Segala Puji dan Syukur hanya bagi Tuhan Yesus Kristus, yang hanya oleh karena anugerah
dan kemurahan-Nya saja serta kasih setia-Nya yang besar akhirnya penulis dapat menyelesaikan dan
menerbitkan Buku Ajar Gangguan Fungsional Gastrointestinal pada Anak. Penulis juga mengucapkan
terima kasih kepada pihak-pihak yang telah berkontribusi dan mendukung serta meluangkan waktu
Buku ajar ini berjudul Gangguan Fungsional Gastrointestinal pada Anak yang berisikan
kumpulan gangguan fungsional saluran cerna pada anak yang sudah disesuaikan dengan standar
kompetensi dokter indonesia (SKDI) agar dapat memberikan manfaat bagi para pembaca. Pemilihan
topik pada buku ini diprioritaskan pada kasus-kasus yang sering ditemui dalam praktek sehari-hari.
Penulis juga menyadari masih adanya kekeliruan yang mungkin ada dalam penulisan buku
ajar ini. Oleh sebab itu, penulis sangat terbuka untuk kritik dan saran dari para pembaca sehingga
Penulis berharap dengan adanya buku ajar ini, para dokter umum, dokter spesialis anak,
peserta program studi Ilmu Kesehatan Anak, dokter umum, maupun mahasiswa kedokteran mampu
melakukan diagnosis dan tatalaksana yang tepat berhubungan dengan Gangguan Fungsional
Penulis
i
Daftar isi
Gastroesofagus ............................................................................................. 25
ii
A
D
Absorbsi 93, 94
Alergi terhadap makanan 113, 115, 116 Dehidrasi 6, 10, 11, 27, 28, 29, 30,
Anoreksia 15, 66, 67, 68, 69, 70, 71, 77, 83, Diare 1, 7, 8, 10, 14, 23, 29, 30, 39, 66, 76, 77,
108 78, 79, 80, 82, 83, 84, 85, 86, 87, 95, 96, 97,
Antagonis reseptor H-2 37 98, 99, 100, 101, 102, 103, 104, 105, 106, 107,
Antibiotik 23, 38, 39, 43 119, 120, 121, 122, 123, 124,
Apendisitis 43, 146, 147 Gangguan menelan 51, 58, 59, 60, 61, 64, 80
Asidosis 13, 16, 27, 100, 123, 138 Domperidon 39, 138
Asimtomatik 18, 85
B
E
Bakteri tumbuh lampau 96, 97
iii
Fatty liver 109 Jaundice 115
G
Gagal tumbuh 67, 68, 69, 73, 115
K
Gangguan menelan 51, 58, 59, 60, 61, 64, 80
Kalium 11, 12, 15, 92, 106
Hirschsprung 32, 40, 41, 134, 136, 146 Kolitis Ulserativa 101,103, 117
Hormon 6, 14, 17, 18, 19, 20, 68, 77, 89, 91, Konstipasi kronis 110, 116, 125
L
I
Larutan ekstraselular 1
148 Magnesium 14, 15, 19, 22, 23, 24, 25, 37, 95,
Irritable bowel syndrome 108, 113 Malabsorbsi 23, 96, 97, 111, 122
Isotonik 2,3,8,9,99 ,117, 120, 122 Malnutrisi 4, 59, 66, 70, 71, 76, 111, 119, 122,
59, 60, 61, 62, 64, 67, 78, 80, 132, 133 Perdarahan Saluran Gastrointestinal 30
Muntah 1,7, 10, 14, 15, 21, 35, 39, 57,58, 62. Persentil 73, 74, 78, 81, 116
66, 78, 80, 83, 98, 99, 100, 105, 106, 110, 111, Perut kembung 139
116, 122, 125, 132, 133, 134, 135, 136, 137, Probiotik 112, 125
Propanolol 89
Pseudokonstipasi 93
Natrium 5,92, 106, 107, 121
Nyeri disfungsional 90
R
Nyeri organik 100
Rasa haus 6, 7, 11
O RAST 80, 87
Osmolaritas 2
S
Osmoreseptor 7
Osmotik 2, 3, 4, 5, 8, 10, 92, 93, 95, 96, 97, Sakit perut berulang 141, 142, 143, 149, 150
P
T
Pankreatitis 19, 21, 42, 135
v
Terapi bicara 59,60
Transmisi 17, 24
125
U
Uji tusuk kulit 75
V
Vilus 90, 91, 92, 93, 94, 97
W
Waktu singgah 59, 60, 64, 98
Z
Zinc 107, 124, 129
vi
GANGGUAN SALURAN PENCERNAAN FUNGSIONAL
Definisi
merupakan kondisi yang cukup banyak ditemui pada anak-anak dan remaja di seluruh dunia. Definisi
FGID sendiri terus mengalami perubahan seiring dengan kemajuan penelitian. FGID dikaitkan dengan
kumpulan gejala gastrointestinal (GI) yang bersifat kronik, rekuren, tanpa adanya patologi yang dapat
dibuktikan pada pemeriksaan konvensional. Gejala GI yang didapatkan berupa nyeri perut, disfagia,
dispepsia, diare, konstipasi, dan kembung. Keluhan yang paling sering ditemui adalah nyeri perut.
Anak dengan gangguan ini biasanya mengalami nyeri berulang di bagian tengah perut. Intensitas
dari saluran GI, perubahan motilitas atau pergerakan sistem pencernaan, serta interaksi antara otak
dan usus (brain gut axis). Sistem klasifikasi saat ini (ROME IV) membaginya menjadi 33 gangguan
Menegakkan diagnosa FGID masih merupakan tantangan bagi tenaga medis karena sulit
membuktikan adanya kelainan tanpa bukti patologis yang jelas, walaupun gejala penyakit sangat
nyata bagi penderita. Beban biaya pada penyakit FGID menjadi tinggi akibat belum adanya
pemeriksaan penunjang yang spesifik, sehingga cenderung dilakukan pemeriksaan penunjang yang
berlebih atau terjadi overdiagnosis. Oleh karenanya, Kriteria ROME menganjurkan tenaga medis
untuk menegakkan diagnosa FGID tanpa dilakukan pemeriksaan penunjang untuk mengeksklusi
diagnosis banding.
vii
Epidemiologi
Prevalensi sindrom gangguan pencernaan fungsional pada bayi dan anak-anak adalah 27,3%.
Regurgitasi bayi dengan prevalensi sekitar 33,9% adalah sindrom gangguan pencernaan fungsional
yang paling umum pada usia 0-6 bulan sementara konstipasi fungsional dengan prevalensi 7,0%
adalah yang paling umum pada usia 1-4 tahun. Gangguan saluran cerna fungsional pada anak kecil
merupakan tantangan besar bagi layanan gastroenterologi pediatrik di seluruh dunia. Diperkirakan 27-
40,5% bayi dan balita dilaporkan memenuhi setidaknya satu kriteria untuk gangguan cerna
fungsional. Sebagian besar gangguan ini diobati dengan berbagai modalitas terapi yang tidak efektif
yang juga menambah beban pengeluaran yang signifikan untuk sistem perawatan kesehatan di negara-
negara miskin. Selain itu, gangguan saluran cerna fungsional pada bayi terkait dengan dampak yang
merugikan seperti depresi ibu, ikatan bayi dan ibu yang buruk, dan pertumbuhan fisik yang buruk.
pencernaan fungsional secara keseluruhan sebesar 19%, dengan 4,4% merupakan dyspepsia
fungsional, 6,2% irritable bowel syndrome, 3,5% konstipasi fungsional, 1,1% diare fungsional, dan
Sejak lahir sampai usia 18 tahun, ada banyak perubahan fisiologis, otonom, psikososial dan
intelektual yang mempengaruhi presentasi gangguan saluran cerna fungsional pada anak. Misalnya,
diketahui bahwa sejak lahir sampai usia tiga tahun otak anak mengalami pertumbuhan dan perubahan
yang luar biasa. Selanjutnya, usus bayi biasanya dipengaruhi oleh bakteri vagina ibu setelah lahir.
Mikrobioma pionir awal ini, berperan penting dalam perkembangan sistem imun dan fungsi usus yang
optimal seperti penyerapan nutrisi dan kesehatan epitel. Selain itu usus mengalami pertumbuhan,
pendeknya kerongkongan pada bayi membuat gejala refluks atau regurgitasi sangat umum terjadi
pada kelompok usia ini, yang biasanya akan menghilang di kemudian hari.
viii
Kriteria Rome memberikan pedoman berbasis gejala, yang sangat membantu dalam diagnosis
gangguan gastrointestinal fungsional anak dan remaja (FGID). Kriteria Rome III sebelumnya
sebagian besar didasarkan pada konsensus, karena penelitian pada FGID anak/remaja sebagian besar
masih kurang. Basis bukti yang diperluas selama 10 tahun terakhir memberikan dasar bagi banyak
rekomendasi dari komite anak/remaja untuk Rome IV. Klasifikasi gangguan saluran pencernaan
Tabel 1.1 Klasifikasi Gangguan Saluran Pencernaan Fungsional pada Bayi dan Anak Usia Dini
bulan
hari
≥1 minggu
Tabel 1.2 Klasifikasi Gangguan Saluran Cerna Fungsional pada Anak dan Remaja
ix
H1. Gangguan Mual dan Muntah Fungsional
H1a. Sindrom vomitus siklik ≥2 mual yang intens disertai Beberapa jam-hari /
makanan berulang
peningkatan flatus
bulan
hari/bulan
inkontinensia/minggu
x
Patofisiologi
Pemahaman tentang patofisiologi gangguan saluran cerna fungsional terus berkembang. Teori
sebelumnya menjelaskan adanya perubahan dalam motilitas dan hipersensitivitas visceral, selanjutnya
penelitian terbaru telah berfokus pada peran mikrobiota usus dan respon imun usus, interaksi
neurokimia sentral dan saluran cerna (brain-gut axis) dan faktor genetik. Mikrobiota usus mengacu
pada triliunan mikroorganisme yang menghuni saluran pencernaan manusia, dan bukti menunjukkan
keterlibatan mikrobiota ini dalam beberapa aspek fisiologi usus, seperti respon imun, motilitas,
sekresi dan pencernaan. Mikrobiota usus dapat mempengaruhi fungsi otak (SSP) dan perilaku
organisme inang melalui beberapa mekanisme termasuk jalur endokrin dan neuroendokrin; dan
sebaliknya otak dapat mengubah komposisi mikroba melalui sistem saraf otonom. Pengaruh ini tidak
searah, melainkan dua arah sehingga SSP mampu mengubah komposisi mikrobiota usus, yang
selanjutnya dapat mengubah permeabilitas usus, motilitas, sensasi visceral, peradangan, dan sekresi
melalui aktivasi HPA, otonom dan sistem neuroendokrin, dengan efek langsung pada mikrobiota usus.
Di sisi lain, stres pada awal kehidupan, merupakan suatu bentuk spesifik dari aktivasi SSP, juga
mempengaruhi fungsi HPA dan, pada gilirannya, berdampak pada mikrobiota usus yang sedang
Brain-gut axis mengacu pada komunikasi dua arah antara sistem saraf pusat (SSP), sistem
saraf otonom (SSO), aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal (HPA), dan saluran cerna. Sistem ini
berkomunikasi dengan SSP melalui SSO dan menggunakan neurotransmiter di usus seperti serotonin
dan dopamin. Gejala GI dapat dimulai sebagai akibat dari penyakit organik atau hiperreaktivitas
dalam SSO. Bergantian atau bersamaan dengan penyakit organik, kecemasan dan aktivasi kronis dari
sistem respons stres dapat menyebabkan perubahan di otak, sumsum tulang belakang, dan usus yang
meningkatkan risiko timbulnya gejala saluran cerna. Sebaliknya, stres yang terkait dengan gejala
saluran cerna dapat menyebabkan kecemasan dan stres yang meningkat. Kondisi saling
mempengaruhi dan mengganggu dari kedua arah yang berkelanjutan, dapat membuat persepsi keluhan
xi
Sistem respons stres terdiri dari sumbu HPA dan sistem otonom brain-gut axis. Sistem
otonom, khususnya cabang simpatisnya, bertanggung jawab atas respons "fight or flight" terhadap
stres, dan sumbu HPA menyediakan reaksi stres jangka panjang tubuh. Efek stres pada sistem
kekebalan dan inflamasi sangat kompleks. Namun, durasi dan intensitas stres diketahui memainkan
peran besar dalam proses ini dan penelitian pada hewan dan manusia menunjukkan bahwa stres sangat
penting dalam patogenesis gangguan GI. stres akut merangsang sistem saraf simpatik, mengakibatkan
peningkatan kortisol dan produksi sitokin inflamasi yang terlibat dalam gangguan GI.
Kecemasan dan gejala depresi sering terjadi pada anak-anak dengan nyeri akibat gangguan
saluran cerna fungsional, tetapi hubungan sebaliknya juga benar: 51,5% anak yang memenuhi kriteria
DSM-IV untuk gangguan depresi atau kecemasan seringkali mengeluhkan nyeri akibat gangguan
saluran cerna fungsional. Kecemasan dan depresi komorbiditas memprediksi terjadinya gangguan
fungsional pada anak-anak dengan gangguan saluran cerna fungsional. Sekitar 30-40% anak-anak
dengan nyeri abdominal fungsional akan mengalami gangguan saluran cerna fungsional di masa
dewasa, terutama jika mereka juga menunjukkan keluhan somatik lain atau mengalami depresi saat
anak-anak. Efek samping dari proses yang terjadi pada awal kehidupan merupakan faktor risiko yang
berperan pada terjadinya gangguan saluran cerna fungsional pada orang dewasa dan anak-anak, Selain
itu, anak dari ibu dengan IBS lebih cenderung memiliki keluhan somatik gastrointestinal dan non-
gastrointestinal, terutama jika ibu menunjukkan respons yang serius terhadap penyakit.
Organ berongga, seperti lambung dan usus, sensitif terhadap peregangan atau distensi.
Hipersensitivitas viseral terhadap distensi fisiologis telah terbukti menghasilkan rasa sakit atau
ketidaknyamanan pada pasien dengan gangguan saluran cerna fungsional. Berkenaan dengan brain
gut axis, nyeri mewakili interaksi kompleks sinyal saraf, sumsum tulang belakang, struktur otak, dan
perubahan dalam pemrosesan nyeri pada tingkat visceral usus. Sensasi di usus yang biasanya tidak
dirasakan saat sadar (misalnya saat terjadi proses pencernaan) dapat terasa pada pasien dengan
Selain itu, perubahan dalam komposisi sel-sel inflamasi di saluran cerna bagian atas baru-baru
ini diamati di beberapa gangguan saluran cerna fungsional, mendukung peran peradangan dalam
timbulnya gejala. Misalnya, peningkatan sel mast dan eosinofil telah dikaitkan dengan dyspepsia
xii
fungsional dan IBS pada anak-anak dan orang dewasa. Produk sel mast dan eosinofil yang diaktifkan
bekerja di usus untuk meningkatkan hipersensitivitas viseral, mengubah pola motilitas, dan mengubah
Faktor Risiko
Etiologi gangguan ini masih belum pasti dan diduga karena sedikit perubahan dari
perkembangan normal atau respons perilaku maladaptif terhadap berbagai rangsangan internal atau
eksternal. Berdasarkan beberapa penelitian beberapa faktor risiko yang berkaitan dengan gangguan
saluran pencernaan fungsional diantaranya adalah jenis kelamin laki-laki, tinggal di daerah yang
kurang maju. Bayi yang tinggal di daerah pedesaan memiliki peningkatan risiko 44% untuk
mengalami regurgitasi bayi, yang mungkin disebabkan oleh ketidaksadaran orang tua tentang cara
yang benar. posisi makan dan keyakinan pada kepercayaan kepercayaan kesehatan tradisional, atau
Konsumsi susu formula antara 0 dan 1 bulan meningkatkan risiko regurgitasi bayi sementara
pemberian ASI secara eksklusif selama 4-6 bulan mengurangi risiko sebesar 99%. Bayi dengan ASI
xiii
eksklusif secara langsung memiliki kemampuan untuk memberi sinyal kepada ibunya tentang
kecukupan kebutuhan susunya sehingga menghasilkan pola asupan yang baik, hal ini biasanya
berkaitan dengan peningkatan frekuensi dan penurunan volume, yang merupakan faktor yang terkait
dengan penurunan kejadian refluks. Selain itu, bayi yang diberi ASI memiliki pengosongan lambung
yang lebih cepat, oleh karena itu pH esofagus lebih rendah yang lebih mungkin untuk merangsang
Memiliki berat badan lahir rendah (2,1-2,5 kg) dikaitkan dengan peningkatan risiko kolik
bayi. Berdasarkan beberapa studi bayi dengan berat badan lahir rendah (< 2,5 kg) memiliki risiko dua
kali lipat mengalami kolik. Peningkatan risiko infantile colic juga meningkat dengan penurunan usia
kehamilan. Bayi kecil untuk usia kehamilan dengan berat lahir di bawah persentil ke-10 memiliki
peningkatan kemungkinan kolik bayi Hal ini mungkin akibat ibu cenderung memberi tekanan pada
bayi dengan berat lahir rendah dengan memanipulasi frekuensi dan/atau kuantitas pemberian susu
yang mengarah pada potensi pemberian asupan berlebih. Karena perkembangan usus bayi yang belum
sempurna, bayi mungkin tidak dapat menangani volume susu yang besar, sehingga menyebabkan
kolik bayi.
fungsional. Namun, hal ini belum memiliki bukti yang cukup kuat. Persalinan sesar telah dikaitkan
dengan berbagai kondisi infantil seperti penyakit radang usus dan gastroenteritis. Persalinan sesar juga
mengganggu kolonisasi normal usus bayi dengan mencegah paparan mikroba ibu. Di sisi lain, bayi
yang lahir melalui persalinan pervaginam terpapar mikrobiota vagina dan usus ibu yang penting
dalam perkembangan sistem kekebalan bayi dan dapat mengurangi kemungkinan terjadinya
konstipasi fungsional.
mengalami gangguan saluran cerna fungsional. Beberapa penelitian di antara anak-anak yang lebih
tua memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami konstipasi fungsional dan gangguan nyeri
perut fungsional akibat adanya peristiwa kehidupan yang penuh tekanan terkait dengan kehidupan
sehari-harinya baik di rumah maupun di sekolah. Selain itu, paparan ibu terhadap kekerasan dan
xiv
perilaku buruk terhadap bayi juga dapat meningkatkan risiko gangguan saluran cerna fungsional pada
Diagnosis
Diagnosis dan manajemen FGID merupakan tantangan bagi dokter anak, di mana sikap dan
respons orang tua terhadap keluhan anak mereka memiliki dampak yang signifikan pada ketepatan
diagnosis dan penanganan. Berdasarkan studi terbaru, penegakkan diagnosa awal dapat memperbaiki
prognosis penyakit. Kriteria ROME menganjurkan tenaga medis untuk menegakkan diagnosa FGID
tanpa perlu dilakukannya pemeriksaan penunjang secara ekstensif untuk mengeksklusi diagnosis
banding.
1. Anamnesis
Anamnesis pada penderita FGID ditujukan pada lokasi nyeri, pola, durasi, frekuensi dan
pertanyaan yang penting ditanyakan. Buku harian gejala mungkin bisa membantu penegakan
diagnosis. Kram, nyeri perut bagian bawah yang berkurang dengan defekasi mungkin
menunjukkan IBS atau IBD. Nyeri periumbilikalis harian, yang tidak terkait dengan makanan
menunjukkan nyeri abdomen fungsional yang tidak terspesifikasi, sedangkan seorang anak
yang mengalami serangan nyeri perut hebat yang berlangsung selama satu atau dua hari tetapi
Riwayat kesehatan masa lalu anak juga penting: misalnya, anak dengan diabetes tipe I,
penyakit tiroid autoimun, atau sindrom Down dengan sakit perut perlu dipertimbangkan
penyakit celiac (CD); anak-anak dengan rheumatoid arthritis remaja memiliki kecenderungan
untuk mengalami IBD. Menanyakan adanya riwayat keluarga yang mengalami IBD, CD,
gangguan saluran cerna fungsional dan sakit kepala migrain juga penting. Stresor psikososial,
kehadiran dan aktivitas anak di sekolah serta dinamika keluarga juga relevan dalam penilaian
xv
awal. Pemeriksaan yang cermat meliputi keadaan umum dan parameter pertumbuhan
pemeriksaan abdomen dan perianal perlu dilakukan. Beberapa gambaran klinis dianggap
organik serius yang mendasari. (Tabel 1.3). Gangguan organik dengan tanda bahaya dapat
mengarah pada penyakit kanker kolorektal, kanker ovarium, malabsorbsi cairan empedu,
Tabel 1.3 Tanda bahaya (Red Flags) ketika mengevaluasi anak dengan nyeri abdomen kronis.
Pubertas terlambat
atas
Penyakit perianal
Artritis
xvi
2. Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
fisik menyeluruh dari kepala, dada, abdomen, ekstremitas hingga pemeriksaan genital. Klinisi
harus memperhatikan tanda-tanda sistemik lainnya: seperti keadaan umum pasien, gangguan
fungsional ditegakkan apabila tidak terdapat kelainan pada pemeriksaan fisik secara
keseluruhan. Pemeriksaan fisik dilakukan untuk menyingkirkan semua tanda dan gejala
bahaya. Pemeriksaan fisik yang penting untuk dilakukan meliputi massa abdomen, intensitas
nyeri, dan pemeriksaan colok dubur. Pemeriksaan colok dubur berfungsi untuk
menyingkirkan kemungkinan massa pada rektum, hemoroid, serta tonus dan fungsi anus.
pertimbangan klinis dari dokter, tergantung dari temuan yang didapat dari anamnesis dan
pemeriksaaan fisik. Pemeriksaan laboratorium tidak harus selalu dilakukan jika anamnesis
dan pemeriksaan fisik sudah jelas mengarah ke gangguan fungsional saja. Namun beberapa
literatur menyarankan perlu dilakukan pemeriksaan penunjang standar pada pasien dengan
kecurigaan FGID.
Tabel 1.4 Klasifikasi Gangguan Saluran Cerna Fungsional pada Anak dan Remaja
feses
xvii
Jika terdapat indikasi boleh pula dilakukan pemeriksaan ultrasonografi untuk
mengevaluasi ginjal, kantung empedu, dan pankreas, jika pasien mengeluhkan nyeri perut
bawah bisa juga dilakukan ultrasonografi pelvis. Rontgen abdomen mungkin diindikasikan
jika dicurigai gangguan pada lambung atau usus kecil. Esofagogastroduodenoskopi juga dapat
disarankan pada pasien dengan keluhan saluran cerna atas yang persisten. Namun
Dua atau tiga gangguan saluran pencernaan fungsional yang sering ditemui pada Bayi/Balita
Beberapa bayi memiliki 2 diagnosis FGID sekaligus, dan mungkin pula mengalami 3
diagnosis. Pasien bayi atau balita dengan >1 diagnosis, FGID yang biasanya terjadi bersamaan
termasuk konstipasi fungsional dengan sindrom vomitus siklik, konstipasi fungsional dengan
regurgitasi bayi, sindrom vomitus siklik dengan regurgitasi bayi, diskezia bayi dengan regurgitasi
bayi. Sedangkan bayi dan balita yang memiliki 3 diagnosis, 3 yang paling umum adalah: regurgitasi
Dua atau tiga gangguan saluran pencernaan fungsional yang sering ditemui pada Anak/Remaja
Beberapa anak dan remaja dapat memiliki lebih dari 1 diagnosis FGID. Mereka termasuk IBS
dengan migrain perut, IBS dengan aerophagia, sindrom vomitus siklik dengan migrain perut, IBS
dengan sindrom vomitus siklik, dan aerophagia dengan migrain perut. Bahkan mungkin pula terdapat
3 diagnosis. Yang paling umum adalah IBS, migrain perut, dan sindrom vomitus siklik.
Tatalaksana
Secara umum prinsip yang digunakan dalam terapi gangguan saluran cerna fungsional adalah sebagai
berikut:
xviii
Pertama, penting untuk membuat diagnosis positif. Diagnosis FGID dalam banyak kasus
dapat dibuat tanpa pemeriksaan penunjang lanjutan atau rujukan yang lengkap. Anak-anak
dan keluarga akan sangat terbantu dengan memiliki diagnosis yang meyakinkan.
2. Memberikan penjelasan bahwa kondisi yang dialami merupakan kondisi yang tidak
berbahaya
Mereka harus diyakinkan tentang sifat diagnosis yang tidak berbahaya secara medis dan
bahwa setelah evaluasi yang cermat, anak tersebut tidak memiliki penyakit serius lainnya.
Orang tua dan anak-anak sama-sama mungkin khawatir tentang kondisi mendasar yang serius
yang telah mereka saksikan pada anggota keluarga lain, teman atau bahkan apa yang telah
mereka baca setelah pencarian di internet, misalnya kanker, obstruksi usus, dan IBD. Akan
sangat membantu untuk menanyakan diagnosis apa yang mereka khawatirkan dan secara
Edukasi tentang gangguan saluran cerna fungsional melibatkan penjelasan dalam istilah yang
dapat dipahami anak, didukung dengan informasi tertulis atau berbasis internet. Penerimaan
orang tua dari konsep bio-psikososial gejala anak mereka penting karena telah terbukti
berhubungan dengan keberhasilan pengobatan dan resolusi nyeri. Jelaskan bahwa FGID pada
anak-anak dan orang dewasa merupakan hal yang umum. Seringkali, orang tua akrab dengan
FGID yang lebih umum seperti IBS dan bahkan mungkin pernah mengalami kondisi ini
sebelumnya.
Hal ini meliputi diskusi tentang bagaimana rasa sakit dialami, perbedaan antara nosiseptif dan
persepsi, sinyal 'alarm palsu' yang datang dari usus, saraf usus yang hipersensitif terhadap
rangsangan normal, bagaimana rasa sakit bisa menjadi lebih kuat ketika perhatian terus
diarahkan pada keluhan dan pengaruh stres atau rasa khawatir pada persepsi nyeri.
xix
Tujuan pengobatan yang realistis harus ditetapkan dengan anak, seperti kembali sepenuhnya
ke sekolah dan melanjutkan kegiatan olahraga atau sosial, dibanding mengharapkan tujuan
untuk benar-benar bebas dari rasa sakit. Jelaskan bahwa rasa sakit kemungkinan akan
bertahan untuk waktu yang lama tetapi akan berkurang dan semakin sedikit berdampak
daripada sebelumnya.
