Anda di halaman 1dari 1024

PENATALAKSANAAN

D l BIDANGILMU PENYAKIT DALAM

PANDUAN
PRAKTIK
KIINIS
Editor

&
Idrus Alwi
Simon Salim
Rudy Hidayat
Juferdy Kumiawan
Dicky L Tahapary
U
n
IN

mm
PENATALAKSANAAN Dl BIDANGI1MU PENVAKIT DA1AM
PANDUAN PRAKTIK KLINIS
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia

Editor
Prof . Dr. dr. Idrus Alwi, SpPD, K- KV, FINASIM, FACC, FESC, FAPSIC, FACP
dr. Simon Salim, SpPD, FINASIM, MKes, AIFO
dr. Rudy Hidayat, SpPD, K- R, FINASIM
dr. Juferdy Kurniawan, SpPD
dr. Dicky L. Tahapary, SpPD

Tim Editor Pelaksana


1. Dr. dr. Ari Fahrial Syam , SpPD, K- GEH , FINASIM , MMB, FACP
2 . Dr. dr. Rino Alvani Gani, SpPD, K- GEH , FINASIM
3. Dr. dr. Iris Rengganis, SpPD, K-AI , FINASIM
4. Dr. dr. Lugyanti Sukrisman, SpPD, K- HOM , FINASIM
5. dr. Sally A. Nasution, SpPD, K- KV, FINASIM
-
6. dr. Ceva W. Pitoyo, SpPD, K P, FINASIM , KIC
7. dr. Edy Rizal Wahyudi, SpPD, K-Ger, FINSIM
-
8. dr. Rudy Hidayat, SpPD, K R, FINASIM
9. dr. Erni Juwita Nelwan , SpPD, K- PTI, FINASIM
10.dr. Tri Juli Edi Tarigan , SpPD, K- EMD, FINASIM
11.dr. Rudi Putranto, SpPD, K- Psi, FINASIM
12.dr. Pringgodigdo Nugroho, SpPD, FINASIM

ISBN 17 fl - b 02 -fleiQ 7- b 7 - 5

I Hill I
17.5 cm x 25 cm
xiv+ 986 Halaman

9 786028 907675

Hak Cipta Dilindungi Undang - undang


Dilarang memperbanyak, mencetak, dan menerbitkan sebagian atau seluruh isi buku
ini dengan cara dan bentuk apapun tanpa seizin penulis dan penerbit

Diterbitkan pertama kali oleh


InternaPublishing
Pusat Penerbitan llmu Penyakit Dalam
Telp. : 021-31903775 Faks. : 021-31903776
Email : pipfkui@ yahoo.com

Cetakan Pertama, September 2015


Cetakan Kedua, April 2016
Cetakan ketiga, Oktober 2016
Cetakan Keempat, Februari 2019
Disclaimer

Seluruh naskah yang terdapat dalam buku Panduan Praktik Klinis (PPK) yang
diterbitkan oleh Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam
Indonesia (PB.PAPDI) hanya sebagai rujukan /referensi, guna membantu penyusunan
panduan pelayanan klinis yang baik dan benar, disesuaikan dengan kondisi rumah
sakit masing-masing.

iii
«1

KATA PENGANTAR

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

P
uji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas keberhasilan penyusunan
buku Panduan Praktik Klinis (PPK) PAPDI. Dengan terbitnya buku PPK PAPDI
ini, diharapkan akan semakin jelas rujukan / panduan segala sesuatu yang
berhubungan dengan prosedur standar operasional dalam pelayanan dan perawatan
kepada pasien. Buku PPK PAPDI ini terdiri dari 2 (dua) bagian yaitu penatalaksanaan
dan prosedur.
Seiring dengan arus kemajuan dan perkembangan pengetahuan dan teknologi di
bidang kedokteran khususnya Ilmu Penyakit Dalam serta dalam rangka meningkatkan
profesionalisme Dokter Spesialis Penyakit Dalam, diharapkan buku ini menjadi acuan/
panduan dalam menjalankan tugas profesi seorang Dokter Spesialis Penyakit Dalam di
rumah sakit pemerintah dan swasta serta fasilitas pelayanan kesehatan lain di seluruh
Indonesia, disesuaikan dengan sarana yang tersedia.
Untuk mencapai keberhasilan pelayanan dan perawatan kepada pasien yang
berkualitas dan bertanggung jawab, disamping mengacu pada buku PPK PAPDI yang
sudah dirancang dengan sebaik- baiknya sebagai panduan kerja yang bermutu dan
dapat dipertanggungjawabkan, juga harus didukung sumber daya manusia (SDM)
yang berkualitas dalam pengetahuan dan bertanggungjawab secara moral dalam sikap
dan perilaku serta sarana prasarana yang sesuai dengan kebutuhan. Untuk itu Dokter
Spesialis Penyakit dalam harus selalu berupaya memperbaiki dan meningkatkan
pengetahuan terutama dalam hubungannya dengan pasien baik melalui pendidikan
formal maupun non formal.
Kami menyampaikan banyak terima kasih kepada Tim Penyusun buku PPK PAPDI
yang telah membantu terbitnya buku ini serta kepada para Ketua Perhimpunan Seminat
dalam Lingkup Ilmu Penyakit Dalam yang telah berpartisipasi dalam penyusunan
buku ini.
Semoga buku ini dapat membantu dalam melaksanakan tugas sehari-hari Dokter
Spesialis Penyakit Dalam di rumah sakit sebagai bentuk pelayanan dan pengabdian

V
masyarakat, dan semoga Allah SWT memberikan bimbingan dan meridhoi segala
aktivitas para Dokter Spesialis Penyakit Dalam seluruh Indonesia. Amin.

Jakarta, September 2015

Ketua Umum PB PAPDI


Prof. Dr. dr. Idrus Alwi, SpPD, K- KV, FINASIM, FACC, FESC, FAPSlC, FACP

vi
KONTRIBUTOR
• Perhimpunan Alergi Imunologi Indonesia (PERALMUNI)
• Perhimpunan Gerontologi Medik Indonesia (PERGEMI)
• Perhimpunan Nefrologi Indonesia ( PERNEFRI)
• Perhimpunan Gastroenterologi Indonesia [PGI)
• Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia (PPHI)
• Perhimpunan Hematologi Dan Transfusi Darah Indonesia ( PHTDI ) Dan
Perhimpunan Hematologi Onkologi Medik Ilmu Penyakitdalam Indonesia
(PERHOMPEDIN)
• Ikatan Keseminatan Kardioserebrovaskular Indonesia (IKKI)
• Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI)
• Perhimpunan Kedokteran Psikosomatik Indonesia (PKPI)
• Perhimpunan Respirologi Indonesia (PERPARI)
• Perhimpunan Reumatologi Indonesia (IRA)
• Perhimpunan Peneliti Penyakit Tropik Dan Infeksi Indonesia (PETRI)

vii
DAFTARISI

ALERGI IMUNOLOGI
Alergi Obat 1
Asma Bronkial ...5
Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) 12
Renjatan Anafilaksis 22
Urtikaria 29
Vaksinasi Pada Orang Dewasa 33
HIV/AIDS Tanpa Komplikasi 40

METABOLIK ENDOKRIN
Diabetes Melitus 47
Diabetes Melitus Gestasional 60
Dislipidemia 64
Hipoglikemia 73
Hipogonadisme 77
Hipoparatiroidisme 83
Hipotiroidisme 85
Hiperparatiroidisme 90
Karsinoma Tiroid 93
Kelainan Adrenal 96
Kista Tiroid 105
Krisis Hiperglikemia 109
Krisis Tiroid 115
Perioperatif Diabetes Melitus 118
Kaki Diabetik 123
Sindrom Ovarium Polikistik (PCOS) . 131
Struma Difusa Non Toksik 134
Struma Nodosa Non Toksik (SNNT) 137
Struma Nodosa Toksik 144
Tiroiditis 147
Tirotoksikosis 151

IX
Tumor Hipofisis 156
Obesitas 162

GASTROENTEROLOGI
Diare Kronik 167
Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) 172
Hematemesis Melena 176
Hematokezia 182
Ileus Paralitik 186
Konstipasi 189
Pankreatitis Akut 196
Penyakit Tukak Peptik 201
Tumor Gaster 208
Tumor Kolorektal 211

HEPATOLOGI
Abses Hati 217
Batu Sistem Bilier 223
Hepatitis Imbas Obat 227
Hepatitis Virus Akut 232
Hepatitis B Kronik 236
Hepatitis C Kronik 240
Hepatitis D Kronik 242
Hepatoma 244
Ikterus 250
Kolangitis 253
Kolesistitis 256
Kolesistitis Kronik 259
Penyakit Perlemakan Hati Non Alkoholik. 261
Sirosis Hati 266
Tumor Pankreas 272
Tumor Sistem Bilier 277

X
GERIATRI
Dehidrasi 287
Gangguan Kognitif Ringan dan Demensia 290
Imobilisasi 297
Inkontinensia Urin 302
Instabilitas dan Jatuh 305
Tatalaksana Nutrisi Pada "Frailty" Usia Lanjut. 316
...
Pendekatan Paripurna Pasien Geriatri ( Comprehensive Geriatric Assessment) 321
Sindrom Delirium Akut. 331
Ulkus Dekubitus 338
Sarkopenia 344

GINJAL HIPERTENSI
Batu Saluran Kemih 363
Gangguan Asam Basa 368
Alkalosis Metabolik 374
Alkalosis Respiratorik 376
Gangguan Ginjal Akut 379
Gangguan Kalium 388
Gangguan Kalsium 394
Gangguan Natrium 400
Hiponatremia 400
Hipertensi 408
Hipertrofi Prostat Benigna 415
Infeksi Saluran Kemih 418
ISK pada Wanita Hamil 422
ISKyang Disebabkan oleh Jamur. 423
Krisis Hipertensi 426
Penyakit Glomerular 433
Penyakit Ginjal Kronik 437
Penyakit Ginjal Polikistik 443
Sindrom Nefrotik 448

HEMATOLOGI ONKOLOGI MEDIK


Anemia Aplastik 451
Anemia Defisiensi Besi , 455

xi
Anemia Hemolitik 461
Anemia Penyakit Kronik 470
Dasar- Dasar Kemoterapi 475
Diatesis Hemoragik 483
Hemoglobinopati 491
Trombositopenia Imun 498
Koagulasi Intravaskular Diseminata 504
Leukemia 510
Limfoma .... 517
Polisitemia Vera 523
Sindrom Antifosfolipid 530
Sindrom Lisis Tumor 535
Terapi Suportif pada Pasien Ranker. 537
Trombosis Vena Dalam 544
Trombositosis Esensial 551

KARDIOLOGI
Angina Pektoris Stabil 555
Angina Pektoris Tidak Stabil/Afon St Elevation Myocardial Infarction
(APTS/ NSTEMI) 560
ST Elevation Myocardial Infarction (STEMI) .... 564
Penyakit Jantung Koroner 569
Bradiartima 572
Takiaritmia 578
Cardiac Arrest 587
Ekstrasistol Ventrikular 590
Gagal Jantung 594
Endokarditis Infektif 606
Penyakit Katup Jantung 618
Peripartum Cardiomyopathy 627
Perikarditis 632
Penyakit Jantung Kongenital 642
Hipertensi Pulmonal 649
Penyakit Arteri Perifer 656
Kelainan Sistem Vena dan Limfatik 664

xii
PSIKOSOMATIK
Ansietas 673
Depresi 676
Dispepsia Fungsional 680
Nyeri Psikogenik 685
Penyakit Jantung Fungsional ( Neurosis Kardiak ) 688
Sindrom Kolon Iritabel 690
Sindrom Lelah Kronik 695
Sindrom Hiperventilasi 699
Pengelolaan Paliatif pada Penyakit Kronis 703

PULMONOLOGI
Acute Respiratory Distress Syndrome 707
Bronkiektasis 711
Emboli Paru 719
Flu Burung 727
Gagal Napas 731
Massa Mediastinum 735
Penyakit Paru Kerja 740
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK] 744
Penyakit Pleura 752
Pneumonia Atipik 761
Pneumonia Didapat di Rumah Sakit 765
Pneumonia Didapat di Masyarakat 772
Sindrom Vena Kava Superior 783
-
Kelainan Napas SaatTidur (Sleep Disordered Breathing / Sleep Apnea), 788
Tuberkulosis Paru 792
Tumor Paru 800

REUMATOLOGI
Artritis Reumatoid 807
Artritis Gout dan Hiperurisemia . 812
Artritis Septik 817
Fibromialgia 821
Lupus Eritematosus Sistemik 824
Nyeri Pinggang 832

xiii
Osteoporosis 836
Osteoartritis 842
Reumatik Ekstraartikular 846
Skleroderma 851
Spondiloartropati 857

TROPIK INFEKSI
Chikungunya 867
Demam Berdarah Dengue 873
Demam Neutropenia 882
Demam Tifoid 888
Diare Infeksi 894
Diare Terkait Antibiotik [ Infeksi Clostridium Difficile) 901
Fever Of Unknown Origin 904
Filariasis 907
Leptospirosis 910
Human Immunodeficiency Virus ( HIV ) / Acquired Immunodeficiency Syndrome
(AIDS) 914
Infeksi Jamur 926
Infeksi Oportunistik pada AIDS 930
Infeksi pada Kehamilan 941
Intoksikasi Organofosfat 945
Intoksikasi Opiat 949
Keracunan Makanan 952
Malaria 955
Penatalaksanaan Gigitan Ular 966
Penggunaan Antibiotika Rasional 972
Rabies 977
Sepsis dan Renjatan Septik 982

xiv
PENATALAKSANAAN
D l BIDANG HMD PENYAKIT DAIAM

PANDUAN A
!
PBAKTIK £
KLINIS H
Alergi Obat
r
*' ^ i
Asma Bronkial .5
Acquired Immunodeficiency Syndrome ( AIDS ) 12
Renjatan Anafilaksis . 22
Urtikaria 29
Vaksinasi Pada Orang Dewasa 33
HIV / AIDS Tanpa Komplikasi 40
» ’ «

f
1

ALERGI OBAT

PENGERTIAN
Alergi obat merupakan reaksi simpang obat yang tidak diinginkan akibat adanya
interaksi antara agen farmakologi dan sistem imun manusia. Terdapat empat jenis
reaksi imunologi menurut Gell dan Coombs, yaitu hipersensitivitas tipe 1[reaksi dengan
IgE ), tipe 2 (reaksi sitotoksik), tipe 3 (reaksi kompleks imun ) dan tipe 4 ( reaksi imun
selular).1
Manifestasi alergi obat tersering adalah di kulit, yang terbanyak yaitu berupa ruam
makulopapular. Selain di kulit, alergi obat dapat bermanifestasi pada organ lain, seperti
hati, paru, ginjal, dan darah. Reaksi alergi obat dapat terjadi cepat atau lambat, dapat
terjadi setelah 30 menit pemberian obat hingga beberapa minggu.
2

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis
Riwayat obat-obatan yang sedang dipakai pasien, riwayat obat-obatan masa lampau,
lama pemakaian dan reaksi yang pernah timbul, lama waktu yang diperlukan mulai
dari pemakaian obat hingga timbulnya gejala, gejala hilang setelah pemakaian obat
dihentikan dan timbul kembali bila diberikan kembali, riwayat pemakaian antibiotik
topikal j angka lama, keluhan yang dialami pasien dapat timbul segera ataupun beberapa
hari setelah pemakaian obat (pasien dapat mengeluh pingsan, sesak, batuk, pruritus,
demam, nyeri sendi, mual)1, 3 4'

Pemeriksaan Fisik
Pasien tampak sesak, hipotensi, limfadenopati, ronki, mengi, urtikaria, angioedema,
14, 5
eritema, makulopapular, eritema multiforme, bengkak dan kemerahan pada sendi

Pemeriksaan Penunjang:13 4
• Pemeriksaan hematologi: darah lengkap, fungsi ginjal, fungsi hati
• Urinalisis lengkap
• Foto toraks

PanduanPraktik Minis
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
# SSfiSSSSRfi Alergi Imunologi

Pemeriksaan RAST ( Radio Allergo Sorbent test )


Pemeriksaan Coombs indirek
Pemeriksaan fiksasi komplemen, reaksi aglutinasi
Uji tusuk kulit ( skin prick test )
Uji kulit intradermal
Uji tempe\ [ patch test )

DIAGNOSIS BANDING4
Sindrom karsinoid -
Penyakit graft-versus host
Gigitan serangga Penyakit Kawasaki
Mastositosis Psoriasis
Asma Infeksi virus
Alergi makanan Infeksi Streptococcus
Keracunan makanan
Alergi lateks
Infeksi

TATALAKSANA

Non Farmakologis1
Tindakan pertama adalah menghentikan pemakaian obatyang dicurigai.

Farmakologis
• Terapi tergantung dari manifestasi dan mekanisme terjadinya alergi obat.
Pengobatan simtomatik tergantung atas berat ringannya reaksi alergi obat. Gejala
ringan biasanya hilang sendiri setelah obat dihentikan.1 Pada kasus yang berat,
kortikosteroid sistemik dapat mempercepat penyembuhan.4
• Pada kelainan kulit yang berat seperti pada SSJ, pasien harus menjalani perawatan.
Pasien memerlukan asupan nutrisi dan cairan yang adekuat . Perawatan kulit juga
memerlukan waktu yang cukup lama, mulai dari hitungan hari hingga minggu . Hal
lain yang harus diperhatikan adalah terjadinya infeksi sekunder yang membuat
pasien perlu diberikan antibiotika.1
• Tata laksana anafilaksis dapat dibaca pada bagian anafilaksis.
• Pada kasus urtikaria dan angioedema pemberian antihistamin saja biasanya
sudah memadai, tetapi untuk kelainan yang lebih berat seperti vaskulitis, penyakit
serum, kelainan darah, hepatitis, atau nefritis interstisial biasanya memerlukan

2
Alergi Obat $)
( •

Berikut ini adalah algoritma penatalaksanaan alergi obat:4

• Anamnesis, gejala . daftar otxil yang


sedang dlguriakan, temporal
sequence
• Pemeriksaam ftslk
• Perneriksaan laboroiorium

Ya Merujuk pada Tldak

I
Kecurlgaan terhadap
reaksi obat
1
Cari etiologi lain

i
hipersensitivltas
terhadap obat/ reaksi
imunologi?
Evaluasi dan terapi
Ya Tidak etiologi tersebut

I 1
Mekanlsme non Imun:
Mekanlsme Imunologls: • Etek samping obal
• Diperantaral IgE • Toksisitas obat
• Sitotoksik • Intoraksl antar obat
• kompleks iinuri • Overdosis obat
• Reaksi Npe tambat • Pseudoalergi
• Mekanisme Imun lain • idiosinkrasi
• intoleransi

I
Evaluasi dengan
melakukan tes provokasi
Manajemen:
• Modiflkasl dosis
• Substltusi obal
• Atasi etek samping
• Lakukan pemberlan
obat bertahap
Apakah tes mendukung • Edukasl pasieri
diagnosis alergi obat
karena reaksi imunologi?
Ya Tidak

f
Diagnosis
1
Apakah tes memiliki
alergi obat nilai kemaknaan tinggi
ditegakkan

I
Tidak Ya

l 1
Berikan obat
Manajemen: dengan observasi
• Desensitlsosi atau u)i bertahap
sebelum obal dlberikan
• Reaksi anattlaksls dlberikan terapi
emergens!
• Hlndari pemakatan obat
• Pemberian profilaksls sebelum
pemakalan obal
• waspada poda penggunaan
obat dl masa mendatang
• Edukasl posten

Gambar 1. Algorttma Penatalaksanaan Alergi Obat


4

3
If) ly •
PanduanPraMik minis Alergi Imunologi
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia 19

kortikosteroidsistemikdosis tinggi (60- 100 mgprednison atau setaranya) sampai


gejala terkendali . Kortikosteroid tersebut selanjutnya diturunkan dosisnya secara
bertahap selama satu sampai dua minggu . 1

KOMPLIKASI
Anafilaksis , anemia imbas obat, serum sickness, kematian 3,5 6

PROGNOSIS
Alergi obat akan membaik dengan penghentian obat penyebab dan tatalaksana
yang tepat. Apabila penghentian pemberian obat yang menjadi penyebab alergi segera
dilakukan, maka prognosis akan semakin baik . 3 5

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Divisi Alergi - Imunologi - Departemen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Semua Divisi di lingkungan Departemen Penyakit Dalam,
Bagian Kulit dan Kelamin
• RS non pendidikan : Departemen Kulit dan Kelamin

REFERENSI
1. Djauzi S, Sundaru H, Mahdi D, Sukmana N. Alergi obat. Dalam: Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I,
.
Simadibrata M, Setiati S, ed. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5lh ed Jakarta: Pusat Informasi dan
Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2009 p. 387 - 91 .
2. Baratawidjaja KG, Rengganis I. Alergi Dasar edisi ke- 1 . Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit
Dalam. 2009. h. 457-95.
3. Shinkai K, Stern R, Wintroub B. Cutaneous drug reactions. In: Fauci A, Kasper D, Longo D, Braunwald
E, Plauser S, Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison ' s principles of internal medicine. 18lh ed.
United States of America: The McGraw-Hill Companies, 2012 p. 432 - 9 .
4. Riedl M, Casillas A. Adverse drug reactions: types and treatment options. Am Fam Physician 2003:
68 ( 9 ) : 1 781 - 91.
5. Warrington R, Silviu-Dan F. Drug allergy. Allergy, Asthma & Clinical Immunology 2011: 7 ( Suppl 1 ) :S 10
6. Greenberger PA . Drug allergy. J Allergy Clin Immunol 2006; 117 ( 2 Suppl):S464-70

4
5

ASMA BRONKIAL

PENGERTIAN
Asma bronkial adalah penyakit inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan
banyak sel dan elemen selular. Inflamasi kronik ini terkait dengan hiperreaktivitas
saluran napas, pembatasan aliran udara, gejala respiratorik dan perjalanan penyakit
yang kronis. Episode ini biasanya terkait dengan obstruksi aliran udara dalam paru
yang reversibel baik secara spontan ataupun dengan pengobatan.
13 '

Asma disebabkan oleh faktor genetik dan lingkungan. Faktor genetik yang
berpengaruh adalah riwayat keluarga dan atopi. Obesitas juga terkait dengan
,
peningkatan prevalensi asma. Beberapa pemicu serangan asma antara lain alergen
infeksi virus pada saluran napas atas, olahraga dan hiperventilasi, udara dingin, polusi
,
udara (asap rokok, gas iritan), obat-obatan seperti penyekat beta dan aspirin serta
stres.2
Pada asma, terdapat inflamasi mukosa saluran napas dari trakea sampai bronkiolus
terminal, namun predominan pada bronkus. Sel-sel inflamasi yang terlibat pada asma
antara lain sel mast, eosinofil, limfosit T, sel dendritik, makrofag, dan netrofil. Sel -sel
,
struktural saluran napas yang terlibat antara lain sel epitel, sel otot polos, sel endotel
fibroblas dan miofibroblas, serta sel saraf. Penyempitan saluran nafas terutama terjadi
akibat kontraksi otot polos saluran napas, edema saluran napas, penebalan saluran
napas akibat remodeling , serta hipersekresi mukus.
2

PENDEKATAN DIAGNOSIS
Asma dapat didiagnosis dari gejala yang dialami dan riwayat penyakit pasien.

Anamnesis' -3
Episode berulang sesak napas, mengi, batuk, dan rasa berat di dada, terutama saat
malam dan dini hari. Riwayat munculnya gejala setelah terpapar alergen atau terkena
udara dingin atau setelah olahraga. Gejala membaik dengan obat asma. Riwayat asma
pada keluarga dan penyakit atopi dapat membantu diagnosis.

Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia


# ESS5HPJ5SSU5SSL Alergi Imunologi

Pemeriksaan Fisik1 3
Temuan fisis paling sering adalah mengi pada auskultasi. Pada eksaserbasi berat,
mengi dapat tidak ditemukan namun pasien mengalami tanda lain seperti sianosis,
mengantuk, kesulitan berbicara , takikardi, dada hiperinflasi, penggunaan otot
pernapasan tambahan, dan retraksi interkostal.

Pemeriksaan Penunjang1 3
Spirometri (terutama pengukuran VEP1 [volume ekspirasi paksa dalam 1 detik]
dan KVP [kapasitas vital paksa]) serta pengukuran APE (arus puncak ekspirasi) adalah
pemeriksaan yang penting.
• Spirometri: peningkatan VEP1 >12% dan 200 cc setelah pemberian bronkodilator
menandakan reversibilitas penyempitan jalan napas yang sesuai dengan
asma. Sebagian besar pasien asma tidak menunjukkan reversibilitas pada tiap
pemeriksaan sehingga dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan ulang.
• Pengukuran APE Idealnya dibandingkan dengan nilai terbaik APE pasien sendiri
sebelumnya, dengan menggunakan alat peak flow meter sendiri. Peningkatan
60 L/ menit (atau 20% dari APE prebronkodilator) setelah pemberian inhalasi
bronkodilator atau variasi diurnal APE lebih dari 20 % (lebih dari 10 % dengan
pemeriksaan dua kali sehari) mendukung diagnosis asma .
Pemeriksaan IgE serum total dan IgE spesifik terhadap alergen hirup
[iradioallergosorbent test ( RAST)] dapat dilakukan pada beberapa pasien. Foto toraks
dan uji tusuk kulit ( skin prick test/SPT) dapat membantu walaupun tidak menegakkan
diagnosis asma. Selain itu, dapat pula dilakukan uji bronkodilator atas indikasi, tes
provokasi bronkus atas indikasi, dan analisis gas darah atas indikasi .

KLASIFIKASI ASMA BERDASARKAN TINGKAT KONTROL


Tabel 1 . Klasifikasi asma berdasarkan tingkat kontrol asma 3

Karakferlsttk Terkontrol Terkontrot sebagian Belum


(semua yang dl bawah Ini) (ada keadaan di bawah Ini) terkontrol
Gejala harian Tidak ada (s 2x/ mlnggu) >2x/ minggu
Pembatasan aktivitas Tidak ada Ada
Gejala malam/ Tidak ada Ada
terbangun saat Tiga atau lebih
malam harl dari keadaan-
Penggunaan obat Tidak ada (< 2x/ minggu) keadaan pada
> 2x/ minggu asma terkontrol
penghilang sesak
sebagian
Fungsl paru ( APE atau Normal < 80% prediksi atau nilai
VEP1) terbaik pribadi (jika
diketahui)

6
Asma Bronkial

DIAGNOSIS BANDING
Sindrom hiperventilasi dan serangan panik, obstruksi saluran napas atas dan
),
terhirupnya benda asing, disfungsi pita suara, penyakit paru obstruktif kronik (PPOK
penyakit paru parenkim difus, gagal jantung

TATALAKSANA

Nonfarmakologis2
Menghindari paparan terhadap alergen dan penggunaan obatyang menjadi pemicu
asma, penurunan berat badan pada pasien yang obese .

Farmakologis
Tahap-tahap tatalaksana untuk mencapai kontrol :
3

1. Obat penghilang sesak sesuai kebutuhan


Menggunakan agonis - p 2 inhalasi kerja cepat . Alternatifnya adalah antikolinergik
-
inhalasi, agonis p 2 oral kerja singkat dan teofilin kerja singkat.
2. Obat penghilang sesak ditambah satu obat pengendali
Menggunakan obat penghilang sesak ditambah obat pengendali kortikosteroid
inhalasi dosis rendah (budesonid 200 - 400 pg atau ekivalennya). Alternatif obat
-
pengendali adalah leukotriene modifier teofilin lepas lambat, kromolin.
3. Obat penghilang sesak ditambah satu atau dua obat pengendali
Menggunakan obat penghilang sesak ditambah obat pengendali kombinasi
kortikosteroid inhalasi dosis rendah dengan agonis - (32 inhalasi kerja -
panjang (LABA) . Alternatif pengendali adalah kortikosteroid inhalasi dosis sedang
(budesonide 400 -800 pg atau ekivalennya ) atau kombinasi kortikosteroid inhalasi
dosis rendah dengan leukotriene modifier atau kombinasi kortikosteroid inhalasi
dosis rendah dengan teofilin lepas-lambat.
4. Obat penghilang sesak ditambah dua atau lebih obat pengendali
Menggunakan obat penghilang sesak ditambah obat pengendali kombinasi
kortikosteroid inhalasi dosis sedang/ tinggi (budesonide 800 -1600 pg atau
ekivalennya) dengan LABA. Alternatif pengendali adalah kombinasi kortikosteroid
inhalasi dosis sedang / tinggi dengan leukotriene modifier atau kombinasi
kortikosteroid inhalasi dosis sedang/ tinggi dengan teofilin lepas-lambat.
5. Obat penghilang sesak ditambah pilihan pengendali tambahan
Menggunakan obat penghilang sesak ditambah obat pengendali tahap 4 ditambah
kortikosteroid oral . Alternatifnya adalah ditambah terapi anti- IgE

7
E5&JESS5* Alergi Imunologi

Tlngkat kontrol Totalaksana


Terkontrol pertahankan dan lakukan penurunan tahap secara
it perlahan sampai ditemukan tahap paling rendah
§ yang masih dapat mengontrol
Terkontrol sebagian
I
pertimbangkan peningkatan tahap sampai terkontrol
Belum terkontrol Q
peningkatan tahap sampai asma terkontrol
§
Eksaserbasi Tata laksana sebagai eksaserbasi

TAHAP PENGOBATAN
i
dlturunkan
dltlngkatkan

Tahap 1 Tahap 2 Tahap 3 Tahap 4 Tahap 5


.
Edukasi asma pengendalian lingkungan
( jika peningkatan tahap dipertimbangkan untuk mengendalikan asma yang
tidak terkontrol, pertama-
tama periksa cara pemakaian inhaler, periksa adherens, dan konirmasi apakah gejala
benar disebabkan
oleh asma )

^
agonis- 2 kerja
cepat sesuai
agonis-(52 kerja cepat sesuai kebutuhan

kebutuhan
Pillha n obat Pilih satu Pilih satu Selain terapi pada Selain terapi
pengendall* tahap 3, pilih satu pada tahap 4,
atau lebih dari tambahkan salah
terapi berikut satu dari terapi
berikut
kortikosteroid kortikosteroid kortikosteroid kortikosteroid oral
inhalas! dosis inhalasi dosis inhalasi dosis ( dosis terendah )
rendah rendah ditambah sedang/ tinggi
agonis-& 2 inhalasi ditambah
kerja-panjang agonis- fi2 Inhalasi
kerja-panjang
leukotriene
modiier
,t
kortikosteroid
inhalasi dosis
leukotriene modiier terapi anti-lgE
sedang atau tinggi
teoilin lepas-
kortikosteroid lambat
inhalasi dosis
rendah ditambah
leukotriene modiier
kortikosteroid
inhalasi dosis
rendah ditambah
teoilin lepas-
lambat
Keterangan
•Kotak yang diarsir merupakan terapi yang direkomendasikan berdasarkan data rerata kelompok. Harus dipertimbangkan
kebutuhan dan kondisi pasien
•’antagonis reseptor atau inhibitor sintesis
Gambar 1 . Pendekatan tatalaksana asma berdasarkan tingkat kontrol3

8
Asma Bronkial

Bila terjadi eksaserbasi akut maka tahap penatalaksanaannya sebagai berikut:


3

1. Oksigen ( target saturasi oksigen 95%)


2. Menggunakan agonis- (32 inhalasi kerja cepat dengan dosis adekuat ( pemberian
tiap 20 menit selama satu jam pertama, selanjutnya setiap jam)
3. Dapat juga menggunakan kombinasi ipratropium bromida dengan agonis- 2
p
inhalasi kerja cepat.
4. Kortikosteroid oral dengan dosis 0,5-1 mg prednisolon / kg atau ekivalen dalam
periode 24 jam.
5. Metilsantin tidak dianjurkan. Namun teofilin dapat digunakan jika agonis - (32
inhalasi tidak tersedia .
6. Dapat menggunakan 2 g magnesium sulfat IV pada pasien dengan eksaserbasi
beratyang tidak respons dengan bronkodilator dan kortikosteroid sistemik
7. Antibiotika bila ada infeksi sekunder
8. Pasien diobservasi 1- 2 jam kemudian. Jika respons baik dan tetap baik 60 menit sesudah
pemberian agonis-(J2 terakhir, tidak ada distres pernapasan, APE >70%, saturasi oksigen
>90%, pasien dapat dipulangkan dengan pengobatan (3-5 hari): inhalasi agonis-(
32
diteruskan, steroid oral dipertimbangkan, penyuluhan dan pengobatan lanjutan,
antibiotika diberikan bila ada indikasi, perjanjian kontrol berobat.
9. Bila setelah observasi 1-2 jam respons kurang baik atau pasien termasuk golongan
risiko tinggi, gejala dan tanda tetap ada, APE < 60% dan tidak ada perbaikan saturasi
oksigen, pasien harus dirawat.
10. Bila setelah observasi 1- 2 jam tidak ada perbaikan atau pasien termasuk golongan
risiko tinggi, gejala bertambah berat, APE < 30%, PC02 >45 mmHg, P02 <60 mmHg,
pasien harus dirawat di unit perawatan intensif.
3
Tabel 4. Derajat keparahan eksaserbasi asma
Respiratory arrest
Ringan Sedang Berat
Imminent
Sesak napas Berjalan Berbicara Saat istirahat

Dapat Lebih memilih Badan condong


berbaring duduk ke depan
Berbicara dalam Kalimat Frase Kata
Dapat agitasi Biasanya agitasi Biasanya agitasi Mengantuk atau
Kesadaran
bingung
Frekuensi napas Meningkat Meningkat Sering > 30 menit
Otot aksesoris dan Biasanya tidak Biasanya ya Biasanya ya Gerakan
retraksi suprasternal torakoabdominal
paradoksikal
Mengi Sedang Keras Biasanya keras Tidak ada

9
# SSBfflBSBtt Alergi Imunologi

Rlngan Sedang Respiratory arrest


Berat
Imminent
Frekuensl nadi per < 100 100-120 > 120 Bradikardi
menlt
Pulsus paradoksus Tidak ada Dapat ada Sering ada Tidak ada
< 10 mmHg 10-25 mmHg > 25 mmHg menunjukkan
adanya
kelelahan otot
pernapasan
APE setelah > 80% 60-80 % < 60 %
bronkodllator inlsial
% predlksl atau %
nilal terbalk prlbadl
Pa02 Normal > 60 mmHg < 60 mmHg
Kemungkinan
dan atau sianosis
PaC02 < 45 mmHg < 45 mmHg > 45 mmHg
Kemungkinan
gagal napas
Sa 02 > 95% 91 -95% < 90 %

KOMPLIKASI
Penyakit paru obstruktif kronik ( PPOK) , gagal jantung. Pada keadaan eksaserbasi
akut dapat terjadi gagal napas dan pneumotoraks.

PROGNOSIS
Keadaan yang berkaitan dengan prognosis yang kurang baik antara lain asma
tidak terkontrol secara klinis, eksaserbasi sering terjadi dalam satu tahun terakhir,
menjalani perawatan kritis karena asma, VEP1 yang rendah, paparan terhadap asap
rokok, pengobatan dosis tinggi.2

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Divisi Alergi - lmunologi, Divisi Pulmonologi - Departemen
Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : ICU / Medical High Care
• RS non pendidikan : ICU

10
Asma Bronkial fp):

REFERENSI
Sundaru H, Sukamto. Asma bronkial. Dalam:Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M Setiati
,
1.
S, penyunting. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi V. Jakarta: InternaPublishi ng, 2009. H. 404-14

2. . .
Barnes PJ. Asthma Dalam: Longo DL Kasper DL. Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo
J,
penyunting. Harrison' s principle of internal medicine. Edisi XVIII. McGraw- Hill Companies , 2012.
h. 2102-15
3. Global initiative for asthma. Global strategy for asthma management and prevention. 2011

11
12

ACQUIRED IMMUNODEFICIENCY
SYNDROME (AIDS)

PENGERTIAN
AIDS adalah infeksi yang disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus yang
menyebabkan suatu spektrum penyakit yang menyerang sel-sel kekebalan tubuh
yang meliputi infeksi primer, dengan atau tanpa sindrom akut, stadium asimtomatik,
hingga stadium lanjut).1 2
Stadium AIDS menurut WHO yaitu:2
-
• Stadium 1: asimtomatik, limfadenopati generalisata
• Stadium 2
Berat badan turun kurang dari 10 %
Manifestasi mukokutan minor (dermatitis seboroik, prurigo, infeksi jamur
kuku, ulkus oral rekuren, cheilitis angularis)
Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir
Infeksi saluran napas atas rekuren
• Stadium 3
Berat badan turun lebih dari 10 %
Diare yang tidak diketahui penyebabnya lebih dari 1 bulan
Demam berkepanjangan (intermiten atau konstan) kurang dari 1 bulan
Kandidiasis oral
Oral hairy leucoplakia
Tuberkulosis paru
Infeksi bakteri berat ( pneumonia, piomiositis)
• Stadium 4
HIV wasting syndrome
Pneumonia Pneumocystis carinii
Toksoplasmosis serebral
Kriptosporidiosis dengan diare lebih dari 1 bulan
Sitomegalovirus pada organ selain hati, limpa atau kelenjar getah bening
(misalnya retinitis CMV)

Panduan Praktik Klinis


Perhimpunan Dokler Speslalis Penyakil Dalam
Indonesia
Acquired Immunodeficiency Syndrome ( AIDS)

Infeksi herpes simpleks, mukokutan ( > 1 bulan) atau viseral


Progressive multifocal leucoencephalopathy
Mikosis endemik diseminata
Kandidiasis esofagus , trakea, dan bronkus
Mikobakteriosis atipik, diseminata atau paru
Septikemia salmonela non-tifosa
Tuberkulosis ekstrapulmonar
Limfoma
Sarkoma kaposi
Ensefalopati HIV

DIAGNOSIS1 4

Anamnesis
• Kemungkinan sumber infeksi HIV
• Gejala dan keluhan pasien saat ini, termasuk untuk mencari adanya infeksi
oportunistik, antara lain demam, batuk, sakit kepala, diare
• Riwayat penyakit sebelumnya, diagnosis dan pengobatan yang diterima termasuk
infeksi oportunistik
• Riwayat penyakit dan pengobatan tuberkulosis (TB ) termasuk kemungkinan
kontak dengan TB sebelumnya
• Riwayat kemungkinan infeksi menular seksual ( IMS)
• Riwayat dan kemungkinan adanya kehamilan
• Riwayatpenggunaan terapi anti retroviral [ Anti Retroviral Therapy (ART)) termasuk
riwayat regimen untuk PMTCT ( Prevention of Mother to Child Transmission )
sebelumnya
• Riwayat pengobatan dan penggunaan kontrasepsi oral pada perempuan
• Kebiasaan sehari -hari dan riwayat perilaku seksual
• Kebiasaan merokok
• Riwayat alergi
• Riwayat vaksinasi
• Riwayat penggunaan NAPZA suntik

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Fisik meliputi tanda - tanda vital , berat badan, tanda - tanda yang
mengarah kepada infeksi oportunistik sesuai dengan stadium klinis HIV seperti yang

13
frl PanduanPratttt Minis Alergi Imunologi
Perhimpunan DoklerSpesialis Penyakil Dalam Indonesia W W

terdapat pada tabel di bawah ini. Pemeriksaan fisik juga bertujuan untuk mencari
faktor risiko penularan HIV dan AIDS seperti needle track pada pengguna NAPZA
suntik, dan tanda-tanda IMS.

Pemeriksaan Penunjang
• Pemeriksaan penyaring: enzyme immunoassay ( EIA) atau rapid tests (aglutinasi,
immunoblot) dengan tiga metode yang berbeda
Pemeriksaan konfirmasi: metode Western Blot (WB) bila diperlukan
• Pemeriksaan Darah lainnya
DPL dengan hitung jenis
Total lymphocye count (TLC] atau hitung limfosit total: [% limfosit x jumlah
Leukosit] ( dengan catatan jumlah leukosit dalam batas normal]
Hitung CD4 absolut
Pemeriksaan HIV RNA viral load dengan polymerase chain reaction

Pemeriksaan HIV sebaiknya ditawarkan pada:


• Ibu hamil
• Pasien tuberkulosis
• Pasien yang menunjukkan gejala infeksi oportunistik
• Kelompokberisiko (pengguna narkoba suntik, pekerja seks komersial (PSK), Lelaki
seks dengan lelaki ( LSL)
• Pasangan atau anak dari orang yang terinfeksi HIV
• Infeksi menular secara seksual (IMS]

Konseling untuk tes anti - HIV dapat dilakukan dengan cara:


1. Voluntary Counseling and Testing (VCT]/ Konseling dan Tes Sukarela (KTS]
Konseling yang dilakukan atas dasar permintaan dan atau kesadaran seorang klien
untuk mengetahui faktor risiko dan status HIV- nya.
2 . Provider-initiated Testing and Counseling (PITC]/ Konseling dan Tes Atas Inisiasi
Petugas ( KT1P)
Konseling yang dilakukan atas dasar inisiasi tenaga kesehatan, terutama berdasarkan
hasil pemeriksaan fisik yang dicurigai berhubungan dengan infeksi HIV.

DIAGNOSIS BANDING1 2
Penyakit imunodefisiensi primer

14
Acquired Immunodeficiency Syndrome ( AIDS ) |jjj|

Pemeriksaan Lanjutan1 4
• Serologi Hepatitis B dan Hepatitis C
• Pemeriksaan penunjang untuk diagnosis infeksi oportunistik
1. Tuberkulosis
a. Pemeriksaan BTA sewaktu- pagi - sewaktu (SPS) dan atau foto toraks
b. Diagnosis definitif dengan kultur BTA, tetapi hal ini membutuhkan waktu
yang lama
2 . Diare : pemeriksaan analisis feses
3. Infeksi otak: ensefalitits toksoplasma, meningoensefalitis tuberkulosis, atau
kriptokokkus . Diagnosis dan tata laksana bekerja sama dengan Departemen
Neurologi .

TATALAKSANA1 4
• Konseling
• Suportif
• Terapi infeksi oportunistik dan pencegahan infeksi oportunistik
• Profilaksis kotrimoksasol :
• Profilaksis kotrimoksasol diberikan sebagai pencegahan terhadap pneumonia
Pneumocystis jirovecii dan infeksi toxoplasmosis pada pasien dengan CD 4 kurang
dari 200 sel / mm3 Profilaksis primer menggunakan kotrimoksasol double strength
( DS) 1 tablet /hari.
• Terapi antiretroviral [ART] dengan pemantauan efek samping dan adherens minum
obat. Pada tabel 1 dapat dilihat indikasi untuk memulai ART. Pada tabel 2 dapat
dilihat rekomendasi regimen lini pertama ART pada target populasi yang belum
pernah terapi ARV. Dosis ART dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 1 . Indikasi untuk memulai ART


Karakteristtk pasien Kllnls Rekomendasi
Aslmtomatik WHO stadium 1 CD4 <350/ML
Slmtomatlk WHO stadium 2 CD4 <350/|JL
WHOstadium 3 atau 4 CD 4 berapapun

TB TB aktif CD4 berapapun, diberikan secepatnya setelah


obat anti tuberkulosis ( dalam 8 minggu)
Hepatitis B Hepatitis B yang membutuhkan terapi CD4 berapapun
Ibu hamll WHO stadium apapun CD 4 berapapun

15
w Alergi Imunologi

Tabel 2. Obat ARV yang digunakan24


No Nama Generlk Golongan Formulasl Dosls
Zldovudln (ZDV) NRTI Tablet : 300 mg/dosis, 2x /hari
300 mg
2. Lamivudln (3TC) NRTI Tablet: 150 mg/dosis,2x /hari
150 mg
3. Kombinasi tetap NRTI Tablet: 1 tablet /dosis, 2x/hari
ZDV + 3TC 300 mg ZDV
plus 150 mg 3TC
4. Nevlrapin (NVP) NNRTI Tablet: dua minggu pertama sekali sehari.
200 mg Selanjutnya dua kali sehari.
5. Efavlrenz (EFV) NNRTI 600 mg 33 - < 40 kg: 400 mg sekali sehari
Dosis maksimal:
40 kg: 600 mg sekali sehari
6. Stavudin (d4T) NRTI Tablet: 30 mg 30 mg/dosis, 2x/hari
7. Abacavir (ABC) NRTI Tablet: 300 mg 300 mg/dosis, 2x/hari,
8. Tenofovir NRTI Tablet: 300 mg Diberikan setiap 24 jam
dlsoproxil fumarat Interaksi obat dengan didanosine
(TDF) ( ddl) , tidaklagi dipadukan
dengan ddl
9. Tenofovir + NRTI Tablet: 200 mg/ 300 1 tablet/dosis, lx/hari
Emtrlcitabln mg
Llnl kedua
1. Loplnavlr /rftonavir Inhibitor Tablet tahan suhu 400 mg/ 100 mg setiap 12 jam-
(LPV/r ) protease panas, 200mg untuk pasien naive
lopinavir + 50 mg
ritonavir
2. TDF NRTI Tablet: 300 mg Diberikan setiap 24 jam
Interaksi obat dengan ddl, tidak
lagi dipadukan dengan ddl
keterangan:
NRTI=nuc /eos/de reverse transcriptase inhibitor
NNRTI=nonnucleoside reverse transcriptase inhibitor

Pada ODHA yang mengalami resistensi pada lini pertama maka kombinasi obat
yang digunakan adalah :

(TDF atau ZDV) + 3 TC atau FTC+ (LPV /RTV)

Apabila pada lini pertama menggunakan d4T atau AZT maka gunakan TDF + (3 TC
atau FTC) sebagai dasar NRTI pada regimen lini kedua. Apabila pada lini pertama
menggunakan TDF maka gunakan AZT + 3 TC sebagai dasar NRTI pada regimen lini
kedua.

16
Acquired Immunodeficiency Syndrome ( AIDS ) jjp
Tabel 3. Rekomendasi regimen lini pertama pada target populasi yang belum pernah terapi ARV
1 '5

Target Populasi Rekomendasi Catalan


Dewasa dan ZDV atau TDF + 3TC • Pilih regimen yang bisa diberikan untuk mayoritas
Remaja atau FTC + EFV atau ODHA
NVP • Gunakan fixed dose combination
• Kombinasi awal yang digunakan bagi pasien HIV
dengan hasil lab normal adalah ZDV+3TC (Duviral ) +
NVP ( Neviral)
Perempuan ZDV + 3TC + EFV atau • Tidak boleh menggunakan EFV pada trimester
Hamll NVP pertama
• TDF bisa merupakan pilihan
Kolnfeksl HIV /TB ZDV atau TDF + 3TC • Mulailah terapi ARV dalam 8 minggu pertama setelah
atau FTC + EFV memulai terapi TB.
• Gunakan NVP atau triple NRTI bila EFV tidak dapat
digunakan
Koinfeksi HIV / TDF + 3TC atau FTC + • Pertimbangkan screening HBsAg sebelum memulai
HBV EFV atau NVP terapi ARV
• Diperlukan penggunaan 2 terapi ARV yang memiliki
aktivitas anti-HBV
Keterangan: ZDV : zidovudine: TDF=tenofovir; 3TC: lamivudine; FTC: emtricitabine: EFV : efavirenz; NVP: nevirapine
Bila pasien memiliki Hb<9 maka regimen yang digunakan adalah TDF+3TC. Jika TDF belum tersedia, d4T ( stavudine
) +3TC selama
6-12 bulan kemudian regimen diganti menjadi AZT+3TC atau TDF+3TC

Bila terdapat indikasi memulai ART, dilakukan pemeriksaan penunjang yang sesuai
dengan ART yang diberikan untuk mengetahui ada tidaknya kontraindikasi .
• ZDV : pemeriksaan kadar hemoglobin
• NVP : pemeriksaan SGPT
• TD : pemeriksaan fungsi ginjal (kreatinin darah]
• LPV / r : pemeriksaan profil lipid dan kadar gula darah puasa
• Bagi perempuan usia subur yang akan mendapat efavirenz dilakukan tes kehamilan
sebelum mendapat ARV.
Tabel 4. Rekomendasi pemeriksaan laboratorlum untuk memonltor terapi ARV (modHikasI Depkes)
3

Tes yang Tes yang Dkmjurkan


Tahap Terapi ARV
Dlrekomendaslkan
Pada saat diagnosis HIV CD4 HbsAg

Sebelum memulai ARV CD 4


Pada saat memulai ARV CD4 • Hb untuk ZDV
• Kreatinin Klirens untuk TDF
• SGPT untuk NVP
Pada saat menjalanl ARV CD4 • Hb untuk ZDV
• Kreatinin Klirens untuk TDF
• SGPT untuk NVP
Pada saat kegagalan kllnis (tabel 5) CD4 Viral load
Pada saat kegagalan imunologls Viral load
(tabel 5)

17
# ESSHSJEHSSRSS5 , Alergi Imunologi

Tahap Terapi ARV Tes yang


Tes yang Dlanjurkan
Dlrekomendaslkan
Wanita yang menjalanl PMTCT Viral load enam
dengan NVP dosls tunggal dengan bulan setelah
lanjutan dalam 12 bulan memulai terapi ARV

Tabel 5. Kriteria Gagal Terapi


Kegagalan Terapi Keterangan
Kegagalan kllnls Kondisi stadium 4 WHO baru atau Kondisi harus dibedakan dari sindrom
berulang pulih imun
Kondisi WHO stadium 3 tertentu ( TB
paru, infeksi bakteri berat ) dapat
merupakan tanda kegagalan
pengobatan
Kegagalan - Penurunan CD4 kembali seperti Tanpa infeksi penyerta lain yang
imunologls awal sebelum pengobatan ( atau menyebabkan penurunan CD 4
lebih rendah) ATAU sementara
- Penurunan sebesar 50% dari nilai
terfinggi CD4 yang pernah dicapai
ketika pengobatan ATAU
- Jumlah CD4 tetap <100 sel/mm3
Kegagalan - Viral load plasma >5000 kopi/ml Ambang batas viral load optimal untuk
vfrologis mendefinisikan kegagalan virologis
belum ditentukan. VL >5000 kopi/ml
berhubungan dengan perkembangan
klinis dan penurunan CD4

Tabel 6. Efek Samping ARV dan Subsitusinya 1 '2


Nama Obat Efek Samping Subsltuil
Zidovudln • Supresi sumsum tulang Jika digunakan pada terapi lini
• Anemia makrositik atau neutropenia pertama, TDF (atau d4T jika tidak ada
• Intoleransi gastrointestinal, sakit kepala , pilihan lain)
insomnia, asthenia Jika digunakan pada terapi lini kedua,
• Pigmentasi kulit dan kuku d4T
• Asidosis laktat dengan steatosis hepar
Stavudln • Pankreatitis, neuropati perifer, asidosis ZDV atau TDF
laktat dengan steatosis hepatitis
( jarang) , lipoatrofi
Lamivudin • Toksisitas rendah
• Asidosis laktat dengan steatosis
hepatitis (jarang)
Abacavlr • Reaksi hipersensitif ( dapat fatal) ZDV atau TDF
• Demam, ruam, kelelahan, mual,
muntah, tidak nafsu makan
• Gangguan pernafasan ( sakit
tenggorokan, batuk)
• Asidosis laktat dengan steatosis
hepatitis ( jarang )

18
Acquired Immunodeficiency Syndrome ( AIDS) ( jp
Nama Obat Efek Sampfng Subsltusi
Tenofovlr • Asthenia, sakit kepala, diare, mual, • Jika digunakan pada lini pertama,
muntah, sering buang angin, ZDV ( atau d4T jika tidak ada pili-
insufisiensi ginjal, sindrom Fanconi han)
• Osteomalasia • Jika digunakan pada lini kedua,
• Penurunan densitas tulang Secara pendekatan kesehatan
• Hepatitis eksaserbasi akut berat pada masyarakat, maka tidak ada pilihan
pasien HIV dengan koinfeksi Hepatitis lain jika pasien telah gagal ZDV /
B yang menghentikan TDF d4T pada terapi lini pertama. Jika
memungkinkan, dipertimbangkan
merujuk ke tingkat perawatan yang
lebih tinggi dimana terapi individual
tersedia.
Emtrldtabine Ditoleransi dengan baik
Efavlrenz • Reaksi hipersensitivitas • NVP
• Sindroma Steven-Johnson • bPI jika tidak toleran terhadap
• Ruam kedua NNRTI
• Toksisitas hepar • Tiga NRTI jika tidak ada pilihan lain
• Toksisitas sistem saraf pusat yang
berat dan persisten ( depresi dan
pusing)
• Hiperlipidemia
• Ginekomastia ( pada laki-laki)
• Kemungkinan efek teratogenik ( pada
kehamilan trimester pertama atau
wanita yang tidak menggunakan
kontrasepsi yang adekuat )
Nevirapin • Reaksi hipersensitivitas EFV
• Sindroma Steven-Johnson bPI jika tidak toleran terhadap kedua
• Ruam NNRTI
• Toksisitas hepar Tiga NRTI jika tidak ada pilihan lain
• Hiperlipidemia
Ritonavir Hiperlipidemia Jika digunakan pada lini kedua, tidak
pilihan lain*
Lopinavir • Intoleransi gastrointestinal, mual , ada
muntah, semutan, hepatitis, dan pan-
kreatitis, hiperglikemia, pemindahan
lemak dan abnormalitas lipid

Tabel 7. Jadwal vaksin pada pasien HIV dewasa


Pemberton CD4
Vaksin Indikasi Booster Keterangan
awal (sel/mm1)
Antraks RS 4 dosis pertahun berapapun
Kolera RS 2 dosis 2 tahun berapapun
Hepatitis A RS 2-3 dosis 5 tahun berapapun 3 dosis jika CD4
<300 sel/mm3
Hepatitis B R 3- 4 dosis jika anti-HBs < 10 berapapun periksa kadar
anti-HBs tiap
tahun

19
M
•Sjl > wfy
PanduanPraktlk Minis Alergi Imunologi
^
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
'

Pemberian CD4
Vaksln Indlkasl Booster Keterangan
awal (sel/mm3)
HPV r 3 dosis tidak ada berapapun
Influenza R 1 dosis tiap tahun berapapun
Japanese rS 3-4 dosis 3 tahun berapapun
encephalitis
MMR RS 1 -2 dosis tidak ada >200 2 dosis jika IgG
measles negatif
Meningokok rS 1 dosis 5 tahun berapapun
Pneumokok R 1 dosis 5-10 tahun berapapun
Rabies RS 3 dosis 1 tahun pertama, berapapun
3-5 tahun
berikutnya
Tetanus-difteri R 1-5 dosis 10 tahun berapapun
Tifoid RS 1 dosis 2-3 tahun berapapun
Varisela RS / CS 2 dosis tidak ada >200
Yellow fever CS 1 dosis 100 tahun > 200 kontraindikasi
jika usia >60
tahun
R = rekomendasi; RS = rekomendasi pada orang tertentu; CS = dipertimbangkan pada orang tertentu

KOMPLIKASI
Infeksi oportunistik, kanker terkait HIV, dan manifestasi HIV pada organ lain.1 4 "

PROGNOSIS
Pemberian terapi ARV kepada orang dengan HIV /AIDS ( ODHA) dapat menurunkan
penyebaran virus Human Immunodefficiency Virus ( HIV) hingga 92 %.14

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Alergi Imunologi
• RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : Semua Sub Bagian di Lingkungan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam
• RS non pendidikan

20
Acquired Immunodeficiency Syndrome ( AIDS) |fj

REFERENSI
^
1. Fauci AS. Lane HC. Human Immunodeficiency Virus: AIDS and related disorders. In: Fauci A,
Braunwcrid E, Kasper D. Harrison' s Principles of Internal Medicine. 17th ed. New York: McGraw-
Hill; 2009: 1138-1204
2. .
HIV. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S Buku Ajar llmu Penyakit
Dalam. Jakarta; Interna Publishing: 2009.p. 2130-32.
3. .
Departemen Kesehatan Rl Tata Laksana HIV/ AIDS. 2012
4. World Health Organization. Antiretroviral therapy for hiv infection in adults and adolescent. 2010
revision. [Update 2010; cited 2011 Mar 11 ] Available from http:/ /www.who.int
5. Antiretroviral Drugs for Treating Pregnant Women and Preventing HIV Infections in Infants:
Guidelines on care, treatment and support for women living with HIV / AIDS and their children in
. . .
resource-constrained settings World Health Organization Switzerland 2004
6. .
Centers for Disease Control and Prevention Recommended Adult Immunization Schedule. United
.
States. 201Z Diunduh dari http:/ /www.cdc gov /vaccines/recs /schedules/downloads /adult /
adutt-5chedule.pdf padd tanggal 2 Mei 2012.

21
22

RENJATAN ANAFILAKSIS

PENGERTIAN
Anafilaksis adalah reaksi hipersensitivitas tipe 1yang beronset cepat, sistemik, dan
mengancam nyawa. Jika reaksi tersebut hebat dapat menimbulkan syok yang disebut
syok anafilaktik. Syok anafilaktik membutuhkan pertolongan cepat dan tepat. Untuk
itu diperlukan pengetahuan serta keterampilan dalam pengelolaan syok anafilaktik.
Insidens syok anafilaktik 40 -60 persen adalah akibat gigitan serangga, 20 - 40
persen akibat zat kontras radiografi, dan 10- 20 persen akibat pemberian obat
.
penisilin Belum ada data yang akurat dalam insiden dan prevalensi terjadinya syok
anafilaktik di Indonesia. Anafilaksis yang fatal hanya kira -kira 4 kasus kematian dari
10 juta masyarakat pertahun. Penisilin merupakan penyebab kematian 100 dari 500
kematian akibat reaksi anafilaksis.

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis
Menegakkan diagnosis penyakit alergi diawali dengan anamnesis yang teliti.
Gambaran atau gejala klinik suatu reaksi anafilakis berbeda - beda gradasinya sesuai
dengan tingkat sensitivitas seseorang, namun pada tingkat yang berat berupa syok
anafilaktik, gejala yang menonjol adalah gangguan sirkulasi dan gangguan respirasi.
Kedua gangguan tersebut dapat timbul bersamaan atau berurutan yang kronologisnya
sangat bervariasi dari beberapa detik sampai beberapa jam. Pada dasarnya, makin
cepat reaksi timbul makin berat keadaan penderita.
Gejala respirasi dapat dimulai berupa bersin, hidung tersumbat atau batuk saja
yang kemudian segera diikuti dengan sesak napas.
Gejala pada kulit merupakan gejala klinik yang paling sering ditemukan pada
reaksi anafilaktik. Walaupun gejala ini tidak mematikan namun gejala ini amat penting
untuk diperhatikan sebab ini mungkin merupakan gejala prodromal untuk timbulnya
gejala yang lebih berat berupa gangguan napas dan gangguan sirkulasi. Oleh karena itu
setiap gejala kulit berupa gatal, kulit kemerahan harus diwaspadai untuk kemungkinan

PanduanPraktikKIinis
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
Renjatan Anafilaksis 1

timbulnya gejalayang lebih berat. Manifestasi dari gangguan gastrointestinal berupa


perutkram, mual, muntah sampai diare yang juga dapat merupakan gejala prodromal
untuk timbulnya gejala gangguan napas dan sirkulasi.

Faktor Risiko
Faktor risiko terjadinya anafilaksis antara lain usia, jenis kelamin, rute pajanan ,
maupun riwayat atopi. Anafilaksis lebih sering terjadi pada wanita dewasa (60 %) yang
umumnya terjadi pada usia kurang dari 39 tahun. Pada anak-anak usia di bawah 15
tahun, anafilaksis lebih sering terjadi pada laki-laki. Rute pajanan paraenteral biasanya
menimbulkan reaksi yang lebih berat dibanding oral.

Pemeriksaan Fisik
Pasien tampak sesak, frekuensi napas meningkat, sianosis karena edema laring
dan bronkospasme. Hipotensi merupakan gejala yang menonjol pada syok anafilaktik.
Adanya takikardia, edema periorbital, mata berair, hiperemi konjungtiva. Tanda
prodromal pada kulit berupa urtikaria dan eritema.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium hitung eosinofil darah tepi dapat normal atau meningkat,
demikian halnya dengan IgE total sering kali menunjukkan nilai normal.
Pemeriksaan secara invivo dengan uji kulit kulit ( skin prick test/SPT) untuk mencari
faktor pencetus yang disebabkan oleh alergen hirup dan makanan dapat dilakukan
setelah pasiennya sehat.

Penegakan Diagnostis
Diagnosis Klinis
Untuk membantu menegakkan diagnosis maka World Allergy Organization telah
membuat beberapa kriteria di mana reaksi anafilaktik dinyatakan sangat mungkin
bila (Simons et al. 2011) :
1. Onset gejala akut (beberapa menit hingga beberapa jam) yang melibatkan kulit, jaringan
mukosa, atau keduanya (misal: urtikaria generalisata, pruritus dengan kemerahan,
pembengkakan bibir /lidah / uvula) dan sedikitnya salah satu dari tanda berikut ini:
a. Gangguan respirasi (misal: sesak nafas, wheezing akibat bronkospasme, stridor,
penurunan arus puncak ekspirasi / APE, hipoksemia)
b. Penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan dengan kegagalan organ
target (misal: hipotonia, kolaps vaskular, sinkop, inkontinensia).

23
fP B5fi9S99& Alergi Imunologi

3. Atau, dua atau lebih tanda berikut yang muncul segera ( beberapa menit hingga
beberapa jam) setelah terpapar alergen yang mungkin ( likely allergen ), yaitu:
a. Keterlibatan jaringan mukosa dan kulit
b. Gangguan respirasi
c. Penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan dengan kegagalan organ
target
d . Gejala gastrointestinal yang persisten ( misal: nyeri kram abdomen, muntah)
5. Atau, penurunan tekanan darah segera (beberapa menit atau jam) setelah terpapar
alergen yang telah diketahui ( known allergen ), sesuai kriteria berikut:
a. Bayi dan anak : Tekanan darah sistolik rendah (menurut umur) atau
terjadi penurunan > 30 % dari tekanan darah sistolik semula
b. Dewasa : Tekanan darah sistolik < 90 mmHg atau terjadi penurunan
c. > 30% dari tekanan darah sistolik semula.

DIAGNOSIS BANDING
1. Beberapa kelainan menyerupai anafilaksis
a. Serangan asma akut
b. Sinkop
c. Gangguan cemas /serangan panik
d. Urtikaria akut generalisata
e. Aspirasi benda asing
f. Kelainan kardiovaskuler akut ( infark miokard, emboli paru)
g. Kelainan neurologis akut ( kejang, strok)
2. Sindromflush
a. Peri- menopause
b. Sindrom karsinoid
c. Epilepsi otonomik
d. Karsinoma tiroid meduler
3. Sindrom pasca- prandial
a. Scombroidosis, yaitu keracunan histamin dari ikan, misalnya tuna, yang
disimpan pada suhu tinggi.
b. Sindrom alergi makanan berpolen, umumnya buah atau sayuryang mengandung
protein tanaman yang telah bereaksi silang dengan alergen di udara
c. Monosodium glutamat atau Chinese restaurant syndrome
d. Sulfit
e. Keracunan makanan

24
Renjatan Anafilaksis

4. Syok jenis lain


a. Hipovolemik
b. Kardiogenik
c. Distributif
d. Septik
5. Kelainan non-organik
a. Disfungsi pita suara
b. hiperventilasi
c. Episode psikosomatis
6. Peningkatan histamin endogen
a. Mastositosis / kelainan klonal sel mast
b. Leukemia basofilik
7. Lainnya
a. Angioedema non -alergik, misal: angioedema herediter tipe I, II, atau III,
angioedema terkait ACE-inhibitor )
b. Systemic capillary leak syndrome
c. Red man syndrome akibat vancomycin
d. Respon paradoksikal pada feokromositoma

TATALAKSANA
.
1 Posisi trendelenburg atau berbaring dengan kedua tungkai diangkat (diganjal
dengan kursi) akan membantu menaikkan venous return sehingga tekanan darah
ikut meningkat.
.
2 Pemberian Oksigen 3-5 liter / menit harus dilakukan, pada keadaan yang amat
ekstrim tindakan t 29
.
3 rakeostomi atau krikotiroidektomi perlu dipertimbangkan.
4. Pemasangan infus, Cairan plasma expander (Dextran) merupakan pilihan utama
guna dapat mengisi volume intravaskuler secepatnya . Jika cairan tersebut tak
tersedia, Ringer Laktat atau NaCl fisiologis dapat dipakai sebagai cairan pengganti.
Pemberian cairan infus sebaiknya dipertahankan sampai tekanan darah kembali
optimal dan stabil.
5. Adrenalin 0,3- 0,5 ml dari larutan 1:1000 diberikan secara intramuskuler yang
.
dapat diulangi 5-10 menit Dosis ulangan umumnya diperlukan, mengingat lama
kerja adrenalin cukup singkat. Jika respon pemberian secara intramuskuler kurang
efektif, dapat diberi secara intravenous setelah 0,1-0,2 ml adrenalin dilarutkan
dalam spuit 10 ml dengan NaCl fisiologis, diberikan perlahan-lahan. Pemberian

25
m HfiSJHKHBl Alergi Imunologi
subkutan, sebaiknya dihindari pada syokanafilaktikkarena efeknya lambatbahkan
mungkin tidak ada akibat vasokonstriksi pada kulit, sehingga absorbsi obat tidak
terjadi.
6. Aminofilin, dapat diberikan dengan sangat hati- hati apabila bronkospasme belum
hilang dengan pemberian adrenalin. 250 mg aminofilin diberikan perlahan -lahan
selama 10 menit intravena. Dapat dilanjutkan 250 mg lagi melalui drips infus bila
dianggap perlu.
7. Antihistamin dan kortikosteroid merupakan pilihan kedua setelah adrenalin. Kedua
obat tersebut kurang manfaatnya pada tingkat syok anafilaktik, dapat diberikan
setelah gejala klinik mulai membaik guna mencegah komplikasi selanjutnya berupa
serum sickness atau prolonged effect. Antihistamin yang biasa digunakan adalah
difenhidramin HC15- 20 mg IV dan untukgolongan kortikosteroid dapat digunakan
deksametason 5-10 mg IV atau hidrokortison 100-250 mg IV.
8. Resusitasi Kardio Pulmoner ( RKP), seandainya terjadi henti jantung ( cardiac
arrest ) maka prosedur resusitasi kardiopulmoner segera harus dilakukan sesuai
dengan falsafah ABC dan seterusnya. Mengingat kemungkinan terjadinya henti
jantung pada suatu syok anafilaktik selalu ada, maka sewajarnya ditiap ruang
praktek seorang dokter tersedia selain obat-obat emergency , perangkat infus
dan cairannya juga perangkat resusitasi ( Resuscitation kit ) untuk memudahkan
tindakan secepatnya.
.
9 Penatalaksanaan reaksi anafilaksis

26
Renjatan Anafilaksis 0
HINDARKAN / HENTIKAN paparan alergen yang diketahui / dicurigai I

NILAI CAB - M5 W dengan segera dan secepat mungkin I


.
Circulation, Airway , Breathing Mental Status, Skin, Body Weight

I
I 1
slmultan

CARI BANTUAN I
Hubungi 118 (ambulans)
atau RS terdekat
*
EPINEFRIN I
Segera injeksikan Epinefrin IM pada
mid-anterolateral paha
Dosls 0,01 mg/kgBB ( sediaan ampul
1mg/ml); maksimal pada dewasa 0,5
.
ELEVAS11
Telentangkan pasien dengan tungkai
bawah dielevasi. Posisi pemulihan bila
terjadi distres atau pasien muntah.
JANGAN BIARKAN PASIEN DUDUK
mg, maksimal pada anak 0,3 mg . ATAU BERDIRII

OBSERVASl I
Ulangi Epinefrin 5 - 15 menit kemudlan
bila belum ada perbaikan

INTRAVENA I RJP I
OKSIGEN I
Bila ada indikasi, beri Pasang Infos (dartgan jarum ukuian M 16 - Di setiap saat, apabila perlu, lakukan
Oksigen 6 - 8 liter / menit gauge) Bila syok . berikon NoCI 0,9% ! - ? Resusitasi Jantung Paru ( RJP ) dengan
-
liter secaro cepat (pada 5 10 menit kompresi jantung yang kontiniu ( Dewasa:
dengan sungkup muka atau
oro-pharyngeal airway -
pertama, dapat dlberikan 5 1 0 ml/kgBB 100 - 120 x/menit, kedalaman 5 6 cm.
-
( OPA ) . ontuk dewasa dan 10 ml/kgBB onluk anak ) Anak: 100 x /menit, kedalaman 4 5 cm) .
-

t I
MONITOR I
Nilai dan catat TANDA VITAL, STATUS MENTAL, dan OKSIGENASI setiap 5 15 menit sesuai
kondisi pasien.
-
Observasi 1 - 3 x 24 jam atau rujuk ke RS terdekat.
Untuk kasus ringan, observasi cukup dilakukan selama 6 jam

TERAPITAMBAHAN
Kortikosteroid untuk semua kasus berat, berulang, dan pasien dengan asma
o Methyl prednisolone 125 - 250 mg IV
o Dexamethasone 20 mg IV
-
o Hydrocortisone 100 500 mg IV pelan
-
Inhalasi short acting f } 2 agonist pada bronkospasme berat
Vasopressor IV
Antihistamin IV
Bila keadaan stabil, dapat mulai diberikan kortikosteroid dan antihistamin PO
selama 3 x 2 4 j a m

.
( Simons et al 2011 )

Gambar 1. Algorltma Penanganan Reaksi Anafilaktik


ft S5S5SSS& Alergi Imunologi

Rencana Tindak Lanjut


Mencari penyebab reaksi anafilaktik dan mencatatnya di rekam medis serta
memberitahukan kepada pasien dan keluarga untuk menghindari alergen penyebab
agar tidak terjadi reaksi anafilaktik lagi.

Konseling dan Edukasi


Keluarga perlu diberitahukan mengenai penyuntikan apapun bentuknya terutama
obat-obat yang telah dilaporkan bersifat antigen (serum, penisillin, anestesi lokal, dll)
harus selalu waspada untuk timbulnya reaksi anafilaktik. Penderita yang tergolong risiko
tinggi (ada riwayatasma, rinitis, eksim, atau penyakit-penyakit alergi lainnya) harus lebih
diwaspadai lagi. Jangan mencoba menyuntikkan obatyang sama bila sebelumnya pernah
ada riwayat alergi betapapun kecilnya. Sebaiknya mengganti dengan preparat lain yang
lebih aman.

Kriteria Rujukan
Kegawatan pasien ditangani, apabila dengan penanganan yang dilakukan tidak
terdapat perbaikan, pasien dirujuk ke layanan sekunder .
KOMPLIKASI
Kerusakan otak, koma, kematian .

PROGNOSIS
Prognosis suatu syok anafilaktik amat tergantung dari kecepatan diagnosa dan
pengelolaannya karena itu umumnya adalah dubia ad bonam.

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Divisi Alergi- Imunologi Klinik - Departemen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS pendidikan :-
• RS non pendidikan

REFERENSI
1. .
Simons FER, et.al 2012 Update: World Allergy Organization Guidelines
for the assessment and
management of anaphylaxis. Curr Opin Allergy Clin Immunol 2012; 12:
389-99
2. .
Simons FER, et.al World Allergy Organization Guidelines for the Assessmen
t and Management
of Anaphylaxis. WAO Journal 2011; 4:13-37
3. Baratawidjaja KG, Rengganis I. Reaksi Anafilaksis dan Anafilaktoid. Dalam
.
Interna Publishing 2009. Hal. 67-94. .
.
: Alergi Dasar Jakarta:

28
29

URTIKARIA

PENGERTIAN
Urtikaria adalah suatu kelainan yang terbatas pada superfisial dermis berupa
bentol (wheal ) yang terasa gatal, berbatas jelas, dikelilingi daerah eritematous, tampak
kepucatan di bagian tengahnya, bersifat sementara, gejala puncaknya selama 3-6 jam
dan menghilang dalam 24 jam, lesi lama berangsur hilang sejalan dengan munculnya lesi
baru, serta dapatterjadi di manapun pada permukaan kulit di seluruh tubuh, terutama
ekstremitas dan wajah. Episode urtikaria yang berlangsung kurang dari 6 minggu disebut
urtikaria akut, sedangkan yang menetap lebih dari 6 minggu disebut urtikaria kronik.1 4 '

Klasifikasi 2
-
1. IgE dependent: Sensitifitas terhadap alergen seperti tungau debu rumah, serbuk
sari, makanan, obat, jamur udara, bulu binatang peliharaan, venom Hymenoptera )
2. Fisik: dermografisme, dingin, cahaya, kolinergik, getaran, berhubungan dengan
olahraga
3. Autoimun
4. Perantaraan bradikinin
a. Angioedema herediter, defisiensi inhibitor Cl: null (tipe 1) dan disfungsional
(tipe 2]
b. Angioedema didapat: defisiensi inhibitor Cl : anti idiotipe dan anti- Cl inhibitor
c. -
^
Angiotensin converting enzyme ACE) inhibitor
5. Perantaraan komplemen
a. Vaskulitis nekrotikans
b. Serum -sickness
c. Reaksi produk darah
6. Non imunologis
a. Zat pelepas langsung sel mast (opiat, antibiotik, kurare, D-tubocurarin, media
radiokontras]
b. Zatpengubah metabolisme asam arakidonat (aspirin, NSAID, azo-dyes, benzoat)
7. Idiopatik

PanduanPraktlk Klinls
Pertilmpunan DokterSpesialis PenyakH Dalam Indonesia
# E5S5SSHM! Alergi Imunologi
PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis 1 4
• Onset dan lamanya keluhan, apakah sudah pernah berulang atau baru pertama kali
• Faktor pencetus; misalnya zat farmakologis (seperti antibiotik, analgetik,
antikonvulsan, cairan infus, imunisasi), makanan tertentu, bahan pengawet, bahan
kimia (contact urticaria), rangsang tekanan ( pressure urticaria ) atau rangsang
fisik [ physical urticaria) seperti paparan dingin, air [ aquagenic urticaria ), cahaya
[ solar urticaria ) , dan trauma ringan.
• Faktor yang memperberat: seperti stres, temperatur panas, alkohol.
• Riwayat infeksi terutama karena virus (infeksi saluran napas atas, hepatitis, rubela]

Pemeriksaan Fisik1 4
• Bentuk, distribusi, dan aktivitas lesi urtikaria pada kulit
• Adakah angioedema pada profunda dermis dan jaringan subkutan, keterlibatan
mukosa atau submukosa, memar, keterlibatan jaringan ikat, dan edema kulit yang luas
• Kemungkinan kelainan sistemik atau metabolik, seperti gangguan tiroid, ikterus,
artritis
• Urtikaria yang ditemukan di tungkai saja dan tidak hilang dalam 24 jam dicurigai
adanya urtikaria vaskulitis.

Pemeriksaan Penunjang 1 4
• Pemeriksaan dasar: darah perifer lengkap, urin lengkap, fungsi hati, fungsi ginjal
• Tes Alergi
• IgE Atopi

DIAGNOSIS BANDING
Mastositosis (urtikaria pigmentosa ), mastositosis sistemik, vaskulitis kulit
.
[ cutaneous vasculitis) Episodic Angioedema Associated with Eosinophilia ( EAAE ),
angioedema herediter, urtikaria papular, dermatitis atopik, eritema ultiformis ,
pemfigoid bulosa ,1, 2,3

TATALAKSANA
• Paliatif, edukasi untuk mengurangi gejala, menghindari pencetus
• Urtikaria akut akan sembuh sendiri dan memberikan respons yang baik dengan
pemberian antihistamin generasi pertama.5

30
Urtikaria

• Medikamentosa:1
Lini 1 : Antihistamin generasi pertama (klorfeniramin, hidroksizin, difenhidramin ),
antihistamin generasi kedua (setirizin, loratadin], antagonis H 2 (simetidin,
ranitidin) per oral
Lini 2 : Kortikosteroid per oral jangka panjang, pada beberapa kasus yang berat,
kalau perlu dilakukan biopsi bila dicurigai adanya vaskulitis untuk klasifikasi
histopatologis. Bila disertai angioedema yang berat, injeksi adrenalin
intramuskular dapat diberikan.

KOMPLIKASI
• Sumbatan jalan napas akibat angioedema akut pada faring atau laring
• Gangguan tidur dan aktivitas sehari- hari

PROGNOSIS
Belum ada data pasti mengenai kasus urtikaria, tapi diperkirakan 15-23% individu
pernah mengalami urtikaria, dan sebagian besar menjadi kronik dan sering kambuh.
Pada 25 % kasus urtikaria seringkali disertai angioedema. Diperkirakan wanita dua
kali lebih sering mengidap urtikaria dari pada laki-laki.4

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Divisi Alergi-Imunologi - Departemen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Departemen Kulit dan Kelamin, Unit Perawatan Intensif
• RS nonpendidikan : Bagian Kulit dan Kelamin, Unit Perawatan Intensif

REFERENSI
1. Baskoro A, Soegiarto G, Effendi C, Konthen PG. Urtikaria dan Angioedema. Dalam: Setiati S, Alwi
.
I, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF, eds Buku Ajar llmu Penyakit Dalam Edisi VI
. .
Jilid I Jakarta: Interna Publishing; 2014. h495-503
2. .
Sundaru Heru. Urtikaria Dalam :Setiati Siti, et al editor. Lima Puluh Masalah Kesehatan Di Bidang
llmu Penyakit Dalam. jilid I. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen llmu Penyakit Dalam FKUI;
. .
2008 h 245-50
3. Baratawidjaja KG, Rengganis I. Urtikaria dan Angioedema dalam Alergi Dasar edisi ke- 1 . Jakarta:
Pusat Penerbitan llmu Penyakit Dalam;2009. Hal 95-123 .
4. Bernstein JA, et.al. The diagnosis and management of acute and chronic urticaria: 2014 update.
J Allergy Clin Immunol. 2014;133( 5):1270-7.

31
0 JSSSJESSSSSt Alergi Imunologi

5. .
Mtynek A, et al How to assess disease activity in patients with chronic urticaria ? Allergy .
. . .
2008;63 ( 6):777-80.http://www.ncbi nlm nlh gov/pubmed/18445192
6. Mathias SD.etal. Evaluating the minimally important difference of the urticaria activity score
another measures of disease activity In patients with chronic idiopathic urticaria. Ann Allergy
. .
Asthma Immunol 108 (2012) 20-24 http: //marcus-maurer info/ flleadmin/ documents/ publications/
_ _ _ _
original/ 121 Mathias et al Evaluating UAS_CIU_AAAI_2012 pdf .

32
33

VAKSINASI PADA ORANG DEWASA

PENGERTIAN
Imunisasi adalah induksi yang bertujuan untuk membentuk suatu imunitas dengan
berbagai cara, baik secara aktif maupun pasif . Sebagai contoh imunisasi pasif adalah
pemberian imunoglobulin , sedangkan vaksinasi merupakan imunisasi aktif dengan
cara pemberian vaksin.1

JENIS VAKSIN
Tabel 1. Jenb- jenis vaksin12
llpe Vaksin Contoh
Virus yang diemahkan (live attenuated virus ] Polio sabin, measles , mumps , rubela,
varicella, yellow fever
Bakteri yang diemahkan ( live attenuated BCG*, TY21 a ( vaksin oral tifoid)
bacterium)
Virus yang telah dimatikan ( killed whole virus ) Polio salk, influenza, hepatitis A
Set bakteri yang dimatikan ( killed whole cell Pertusis, kolera, antraks
bacterium )
Toxoid Difteri, tetanus
Molecular vaccine: protein .
Acellular pertusis, subunit influenza Hepatitis B,
HPV **
Molecular vaccine: carbohydrate Haemophilus influenza type B ( Hib ) , Vi tifoid,
meningokok, pneumokok
Molecular vaccine: carbohydrate-protein Hib, meningokok, pneumokok
conjugate
Combination vaccine Difteri, pertusis, tetanus (DPT ) ; measles-
mumps-rubella ( MMR ) ; DPT-Hib

.
*BCG = Badus Catnette-Guerin vaksin antituberkulosis
**HPV = Human Papdoma Virus

Beberapa vaksin dapat diberikan secara bersamaan pada satu waktu. Bila dua atau
lebih vaksin hidup diberikan secara terpisah, maka sebaiknya pemberian pertama dan
keduaberjaraklebih daripada 28 hari . Apabila pemberian vaksin hidup ( MMR, MMRV,
varicella zoster, yellow fever ) dilakukan kurang daripada 28 hari, maka pemberian
vaksin hidup kedua perlu diulang untuk mencegah menurunnya efektivitas vaksin

Panduan Praktik Minis


Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakii Dolam Indonesia
0 gggBBS& Alergi Imunologi

hidup yang kedua. Namun terdapat pengecualian, misalnya pemberian vaksinyellow


fever dapat dilakukan kurang daripada 28 hari setelah pemberian vaksin campak.12
Memperpanjang interval pemberian vaksin tidak mengurangi efektivitas vaksin
sehingga dosis tidak perlu diulang atau ditambah. Sebaliknya, mempercepat interval
pemberian vaksin dapat mempengaruhi proteksi dan respons antibodi. Oleh karena
itu, vaksin tidak boleh diberikan lebih cepat daripada interval minimum, kecuali ada
dukungan data uji klinik. Selain itu, vaksin juga tidak boleh diberikan lebih cepat dari
usia minimum yang telah ditentukan, misalnya pada vaksinasi di sekolah yang perlu
diperhatikan adalah usia, bukan kelas siswa. Jadi, bila usia siswabelum mencapai usia
yang diindikasikan pada pemberian vaksin, meski ia satu kelas dengan temannya, ia
tidak divaksin. Meski demikian, berdasarkan rekomendasi Advisory Committee on
Immunization Practices (ACIP), pemberian vaksin empat hari sebelum interval dari
usia minimum diperbolehkan.3

JADWAL IMUNISASI YANG DIREKOMENDASIKAN


Setiap orang dewasa yang ingin mendapatkan kekebalan terhadap penyakit infeksi
dapat dilakukan pencegahan dengan pemberian vaksinasi. Jadwal Imunisasi Dewasa
telah direkomendasikan oleh PAPDI, dan dibawah ini dapat rekomendasi tahun 2014.

34
Tabel 2. Jadwal Imunisasi Dewasa yang Direkomendasikan oleh PAPDI Tahun 2014
Vaksln 19-22iohun 22-24 tahun «
27- 9 tahun -
50 S9 tahun
Influenza 1 dosis setiap tahun
(Td/Tdap) Imunisasi primer diberikan 3 dosis (bulan ke-0, 1, 7-13) selanjutnya 1 dos
tahun
Varicella 2 dosis bulan ke 0 & 4 8
( - - minggu kemudian )
Human Papilloma Virus (HPV ) 3 dosis HPV bivalent / quadrivalent ( bulan ke-0, / atau 2, dan 6 )
untuk perempuan
Human Papilloma Virus ( HPV ) HPV quadrivalent 3 dosis (bu/an ke-0,
untuk laki-laki 2, dan 6 )
Zoster
MMR 1 atau 2 dosis ( jeda minimum 28 hari)
Pneumokokal konjugat
13-valent ( PCV-13)
Pneumokokal polisakarida 1 atau 2 dosis (pengulangan diberikan setelah 5 tahun)
tfS: Panduan Praktik Klinis Alergi Imunologi
-'
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakif Dalam Indonesia
' v

USIA LANJUT
Orang yang berusia di atas 60 tahun memiliki kekebalan tubuh yang menurun.
Produksi dan proliferasi limfosit T berkurang sesuai usia sehingga imunitas selular
dan produksi antibodi berkurang sehingga lebih mudah terserang penyakit.4 Menurut
American Geriatrics Society, vaksinasi yang dianjurkan bagi individu > 65 tahun yaitu,
seperti tercantum pada tabel 3.

Tabel 3. Vaksinasi yang dianjurkan pada usia lanjut5

Nama Vaksin Dosls dan Cara KonMidiasi dan


Pemberlan Indikasl
Influenza 1 dosis ( 0,5 ml) IM Usia 50 tahun, termasuk Riwayat reaksi anafilaksis
deltoid ( setiap risiko tinggi ( asma, terhadap vaksin atau
tahun) PPOK, penyakit jantung, komponennya (mis. telur)
ginjal, hati, gangguan Jangan memberikan
metabolik, imunosupresi) vaksin hidup pada usia
>50 tahun
Sindrom GuPlairvBarre
dalam 6 minggu dari dosis
terakhir
Pneumococcal 1 dosis ( 0,5 ml) IM Usia 65 tahun yang Riwayat reaksi anafilaksis
Polysaccharide atau SC belum pernah divaksin terhadap PPSV atau
Vaccine (PPSV) sebelumnya komponennya
Sakit ringan dengan/
tanpa demam bukan
kontraindikasi
Gunakan dengan hati-
hati pada penyakit akut
sedang/berat
PCV tidak dianjurkan
untuk lansia
Herpes Zoster 1 dosis (0,65 ml) SC Usia 65 tahun tanpa Riwayat reaksi anafilaksis
deltoid melihat riwayat infeksi terhadap vaksin atau
2 dosis serial bila VZV zoster sebelumnya komponennya (gelatin,
seronegatif neomisin)
Imunokompromis (infeksi
HIV dengan <200 CD4
cells/pl)
Gunakan dengan hati-
hati pada penyakit akut
sedang/berat
Tetanus, difteri 3 dosis Td toksoid ( 2 Vaksin serial lengkap Riwayat reaksi anafilaksis
(Td) dosis pertama selang diindikasikan pada terhadap vaksin Td
4 minggu, dosis ke-3 dewasa tua dengan Penyakit akut
6-12bln kemudian, riwayat vaksin tidak jelas
booster tiap 10 atau kurang dari 3 dosis
tahun*)
‘Catatan: dapat
diberikan lebih sering
pada luka resiko tinggi
(luka bakar, luka tusuk,
luka jaringan lunak
ekstensif )

36
Vaksinasi pada Orang Dewasa 0
HAMIL
Pada wanita hamil terjadi perubahan pada tubuhnya termasuk sistem imun. Pada
kehamilan, sistem imun mengalami pergeseran dari imunitas selular menjadi imunitas
humoral sehingga wanita hamil rentan terkena infeksi.6
Rekomendasi vaksinasi untuk wanita hamil dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

TiAel 4. Rekomendasi vaksin bagi wanita hamil' 2 4


Sebelum Selama Setelah Jenls Cara
Kehamilan Kehamilan Vaksin Pemberlan
Jika ada risiko Jika ada risiko Jika ada risiko inaktif IM
Ya. Jika ada Ya, Jika ada Ya, Jika ada inaktif IM
risiko risiko risiko
Humai PapBoma Ya, usia 9-24 Tidak Ya, usia 9-24 inaktif IM
Vkus (HPV) tahun tahun
Ya, hindari Ya Ya inaktif IM
konsepsi
selama 4
minggu

-
Mcningokok Jika ada Ya, Jika ada Jika ada
konjugaR indikasi indikasi indikasi inaktif IM
• PoBsakorida inaktif SC
Pneumokok Jika ada Jika ada indikasi Jika ada inaktif IM atau SC
indikasi indikasi
Palo (TV) Jika ada Dihindari, kecuali Jika ada inaktif SC
indikasi ada risiko indikasi
Ya, Tdap lebih Jika ada indikasi Ya, Tdap lebih toxoid IM
Diplieita(Td) dipilih dipilih
Tetonus- Ya Ya, Jika risiko Ya toxoid IM
tinggi pertusis
Pedusn(Tdap)
V< Ya, hindari Tidak Ya, hindari hidup SC
konsepsi konsepsi
selama 4 selama 4
minggu minggu
Influenza (LAIV) Ya, jika <50 Tidak Ya, jika <50 hidup Nasal spray
tahun dan tahun dan
sehat; hindari sehat; hindari
konsepsi konsepsi
selama 4 selama 4
minggu minggu
MMR Ya, hindari Tidak Ya, hindari hidup SC
konsepsi konsepsi
selama 4 selama 4
minggu minggu

37
# ESSSjfiSSlSHS Alergi Imunologi

PEMBERIAN VAKSIN PADA IMUNODEFISIENSI SEKUNDER


Imunodefisiensi sekunder merupakan bagian dari imunokompromais
(gangguan sistem imun). Infeksi sering menjadi penyebab kematian pada pasien
imunokompromais, karena itu vaksinasi dibutuhkan untuk mencegah risiko terkena
infeksi .7 Dibawah ini terdapat rekomendasi pemberian vaksin pada pasien dengan
imunodefisiensi sekunder.

Tabel S. Rekomendasi Pemberian Vaksin pada Imunodefisiensi sekunder7


Vaksin yang Vaksin yang
Imunodefisiensi Efekttvftas dan keterangan
Dlkonlralndlkasl dlanjurkan
HIV / AIDS OPV * Influenza ( TIV ) AA MMR, varicella, dan
BCG Pneumokok Yellow fever diberikan bila hitung
LAIV *** Hepatitis A dan B CD>200 Sel/nl

HAJI1 8
Kementerian Kesehatan Kerajaan Arab Saudi, sejaktahun 2002 telah mewajibkan
negara - negara yang mengirimkan jemaah haji untuk memberikan vaksinasi
meningokoktetravalen (A/C/Y/W-135) sebagai syarat pokok pemberian visa haji dan
umroh, dalam upaya mencegah penularan meningitis meningokokus. Cara pemberian
vaksin berupa dosis tunggal 0,5 mL disuntikkan subkutan di daerah deltoid atau gluteal.
Respons antibodi terhadap vaksin dapat diperoleh setelah 10 -14 hari dan dapat
bertahan selama 2 -3 tahun. Vaksin diberikan pada jemaah haji minimal 10 hari sebelum
berangkat ke Arab Saudi dan bagi jemaah yang sudah divaksin sebelumnya ( kurang
dari tiga tahun ) tidak perlu vaksinasi ulang.
Di samping vaksin meningokok dianjurkan juga pemberian vaksin influenza dan
pneumokok mengingat lingkungan tempat tinggal yang berdesakkan dan usia jemaah
yang sebagian besar termasuk usia lanjut.

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Divisi Alergi- Imunologi, Departemen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Bagian Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam

38
Vaksinasi* pada Orang Dewasa $|
?

REFERENSI
1 . Winulyo EB. Imunisasi Dewasa. Dalam: Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B,
Syam AF (ed) . Buku Ajar llmu Penyakit Dalam Jilid I. Edisi ke-6. Jakarta: Interna Publishing: 2014.
h. 951-7.
2. Yunihastuti E. Vaksinasi pada Kelompok Khusus. Dalam: Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata
M , Setiyohadi B, Syam AF (ed.) . Buku Ajar llmu Penyakit Dalam Jilid I. Edisi ke-6. Jakarta: Interna
. . .
Publishing; 2014 h 958-62
3. .
Center for Disease Control & Prevention Recommended immunization schedule, United States .
Washington DC: Center for Disease Control & Prevention; 2014.
4. The American Geriatrics Society. A Pocket Guide To Common Immunization for the Older Adults .
Centers for Disease Control and Prevention. USA, 2009 .
.
5 Wahyudi ER, Yasmin E. Vaksinasi pada Usia Lanjut. Dalam: Pedoman Imunisasi pada Orang
. . .
Dewasa Djauzi S, Rengganis I, Koenoe S, Ahani AR (ed) Tahun2012 Jakarta: Badan Penerbit
.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2012. h 261-7.
6. Ocvyanti D, Novianti H. Vaksinasi pada Kehamilan. Dalam: Pedoman Imunisasi pada Orang
.
Dewasa Djauzi S, Rengganis I, Koenoe S, Ahani AR ( ed) . Tahun2012. Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2012. h.268-79.
7. Yunihastuti E, Winulyo BE, Sukmana N, Yogani I. Vaksinasi pada Pasien Imunokompromais.
Dalam: Pedoman Imunis'asi pada Orang Dewasa. Djauzi S, Rengganis I, Koenoe S, Ahani AR ( Ed).
.
Tahun2012 Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: 2012 h.331-41 . .
8. Koesnoe S, Novianti H. Vaksinasi untuk Jemaah Umroh dan Haji. Dalam: Pedoman Imunisasi
pada Orang Dewasa. Djauzi S, Rengganis I, Koenoe S, Ahani AR ( ed). Tahun2012. Jakarta: Badan
.
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2012. h 320-6.

39
40

HIV / AIDS TANPA KOMPLIKASI

PENGERTIAN
Masalah HIV/AIDS adalah masalah besar yang mengancam Indonesia dan banyak
negara di dunia serta menyebabkan krisis multi dimensi. Berdasarkan basil estimasi
Departemen Kesehatan tahun 2006 diperkirakan terdapat 169.000 - 216.000
orang dengan HIV dan AIDS di Indonesia. Program bersama UNAIDS dan WHO
memperkirakan sekitar 4,9 juta orang hidup dengan HIV di Asia.

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis
Keluhan
Infeksi HIV tidak akan langsung memperlihatkan gejala atau keluhan tertentu.
Pasien datang dapat dengan keluhan:
1. Demam (suhu > 37,5°C) terus menerus atau intermiten lebih dari satu bulan.
2. Diare yang terus menerus atau intermiten lebih dari satu bulan.
.
3 Keluhan disertai kehilangan berat badan ( BB) >10% dari berat badan dasar.
4. Keluhan lain bergantung dari penyakit yang menyertainya.

Faktor Risiko
1. Penjaja seks laki-laki atau perempuan
2. Pengguna NAPZA suntik
3. Laki-laki yang berhubungan seks dengan sesama laki-laki dan transgender
4. Hubungan seksual yang berisiko / tidak aman
5. Pernah atau sedang mengidap penyakit infeksi menular seksual (IMS)
6. Pernah mendapatkan transfusi darah
7. Pembuatan tato dan atau alat medis /alat tajam yang tercemar HIV
8. Bayi dari ibu dengan HIV/AIDS
9. Pasangan serodiskor (yang satu terinfeksi HIV, lainnya tidak) dan salah satu
pasangan positif HIV

PanduanPraktlk Minis
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
HIV /AIDS Tanpa Komplikasi

Pemeriksaan fisik
1. Keadaan Umum
a. Herat badan turun
b. Demam
2. Kulit
a. Tanda-tanda masalah kulit terkait HIV misalnya kulit kering, dermatitis
seboroik.
b. Tanda-tanda herpes simpleks dan zoster atau jaringan parut bekas herpes
zoster.
3. Pembesaran kelenjar getah bening
4. Mulut: kandidiasi oral, oral hairy leukoplakia, keilitis angularis
5. Dada: dapat dijumpai ronki basah aldbat infeksi paru
6. Abdomen: hepatosplenomegali, nyeri, atau massa.
7. Anogenital: tanda-tanda herpes simpleks, duh vagina atau uretra
8. Neurologi: tanda neuropati dan kelemahan neurologis.

Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
a. Hitung jenis leukosit :
Limfopenia, dan CD4 hitung <500 (CD4 sekitar 30 % dari jumlah total limfosit)
b. Tes HIV menggunakan strategi III yaitu menggunakan 3 macam tes dengan titik
tangkap yang berbeda, umumnya dengan ELISA dan dikonfirmasi Western Blot
c. Pemeriksaan DPL
.
2 Radiologi: Rontgen toraks

Sebelum melakukan tes HIV perlu dilakukan konseling sebelumnya. Terdapat dua
macam pendekatan untuktes HIV :
1. Konseling dan tes HIV sukarela (KTS-VCT = Voluntary Counseling & Testing )
'

2. Tes HIV dan konseling atas inisiatif petugas kesehatan (TIPK - PITC - Provider-
Initiated Testing and Counseling )

Penegakan DiagnosKs ( Assessment )


Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan hasil tes
HIV. Stadium klinis harus dinilai pada saat kunjungan awal dan setiap kali kunjungan.

41
# E55SSSS& Alergi Imunologi

Tabel 1 . Stadium Kllnis HIV


Stadium 1 Aslmtomatik
1 . Tidak ada penurunan BB
2. Tidak ada gejala atau hanya limfa denopati generalisata persisten
Stadium 2 Saktt Rlngan
1 . Penurunan BB bersifat sedang yang tidak diketahui penyebabnya ( < 10% dari perkiraan BB atau
BB sebelumnya )
2. ISPA berulang ( sinusitis, tonsilitis, otitis media, faringitis)
3. Herpes zosterdalam 5 tahun terakhir
4. Keilitis Angularis
5. Ulkus mulut yang berulang
6. Ruam kulit yang gatal ( Papular pruritic eruption }
7. Dermatitis seborolik
8. Infeksi jamur pada kuku
Stadium 3 Saklt Sedang
1 . Penurunan berat badan yang tak diketahui penyebabnya (> 10% dariperkiraan BB atau BB sebelumnya)
2. Diare kronis yang tak diketahui penyebabnya lebih dari 1 bulan
3. Demam menetap yang tak diketahui penyebab
4. Kandidiasis pada mulut yang menetap
5. Oral hairy leukoplakia
6 . Tuberkulosis paru
7. Infeksi bakteri yang berat ( contoh: pneumonia, empiema, meningitis, piomiositis, infeksi tulang
atau sendi, bakteriemia, penyakit inflamasi panggul yang berat)
8. Stomatitis nekrotikans ulseratif akut, gingivitis atau periodontitis
9. Anemia yang tak diketahui penyebabnya ( Hb<8g/dl) , neutropeni ( <0.5 x 10 g l) dan atau
/ /
trombositopenia kronis ( <50 x 10 g/l)
Stadium 4 Saklt Berat (AIDS)
1 . Sindrom wasting HIV
2. Pneumonia pneumocystis proved
3. Pneumonia bakteri berat yang berulang
4. Infeksi herpes simpleks kronis ( orolabial, genital, atau anorektal selama lebih dari 1 bulan atau
viseral di bagian manapun)
5. Kandidiasis esofageal ( atau kandidiasis trakea, bronkus atau paru)
6. Tuberkulosis ekstra paru
7. Sarkoma kaposi
8. Penyakit cytomegalovirus (retinitis atau infeksi organ lain, tidak termasuk hati, limpa dan kelenjar
getah bening)
9. Toksoplasmosis di sistim saraf pusat
10. Ensefalopati HIV
11 . Pneumonia kriptokokus ekstrapulmoner, termasuk meningitis
12. Infeksi mycobacteria non tuberkulosis yang menyebar
13 . Leukoencephalopathy multifocal progresif
14. Cyrptosporidiosis kronis
15. Isosporiasis kronis
16. Mikosis diseminata (histoplasmosis, coccidiomycosis)
17. Septikemi yang berulang ( termasuk Salmonella non-tifoid )
18 . Limfoma ( serebral atau Sel B non-Hodgkin)
19. Karsinoma serviks invasif
20. Leishmaniasis diseminata atipikal
21. Nefropati ataukardiomiopati terkait HIV yang simtomatis

42
HIV / AIDS Tanpa Komplikasi

DIAGNOSIS BANDING
Penyakit gangguan sistem imun.

TATALAKSANA

Prosedur
Untuk memulai terapi anti retroviral perlu dilakukan pemeriksaan jumlah CD 4
(bila tersedia) dan penentuan stadium klinis infeksi HIV.
1. Dokter melakukan workup kemungkinan adanya infeksi oportunistik, seperti
tuberkulosis dan ensefalitis toksoplasma. Bila di temukan infeksi oportunistik seperti
tuberkulosis dan ensefalitis toksoflasma, lakukan terapi untuk infeksi oportunistik
tersebut dahulu.
2. Dilakukan pemeriksaan CD4 dan viral load (bila memungkinkan)
3. Tidak tersedia pemeriksaan CD 4
Penentuan mulai terapi ARVdidasarkan pada penilaian klinis.
4. Pada pasien dengan CD4 < 200 pada orang dewasa dan tidak ditemukan toksoplasma
ensefalitis , berikan profilaksis untuk toksoplasma ensefalitis, yaitu kortimoksasol .
Indikasi pada anak sesuai bagian profilaksis pencegahan kortimoksasol diatas .
5. Dokter mengidentifikasi apakah terdapat indikasi untuk memulai ARV seperti pada
tabel 2 .
6. Bila terdapat indikasi memulai ARV dilakukan pemeriksaan yang menunjang yang
sesuai dengan ARV yang diberikan untuk mengetahui ada tidaknya kontraindikasi
sesuai dengan hasil pemeriksaan laboratorium pada tabel 2 .
7. Identifikasi dan tatalaksana fk +ctor yang dapat mempengaruhi adherens .
8. Sebelum memulai ARV, pasien diberikan konseling sebelum memulai ARV
(konseling pra ARV)
Tabel 2. Rekomendasi Inisiasi ARV pada anak dan Dewasa
Populasl Rekomendasi
Dewasa dan Inisiasi ARV pada orang terinfeksi HIV stadium klinis 3 dan 4, atau jika jumlah CD4
anak >5 tahun 350 sel/mm3

.
Inisiasi ARV tanpa melihat stadium klinis WHO dan berapapun jumlah CD4
Koinfeksi TBa
• Koinfeksi hepatitis B
• Ibu hamil dan menyusui terinfeksi HIV
• Orang terinfeksi HIV yang pasanganya HIV negative ( pasangan serodiskordan) ,
untuk mengurangi risiko penularan
• LSL, PS, atau Penasunb
Populasi umum pada daerah dengan epidemi HIV meluas

- sejak mulai TB. tanpa menghentikan
^PengobatonTB haiusdl mulai ferlebih dahulu, kemudian obat ARV diberikan dalam 2 8 minggu
i pengobatan TB.
i : • CD 4 kurang dari 50 sel / mm , ARV harus dimulai dalam
3 '

| okut
Sodangkan unliJk ODHA dengan meningitis kriptokokus, ARV dimulai setelah 5 minggu pengobatan rfi
1 ,i |
BDengan memperhatikan kepatuhan.

43
KSE5S* Alergi Imunologi

Tabel 3. Pondnan In Pertama yang Dkekomendasacan poda Orang Dewasa yang Belum
Mendapat Tempi ARV fTreatment Naive )
roputadToget yang Dfcefcomendadnai
Dewasa dan AZT aicM TDF + 3TC (atau FTC) + Merupcfccn pBxn paduan yang sesuai
arx * EVFatauNVP untuk sebagtan besar pasien
Gonckan FDC pea tetsedta
Perempuan bami AZT + 3IC + EFV atau NVP TDF btsa merupakan piihan
Ko-infeksi HIV/IB AZT atau TDF + 3TC (FTC) + BV Muia terapi ARV segera setetoh terapi
TB dapat cftolercnsi (antaa 2 minggu
hingga 8 minggu)
Gundcai NVP atau tripe! NRT1 bSa EFV

Ko-infeksi HIV/ TDF + 3TC IRC) + HV atau NVP


*
tide dqpat cigunakan
Pertimbangkan pemeriksaan HbsAG
Hepatitis B kronik terutana bia TDF merupakan paduan lini
aktif pertama. Dipertukcn penggunaan 2 ARV
yang memMri aktivitas anti-HBV
• JnnQan menw&ii demonn IDf parta pcitTttfkaknn iterapr ARVafwdi. jjko CO hittuimg <5© /nrtif'imeffirtt atom pada pemderita
diabetes
Hanna Npedcrai yang tldaft Hednmfltal dam ffiigai gjmjint
- Jtamgam imetfirmilkoii dteirngoni AZF sebeHiMn ttenopi AW Ibiikat Mb <Ti (Egr /dJL
/

Tabel 4. Dosis Anfkefcovkal untuk ODH A Dewasa


Galongan/ Noma Obd
Nucleoside DTI
Abacavw (ABC) 300 mg seliap 12 jcvn
LewnivueSne (3TC) 150 mg seffiqp 12 jckim atau 300 img sekafisehari
Stavuckte (d4T) 40 mg setic
Zidovudkie (ZDV atau AZT)
* 12 jam (SOmgsetiap 12 jam b8a BB<60 kg)
}

300 mg settiap 12 jam

Tenofovk (IDF) 300 mg sekaisehari .


