PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Gagal ginjal akut (GGA) adalah sindroma klinis dimana terjadi penurunan fungsi ginjal
mendadak dengan akibat hilangnya kemampuan ginjal untuk mempertahankan homeostasis
tubuh. Akibatnya terjadi peningkatan metabolit persenyawaan nitrogen seperti ureum,
kreatinin dan gangguan keseimbangan cairan, elektrolit, dan asam basa.(1–4)
Kejadian GGA pada anak yang dirawat di rumah sakit semakin meningkat. GGA terjadi
pada 2-3% anak yang dirawat di pediatric tertiary care centers dan 3-10% dari bayi yang
dirawat di neonatal intensive care units (NICU).(1,3,5) Penelitian pada neonatus, insidensi
GGA berkisar dari 8% hingga 24% dari bayi baru lahir. Insidensi GGA pada bayi baru lahir
di negara berkembang yaitu sebesar 3.9/1000 kelahiran hidup dan 34.5/1000 neonatus yang
dirawat di bagian perinatologi.(2)
Di Indonesia, angka kejadian GGA juga cenderung meningkat. Bila menggunakan
kriteria kebutuhan terapi pengganti ginjal (renal replacement theraphy), angka kejadian GGA
di Pediatric Intensive Care Unit (PICU) kurang dari 1-2%, tetapi apabila menggunakan
kriteria peningkatan kadar kreatinin serum dua kali lipat, maka jumlah meningkat menjadi 1-
21%. GGA cenderung meningkatkan lama rawat di Pediatric Intensive Care Unit (PICU)
maupun di rumah sakit, dan dilaporkan memiliki angka kematian sampai 46% pada anak
dalam kondisi sakit kritis, atau 4-5 kali lebih tinggi risiko kematiannya. Angka kejadian GGA
pada anak juga mengalami pergeseran etiologi dari yang dahulu terutama disebabkan oleh
penyakit ginjal primer, saat ini lebih banyak disebabkan berbagai penyakit lain di luar ginjal,
misalnya sepsis, serta dapat pula timbul sebagai komplikasi tindakan seperti pada pasien
operasi bypass kardiopulmonal.(4)
Dari berbagai alasan dan penjelasan inilah, penulis ingin mengangkat pendekatan
diagnosis dan penatalaksanaan gagal ginjal akut pada anak.
1
Referat ini diharapkan dapat bermanfaat dalam memberikan informasi dan pengetahuan
tentang diagnosis dan penatalaksanaan gagal ginjal akut pada anak.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Gagal Ginjal Akut (GGA) adalah sindroma klinis dimana terjadi penurunan fungsi ginjal
mendadak dengan akibat hilangnya kemampuan ginjal untuk mempertahankan homeostasis
tubuh. Akibatnya terjadi peningkatan metabolit persenyawaan nitrogen seperti ureum,
kreatinin dan gangguan keseimbangan cairan, elektrolit, dan asam basa. (1–4)
2.2. Epidemiologi
Terdapat peningkatan insidensi GGA pada anak yang dirawat di rumah sakit. Penyebab
tersering terjadinya AKI pada anak yang dirawat di rumah sakit terletak pada tindakan post-
bedah jantung dan pada anak yang menjalani transplantasi stem cell. GGA pada pasien
tersebut sering terjadi karena berbagai faktor, dimana cedera iskemik/hipoksia dan
nefrotoksik disebut sebagai kontributor tersering dalam menyebabkan GGA.(2)
Kejadian GGA pada anak yang dirawat di rumah sakit semakin meningkat. AKI terjadi
pada 2-3% anak yang dirawat di pediatric tertiary care centers dan 3-10% dari bayi yang
dirawat di neonatal intensive care units (NICU).(1,3,5)
GGA karena hipoksia/iskemik dan nefrotoxic-induced merupakan penyebab yang sering
pada pasien neonatus, anak, dan remaja. Penelitian pada pasien pediatrik pada rumah sakit
tersier, 227 pasien menjalani dialisis dalam interval 8 tahun untuk keseluruhan insidensi yaitu
sebesar 0.8 per 100.000 dari total populasi. (2)
Insidensi GGA berkisar dari 8% hingga 24% dari bayi baru lahir, dan GGA sering
ditemukan pada neonatus yang menjalani pembedahan jantung. Neonatus dengan asfiksia
berat memiliki tingkat insidensi GGA yang tinggi, sedangkan neonatus dengan asfiksia
sedang lebih jarang menderita GGA. (2) Insidensi GGA pada bayi baru lahir di negara
berkembang yaitu sebesar 3.9/1000 kelahiran hidup dan 34.5/1000 neonatus yang dirawat di
bagian perinatologi. Beberapa penelitian menunjukan bahwa, sebagai tambahan dari faktor
lingkungan, mungkin terdapat faktor risiko genetik untuk terjadinya GGA pada neonatus dan
anak.(2)
Di Indonesia, angka kejadian GGA juga cenderung meningkat. Bila menggunakan
kriteria kebutuhan terapi pengganti ginjal (renal replacement theraphy), angka kejadian GGA
di Pediatric Intensive Care Unit (PICU) kurang dari 1-2%, tetapi apabila menggunakan
kriteria peningkatan kadar kreatinin serum dua kali lipat, maka jumlah meningkat menjadi 1-
21%. GGA cenderung meningkatkan lama rawat di Pediatric Intensive Care Unit (PICU)
3
maupun di rumah sakit, dan dilaporkan memiliki angka kematian sampai 46% pada anak
dalam kondisi sakit kritis, atau 4-5 kali lebih tinggi risiko kematiannya. Angka kejadian GGA
pada anak juga mengalami pergeseran etiologi dari yang dahulu terutama disebabkan oleh
penyakit ginjal primer, saat ini lebih banyak disebabkan berbagai penyakit lain di luar ginjal,
misalnya sepsis, serta dapat pula timbul sebagai komplikasi tindakan seperti pada pasien
operasi bypass kardiopulmonal.(4)
Jika ginjal dibagi dua dari atas ke bawah, dua daerah utama yang dapat digambarkan
yaitu korteks di bagian luar dan medula di bagian dalam. Medula ginjal terbagi menjadi