Dalam kasus yang lebih parah, anak mungkin telah melewatkan banyak pelajaran di sekolah,
yang mengarah ke pola diet yang maladaptif, tidur dan aktivitas fisik, yang kemudian
memperburuk perasaan putus asa, isolasi dan harga diri, hal ini perlu ditangani secara khusus
oleh dokter.
Pola makan yang sehat harus diusahakan. Beberapa anak akan menghindari makanan yang
disarankan untuk memicu gejala; dan menanggapinya secara ekstrim, mungkin hal ini dapat
kembali makanan yang dihindari jika memungkinkan, terutama jika makanan tersebut
merupakan sumber energi atau zat gizi mikro yang penting bagi anak.
8. Intervensi psikologis
Terapi perilaku kognitif (CBT), intervensi psikologis yang paling banyak diselidiki untuk
FGID dengan gejala dominan nyeri, bertujuan untuk mengubah pemikiran atau respons yang
berkontribusi pada atau membuat gejala terus dialami. Akses ke praktisi terlatih dengan
pengalaman dalam kondisi ini masih terbatas dan biasanya mahal. CBT yang disampaikan
melalui internet dapat dipertimbangkan sebagai pendekatan yang hemat biaya dan efektif.
Hipnoterapi focus pada usus tampaknya lebih baik daripada terapi medis standar dalam
Ringkasan intervensi spesifik untuk masing-masing gangguan saluran cerna fungsional akan
xx
Pentingnya evaluasi yang cermat, membuat diagnosis positif dan memberikan pendidikan tentang
Daftar Pustaka
Jan 1;21(1):44–52.
functional gastrointestinal disorders in infants and young children in China. BMC Pediatrics.
disorders in infants and toddlers: A systematic review. World J Gastroenterol. 2016 Jul
28;22(28):6547–58.
5. Sperber AD, Bangdiwala SI, Drossman DA, Ghoshal UC, Simren M, Tack J, et al. Worldwide
6. Rao S, Lee YY, Ghoshal UC. Clinical and basic neurogastroenterology and motility. Academic
Press; 2019.
8. Ihekweazu FD, Versalovic J. Development of the pediatric gut microbiome: impact on health and
9. Van Oudenhove L, Levy RL, Crowell MD, Drossman DA, Halpert AD, Keefer L, et al.
Gastroenterology. 2016;150(6):1355–67.
xxi
10. Mayer EA, Labus JS, Tillisch K, Cole SW, Baldi P. Towards a systems view of IBS. Nature
11. Yacob D, Di Lorenzo C, Bridge JA, Rosenstein PF, Onorato M, Bravender T, et al. Prevalence of
12. Reed-Knight B, Maddux MH, Deacy AD, Lamparyk K, Stone AL, Mackner L. Brain–gut
13. Yourkavitch J, Zadrozny S, Flax VL. Reflux incidence among exclusively breast milk fed
14. Milidou I, Søndergaard C, Jensen MS, Olsen J, Henriksen TB. Gestational age, small for
gestational age, and infantile colic. Paediatric and perinatal epidemiology. 2014;28(2):138–45.
15. Fildes A, van Jaarsveld CH, Llewellyn C, Wardle J, Fisher A. Parental control over feeding in
infancy. Influence of infant weight, appetite and feeding method. Appetite. 2015;91:101–6.
section and constipation in infants: the Japan Environment and Children’s Study (JECS). BMC
17. Ohkusa T, Koido S, Nishikawa Y, Sato N. Gut microbiota and chronic constipation: a review and
18. Heinsch ML, Nightingale S. Functional gastrointestinal disorders in children and adolescents:
Knowledge, practice and attitudes of Australian paediatricians. Journal of Paediatrics and Child
Health. 2019;55(9):1063–9.
19. Nightingale S, Sharma A. Functional gastrointestinal disorders in children: What is new? Journal
20. Sreedharan R, Liacouras CA. Functional Abdominal Pain (Nonorganic Chronic Abdominal
Pain). In: Kliegman RM, Stanton BF, St Geme JW, Schor NF, Behrman RE, editors. Nelson
xxii
21. Rouster AS, Karpinski AC, Silver D, Monagas J, Hyman PE. Functional Gastrointestinal
xxiii
KOLIK INFANTIL
Definisi
Kolik infantil merupakan suatu kondisi jinak dan dapat sembuh dengan sendirinya. Kolik
infantile merupakan kondisi di mana bayi yang sehat menangis secara berlebihan tanpa penyebab
yang mendasari. Kriteria diagnostik knvensional yang digunakan untuk mendiagnosis kolik infantile
dikenal sebagai “aturan tiga”—menangis lebih dari tiga jam per hari, selama lebih dari tiga hari per
minggu, selama kurang lebih satu minggu. Namun gejala ini biasanya akan hilang pada usia tiga
Kriteria Rome IV yang baru mendefinisikan kolik infantil sebagai periode tangisan bayi yang
berulang dan berkepanjangan, rewel atau iritabilitas yang dilaporkan oleh pengasuh yang terjadi tanpa
penyebab yang jelas dan tidak dapat dicegah atau diselesaikan'. Diagnosis dapat diasumsikan setelah
Epidemiologi
Kolik dialami pada 10-40% bayi, dan merupakan salah satu kondisi paling umum terjadi pada
awal fase kehidupan. Puncak insiden kolik infantil terjadi pada usia sekitar enam minggu. Kolik
infantil dapat menimbulkan rasa bersalah dan frustrasi signifikan pada orang tua. Kolik dikaitkan
dengan depresi pasca melahirkan dan shaken baby syndrome. Orang tua biasanya melaporkan bahwa
serangan keluhan mendadak terjadi di malam hari dan biasanya tanpa diprovokasi. Insidennya sama
antara jenis kelamin, dan tidak ada korelasi dengan jenis menyusui (ASI eksklusif vs. susu formula),
usia kehamilan (cukup bulan vs. prematur), status sosial ekonomi, atau kondisi iklim atau musim.
Etiologi
xxiv
Penyebab kolik sampai saat ini tidak diketahui. Diagnosis kolik infantil harus menyingkirkan
kemungkinan penyebab lain. Beberapa penyebab organik biasanya disertai keluhan lain selain
Tabel 2.1 Penyebab organik yang harus disingkirkan pada bayi yang menangis
Kesulitan makan
atopi
hari)
Hematemesis
Kesulitan makan
xxv
Meningitis, Otitis Media
Letargi
muntah
Kelesuan
faktor risiko.
Tanda bahaya yang perlu diwaspadai termasuk demam, letargi, atau distensi abdomen. Gejala
demam mungkin disebabkan otitik media akut, apendisitis, bacteremia, endocarditis, meningitis,
osteomyelitis, pneumonia, sepsis, infeksi saluran kemih, infeksi saluran pernapasan. Letargi mungkin
disebabkan oleh hidrosefalus, meningitis, sepsis, hematom subdural. Sedangkan distensi abdomen
mungkin disebabkan oleh massa pada abdomen, hepatosplenomegaly, Hirschprung disease, volvulus
atau malrotasi intestinal, necrotizing enterocolitis.1 Kurang dari 5% bayi dengan tangisan berlebihan
memiliki penyakit organik yang mendasari. Salah satu tantangan diagnostik utama adalah karena
menangis adalah bagian dari spektrum klinis dari banyak kondisi yang relatif sering terjadi pada bayi
seperti refluks gastro-esofagus, alergi protein susu sapi, dll. Namun, menangis sebagai manifestasi
xxvi
"tunggal" atau "soliter" dalam salah satu kondisi ini jarang terjadi. Dengan kata lain, banyak bayi
dengan refluks gastro-esofagus yang bermasalah memang sering menangis, tetapi menangis sebagai
Patofisiologi kolik infantil kurang dipahami. Udara yang tertelan mungkin diprediksi sebagai
faktor yang berkontribusi pada kondisi ini; namun apakah aerophagia harus dianggap sebagai
penyebab atau konsekuensi masih diperdebatkan. Beberapa ahli menganggap bahwa kolik infantil
disebabkan oleh ketidaknyamanan gastro-intestinal atau kram usus. Beberapa bayi kolik menunjukkan
disbiosis mikrobiota usus, perubahan barier, dan peradangan gastrointestinal kronis ringan. Selain itu,
hipersensitivitas visceral bisa menjadi faktor etiologi penting yang terlibat dalam perilaku menangis
Diagnosis
Ketika mengevaluasi bayi yang terus menangis, penting untuk melakukan anamnesis lengkap
untuk mendapatkan riwayat menyeluruh dan melakukan pemeriksaan fisik yang ekstensif, karena
kolik adalah diagnosis eksklusi. Diagnosis banding yang perlu dipertimbangkan termasuk penyakit
refluks gastroesofageal, alergi susu sapi, intususepsi, fisura anus, pemberian ASI atau susu botol yang
tidak adekuat, trauma, dan infeksi. Gejala bahaya yang harus dicari termasuk demam, lesu, makan
buruk, tinja berdarah, dan muntah empedu atau proyektil. Setelah penyebab potensial ini telah
Dalam sebuah penelitian terhadap semua bayi tanpa demam yang dibawa ke rumah sakit anak
selama setahun karena menangis, iritabel, kolik, menjerit, atau rewel, hanya 12 dari 237 (5,1%) yang
ditemukan memiliki penyebab organik yang serius. Sebagian besar bayi dengan penyakit organik
terlihat tidak sehat pada pemeriksaan klinis dan tes untuk infeksi saluran kemih direkomendasikan
Kolik umum terjadi dan biasanya sembuh pada usia 3-4 bulan, seiring dengan maturnya
perkembangan usus dan sistem saraf pada bayi. Alergi susu sapi jauh lebih jarang terjadi dan dapat
menyerupai gejala kolik. Namun, biasanya ada gejala tambahan (kolik disertai gejala lain) seperti
xxvii
gagal tumbuh, keluhan persisten, darah dalam tinja, eksim atau muntah dengan respons yang pasti dari
percobaan penghapusan susu sapi dari diet ibu menyusui atau beralih ke formula protein-hidrolisat
jika bayi diberi susu formula. Alergi susu sapi umumnya membutuhkan waktu 2-3 tahun untuk
kemungkinan penyebab tangisan berkepanjangan: misalnya penghapusan susu sapi dari diet ibu
menyusui atau beralih ke formula protein-hidrolisat jika bayi diberi susu formula. Penghapusan susu
sapi dari diet ibu namun tetap menuai kontroversi karena tidak ada data tentang seberapa sering hal ini
berhasil diterapkan. Meskipun pengobatan refluks gastroesofageal digunakan secara luas untuk
mengurangi tangisan bayi, tidak ada bukti bahwa GERD menyebabkan bayi menangis, atau dan ada
bukti bahwa pengobatan untuk refluks tidak efektif dalam mengurangi tangisan. Respons bayi yang
kenyang terhadap manuver menenangkan, seperti mengayun berirama dan menepuk 1 sampai 3 kali
per detik di lingkungan yang tenang, dapat menenangkan bayi yang mungkin akan kembali menangis
segera setelah diturunkan. Jika manuver umum semacam ini dapat menenangkan bayi, hal ini
Tatalaksana
Manajemen kolik infantil ditekankan pada menenangkan dan mendukung orang tua untuk
mengatasi tangisan berlebihan dan perilaku tertekan yang dialami anak mereka dengan memberi tahu
mereka bahwa secara umum, kondisi ini akan memuncak sekitar usia 4 hingga 6 minggu setelah
kelahiran, dapat berlangsung hingga tiga jam per hari pada bayi normal dan terus berlanjut, namun
xxviii
Gambar 2.1 Manajemen Kolik Infantil
Pemeriksaan fisik dan anamnesis difokuskan pada tanda-tanda bahaya yang paling penting,
seperti muntah parah, punggung melengkung, perdarahan gastrointestinal, gagal tumbuh, distensi
abdomen, kembung, dan tanda-tanda lain yang mungkin mengarahkan ke penyebab organik lebih
lanjut.
1. Probiotik
Bayi dengan kolik diduga memiliki ketidakseimbangan mikroflora usus. Studi mengamati
perkembangan mikrobiota usus pada bayi sejak lahir, sebelum puncak kolik. Bayi dengan kolik
memiliki perkembangan yang lebih lambat dalam keragaman mikrobiota usus dan peningkatan
yang signifikan dalam proteobacteria sedangkan bayi tanpa kolik memiliki mikrobiota yang
beragam pada usia 2 minggu dan peningkatan bifidobacteria dan lactobacilli. Temuan ini
hiperalgesia, dan menekan sitokin proinflamasi. Lactobacillus reuteri strain DSM 17938 telah
terbukti menjadi pilihan pengobatan untuk bayi yang disusui tetapi tidak untuk bayi yang diberi
xxix
susu formula. Efek dari administrasi awal Lactobacillus reuteri menunjukkan jumlah panggilan
dan kunjungan ke dokter anak yang lebih rendah terkait dengan keluhan kolik, penggunaan
simetikon dan cimetropium bromida yang lebih rendah untuk menghilangkan rasa sakit, dan lebih
sedikit kebutuhan beralih ke susu formula pada kelompok perlakuan bila dibandingkan dengan
kelompok kontrol. Selanjutnya, uji coba juga menunjukkan pengurangan waktu menangis yang
lebih besar pada bayi yang menerima Lactobacillus reuteri menjadi 60 menit dibandingkan dengan
102 menit pada kelompok plasebo. Perbedaan antara kelompok ini menunjukkan signifikansi
statistik sedini tujuh hari setelah dimulainya terapi. Juga, waktu menangis bayi berkurang 50%
atau lebih dari awal pada akhir masa pengobatan, yaitu 21 hari. Meskipun berbagai penelitian telah
menentukan Lactobacillus reuteri sebagai pengobatan yang efektif untuk kolik, penelitian ini
memiliki ukuran sampel yang relatif kecil. Oleh karena itu, penelitian di masa depan yang
dilakukan pada skala yang lebih besar dapat membantu memberikan bukti yang lebih konkret
2. Obat-obatan
Terapi medikamentosa terbukti tidak efektif sebagai pengobatan pada kolik infantil.
Simethicone, digunakan untuk mengurangi gas di dalam usus, namun tidak terbukti secara
signifikan dalam mengurangi gejala dibandingkan dengan plasebo. Penghambat pompa proton
juga tidak lebih baik dari plasebo dalam mengurangi kolik. Rasa tidak nyaman pada
gastrointestinal diduga akibat aktivitas kolinergik usus, oleh karenanya penelitian pengobatan
kolik infantil difokuskan pada patologi ini. Dicyclomine hydrochloride diketahui menurunkan
aktivitas otot polos di usus, sehingga dapat mengurangi rasa tidak nyaman akibat kolik infantil.
Obat ini telah menunjukkan perbaikan gejala kolik, namun dikontraindikasikan pada bayi di bawah
6 bulan karena efek samping yang merugikan, termasuk kejang dan gangguan pernapasan.
3. Modifikasi diet
xxx
Pemberian susu formula hipoalergenik atau diet bebas susu sapi pada ibu menyusui
disarankan jika terdapat kecurigaan akan adanya alergi makanan. Tinjauan sistematis dari banyak
uji klinis acak telah menunjukkan bahwa bayi yang diberi susu formula biasa yang secara bertahap
dialihkan ke susu formula yang sepenuhnya terhidrolisis mengalami pengurangan waktu menangis
yang signifikan. Formula berbahan dasar kedelai tidak direkomendasikan karena protein kedelai
dapat menjadi alergen pada masa bayi. Formula yang diperkaya serat tidak menunjukkan
signifikansi dalam mengurangi gejala kolik infantil. Bayi dari ibu menyusui yang berganti ke diet
hipoalergenik dengan mengecualikan susu sapi, kacang tanah, telur, gandum, kedelai, kacang
pohon, dan ikan, memiliki penurunan yang signifikan dalam frekuensi tangisan per hari.
4. Terapi alternatif
Terapi fisik seperti perawatan chiropractic, pijat, dan akupunktur telah diusulkan sebagai
pilihan terapi untuk kolik. Terapi pijat dan akupunktur juga telah dipelajari tetapi memiliki hasil
yang bertentangan dalam hal kemampuan mereka untuk mengurangi gejala kolik . Secara
keseluruhan, tidak ada cukup bukti untuk merekomendasikan penggunaan modalitas pengobatan
ini. Suplemen herbal dan teh seperti ekstrak adas, licorice, dan chamomile telah menurunkan
waktu menangis pada kolik bayi, tetapi efek sampingnya, termasuk sembelit, muntah, dan nafsu
makan berkurang. Larutan sukrosa telah terbukti mengurangi kolik karena dugaan efek
analgesiknya. Karena keterbatasan uji klinis acak dari terapi alternatif untuk kolik infantil dan
Prognosis
Prognosis untuk kolik infantil adalah baik, 85% bayi dengan kolik telah sembuh ketika mereka
berusia 3 bulan. Meskipun demikian, bayi yang menangis terus-menerus dapat menimbulkan ketidak
nyamanan dalam keluarga dan lebih mungkin untuk terkena kekerasan fisik. Mengajarkan orang tua
cara terbaik untuk merespons tangisan yang tidak dapat dihibur mungkin berguna dan penting untuk
xxxi
Daftar Pustaka
1. Johnson JD, Cocker K, Chang E. Infantile Colic: Recognition and Treatment. AFP. 2015 Oct
1;92(7):577–82.
2. Zeevenhooven J, Koppen IJ, Benninga MA. The new Rome IV criteria for functional
nutrition. 2017;20(1):1–13.
3. Radesky JS, Zuckerman B, Silverstein M, Rivara FP, Barr M, Taylor JA, et al. Inconsolable
6. Shamir R, St James-Roberts I, Di Lorenzo C, Burns AJ, Thapar N, Indrio F, et al. Infant crying,
colic, and gastrointestinal discomfort in early childhood: a review of the evidence and most
7. Pace CA. Infantile Colic: What to Know for the Primary Care Setting. Clin Pediatr (Phila). 2017
Jun 1;56(7):616–8.
8. Benninga MA, Nurko S, Faure C, Hyman PE, St. James Roberts I, Schechter NL. Childhood
1;150(6):1443-1455.e2.
Practical algorithms for managing common gastrointestinal symptoms in infants. Nutrition. 2013
Jan;29(1):184–94.
Impact on the Health of the Infant and Family. Pediatr Gastroenterol Hepatol Nutr. 2019
May;22(3):207–16.
xxxii
12. de Weerth C, Fuentes S, Puylaert P, de Vos WM. Intestinal microbiota of infants with colic:
13. Chau K, Lau E, Greenberg S, Jacobson S, Yazdani-Brojeni P, Verma N, et al. Probiotics for
15. Iacovou M, Ralston RA, Muir J, Walker KZ, Truby H. Dietary management of infantile colic: a
16. Savino F, Ceratto S, De Marco A, Cordero di Montezemolo L. Looking for new treatments of
17. Gelfand AA. Infant Colic. Seminars in Pediatric Neurology. 2016 Feb 1;23(1):79–82.
xxxiii
REGURGITASI INFANTIL DAN PENYAKIT REFLUKS
GASTROESOFAGUS
Definisi
Refluks gastroesofageal (GER) adalah istilah medis untuk kondisi ketika sebagian isi
lambung keluar dari lambung dan naik ke esofagus (saluran dari mulut ke lambung). Refluks sangat
umum terjadi, dan mempengaruhi berbagai usia. Refluks cenderung terjadi lebih sering setelah
makan, dan gejalanya yang terutama adalah rasa tidak nyaman. Regurgitasi berarti gerakan naik isi
lambung naik ke esofagus lalu ke dalam mulut. Ketika bahan lambung yang dimuntahkan keluar dari
mulut, sering disalahartikan sebagai muntah, dan mungkin terlihat persis seperti muntah. Tetapi secara
teknis, dan secara medis, muntah lebih kuat dan tidak nyaman dibanding regurgitasi dan biasanya
Lambung mengandung asam yang membantu mencerna makanan. Ketika refluks terjadi,
sejumlah kecil asam lambung bisa naik kembali ke tenggorokan. Ini dapat mengiritasi lapisan
ketidaknyamanan atau rasa sakit secara berulang, atau jika menyebabkan masalah lain, misalnya,
gangguan pertumbuhan pada bayi, profesional kesehatan menyebutnya penyakit refluks gastro-
Epidemiologi
Regurgitasi umum terjadi selama masa bayi, terjadi setidaknya sekali sehari pada setengah
bayi hingga usia tiga bulan. Regurgitasi bayi adalah FGID yang paling umum pada bayi (<12 bulan)
dengan tingkat prevalensi yang dilaporkan berkisar antara 8-26% pada kelompok usia ini. Pada usia
puncak sekitar 2-4 bulan, tingkat prevalensi telah dilaporkan setinggi 67-87%. Kisaran yang luas
dalam tingkat prevalensi mungkin dijelaskan oleh kriteria yang berbeda yang telah digunakan untuk
mendefinisikan regurgitasi di masa lalu. Regurgitasi menurun drastis seiring bertambahnya usia, turun
xxxiv
menjadi 14% pada usia tujuh bulan dan menjadi kurang dari 5% antara usia 10 dan 14 bulan.
Penurunan insiden regurgitasi lebih lanjut terjadi selama tahun kedua kehidupan.
Gejala refluks gastroesofageal tetap banyak ditemukan di masa kanak-kanak dan remaja.
Sekitar 2% hingga 7% orang tua dari anak berusia tiga hingga sembilan tahun melaporkan bahwa
anak mereka mengalami nyeri ulu hati, nyeri epigastrium, atau regurgitasi dalam minggu sebelumnya,
sedangkan 5% hingga 8% remaja melaporkan gejala yang serupa. GERD jauh lebih jarang dengan
insiden 1,48 kasus per 1.000 orang-tahun pada bayi, menurun hingga usia 12 tahun, dan kemudian
memuncak pada usia 16 hingga 17 tahun (2,26 kasus pada anak perempuan dan 1,75 kasus pada anak
laki-laki per 1.000 orang- tahun pada usia 16 hingga 17 tahun). Secara keseluruhan, prevalensi GERD
Di Indonesia, lebih dari 50% bayi berumur 2 bulan pernah dilaporkan mengalami regurgitasi
dan lebih dari 70% pada bayi berumur 3-4 bulan. Diperkirakan regurgitasi terjadi >3 kali per jam pada
bayi normal. Kejadian refluks gastroesofageal dilaporkan mencapai puncaknya sebesar 67% pada usia
4 bulan. Gejala ini akan menurun menjadi 5% pada 10-12 bulan dan akan menurun drastis dari 61%
Patofisiologi
Pada bayi muda, terutama mereka yang berusia kurang dari 6 bulan, GER dihasilkan dari
kombinasi faktor yang berhubungan dengan perjalanan alami perkembangan bayi dan keadaan yang
mengakibatkan peningkatan frekuensi dan/atau durasi pembukaan sfingter esofagus bawah (SEB)
yang berkepanjangan. Bayi di bawah 4 hingga 6 bulan mengonsumsi makanan cair secara eksklusif
dan, dalam 4 hingga 6 bulan pertama kehidupan, biasanya kurang memiliki keterampilan motorik
kasar untuk mempertahankan tubuh mereka dalam posisi tegak. Saat berbaring dalam posisi
horizontal, posisi anatomis SEB yang dikombinasikan dengan diet cair memungkinkan isi lambung
dengan mudah naik ke kerongkongan saat LES terbuka. Ketika ada faktor yang berkontribusi pada
peningkatan frekuensi dan/atau durasi pembukaan SEB yang berkepanjangan, hal ini akhirnya akan
menimbulkan GER.
xxxv
Pada beberapa bayi, GER terjadi tanpa gejala yang mengganggu. Bayi-bayi ini biasanya
tumbuh dengan baik dan tidak terganggu oleh GER. Dalam kasus ini, tidak diperlukan perawatan.
Pada bayi lain, keasaman materi refluks menyebabkan iritasi dan peradangan pada jaringan esofagus
dan laring, meningkatkan risiko aspirasi dan komplikasi pernapasan, dan atau mengakibatkan
hilangnya nutrisi yang berlebihan, menyebabkan gangguan pertumbuhan. Jika gejala yang timbul
merupakan gejala yang mengganggu, hal ini dapat semakin memperkuat diagnosis ke arah diagnosis
GERD. Ada bukti yang menunjukkan bahwa perubahan pada mikrobiota usus bayi dan reaktivitas
saraf vagus dapat mengubah persepsi bayi tentang rasa tidak nyaman yang dirasakan di esofagus
akibat GER, membuat beberapa bayi lebih mungkin mengalami nyeri yang signifikan yang
Faktor Risiko
1. Riwayat Keluarga
Riwayat keluarga dengan GERD pada generasi pertama atau generasi kedua diduga
merupakan faktor risiko yang kuat untuk GERD pada bayi yang biasanya terjadi pada usia 3
bulan pertama kehidupan. Hal ini menunjukkan mungkin adanya peran genetik. Studi
menyebutkan bahwa lokasi kromosom yang diduga terlibat adalah kromosom 13q14 yang
lokusnya dinamakan GERD1. Lokus tersebut terdapat gen HTR2A, yaitu sebuah kode untuk
BBLR merupakan faktor risiko yang cukup tinggi untuk GERD, yaitu sekitar 30-
50%. Berbagai masalah sistem pencernaan dapat ditemukan pada bayi dengan BBLR, seperti
lambung yang kecil, enzim pencernaan yang belum matang, dan alat pencernaan seperti
sfingter esofagus bawah yang imatur sehingga dapat mengakibatkan peluang kejadian GER
lebih meningkat. Gangguan pernapasan yang sering dijumpai pada BBLR juga diduga
xxxvi
menyebabkan regurgitasi karena ketika bayi bernafas abnormal (lebih cepat dan lebih keras),
otot di bagian atas lambung akan meregangkan sfingter esofagus dan menyebabkan relaksasi
3. Prematuritas
Kondisi bayi prematur merupakan salah satu risiko kejadian GERD pada bayi.