(Catatan: kiteraksi obat dertgom ddl petlu mengurangi dosis ddl)
Non-nucleoside tits
Efavkenz ( BV) £00 mg sekdfeehesi
Nevkcpkte (NVP) (NevkciB) .
200 mg sekafisehamelama 14 hari ketnuefian 200 mg setiap 12 jam
Proiease MiUon
Lopkxjvk/ritonavk (IPV/r) .
400 mg/100 mg seticp 12 jtm (533 mg/133 mg setiap 12 jam bila
dkombinasi dengem BV atau NVP)
ART kombkiasi
AZT -3TC (Duvkdl 8) Dtoerkan 2x sehandengan ntervai 12 jam

Rencana Tindak Lanjut


1. Pasien yang belum memenuhi syarat terapi ARV
Monitor perjalanan klinis penyakit dan jumlah CD4-nya setiap 6 bulan sekali.
2. Pemantauan Pasien dalam Terapi Antiretroviral

44
a. Pemantauan klinis
HIV/AIDS Tanpa Komplikasi

Dilakukan pada rainggu 2, 4, 8, 12 dan 24 minggu scjak memulai terapi ARV


^
j
|

dan kemudian setiap 6 bulan bila pasien telah mencapai keadaan stabil.
b. Pemantauan laboratorium
• Pemantauan CD4 secara rutin setiap 6 bulan, atau lebih sering bila ada
indikasi klinis.
• Pasien yang akan memulai terapi dengan AZT maka perlu dilakukan
pengukuran kadar Hemoglobin (Hb) sebelum memulai terapi dan pada minggu
ke 4, 8 dan 12 sejak mulai terapi atau ada indikasi tanda dan gejala anemia
• Bila menggunakan NVP untuk perempuan dengan CD4 antara 250-350 sel/
mm3 maka perlu dilakuan pemantauan enzim transaminase pada minggu
2, 4, 8 dan 12 sejak memulai terapi ARV [bila memungkinkan ), dilanjutkan
dengan pemantauan berdasarkan gejala klinis.
• Evaluasi fungsi ginjal perlu dilakukan untuk pasien yang mendapatkan I DE

Konseling dan Edukasi


1. Menganjurkan tes HIV pada pasien TB, infeksi menular seksual (IMS), dan kelompok
risiko tinggi beserta pasangan seksualnya, sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
2. Memberikan informasi kepada pasien dan keluarga tentang penyakit HIV/AIDS.
Pasien disarankan untuk bergabung dengan kelompok penanggulangan HIV/AIDS
untuk menguatkan dirinya dalam menghadapi pengobatan penyakitnya.

Kriteria Rujukan
1. Setelah dinyatakan terinfeksi HIV maka pasien perlu dirujuk ke Pelayanan
Dukungan Pengobatan untuk menjalankan serangkaian layanan yang meliputi
penilaian stadium klinis, penilaian imunologis dan penilaian virologi.
2. Pasien HIV/AIDS dengan komplikasi.

Sarana Prasarana
Layanan VCT

PROGNOSIS
Prognosis sangat tergantung kondisi pasien saat datang dan pengobatan. Terapi
hingga saat ini adalah untuk memperpanjang masa hidup, belum merupakan terapi
definitif, sehingga prognosis pada umumnya buruk.

m
# tSSSSBSSi
'
A ergi Imunologi

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Divisi Alergi -Imunologi Klinik - Departemen Penyakit Dalam,
Divisi Tropik Infeksi - Departemen Ilmu Penyakit Dalam,
Divisi Pulmonologi - Departemen Ilmu Penyakit Dalam,
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam

UNIT YANG TERKAIT


• RS pendidikan : Departemen Neurologi, Departemen Kulit dan Kelamin
• RS non pendidikan : Bagian Neurologi> Bagian Kulit dan Kelamin

REFERENSI
1. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman Nasional
Tatblaksana Ififeksi HIV dan ferapi Antiretroviral pada Orang Dewasa.Jakarta: Kemenkes. 2011.
.
2 . .
Djoerban Z, Djauzi S HIV /AIDS di Ihdbnesia Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata
. . . .
M, Setjati S Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam 4lhEd Vol II Jakarta; Pusat Penerbitan Departemen
Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2006. Hal. 1825-30 .
.
3 . .
Yunihastuti E, Karjadi TH, Suroyo Yudianto B, Nelwan JE, Ujainah ZN, Kurniati N, Imran D, dkk
Pedoman Layanan HIV RSCM 2014 .

46
PENATALAKSANAAN
DIBII 1GI UPENYAKIT

PANDUANH
PRAKTIK M2
KIINIS I M
METABOLIK ENDOKRIN

Diabetes Melitus 47
Diabetes Melitus Gestasional 60
Dislipidemia 64
Hipoglikemia 73
Hipogonadisme 77
Hipoparatiroidisme . 83
Hipotiroidisme 85
Hiperparatiroidisme 90
Karsinoma Tiroid 93
Kelainan Adrenal 96
Kista Tiroid 105
Krisis Hiperglikemia 109
Krisis Tiroid 115
Perioperatif Diabetes Melitus 118
Kaki Diabetik 123
Sindrom Ovarium Polikistik ( PCOS ) 131
Struma Difusa Non Toksik 134
Struma Nodosa Non Toksik ( SNNT ) 137
Struma Nodosa Toksik 144
Tiroiditis 147
Tirotoksikosis 151
Tumor Hipofisis 156
Obesitas 162
*

!
47

DIABETES MELITUS

PENGERTIAN
Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia kronik yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja
insulin, atau kedua- duanya. 1 Dalam praktik sehari - hari DM tipe 2 yang paling sering
ditemui , sehingga pembahasan lebih banyak difokuskan pada DM tipe 2 .

Tabel 1. Klasifikasi Diabetes Melitus1'2


I. Diabetes Melius Tipe 1
(Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut )
A. Melalui proses imunologik
B. Idiopatik
II. Diabetes Melius Tipe 2
(Bervariasi mulai yang predominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai yang
predominan gangguan sekresi insulin bersama resistensi insulin)
III. Diabetes Melius Tipe tain
A. Defek genetik fungsi sel beta
• Kromosom 12, HNF-a ( dahulu MODY 3)
• Kromosom 7, glukokinase (dahulu MODY 2)
• Kromosom 20, HNF a ( dahulu MODY 1)
• Kromosom 13, insulin promoter factor ( dahulu MODY 4)
• Kromosom 17, HNF-1 p ( dahulu MODY 5)
• Kromosom 2, Neuro D 1 (dahulu MODY 6) DNA Mitokondria
• Lainnya
B. Defek genetik kerja insulin : resistensi insulin tipe A, Leprechaunism, sindrom Rabson Menden-
hall, diabetes lipoatrofik, lainnya
C. Penyakit eksokrin pankreas : pankreatitis, trauma /pankreatektomi, neoplasma, fibrosis kistik
hemokromatosis, pankreatopati fibro kalkulus, lainnya
D. Endokrinopati : akromegali, sindrom Cushing, feokromositoma, hipertiroidisme, somatostati-
noma , aldosteronoma , lainnya
E. Karena obat / zat kimia : vacor , pentamidin, asam nikotinat, glukokortikoid, hormon tiroid,
diazoxid, aldosteronoma, lainnya
F. Infeksi : rubella congenital, CMV, lainnya
G. Imunologi ( jarang) : Sindrom "Stiffman " , antibodi antireseptor insulin, lainnya.
H. Sindrom genetik lain : Sindrom Down, Sindrom Klinefelter, sindrom Turner, sindrom Wolfram ' s,
ataksia Friedreich ' s, chorea Huntington, sindrom Laurence Moon Biedl, distrofi miotonik, por-
firia , sindrom Prader Willi, lainnya
IV. Diabetes Mefltus Gestaslonal

Panduan Praktik Minis


Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
Pt*mnpwMim Drittar SpesMs PmwdfeU Etatam Itratorosb
Metabolik Endokrin

PENDEKATAN DIAGNOSIS
Kriteria diagnosis DM (Gambar 1) 11
1. Gejala klasik DM + glukosa plasma scwaktu > 200 mg/dl
Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari
tanpa mcmperhatikan waktu makan terakhir atau
2. Gejala klasik DM + glukosa plasma puasa > 126 mg/dL
Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam
3. Glukosa plasma 2 jam pada TTGO > 200 mg/dl
TTGO dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang setara
dengan 75 gram glukosa anhidrat yang dilarutkan ke dalam air.

ICetubcn Kfeic Diabetes


I
Ketutxn Klasic [+)

l
low 25
I < 100
< 140
I
140-199

Ucng GDS atau GDP I

DIABETES MHITUS

TGT: tM pnusTCTdtosAfcaw UurirUprwtlc


^
GPTT: Porosis GDPT dUrgakfcm bto sete&ih pew
pewiiksni TTGO pda dank 2 jn < 140 w dL
^

48
Diabetes Melitus |j?
|
Cara pelaksanaan TTGO (WHO, 1994) 1
• Tiga hari sebelum pemeriksaan, pasien tetap makan seperti kebiasaan sehari-hari
(dengan karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan kegiatan jasmani seperti
biasa)
• Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan, minum
air putih tanpa gula tetap diperbolehkan
• Diperiksa kadar glukosa darah puasa
• Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa) atau 1,75 gram / kgBB (anak-anak),
dilarutkan dalam air 250 ml dan diminum dalam waktu 5 menit
• Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam
setelah minum larutan glukosa selesai
• Diperiksa kadar glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa
Selama proses pemeriksaan, subjek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok
1

ANAMNESIS
• Gejala yang timbul
• Hasil pemeriksaan laboratorium terdahulu meliputi : glukosa darah, A1C, dan hasil
pemeriksaan khusus yang terkait DM
• Pola makan, status nutrisi, dan riwayat perubahan berat badan
• Riwayat tumbuh kembang pada pasien anak/ dewasa muda
• Pengobatan yang pernah diperoleh sebelumnya secara lengkap, termasuk terapi gizi
medis dan penyuluhan yang telah diperoleh tentang perawatan DM secara mandiri,
serta kepercayaan yang diikuti dalam bidang terapi kesehatan
• Pengobatan yang sedang dijalani, termasuk obat yang digunakan, perencanaan
makan dan program latihan jasmani
• Riwayat komplikasi akut (ketoasidosis diabetik, hiperosmolar hiperglikemia, dan
hipoglikemia)
• Riwaya infeksi sebelumnya, terutama infeksi kulit, gigi, dan traktus urogenitalis
serta kaki
• Gejala dan riwayat pengobatan komplikasi kronik (komplikasi pada ginjal, jantung,
susunan saraf, mata, saluran pencernaan, dll.)
• Pengobatan lain yang mungkin berpengaruh terhadap glukosa darah
• Faktor risiko: merokok, hipertensi, riwayat penyakit jantung koroner, obesitas, dan
riwayat penyakit keluarga (termasuk penyakit DM dan endokrin lain)
Riwayat penyakit dan pengobatan di luar DM
• Pola hidup, budaya, psikososial, pendidikan, dan status ekonomi
• Kehidupan seksual, penggunaan kontrasepsi, dan kehamilan1

49
© Metabolik Endokrin

Pemeriksaan Fisik1
• Pengukuran tinggi badan, berat badan, dan lingkar pinggang
• Pemeriksaan ekstremitas atas dan bawah, termasuk jari
• Pemeriksaan funduskopi
• Pemeriksaan rongga mulut dan kelenjar tiroid
• Pemeriksaan jantung
• Evaluasi nadi, baik secara palpasi maupun dengan stetoskop
• Pemeriksaan kulit (acantosis nigrican dan bekas tempat penyuntikan insulin) dan
pemeriksaan neurologis
• Pengukuran tekanan darah, termasuk pengukuran tekanan darah dalam posisi
berdiri untuk mencari kemungkinann adanya hipotensi ortostatik, serta ankle
brachial index (ABI), untuk mencari kemungkinan penyakit pembuluh darah arteri
tepi
• -
Tanda tanda penyakit lain yang dapat menimbulkan DM tipe lain1

Pemeriksaan Penunjang
• Glukosa darah puasa dan 2 jam post prandial
• HbAlc
• Profil lipid pada keadaan puasa (kolesterol total, HDL, LDL, dan trigliserida)
• Kreatinin serum
• Albuminuria
• Keton, sedimen, dan protein dalam urin
• Elektrokardiogram
• Foto sinar -x dada
1

DIAGNOSIS BANDING
• Hiperglikemia reaktif
• Pre diabetes

TATALAKSANA

Non farmakologisu
• Edukasi
• Terapi gizi medis
• Kebutuhan kalori'

50
Diabetes Melitus

Cara menghitung berat badan ideal pasien DM menggunakan ramus Brocca:

^
Berat Badan Idaaj BI) • x 1 kg

Bagi pria dengan tinggi badan < 160 cm dan wanita <150 cm
i: . i 3 ^ :
rumus dimodifikasi menjadi :
. BBI = (TB dalam cm -100) x 1 kgBB
normal : BBI ± 10%
BB kurus : < (BBI - 10%)
BB gemuk : > (BBI + 10%) Induks massa tubuh
CIMT) dapat dihitung dengan rumus :
BB(kg )
IMT=
TB(m2 )

Kebutuhan kalori basal;

Kalori Basal = Berat Badan Ideal x 25> kal/kgB.B Cuntuk wanita)


Kalori Basal = Berat Badan Ideal x 30 kal /kgBB (untuk pria)
- M’ : i* '

Faktor -
faktor yang menentukan kebutuhanikalori:
1. Umur
--
- 40 59 tahun 5%
- 60 69 tahun -10%
-
- >70 tahun -20%
2. AktiyitasFisik atau Pekerjaan
- Istirahat +10P/o;
- Aktivitas ringan + 20,%
- Aktivitas sedang + 30%
- Aktivitas sangat berat +50%
3. Berat Badan
- Kegemukan -20 30% -
- Kurus + 20 30% -
4. Stres metabolik: +10 30% -

51
MPJHSSSS Metabolik Endokrin

Klasifikasi IMT (WHO WPR / IASO / IOTF)


Tabel 2. Klasifikasi IMT 1
Krfteria berat badan IMT
BB Kurang <18,5
BB Normal 18,5-22,9
BB Lebih >23.0
Dengan risiko 23-24.9
Obes I 25,0-29,9
Obes II >30

Untuk wanita paling sedikit 1000-1200 kkal, untuk pria 1200-1600 kkal, dibagi
menjadi makan pagi (20%), siang (30%), dan sore (25%), serta 2-3 porsimakanan
ringan (10 -15%) diantaranya.
• Karbohidrat
Karbohidrat 45-65% total asupan energi, diutamakan yang berserat tinggi
Pembatasan karbohidrat total <130 gr/ hari tidak dianjurkan
Gula dalam bumbu diperbolehkan, sukrosa < 5% total asupan energi
Pemanis alternatif dapat digunakan asal tidak melebihi batas aman konsumsi
harian
Makan 3x/hari. makanan selingan buah atau makanan lain sebagai bagian dari
kebutuhan kalori lain dapat diberikan
• Lemak
Asupan lemak + 20 - 25 % kebutuhan kalori. Tidak diperkenankan melebihi
30 % total asupan energi
Lemak jenuh <7% kebutuhan kalori
Lemak tak jenuh ganda < 10%, selebihnya dari lemak tak jenuh tunggal
Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung lemak
jenuh dan lemak trans antara lain : daging berlemak dan penuh susu ( whole
milk)
Anjuran konsumsi kolesterol < 200 mg/ hari
• Protein
-
10 20% total asupan energi
Sumber protein yang baik adalah seafood (ikan, udang, cumi, dll), daging tanpa
lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-kacangan. tabu,
dan tempe
Pada pasien dengan nefropati : 0,8 g/ KgBB / hari atau 10% kebutuhan energi
dan 65% hendaknya bernilai biologik tinggi

52
Diabetes Melitus

• Natrium
< 3000 mg atau sama dengan 6 - 7 gram (1 sendok teh) garam dapur
Mereka yang hipertensi , pembatasan natrium sampai 2400 mg
Sumber natrium antara lain adalah garam dapur, vetsin, soda, dan bahan
pengawet seperti natrium benzoat dan natrium nitrit
Serat
Kacang - kacangan, buah, sayuran, serta sumber karbohidrat yang tinggi serat
25 g/ hari

• Pemanis alternatif
- Fruktosa tidak dianjurkan
Pemanis sesuai batas aman konsumsi harian
Pemanis tak berkalori yang dapat digunakan: aspartam, sakarin, acesulfam
potassium, sukralose, dan neotame
• Latihan
Teratur, 4- 5x seminggu selama kurang lebih 30 menit (total durasi minimal
150 menit/ minggu)
Yang dianjurkan, yang bersifat aerobik : jalan kaki , bersepeda santai . jogging ,
dan berenang

Farmakologis 13

Tabel 3. Obat Hipoglikemik Oral '


Lama k«f]a
Gotongan Ganerik Mg /tab Doslt Harlan (mg) (Jam)
Frck/ hari Waktu

Sulfonilurea Glibenklamid 2,5-5 2,5-20 12-24 1 -2


Glipizid 5- 10 5-20 10- 16 1 -2
Glipizid XL 5- 10 5-20 12- 16
Gliklazid 80 80-320 -
10 20 1 -2
Gliklazid MR 30-60 30- 120 24
Glikuidon 30 30- 120 6-8 2-3
Glimepirid 1 -2-3-4 0,5-6 24 1
1 -2-3- 4 1 -6 24 1
1 -2-3-4 1 -6 24 1
1 -2-3- 4 1-6 24
Glinid Repaglinid 1 1 ,5-6 3
Nateglinid 120 360 3
Tiazolidin- Pioglitazon 15-30 15-45 24
dion
15-30 15- 45 24

53
fl 5!!!!, !?““* Metabolik Endokrin
Golongan Genartk Mg/tab Doris Harlan (mg) Lama k«r]a
Frek/hari Waktu
(Jam)
15-30 15-45 18-24 1
Pengham- Acarbose 50-100 100-300 3
bat Glukosi-
dase alfa
50- 100 100-300 3
Biguanid Metformin 500-850 250-3000 6-8 1 -3
500 500-3000 6-8 2-3
Metformin XR 500-750 24 1
500 500-2000 24 1
Pengham- Vildagliptin 50 50-100 12-24 1 -2
bat DPP-IV
Sitagliptin 25, 50, 100 25-100 24 1
Saxagliptin 5 5 24 1
Linagliptin 5 5 24 1

Obat Metformin + 250/ 1,25 Total glibenclamid 12-24 1 -2


kombinasi Glibenclamid 500/2,5 maksimal 20 mg/
tetap 500/5 hari
Glimepirid + 1 / 250 2 /500 2
Metformin 2/500
Pioglitazone+ 15/500 4/ 1000 18-24 1
Metformin 30/850
Sitagliptin + 50/ 500 Total sitagliptin 1
Metformin 50/ 1000 maksimal 100 mg/
hari
Vildagliptin 50/500 Total vildagliptin 12-24 2
+ Metformin 50/850 maksimal 100 mg/
50/ 1000 hari
Saxagliptin 5/500 Total saxagliptin 24 I
+ Metformin 5 / 1000 maksimal 5
2,5 / 1000 mg/hari. Total
metformin
maksimal 2000
mg/hari.
Linagliptin + 2,5/500 Total linagliptin 12 2
Metformin 2,5/850 maksimal 5
2,5/ 1000 mg/ hari. Total
metformin 2000
mg/hari.
Diabetes Melitus

label 4. Indikasi penggunaan insulin '


Indikasl MuMak
DMT 1
Indikasl RekrtR
Gagal mencapai target dengan penggunaan kombinasi OHO dosis optimal (3- 6 bulan)
DMT2 rawat jalan dengan :
• Kehamilan
• Infeksi paru ( tuberkulosis)
• Kaki diabetik terinfeksi
• Fluktuasi glukosa darah yang tinggi
• Riwayat ketoasidosis berulang
• Riwayat pankreatektomi
Selain indikasi di atas, terdapat beberapa kondisi tertentu yang memerlukan pemakaian insulin, seperti penya-
kit hati kronik, gangguan fungsi ginjal, dan terapi steroid dosis tinggi

Tabel 5. Jenis - Jenis Insulin1


Profit Kerja Gam)
InsuKn Manusia atau Insulin Analog Puncak
Awal
Kerja cepat (insulin analog)
Insulin lispro ( Humalog) 0,2-0,5 0,5-2
Insulin aspart (Novorapid) 0,2-0,5 0,5-2
Insulin glulisin ( Apidra) 0,2-0,5 0,5-2
Kerja pendek (Insulin manusia, Insulin regular )
Humulin R 0,5- 1 0,5-1
Actrapid
Kerja menengah (Insulin manusia, NPH)
Humulin N 1,5- 4
Insulatard 4- 10
Kerja panjang (long- insulin analog ) 1 -3
Insulin glargine (Lantus) Hampir tanpa
Insulin detemir ( Levemir) puncak
Campuran [ premixed . Insulin manusia)
70/30 Humulin ( 70% NPH, 30% reguler )
70/30 Mixtard (0% NPH, 30% reguler) 0,5-1 3-12
Campuran ( premixed, insulin analog)
75/25 Humalog ( 75% NPL, 25% Lispro) 0,2-0,5 1 -4
70-30 Novomix ( 70% protamine aspart, 30% aspart ) 0,2-0,5 1 -4

Individualisasi Terapi
Berdasarkan pedoman yang dikeluarkan oleh ADA / EASD 2012 , maka diperlukan
pendekatan individual untuk menentukan regimen dan target pengobatan pada
penyandang DM tipe 2.4

55
PanduanPrahilkHlinis Metabolik
Soeoallt
Pmhlmpunan Doktm! ' Endokrin
Penyall Dolam mdoneiM

Lebih agreslf Kurang agreslf

Slkap paslen dan usaha yang


diharapkan
Motlvasl tinggi, menglkuti naslhat,
mempunyal kapdsltas perdwatan
.
Kuiang motivasl tidak penurut.
kapasltas perawatan din yang
dlrl yang baik buruk

Risiko potensial yang berhubun- Rendah Tlnggl


gan dengan hlpoglikemia atau
hal lain yang merugikan

Durasi penyakif Baru terdlagnosa Sudah lama

Harapan hldup Panjang Pendek

Kormobld yang penting Tidak ada Rlngan Berat

Komplikasl vaskular Tidak ada Rlngan

Resources, support system Tersedla Terbatas

Gambar 2. Algoritma Indlvlduallsasl terapl4

KOMPLIKASI
Ketoasidosis diabetik ( KAD], status hiperglikemia hiperosmolar (SHH), hipoglikemi,
retinopati, nefropati, neuropati, penyakit kardiovaskular.1'3

PROGNOSIS
Diabetes menyebabkan kematian pada 3 juta orang setiap tahun ( 1, 7 - 5, 2%
kematian di dunia) . 1

56
DM Tahap-I Tahap- ll

GHS
GHS
+
Monoterapi
GHS
> +
Catalan: Kombinasi 2 OHO
1. GHS= gaya hidup sehat
2. Dinyatakan gagal bila terapi
selama 2-3 bulan pada tiap
Jalur pilihan alternate, bila:
tahap tidak mencapai target
tidak terdapat insulin
terapi HbAlc <7%
00

I < 7%
I 7-8%
I 8 - 9%
I > 9%
I 9

I GHS
GHS GHS
+ +

Monoterapi Kombinasi 2
Gaya Hidup
Met, SU, AGI, obat
Sehat
Glinid, TZD, Met, SU, AGI,
• Penu-
njnan be- DPP 4- 1 Glinid, TZD,
rat badan DPP 4-1
• Mengatur GHS
diit +
• Latihan
Diabetes Melitus

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Divisi Metabolik Endokrin - Departemen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Divisi Ginjal- Hipertensi, Divisi Kardiologi - Departemen
Penyakit Dalam, Departemen Neurologi, Patologi Klinik,
Mata dan Gizi .
• RS non pendidikan : Bagian Neurologi , Patologi Klinik, Mata dan Gizi .

REFERENSI
1. PERKENI. (Consensus Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. 2011 .
2. The Expert Committee on The Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus. Report of The
Expert Committee on The Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus. Diabetes Care, Jan
2003:26(Suppl. 1):S5-20.
3 . Suyono S. Type 2 Diabetes Mellitus is a Beta-Cell Dysfunction. Prosiding Jakarta Diabetes Meeting
2002: The Recent Management in Diabetes and Its Complications : From Molecular to Clinic.
Jakarta, 2-3 Nov 2002. Slmposium Current Treatment in Internal Medicine 2000. Jakarta,11-12
November 2000:185-99.
4. Inzucch SE, Bergenstal RM, Buse JB et al. Management of HyperglycemiainType2 Diabetes: A
Patient-Centered Approach. Position Statement of the American Diabetes Association ( ADA )
and the European Association for the Study of Diabetes ( EASD).Diunduh dari http:/ /care.
diabetesjournals.org/content /35/ 6/ 1364.full.pdf+html pada tanggal 7 Juni 2012

59
60

DIABETES MELITUS GESTASIONAL

PENGERTIAN
Diabetes Melitus Gestasional (GDM) adalah diabetes yang didiagnosis pertama kali
saat kehamilan, dan terjadi pada 5-10% kehamilan. Definisi ini berlaku dengan tidak
memandang apakah pasien diabetes melitus hamil yang mendapatterapi insulin atau
diet saja, juga apabila pada pasca persalinan keadaan intoleransi glukosa menetap.
Demikian pula ada kemungkinan pasien tersebut sebelum hamil sudah terjadi
intoleransi glukosa. Resistensi insulin pada kehamilan normal diperkirakan meningkat
40- 70 % umumnya pada trimester pertama. Pada GDM terjadi gangguan fungsi sel beta
pankreas, dan terjadi penurunan insulin. Resistensi insulin memperberat keadaan
defek sel beta pankreas pada GDM. Risiko tinggi diabetes gestasional:
1. Umur lebih dari 30 tahun
2. Obesitas dengan indeks massa tubuh > 30 kg/ m 2
3. Riwayat diabetes melitus dalam keluarga
4. Pernah menderita diabetes melitus gestasional sebelumnya
5. Pernah melahirkan anak besar > 4000 gram
6. Adanya glukosuria

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis
Wanita dengan diabetes gestasional hampir tidak pernah memberikan keluhan,
sehingga perlu dilakukan skrining. Anamnesis ditujukan untuk mencari faktor risiko
diabetes melitus gestational.

Pemeriksaan Fisik
Pada umumnya tidak ditemukan kelainan pada pemeriksaan fisik.

Pemeriksaan Penunjang
• Pemeriksaan laboratorium: glukosa darah puasa dan 2 jam sesudah makan, HbAlc

m nduan Praktfk Kllnis


Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
Diabetes Melitus Gastasional

Tabel 1 . Nilai Glukosa Plasma Puasa dan Tes Toleransi Glukosa Oral dengan Beban Glukosa 75
gram
Glukosa plasma puasa
• Normal <110 mg/dl
• Glukosa puasa terganggu >110 mg/dl - <126 mg/dl
Diabetes melitus Si 26 mg/ dl
Glukosa plasma 2 jam setelah pemberian 75 gram glukosa oral
• Normal <140 mg/dl
• Toleransi glukosa terganggu 2:140 mg/dl - <200 mg/dl
• Diabetes melitus S200 mg / dl

Menurut WHO dalam Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus 1999,


diagnosis diabetes gestasional harus melakukan tes toleransi glukosa oral dengan
beban glukosa 75 gram. Dinyatakan diabetes gestasional bila glukosa plasma puasa
> 126 mg/ dl dan / atau dua jam setelah beban glukosa > 200 mg / dl, atau toleransi
glukosa terganggu (dianggap diabetes).

DIAGNOSIS BANDING

TATALAKSANA
1. Terapi Nutrisi Medik
a. Jumlah kalori yang dianjurkan adalah 30 kkal/berat badan ideal sebelum hamil.
b. Sasaran glukosa plasma puasa < 105 mg / dl dan dua jam setelah makan < 130
mg / dl. Apabila sasaran tidak tercapai dapat diberikan terapi insulin
2. TerapiInsulin
a. Jenis insulin yang dipakai adalah insulin manusia.
b. Insulin analog dipakai jika tidak tersedia insulin manusia.
c. Dosis dan frekuensi sangat tergantung kadar glukosa darah.
d. Pada umumnya insulin dihentikan pada saat pasien bersalin untuk mencegah
hipoglikemia
3. Terapi Farmakologis
Tabel 2. Terapi Farmakologis pada Diabetes Melitus Gestasional
Insulin Gllbenldamld Metformlnb
Mekanisme Pengambilan insulin Menstimulasi sekresi insu- Meningkatkan
melalui reseptor lin oleh sel beta pankreas sensitivitas terhadap
insulin, menstimulasi
pengambilan glu-
kosa yang disebab-
kan insulin

61
KSKSSMHI Metabolik Endokrin

Insulin Gllbenklamld Metformin 15


Onset Bervariasi Maksimal 1 jam Maksimal 1 jam
Peak Bervariasi 4 jam 2-4 jam
Dosis Bervariasi 2.5 mg pada pagi hari 500 mg pada pagi
atau setiap 12 jam, hari atau setiap 12
dapat ditingkatkan jam. Maksimum 1000
setiap minggu dari 2.5 mg setiap 12 jam.
mg- lOmg setiap 12 jam.
Melewati plasenta Minimal (hanya fraksi Minimal-tidak ada Ya
terikat antibodi)
Kategori FDA B° C B
Pengalaman Banyak Sedang c Terbatas
kegunaan dalam
kehamilan
Angka kegagalan 20 % 35 %
sehingga
membutuhkan insulin
FDA: food and Drug Administration
3
Beberapa insulin analog terbaru termasuk kategori C
b
Rekomendasl penggunann dalam kehamilan masili lidak cukup
c
Pengalaman minimal pada penggunaan di usia gestasi < 11 minggu .
Risiko pada neonates belum terbukti karemt keierbatasan ptMudilian .

KOMPLIKASI
• Komplikasi pada ibu
Preeklampsi
Infeksi kandung kemih
Persalinan seksio sesaria
Dan trauma persalinan akibat bayi besar
• Komplikasi pada anak
Makrosomia (paling sering)
Hambatan pertumbuhan janin
Cacat bawaan
Hipoglikemia
Hipokalsemia dan hipomagnesemia
Hiperbilirubinemia
Polisitemia hiperviskositas
Sindrom gawat napas neonatal

PROGNOSIS
Hipertensi kronik terjadi pada 1 dari 10 ibu hamil dengan diabetes melitus . 3
Preeklamsia terjadi lebih sering pada wanita dengan diabetes melitus (mencapai

62
Diabetes Melitus Gastasional |S|

12 % ) dibandingkan pada wanita yang tidak mengidap diabetes mellitus .


Preeklamsia berhubungan dengan kontrol glikemik . Jika glukosa darah puasa
< 105 mg/dL preeklamsia terjadi pada 7.8 %, sedangkan glukosa darah puasa > 105
mg / dL preeklamsia terjadi pada 13.8%. 4 Risko abortus dalam kehamilan terjadi pada
9 - 14 % kasus. Malformasi terjadi pada 13.3 % dari 105 wanita hamil dengan diabetes
melitus5 ,sedangkan risiko bayi lahir dengan besar usia gestasi terjadi pada 30 % kasus .
6

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Divisi Metabolik Endokrin, Divisi Kardiologi - Departemen
Penyakit Dalam , Departemen Obstetri Ginekologi
Departemen Kesehatan Anak
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam , Bagian Obstetri Ginekologi ,
Bagian Kesehatan Anak

UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : Divisi Kardiologi , Departemen Patologi Klinik , Gizi Klinik
• RS non Pendidikan : Bagian Patologi Klinik, Gizi Klinik

REFERENSI
1 . .
Adam JMF Diabetes Melitus Gestasional dalam Buku Ajar llmu Penyakit Dalam Jilid III edisi IV.
Pusat Penerbitan Departemen llmu enyakit Dalam. Jakarta, 2006 ( 1927-1929)
2. Pridjian G, Benjamin TD. Update Gestational Diabetes. Obstet Gynecol Clin N Am 37 ( 2010) 255-267
3. Tobias DK, Hu FB , Forman JP, Chavarro J, Zhang C. Increased Risk of Hypertension After
Gestational Diabetes Mellitus: Findings from a large prospective cohort study. Diabetes Care .
Jul 2011:34( 7) :1582-4.
4. Yogev Y, Xenakis EM, Longer O. The association between preeclampsia and the severity of
gestational diabetes: the impact of glycemic control. Am J Obstet Gynecol. Nov 2004:191 (5 ):1655 60.
5. Lucas MJ, Leveno KJ, Williams ML, Raskin P, Whalley PJ. Early pregnancy glycosylated hemoglobin,
severity of diabetes, and fetal malformations. Am J Obstet Gynecol. Aug 1989:161 ( 2):426-31
6. Ehrenberg HM, Mercer BM, Catalano PM. The influence of obesity and diabetes on the prevalence
of macrosomia. Am J Obstet Gynecol. Sep 2004:191 (3):964-8

63
64

DISLIPIDEMIA

PENGERTIAN
Dislipidemia adalah kelainan metabolisme lipid yang ditandai dengan peningkatan
atau penurunan fraksi lipid dalam plasma. Kelainan fraksi lipid yang utama adalah
kenaikan kadar kolesterol total, kolesterol LDL, trigliserida, serta penurunan kadar
kolesterol HDL. European Atherosclerosis Society ( EAS ) menetapkan klasifikasi
sederhana yaitu : 1
• Hiperkolesterolemia (peningkatan lipoproterin LDL, Kolesterol > 240 mg/dL),
• Hipertrigliseridemia ( peningkatan lipoprotein VLDL, Trigliserida > 200 mg/ dL),
• Dislipidemia campuran ( peningkatan VLDL + LDL; kadar TG > 200 mg/ dL +
Kolesterol > 240 mg/ dL) .
Berdasarkan patogenesisnya, dislipidemia dibagi 2 menjadi dislipidemia primer
(akibat kelainan genetik) dan dislipidemia sekunder (akibat penyakit lain).

Tabel 1. Dislipidemia Sekunder Pada Beberapa Penyakitl - 3


Penyakit Penyebab Kelainan Upld
Diabetes Melitus
Gagal Ginjal Kronik *
TG dan kol HDL
TG 'P
Sindrom Nefrotik
Hipotiroidisme *
Kol-total
Kol-total T
Penyalahgunaan alkohol TG T
Kolestasis Kol-total T
Kehamilan TG T
Obat-obatan TG T
.
( diuretik, beta bloker kontrasepsi oral, kortikosteroid,
.
retinoid progestin, steroid anabolik)

PENDEKATAN DIAGNOSIS1
• Untuk menegakkan diagnosis, perlu pemeriksaan kadar kolesterol total, HDL, LDL
dan TG plasma darah vena.
Persiapan puasa 12 jam sebelumnya diperlukan untuk pemeriksaan TG dan LDL
indirek yang menggunakan rumus Friedwald yaitu

PanduanPraktik Minis
Perhimpunan Dokler Spesiolis Penyakil Dalam Indonesia
Dislipidemia

LDL = Kol Total - kol HDL - TG / 5

*Rumus ini tidak dapat digunakan apabila kadar TG > 400 mg/ dL

• Pemeriksaan penyaring dianjurkan untuk setiap orang usia > 20 tahun (bila normal
perlu diulang tiap 5 tahun )
• Pemeriksaan lain dapat disesuaikan dengan klinis untuk mencari adakah penyakit
lain yang menyertai atau menjadi penyebabnya (misalnya glukosa darah, tes fungsi
hati, urin lengkap, tes fungsi ginjal, TSH, EKG)

Tabel 2. Klaslfikasi Kadar Kolesterol menurut NCEP ATP III (2001 )


Kadar kolesterol: Kk»Mkasl:
Kolesterol LDL:
• < 100 mg / dL Optimal
• 100 - 129 mg/dL Hampir optimal
• 130 - 159 mg/dL Borderline tinggi
• 160 - 189 mg/dL Tinggi
• 190 mg/dL Sangat tinggi
Kolesterol total:
• < 200 mg/d Yang diinginkan
• 200 - 239 mg/ dL Borderline tinggi
• 240 mg/dL Tinggi
Kolesterol HDL
• < 40 mg/ dL Rendah
• 60 mg/ dL Tinggi

• Penting untuk menilai seberapa besar faktor risiko penyakit jantung koroner ( PJK)
sebelum memulai terapi dislipidemia. Faktor risiko utama (selain kolesterol LDL)
yang menentukan sasaran kolesterol LDL yang ingin dicapai, di antaranya yaitu:
1

Merokok
Hipertensi (TD 140 / 90 atau dalam terapi antihipertensi)
Kolesterol HDL rendah ( < 40 mg/ dL)‘
Riwayat PJK dini dalam keluarga (ayah < 55 tahun, ibu < 65 tahun)
Umur pria 45 tahun, wanita 55 tahun
Terdapat 3 kelompok faktor risiko, menurut NCEP ATP III dengan Framingham
Risk Score ( FRS ) untuk menghitung besarnya risiko penyakit jantung koroner ( PJK )
yang meliputi: umur, kadar kolesterol total, kolesterol HDL, kebiasaan merokok, dan
hipertensi (lihat appendix ) . Penjumlahan skor pada FRS akan menghasilkan angka
persentase risiko PJK dalam 10 tahun.’

* kolesterol HDL (> 60 mg/dL) dianggap sebagai faktor risiko negatif, artinya mengurangi 1
faktor risiko dari perhitungan total.

65
#
vjH.y y,
'
Perhimpunan Dokler SpesiaRs Penyakit Dalam Indonesia Metabolik Endokrin

1. Risiko tinggi:
a. Mempunyai riwayat PJK
b. Mereka yang memiliki risiko yang disamakan dengan PJK:
Diabetes
Gagal ginjal kronik
- Bentuk lain aterosklerosis: stroke, penyakit arteri perifer, aneurisma aorta
abdominalis
Faktor risiko multipel ( > 2 faktor) dan mempunyai risiko PJK dalam 10
tahun > 20 %
.
2 Risiko multipel ( 2 faktor risiko) dengan risiko PJK dalam waktu 10 tahun < 20 %
3. Risiko Rendah ( 0 - 1 faktor risiko) dengan risiko PJK dalam waktu 10 tahun < 10 %

DIAGNOSIS BANDING i
• Hiperkolesterolemia sekunder, karena hipotiroidisme, penyakit had obstruksi, sindrom
nefrotik, anoreksia nervosa, porfiria intermiten akut, obat ( progestin, siklosporin,
thiazide)
• Hipertrigliseridemia sekunder, karena obesitas, DM, penyakit ginjal kronik,
lipodistrofi, glycogen storage disease, alkohol, bedah bypass ileal, stres, sepsis,
kehamilan, obat (estrogen, isotretinoin, penyekat beta, glukokortikoid, resin
pengikat bile - acid , thiazide), hepatitis akut, lupus eritematosus sistemik,
gammopati monoklonal: myeloma multipel, limfoma AIDS: inhibitor protease
• HDL rendah sekunder, karena malnutrisi, obesitas, merokok, penyekat beta, steroid
anabolik

TATALAKSANA

A. Pasien dengan hiperkolesterolemia1 3


Non farmakologis (Perubahan Gaya Hidup/PGH):
• Terapi nutrisi medis, dengan:
mengurangi asupan lemak jenuh dan lemak trans tidak jenuh sampai
< 7 - 10 % total energi.
- mengurangi asupan kolesterol sampai < 250 mg/ hari
menggantikan makanan sumber kolesterol dan lemak jenuh dengan makanan
alternatif lainnya (misal produk susu rendah lemak, karbohidrat dengan indeks
glikemik rendah)
mengkonsumsi makanan padat gizi dan kardioprotektif (sayuran, kacang-
kacangan, buah, ikan, dsb)

66
Dislipidemia

menghindari makanan tinggi kalori [makanan berminyak, soft drink )


mengkonsumsi suplemen yang dapat menurunkan kadar lipid ( seperti asam
lemak omega 3, makanan tinggi serat, dan sterol sayuran.
mengurangi berat badan dan meningkatkan aktivitas fisik
Respons perbaikan diet terlihat dalam 3 - 4 minggu, namun penyesuaian diet
sebaiknya diperkenalkan bertahap
• Aktivitas fisik diperbanyak atau rutin berolahraga
• Menghentikan rokok dan minuman beralkohol, terutama bila disertai hipertensi,
hipertrigliseridemia, atau obesitas sentral
• Mempertahankan atau menurunkan berat badan
Bila setelah 6 minggu berikutnya terapi non - farmakologis tidak berhasil
menurunkan kadar kolesterol LDL, maka terapi farmakologis mulai diberikan, dengan
tetap meneruskan pengaturan makan dan latihan jasmani.

Tabel 3. Faktor Risiko Utama (terkecuali kolesterol LDL) yang Menentukan Sasaran
Kolesterol LDL*4
Perokok sigaret
Hipertensi ( TD >140 /90 mmHg atau sedang dapat obat hipertensi)
Kolesterol HDL-C <40 mg/ dld
Riwayat keluarga adanya PJK dini ( PJK orang tua pria <55 tahun, orang tua wanita <65 tahun)
Umur (pria <45 tahun, wanita >55 tahun)
^Diabetes mellitus disamakan dengan penyakit jantung koroner ( PJK )
risiko di atas
fKoleserol HDL >60 mg/ dLdihitung sebagai faktor risiko negatif, oleh karena itu dapat mengurangi satu dari faktor

Tabel 4 . Target KolesteroUDL (mg/ dL ) dan Batasan untuk Pemberian Terapi berdasarkan
Kelompok Risiko
Target Kolesterol
Kelompok Risiko LDL (mg/dL)
1. Risiko Rendah <160
Risiko rendah ( 0- 1 faktor risiko )
2. Risiko Mullipel <130
Risiko multiple ( £2 faktor risiko )
3. Risiko Tinggi < 100
a. Mempunyai riwayat PJK
b. Mereka yang mempunyai risiko yang disamakan dengan PJK :
Diabetes melitus
Bentuk lain penyakit aterosklerotik yaitu strok, penyakit arteri
perifer, aneurisma aorta abdominalis
Faktor risiko multiple (>2 faktor risiko )
4. Risiko Sangat Tinggi
Kelompok ini dikhususkan pada pasien paska penyakit kardiovaskuler
dengan keadaan khusus, yaitu:
Disertai faktor risiko multipel ( terutama pasien diabetes melitus )
Disertai faktor risiko yang tidak dapat dikendalikan, seperti masih
tetap merokok

67
M
-
vlW fHr
PanduanPraktikMinis Metabolik Endokrin
Peitilmpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia

Kelompok Rlslko Target Kolesterol


LDL (mg/dL)
Sindroma metabolik dengan faktor risiko multipel ( terutama kadar <70
trigliserida 200 mg/ dL dimana kadar kolesterol non-HDL >130 mg/dL
dengan kolesterol HDL <40 mg/dL)
Pasien dengan sindroma koroner akut

Farmakologis1
Predominan
• Golongan statin :
Simvastatin 5 - 40 mg
Lovastatin 10 - 80 mg
- Pravastatin 10 - 40 mg
Fluvastatin 20 - 80 mg
Atorvastatin 10 - 80 mg
Rosuvastatin 10 - 40 mg
Pitavastatin 1- 4 mg
• Golongan bile acid sequestrant:
Kolestiramin 4 - 16 g
• Golongan nicotinic acid:
-Nicotinic acid ( immediate release) 2 x 100 mg s.d. 1,5 - 3 g
Terapi hiperkolesterolemia untuk pencegahan primer, dimulai dengan statin atau
bile acid sequestrant atau nicotinic acid. Pemantauan profil lipid dilakukan setiap
6 minggu.
Bila target sudah tercapai (lihat tabel target di atas), pemantauan setiap 4 - 6
bulan. Bila setelah 6 minggu terapi, target belum tercapai: intensifkan atau naikkan
dosis statin atau kombinasi dengan yang lain . Bila setelah 6 minggu berikutnya terapi
non - farmakologis tidak berhasil menurunkan kadar kolesterol LDL, maka terapi
farmakologis diintensifkan. Pasien dengan PJK, kejadian koroner mayor atau dirawat
untuk prosedur koroner, diberi terapi obat saat pulang dari RS jika kolesterol LDL
> 100 mg / dL. 1

B. Pasien dengan hipertrigliseridemia


• Penatalaksanaan non farmakologis sesuai di atas.
• Penatalaksanaaan farmakologis: 2
Target terapi:
Pasien dengan trigliserida borderline tinggi atau tinggi: tujuan utama terapi
adalah mencapai target kolesterol LDL.

68
Dislipidemia |§|

Pasien dengan trigliserida tinggi: target sekunder adalah kadar kolesterol


-
non HDL, yakni sebesar 30 mg/ dL lebih tinggi dari target kadar kolesterol
LDL (lihat tabel di atas).
- Pendekatan terapi obat:
1. Obat penurun kadar kolesterol LDL, atau
2. Ditambahkan obat fibrat atau nicotinic acid . Golongan fibrat terdiri dari:
• Gemfibrozil 2 x 600 mg atau 1 x 900 mg
• Fenofibrat 1 x 200 mg
Penyebab primer dislipidemia sekunder, juga harus ditatalaksana .
KOMPLIKASI
Aterosklerosis, penyakit jantung koroner, stroke, pankreatitis akut
1

PROGNOSIS
Risiko menjadi PJK dalam 10 tahun ke depan berdasarkan Skor Framingham yaitu
menjumlahkan poin-poin dari faktor usia, nilai kolesterol, nilai HDL, tekanan darah
sistolik.1

69
Metabolik Endokrin

Tabel 5. Skor Framingham untuk Rislko PJK dalam 10 Tahun untuk Wanita 5
Langkah 1 Langkah 7 (Jumlah Poln dari langkah 1- 6 )
Usia Jumlah Semua Poln
Tahun Poln LDL Poln Kolesterol Usia
30-34 -9 [ 9] - LDL-C atau Kolesterol
35-39
40- 44
-4 [ 4] - HDL-C
0 [0] Tekanan Darah
45-49 3 [3] Diabetes
50-54 6 [6] Perokok
55-59 7 [7 ] Total Poin
60-64 8 [8]
65-69 8 [8]
70-74 8 [8]

Langkah 2 Langkah 8
LDL-C Rislko PJK
(mg/dL) (mmol/L) Poln LDL Total Poln LDL Rislko 10 Tahun Total Poln Kolesterol Rislko 10 Tahun
<100 <2,59 -2 <-2 1% [<-2] [ 1 %]
100-129 2,60-3.36 0 -1 2% [- U [2%]
130-159 3,37-4,14 0 0 2% [0] [ 2%]
160-190 4,15-4,92 2 1
2
2%
3%
m [ 2%]
>190 4,92 2 [2] [3%]
3 3% [3] [3%]
4 4% [4] [4%]
Kolesterol
5 5% [5] [4%]
(mg/dL) (mmol/L) Poln Kol 6 6% [6 ] [5%]
<160 <4,14 [-2]
160-199 -
4, 15 5,17 [0] 7 7% [7] [6%]
200-239 -
5,18 6,21 [ 1] 8 8% [8] [7%]
240-279 -
6,22 7,24 m 9
10
9%
11%
[9]
[ 10]
[8%]
[ 10%]
*280 >7,25 [3]
11 13% [ 11 ] [H%]
12 15% [ 12] [ 13%]
Langkah 3 13 17% [ 13] [ 15%]
14 20% [14] [18%]
HDL-C 15 24% [ 15] [ 20%]
(mg/dL) (mmol/L) Poln LDL Poln Kol 16 27% [ 16] [24%]
<35
35- 44
<0,90
0,91-1,16
5
2
[5]
[2] *17 *32% £ 17]
*
[ 27%]

45-49 -
1,17 1,29 1 HI
50-59 -
1,30 1,55 0 [0]
>60
*
1 ,56 -2 [ 3]-
Langkah 4 Langkah 9 (Perbandingan dengan rata-rata orang dalam
Tekanan Darah usia yang sama )
StafoHk DkistoDk (mmHg) Perbandingan Rislko
(mmHg)
<120
<60
-3 [-3]
60-84 65-89 90- 99 £100 Usia
(Tahun)
Rata- Rata Rata- Rata RWkoPJK Rislko Rlngan PJK
RIsIkoPJK 10 Tahun Berat* 10 Tahun 10 Tahun
~
120-129 0 [0] 30-34 <1% <1% < 1%
130-139 0 [0] 35-39 < %1 <1% 1%
140- 159 2 [ 2] 40- 44 2% 1% 2%
45-49 5%
*160 3 [3]
Ketorangan: apabila tekanan slstollk dan dlastolik menunjukkan estimasi poin yang berbeda,
gunakan ppoin tertlnggi
50-54 8%
2%
3%
3%
5%
55-59 12% 7% 7%
60-64 12% 8% 8%
Langkah 5 65-69 13% 8% 8%
70-74 14% 11 % 8%
Diabetes
* PJK berat termasuk angina pektoris
Poln LDL Poln Kol + Risiko ringan dihitung dari orang dengan
* usia yang sama, tekanan darah yang optimal,
Ya 0 [0] LDL-C 100-l29mg/dL atau kolesterol 160-199mg/dL, HDL-C 45mg/ dL pada pria atau
Tidak 4 [4] 55mg/ dL pada wanita , bukan perokok, lidak diabetes

Langkah 6
Perokok
Poln LDL Poln Kol
Ya 0 [0]
Tidak 2 [ 2]

70
Dislipidemia

5
Tabel 6 . Skor Framingham untuk Risiko PJK dalam 10 Tahun untuk Pria

Langkah 1 Langkah 6
Utla Porokok
Tdiun Poln LDL Poln Kotastarol Poln LDL PotnKol
30-34 -1 H] Ya 0 [0]
-
35 39 0 [0] Tidak 2 12]
40-44 1 m
45-49 2 2
[ ] Langkah 7 ( Jumlah Poin dari langkah 1 - 6)
50-54 3 [3]
55-59 4 [4] Jumlah Somua Poln
60-64 5 [5] Usla
65-69 6 [6] LDL-C atau Kolesterol
70- 74 7 [71 HDL-C
Tekanan Darah
Diabetes
Perokok
Langkah 2 Total Poin
LDL- C
Langkah 8
(mg/dL) (mmol/L) Poln LDL
<2,59 -3 RWkoPJK
<100
100-129 2,60-3,36 0 Total Poln RJsJko 10 total Poln RbfcolO
130- 159 3,37-4,14 o LDL Tatum
160-190
2190
4,15- 4,92
!>4,92
1
2
<3-
-2
1%
2%
-1 2% Ml [2%]
0 3% [0] [3%1
1 4% [1] [3%]
(mg/dL) (mmol/ L) PolnICol
2 4% [ 21 [4%]
< 160 <4,14 [-3] [3] [5%1
3 6%
-
160 199 4,15-5,17 [01
4 7% [ 41 [ 7%]
200-239 5,10- 6,21 HI 5 9% [51 [8%1
240-279 6,22-7,24 [ 2]
6 11 % [6] [ 10%]
280 7 ,25 [31 [13%]
7 14% [7]
8 18% [8] [ 16%1
9 22% [9] [ 20%]
Langkah 3 10 27% [ 10] [25%]
11 33% [1 1] [31%]
HDL-C 12 40% [ 12] [37%]
(mg/dL) (mmol/L) Poin LDL PoInKol 13 47% [ 13] [45%]
<35
35-44
<0,90
0,91- 1.16
2
1
[ 2]
[ 1]
214 >56%
^ 14] [253%]

45-49 1,17-1,29 0 [0] Langkah 9 (Perbandingan dengan rata-


50-59 1.30-1,55 0 [ 0] rata orang dalam usla yang sama )
260 21,56 -1 [ - 2] Porbandlngan RWko
Rata- Rata Itata ltata -
RWko
Usla RWkoPJK RWkoPJK
Langkah 4 (Tatum) datam 10 Bond* datam PJK datam
Tahun 10 Tahun lOTahun
tokanan Darah
30-34 3% 1% 2%
Dksstolk (mmHg) 35-39 5% 4% 3%
(mmHg) <00 80-04 05-09 90- 99 2100 40- 44 7% 4% 4%
45- 49 11% 8% 4%
<120 0 [0] 50-54 14% 10% 6%
120-129 0 [0] -
55 59 16% 13% 7%
60-64 21% 20% 9%
130-139 1 HI 65-69 25% 22% 1 1%
70- 74 30% 25% 14 %
140-159 2 [21 ’PJK berat termasuk angina pektoris
“Risiko n i ' i , 11 H I IM I , 1 . » usia yang sama,
2:160 3 (3] lekanan cjtn t> V HO >ptin I. LDI100 l 29mg/dLatau
koleste ig/aLHDL*C ! ada pria atau
Keterangan: apabila tekanan sistolik dan diastolik menunjukkan estimasi poin 55mg/dL pada wanita , bukan perokok, tidak diabetes
yang berbeda , gunakan ppoin terlinggi

Langkah 5
Dlabetos
Poln LDL PoInKol
Ya 0 [0]
Tidak 2 [2]

71
Panduan Praktik Klinis Metabolik
P«thlmponcm oaklet tyttMiit RonyaMt Oalam Indorwio Endokrin

UNIT YANG MENANGANI


• RS Pendidikan : Divisi Metabolik Endokrin, Divisi Kardiologi - Departemen
Penyakit Dalam i

• "RS fion PendkUk&n : Bagian Ilmu Penyakit: fialam


UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : Divisi Kardiologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam,
Departemen Patologi Klinik, Gizi Klinik
• RS non Pendidikan : Bagian Patologi Klinik, Gizi Klinik

REFERENSI
1 AdOTi JMfv&Qegondo S> SemisydjL.G, Adriansyah H. Editor. Petunjuk Praktis Penatalaksanaan
DIsIlfbldenTld. PB'PERKENI; April 2004'
1

2. Semiardji G. National Cholesterol Education Program - Adult Treatment Panel III


(NCEP-ATP III) : Adakah hal yang baru? Makalah Siang Klinik Bagjgp
Metabolik Endokrinologi
Bagian Ilmu penyakit Dalam, 2002 . 0
.
3 Reiner Z, Catapano A, Backer G et all. ESC/EAS Guidelines forthe management of dyslipjdaemias :
TheTask Forc6 for the management of dyslipidaemias of the European Society of Cardiology (ESC)
and the European Atherosclerosis Society (EAS). European Heart Journal (2011) 32, 176 -1818.
^

72
73

HIPOGLIKEMIA

PENGERTIAN
Hipoglikemia adalah keadaan dengan kadar glukosa darah < 70 mg / dL, atau kadar
glukosa darah < 80 mg/ dL dengan gejala klinis. Kasus hipoglikemia paling banyak
dijumpai pada penderita diabetes, sehingga pada panduan pelayanan medis ini akan
dibatasi pada kondisi tersebut. Hipoglikemia pada penderita diabetes biasanya terjadi
karena : 1,2
• Kelebihan obat atau dosis obat: terutama insulin, atau obat hipoglikemik oral
• Kebutuhan tubuh akan insulin yang relatif menurun: gagal ginjal kronik, pasca
persalinan
• Asupan makan tidak adekuat: jumlah kalori atau waktu makan tidak tepat
• Kegiatan jasmani berlebihan.

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Gejala dan Tanda Klinis1 2 3


• Stadium parasimpatik: lapar, mual, tekanan darah turun
• Stadium gangguan otak ringan: lemah, lesu, sulit bicara, kesulitan menghitung
sementara
• Stadium simpatik: keringat dingin pada muka, bibir atau tangan gemetar
• Stadium gangguan otak berat: tidak sadar, dengan atau tanpa kejang

Anamnesis1 3
• Penggunaan preparat insulin atau obat hipoglikemik oral: dosis terakhir, waktu
pemakaian terakhir, perubahan dosis.
• Waktu makan terakhir, jumlah asupan gizi
• Riwayat jenis pengobatan dan dosis sebelumnya
• Lama menderita DM, komplikasi DM
• Penyakit penyerta: ginjal, hati, dll.
• Penggunaan obat sistemik lainnya: penghambat adrenergik beta, dll.

Panduan Praktik Klinis


Perhimpunan Dokler Spesialls Penyakil Dalam Indonesia
Ip tSSSESS* Metabolik Endokrin

Pemeriksaan Fisik
Pucat, diaforesis, tekanan darah, frekuensi denyut jantung meningkat, penurunan
kesadaran, defisit neurologik fokal transien.

Trias Whipple untuk membuktikan adanya hipoglikemia 1


1. Gejala yang konsisten dengan hipoglikemia
2. Kadar glukosa plasma rendah
3 . Gejala mereda setelah kadar glukosa plasma meningkat

Pemeriksaan Penunjang
Kadar glukosa darah, tes fungsi ginjal, tes fungsi hati, C- Peptide. 2

DIAGNOSIS BANDING2
Hipoglikemia karena penyebab lain, seperti
• Obat:
sering: alkohol,
kadang: kinin, pentamidine
jarang: salisilat, sulfonamid
• Hiperinsulinisme endogen: insulinoma, autoimun, sekresi insulin ektopik
• Gagal ginjal, sepsis, starvasi, gagal hati , gagal jantung
• Defisiensi endokrin: kortisol, growth hormone, glukagon, epinefrin
• Tumor non -sel : sarkoma, tumor adrenokortikal, hepatoma, leukemia, limfoma,
melanoma
• Pasca -prandial: reaktif (setelah operasi gaster], diinduksi alkohol

TATALAKSANA

Stadium Permulaan (sadar ) 1 3


• Berikan gula murni 30 gram ( 2 sendok makan) atau sirop / permen gula murni
(bukan pemanis pengganti gula atau gula diet/gula diabetes) dan makanan yang
mengandung karbohidrat
• Hentikan obat hipoglikemik sementara,
• Pantau glukosa darah sewaktu
• Pertahankan GD diatas 100 mg/ dL (bila sebelumnya tidak sadar)
• Cari penyebab

74
Hipoglikemia

Stadium Lanjut (koma hipoglikemia atau tidak sadar dan curiga hipoglikemia)
13

1. Diberikan larutan Dekstrosa 40 % sebanyak 2 flakon (= 50 mL) bolus intra vena,


2. Diberikan cairan Dekstrosa 10 % per infus, 8 jam per kolf bila tanpa penyulit lain,
3. Periksa GD sewaktu (GDs), kalau memungkinkan dengan glukometer :
• Bila GDs < 50 mg/ dL -> + bolus Dekstrosa 40 % 50 mL IV
• Bila GDs < 100 mg/ dL -> + bolus Dekstrosa 40 % 25 mL IV
4. Periksa GDs setiap 15 menit setelah pemberian Dekstrosa 40 % :
• Bila GDs < 50 mg/ dL + bolus Dekstrosa 40 % 50 mL IV
• Bila GDs < 100 mg/dL + bolus Dekstrosa 40 % 25 mL IV
• Bila GDs 100 - 200 mg / dL -> tanpa bolus Dekstrosa 40 %
• Bila GDs > 200 mg/ dL -> pertimbangkan menurunkan kecepatan drip
Dekstrosa 10 %
5. Bila GDs > 100 mg / dL sebanyak 3 kali berturut-turut, pemantauan GDs setiap
-
2 jam, dengan protokol sesuai di atas. Bila GDs > 200 mg / dL > pertimbangkan
mengganti infus dengan Dekstrosa 5 % atau NaCl 0,9 %.
6. Bila GDs > 100 mg/dL sebanyak 3 kali berturut-turut masing-masing selang 2 jam,
pemantauan GDs setiap 4 jam, dengan protokol sesuai di atas. Bila GDs > 200 mg/dL
-> pertimbangkan mengganti infus dengan Dekstrosa 5 % atau NaCl 0,9 %.
7. Bila GDs > 100 mg/dL sebanyak 3 kali berturut-turut masing- masing selang 4
jam, pemeriksaan GDS dapat diperpanjang sesuai kebutuhan sampai efek obat
penyebab hipoglikemia diperkirakan sudah habis dan pasien sudah dapat makan
seperti biasa.
8. Bila hipoglikemia belum teratasi, dipertimbangkan pemberian antagonis insulin,
seperti: glukagon 0,5-1 mg IV/ IM atau kotison, adrenal
9. Bila pasien belum sadar, sementara hipoglikemia sudah teratasi, maka cari penyebab
lain atau sudah terjadi brain damage akibat hipoglikemia berkepanjangan.

KOMPLIKASI
Kerusakan otak, koma, kematian.3

PROGNOSIS
Hipoglikemia meningkatkan angka mortalitas pada pasien dalam kondisi kritis.
Pada 22 % pasien mengalami episode hipoglikemia lebih dari 1 kali. Angka mortalitas
meningkat sesuai dengan parahnya derajat hipoglikemia.3

$5
PanduanPraktikKlinis Metabolik Endokrin
SSiQp —
PniWmpwtian Doklnr Spoikilli PMiyaMI Dalam tntJonmla l

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Divisi Metabolik Endokrin - Departemen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Semua Sub - Bagian di Lingkungan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : -

REFERENSI
1. .
Rudianto A KONSENSUS Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia
2011. Jakarta: PB PERKENI .
2. . .
Cryer PE Hypoglycemia In Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL.
. .
Harrison' s ,Principles of Internal Medicine 18th ed New York: McGraw-Hill; 200.
,

3. .
Arsana PM, Purnamasari D, Hipoglikemia dan Hiperglikemia Dalam: Abdullah M', Arsana PM,
.
Setyohadi B, Soeroto AY, Suryanto A EIMED PAPDI Kegawatdaruratan Penyakit Dalam (Emergency
.
in Internal Medicine) Jakarta: lnterna Publishing; 2011;hal 305-13
!
. .

76
77

HIPOGONADISME

PENGERTIAN
Hipogonadisme adalah suatu kondisi yang dihasilkan akibat menurunnya produksi
fungsi gonad secara abnormal, terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan seksual,
serta karakteristik seksual sekunder. Sering juga disebut dengan hipogenitalisme.1
Hipogonadisme bermanifestasi berbeda pada pria dan wanita sebelum dan sesudah
onset pubertas.2

HIPOGONADISME PADA PRIA


Pada pria, hipogonadisme merujuk pada rendahnya tingkat sirkulasi testosteron.
Sebagian besar pria dengan defisiensi androgen akan menjadi infertil. Pada pria,
hipogonadisme primer merupakan suatu tanda kelainan yang berasal dari testis,
sedangkan hipogonadisme sekunder diakibatkan adanya gangguan hipotalamus atau
hipofisis yang mengakibatkan menurunnya kadar hormon gonadotropin (LH, FSH,
atau keduanya) dan gangguan fungsi testis. Kombinasi hipogonadisme primer dan
sekunder terjadi pada proses penuaan dan pada sejumlah penyak ; temik, seperti

alkoholisme, penyakit hati, diabetes melitus, infeksi HIV, dan pen> .it sickle cell.3 5 '

Tipe- tipe hipogonadisme:45


• Hipogonadisme primer-defek gonad seperti sindrom Klinefelter, sindrom Turner,
mumps
• Hipogonadisme sekunder -defek hipotalamus (seperti sindrom Kallman) atau
defek hipofisis (seperti hipopituitarisme)
• Resistensi target organ seperti sindrom insensitivitas androgen atau defisiensi
5-alpha - reductase
• Hipogonadisme /ate- onset-sindrom defisiensi testosteron yang berhubungan
dengan umur

PENDEKATAN DIAGNOSIS
Dalam menegakkan diagnosis, berikut adalah langkah -langkah yang sebaiknya
-
dilakukan: 4 5

PanduanPraktikKIinis
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
HSSHFIHWJSS, Metabolik Endokrin

1. Evaluasi kesehatan secara umum untuk melihat tanda dan gejala defisiensi
androgen dan mengeksklusikan penyakit sistemik, gangguan makanan, dan
masalah gaya hidup seperti olahraga yang berlebihan atau penyalahgunaan obat-
obatan seperti etanol, marijuana, dan opiat.
2 . Mengukur testosteron total, lebih baik dilakukan sampel darah pada pagi hari.
3. Pengukuran LH pada pasien yang dianggap mengalami defisiensi androgen
untuk menentukan apakah defek tersebut terjadi pada tingkat testikular atau
pada tingkat hipotalamus- hipofisis. Pada defisiensi androgen, pasien seringkali
menunjukan keterlambatan perkembangan seksual atau terjadi seksual inkomplit
dan proporsi eunuchoidal Pada pasien yang mengalami defisiensi androgen pada
-
masa prepubertal juga didapatkan suara yang high pitched dan tidak mengalami
resesi temporal rambut seiring berjalannya umur. Pada lelaki yang mengalami
defisiensi androgen setelah lengkapnya maturasi pubertas, gejala - gejalanya
meliputi berkurangnya gairah seksual dan aktivitas, menurunnya ereksi spontan,
hilangnya rambut badan, infertilitas, berkurangnya massa otot dan tenaga, hot
flush , berkeringat, berkurangnya tinggi badan yang berhubungan dengan fraktur
atraumatik, testis mengkerut atau mengecil dan terjadi pembesaran payudara.
4. Selain itu diajukan kriteria minimum untuk diagnosis dari hipogonad late -
onset :
• Setidaknya tiga gejala seksual
Ereksi pagi yang buruk
Gairah seksual rendah
Disfungsi ereksi
• Tingkat testosteron total < 11 nmol / L (3.2 ng/ mL)
• Tingkat testosteron total < 220 pmol / L (64 pg/ mL)

Keluhan Utama
Pada kebanyakan lelaki yang lebih tua libido rendah. Gejala lain : disfungsi ereksi,
penurunan massa otot dan kekuatan, penurunan vitalitas, mood menurun.

Riwayat Medikasi
Pada lelaki lebih muda ditanyakan riwayat konsumsi maternal estrogen, progestin
atau androgen pada kehamilan 2 bulan awal.

78
Riwayat Keluarga
Hipogonadisme

Kematian saudara kandung saat neonatus meningkatkan kecurigaan hiperplasia


^
adrenal kongenital. Infertilitas dari saudara kandung orangtua meningkatkan
kecurigaan bentuk pseudohermafroditisme genetik lelaki

Pemeriksaan Fisik (pada Lelaki Muda )


Pemeriksaan fisik sebaiknya difokuskan pada karakteristik seks sekunder seperti
tumbuh rambut, ginekomastia, volume testis, prostat, tinggi dan proporsi tubuh.
Eunuchoid proportions didefinisikan dengan rentang lengan > 2 cm lebih besar dari tinggi
badan dan dicurigai defisiensi androgen terjadi sebelum fusi epifiseal. Rambut tumbuh
pada wajah, aksila, dada, dan regio pubis merupakan daerah yang pertumbuhannya
bergantung dengan androgen. Bagaimanapun juga perubahan fisik tidak dapat diketahui
kecuali defisiensi androgen yang terjadi cukup berat dan berkepanjangan. Etnisitas
juga mempengaruhi pertumbuhan rambut tubuh. Pasien dengan sindrom Klinelfelter
volume testisnya berkurang (1-2 mL). Volume testis paling baik diperiksa menggunakan
Prader orchidometer.

Pemeriksaan Penunjang3 5
• Laboratorium
Pengukuran testosteron serum total, FSH, LH (ketiganya diambil pada sampel
darah pagi hari), prolaktin serum, hormon hipofisis lain
Analisis semen untuk memeriksa infertilitas
• Radiologis
USG pelvis untuk mencari uterus, testis tersembunyi (cryptochismus)
Studi kontras dari orifisium perineal dapat membantu anatomi internal dan
mengkonfirmasi keberadaan vagina
MR1 Kepala

DIAGNOSIS BANDING3 5
Hipogonadisme primer, hipogonadisme sekunder, resistensi target organ (sindrom
-
insensitivitas androgen atau defisiensi 5-alpha-reductase ) , hipogonadisme late onset

79
ESSaiSSKH! Metabolik Endokrin
Hipogonadisme Pertimbangan
klinis penyakit sistemik

Tes'os'eron
total

Rendah<200 ng/dL Borderline rendah 200- Normal >350 ng/dL


350 ng/dL

I
Ulang Testosteron total, Ukur
Testosteron bebas

Cenderung Testosteron Testosteron Defisiensi


defisiensi bebas rendah bebas androgen
<- -
androgen Total T <300 ng/dL normal * tereksklusi

LH

'’ ir

LH tinggi LH rendah atau normal

Gagal gonad primer Hipogonadotropik


hipogonadisme

Klinelfelter, kriptorkismus, Defisiensi GnRH


post orkitis Prolaktinoma
Massa sella

Keterangan gambar : GnRH, gonadotropin-releasing hormone ; LH, luteinizing hormone ; T, testosteron.

Gambar 1. Evaluasi Hipogonadisme3

m
Hipogonadisme fjfj}
(

TATALAKSANA3 5
Terapi pengganti androgen dapat dilihat pada Tabel 1. Indikasi dan kontraindikasi
pemberian androgen dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 1. Indikasi dan Kontraindikasi Terapi Pengganti Testosteron 5


Indikasi Kontraindikasi
Defisiensi androgen (hipogonadisme) Absolut :
• Karsinoma prostat
• Karsinoma pada pria
Mikrophallus ( neonatus) Relatif :
• Pria usia lanjut dengan pembesaran pros-
tat dan gejala miksi
• Peningkatan hematokrit
• Kelainan bernapas saat tidur
Pubertas terlambat pada anak laki-laki
Pria dewasa dengan kadar testosteron serum
total rendah
Edema angioneurotik
Kemungkinan penggunaan lainnya
• Kontrasepsi hormonal pria
• Penyakit wasting yang berkaitan dengan
kanker, infeksi HIV, infeksi kronis
• Wanita postmenopause

Tabel 2. Indikasi yang Dlrekomendasikan untuk Terapi Pengganti Testosteron4


Sedlaan Dosls
Dl Amerika Serlkat
Testosterone enanthate atau cypi - 75- 100 mg IM setiap minggu, atau 150-200 mg setiap
onate 2 minggu
Nongenital testosterone patches Satu atau dua 5-mg patches diberikan pada malam
hari pada kulit punggung, paha, atau lengan atas
Testosterone gel 5-10 g dioleskan setiap hari pada kulit yang tertutup
Tablet testosterone bukal bioadhesive Tablet 30 mg pada mukosa bukal dua kali sehari
Dl Luar Amerika Serlkatn
Testosterone undecanoate oral 40-80 mg PO dua atau tiga kali sehari dengan
makanan
Testosterone undecanoate injeksi Diawali 1000 mg IM dan pada minggu ke 6 diikuti
1000 mg IM setiap 12 minggu
Testosterone pellets Empat hingga enam implant 200-mg pellet setiap 4-6
bulan

81
# ' '
SSSISS.SB Metabolik Endokrin
KOMPLIKASI
Organ seksual tidak berkembang, kegagalan perkembangan karakteristik seksual
sekunder ( pubertas) , osteoporosis , hilangnya massa otot, dan penurunan fungsi
seksual termasuk disfungsi ereksi dan penurunan libido ( dewasa) .4,67

PROGNOSIS
Pada usia lanjut laki - laki, perbaikan manifestasi klinis diperkirakan dalam 3 - 6
bulan dengan terapi pengganti testosteron . 67

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Divisi Metabolik Endokrin - Departemen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Semua Divisi di lingkungan Departemen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan

REFERENSI
1. Dorland ' s Illustrated Medical Dictionary. 23rd Ed. Philadelphia. Elsevier. 2007
2. Viswanathan V, Eugster EA. Etiology and treatment of hypogonadism in adolescents. Endocrinol
Mefab Clin North Am. Dec 2009:38 ( 4) :719-38.
3. Bhasin S, Jameson J. Disorders of the Testes and Male Reproductive System. In: Longo Fauci Kasper,
Harrison' s Principles of Internal Medicine 18lh edition. United States of America. McGraw Hill. 2012
4. Kronenberg H, Melmed S, Polonsky K. Testicular disorder. William ' s textbook of endocrinology 11 th
edition. Philadelphia. Saunders Elsevier. 2008
5. .
Swerdloff R, Wang C. The Testis and Male Sexual Function. In: Goldman, Ausiello Cecil Medicine .
23rd Edition. Philadelphia. Saunders, Elsevier. 2008
6. .
Wang C, Nieschlag E, Swerdloff RS et al ISA, ISSAM, EAU, EAA and ASA recommendations:
investigation, treatment and monitoring of late-onset hypogonadism in males.
7. Often B, Stikkelbroeck N, Hermus R . Hypogonadism in Males With Congenital Adrenal Hyperplasia
In: Winters S.Male hypogonadism : basic, clinical, and therapeutic principles. New Jersey. Humana
Press. 2004

82
83

HIPOPARATIROIDISME

PENGERTIAN
Hipoparatiroidisme adalah keadaan berkurangnya hormon paratiroid; yang dapat
dibagi menjadi hipoparatiroidisme herediter dan hipoparatiroidisme akuisita.
1

Hipoparatiroidisme herediter terjadi akibat defek genetik, biasanya awitan lebih


dini, sering muncul pada dekade pertama. Hipoparatiroidisme akuisita dapat terjadi
sekunder setelah pembedahan pada daerah leher. Penyebab yang lebih jarang adalah
jejas imbas radiasi setelah terapi radioiodin pada hipertiroidisme dan jejas kelenjar pada
pasien dengan hemokromatosis atau hemosiderosis setelah transfusi darah berulang.
Hipoparatiroidisme transient dapat terjadi paska pembedahan untuk hipertiroidisme.
1

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis dan pemeriksaan fisik1


1. Manifestasi neurologik dan neuromuskular: spasme otot, spasme carpopedal ,
grimacing wajah, spasme laring, kejang
2. Gagal napas dapat terjadi
3. Gejala ekstrapiramidal lebih sering terjadi pada hipoparatiroid herediter: distonia,
pergerakan choreoathetotic
4. Perubahan status me ntal: iritabilitas, depresi, psikosis
5. Kram usus dan malabsorpsi kronik dapat terjadi
6. Papiledema dan peningkatan tekanan intrakranial
7. Tanda Chvostek's dan Trousseau dapat ditemukan
8. Perubahan kronik pada kuku dan rambut
9. Katarak lentikular
10. Alopesia dan kandidiasis lebih sering terjadi pada hipoparatiroidisme herediter

Pemeriksaan penunjang1 2
• Hipokalsemia, hiperkalsiuria
• Kalsifikasi ganglia basal lebih sering terjadi pada hipoparatiroidisme herediter
• EKG: interval QT memanjang, aritmia

PanduanPraktik Minis
Perhimpunan Dokfer Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
f$ Metabolik Endokrin

DIAGNOSIS BANDING
Pseudohipoparatiroidisme, hipokalsemia oleh sebab lain ( lihat bab Gangguan
Kalsium).1

TATALAKSANA

Farmakologis
1. Kalsium oral dosis tinggi ( >1 g kalsium elemental) ; jika perlu dikombinasikan
dengan vitamin D dosis 40.000-120.000 U / hari (1-3 mg/ hari).
2 . Diuretiktiazid .1
3. Penambahan terapi pengganti hormon paratiroid 1-84 pada terapi konvensional
(kalsium dan vitamin D) terkait dengan penurunan kebutuhan kalsium dan vitamin
D harian.2,3

KOMPLIKASI
Kejang, gagal napas, parkinsonisme, perubahan kronik pada kuku dan rambut,
katarak lentikular, insensitivitas terhadap digoksin.4

PROGNOSIS
Hipoparatiroidisme permanen dapat terjadi pada 3, 8 % yang menjalani
tiroidektomi.2

UNIT YANG MENANGANI


• RS Pendidikan : Divisi Metabolik Endokrin - Departemen Penyakit Dalam
• RS non Pendidikan : Bagian Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan
• RS non Pendidikan

REFERENSI
1 . Potts Jr JT. Diseases of the parathyroid gland. Dalam: Longo DL. Kasper DL. Jameson JL, Fauci AS,
Hauser SL, Loscalzo J, penyunting. Harrison ' s principle of internal medicine. Edisi XVIII. McGraw-
Hill Companies: 2012. Hal.
2. Rubin MR, Sliney J, McMahon DJ, Silverberg SJ, Brlezikian JP. Therapy of hypoparathyroidism with
intact parathyroid hormone. Osteoporosis Int 2010:21 ( 11):1927-34
3. SikjaerT, Rejnmark L, Rolighed L, Heickendorff L, Mosekilde L. The effect of adding PTH ( 1 -84 ) to
conventional treatment of hypoparathyroidism: a randomized placebo-controlled study. J Bone
Miner Res 2011;26 ( 10 ) :2358-70
4. .
Sitqes-Serra A, RuizS, Girvent M, Duenas JP, Sancho JJ Outcome of protracted hypoparathyroidism
after total thyroidectomy. Br J Surg 2010:97 ( 11 ) :1687-95

84
85

HIPOTIROIDISME

PENGERTIAN
Hipotiroidisme adalah berkurangnya efek hormon tiroid di jaringan. Terdapat
3 bentuk hipotiroidisme, yaitu hipotiroidisme sentral (kerusakan hipotalamus /
hipofisis seperti, tumor, nekrosis sistemik, iatrogen, infeksi), hipotiroidisme primer
(kerusakan kelenjar tiroid seperti pasca radiasi, tiroiditis, atrofi, dishormogenesis,
hipotiroidisme transien), hipotiroidisme karena sebab lain (farmakologis, defisiensi
yodium, kelebihan yodium dan resistensi perifer) . Hipotiroidisme juga dapat
dibedakan berdasarkan gejala yaitu hipotiroidisme klinik dan subklinik.1

DIAGNOSIS

Anamnesis1
• Rasa capek
• Sering mengantuk
• Tidak tahan dingin
• Lesu, lamban
• Rambut alis mata lateral rontok
• Rambut rapuh
• Lamban bicara
• Berat badan naik
• Mudah lupa
• Dispnea
• Suara serak
• Otot lembek
• Depresi
• Obstipasi
• Kesemutan
• Reproduksi: oligomenorea, infertil, aterosklerosis
• Tipe sentral: gangguan visus, sakit kepala, muntah

PanduanPraktikKIInis
Dafam
uffc PenyokR i
/A
'wlflp
PanduanPrahtlk Minis Metabolik Endokrin
Pertiimpunan DoMer 5p«oh PanyoMt Dalam mdorwrtlrj

Pemeriksaan Fislk1
• Kulit kering, dingin, pucat, kasar
• Gerakan lamban
• Edema wajah
• Refleks fisiologis menurun
• Lidah tebal dan besar
• Otot lembek, kurang kuat
• Obesitas
• Edema 6kstremitas
• Bradikardia

Pemeriksaan Penunjang1 2
• Darah perifer lengkap (bisa terdapat sitopenia)
• Kreatin fosfokinase
• Antibodi TPO
• Anti-Tg-Ab
• Pemeriksaan TSH, T3, FT4
• Profil lipid
• Biopsi aspirasi j arum halus bila terdapat struma
• Elektrokardiogram (untuk mencari komplikasi jantung)
Pada hipotiroidisme subklinis, TSH naik, namun kadar hormon tiroid dalam batas
normal. Gejala dan tanda tidak ada atau minimal.1 2 -
DIAGNOSIS BANDING
Euthyroid sick syndrome, insufisiensi adrenal, gagal hati, efek obat-obatan, depresi,
sindrom lelah kronik3

TATALAKSANA

Nonfarmakologls
edukasi, pemantauan fungsi tiroid berkala4

Farmakologis
• Levotiroksin: pagi hari dalam keadaan perut kosong. Dosis rerata substitusi L-T
— -
adalah 112 pg/ hari atau 1,6 pg/kgBB atau 100 125 pg sehari. Untuk L T adalah
25 - 50 pg. Sebagian besar kasus membutuhkaii L-T 100- 200 pg/ hari. Untuk pasien-
4

86
Hipotiroidisme

pasien kanker tiroid pasca tiroidektomi, dosis T4 rata-rata adalah 2, 2 pg / kgBB / hari.
Target TSH disesuaikan dengan latar belakang kasus.
• Untuk hipotiroidisme subklinis, tidak dianjurkan memberikan terapi rutin apabila
TSH <10 mU / L. Substitusi tiroksin diberikan untuk memperbaiki keluhan dan
kelainan objektif jantung. Terapi diberikan dengan levotiroksin dosis rendah
(25-50 pg/ hari] hingga mendapatkan kadar TSH normal.1

Berikut adalah algoritma penatalaksanaan pasien hipotiroidisme:

Ukur kadar TSH

1
Menlngkat

Ukur kadar fT4 Kecurigaan kelainan

I i
I
Hipotiroidisme Rendah
v subklinis ^

Hipotiroidisme Hipotiroidisme Tidak memerlukan Ukur kadar fT4


pemeriksaan lanjutan

TPOAb+, i TPOAb+,
TPOAb+, TPOAb-,
simtomatlk asimtomatlk Rendah Normal

Hipotiroidisme Singkirkan Tidak memerlukan


primer penyebab lain pemeriksaan
lanjutan

Terapi T4 Follow up Terapi T4


tahunan Singkirkan efek obat, sick
euthyroid syndrome , evaluasi
fungsi hipofisis

Gambar 1 . Algorltam Tatalaksana Pasien Hipotiroidisme2

87
PaHrtuanPrakUkKMni8 Metabolik Endokrin
Perhlmpunan Dokter Spesialls Penyakil Dalam Indonesia

HIPOTIROIDISME PADA KEHAMILAN


WHO merekomendasikan intake iodium sebesar 200 pg/ hari selama kehamilan
untuk mempertahankan produksi hormon tiroid yang adekuat. Hipotiroidisme pada
kehamilan berbahaya bagi ibu maupun bayi. Hipotiroidisme berat pada ibu dapat
menyebabkan anemia, miopati, gagal jantung kongestif, pre-eklamsia, abnormalitas
plasenta, berat bayi lahir rendah dan perdarahan postpartum. Hipotiroidisme ringan
dapat bersifat asimtomatik pada kehamilan. Bagi bayi, hipotiroidisme pada ibu dapat
menyebabkan hipotiroidisme kongenital yang dapat menyebabkan abnormalitas
fungsi kognitif, neurologik dan gangguan perkembangan. Karena itu, semua bayi baru
lahir hendaknya dilakukan penapisan untuk mengetahui ada tidaknya hipotiroidisme
kongenital sehingga bayi dapat segera diberikan terapi. Abnormalitas ringan pada
perkembangan otak bayi dapat timbul pada wanita hamil dengan hipotiroidisme
ringan yang tidak diterapi. Karena itu, beberapa ahli merekomendasikan untuk
memeriksa kadar TSH wanita sebelum hamil atau segera setelah kehamilan
ditegakkan, terutama apabila wanita tersebut berisiko tinggi memiliki kelainan
tiroid (wanita yang sebelumnya mendapat terapi hipertiroidisme, wanita dengan
riwayat keluarga menderita kelainan tiroid atau goiter ). Kadar TSH > 2,5 mlU / L dapat
dianggap abnormal. Kadar TSH 2,5 - 10 mlU / L tanpa penurunan fT4 dianggap sebagai
hipotiroidisme subklinik. Kadar TSH >10 mlU / L dianggap sebagai hipotiroidisme
primer tanpa melihat ada tidaknya penurunan kadar fT4.s
Wanita dengan riwayat hipotiroidisme harus memeriksa kadar TSH pada awal
kehamilan. Apabila TSH normal, maka tidak perlu dimonitor lebih lanjut. Namun apabila
diketahui terdapat hipotiroidisme, maka terapi dengan levotiroksin diperlukan untuk
mencapai kadar TSH (0,1- 2,5 mlU / L pada trimester 1, 0,2 - 0,3 mlU / L pada trimester
2, 0,3 - 3,0 mlU / L pada trimester 3) dan fT4 normal. Terapi hipotiroidisme pada
kehamilan sama dengan pasien yang tidak hamil, hanya saja kebutuhan levotiroksin
saat kehamilan meningkat 25 - 50%. Tes fungsi tiroid dapat diulang setiap 6 - 8 minggu
selama kehamilan. Apabila terdapat perubahan pada dosis levotiroksin, maka tes fungsi
tiroid harus dilakukan 4 minggu kemudian. Setelah melahirkan, maka dosis levotiroksin
kembali seperti tidak hamil. Suplemen kehamilan yang mengandung zat besi dapat
menurunkan absorpsi hormon tiroid pada saluran cerna sehingga harus dikonsumsi
dengan jarak minimal 2 - 3 jam dari konsumsi levotiroksin.56

KOMPLIKASI
Koma miksedema, depresi, kelainan neuropsikiatri ( myxedema madness ), penyakit
jantung, komplikasi pengobatan 2 4 '

88
Hipotiroidisme

PROGNOSIS
Kebanyakan kasus hipotiroidisme klinik membutuhkan terapi seumur hidup.
Komplikasi koma miksedema terkait dengan kematian . Sekitar 40 % kasus
hipotiroidisme subklinis akan berkembang menjadi hipotiroidisme klinis, hal ini
terkait dengan kadar awal TSH . Sisanya akan mengalami resolusi spontan dalam
waktu 1 - 5 tahun. 2 3

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Divisi Metabolik Endokrin - Departemen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : Semua Divisi di lingkungan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam
• RS non Pendidikan

REFERENSI
1. Djokomoeljanto R. Kelenjar tiroid, hipotiroidisme, dan hipertiroidisme. In: Sudoyo A, Setiyohadi
B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5 ed. Jakarta; Pusat
lh

Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2009 : 1993 - 2008
2 . Lameson JL, Weetman AP.Disorders of the thyroid gland. In: Fauci A, Kasper D, Longo D, Braunwald
E, Hauser S, Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison ' s principles of internal medicine. 18 ed.
lh

United States of America ; The McGraw -Hill Companies , 2012: 2911 - 39


3.
,
Gardner DG, Shoback D, editors. Greenspan’s basic and clinical endocrinology. 8 ed. San
h

Fransisco.
4. .
Allahabadia A, Razvi S, Abraham P, Franklyn J Diagnosis and treatment of primary hypothyroidism .
BMJ.2009;33:b725
5. Stagnaro-Green A, Abalovich M, Alexander E, Azizi F, Mestman J, Negro R, et al. Guidelines of
the American thyroid association for the diagnosis and management of thyroid disease during
pregnancy and postpartum. Thyroid. 2011:21 ( 10) :1081 - 1125
6. .
Alinbinde, Steven W. et al. Thyroid and Others Endocrine Disorders During Pregnancy Current
Diagnosis & Treatment Obstetrics & Gynecology, Tenth Edition. The Mac -Graw Hill Companies.
2007.

89
90

HIPERPARATIROIDISME

PENGERTIAN
Hiperparatiroidisme adalah keadaan berlebihnya sekresi hormon paratiroid; yang
dapat dibagi menjadi 3 kategori, yaitu primer, sekunder dan tersier.1,2Hiperparatiroidisme
primer terjadi jika sekresi hormon paratiroid yang berlebihan disebabkan oleh
kelenjar paratiroid yang autonom, menyebabkan hiperkalsemia, dengan insidens
tertinggi pada wanita pascamenopause.2-4 Perubahan patologik yang dapat terjadi
pada hiperparatiroidisme primer adalah adenoma, hiperplasia dan karsinoma.3 5 '

Hiperparatiroidisme sekunder terjadi jika hipokalsemia atau defisiensi vitamin D


menjadi stimulus produksi hormon paratiroid, sering terjadi pada pasien gagal ginjal
kronik dan pasien defisiensi vitamin D, terutama oranglanjutusia.4 Hiperparatiroidisme
tersier disebabkan oleh kelenjar yang berfungsi secara autonom pada pasien dengan
hiperparatiroidisme sekunder yang telah berjalan lama, misalnya pada kasus gagal ginjal
kronik yang telah berjalan lama.4,5

PENDEKATAN DIAGNOSIS2 4 5

Anamnesis
• Gejala konstitusional nonspesifik: kelelahan, kelemahan, anoreksia, mual, muntah,
konstipasi, nyeri tulang.
• Gejala neuropsikologik: gangguan tidur, depresi, mental confusion , konsentrasi
menurun, iritabilitas, demensia
• Manifestasi pada sistem rangka: osteoporosis, patah tulang atau riwayat patah tulang
• Riwayat batu ginjal berulang
• Riwayat penggunaan obat: diuretik tiazid, litium
• Riwayat hipertiroidisme, hiperkalsemia.

Pemeriksaan Fisik
Manifestasi kardiovaskular: hipertensi, kalsifikasi valvular, hipertrofi ventrikel

PanduanPraktik Minis
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
Hiperparatiroidisme

Pemerlksaan Penunjang
• Pemeriksaan darah
• Peningkatan kalsium serum total dan peningkatan hormon paratiroid, penurunan
kadar fosfat serum, peningkatan kadar 1, 25-dihidroksi vitamin D, peningkatan
marker pembbntUkan (aktivitas osteoblastik) dan resorpsi tulang' (osteoklastik).
Pada hiperparatiroidisme sekunder, terjadi peningkatan hormon paratiroid,
hijjokalsemia atau defisienSivitaminD. Pasien dengan htperparatiroidisrtie tbrsier
memiliki kadar kalSium darah yang normal atau meningkat, penurunan kadar
vitamin D, penurunan kadar fosfat dan peningkatan fosfatase alkali.
• Pencitraan: nefrolitiasis dan gambaran keropos tulang
• Penurunan GFR
• Pemeriksaan urin: hiperkalsiuria, peningkatan ekskresi kalsium urin 24 jam.
• EKG: interval QT memendek
• Densitometri tulang: penurunan densitas tulang
• Kedokteran nuklir: Sestamibi scan

DIAGNOSIS BANDING2 4
Keganasan, penggunaan litium dan tiazid , benign familial hypercalcemic
hypocalciuria, hiperkalsemia oleh sebab lain (llhat bab Gangguan Kalsium].

TATALAKSANA

Farmakologis dan Bedah2 5


1. Hiperparatiroidisme primer
a. Eksisi jaringan kelerijar paratiroid abnormal adalah terapi definitif
b. Kalsium 1000-1200 mg per hari pascareseksi
.
c Pada penyakit ringan: pertahankan hidrasi, bisfosfonat (alendronat 10 mg
oral sekali sehari], terapi pengganti hormon estrogen atau raloxifene, dan
kalsimimetik [ cinacalcet ).
.
2 Hiperparatiroidisme sekunder
.
a Atasi penyebab primernya
.
b Terapi dengan kalsium dan vitamin D atau analog vitamin D
.
c Pengikat fosfat
d. Kalsimimetik (cinacalcet)
3. Hiperparatiroidisme tersier
Paratiroidektomi subtotal dan total

91
#> E999JSSS! Metabolik Endokrin
KOMPLIKASI
4,5
Fraktur patologis, pankreatitis, batu ginjal berulang.

PROGNOSIS
Hiperparatiroidisme primer ringan yang tidak ditatalaksana terkait dengan
peningkatan mortalitas, penyakit kardiovaskular, gagal ginjal, dan batu ginjal. Pada
pasien hiperparatiroidisme primer simtomatik, paratiroidektomi bersifat kuratif dan
bermanfaat. Pada hiperparatiroidisme sekunder, sekitar 1- 2 % pasien membutuhkan
paratiroidektomi setiap tahunnya. Pada hiperparatiroidisme tersier, kelenjar abnormal
jarang mengalami involusi.46

UNIT YANG MENANGANI


• RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Metabolik -
Endokrinologi
• RS non Pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : Departemen Bedah
• RS non Pendidikan : Bagian Bedah

REFERENSI
Hiperparatiroidisme. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, penyunting.
Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi V. Jakarta; Interna Publishing; 2009.
2. Potts Jr JT. Diseases of the parathyroid gland. In: Longo DL. Kasper DL. Jameson JL, Fauci AS, Hauser
.
SL, Loscalzo J, penyunting Harrison' s principle of internal medicine. 18th Edition. McGraw-Hill. 2012.
3. .
Fraser WD. Hyperparathyroidism Lancet 2009;374 ( 9684) :145-58.
4. Ahmad R, Hammond JM. Primary, secondary, and tertiary hyperparathyroidism Otolaryngol .
Clin N Am 2004;37:701- 13
5. Pitt SC, Sippel RS, Chen H. Secondary and tertiary hyperparathyroidism, state of the art surgical
management. Surg Clin North Am 2009:89 ( 5 ) :1227

92
93

KARSINOMA TIROID

PENGERTIAN
Karsinoma tiroid merupakan keganasan kelenjar tiroid yang paling sering
ditemukan . Klasifikasi karsinoma tiroid dibedakan atas dasar : asal sel yang
berkembang menjadi sel ganas dan tingkat keganasannya.1 Untuk kepentingan praktis,
berdasarkan tingkat keganasan, karsinoma tiroid dibagi atas 3 kategori :2
1. Tingkat Keganasan Rendah
a. Karsinoma papilar
b. Karsinoma folikular (dengan invasi minimal)
2. Tingkat Keganasan Menengah
a. Karsinoma folikular ( dengan invasi luas)
b. Karsinoma medular
c. Limfoma maligna
d. Karsinoma tiroid berdiferensiasi buruk
3. Tingkat Keganasan Tinggi
a. Karsinoma tidak berdiferensiasi (anaplastik)
b. Haemangioendothelioma maligna (angiosarkoma)

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis ( Faktor risiko dan gejala penekanan )"


• Usia < 20th atau > 70th
• Jenis kelamin pria
• Keluhan disfagia dan serak
• Riwayat radiasi pengion saat anak-anak
• Riwayat keganasan tiroid sebelumnya
• Gejala penekanan dan metastasis
Pemeriksaan Fisik1 2
• Modul padat, keras, tidak rata dan terfiksir
• Limfadenopati servikal

PanduanPiaktik Minis
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
PanduanPraktiKKflinis
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakil Dalam Indonesia Metabolik Endokrin

Pemeriksaan Penunjang
1. Biopsi Aspirasi Jarum Halus ( BAJAH ] :
2. Laboratorium
3. Pencitraan
• USG
• Skintigrafi Tiroid
4. Histopatologi

DIAGNOSIS BANDING
Nodul Tiroid Jinak

TATALAKSANA 1
1. Operasi
• Tiroidektomi total merupakan prosedur awal pilihan pada hampir sebagian
besar pasien karsinoma tiroid.
2. Terapi Ablasi Iodium Radioaktif
• Untuk memaksimalkan uptake iodium radioaktif setelah tiroidektomi total, kadar
hormon tiroid diturunkan dengan menghentikan obat L -tiroksin sehingga TSH
endogen terstimulasi hingga mencapai kadar di atas 25 - 30 mU / L. Mengingat
waktu paruh L-tiroksin adalah 7 hari, biasanya diperlukan waktu 4-5 minggu.
• Pasien juga menghindari makanan yang mengandung tinggi yodium paling
kurang 2 minggu sebelum skintigrafi dikerjakan.
3. Terapi Supresi L-Tiroksin
• Kelompok Risiko Rendah : Target TSH : 0.1-0.5 mU / L
• Kelompok Risiko Tinggi : Target TSH : 0.01 mU / L
4. Tyrosine kinase inhibitor
5. Radioterapi paliatif

EVALUASI
1. Skintigrafi Seluruh Tubuh [ Whole Body Scan )
• Dilakukan 6-12 bulan setelah terapi ablasi pertama
2 . USG
• Mengevaluasi kekambuhan atau adanya KGB lokal atau metastasis regional
3. Pencitraan Lain: CT scan, Rontgen dada, MRI dan FDG - PET tidak rutin dikerjakan
4. Tiroglobulin
Tiroglobulin dan TSH diperiksa setiap 6 bulan selama 3 tahun pertama

94
Karsinoma Tiroid

KOMPLIKASI
• Penekanan saluran nafas
• Metastasis fails

PROGNOSIS
Pada pasien muda, rata -rata kesembuhan 97 % pada karsinoma tiroid baik yang
folikular maupun yang papilar. Karsinoma tiroid tipe medular, memiliki prognosis
lebih buruk karena menyebar ke kelenjar limfe lebih cepat sehingga membutuhkan
terapi lebih agresif .1

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Divisi Metabolik Endokrin - Departemen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : Semua Divisi di lingkungan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
• RS non Pendidikan : -

REFERENSI
1. .
Jameson JL, Weetman AP Disorder of the Thyroid Gland. In : Longo DL, Fauci AS, Kasper DL,
,
Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J. Harrison ' s Principles of Internal Medicine. 18 hed. New York:
McGraw-Hill; 2012. 2911-39
2. Subekti Imam. Pengelolaan karsinoma tiroid. Dalam : Penatalaksanaan Penyakit-Penyakit Tiroid
bagi Dokter. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia Cabang Jakarta. Jakarta. 2008. Him 88-102.

95
KELAINAN ADRENAL

PENGERTIAN
Kelainan adrenal memiliki karakteristik defisiensi atau produksi berlebihan dari
satu atau beberapa kelas kortikosteroid utama . Defisiensi hormon dapat disebabkan
oleh kelainan enzimatik atau glandular bawaan atau rusaknya kelenjar hipofisis
atau adrenal oleh karena penyakit autoimun, infeksi, infark, atau kondisi iatrogenik
seperti pembedahan atau supresi hormonal . Hormon yang berlebihan biasanya
diakibatkan oleh neoplasia atau keganasan, yang meningkatkan produksi hormon
adrenokortikotropik (ACTH ) oleh sel neuroendokrin atau adanya neoplasia di
tempat lain yang menghasilkan ACTH (ACTH ektopik), atau meningkatnya produksi
glukokortikoid atau mineralokortikoid oleh nodul adrenal . 1
Kelainan adrenal yang akan dibahas pada bab ini adalah Sindrom Cushing, tumor
adrenal, hirsutisme, hiperaldosteronisme, dan insufisiensi adenokortikal .

DIAGNOSIS

A . SINDROM CUSHING / HIPERKORTISOLISME 2



Adalah sekumpulan gejala yang terjadi akibat paparan kronik glukokortikoid yang
berlebih oleh karena sebab apapun . Kelainan ini dapat merupakan ACTH - depedent
(contohnya pituitary corticotrop adenoma , sekresi ACTH ektopik oleh tumor non-
hipofisis) atau ACTH - independent (contohnya adenoma adrenokortikal , karsinoma
adrenokortikal, hiperplasia adrenal nodular), serta dapat pula iatrogenik (pemberian
glukokortikoid eksogen untuk mengobati keadaan inflamasi) . Adapula yang dinamakan
penyakit Cushing, yaitu sindroma Cushing sekunder akibat hipersekresi ACTH hipofisis
(Tabel 1)

PanduanPraktikKIinis
Perhimpunon Dokler Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
Kelainan Adrenal

Tabel 1 . Slndrom Cushing' 2


Diagnosis
Anamnesis Pemeriksaan flslk Pemeriksaan Penunjang Banding
• Lemah dan lelah • Tipikal habitus Hipokalemia Tergantung ACTH
• Miopati proksimal • Bantalan lemak pada : adenoma hipo-
• Amenore, oligom- dorsoservikal fisis, neoplasma
enore • Rounded facies, facial non-hipofisis
• Perubahan personal plethora ( ACTH ektopik )
• Depresi, insomnia, • Jerawat Sindrom ACTH ektopik : Tak tergantung
psikosis, gangguan • Berat badan bertam- CT Scan dada dan ab- ACTH : iatrogenik
kognitif bah, obesitas sentral domen untuk melihat ( glukokortikoid,
• Poliuria • Hipertensi ( TD > 150/ 90 paru-paru, timus, dan magestrel ase-
mmHg) pankreas. Jika tidak ada tat )
• Hirsutisme kelainan yang ditemu-
• Striae kutan kan, MRI dada dapat di-
• Ekimosis pertimbangkan, karena
• Edema tumor karsinoid biasanya
• Poliuri, polidipsi memperlihatkan inten-
• Hipertrofi klitoris sitas yang tinggi. Selain
• Hiperpigmentasi ( jika itu, scintigraphy octreo-
terjadi peningkatan tide juga dapat mem-
ACTH) , fragilitas kulit mu- bantu dalam beberapa
dah terjadi lebam yang kasus seperti tumor yang
berukuran > 1 cm menghasilkan ACTH
• Infeksi jamur kulit ektopik. Tergantung pe-
nyebab yang dicurigai,
pasien dengan sindrom
ACTH ektopik dapat di-
ambil sampel darah un-
tuk pemeriksaan hormon
usus puasa, kromogranin
A, kalsitonin, dan eksklusi
biokimia feokromosi-
toma.

TATALAKSANA

Non farmakologis

Farmakologis
Hiperplasia adrenal : " medical" adrenalektomi [ Mitotan [2 - 3 g / hari ) ], penghambat
steroidogenesis [ketokonazol [ 600 - 1200 mg / hari ) ], penghambat sintesis steroid
aminoglutetimid [1 g /hari ) dan metiraponi ( 2 - 3 g / hari ) , mifepristone .

Bedah
Adenoma atau karsinoma, hiperplasia bilateral (adrenalektomi )

97
O Metabolik Endokrin

Tanda klinik
Osteoporosis
Diabetes melitus
Hipertensi diastolik
Adipositas sentral
Hirsutisme dan amenorea

T
Tes skrining
1 .Kortisol plasma pada jam 08.00
> 140 nmol/ L (5 g/ dL) setelah 1 mg
deksametason pada tengah malam;
2.kortisol bebas urin > 275 nmol/ L ( 100
pg/hari)
3. Salivary Cortisol tengah malam

T
Tes supresi deksametason
Respon kortisol pada hari ke-2
menjadi 0,5 mg per 6 jam

Respon normal Respon abnormal Respon kortisol pada hari ke-2


supresi deksametason ( 2 mg
per 6 jam)

I
Supresi Tidak ada respon
Hiperplasia adrenal - Hiperplasia adrenal
Sekunder terhadap sekresi - sekunder terhadap tumor
ACTH hipofisis yang menghasilkan ACTH
- Neoplasia adrenal

f ACTH
ACTH tinggi ACTH rendah
Hiperplasia adrenal Neoplasia
sekunder terhadap tumor
yang menghasilkan ACTH
17-KS-urin atau
Pencitraan pituitari dan/ atau DHEA sulfat serum
pengambilan sampel darah vena yang CTscan abdomen
selektif
( 1 I
Positif Negatif Tinggi (> 6 cm) Normal-rendah ( <3 cm)
Adenoma hipofisis Tumor ektopik Karsinoma adrenal Adenoma adrenal

Gambar 1. Alur Diagnostik untuk Mengevaluasi Pasien Tersangka Menderlta Sindrom Cushing
'

98
Kelainan Adrenal

Komplikasi
Trombosis vena dalam, emboli paru, ansietas, depresi, paranoid akut, psikosis
depresif, osteoporosis. Karsinoma adrenal : metastatis paru dan hati

Prognosis
• Overt Cushing’s berhubungan dengan prognosis buruk
• Kebanyakan pasien dengan karsinoma adrenal meninggal dalam 3 tahun setelah
diagnosis
• Adenoma adrenal yang berhasil diobati dengan pembedahan mempunyai prognosis
baik dan tidak mungkin kekambuhan terjadi.

B. TUMOR ADRENAL’ 2
Tumor adrenal memiliki hubungan dengan sindrom Cushing dan sindrom Conn
serta tumor -tumor lain yang mensekresi androgen ( menyebabkan virilisasi pada
perempuan), yang mengekskresikan estrogen ( menyebabkan feminisasi pada laki-laki
dan perdarahan uterus pada perempuan pascamenopause)

Tabel 2. Tumor Adrenal1 '2

Anamnesis Pemeriksaan flsik


Pemeriksaan Penun - Dlagnosls Banding
Jang
• Palpitasi • Obesitas sentral • Pielografi intravena • Pheochromocy-
• Banyak berkeringat • Ginekomastia dengan tomografi toma, Sindroma
• Sakit kepala • Hipertensi, hipotensi • Penyuntikan gas .
Cushing Hiper-
• Nyeri abdomen postural, takikardi retroperitoneal aldosteronisme
• Penurunan atau • Pemeriksaan fundus: • Angiografi primer
penambahan berat retinopati hipertensif
badan • Pada kulit: hirsutisme
• Virilisasi pada wanita dan striae
• Feminisasi pada
laki-laki
• Kelemahan
• Depresi
• Lebam

TATALAKSANA

Nonfarmakologis
Kondisi dimana operasi tidak memberikan hasil yang baik diantaranya adalah
-
kelainan adrenal bilateral seperti corticotropin dependent Cushing disease atau
hiperaldosteronisme bilateral. Adenoma kortikal adrenal non - fungsional bukan
merupakan premalignan dan tindak pembedahan tidak diindikasikan.