beberapa massa jaringan berbentuk kerucut yang disebut piramida ginjal. Dasar dari setiap
piramida dimulai dari perbatasan antara korteks dan medula serta diakhiri pada papila, yang
menonjol ke dalam ruang pelvis ginjal, yaitu sambungan berbentuk cerobong dari ujung akhir
ureter. Perbatasan pelvis sebelah luar terbagi menjadi kantong dengan ujung terbuka yang
4
disebut kalises mayor, yang meluas ke bawah dan terbagi menjadi kalises minor, yang
mengumpulkan urin dari tubulus setiap papila. Dinding kalises, pelvis, dan ureter terdiri dari
elemen-elemen kontraktil yang mendorong urin menuju kandung kemih.(6)
5
Gambar 2. Pembuluh darah utama yang menyuplai aliran darah ginjal dan bagan dari
mikrosirkulasi nefron(6)
Masing-masing ginjal pada manusia mempunyai sekitar 1 juta nefron, yang mampu
membentuk urin. Ginjal tidak mampu meregenerasi nefron baru. Oleh sebab itu, dengan
cedera ginjal, penyakit, atau proses penuaan normal, terjadi penurunan perlahan-lahan jumlah
nefron. Setelah usia 40 tahun, jumlah nefron yang berfungsi biasanya menurun sekitar 10%
setiap 10 tahun; dengan demikian, saat usia 80 tahun, banyak orang mempunyai 40% lebih
sedikit jumlah nefron yang berfungsi daripada saat usia mereka 40 tahun. Kehilangan ini
bukanlah suatu ancaman kehidupan karena perubahan yang adaptif pada nefron yang tersisa
memungkinkan mereka mengekskresikan jumlah air, elektrolit, dan hasil limbah yang cukup.6
Masing-masing nefron mempunyai (1) kapiler glomerulus yang disebut glomerulus,
melalui ini sejumlah besar cairan difiltrasi dari darah, dan, (2) sepanjang tubulus dimana
cairan yang telah difiltrasi dikonversi menjadi urin menuju pelvis ginjal (Gambar 3).6
6
Gambar 3. Segmen tubulus dasar nefron(6)
7
ginjal menuju ke sirkulasi di seluruh tubuh. Sejumlah kecil tetap berada dalam cairan lokal
ginjal dan mengawali bebarapa fungsi internal.(6,7)
Renin bekerja secara enzimatik pada protein plasma lain, yaitu suatu globulin yang
disebut bahan renin (angiotensinogen) untuk melepaskan peptide asam amino-10, yaitu
angiotensin-I yang memiliki sifat vasokonstriktor ringan. Renin menetap dalam darah selama
30 menit sampai 1 jam dan terus menyebabkan pembentukan angiotensin I selama sepanjang
waktu tersebut.(6,7)
Dalam beberapa detik sampai menit setelah pembentukan angiotensin I, dua asam
amino tambahan dipecah dari angiotensin I untuk membentuk angiotensin II peptide asam
amino-8. Perubahan ini hampir seluruhnya terjadi di paru-paru sewaktu darah mengalir
melalui pembuluh kecil pada paru-paru, yang dikatalisis oleh Angiotensin Converting
Enzyme yang terdapat di endotelium pembuluh paru.(6,7)
Angiotensin II merupakan vasokonstriktor yang sangat kuat dan juga mempengaruhi
fungsi sirkulasi. Angiotensin II hanya menetap di dalam darah hanya selama1 atau 2 menit
karena angiotensin II secara cepat akan diinaktivasi oleh berbagai enzim darah dan jaringan
secara bersama-sama disebut angiotensinase.(6,7)
Selama angiotensin II ada di dalam darah, maka angiotensin II mempunyai dua
pengaruh utama yang dapat meningkatkan tekanan arteri. Pengaruh pertama yaitu
vasokonstriksi timbul dengan cepat terutama di arteriol dan sedikit lebih lemah pada vena.
Konstriksi pada arteriol meningkatkan resistensi perifer total, berakibat pada peningkatan
tekanan arteri. Angiotensin II merangsang korteks adrenal untuk mensekresikan hormon
aldosteron, yang merangsang reabsorbsi Na+ oleh ginjal. Retensi Na+ menimbulkan efek
osmotik yang menahan lebih banyak H2O di cairan ekstrasel. (6,7)
8
Gambar 4. Mekanisme Renin-Angiotensin-vasokonstriktor untuk pengaturan tekanan
arteri(6)
2.4. Etiologi
9
Penyebab gagal ginjal akut secara garis besar dibagi menjadi 3 bagian, yaitu pre-renal,
renal, dan post-renal.(1)
1. Prerenal
Penyebab prerenal pada anak adalah menurunnya tekanan arteri efektif dengan akibat
perfusi ginjal menurun. Penyebab hipoperfusi ginjal adalah :
a. Hipovolemia karena perdarahan atau dehidrasi.
b. Penurunan volume vaskular efektif yang dapat terjadi pada :
i. Sepsis akibat vasodilatasi
ii. Luka bakar, trauma akibat pengumpulan cairan di ruang ketiga
iii. Sindrom nefrotik akibat hipoalbuminemia dan edema yang hebat.
c. Penurunan curah jantung akibat gagal jantung, kardiomiopati, pascabedah jantung
2. Renal
GGA renal atau disebut renal intrinsik dapat disebabkan karena beberapa keadaan,
yaitu :
a. Glomerulonefriris
i. Pasca infeksi/ Pasca Streptokok
ii. Lupus eritematosa
iii. Henoch-Schonlein purpura
iv. Membranoproliferative
v. Anti-glomerular basement membrane
b. Sindrom hemolitik uremik
c. Nekrosis tubular akut
d. Nekrosis kortikal
e. Trombosis arteri/vena renalis
f. Rabdomiolisis
g. Nefritis interstisial akut
h. Infiltasi tumor
i. Sindrom lisis tumor
3. Post renal
Penyebab GGA post renal adalah uropati obstruktif yang bisa terjadi karena :
a. Kelainan kongenital, yaitu katup uretra posterior; obstruksi ureter bilateral pada
hubungan ureterovesika atau ureteropelvis
b. Ureterocele
c. Tumor
10
d. Urolitiasis
e. Sistitis hemoragik
f. Neurogenic bladder
2.5. Patogenesis
11
GGA dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori, yaitu prerenal, renal dan post renal.