Berdasarkan hasil penelitian juga banyak dijumpai risiko esofagitis yang meningkat pada
individu yang lahir prematur. Terjadinya GER pada bayi prematur disebabkan oleh berbagai
faktor terkait imaturitas organ dan sistem pencernaan. Perkembangan esofagus dimulai sejak
usia gestasi 20 minggu dan lambung mulai dari 28 minggu. Refleks menghisap juga saat
minggu ke-28 dan refleks menelan saat minggu ke 33-36. Respon motorik esofageal terhadap
stimulasi intraluminal oleh isi lambung mulai jelas setelah usia gestasi 33 minggu. Episode
Transient lower esophageal sphimcter relaxation (TLESR) dapat terjadi puluhan kali setiap
lambung yang lambat, tonus SEB yang lemah (<5 mmHg), kapasitas lambung yang kecil,
esofagus yang lebih pendek dan sempit, serta gerakan peristaltik yang belum sempurna juga
berkontribusi terhadap rendahnya klirens refluks dari esofagus yang akan menyebabkan
Bayi yang mengonsumsi susu formula berisiko 3,2 kali mengalami GERD. Bayi yang
mengonsumsi susu formula mempunyai tingkat frekuensi regurgitasi yang lebih tinggi
dibandingkan bayi yang mengonsumsi ASI eksklusif. Susu formula mengandung asam lemak
jenuh yang sulit dicerna menjadi nutrien yang diserap oleh tubuh sehingga mengakibatkan
pengosongan lambung menjadi lebih lama yang mengakibatkan terjadinya refluks asam dan
regurgitasi pada bayi. Bayi yang diberikan susu formula juga kemungkinan dapat mengalami
cow’s milk protein allergy (CMPA) atau alergi protein susu sapi. Proses infiltrasi mukosa dan
aktivasi dari berbagai jenis sel inflamasi seperti sel mast yang dianggap sebagai sel efektor
xxxvii
saluran gastrointestinal. Sel mast tersebut di dalam saluran cerna berada di dekat ujung saraf
sehingga dapat terjadi respon neuromuskular, seperti kontraksi otot dan refleks saraf yang
5. Lingkungan Perokok
Paparan asap tembakau dari lingkungan dikaitkan dengan peningkatan risiko GER
dan GERD pada usia 1 bulan. Prevalensi perokok pasif cukup tinggi. Secara keseluruhan,
39,7% bayi terpapar perokok pasif. Asap tembakau diketahui menginduksi relaksasi sfingter
esofagus bagian bawah, hal ini dapat memicu terjadinya regurgitasi. Selanjutnya jika paparan
ini terjadi dalam jangka panjang, kondisi ini mungkin dapat menyebabkan terjadinya GERD.
Diagnosis
Anamnesis dan pemeriksaan fisik penting untuk mengidentifikasi gejala dan tanda bahaya
serta membedakan GERD dari gangguan lain. Regurgitasi dan episode muntah sering terjadi pada
bayi. Ketika regurgitasi berulang atau muntah sudah ada selama 1 sampai 2 minggu pertama
kehidupan, infeksi, anomali anatomi, dan gangguan metabolisme harus disingkirkan. Ketika onset
regurgitasi setelah usia 6 bulan, serta ketika gejala menetap di luar usia 12 bulan, diagnosis lain selain
GER atau GERD bayi harus dipertimbangkan. Perhatian khusus harus diberikan pada riwayat diet,
karena alergi protein susu sapi mungkin sangat mirip dengan gejala GERD. Hipersensitivitas refluks
terjadi pada pasien dengan gejala (mulas atau nyeri dada) yang tidak memiliki bukti endoskopik
dan/atau multiple intraluminal impedance (MII) dan/atau pH metrik GERD, tetapi memiliki bukti
Bayi dalam keadaan distres adalah kelompok pasien yang perlu diberi perhatian khusus.
Banyak bayi dengan GERD yang jelas merasa tertekan dan banyak menangis karena tidak hanya
xxxviii
esofagitis tetapi juga dilatasi esofagus yang disebabkan oleh refluks (susu yang dimuntahkan), dapat
menyebabkan ketidaknyamanan dan rasa sakit. Bayi dengan GERD sering menunjukkan tangisan
yang tidak dapat dihibur dan regurgitasi atau muntah. Namun, menangis dapat disebabkan oleh
banyak kondisi selain GERD dan tidak selalu merupakan gejala rujukan pada bayi dengan GERD.
Berikut ini pada tabel 3.1 adalah tanda dan gejala yang sering ditemukan pada bayi dan anak yang
mengalami refluks.
Tabel 3.1 Tanda dan gejala GERD pada bayi dan anak
Gejala Tanda
Barret’s esophagus)
sulit ditenangkan
melengkung)
mengi
xxxix
Gangguan tidur
Episode kejang
Dokter atau petugas kesehatan harus mengetahui dan menyingkirkan red flags atau “tanda
bahaya” dan diagnosis banding yang paling sering yang mungkin muncul dengan riwayat, gejala, dan
tanda yang serupa. Berikut ini pada table 2 adalah tanda bahaya yang harus dievaluasi, pada pasien
Tabel 2. Red flags yang mungkin berhubungan dengan kondisi selain GERD
Gejala Tanda
Regurgitasi dengan onset usia <2minggu Abnormalitas pada pemeriksaan fisik (umum,
atau >6 bulan atau persisten sampai usia 18 abdomen, neurologis, respirasis)
bulan
Tes diagnostik lanjutan umumnya tidak diperlukan karena diagnosis biasanya cukup
ditegakkan dari anamnesis menyeluruh dan pemeriksaan fisik untuk mendiagnosis refluks
xl
gastroesofageal atau GERD. Tes harus disediakan untuk situasi dengan gejala atipikal, tanda bahaya,
atau keraguan tentang diagnosis; dugaan komplikasi GERD atau kondisi lain; atau kegagalan terapi
awal.
gastrointestinal (GI) atas berfungsi untuk mendeteksi malformasi GI dan dapat berguna dalam
diagnosis hernia hiatus, malrotasi, stenosis pilorus, jaringan duodenum, stenosis duodenum, jaringan
antral, penyempitan esofagus, cincin Schatzki, akalasia, striktur esofagus, dan kompresi ekstrinsik
esofagus. Endoskopi saluran cerna bagian atas berguna untuk mengevaluasi mukosa dengan adanya
gejala atau tanda alarm, seperti hematemesis, disfagia, atau gagal tumbuh atau anemia; untuk
mendeteksi komplikasi GERD, seperti esofagitis erosif, striktur, dan Barrett’s esofagus; atau untuk
mendiagnosis kondisi yang mungkin menyerupai GERD, seperti esofagitis eosinofilik. GERD
mungkin ada meskipun penampilan endoskopi dari mukosa esofagus normal dan tidak adanya
kelainan histologis. Pemantauan pH esofagus juga dapat dipertimbangkan, pemeriksaan ini dianggap
sebagai teknik terbaik untuk mengukur refluks karena itu adalah satu-satunya teknik yang tersedia
Tatalaksana
Pendekatan nonfarmakologis adalah terapi lini pertama dan dapat diajarkan kepada orang tua
di fasilitas kesehatan primer untuk mengurangi pengobatan obat yang tidak perlu. Maturasi organ
diduga merupakan faktor kunci untuk resolusi GERD pada bayi, oleh karenanya studi terkini
menganjurkan untuk meminimalisir pemakaian obat untuk mengatasi GERD. Tujuan dari penanganan
GERD diutamakan pada memastikan tidak adanya tanda bahaya, lalu selanjutnya tatalaksana
xli
Gambar 1. Algoritma penanganan regurgitasi pada bayi
Pendekatan nonfarmakologis adalah terapi lini pertama dan dapat diajarkan kepada
orang tua di fasilitas kesehatan primer untuk mengurangi pengobatan obat yang tidak perlu.
Orang tua dari bayi yang sehat harus diyakinkan bahwa sebagian besar regurgitasi sembuh
secara spontan pada akhir tahun pertama kehidupan. Edukasi dan memberi keyakinan pada
orang tua secara efektif dan mendidik orang tua mengenai regurgitasi dan perubahan gaya
hidup, menyesuaikan rejimen makan, posisi dan paparan asap lingkungan biasanya cukup
xlii
untuk mengelola refluks bayi. Maturasi organ kemungkinan merupakan faktor kunci untuk
resolusi GERD pada bayi. Yang paling penting adalah memastikan tidak adanya tanda
bahaya, lalu selanjutnya tatalaksana difokuskan untuk membantu mengurangi gejala. Untuk
memberikan tatalaksana yang tepat, penanganan pada anak dengan regurgitasi dapat
Pada bayi, perubahan makan dapat mengurangi gejala. Refluks didapatkan pada bayi
yang menetek langsung dan bayi dengan susu formula, namun lebih banyak didapatkan pada
bayi dengan susu formula. Untuk bayi yang diberi susu formula, mengurangi volume makan
pada bayi yang diberi makan berlebihan, atau menawarkan makanan yang lebih kecil dan
lebih sering, dapat mengurangi episode refluks dan harus dicoba terlebih dahulu. Dengan
pemberian makan yang berlebihan, bayi mungkin menjadi tidak nyaman, dan mengetahui
3. Pengentalan formula
Pada bayi, mengentalkan susu formula atau ASI perah dengan sereal masuk akal.
frekuensi regurgitasi dan muntah. Panduan kasarnya adalah menambahkan satu sendok makan
sereal ke setiap ons susu formula atau ASI perah. Makanan kental dalam jumlah yang lebih
kecil dan lebih sering direkomendasikan, terutama untuk bayi prematur. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa makanan kental cukup efektif dalam pengurangan frekuensi regurgitasi
pada bayi dengan refluks gastroesofageal. Penggunaan susu formula kental dikaitkan dengan
peningkatan berat badan dan lebih unggul dari terapi postural dalam mengurangi episode
regurgitasi. Pemberian makan berlebihan harus dihindari, karena hal ini dapat memperburuk
refluks. Hal ini juga dapat meningkatkan kenaikan berat badan per hari.
xliii
NASPGHAN dan ESPGHAN menyarankan uji coba 2-4 minggu dengan formula
hipoalergenik yang dihidrolisis secara ekstensif atau formula berbasis asam amino pada bayi
yang diberi susu formula yang diduga mengalami refluks gastroesofagus yang tidak
merespons formula yang dikentalkan. Formula asam amino atau terhidrolisis ekstensif dapat
mengurangi episode refluks pada bayi yang alergi terhadap protein susu sapi. Untuk bayi
yang menyusui, menghilangkan makanan imunogenik (misalnya, susu sapi, telur) dari
5. Posisi tubuh
Mempertahankan bayi dalam posisi tegak selama 20-30 menit setelah makan
membantu mengurangi episode regurgitasi. Mengubah posisi tubuh bayi saat terjaga
mungkin merupakan metode yang efektif. Posisi tengkurap dan posisi miring ke kiri
berhubungan dengan episode refluks yang lebih sedikit tetapi harus direkomendasikan
hanya pada bayi yang terjaga dan diamati selama periode postprandial. Posisi ini tidak
dianjurkan untuk mengobati gejala refluks gastroesofageal pada bayi yang sedang tidur, bayi
yang tidur harus selalu ditempatkan dalam posisi terlentang karena risiko sindrom kematian
bayi mendadak. Posisi tengkurap dan posisi miring ke kiri berhubungan dengan episode
refluks yang lebih sedikit tetapi harus direkomendasikan hanya pada bayi yang terjaga dan
6. Obat-obatan
Untuk bayi, anak-anak, dan remaja dengan GERD yang tidak membaik dengan
menggunakan terapi supresi asam dengan antagonis reseptor histamin H2 atau inhibitor
pompa proton (PPI). Penekanan asam yang diinduksi dari antagonis H2 dan PPI dapat
meningkatkan risiko pneumonia dan gastroenteritis yang didapat masyarakat pada anak-
anak, dan kandidemia dan enterokolitis nekrotikans pada bayi prematur. Maka dari itu
xliv
Antagonis H2 menurunkan sekresi asam dengan menghambat reseptor H2 pada sel
parietal lambung. Obat ini mampu memperbaiki gejala klinis, menurunkan indeks refluks,
namun, sebagian besar penelitian memiliki kualitas yang buruk. Efektivitas antagonis H2
mungkin dibatasi oleh takifilaksis (pengurangan respons) atau toleransi dengan penggunaan
kronis.
ATPase), yang merupakan langkah terakhir dalam sekresi asam sel parietal. Lansoprazole,
gejala penyakit refluks gastroesofagus (GERD) pada bayi saja. Penggunaan obat selama
empat minggu memiliki efek yang lebih baik daripada dosis dua minggu. Tetapi efeknya
tidak berbeda satu sama lain. Yang paling direkomendasikan adalah penggunaan
esomeprazole pada bayi dengan penyakit refluks, karena mampu menurunkan skor
bahwa PPI memperbaiki gejala GERD pada bayi; namun, ada bukti yang lemah dan
bertentangan tentang apakah mereka meningkatkan indeks refluks, dan tidak ada bukti
perbaikan endoskopi. Beberapa ahli menyarankan percobaan singkat terapi PPI pada bayi
terbatas karena efek samping atau kurangnya bukti yang konsisten. Antasida berhubungan
dengan sindrom alkali susu dan tidak direkomendasikan pada anak di bawah 12 tahun. Agen
tetapi tidak memiliki bukti yang memadai untuk GERD masa kanak-kanak dan tidak
7. Probiotik
konservatif dengan efek samping minimal yang dapat membantu memodifikasi gejala
xlv
regurgitasi. Probiotik didefinisikan sebagai mikroorganisme hidup yang bila diberikan
dalam jumlah yang cukup, memberikan manfaat kesehatan pada inangnya. Mikrobiota usus
memainkan peran penting dalam patogenesis gangguan gastrointestinal dan semakin banyak
penelitian yang menargetkan terapi probiotik untuk bayi dan orang dewasa. Probiotik yang
paling banyak digunakan dalam penelitian ini adalah strain atau spesies tertentu dari
DSM 17938, Lactobacillus reuteri ATCC 55730, Lactobacillus casei Shirota, dan
Lactobacillus acidophilus.
Distensi lambung dan gangguan relaksasi fundus akibat gangguan motilitas lambung
pada neuron sensorik kolon, khususnya saluran ion kalium yang bergantung kalsium di saraf
lambung dan mengurangi efek pada nyeri viseral. Temuan ini menunjukkan bahwa ada
Daftar Pustaka
1. National Institute for Health and Care Excellence. Reflux, regurgitation and heartburn in babies,
2. Infant Regurgitation - About Kids GI [Internet]. [cited 2022 Mar 13]. Available from:
https://aboutkidsgi.org/upper-gi/infant-regurgitation/
4. Baird DC, Harker DJ, Karmes AS. Diagnosis and Treatment of Gastroesophageal Reflux in
5. Yuliantari KR, Manoppo JIC, Lestari H. Hubungan antara bayi berat lahir rendah dengan
xlvi
6. El-Mahdy MA, Mansoor FA, Jadcherla SR. Pharmacological management of gastroesophageal
7. Ferguson TD. Gastroesophageal reflux: regurgitation in the infant population. Critical Care
9. Jannata PZ, Jurnalis YD, Hidayat M. Hubungan Riwayat Keluarga, Berat Bayi Lahir, Usia
Gestasi, dan Riwayat Konsumsi Susu Formula dengan Penyakit Refluks Gastroesofagus pada
10. Eichenwald EC, Cummings JJ, Aucott SW, Goldsmith JP, Hand IL, Juul SE, et al. Diagnosis and
11. Valitutti F, Rybak A, Borrelli O. Gastro-oesophageal Reflux and Cow’s Milk Allergy. In:
12. Zheng ZL, Deng HY, Wu CP, Lam WL, Kuok WS, Liang WJ, et al. Secondhand smoke
13. Vandenplas Y, Rudolph CD, Di Lorenzo C, Hassall E, Liptak G, Mazur L, et al. Pediatric
American Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition (NASPGHAN) and
the European Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition (ESPGHAN).
gastroesophageal reflux disease in infants and children: from guidelines to clinical practice.
Management of the Most Common Functional Gastrointestinal Disorders in Infancy: The Middle
xlvii
16. Foster JP, Dahlen HG, Fijan S, Badawi N, Schmied V, Thornton C, et al. Probiotics for
preventing and treating infant regurgitation: A systematic review and meta-analysis. Maternal &
xlviii
KONSTIPASI INFANTIL
Definisi
Konstipasi merupakan sebuah kumpulan gejala yang berkaitan dengan jarangnya frekuensi
defekasi. Terdapat berbagai definisi konstipasi, namun pada prinsipnya didefinisikan sebagai buang
air besar yang nyeri, sulit, jarang, atau inkomplit selama 2 minggu atau lebih dan cukup signifikan
menimbulkan hendaya bagi pasien. Konstipasi fungsional, juga dikenal sebagai konstipasi idiopatik
atau feses yang tertahan, biasanya dapat dibedakan dari konstipasi sekunder karena penyebab organik
berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Tidak seperti malformasi anorektal dan penyakit
Hirschsprung, konstipasi fungsional biasanya dimulai setelah periode neonatal. Sekitar 5-10 bayi dari
100-150 bayi berusia 4-5 bulan dan sepertiga anak di atas 5 tahun yang berobat ke dokter spesialis
Sepertiga kasus konstipasi akan menjadi kronis bila tidak ditangani dengan baik. konstipasi
dapat diklasifikasikan menjadi kosntipasi akibat kelainan organik dan konstipasi fungsional.
Konstipasi yang ditemukan pada sebagian besar bayi adalah konstipasi fungsional yang dikaitkan
dengan gnagguan motilitas atau anorektal. Konstipasi fungsional merupakan bagian dari gangguan
saluran cerna fungsional (FGID) yang umum, terjadi pada sekitar 12% bayi, 18% toddlers, dan 14%
anak/remaja. Istilah ‘fungsional’ berarti tidak adanya etiologi organik yang mendasarinya, istilah ini
berlaku untuk seluruh golongan usia. Istilah lain konstipasi fungsional adalah konstipasi idiopatik atau
fecal withholding.
Etiologi
umumnya terjadi setelah periode neonatus. Pada umumnya, terdapat kejadian menahan feses baik
sengaja maupun tidak sengaja, dimana episode akut ini terjadi sebelum perjalanan konstipasi kronis.
Episode akut umumnya didasari perubahan diet seperti peralihan dari konsumsi air susu ibu (ASI)
menjadi susu sapi, akibat perubahan rasio protein dan karbohidrat atau akibat alergi susu sapi. Selain
xlix
itu dapat juga terjadi pada peralihan ASI atau susu formula menuju makanan padat atau ketika inisiasi
MPASI. Perubahan pola diet ini menyebabkan feses lebih padat serta sulit dikeluarkan,
Banyak pasien dengan konstipasi fungsional memiliki riwayat keluarga positif, mengarahkan
pada kemungkinan peran faktor genetik, meskipun mutasi gen spesifik belum ditemukan. Konstipasi
(ASD). Jalur fisio-patologis masih belum jelas namun diduga diakibatkan kurang adekuatnya perilaku
dalam respon sensasi ingin defekasi. Selain itu, terdapat asosiasi antara pola asuh orang tua dengan
konstipasi fungsional. Dimana tingginya skor skala otonomi dikaitkan dengan penurunan frekuensi
defekasi dan meningkatnya inkontinensia fekal, namun hubungan ini tampak lebih jelas pada anak
berusia di atas 6 tahun. Kejadian stres, termasuk kekerasan seksual juga berperan dalam terjadinya
konstipasi fungsional.
Epidemiologi
Konstipasi ditemukan sebagai 3% dari keluhan utama pada kunjungan rawat jalan dokter
spesialis anak. Prevalensi sesungguhnya dari konstipasi fungsional pada bayi sulit ditetapkan oleh
karena keterbatasan metodologi penelitian, seperti sampling populasi, setting penelitian, pengumpulan
data, serta homogenitas penelitian. Ulasan sistematik dan meta-analisis terbaru mengestimasikan
bahwa prevalensi global berada pada kisaran 9.5% (0.5-32%), dimana lebih banyak ditemukan pada
bayi di Amerika dan Eropa dibandingkan Asia secara signifikan. Studi observasi terbaru pada
populasi bayi di Sri Lanka melaporkan prevalensi sebesar 8% dan risiko lebih tinggi pada bayi yang
tinggal di area perkotaan dan berat badan dibawah normal (underweight) terhadap usia. Tidak
ditemukan adanya predileksi jenis kelamin pada konstipasi fungsional bayi. Beberapa faktor dikaitkan
dengan peningkatan risiko terjadinya konstipasi fungsional. Status sosioekonomi tampaknya bukan
Manifestasi Klinis
l
Perilaku bayi yang umum ditemui adalah saat bayi merasakan adanya keinginan defekasi,
bayi akan mengkontraksikan otot gluteal dengan mengeraskan (stiffening) tungkai pada posisi
berbaring. Keinginan BAB akan hilang seiring dengan akomodasi rektum terhadap isinya. Pengasuh
atau orang tua dapat berpikir bahwa perilaku menahan BAB tersebut merupakan episode mengejan.
Riwayat adanya darah pada feses dapat terjadi pada ukuran feses yang terlalu besar. Temuan lain yang
mengarah pada patologi yang mendasari adalah gagal tumbuh, penurunan berat badan, nyeri
abdomen, muntah, atau fissura atau fistula anal persisten. Tanda bahaya yang dapat terjadi adalah:
tidak ada mekonium dalam >48 jam, distensi abdomen, muntah, gagal tumbuh, BAB berdarah,
perkembangan saraf terhambat, abnormalitas pada anus, dan gejala penyebab organik lain.
Patofisiologi
1. Aspek Perilaku
Pencetus konstipasi fungsional yang sering adalah BAB yang keras sehingga
menimbulkan nyeri, sehingga bayi masuk ke dalam siklus menahan BAB yang tidak
berkesudahan yang memperburuk konstipasi. Pada sebuah ulasan terbaru, terdapat perilaku
yang digambarkan berkaitan dengan kelainan defekasi fungsional, salah satunya adalah rasa
2. Perubahan mikrobiom
Mikrobiom usus terdiri dari triliunan mikroorganisme yang bahkan disebut sebagai
“organ virtual tubuh” karena pentingnya dalam menjaga homeostasis pejamu. Gangguan dari
mikrobiom usus seringkali disebut sebagai ‘disbiosis’ dan kejadiannya semakin sering
dihubungkan dengan berbagai kondisi kelainan pada bayi, termasuk gangguan saluran cerna
li
Periode neonatus dan bayi adalah periode yang sangat dipengaruhi oleh cara
persalinan dan cara pemberian makan. Bayi yang lahir secara per vagina menunjukkan profil
mikrobiom yang menyerupai flora vagina ibu yang didominasi oleh Lactobacillus,
Prevotella, atau Sneathia spp, menunjukkan adanya transmisi vertikal direk. Sebaliknya,
Corynebacterium, dan Propionibacterium spp., yang merupakan komponen umu dari flora
kulit. Bayi yang mendapatkan susu formula memiliki variasi bakteri yang lebih luas,
sedangkan bayi yang mendapatkan ASI menunjukkan interaksi lebih besar antara gen host
dengan mikrobial, menunjukkan lebih tingginya komponen bioaktif dalam ASI dibandingkan
susu formula. Selain itu, berbeda dengan kepercayaan tradisional yang menyatakan
pemberian makanan padat mendukung maturasi mikrobiom usus, bukti terbaru menunjukkan
adanya kemungkinan bahwa penghentian ASI memiliki dampak paling besar terhadap
perubahan mikrobial menyerupai fenotipe dewasa. Hal tersebut mendukung bahwa gangguan
mikrobiom usus dini (SC, penggunaan antibiotik, durasi ASI singkat, susu formula, atau
Pada sebagian kelompok, konstipasi fungsional dapat diakibatkan transit yang lambat.
Sel interstisial Cajal dianggap sebagai pacemaker (alat pacu) yang menghasilkan gerakan
peristaltis usus, berperan penting dalam motilitas. Beberapa publikasi telah melaporkan
temuan histologi konsisten rendahnya jumlah sel interstisial Cajal pada bayi dengan berbagai
bentuk konstipasi. Lambatnya transit pada konstipasi juga dikaitkan dengan rendahnya kadar
Diagnosis
1. Anamnesis
konstipasi fungsional pada bayi. Informasi yang penting untuk diperoleh terdiri dari usia saat
lii
onset gejala, waktu pengeluaran mekonium pertama kali, frekuensi dan konsistensi feses,
nyeri abdomen, inkontinensia fekal, perilaku menahan BAB, riwayat diet, muntah, dan
penurunan berat badan. Bila ditemukannya 1 tanda bahaya konstipasi, bayi perlu dievaluasi
lebih lanjut untuk mencari kelainan organik. Sebaliknya, bila tidak ditemukan tanda bahaya,
bayi dapat dianggap konstipasi fungsional, sampai terbukti kecurigaan kelainan organik.
Skala tinja Bristol merupakan metode standard terpilih untuk mendeskripsikan konsistensi
feses. Namun, skala ini belum disesuaikan untuk anak yang belum toilet-trained.
Gambaran dan keluhan konstipasi fungsional pada bayi dan anak bervariasi. Hanya
sebagian kecil bayi dengan konstipasi fungsional buang air besar dengan frekuensi <3
kali/minggu maupun melaporkan BAB berdarah. Feses yang keras ditemukan pada >90% dan
hampir separuhnya mengalami nyeri selama defekasi, menunjukkan perilaku menahan BAB,
dan impaksi rektal. Konstipasi fungsional merupakan diagnosis klinis yang ditegakkan
berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Perilaku menahan BAB yang menyebabkan
besarnya ukuran feses, yang dapat menimbulkan fissura ani terutama pada 2 tahun pertama.
BAB yang nyeri ini menimbulkan rasa tidak nyaman pada bayi sehingga bayi berusaha
mencegah rasa ingin BAB di kemudian hari. Darah pada feses seringkali mengkhawatirkan
orang tua atau pengaruh, namun hal ini tidak menimbulkan kehilangan darah yang bermakna
secara klinis. BAB cair yang terakumulasi disekitar massa fekal dapat secara involunter
2. Pemeriksaan Fisik
pemeriksaan abdomen, inspeksi regio perianal, serta regio lumbosakral. Pada pemeriksaan
fisik dapat ditemukan volume feses yang besar pada palpasi area suprapubik. Menurut
direkomendasikan. Sebaliknya, menurut kriteria Rome III dan IV, massa fekal besar pada
liii
rektum termasuk dalam kriteria. Oleh karena itu, ESPGHAN dan NASPGHAN
menyimpulkan bahwa bila hanya terdapat satu kriteria Rome dan diagnosis masih belum
pasti, maka pemeriksaan rektal direkomendasikan. Selain itu pada pasien dengan konstipasi
intractable atau pasien dengan tanda bahaya, pemeriksaan ini juga diperlukan. Pemeriksaan
rektum dapat menunjukkan rongga rektum terdilatasi terisi feses guaiac-negatif. Inspeksi
regio anal bertujuan untuk mengevaluasi keberadaan jaringan parut, hemoroid, feses perianal,
serta fissura.