99
# HSMfiSSSHi Metabolik Endokrin
Temuan CT/MRI massa adrenal yang
didapatkan secara insidental

l
Skrining hormon berlebihan
• Metanefrin plasma atau urin 24 jam untuk ekskresi katekolamin
atau metanefrin
• Urin 24 jam untuk ekskresi kortisol bebas, ACTH plasma, cortisol
plasma (atau saliva) tengah malam, tes deksametason I mg
satu malam penuh (melakukan paling sedikit didapatkan
dua dari empat tes)
• Aldosteron plasma dan renin plasma
• Jika tumor >2 cm: 17-hidroksiprogesteron dan DHEAS

Positif

1
Tes konfirmasi
Negatif tapi:
hasil pencitraan
Negatif dan pencitraan tidak
didapatkan adanya keganasan :
• Ukuran <4 cm
tidak didapatkan • Densitas CT yang rendah
keganasan: (<10 HU)
• Ukuran >4cm • Wash-out kontras CT >50%
• Densitas CT yang
tinggi (>20 HU )
• Wash-out kontras CT
<40%
Ulangi skrining untuk Ulangi skrining untuk hormon
hormon yang berlebih yang berlebih setelah 12 bulan:
setelah 12 bulan ulangi pencitraan setelah 6-12
bulan

Neg Pos

F/ U jika F/U jika diperlukan


diperlukan Unilateral adrenalektomi

Keterangan gambar : F / U = follow up

Gambar 2. Algorltma tata laksana paslen dengan massa adrenal yang


dltemukan secara insidental '
Farmakologis
Pasien dengan hiperaldosteronisme idiopatik bilateral yang tidak dapat dioperasi
atau menolak dioperasi harus diberikan penyekat reseptor mineralkortikoid selektif
dan nonselektif .

Bedah
Pengobatan untuk tumor adrenal yang secara hormonal aktif

100
Kelainan Adrenal fro
PROGNOSIS
Delapan puluh persen adenoma adrenal merupakan non fungsional dan jinak.
Dan sebesar 20 %, adenoma adrenal adalah fungsional atau ganas dan membutuhkan
evaluasi dan pengobatan lebih lanjut untuk mencegah komplikasi.

C. HIRSUTISME SIMPLEKS (IDIOPATIK ) ’ 2

Gambaran Klinis
Pertumbuhan rambut ekstra pada daerah wajah, bibir atas, dan dagu. Rambut
pada lengan bawah meningkat dan rambut tumbuh panjang antara payudara dan
pubik, meluas sampai ke paha atas dan dinding perut depan ( male escutcheon). Kulit
cenderung berkeriput, dan dapat muncul jerawat

TATALAKSANA

Non farmakologis
Depilatory cream, bleaches dan heavy layer cosmetics

Farmakologis
Siproteron asetat

Prognosis
Riwayat hirsutisme simpleks tidak jelas tetapi memberi kesan rambut tubuh
berlebihan dan tidak berkembang lebih luas setelah usia 35 tahun dan cenderung
berkurang setelah menopause

D. HIPERALDOSTERONISME 2

Etiologi hiperaldosteronisme ada tiga macam yaitu primer, sekunder, dan kelebihan
mineralkortikoid non aldosteron. Pada hiperaldosteronisme primer terjadi kelainan
pada adrenal dan tidak peningkatan hormon aldosteron tidak bergantung pada renin.
Penyebab hiperaldosteronisme diantaranya adalah hiperplasia ( 70 % ) , adenoma
(sindroma Conn, 25%), karsinoma (5%).
Pada hiperaldosteronisme sekunder terjadi kelainan pada ekstraadrenal dan
peningkatan aldosteron bergantung dari renin . Primary reninism : tumor yang
mengsekresi renin ( jarang) , Secondary reninism: penyakit renovaskular ( RAS,
hipertensi maligna ) , edema dengan penurunan volume arteri yang efektif ( CHF,

101
( fA PanfluanPraktikKlinis Metabolik Endokrin

li' lJiy Perhlmpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia

sirosis, sindroma nefrotik, hipovolemia, diuretik, diabetes tipe 2, Bartter ( gangguan


Na / K / 2 C1 transporter ~ mendapatloop diuretic], Gitelman ( gangguan transporter Na /
Cl renal ~ mendapat diuretik golongan thiazid] ]
Adapula kelainan kelebihan mineralkortikoid nonaldosteron yang menyerupai
hiperaldosteronisme yaitu defisiensi llb- HSD ( kekurangan penginaktivasi kortisol,
yang berikatan dengan reseptor mineralkortikoid nonselektif ], Black licorice
(glycyrrhizinic)

Anamnesis
Sakit kepala, poliuria, nokturia, parestesia, kelemahan otot

Pemeriksaan Fisik
Hipertensi, edema, hiporefleksi, paralisis, distensi abdomen

Pemeriksaan Penunjang
• Laboratorium: Hipokalemia, kadar aldosteron tinggi, kadar renin rendah
• Radiologi : CTscan adrenal

Diagnosis Banding
Hipertensi esensial, adenoma adrenal, Sindrom Bartter, Sindrom Conn , Sindrom
Cushing , hipertensi renovaskular

Tatalaksana
• Nonfarmakologis : diet rendah garam
• Farmakologis : Spironolakton (awal 400 mg/ hari per oral, kemudian 100-400 mg
sekali sehari atau setiap 12 jam), amiloride, triamterene, nifedipin
• Terapi invasif : -
• Tindakan operatif : untuk kasus adenoma atau karsinoma

Komplikasi
Komplikasinya adalah komplikasi yang berhubungan dengan hipertensi kronik
(infark miokard, penyakit serebrovaskular, gagal jantung kongestif )

E. INSUFISIENSI ADRENAL’ 2
Adalah defisiensi kortisol absolut atau relatif yang terjadi mendadak biasanya
disebabkan oleh penyakit atau stres yang berat. Insufisiensi adrenal akut juga dapat

102
Kelainan Adrenal iTj

terjadi akibat stres, infeksi berat, pada pasien dimana respons adrenal menurun karena
sesuatu sebab atau gangguan pelepasan ACTH akibat kerusakan hipofisis atau terapi
kortikosteroid lama.

Anamnesis
Akut: Nyeri kepala, mual, muntah, diare
-
Kronik: lesu, letih, lemah, anoreksia, mual, penurunan berat badan, muntah muntah,
nyeri perut, depresi, psikosis

Pemeriksaan Fisik
Hipotensi
Kronik: kurus, lemah, hipotensi, pigmentasi pada perut, tempat-tempat tertekan
fdaerah tali pinggang, lipatan telapak tangan, areola, perineum dan daerah yang
terpapar sinar matahari), vitiligo, atau pigmentasi kelabu pada muka pipi, gusi dan
bibir

Pemeriksaan Penunjang
• Kadar kortisol darah
• Kronik: hipoglikemia
• Tes Synacthen (ACTH stimulation test)
• CT scan adrenal

Diagnosis Banding
Krisis adrenal, perdarahan adrenal, eosinofilia, histoplasmosis, sarkoidosis

TATALAKSANA
Non farmakologis: Edukasi pasien
Farmakologis: Pemberian larutan NaCl 0,9 %, kortikosteroid, glukosa intravena, dan
pengobatan penyakit pencetusnya
Alternatif lain: hidrokortison IV dengan larutan NaCl 0,9%
Kronik :
• Pemberian kortisol
Mula-mula pasien diberikan kortison dosis tinggi. Untuk jangka panjang, dosis 25 mg
pagi hari dan 12, 5 mg pada sore hari per oral
• Mineralkortikoid (fludrokortison 100 pg/ hari]

103
Crl PaoMua«rrelrtll[ Klims Metabolik Endokrin

KompUKasi
Syok, krisis adrenal

Prognosis
Kecuali risiko krisis adrenal, kesehatan dan usia pasien biasanya normal, sedangkan
pigmentasi dapatmenetap

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Metabolik -
Endokrinologi
• RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Semua Divisi di lingkungan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam
• RS non pendidikan :

REFERENSI
. . .
Arlt W Disorder of the Adrenal Cortex In : Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL,
. , .
1
.
Loscalzo J Harrison's Principles of Internal Medicine 18 hed New York: McGraw-Hill; 2012.2940-61
2, . . . . .
Nieman L Adrenal Cortex In: Goldman, Ausiello Cecil Medicine 23rd Edition Philadelphia .
Saunders, Elsevier. 2008

104
105

KISTA TIROID

PENGERTIAN
-
^
Kista tir d adalah nodul kistik pada jaringan tiroid, merupakan 1,0 25 °/o dari
seluruh nodul tiroid. Insidens keganasan pada nodul kistiklebih rendah dibandingkan
nodul solid. Pada nodul kistik kompleks masih mungkin merupakan suatu keganasan.
Sebagian nodul kistik mempunyai bagian yang solid.1

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis1 2 -
• Anamnesis Umum:
-Sejak kapan benjolan timbul
- Rasa nyeri spontan atau tidak spontan, berpindah atau tetap
-Cara membesarnya: cepat atau lambat
- Pada awalnya berupa satu benjolan yang membesar menjadi beberapa benjolan
atau hanya pembesaran leher saja
• Riwayat keluarga
• Riwayat penyinaran daerah leher pada waktu kecil / muda
• Perubahan suara
• Gangguan menelan, sesak nafas
• Penurunan berat badan
• Keluhan tirotoksikosis

Pemeriksaan Flslk12
• Umum
• Lokal:
Nodus tunggal atau banyak, atau difus
Nyeri tekan
Konsistensi: kistik
Permukaan
Perlekatan pada jaringan sekitarnya

Panduan Praklik Minis


m
0 fSSSSSSSSS. Metabolik Endokrin
Pendesakan atau pendorongan trakea
Pembesaran kelenjar getah bening regional
Pemberton's sign

Penilaian Risiko Keganasan2


Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang mengarahkan diagnostik penyakit tiroid
jinak, tetapi tak sepenuhnya menyingkirkan kemungkinan kanker tiroid :
• Riwayat keluarga dengan struma nodosa atau diffusa jinak
• Riwayat keluarga dengn tiroiditis Hashimoto atau penyakit tiroid autoimun.
• Gejala hipo atau hipertiroidisme.
• Nyeri berhubungan dengan nodul.
• Nodul lunak, mudah digerakkan.
• Multinodul tanpa nodul yang dominan, dan konsistensi sama.
Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang meningkatkan kecurigaan ke arah
keganasan tiroid : 2
• Umur < 20 tahun atau > 70 tahun
• Jenis kelamin laki-laki
• Nodul disertai disfagi, serak, atau obstruksi jalan nafas
• Pertumbuhan nodul cepat ( beberapa minggu - bulan )
• Riwayat radiasi daerah leher waktu usia anak-anak atau dewasa ( juga meningkatkan
insiden penyakit nodul tiroid jinak)
• Riwayat keluarga kanker tiroid meduler
• Nodul yang tunggal, berbatas tegas, keras, irreguler dan sulit digerakkan
• Paralisis pita suara,
Temuan limfadenopati servikal
• Metastasis jauh ( paru -paru, dll)

Langkah Diagnostik I: TSHs, FT4


Bila Hasil : Non toksik ® Langkah diagnostik 11:
Pungsi aspirasi kista dan BAJAH bagian solid dari kista tiroid

Pemeriksaan Penunjang 4
• USG tiroid:
dapat membedakan bagian padat dan cair,
dapat untuk memandu BAJAH : menemukan bagian solid .
Gambaran USG Kista = kurang lebih bulat, seluruhnya hipoekoik sonolusen,
dinding tipis.

106
Kista Tiroid

• Sitologi cairan kista dengan prosedur sitospin.


• Biopsi Aspirasi Jarum Halus (BAJAH): pada bagian yang solid.

DIAGNOSIS BANDING
• Kista tiroid
• kista degenerasi
• Karsinoma tiroid

TATALAKSANA
Pungsi aspirasi seluruh cairan kista:1 3 '

• Bila kista regresi Observasi


-^
• Bila kista rekurens, klinis kecurigaan ganas rendah Pungsi aspirasi dan Observasi
• Bila kista rekurens, klinis kecurigaan ganas tinggi -> Operasi Lobektomi
• Modalitas lain : Injeksi Ethanol (Skleroterapi)

KOMPLIKASI
Penekanan pada organ sekitar yang dapat mengakibatkan kesulitan makan,
menelan, bernapas, dapat juga terasa nyeri.

PROGNOSIS
Prognosis tergantung tipe kista tiroid.

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Divisi Metabolik Endokrin - Departemen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS pendidikan Departemen Radiologi / Kedokteran Nuklir, Patologi
Kltnik, Departemen Bedah -Onkologi, Departemen
Patologi Anatomi
• RS non Pendidikan : Bagian Neurologi, Patologi Klinik, Radiologi, dan Bedah.

REFERENSI
1. .
Kariadi SHKS. Struma Nodosa Non-Toksik. Dalam Waspadji S, et al. ( eds ) Buku Ajar llmu Penyakit
.
Dalam Edisi 3. Jakarta, Balai Penerbit FKUI:757-65 .
2. . .
Suyono S Pendekatan Pasien dengan Struma Dalam Markum HMS, Sudoyo HAW, Effendy S,
Setiati S, Gani RA, Alwi I (eds). Naskah Lengkap Pertemuan llmiah Tahunan llmu Penyakit Dalam
1997. Jakarta, 1997:207-13.

107
PanduanPraktikKlinis Metabolik Endokrin _
V
^ L I I M 11 I
P w w m p w w n D a t i a SontaK Ponvutll Dalam m d o r o i l a
' ’ '
.
3 .
Subekti I. Struma Nodosa Non-Toksik (SNNT) In Simadibrata M, Setiatl S, Alwi I, Maryantoro, Gani
.
RA, Mansjoer A (eds) Pedoman Diagnosis dan Tata Laksand di Bidang llmu Penyakit Dalam .
Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian llmu Penyakit Dalam FKUU 999:187-9 .
.
4 . .
Soebardi S Pemeriksaan Diagnostik Nodul Tiroid Makalah Jakarta Endocrinology Meeting 2003 .
Jakarta, 18 Oktober 2003 .

108
109

KRISIS HIPERGLIKEMIA

PENGERTIAN
Krisis hiperglikemia , mencakup ketoasidosis diabetik [KAD ) dan status
hiperglikemia hiperosmolar [SHH), merupakan komplikasi metabolik akut paling
serius pada pasien diabetes melitus. Krisis hiperglikemia terjadi akibat defisiensi
insulin dan peningkatan hormon counterregulatory [glukagon, katekolamin, kortisol
dan growth hormone). SHH terjadi ketika defisiensi insulin yang relatif [terhadap
kebutuhan insulin) menimbulkan hiperglikemia berat dan dehidrasi dan akhirnya
menyebabkan kondisi hiperosmolalitas. KAD terjadi bila defisiensi insulin yang
berat tidak saja menimbulkan hiperglikemia dan dehidrasi, tapi juga mengakibatkan
produksi keton meningkat serta asidosis metabolik. Spektrum kedua kondisi ini dapat
.
saling overlap 1 *

PENDEKATAN DIAGNOSIS
1. KAD
• Anamnesis3 4
Mual / muntah, haus / poliuria, nyeri perut, sesak napas; g ala berkembang
dalam waktu < 24 jam. Faktor presipitasi meliputi riwayat pemberian insulin
inadekuat, infeksi [pneumonia, infeksi saluran kemih, infeksi intraabdominal,
sepsis ), infark (serebral, koroner, mesenterika, perifer ) , obat ( kokain ),
kehamilan .
• Pemeriksaan Fisik 4
Takikardia, dehidrasi, hipotensi, takipnea, pernapasan Kussmaul, distres
pernapasan, napas bau keton, nyeri tekan perut [menyerupai pankreatitis
akut), letargi atau koma.
• Pemeriksaan Penunjang3 5
Diagnosis KAD ditegakkan bila ditemukan hiperglikemia [ > 250 mg / dL ) ,
ketonemia dan atau ketonuria dan asidosis metabolik [HC03<18) dengan anion
gap meningkat.

PanduanPraktik Minis
Perhlmpunan Dokler Spesialis Penyakit Dolam Indonesia
II EKSSJSSRHSSi Metabolik Endokrin

2 . SHH
• Anamnesis 6
Riwayat poliuria, berat badan turun, dan berkurangnya asupan oral yang
terjadi dalam beberapa minggu dan akhir nya terjadi letargi / koma. Faktor
presipitasi meliputi infark miokard , stroke, sepsis, pneumonia, infeksi berat
lainnya, keadaan seperti riwayat stroke sebelumnya atau demensia atau situasi
sosial yang menyebabkan asupan air berkurang.
• Pemeriksaan Fisik6
Dehidrasi, hipotensi, takikardia, perubahan status mental .
• Pemeriksaan Penunjang6
Hiperglikemia ( dapat > 600 mg / dL ), hiperosmolalitas ( > 350 mOsmol / L ),
azotemia prerenal. Asidosis dan ketonemia tidak ada atau ringan . pH > 7,3 dan
bikarbonat >18 mEq / L.

Tabel 1. Kriteria Diagnostik KAD dan SHH‘


KAD SHH
Ringan (kadar GD Sedang (kadar GD Berat (kadar GD Kadar GD
> 250 mg/dL) > 250 mg/ dL) > 250 mg/dL) > 600 mg/dL
pH arteri 7,25 - 7,30 7,00 - 7,24 <7,00 > 7,30
Bikarbonat serum 15 - 18 10 - 15 < 10 > 18
Keton urin Positif Positif Positif Kecil
Keton serum Positif Positif Positif Kecil
Osmolalitas serum Bervariasi Bervariasi Bervariasi > 320 mOsm /kg
efektif
Anion gap > 10 > 12 > 12 Bervariasi
Status mental Sadar Sadar / mengantuk Stupor / koma Stupor / koma
GD = glukosa darah; Osmolalitas serum efektlf= 2 x [Na ~ ukur (mEq/L]] + glukosa (mg/dL) / 18;
=
Anion gap ( Na1) - [(Cl + HCQ 3 ( mEq / L )]

DIAGNOSIS BANDING
Starvation ketosis, alcoholic ketoacidosis, asidosis laktat, penyalahgunaan obat-
obatan (salisilat, metanol, etilen glikol, paraldehid ), akut pada gagal ginjal kronik5

TATALAKSANA
1. Pemberian cairan 4
Pemberian cairan mengikuti algoritma

110
Krisis Hiperglikemia

Cairan intravena

Menentukan status hidrasi

Hipovolemia Dehidrasi Renjatan


berat rlngan kardiogenik

NaCI 0.9 % Evaluasl natrium Observasi


( t L/hari) serum terkoreksi hemodinamik

Na serum tinggi Na serum normal Na serum rendah

NaCI 0.45 % (250-500 mL/jam) NaCI 0.9 %


tergantung status hidrasi (250-500 mL/]am)

Jika glukosa serum mencapai 200 mg/dL (KAD) atau 300 mg/dL (SHH), ganti cairan dekstrosa
5 % menjadi NaCI 0.45 % ( 150-250 mL/jam)

Gambar 1. Algoritma Pemberian Cairan"


ESSSJ5BKBK , Metabolik Endokrin

2. Terapi insulin4

Insulin: regular

0, 1 U/ kgBB
sebagai bolus IV

0,1 U / kgBB/ jam


sebagai infus
insulin kontinu IV

Jika GD tidak turun 50-75 mg/ dL, naikkan drip insulin

KAD SHH

Ketika kadar GD mencapai 200 mg/ dL, Ketika GD mencapai 200 mg / dL,
turunkan infus insulin regular menjadi turunkan infus insulin regular menjadi
0,05-0, 1 U / kgBB / jam IV Pertahankan 0,05-0,1 U / kgBB / jam IV. Pertahankan
kadar GD antara 150 dan 200 mg/dL kadar GD antara 200 dan 300 mg/dL
sampai terjadi resolusi KAD sampai pasien sadar penuh.

Periksa kadar elektrolit, pH vena, kreatinin, dan GD tiap 2-4 jam sampai
pasien stabil. Setelah terjadi resolusi KAD atau SHH dan ketika pasien
mampu untuk makan, berikan regimen insulin subkutan. Untuk mengganti
dari IV ke subkutan, lanjutkan infus insulin IV selama 1 -2 jam setelah insulin
subkutan dimulai untuk mencapai kadar insulin plasma yang adekuat.
Pada pasien insulin-naive, mulai dengan 0,5 U/ kgBB sampai 0,8 U/ kgBB
per hari dan sesuaikan sesuai kebutuhan. Cari faktor presipitasi

Gambar 2. Algoritma Protokol Tatalaksana Insulin pada Pasien Dewasa dengan KAD atau SHH4

112
Krisis Hiperglikemia

3 . Koreksi kalium4

Kalium

Perlksa fungsi ginjal


(urine output ~ 50 rtlL/hari /kgBB)

Kalium < 3.0 mEq/ L Kalium 3.0-5.0 mEq / L I Kalium > 5.0 mEq/L

Kalium 20-30 mEq/L dalam


I
Jangan berikan kalium.
• Jangan memberikan insulin
terleblh dahulu setlap liter cdlran Intravena Periksa kadar kalium
untuk menjada kadar setlap 2 Jam.
• Kalium 20-30 mEq /L sampal
kalium > 3.0 mEq/L. kalium 4-5 mEq/L

Gambar 3. Algoritma Koreksi Kalium pada Paslen Dewasa dengan KAD atau SHH
4

4 . Bikarbonat4
• Jika pH vena < 6, 9 , berikan 100 mmol natrium bikarbonat dalam 400 ml sterile
water ditambah 20 mEq KC1 diberikan selama 2 jam . Jika pH masih < 7, ulangi
setiap 2 jam sampai pH > 7 . Periksan kadar kalium serum setiap 2 jam .
• Jika pH vena > 6.9 : tidak perlu diberikan natrium bikarbonat.
5 . Pemantauan45
Pantau tekanan darah, nadi, napas, status mental, asupan cairan dan urin tiap 1-4 jam

KOMPLIKASI
Renjatan hipovolemik, trombosis vena, perdarahan saluran cerna atas, sindrom
distres pernapasan akut.
Komplikasi pengobatan adalah hipoglikemia, hipokalemia, over load edema
serebral56

PROGNOSIS
KAD memiliki angka kematian 2% untuk usia < 65 tahun dan 22% untuk usia >
65 tahun . SHH memiliki angka mortalitas 20 - 30%. 5-6

113
# S5SHM5SS5H* Metabolik Endokrin

UNIT YANG MENANGANI


• RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Metabolik
Endokrin
• RS non Pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : ICU
• RS non Pendidikan : ICU

REFERENSl
1 . . .
Soewondo Pradana Ketoasidosis Diabetik Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata
. .
M, Setiati S, penyunting. Buku ajar ilmu penyakit dalam Edisi V Jakarta; Interna Publishing; 2009.
Hal 1906-1911.
2 . Davis Joe C. Diabetes Mellitus. Dqlam; Longo DL. Kasper DL. Jameson JL, Fauci AS, Hauser
SL, Loscalzo J, penyunting. Harrison ' s principle of internal medicine. Edisi XVIII. McGraw-Hill
Companies;2012.
3. . .
Perkeni Petunjuk praktis terapi insulin pada pasien diabetes melitus Jakarta:Pusat penerbitan
ilmu penyakit dalam;2011
4. Kitabchi AE, Umpierrez GE, Miles JM, Fisher JN. Hyperglycemic crises in adult patients with
diabetes. Diabetes Care 2009;32 ( 7):1335-43. Diunduh dari http:/ /care.diabetesjournals .org /
content/32/7/ 1335,full.pdf+html pad atanggal 7 Juni 2012.
.
5 Trachtenbarg DE. Diabetic ketoacidosis. American Family Physician 2005;71 ( 9 ) :1705- 14
.
6 Stoner GD. Hyperosmolar hyperglycemic state. American Family Physician 2005;71 (9):1723-30

114
115

KRISIS TIROID

PENGERTIAN
Krisis tiroid merupakan suatu keadaan klinis hipertiroidisme yang paling berat dan
mengancam jiwa. Umumnya keadaan ini timbul pada pasien dengan dasar penyakit
Graves atau struma multinodular toksik, dan berhubungan dengan faktor pencetus:
infeksi, operasi, trauma, zat kontras beriodium, hipoglikemia, partus, stres emosi,
penghentian obatanti-tiroid, terapi I , ketoasidosis diabetikum, tromboemboli paru,
131

penyakit serebrovaskular /stroke, palpasi tiroid terlalu kuat.1

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis
Riwayat penyakit hipertiroidisme dengan gejala khas, berat badan turun,
perubahan suasana hati, bingung sampai tidak sadar, diare, amenorea 1 .
Pemeriksaan Fisik12
• Gejala dan tanda khas hipertiroidisme, karena penyakit Graves acau penyakit lain
• Sistem saraf pusat terganggu: delirium, koma
• Demam tinggi sampai 40°C
• Takikardia sampai 130-200 x/ menit
• Dapat terjadi gagal jantung kongestif
• Diare
• Ikterus

Pemeriksaan Penunjang
• TSHs sangat rendah, fT4/T3 tinggi, anemia normositik normokromik, limfositosis
relatif, hiperglikemia, enzim transaminase hati meningkat hiperbilirubinemia,
azotemia prerenal
• EKG: sinus takikardia atau fibrilasi atrial dengan respons ventrikular cepat.

PanduanPraktik Klinis #
# EBSBBKB — Metabolik Endokrin
Tabel 1 . Skor Indeks Kllnis Krisis Tiroid (Burch - Wartosky, 1993)
'
Krlterla Dlagnostfk
Dlsfungsl pengaturan panas : Dlsfungsl kardlovaskular :
Suhu 99-99.9 (° F) 37.2 - 37,7 (°C) 5 Takikardi 99- 109 5
100- 100,9 37,8 - 38,2 10 110- 119 10
100- 101,9 38,3 - 38,8 15 120- 129 15
102- 102,9 38,9 - 39,2 20 130- 139 20
103- 103,9 39.3 - 39,9 25 >140 25
> 104,0 >40,0 30
Efek pada susunan soraf pusat : Gagal Jantung :
Tidak ada 0 Tidak ada 0
Ringan (agitasi) 10 Ringan 5
Sedang ( delirium, psikosis, letargi berat ) 20 Sedang 10
Berat (koma, kejang ) 30 Berat 15
Fibrilasi atrium
Tidak ada 0
Ada 10
Riwayat pencetus
Negatif 0
Positif 10
Dlsfungsl gastrolntesttnal- hepar
Tidak ada 0 >45 : highly suggestive
Ringan ( diare, nausea / muntah/ nyeri perut ) 10 25 - 44 : suggestive of im -
Berat (ikterus tanpa sebab yang jelas ) 20 pending storm
25 : kemungkinan kecil

TATALAKSANA 1
1. Perawatan suportif :
• Kompres dingin , antipiretik (asetaminofen )
• Memperbaiki gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit: infus dekstrosa
5% dan NaCl 0,9 %
• Mengatasi gagal jantung: C> 2, diuretik, digitalis
2 . Antagonis aktivitas hormon tiroid :
Blokade produksi hormon tiroid:
PTU dosis 300 mg tiap 4-6 jam PO.
Alternatif : Metimazol 20 - 30 mg tiap 4 jam PO
Pada keadaan sangat berat, dapat diberikan melalui pipa nasogastrik ( NGT)
PTU 600 - 1000 mg atau metimazol 60 -100 mg.
Blokade ekskresi hormon tiroid
Solutio Lugol ( saturated solution of potassium iodida) 8 tetes tiap 6 jam
Penyekat beta
Propanolol 60 - 80 mg tiap 6 jam PO atau 1 - 5 mg tiap 6 jam intravena, dosis
disesuaikan respons (target: frekuensi jantung < 90 x / menit).

116
Krisis Tiroid

•Glukokortikoid
Hidrokortison 100-500 mg IV tiap 12 jam; Deksametason 2 mg tiap 6 jam.
• Bila refrakter terhadap terapi di atas: plasmaferesis, dialisis peritoneal.
3. Pengobatan terhadap faktor presipitasi: antibiotik spektrum luas, dll.

KOMPLIKASI
Krisis tiroid: kematian

PROGNOSIS
Mortalitas krisis tiroid dengan pengobatan adekuat = 10 -15 %.1

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Divisi Metabolik Endokrin - Departemen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Dalam Divisi Ginjal-Hipertensi, Divisi Kardiovaskular
- Departemen Penyakit Dalam, Departemen Neurologi,
Departemen Radiologi / Kedokteran Nuklir, Patologi
Klinik, Departemen Bedah-Onkologi.
• RS non Pendidikan : Bagian Neurologi, Patologi Klinik, Radiologi, dan Bedah.

REFERENSI
1. Djokomoeljanto R . Kelenjar tiroid, hipotiroidisme, dan hipertiroidisme. In: Sudoyo AW , Setiyohadi
B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, et al. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam. Edisi 5 . Jakarta:
InternaPublishing. 1993-2008.
2. Jameson JL, Weetman AP. Disorder of the Thyroid Gland. In : Longo DL, Fauci AS, Kasper DL,
Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J. Harrison' s Principles of Internal Medicine. 18lhed. New York:
McGraw-Hill; 2012.2911-39

117
118

PERIOPERATIF DIABETES MELITUS

PENGERTIAN
Perioperatif secara umum merupakan tiga fase pembedahan yaitu preoperatif,
intraoperatif dan pasca operasi. Tujuan dari evaluasi dan penatalaksanaan perioperatif
adalah mempersiapkan kondisi pasien yang optimal sebelum operasi, selama
operasi dan setelah operasi. Secara umum evaluasi perioperatif pada pasien DM
sama dengan kondisi pasien lain yang akan menjalani operasi. Pada pasien DM maka
evaluasi difokuskan pada evaluasi komplikasi jangka panjang DM (mikrovaskuler,
makrovaskuler dan neuropati) yang akan meningkatkan risiko operasi. Perhatian
khusus perlu diberikan pada evaluasi fimgsi kardiovaskuler dan ginjal. Evaluasi risiko
kardiovaskuler merupakan prioritas utama. Adanya neuropati otonom juga dapat
memperberat dan memperpanjang fase pemulihan pasca operasi.

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Evaluasi Pra Operasi Pasien DM


• Penilaian risiko operasi
Faktor risiko rutin : jantung, paru, ginjal, hematologi
Faktor risiko terkait DM : komplikasi makrovaskular, mikrovaskular
• Penatalaksanaan diabetes
- Klasifikasi DM
Farmakologi : tipe, obat, dosis, waktu
Perencanaan makan : kandungan KH, waktu makan
Aktivitas
- Hipoglikemia : frekuensi, kewaspadaan, beratnya
• Antisipasi pembedahan
Tipe prosedur pembedahan
Rawat jalan atau rawat inap
Tipe anestesia
- Waktu mulainya pembedahan
- Lamanya pembedahan

# PanduanPraktikKIinls
Perioperatif Diabetes Melitus

merlksaan Penunjang
• Glukosa Darah
• Profil Lipid
• HbAlC
DPL
Fungsi hafci : SGGT/PT
mgkiklm : Ur/ Cr

Elbktfblit '

Hemostasis
Urinaiisa
EKG
Foto Toraks

DIAGNOSIS BANDING

KOMPLIKASI
Hipoglikemia, Hiperglikemia

TATALAKSANA
1. Kontrol Gula Darah (GD)
• Biasanya dilakukan saat rawat jalan sebelum tindakan
• Target GD belum ada keseragaman (secara umum Gt> i40-180mg/dL)
• Untuk memperbaiki kontrol GD
- Pemeriksaan GD lebih sering
- Dosis insulin disesuaikan
2. Pemberian Insulin
• GD dikendalikan dengan insulin kerja pendek (insulin manusia ) atau insulin
kerja cepat analog
Regimen insulin di rumah dapat dilanjutkan, terutama jika menggunakan
insulin basal
Pemberian Insulin
- Metode pemberian insulin sebaiknya dapat memberikan kontrol GD yang
baik sehingga dapat mencegah hiper- atau hipoglikemia dan mencegah
gangguan metabolik lain.

119
©
'Iji l M7 f?nd«
,
, ,
ans !!L! !?
ra|l cl is Metabolik Endokrin
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakit Dalam Indonesia

Regimen insulin intravena (IV) sebaiknya mudah dimengerti dan dapat


diterapkan dalam berbagai situasi.
Pemberian insulin intravena (IV) harus disertai pemantauan GDS secara
bedside. Insulin IV memiliki waktu paruh 5 menit dan efek biologik sekitar
20 menit.
Kecepatan infus insulin dapat disesuaikan dengan kadar GD.
Perkiraan kebutuhan insulin awal dapat diperkirakan berdasarkan tipe
DM, terapi sebelumnya, derajat kontrol glikemik, terapi steroid, obesitas,
infeksi dan gagal ginjaL
3. Obat oral
• Umumnya dihentikan sebelum tindakan
• SU kerja panjang : 48-72 jam sebelum tindakan
• SU kerja pendek, pemicu sekresi insulin lain dan metformin dapat dihentikan
pada malam sebelum tindakan atau pada hari tindakan
4. Tipe Operasi
• Operasi Kecil
OAD oral atau insulin dapat diteruskan bila kadar GD terkendali baik
Tidak memerlukan persiapan khusus
• Operasi Sedang
Paling sering ditemukan
Persiapan sama dengan operasi besar
• Operasi besar
Memerlukan anestesi umum dan dipuasakan
Diberikan infus insulin dan glukosa
Periksa gula darah setiap jam di meja operasi
5. Operasi Rawat Jalan
• Jika tidak membutuhkan anestesi umum
• OAD atau insulin dapat dilanjutkan bila GD sudah terkontrol baik
• Tidak memerlukan puasa dan pasca tindakan dapat makan seperti biasa
• Jika memungkinkan tindakan dilakukan sepagi mungkin
6. Operasi Gawat Darurat
• Stres kondisi akut maka kontrol GD dapat memburuk dan bahkan dapat
mencetuskan KAD
• Nilai kontrol GD, dehidrasi, asam basa
• Lebih agresif, periksa GD setiap jam di meja operasi
• Pada KAD maka operasi ditunda 4-6 jam jika mungkin, dan sebelumnya
diberikan terapi standar KAD

120
Perioperatif Diabetes Melitus

• Pengosongan lambung
semua pasien DM dengan trauma maka dianggap lambung penuh karena
kemungkinan adanya gastroparesis DM, sehingga sebaiknya ditunda 4 - 6
jam jika memungkinkan
• Infus insulin intravena
7. Penatalaksanaan Intra Operasi
• Semua pasien yang menggunakan insulin baik tipe 1 maupun tipe 2 harus
mendapatkan insulin selama prosedur operasi
• DM tipe 2 yang terkontrol baik dengan diet dan OAD mungkin tidak
membutuhkan insulin jika prosedur relatif mudah dan singkat
• Kontrol GD yang buruk dan prosedur operasi yang sulit : Pemberian insulin
bermanfaat
8. Pemberian Glukosa, Cairan dan Elektrolit
• Selama puasa sebaiknya diberikan glukosa yang adekuat dengan tujuan
mencegah hipoglikemia, mencukupi kebutuhan energi dan katabolisme berat.
• Dapat diberikan dekstrosa 5% lOOcc / jam, disesuaikan dengan status hidrasi.
• Pada stress berat diperlukan glukosa lebih banyak.
• Jika dibutuhkan penambahan cairan dapat diberikan cairan yang tidak
mengandung dekstrosa.
• Kalium seharusnya dilakukan monitor sebelum dan sesudah operasi
9. Paska tindakan operasi
• Infus dextrose dan insulin dilanjutkan sampai pasien bisa makan lalu dimulai
dengan pemberian insulin subkutan sesuai dengan kebutuhan.
• Pada pasien dengan nutrisi enteral tetap dianjurkan pemberian insulin kerja
singkat tiap 6 jam dan pengawasan hipoglikemia.
• Bila tidak bisa makan per oral maka dapat diberikan nutrisi parenteral.

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Divisi Metabolik Endokrin - Departemen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : Semua Divisi di lingkungan Departemen Imu Penyakit Dalam
• RS non Pendidikan

121
m
_
\gf f Jyp
PanHuanPraitm
« nman
P him| Sexnkrtt Powerful
Doctor
Klims Metabolik Endokrin
Dctliam Irldo/ioita

REFERENSI
.
1 . .
Perkumpulan pndokrinologi Indonesia Petunjuk praktis terapl insulin pada pasien diabetes melitus
.
PB PERKENI Jakarta 2011 .
.
2 . .
Jacober SJ, Sowers JR Scott J An Update on Perioperative Management of Diabetes Arch .
.
Intern Med 1999;159:2405-11
.
3 Kedokteran Perioperatif 2007

122
123

KAKI DIABETIK

PENGERTIAN
Kaki diabetes merupakan komplikasi kronik DM yang diakibatkan kelainan
neuropati sensorik, motorik, maupun otonomik serta kelainan pada pembuluh darah .
Alasan terjadinya peningkatan insiden ini adalah interaksi beberapa faktor patogen:
neuropati, biomekanika kaki abnormal, penyakit arteri perifer, penyembuhan luka
yang buruk dan infeksi.1

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis
Lama menderita DM, kontrol gula darah, gejala komplikasi ( jantung, ginjal ,
penglihatan) penyakit penyerta, riwayat pengobatan saat ini, pemakaian sepatu, ada
callus, ada kelainan bentuk kaki, riwayat infeksi atau pembedahan pada kaki, nyeri
pada tungkai saat beristirahat. 1

Pemeriksaan Fisik2
a. Pemeriksaan vaskular
Palpasi pulsasi arteri, perubahan warna kulit, adanya edema, perubahan
suhu, riwayat perwatan sebelumnya, kelainan lokal di ekstremitas : kelainan
pertumbuhan kaki, rambut, atrofi kulit.
b. Pemeriksaan neuropati
Vibrasi dengan garputala 128 Hz, sensasi halus dengan kapas, perbedaan dua
titik, sensasi suhu, panas dan dingin, pinprick untuk nyeri, pemeriksaan refleks
fisiologis, pemeriksaaan klonus, dan tes Romberg.
c. Pemeriksaan kulit
Tekstur, turgor dan warna, kulit kering, adanya callus, adanya fisura, ulkus ,
gangren, infeksi, jamur, sela-sela jari, adanya kelainan akantosis nigikans dan
dermopati.

Panduan Praktik Klinis


#
HSfiHSBHfi Metabolik Endokrin

d. Pemeriksaan tulang dan otot


Pemeriksaan biomekanik, kelainan struktur kaki (hammer toe , charcot, riwayat
amputasi, foot drop ), keterbatasan tendon achilles, evaluasi cara berjalan, kekuatan
otot, tekanan plantar kaki.
e. Pemeriksaan sepatu atau alas kaki
Jenis sepatu, kecocokan dengan bentuk kaki, insole , benda asing di dalam.
Tabel 1. Klasiflkasi pada Ulkus Diabetik berdasarkan Klasifikasi PEDIS International Consensus on
the Diabetic Foot 20032
Impaired Perfusion 1
2 Penyakit arteri perifer
3 Critical limb ischemia
Size /Extent in mm2 Tuliskan dalam ukuran mm2
Tissue Loss / Depth 1 Superfisial, tidak mengenai dermis
2 Ulkus dalam melewati lapisan dermis, meliputi struktur subkutan,
fascia , otot, atau tendon.
3 Meliputi tulang dan sendi
Infection 1 Tidak ada keluhan atau gejala infeksi
2 Infeksi pada kulit dan jaringan subkutan saja
3 Eritema >2 cm atau infeksi meliputi struktur subkutan. Tidak ada gejala
sistemik
4 Infeksi dengan gejala sistemik : demam, leukositosis, shift to the left ,
ketidakstabilan metabolik, hipotensi, azotemia
Impaired Sensation 1
2 +

DIAGNOSIS BANDING
Peripheral arterial disease ( PAD), vaskulitis, tromboangiitis obliterans ( penyakit
Buerger’s), venous stasis ulcer.1

TATALAKSANA
Pengelolaan kaki diabetik dimulai sejak diagnosis diabetes ditegakkan. Pengelolaan
awal meliputi deteksi dini kaki diabetik dan identifikasi kaki diabetik. Terdapat sistem
skoring neuropati yang dibuat untuk mempermudah deteksi dini yaitu Modified
Diabetic Examination Score yaitu :
a . Pemeriksaan kekuatan otot
Otot Gastroknemius : plantar fleksi kaki
Otot Tibialis anterior: dorsofleksi kaki

124
Kaki Diabetik

b. Pemeriksaan refleks
Tendon Patela
Tendon Achilles
Pemeriksaan sensorik pada Ibu jari kaki
Sensasi terhadap tusukan jarum
Sensasi terhadap perabaan
Sensasi terhadap vibrasi
Sensasi terhadap gerak posisi
Pengelolaaan kaki diabetik dengan risiko tinggi dan kaki diabetik dengan luka,
dapat dijelaskan sebagai berikut:

A. PERAWATAN KAKI DIABETIK TANPA LUKA DAN RISIKO TINGGI

Deteksi Dini4
• Kaki berisiko tinggi
Penyandang DM yang memiliki satu atau lebih risiko terdiri dari kelainan
neuropati, vaskular (iskemia], deformitas, kalus dan pembengkakan.
Dilakukan kontrol mekanik, metabolik, edukasi dan ditambah dengan kontrol
vaskular
• Kaki dengan sensasi normal disertai deformitas
Kelainan deformitas yang lazim dijumpai antara lain claw toes, hammer toes,
metatarsal heads yang menonjol, hallux rigidus, hallux valgus dan callus
Adanya kulit kering atau fisura akibat neuropati dapat diatasi dengan
pemberian krim pelembab untuk mencegah timbulnya lecet, mengingat setiap
lecet berpotensi sebagai tempat masuknya infeksi bakteri
• Kaki insensitifitas dengan deformitas
• Iskemia dengan deformitas

Tindakan Pencegahan
Dilakukan bila belum ada luka di kaki (Texas Modifikasi Stadium A Tingkat 0) dan
berdasarkan kategori risiko lesi kaki diabetik.4
Langkah-langkah pencegahan perlu dijelaskan saat edukasi perawatan kaki
diabetes, diantaranya sebagai berikut:5
• Tidak boleh berjalan tanpa alas kaki, termasuk di atas pasir dan di air.
• Periksa kaki setiap hari untuk deteksi dini dan laporkan pada dokter / perawat
.
apabila ada kulit terkelupas, kemerahan, atau luka

125
f§ aggBSBBS Metabolik Endokrin

• Periksa alas kaki dari benda asing sebelum memakainya.


• Selalu menjaga kaki dalam keadaan bersih, tidak basah, dan mengoleskan krim
pelembab ke kulityang kering.
• Potong kuku secara teratur.
• Keringkan kaki dan sela-sela jari kaki teratur setelah dari kamar mandi.
• Gunakan kaos kaki dari bahan katun yang tidak menyebabkan lipatan pada ujung-
ujung jari kaki.
• Kalau ada kalus atau mata ikan, ditipiskan secara teratur.
• Jika sudah ada kelainan bentuk kaki, gunakan alas kali yang dibuat khusus.
• Sepatu tidak boleh terlalu sempit atau longgar, jangan gunakan hak tinggi.
• Jangan gunakan bantal panas atau botol berisi air panas atau batu untuk kaki.
Studi yang dilakukan dr.Allaida S.R.SpRM membuktikan edukasi perawatan kaki
yang diberikan terus menerus meningkatkan pengetahuan dan perubahan perilaku
penderita kaki diabetes. Senam kaki yang dilakukan terus menerus dapat meningkatkan
ketahanan otot, mempertahankan lingkup gerak sendi dorso dan plantar fleksi serta
mempertahankan vaskularisasi daerah kaki.5

Sepatu Diabetes5
• Kategori risiko 0: meskipun belum ada gangguan sensasi, karena gangguan sensasi
pada kategori tersebut dapat terjadi sewaktu -waktu.
• Kategori resiko 1: saat mana sudah terdapat gangguan sensoris dan pembentukan
calus
• Kategori resiko 2 dan 3: sudah terdapat deformitas dan kerapuhan jaringan akibat
tukak terdahulu

Peran Senam Kaki5


1. Latihan untuk sendi pergelangan kaki, otot kaki serta jari- jari kaki
2. Latihan yang ditujukan pada otot paha ( otot adduktor, abduktor, quadrisep ,
hamstring ) dan otot betis [ gastrocnemius dan soleus)
'

3. Latihan umum yang menggunakan /menggerakkan kaki : jalan kaki, bersepeda


(statis ) khusus bagi yang gemuk, senam aerobik, berenang (bila tidak ada luka
terbuka]

126
Kaki Diabetik

B . PERAWATAN KAKI DIABETIK DENGAN LUKA


Tatalaksana holistik kaki diabetes meliputi 6 aspek kontrol yaitu kontrol mekanik,
kontrol metabolik, kontrol vaskular, kontrol luka, kontrol infeksi dan kontrol edukasi.
4

1. Kontrol mekanik:
Mengistirahatkan kaki.
- Menghindari tekanan pada daerah kaki yang luka ( non weight bearing ).
Menggunakan bantal saat berbaring pada tumit kaki / bokong/ tonjolan
tulang,untuk mencegah lecet.
Memakai kasur anti dekubitus bila perlu.
Mobilisasi (bila perlu dengan alat bantu berupa kursi roda atau tongkat).
Pada luka yang didominasi oleh faktor neuropati maka tujuan utama adalah
mendistribusikan beban tekanan pada kaki, sedangkan yang didominasi faktor
vaskular tujuan utamanya adalah menghindari luka pada daerah yang rentan .
2. Kontrol luka:
Evakuasi jaringan nekrotik dan pus yang adekuat perlu dilakukan secepat
mungkin, jika perlu dapat dilalukan dengan tindakan operatif .
Pembalutan luka dengan pembalut yang basah atau lembab .
Debridemen dan nekrotomi.
Amputasi
3. Kontrol infeksi (mikrobiologi ): diperlukan pada ulkus neuropati maupun ulkus
neuroiskemia ( PAD),
Terapi antimikroba empirik pada saat awal bila belum ada hasil pemeriksaan
kultur mikroorganisme dan resistensi.
Luka yang superfisial: diberikan antibiotik untuk kuman gram positif. Luka
lebih dalam diberikan antibiotik untuk kuman gram negatif ditambah golongan
metronidazol bila ada kecurigaan infeksi bakteri anaerob.
Pada luka yang dalam, luas, disertai gejala infeksi sistemik yang memerlukan
perawatan di rumah sakit: dapat diberikan antibiotik spektrum luas yang
dapat mencakup kuman gram positif , gram negatif dan anaerob. Sehingga
dapat digunakan 2 atau 3 golongan antibiotik.
Penggunaan antibiotik diobservasi seminggu kemudian, dan disesuaikan
dengan hasil kultur mikroorganisme.
4. Kontrol vaskular: sebaiknya ditelusuri sampai diketahui perlu tidaknya penilaian
status vaskular secara invasif
Periksa ankle brachial index (ABI), trans cutaneous oxygen tension, toe pressure
bahkan angiografi.

127
:<y> PanduanPrakUkMinis Metabolik Endokrin
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia W

Pemeriksaan TcP02 : untuk menentukan daerah dengan oksigenasi yang masih


cukup sehingga terapi revaskularisasi diharapkan masih memiliki manfaat.
- Tindakan bedah vaskular atau tindakan endovaskular.
5 . Kontrol metabolik:
Perencanaan nutrisi yang baik selama proses infeksi dan penyembuhan luka,
Regulasi glukosa darah yang adekuat.
Pengendalian komorbiditas bila ada [misalnya hipertensi, dislipidemia,
gangguan fungsi hati / ginjal, gangguan elektrolit, anemia, infeksi penyerta
serta hipoalbuminemia ).
6. Kontrol edukasi :
• Edukasi pada pasien dan keluarga mengenai kondisi luka kaki pasien saat ini,
rencana diagnosis, penatalaksanaan / terapi, penyulit yang mungkin timbul,
serta bagaimana prognosis selanjutnya. Pemberian edukasi penting mengingat
kerjasama pasien dan keluarganya mutlak diperlukan dalam penatalaksanaan
yang optimal dan untuk menghindari salah pengertian.

Nekrotomi dan Amputasi


• Tujuan 6
Membuang semua jaringan nekrotikyang avital ( non viableJ , jaringan infeksi,
dan juga callus di sekitar ulkus
Mengurangi tekanan pada jaringan kapiler dan tepi luka
Memungkinkan drainase dari eksudat dan pus
Meningkatkan penetrasi antibiotik ke dalam luka yang terinfeksi
• Indikasi6
a. Debridement / Nekrotomi :
Indikasi nekrotomi adalah sebagai berikut:
Terdapat debris dan jaringan nekrosis pada luka kronis di jaringan kulit,
jaringan subkutan,fasia, tendon, otot bahkan tulang.
Terdapat kerusakan jaringan dan pus pada ulkus yang terinfeksi.
b. Amputasi:
Tindakan amputasi biasanya dilakukan secara elektif, namun bila ada infeksi
dengan ancaman kematian dapat dilakukan amputasi secara emergensi.
Indikasi amputasi adalah sebagai berikut:
1. Jaringan nekrotikluas
2 . Iskemi jaringan yang tidak dapat direkonstruksi
3. Gagal revaskularisasi

128
Kaki Diabetik

4. Charcot's of Foot dengan instabilitas


5. Infeksi akut dengan ancaman kematian (gas gangren dan necrotizing
fasciitis)
6. Infeksi/luka yang tidak membaik dengan terapi adekuat
7. Gangren
8. Deformitas anatomi yang berat dan tidak terkontrol
9. Ulkus berulang

Peran Nutrisi dalam Penyembuhan Luka


7

• Fungsi nutrisi: membantu proses penyembuhan luka (inflamasi, granulasi dan


epitelisasi / remoc/e / / / ng ).
• Perhitungan kecukupan kalori sama seperti pada penatalaksanaan ulkus DM.
• -
Protein 1,5- 2 gram /kg berat badan / hari. Lemak 20 25 % kebutuhan energi dengan
jenuh < 7%, lemak tidak jenuh <10% dan sisanya lemak tidak jenuh tunggal
• Vitamin A: kebutuhan per hari 5000 IU
• Vitamin B kompleks: kofaktor atau koenzim pada sejumlah fungsi metabolik yang
terlibatpada penyembuhan luka, terutama pada penglepasan energi dari karbohidrat.

KOMPLIKASI
Osteomielitis, sepsis, amputasi

PROGNOSIS
Di RSUPN dr.Cipto Mangunkusumo angka kematian dan angka amputasi masih
tinggi masing masing 16% dan 25 % (data RSUPN Cipto Mangunkusumo 2003).
Sebanyak 14, 3% akan meninggal dalam setahun pasca amputasi dan sebanyak 37%
akan meninggal 3 tahun pasca -amputasi.2 3

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Divisi Metabolik Endokrin - Departemen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Departemen Bedah , Departemen Rehabilitasi Medik,
Divisi Kardiologi , Divisi Hematologi - Departemen
Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Bagian Bedah , Bagian Rehabilitasi Medik.

129
# BSBSaBBS Metabolik Endokrin

REFERENSI
1 . : PowersAi Diabetes Mellitus. In: Longo FaucbKasper, Harrison' s Principles of Internal Medicine 18th
edltion.United States of America.Mcgraw Hill. 2012
2. .
Waspadjl S. Kaki Diabetes. Dalam: Sudoyo Setiyohadi, Buku Ajar llmu Penyaklt Dalam. Edisi V.
Jakarta. Interna PUblls (iingJ2011
3 . .
Konsensus Kaki Diabetik Jakarta. Pengurus Besar Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PB
.
PERKENI) 2008
4 . Pedoman Penatalaksanaan Kaki Diabetes. Jakarta. Perkeni. 2010
5 . Adhiarta. Penatalaksanaan Kaki Diabetes. Dalam : Kariadi SHKS, Arifln AYL, Adhiarta IGN, Permana
H, Soetedjo NNM. Editors. Naskah Lengkap Forum Diabetes Nasional V. Bandung. 2011
6 . Ismiarto YD. Aspek Bedah Penanganan Luka Diabetes. Dalam : Kariadi SHKS, Arifin AYL, Adhiarta
IGN, Permana H, Soetedjo NNM. Editors . Na'skdh Len kcip Fdrurn Diabetes NasiOrrdl V; Bandung.
2011 ^
.
7 Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus pengelolaan dan pencegghan diabetes melitus
tipe 2 di Indonesia. PB PERKENI. Jakarta, 2011.

130
131

SINDROM OVARIUM POLIKISTIK ( PCOS )

PENGERTIAN
Sindrom ovarium polikistik ( PCOS) yang didapatkan pada sekitar 5 - 10% perempuan
usia produktif, didefinisikan sebagai suatu sindrom klinis akibat resistensi insulin yang
ditandai dengan obesitas, menstruasi tidak teratur, dan terdapat tanda berlebihan
androgen (seperti hirsutisme, jerawat) . Pada mayoritas pasien, ditemukan kista multipel
dalam ovariumnya, dengan etiologi multifaktorial yang tidak jelas.1 Istilah lain PCOS
adalah Gambaran Ovarium Polifolikular [ polyfollicular ovarian appearance ) .2

PENDEKATAN DIAGNOSIS
Diagnosis biasanya ditemukan pada saat pemeriksaan hormon, kehamilan , atau
infertilitas . Mayoritas perempuan dengan PCOS memiliki periode menstruasi yang
tidak teratur (oligomenorea) .

Kriteria diagnosis
Kriteria diagnosis PCOS dari Eshre / Asrm ( Rotterdam )2003 dipenuhi minimal 2
dari 3 kriteria berikut:1
1. Disfungsi ovulasi yang menyebabkan menstruasi tidak teratur dan infertilitas
2. Hiperandrogenisme dengan bukti klinis atau laboratoris (biokimia)
3 . Dengan USG pelvis atau transvaginal , pada bagian perifer dalam satu ovarium
ditemukan > 10 kista folikular tampak seperti untaian mutiara, berukuran 2 - 6
mm atau kadang lebih besar berisi sel -sel atresia.

Pemeriksaan Penunjang
• Gula darah puasa/ sewaktu (atau TTGO bila perlu) dan profil lipid untuk mencari
adakah sindrom metabolik.
• Hormon kortisol pada pagi hari (pk 08.00), untuk menyingkirkan sindrom Cushing
• Hormon 17 -hidroksi progesteron pada pagi hari, untuk menyingkirkan virilisme adrenal
• DHEAS ( dehydroepiandrosterone sulfate ) serum, dinilai sebagai amenorea bila
hasilnya abnormal
• USG, juga untuk menyingkirkan virilizing tumor

PanduanPraktfk Klinis
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
0 EHSIHJ5SPJSSL Metabolik Endokrin

DIAGNOSIS BANDING
Hirsutisme idiopatik, hiperprolaktinemia, hipotiroidisme, hiperplasia adrenal non
klasik, tumor ovarium, tumor adrenal, sindrom Cushing , resistensi glukokortikoid ,
hiperandrogen dengan penyebab lain yang jarang.1

TATALAKSANA3
• Prinsip penatalaksanaan disesuaikan dengan gejala klinis dan apakah
menginginkan kehamilan.
• Setiap pasien PCOS yang overweight sebaiknya dimotivasi untuk menurunkan berat
badannya, untuk memperbaiki manifestasi klinis (terutama menstruasi yang tidak
teratur) dan menurunkan risiko DM tipe 2.
Metformin (untuk mengurangi resistensi insulin sehingga dapat mengembalikan
siklus ovulasi yang teratur)
Thiazolidinedione (tidak disarankan untuk perempuan yang ingin hamil)
Klomifen sitrat (untuk mengembalikan fertilitas agar kehamilan dapat terjadi)
Progesteron (medroksi progesteron 5 - 10 mg PO, 1x/ hari, selama 10 - 14 hari
tiap 1 - 2 bulan 4
Progestogen-impregnated intra uterine coil

PROGNOSIS3 4 5
Wanita dengan PCOS memiliki risiko jangka panjang yang lebih besar untuk
terjadinya:
• intoleransi glukosa, DM tipe 2, hipertensi, hiperkolesterolemia, hipertrigliseridemia
• obesitas ; bertambahnya rasio pinggang- pinggul
• infertilitas involunter (17,5% vs 1,3% kelompok kontrol)
• risiko hiperplasia atau kanker endometrium
• risiko penyakit serebrovaskular dan kardiovaskular
• hirsutisme

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Divisi Metabolik Endokrin - Departemen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : Departemen Obstetri dan Ginekologi
• RS non Pendidikan : Bagian Obstetri- Ginekologi

132
Sindrom Ovarium Polikistik (PCOS) <f|
ft
REFERENSI
1 . Kronenberg HM, Melmed S, Polonsky KS, Larsen PR, editors. Disorders in female reproductive
system. In: Williams Textbook of Endocrinology, 11lh ed. Philadelphia, Pa: Saunders-Elsevier; 2008.
2. Gazvani MR, Hamilton M, Kingsland CR, et al. Polycystic ovarian syndrome: a misleading label?
Lancet. 2000; 355 (9201 ) :411 -2.
3. Colledge NR, Walker BR, Ralston SH, editors. In : Davidson ' s Principles and Practice of Medicine
,
21s ed.Churchill Livingstone-Elsevier: 2010
4. Porter RS, Kaplan JL, editors. The Merck Manual of Diagnosis and Therapy 19 th ed. USA: Merck
Research Laboratories, 2011 .
5. .
Wild S, Pierpoint T, Jacobs H, et al Long-term consequences of polycystic ovarian syndrome:
results of a 31 year follow-up study. Hum Fertil ( Camb) 2000;3(2) :101-5.
6. .
Wild S, Pierpoint T, McKeiqueP, et al Cardiovascular disease in women with polycystic
ovary syndrome at long-term follow up: a retrospective cohort study. Clin Endocrinol (Oxf) ,
.
2000:52 (5 ) :595-600

133
134

STRUMA DIFUSA NON TOKSIK

PENGERTIAN
Pembesaran kelenjar tiroid difus tanpa adanya nodul maupun hipertiroid. Struma
difusa non toksik paling sering disebabkan oleh defisiensi yodium dan disebut juga
goiter endemik apabila menyerang > 5% populasi. Pada area yang kekurangan iodium,
pembesaran tiroid mencerminkan efek kompensasi untuk mempertahankan iodium
sehingga tetap dapat memproduksi hormon yang cukup. WHO, UNICEF dan ICCIDD
menganjurkan kebutuhan yodium sehari adalah 90 meg untuk anakpra sekolah, 120
meg untuk anak sekolah dasar (6 - 12 tahun ), 150 meg untuk dewasa (di atas 12 tahun)
dan 200 meg untuk wanita hamil dan menyusui. Goiter endemik juga disebabkan oleh
pajanan terhadap goitrogen lingkungan seperti singkong yang mengandung tiosianat,
sayur -sayuran dari famili Cruciferae ( kol, kembang kol) dan susu sapi pada area yang
memiliki rumput yang mengandung goitrogen. Goiter juga dapat terjadi pada defek
sintesis hormon tiroid yang diturunkan.1

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis
Goiter kebanyakan asimtomatik. Apabila goiter sangat besar, maka dapat
menimbulkan gejala-gejala kompresi trakea atau esofagus. Goiter substernal dapat
mengobstruksi thoracic outlet. 1

Pemeriksaan Fisik 1
• Palpasi kelenjar tiroid menunjukkan adanya pembesaran yang tidak nyeri, lunak
dan tidak adanya nodul pada kelenjar tiroid
• Apabila terjadi obstruksi thoracic outlet didapatkan Pemberton’s sign positif ( rasa
pusing yang disertai dengan kongesti wajah dan obstruksi vena jugularis eksterna
saat lengan dinaikkan di atas kepala].

PanduanPraktik Klinis
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
Struma Difusa Non Toksik

Pemeriksaan Penunjang:2
• Tes fungsi tiroid: untuk menyingkirkan adanya hipotiroid atau hipertiroid. Pada
simple goiter, kadar T4 dan TSH adalah normal. Pada bentuk yang baru dan lama
T4 dapat ditemukan rendah
• Antibodi TPO: untuk mengidentifikasi pasien dengan peningkatan risiko penyakit
tiroid autoimun
• Kadar iodium urin: rendah, <10 g/ dL
• Scan tiroid: peningkatan ambilan yodium radioaktif
• Pengukuran laju pernapasan / CT / MRI: diperlukan pada pasien goiter substernal
yang memiliki gejala atau tanda obstruksi

DIAGNOSIS BANDING
Tiroiditis, adenoma non neoplastik, kista tiroid / paratiroid / tiroglosus, hyperplasia
remnant post bedah, keganasan1

TATALAKSANA

Non farmakologis
Edukasi.2

Farmakologis
Terapi dengan iodium maupun hormon tiroid dapat mengecilkan goiter pada
defisiensi iodium, tergantung pada lamanya goiter dan derajat fibrosis yang timbul.
Pemberian hormon tiroksin harus berhati-hati terutama apabila TSH rendah atau
normal. Pada pasien muda, dosis levotiroksin dapat dimulai pada 100 mcg / hari
sedangkan pada pasien yang lebih tua dimulai pada 50 mcg/ hari. Regresi nyata
biasanya terlihat dalam 3 - 6 bulan terapi.2

Bedah
Terapi bedah dilakukan apabila terjadi kompresi trakea ataupun obstruksi thoracic
outlet. Tirodektomi subtotal atau hampir total dapat dilakukan untuk kepentingan
kosmetik. Operasi harus diikuti penggantian hormon dengan levotiroksin agar TSH
tetap pada batas bawah nilai normal sehingga mencegah timbulnya kembali goiter.

135
HSHSSBSHI Metabolik Endokrin

KOMPLIKASI
Kompresi saluran napas dan esofagus, obstruksi thoracic outlet, sindrom vena
kava superior, penekanan nervus frenikus atau laringeus rekuren, sindrom Horner .
Stroke dan iskemik serebral dapat terjadi akibat kompresi arteri atau sindrom pintas
tiroservikal.1

PROGNOSIS
Pada pasien tua, goiter yang telah lama diderita dan tingkat fibrosis yang lebih
tinggi, kurang dari sepertiga yang menunjukkan respons dengan terapi farmakologis.4

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Divisi Metabolik Endokrin - Departemen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : Semua Divisi di lingkungan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam
• RS non Pendidikan

REFERENSI
1. .
Djokomoeljanto. Gangguan akibat kekurangan iodium In: Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I,
.
Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5lh ed Jakarta; Pusat Informasi
dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2009 :2009 - 15
2. .
Lameson JL, Weetman AP.Disorders ot the thyroid gland In: Fauci A, Kasper D, Longo D, Braunwald
E, Fiauser S, Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison' s principles of internal medicine. 18th ed.
United States of America: The McGraw-Hill Companies, 2012: 2911 - 39
3 . Fritzgerald PA. Endocrine disorders. In: McPhee S, Papadakis M, Rabow M. Current medical
diagnosis and treatment 2011.50lh ed. California; The McGraw -Hill Education. 2010:1061 - 90
4. ,
Gardner DG, Shoback D, editors. Greenspan ' s basic and clinical endocrinology. 8 h ed. San
Fransisco
5. Peloquin JM, Wondisford FE. Nontoxic diffuse and nodular goiter. In: Wondisford FE, Radovick S,
editors. Clinical management of thyroid. Is1 ed. Philadelphia: Saunders, 2009 : 339 - 47

136
137

STRUMA NODOSA NON TOKSIK (SNNT)

PENGERTIAN
Pembesaran kelenjar tiroid yang teraba sebagai suatu nodul, tanpa disertai tanda-
tanda hipertiroidisme.1
Berdasarkan jumlah nodul, dibagi:12
• Struma mononodosa non toksik
• Struma multinodosa non toksik
Berdasarkan kemampuan menangkap iodium radioaktif :
• Nodul dingin
• Nodul hangat
• Nodul panas
Berdasarkan konsistensinya:
• Nodul lunak
• Nodul kistik
• Nodul keras
• Nodul sangat keras

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis3
• Sejak kapan benjolan timbul
• Rasa nyeri spontan atau tidak spontan, berpindah atau tetap
• Cara membesarnya: cepat, atau lambat
• Pada awalnya berupa satu benjolan yang membesar menjadi beberapa benjolan
atau hanya pembesaran leher saja
• Riwayat keluarga
• Riwayat penyinaran daerah leher pada waktu kecil / muda
• Perubahan suara
• Gangguan menelan, sesak nafas
• Penurunan berat badan
• Keluhan tirotoksikosis

PanduanPraktik Minis
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
A
iwfwv
FanduiuiPiaBiliKHnls Metabolik Endokrin
Perhimpunan Dokter Spesialh Penyakit Dalom Indonesia

Pemeriksaan Fisik4 5
• Umum
• Lokal:
Nodus tunggal atau majemuk, atau difus
Nyeri tekan
Konsistensi
Permukaan
Perlekatan pada jaringan sekitarnya
Pendesakan atau pendorongan trakea
Pembesaran kelenjar getah bening regional
Pemberton' s sign

Penilaian risiko keganasan3


Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang mengarahkan diagnostik penyakit tiroid
jinak, tetapi tak sepenuhnya menyingkirkan kemungkinan kanker tiroid:
• Riwayat keluarga dengan struma nodosa atau difusa jinak
• Riwayat keluarga dengn tiroiditis Hashimoto atau penyakit tiroid autoimun.
• Gejala hipo atau hipertiroidisme.
• Nyeri berhubungan dengan nodul.
• Nodul lunak, mudah digerakkan.
• Multinodul tanpa nodul yang dominan, dan konsistensi sama.
Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang meningkatkan kecurigaan ke arah
keganasan tiroid:3
• Umur < 20 tahun atau > 70 tahun
• Jenis kelamin laki-laki
• Nodul disertai disfagi, serak, atau obstruksi jalan nafas
• Pertumbuhan nodul cepat ( beberapa minggu - bulan )
• Riwayat radiasi daerah leher waktu usia anak-anak atau dewasa ( juga meningkatkan
kejadian penyakit nodul tiroid jinak)
• Riwayat keluarga kanker tiroid meduler
• Nodul yang tunggal, berbatas tegas, keras, iregular dan sulit digerakkan
• Paralisis pita suara
• Temuan limfadenopati servikal
• Metastasis jauh ( paru - paru, dll)

138
Struma Nodosa Non Toksik ( SNNT )

DIAGNOSIS BANDING6
• Struma nodosa pada:
Peningkatan kebutuhan terhadap tiroksin pada masa pertumbuhan, pubertas,
, .
laktasi, menstruasi kejiamilan, menopause, infeksi, stres lain.
• Tiroiditis akut
• Tiroiditis subakut
• Tiroiditis kronis: limfositik (Hashimoto), fibrous-invasif ( Riedel)
• Simple Goiter
• Struma endemik
• Kista tiroid, kista degenerasi
• Adenoma
• Karsinoma tiroid primer, metastatik
• Limfoma

PEMERIKSAAN PENUNJANG
• Biosi aspirasi jarum halus (BAJAH) nodul tiroid
• BAJAH merupakan prosedur diagnostikyang penting dilakukan pada kasus SNNT,
dapat dilakukan tanpa menunggu hasil laboratorium bila klinis eutiroid.
• Laboratorium: T4 atau FT4, dan TSHs sesuai gambaran klinis6
• USG tiroid:
• USG baik untuk mengukur jumlah, ukuran, dan karakteristik sonografi nodul.
Karakteristik sonografi yang curiga keganasan adalah hypoechoic, mikrokalsifikasi,
- -
makrokalsifikasi, intranOdular vaskularity, taller than wide dimensions, dan batas
yang samar. 8

Langkah diagnostlk I: TSHs, FT43


Hasil klinis: Non-toksik ® Langkah diagnostik II: BATAH nodul tiroid
Hasil :
a. Ganas
b. Curiga
c. Jinak
d. Tak cukup /sediaan tak representative (dilanjutkan di tatalaksana]

TATALAKSANA3
Sesuai hasil BAJAH, maka Tata Laksana :

139
Itl Panduan PraktikKlinis Metabolik Endokrin
*— IV^ WIVI I I I
**lmpufwriDoM*Sffe**Pony** Odom*done*o

Nodut tiroid

TSH

Rendah Menerrukan knteria


Normal yang dlutarakan
da' am reks
RAIU

i 11

Co/d/ tdk
Hot spesifik

J
Mungkin jinak.
adenoma toksik :
. .
ablosi reseksi rerapi
medikamentosa

Jinak Tdk pastl Mencurigakan Ganas


(70%) ( 15%) ( 10%) (5%)

i
Observasi atau Terapi RAIU Bedah RAIU Bedah

-
terapi supresi supresif

i 1

Sembuh Tdk sembuh


Hot Cold Hot
J Cold
j
J 7
Observasi Bedah Mungkin jinak .
adenoma toksik :
. .
ablasi reseksi terapi
medikamentosa

Gambar 1. Algorltma Pendekatan Diagnosis Nodul Tlrold.7

140
A. Ganas
Struma Nodosa Non Toksik ( SNNT )
^
• Operasi Tiroidektomi near- total / Total tiroidektomi

B . An undeterminate significance ( AUS)

Tabel 1 . Rekomendasi Manajemen Sesuai Kriterla Bethesda


Rlslko
Kategorl Diagnosis Keganasan Manajemen
(%)
1. Non diagnostlk atau tidak memuaskan 1 -4 Ulangi BAJAH dengan
Kista panduan ultrasonografi
Spesimen aselular virtual
Lain-lain (darah, artefak pembekuan, dll)
2. Jinak 0-3 Menindaklanjuti sesuai
Konsisten dengan folikuler nodul jinak klinis
Konsisten dengan Hashimoto tiroiditis
Konsisten dengan tiroiditis granulomatosa
Lain-lain
3. Atypla darl signifikasi yang belum dltentukan atau -5-15 Ulangi BAJAH
lesl folikuler darl signifikasi yang belum dltentukan
4. Neoplasma folikuler atau curlga neoplasma 15-30 Operasi lobektomi
folikuler
5. Curlga keganasan 60-75 Operasi tiroidektomi
Curiga karsinoma papiler tiroid near-total atau operasi
Curiga karsinoma meduler tiroid lobektomi*
Curiga karisnoma metastasis
Curiga limfoma
Lain-lain
6. Ganas 97-99 Operasi tiroidektomi
Karsinoma papiler tiroid near-total*
Karsinoma diferensiasi buruk
Karsinoma meduler tiroid
Karsinoma anaplastik
Karsinoma sel skuamosa
Karsinoma dengan fitur campuran
Karisnoma metastasis
Non-Hodgkin limfoma
Lain-lain
* Dalam kasus dengan "kecurigaan adanya metastasis ” atau “ Ganas" merupakan interpretasi yang menyatakan tumor
metastasis daripada keganasan tiroid primer, maka tindakan operasi tidak diindikasikan .

• Operasi dengan lebih dahulu melakukan potong beku (VC) :



Bila hasil = ganas > Operasi Tiroidektomi near - total .

Bila hasil = jinak > Operasi Lobektomi
• alternatif : Sidik tiroid. Bila hasil = cold nodule » Operasi —
ffl
^TIP
PanduanPraktlk Minis Metabolik Endokrin
Pertiimpunan DokterSpesialis Penyakil Dalam Indonesia
1

C. Tak cukup / sediaan tak representatif


• Jika nodul Solid fsaat BAJAH]: ulang BAJAH .
Bila klinis curiga ganas tinggi -> Operasi Lobektomi
Bila klinis curiga ganas rendah —> Observasi
• lika nodul Kistik (saat BAJAH]: aspirasi.
Bila kista regresi -» Observasi

Bila kista rekurens, klinis curiga ganas rendah > Observasi

Bila kista rekurens, klinis curiga ganas tinggi > Operasi Lobektomi

D. Jinak
Tata Laksana dengan Levo-tiroksin (LT 4] dosis subtoksis.(terapi supresi]
• dosis dititrasi mulai 2 x 25 ug (3 hari],
• dilanjutkan 2 x 50 ug (3 - 4 hari],
• bila tidak ada efek samping atau tanda toksis : dosis T menjadi 2 x 100 mg
sampai 4 - 6 minggu, kemudian evaluasi TSH ( target 0,1 - 0,3 mlU / L]
• supresi TSH dipertahankan selama 6 bulan
• evaluasi dengan USG: apakah nodul berhasil mengecil atau tidak (berhasil bila
mengecil > 50% dari volume awal]
• Bila nodul mengecil atau tetap
-* L-tiroksin distop dan diobservasi:
Bila setelah itu struma membesar lagi, maka L-tiroksin dimulai lagi (target
TSH 0,1 - 0,3 mlU / L],
Bila setelah l-tiroksin distop, struma tidak berubah, diobservasi saja.

• Bila nodul membesar dalam 6 bulan atau saat terapi supresi > obat dihentikan
dan operasi tiroidektomi dan dilakukan pemeriksaan histopatologi -» hasil PA:
Jinak: Observasi
Ganas: Tata Laksana dengan L -tiroksin
• Individu dengan risiko ganas tinggi: target TSH < 0,01 - 0,05 mlU / L
• Individu dengan risiko ganas rendah : target TSH 0,05 - 0,1 mlU / L

KOMPLIKASI
Umumnya tidak ada, kecuali ada infeksi seperti pada tiroiditis akut /subakut

PROGNOSIS
Prognosis baik. Biasanya SNNT berkembang sangat lambat. Bila ada pertumbuhan
yang cepat harus dievaluasi kemungkinan adanya degenerasi, perdarahan pada nodul,
atau adanya neoplasma.

142
Struma Nodosa Non Toksik ( SNNT)

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Divisi Metabolik Endokrin - Departemen Penyakit Dalam

AH U ? '
C L: K ^
• RS non penciijlikan : .B ian Peny kit Dalapi
V: ^
UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : Semua Divisi di lingkungan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam
• RS non Pendidikan : -

REFERENSI
1
^ .
Brunjcardi, C grjes F Schwartz' s Principle pf Surgery, 8lh Edition, Copyright @2007 The tylcGraw-

2. . .
Gdhong, Willlarfi F Bdku ajar flslblogi 'Kedoktefdn, fediif i20 EGC, Jakarta 2002 i 305-309 .
3. . ' . .
Kariadi SHKS, Struma Nodosa Non-Tokslk Daldtn Wd$pddji S, et at ( eds) Buku Ajbrllmu Penyakit
. .
Dalam Edisi 3 Jakarta, Balai Penerbit FKUI:757-65
4. .
Cooper DS, Doherty GM, Haugen BR, et al Revised Americaip Thyroid, Assqajatiqn rhpnggprp t
guidelines for patients with thyroid nodules and differentiated thyroid cancer! Thyroid Nov

. ^
2009:19(11):1167-214 .
5 . . .
Bahn RS, Castro MR Approach to the patient with nontoxic multinodular goiter J Cljn Endocrinol
.
6 . . ^
Metab, May 2011:96(5) :1202-1 [Medline],
.
Subekti I Struma Nodosa Non-Toksik (SNNT) In Simadibrata M, Setiati S, Alwi I, Maryantqro, Gani
.
RA; Mdhs)obr' A !(e<iis) Pe'ddhndhiDtddhosis ' ddh Tatd' LdksdHa dl ' Bldahd' ilfnU ' Pdhydkit Daldm .
'
Jakarta: Pusat Informasl dan Penerbitan Baglan Ilmu Penyakit Dalam FKUI,1999:187-? ; .
7 . Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J : Harrison' s Principles of Internal
.
medicine, 18th edition : www accesmedlcine com .
8. .
Cooper DS, Doherty GM, Haugen BR, et al Revised American Thyroid AsSdcIbtidn maridgbmerit
.
guidelines 1or pajlents with thyroid noddles and differentiated thyrpid cdricer Thyroid Nov .
2009;19 ( 11 ):1167-214. [Medline].
9 . .
Jameson JL, Weetman AP. Disorders of the Thyroid Gland In Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL,
Hauser SL, Longo DL, Jameson JL. Harrison' s Principles of InteMal /vfedidrte.ie^ ed. NeUr Y6rk:
McGraw-Hill, 2001:2060-84.
10. 8dhn RS, Castro MR, Approach to the patient wlfh nontoxic multinodylqr goiter. J Clin Endocrinol
'
Metab. May 2011:96(5):1202-12.

143
144

STRUMA NODOSA TOKSIK

PENGERTIAN
Adalah nodul tiroid soliter berkapsul yang berfungsi secara autonom menghasilkan
hormon tiroid. Disebut juga adenoma tiroid toksik.1 3 '

Sebagian besar pasien mengalami mutasi somatik pada gen reseptor TSH. Mutasi
ini menyebabkan peningkatan proliferasi dan fungsi sel folikular tiroid. Sebagian kecil
mengalami mutasi pada gen protein Gs-alpha (GSa).2'3

PENDEKATAN DIAGNOSIS2 3

Anamnesis
Gejala tirotoksikosis ringan (kelelahan, tidak tahan panas, refleks hiperaktif,
peningkatan berkeringat, peningkatan nafsu makan, palpitasi, polidipsia, tremor, berat
badan turun)

Pemeriksaan fisik
Nodul tiroid yang biasanya cukup besar (s 3cm) sehingga dapat dipalpasi

Pemeriksaan penunjang
• Tes fungsi tiroid: TSH rendah
• Thyroid scan: dapat menjadi tes diagnostik definitif, menunjukkan adanya uptake
lokal pada nodul dan berkurangnya uptake pada bagian lain dari kelenjar tiroid
• USG

DIAGNOSIS BANDING
Graves disease, struma multinodosa toksik, tiroiditis, nodul tiroid.

TATALAKSANA
• Farmakologis4
- Antitiroid dan penyekat beta:

I'Mlikntkjitan Duktot Spmkifc HnnyaUI Dofcim Indonmta


Struma Nodosa Toksik

Dapat menormalkan fungsi tiroid namun bukan terapi jangka panjang optimal.
Bedah4
Lobektomi tiroid ipsilateral atau isthmusektomi ( jika adenoma terdapat pada
isthmus).
Lebih dipilih pada pasien dengan gejala dan tanda kompresi pada leher,
ukuran goiter besar (s80 g) , ekstensi substernal atau retrosternal, atau
kebutuhan untuk koreksi cepat status tirotoksikosis. Kontraindikasi mencakup
komorbiditas signifikan seperti penyakit kardiopulmoner dan kanker stadium
akhir. Kontraindikasi relatif adalah kehamilan.
• Radiasi 4
Terapi radioiodin:
Lebih dipilih pada pasien usia lanjut, memiliki komorbiditas, riwayat operasi
atau jaringan parut pada anterior leher, dan ukuran struma kecil. Kontraindikasi
mencakup kehamilan, laktasi, wanita yang merencanakan akan hamil dalam
4-6 bulan.
• Terapi Lainnya4,5
Injeksi etanol berulang atau ablasi termal radiofrekuensi per kutan.

KOMPLIKASI
Hipertiroidisme, tirotoksikosis, krisis tiroid. Komplikasi terapi: hipotiroid.

PROGNOSIS
Kebanyakan pasien yang diterapi memiliki prognosis baik. Prognosis buruk
berhubungan dengan hipertiroid yang tidak ditangani. Jika tidak ditangani, hipertiroid
dapat menyebabkan osteoporosis, aritmia, gagal jantung, koma, dan kematian. Ablasi
iodine ” dapat mengakibatkan hipertiroid, pada beberapa pasien (menurut beberapa
penelitian berkisar 73 %, tergantung pada ukuran goiter dan dosis radioiodine)
membutuhkan terapi ulang atau operasi pengangkatan tiroid. Hipotiroid setelah ablasi
radioiodine telah dilaporkan pada 0-35% individu. Tatalaksana operatif terdiri dari
lobektomi nodul yang hyperfungtioning . Tingkat hipotiroid berkaitan dengan prosedur
ini, sangat rendah. Tingkat kekambuhan hipertiroid dengan operasi, dilaporkan berkisar
0 - 9 %.‘

UNIT YANG MENANGANI


• RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Metabolik
Endokrin
• RS non Pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

145
$$! Panduan
; PraktlkKllnis Metabolik Endokrin W 1
^ ^ ^^
PArtiknjAinwCX IwipftUtihPei ltXjIaTP iio

UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : Departemen Ilmu Bedah
* RS non Pendidikan : Bagian Ilmu Bedah

REFERENSI
1. ‘ Dalam: Suddyo AW, Setlyohadl B,' Alwi I, Slmddibfata M, Setiati S, penyunting. Buku ajar ilmu
.
, :J2?ny.gKLt:dsteiJdiii Y/.J.q| itq;;lnteroaEwbli?blng;> 2908 .hgL .
^.
. .
• rJ

principle of internal medicine. Edisl XVIII. McGraw--Hill Companies; 2012. Hal.


. -•

2- iQalam;iango DL Kq$pprDL Jgmeson JL; Fauci AS Hauser ,SL,Loscalzo J, penyunting Harrison's

3. Mandel SJ, Larsen PR, Davies TF. Thyrotoxicosis, balam: Melrned S, Polonsky KS, Larsen PR,
Kronenberg HM, penyunting. Williams textbook of endocrinology. Edisi XII. Philadelphia: Elsevier
Saunders; 2011
4. Bahn RS, Burch HB, Cooper DS, Garber JR, Greenlee MC, Klein I, et al. , Hyperthyroidism and
other causes of thyrotoxicosis: management guideiinesof the american thyroid association and
.
american association of clinical endocrinologists Endocrine Practice 2011; 17(3): 456 520
. -
5. . .
Siegel RD, Lee SL Toxic.nodular goiter: toxic adenoma and toxic multinodular goiter Endocrinol
Metab Clin North Am 1998; 27 ( 1 ): 151-68
6. .
Allahabadia A,Daykin J,Sheppard MC, et al Radioiodine treatment of hyperthyroidism-prognostic
. .
factors for outcome J Clin Endocrinol Metab Aug 2001;86 (8):3611-7

146
147

TIROIDITIS

PENGERTIAN
-
Istilah tiroiditis mencakup kelainan kelainan yang ditandai dengan adanya inflamasi
padatiroid. Gejala yang timbul dapat berupa asimtomatiksampai nyeriyanghebatpada
tiroid, dengan atau tanpa manifestasi disfungsi tiroid maupun pembesaran kelenjar
tiroid. Berdasarkan perjalanan penyakit dan ada tidaknya rasa sakit, tiroiditis dapat
dibagi atas tiroiditis akut, subakut serta tiroiditis kronis.1

PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis dan pemeriksaan fisik masing-masing tipe tiroiditis dapat dilihat pada
tabel 1.

Pemeriksaan Penunjang
• Kadar T3, T4, TSH
• Sidik tiroid

DIAGNOSIS BANDING
Jenis- jenis tiroiditis, karsinoma tiroid.

TATALAKSANA
Apabila pasien dalam keadaan hipotiroid dapat diberikan levotiroksin untuk
mencapai kondisi eutiroid.1

KOMPLIKASI
Hipotiroidisme permanen, thyroid storm3 Obstruksi trakea, paralisis pita suara,
gangguan saraf simpatis regional, ruptur abses ke jaringan sekitar, trombosis vena
jugularis internal (sindrom Lemierre), sepsis, abses retrofaring, mediastinitis,
perikarditis, pneumonia.2

Panduan Praktlk Klinis y


00
1.2,6
Tabel 1 . Diagnosis Tiroiditis.
Anamnesis
Tiroiditis Akut
- Akut infeksiosa Rasa sakit yang hebat pada kelenjar tiroid, dapat menjalar ke tenggorokan Nyeri
( supurativa) atau telinga, panas, menggigil, disfagia, disfonia, sakit leher depan, adanya tiroid
.
faktor risiko (penyakit tiroid sebelumnya, supresi sistem imun)
Tiroiditis radiasi Ada riwayat radiasi 5- 10 hari sebelumnya
Tiroiditis akibat trauma Rasa sakit pada kelenjar tiroid, riwayat memijat-mijat kelenjar tiroid, riwayat
penggunaan sabuk pengaman yang terialu kencang
Tiroiditis Subakut
- Disertai sakit Rasa sakit yang timbul periahan tetapi kadang-kadang dapat mendadak Pada
berlangsung 2 - 6 minggu, rasa sakit terbatas pada kelenjar tiroid atau difus
menjalar sampai leher depan, telinga, rahang, dan tenggorokan, demam,
malaise, anoreksia, mialgia dan gejala-gejala hipertiroid ( tidak selalu ada).
Terdapat gejala-gejala hipertiroid ringan -
Tiroiditis £p
PROGNOSIS
• Tiroiditis akut : Apabila pasien diterapi dengan antibiotik yang tepat, maka kelainan
tiroid ini umumnya bersifat self - limiting . Kelainan tiroid ini jarang menimbulkan
komplikasi apabila diterapi dengan baik.3
• Tiroiditis subakut :
Tiroiditis karena kehamilan : Sebanyak 20 - 50 % kasus dapatterjadi hipotiroid
permanen, 70 % kasus kambuh pada kehamilan berikutnya.1
Tiroiditis de duervain 's : Sebanyak 45% fungsi tiroid akan kembali normal
dalam 6 sampai 12 bulan hanya 5% yang menetap hipotiroid
• Tiroiditis kronis :
Tiroiditis Hashimoto : Sebanyak 24% pasien dengan hipotiroidisme karena
tiroiditis autoimun kronik yang mendapat terapi tiroksin >1 tahun akan tetap
menjadi eutiroid walaupun terapi sudah dihentikan. 1
Tiroiditis Riedel merupakan penyakit self - limiting .9 Apabila tidak diobati
penyakit juga dapat menjadi progresif, kadang -kadang stabil atau regresi.1

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Divisi Metabolik Endokrin - Departemen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Semua Divisi di lingkungan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : -
REFERENSI
1. . .
Wiyono P Tiroiditis In: Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors . Buku ajar
ilmu penyakit dalam. 5 th ed. Jakarta; Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FKUI, 2009:2016 - 2021
2. .
Lameson JL, Weetman AP.Disorders of the thyroid gland In: Fauci A, Kasper D, Longo D, Braunwald
E, Hauser S, Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison ’ s principles of internal medicine . 18lh ed.
United States of America ; The McGraw-Hill Companies, 2012: 2911 - 39
3. Yamada M, Satoh T, Hashimoto K. Thyroiditis. In: Wondisford FE, Radovick S, editors . Clinical
management of thyroid disease. 1 sl ed. Philadelphia; Saunders Elsevier, 2009: 191 - 203
4. Gardner DG, Shoback D, editors. Greenspan ' s basic and clinical endocrinology. 8lh ed. San Fransisco
5. Stagnaro-Green A, Abalovich M, Alexander E, et at Guidelines of the american thyroid association
for the diagnosis and management of thyroid disease during pregnancy and postpartum. Thyroid.
2011 ;21 ( 10):1081-125
6. Dayan CM, Daniels GH. Chronic autoimmune thyroiditis. N Engl J Med. 1996:335 ( 2 ) :99 - 107
7. Bindra A, Braunstein GD. Thyroiditis. Am Fam Physician. 2006;73 ( 10) :1769- 76

149
# E5SSJ53SHSSSL Metabolik Endokrin

8. Pearce EN, Farwell AP, Braverman LE. Thyroiditis. N Engl J Med. 2003:348 (26) :2646-55
9. Slatosky J, Shipton B, Wahba H. Thyroiditis: differential diagnosis and management. Am Fam
Physician. 2000:61 ( 4) :1047-52, 1054

150
151

TIROTOKSIKOSIS

PENGERTIAN
Tirotoksikosis adalah manifestasi klinis kelebihan hormon tiroid yang beredar
dalam sirkulasi. Sedangkan hipertiroidisme adalah tirotoksikosis yang diakibatkan
oleh kelenjar tiroid yang hiperaktif.1 Penyakit Graves adalah penyakit autoimun yang
dikarakteristikkan dengan adanya antibodi terhadap reseptor tirotropin (TRAb).
Penyakit Graves merupakan penyebab tersering hipertiroidisme.2

Tabel 1 . Macam- macam Penyebab Tirotoksikosis2


Penyebab TtrotoksAcosis Frekuensl (%)
Graves' disease 76
Struma multinodular 14
Adenoma tiroid sollter 5
Tiroiditis:
• Sub akut |de Quervain's) 3
• Post-partum 0.5
Iodide-induced :
• Obat (contoh: amiodaron)
Extrathyroid source of thyroid hormone :
• Factitious thyrotoxicosis 0.2
FSH-induced :
• TSH-secreting pituitary adenoma 0.2
• Follicular carcinoma t metastases 0.1

Penyakit Graves adalah penyakit autoimun yang dikarakteristikkan dengan


hipertiroid karena adanya autoantibodi yang bersirkulasi dalam darah. TSH Receptors
Antybody (TRAb] berikatan dengan reseptor tirotropin aktif sehingga menyebabkan
kelenjar tiroid berkembang dan terjadi peningkatan sintesis hormon tiroid oleh folikel
tiroid.

Panduan
rrihunun Doki <
Praktik Klinis
ir iptMloili foflytikll DoVxm ItvJolvwlo m
(# PamUian PrakUk Minis Metabolik Endokrin
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakit Dalam Indonesia

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Gejala dan tanda Tirotoksikosis


Gejala : Hiperaktivitas, iritabilitas, disforia, intoleransi panas, mudah berkeringat,
palpitasi, lemah dan lesu, beratbadan turun dengan peningkatan nafsu makan, diare,
poliuria, oligomenorrhea, hilangnya libido
Tanda: Takikardi; atrial fibrilasi pada usia lanjut, tremor, goiter, kulit hangat dan
lembab, kelemahan otot, miopati proksimal, lid lag retraction dan lid retraction ,
ginekomastia1

Gejala dan tanda penyakit Graves


Pada penyakit Graves selain gejala dan tanda tirotoksikosis, dapat ditemukan pula
oftalmopati Graves, dermopati tiroid, akropati tiroid.
Akronim untuk perubahan pada oftalmopati Graves, yaitu “ NO SPECS"2
0 = No Signs or symptoms
1 = Only signs [ lid lag retraction dan lid rectraction ) , no symptoms
2 = Soft- tissue involvement (periorbital edema)
3 = Proptosis (> 22 mm)
4 = Extraocular - muscle involvement (diplopia)
5 = Corneal involvement
6 = Sight lost

Penunjang
TSH, FT4, T3 (dengan indikasi) sidik tiroid

DIAGNOSIS BANDING2
• Hipertiroidisme primer: penyakit Graves, struma multinodosa toksik, adenoma
toksik, metastasis karsinoma tiroid fungsional, struma ovarii, mutasi reseptor
TSH, obat: kelebihan iodium (fenomena Jod Basedow)
• Tirotoksikosis tanpa hipertiroidisme: tiroiditis subakut, tiroiditis silent, destruksi
tiroid ( karena amiodarone, radiasi, infark adenoma ) , asupan hormon tiroid
berlebihan (tirotoksikosis factitia )
• Hipertiroidisme sekunder: adenoma hipofisis yang mensekresi TSH, sindrom
resistensi hormon tiroid, tumor yang mensekresi HCG, tirotoksikosis gestasional

152
Tirotoksikosis

Tersangka Tirotoksikosis

Ukur TSH, T4 bebas

r
TSH rendah, T4 TSH normal atau TSH dan T4 bebas
TSH rendah, T4
bebas tinggi bebas normal -
meningkat, T4 bebas tinggi normal

Tirotoksikosis TSH-secreting pituitary


Ukur T3 bebas adenoma atau thyroid
primer
hormone resistance syndrome

Tidak diperlukan
Normal tes tambahan

T3 toksikosis | Hipertiroid
subklinls

Terdapal manifeslasi Follow up


penyakit Graves 6-12 minggu

Tidak

Goiter multinodular atau adenoma


Penyakit Graves I toksik

1
Hipertiroid nodular toksik | Pengombilan radionukleida rendah |
1

Tiroiditis destruktif, kelebihan Singkirkan penyebab lain termasuk


iodin atau hormon tiroid stimulasl oleh gonadotropin korionik

Gambar 2. Algorltma Evaluasl Tirotoksikosis2

153
# SagagBBS Metabolik Endokrin

TATALAKSANA

Farmakologis
1. Obat Antitiroid
• Propiltiourasil ( PTU ) dosis awal 300- 600 mg/ hari, dosis maksimal 2.000 mg/
hari.
• Metimazol dosis awal 20 - 40 mg/ hari.
• Indikasi:
Mendapatkan remisi yang menetap atau memperpanjang remisi pada
pasien muda dengan struma ringan - sedang dan tirotoksikosis
Untuk mengendalikan tirotoksikosis pada fase sebelum pengobatan atau
sesudah pengobatan iodium radioaktif
- Persiapan tiroidektomi
Pasien hamil, lanjut usia
Krisis tiroid
2. Penyekat adrenergik beta
Pada awal terapi diberikan, sementara menunggu pasien menjadi eutiroid setelah
6-12 minggu pemberian antitiroid. Propanolol dosis 40 - 200 mg dalam 2 - 3 dosis.
Pada awal pengobatan, pasien kontrol setelah 4 - 6 minggu . Setelah eutiroid,
pemantauan setiap 3- 6 bulan sekali: memantau gejala dan tanda klinis, serta lab.
FT4 dan TSHs. Setelah tercapai eutiroid, obat antitiroid dikurangi dosisnya dan
dipertahankan dosis terkecil yang masih memberikan keadaan eutiroid selama 12- 24
bulan. Kemudian pengobatan dihentikan, dan dinilai apakah terjadi remisi. Dikatakan
remisi apabila setelah 1 tahun obat antitiroid dihentikan, pasien masih dalam keadaan
eutiroid, walaupun kemudian hari dapat tetap eutiroid atau terjadi relaps.

Bedah1
Indikasi
• Pasien usia muda dengan struma besar dan tidak respons dengan antitiroid
• Wanita hamil trimester kedua yang memerlukan obat dosis tinggi
• Alergi terhadap obat antitiroid, dan tidak dapat menerima terapi iodium radioaktif
• Adenoma toksik, struma multinodosa toksik
• Graves yang berhubungan dengan satu atau lebih nodul

154
Tirotoksikosis |p
Radioiodine1 2
Indikasi
• Pasien berusia > 35 tahun
• Hipertiroidisme yang kambuh setelah dioperasi
• Gagal mencapai remisi setelah pemberian obat antitiroid
• Tidak mampu atau tidak mau terapi obat antitiroid
• Adenoma toksik, struma multinodosa toksik

KOMPLIKASI1
Penyakit Graves: penyakit jantung hipertiroid, oftalmopati Graves, dermopati
Graves, infeksi karena agranulositosis pada pengobatan dengan obat antitiroid .

PROGNOSIS
Cenderung tidak mengalami remisi pada laki-laki usia < 40 tahun dengan ukuran
gondokyangbesar dan tirotoksikosis yangklinis lebih berat (didapatkan titer antibodi
reseptor TSH yang tinggi) 1 .
UNIT YANG MENANGANI
• RS pendidikan : Divisi Metabolik Endokrin - Departemen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS pendidikan -
: Divisi Ginjal- Hipertensi, Divisi Kardiologi Departemen
Penyakit Dalam, Departemen Neurologi, Departemen
Radiologi / Kedokteran Nuklir, Patologi Klinik, Departemen
Bedah-Onkologi.
• RS non Pendidikan : Bagian Neurologi, Patologi Klinik, Radiologi, dan Bedah.

REFERENSI
1. Djokomoeljanto R. Kelenjar tiroid, hipotiroidisme, dan hipertiroidisme. In: Sudoyo AW, Setiyohadi
B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, et al. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam. Edisi 5. Jakarta:
InternaPublishing. 1993-2008.
2 . Jameson JL, Weetman AP. Disorder of the Thyroid Gland. In : Longo DL, Fauci AS, Kasper DL,
Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J. Harrison' s Principles of Internal Medicine. 18lhed. New York:
McGraw-Hill; 2012. 2911-39

155
156

TUMOR HIPOFISIS

PENGERTIAN
Tumor hipofisis jarang ditemukan dan terdiagnosis biasanya karena gangguan
hormonal, mass effect, atau tidak sengaja pada pemeriksaan CT Scan atau MRI karena
trauma kepala atau nyeri kepala.1 Tumor hipofisis, biasanya dapat berupa adenoma
mikro ( diameter < 10 mm) ataupun adenoma makro (diameter > 10 mm ). Sekitar
92% lesi di sella tursika merupakan adenoma hipofisis. Adenoma hipofisis adalah
neoplasma jinak yang muncul dari satu atau lima tipe sel hipofisis anterior. Tumor /
adenoma hipofisis merupakan penyebab tersering dari sindrom hiposekresi dan
hipersekresi hormon hipofisis pada orang dewasa . Manifestasi secara klinis dan
secara fenotipe biokimiawi dari tumor hipofisis, tergantung dari tipe sel tumor asal
dan besar ukuran tumor tersebut1. Sekitar 15 % neoplasma intrakranial merupakan
tumor hipofisis yang ditemukan pada populasi dengan prevalensi 80 /100.0002. Paling
sering ditemukan pada wanita usia reproduktif, dengan perkiraan insiden 1, 2 - 1,7 /
satu juta orang/ tahun di Denmark dengan 60% kasus hiperkortisolisme.3 Prevalensi
pada growth hormone-secreting pituitary adenoma adalah 50 - 60 kasus /1,000,000
orang. Pada wanita lebih sering ditemukan corticotropin-secreting pituitary adenoma,
daripada pria dengan perbandingan 8:1.3
Tumor hipofisis dapat pula digolongkan menjadi 2 jenis : 4 5
.
1 Functioning
-
Prolactin secreting tumors, (kadar prolaktin serum > 100 pg/ L )
Growth Hormone secreting tumors, -
-
Corticotropin ( adrenocorticotropic hormone [ACTH ]) secreting tumors,
-
Thyrotropin ( thyroid -stimulating hormone [TSH ] ) seereting tumors, and
Gonadotropin ( Follicle-Stimulating Hormone [ FSH ]/ Luteinizing Hormone [LH ])-
secreting tumors
Beberapa tumor mensekresi gabungan / campuran beberapa hormon, misalnya
prolaktin dan hormon lain (contoh Growth Hormone), dengan kadar prolaktin
serum berkisar antara 30 -100 pg/ L.

PanduanPraktik Klinis
Perhimpunan Dokler Spesiolfs Penyakii Dalam Indonesia
Tumor Hipofisis Ip
2. Non - functioning
Biasanya berupa adenoma hipofisis jinak, yang mengsekresi hormon hipofisis yang
tidak dapat terdeteksi secara klinis. Prolaktin disekresikan melalui penekanan
pembuluh portal dan pituitary stalk , dengan kadar prolaktin serum 25- 75 pg/ L
[Stalk effect).

PENDEKATAN DIAGNOSIS
Manifestasi klinik tumor hipofisis diakibatkan oleh massa tumor, hipopituitari,
serta sekresi hormon yang berlebihan. Pada tiap kasus mungkin ditemukan gabungan
dari ketiga efek tersebut.

Anamnesis
Gejala sakit kepala, migren, gangguan penglihatan, masalah lapangan pandang
menyempit atau gangguan saraf ekstraokular.4 Pada kecurigaan disfungsi gonad
atau defisiensi hormon hipofisis, perlu ditanyakan bagaimana riwayat menstruasi:
oligomenorea / amenorea [± 20 % wanita yang mengalami amenorea primer / sekunder
6
) dan infertilitas pada wanita usia reproduktif, atau disfungsi ereksi dan menurunnya
libido pada pria.1,2

Pemeriksaan Fisik
• Pemeriksaan luas lapangan pandang (visual field testing ) untuk menilai fungsi
optic chiasm dan traktusnya.
• Akromegali [pembesaran akral, perubahan wajah), moon face, buffalo hump,
penipisan kulit, osteoporosis, hirsutisme
• Produksi keringat berlebih, nodul tiroid, tirotoksikosis, muscle wasting , tekanan
darah meningkat
Manifestasi klinis akibat efek massa tumor hipofisis terhadap struktur sekitar
dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Manifestasi Klinik Akibat Efek Massa Tumor Hipofisis Terhadap Struktur yang Terkena2
Struktur yang terkena Manifestasi klinis
Struktur Hipofisis dan sekitar Gangguan pertumbuhan, hipogonadisme, hipotiroidisme, hipoadrenal-
isme
Traktus optikus Hilangnya penglihatan wama merah, hemianopsia bitemporal, defek
lapang pandang superior atau bitemporal, skotoma, kebutaan
Hipotalamus Disregulasi temperatur, obesitas, diabetes insipidus, gangguan tidur,
gangguan selera makan.

157
# ESSSfflWJSft Metabolik Endokrin

Struktur yang terkena Manlfestasl kllnls


Sinus kavernosus Diplopia, ptosis, oftalmoplegia, rasa baal di wajah
Lobus temporal Kejang
Lobus frontal Perubahan kepribadian
Sentral Sakit kepala, hidrosefalus, psikosis, demensia.
Neurooftalmologi Penurunan tajam penglihatan, papil edema, nistagmus.

Pemeriksaan Penunjang2
• Magnetic resonance imaging ( MRI )
• Computed Tomography (CT ) Scan kepala, fokus pada hipofisis dan regio parasella
• Pemeriksaan laboratorium hormon dalam darah :
(1) prolaktin basal;
( 2 ) insulin - like growth factor ( IGF) /;
( 3 ) ACTH;
( 4 ) FSH dan LH; and
( 5 ) Tes fungsi tiroid : TSH dan FT4 .
Selain itu, perlu juga diperiksa kadar hormon testosteron atau estradiol , dan
kadar kortisol pk. 8 pagi hari. Pemeriksaan laboratorium analisis sperma dapat
didapatkan abnormalitas spermatogenesis pada prolaktinoma.
• Angiografi (untuk menyingkirkan adanya aneurisma)
Pemeriksaan penapis pada adenoma hipofisis fungsional :

Tabel 2. Pemeriksaan Penapis pada Adenoma Hipofisis Fungsional2


Jenis
adenoma Pemeriksaan Keterangan
Akromegali IGF-I serum dan GH Dibandingkan terhadap nilai normal
IGF-1 dan GH berdasarkan usia dan jenis
kelamin
Toleransi glukosa oral dengan pemer- Orang normal mampu mensupresi kadar
iksaan kadar GH pada menit ke 0, 30, GH <0.4 pg / L
dan 60
Prolaktinoma Prolaktin serum Hindari pemakaian obat-obatan yang
dapat meningkatkan kadar prolaktin
Pemeriksaan MRI harus segera dikerjakan
apabila kadar prolaktin meningkat
Penyakit • Kadar kortisol bebas dalam urin 24
Cushing jam
• Dexamethasone ( 1 mg) pada pukul Orang normal mampu menekan kadar
22.00 & midnight salivary cortisol kortisol <5 g/ L
ACTH Membedakan antara adenoma adrenal
( ACTH tersupresi) dengan sekresi ACTH
ektopik atau penyakit Cushing ( ACTH
normal atau meningkat ) .

