Anda di halaman 1dari 136

Kata Pengantar

Segala Puji dan Syukur hanya bagi Tuhan Yesus Kristus, yang hanya oleh karena anugerah

dan kemurahan-Nya saja serta kasih setia-Nya yang besar akhirnya penulis dapat menyelesaikan dan

menerbitkan Buku Ajar Gangguan Fungsional Gastrointestinal pada Anak. Penulis juga mengucapkan

terima kasih kepada pihak-pihak yang telah berkontribusi dan mendukung serta meluangkan waktu

dan pikiran dalam proses penyusunan buku ajar ini.

Buku ajar ini berjudul Gangguan Fungsional Gastrointestinal pada Anak yang berisikan

kumpulan gangguan fungsional saluran cerna pada anak yang sudah disesuaikan dengan standar

kompetensi dokter indonesia (SKDI) agar dapat memberikan manfaat bagi para pembaca. Pemilihan

topik pada buku ini diprioritaskan pada kasus-kasus yang sering ditemui dalam praktek sehari-hari.

Penulis juga menyadari masih adanya kekeliruan yang mungkin ada dalam penulisan buku

ajar ini. Oleh sebab itu, penulis sangat terbuka untuk kritik dan saran dari para pembaca sehingga

kedepannya dapat terus meningkatkan kualitas buku ajar.

Penulis berharap dengan adanya buku ajar ini, para dokter umum, dokter spesialis anak,

peserta program studi Ilmu Kesehatan Anak, dokter umum, maupun mahasiswa kedokteran mampu

melakukan diagnosis dan tatalaksana yang tepat berhubungan dengan Gangguan Fungsional

Gastrointestinal pada Anak.

Manado, 1 Maret 2022

Dr. dr. Jeanette I. Ch. Manoppo, Sp.A(K)

Penulis

i
Daftar isi

Kata Pengantar .......................................................................................................... i

Daftar Isi ................................................................................................................... ii

Gangguan Fungsional Gastrointestinal ...................................................................... 1

Gangguan Fungsional Gastrointestinal pada bayi ...................................................... 16

1. Kolik pada Bayi ............................................................................................ 16

2. Regurgitasi pada Bayi atau Refluks Gastroesofagus dan Penyakit Refluks

Gastroesofagus ............................................................................................. 25

3. Konstipasi pada Bayi .................................................................................... 38

Gangguan Fungsional Gastrointestinal pada Anak .................................................... 50

1. Dispepsia Fungsional ................................................................................... 50

2. Sindrom Iritasi Usus ..................................................................................... 64

3. Abdominal Migrain ......................................................................................109

4. Konstipasi Fungsional ..................................................................................120

5. Nyeri Perut Fungsional tidak spesifik ...........................................................128

Daftar Pustaka ...........................................................................................................147

ii
A
D
Absorbsi 93, 94

Alarm symptoms 141, 142, 143 Defekasi 78, 124, 136

Aldosteronisme 14 Defisiensi 14, 32, 87, 88, 107, 124,

Alergi terhadap makanan 113, 115, 116 Dehidrasi 6, 10, 11, 27, 28, 29, 30,

Anoreksia 15, 66, 67, 68, 69, 70, 71, 77, 83, Diare 1, 7, 8, 10, 14, 23, 29, 30, 39, 66, 76, 77,

108 78, 79, 80, 82, 83, 84, 85, 86, 87, 95, 96, 97,

Antagonis reseptor H-2 37 98, 99, 100, 101, 102, 103, 104, 105, 106, 107,

Antasida 37 108, 109,110, 111. 112, 113, 116, 117, 118

Antibiotik 23, 38, 39, 43 119, 120, 121, 122, 123, 124,

Apendisitis 43, 146, 147 Gangguan menelan 51, 58, 59, 60, 61, 64, 80

Asetaminofen 104-111 Disfagia 26, 43, 50, 51, 53,64

Asidosis 13, 16, 27, 100, 123, 138 Domperidon 39, 138

Asimtomatik 18, 85

Autoimun 25, 125

Drug induced 114, 120

B
E
Bakteri tumbuh lampau 96, 97

Edema 3, 4, 9, 10, 78, 110

C Elektrolit 117, 125, 136

Eliminasi 22, 109, 112


Coombs's test 16, 26 Endoskopi 99-105, 108, 117, 128
Cow's milk allergy 17, 18

Cow's milk protein sensitive enteropathy 69


F
Faktor risiko 82, 119, 123, 127

iii
Fatty liver 109 Jaundice 115

Fekal – Oral 112

G
Gagal tumbuh 67, 68, 69, 73, 115
K
Gangguan menelan 51, 58, 59, 60, 61, 64, 80
Kalium 11, 12, 15, 92, 106

Kalsium 17, 18, 19, 92


H
Karsinoma 20-25, 128-130

Hepatitis A 105, 134 Kegawatdaruratan 26

Hipersensitivitas 61, 98, 118, 119, 120, 122, Keseimbangan asam-basa 27

Hipertonik 2, 10, 99, Kolik infantil 111, 114

Hirschsprung 32, 40, 41, 134, 136, 146 Kolitis Ulserativa 101,103, 117

Hormon 6, 14, 17, 18, 19, 20, 68, 77, 89, 91, Konstipasi kronis 110, 116, 125

94, 97, 128

L
I
Larutan ekstraselular 1

Imunopatogenetik 116 Larutan intraselular 10

Imunoterapi 126 Ligasi 36, 119

Inflammatory 77, 101, 128

Innate immunity 129


M
Intususepsi 30, 32, 40, 41, 43, 134, 135, 146,

148 Magnesium 14, 15, 19, 22, 23, 24, 25, 37, 95,

Involuntary 119 124

Irritable bowel syndrome 108, 113 Malabsorbsi 23, 96, 97, 111, 122

Isotonik 2,3,8,9,99 ,117, 120, 122 Malnutrisi 4, 59, 66, 70, 71, 76, 111, 119, 122,

126, 127, 128


J
iv
Menelan 11, 43, 50, 51, 52, 54, 55, 56, 57,58, Penyakit Crohn 76, 97, 122

59, 60, 61, 62, 64, 67, 78, 80, 132, 133 Perdarahan Saluran Gastrointestinal 30

Metabolisme 6, 9, 22, 76, 114 Peritonitis 145, 150

Muntah 1,7, 10, 14, 15, 21, 35, 39, 57,58, 62. Persentil 73, 74, 78, 81, 116

66, 78, 80, 83, 98, 99, 100, 105, 106, 110, 111, Perut kembung 139

116, 122, 125, 132, 133, 134, 135, 136, 137, Probiotik 112, 125

138, 139, 141, 146, 147, 148 Prebiotik 113

Propanolol 89

N Protein-losing enteropathy 117

Pseudokonstipasi 93
Natrium 5,92, 106, 107, 121

Nyeri disfungsional 90
R
Nyeri organik 100

Rasa haus 6, 7, 11

O RAST 80, 87

Refluks gastroesofagus 57, 131, 136


Obat vasoaktif 110 Regurgitasi 68-83, 89, 90-118
Odinofagia 33, 51, 58 Rehidrasi Oral 105, 106, 107, 111
Oktreotida 36 Rotavirus 85, 109, 112
Onset 59, 105, 117, 119, 123, 136

Osmolaritas 2
S
Osmoreseptor 7

Osmotik 2, 3, 4, 5, 8, 10, 92, 93, 95, 96, 97, Sakit perut berulang 141, 142, 143, 149, 150

121, 122 Sitokin 68, 72, 98

Skibala 89, 90, 96, 119

P
T
Pankreatitis 19, 21, 42, 135

v
Terapi bicara 59,60

Toilet training 91, 95, 97

Transmisi 17, 24

Tumbuh kembang 51, 61, 73, 74, 78, 81, 122,

125

U
Uji tusuk kulit 75

Ulkus 35, 51, 95, 120, 134

V
Vilus 90, 91, 92, 93, 94, 97

Volvulus 27, 41, 122, 136, 145, 146

W
Waktu singgah 59, 60, 64, 98

Z
Zinc 107, 124, 129

vi
GANGGUAN SALURAN PENCERNAAN FUNGSIONAL

Definisi

Gangguan saluran pencernaan fungsional atau functional gastro-intestinal disorders (FGID)

merupakan kondisi yang cukup banyak ditemui pada anak-anak dan remaja di seluruh dunia. Definisi

FGID sendiri terus mengalami perubahan seiring dengan kemajuan penelitian. FGID dikaitkan dengan

kumpulan gejala gastrointestinal (GI) yang bersifat kronik, rekuren, tanpa adanya patologi yang dapat

dibuktikan pada pemeriksaan konvensional. Gejala GI yang didapatkan berupa nyeri perut, disfagia,

dispepsia, diare, konstipasi, dan kembung. Keluhan yang paling sering ditemui adalah nyeri perut.

Anak dengan gangguan ini biasanya mengalami nyeri berulang di bagian tengah perut. Intensitas

nyeri bervariasi, dan biasanya mengganggu aktivitas anak.

Gangguan saluran pencernaan fungsional disebabkan oleh kombinasi antara hipersensitivitas

dari saluran GI, perubahan motilitas atau pergerakan sistem pencernaan, serta interaksi antara otak

dan usus (brain gut axis). Sistem klasifikasi saat ini (ROME IV) membaginya menjadi 33 gangguan

dewasa dan 20 gangguan pediatrik.

Menegakkan diagnosa FGID masih merupakan tantangan bagi tenaga medis karena sulit

membuktikan adanya kelainan tanpa bukti patologis yang jelas, walaupun gejala penyakit sangat

nyata bagi penderita. Beban biaya pada penyakit FGID menjadi tinggi akibat belum adanya

pemeriksaan penunjang yang spesifik, sehingga cenderung dilakukan pemeriksaan penunjang yang

berlebih atau terjadi overdiagnosis. Oleh karenanya, Kriteria ROME menganjurkan tenaga medis

untuk menegakkan diagnosa FGID tanpa dilakukan pemeriksaan penunjang untuk mengeksklusi

diagnosis banding.

vii
Epidemiologi

Prevalensi sindrom gangguan pencernaan fungsional pada bayi dan anak-anak adalah 27,3%.

Regurgitasi bayi dengan prevalensi sekitar 33,9% adalah sindrom gangguan pencernaan fungsional

yang paling umum pada usia 0-6 bulan sementara konstipasi fungsional dengan prevalensi 7,0%

adalah yang paling umum pada usia 1-4 tahun. Gangguan saluran cerna fungsional pada anak kecil

merupakan tantangan besar bagi layanan gastroenterologi pediatrik di seluruh dunia. Diperkirakan 27-

40,5% bayi dan balita dilaporkan memenuhi setidaknya satu kriteria untuk gangguan cerna

fungsional. Sebagian besar gangguan ini diobati dengan berbagai modalitas terapi yang tidak efektif

yang juga menambah beban pengeluaran yang signifikan untuk sistem perawatan kesehatan di negara-

negara miskin. Selain itu, gangguan saluran cerna fungsional pada bayi terkait dengan dampak yang

merugikan seperti depresi ibu, ikatan bayi dan ibu yang buruk, dan pertumbuhan fisik yang buruk.

Sedangkan berdasarkan penelitian yang dilakukan di Indonesia prevalensi gangguan saluran

pencernaan fungsional secara keseluruhan sebesar 19%, dengan 4,4% merupakan dyspepsia

fungsional, 6,2% irritable bowel syndrome, 3,5% konstipasi fungsional, 1,1% diare fungsional, dan

1,1% distensi abdomen fungsional.

Klasifikasi dan Etiologi

Sejak lahir sampai usia 18 tahun, ada banyak perubahan fisiologis, otonom, psikososial dan

intelektual yang mempengaruhi presentasi gangguan saluran cerna fungsional pada anak. Misalnya,

diketahui bahwa sejak lahir sampai usia tiga tahun otak anak mengalami pertumbuhan dan perubahan

yang luar biasa. Selanjutnya, usus bayi biasanya dipengaruhi oleh bakteri vagina ibu setelah lahir.

Mikrobioma pionir awal ini, berperan penting dalam perkembangan sistem imun dan fungsi usus yang

optimal seperti penyerapan nutrisi dan kesehatan epitel. Selain itu usus mengalami pertumbuhan,

pendeknya kerongkongan pada bayi membuat gejala refluks atau regurgitasi sangat umum terjadi

pada kelompok usia ini, yang biasanya akan menghilang di kemudian hari.

viii
Kriteria Rome memberikan pedoman berbasis gejala, yang sangat membantu dalam diagnosis

gangguan gastrointestinal fungsional anak dan remaja (FGID). Kriteria Rome III sebelumnya

sebagian besar didasarkan pada konsensus, karena penelitian pada FGID anak/remaja sebagian besar

masih kurang. Basis bukti yang diperluas selama 10 tahun terakhir memberikan dasar bagi banyak

rekomendasi dari komite anak/remaja untuk Rome IV. Klasifikasi gangguan saluran pencernaan

fungsional dapat dilihat pada Tabel 1 dan 2.

Tabel 1.1 Klasifikasi Gangguan Saluran Pencernaan Fungsional pada Bayi dan Anak Usia Dini

Nomenklatur ROME III Usia Frekuensi Durasi

G1 Regurgitasi Infantil 3 minggu – 12 ≥2 regurgitasi/ hari ≥3 minggu

bulan

G2 Sindrom Ruminasi Infantil 3 – 8 bulan ≥3 bulan

G3 Sindrom vomitus siklik ≥2 episode muntah Beberapa jam -

hari

G4 Kolik Infantil 0-4 bulan ≥3 hari/ minggu selama ≥3 jam/ hari

≥1 minggu

G5 Diare fungsional 6-36 bulan ≥3 BAB tanpa nyeri/ hari ≥4 minggu

G6 Diskesia infantil <6 bulan ≥10 menit mengejan

G7 Konstipasi fungsional ≤4 tahun ≤2 defekasi / minggu ≥4 minggu

Tabel 1.2 Klasifikasi Gangguan Saluran Cerna Fungsional pada Anak dan Remaja

Nomenklatur ROME IV Frekuensi Durasi

ix
H1. Gangguan Mual dan Muntah Fungsional

H1a. Sindrom vomitus siklik ≥2 mual yang intens disertai Beberapa jam-hari /

vomitus paroksismal 6 bulan

H1b1. Mual fungsional ≥2 episode mual/ minggu ≥2 bulan

H1b2. Vomitus fungsional ≥1 episode muntah/ minggu ≥2 bulan

H1c. Sindrom ruminasi Regurgitasi repetitive dan ≥2 bulan

ekspulsi dan pengunyahan

makanan berulang

H1d. Aerofagia Sendawa repetitive dan/atau ≥2 bulan

peningkatan flatus

H2. Gangguan Nyeri Perut Fungsional

H2a. Dispepsia fungsional ≥1 gejala selama ≥1 hari/ ≥2 bulan

bulan

H2b. Sindrom pencernaan iritabel Nyeri perut selama ≥4 ≥2 bulan

hari/bulan

H2c. Migrain abdominal ≥2 episode nyeri abdomen ≥1 jam/ 6 bulan

H2d. Nyeri perut fungsional – tidak ≥4 nyeri abdomen episodic ≥2 bulan

terspesifikasi atau kontinu / bulan

H3. Gangguan Defekasi Fungsional

H3a. Konstipasi fungsional ≤2 defekasi/ minggu, ≥1 ≥1 bulan

inkontinensia/minggu

H3b. Inkontinensia fekal non retentif Episode fecal loss ≥1 bulan

x
Patofisiologi

Pemahaman tentang patofisiologi gangguan saluran cerna fungsional terus berkembang. Teori

sebelumnya menjelaskan adanya perubahan dalam motilitas dan hipersensitivitas visceral, selanjutnya

penelitian terbaru telah berfokus pada peran mikrobiota usus dan respon imun usus, interaksi

neurokimia sentral dan saluran cerna (brain-gut axis) dan faktor genetik. Mikrobiota usus mengacu

pada triliunan mikroorganisme yang menghuni saluran pencernaan manusia, dan bukti menunjukkan

keterlibatan mikrobiota ini dalam beberapa aspek fisiologi usus, seperti respon imun, motilitas,

sekresi dan pencernaan. Mikrobiota usus dapat mempengaruhi fungsi otak (SSP) dan perilaku

organisme inang melalui beberapa mekanisme termasuk jalur endokrin dan neuroendokrin; dan

sebaliknya otak dapat mengubah komposisi mikroba melalui sistem saraf otonom. Pengaruh ini tidak

searah, melainkan dua arah sehingga SSP mampu mengubah komposisi mikrobiota usus, yang

selanjutnya dapat mengubah permeabilitas usus, motilitas, sensasi visceral, peradangan, dan sekresi

melalui aktivasi HPA, otonom dan sistem neuroendokrin, dengan efek langsung pada mikrobiota usus.

Di sisi lain, stres pada awal kehidupan, merupakan suatu bentuk spesifik dari aktivasi SSP, juga

mempengaruhi fungsi HPA dan, pada gilirannya, berdampak pada mikrobiota usus yang sedang

berkembang dan sebaliknya.

Brain-gut axis mengacu pada komunikasi dua arah antara sistem saraf pusat (SSP), sistem

saraf otonom (SSO), aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal (HPA), dan saluran cerna. Sistem ini

berkomunikasi dengan SSP melalui SSO dan menggunakan neurotransmiter di usus seperti serotonin

dan dopamin. Gejala GI dapat dimulai sebagai akibat dari penyakit organik atau hiperreaktivitas

dalam SSO. Bergantian atau bersamaan dengan penyakit organik, kecemasan dan aktivasi kronis dari

sistem respons stres dapat menyebabkan perubahan di otak, sumsum tulang belakang, dan usus yang

meningkatkan risiko timbulnya gejala saluran cerna. Sebaliknya, stres yang terkait dengan gejala

saluran cerna dapat menyebabkan kecemasan dan stres yang meningkat. Kondisi saling

mempengaruhi dan mengganggu dari kedua arah yang berkelanjutan, dapat membuat persepsi keluhan

menjadi terganggu secara kronis.

xi
Sistem respons stres terdiri dari sumbu HPA dan sistem otonom brain-gut axis. Sistem

otonom, khususnya cabang simpatisnya, bertanggung jawab atas respons "fight or flight" terhadap

stres, dan sumbu HPA menyediakan reaksi stres jangka panjang tubuh. Efek stres pada sistem

kekebalan dan inflamasi sangat kompleks. Namun, durasi dan intensitas stres diketahui memainkan

peran besar dalam proses ini dan penelitian pada hewan dan manusia menunjukkan bahwa stres sangat

penting dalam patogenesis gangguan GI. stres akut merangsang sistem saraf simpatik, mengakibatkan

peningkatan kortisol dan produksi sitokin inflamasi yang terlibat dalam gangguan GI.

Kecemasan dan gejala depresi sering terjadi pada anak-anak dengan nyeri akibat gangguan

saluran cerna fungsional, tetapi hubungan sebaliknya juga benar: 51,5% anak yang memenuhi kriteria

DSM-IV untuk gangguan depresi atau kecemasan seringkali mengeluhkan nyeri akibat gangguan

saluran cerna fungsional. Kecemasan dan depresi komorbiditas memprediksi terjadinya gangguan

fungsional pada anak-anak dengan gangguan saluran cerna fungsional. Sekitar 30-40% anak-anak

dengan nyeri abdominal fungsional akan mengalami gangguan saluran cerna fungsional di masa

dewasa, terutama jika mereka juga menunjukkan keluhan somatik lain atau mengalami depresi saat

anak-anak. Efek samping dari proses yang terjadi pada awal kehidupan merupakan faktor risiko yang

berperan pada terjadinya gangguan saluran cerna fungsional pada orang dewasa dan anak-anak, Selain

itu, anak dari ibu dengan IBS lebih cenderung memiliki keluhan somatik gastrointestinal dan non-

gastrointestinal, terutama jika ibu menunjukkan respons yang serius terhadap penyakit.

Organ berongga, seperti lambung dan usus, sensitif terhadap peregangan atau distensi.

Hipersensitivitas viseral terhadap distensi fisiologis telah terbukti menghasilkan rasa sakit atau

ketidaknyamanan pada pasien dengan gangguan saluran cerna fungsional. Berkenaan dengan brain

gut axis, nyeri mewakili interaksi kompleks sinyal saraf, sumsum tulang belakang, struktur otak, dan

perubahan dalam pemrosesan nyeri pada tingkat visceral usus. Sensasi di usus yang biasanya tidak

dirasakan saat sadar (misalnya saat terjadi proses pencernaan) dapat terasa pada pasien dengan

hipersensitivitas visceral dan berkontribusi terhadap ketidaknyamanan pada saluran cerna.

Selain itu, perubahan dalam komposisi sel-sel inflamasi di saluran cerna bagian atas baru-baru

ini diamati di beberapa gangguan saluran cerna fungsional, mendukung peran peradangan dalam

timbulnya gejala. Misalnya, peningkatan sel mast dan eosinofil telah dikaitkan dengan dyspepsia

xii
fungsional dan IBS pada anak-anak dan orang dewasa. Produk sel mast dan eosinofil yang diaktifkan

bekerja di usus untuk meningkatkan hipersensitivitas viseral, mengubah pola motilitas, dan mengubah

fungsi penghalang epitel.

Gambar 1.1 Brain-Gut Axis

Sumber: Microbiome Gut-Brain Axis - Implication on Health (2022)

Faktor Risiko

Etiologi gangguan ini masih belum pasti dan diduga karena sedikit perubahan dari

perkembangan normal atau respons perilaku maladaptif terhadap berbagai rangsangan internal atau

eksternal. Berdasarkan beberapa penelitian beberapa faktor risiko yang berkaitan dengan gangguan

saluran pencernaan fungsional diantaranya adalah jenis kelamin laki-laki, tinggal di daerah yang

kurang maju. Bayi yang tinggal di daerah pedesaan memiliki peningkatan risiko 44% untuk

mengalami regurgitasi bayi, yang mungkin disebabkan oleh ketidaksadaran orang tua tentang cara

yang benar. posisi makan dan keyakinan pada kepercayaan kepercayaan kesehatan tradisional, atau

akibat kesulitan akses ke perawatan dan fasilitas kesehatan.

Konsumsi susu formula antara 0 dan 1 bulan meningkatkan risiko regurgitasi bayi sementara

pemberian ASI secara eksklusif selama 4-6 bulan mengurangi risiko sebesar 99%. Bayi dengan ASI

xiii
eksklusif secara langsung memiliki kemampuan untuk memberi sinyal kepada ibunya tentang

kecukupan kebutuhan susunya sehingga menghasilkan pola asupan yang baik, hal ini biasanya

berkaitan dengan peningkatan frekuensi dan penurunan volume, yang merupakan faktor yang terkait

dengan penurunan kejadian refluks. Selain itu, bayi yang diberi ASI memiliki pengosongan lambung

yang lebih cepat, oleh karena itu pH esofagus lebih rendah yang lebih mungkin untuk merangsang

peristaltik dan dengan demikian memperpendek durasi refluks.

Memiliki berat badan lahir rendah (2,1-2,5 kg) dikaitkan dengan peningkatan risiko kolik

bayi. Berdasarkan beberapa studi bayi dengan berat badan lahir rendah (< 2,5 kg) memiliki risiko dua

kali lipat mengalami kolik. Peningkatan risiko infantile colic juga meningkat dengan penurunan usia

kehamilan. Bayi kecil untuk usia kehamilan dengan berat lahir di bawah persentil ke-10 memiliki

peningkatan kemungkinan kolik bayi Hal ini mungkin akibat ibu cenderung memberi tekanan pada

bayi dengan berat lahir rendah dengan memanipulasi frekuensi dan/atau kuantitas pemberian susu

yang mengarah pada potensi pemberian asupan berlebih. Karena perkembangan usus bayi yang belum

sempurna, bayi mungkin tidak dapat menangani volume susu yang besar, sehingga menyebabkan

kolik bayi.

Persalinan pervaginam juga ditemukan secara signifikan menurunkan risiko konstipasi

fungsional. Namun, hal ini belum memiliki bukti yang cukup kuat. Persalinan sesar telah dikaitkan

dengan berbagai kondisi infantil seperti penyakit radang usus dan gastroenteritis. Persalinan sesar juga

mengganggu kolonisasi normal usus bayi dengan mencegah paparan mikroba ibu. Di sisi lain, bayi

yang lahir melalui persalinan pervaginam terpapar mikrobiota vagina dan usus ibu yang penting

dalam perkembangan sistem kekebalan bayi dan dapat mengurangi kemungkinan terjadinya

konstipasi fungsional.

Peristiwa kehidupan yang penuh tekanan diketahui mempengaruhi anak-anak untuk

mengalami gangguan saluran cerna fungsional. Beberapa penelitian di antara anak-anak yang lebih

tua memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami konstipasi fungsional dan gangguan nyeri

perut fungsional akibat adanya peristiwa kehidupan yang penuh tekanan terkait dengan kehidupan

sehari-harinya baik di rumah maupun di sekolah. Selain itu, paparan ibu terhadap kekerasan dan

xiv
perilaku buruk terhadap bayi juga dapat meningkatkan risiko gangguan saluran cerna fungsional pada

bayi dan anak.

Diagnosis

Diagnosis dan manajemen FGID merupakan tantangan bagi dokter anak, di mana sikap dan

respons orang tua terhadap keluhan anak mereka memiliki dampak yang signifikan pada ketepatan

diagnosis dan penanganan. Berdasarkan studi terbaru, penegakkan diagnosa awal dapat memperbaiki

prognosis penyakit. Kriteria ROME menganjurkan tenaga medis untuk menegakkan diagnosa FGID

tanpa perlu dilakukannya pemeriksaan penunjang secara ekstensif untuk mengeksklusi diagnosis

banding.

1. Anamnesis

Anamnesis pada penderita FGID ditujukan pada lokasi nyeri, pola, durasi, frekuensi dan

ciri-ciri terkait serta faktor-faktor yang meringankan atau memperburuk merupakan

pertanyaan yang penting ditanyakan. Buku harian gejala mungkin bisa membantu penegakan

diagnosis. Kram, nyeri perut bagian bawah yang berkurang dengan defekasi mungkin

menunjukkan IBS atau IBD. Nyeri periumbilikalis harian, yang tidak terkait dengan makanan

menunjukkan nyeri abdomen fungsional yang tidak terspesifikasi, sedangkan seorang anak

yang mengalami serangan nyeri perut hebat yang berlangsung selama satu atau dua hari tetapi

baik-baik saja selama berminggu-minggu di antaranya mungkin menderita migrain

abdominal. Nyeri epigastrium postprandial menunjukkan kemungkinan gastritis, dispepsia

fungsional atau mungkin kolelitiasis.

Riwayat kesehatan masa lalu anak juga penting: misalnya, anak dengan diabetes tipe I,

penyakit tiroid autoimun, atau sindrom Down dengan sakit perut perlu dipertimbangkan

penyakit celiac (CD); anak-anak dengan rheumatoid arthritis remaja memiliki kecenderungan

untuk mengalami IBD. Menanyakan adanya riwayat keluarga yang mengalami IBD, CD,

gangguan saluran cerna fungsional dan sakit kepala migrain juga penting. Stresor psikososial,

kehadiran dan aktivitas anak di sekolah serta dinamika keluarga juga relevan dalam penilaian

xv
awal. Pemeriksaan yang cermat meliputi keadaan umum dan parameter pertumbuhan

(termasuk tren berdasarkan pengukuran sebelumnya), penilaian stadium pubertas dan

pemeriksaan abdomen dan perianal perlu dilakukan. Beberapa gambaran klinis dianggap

sebagai 'tanda bahaya' untuk mengingatkan dokter untuk mempertimbangkan diagnosis

organik serius yang mendasari. (Tabel 1.3). Gangguan organik dengan tanda bahaya dapat

mengarah pada penyakit kanker kolorektal, kanker ovarium, malabsorbsi cairan empedu,

colitis mikroskopik, celiac disease, atau penyakit Crohn.

Tabel 1.3 Tanda bahaya (Red Flags) ketika mengevaluasi anak dengan nyeri abdomen kronis.

 Penurunan tren pertumbuhan (tinggi atau berat) atau adanya

penurunan berat badan

 Pubertas terlambat

 Vomitus, terutama jika terjadi cukup sering dan persisten, atau

bila disertai darah atau warna kehijauan

 Kesulitan menelan atau nyeri menelan

 Diare persisten, terutama jika nocturnal

 Perdarahan saluran cerna atau defisiensi besi atau anemia

tanpa sebab yang jelas

 Nyeri lokal persisten atau nyeri tekan yang jauh dari

umbilicus, terutama pada kuadran kanan bawah atau kuadran

atas

 Penyakit perianal

 Demam tanpa sebab yang jelas

 Artritis

 Riwayat keluarga IBD, CD atau ulkus peptikum

xvi
2. Pemeriksaan Fisik dan Penunjang

Saat memeriksa pasien dengan keluhan pencernaan, perlu dilakukan pemeriksaan

fisik menyeluruh dari kepala, dada, abdomen, ekstremitas hingga pemeriksaan genital. Klinisi

harus memperhatikan tanda-tanda sistemik lainnya: seperti keadaan umum pasien, gangguan

pertumbuhan dan perkembangan, serta gangguan neurologis. Gangguan saluran cerna

fungsional ditegakkan apabila tidak terdapat kelainan pada pemeriksaan fisik secara

keseluruhan. Pemeriksaan fisik dilakukan untuk menyingkirkan semua tanda dan gejala

bahaya. Pemeriksaan fisik yang penting untuk dilakukan meliputi massa abdomen, intensitas

nyeri, dan pemeriksaan colok dubur. Pemeriksaan colok dubur berfungsi untuk

menyingkirkan kemungkinan massa pada rektum, hemoroid, serta tonus dan fungsi anus.

Pemeriksaan laboratorium, radiologis atau endoskopi boleh dilakukan berdasarkan

pertimbangan klinis dari dokter, tergantung dari temuan yang didapat dari anamnesis dan

pemeriksaaan fisik. Pemeriksaan laboratorium tidak harus selalu dilakukan jika anamnesis

dan pemeriksaan fisik sudah jelas mengarah ke gangguan fungsional saja. Namun beberapa

literatur menyarankan perlu dilakukan pemeriksaan penunjang standar pada pasien dengan

kecurigaan FGID.

Tabel 1.4 Klasifikasi Gangguan Saluran Cerna Fungsional pada Anak dan Remaja

Diagnosis Banding Pemeriksaan Penunjang

Anemia Darah Perifer Lengkap

Dehidrasi terkait diare Ureum, elektrolit

IBS CRP, LED

Celiac Disease Serologi coeliac

Penyakit tiroid Panel fungsi tiroid

Helicobacter pylori Urea breath test, antigen

feses

xvii
Jika terdapat indikasi boleh pula dilakukan pemeriksaan ultrasonografi untuk

mengevaluasi ginjal, kantung empedu, dan pankreas, jika pasien mengeluhkan nyeri perut

bawah bisa juga dilakukan ultrasonografi pelvis. Rontgen abdomen mungkin diindikasikan

jika dicurigai gangguan pada lambung atau usus kecil. Esofagogastroduodenoskopi juga dapat

disarankan pada pasien dengan keluhan saluran cerna atas yang persisten. Namun

pemeriksaan ini bianya jarang diperlukan.

Dua atau tiga gangguan saluran pencernaan fungsional yang sering ditemui pada Bayi/Balita

Beberapa bayi memiliki 2 diagnosis FGID sekaligus, dan mungkin pula mengalami 3

diagnosis. Pasien bayi atau balita dengan >1 diagnosis, FGID yang biasanya terjadi bersamaan

termasuk konstipasi fungsional dengan sindrom vomitus siklik, konstipasi fungsional dengan

regurgitasi bayi, sindrom vomitus siklik dengan regurgitasi bayi, diskezia bayi dengan regurgitasi

bayi. Sedangkan bayi dan balita yang memiliki 3 diagnosis, 3 yang paling umum adalah: regurgitasi

bayi, konstipasi fungsional, dan diskezia.

Dua atau tiga gangguan saluran pencernaan fungsional yang sering ditemui pada Anak/Remaja

Beberapa anak dan remaja dapat memiliki lebih dari 1 diagnosis FGID. Mereka termasuk IBS

dengan migrain perut, IBS dengan aerophagia, sindrom vomitus siklik dengan migrain perut, IBS

dengan sindrom vomitus siklik, dan aerophagia dengan migrain perut. Bahkan mungkin pula terdapat

3 diagnosis. Yang paling umum adalah IBS, migrain perut, dan sindrom vomitus siklik.

Tatalaksana

Secara umum prinsip yang digunakan dalam terapi gangguan saluran cerna fungsional adalah sebagai

berikut:

1. Menegakan diagnosis positif

xviii
Pertama, penting untuk membuat diagnosis positif. Diagnosis FGID dalam banyak kasus

dapat dibuat tanpa pemeriksaan penunjang lanjutan atau rujukan yang lengkap. Anak-anak

dan keluarga akan sangat terbantu dengan memiliki diagnosis yang meyakinkan.