Klasifikasi ini berperan dalam pathogenesis terjadinya GGA.
12
Gambar 6. Patofisiologi GGA pre renal(5,8)
13
Drug class/drug(s) Pathophysiologic mechanism of renal injury
intraglomerular hemodynamics, chronic
interstitial nephritis, glomerulonephritis
Antidepressants/mood stabilizers
Amitriptyline (Elavil*), doxepin (Zonalon), Rhabdomyolysis
fluoxetine (Prozac)
Lithium Chronic interstitial nephritis,
glomerulonephritis, rhabdomyolysis
Antihistamines
Diphenhydramine (Benadryl), doxylamine Rhabdomyolysis
(Unisom)
Antimicrobials
Acyclovir (Zovirax) Acute interstitial nephritis, crystal nephropathy
Aminoglycosides Tubular cell toxicity
Amphotericin B (Fungizone*; deoxycholic Tubular cell toxicity
acid formulation more so than the lipid
formulation)
Beta lactams (penicillins, cephalosporins) Acute interstitial nephritis, glomerulonephritis
(ampicillin, penicillin)
Foscarnet (Foscavir) Crystal nephropathy, tubular cell toxicity
Ganciclovir (Cytovene) Crystal nephropathy
Pentamidine (Pentam) Tubular cell toxicity
Quinolones Acute interstitial nephritis, crystal nephropathy
(ciprofloxacin [Cipro])
Rifampin (Rifadin) Acute interstitial nephritis
Sulfonamides Acute interstitial nephritis, crystal nephropathy
Vancomycin (Vancocin) Acute interstitial nephritis
Antiretrovirals
Adefovir (Hepsera), cidofovir (Vistide), Tubular cell toxicity
tenofovir (Viread)
Indinavir (Crixivan) Acute interstitial nephritis, crystal nephropathy
Benzodiazepines Rhabdomyolysis
Calcineurin inhibitors
Cyclosporine (Neoral) Altered intraglomerular hemodynamics, chronic
interstitial nephritis, thrombotic
microangiopathy
Tacrolimus (Prograf) Altered intraglomerular hemodynamics
Cardiovascular agents
Angiotensin-converting enzyme inhibitors, Altered intraglomerular hemodynamics
angiotensin receptor blockers
Clopidogrel (Plavix), ticlopidine (Ticlid) Thrombotic microangiopathy
Statins Rhabdomyolysis
Chemotherapeutics
Carmustine (Gliadel), semustine Chronic interstitial nephritis
(investigational)
Cisplatin (Platinol) Chronic interstitial nephritis, tubular cell toxicity
Interferon-alfa (Intron A) Glomerulonephritis
Methotrexate Crystal nephropathy
Mitomycin-C (Mutamycin) Thrombotic microangiopathy
14
Drug class/drug(s) Pathophysiologic mechanism of renal injury
Contrast dye Tubular cell toxicity
Diuretics
Loops, thiazides Acute interstitial nephritis
Triamterene (Dyrenium) Crystal nephropathy
Drugs of abuse
Cocaine, heroin, ketamine (Ketalar), Rhabdomyolysis
methadone, methamphetamine
Herbals
Chinese herbals with aristocholic acid Chronic interstitial nephritis
Proton pump inhibitors
Lansoprazole (Prevacid), omeprazole Acute interstitial nephritis
(Prilosec), pantoprazole (Protonix)
Others
Allopurinol (Zyloprim) Acute interstitial nephritis
Gold therapy Glomerulonephritis
Haloperidol (Haldol) Rhabdomyolysis
Pamidronate (Aredia) Glomerulonephritis
Phenytoin (Dilantin) Acute interstitial nephritis
Quinine (Qualaquin) Thrombotic microangiopathy
Ranitidine (Zantac) Acute interstitial nephritis
Zoledronate (Zometa) Tubular cell toxicity
15
obstruksi tubulus, dan passive backleak filtrat glomerulus dari sel tubulus ke dalam kapiler
peritubulus.(1)
2.5.2.2 Kelainan Vaskuler
Kelainan vaskuler sebagai penyebab GGA dapat berupa trombosis atau vaskulitis.
Trombosis arteri dan vena renalis dapat terjadi pada neonatus yang mengalami kateterisasi a.
umbilikalis, diabetes mellitus maternal, asfiksia, dan kelainan jantung bawaan sianotik. Pada
anak besar kelainan vaskular yang menyebabkan GGA ditemukan pada pasien sindrom
hemolitik uremik (SHU). Pada SHU terjadi kerusakan sel endotel glomerulus yang
mengakibatkan terjadinya deposisi trombus trombosit-fibrin. Selanjutnya terjadi konsumsi
trombosit, kerusakan eritrosit yang melewati jaringan-jaringan fibrin, dan obliterasi kapiler
glomerulus. Kelaian ini disebut mikroangiopati.
Kelaian vaskuler lainnya yang menyebabkan GGA renal adalah vaskulitis. Kelainan
patologi di glomerolus disebut sebagai glomerulitis eksudatif dan seringkali disertai
pembentukan kresen. Penurunan LFG disebabkan oleh beberapa hal, yaitu penurunan aliran
darah ginjal oleh karena peningkatan resistensi akibat kerusakan pembuluh darah dan
penurunan permukaan filtrasi.