158
Tumor Hipofisis |
|j
|
Anamnesis dan
Pemerlksaan fisik
Gejala dan tanda akibai
efek massa
Sakit kepala
Gangguan penglihatan
MRI
Kepala
'
Evaluosi
Hipotpitultari
TSH. ACTH .
FSH. LH
UJI lapang
-
penglil atan

Galaktarea, Impctensi Gambaran kllnis Gambaran klinls


Amenorca akromegali Cushing

IGF- 1 dan GH Kortlsol


Prolaktln pasca pembebanan dan
serum glukosa ACTH

MRI
Kepala Kepala Kepala

Calalan : MRI
dan
pemoeriksaan laboralorium dahulu.
Gambar 1. Pendekatan Kecurigaan Adenoma HlpoflSIs2

DIAGNOSIS BANDING2
• Prolajctinping:
Kehamilan
- Perdarahan postpartum
- Hipotiroidisme. printer
-
-
-
PgnyaWt: padaspayadara atau aKibat stimulasi payudara
Penggunaan obat [fenotiazin, antidepresan, hjaloperidol, metildopa, reserpin,
opiat, amfetamin, simetidin)
• Gagal gjnjal kronik
• Liver disease
• Polycystic ovarian disease
• Gangguan dinding dada
• Lesi medula spinalis
• Riwayat iradiasi kepala

159
0 SSJMH Metabolik Endokrin

TATALAKSANA1 2 5
Tata laksana tumor hipofisis harus bersifat komprehensif dan individualistik.
Tujuan tata laksana meliputi beberapa aspek :
1. Mengontrol manifestasi klinis akibat kelebihan sekresi hormon .
2. Mempertahankan fungsi hipofisis yang normal semaksimal mungkin.
3. Memperbaiki gangguan fungsi hipofisis yang terjadi.
4. Mengendalikan pertumbuhan tumor serta efek mekanikyang ditimbulkan oleh tumor.
Beberapa modalitas yang ada adalah tindakan bedah , radioterapi, serta
medikamentosa.
1. Tindakan bedah
Tindakan operasi ( mikro) transfenoid sangat efektif pada 90 % kasus dengan angka
morbiditas dan mortalitas yang rendah.
Tindakan operasi transkranial biasanya dikerjakan pada tumor dengan perluasan
ekstensif ke suprasella atau fossa media. Pembedahan atau radioterapi merupakan
terapi pilihan pada tumor hipofisis nonsekretorik.
Ketelitian saat follow up pasien sangat penting, terutama yang menjalani operasi
pembedahan mikro trans -sfenoid, sebaiknya kontrol dalam 4 - 6 minggu
untuk memastikan adenoma tersebut sudah diangkat seluruhnya dan masalah
hipersekresi endokrin sudah teratasi.
2 . Radioterapi (Stereotactic radio surgery)
Radioterapi jarang menjadi pilihan pertama pada tata laksana tumor hipofisis.
Radioterapi saat ini berperan sebagai terapi tambahan pada pasien adenoma
fungsional maupun non fungsional, terutama yanggagal dengan terapi pembedahan.
3. Medikamentosa
Tata laksana medikamentosa dapat menjadi pilihan utama pada beberapa kasus
tumor hipofisis.
-
Prolaktinoma (baik mikroprolaktinoma maupun makroprolaktinoma) > agonis
dopamin / analog merupakan terapi lini pertama; yang sering digunakan adalah
bromokriptin (per oral 1,5 - 10 mg dalam dosis terbagi) dan cabergoline.
-
Akromegali > pengobatannya terdiri atas tiga golongan, yaitu agonis dopamin
-
(bromokriptin 10 - 20 mg p.o tid qid), analog somatostatin ( octreotide 100
gg s.c), dan antagonis reseptor hormon pertumbuhan. Meskipun bromokriptin
kurang efektif bila dibandingkan dengan octreotide, namun bromokriptin dapat
diberikan per oral.

Adenoma Tirotropin -> dapat digunakan analog somatostatin kerja panjang


( octreotide; dosis seperti pada akromegali)

160
Tumor Hipofisis

Penyakit Cushing -> Ketokonazol, yang menghambat enzim sitokrom P-450


|ji
^
yang terlibat pada biosintesis steroid, efektif dalam penyakit cushing ringan-
sedang, dengan dosis 600 - 1200 mg p.o per hari.

PROGNOSIS
• Meskipun telah menjalani operasi transfenoid, Penyakit Cushing dapat muncul
kembali pada ± 25 % pasien.7
• Insiden (adjusted ) dalam 3 tahun untuk terjadinya sindroma metabolik adalah
23,4% pada riwayat Penyakit Cushing vs 9, 2 % pada riwayat adenoma hipofisis
non - functioning (p = 0,01)
• Tidak terdapat perbedaan bermakna pada insiden (adjusted ) 3 tahun untuk
terjadinya penyakit kardiovaskular atau penyakit serebrovaskular, atau diabetes
melitus.8

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Divisi Metabolik Endokrin - Departemen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : Departemen Mata, Departemen Neurologi,
Departemen Bedah Saraf, Departemen Radioterapi
• RS non Pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

REFERENSI
1 . Hall JE, Nieman LK. Editors. Contemporary Endocrinology: Handbook of Diagnostic Endocrinology.
.
Humana Press Totowa, NJ 2003.
2. .
Jameson JL, Melmed S. Disorders of the Anterior Pituitary and Hypothalamus In : Longo DL, Fauci
AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J. Harrison ' s Principles of Internal Medicine. 18
lh

Edition. New York, McGraw-Hill. 2012.


3. Ferri FF. Editor. Ferri ' s Clinical Advisor, lsl ed. Mosby Elsevier. 2009.
4. McDermott MT. Editor. Endocrine Secrets, 4th edition. Elsevier Mosby.
5.
, .
Rakel RE, Bope ET. Conn ' s Current Therapy, 60 h ed. Saunders Elsevier 2008
6. Pituitary Tumor. From: Dynamed. www.searchebscohost.com
7. J Clin Endocrinol Metab 2009 Jun;94 ( 6):1897.
8. J Clin Endocrinol Metab 2010 Feb;95 ( 2):630.

161
162

OBESITAS

PENGERTIAN
Obesitas merupakan suatu keadaan di mana terdapat massa jaringan adiposa yang
berlebih.1 Penyakit ini bersifat multifaktorial dan dapat mengganggu kesehatan. Obesitas
dapat juga terjadi secara sekunder akibat adanya penyakit penyebab. Beberapa penyakit
yang dapat menyebabkan obesitas adalah defisiensi hormon tiroid (hipotiroidisme),
sindrom ovarium polikistik, sindrom Cushing, kelainan di hipotalamus, dan mutasi genetik.2
Pada tahun 2000 WHO membuat klasifikasi berat badan berdasarkan IMT (Indeks
Massa Tubuh). Obesitas didefinisikan bila IMT seseorang > 30 kg/ mz. Sedangkan wilayah
Asia Pasifik pada saat ini telah mengusulkan kriteria dan klasifikasi obesitas sendiri.3

PENDEKATAN DIAGNOSIS
Diagnosis obesitas ditegakkan dengan cara pengukuran IMT, yaitu berat badan
dalam kilogram (kg] dibagi tinggi dalam meter kuadrat ( mz). Pada pemeriksaan fisik,
harus diperiksa tekanan darah, nadi, suhu tubuh, berat badan, tinggi badan, IMT,
dan lingkar perut. Berikut adalah klasifikasi berat badan lebih dan obesitas menurut
kriteria Asia Pasifik (tabel 1],
Tabel 1 . Klasifikasi Berat Badan Lebih dan Obesitas Berdasarkan IMT dan Lingkar Perut Menurut
Kriteria Asia Pasifik3
Rlslko Ko - Morbiditas
Klasifikasi IMT ( kg/m2 )
Lingkar Perut*
< 90 cm ( laki-laki ) > 90 cm ( laki-laki )
< 80 cm ( perempuan ) > 80 cm ( perempuan )
Berat Badan Kurang < 18,5 Rendah (risiko meningkat Sedang
pada masalah klinis lain )
Kisaran Normal 18,5 - 22,9 Sedang Meningkat
Berat Badan Lebih > 23,0
Berisiko 23,0 - 24,9 Meningkat Moderat
Obes Tingkat I 25,0 - 29,9 Moderat Berat
Obes Tingkat II > 30,0 Berat Sangat Berat
Keterangan
‘Lingkar perut sebaiknya diukurpada pertengahan antara batas bawah iga dan krista iliaka, dengan menggunakan ukuran pita secara
horisontal pada saat akhir ekspirasi dengan kedua tungkai dilebarkan 20 - 30 cm.

Panduan Praktik Klinis


Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
Obesitas |
|g

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan untukmenyingkirkan adanya penyakit endokrin
lainnya sebagai penyebab obesitas, skrining untuk keadaan komorbid (sindrom
metabolik), dan untuk melihat adanya komplikasi dari organ target.4

TATALAKSANA45
Berikut adalah manajemen penanganan obesitas menurut IMT (tabel 2) .
Tabel 2. Manajemen Penanganan Obesitas berdasarkan IMT6
IMT 23,0- 24,9 25,0 - 29,9 £ 30,0
Risiko Ringan Sedang Berat
Nutrisi V V V
Aktivitas fisik V V
Terapi perilaku V V V
Medikasi V*
Pembedahan V*
Keterangan :
*Dapat dipertimbangkan apabila terdapat faktor risiko atau berat badan gagal terkontrol dengan modifikasi
gaya hidup

Nonfarmakologis
• Perubahan gaya hidup
Terapi diet : Bertujuan membuat defisit kalori sebesar 500 - 1000 kkal / hari
Aktivitas fisik : Program aktivitas fisik harus dibuat berdasarkan status kesehatan
dan kondisi fisik pasien. Perlu juga diperhatikan asupan cairan pasien sebelum, saat,
dan sesudah melakukan aktivitas fisik. Pada tahap awal dapat melakukan aktivitas
fisik sedang selama 30 - 45 menit sehari, sebanyak 3 - 5 kali seminggu. Aktivitas
fisik dapat ditingkatkan sesuai kemampuan pasien. Pasien juga harus melakukan
latihan kekuatan otot dengan 1 - 3 set latihan untuk otot-otot utama setidaknya
dua kali dalam seminggu.
• Terapi perilaku

Farmakologis
Orlistat

Pembedahan
Indikasi : BMI > 35 kg/ m 2; adanya satu atau lebih penyakit komorbid yang dapat
teratasi secara signifikan dengan penurunan berat badan (imobilitas, artritis, DM Tipe
2}; berat badan tidak dapat dikontrol setelah dilakukan pengontrolan diet, aktivitas
fisik, terapi perilaku dan obat-obatan.

163
Os

Pasien datang

I BMI 30 kg/m2 atau


Pemeriksaan BMI { [BMI 23-29,9 atau LP
> 23 Kg/m2 Nllai faktor risiko > 80 cm ( W ) , > 90 cm
( P ) ] dan > 2 faktor

I i <
risiko

BMI dihitung dalam


2 tahun terakhir Ya Ya i Tidak

Apakah pasien
ingin menurunkan
Hitung berat badan, Hitung berat badan, berat badanya ?
tinggi badan, lingkar _ tinggi badan, lingkar
^
Obesitas

KOMPLIKASI
Peningkatan angka mortalitas, disabilitas, morbiditas, peningkatan risiko penyakit
kardiovaskular, peningkatan risiko DM tipe 2, peningkatan risiko kanker, demensia,
peningkatan risiko GERD, batu saluran empedu, penyakit hati, penyakit ginjal kronik,
batu ginjal, infertilitas pada laki-laki, low back pain, fraktur, osteoartritis. '
12

PROGNOSIS
Tiap peningkatan 5 kg / m 2 pada BMI > 25 kg / m 2 berhubungan dengan peningkatan
risiko kematian sebesar 30 %.5

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Divisi Metabolik Endokrin - Departemen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : Semua Divisi di lingkungan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam, Departemen Rehabilitasi Medik, Departemen
Gizi, Departemen Bedah
• RS non Pendidikan

REFERENSI
1. Flier J, Maratos-Flier M. Biology of Obesity: Introduction. In : Longo DL, Fauci AS, Kasper DL,
.
Flauser SL, Jameson JL, Loscalzo J. Flarrison ’ s Principles of Internal Medicine. 18 Edition New
th

York, McGraw-Hill. 2012.


2. Sugondo S. Obesitas. Dalam: Alwi I, Setiati S, Setiyohadi B, Simadibrata M, Sudoyo AW . Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi V. Jakarta: Interna Publishing; 2010:1973- 1983.
3. National Heart Lung and Blood Institute. Executive summary of the clinical guidelines on the
identification, evaluation, and treatment of overweight and obese adults. Arch Intern Med. 1998
.
Sep 28;158 ( 17) :1855-67
4. .
Badarsono S, Moersadika N, Purnamasari D, Sukardji K, Tahapary D Identification, Evaluation
and Treatment of Overweight and Obesity in Adults: Clinical Practice Guidelines of the Obesity
Clinic , Wellnes Cluster Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta, Indonesia.
5. National Task Force on the Prevention and Treatment of Obesity. Medical care for obese patients:
advice for health care professionals. Am Fam Physician. 2002 Jan 1;65( 1 ) :81-8.
6. Institute for Clinical Systems Improvement. Prevention and Management of Obesity ( Mature
Adolescent and Adults ) . 5lh ed. Bloomington, MN; Institute for Clinical Systems Improvement. April
2011

165
.

r I 4 «
PENATALAKSANAAN
D l BIDANGILMU PENYAKIT DALAM

PANDUAN
PRAKTIK
KUNIS
^
GASTROENTEROLOGI

Diare Kronik
H
167
Gastroesophageal Reflux Disease ( GERD ) 172
Hematemesis Melena 176
Hematokezia 182
Ileus Paralitik 186
Konstipasi 189
Pankreatitis Akut 196
Penyakit Tukak Peptik 201
Tumor Gaster 208
Tumor Kolorektal 21 1
ft 4

'
167

DIARE KRONIK

PENGERTIAN
Diare kronik adalah diare yang berlangsung lebih dari 14 hari sejak awal diare. Diare
dapat diklasifikasikan berdasarkan:1
1. Lama waktu: akut atau kronik
2. Mekanisme patofisiologi: sekretorik, osmotik, dll
3. Berat ringannya diare: ringan atau berat
-
4. Penyebab infeksi atau tidak: infektif atau non infektif
5. Penyebab organik atau tidak: organik atau fungsional

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis1
1. Waktu dan frekuensi diare
2. Bentuk tinja
3. Keluhan lain yang menyertai seperti nyeri abdomen , demam, mual muntah ,
penurunan berat badan
4. Obat-obatan: laksan, antibiotika, imunospresan, dll
5. Makanan / minuman

Pemeriksaan Fisik1
Keadaan umum, status dehidrasi

Pemeriksaan Penunjang1
• Pemeriksaan tinja, darah, urin
• Pemeriksaan anatomi usus sesuai indikasi: Barium enema / co/on in loop (didahului
BNO ), Kolonoskopi, ileoskopi, dan biopsi, barium follow through atau enteroclysis,
USG abdomen, CTScan abdomen
• Fungsi usus dan pankreas: tes fungsi pankreas, CEA dan CA 19-9.

PanduanPraktik Minis
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
ggjfe
I w£f
PanduanPraktik Minis Gastroenterologi
Pertiimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia

.
Tabel 1 Diagnosis Banding Penyebab Tersering Diare Kronis di Indonesia1
Etiologl
Anamnesa Pemerlksaan Flslk Penunjang
Tersering
Infeksi Disertai gejala demam dan mual Sesuai dengan Pemeriksaan tinja:
muntah etiologi infeksi leukosit (+)
Darah: leukositosis
Malabsorpsi Riwayat reseksi usus. Diare membaik Bila berat: malnutrisi Pemeriksaan tinja
lemak setelah puasa. Tinja mengambang ; berwarna muda,
pada air toilet bau busuk, ph
> 6,8, tes Sudan
( +) , jumlah lemak
> 14gram / 24 jam
Malabsorbsi Riwayat makan makanan yang Bila berat: malnutrisi Pemeriksaan tinja:
karbohidrat mengandung laktosa ( susu) , sorbitol amilum ( +) , pH <5,5,
( pemanis buatan) , Disertai gejala tes reduksi ( +) ,
kembung, kram abdomen, dan
flatus fruktosa (sirupjagung) . Tinja
mengambang pada air toilet, dan
berbau asam.
Sindroma Diare pada pagi hari berhubungan Keadaan umum Pemeriksaan
usus iritabel dengan stress, berselang antara baik, dehidrasi ( -) tinja: darah
konstipasi dan diare. Banyak samar (+), tes
keluhan menyertai seperti perut phenolphthalein
begah, mual, nyeri daerah anus (+) .
setelah defekasi, sendawa
Karena Diare berhenti dengan Bisacodyl,
obat-obatan dihentikannya obat anthraquinon,
phenolphthalein:
pemeriksaan
kromatografl lapis
tipis
Keganasan Disertai gejala demam, darah Pemeriksaan tinja:
menyertai tinja normal, disertai nyeri eritrosit (+)
abdomen terus menerus Darah : eusinofilia
Petanda tumor
Kelainan Tiroroksikosis: Berdebar-debar, Tirotoksikosis: BB Tirotoksikosis
endokrin tremor /gemetaran turun, suhu naik, Darah: TSH, T3
pembesaran kelenjar uptake, FT4
tiroid, tremor

DIAGNOSIS BANDING
Penyebab tersering diare kronis di Indonesia dapat dilihat pada tabel 1.

TATALAKSANA

Nonfarmakologis
Seperti tatalaksana pada diare umumnya . Untuk lebih lengkap dapat dilihat pada
tabel diare infeksi.

168
Diare Kronik

DIARE KRONIS

Kecuali masalah iatrogenik:


pengobatan, bedah

Darah per Gambaran feses, Nyeri memburuk sebelum Darah ( -),


rektum curiga malabsorpsi BAB, hilang dengan BAB, malabsorbsi
perasaan defekasi tidak
tuntas

Kolonoskopi Usus halus: Curiga IBS I Pertimbangkan


+ biopsi pencitraan, biopsi, diare fungsional
aspirasi

Terbatas untuk Darah ( -) ,


penyakit organik Pengecualian diet:
sorbitol, laktosa

Gambar 1. Manajemen Diare Berdasarkan Gejaia Penyerta


3

DIARE KRONIS
Terbatas untuk penyakit organik

Hb dan albumin rendah, Rendah K + Semua tes


MCV & MCH abnormal, penapisan normal
banyak lemak pada feses

Volume feses, osmolari- Reaksi opioid +


tas, pH: laxative screen ; tindak lanjut
hormonal screen
Kolonoskopi + biopsi | Usus kecil: X -ray,
biopsi, aspirasi :
Diare kronik
lemak feses 48 jam
persisten

r Transit usus i
Titrasi terapi untuk
Lemak feses Normal dan lemak penuh I mempercepat
>20 g /hari, fungsi feses < 14g /hari transit
pankreas

Gambar 2. Algoritma Pendekatan Diagnosis Diare Kronis Berdasarkan Laboratorium Sederhana


3

169
fp 5SSJSS !! Gastroenterologi
Farmakologis
Pengobatan diare kronik ditujuan terhadap penyakit yang mendasari. Sejumlah
obat anti diare dapat digunakan pada diare kronik. Opiat mungkin dapat digunakan
dengan aman pada keadaan gejala stabil.
. .
1 Loperamid : 4 mg dosis awal, kemudian 2 mg setiap mencret Dosis maksimum
16 mg/ hari .
.
2 Kodein: Karena memiliki potensi adiktif , obat ini sebaiknya dihindari, kecuali
pada keadaan diare yang menetap. Kodein dapat diberikan dengan dosis 15- 60
mg setiap 4 jam. Paregoric diberikan 4-8 ml.
3. Klonidin: P 2 adrenergic agonis yang menghambat sekresi elektrolit intestinal.
Diberikan 0,1- 0, 2 mg/ hari selama 7 hari. Bermanfaat pada pasien dengan diare
sekretorik, kriptosporodiosis dan diabetes.
4. Octreotide: Suatu analog somatostatin yang menstimulasi cairan instestinal
dan absorbsi elektrolit dan menghambat sekresi melalui pelepasan peptida
gastrointestinal. Berguna pada pengobatan diare sekretori yang disebabkan oleh
Vipoma dan tumor carcinoid dan pada beberapa kasus diare kronik yang berkaitan
dengan AIDS. Dosis efektif 50mg -250mg subkutan tiga kali sehari.
5. Cholestiramin : mengikat garam empedu dan mencegah reabsorsinya, berguna
pada pasien diare sekunder karena garam empedu akibat reseksi intestinal atau
penyakit ileum . Dosis 4 gr 1 s/d 3 kali sehari.
6. Atapulgit, biasanya dosis yang diberikan 3x 2 tablet selama diare.

KOMPLIKASI
Dehidrasi sampai syok hipovolemik, sepsis, gangguan elektrolit, dan asam basa/
gas darah, gagal ginjal akut, kematian 1

PROGNOSIS
Prognosis diare kronik ini sangat tergantung pada penyebabnya . Prognosis baik
pada penyakit endokrin. Pada penyebab obat-obatan, tergantung pada kemampuan
untuk menghindari pemakaian obat-obat tersebut.2

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Divisi Gastroentero-Hepatologi - Departemen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS pendidikan: Departemen Bedah Digestif, ICU / Medical High Care
• RS non pendidikan: ICU, Bagian Bedah

170
Diare Kronik

REFERENSI
1. Kolopaking SM. Pendekatan Diagnostik Diare Kronik. Dalam Alwi I, Setiati S, Setiyohadi
B, Simadibrata M, Sudoyo AW. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi V . Jakarta:
Interna Publishing; 2010:534-559.
2. McQuaid K. Chronic Diarrhea. In Lawrence M ( Eds). Current Medical Diagnosis &
Treatment 37th Ed. Prentice Hall International Inc, 1998: 544
3. Camilleri M, Murray JA. Diarrhea and Constipation. Dalam: Fauci A, Kasper D, Longo
D, Braunwald E, Hauser S, Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison ' s principles of internal
medicine. 18th ed. United States of America; The McGraw-Hill Companies, 2012. Chapter
40, p308.

171
GASTROESOPHAGEAL REFLUX DISEASE
(GERD)

PENGERTIAN
Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) merupakan suatu keadaan patologis
sebagai akibat refluks kandungan lambung ke dalam esofagus, dengan berbagai gejala
yang timbul akibat keterlibatan esophagus, laring, dan saluran napas; akibat kelemahan
ototsfingter esofagus bagian bawah (LES/ Lower Esophageal Sfingter ). Refluks dapat
terjadi melalui 3 mekanisme yaitu refluks spontan pada saat relaksasi LES, aliran
balik sebelum kembalinya tonus LES setelah menelan, meningkatnya tekanan dalam
12
abdomen . '
Faktor risiko terjadinya refluks esofagus yaitu alkohol, hernia hiatus, obesitas,
kehamilan, skleroderma, rokok, obat -obatan seperti antikolinergik, beta blocker ,
bronkodilator, Calcium channel blockers, progestin , sedatif, antidepresi trisiklik.3
Terdapat dua kelompok pasien GERD yaitu pasien dengan esofagitis erosif yang
ditandai dengan adanya mucosal break diesofagus pada pemeriksaan endoskopi ( GERD)
dan pasien GERD yang pada pemeriksaan endoskopi tidak ditemukan mucosal break
( non erosive reflux disease/ NERD ).

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis
Dari anamnesis dapat ditemukan keluhan seperti: 1.2,4
• Keluhan paling sering: merasakan adanya makanan yang menyumbat di dada,
nyeri seperti rasa terbakar di dada yang meningkat dengan membungkukkan
badan, tiduran, makan; dan menghilang dengan pemberin antasida, non cardiac
chest pain ( NCCP).
• Keluhan yang jarang dikeluhkan: batuk atau asma, kesulitan menelan, hiccups,
suara serak atau perubahan suara, sakit tenggorokan, bronchitis
• Pada anamnesis juga perlu ditanyakan riwayat pemakaian obat-obatan.

Panduan Praktik Klinis


Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
Gastroesophageal Reflux Disease ( GERD ) |fj$:

Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik tidak ada yang khas untuk GERD. Pada pemeriksaan laring
dapat ditemukan inflamasi yang mengindikasikan GERD.

Pemeriksaan Penunjang
Jika keluhan tidak berat, jarang dilakukan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan
34
dilakukan jika keluhan berat atau timbul kembali setelah diterapi ,
• Esophagogastroduodenoscopy ( EGD ): melihat adanya kerusakan esofagus
• Barium meal: melihat stenosis esofagus, hiatus hernia.
• Continuous esophageal pH monitoring : mengevaluasipasien GERDyang tidak respon
dengan PPI ( proton pump inhibitor ), evaluasi pasien- pasien dengan gejala ekstra
esophageal sebelum terapi PPI, memastikan diagnosis GERD sebelum operasi anti
refluks atau mengevaluasi NERD berulang setelah operasi anti refluks.
• Manometri esofagus: mengevaluasi pengobatan pasien NERD dan untuk tujuan
penelitian.
• Stool occult blood test: untuk melihat adanya perdarahan dari iritasi esofagus,
lambung, atau usus.
• Pemeriksaan histopatologis: menentukan adanya metaplasia, displasia, atau
keganasan.

DIAGNOSIS BANDING2
• Dispepsia
• Ulkus peptikum
• Kolikbilier
• Eosinophilic esophagitis
• Infeksi esofagitis
• Penyakit jantung koroner
• Gangguan motilitas esofagus.

TATALAKSANA

Nonfarmakologis2
1. Modifikasi gaya hidup, menghentikan obat-obatan (anti kolinergik, teofilin] dan
mengurangi makan makanan yang yang dapat menstimulasi sekresi asam seperti
kopi, mengurangi coklat, keju dan minuman bersoda.
2. Menaikkan posisi kepala saat tidur jika keluhan seringkali dirasakan pada malam hari.
3. Makanan selambat-lambatnya 2 jam sebelum tidur.

-
173
m SSSBSfJSl Gastroenterologi

Farmakologis2 4

^
1 . Histamine type -2 receptor antagonists ( F RAs]
2. Proton pump inhibitors ( PPIs) : umumnya diberikan selama 8 miggu dengan dosis
ganda .
3 . Untuk NERD, terapi inisial dengan dosis standar selama 8 minggu lalu diberikan
pada saat keluhan timbul dan dilanjutkan sampai keluhan hilang.3
4. Antasida hanya untuk mengurangi gejala yang timbul

Tindakan invasif 3 4
1. Pembedahan anti refluks: Laparoscopic Nissen fundoplication
2. Terapi endoskopi : radiofrequency ablation, endoscopic suturing , endoscopic
implantation, endoscopic gastroplasty

KOMPLIKASI
Refluks esofagusdapatmenimbulkankomplikasiesofagusmaupunekstraesofagus .
• Komplikasi esofagus : striktuc ulkus, Barrett’s esophagus bahkan adenokarsinoa
12
di kardia dan esofagus. '

• Komplikasi ekstra esofagus : asma, bronkospasme, batuk kronik atau suara serak,
3
masalah gigi,

PROGNOSIS
Pengobatan dengan penghambatsekresiasamlambungdapatmengurangi keluhan,
derajat esofagitis dan perjalanan penyakit . Risiko dari striktur menjadi Barrett's
esophagus atau adenokarsinoma yaitu 6% dalam 2 - 20 tahun pada kasus. 3

UNIT YANGMENANGANI
• RS pendidikan : Divisi Gastroentero-Hepatologi - Departemen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Divisi Bedah Digestif - Departemen Bedah, ICU / Medical
High Care
• RS non pendidikan : Bagian Bedah

174
Gastroesophageal Reflux Disease ( GERD)

REFERENSI
1 Makmun D. Penyaklt Refluks Gastroesofageal. Dalam:Sudoyo AW, et al editor. Buku Ajar
.
llmu Penyaklt Dalam jllld I edlsl IV. Jakarta: Pusat Penerbltan Departemen llmu Penyaklt
Dalam FKUI, 2006. him 317 - 321.
2. Kahrilas PJ. Esophageal Structure and Function. In: Fauci A. Kasper D. Longo D, Braunwald
. .
E, Hauser S Jameson J Loscalzo J, editors. Harrison' s principles of internal medicine. 18
th
ed. United States of America: The McGraw-Hill Companies, 2012.
. .
3. Longstreth GF. Gastroesophageal reflux disease In Peptic esophagitis;Reflux esophagitis;
GERD; Heartburn - chronic; Dyspepsia - GERD. 2011. Dlunduh darl http:/ / www.ncbi.
nlm.nih.gov / pubmedhealth / PMH0001311 / pada tanggal 7 Mel 2012.
.
4. KelompokStudi GERD Indonesia Konsensus Naslonal: Penatalaksanaan'Pehy
^kifReiluks
. Gastroesofageabdlilndonesia,' Perkumpulan!©as’trdenterologiilndonesia.'2Q04rl' , ’

175
176

HEMATEMESIS MELENA

PENGERTIAN
Hematemesis adalah muntah darah kehitaman yang merupakan indikasi adanya
perdarahan saluran cerna bagian atas atau proksimal ligamentum Treitz. Perdarahan
saluran cerna bagian atas (SCBA), terutama dari duodenum dapat pula bermanifestasi
dalam bentuk keluarnya darah segar per anum bila perdarahannya banyak. Melena
(feses berwarna hitam] biasa berasal dari perdarahan SCBA, walaupun perdarahan
usus halus dan bagian proksimal kolon dapat juga bermanifestasi dalam bentuk
melena.1

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis1'2
1. Jumlah, warna, perdarahan
2. Riwayat konsumsi obat NSAID jangka panjang
3. Riwayat merokok, pecandu alkohol
4. Keluhan lain seperti mual, kembung, nyeri abdomen, dll

Pemeriksaan Fisik1 2
Memeriksa status hemodinamik:
1. Tekanan darah dan nadi posisi baring
2. Perubahan ortostatik tekanan darah dan nadi
3. Ada tidaknya vasokonstriksi perifer (akral dingin)
4. Kondisi pernapasan
5. Produksi urin

Pemeriksaan Penunjang1 2
1. Laboratorim : darah lengkap, elektrolit, fungsi hati, masa pembekuan dan
perdarahan, petanda virus hepatitis, ratio BUN / Kreatinin
2. Radiologi: OMD ( Oesophagus Maag Duodenum) jika ad aindikasi
3. Endoskopi saluran cerna

PanduanPraktik Minis
Pertiimpunan Dokter Spesiais Penyakll Dalam Indonesia
Hematemesis Melena

Tabel 1. Keparahan perdarahan saluran cerna baglan atas berdasarkan skor Glasgow -
Blatchford (Modiflkasi) 3
Penanda Risiko NNai Skor
Urea darah (mmol/L) > 6.5 - 7,9 2
8 - 9,9 3
10 - 24,9 4
> 25 6
Hemoglobin (gr/dL)
Lelaki > 12 - 13 1
10 - 11,9 3
< 10 6

Perempuan > 10 - 12 1
< 10 6
Tekanan darah Sistolik 100 - 109 1
90 - 99 2
< 90 3
Laju Nadi > 100 1
Datang dengan Melena 1
Datang dengan Sinkop 2
Penyakit Hati 2
Gagal Jantung 2
Keterangan:
Skor 0: risiko minimal akan membutuhkan intervensi seperti transfusi, endoskopi atau pembedahan, dapat dipulangkan dini atau
rawat jalan
Skor 1 - 5 : memiliki risiko yang meningkal membutuhkan intervensi
Skor > 6: memiliki risiko > 50 % akan membutuhkan intervensi

Tabel 2. Beberapa Etlologi Hematemesis Melena 1 ' 2


EHotogl Pemerlksoan
Anamnesis Pemeriksoan (tstk penunjang
tottering
Ulkus Hematemesis-melena nyeri Nyeri tekan Gastroduodenoskopi
duodenum epigastrium berkaitan dengan makan, epigastrium tampak ulkus
sekitar 3 jam setelah makan (ulkus
duodenum klasik membaik oleh
makanan, sedangkan ulkus lambung
diperburuk oleh itu), perut kembung
dan begah, mual, dan muntah
berlebihan, kehilangan nafsu makan
dan penurunan berat badan, riwayat
penggunaan NSAID jangka panjang.
Pecahnya Hematemesis, melena, Nyeri Asites, edema Darah: anemia,
Varises epigastrium seperti terbakar, Riwayat perifer, penurunan leukopenia,
esofagus hepatitis, riwayat peminum alkohol tekanan darah, trombositopenia,
berat . anemia, spider OT/ PT meningkat,
navi, eritema hipoalbumin,
palmaris PTT memanjang,
petanda serologi
virus hepatitis.
Oesophagus
maag duodenum,
endoskopi saluran
cerna atas

177
/S
H ? If:
Panduan Praktik Klinis Gastroenterolo
w w qi
Perhimpunan Doktef Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
^
EHologl Pemeriksaan
terserlng Anamnesis Pemeriksaan flslk
penunjang
Gastritis Hematemesis, melena, riwayat Nyeri tekan Gastroduodenoskopi
erosif perokok, pecandu alkohol, riwayat epigastrium ringan tampak mukosa
makan obat NSAID jangka panjang sembab, merah,
mudah berdarah
atau terdapat
perdarahan
spontan, erosi
mukosa yang
.
bervariasi

DIAGNOSIS BANDING
1
Hemoptoe, hematokezia.

TATALAKSANA

Stabilisasi hemodinamik4 5
1. Jaga patensi jalan napas
2. Suplementasi oksigen
3. Akses intravena 2 line dengan jarum besai; pemberian cairan Normal Saline atau
Ringer Laktat
4. Evaluasi laboratorium : waktu koagulasi, Hb, Ht, serum elektrolit, ratio Blood Urea
Nitrogen ( BUN ) : serum kreatinin
5. Pertimbangkan transfusi Packed Red Cell ( PRC ) apabila kehilangan darah sirkulasi
> 30 % atau Ht < 18% (atau menurun > 6%) sampai target Ht 20 - 25 % pada dewasa
muda atau 30 % pada dewasa tua
6. Pertimbangkan transfusi Fresh Frozen Plasma ( FFP ) atau trombosit apabila 1 NR
>1,5 atau trombositopeni
7. Pertimbangkan Intersive Care Unit ( ICU ) apabila :
a. Pasien dalam keadaan syok
b. Pasien dengan perdarahan aktif yang berlanjut
c. Pasien dengan penyakit komorbid serius, yang membutuhkan transfusi darah
multipel, atau dengan akut abdomen

Nonfarmakologis
Balon tamponade untuk menghentikan perdarahan varises esophagus.1

Farmakologis1
• Transfusi darah PRC (sesuai perdarahan yang terjadi dan Hb). Pada kasus varises
transfusi sampai dengan Hb 10gr%, pada kasus non varises transfusi sampai dengan Hb
12gr%. Bila perdarahan berat (25-30%), boleh dipertimbangkan transfusi whole blood.

178
Hematemesis Melena

• Sementara menunggu darah dapat diberikan pengganti plasma (misalnyadekstran /


hemacel) atau NaCl 0, 9 % atau RL
• Untuk penyebab non varises :
1. Penghambat pompa proton dalam bentuk bolus maupun drip tergantung
kondisi pasien jika tidak ada dapat diberikan Antagonist H 2 reseptor.
.
2 Sitoprotektor : Sukralfat 3-4 x 1 gram atau Teprenon 3 x 1 tab atau Rebamipide
3x100 mg
3. Injeksi vitamin K 3x1ampul, untuk pasien dengan penyakit hati kronis atau sirosis hati
• Untuk penyebab varises :
1. Somatostatin bolus 250 ug + drip 250 mcg/ jam intravena atau okreotide
(sandostatin ) 0,1 mg / 2 jam. Pemberian diberikan sampai perdarahan berhenti
atau bila mampu diteruskan 3 hari setelah skleroterapi / ligasi varises esofagus.
2. Vasopressin : sediaan vasopressin 50 unit diencerkan dalam 100 ml dekstrosa
5%, diberikan 0,5 -1 mg / menitivselama 20-60 menitdan dapat diulangtiap 3-6
-
jam ; atau setelah pemberian pertama dilanjutkan per infuse 0,1 0, 5 U / menit.
Pemberian vasopressin disarankan bersamaan dengan preparan nitrat misalnya
nitrogliserin iv dengan dosis awal 40 mcg/ menit lalu titrasi dinaikkan sampai
maksimal 400 mcg / menit. Hal ini untukmencegah insufisiensi aorta mendadak.
3. Propanolol, dimulai dosis 2 x 10 mg dosis dapat ditingkatkan hingga tekanan
diastolik turun 20 mmHg atau denyut nadi turun 20% (setelah keadaan stabil
hematemesis melena (-)
4. Isosorbid dinitrat/ mononitrat 2 x 1 tablet / hari hingga kead n umum stabil
5. Metoklorpramid 3 x 10 mg / hari
Bila ada gangguan hemostasis obati sesuai kelainan
Pada pasien dengan pecah varises / penyakit hati kronik / sirosis hati dapat
ditambahkan :
a. Laktulosa 4 x 1 sendok makan
b. Antibiotika ciprofloksacin 2x500 mg atau sefalosporin generasi ketiga .
Obat ini diberikan sampai konsistensi dan frekuensi tinja normal.

HEMOSTASIS ENDOSKOPI
• Untuk perdarahan non varises : Penyuntikan mukosa disekitar titik perdarahan
menggunakan adrenalin 1: 10000 sebanyak 0,5-1 ml tiap kali suntik dengan batas
dosis 10 ml. Penyuntikan ini harus dikombinasi dengan terapi endoskopik lainnya
seperti klipping, termo koagulasi atau eleltro koagulasi.
• Untuk perdarahan varises: dilakukan ligasi atau sklerosing

179
® fSSSSSSS. Gastroenterologi

TATALAKSANA RADIOLOGI
Terapiangiografi perlu dipertimbangkan bila perdarahan tetap berlangsung dan
belum bisa ditentukan asal perdarahan. Pada varises dapat dipertimbangkan TIPS
( Transjugular Intrahepatic Portosystemic Shunt). Pada keadaan sumber perdarahan
yang tidak jelas dapat dilakukan tindakan arteriografi. Prosedur bedah dilakukan
sebagai tindakan emergensi atau elektif.

KOMPLIKASI
Syok hipovolemik, pneumonia aspirasi, gagal ginjal akut, sindrom hepatorenal,
koma hepatikum, anemia karena perdarahan1

PROGNOSIS
Pada umumnya penderita dengan perdarahan SCBA yang disebabkan pecahnya
varises esofagus mempunyai faal hati yang buruk / terganggu sehingga setiap
perdarahan baik besar maupun kecil mengakibatkan kegagalan hati yang berat.
Banyak faktor yang mempengaruhi prognosis penderita seperti faktor umur, kadar Hb,
tekanan darah selama perawatan, dan lain-lain. Mengingat tingginya angka kematian
dan sukarnya dalam menanggulangi perdarahan saluran makan bagian atas maka
perlu dipertimbangkan tindakan yang bersifat preventif terutama untuk mencegah
terjadinya terjadinya pecahnya varises pada pasien.

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Divisi Gastroentero-Hepatologi - Departemen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Divisi Hematologi - Onkologi Medik - Departemen Penyakit
Dalam, Divisi Bedah Digestif - Departemen Bedah, 1CU /
Medical High Care
• RS non pendidikan : ICU, Bagian Bedah

REFERENSI
1. .
Adi P Pengelolaan Perdarah saluran Cerna Bagian Atas. Dalam Alwi I, Setiati S, Setiyohadi
B, Simadibrata M, Sudoyo AW. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi V. Jakarta: Interna
Publishing; 2010:447-452.
2. Cirrhosis and its Complications, Peptic Ulcer Disease and Related Disorders. Dalam: Fauci A,
Kasper D, Longo D, Braunwald E, HauserS, Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison ' s principles of
internal medicine. 18th ed. United States of America; The McGraw-Hill Companies, 2011

180
Hematemesis Melena

.
3 Stephens JR, Hare NC, Warshow U, Hamad N, Fellows HJ, Pritchard C, Thatcher P, Jackson L,
Michell N, Murray IA, Hyder Hussainl S, Dalton HR. Management of minor upper gastrointestinal
haemorrhage In the community using the Glasgow Blatchford Score. Eur J Gastroenterol Hepatol.
2009;21( 12) :1340-6.
. Zuccaro G Jr. Management p thd gdli11 patient with acute lower gastrointestinal bleeding.
-
4
^ .
American College of Gastroenterology. Practice Parameters Cornn Ittee Am J Gastroenterol.
1998:93 (8):1204.
5 . Scottish Intercollegiate Guidelines Network (SIGN). Management of acute upper and lower
. .
gastrointestinal bleeding. A national clinical guideline SIGN publication: no 105. Edinburgh
(Scotland) : Scottish Intercollegiate Guidelines Network (SIGN); 2008

181
182

HEMATOKEZIA

PENGERTIAN
Hematokezia merupakan suatu gejala perdarahan gastrointestinal, yaitu keluarnya
darah segar atau merah marun dari rektum.1 Hematokezia lebih sugestif ke arah
perdarahan saluran cerna bagian bawah (SCBB), namun pada 10 % kasus, dapat
juga berasal dari perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA) yang masif.2 Apabila
hematokezia merupakan gejala klinis dari perdarahan SCBA, maka akan terjadi
instabilitas hemodinamik dan terjadi penurunan hemoglobin .1
Evaluasi diagnostik perdarahan SCBB lebih sulit secara signifikan dibandingkan
dengan perdarahan SCBA. Hal ini disebabkan oleh: 1) lokasi perdarahan dapat terjadi
di traktus gastrointestinal manapun, 2) perdarahan seringkali bersifat intermitent
[hilang-timbul], 3) bukti adanya perdarahan aktif mungkin tidak jelas sampai perdarahan
berhenti, dan 4) operasi kegawatdaruratan mungkin dibutuhkan untuk diagnosis spesifik
dan lokalisasi perdarahan.3

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik


Anamnesis dan pemeriksaan fisik biasanya tidak dapat mendiagnosis sumber
perdarahan . Endoskopi merupakan pilihan pemeriksaan pada pasien dengan
perdarahan SCBA dan sebaiknya dilakukan secepatnya pada pasien dengan instabilitas
hemodinamik (hipotensi, takikardi, atau perubahan postural nadi dan tekanan darah) .1

DIAGNOSIS BANDING
Tabel 1. Diagnosis Banding Perdarahan SCBB berdasarkan Karakteristik Klinis45

Etiologi Karakteristik Klinis Frekuensi


(%)
Perdarahan Akut, berat, perdarahan tanpa nyeri pada suspek atau 17 - 40
divertikular diketahui menderita penyakit divertikular
Angiodisplasia Rekuren, episode perdarahan tanpa nyeri; dapat menjadi kronik 2 - 30
dan timbul anemia defisiensi Fe

PanduanPraktik Klinis
Perhimpunon Dokter Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
Hematokezia

Frekuensl
EHologi Karakteristik Kllnls (%)
Kolitis
• Kolitis iskemik Self- limited , diare berdarah diikuti dengan nyeri perut akut
bagian bawah pada pasien dengan faktor risiko jantung
• Kolitis infeksius Diare berdarah disertai demam, dan risiko diet tinggi atau 9 - 21
penggunaan antibiotik sebelumnya
• Penyakit Crohn Diare berdarah disertai berat badan turun dan nyeri perut rekuren
Karsinoma kolon Lambat, perdarahan kronis dengan perubahan pola BAB atau 11 - 14
anemia defisiensi Fe
Pasca polipektomi Perdarahan self -limited yang terjadi dalam 30 hari setelah 11 - 14
atau perdarah polipektomi atau biopsi sebelumnya
an pasca biopsi
endoskopik
Hemoroid Perdarahan yang terkait dengan pergerakan BAB dan pruritus 4 - 10
ani; umumnya tidak nyeri, tapi dapat juga nyeri pada trombosis
hemoroid
Perdarahan SCBA Meningkatnya BUN terhadap ratio kreatinin, atau terdapat 0 - 11
aspirasi darah (+) pada NGT

Pemeriksaan Penunjang' 34
• Laboratorium: darah lengkap, elektrolit, koagulasi, golongan darah
• Kolonoskopi:
Merupakan pemeriksaan penunjang diagnostik utama terpilih pada penderita
perdarahan SCBB. Selama prosedur berlangsung, operator dapat mengevaluasi
perubahan mukosa kolon, patologi infeksius, kolitis, dan perubahan iskemik
untuk menyingkirkan diagnosis banding.
Sebaiknya dilakukan dalam 12 -48 jam saat gejala pertama kali muncul, dan
setelah dilakukan persiapan bilas kolon (1 L polyethylene glycol solution tiap
30 - 45 menit selama sedikitnya 2 jam atau sampai cairan jernih)
• Pencitraan radionuklir ( Blood pool scan) :
Dilakukan apabila kolonoskopi gagal mengidentifikasi lokasi sumber perdarahan.
• Angiografi :
Injeksi zat kontras ke dalam arteri mesenterika superior dan inferior dan
cabang- cabangnya untuk menentukan lokasi perdarahan .

TATALAKSANA
Penatalaksanaan perdarahan SCBB memiliki 3 komponen yaitu:1,2,4
1. Resusitasi dan penilaian awal
2 . Identifikasi sumber perdarahan -> dengan pemeriksaan penunjang tersebut diatas
3 . Intervensi terapeutik untuk menghentikan perdarahan

183
fjf tgSSSSBBSi Gastroenterologi

a. Endoskopi: injeksi epinefrin, elektrokauter, pemasangan endoklip, lem fibrini


b. Angiografi: infus vasopresor intra-arterial, embolisasi
c. Bedah: apabila diperlukan transfusi dalam jumlah besar (contoh: > 4 unit PRC
dalam 24 jam), instabilitas hemodinamik yang tidak merespon terapi medis,
perdarahan berulang yang tidak merespon terapi, perdarahan divertikular > 2
episode

Resusitasi dan penilaian awal


Resusitasi -> lihat klasifikasi syok hipovolemik dan penanganannya pada bab
Hematemesis - Melena
Protokol Penilaian Awal6
-
• Pertimbangkan rawat jalan dengan follow up apabila:
Usia < 60 tahun

^
Tidak adatandagangguan hemodinamik (sistoli 100 mmHg, nadi < lOOx/ menit)
Tidak ada tanda perdarahan rektal yang terlihat jelas
Sumber perdarahan jelas pada pemeriksaan rektal / sigmoidoskopi
• Pertimbangkan rawat inap dan endoskopi dini apabila:
Usia 60 tahun (semua pasien > 70 tahun harus dirawat)
Ada tanda gangguan hemodinamik (sistolik < 100 mmHg, nadi > 100 x/menit)
Adanya tanda perdarahan per rektal yang terlihat jelas {gross rectal bleeding )
Riwayat konsumsi aspirin atau NSAID
Memiliki penyakit komorbid

KOMPLIKASI
Syok hipovolemik, gagal ginjal akut, anemia karena perdarahan

PROGNOSIS
-
Meskipun sebagian besar perdarahan divertikular bersifat seif limited dan sembuh
-
spontan 7 8, hilangnya darah bersifat masif dan cepat pada 9-19% pasien.910 Pada
pasien dengan penyakit komorbid, malnutrisi, atau penyakit hati, memiliki prognosis
buruk.5 Penggunaaan aspirin dan NSAID berkaitan erat dengan meningkatnya risiko
perdarahan divertikular ( odds ratio = l,9-18,4).n

UNIT YANGMENANGANI
• RS pendidikan : Divisi Gastroentero-Hepatologi - Departemen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam

184
Hematokezia

UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Divisi Hematologi - Onkologi Medik - Departemen
Penyakit Dalam, Divisi Bedah Digestif - Departemen Bedah,
ICU / Medical High Care
• RS non pendidikan : ICU, Bagian Bedah

REFERENSI
1. Laine L. Gastrointestinal Bleeding. In : Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson
.
JL, Loscalzo J. Harrison’s Principles of Internal Medicine 18th Edition New York: McGraw-
Hill. 2012.
2 . Bjorkman D. Gastrointestinal Hemorrhage and Occult Gastrointestinal Bleeding. In:
*
Goldman, Ausiello. Cecil Medicine 23rc Edition. Philadelphia: Saunders, Elsevier. 2008.
3 . Currie G, Towers P, Wheat J. Improved Detection and Localization of Lower
Gastrointestinal Tract Hemorrhage by Subtraction Scintigraphy: Phantom Analysis J .
Nucl Med Technol 2006: 34:160-8.
4. Wilkins T, Baird C, Pearson AN, Schade RR. Diverticular bleeding. Am Fam Physician. Nov
1 2009:80 ( 9 ) :977-83
5. .
Zuccaro G Jr Management of the adult patient with acute lower gastrointestinal
bleeding. American College of Gastroenterology. Practice Parameters Committee. Am
J Gastroenterol. 1998:93 ( 8 ) : 1204.
6. .
Scottish Intercollegiate Guidelines Network (SIGN) Management of acute upper and
.
lower gastrointestinal bleeding. A national clinical guideline SIGN publication; No. 105 .
Edinburgh ( Scotland) : Scottish Intercollegiate Guidelines Network (SIGN) ; 2008,
7. Stollman NH, Raskin JB. Diagnosis and management of diverticular disease of the
.
colon in adults Ad Hoc Practice Parameters Committee of the American College of
Gastroenterology . Am J Gastroenterol. 1999:94 ( 11 ) :3110-21.
8. McGuire HH Jr. Bleeding colonic diverticula . A reappraisal of natural history and
management. Ann Surg. 1994:220 ( 5 ) :653—6.
9. Browder W, Cerise EJ, Litwin MS. Impact of emergency angiography in massive lower
gastrointestinal bleeding. Ann Surg. 1986:204 ( 5 ) :530—6.
10 Peura. DA, Lanza FL, Gostout CJ, Foutch PG. The American College of Gastroenterology
Bleeding Registry: preliminary findings. Am J Gastroenterol. 1997:92 ( 6) :924-8.
11 . Laine L, Smith R , Min K, Chen C, Dubois RW . Systematic review: the lower gastrointestinal
adverse effects of non-steroidal anti-inflammatory drugs. AlimentPharmacol Ther.
2006:24 ( 5) :751—67.

185
186

ILEUS PARALITIK

PENGERTIAN
Ileus paralitik atau adynamic ileus adalah keadaan dimana usus gagal / tidak
mampu melakukan kontraksi peristaltik untuk menyalurkan isinya.1 Keadaan ini dapat
disebabkan oleh tindakan /operasi yang berhubungan dengan rongga perut, hematoma
retroperitoneal yang berhubungan dengan fraktur vertebra, kalkulus ureteral, atau
pielonefritis berat, penyakit paru seperti pneumonia lobus bawah, fraktur iga, infark
miokard, gangguan elektrolit ( berkurangnya kaliumj, dan iskemik usus, baik dari
oklusi vaskular ataupun distensi usus.2

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis2
• Rasa tidak nyaman pada perut, tanpa nyeri kolik
• Muntah sering terjadi namun tidak profuse,sendawa, bisa disertai diare, sulit buang
air besar
• Dapat disertai demam
• Perlu dicari juga riwayat: batu empedu, trauma, tindakan bedah di abdomen,
diabetes, hipokalemia, obat spasmolitik, pankreatitis akut, pneumonia, dan semua
jenis infeksi tubuh

Pemeriksaan Fisik2
• Keadaan umum pasien sakit ringan sampai berat, bisa disertai penurunan
kesadaran, demam, tanda dehidrasi, syok.
• Distensi abdomen ( +), rasa tidak nyaman pada perut, perkusi timpani, bising usus
yang menurun sampai hilang.
• Reaksi peritoneal (- ) (nyeri tekan dan nyeri lepas tidak ditemukan). Apabila
penyakit primernya peritonitis, manifestasi klinis yang ditemukan adalah
gambaran peritonitis.
• Pada colok dubur: rektum tidak kolaps, tidak ada kontraksi

PanduanPraktlk Klinis
Perhlmpunan Dokler SpesiaBs Penyakil Dalam Indonesia
Ileus Paralitik

Pemeriksaan Penunjang1 2
• Laboratorium: darah perifer lengkap, amilase-lipase, gula darah, elektrolit, dan
analisis gas darah
• Radiologis: foto polos abdomen, akan ditemukan gambaran air fluid level. Apabila
meragukan, dapat mempergunakan kontras

DIAGNOSIS BANDING
Ileus obstruktif

TATALAKSANA1 2
• Non farmakologis
Puasa dan nutrisi parenteral total sampai bising usus positif atau dapat buang
angin melalui dubur
Pasang NGT dan rectal tube bila perlu
- Pasang kateter urin
• Farmakologis
- Infus cairan, rata-rata 2,5-3 liter / hari disertai elektrolit
- Natrium dan kalium sesuai kebutuhan / 24 jam
Nutrisi parenteral yang adekuat sesuai kebutuhan kalori basal ditambah
kebutuhan lain
Metoklopramid (gastroparesis) , cisapride (ileus paralitik pasca operasi) ,
klonidin (ileus karena obat-obatan )
• Terapi Etiologi

KOMPLIKASI
Syok hipovolemik, septikemia sampai dengan sepsis, malnutrisi

PROGNOSIS
Tergantung penyebabnya

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Divisi Gastroentero-Hepatologi - Departemen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam

187
© !HSSJSS!S.!!iS*. Gastroenterologi
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Divisi Bedah Digestif - Departemen Bedah, ICU / Medical
High Care
• RS non pendidikan : ICU, Bagian Bedah

REFERENSI
1. . .
Djumhana A, Syam A Ileus Paralitik. Dalam: Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I, et al Buku Ajar llmu
.
Penyakit Dalam. Edisi V. Jilid I. 2009 Hal 307-8
2. .
Silen W Acute Intestinal Obstruction. In: Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL,
. .
Loscalzo J. Harrison ' s Principles of Internal Medicine 18lhEdition New York, McGraw-Hill. 2012.

188
189

KONSTIPASI

PENGERTIAN
Konstipasi merupakan gangguan motilitas kolon akibat terganggunya fungsi
motorik dan sensorik kolon . Keluhan ini sering ditemukan dalam praktek sehari- hari,
dan biasanya merujuk pada kesulitan defekasi yang persisten atau rasa tidak puas.
Meskipun konstipasi seringkali hanya menjadi suatu gejala yang mengganggu, hal ini
dapat menjadi berat dan mengancam nyawa.
Pada konstipasi fungsional, transit time biasanya normal, dan tidak ada kelainan
evakuasi. Pasien sering mengeluh nyeri yang terkait dengan konstipasi, dan seringkali
tumpang tindih dengan sindrom kolon iritabel dengan predominan konstipasi.
12

Tabel 1. Etiologi Konstipasi pada Dewasa 2


Tlpe Konstipasi dan Etiologi Contoh
Akut Obstruksi kolon Neoplasma; striktur: iskemik, divertikular, inflamasi
Spasme sfingter ani Fisura ani, nyeri akibat hemoroid
Obat-obatan
Kronis Sindrom kolon iritabel Predominan konstipasi, selang-seling
Obat-obatan Ca2* blockers , antidepresan
Pseudoobstruksi kolon Konstipasi transit-lambat, megakolon [ jarang:
Hirschsprung, Chagas )
Gangguan evakuasi rektum Disfungsi dasar panggul, anismus, descending perineum
syndrome, prolaps mukosa rekti, rektokele
Gangguan Endoktrin Hipotiroidisme, hiperkalsemia, kehamilan
Gangguan psikologi Depresi, gangguan makan, obat-obatan
Gangguan neurologi Parkinsonisme, sklerosis multipel, cedera medulla spinalis
Kelemahan otot Sklerosis sistemik progresif
generalisata

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik


Pada konstipasi, sangat penting untuk membedakan suatu gangguan evakuasi,
yang sering juga disebut sebagai obstruksi outlet fungsional, mulai dari konstipasi
akibat waktu transit lama atau penyebab lainnya. Berikut merupakan gambaran klinis
sugestif gangguan evakuasi ( tabel 2 ],

Panduan Praktik Klinis


Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalom Indonesia
Panduan Praklik Klinis Gastroenteroloai
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia /

Tabel 2. Gambaran Klinis Sugestif Gangguan Evakuasi


'
Pemerlksaan Rektal (paslen dalam Manometrl Anorektal dan
Anamnesis Ekspulsl Balon (paslen
poslsl lateral klrl)
dalam poslsl lateral klrl)
• Mengejan lama untuk Inspeksi : Tonus sfingter ani rata-rata
mengeluarkan feses • Anus " ditarik" ke depan saat saat istirahat >80 cm H20
• Postur tubuh yang tidak mencoba mengedan selama atau tekanan mengedan
biasa saat berada di defekasi > 240 cm H20, kegagalan
toilet untuk memfasilitasi • Lubang anus menurun < 1 cm ekspulsi balon meskipun
pengeluaran feses atau > 4 cm saat mengedan dengan tambahan berat
• Dukungan perineum atau • Balon perineum turun saat 200 g
memasukkan jari ke dalam mengejan, dan mukosa rektum
vagina atau rektum untuk prolaps melalui anus
memfasilitasi pengosongan palpasi :
rektum • Tonus sfingter ani tinggi saat
• Tidak dapat mengeluarkan istirahat sehingga jari sulit masuk
cairan enema ( tanpa adanya kondisi perianal
• Konstipasi setelah kolektomi yang nyeri seperti fisura ani)
subtotal untuk konstipasi
• Tekanan sfingter ani saat
diminta mengedan sedikit lebih
tinggi daripada saat istirahat
• Perineum turun < 1 cm atau > 4
cm saat diminta mengedan
• Otot puborektalis teraba nyeri
melalui dinding posterior rektum
• Prolaps mukosa teraba saat
mengedan
• “Defek " dinding anterior
rektum, sugestif rektokele

Perlu juga diperhatikan apakah ada tanda - tanda "alarm " seperti penurunan berat
badan, perdarahan rektum, atau anemia, terutama pada pasien usia > 40 tahun, harus
dilakukan sigmoidoskopi atau kolonoskopi untuk menyingkirkan penyakit struktural
seperti kanker atau striktur.1

Pemeriksaan Penunjang 2

• Laboratorium: darah perifer lengkap, glukosa dan elektrolit (terutama kalium dan
kalsium ) darah, fungsi tiroid
• Anuskopi (dianjurkan dilakukan secara rutin pada semua pasien dengan konstipasi
untuk menemukan fisura, ulkus, hemoroid, dan keganasan )
• Foto polos perut harus dikerjakan pada pasien konstipasi, terutama yang terjadinya
akut untuk mendeteksi adanya impaksi feses yang dapat menyebabkan sumbatan
dan perforasi kolon. Bila diperkirakan ada sumbatan kolon, dapat dilanjutkan
dengan barium enema untuk memastikan tempat dan sifat sumbatan.
• Pemeriksaan yang intensif dikerjakan secara selektif setelah 3- 6 bulan bila
pengobatan konstipasi kurang berhasil dan dilakukan hanya pada pusat - pusat
pengelolaan konstipasi tertentu .

190
Konstipasi

Uji yang dikerjakan dapat bersifat anatomis [enema, proktosigmoidoskopi,


kolonoskopi) atau fisiologis [ trans time di kolon, sinedefekografi, manometri,
dan elektromiografi). Proktosigmoidoskopi biasanya dikerjakan pada konstipasi
yang baru terjadi sebagai prosedur penapisan adanya keganasan kolon-rektum.
Bila ada penurunan berat badan, anemia, keluarnya darah dari rektum atau
adanya riwayat keluarga dengan kanker kolon perlu dikerjakan kolonoskopi .
Trans time suatu bahan radio-opak di kolon dapat diikuti dengan melakukan
pemeriksaan radiologis setelah menelan bahan tersebut. Bila timbunan zat ini
terutama ditemukan di rektum menunjukkan kegagalan fungsi ekspulsi, sedangkan
bila di kolon menunjukkan kelemahan yang menyeluruh.
Sinedefekografi adalah pemeriksaan radiologis daerah anorektal untuk
menilai evakuasi feses secara tuntas, mengidentifikasi kelainan anorektal
dan mengevaluasi kontraksi serta relaksasi otot rektum . Uji ini memakai
semacam pasta yang konsistensinya mirip feses, dimasukkan ke dalam rektum.
Kemudian penderita duduk pada toilet yang diletakkan dalam pesawat sinar
X . Penderita diminta mengejan untuk mengeluarkan pasta tersebut. Dinilai
kelainan anorektal saat proses berlangsung.
Uji manometri dikerjakan untuk mengukur tekanan pada rektum dan saluran
anus saat istirahat dan pada berbagai rangsang untuk menilai fungsi anorektal .
Pemeriksaan elektromiografi dapat mengukur misalnya tekanan sfingter dan
fungsi saraf pudendus, adakah atrofi saraf yang dibuktikan dengan respons
sfingter yang terhambat. Pada kebanyakan kasus tidak didapatkan kelainan
anatomis maupun fungsional, sehingga penyebab dari konstipasi disebut
sebagai non -spesifik.

Kriteria Diagnosis3
Dalam menegakkan diagnosis konstipasi fungsional, digunakan kriteria Rome
III yaitu munculnya gejala dalam 3 bulan terakhir atau sudah dimulai sejak 6 bulan
sebelum terdiagnosis :
1. Terdapat 2 gejala berikut:
a. Mengejan sedikitnya 25% dari defekasi
b. Feses keras sedikitnya 25 % dari defekasi
c . Sensasi tidak puas saat evakuasi pada sedikitnya 25% dari defekasi
d . Sensasi obstruksi anorektal pada sedikitnya 25% dari defekasi
e. Diperlukan manuver manual untuk memfasilitasi pada sedikitnya 25% dari
defekasi [evakuasi jari , bantuan dasar panggul)

191
PanduanPraktikKlinis Gastroenteroloai
» Bp Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakit Dalam Indonesia

f. Defekasi < 3 kali dalam seminggu


2. Feses lunak jarang terjadi tanpa penggunaan laksatif
3. Kriteria tidak memenuhi sindrom kolon iritabel

TATALAKSANA4

• Non - farmakologis
Apabila diketahui bahwa konsumsi obat - obatan menjadi penyebab , maka
menghentikan konsumsi obat dapatmenghilangkan keluhan konstipasi. Namun
pada kondisi medis tertentu , konsumsi obat tidak boleh dihentikan sehingga
digunakan cara-cara lain untuk mengatasinya.4
Bowel training . Pasien dianjurkan untuk defekasi di pagi hari, saat kolon dalam
keadaan aktif, dan 30 menit setelah makan, dengan mengambil keuntungan dari
refleks gastrokolon .4 Diharapkan kebiasaan ini dapat menyebabkan penderita
tanggap terhadap tanda -tanda dan rangsang untuk BAB, dan tidak menahan
atau menunda dorongan untuk BAB ini.
Asupan cairan yang cukup dan diet tinggi serat.1 5 Rekomendasi asupan serat -
adalah 20 - 35 gram per hari.5
Aktivitas dan olahraga teratur.4
• Farmakologis
Apabila terapi nonfarmakologis diatas tidak mampu meredakan gejala, maka dapat
digunakan obat -obatan seperti tercantum pada tabel 3.
Tabel 3. Golongan Obat yang Digunakan pada Konstipasi Kronik4
Golongan Obat Formula Dosls dewasa
Bulk laxatives
Methylcellulose Bubuk: 2 gram ( dilarutkan dalam 240 ml air ) 1 - 3x /hari
Tablet: 500 mg 2 tablet /hari
( maksimal 6x /hari)
Polycarbophil Tablet: 625 mg 1 - 4 x 2 tablet /hari
Psyllium Bubuk: 3,4 gram ( dilarutkan dalam 240 ml air) 1 - 4x/hari
Pelunak feses/Laksatlf emolien
Docusate calcium Kapsul: 240 mg 1 x 1 /hari
Docusate sodium Kapsul: 50 atau 100 mg 50 - 300 mgVhari
Cairan: 150 mg per 15 mL
Sirup: 60 mg per 15 mL
Laksatif osmotlk
Laktulosa Cairan: 10 g per 15 mL 15 - 60 mL* /hari
Magnesium sitrat Cairan: 296 ml per botol ' /i - 1 botol /hari
Magnesium Cairan: 400 mg per 5 mL 15 - 60 mLVhari
hidroksida
Polyethylene Bubuk: 17 gram ( dilarutkan dalam 240 ml air ) Ix/hari
glycol 3350

192
Konstipasi

Golongan Obat Formula Dosls dewasa


Sodium bifosfat Cairan: 45 mL ( dilarutkan dalam 120 ml air ) , 20- 45 mL/hari
90 mL ( dilarutkan dalam 240 ml air)
Sorbitol Cairan: 480 mL -
30 150 mL/hari
Laksattf stimulan
Bisacodyl Tablet: 5 mg 5 - 15 mg/hari
Cascara sagrada Cairan: 120 ml 1 x 5 mL/ hari
Tablet: 325 mg 1 x 1 tablet /hari
Castor oil Cairan: 60 ml -
15 60 mL* /hari
Senna Tablet: 8.6 mg 2 atau 4 tablet sekali atau
dua kali/hari
Agen Proklnetlk
Tegaserod Tablet: 2 mg, 6 mg 2 x 1 tablet** /hari
Keterangan:
*Dapat dibagi dalam beberapa dosis
**Diberikan pada konstipasi pada wanita yang berhubungan dengan sindrom kolon iritabel

• Terapi lainnya 6
Bakterioterapi ( probiotik) : lactobacillus, bifidobacterium
Complimentary Alternative Medicine: herbal, akupuntur
• Bedah
Bila dijumpai konstipasi kronis yang berat dan tidak dapat diatasi dengan
cara - cara tersebut di atas, mungkin dibutuhkan tindakan pembedahan .
Secara umum, tindakan pembedahan tidak dianjurkan pada konstipasi yang
disebabkan oleh disfungsi anorektal.4
Kolektomi subtotal dengan ileorektostomi merupakan prosedur pilihan bagi
pasien dengan konstipasi transit lama yang persisten dan sulit dikontrol.
7

Koreksi pembedahan dibutuhkan bagi pasien dengan rektokel besar yang


mengganggu defekasi.4

Terapi Konstipasi pada Kehamilan


Konstipasi pada kehamilan lanjut merupakan masalah yang sering terjadi
karena meningkatnya sirkulasi hormon progesteron, yang memperlambat motilitas
gastrointestinal 4 Suplementasi serat terbukti dapat meningkatkan pergerakan usus
dan melunakkan feses.7 Meskipun laksatif stimulan lebih efektif daripada bulk laxatives,
namun mereka lebih cenderung menyebabkan diare dan nyeri perut. Oleh karena itu,
7

wanita hamil sebaiknya dianjurkan untuk menambah asupan serat ke dalam makanan,
namun apabila konstipasi menjadi persisten, dapat diberikan laksatif stimulan.

193
o
mLlM?
PanfluanPraMik Minis Gastroenterologi
^
Perhimpunan Dokter Spesiafis Penyakil Dalam Indonesia W W

KOMPLIKASI
Sindrom delirium akut, aritmia , ulserasi anorektal, perforasi usus, retensio urin,
hidronefrosis bilateral, gagal ginjal , inkontinensia urin, inkontinensia alvi , dan volvulus
daerah sigmoid akibat impaksi feses, serta prolaps rektum.5

PROGNOSIS
Secara umum, konstipasi memiliki dampak signifikan terhadap indikator kualitas
hidup ( quality of life ) terutama pada usia lanjut. 9 Hampir 80% dari 300 anak yang
dievaluasi pada usia 16 tahun memiliki prognosis baik. Prognosis buruk setelah usia
16 tahun secara signifikan berhubungan dengan usia ketika onset gejala, lamanya jeda
antara onset gejala dengan kunjungan pertama ke dokter, dan rendahnya frekuensi
defekasi (sekali seminggu) saat datang berobat . Risiko prognosis buruk sebanyak 16%
pada tipikal pasien dengan onset keluhan saat usia 3 tahun, tertundanya berobat selama
5 tahun, frekuensi defekasi dua kali seminggu, dan 10 episode inkontinensia per minggu.
Apabila penundaan antara onset dan berobat 1 tahun, risiko berkurang menjadi 7%,
dan bila jeda waktu 9 tahun, risiko meningkat menjadi 31%.10

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Divisi Gastroentero- Hepatologi - Departemen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Departemen Bedah Digestif, Departemen Gizi Klinik
• RS non pendidikan : Bagian Bedah, Bagian Gizi

REFERENSI

1. . . .
Camilleri M Disorders of Gastrointestinal Motility In: Goldman, Ausiello. Cecil Medicine 23rd Edition.
Philadelphia. Saunders, Elsevier. 2008
2. Camilleri M, Murray J. Diarrhea and Constipation. In: Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL,
Jameson JL, Loscalzo J. Harrison ' s Principles of Internal Medicine. 18lhed. New York: McGraw-Hill:
2012.
3. Functional Constipation. Rome III Diagnostic Criteria for Functional Gastrointestinal Disorders.
Diunduh dari http://www.romecriteria.org/assets/pdf / 19_RomellLapA _885-898.pdfpadatanggal
9 Mei 2012.
4. .
Hsieh C Treatment of Constipation in Older Adults. Am Fam Physician 2005:72:2277-84, 2285 .
5. Thomas DR, Forrester L, Gloth MF, Gruber J, Krause RA, Prather C, et al. Clinical consensus: the
constipation crisis in long-term care. Ann Long-Term Care 2003;Suppl:3-14.
6. Leung L, Riutta T, Kotecha J, Rosser W. Chronic Constipation: An Evidence-based Review. J Am
Board Fam Med 2011;24:436 - 451

194
Konstipasi

7. Cameron JL. Current surgical therapy. 7th ed. St. Louis: Mosby, 2001
8. Jewell DJ, Young G. Interventions for treating constipation in pregnancy. Cochrane Database
Syst Rev 2001;(2):CD001142.
9. O’ Keefe EA, Talley NJ, Zinsmeister AR, Jacobsen SJ. Bowel disorders impair functional status and
quality of life in the elderly: a population-based study. J Gerontol A Biol Sci Med Sci 1995:50:
Ml 84 -9.
10. Bongers ME, van Wi]k MP, Reitsma JB, Benninga MA . Long-term prognosis for childhood
constipation: Clinical outcomes in adulthood. Pediatrics 2010 ; 126 ( l ) :e 156-62

195
196

PANKREATITIS AKUT

PENGERTIAN
Pankreatitis akut adalah proses peradangan pankreas yang reversibel.1 Hal ini
memiliki karakteristik episode nyeri perutyang diskret (menyebar) dan meningkatnya
serum amilase dan lipase.2

DIAGNOSIS

Anamnesis
Gejala klinis khas pada pankreatitis akut adalah onset nyeri perut bagian atas
yang akut dan persisten, dan biasanya disertai mual dan muntah. Lokasi tersering
adalah regio epigastrium dan periumbilikalis. Nyeri dapat menjalar ke punggung,
dada, pinggang, dan perut bagian bawah. Pasien biasanya sulit tidur dan membungkuk
ke depan (knee -chest position ) untuk meredakan nyeri karena posisi supine dapat
memperberat intensitas nyeri.1 4 '

Pemeriksaan Fisik
• Demam ( biasanya < 38,5°C], takikardi, gangguan hemodinamik ( hipotensi), nyeri
perut berat , guarding / defans muscular, distres pernapasan, dan distensi abdomen.
Bising usus biasanya menurun sampai hilang akibat ileus. Ikterus dapat muncul
tanpa adanya batu pankreas sebagai akibat dari kompresi duktus koledokus dari
edema pankreas. 44
• Pada serangan akut, dapat terjadi hipotensi, takipneu, takikardi, dan hipertemi.
Pada pemeriksaan kulit dapat terlihat daerah indurasi yang nyeri dan eritema
akibat nekrosis lemak subkutaneus.2
• Pada pankreatitis dengan nekrosis berat, dapat muncul ekimosis besar yang
terkadang muncul di pinggang (tanda Grey Turner ) atau area umbilikus (tanda
Cullen ); ekimosis ini diakibatkan oleh perdarahan dari pankreas yang terletak di
daerah retroperitoneal.2
• Perlu juga dicari: tanda Murphy untuk membedakan dengan kolesistitis akut.5

PanduanPr
Dokler
Perhimpunan
aktik Klinis
Spesialls Penyakit Dalam Indonesia
Pankreatitis Akut

Pemeriksaan Penunjang2 4
• Laboratorium: darah rutin (biasa ditemukan leukositosis), serum amilase, lipase,
gula darah, serum kalsium, LDH, fungsi ginjal, fungsi hati, profil lipid, analisis gas
darah, elektrolit
• Radiologis: USG abdomen, foto abdomen, CTscan abdomen dengan kontras, MRI
abdomen (lebih baik untuk ibu hamil dan pasien yang memiliki alergi terhadap
zat kontras)

Tabel 1. Diagnosis Pankreatitis Akut Berdasarkan Etiologi


2

ETIOLOGI ANAMNESIS PF PENUNJANG


Alkohol Riwayat konsumsi alkohol Nafas bau alkohol, Hiperamilasemia,
( 25 g atau 2 gelas /hari) pada muntah terdapat hiperlipasemia,
dalam 5-10 tahun terakhir, bau alkohol enzim lisosomal A,
kebiasaaan merokok, diet ratio tripsinogen-
tinggi lemak tripsin pankreas A ,
hipertrigliseridemia
Batu empedu Riwayat puasa lama, TPN \ Tanda Murphy ( +) Hiperamilasemia,
penurunan berat badan hiperlipasemia
secara cepat, konsumsi
octreotide atau ceftriaxone
Obstruksi Riwayat askariasis Berat badan A, adanya Hiperamilasemia,
pankreas cacing pada muntahan hiperlipasemia, USG,
atau feses manometer sflngter
Oddi
Obat dan toksin Riwayat konsumsi insektisida, Tes toksikologi urin
methanol, organofosfat,
imunosupresan (azathioprine ,
siklosporin, tacrolimus ) ,
kotrimoksazol, pentamidin,
ddl**, terapi estrogen,
tetrasiklin pada penderita
fatty liver
Faktor metabolik Riwayat hiperkolesterolemia Obesitas Serum trigliserid > 1000
mg / dL, hiperkalsemia
Faktor genetik Riwayat pankreatitis pada Tes genetik
keluarga
Trauma dan Riwayat trauma tumpul Jejas hematoma pada USG
faktor iatrogenik abdomen, pasca operasi regio abdomen
manipulasi pankreas
atau area periampula,
menurunnya perfusi vaskular
( contoh syok)
Idiopatik Penyakit autoimun, Manometer sflngter
transplantasi ginjal atau Oddi, analisis kristal
jantung, infeksi mumps dan bilier, tes genetik
coxsackievirus, infeksi CMV ***
pada penderita AIDS
Keterangan:
* TPN = Total Parenteral Nutrition
* * ddl = 2',3'- dideoxyinosine
*** CMV = infeksi sitomegalovirus

197
H fSSSSSSSB. Gastroenterologi

DIAGNOSIS BANDING
Perforasi ulkus peptikum, kolesistitis akut, kolik bilier, obstruksi intestinal akut,
oklusi pembuluh darah mesenterika, kolik renal, infark miokard, diseksi aneurisma aorta,
kelainan jaringan ikat dengan vaskulitis, pneumonia, diabetes ketoasidosis.24

TATALAKSANA

Nonfarmakologis
• Suportif: pada pankreatitis ringan, oral feeding sebaiknya dimulai dalam 24- 72 jam
setelah onset. Apabila pasien tidak dapat mentoleransi, dapat dipertimbangkan
enteral feeding dengan NGT. Nutrisi parenteral hanya diberikan pada pasien yang
tidak dapat mentoleransi enteral feeding atau pemberian infus yang adekuat tidak
dapat dicapai dalam 2 -4 hari.2
• Resusitasi cairan dengan kristaloid (sampai dengan 10 L / hari bila terjadi gangguan
hemodinamik pada pankreatitis berat).11 Koloid seperti packed red cells diberikan
apabila Ht < 25% dan albumin apabila serum albumin < 2 mg/ dL.12
• Bedah: dapat dipertimbangkan nekrosektomi apabila terjadi infeksi pada nekrosis
pankreas atau peripankreas. Teknik debridement yang dapat dipertimbangkan
adalah open packing atau single necrosectomy with continuous lavage. Pada
pankreatitis bilier, dapat dipertimbangkan kolesistektomi.211

-
Farmakologis2 4'10'11
• Analgesik dan sedatif
• Antibiotik sistemik diberikan apabila ada tanda - tanda infeksi / sepsis sambil
menunggu hasil kultur. Apabila hasil kultur negatif, maka antibiotik dihentikan.

KOMPLIKASI2
• Lokal: nekrosis pankreas yang terinfeksi, infeksi pankreas atau peripankreas,
ascites, pseudokista pankreas
• Sistemik: gagal ginjal, gagal napas

PROGNOSIS
Tergantung berat- ringannya pankreatitis akut, maka disusun sistem skoring
prognostik berdasarkan klinis pasien seperti tercantum pada tabel 2 dan tabel 3.

198
Pankreatitis Akut

label 2. Sistem Skoring Prognostik Pankreatitis Akut berdasarkan Klinis


Storing Balthazar
Skala APACHE* IP Sistem Skoring Imrle’ Krlterla Ramon 10
(CT Severity Index)7'1
Perhitungan Nilai CT: • Usia > 55 tahun Saat didiagnosis/
menggunakan usia, suhu A = normal ( nilai 0) • Leukosit > 15.000/mm3 dirawat:
rektal, mean arterial B = pembesaran fokal/ • GDS > 180 mg/dL pada • Usia > 55 tahun
pressure, nadi, PaO/ *, ditus pankreas ( nilai 1 ) pasien non-DM • Leukosit > 16.000/mm3
pH arteri, serum Na, K, C = B + inflamasi • Serum LDH > 600 U / L • GDS > 200 mg/dL
kreatinin, Ht, leukosit, GCS, eksfrapankreas ( nilai 2) • Serum SGOT /SGPT > 100 • Serum LDH > 350 U / L
keadaan umum. D = adanya cairan bebas di U/L • Serum SGOT > 250 U / L
I lokasi ( nilai 3) • Serum Ca < 8 mg / L Dalam 48 jam pertama:
Skoring: dapat dihitung E = cairan bebas di 2 • Pa02 < 60 mmHg • Ht l > 10%
melalui http : / / www .sfar. lokasi dan/atau adanya • Serum albumin < 3,2 g/dL • BUN T > 5 mg /dL
org / scores2 / apache22 . udara bebas di dalam • Serum urea > 45 mg/dL • Base deficit > 4
htmlttcalcul atau sekitar pankreas ( 16 mmol/ L) mmol/ L
( nilai 4) • Sekuestrasi cairan >
6.000 mL
• Pa02 < 60 mmHg
Skor nekrosis: Skoring: I poin untuk tiap
Tidak ada ( nilai 0) kriteria terpenuhi, 48 jam Skoring: 1 poin untuk
30% ( nilai 2) setelah dirawat inap tiap kriteria terpenuhi
30-50% ( nilai 4)
> 50% (nilai 6 )

Skoring: nilai CT + skor


nekrosis
Keterangan:
• APACHE II = Acute Physiology and Chronic Health Evaluation
* * Pa 02 = partial arterial oxygen tension

.
Tabel 3 Nilai Prediksi dari Sistem Skoring Prognostik Pankreatitis Akut '
Sistem Skoring Konsekuensl LR* poslttf LR negattf
APACHE II skor > 8 Perlu dirawat di ICU, infeksi pankreas berat, infeksi 1 ,7 - 4 0,25
dalam 24 jam sekunder, gagal organ, rawat inap lama, kematian
Skor Imrie > 3 Akumulasi cairan pankreas, keparahan, kematian 4,6 0,36
Kriteria Ranson > 3 Komplikasi mayor, keparahan, gagal organ, nekrosis 2,4 - 2,5 0,47
dalam 48 jam pankreas, rawat inap lama, kematian
Keterangan:
* LR = likelihood ratio

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Divisi Gastroentero- Hepatologi - Departemen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan Bagian Penyakit Dalam
:

UNIT TERKAIT
• RS pendidikan Divisi Bedah Digestif - Departemen Bedah , ICU / Medical
High Care
• RS non pendidikan ICU, Bagian Bedah

199
# ISSSSSSSSL Gastroenterologi

REFERENSI
1 .
Cfflrrslha, Hetrick B, Gipson T,;et ak Acute Pancreatitis: Pldgjhosis, Prognosis, and Treatment. Am
'

.
Farri Physician ?007 75( 10) :1513-20.
.
2. Owyang C . Pancreatitis.- In: Goldman, Ausiello , Cecil Medicine. 23rd Edition Philadelphia.
Saunders, Elsevier. 2008
3. Nurman A. Pankreatltis Akut. Dalam: Sudoyo A, Setlyohddl B, Alwi I, et al. Buku Ajar llmu Penyakit
. .
alarm. Edisl V j|lid 1.2009 Hal 731-8
1

4. Greenbergef NrCoriwell D, Wit B, et al. Acute and Chronic Pancreatitis. In: Longo DL, Fauci AS,
Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J . Harrison' s Principles of Internal Medicine. 18thed.
New York: McGraw-Hill; 2012 .
5. Urbano F, Carroll M. Murphy's Sign of Cholecystitis. Hospital Physician. 2000:11:51-2.
.
6. Knaus WA, Zimmerman JE, Wagner DP, Draper EA, Lawrence DE APACHE-acute physiology
and chronic health evaluation: a physiologically based classification system. Crit Care Med
-
1981;9:591 7.
7. Balthazar EJ, Robinson DL, Megibow AJ, Ranson JH. Acute pancreatitis: value of CT in establishing
prognosis. Radiology 1990;174:331-6.
8. Mortele K, Wiesner W, Intriere L et al. A Modified CT Severity Index for Evaluating Acute Pancreatitis:
Improved correlation with Patient Outcome. AJR 2004;183:1261-5.
9. Blarney SL, Imrie CW, O ' Neill J, Gilmour WH, Carter DC. Prognostic factors in acute pancreatitis.
Gut 1984;25:1340-6.
10. Ranson JH. Etiological and prognostic factors in human acute pancreatitis: a review. Am J
Gastroenterol 1982;77:633-8.
11. Tglukdar R , Vege S. Recent developments in acute pancreatitis. Clinical Gastroenterology and
Hepatology.2009;7:S3-S 9.
12. Forsmark CE, Baillie J. AGA Institute technical review on acute pancreatitis. Gastroenterology
2007; 132:2022-44.

200
201

PENYAKIT TUKAK PEPTIK

PENGERTIAN
Dispepsia merupakan kumpulan gejala atau sindrom yang terdiri atas nyeri ulu
hati, mual, kembung, muntah, rasa penuh atau cepat kenyang dan sendawa. Dispepsia
diklasifikasikan menjadi dua golongan yaitu dispepsia organik dan dispepsia fungsional.
Bedasarkan Rome III, dispepsia fungsional merupakan rasa penuh ( kekenyangan )
setelah makan (bothersome postprandial fullness), perasaan cepat kenyang, nyeri ulu
hati, rasa terbakar di ulu hati, dan tidak ditemukan kelainan struktural yang dapat
menjelaskan keluhan saat dilakukan pemeriksaan endoskopi saluran cernabagian atas
(SCBA). (lebih lanjut lihat di bab Dispepsia Fungsional). Sedangkan dipepsia organik
banyak disebabkan oleh tukak peptikum, penyakit refluks gastroesofagus, keganasan
lambung atau esofagus, kelainan pankreas atau bilier, intoleran makanan dan obat,
infeksi, atau penyakit sistemik1
Tukak peptik adalah salah satu penyakit saluran cerna bagian atas yang kronis.
Tukak peptik terbagi dua yaitu tukak duodenum dan tukak lambung. Kedua tukak ini
seringkali berhubungan dengan infeksi Helicobacter pylori. H.pylori adalah organisme
yang hidup pada mukosa gaster, gram negative berbentuk batang atau spiral,
mikroaerofilik berflagela, mengandung urease, hidup di bagian antrum dan migrasi
ke proksimal lambung berubah menjadi kokoid suatu bentuk dorman bakteri; dan
diperkirakan berhubungan dengan beberapa penyakit.
23

Tukak adalah suatu gambaran bulat atau oval berukuran > 5 mm mencapai submukosa
pada mukosa lambung dan duodenum akibat terputusnya integritas mukosa. Faktor
yang berperan yaitu faktor agresif dan faktor defensif . Faktor agresif yaitu H. pylori, obat
nonsteroid antiinflamasi (OAINS), sedangkan faktor defensif yaitu:
2

• Faktor preepitel:
Mukus dan bikarbonat: untuk menahan pengaruh asam lambung atau pepsin
Mucoid cap: struktur terdiri dari mucus dan fibrin yang terbentuk sebagai
respon terhadap rangsangan inflamasi
Active surface phospholipid : meningkatkan hidrofobisitas membran sel dan
meningkatkan viskositas mukus.

PanduanPraktik Minis
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
(SI
j
Panduan PraktikKlinis Gastroenteroloai
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakit Dalam Indonesia

• Faktor epitel :
Kecepatan perbaikan mukosa rusak
Pertahanan seluler
Kemampuan transporter asam - basa
Faktor pertumbuhan, prostaglandin, dan nitrit oksida
• Faktor subepitel
Aliran darah (mikrosirkulasi)
Prostaglandin endogen
Faktor lain yaitu stres beperan sebagai faktor agresif dan defensif. Stress ulcer
merupakan erosi mukosa lambung atau timbulnya ulkus dengan perdarahan pada
pasien penderita syok, sepsis, luka bakar masif, trauma berat, atau cedera kepala.
Ulkus paling banyak terjadi pada daerah /undus dan corpus yang merupakan lokasi
produksi asam lambung. Peningkatan asam lambung juga menjadi faktor penyebab
khususnya pada pasien dengan trauma kepala (Cushing's ulcer ) dan luka bakar berat
(Curling ’s ulcer ), selain itu iskemik mukosa lambung dan rusaknya jaringan mukosa
juga berperan dalam terjadinya stress ulcer.2

DIAGNOSIS
Diagnosis tukak duodenum dan tukak gaster yaitu:2,3

Tabel 1. Diagnosis Tukak Gaster dan Tukak Duodenum2,3


Tukak Gaster Tukak Duodenum
Anamnesis nyeri epigastrium. Nyeri epigastrium atau hunger pain
Rasa sakit tidak menghilang dengan food relief .
pemberian makanan. Rasa sakit menghilang dengan
Dispepsia, mual, muntah, anoreksia antasida atau makanan
dan kembung Rasa nyeri seringkali muncul tengah
malam
Dispepsia, mual, muntah, anoreksia
dan kembung.
Pemeriksaan Fisik Tidak khas, seperti nyeri tekan Tidak khas, seperti nyeri tekan
epigastrium, distensi abdomen. epigastrium, distensi abdomen.
Tanda-tanda peritonitis jika disertai Tanda-tanda peritonitis jika disertai
perforasi. perforasi
Pemeriksaan Endoskopi ( SCBA ) Endoskopi (SCBA )
Penunjang Biopsi untuk mendeteksi H.pylori Biopsi untuk mendeteksi H. pylori
Foto barium kontras ganda Foto barium kontras ganda
Penatalaksanaan Modifikasi gaya hidup menghindari Modifikasi gaya hidup dan
faktor resiko menghindari faktor resiko
H . pylori : lihat tabel 4 .
H pylori : lihat tabel 4
Non H .Pylori: PPI, H2RA , Antasida: Non H .Pylori: PPI, H2RA , Antasida:
lihat tabel 3 lihat tabel 3

202
Penyakit Tukak Peptik

Secara umum jika ditemukan rasa nyeri yang konstan, tidak reda dengan obat
antasida atau makanan, menjalar ke punggung menindikasikan adanya perforasi.
Sedangkan nyeri yang bertambah dengan makanan, mual, memuntahkan makanan
yang tidak tercerna mengindikasikan gastric outlet obstruction. Nyeri mendadak dapat
dikarenakan adanya perforasi.5
Pada pemeriksaan fisikperlu diperhatikan pula ada tidaknya alarm symptom yaitu:
2

• Usia > 45- 50 tahun keluhan pertama kali muncul


• Adanya perdarahan hematemesis atau melena
• BB menurun > 10 %
• Anoreksia atau rasa cepat kenyang
• Riwayat tukak peptik sebelumnya
• Muntah yang persisten
• Anemia yang tidak diketahui sebabnya
Jika tukak dicurigai disebabkan karena H.Pylori, dapat dilakukan pemeriksaan
penunjang dapat dilihat pada tabel 2.

.
Tabel 2. Tes untuk Mendeteksi H pylori2
SensItlvHas Speslflsltas
Tes Keterangan
(%) (%)
Rapid urease 80-95 95- 100 Simpel. False negative : PPI, antibiotik, komponen
bismut
Histologi 80-90 >95 Membutuhkan proses pewarnaan
Kultur Mahal, lebih sulit, tergantung keahlian, dapat
memberikan informasi resistensi terhadap
antibiotik
Serologi >80 >90 Murah, tida berguna untuk follow up awal.
Urea breath >90 >90 Simpel, cepat, berguna untuk follow up awal.
test False negatives dengan PPI, antibiotik, komponen
bismut
Stool antigen >90 >90 Murah, nyaman untuk pasien

Indikasi endoskopi pada kasus dyspepsia:5


1. Individu dengan alarm symptom
2. Usia > 55 tahun dengan onset dispepsia <1 tahun dan berlangsung minimal 4 minggu
Endoskopi tidak perlu dilakukan pada kasus: 5
1. Pasien sudah terdiagnosa ulkus duodenum yang respon dengan terapi
2 . Usia < 55 tahun dengan dispepsia tanpa komplikasi
3. Sebelumnya sudah pernah dilakukan endoskopi akibat keluhan yang sama.

203
jfjiS PanduanPraMk Minis Gastroenterologi
Pertilmpunan Dokter Speslalls Penyakit Dalam Indonesia

Dispepsia belum
diinvestigasi selama
3 bulan atau lebih

PF, anamnesis, singkirkan penyebab


dyspepsia organik, misalnya obat-obatan

Tidak
Tanda bahaya * Terapi empiris

Ya Rujuk

Rujuk Respon setelah Lanjutkan


Endoskopi SCBA
Tidak 2 minggu Ya terapi

Temuan menjelaskan
gejala

Apabila ada indikasi: parasit dan darah samar tinja,


kimia darah, dan/atau pencitraan abdomen

I
Hasil pemeriksaan
Dispepsia organik Dispepsia fungsional
menjelaskan gejala

Keteran gan:
Tanda bahcaya: penurunan berat badan ( unintended) , disfagia progresif, muntah rekuren/persisten, perrdarahan saluran cerna, anemia,
demam, massa daerah abdomen bagian atas, riwayat keluarga kanker lambung, dispepsia awitan baru pada pasien >45 tahun
PP nemeriksann fkik SCR A willimn cerna hnninn ntns
.
Gambar 1. Algorltma Penatalaksanaan Dispepsia1

DIAGNOSIS BANDING 4
Akalasia
Penyakit refluks gastroesofagus
Pankreatitis
Hepatitis
Kolesistitis
Kolikbilier
Keganasan esofagus atau gaster
Inferior myocardial infarction
Referred pain (pleuritis,perikarditis)
Sindrom arteri mesenterium superior Terapi

204
Penyakit Tukak Peptik

TATALAKSANA

Tanpa Komplikasi 2
• Suportif: nutrisi
• Memperbaiki atau menghindari faktor risiko
• Pemberian obat-obatan:
Obat yang dipergunakan dapat berupa antasida, antisekresi asam lambung ( PPI
misalnya omeprazol, rabeprazol dan lansoprazol dan /atau H 2- Receptor Antagonist
[ H 2 RA] ), prokinetik, dan sitoprotektor (misalnya rebamipid,teprenon, sukralfat),
di mana pilihan ditentukan berdasarkan dominasi keluhan dan riwayatpengobatan
pasien sebelumnya. Masih ditunggu pengembangan obat baru yang bekerja melalui
-
down regulation proton pump yang diharapkan memiliki mekanisme kerja yang
lebih baik dari PPI, yaitu DLBS 2411.6

Dengan Komplikasi
Pada tukak peptik yang berdarah dilakukan penatalaksanaan umum atau suportif
sesuai dengan penatalaksanaan hematemesis melena secara umum.
2

Talaksanaan atau tindakan khusus: 2


• Tindakan atau terapi hemostatikper endoskopik dengan adrenalin dan etoksisklerol
atau obat fibrinogen trombin atau tindakan hemostatik dengan klipping , heat
probe atau terapi laser atau terapi koagulasi listrik atau bipolar probe.
• Pemberian obat somatostatin jangka pendek.
• Terapi embolisasi arteri melalui arteriografi.
• Terapi bedah atau operasi, bila setelah semua pengobatan tersebut dilaksanakan
tetap masuk dalam keadaan gawat I s.d. II maka pasien masuk dalam indikasi
operasi ( Lihat pada Bab Hematemesis- Melena)

KOMPLIKASI4
Perdarahan : hematemesis, melena disertai tanda syok jika perdarahan masif
Anemia defisiensi besi jika perdarahan tersembunyi
Perforasi
Penetrasi tukak yang dapat mengenai pankreas
Obstruksi atau stenosis
Keganasan: jarang

291
tv K)
)
PanduanPraktikKlinis Gastroenteroloai
Perhlmpunan Dokter Speslalis Penyakit Dalam Indonesia

Tabel 3. Obat - obatan untuk Ulkus Peptikum2


Obat Contoh Dosls
Acid -suppressing drugs Antasida 100-140 meq/ l, 1 dan 3 jam setelah makan.
H2 receptor antagonists Simetidin 400 mg bid
Ranitidin 300 mg hs
Famotidin 40 mg hs
Nizatidin 300 mg hs
Proton pump inhibitors Omeprazole 20 mg /d
Lansoprazole 30 mg/d
Rabeprazole 20 mg/d
Pantoprazole 40 mg /d
Esomeprazole 20 mg/d
Mucosal protective agents Sukralfat 1 g qid
Teprenone 50 mg tid
Rebamipide 100 mg tid
Prostaglandin analogue Misoprostol 200 g qid

Tabel 4. Kombinasi Eradikasi H Pylori6 .


Obat Dolls Durasl
UNI PERTAMA
PPI* 2x 1 7-14 hari
Amoksisilin 1000 mg ( 2x 1 )
Klaritromisin 500 mg ( 2x 1 )
Dl daerah yang dlketahul reslstensl klaritromisin >20%:
PPI* 2x 1 7- 14 hari
Bismut subsalisilat 2x2 tablet
Metronidazole 500 mg ( 3x 1 )
Tetrasiklin 250 mg ( 4x1)
Jlka blsmut tldak ada:
PPI* 2x 1 7-14 hari
Amoksisilin 1000 mg ( 2x 1 )
Klaritromisin 500 mg ( 2x 1 )
Metronidazole 500 mg ( 3x 1 )
UNI KEDUA: Golongan obat ini dlpakal blla gagal dengan rejlmen yang mengandung klarttoromlsln
PPI* 2x 1 7-14 hari
Bismut subsalisilat 2x 2 tablet
Metronidazole 500 mg ( 3x 1 )
Tetrasiklin 250 mg ( 4x 1 )
PPI* 2x 1 7-14 hari
Amoksisilin 1000 mg ( 2x 1 )
Levofloksasin 500 mg ( 2x 1 )
UNI KETIGA: Jlka gagal dengan rejlmen llnl kedua. Blla memungklnkan, plllhan dltentukan berdasarkan
uji reslstensl dan/atau perubahan kllnis.
PPI* 2x 1 7-14 hari
Amoksisilin 1000 mg ( 2x 1 )
Levofloksasin 500 mg ( 2x 1 )
Rifabutin
Keterangan:
*PPI yang digunakan antara lain rabeprazole 20 mg, lasoprazole 30 mg, omeprazole 20 mg, pantoprazole 40 mg, esomeprazole 40 mg
Catalan: Terapi sekuensial ( dapat diberikan sebagai lini pertama apabila tidak ada data resistensi klaritromisin ) : PPI + amoksisilin
selama 5 hari diikuti PPI + klaritromisin dan nitroimidazole (tinidazole) selama 5 hari

206
Penyakit Tukak Peptik

PROGNOSIS
Tukak gaster yang terinfeksi H . pylori mempunyai angka kekambuhan 60% jika tidak
dieradikasi dan 5% jika dieradikasi . Sedangkan untuk tukak duodenum yang terinfeksi
H . pylori mempunyai angka kekambuhan 80 % jika kuman tetap ada dan 5 % jika sudah
dilakukan eradikasi . Tukak yang disebabkan karena pemakaian OAINS menunjukkan
penurunan keluhan dispepsia jika dikombinasi dengan pemberian PPI pada 66%
kasus.7
Risiko perdarahan merupakan komplikasi tukak tersering pada 15 - 25 % kasus dan
tersering pada usia lanjut, di mana 5% kasus membutuhkan tranfusi . Perforasi terjadi
2 - 3 % kasus. Kasus perdarahan dapat terjadi bersamaan dengan kasus perforasi pada
10 % kasus. Sedangkan obstruksi saluran cerna dapat terjadi pada 2 - 3% kasus. Adapun
angka kematian sekitar 15.000 dalam setahun karena komplikasi yang terjadi . 2

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Divisi Gastroentero - Hepatologi - Departemen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : DepartemenPenyakit Dalam ( RS tertentu )
• RS non pendidikan

REFERENSI
1. Oustamanolakis P , Tack J . Dyspepsia : Organic Versus Functional . Journal of Clinical
Gastroenterology . 2012:46 ( 3) : 175-90.
2. Valle JD. Peptic Ulcer Disease. In : Fauci A , Kasper D, Longo D, Braunwald E, Hauser S,
Jameson J, Loscalzo J , editors. Harrison ' s principles of internal medicine 18th ed . New
York : The McGraw- Hill Companies, 2012.
3. Tarigan Pengarepan . Tukak Gaster. Dalam : Alwi I , Setiati S, Setiyohadi B, Simadibrata
M , Sudoyo AW . Buku Ajar llmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi V . Jakarta : Interna Publishing :
2010: Hal 513-522
4 . Akil HAM. Tukak Duodenum . Dalam: Alwi I , SetiatiS, Setiyohadi B , Simadibrata M , Sudoyo
AW . Buku Ajar llmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi V. Jakarta : Interna Publishing ; 2010: Hal 523-8.
5. DyspepsiaManageemntGuidelines.British Society of Gastroenterology. 2002. Dunduh dari
_
www. bsg.org . uk / pdf word _docs / dyspepsia . doc pada tanggal 7 Mei 2012 .
6. Kolopaking MS , Makmun D, Abdullah M , et al . Konsensus nasional penatalaksanaan dispepsia
dan infeksi Helicobacter pylori . Jakarta , 2014.

_ _ _
7. NHS. Dyspepsia - proven peptic ulcer-what is the prognosis ? Diunduhdarihttp: / / www.
cks. nhs . uk / dyspepsia _ proven peptic ulcer / background information / prognosis .
pada tanggal 7 mei 2012

207
208

TUMOR GASTER

PENGERTIAN

Tumor merupakan salah satu dari lima karakteristik inflamasi berasal dari bahasa
latin , yang berarti bengkak. Istilah tumor ini digunakan untuk menggambarkan
pertumbuhan biologi jaringan tidak normal . Karsinoma gaster adalah pertumbuhan
abnormal secara tidak terkontrol dari sel -sel pada gaster, yang membentuk masa
(tumor) .1 Klasifikasi tumor gaster dapat dilihat pada gambar 1.

Tumor Gaster

Mukosa Non mukosa

Non neoplastik polip Neoplastik polip mesenkim vaskular

Tidak berkaitan Berkaitan dengan Gastrointestinal stromal Hemangioma,


dengan sindrom sindrom polyposis tumor ( GIST ) lymphangioma
polyposis Lipoma, fibroma, glomus
tumor

Polip hiperplastik Hematomatous polyp Polip fundus


Inflammatory fibroid polyp Polip juvenile Polip adenoma
Xantoma/xanthelasma Cowden disease Karsinoid gaster
Pancreas ektopik Cronkhill Canada Sx
Gardner Sx

Gambar 1. Klasifikasi Tumor Gaster2

PanduanPrakfik Minis
Perhlmpunan Dokter Spesiafc Penyakil Dalam Indonesia
Tumor Gaster

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis
Berat badan turun, nyeri epigastrium, muntah, keluhan pencernaan, anoreksia,
disfagia, nausea, kelemahan, sendawa, hematemesis, regurgitasi, dan cepat kenyang.
1

Faktor risiko kanker gaster: diet tinggi garam, nitrat (pengawet makanan ), obesitas,
merokok, hormon reproduksi, riwayat kanker pada keluarga, riwayat ulkus gaster.
3

Pemeriksaan Fisik
Mungkin ditemukan adanya masa didaerah epigastrium. Jika sudah metastasis ke
hati maka hati teraba ireguler, teraba pembesaran kelenjar limfe klavikula.
1

Pemeriksaan Penunjang1
• Radiologi
• USG abdomen
• Gastroskopi dan biopsi: curiga ganas jika ditemukan mukosa merah, erosi pada
permukaan dan tidak adanya pedikle.
• Endoskopi ultrasound
• Pemeriksaan darah pada tinja, darah samar ( +), test benzidin
• Sitologi: pemeriksaan papanicolaou dari cairan lambung.

DIAGNOSIS BANDING’
Karsinoma esofagus

TATALAKSANA ’
Beberapa tatalaksana yang dapat dilakukan:
1. Pembedahan: reseksi tumor dan jaringan sekitar, pengambilan kelenjar linfe
2. Kemoterapi: 5 FU, trimetroxote, mitomisin C, hidrourea, epirubisin, dan karmisetin
3. Radiasi

KOMPLIKASI
Perforasi, hematemesis, obstruksi, adhesi, metastasis.

PROGNOSIS
Faktor yang menentukan prognosis adalah derajat invasi dinding gaster, adanya
penyebaran ke kelenjar limfe, metastasis di peritoneum dan tempat lain. Kanker
1

209
<fj\
iBMjW
Panduan PraktIK Klinis Gastroenteroloqi
Perhimpunao Doltler Spesinfis Penyakil Dalam Indonesia W

gaster lanjut memiliki rata -rata bertahan dalam 5 tahun sebesar 60 -80 %, tumor
yang menginvasi subserosa memiliki angka bertahan 5 tahun sebesar 50 %. Pada
pasien dimana kelenjar limfe telah terkena sekitar 16 kelenjar limfe, angka bertahan
5 tahun adalah 44 %, sementara apabila yang terkena 7-15 kelenjar limfe maka angka
bertahannya sekitar 30%. Pada GIST, Pada MALToma, angka bertahan 5 tahun sebesar
99 % pada kelompok risiko rendah, 85-88% pada kelompok risiko sedang dan 27 %
pada kelompok risiko tinggi. Pada GIST, angka kekambuhan pada risiko rendah adalah
2,4%, 1,9% pada risiko sedang dan 62,5% pada risiko tinggi. Penggolongan tingkat
risiko pada GIST , dapat dilihat pada tabel l.3

Tabel 1. Penggolongan Tingkat Risiko pada GIST4


KlasMkasI Ukuran tumor Kecepatan mitosis
Risiko sangat rendah <2cm < 5/50 HPF
Risiko Rendah 2-5 cm < 5/50 HPF
Risiko sedang <5 cm 6-10 /50 HPF
5-10 cm <5/50 HPF
Risiko tinggi >5 cm >5/50 HPF
>10 cm Berapa saja kecepatan mitosis
Keterangan: HPF: high power Held

UNIT YANG MENANGANI


• KS pendidikan : Divisi Gastroentero-Hepatologi - Departemen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Divisi Hematologi - Onkologi Medik - Departemen Penyakit
Dalam, Divisi Bedah Digestif - Departemen Bedah, ICU /
Medical High Care
• RS non pendidikan : ICU, Bagian Bedah

REFERENSI
1. .
Julius. Tumor Gaster Dalam Alwi I, Setiati S, Setiyohadi B, Simadibrata M, Sudoyo AW . Buku Ajar
llmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi V. Jakarta: Interna Publishing: 2010:576-580.
2. Park DY, Lauwers GY. Gastric polyps: classification and management. Arch Pathol Lab Med.
2008:132( 4):633-40.
3. Bearzi I, Mandolesi A, Arduini F, Costagliola A, Ranaldi R. Gastrointestinal stromal tumor. A study
of 158 cases: clinicopathological features and prognostic factors. Anal Quant Cytol Histol.
2006:28 ( 3) :137-47.