2. Memberikan penjelasan bahwa kondisi yang dialami merupakan kondisi yang tidak

berbahaya

Mereka harus diyakinkan tentang sifat diagnosis yang tidak berbahaya secara medis dan

bahwa setelah evaluasi yang cermat, anak tersebut tidak memiliki penyakit serius lainnya.

Orang tua dan anak-anak sama-sama mungkin khawatir tentang kondisi mendasar yang serius

yang telah mereka saksikan pada anggota keluarga lain, teman atau bahkan apa yang telah

mereka baca setelah pencarian di internet, misalnya kanker, obstruksi usus, dan IBD. Akan

sangat membantu untuk menanyakan diagnosis apa yang mereka khawatirkan dan secara

khusus menjelaskan mengapa diagnosis itu tidak benar.

3. Memberikan edukasi mengenai gangguan saluran cerna fungsional

Edukasi tentang gangguan saluran cerna fungsional melibatkan penjelasan dalam istilah yang

dapat dipahami anak, didukung dengan informasi tertulis atau berbasis internet. Penerimaan

orang tua dari konsep bio-psikososial gejala anak mereka penting karena telah terbukti

berhubungan dengan keberhasilan pengobatan dan resolusi nyeri. Jelaskan bahwa FGID pada

anak-anak dan orang dewasa merupakan hal yang umum. Seringkali, orang tua akrab dengan

FGID yang lebih umum seperti IBS dan bahkan mungkin pernah mengalami kondisi ini

sebelumnya.

4. Menjelaskan bahwa gejala dan dampak dari keluhan yang dialami

Hal ini meliputi diskusi tentang bagaimana rasa sakit dialami, perbedaan antara nosiseptif dan

persepsi, sinyal 'alarm palsu' yang datang dari usus, saraf usus yang hipersensitif terhadap

rangsangan normal, bagaimana rasa sakit bisa menjadi lebih kuat ketika perhatian terus

diarahkan pada keluhan dan pengaruh stres atau rasa khawatir pada persepsi nyeri.

5. Tetapkan tujuan realistis

xix
Tujuan pengobatan yang realistis harus ditetapkan dengan anak, seperti kembali sepenuhnya

ke sekolah dan melanjutkan kegiatan olahraga atau sosial, dibanding mengharapkan tujuan

untuk benar-benar bebas dari rasa sakit. Jelaskan bahwa rasa sakit kemungkinan akan

bertahan untuk waktu yang lama tetapi akan berkurang dan semakin sedikit berdampak

daripada sebelumnya.

6. Evaluasi kesehatan secara umum

Dalam kasus yang lebih parah, anak mungkin telah melewatkan banyak pelajaran di sekolah,

yang mengarah ke pola diet yang maladaptif, tidur dan aktivitas fisik, yang kemudian

memperburuk perasaan putus asa, isolasi dan harga diri, hal ini perlu ditangani secara khusus

oleh dokter.

7. Intervensi pola makan dan nutrisi

Pola makan yang sehat harus diusahakan. Beberapa anak akan menghindari makanan yang

disarankan untuk memicu gejala; dan menanggapinya secara ekstrim, mungkin hal ini dapat

menyebabkan konsekuensi nutrisi dan pertumbuhan. Penting untuk mendorong pengenalan

kembali makanan yang dihindari jika memungkinkan, terutama jika makanan tersebut

merupakan sumber energi atau zat gizi mikro yang penting bagi anak.

8. Intervensi psikologis

Terapi perilaku kognitif (CBT), intervensi psikologis yang paling banyak diselidiki untuk

FGID dengan gejala dominan nyeri, bertujuan untuk mengubah pemikiran atau respons yang

berkontribusi pada atau membuat gejala terus dialami. Akses ke praktisi terlatih dengan

pengalaman dalam kondisi ini masih terbatas dan biasanya mahal. CBT yang disampaikan

melalui internet dapat dipertimbangkan sebagai pendekatan yang hemat biaya dan efektif.

Hipnoterapi focus pada usus tampaknya lebih baik daripada terapi medis standar dalam

meredakan gejala dan meningkatkan kualitas hidup pada anak-anak.

9. Intervensi Farmakologis dan non-Farmakologis lainnya

Ringkasan intervensi spesifik untuk masing-masing gangguan saluran cerna fungsional akan

dijelaskan pada subbab-subbab di bawah.

xx
Pentingnya evaluasi yang cermat, membuat diagnosis positif dan memberikan pendidikan tentang

kondisi merupakan hal yang perlu diperhatikan.

Daftar Pustaka

1. Fikree A, Byrne P. Management of functional gastrointestinal disorders. Clinical Medicine. 2021

Jan 1;21(1):44–52.

2. Functional Gastrointestinal Disorders in Pediatric and Adolescent Patients [Internet]. American

College of Gastroenterology. [cited 2022 Mar 9].

3. Huang Y, Tan SY, Parikh P, Buthmanaban V, Rajindrajith S, Benninga MA. Prevalence of

functional gastrointestinal disorders in infants and young children in China. BMC Pediatrics.

2021 Mar 17;21(1):131.

4. Ferreira-Maia AP, Matijasevich A, Wang Y-P. Epidemiology of functional gastrointestinal

disorders in infants and toddlers: A systematic review. World J Gastroenterol. 2016 Jul

28;22(28):6547–58.

5. Sperber AD, Bangdiwala SI, Drossman DA, Ghoshal UC, Simren M, Tack J, et al. Worldwide

Prevalence and Burden of Functional Gastrointestinal Disorders, Results of Rome Foundation

Global Study. Gastroenterology. 2021 Jan;160(1):99-114.e3.

6. Rao S, Lee YY, Ghoshal UC. Clinical and basic neurogastroenterology and motility. Academic

Press; 2019.

7. Drossman DA. Functional gastrointestinal disorders: history, pathophysiology, clinical features,

and Rome IV. Gastroenterology. 2016;150(6):1262–79.

8. Ihekweazu FD, Versalovic J. Development of the pediatric gut microbiome: impact on health and

disease. The American journal of the medical sciences. 2018;356(5):413–23.

9. Van Oudenhove L, Levy RL, Crowell MD, Drossman DA, Halpert AD, Keefer L, et al.

Biopsychosocial aspects of functional gastrointestinal disorders: how central and environmental

processes contribute to the development and expression of functional gastrointestinal disorders.

Gastroenterology. 2016;150(6):1355–67.

xxi
10. Mayer EA, Labus JS, Tillisch K, Cole SW, Baldi P. Towards a systems view of IBS. Nature

Reviews Gastroenterology & Hepatology. 2015;12(10):592–605.

11. Yacob D, Di Lorenzo C, Bridge JA, Rosenstein PF, Onorato M, Bravender T, et al. Prevalence of

pain-predominant functional gastrointestinal disorders and somatic symptoms in patients with

anxiety or depressive disorders. The Journal of pediatrics. 2013;163(3):767–70.

12. Reed-Knight B, Maddux MH, Deacy AD, Lamparyk K, Stone AL, Mackner L. Brain–gut

interactions and maintenance factors in pediatric gastroenterological disorders:

Recommendations for clinical care. Clinical Practice in Pediatric Psychology. 2017;5(1):93.

13. Yourkavitch J, Zadrozny S, Flax VL. Reflux incidence among exclusively breast milk fed

infants: differences of feeding at breast versus pumped milk. Children. 2016;3(4):18.

14. Milidou I, Søndergaard C, Jensen MS, Olsen J, Henriksen TB. Gestational age, small for

gestational age, and infantile colic. Paediatric and perinatal epidemiology. 2014;28(2):138–45.

15. Fildes A, van Jaarsveld CH, Llewellyn C, Wardle J, Fisher A. Parental control over feeding in

infancy. Influence of infant weight, appetite and feeding method. Appetite. 2015;91:101–6.

16. Yoshida T, Matsumura K, Tsuchida A, Hamazaki K, Inadera H. Association between cesarean

section and constipation in infants: the Japan Environment and Children’s Study (JECS). BMC

Research Notes. 2018;11(1):1–4.

17. Ohkusa T, Koido S, Nishikawa Y, Sato N. Gut microbiota and chronic constipation: a review and

update. Frontiers in medicine. 2019;6:19.

18. Heinsch ML, Nightingale S. Functional gastrointestinal disorders in children and adolescents:

Knowledge, practice and attitudes of Australian paediatricians. Journal of Paediatrics and Child

Health. 2019;55(9):1063–9.

19. Nightingale S, Sharma A. Functional gastrointestinal disorders in children: What is new? Journal

of Paediatrics and Child Health. 2020;56(11):1724–30.

20. Sreedharan R, Liacouras CA. Functional Abdominal Pain (Nonorganic Chronic Abdominal

Pain). In: Kliegman RM, Stanton BF, St Geme JW, Schor NF, Behrman RE, editors. Nelson

Textbook of Pediatric. Elsevier; 2016.

xxii
21. Rouster AS, Karpinski AC, Silver D, Monagas J, Hyman PE. Functional Gastrointestinal

Disorders Dominate Pediatric Gastroenterology Outpatient Practice. Journal of Pediatric

Gastroenterology and Nutrition. 2016 Jun;62(6):847–51.

xxiii
KOLIK INFANTIL

Definisi

Kolik infantil merupakan suatu kondisi jinak dan dapat sembuh dengan sendirinya. Kolik

infantile merupakan kondisi di mana bayi yang sehat menangis secara berlebihan tanpa penyebab

yang mendasari. Kriteria diagnostik knvensional yang digunakan untuk mendiagnosis kolik infantile

dikenal sebagai “aturan tiga”—menangis lebih dari tiga jam per hari, selama lebih dari tiga hari per

minggu, selama kurang lebih satu minggu. Namun gejala ini biasanya akan hilang pada usia tiga

hingga enam bulan.

Kriteria Rome IV yang baru mendefinisikan kolik infantil sebagai periode tangisan bayi yang

berulang dan berkepanjangan, rewel atau iritabilitas yang dilaporkan oleh pengasuh yang terjadi tanpa

penyebab yang jelas dan tidak dapat dicegah atau diselesaikan'. Diagnosis dapat diasumsikan setelah

mengesampingkan penyebab organik potensial.

Epidemiologi

Kolik dialami pada 10-40% bayi, dan merupakan salah satu kondisi paling umum terjadi pada

awal fase kehidupan. Puncak insiden kolik infantil terjadi pada usia sekitar enam minggu. Kolik

infantil dapat menimbulkan rasa bersalah dan frustrasi signifikan pada orang tua. Kolik dikaitkan

dengan depresi pasca melahirkan dan shaken baby syndrome. Orang tua biasanya melaporkan bahwa

serangan keluhan mendadak terjadi di malam hari dan biasanya tanpa diprovokasi. Insidennya sama

antara jenis kelamin, dan tidak ada korelasi dengan jenis menyusui (ASI eksklusif vs. susu formula),

usia kehamilan (cukup bulan vs. prematur), status sosial ekonomi, atau kondisi iklim atau musim.

Etiologi

xxiv
Penyebab kolik sampai saat ini tidak diketahui. Diagnosis kolik infantil harus menyingkirkan

kemungkinan penyebab lain. Beberapa penyebab organik biasanya disertai keluhan lain selain

menangis, beberapa contoh kondisi dapat dilihat pada tabel 2.1.

Tabel 2.1 Penyebab organik yang harus disingkirkan pada bayi yang menangis

Kondisi yang perlu dieksklusi Manifestasi klinis tambahan

Alergi protein susu  Muntah yang signifikan

 Kesulitan makan

 Diare dengan lendir atau darah

 Pertambahan berat badan yang buruk

 Dermatitis yang luas

 Riwayat keluarga tingkat pertama dengan

atopi

GERD  Muntah signifikan yang sering (>5 kali per

hari)

 Hematemesis

 Kesulitan makan

 Pertambahan berat badan yang buruk

Intoleransi laktosa  Diare berair, berbusa, eksplosif DAN

ekskoriasi atau ulserasi perianal

Hernia inguinal  Muntah

 Benjolan di daerah inguinal

Intususepsi  Onset akut muntah, pucat, iritabilitas

 Massa perut, pendarahan dubur

Infeksi: Infeksi Saluran Kemih,  Demam

xxv
Meningitis, Otitis Media

 Letargi

 Pemberian makan yang buruk, penambahan

berat badan yang buruk

 Faktor risiko perinatal untuk sepsis

Hidrosefalus  Meningkatkan lingkar kepala / makrosefali

 muntah

 Kelesuan

Trauma non-aksidental  Memar atau petechiae

 Ciri-ciri lain dari cedera fisik

Penyebab neurologis atau  Mungkin terkait dengan migrain masa kanak-

psikososial kanak di kemudian hari dan migrain pada ibu

 Faktor psikososial seperti temperamen bayi,

interaksi ibu-bayi, kecemasan dan depresi

ibu. Ibu yang merokok juga mungkin menjadi

faktor risiko.

Tanda bahaya yang perlu diwaspadai termasuk demam, letargi, atau distensi abdomen. Gejala

demam mungkin disebabkan otitik media akut, apendisitis, bacteremia, endocarditis, meningitis,

osteomyelitis, pneumonia, sepsis, infeksi saluran kemih, infeksi saluran pernapasan. Letargi mungkin

disebabkan oleh hidrosefalus, meningitis, sepsis, hematom subdural. Sedangkan distensi abdomen

mungkin disebabkan oleh massa pada abdomen, hepatosplenomegaly, Hirschprung disease, volvulus

atau malrotasi intestinal, necrotizing enterocolitis.1 Kurang dari 5% bayi dengan tangisan berlebihan

memiliki penyakit organik yang mendasari. Salah satu tantangan diagnostik utama adalah karena

menangis adalah bagian dari spektrum klinis dari banyak kondisi yang relatif sering terjadi pada bayi

seperti refluks gastro-esofagus, alergi protein susu sapi, dll. Namun, menangis sebagai manifestasi

xxvi
"tunggal" atau "soliter" dalam salah satu kondisi ini jarang terjadi. Dengan kata lain, banyak bayi

dengan refluks gastro-esofagus yang bermasalah memang sering menangis, tetapi menangis sebagai

manifestasi tunggal adalah presentasi yang jarang dari refluks gastro-esofagus.

Patofisiologi kolik infantil kurang dipahami. Udara yang tertelan mungkin diprediksi sebagai

faktor yang berkontribusi pada kondisi ini; namun apakah aerophagia harus dianggap sebagai

penyebab atau konsekuensi masih diperdebatkan. Beberapa ahli menganggap bahwa kolik infantil

disebabkan oleh ketidaknyamanan gastro-intestinal atau kram usus. Beberapa bayi kolik menunjukkan

disbiosis mikrobiota usus, perubahan barier, dan peradangan gastrointestinal kronis ringan. Selain itu,

hipersensitivitas visceral bisa menjadi faktor etiologi penting yang terlibat dalam perilaku menangis

pada kolik infantil.

Diagnosis

Ketika mengevaluasi bayi yang terus menangis, penting untuk melakukan anamnesis lengkap

untuk mendapatkan riwayat menyeluruh dan melakukan pemeriksaan fisik yang ekstensif, karena

kolik adalah diagnosis eksklusi. Diagnosis banding yang perlu dipertimbangkan termasuk penyakit

refluks gastroesofageal, alergi susu sapi, intususepsi, fisura anus, pemberian ASI atau susu botol yang

tidak adekuat, trauma, dan infeksi. Gejala bahaya yang harus dicari termasuk demam, lesu, makan

buruk, tinja berdarah, dan muntah empedu atau proyektil. Setelah penyebab potensial ini telah

disingkirkan, diagnosis kolik dapat dibuat.

Dalam sebuah penelitian terhadap semua bayi tanpa demam yang dibawa ke rumah sakit anak

selama setahun karena menangis, iritabel, kolik, menjerit, atau rewel, hanya 12 dari 237 (5,1%) yang

ditemukan memiliki penyebab organik yang serius. Sebagian besar bayi dengan penyakit organik

terlihat tidak sehat pada pemeriksaan klinis dan tes untuk infeksi saluran kemih direkomendasikan

dalam kasus tersebut.

Kolik umum terjadi dan biasanya sembuh pada usia 3-4 bulan, seiring dengan maturnya

perkembangan usus dan sistem saraf pada bayi. Alergi susu sapi jauh lebih jarang terjadi dan dapat

menyerupai gejala kolik. Namun, biasanya ada gejala tambahan (kolik disertai gejala lain) seperti

xxvii
gagal tumbuh, keluhan persisten, darah dalam tinja, eksim atau muntah dengan respons yang pasti dari

percobaan penghapusan susu sapi dari diet ibu menyusui atau beralih ke formula protein-hidrolisat

jika bayi diberi susu formula. Alergi susu sapi umumnya membutuhkan waktu 2-3 tahun untuk

sembuh, bahkan lebih lama pada beberapa anak.

Percobaan terapeutik dengan waktu terbatas telah direkomendasikan untuk mengkonfirmasi

kemungkinan penyebab tangisan berkepanjangan: misalnya penghapusan susu sapi dari diet ibu

menyusui atau beralih ke formula protein-hidrolisat jika bayi diberi susu formula. Penghapusan susu

sapi dari diet ibu namun tetap menuai kontroversi karena tidak ada data tentang seberapa sering hal ini

berhasil diterapkan. Meskipun pengobatan refluks gastroesofageal digunakan secara luas untuk

mengurangi tangisan bayi, tidak ada bukti bahwa GERD menyebabkan bayi menangis, atau dan ada

bukti bahwa pengobatan untuk refluks tidak efektif dalam mengurangi tangisan. Respons bayi yang

kenyang terhadap manuver menenangkan, seperti mengayun berirama dan menepuk 1 sampai 3 kali

per detik di lingkungan yang tenang, dapat menenangkan bayi yang mungkin akan kembali menangis

segera setelah diturunkan. Jika manuver umum semacam ini dapat menenangkan bayi, hal ini

mendukung diagnosis kolik serta memberikan rasa tenang kepada pengasuh.

Tatalaksana

Manajemen kolik infantil ditekankan pada menenangkan dan mendukung orang tua untuk

mengatasi tangisan berlebihan dan perilaku tertekan yang dialami anak mereka dengan memberi tahu

mereka bahwa secara umum, kondisi ini akan memuncak sekitar usia 4 hingga 6 minggu setelah

kelahiran, dapat berlangsung hingga tiga jam per hari pada bayi normal dan terus berlanjut, namun

keluhan ini biasanya akan berkurang pada 12 minggu dan seterusnya.

xxviii
Gambar 2.1 Manajemen Kolik Infantil

Sumber: PGHN 2019

Pemeriksaan fisik dan anamnesis difokuskan pada tanda-tanda bahaya yang paling penting,

seperti muntah parah, punggung melengkung, perdarahan gastrointestinal, gagal tumbuh, distensi

abdomen, kembung, dan tanda-tanda lain yang mungkin mengarahkan ke penyebab organik lebih

lanjut.

1. Probiotik

Bayi dengan kolik diduga memiliki ketidakseimbangan mikroflora usus. Studi mengamati

perkembangan mikrobiota usus pada bayi sejak lahir, sebelum puncak kolik. Bayi dengan kolik

memiliki perkembangan yang lebih lambat dalam keragaman mikrobiota usus dan peningkatan

yang signifikan dalam proteobacteria sedangkan bayi tanpa kolik memiliki mikrobiota yang

beragam pada usia 2 minggu dan peningkatan bifidobacteria dan lactobacilli. Temuan ini

membantu membenarkan penggunaan probiotik untuk mengurangi gejala kolik.

Probiotik menurunkan kolonisasi Escherichia coli, menurunkan hiperperistaltik dan

hiperalgesia, dan menekan sitokin proinflamasi. Lactobacillus reuteri strain DSM 17938 telah

terbukti menjadi pilihan pengobatan untuk bayi yang disusui tetapi tidak untuk bayi yang diberi

xxix
susu formula. Efek dari administrasi awal Lactobacillus reuteri menunjukkan jumlah panggilan

dan kunjungan ke dokter anak yang lebih rendah terkait dengan keluhan kolik, penggunaan

simetikon dan cimetropium bromida yang lebih rendah untuk menghilangkan rasa sakit, dan lebih

sedikit kebutuhan beralih ke susu formula pada kelompok perlakuan bila dibandingkan dengan

kelompok kontrol. Selanjutnya, uji coba juga menunjukkan pengurangan waktu menangis yang

lebih besar pada bayi yang menerima Lactobacillus reuteri menjadi 60 menit dibandingkan dengan

102 menit pada kelompok plasebo. Perbedaan antara kelompok ini menunjukkan signifikansi

statistik sedini tujuh hari setelah dimulainya terapi. Juga, waktu menangis bayi berkurang 50%

atau lebih dari awal pada akhir masa pengobatan, yaitu 21 hari. Meskipun berbagai penelitian telah

menentukan Lactobacillus reuteri sebagai pengobatan yang efektif untuk kolik, penelitian ini

memiliki ukuran sampel yang relatif kecil. Oleh karena itu, penelitian di masa depan yang

dilakukan pada skala yang lebih besar dapat membantu memberikan bukti yang lebih konkret

untuk penggunaan probiotik dalam mengobati kolik.

2. Obat-obatan

Terapi medikamentosa terbukti tidak efektif sebagai pengobatan pada kolik infantil.

Simethicone, digunakan untuk mengurangi gas di dalam usus, namun tidak terbukti secara

signifikan dalam mengurangi gejala dibandingkan dengan plasebo. Penghambat pompa proton

juga tidak lebih baik dari plasebo dalam mengurangi kolik. Rasa tidak nyaman pada

gastrointestinal diduga akibat aktivitas kolinergik usus, oleh karenanya penelitian pengobatan

kolik infantil difokuskan pada patologi ini. Dicyclomine hydrochloride diketahui menurunkan

aktivitas otot polos di usus, sehingga dapat mengurangi rasa tidak nyaman akibat kolik infantil.

Obat ini telah menunjukkan perbaikan gejala kolik, namun dikontraindikasikan pada bayi di bawah

6 bulan karena efek samping yang merugikan, termasuk kejang dan gangguan pernapasan.

3. Modifikasi diet

xxx
Pemberian susu formula hipoalergenik atau diet bebas susu sapi pada ibu menyusui

disarankan jika terdapat kecurigaan akan adanya alergi makanan. Tinjauan sistematis dari banyak

uji klinis acak telah menunjukkan bahwa bayi yang diberi susu formula biasa yang secara bertahap

dialihkan ke susu formula yang sepenuhnya terhidrolisis mengalami pengurangan waktu menangis

yang signifikan. Formula berbahan dasar kedelai tidak direkomendasikan karena protein kedelai

dapat menjadi alergen pada masa bayi. Formula yang diperkaya serat tidak menunjukkan

signifikansi dalam mengurangi gejala kolik infantil. Bayi dari ibu menyusui yang berganti ke diet

hipoalergenik dengan mengecualikan susu sapi, kacang tanah, telur, gandum, kedelai, kacang

pohon, dan ikan, memiliki penurunan yang signifikan dalam frekuensi tangisan per hari.

4. Terapi alternatif

Terapi fisik seperti perawatan chiropractic, pijat, dan akupunktur telah diusulkan sebagai

pilihan terapi untuk kolik. Terapi pijat dan akupunktur juga telah dipelajari tetapi memiliki hasil

yang bertentangan dalam hal kemampuan mereka untuk mengurangi gejala kolik . Secara

keseluruhan, tidak ada cukup bukti untuk merekomendasikan penggunaan modalitas pengobatan

ini. Suplemen herbal dan teh seperti ekstrak adas, licorice, dan chamomile telah menurunkan

waktu menangis pada kolik bayi, tetapi efek sampingnya, termasuk sembelit, muntah, dan nafsu

makan berkurang. Larutan sukrosa telah terbukti mengurangi kolik karena dugaan efek

analgesiknya. Karena keterbatasan uji klinis acak dari terapi alternatif untuk kolik infantil dan

inkonsistensinya, sulit untuk memastikan kemanjuran sebenarnya dari modalitas ini.

Prognosis

Prognosis untuk kolik infantil adalah baik, 85% bayi dengan kolik telah sembuh ketika mereka

berusia 3 bulan. Meskipun demikian, bayi yang menangis terus-menerus dapat menimbulkan ketidak

nyamanan dalam keluarga dan lebih mungkin untuk terkena kekerasan fisik. Mengajarkan orang tua

cara terbaik untuk merespons tangisan yang tidak dapat dihibur mungkin berguna dan penting untuk

mencegah sindrom bayi terguncang.

xxxi
Daftar Pustaka

1. Johnson JD, Cocker K, Chang E. Infantile Colic: Recognition and Treatment. AFP. 2015 Oct

1;92(7):577–82.

2. Zeevenhooven J, Koppen IJ, Benninga MA. The new Rome IV criteria for functional

gastrointestinal disorders in infants and toddlers. Pediatric gastroenterology, hepatology &

nutrition. 2017;20(1):1–13.

3. Radesky JS, Zuckerman B, Silverstein M, Rivara FP, Barr M, Taylor JA, et al. Inconsolable

infant crying and maternal postpartum depressive symptoms. Pediatrics. 2013;131(6):e1857–64.

4. Sung V. Infantile colic. Aust Prescr. 2018 Aug;41(4):105–10.

5. Daelemans S, Peeters L, Hauser B, Vandenplas Y. Recent advances in understanding and

managing infantile colic. F1000Res. 2018 Sep 7;7:F1000 Faculty Rev-1426.

6. Shamir R, St James-Roberts I, Di Lorenzo C, Burns AJ, Thapar N, Indrio F, et al. Infant crying,

colic, and gastrointestinal discomfort in early childhood: a review of the evidence and most

plausible mechanisms. Journal of pediatric gastroenterology and nutrition. 2013;57:S1.

7. Pace CA. Infantile Colic: What to Know for the Primary Care Setting. Clin Pediatr (Phila). 2017

Jun 1;56(7):616–8.

8. Benninga MA, Nurko S, Faure C, Hyman PE, St. James Roberts I, Schechter NL. Childhood

Functional Gastrointestinal Disorders: Neonate/Toddler. Gastroenterology. 2016 May

1;150(6):1443-1455.e2.

9. Di Lorenzo C. Other Functional Gastrointestinal Disorders in Infants and Young Children.

Journal of Pediatric Gastroenterology and Nutrition. 2013 Dec;57:S36.

10. Vandenplas Y, Gutierrez-Castrellon P, Velasco-Benitez C, Palacios J, Jaen D, Ribeiro H, et al.

Practical algorithms for managing common gastrointestinal symptoms in infants. Nutrition. 2013

Jan;29(1):184–94.

11. Vandenplas Y, Hauser B, Salvatore S. Functional Gastrointestinal Disorders in Infancy:

Impact on the Health of the Infant and Family. Pediatr Gastroenterol Hepatol Nutr. 2019

May;22(3):207–16.

xxxii
12. de Weerth C, Fuentes S, Puylaert P, de Vos WM. Intestinal microbiota of infants with colic:

development and specific signatures. Pediatrics. 2013;131(2):e550–8.

13. Chau K, Lau E, Greenberg S, Jacobson S, Yazdani-Brojeni P, Verma N, et al. Probiotics for

infantile colic: a randomized, double-blind, placebo-controlled trial investigating Lactobacillus

reuteri DSM 17938. The Journal of pediatrics. 2015;166(1):74–8.

14. Glaucoma Ж. Management of infantile colic. Bmj. 2013;347:f4085.

15. Iacovou M, Ralston RA, Muir J, Walker KZ, Truby H. Dietary management of infantile colic: a

systematic review. Maternal and child health journal. 2012;16(6):1319–31.

16. Savino F, Ceratto S, De Marco A, Cordero di Montezemolo L. Looking for new treatments of

Infantile Colic. Italian journal of pediatrics. 2014;40(1):1–6.

17. Gelfand AA. Infant Colic. Seminars in Pediatric Neurology. 2016 Feb 1;23(1):79–82.

xxxiii
REGURGITASI INFANTIL DAN PENYAKIT REFLUKS

GASTROESOFAGUS

Definisi

Refluks gastroesofageal (GER) adalah istilah medis untuk kondisi ketika sebagian isi

lambung keluar dari lambung dan naik ke esofagus (saluran dari mulut ke lambung). Refluks sangat

umum terjadi, dan mempengaruhi berbagai usia. Refluks cenderung terjadi lebih sering setelah

makan, dan gejalanya yang terutama adalah rasa tidak nyaman. Regurgitasi berarti gerakan naik isi

lambung naik ke esofagus lalu ke dalam mulut. Ketika bahan lambung yang dimuntahkan keluar dari

mulut, sering disalahartikan sebagai muntah, dan mungkin terlihat persis seperti muntah. Tetapi secara

teknis, dan secara medis, muntah lebih kuat dan tidak nyaman dibanding regurgitasi dan biasanya

disertai mual atau bayi terlihat seperti tersedak.

Lambung mengandung asam yang membantu mencerna makanan. Ketika refluks terjadi,

sejumlah kecil asam lambung bisa naik kembali ke tenggorokan. Ini dapat mengiritasi lapisan

kerongkongan, menyebabkan ketidaknyamanan atau rasa sakit. Jika refluks menyebabkan

ketidaknyamanan atau rasa sakit secara berulang, atau jika menyebabkan masalah lain, misalnya,

gangguan pertumbuhan pada bayi, profesional kesehatan menyebutnya penyakit refluks gastro-

esofagus, atau disingkat GERD.

Epidemiologi

Regurgitasi umum terjadi selama masa bayi, terjadi setidaknya sekali sehari pada setengah

bayi hingga usia tiga bulan. Regurgitasi bayi adalah FGID yang paling umum pada bayi (<12 bulan)

dengan tingkat prevalensi yang dilaporkan berkisar antara 8-26% pada kelompok usia ini. Pada usia

puncak sekitar 2-4 bulan, tingkat prevalensi telah dilaporkan setinggi 67-87%. Kisaran yang luas

dalam tingkat prevalensi mungkin dijelaskan oleh kriteria yang berbeda yang telah digunakan untuk

mendefinisikan regurgitasi di masa lalu. Regurgitasi menurun drastis seiring bertambahnya usia, turun

xxxiv
menjadi 14% pada usia tujuh bulan dan menjadi kurang dari 5% antara usia 10 dan 14 bulan.

Penurunan insiden regurgitasi lebih lanjut terjadi selama tahun kedua kehidupan.

Gejala refluks gastroesofageal tetap banyak ditemukan di masa kanak-kanak dan remaja.

Sekitar 2% hingga 7% orang tua dari anak berusia tiga hingga sembilan tahun melaporkan bahwa

anak mereka mengalami nyeri ulu hati, nyeri epigastrium, atau regurgitasi dalam minggu sebelumnya,

sedangkan 5% hingga 8% remaja melaporkan gejala yang serupa. GERD jauh lebih jarang dengan

insiden 1,48 kasus per 1.000 orang-tahun pada bayi, menurun hingga usia 12 tahun, dan kemudian

memuncak pada usia 16 hingga 17 tahun (2,26 kasus pada anak perempuan dan 1,75 kasus pada anak

laki-laki per 1.000 orang- tahun pada usia 16 hingga 17 tahun). Secara keseluruhan, prevalensi GERD

pada masa kanak-kanak diperkirakan 1,25%.

Di Indonesia, lebih dari 50% bayi berumur 2 bulan pernah dilaporkan mengalami regurgitasi

dan lebih dari 70% pada bayi berumur 3-4 bulan. Diperkirakan regurgitasi terjadi >3 kali per jam pada

bayi normal. Kejadian refluks gastroesofageal dilaporkan mencapai puncaknya sebesar 67% pada usia

4 bulan. Gejala ini akan menurun menjadi 5% pada 10-12 bulan dan akan menurun drastis dari 61%

menjadi 21% antara 6 dan 7 bulan.

Patofisiologi

Pada bayi muda, terutama mereka yang berusia kurang dari 6 bulan, GER dihasilkan dari

kombinasi faktor yang berhubungan dengan perjalanan alami perkembangan bayi dan keadaan yang

mengakibatkan peningkatan frekuensi dan/atau durasi pembukaan sfingter esofagus bawah (SEB)

yang berkepanjangan. Bayi di bawah 4 hingga 6 bulan mengonsumsi makanan cair secara eksklusif

dan, dalam 4 hingga 6 bulan pertama kehidupan, biasanya kurang memiliki keterampilan motorik

kasar untuk mempertahankan tubuh mereka dalam posisi tegak. Saat berbaring dalam posisi

horizontal, posisi anatomis SEB yang dikombinasikan dengan diet cair memungkinkan isi lambung

dengan mudah naik ke kerongkongan saat LES terbuka. Ketika ada faktor yang berkontribusi pada

peningkatan frekuensi dan/atau durasi pembukaan SEB yang berkepanjangan, hal ini akhirnya akan

menimbulkan GER.

xxxv
Pada beberapa bayi, GER terjadi tanpa gejala yang mengganggu. Bayi-bayi ini biasanya

tumbuh dengan baik dan tidak terganggu oleh GER. Dalam kasus ini, tidak diperlukan perawatan.