3. Pemeriksaan Penunjang
celiac disease, dan pemeriksaan alergi. Namun pemeriksaan skrining diatas umumnya tidak
Studi yang telah banyak dilakukan juga tidak merekomendasikan radiografi abdomen
rutin karena paparan radiasi. Pada kondisi obesitas ekstrim dimana palpasi sulit dilakukan,
radiografi abdomen dapat membantu. Waktu transit kolon dapat digunakan untuk menentukan
motilitas kolon. Belum ada rekomendasi yang menyarankan pemeriksaan ini untuk
menegakkan diagnosis, dimana penggunaannya digunakan pada kasus yang tidak jelas
neuropatik, atau enema kontras untuk menyingkirkan kelainan struktural. Pada pasien dengan
megarektosigmoid. Manometri anorektal dapat bermanfaat sebagai alat skrining pada bayi
liv
biopsi suction rektal, yang merupakan baku emas diagnosis Hirschprung. Motilitas anorektal
dapat menunjukkan pola kontraksi paradoksik dari sfingter anal eksternal selama defekasi.
Manometri kolon hanya dilakukan ketika terapi gagal dan tindakan pembedahan
gangguan neuromuskular kolon. Pada bayi tertentu dapat dilakukan MRI medulla spinalis
4. Kriteria diagnosis
Kriteria konstipasi
Rome III (2006) Rome IV (2016)
fungsional
Kriteria yang perlu Dua defekasi atau kurang per Dua defekasi atau kurang per
lv
Feses berdiameter besar yang
Kriteria eksklusi Tidak cukup kriteria untuk Tidak cukup kriteria untuk
Gejala lain yang menyertai dapat berupa iritabilitas, penurunan nafsu makan dan/atau
mudah kenyang. Gejala penyerta akan berkurang atau menghilang segera setelah evakuasi
feses.
Diagnosis Banding
Diagnosis banding konstipasi infantil adalah obstruksi anatomi seperti penyakit Hirschprung,
kelainan medulla spinalis, dan abnormalitas metabolik serta neuroenterik lain. Lebih dari 90% bayi
aterm sehat dan <10% bayi dengan penyakit Hirschprung mengeluarkan mekonium sebelum usia 24
jam. Oleh karena itu, biopsi suction dibutuhkan pada bayi yang tidak mengeluarkan mekonium dalam
waktu 24 jam dengan gejala penyerta (muntah, tidak mau makan, distensi abdomen, demam, gagal
tumbuh, BAB berdarah) untuk menyingkirkan penyakit Hirschprung. Kelainan lain yang lebih jarang
adalah akalasia sfingter anal internal, namun berbeda dengan penyakit Hirschprung, ditemukan sel
ganglion pada biopsi rektum namun tidak adanya refleks inhibitori rektoanal.
Tatalaksana
Pada bayi, gejala cenderung mengalami perbaikan dengan intervensi segera. Semakin singkat
gejala berlangsung, semakin tinggi kemungkinan keberhasilan terapi. Langkah pertama yang perlu
lvi
dilakukan adalah edukasi pengasuh termasuk mitos-mitos yang tidak benar. Orang tua maupun
pengasuh perlu diedukasi bahwa bayinya mengalami kondisi yang disebut konstipasi fungsional, yang
Hepatology and Nutrition (NASPGHAN) menyatakan bahwa terapi dengan pelunak feses akan
membuat BAB tidak nyeri. Namun, hingga kini, masih kurangnya penelitian yang meneliti tentang
suplemen makanan maupun laksatif pada bayi dengan konstipasi fungsional. Kunci rumatan efektif
adalah menjamin defekasi tidak nyeri hingga bayi merasa nyaman. Untuk fase rumatan terapi, pelunak
feses dapat dilanjutkan selama beberapa bulan hingga tahun. Informasi terkait terapi dengan probiotik
masih terbatas.
(PEG), laktulosa, atau susu magnesia, yang secara perlahan melembutkan massa feses hingga muncul
keinginan BAB dalam beberapa hari atau minggu setelahnya. Laktulosa dapat diberikan pada bayi
termasuk usia dibawah 6 bulan, sedangkan larutan PEG hanya untuk bayi berusia di atas 6 bulan
dimana efektivitas larutan PEG lebih besar daripada laktulosa. Dosis laktulosa yang dianjurkan untuk
melunakkan tinja adalah 1-2 gr/kgBB/hari untuk dosis 1 – 2 kali sehari. Larutan PEG memiliki angka
keberhasilan tinggi, tetapi seringkali memerlukan pemasangan pipa nasogastrik karena sering
menyebabkan mual, muntah, dan distensi abdominal. Dosis PEG untuk impaksi adalah 1-1,5 gr/kg/
hari, dapat diberikan selama 3 hingga 6 hari berturut-turut sebagai lini pertama. Untuk maintenance
PEG dapat diberikan dengan dois 0,2-0,8gr/kgBB/hari. PEG memberikan hasil yang lebih efektif
dibanding laktulosa. Kombinasi regimen oral dengan enema atau suppositoria tidak direkomendasikan
untuk anak.
Gliserin suppositoria cukup aman dan efektif digunakan pada bayi. Tujuan dari pelunak feses
adalah membuat defekasi tidak nyeri hingga konstipasi fungsional membaik, serta mengembalikan
kontrol dinding dasar pelvis. Evakuasi tinja dapat dilakukan pada bayi dengan impaksi karena
kumpulan tinja dalam rektum dapat menjadi penyebab nyeri saat defekasi. Gliserin suppositoria cukup
aman dan efektif pada bayi. Secara umum, enema fosfat cukup efektif namun perlu perhatian khusus
lvii
karena efek samping dapat berupa gangguan keseimbangan elektrolit berupa hiperfosfatemia dan
sapi pada tahun pertama kehidupan dikaitkan dengan konstipasi fungsional pada masa bayi. Guideline
terbaru menganjurkan pertimbangan untuk mencoba susu formula hipoalergenik 2 hingga 4 minggu
pada bayi atau toddler yang gagal berespon dengan terapi laksatif, terutama pada bayi yang disertai
gejala atopi. Meskipun mekanisme yang mendasari masih belum jelas, diduga inflamasi alergi dari
sfingter interna dapat meningkatkan tekanan anus saat istirahat. Konsultasi pada ahli gastroenterologi
anak perlu dilakukan ketika pendekatan terapi adekuat telah dilakukan namun gagal, atau bila terdapat
lviii
Orang tua dan pengasuh diminta untuk mengisi catatan terkait BAB (frekuensi, konsistensi),
penggunaan obat (dosis, frekuensi), serta episode inkontinensia fekal, nyeri abdomen, serta wetting.
Umumnya follow-up pertama dilakukan dalam beberapa hari hingga 2 minggu pertama, terutama bila
terjadi disimpaksi. Setelah memasuki fase rumatan, kunjungan rutin dapat dilakukan mulai dari setiap
satu bulan, kemudian frekuensi dapat diturunkan (misalnya setiap 3-4 bulan sekali).
Ketika pola BAB sudah teratur, penggunaan laksatif dapat diturunkan perlahan (tapering). Dosis yang
digunakan diturunkan bertahap hingga dosis yang mampu mencegah inkontinensia fekal dan
mempertahankan frekuensi BAB satu hingga dua kali per hari. Umumnya kebiasaan BAB
dipertahankan hingga stabil minimal selama 6 bulan sebelum penggunaan laksatif terus diturunkan
atau dihentikan. Perlu diinformasikan bahwa tidak boleh menghentikan laksatif tanpa konsultasi
dengan dokter karena kemungkinan besar mengakibatkan rekurensi dan mengganggu program terapi.
Setelah terapi laksatif dihentikan, penting untuk menekankan kepatuhan regimen diet dan
perilaku untuk mencegah relaps. Selain itu diperlukan rencana ‘rescue’ bila anak tidak BAB lebih dari
3 hari atau ditemukan indikasi rekurensi lain (BAB keras, nyeri abdomen, bercak pada pakaian
dalam). Rencana ‘rescue’ ini dapat berupa enema atau suppositori, diikuti peningkatan dosis laksatif.
Pola diet yang direkomendasikan jika bayi sudah menerima MPASI adalah buah, sayur, dedak (bran),
roti dan sereal whole-grain, serta asupan cairan yang adekuat selain susu.
Prognosis
Dari antara pasien yang dirujuk ke ahli gastroenterologi pediatrik, sekitar 50% mengalami
perbaikan (≥3 BAB per minggu tanpa inkontinensia fekal) dan tidak memerlukan laksatif setelah 6 –
12 bulan. Terlambatnya rujukan serta mendapatkan terapi adekuat lebih dari 3 bulan sejak onset gejala
berkorelasi dengan durasi gejala yang lebih panjang dan tatalaksana yang lebih sulit.
Daftar Pustaka
lix
1. Avelar Rodriguez D, Popov J, Ratcliffe EM, Toro Monjaraz EM. Functional Constipation and the
Gut Microbiome in Children: Preclinical and Clinical Evidence. Frontiers in Pediatrics [Internet].
2. Benninga MA, Faure C, Hyman PE, St James Roberts I, Schechter NL, Nurko S. Childhood
2016;S0016-5085(16)00182-7
3. Blake MR, Raker JM, Whelan K. Validity and reliability of the Bristol Stool Form Scale in
healthy adults and patients with diarrhoea-predominant irritable bowel syndrome. Aliment
functional gastrointestinal disorders in infants and young children in China. BMC Pediatrics. 17
Maret 2021;21(1):131.
5. Hyams JS, Di Lorenzo C, Saps M, Shulman RJ, Staiano A, van Tilburg M. Functional Disorders:
6. Hyman PE, Milla PJ, Benninga MA, Davidson GP, Fleisher DF, Taminiau J.
Disorders: Neonate/Toddler.
7. Kliegman, R., St. Geme, Stanton, B. Nelson Textbook of Pediatrics. 20 ed. Phialdelphia, PA:
Elsevier; 2016.
10. Nurko S, Zimmerman LA. Evaluation and Treatment of Constipation in Children and
11. Pijpers M a. M, Bongers MEJ, Benninga MA, Berger MY. Functional constipation in children: a
systematic review on prognosis and predictive factors. J Pediatr Gastroenterol Nutr. Maret
2010;50(3):256–68.
lx
12. Rowan-Legg A. Managing functional constipation in children. Paediatr Child Health. Desember
2011;16(10):661–5.
13. Schonwald A, Rappaport L. Consultation with the specialist: encopresis: assessment and
14. Subijanto MS, Firmansyah A, Juffrie M, Syarif BH, Ranuh RG, Athiyyah AF, dkk. Rekomendasi
Gangguan Saluran Cerna Fungsional [Internet]. Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2016 [dikutip 11
15. Tabbers MM, DiLorenzo C, Berger MY, Faure C, Langendam MW, Nurko S, dkk. Evaluation
16. van Tilburg MAL, Hyman PE, Walker L, Rouster A, Palsson OS, Kim SM, dkk. Prevalence of
17. Walter AW, Hovenkamp A, Devanarayana NM, Solanga R, Rajindrajith S, Benninga MA.
Functional constipation in infancy and early childhood: epidemiology, risk factors, and healthcare
18. Young RJ, Beerman LE, Vanderhoof JA. Increasing oral fluids in chronic constipation in
lxi
DISPEPSIA FUNGSIONAL
Definisi
Dispepsia fungsional adalah rasa nyeri atau tidak nyaman pada saluran cerna bagian atas yang
bersifat persisten, tidak berkaitan dengan pergerakan usus dan tanpa disertai penyebab organik selama
setidaknya 2 bulan sebelum penegakkan diagnosis (ROME IV). Dispepsia fungsional berkaitan
dengan persepsi sensoris abnormal, disfungsi motorik, dan faktor psikososial. Beberapa manifestasi
klinis yang berkaitan dengan dispepsia fungsional, di antaranya adalah distensi gaster, perlambatan
pengosongan gaster, hipomotilitas antrum, dan disritmia gaster. Penting untuk diingat, dispepsia
Dispepsia fungsional dapat diklasifikasi menjadi sindrom distres postprandial dan sindrom
nyeri epigastrium. Sindrom distres postprandial ditandai oleh rasa penuh post prandial atau rasa
penuh pada lambung lebih cepat, sedangkan nyeri epigastrium ditandai oleh rasa nyeri atau rasa
terbakar pada daerah epigastrium. Secara umum, sindroma distres postprandial lebih sering terjadi
Etiologi yang mendasari terjadinya dispepsia fungsional hingga saat ini masih belum diketahui secara
pasti. Namun, beberapa penelitian telah mengemukakan beberapa etiologi, di antaranya, faktor
genetik dan epigenetik, seperti polimorfisme pada gen yang berperan terhadap fungsi serotoninergik,
adrenergik, dan fungsi imun, infeksi terutama oleh Helicobacter pylori, konsumsi makanan pencetus,
faktor psikologis terutama kecemasan dan depresi, dan penggunaan obat-obatan, seperti NSAID.
Penelitian terhadap etiologi dispepsia fungsional anak menemukan bahwa tingkat kecemasan, depresi,
kemampuan menyesuaikan diri, dan gejala somatisasi yang lebih tinggi pada pasien dengan dispepsia
fungsional.
lxii
Epidemiologi
Dispepsia fungsional merupakan penyakit fungsional gastrointestinal yang sering terjadi pada
anak dengan prevalensi sebesar 1.8-3.5% pada negara berkembang dan 5-10% pada negara maju.
Data yang diperoleh dari penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Sardjito, Yogyakarta
menunjukkan bahwa dispepsia fungsional paling sering ditemukan pada anak kelompok usia 10
hingga 18 tahun. Dispepsia fungsional merupakan penyakit fungsional gastrointestinal yang paling
sering ditemukan pada populasi pediatri setelah irritable bowel syndrome (IBS). Selain itu, dispepsia
fungsional pada pasien pediatri berkaitan dengan tingkat morbiditas yang signifikan dan gejala yang
dialami pasien dapat memberikan dampak negatif terhadap quality of life sehingga memengaruhi
Manifestasi Klinis
Sebagian besar pasien anak dengan dispepsia fungsional datang dengan keluhan yang berkaitan
dengan adanya gas berlebih pada gaster dan bermanifestasi sebagai sendawa, rasa tertekan pada
abdomen atau bloating, suara gemuruh pada abdomen atau borborigmi, penambahan lingkar perut
atau distensi, dan flatulensi berlebih. Hingga saat ini, masih belum diketahui secara jelas apakah
manifestasi tersebut merupakan manifestasi klinis khusus dari dispepsia fungsional atau merupakan
hasil tumpang tindih antara sindroma dispepsia fungsional dengan irritable bowel syndrome (IBS).
Namun, hasil penelitian klinis menunjukkan bahwa bloating merupakan manifestasi yang paling
Manifestasi klinis selanjutnya berkaitan dengan rasa penuh pada regio epigastrium yang
diinterpretasikan pasien sebagai rasa kembung atau gas berlebih pada gaster. Akibatnya, anak
berusaha melepaskan gas tersebut dengan menelan udara yang terakumulasi pada hipofaring atau
gaster dan akhirnya dilepaskan dalam bentuk sendawa yang memberikan sensasi lega. Korelasi antara
lxiii
sendawa dan rasa penuh pada epigastrium seringkali dilaporkan oleh pasien dengan dispepsia
Manifestasi klinis terakhir yang sering dilaporkan adalah distensi abdomen setelah makan yang
diakibatkan produksi gas akibat makanan pemicu tertentu. Distensi abdomen yang dapat diobservasi
seringkali berkaitan dengan manifestasi bloating tetapi tidak berlaku untuk sebaliknya. Pada anak
yang mengeluhkan distensi abdomen terjadi peningkatan lingkar perut yang dapat diukur pada
pemeriksaan fisik. Distensi abnormal ini dikaitkan dengan kontraksi paradoksikal diafragma yang
terjadi saat relaksasi dinding abdomen anterior. Pada kondisi normal, dinding abdomen dapat secara
aktif beradaptasi terhadap perubahan volume abdomen dengan relaksasi dan pendataran diafragma,
kontraksi muskulus interkostal, dan protrusi minimal dari dinding abdomen anterior. Sebaliknya, pada
anak dengan dispepsia fungsional, respon paradoksikal diafragma dan dinding abdomen dapat terjadi
Selain manifestasi klinis yang telah disebutkan, beberapa manifestasi klinis lain yang disajikan
dalam tabel merupakan manifestasi klinis yang harus disingkirkan sebelum diagnosis dispepsia
fungsional ditegakkan. Manifestasi tersebut termasuk ke dalam tanda dan gejala berbahaya yang
menunjukkan adanya kemungkinan diagnosis lain sehingga memerlukan pemeriksaan lanjutan dengan
esofagogastrodudenoskopi (EGD).
Dispepsia Fungsional
Disfagia
Muntah signifikan
Perdarahan gastrointestinal
lxiv
Demam tanpa penyebab yang jelas
Penyakit perirektal
Pubertas terlambat
Patofisiologi
Patofisiologi yang mendasari terjadinya manifestasi klinis akibat dispepsia fungsional, di antaranya
dianggap sebagai patofisiologi utama yang mendasari dispepsia fungsional pada anak dan
dewasa. Namun. Mekanisme yang mendasari perlambatan tersebut masih belum diketahui secara
pasti. Penelitian terdahulu telah mengamati adanya alterasi pada anatomi gaster, seperti ptosis
pengosongan gaster. Selain itu, penelitian lain juga menemukan adanya variabilitas dari marker
tonus autonomik kardiovaskular sebelum dan sesudah sham feeding (mengunyah tanpa menelan)
yang mengindikasikan adanya disfungsi vagal fase sefalik terkait dengan penurunan
kontraktilitas antrum pada pemeriksaan ultrasound. Di sisi lain, percepatan pengosongan gaster
juga dikaitkan dengan manifestasi klinis dispepsia fungsional, khususnya pada kelompok
dispepsia fungsional dengan manifestasi klinis berupa early satiety pada kelompok sindroma
motorik gaster, termasuk gangguan pada akomodasi gaster sehingga terjadi redistribusi makanan
lxv
2. Abnormalitas sensoris organ viseral. Abnormalitas persepsi sensoris juga telah diamati pada
Distensi gaster atau sering disebut sebagai “irritable stomach syndrome” merupakan
hipersenstivitas yang paling sering dijumpai pada dispepsia fungsional. Distensi tersebut
berkaitan dengan manifestasi klinis sindrom nyeri epigastrium dan sensasi non-nyeri lainnya,
seperti rasa penuh postprandial, bloating, dan sendawa. Selain itu, derajat hipersensitivitas
terhadap stimulus mekanis viseral memiliki korelasi terhadap tingkat keparahan gejala. Pada
beberapa pasien, hipersensitivitas tidak hanya ditemukan terhadap distensi gaster, tetapi juga
terhadap distensi duodenal, jejunal, atau rektal yang menggambarkan sensitisasi terjadi secara
luas pada sistem saraf pusat dan otonom. Selanjutnya, hipersensitivitas kimiawi, khususnya
terhadap asam yang diproduksi dalam tubuh (endogen) maupun yang berasal dari luar tubuh
(eksogen), diketahui terjadi pada duodenum dan berkaitan dengan manifestasi klinis berupa
mual. Asam eksogen (berasal dari makanan atau minuman) menurunkan threshold sensasi tidak
nyaman terhadap distensi gaster dan menurunkan respon akomodasi gaster terhadap makanan
yang dicerna. Kedua respon hipersensitivitas viseral tersebut diakibatkan oleh pelepasan
neuropeptida, seperti CGRP-1 dan subtansi P akibat aktivasi reseptor TrpV1 oleh capsaicin.
Beberapa studi mengemukakan mengenai peran disfungsi sistem imun sebagai patofisiologi yang
mendasari dispepsia fungsional. Pada respon imun tipe 2 terjadi rekrutmen eusinofil dan sel mast
ke lokasi inflamasi setelah adanya pajanan terhadap antigen. Selanjutnya, eusinofil dan sel mast
mengalami aktivasi dan degranulasi sehingga terjadi pelepasan mediator proinflamasi yang
mengakibatkan kerusakan pada epitel pelindung traktus gastrointestinal dan mengganggu fungsi
saraf enterik. Hal tersebut mengakibatkan peningkatan permeabilitas epitel sehingga terjadi
infiltrasi antigen lumen sekunder yang memicu respon imun dan mengakibatkan terjadinya
manifestasi klinis pada dispepsia fungsional, seperti pengosongan gaster yang terlambat dan
lxvi
gangguan motilitas gastrointestinal. Selain itu, gangguan fungsi saraf enterik yang telah
Mikrobiota traktus gastrointestinal diketahui sebagai salah satu faktor yang berkontribusi
terhadap patofisologi dispepsia fungsional. Inflamasi pada usus halus dapat mengakibatkan
alterasi mikrobiota sehingga terjadi perubahan pada komposisi asam empedu. Sebaliknya,
penurunan jumlah asam empedu dapat mengakibatkan perubahan komposisi mikrobial pada usus
5. Disfungi Brain – Gut Axis. Faktor psikologis, seperti kecemasan dan depresi dapat
menimbulkan stimulus negatif terhadap brain-gut axis. Akibatnya, terjadi pelepasan substansi P
dan hormon pelepas kortikotropin yang mengakibatkan aktivasi sel mast dan akhirnya disfungsi
epitel pelindung duodenum. Selain itu, gangguan fungsi epitel pelindung akibat disfungsi sistem
imun dan alterasi mikrobiota gastrointestinal dapat mengganggu regulasi aksis usus-otak melalui
aksis hipotalamik-pituitari-adrenal.
Diagnosis
1. Anamnesis
Diagnosis dispepsia fungsional pada anak ditegakkan berdasarkan anamnesis gejala tipikal yang
mengacu kepada kriteria diagnosis dispepsia fungsional ROME IV serta eksklusi gejala yang
mengarah ke penyakit traktus gastrointestinal atas lainnya. Berikut kriteria diagnosis dispepsia
Harus menyertakan 1 atau lebih dari gejala mengganggu berikut ini untuk setidaknya 4 hari setiap
bulan:
2. Early satiation
lxvii
3. Sensasi nyeri epigastrium atau terbakar yang tidak terkait dengan defekasi
4. Setelah dilakukan evaluasi yang sesuai, gejala tidak dapat dijelaskan secara penuh oleh
Kriteria tersebut setidaknya telah terjadi selama 2 bulan sebelum penegakkan diagnosis.
1. Sindrom distres postprandial : rasa penuh postprandial yang mengganggu atau rasa
Sendawa berlebihan.
2. Sindrom nyeri epigastrium : rasa nyeri atau terbakar (cukup berat hingga mengganggu
aktivitas normal) yang terlokalisasi pada regio epigastrium. Rasa nyeri tidak meluas atau
terlokalisasi pada regio abdomen atau toraks lainnya dan tidak diperbaiki dengan defekasi
atau flatus.
Nyeri biasanya diinduksi atau diperbaiki dengan menelan makanan tetapi dapat
2. Pemeriksaan Fisik
lxviii
Pemeriksaan fisik pada kasus dispepsia fungsional anak dilakukan untuk menyingkirkan
kemungkinan diagnosis dari traktus gastrointestinal atas lain dan mencari tanda bahaya yang telah
dijelaskan pada bagian sebelumnya. Temuan utama pemeriksaan fisik dari dispepsia fungsional
dapat berupa rasa tidak nyaman pada palpasi abdomen regio epigastrium. Selain temuan tersebut,
pemeriksaan fisik umumnya tidak memberikan informasi diagnostik yang berguna bagi
penegakkan diagnosis dispepsia fungsional. Temuan lain pada palpasi, seperti massa abdominal
3. Pemeriksaan Laboratorium
Berbagai penelitian saat ini tidak menunjukkan bukti kuat yang mendukung nilai prediktif
pemeriksaan laboratorium darah terhadap dispepsia fungsional yang disertai atau tanpa disertai
tanda dan gejala bahaya. Selain itu, terdapat studi yang mengevaluasi manfaat dari pemeriksaan
laboratorium rutin, seperti hitung sel darah, laju endap darah, panel metabolik komprehensif,
urinalisis, dan analisis parasit tinja untuk membedakan antara nyeri abdomen organik dan
fungsional. Selanjutnya, beberapa studi telah mengevaluasi beberapa marker biologi spesifik,
seperti peningkatan konsentrasi plasma kolesistokinin, penurunan oksitosin plasma, dan penurunan
konsentrasi kortisol pada pasien anak dengan nyeri perut abdomen rekuren. Namun, nilai
pemeriksaan pemeriksaan tersebut dalam praktik klinis belum dapat ditentukan dan masih
Kondisi dimana pemeriksaan laboratorium darah perlu dilakukan adalah apabila terdapat
kecurigaan klinis terhadap anemia. Selain itu, apabila terdapat kecurigaan kemungkinan nyeri
epigastrium parah yang bersifat episodik diakibatkan oleh organ hepatobilier, pemeriksaan fungsi
liver perlu dilakukan. Skrining rutin terhadap pankreatitis dengan pemeriksaan serum amilasi atau
4. Esofagogastroduodenoskopi
lesi mukosa, termasuk esofagitis erosif, esofagitis eusinofilik, ulkus peptikum, dan tanda infeksi
lxix
H.pylori. Peran EGD pada kasus dispepsia fungsional adalah untuk menyingkirkan diagnosis yang
mendasari tanda dan gejala bahaya yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya. Temuan EGD
histologis gastritis ringan atau duodenitis tanpa lesi makroskopis. Namun, sebanyak 62% pasien
anak dengan dispepsia fungsional yang menjalani pemeriksaan EGD tidak menunjukkan adanya
temuan organik sehingga pedoman saat ini tidak menyarankan pemeriksaan endoskopi secara rutin
pada pasien anak. Pemeriksaan EGD diindikasikan pada anak dengan riwayat ulkus peptikum pada
keluarga atau infeksi H.pylori, anak berusia lebih dari 10 tahun dengan gejala yang menetap
Tatalaksana
kualitas hidup anak. Pada pasien anak dengan gejala intermiten ringan, modifikasi gaya hidup dan
edukasi dianggap cukup untuk meringankan gejala dispepsia fungsional. Tatalaksana medikamentosa
yang dikombinasikan dengan terapi tambahan, seperti terapi psikologis diindikasikan bagi pasien
yang tidak memberikan respon terhadap modifikasi gaya hidup tersebut. Berikut ini merupakan
1. Antisekretori
Antisekretori Protein Pump Inhibitor (PPI) paling sering digunakan dalam menatalaksana
dispepsia fungsional pada praktik sehari-hari adalah. Studi yang membandingkan penggunaan
PPI dan antagonis reseptor H 2 pada populasi pediatri dengan dispepsia fungsional menemukan
bahwa PPI 4.87 kali lebih cepat dalam memperbaiki gejala dispepsia dibandingkan antagonis
reseptor H2. Hal ini berkaitan dengan mekanisme kerja PPI, yaitu menghalangi pompa proton
(K+/H+adenosine triphosphatase) yang mentranspor ion H+ keluar dari sel parietal gaster. Selain
itu, PPI menginhibisi tiga reseptor, berupa reseptor histamin, asetilkolin muskarinik, dan gastrin.