210
211

TUMOR KOLOREKTAL

PENGERTIAN

Tumor kolorektal dapat dibagi dalam dua kelompokyakni polip kolon dan kanker
kolon. Polip adalah tonjolan diatas permukaan mukosa. Makna klinis yang penting dari
polip ada dua yakni pertama kemungkinan mengalami transformasi menjadi kanker
kolorektal dan kedua dengan tindakan pengangkatan polip, kanker kolorektal dapat
dicegah.1 Faktor risiko kanker kolorektal:2
1. Umur risiko terkena kanker kolorektal meningkat dengan bertambahnya usia.
Kebanyakan kasus terjadi pada usia 60 - 70 an tahun.
2. Adanya polip (tumor jinak] pada usus besar, polip ( terutama adenomatous).
3. Riwayat kanker: wanita yang memiliki kanker ovarium, rahim, atau payudara juga
berisiko tinggi terserang penyakit kanker kolorektal.
4. Adanya riwayat kanker usus besar pada keluarga, terutama keluarga dekat (atau
bisa juga beberapa kerabat) yang terkena sebelum usia 55 tahun bisa meningkatkan
resiko kanker ini. Selain itu, keberadaan Familial adenomatous polyposis (FAP)
membawa resiko yang mendekati 100% terkena kanker kolorektal pada usia 40
tahun jika tidak diobati. Juga perlu diperhatikan bahwa Hereditary nonpolyposis
colorectal cancer (HNPCC) atau syndrome Lynch , yaitu kondisi genetik autosomal
dominan yang memiliki risiko tinggi kanker usus besar serta kanker lainnya.
5. Merokok . Perokok lebih cenderung meninggal karena kanker kolorektal
dibandingkan non - perokok. Sebuah studi American Cancer Society menemukan
bahwa wanita yang merokok lebih dari 40% lebih cenderung meninggal karena
kanker kolorektal dibandingkan wanita yang tidak pernah merokok, sedangkan
pria perokok memiliki lebih dari 30% peningkatan risiko kematian akibat penyakit
ini dibanding laki-laki yang tidak pernah merokok.
6. Makanan. Studi menunjukkan bahwa konsumsi tinggi daging merah dan kurang
mengkonsumsi buah segar, sayuran, ikan, dan unggas meningkatkan resiko terkena
kanker kolorektal .
7. Fisik tidak aktif.

PanduanPraktik Klinis
Perhimpunan Dokier Spesialis Penyakil Dalam Indonesia m
# HttJHSSJHSl Gastroenterologi
8. Primary sclerosing cholangitis ( PSC) - penyakit hati kronis - membuka peluang
terkena risiko independen untuk colitis ulseratif.
9 . Radang usus. Sekitar satu persen pasien kanker kolorektal memiliki riwayat
ulcerative colitis kronis.
10. Alkohol. terutama peminum berat, dapat memiliki risiko terkena kanker ini
( khususnya pada pria). NIAAA (melalui studi epidemiologi) telah menemukan
hubungan dosis kecil (tapi konsisten / sering) minuman ber -alkohol dengan kanker
kolorektal (walaupun peminum itu juga mengkonsumsi makanan serattinggi dan
rendah lemak) .

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis1
1. Perubahan pola buang air besar, perdarahan per anus ( hematokezia , dan
konstipasi) .
2 . Gejala obstruksi:
a. Parsial: nyeri abdomen
b. Total: nausea, muntah, distensi, dan obstipasi
3. Invasi lokal bisa menimbulkan tenesmus, hematuria, infeksi saluran kemih
berulang, dan obstruksi urethra.
4. Anamnesa adanya faktor risiko kanker kolorektal seperti tercantum diatas.

Pemeriksaan Fisik2
Dapat ditemukan masa yang nyeri pada abdomen . Nyeri dapat menjalar ke pinggul
sampai tungkai atas. Bila ada obstruksi dapat ditemukan distensi abdomen. Tumor
pada kolon kiri lebih sering menyebabkan gejala obstruksi. Metastasis paling sering
ke organ hati, dapat ditemukan hati teraba ireguler.

Pemeriksaan Penunjang1
• Laboratorium : perdarahan intermitten dan polip yangbesar dapat dideteksi melalui
darah samar feses atau anemia defisiensi Fe.
• Radiologi; Kolonoskopi
• Evaluasihistologi: gambaranatipikberat menunjukkan adanya fokuskarsinomatous
yang belum menyentuh membrane basalis. Bilamana sel ganas menembus membrane
basalis tapi tidak melewati muskularis mukosa disebut karsinoma intra mukosa.
Berikut dijelaskan mengenai strategi penapisan kanker kolorektal.

212
Tumor Kolorektal f ?®
DIAGNOSIS BANDING4
Tumor Retrorektal, Volvulus, Prolaps rekti

TATALAKSANA1
1. Kemoprevensi: obat anti inflamasi nonsteroid (OAINS) termasuk aspirin. Beberapa
OAINS seperti sulindac dan celecoxib telah terbukti secara efektif menurunkan
insidens berulangnya adenoma pada pasien dengan FAP ( Familial Adenomatus
Polyposis)
2. Endoskopi dan operasi
• Bila ukuran < 5 mm maka pengangkatan cukup dengan biopsy atau
elektrokoagulasi bipolar
• Hemikolektomi apabila tumor di caecum, kolon ascending , kolon transfersum
tetapi lesi di fleksura lienalis dan kolon desending
• Tumor di sigmoid dan rektum proksimal dapat diangkat dengan tindakan LAR
(Low Anterior Resection)
3. Terapi ajuvan
5 FU ( pada Dukes C ) , irnotecan ( CPT 11) inhibitor topoisomer, Oxaliplatin .
Manajemen kanker kolorektal yang non reseksibel:
• Nd-YAG foto koagulasi laser
• Self expanding metal endoluminal stent

KOMPLIKASI
1. Perdarahan masif dapat menyebabkan anemia defisiensi besi,
2. Metastase

PROGNOSIS
Pada Familial adenomatous Polyposis, kemungkinan berkembang menjadi kanker
noncolorektal adalah 11% pada usia 50 tahun dan 52% pada usia 75 tahun. Pada
5

kanker kolorektal, prognosis tergantung pada stadium kanker. Lebih lengkapnya


dapat dilihat pada tabel 1.

213
A Panduan PrakUk Klinis Gastroenteroloai
} w/ Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
-
v/

Tabel 1 . Strategi Penapisan Kanker Kolorektal3


Rekomendasl Keterangan
Pasien dengan rislko umum
Asimptomatik > 50 tahun Kolonoskopi setiap 10 tahun Pertimbangkan strategi
( pada afrika-amerika > 45) pencegahan kanker
Tes fecal immunochemical Strategi deteksi kanker, gagal
setiap tahun, pemeriksaan mendeteksi polip lain atau
fecal DNA setiap 3 tahun kanker lain
CT colonografi setiap 5 tahun Perkembangan teknologi
Flexible sigmoidoscopy setiap Gagal mendeteksi polip kolon
5 tahun proksimal dan kanker
Double-contrast barium enema Kurang sensitif dari kolonoskopi
setiap 5 tahun atau CT colonografi,
terlewatkan beberapa polip
rektosigmoid dan kanker.
Riwayat kanker /polip kolorektal
1 atau 2 adenoma kecil Ulang Kolonoskopi dalam 5 Dengan asumsi reseksi polip
( <lcm) dengan dysplasia tahun komplit
stadium rendah
3-9 adenoma, atau Ulang kolonoskopi dalam 3 Dengan asumsi reseksi polip
berapapun jumlahnya tahun, kolonoskopi berikutnya komplit
dengan ukuran > 1 cm atau tergantung penemuan
memiliki dysplasia stadium
tinggi atau villus features
>10 adenoma Kolonoskopi , 3 tahun Pertimbangkan evaluasi FAP
tergantung keputusan klinis atau HNPCC
Piecemeal removal pada Pemeriksaan dalam 2-6 bulan
sessile polyp untuk mengecek tuntasnya
pengambilan
Polip hiperplastik kecil ( < lcm ) Kolonoskopi dalam 10 tahun
pada sigmois atau rektum
>2 serrated polyp , atau Ulangi kolonoskopi dalam 3
berapapun serrated polyp tahun
atau polip hiperplastik > 1 cm
Pengangkatan serrated polip Pemeriksaan dalam 2-6 bulan
> 1 cm yang tidak komplit untuk mengecek tuntasnya
pengambilan
Kanker kolon Evaluasi keseluruhan kolon
selama reseksi, lalu ulang
kolonoskopi dalam 3 tahun
Inflammatory Bowel Disease
Colitis ulseratif lama ( >8 Kolonoskopi dengan biopsi
tahun) atau crohn ' s colitis, setiap 1 -3 tahun
atau colitis ulseratif sisi kiri >
15 tahun
Riwayat polip atau kanker kolorektal pada keluarga
Keluarga derajat pertama Sama seperti risiko umum
dengan adenoma tubular
kecil

214
Tumor Kolorektal

Rekomendasl Keterangan
1 orang keluarga derajat Sama seperti risiko umum
pertama dengan kanker
kolorektal atau adenoma
lanjut pada usia > 60 tahun
1 orang keluarga derajat Kolonoskopi setiap 5 tahun
pertama dengan kanker dimulai pada umur 40 tahun
kolorektal atau adenoma atau 10 tahun lebih muda
tingkat lanjut pada usia pada saat keluarga tersebut
< 60 tahun, atau 2 orang didiagnosis
keluarga derajat pertama
dengan kanker kolorektal
atau adenoma tingkat lanjut
pada segala usia
FAP Sigmoidoskopi atau Pertimbangkan konseling dan
kolonoskopi setiap 1 tahun, pemeriksaan genetik
dimulai pada umur 10-12 tahun
HNPCC Kolonoskopi setiap 2 tahun Pertimbangkan evaluasi
mulai uasia 20-25 tahun sampai histology atau microsatellite
usia 40, selanjutnya setahun instability pada spesimen
sekali tumor atau pada pasien yang
ditemukan kriteria Bethesda ;
pertimbangkan konseling dan
pemeriksaan genetik.

Tabel 2. Stadium dan Prognosis Kanker Kolorektal '


STADIUM
Dukes TNM Derajat Deskripsl hlstopatologls Bertahan 5 tahun (%)
A ,
T N0M0 I Kanker terbatas pada mukosa / >90
submukosa
B1 T2N0M0 I Kanker mecapai muskularis 85
B2 T3N M0 II Kanker cenderung masuk atau 70-80
melewati lapisan serosa
C ,
T«N M0 Tumor melibatkan KGB regional 35-65
D TNM , IV Metastasis 5

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Divisi Gastroentero-Hepatologi - Departemen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Divisi Hematologi-Onkologi Medik - Departemen Penyakit
Dalam, Divisi Bedah Digestif - Departemen Bedah
• RS non pendidikan : Bagian Bedah

215
frt SS9KSS* Gastroenterologi

REFERENSI
1. . .
Abdullah, M Tumor kolorektal In: Alwi I, SetiatlS, Setiyohadl B, Slmadlbratg Sudoyo AW Buku.
. .
Ajar llmu Penyakit Dalam Jilld I Edlsi V Jakarta: Interna Publishing; 2010: Hal, 5567-7$
2. Cohen, AM. Colorectal tumors. Oxford Textbook of Surgery 2nd Edition; •
3. Gastrointestinal endoscopy. In: Fauci A, Kasper D; Longo D, BraunwaldS, HquserS, Jameson
.
J, Loscalzo J, editors. Harrison’s principles of Internal medicine 18th ed United New York; The
McGraw-Hill Companies, 2012 .
.
4 .
Colon; rectum and anus. In: Brurllcandl; Charles F. Schwartz's Principles of Sbrgery '8th~Eaitioh
'

Chapter 28 .
.
5 . . .
Wehbi M Familial adenomatous polyposis Diunduh dari : httpV/emedicine medseape:eom/
*

article / 175377-followup # a2650

216
agfc>
fc PENATALAKSANAAN
i
^
i

$
BIDANGILMU PENYAKIT DALAM

PANDUAN
P

PRAKTIK A
|

KIINIS IJH m
HEPATOLOGI

Abses Hati 217


Batu Sistem Bilier 223
Hepatitis Imbas Obat 227
Hepatitis Virus Akut 232
Hepatitis B Kronik 236
Hepatitis C Kronik 240
Hepatitis D Kronik 242
Hepatoma 244
Ikterus 250
Kolangitis 253
Kolesistitis 256
Kolesistitis Kronik 259
Penyakit Perlemakan Hati Non Alkoholik . 261
Sirosis Hati 266
Tumor Pankreas 272
Tumor Sistem Bilier 277
217

ABSES HATI

PENGERTIAN
Abses hati adalah rongga patologis yang timbul dalam jaringan hati akibat infeksi
bakteri, parasit, jamur, yang bersumber dari saluran cerna, yang ditandai adanya
proses supurasi dengan pembentukan pus yang terdiri dari jaringan hati nekrotik,
sel - sel inflamasi, atau sel darah di dalam parenkim hati. Abses hati dapat terbentuk
soliter atau multipel dari penyebaran hematogen maupun secara langsung dari tempat
terjadinya infeksi di dalam rongga peritoneum. Abses hati terbagi 2 yaitu abses hati
amebik [AHA) dan piogenik [AHP). u
Abses hati piogenik adalah rongga supuratif pada hati yang timbul dalam jaringan
hati akibat infeksi bakteri seperti enterobacteriaceae, microaerophilic streptococci,
anaerobic streptococci, klebsiella pneumonia, bacteroides, fusobacterium, staphylococcus
aureus, salmonella typhi. Sedangkan abses hati amebik disebabkan infeksi Entamoeba
histolytica Abses hati amebik lebih banyak terjadi pada laki-laki dan jarang pada
anak-anak.2
Abses hati piogenik dapat terjadi karena beberapa mekanisme:
• Infeksi dari traktur bilier (kolangitis, kolesistitis) atau dari fokus septik sekitarnya
( pylephlebitisJ
• Komplikasi lanjut dari sfingterektomi endoskopik untuk batu saluran empedu
atau 3-6 minggu setelah operasi anastomosis bilier -intestinal.
,
• Komplikasi bakteremia dari penyakit abdomen seperti divertikulitis, apendisitis
ulkus peptikum perforasi, keganasan saluran cerna, inflammatory bowel disease,
peritonitis, endokarditis bakteria, atau penetrasi benda asing melalui dinding kolon.
• 40 % abses hati piogenik tidak diketahui sumber infeksinya. Adanya flora dalam
mulut diduga menjadi penyebabnya, terutama pada pasien dengan penyakit
periodontal berat.
Sedangkan abses hati amebik terjadi karena
2

• Entamoeba histolytica keluar sebagai trofozoit atau bentuk kista. Setelah terinfeksi
,
kista melewati saluran pencernaan dan menjadi trofozoit di kolon, lalu menginvasi
mukosa dan menyebabkan ulkus flask shaped. Selanjutnya organisme dibawa

Panduan Praktlk Kllnls


Perhimpunan Dokter Spesiafis Penyakil Dalam Indonesia
m PandnanPraMlkKllnls Hepatologi
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Oalam Indonesia
v * -
/

menuju hati dan dapat menyebabkan abses di paru - paru atau otak. Abses hati
dapat ruptur ke dalam pleura, perikardium, dan rongga peritoneum.

DIAGNOSIS

Tabel 1. Diagnosis Abses Hati - 2


'
Abses hati piogenlk Abses hati ameblk
Anamnesis Demam, nyeri spontan perut kanan atas, Periode laten antara infeksi
pasien jalan membungkuk ke depan interstinal dan infeksi hati dapat
dengan kedua tangan diletakkan di berlangsung beberapa minggu.
atasnya. Jika letaknya dekat dengan Kurang dari 10 % kasus mengeluhkan
diafragma dapat terjadi iritasi diafragma adanya diare berdarah karena
sehingga terjadi nyeri pada bahu kanan, disentri amebik. Keluhan lain yaitu
batuk, ataupun atelektasis. Gejala lain nyeri perut terlokalisisr pada kuadran
yaitu mual, muntah, penurunan berat kanan atas. Demam dapat terjadi
badan, berkurangnya nafsu makan, intermiten. Malaise, mialgia, dan
disertai malaise, ikterus, buang air besar artralgia. Dapat ditemukan keluhan
seperti dempul, dan buang air kecil paru-paru. Ikterik jarang ditemukan
berwarna gelap . dan jika ada ikterik merupakan
penanda prognosis buruk.
Pemeriksaan Peningkatan suhu tubuh, ikterus, Pasien cenderung untuk tidur
flslk hepatomegali yang nyeri tekan, nyeri dengan posisi miring ke kiri.
tekan perut kanan atas. Jika AHP telah Peningkatan suhu tubuh dan
kronik dapat ditemukan asites dan tanda - menggigil < 10 hari, ikterik, nyeri
tanda hipertensi portal. tekan abdomen yang dapat
menjalar dengan batuk atau
inspirasi dalam dan sering dirasakan
pada malam hari, terlihat ada masa
di kuadran kanan atas abdomen,
terdengar friction rub di hati.
Pemeriksaan • DPL: leukositosis, pergeseran ke kiri, Seperti pada abses hati piogenik
penunjang anemia, peningkatan laju endap darah • Tes serologis: ELISA dan
( LED ) hemaglutinasi indirek,
• Alkali fosfatase, enzim transaminase, dan cellulose acetate precipitin,
serum bilirubin: meningkat counterimmunoelectrophoresis,
• Albumin serum: dapat menurun antibodi immunofluorescent , dan
• Waktu protrombin: dapat memanjang rapid latex agglutination tests .
• Tes serologis: untuk menyingkirkan Serum antibodi dapat bertahan
diagnosis banding sampai setahun setelah sembuh.
• Kultur darah Sensitivitas dan spesifisitas
• Foto toraks: diafragma kanan meninggi, pemeriksaan ini mencapai 95%
efusi pleura, atelektasis bilier, empiema, dan >95%. Hasil false negative
atau abses paru. Pada posisi PA sudut dapat terjadi pada 10 hari
kardiofrenikus tertutup, pada posisi pertama infeksi.
lateral sudut kostofrenikus anterior • Pemeriksaan PCR untuk
tertutup. Di bawah diafragma terlihat air mendeteksi DNA amuba ELISA
fu/d level. untuk mendeteksi antigen amuba
• Foto polos abdomen pada serum.
• Organisme dapat diisolasi di tinja
hanya pada 50% kasus.

218
Abses Hati fi
( )

Abses hatl piogenik Abses hatl ameblk


• Angiografik: daerah avaskular • Imajing tidak dapat membedakan
• CT scan abdomen:dapat mendeteksi abses disebabkan oleh amuba
lesi ukuran <lcm, lesi hipodens. Dapat atau kuman piogenik.
menetukan lokasi abses, hubungan • Ultrasonography abdomen:
dengan struktur jaringan sekitarnya, dan sering di lobus kanan, single , dan
mendeteksi adakah udara dalam abses berdekatan dengan diafragma.
( berhubungan dengan meningkatnya
angka mortalitas) .2
• MR / abdomen:
• Ultrasonography abdomen: dapat
digunakan untuk aspirasi cairan pus

Tabel 2. Perbandingan Kllnis Abses Piogenik dan Amebik


2

Keterangan Abses piogenik Abses ameblk


Jumlah Multipel. Usia 50 tahun. Single. Usia muda < 40 tahun.
Epidemiologi Laki-laki=perempuan Laki-laki>perempuan
Lokasi Semua lobus hati Lobus kanan dekat diafragma
Onset Subakut Akut
Ikterik Ringan Sedang

Diagnosis USG atau CT scan USG atau CT scan dan serologis


Terapi Drainase + antibiotik iv Antibiotik ± drainase

DIAGNOSIS BANDING
Hepatoma, kolesistitis, tuberkulosis hati, aktinomikosis hati

TATALAKSANA

Abses hati piogenik2 3


• Pencegahan dengan mengatasi penyakit bilier akut dan infeksi abdomen dengan
adekuat
• Tirah baring, diet tinggi kalori tinggi protein
• Antibiotika spektrum luas atau sesuai hasil kultur kuman :
Kombinasi antibiotik sebaiknya terdiri dari golongan inhibitor beta laktamase
generasi I atau III dengan / atau tanpa aminoglikosida . Pasien yang tidak dapat
mengkonsumsi golongan beta laktamase dapat diganti dengan fluorokuinolon.
Kombinasi lain terdiri dari golongan ampisilin, aminoglikosida ( jika dicurigai
adanya sumber infeksi dari sistem bilier), atau sefalosporin generasi III ( jika
dicurigai adanya sumber infeksi dari kolon ) dan klindamisin atau metronidazol
( untuk bakteri anaerob) .

219
(fv ) PandinnPrakilkMinis Hepatoloqi
IMMf 'JHiWf Perhimpunan Dokler Spesiolis Penyokil Dalam Indonesia f

- Jika dalam waktu 4- 72 jam belum ada pebaikan klinis,maka antibiotika diganti
dengan antibiotika yang sesuai hasil kultur sensitifitas. Pengobatan secara
parenteral selama minimal 14 hari lalu dapat diubah menjadi oral sampai 6
minggu kemudian. Jika diketahui jenis kuman streptokokus, antibiotik oral
dosis tinggi diberikan sampai 6 bulan.
• Drainase terbuka cairan abses terutama pada kasus yang gagal dengan terapi
konservatif atau bila abses berukuran besar (> 5 cm). Jika abses kecil dapat dilakukan
aspirasi berulang. Pada abses multipel, dilakukan aspirasi jika ukuran abses yang
besar, sedangkan abses yang kecil akan menghilang dengan pemberian antibiotik.
• Surgical drainage: dilakukan jika drainase perkutaneus tidak komplit dilakukan, ikterik
yang persisten, gangguan ginjal, multiloculated abscess, atau adanya ruptur abses.

Abses hati AMEBIK 2


• Metronidazol :
- harus diberikan sebelum dilakukan aspirasi
Metronidasol 3x 750 mg setiap hari per oral atau secara intravena selama
7-10 hari.
• Amebisid luminal:
/odoquinol 3x 650 mg setiap hari selama 20 hari
Diloxanide furoat 3x500 mg setiap hari selama 10 hari
Aminosidin ( paromomisin) 25-35 mg/ kg berat badan setiap hari dalam dosis
terbagi tiga selama 7-10 hari
• Aspirasi cairan abses:
Indikasi:
° Tidak respon terhadap pemberian antibiotik selama 5- 7 hari
° Jika abses di lobus hati kiri berdekatan dengan perikardium
° Dilakukan jika diagnosa belum dapat ditentukan ( merah tengguli )
Adanya cairan aspirasi berwarna merah- kecoklatan mendukung diagnosis ke
arah abses amebik
- Tropozoit jarang dapat terindentifikasi.

KOMPLIKASI

Abses hati piogenik2


• Empiema paru
• Efusi pleura atau pericardium

220
Abses Hati

Trombosis vena portal atau vena splanknik


Ruptur ke dalam perikardium atau thoraks
Terbentuknya fistel abdomen
Sepsis
Metastatic septic endophthalmitis terjadi pada 10 % pasien dengan diabetes
mellitus karena infeksi Klebsiella pneumonia.

Abses hati AMEBIK


Koinfeksi dengan infeksi bakteri, kegagalan multiorgan , dan ruptur ke dalam
peritoneum, rongga thoraks, dan perikardium 2. Lain - lain dapat sama dengan
komplikasi abses piogenik di atas.

PROGNOSIS
Jika diterapi dengan antibiotika yang sesuai dan dilakukan drainase, angka kematian
adalah 10 -16 %. Abses piogenik yang unilokular abses di lobus kanan hati mempunyai
prognosis lebih baik dengan angka harapan hidup 90%. Jika abses multipel terutama
yang mengenai traktur bilier, akan mempunyai prognosis lebih buruk.
Pada abses amebik yang berada di lobus kiri lebih besar kemungkinan ruptur ke
peritoneum. Prognosis buruk jika terjadi keterlambatan diagnosis dan penanganan
serta hasil kultur memperlihatkan adanya bakteri yang multipel, tidak dilakukan
drainase, adanya ikterus, hipoalbuminemia, efusi pleura, atau adanya penyakit lain
seperti keganasan bilier, disfungsi multiorgan, sepsis.1

UNIT YANG MENANGANI


• RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Gastroentero -
Hepatologi
• RS non Pendidikan : Bagian Penyakit Dalam

UNIT YANG TERKAIT


• RS Pendidikan Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Tropik Infeksi,
Departemen Bedah - Divisi Bedah Digestif, Departemen
Parasitologi
• RS non Pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Bagian Bedah Digestif

221
(fj\ PanduanPraktikKIinis Hepatologi
Xfl f */ IndoruMio •
fwhimpuhon Dofcfet tyetloftf PcnyokJI Oafcjm w

REFERENSI
.
1 .
Sherlock S, Dooley J. Tumours of the Gallbladder and Bjlf Duets Jn:: Dooley J, Lok A, Burroughs
..
A, Heathcote . Diseases of the Liver and biliary System. 12lh ed. UK; Blackwell Science P 632-659.
.
2 Kim AY, Chung RT. Bacterial,Parasitic, and Fungal Infections of the Liver, Including Liver Abscess..
In: Feldman M, Friedman L,Brandt L. Sleisengerand Fordtran's Gastrointestinal and Liver Disease:
. .
.PathPRhysiolpgy(Piggnosis/Mgnagei?nent 9? ed, USA;\Elseyier Chapter 82,
3 . Nazir NT, Penfield JD, HgjjgrV, Pyogenic liver abscess. Cleveland Clinic Journal of Medicine July
2010 voL 777- 426-427T Diunduh dari-http:/ Avww.ccjm.org/ content / 77/ 7 / 426.fuH pada tanggal
20 Juni 2012.

222
223

BATU SISTEM BILIER

PENGERTIAN
Pembentukan batu pada sistem bilier, baik di kandung empedu (kolesistolitiasis)
maupun di saluran empedu (koledokolitiasis). Menurut gambaran makroskopik dan
kimiawinya batu empedu dibagi menjadi: batu kolesterol (komposisi kolesterol > 70%),
batu pigmen coklat atau batu calcium bilirubinate dan batu pigmen hitam. Insiden
terjadinya batu di duktus koledokus meningkat dengan seiringnya usia (25% pada
pasien usia lanjut). 12 Faktor risiko terbentuknya batu:3
• Usia dan jenis kelamin: batu kolesterol jarang sering terjadi pada anak-anak dan
remaja, insiden meningkat sesuai pertambahan usia dan wanita lebih banyak terkena
daripada laki-laki. Pada wanita usia 70 tahun insiden meningkat sampai 50%.
• Diit: makanan mengandung tinggi kalori, kolesterol, asam lemak tersaturasi,
karbohidrat, protein, dan garam dengan jumlah serat yang rendah meningkatkan
insiden batu empedu.
• Kehamilan dan paritas: kehamilan meningkatkan risiko terjadinya biliary sludge
dan batu empedu. Selama kehamilan, empedu menjadi lebih lithogenic karena
peningkatan kadar estrogen sehingga terjadi peningkatan sekresi kolesterol
dan supersaturated bile. Selain itu hipomotilitas kendung empedu menyebabkan
peningkatan volume dan stasis empedu.
• Penurunan berat badan terlalu cepat menyebabkan peningkatan sekresi kolesterol
oleh hati selama restriksi kalori, peningkatan produksi musin oleh kandung
empedu, dan gangguan motilitas kandung empedu . Sebagai profilaksis dapat
diberikan Ursodeoxy Cholic Acid ( UDCA) 600 mg setiap hari
• Total parenteral nutrition (TPN ) dalam jangka waktu lama akan menyebabkan
gangguan pada relaksasi sfingter Oddi sehingga menimbulkan aliran ke kandung
empedu. Sebagai profilaksis dapat diberikan cholecystokinin ( CCK ) octapeptide 2
kali sehari intravena.
• Biliary sludge: mencetuskan kristalisasi dan glomerasi kristal kolesterol dan
mempresipitasi kalsium bilirubinat.
• Obat- obatan : estrogen, clofibrate , oktreotid (analog somatostatin ), seftriakson.

PanduanPraktik Minis
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
Panduan PraktikKlinis Hepatoloqi

NW ? W? Indonesia
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakil Dalam w

• Abnormalitas metabolisme lemak: hipertrigliseridemia berhubungan dengan


peningkatan insiden batu empedu.
• Penyakit sistemik: obesitas, diabetes melitus, penyakit crohn
• Trauma saraf spinal: diperkirakan meningkatkan risiko batu empedu karena gangguan
relaksasi kandung empedu menyebabkan meningkatnya risiko stasis empedu.

DIAGNOSIS

Anamnesis
Biasanya asimtomatik, ada juga yang menimbulkan keluhan kolik bilier, yakni
nyeri di perut bagian atas berlangsung lebih dari 30 menit dan kurang dari 12 jam.
1,2

Pemeriksaan fisik
Ikterus, nyeri epigastrium , dan tanda -tanda komplikasi seperti kolesistitis,
kolangitis.1-3

Pemeriksaan penunjang 1 3 '

• Pemeriksaan fungsi hati


• Foto polos abdomen : sebatas hanya untuk mendeteksi batu terkalsifikasi.
1

• USG : Pencitraan utama untuk deteksi batu kandung empedu12


• ERCP: sensitifitas 90 %, spesifitas 98 %, dan akurasi 96 %. u
• MRCP: Pencitraan saluran empedu sebagai struktur yang terang dengan gambaran
batu sebagai intensitas rendah .12
• EUS (endoscopic ultrasonoraphy): gambaran sama dengan USG abdomen tetapi
melalui pendekatan pra endoskopi
• Pemeriksaan empedu untuk melihat kristal kolesterol (tes Meltzer Lyon )

DIAGNOSIS BANDING
• kolesistolitiasis: tumor kandung empedu, sludge, polip.
• Koledokolitiasis: tumor saluran bilier

TATALAKSANA

Kolelitiasis 1 3
• Pasien batu asimtomatik tidak memerlukan terapi bedah
• Kolesistektomi laparoskopik jika bergejala
• ESWL: Kriteria untuk dilakukan ESWL (Tabel 1):

224
Batu Sistem Bilier

Tabel 1 . Kriteria Dilakukan ESWL3


Stage penyakft Nyerl biller tanpa komplikasi
Fungsi kandung empedu Opasifikasi kandung empedu dengan kolesistografi oral.
Hasil normal untuk stimulated cholescintigraphy
Hasil normal untuk ulrasonografi fungsional
Karakteristik batu Radiolusen pada radiografi
Isodens atau hipodens terhadap empedu, tidak adanya kalsifikasi
pada CT scan
Single
Diameter < 20 mm

Koledokolitiasis2
• Kolesistektomi baik secara laparoskopik maupun endoskopik (ERCP) dikerjakan
pada pasien:
Gejala cukup sering maupun cukup berathingga mengganggu aktifitas sehari-hari.
Adanya komplikasi batu saluran empedu
Adanya faktor predisposisi pada pasien untuk terjadinya komplikasi
• Terapi farmakologik dengan menggunakan Ursodeoxy Cholic Acid (UDCA) untuk
mencegah dan mengobati batu kolesterol dosis 8-10 mg / hari selama 6 bulan
sampai 2 tahun, persentase keberhasilan lebih baik pada batu diameter < 10 mm. ’
12

Kriteria untuk diberikan terapi farmakologik:

Tabel 2. Kriteria Pemberian Tatalaksana Farmakologik3


Stage penyaklt Nyarl biller tanpa komplikasi
Fungsi kandung Opasifikasi kandung empedu dengan kolesistografi oral
empedu Hasil normal untuk stimulated cholescintigraphy
Hasil normal untuk ulrasonografi fungsional
Karakteristik batu Radiolusen pada radiografi
Isodens atau hipodens terhadap empedu, tidak danya kalsifikasi pada
CT scan
Single
Diameter < 6 mm (opsional) atau 6-10 mm (acceptable )

KOMPLIKASI
Kolesistitis akut, kolangitis, apendisitis, pankreatitis, secondary biliary cirrhosis. '
123
'

PROGNOSIS
Adanya obstruksi dan infeksi di dalam saluran bilier dapat menyebabkan kematian .
Akan tetapi dengan diagnosis dini dan penatalaksanaan yang tepat, prognosis
umumnya baik.

225
of ly
PanduanPraktik Minis Hepatoloqi

PertwnpwKin Doklot Speiialli PnnyairH Dalam Indonesia w

UNIT YANG MEI(lAJi$ANJ Vi ' v. iiCi ; / i


• RS Pendidikan
:
-
: Departemen llmu Penyakit Dalam - Divisi Gastroentero -
Hepatologi
• RS non Pendidikan : Bagian llmu Penyakit Dalam

UNIT YANG TERKAIT


• RS Pendidikan : Departemen Bedah - Divisi Bedah Digestif
• RS non Pendidikan : Bagian Bedah

REFERENSI
.
1 .. . . .
Lesmana L A Penyakit Batu Empedu Dalam: Sudoyo A W , Setyohadi B„ Idrus I, dkk, Buku Ajar .
. . .
llmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi V Jakarta: Interna Publishing; 2010. h.721-6 .
2 . . .
Greenberger NJ Diseases of the Gallbladder and Bile Ducts In: Fauci AS, Kasper DL, Longo DL,
.
Braunwald E, Lauser SL, Jameson JJ, et al, eds Harrison' s Principles of Internal Medicine. Edisi
ke-17. New York: McGraw-Hill 2008 Chapter 311 . .
.
3 . .
Wang DQ, Afdhal NH Gallstone Disease In: Feldman M, Friedman L, Brandt L. Sleisenger and
Fordtran' s Gastrointestinal and Liver Disease: Pathophysioiogy/Diagnosis/Management 9lh ed . .
.
USA: Elsevier Chapter 66 .

226
227

HEPATITIS IMBAS OBAT

PENGERTIAN
Hepatitis imbas obat atau yang sekarang lebih dikenal dengan drug -induced liver
injury ( DILI ) merupakan suatu peradangan pada hati yang terjadi akibat reaksi efek
samping obat atau hepatic drug reactions ketika mengkonsumsi obat tertentu. Hepatitis
imbas obat merupakan salah satu penyebab terjadinya penyakit hati akut maupun
kronis .1 Pada umumnya, ada 2 tipe hepatotoksisitas utama yaitu toksik langsung
( direct toxic ) dan idiosinkrasi. Hepatitis toksik langsung dapat diduga terjadinya pada
individu yang terpapar dengan obat tertentu dan tergantung dosis ( dose dependent ).
Periode laten antara paparan dan jejas hati biasanya singkat (seringkali hanya
beberapa jam ), meskipun manifestasi klinisnya dapat terlambat 24- 48 jam.2 Faktor
risiko hepatotoksisitas imbas obat tercantum pada tabel 1.

Tabel 1. Faktor Risiko Hepatotoksisitas Imbat Obat3


Efek faktor
Faktor risiko terhadap Contoh obat
hepatotoksisitas
Usia Anak-anak Asam valproat, salisilat
> 60 tahun Halotan, isoniazid (INH ) , paracetamol
( PCT) , diclofenac
Jenis kelamin Wanita Halotan, diclofenac, INH, flucloxacillin
Pria Azathioprine
Nutrisi Obesitas Methotrexate, halotan
Puasa PCT
Konsumsi alkohol PCT, INH
berlebihan
Dosis Konsentrasi darah PCT, aspirin
Durasi Methotrexate, vitamin A, flucloxacillin

Obat lainnya Rifampisin, pirazinamid, INH


Hepatitis B, C Terapi HAART, INH
Faktor genetik HLA- B*5701 Flucloxacillin
genotype
Slow acetylator INH
Keterangan : = meningkat, HAART = highly active antiretroviral therapy

PanduanPraktikKIinis
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dolam Indonesia
ifrY
f >
Paniian Prakdk Klinis Hepatologi
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakif Dalam Indonesia I w

DIAGNOSIS

Anamnesis4
• Riwayat konsumsi obat atau jamu dalam 5-90 hari terakhir
• Tanggal mulai dan tanggal berhenti konsumsi untuk tiap obat dan jamu
• Riwayat hepatotoksisitas dan konsumsi obat yang dimaksud
• Onset gejala (demam, ruam, lelah, nyeri perut, nafsu makan menurun )
• Penyakit lainnya, dari obat yang dikonsumsi
• Episode hipotensi akut

Pemeriksaan Fisik4
• Ikterik, ruam, demam, klinis adanya pruritus
• Hepatomegali, splenomegali
• Stigmata penyakit hati kronis

Pemeriksaan Penunjang4
• Laboratorium
Rutin : darah perifer lengkap dan hitung jenis leukosit (ditemukan gambaran
eosinofilia), trombosit protein total, albumin /globulin, prothrombin time (PT) /
INR, kreatinin
Kimia hati : SGOT, SGPT, alkali fosfatase, bilirubin total / direk, gamma GT
- Serologis: IgM anti- HAV, HBsAg, IgM anti-HCV, HCV RNA, anti- HEV, anti- EBV,
anti- CMV
Autoantibodi : antibodi antinuklear, antibodi otot polos , antibodi
antimitokondrial
Khusus: serum besi, ferritin, ceruloplasmin, a- l -antitrypsin
• Radiologis: USG, CTscan, MRI / MRCP (atas indikasi)
• Biopsi hati, dengan indikasi :
Apabila hubungan temporal antara konsumsi agen hepatotoksik dengan onset
jejas hati tidak jelas1

.
Tabel 2 Terminologi Jejas Hati Imbas Obat menurut Kriteria Konsensus CIOMS5
Termlnologl Kriteria
Jejas hepatoselular ALT terisolasi > 2x normal, atau ALT/ ALP 5
Jejas kolestatik ALP terisolasi > 2x normal, atau ALT/ALP 2
Jejas kombinasi ALT dan ALP meningkat, atau 2<ALT / ALP <5
Jejas akut ALT dan ALP meningkat , atau 2<ALT/ ALP <5 terjadi selama < 3 bulan

228
Hepatitis Imbas Obat 3|

Ternilnologl Krtterla
Jejas kronis ALT dan ALP, atau 2<ALT/ ALP <5 terjadi selama > 3 bulan
Penyakit hati kronis Istilah ini hanya dipakai setelah konflrmasi pemeriksaan histologis
Keterangan: CIOMS = Council for International Organizations of Medical Sciences; ALP = alkaline phosphatase,
ALT = alanine aminotransferase

DIAGNOSIS BANDING
Hepatitis viral akut, hepatitis autoimun, syok hati , kolesistitis , kolangitis, sindrom
Budd - Chiari , penyakit hati alkoholik, penyakit hati kolestatik, kondisi hati yang
berhubungan dengan kehamilan , keganasan , penyakit Wilson, hemokromatosis ,
gangguan koagulasi.1,4
Tabel 3. Aksis dan Skoring Jejas Hati Imbas Obat
NADPRS CIOMS/RUCAM MA V DDW - J
Aksis $ Aksis $ Aksis SDQO Alois $

Kriteria Kriteria Kriteria Kriteria


kronologis kronologis kronologis kronologis

Onset tidak - 1 s /d +2 Dari konsumsi + 1 s / d +2 Dari konsumsi + 1 s /d +3 Dari konsumsi +1 s /d


diketahui obat s /d obat s /d obat s /d +2
onset onset onset
Dari berhenti 0 s /d + 1 Dari berhenti -3 s /d +3 Dari berhenti Os / d + 1
obat s/d obat s /d obat s /d
onset onset onset
Perjalanan 0 s /d + 1 Perjalanan - 2 s / d +3 Perjalanan -3 s /d +3 Perjalanan -2 s /d +3
penyakit penyakit penyakit penyakit

Faktor risiko 0 s/d + 1 Faktor risiko


usia
Alkohol atau 0 s /d + 1 Alkohol atau 0 s /d + 1
kehamilan kehamilan0
Terapi -3 s / d 0
konkomitan
Eksklusi - 1 s /d +2 Eksklusi -3 s /d +2 Eksklusi -3 s /d +3 Eksklusi -3 s / d +2
penyebab penyebab penyebab penyebab
lain lain lain lain
Informasi 0 s / d +2 Informasi 0 s / d +2 Informasi 0 s/d +1
sebelumnya sebelumnya sebelumnya

Rechallenge - 1 s /d + 2 Rechallenge - 2 s / d +3 Rechallenge Os /d +3 Rechallenge 0 s / d +3

Respon Os / d + 1
placebo
Konsentrasi 0 s / d +1 Manifestasi 0 s /d +3 Manifestasi 0 s /d + 1
obat dan ekstrahepatik ekstrahepatik
monitoring (ruam, eosinophilic
demam,
artralgia,
eosinophilia,
sitopenia
Hubungan Os / d + 1
dosis
Paparan Os /d +1
sebelumnya
dan reaktivitas
silang

229
0 PanduanPraktlkKlinls Hepatologi

NADPRS CIOMS/RUCAM MtV -


DDW J
A kill $ Aksl* ! Akjls $ Aksls S
Temuan Os /d + 1 DLST 0 s /d +2
obyektif
9 Deflnitif >8 Deflnitif S 18 Deflnitif 5 Deflnitif
5-8 Probabel 6-8 Probabel 14 - 17 Probabel 3- 4 Proba-
bel
1-4 Mungkin 3-5 Mungkin 10 - 13 Mungkin S2 Tidak
mungkin
SO Tidak 1 -2 Tidak 6-9 Tidak
mungkin mungkin mungkin
£0 Eksklusi 5 Eksklusi
“Kolestatik / mixed cases; DLST: drug lymphocyte stimulation test

TATALAKSANA
Terapi sebagian besar bersifat suportif, kecuali pada hepatotoksisitas acetaminophen.
Pada pasien dengan hepatitis fulminan akibat hepatotoksisitas obat, maka transplantasi
hati dapat menyelamatkan nyawa. Penghentian konsumsi dari agen yang dicurigai
diindikasikan pada tanda pertama terjadinya reaksi simpang obat. Pada kasus toksin
direk, keterlibatan hati sebaiknya juga diperhatikan keterlibatan ginjal atau organ lain,
yang juga dapat mengancam nyawa. Glukokortikoid untuk hepatotoksisitas obat dengan
gambaran alergi, silibinin untuk keracunan jamur hepatotoksik, dan ursodeoxycholic
acid untuk hepatotoksisitas obat kolestatik tidak dianjurkan.2

KOMPLIKASI
Gagal hati sampai dengan kematian.

PROGNOSIS
Tergantung etiologi dan respons terapi. Pada sebagian besar kasus, fungsi hati
akan kembali normal apabila obat dihentikan.

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Gastroenterologi-
Hepatologi
• RS non pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS pendidikan
• RS non pendidikan : -

230
Hepatitis Imbas Obat O

REFERENSI
1. Teoh NC, Chitturi S, Farrell GC. Liver Disease Caused by Drugs. In : Feldman M, Friedman LS,
Brandt LJ. Sleisenger and Fordtrand' s Gastrointestinal and Liver Disease. 9th Edition. Philadelphia:
Saunders, Elsevier. 2010. Hal 1431-9.
2. Dienstag J. Toxic and Drug-Induced Hepatitis. In : Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL,
Jameson JL, Loscalzo J. Harrison' s Principles of Internal Medicine. 18 Edition. New York, McGraw-
lh

Hill. 2012.
3. Mitchell S, Hilmer SN. Drug-induced liver injury in older adults. Therapeutic Advances in Drug
Safety 2010:1 :65.
4. Seeff LB, Fontana RJ. Drug-Induced Liver Injury. In : Dooley JS, Lok ASF, Burroughs AK, et ai. Sherlock ' s
Diseases of the Liver and Biliary System. 12lh Edition. United Kingdom: Blackwell Publishing Ltd. 2011

231
232

HEPATITIS VIRUS AKUT

PENGERTIAN
Hepatitis virus akut adalah inflamasi hati akibat infeksi virus hepatitis yang
berlangsung selama < 6 bulan.1

DIAGNOSIS

Anamnesis
-
Anoreksia, nausea, muntah , fatique, malaise, atralgia, myalgia, sakit kepala, 1 5
hari sebelum ikterus timbul. Urine pekat dan kadang feses seperti dempul. Setelah
ikterus timbul, gejala -gejala diatas menjadi berkurang. Demam tidak terlalu tinggi,
biasa terjadi pada hepatitis A dan E ( jarang pada B dan C).

Pemeriksaan Fisik
Ikterus, hepatomegali, splenomegali.1

Laboratorium
SGOT, SGPT, bilirubin. Serologi hepatitis :
1. Hepatitis A : IgM anti HAV ( + ) 3
2. Hepatitis B : dapat dilihat pada tabel 2
3. Hepatitis C : HCV RNA ( + ) setelah 7-10 hari pajanan, anti HCV ( + ) 5 -10 minggu
setelah pajanan dan dapat bertahan seumur hidup
4. Hepatitis D : HDV Ag, HDV- RNA and Ig M anti- HDV ( + ) sekitar 30- 40 hari setelah
gejala awal timbul.6
5. Hepatitis E : Ig G dan Ig M anti HEV.3

Panduan Praktik Klinis


Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam
Indonesia
Hepatitis Virus Akut

Tabel 1 . Epidemiologi dan Manifestasi Klinis Hepatitis Virus.


2

HAV HBV HCV HDV HEV


15-45, 30-180, rata2 60-90 15-160, rata 50
2 30-180, rata 2 14-60,
Masa inkubasi
60-90 rata2 40
( hari) rata 30
2

Insidious / acute Insidious Insidious / akut Akut


Onset Akut
Dewasa muda Umur berapa Sama seperti Dewasa
Usia Anak2,
(seksual dan aja, tapi HBV muda ( 20-40
dewasa
perkutaneus) , bayi, umumnya tahun)
muda
balita pada dewasa

Penularan
+++
Fekal-oral +++
Tidak +++ +++ +++
Perkutaneus
biasa
+++ ±° +
Perinatal
Seksual ± ++ ±° ++

Manifestasi Kilnis
Kadangkala berat Sedang Kadangkala Ringan
Keparahan Ringan
berat

0.1-1% 0.1% 5-20%b l-2%e


Keganasan 0.1%
Kadangkala ( 1-10%) Umum ( 85%) Umumd Tidak ada
Progresifitas Tidak ada
menjadi kronis (90% of neonatal)
Tidak ada 0.1-30%c 1.5-3.2% Variatif Tidak ada
Karier
+ ( terutama Infeksi + ± Tidak ada
Risiko kanker Tidak ada
neonatal)
Memburuk Sedang Akut, kronis Baik
Prognosis Sangat
baik tergantung usia baik, buruk
IG, vaksin HBIG, vaksin Tidak ada Vaksin HBV Vaksin
Profilaksis
inaktiv recombinant

Keterangan tabel
a. Primer dengan koinfeksi HIV dan level tinggi viremia pada index kaus risiko %
; 5
HDV dari infeksi kronis HBV
b. Hingga 5% pada koinfeksi HBV / HDV akut, sampai dengan 20% pada superinfeksi
c. Tergantung populasi
superinfeksi HDV, kekronisan tetap
d. Pada koinfeksi HBV / HDV akut, frekuensi menuju kronis sama seperti HBV pada
;

e . Pada wanita hamil 10-20%


eropa barat
f Umum pada Negara mediterania, jarang pada amerika utara dan

Tabel 2. Pola Serologis pada Infeksi Virus Hepatitis B


7

Vaksin Hepatitis B Hepatitis B Occult


Sembuh carrier
UJI serologis hepatitis B akut kronlk Hepatitis B

Anti-HBs + + -/ +
IgM anti Total anti Total anti Total +
Anti-HBc
HBC HBC HBC anti HBC
+ + -/+
Anti-HBe
HBeAg + + h+

HBsAg +

HBV DNA + + (> 105) + ( < 105) + (< 103)

233
# tSSSSSSa* Hepatologi

DIAGNOSIS BANDING
Hepatitis akibat obat, hepatitis alkoholik, penyakit saluran empedu, leptospirosis. 2

TATALAKSANA
• Hepatitis A akut: Terapi suportif.3
• Hepatitis B akut
Hepatitis B akut ringan-sedang: Terapi suportif.6 Tidak ada indikasi terapi anti virus.
Hepatitis B akut berat: pemberian antivirus mungkin dapat dipertimbangkan
Monitor pasien dengan pemeriksaan HBV DNA, HBsAg 3- 6 bulan untuk
mengevaluasi perkembangan menjadi hepatitis B kronik.3
• Hepatitis C akut
Peginterferon alfa- 2a (180 pg) atau alfa- 2 b (1.5 pg kg) seminggu sekali selama
/
12 minggu pada genotipe non 1, pada genotipe 1 selama 24 minggu.
• Hepatitis D akut: Terapi suportif.6 Lamivudine dan obat antiviral, tidak efektif
melawan replikasi virus.3
• Hepatitis E akut: Terapi suportif.

KOMPLIKASI
Hepatitis fulminan, kolestasis berkepanjangan, hepatitis kronik.1

PROGNOSIS
• Hepatitis A akut
Biasanya sembuh komplit dalam waktu 3 bulan, tidak menyebabkan hepatitis virus
-
kronik. Rata rata angka mortalitas < 0,2 %.3
• Hepatitis B akut
Sekitar 95-99% pasien dewasa penderita hepatitis B yang sebelumnya sehat,
sembuh dengan baik. Pada pasien dengan hepatitis B berat sehingga harus dirawat,
rata-rata tingkat kematian sebesar 1% tetapi meningkat pada usia lanjut dan yang
memiliki komorbit. Pada pasien pengguna obat suntik, penderita hepatitis B dan D
secara bersamaan, dilaporkan rata-rata kematian 5%.2 Risiko berkembang menjadi
kronis tergantung pada usia, yaitu: 90% pada bayi, sekitar 30% pada infant, < 10%
pada dewasa.3
• Hepatitis C akut
Sekitar 50-85% berkembang menjadi kronik.3
• Hepatitis D akut
Risiko fulminant hepatitis pada koinfeksi sekitar 5%.6

234
Hepatitis Virus Akut |j?|
j

• Hepatitis E akut
Pada wabah hepatitis E di India dan Asia, rata - rata tingkat kematian adalah 1- 2%
dan 10 - 20% pada wanita hamil . 2,4

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Gastroentero -
Hepatologi
• RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS pendidikan
• RS non pendidikan

REFERENSI
Sanityoso, Andri. Hepatitis Viral Akut. Dalam : Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M Setiati
,
1.
. .
S, editors Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5th ed Jakarta; Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian
Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2009:644-652 .
,
2 . Acute Viral Hepatitis. Dalam : Fauci A, Kasper D, Longo D, Braunwald E, Hauser S, Jameson J
Loscalzo J editors
,
lh .
. Harrison ' s principles of internal medicine. 18 ed United States of America ;
The McGraw-Hill Companies, 2012.
. Acute Viral Hepatitis Dalam : Ausiello. Goldman. Cecil Medicine 23 edition. Saunders :
. rd
3
Philadhelphia. 2007.
4. .
Liver and Biliary tract. Dalam : McPhee, Stephen J. Papadakis, Maxine A Current Medical
Diagnosis and Treatment. The McGraw Hills Companies. 2011.
5. Lisotti A, Azzaroli F, Buonfiglioli F, Montagnani M, Alessandrelli F, Mazzella G. Lamivudine treatment
for severe acute HBV hepatitis. Int J Med Sci 2008; 5 ( 6) :309-312. Available from http:/ / www .
medsci.org/v05p0309.htm
6. .
Heathcote, J. et all Management of acute viral hepatitis. World Gastroenterology Organisation
,
2007.
7. .
Torbenson M, Thomas DL. Occult Hepatitis B Lancet Infect Dis 2002;2:479-86.

235
236

HEPATITIS B KRONIK

PENGERTIAN
Suatu sindrom klinis dan patologis yg disebabkan oleh virus hepatitis, ditandai
oleh berbagai tingkat peradangan dan nekrosis pada hati, dimana seromarker virus
hepatitis positif pada 2 kali pemeriksaan berjarak 6 bulan.

DIAGNOSIS

Anamnesis
Dapat tanpa keluhan, tetapi dapat juga berupa fatigue, malaise, anoreksia, ikterus
persisten atau intermiten. Faktor risiko penularan virus hepatitis yaitu pengguna
narkoba suntik, infeksi hepatitis B pada ibu, pasangan atau saudara kandung, penerima
transfusi darah, perilaku seksual risiko tinggi, riwayat tertusuk jarum suntik atau
terkena cairan tubuh pasien berisiko.2

Pemeriksaan fisik
Dapat ditemukan hepatomegali, demam subfebris, ikterus ( jarang). Bila telah
terjadi komplikasi, dapat ditemukan asites, ensefalopati, dan hipersplenisme.

Pemeriksaan penunjang2
• Seromarker hepatitis : HBsAg (+), pemeriksaan selama 6 bulan, Anti- HBc ( + ), IgM
- -
anti HBc ( ), Anti- HBs (-)
• Aminotransfe rase meningkat (100-1000 unit), alanin aminotransferase (ALT) lebih
meningkat daripada aspartate aminotransferase (AST), alkali fosfatase normal
atau meningkat ringan.
• Serum bilirubin meningkat (3-10 mg/ dL), hipoalbuminemia, protrombin time
( PT) memanjang.
• USG hati: gambaran penyakit hati kronis ( inhomogen echostructure, permukaan
mulai ireguler, vena hepatika mulai kabur /terputus- putus), sirosis ( parmukaan
hati yang iregular, perenkim noduler, hati mengecil, dapat disertai pembesaran
limpa, pelebaran vena porta) , atau adanya karsinoma hepatoselular.

PanduanPraktik Klinis
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
Hepatitis B Kronik

• Biopsi hati: untuk mengetahui derajat nekroinflamasi, harus dilakukan sebelum


memulai terapi antivirus, dan dianjurkan pada pasien dengan SGPT normal.
• Tumor marker karsinoma hepatoseluler: Alfa feto protein (AFP) , PIVKA- II
( Prothrombine Induced by Vitamin K Absence ).
• Monitoring untuk deteksi dini kanker hati dan progresivitas penyakit SGOT, SGPT
-
tiap 1 3 bulan dan USG abdomen dengan AFT tiap 6 bulan.

KRITERIA DIAGNOSTIK
Hepatitis B : dikatakan hepatitis B kronik bila HBsAg positif dalam 2 kali
pemeriksaan berjarak 6 bulan.

DIAGNOSIS BANDING
Perlemakan hati

TATALAKSANA2 6
• Interferon: lx 5 juta unit atau 10 juta unit 3 kali seminggu, subkutan, selama 4-6
bulan untuk HBeAg (+), dan setidaknya 1 tahun untuk pasien dengan HBeAg (-),
bila dengan pegylated interferon baik HBeAg (-) dan HBeAg ( +) diberikan selamal
tahun
• Lamivudine : 1x100 mg
-
• Adefovir dipivoxil . 1 x 10 mg
• PEG IFN a- 2a (monoterapi): 180 gram atau PEG IFN a- 2 b l,5 ug/ KgBB
• Entecavir: 1x0,5 mg
• Telbivudine: 1x600 mg
• Tenofovir: 1x300 mg
• Thymosin 1 selama 6 bulan
• Lamapemberian antivirus tergantung pada status HBeAg pasien ketika memulai
terapi dan target pencapaian HBV DNA serta HBeAg loss

KOMPLIKASI
Sirosis hati, karsinoma hepatoselular.

PROGNOSIS
5-year mortality rate adalah 0-2% pada pasien tanpa sirosis, 14-20 % pada pasien
dengan sirosis kompensasis, dan 70-86% yang dekompensasi. Risiko sirosis dan
karsinoma hepatoselular berhubungan dengan level serum HBV DNA.4

237
Panduan Praktik Klinis Hepatoloqi
C
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia 1^ /

HBsAg ( +)
J
HBV DNA < 20.000 IU/ HBV DNA > 20.000 lU /ml
ml (<105 kopi/ml) (>105 kopi/ml)

ALT normal ALT normal ALT l -2x ULN ALT 2-5x ULN ALT >5x ULN

Tidak ada tera- Tidak ada tera- Terapi jika pe-


Tidak ada tera- Indikasi terapi
pi, pantau HBV pi, pantau HBV nyakit persisten Jika HBV DNA >
pi, pantau HBV
DNA, HbeAg, DNA, HbeAg, DNA, HbeAg, selama 3-6 2x 106 lU/ml ® obser-
ALT setiap 3-6 ALT setiap 3 ALT setiap 1 -3 bulan atau ada vasi serokonversi se-
bulan bulan kecurigaan lama 3 bulan jika ti-
bulan
dekompensasi dak ada kecurigaan
hati. Lini pertama dekompensasi hati.
: interferon, ente- Jika ada dekompen-
covir, tenefovir, sasi hati, rekomedasi
telbivudine, lami- terapi : interferon,
vudine. adefovir. entecovir, tenefovir,
telbivudine, lamivu-
dine, adefovir

Biopsi hati jika usia > 40 tahun, terapi


jika pada biopsi tampak fibrosis atau Respon Tidak Respon
inflamasi sedang atau membesar

T T
Pantau HBV Pertimbangkan
DNA , HbeAg, ALT strategi lain
setiap 1 -3 bulan termasuk
transplantasi hati

Gambar 1. Algoritme Managemen Infeksi Hepatitis B Kronik dengan HBsAg Positif.*

238
HBsAg (-)
Hepatitis B Kronik
^
g
|

HBV DNA < 2.000 lU/ml HBV DNA > 2.000 lU/ml
|<10' kopi/ml] (> 10' kopi/ml)

ALT normal ALT normal ALT l-2x ULN ALT >2x ULN

Tidak ada Tidak ada Tidak ada Terapi jika penya-


terapl, pantau terapl, pantau .
terapi pantau kit perslsten sela-
HBV DNA, ALT HBV DNA, ALT HBV DNA, -
ma 3 6 bulan atau
setiap 6- 12 setiap 3 bulan ALT setiap 1 -3 ada kecurigaan
bulan bulan dekompensasi
hall. Uni pertama
: interferon, ente-
covir, tenefovir,
telbivudine, lami-
vudine. Dlbutuh-
kan terapi antivirus
jangka panjang

I
Biopsi hati jika usia > 40 tahun, terapi
jika pada biopsi tampak fibrosis atau Respon Tidak Respon

I
inflamasi sedang atau membesar
l
Pantau HBV Lanjutkan terapi
DNA, ALT setiap untuk mengenali
1 -3 bulan respon lambat ,
setelah terapi pertlmbangkan
strategi lain

Gambar 2. Algorltme Managemen Infeksi Hepatitis B Kronik dengan HbsAg Negatlf.*

239
(f > N
’4 I '
raklik Klini
Perhimpunan Dokter Speslalis Penyakit Dalam Indonesia
Hepatoloqi
~

HEPATITIS C KRONIK
PENGERTIAN
Suatu sindrom klinis dan patologis yang disebabkan oleh virus hepatitis, ditandai
oleh berbagai tingkat peradangan dan nekrosis pada hati, dimana penanda virus
hepatitis positif pada 2 kali pemeriksaan berjarak > 6 bulan.

DIAGNOSIS

Anamnesis
Umumnya tanpa keluhan, tetapi dapat juga berupa fatigue, malaise, anoreksia.
Faktor risiko: penggunaan narkoba suntik, menerima transfusi darah, tingkat ekonomi
rendah, perilaku seksual risiko tinggi, tingkat edukasi rendah, menjalani tindakan invasif,
menjalani hemodialisis, tertusuk jarum suntik atau terkena cairan tubuh pasien berisiko.2

Pemeriksaan Fisik
Dapat ditemukan hepatomegali, demam subfebris, ikterus [ jarang], Bila telah terjadi
komplikasi, dapat ditemukan asites, ensefalopati, dan hipersplenisme.
Manifestasi ekstrahepatik (cryoglobulinemia, porfiria kutanea tarda, glomerulonefritis
mcmbranoproliferatif , dan sialoadenitis limfositik).2

Pemeriksaan Penunjang
• Seromarker hepatitis (Anti HCV)
• Jumlah virus: HCV RNA kuantitatif dan genotipe
• Enzim hati : SGOT dan SGPT, untukmenilai aktifitas kerusakan hati dan keputusan
pengobatan antivirus
• USG hati: gambaran penyakit hati kronis ( inhomogen echostructure , permukaan
mulai iregular, vena hepatik mulai kabur / terputus- putus], sirosis (parmukaan hati
yang iregular, parenkim noduler, hati mengecil, dapat disertai pembesaran limpa,
pelebaran vena porta ], atau adanya karsinoma hepatoseluler.
• Biopsi hati: untuk mengetahui derajatnekroinflamasi, dianjurkan untuk dilakukan
sebelum memulai terapi antivirus, terapi antivirus sangat dianjurkan diberikan
pada fibrosis F 2 dan F 3 (skor METAVIR).
• Alfa feto protein [AFP], PIVKA-II ( Prothrombine Induced by Vitamin KAbsence ).
• Monitoring tahunan untuk deteksi dini kanker hati dan progresivitas penyakit
SGOT, SGPT tiap 1-3 bulan dan USG abdomen serta AFT per 6 bulan

240
Hepatitis B Kronik

Kriteria Diagnosis
Hepatitis C kronik: anti HCV positif dan HCV RNA terdeteksi dalam 2 kali
pemeriksaan berjarak 6 bulan .

DIAGNOSIS BANDING
Perlemakan hati

TATALAKSANA 4 5
Pada infeksi hepatitis C kronis genotip 1:
• Terapi dengan pegylated interferon (peg- IFN ) dan ribavirin selama 1 tahun - 72
minggu. Peg- IFNa - 2 a 180 g seminggu sekali atau peg-IFNa- 2 b 1,5 mg / kg BB. Bila
-
menggunakan Peg-IFNa 2 a. Dosis ribavirin 1000 mg (BB 75 kg) dan 1200 mg (BB
> 75 mg), bila menggunakan peg- IFNa- 2 b dosis ribavirin ± 15 mg / kg BB, ribavirin
diberikan dalam 2 dosis terbagi.
• Jikaresponvirologis cepat (serum HCV RNA tidak terdeteksi ( < 50 IU / ml) dalam 4
minggu), maka terapi dapat distop setelah 24 minggu, bila HCP RNA < 4 x 105 IU/ ml.
• Jika respon virologis dini (serum HCV RNA tidak terdeteksi (< 50 IU / ml) atau
terjadi penurunan 2 log serum HCV RNA dari level awal setelah 12 minggu), terapi
dilanjutkan sampai 1 tahun.
• Terapi distop jika pasien tidak mencapai respon virologis dini dalam waktu 12 minggu
Pada infeksi hepatitis C kronik genotip 2 dan 3: Interferon konvensional dan ribavirin
atau peg- IFN -dengan ribavirin selama 24 minggu. Dosis Interferon / Feg IFN sama
dengan geotipe 1, hanya dosis ribavirin 800 mg sehari dalam 2 dosis terbagi.
Pada infeksi hepatitis c kronik genotip 4, berikan terapi peg-IFN + ribavirin selama
48 minggu, dosis Peg IFN dan ribavirin sama dengan geotipe 1.
Pantau kemungkinan terjadinya efek samping terapi Ribavirin, yaitu anemia.
Dosis ribavirin sedapat mungkin dipertahankan, bila terjadi anemia dapat diberikan
eritropoietin untuk meningkatkan Hb. Pantau kemungkinan efek samping terapi
interferon, yaitu neutropeni, trombositopenia, depresi, dan lain-lain.
Bagi pasien yang memiliki kontaindikasi penggunaan interferon atau tidak berhasil
dengan terapi interferon maka berikan terapi ajuvan :
• Flebotomi
• Urcedeoxycholic acid (UDCA) 600 mg/ hari
• Glycyrrhizin
• Medikasi herbal: silymarin atau silibinin

241
# SBgBBfflB Hepatologi

Antiviral terbaru untuk terapi hepatitis C kronik (terutama genotip 1) adalah:


• Teleprevir, dikombinasikan dengan peg-IFN + Ribavirin .
• Boceprevir, dikombinasikan dengan peg-IFN + Ribavirin
• Direct Acting Antiviral (DAA), lain seperti: sofosbuvir, ledipasvir dll, antiviral ( DAA)
dapat diberikan pada pasien yang kontraindikasi pada interveron atau gejala
pengobatan dengan interveron tersebut.

KOMPLIKASI
Sirosis hati, karsinoma hepatoselular.

PROGNOSIS
Rata -rata per tahun terjadinya karsinoma hepatoselular pada pasien sirosis dengan
-
infeksi hepatitis C adalah 1 4%, muncul setelah 30 tahun infeksi virus hepatitis C.
Indikator prognosis pada hepatitis C kronis adalah dengan biopsi hati. Pasien dengan
nekrosis dan inflamasi sedang- berat atau adanya fibrosis, progresifitas ke arah sirosis
sangattinggi dalam 10-20 tahun kedepan. Diantara pasien dengan sirosis kompensasi
yang terkait hepatitis C, angka bertahan 10 tahun adalah 80 %, mortality rate 2 - 6 %,
sementara pada sirosis dekompensasi terkait infeksi virus hepatitis C mortality rate
4-5 % / tahun, dan 1- 2 % / tahun pada karsinoma hepatoseluler terkait infeksi virus
hepatitis C.4

HEPATITIS D KRONIK
Hepatitis D kronik biasa mengikuti infeksi hepatitis B. Anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang sama seperti pada hepatitis B.2

TATALAKSANA 2
• Sesuai dengan Hepatitis B kronik

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan -
: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Gastroenterologi-
Hepatologi
• RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

242
Hepatitis B Kronik

UNIT TERKAIT
• RS pendidikan
• RS non pendidikan : -

REFERENSI
1. . .
Gunawan, Stephanus Soemahardjo, Soewignjo Hepatitis B Kronik. Dalam : Sudoyo A, Setiyohadi
B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5lh ed. Jakarta; Pusat
Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2009:653-661.
2. .
Chronic Viral Hepatitis Dalam : Fauci A, Kasper D, Longo D, Braunwald E, HauserS, Jameson J,
. .
Loscalzo J, editors. Harrison ' s principles of internal medicine 18 th ed United States of America;
The McGraw-Hill Companies, 2012: 2911 - 39
3. .
Liaw YF, Leung N, Kao JH, et al Asian-Pacific consensus statement on the management of chronic
hepatitis B: a 2008 update. Hepatol Int 2008. Available at: http:// www.springerlink.com/content /
du475u12q655175j/ Accessed July 27, 2008.
4. Liver and Biliary tract. Dalam : McPhee , Stephen J. Papadakis, Maxine A . Current Medical
Diagnosis and Treatment. The McGraw Hills Companies. 2011.
5. Asian Pacific Association for the Study of the Liver consensus statements on the diagnosis,
.
management and treatment of hepatitis C virus infection Diunduh dari : http:// onlinelibrary.
.
wiley com/ doi/ 10.1111 /j.l 440- 1746 ,2007.04883.x /pdf pada tanggal 30 mei 2012.
6. Amarapurkar, D. Et all. APASL guidelines on the management chronic hepatitis B. Feb 16-19, 2012

243
244

HEPATOMA

PENGERTIAN
Hepatoma ( hepatocarcinoma/ hepatocellularcarcinoma/ HCC ) merupakan kanker
yang berasal dari sel hati.1 HCC merupakan kanker no. 5 tersering di dunia dan no. 3
yang paling sering menyebabkan kematian. Insidens HCC bervariasi di setiap negara,
secara umum bergantung pada prevalensi penyakit hati kronis, khususnya hepatitis
virus kronis.
Faktor risiko hepatoma dibagi menjadi 2 yaitu :2
• Umum : sirosis karena sebab apapun, infeksi kronis Hepatitis B atau C, konsumsi
etanol kronis, NASH / NAFL, aflatoxin Bx atau mikotoksin lainnya
-
• Lebih jarang: sirosis bilier primer, hemokromatosis, defisiensi antitrypsin , penyakit
penyimpanan glikogen, citrullinemia , tirosinemia herediter, penyakit Wilson

DIAGNOSIS

Anamnesis
Penurunan beratbadan, nyeri perutkanan atas, anoreksia, malaise, benjolan perut
kanan atas, jaundice, nausea.1

Pemeriksaan Fisik
Hepatomegali berbenjol-benjol, stigmata penyakit hati kronik.1

Pemeriksaan Penunjang2
• Laboratorium : anemia, trombositopenia, kreatinin meningkat, prothrombin
time ( PT) memanjang, partial thromboplastin time ( PTT), fungsi hati; aspartat
aminotransferase (AST) dan alanin aminotransferase (ALT) meningkat (AST > ALT),
bilirubin meningkat .
• Serologis: peningkatan Alfa Feto Protein (AFP), AFP- L3, des- y-carboxy prothrombin
( DCP), atau ( PIVKA- 2 ), vitamin B12, ferritin, antibodi antimitokondria, serologis
hepatitis B, dan C.

PanduanPraktikKlinis
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
Hepatoma

• Biomarker terbaru: profil genomik berbasis jaringan dan serum


• Radiologis :
- USG: lesi fokal/ difus di hati.
- CT-Scan abdomen atas dengan kontras 3 fase/ multifase: nodul di hati yang
menyangat kontras terutama di fase arteri dan ' early wash out di fase vena
(typical pattern).

DIAGNOSIS BANDING
Abses hati

TATALAKSANA
Algoritma terapi pada hepatoma dapat dilihat lebih lengkap pada gambar 1.

KOMPLIKASI
Ensefalopati hepatikum, ruptur tumor spontan, hematemesis melena, kegagalan
hati.1

PROGNOSIS
Pasien dengan hepatoselular karsinoma dini dapat bertahan selama 5 tahun
setelah dilakukan reseksi, transplantasi hati atau terapi perkutaneus sebesar 50-
70 %. Kekambuhan tetap dapat terjadi walaupun telah dilakukan terapi kuratif.
Kesintasan 1 dan 2 tahun adalah masing-masing 10 - 72 % dan 8-50%. Demikian
-
pula, HCC stadium lanjut dan Child Pugh C mempunyai prognosis yang sangat buruk.
-
Dilaporkan kesintasan untuk 6 bulan sebesar 5% pada HCC stadium Child Pugh C
dengan peritonitis bakteri spontan dan stadium lanjut.12

245
dti: iPrakdk llinls Hepatoloqi
Perhlmpunan DokferSpeslalls Penyakit Dalam Indonesia t

*
Massa < 1 cm pada USG observasi sirosis hatl

i
USG ulang dalam 3-4 bulan kedepan

i
Stabil dalam
i
16-24 bolan Mambesar

i
Kembali ke protokol
I
Tatalaksana
standar Evaluasi sesuai ukuran lesi
USG dalam 6-12 bulan

B Massa 1-2 cm pada USG observasi sirosis hati

1
Dua studi pencitraan dinamis

Pola vaskulartlpikal pada 2 i


studi pencitraan dinamis Pola vaskular tipikal Pola vaskular atipikal
dengan satu teknik pada kedua teknik
atau AFP > 200ng/mL

1
Diagnosis HCC
1
Biopsi

Non
1 Ulang biopsi atau
Positif pencitraan lanjutan
diagnostlk (MRI dengan kontras

ft khusus/USG kontras

i
Petubahan
ukuran/profll Non HCC
i
-
i
Ulang biopsi
dan atau
pencitraan

C Massa > 2 cm pada USG observasi sirosis hati

1
Pola vaskular atipikal pada 1 Pola vaskular tipikal
teknik pencitraan dinamis pada 1 teknik
atau AFP > 200ng/mL pencitraan dinamis

1
Diagnosis
1
HCC
Biopsi - Non HCC

1
r
Positif
l
Non
Ulang biopsi atau
pencitraan lanjutan
HCC diagnostik |MRI dengan kontras
khujus /l/SG kontras
t
i
Perubahan
ukuran/profit

1
Ulang biopsi
dan atau
pencitraan

Gambar 1. Algoritma Tatalaksana Hepatoma3

246
Hepatoma

PS 0 CP-A PS 0 /2 CP-A /B PS >2 CP-C

Single < 2 cm
c
< 3 le$i < 3 cm Multinodular Invasi vena porta
PS-0 PS-0 N1M1 PS 1-2

Single 3 nodul < 3 cm Terminal

Tekangn portal, Meningkat Ya Tldak


bilirubin

i
Kemoembol Sorafenlb

Y
Normal Pehydklt ferkait v
Terapi
simptomatlk

Tidak Ya

l I
Reseksi OLT PEI/RFA

Kesintasan 5 tahun 50-70% Kesintasan 5 tahun 40^50%


Kesintasan lOtahuri 10%
'

Gambar 2. Skema Stadium dan Strategi Tatalaksana Hepatoma berdasarkan Barcelona Cancer
of the Uver Clinic (BCLC). 3

247
A
'• 4 ) r
PnduanPraktik Klims Hepatoloqi
Pertimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
* v
-'
Klasifikasi dan stadium Hepatoma dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Stadium Hepatoma Menurut Berbagai Klasifikasi
Klasifikasi Tip
* Stadium Referent!
Stadium Okuda'1 Sistem 3 Stadium 1,11,111 7
French5 Nilai 3 A : 0 point 26
B : 1 -5 point
C : > 6 point
CUP 4 Nilai 7 0, 1, 2, 3. 4, 5, 6 27
Stadium BCLC 7 Stadium 5 0 : Sangat dini 11
A : Dini
B : Sedang
C : Lanjut
D : Stadium akhir
CUPI8 Nilai 3 Risiko rendah : nilai < 1 28
Sedang : 2-7
Risiko tinggo : > 8
Stadium TNM9 Sistem 3 Stadium I, II, III 29
JIS °' Nilai 4 Stadium I, II, III, IV 30
ER" Sistem 2 ER wild type 31
ER variant

UNIT YANG MENANGANI


• RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Gastroentero -
Hepatologi
• RS non Pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : Divisi Kardiologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam ,
Departemen Bedah, Divisi Bedah Digestif, Radiologi
Intervensi
• RS non Pendidikan : Bagian Bedah, Bagian Radiologi

REFERENSI
1. Webster ' s New World Medical Dictionary. 3rd Edition. Wiley Publishing. 2008.
. 2. Carr Bl. Tumors of the Liver and Biliary Tree. In : Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson
. ,
JL, Loscalzo J. Harrison ' s Principles of Internal Medicine 18 hEdition. New York, McGraw-Hill. 2012.
3. Sherman M. Primary Malignant Neoplasms of the Liver. In : Dooley JS, Lok ASF, Burroughs AK,
et al. Sherlock ' s Diseases of the Liver and Biliary System. 12lh Edition. United Kingdom: Blackwell
Publishing Ltd. 2011 . Hal 681 -95.

248
Hepatoma

.
4. Gtata 1C OMsuW 1» Obata H, Tomimatsu M, Okazaki N, Haregawwa H eft dL Natural history of
^
jfj

thepafccdlWlnr OOTtftnorTKJ and prognosis in relation to treatment. Cancer. 198536:918-28.


.
5L Chewirett S,limchelt JJC Mathieu D, Rached AA, Beaugrand M. Chasiamg C. A new prognostic
dtasrifflcariiani for predicting survival in patients with hepatocellular carcinoma. J Hepatol.
-
199931:133 41.
.
6 OUP.Ptraqpeciwe vdfelation of the CLIPi6ore: a rieW prognostic system far patients with c'rrhosis
and hepaittacdIMlnr carcinoma. Hepatology 2000 ;31:840-5.
7. lUlowelt JMl Ifinm C, Bwik J. Prognosis of hepatocellular carcinoma: the BC1LC staghg classification.
.
Semin lUtawr Ois 1999:19329-38.
.
&. ILewmg W„ Tong AM. Zee B Lau WY, Lai PB, Leung KL, et al. Construction of tie Chrtese Uraversily
Ptognaslc Mex far hepatocellular carcinoma and comparison with tie TNM stagUgsystem,
ire Okawtoi stognrog system, and the Cancer of the Liver Italian Projyanrr sfagjhg system: a study
'based . 2662
an 924 patients. Cancer. :94:176d-69.
9. V ’dtiiilthey
J; ILdiuMfefs OiEsrtadla N Do KA, Belghiti ' J, Mirza N, et dll. SimpMied staging fOr
,
heparfacellLiil r;catfq'norpq. JpinQpcoL 2002;20:1527-36.
10. ^
Orwimg HL Qsafci Y. Prognostic staging system forhepatoeefcAcxcarcinoma (CUP score):
isikrtkiiiiand irnniitatSoins. and a proposal for a new staging system, the Japan Integrated Staging
Scare ((JUS scare)) J Gastroenterol. 2003:38:207- 15.
. .
11. Vfc E, Caltainittarrii A, Gamma C Grottola A, Buttafoco . P, Getmini R elr ar. Estrogen receptor
clteaBiciottidirri Bor hepatocellular carcinoma: comparison with cinScoi staging"systems. J Cin
" '
' "
' ‘

"
OncalL 2003:21:441-4.
12. Hfans F„ Voiefa M, ILIIovet JM. Staging systems in hepatocellular c<xdnoma. HPB (Oxford). 2005;
7((1)):35-41. -;
f '

249
250

IKTERUS

DEFINISI
Ikterus adalah warna kuning pada jaringan tubuh karena deposit bilirubin . 2
Terlihatnya ikterus jika level bilirubin > 3 mg/ dL2 (tergantung dari warna kulit2).
Ikterus diklasifikasikan menjadi tiga kategori, tergantung pada bagian mana dari
mekanisme fisiologis mempengaruhi patologi. Klasifikasi ikterus tersebut adalah :
1. Pra - hepatik: Patologi yang terjadi sebelum hati.
2 . Hepatik: Patologi terletak di dalam hati .
3. Post-hepatik: Patologi terletak setelah konjugasi bilirubin dalam hati .

DIAGNOSIS

Anamnesis1
• Penggunaan obat- obatan jangka panjang seperti anabolik steroid, vitamin, herbal,
dll.
• Riwayat penggunaan obat- obatan suntik, tato, aktivitas seksual risiko tinggi
• Riwayat konsumsi makanan dengan kontaminasi yang tidak baik, konsumsi alkohol
jangka panjang
• Atralgia, mialgia, rash , anoreksia, berat badan turun, nyeri perut, pruritus, demam,
perubahan warna urin dan warna feses

Pemeriksaan Fisik1
• Stigmata penyakit hati kronis: spider nevi , palmar eritema, gynecomastia, caput
medusa.
• Atrofi testis pada sirosis hepatis dekompensata.
• Pembesaran kelenjar limfe supraclavicular atau nodul periumbilical : curiga
keganasan abdomen
• Distensi vena jugular, gejala gagal jantung kanan: pada kongesti hati
• Efusi pleura kanan, ascites: pada sirosis hati dekompensata
• Hepatomegali , splenomegali

PanduanPraktfk Minis
Perhlmpunan Dokier SpesiaBs Penyakit Dalam Indonesia
Ikterus

Laboratorium1 2
• Darah : Alkalin fosfatase ( ALP) , Aspartat aminotranferase ( AST ) , Alanin
Aminotransferase ( ALT) , bilirubin total , konjugasi bilirubin , bilirubin tak
terkonjugasi, albumin, protrombim time ( PT)
• Urin: urobilinogen, bilirubin urin
Tabel 1. Klaslfikasi Ikterus3
Ikterus
Tes fungsl
Pra hepatlk hepatlk Pos hepatlk
Bilirubin total Normal/ meningkat Meningkat Meningkat
Bilirubin terkonjugasi ( direct ) Meningkat Normal Meningkat
Bilirubin tak terkonjugasi ( indirect ) Meningkat Normal/meningkat Normal
Urobilinogen Meningkat Normal/ meningkat Menurun atau
negatif
Warna urine Normal Gelap Gelap
Warna feses Normal Normal Pucat
Alkaline fosfatase Normal Meningkat Meningkat
Alanin aminotransferase dan Normal Meningkat Meningkat
aspartat aminotransferase
Bilirubin terkonjugasi dalam urin Tidak ada Ada Ada
Penyakit yang berhubungan Malaria, spherositosis, Hepatitis virus, sirosis Batu saluran
anemia hemolitik, bilier primer empedu, kanker
sickle cells anemia pancreas, kanker
saluran empedu

DIANOSIS BANDING
Hiperkarotenemia

TATALAKSANA1
1. Tatalaksana suportif : koreksi cairan dan elektrolit, penurun demam ( jika disertai
demam ), dan lain lain .
2 . Tatalaksana sesuai dengan penyakit yang mendasari, dapat dilihat pada bab
malaria, hepatitis virus akut, sirosis hati, batu sistem bilier.

KOMPLIKASI
Sepsis, komplikasi lain sesuai dengan penyakit penyebabnya .

PROGNOSIS
Prognosis tergantung penyakit penyebabnya, lebih lengkap dapat dilihat pada bab
malaria , hepatitis virus akut, sirosis hati, batu sistem bilier, dan lain lain .

251
Hepatologi

Anamnesis, Pemeriksaan Ftsik. tab


AIT, AST, ALP, PT, albumin.

i
1
Iteritatftedl Bfrubin dcwi tes ftuirnjpi ttnnfii
dtewaffiiorrn tta'ilhiuttjfmi kwirrya merrfinigjfantt

l
f 1 f
^
ndiek (direUc < 1K5)
-
' ftpefhillr tirrer iic, Mipsitbllliubinemia Pola hepatoseMer :
Wn/tai Itatlefltnfllk <W
diiek Jdftek > 15%) peningkatan ALT/ AST
tHlluioir [pmnpicmii ASKWII
i I
diluar proporsi ALP

Oibatt : irfltarjnpfflrnt Kdidinan bawaan

1
,

probetnyedid) diiDtn'im Johnson 1 . Serologis virus : antigen


sproMnrne. rotor's
permukaan Hep B, IgM
syirndhame OMmsttidfadk
Hep A, core antibody Dtottasi diiiMuis:
(djltdtnni ;;
KeteainCTra bawwnfflirii :: (IgM), Hep C RNA cfejnuttObtitauikrtlf
QUbetrt ’s sytrrrctaTnte,, 2. Staining keracunan ; ItadteWis
Qrig/lar-Wtaiifnff level acetaminophen fpxmwsTrttehmtntl
3. Ceruloplasmin (pea us»a

1
syindlrofnn®
< 40 tahun)
4. ANA, SMA. LKM. SPB>


ICdtanmami KneirmnlBk.. CT/HMDP//tMlBDP Ttemndtaffls ::
erihopaoeas iimelfeMlf /WMtA,s£n®ttmgj&
.
HiffipmHHa IHtepA,
Tes vkologct
lambahan : CMV
DMtCW '
DNA, EBV capsid
.
antigen Hep D
antibody (jlca ada
indikasi). Hep E IgM SbqprilMioffi
( jika ada indicasi)

1"
Hops!hafl

Comtxx 1. Algoritma Evaluasi Pasien dengan Ikteius

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Diwisi GasttroetmtandliBgii-
Hepatologi
• RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKATT
• RS pendidikan : Departemen Bedah, Divisi Bedah Digestif
• RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Bagian Bedah

REFERENSI
l. Jaundice. Ddtatnrn : Fauai A. Kasper D, Longo D, Braunwaid E, Hauser 3., Jameson J„ Loscaitao J,
editors. Harrison 's ptiinvdptes of internal medicine. 18,h ed. United States of Armetiica;lifoe McGrawv-
Hi Companies, 2012.
2. Liver and Bifictiy tract Dakim : McPhee, Stephen J. Papadakis, Mtat»ine A. Current tvtediDdl
Diagnosis anal Tireaflmeml Ihe McGraw Hills Companies. 2011
3. Approach to palfenf with jaundice or abnormal liver test results.Dataim :: Ausiello. Goldman. Cecil
Medicine 23rd edition. Saunders : Philadhelphia. 2007.

252
253

KOLANGITIS

PBiGERTIAN
Kollamgittiis adalab inflamasi dan infeksi pada saluran empedu yang paling sering
diisefeabkam aUi karena koledokolitiasis. Penyebab lain antara lain karena intervensi/
nmamipiuillasi dam pemasangan stent, keganasan hepatobilier, hepatolitiasis.13 Kuman
tterseriinig pemydbab infeksi yaitu Escherichia coli, Klebsiella, Enterococcus Sp, dan
BadtemMes Jfmgilis..4 Ada 2 jenis kolangitis yaitu primary sclerosing cholangitis dan
secondary sclerosing cholangitis. Pada bab ini akan dibahas mengenai secondary
sclerosing cholangitis Secondary sclerosing cholangitis disebabkan oleh5
• Trauma saat operas!
• Iskemmia imisalnya trombosis arteri hepatik setelah transplantasi, atau kemoterapi
trams arterial
Bata kamdumg empedu
• Infeksi baktteri/Vinis (sitomegalovirus, kriptosporidiosis, sepsis berat)
• Lmka camstiic misalnya pada terapi formalin untuk kista hidatid
• Ramkireatiittiis autoimun berhubungan dengan IgG4
» Kejjamasam
• Pemyakit latti polikistik

-
• Slmosis
Kistik fibrosis

DIAGNOSIS

AiKMmesis
Nyeri abdomen yang dirasakan tiba-tiba dan hilang-timbul, dapat disertai dengan
mengjgDgBl dam kaku. Riwayat koledokolitiasis atau manipulasi traktus bilier.4

Pemeriksoan fisic
Rada pasiem usia lanjut dapat terjadi perubahan status mental, konfusi, letargi,
atau delirium. Trias Charcot terdiri dari nyeri abdomen kuadran kanan atas, ikterik,

Pcftmipiiimnnn QMUter
^raa inilB Mbm flmdtomesb
'
CT£ PanduanPrakUk Minis
III
• Perhimpunan Dokfer Spcsialis Penyakit Dalarn Indonesia
Hepatologi
/

dan demam. Perubahan status mental disertai hipotensi dan Trias Charcot dikenal
dengan Reynolds’ pentad yang bisa terjadi pada kolangitis supuratif berat. 4

Pemeriksaan Penunjang4
• DPL: leukositosis
• Fungsi hati : hiperbilirubinemia, peningkatan alkali fosfatase, enzim transaminase,
serum amilase jika ada pankreatitis.
• Kultur darah : positif pada 50 % kasus
• Kultur empedu : positif hampir pada semua kasus.
• Ultrasonografi abdomen: untuk diagnosis dan terapeutik
• Endoscopic retrograde cholangiopancreatography ( ERCP)
• Percutaneous transhepatic cholangiography ( PTC)

DIAGNOSIS BANDING
Primary sclerosing cholangitis, infeksi

TATALAKSANA4
• Hidrasi dengan cairan intravena dan koreksi ketidakseimbangan elektrolit
• Antibiotik :
Derivat penisilin (piperasilin) : untuk gram negatif
Sefalosporin generasi II atau III (ceftazidim): untuk gram negative, cefoksitin
2 gram intravena setiap 6-8 jam
Ampisilin untuk gram positif
Metronidasol untuk kuman anaerob
Fluorokuinolon (siprofloksasin, levofloksasin)
Keadaan umum pasien akan membaik dalam 6-12 jam setelah pemberian
antibiotik dan dapat diatasi dalam 2-3 hari. Jika dalam 6-12 jam tidak membaik,
harus segera dilakukan tindakan dekompresi secepatnya.
• Dekompresi dan drainase sistem bilier: jika tekanan dalam bilier meningkat karena
adanya obstruksi
Non operatif
° Percutaneous cholecystostomy
° Percutaneous transhepatic biliary drainage ( PTBD ): tindakan drainase
bilier tanpa operasi.
Drainase bilier dengan pemasangan NBT ( Naso Billiary Tube] atau Stent
0

bilier melalui tindakan ERCP


Operatif : jika tindakan non operatif tidak berhasil.

254
Kolangitis |p

KOMPLIKASI
Sepsis, kematian

PROGNOSIS
Angka kematian bervariasi antara 13- 88 %.

UNIT YANG MENANGANI


• RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Gastroenterologi -
Hepatologi
• RS non Pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT YANG TERKAIT


• RS Pendidikan
• RS non Pendidikan

REFERENSI
1 . .
Lee JG Diagnosis and management of acute cholangitis. Nat Rev Gastroenterol Hepatol . Aug
4 2009
2. .
Esmaeilzadeh M, Ghafouri A, Mehrabi A Various techniques for the surgical treatment of common
.
bile duct stones: a meta review. Gastroenterol Res Pract 2009:2009:840208.
3. Li FY, Cheng NS, Mao H, Jiang LS, et al. Significance of controlling chronic proliferative cholangitis
in the treatment of hepatolithiasis. World J Surg. Jul 30 2009: Diunduh dari http://www.wjgnet.
com/ 1007-9327 / 15 / 95.asp pada tanggal 22 Mei 2012.
4. Wang D, Afdhal N. Gallstone Disease. In : Feldman M, Friedman L, Brandt L. Sleisenger and
Fordtran ' s Gastrointestinal and Liver Disease: Pathophysiology/Diagnosis /Management. 9lh ed .
USA: Elsevier. Chapter 65.
5.
, .
Rushbrook S, Chapman RW. Sclerosing Cholangitis In: Dooley J, Lok A, Burroughs A, Heathcote
E Diseases of the Liver and biliary System. 12 h ed. UK : Blackwell Science.p 342-352

255
256

KOLESISTITIS

PENGERHAN
Kolesistitis akut adalah reaksi inflamasi kandung empedu dengam/atau tanpa
adanya batu, akibat infeksi bakterial akut yang disertai keluhan nyeri pernt kanan
atas, nyeri tekan dan panas badan. Faktor yang mempengaruhi terjadinya kolesistitis
akut yaitu statis cairan empedu, infeksi kuman, dan iskemia dindimg kamdumg
empedu. Kuman yang tersering menyebabkan kolesistitis akut yaitu EColi Strep.
Fecalis, Klebsiella, anaerob ( Bacteroides dan Clostridia); kuman akan mendekonjjugpsi
garam empedu sehingga menghasilkan asam empedu toksik yang memmsak mukosa.
Penyebab utarna adalah batu kandung empedu yang terletak di duktus sisltiikims sebingga
menyebabkan statis cairan empedu, sedangkan sebagian kecil kasus timbul taupa
adanya batu empedu (kolesistitis akut akalkulus) seperti karena reguurgitasi enzimn
.
pankreas. Wanita obesitas, dan usia lebih dari 40 tahun akan lebib serinig terkena.1'2

DIAGNOSIS

Anamnesis
Nyeri epigastrium atau perut kanan atas yang dapat menjalar ke daeirah pundak,
skapula kanan dapat berlangsung sampai 60 menit tanpa reda, disertai demam.1
Nyeri dapat dirasakan tengah malam atau pagi hari, penjalaran dapat ke sisi kniri
menstimulasi angina pektoris. Nyeri timbul dipresipitasi oleh makaman ttiuggi lemak,
palpasi abdomen, atau yawning. 2

Pemeriksaan Rsk
Peningkatan suhu tubuh mengindikasikan adanya infeksi kuinai. Posisi pasien
akan menekuk badannya, teraba massa kandung empedu, nyeri tekan disertai tanda-
tanda peritonitis lokal, tanda Murphy (+), ikterik biasanya menunjukkan adanya batu
di saluran empedu ekstrahepatik1

m PemtTiirmffiiuiTTioini Dtartdterr
( FFtemjpnikilt imcdtaimTi IbraltniieMi
Kolesistitis

Pemeriksaan Penunjang1 2
• Laboratorium: DPL (leukositosis ), SGOT, SGPT, fosfatase alkali , bilirubin meningkat
( jika kadar bilirubin total > 85.6 mol / L atau 5 mg / dl dicurigai adanya batu di
duktus koledokus), kultur darah
• USG hati: penebalan dinding kandung empedu ( double layer) pada kolesistisis
akut, sering ditemukan pula sludge atau batu
• Cholescintigraphy

Tabel 1. Kriteria Diagnosis Kolesistitis Akut Tanpa Batu3


Teknlk HasH Pemeriksaan
Klinis dan laboratorium Nyeri tekan kuadran kanan atas, demam, leukositosis, amylase meningkat
Ultrasonografi Penebalan dinding kandung empedu |> 4 mm) tanpa adanya asites dan
hipoalbuminemia. Adanya cairan di perikolesistik, Muphy ’ s sign yang positif
pada ultrasonografi
CT scan Penebalan dinding kandung empedu ( > 4 mm) tanpa adanya asites dan
hipoalbuminemia. Adanya cairan di perikolesistik, edema subserosal (tanpa
adanya asites) , gas intramural, atau kerusakan mukosa
Scintigraphy Tidak tampak kandung empedu dengan ekskresi radionuklir yang normal ke
hepatobilier dalam duktus bilier dan duodenum.

Kriteria Diagnosis Kolesistitis Akut dengan Batu :2


• Tanda Murphy ( +)
• Ultrasonografi :
Penebalan dinding kandung empdu (> 5 mm)
Distensi kandung empedu
Adanya cairan di perikolesistik
Adanya edema subserosa (tanpa asites)
Adanya udara intramural
Kerusakan membran mukosa
Kolesistisis ( + )

DIAGNOSIS BANDING
Angina pektoris, infark miokard akut, apendisitis akut retrosaekal, tukak peptik
perforasi, pankreatitis akut, obstruksi intestinal 2

TATALAKSANA

Kolesistitis Akut Tanpa Batu2


Tirah baring

257
w fSSSJSmSS. Hepatologi

Pemberian diet rendah lemak pada kondisi akut atau nutrisi parsial/ parenteral
bila asupan tidak adekuat
Hidrasi kecukupan cairan tambahkan hidrasi intravena sesuai klinis
Pengobatan suportif (antipiretik, analgetik, pemberian cairan infus dan
mengoreksi kelainan elektrolit]
Antibiotika parenteral: untuk mengobati septikemia dan mencegah peritonitis
dan empiema.
Anibiotikyangbersprektrum luas seperti golongan sefalosporin, dan metronidazol
Kolesistektomi awal lebih disarankan karena menurunkan morbiditas dan
mortalitas. Jika dilakukan selama 3 hari pertama, angka mortalitas 0.5 %. Ada
juga yang berpendapat dilakukan setelah 6-8 minggu setelah terapi konservatif
dan keadaan umum pasien lebih baik.

Kolesistitis Akut dengan Batu2


- Pengobatan suportif [antipiretik, analgetik, pemberian cairan infus dan
mengoreksi kelainan elektrolit]
Antibiotika parenteral
- Surgical Cholecystectomy dan Cholecystostomy segera
- Percutaneous Cholecystostomy dengan bantuan ultrasonografi: jika kondisi
umum pasien buruk
Transpapillary Endoscopic Cholecystostomy
Endoscopic Ultrasound Biliary Drainage ( EUS - BD )

KOMPLIKASI
Gangren / empiema kandung empedu, perforasi kandung empedu , fistula ,
peritonitis umum, abses hati, kolesistitis kronik 2

PROGNOSIS
Penyembuhan total didapatkan pada 85% kasus, sekalipun kandung empedu
menjadi tebal, fibrotik, penuh dengan batu, dan tidak berfungsi lagi. Tidak jarang
menjadi rekuren, maksimal 30 % akan rekuren dalam 3 bulan ke depan. Pada 50 %
kasus dengan serangan akut akan membaiktanpa operasi, dan 20 % kasus memerlukan
tindakan operasi. Tindakan bedah akut pada usia lanjut [ > 75 tahun] mempunyai
prognosis yang buruk.2 Pencegahan kolesistitis akut dengan memberikan CCK 50 ng/
kg intravena dalam 10 menit, terbukti mencegah pembentukan sludge pada pasien
yang mendapatkan total parenteral nutrition.3

258
Kolesistitis

KOLESISTITIS KRONIK

PENGERTIAN
Kolesistitis kronik adalah inflamasi pada kandung empedu yang berlangsung lama
dan berhubungan dengan adanya batu di kandung empedu, kolesistitis akut atau subakut
yang berulang, atau iritasi dinding kandung empedu karena batu. Adanya bakteria di
dalam empedu ditemukan pada > 25 % pasien dengan kolesistitis kronik.4

DIAGNOSIS

Anamnesis
Gejala sangat minimal dan tidak menonjol seperti dispepsia, rasa penuh di
epigastrium, dan nausea setelah makan makanan berlemak. Perlu ditanyakan riwayat
batu empedu dalam keluarga, ikterus, kolik berulang. 2

Pemeriksaan Fisik
Ikterus, nyeri tekan pada daerah kandung empedu, tanda Murphy (+ ) 2

Pemeriksaan Penunjang'
• Ultrasonografi: melihat besar, bentuk, penebalan dinding kandung empedu, batu
dan saluran empedu ekstra hepatik. Nilai kepekaan dan ketepatan USG mencapai
90 -95 %
• MRCP ( Magnetic Resonance Choledochopancreaticography ): melihat adanya batu
di kandung empedu dan duktus koledokus
• -
ERCP ( Endoscopy Retrogade Choledochopancreaticography). bisa digunakan juga
untuk terapi
• Kolesistografi oral: gambaran duktur koledokus tanpa adanya gambaran kandung
empedu

DIAGNOSIS BANDING
Intoleransi lemak, ulkus peptik, kolon spastik, karsinoma, kolon kanan, pankreatitis
kronik, dan kelainan duktus koledokus.2

TATALAKSANA
Jika gejala + dengan /tanpa batu empedu : kolesistektomi2

259
trS h»duan Prakllk Kllnls Hepatoloqi
Pettwnpunan Dokler Spesiais Penyakit Dalam Indonesia I

KOMPLIKASI
Keganasan kandung empedu, jaundice , pankreatitis, empiema dan hydrops,
gangren, perforasi, pembentukan batu kandung empedu dan fistula.3 4

PROGNOSIS
Angka rekurensi mencapai 40 % dalam 2 tahun. Jarang menjadi karsinoma kandung
empedu dalam perkembangan selanjutnya.2

UNIT YANG MENANGANI


• RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Gastroentero-
Hepatologi
• RS non Pendidikan : Bagian llmu Penyakit Dalam

UNIT YANG TERKAIT


• RS Pendidikan
• RS non Pendidikan

REFERENSI
i. Pridady. Kolesistitis. Dalam Dalam: Suyono, S. Waspadji, S. Lesmana, L. Alwi, I. Setiati, S. Sundaru,
H. dkk. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi V . Jakarta: Interna Publishing; 2010. Hal.718-726
2. Sherlock S, Dooley J. Gallstones and Benign Biliary Disease. In: Dooley J, Lok A , Burroughs A,
Heathcote E. Diseases of the Liver and biliary System. 12th ed. UK : Blackwell Science. P257-293
3. Andersson KL, Friedman LS. Acalculous Biliary Pain, Acalculous Cholecystitis, Cholesterolosis,
Adenomyomatosis, and Polyps of the Gallbladder. In :Feldman M, Friedman L, Brandt L. Sleisenger
and Fordtran ' s Gastrointestinal and Liver Disease: Pathophysiology / Diagnosis /Management 9lh .
ed. USA: Elsevier. Chapter 67.
4. Greenberger NJ. Diseases of the Gallbladder and Bile Ducts. In: Fauci AS, Kasper DL, Longo DL,
Braunwald E, Lauser SL, Jameson JJ, et al, eds. Fiarrison' s Principles of Internal Medicine. Edisi
ke-17. New York: McGraw-Hill 2008. Chapter 311.