Pada bayi lain, keasaman materi refluks menyebabkan iritasi dan peradangan pada jaringan esofagus

dan laring, meningkatkan risiko aspirasi dan komplikasi pernapasan, dan atau mengakibatkan

hilangnya nutrisi yang berlebihan, menyebabkan gangguan pertumbuhan. Jika gejala yang timbul

merupakan gejala yang mengganggu, hal ini dapat semakin memperkuat diagnosis ke arah diagnosis

GERD. Ada bukti yang menunjukkan bahwa perubahan pada mikrobiota usus bayi dan reaktivitas

saraf vagus dapat mengubah persepsi bayi tentang rasa tidak nyaman yang dirasakan di esofagus

akibat GER, membuat beberapa bayi lebih mungkin mengalami nyeri yang signifikan yang

diakibatkan oleh inflamasi dan/atau distensi pada esofagus.

Faktor Risiko

1. Riwayat Keluarga

Riwayat keluarga dengan GERD pada generasi pertama atau generasi kedua diduga

merupakan faktor risiko yang kuat untuk GERD pada bayi yang biasanya terjadi pada usia 3

bulan pertama kehidupan. Hal ini menunjukkan mungkin adanya peran genetik. Studi

menyebutkan bahwa lokasi kromosom yang diduga terlibat adalah kromosom 13q14 yang

lokusnya dinamakan GERD1. Lokus tersebut terdapat gen HTR2A, yaitu sebuah kode untuk

reseptor 2-hydroxytriptamine 2A yang berkaitan dengan peran serotonin yang memengaruhi

fungsi otot polos dan miogenesis diseluruh saluran pencernaan.

2. Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)

BBLR merupakan faktor risiko yang cukup tinggi untuk GERD, yaitu sekitar 30-

50%. Berbagai masalah sistem pencernaan dapat ditemukan pada bayi dengan BBLR, seperti

lambung yang kecil, enzim pencernaan yang belum matang, dan alat pencernaan seperti

sfingter esofagus bawah yang imatur sehingga dapat mengakibatkan peluang kejadian GER

lebih meningkat. Gangguan pernapasan yang sering dijumpai pada BBLR juga diduga

xxxvi
menyebabkan regurgitasi karena ketika bayi bernafas abnormal (lebih cepat dan lebih keras),

otot di bagian atas lambung akan meregangkan sfingter esofagus dan menyebabkan relaksasi

yang menetap secara kronik sehingga regurgitasi dapat terjadi.

3. Prematuritas

Kondisi bayi prematur merupakan salah satu risiko kejadian GERD pada bayi.

Berdasarkan hasil penelitian juga banyak dijumpai risiko esofagitis yang meningkat pada

individu yang lahir prematur. Terjadinya GER pada bayi prematur disebabkan oleh berbagai

faktor terkait imaturitas organ dan sistem pencernaan. Perkembangan esofagus dimulai sejak

usia gestasi 20 minggu dan lambung mulai dari 28 minggu. Refleks menghisap juga saat

minggu ke-28 dan refleks menelan saat minggu ke 33-36. Respon motorik esofageal terhadap

stimulasi intraluminal oleh isi lambung mulai jelas setelah usia gestasi 33 minggu. Episode

Transient lower esophageal sphimcter relaxation (TLESR) dapat terjadi puluhan kali setiap

harinya pada bayi prematur sehingga meningkatkan kejadian regurgitasi. Pengosongan

lambung yang lambat, tonus SEB yang lemah (<5 mmHg), kapasitas lambung yang kecil,

esofagus yang lebih pendek dan sempit, serta gerakan peristaltik yang belum sempurna juga

berkontribusi terhadap rendahnya klirens refluks dari esofagus yang akan menyebabkan

regurgitasi pada bayi.

4. Konsumsi Susu Formula

Bayi yang mengonsumsi susu formula berisiko 3,2 kali mengalami GERD. Bayi yang

mengonsumsi susu formula mempunyai tingkat frekuensi regurgitasi yang lebih tinggi

dibandingkan bayi yang mengonsumsi ASI eksklusif. Susu formula mengandung asam lemak

jenuh yang sulit dicerna menjadi nutrien yang diserap oleh tubuh sehingga mengakibatkan

pengosongan lambung menjadi lebih lama yang mengakibatkan terjadinya refluks asam dan

regurgitasi pada bayi. Bayi yang diberikan susu formula juga kemungkinan dapat mengalami

cow’s milk protein allergy (CMPA) atau alergi protein susu sapi. Proses infiltrasi mukosa dan

aktivasi dari berbagai jenis sel inflamasi seperti sel mast yang dianggap sebagai sel efektor

utama dari reaksi hipersensitivitas akan melepaskan sejumlah neurotransmiter diseluruh

xxxvii
saluran gastrointestinal. Sel mast tersebut di dalam saluran cerna berada di dekat ujung saraf

sehingga dapat terjadi respon neuromuskular, seperti kontraksi otot dan refleks saraf yang

dapat mengakibatkan perubahan fungsi motorik gastrointestinal sehingga meningkatkan

regurgitasi pada bayi.

5. Lingkungan Perokok

Paparan asap tembakau dari lingkungan dikaitkan dengan peningkatan risiko GER

dan GERD pada usia 1 bulan. Prevalensi perokok pasif cukup tinggi. Secara keseluruhan,

39,7% bayi terpapar perokok pasif. Asap tembakau diketahui menginduksi relaksasi sfingter

esofagus bagian bawah, hal ini dapat memicu terjadinya regurgitasi. Selanjutnya jika paparan

ini terjadi dalam jangka panjang, kondisi ini mungkin dapat menyebabkan terjadinya GERD.

Diagnosis

Anamnesis dan pemeriksaan fisik penting untuk mengidentifikasi gejala dan tanda bahaya

serta membedakan GERD dari gangguan lain. Regurgitasi dan episode muntah sering terjadi pada

bayi. Ketika regurgitasi berulang atau muntah sudah ada selama 1 sampai 2 minggu pertama

kehidupan, infeksi, anomali anatomi, dan gangguan metabolisme harus disingkirkan. Ketika onset

regurgitasi setelah usia 6 bulan, serta ketika gejala menetap di luar usia 12 bulan, diagnosis lain selain

GER atau GERD bayi harus dipertimbangkan. Perhatian khusus harus diberikan pada riwayat diet,

karena alergi protein susu sapi mungkin sangat mirip dengan gejala GERD. Hipersensitivitas refluks

terjadi pada pasien dengan gejala (mulas atau nyeri dada) yang tidak memiliki bukti endoskopik

dan/atau multiple intraluminal impedance (MII) dan/atau pH metrik GERD, tetapi memiliki bukti

klinis hubungan antara refluks dan gejala.

Bayi dalam keadaan distres adalah kelompok pasien yang perlu diberi perhatian khusus.

Banyak bayi dengan GERD yang jelas merasa tertekan dan banyak menangis karena tidak hanya

xxxviii
esofagitis tetapi juga dilatasi esofagus yang disebabkan oleh refluks (susu yang dimuntahkan), dapat

menyebabkan ketidaknyamanan dan rasa sakit. Bayi dengan GERD sering menunjukkan tangisan

yang tidak dapat dihibur dan regurgitasi atau muntah. Namun, menangis dapat disebabkan oleh

banyak kondisi selain GERD dan tidak selalu merupakan gejala rujukan pada bayi dengan GERD.

Berikut ini pada tabel 3.1 adalah tanda dan gejala yang sering ditemukan pada bayi dan anak yang

mengalami refluks.

Tabel 3.1 Tanda dan gejala GERD pada bayi dan anak

Gejala Tanda

Dada terasa panas


Komplikasi esophageal (esophagitis, striktur esophagus,

Barret’s esophagus)

Nyeri ulu hati Desaturasi kronik / berulang

Regurgitasi / muntah Pneumonia aspirasi berulang

Iritabilitas / menangis berulang yang Laringitis

sulit ditenangkan

Hematemesis Otitis media berulang

Menolak makan Postur abnormal / Sandifier syndrome (posisi

melengkung)

Nyeri menelan / suara serak Gagal tumbuh / penurunan berat badan

Batuk kering kronik berulang, terdapat Erosi dental

mengi

xxxix
Gangguan tidur

Episode kejang

Tabel 1. Gejala dan tanda GERD pada bayi dan anak

Dokter atau petugas kesehatan harus mengetahui dan menyingkirkan red flags atau “tanda

bahaya” dan diagnosis banding yang paling sering yang mungkin muncul dengan riwayat, gejala, dan

tanda yang serupa. Berikut ini pada table 2 adalah tanda bahaya yang harus dievaluasi, pada pasien

dengan gejala regurgitasi, GER atau GERD.

Tabel 2. Red flags yang mungkin berhubungan dengan kondisi selain GERD

Gejala Tanda

Regurgitasi dengan onset usia <2minggu Abnormalitas pada pemeriksaan fisik (umum,

atau >6 bulan atau persisten sampai usia 18 abdomen, neurologis, respirasis)

bulan

Muntah kehijauan, nokturnal atau persisten Distensi abdomen

Diare kronis atau berdarah Demam

Hematemesis Gagal tumbuh / kehilangan berat badan

Nyeri berkemih Letargi atau iritabilitas berat

Kejang Abnormalitas tonus otot

Nyeri menelan Ubun-ubun membonjol atau peningkatan berlebihan

lingkar kepala atau mikro/makrosefali

Pneumonia rekuren Gangguan perkembangan psikomotorik

Tes diagnostik lanjutan umumnya tidak diperlukan karena diagnosis biasanya cukup

ditegakkan dari anamnesis menyeluruh dan pemeriksaan fisik untuk mendiagnosis refluks

xl
gastroesofageal atau GERD. Tes harus disediakan untuk situasi dengan gejala atipikal, tanda bahaya,

atau keraguan tentang diagnosis; dugaan komplikasi GERD atau kondisi lain; atau kegagalan terapi

awal.

Ultrasonografi tidak diindikasikan untuk diagnosis GERD. Pemeriksaan kontras barium

gastrointestinal (GI) atas berfungsi untuk mendeteksi malformasi GI dan dapat berguna dalam

diagnosis hernia hiatus, malrotasi, stenosis pilorus, jaringan duodenum, stenosis duodenum, jaringan

antral, penyempitan esofagus, cincin Schatzki, akalasia, striktur esofagus, dan kompresi ekstrinsik

esofagus. Endoskopi saluran cerna bagian atas berguna untuk mengevaluasi mukosa dengan adanya

gejala atau tanda alarm, seperti hematemesis, disfagia, atau gagal tumbuh atau anemia; untuk

mendeteksi komplikasi GERD, seperti esofagitis erosif, striktur, dan Barrett’s esofagus; atau untuk

mendiagnosis kondisi yang mungkin menyerupai GERD, seperti esofagitis eosinofilik. GERD

mungkin ada meskipun penampilan endoskopi dari mukosa esofagus normal dan tidak adanya

kelainan histologis. Pemantauan pH esofagus juga dapat dipertimbangkan, pemeriksaan ini dianggap

sebagai teknik terbaik untuk mengukur refluks karena itu adalah satu-satunya teknik yang tersedia

untuk mengukur GER di luar periode postprandial.

Tatalaksana

Pendekatan nonfarmakologis adalah terapi lini pertama dan dapat diajarkan kepada orang tua

di fasilitas kesehatan primer untuk mengurangi pengobatan obat yang tidak perlu. Maturasi organ

diduga merupakan faktor kunci untuk resolusi GERD pada bayi, oleh karenanya studi terkini

menganjurkan untuk meminimalisir pemakaian obat untuk mengatasi GERD. Tujuan dari penanganan

GERD diutamakan pada memastikan tidak adanya tanda bahaya, lalu selanjutnya tatalaksana

difokuskan untuk membantu mengurangi gejala.

xli
Gambar 1. Algoritma penanganan regurgitasi pada bayi

Sumber: PGHN 2021

1. Berikan dukungan dan penjelasan kepada orang tua

Pendekatan nonfarmakologis adalah terapi lini pertama dan dapat diajarkan kepada

orang tua di fasilitas kesehatan primer untuk mengurangi pengobatan obat yang tidak perlu.

Orang tua dari bayi yang sehat harus diyakinkan bahwa sebagian besar regurgitasi sembuh

secara spontan pada akhir tahun pertama kehidupan. Edukasi dan memberi keyakinan pada

orang tua secara efektif dan mendidik orang tua mengenai regurgitasi dan perubahan gaya

hidup, menyesuaikan rejimen makan, posisi dan paparan asap lingkungan biasanya cukup

xlii
untuk mengelola refluks bayi. Maturasi organ kemungkinan merupakan faktor kunci untuk

resolusi GERD pada bayi. Yang paling penting adalah memastikan tidak adanya tanda

bahaya, lalu selanjutnya tatalaksana difokuskan untuk membantu mengurangi gejala. Untuk

memberikan tatalaksana yang tepat, penanganan pada anak dengan regurgitasi dapat

mengikuti alur pada gambar 1.

2. Hindari pemberian makanan berlebihan

Pada bayi, perubahan makan dapat mengurangi gejala. Refluks didapatkan pada bayi

yang menetek langsung dan bayi dengan susu formula, namun lebih banyak didapatkan pada

bayi dengan susu formula. Untuk bayi yang diberi susu formula, mengurangi volume makan

pada bayi yang diberi makan berlebihan, atau menawarkan makanan yang lebih kecil dan

lebih sering, dapat mengurangi episode refluks dan harus dicoba terlebih dahulu. Dengan

pemberian makan yang berlebihan, bayi mungkin menjadi tidak nyaman, dan mengetahui

bahwa regurgitasi akan membuat ketidaknyamanan perut segera hilang.

3. Pengentalan formula

Pada bayi, mengentalkan susu formula atau ASI perah dengan sereal masuk akal.

Pengentalan formula tampaknya tidak mengurangi jumlah refluks, tetapi mengurangi

frekuensi regurgitasi dan muntah. Panduan kasarnya adalah menambahkan satu sendok makan

sereal ke setiap ons susu formula atau ASI perah. Makanan kental dalam jumlah yang lebih

kecil dan lebih sering direkomendasikan, terutama untuk bayi prematur. Beberapa penelitian

menunjukkan bahwa makanan kental cukup efektif dalam pengurangan frekuensi regurgitasi

pada bayi dengan refluks gastroesofageal. Penggunaan susu formula kental dikaitkan dengan

peningkatan berat badan dan lebih unggul dari terapi postural dalam mengurangi episode

regurgitasi. Pemberian makan berlebihan harus dihindari, karena hal ini dapat memperburuk

refluks. Hal ini juga dapat meningkatkan kenaikan berat badan per hari.

4. Uji coba kemungkinan adanya alergi protein susu sapi

xliii
NASPGHAN dan ESPGHAN menyarankan uji coba 2-4 minggu dengan formula

hipoalergenik yang dihidrolisis secara ekstensif atau formula berbasis asam amino pada bayi

yang diberi susu formula yang diduga mengalami refluks gastroesofagus yang tidak

merespons formula yang dikentalkan. Formula asam amino atau terhidrolisis ekstensif dapat

mengurangi episode refluks pada bayi yang alergi terhadap protein susu sapi. Untuk bayi

yang menyusui, menghilangkan makanan imunogenik (misalnya, susu sapi, telur) dari

makanan ibu dapat memperbaiki gejala.

5. Posisi tubuh

Mempertahankan bayi dalam posisi tegak selama 20-30 menit setelah makan

membantu mengurangi episode regurgitasi. Mengubah posisi tubuh bayi saat terjaga

mungkin merupakan metode yang efektif. Posisi tengkurap dan posisi miring ke kiri

berhubungan dengan episode refluks yang lebih sedikit tetapi harus direkomendasikan

hanya pada bayi yang terjaga dan diamati selama periode postprandial. Posisi ini tidak

dianjurkan untuk mengobati gejala refluks gastroesofageal pada bayi yang sedang tidur, bayi

yang tidur harus selalu ditempatkan dalam posisi terlentang karena risiko sindrom kematian

bayi mendadak. Posisi tengkurap dan posisi miring ke kiri berhubungan dengan episode

refluks yang lebih sedikit tetapi harus direkomendasikan hanya pada bayi yang terjaga dan

diamati selama periode postprandial.

6. Obat-obatan

Untuk bayi, anak-anak, dan remaja dengan GERD yang tidak membaik dengan

pengobatan konservatif, percobaan empat minggu terapi empiris dapat dipertimbangkan

menggunakan terapi supresi asam dengan antagonis reseptor histamin H2 atau inhibitor

pompa proton (PPI). Penekanan asam yang diinduksi dari antagonis H2 dan PPI dapat

meningkatkan risiko pneumonia dan gastroenteritis yang didapat masyarakat pada anak-

anak, dan kandidemia dan enterokolitis nekrotikans pada bayi prematur. Maka dari itu

penggunaan obat-obatan pada bayi dengan regurgitasi masih kontroversial.

xliv
Antagonis H2 menurunkan sekresi asam dengan menghambat reseptor H2 pada sel

parietal lambung. Obat ini mampu memperbaiki gejala klinis, menurunkan indeks refluks,

namun, sebagian besar penelitian memiliki kualitas yang buruk. Efektivitas antagonis H2

mungkin dibatasi oleh takifilaksis (pengurangan respons) atau toleransi dengan penggunaan

kronis.

PPI memblokir aktivitas enzim natrium-kalium adenosinetrifosfatase (Na+,K+-

ATPase), yang merupakan langkah terakhir dalam sekresi asam sel parietal. Lansoprazole,

omeprazole, dan esomeprazole obat masing-masing dapat secara signifikan meningkatkan

gejala penyakit refluks gastroesofagus (GERD) pada bayi saja. Penggunaan obat selama

empat minggu memiliki efek yang lebih baik daripada dosis dua minggu. Tetapi efeknya

tidak berbeda satu sama lain. Yang paling direkomendasikan adalah penggunaan

esomeprazole pada bayi dengan penyakit refluks, karena mampu menurunkan skor

keparahan penyakit refluks gastroesofageal (GERD) berdasarkan kuesioner penyakit refluks

gastroesofageal dibandingkan dengan obat lain. Bukti berkualitas rendah menunjukkan

bahwa PPI memperbaiki gejala GERD pada bayi; namun, ada bukti yang lemah dan

bertentangan tentang apakah mereka meningkatkan indeks refluks, dan tidak ada bukti

perbaikan endoskopi. Beberapa ahli menyarankan percobaan singkat terapi PPI pada bayi

dengan GERD refrakter terhadap konservatif tindakan.

Agen prokinetik telah diusulkan untuk pengobatan GERD, tetapi penggunaannya

terbatas karena efek samping atau kurangnya bukti yang konsisten. Antasida berhubungan

dengan sindrom alkali susu dan tidak direkomendasikan pada anak di bawah 12 tahun. Agen

pelindung permukaan, seperti sucralfate, memiliki beberapa efektivitas untuk esofagitis,

tetapi tidak memiliki bukti yang memadai untuk GERD masa kanak-kanak dan tidak

direkomendasikan sebagai pengobatan tunggal.

7. Probiotik

Probiotik semakin banyak diusulkan sebagai kemungkinan strategi terapi

konservatif dengan efek samping minimal yang dapat membantu memodifikasi gejala

xlv
regurgitasi. Probiotik didefinisikan sebagai mikroorganisme hidup yang bila diberikan

dalam jumlah yang cukup, memberikan manfaat kesehatan pada inangnya. Mikrobiota usus

memainkan peran penting dalam patogenesis gangguan gastrointestinal dan semakin banyak

penelitian yang menargetkan terapi probiotik untuk bayi dan orang dewasa. Probiotik yang

paling banyak digunakan dalam penelitian ini adalah strain atau spesies tertentu dari

lactobacilli dan bifidobacteria, seperti Lactobacillus rhamnosus GG, Lactobacillus reuteri

DSM 17938, Lactobacillus reuteri ATCC 55730, Lactobacillus casei Shirota, dan

Lactobacillus acidophilus.

Distensi lambung dan gangguan relaksasi fundus akibat gangguan motilitas lambung

mungkin menjadi kontributor regurgitasi bayi. Probiotik dilaporkan memediasi aktivitas

pada neuron sensorik kolon, khususnya saluran ion kalium yang bergantung kalsium di saraf

sensorik enterik, menghasilkan peningkatan motilitas usus, mempercepat pengosongan

lambung dan mengurangi efek pada nyeri viseral. Temuan ini menunjukkan bahwa ada

mekanisme potensial untuk manfaat probiotik pada bayi dengan regurgitasi.

Daftar Pustaka

1. National Institute for Health and Care Excellence. Reflux, regurgitation and heartburn in babies,

children and young people. NICE. 2021;10.

2. Infant Regurgitation - About Kids GI [Internet]. [cited 2022 Mar 13]. Available from:

https://aboutkidsgi.org/upper-gi/infant-regurgitation/

3. Vandenplas Y, Abkari A, Bellaiche M, Benninga M, Chouraqui JP, Çokura F, et al. Prevalence

and Health Outcomes of Functional Gastrointestinal Symptoms in Infants From Birth to 12

Months of Age. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2015 Nov;61(5):531–7.

4. Baird DC, Harker DJ, Karmes AS. Diagnosis and Treatment of Gastroesophageal Reflux in

Infants and Children. AFP. 2015 Oct 15;92(8):705–14.

5. Yuliantari KR, Manoppo JIC, Lestari H. Hubungan antara bayi berat lahir rendah dengan

kejadian refluks gastroesofagus di puskesmas Kecamatan Malalayang. e-CliniC. 2016;4(2).

xlvi
6. El-Mahdy MA, Mansoor FA, Jadcherla SR. Pharmacological management of gastroesophageal

reflux disease in infants: current opinions. Current opinion in pharmacology. 2017;37:112–7.

7. Ferguson TD. Gastroesophageal reflux: regurgitation in the infant population. Critical Care

Nursing Clinics. 2018;30(1):167–77.

8. Curien-Chotard M, Jantchou P. Natural history of gastroesophageal reflux in infancy: new data

from a prospective cohort. BMC pediatrics. 2020;20(1):1–8.

9. Jannata PZ, Jurnalis YD, Hidayat M. Hubungan Riwayat Keluarga, Berat Bayi Lahir, Usia

Gestasi, dan Riwayat Konsumsi Susu Formula dengan Penyakit Refluks Gastroesofagus pada

Bayi Usia 3 Minggu–12 Bulan. Sari Pediatri. 2021;23(3):178–84.

10. Eichenwald EC, Cummings JJ, Aucott SW, Goldsmith JP, Hand IL, Juul SE, et al. Diagnosis and

management of gastroesophageal reflux in preterm infants. Pediatrics. 2018;142(1).

11. Valitutti F, Rybak A, Borrelli O. Gastro-oesophageal Reflux and Cow’s Milk Allergy. In:

Gastroesophageal Reflux in Children. Springer; 2017. p. 203–8.

12. Zheng ZL, Deng HY, Wu CP, Lam WL, Kuok WS, Liang WJ, et al. Secondhand smoke

exposure of children at home and prevalence of parental smoking following implementation of

the new tobacco control law in Macao. Public Health. 2017;144:57–63.

13. Vandenplas Y, Rudolph CD, Di Lorenzo C, Hassall E, Liptak G, Mazur L, et al. Pediatric

gastroesophageal reflux clinical practice guidelines: joint recommendations of the North

American Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition (NASPGHAN) and

the European Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition (ESPGHAN).

Journal of pediatric gastroenterology and nutrition. 2009;49(4):498–547.

14. Ayerbe JIG, Hauser B, Salvatore S, Vandenplas Y. Diagnosis and management of

gastroesophageal reflux disease in infants and children: from guidelines to clinical practice.

Pediatric gastroenterology, hepatology & nutrition. 2019;22(2):107–21.

15. Indrio F, Enninger A, Aldekhail W, Al-Ghanem G, Al-Hussaini A, Al-Hussaini B, et al.

Management of the Most Common Functional Gastrointestinal Disorders in Infancy: The Middle

East Expert Consensus. Pediatric Gastroenterology, Hepatology & Nutrition. 2021;24(4):325.

xlvii
16. Foster JP, Dahlen HG, Fijan S, Badawi N, Schmied V, Thornton C, et al. Probiotics for

preventing and treating infant regurgitation: A systematic review and meta-analysis. Maternal &

Child Nutrition. 2022;e13290.

xlviii
KONSTIPASI INFANTIL

Definisi

Konstipasi merupakan sebuah kumpulan gejala yang berkaitan dengan jarangnya frekuensi

defekasi. Terdapat berbagai definisi konstipasi, namun pada prinsipnya didefinisikan sebagai buang

air besar yang nyeri, sulit, jarang, atau inkomplit selama 2 minggu atau lebih dan cukup signifikan

menimbulkan hendaya bagi pasien. Konstipasi fungsional, juga dikenal sebagai konstipasi idiopatik

atau feses yang tertahan, biasanya dapat dibedakan dari konstipasi sekunder karena penyebab organik

berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Tidak seperti malformasi anorektal dan penyakit

Hirschsprung, konstipasi fungsional biasanya dimulai setelah periode neonatal. Sekitar 5-10 bayi dari

100-150 bayi berusia 4-5 bulan dan sepertiga anak di atas 5 tahun yang berobat ke dokter spesialis

anak setiap bulannya mengalami konstipasi.

Sepertiga kasus konstipasi akan menjadi kronis bila tidak ditangani dengan baik. konstipasi

dapat diklasifikasikan menjadi kosntipasi akibat kelainan organik dan konstipasi fungsional.

Konstipasi yang ditemukan pada sebagian besar bayi adalah konstipasi fungsional yang dikaitkan

dengan gnagguan motilitas atau anorektal. Konstipasi fungsional merupakan bagian dari gangguan

saluran cerna fungsional (FGID) yang umum, terjadi pada sekitar 12% bayi, 18% toddlers, dan 14%

anak/remaja. Istilah ‘fungsional’ berarti tidak adanya etiologi organik yang mendasarinya, istilah ini

berlaku untuk seluruh golongan usia. Istilah lain konstipasi fungsional adalah konstipasi idiopatik atau

fecal withholding.

Etiologi

Berbeda dengan malformasi anorektal atau penyakit Hirschprung, konstipasi fungsional

umumnya terjadi setelah periode neonatus. Pada umumnya, terdapat kejadian menahan feses baik

sengaja maupun tidak sengaja, dimana episode akut ini terjadi sebelum perjalanan konstipasi kronis.

Episode akut umumnya didasari perubahan diet seperti peralihan dari konsumsi air susu ibu (ASI)

menjadi susu sapi, akibat perubahan rasio protein dan karbohidrat atau akibat alergi susu sapi. Selain

xlix
itu dapat juga terjadi pada peralihan ASI atau susu formula menuju makanan padat atau ketika inisiasi

MPASI. Perubahan pola diet ini menyebabkan feses lebih padat serta sulit dikeluarkan,

mengakibatkan iritasi anus hingga fissura anal pada beberapa kasus.

Banyak pasien dengan konstipasi fungsional memiliki riwayat keluarga positif, mengarahkan

pada kemungkinan peran faktor genetik, meskipun mutasi gen spesifik belum ditemukan. Konstipasi

fungsional diasosiasikan dengan gangguan neurodevelopmental seperti gangguan spektrum autisme

(ASD). Jalur fisio-patologis masih belum jelas namun diduga diakibatkan kurang adekuatnya perilaku

dalam respon sensasi ingin defekasi. Selain itu, terdapat asosiasi antara pola asuh orang tua dengan

konstipasi fungsional. Dimana tingginya skor skala otonomi dikaitkan dengan penurunan frekuensi

defekasi dan meningkatnya inkontinensia fekal, namun hubungan ini tampak lebih jelas pada anak

berusia di atas 6 tahun. Kejadian stres, termasuk kekerasan seksual juga berperan dalam terjadinya

konstipasi fungsional.

Epidemiologi

Konstipasi ditemukan sebagai 3% dari keluhan utama pada kunjungan rawat jalan dokter

spesialis anak. Prevalensi sesungguhnya dari konstipasi fungsional pada bayi sulit ditetapkan oleh

karena keterbatasan metodologi penelitian, seperti sampling populasi, setting penelitian, pengumpulan

data, serta homogenitas penelitian. Ulasan sistematik dan meta-analisis terbaru mengestimasikan

bahwa prevalensi global berada pada kisaran 9.5% (0.5-32%), dimana lebih banyak ditemukan pada

bayi di Amerika dan Eropa dibandingkan Asia secara signifikan. Studi observasi terbaru pada

populasi bayi di Sri Lanka melaporkan prevalensi sebesar 8% dan risiko lebih tinggi pada bayi yang

tinggal di area perkotaan dan berat badan dibawah normal (underweight) terhadap usia. Tidak

ditemukan adanya predileksi jenis kelamin pada konstipasi fungsional bayi. Beberapa faktor dikaitkan

dengan peningkatan risiko terjadinya konstipasi fungsional. Status sosioekonomi tampaknya bukan

menjadi faktor yang signifikan.

Manifestasi Klinis

l
Perilaku bayi yang umum ditemui adalah saat bayi merasakan adanya keinginan defekasi,

bayi akan mengkontraksikan otot gluteal dengan mengeraskan (stiffening) tungkai pada posisi

berbaring. Keinginan BAB akan hilang seiring dengan akomodasi rektum terhadap isinya. Pengasuh

atau orang tua dapat berpikir bahwa perilaku menahan BAB tersebut merupakan episode mengejan.

Riwayat adanya darah pada feses dapat terjadi pada ukuran feses yang terlalu besar. Temuan lain yang

mengarah pada patologi yang mendasari adalah gagal tumbuh, penurunan berat badan, nyeri

abdomen, muntah, atau fissura atau fistula anal persisten. Tanda bahaya yang dapat terjadi adalah:

tidak ada mekonium dalam >48 jam, distensi abdomen, muntah, gagal tumbuh, BAB berdarah,

perkembangan saraf terhambat, abnormalitas pada anus, dan gejala penyebab organik lain.

Patofisiologi

Patofisiologi konstipasi fungsional bersifat multifaktorial yang kompleks melibatkan faktor

perilaku, perubahan mikrobiom usus, serta motilitas saluran cerna.

1. Aspek Perilaku

Pencetus konstipasi fungsional yang sering adalah BAB yang keras sehingga

menimbulkan nyeri, sehingga bayi masuk ke dalam siklus menahan BAB yang tidak

berkesudahan yang memperburuk konstipasi. Pada sebuah ulasan terbaru, terdapat perilaku

yang digambarkan berkaitan dengan kelainan defekasi fungsional, salah satunya adalah rasa

takut atau kecemasan selama defekasi atau saat duduk di toilet.

2. Perubahan mikrobiom

Mikrobiom usus terdiri dari triliunan mikroorganisme yang bahkan disebut sebagai

“organ virtual tubuh” karena pentingnya dalam menjaga homeostasis pejamu. Gangguan dari

mikrobiom usus seringkali disebut sebagai ‘disbiosis’ dan kejadiannya semakin sering

dihubungkan dengan berbagai kondisi kelainan pada bayi, termasuk gangguan saluran cerna

fungsional, seperti konstipasi.

li
Periode neonatus dan bayi adalah periode yang sangat dipengaruhi oleh cara

persalinan dan cara pemberian makan. Bayi yang lahir secara per vagina menunjukkan profil

mikrobiom yang menyerupai flora vagina ibu yang didominasi oleh Lactobacillus,

Prevotella, atau Sneathia spp, menunjukkan adanya transmisi vertikal direk. Sebaliknya,

persalinan dengan sectio caesarea menunjukkan lebih banyak Staphylococcus,

Corynebacterium, dan Propionibacterium spp., yang merupakan komponen umu dari flora

kulit. Bayi yang mendapatkan susu formula memiliki variasi bakteri yang lebih luas,

sedangkan bayi yang mendapatkan ASI menunjukkan interaksi lebih besar antara gen host

dengan mikrobial, menunjukkan lebih tingginya komponen bioaktif dalam ASI dibandingkan

susu formula. Selain itu, berbeda dengan kepercayaan tradisional yang menyatakan

pemberian makanan padat mendukung maturasi mikrobiom usus, bukti terbaru menunjukkan

adanya kemungkinan bahwa penghentian ASI memiliki dampak paling besar terhadap

perubahan mikrobial menyerupai fenotipe dewasa. Hal tersebut mendukung bahwa gangguan

mikrobiom usus dini (SC, penggunaan antibiotik, durasi ASI singkat, susu formula, atau

pemberian antibiotik intrapartum) dapat meningkatkan risiko konstipasi di kemudian hari.

3. Motilitas saluran cerna

Pada sebagian kelompok, konstipasi fungsional dapat diakibatkan transit yang lambat.

Sel interstisial Cajal dianggap sebagai pacemaker (alat pacu) yang menghasilkan gerakan

peristaltis usus, berperan penting dalam motilitas. Beberapa publikasi telah melaporkan

temuan histologi konsisten rendahnya jumlah sel interstisial Cajal pada bayi dengan berbagai

bentuk konstipasi. Lambatnya transit pada konstipasi juga dikaitkan dengan rendahnya kadar

substansi P dan peptida usus vasoaktif pada kolon transversum dextra.