16
Anomali kongenital yang dapat menyebabkan GGA ialah agenesis ginjal bilateral,
ginjal hipoplastik atau displastik kongenital bilateral, dan ginjal polikistik infantil. Terjadinya
GGA karena jumlah populasi nefron yang sedikit atau tidak ada sama sekali.(2)
2.5.2.6. Sindrom lisis tumor
Sindrom lisis tumor adalah GGA spesifik yang terkait dengan lisis sel spontan atau
akibat kemoterapi pada pasien dengan keganasan limfoproliferatif (leukemia limfositik dan
limfoma sel B). Hal ini disebabkan karena presipitasi kristal pada tubulus yang menyebabkan
obstruksi aliran urin dan aliran darah ke ginjal.(1,2) GGA pada sindrom lisis tumor juga
dapat disebabkan oleh hiperfosfatemia akibat breakdown sel tumor yang cepat dan presipitasi
kristal kalsium fosfat.(2)
17
traktur urinarius), sistitis hemoragik, dan neurogenic bladder, dapat menyebabkan GGA pada
anak dan remaja. Bila obstruksi diatasi biasanya fungsi ginjal akan kembali normal, kecuali
pada pasien dengan displasia renal atau obstruksi traktus urinarius berkepanjangan.(1,2,5)
2.6. Kriteria diagnostik
Tabel 4. Pediatric-Modified RIFLE (pRIFLE) Criteria(1,5)
Kriteria LFG Kriteria Output Urin (OU)
RISK Penurunan eCCl 25% OU < 0,5 ml/kg/jam
(selama 8 jam)
2.7. Diagnosis
2.7.1 Anamnesis
Anamnesa yang teliti merupakan hal penting untuk menentukan penyebab GGA.
Seorang bayi dengan riwayat muntah dan diare selama 3 hari kemungkinan besar mengalami
18
GGA prerenal karena penurunan volume. Kasus lainnya pada anak usia 6 tahun dengan
riwayat faringitis disertai dengan edema periorbital, hipertensi dan gross hematuria
kemungkinan besar mengalami GGA renal terkait dengan glomerulonefritis akut post infeksi.
Pada anak yang sakit berat dengan riwayat konsumsi obat-obatan yang nefrotoksik akan
cenderung mengalami NTA.(1,5) Neonatus dengan riwayat hidronefrosis pada USG prenatal
dan kandung kemih yang teraba akan mengarah kepada obstruksi traktus urinarius kongenital.
(1)
Yang penting dalam anamnesis pada penderita GGA yaitu :
a) Membedakan antara GGA dengan GGK eksaserbasi akut. Riwayat gejala yang
berlangsung kronik berupa fatique, berat badan turun, anoreksia, nokturia, dan
pruritus.
b) Muntah, diare dan demam mendukung kearah dehidrasi dan pre renal azotemia.
Tetapi gejala ini dapat juga merupakan perkembangan dari sindrom hemolitik uremik
atau trombosis vena renalis.
c) Urin seperti air cucian daging atau cola dengan riwayat infeksi kulit atau tenggorokan
mendukung ke arah glomerulonefritis.
d) Ada riwayat pajanan obat dan zat kimia.
e) Riwayat menkonsumsi jengkol beberapa hari sebelumnya.
f) Riwayat tumor intra abdomen, infeksi saluran kemih, atau buang air kecil
berpasir/keluar batu membantu kecurigaan GGA post renal.
g) Penderita dengan penyakit hipertensi, gagal jantung kongestif, diabetes, myeloma,
infeksi kronik, penyakit mieloproliferatif memiliki resiko lebih besar untuk terjadinya
GGA.
2) Indeks urin : untuk membedakan antara GGA prerenal dan renal. Pada GGA prerenal
fungsi reabsorbsi tubulus masih baik sehingga masih bisa menyerap natrium dan air
sehingga didapat urinnya yang pekat. BJ tinggi (>1.020) dan osmolalitas tinggi (>500
mOsm/kg), dan natrium urin renda (UNa <20 mEq/L), dan fraksi eksresi sodium <1%
(<2,5% pada neonatus). Sedangkan pada AKI renal karena sudah terjadi gangguan
fungsi reabsorpsi tubulus dalam pemekatan urin maka didapatkan BJ urin rendah
(<1.010), osmolalitas urin rendah (<350 mOsm/Kg), natrium urin tinggi (UNa > 40
mEq/L), dan fraksi eksresi natrium >2% (>10% pada neonatus).(1,3)
20
Tabel 6. Urinalsis, kimia urin, dan osmolalitas pada GGA(1)
3) Elektolit urin : untuk menilai fungsi tubulus ginjal. Pemeriksaan fraksi ekskresi
natrium (FENa) yaitu fraksi filtrasi Na yang diekskresikan dalam urin pada GGA
prerenal rendah yaitu <1% menunjukkan bahwa 99% Na direabsorbsi di tubulus,
sedangkan pada GGA renal tinggi yaitu >2% menunjukkan kemampuan reabsorbsi Na
berkurang. Cara menghitung FENa adalah:(3,4)
FENa = (PNa/UNa)/(PCr/UCr)
21
ekskresinya. Meskipun serum kreatinin digunakan untuk menentukan fungsi
ginjal, namun sebenarnya bersifat tidak sensitive dan merupakan tanda akhir
dari penurunan fungsi ginjal akibat AKI.(1) Penilaian serum kreatinin
bergantung dari berat badan, usia, dan jenis kelamin. GFR dapat diperkirakan
dengan penghitungan sebagai berikut:
GFR mL/min = k x tinggi badan (cm) / kreatinin serum (mg/dL)
Dimana:
k = 0.33 pada bayi berat badan lahir rendah di bawah usia 1 tahun
k = 0.45 pada bayi aterm di bawah usia 1 tahun
k = 0.55 pada anak dan dewasa muda wanita
k = 0.70 pada dewasa muda pria
Perubahan serum kreatinin menggambarkan perubahan GFR. Perubahan
dari kreatinin serum berkolerasi dengan perubahan GFR dengan gambaran
sebagai berikut :
Kreatinin 1,0 mg/dl-normal GFR
Kreatinin 2,0 mg/dl-50% reduction in GFR
Kreatinin 4,0 mg/dl-70-85% reduction in GFR
Kreatinin 8,0 mg/dl-90-95% reduction in GFR
22
vii. Hipokalsemia, hiperkalemia, hiperfosfatemia
viii. Peningkatan asam urat
ix. Penerunan level C3 (glomerulonefritis post infeksi, SLE,
membranoproliferative glomerulonephritis)
x. Antibodi terhadap streptokokus (glomerulonefritis post infeksi)
xi. Antibodi anti-nuklear (SLE)
xii. Antibodi terhadap neutrofil sitoplasmik (ANCA) dapat ditemukan pada
granulomatosis dengan poliangiitis, polyarteritis mikroskopis
xiii. Antibodi terhadap glomerular basement membrane (Goodpasteur disease)(1)
5) Pemeriksaan pencitraan
a) USG renal dapat menunjukkan adanya hidronefrosis dan/atau hidroureter yang
mengarah pada obstruksi traktus urinarius. (1)
b) USG Doppler : untuk menilai aliran darah ginjal sehingga dapat membantu
menegakkan diagnosis adanya tromboemboli atau penyakit renovaskuler.