260
261

PENYAKIT PERLEMAKAN HATI


NON ALKOHOLIK

PENGERTIAN
Penyakit perlemakan hati non alkoholik ( NAFLD / Non Alcoholic Fatty Liver atau NASH/
Non Alcoholic Steatohepatitis ) merupakan suatu sindrom klinis dan patologis akibat
perlemakan hati, ditandai oleh berbagai tingkat perlemakan, peradangan dan fibrosis
pada hati. Perlemakan hati (Fatty liver atau steatosis) merupakan suatu keadaan
adanya lemak di hati (sebagian besar terdiri dari trigliserida) melebihi 5% dari
seluruh berat hati yang disebabkan kegagalan metabolisme lemak hati dikarenakan
defek di antara hepatosit atau proses transport kelebihan lemak, asam lemak, atau
karbohidrat karena melebihi kapasitas sel hati untuk sekresi lemak. Kriteria non
alkoholik disepakati bahwa konsumsi alkohol 20 gram / hari. Terjadinya perlemakan
hati melalui 4 mekanisme yaitu :1 Z
• Peningkatan lemak dan asam lemak dari makanan yang dibawa ke hati.
• Peningkatan sintesis asam lemak oleh mitokondrial atau menurunnya oksidasi
yang meningkatkan produksi trigliserida
• Kelainan transport trigliserid keluar dari hati
• Peningkatan konsumsi karbohidrat yang selanjutnya dibawa ke hati dan dikonversi
menjadi asam lemak.
Faktor risiko : obesitas, diabetes melitus, hipertrigliserida, obat-obatan (amiodaron,
tamoksifen, steroid, estrogen sintetik), dan toksin (pestisida ).3 Berdasarkan tingkat
gambaran histopatologikada beberapa perjalanan ilmiah penyakit ini yaitu perlemakan
hati sederhana, steatohepatitis, steatohepatitis yang disertai fibrosis dan sirosis.
Hipotesis terjadinya NAFLD yaitu :2
• First Hit
terjadi akibat penumpukan lemak di hepatosit akibat peningkatan lemak bebas
pada dislipidemia, obesitas, diabetes mellitus. Bertambahnya asam lemak bebas
di dalam hati akan menimbulkan peningkatan oksidasi dan esterifikasi lemak
pada mitokondria sel hati sehingga pada akhirnya akan meningkatkan kerusakan
mitokondria itu sendiri12

Panduan Pratt Klinis


*
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
(fjV
fjy
Pandi raktikKIinis Hepatoloq i
I
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakil Dafam Indonesia
w

• Second Hit
peningkatan stres oksidatif dapat terjadi karena resistensi insulin, peningkatan
-
endotoksin di hati, peningkatan aktivitas un coupling protein mitokondria, pe-
ningkatan aktivitas sitokrom P 450, peningkatan cadangan besi, dan menurunnya
aktivitas anti oksidan. Ketika stres oksidatif yang terjadi melebihi kemampuan
perlawanan anti oksidan, maka aktifasi sel stelata dan sitokin pro inflamasi akan
berlanjutdengan inflamasi progresif, pembengkakan hepatosit dan kematian sel,
pembentukan badan Mallory, serta fibrosis. 1,2

DIAGNOSIS

Anamnesis
Umumnya pasien tidak menunjukkan gejala atau tanda -tanda penyakit hati,
Beberapa pasien mengeluhkan rasa lemah, malaise, rasa mengganjal di perut kanan
atas. Riwayat konsumsi alkohol, riwayat penyakit hati sebelumnya.2

Pemeriksaan Fisik
Dapat ditemukan adanya kelebihan berat badan, hepatomegali, komplikasi sirosis
yaitu asites, perdarahan varises. Sindrom resistensi insulin : obesitas (lemak viseral ).12

Pemeriksaan Penunjang2 4
• Fungsi hati : peningkatan ringan (< 4 kali) AST (aspartate aminotransferase ), ALT
[ alanine aminotransferase ). AST > ALT pada kasus hepatitis karena alkohol .
• Alkali fosfatase, gamma GT [glutamil transferase) : dapat meningkat
• Bilirubin serum, albumin serum, dan prothrombin time: dapat normal, kecuali
pada kasus NAFLD terkait sirosis hepatis.
• Gula darah, profil lipid, seromarker hepatitis.
• ANA, anti ds DNA : titer rendah ( < 1 : 320)
• USG: gambaran bright liver
• CT Scan
• MRI : deteksi infiltrasi lemak
• Biopsi hati : baku emas diagnosis. Ditemukan 5-10 % sel lemak dari keseluruhan
hepatosit, peradangan lobulus, kerusakan hepatoselular, hialin Mallory dengan
atau tanpa fibrosis. Kegunaan biopsy hati : membedakan steatosis non alkoholik
dengan perlemakan tanpa atau disertai inflamasi, menyingkirkan etiologi penyakit
hati lain, memperkirakan prognosis, dan menilai progresi fibrosis dari waktu ke
waktu. Grading dan staging NAFL :

262
Penyakit Perlemakan Hati Non Alkohol

DIAGNOSIS BANDING
Hepatitis B dan C kronik, penyakit hati autoimun, hemokromatosis, Penyakit
Wilson ’s, defisiensi a1 antitripsin1

TATALAKSANA

Non farmakologis
Mengontrol faktor risiko : penurunan berat badan, kontrol gula darah, memperbaiki
profil lipid, memperbaiki resistensi insulin, mengurangi asupan lemak ke hati, dan olah
raga2,3

Aminotransferase serum meningkat


dan /atau hepatomegali

Anamnesis menyihgkirkan adanya pemakaian


alkohol dan pemeriksaan pen.unjang Iqinnya
untuk menyirigkirkan penyebab lain

USG, CT scan, atau MRI

Normal Perlemakan hati +

Biopsi hati Pikirkan biopsi hati untuk


menentukan stage
penyakit dan risiko progresi

Gambar 1. Algoritma Pendekatan Diagnosis pada NAFLD4

263
'
tirS
VMV
; Panduan PraktikKlinis Hepatoloqi
PerhlmpunanDoklerSpesialisPenyakilDalam Indonesia
* C /

Farmakologis
• Antidiabetik dan insulin sensitizer: 2 3
metformin 3x500 mg selama 4 bulan didapatkan perbaikan konsentrasi AST dan
ALT, peningkatan sensitivitas insuin, dan penurunan volume hati. Cara kerja:
meningkatkan kerja insulin pada sel hati dan menurunkan produksi glukosa
hati melalui penghambatan TNF-a.
• Tiazolidindion (pioglitazon) : memperbaiki kerja insulin di jaringan adipose.5
• Obat anti hiperlipidemia 23
Gemfibrozil: perbaikan ALT dan konsetrasi lipid setelah pemberian 1 bulan
- Atorvastatin: perbaikan parameter biokimiawi dan histologi
• Antioksidan 2'3,5
Tujuan: mencegah steatosis menjadi steatohepatitis dan fibrosis
- Vitamin E, vitamin C, betain, N-asetilsistein.
- Vitamin E 400, 800 IU / hari dapat menurunkan TGF- p, memperbaiki inflamasi
dan fibrosis, perbaikan fungsi hati dengan cara menghambat produksi sitokin
oleh leukosit.
Betain berfungsi sebagai donor metil pada pembentukan lesitin dalam siklus
metabolik metionin, dengan dosis 20 mg / hari selama 12 bulan terlihat
perbaikan bermakna konsentrasi ALT, steatosis, aktivitas nekroinflamasi, dan
fibrosis.
Ursideoxycholic acid (UDCA) adalah asam empedu yang mempunyai efek
imunomodultor, pengaturan lipid, efek sitoproteksi. Dosis 13-15 mg/ kg berat
badan selama satu tahun menunjukkan perbaikan ALT, fosfatase alkali, gamma
GT, dan steatosis tanpa perbaikan bermakna derajat inflamasi dan fibrosis. 2

KOMPLIKASI
Sirosis hati, karsinoma hepatoselular 3

PROGNOSIS
Pada 257 pasien NAFL yang dipantau selama 3,5 tahun sampai 11 tahun melalui
biopsi hati, didapatkan 28 % mengalami kerusakan hati progresif, 59 % tidak mengalami
perubahan, dan 13 % membaik. Pasien steatohepatitis non alkoholik memiliki kesintasan
yang lebih pendek yaitu 5-10 tahun, kesintasan 5 tahun hanya 67% dan kesintasan 10
tahun 59%. Banyak faktor yang mempengaruhi mortalitas yaitu obesitas, diabetes melitus
dan komplikasinya, komorbiditas lain yang berkaitan dengan obesitas, serta kondisi hati
sendiri.2

264
Penyakit Periemakan Hati Non Alkohol ®g|

Pada beberapa penelitian menunjukkan bahwa NAFL merupakan kondisi yang


herlangsung kronik (beberapa tahun) dan tidak akan berkembang menjadi penyakit
hati berat. Fungsi hati tetap stabil dalam beberapa waktu. Pada beberapa pasien ,
IN1AFLD dapat berkembang menyebabkan kerusakan hati pada 3% pasien , 54 % tetap
stabil, dan 43 % pasien memburuk. Risiko menjadi sirosis yaitu 8- 26 %.
3

UNIT YANG MENANGANI


• RS Pendidikan : Departemen limn Penyakit Dalam - Divisi Gastroentero -
Ilepatologi
RS non Pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT YANG 1ERKAIT


RS Pendidikan
• RS non Pendidikan : -

REFERENSI
11 . Shotlock:S, Oodtey JL INtanHdicahafc Fatty ILihrer Disease amid Nutrition. In: Dooley J, LokA, Burroughs
,
A, IHteotlhcol Diseases olf line iLiraor and Wary System. 12 hed. UK : Blackwell Science. P 546 567 -

2 . .
Hnsm Item Porltemalism Mafi iNim AJIkdhdI. Ddtanni: Suryorno, S. Waspadji, S. Lesmana, L. Alwi, I.
A]mlirTOPmyWtDolarn. Jfliidill- Edisi V. Jakarta: Interna Publishing;
20ML HdL&25-roil
3. Kaftan M. INtoimdlcoltiiolfc steafohepatife JNASH)). Diuffiduh dari http: / / www.u ptodate com / .
contteBte//pciiieirntHWoiriiiMrtic!)rHnt(mallco)hdric-$tfeato!hepatitis -nash-beyond- the -basics pada
Itamggdl 22 Moi 20112
4. Reiid AE. INtandiooltitenc ffottlly liwer dfeease. h : ifelldinnian !M , Friedman L, Brandt L. Sleisenger and
tadfcmi's Gasltuoir»ttesfin»dl and ILwer Disease:Pattlbophysitek>gy/Diagnosis / Management. 9 ed.
' lh

USA;Etoewiisr.. Qrapter 85.


5.. Saniya AJI„ Ctotearai INI Kowteltey ICVef dll. Piogflittazime,, Vitamin E, or Placebo for Nonalcoholic
.
Sltealtahepoiik IN Brngl J Med 2010:362;II 675-85.

265
266

SIROSIS HATI

PENGERTIAN
Sirosis adalah penyakit hati kronis yang ditandai dengan hilangnya arsitektur lobulus
normal oleh fibrosis, dengan destruksi sel parenkim disertai dengan regenerasi yang
membentuk nodulus. Penyakit ini memiliki periode laten yang panjang, biasanya diikuti
dengan pembengkakan abdomen dengan atau tanpa nyeri, hematemesis, edema dan
ikterus. Pada stadium lanjut, gejala utamanya berupa asites Jaundice, hipertensi portal,
dan gangguan sistem saraf pusat yang dapat berakhir menjadi koma hepatikum.1 3 '

Etiologi sirosis dapat dilihat pada tabel 1.


Tabel 1. Etiologi Sirosis2
Alkoholisme
Sirosis kardiak :
Hepatitis autoimun
Steatohepatitis non-alkoholik
Sirosis biliar : sirosis biliai primer , primary sclerosing cholangitis , kolangiopati autoimun
Hepatitis virus kronis, hepatitis B, Hepatitis C

,
Penyakit hati metabolik diturunkan : hemokromatosis, penyakit Wilson, defisiensi a -antitripsin,
fibrosis kistik
Sirosis kriptogenik

DIAGNOSIS

Anamnesis4
• Perasaan mudah lelah dan berat badan menurun
• Anoreksia, dispepsia
• Nyeri abdomen
• Jaundice, gatal, warna urin lebih gelap dan feses dapat lebih pucat
• Edema tungkai atau asites
• Perdarahan : hidung, gusi, kulit, saluran cerna
• Libido menurun
• Riwayat: jaundice , hepatitis, obat- obatan hepato toksik, transfusi darah

PanduanPraktik Minis
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
Sirosis Hati &
• Kebiasaan minum alkohol
• Riwayat keluarga : penyakit hati, penyakit autoimun
• Perlu juga dicari gejala dan tanda :
Gejala awal sirosis (kompensata ):
Perasaan mudah lelah dan lemas, selera makan berkurang, perasaan perut
kembung, mual , berat badan menurun.
Gejala lanjut sirosis (dekompensata]:
Bila terdapat kegagalan hati dan hipertensi portal , meliputi hilangnya rambut
badan , gangguan tidur, demam subfebris, perut membesar. Bisa terdapat
gangguan pembekuan darah, perdarahan gusi, epistaksis, hematemesis melena,
ikterus , perubahan siklus haid, serta perubahan mental . Pada laki - laki dapat
impotensi , buah dada membesar, hilangnya dorongan seksualitas .

Pemeriksaan Fisik2 4
• Status nutrisi , demam, fetor hepatikum, ikterus, pigmentasi, purpura, clubbing
finger, white nails, spider naevi , eritema palmaris, ginekomastia, atrofi testis,
distribusi rambut tubuh, pembesaran kelenjar parotis, kontraktur dupuytren —
(dapat ditemukan pada sirosis akibat alkoholisme namun dapat juga idiopatik) ,
hipogonadisme, asterixis bilateral , tekanan darah .
• Abdomen: asites, pelebaran vena abdomen, ukuran hati bisa membesar / normal /
kecil, splenomegali
• Edema perifer
• Perubahan neurologis: fungsi mental, stupor, tremor

Pemeriksaan Penunjang2 4
1. Laboratorium :
a . Tes biokimia hati
• SGOT / SGPT: dapat meningkat tapi tak begitu tinggi, biasanya SGOT lebih
meningkat dari SGPT, dapat pula normal
• Alkali fosfatase: dapat meningkat 2 - 3x dari batas normal atau normal
• GGT: dapat meningkat atau normal
• Bilirubin: dapat normal atau meningkat
• Albumin : menurun
• Globulin meningkat : rasio albumin dan globulin terbalik
• Waktu protrombin: memanjang

2S7
Q EKSHHSfJH! Hepatologi
b. Laboratorium lainnya
Sering terjadi anemia, trombositopenia, leukopenia, ndnpsiia riikaiiltkan demgain
hipersplenisme. Bila terdapat asites, periksa eiektroht. ureum. kreatnran,, timhamg
setiap hari, ukur volum urin 24 jam dan ekskresi natrium urin.
2 . Pencitraan
• USG : sudut hati, permukaan hati. ukuran,homogenitas, dan ada tidaknya massa,
pada sirosis lanj ut hati mengecil dan nodular; permukaan iregulei; peningkatara
ekogenitas parenkim hati, vena hepatika sempit dan berkelok-kelok.
• Transient Elastography (fibroscan®]
• CT scan : informasi sama dengan USG biaya relatif mahal, MRI
• EEG bila ada perubahan status neurologis
3. esofagugastroduodenoskopi, staining varises esofagus.
4. Biopsi hati : Algoritma biopsi pada pasien dengan hepatitis virus kronis dapat
dilihat pada gambar 1.
5. Cek AFP untuk skrining hepatoma.
6. Mencari etiologi : serologi hepatitis ( HbsAg. anti HCV), hepatitis autoimun (ANA,,
antibodi anti-smooth muscle ), pemeriksaan Fe dan Cu ( atas kecurigaan adanya
penyakit Wilson ], pemeriksaan a -antitripsin (atas indikass pada yang memiliki
riwayat merokok dan mengalami PPOK), biopsi hati.

Hepatitis virus kronis

1
Lakukan 2 tes fibrosis inominwasffi
I
* A
"

Hasil bertentangan rtasll seseai

I
Biopsi hanya bila hasilnya
l
BoMi adcnrya
i 1
-
Host rmrltemnneidfoitte
akan mempengaruhi fibrosis irfograni [lR2 3[ F4

1 I
tatalaksana

1
Biiopai fiddle Bibpsii hamyra Mia Biopsi fidok
ditaMcan haHltnrya dkom dflMnutara
mempeogainuM
takrtaiksoina

Gambar 1. Algoritma Biopsi da Pasien dengan HepaHfe Vfius Kronis*

268
Sirosis Hati

Tafael 2. Gambaran KdopaMogis dan Bologi Siroas*


Aefdo - Globul Mal - Hapatosit
phllk PAS lory' s ground -
bodies (+) hyaline glass
IHtepatiffs ffi MdknaMtaiiD + +
modUtor
IHteptnlfjlliE C /Mtataw
INtadUtair ^ltao ±

AltaM
modular ^
Maio nmakiiiD -H- ± ± ± +

/MlkramodUlnir ± +
(tea's

IBemjfdtaif
'
(MtaltaonodU- ± ± ± + +
WMIboni liar
Offiffisiemai o,- /Miltau//inmnkir<n> ± ± ± ± + ±
omtfnripaini ittodUtair
IHIKnr primmer fflllrar + ±

QWiUfcsi m&rnised
uririrram wgmu
'
Opemasi /MitaranodUtair ± ±
(bypass UJJBUS

SITUSS mnasci
'
ftritilkiriamudUtetr ±
tamaik-lbnmirifc
llmdtam
-
^iiin aUra
fetomwiyiuiiii: ttniamarm#?m tlrdinlk <mitta; it rrmum ; ttninfflnimDrai mini

DIAGNOSIS BANDING
Hepatitis kronik aktif.2

KOMPUKASI
Vaiises esoiagus/gaster, hipertensi portal, peritonitis bakterial spontan, sindrom
hepatorenal, simdromltiepatnpiilinonal, gangguan hemostasis, ensefalopati hepatikum,
gastropati Mpeitensi portal.1

TATALAKSANA2'*
• Istirahat cukup
• Diet seimbamg (ttergamtung kondisi klinis)
• Pada pasien sirosis dekompensata dengan komplikasi asites : diet rendah garam.
Laktulosa dengan target BAB 2-3 x sehari.
• Terapi peeyakit penyebab, lebih lengkap dapat dilihat pada tabel 1 .

209
M
jr |f ?r
Panduan Praktik Minis Hepatoloai
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia I

PROGNOSIS
Lihat pada tabel 3 dan 4.
Tabel 3. Beberapa Penyebab Tersering Sirosis Hepatis5
Penyebab Diagnosis Terapl Prognosis
Sirosis alkohol Anamnesis Stop konsumsi alkohol. Pada pasien
Jumlah dan durasi konsumsi Medikamentosa yang sudah
alkohol, pada pria dapat : glukokortikoid, sirosis alkohol
terjadi gejala ginekomasti
(rambut tubuh menghilang,
pentoxifylline . dan masih tetap
mengkonsumsi
atrofi testis) . alkohol maka
Laboratorium angka bertahan
Pada alkoholik berat dapat 5 tahun sebesar
terjadi anemia hemolitik < 50%.
( spur cells dan akantosit ) ;
Zieve ' s syndrome, nodul
biasaya berdiameter <3mm
( mikronodul) , perbandingan
serum AST:ALT = 2:1.
Sirosis karena virus Laboratorium Lamivudine, adefovir,
Hepatitis Sirosis Hep. C : Anti HCV, RNA, telbivudine, entecavir,
serologis hepatitis B : HbsAg, tenofovir, interferon/
anti-HBs, HBeAg, anti HBe, dan Peg IFN + Ribavirin
HBV DNA kuantitatif
Sirosis bilier Sirosis bilier primer Sirosis Bilier Primer PSC dapat
Anamnesa : rasa lelah, pruritus : Ursodeoxycholic berkempang
(intermiten, biasa apada sore- Acid ( UDCA ) 13- 15 menjadi
malam hari) mg /kg /hari, Pruritus : karsinoma.
Pemeriksaan fisik : antihistamin, narcotic
hiperpigmentasi, xanthelesma, receptor antagonists
xantoma, likenlflkasi karena (naltrexone ) ,
garukan . dan rifampin.
Laroratorium : serum ALT dan Cholestyramine.
AST meningkat, tes AMA (+) Plasmapheresis.
PSC :
Primary Sclerosing Cholangitis UDCA 20mg/kg.hr,
fPSCl endoscopic dilatation ,
Anamnesa : rasa lelah, pruritus, transplantasi hati.
steatorhea, defisiensi vitamin
larut lemak.
Laboratorium : serum Alkaline
Phosphatase ( ALP) meingkat
2x, Endoscopic Retrograde
Cholangiopancreatography
( ERCP ) : striktur.
Sirosis Hati ip

-
Tabel 4. Slstem Penilaian Child Turcotie- Pugh*
Krttefta 1 2 3
Asites Nihil Mudah dikontrol Sulit dikontrol
Ensefalopati Nihil Gradelataull Grade III atau IV
Bllirubln(mg/dl) <2 2-3 >3
Albumin |g/dl) >3.5 2.8-3.S <2.8
Waklu protrombln ( detlk dlatas waktu i-3 4-6 >6
protTombin normal)
Klaslflkasl A B C
Jumlah poln total 5- 6 7- 9 10- 15
Prosentase hldup dalam 1 tahun pertama 100% 80% 45%

MENANGANI
• RS Pendidikan : Oejtartemen ilmu Penyakit balam - Divisi Gastroentero-
riepatdlogi
:
• RSrionPendidikan : Bagian HmuPehyakitDalam *

, n - ;• - . • . . • • '

UNIT TERftAIT
. ^
RS ridiaikaii
• RS rioriPerididikan
7 ;

REPEREKISI
1. ^ bBriartd' s lllustrdtedfMSdfcal Dictionary. 23fd'Etf. Philadelphia. Elsevier. 2007
.
2. Bacon BR. Cirrhosis dfidlts CorMplicatiorts In s lidhgd tiivtauel AS> Kasper DL, HauserSL, Jameson
'
-
JL„ LQSAgJzp J. Harrison' s Principles of Internal Medicine. 18lhEdition,New York, McGraw-t-p. 2012.
.

4 . Me&bifnfckPA.Hepatic drfhds&;in rbddldy iiS/Ldk ASpfeifdubhS AK, et al;Sherlock’s Diseases of


thpMYerj3n4 ary§ystejrn;mEdition,gpited Kingdom;Blackwell Publishing Ltd. 20,11,Hal 103-1 ?
»
5 . .
Elsayed EY, Riad GS Keddeas MW. Prognostic,Value OF MELD Score in Acute Varlceal,Bleeding.
Researcher 20 f0;2 (4):2i-27

271
272

TUMOR PANKREAS

PENGERTIAN
Tumor pankreas dapat diklasifikasikan sebagai neoplasma eksokrin atau
endokrin berdasarkan asal dari selnya dan morfologi tumor (solid atau kistik).
Kasus adenokarsinoma duktus terjadi sekitar 90% dari kasus neoplasma pankreas.
Adenokarsinoma duktus infiltrat merupakan tumor pankreas yang paling sering
terjadi. Karsinoma sel asinar, tipe lain dari tumor pankreas solid, menyerupai bola
kecil sel epitel yang berbentuk piramid. Tumor pankreas eksokrin ini lebih banyak
mengenai pria. Seringkali overproduksi lipase menyebabkan sindrom metastasis
nekrosis lemak, yang dikarakteristikan dengan nekrosis lemak perifor, eosinofilia,
dan poliartralgia. Tumor pankreas kistik termasuk neoplasma (tipe musin, serosa],
dan tumor sohd - pseudopapillary sangat jarang terjadi, umumnya jinak dan dapat
disembuhkan dengan reseksi bedah. Namun terkadang, tumor kistik memilild
komponen invasifyang memberikan prognosisburuksetara keseluruhan.' Klasifikasi
tumor primer pankreas menurut WHO dapat dilihat pada tabel 1.
Karsinoma pankreas merupakan penyakit kanker no.4 yang menyebabkan
kematian terbanyak di Amerika Serikat dan sering dikaitkan dengan prognosis buruk.
Faktor risiko yang dapat menyebabkan karsinoma pankreas antara lain merokok ( 20-
25 %), pankreatitis kronis, dan diabetes.1 Pembagian stadium karsinoma pankreas
tidak menggunakan sistem tumor-nodus-metastasis (TNM), namun dibagi menjadi 3
kategori primer yaitu 1) terlokalisir, dan dapat direseksi; 2] lokasi meluas, dan tidak
dapat direseksi; dan 3) adanya metastasis.3
Skrining rutin CA 19-9 dan carcinoembryonic antigen (CEA) tidak dianjurkan
karena tidak memiliki sensitivitas yang cukup, dan computed tomography (CT) tidak
memiliki resolusi yang adekuat untuk mendeteksi displasia pankreas. Endoscopic
ultrasound (EUS) merupakan alat skrining yang menjanjikan, dan merupakan usaha
preklinis untuk mendeteksi biomarker yang dapat mendeteksi stadium awal karsinoma
.
pankreas.1

Panduan Praktik
*
Perhimpunan Dokler SpesiaSs Penyakil Dc m ktdoreso
Tumor Pankreas

Tabel 1. Klaslfikasi WHO Terhadap Tumor Eksokrin Pankreas2


I. Benign
i. Serous cystadenoma
ii. Mucinous cystadenoma
iii. Intraductal papillary mucinous adenoma
iv. Mature cystic teratoma
II . Borderline (berpotensl ganas)
Mucinous cystic tumor dengan displasia sedang
Intraductal papillary mucinous dengan displasia sedang
-
Solid pseudopapillary tumor
III. Malignant
Ductal adenocarcinoma
Osteoclast- like giant cell tumor
Serous cystadenocarcinoma
. Mucinous cystadenocarcinoma (invasif atau noninvasif )
v. Intraductal papillary mucinous carcinoma (invasif atau noninvasif )
vi. Acinar cell carcinoma
vii. Pancreatoblastoma
viii. Solid- pseudopapillary carcinoma
ix. Karsinoma lainnya

DIAGNOSIS

Anamnesis1
• Rasa tidak nyaman pada perut, mual, muntah, pruritus, letargi, penurunan berat
badan
• Jarang : nyeri epigastrium, nyeri punggung, diabetes new onset
• Penyakit komorbid seperti pankreatitis kronis, diabetes
• Riwayat kebiasaan merokok
Pemeriksaan Fisik1
• Ikterik, kakesia, tanda bekas garukan
• Kandung empedu teraba (tanda Courvoisier )
• Tanda metastasis jauh : hepatomegali, asites, limfadenopati supraklavikular kiri
( nodus Virchow ), limfadenopati periumbilikus (nodus Sister Mary Joseph )

Pemeriksaan Penunjang1'4
• Laboratorium
Rutin : darah perifer lengkap dan hitung jenis leukosit, amilase, lipase, serum
bilirubin, alkali fosfatase, protein total, albumin / globulin,

273
0 tmSSSSSSSL Hepatologi

Tumor-associated carbohydrate antigen 19-9 (CA 19- 9)


• -
Radiologis : CT scan , ERCP, MRI, Positron emission tomography with
fluorodeoxyglucose positron emission tomography ( FDG- PET), EUS
• Sitologi : EUS-guided fine needle aspiration (EUS- FNA)
• Laparoskopi

DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis ini harus dipertimbangkan pada semua pasien > 40 tahun dengan
ikterik progresif atau intermiten, terutama bila diperkuat dengan gejala seperti nyeri
abdomen persisten atau tidak dapat dijelaskan, lemah dan beratbadan menurun, diare,
glikosuria, faecal occult blood ( +), hepatomegali, limpa teraba atau tromboflebitis
migrans.3

TATALAKSANA2 5
1. Reseksi ( pancreaticoduodenectomy / operasi Whipple)
2. Adjuvan: 5 -fluorouracil (5 - FU), asam folinik
3. Paliatif: diberikan pada pasien yang tidak dapat menjalani reseksi untuk meredakan
ikterik, obstruksi duodenum atau nyeri

Pendekatan Diagnosis

Curiga kanker pankreas

I
Helical CT

I
Tumor caput Tumor corpus
Tidak tampak Tumor caput atau
tumor pancreas < 2cm pankreas > 2cm cauda pankreas

ERCP dan atau EUS Laparoskopi


dengan sitologi

(+) (-)
Bedah eksplorasi untuk reseksi

Gambar 1 . Algorltma Diagnosis Kanker Pankreas2

274
Tumor Pankreas

Stadium kanker pankreas dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. Stadium Kanker Pankreas2


Stadium saat
Stadium Bertahan
Stadium TNM Jangkauan tumor presentasi (14%
AJCC 5 tahun
tidak diketahui)
T 1 /NO Terbatas pada pankreas, < 2 cm 20% 7%
T2/ N0 Terbatas pada pankreas, > 2 cm
T3 atau N 1 Melewati pankreas atau metastase 8% 26%
kelenjar limfe regional
T4 atau N apa Melibatkan celiac axis atau arteri
saja mesenterika superior
IV Ml Metastase jauh 2% 53%

KOMPLIKASI
Ikterik, nyeri, obstruksi usus, penurunan berat badan.25

PROGNOSIS
Prognosis tumor pankreas dapat dilihat pada tabel 2 dan tabel 3.

Tabel 3. Prognosis Tumor Pankreas 1


Klasiflkasl penyaklt Saat diagnosis Bertahan 5 tahun (%)
Lokal 7 22
Locally advanced / tidak dapat direseksi 26 9
Metastase 53 2

UNIT YANG MENANGANI


• RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Gastroentero -
Hepatologi
• RS non Pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : Departemen Bedah Digestif
• RS non Pendidikan : Bagian Bedah

REFERENSI
Hidalgo M. Progress in Pancreatic Cancer: Where Are We Nowand Where Must We Go ? . Optimal
Treatment of Locally Advanced / Metastatic Pancreatic Cancer: Current Progress and Future
Challenges. Clinical Care Options Oncology. Diakses melalui http:/ / www.clinicaloptions.com /
Oncology / Treatment%20Updates / Pancreatic / Modules / Progress / Pages / Page%202. aspx pada
tanggal 25 Juni 2012.

275
# HSSflSKHSl Hepatologi

2. .
Jimenez RE, Castillo CF Tumors ot the Pancreas. In : Feldman, Friedman, Brandt. Sleisenger and
. .
Fordtran' s Gastrointestinal and Liver Disease 9th Edition Vol 1.20 ) 0
3. .
Chong I, Cunningham D. Pancreatic Cancer In : Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL,
. .
Jameson JL, loscalzo J. Harrison's Principles of Internal Medicine 18th Edition New York,McGraw-
.
Hill 2012 .
4. . .
Ko A Pancreatic Adenocarcinoma. CCO in Practice. Diakses melalui http:/ / www clinicaloptions.
_ _ .
com/inPractice /Oncology /Gastrointestinal Cancer /chl 3 GI-Pancreas aspx pada tanggal 22
Mei 2012.
5. . . . .
Koti RS Davidson BR Malignant Biliary Diseases In : Dooley JS, Lok ASF Burroughs AK et al . .
. .
Sherlock ' s Diseases of the Liver and Biliary System 12th Edition United Kingdom: Blackwell
Publishing Ltd. 2011. Hal 302-8.

276
277

TUMOR SISTEM BILIER

Tumor sistem bilier dibagi berdasarkan anatomis yaitu tumor jinak dan ganas kandung
empedu, tumor jinak saluran empedu ekstrahepatik, karsinoma saluran empedu
intrahepatik [cholangiocarcinoma ). Pada bab ini akan dibahas lebih lanjut mengenai
karsinoma kandung empedu dan cholangiocarcinoma.

Tumor sistem bilier

Kandung empedu Saluran empedu

I
Tumor Jinak Karsinoma Intrahepatik Ekstrahepatik

1
Polip kolesterol
l
• Adenokarsinoma
1
Cholangiocarcinoma • Papiloma
i
• Adenoma • Adenoskuamosa • Adenomioma
• Karsinoma sel skuamosa • Fibroma
• Small cell carcinoma • Tumor sel granular

Gambar 1. Algoritma Pembagian Tumor Sistem Bilier 1

A. KARSINOMA KANDUNG EMPEDU


PENGERTIAN
Merupakan kanker yang berawal di dalam kandung empedu, termasuk dalam
keganasan yang jarang terjadi. Jenis keganasan tersering yaitu adenokarsinoma
(adenokarsinoma papilla), jenis lain yang lebih jarang terjadi yaitu adenoskuamosa,
karsinoma sel skuamosa, dan small cell carcinoma. Faktor risiko terjadinya karsinoma
kandung empedu : batu empedu, porcelain gallbladder, jenis kelamin perempuan,
obesitas, usia lanjut, etnis Amerika-Meksiko, adanya kista koledokus, abnormalitas
duktus bilier, polip kandung empedu, paparan bahan kimia, tifoid kronik, riwayat
keluarga menderita karsinoma kandung empedu.2

PanduanPraUIkKIinis
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
m
M Panduan PrakUk Kllnls Hepatoloqi

Perhimpunan DoklerSpesialis Penyakil Dalam Indonesia

DIAGNOSIS

Anamnesis
Pada stadium awal umumnya tidak menimbulkan gejala sampai pada stadium
lanjut. Beberapa keluhan pasien yaitu nyeri abdomen kuadran kanan atas, mual dan
muntah, ikterik, napsu makan menurun, kehilangan berat badan, pembengkakan
abdomen, gatal -gatal, tarry stools 2

Pemeriksaan Fisik
Pasien tampak ikterik, dapat ditemukan pembesaran kandung empedu atau teraba
masa pada area kandung emperu, nyeri tekan abdomen12

Pemeriksaan Penunjang
• Tes fungsi hati dan kandung empedu : bilirubin, albumin, alkalin fosfatase, AST
[ aspartate aminotransferase ), ALT [ alanine aminotransferase ), and Gama GT
( glutamil transferase ).
• Tumor markers : CEA dan CA 19-9
• Pemeriksaan urin dan feses
• Ultrasonography : adanya masa di lumen kandung empedu
• CTScan ( Computed Tomography) : masa di daerah kandung empedu sebagai diagnosis
awal, menentukan staging dari penyebaran tumor dan keterlibatan lymph nodes, juga
dapat digunakan sebagai alat bantu dalam biopsi dengan jarum. Dapat dilakukan CT
scanner (CTangiography) untuk melihat keadaan pembuluh darah hepatik dan portal.
• Magnetic resonance imaging ( MR1 ) scan : melihat secara detail kandung empedu
dan salurannya, serta organ sekitar. Salah satu jenis MRI yang berguna pada kasus
ini yaitu MR cholangiopancreatography ( MRCP) yang dapat melihat langsung ke
dalam saluran empedu dan MR angiography ( MRA ) yang dapat melihat keadaan
pembuluh darah hepatik dan portal.
• Endoscopic retrograde cholangiopancreatography ( ERCP) : melihat adanya
sumbatan pada duktus biliaris atau duktus pankreatikus.
• Percutaneous transhepatic cholangiography ( PTC ): dapat digunakan untuk
mengambil sampel cairan atau jaringan
• Laparoskopi : membantu , merencanakan operasi atau terapi lain, konfirmasi
staging kanker, pengambilan sampel biopsi, mengangkat kandung empedu pada
kasus batu empedu atau inflamasi kronik [ laparoscopic cholecystectomy).
• Biopsi

278
Tumor Sistem Bilier

Tabel 1. Staging untuk Karsinoma Kandung Empedu3


Stage
0 Sel abnormal ditemukan pada lapisan dalam mukosa kandung empedu,
( Carcinoma in Situ ) dapat menjadi sel kanker dan menyebar ke jaringan normal.
I Sel kanker menyebar ke di antara lapisan mukosa ke pembuluh darah
atau lapisan otot.
II Sel kanker menyebar ke lapisan otot dan jaringan ikat sekitar otot.
IIIA Sel kanker menyebar ke jaringan yang melapisi kandung empedu dan/
atau ke hati dan / atau organ terdekat ( seperti lambung, usus kecil, kolon,
pankreas, atau duktus bilier ekstrahepatik)
III B Sel kanker menyebar ke kelenjar getah bening dan lapisan dalam
kandung empedu, lapisan otot, atau sampai pembuluh darah; atau
melewati lapisan otot ke jaringan ikat sekitar otot, atau menyebar melalui
jaringan yang melapisi kandung empedu dan/ atau ke hati dan/atau
organ terdekat ( seperti lambung, usus kecil, kolon, pankreas, atau duktus
bilier ekstrahepatik )
IVA Sel kanker menyebar ke pembuluh darah utama hati atau minimal
ke 2 organ terdekat atau area lain dari hati. Sel kanker mungkin telah
menyebar ke kelenjar getah bening terdekat.
IVB Sel kanker telah menyebar ke kelenjar getah bening sepanjang arteri
besar di dalam abdomen dan /atau dekat bagian bawah dari tulang
belakang; atau ke organ atau area yang jauh dari kandung empedu.

DIAGNOSIS BANDING
Batu kandung empedu, sludge

TATALAKSANA
• Operasi : kolesistektomi
• Radiasi
• Kemoterapi

KOMPLIKASI
Metastasis, obstruksi sistem bilier

PROGNOSIS
Faktor yang menentukan prognosis yaitu staging dari kanker, kanker dapat
diangkat seluruhnya atau tidak, tipe dari kanker ( dilihat dari mikroskop) , kanker
pertama kali didiagnosis atau rekuren . Prognosis umumnya buruk karena umumnya
tidak dapat dioperasi saat terdiagnosis . Pada 50 % kasus sudah terjadi metastasis
jauh . Rata - rata harapan hidup dari saat terdiagnosis yaitu 3 bulan, 14 % dapat
bertahan sampai 1 tahun. Kanker jenis papilari dan well -differentated adenokarsinoma
mempunyai harapan hidup lebih lama dibandingkan jenis tubuler dan undifferentiated .
1,3
Berdasarkan staging angka harapan hidup dalam 5 tahun yaitu : 2

279
# ES
^ JfiSffJSS, Hepatologi

Tabel 2. Angka Harapan Hidup sesuai staging 2


Stage 5-Year Survival Rate
0 81 %
IA 50 %
29 %
IIIA 9%
IIIB 7%
IVA 3%
IVB 2%

B. KOLANGIOKARSINOMA

PENGERTIAN
Kolangiokarsinoma adalah keganasan yang berasal dari sel epitel bilier, dapat
timbul pada saluran intra- dan ekstrahepatik. Merupakan keganasan primer hepatik
yang kedua terbanyak. Umumnya tumor ini jenis adenokarsinoma.4 Klasifikasi
terbagi menjadi intrahepatik dan ekstrahepatik (terbagi lagi menjadi hilar dan
distal). Kolangiokarsinoma berhubungan dengan kolitis ulseratif dengan / atau tanpa
kolangitis sklerosing, usia lanjut > 60 tahun, jenis kelamin laki-laki.1 Faktor risiko
untuk kolangiokarsinoma :4
• Prosedur drainase bilier-enterik
• Penyakit Caroli
• Kista duktus koledokus
• Sirosis hepatik
• Infeksi Clonorchis sinensis
• Hepatitis C
• Hepatolithiasis
• Infeksi Opisthorchis viverrini
• Primary sclerosing cholangitis
• Toksin (dioksin, polivinil klorida)

Klasifikasi Bismuth - Corlette


Khusus untuk kolangiokarsinoma yang terletak pada daerah perihilar, dibagi
berdasarkan keterlibatan duktus hepatikus menjadi :

280
Tumor Sistem Bilier

• Tipe I: tumor distal dari pertemuan duktus hepatikus kiri dan kanan
• Tipe II: tumor mencapai daerah pertemuan kedua duktus
• Tipe III: tumor yang mencakup duktus hepatikus komunis dan salah satu duktus
hepatikus (duktus hepatikus kanan tipe Ilia, duktus hepatikut kiri tipe IHb)
• Tipe IV: tumor yang multisentrik, atau mencakup daerah pertemuan kedua duktus
dan kedua duktus kanan dan kiri.
Bila tumor melibatkan daerah pertemuan kedua duktus maka disebut klatskin
tumor.
Adenokarsinoma dibagi menjadi 3 jenis berdasarkan bentuk pertumbuhannya :
nodular, sklerosis, dan papiler.
• Sklerosis: terdapat banyak jaringan yang fibrosis, cepat menginvasi dinding duktus.
Jenis yang terbanyak.
• Noduler : lesi anular yang mengkonstriksi duktus bilier, sangat invasif.
• Papiler : lesi tampak sebagai massa yang jelas pada duktus biliaris komunis,
menyebabkan obstruksi bilier sejak awal penyakit.

Tipe Ilia Tipe lllb

Tipe IV
Gambar 2. Klasifikasi Blsmuth -Corlette untuk Kolangiosarkoma
5

261
# SSgBBgfflBl Hepatologi

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis
Umumnya tidak bergejala sampai timbul obstruksi bilier. Gejala yang sering
dikeluhkan yaitu pruritus, nyeri abdomen, terasa sebagai nyeri tumpul di region kanan
atas. penurunan berat badan, demam, tinja berwarna seperti dempul, urin warna gelap

Pemeriksaan Fisik
Ikterus, hepatomegali, massa abdomen bagian kanan atas, penurunan berat badan,
tanda Courvoisier: ( kandung empedu teraba), biasanya karena sumbatan tepat di
distal duktus sistikus.1

Pemeriksaan Penunjang
• Laboratorium1
Peningkatan bilirubin total dan direk, alkali fosfatase, 5'-nukleotidase, dan
y-glutamiltransferase
SGOT, dan SGPT dapat meningkat pada obstruksi bilier lama
Tumor marker: CEA, CA 19-9
Billiary insulin -like growth factor
Fluorescence in situ hybridization
• Imaging 1
USG: dapat ditemukan gambaran massa, dilatasi duktus bilier intrahepatik pada
sumbatan proksimal ( pada tumor duktus intrahepatik atau pada pertemuan
kedua duktus), dilatasi duktus intra - dan ekstrahepatik pada sumbatan distal.
Klatskin tumor tampak sebagai tidak menyatunya duktus hepatikus kanan
dan kiri. Tumor papiler: massa intralumen polipoid. Tumor noduler : massa
diskret disertai penebalan dinding duktus.
CT scan: berguna untuk mendeteksi tumor intrahepatik, level obstruksi bilier,
dan adanya atrofi hepar.
MRCP: massa hipointens pada Tl , hiperintens pada T 2. Dapat juga untuk
melihat struktur anatomis sekitar -> evaluasi resektabilitas
Kolangiografi: melalui endoscopic retrograde pancreatography (ERCP) atau
perkutan, dengan percutaneous transhepatic cholangiogram (PTC).
ERCP / PTC + -> sampel empedu /sitologi brushing
Endoscopic ultrasonography (EUS): dapat menunjukkan gambaran massa, lebih
baik untuk lesi distal.

282
Tumor Sistem Bilier

PET scan: dapat mendeteksi mulai dari lesi 1 cm, dan lesi - lesi metastasis
Angiografi : Digunakan untuk melihat adanya pembuluh darah yang melingkari
lesi, sekaligus mendeteksi trombosis vena porta .
Kriteria diagnosis untuk kolangiokarsinoma (tabel 3) .

Tabel 3. Kriteria Diagnosis untuk Kolangiokarsinoma4


• Striktur mengarah ke keganasan DAN serum CA 19-9 > 129 U /ml yang persisten tanpa
adanya kolangitis bakterial
• Lesi massa pada pemeriksaan imajing
• Hasil pemeriksaan sitologi konvenslonal yang positif
• Hasil pemeriksaan biopsi spesimen ( transluminal) yang positif
• Fluorescence in situ hybridization ( FISH } menunjukkan striktur dan polisomi.

Suspek kolangiokarsinoma

i
Pemeriksaan CA 19-9,
kolangiografl endoskopi
(brushing, sitologi, FISH)

r
Striktur dominan, CA 19-
1
Tidak ada striktur
9 > 129 U/ mi. Biopsi, dominan, CA 19-9 < 129
Inderterminate U/ml. Biopsi, sitologi, atau
sitologi, atau FISH
polisomi yang positif
I
MRI
FISH polisomi yang negatif

t 1
Mass vascular Negatif
encasement
1
i
Klinis Klinis
signifikan tidak signifikan

I
PET scan

Penatalaksanaan
i
Hot spot Negatif Observasi
kolangiokarsinoma *
Gambar 3. Algortima Pendekatan Diagnosis Kolangiokarsinoma4

283
©^
'
• V5JI » 1
Panduan PrakUk Klinis Hepatologi

Perhimpunan Doklef Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
-
N /

Staging kolangiokarsinoma berdasarkan :6


• Klasifikasi Bismuth -Corlette
• Klasifikasi TNM (tabel 4).

Tabel 4. Klasifikasi TNM1


Tx Tumor primer tidak dapat dinilai
TO Tidak ada tumor
Tis Karsinoma in situ
T1 Tumor terbatas pada duktur bilier secara histologi
T2a Tumor menginvasi jaringan lemak yang berada di dinding kandung empedu
T2b Tumor menginvasi parenkim hepar
T3 Tumor menginvasi cabang unilateral vena porta atau arteri hepatik
T4 Tumor menginvasi vena porta atau cabangnya ( bilateral) , arteri hepatika,
radix bilier bilateral/unilateral
Regional Lymph Nodes (N)
Nx Kelenjar getah bening tidak dapat dinilai
NO Tidak ada metastasis ke kelenjar getah bening
N1 Mengenai kelenjar getah regional
N2 Mengenai kelenjar getah periaorta, pericava, arteri mesenterika superior,
dan/atau arteri celiac
Distant Metastasis (M)
MO Tidak ada metastasis
Ml Metastasis jauh
Stage Grup
Stage 0 Tis NO MO
Stage I T 1 NO MO
Stage II T2a-T2b NO MO
Stage III A T3 NO MO
Stage III B T 1-T3 N 1 MO
Stage IV A 14 Any N MO
Stage IV B Any T N2 MO
Any N Ml

DIAGNOSIS BANDING
Koledokolitiasis, striktur duktus biliaris jinak, kolangitis sklerotikans, keganasan
pankreas, pankreatitis kronik

TATALAKSANA1
• Terapi diutamakan reseksi pada yang masih memenuhi kriteria
• Radioterapi dengan atau tanpa sensitisasi menggunakan kemoterapi
• Brakiterapi intralumen
• Terapi fotodinamik
• Kemoterapi : gemcitabin.

284
Tumor Sistem Bilier

KOMPLIKASI
Kolangitis, kematian.

PROGNOSIS
Prognosis tergantung lokasi tumor, lokasi lebih distal lebih besar kemungkinan
direseksi daripada yangdi hilus . Secara histologik well - differentated lebih baik
prognosisnya daripada yang undifferentiated . Jika direseksi, angka harapan hidup
1 tahun sebesar 50 %, 2 tahun 20 %, dan 3 tahun 10 %. x

UNIT YANG MENANGANI


• RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Gastroentero -
Hepatologi
• RS non Pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT YANG TERKAIT


• RS Pendidikan Departemen Bedah Digestif
• RS non Pendidikan : Departemen Bedah

REFERENSI
1 . .
Sherlock S, Dooley J. Tumours of the Gallbladder and Bile Ducts In: Dooley J, Lok A, Burroughs
A, Heathcote E Diseases of the Liver and biliary System. 12lh ed. UK : Blackwell Science. P 294-311
.
2. American Cancer Society. Gallbladder Cancer. 2012 Diunduh dari http:/ / www. cancer org/ .
Cancer /GallbladderCancer /DetailedGuide/gallbladder-cancer pada tanggal 21 Mei 2012
3. National Cancer Institute. Gallbladder Cancer Treatment. 2011. Diunduh dari http:/ / www.cancer .
gov/cancertopics/pdq/ treatment/gallbladder/Patient/pagel pada tanggal 21 Mei 2012.
4. Blechacz B, Gores G. Tumors of the Bile Ducts, Gallbladder, and Ampulla. In : Feldman M, Friedman
L, Brandt L. Sleisenger and Fordtran ' s Gastrointestinal and Liver Disease : Pathophysiology /
Diagnosis /Management. 9 lh ed. USA : Elsevier. Chapter 69.
5. Blechacz BR, Gores GJ. Cholangiosarcoma. Clin Liver Dis 2008; 12:131-150.
6. DeOliveira ML, Schulic RD, Nimura Y et all. New Staging System and a Registry for Perihilar
Cholangiocarcinoma. HEPATOLOGY 2011:53 : 1363- 1371 ) .

285
»
PENATAIAKSANAAN
D l BIDANG IlMU PENYAKIT DALAM

PANDUAMH
PRAKTIK MJM
KLINIS HHEl
Dehidrasi . 287
Gangguan Kognitif Ringan dan Demensia 290
Imobilisasi 297
Inkontinensia Urin 302
Instabilitas dan Jatuh 305
Tatalaksana Nutrisi Pada “Frailty " Usia Lanjut 316
Pendekatan Paripurna Pasien Geriatri (Comprehensive
Geriatric Assessment ) , 321

Sindrom Delirium Akut . 331

Ulkus Dekubitus 338


Sarkopenia 344
» -
287

DEHIDRASI

PENGERTIAN
Dehidrasi adalah berkurangnya cairan tubuh total, dapat berupa hilangnya air lebih
banyak dari natrium [dehidrasi hipertonik), atau hilangnya air dan natrium dalam
jumlah yang sama (dehidrasi isotonik), atau hilangnya natrium yang lebih banyak
daripada air (dehidrasi hipotonik).1
Dehidrasi hipertonik ditandai dengan tingginya kadar natrium serum (lebih
dari 145 mmol / Liter) dan peningkatan osmolalitas efektif serum (lebih dari 285
mosmol / Liter). Dehidrasi isotonik ditandai dengan normalnya kadar natrium serum
(135 -145 mmol / Liter ) dan osmolalitas efektif serum ( 270 - 285 mosmol / Liter ) .
Dehidrasi hipotonik ditandai dengan rendahnya kadar natrium serum (kurang dari
135 mmol / Liter) dan osmolalitas efektif serum (kurang dari 270 mosmol / Liter).
Penting diketahui perubahan fisiologi pada usia lanjut. Secara umum, terjadi
penurunan kemampuan homeostatik seiring dengan bertambahnya usia. Secara
khusus, terjadi penurunan respons rasa haus terhadap kondisi hipovolemik dan
hiperosmolaritas. Di samping itu juga terjadi penurunan laju filtrasi glomerulus,
kemampuan fungsi konsentrasi ginjal, renin, aldosteron, dan penurunan tanggapan
ginjal terhadap vasopresin.

DIAGNOSIS

Anamnesis
Gejala klasik dehidrasi seperti rasa haus, lidah kering, mengantuk.1

Pemeriksaan Fisik
Aksila lembab / basah, suhu tubuh meningkat dari suhu basal, diuresis berkurang.
Penurunan turgor dan mata cekung sering tidak jelas. Penurunan berat badan akut
lebih dari 3%. Hipotensi ortostatik.1

PanduanPraktikMinis
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
irl
XML£1fp
Panduan raktik Minis Geriatri
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakil Dalam Indonesia

Laboratorium
Urin : berat jenis ( BJ) urin >1,019 (tanpa adanya glukosuria dan proteinuria), serta
rasio Blood Urea Nitrogen / Kreatinin >16,9 (tanpa adanya perdarahan aktif saluran cerna).
Kriteria ini dapat dipakai dengan syarat: tidak menggunakan obat -obat sitostatik,
tidak ada perdarahan saluran cerna, dan tidak ada kondisi overload (gagal jantung
kongestif, sirosis hepatis dengan hipertensi portal, penyakit ginjal kronik stadium
terminal, sindrom nefrotik).
Jika memungkinkan sebaiknya dilakukan pemeriksaan pengukuran kadar natrium
plasma darah, osmolaritas serum, dan tekanan vena sentral.

TATALAKSANA
Lakukan pengukuran keseimbangan cairan yang masuk dan keluar secara berkala
sesuai kebutuhan. Pada dehidrasi ringan, terapi cairan dapat diberikan secara oral
sebanyak 1500 - 2500 ml / 24 jam (30 ml / kg berat badan / 24 jam ) untuk kebutuhan
dasar, ditambah dengan penggantian defisit cairan dan kehilangan cairan yang masih
berlangsung. Menghitung kebutuhan cairan sehari, termasuk jumlah insensible water
loss sangat perlu dilakukan setiap hari. Perhatikan tanda - tanda kelebihan cairan
seperti ortopnea, sesak napas, perubahan pola tidur, atau confusion . Pemantauan
dilakukan setiap 4-8 jam tergantung beratnya dehidrasi. Cairan yang diberikan secara
oral tergantung jenis dehidrasi.
• Dehidrasi hipertonik: cairan yang dianjurkan adalah air atau minuman dengan
kandungan sodium rendah, jus buah seperti apel, jeruk, dan anggur
• Dehidrasi isotonik: cairan yang dianjurkan selain air dan suplemen yang
mengandung sodium ( jus tomat), juga dapat diberikan larutan isotonik yang ada
di pasaran
• Dehidrasi hipotonik cairan yang dianjurkan seperti di atas tetapi dibutuhkan kadar
sodium yang lebih tinggi
Pada dehidrasi sedang sampai berat dan pasien tidak dapat minum per oral, selain
pemberian cairan enteral, dapat diberikan rehidrasi parenteral. Jika cairan tubuh
yang hilang terutama adalah air, maka jumlah cairan rehidrasi yang dibutuhkan dapat
dihitung dengan rumus:
Defisit cairan (liter) = Cairan badan total (CBT) yang diinginkan - CBT saat ini
CBT yang diinginkan = Kadar Na serum x CBT saat ini
140
CBT saat ini (pria) = 50 % x berat badan (kg)
CBT saat ini ( perempuan ) = 45% x berat badan (kg)

288
Dehidrasi

Jenis cairan kristaloid yang digunakan untuk rehidrasi tergantung dari jenis
dehidrasinya. Pada dehidrasi isotonik dapat diberikan cairan Na Cl 0,9% atau Dekstrosa
5% dengan volume sebanyak 25- 30 % dari defisit cairan total per hari. Pada dehidrasi
hipertonik digunakan cairan NaCl 0,45%. Dehidrasi hipotonik ditatalaksana dengan
mengatasi penyebab yang mendasari, penambahan diet natrium , dan bila perlu
pemberian cairan hipertonik.1

KOMPLIKASI
Gagal ginjal, sindrom delirium akut, kejang.

PROGNOSIS
Deteksi dan terapi dini dehidrasi menghasilkan prognosis kesembuhan yang baik.
Bila tidak ada komplikasi maka keseimbangan cairan akan terkoreksi.

KOMPETENSI
• Spesialis Penyakit Dalam : A 3, B 4
• Konsultan Geriatri

UNIT YANGMENANGANI
• RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Geriatri,
Departemen Rehabilitasi Medik
• RS non pendidikan : Departemen llmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Departemen llmu Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Departemen llmu Penyakit Dalam

REFERENSI
1. . .
Kuswardhani, RATuty Sari, Nina Kemala. Dehidrasi dan gangguan elektrolit Dalam :Sudoyo, Aru
. . .
W. Setyohadi, Bambang. Alwi, Idrus Simadibrata, Marcellos Setiati, Siti Buku ajar llmu Penyakit
Dalam Edisi V . Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Departemen llmu Penyakit Dalam FKUI-
RSCM : 2009. Halaman 797-801 .

289
290

GANGGUAN KOGNITIF RINGAN


DAN DEMENSIA

PENGERTIAN
Antara fungsi kognitif yang normal untuk usia lanjut dan demensia yang jelas,
terdapat suatu kondisi penurunan fungsi kognitif ringan yang disebut dengan mild
cognitive impairment ( MCI) dan vascular cognitive impairment (VCI ), yang sebagian
akan berkembang menjadi demensia, baik penyakit Alzheimer maupun demensia
tipe lain.
Mild cognitive impairment ( MCI ) merupakan suatu kondisi "sindrom
predemensia” (kondisi transisi fungsi kognisi antara penuaan normal dan demensia
ringan), yang pada berbagai studi telah dibuktikan sebagian akan berlanjut menjadi
demensia (terutama demensia Alzheimer) yang simtomatik.1
Vascular cognitive impairment (VCI) merujuk pada keadaan penurunan fungsi
kognitif ringan dan dihubungkan dengan iskemia serta infark jaringan otak akibat
penyakit vaskular dan aterosklerosis.1
Demensia adalah gangguan fungsi intelektual ( berpikir abstrak, penilaian,
kepribadian, bahasa, praksis, dan visuospasial) dan memori didapat yang disebabkan
oleh penyakit otak, yang tidak berhubungan dengan gangguan tingkat kesadaran,
sehingga mempengaruhi aktivitas kerja dan sosial secara bermakna.1
Demensia Alzheimer merupakan demensia yang disebabkan oleh penyakit
.
Alzheimer; munculnya gejala perlahan -lahan namun progresif Demensia vaskular
merupakan demensia yang terjadinya berhubungan dengan serangan strok ( biasanya
terjadi 3 bulan pasca strok); munculnya gejala biasanya bertahap sesuai serangan strok
yang mendahului ( step ladder ). Pada satu pasien pasca strok bisa terdapat kedua jenis
ini (tipe campuran) . Pada kedua tipe ini lazim terdapat faktor risiko seperti: hipertensi,
diabetes melitus, dislipidemia, dan faktor risiko aterosklerosis lain.2
Demensia dapat disertai behavioral and psychological symptoms of dementia
( BPSD ) yang lazim disebut sebagai perubahan perilaku dan kepribadian . Gejala
BPSD dapat berupa depresi, wandering / pacing , pertanyaan berulang atau manerism,
kecemasan, atau agresivitas.

Panduan Praktik Klinis


Perhimpunan Dokler Spesialls Penyakil Dalani Indonesia
Gangguan Kognitif Ringan dan Demensia <TCy|
PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis
Memori pasien, tingkat aktivitas sehari-hari, juga diperlukan anamnesis dari orang
terdekat pasien, riwayat stroke, hipertensi, diabetes.

Pemeriksaan Penunjang1
• Pemeriksaan neuropsikiatrik dengan the Mini - Mental State Examination ( MMSE) ,
The Global Deterioration Scale (GDS), dan The Clinical Dementia Ratings (CDR). Nilai
MMSE dipengaruhi oleh umur dan tingkat pendidikan, sehingga pemeriksa harus
mempertimbangkan hal- hal tersebut dalam menginterpretasi hasil pemeriksaan
MMSE .
• Fungsi tiroid, hati, dan ginjal
• Radar vitamin B12
• Radar obat dalam darah (terutama yang bekerja pada susunan saraf pusat]
• CT scan, MR1
Untuk kriteria diagnosis MCI dan VCI dapat dilihat pada Tabel 1, sementara kriteria
diagnosis demensia dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 1. Kriteria Diagnosis untuk MCI dan VCI


Mild Cognitive Impairm >nt (MCI )
• Keluhan memori, yang diperkuat oleh informan
• Fungsi memori yang tidak sesuai untuk umur dan pendidikan
• Fungsi kognitif umum masih baik
• Aktivitas sehari-hari masih baik
• Tidak demensia
Vascular Cognitive Impairment (VCI )
• Gangguan kognitif ringan sampai sedang, terutama fungsi eksekutif
• Tidak memenuhi kriteria demensia
• Mempunyai penyebab vaskular berdasarkan adanya tanda iskemia atau infark jaringan otak
• Bukti lain adanya aterosklerosis
• Hachinski Ischemic Score ( HIS ) yang tinggi

Tabel 2. Kriteria Diagnosis untuk Demensia (Sesuai dengan DSM IV )2


Munculnya defisit kognitif multipel yang bermanifestasi pada kedua keadaan berikut:
A. Gangguan memori ( ketidakmampuan untuk mempelajari informasi baru atau untuk mengingat
informasi yang baru saja dipelajari.
Satu ( atau lebih ) gangguan kognitif berikut
1 . Afasia ( gangguan berbahasa )
2. Apraksia ( ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas motorik walaupun fungsi motorik
masih normal)
3. Agnosia ( kegagalan untuk mengenali atau mengidentifikasi benda walaupun fungsi
sensorik masih normal)
4. Gangguan fungsi eksekutif ( seperti merencanakan, mengorganisasi, berpikir runut, berpikir
abstrak)
Defisit kognitif yang terdapat pada kriteria A 1 dan A 2 menyebabkan gangguan bermakna
pada fungsi sosial dan okupasi serta menunjukkan penurunan yang bermakna dari fungsi
sebelumnya. Defisit yang terjadi bukan terjadi khusus saat timbulnya delirium.

291
f *s Panduan Praktik Klinis Geriatri
Perhimpunan Dokfer Spesialis Penyakit Dalam Indonesia

DIAGNOSIS BANDING
Transient ischemic attack , delirium, depresi, factitious disorder, normal aging .2
Kondisi klinis lain yang juga harus dibedakan adalah pengaruh obat- obatan
dan defisit sensori pada orang tua . Beberapa jenis obat yang sering dikatakan
menimbulkan confusi adalah opiat, benzodiasepin, neuroleptik, antikolinergik, H 2
blockers, dan kortikosteroid. Gangguan sensoris pada orang tua seperti impairment
of hearing dan vision juga sering menyebabkan identifikasi yang salah dengan
demensia. (current) Demensia sering terdapat bersamaan dengan depresi dan /
atau penyakit Parkinson. 2

Tabel 3. Kriteria untuk Diagnosis Klinis Penyakit Alzheimer menurut the National Institute of
Neurological and Communicative Disorders and Stroke (NINCDS) dan the Alzheimer ' s Disease
and Related Disorders Association ( ADRDA)4
1 . Kriteria diagnosis klinis untuk probable penyakit Alzheimer mencakup:
• Demensia yang ditegakkan oleh pemeriksaan klinis dan tercatat dengan pemeriksaan the
mini-mental test, Blessed Dementia Scale, atau pemeriksaan sejenis, dan dikonfirmasi oleh tes
neuropsikologis
• Defisit pada dua atau lebih area kognitif
• Tidak ada gangguan kesadaran
• Awitan antara umur 40 dan 90, umumnya setelah umur 65 tahun
• Tidak adanya kelainan sistemik atau penyakit otak lain yang dapat menyebabkan defisit progresif
pada memori dan kognitif
2. Diagnosis probable penyakit Alzheimer didukung oleh:
• Penurunan progresif fungsi kognitif spesifik seperti afasia, apraksia, dan agnosia
• Gangguan aktivitas hidup sehari-hari dan perubahan pola perilaku
• Riwayat keluarga dengan gangguan yang sama, terutama bila sudah dikonfirmasi secara
neuropatologl
• Hasil laboratorium yang menunjukkan
• Pungsi lumbal yang normal yang dievaluasi dengan teknik standar
• Pola normal atau perubahan yang nonspesifik pada EEG, seperti peningkatan aktivitas slow-wave
• Bukti adanya atrofi otak pada pemeriksaan CT yang progresif dan terdokumentasi oleh
pemeriksaan serial
3. Gambaran klinis lain yang konsisten dengan diagnosis probable penyakit Alzheimer, setelah
mengeksklusi penyebab demensia selain penyakit Alzheimer:
• Perjalanan penyakit yang progresif namun lambat (plateau)
• Gejala-gejala yang berhubungan seperti depresi, insomnia, inkontinensia, delusi, halusinasi, verbal
katastrofik, emosional, gangguan seksual, dan penurunan berat badan
• Abnormalitas neurologis pada beberapa pasien, terutama pada penyakit tahap lanjut, seperti
peningkatan tonus otot, mioklonus, dan gangguan melangkah ( gait disorder )
• Kejang pada penyakit yang lanjut
• Pemeriksaan CT normal untuk usianya
4. Gambaran yang membuat diagnosis probable penyakit Alzheimer menjadi tidak cocok adalah:
• Onset yang mendadak dan apolectic
• Terdapat defisit neurologis fokal seperti hemiparesis, gangguan sensorik, defisit lapang pandang,
dan inkoordinasi pada tahap awal penyakit; dan kejang atau gangguan melangkah pada saat
awitan atau tahap awal perjalanan penyakit
5. Diagnosis possible penyakit Alzheimer:
• Dibuat berdasarkan adanya sindrom demensia, tanpa adanya gangguan neurologis, psikiatrik,
atau sistemik lain yang dapat menyebabkan demensia, dan adanya variasi pada awitan, gejala
klinis, atau perjalanan penyakit
• Dibuat berdasarkan adanya gangguan otak atau sistemik sekunder yang cukup untuk
menyebabkan demensia, namun penyebab primernya bukan merupakan penyebab demensia

292
Gangguan Kognitif Ringan dan Demensia frl
6. Kriteria untuk diagnosis definite penyakit Alzheimer adalah:
• Kriteria klinis untuk probable penyakit Alzheimer
• Bukti histopatologi yang didapat dari biopsi atau autopsi
7. Klasifikasi penyakit Alzheimer untuk tujuan penelitian dilakukan bila terdapat gambaran khusus
yang mungkin merupakan subtipe penyakit Alzheimer, seperti:
• Banyak anggota keluarga yang mengalami hal yang sama
• Awitan sebelum usia 65 tahun
• Adanya trisomi-21
• Terjadi bersamaan dengan kondisi lain yang relevan seperti penyakit Parkinson

Tabel 4. P natalaksanaan terhadap Faktor Risiko Timbulnya Gangguan Kognitif pada Usia Lanjut
Faktor Risiko Penatalaksanaan Keterangan
Hipertensi • Kurangi asupan garam • Rekomendasi JNC
• Obat antihipertensi: awal dengan VII dan penelitian
diuretik, dapat dikombinasikan dengan ALLHATT
ACE- inhibitor , ARB, penyekat 13 ( 13
-blocker ) , atau antagonis kalsium
• Target: TDS <130 mmHg, TDD <80
mmHg.
Dislipidemia • Kurangi asupan makanan berlemak • Konsensus
• Obat antidislipidemik Pengendalian
Dislipidemia yang
dikeluarkan oleh
PERKENI dan NCEP-
ATP III
• Target: trigliserida < 150 mg / dL, HDL • Beberapa penulis
kolesterol > 40 mg/ dL untuk laki-laki melaporkan statin
dan > 50 mg/dL untuk perempuan dapat menurunkan
serta LDL kolesterol < 100 mg/ dL) . fungsi kognitif
(terutama memory
loss )
Diabetes Melitus • 5 pilar penatalaksanaan DM: edukasi, • Konsensus
perencanaan makan ( diet) , latihan Penatalaksanaan DM
fisik, obat hipoglikemik oral, dan insulin tipe 2 oleh PERKENI
• Perhatian pada pemilihan OHO dan • Penggunaan insulin
insulin, disesuaikan dengan penurunan sering menimbulkan
fungsi organ efek hipoglikemia
• Target: GDP <120 mg/ dL, pada usia pada usia lanjut yang
lanjut GDP <160 mg/ dL masih diterima dapat bermanifestasi
sebagai gangguan
kognitif

Obesitas • Penatalaksanaan sejak usia dini


• Target: IMT <25 kg /m2
Gagal jantung, fibrilasi • Identifikasi etiologi yang bisa dikoreksi
atrium, hiperkoagulasi, • Terapi farmakologis dan
hiperagregasi nonfarmakologis yang sesuai untuk
trombosit, mengendalikan dan mengatasinya
hiperhomosisteinemia, • Rujuk ke konsultan yang sesuai pada
PPOK keadaan-keadaan khusus
Keterangan: ACE=angiotensin -converting -enzyme , ARB-angiotensin receptor blocker , TDS=tekanan darah sistolik
,

TDD=tekanan darah diastolik, HDL=high-density-lipoprotein, LDL=low- density-lipoprotein, JNC Vll= the seventh
,
report of the Joint National Committee on Prevention , Detection , Evaluation , and Treatment of High Blood Pressur
gula
PERKENI=Perkumpulan Endokrinologi Indonesia, DM= diabetes melitus, OHO=obat hipoglikemik oral GDP =
,

darah puasa, IMT=indeks massa tubuh

293
mSi
*i w
PanduanPraKtik Minis Geriatri
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyoki! Dalam Indonesia

TATALAKSANA1 2 3
• Libatkan seorang usia lanjut pada kehidupan sosial yang lebih intensif serta
partisipasi pada aktivitas yang merangsang fungsi kognitif dan stimulasi
mental maupun emosional untuk menurunkan risiko penyakit Alzheimer dan
memperlambat munculnya manifestasi klinis gangguan kognitif .
• Latihan memori multifaset dan latihan relaksasi
• Penyampaian informasi yang benar kepada keluarga, latihan orientasi realitas,
rehabilitasi, dukungan kepada keluarga, manipulasi lingkungan, program harian
untuk pasien, reminiscence, terapi musik , psikoterapi, modifikasi perilaku,
konsultasi untuk pramuwerdha, jaminan nutrisi yang optimal
• Pemberian obat pada BPSD ditujukan untuk target gejala tertentu dengan pem -
batasan waktu. Tentukan target gejala yang hendak diobati, identifikasi pencetus
gejala; psikoterapi dan konseling diberikan bersama dengan obat ( risperidon,
sertralin, atau haloperidol, sesuai dengan gejala yang muncul
• Tatalaksana pada demensia berat terutama modalitas non -farmakologi
• Tatalaksana faktor risiko gangguan kognitif
• Medikamentosa dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Obat - obatan yang Dipergunakan untuk Menghambat Penurunan dan Memperbaiki
Fungsi Kognitif pada Demensia dan Gangguan Kognitif Ringan * 2
'
Nama Obat
Karakterlstik Donepezll Rtvastigmln Galantamln Memantln
Mekanlsme kerja Inhibitor Inhibitor Inhibitor Antagonis
kollnesterase kollnesterase kollnesterase reseptor- NMDA
Waktu untuk mencapai 3-5 0.5-2 0 , 5- 1 3-7
konsentrasi maksimal ( jam)
Absorpsi dipengaruhi Tidak Ya Ya Tidak
makanan
Waktu-paruh serum (jam) 70-80 2 5-7 60-80
Metabolisme
Dosis (inisial/ maksimal)
Sitokrom P-450 Non-hepatik Sitokrom P-450 -
Non hepatik
1 x 5 mg/ 2 x 1,5 mg/ 2 x 4 mg/ 2 x 5 mg /
1 x 10 mg 2 x 6 mg 2 x 12 mg 2 x 10 mg
•Modifikasi dari Cummings (2004). NMDA= N -methyl D-aspartate

KOMPLIKASI
Jatuh, rusaknya struktur sosial keluarga, isolasi, malnutrisi

PROGNOSIS
Rata - rata harapan hidup pasien demensia sekitar delapan tahun dengan kisaran
1- 20 tahun. Pasien dengan awitan dini atau memiliki riwayat demensia dalam keluarga,
progesifitasnya lebih cepat. 10 -15 % pasien berpotensi untuk kembali ke kondisi awal
jika terapi dimulai sebelum terjadi kerusakan otak permanent

294
Gangguan Kognitif Ringan dan Demensia

Paslen usla lanjut dengan


keluhan memori subyektlf /
dllaporkan keluarga

Anamnesis Faktor rtalka: Laboratorium:


• Lorna keluhan • FunQSi tlrold KeJola semua
• Fungsi hall
• Awitan • HJperiemi • Gagai Jantung (akior rtslko
• Progresivital • Diabetes meffhjs • Hlpofkoagulasl • Fungsi ginjai sesegera &
• Afclivltas hldup • Diillpldemla • Hlperagregasi • Kadar abal dalam darah
seoptfmai
(Tenjtama yang hekerja
-
sehan han • Merokok trombosit mungkin

.
pada SSP)
• Rtwayat keluarga • Qbesitas • Neuixwifillf
• Penoflunaqn obat
obatan dan alkohol
- • PPOk 8 HIV
Terapl sesual penyebab
• Rlwayat CABG Modlflkasl/ terapl blla ada blla abnormal

Oplimallsasi
pangetolaan
faktor resiko

Lanjutkan
MMS£<24 MMSE 24 28- MMSE>28 pengelolaan
faktor resiko:
Dugaan Demensia Dugaan MC1-VCI Normal (?)
• Terapl
antlhlpertensl
• Injeksl/obat
hlpoglikemik
• Obat penurun
Edukasi Edukasi Evaluasl fungsi kadar lemak
RujukSpKJ /SpS / Inhibitor kolinesterase (masih kontroversi) kognitif tiap • Antikoagulan
Konsultan Geriatri Kerjasama dengan spesialis terkait 6 bulan • Olahraga
yang teratur
• Suplementasi
asam folat &
Skor MMSE Skor MMSE Vlt, B12
tetap/ turun meningkat • Konsumsl
Evaluasi 6 bulan serat larut air
• Asupan kalori
yang balk
( proper caloric
intake )
• Berhenti
merokok

Gambar 1. Algoritme Evaluasi dan Penatalaksanaan Pasien Usla Lanjut dengan Penurunan Fungsi
Kognitif

KOMPETENSI
• Spesialis Penyakit Dalam
• Konsultan Geriatri

UNIT YANG MENANGANI


RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Geriatri
RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
RS pendidikan : Departemen Psikiatri - Divisi Psikiatri - Geriatri
RS non pendidikan : Bagian Psikiatri

295
Panduan
rnrtimounari
OoJcfer
Praktik
I’
Klinis Geriatri
SpoSOlln rtnyqkr! OaJnm maonctta

REFERENSI
1. Dementia. Dalam : Fauci A, Kasper D, Longo D, Braunwald E, Hauser S, Jameson J, Loscalzo J,
. .
editors Harrison' s principles of internal medicine. 1§ifi ed United States of America; The McGraw-
Hill Companies, 2011
2. ,
Dementia. Dalam : Kaplan and Sadock's Synopsis of Psychiatry 10 h Edition. Lipplncott Williams
& Wilkins 2007 .
.-
3. RdqtirtidO Wasilah. Murtl, KOhtjoraf-larl,Demensia, Dalam :Sudoyo, Aru W. Setyohadi, Bdmbang.
[
'

.
AlWlrldrus Simadjbr«!af Maicelfws,.Setiati;'5ifr: Buku afar llmu Peny,gjjitpplam Edisi V. Jakarta: Pusat
info®$felan PeherblfdhD partfmen llmu Penyakil Dalam FKUI RSCM ; 2009. Halaman 837-844.
4. ^ *
McKhan Guy et al. Clinical diagnosis of alzheimer disease. Reporf of the NINCDSADRDA Work
group neurology, Neurology 1984(34):939-943.
5. Current: Sink KM, Yaffe K. Cognitive impairment and dementia. In: Williams BA, Chang A, Ahalt
C, Conqnt R, Ritchie C, Chen H, Landefeld CS, Yukawa M. Current Diagnosis and treatment
Geriatrics. 2nd ed. New York; Me Graw Hill, 2014.

296
297

IMOBILISASI

PENGERTIAN
Mobilisasi tergantung pada interaksi yang terkoordinasi antara fungsi sensorik
persepsi, keterampilan motorik, kondisi jasmani, tingkat kognitif , dan kesehatan
premorbid, serta variabel eksternal seperti keberadaan sumber-sumber komunitas,
dukungan keluarga, adanya halangan arsitektural ( kondisi lingkungan ) , dan
kebijaksanaan institusional .1
Imobilisasi didefinisikan sebagai kehilangan gerakan anatomik akibat
perubahan fungsi fisiologis, yang dalam praktek sehari-hari dapat diartikan sebagai
ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas mobilitas di tempattidur, transfer, atau
ambulasi selama lebih dari tiga hari. Imobilisasi menggambarkan sindrom degenerasi
fisiologis yang diakibatkan penurunan aktivitas dan “ deconditioning", erbagai faktor ^
jasmani, psikologis, dan lingkungan yang dapat menyebabkan imobilisasi pada usia
lanjut dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Penyebab Umum Imobilisasi pada Usia Lanjut


1

Gangguan muskuloskeletal Artritis


Osteoporosis
Fraktur ( terutama panggul dan femur)
Problem kaki (bunion, kalus )
Lain-lain (misalnya penyakit Paget)
Gangguan neurologis Strok
Penyakit Parkinson
Lain-lain ( disfungsi serebelar, neuropati)
Penyakit kardiovaskula r Gagal jantung kongestif ( berat )
Penyakit jantung koroner (nyeri dada yang sering)
Penyakit vaskular perifer ( klaudikasio yang sering )
Penyakit paru Penyakit paru obstruktif kronis ( berat)
Faktor sensorik Gangguan penglihatan
Takut (instabilitas dan takut akan jatuh )
Penyebab lingkungan Imobilisasi yang dipaksakan (di rumah sakit atau panti werdha)
Alat bantu mobilitas yang tidak adekuat
Nyeri akutatau kronlk Lain-lain Dekondisi ( setelah tirah baring lama pada keadaan sakit akut )
• Malnutrisi
• Penyakit sistemik berat ( misalnya metastasis luas pada keganasan)
• Depresi
• Efek samping obat (misalnya kekakuan yang disebabkan obat
antipsikotik)
• Perjalanan lama yang menyebabkan seseorang tidak bergerak

PanduanPraktik Minis
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
m tSSSSSSSSL Geriatri
DIAGNOSIS

Anamnesis1
• Riwayat dan lama disabilitas / imobilisasi
• Kondisi medis yg merupakan faktor risiko dan penyebab imobilisasi
• Kondisi premorbid
• Nyeri
• Obat -obatan yang dikonsumsi
• Dukungan pramuwerdha
• Interaksi sosial
• Faktor psikologis
• Faktor lingkungan

Pemeriksaan Fisik1
• Status kardiopulmonal
• Kulit
• Muskuloskeletal: kekuatan dan tonus otot, lingkup gerak sendi, lesi dan deformitas
kaki
• Neurologis: kelemahan fokal, evaluasi persepsi dan sensorik
• Gastrointestinal
• Genitourinarius
• Status Fungsional: Antara lain dengan pemeriksaan indeks aktivitas kehidupan
sehari-hari (AKS) Barthel
• Status Mental: Antara lain penapisan dengan pemeriksaan geriatric depression
scale (GDS)
• Status Kognitif: Antara lain penapisan dengan pemeriksaan mini - mental state
examination (MMSE), abbreviated mental test (AMT)
• Tingkat Mobilitas : Mobilitas di tempat tidur, kemampuan transfer, mobilitas di
kursi roda, keseimbangan saat duduk dan berdiri, cara berjalan {gait ), nyeri saat
bergerak.

Pemeriksaan Penunjang1
• Penilaian berat ringannya kondisi medis penyebab imobilisasi (foto lutut,
ekokardiografi, dll) dan komplikasi akibat imobilisasi ( pemeriksaan albumin,
elektrolit, glukosa darah, hemostasis, dll.

298
Imobilisasi

TATALAKSANA1

Tatalaksana Umum
• Kerjasama tim medis interdisiplin dengan partisipasi pasien , keluarga , dan
pramuwerdha
• Edukasi kepada pasien dan keluarga mengenai bahaya tirah baring lama,
pentingnya latihan bertahap dan ambulasi dini , serta mencegah ketergantungan
pasien dengan melakukan aktivitas kehidupan sehari -hari sendiri, semampu pasien
• Dilakukan pengkajian geriatri paripurna, perumusan target fungsional, dan
pembuatan rencana terapi yang mencakup pula perkiraan waktu yang diperlukan
untuk mencapai target terapi
• Temukenali dan tatalaksana infeksi , malnutrisi, anemia, gangguan cairan dan
elektrolit yang mungkin terjadi pada kasus imobilisasi, serta penyakit/kondisi
penyerta lainnya
• Evaluasi seluruh obat - obatan yang dikonsumsi ; obat - obatan yang dapat
menyebabkan kelemahan atau kelelahan harus diturunkan dosisnya atau
dihentikan bila memungkinkan.
• Berikan nutrisi yang adekuat, asupan cairan dan makanan yang mengandung serat,
serta suplementasi vitamin dan mineral
• Program latihan dan remobilisasi dimulai ketika kestabilan kondisi medis sudah
tercapai , meliputi latihan mobilitas di tempat tidur, latihan lingkup gerak sendi
( pasif, aktif, dan aktif dengan bantuan) , latihan penguatan otot-otot ( isotonik,
isometrik, isokinetik) , latihan koordinasi / keseimbangan (misalnya berjalan pada
satu garis lurus), transfer dengan bantuan, dan ambulasi terbatas .
• Bila diperlukan, sediakan dan ajarkan cara penggunaan alat-alat bantu berdiri
dan ambulasi
• Manajemen miksi dan defekasi, termasuk penggunaan komod atau toilet

TATALAKSANA KHUSUS
• Tatalaksana faktor risiko imobilisasi (lihat Tabel 1)
• Tatalaksana komplikasi akibat imobilisasi
• Pada keadaan - keadaan khusus, konsultasikan kondisi medik kepada dokter
spesialis yang kompeten
• Lakukan remobilisasi segera dan bertahap pada pasien - pasien yang mengalami
sakit atau dirawat di rumah sakit dan panti werdha untuk mencegah imobilisasi
lebih lanjut

299
Panduan Praktik Klinis Geriatri
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyokil Dalam Indonesia

Upayakan dukungan lingkungan dan ketersediaan alat bantu untuk mobilitas yang
adekuat bagi usia lanjut yang mengalami disabilitas permanen
Low dose heparin ( LDH), dan Low Molecular Weight Heparin (LMWH), pencegahan
kontraktur dan pneumonia ( gerakan-gerakan yang harus dikerjakan, pencegahan
ulkus dekubitus)

KOMPLIKASI
Trombosis, emboli paru, kelemahan otot, kontraktur otot dan sendi, osteoporosis,
ulkus dekubitus, hipotensi postural, pneumonia dan infeksi saluran kemih, gangguan
nutrisi ( hipoalbuminemia ), konstipasi dan skibala.12

PROGNOSIS
Prognosis tergantung pada penyakit yang mendasari imobilisasi dan komplikasi
yang ditimbulkannya . Perlu dipahami, imobilisasi dapat memperberat penyakit
dasarnya bila tidak ditangani sedini mungkin, bahkan dapat sampai menimbulkan
kematian.

Tabel 3. Efek Imobilisasi pada Berbagai Sistem Organ


Organ/ SIstem Perubahan yang Terjadl Aklbat Imobilisasi
Muskuloskeletal Osteoporosis, penurunan massa tulang, hilangnya kekuatan
otot, penurunan area potong lintang otot, kontraktur,
degenerasi rawan sendi, ankilosis, peningkatan tekanan
intraartikular, berkurangnya volume sendi
Kardiopulmonal dan pembuluh Peningkatan denyut nadi istirahat, penurunan perfusi miokard,
darah intoleran terhadap ortostatik, penurunan ambilan oksigen
maksimal (V07 max ] , deconditioning jantung, penurunan
volume plasma, perubahan uji fungsi paru, atelektasis paru,
pneumonia, peningkatan stasis vena, peningkatan agregasi
trombosit, dan hiperkoagulasi
Integumen Peningkatan risiko ulkus dekubitus dan maserasi kulit
Metabolik dan endokrin Keseimbangan nitrogen negatif, hiperkalsiuria, natriuresis
dan deplesi natrium, resistensi insulin (intoleransi glukosa) ,
hiperlipidemia, serta penurunan absorpsi dan metabolisme
vitamin/mineral
Neurologl dan pslklatrl Depresi dan psikosis, atrofi korteks motorik dan sensorik,
gangguan keseimbangan, penurunan fungsi kognitif, neuropati
kompresi, dan rekrutmen neuromuskular yang tidak efisien
Traktus gastrointestinal dan Inkontinensia urin dan aivi, infeksi saluran kemih, pembentukan
urinarlus batu kalsium, pengosongan kandung kemih yang tidak
sempurna dan distensi kandung kemih, impaksi feses,
dan konstipasi, penurunan motilitas usus, refluks esofagus,
aspirasi saluran napas, dan peningkatan risiko perdarahan
gastrointestinal

300
Imobilisasi

KOMPETENSI
• Dokter Spesialis Penyakit Dalam
• Konsultan Geriatri

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Geriatri,
Departemen Rehabilitasi Medik
• RS non pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam

REFERENSI
1. . . .
Setiati, Siti Roosheroe, Arya Govinda Imobilisasi Pada Usia Lanjut Dalam :Sudoyo, Aru W .
.
Setyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata, Marcellus. Setiati, Siti Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Edisi V . Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-
.
RSCM ; 2009 Halaman 859-864.
2. .
Stechmiller JK, Cowan L, Whitney JD, et al Guidelines for the prevention of pressure ulcers. Wound
Repair Regen 2008; 16 ( 2) :151-168

301
302

INKONTINENSIA URIN

PENGERTIAN
Inkontinensia urin adalah keluarnya urin yang tidak terkendali sehingga
menimbulkan masalah higiene dan sosial. Inkontinensia urin merupakan masalah yang
sering dijumpai pada pasien geriatri dan menimbulkan masalah fisik dan psikososial,
seperti dekubitus, jatuh, depresi, dan isolasi sosial.1
Inkontinensia urin dapat bersifat akut atau persisten. Inkontinensia urin yang akut
dapat diobati bila penyakit atau masalah yang mendasarinya diatasi seperti infeksi
saluran kemih, gangguan kesadaran, vaginitis atrofik, obat-obatan, masalah psikologik,
dan skibala. Inkontinensia urin yang persisten biasanya dapat pula dikurangi dengan
berbagai modalitas terapi.1
Inkontinensia urin persisten dapat dibedakan menjadi: 2
• Inkontinensia urin tipe urgensi dicirikan oleh gejala adanya sering berkemih,
keinginan berkemih yang tidak tertahankan ( urgensi), yang disebabkan oleh
overaktivitas otot detrusor karena hilangnya kontrol neurologis atau iritasi lokal
• Inkontinensia urin tipe stres adalah kegagalan mekanisme sfingter menutup
ketika ada peningkatan tekanan intra-abdomen mendadak seperti bersin, batuk,
mengangkat barang berat dan tertawa.
• Inkontinensia urin tipe overflow dicirikan oleh menggelembungnya kandung kemih
-
melebihi volume yang seharusnya dimiliki kandung kemih, post void residu (PVR)
>100 cc.
Penyebab reversibel dari inkontinentia (DIAPPERS) : 3
Delirium or confusion = delirium atau acute cofusional state
Infection, urinary symptoms = infeksi, gejala traktus urinarius
Atrophic genital tract changes ( vaginitis or urethritis) = atrofi traktus genitalia (vaginitis
atau urethritis)
Pharmaceutical agents = obat-obatan atau zatyang menimbulkan efek sering berkemih
Psychological factors = faktor psikologi
Excess urine production [ excess fluid intake, volume overload, metabolic such as
hyperglycemia or hypercalcemia) = kelebihan produksi urin ( konsumsi cairan yang
banyak, kondisi overload atau metabolik seperti hiperglikemia atau hiperkalsemia)

PanduanPrakiikKIinis
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
Inkontinensia Urin

Restricted mobility ( chronic illness, injury or restraint) = mobilitas terbatas ( penyakit


kronis, kecelakaan atau restraint/ diikat)
Stool impaction = skibala

DIAGNOSIS

Anamnesis
Frekuensi, urgensi, nokturia, disuria, hesitancy, pancaran lemah , tanyakan
frekuensi miksi, banyaknya kejadian inkontinensia, konsumsi cairan, gejala ginekologis:
perdarahan pervaginam, iritasi vagina.4

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaaan neurologis: kesadaran, nervus cranialis, fungsi motorik, refleks
spinal, dan fungsi sensoris. Pemeriksaan pelvis : inflamasi atau infeksi traktus genitalia
dapat meningkatkan sensasi aferen yang menyebabkan irritative voiding symptoms.4

Pemeriksaan Penunjang
Urin lengkap dan kultur urin, PVR, kartu catatan berkemih, gula darah, kalsium
darah dan urin, perineometri, urodynamic study.

TATALAKSANA
Terapi untuk inkontinensia urin tergantung pada penyebab inkontinensi urin.1
• Untuk inkontinensia urin tipe urgensi dan overactive bladder, diberikan latihan
otot dasar panggul, bladder training , schedule toiletting , dan obat yang bersifat
antimuskarinik (antikolinergik) seperti tolterodin, solifenacin, propiverine atau
oksibutinin. Obat antimuskarinik yang dipilih seyogyanya yang bersifat uroselektif.
• Untuk inkontinensia urin tipe stres, latihan otot dasar panggul merupakan pilihan
utama, dapat dicoba bladder training dan obat agonis alfa ( hati- hati pemberian
agonis alfa pada orang usia lanjut).
• Untuk inkontinensia tipe overflow, perlu diatasi penyebabnya. Bila ada sumbatan,
perlu diatasi sumbatannya (misalnya hipertrofi prostat).

KOMPLIKASI
Inkontinensia urin dapat menimbulkan komplikasi infeksi saluran kemih, lecet
pada area bokong sampai dengan ulkus dekubitus karena selalu lembab, serta jatuh
dan fraktur akibat terpeleset oleh urin yang tercecer.

303
l PW
Panduan Praktik Klinis Geriatri
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia

PROGNOSIS
Inkontinensia urin tipe stres biasanya dapat diatasi dengan latihan otot dasar
panggul, prognosis cukup baik.
Inkontinensia urin tipe urgensi atau overactive bladder umumnya dapat diperbaiki
dengan obat-obat golongan antimuskarinik, prognosis cukup baik.
Inkontinensia urin tipe overflow, tergantung pada penyebabnya ( misalnya dengan
mengatasi sumbatan / retensi urin ).

KOMPETENSI
• Spesialis Penyakit Dalam ; A3, B4
• Konsultan Geriatri

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Geriatri
• RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Divisi Geriatri- Departemen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Departemen Penyakit Dalam

REFERENSI
1. .
Setiati, Siti. Pramantara, I Dewa Putu Inkontinensia Urin dan kandung kemih hiperaktif. Dalam
:Sudoyo, Aru W . Setyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata, Marcellus. Setiati, Siti. Buku ajar
Ilmu Penyakit Dalam Edisi V. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Departemen ilmu Penyakit
Dalam FKUI-RSCM : 2009. Halaman 837 -844.
2. Clinical problems of aging. Dalam : Fauci A , Kasper D, Longo D, Braunwald E, Flauser S, Jameson
J, Loscalzo J, editors. Harrison ' s principles of internal medicine. 18lh ed. United States of America;
The McGraw-Hill Companies, 2011 .
3. Resnick NM. Urinary incontinence in the elderly. Medical Grand Rounds 1984:3:281-90.
4. Botros, Sylvia M. sand, Peter K. Urinary Incontinence. Diunduh pada : http://www. menopausemgmt.
.
com /issues / 13-05 /MM 13-5_lncontinence pdf pada tanggal 28 Mei 2012.

304
305

INSTABILITAS DAN JATUH

PENGERTIAN
Stabilitas adalah proses menerima dan mengintegrasikan input sensorik serta
merencanakan dan melaksanakan gerakan untuk mencapai tujuan yang membutuhkan
postur tegak, atau mengontol pusat gravitasi tetap berada di atas landasan penopang
1
.
Instabilitas adalah kekurangan atau kehilangan kemampuan mempertahankan
stabilitas2. Jatuh adalah suatu kondisi seseorang mengenai lantai atau posisi yang
lebih rendah karena ketidak hati-hatian (inadvertently) dengan atau tanpa penurunan
kesadaran.3
Adanya instabilitas membuat seseorang berisiko untuk jatuh. Kemampuan untuk
mengontrol posisi tubuh dalam ruang merupakan suatu interaksi kompleks sistem
saraf dan muskuloskeletal yang dikenal sebagai sistem kontrol postural. Jatuh terjadi
manakala sistem kontrol postural tubuh gagal mendeteksi pergeseran dan tidak
mereposisi pusat gravitasi terhadap landasan penopang ( kaki, saat berdiri) pada
waktu yang tepat untuk menghindari hilangnya keseimbangan. Kondisi ini seringkali
merupakan keluhan utama yang menyebabkan pasien datang berobat ( keluhan utama
dari penyakit- penyakit yang juga bisa mencetuskan sindrom delirium akut).
1

Terdapat faktor risiko intrinsik dan ekstrinsik untuk terjadinya jatuh. Faktor
intrinsik terdiri atas faktor lokal dan faktor sistemik. Faktor intrinsik lokal: osteoartritis
genu / vertebra lumbal, plantar fasciitis, kelemahan otot kuadrisep femoris, gangguan
pendengaran, gangguan penglihatan, gangguan pada alat keseimbangan seperti vertigo
yang dapat ditimbulkan oleh gangguan aliran darah ke otak akibat hiperkoagulasi,
.
hiperagregasi, atau spondiloartrosis servikal Faktor intrinsik sistemik: penyakit
paru obstruktif kronik ( PPOK ) , pneumonia, infark miokard akut, gagal jantung,
infeksi saluran kemih, gangguan aliran darah ke otak (hiperkoagulasi, strok, dan
transient ischemic attact / T1A), diabetes melitus dan / atau hipertensi (terutama
jika tak terkontrol), paresis inferior, penyakit atau sindrom parkinson, demensia,
gangguan saraf lain serta gangguan metabolik seperti hiponatremia, hipoglikemia
atau hiperglikemia, dan hipoksia. Faktor risiko ekstrinsik / lingkungan antara lain :
alas kaki yang tidak sesuai, kain / pakaian bagian bawah tubuh yang terjuntai, lampu

Panduan PrakUkKIinis
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
/ vY
jpft
Panduan Praktik Klinis Geriatri
Perhimpunan Dokier Spesialis Pertyakil Dalcim Indonesia

ruangan yang kurang terang, lantai yang licin, basah, atau tidak rata , furnitur yang
terlalu rendah atau tinggi, tangga yang tak aman, kamar mandi dengan bak mandi
/
closet terlalu rendah atau tinggi dan tak memiliki alat bantu untuk berpegangan, tali
atau kabel yang berserakan di lantai , karpet yang terlipat, dan benda - benda di lantai
yang membuat seseorang terantuk.1

Tabel 1. Penyebab jatuh


Penyebab Jatuh
'
Keterangan
Kecelakaan Kecelakaan mumi (terantuk, terpeleset, dll)
Interaksi antara bahaya di lingkungan dan faktor yang
meningkatkan kerentanan
Sinkop Hilangnya kesadaran mendadak
Drop attacks Kelemahan tungkai bawah mendadak yang menyebabkan jatuh
tanpa kehilangan kesadaran
Penyakit vestibular, penyakit sistem saraf pusat
Dizziness dan/ atau vertigo Hipovolemia atau cardiac output yang rendah, disfungsi otonom,
gangguan aliran darah balik vena, tirah baring lama, hipotensi
akibat obat-obatan, hipotensi postprandial
Hipotensi ortostatik Diuretika, antihipertensi, antidepresi golongan trisiklik, sedatif,
antipsikotik, hipoglikemia, alkohol.
Obat-obatan Berbagai penyakit akut .
Kardiovaskular: aritmia, penyakit katup jantung ( stenosis aorta),
sinkop sinus karotid
Proses penyakit Neurologis: TIA, strok, kejang, penyakit Parkinson, spondilosis lumbal
atau servikal ( dengan kompresi pada korda spinalis atau cabang
saraf) , penyakitserebelum, hidrosefalus tekanan normal ( gangguan
gaya berjalan) , tesi sistem saraf pusal ( tumor, hematom subdural)
Idiopatik Tak ada penyebab yang dapat diidentifikasi

DIAGNOSIS

Anamnesis
Terdapat keluhan perasaan seperti akan jatuh, disertai atau tanpa dizziness, vertigo,
rasa bergoyang, rasa tidak percaya diri untuk transfer atau mobilisasi mandiri . Riwayat
jatuh, frekuensi, dan gejala yang dirasakan saat jatuh, riwayat pengobatan, dan faktor
risiko jatuh perlu ditanyakan.4

Pemeriksaan Fisik
Pendekatan dalam pemeriksaan jasmani dapat menggunakan singkatan "I HATE
FALLING" yaitu :5
I : inflamasi pada sendi (deformitas sendi)
H : hipotensi (orthostatik)

306
Instabilitas dan Jatuh

A : auditory and visual abnormalities


T : tremor ( penyakit Parkinson atau penyebab lain]
E : equilibrium problem
F : Foot problem
A : aritmia, heart block atau penyakit katup jantung
L : leg - length discrepancy (akibat fraktur femur misalnya]
L : lack of conditioning (generalize weakness )
I : illness
N : nutrisi (status nutrisi buruk, kehilangan berat badan]
G : gait disturbance

Pemeriksaan lain dapat dilakukan seperti pada Tabel 2 . 1, 3

Tabel 2. Evaluasi pada Pasien Usia Lanjut yang Jatuhl


Evaluasl Keterangan
Anamnesis
Riwayat medis umum
Tingkat mobilitas
Riwayat jatuh sebelumnya
Obat-obatan yang dikonsumsi Terutama obat antihipertensi dan psikotropika
Apa yang dipikirkan pasien Apakah pasien sadarbahwaakanjatuh?; Apakah kejadianjatuh
sebagai penyebab jatuh? tersebut sama sekali tak terduga ?; Apakah pasien terpeleset
atau terantuk ?
Lingkungan sekitar tempat Waktu dan tempat jatuh; Saksi; kaitannya dengan perubahan
jatuh postur, batuk, buang air kecil, memutar kepala
Gejala yang terkait Kepala terasa ringan, dizziness , vertigo; palpitasi, nyeri dada,
sesak; gejala neurologis fokal mendadak ( kelemahan, gangguan
sensorik, disartria, ataksia, bingung, afasia) ; Aura; Inkontinensia
urin atau alvi
Hilangnya kesadaran Apakah yang langsung diingat segera setelah jatuh ?
Apakah pasien dapat bangkit kembali setelah jatuh dan jika
dapat, berapa lama waktu yang diperlukan untuk dapat bangkit
setelah jatuh?
Apakah adanya hilangnya kesadaran dapat dijelaskan ?
Pemeriksaan Jasmani: Demam, hipotermia, frekuensi pernapasan, frekuensi nadi dan
Tanda vital tekanan darah saat berbaring, duduk, dan berdiri.
Kulit Turgor, trauma, kepucatan
Mata Visus
Kardiovaskular Aritmia, bruit karotis, tanda stenosis aorta, sensitivitas sinus karotis
Ekstremitas Penyakit sendi degeneratif, lingkup gerak sendi, deformitas,
fraktur, masalah podiatrik (kalus, bunion, ulserasi, sepatu yang
tidak sesuai, kesempitan/ kebesaran, atau rusak )
Neurologis Status mental, tanda fokal, otot ( kelemahan, rigiditas, spastisitas) ,
saraf perifer ( terutama sensasi posisi) , proprioseptif , refleks, fungsi
saraf kranial, fungsi serebelum ( terutama uji tumit ke tulang
kering) , gejala ekstrapiramidal; tremor saat istirahat, bradikinesia,
gerakan involunter lain, keseimbangan dan cara berjalan dengan
mengobservasi cara pasien berdiri dan berjalan ( uji get up and go )

307
M: Panduan Prakakminis Geriatri
Pertiimpunan Dokter SpesiaRs Penyakit Dalam Indonesia

Pemeriksaan penunjang
Beberapa pemeriksaan (dapat dilihat pada bab prosedural) seperti the timed
up - and -go test (TUG ), uji menggapai fungsional { functional reach test ) , dan uji
keseimbangan Berg { the Berg balance sub-scale of the mobility index ) dapat untuk
mengevaluasi fungsi mobilitas sehingga dapat mendeteksi perubahan klinis bermakna
yang menyebabkan seseorang berisiko untuk jatuh atau timbul disabilitas dalam
mobilitas. Instrumen untuk memeriksa keseimbangan dan mobilitas fungsional
dapat dilihat pada lampiran l.1 Pemeriksaan penunjang diperlukan untuk membantu
mengidentifikasi faktor risiko; menemukan penyebab / pencetus: 1
• Lakukan pemeriksaan neurologis untuk mendeteksi defisit neurologis fokal,
adakah cerebro vascular disease atau transient ischemic attack; lakukan brain CT
scan jika ada indikasi
• Darah perifer lengkap
• Elektrolit (terutama natrium dan kalium), ureum, kreatinin, dan glukosa darah
• Analisis gas darah
• Urin lengkap dan kultur resistensi urin
• Hemostasis darah dan agregasi trombosit
• Foto toraks, vertebra, genu, dan pergelangan kaki (sesuai indikasi)
• EKG
• Identifikasi faktor domisili (lingkungan tempat tinggal)
Penilaian Risiko Jatuh Ada beberapa metode untuk menilai risiko jatuh pada
geriatri seperti the downtown fall risk index dan rumus seperti di bawah ini :6 7 -
Rumus menghitung kemungkinan jatuh pada geriatri :6

Kemungkinan exp [-7.519 + 0.026 x (reaction time/ - 0.071x (ABC1/ - 2.139 x (Berg 14) ]
jatuh x 100 %
1 + exp /-7.519 + 0.026 x (reaction time/ - 0.071x (ABC1J - 2.139 x (Berg 14//

Keterangan :
• Skala uji keseimbangan Berg : lihat di lampiran
• Reaction time : merupakan waktu yang diukur dari pemberian unexpected stimulus sampai merespon
terhadap stimuli tersebut
• Skala Activities-specific Balance Confidence (ABC) : terdiri dari 16 poin [ subscale ), subjek diminta untuk
menentukan tingkat kepercayaan diri mereka ketika diminta menyelesaikan suatu aktivitas.

Catalan: risiko jatuh dengan rumus di atas lebih banyak untuk kepentingan penelitian

308
Instabilitas dan Jatuh

Tabel 3. Penilaian Klinis dan Tatalaksana yang Direkomendasikan bagi Orang Usia Lanjut yang
Berisiko Jatuh1
Penilaian dan Faktor Rlsiko Tatalaksana
Lingkungan saat jatuh sebelumnya Perubahan lingkungan dan aktivitas untuk mengurangi
kemungkinan jatuh berulang

Konsumsi obat-obatan Review dan kurangi konsumsi obat-obatan


Obat-obat berisiko tinggi
( benzodiazepin, obat tidur
lain, neuroleptik, antidepresi,
antikonvulsi, atau antiaritmia
kelas IA )
Konsumsi 4 macam obat atau
lebih

Penglihatan Penerangan yang tidak menyilaukan; hindari


Visus <20 / 60 pemakaian kacamata multifokal saat berjalan; rujuk
Penurunan persepsi kedalaman ke dokter spesialis mata
( depth perception )
Penurunan sensitivitas terhadap
kontras
Katarak

Tekanan darah postural ( setelah >5 menit Diagnosis dan tatalaksana penyebab dasar jika
dalam posisi berbaring/sup/ne, segera memungkinkan; review dan kurangi obat-obatan;
setelah berdiri, dan 2 menit setelah modifikasi dari restriksi garam; hidrasi yang adekuat;
berdiri) tekanan sistolik turun > 20 mmHg strategi kompensasi ( elevasi bagian kepala tempat
( atau > 20%), dengan atau tanpa gejala, tidur, bangkit perlahan, atau latihan dorsofleksi) ;
segera atau setelah 2 menit berdiri. stoking kompresi; terapi farmakologis jika strategi di
atas gagal.

Keseimbangan dan gaya berjalan


Laporan pasien atau observasi Diagnosis dan tatalaksana penyebab dasar
adanya ketidakstabilan jika memungkinkan; kurangi obat-obatan yang
Gangguan pada penilaian mengganggu keseimbangan; intervensi lingkungan;
singkat ( uji get up and go rujuk ke rehabilitasi medik untuk alat bantu dan
atau performance -oriented latihan keseimbangan serta gaya berjalan
assessment of mobility )
Pemeriksaan neurologis
Gangguan proprioseptif
Gangguan kognitif Diagnosis dan tatalaksana penyebab dasar jika
Penurunan kekuatan otot memungkinkan; tingkatkan input proprioseptif
( dengan alat bantu atau alas kaki yang sesuai,
dengan hak rendah dan bersol tipis) ; kurangi obat-
obatan yang mengganggu fungsi kognitif; rujuk
ke rehabilitasi medik untuk latihan gaya berjalan,
keseimbangan, dan kekuatan

309
Panduan Praktik Klinis Geriatri
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia

Tabel 4. The downtown fall risk index 7


Penllalan Skor
Riwayat jatuh sebelumnya Tidak 0
Ya
Obat-obatan Tidak ada 0
Sedatif / tranquillizers
Diuretik
Obat anti hipertensi ( selain diuretik) 1
Obat anti parkinson
Obat anti depresi
Obat-obatan lain 0
Defisit sensorik Tidak ada 0
Gangguan penglihatan 1
Gangguan pendengaran 1
Gangguan anggota tubuh ( limb ) 1
Status mental Orientasi 0
Confused ( gangguan kognitif) 1
Gait Normal (aman tanpa alat bantu) 0
Aman dengan alat bantu untuk berjalan 0
Tidak aman (dengan/atau tanpa alat bantu) 1
Tidak mampu berjalan 0
Keterangan : skor > 3 : risiko tinggi untuk jatuh

TATALAKSANA
• Prinsip dasar tatalaksana usia lanjut dengan masalah instabilitas dan riwayat j atuh
adalah identifikasi faktor risiko intrinsik dan ekstrinsik, mengkaji dan mengobati
trauma fisik akibat jatuh; mengobati berbagai kondisi yang mendasari instabilitas
dan jatuh; memberikan terapi fisik dan penyuluhan berupa latihan cara berjalan,
penguatan otot, alat bantu, sepatu atau sandal yang sesuai; mengubah lingkungan
agar lebih aman seperti pencahayaan yang cukup; pegangan; lantai yang tidak
licin, dan sebagainya. 1
• Latihan desensitisasi faal keseimbangan, latihan fisik [penguatan otot, fleksibilitas
sendi, dan keseimbangan], latihan Tai Chi, adaptasi perilaku [bangun dari duduk
perlahan -lahan, menggunakan pegangan atau perabot untuk keseimbangan , dan
teknik bangun setelah jatuh] perlu dilakukan untuk mencegah morbiditas akibat
instabilitas dan jatuh berikutnya.1
• Perubahan lingkungan acapkali penting dilakukan untuk mencegah j atuh berulang
karena lingkungan tempat orang usia lanjut tinggal seringkali tidak aman sehingga
upaya perbaikan diperlukan untuk memperbaiki keamanan mereka agar kejadian
jatuh dapat dihindari.1
• Keluarga harus dilibatkan dalam program pencegahan jatuh berulang
• Penatalaksanaan faktor risiko juga dilakukan seperti pada Tabel 3.1

310
Instabilitas dan Jatuh tAj

• Suplementasi vitamin D dengan dosis 800 IU setiap hari dapat diberikan pada
usia lanjut yang berisiko jatuh, adanya defisiensi vitamin D, adanya gangguan
keseimbangan atau gait3
• Algoritme pendekatan dan penanganan jatuh pada usia lanjut8’9 dapat dilihat pada
lampiran 2.

KOMPLIKASI
Fraktur ( tersering tulang vertebra, panggul, ibu jari, tungkai, pergelangan kaki,
lengan atas, tangan), memar jaringan lunak, isolasi dan depresi, imobilisasi10

PROGNOSIS
Kemungkinan jatuh berulang lebih dari satu kali setiap tahunnya, terjadi pada
50% penghuni rumah perawatan / panti werdha, 10-25% mengalami komplikasi serius.
Jatuh dapat memengaruhi kualitas hidup. Ketakutan mengalami jatuh dialami 25-40%
orang berusia lanjut.1
Jatuh menyebabkan kematian karena kecelakaan dan terbanyak menyebabkan perawatan
di rumah sakit. Sebanyak 20-30% kasus jatuh menyebabkan luka berat seperti laserasi, fraktur
panggul, atau trauma kepala (46%). Kematian berhubungan dengan usia ( 82% kasus terjadi
-
pada usia > 65 tahun), jenis kelamin laki-laki, ras kulit putih, non Hispanics. 9

KOMPETENSI
• Spesialis Penyakit Dalam
• Konsultan Geriatri :

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Geriatri
• RS non pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam

UNIT YANG TERKAIT


• RS pendidikan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
• RS non pendidikan Departemen Ilmu Penyakit Dalam

REFERENSI
1. Setiati Siti, Laksmi Niko Adhi. Gangguan Keseimbangan Jatuh dan Fraktur . Dalam: Suyono, S.
Waspadji, S. Lesmana, L. Alwi, I. Setiati, S. Sundaru, H. dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I.
Edisi V. Jakarta: Interna Publishing: 2010. Hal.812-825.