Diagnosis

1. Anamnesis

Anamnesis orang tua merupakan langkah pertama untuk menegakkan diagnosis

konstipasi fungsional pada bayi. Informasi yang penting untuk diperoleh terdiri dari usia saat

lii
onset gejala, waktu pengeluaran mekonium pertama kali, frekuensi dan konsistensi feses,

nyeri abdomen, inkontinensia fekal, perilaku menahan BAB, riwayat diet, muntah, dan

penurunan berat badan. Bila ditemukannya 1 tanda bahaya konstipasi, bayi perlu dievaluasi

lebih lanjut untuk mencari kelainan organik. Sebaliknya, bila tidak ditemukan tanda bahaya,

bayi dapat dianggap konstipasi fungsional, sampai terbukti kecurigaan kelainan organik.

Skala tinja Bristol merupakan metode standard terpilih untuk mendeskripsikan konsistensi

feses. Namun, skala ini belum disesuaikan untuk anak yang belum toilet-trained.

Gambaran dan keluhan konstipasi fungsional pada bayi dan anak bervariasi. Hanya

sebagian kecil bayi dengan konstipasi fungsional buang air besar dengan frekuensi <3

kali/minggu maupun melaporkan BAB berdarah. Feses yang keras ditemukan pada >90% dan

hampir separuhnya mengalami nyeri selama defekasi, menunjukkan perilaku menahan BAB,

dan impaksi rektal. Konstipasi fungsional merupakan diagnosis klinis yang ditegakkan

berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Perilaku menahan BAB yang menyebabkan

besarnya ukuran feses, yang dapat menimbulkan fissura ani terutama pada 2 tahun pertama.

BAB yang nyeri ini menimbulkan rasa tidak nyaman pada bayi sehingga bayi berusaha

mencegah rasa ingin BAB di kemudian hari. Darah pada feses seringkali mengkhawatirkan

orang tua atau pengaruh, namun hal ini tidak menimbulkan kehilangan darah yang bermakna

secara klinis. BAB cair yang terakumulasi disekitar massa fekal dapat secara involunter

keluar saat bayi buang angin.

2. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik harus mencakup pemeriksaan parameter pertumbuhan,

pemeriksaan abdomen, inspeksi regio perianal, serta regio lumbosakral. Pada pemeriksaan

fisik dapat ditemukan volume feses yang besar pada palpasi area suprapubik. Menurut

guideline European Society of Pediatric Gastroenterology, Hepatology and Nutrition

(ESPGHAN) dan North American Society of Pediatric Gastroenterology, Hepatology and

Nutrition (NASPGHAN), pemeriksaan rektal (rectal toucher/RT) tidak selalu

direkomendasikan. Sebaliknya, menurut kriteria Rome III dan IV, massa fekal besar pada

liii
rektum termasuk dalam kriteria. Oleh karena itu, ESPGHAN dan NASPGHAN

menyimpulkan bahwa bila hanya terdapat satu kriteria Rome dan diagnosis masih belum

pasti, maka pemeriksaan rektal direkomendasikan. Selain itu pada pasien dengan konstipasi

intractable atau pasien dengan tanda bahaya, pemeriksaan ini juga diperlukan. Pemeriksaan

rektum dapat menunjukkan rongga rektum terdilatasi terisi feses guaiac-negatif. Inspeksi

regio anal bertujuan untuk mengevaluasi keberadaan jaringan parut, hemoroid, feses perianal,

serta fissura.

3. Pemeriksaan Penunjang

Pada bayi dengan konstipasi refrakter (intractable constipation), pemeriksaan khusus

dapat dipertimbangkan untuk menyingkirkan hipotiroidisme, hipokalsemia, toksisitas lead,

celiac disease, dan pemeriksaan alergi. Namun pemeriksaan skrining diatas umumnya tidak

direkomendasikan bila tidak ditemukan tanda bahaya.

Studi yang telah banyak dilakukan juga tidak merekomendasikan radiografi abdomen

rutin karena paparan radiasi. Pada kondisi obesitas ekstrim dimana palpasi sulit dilakukan,

radiografi abdomen dapat membantu. Waktu transit kolon dapat digunakan untuk menentukan

motilitas kolon. Belum ada rekomendasi yang menyarankan pemeriksaan ini untuk

menegakkan diagnosis, dimana penggunaannya digunakan pada kasus yang tidak jelas

sehingga modalitas ini diperlukan untuk membedakan konstipasi fungsional dengan

inkontinensia fekal non-retensi fungsional.

Bila konstipasi menetap/refrakter, pemeriksaan khusus pada pusat rujukan dapat

dipertimbangkan. Pemeriksaan motilitas untuk identifikasi abnormalitas usus miopatik atau

neuropatik, atau enema kontras untuk menyingkirkan kelainan struktural. Pada pasien dengan

konstipasi fungsional berat, enema kontras larut-air dapat menunjukkan gambaran

megarektosigmoid. Manometri anorektal dapat bermanfaat sebagai alat skrining pada bayi

dengan kecurigaan Hirschprung. Refleks inhibitori rekto-anal abnormal merupakan indikasi

liv
biopsi suction rektal, yang merupakan baku emas diagnosis Hirschprung. Motilitas anorektal

dapat menunjukkan pola kontraksi paradoksik dari sfingter anal eksternal selama defekasi.

Manometri kolon hanya dilakukan ketika terapi gagal dan tindakan pembedahan

dipertimbangkan. Manometri kolon membantu membedakan motilitas kolon normal dengan

gangguan neuromuskular kolon. Pada bayi tertentu dapat dilakukan MRI medulla spinalis

untuk mengidentifikasi proses intraspinal.

4. Kriteria diagnosis

Tabel 1. Kriteria diagnosis konstipasi fungsional bayi & toddler

Kriteria konstipasi
Rome III (2006) Rome IV (2016)
fungsional

Usia (tahun) 0-4 0-4

Durasi gejala Minimal 1 bulan Minimal 1 bulan

Kriteria yang perlu  Dua defekasi atau kurang per  Dua defekasi atau kurang per

terpenuhi minggu minggu

 Minimal 1 episode  Retensi feses berlebihan

inkontinensia/minggu setelah  Postur menahan BAB

memperoleh toilet skills  Riwayat BAB keras atau nyeri

 Retensi feses berlebihan  Massa fekal besar dalam rektum

 BAB keras atau nyeri


Tambahan kriteria pada anak yang
 Feses berdiameter besar yang
sudah toilet-trained:
dapat mengobstruksi toilet

 Massa fekal besar dalam  Minimal 1 episode inkontinensia

rektum feses per minggu

lv
 Feses berdiameter besar yang

dapat mengobstruksi toilet

Kriteria eksklusi  Tidak cukup kriteria untuk  Tidak cukup kriteria untuk

diagnosis irritable bowel diagnosis irritable bowel

syndrome (IBS) syndrome (IBS)

 Gejala tidak dapat dijelaskan  Gejala tidak dapat dijelaskan

kondisi medis lain kondisi medis lain

Gejala lain yang menyertai dapat berupa iritabilitas, penurunan nafsu makan dan/atau

mudah kenyang. Gejala penyerta akan berkurang atau menghilang segera setelah evakuasi

feses.

Diagnosis Banding

Diagnosis banding konstipasi infantil adalah obstruksi anatomi seperti penyakit Hirschprung,

kelainan medulla spinalis, dan abnormalitas metabolik serta neuroenterik lain. Lebih dari 90% bayi

aterm sehat dan <10% bayi dengan penyakit Hirschprung mengeluarkan mekonium sebelum usia 24

jam. Oleh karena itu, biopsi suction dibutuhkan pada bayi yang tidak mengeluarkan mekonium dalam

waktu 24 jam dengan gejala penyerta (muntah, tidak mau makan, distensi abdomen, demam, gagal

tumbuh, BAB berdarah) untuk menyingkirkan penyakit Hirschprung. Kelainan lain yang lebih jarang

adalah akalasia sfingter anal internal, namun berbeda dengan penyakit Hirschprung, ditemukan sel

ganglion pada biopsi rektum namun tidak adanya refleks inhibitori rektoanal.

Tatalaksana

Pada bayi, gejala cenderung mengalami perbaikan dengan intervensi segera. Semakin singkat

gejala berlangsung, semakin tinggi kemungkinan keberhasilan terapi. Langkah pertama yang perlu

lvi
dilakukan adalah edukasi pengasuh termasuk mitos-mitos yang tidak benar. Orang tua maupun

pengasuh perlu diedukasi bahwa bayinya mengalami kondisi yang disebut konstipasi fungsional, yang

merupakan permasalahan umum pada pasien bayi dan tidak berbahaya.

Rekomendasi berbasis bukti terbaru oleh European Society of Pediatric Gastroenterology

Hepatology and Nutrition (NASPGHAN) menyatakan bahwa terapi dengan pelunak feses akan

membuat BAB tidak nyeri. Namun, hingga kini, masih kurangnya penelitian yang meneliti tentang

suplemen makanan maupun laksatif pada bayi dengan konstipasi fungsional. Kunci rumatan efektif

adalah menjamin defekasi tidak nyeri hingga bayi merasa nyaman. Untuk fase rumatan terapi, pelunak

feses dapat dilanjutkan selama beberapa bulan hingga tahun. Informasi terkait terapi dengan probiotik

masih terbatas.

Banyak ahli menganjurkan penggunaan laksatif non-stimulan, seperti polyethylene glycol

(PEG), laktulosa, atau susu magnesia, yang secara perlahan melembutkan massa feses hingga muncul

keinginan BAB dalam beberapa hari atau minggu setelahnya. Laktulosa dapat diberikan pada bayi

termasuk usia dibawah 6 bulan, sedangkan larutan PEG hanya untuk bayi berusia di atas 6 bulan

dimana efektivitas larutan PEG lebih besar daripada laktulosa. Dosis laktulosa yang dianjurkan untuk

melunakkan tinja adalah 1-2 gr/kgBB/hari untuk dosis 1 – 2 kali sehari. Larutan PEG memiliki angka

keberhasilan tinggi, tetapi seringkali memerlukan pemasangan pipa nasogastrik karena sering

menyebabkan mual, muntah, dan distensi abdominal. Dosis PEG untuk impaksi adalah 1-1,5 gr/kg/

hari, dapat diberikan selama 3 hingga 6 hari berturut-turut sebagai lini pertama. Untuk maintenance

PEG dapat diberikan dengan dois 0,2-0,8gr/kgBB/hari. PEG memberikan hasil yang lebih efektif

dibanding laktulosa. Kombinasi regimen oral dengan enema atau suppositoria tidak direkomendasikan

untuk anak.

Gliserin suppositoria cukup aman dan efektif digunakan pada bayi. Tujuan dari pelunak feses

adalah membuat defekasi tidak nyeri hingga konstipasi fungsional membaik, serta mengembalikan

kontrol dinding dasar pelvis. Evakuasi tinja dapat dilakukan pada bayi dengan impaksi karena

kumpulan tinja dalam rektum dapat menjadi penyebab nyeri saat defekasi. Gliserin suppositoria cukup

aman dan efektif pada bayi. Secara umum, enema fosfat cukup efektif namun perlu perhatian khusus

lvii
karena efek samping dapat berupa gangguan keseimbangan elektrolit berupa hiperfosfatemia dan

hipokalsemia, yang berpotensi mencetuskan kejang.

Gambar 1. Alur diagnosis dan terapi konstipasi fungsional


Sumber: PGHN 2019
Data terkait peran alergi protein susu sapi masih tidak konsisten. Namun riwayat alergi susu

sapi pada tahun pertama kehidupan dikaitkan dengan konstipasi fungsional pada masa bayi. Guideline

terbaru menganjurkan pertimbangan untuk mencoba susu formula hipoalergenik 2 hingga 4 minggu

pada bayi atau toddler yang gagal berespon dengan terapi laksatif, terutama pada bayi yang disertai

gejala atopi. Meskipun mekanisme yang mendasari masih belum jelas, diduga inflamasi alergi dari

sfingter interna dapat meningkatkan tekanan anus saat istirahat. Konsultasi pada ahli gastroenterologi

anak perlu dilakukan ketika pendekatan terapi adekuat telah dilakukan namun gagal, atau bila terdapat

kecurigaan gangguan organik.

Monitor dan follow-up

lviii
Orang tua dan pengasuh diminta untuk mengisi catatan terkait BAB (frekuensi, konsistensi),

penggunaan obat (dosis, frekuensi), serta episode inkontinensia fekal, nyeri abdomen, serta wetting.

Umumnya follow-up pertama dilakukan dalam beberapa hari hingga 2 minggu pertama, terutama bila

terjadi disimpaksi. Setelah memasuki fase rumatan, kunjungan rutin dapat dilakukan mulai dari setiap

satu bulan, kemudian frekuensi dapat diturunkan (misalnya setiap 3-4 bulan sekali).

Ketika pola BAB sudah teratur, penggunaan laksatif dapat diturunkan perlahan (tapering). Dosis yang

digunakan diturunkan bertahap hingga dosis yang mampu mencegah inkontinensia fekal dan

mempertahankan frekuensi BAB satu hingga dua kali per hari. Umumnya kebiasaan BAB

dipertahankan hingga stabil minimal selama 6 bulan sebelum penggunaan laksatif terus diturunkan

atau dihentikan. Perlu diinformasikan bahwa tidak boleh menghentikan laksatif tanpa konsultasi

dengan dokter karena kemungkinan besar mengakibatkan rekurensi dan mengganggu program terapi.

Setelah terapi laksatif dihentikan, penting untuk menekankan kepatuhan regimen diet dan

perilaku untuk mencegah relaps. Selain itu diperlukan rencana ‘rescue’ bila anak tidak BAB lebih dari

3 hari atau ditemukan indikasi rekurensi lain (BAB keras, nyeri abdomen, bercak pada pakaian

dalam). Rencana ‘rescue’ ini dapat berupa enema atau suppositori, diikuti peningkatan dosis laksatif.

Pola diet yang direkomendasikan jika bayi sudah menerima MPASI adalah buah, sayur, dedak (bran),

roti dan sereal whole-grain, serta asupan cairan yang adekuat selain susu.

Prognosis

Dari antara pasien yang dirujuk ke ahli gastroenterologi pediatrik, sekitar 50% mengalami

perbaikan (≥3 BAB per minggu tanpa inkontinensia fekal) dan tidak memerlukan laksatif setelah 6 –

12 bulan. Terlambatnya rujukan serta mendapatkan terapi adekuat lebih dari 3 bulan sejak onset gejala

berkorelasi dengan durasi gejala yang lebih panjang dan tatalaksana yang lebih sulit.

Daftar Pustaka

lix
1. Avelar Rodriguez D, Popov J, Ratcliffe EM, Toro Monjaraz EM. Functional Constipation and the

Gut Microbiome in Children: Preclinical and Clinical Evidence. Frontiers in Pediatrics [Internet].

2021 [dikutip 11 Maret 2022];8.

2. Benninga MA, Faure C, Hyman PE, St James Roberts I, Schechter NL, Nurko S. Childhood

Functional Gastrointestinal Disorders: Neonate/Toddler. Gastroenterology. 15 Februari

2016;S0016-5085(16)00182-7

3. Blake MR, Raker JM, Whelan K. Validity and reliability of the Bristol Stool Form Scale in

healthy adults and patients with diarrhoea-predominant irritable bowel syndrome. Aliment

Pharmacol Ther. Oktober 2016;44(7):693–703.

4. Huang Y, Tan SY, Parikh P, Buthmanaban V, Rajindrajith S, Benninga MA. Prevalence of

functional gastrointestinal disorders in infants and young children in China. BMC Pediatrics. 17

Maret 2021;21(1):131.

5. Hyams JS, Di Lorenzo C, Saps M, Shulman RJ, Staiano A, van Tilburg M. Functional Disorders:

Children and Adolescents. Gastroenterology. 15 Februari 2016;S0016-5085(16)00181-5.

6. Hyman PE, Milla PJ, Benninga MA, Davidson GP, Fleisher DF, Taminiau J.

GASTROENTEROLOGY 2006;130:1519–1526 Childhood Functional Gastrointestinal

Disorders: Neonate/Toddler.

7. Kliegman, R., St. Geme, Stanton, B. Nelson Textbook of Pediatrics. 20 ed. Phialdelphia, PA:

Elsevier; 2016.

8. Levy EI, Lemmens R, Vandenplas Y, Devreker T. Functional constipation in children: challenges

and solutions. PHMT. 9 Maret 2017;8:19–27.

9. Loening-Baucke V. Encopresis. Curr Opin Pediatr. Oktober 2002;14(5):570–5.

10. Nurko S, Zimmerman LA. Evaluation and Treatment of Constipation in Children and

Adolescents. AFP. 15 Juli 2014;90(2):82–90.

11. Pijpers M a. M, Bongers MEJ, Benninga MA, Berger MY. Functional constipation in children: a

systematic review on prognosis and predictive factors. J Pediatr Gastroenterol Nutr. Maret

2010;50(3):256–68.

lx
12. Rowan-Legg A. Managing functional constipation in children. Paediatr Child Health. Desember

2011;16(10):661–5.

13. Schonwald A, Rappaport L. Consultation with the specialist: encopresis: assessment and

management. Pediatr Rev. Agustus 2004;25(8):278–83.

14. Subijanto MS, Firmansyah A, Juffrie M, Syarif BH, Ranuh RG, Athiyyah AF, dkk. Rekomendasi

Gangguan Saluran Cerna Fungsional [Internet]. Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2016 [dikutip 11

Maret 2022]. 21 hlm.

15. Tabbers MM, DiLorenzo C, Berger MY, Faure C, Langendam MW, Nurko S, dkk. Evaluation

and treatment of functional constipation in infants and children: evidence-based recommendations

from ESPGHAN and NASPGHAN. J Pediatr Gastroenterol Nutr. Februari 2014;58(2):258–74.

16. van Tilburg MAL, Hyman PE, Walker L, Rouster A, Palsson OS, Kim SM, dkk. Prevalence of

functional gastrointestinal disorders in infants and toddlers. J Pediatr. Maret 2015;166(3):684–9.

17. Walter AW, Hovenkamp A, Devanarayana NM, Solanga R, Rajindrajith S, Benninga MA.

Functional constipation in infancy and early childhood: epidemiology, risk factors, and healthcare

consultation. BMC Pediatrics. 15 Agustus 2019;19(1):285

18. Young RJ, Beerman LE, Vanderhoof JA. Increasing oral fluids in chronic constipation in

children. Gastroenterol Nurs. Agustus 1998;21(4):156–61.

lxi
DISPEPSIA FUNGSIONAL

Definisi

Dispepsia fungsional adalah rasa nyeri atau tidak nyaman pada saluran cerna bagian atas yang

bersifat persisten, tidak berkaitan dengan pergerakan usus dan tanpa disertai penyebab organik selama

setidaknya 2 bulan sebelum penegakkan diagnosis (ROME IV). Dispepsia fungsional berkaitan

dengan persepsi sensoris abnormal, disfungsi motorik, dan faktor psikososial. Beberapa manifestasi

klinis yang berkaitan dengan dispepsia fungsional, di antaranya adalah distensi gaster, perlambatan

pengosongan gaster, hipomotilitas antrum, dan disritmia gaster. Penting untuk diingat, dispepsia

fungsional tidak boleh disertai dengan kelainan struktural maupun fungsional.

Klasifikasi dan Etiologi

Dispepsia fungsional dapat diklasifikasi menjadi sindrom distres postprandial dan sindrom

nyeri epigastrium. Sindrom distres postprandial ditandai oleh rasa penuh post prandial atau rasa

penuh pada lambung lebih cepat, sedangkan nyeri epigastrium ditandai oleh rasa nyeri atau rasa

terbakar pada daerah epigastrium. Secara umum, sindroma distres postprandial lebih sering terjadi

pada dispepsia fungsional, namun lebih sulit untuk ditatalaksana.

Dispepsia fungsional bersifat multifaktorial sehingga dianggap sebagai sindrom biopsikososial.

Etiologi yang mendasari terjadinya dispepsia fungsional hingga saat ini masih belum diketahui secara

pasti. Namun, beberapa penelitian telah mengemukakan beberapa etiologi, di antaranya, faktor

genetik dan epigenetik, seperti polimorfisme pada gen yang berperan terhadap fungsi serotoninergik,

adrenergik, dan fungsi imun, infeksi terutama oleh Helicobacter pylori, konsumsi makanan pencetus,

faktor psikologis terutama kecemasan dan depresi, dan penggunaan obat-obatan, seperti NSAID.

Penelitian terhadap etiologi dispepsia fungsional anak menemukan bahwa tingkat kecemasan, depresi,

kemampuan menyesuaikan diri, dan gejala somatisasi yang lebih tinggi pada pasien dengan dispepsia

fungsional.

lxii
Epidemiologi

Dispepsia fungsional merupakan penyakit fungsional gastrointestinal yang sering terjadi pada

anak dengan prevalensi sebesar 1.8-3.5% pada negara berkembang dan 5-10% pada negara maju.

Data yang diperoleh dari penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Sardjito, Yogyakarta

menunjukkan bahwa dispepsia fungsional paling sering ditemukan pada anak kelompok usia 10

hingga 18 tahun. Dispepsia fungsional merupakan penyakit fungsional gastrointestinal yang paling

sering ditemukan pada populasi pediatri setelah irritable bowel syndrome (IBS). Selain itu, dispepsia

fungsional pada pasien pediatri berkaitan dengan tingkat morbiditas yang signifikan dan gejala yang

dialami pasien dapat memberikan dampak negatif terhadap quality of life sehingga memengaruhi

angka kehadiran pasien di sekolah.

Manifestasi Klinis

Sebagian besar pasien anak dengan dispepsia fungsional datang dengan keluhan yang berkaitan

dengan adanya gas berlebih pada gaster dan bermanifestasi sebagai sendawa, rasa tertekan pada

abdomen atau bloating, suara gemuruh pada abdomen atau borborigmi, penambahan lingkar perut

atau distensi, dan flatulensi berlebih. Hingga saat ini, masih belum diketahui secara jelas apakah

manifestasi tersebut merupakan manifestasi klinis khusus dari dispepsia fungsional atau merupakan

hasil tumpang tindih antara sindroma dispepsia fungsional dengan irritable bowel syndrome (IBS).

Namun, hasil penelitian klinis menunjukkan bahwa bloating merupakan manifestasi yang paling

sering ditemukan pada dispepsia fungsional.

Manifestasi klinis selanjutnya berkaitan dengan rasa penuh pada regio epigastrium yang

diinterpretasikan pasien sebagai rasa kembung atau gas berlebih pada gaster. Akibatnya, anak

berusaha melepaskan gas tersebut dengan menelan udara yang terakumulasi pada hipofaring atau

gaster dan akhirnya dilepaskan dalam bentuk sendawa yang memberikan sensasi lega. Korelasi antara

lxiii
sendawa dan rasa penuh pada epigastrium seringkali dilaporkan oleh pasien dengan dispepsia

fungsional akibat hipersensitivitas terhadap distensi gaster.

Manifestasi klinis terakhir yang sering dilaporkan adalah distensi abdomen setelah makan yang

diakibatkan produksi gas akibat makanan pemicu tertentu. Distensi abdomen yang dapat diobservasi

seringkali berkaitan dengan manifestasi bloating tetapi tidak berlaku untuk sebaliknya. Pada anak

yang mengeluhkan distensi abdomen terjadi peningkatan lingkar perut yang dapat diukur pada

pemeriksaan fisik. Distensi abnormal ini dikaitkan dengan kontraksi paradoksikal diafragma yang

terjadi saat relaksasi dinding abdomen anterior. Pada kondisi normal, dinding abdomen dapat secara

aktif beradaptasi terhadap perubahan volume abdomen dengan relaksasi dan pendataran diafragma,

kontraksi muskulus interkostal, dan protrusi minimal dari dinding abdomen anterior. Sebaliknya, pada

anak dengan dispepsia fungsional, respon paradoksikal diafragma dan dinding abdomen dapat terjadi

akibat pemicu berupa masuknya makanan.

Selain manifestasi klinis yang telah disebutkan, beberapa manifestasi klinis lain yang disajikan

dalam tabel merupakan manifestasi klinis yang harus disingkirkan sebelum diagnosis dispepsia

fungsional ditegakkan. Manifestasi tersebut termasuk ke dalam tanda dan gejala berbahaya yang

menunjukkan adanya kemungkinan diagnosis lain sehingga memerlukan pemeriksaan lanjutan dengan

esofagogastrodudenoskopi (EGD).

Tabel 4.1 Tanda dan Gejala Berbahaya pada Anak dengan

Dispepsia Fungsional

Nyeri persisten pada kuadran kanan atas atau kanan bawah

Disfagia

Muntah signifikan

Perdarahan gastrointestinal

Riwayat keluarga dengan Inflammatory Bowel Disease (IBD)

lxiv
Demam tanpa penyebab yang jelas

Diare malam hari

Penyakit perirektal

Penurunan berat badan

Deselerasi pertumbuhan linear

Pubertas terlambat

Patofisiologi

Patofisiologi yang mendasari terjadinya manifestasi klinis akibat dispepsia fungsional, di antaranya

adalah sebagai berikut:

1. Disfungsi motorik. Beberapa abnormalitas motorik, seperti perlambatan pengosongan gaster,

dianggap sebagai patofisiologi utama yang mendasari dispepsia fungsional pada anak dan

dewasa. Namun. Mekanisme yang mendasari perlambatan tersebut masih belum diketahui secara

pasti. Penelitian terdahulu telah mengamati adanya alterasi pada anatomi gaster, seperti ptosis

gaster (displacement gaster ke arah bawah), dan mengaitkannya dengan perlambatan

pengosongan gaster. Selain itu, penelitian lain juga menemukan adanya variabilitas dari marker

tonus autonomik kardiovaskular sebelum dan sesudah sham feeding (mengunyah tanpa menelan)

yang mengindikasikan adanya disfungsi vagal fase sefalik terkait dengan penurunan

kontraktilitas antrum pada pemeriksaan ultrasound. Di sisi lain, percepatan pengosongan gaster

juga dikaitkan dengan manifestasi klinis dispepsia fungsional, khususnya pada kelompok

dispepsia fungsional dengan manifestasi klinis berupa early satiety pada kelompok sindroma

postprandial. Mekanisme yang mendasari manifestasi tersebut diperkirakan akibat disfungsi

motorik gaster, termasuk gangguan pada akomodasi gaster sehingga terjadi redistribusi makanan

dan overload antrum.

lxv
2. Abnormalitas sensoris organ viseral. Abnormalitas persepsi sensoris juga telah diamati pada

dispepsia fungsional, khususnya hipersensitivitas terhadap stimulus mekanis dan kimiawi.

Distensi gaster atau sering disebut sebagai “irritable stomach syndrome” merupakan

hipersenstivitas yang paling sering dijumpai pada dispepsia fungsional. Distensi tersebut

berkaitan dengan manifestasi klinis sindrom nyeri epigastrium dan sensasi non-nyeri lainnya,

seperti rasa penuh postprandial, bloating, dan sendawa. Selain itu, derajat hipersensitivitas

terhadap stimulus mekanis viseral memiliki korelasi terhadap tingkat keparahan gejala. Pada

beberapa pasien, hipersensitivitas tidak hanya ditemukan terhadap distensi gaster, tetapi juga

terhadap distensi duodenal, jejunal, atau rektal yang menggambarkan sensitisasi terjadi secara

luas pada sistem saraf pusat dan otonom. Selanjutnya, hipersensitivitas kimiawi, khususnya

terhadap asam yang diproduksi dalam tubuh (endogen) maupun yang berasal dari luar tubuh

(eksogen), diketahui terjadi pada duodenum dan berkaitan dengan manifestasi klinis berupa

mual. Asam eksogen (berasal dari makanan atau minuman) menurunkan threshold sensasi tidak

nyaman terhadap distensi gaster dan menurunkan respon akomodasi gaster terhadap makanan

yang dicerna. Kedua respon hipersensitivitas viseral tersebut diakibatkan oleh pelepasan

neuropeptida, seperti CGRP-1 dan subtansi P akibat aktivasi reseptor TrpV1 oleh capsaicin.

Neuropeptida tersebut diperkirakan meningkatkan senstivitas viseral dan memicu manifestasi

klinis, seperti nyeri abdomen dan mual.

3. Disfungsi Sistem Imun

Beberapa studi mengemukakan mengenai peran disfungsi sistem imun sebagai patofisiologi yang

mendasari dispepsia fungsional. Pada respon imun tipe 2 terjadi rekrutmen eusinofil dan sel mast

ke lokasi inflamasi setelah adanya pajanan terhadap antigen. Selanjutnya, eusinofil dan sel mast

mengalami aktivasi dan degranulasi sehingga terjadi pelepasan mediator proinflamasi yang

mengakibatkan kerusakan pada epitel pelindung traktus gastrointestinal dan mengganggu fungsi

saraf enterik. Hal tersebut mengakibatkan peningkatan permeabilitas epitel sehingga terjadi

infiltrasi antigen lumen sekunder yang memicu respon imun dan mengakibatkan terjadinya

manifestasi klinis pada dispepsia fungsional, seperti pengosongan gaster yang terlambat dan

lxvi
gangguan motilitas gastrointestinal. Selain itu, gangguan fungsi saraf enterik yang telah

disebutkan juga dikaitkan dengan hipersenstivitas sensoris viseral.

4. Alterasi Mikrobiota Traktus Gastrointestinal

Mikrobiota traktus gastrointestinal diketahui sebagai salah satu faktor yang berkontribusi

terhadap patofisologi dispepsia fungsional. Inflamasi pada usus halus dapat mengakibatkan

alterasi mikrobiota sehingga terjadi perubahan pada komposisi asam empedu. Sebaliknya,

penurunan jumlah asam empedu dapat mengakibatkan perubahan komposisi mikrobial pada usus

halus sehingga mengakibatkan disfungsi epitel pelindung.

5. Disfungi Brain – Gut Axis. Faktor psikologis, seperti kecemasan dan depresi dapat

menimbulkan stimulus negatif terhadap brain-gut axis. Akibatnya, terjadi pelepasan substansi P

dan hormon pelepas kortikotropin yang mengakibatkan aktivasi sel mast dan akhirnya disfungsi

epitel pelindung duodenum. Selain itu, gangguan fungsi epitel pelindung akibat disfungsi sistem

imun dan alterasi mikrobiota gastrointestinal dapat mengganggu regulasi aksis usus-otak melalui

aksis hipotalamik-pituitari-adrenal.

Diagnosis

1. Anamnesis

Diagnosis dispepsia fungsional pada anak ditegakkan berdasarkan anamnesis gejala tipikal yang

mengacu kepada kriteria diagnosis dispepsia fungsional ROME IV serta eksklusi gejala yang

mengarah ke penyakit traktus gastrointestinal atas lainnya. Berikut kriteria diagnosis dispepsia

fungsional ROME IV yang disajikan dalam tabel di bawah ini:

Tabel. . Kriteria Diagnosis Dispepsia Fungsional Berdasarkan ROME IV

Harus menyertakan 1 atau lebih dari gejala mengganggu berikut ini untuk setidaknya 4 hari setiap

bulan:

1. Rasa penuh postprandial

2. Early satiation

lxvii
3. Sensasi nyeri epigastrium atau terbakar yang tidak terkait dengan defekasi

4. Setelah dilakukan evaluasi yang sesuai, gejala tidak dapat dijelaskan secara penuh oleh

kondisi medis lainnya.

Kriteria tersebut setidaknya telah terjadi selama 2 bulan sebelum penegakkan diagnosis.

Dalam dispepsia fungsional, subtipe berikut saat ini digunakan:

1. Sindrom distres postprandial : rasa penuh postprandial yang mengganggu atau rasa

kenyang yang mencegah dihabiskannya satu porsi makan reguler.

Gejala lain yang mendukung di antaranya :

 Rasa kembung pada abdomen atas

 Rasa mual postprandial

 Sendawa berlebihan.

2. Sindrom nyeri epigastrium : rasa nyeri atau terbakar (cukup berat hingga mengganggu

aktivitas normal) yang terlokalisasi pada regio epigastrium. Rasa nyeri tidak meluas atau

terlokalisasi pada regio abdomen atau toraks lainnya dan tidak diperbaiki dengan defekasi

atau flatus.

Kriteria lain yang mendukung di antaranya:

 Sensasi nyeri terbakar tetapi tanpa komponen retrosternal

 Nyeri biasanya diinduksi atau diperbaiki dengan menelan makanan tetapi dapat

terjadi saat berpuasa.

2. Pemeriksaan Fisik

lxviii
Pemeriksaan fisik pada kasus dispepsia fungsional anak dilakukan untuk menyingkirkan

kemungkinan diagnosis dari traktus gastrointestinal atas lain dan mencari tanda bahaya yang telah

dijelaskan pada bagian sebelumnya. Temuan utama pemeriksaan fisik dari dispepsia fungsional

dapat berupa rasa tidak nyaman pada palpasi abdomen regio epigastrium. Selain temuan tersebut,

pemeriksaan fisik umumnya tidak memberikan informasi diagnostik yang berguna bagi

penegakkan diagnosis dispepsia fungsional. Temuan lain pada palpasi, seperti massa abdominal

mendorong diperlukannya pemeriksaan penunjang lanjutan.