c) Pencitraan radionuklir dengan technetium TC 99 m diethylentriamine pentaacetic
acid (DTPA), iodine I 131-hippuran : untuk menilai aliran darah ginjal dan fungsi
tubulus
d) Foto thoraks : untuk menilai adanya kardiomegali, kongesti paru dan efusi pleura
sebagai tanda kelebihan cairan.(1)
e) Bila dicurigai adanya gagal ginjal kronik dapat dilakukan foto tangan untuk
melihat tanda-tanda osteodistrofi ginjal. Pada gagal ginjal kronik dapat terjadi
kerusakan tulang yang disebut rikets ginjal atau osteodistrofi ginjal. Hal ini
disebabkan karena ginjal mempunyai peranan metabolisme vitamin D. Vitamin D
atau kolekalsiferol dirubah dihati menjadi 25(OH)-kolkalsiferol (D3). Kemudiam
23
baru setelah dirubah kedua kalinya yaitu diginjal menjadi 1,25 (OH) 2 D3 ia
menjadi metabolit aktif dan dapat menyerap kalsium di usus. Bila terjadi
kerusakan ginjal misal pada GGK, maka akan sedikit dibentuk 1,25(OH)2 D3
sehingga terjadi hipokalsemia. Hipokalsemia akan merangsang kelenjar paratiroid
untuk memproduksi parathormon (PTH) dengan maksud untuk meninggikan
kadar kalsium darah, tetapi caranya dengan memobilisasi kalsium tulang sehingga
terjadi kerusakan tulang (osteodistrofi ginjal).
6) Biopsi ginjal
Biopsi renal dibutuhkan untuk membedakan penyebab pasti dari GGA pada pasien
yang tidak jelas mengalami GGA prerenal atau post renal.(1) Biopsi renal juga
dilakukan pada keadaan khusus yaitu bila dicurigai adanya glomerulonefritis progresif
cepat atau nefritis interstisial.
7) Biomarker GGA
Berikut adalah biomarker yang dapat digunakan untuk mendeteksi GGA secara dini:
(5,9)
Neutrophil Gelatinase Associated Lipocalin (NGAL), diseksresi oleh epitel
tubulus ginjal. Kadar NGAL akan meningkat pada serum apabila terjadi
kerusakan epitel akibat iskemik atau nefrotoksik. Peningkatan NGAL pada
urin terjadi sebelum peningkatan kreatinin serum dan hal ini memiliki nilai
diagnostik dan prognostik terhadap GGA.
Cystatin C merupakan protein yang disekresi oleh sel berinti. Kadarnya sedikit
dipengaruhi oleh berat badan, jenis kelamin, ras, usia, dan massa otot. Cystatin
C sebenarnya lebih menggambarkan penurunan LFG dibandingkan dengan
penanda kerusakan tubulus. Cystatin C juga meningkat lebih dulu dari
kreatinin.
Kidney Injury Molecule-1 (KIM-1) merupakan molekul adhesi sel epitel yang
disekresi pada kadar yang rendah oleh ginjal normal. Iskemik atau toksik
GGA akan menyebabkan up-regulation dari KIM-1. KIM-1 pada urin dapat
digunakan untuk membedakan GGA iskemik dengan penyakit ginjal kronik.