311
tr% Panduan Praktik Klinis Geriatri
^MTW
' 7 Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalom Indonesia

2. Instability. Dorland's Medical Dictionary for Health Consumers.2007. Diunduh dari http:/ /medical-
dictionary.thefreedictionary.com/instability pada tanggal 29 Mei 2012.
3. Yoshida S . A Global Report on Falls Prevention Epidemiology of Falls. Diunduh dari http://www.
who.int / ageing/projects/ 1 .Epidemiology%20of%20falls%20in%20older%20age.pdf pada tanggal
20 Mei 2012.
4. 2010 AGS / BGS Clinical Practice Guideline: Prevention of Falls in Older Persons. http:/ / www.
americangeriatrics.org/ files / documents/health_care_pros / Falls.Summary.Guide.pdf
5. Sloan JP. Mobility failure. In: Protocols in primary care geriatrics. New York: Springer, 1997:33-8 .
6. Lajoie Y, Gallagher S. Predicting falls within the elderly community:comparison of postural sway,
reaction time, the Berg balance scale and the Activities-speciflc Balance Confidence ( ABC )
.
scale for comparing toilers and non-fallers. Arch. Gerontol Geriatr. 38 ( 2004) 11-26 Diunduh.
. . .
dari http:// mrvar.fdv uni-lj si/ sola / info 4/tina / clanki/ dolinar_eva pdf pada tanggal 28 Mei 2012.
7. Rosendahl E. Prediction of falls among older people in residential care facilities by the Downtowm
. .
Index. Aging Clin Exp Resp, vol 15, no 2. 2002 Diunduh dari http:// ourfuture eu / OurFutureEU /
Files /results //Health%20and%20Social%20Services /Home%20 Visits / Prediction%20of %20falls%20
among%20older%20people%20%20DFRI.pdf pada tanggal 29 Mei 2012.
8. Summary of the Updated American Geriatrics Society/ British Geriatrics Society Clinical Practice
Guideline for Prevention of Falls in Older Persons, e Panel on Prevention of Falls in Older Persons,
American Geriatrics Society and British Geriatrics Society. http:// www. americangeriatrics.org/
files / documents / health_care_pros/ JAGS.Falls.Guidelines.pdf
9. Ferrucci L. Clinical Problems of Aging. . In: Longo Fauci Kasper, Harrison ' s Principles of Internal
Medicine 18lh edition.United States of America.Mcgraw Hill. 2012
10. Falls Among Older Adults. Centers for Disease Controland Prevention. 2012. Diunduh dari http://
www.cdc.gov /HomeandRecreationalSafety/Falls / adultfalls.html pada tanggal 20 Mei 2012.

312
Instabilitas dan Jatuh

Lampiran 1

UJI THE TIMED UP AND GO


Tujuan : mengukur mobilitas, keseimbangan, dan pergerakan .
i

Cara pelaksanaan : subyek bangun dari kursi setinggi 46 cm dengan sandaran lengan
dan punggung, berjalan sepanjang 3 meter, berbalik arah kembali menuju kursi, dan
duduk kembali . 1
Hasil :
Tabel 4. Hasi pemeriksaan The Timed Up and Go1
Waktu (detik) Ttngkat mobilitas
< 10 Kemandirian penuh
< 20 Umumnya mandiri untuk berbagai aktivitas mobilitas seperti akivitas
mandi, mampu untuk baik tangga, dan bepergian sendiri
20-2? Variasi dalam mobilitas dan keseimbangan
>30 Mobilitas terganggu dan ketergantungan pada kebanyakan aktivitas
karena risiko jatuh tinggi

UJI MENGGAPAI FUNGSIONAL


Tujuan : menilai kontrol postural dinamis 1
Cara pelaksanaan : mengukur jarakterjauh seseorang yang berdiri mampu menggapai
atau mencodongkan badannya ke depan tanpa melangkah
1

Hasil :
Tabel 5. Hasil pemeriksaan uji menggapai fungsional1
Kriteria Usla (tahun) Jenls kelamln Hasil pemeriksaan
Normal -
41 69 Laki-laki 14,98 inci ± 2,21
Perempuan 13,81 inci ± 2.2
70-87 Laki-laki 13,16 inci ± 1,55
Perempuan 10,47 inci ± 3, 4
Berisiko jatuh > 70 < 6 inci

UJI KESEIMBANGAN BERG


Tujuan : menguji aktivitas dan keseimbangan fungsional dengan menilai kemampuan
mengerjakan 14 tugas. 1
Hasil : Setiap tugas dinilai dengan rentang dari angka 0 jika tidak mampu melakukan
sampai angka 4 : mampu mengerjakan dengan normal sesuai dengan waktu dan jarak
yang ditentukan . Skor maksimum 561
Tugas - tugas yang dinilai dalam 10 - 20 menit1
• Duduk tanpa bantuan
• Bangkit dari duduk ke berdiri

313
ir$
milr
Papuan Prakiik Minis
. *)
PwtilmtnjlKln Dailm Jpeilat I'onraUt Oalam mdon© Geriatri
W

Berdiri ke duduk
Transfer
Berdiri tanpa bantuan
Berdiri dengan mata tertutup
B6rdiri dengan kedua kaki rapat
Berdiri dengan kedua kaki dalam posisi tandem
Berdiri dengan satu kaki
Rotasi punggung saat berdiri
Mengambil obyek tertentu dari lantai
Berputar 3600 - AVii
f Sr.

Melangkahi kursi tanpa sandaran


Menggapai ke arah depan saat berdiri

314
Instabilitas dan Jatuh

Lampiran 2

Pencegahan jatuh, edukasi, dan


Menanyakan riwayat piogram latihan melipuli
jatuh dalam setahun terakhir
Tldak ada jatuh - .
keseimbangan gait, lotlhan
koordinasi. latihan kekuatan

I
Jatuh > 1 kali, kesulitan dalam 1 kali jatuh Tidak ada
keseimbangan dan gait , mencari dalam 6 bulan masalah
penyebab medis.

I Gangguan Pemeriksaan adakah


keseimbangan gangguan keseimbangan dan gait
dan gait

I • Intervensi faktor risiko


• Anamnesis mengenai jatuh • Penyesuaian obat
• Riwayat pengobatan
• Merencanakan program latihan
• Pemeriksaan keseimbangan individual
dan gait • Mengobati kelalnan visual
• Kognisi, visual • Mengatasl hipotensi postural
• Fungsl sendi ekstremitas • Menangani gangguan detak
bawah jantung dan irama jantung
• Kelainan neurologis • Suplementasl dengan vitamin D
• Kekuatan otot • Mengurangi bahaya yang ada
• Detak jantung dan irama di lingkungan
jantung • Edukasi dan latihan penanganan
• Hipotensi postural mandlri dan perubahan tingkah
• Environment hazard laku.

Gambar 1 . Algoritme pendekatan dan penanganan jatuh pada usia lanjut


8

315
316

TATALAKSANA NUTRISI PADA “FRAILTY ”


USIA LAN JUT

ANOREKSIA PADA USIA LANJUT


Asupan makanan berkurang sekitar 25% pada usia 40-70 tahun. Mekanisme
anoreksia pada usia lanjut dipengaruhi faktor fisiologis, psikologis, dan sosial yang
berpengaruh pada nafsu makan dan asupan makanan. Termasuk perubahan rasa
kecap dan pembauan, meningkat sensitifitas efek kenyang (satiati) makanan, kesulitan
.
mengunyah, dan gangguan fungsi usus 12 Penyebab lain anoreksia pada usia lanjut
adalah peran hormon yang mempengaruhi nafsu makan, yaitu kolesistokinin, ghrelin,
dan leptin. Kehilangan nafsu makan atau anoreksia dengan bertambahnya umur,
berperan pada asupan makanan yang kurang, protein -energi malnutrisi dan berat
badan turun.3 Faktor psikologis misalnya depresi dan demensia, dan faktor sosial
misalnya hidup dan makan sendiri. Asupan makanan kurang dan diet yang monoton
pada orang usia lanjut berisiko terjadi asupan nutrient yang tidakadekuat (malnutrisi) .
Nutrisi buruk menyebabkan menurunnya kapabilitas fisik, sebaliknya menurunnya
kekuatan otot dan kapabilitas fisik menyebabkan meningkatkan risiko nutrisi buruk
yang merupakan lingkaran "setan" yang saling berhubungan.4

FRAILTY
Frailty merupakan sindroma geriatri yang dihasilkan dari kumulasi penurunan
sistem fisiologi yang multipel, dengan gangguan cadangan homeostatik dan
penurunan kapasitas terhadap stress, termasuk kerentanan terhadap risiko jatuh,
perawatan ulang, dan mortalitas. Fried dkk, menyatakan terdapat tiga atau lebih
gejala : penurunan berat badan, kelelahan, kelemahan, kecepatan berjalan menurun
dan aktifitas fisik lambat. Frailty dan sarkopenia tumpang tindih; sebagian besar
usia lanjut yang frail memperlihatkan sarkopenia, dan beberapa usia lanjut yang
sarkopenia juga mengalami /ra //. 5 Sarkopenia adalah sindroma yang ditandai dengan
menurunnya kekuatan dan massa otot secara progresif yang dapat menyebabkan
disabilitas, kualitas hidup menurun dan kematian .6 Salah satu penyebab sarkopenia

Panduan Praktik Klinis


Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
Tatalaksana Nutrisi pada "Frailty" Usia Lanjut

adalah asupan energi dan protein tidak adekuat, misalnya malabsorpsi, gangguan
gastrointestinal atau obat - obatan.5

NUTRISI PENTING PADA FRA /L7Y / SARKOPENIA


Asupan makanan yang menurun pada usia lanjut menyebabkan kekuatan dan
massa otot berkurang. Asupan energi rendah yang tidak sesuai dengan energi
"expenditure”, memicu penurunan berat badan, termasuk massa otot berkurang.
1

Asupan makanan yang sedikit, mikronutrient pada tubuhpun berkurang. Nutrisi


penting yang berhubungan dengan frailty dan sarkopenia pada usia lanjut adalah
protein, vitamin D, dan sejumlah antioksidan misalnya carotenoid, selenium, vitamin E
dan C.7 Penelitian lain membuktikan long -chain polyunsaturated fatty acid berpengaruh
pada kekuatan otot usia lanjut.8-

Protein
Protein merupakan suatu "kunci" nutrient pada usia lanjut. Diet protein yang
9

mengandung asam amino diperlukan untuk sintesis protein otot. Absorbsi asam
amino mempunyai efek stimulasi pada sintesis protein otot setelah makan. Pada
10

asupan makanan yang kurang dan konsumsi protein bersamaan dengan karbohidrat,
menyebabkan respon sintesa asam amino tidak bekerja baik pada usia lanjut. Asupan
9,11

protein pada usia lanjut perlu ditingkatkan untuk mempertahankan keseimbangan


nitrogen dan mencegah kehilangan otot pada sarkopenia. Suplementasi asam amino
9

dapat meningkatkan massa otot dan meningkatkan fungsi fisik. -


12

Pada kondisi sarkopenia terjadi penurunan massa otot 3-8% per dekade. Untuk
mencegah atau memperlambat terjadinya sarkopenia, seorang usia lanjut perlu
mengkonsumsi protein dalam jumlah adekuat. Untuk memaksimalkan sintesis protein
otot, asupan protein 25-30 gram protein dengan kualitas tinggi per kali makan (setara
dengan 10 gram asam amino esensial) . Leusin, suatu insulin secretogogue, dapat
meningkatkan sintesis protein otot, sehingga suplementasi leusin ke dalam asupan
makanan dapat mencegah terjadinya sarkopenia.1113-
,

Vitamin D
Hubungan defisiensi vitamin D osteomalasia dan myopati sudah dikenal sejak
beberapa tahun yang lalu.14 Tetapi, peranan vitamin D langsung terhadap kekuatan otot
dan fungsi fisik masih kontroversial.15 Mekanisme status vitamin D terhadap fungsi otot
cukup kompleks, termasuk peranan genomik dan nongenomik. -
14 16 Reseptor vitamin

D, suatu target organ telah diisolasi dari otot skeletal. dan polimorfisme reseptor
14

317
Panduan Praktik Klinis Geriatri
Pertiimpunan Dokter Spesialls Penyakil Dalam Indonesia

vitamin D berhubungan dengan perbedaan kekuatan otot.17 Pada tingkat genomik,


ikatan bentuk aktif biologis vitamin (1, 25- dihidroksivitamin D ) meningkatkan
transkripsi protein, termasuk metabolisme kalsium.14 Mekanisme nongenomik vitamin
D belum sepenuhnya dipahami.16
Banyak penelitian yang menyatakan terdapat efek langsung vitamin D terhadap
kekuatan otot. Penelitian NHANES III pada usia > 60 tahun status vitamin D rendah
(serum 25- hidroksivitamin D < 15 ng ml/1 ) berhubungan dengan empat kali
peningkatan risiko frailty (18). Studi metanalisis suplementasi vitamin D (700 -1000
IU per hari) menunjukkan berkurang risiko jatuh 19 %.19

Antioksidan
Kerusakan yang disebabkan stres oksidatif dapat menyebabkan gangguan pada
fungsi fisikusia lanjut.20 Kerusakan DNA, lipid, dan protein dapat terjadi bila reactive
oxygen species ( ROS) pada sel meningkat. Kerja ROS diimbangi oleh mekanisme
pertahanan antioksidan yang termasuk enzim dismutase peroksidase dan peroksidase
gluthation, sebagai antioksidan eksogen pada diet, misalnya selenium, karotenoid,
-
tokopherol, flavonoid, tanaman polyphenol yang lain.10 20 Pada usia lanjut, akumulasi
ROS memicu kerusakan oksidatif dan berperan pada hilangnya massa dan kekuatan
otot.10 Sejumlah studi observasional menunjukkan hubungan positif antara status
anti oksidan tinggi dengan pengukuran fungsi fisik.7 Pada studi cross-sectional dan
longitudinal, status oksidan rendah merupakan prediksi penurunan fungsi fisik. Studi
InCHIANTI pada usia lanjut laki-laki dan wanita, kadar karotenoid plasma tinggi
berhubungan dengan risiko yang rendah terhadap disabilitas berjalan yang berat, di-
-
follow up selama enam tahun. Pada studi ini setelah diperhitungkan faktor perancu
termasuk level aktifitas fisik dan morbiditas yang lain, OR 0,44 (95% Cl 0, 27-0,74).21-

Long -Chain Polyunsaturated Fatty Acids (LCPUFAs)


Sarkopenia merupakan suatu keadaan inflamasi yang diperantarai sitokin dan
stres oksidatif.22 Salah satu mediator dan regulator inflamasi adalah eicosanoids yang
berasal dari 20 -carbon polyunsaturated fatty acid. Peningkatan eicosanoids didapat dari
-
asupan diet seimbang yang mengandung n - 3 dan n -6 LCPUFAs. n 3 LCPUFAs adalah
agen anti inflamasi yang potent.8 Studi observasional membuktikan bahwa kekuatan
genggaman {grip strength ) pada usia lanjut meningkat setelah konsumsi minyak
ikan, sumber makanan yang kaya kandungan n- 3 LCPUFA t 23) Studi lain pada pasien
rheumatoid artritis yang mengkonsumsi minyak ikan, dapat meningkatkan kekuatan
genggaman.8 Pada penelitian randomized controlled trial, suplementasi n -3LCPUFA

318
Tatalaksana Nutrisi pada "Frailty" Usia Lanjut

( eicosapentaenoic dan docosahexaenoic acids ) meningkatkan respon anabolik asam


amino. Stimulasi sintesis protein otot oleh n - 3 LCPUFA berguna untuk pencegahan
dan tatalaksana sarkopenia . 24

NUTRISI DAN EXERCISE


Intervensi "exercise" terbukti efektif meningkatkan kekuatan otot dan fungsi
fisik pada usia lanjut.25 Kombinasi asupan nutrisi dan exercise lebih efektif dari
asupan nutrisi saja dalam mengatasi frailty / sarkopenia. Studi tentang efek interaksi
diet dan exercise pada perbaikan fungsi fisik telah banyak dilakukan, terutama yang
berhubungan dengan suplementasi protein / asam amino. Konsumsi asupan tinggi
protein dapat meningkatkan sintesa protein otot pada usia lanjut sampai 50 %,
sedangkan kombinasi asupan tinggi protein dengan exercise dapat meningkatkan
sintesa lebih dari 100%.26-

KESIMPULAN
Perlu pemahaman strategi mencegah atau menunda /raz / ty / sarkopenia pada usia
'

lanjut. Faktor gaya hidup [ lifestyle ) berpengaruh pada penurunan massa dan kekuatan
otot. Hal yang penting dalam diet adalah asupan nutrisi yang adekuat dalam hal kualitas
dan kuantitas yang mencakup nutrient protein, vitamin D dan antioksidan. Nutrisi dan
diet adekuat selama hidup merupakan kunci dalam pencegahan sarkopenia dalam
meningkatkan kapabilitas fisik pada usia lanjut. Gabungan asupan nutrisi yang adekuat
dan exercise lebih baik dalam pencegahan dan tatalaksana sarkopenia.

REFERENSI
1. Nieuwenhuizen WF, Weenen H, Rigby P, Hetrington MM. Older adults and patients in need of
nutritional support: review of current treatment options and factors influencing nutritional intake.
Clin Nutr 2010: 29 ( 2) : 160-69 .
2. Murphy C. The chemical senses and nutrition in older adults. Jour Nutr Eld 2008:27 (3-4) :247-65.
3. Richard N, Baumgartner, Waters DL. Sarcopenia and sarcopenic-obesity. In: Pathy MSJ, Sinclair
AJ, Morley JE, eds Principles and Practice of Geriatric Medicine. 4 ed. John Wilwy & sons Ltd.
lh

: 2006.p. 909-27 .
4. Robinson S, Cooper C, Sayer AA . Nutrition and sarcopenia: a review of the evidence and
implications for preventive strategies. Jour Aging Research 2012: 1 -6.
5. Cruz-jentoft AJ, Baeyens JP, Bauer JM, Boirie Y , Cederholm T, Landi F, et al. Sarcopenia:European
consensus on definition and diagnosis. Age and Ageing 2010; 39: 412-23.
6. Delmonico MJ, Harris TB, Lee JS et al. Alternative definitions of sarcopenia, lower extremity
performance,and functional impairment with aging in older men and women. J Am Geriatr
Soc 2007; 55: 769-74.
7. Kaiser M, Bandinelli, Lunenfeld B . Frailty and the role of nutrition in older people. A review of the
current literature. Acta Biomedica 2010; 81 (5): 37-45.

319
itvSJyT;
yW I
Panduan Praktik Klinis Geriatri
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakit Dalam Indonesia

8. Calder PC. N-3 Polyunsaturated fatty acid, inflammation, and inflammatory disease. Am Jour of
Clin Nutr 2006; 83 ( 6 ) : 1505S-1519 S.
9. Wolfe RR , Miller SL, Miller KB. Optimal protein intake in the elderly. Clin Nutr 2008: 27 ( 5) : 675 -84.
10 . Kim JS, Wilson JM, Lee SR. Dietary implication on mechanisms of sarcopenia: roles of protein,
amino acids and antioxidants. Jour Nutr Biochem 2010; 21 ( 1): 1-13.
Paddon-Jones D, Rasmussen BB. Dietary protein recommendations and the prevention of
.
sarcopenia Curr Opin Clin Nutr Metab Care 2009: 12( 1 ) : 86-90.
.
12. Borsheim E, Bui QT, TissierS, Kobayashi H, Ferrando A, Wolfe RR Effect of amino acid supplementation
.
on muscle mass, strength and physical function in elderly Clin Nutr 2008; 27 ( 2 ) : 189-95.
13. Konsensus pengelolaan nutrisi pada usia lanjut 2012. PB Pergemi
.
14 . Hamilton B . Vitamin D and human skeletal muscle Scandinavian Jour Med Sci Sports 2010; 20 ( 2) :
182-90.
15 . Annweiler C, Schott AM, Berrut G, Fantino B , Beauchet O. Vitamin D-related changes in physical
performance: a systematic review. Jour Nutr Health Aging 2009: 13 ( 10 ) : 893-98.
16. Ceglia L. Vitamin D and its role in skeletal muscle. Curr Op Clin Nutr Metab Care 2009; 12( 6) : 628-33.
.
17. Geusens P, Vandevyver C, Vanhoof J, Cassiman JJ, Boonen S, Raus J Quadriceps and grip
strength are related to vitamin D receptor genotype in elderly nonobese women. Jour Bon Min
Research 1997; 12 ( 12) : 2082-88.
18. Wilhelm-Leen ER , Hall YN, de Boer IH, Chertow GM. Vitamin D deficiency and frailty in older
Americans. Jour Int Med 2010; 268 ( 2) : 171 -80.
19. Bischoff -Ferrari HA, Dawson-Hughes B, staehelin HB et al. Fall prevention with supplemental and
active forms of vitamin D: a meta-analisis of randomised controlled trials. British Med Jour 2009;
339: ID b 3692.
20. Semba RD, Ferruci L, Sun etal. Oxidative stress and severe walking disability among older women.
Am Jour Med 2007; 120 ( 12) : 1084-89.
21. Lauretani F, Semba RD, Bandinelli S, et al. Carotenoids as protection against disability in older
persons. Rejuvenation Research 2008; 11 (3) : 557-63.
22. Jensen GL. Inflammation: roles in aging and sarcopenia. Jour Parent Ent Nutr 2008; 32 ( 6 ) : 656-59 .
23. Robinson SM, Jameson KA , Batelann SF et al. Diet and its relationship with grip strength in
community-dwelling older men and women: the Hertfordshire cohort study. Jour Am Ger Soc
2008; 56 ( 1 ) : 84-90.
24. Smith Gl, Atherton P, Reeds DN et al. Dietary omega-3 fatty acid supplementation increases the
rate of muscle protein synthesis in older adults: a randomized controlled trial. Am Jour Clin Nutr
2011: 93 ( 2) : 402- 12.
25. Liu CJ, Latham NK. Progressive resistence strength training forimproving physical function in older
adults. Cochrane Database of Systematic Review 2009; 3: article IDCD002759.
26. Symons TB, Sheffleld-Moore M, Mamerow MM, Wolfe RR, Paddon- Jones D. The anabolic response
to resistence exercise and a protein-rich meal is not diminished by age. Jour Nutr Health Aging
2010; 15 ( 5) : 376-81.

320
321

PENDEKATAN PARIPURNA PASIEN


GERIATRI ( COMPREHENSIVE GERIATRIC
ASSESSMENT )

BATASAN DAN URAIAN


Pendekatan paripurna pasien geriatri/ P3G [ comprehensive geriatric asssessment /
CGA) merupakan prosedur evaluasi multidimensi. Pada prosedur ini berbagai masalah
pada pasien geriatri diungkap, diuraikan, semua aset pasien [berbagai sumber dan
kekuatan yang dimiliki pasien ) ditemu - kenali, jenis pelayanan yang dibutuhkan
diidentifikasi, rencana asuhan dikembangkan secara terkoordinir, dimana semua itu
berorientasi kepada kepentingan pasien.
Pendekatan dalam evaluasi medis bagi pasien berusia lanjut ( berusia 60
tahun atau lebih ) berbeda dengan pasien dewasa muda. Pasien geriatri memiliki
karakteristik multipatologi, daya cadangan faali yang rendah, gejala dan tanda klinis
yang menyimpang, menurunnya status fungsional, dan gangguan nutrisi. Selain itu,
perbaikan kondisi medis kadangkala kurang dramatis dan lebih lambat timbulnya.
Karakteristik pasien geriatri yang pertama adalah multipatologi, yaitu pada satu
pasien terdapat lebih dari satu penyakit yang umumnya bersifat kronik degeneratif.
Kedua adalah menurunnya daya cadangan faali, yang menyebabkan pasien geriatri
amat mudah jatuh dalam kondisi gagal pulih [ failure to thrive ) . Hal ini terjadi akibat
penurunan fungsi berbagai organ atau sistem organ sesuai dengan bertambahnya usia,
yang walaupun normal untuk usianya namun menandakan menipisnya daya cadangan
faali. Ketiga adalah penyimpangan gejala dan tanda penyakit dari yang klasik, misalnya
pada pneumonia mungkin tidak akan dijumpai gejala khas seperti batuk, demam,
dan sesak, melainkan terdapat perubahan kesadaran atau jatuh. Keempat adalah
terganggunya status fungsional pasien geriatri. Status fungsional adalah kemampuan
seseorang untuk melakukan aktivitas kehidupan sehari -hari. Status fungsional
menggambarkan kemampuan umum seseorang dalam memerankan fungsinya sebagai
manusia yang mandiri, sekaligus menggambarkan kondisi kesehatan secara umum
.
Kelima adalah adanya gangguan nutrisi, gizi kurang, atau gizi buruk. Gangguan nutrisi

PanduanPraktik Klinis
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
/ft - PandumPnMlk Minis Geriatri
Perhimpunan Dokler Spesialls Penyakil Dalam Indonesia

ini secara langsung akan mempengaruhi proses penyembuhan dan pemulihan .


Jika karena sesuatu hal pasien geriatri mengalami kondisi akut seperti pneumonia,
maka pasien geriatri juga seringkali muncul dengan gangguan fungsi kognitif, depresi,
instabilitas, imobilisasi, dan inkontinensia (sindrom geriatri) , Kondisi tersebut akan
semakin kompleks jika secara psikososial terdapat hendaya seperti pengabaian
[ neglected] atau kemiskinan ( masalah finansial).
Berdasarkan uraian di atas tidak dapat disangkal lagi bahwa pendekatan dalam
evaluasi medis bagi pasien geriatri mutlak harus bersifat holistik atau paripurna
yang tidak semata -mata dari sisi bio - psiko -sosial saja, namun juga harus senantiasa
memperhatikan aspek promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Komponen atau
domain dari Pendekatan Paripurna Pasien Geriatri / P3G ( Comprehensive Geriatric
Assessment/ CGA) meliputi status fisik medik, status fungsional, status kognitif, status
emosional / psiko -afektif, status nutrisi dan status sosial ekonomi.

STATUS FISIK MEDIK


Dalam melakukan penilaian fisik medik pada pasien geriatri, maka anamnesis
dan pemeriksaan fisik yang lengkap merupakan suatu keharusan. Anamnesis yang
dilakukan adalah anamnesis sistem organ yang secara aktif ditanyakan oleh dokter
(mengingat seringkali pasien geriatri memiliki hambatan dalam menyampaikan
keluhan atau tidak menganggap hal tersebut sebagai suatu keluhan) dan pemeriksaan
fisik lengkap yang mencakup pula pemeriksaan neurologis dan muskuloskeletal.

STATUS FUNGSIONAL
Pendekatan yang dilakukan untuk menyembuhkan kondisi akut pasien geriatri
tidak akan cukup untuk mengatasi permasalahan yang muncul. Meskipun kondisi
akutnya sudah teratasi, tetapi pasien tetap tidak dapat dipulangkan karena belum
mampu duduk, apalagi berdiri dan berjalan, pasien belum mampu makan dan minum
serta membersihkan diri tanpa bantuan. Pengkajian status fungsional untuk mengatasi
berbagai hendaya menjadi penting, bahkan seringkali menjadi prioritas penyelesaian
masalah . Nilai dari kebanyakan intervensi medis pada orang usia lanjut dapat diukur
dari pengaruhnya pada kemandirian atau status fungsionalnya. Kegagalan mengatasi
hendaya maupun gejala yang muncul akan mengakibatkan kegagalan pengobatan
secara keseluruhan.
Mengkaji status fungsional seseorang berarti melakukan pemeriksaan dengan
instrumen tertentu untuk membuat penilaian menjadi obyektif, antara lain dengan
indeks aktivitas kehidupan sehari-hari ( activity of daily living ADL) Barthel atau
/

322
Pendekatan Paripurna Pasien Geriatri/
Comprehensive Geriatric Assessment ( CGA )

Katz . Pasien dengan status fungsional tertentu akan memerlukan berbagai program
untuk memperbaiki status fungsionalnya agar kondisi kesehatan kembali pulih,
mempersingkat lama rawat, meningkatkan kualitas hidup dan kepuasan pasien.

STATUS KOGNITIF
Pada pasien geriatri, peran dari aspek selain fisik justru terlihat lebih menonjol
terutama saat mereka sakit. Faal kognitif yang paling sering terganggu pada pasien
geriatri yang dirawat inap karena penyakit akut antara lain memori segera dan jangka
pendek, persepsi, proses pikir, dan fungsi eksekutif. Gangguantersebutdapatmenyulitkan
dokter dalam pengambilan data anamnesis, demikian pula dalam pengobatan dan tindak
lanjut. Adanya gangguan kognitif tentu akan mempengaruhi kepatuhan dan kemampuan
pasien untuk melaksanakan program yang telah direncanakan sehingga pada akhirnya
pengelolaan secara keseluruhan akan terganggu juga.
Gangguan faal kognitif bisa ditemukan pada derajat ringan ( mild cognitive
impairment / MCI dan vascular cognitive impairment /VCl ) maupun yang lebih berat
(demensia ringan, sedang, dan berat) . Hal tersebut tentunya memerlukan pendekatan
diagnosis dan terapeutik tersendiri. Penapisan adanya gangguan faal kognitif secara
obyektif antara lain dapat dilakukan dengan pemeriksaan neuropsikiatrik seperti
Abbreviated Mental Test ( AMT ) dan the Mini - Mental State Examination ( MMSE) .

STATUS EMOSIONAL /PSIKO - AFEKTIF


Kondisi psikologik , seperti gangguan penyesuaian dan depresi , juga dapat
mempengaruhi hasil pengelolaan. Pasien yang depresi akan sulit untuk diajak bekerja
sama dalam kerangka pengelolaan secara terpadu. Pasien cenderung bersikap pasif
atau apatis terhadap berbagai program pengobatan yang akan diterapkan . Hal ini tentu
akan menyulitkan dokter dan paramedik untuk mengikuti dan mematuhi berbagai
modalitas yang diberikan. Keinginan bunuh diri secara langsung maupun tidak, cepat
atau lambat akan mengancam proses penyembuhan dan pemulihan .
Instrumen untuk mengkaji status emosional pasien misalnya Geriatric Depression Scale
(GDS) yang terdiri atas 15 atau 30 pertanyaan. Instrumen ini bertujuan untuk menapis
adanya gangguan depresi atau gangguan penyesuaian. Pendekatan secara profesional
dengan bantuan psikiater amat diperlukan untuk menegakkan diagnosis pasti.

STATUS NUTRISI
Masalah gizi merupakan masalah lain yang mutlak harus dikaji pada seorang
pasien geriatri . Gangguan nutrisi akan mempengaruhi status imun dan keadaan umum

323
(frY-
VM * WBt Mm
PanduanPrakUkKlinis
Perhimponan Dokter Spesialis Penyakil Dalam Indonesia Geriatri

pasien. Adanya gangguan nutrisi seringkali terabaikan mengingat gejala awal seperti
rendahnya asupan makanan disangka sebagai kondisi normal yang terjadi pada pasien
geriatri. Sampai kondisi status gizi turun menjadi gizi buruk baru tersadar bahwa
memang ada masalah di bidang gizi. Pada saat tersebut biasanya s udah terlambat atau
setidaknya akan amat sulit menyusun program untuk mengobati status gizi buruk.
Pengkajian status nutrisi dapat dilakukan dengan anamnesis gizi (anamnesis
asupan ), pemeriksaan antropometrik, maupun biokimiawi. Dari anamnesis harus
dapat dinilai berapa kilokalori energi, berapa gram protein, dan berapa gram lemak
yang rata - rata dikonsumsi pasien. Juga perlu dievaluasi berapa gram serat dan mililiter
cairan yang dikonsumsi. Jumlah vitamin dan mineral biasanya dilihat secara lebih
spesifik sehingga memerlukan perangkat instrumen lain dengan bantuan seorang
ahli gizi. Pemeriksaan antropometrik yang lazim dilakukan adalah pengukuran indeks
massa tubuh dengan memperhatikan perubahan tinggi tubuh dibandingkan saat usia
dewasa muda. Rumus tinggi lutut yang disesuaikan dengan ras Asia dapat dipakai
untuk kalkulasi tinggi badan orang usia lanjut. Pada pemeriksaan penunjang dapat
diperiksa hemoglobin dan kadar albumin plasma untuk menilai status nutrisi secara
biokimiawi.
Instrumen untuk mengkaji status nutrisi pasien geriatri yaitu dengan Mini
Nutrisional Assessment ( MNA). Mini Nutrisional Assessment terdiri dari pertanyaan
penapisan dan pengkajian meliputi anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Instrumen untuk mengkaji status fungsional, kognitif, emosional dan nutrisi dapat
dilihat pada lampiran.

REFERENSI
1. .
Soejono CH. Pengkajian paripurna pada pasien geriatri In: Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I,
.
Simadibrata M, Setiati S Buku Ajar llmu Penyakit Dalam. Edisi V. InternaPublishing Pusat Penerbitan
Departemen llmu Penyakit Dalam. 2010 p 768-75 ..
2. . .
Reuben DB, Rosen S Principles of Geriatric Assessment In : Halter JB, Ouslander JG, Tinetti ME,
. .
Studenski S, High KP, Asthana S Eds. Hazzard’ s Geriatric Medicine and Gerontology. 6lh ed New
York: McGraw-Hill Companies, Inc. 2009. p.141-52
3 . . .
Evaluating the geriatric patient In : Kane RL, Oustlander JG, Abrass IB, Resnick B Eds. Essentials
of Clinical Geriatrics. 6lh ed. New York: McGraw-Hill. 2009 p.41 -77 .
4. .
Steinweig KK. Initial assessment In : Ham RJ. Sloane PD. Warshaw GA, Bernard MA. Flaherty E Eds.
.
.
Primary care geriatrics a case-based approach. 5lh ed.Philadelphia: Mosby Elsevier 2007.p.50-71

324

Pendekatan Paripurna Pasien Geriatri/
Comprehensive Geriatric Assessment ( CGA )

Lampiran 1

INDEKS AKTIVITAS KEHIDUPAN SEHARI - HARI BARTHEL (AKS BARTHEL) 6


Nllal
No Fungsl Skor Keterangan
Skor
Mengendalikan rangsang 0 Tak terkendali/ tak teratur (perlu pencahar)
pembuangan tinja 1 Kadang-kadang tak terkendali ( 1 x seminggu)
2 Terkendali teratur
2 Mengendalikan rangsang 0 Tak terkendali atau pakai kateter
berkemih 1 Kadang-kadang tak terkendali ( hanya 1 x / 24 jam)
2 Mandiri
3 Membersihkan diri ( seka 0 Butuh pertolongan orang lain
muka, sisir rambut, sikat gigi) I Mandiri
4 Penggunaan jamban, masuk 0 Tergantung pertolongan orang lain
dan keluar ( melepaskan, 1 Perlu pertolongan pada beberapa kegiatan tetapi
memakai celana, dapat mengerjakan sendiri beberapa kegiatan
membersihkan, menyiram) 2 yang lain
Mandiri
5 Makan 0 Tidak mampu
1 Perlu ditolong memotong makanan
2 Mandiri
6 Berubah sikap dari berbaring 0 Tidak mampu
ke duduk 1 Perlu banyak bantuan untuk bisa duduk
(2 orang)
2 Bantuan minimal 1 orang
3 Mandiri
7 Berpindah /berjalan 0 Tidak mampu
1 Bisa (pindah) dengan kursi roda
2 Berjalan dengan bantuan 1 orang
3 Mandiri
8 Memakai baju 0 Tergantung orang lain
1 Sebagian di bantu ( misalnya mengancing baju)
2 Mandiri
7 Berpindah/ berjalan 0 Tidak mampu
1 Bisa ( pindah) dengan kursi roda
2 Berjalan dengan bantuan 1 orang
3 Mandiri
8 Memakai baju 0 Tergantung orang lain
1 Sebagian di bantu ( misalnya mengancing baju )
2 Mandiri
9 Naik turun tangga 0 Tidak mampu
1 Butuh pertolongan
2 Mandiri
10 Mandi 0 Tergantung orang lain
1 Mandiri
TOTAL SKOR
Keterangan : Skor AKS BARTHEL
20 Mandiri 5-8 Ketergantungan berat
-
12 19 Ketergantungan ringan 0-4 Ketergantungan total
9- 11 Ketergantungan sedang

325
t \
vi "
I wf
Panduan Praktik Klinis Geriatri
Perhimpunan Dokter Speslalls Penyakit Dalam Indonesia

Lampiran 2

ABBREVIATED MENTAL TEST (AMT) 7


.
1 Umur tahun .
0 Salahl Benar
2. Waktu / jam sekarang .
0 Salah 1 Benar
3. Alamat tempat tinggal 0. Salah 1 Benar
4. Tahun sekarang 0. Salah 1 Benar
5. Saat ini berada di mana 0. Salah 1 Benar
6. Mengenali orang lain di ruangan (pengantar responded 0. Salah 1 Benar
satpam, pewawancara, atau petugas bank)
7. Tahun kemerdekaan Rl 0. Salah 1 Benar
8. Nama presiden Rl yang pertama 0. Salah 1 Benar
9. Tahun kelahiran anda sendiri 0. Salah 1 Benar
10. Menghitung terbalik ( 20 s/d 1 ) 0. Salah 1 Benar

Skor AMT

Skor AMT :
0-3 : gangguan ingatan berat
4- 7 : gangguan ingatan sedang
8- 10 : normal
.
11 Perasaan hati 1. Baik 2. Labil 3. Depresi
4. Gelisah 5. Cemas

ass
Pendekatan Paripurna Pasien Geriatri/
Comprehensive Geriatric Assessment ( CGA )

Lampiran 3

MINI MENTAL STATE EXAMINATION (MMSE)


NILAI MAKS NILAI
ORIENTASI
5 () Sekarang ini ( tahun), ( musim ), (bulan) , ( tanggal) , ( hari) apa ?
5 0 Kita berada dimana ? ( negara), ( propinsi) , ( kota) , ( rumah sakit ) , ( lantai/
kamar)
REGISTRASI
3 I) Pewawancara menyebutkan nama 3 buah benda : satu detik untuk
setiap benda. Kemudian pasien diminta mengulangi nama ketiga
objek tadi. Berilah nilai 1 untuk tiap nama objek yang disebutkan benar.
Ulangi lagi sampai pasien menyebut dengan benar : (bo/a, kursi, buku )

Hitunglah jumlah percobaan dan catatlah : kali


ATENSI DAN KALKULASI
5 0 Pengurangan 100 dengan 7. Nilai 1 untuk setiap jawaban yang benar.
Hentikan setelah 5 jawaban, atau eja secara terbalik kata " w a h y u"
(nilai diberi pada huruf yang benar sebelum kesalahan; misal : uyahw
= 2 nilai)
MENGENAL KEMBALI
3 0 Pasien disuruh menyebut kembali 3 nama objek diatas tadi. Berikan
nilai 1 untuk tiap jawaban yang benar
BAHASA
2 0 Apakah nama benda ini? Perlihatkanlah pinsil dan arloji
1 0 Pasien disuruh mengulangi kalimat berikut : “jika tidak, dan atau tapi"
3 0 Pasien disuruh melakukan perintah : “ambil kertas itu dengan tangan
anda, lipatlah menjadi dua dan letakkan di lantai"
1 0 Pasien disuruh membaca, kemudian melakukan perintah kallimat "
pejamkan mata anda "
1 I) Pasien disuruh menulis kalimat lengkap dengan spontan ( tulis apa saja )
1 0 Pasien disuruh menggambar bentuk di bawah ini

JUMLAH NILAI ( ]

327
Panduan Praktik Klinis Geriatri
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia

Lampiran 4

GERIATRIC DEPRESSION SCALE (GDS)

Pilihlah jawaban yang paling tepat, yang sesuai dengan perasaan pasien /responden dalam dua
minggu terakhir. Jawaban yang bercetak tebal diberi nilai 1 .
1. Apakah Bapak/ lbu sebenarnya puas dengan kehidupan Bapak / lbu ? Ya TIDAK
2. Apakah Bapak/ lbu telah meninggalkan banyak kegiatan dan minat YA Tidak
atau kesenangan Bapak/ lbu ?
3. Apakah Bapak /lbu merasa kehidupan Bapak/ lbu kosong ? YA Tidak
4. Apakah Bapak/ lbu sering merasa bosan ? YA Tidak
5. Apakah Bapak/ lbu mermpunyai semangat yang baik setiap saat ? Ya TIDAK
6. Apakah Bapak / lbu takut bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi pada YA Tidak
Bapak /lbu ?
7. Apakah Bapak / lbu merasa bahagia untuk sebagian besar hidup Bapak/ Ya TIDAK
Ibu ?
8. Apakah Bapak /lbu sering merasa tidak berdaya ? YA Tidak
9. Apakah Bapak /lbu lebih senang tinggal di rumah daripada pergi ke luar YA Tidak
dan mengerjakan sesuatu hal yang baru ?
10. Apakah Bapak /lbu merasa mempunyai banyak masalah dengan daya YA Tidak
ingat Bapak/ lbu dibandingkan kebanyakan orang ?
11. Apakah Bapak/lbu pikir bahwa hidup Bapak/ lbu sekarang ini Ya TIDAK
menyenangkan ?
12. Apakah Bapak /lbu merasa tidak berharga seperti perasaan Bapak/ lbu YA Tidak
saat ini ?
13. Apakah Bapak/lbu merasa penuh semangat ? Ya TIDAK
14. Apakah Bapak /lbu merasa bahwa keadaan Bapak / lbu tidak ada YA Tidak
harapan ?
15. Apakah Bapak / lbu pikir bahwa orang lain lebih baik keadaannya dari YA Tidak
Bapak /lbu ?

Total Nilai : ( hitung jumlah jawaban yang bercetak tebal)

Setiap jawaban yang bercetak tebal/huruf KAPITAL mempunyai nilai 1

Nilai antara 5 - 9 : kemungkinan besar depresi


Nilai 10 atau lebih : depresi

328
Pendekatan Paripurna Pasien Geriatri/
Comprehensive Geriatric Assessment ( CGA )

Lampiran 5

MINI NUTRITIONAL ASSESSMENT ( MNA )

Nama : Umur : Jenis kelamin : TB : BB : No . Rekam


Medis : Tanggal pemeriksaan :
Jawablah pertanyaan (PENAPISAN) berikut ini dengan menulis angka yang tepat pada
kotak. Jumlahkan jawabannya, jika skor 11 atau kurang, teruskan dengan PENGKAJIAN
untuk mendapatkan SKOR INDIKATOR MALNUTRISI.

PENAPISAN fSCREENING )
A . Apakah ada penurunan asupan makanan dalam jangka waktu 3 bulan oleh
karena kehilangan nafsu makan, masalah pencernaan, kesulitan menelan, atau
mengunyah ?
0 = nafsu makan yang sangat berkurang
1 = nafsu makan sedikit berkurang (sedang)
2 = nafsu makan biasa saja
B. Penurunan berat badan dalam 3 bulan terakhir:
0 = penurunan berat badan lebih dari 3 kg
1 = tidak tahu
2 = penurunan berat badan 1 - 3 kg
3 = tidak ada penurunan berat badan
C. Mobilitas
0 = harus berbaring di tempat tidur atau menggunakan kursi roda
1 = bisa keluar dari tempat tidur atau kursi roda, tetapi tidak bisa ke
luar rumah.
2 = bisa keluar rumah
D. Menderita stres psikologis atau penyakit akut dalam 3 bulan terakhir
0 = ya 2 = tidak
E. Masalah neuropsikologis
0 = demensia berat atau depresi berat
1 = demensia ringan
2 = tidak ada masalah psikologis
F. Indeks massa tubuh ( IMT) ( berat badan dalam kg/ tinggi badan dalam m2)
0 = IMT < 19 1 = IMT 19 - < 21
2 = IMT 21 - < 23 3 = IMT 23 atau lebih

Skor PENAPISAN ( subtotal maksimum 14 poin)


Skor >12 normal, tidak berisiko e tak perlu melengkapi form pengkajian
Skor <11 kemungkinan malnutrisi elanjutkan pengkajian
PENGKAJIAN ( ASSESSMENT )
G . Plidup mandiri, tidak tergantung orang lain ( bukan di rumah sakit atau panti
werdha )
0 = tidak 1 = ya
H. Minum obat lebih dari 3 macam dalam 1 hari
0 = ya 1 = tidak
I. Terdapat ulkus dekubitus / luka tekan atau luka di kulit
0 = ya 1 = tidak

329
4)
’>,
PanduanPraktik Klinis Geriatri
Pertwnpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia

J. Berapa kali pasien makan lengkap dalam 1 hari ?


0 = 1 kali 1 = 2 kali 2 = 3 kali
K . Konsumsi bahan makanan tertentu yg diketahui sebagai bahan makanan
sumber protein ( asupan protein)
• Sedikitnya 1 penukar dari produk susu ( susu, keju, yogurt)
per hari ( ya / tidak)
• Dua penukar atau lebih dari kacang-kacangan atau telur
perminggu ( ya / tidak )
• Daging, ikan, atau unggas tiap hari ( ya/ tidak)
0,0 = jika 0 atau 1 pertanyaan jawabannya ‘ya ’
0,5 = jika 2 pertanyaan jawabannya ‘ya ’
1 ,0 = jika 3 pertanyaan jawabannya ' ya '
L. Adakah mengkonsumsi 2 penukar atau lebih buah atau sayuran per hari ?
0 = tidak 1 = ya
M. Berapa banyakcairan ( air, jus,kopi,teh, susu,...) yang diminum setiap hari ?
0,0 = kurang dari 3 gelas
0,5 = 3 sampai 5 gelas
1 ,0 = lebih dari 5 gelas
N. Cara makan
0 = tidak dapat makan tanpa bantuan
1 = makan sendiri dengan sedikit kesulitan
2 = dapat makan sendiri tanpa masalah
O. Pandangan pasien terhadap status gizinya
0 = merasa dirinya kekurangan makan/kurang gizi
1 = tidak dapat menilai/ tidak yakin akan status gizinya
2 = merasa tidak ada masalah dengan status gizinya.
P. Dibandingkan dengan orang lain yang seumur, bagaimana pasien
melihat status kesehatannya ?
0,0 = tidak sebaik mereka
0,5 = tidak tahu
1 ,0 = sama baik
2,0 = lebih baik
Q. Lingkar Lengan atas ( LLA ) dalam cm
0,0 = LLA < 21 0,5 = LLA 21 - < 22 1 ,0 = LLA > 22
R. Lingkar betis ( LB) dalam cm
0 = LB < 31 1 = LB > 31

Skor PENGKAJIAN ( maksimum 16 poin)


Skor PENAPISAN
PENILAIAN TOTAL ( maksimum 30 poin)

SKOR INDIKATOR MALNUTRISI


17 sampai 23,5 poin : berisiko malnutrisi
kurang dari 17 poin : malnutrisi.

330
331

SINDROM DELIRIUM AKUT

PENGERTIAN
Sindrom delirium akut [ acute confusional state /ACS) adalah sindrom mental organik
yang ditandai dengan gangguan kesadaran dan atensi serta perubahan kognitif atau
gangguan persepsi yang timbul dalam jangka pendek dan berfluktuasi . Penyebabnya
yaitu defisiensi neurotransmiter asetilkolin, gangguan metabolisme oksidatif di otak
yang berkaitan dengan hipoksia dan hipoglikemia, meningkatnya sitokin otak pada
penyakit akut; sehingga mengganggu transduksi sinyal neurotransmiter serta second
messenger system dan akibatnya menimbulkan gejala serebral dan aktivitas psikomotor.
Faktor predisposisi dan fator pencetus yaitu:1

Tabel 1. Faktor Predisposisi dan Faktor Pencetus Sindrom Delirium Akut ’


Faktor predisposisi Faktor pencetus
• Usia sangat lanjut > 80 tahun • latrogenik : pembedahan, katerisasi,
• Jenis kelamin pria urin, physical restraints
• Gangguan faal kognitif ringan (mild cognitive • Gangguan metabolik / cairan : insufisiensi
impairment / MCI ) sampai demensia ginjal, dehidrasi, hipoksia, azotemia
• Gangguan ADL • Penyakit fisik/psikiatrik : pneumonia,
• Gangguan sensorium ( penglihatan dan / atau infeksi saluran kemih, hipoglikemia,
pendengaran) hiperglikemia, hipernatremia,
• Usia lanjut yang rapuh [ fragile ) hipokalemia, demam, infeksi, stress,
• Usia lanjut yang sedang menggunakan obat yang fraktur, malnutrisi, gangguan pola tidur,
mengganggu faal neurotransmiter otak ( simetidin, CVD ( cerebro vascular disease )
ranitidin, siprofloksasin, psikotropika )
• Overstimulation : perawatan ICU,
• Polifarmasi perpindahan ruang rawat
• Komorbiditas
• Intoksikasi alkohol, pemakaian obat
antikolinergik

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis
Gejala yang dapat dijumpai yaitu gangguan kognitif global berupa gangguan
memori jangka pendek, gangguan persepsi (halusinasi, ilusi], gangguan proses pikir
( disorientasi waktu , tempat, orang) , komunikasi tidak relevan, autoanamnesis sulit
dipahami. Pasien mengomel terus atau terdapat ide- ide pembicaraan yang melompat-

PanduanPraktikKIinis
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
o
wllv B|
|
Panduan Praktik Klinis Geriatri
§ PerhimpunanDoklerSpesiallsPenyakjtDalamIndonesia

lompat, gangguan siklus tidur (siang hari tertidur sedangkan malam hari terjaga].
Gejala-gejala tersebutterjadi secara akut dan fluktuatif, dari hari ke hari dapat terjadi
perubahan gejala secara berganti-ganti. Pada anamnesis perlu ditanyakan fungsi
intelektual sebelumnya, status fungsional, awitan dan perjalanan konfusi, riwayat
serupa sebelumnya, Faktor pencetus dan faktor predisposisi juga perlu ditanyakan
pada anamnesis.12

Pemeriksaan Jasmani
Perubahan kesadaran dapat dijumpai. Perubahan aktivitas psikomotor baik
hipoaktif ( 23%], hiperaktif (25%), campuran keduanya (35%), atau normal (15% ).
Pasien dapat berada dalam kondisi fully alert di satu hari namun hari berikutnya
pasien tampak gelisah . Gangguan konsentrasi dan perhatian terganggu saat

^
pembicaraan Pemeriksaan neurologis, tingkat kesadaran ( Glasgow Coma Scale ),
pemeriksaan tanda - tanda vital (adanya demam).2

Pemeriksaan Penunjang1
Diperlukan untuk membantu menegakkan diagnosis; menemukan penyebab /
pencetus:
• Lakukan pemeriksaan neurologis untuk mendeteksi defisit neurologis fokal,
adakah cerebro vascular disease atau transient ischemic attack ; lakukan brain CT
scan jika ada indikasi
• Darah perifer lengkap
• Elektrolit (terutama natrium], ureum, kreatinin, dan glukosa darah, fungsi hati,
• Analisis gas darah
• Urin lengkap dan kultur resistensi urin
• Foto toraks
• EKG
• Kultur darah
• Uji atensi (mengurutkan nama hari dalam seminggu, mengurutkan nama bulan
dalam setahun, mengeja balik kata "pintu ”]
• -
Uji status mental : MMSE ( Mini mental State Examination ), Delirium Rating Scale,
Delirium Symptom Interview.
• Pemeriksaan lain sesuai indikasi yang didapatkan dari anamnesis dan pemeriksaan
jasmani : 2
CT Scan : jika ditemukan kelainan neurologis
Kadar B12 dan asam folat

332
Sindrom Delirium Akut

- Analisis gas darah


Kultur sputum
Pungsi lumbal jika dicurigai adanya meningitis
Kriteria diagnosis menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders
( DSM - IV-TR) :
• Meliputi gangguan kesadaran yang disertai penurunan kemampuan untuk
memusatkan, mempertahankan, atau mengalihkan perhatian, perubahan kognitif
( gangguan daya ingat, disorientasi, atau gangguan berbahasa ) atau timbulnya
gangguan persepsi yang bukan akibat demensia, gangguan tersebut timbul dalam
jangka pendek ( jam atau hari) dan cenderung berfluktuasi sepanjang hari, serta
terdapat bukti dari anamnesis, pemeriksaan jasmani, atau pemeriksaan penunjang
bahwa gangguan tersebut disebabkan kondisi medis umum maupun akibat intoksikasi,
efek samping, atau putus obat/ zat. Berdasarkan DSM-IV telah disusun algoritme (CAM /
Confusion Assessment Methode ) ditambah uji status mental lainnyayang dapat dipakai
sebagai uji baku emas diagnosis.1

Proses akut dan berfluktuasi

Gangguan perhatian/konsentrasi

Gangguan proses pikir Perubahan kesadaran

Sindrom delirium

Gambar 1. Algoritme Confusion Assessment Methode'

333
($$
wy
J
} Panduan Praktik Klinis Geriatri
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakil Dalam Indonesia

SISTEM PENSKORAN PASCA - OPERASI


Ada beberapa sistem penskoran untuk menentukan risiko demensia setelah
tindakan operasi seperti :dapat dilita pada tabel 2.
Tabel 2. Sistem Skoring untuk Faktor Risiko Setelah Tindakan Operasi3
Faktor risiko Jumlah poln
Usia > 70 tahun I
Riwayat ketergantungan alkohol i
Adanya gangguan kognitif
Kelainan jasmani berat (menurunnya kemampuan berjalan atau
melakukan aktivitas sehari-hari)
Abnormalitas hasil pemeriksaan darah, elektrolit, atau glukosa I
Operasi thorax noncardiac I
Operasi aneurisma abdominal aorta 2
Keterangan : skor 0 : risiko timbulnya delirium post operasi sebesar 2 %
skor 1-2 : risiko timbulnya delirium post operasi sebesar 11 %
skor 3 : risiko timbulnya delirium post operasi sebesar 50 %

DIAGNOSIS BANDING
Demensia, psikosis fungsional, kelainan neurologis, gangguan cemas, gangguan
depresi, gangguan kognitif pasca operasi ( GKPO ) .1

Tabel 3. Confusion Assessment Method ( CAM) dalam Mendiagnosis Delirium4


No. Gejala Ya Tidak
1. Onset akut atau berfluktuasi
Anamnesis didapatkan dari keluarga atau perawat dengan menanyakan
adakah perubahan status mental akut ? Apakah abnormalitas tingkah
laku berfluktuasi dalam sehari, cenderung muncul atau hilang, meningkat
atau menurun keparahannya ?
2. Inattention
Apakah pasien mempunyai gangguan atensi seperti mudah teralihkan
perhatiannya atau mempunyai kesulitan mengingat apa yang
dikatakan.
3. Pemikiran tidak teratur
Apakah pasien berpikir inkoheren seperti melantur atau percapakan
irelevan, ide pemikiran yang tidak jelas atau tidak logis, atau berpindah
dari satu subjek ke subjek lain.
4. Altered level of consciousness
Menilai kesadaran pasien apakah alert ( normal) , waspada [ hyperalert ),
letargi ( mengantuk, mudah dibangunkan ) , stupor ( sulit untuk
dibangunkan) , atau koma.
Diagnosis delirium ditegakkan jika ada nomor 1 dan 2 atau 3 dan 4.
Delirium

334
Sindrom Delirium Akut ffip

PENATALAKSANAAN1
• Tujuan pengobatan : menemukan dan mengatasi pencetus serta faktor predisposisi
- Penanganan tidak hanya dari aspek jasmaniah, namun juga aspek psikologik /
psikiatrik, kognitif, lingkungan, serta pemberian obat.
• Berikan oksigen, pasang infus dan monitor tanda-tanda vital pasien setidaknya
4 jam sekali
- Segera dapatkan hasil pemeriksaan penunjang untuk memandu langkah
selanjutnya; tujuan utama terapi adalah mengatasi faktor pencetus.
• Jika khawatir aspirasi dapat dipasang pipa naso-gastrik
• Kateter urin dipasang terutama jika terdapat ulkus dekubitus disertai inkontinensia
urin
• Awasi kemungkinan imobilisasi (lihat topik imobilisasi)
Hindari sebisa mungkin pengikatan tubuh untuk mencegah imobilisasi. Jika
memang diperlukan, gunakan dosis terendah obat neuroleptik dan atau
benzodiazepin dan monitor status neurologisnya; pertimbangkan penggunaan
antipsikotik atipikal. Kaji ulang intervensi ini setiap hari; targetnya adalah
penghentian obat antipsikotik dan pembatasan penggunaan obat tidur
secepatnya (algoritme 2).
Kaji status hidrasi secara berkala, hitung urine output setiap 4 jam

Berisiko menyakiti diri sendiri/orang lain

Paranoid/delusi ritabel Non-urgent treatment


agitation / aggression

• Lorazepam 0.5-1 mg po Lorazepam 0.5- 1 mg po • Gangguan tidur:


(per oral) sampai 2 mg/ 24 jam - Zoplicone 3.75-7.5 mg
• Haloperidol 0.5mg - 1 mg - Tradozone 50 mg ( titrasi)
• Halusinasi/ delusi
- Lorazepam 0.5- 1 mg po
- Haloperidol 0.5 mg po

Gambar 2. Algoritme pedoman pemberian sedasi2

335
fA
( PanduanPraktik Klinis
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
Geriatri
W
^ ^" '

Ruangan tempatpasien harus berpenerangan cukup, terdapat jam dan kalender


yang besar dan jika memungkinkan diletakkan barang- barang yang familiar
bagi pasien dari rumah, hindari stimulus berlebihan, keluarga dan tenaga
kesehatan harus berupaya sesering mungkin mengingatkan pasien mengenai
hari dan tanggal, jika kondisi klinis sudah memungkinkan pakai alat bantu
dengar atau kacamata yang biasa digunakan oleh pasien sebelumnya, motivasi
untuk berinteraksi sesering mungkin dengan keluarga dan tenaga kesehatan,
evaluasi strategi orientasi realitas; beritahu kepada pasien bahwa dirinya
sedang bingung dan disorientasi namun kondisi tersebut dapat membaik

KOMPLIKASI
Fraktur, hipotensi sampai renjatan, trombosis vena dalam, emboli paru, sepsis

PROGNOSIS
Gejala dan tanda sindrom delirium dapat bersifat akut maupun menetap sampai
berbulan - bulan. Pasien dengan sindrom delirium mempunyai risiko 1,71 kali lebih
tinggi untuk meninggal dalam tiga tahun kedepan. Peningkatan risiko demensia
pasca delirium sebesar 5.97. Delirium berhubungan dengan status fungsional yang
lebih rendah, baik pada kelompok dengan maupun tanpa demensia. Pasien dengan
sindrom delirium mempunyai skor ADL Barthel ( Activities of daily living ) yang lebih
buruk dibandingkan dengan kontrol. Gejala sisa delirium daril 25 pasien didapatkan
hanya 44 % dari pasien yang gejalanya sudah tidak sesuai kriteria diagnostic DSM -IV
untuk delirium. Setelah enam bulan pascarawat terdapat 13% pasien menunjukkan
gejala delirium, 69 % pasien menunjukkan gejala perubahan aktivitas namun tidak
sesuai kriteria diagnostik delirium, dan hanya 18% pasien menunjukkan gejala resolusi
komplit. Risiko kematian meningkat jika komorbiditasnya tinggi, penyakit yang lebih
berat, dan jenis kelamin laki-laki. Pencegahan delirium :

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Departemen Penyakit Dalam - Divisi Geriatri
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam

UNIT YANG TERKAIT


• RS pendidikan : Departemen llmu Penyakit Saraf, Departemen Psikiatri
• RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Saraf, Bagian Psikiatri

336
Sindrom Delirium Akut

Tabel 2. Pencegahan Delirium dan Keluarannya s '


Panduan Intervensl Tlndakan Keluaran
Reorientasi Mernasang jam dindlng kalender . Memulihkan orlentasi
Memulihkan siklus Memadamkan lampu. minum susu hangat Tidur tanpa obat
tidur alau teh herbal, musik yang tenang, perriijatan
punggung
Mobillsasi Latihan lingkup ruang sendi, mobillsasl Pulihnya mobilitas
berlahap, batasi penggunaan restraint
Pengllhatan Kenakan kacamata, meriyediakan bacaan Meningkalkan
dengan huruf berukuran besar kemampuan
pengllhatan
Pendengaran Bersihkan cerumen prop, alal bantu dengar Menlngkatkan
kemampuan
pendengaran
Rehidrasl Diagnosis dinl dehidrasi, tingkatkan asupan BUN /kreatinin < 18
calran oral, pemberlan cairan infus sesual
indlkasi

REFERENSI
1. . .
Soejono Czeresna H Sindrorn Delirium Akut ( Acute Confusional State Dalam; Suyono, S Waspadji, .
. . . . . .
S Lesmana, L Alwi, I Setiati, S Sundaru, H dkk Buku Ajar llmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi V .
.
Jakarta: Interna Publishing; 2010 Hal 907-912. .
2. Purchas M, Guidelines for the Diagnosis and Management of Acute Confusion Diunduh dari .
. .
http:/ /www acutemed.co uk pada tan'ggal 19 Mel 2012 .
3 . & . .
Marcantonio EkV oldman L Mangione CM, et al A clinicaf prediction rule for delirium after
elective rioncardlac surgery. JAMA 1994; 271:134 139. -
4. .
Inouye SK, van DyckCH, Alessi CA, Balkin S, Siegal AP, Horwitz Rl Clarifying confusion: the confusion
. .
assessment method A new method for detection of delirium Ann Intern Med ( 1990) 113:941-8.
5 . Guidelines for the prevention, diagnosis and management of delirium in older people in hospital.
. .
British Geriatrics Society ClinicalGuidelines 2006.Diunduhdari http:/ /www bgs.org.uk/Publicatlons/
.
Clinical%20Guidelines/clinicdll-2_fulldelirium htm pada tanggal 19 Mei 2012 .

337
338

ULKUS DEKUBITUS

PENGERTIAN
Ulkus dekubitus (UD) atau luka akibat tekanan merupakan salah satu komplikasi
imobilisasi pada usia lanjut. UD adalah luka akibat peningkatan tekanan pada daerah
kulityang sama secara terus - menerus. Pada posisi berbaring, tekanan akan memberikan
pengaruh pada daerah kulit ,dimana terjadi penonjolan tulang yang menyebabkan
aliran darah terhambat, dan terbentuknya anoksia jaringan dan nekrosis. 1 UD dapat
terjadi dimana saja, namun 80% - nya terjadi pada tumit, malleolus lateralis , sakrum,
tuberositas ischium, dan trochanter mayor. 2 Opini bahwa semua UD dapat dicegah
masih kontroversial . Beberapa faktor risiko UD pada geriatri tercantum pada tabel 1.

Tabel 1. Beberapa Faktor Risiko Ulkus Dekubitus pada Geriatri3


Infrlruik Ekstrinsik
Mobilltas terbatas : jejas medula spinalis, penyakit Tekanan dari berbagai permukaan
serebrovaskular, kelainan neurologis progresif (Parkinson, keras ( seperti tempat tidur, kursi
Alzheimer, skierosis multipel) , nyeri, fraktur, prosedur pasca roda, atau brankar /strefcher )
operasi, koma atau sedasi, artropati
Nutrisl buruk : anoreksia, dehidrasi, gigi keropos, restriksi Friksi dari ketidakmampuan pasien
makanan, lemahnya sensasi kecap atau penghidu, untuk bergerak dengan baik di
kemiskinan atau berkurangnya akses makanan tempat tidur
Penyakit komorbid : diabetes, depresi atau psikosis, vaskulitis Tergores (shearj akibat gerakan otot
atau penyakit vaskular kolagen lainnya, penyakit vaskular involunter
perifer, berkurangnya sensasi nyeri, imunodefisiensi atau
terapi kortikosteroid, gagal jantung kongestif, keganasan,
gagal ginjal, demensia, penyakit paru obstruktif kronik
Kulft menua : elastisitas menghilang, berkurangnya aliran Kelembaban ( menyebabkan
darah kutaneus, perubahan pH kulit, hilangnya lemak maserasi) : inkontinensia urin
subkutaneus, berkurangnya aliran darah epidermis-dermis, atau buang air besar, keringat
flattening of rete ridges berlebihan, drainase luka

DIAGNOSIS

Anamnesis3
• Identifikasi faktor - faktor risiko seperti tercantum pada Tabel 1
• Onset dan durasi ulkus
• Riwayat perawatan luka sebelumnya

Panduan Praktik Klinis


Perhimpunan Dokter SpesiaSs Penyakil Dalam Indonesia
Ulkus Dekubitus

• Identifikasi faktor lainnya : kesehatan fisiologis , status kognitif dan perilaku,


sumber daya sosial dan finansial, akses terhadap caregiver dan kemungkinan
penelantaran ( abuse/ neglected case )

Pemeriksaan Fisik3 4
• Inspeksi kulit dari kepala hingga ujung kaki, depan hingga belakang, palpasi sesuai
indikasi: perhatikan jumlah, lokasi, ukuran (panjang, lebar, kedalaman ) ulkus dan
periksalah apakah ada eksudat, bau, traktus sinus, formasi nekrosis atau eschar ,
undermining ( cekungan ), tunneling ( terowongan ), infeksi, penyembuhan ( granulasi
dan epitelialisasi), dan batas luka. Kemudian klasifikasikan ke dalam stadium klinis
seperti tercantum pada Tabel 2.
• Penilaian ulang kulit tiap 8- 24 jam, dengan perubahan kondisi atau level of care
• Tanda infeksi
Tabel 2. Stadium Ulkus Dekubitus menurut National Pressure Ulcer Advisory Panel (NPUAP)3
Stadium Deskripsi
Suspekjejas jaringan Perubahan warna ungu atau marun pada area terlokalisir, kulit utuh
profunda ( suspected ( intact ) atau luka lecet terisi darah yang disebabkan oleh kerusakan
deep- tissue injury ) pada jaringan lunak akibat tekanan atau goresan ( shearj : diskolorasi ini
dapat muncul sebelum rasa nyeri, keras, lunak, basah, lebih hangat atau
lebih dingin daripada jaringan sekitarnya
I Kemerahan non- blanchable terlokalisir pada kulit utuh, biasanya pada
puncak tulang; pada kulit hitam, warna pucat mungkin tidak terlihat,
dan area yang terkena dapat berbeda dengan sekitarnya; area yang
terkena mungkin nyeri, keras, lunak, lebih hangat atau lebih dingin
daripada jaringan sekitarnya
Partial- thickness loss dari dermis yang tampak sebagai ulkus dangkal,
terbuka, dengan dasar kemerahan, tanpas/ough ( tidak bergaung) ; luka
dapat juga tampak utuh atau terbuka dan terisi serum; stadium ini tidak
termasuk luka robek ( tear ) , luka bakar adhesif ( tape burns ) , dermatitis
perineum, maserasi, atau ekskoriasi
Full- thickness tissue loss ; lemak subkutan dapat terlihat, dasar luka dapat
bergaung, tapi tidak dapat menentukan kedalaman hilangnya jaringan;
dapat termasuk undermining dan tunneling
IV Full- thickness tissue loss dengan otot, tulang, dan tendon yang terlihat;
dasar luka dapat bergaung atau eschar , seringkali termasuk undermining
dan tunneling
Tidak dapat Full- thickness tissue loss dengan dasar ulkus tertutup gaung ( kuning,
diklasifikasikan tan ??, abu-abu, hijau atau coklat ) atau nekrosis /eschar ( tan ?? , coklat,
( unstageable ) atau hitam )
Keterangan : kedalaman UD stadium III atau IV bervariasi tergantung lokasi anatomis Karena jembatan?? jaringanantara
hidung, telinga, oksiput, dan malleolus tidak memiliki jaringan subkutan, maka ulkus pada daerah ini dapat dangkal
Sebaliknya, area dengan jaringan lemak yang cukup dapat berkembang menjadi ulkus stadium III dan IV dalam Pada ulkus
stadium IV, tulang atau tendon dapat terekspos atau dipalpasi secara langsung

339
( ;% Panduan Praktik Klinis Geriatri
MINT Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia

PEMERIKSAAN PENUNJANG4 5
• Laboratorium (sesuai indikasi) : darah perifer lengkap, protein total, albumin, gula darah
• Sesuai indikasi: foto toraks, USG, termografi

DIAGNOSIS BANDING4 7
• Eritema non - palpable yang menghilang pada penekanan, penyebab lainnya
• Dermatitis terkait kelembaban ( moisture-associated dermatitis)
• Luka kronis tipe lainnya ( ulkus diabetikum, ulkus venosus, ulkus arteriosus)
• Ulkus dekubitus atipikal
• Pioderma gangrenosum
• Osteomielitis
TATALAKSANA

Ulkus bersih Ulkus bersih Jaringan nekrotik


tanpa selulitis dengan selulitis ( ulkus stad lll-IV)

ir V

Stad I Stad II Stad III Stad IV tanpa Infeksi Debridement : apa-


tanpa jar jar nekrotik sistemik atau bila selulitis atau sepsis
nekrotik selulitis meluas meluas -» tajam, bila
non-urgent -4 autolisis,
mekanik, enzimatik

v
Dressing Bersihkan Bersihkan luka, Infeksi
protektif luka, dressing dressing lemba- lokai
bila perlu lembab absorbent
(mis film (hydrogel, foam ,
transparan) atau alginate;
konsul Bedah

Tidak ada kema-


1 Antibiotik topikal;
v

Bersihkan luka,
juan dalam 14 hari dressing lembab- dressing lembab-
absorbent : bersih- absorbent
kan luka

Tidak ada kemajuan Kultur jaringan; Bersihkan luka;


dalam 2-4 minggu; pertimbangkan dressing lembab-
selulitis atau sepsis osteomielitis absorbent ;
persisten Antibiotik sistemik

Gambar 1. Algoritma Penatalaksanaan Ulkus Dekubitus3

340
Ulkus Dekubitus

• Pencegahan: skrining risiko dengan Skala Braden, yang menilai durasi dan intensitas
tekanan eksternal (fungsi sensoris, aktivitas, mobilisasi), hindari kulit terhadap
faktor yang berpotensi melukai (kelembaban, status gizi kurang, friksi).6 Preventive
positioning (miring 30 Q ke kanan danke kiri setiap dua jam) diberikan untukmencegah
dekubitus pada sakrum dan spina iliaca anterior superior (SIAS). Therapeutic
positioning diberikan dengan teknikyang sama namun dilakukan setiap satu jam.
• Komponen dasar tatalaksana UD: mengurangi tekanan pada kulit, membersihkan
luka, debridement jaringan nekrotik, mengatasi kolonisasi dan bacterial load , dan
pemilihan wound dressing .3
• Status gizi pada semua stadium UD : pada pasien malnutrisi, diet tinggi kalori
(30 - 35 kal / kg/ hari) tinggi protein (1, 25-1,5 g/ kg/ hari) dan hidrasi cukup dapat
membantu penyembuhan luka, durasi rawat inap lebih pendek, dan komplikasi
yang lebih sedikit. Protein, vitamin C, dan suplemen zinc dapat dipertimbangkan
apabila intake kurang atau terdapat bukti defisiensi.3,6,8
• Antibiotik sistemik diberikan bila terdapat bukti selulitis, osteomielitis, atau
bakteremia. Rejimen terapi ditujukan untuk gram positif , negatif , dan anaerob.
Karena tingginya angka mortalitas, antibiotik empiris dapat diberikan pada suspek
sepsis atau bakteremia. Antibiotik topikal tidak diindikasikan .8
• Tempat tidur khusus : penggunaan kasur anti- dekubitus yang berisi udara
(alternating pressure air mattress) menurunkan angka kejadian ulkus dekubitus
pada tumit daripada kombinasi matras viskoelastis dan reposisi tiap 4 jam, namun
tidak untuk sakral.9
• Perawatan luka : luka harus dibersihkan sebelum mengganti dressing (pemilihan
dressing dapat dilihat pada Tabel 3). Debridement jaringan nekrotik secara
pembedahan atau dengan menggunakan kompres kasa dengan normal saline.
Antiseptik seperti povidone iodine, asam asetat, hidrogen peroksida, dan sodium
hipoklorit (larutan Dakin ) harus dihindari karena menghancurkan jaringan
granulasi. Antibiotik topikal seperti silver sulfadiazin sebaiknya digunakan selama
2 minggu untuk membersihkan luka yang tidak sembuh seperti seharusnya setelah
perawatan optimal 2 -4 minggu.3
• Konsultasi Bedah dipertimbangkan pada UD stadium 111 dan IV yang tidak respon
dengan perawatan optimal atau bila kualitas hidup pasien dapat meningkat dengan
penutupan luka secara cepat.3
<* Wrap therapy dapat dipertimbangkan pada UD stadium III dan IV.11
• Manfaat terapi elektromagnetik, ultrasound , oksigen hiperbarik masih belum jelas.3
• Tranplantasi kulit (skin grafting) sesuai indikasi
• Terapi sel punca (stemcell therapy) (masih dalam fase penelitian pendahuluan )
Pinduan Praktik Klinis Geriatri
Perhimpunan Ooklet Spesialis Penyakit Dalam Indonesia

Tabel 3. Pemilihan Dressing 10


Klatlflkail Dralnase Dralnase
dressing Stadium II Stadium III Dralnase rlngan sedang berat
Film transparan*
Hidrokoloid* •/ / S
Alginates
Foam
Hydrogels** s
Hydrofibers /
Keterangan
*Dapat digunakan pada UD stadium I
**Diindikasikan pada dasar luka kering untuk rehidrasi atau rehidrasi jaringan nekrosis untuk debridement

KOMPLIKASI
Hipoalbuminemia, anemia, Infeksisepsis5

PROGNOSIS
Prognosis ulkus dekubitus stadium I dapat diprediksi dengan penilaian awal dan
manajemen yang sesuai.5 Studi di Texas menunjukkan angka mortalitas sebanyak 68,9%
ditemukan pada pasien yang mengalami ulkus dekubitus stadium IIMV nosokomial,
dengan rata - rata 47 hari mulai dari onset ulkus dekubitus hingga kematian. Menurut
penelitian ini, pasien dengan beban penyakit berat yang mendekati akhir hidupnya,
-
berkembangnya ulkus dekubitus full thickness nosokomial merupakan suatu proses
patologis komorbid.12

KOMPETENSI
• Spesialis Penyakit Dalam : A3, B3
• Konsultan Geriatri : A3, B3/ B4

UNIT YANGMENANGANI
• RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Geriatri,
Departemen Rehabilitasi Medik, Bedah Ortopedi, Bedah
Plastik, Bedah Vaskular, Departemen Gizi Klinik
• RS non pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Bidang Keperawatan, Departemen Kulit dan Kelamin
• RS non pendidikan : -

342
Ulkus Dekubitus

REFERENSI
1. Setiati S, Roosheroe AG. Imobilisasi Pada Usia Lanjut. Dalam : Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I, et
al. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jilid I. 2009. Hal 859-63.
2. Caruso LB. Geriatric Medicine. In : Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo
J. Harrison ' s Principles of Internal Medicine . 17lh Edition. New York, McGraw-Hill. 2008
3. Bluestein D, Javaheri A. Pressure Ulcers : Prevention, Evaluation, and Management. Am Fam
Physician. 2008;78 ( 10) :1186- 1194, 1195-1196. Diunduh dari http:/ /www.aafp.Org / afp / 2008 / l 115/
pi 186.pdf pada tanggal 25 Mei 2012.
4. .
Institute for Clinical Systems Improvement Health Care Protocol: Pressure Ulcer Prevention and
Treatment Protocol. 3rd Edition. January 2012. Diakses melalui http:/ / www.icsi.org/pressure_ulcer _
_
treatment _protocol review_and_comment / pressure_ulcer_treatment protocol .html pada
tanggal 25 Mei 2012.
5. Sato M, Sanada H, Konya C, et al. Prognosis of stage I pressure ulcers and related factors. Int
Wound J. 2006 Dec;3( 4) :355-62. [ Abstract ]
6. Anders J, Heinemann A, Leffmann C, et al. Decubitus Ulcers: Pathophysiology and Primary
.
Prevention. Dtsch Arztebl Int. 2010 May; 107 ( 21 ) : 371-382. Diunduh dari http:/ /www ncbi.nlm.nih.
gov / pmc / artides /PMC 2883282 /pdf /Dtsch_ ArzteblJnt-l07-0371 .pdf pada tanggal 25 Mei 2012.
. .
7. Pressure Ulcer. Tersedia di http:/ / bestpractice bmi com/ best-practice / monograph / 378 /
diagnosis/ differential.html
8. .
Livesley NJ, Chow AW. Infected Pressure Ulcers in Elderly Individuals Clinical Infectious Diseases
2002; 35:1390-6. Diunduh dari http:/ /cid.oxfordjournals.org / content / 35 / 11 / 1390.full.pdf pada
tanggal 25 Mei 2012.
9. Vanderwee K, Grypdonck MH, Defloor T. Effectiveness of an alternating pressure air mattress for
the prevention of pressure ulcers. Age and Ageing 2005: 34: 261-267. Diunduh dari http:/ / ageing.
oxfordjournals.org/ content / 34/3/ 261.full.pdf pada tanggal 25 Mei 2012.
10. Lyder CH. Pressure Ulcer Prevention and Management. JAMA 2003;289 ( 2):223-6.
.
11. Bito S, Mizuhara A, Oonishi S, et al Randomised controlled trial evaluating the efficacy of wrap
therapy for wound healing acceleration in patients with NPUAP stage II and III pressure ulcer.
BMJ Open 2012;2:e 000371 . Diunduh dari http:/ / bmjopen.bmj.eom / content / 2/ l / e000371. full,
pdf pada tanggal 25 Mei 2012 .
12. Brown G. Long-term outcomes of full-thickness pressure ulcers: healing and mortality. Ostomy
Wound Manage 2003 Oct;49 ( 10) :42-50. [Abstract ]

343
344

SARKOPENIA

DEFINISI SARKOPENIA
Sarkopenia merupakan sindroma yang ditandai dengan berkurangnya massa
otot rangka serta kekuatan otot secara progresif dan menyeluruh. Sarkopenia
umumnya diiringi inaktivitas fisik, penurunan mobilitas, cara berjalan yang lambat,
dan enduransi fisik yang rendah. Otot rangka mengalami penurunan sejalan dengan
bertambahnya usia baik pada wanita ataupun pria. Massa dan kekuatan otot tertinggi
dicapai pada usia belasan sampai dengan dua puluhan dan kemudian mulai mengalami
penurunan pada usia tiga puluhan. Kecepatan penurunan kekuatan otot sekitar 10-
15% per dekade setelah usia 50 tahun, dan akan menurun dengan cepat setelah usia
75 tahun.1
Definisi Sarkopenia menurut The European Working Group on Sarkopenia in Older
People (EWGSOP) 2010 dapat ditegakkan bila didapatkan penurunan massa otot
rangka ditambah salah satu atau lebih dari dua kriteria berikut yaitu kekuatan otot
buruk dan atau performa fisik yang kurang. 2,3
Penurunan massa otot didefinisikan berdasarkan Indeks Otot Rangka (Skeletal
Muscle Index / SMI ) yaitu , massa otot rangka apendikular (Appendicular Skeletal
Muscle / ASM ) ( kg) dibagi dengan tinggi badan dalam meter kuadrat (SMI = kg/ m 2) .
Massa otot rangka apendikular didapatkan dari penjumlahan total dari massa otot
rangka kedua lengan dan kedua kaki. Titikpintas (Cut-off ] SMI adalah nilai kurang dari
2 kali standar deviasi referensi populasi laki-laki atau perempuan dewasa muda yang
sehat di wilayah tersebut. Pemeriksaan massa otot rangka dapat dilakukan dengan
pemeriksaan Dual - Energy X- ray Absorptiometry (DEXA) atau dengan Bioelectric
-
Impedance Analysis (BIA).3 4 Kriteria diagnosis tersebut sulit diterapkan di Indonesia
karena belum ada data normatif besaran massa otot rangka pada populasi dewasa
muda serta data referensi kekuatan otot pada berbagai kelompok usia dan jenis
kelamin. Selain itu, hingga kini belum ada standar teknik pengukuran besaran massa
otot untuk usia lanjut.12

PanduanPraktikKlinis
Perhimpunan Dokler SpesiaBs Penyakil Dalam Indonesia
Sarkopenia

.
Tabel 1 Kriteria Sarkopenia pada Populasi Asia5
Kriteria Metode Nllal Titlk Plntas sesuai Jenls kelamln Negara/ Etnlk
Pemedksaan
Massa Otot DXA ASM/ Tinggi badan 2 Jepang
Klas 1 dan klas 2 sarkopenia
Pria : 7,77 dan 6,87 kg/ m2
Wanita : 6,12 dan 5,46 kg/m2

ASM/ Tinggi badan 2 China


Pria < 5.72 kg/ m2
Wanita < 4, 82 kg/m2

ASM/ Tinggi badan 2 Korea


Pria : 7,40 kg/m2
Wanita 5.14 kg/m2

SMI ( %)
BIA SMI Taiwan
Pria < 8,87 kg/m2
Wanita < 6, 42 kg/m2

ASM / Tinggi2 Jepang


Pria < 7.0 kg/ m2
Wanita < 5,8 kg /m2

ASM/ Tinggi2 Korea


Pria < 6,75 kg/m2
Wanita < 5.07 kg/m2
Kekuatan otot Kekuatan Pria : 30,3 kg Jepang
Mengenggam Wanita : 19,3kg

Pria < 22.4 kg Taiwan


Wanita < 14.3 kg
Ekstensi lutut Wanita < 1.01 Nm /kg Jepang
Fisik Berjalan Kecepatan berjalan Jepang
Pria < 1.27 m/detek
Wanita < 1.19 m/dtk
Kecepatan berjalan < 1 m /dtk Taiwan
SPBB Nilai SPPB < 9 Korea

Saat ini teknik yang dianggap sebagai baku emas untik pemeriksaan masa otot
adalah pemeriksaan dual - energy X- ray absorptiometry ( DEXA), Bioelectric Impedance
Analysis ( BIA ) computed tomography, magnetic resonance imaging , serta pengukuran
ekskresi kreatinin urin, pengukuran antropometri dan aktivasi netron.
1,4,6

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Diagnosis Sarkopenia
Berdasarkan European Working Group on Sarkopenia in Older People ( EWGSOP)
tahun 2010 oleh Cruz-Jentoft A] dkk., kriteria sarkopenia harus memenuhi yaitu adanya

345
M
4?
\
Panduan Praktik Kllnis Geriatri
Perhimpunon DoWer Spesialis Penyakil Dalam Indonesia

massa otot yang kurang disertai kekuatan otot yang berkurang dan atau perfoma
aktivitas fisik yang menurun.2, 7 Seperti terlihat pada gambar di bawah ini mengenai
algoritma diagnosis sarkopenia

Subjek Usia lanjut


( > 65tahun )

I
Pemeriksaan Kecepabn
Beijalan

1
>0, 8 meter / detik <0,8 Meter / detik

I I

J
Pemeriksaan Kekuatan Pemeriksaan
menggenggam Masa Otot
r
Normal Menurun Menurun Normal

I I I
Normal Sarkopenia Normal

Gambar 3. Algoritma Diagnosis Sarkopenia menurut EWGSOP 7

Menurut EWGSOP sarkopenia dibagi menjadi tiga tahap yaitu presarkopenia,


sarkopenia dan sarkopenia berat, seperti terlihat pada tabel 3 di bawah ini. Dimana
pada stadium presarkopenia hanya ditemukan penurunan masa otot tanpa adanya
penurunan kekuatan dan performa otot, sedangkan pada sarkopenia ditemukan adanya
penurunan masa otot disertai dengan penurunan kekuatan otot atau performa otot,
sedangkan pada sarkopenia berat ditemukan penurunan dari ketiga hal tersebut.2

Tabel 3. Kriteria Sarkopenia


Tahapan Massa Otot Kekuatan Otot Perfoma Status
Presarkopenia 4*
Sarkopenia l 4,atau xf
Sarkopenia Berat xt xf xf

Manajemen Sarkopenia
Keberhasilan penatalaksanaan pada sarkopenia sangat bergantung pada
latihan fisik, gaya hidup, dan pola makan. Latihan fisik memberikan dampak positif

346
Sarkopenia

pada sarkopenia terutama yang berkaitan dengan kondisi penyakit kronis seperti
diabetes mellitus , hipertensi, dan penyakit jantung koroner. Pengaturan pola makan
sebaiknya tetap dikombinasikan dengan program latihan fisik, mencakup latihan
tahanan dan peregangan. Latihan tahanan progresif sebanyak 2 - 3 kali per minggu
terbukti meningkatkan kapasitas fisik dan mencegah / mengurangi disabilitas dan
kelemahan otot pada usia lanjut . Faktor psikologis pada pasien dengan sarkopenia
dan frailty syndrome juga penting, sehingga terapi suportif psikologis diperlukan pada
penatalaksanaan sarkopenia ,
Tujuan dari penatalaksanaan sarkopenia adalah tercapainya perbaikan dari
keluaran primer dan sekunder. Untuk terapi yang bersifat intervensi EWGSOP
merekomendasikan tiga variabel keluaran yaitu massa otot, kekuatan otot dan
performa fisik

LATIHAN DAN AKTIVITAS FISIK


Latihan fisik dibedakan menjadi dua jenis latihan yaitu latihan aerobik dan latihan
tahanan. Dalam latihan aerobik, sejumlah besar otot bergerak secara ritmis dalam
waktu yang cukup lama sedangkan pada latihan tahanan adalah menitikberatkan pada
daya tahan dalam melawan beban seperti pada olahraga angkat berat.2 Latihan tahanan
merupakan pilihan yang dapat digunakan untuk pencegahan dan penanggulangan
sarkopenia . Program 2 minggu latihan tahanan dengan 60-90 % kekuatan maksimum
pada otot kuadrisep terbukti meningkatkan kecepatan sintestis protein sampai 100%. 3
Latihan tahanan pada usia lanjut adalah meningkatnya kadar hormon yang akan
meningkatkan IGF-1 plasma. IGF-1 plasma mempunyai efek anabolik yaitu merangsang
sintestis protein dan selanjutnya menimbulkan hipertrofi otot. 4 Latihan tahanan
merupakan stimulus hipertrofi otot yang jauh lebih kuat dibandingkan latihan aerobik
[ endurance ) . Kekuatan otot dan massa otot atlet angkat berat yang berusia lanjut lebih
baik dibandingkan perenang. 5
Latihan kekuatan otot pada usia lanjut perlu diawasi secara ketat. Pengawasan yang
dilakukan menyangkut intensitas, lama, dan frekuensi latihan. Intensitas beban dimulai
dari yang paling ringan misalnya 1 kg kemudian sedikit demi sedikit ditingkatkan.
Lakukan 2 -3 set dari setiap macam latihan, seminggu berlatih 2 - 3 kali dengan paling
sedikit satu hari istirahat. Sebelum melakukan latihan penderita kiranya menjalani
pemeriksaan medis terlebih dahulu. Pemeriksaan ini diperlukan untuk mengetahui
penyakit yang merupakan kontraindikasi dalam melakukan latihan beban .
Berdasarkan American College of Sports Medicine , penderita dalam melaksanakan
latihan harus sesuai dengan petunjuk tenaga medis, jika terdapat kondisi yang tidak

347
,>
.(f
’MlJy
Panduan Praktik Minis Geriatri
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyaki! Dalam Indonesia

stabil , seperti : diabetes yang tidak terkontrol, hiperetensi, hernia, katarak , dan
perdarahan retina. Sedangkan latihan beban harus dihindari oleh pasien dengan irama
jantung tidak teratur, gangguan kognitif berat dan demensia. American College Of Sport
Medicine (ACSM ) dan American Heart Association (AHA ) merekomendasikan latihan
dengan intensitas 70-90% dari 1- RM [ MaximalRepetition ) dengan frekuensi 2 hingga
3 kali per minggu secara tidak berurutan (selang 1 hari) cukup untuk meningkatkan
massa dan kekuatan otot pada usia lanjut. Sedangkan pada latihan aerobik, walaupun
peningkatan massa otot yang didapat tidak sebanyak pada latihan tahanan, namun
latihan aerobik terbukti dapat mengurangi presentase lemak tubuh, dimana hal ini
cukup berperan penting untuk meningkatkan fungsi otot relatif terhadap berat badan .

NUTRISI
Sebagian besar populasi usia lanjut tidak dapat memenuhi asupan nutrisi terutama
protein sesuai jumlah yang dianjurkan sehingga terjadi pengurangan massa otot dan
gangguan fungsional 7 Hal ini disebabkan karena berkurangnya kemampuan ekonomi
untuk membeli bahan makanan dengan nilai biologis tinggi , kesulitan mengunyah,
ketakutan untuk mengkonsumsi terlalu banyak lemak atau kolesterol dan intoleransi
terhadap beberapa jenis makanan. 11 Asupan protein yang tidak adekuat adalah barrier
utama untuk mendapatkan peningkatan massa otot pada usia lanjut walaupun telah
menjalani latihan tahanan dan aerobik.
Asupan nutrisi merupakan kontributor utama proses menua terutama dalam
terjadinya sarkopenia dan sindroma kerapuhan . Pada penelitian kohort 10 tahun di
Amerika Serikat yang melibatkan 304 orang sehat dengan rerata usia 72 tahun saat
penelitian dimulai , sindroma kerapuhan atau kematian dalam 10 tahun lebih banyak
terjadi pada kelompok yang mengkonsumsi kalori lebih tinggi dari anjuran RDA ( 25 -
30 kal / kgBB / hari]. Sebaliknya, pada kelompok yang mengkonsumsi protein lebih
tinggi dari anjuran RDA ( > 0.8 gr/ kgBB / hari] lebih sehat daripada kelompok yang
mengkonsumsi protein lebih sedikit.12

PROTEIN
Protein merupakan nutrisi kunci pada usia lanjut. Asupan protein yang tinggi
diperlukan untuk mencegah keseimbangan nitrogen negatif yang dapat memperburuk
pengurangan massa otot secara progresif yang berhubungan dengan proses menua.
Diit tinggi protein ini terbukti dapat memperbaiki status fungsional, meningkatkan
kualitas hidup, mempercepat penyembuhan, memperpendek masa perawatan di
rumah sakit, mempercepat penyembuhan trauma sehingga dapat menurunkan biaya

348
Sarkopenia

perawatan. Akibat penurunan massa otot, komposisi tubuh akan berubah sehingga
komposisi lemak menjadi lebih tinggi. Usia lanjut dengan komposisi lemak yang lebih
tinggi akan lebih mudah menderita gangguan toleransi glukosa dan diabetes dan
resistensi insulin. Penurunan massa otot menyebabkan penurunan kekuatan otot dan
berakibat pada gangguan kesehatan tulang13
Otot berperan dalam metabolisme protein tubuh sebagai cadangan asam amino
untuk mempertahankan sintesa protein pada organ dan jaringan vital terutama pada
saat tidak ada absorbsi usus melalui proses glukoneogenesis. Kondisi patologis dan
penyakit kronis dapat menyebabkan pengurangan massa otot; Gangguan metabolism
otot memainkan peranan terutama sebagai respons terhadap stress. 14 Kekurangan
asupan protein dan inaktifitas merupakan faktor utama penyebab deplesi otot. Asupan
protein yang tidak adekuat dapat menyebabkan laju sintesa protein lebih rendah
daripada degradasi protein otot sehingga dapat mempercepatterjadinya sarkopenia. 15
Berdasarkan rekomendasi RDA, jumlah protein yang harus dikonsumsi untuk
untuk dewasa adalah sebesar 0.8 gr / kgBB/ hari tanpa melihat umur. Jumlah protein
ini didasarkan pada penelitian keseimbangan nitrogen selama 10-14 hari. Jumlah
tersebut merupakan perkiraan asupan protein minimal yang diperlukan untuk
mempertahankan keseimbangan nitrogen pada dewasa muda yang sehat untuk
mempertahankan kesehatannya secara optimal untuk mencegah kehilangan massa
otot secara progresif pada populasi normal . Pada survey yang diselenggarakan
oleh USDA tahun 1996 di Amerika Serikat, didapatkan data bahwa 32- 41% wanita
dan 22 - 38 % laki-laki berusia lebih dari 50 tahun dan lebih dari 40 % usia lanjut
berusia lebih dari 70 tahun mengkonsumsi protein kurang dari jumlah tersebut. 11
15 13
Beberapa penelitian membuktikan bahwa jumlah tersebut tidak cukup untuk
mencegah terjadinya sarkopenia 13,16
Gangguan sistem imun dan inflamasi kronis pada usia lanjut dapat menyebabkan
katabolisme protein. Sitokin inflamasi yang berperan dalam hal ini adalah Tumor
Necrosis Factor a (TNF a], Interleukin 6 (IL-6) dan C-reactive protein (CRP). Sitokin ini
juga berhubungan dengan penurunan status fungsional, degradasi otot dan mortalitas
pada usia lanjut. Pada Penelitian Framingham didapatkan hubungan antara tingginya
IL-6 dan TNF a berhubungan dengan penurunan kekuatan otot dan meningkatkan
mortalitas. Sebagian besar sitokin inflamasi berasal dari jaringan adiposa, sehingga
peningkatan proporsi lemak karena penurunan massa otot menyebabkan terjadinya
penihgkatan sitokin inflamasi. Hal ini terutama terlihat pada usia lanjut dengan
rheumathoid arthritis dan osteoarthritis dan disebut sarcopenic obesity. Penelitian
juga membuktikan, sitokin inflamasi yang diproduksi oleh jaringan adiposa juga akan

349
M P*»duanPr*|
M l(IW« Geriatri
Perhlmpunan Dokler SpeslaDs Penyaldt Dalam Indonesia

memacu terjadinya katabolisme otot sehingga terjadi lingkaran setan yang menginisiasi
dan mempertahankan terjadinya sarcopenic obesity. Penderita dengan sarcopenic
obesity mempunyai risiko disabilitas 2-3 kali lebih besar daripada non-sarcopenic
obesity. Berdasarkan hal tersebut, maka peningkatan massa otot dan penurunan
komposisi lemak dapat menurunkan sitokin inflamasi dan selanjutnya mencegah
terjadinya katabolisme protein.13
Sejumlah penelitian prospektif selama 3 tahun terakhir membuktikan bahwa
kecukupan asupan protein berperngaruh secara positif terhadap preservasi otot
dan mencegah terjadinya sarkopenia pada usia lanjut berusia lebih dari 70 tahun.
lsPenelitian terhadap 608 orang usia lanjut sehat etnis China mulai tahun 1993-1997
oleh Stookey, dkk membuktikan bahwa pada kelompok yang mendapat intake protein
tinggi, terjadinya penurunan massa otot lebih rendah pada follow up selama 4 tahun
dibandingkan pada kelompok yang mendapat intake protein rendah.17 Penelitian
lain dari Houston di Memphis dan Pitstburg pada 2732 usia lanjut selama 3 tahun
membuktikan bahwa asupan protein merupakan faktor yang dapat dimodifikasi
untuk terjadinya sarkopenia, pada kelompok usia lanjut dengan konsumsi protein
rata- rata 1.1 gr / kg BB / hari penurunan massa otot lebih rendah 40% dibandingkan
pada kelompok yang mengkonsumsi protein sebanyak 0.7 gr / kgBB / hari 18 .
Manfaat dari pemberian diit tinggi protein ini juga terjadi pada usia lanjut dengan
malnutrisi bahkan pada penderita perfusi organ. Peningkatan asupan protein dari
0.5 gr / kgBB / hari menjadi 1 gr / kgBB / hari selanjutnya ditingkatkan hingga 2 gram /
kgBB/ hari per hari terbukti dapat meningkatkan sintesis protein secara progresif dan
memperbaiki keseimbangan nitrogen. 13
Efek positif asupan protein terhadap komposisi tubuh diperantarai oleh stimulasi
- .
insulin-like growth factor 1 ( IGF 1 ) Pada usia lanjut, terjadi penurunan kadar IGF-1yang
berakibat pada penurunan sintesa protein dan mempercepat terjadinya penurunan
massa otot. Intervensi nutrisi dapat meningkatkan kadar IGF-1 pada usia lanjut.13
Efek lain dari peningkatan kadar protein pada usia lanjut adalah peningkatan
kepadatan tulang. Diit tinggi protein dapat meningkatkan retensi kalsium dalam
otot terutama bila asupan kalsium rendah. Ini merupakan efek sinergistik dari diit
tinggi protein dan kalsium bagi kesehatan tulang. Selain itu asupan protein tinggi
meningkatkan kepadatan tulang melalui efek peningkatan massa otot dan kekuatan
otot. Rangsang mekanis pada tulang merupakan hal yang penting untuk meningkatkan
kekuatan tulang dan massa tulang melalui peningkatan kekuatan kontraksi otot.
Korelasi antara kekuatan otot yang diukur dengan hand grip dengan bone mineral
content dan kepadatan tulang.13

350
Sarkopenia

Manfaatlain dari diittinggi protein adalah dapat mempercepat penyembuhan luka


yang dibuktikan melalui beberapa meta analisis . Pemberian suplementasi protein 61
atau 37 gram protein selama 8 minggu dapat memperbaiki penyembuhan luka secara
signifikan .13
Terdapathubungan antara asupan protein dengan fungsi kardiovaskuler. Penelitian
Nurses Health Study dengan penelitian prospektif selama 14 tahun pada 80.000 wanita
berumur 34- 59 tahun menunjukkan terdapat hubungan antara asupan protein dengan
angka kejadian penyakit jantung iskemik. Selain itu, diit tinggi protein mempunyai efek
proteksi terhadap peningkatan tekanan darah . Diit tinggi protein dapat memperbaiki
fungsi endotel kapiler sehingga mencegah kekakuan pembuluh darah . 13
Penelitian selama 6 bulan terhadap 82 penderita fraktur panggul berusia rata -
rata 80 tahun , suplementasi kasein 20 gr / hari dapat meningkatkan serum IGF- I dan
kekuatan kontraksi otot bisep sebesar 15.7 %19
Manfaat diit rendah protein pada penderita gagal ginjal dan untuk mencegah
kerusakan ginjal masih dipertanyakan. Pada penelitian tehadap 585 orang penderita
gagal ginjal yang diberikan protein 0.58 - 1.3 gr/kg BB /hari, tidak memberikan manfaat
terhadap penurunan progresifitas gagal ginjal. Tidak ada bukti bahwa diit rendah
protein memberikan manfaat bagi penderita yang tidak memiliki penyakit ginjal . Diit
rendah protein hanya direkomendasikan bagi penderita gagal ginjal akibat diabetes,
hipertensi dan polycystic kidney disease . Kontraindikasi pemberian protein tinggi
adalah pada penyakit Parkinson yang diakibatkan oleh tingginya kadar asam amino
L- dopa. Pada kelompok ini diperlukan asam amino spesifik yang mencukupi kebutuhan
untuk sintesa protein yang tidak mempengaruhi produksi neurotransmitter.13
Berdasarkan berbagai penelitian tersebut, makan asupan protein lebih besar
dari yang direkomendasikan tersebut dapat memperbaiki massa otot, kekuatan
otot dan fungsi otot pada usia lanjut terutama pada keadaan gangguan status imun,
penyembuhan luka, gangguan metabolisme tulang yang membutuhkan protein yang
lebih tinggi . Jumlah asupan protein 1.5 gr / kgBB / hari atau 15 - 20 % total kalori
merupakan jumlah yang cukup bagi usia lanjut untuk mengoptimalkan kesehatan tanpa
mengganggu fungsi ginjal, kesehatan tulang dan fungsi kardiovaskular13 7 Perubahan
komposisi protein ini harus disertai dengan penurunan proporsi karbohidrat dan
lemak sehingga jumlah kalori yang masuk tetap. Untuk memenuhi kebutuhan protein
tersebut, diperlukan suplementasi protein yang cukup untuk mencegah sarkopenia.
15 ENREF 10 22

Jenis protein yang diperlukan dalam proses sintesa protein adalah asam amino
esensial . Protein otot berespons terhadap pemberian 15 gram asam amino esensial

351
If! PandiwnPraltiliMinis
HnK 1
Perhlmpunan Dokler Spesialls Penyakil Dalam Indonesia Geriatri

lebih baik dibandingkan dengan pemberian hormone anabolik termasuk testosteron,


insulin dan growth hormone . Protein berkualitas tinggi seperti protein whey, kasein
dan protein sapi menstimulasi sintesis protein otot sesuai proporsi asam amino
esensial yang terkandung di dalamnya. Pada dosis rendah, asam amino esensial yang
dikonsumsi usia lanjut kurang responsif dibandingkan dengan pada orang yang lebih
muda, sehingga pada orang tua, jumlah asam amino esensial yang dibutuhkan juga
lebih tinggi. 13 Pemberian protein yang direkomendasikan per hari dibagi menjadi 3
kali pemberian untuk menghasilkan efek sintesis protein yang lebih tinggi seperti
terlihat pada gambar di bawah ini. Pemberian suplementasi protein secara merata
dalam 3 kali makan lebih baik dalam menghasilkan efek anabolik dibandingkan dengan
pemberian protein dengan distribusi tidak merata 13,16 23
Pemberian asam amino esensial merupakan stimulus utama sintesa protein. Leusin
adalah insulin secretagog yang penting dalam proses translasi, inisiasi dan sintesis
protein . Leusin merupakan asam amino paling poten yang mempunyai efek anabolic
dengan menstimulasi mTOR pathway ( mammalian target of rapamycin ). mTOR
merupakan sensor nutrisi leusin pada ptpt. Asam amino esensial berperan secara
sinergis dengan latihan fisik untuk meningkatkan fraksi sintesa protein. Pemberian
8 gram asam amino esensial selama 18 bulan pada usia lanjut dengan sarkopenia
menurunkan produksi TNF- alfa , meningkatkan massa otot dan memperbaiki
sensitivitas insulin.1015

KREATIN
Kreatin adalah asam amino yang penting untuk otot. Kreatin berperan penting
dalam metabolisme protein dan metabolisme seluler. Kreatin meningkatkan ekspresi
faktor transkripsi miogenik seperti miogenin dan faktor regulasi miogenik yang akan
meningkatkan massa dan kekuatan otot. Suplementasi kreatin akan meningkatkan
kadar fosfokreatin otot. Hal tersebut akan meningkatkan kemampuan untuk melakukan
latihan dengan intensitas tinggi, yang akan mendorong terjadinya proses sintesis
protein otot. 7
Kreatin sebagai bahan alami makanan terutama terdapat pada produk daging
dengan asupan harian rata - rata 2 gram per hari. Masih terdapat pertentangan
mengenai suplementasi keratin karena dapat meningkatkan risiko terjadinya nefritis
interstitial sehingga menjadi perhatian khusus pada pemberian terhadap orang usia
lanjut. Kreatin saat ini bukan menjadi rekomendasi terapi sarkopenia . 7

352
Sarkopenia

B - HYDROXY -B - METHYLBUTYRATE (HMB)


Usia lanjut yang mengalami imobilisasi selama 10 hari dapat kehilangan 1 kg
massa otot yang selanjutnya dapat menurunkan kekuatan otot dan menyebabkan
sarkopenia. Untuk mencegah terjadinya hal ini dapat diberikan campuran asam amino
esensial (leusin, isoleusin dan valin). Salah satu strategi yang dapat digunakan adalah
pemberian (3- Hydroxy - (3- methylbutyrate (HMB) yang merupakan metabolit dari
leusin. Penelitian dengan memberikan makan dan 2 dosis HMB 1.5 g / dosis dalam 10
hari tirah baring disertai dengan rehabilitasi dan latihan fisik 3 kali per minggu dapat
mencegah penurunan massa otot 2 kg dibandingkan dengan plasebo.24
Berdasarkan penelitian, HMB bermanfaat pada keadaan terjadinya penurunan
massa otot karena AIDS, kanker, tirah baring atau pada periode defisit kalori. HMB
juga aman dan dapat memperbaiki tekanan darah dan kolesterol LDL. Dosis yang
dianjurkan adalah 1 gr HMB 3 kali per hari. Beberapa penelitian tentang efek samping
HMB terutama berhubungan dengan efek antikataboliknya dan peningkatan ekspresi
gen ubiquitin. Diperlukan penelitian lebih lanjut tentang HMB 24,
Penemuan - penemuan baru dalam bidang fisiologi molekular telah mengidentifikasi
beberapa target obat yang potensial yang berhubungan dengan perubahan otot rangka
kualitatif dan kuantitatif yang dikenal dengan sarkopenia pada manusia yang menua.
Beberapa contoh jalur potensial dan target molekular untuk obat sarkopenia dapat
dilihat pada tabel di bawah ini: 32

Tabel. Contoh Jalur Potensial dan Target Molekular untuk Obat Sarkopenia
Target atau Jalur Efek Potensial Menguntungkan pada Otot
Reseptor androgen Meningkatkan massa dan kekuatan otot
Peroxisome proliferator-activated receptor-gamma Meningkatkan metabolisme oksidatif otot
coactivator 1 -alpha
Miostatin Meningkatkan massa dan kekuatan otot
Peroxisome proliferator-activated receptor delta
- Meningkatkan serabut tipe I dan
metabolisme oksidatif
Insulin-like growth factor I Meningkatkan massa dan kekuatan otot
B-adrenergic receptor Meningkatkan massa otot
Neuregulin Meningkatkan massa otot dan
penggunaan glukosa
Angiotensin-converting enzyme Meningkatkan fungsi otot dan performa
fisik
Sitokin inflamatorik Menurunkan efek katabolik

VITAMIN D
Kadar vitamin D menurun sesuai dengan penambahan usia . Tidak jarang
didapatkan kadar vitamin D yang sangat rendah pada orang usia lanjut. Studi
longitudinal ( jangka panjang) yang dilakukan di Amsterdam, Belanda oleh Visser

353
Panduan Praktik Klinis Geriatrl
Perhimpunan DoklerSpesiolis Penyakil Dalam Indonesia

dkk. (2003) menunjukkan bahwa kadar vitamin D yang rendah berhubungan erat
dengan melemahnya kekuatan dan menurunnya massa otot rangka. Peranan vitamin
D dalam osteoporosis telah lama diketahui. Pada beberapa tahun terakhir, peranan
vitamin D dalam sarkopenia telah banyak diteliti. 26Beberapa penelitian membuktikan
bahwa penurunan kadar 1, 25 hidroksivitamin D dan 25- hidroksivitamin D (25-OHD)
berhubungan dengan penurunan kekuatan otot, peningkatan body sway dan risiko
jatuh, sindroma kerapuhan dan disabilitas pada usia lanjut. 26 Kadar vitamin D yang
rendah juga dapat disebabkan insufisiensi ginjal dan rendahnya asupan kalsium atau
karena hiperparatiroid sekunder. Kadar vitamin D yang rendah berhubungan dengan
sarkopenia 25
Reseptor vitamin D pada otot menurun sejalan dengan penambahan usia. Vitamin
D dalam bentuk metabolit aktif 1.25( OH) 2 D menstimulasi diferensiasi mioblas yang
selanjutnya menstimulasi masuknya kalsium ke dalam sel yang diperlukan dalam
kontraksi otot. Kadar vitamin D menurun seiring dengan bertambahnya usia dan kadar
vitamin D pada kulit usia lanjut lebih rendah empat kali lipat dibandingkan kadar
orang dengan usia muda. Vitamin D memiliki peranan pada sintesis protein otot dan
mendorong pengambilan kalsium melalui membran sel. Kadar vitamin D yang rendah
biasanya berdampak pada kelemahan otot, kesulitan bangun dari tempat duduk,
kesulitan menaiki tangga, dan masalah keseimbangan. Beberapa sumber makanan
yang mengandung vitamin D antara lain : ikan, hati sapi, telur, dan sereal. 715
Sekitar 30 -90 % usia lanjut mengalami defisiensi vitamin D terutama pada pasien
rawat inap. Hal ini terutama disebabkan karena rendahnya paparan sinar matahari
dan menurunnya kemampuan kulit usia lanjut untuk mensintesa vitamin D3.25
Hubungan vitamin D dengan fungsi otot rangka adalah melalui reseptor Vitamin
D (Vitamin D receptors /VDR ) yang terdapat di otot rangka . Peran VDR pada otot
rangka adalah dalam proses stimulasi sel-sel otot rangka untuk meningkatkan asupan
fosfat-inorganik yang penting dalam menghasilkan senyawa fosfat kaya-energi seperti
-
ATP dan Creatine phosphate yang berperan penting dalam proses kontraksi otot.
Peran VDR lainnya adalah bertugas dalam mengatur distribusi dan regulasi kalsium
intraseluler. Keadaan defisiensi vitamin D juga dapat mengakibatkan suatu keadaan
hipoparatiroidisme sekunder dimana hal tersebut menyebabkan perburukan pada
fungsi otot. Pada studi percobaan yang dilakukan pada tikus, kadar PTH yang berlebihan
meningkatkan proses katabolisme protein otot, mengurangi serabut otot tipe 2 dan
senyawa fosfat intraseluler kaya energi, serta mengurangi asupan oksigen mitokondria. 26
Terdapat hubungan yang sangat erat antara osteoporosis dengan sarkopenia.
Pasien - pasien osteoporosis biasanya disertai dengan menurunnya massa otot dan

354
Sarkopenia

kekuatan otot, dimana hal ini menunjukkan bahwa berkurangnya kepadatan massa
tulang berhubungan erat dengan berkurangnya massa otot. Pada pasien-pasien usia
lanjut yang memiliki pola diet dengan asupan kalsium dan vitamin D yang buruk,
disertai juga dengan menurunnya kemampuan menghasilkan vitamin D melalui kulit
dan menurunnya produksi kalsitriol (l,25(OH) 2 vit D) oleh ginjal, keadaan ini dapat
meningkatkan risiko kejadian jatuh disebabkan karena terjadi suatu miopati proksimal
yang disebabkan oleh karena defisiensi vitamin D dan hiperparatiroidisme sekunder.
26

Berbagai studi telah menunjukkan bahwa suplementasi vitamin D dapat


memperbaiki lemahnya kekuatan dan berkurangnya massa otot (sarkopenia), dan
bahkan membalikkan proses ini. Suatu studi oleh Bischoff - Ferrari dkk. ( 2004)
menunjukkan bahwa suplementasi vitamin D memberikan suatu manfaat yang baik
dalam meningkatkan kekuatan otot dan menurunkan risiko kejadian jatuh pada usia
lanjut. 27 Terdapat beberapa studi tinjauan sistematik dan meta-analisis yang dilakukan
tentang pengaruh suplementasi vitamin D pada kekuatan otot. Latham dkk ( 2003)
-
melakukan suatu tinjauan sistematik dan meta analisis tentang efek suplementasi
vitamin D pada kekuatan, performa fisik dan kejadian jatuh pada usia lanjut. Total
sebanyak 13 studi dengan jumlah subjek sebanyak 2496 masuk sesuai kriteria inklusi.
Walaupun disimpulkan masih kurang cukup bukti-bukti, namun beberapa data yang
dianalisis menunjukkan manfaat suplementasi vitamin D disertai kalsium dalam
meningkatkan kekuatan otot rangka pada usia lanjut.28
-
Suatu studi tinjauan sistematik dan meta analisis berikutnya oleh Muir dkk
(2011) memelajari pengaruh suplementasi vitamin D pada kekuatan otot, cara
berjalan {gait ) , dan keseimbangan pada orang usia lanjut. Total sebanyak 714 artikel
yang diulas dan 13 studi RCT yang masuk kriteria inklusi menunjukkan hasil bahwa
suplementasi vitamin D dengan dosis berkisar antara 800 -1000 IU secara konsisten
memberikan efek yang menguntungkan pada kekuatan dan keseimbangan tubuh.
Studi meta - analisis yang terakhir dilakukan oleh Beaudart dkk. (2014) dengan total
subjek sebanyak 5615 dari 30 studi RCT dengan rerata usia 61 tahun menunjukkan
bahwa suplementasi vitamin D memiliki efek yang baik dalam meningkatkan kekuatan
otot, namun masih diperlukan suatu studi lanjutan untuk menentukan dosis vitamin
D, durasi pemberian dan cara administrasi obat yang optimal dalam meningkatkan
kekuatan otot dan memperbaiki keseimbangan tubuh. 29
Suatu studi analisis kohort retrospektif menggunakan basis data pasien dari
National Center Geriatrics and Gerontology di Jepang oleh Sadayuki dkk. ( 2009 )
menunjukkan bahwa pemberian vitamin D Alfakalsidol, suatu vitamin D anabolik,
pada kelompok pasien osteoporosis disertai massa otot rendah dibanding kelompok

355
jfj\
iMUp
PanduanPraktlkKIinis Geriatri
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia

yang tidak diberikan Alfakalsidol dapat memberikan manfaat yang baik untuk massa
otot. Pemberian Alfakalsidol dapat mempertahankan hilangnya massa otot sejalan
dengan bertambahnya usia, dan terbukti dapat meningkatkan Indeks Massa Otot
Rangka (Skeletal muscle index ).30
O’Donnel S. et al (2008) melakukan suatu tinjauan sistematik tentang manfaat dan
bahaya pemberian Alfakalsidol dan kalsitriol dalam menghindarkan jatuh dan kejadian
fraktur dimana dari penelitian tersebut didapatkan 51 penelitian metanalisis dari
1019 artikel. Alfakalsidol dan kalsitriol secara bermakna mengurangi risiko kejadian
fraktur non vertebra karena diduga memiliki efek pleiotropik selain kepada tulang,
yaitu efeknya kepada VDRyang terdapat di otot dimana kejadian fraktur non vertebra
berhubungan erat dengan kejadian jatuh. Diduga pengaruh kalsitriol / kalsidol terhadap
peningkatan kekuatan otot. 31
Morley dkk. (2010) yang tergabung dalam The Society for Sarkopenia, Cachexia,
and Wasting Disease di Amerika Serikat memberikan suatu rekomendasi tatalaksana
nutrisi dalam penatalaksanaan sarkopenia. Rekomendasi yang dianjurkan adalah
semua pasien usia lanjut dengan sarkopenia sebaiknya selalu diperiksakan kadar
vitamin D (25 ( OH ) vitamin D) danperlu diberikan suplementasi vitamin D yang sesuai
untuk meningkatkan kadar vitamin D diatas 100 nmol / L. Vitamin D yang diberikan
dapat berupa vitamin D2 maupun D3, dan dinyatakan dalam rekomendasi bahwa dosis
vitamin D sampai 50.000 1U per minggu aman diberikan tanpa efek samping yang
bermakna . Heaney dkk. merekomendasikan rumus " Rule of thumb" dalam menentukan
dosis suplementasi vitamin D yang diberikan, yaitu untuk setiap kenaikan 1 ng/ ml
( 2.5 nmol / L) serum 25 OH Vit D maka diperlukan 100 IU asupan vitamin D. Sebagai
contoh, pasien dengan kadar serum 25(OH) D 15 ng/ ml akan memerlukan 1500 IU /
hari untuk mencapai kadar sampai 30 ng/ ml. 30

TERAPI HORMONAL
Proses penuaan akan diikuti dengan penurunan kadar hormon-hormon esensial
pada tubuh terutama hormon pertumbuhan {growth hormone ) dan testosteron .
Kekurangan atau minimalnya hormon testosteron berpengaruh pada berkurangnya
massa dan kekuatan otot serta penurunan densitas tulang. Pada akhirnya akan
berdampak pada peningkatan risiko keterbatasan fungsional, disabilitas, fraktur dan
risiko jatuh. Menopause juga berhubungan dengan penurunan densitas tulang dan
penurunan kekuatan otot. 30
• Growth hormone (GH) menstimulasi pertumbuhan pada fase awal kehidupan
dan ini dibutuhkan untuk pemeliharaan otot dan tulang pada masa dewasa.