3. Pemeriksaan Laboratorium

Berbagai penelitian saat ini tidak menunjukkan bukti kuat yang mendukung nilai prediktif

pemeriksaan laboratorium darah terhadap dispepsia fungsional yang disertai atau tanpa disertai

tanda dan gejala bahaya. Selain itu, terdapat studi yang mengevaluasi manfaat dari pemeriksaan

laboratorium rutin, seperti hitung sel darah, laju endap darah, panel metabolik komprehensif,

urinalisis, dan analisis parasit tinja untuk membedakan antara nyeri abdomen organik dan

fungsional. Selanjutnya, beberapa studi telah mengevaluasi beberapa marker biologi spesifik,

seperti peningkatan konsentrasi plasma kolesistokinin, penurunan oksitosin plasma, dan penurunan

konsentrasi kortisol pada pasien anak dengan nyeri perut abdomen rekuren. Namun, nilai

pemeriksaan pemeriksaan tersebut dalam praktik klinis belum dapat ditentukan dan masih

memerlukan penelitian lebih lanjut.

Kondisi dimana pemeriksaan laboratorium darah perlu dilakukan adalah apabila terdapat

kecurigaan klinis terhadap anemia. Selain itu, apabila terdapat kecurigaan kemungkinan nyeri

epigastrium parah yang bersifat episodik diakibatkan oleh organ hepatobilier, pemeriksaan fungsi

liver perlu dilakukan. Skrining rutin terhadap pankreatitis dengan pemeriksaan serum amilasi atau

lipase tidak direkomendasikan.

4. Esofagogastroduodenoskopi

Esofagogastroduodenoskopi (EGD) merupakan modalitas yang membantu dalam mengidentifikasi

lesi mukosa, termasuk esofagitis erosif, esofagitis eusinofilik, ulkus peptikum, dan tanda infeksi

lxix
H.pylori. Peran EGD pada kasus dispepsia fungsional adalah untuk menyingkirkan diagnosis yang

mendasari tanda dan gejala bahaya yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya. Temuan EGD

yang mengarahkan terhadap kecurigaan dispepsia fungsional adalah ditemukannya gambaran

histologis gastritis ringan atau duodenitis tanpa lesi makroskopis. Namun, sebanyak 62% pasien

anak dengan dispepsia fungsional yang menjalani pemeriksaan EGD tidak menunjukkan adanya

temuan organik sehingga pedoman saat ini tidak menyarankan pemeriksaan endoskopi secara rutin

pada pasien anak. Pemeriksaan EGD diindikasikan pada anak dengan riwayat ulkus peptikum pada

keluarga atau infeksi H.pylori, anak berusia lebih dari 10 tahun dengan gejala yang menetap

selama >6 bulan dan mengganggu aktivitas sehari-hari, seperti tidur.

Tatalaksana

Tatalaksana dispepsia fungsional bertujuan untuk meringankan gejala dan memperbaiki

kualitas hidup anak. Pada pasien anak dengan gejala intermiten ringan, modifikasi gaya hidup dan

edukasi dianggap cukup untuk meringankan gejala dispepsia fungsional. Tatalaksana medikamentosa

yang dikombinasikan dengan terapi tambahan, seperti terapi psikologis diindikasikan bagi pasien

yang tidak memberikan respon terhadap modifikasi gaya hidup tersebut. Berikut ini merupakan

tatalaksana yang direkomendasikan bagi anak dengan dispepsia fungsional:

1. Antisekretori

Antisekretori Protein Pump Inhibitor (PPI) paling sering digunakan dalam menatalaksana

dispepsia fungsional pada praktik sehari-hari adalah. Studi yang membandingkan penggunaan

PPI dan antagonis reseptor H 2 pada populasi pediatri dengan dispepsia fungsional menemukan

bahwa PPI 4.87 kali lebih cepat dalam memperbaiki gejala dispepsia dibandingkan antagonis

reseptor H2. Hal ini berkaitan dengan mekanisme kerja PPI, yaitu menghalangi pompa proton

(K+/H+adenosine triphosphatase) yang mentranspor ion H+ keluar dari sel parietal gaster. Selain

itu, PPI menginhibisi tiga reseptor, berupa reseptor histamin, asetilkolin muskarinik, dan gastrin.

Manfaat terapeutik PPI biasanya ditemukan setelah 4 minggu terapi dan dosis standar

lxx
menggunakan oomeprazole 20 mg atau lebih rendah (10 mg) diketahui efektif dalam

meringankan gejala dispepsia fungsional.

2. Antagonis Reseptor Serotonin

Antagonis reseptor serotonin, histamin H1, dan muskarinik, yaitu siproheptadin, sering

digunakan pada pasien pediatri dengan dispepsia fungsional. Agen tersebut diperkirakan bekerja

dengan meningkatkan relaksasi fundus dan selera makan. Siproheptadin dianggap aman dan

dapat memfasilitasi peningkatan berat badan pada pasien pediatri dengan underweight. Efek

samping yang dilaporkan mencakup somnolen, iritabilitas, perubahan perilaku, peningkatan

selera makan, dan peningkatan berat badan. Selain itu, obat ansiolitik, seperti buspiron, juga

diketahui memperbaiki gejala terutama pada pasien dispepsia fungsional kelompok sindrom

distres postprandial.

3. Agen Prokinetik

Agen prokinetik digunakan bagi dispepsia fungsional dengan gejala dominan distres

postprandial, seperti rasa penuh dan kenyang lebih cepat. Agen yang biasa digunakan pada

kelompok ini di antaranya adalah eritromisin, sisapride, domperidone, metoclopramide,

trimebutine, mosapride, dan itopride. Namun, hingga saat ini data mengenai penggunaan

berbagai agen tersebut pada populasi pediatri masih sangat terbatas. Agonis reseptor motilin,

yaitu eritromisin dapat digunakan pada pasien pediatri karena dianggap efektif dan aman. Selain

itu, agen antagonis 5HT2A dan 2B, siprohepatidine juga diketahui efektif untuk menatalakasana

gejala dispepsia pada pasien pediatri. Mekanisme yang mendasari agen-agen tersebut

diperkirakan akibat relaksasi fundus dan perbaikan akomodasi gaster sehingga efektif dalam

mengatasi gejala mual, muntah, early satiety, dan nyeri abdomen setelah makanan dicerna. Di

sisi lain, agen agonis 5HT4, sisapride, merupakan agen prokinetik yang kuat dan efektif

digunakan pada kasus gastroparesis, namun terdapat efek samping yang memerlukan pemantauan

khusus, berupa aritmia akibat pemanjangan QT.

4. Agen Antidepresan Trisklik

lxxi
Amitriptilin dalam dosis kecil telah digunakan dalam menatalaksana dispepsia fungsional

pada populasi pediatri dan dibuktikan melalui penelitian yang membandingkan penggunaan agen

tersebut dibandingkan plasebo pada pasien pediatri dengan dispepsia fungsional. Agen

antidepresan trisiklik diindikasikan bagi pasien dengan dispepsia fungsional yang didasari oleh

etiologi berupa kecemasan atau depresi. Selain itu, agen lain berupa toksin botulinum juga dapat

diberikan secara injeksi intrapilorus dan dianggap efektif dalam menatalaksana gejala, seperti

mual, muntah, nyeri abdomen, dan distensi. Agen ini dapat dipertimbangkan pemberiannya bagi

pasien pediatri yang gagal diterapi dengan terapi medikamentosa lainnya.

5. Terapi Non Medikamentosa

 Intervensi Diet dan Pemberian Suplemen

Makanan dan minuman yang memicu terjadinya dispepsia fungsional perlu

diidentifikasi sejak awal dan diintervensi dengan anjuran untuk menghindari keduanya.

Makanan yang sering memicu gejala pada dispepsia fungsional, di antaranya adalah

makanan pedas, makanan berlemak, makanan yang mengandung banyak gas, sedangkan

minuman yang sering memicu gejala adalah kopi. Selain itu, obat-obatan juga diketahui

dapat memicu gejala dispepsia fungsional, seperti NSAID.

Selanjutnya, pemberian suplemen juga diketahui dapat meringankan gejala dispepsia

fungsional. Suplemen yang telah disebutkan pada literatur mengenai dispesia fungsional

pada populasi dewasa salah satunya adalah akar jahe. Akar jahe direkomendasikan dengan

dosis bervariasi mulai dari 1 hingga 1.5 gram dan diberikan 30 menit hingga 1 jam sebelum

makan. Penelitian mengenai keamanan pemberian akar jahe pada anak hingga saat ini belum

dilakukan, namun pemberian akar jahe pada wanita hamil diketahui aman dan tidak berisiko

mengakibatkan malformasi kongenital. Pada anak yang tidak dapat menelan kapsul akar

jahe dapat diberikan dalam bentuk permen atau teh untuk lebih memudahkan pemberiannya.

Suplemen berikutnya adalah daun mint yang memiliki aktivitas antispasmodik pada otot

polos. Meskipun berbagai bukti penelitian telah mendukung pemberian daun mint dalam

lxxii
bentuk minyak, perhatian khusus perlu diberikan pada pasien anak dengan gejala refluks

asam lambung.

 Cognitive Behaviour Therapy (CBT)

Terapi CBT diketahui efektif terhadap pasien dengan dispepsia fungsional dengan

riwayat kecemasan dan depresi. Penelitian yang dilakukan pada populasi dewasa

menunjukkan bahwa pasien yang ditatalaksana dengan medikamentosa dan CBT mengalami

perbaikan gejala terkait dispepsia fungsional. Identifikasi komorbid psikiatri pada pasien

pediatri dengan dispepsia fungsional dapat membantu pendekatan yang lebih komprehensif

untuk menatalaksana sindrom tersebut. CBT diketahui efektif untuk diberikan pada pasien

pediatri pada usia dini sekalipun. Hal ini ditunjukkan oleh keberhasilan pengendalian gejala

kecemasan sedang hingga berat pada pasien pediatri berusia 3-7 tahun setelah mendapatkan

CBT sebanyak rata-rata 8 sesi. Pada anak yang lebih muda, keterlibatan orang tua penting

untuk membantu menjembatani komunikasi antara terapis dan anak serta memberikan rasa

nyaman dan aman pada anak.

lxxiii
Gambar 1. Algoritma tatalaksana dispepsia fungsional pada pasien pediatri

Prognosis

Dispepsia fungsional merupakan suatu sindrom yang dapat berulang. Studi populasi

menunjukkan bahwa 15 sampai 20% pasien yang menerima tatalaksana masih mengalami gejala pada

lxxiv
periode follow up atau 3 bulan setelah mendapatkan tatalaksana, sedangkan 50% pasien mengalami

resolusi gejala komplit.

Tidak ada data yang menunjukkan bahwa dispepsia fungsional berkaitan dengan peningkatan tingkat

mortalitas. Meskipun demikian, sindrom dispepsia fungsional dapat mengakibatkan gangguan fisik

dan mental sehingga menurunkan kualitas hidup pasien pediatri.

Daftar Pustaka

1. Kliegman, Robert. Nelson Textbook of Pediatrics. Edition 21. Philadelphia, PA: Elsevier, 2020

2. Edwards T, Friesen C, Schurman JV. Classification of pediatric functional gastrointestinal

disorders related to abdominal pain using Rome III vs. Rome IV criterions. BMC Gastroenterol.

2018 Mar 17;18:41.

3. Tack J, Masaoka T, Janssen P. Functional dyspepsia: Curr Opin Gastroenterol. 2011

Nov;27(6):549–57.

4. Francis P, Zavala SR. Functional Dyspepsia. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL):

StatPearls Publishing; 2022 [cited 2022 Mar 15]. Available from:

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK554563/

5. Colombo JM, Deacy AD, Schurman JV, Friesen CA. Heartburn in children and adolescents in

the presence of functional dyspepsia and/or irritable bowel syndrome correlates with the presence

of sleep disturbances, anxiety, and depression. Medicine (Baltimore). 2021 Apr

2;100(13):e25426.

6. Shava U, Srivastava A, Mathias A, Kumar N, Yachha SK, Gambhir S, et al. Functional

dyspepsia in children: A study of pathophysiological factors. J Gastroenterol Hepatol. 2021

Mar;36(3):680–6.

lxxv
7. Madisch A, Andresen V, Enck P, Labenz J, Frieling T, Schemann M. The Diagnosis and

Treatment of Functional Dyspepsia. Dtsch Ärztebl Int. 2018 Mar;115(13):222–32.

8. Dehghani SM, Imanieh MH, Oboodi R, Haghighat M. The Comparative Study of the

Effectiveness of Cimetidine, Ranitidine, Famotidine, and Omeprazole in Treatment of Children

with Dyspepsia. ISRN Pediatr. 2011;2011:219287.

9. Febriani T, Widowati T, Juffrie M. Reducing dyspeptic symptoms in children: proton pump

inhibitor vs. H2 receptor antagonist. PI [Internet]. 31Aug.2014 [cited 15Mar.2022];54(4):198-01.

Available from: https://paediatricaindonesiana.org/index.php/paediatrica-indonesiana/article/

view/638

10. Romano C, Chiaro A, Comito D, Loddo I, Ferrau V. Proton pump inhibitors in pediatrics:

evaluation of efficacy in GERD therapy. Curr Clin Pharmacol. 2011 Feb;6(1):41–7.

11. Yeh AM, Golianu B. Integrative Treatment of Reflux and Functional Dyspepsia in Children.

Children. 2014 Sep;1(2):119–33.

12. Chung E, Yardley J. Are there risks associated with empiric acid suppression treatment of infants

and children suspected of having gastroesophageal reflux disease? Hosp Pediatr. 2013 Dec

10;3:16–23.

13. Manini ML, Camilleri M. How does one choose the appropriate pharmacotherapy for pediatric

patients with functional dyspepsia? Expert Opin Pharmacother. 2019 Nov;20(16):1921–4.

14. Légeret C, Stienen Y, Furlano R, Köhler H. Effectivity of treatment for children with functional

dyspepsia. Sci Rep. 2022 Jan 27;12(1):1467

15. Yeh AM, Golianu B. Integrative Treatment of Reflux and Functional Dyspepsia in Children.

Children. 2014 Sep;1(2):119–33.

16. Minde K, Roy J, Bezonsky R, Hashemi A. The Effectiveness of CBT in 3–7 Year Old Anxious

Children: Preliminary Data. J Can Acad Child Adolesc Psychiatry. 2010 May;19(2):109–15.

lxxvi
lxxvii
SINDROM IRITASI USUS

(Irritable Bowel Syndrome)

Definisi

Sindrom iritasi usus atau Irritable bowel syndrome (IBS) merupakan salah satu penyakit

saluran cerna yang prevalensinya terus meningkat. Keluhan yang didapatkan adalah nyeri perut yang

disertai dengan perubahan tinja. Anak dengan gangguan ini biasanya mengalami nyeri episodik atau

berulang dengan intensitas nyeri bervariasi, dan biasanya mengganggu aktivitas anak. Sama halnya

dengan gangguan FGID lainnya, penegakkan diagnose IBS masih merupakan tantangan bagi tenaga

medis akibat belum adanya biomarker yang spesifik.

Epidemiologi

Prevalensi IBS didunia mencapai 10-15%. IBS seringkali ditemukan pada fasilitas kesehatan

tingkat pertama dan praktik gastroenterologi. IBS merupakan gangguan gastrointestinal yang paling

sering dijumpai dan mencakup 25-50% rujukan ke gastroenterologi. IBS umumnya bermanifestasi

pada masa kanak-kanak dan memuncak pada dewasa muda. Perbadingan rasio antara wanita dan pria

adalah 2:1, dan setengah dari populasi tersebut mencari pertolongan medis.

IBS merupakan gangguan gastrointestinal yang sering terjadi, terutama pada masa kanak-

kanak, lebih dari yang kita sadari. IBS lebih sering terjadi pada pasien yang memiliki kerabat dengan

gangguan serupa dan pada status sosioekonomi tinggi. Prevalensi IBS cenderung lebih tinggi di

negara-negara barat (~10%) dibandingkan di negara-negara Asia (~5%). Studi di Italia menunjukan

prevalensi IBS pada anak dari lahir hingga usia 12 tahun ialah 13.9%. Pada anak usia 14-17 tahun di

Rusia prevalensi IBS mencapai 14-24%.

Terdapat bukti yang menunjukan perbedaan subtipe IBS pada regio yang berbeda di dunia. Di

Asia, Eropa barat, dan Amerika Utara tipe konstipasi lebih sering ditemukan; sedangkan di

lxxviii
Bangladesh dan India tipe diare lebih sering dijumpai; dan di Brazil tipe konstipasi dan diare

(campuran) lebih sering dijumpai.

IBS juga diasosiasikan dengan riwayat pelecehan fisik, psikologis, dan atau seksual pada masa

balita, anak, atau remaja menurut studi di Amerika utara. Hal ini menunjukan bahwa ada faktor

psikologis dalam perjalanan penyakit IBS, hal serupa juga ditemukan sebagai faktor resiko di negara

lain.

Patofisiologi

Patofisiologi dari IBS diperkirakan melibatkan aksis otak-usus (brain-gut axis) dan meliputi

faktor stressor psikososial. Komponen stressor ini dapat melemahkan atau juga memperkuat

hipersensitivitas viseral. Patofisiologi IBS dipercaya terjadi akibat proses multifaktorial yang

kompleks dan perubahan multisistem. Model biopsikososial menjelaskan bahwa IBS terjadi karena

disfungsi aksis otak-usus yang dipengaruhi oleh kerentanan genetik, fisiologis, psikologis, variabel

lingkungan, dan mekansime coping individu.

Hipersensitivitas viseral adalah peningkatan persepsi dari pemicu mekanik yang diaplikasikan

pada usus, dimana akan timbul sebagai rasa tidak nyaman atau nyeri. Pada individu normal perubahan

fisiologis dari saluran pencernaan seperti motilitas atau distensi tidak menyebabkan rasa nyeri.

Apabila terjadi perubahan respon sensorik terhadap stimulus fisiologis, maka akan disebut sebagai

hipersensitivitas viseral. Terdapat dua tipe hipersensitivitas viseral, yaitu hiperalgesia (sensasi nyeri

berlebih sebagai respon terhadap stimulus normal) dan alodinia (peningkatan sensasi nosiseptif

sebagai respon terhadap stimulus normal). Hipersensitivitas viseral dianggap sebagai kunci dalam

patofisiologi IBS.

Sistem saraf enterik dan otak terintegrasi dan berkomunikasi melalui sistem saraf otonom dan

aksis hipotalamus-pituitari-usus. Komunikasi dua arah ini memungkinkan otak untuk mempengaruhi

fungsi usus dan usus mempengaruhi otak melalui serabut aferen simpatetik dan vagal. Stressor di

sistem saraf pusat atau stressor usus (contoh: inflamasi) dapat menyebabkan disregulasi dari aksis

otak-usus. Baik alterasi otak (model top-down) atau usus (model bottom-up) dapat menyebabkan

gejala dari IBS.

lxxix
Fungsi usus dan sensasi nyeri diregulasi secara sentral oleh emosi dan derajat kesadaran akan

gejala yang terjadi pada tubuh. Gejala berdasarkan model top-down (interaksi pikiran-tubuh)

kebanyakan terjadi dari sistem limbik, yang juga terlibat dalam pengaturan emosi. Beberapa studi

menyatakan bahwa faktor psikologis dapat mempengaruhi patofisiologi dan perjalanan IBS dengan

merubah pemrosesan sentral dari persepsi viseral dan modulasi motilitas usus.

Pemrosesan serebral dari nyeri viseral ialah kompleks dan memiliki banyak komponen.

Pencintraan neurologis pada aktivasi anterior cingulate cortex (ACC) yang merupakan bagian

emosional sistem limbik, menunjukan perbedaan antara pasien dengan IBS dan anak normal. Saat

terdapat stressor, pasien dengan IBS yang memiliki perubahan di ACC (pusat nyeri kritikal) dengan

amplifikasi persisten dari gejala dan respon stress berlebihan dapat menimbulkan gejala IBS, bila

dibandingkan dengan anak normal.

Terdapat sejumlah studi yang menunjukan abnormalitas aktivitas mioelektrik pencernaan,

motilitas pencernaan, akomodasi, dan transit usus pada pasien dengan IBS. Diperkirakan bahwa

stressor menyebabkan perubahan pada jaringan aminergik sentral melibatkan serotonin dan

noradrenalin. Hal ini berperan penting dalam patofisiologi IBS, terutama model top-down. Terdapat

juga laporan yang menyatakan asosiasi antara abnormalitas motilitas dengan paparan terhadap stress.

Mekanisme dasar yang menyebabkan IBS dan manifestasi klinis beragam pada setiap pasien,

pada beberapa kasus gejala terkait otak (lebih banyak faktor psikologis) lebih dominan dibandingkan

gejala terkait usus. Predominasi gejala dapat membantu praktisi untuk memahami mekanisme

patogenesis dan patofisiologi dari gejala sehingga mengarahkan tatalaksana. Pembelajaran sosial dan

coping maladaptif berperan besar pada patofisiologi IBS dan disabilitas yang terjadi.

Epitel usus sehat berperan sebagai sawar antara isi lumen dan tubuh. Pasien dengan predominan

gejala usus memiliki mekanisme peningkatan permeabilitas usus, perubahan flora usus, dismotilitas,

dan disregulasi imunitas usus atau inflamasi usus. Kombinasi peningkatan permeabilitas dan

gangguan flora usus berkontribusi pada nyeri kronik dengan menyebabkan inflamasi tingkat rendah

persisten yang mempengaruhi sarah aferen (model bottom-up).

Fenomena IBS pasca infeksi diketahui dapat terjadi pada anak-anak. remaja, dan dewasa, hal

ini mungkin terjadi karena adanya sitokin inflamasi. [1] Basis inflamasi untuk gejala IBS didapatkan

lxxx
dari bukti adanya perubahan aktivitas imun mukosa, keberadaan sel infiltrat imun mukosa, proliferasi

sel mast pada jarak berdekatan dengan ujung saraf, dan peningkatan permeabilitas apical junction.

Respon inflamasi ini dapat terjadi akibat infeksi, alergi, atau reaksi idiopatik pencernaan. Meskipun

demikian pemberian anti-inflamasi untuk memperbaiki gejala IBS hingga saat ini belum memberikan

hasil yang memuaskan.

Aksis hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA) dipertimbangkan sebagai komunikator penting

dalam aksis otak-usus. Aksis HPA diaktivasi baik oleh stress ekteroreseptif dan interoreseptif,

sehingga besar kemungkinan ada pengaruh terhadap model pato-fisologis. Aktivasi HPA akan

menyebabkan peningkatan pelepasan corticotrophin releasing hormone (CRH), adrenocorticotrophic

hormone (ACTH), dan kortisol. Peningkatan pelepasan CRH akan memicu sensitisasi sentral,

sementara ACTH dan kortisol cenderung untuk mengaktivasi sel imun dan aferen ekstrinsik primer di

saluran pencernaan menyebabkan sensitisasi periferal.

Beberapa penelitian menunjukan adanya faktor genetik pada timbulnya IBS. Ditemukan anak

dengan gejala IBS memiliki orang tua dengan keluhan saluran cerna juga. Predisposisi genetik juga

meningkatkan kerentanan individu terhadap stress. Stress dapat mempengaruhi fungsi imun dan

meningkatkan inflamasi mukosa usus melalui alterasi aksis HPA dan flora bakteri.

Diagnosis

IBS meliputi nyeri perut yang disertai dengan perubahan defekasi, yaitu perubahan frekuensi

tinja dan atau perubahan bentuk/penampakan tinja. Skala Tinja Bristol dipakai sebagai acuan untuk

membantu mengklasifikasikan tipe IBS (Gambar 1). Penyakit IBS tidak dapat dijelaskan oleh kondisi

medis yang mendasari ataupun kondisi medis lain. Perlu diperhatikan bahwa nyeri tidak membaik

dengan resolusi dari konstipasi; jika nyeri membaik dengan resolusi konstipasi maka diklasifikasikan

sebagai konstipasi fungsional.

Tipe 1 Keras, mirip kacang (sulit dikeluarkan)

Tipe 2 Seperti sosis, tetapi masih menggumpal

lxxxi
Tipe 3 Berbentuk sosis, permukaannya retak

Tipe 4 Mirip sosis atau ular, empuk dan halus

Tipe 5 Seperti gumpalan, namun mudah dikeluarkan

Tipe 6 Permukaan halus, mudah cair, sangat mudah


dikeluarkan

Tipe 7 Sama sekali tak berbentuk (100% cair)

Gambar 1. Skala Tinja Bristol


Sumber: ROME IV Criteria (2016)

Kriteria diagnostik untuk IBS dibahas pada Tabel. 1. Diagnosa dari IBS murni berdasarkan

gejala yang disampaikan oleh orang tua dan pasien. Hingga saat ini tidak ada biomarker spesifik

untuk konfirmasi diagnosis dari IBS. Diagnosa banding dari IBS adalah gangguan anatomi, infeksi,

inflamasi, dan motilitas atau juga kondisi malabsorbsi.

Tabel 1. Kriteria diagnostik ROME IV untuk IBS

Harus meliputi semua dari gejala berikut:

 Nyeri perut rekuren setidaknya 1 hari/minggu selama 3 bulan terakhir yang

diikuti dengan salah satu gejala berikut:

 Berkaitan dengan proses defekasi

 Terdapat perubahan frekuensi BAB

 Terdapat perubahan bentuk (penampakan) BAB

 Pada anak dengan konstipasi, nyeri menetap walaupun konstipasi sudah teratasi

(anak yang nyerinya membaik dapat didiagnosa dengan konstipasi fungsional

dan bukan IBS)

 Setelah evaluasi menyeluruh, gejala tidak dapat dijelaskan oleh kondisi medis

lain.

lxxxii
Berdasarkan manifestasi klinisnya, IBS pada anak dibagi menjadi 4 grup: IBS dengan

predominan konstipasi (IBS-C), IBS dengan predominan diare (IBS-D), IBS dengan konstipasi dan

diare, dan IBS tidak spesifik.

Tabel 1. Kriteria diagnostik subtipe IBS (ROME IV)

IBS dengan predominan konstipasi (IBS-C)

 > 25% kasus dengan gerakan usus abnormal disertai tinja Bristol Tipe 1 dan

 < 25% kasus dengan gerakan usus abnormal disertai tinja Bristol Tipe 6 dan

IBS dengan predominan diare (IBS-D)

 > 25% kasus dengan gerakan usus abnormal disertai tinja Bristol Tipe 6 dan

 < 25% kasus dengan gerakan usus abnormal disertai tinja Bristol Tipe 1 dan

IBS campuran konstipasi dan diare

 > 25% kasus dengan gerakan usus abnormal disertai tinja Bristol Tipe 1 dan

 > 25% kasus dengan gerakan usus abnormal disertai tinja Bristol Tipe 6 dan

IBS tidak spesifik

 Kasus yang memenuhi kriteria IBS namun pola pergerakkan usus tidak

memenuhi ketiga kelompok di atas

Anamnesa dan pemeriksaan fisik dengan teliti dapat menyingkirkan konstipasi fungsional pada

pasien IBS. Evaluasi klinis juga berperan untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi, malabsorpsi

karbohidrat, atau inflammatory bowel disease dari IBS-D. Adanya tanda bahaya menandakan

kemungkinan diagnosa lain atau penyakit organik lainya. Determinasi calprotectin feses semakin

lxxxiii
sering digunakan untuk mencari inflamasi mukosa usus dan ditemukan lebih baik dibandingkan

dengan pemeriksan C-reactive protein (CRP).

IBS dapat predominan diare atau konstipasi. Diare yang terjadi tidak disertai dengan darah. IBS

umumnya dieksaserbasi oleh situasi yang memicu stress atau makanan tertentu. Pasien seingkali

mengalami nyeri hebat yang menurunkan kualitas hidup mereka. Anak dengan IBS seringkali tidak

masuk sekolah, memiliki prevalensi kondisi psikiatri lebih tinggi (contoh: depresi, ansietas, dan

kepribadian introvert) dan gangguan sosial. Selain itu anak dengan IBS biasnya sulit untuk tidur.

Anamensa dengan teliti juga dapat membantu untuk menemukan mekanisme dan faktor yang

berkontribusi pada IBS yang dialami pasien, serta membantu meyakinkan keluarga bahwa praktisi

memahami dengan baik gejala yang dialami oleh pasien. Diagnosa dari IBS hanya berdasarkan

anamnesa dan pemeriksaan fisik saja, oleh sebab itu penting untuk melakukan hal ini dengan berhati-

hati. Praktisi perlu memperhatikan adanya tanda bahaya yang menunjukan adanya pernyakit organik,

tanda ini ditunjukan pada Tabel 2. Oleh karena tidak ada marka biologis yang dapat mengkonfirmasi

diagnosa IBS, maka pemeriksaan diagnostik tidak harus dilakukan.

Penyakit celiac merupakan penyakit multisistem dengan gejala gastrointenstinal yang

menyerupai IBS dengan diare (IBS-D). Telah diketahui bahwa gluten merupakan faktor pemicu

potensial pada pasien dengan IBS, bahkan saat hasil serologi negatif (sensitivitas gluten non-celiac).

Oleh sebab itu direkomendasikan pemeriksaan untuk penyakit celiac pada anak dengan IBS, terutama

pada daerah yang sering terjadi penyakit tersebut. Dengan meningkatnya prevalensi penyakit celiac

didunia, maka skrining penyakit ini pada anak dengan IBS-D merupakan langkah penting untuk

deteksi dini penyakit celiac.

Tabel 2. Tanda bahaya (alarm signs) yang menunjukan penyakit organik pada IBS

Tanda bahaya meliputi berikut ini (tidak terbatas pada tanda ini saja):

 Nyeri persisten pada kuadran kanan-atas atau kanan-bawah

 Disfagia

lxxxiv
 Vomitus persisten atau berat

 Diare nokturnal

 Hematemesis atau hematokezia

 Penyakit perianal

 Penurunan berat badan tanpa sebab jelas

 Deselerasi pertumbuhan

 Inflamasi sendi

 Pubertas tertunda

 Lesi oral

 Ruam kulit

Bila ditemukan tanda bahaya penyakit organik, maka dilakukan pemeriksaan hemogram, laju

sedimentasi eritrosit (LED), CRP, calproctectin feses, albumin, dan darah pada feses untuk

menentukan diagnosa. Adanya anemia, darah pada feses, deselerasi pertumbuhan, dan peningkatan

LED sugestif pada penyakit organik, secara spesifik penyakit Chron’s.

Penggunaan investigasi endoskopi dan radiologi dapat bermanfaat untuk menyingkirkan

diagnosa lain dari IBS. Endoskopi merupakan prosedur invasif yang memerlukan anastesi, oleh sebab

itu perlu edukasi yang baik dengan orang tua sebelum melakukan prosedur ini. Penelitian sebelumnya

secara signifikan menemukan sejumlah penyakit lain saat dilakukan endoskopi pada pasien dengan

IBS. Penyakit tersebut antara lain adalah infeksi H. pylori, ulkus peptikum, inflammatory bowel

disease, penyakit celiac, dan gastroenteritis eosinofilik. Pemeriksaan radiologi seperi ultrasonografi

(USG) abdomen dapat dilakukan pada pasien dengan jaundice, vomitus rekuren, dan gejala saluran

kencing yang signifikan. Selain dari gejala diatas, pemeriksaan USG biasanya tidak menemukan hasil

yang berarti.

lxxxv
Gambar 1. Alur diagnosis IBS

Sumber: PGHN 2019

Tatalaksana

Tatalaksana dari IBS meliputi modifikasi diet, medikasi, dan intervensi psikologis. Modifikasi

diet dilakukan dengan mengurangi atau membatasi makanan yang dapat memicu gejala atau

menciptakan gas. Perubahan mikrobiota dengan menggunakan probiotik telah terbukti efektif sebagai

terapi IBS; medikasi lain yang dapat diberikan pada pasien IBS ditunjukan pada Tabel. 3.Minyak

peppermint telah terbukti dapat mengurangi nyeri pada anak dengan IBS. Terapi perilaku kognitif

juga penting untuk menemukan stressor psikososial dan menemukan mekanisme coping.

Tabel 3. Rekomendasi terapi untuk IBS

Rekomendasi terapi IBS

lxxxvi
 Gejala ringan biasanya merespon dengan perubahan diet.

 Antispasmodik dapat digunakan bila perlu untuk nyeri perut atau gejala

postprandial.

 Antidepresan dapat meringankan nyeri perut dan gejala umum.

Antidepresan dipertimbangkan bagi pasien dengan gejala sedang-berat.

IBS dengan konstipasi (IBS-C)

 Serat dapat mengatasi konstipasi pada pasien dengan gejala ringan.

 Polyethylene glycol dapat meningkatkan frenkuensi pergerakan usus,

namun tidak memperbaiki gejala umum atau nyeri perut.

 Lubiprostone atau linaclotide dapat divoba pada pasien yang tidak

merespon dengan polyethylene glycol

IBS dengan diare (IBS-D)

 Loperamide dapat diberikan bila perlu, dapat mengurangi frekuensi dan

urgensi BAB postprandial, namun tidak memperbaiki gejala umum.