Manfaat terapeutik PPI biasanya ditemukan setelah 4 minggu terapi dan dosis standar
lxx
menggunakan oomeprazole 20 mg atau lebih rendah (10 mg) diketahui efektif dalam
Antagonis reseptor serotonin, histamin H1, dan muskarinik, yaitu siproheptadin, sering
digunakan pada pasien pediatri dengan dispepsia fungsional. Agen tersebut diperkirakan bekerja
dengan meningkatkan relaksasi fundus dan selera makan. Siproheptadin dianggap aman dan
dapat memfasilitasi peningkatan berat badan pada pasien pediatri dengan underweight. Efek
selera makan, dan peningkatan berat badan. Selain itu, obat ansiolitik, seperti buspiron, juga
diketahui memperbaiki gejala terutama pada pasien dispepsia fungsional kelompok sindrom
distres postprandial.
3. Agen Prokinetik
Agen prokinetik digunakan bagi dispepsia fungsional dengan gejala dominan distres
postprandial, seperti rasa penuh dan kenyang lebih cepat. Agen yang biasa digunakan pada
trimebutine, mosapride, dan itopride. Namun, hingga saat ini data mengenai penggunaan
berbagai agen tersebut pada populasi pediatri masih sangat terbatas. Agonis reseptor motilin,
yaitu eritromisin dapat digunakan pada pasien pediatri karena dianggap efektif dan aman. Selain
itu, agen antagonis 5HT2A dan 2B, siprohepatidine juga diketahui efektif untuk menatalakasana
gejala dispepsia pada pasien pediatri. Mekanisme yang mendasari agen-agen tersebut
diperkirakan akibat relaksasi fundus dan perbaikan akomodasi gaster sehingga efektif dalam
mengatasi gejala mual, muntah, early satiety, dan nyeri abdomen setelah makanan dicerna. Di
sisi lain, agen agonis 5HT4, sisapride, merupakan agen prokinetik yang kuat dan efektif
digunakan pada kasus gastroparesis, namun terdapat efek samping yang memerlukan pemantauan
lxxi
Amitriptilin dalam dosis kecil telah digunakan dalam menatalaksana dispepsia fungsional
pada populasi pediatri dan dibuktikan melalui penelitian yang membandingkan penggunaan agen
tersebut dibandingkan plasebo pada pasien pediatri dengan dispepsia fungsional. Agen
antidepresan trisiklik diindikasikan bagi pasien dengan dispepsia fungsional yang didasari oleh
etiologi berupa kecemasan atau depresi. Selain itu, agen lain berupa toksin botulinum juga dapat
diberikan secara injeksi intrapilorus dan dianggap efektif dalam menatalaksana gejala, seperti
mual, muntah, nyeri abdomen, dan distensi. Agen ini dapat dipertimbangkan pemberiannya bagi
diidentifikasi sejak awal dan diintervensi dengan anjuran untuk menghindari keduanya.
Makanan yang sering memicu gejala pada dispepsia fungsional, di antaranya adalah
makanan pedas, makanan berlemak, makanan yang mengandung banyak gas, sedangkan
minuman yang sering memicu gejala adalah kopi. Selain itu, obat-obatan juga diketahui
fungsional. Suplemen yang telah disebutkan pada literatur mengenai dispesia fungsional
pada populasi dewasa salah satunya adalah akar jahe. Akar jahe direkomendasikan dengan
dosis bervariasi mulai dari 1 hingga 1.5 gram dan diberikan 30 menit hingga 1 jam sebelum
makan. Penelitian mengenai keamanan pemberian akar jahe pada anak hingga saat ini belum
dilakukan, namun pemberian akar jahe pada wanita hamil diketahui aman dan tidak berisiko
mengakibatkan malformasi kongenital. Pada anak yang tidak dapat menelan kapsul akar
jahe dapat diberikan dalam bentuk permen atau teh untuk lebih memudahkan pemberiannya.
Suplemen berikutnya adalah daun mint yang memiliki aktivitas antispasmodik pada otot
polos. Meskipun berbagai bukti penelitian telah mendukung pemberian daun mint dalam
lxxii
bentuk minyak, perhatian khusus perlu diberikan pada pasien anak dengan gejala refluks
asam lambung.
Terapi CBT diketahui efektif terhadap pasien dengan dispepsia fungsional dengan
riwayat kecemasan dan depresi. Penelitian yang dilakukan pada populasi dewasa
menunjukkan bahwa pasien yang ditatalaksana dengan medikamentosa dan CBT mengalami
perbaikan gejala terkait dispepsia fungsional. Identifikasi komorbid psikiatri pada pasien
pediatri dengan dispepsia fungsional dapat membantu pendekatan yang lebih komprehensif
untuk menatalaksana sindrom tersebut. CBT diketahui efektif untuk diberikan pada pasien
pediatri pada usia dini sekalipun. Hal ini ditunjukkan oleh keberhasilan pengendalian gejala
kecemasan sedang hingga berat pada pasien pediatri berusia 3-7 tahun setelah mendapatkan
CBT sebanyak rata-rata 8 sesi. Pada anak yang lebih muda, keterlibatan orang tua penting
untuk membantu menjembatani komunikasi antara terapis dan anak serta memberikan rasa
lxxiii
Gambar 1. Algoritma tatalaksana dispepsia fungsional pada pasien pediatri
Prognosis
Dispepsia fungsional merupakan suatu sindrom yang dapat berulang. Studi populasi
menunjukkan bahwa 15 sampai 20% pasien yang menerima tatalaksana masih mengalami gejala pada
lxxiv
periode follow up atau 3 bulan setelah mendapatkan tatalaksana, sedangkan 50% pasien mengalami
Tidak ada data yang menunjukkan bahwa dispepsia fungsional berkaitan dengan peningkatan tingkat
mortalitas. Meskipun demikian, sindrom dispepsia fungsional dapat mengakibatkan gangguan fisik
Daftar Pustaka
1. Kliegman, Robert. Nelson Textbook of Pediatrics. Edition 21. Philadelphia, PA: Elsevier, 2020
disorders related to abdominal pain using Rome III vs. Rome IV criterions. BMC Gastroenterol.
Nov;27(6):549–57.
4. Francis P, Zavala SR. Functional Dyspepsia. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL):
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK554563/
5. Colombo JM, Deacy AD, Schurman JV, Friesen CA. Heartburn in children and adolescents in
the presence of functional dyspepsia and/or irritable bowel syndrome correlates with the presence
2;100(13):e25426.
Mar;36(3):680–6.
lxxv
7. Madisch A, Andresen V, Enck P, Labenz J, Frieling T, Schemann M. The Diagnosis and
8. Dehghani SM, Imanieh MH, Oboodi R, Haghighat M. The Comparative Study of the
view/638
10. Romano C, Chiaro A, Comito D, Loddo I, Ferrau V. Proton pump inhibitors in pediatrics:
11. Yeh AM, Golianu B. Integrative Treatment of Reflux and Functional Dyspepsia in Children.
12. Chung E, Yardley J. Are there risks associated with empiric acid suppression treatment of infants
and children suspected of having gastroesophageal reflux disease? Hosp Pediatr. 2013 Dec
10;3:16–23.
13. Manini ML, Camilleri M. How does one choose the appropriate pharmacotherapy for pediatric
14. Légeret C, Stienen Y, Furlano R, Köhler H. Effectivity of treatment for children with functional
15. Yeh AM, Golianu B. Integrative Treatment of Reflux and Functional Dyspepsia in Children.
16. Minde K, Roy J, Bezonsky R, Hashemi A. The Effectiveness of CBT in 3–7 Year Old Anxious
Children: Preliminary Data. J Can Acad Child Adolesc Psychiatry. 2010 May;19(2):109–15.
lxxvi
lxxvii
SINDROM IRITASI USUS
Definisi
Sindrom iritasi usus atau Irritable bowel syndrome (IBS) merupakan salah satu penyakit
saluran cerna yang prevalensinya terus meningkat. Keluhan yang didapatkan adalah nyeri perut yang
disertai dengan perubahan tinja. Anak dengan gangguan ini biasanya mengalami nyeri episodik atau
berulang dengan intensitas nyeri bervariasi, dan biasanya mengganggu aktivitas anak. Sama halnya
dengan gangguan FGID lainnya, penegakkan diagnose IBS masih merupakan tantangan bagi tenaga
Epidemiologi
Prevalensi IBS didunia mencapai 10-15%. IBS seringkali ditemukan pada fasilitas kesehatan
tingkat pertama dan praktik gastroenterologi. IBS merupakan gangguan gastrointestinal yang paling
sering dijumpai dan mencakup 25-50% rujukan ke gastroenterologi. IBS umumnya bermanifestasi
pada masa kanak-kanak dan memuncak pada dewasa muda. Perbadingan rasio antara wanita dan pria
adalah 2:1, dan setengah dari populasi tersebut mencari pertolongan medis.
IBS merupakan gangguan gastrointestinal yang sering terjadi, terutama pada masa kanak-
kanak, lebih dari yang kita sadari. IBS lebih sering terjadi pada pasien yang memiliki kerabat dengan
gangguan serupa dan pada status sosioekonomi tinggi. Prevalensi IBS cenderung lebih tinggi di
negara-negara barat (~10%) dibandingkan di negara-negara Asia (~5%). Studi di Italia menunjukan
prevalensi IBS pada anak dari lahir hingga usia 12 tahun ialah 13.9%. Pada anak usia 14-17 tahun di
Terdapat bukti yang menunjukan perbedaan subtipe IBS pada regio yang berbeda di dunia. Di
Asia, Eropa barat, dan Amerika Utara tipe konstipasi lebih sering ditemukan; sedangkan di
lxxviii
Bangladesh dan India tipe diare lebih sering dijumpai; dan di Brazil tipe konstipasi dan diare
IBS juga diasosiasikan dengan riwayat pelecehan fisik, psikologis, dan atau seksual pada masa
balita, anak, atau remaja menurut studi di Amerika utara. Hal ini menunjukan bahwa ada faktor
psikologis dalam perjalanan penyakit IBS, hal serupa juga ditemukan sebagai faktor resiko di negara
lain.
Patofisiologi
Patofisiologi dari IBS diperkirakan melibatkan aksis otak-usus (brain-gut axis) dan meliputi
faktor stressor psikososial. Komponen stressor ini dapat melemahkan atau juga memperkuat
hipersensitivitas viseral. Patofisiologi IBS dipercaya terjadi akibat proses multifaktorial yang
kompleks dan perubahan multisistem. Model biopsikososial menjelaskan bahwa IBS terjadi karena
disfungsi aksis otak-usus yang dipengaruhi oleh kerentanan genetik, fisiologis, psikologis, variabel
Hipersensitivitas viseral adalah peningkatan persepsi dari pemicu mekanik yang diaplikasikan
pada usus, dimana akan timbul sebagai rasa tidak nyaman atau nyeri. Pada individu normal perubahan
fisiologis dari saluran pencernaan seperti motilitas atau distensi tidak menyebabkan rasa nyeri.
Apabila terjadi perubahan respon sensorik terhadap stimulus fisiologis, maka akan disebut sebagai
hipersensitivitas viseral. Terdapat dua tipe hipersensitivitas viseral, yaitu hiperalgesia (sensasi nyeri
berlebih sebagai respon terhadap stimulus normal) dan alodinia (peningkatan sensasi nosiseptif
sebagai respon terhadap stimulus normal). Hipersensitivitas viseral dianggap sebagai kunci dalam
patofisiologi IBS.
Sistem saraf enterik dan otak terintegrasi dan berkomunikasi melalui sistem saraf otonom dan
aksis hipotalamus-pituitari-usus. Komunikasi dua arah ini memungkinkan otak untuk mempengaruhi
fungsi usus dan usus mempengaruhi otak melalui serabut aferen simpatetik dan vagal. Stressor di
sistem saraf pusat atau stressor usus (contoh: inflamasi) dapat menyebabkan disregulasi dari aksis
otak-usus. Baik alterasi otak (model top-down) atau usus (model bottom-up) dapat menyebabkan
lxxix
Fungsi usus dan sensasi nyeri diregulasi secara sentral oleh emosi dan derajat kesadaran akan
gejala yang terjadi pada tubuh. Gejala berdasarkan model top-down (interaksi pikiran-tubuh)
kebanyakan terjadi dari sistem limbik, yang juga terlibat dalam pengaturan emosi. Beberapa studi
menyatakan bahwa faktor psikologis dapat mempengaruhi patofisiologi dan perjalanan IBS dengan
merubah pemrosesan sentral dari persepsi viseral dan modulasi motilitas usus.
Pemrosesan serebral dari nyeri viseral ialah kompleks dan memiliki banyak komponen.
Pencintraan neurologis pada aktivasi anterior cingulate cortex (ACC) yang merupakan bagian
emosional sistem limbik, menunjukan perbedaan antara pasien dengan IBS dan anak normal. Saat
terdapat stressor, pasien dengan IBS yang memiliki perubahan di ACC (pusat nyeri kritikal) dengan
amplifikasi persisten dari gejala dan respon stress berlebihan dapat menimbulkan gejala IBS, bila
motilitas pencernaan, akomodasi, dan transit usus pada pasien dengan IBS. Diperkirakan bahwa
stressor menyebabkan perubahan pada jaringan aminergik sentral melibatkan serotonin dan
noradrenalin. Hal ini berperan penting dalam patofisiologi IBS, terutama model top-down. Terdapat
juga laporan yang menyatakan asosiasi antara abnormalitas motilitas dengan paparan terhadap stress.
Mekanisme dasar yang menyebabkan IBS dan manifestasi klinis beragam pada setiap pasien,
pada beberapa kasus gejala terkait otak (lebih banyak faktor psikologis) lebih dominan dibandingkan
gejala terkait usus. Predominasi gejala dapat membantu praktisi untuk memahami mekanisme
patogenesis dan patofisiologi dari gejala sehingga mengarahkan tatalaksana. Pembelajaran sosial dan
coping maladaptif berperan besar pada patofisiologi IBS dan disabilitas yang terjadi.
Epitel usus sehat berperan sebagai sawar antara isi lumen dan tubuh. Pasien dengan predominan
gejala usus memiliki mekanisme peningkatan permeabilitas usus, perubahan flora usus, dismotilitas,
dan disregulasi imunitas usus atau inflamasi usus. Kombinasi peningkatan permeabilitas dan
gangguan flora usus berkontribusi pada nyeri kronik dengan menyebabkan inflamasi tingkat rendah
Fenomena IBS pasca infeksi diketahui dapat terjadi pada anak-anak. remaja, dan dewasa, hal
ini mungkin terjadi karena adanya sitokin inflamasi. [1] Basis inflamasi untuk gejala IBS didapatkan
lxxx
dari bukti adanya perubahan aktivitas imun mukosa, keberadaan sel infiltrat imun mukosa, proliferasi
sel mast pada jarak berdekatan dengan ujung saraf, dan peningkatan permeabilitas apical junction.
Respon inflamasi ini dapat terjadi akibat infeksi, alergi, atau reaksi idiopatik pencernaan. Meskipun
demikian pemberian anti-inflamasi untuk memperbaiki gejala IBS hingga saat ini belum memberikan
dalam aksis otak-usus. Aksis HPA diaktivasi baik oleh stress ekteroreseptif dan interoreseptif,
sehingga besar kemungkinan ada pengaruh terhadap model pato-fisologis. Aktivasi HPA akan
hormone (ACTH), dan kortisol. Peningkatan pelepasan CRH akan memicu sensitisasi sentral,
sementara ACTH dan kortisol cenderung untuk mengaktivasi sel imun dan aferen ekstrinsik primer di
Beberapa penelitian menunjukan adanya faktor genetik pada timbulnya IBS. Ditemukan anak
dengan gejala IBS memiliki orang tua dengan keluhan saluran cerna juga. Predisposisi genetik juga
meningkatkan kerentanan individu terhadap stress. Stress dapat mempengaruhi fungsi imun dan
meningkatkan inflamasi mukosa usus melalui alterasi aksis HPA dan flora bakteri.
Diagnosis
IBS meliputi nyeri perut yang disertai dengan perubahan defekasi, yaitu perubahan frekuensi
tinja dan atau perubahan bentuk/penampakan tinja. Skala Tinja Bristol dipakai sebagai acuan untuk
membantu mengklasifikasikan tipe IBS (Gambar 1). Penyakit IBS tidak dapat dijelaskan oleh kondisi
medis yang mendasari ataupun kondisi medis lain. Perlu diperhatikan bahwa nyeri tidak membaik
dengan resolusi dari konstipasi; jika nyeri membaik dengan resolusi konstipasi maka diklasifikasikan
lxxxi
Tipe 3 Berbentuk sosis, permukaannya retak
Kriteria diagnostik untuk IBS dibahas pada Tabel. 1. Diagnosa dari IBS murni berdasarkan
gejala yang disampaikan oleh orang tua dan pasien. Hingga saat ini tidak ada biomarker spesifik
untuk konfirmasi diagnosis dari IBS. Diagnosa banding dari IBS adalah gangguan anatomi, infeksi,
Pada anak dengan konstipasi, nyeri menetap walaupun konstipasi sudah teratasi
Setelah evaluasi menyeluruh, gejala tidak dapat dijelaskan oleh kondisi medis
lain.
lxxxii
Berdasarkan manifestasi klinisnya, IBS pada anak dibagi menjadi 4 grup: IBS dengan
predominan konstipasi (IBS-C), IBS dengan predominan diare (IBS-D), IBS dengan konstipasi dan
> 25% kasus dengan gerakan usus abnormal disertai tinja Bristol Tipe 1 dan
< 25% kasus dengan gerakan usus abnormal disertai tinja Bristol Tipe 6 dan
> 25% kasus dengan gerakan usus abnormal disertai tinja Bristol Tipe 6 dan
< 25% kasus dengan gerakan usus abnormal disertai tinja Bristol Tipe 1 dan
> 25% kasus dengan gerakan usus abnormal disertai tinja Bristol Tipe 1 dan
> 25% kasus dengan gerakan usus abnormal disertai tinja Bristol Tipe 6 dan
Kasus yang memenuhi kriteria IBS namun pola pergerakkan usus tidak
Anamnesa dan pemeriksaan fisik dengan teliti dapat menyingkirkan konstipasi fungsional pada
pasien IBS. Evaluasi klinis juga berperan untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi, malabsorpsi
karbohidrat, atau inflammatory bowel disease dari IBS-D. Adanya tanda bahaya menandakan
kemungkinan diagnosa lain atau penyakit organik lainya. Determinasi calprotectin feses semakin
lxxxiii
sering digunakan untuk mencari inflamasi mukosa usus dan ditemukan lebih baik dibandingkan
IBS dapat predominan diare atau konstipasi. Diare yang terjadi tidak disertai dengan darah. IBS
umumnya dieksaserbasi oleh situasi yang memicu stress atau makanan tertentu. Pasien seingkali
mengalami nyeri hebat yang menurunkan kualitas hidup mereka. Anak dengan IBS seringkali tidak
masuk sekolah, memiliki prevalensi kondisi psikiatri lebih tinggi (contoh: depresi, ansietas, dan
kepribadian introvert) dan gangguan sosial. Selain itu anak dengan IBS biasnya sulit untuk tidur.
Anamensa dengan teliti juga dapat membantu untuk menemukan mekanisme dan faktor yang
berkontribusi pada IBS yang dialami pasien, serta membantu meyakinkan keluarga bahwa praktisi
memahami dengan baik gejala yang dialami oleh pasien. Diagnosa dari IBS hanya berdasarkan
anamnesa dan pemeriksaan fisik saja, oleh sebab itu penting untuk melakukan hal ini dengan berhati-
hati. Praktisi perlu memperhatikan adanya tanda bahaya yang menunjukan adanya pernyakit organik,
tanda ini ditunjukan pada Tabel 2. Oleh karena tidak ada marka biologis yang dapat mengkonfirmasi
menyerupai IBS dengan diare (IBS-D). Telah diketahui bahwa gluten merupakan faktor pemicu
potensial pada pasien dengan IBS, bahkan saat hasil serologi negatif (sensitivitas gluten non-celiac).
Oleh sebab itu direkomendasikan pemeriksaan untuk penyakit celiac pada anak dengan IBS, terutama
pada daerah yang sering terjadi penyakit tersebut. Dengan meningkatnya prevalensi penyakit celiac
didunia, maka skrining penyakit ini pada anak dengan IBS-D merupakan langkah penting untuk
Tabel 2. Tanda bahaya (alarm signs) yang menunjukan penyakit organik pada IBS
Tanda bahaya meliputi berikut ini (tidak terbatas pada tanda ini saja):
Disfagia
lxxxiv
Vomitus persisten atau berat
Diare nokturnal
Penyakit perianal
Deselerasi pertumbuhan
Inflamasi sendi
Pubertas tertunda
Lesi oral
Ruam kulit
Bila ditemukan tanda bahaya penyakit organik, maka dilakukan pemeriksaan hemogram, laju
sedimentasi eritrosit (LED), CRP, calproctectin feses, albumin, dan darah pada feses untuk
menentukan diagnosa. Adanya anemia, darah pada feses, deselerasi pertumbuhan, dan peningkatan
diagnosa lain dari IBS. Endoskopi merupakan prosedur invasif yang memerlukan anastesi, oleh sebab
itu perlu edukasi yang baik dengan orang tua sebelum melakukan prosedur ini. Penelitian sebelumnya
secara signifikan menemukan sejumlah penyakit lain saat dilakukan endoskopi pada pasien dengan
IBS. Penyakit tersebut antara lain adalah infeksi H. pylori, ulkus peptikum, inflammatory bowel
disease, penyakit celiac, dan gastroenteritis eosinofilik. Pemeriksaan radiologi seperi ultrasonografi
(USG) abdomen dapat dilakukan pada pasien dengan jaundice, vomitus rekuren, dan gejala saluran
kencing yang signifikan. Selain dari gejala diatas, pemeriksaan USG biasanya tidak menemukan hasil
yang berarti.
lxxxv
Gambar 1. Alur diagnosis IBS
Tatalaksana
Tatalaksana dari IBS meliputi modifikasi diet, medikasi, dan intervensi psikologis. Modifikasi
diet dilakukan dengan mengurangi atau membatasi makanan yang dapat memicu gejala atau
menciptakan gas. Perubahan mikrobiota dengan menggunakan probiotik telah terbukti efektif sebagai
terapi IBS; medikasi lain yang dapat diberikan pada pasien IBS ditunjukan pada Tabel. 3.Minyak
peppermint telah terbukti dapat mengurangi nyeri pada anak dengan IBS. Terapi perilaku kognitif
juga penting untuk menemukan stressor psikososial dan menemukan mekanisme coping.
lxxxvi
Gejala ringan biasanya merespon dengan perubahan diet.
Antispasmodik dapat digunakan bila perlu untuk nyeri perut atau gejala
postprandial.
Alosetron hanya diberikan pada wanita dengan gejala IBS-D berat dan
lxxxvii
Terapi awal
jangka panjang.
gejala
Menhindari laktosa
intoleransi laktosa masih dapat bereaksi dengan komponen lain dari susu.
FODMAP
usus dan menyebabkan rasa tidak nyaman atau bahkan nyeri perut.
gejala nyeri perut, kembung, flatulensi, dan rasa tidak puas dengan
konsistensi tinja.
lxxxviii
Terdapat sedikit bukti mengenai efikasi terapi IBS pada anak. Keputusan pilihan terapi
seringkali berdasarkan pengalaman, pendapat ahli, dan ekstrapolasi dari studi pada orang dewasa.
Keluarga harus dijelaskan mengenai patofisiologi IBS dan pentingnya interaksi otak-usus, sehingga
pemberian terapi non-farmakologis dapat diterima dengan baik. Selain itu penting untuk meyakinan
anak bahwa praktisi dan keluarga yang merawat pasien percaya bahwa gejala yang dialami benar-
benar nyata dan tidak dibuat-buat, hal ini dilakukan agar tercipta rasa saling percaya antara anak dan
pengasuh.
Tujuan dari pengobatan juga harus didiskusikan terlebih dahulu dengan keluarga. Resolusi
penuh dari gejala bukanlah tujuan utama dari pengobatan, melainkan kembalinya aktivitas normal
sehari-hari tanpa adanya gangguan. Hal ini dilakukan agar keluarga tidak kecewa dengan hasil
1. Antispasmodik
Medikasi antikolinergik seringkali digunakan untuk gejala ameliorasi dari nyeri perut
kronik melalui inhibisi kontraksi otot halus. Dicyclomine dan hyoscyamine merupakan
antispasmodik yang umum diberikan pada anak-anak. Minyak peppermint yang diekstraksi
dari daun “Mentha piperita L” merelaksasi otot halus usus dengan memblokade kanal
kalsium. Selain itu minyak peppermint juga memiliki efek analgesik dengan mempengaruhi
reseptor transien kanal potensial. Kapsul minyak peppermint umum digunakan pada kasus
IBS karena dianggap sebagai obat alami dan efek samping yang minimal.
2. Antidepresan
digunakan untuk terapi IBS pada anak-anak. Meskipun penggunaan antidepresan sebagai
terapi IBS tidak memiliki bukti yang cukup kuat, pemberian obat ini sebagai terapi IBS masih
3. Probiotik
Adanya teori mengenai perubahan mikrobiota usus pada patogenesis IBS menyebabkan
tingginya penggunaan probiotik sebagai terapi IBS. Sebuah studi mengemukakan adanya
lxxxix
perbaikan gejala, nyeri perut, rasa kembung/gassines secara signifikan pada akhir pemberian
probiotik.