24
Tabel 9. Protein biomarker untuk deteksi dini GGA(5)
25
post renal. Hipotensi yang disebabkan oleh sepsis memerlukan resusitasi cairan agresif diikuti
dengan infus norepinefrin.(1,4,5)
Terapi diuretik perlu dipertimbangkan setelah volume sirkulasi efektif sudah optimal
dan pasien tidak dehidrasi. Furosemide (2-4 mg/kg) dan mannitol (0.5 g/kg) dapat diberikan
sebagai dosis tunggal intravena. Furosemide dapat meningkatkan aliran urin sehingga
mengurangi obstruksi intratubular, selain itu furosemide juga menghambat Na+ K+ ATPase
sehingga membatasi konsumsi oksigen dan menurunkan kebutuhan energi pada tubulus yang
telah rusak dengan suplai oksigen yang rendah.(2,4,5,10) Manitol bekerja dengan
meningkatkan translokasi cairan ke intravaskular.(10) Bumetanide (0.1 mg/kg) dapat
digunakan sebagai alternatif furosemide. Bila output urin tidak meningkat, infus diuretik
secara kontinu dapat diberikan.(1) Pemberian diuretik dapat mengubah GGA oliguria
menjadi non-oliguria, tetapi tidak ada bukti bahwa perubahan ini dapat memperbaiki
prognosis.(4)
Untuk meningkatan perfusi renal, klinisi dapat menambahkan dopamine “dosis renal”
(2-3µg/kg/min) sebagai tambahan terapi diuretik.(1,2,5) Dopamine bekerja melalui efek
vasodilatasi pembuluh darah ginjal dan menghambat Na+K+ ATPase dengan efek akhir
peningkatan aliran darah ginjal, LFG dan natriuresis (meningkatkan output urin). (2,5,10,11)
Bila pasien oligouria tidak merespon dengan terapi diuretik, makan diuretik harus
dihentikan dan dilakukan restriksi cairan. Pemberian cairan pada pasien dengan volume
intravaskular yang normal sebaiknya dibatasi dengan memberikan 300-400 ml/m 2/24 jam
(insensible loss) ditambah dengan sejumlah cairan yang sama dengan output urin hari
tersebut. Kehilangan cairan ekstrarenal (darah dan saluran cerna) harus digantikan milliliter
untuk militier. Intake cairan, output urin dan feses, berat badan dan kimia serum sebaiknya
dipantau setiap hari.(1,5)
Pada GGA, terjadinya hiperkalemi (kalium serum >6mEq/L) dapat menyebabkan
aritmia jantung, henti jantung, dan kematian. Tanda awal yang ditemukan pada EKG adalah
gelombang T tinggi, yang kemudian diikuti dengan pelebaran interval QRS, depresi segmen
ST, aritmia ventrikel dan henti jantung.(1,3) Prosedur untuk mengurasi kalium serum harus
dimulai saat nilai kalium >6.0 mEq/L. Sumber kalium eksogen (makanan, cairan intravena,
total parenteral nutrition) harus segera dihentikan. Sodium polystyrene sulfonate resin
(Kayexalate), 1g/kg, diberikan per oral atau dengan retensi enema. Dosis tunggal 1g/kg
diharapkan dapat menurunkan kalium sebesar 1 mEq/L. Terapi resin dapat diulang setiap 2
jam, dan frekuensi dibatasi oleh risiko overload natrium.(1,3)
26
Peningkatan kalium yang lebih berat (>7 mEq/L), terutama bila disertai dengan
perubahan EKG, membutuhkan terapi emergensi sebagai tambahan terapi resin. Agen berikut
dapat diberikan:
Kalsium glukonat 10%, 1 ml/kg, selama 3-5 menit
Natrium bikarbonat, 1-2 mEq/kg/dosis IV, selama 5-10 menit
Regular insulin, 0.1 unit/kg, dengan larutan glukosan 50%, 1ml/kg, selama 1 jam(1)
Inhalasi ß2 agonis yaitu albuterol/sabutamol(4)
Asidosis metabolik ringan umum ditemui pada GGA karena adanya retensi ion
hydrogen, fosfat, dan sulfat, namun jarang membutuhkan terapi. Bila asidosis berat (pH arteri
<7.15; bikarbonat serum <8 mEq/L) atau berkontribusi terhadap hiperkalemia, maka terapi
dibutuhkan. Asidosis metabolik dapat dikoreksi degan natrium bikarbonat dengan rumus:
Berat badan x ekses basa x 0,3 (mEq)
Koreksi dapat dilakukan dengan pemberian bikarbonat intravena hingga pH arteri mencapai
7.20, kemudian ditambahkan dengan pemberian natrium bikarbonat per oral setelah
normalisasi kalsium dan fosforus serum.(1,4) Data ekses basa didapatkan dari pemeriksaan
analisis gas darah, dan bila pemeriksaan ini tidak dapat diakukan makan natrium bikarbonat
diberikan 2-3 mEq/kg.(4)
Hiperfosfatemia ditatalaksana dengan restriksi fosfat dari diet dan pemberian pengikat
fosfat, yaitu kalsium karbonat 50 mg/kg/hari yang diberikan bersamaan dengan saat makan.
Hipokalsemia diatasi dengan menurunkan kadar fosfor pada serum. Pasien diedukasi untuk
mengomsumsi diet rendah fosfor dan pemberian phosphate-binders secara oral untuk
mengikat fosfat dan meningkatkan eksresi fosfat saluran cerna.(1) Phosphate-binders yang
dapat diberikan antara lain adalah sevelamer, kalsium karbonat, kalsium glukonat dan
kalsium asetat. (1,10) Hipokalsemia harus segera dikoreksi bila terdapat tetani, yaitu dengan
kalsium glukonas 10% 0.5 ml/kg IV dalam 5 – 10 menit, dilanjutkan dengan dosis rumatan 1-
4 gram/hari.(4)
Hiponatremia paling sering disebabkan oleh gangguan dilusional, sehingga lebih baik
dikoreksi dengan restriksi cairan dibandingkan dengan pemberian natrium klorida.(1,3)
Pemberian salin hipertonik (3%) harus dibatasi hanya pada pasien dengan hiponatremia
simptomatik (letargi, kejang) atau pasien dengan kadar natrium <120 mEq/L.(1)
Hipertensi pada GGA dapat disebabkan oleh hiperreninemia terkait dengan penyakit
yang mendasari dan/atau volume cairan ekstraselular dan biasanya terjadi pada pasien GGA
27
dengan glomeruloneftritis akut atau SHU. Beberapa agen anti hipertensi yang dapat diberikan
adalah:
Isradipine (0.05 – 0.15 mg/kg/dosis, maksimum 5 mg qid) untuk mengurangi tekanan
darah secara cepat.