 Rifaximin dan eluxadoline terbukti lebih efektif dibandingkan plasebo

untuk meringankan gejala.

 Alosetron hanya diberikan pada wanita dengan gejala IBS-D berat dan

kronik yang tidak merespon dengan obat lain.

Tabel 4. Terapi awal untuk IBS

lxxxvii
Terapi awal

 Fokus pada menghilangkan makanan penghasil gas, menghindari laktosa,

dan mengikuti diet FODMAP.

 Setelah gejala terkendali, pasien dapat mulai menambahkan makanan (1-2

makanan baru setiap minggu).

 Bila makanan baru menyebabkan gejala, maka makanan dihindari dalam

jangka panjang.

Penghilangan makanan produksi gas

 Menghilangkan kacang, babi, brokoli, kubis brussel, gandum, tinggi

karbohidrat, fruktosa, dan glutten dari diet.

 Pasien yang sudah menghindari makanan tersebut mengalami perbaikan

gejala

Menhindari laktosa

 Dilakukan test lakotsa dari nafas. Individu yang tidak mengalami

intoleransi laktosa masih dapat bereaksi dengan komponen lain dari susu.

 Apabila ditemukan intoleransi laktosa, maka dilakukan restriksi produk

susu atau mengandung laktosa.

 Apabila tidak ditemukan intoleransi, pasien masih dapat keuntungan

dengan pengurangan produk laktosa.

FODMAP

 FODMAP mengacu pada makanan yang meningkatkan produksi gas pada

usus dan menyebabkan rasa tidak nyaman atau bahkan nyeri perut.

 Pasien yang melakukan diet rendah FODMAP menunjukan perbaikan dari

gejala nyeri perut, kembung, flatulensi, dan rasa tidak puas dengan

konsistensi tinja.

lxxxviii
Terdapat sedikit bukti mengenai efikasi terapi IBS pada anak. Keputusan pilihan terapi

seringkali berdasarkan pengalaman, pendapat ahli, dan ekstrapolasi dari studi pada orang dewasa.

Keluarga harus dijelaskan mengenai patofisiologi IBS dan pentingnya interaksi otak-usus, sehingga

pemberian terapi non-farmakologis dapat diterima dengan baik. Selain itu penting untuk meyakinan

anak bahwa praktisi dan keluarga yang merawat pasien percaya bahwa gejala yang dialami benar-

benar nyata dan tidak dibuat-buat, hal ini dilakukan agar tercipta rasa saling percaya antara anak dan

pengasuh.

Tujuan dari pengobatan juga harus didiskusikan terlebih dahulu dengan keluarga. Resolusi

penuh dari gejala bukanlah tujuan utama dari pengobatan, melainkan kembalinya aktivitas normal

sehari-hari tanpa adanya gangguan. Hal ini dilakukan agar keluarga tidak kecewa dengan hasil

pengobatan, dan resolusi penuh tetap merupakan tujuan jangka panjang.

Terapi farmakologis untuk IBS adalah sebagai berikut:

1. Antispasmodik

Medikasi antikolinergik seringkali digunakan untuk gejala ameliorasi dari nyeri perut

kronik melalui inhibisi kontraksi otot halus. Dicyclomine dan hyoscyamine merupakan

antispasmodik yang umum diberikan pada anak-anak. Minyak peppermint yang diekstraksi

dari daun “Mentha piperita L” merelaksasi otot halus usus dengan memblokade kanal

kalsium. Selain itu minyak peppermint juga memiliki efek analgesik dengan mempengaruhi

reseptor transien kanal potensial. Kapsul minyak peppermint umum digunakan pada kasus

IBS karena dianggap sebagai obat alami dan efek samping yang minimal.

2. Antidepresan

Antidepresan trisiklik dan selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI) dapat

digunakan untuk terapi IBS pada anak-anak. Meskipun penggunaan antidepresan sebagai

terapi IBS tidak memiliki bukti yang cukup kuat, pemberian obat ini sebagai terapi IBS masih

dapat dipertimbangkan mengingat bahwa IBS memiliki fakto psikologis.

3. Probiotik

Adanya teori mengenai perubahan mikrobiota usus pada patogenesis IBS menyebabkan

tingginya penggunaan probiotik sebagai terapi IBS. Sebuah studi mengemukakan adanya

lxxxix
perbaikan gejala, nyeri perut, rasa kembung/gassines secara signifikan pada akhir pemberian

probiotik.

4. Gastroprokinetik

Terapi gastroprokinetik seperti domperidone diketahui membantu motilitas pencernaan

dan perbaikan gejala pada IBS yang disertai dispepsia fungsional. Pada sebuah studi

ditemukan juga perbaikan kondisi klinis umum dan derajat nyeri pada anak dengan functional

abdominal pain disorder (FAPD). Namun demikian perbaikan ini tidak ada hubungan dengan

peningkatan motilitas pencernaan.

5. Agen penekan asam lambung

Pemberian agen penekan asam lambung umum digunakan pada anak dengan FAPD,

mempertimbangkan nyeri yang timbul diakibatkan oleh gastritis. Sehingga pemberian agen

penekan asam lambung dapat dipertimbangkan pada pasien IBS. Namun demikian, penelitan

terbaru mengatakan adanya efek samping jangka panjang yang dikaitkan dengan pemberian

agen ini, dan juga adanya resiko untuk hiperasiditas dengan penghentian terapi. Oleh sebab itu

pemberian agen ini harus didiskusikan dengan baik pada keluarga.

6. Antihistamin

Sebuah penelitan menemukan adanya hasil positif terhadap intensitas dan frekuensi

nyeri pada FAPD secara umum (tidak spesifik IBS). Namun jumlah sampel yang sedikit dan

alat penilaian yang tidak tervalidasi mengurangi legitimasi data. Oleh sebab itu perlu

dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pemberian antihistamin pada pasien dengan IBS.

Selain terapi farmakologis, diperlukan juga terapi non-farmakologis pada pasien dengan IBS.

Beberapa terapi non-farmakologis yang dapat diberikan adalah sebagai berikut:

1. Konseling dan edukasi orang tua

Kebanyakan orang tua khawatir mengetahui apa penyebab nyeri pada anak mereka.

Seringkali orang tua menganggap bahwa nyeri perut merupakan kondisi medis seirus,

termasuk kemungkinan adanya malignansi. Setelah dilakukan evaluasi dan praktisi

menyatakan bahwa tidak ada pemeriksaan klinis yang berarti penyakit organik serius, artinya

xc
anak menderita IBS. Pada tahap ini klinisi harus menjelaskan perjalanan penyakit dan

kemungkinan dalam jangka panjang. Hubungan yang baik antara klinisi dan orang tua dapat

membantu perbaikan dari gejala umum. Beberapa penelitian juga menyampaikan adanya

kasus dimana anak berhasil melewati gejala mereka dengan edukasi dan dukungan yang baik.

Namun demikian, perlu diingat edukasi dan konseling orang tua memakan waktu yang cukup

banyak dan kendala tersendiri, terutama saat gejala tidak menunjukan adanya perbaikan yang

signifikan. Oleh sebab itu, meluangkan waktu untuk menjelaskan kemungkinan perjalanan

penyakit dapat menjadi metode yang efektif untuk menangani kasus IBS.

2. Serat

Pemberian diet tinggi serat memperpendek waktu transit dalam usus, mempercepat

transit oral ke anal, dan mengurangi tekanan intra kolon. Hasil studi mengenai pemberian

serat masih rancu dan hingga saat ini belum ada persetujuan mengenai efek menguntungkan

dari suplementasi serat pada pasien IBS anak-anak. Apabila pemberian serat akan dilakukan,

pememberian serat yang dapat larut (soluble) lebih direkomendasikan dibandingkan serat

tidak larut (insoluble), karena serat tidak larut dapat menyebabkan nyeri perut atau perut

kembung. Sebuah studi mengenai partially hydrolyzed guar gum (PHGG) dibandingkan

plasebo menunjukan peningkatan gejala IBS, nyeri perut, dan normalisasi pola BAB dalam

waktu 4 minggu dibandingkan plasebo.

3. Modifikasi diet

Studi pada orang dewasa menujukan keuntungan dengan eliminasi makanan yang

mengandung karbohidrat rantai-pendek yang sulit diabsorpsi atau fermentable

oligosaccharides, disaccharide, monosaccharides and polyols (FODMAP) pada pasien IBS.

Saat FODMAP yang tidak tercerna melewati usus halus, terdapat peningkatan produksi gas

akibat fermentasi oleh koloni bakteri dan peningkatan retensi cairan di lumen usus

mengakibatkan distensi usus halus. Selain itu hasil produk fermentasi FODMAP seperti asam

lemak rantai-pendek dapat menyebabkan gejala melaui stimulasi kimiawi.

4. Terapi perilaku kognitif (CBT)

xci
Terapi psikologis seperti CBT dapat membantu pengurangan gejala pada pasien IBS

dengan mengurangi aktivitas sistem saraf pusat pada fungsi usus. Intervensi CBT memberikan

pasien kemampuan untuk mengatur stres, ansietas, gejala gastrointestinal, dan dampak

emosional pada kehidupan sehari-hari yang diasosiasikan dengan IBS. Sebuah studi

menunjukan 3 sesi intervensi CBT yang berfokus pada mengurangi kekhawatiran orang tua,

modifikasi pandangan orang tua dan anak mengenai signifikansi nyeri (kognitif

disfungsional), dan meningkatkan kemampuan coping anak dapat mengurangi rasa nyeri dan

menurunkan disabilitas baik jangka pendek maupun jangka panjang.

5. Hipnoterapi

Penggunaan hipnoterapi sebagai tatalaksana untuk IBS semakin meningkat. Sebuah

meta-analisa yang membandingkan hipnoterapi dengan perawatan medis standar menunjukan

adanya pengurangan rasa nyeri dan disabilitas serta peningkatan kualitas hidup anak. Efek

mengungtungkan dapat dipertahankan hingga 85% dalam jangka waktu 1 tahun, dan 68%

dalam waktu 5 tahun.

Daftar Pustaka

1. Kliegman RM. Nelson textbook of pediatrics. 21st edition. Philadelphia, MO: Elsevier; 2019.

2. Chogle A, Mintjens S, Saps M. Pediatric IBS: An Overview on Pathophysiology, Diagnosis and

Treatment. Pediatr Ann [Internet]. 2014 Apr;43(4). Available from:

https://journals.healio.com/doi/10.3928/00904481-20140325-08

3. van Tilburg MAL. Pediatric functional gastrointestinal disorders. In: Clinical and Basic

Neurogastroenterology and Motility [Internet]. Elsevier; 2020. p. 557–63. Available from:

https://linkinghub.elsevier.com/retrieve/pii/B978012813037700039X

4. Ranuh IR, Athiyyah AF, Diana K NR, Juffrie M, Soenarto SS, Oswari H, et al. Buku Ajar

Gastrohepatologi Anak. 1st ed. Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2020.

xcii
5. Hyams JS, Di Lorenzo C, Saps M, Shulman RJ, Staiano A, van Tilburg M. Childhood Functional

Gastrointestinal Disorders: Child/Adolescent. Gastroenterology. 2016 May;150(6):1456-1468.e2.

6. Kridler J, Kamat D. Irritable Bowel Syndrome: A Review for General Pediatricians. Pediatr Ann

[Internet]. 2016 Jan;45(1). Available from: https://journals.healio.com/doi/10.3928/00904481-

20151208-01

7. Defrees DN, Bailey J. Irritable Bowel Syndrome. Primary Care: Clinics in Office Practice. 2017

Dec;44(4):655–71.

8. Rukunuzzaman M, Karim AB, Mazumder W, Nurullah M, Hussain F, Sultana K. Approach to a

Child with Irritable Bowel Syndrome: A Review. J Natl Inst Neurosci Bangladesh. 2017 Sep

11;2(1):34–9.

9. Devanarayana NM, Rajindrajith S. Irritable bowel syndrome in children: Current knowledge,

challenges and opportunities. WJG. 2018 Jun 7;24(21):2211–35.

10. Malagelada J. Management of irritable bowel syndrome in children. J Pediatrics & Pediatr Med.

2018 May 1;2(3):21–7.

xciii
KONSTIPASI FUNGSIONAL PADA ANAK

Definisi

Konstipasi adalah kondisi adanya gangguan buang air besar yang ditandai dengan defekasi

yang jarang atau kurang dari tiga kali per minggu atau defekasi yang terasa nyeri dengan feses yang

keras atau berkaliber besar. Sedangkan, konstipasi fungsional pada anak adalah konstipasi yang

terjadi selama minimal satu (pada bayi) atau dua bulan (pada anak > 4 tahun) tanpa penyebab organik,

seperti kelainan struktural atau biokimia. 1 Definisi konstipasi fungsional harus dibedakan dengan

definisi lainnya, seperti konstipasi yang tidak dapat tertangani, impaksi feses, atau obstipasi.

Konstipasi yang tidak dapat tertangani adalah konstipasi yang tidak berespon terhadap

pengobatan konvensional yang optimal selama minimal 3 bulan. Impaksi fekal adalah adanya massa

keras di perut bagian bawah yang diidentifikasi pada pemeriksaan fisik atau rektum yang terdilatasi

dan terisi dengan sejumlah besar tinja pada pemeriksaan dubur atau tinja yang berlebihan di kolon

distal pada radiografi perut.2 Sedangkan, obstipasi adalah kondisi kronis yang ditandai dengan adanya

kesulitan BAB akibat tumpukkan feses yang menyebabkan obstruksi.

Saat ini, kriteria definisi dan diagnostik konstipasi fungsional dapat menggunakan kriteria

ROME IV (Tabel 1). Kriteria ini merupakan kriteria yang diperbaharui dari ROME III, yang membagi

kriteria untuk anak-anak yang lebih muda (kelompok usia 0–4 tahun) dan anak yang telah dilatih

penggunaan toiletnya. Selain itu, durasi gejala dipersingkat dari 2 menjadi 1 bulan, untuk kelompok

usia dari 4 tahun hingga remaja.

Tabel 1. Kriteria diagnostik konstipasi fungsional berdasarkan ROME IV

Harus mencakup 1 bulan dari setidaknya 2 hal berikut pada bayi hingga usia 4 tahun:

1. Buang air besar 2 kali atau lebih sedikit per minggu

2. Riwayat retensi feses yang berlebihan

xciv
3. Riwayat buang air besar yang menyakitkan atau keras

4. Riwayat tinja berdiameter besar

5. Adanya massa tinja yang besar di rektum

Pada anak-anak yang toilet-trained, kriteria tambahan berikut dapat digunakan:

6. Setidaknya 1 episode/minggu inkontinensia setelah mendapat keterampilan

toileting

7. Riwayat tinja berdiameter besar yang dapat menghalangi toilet

8. Setelah evaluasi yang tepat, gejala tidak dapat dijelaskan sepenuhnya dengan

kondisi medis lainnya.

Klasifikasi dan Etiologi

Pada anak – anak dengan konstipasi fungsional, umumnya tidak didapatkan penyakit penyebab

atau penyakit organik yang mendasari terjadinya gejala ini. Namun, konstipasi dapat terjadi pada anak

– anak yang memiliki riwayat prematuritas, perkembangan mental terganggu. Perilaku menahan

buang air besar dianggap memainkan peran penting dalam patofisiologi konstipasi fungsional pada

anak kecil; pengalaman yang tidak menyenangkan dengan buang air besar (terutama buang air besar

yang menyakitkan) dapat menyebabkan anak secara sukarela menahan tinja mereka untuk

menghindari pengalaman yang tidak menyenangkan ini. Hal ini dapat menyebabkan lingkaran setan,

di mana retensi tinja sukarela menyebabkan peningkatan penyerapan air dari tinja dan dengan

demikian tinja lebih keras dan buang air besar secara inheren lebih sulit dan menyakitkan.

Epidemiologi

Konstipasi fungsional merupakan salah satu masalah gastrointestinal yang sering ditemukan

pada anak, dengan prevalensi 3%-9% di seluruh dunia. Konstipasi fungsional menyumbang lebih dari

95% kasus konstipasi pada anak-anak. 9 Pada 17% sampai 40% kasus konstipasi fungsinal anak

xcv
didapatkan bahwa konstipasi dimulai pada usia pertama kehidupan dengan onset usia rata-rata adalah

2,3 tahun. Prevalensi puncak adalah selama tahun-tahun prasekolah dan sangat umum terjadi pada

saat sekitar masa transisi ke makanan padat, pelatihan toilet, dan masuk sekolah. Konstipasi

fungsional sedikit lebih sering terjadi pada anak perempuan. Akibat cukup tingginya kondisi ini,

konstipasi fungsional sering terkait dengan distres pada anak dan orang tua, serta memiliki dampak

yang signifikan pada biaya pengobatan.

Manifestasi Klinis

Presentasi dari konstipasi fungsional dapat bervariasi pada anak-anak. Manifestasi yang utama

muncul dari konstipasi fungsional adalah anak tidak defekasi atau  2 kali defekasi dalam seminggu.

Gejala lain yang mungkin muncul antara lain buang air besar yang keras dan terasa sakit. Balita

terkadang menunjukkan inkontinensia tinja. Ketika anak-anak memiliki keinginan untuk buang air

besar, perilaku khas yang muncul yaitu mengontraksikan otot gluteal dengan menegangkan kaki,

memegang benda sambil berdiri, atau jongkok di sudut ruangan sambil menunggu untuk buang air

besar. Nyeri perut adalah gejala yang sering dikaitkan, tetapi keberadaannya tidak dianggap sebagai

kriteria untuk konstipasi fungsional.

Pada konstipasi fungsional, sering disertai dengan adanya enkopresis. Enkopresis didefinisikan

sebagai adanya pasase feses secara volunter atau involunter ke sembarang tempat minimal satu kali

sebulan selama tiga bulan berturut – turut. Konstipasi fungsional juga tampaknya meningkatkan risiko

gejala gangguan kandung kemih pada anak-anak berusia 4 hingga 17 tahun. Gejala gangguan kandung

kemih yang muncul antara lain kandung kemih overaktif, penurunan frekuensi berkemih, peningkatan

frekuensi berkemih, urgensi, dan inkontinensia urin. 12 Selain itu, terdapat beberapa gejala dan tanda

bahaya pada konstipasi yang dapat muncul dan harus mengingatkan klinisi terkait kemungkinan

kondisi mendasar yang menyebabkan konstipasi.2,6

Tabel 2. Gejala dan tanda bahaya pada konstipasi 2

Konstipasi dimulai sangat awal kehidupan (<1 bulan)

xcvi
Pengeluaran mekonium >48 jam

Riwayat keluarga dengan penyakit Hirschprung

Darah dalam tinja tanpa adanya fisura anus

Gagal tumbuh

Demam

Muntah empedu

Kelenjar tiroid abnormal

Distensi perut yang berat

Fistula perianal

Posisi anus yang tidak normal

Refleks anal atau kremaster tidak ada

Penurunan kekuatan/tonus/refleks ekstremitas bawah

Seberkas rambut di tulang belakang

Dimple sakrum

Deviasi celah gluteal

Ketakutan yang ekstrim selama pemeriksaan anus

Bekas luka di anus

Patofisiologi

xcvii
Patofisiologi konstipasi fungsional pada anak-anak masih belum jelas diketahui, tetapi diduga

bersifat multifaktorial. Mekanisme yang paling umum untuk terjadinya kondisi ini adalah perilaku

menahan, sering dimulai setelah buang air besar yang menyakitkan. Feses yang tidak didefekasikan

tetap berada di rektum, mukosa rektum menyerap air kembali dari tinja yang tertahan, sehingga

menjadi lebih sulit untuk dikeluarkan. Lingkaran ini dapat menyebabkan impaksi tinja, hilangnya

sensasi di anus, dan pada akhirnya, kehilangan dorongan normal untuk buang air besar.

Dalam subkelompok anak-anak, konstipasi fungsional dapat disebabkan oleh transit yang

lambat. Sel-sel interstisial Cajal memainkan peran penting dalam motilitas usus. Sel-sel ini dapat

dianggap sebagai alat pacu yang menghasilkan gerak peristaltik di usus. Banyak publikasi melaporkan

temuan histologis yang konsisten pada anak-anak dengan semua bentuk konstipasi memiliki jumlah

sel interstisial Cajal yang rendah, meskipun jumlah sel interstisial Cajal yang normal pada anak yang

sehat masih belum jelas. Konstipasi akibat waktu transit yang lambat ini juga dikaitkan dengan kadar

zat P yang rendah dan peptida usus vasoaktif di kolon transversal kanan, tetapi temuan ini tidak

membantu mengembangkan pilihan terapi baru.

Banyak pasien dengan konstipasi fungsional memiliki riwayat keluarga dengan konstipasi

fungsional, hal ini menunjukkan bahwa faktor genetik mungkin berperan, meskipun mutasi belum

ditemukan. Konstipasi fungsional juga dikaitkan dengan gangguan perkembangan saraf seperti

gangguan spektrum autisme (ASD). Patofisiologi keterkaitan ini masih belum jelas. tetapi diduga

karena kurangnya perilaku yang memadai dalam menanggapi rasa ingin defekasi pada anak dengan

ASD. Genetika dan adanya sindrom gen berdekatan yang dihasilkan dari mutasi pada beberapa gen

yang berdekatan, disbiosis, dan pemrosesan sensorik atipikal juga telah diduga sebagai penjelasan

yang mungkin untuk hubungan yang konsisten antara ASD dan konstipasi fungsional.

Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik (Tabel 3), dan meskipun

belum terbukti, beberapa studi mengusulkan penggunaan beberapa pemeriksaan penunjang.

xcviii
Anamnesis

Deskripsi gejala subjektif tidak dapat diandalkan pada bayi dan banyak anak <8 tahun, dan

beberapa gejala konstipasi pada bayi dan anak-anak tidak spesifik. Peran utama anamnesis dan

pemeriksaan fisik dalam evaluasi konstipasi adalah untuk menyingkirkan gangguan lain yang muncul

dengan kesulitan buang air besar dan untuk mengidentifikasi komplikasi. 1

Informasi yang harus dicari secara aktif adalah usia timbulnya gejala, keberhasilan atau

kegagalan pelatihan toilet/ toilet training, frekuensi dan konsistensi feses (sebaiknya dinyatakan

sesuai dengan skala tinja yang ada seperti skala Bristol atau skala Lane, yang merupakan skala Bristol

yang dimodifikasi untuk anak-anak, nyeri dan/atau perdarahan saat buang air besar, adanya nyeri

perut atau inkontinensia feses (jika ada, apakah itu juga nokturnal), perilaku menahan, riwayat diet,

perubahan pola makan, mual dan/atau muntah, dan penurunan berat badan.

Informasi lain yang juga harus diperoleh adalah riwayat pengobatan sebelumnya dan sekarang,

seperti penggunaan obat pencahar oral, enema, supositoria, pengobatan herbal, perilaku berobat, dan

obat-obat lainnya. Riwayat perkembangan dan psikososial juga harus ditanyakan, seperti ganggaun

aktivitas, interaksi dengan teman sebaya, atau tempramen. Selain itu, riwayat keluarga juga perlu

dievaluasi, seperti riwayat gangguan gastrointestinal dan gangguan organ lainnya (tiroid, paratiroid,

ginjal, atau sistemik penyakit seperti kistik fibrosis).

Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik harus berfokus secara spesifik pada parameter pertumbuham pemeriksaan

abdomen (tonus otot, distensi, massa tinja), inspeksi area perianal (posisi anus, adanya tinja di sekitar

anus, eritema, skin tags, fisura anal), dan pemeriksaan area lumbosakral (dimple, tuft of hair, deviasi

celah gluteus, agenesis sakrum, bokong yang datar). Refleks anus dan kremaster serta pemeriksaan

neuromuskular tungkai seperti tonus, kekuatan otot, dan refleks tendon dalam juga harus dilakukan.

Pemeriksaan colok dubur harus dilakukan agar dapat mengevaluasi adanya stenosis anal atau massa

xcix
tinja. Namun, bukti yang ada tidak mendukung penggunaan pemeriksaan colok dubur untuk

mendiagnosis konstipasi fungsional.2

Tabel 3. Kunci utama temuan anamnesis dan pemeriksaan fisik pada evaluasi

konstipasi fungsional anak2

Anamnesis

 Diawali beberapa minggu setelah kehidupan (tidak saat lahir)

 Terkadang faktor presipitasi terjadi bersamaan dengan awal mula gejala:

fisura, perubahan pola diet, infeksi, mulai sekolah, takut dan fobia,

perubahan di keluarga, obat, dan bepergian

 Pasase normal dari meconium

Pemeriksaan fisik

 Umumnya tampak baik, berat dan tinggi badan dalam batas normal,

aktif dan bugar

 Pertumbuhan normal

 Anus dan area sekitar anus tampak normal

 Abdomen normal (mungkin dapat teraba massa tinja)

 Kulit dan struktur anatomi area lumbosakral/ gluteus tampak normal

 Kekuatan otot, refleks, dan postur tungkai tampak normal

Pemeriksaan penunjang

Berdasarkan pedoman ESPGHAN dan NASPGHAN, pemeriksaan penunjang seperti radiografi

abdomen dan waktu transit kolon (colonic transit time/ CTT) tidak didukung untuk mendiagnosis

c
konstipasi fungsional. Namun, terdapat beberapa penelitian yang dilakukan untuk mengevaluasi

radiografi abdomen sebagai alat diagnosis konstipasi fungsional. 2 Penelitian Barr dkk21 adalah

penelitian pertama yang mengembangkan skor radiografi abdomen untuk mendiagnosis konstipasi

fungsional. Sistem penilaian Barr berkisar dari 0 sampai 25, dengan skor total >10, menunjukkan

retensi tinja yang berlebihan. Barr et al melaporkan sensitivitas 80% (IK 95%; 65-90) dan spesifisitas

90% (IK 90%; 74-98) menggunakan sistem penilaian ini. Benninga et al 22 juga menggunakan sistem

penilaian Barr dan melaporkan sensitivitas yang lebih rendah 60% (IK 95%; 46-72) dan spesifisitas

43% (IK 95%; 18-71). Kemudian, Leech et al 23 mengembangkan sistem penilaian di mana radiografi

abdomen dibagi menjadi 3 segmen. Setiap segmen diberi skor dari 0 hingga 5, dengan rentang skor 0

hingga 15. Skor total 8 hingga 15 menunjukkan konstipasi. Penelitian ini menghasilkan sensitivitas

76% (IK 95%; 58 – 89) dan spesifisitas 75% (IK 95%; 63 – 85). Pedoman ESPGHAN dan

NASPGHAN menyatakan bahwa radiografi polos abdomen dapat digunakan pada anak yang diduga

mengalami impaksi feses namun pemeriksaan fisiknya tidak dapat diandalkan/tidak memungkinkan.

Selain itu, pemeriksaan waktu transit kolon mungkin berguna untuk membedakan antara konstipasi

fungsional dan inkontinensia fekal nonretentif fungsional dan dalam situasi di mana diagnosis tidak

jelas.2 Beberapa pemeriksaan penunjang lainnya seperti manometri kolon, biopsi ketebalan kolon,

skintigrafi kolon juga tidak disarankan untuk digunakan dalam diagnosis konstipasi fungsional. 2

Tatalaksana

 Farmakologi

Bukti yang ada menunjukkan bahwa PEG dan enema / laksatif efektif untuk diberikan pada

impaksi feses. PEG lebih efektif dibandingkan dengan laktulosa, susu magnesium, minyak mineral,

atau plasebo. Selain itu, laktulosa dianggap aman untuk segala usia. Untuk alasan ini, laktulosa

direkomendasikan jika PEG tidak tersedia. Tatalaksana farmakologi konstipasi terdapat pada tabel 4. 2

Penggunaan PEG dengan atau tanpa elektrolit oral selama 3 sampai 6 hari direkomendasikan

sebagai terapi lini pertama pada anak denggn impaksi feses. Apabila tidak ada PEG, maka

ci
penggunaan laktulosa atau enema satu kali per hari selama 3 sampai 6 hari dapat diberikan. Dosis

awal PEG adalah 0.4 g/kg/hari dan dapat disesuaikan dengan respon klinis. Penambahan enema pada

penggunaan kronis PEG tidak direkomendasikan. Terapi pemeliharaan ini dapat dilanjutkan selama

minimal 2 bulan. Seluruh gejala konstipasi harus hilang dalam waktu minimal 1 bulan sebelum

pemberhentian obat. Terapi tersebut harus diturunkan secara perlahan.

Tabel 4. Dosis obat laksatif2

Laksatif oral Dosis

Laksatif osmotik

 Laktulosa 1-2 g/kg, satu / dua kali/ hari

PEG 3350 Maintenance: 0.2-0.8 g/kg/hari

PEG 4000 Disimpaksi feses: 1-1.5 g/kg/hari

 Susu magnesium 2-5 thn: 0.4-1.2 g/hari, satu kali atau terbagi

6-11 thn: 1.2-2.4 g/hari, satu kali atau terbagi

12-18 thn: 2.4-4.8 g/hari, satu kali atau terbagi

Pelembut feses

 Minyak mineral 1-18 thn: 1-3 cc/kg/hari, satu kali atau terbagi

Laksatif stimulan

 Bisakodil 3-10 thn: 5 mg/hari

> 10 thn: 5-10 mg/hari

 Senna 2-6 thn: 2.5-5 mg, satu/dua kali/hari

6-12 thn: 7.5-10 mg/hari

> 12 thn: 15-20 mg/hari

 Sodium picosulfate 4-18 thn: 2.5 – 20 mg / hari

Laksatif/enema rektum

 Bisakodil 2-10 thn: 5 mg/hari

cii
> 10 thn: 5-10 mg/hari

 Sodium docusate < 6 thn: 60 ml

> 6 thn: 120 ml

 Sodium fosfat 1-18 thn: 2.5 ml/kg; maks 133 ml./dosis

 NaCl > 1 thn: 6 ml/kg

2-11 thn: 30-60 ml satu kali/hari


 Minyak mineral
> 11 thn: 60-150 ml satu kali/hari

 Intervensi diet

Berdasarkan penelitian – penelitian yang dievaluasi mengenai tatalaksana konstipasi

fungsional, pedoman ESPGHAN dan NASPGHAN merekomendasikan untuk memberikan

asupan serat yang normal, asupan cairan yang cukup, penggunaan prebiotik, dan aktivitas

fisik yang normal pada anak dengan konstipasi.2

Asupan cairan dan serat yang cukup (usia anak ditambah 5-10 gram per hari) sangat

penting dalam pencegahan dan pengobatan konstipasi fungsional pada anak. 25 Di sisi lain,

bukti tidak mendukung penggunaan ekstra asupan cairan dalam pengobatan konstipasi

fungsional. Asupan serat yang berlebihan, di sisi lain, tidak memberikan manfaat yang

signifikan dalam pengobatan konstipasi fungsional dan harus dihindari pada anak-anak

dengan impaksi tinja dan pada mereka dengan perilaku menahan tinja karena dapat

memperburuk gejala.26

 Lubiprostone, Linaclotide, dan Prucalopride

Lubiprostone, linaclotide, dan prucalopride adalah obat yang terbukti efektif pada orang dewasa

dengan konstipasi. Namun, tidak ada penelitian acak yang dipublikasikan pada anak-anak sampai saat

ini.2

 Terapi fisioterapi / biofeedback

ciii
Efek terapi biofeedback dan fisioterapi panggul untuk pengobatan konstipasi fungsional masih

kontroversial. Terapi biofeedback dan fisioterapi panggul kadang-kadang digunakan sebagai

tambahan terapi farmakologis dan perilaku untuk pasien dengan defekasi dissinergik. Bukti saat ini

tidak mendukung rutinitas penggunaan pelatihan biofeedback dan fisioterapi panggul dalam

pengobatan konstipassi fungsional masa kanak-kanak27

 Stimulasi saraf transkutan

Stimulasi listrik transkutan adalah bentuk non-invasif dan tanpa rasa sakit dari terapi

interferensi di mana 4 elektroda permukaan dipasangkan pada kulit (2 di abdomen, tepat di bawah

batas kosta; 2 paraspinal, di atas otot antara segmen tulang belakang T9 dan L2), yang menghasilkan

2 arus sinusoidal yang melintasi tubuh. 28 Pada RCT yang ada, peneliti melaporkan peningkatan

kualitas hidup yang signifikan pada anak-anak yang diterapi dengan TNS; namun, skor dasar kualitas

hidup dalam 2 kelompok tidak sama, sehingga menghalangi nilai dari kesimpulan yang ada. Selain

itu, dalam laporan lain, TNS menurunkan waktu transit pada pasien yang diobati tetapi tidak ada data

tentang pola dan frekuensi tinja yang dilaporkan. 29 Sehingga, pedoman menyatakan bahwa bukti yang

ada tidak mendukung penggunaan TNS pada anak-anak dengan konstipasi berat.