4. Gastroprokinetik
dan perbaikan gejala pada IBS yang disertai dispepsia fungsional. Pada sebuah studi
ditemukan juga perbaikan kondisi klinis umum dan derajat nyeri pada anak dengan functional
abdominal pain disorder (FAPD). Namun demikian perbaikan ini tidak ada hubungan dengan
Pemberian agen penekan asam lambung umum digunakan pada anak dengan FAPD,
mempertimbangkan nyeri yang timbul diakibatkan oleh gastritis. Sehingga pemberian agen
penekan asam lambung dapat dipertimbangkan pada pasien IBS. Namun demikian, penelitan
terbaru mengatakan adanya efek samping jangka panjang yang dikaitkan dengan pemberian
agen ini, dan juga adanya resiko untuk hiperasiditas dengan penghentian terapi. Oleh sebab itu
6. Antihistamin
Sebuah penelitan menemukan adanya hasil positif terhadap intensitas dan frekuensi
nyeri pada FAPD secara umum (tidak spesifik IBS). Namun jumlah sampel yang sedikit dan
alat penilaian yang tidak tervalidasi mengurangi legitimasi data. Oleh sebab itu perlu
dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pemberian antihistamin pada pasien dengan IBS.
Selain terapi farmakologis, diperlukan juga terapi non-farmakologis pada pasien dengan IBS.
Kebanyakan orang tua khawatir mengetahui apa penyebab nyeri pada anak mereka.
Seringkali orang tua menganggap bahwa nyeri perut merupakan kondisi medis seirus,
menyatakan bahwa tidak ada pemeriksaan klinis yang berarti penyakit organik serius, artinya
xc
anak menderita IBS. Pada tahap ini klinisi harus menjelaskan perjalanan penyakit dan
kemungkinan dalam jangka panjang. Hubungan yang baik antara klinisi dan orang tua dapat
membantu perbaikan dari gejala umum. Beberapa penelitian juga menyampaikan adanya
kasus dimana anak berhasil melewati gejala mereka dengan edukasi dan dukungan yang baik.
Namun demikian, perlu diingat edukasi dan konseling orang tua memakan waktu yang cukup
banyak dan kendala tersendiri, terutama saat gejala tidak menunjukan adanya perbaikan yang
signifikan. Oleh sebab itu, meluangkan waktu untuk menjelaskan kemungkinan perjalanan
penyakit dapat menjadi metode yang efektif untuk menangani kasus IBS.
2. Serat
Pemberian diet tinggi serat memperpendek waktu transit dalam usus, mempercepat
transit oral ke anal, dan mengurangi tekanan intra kolon. Hasil studi mengenai pemberian
serat masih rancu dan hingga saat ini belum ada persetujuan mengenai efek menguntungkan
dari suplementasi serat pada pasien IBS anak-anak. Apabila pemberian serat akan dilakukan,
pememberian serat yang dapat larut (soluble) lebih direkomendasikan dibandingkan serat
tidak larut (insoluble), karena serat tidak larut dapat menyebabkan nyeri perut atau perut
kembung. Sebuah studi mengenai partially hydrolyzed guar gum (PHGG) dibandingkan
plasebo menunjukan peningkatan gejala IBS, nyeri perut, dan normalisasi pola BAB dalam
3. Modifikasi diet
Studi pada orang dewasa menujukan keuntungan dengan eliminasi makanan yang
Saat FODMAP yang tidak tercerna melewati usus halus, terdapat peningkatan produksi gas
akibat fermentasi oleh koloni bakteri dan peningkatan retensi cairan di lumen usus
mengakibatkan distensi usus halus. Selain itu hasil produk fermentasi FODMAP seperti asam
xci
Terapi psikologis seperti CBT dapat membantu pengurangan gejala pada pasien IBS
dengan mengurangi aktivitas sistem saraf pusat pada fungsi usus. Intervensi CBT memberikan
pasien kemampuan untuk mengatur stres, ansietas, gejala gastrointestinal, dan dampak
emosional pada kehidupan sehari-hari yang diasosiasikan dengan IBS. Sebuah studi
menunjukan 3 sesi intervensi CBT yang berfokus pada mengurangi kekhawatiran orang tua,
modifikasi pandangan orang tua dan anak mengenai signifikansi nyeri (kognitif
disfungsional), dan meningkatkan kemampuan coping anak dapat mengurangi rasa nyeri dan
5. Hipnoterapi
adanya pengurangan rasa nyeri dan disabilitas serta peningkatan kualitas hidup anak. Efek
mengungtungkan dapat dipertahankan hingga 85% dalam jangka waktu 1 tahun, dan 68%
Daftar Pustaka
1. Kliegman RM. Nelson textbook of pediatrics. 21st edition. Philadelphia, MO: Elsevier; 2019.
https://journals.healio.com/doi/10.3928/00904481-20140325-08
3. van Tilburg MAL. Pediatric functional gastrointestinal disorders. In: Clinical and Basic
https://linkinghub.elsevier.com/retrieve/pii/B978012813037700039X
4. Ranuh IR, Athiyyah AF, Diana K NR, Juffrie M, Soenarto SS, Oswari H, et al. Buku Ajar
xcii
5. Hyams JS, Di Lorenzo C, Saps M, Shulman RJ, Staiano A, van Tilburg M. Childhood Functional
6. Kridler J, Kamat D. Irritable Bowel Syndrome: A Review for General Pediatricians. Pediatr Ann
20151208-01
7. Defrees DN, Bailey J. Irritable Bowel Syndrome. Primary Care: Clinics in Office Practice. 2017
Dec;44(4):655–71.
Child with Irritable Bowel Syndrome: A Review. J Natl Inst Neurosci Bangladesh. 2017 Sep
11;2(1):34–9.
10. Malagelada J. Management of irritable bowel syndrome in children. J Pediatrics & Pediatr Med.
xciii
KONSTIPASI FUNGSIONAL PADA ANAK
Definisi
Konstipasi adalah kondisi adanya gangguan buang air besar yang ditandai dengan defekasi
yang jarang atau kurang dari tiga kali per minggu atau defekasi yang terasa nyeri dengan feses yang
keras atau berkaliber besar. Sedangkan, konstipasi fungsional pada anak adalah konstipasi yang
terjadi selama minimal satu (pada bayi) atau dua bulan (pada anak > 4 tahun) tanpa penyebab organik,
seperti kelainan struktural atau biokimia. 1 Definisi konstipasi fungsional harus dibedakan dengan
definisi lainnya, seperti konstipasi yang tidak dapat tertangani, impaksi feses, atau obstipasi.
Konstipasi yang tidak dapat tertangani adalah konstipasi yang tidak berespon terhadap
pengobatan konvensional yang optimal selama minimal 3 bulan. Impaksi fekal adalah adanya massa
keras di perut bagian bawah yang diidentifikasi pada pemeriksaan fisik atau rektum yang terdilatasi
dan terisi dengan sejumlah besar tinja pada pemeriksaan dubur atau tinja yang berlebihan di kolon
distal pada radiografi perut.2 Sedangkan, obstipasi adalah kondisi kronis yang ditandai dengan adanya
Saat ini, kriteria definisi dan diagnostik konstipasi fungsional dapat menggunakan kriteria
ROME IV (Tabel 1). Kriteria ini merupakan kriteria yang diperbaharui dari ROME III, yang membagi
kriteria untuk anak-anak yang lebih muda (kelompok usia 0–4 tahun) dan anak yang telah dilatih
penggunaan toiletnya. Selain itu, durasi gejala dipersingkat dari 2 menjadi 1 bulan, untuk kelompok
Harus mencakup 1 bulan dari setidaknya 2 hal berikut pada bayi hingga usia 4 tahun:
xciv
3. Riwayat buang air besar yang menyakitkan atau keras
toileting
8. Setelah evaluasi yang tepat, gejala tidak dapat dijelaskan sepenuhnya dengan
Pada anak – anak dengan konstipasi fungsional, umumnya tidak didapatkan penyakit penyebab
atau penyakit organik yang mendasari terjadinya gejala ini. Namun, konstipasi dapat terjadi pada anak
– anak yang memiliki riwayat prematuritas, perkembangan mental terganggu. Perilaku menahan
buang air besar dianggap memainkan peran penting dalam patofisiologi konstipasi fungsional pada
anak kecil; pengalaman yang tidak menyenangkan dengan buang air besar (terutama buang air besar
yang menyakitkan) dapat menyebabkan anak secara sukarela menahan tinja mereka untuk
menghindari pengalaman yang tidak menyenangkan ini. Hal ini dapat menyebabkan lingkaran setan,
di mana retensi tinja sukarela menyebabkan peningkatan penyerapan air dari tinja dan dengan
demikian tinja lebih keras dan buang air besar secara inheren lebih sulit dan menyakitkan.
Epidemiologi
Konstipasi fungsional merupakan salah satu masalah gastrointestinal yang sering ditemukan
pada anak, dengan prevalensi 3%-9% di seluruh dunia. Konstipasi fungsional menyumbang lebih dari
95% kasus konstipasi pada anak-anak. 9 Pada 17% sampai 40% kasus konstipasi fungsinal anak
xcv
didapatkan bahwa konstipasi dimulai pada usia pertama kehidupan dengan onset usia rata-rata adalah
2,3 tahun. Prevalensi puncak adalah selama tahun-tahun prasekolah dan sangat umum terjadi pada
saat sekitar masa transisi ke makanan padat, pelatihan toilet, dan masuk sekolah. Konstipasi
fungsional sedikit lebih sering terjadi pada anak perempuan. Akibat cukup tingginya kondisi ini,
konstipasi fungsional sering terkait dengan distres pada anak dan orang tua, serta memiliki dampak
Manifestasi Klinis
Presentasi dari konstipasi fungsional dapat bervariasi pada anak-anak. Manifestasi yang utama
muncul dari konstipasi fungsional adalah anak tidak defekasi atau 2 kali defekasi dalam seminggu.
Gejala lain yang mungkin muncul antara lain buang air besar yang keras dan terasa sakit. Balita
terkadang menunjukkan inkontinensia tinja. Ketika anak-anak memiliki keinginan untuk buang air
besar, perilaku khas yang muncul yaitu mengontraksikan otot gluteal dengan menegangkan kaki,
memegang benda sambil berdiri, atau jongkok di sudut ruangan sambil menunggu untuk buang air
besar. Nyeri perut adalah gejala yang sering dikaitkan, tetapi keberadaannya tidak dianggap sebagai
Pada konstipasi fungsional, sering disertai dengan adanya enkopresis. Enkopresis didefinisikan
sebagai adanya pasase feses secara volunter atau involunter ke sembarang tempat minimal satu kali
sebulan selama tiga bulan berturut – turut. Konstipasi fungsional juga tampaknya meningkatkan risiko
gejala gangguan kandung kemih pada anak-anak berusia 4 hingga 17 tahun. Gejala gangguan kandung
kemih yang muncul antara lain kandung kemih overaktif, penurunan frekuensi berkemih, peningkatan
frekuensi berkemih, urgensi, dan inkontinensia urin. 12 Selain itu, terdapat beberapa gejala dan tanda
bahaya pada konstipasi yang dapat muncul dan harus mengingatkan klinisi terkait kemungkinan
xcvi
Pengeluaran mekonium >48 jam
Gagal tumbuh
Demam
Muntah empedu
Fistula perianal
Dimple sakrum
Patofisiologi
xcvii
Patofisiologi konstipasi fungsional pada anak-anak masih belum jelas diketahui, tetapi diduga
bersifat multifaktorial. Mekanisme yang paling umum untuk terjadinya kondisi ini adalah perilaku
menahan, sering dimulai setelah buang air besar yang menyakitkan. Feses yang tidak didefekasikan
tetap berada di rektum, mukosa rektum menyerap air kembali dari tinja yang tertahan, sehingga
menjadi lebih sulit untuk dikeluarkan. Lingkaran ini dapat menyebabkan impaksi tinja, hilangnya
sensasi di anus, dan pada akhirnya, kehilangan dorongan normal untuk buang air besar.
Dalam subkelompok anak-anak, konstipasi fungsional dapat disebabkan oleh transit yang
lambat. Sel-sel interstisial Cajal memainkan peran penting dalam motilitas usus. Sel-sel ini dapat
dianggap sebagai alat pacu yang menghasilkan gerak peristaltik di usus. Banyak publikasi melaporkan
temuan histologis yang konsisten pada anak-anak dengan semua bentuk konstipasi memiliki jumlah
sel interstisial Cajal yang rendah, meskipun jumlah sel interstisial Cajal yang normal pada anak yang
sehat masih belum jelas. Konstipasi akibat waktu transit yang lambat ini juga dikaitkan dengan kadar
zat P yang rendah dan peptida usus vasoaktif di kolon transversal kanan, tetapi temuan ini tidak
Banyak pasien dengan konstipasi fungsional memiliki riwayat keluarga dengan konstipasi
fungsional, hal ini menunjukkan bahwa faktor genetik mungkin berperan, meskipun mutasi belum
ditemukan. Konstipasi fungsional juga dikaitkan dengan gangguan perkembangan saraf seperti
gangguan spektrum autisme (ASD). Patofisiologi keterkaitan ini masih belum jelas. tetapi diduga
karena kurangnya perilaku yang memadai dalam menanggapi rasa ingin defekasi pada anak dengan
ASD. Genetika dan adanya sindrom gen berdekatan yang dihasilkan dari mutasi pada beberapa gen
yang berdekatan, disbiosis, dan pemrosesan sensorik atipikal juga telah diduga sebagai penjelasan
yang mungkin untuk hubungan yang konsisten antara ASD dan konstipasi fungsional.
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik (Tabel 3), dan meskipun
xcviii
Anamnesis
Deskripsi gejala subjektif tidak dapat diandalkan pada bayi dan banyak anak <8 tahun, dan
beberapa gejala konstipasi pada bayi dan anak-anak tidak spesifik. Peran utama anamnesis dan
pemeriksaan fisik dalam evaluasi konstipasi adalah untuk menyingkirkan gangguan lain yang muncul
Informasi yang harus dicari secara aktif adalah usia timbulnya gejala, keberhasilan atau
kegagalan pelatihan toilet/ toilet training, frekuensi dan konsistensi feses (sebaiknya dinyatakan
sesuai dengan skala tinja yang ada seperti skala Bristol atau skala Lane, yang merupakan skala Bristol
yang dimodifikasi untuk anak-anak, nyeri dan/atau perdarahan saat buang air besar, adanya nyeri
perut atau inkontinensia feses (jika ada, apakah itu juga nokturnal), perilaku menahan, riwayat diet,
perubahan pola makan, mual dan/atau muntah, dan penurunan berat badan.
Informasi lain yang juga harus diperoleh adalah riwayat pengobatan sebelumnya dan sekarang,
seperti penggunaan obat pencahar oral, enema, supositoria, pengobatan herbal, perilaku berobat, dan
obat-obat lainnya. Riwayat perkembangan dan psikososial juga harus ditanyakan, seperti ganggaun
aktivitas, interaksi dengan teman sebaya, atau tempramen. Selain itu, riwayat keluarga juga perlu
dievaluasi, seperti riwayat gangguan gastrointestinal dan gangguan organ lainnya (tiroid, paratiroid,
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik harus berfokus secara spesifik pada parameter pertumbuham pemeriksaan
abdomen (tonus otot, distensi, massa tinja), inspeksi area perianal (posisi anus, adanya tinja di sekitar
anus, eritema, skin tags, fisura anal), dan pemeriksaan area lumbosakral (dimple, tuft of hair, deviasi
celah gluteus, agenesis sakrum, bokong yang datar). Refleks anus dan kremaster serta pemeriksaan
neuromuskular tungkai seperti tonus, kekuatan otot, dan refleks tendon dalam juga harus dilakukan.
Pemeriksaan colok dubur harus dilakukan agar dapat mengevaluasi adanya stenosis anal atau massa
xcix
tinja. Namun, bukti yang ada tidak mendukung penggunaan pemeriksaan colok dubur untuk
Tabel 3. Kunci utama temuan anamnesis dan pemeriksaan fisik pada evaluasi
Anamnesis
fisura, perubahan pola diet, infeksi, mulai sekolah, takut dan fobia,
Pemeriksaan fisik
Umumnya tampak baik, berat dan tinggi badan dalam batas normal,
Pertumbuhan normal
Pemeriksaan penunjang
abdomen dan waktu transit kolon (colonic transit time/ CTT) tidak didukung untuk mendiagnosis
c
konstipasi fungsional. Namun, terdapat beberapa penelitian yang dilakukan untuk mengevaluasi
radiografi abdomen sebagai alat diagnosis konstipasi fungsional. 2 Penelitian Barr dkk21 adalah
penelitian pertama yang mengembangkan skor radiografi abdomen untuk mendiagnosis konstipasi
fungsional. Sistem penilaian Barr berkisar dari 0 sampai 25, dengan skor total >10, menunjukkan
retensi tinja yang berlebihan. Barr et al melaporkan sensitivitas 80% (IK 95%; 65-90) dan spesifisitas
90% (IK 90%; 74-98) menggunakan sistem penilaian ini. Benninga et al 22 juga menggunakan sistem
penilaian Barr dan melaporkan sensitivitas yang lebih rendah 60% (IK 95%; 46-72) dan spesifisitas
43% (IK 95%; 18-71). Kemudian, Leech et al 23 mengembangkan sistem penilaian di mana radiografi
abdomen dibagi menjadi 3 segmen. Setiap segmen diberi skor dari 0 hingga 5, dengan rentang skor 0
hingga 15. Skor total 8 hingga 15 menunjukkan konstipasi. Penelitian ini menghasilkan sensitivitas
76% (IK 95%; 58 – 89) dan spesifisitas 75% (IK 95%; 63 – 85). Pedoman ESPGHAN dan
NASPGHAN menyatakan bahwa radiografi polos abdomen dapat digunakan pada anak yang diduga
mengalami impaksi feses namun pemeriksaan fisiknya tidak dapat diandalkan/tidak memungkinkan.
Selain itu, pemeriksaan waktu transit kolon mungkin berguna untuk membedakan antara konstipasi
fungsional dan inkontinensia fekal nonretentif fungsional dan dalam situasi di mana diagnosis tidak
jelas.2 Beberapa pemeriksaan penunjang lainnya seperti manometri kolon, biopsi ketebalan kolon,
skintigrafi kolon juga tidak disarankan untuk digunakan dalam diagnosis konstipasi fungsional. 2
Tatalaksana
Farmakologi
Bukti yang ada menunjukkan bahwa PEG dan enema / laksatif efektif untuk diberikan pada
impaksi feses. PEG lebih efektif dibandingkan dengan laktulosa, susu magnesium, minyak mineral,
atau plasebo. Selain itu, laktulosa dianggap aman untuk segala usia. Untuk alasan ini, laktulosa
direkomendasikan jika PEG tidak tersedia. Tatalaksana farmakologi konstipasi terdapat pada tabel 4. 2
Penggunaan PEG dengan atau tanpa elektrolit oral selama 3 sampai 6 hari direkomendasikan
sebagai terapi lini pertama pada anak denggn impaksi feses. Apabila tidak ada PEG, maka
ci
penggunaan laktulosa atau enema satu kali per hari selama 3 sampai 6 hari dapat diberikan. Dosis
awal PEG adalah 0.4 g/kg/hari dan dapat disesuaikan dengan respon klinis. Penambahan enema pada
penggunaan kronis PEG tidak direkomendasikan. Terapi pemeliharaan ini dapat dilanjutkan selama
minimal 2 bulan. Seluruh gejala konstipasi harus hilang dalam waktu minimal 1 bulan sebelum
Laksatif osmotik
Susu magnesium 2-5 thn: 0.4-1.2 g/hari, satu kali atau terbagi
Pelembut feses
Minyak mineral 1-18 thn: 1-3 cc/kg/hari, satu kali atau terbagi
Laksatif stimulan
Laksatif/enema rektum
cii
> 10 thn: 5-10 mg/hari
Intervensi diet
asupan serat yang normal, asupan cairan yang cukup, penggunaan prebiotik, dan aktivitas
Asupan cairan dan serat yang cukup (usia anak ditambah 5-10 gram per hari) sangat
penting dalam pencegahan dan pengobatan konstipasi fungsional pada anak. 25 Di sisi lain,
bukti tidak mendukung penggunaan ekstra asupan cairan dalam pengobatan konstipasi
fungsional. Asupan serat yang berlebihan, di sisi lain, tidak memberikan manfaat yang
signifikan dalam pengobatan konstipasi fungsional dan harus dihindari pada anak-anak
dengan impaksi tinja dan pada mereka dengan perilaku menahan tinja karena dapat
memperburuk gejala.26
Lubiprostone, linaclotide, dan prucalopride adalah obat yang terbukti efektif pada orang dewasa
dengan konstipasi. Namun, tidak ada penelitian acak yang dipublikasikan pada anak-anak sampai saat
ini.2
ciii
Efek terapi biofeedback dan fisioterapi panggul untuk pengobatan konstipasi fungsional masih
tambahan terapi farmakologis dan perilaku untuk pasien dengan defekasi dissinergik. Bukti saat ini
tidak mendukung rutinitas penggunaan pelatihan biofeedback dan fisioterapi panggul dalam
Stimulasi listrik transkutan adalah bentuk non-invasif dan tanpa rasa sakit dari terapi
interferensi di mana 4 elektroda permukaan dipasangkan pada kulit (2 di abdomen, tepat di bawah
batas kosta; 2 paraspinal, di atas otot antara segmen tulang belakang T9 dan L2), yang menghasilkan
2 arus sinusoidal yang melintasi tubuh. 28 Pada RCT yang ada, peneliti melaporkan peningkatan
kualitas hidup yang signifikan pada anak-anak yang diterapi dengan TNS; namun, skor dasar kualitas
hidup dalam 2 kelompok tidak sama, sehingga menghalangi nilai dari kesimpulan yang ada. Selain
itu, dalam laporan lain, TNS menurunkan waktu transit pada pasien yang diobati tetapi tidak ada data
tentang pola dan frekuensi tinja yang dilaporkan. 29 Sehingga, pedoman menyatakan bahwa bukti yang
ada tidak mendukung penggunaan TNS pada anak-anak dengan konstipasi berat.
Edukasi
Edukasi merupakan salah satu terapi non-farmakologis untuk konstipasi fungsional, yang terdiri
dari penjelasan kepada anak dan orang tua, demistifikasi, pemberian saran mengenai diet teratur
(cukup serat dan asupan cairan) dan pelatihan toilet anak yang lebih besar. Anak dapat diedukasi
mengenai pentingnya untuk mengurangi rasa takut dan, jika mungkin, membuat anak dan orang tua
memahami mekanisme patofisiologi yang mendasarinya dan kebutuhan untuk belajar mengenalinya
Prognosis
civ
Sekitar 80% dari anak-anak yang ditatalaksana secara adekuat di awal perjalanan penyakit
dapat pulih tanpa menggunakan obat pencahar pada 6 bulan tindak lanjut, dibandingkan dengan hanya
32% dari anak-anak dengan keterlambatan dalam terapi. Data ini menunjukkan bahwa intervensi
terapeutik awal yang memadai lebih mungkin bermanfaat dan berkontribusi pada keberhasilan
tatalaksana konstipasi. Studi menunjukkan terdapat tingkat pemulihan sekitar 50% hingga 60%
setelah 1 tahun perawatan intensif. Setelah 10 tahun, terdapat tingkat pemulihan yang mencapai 80%
pada anak-anak yang ditatalaksana dengan adekuat, dan sebagian besar pasien tidak lagi
menggunakan obat pencahar. Pada pasien yang dirujuk ke ahli gastroenterologi anak, penundaan
perawatan medis awal selama >3 bulan sejak timbulnya gejala berkorelasi dengan durasi gejala yang
lebih lama.31,32
Daftar Pustaka
1. Leung AK, Hon KL. Paediatrics: how to manage functional constipation. Drugs Context. 2021
Mar 26;10:2020-11–2.
2. Tabbers MM, DiLorenzo C, Berger MY, Faure C, Langendam MW, Nurko S, et al. Evaluation
Feb;58(2):258–74.
cv
3. What is Obstipation (obstinate constipation) - Meaning and definition - Pallipedia [Internet].
challenges and solutions. Pediatr Health Med Ther. 2017 Mar 9;8:19–27.
5. Zeevenhooven J, Koppen IJN, Benninga MA. The New Rome IV Criteria for Functional
2017;20(1):1.
6. Kliegman RM. Nelson textbook of pediatrics. 21st edition. Philadelphia, MO: Elsevier; 2019.
7. van den Berg MM, Benninga MA, Di Lorenzo C. Epidemiology of childhood constipation: a
8. Koppen IJN, Vriesman MH, Saps M, Rajindrajith S, Shi X, van Etten-Jamaludin FS, et al.
9. Philichi L. Management of Childhood Functional Constipation. J Pediatr Health Care Off Publ
10. Waterham M, Kaufman J, Gibb S. Childhood constipation. Aust Fam Physician. 2017
Dec;46(12):908–12.
12. van Summeren JJGT, Holtman GA, van Ommeren SC, Kollen BJ, Dekker JH, Berger MY.
13. Mugie SM, Di Lorenzo C, Benninga MA. Constipation in childhood. Nat Rev Gastroenterol
cvi
14. Rajindrajith S, Devanarayana NM. Constipation in Children: Novel Insight Into Epidemiology,
15. Knowles CH, Farrugia G. Gastrointestinal neuromuscular pathology in chronic constipation. Best
16. King SK, Sutcliffe JR, Ong S-Y, Lee M, Koh TL, Wong SQ, et al. Substance P and vasoactive
intestinal peptide are reduced in right transverse colon in pediatric slow-transit constipation.
17. Peeters B, Benninga MA, Hennekam RC. Childhood constipation; an overview of genetic studies
and associated syndromes. Best Pract Res Clin Gastroenterol. 2011 Feb 1;25(1):73–88.
18. Samsam M, Ahangari R, Naser SA. Pathophysiology of autism spectrum disorders: revisiting
7;20(29):9942–51.
19. Longstreth GF, Thompson WG, Chey WD, Houghton LA, Mearin F, Spiller RC. Functional
20. Chumpitazi BP, Self MM, Czyzewski DI, Cejka S, Swank PR, Shulman RJ. Bristol Stool Form
Scale Reliability and Agreement Decreases When Determining Rome III Stool Form
Designations. Neurogastroenterol Motil Off J Eur Gastrointest Motil Soc. 2016 Mar;28(3):443–8.
21. Barr RG, Levine MD, Wilkinson RH, Mulvihill D. Chronic and occult stool retention: a clinical
tool for its evaluation in school-aged children. Clin Pediatr (Phila). 1979 Nov;18(11):674, 676,
677–9, passim.