Penghambat kanal kalsium Amlodipin (0.1 – 0.6 mg/kg/24 jam qd atau dibagi
menjadi bid)(1,5)
Penghambat ß (1,5)
o Propanolol 0.5 – 8.0 mg/kg/24 jam dibagi menjadi bid atau tid
o Labetalol 4 – 40 mg/kg/24 jam dibagi menjadi bid atau tid(1)
Pasien dengan hipertensi berat simptomatik (hipertensi urgensi atau emergensi) dapat
diterapi dengan infuse nicardipine (0.5 – 5.0 µg/kg/min), sodium nitroprusside (0.5 – 10.0
µg/kg/min), labetalol (0.25 – 0.3 µg/kg/jam) atau esmolol (150 – 300 µg/kg/min).(1,5)
Anemia pada GGA biasanya ringan (hemoglobin 9 – 10 g/dL) dan biasanya
disebabkan oleh hemodilusi. Anak dengan SHU, SLE, perdarahan aktif, atau GGA berlanjut
dapat membutuhkan tranfusi packed red cell (PRC) bila hemoglobin <7 g/dL.(1,5) Pasien
pasien hipervolemia, transfusi darah dapat semakin memperberat volume expansion, yang
dapat menyebabkan terjadinya hipertensi, gagal jantung, dan edema pulmo. Maka dari itu
transfusi PRC 10 ml/kg secara lambat (4-6 jam) dapat dilakukan untuk mengurangi risiko
terjadinya hipervolemia.(1)
Nutrisi memiliki peranan penting dalam tatalaksana pasien dengan GGA. Asupan
protein harus di batasi (0,8-2 g/kg/hari) dan memaksimalkan kalori untuk mengurangi
akumulasi nitrogenous waste. Pada kebanyakan kasus, natrium, kalium dan fosfor harus
direstriksi. Pada pasien GGA yang kritis, dapat dipertimbangkan hiperalimentasi parenteral
dengan asam amino esensial.(1,3,4)
2.8.2. Dialisis
Indikasi dialisis pada pasien dengan GGA adalah sebagai berikut:
Anuria/oliguria(1)
Overload cairan dengan tanda hipertensi dan/atau edema paru yang refrakter
terhadap terapi diuretik(1,3,5)
Hiperkalemia persisten (> 6.5 mEq/L), disertai kelainan pada gambaran EKG
yang tidak dapat diatasi dengan obat-obatan(1,3,5)
28
Asidosis metabolik berat yang tidak merespon terhadap tatalaksana
farmakologis(1,3,5)
Uremia (ensefalopati, perikarditis, neuropati)(1)
Blood urea nitrogen > 100 – 150 mg/dL(1,3,5)
Serum kreatinin >10 mg/dL (3)
Ketidakseimbangan kalsium:fosfor, dengan tetani hipokalsemi yang tidak dapat
dikontrol dengan terapi lain(1,5)
Gagal jantung kongestif (3)
Tidak dapat memenuhi intake nutrisi yang adekuat karena restriksi cairan ketat.
(1,5)
Gejala neurologis seperti gangguan status mental dan kejang(5)
Pada pasien dengan GGA, dialysis dapat dilakukan selama beberapa hari hingga
mencapai 12 minggu, namun biasanya berkisar antara 1 – 3 minggu. Secara umum, terdapat 3
tipe dialisis, yaitu:(1,4,11)
1. Intermittent hemodialysis
Intermittent hemodialysis (IHD) bermanfaat bagi pasien dengan
hemodinamik yang relatif stabil. IHD memiliki keuntungan dapat lebih cepat
mengoreksi kelainan biokimia dalam darah dan dapat dilakukan pada pasien pasca
operasi intra abdomen. Proses hemodialisis ini dapat mencapai pengeluaran cairan
dan elektrolit dalam 3-4 jam dengan menggunakan pump-driven extracorporeal
circuit dan kateter vena sentral yang besar. IHD dilakukan 3-7 kali dalam
seminggu tergantung dari keseimbangan cairan dan elektrolit pasien.
2. Peritoneal dialysis
Peritoneal dyalisis (PD) biasnaya diterapkan pada neonatus dan bayi dengan
GGA, meskipun modalitas ini juga dapat diterapkan pada anak dan remaja. PD
mudah dilakukan pada bayi kecil karena tidak memerlukan akses vaskular, tidak
memerlukan alat yang canggih dan dapat dilakukan di daerah terpencil.(4) Dialisat
hiperosmolar akan dimasukkan ke dalam rongga peritoneal melalui kateter dialisis
yang dipasang melalui kulit atau operasi. Cairan tersebut akan dibiarkan dalam
rongga peritoneum selama 45-60 menit dan kemudian akan dikeluarkan dari tubuh
pasien dengan mengandalkan gravitasi (secara manual atau machine-driven
cycling), sehingga pengeluaran cairan dan elektrolit dapat tercapai. Siklus dapat
diulang selama 8-24 jam/hari, tergantung pada keseimbangan cairan dan eletrolit
29
pasien. Penggunaan anti koagulan tidak diperlukan. PD merupakan kontraindikasi
bagi pasien dengan patologi abdomen yang signifikan.
3. Continous renal replacement therapy
Continous Renal Replacement Therapy (CRRT) akan bermanfaat pada
pasien dengan hemodinamik tidak stabil, sepsis, keadaan kelebihan cairan atau
kegagalan multiorgan pada setting intensive care.(1,3) CRRT merupakan terapi
extracorporeal dimana cairan, elektrolit dan zat terlarut berukuran kecil hingga
sedang secara kontinu dikeluarkan dari darah (24 jam/hari) dengan menggunakan
pump-driven machine khusus. Biasanya kateter lumen ganda akan dipasang pada
vena subclavia, vena jugular atau vena femoral. Pasien kemudian dihubungkan ke
sirkuit CRRT, yang secara kontinu akan mengantar darah pasien melewati highly
permeable filter.
Akhir-akhir ini banyak dipakai CRRT untuk penanggulangan GGA dengan
cara continous veno-venous hemofiltration (CVVH). Ada 3 metode pilihan terapi
pada CVVH, yaitu CVVH, CVVH dengan dialisis (CVVHD) dan continous veno-
venous hemodiafiltration (CVVHDF).