 Edukasi

Edukasi merupakan salah satu terapi non-farmakologis untuk konstipasi fungsional, yang terdiri

dari penjelasan kepada anak dan orang tua, demistifikasi, pemberian saran mengenai diet teratur

(cukup serat dan asupan cairan) dan pelatihan toilet anak yang lebih besar. Anak dapat diedukasi

mengenai pentingnya untuk mengurangi rasa takut dan, jika mungkin, membuat anak dan orang tua

memahami mekanisme patofisiologi yang mendasarinya dan kebutuhan untuk belajar mengenalinya

dalam kehidupan sehari-hari.2,30

Prognosis

civ
Sekitar 80% dari anak-anak yang ditatalaksana secara adekuat di awal perjalanan penyakit

dapat pulih tanpa menggunakan obat pencahar pada 6 bulan tindak lanjut, dibandingkan dengan hanya

32% dari anak-anak dengan keterlambatan dalam terapi. Data ini menunjukkan bahwa intervensi

terapeutik awal yang memadai lebih mungkin bermanfaat dan berkontribusi pada keberhasilan

tatalaksana konstipasi. Studi menunjukkan terdapat tingkat pemulihan sekitar 50% hingga 60%

setelah 1 tahun perawatan intensif. Setelah 10 tahun, terdapat tingkat pemulihan yang mencapai 80%

pada anak-anak yang ditatalaksana dengan adekuat, dan sebagian besar pasien tidak lagi

menggunakan obat pencahar. Pada pasien yang dirujuk ke ahli gastroenterologi anak, penundaan

perawatan medis awal selama >3 bulan sejak timbulnya gejala berkorelasi dengan durasi gejala yang

lebih lama.31,32

Daftar Pustaka

1. Leung AK, Hon KL. Paediatrics: how to manage functional constipation. Drugs Context. 2021

Mar 26;10:2020-11–2.

2. Tabbers MM, DiLorenzo C, Berger MY, Faure C, Langendam MW, Nurko S, et al. Evaluation

and Treatment of Functional Constipation in Infants and Children: Evidence-Based

Recommendations From ESPGHAN and NASPGHAN. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2014

Feb;58(2):258–74.

cv
3. What is Obstipation (obstinate constipation) - Meaning and definition - Pallipedia [Internet].

[cited 2022 Mar 18]. Available from: https://pallipedia.org/obstipation-obstinate-constipation/

4. Levy EI, Lemmens R, Vandenplas Y, Devreker T. Functional constipation in children:

challenges and solutions. Pediatr Health Med Ther. 2017 Mar 9;8:19–27.

5. Zeevenhooven J, Koppen IJN, Benninga MA. The New Rome IV Criteria for Functional

Gastrointestinal Disorders in Infants and Toddlers. Pediatr Gastroenterol Hepatol Nutr.

2017;20(1):1.

6. Kliegman RM. Nelson textbook of pediatrics. 21st edition. Philadelphia, MO: Elsevier; 2019.

7. van den Berg MM, Benninga MA, Di Lorenzo C. Epidemiology of childhood constipation: a

systematic review. Am J Gastroenterol. 2006 Oct;101(10):2401–9.

8. Koppen IJN, Vriesman MH, Saps M, Rajindrajith S, Shi X, van Etten-Jamaludin FS, et al.

Prevalence of Functional Defecation Disorders in Children: A Systematic Review and Meta-

Analysis. J Pediatr. 2018 Jul;198:121-130.e6.

9. Philichi L. Management of Childhood Functional Constipation. J Pediatr Health Care Off Publ

Natl Assoc Pediatr Nurse Assoc Pract. 2018 Feb;32(1):103–11.

10. Waterham M, Kaufman J, Gibb S. Childhood constipation. Aust Fam Physician. 2017

Dec;46(12):908–12.

11. Loening-Baucke V, Swidsinski A. Constipation as cause of acute abdominal pain in children. J

Pediatr. 2007 Dec;151(6):666–9.

12. van Summeren JJGT, Holtman GA, van Ommeren SC, Kollen BJ, Dekker JH, Berger MY.

Bladder Symptoms in Children With Functional Constipation: A Systematic Review. J Pediatr

Gastroenterol Nutr. 2018 Nov;67(5):552–60.

13. Mugie SM, Di Lorenzo C, Benninga MA. Constipation in childhood. Nat Rev Gastroenterol

Hepatol. 2011 Aug 2;8(9):502–11.

cvi
14. Rajindrajith S, Devanarayana NM. Constipation in Children: Novel Insight Into Epidemiology,

Pathophysiology and Management. J Neurogastroenterol Motil. 2011 Jan;17(1):35–47.

15. Knowles CH, Farrugia G. Gastrointestinal neuromuscular pathology in chronic constipation. Best

Pract Res Clin Gastroenterol. 2011 Feb 1;25(1):43–57.

16. King SK, Sutcliffe JR, Ong S-Y, Lee M, Koh TL, Wong SQ, et al. Substance P and vasoactive

intestinal peptide are reduced in right transverse colon in pediatric slow-transit constipation.

Neurogastroenterol Motil. 2010 Aug 1;22(8):883–92, e234.

17. Peeters B, Benninga MA, Hennekam RC. Childhood constipation; an overview of genetic studies

and associated syndromes. Best Pract Res Clin Gastroenterol. 2011 Feb 1;25(1):73–88.

18. Samsam M, Ahangari R, Naser SA. Pathophysiology of autism spectrum disorders: revisiting

gastrointestinal involvement and immune imbalance. World J Gastroenterol. 2014 Aug

7;20(29):9942–51.

19. Longstreth GF, Thompson WG, Chey WD, Houghton LA, Mearin F, Spiller RC. Functional

Bowel Disorders. Gastroenterology. 2006 Apr 1;130(5):1480–91.

20. Chumpitazi BP, Self MM, Czyzewski DI, Cejka S, Swank PR, Shulman RJ. Bristol Stool Form

Scale Reliability and Agreement Decreases When Determining Rome III Stool Form

Designations. Neurogastroenterol Motil Off J Eur Gastrointest Motil Soc. 2016 Mar;28(3):443–8.

21. Barr RG, Levine MD, Wilkinson RH, Mulvihill D. Chronic and occult stool retention: a clinical

tool for its evaluation in school-aged children. Clin Pediatr (Phila). 1979 Nov;18(11):674, 676,

677–9, passim.

22. Benninga MA, Büller HA, Staalman CR, Gubler FM, Bossuyt PM, van der Plas RN, et al.

Defaecation disorders in children, colonic transit time versus the Barr-score. Eur J Pediatr. 1995

Apr;154(4):277–84.

23. Leech SC, McHugh K, Sullivan PB. Evaluation of a method of assessing faecal loading on plain

abdominal radiographs in children. Pediatr Radiol. 1999 Apr;29(4):255–8.

cvii
24. Gordon M, MacDonald JK, Parker CE, Akobeng AK, Thomas AG. Osmotic and stimulant

laxatives for the management of childhood constipation. Cochrane Database Syst Rev. 2016 Aug

17;(8):CD009118.

25. Axelrod CH, Saps M. The Role of Fiber in the Treatment of Functional Gastrointestinal

Disorders in Children. Nutrients. 2018 Nov 3;10(11):E1650.

26. Piccoli de Mello P, Eifer DA, Daniel de Mello E. Use of fibers in childhood constipation

treatment: systematic review with meta-analysis. J Pediatr (Rio J). 2018 Oct;94(5):460–70.

27. Brazzelli M, Griffiths P. Behavioural and cognitive interventions with or without other

treatments for the management of faecal incontinence in children. Cochrane Database Syst Rev.

2006 Apr 19;(2):CD002240.

28. van Wunnik BPW, Baeten CGMI, Southwell BR. Neuromodulation for constipation: sacral and

transcutaneous stimulation. Best Pract Res Clin Gastroenterol. 2011 Feb 1;25(1):181–91.

29. Clarke MCC, Chase JW, Gibb S, Robertson VJ, Catto-Smith A, Hutson JM, et al. Decreased

colonic transit time after transcutaneous interferential electrical stimulation in children with slow

transit constipation. J Pediatr Surg. 2009 Feb;44(2):408–12.

30. Koppen IJN, Lammers LA, Benninga MA, Tabbers MM. Management of Functional

Constipation in Children: Therapy in Practice. Paediatr Drugs. 2015;17:349–60.

31. Pijpers M a. M, Bongers MEJ, Benninga MA, Berger MY. Functional constipation in children: a

systematic review on prognosis and predictive factors. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2010

Mar;50(3):256–68.

32. Bongers MEJ, van Wijk MP, Reitsma JB, Benninga MA. Long-Term Prognosis for Childhood

Constipation: Clinical Outcomes in Adulthood. Pediatrics. 2010 Jul 1;126(1):e156–62.

cviii
Functional Abdominal Pain – Not Otherwise Specified

Definisi

Gangguan nyeri abdomen fungsional/functional abdominal pain disorders (FAPD) adalah

salah satu gangguan yang paling sering ditemukan pada masa anak-anak dan menyerang hingga 25%

dari seluruh anak dan bayi di seluruh dunia. Karena adanya etiologi biopsikososial yang melibatkan

interaksi kompleks pada aksis gut-brain, FAPD saat ini disebut sebagai ‘gangguan interaksi perut-

otak (gut-brain)’. Selain itu, aksis gut-brain saat ini disebut sebagai ‘aksis mikrobiota gut-brain’.

Gangguan nyeri abdomen fungsional sendiri terbagi menjadi beberapa bagian menurut kriteria Rome

IV. Salah satu tipe yang paling umum adalah functional abdominal pain – not otherwise specified

(FAP-NOS). FAP-NOS pada kriteria Rome IV menggantikan diagnosis pada kriteria Rome

sebelumnya yaitu functional abdominal pain dan functional abdominal pain syndrome. Kedua

diagnosis ini pada kriteria Rome III telah digantikan oleh FAP-NOS pada kriteria Rome IV.

Anak-anak dengan FAP-NOS mengalami episode nyeri abdomen (setidaknya 4 kali dalam

satu bulan), tanpa kriteria yang mencukupi untuk IBS (irritable bowel syndrome). Gejala pada FAP-

NOS adalah nyeri abdomen episodik atau nyeri kontinu yang tidak terjadi hanya pada kejadian

fisiologis dan tidak memenuhi kriteria FAPD lainnya. Kriteria untuk gangguan ini telah disamakan

dengan kriteria dewasa dan kriteria FAPD lainnya. Pada dasarnya, FAP-NOS merupakan diagnosis

eksklusi FGID.

Epidemiologi

Diketahui sekitar 35% hingga 38% anak usia sekolah dasar melaporkan adanya nyeri

abdomen setiap minggu. Hanya sekitar satu pertiga dari anak-anak ini yang memenuhi kriteria Rome

untuk diagnosis FAPD apapun. Prevalensi FAP-NOS diperkirakan sekitar 2.7% pada anak-anak di

Kolombia dan di Sri Lanka yang berusia sekolah. Penelitian yang menggunakan laporan orang tua

cix
melaporkan adanya 1.2% prevalensi FAP-NOS di komunitas Amerika Serikat dan 2% di anak-anak

sekolah di Jerman.

Penelitian Thapar et al. melaporkan kumpulan prevalensi 2.3% untuk FAP-NOS yang

berkisar dari 0.3% dan 5.2%. Mayoritas penelitian dilakukan di Amerika bagian Utara, Amerika

Selatan, dan Asia. Prevalensi FAP-NOS di Asia dilaporkan sebesar 3.1% dan 1.7% di Eropa. Hanya

ada satu penelitian yang dilakukan di Afrika yang melaporkan prevalensi 5.6%. Selain itu, penelitian

juga melaporkan prevalensi FAP-NOS yang lebih tinggi pada anak perempuan, sesuai dengan temuan

meta-analisis. Prevalensi menurut anak laki-laki dan perempuan adalah masing-masing 2% dan 3%.

Penelitian lainnya oleh Kakotrichi et al. melaporkan prevalensi antara 0.3-19% di populasi pediatrik

dengan puncak pada usia 4-6 tahun (sedikit lebih sering pada anak laki-laki) dan pada remaja muda

(lebih sering pada perempuan). Pada suatu metaanalisis tahun 2015 yang melibatkan 58 penelitian dan

196.472 anak dari seluruh dunia, prevalensi yang dilaporkan adalah 13.5%.

Patofisiologi

Secara umum FGID (termasuk FAP-NOS) melibatkan dua mekanisme dalam patogenesisnya,

yaitu hipersensitivitas visceral dan central hypervigilance. Kedua hal ini menandakan adanya ambang

sensitivitas yang lebih rendah terhadap stimulus di usus dan gangguan proses sensasi nyeri di otak

dari serabut sensorik di traktus GI. Penelitian yang membedakan FAP-NOS dan IBS memberikan

kesan bahwa anak-anak dengan FAP-NOS secara umum tidak memiliki hipersensitivitas rektum,

berlawanan dengan anak yang memiliki IBS. Dilaporkan bahwa anak dengan FAP-NOS memiliki

kontraksi antrum yang lebih rendah dan pengosongan makanan cair yang lebih lambat dibandingkan

kontrol sehat, tetapi signifikansi klinis dari temuan ini masih tidak jelas. Terdapat bukti adanya

hubungan antara distres psikologis dan nyeri abdomen kronis pada anak dan remaja. Nyeri abdomen

kronik telah dikaitkan dengan kejadian hidup yang membuat stres, seperti perceraian orang tua, rawat

inap di rumah sakit, bullying, dan kekerasan pada masa kanak-kanak. Luaran dari FAPD dipengaruhi

oleh bagaimana anak dan keluarganya berhadapan dengan nyeri.

cx
Di masa lalu, anak-anak dengan nyeri abdomen kronik atau rekuren menjalani evaluasi dan

pemeriksaan yang menyeluruh, bahkan terkadang hingga berlebihan. Mayoritas anak-anak tidak

memiliki patologi yang objektif dan disebut memiliki “nyeri abdomen rekuren.” Dokter dan keluarga

seringkali mengalami frustrasi karena tidak memiliki jawaban terhadap kondisi yang menyebabkan

nyeri abdomen tersebut selain menyingkirkan penyakit serius. Model teori terdahulu telah

diperbaharui dengan model baru yaitu model biopsikososial. Model ini menyatakan bahwa gejala bisa

dipengaruhi oleh penyakit, sakit psikologis, kesulitan perkembangan, faktor sosial, genetik, dan

gangguan fungsional. Pendekatan dualistik yang lama memberikan kesan bahwa tidak ada penyakit

pada tubuh dan nyeri yang dirasakan adalah nyeri imajiner; namun, model biopsikososial

menggabungkan interaksi pikiran dan tubuh menjadi suatu pemahaman terhadap seseorang.

Model biopsikososial ini mendefinisikan bahwa FGID sebagai gejala gastrointestinal terjadi

dari kombinasi kejadian awal kehidupan yang meliputi genetik, faktor lingkungan (trauma, infeksi,

perilaku orang tua), faktor psikososial (stres dalam kehidupan, sifat kepribadian, kondisi psikologis,

coping, dukungan sosial), dan faktor fisiologis (gangguan motilitas, hipersensitivitas visceral,

gangguan proses SSP, gangguan fungsi mukosa dan imun, gangguan mikrobiota usus.

Hipersensitivitas visceral. Reseptor nyeri visceral (nociceptor) pada saraf aferen dari sistem saraf

inherent traktus GI (sistem saraf enterik) merespon beberapa stimulus, seperti mekanis (kontraksi,

distensi) dan kimiawi (senyawa P, bradikinin, serotonin, histamin) yang dilepaskan sebagai respon

terhadap iskemia atau inflamasi. Sinyal dari saraf aferen yang terstimulasi melewati ganglia

paravertebral (atau mendekati) pada jalurnya menuju medula spinalis. Dari posisi ini, terdapat sinyal

ke otak untuk proses (lokasi, konteks) dan melalui jalur refleks ke sel ganglion otonom, yang

memengaruhi fungsi sekretorik dan motorik. Pada anak dengan FAPD, kedua tipe neuron aferen

(neuron yang merespon stimulus tekanan rendah (nociceptor) dan stimulus tekanan tinggi) menjadi

tersensitisasi dan menunjukkan perubahan pola eksitasi yang tercetuskan pada ambang yang lebih

rendah.

cxi
Central hypervigilance. Koordinasi fungsi perut dengan keseluruhan homeostasis tubuh memerlukan

komunikasi terus menerus antara SSP dan traktus GI. Proses sinyal nyeri visceral juga dilakukan oleh

SSP dan memberikan informasi kontekstual serta menentukan respon yang sesuai. Bukti

menunjukkan bahwa perubahan proses sentral menyebabkan terjadinya FAPD, dengan memengaruhi

persepsi nyeri pada individu-individu tersebut. Secara keseluruhan, tingkat responsif yang semakin

meningkat ini tidak hanya menyebabkan peningkatan sensasi nyeri dan kesadaran tetapi juga

disregulasi epitel lambung-usus (contohnya imun dan permeabilitas) serta fungsi neuromuskular yang

nantinya menghasilkan ciri gejala FAPD.

Kejadian awal kehidupan

Nyeri atau stres di awal kehidupan tampaknya bisa menyebabkan nyeri abdomen kronik

nantinya melalui perkembangan hipersensitivitas visceral. Nyeri abdomen bisa menjadi hasil dari

peningkatan sensitisasi neuron sentral. Perkembangan perubahan pada SSP telah diteliti pada

neonatus. Paparan terhadap iritasi kolon pada neonatus tikus (model penelitian hewan) berakibat pada

perubahan permanen di neuron spinal yang menyebabkan hipersensitivitas visceral dan penurunan

ambang nyeri ketika dewasa. Bayi dengan riwayat operasi sebelumnya juga diketahui memiliki

kebutuhan lebih untuk anestesia saat prosedur serta pengendalian nyeri pascaoperasi yang lebih tinggi.

Neuron sensorik dari sistem saraf enterik (ENS) juga tampaknya memiliki ambang sensorik yang

lebih rendah dan peningkatan pensinyalan ke SSP pada individu dengan FAPD. Stres tampaknya

merupakan satu pencetus untuk FGID pada anak-anak. Penelitian hewan juga menunjukkan adanya

perkembangan hipersensitivitas visceral setelah kejadian yang menyebabkan stres. Kejadian stres juga

diketahui meningkatkan ekspresi faktor corticotropin-releasing (CRF) di nukleus periventrikel, lokus

coerulus, dan amigdala pada penelitian yang menggunakan tikus dewasa. Mekanisme ini mengubah

set point dari sistem CRF dan bisa memengaruhi respon organisme terhadap stres dan nyeri nantinya.

Sinyal nyeri yang dikirim oleh ENS mengalami proses di medula spinalis oleh neuron inhibitorik atau

eksitatorik dari SSP.

cxii
Genetik

Clustering FGID di keluarga memberikan kesan adanya kemungkinan penyebab genetik dari

nyeri abdomen kronik walaupun temuan ini bisa dijelaskan oleh faktor lingkungan yang umum.

Penelitian pada pasien kembar tidak memberikan data yang konsisten; akan tetapi, beberapa penelitian

dari Amerika Serikat, Australia, dan Norwegia telah menunjukkan peningkatan kejadian IBS pada

anak kembar. Penelitian yang ada telah mengidentifikasi banyak gen dan produk gen yang bisa

menyebabkan perubahan sensitivitas visceral dan proses nyeri. Hal ini meliputi reseptor α2-

adrenergik, reseptor serotonin, transporter serotonin dan norepinefrin, interleukin-10, tumor necrosis

factor-α, TNF superfamily member 15, G protein (terlibat pada pensinyalan intrasel dan kanal ion).

Dengan menggunakan pemeriksaan asosiasi genome-wide dan data dari Screening Across the

Lifespan Twin Study, ditemukan lokus pada 7p22.1 yang menunjukkan peningkatan risiko genetik

untuk FGID (terutama IBS), Area ini memetakan 2 gen, yaitu gen KDEL reseptor 2 (KDELR2) yang

diekspresikan di seluruh jaringan dan ekspresi terlokalisir dari glutamate receptor-ionotropic-delta 2

interacting protein (GRID2IP) di otak. KELR2 tampaknya berperan dalam vescile trafficking dan

transport ke retikulum endoplasma. Gen tampaknya lebih banyak terekspresikan di rektum pasien

dengan FGID. GRID2IP mengkode suatu protein (delphilin) yang berperan dalam neurotransmisi

glutamatergik.

Faktor Psikososial

Penelitian telah menunjukkan adanya peningkatan angka stres, ansietas, dan depresi pada

pasien dengan FGID. Anak-anak dengan FAP-NOS memiliki kualitas hidup yang menurun, sering

menghindari sekolah, absen sekolah, dan mengalami kesulitan sosial. Sindroma nyeri ini tidak

berlangsung sejenak. Pada 25% hingga 45% dari pasien, gejala-gejala ini tetap bertahan hingga 5

tahun. Anak dengan gejala somatik ekstraintestinal seperti pusing, nyeri punggung, nyeri kepala, dan

depresi, lebih mungkin mengalami FGID yang bisa bertahan hingga masa dewasa muda. Penting

cxiii
untuk diketahui bahwa 50% dari anak dengan FGID tidak memiliki masalah emosional, perilaku, atau

fungsi sosial.

Faktor Fisiologis

Jaringan komunikasi antara perut dan otak meliputi SSP (otak dan medula spinalis), sistem

saraf otonom, eNS, dan aksis HPA. Sensasi dari traktus gastrointestinal merupakan hasil dari

pensinyalan mekanoreseptor pada terminal aferen dari saraf aferen spinal. Saraf ini memiliki badan

sel di ganglia vagal nodose dan akar dorsal ganglia spinalis. Sinyal selanjutnya dikirim melalui aferen

sensorik vagal ke batang otak melalui ganglia nodose dan nukleus traktus solitarius. Serotonin

merupakan neurotransmiter penting pada pensinyalan nyeri, terutama melalui reseptor 5-HT3.

Peningkatan sekresi serotonin atau penurunan uptake serotonin menyebabkan peningkatan

pensinyalan nyeri. Pada pasien dengan hipersensitivitas visceral, reseptor sensorik aferen tampaknya

memiliki ambang yang lebih rendah untuk stimulasi. Reseptor-reseptor ini terus mengirimkan sinyal

nyeri setelah stimulus telah terlewati. Peningkatan sensitivitas ini bisa dicetuskan oleh inflamasi

intestinal yang berkaitan dengan inflammatory bowel disease, alergi, atau infeksi. Peran dari proses

sinyal nyeri di korteks serebri telah diteliti pada manusia menggunakan MRI fungsional dan PET

scan. Penelitian dengan pencitraan ini teah menunjukkan pensinyalan nyeri dari korteks

somatosensorik sekunder yang memproyeksikan ke limbik dan regio paralimbik. Regio ini merupakan

area di otak yang penting terhadap mood, motivasi, dan kognisi seseorang, dan seluruh komponen

penting dalam terjadinya nyeri visceral. MRI fungsional telah menunjukkan bahwa pasien dengan

FIGD memiliki peningkatan aktivasi kkorteks midcingulate sebagai respon terhadap distensi rektum.

Korteks cingulate diyakini merupakan pusat intergatif untuk emosi dan informasi nyeri. Aksis HPA

penting dalam mengkoordinir respon organisme terhadap stres. HPA merupakan bagian dari sistem

limbik otak yang terlibat dalam memori dan respon emosional. Stres mengaktivasi pelepasan CRF

dari hipotalamus yang selanjutnya menstimulasi sekresi kortikotropin dari pituitary. Kortikotropin

selanjutnya menstimulasi sekresi kortisol dari kelenjar adrenal. Mekanisme neural dan hormonal

cxiv
memungkinkan otak untuk memengaruhi fungsi sel di usus, terutama sel imun, epitel, neuron, sel otot

halus, sel Cajal interstitial, dan sel enterokromafin.

Evaluasi Klinis

Anak dengan FAP-NOS seringkali melaporkan gejala somatik ekstraintestinal dan

nonspesifik yang tidak memerlukan pemeriksaan laboratorium atau radiologis. Pemeriksaan

diagnostik yang terbatas seringkali dilakukan untuk memastikan ke orang tua dari pasien.

Pertimbangan khusus perlu diberikan pada pasien yang memiliki gejala otonom, terutama anak

dengan sindroma takikardia ortostatik postural.

Sejumlah pertanyaan sederhana bisa memberikan informasi penting dari pasien dengan nyeri

abdomen. Riwayat yang perlu ditanyakan adalah lokasi nyeri, pola, durasi, frekuensi, dan faktor yang

memperberat atau memperingan. Perlu ditanyakan apakah nyeri bersifat konstan atau intermiten;

nyeri konstan tidak berkaitan dengan kejadian fisiologis seperti makan atau defekasi dan

kemungkinan menandakan asal nyeri dari sistem saraf pusat. Jika nyeri terjadi intermiten, perlu

ditanyakan durasi nyeri dan seberapa sering nyeri terjadi. Pada pertanyaan faktor yang memperberat

atau memperingan, pertanyaan yang perlu ditanyakan adalah apakah makan membuat nyeri menjadi

membaik, memburuk, atau tidak ada perubahan. Nyeri yang memburuk dengan makan memberikan

kesan bahwa penyebabnya adalah peregangan lambung (dispepsia) atau respon gastrokolonik yang

meningkatkan tekanan di kolon. Nyeri yang membaik dengan defekasi seringkali menandakan kondisi

IBS. Nyeri yang memburuk jika berolahraga (tetapi makan dan defekasi tidak memiliki efek), maka

diagnosis kemungkinan nyeri dinding abdomen yang tidak berkaitan dengan faktor gastrointestinal.

Jika nyeri tidak berubah dengan makan, defekasi, olahraga, atau kejadian fisiologis lainnya, maka

kondisi inilah yang disebut sebagai functional abdominal pain not otherwise specified. Pertanyaan

yang bisa membantu selanjutnya adalah tindakan apa yang bisa dilakukan untuk membuat nyeri agar

membaik. Pertanyaan ini memberikan suatu pembukaan diskusi terkait bagaimana strategi coping

pasien dengan obat-obatan, makanan, istirahat, dan pengalihan. Penting juga untuk ditanyakan hal-hal

cxv
apa yang membuat nyeri memburuk, seperti makanan, olahraga, kesulitan akademis, bullying, dan

stressor keluarga (kekerasan fisik atau psikologis di rumah atau terpisah dari orang yang disayang

karena kematian atau relokasi).

Dalam membedakan nyeri pada FAP-NOS dan migren abdomen, migren abdomen memiliki

pola yang stereotipikal, sedangkan FAP-NOS tidak. Migren abdomen seringkali melibatkan gejala

yang berkaitan, seperti anoreksia, mual muntah, nyeri kepala, fotofobia, dan pucat (sebagaimana

dideskripsikan oleh kriteria Rome IV dan ICHD III). Selain itu, pasien dengan migren abdomen akan

kembali ke kesehatan awal mereka di periode antar episode. Nyeri pada migren abdomen juga

umumnya lebih buruk diibandingkan nyeri pada FAP-NOS.

Pemeriksaan Fisik. Saat pemeriksaan fisik, perlu dilakukan pemeriksaan tampilan umum, kesehatan

dan indeks derajat keparahan. Parameter pertumbuhan termasuk berat dan tinggi (persentil) serta

growth velocity merupakan bagian dari evaluasi awal. Pemeriksaan perianal dan rektum juga

diindikasikan sebagai bagian dari pemeriksaan awal (contohnya fistula perianal, fisura dalam dan skin

tags untuk suspek penyakit Crohn’s; massa feses, peregangan rektum, fisura superfisial untuk

konstipasi). Patologi perianal harus selalu dievaluasi.

Diagnosis

Kriteria diagnostik untuk FAP-NOS memerlukan nyeri abdomen episodik atau kontinu

setidaknya empat kali per bulan (selama setidaknya 2 bulan), tidak terjadi hanya saat kejadian

fisiologis seperti makan atau menstruasi. Harus ada kriteria yang tidak mencukupi untuk FGID

lainnya dan tidak ada penjelasan lain terkait nyeri setelah evaluasi pasien. Keluhan somatik tambahan

bisa meliputi mual atau nyeri kepala yang umum ditemukan pada anak dengan FAP. Keluhan-keluhan

ini berkaitan dengan ansietas dan depresi yang seringkali bertahan hingga masa dewasa. Kriteria

cxvi
Rome IV (Tabel 1) secara definitif mengkategorikan gangguan fungsional, termasuk FAP-NOS dan

IBS, sebagai kondisi yang terjadi sebagai suatu continuum bukan melainkan gangguan yang berbeda.

Tabel 1. Kriteria Diagnostik untuk Functional Abdominal Pain – Not otherwise specified.

Harus terjadi setidaknya 4 kali per bulan dan meliputi seluruh bagian berikut:

1. nyeri abdomen episodik atau kontinu yang tidak hanya terjadi saat kejadian fisiologis

(makan, menstruasi).

2. tidak memenuhi kriteria irritable bowel syndrome, dispepsia fungsional, atau migren

abdomen.

3. setelah evaluasi yang sesuai, nyeri abdomen tidak bisa dijelaskan secara sepenuhnya oleh

kondisi medis lainnya.

kriteria terpenuhi selama setidaknya 2 bulan sebelum diagnosis.

Evaluasi anak dengan kecurigaan FAP-NOS memerlukan pemeriksaan anamnesis yang teliti

untuk mencari tanda atau gejala red flag yang mengklasifikasikan nyeri abdomen tersebut sebagai

FGID lainnya. Pemeriksaan lebih lanjut umumnya tidak diperlukan untuk diagnosis FAP-NOS dan

menurut penelitian yang telah dilakukan, hasil yang diperoleh pada anak dengan nyeri abdomen

kronis tanpa red flag secara konsisten tidak bermakna.

Tabel 2. Ciri red flags dalam mengevaluasi anak dengan nyeri abdomen kronis

 Pertumbuhan yang menurun (tinggi atau berat) atau penurunan berat badan secara

tidak disengaja

 Keterlambatan pubertas

 Muntah, terutama jika persisten atau sering, berwarna kehijauan atau bercampur

darah.

 Disfagia atau odinofagia

cxvii
 Diare persisten, terutama jika hanya terjadi malam hari

 Perdarahan saluran cerna atau anemia defisiensi besi yang tidak bisa dijelaskan

 Nyeri terlokalisir atau persisten atau nyeri tekan menjauhi umbilikus, terutama di

kuadran kanan bawah atau atas.

 Penyakit perianal

 Demam yang tidak bisa dijelaskan.

 Arthritis

 Riwayat keluarga untuk inflammatory bowel disease, coeliac disease atau peptic

ulcer disease.

Terapi

Mayoritas uji coba terapi untuk FAPD dilakukan dengan menggabungkan seluruh gangguan

FAPD tanpa membedakan satu dan lainnya. Prinsip penatalaksanaan adalah memastikan diagnosis

dan edukasi pasien serta orang tua/pengasuh terkait FAP, memastikan sifat penyakit yang jinak, dan

menentukan tujuan terapeutik yang realistis. Penelitian RCT terkait terapi farmakologis telah

menunjukkan hasil yang berlawanan atau hanya menunjukkan efek terapi yang sedikit pada subset

pasien tertentu.

Mebeverine. Mebeverine diketahui tidak lebih baik dibandingkan placebo pada anak dengan

FAP. Walaupun pada penelitian dewasa diketahui antispasmodik memiliki efikasi, penelitian pada

anak menunjukkan bahwa hasil ini tidak signifikan. Agen antidepresan diketahui kemungkinan

bermanfaat dalam mengatur persepsi nyeri dan motilitas usus, tetapi hasil ini belum ditemukan pada

RCT pediatri. Amitriptilin mengurangi skor ansietas tetapi tidak mengurangi luaran nyeri ketika

dibandingkan dengan placebo. Citalopram juga diketahui tidak memperbaiki nyeri, depresi, ansietas,

atau somatisasi pada anak dengan FAP-NOS.

Domperidone. Domperidone selama 8 minggu didapatkan lebih superior dibandingkan

placebo pada pasien yang melaporkan perbaikan umum, derajat nyeri dan pola motilitas antrum gaster

cxviii
di satu penelitian pada anak. Efek manfaatnya didapatkan bertahan pada 6 minggu follow-up.

Walaupun penelitian melibatkan pasien dengan banyak tipe FGID, manfaatnya terlihat pada

kelompok FAP-NOS.

Probiotik. Terdapat bukti yang menunjukkan hubungan antara mikrobiota intestinal dan

fungsi aksis gut-brain. Penggunaan probiotik telah menunjukkan hasil yang menjanjikan di

kelompok-kelompok tertentu pada pasien dengan FAPD. Probiotik Lactobacillus reuteri selama 4

minggu didapatkan berkaitan dengan penurunan intensitas nyeri secara signifikan tetapi tidak pada

frekuensi (dibandingkan dengan placebo) pada suatu penelitian RCT anak dengan FAP.