22. Benninga MA, Büller HA, Staalman CR, Gubler FM, Bossuyt PM, van der Plas RN, et al.
Defaecation disorders in children, colonic transit time versus the Barr-score. Eur J Pediatr. 1995
Apr;154(4):277–84.
23. Leech SC, McHugh K, Sullivan PB. Evaluation of a method of assessing faecal loading on plain
cvii
24. Gordon M, MacDonald JK, Parker CE, Akobeng AK, Thomas AG. Osmotic and stimulant
laxatives for the management of childhood constipation. Cochrane Database Syst Rev. 2016 Aug
17;(8):CD009118.
25. Axelrod CH, Saps M. The Role of Fiber in the Treatment of Functional Gastrointestinal
26. Piccoli de Mello P, Eifer DA, Daniel de Mello E. Use of fibers in childhood constipation
treatment: systematic review with meta-analysis. J Pediatr (Rio J). 2018 Oct;94(5):460–70.
27. Brazzelli M, Griffiths P. Behavioural and cognitive interventions with or without other
treatments for the management of faecal incontinence in children. Cochrane Database Syst Rev.
28. van Wunnik BPW, Baeten CGMI, Southwell BR. Neuromodulation for constipation: sacral and
transcutaneous stimulation. Best Pract Res Clin Gastroenterol. 2011 Feb 1;25(1):181–91.
29. Clarke MCC, Chase JW, Gibb S, Robertson VJ, Catto-Smith A, Hutson JM, et al. Decreased
colonic transit time after transcutaneous interferential electrical stimulation in children with slow
30. Koppen IJN, Lammers LA, Benninga MA, Tabbers MM. Management of Functional
31. Pijpers M a. M, Bongers MEJ, Benninga MA, Berger MY. Functional constipation in children: a
systematic review on prognosis and predictive factors. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2010
Mar;50(3):256–68.
32. Bongers MEJ, van Wijk MP, Reitsma JB, Benninga MA. Long-Term Prognosis for Childhood
cviii
Functional Abdominal Pain – Not Otherwise Specified
Definisi
salah satu gangguan yang paling sering ditemukan pada masa anak-anak dan menyerang hingga 25%
dari seluruh anak dan bayi di seluruh dunia. Karena adanya etiologi biopsikososial yang melibatkan
interaksi kompleks pada aksis gut-brain, FAPD saat ini disebut sebagai ‘gangguan interaksi perut-
otak (gut-brain)’. Selain itu, aksis gut-brain saat ini disebut sebagai ‘aksis mikrobiota gut-brain’.
Gangguan nyeri abdomen fungsional sendiri terbagi menjadi beberapa bagian menurut kriteria Rome
IV. Salah satu tipe yang paling umum adalah functional abdominal pain – not otherwise specified
(FAP-NOS). FAP-NOS pada kriteria Rome IV menggantikan diagnosis pada kriteria Rome
sebelumnya yaitu functional abdominal pain dan functional abdominal pain syndrome. Kedua
diagnosis ini pada kriteria Rome III telah digantikan oleh FAP-NOS pada kriteria Rome IV.
Anak-anak dengan FAP-NOS mengalami episode nyeri abdomen (setidaknya 4 kali dalam
satu bulan), tanpa kriteria yang mencukupi untuk IBS (irritable bowel syndrome). Gejala pada FAP-
NOS adalah nyeri abdomen episodik atau nyeri kontinu yang tidak terjadi hanya pada kejadian
fisiologis dan tidak memenuhi kriteria FAPD lainnya. Kriteria untuk gangguan ini telah disamakan
dengan kriteria dewasa dan kriteria FAPD lainnya. Pada dasarnya, FAP-NOS merupakan diagnosis
eksklusi FGID.
Epidemiologi
Diketahui sekitar 35% hingga 38% anak usia sekolah dasar melaporkan adanya nyeri
abdomen setiap minggu. Hanya sekitar satu pertiga dari anak-anak ini yang memenuhi kriteria Rome
untuk diagnosis FAPD apapun. Prevalensi FAP-NOS diperkirakan sekitar 2.7% pada anak-anak di
Kolombia dan di Sri Lanka yang berusia sekolah. Penelitian yang menggunakan laporan orang tua
cix
melaporkan adanya 1.2% prevalensi FAP-NOS di komunitas Amerika Serikat dan 2% di anak-anak
sekolah di Jerman.
Penelitian Thapar et al. melaporkan kumpulan prevalensi 2.3% untuk FAP-NOS yang
berkisar dari 0.3% dan 5.2%. Mayoritas penelitian dilakukan di Amerika bagian Utara, Amerika
Selatan, dan Asia. Prevalensi FAP-NOS di Asia dilaporkan sebesar 3.1% dan 1.7% di Eropa. Hanya
ada satu penelitian yang dilakukan di Afrika yang melaporkan prevalensi 5.6%. Selain itu, penelitian
juga melaporkan prevalensi FAP-NOS yang lebih tinggi pada anak perempuan, sesuai dengan temuan
meta-analisis. Prevalensi menurut anak laki-laki dan perempuan adalah masing-masing 2% dan 3%.
Penelitian lainnya oleh Kakotrichi et al. melaporkan prevalensi antara 0.3-19% di populasi pediatrik
dengan puncak pada usia 4-6 tahun (sedikit lebih sering pada anak laki-laki) dan pada remaja muda
(lebih sering pada perempuan). Pada suatu metaanalisis tahun 2015 yang melibatkan 58 penelitian dan
196.472 anak dari seluruh dunia, prevalensi yang dilaporkan adalah 13.5%.
Patofisiologi
Secara umum FGID (termasuk FAP-NOS) melibatkan dua mekanisme dalam patogenesisnya,
yaitu hipersensitivitas visceral dan central hypervigilance. Kedua hal ini menandakan adanya ambang
sensitivitas yang lebih rendah terhadap stimulus di usus dan gangguan proses sensasi nyeri di otak
dari serabut sensorik di traktus GI. Penelitian yang membedakan FAP-NOS dan IBS memberikan
kesan bahwa anak-anak dengan FAP-NOS secara umum tidak memiliki hipersensitivitas rektum,
berlawanan dengan anak yang memiliki IBS. Dilaporkan bahwa anak dengan FAP-NOS memiliki
kontraksi antrum yang lebih rendah dan pengosongan makanan cair yang lebih lambat dibandingkan
kontrol sehat, tetapi signifikansi klinis dari temuan ini masih tidak jelas. Terdapat bukti adanya
hubungan antara distres psikologis dan nyeri abdomen kronis pada anak dan remaja. Nyeri abdomen
kronik telah dikaitkan dengan kejadian hidup yang membuat stres, seperti perceraian orang tua, rawat
inap di rumah sakit, bullying, dan kekerasan pada masa kanak-kanak. Luaran dari FAPD dipengaruhi
cx
Di masa lalu, anak-anak dengan nyeri abdomen kronik atau rekuren menjalani evaluasi dan
pemeriksaan yang menyeluruh, bahkan terkadang hingga berlebihan. Mayoritas anak-anak tidak
memiliki patologi yang objektif dan disebut memiliki “nyeri abdomen rekuren.” Dokter dan keluarga
seringkali mengalami frustrasi karena tidak memiliki jawaban terhadap kondisi yang menyebabkan
nyeri abdomen tersebut selain menyingkirkan penyakit serius. Model teori terdahulu telah
diperbaharui dengan model baru yaitu model biopsikososial. Model ini menyatakan bahwa gejala bisa
dipengaruhi oleh penyakit, sakit psikologis, kesulitan perkembangan, faktor sosial, genetik, dan
gangguan fungsional. Pendekatan dualistik yang lama memberikan kesan bahwa tidak ada penyakit
pada tubuh dan nyeri yang dirasakan adalah nyeri imajiner; namun, model biopsikososial
menggabungkan interaksi pikiran dan tubuh menjadi suatu pemahaman terhadap seseorang.
Model biopsikososial ini mendefinisikan bahwa FGID sebagai gejala gastrointestinal terjadi
dari kombinasi kejadian awal kehidupan yang meliputi genetik, faktor lingkungan (trauma, infeksi,
perilaku orang tua), faktor psikososial (stres dalam kehidupan, sifat kepribadian, kondisi psikologis,
coping, dukungan sosial), dan faktor fisiologis (gangguan motilitas, hipersensitivitas visceral,
gangguan proses SSP, gangguan fungsi mukosa dan imun, gangguan mikrobiota usus.
Hipersensitivitas visceral. Reseptor nyeri visceral (nociceptor) pada saraf aferen dari sistem saraf
inherent traktus GI (sistem saraf enterik) merespon beberapa stimulus, seperti mekanis (kontraksi,
distensi) dan kimiawi (senyawa P, bradikinin, serotonin, histamin) yang dilepaskan sebagai respon
terhadap iskemia atau inflamasi. Sinyal dari saraf aferen yang terstimulasi melewati ganglia
paravertebral (atau mendekati) pada jalurnya menuju medula spinalis. Dari posisi ini, terdapat sinyal
ke otak untuk proses (lokasi, konteks) dan melalui jalur refleks ke sel ganglion otonom, yang
memengaruhi fungsi sekretorik dan motorik. Pada anak dengan FAPD, kedua tipe neuron aferen
(neuron yang merespon stimulus tekanan rendah (nociceptor) dan stimulus tekanan tinggi) menjadi
tersensitisasi dan menunjukkan perubahan pola eksitasi yang tercetuskan pada ambang yang lebih
rendah.
cxi
Central hypervigilance. Koordinasi fungsi perut dengan keseluruhan homeostasis tubuh memerlukan
komunikasi terus menerus antara SSP dan traktus GI. Proses sinyal nyeri visceral juga dilakukan oleh
SSP dan memberikan informasi kontekstual serta menentukan respon yang sesuai. Bukti
menunjukkan bahwa perubahan proses sentral menyebabkan terjadinya FAPD, dengan memengaruhi
persepsi nyeri pada individu-individu tersebut. Secara keseluruhan, tingkat responsif yang semakin
meningkat ini tidak hanya menyebabkan peningkatan sensasi nyeri dan kesadaran tetapi juga
disregulasi epitel lambung-usus (contohnya imun dan permeabilitas) serta fungsi neuromuskular yang
Nyeri atau stres di awal kehidupan tampaknya bisa menyebabkan nyeri abdomen kronik
nantinya melalui perkembangan hipersensitivitas visceral. Nyeri abdomen bisa menjadi hasil dari
peningkatan sensitisasi neuron sentral. Perkembangan perubahan pada SSP telah diteliti pada
neonatus. Paparan terhadap iritasi kolon pada neonatus tikus (model penelitian hewan) berakibat pada
perubahan permanen di neuron spinal yang menyebabkan hipersensitivitas visceral dan penurunan
ambang nyeri ketika dewasa. Bayi dengan riwayat operasi sebelumnya juga diketahui memiliki
kebutuhan lebih untuk anestesia saat prosedur serta pengendalian nyeri pascaoperasi yang lebih tinggi.
Neuron sensorik dari sistem saraf enterik (ENS) juga tampaknya memiliki ambang sensorik yang
lebih rendah dan peningkatan pensinyalan ke SSP pada individu dengan FAPD. Stres tampaknya
merupakan satu pencetus untuk FGID pada anak-anak. Penelitian hewan juga menunjukkan adanya
perkembangan hipersensitivitas visceral setelah kejadian yang menyebabkan stres. Kejadian stres juga
coerulus, dan amigdala pada penelitian yang menggunakan tikus dewasa. Mekanisme ini mengubah
set point dari sistem CRF dan bisa memengaruhi respon organisme terhadap stres dan nyeri nantinya.
Sinyal nyeri yang dikirim oleh ENS mengalami proses di medula spinalis oleh neuron inhibitorik atau
cxii
Genetik
Clustering FGID di keluarga memberikan kesan adanya kemungkinan penyebab genetik dari
nyeri abdomen kronik walaupun temuan ini bisa dijelaskan oleh faktor lingkungan yang umum.
Penelitian pada pasien kembar tidak memberikan data yang konsisten; akan tetapi, beberapa penelitian
dari Amerika Serikat, Australia, dan Norwegia telah menunjukkan peningkatan kejadian IBS pada
anak kembar. Penelitian yang ada telah mengidentifikasi banyak gen dan produk gen yang bisa
menyebabkan perubahan sensitivitas visceral dan proses nyeri. Hal ini meliputi reseptor α2-
adrenergik, reseptor serotonin, transporter serotonin dan norepinefrin, interleukin-10, tumor necrosis
factor-α, TNF superfamily member 15, G protein (terlibat pada pensinyalan intrasel dan kanal ion).
Dengan menggunakan pemeriksaan asosiasi genome-wide dan data dari Screening Across the
Lifespan Twin Study, ditemukan lokus pada 7p22.1 yang menunjukkan peningkatan risiko genetik
untuk FGID (terutama IBS), Area ini memetakan 2 gen, yaitu gen KDEL reseptor 2 (KDELR2) yang
interacting protein (GRID2IP) di otak. KELR2 tampaknya berperan dalam vescile trafficking dan
transport ke retikulum endoplasma. Gen tampaknya lebih banyak terekspresikan di rektum pasien
dengan FGID. GRID2IP mengkode suatu protein (delphilin) yang berperan dalam neurotransmisi
glutamatergik.
Faktor Psikososial
Penelitian telah menunjukkan adanya peningkatan angka stres, ansietas, dan depresi pada
pasien dengan FGID. Anak-anak dengan FAP-NOS memiliki kualitas hidup yang menurun, sering
menghindari sekolah, absen sekolah, dan mengalami kesulitan sosial. Sindroma nyeri ini tidak
berlangsung sejenak. Pada 25% hingga 45% dari pasien, gejala-gejala ini tetap bertahan hingga 5
tahun. Anak dengan gejala somatik ekstraintestinal seperti pusing, nyeri punggung, nyeri kepala, dan
depresi, lebih mungkin mengalami FGID yang bisa bertahan hingga masa dewasa muda. Penting
cxiii
untuk diketahui bahwa 50% dari anak dengan FGID tidak memiliki masalah emosional, perilaku, atau
fungsi sosial.
Faktor Fisiologis
Jaringan komunikasi antara perut dan otak meliputi SSP (otak dan medula spinalis), sistem
saraf otonom, eNS, dan aksis HPA. Sensasi dari traktus gastrointestinal merupakan hasil dari
pensinyalan mekanoreseptor pada terminal aferen dari saraf aferen spinal. Saraf ini memiliki badan
sel di ganglia vagal nodose dan akar dorsal ganglia spinalis. Sinyal selanjutnya dikirim melalui aferen
sensorik vagal ke batang otak melalui ganglia nodose dan nukleus traktus solitarius. Serotonin
merupakan neurotransmiter penting pada pensinyalan nyeri, terutama melalui reseptor 5-HT3.
pensinyalan nyeri. Pada pasien dengan hipersensitivitas visceral, reseptor sensorik aferen tampaknya
memiliki ambang yang lebih rendah untuk stimulasi. Reseptor-reseptor ini terus mengirimkan sinyal
nyeri setelah stimulus telah terlewati. Peningkatan sensitivitas ini bisa dicetuskan oleh inflamasi
intestinal yang berkaitan dengan inflammatory bowel disease, alergi, atau infeksi. Peran dari proses
sinyal nyeri di korteks serebri telah diteliti pada manusia menggunakan MRI fungsional dan PET
scan. Penelitian dengan pencitraan ini teah menunjukkan pensinyalan nyeri dari korteks
somatosensorik sekunder yang memproyeksikan ke limbik dan regio paralimbik. Regio ini merupakan
area di otak yang penting terhadap mood, motivasi, dan kognisi seseorang, dan seluruh komponen
penting dalam terjadinya nyeri visceral. MRI fungsional telah menunjukkan bahwa pasien dengan
FIGD memiliki peningkatan aktivasi kkorteks midcingulate sebagai respon terhadap distensi rektum.
Korteks cingulate diyakini merupakan pusat intergatif untuk emosi dan informasi nyeri. Aksis HPA
penting dalam mengkoordinir respon organisme terhadap stres. HPA merupakan bagian dari sistem
limbik otak yang terlibat dalam memori dan respon emosional. Stres mengaktivasi pelepasan CRF
dari hipotalamus yang selanjutnya menstimulasi sekresi kortikotropin dari pituitary. Kortikotropin
selanjutnya menstimulasi sekresi kortisol dari kelenjar adrenal. Mekanisme neural dan hormonal
cxiv
memungkinkan otak untuk memengaruhi fungsi sel di usus, terutama sel imun, epitel, neuron, sel otot
Evaluasi Klinis
diagnostik yang terbatas seringkali dilakukan untuk memastikan ke orang tua dari pasien.
Pertimbangan khusus perlu diberikan pada pasien yang memiliki gejala otonom, terutama anak
Sejumlah pertanyaan sederhana bisa memberikan informasi penting dari pasien dengan nyeri
abdomen. Riwayat yang perlu ditanyakan adalah lokasi nyeri, pola, durasi, frekuensi, dan faktor yang
memperberat atau memperingan. Perlu ditanyakan apakah nyeri bersifat konstan atau intermiten;
nyeri konstan tidak berkaitan dengan kejadian fisiologis seperti makan atau defekasi dan
kemungkinan menandakan asal nyeri dari sistem saraf pusat. Jika nyeri terjadi intermiten, perlu
ditanyakan durasi nyeri dan seberapa sering nyeri terjadi. Pada pertanyaan faktor yang memperberat
atau memperingan, pertanyaan yang perlu ditanyakan adalah apakah makan membuat nyeri menjadi
membaik, memburuk, atau tidak ada perubahan. Nyeri yang memburuk dengan makan memberikan
kesan bahwa penyebabnya adalah peregangan lambung (dispepsia) atau respon gastrokolonik yang
meningkatkan tekanan di kolon. Nyeri yang membaik dengan defekasi seringkali menandakan kondisi
IBS. Nyeri yang memburuk jika berolahraga (tetapi makan dan defekasi tidak memiliki efek), maka
diagnosis kemungkinan nyeri dinding abdomen yang tidak berkaitan dengan faktor gastrointestinal.
Jika nyeri tidak berubah dengan makan, defekasi, olahraga, atau kejadian fisiologis lainnya, maka
kondisi inilah yang disebut sebagai functional abdominal pain not otherwise specified. Pertanyaan
yang bisa membantu selanjutnya adalah tindakan apa yang bisa dilakukan untuk membuat nyeri agar
membaik. Pertanyaan ini memberikan suatu pembukaan diskusi terkait bagaimana strategi coping
pasien dengan obat-obatan, makanan, istirahat, dan pengalihan. Penting juga untuk ditanyakan hal-hal
cxv
apa yang membuat nyeri memburuk, seperti makanan, olahraga, kesulitan akademis, bullying, dan
stressor keluarga (kekerasan fisik atau psikologis di rumah atau terpisah dari orang yang disayang
Dalam membedakan nyeri pada FAP-NOS dan migren abdomen, migren abdomen memiliki
pola yang stereotipikal, sedangkan FAP-NOS tidak. Migren abdomen seringkali melibatkan gejala
yang berkaitan, seperti anoreksia, mual muntah, nyeri kepala, fotofobia, dan pucat (sebagaimana
dideskripsikan oleh kriteria Rome IV dan ICHD III). Selain itu, pasien dengan migren abdomen akan
kembali ke kesehatan awal mereka di periode antar episode. Nyeri pada migren abdomen juga
Pemeriksaan Fisik. Saat pemeriksaan fisik, perlu dilakukan pemeriksaan tampilan umum, kesehatan
dan indeks derajat keparahan. Parameter pertumbuhan termasuk berat dan tinggi (persentil) serta
growth velocity merupakan bagian dari evaluasi awal. Pemeriksaan perianal dan rektum juga
diindikasikan sebagai bagian dari pemeriksaan awal (contohnya fistula perianal, fisura dalam dan skin
tags untuk suspek penyakit Crohn’s; massa feses, peregangan rektum, fisura superfisial untuk
Diagnosis
Kriteria diagnostik untuk FAP-NOS memerlukan nyeri abdomen episodik atau kontinu
setidaknya empat kali per bulan (selama setidaknya 2 bulan), tidak terjadi hanya saat kejadian
fisiologis seperti makan atau menstruasi. Harus ada kriteria yang tidak mencukupi untuk FGID
lainnya dan tidak ada penjelasan lain terkait nyeri setelah evaluasi pasien. Keluhan somatik tambahan
bisa meliputi mual atau nyeri kepala yang umum ditemukan pada anak dengan FAP. Keluhan-keluhan
ini berkaitan dengan ansietas dan depresi yang seringkali bertahan hingga masa dewasa. Kriteria
cxvi
Rome IV (Tabel 1) secara definitif mengkategorikan gangguan fungsional, termasuk FAP-NOS dan
IBS, sebagai kondisi yang terjadi sebagai suatu continuum bukan melainkan gangguan yang berbeda.
Tabel 1. Kriteria Diagnostik untuk Functional Abdominal Pain – Not otherwise specified.
Harus terjadi setidaknya 4 kali per bulan dan meliputi seluruh bagian berikut:
1. nyeri abdomen episodik atau kontinu yang tidak hanya terjadi saat kejadian fisiologis
(makan, menstruasi).
2. tidak memenuhi kriteria irritable bowel syndrome, dispepsia fungsional, atau migren
abdomen.
3. setelah evaluasi yang sesuai, nyeri abdomen tidak bisa dijelaskan secara sepenuhnya oleh
Evaluasi anak dengan kecurigaan FAP-NOS memerlukan pemeriksaan anamnesis yang teliti
untuk mencari tanda atau gejala red flag yang mengklasifikasikan nyeri abdomen tersebut sebagai
FGID lainnya. Pemeriksaan lebih lanjut umumnya tidak diperlukan untuk diagnosis FAP-NOS dan
menurut penelitian yang telah dilakukan, hasil yang diperoleh pada anak dengan nyeri abdomen
Tabel 2. Ciri red flags dalam mengevaluasi anak dengan nyeri abdomen kronis
Pertumbuhan yang menurun (tinggi atau berat) atau penurunan berat badan secara
tidak disengaja
Keterlambatan pubertas
Muntah, terutama jika persisten atau sering, berwarna kehijauan atau bercampur
darah.
cxvii
Diare persisten, terutama jika hanya terjadi malam hari
Perdarahan saluran cerna atau anemia defisiensi besi yang tidak bisa dijelaskan
Nyeri terlokalisir atau persisten atau nyeri tekan menjauhi umbilikus, terutama di
Penyakit perianal
Arthritis
Riwayat keluarga untuk inflammatory bowel disease, coeliac disease atau peptic
ulcer disease.
Terapi
Mayoritas uji coba terapi untuk FAPD dilakukan dengan menggabungkan seluruh gangguan
FAPD tanpa membedakan satu dan lainnya. Prinsip penatalaksanaan adalah memastikan diagnosis
dan edukasi pasien serta orang tua/pengasuh terkait FAP, memastikan sifat penyakit yang jinak, dan
menentukan tujuan terapeutik yang realistis. Penelitian RCT terkait terapi farmakologis telah
menunjukkan hasil yang berlawanan atau hanya menunjukkan efek terapi yang sedikit pada subset
pasien tertentu.
Mebeverine. Mebeverine diketahui tidak lebih baik dibandingkan placebo pada anak dengan
FAP. Walaupun pada penelitian dewasa diketahui antispasmodik memiliki efikasi, penelitian pada
anak menunjukkan bahwa hasil ini tidak signifikan. Agen antidepresan diketahui kemungkinan
bermanfaat dalam mengatur persepsi nyeri dan motilitas usus, tetapi hasil ini belum ditemukan pada
RCT pediatri. Amitriptilin mengurangi skor ansietas tetapi tidak mengurangi luaran nyeri ketika
dibandingkan dengan placebo. Citalopram juga diketahui tidak memperbaiki nyeri, depresi, ansietas,
placebo pada pasien yang melaporkan perbaikan umum, derajat nyeri dan pola motilitas antrum gaster
cxviii
di satu penelitian pada anak. Efek manfaatnya didapatkan bertahan pada 6 minggu follow-up.
Walaupun penelitian melibatkan pasien dengan banyak tipe FGID, manfaatnya terlihat pada
kelompok FAP-NOS.
Probiotik. Terdapat bukti yang menunjukkan hubungan antara mikrobiota intestinal dan
fungsi aksis gut-brain. Penggunaan probiotik telah menunjukkan hasil yang menjanjikan di
kelompok-kelompok tertentu pada pasien dengan FAPD. Probiotik Lactobacillus reuteri selama 4
minggu didapatkan berkaitan dengan penurunan intensitas nyeri secara signifikan tetapi tidak pada
frekuensi (dibandingkan dengan placebo) pada suatu penelitian RCT anak dengan FAP.
Diet. Salah satu laporan pencetus yang paling sering untuk gejala FAPD adalah makanan dan
oleh karena itu terdapat banyak intervensi diet dan diet khusus yang dipromosikan untuk digunakan
pada FAPD. Suatu tinjauan sistematis pada tahun 2009 menyimpulkan bahwa tidak ada bukti
berkualitas tinggi yang mendukung efektivitas intervensi diet dalam penatalaksanaan FAPD masa
kanak-kanak. Akan tetapi data terbaru menyatakan bahwa diet rendah Fermentable Oligo- Di-
polimer sakarida rantai pendek dari fruktosa, galaktosa dan laktosa dan umum ditemukan pada diet
orang Barat modern. Uji coba terbaru pada anak-anak menunjukkan perbaikan nyeri abdomen pada
anak yang menjalani diet rendah FODMAP. Namun demikian, diperlukan data lebih lanjut terkait
temuan ini, termasuk keamanan jangka panjang dan kecukupan nutrisi dari diet yang terestriksi ini.
dan cognitive behavioral therapy (CBT) dan diketahui terdapat manfaat jangka pendek pada
metaanalisis dan satu uji coba yang menunjukkan manfaat jangka panjang hingga 5 tahun pasca
intervensi hipnoterapi. Saat ini telah jelas bahwa intervensi psikososial bisa memiliki efek yang
bermanfaat pada banyak elemen di model biopsikososial. Terapi ini bisa membantu kembalinya
fungsi normal dnegan memperkuat strategi coping dan menghindari perilaku reinforcement nyeri.