2.9. Prognosis
30
Angka kematian pada anak dengan GGA bervariasi dan tergantung pada etiologi dan
umur pasien.(1,2) Anak dengan GGA yang disebabkan oleh kondisi yang terbatas pada ginjal
seperti glomerulonefritis post infeksi memiliki angka kematian yang rendah (<1%),
sedangkan pada GGA yang disebabkan oleh kegagalan multi organ akan memiliki angka
kematian yang sangat tinggi (>90%).(1,2,4)
Pasien GGA non oligurik mempunyai laju filtrasi glomerulus dan volume urin yang
lebih tinggi daripada GGA oligurik sehingga air, metabolit nitrogen, dan elektrolit lebih
banyak dikeluarkan melalui urin. Komplikasi yang ditemukan lebih sedikit, periode azotemia
lebih singkat, lebih jarang memerlukan dialisis dan mortalitasnya lebih rendah.(10)
Perbaikan fungsi ginjal bergantung pada kelainan yang mencetuskan GGA. GGA
yang disebabkan oleh prerenal, SHU, NTA, neftritis interstitial akut, atau sindrom lisis tumor
umunya fungsi ginjal dapat kembali normal. Pada GGA yang disebabkan oleh Rapidly
Progressive Glomerulonephritis (RPGN), thrombosis vena renal bilateral atau nekrosis
korteks bilateral biasanya fungsi ginjal tidak dapat kembali seperti semula dan dapat
baerakhir menjadi gagal ginjal terminal. (1,5)
Untuk prognosis jangka panjang dahulu dianggap bahwa pasien yang sembuh dari
GGA dan memiliki fungsi ginjal normal kembali memiliki risiko morbiditas dan mortalitas
yang sama dengan populasi umum. Belakangan dilaporkan bahwa sekitar 10% anak pada
kondisi yang disebutkan di atas didapatkan hiperfiltrasi, hipertensi, dan mikroalbuminuria
pada 6-12 bulan pasca GGA. Hal ini tentu menempatkan populasi ini pada risiko yang lebih
tinggi untuk mengalami penurunan fungsi ginjal yang progresif. Atas dasar temuan ini maka
anak yang sembuh dari GGA perlu dipantau untuk dapat mendeteksi dini tanda kerusakan
ginjal sehingga dapat dilakukan intervensi dini pula. (4)
31
BAB III
KESIMPULAN
Gagal Ginjal Akut (GGA) adalah penurunan fungsi ginjal mendadak dengan akibat
hilangnya kemampuan ginjal untuk mempertahankan homeostasis tubuh. GGA didefinisikan
dengan peningkatan kreatinin serum atau ureum serum, penurunan output urin, atau
kebutuhan absolut untuk dialisis. Hal ini berhubungan dengan penurunan laju filtrasi
glomerulus (LFG) secara bersamaan.
Penegakan diagnosis terdiri dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang. Dalam anamnesa diketahui adanya muntah, diare, dan demam yang mendukung
kearah GGA prerenal. Riwayat infeksi kulit atau tenggorokan akan mendukung kearah
glomerulonefritis (GGA renal), bisa juga ditemukan pada seseorang yang mempunyai riwayat
pajanan obat atau zat kimia. Pada pasien yang mempunyai riwayat tumor intraabdomen,
infeksi saluran kemih, atau buang air kecil berpasir/batu menyokong kecurigaan suatu GGA
post renal.
Pemeriksaan fisik harus dilakukan secara menyeluruh, dengan perhatian khusus pada
status volume. Takikardia, mukosa kering, dan perfusi perifer yang buruk menggambarkan
kemungkinan terjadinya GGA prerenal. Hipertensi, edema perifer, rhonki, dan gallop
mengindikasikan kemungkinan terjadinya GGA renal akibat glomerulonefritis atau NTA.
Munculnya ruam dan arthritis mengarah kepada lupus eritematosus atau nefritis Henoch-
Schoenlein purpura. Massa dapat teraba pada thrombosis vena renal, penyakit kistik atau
obstruksi traktus urinarius.
Pemeriksaan penunjang terdiri dari pemeriksaan laboratorium dan penunjang lainnya.
Pemeriksaan darah, urinalisa, pemeriksaan fraksi ekskresi natrium (FENa), indeks urin,
biomarker protein, pemeriksaan radiologi, dan biopsi ginjal dapat digunakan untuk
menemukan penyakit atau penyebab dasar GGA pada anak.
Penatalaksanaan anak dengan GGA terdiri dari tatalaksana konservatif dan dialisis.
Tatalaksana konservatif meliputi terapi cairan, nutrisi yang adekuat, terapi diuretik, dopamin,
dan terapi lainnya bertujuan untuk mengatasi komplikasi yang terjadi pada GGA seperti
hiperkalemi, hiponatremi, hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis metabolik, hipertensi, dan
anemia. Terapi dialisis dilakukan untuk mengatasi komplikasi GGA berat yang tidak
merespon dengan tatalaksana konservatif.
32
DAFTAR PUSTAKA
1. Kliegmen RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF. Nelson Textbook of Pediatric. Ed
ke-20. Philadelphia: Elsevier; 2007.
2. Andreoli SP. Acute kidney injury in children. Pediatr Nephrol. 2009; 24: 253-263.
3. Chan JMC, Williams DM, Roth KS. Kidney Failure in Infants and Children. Pediatrics in
Review. 2002; 23(2): 47-59.
4. Tatalaksana
5. Katibi OS, et al. Current trends in the management of acute kidney injury in children.
Niger J Paed. 2013; 40(3): 314-320.
6. Guyton
7. Sherwood
8. Kinsey GR, Okusa MD. Pathogenesis of Acute Kidney Injury: Foundation for Clinical
Practice. Am J Kidney Dis. 2011; 58(2): 291-301.
9. Edelstein CL. Biomarkers of Acute Kidney Injury. Adv Chronic Kidney Dis. 2008; 15(3):
222-234.
10. Nainggolan G, Sinto R. Acute Kidney Injury: Pendekatan Klinis dan Tata Laksana. Maj
Kedokt Indon. 2010; 60(2): 81-88.
11. Bunchman TE. Treatment of acute kidney injury in children: from conservative
management to renal replacement therapy. Nature Clinical Practice Nephrology. 2008;
4(9): 510-514.
33
1. Nelson.
6. Guyton.
7. Sherwood.
34