Diet. Salah satu laporan pencetus yang paling sering untuk gejala FAPD adalah makanan dan

oleh karena itu terdapat banyak intervensi diet dan diet khusus yang dipromosikan untuk digunakan

pada FAPD. Suatu tinjauan sistematis pada tahun 2009 menyimpulkan bahwa tidak ada bukti

berkualitas tinggi yang mendukung efektivitas intervensi diet dalam penatalaksanaan FAPD masa

kanak-kanak. Akan tetapi data terbaru menyatakan bahwa diet rendah Fermentable Oligo- Di-

Monosaccharides And Polyols (FODMAP) kemungkinan bisa bermanfaat. FODMAP meliputi

polimer sakarida rantai pendek dari fruktosa, galaktosa dan laktosa dan umum ditemukan pada diet

orang Barat modern. Uji coba terbaru pada anak-anak menunjukkan perbaikan nyeri abdomen pada

anak yang menjalani diet rendah FODMAP. Namun demikian, diperlukan data lebih lanjut terkait

temuan ini, termasuk keamanan jangka panjang dan kecukupan nutrisi dari diet yang terestriksi ini.

Terapi nonfarmakologis. Pilihan terapi nonfarmakologis meliputi hipnoterapi gut-directed

dan cognitive behavioral therapy (CBT) dan diketahui terdapat manfaat jangka pendek pada

metaanalisis dan satu uji coba yang menunjukkan manfaat jangka panjang hingga 5 tahun pasca

intervensi hipnoterapi. Saat ini telah jelas bahwa intervensi psikososial bisa memiliki efek yang

bermanfaat pada banyak elemen di model biopsikososial. Terapi ini bisa membantu kembalinya

fungsi normal dnegan memperkuat strategi coping dan menghindari perilaku reinforcement nyeri.

Strategi yang bisa dilakukan untuk membantu toleransi nyeri dan coping meliputi teknik relaksasi,

penatalaksanaan pengalihan (berbincang-bincang, guided imagery), hipnoterapi (menggabungkan

gambar yang diimajinasikan, suara atau sensasi untuk mengalihkan perhatian dari nyeri). Cognitive

cxix
behavioural therapy mengkombinasikan pendekatan psikoterapi dengan edukasi, relaksasi, dan

penatalaksanaan stres untuk menangani perilaku yang bisa menghasilkan gejala. Dari terapi-terapi ini,

hipnoterapi tampaknya merupakan yang paling efektif. Dibandingkan perawatan medis standar dan

terapi suportif pada anak dengan FAP-NOS, hipnoterapi secara signifikan menurunkan gejala dan

mampu mempertahankan perbaikan klinis dalam jangka panjang.

Komplikasi dan Disabilitas

Hal yang bisa dianggap sebagai komplikasi pada kondisi FAP-NOS jika tidak ditangani adalah

kualitas hidup yang buruk (dicetuskan oleh gejala yang terjadi terus menerus), absen sekolah yang

buruk, dan dengan demikian berdampak pada edukasi dan perkembangan pribadi pasien. Gangguan

ansietas dan stres pada keluarga dan pribadi juga bisa dianggap sebagai komplikasi dari kondisi ini.

Prognosis

Follow-up jangka panjang menunjukkan bahwa FAP-NOS (dan FAPD lainnya) membaik

pada 35-50% kasus dan 25-29% terus mengalami nyeri abdomen pada saat masa dewasa. Pasien yang

diberikan penjelasan yang jelas dan menyeluruh terkait kondisi dan penatalaksanaan gejala tampaknya

lebih tidak mengalami gejala saat memasuki masa dewasa atau tidak menunjukan relaps pada masa

dewasa. Pada suatu penelitian prospektif yang melibatkan 132 anak dengan FAPD, didapatkan gejala

membaik pada 85% pasien pada dua bulan dan perbaikan dialami pada 1 dan 5 tahun.

Daftar Pustaka

1. Thapar N, Benninga MA, Crowell MD, Di Lorenzo C, Mack I, Nurko S, et al. Paediatric

functional abdominal pain disorders. Nat Rev Dis Primer. 2020 Dec;6(1):89.

2. Nightingale S, Sharma A. Functional gastrointestinal disorders in children: What is new? J

Paediatr Child Health. 2020 Nov;56(11):1724–30.

3. Koppen IJN, Nurko S, Saps M, Di Lorenzo C, Benninga MA. The pediatric Rome IV criteria:

what’s new? Expert Rev Gastroenterol Hepatol. 2017 Jan 24;1–9.

cxx
4. Hyams JS, Di Lorenzo C, Saps M, Shulman RJ, Staiano A, van Tilburg M. Childhood

Functional Gastrointestinal Disorders: Child/Adolescent. Gastroenterology. 2016 May;150(6):1456-

1468.e2.

5. Kliegman RM. Nelson textbook of pediatrics. 21st edition. Philadelphia, MO: Elsevier; 2019.

6. Kakotrichi A, Borrelli O, Thapar N. The evaluation and management of recurrent abdominal

pain in childhood. Paediatr Child Health. 2016 Oct;26(10):433–40.

7. Hyman PE. Chronic and Recurrent Abdominal Pain. Pediatr Rev. 2016 Sep 1;37(9):377–90.

8. Zeiter DK. Abdominal Pain in Children. Pediatr Clin North Am. 2017 Jun;64(3):525–41.

9. Azmy DJ, Qualia CM. Review of Abdominal Migraine in Children. Gastroenterol Hepatol.

2020;16(12):632–9.

10. Willits AB, Grossi V, Glidden NC, Hyams JS, Young EE. Identification of a Pain-Specific

Gene Expression Profile for Pediatric Recurrent Abdominal Pain. Front Pain Res. 2021 Nov

5;2:759634.

11. Zeevenhooven J, Rutten JMTM, van Dijk M, Peeters B, Benninga MA. Parental Factors in

Pediatric Functional Abdominal Pain Disorders: A Cross-sectional Cohort Study. J Pediatr

Gastroenterol Nutr. 2019 Feb;68(2):e20–6.

12. Reust CE, Williams A. Recurrent Abdominal Pain in Children. 2018;97(12):10.

MIGRAIN ABDOMINAL

Definisi

cxxi
Migrain abdominal atau abdominal migraine (AM) adalah salah satu penyebab paling sering dari

nyeri abdomen fungsional pada anak-anak dan termasuk dalam klasifikasi Rome IV dari functional

gastrointestinal disorders (FGIDs). AM juga dikenal sebagai tipe dari variasi migrain pada pediatrik

dan memiliki kriteria diagnosis spesifik berdasarkan International Classification of Headache

Disorders (ICHD) III.

Epidemiologi

Prevalensi AM secara umum adalah 1%–9%. AM paling sering ditemukan pada anak usia 4–15 tahun.

Rata-rata diagnosis pada usia 3-10 tahun dengan insidensi puncak pada usia 7 tahun. Beberapa

penelitian menunjukkan prevalensi lebih tinggi pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki

dengan rasio 1.6:1, sama halnya dengan FGID lainnya dan nyeri kepala migrain.

Manifestasi klinis

AM dikarakteristikan dengan episode nyeri abdomen paroksismal derajat sedang hingga berat, tidak

terlokalisasi di periumbilikal, midline, atau nyeri difus yang lebih dari 1 jam. Nyeri bersifat tumpul

atau hanya terasa tegang. Antar episode terpisah dari beberapa minggu hingga beberapa bulan dan

terdapat pola dan gejala yang stereotipik pada setiap pasien. Nyeri dapat berhubungan dengan

setidaknya dua dari gejala ini: anoreksia, mual, muntah, nyeri kepala, fotofobia, atau pucat. Nyeri

kepala merupakan gejala yang paling sering berhubungan. Nyeri cukup berat untuk mengganggu

aktivitas sehari-hari. Setelah evaluasi lengkap, gejala tidak dapat disebabkan oleh kondisi medis

lainnya.

Episode umumnya berlangsung 2-72 jam jika pengobatan tidak adekuat atau tidak diberikan

pengobatan. Durasi rata-rata setiap episode adalah 1-17 jam dan rata-rata episode 2 hingga 20 episode

per bulan. Beberapa pasien dapat memiliki lebih dari satu episode dalam satu hari. Pasien tidak

cxxii
memiliki gejala antar episode. Untuk menegakkan diagnosis, diperlukan setidaknya 5 episode nyeri

dalam 1 bulan.

Patofisiologi

Terdapat beberapa hipotesis yang telah didalilkan untuk menjelaskan patofisiologi dari AM, namun

belum ada satupun yang telah terkonfirmasi secara definitif.

Hipotesis hyperalgesia viseral

Hipersensitivitas visceral adalah teori yang paling definitif dan menyatukan penjelasan patofisiologi

pada semua FGID. Teori ini berlandaskan hubungan kuat antara sistem saraf enterik dan kesamaan

asal embrioniknya. Pasien dengan FGID memiliki ambang batas rendah untuk stimulus nosiseptif.

Beberapa variasi faktor yang sulit ditentukan termasuk faktor genetik, lingkungan, psikososial (stresor

pada awal kehidupan), dan lain-lain mempengaruhi individu terhadap hiperalgesia viseral. Mekanisme

yang didalilkan untuk hiperalgesia viseral termasuk sensitisasi dari neuron sensorik primer dan neuron

spinal sentral, gangguan pada kontrol inhibisi desending, dan respons stres yang terganggu. Hal ini

mengakibatkan gangguan pada bowel–gut axis dan menyebabkan sekresi abnormal dari

neurotransmiter eksitatori seperti serotonin. Serotonin merupakan peran kunci pada regulasi dari

motilitas, sekresi, dan sensasi pada gastrointestinal (GI). Komunikasi dua arah antara neuron brain–

gut melalui berbagai sirkuit neural dan hormonal menyebabkan perubahan pada sistem saraf pusat dan

menyebabkan gejala yang berhubungan seperti nyeri kepala. Stimulasi dari sistem saraf otonom dan

hiperaktivitas simpatik menjadi dasar dari gejala seperti pucat. Teknik pencitraan baru seperti

magnetic resonance imaging fungsional menunjukkan defek pada jaras proses nyeri viseral pada

pasien dengan FGID.

Walaupun teori hiperalgesia viseral belum secara spesifik terbukti pada pasien dengan AM,

namun hal ini merupakan penjelasan berbasis bukti pada seluruh FGID.

cxxiii
Hipotesis gangguan motilitas pencernaan

Pasien dengan AM dapat memiliki motilitas usus yang abnormal. Diduga bahwa nyeri abdomen

fungsional disebabkan oleh distensi dari traktus gastrointestinal dan kontraksi abnormal yang

menyebabkan hiperalgesia.

Sebuah peelitian yang dilakukan di pusat rujukan tersier di Sri Lanka dari tahun 2007 hingga 2012,

melihat parameter motilitas gaster pada 17 pasien anak-anak usia 4-12 tahun dengan AM

dibandingkan dengan kontrol sehat. Mereka menemukan bahwa laju pengosongan gaster dan

parameter motilitas antral menurun secara signifikan pada pasien dengan AM. Laju pengosongan

gaster memiliki korelasi negatif yang signifikan dengan durasi rata-rata episode nyeri. Amplitudo dari

kontraksi antral berkolerasi negatif dengan nilai dari derajat beratnya gejala. Temuan ini menunjukkan

adanya kemungkinan peran motilitas gaster dalam patogenesis AM.

Hipotesis gangguan permeabilitas usus

Permeabilitas usus dapat terganggua pada pasien dengan AM. Permeabilitas mukosa merupakan

fungsi tidak langsung dari kesehatan usus. Sebuah penelitian oleh Bentley et al tahun 1995

membandingkan permeabilitas mukosa usus pada 11 anak-anak dengan daignosis AM dan kontrol

yang sehat. Mereka menemukan bahwa permeabilitas mukosa usus meningkat secara signifikan pada

pasien dengan AM saat dibandingkan dengan kontrol. 3 pasien diikuti secara longitudinal selama

tahun dengan pemeriksaan ikutan sebanyak 3 kali dalam satu tahun. Mereka meyadari bahwa

permeabilitas mukosa usus berkurang dengan perbaikan gejala dan sebaliknya. Hal ini dapat

menjelaskan mengapa nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAID) tidak bermanfaat pada pasien

dengan AM, karena obat-obatan ini meningkatkan permeabilitas mukosa. Namun, belum ada

penelitian lebih lanjut untuk menguji hipotesis ini dan implikasinya dalam manajemen anak-anak

dengan AM.

cxxiv
Hipotesis alergi terkait diet dan gangguan imunitas mukosa

Faktor diet juga dapat berkontribusi pada gejala dari AM. Peran diet pada pasien dengan nyeri kepala

migrain telah diteliti secara luas. Insidensi dari nyeri kepala migrain secara signifikan lebih tinggi

pada pasien dengan atopik dan penyakit alergi lainnya. Beberapa alergen makanan dapat mencetuskan

respons imunitas mukosa dan menimbulkan gejala dari AM pada individu yang rentan.

Pada tahun 1995, Bentley et al membandingkan kadar IgE dan radioallergosorbent test (RAST)

positif pada 14 pasien dengan AM dan kontrol. Tidak ada penurunan IgE secara signifikan dan RAST

positif pada pasien AM dibandingkan dengan kelompok kontrol. Selain itu, allergen makanan tidak

dapat diidentifikasi dengan pemeriksaan skin prick pada pasien ini. Hal ini kemungkinan terjadi

karena aktivasi selektif dari respons imunitas mukosa usus dan bukan oleh imunitas sistemik.

Penelitian in vitro menunjukkan bahwa enterosit dapat mengekspresikan antigen MHC kelas II

dan mensekresikan kemokin spesifik untuk menstimulasi limfosit epitelial dan mengaktivitasi respons

imunitas akibat pengaruh antigen makanan; baru-baru ini, terdapat bukti yang menunjukkan bahwa

sistem imun mukosa adalah regulator utama dari gut–brain axis. Sistem imun adaptif (terutama sel T)

dan sistem imun bawaan (sel limfoid mukosa, sel mast, dan sel fagosit mononuklear) memiliki peran

penting dalam menjaga hemostasis gut–brain dan terganggu pada pasien dengan FGID. Sistem imun

yang terganggu berperan dalam nyeri kepala migrain juga.

Penelitian spesifik lebih lanjut yang terfokus pada gangguan respons imunitas pada pasien

dengan AM dapat membantu dalam menemukan strategi tatalaksana baru.

Hipotesis neuroregulasi abnormal

Abnormalitas pada metabolisme dari neurotransmiter menyebabkan ketidakseimbangan antara asam

amino eksitatorik dan asam amino inhibitorik telah terbukti pada nyeri kepala migrain. Mekanisme

cxxv
yang mirip mungkin berperan pada patogenesis dari AM. Pada sistem saraf pusat (SSP), asam

glutamat dan asam aspartat merupakan asam amino eksitatorik utama, sedangkan gamma

aminobutyric acid (GABA) merupakan neurotransmiter inhibitorik. Keseimbangan dari kedua sistem

regulasi ini berfungsi pada sirkuit lain dari otak yang melibatkan dopamin, serotonin, dan

norepinephrine. Hipereksitabilitas SSP adalah peran utama dalam patogenesis nyeri kepala migrain.

Beberapa faktor (genetik, lingkungan, makanan, stresor psikososial) mengaktivasi sistem

trigeminovaskular dan menyebabkan pelemasan neuropeptida dan neurotransmiter inflamatorik

termasuk peptida katekolamin terkait gen, substansi-P, serotonin, adenosin difosfat, faktor aktivasi

platelet, nitrit oksida menghasilkan nyeri kepala migrain. Mekanisme mirip yang melibatkan

peningkatan aktivitas asam amino eksitatorik dapat berperan dalam patogenesis dari AM. Hal ini

dapat menjelaskan kemungkinan efikasi dari beberapa terapi yang meningkatkan GABA (valproat)

pada pasien dengan AM.

Enzim fenol sulfotransferasei S dan P (PST S dan P) merupakan enzim kunci yang terlibat dalam

metabolisme katekolamin dan neurotransmiter amin lainnya. Aktivitas dari enzim berkurang secara

signifikan pada pasien dengan migrain terkait makanan. Hal ini mengakibatkan akumulasi dari

neuropeptida dan neurotransmiter inflamasi yang menaktivasi kaskade migrain. Enzim ini juga

terinhibisi oleh beberapa unsur makanan seperti keju, anggur merah, dan lain-lain yang dapat

mencetuskan nyeri kepala migrain. Pada tahun 1995, Bentley et al meninjau ekspresi platelet pada

kedua isoenzim (PST S dan P) pada 21 pasien dengan AM dibandingkan dengan kelompok kontrol.

Tidak ditemukan perbedaan signifikan pada aktivitas enzim yang tercatat pada kedua kelompok.

Level aktivitas enzim pada platelet mungkin bukan refleksi sebenarnya dari level pada sistem saraf

enterik. Namun, diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menegakkan hipotesis ini.

Faktor genetik dan psikososial

Mutasi genetik dan gen polimorfisme, walaupun belum jelas, meregulasi kanal ion, metabolisme

neurotransmiter, dan metabolisme mitokondrial pada SSP dan berkontribusi pada patofisiologi nyeri

cxxvi
kepala migrain. Terdapat kecederungan kuat terhadap genetik pada nyeri abdomen fungsional.

Penelitian tahun 2017 mengatakan reseptor Y2 antagonis dan gen delesi 66 dapat berhubungan

dengan hiperalgesia viseral. Hubungan faktor genetik dengan AM didukung oleh adanya riwayat

keluarga migrain atau nyeri abdomen kronik pada sebagian besar pasien. Namun, diperlukan

penelitian lebih lanjut untuk mengidentifikasi faktor-faktor ini. Siklus menstruasi, kehamilan, pola

hidup, makanan, kecemasan, stres kronis, dan lain-lain merupakan faktor psikososial mayor yang

berkontribusi pada nyeri kepala migrain. Stres dan kecemasan juga berperan dalam patogenesis FGID.

Peran faktor-faktor ini pada AM perlu ditinjau lebih lanjut.

Teori lainnya

Ketidakstabilan otonom, gangguan pada aksis hipotalamus-pituitari, gangguan mikrobiota usus,

bakteri usus halus berlebih, penyakit infeksi akut dengan perubahan kronik, intoleransi laktosa, dan

fungsi mitokondrial abnormal merupakan teori lain yang diduga berperan pada patogenesis dari FGID

dan nyeri kepala migrain. Diperlukan penelitian baru yang berfokus pada patofisiologi dari AM untuk

memvalidasi peran dari berbagai faktor ini.

Diagnosis

Kriteria diagnosis dari migrain abdominal:

Harus memenuhi semua kriteria di bawah ini setidaknya dua kali:

1. Episode paroksismal yang berat, nyeri abdomen periumbilikal, midline, atau difus akut selama 1

jam atau lebih

2. Episode berjarak beberapa minggu hingga beberapa bulan

3. Nyeri sangat hebat dan mengganggu aktivitas sehari-hari

4. Pola dan gejala stererotipikal pada setiap pasien

5. Nyeri berhubungan dengan dua atau lebih dari gejala di bawah ini:

cxxvii
a. Anoreksia

b. Mual

c. Muntah

d. Nyeri kepala

e. Fotofobia

f. Pucat

6. Setelah evaluasi menyeluruh, gejala tidak dapat dijelaskan sepenuhnya dengan kondisi medis

lainnya

Kriteria ini terpenuhi selama minimal 6 bulan sebelum diagnosis.

Hubungan Klinis

Hubungan dengan nyeri kepala migrain

AM memiliki berbagai kemiripan secara klinis, epidemiologi, dan patofisiologi dengan nyeri kepala

migrain. International Headache Society memasukan AM dalam klasifikasi ICHD tahun 2002.

Riwayat nyeri kepala migrain pada keluarga derajat pertama terdapat pada 34%–90% pasien. Adanya

nyeri kepala migrain pada riwayat penyakit dahulu ditemukan pada 24%–47% pasien. AM dan nyeri

kepala migrain juga memiliki faktor memperberat dan memperingat yang sama seperti pada Tabel 1.

AM telah terbukti menjadi prekursor perkembangan migrain dengan dan tanpa aura. Selain itu,

banyak strategi manajemen untuk migrain telah terbukti efektif pada pasien dengan AM. Penelitian

tahun 1995 oleh Abu-Arafeh dan Russell menjelaskan prevalensi dan manifestasi klinis anak-anak

dengan migrain dan AM. Penelitian ini melibatkan 159 anak dengan migrain dan 58 dengan AM.

Mereka menyimpulkan bahwa pasien dengan migrain dan AM memiliki banyak kemiripan untuk

menunjukkan kesamaan patogenesis. Prevalensi migrain pada anak-anak dengan AM adalah 24%,

yang merupakan dua kali lipat dari prevalensi migrain pada populasi umum (10%). Sebaliknya, pada

anak-anak dengan migrain, prevalensi AM adalah 9%, yang merupakan dua kali lipat juga dari

populasi AM pada populasi umum (4,1%). Selain itu, riwayat keluarga dengan migrain dua kali lebih

cxxviii
sering pada pasien AM di populasi umum dibandingkan dengan kontrol (34% dan 17%). Pasien dari

kedua kelompok juga memiliki faktor pencetus dan memperingan serta gejala berhubungan yang

sama.

Penelitian oleh Good menunjukkan bahwa cyclic vomiting syndrome (CVS), AM, dan migrain dengan

atau tanpa aura memiliki banyak kemiripan neurofisiologis termasuk kelainan vision-evoked

electroencephalography (EEG)-beta activity, dengan respons high-frequency photics, dan kejadian

visual lainnya. Hal ini mendukung klasifikasi dari AM sebagai ekuivalen dari migrain sebenarnya.

Selain itu, migrain dihubungkan dengan penyakit gastrointestinal yang dapat menjadi

misdiagnosa AM. Prevalensi dari migrain pada celiac disease sangat tinggi. Pasien dengan migrain

dapat datang dengan nyeri abdomen dan gejala mirip irritable bowel syndrome (IBS).

Pencetus Migrain Abdominal

Cahaya terang atau berkedip

Kurang tidur

Perjalanan

Puasa berkepanjangan

Stresor sekolah atau keluarga

Pencetus makanan (makanan asam,

kafein, keju, coklat, minuman bersoda,

zat pewarna atau perasa)

Tabel 1. Pencetus Migrain Abdominal

Hubungan dengan ekuivalen migrain pada pediatrik lainnya

cxxix
Variasi migrain pada pediatrik adalah kelompok sindrom paroksismal dan periodik yang terjadi pada

pasien yang memiliki migrain dengan atau tanpa aura, atau memiliki kecenderungan untuk terjadi

migrain. Hal ini sebelumnya disebut sindrom periodik pada anak-anak, sindrom nyeri berulang,

ekuivalen migrain, atau prekursor migrain.

AM, CVS, vertigo paroksismal jinak, dan tortikolis paroksismal jinak merupakan sindrom

episodik yang berhubungan denyan nyeri kepala migrain. AM dan CVS awalnya dianggap sebuah

penyakit tunggal dan istilah tersebut sering tertukar. Lama setelah itu baru diketahui merupakan dua

penyakit yang berbeda. Seperti yang disebutkan sebelumnya, AM dan CVS memiliki karakteristik

elektrofisiologikal yang sama.

Walaupun tidak ada hubungan yang terliaht antara AM dengan vertigo paroksismal jinak,

terdapat beberapa hubunga yang terlihat antara AM dengan mabuk darat. Farqahar et al meneliti

karakteristik dari kelompok anak-anak dengan gejala mengarah ke AM. Ia mengobservasi bahwa

mabuk darat merupakan keluhan pada pasien ini dan keluarganya. Hubungan dengan mabuk darat

selanjutnya tercatat pada penelitian epidemiologi yang dilakukan pada tahun 1983 dan 1993.

Penelitian ini dilakukan sebelum adanya panduan diagnosis dari AM. Selain itu, tidak ada batas

spesifik antara CVS dan AM pada saat itu. Sehingga validitas dari observasi ini perlu ditinjau lebih

lanjut.

Hubungan dengan functional abdominal pain disorders (FAPD)

AM merupakan bagian dari kelompok FAPD di bawah klasifikasi FGID. Penyakit lain yang masuk

kedalam klasfikasi adalah dispepsia fungsional, IBS, CVS, dan nyeri abdomen fungsional tidak

terinci. Banyak mekanisme telah didalilkan merupakan patogenesis dari AM, terutama teori

hiperalgesia viseral, yang telah diteliti pada pasien FGID (terutama IBS dan dispepsia fungsional).

Helgeland et al mencatat bahwa gejala dari IBS dan AM bertumpang tindih pada 33% pasien

berdasarkan kriteria Rome III. Hubungan klinis antara AM dan FGID lainnya perlu dievaluasi lebih

lanjut untuk dapat menemukan tatalaksana dari AM..

cxxx
Hubungan dengan atopik dan sensitivitas terhadap makanan

Penelitian telah menunjukkan korelasi antara AM dengan atopik. Pasien dengan nyeri kepala migrain

memiliki insidensi atopik dan penyakit alergi lain yang lebih tinggi. Sebagai tambahan, modifikasi

makanan adalah manajemen utama dalam AM dan juga nyeri kepala migrain. Bentley et al tahun

1995 melakukan penelitian pada 12 pasien dengan gejala mengarah ke AM untuk memodifikasi

regimen diet menghindari alergen potensial. Sepuluh dari 12 pasien (83%) menjadi bebas gejala

dengan perubahan pola makan ini. Lima dari 12 pasien (41%) memilki riwayat ekzema, hay fever,

atau bentuk atopik lainnya.

Tatalaksana

Hingga saat ini belum ada panduan untuk tatalaksana AM akibat kurangnya penelitian. Sebagian

besar pilihan terapi adalah berdasarkan beberapa penelitian dengan jumlah sampel yang kecil dan

hubungan yang kuat dari AM dengan nyeri kepala migrain serta FGID. Beberapa pilihan terapi

terlampir pada Tabel 2. Intervensi non-farmakoterapi termasuk penjelasan dan penguatan,

menghindari pencetus, dan modifikasi diet harus menjadi tahap pertama dalam manajemen AM.

Farmakoterapi dapat dipertimbangakan jika intervensi primer tidak bermanfaat.

Non-farmakoterapi

Penjelasan dan penguatan

Penjelasan dan penguatan pada model biopsikososial harus menjadi tahap pertama ketika diagnosis

klinis AM tegak. Orang tua atau anak perlu diedukasi mengenai perjalanan penyakit episodik ini,

adanya kemungkinan faktor pencetus dan memperingan, hubungan dengan migrain dan FGID lainnya,

dan prognosis penyakit berdasarkan data yang ada. Tidak adanya kelainan organik pada abdomen

cxxxi
perlu dievaluasi ulang. Pandangan positif terhadap AM diharapkan akan membantu memperbaiki dan

mengommpensasi gejala pada anak-anak.

Menghindari pencetus

AM dan nyeri kepala migrain memiliki banyak pencetus yang sama. Banyak pasien yang melaporkan

adanya perbaikan dari gejala setelah menghindari pencetus seperti stres, perjalanan, olahraga, cahaya

berkedip, puasa, dan perubahan pola tidur. Russell et al mengobservasi bahwa AM yang muncul pada

pagi hari dapat dicegah dengan “sarapan” sebelum tidur. “Sarapan” ini harus terdiri dari sereal

berserat tinggi untuk memperpanjang efek glikemik. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk

memastikan efikasinya.

Modifikasi diet

Modifikasi diet direkomendasikan pada migrain dan kemungkinan dapat efektif pada AM.

Menghindari pencetus makanan (dapat dilihat pada Tabel 1) dapat membantu dalam beberapa pasien.

Diet rendah amino dapat membantu mengurangi berat dan frekuensi dari gejala. Diet oligoantigenik

atau diet sedikit makanan dapat membantu pada pasien yang memiliki frekuensi nyeri abdomen yang

sering. Hal ini dilakukan dengan merestriksi diet inisial dan secara bertahap memperkenalkan kembali

makanan untuk mengidentifikasi makanan spesifik yang dapat mempengaruhi pasien. Russell et al

melaporkan 17 dari 22 pasien (77%) merasakan manfaat dari diet oligoantigenik ini.

Diet tinggi serat juga dapat efektif pada beberapa pasien dengan nyeri abdomen rekuren. Pemberian

probiotik juga terbukti efektif pada pasien dengan FAPD, terutama IBS dan dispepsia fungsional.

Intoleransi laktosa pada pasien nyeri abdomen kronik dan diet bebas laktosa efektif pada kelompok

ini.

Terapi perilaku

cxxxii
Psikoterapi, terutama terapi kognitif perilaku, dapat efektif pada pasien dengan AM. Model

biopsikososial dari nyeri abdomen fungsional mengatakan intervensi psikologi dapat membantu pada

pasien ini. Hipnoterapi, terapi keluarga, dan yoga juga dapat membantu pada anak-anak dengan nyeri

abdomen fungsional, terutama IBS.

Farmakoterapi

Farmakoterapi diindikasikan untuk pasien dengan gejala berat dan sering atau untuk pasien yang tidak

memberikan respons setelah intervensi non-farmakoterapi. Karena tidak adanya penilaian objektif dari

tingkat keparahan penyakit, maka keputusan untuk memulai terapi farmakologi berdasarkan penilaian

dokter dan penerimaan dari keluarga untuk berbagai pilihan pengobatan. Pilihan dan intervensi

farmakoterapi terlampir pada Tabel 2.

Terapi abortif

Triptan (5-hydroxytryptophan 1 A/D agonists) telah terbukti efekti untuk terapi abortif. Terapi

sumatriptan intranasal telah diteliti pada pasien dengan AM. Almotriptan telah terbukti efektif pada

pasien pediatrik dengan migrain, namun belum ada penelitian lebih lanjut pada pasien AM. Efikasi

dari NSAID dan acetaminophen perlu diteliti lebih lanjut.

Terapi profilaksis

Penghambat beta (propranolol), penghambat kanal kalsium (flunarizine), antagonis serotonin

(cyproheptadine, pizotifen), dan agonis GABA (valproat) merupakan obat-obatan yang paling sering

digunakan pada pasien dengan AM. Obat-obatan ini telah terbukti efektif untuk pasien dengan nyeri

kepala migrain dan dapat dicoba untuk pasien dengan AM karena kemiripan dalam patogenesisnya.

Scicchitano et al merekomendasikan propranolol sebagai terapi lini pertama saat intervensi non-

cxxxiii
farmakoterapi gagal. Cyproheptadine direkomendasikan sebagai terapi lini kedua jika propofol tidak

efektif atau kontraindikasi.

Prognosis

AM dicurigai sebagai prekursor dari nyeri kepala migrain, walaupun nyeri abdomen sudah hilang

pada sebagian besar pasien. Dignan et al melakukan penelitian pada 54 pasien dengan AM dan

mengikuti mereka selama 10 tahun. Gejala nyeri abdomen telah hilang sempurna pada 61% kasus.

70% pasien mengalami nyeri kepala migrain dengan atau tanpa aura dibandingkan dengan 20% pasien

pada kelompok kontrol. AM sangat jarang berlangsung hingga dewasa. Penelitian longitudinal

diperlukan untuk melihat prognosis jangka panjang dan perjalanan penyakitnya pada usia dewasa.

cxxxiv
Mekanisme kerja Intervensi

Terapi Abortif

Sumatriptan
Serotonin/5-
intranasal untuk
Sumatriptan hydroxytriptophan
serangan akut nyeri
agonis (5-HT ID)
abdomen

Valproat Agonis GABA Intravena

Terapi Profilaksis

Penghambat kanal
Flunarizine 7,5 mg/hari PO
kalsium

Propanolol Penghambat beta 10-20 mg 2-3x/hari

Pizotifen Antagonis serotonin 5 mg 2-3x/hari

Antihistamin generasi

pertama dengan anti-

Cyproheptadine serotoninergik dan 0,13-0,2 mg/kg/hari

penghambat kanal

kalsium

Tabel 2. Pilihan farmakoterapi untuk migrain abdominal

Daftar Pustaka

1. Kliegman RM. Nelson textbook of pediatrics. 21st edition. Philadelphia, MO: Elsevier; 2019.

cxxxv
2. Hyams JS, Di Lorenzo C, Saps M, Shulman RJ, Staiano A, van Tilburg M. Childhood

Functional Gastrointestinal Disorders: Child/Adolescent. Gastroenterology.

2016;150(6):1456-1468.e2.

3. Mani J, Madani S. Pediatric abdominal migraine: current perspectives on a lesser known

entity. PHMT. 2018 ; Volume 9:47–58.

4. Angus-Leppan H, Saatci D, Sutcliffe A, Guiloff RJ. Abdominal migraine. BMJ. 2018;

360:k179.

5. Di Lorenzo C, Colletti RB, Lehmann HP, Boyle JT, Gerson WT, Hyams JS, et al. Chronic

Abdominal Pain In Children: A Technical Report of the American Academy of Pediatrics and

the North American Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology and Nutrition: AAP

Subcommittee and NASPGHAN Committee on Chronic Abdominal Pain. Journal of Pediatric

Gastroenterology & Nutrition. 2005;40(3):249–61.

6. van Tilburg MAL. Pediatric functional gastrointestinal disorders. In: Clinical and Basic

Neurogastroenterology and Motility. Elsevier; 2020. p. 557–63.

cxxxvi

Anda mungkin juga menyukai