Strategi yang bisa dilakukan untuk membantu toleransi nyeri dan coping meliputi teknik relaksasi,
gambar yang diimajinasikan, suara atau sensasi untuk mengalihkan perhatian dari nyeri). Cognitive
cxix
behavioural therapy mengkombinasikan pendekatan psikoterapi dengan edukasi, relaksasi, dan
penatalaksanaan stres untuk menangani perilaku yang bisa menghasilkan gejala. Dari terapi-terapi ini,
hipnoterapi tampaknya merupakan yang paling efektif. Dibandingkan perawatan medis standar dan
terapi suportif pada anak dengan FAP-NOS, hipnoterapi secara signifikan menurunkan gejala dan
Hal yang bisa dianggap sebagai komplikasi pada kondisi FAP-NOS jika tidak ditangani adalah
kualitas hidup yang buruk (dicetuskan oleh gejala yang terjadi terus menerus), absen sekolah yang
buruk, dan dengan demikian berdampak pada edukasi dan perkembangan pribadi pasien. Gangguan
ansietas dan stres pada keluarga dan pribadi juga bisa dianggap sebagai komplikasi dari kondisi ini.
Prognosis
Follow-up jangka panjang menunjukkan bahwa FAP-NOS (dan FAPD lainnya) membaik
pada 35-50% kasus dan 25-29% terus mengalami nyeri abdomen pada saat masa dewasa. Pasien yang
diberikan penjelasan yang jelas dan menyeluruh terkait kondisi dan penatalaksanaan gejala tampaknya
lebih tidak mengalami gejala saat memasuki masa dewasa atau tidak menunjukan relaps pada masa
dewasa. Pada suatu penelitian prospektif yang melibatkan 132 anak dengan FAPD, didapatkan gejala
membaik pada 85% pasien pada dua bulan dan perbaikan dialami pada 1 dan 5 tahun.
Daftar Pustaka
1. Thapar N, Benninga MA, Crowell MD, Di Lorenzo C, Mack I, Nurko S, et al. Paediatric
functional abdominal pain disorders. Nat Rev Dis Primer. 2020 Dec;6(1):89.
3. Koppen IJN, Nurko S, Saps M, Di Lorenzo C, Benninga MA. The pediatric Rome IV criteria:
cxx
4. Hyams JS, Di Lorenzo C, Saps M, Shulman RJ, Staiano A, van Tilburg M. Childhood
1468.e2.
5. Kliegman RM. Nelson textbook of pediatrics. 21st edition. Philadelphia, MO: Elsevier; 2019.
7. Hyman PE. Chronic and Recurrent Abdominal Pain. Pediatr Rev. 2016 Sep 1;37(9):377–90.
8. Zeiter DK. Abdominal Pain in Children. Pediatr Clin North Am. 2017 Jun;64(3):525–41.
9. Azmy DJ, Qualia CM. Review of Abdominal Migraine in Children. Gastroenterol Hepatol.
2020;16(12):632–9.
10. Willits AB, Grossi V, Glidden NC, Hyams JS, Young EE. Identification of a Pain-Specific
Gene Expression Profile for Pediatric Recurrent Abdominal Pain. Front Pain Res. 2021 Nov
5;2:759634.
11. Zeevenhooven J, Rutten JMTM, van Dijk M, Peeters B, Benninga MA. Parental Factors in
MIGRAIN ABDOMINAL
Definisi
cxxi
Migrain abdominal atau abdominal migraine (AM) adalah salah satu penyebab paling sering dari
nyeri abdomen fungsional pada anak-anak dan termasuk dalam klasifikasi Rome IV dari functional
gastrointestinal disorders (FGIDs). AM juga dikenal sebagai tipe dari variasi migrain pada pediatrik
Epidemiologi
Prevalensi AM secara umum adalah 1%–9%. AM paling sering ditemukan pada anak usia 4–15 tahun.
Rata-rata diagnosis pada usia 3-10 tahun dengan insidensi puncak pada usia 7 tahun. Beberapa
penelitian menunjukkan prevalensi lebih tinggi pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki
dengan rasio 1.6:1, sama halnya dengan FGID lainnya dan nyeri kepala migrain.
Manifestasi klinis
AM dikarakteristikan dengan episode nyeri abdomen paroksismal derajat sedang hingga berat, tidak
terlokalisasi di periumbilikal, midline, atau nyeri difus yang lebih dari 1 jam. Nyeri bersifat tumpul
atau hanya terasa tegang. Antar episode terpisah dari beberapa minggu hingga beberapa bulan dan
terdapat pola dan gejala yang stereotipik pada setiap pasien. Nyeri dapat berhubungan dengan
setidaknya dua dari gejala ini: anoreksia, mual, muntah, nyeri kepala, fotofobia, atau pucat. Nyeri
kepala merupakan gejala yang paling sering berhubungan. Nyeri cukup berat untuk mengganggu
aktivitas sehari-hari. Setelah evaluasi lengkap, gejala tidak dapat disebabkan oleh kondisi medis
lainnya.
Episode umumnya berlangsung 2-72 jam jika pengobatan tidak adekuat atau tidak diberikan
pengobatan. Durasi rata-rata setiap episode adalah 1-17 jam dan rata-rata episode 2 hingga 20 episode
per bulan. Beberapa pasien dapat memiliki lebih dari satu episode dalam satu hari. Pasien tidak
cxxii
memiliki gejala antar episode. Untuk menegakkan diagnosis, diperlukan setidaknya 5 episode nyeri
dalam 1 bulan.
Patofisiologi
Terdapat beberapa hipotesis yang telah didalilkan untuk menjelaskan patofisiologi dari AM, namun
Hipersensitivitas visceral adalah teori yang paling definitif dan menyatukan penjelasan patofisiologi
pada semua FGID. Teori ini berlandaskan hubungan kuat antara sistem saraf enterik dan kesamaan
asal embrioniknya. Pasien dengan FGID memiliki ambang batas rendah untuk stimulus nosiseptif.
Beberapa variasi faktor yang sulit ditentukan termasuk faktor genetik, lingkungan, psikososial (stresor
pada awal kehidupan), dan lain-lain mempengaruhi individu terhadap hiperalgesia viseral. Mekanisme
yang didalilkan untuk hiperalgesia viseral termasuk sensitisasi dari neuron sensorik primer dan neuron
spinal sentral, gangguan pada kontrol inhibisi desending, dan respons stres yang terganggu. Hal ini
mengakibatkan gangguan pada bowel–gut axis dan menyebabkan sekresi abnormal dari
neurotransmiter eksitatori seperti serotonin. Serotonin merupakan peran kunci pada regulasi dari
motilitas, sekresi, dan sensasi pada gastrointestinal (GI). Komunikasi dua arah antara neuron brain–
gut melalui berbagai sirkuit neural dan hormonal menyebabkan perubahan pada sistem saraf pusat dan
menyebabkan gejala yang berhubungan seperti nyeri kepala. Stimulasi dari sistem saraf otonom dan
hiperaktivitas simpatik menjadi dasar dari gejala seperti pucat. Teknik pencitraan baru seperti
magnetic resonance imaging fungsional menunjukkan defek pada jaras proses nyeri viseral pada
Walaupun teori hiperalgesia viseral belum secara spesifik terbukti pada pasien dengan AM,
namun hal ini merupakan penjelasan berbasis bukti pada seluruh FGID.
cxxiii
Hipotesis gangguan motilitas pencernaan
Pasien dengan AM dapat memiliki motilitas usus yang abnormal. Diduga bahwa nyeri abdomen
fungsional disebabkan oleh distensi dari traktus gastrointestinal dan kontraksi abnormal yang
menyebabkan hiperalgesia.
Sebuah peelitian yang dilakukan di pusat rujukan tersier di Sri Lanka dari tahun 2007 hingga 2012,
melihat parameter motilitas gaster pada 17 pasien anak-anak usia 4-12 tahun dengan AM
dibandingkan dengan kontrol sehat. Mereka menemukan bahwa laju pengosongan gaster dan
parameter motilitas antral menurun secara signifikan pada pasien dengan AM. Laju pengosongan
gaster memiliki korelasi negatif yang signifikan dengan durasi rata-rata episode nyeri. Amplitudo dari
kontraksi antral berkolerasi negatif dengan nilai dari derajat beratnya gejala. Temuan ini menunjukkan
Permeabilitas usus dapat terganggua pada pasien dengan AM. Permeabilitas mukosa merupakan
fungsi tidak langsung dari kesehatan usus. Sebuah penelitian oleh Bentley et al tahun 1995
membandingkan permeabilitas mukosa usus pada 11 anak-anak dengan daignosis AM dan kontrol
yang sehat. Mereka menemukan bahwa permeabilitas mukosa usus meningkat secara signifikan pada
pasien dengan AM saat dibandingkan dengan kontrol. 3 pasien diikuti secara longitudinal selama
tahun dengan pemeriksaan ikutan sebanyak 3 kali dalam satu tahun. Mereka meyadari bahwa
permeabilitas mukosa usus berkurang dengan perbaikan gejala dan sebaliknya. Hal ini dapat
menjelaskan mengapa nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAID) tidak bermanfaat pada pasien
dengan AM, karena obat-obatan ini meningkatkan permeabilitas mukosa. Namun, belum ada
penelitian lebih lanjut untuk menguji hipotesis ini dan implikasinya dalam manajemen anak-anak
dengan AM.
cxxiv
Hipotesis alergi terkait diet dan gangguan imunitas mukosa
Faktor diet juga dapat berkontribusi pada gejala dari AM. Peran diet pada pasien dengan nyeri kepala
migrain telah diteliti secara luas. Insidensi dari nyeri kepala migrain secara signifikan lebih tinggi
pada pasien dengan atopik dan penyakit alergi lainnya. Beberapa alergen makanan dapat mencetuskan
respons imunitas mukosa dan menimbulkan gejala dari AM pada individu yang rentan.
Pada tahun 1995, Bentley et al membandingkan kadar IgE dan radioallergosorbent test (RAST)
positif pada 14 pasien dengan AM dan kontrol. Tidak ada penurunan IgE secara signifikan dan RAST
positif pada pasien AM dibandingkan dengan kelompok kontrol. Selain itu, allergen makanan tidak
dapat diidentifikasi dengan pemeriksaan skin prick pada pasien ini. Hal ini kemungkinan terjadi
karena aktivasi selektif dari respons imunitas mukosa usus dan bukan oleh imunitas sistemik.
Penelitian in vitro menunjukkan bahwa enterosit dapat mengekspresikan antigen MHC kelas II
dan mensekresikan kemokin spesifik untuk menstimulasi limfosit epitelial dan mengaktivitasi respons
imunitas akibat pengaruh antigen makanan; baru-baru ini, terdapat bukti yang menunjukkan bahwa
sistem imun mukosa adalah regulator utama dari gut–brain axis. Sistem imun adaptif (terutama sel T)
dan sistem imun bawaan (sel limfoid mukosa, sel mast, dan sel fagosit mononuklear) memiliki peran
penting dalam menjaga hemostasis gut–brain dan terganggu pada pasien dengan FGID. Sistem imun
Penelitian spesifik lebih lanjut yang terfokus pada gangguan respons imunitas pada pasien
amino eksitatorik dan asam amino inhibitorik telah terbukti pada nyeri kepala migrain. Mekanisme
cxxv
yang mirip mungkin berperan pada patogenesis dari AM. Pada sistem saraf pusat (SSP), asam
glutamat dan asam aspartat merupakan asam amino eksitatorik utama, sedangkan gamma
aminobutyric acid (GABA) merupakan neurotransmiter inhibitorik. Keseimbangan dari kedua sistem
regulasi ini berfungsi pada sirkuit lain dari otak yang melibatkan dopamin, serotonin, dan
norepinephrine. Hipereksitabilitas SSP adalah peran utama dalam patogenesis nyeri kepala migrain.
termasuk peptida katekolamin terkait gen, substansi-P, serotonin, adenosin difosfat, faktor aktivasi
platelet, nitrit oksida menghasilkan nyeri kepala migrain. Mekanisme mirip yang melibatkan
peningkatan aktivitas asam amino eksitatorik dapat berperan dalam patogenesis dari AM. Hal ini
dapat menjelaskan kemungkinan efikasi dari beberapa terapi yang meningkatkan GABA (valproat)
Enzim fenol sulfotransferasei S dan P (PST S dan P) merupakan enzim kunci yang terlibat dalam
metabolisme katekolamin dan neurotransmiter amin lainnya. Aktivitas dari enzim berkurang secara
signifikan pada pasien dengan migrain terkait makanan. Hal ini mengakibatkan akumulasi dari
neuropeptida dan neurotransmiter inflamasi yang menaktivasi kaskade migrain. Enzim ini juga
terinhibisi oleh beberapa unsur makanan seperti keju, anggur merah, dan lain-lain yang dapat
mencetuskan nyeri kepala migrain. Pada tahun 1995, Bentley et al meninjau ekspresi platelet pada
kedua isoenzim (PST S dan P) pada 21 pasien dengan AM dibandingkan dengan kelompok kontrol.
Tidak ditemukan perbedaan signifikan pada aktivitas enzim yang tercatat pada kedua kelompok.
Level aktivitas enzim pada platelet mungkin bukan refleksi sebenarnya dari level pada sistem saraf
enterik. Namun, diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menegakkan hipotesis ini.
Mutasi genetik dan gen polimorfisme, walaupun belum jelas, meregulasi kanal ion, metabolisme
neurotransmiter, dan metabolisme mitokondrial pada SSP dan berkontribusi pada patofisiologi nyeri
cxxvi
kepala migrain. Terdapat kecederungan kuat terhadap genetik pada nyeri abdomen fungsional.
Penelitian tahun 2017 mengatakan reseptor Y2 antagonis dan gen delesi 66 dapat berhubungan
dengan hiperalgesia viseral. Hubungan faktor genetik dengan AM didukung oleh adanya riwayat
keluarga migrain atau nyeri abdomen kronik pada sebagian besar pasien. Namun, diperlukan
penelitian lebih lanjut untuk mengidentifikasi faktor-faktor ini. Siklus menstruasi, kehamilan, pola
hidup, makanan, kecemasan, stres kronis, dan lain-lain merupakan faktor psikososial mayor yang
berkontribusi pada nyeri kepala migrain. Stres dan kecemasan juga berperan dalam patogenesis FGID.
Teori lainnya
bakteri usus halus berlebih, penyakit infeksi akut dengan perubahan kronik, intoleransi laktosa, dan
fungsi mitokondrial abnormal merupakan teori lain yang diduga berperan pada patogenesis dari FGID
dan nyeri kepala migrain. Diperlukan penelitian baru yang berfokus pada patofisiologi dari AM untuk
Diagnosis
1. Episode paroksismal yang berat, nyeri abdomen periumbilikal, midline, atau difus akut selama 1
5. Nyeri berhubungan dengan dua atau lebih dari gejala di bawah ini:
cxxvii
a. Anoreksia
b. Mual
c. Muntah
d. Nyeri kepala
e. Fotofobia
f. Pucat
6. Setelah evaluasi menyeluruh, gejala tidak dapat dijelaskan sepenuhnya dengan kondisi medis
lainnya
Hubungan Klinis
AM memiliki berbagai kemiripan secara klinis, epidemiologi, dan patofisiologi dengan nyeri kepala
migrain. International Headache Society memasukan AM dalam klasifikasi ICHD tahun 2002.
Riwayat nyeri kepala migrain pada keluarga derajat pertama terdapat pada 34%–90% pasien. Adanya
nyeri kepala migrain pada riwayat penyakit dahulu ditemukan pada 24%–47% pasien. AM dan nyeri
kepala migrain juga memiliki faktor memperberat dan memperingat yang sama seperti pada Tabel 1.
AM telah terbukti menjadi prekursor perkembangan migrain dengan dan tanpa aura. Selain itu,
banyak strategi manajemen untuk migrain telah terbukti efektif pada pasien dengan AM. Penelitian
tahun 1995 oleh Abu-Arafeh dan Russell menjelaskan prevalensi dan manifestasi klinis anak-anak
dengan migrain dan AM. Penelitian ini melibatkan 159 anak dengan migrain dan 58 dengan AM.
Mereka menyimpulkan bahwa pasien dengan migrain dan AM memiliki banyak kemiripan untuk
menunjukkan kesamaan patogenesis. Prevalensi migrain pada anak-anak dengan AM adalah 24%,
yang merupakan dua kali lipat dari prevalensi migrain pada populasi umum (10%). Sebaliknya, pada
anak-anak dengan migrain, prevalensi AM adalah 9%, yang merupakan dua kali lipat juga dari
populasi AM pada populasi umum (4,1%). Selain itu, riwayat keluarga dengan migrain dua kali lebih
cxxviii
sering pada pasien AM di populasi umum dibandingkan dengan kontrol (34% dan 17%). Pasien dari
kedua kelompok juga memiliki faktor pencetus dan memperingan serta gejala berhubungan yang
sama.
Penelitian oleh Good menunjukkan bahwa cyclic vomiting syndrome (CVS), AM, dan migrain dengan
atau tanpa aura memiliki banyak kemiripan neurofisiologis termasuk kelainan vision-evoked
visual lainnya. Hal ini mendukung klasifikasi dari AM sebagai ekuivalen dari migrain sebenarnya.
Selain itu, migrain dihubungkan dengan penyakit gastrointestinal yang dapat menjadi
misdiagnosa AM. Prevalensi dari migrain pada celiac disease sangat tinggi. Pasien dengan migrain
dapat datang dengan nyeri abdomen dan gejala mirip irritable bowel syndrome (IBS).
Kurang tidur
Perjalanan
Puasa berkepanjangan
cxxix
Variasi migrain pada pediatrik adalah kelompok sindrom paroksismal dan periodik yang terjadi pada
pasien yang memiliki migrain dengan atau tanpa aura, atau memiliki kecenderungan untuk terjadi
migrain. Hal ini sebelumnya disebut sindrom periodik pada anak-anak, sindrom nyeri berulang,
AM, CVS, vertigo paroksismal jinak, dan tortikolis paroksismal jinak merupakan sindrom
episodik yang berhubungan denyan nyeri kepala migrain. AM dan CVS awalnya dianggap sebuah
penyakit tunggal dan istilah tersebut sering tertukar. Lama setelah itu baru diketahui merupakan dua
penyakit yang berbeda. Seperti yang disebutkan sebelumnya, AM dan CVS memiliki karakteristik
Walaupun tidak ada hubungan yang terliaht antara AM dengan vertigo paroksismal jinak,
terdapat beberapa hubunga yang terlihat antara AM dengan mabuk darat. Farqahar et al meneliti
karakteristik dari kelompok anak-anak dengan gejala mengarah ke AM. Ia mengobservasi bahwa
mabuk darat merupakan keluhan pada pasien ini dan keluarganya. Hubungan dengan mabuk darat
selanjutnya tercatat pada penelitian epidemiologi yang dilakukan pada tahun 1983 dan 1993.
Penelitian ini dilakukan sebelum adanya panduan diagnosis dari AM. Selain itu, tidak ada batas
spesifik antara CVS dan AM pada saat itu. Sehingga validitas dari observasi ini perlu ditinjau lebih
lanjut.
AM merupakan bagian dari kelompok FAPD di bawah klasifikasi FGID. Penyakit lain yang masuk
kedalam klasfikasi adalah dispepsia fungsional, IBS, CVS, dan nyeri abdomen fungsional tidak
terinci. Banyak mekanisme telah didalilkan merupakan patogenesis dari AM, terutama teori
hiperalgesia viseral, yang telah diteliti pada pasien FGID (terutama IBS dan dispepsia fungsional).
Helgeland et al mencatat bahwa gejala dari IBS dan AM bertumpang tindih pada 33% pasien
berdasarkan kriteria Rome III. Hubungan klinis antara AM dan FGID lainnya perlu dievaluasi lebih
cxxx
Hubungan dengan atopik dan sensitivitas terhadap makanan
Penelitian telah menunjukkan korelasi antara AM dengan atopik. Pasien dengan nyeri kepala migrain
memiliki insidensi atopik dan penyakit alergi lain yang lebih tinggi. Sebagai tambahan, modifikasi
makanan adalah manajemen utama dalam AM dan juga nyeri kepala migrain. Bentley et al tahun
1995 melakukan penelitian pada 12 pasien dengan gejala mengarah ke AM untuk memodifikasi
regimen diet menghindari alergen potensial. Sepuluh dari 12 pasien (83%) menjadi bebas gejala
dengan perubahan pola makan ini. Lima dari 12 pasien (41%) memilki riwayat ekzema, hay fever,
Tatalaksana
Hingga saat ini belum ada panduan untuk tatalaksana AM akibat kurangnya penelitian. Sebagian
besar pilihan terapi adalah berdasarkan beberapa penelitian dengan jumlah sampel yang kecil dan
hubungan yang kuat dari AM dengan nyeri kepala migrain serta FGID. Beberapa pilihan terapi
menghindari pencetus, dan modifikasi diet harus menjadi tahap pertama dalam manajemen AM.
Non-farmakoterapi
Penjelasan dan penguatan pada model biopsikososial harus menjadi tahap pertama ketika diagnosis
klinis AM tegak. Orang tua atau anak perlu diedukasi mengenai perjalanan penyakit episodik ini,
adanya kemungkinan faktor pencetus dan memperingan, hubungan dengan migrain dan FGID lainnya,
dan prognosis penyakit berdasarkan data yang ada. Tidak adanya kelainan organik pada abdomen
cxxxi
perlu dievaluasi ulang. Pandangan positif terhadap AM diharapkan akan membantu memperbaiki dan
Menghindari pencetus
AM dan nyeri kepala migrain memiliki banyak pencetus yang sama. Banyak pasien yang melaporkan
adanya perbaikan dari gejala setelah menghindari pencetus seperti stres, perjalanan, olahraga, cahaya
berkedip, puasa, dan perubahan pola tidur. Russell et al mengobservasi bahwa AM yang muncul pada
pagi hari dapat dicegah dengan “sarapan” sebelum tidur. “Sarapan” ini harus terdiri dari sereal
berserat tinggi untuk memperpanjang efek glikemik. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk
memastikan efikasinya.
Modifikasi diet
Modifikasi diet direkomendasikan pada migrain dan kemungkinan dapat efektif pada AM.
Menghindari pencetus makanan (dapat dilihat pada Tabel 1) dapat membantu dalam beberapa pasien.
Diet rendah amino dapat membantu mengurangi berat dan frekuensi dari gejala. Diet oligoantigenik
atau diet sedikit makanan dapat membantu pada pasien yang memiliki frekuensi nyeri abdomen yang
sering. Hal ini dilakukan dengan merestriksi diet inisial dan secara bertahap memperkenalkan kembali
makanan untuk mengidentifikasi makanan spesifik yang dapat mempengaruhi pasien. Russell et al
melaporkan 17 dari 22 pasien (77%) merasakan manfaat dari diet oligoantigenik ini.
Diet tinggi serat juga dapat efektif pada beberapa pasien dengan nyeri abdomen rekuren. Pemberian
probiotik juga terbukti efektif pada pasien dengan FAPD, terutama IBS dan dispepsia fungsional.
Intoleransi laktosa pada pasien nyeri abdomen kronik dan diet bebas laktosa efektif pada kelompok
ini.
Terapi perilaku
cxxxii
Psikoterapi, terutama terapi kognitif perilaku, dapat efektif pada pasien dengan AM. Model
biopsikososial dari nyeri abdomen fungsional mengatakan intervensi psikologi dapat membantu pada
pasien ini. Hipnoterapi, terapi keluarga, dan yoga juga dapat membantu pada anak-anak dengan nyeri
Farmakoterapi
Farmakoterapi diindikasikan untuk pasien dengan gejala berat dan sering atau untuk pasien yang tidak
memberikan respons setelah intervensi non-farmakoterapi. Karena tidak adanya penilaian objektif dari
tingkat keparahan penyakit, maka keputusan untuk memulai terapi farmakologi berdasarkan penilaian
dokter dan penerimaan dari keluarga untuk berbagai pilihan pengobatan. Pilihan dan intervensi
Terapi abortif
Triptan (5-hydroxytryptophan 1 A/D agonists) telah terbukti efekti untuk terapi abortif. Terapi
sumatriptan intranasal telah diteliti pada pasien dengan AM. Almotriptan telah terbukti efektif pada
pasien pediatrik dengan migrain, namun belum ada penelitian lebih lanjut pada pasien AM. Efikasi
Terapi profilaksis
(cyproheptadine, pizotifen), dan agonis GABA (valproat) merupakan obat-obatan yang paling sering
digunakan pada pasien dengan AM. Obat-obatan ini telah terbukti efektif untuk pasien dengan nyeri
kepala migrain dan dapat dicoba untuk pasien dengan AM karena kemiripan dalam patogenesisnya.
Scicchitano et al merekomendasikan propranolol sebagai terapi lini pertama saat intervensi non-
cxxxiii
farmakoterapi gagal. Cyproheptadine direkomendasikan sebagai terapi lini kedua jika propofol tidak
Prognosis
AM dicurigai sebagai prekursor dari nyeri kepala migrain, walaupun nyeri abdomen sudah hilang
pada sebagian besar pasien. Dignan et al melakukan penelitian pada 54 pasien dengan AM dan
mengikuti mereka selama 10 tahun. Gejala nyeri abdomen telah hilang sempurna pada 61% kasus.
70% pasien mengalami nyeri kepala migrain dengan atau tanpa aura dibandingkan dengan 20% pasien
pada kelompok kontrol. AM sangat jarang berlangsung hingga dewasa. Penelitian longitudinal
diperlukan untuk melihat prognosis jangka panjang dan perjalanan penyakitnya pada usia dewasa.
cxxxiv
Mekanisme kerja Intervensi
Terapi Abortif
Sumatriptan
Serotonin/5-
intranasal untuk
Sumatriptan hydroxytriptophan
serangan akut nyeri
agonis (5-HT ID)
abdomen
Terapi Profilaksis
Penghambat kanal
Flunarizine 7,5 mg/hari PO
kalsium
Antihistamin generasi
penghambat kanal
kalsium
Daftar Pustaka
1. Kliegman RM. Nelson textbook of pediatrics. 21st edition. Philadelphia, MO: Elsevier; 2019.
cxxxv
2. Hyams JS, Di Lorenzo C, Saps M, Shulman RJ, Staiano A, van Tilburg M. Childhood
2016;150(6):1456-1468.e2.
360:k179.
5. Di Lorenzo C, Colletti RB, Lehmann HP, Boyle JT, Gerson WT, Hyams JS, et al. Chronic
Abdominal Pain In Children: A Technical Report of the American Academy of Pediatrics and
the North American Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology and Nutrition: AAP
6. van Tilburg MAL. Pediatric functional gastrointestinal disorders. In: Clinical and Basic
cxxxvi