam fagosom.
2. Respons Imun Adaptif Bakteri Intraseluler
Respons imun adaptif utama terhadap bakteri interseluler adalah imunitas
seluler. Responsi ini terjadi melalui 2 cara, yaotu dengan aktivasi
makrofag dan sel limfosit sitotoksisk CD8+. Sel CD4+(Th) dan CD8+(Tc)
berpera dalam respons imun ini. Setelah MHC kelas II berikatan dengan
antigen yang dipresentasikan oleh APC kepada Th, tipe sel Th yang
diaktifkan bergantung pada sitokin yang dilepaskan oleh APC. IL-1 yang
dihasilan APC akan mengaktifkan Th2, sedangkan IL-2 akan
mengkatifkan Th1. Th1 teraktivasi akan memproduksi Il-2, IF-, dan TNF-,
yang mengaktivasi sel CD8+ sehingga dapat membunuh sel yang terinfeksi
bakteri. IFN- merupakan sitokin yang penting untuk aktivasi makrofag.
Bila subset Th2 yang teraktivasi makan banyak sitokin seperti IL-10, IL-4,
dan IL-3, Il-4, dan IL-3 yang diproduksi Th2 penting untuk aktivasi sel B
untuk memproduksi antibody.
Sel limfosit B mengatus respons imun tehadap M. tuberculosis dengan
beberapa cara (a) Sel B berperan sebagai APC untuk berinteraksi dengan
sel T, terutama di germinal center (GC). Interaksi ini menyebabkan
ekspansi sel B. somatic hypermutation, matuasi afinitas (affinity
maturation), class switching imunoglonulin, serta pemberntukan sel B
memori dan sel plasma penghasil antibody. (b) sel B menghasilkan sitokin
yang menyebabkan diferensiasi sel T dan meningkatkan fungsi sel-sel
efektor imun. (c) sel B menghasilkan antibody yang mengatur baik respons
imun alami maupun adaptif. Antibody spesifik terhadap M. tuberculosis
melakukan opsonisasi bacillus extrasel, membentuk komplek imun yang
mengaktifkan komplemen, dan mengikat fc respetor dari sel-sel efektor
sehinggal mengaktifkan fungsi sel-sel efektor tersebut termasuk sel T.

Anda mungkin juga menyukai