356
Sarkopenia

Meskipun seseorang memiliki pola makan dan latihan yang baik, tanpa adanya
kadar hormon pertumbuhan yang adekuat akan sulit untuk mempertahankan
kekuatan otot . Pada orang usia lanjut terjadi ketidakseimbangan sekresi hormon
pertumbuhan. Berbagai penelitian yang melibatkan percobaan dengan terapi
pengganti hormon melaporkan insidensi berbagai efek samping contohnya
retensi cairan, ginekomastia, dan hipotensi ortostatik. Pada penelitian pada tikus
yang dilakukan oleh Briosche (2013), pemberian GH dengan dosis rendah dapat
meningkatkan lean body mass dan meningkatkan sintesis protein otot. Namun
studi-studi mengenai suplemantasi growth hormone memberikan hasil kurang baik,
bahkan GH meningkatkan mortalitas pada penderita yang mengalami sakit berat
dengan malnutrisi. Efek samping yang didapatkan antara lain artralgia, edema, efek
samping kardiovaskular, dan resistensi insulin membatasi penggunaan hormon
ini. GH juga mempunyai efek karsinogenik.30
• Hormon testosteron : pemberian hormon ini tidak dianjurkan sebagai terapi
dari sarkopenia dikarenakan efek samping yang besar yaitu peningkatan kadar
Prostat Specific Antigen (PSA), hematokrit dan risiko kardiovaskular dibandingkan
dengan bukti-bukti yang lemah untuk peningkatan performa fisik. Studi lain untuk
pemberian DHEA juga melaporkan tidak adanya perubahan dari kekuatan otot.
• Estrogen dan tibolone: pada penelitian mengenaikekuatan otot dan komposisi
tubuh, kedua hormon ini dapat meningkatkan kekuatan otot, tapi hanya tibolone
yang dapat meningkatkan lean body mass dan menurunkan massa lemak total.
Tibolone adalah steroid sintetis yang mempunyai efek estrogenik, androgenik
dan progestogenik.

MIOSTATIN
Miostatin baru-baru ini ditemukan sebagai inhibitor alami terhadap pertumbuhan
otot, dan adanya mutasi pada gen miostatin ini mengakibatkan hipertrofi otot.
Antagonis miostatin dapat meningkatkan regenerasi jaringan otot pada mencit dengan
meningkatkan proliferasi dari sel satelit. Sel satelit ini sangat penting untuk regenerasi
sel otot. Terapi dengan miostatin mungkin dapat digunakan pada sarkopenia di masa
yang akan datang.

ANGIOTENSIN II CONVERTING ENZYME INHIBITORS ( ACE INHIBITORS)


Penelitian yang ada menunjukkan bahwa ACE inhibitors dapat mencegah terjadinya
sarkopenia. Aktivasi sistem renin -angiotensin-aldosteron mungkin terlibat dalam
proses sarkopenia. Angiotensin II dapat menyebabkan atrofi otot, mekanisme stres

357
fr>
( PanduanPraktikKliais Geriatri
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakil Dalam Indonesia

oksidatif , metabolik dan aktivasi alur inflamasi. ACE inhibitors ini menurunkan kadar
Angiotensin II pada otot polos di vaskular. Angiotensin II berperan dalam sarkopenia
melalui jalur pembentukan sitokin proinflamasi. ACE inhibitors juga berperan dalam
memperbaiki toleransi olahraga melalu komposisi rantai panjang dari miosin pada
otot rangka . Polimorfisme dari gen ACE juga mempunyai efek anabolik dan efisiensi
muskular setelah olahraga.1

INHIBITOR SITOKIN
Inhibitor sitokin seperti talidomid dapat meningkatkan berat badan dan
menimbulkan efek anabolik pada pasien AIDS. TNF a menyebabkan atrofi otot secara
in vitro. Antibodi anti TNF a yang biasa diberikan sebagai terapi pada pasien artritis
reumatoid dapat menjadi terapi alternatif pada sarkopenia. Akan tetapi sampai saat
ini belum ada penelitian pada penderita sarkopenia, dan juga mengingat keterbatasan
dana dan efek samping dari obat ini. Dari data - data epidemiologi didapatkan bahwa
lemak ikan mempunyai efek anti inflamasi yaitu omega-3, dan zat ini mungkin dapat
mencegah sarkopenia .1

OBAT- OBAT LAIN


Obat-obatan lain yang masih dalam tahap penelitian, misalnya:
• Agonis p. Terdapat beberapa penelitian baik pada hewan maupun manusia yang
menyelidiki efek agonis p pada otot rangka. Carter dan Lynch (1994) meneliti efek
anabolik dari salbutamol atau klenbuterol dosis rendah pada tikus berusia tua,
didapatkan hasil bahwa pemberian subkutan salbutamol dosis 1.03 mg / kg atau
klenbuterol dosis 600 mcg/ kg selama 3 minggu dapat meningkatkan massa otot
sebanyak 19% dengan salbutamol dan 25% dengan klenbuterol. Pada penelitian -
penelitian selanjutnya dengan generasi agonis p yang lebih baru (formoterol
dan salmeterol) , Ryall ( 2006) menemukan bahwa formoterol dan salmeterol
dapat memperlihatkan efek anabolik yang signifikan pada otot rangka bahkan
dengan dosis yang sangat kecil dibandingkan dengan generasi agonis p yang lebih
tua . Beberapa konsekuensi yang paling serius dari pemberian kronik agonis p
berhubungan dengan respon sistemik aktivasi adrenoseptor - p. Penelitian saat
ini berfokus pada penemuan metode baru untuk pemberian obat sehingga dapat
menghindariefek samping sistemik yang tidak diinginkan, 33
• Urokortin II , peptida ini merangsang pelepasan ACTH ( adrenocoticotropic hormone)
dari kelenjar pituitary. Urokortin II intravena dapat mencegah atrofi otot yang
disebabkan pembalut gips dalam salah satu tatalaksana tulang fraktur atau obat-

358
Sarkopenia 0
( ;

obatan tertentu . Tapi penggunaannya untuk membangun massa otot pada manusia
belum diteliti dan tidak direkomendasikan . 34
• Bimagrumab , yang merupakan suatu antibodi monoklonal . Bimagrumab
merangsang pertumbuhan otot dengan mengikat reseptor pada sel - sel otot yang
normalnya mengikat miostatin, yang menghambat pertumbuhan otot . Hasil
penelitian menunjukkan bahwa pemberian Brimagumab dosis tunggal setelah
pembukaan gips pada 24 pasien yang mengalami imobilisasi selama 2 minggu,
setelah 12 minggu didapatkan volume otot paha kembali normal dalam waktu 4
minggu dibandingkan pasien yang hanya mendapatkan placebo . 35
• SARM ( Selective Androgen Receptor Molecules ) , yang saat ini sedang diteliti untuk
mengetahui senyawa androgenik yang memiliki efek spesifik pada otot tapi dengan
efek samping yang minimal . Ostarine adalah salah satu SARM yang meningkatkan
massa otot dan performa fisik pada pasien usia lanjut. 36

REFERENSI
1. Cesari M, Ferrini A, Zamboni V, Pahor M. Sarcopenia: Current Clinical and Research Issues. The
Open Geriatric Medicine Journal. 2008;1 : 14-23.
2. Cruz Jentoft Aj, Baeyens Jp, Bauer Jm, CederhoImT, Landi F, Martin Fc, etal. Sarcopenia: European
-

consensus on definition and diagnosis. Report of the European Working Group on Sarcopenia in
Older People. Age and Ageing 2010. 2010:39: 412-23.
3. Nakasato, Yuri R „ Carnes, Bruce A. Myopathy, Polymyalgia Rheumatica, and Temporal Arteritis
in hazzard ' s geriatric medicine and gerontology Sixth Edition. Him 1475.2009. Me Graw Hill
4. Rom O, Kaisari S, Aizenbud D, Reznick AZ. Lifestyle and Sarcopenia—Etiology, Prevention, and
Treatment . Rambam Maimonides Medical Journal. 2012:3: 1 - 12.
5. Chen L.K, Liu L „ Woo Jean, Assantachai P, Auyeung T, Bahyah K .S, Sarcopenia in Asia: Consensus
Report of the Asian Working Group for Sarcopenia JAMDA 15 ( 2014) 95el 01
6. Setiati S. Geriatric Medicine, Sarkopenia, Frailty, dan Kualitas Hidup Pasien Usia Lanjut:Tantangan
Masa Depan Pendidikan, Penelitian dan Pelayanan Kedokteran di Indonesia. eJKI. 2013: 1 No
3:236- 45.
7. . .
Rosenberg I Sarcopenia: Origins and Clinical Relevance. J Nutr 1997;127:990S- 1 S.
8 . Bergera MJ, Doherty TJ. Sarcopenia: Prevalence, Mechanisms, and Functional Consequences .
Interdiscipl Top Gerontol Basel, Karger,. 2010:37:94-114.
9. Visser M. Towards a definition of sarcopenia -resulds from epidemiologic studies The Journal of
Nutrition, Health 8, Aging. 2009:13 No 8:713- 16.
10. Janssen I, Shepard D, Katzmarzyk P, Roubenoff R. The Healthcare Costs of Sarcopenia in the
United States. JAGS. 2004;52:80-5.
11. Data tables: results from USDA ' s 1996 Continuing Survey of Food Intakes by Individuals and
1996 Diet and Health Knowledge Survey. Online ARS Food Surveys Research: USDA Agricultural
Research Service. 1996.
12. Vellas BJ, Hung WC, Romero LJ. Changes in nutritional status and patterns of morbidity among
free-living elderly persons: A lOyear longitudinal study . . Nutrition 1997: 13:515-9.
13. Wolfe RR , Miller SL, Miller KB. Optimal protein intake in the elderly . Clin Nutr 2008:27:675-84.

359
M PanduanPraktik Minis Geriatri
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakif Dalam Indonesia

.
14. Wolfe RR The underappreciated role of muscle in health and disease. Am J Clin Nutr 2006:84:475-
82.
15. Mithal A, Bonjour JP, Boonen S, Burckhardt P, Degens H, Fuleihan GEH, et al. Impact of nutrition
on muscle mass, strength, and performance in older adults. Osteoporos Int 2013;24:1555-66.
16. Paddon- Jones D, Rasmussen BB. Dietary protein recommendations and the prevention of
.
sarcopenia Curr Opin Clin Nutr Metab Care 2009:12:86-90.
17. Stookey JD AL, Popkin BM. . Do protein and energy intakes explain long-term changes in body
composition ? . J Nutr Health Aging. 2005:9:5- 17.
.
18. Houston DK, Nicklas BJ, Ding J, HarrisTB, Tylavsky FA, Anne B Newman, etal Dietary protein intake
is associated with lean mass change in older, community-dwelling adults: the Health, Aging, and
Body Composition ( Health ABC) Study. Am J Clin Nutr 2008. 2008:87:150-5.
19. Schurch MA, Rizzoli R, Slosman D, Vadas L, Vergnaud P, Bonjour J. Protein supplements increase
serum insulinlike growth factor-1 levels and attenuate proximal femur bone loss in patients with
recent hip fracture. A randomized, double-blind, placebo-controlled trial. . Ann Intern Med
1998:128:801-9.
20. Catnpbell WW, TrappeTA, Wolfe RR, Evans WJ. The Recommended Dietary Allowance for Protein
May Not Be Adequate for Older People to Maintain Rangka Muscle. Journal of Gerontology.
2001;56A ( 6 ) :M373-80.
21. Paddon-Jones D, Rasmussen BB. Dietary protein recommendations and the prevention of
sarcopenia: Protein, amino acid metabolism and therapy. Curr Opin Clin Nutr Metab Care.
2009: 12 ( 1 ) :86-90.
22. Gaffney-Stomberg E, Insogna KL, Rodriguez NR, Kerstetter JE. Increasing Dietary Protein
Requirements in Elderly People for Optimal Muscle and Bone Health. J American Geriatrics
Society. 2009:57:1073-9.
23. Arnal M-A, Mosoni L, Boirie Y, Houlier M-L, Morin L, Verdier E, et al. Protein pulse feeding improves
protein retention in elderly women. Am J Clin Nutr 1999. 1999:69:1202-8.
24. Wilson GJ, Wilson JM, Manninen AH. Nutrition & Metabolism Review Effects of beta-hydroxy-beta-
methylbutyrate ( HMB ) on exercise performance and body composition across varying levels of
age, sex,and training experience: A review. Nutrition & Metabolism 2008:5.
25. VisserM, Deeg DJH, Lips P. Low Vitamin D and High Parathyroid Hormone Levels as Determinants of
Loss of Muscle Strength and Muscle Mass (Sarcopenia ) : The Longitudinal Aging Study Amsterdam.
The Journal of Clinical Endocrinology & Metabolism 88 ( 12) :5766-5772. 2003:88 ( 12) :5766-72.
26. Mosekilde L. Vitamin D and the Elderly. Clinical Endocrinology ( 2005) 62,265-281
27. Bischoff -Ferrari HA, Dawson-Hughes B, Staehelin HB, Orav JE, Stuck AE, Theiler R , et al. Fall
prevention with supplemental and active forms of vitamin D: A meta-analysis of randomised
controlled trials . BMJ. 2009:339 :339. b3692
28. Latham N.K, Anderson C.S., Reid I.R . Effects of Vitamin D Supplementation on Strength, Physical
Performance, and Falls in Older Persons : A Systematic Review. J Am Geriatr Soc 2003:51 :1219-1226
29. Muir. W .S. Effect of Vitamin D Supplementation on Muscle Strength, Gait and Balance in Older
Adults : Systematic Review and Meta- Analysis. J Am Geriatr Soc . 2011:1-10
30. Morley JE. Vitamin D redux. J Am Med Dir Assoc 2009:10:591 -2.
31. Burton L, Sumukadas D. Optimal management of sarcopenia. Clinical Interventions in Aging
2010:5:217-28.
32. Brass EP, Sietsema KE. Considerations in the Development of Drugs to Treat Sarcopenia. J Am
Geriatric Soc . 2011:59 ( 3);530-535.
33. Ryall JG, Lynch GS. Role of (3- Adrenergic Signalling in Skeletal Muscle Wasting: Implications for
Sarcopenia: Sarcopenia - Age-related Muscle Wasting and Weakness. London: Springer; 2011.
p. 449- 471.

360
Sarkopenia

34. Blahd W . Sarcopenia with Aging. J Nutr Health Aging. Jul 2013;17 ( 7 ) :612-618.
35. Salva A. Experimental Treatment Shows Promise in Reversing Loss of Muscle Mass. The International
Conference on Frailty & Sarcopenia Research 201 4. Press Release.
36. Morley JE. Frailty: Pathy's Principles and Practice of Geriatric Medicine, 5 edition. Oxford: John
th

.
Wiley & Sons Ltd: 2012. p. 1387- 1393.

361
- Kr I

«
PENATALAKSANAAH
D lBIDAN6 HMD PENYAKIT DALAM

PANDUAN
PRAKTIK
KIINIS Ilfcl
GINJAL HIPERTENSI

Batu Saluran Kemih . 363


Gangguan Asam Basa 368
Alkalosis Metabolik 374
Alkalosis Respiratorik 376
Gangguan Ginjal Akut 379
Gangguan Kalium 388
Gangguan Kalsium , 394

Gangguan Natrium 40C


Hiponatremia 40C
Hipertensi 40?
Hipertrofi Prostat Benigna 411
Infeksi Saluran Kemih 41 ?
ISK pada Wanita Hamil 42:
ISK yang Disebabkan oleh Jamur 42;
Krisis Hipertensi 42
*
Penyakit Glomerular 43:
Penyakit Ginjal Kronik 43'

Penyakit Ginjal Polikistik 44


Sindrom Nefrotik 44
*

••
363

BATU SALURAN KEMIH

PENGERTIAN
Batu saluran kemih adalah batu di traktus urinarius mencakup ginjal, ureter, vesika
urinaria.1 Faktor resiko batu saluran kemih adalah:2
• Volume urin yang rendah
• Hiperkalsiuria, hiperoksalaturia
• Faktor diet: asupan cairan kurang, sering konsumsi soda, jus aple, jus jeruk bali,
asupan tinggi natrium klorida, rendah kalsium, tinggi protein
• Riwayat batu saluran kemih sebelumnya
• Renal tubular asidosis tipe 1

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis1
Nyeri / kolik ginjal dan saluran kemih, pinggang pegal, gejala infeksi saluran kemih,
hematuria, riwayat keluarga, faktor resiko batu ginjal penyakit gout

Pemeriksaan Fisik1
Nyeri ketok sudut kostovertebra, nyeri tekan perut bagian bawah, terdapat tanda
balotemen

Pemeriksaan Penunjang
1
• Laboratorium :hematuria
• Radiologi : bayangan radio opak pada foto BNO, filling defect pada IVP atau
pielogra antegrad / retrograd, gambaran batu di ginjal atau kandung kemih serta
hidronefrosis pada USG

DIAGNOSIS BANDING
• Nefrokalsinosis
• Lokasi batu: batu ginjal, batu ureter, batu vesika
• Jenis batu: asam urat, kalsium, struvite

PanduanPrakUk Minis
Pertiimpunan DoklerSpesialis Penyakit Dalam Indonesia
CO

Tabel 1. Beberapa Etiologi Batu Saluran Kemih2

Tip© batu dan Percentage dari Persentasl


Ratio LP Etfok>gl Diagnosis
penyebab semua batu kejadtan

Batu kalsium 75-85 2-3:1


Hiperkalsiuria 50-55 2:1 Herediter Normokalsemia, hiperk
idiopatik yang tidak dapat dijela

Hiperurikosuria 20 4:1 Diet Asam urat urin >750 mg


(wanita) , >800mg/24 ja
Hiperparatiroid S-5 3:10 Neoplasma Hiperkalsemia dengan
primer hormone paratiroid ya
tersupresi
Asidosis tubular Jarang 1 :1 Herediter / didapat Asidosis hiperkhloremik,
renal distal urin > 5,5
Tipe batu dan Persentase dart Persentasi Diagnosis
Ratio LP Etlologi
penyebab semua batu kejadian

Dehidrasi ? 1 :1 Pencemaan, ke- Anamnesis, kehilanga


biasaan pada saluran pencem
Sindrom Lesch- Jarang Hanya Herediter Menunjnnya tingkat h
nyhon pria tine-guanine phospbo
trans ferase
Batu cystine 1 1:1 Herediter .
Tipe batu meningkat
ekskresi cystine
Batu struvit 5 1:3 infeksi Tipe batu
ififS;
aill W
PanduanPraktlkKlinis
Dokter
Perhimpunan
Ginjal
J
Hlpertensi
Spesialis Penyakil Dalam Indonesia I

TATALAKSANA

Nonfarmakologis1
• Batu kalsium : kurangi asupan garam dan protein hewani
• Batu urat: diet rendah asam urat
• Minum banyak (2,5 L/ hari) bila fungsi ginjal masih baik

Farmakologis
• Antispasmodik bila ada kolik
• Antimikroba bila ada infeksi
• Batu kalsium : kalium sitrat
• Batu urat: allopurinol, pemberian oral bicarbonate or potassium citrate untuk
membuat pH urin menjadi basa.3

Bedah3
• -
Extracorporeal shock wave lithotripsy (untuk batu pada proksimal ginjal dan
urethra < 2 cm )
• Percutaneous lithotripsy ( untuk batu > 2 cm)
• Ureteroscopy ( untuk batu pada ginjal dan ureter)
• Pielotomi
• Nefrostomi

KOMPLIKASI
Abses, gagal ginjal, fistula saluran kemih, stenosis urethra , perforasi urethra,
urosepsis, renal loss karena obstruksi kronis.4

PROGNOSIS
Batu saluran kemih adalah penyakit seumur hidup. Rata- rata kekambuhan pada
pertama kali batu terbentuk adalah 50% dalam 5 tahun dan 80 % dalam 10 tahun.
Pasien yang mamiliki risiko tinggi kambuh adalah yang tidak patuh pada pengobatan,
tidak modifikasi gaya hidup, atau ada penyakit lain yang mendasari. Fragmen batu
yang tersisa pada pembedahan biasanya keluar dengan sendirinya jika ukuran batu
tersebut < 4 mm.4

366
Batu Saluran Kemih

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Divisi Ginjal-Hipertensi - Departemen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan U agian PenyakitJDal m , . ..
^
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Departemen Bedah Urologi
• RS non pendidikan : Bagian Urologi

REFERENSI
1. |B, AlwJJy
Infeksi saluran Kemih. In: Sudpy fa .S(etiyohcid M,iSeJifltl.S,. .Eluty
. ^.
ajar ilmu penyakit dalam 5(h ed Jakarta; Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian llmu Penyakit
.
Dalam FKUI 2009:2009 - 15 ': ; 1
' :
2. . .
Nephrolithiasis In: Fauci A, Kasper D, Longo D, Braunwald E, Hauser S Jameson J, Loscalzo J,

^^ ^^
Mne- ' uhit©d.§tdtes of Ar ertca; The McQrgw-
Hii!l of l Vl^ ^
' 1 e? '
18 h

panTe
3. . . .
Nephrolithiasis Dalam : Acosta, Jose. Sabiston Texfbdbk of Surg’eiy 18th Edition SdunderS 2608
4. . . .
Stoller ML Urinary stone disease In : Tanagho EA, McAninch JW, eds Smith' s General Urology,
. .
16th Edition New York, NY:McGraw-HIII 2004:256-291 .

367
368

GANGGUAN ASAM BASA

PENGERTIAN
Ganggguan asam basa terdiri dari dua yaitu asidosis dan alkalosis. Tingkat
keasaman arteri ( pH) dipertahankan 7.35- 7.45. Asidosis jika pH < 7.35 dan alkalosis
jika pH > 7.45. Pengontrolan tekanan C02 (PaC02) dilakukan oleh sistem saraf pusat
dan sistem respirasi, sedangkan pengaturan bikarbonat plasma diatur oleh ginjal
dengan mengekskresi dan meretensi asam atau basa. Regulasi pH darah digambarkan
dengan rumus Henderson- Hasselbalch:liZ

6.1 + log HCO3 1


pH
PaC02 x 0.0301

Tabel 1 . Pengaruh Gangguan Asam - Basa terhadap Sistem Organ3


Sistem organ pH < 7.2 pH> 7.6
Kontraktilitas, MAP, curah jantung, Vasokontriksi arteriol, aliran koroner
Kardiovaskular respon terhadap katekolamin Resiko aritmia
Resiko aritmia
Respirasi Hiperventilasi, kekuatan otot pernapasan Hipoventilasi
Metabolik Kalium Kalium, kalsium, magnesium, fosfat
Neurologik Perubahan mental status Perubahan mental status, kejang

Langkah -langkah mendiagnosis kelainan asam-basa1


1. Memeriksa analisa gas darah dan elektrolit
2 . Memeriksa akurasi hasil anallisa gas darah dengan membandingkan pH dengan
ion H
3. Memeriksa adakah kelainan asam basa (pH lebih tinggi atau lebih rendah dari
nilai normal)
4. Memeriksa apakah kelainan asam basa respiratorik atau metabolik
5. Bila terdapat asidosis metabolik menghitung anion gap (AG)
a. Untuk menentukan penyebab asidosis metabolik
b. Jika AG meningkat: mencerminkan adanya anion yang tak terukur dalam

Panduan Praktik Klinis


Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
Gangguan Asam Basa

plasma yang bersifat asam seperti asam bukan klorida yang mengandung bahan
inorganik (fosfat, sulfat) , bahan organik (asam keto, laktat, anion uremia),
bahan eksogen (salisilat, toksin lain)
c . Jika AG menurun: terdapat penurunan albumin atau peningkatan kation yang
tidak terukur (kalsium, magnesium , kalium, bromine , imunoglobulin)
d . Nilai normal 8 - 12 mEq / L
e . AG meningkat menunjukkan adanya penambahan asam lain sedangkan jika
AG normal menunjukkan bikarbonat yang kurang yang menjadi penyebab
asidosis metabolik
f . AG dihitung dengan rumus :
AG = Na - (C1+ HC03)

Jika terjadi peningkatan glukosa plasma, gunakan kadar natrium yang diukur,
jangan menggunakan kadar natrium terkoreksi .
6. Mengetahui 4 penyebab high AG yaitu ketoasidosis, asidosis asam laktat, gagal
ginjal , toksin
7 . Mengetahui 2 penyebab hiperkloremik atau asidosis nongap (hilangnya bikarbonat
dari saluran cerna, renal tubular acidosis/ RTA ).
8. Mengestimasi respon kompensasi (Tabel 2)

Tabel 2. Gangguan Asam Basa Sederhana 1


Gangguan Asam Basa Kompensasi yang dlharapkan
HCO, pH
Primer PaCOj
Asidosis metabolik Menurun < 7.35 Menurun 1,25 x AHCO3
Alkalosis metabolik Meningkat >7.45 Meningkat 0,75 x A HC03
Alkalosis respiratorik akut Menurun >7.45 Menurun 0,2 x A PaC 02
Alkalosis respiratorik 0,4 x A PaC 02
kronik
Asidosis respiratorik akut meningkat < 7.35 Meningkat 0,1 x A PaC02
Asidosis respiratorik kronik 0,4 x A PaC02

9 . Membandingkan AG dan HC03 '

a. Menentukan ada tidaknya gangguan lain selain asidosis metabolik beranion


gap yang mempengaruhi kadar bikarbonat
b . Menghitung A HC03 = 25 - HC03
c . Menghitung A AG = AG hitung - AG expected
d . AG expected = albumin x 2.5
e. Hasil perbandingan: A AG / A HC03

369
(f )
Wtjy
Panduan Praktlk Kllnis Ginial
J^ Hipertensi
^
Perhlmpunan Deleter Speslalis Penyakit Dalom Indonesia
WM 1 1

Tabel 2. Hasil Perbandfngan AG dan HCO/


A HCOs = AAG: asidosis metabolik ber-anion gap murni
A HC03 > AAG: asidosis metabolik bersamaan dengan asidosis non anion gap
A HC03 < AAG: asidosis metabolik bersamaan dengan alkalosis metabolik ( terutama bila
perbedaan >2)

10 . Membandingkan perubahan pada [Cl ] dengan perubahan pada [Na+]

ASIDOSIS METABOLIK
PENGERTIAN
Asidosis metabolik adalah adalah suatu keadaan patologis ditandai dengan penurunan
HC03 - 1 dan sebagai kompensasi terjadi penurunan PC02 . Asidosis metabolik dengan
anion hgap(AG) disebabkan oleh: ketoasidosis, laktat asidosis, gagal ginjal, intoksikasi
(metanol, salisilat, etilen glikol, propilen glikol, asetamonofen) . Sedangkan asidosis
metabolik tanpa AG disebabkan oleh diare atau asidosis tubulus renalis ( RTA) 3

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis
Riwayat penyakit yang diderita seperti penyakit ginjal (gagal ginjal akut), diabetes
lcohol, riwayat konsumsi alkohol, kelaparan, gangguan herediter, obat-obatan yang
rutin dikonsumsi , atau riwayat operasi sebelumnya. Pada kasus kronik pasien dapat
tidak menunjukkan gejala (asimptomatik) atau merasa lelah, letih dan nafsu makan
menurun . 1,3
• Kehilangan melalui saluran cerna: daire, fistula intestinal atau pankreas, drainase
• Renal Tubular Acidosis
• Gagal ginjal tahap awal
• Intoksikasi: asetazolamid, kolestiramin, toluen
• Dilusi karena infus bikarbonat terlalu cepat
• Post- hypocapnia respiratory alkalosis
• Renal wasting HC03
• Koreksi alkalosis respiratorik terlalu cepa
• Diversi ureter

370
Gangguan Asam Basa (fj®

Pemeriksaan Fisik
Penurunan tekanan darah, takikardia, hiperventilasi (pernapasan Kussmaul' s),
kulit dingin dan lembab, disritmia, dan syok. u

Pemeriksaan Penunjang3
• Analisis gas darah: pH < 7.35. PaC02 < 35 mmHg, bikarbonat < 22 mEq / L
• Elektrolit serum: mungkin terjadi peningkatan kalium.
• Osmolalitas darah, glukosa darah, ureum, kreatinin
• Keton urin
• Skrining toksin
• EKG : disritmia akibat hiperkalemia, memuncaknya gelombang T, penurunan
segmen ST, penurunan ukuran gelombang R, menurun atau tidak terdapatnya
gelombang P, dan melebarnya kompleks QRS.

DIAGNOSIS BANDING1
• AG normal: saluran cerna diare, fistula, ileal loop ), ginjal (renal tubular acidosis,
carbonic anhydrase inhibitor, post hypocapnia ).
• AG meningkat: eksogen (salisilat, metanol, paraldehid), endogen (laktat asidosis,
ketoasidosis, uremia)

TATALAKSANA3
• Terapi penyakit yang mendasarinya
• Terapi asidosis metabolik dengan AG
Jika keton urin negatif: hitung osmolalitas gap ( OG ). Jika OG > 10: curiga
intoksikasi.
Osmolalitas gap = osmolalitas terukur - osmolalitas perhitungan
Osmolalitas perhitungan = [ 2 x Na] + [glukosa /18] + [BUN / 2.8]
• Terapi asidosis metabolik tanpa AG
Terapi penyakit yang mendasarinya
Periksa AG urin (UAG)

UAG = [natrium urin + kalium urin] - klorida urin

Hasil UAG yang negatif menunjukkan adanya peningkatan ekskresi NH 4 + yang


merupakan respon ginjal terhadap asidosis, adanya gangguan pada saluran
cerna, RTA tipe II, intoksikasi, atau dilusi.

371
m
WTMP
Panduan Praktik Kllnls
Perhimpunan DokterSpestalis Penyakil Dalam Indonesia Ginial
'J ^ Hipertensi
11
r' W
*'*

Hasil UAG yang positif menunjukkan adanya kegagalan ginjal mensekresi NH +,


4
RTA tipe I atau IV, gagal ginjal tahap awal.
• Terapi asidosis metabolik berat ( pH < 7.2 )
Ketoasidosis diabetik: insulin dan cairan
Ketoasidosis berhubungan alkohol: saline dan glukosa
Gagal ginjal akut: dialisis
• Terapi bikarbonat dengan natrium bikarbonat2
Menghitung ruang bikarbonat / Ru - bikar:
Ru - bikar: [0.4 + (2.6: HC 03) ] x berat badan (kg)

Ru -bikar : [0.4 + ( 2.6 : HC03)] x berat badan ( kg)

Mengitung rerata Ru - bikar: [Ru - bikar dari hasil pemeriksaan HC 03] - [Ru -
bikar dari hasil HC 03 yang diharapkan]
Jumlah bikarbonat yang dibutuhkan (mEq) = Rerata Ru-bikar x berat badan x
[HC03 yang diharapkan - HC03 hasi pemeriksaan]
Diberikan melalui drip intravena dalam 1000 ml dekstrosa 5% dalam air ( D 5 W)

KOMPLIKASI
Aritmia, koma dan kematian jika asidosis metabolik berat3

PROGNOSIS
Perjalanan penyakit tergantung penyakit yang mendasarinya . Pada 543 pasien
yang menderita asidosis metabolik, 44 % di antaranya menderita asidosis laktat, 37 %
di antaranya menderita asidosis dengan AG yang tinggi, dan 19 % dengan asidosis
hiperkloremik. Angka kematian mencapai 45% pada kasus asidosis metabolik,
pasien dengan laktat asidosis 56%, asidosis dengan AG yang tinggi 39%, dan asidosis
hiperkloremik 29%34

ASIDOSIS RESPIRATORIK
PENGERTIAN
Peningkatan PaC02 dengan kompensasi peningkatan HC 03 Faktor resiko yaitu : 3
• Penyakit pernapasan akut: pneumonia,ARDS ( acute respiratory distress syndrome)
• Obat-obatan yang mendepresi susunan saraf pusat

372
Gangguan Asam Basa

• Trauma dinding dada: flail chest, pneumotoraks


• Trauma sistem saraf pusat: dapat menimbulkan depresi pernapasan
• Kerusakan otot pernapasan: hiperkalemia, polio, sindroma Guillain- Barre
• Asfiksia: obstruksi mekanik, anafilaksis

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis
Sesak nafas, asteriksis, gelisah menimbulkan letargi, perubahan status mental,
dan koma 3

Pemeriksaan Fisik
Peningkatan frekuensi jantung dan pernapasan, diaphoresis, dan sianosis. Dapat
ditemukan tanda -tanda peningkatan tekanan intracranial seperti edema papil, dilatasi
pembuluh darah konjungtiva dan wajah.

Pemeriksaan Penunjang3
• Analisa gas darah (AGD): PaC02 > 40 mmHG, pH < 7.40
• Elektrolit serum
• Rontgen paru: melihat adanya penyakit pernapasan yang mendasari
• Skrining obat

DIAGNOSIS BANDING
Dilihat dari beberapa faktor resiko yang dapat menyebkan terjadinya asidosis
respiratori 3

TATALAKSANA2 3
• Terapi penyakit yang mendasarinya
• Menaikkan frekuensi napas dan menurunkan C02
• Akut: Oksigen jika saturasi oksigen rendah, ventilator
• Kronik: oksigen, bronkodilator dan antibiotik sesuai indikasi, fisioterapi dada.

KOMPLIKASI
Gagal napas, syok3

373
PanduanPraktik minis Ginial
J Hipertensi
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakii Dalam Indonesia

PROGNOSIS
Perjalanan penyakit tergantung penyakit yang mendasarinya. Jika cepat diatasi
maka maka tidak ada efek jangka panjang. Asidosis respiratorik dapat terjadi secara
kronik bersamaan dengan penyakit paru atau gagal napas yang membutuhkan ventilasi
mekanik.3

ALKALOSIS METABOLIK

PENGERTIAN5
Peningkatan HC 03 dengan peningkatan PaC02 sebagai kompensasi . Penyebab
alkalosis metabolik yaitu :
• Saline responsive: kehilangan H + melalui muntah, penghisapan dari selang NGT,
adenoma villous, laksatif, cystic fibrosis; dari ginjal misalnya pemakaian diuretik
• Saline resistant: kelebihan mineralokortikoid, hipokalemia berat, hipokalsemia
atau hipoparatiroidisme, sindroma Bartter's, sindroma Gitelman’s

DIAGNOSIS

Anamnesis
Gejala klinis kelemahan otot, ketidakstabilan saraf otot, menurunnya refleks,
perubahan status mental seperti apatis, stupor. Riwayat penyakit sebelumnya dan
obat -obatan seperti diuretik tiazid. 1,3

Pemeriksaan Fisik
Konfusi, aritmia, peningkatan kepekaan neuromuskular, dapat ditemukan ileus
karena penurunan motilitas saluran pencernaan. 13

Pemeriksaan Penunjang13
• Analisa gas darah (AGD): pH > 7.40, bikarbonat > 26 mEq / L
• Klorida urin
• Elektrolit serum : umumnya dijumpai penurunan kalium dan klorida.
• EKG: melihat ada tidanya disritmia terutama pada kasus berat

374
Gangguan Asam Basa

f
Alkalosis Metabollk

Kiorlda urin < 20 Klorida urin >20

I
Saline responsive
I
Saline resistant

1 1 l 1
Kehilangan dari sal - Dluretlk Setelah hipokapnla. Hlperlensl Normal atau
uran cema : muntah. laksallf , cystic hfpotensl
dralnase NGT . fibrosis
adenoma vilus

• Hiperaldosteronlsme • Hlpokalemfa berat .


derajal 1. dluretlk.
• Hiperaldosteronlsme • .
slndroma Bartter's
derajat 2. slndroma Gltelman' s
• non-mlneralocorticold

.
^
Algorltme 1 Pend katan Alkalosis
Metabollk 3

DIAGNOSIS BANDING?
• Sensitif terhadap klorida (/ klorida urin < 10 mEq / LJ : saline responsive
- Kehilangan klorida dari urin: pemakaian diuretik, kistik fibrosis, post
hiperkapnia
Kehilangan klorida dan H+ dari saluran cerna: penghisapan selang NGT, muntah,
kelainan kongenital
• Resisten terhadap klorida (klorida urin > 10 mEq/ Ii): saline resistant
- Hipertensi: kelebihan mineralokortikoid: sindronuCus/i / n jisindrom Conn,
Normotensif atau hipotensi: hipokalemia berat, sindrom Barttler.
^
TATALAKSANA? 3
• Terapi penyakit yang mendasarinya
• Infus normal saline
• Kalium klorida (KG1) sesuai indikasi
• Antagonis reseptor histamin H 2. menurunkan produksi HC1 dan mencegah alkalosis
metabolik yang dapat terjadi akibat penghisapan dari NGT
• Inhibitor karbonik anhidrase: asetazolamid

375
PanAinrrakUk Minis Ginjal Hipertensi
Perhimpunan Dokler SpesiaBs Penyalot Dalam Indonesia J I

• Asam hidroklorida ( HC1) 0.1 N juga efektif, tetapi dapat menyebabkan hemolisis
dan harus diberikan melalui pembuluh darah sentral dan perlahan - lah

KOMPLIKASI
Aritmia jantung, gangguan elektrolik, koma

PROGNOSIS
Perjalanan penyakit tergantung penyakit yang mendasarinya. Angka kematian
pada pH darah 7.55 sebesar 45 %, sedangkan angka kematian pada pH darah lebih
dari 7, 65 yaitu 80 %. 3 S

ALKALOSIS RESPIRATORIK
PENGERTIAN
Penurunan PC 02 dengan penurunan HC03 sebagai kompensasi . Terjadi karena
peningkatan ventilasi alveolar. Penyebab terjadinya alkalosis respiratorik: 3
• Hipoksia: hiperventilasi pada pneumonia, edema pulmonal, penyakit paru restriktif
• Hiperventilasi primer : gangguan sistem saraf pusat, nyeri, cemas, obat (salisilat,
progesteron, metilxantin], kehamilan, sepsis, gagal hati .

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis
Gejala yang dikeluhkan: kepala terasa melayang, ansietsas parestesia, tetani ,
pingsan, dan kejang jika sudah berat. 3

Pemeriksaan Fisik
Ditemukan adanya peningkatan frekuensi dan kedalaman pernapasan3

Pemeriksaan Penunjang3
• Analisis gas darah (AGD) : PaC02 < 40 mmHG, pH > 7.40, Pa02 menurun
• Elektrolit serum
• Fosfat serum: penurunan
• EKG : disritmia

376
Gangguan Asam Basa

DIAGNOSIS BANDING
Dibedakan berdasarkan etiologinya

TATALAKSANA 3
• Terapi penyakit yang mendasarinya
• Memastikan apakah ansietas merupakan penyebabnya dan penurunan PaC02
• Jika gejala memberat: pasien perlu menghirup kembali C02 melalui masker oksigen
yang dihubungkan dengan reservoir C02 atau mengunakan sejenis kantong untuk
bernapas.
• Terapi oksigen jika hipoksia dalah faktor penyebabnya
• Sedatif dan tranquilizer jika disebabkan karena cemas
• Ventilasi mekanik

KOMPLIKASI
Aritmia jantung, gangguan elektrolik, koma

PROGNOSIS
Perjalanan penyakit tergantung penyakit yang mendasarinya. Angka kematian
27,9 % seiring dengan meningkatnya pH, mencapai 48,5 % jika pH > 7.60. Pasien
dengan alkalosis respiratori dan alkalosis metabolik mempunyai prognosis lebih
buruk (44.2 %]6

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Divisi Ginjal - Hipertensi - Departemen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam

UNIT YANG TERKAIT


• RS pendidikan : Unit Perawatan Intensif
• RS non pendidikan

REFERENSI
1. DuBose TD. Acidosis and alkalosis . In:Fauci A, Kasper D, Longo D, Braunwald E, Hauser S, Jameson
.
J, Loscalzo J, editors Harrison ' s principles of internal medicine. 18 ed. New York: McGraw-Hill
Medical Publishing Division; 2012.
2. Siregar P. Gangguan Keseimbangan Cairan dan Elektrolit. Dalam: Alwi I, Setiati S, Setiyohadi
B, Simadibrata M, Sudoyo AW. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi V. Jakarta: Interna
Publishing; 2009: Hal 189- 196.

377
B*gagB!Ginjal Hipertensi
3. . .
Seifter JL , Acid-base disorders In: Goldman L, Schafer Al, eds. Cecil Medicine 24th ed .
Philadelphia, Pa: Saunders Elsevier; 2011:chap 120.
4. .
Gunnerson K, Saul M, He S, et al Lactate vs. non-lactate metabolic acidosis: a retrospective
.
outcome evaluation of critically ill patients. Crit Care 2006; 10( 1 ) : R 22.
5. .
Galla J. Metabolic alkalosis JASN. 2000;11 ( 2):369-75.
6. .
Anderson LE, Henrich WL Alkalemia-associated morbidity and mortality in medical and surgical
.
patients South Med J. 1987:80(6):729-33.

378
379

GANGGUAN GINJAL AKUT

PENGERTIAN
Gangguan ginjal akut atau yang sebelumnya dikenal dengan gagal ginjal akut (GGA),
sekarang disebut jejas ginjal akut (acute kidney injury / AKI ). AKI merupakan kelainan
ginjal struktural dan fungsional dalam 48 jam yang diketahui melalui pemeriksaan
.
darah, urin, jaringan, atau radiologis ^ Kriteria diagnosis AKI menurut the International
Kidney Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO) sebagai berikut:
3

• peningkatan serum kreatinin (SCr) > 0,3 mg/ dL (> 26,5 pmol / L) dalam 48 jam; atau
• peningkatan SCr > 1, 5 x baseline, yang terjadi atau diasumsikan terjadi dalam
kurun waktu 7 hari sebelumnya; atau
• Volume urin < 0, 5 mL / kgBB / jam selama > 6 jam

3
Tabel 1. Stadium AKI Berdasarkan Derajat Keparahannya
Stadium Krtteria serum kreatinin (SCr) Krtteria urine output ( UO)
1 1.5 - 1,9 X baseline < 0,5 mL/kgBB/jam selama 6-12 jam
atau
0,3 mg / dL (> 26,5 pmol/L)
2 2 - 2,9 X baseline < 0,5 mL/kgBB/jam selama > 12 jam
3 3 X baseline < 0,3 mL/ kgBB / jam selama 24 jam
atau atau
t 4,0 mg/ dL (> 354 pmol/L) anuria selama 12 jam
atau
Inisiasi terapi penggantian ginjal (TPG)
atau
Pasien < 18 tahun dengan penurunan
eGFR < 35mL/menit per 1,73 m2
Keterangan :
eGFR = Estimated glomerular nitration rate (estimasi laju filtrasi glomerolus / LFG )

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis1
1. Suspek pre-renal azotemia: muntah, diare, poliuria akibat glikosuria, riwayat konsumsi
obat termasuk diuretik, nonsteroidal anti-inflammatory drugs ( NSAID), angiotensin
converting enzyme (ACE) inhibitors, dan angiotensin receptor blocker (ARB).

PanduanPraktikKIinis
Perhimpunan Dokfer Spesiolis Penyakit Dalam Indonesia
I( S PanduanPrakiik Minis
Pertiimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia Ginial
J Hioertensi

2. Kolik pinggang yang menjalar ke daerah genital > sugestif obstruksi ureter -
3. Seringkencing di malam hari (nokturia) dan gangguan berkemih lain ; dapat muncul
pada penyakit prostat
4. Riwayat penyakit prostat, batu ginjal, atau keganasan pelvis atau paraaorta ->
suspek post -renal

Pemeriksaan Fisik’
1. Hipotensi ortostatik, takikardi, tekanan vena jugularis menurun, turgor kulit
menurun, dan membran mukosa kering.
2 Perut kembung dan nyeri suprapubik -> pembesaran kandung kemih
.
3. AKI dengan purpura palpable, perdarahan paru, atau sinusitis > sugestif vaskulitis -
sistemik
4. Reaksi idiosinkrasi (demam, artralgia, rash kemerahan yang gatal) - suspek nefritis
interstitial alergi
^
5. Tanda iskemik pada ekstremitas bawah positif -> suspek rhabdomiolisis

Jejas ginjal akut

I 1
Pre-renal Intrinsik Post-renal

Hipovolemia
I t
Tubulus dan
I

-
Obstruksi saluran kandung
Cardiac output 4 interstitium kemih
Volume sirkulasi etektif 4,
• Obstruksi pelvo-ureteral
• Gagal jantung kongestif bilateral (atau obstruksi
• Gagal hati unilateral dari fungsi ginjal
Autoregulasi ginjal terganggu
soliter )
• NSAID
ii
• ACE-I / ARB
• Siklosporin • Glomerular • Vaskular
• Glomerulo • Vaskulitis
nefritis akut • Hipertensi maligna
• TTP -HUS

f i
Iskemi Sepsis / infeksi NEFROTOKSIN
• Eksogen: kontras, aminoglikosida,
cisplatin, amfoterisin B
Ket: TTP- HUS = thrombotic thrombocytopenic • Endogen: hemolisis, mieloma, kristal
purpura- hemolytic uremic syndrome intratubular, rhabdomiolisis

Gambar 1. Klasifikasi dan Etiologi Mayor AKI


'

380
Gangguan Ginjal Akut mm

Pemeriksaan Penunjang1
1. Laboratorium: darah perifer lengkap, urinalisis, sedimen urin, serum ureum,
kreatinin, asam urat, kreatin kinase , elektrolit, lactate dehydrogenase ( LDH ), blood
urea nitrogen [BUN], antinuclear antibodies (ANAs), antineutrophilic cytoplasmic
antibodies (ANCAs), antiglomerular basement membrane antibodies (AGBM), dan
cryoglobulins.
2 . Radiologis: USG ginjal dan traktus urinarius, CT scan, pielografi antegrad atau
retrograd, MRI
3. Biopsi ginjal

Tabel 2. Kriteria diagnosis contrast -induced nephropathy


(CIN )4
Foktor rltlko Skoring Integer
Hipotensi 0
5
Intra-aortic balloon pump (IABP ) 5
Gagal jantung kongestifb 5
Usia > 75 tahun 4 Total Rlslko
Rlslko CIN
Anemiac 3 Skoring Dlallsls

>
25 7,5% 0,04%
Diabetes 3
6- 10 14% 0, 12%

1 11 - 16 26, 1 % 1,09%
Volume zat kontras
tiap 100 cc 3 16 57,3% 12, 6%
SCr > 1,5 mg/dL 4
atau
eGFR < 60 mL/menit/ 1,73 m2 2 bila 40-60 J
4 bila 20- 40
6 bila <20

Keterangan :
aTekanan sistolik <80 mmHg selama sedikitnya 1 jam dan memerlukan terapi inotropik atau IABP dalam 24 jam periprosedural
cGagal jantung kongestif menurut klasifikasi New York Heart Association ( NYHA ) kelas lll / IV dan / atau riwayat edema paru
cHt <39% pada laki-laki, <36% pada perempuan

AKI PASCA BEDAH JANTUNG


Selain CIN, terdapat risiko AKI pada pasien pascabedah jantung yang dikenal dengan
skoring AKICS ( Acute Kidney Injury prediction following elective cardiac surgery ), skoring
Cleveland dan skoring Toronto seperti tercantum pada Tabel 3 dan Tabel 4.

381
PanduanPrakUkKlinis Ginial
J Hioertensi
Perhimpunan DokJer Spesialis Penyakit Dalam Indonesia

Tabel 3. Skoring AKICS 2007s


Faktor Rlslko Skor
Operasi kombinasi 3,7
CHFNYHA > 2 3,2
Cr pre-op > 1 ,2 mg /dL 3,1
Cardiac output rendah 2,5
Usia > 65 tahun 2,3
Waktu CPB > 120 menit 1,8
Glukosa darah kapiler pre-op > 140 mg /dL 1,7
CVP > 14 cmH20 1 ,7
Skor minimal = 0, maksimal = 20
Keterangan : CPB = cardiopulmonary bypass ; Cr = kreatinin; CVP = central venous
pressure ;
Pre-op = pre- operative ; CHF = congestive heart failure ( gagal jantung kongestif )

Tabel 4. Skoring Cleveland dan Toronto (2008)*


Faktor Rlilko Nllal Cleveland Nllal Toronto
Jenis kelamin perempuan 1 0
Riwayat CFIF 1 0
LVEF < 35% 1
LVEF < 40%
IABP pre-op 2 1
PPOK yang diterapi dengan bronkodilator 1 0
Diabetes dalam terapi
• insulin 1
• obat lainnya 1
Riwayat bedah jantung sebelumnya I
Tipe pembedahan
• Katup 1 I
• Kombinasi ( CABG + katup) 2 1
• Lainnya 2 I
Fungsi ginjal pre-op:
SCr (mg / dL) 1,2 - 2,09 2
> 2, 1 5
eGFR (mL/menit ) 40 - 60
< 40 2
Status operasi Emergensi 1
Elektif 1
Total range skor 0 - 17 0-8
Keterangan : LVEF = left ventricle ejection fraction

382
Gangguan Ginjal Akut

DIAGNOSIS BANDING

Tabel 5. Penyebab AKI'


Pemerlksaan
Eflologl ManifestasI Kllnls Keterangan
Penunjang
Pre-renal azotemia Riwayat intake cairan sulit Ratio BUN: kreatinin FeNa rendah, BJ
atau kehilangan cairan >20, FeNa <1%, dan osmolalitas
( muntah, diare, perdarahan, gambaran hialin ( +) urin tinggi, mungkin
sekuestrasi ke dalam ruang pada sedimen urin, BJ tidak terlihat
ekstravaskular), gagal urin >1.018, osmolalitas pada penyakit
jantung, NSAID / ACE-I/ ARB, urin >500 mOsm/kg ginjal kronis.
adanya bukti kekurangan Penggunaan
cairan ( takikardi, hipotensi diuretik, proporsi
absolut /postural, tekanan peningkatan
vena jugularis rendah, ratio BUN:
membran mukosa kering), kreatinin dapat
Volume sirkulasi efektif menjadi indikasi
menurun ( gagal jantung, perdarahan
sirosis hepatis ) saluran cerna atau
meningkatnya
katabolisme.
Respons
untuk restorasi
hemodinamik
menjadi faktor
diagnostik
terpenting.
AKI-terkait sepsis Sepsis, sindrom sepsis, atau Kultur (+) dari cairan FeNa mungkin
syok sepsis. Hipotensi nyata tubuh, sedimen rendah (< 1%),
tidak selalu terlihat pada AKI urin sering terdapat khususnya di awal
ringan atau sedang bentuk granular, sel onset, namun
epitel tubular biasanya > 1 %
dan osmolalitas
<500mOsm /kg
AKI-terkait iskemik Hipotensi sistemik, kadang Sedimen urin sering
disertai sepsis dan/ atau terdapat bentuk
faktor risiko terbatasnya granular, sel epitel
fungsi ginjal seperti usia tua, tubular, FeNa >1%
PGK
AKI- terkait nefrotoksln : faktor endogen
Rhabdomiolisis Trauma crush injury , kejang, Mioglobin , keratin FeNa mungkin
imobilisasi kinase , gross rendah ( < 1 %)
hematuria
Hemolisis Riwayat reaksi tranfusi pada Anemia, LDH , FeNa mungkin
transfusi darah sebelumnya haptoglobin rendah rendah (< 1 %) ;
evaluasi untuk
reaksi transfusi
Lisis tumor Riwayat kemoterapi Hiperfosfatemia,
hipokalsemia,
hiperurisemia
Mieloma multipel Usia >60 tahun, gejala Anion gap rendah, Biopsi sumsum
konstitusional, nyeri tulang monoclonal spike tulang atau
pada urin atau serum ginjal dapat
elektroforesis memberikan
diagnosis pasti

383
m
^ '
PanduanPraktikKlims Ginial Hipertensi
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakit Dalam Indonesia J

Etlologl
Pemerlksaan
Manifestos! Kilnls Keterangan
Penunjang
Nefropati kontras Paparan terhadap kontras Serum kreatinin dalam FeNa mungkin
yang teriodinasi 1 -2 hari, puncaknya rendah (<1%)
pada hari 3-5, pulih
dalam 7 hari
AKI- terkalt nefrotoksln : faktor eksogen
Penyakit tubular Antibiotik aminoglikosida, Sedimen urin sering
cisplatin, tenofovir, terdapat bentuk
zoledronate granular, sel epitel
tubular, FeNa > 1 %
Nefritis interstitial Paparan obat, dapat terjadi Eosinophilia, piuria Eosinophil
demam, rash , artralgia steril, seringkali non- urin memiliki
oligouria keakuratan
diagnostik
terbatas, tanda
sistemik reaksi
obat seringkali ( ) ,
-

biopsi ginjal dapat


membantu
Etlologl AKI Intrinslk lalnnya
Glomerulonefritis / Bervariasi, termasuk skin rash , Antibodi ANA, ANCA, Biopsi ginjal
vaskulitis artralgia, sinusitis ( penyakit AGBM, serologis mungkin
AGBM) , perdarahan paru, hepatitis, krioglobulin, diperlukan
infeksi kulit atau faringitis kultur darah,level
( poststreptokokus ) komplemen , titer ASO
Nefritis interstitial Etiologi tidak terkait Eosinophilia, piuria Eosinophil
obat, termasuk sindrom steril, seringkali non- urin memiliki
tubulointerstitial-nefritis- oligouria keakuratan
uveitis ( TINU ) , infeksi diagnostik
Legionella terbatas, biopsi
ginjal mungkin
diperlukan
TTP / HUS Infeksi saluran cerna atau Schistosit pada Biopsi ginjal
penggunaan inhibitor apusan darah mungkin
kalsineurin tepi, anemia, LDH , diperlukan
trombositopenia
Penyakit ateroemboli Riwayat manipulasi aorta Hipokomplement- Biopsi kulit dan
atau pembuluh darah emia, eosinofiluria ginjal diperlukan
besar lainnya; spontan ( bervariasi) , protein- untuk diagnosis
atau setelah antikoagulasi; uria bervariasi
plak retina, palpable
purpura, livedo reticularis ,
perdarahan saluran cerna
AKI post-renal Riwayat batu ginjal, penyakit Tidak ada temuan Radiologis dengan
prostat, obstruksi kateter urin, spesiflk selain AKI; CT atau USG
neoplasma retroperitoneal hematuria atau piuria
atau pelvis
Keterangan
AGBM = anti - glomerular basement membrane , FeNa = fractional excretion of sodium , TTP / HUS = thrombotic
thrombocytopenic purpura / hemolytic uremic syndrome, ANA = antinuclear antibody , ANCA = antineutrophilic
cytoplasmic antibody

384
Gangguan Ginjal Akut ((fj;

TATALAKSANA
Tabel 6. Manajemen Tatalaksana AKI Berdasarkan Stadium3
Rlslko tlnggl Stadium 1 Stadium 2 Stadium 3
Hentikan semua agen nefrotoksik bila memungkinkan
Pastikan status volume dan tekanan perfusi
Pertimbangkan pemantauan hemodinamik fungsional
Pantau SCrdan UO
Hindari hiperglikemia
Pertimbangkan prosedur alternatif dari radiokontras
Lakukan pemeriksaan diagnostik non-invasif
Tatalaksana Pertimbangkan pemeriksaan diagnostik invasif
Periksa bila ada perubahan dosis obat
Pertimbangkan terapi penggantian ginjal
Pertimbangkan ICU
Hindari kateter
subklavia bila
memungkinkan

.
1 Asupan nutrisi3
• Pemberian nutrisi enteral lebih disukai
• Target total asupan kalori per hari: 20 - 30 kkal / kgBB pada semua stadium
• Hindari restriksi protein
• Kebutuhan protein per hari:
- AKI non -katabolik tanpa dialisis: 0,8 - 1 g / kgBB
AKI dalam terapi penggantian ginjal (TPG ) : 1 - 1, 5 g/ kgBB
AKI hiperkatabolik dan dengan TPG kontinu: s / d maksimal 1, 7 g / kgBB
2. Asupan cairan dan terapi farmakologis3
• Tentukan status hidrasi pasien, bila tidak ada syok hemoragik a infus kristaloid
isotonik
• Pada pasien dengan syok vasomotor a berikan vasopressor dengan cairan IV
• Pada seting perioperatif atau syok sepsis, tatalaksana gangguan hemodinamik
dan oksigenasi sesuai protokol
• Pada pasien sakit berat berikan terapi insulin dengan target glukosa plasma
110-149 mg/ dL
• Diuretik hanya diberikan pada keadaan volume overload
• Tidak dianjurkan : dopamin dosis rendah, atrial natriuretic peptide (ANP) ,
recombinant human ( rh ) IGF-1
3. Intervensi dialisis13
• Indikasi dialisis:
Terapi yang sudah diberikan tidak mampu mengontrol volume overload,
hiperkalemia, asidosis, ingesti zat toksik

385
# “
J JSS?JKl Ginjal Hipertensi
Komplikasi uremia berat: asterixis, efusi perikardial, ensefalopati, uremic
bleeding
• Inisiasi dialisis secepatnya pada keadaan gangguan cairan , elektrolit,
keseimbangan asam-basa yang mengancam nyawa
• Pertimbangkan kondisi klinis lain yang dapat dimodifikasi melalui dialisis
(tidak hanya ratio BUN : kreatinin saja]
• Gangguan ginjal akut stadium III
• Diskontinu dialisis bila tidak lagi dibutuhkan (fungsi intrinsik ginjal telah
pulih) atau jika dialisis tidak lagi memenuhi tujuan terapi

Anjuran pada Keadaan Khusus


-
1. CW / contrast induced AK\ (CI -AKI) 3
• Klasifikasikan stadium AKI setelah administrasi zat kontras teriodinasi intra-
vaskular dan evaluasi penyebab lain CI -AKI
-
• Menilai risiko CI AKI, skrining gangguan fungsi ginjal pada semua pasien
yang akan menjalani prosedur yang membutuhkan administrasi zat kontras
intravaskular
• Pada pasien dengan risiko tinggi CI -AKI :
Pertimbangkan metode pencitraan lain
-
Gunakan dosis zat kontras terendah pada pasien dengan risiko tinggi CI AKI
Gunakan zat kontras dengan osmolaritas rendah atau isoosmolar
Hidrasi dengan pilihan cairan infus: NaCl 0,9 % atau NaHC03 isotonik
N -acetylcysteine diberikan per oral bersama dengan infus kristaloid isotonik
• Tidak dianjurkan: Teofilin, fenoldopam, hemodialisis profilaksis, hemofiltrasi
2. AKICS
• Pencegahan dapat dilakukan dengan memodifikasi faktor potensial yang dapat
menyebabkan AKICS antara lain anemia pre-op, transfusi darah perioperatif,
dan re -eksplorasi pembedahan.7

KOMPLIKASI
Gangguan asam basa dan elektrolit, uremia, infeksi, perdarahan, komplikasi pada
jantung, malnutrisi.1

PROGNOSIS
Tingkat mortalitas AKI yang berat hampir 50%, tergantung tipe AKI dan penyakit
komorbid pasien . Pada studi Madrid, pasien dengan nekrosis tubular akut memiliki

386
Gangguan Ginjal Akut Q
angka mortalitas 60%, sedangkan pada penyakit pre-renal atau post-renal 35 %. Sebagian
besar kematian bukan disebabkan AKI itu sendiri, melainkan oleh penyakit penyerta dan
komplikasi. Pada data Madrid, 60% kematian disebabkan oleh penyakit primer dan 40%
lainnya disebabkan oleh gagal kardiopulmonal atau infeksi. Sekitar 50% orang pulih
sepenuhnya dari nekrosis tubular akut, 40% tidak pulih dengan sempurna, hanya 5 - 10%
yang memerlukan hemodialisis.8

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Divisi Ginjal- Hipertensi - Departemen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam
• Hemodialisis ; Subspesialis Ginjal - Hipertensi dan internist dengan

sertifikasi hemodialisis

UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Unit Hemodialisis, ICU / Medical High Care , Departemen
Bedah Urologi
• RS non pendidikan : Unit hemodialisis, ICU

REFERENSI
1. .
Bonventre J, WaikarS. Acute kidney injury In: Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson
JL, Loscalzo J. Harrison' s Principles of Internal Medicine. 18m Edition. New York: McGraw-Hill; 2012.
halaman
2. Molitoris B. Acute kidney injury. In: Goldman, Ausiello. Cecil medicine. 23rd Edition. Philadelphia:
Saunders, Elsevier; 2008. halaman
3. The International Kidney Disease: Improving Global Outcomes ( KDIGO ) . KDIGO clinical practice
guideline for acute kidney injury. Kidney International Supplements ( 2012) 2, Diunduh dari http:/ /
_
www.kdigo.org / clinical practice_guidelines /pdf /KDIGO%20AKI%20 Guideline.pdf pada tanggal
16 Mei 2012.
4. Mehran R, Aymong E, Nikolsky E, et al. A simple risk score for prediction of contrast-induced
.
nephropathy after percutaneous coronary intervention. J Am Coll Cardiol 2004; 44:1393-9.
5. Palomba H, Castro I, Neto et al. Acute kidney injury prediction following elective cardiac
ALC,
surgery: AKICS Score. Kidney International. 2007:72:624-31.
6. Candela-Toha A, Elias-Martin E, Abraira V, et al. Predicting acute renal failure after cardiac surgery
external validation of two new clinical scores. Clin J Am Soc Nephrol. 2008:3:1260-5.
7. Karkouti K, Wijeysundera D, Yau T, et al. Acute kidney injury after cardiac surgery: focus on
modifiable risk factors. Circulation 2009:119:495-502.
8. Liano F, Junco E, Pascual J, Madero R , Verde E. The spectrum of acute renal failure in the
intensive care unit compared with that seen in other settings. The Madrid Acute Renal Failure
Study Group. Kidney IntSuppI 1998; 66:S 16-S 24.

387
388

GANGGUAN KALIUM

PENGERTIAN
Gangguan kalium ada 2 yaitu hipokalemia dan hiperkalemia. Nilai normal kalium
plasma yaitu 3.5 - 5 meq / L . Hipokalemia yaitu kadar kalium plasma < 3.5 meqL / L, dan
hiperkalemia jika kadar kalium plasma > 5 meq / L . Kalium adalah kation utama dalam
intraselular dan berperan penting dalam metabolism sel . Kalium berfungsi dalam
sintesis protein, kontraksi otot, konduksi saraf , pengeluaran hormone, transport
cairan, perkembangan janin. Ginjal merupakan pengatur utama keseimbangan kalium
dengan mengatur jumlah yang diekskresikan dalam urin . Penyebab dari hipokalemia
dan hiperkalemia pada tabel 1 . i
Tabel 1. Penyebab Terjadinya Hipokalemia dan Hiperkalemia
Hipokalemia Hiperkalemia
Pengeluaran kalium melalui ginjal: Keluarnya kalium dari intrasel ke ekstrasel:
• ketoasidosis diabetik ( KAD) • asidosis metabolik ( bukan karena asidosis organik
• renal tubular acidosis ( RTA [ proximal RTA ( type pada ketoasidosis, asidosis laktat )
llj and some distal RTAs ( type ! ] ] • defisiensi insulin
• diuretik • katabolisme jaringan meningkat
• sindroma Bartter ' s , sindroma Gitelman ’ s • pemakaian obat penghambat a adrenergik
• hiperaldosteronisme derajat 1 ( sindroma Conn ' s) • pseudo hiperkalemia akibat kesalahan pengam-
• hiperaldosteronisme derajat 2 ( penyakit bilan contoh darah
renovaskular, renin-secreting tumor ) • latihan olah raga
• nonaldosterone mineralocorticoid (Cushing' s ,
Liddle ' s, exogenous mineralocorticoid, licorice )
• muntah, drainase selang nasogastrik ( NGT/
nasogastric tube ) pada hiperaldosteronisme
derajat 2.
Pengeluaran kalium yang berlebihan melalui sa- Berkurangnya ekskresi kalium dari ginjal:
luran cerna: • laju filtrasi glomerulus (LFG) normal: sekresi aldos-
• diare teron normal ( CHF/Chronlc Heart Failure ) , sirosis,
• laksatif konsumsi kalium berlebihan.
• adenoma vilus • Hipoaldosteronemia: menurunnya renin ( nefropati
diabetik, OAINS, nefritis interstitial kronik ) , sinte-
sis aldosteron menurun ( kelainan adrenal, ACEI/
angiotensin converting enzyme inhibitor ) , ARBs /
angiotensin receptor blockers, heparin ) , menurun-
nya respon terhadap aldosteron ( diuretik hemat
kalium, trimetoprim-sulfometokasol, pentamidin,
amiloid, diabetes melitus, SLE / systemik lupus eryth-
romatosus, sickle cell.
Kalium masuk ke dalam sel: alkalosis ekstrasel, Menurunnya LFG: semua penyebab anuria atau
pemberian insulin, pemakaian (52 agonis, paralisis oligouria, semua penyebab pada penyakit ginjal
periodik hipokalemik, hipotermia. tahap akhir

Panduan Praktik Klinis


Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
Gangguan Kalium 0
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Tabel 2. Diagnosis Gangguan Kalium 12
Hal yang Hlpokalemla Hlperkalemla
dltanyakan
Anamnesis Tanda dan Keletihan, kelemahan otot, Peka rangsang, ansietas,
gejala kram kaki otot lembek atau kram pada abdomen, diare,
kendur, mual, muntah, parestesi, kelemahan ekstremitas bawah
peningkatan efek digitasli, poliuria pada umumnya, parestesia,
karena penurunan kons ntrasi urin, sesak napas
gangguan irama jantung (aritmia)
Riwayat atau Penurunan kalium total tubuh: Masukan kalium berlebihan:
faktor resiko riwayat hiperaldosteronisme pemberian kalium intravena (IV )
( penyakit adrenal kongenital), Penurunan ekskresi kalium:
pemakaian diuretik atau adanya penyakit ginjal, pengunaan
pengeluaran urin yang abnormal, diuretik hemat kalium, insufisiensi
peningkatan kehilangan cairan adrenal
melalui saluran cerna misalnya Perpindahan kalium keluar dari
stenosis pilorik, peningkatan sel-sel: pada asidosis, defisiensi
kehilangan melalui diaforesis, insulin, katabolisme jaringan
Perpindahan intraseluler: ( demam, sepsis, trauma, bedah,
peningkatan insulin, alkalosis atau hemolisis) .
atau setelah koreksi asidosis,
perbaikan jaringan setelah luka
bakar, trauma, atau kelaparan;
yang biasanya tiadk diserti asupan
kalium yang adekuat.
Pemerlksaan Penurunan bising usus, nadi lemah Nadi tidak teratur.
Flslk dan tak teratur, penurunan reflex,
penurunan tonus otot.
Pemerlksaan Kalium Serum: <3,5meq/ L Kalium serum: > 5,0 meq/ L
Penunjang Analisa gas darah: alkalosis Analisa gas darah: asidosis
metabolik metabolik
EKG: depresi segmen-ST, EKG: gelombang T tinggi,
gelombang T datar, adanya interval PR memanjang, depresi
gelombang U, disritmia ventrikel. ST, QRS melebar, kehilangan
gelombang P.

DIAGNOSIS BANDING

TATALAKSANA

A. HIPOKALEMIA
Pendekatan tatalaksana hipokalemia:3
• Menyingkirkan adanya transcellular shifts [keadaan yang menyebabkan masuknya
kalium ke dalam sel)
• Pemeriksaan kalium urin 24 jam

389
m &S9BSB& Ginjal Hipertensi

• Menghitung transtubular potassium gradient (TTKG) l=i O if *

TTKG = ( Kalium urin / Kalium Plasma )


(osmolalitas urin / osmolalitas plasma )

Jika Kalium urin > 30 meq / hari atau > 15 mEq / L atau TTKG > 7: kehilangan kalium
melalui ginjal, cek tekanan darah, cek klorida urin.
Jika Kalium urin < 25 meq /hdri atau < 15 mEq / L atau TTKG < 3: kehilangan kalium
tidak mqlalui ginjal

Hipokalemia

Kalium urin < 25 meq / Kalium urin > 30 meq /


hari atau TTKG < 3 hari atau TTKG > 7

Diare, laksatlf . 'ekanan


i
da:ah
1Hipertensi
vilus adenoma normal atau n:ootensi

n
'i
Periksa status asam-basa hlperaldosteronisme derajat I.
hiperaldosteronisme derajat 2.
nonaldosterone mlneralocorllcoid

(
Campuran
1
Asidosls Alkalosis

u
KAD, RTA Detlsiensl Klorida urin
magnesium

f
< 20 >20

1 l
Muntah / NGT .
Dluretik sindroma Bortter ' s ,
sindroma Gitelman ’ s

.
Algoritme 1 Penatalaksanaan HIpokalemld4

390
Gangguan Kalium mp
Indikasi Koreksi Kalium
• Indikasi mutlak: pemberian kalium mutlak diberikan pada keadaan
Pasien sedang dalam pengobatan digitalis
Pasien dengan ketoasidosis diabetik
Pasien dengan kelemahan otot pernapasan
Hipokalemia berat (kalium < 2 meq / L)
• Indikasi kuat: kalium harus diberikan dalam waktu tidak terlalu lama yaitu
insufisiensi koroner atau skemia otot jantung, ensefalopati hepatikum, pasien
memakai obat yang dapat menyebabkan perpindahan kalium dari ekstra ke
intrasel.
• Indikasi sedang: pemberian kalium tidak perlu segera seperti pada hipokalemia
ringan (kalium 3 - 3,5 meq / L]

Tatalaksana Hipokalemia1 2
1. Penurunan kalium plasma ImEq / L sama dengan kehilangan 200 mEq dari total
tubuh
2. Pengobatan penyebab dasar
3. Terapi hipomagnesia jika ada.
4. Penggantiam kalium secara oral ( slow correction ): 40 -60 meq dapat menaikkan
kadar kalium sebesar l -l,5meq / L
5. -
Penggantian kalium secara intravena dalam bentuk larutan KC1 ( rapid correction ).
jika hiperkalemia berat atau pasien tidak mampu menggunakan kalium per oral.
KC120 meq dilarutkan dalam 100 cc NaCl isotonik. Pemberian melalui vena besar
dengan kecepatan maksimal 10 meq / jam atau konsentrasi maksimal 30 - 40 meq / L
karena dapat menyebabkan hiperkalemia yang mengancam hidup. Jika melaui
vena perifer, KC1 maksimal 60 meq dilarutkan dalam NaCl isotonic 1000 cc dengan
kecepatan dikurangi untuk mencegah iritasi pembuluh darah.
Dosis untuk berat badan < 40 kg: 0,25 meq / L x kg x jam x 2 jam
> 40 kg: 10-20 meq / L x 2 jam
6. Pada kasus aritmia berat atau kelumpuhan otot pernapasan: KC1 diberikan dengan
kecepatan 40 -100 meq / L.
7. Pasien yang menerima 10 - 20 meq / jam harus pada pemantauan jantung secara
kontinu. Jika terdapat gelombang T datar menunjukkan adanya hiperkalemia dan
memerlukan perhatian segera.

391
jSjl
•4?^
PanduanPraktikKlinis Ginjal
J Hipertensi
**
Peitiimpunan Doktef Spesiali; Penyakil Dalam Indonesia

B. HIPERKALEMIA
Pendekatan terapi hiperkalemia: 5
• Menyingkirkan adanya pseudohyperkalemia, misalnya pemberian kalium intravena,
hemolisis selama venipucture, peningkatan sel darah putih atau trombosit
• Menyingkirkan adanya transcellular shifts
• Menetukan LFG. Jika LFG normal pikirkan menurunnya kadar natrium di distal
dan menurunnya aliran urin

Tatalaksana Hiperkalemia 6
1. Pengobatan penyebab dasar
2 . Pembatasan asupan kalium: menghindari makanan yang mengandung kalium
tinggi
3. Pengecekan ulang kadar kalium 1- 2 jam setelah terapi untuk menilai keefektifan terapi,
dan diulang secara rutin sesuai kadar kalium awal dan gejala kilnis.
4. Subakut: slow correction
Kation yang mengubah resin (sodium polystyrene sulfonate/ Kayexalate ):
diberikan secara oral, selang nasogastrik, atau melalui retensi enema untuk
menukar natrium dengan kalium di usus. Dosis 20-60 gram per oral dengan
100 - 200 ml sorbitol atau 40 gram Kayexalate dengan 40 gram sorbitol dalam
100 ml air sebagai enema.
5. Akut: rapid correction
Kalsium glukonat intravena: untuk menghilangkan efek neuromuskular dan
jantung akibat hiperkalemia
Glukosa dan insulin intravena: untuk memindahkan kalium ke dalam sel,
dengan efek penurunan kalium kira-kira 6 jam. Dosis: insulin 10 unit dalam
glukosa 40 %, 50 ml bolus intravena, lalu diikuti dengan infuse Dekstrosa
5 % untuk mencegah hipoglikemia.
Natrium bikarbonat: untuk memindahkan kalium ke dalam sel, dengan efek
penurunan kalium kira- kira 1-2 jam.
6. Pemberian a 2 agonis (albuterol): untuk memindahkan kalium ke dalam sel.
Dosis 10 - 20 mg secara inhalasi maupun tetesan intravena.
7. Dialisis: untuk membuang kalium dari tubuh paling efektif .

KOMPLIKASI
Aritmia jantung, henti jantung. 6

392
Gangguan Kalium

PROGNOSIS
Pada hipokalemia jika diterapi dengan adekuat akan sembuh. Resiko peningkatan
kadar kalium mencapai 7- 8 meq/L menjadi fibrilasi ventrikel yaitu 5 %, sedangkan
jika kadar kalium 10 meq/L resiko menjadi fibrilasi ventrikel meningkat 90 %. Pada
kasus berat resiko mortalitas sebesar 67 %. 6

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Divisi Ginjal- Hipertensi - Departemen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam

UNIT YANG TERKAIT


• RS pendidikan : Divisi Kardivaologi - Departemen Penyakit Dalam,
Unit Perawatan Intensif
• RS non pendidikan : Bagian Perawatan Intensif

REFERENSI
1. Aminoff M..Fluid and Electrolyte Disturbances . In: Fauci A, Kasper D, Longo D, Braunwald E, Flauser
S, Jameson J, Loscalzo J, editors. Flarrison ' s principles of internal medicine. 18 th ed. United States
of America: The McGraw-Flill Companies, 2012.
2. Siregar Parlindungan. Gangguan Keseimbangan Cairan dan Elektrolit. Dalam: Alwi I, Setiati S,
Setiyohadi B, Simadibrata M, Sudoyo AW . Buku Ajar llmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV . Jakarta:
Interna Publishing: 2006: Hal 134- 142.
3. Gennari FJ. Hypokalemia. N Engl J Med 1998; 339:451-458August 13, 1998. Diunduh dari http:/ /
www.nejm.org / doi/ pdf / 10.1056 / NEJM 199808133390707 pada tanggal 15 Mei 2012.
4. Arroliga AC. Algorithms forHypokalemia K<3.5. Diunduh dari http:/ /www. clevelandclinicmeded.
com/medicalpubs/micu/ pada tanggal 15 mei 2012
5. Weisberg LS. Management of severe hypokalemia. Crit Care Med. 2008: 36:3246-51.
6. Elliot M. Management of patient with acute hyperkalemia. CMAJ. 2010:182 ( 15) : 1631-5.

393
394

GANGGUAN KALSIUM

PENGERTIAN
Kadar kalsium ion normal adalah 4.75 - 5.2 mg/dl atau 1-1.3 mmol / L Nilai normal ,

kalsium total serum : 8.2 - 10.2 mg/ dl . Hipokalsemia jika kadar kalsium total plasma
< 8.2 mg / dl . Gejala hipokalsemia belum timbul bila kadar kalsiumion > 3.2 mg/ dl
atau> 0.8 mmol / L atau kalsium total sebesar> 8 - 8.5 mg/ dl . Gejala hipokalsemia akan
timbul jika kadar kalsium ion < 2.8 mg/ dl atau < 0.7 mmol / L atau kadar kalsium total
< 7 mg / dl . Hiperkalsemia jika kadar kalsium total plasma > 10.2 mg/ dl . Kalsium aktif
terdapat dalam bentuk kalsium terionisasi. Pemeriksaan serum kalsium merupakan
kalsium total yaitu gabungan dari kalsium bebas dan yang terikat albumin . Nilai
kalsium total dapat tetap normal dengan penurunan kalsium terionisasi seperti
pada alkalosis (menyebabkan banyak kalsium yang terikat dengan albumin, sehingga
pemeriksaan paling akurat dengan memeriksa kalsium terionisasi secara langsung . 1, 2

Tabel 1 . Penyebab terjadinya Hipokalsemia dan Hiperkalsemia’


Hipokalsemia Hiperkalsemia
Defisiensi vitamin D : Hiperparatiroidisme
• asupan makanan tidak mengandung lemak, • Primer : adenoma, karsinoma, dan
• malabsorbsi pada gastrektomi parsial, pankreatitis hyperplasia kelenjarparatiroid
kronik, pemberian laksan yang terlalu lama, • Sekunder: malabsorbsi vitamin D, penyakit
bedah pintas usus dengan tujuan mengurangi ginjal kronik berat
obesitas • Tersier: sekresi berlebihan hormon paratiroid
• Gangguan metabolism vitamin D pada penyakit yang sangat bermakna dan hiperkalsemia
riketsia, pemberian obat anti kejang, gangguan disertai dengan hiperplasiparatiroid akibat
fungsi ginjal, gangguan fungsi hati kronik. respon berlebihan terhadap hipokalsemi.
Pseudohipoparatiroidisme : organ sasaran tidak Tumor ganas : karena factor local akibat
memberi respon yang baik terhadap hormone metastasis tulang, faktor humoral yang beredar
paratiroid dalam darah bersif atosteo klastik
Proses keganasan : karsinoma medular kelenjar Intoksikasi vitamin A, intoksikasi vitamin D
tiroid, menyebabkan kalsitonin meningkat sehingga
ekskresi kalsium urin meningkat
Hiperfosfatemia : pada gagal ginjal kronik, gagal Hipertiroidisme : meningkatnya resorbsi tulang
ginjal akut, pemberian sitotoksik pada limfom aatau
leukemia, asupan fosfat berlebihan Sarkoidosis

Hipomagnesemia : menyebabkan penurunan kerja Insufisiensi adrenal : meningkatkan reabsorbsi


hormone paratiroid. kaksium pada tubulus ginjal.
Sindrom Milk - Alkali

Panduan Praktik Klinis


Perhimpunan Dokler Spestalis Penyakil Dalam Indonesia
Gangguan Kalsium

Tabel 2. Foktor Risiko Gangguan Kalsium13


Hlpokalsemla Hlperkalsemla
Peningkatan kehilangan kalsium dalam cairan Peningkatan asupan kalsium: kelebihan
tubuh: pemakaian diuretik pemberian selama hentikar diopulmoner
Penurunan absorbs usus: gagal ginjal, diarekronik, Peningkatan absorbsiusus :hiperparatiroidisme
pasca gastrektomi
Hipoparatiroidisme
Hiperfosfatemia: gagal ginjal Peningkatan pelepasan kalsium dan tulang:
hiperparatiroidisme, malignansi, imobilisasi lama,
Hipomagnesemia hipertiroidisme, penyakit Paget ' s
Pankreatitis akut Penurun anekskresi urin: gagal ginjal, diuretiktiazid
Alkoholisme kronis
Penurunan kalsium terionisasi: alkalosis, pemberian Peningkatan kalsium terionisasi :asidosis
sitrat berlebihan, hemodilusi

PENDEKATAN DIAGNOSIS

A . HIPOKALSEMIA

Anamnesis
Pasien dengan hipokalsemia dapata simptomatik jika penurunan kadar kalsium
plasma ringan dan sudah kronik. Sedangkan jika penurunan kalsium sedang- berat
dapat menimbulkan keluhan-keluhan seperti kebas, kramotot, parestesia umumnya di
jari kaki, jari- jari tangan, dan regio circumoral , peningkatkan reflex, yang disebabkan
karena meningkatnya iritabilitas neuromuskular. Jika sudah berat dapat terjadi tetani
dan kejang. Pada anamnesis juga perlu ditanyakan factor risiko seperti pada tabel 2.1

Pemeriksaan Fisik' 2
• Tanda Trousseau's: spasme karpal karena iskemia. Cara : dengan mengembangkan
manset pada lengan atas 20 mmHg lebih tinggi dari tekanan sistolik selama 3 menit.
-
• Tanda Chvostek’s. kontraksi unilateral dari wajah dan otot kelopak mata karena
iritasi saraf fasial dengan memperkusi wajah tepat di depan telinga. Cara:
mengetukkan ringan saraf wajah di daerah anterior telinga
• Hipokalsemia berat: spasme carpopedal, bronkospasme, laringospasme, kejang.

Pemeriksaan Penunjang1 2
• Kadar kalsium serum total mungkin < 8.5 mg/ dl
• Kadar albumin serum: penurunan kadar albumin serum 1.0 d /dl terjadi penurunan
0.8-1.0 mg / dl kadar kalsium total

395
# 55SSSJHS1IH& Ginjal Hipertensi
• Kadar forfor, magnesium serum
• Kadar hormone paratiroid (PTH)
• EKG : interval QT memanjang, Torsades de pointes

B. HIPERKALSEMIA

Anamnesis
-
Hiperkalsemia ringan (kadar kalsium 11 11,5 mg/ dl) umumnya asimptomatik dan
terdeteksi saat pemeriksaan kalsium rutin. Beberapa pasien mengeluhkan keluhan
neuropsikiatrik seperti kesulitan konsentrasi, perubahan kepribadian, ataudepresi.
Keluhan lain dapat berupa ulkus peptikum atau nefrolitiasis. Hiperkalsemia berat
( kadar kalsium >12 -13 mg/ dl) jika terjadi secara mendadak atau akut, dapat
menyebabkan letargi, stupor, koma , Keluhan lain seperti mual, nafsu makan menurun,
konstipasi, pankreatitis, poliuria, polidipsi perlu ditanyakan. Keluhan nyeri pada tulang
ataua danya fraktur patologis dapat mengarahkan kehiperparatiroid ismekronik. Pada
anamnesis juga perlu ditanyakan faktor risiko seperti pada tabel 2.1A

Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik tidak ada yang spesifik untuk hiperkalsemia, penemuan
dapat tergantung etiologi penyebab. Pada pasien dengan keganasan dapat ditemukan
adanya perubahan kulit, limfadenopati, hepatosplenomeglali. Pada pemeriksaan dapat
ditemukan hipertensi dan bradikardia, akan tetapi tidak spesifik. Pemeriksaan sendi
ditemukan nyeri pada palpasi, kelemahan otot, hiperrefleksia, fasikulasi ototli dahd
apatdi temukan. Tanda - tanda dehidrasi juga perlu diperhatikan . Tingkat kesadaran
pasien mungkin menurun menjadi letargi atau stupor. Jika kadar kalsium 13-15 mg/ dl
dikenal dengan istilah krisis hiperkalsemia yang ditandai dengan poliuria, dehidrasi,
dan perubahan status mental. 4

Pemeriksaan Penunjang1 4
• Kadar kalsium serum total :> 10.5 mg/ dl
• Kalsium terionisasi :> 5.5 mg/ dl
• Hormon paratiroid
• Fungsi ginjal: kreatinin dan ureum
• Rontgen tulang : osteoporosis.
• EKG : pemendekan segmen ST dan interval QT, bradikardia, blok AV.

396
Gangguan Kalsium |jg|

DIAGNOSIS BANDING2
• Hipokalsemia : Hydrofluoric Acid Burns, hiperkalemia , hipermagnesemia ,
hipernatremia, Hyperosmolar Hyperglycemic Nonketotic Coma, hipoparatiroidisme,
hiperfosfatemia.
• Hiperkalsemia: hiperparatiroidisme, keganasan, sarkoidosis, intoksikasi obat
seperti litium, teofilin.

TATALAKSANA

A. HIPOKALSEMIA1
1. Pengobatan penyakit dasar
2. Penggantian kalsium tergantung dari tingkat keparahan penyakit, progresifitas,
dan komplikasi yang timbul.
3. Peningkatan asupan diet kalsium: 1000-1500 mg/ hari pada orang dewasa.
4. Antasida hidroksia lumunium: mengurangi kadar fosfor sebelum mengatasi
hipokalsemia
5. Hipokalsemia akut (simptomatik) :
a. Kalsium glukonat 10 % 10 ml ( 90 mg atau 2.2 mmol) diencerkan dengan
50 ml Dekstrosa 5 % atau 0.9 Na Cl secara intravena selama 5 menit.
b. Dilanjutkan pemberian secara infus 10 ampul kalsium glukonat ( atau
900 mg kalsium dalam 1 liter Dekstrosa 5 % atau 0.9 NaCl) dalam 24 jam.
c. Jika ada hipomagnesemia dengan fungsi ginjal normal larutan magnesium
sulfat 10 % sebesar 2 gram selama 10 menit, dilanjutkan dengan 1 gram dalam
100 cc cairan per 1 jam .
6. Hipokalsemia kronik :
a. Tujuan: meningkatkan kadar kalsium sampai batas bawah normal, menghindari
terjadinya hiperkalsiuria yang dapat mencetuskan batu ginjal.
b. Suplemen kalsium 1.000-1.500 mg/ hari dalam dosis terbagi. Kalsium karbonat;
250 mg kalsium elemental dalam 650 mg tablet.
c. Vitamin D 2 atau D 3 25.000 -100.000 U / hari
d. Kalsitriol [1, 25 ( OH ) 2D] 0.23-2 gram / hari
7. Jika albumin serum menurun: penurunan albumin serum 1.0 gram / dl (dari nilai
normal 4.1 gram / dl), koreksi konsentrasi kalsium dengan menambahkan 0.8 mg/
dl dari kadar kalsium total :
Koreksi konsentrasi kalsium = kalsium hasil pemeriksaan (mg/ dl ) + [ 0.8 x (4- albumin (gr / dl ) i

397
PanduanPraktikKlinis Ginjal Hipertensi
,v
-'
*fV J 1 1
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakil Dolam Indonesia

B. HIPERKALSEMIA 1
1. Pengobatan penyebab dasar
2. Diet rendah kalsium
3. Hiperkalsemia ringan ( asimtomatik ) : tidak memerlukan koreksi cepat
4. Hiperkalsemia yang bergejala (simtomatik)
• Hidrasi karena hiperkalsemia berhubungan dengan dehidrasi : 4-8 liter cairan
isotonic secara intravena dalam 24 jam pertama, dengan target urin 100 -
150 ml per jam. Jika ada penyakit komorbid (gagal jantung kongestif ) dapat
ditambahkan loop diuretic untuk meningkatkan ekskresi natrium dan kalsium;
setelah status volume menjadi normal.
• Penghambat resorbsi tulang: pada keganasan atau hiperparatiroidisme berat
Tabel 3. Obat Penghambat Resorbsi Tulang1 '2
Nama obat Dosls Onset
Kalsitonin 4 lU/kg itramuskular/subkutan setiap 12 jam
Asamzoledronik 4 mg IV dalam 30 menit
Pamidronat 60-90 mg IV dalam 2- 4 jam 1 -3 hari
Etidronat 7.5 mg/kg/hari dalam 3-7 hari

Pemberian bifosfonat harus memperhatikan fungsi ginjal.


• Untuk mencegah kekambuhan dapat diberikan bifosfonat secara infus IV
• Glukokortikoid : pada kasus hiperkalsemia karena peningkatan l, 25 ( OH ) 2 D.
Hidrokortison 100 -300 mg/ harisecara IV ataup rednison 40 - 60 mg/ hari per
oral selama 3- 7 hari.
• Obat yang menurunkan 1,25 (OH) 2D : ketokonazol, klorokuin, hidroksiklorokuin
• Dialisis

KOMPLIKASI
Hipokalsemia dapat terjadi kejang dan laringospasme. Hiperkalsemia dapat
meningkatkan resiko terjadinya batu ginjal, dehidrasi, gagal ginjal, resiko patah tulang,
dan osteoporosis.1'45

PROGNOSIS
Pada hipokalsemia dapat meninggalkan kelainan neurologis seperti kejang dan
tetani. Kematian sangat jarang karena hipokalsemia. Hiperkalsemia yang berhubungan
dengan keganasan mempunyai prognosis lebih buruk, harapan hidup dalam 1
tahun sekitar 10 - 30 %. Dalam suatu studi, 50 % pasien meninggal dalam 1 bulan
setelah dimulainya terapi, dan 75% meninggal dalam 3 bulan. Hiperkalsemia yang
berhubungan dengan hiperparatiroidisme mempunyai prognosis baik jika diterapi.3 5 '

398
Gangguan Kalsium

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Ginjal - Hipertensi
• RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT YANG TERKAIT


• RS pendidikan : Divisi Ginjal -Hipertensi - Departemen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Bagian Neurologi, Bagian Perawatan Intensif

REFERENSI
1. KhoslaS. Hypercalcemia and Hypocalcemia .In: Fauci A, Kasper D, Longo D, Braunwald E, Hauser
S, Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison’s principles of internal medicine. 18lh ed. United States
of America; The McGraw-Hill Companies, 2012.
2. Siregar P. Gangguan Keseimbangan Cairandan Elektrolit. Dalam: Alwi I, Setiati S, Setiyohadi
B, Simadibrata M, Sudoyo AW . Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: Interna
Publishing: 2006: Hal 134- 142.
3. Anne L. Schafer.Hypocalcemia: Diagnosis and Treatment.2011 . Diunduh darihttp:/ /www .
endotext.org/parathyroid/parathyroid7/parathyroid7.htm pada tanggal 9 Mei 2012.
4. Ciammaichella D. Hypercalcemia. Diunduhd dari http:// www.emjournal.net / htdocs /pages /
art / 115hypercalcemia.html.pada tanggal 9 Mei 2012.
5. Cooper R .Hypercalcemia . Diunduh dari http: / /www .ncbi.nlm.nih.gov / pubmedhealth /
PMH0001404/ pada tanggal 9 Mei 2012

399
400

GANGGUAN NATRIUM

HIPONATREMIA
PENGERTIAN
Hiponatremia adalah penurunan kadar natrium ( Na ) plasma < 135 mEq / L.
Hiponatremia akut adalah hiponatremia yang terjadi < 48 jam dan membutuhkan
penanganan segera, sedangkan hiponatremia kronik adalah hiponatremia yang
berlangsung > 48 jam. Gejalaakanmunculjika kadar natirum < 125 mEq / L. Hiponatremia
dibagi menjadi tiga kelompok berdasarkan osmolalitas plasma:1
• Isotonik hiponatremia: osmolalitas plasma normal
• Hipertonik hiponatremia : osmolalitas plasma meningkat. Cairan berpindah dari
intrasel ke ekstrasel sebagai respon adanya kosentrasi terlarut yang meningkat
( glukosa, manitol)
• Hipotonik hiponatremia: osmolalitas plasma menurun. Berdasarkan perjalanan
penyakit dan status volume intravaskular yaitu hipovolemia hiponatremia ,
euvolemik hiponatremia, dan hipervolemia hiponatremia. Pembagian klasifikasi
dari hiponatremia yaitu:

Tabel 1 . Klasifikasi Hipotonik Hiponatremia 2


Hipervolemia Euvolemik
Hipovolemia hiponatremia
hiponatremia hiponatremia
Status volume
Total body water Meningkat Meningkat Menurun
Total body sodium meningkat Tetap Menurun
Cairan Sangat meningkat Meningkat Menurun
ekstraseluler
Edema +
Etiologi Congestive Heart SIADH Kehilangan melalui ginjal: diuretic,
Failur Hipotiroid penyakit Addison, hipoaldostero-
Nefrosis Hipoadrenal nisme, diuresis post obstruksi
gagal ginjal Diuretik tiazid Kehilangan cairan melalui
penyakit hati Intoksikasi air muntah, diare, keringat.
Luka bakar, pankreatitis, peritonitis,
obstruksi saluran cerna, trauma otot

PanduanPraktik Minis
Indonesia
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam
Gangguan Natrium Rp

PENDEKATAN DIAGNOSIS
Pendekatan dalam mendiagnosis hiponatremia yaitu menentukan osmolaliats
plasma. ]ika hipotonik hiponatremia tentukan status volume ( tanda vital, ortostatik,
JVP {Jugular Venous Pressure), turgor kulit, membrane mukosa, edema perifer, BUN,
kreatinin, asam urat) 3

Anamnesis
Umumnya tidak menimbulkan gejala. Gejala yang dikeluhkan berhubungan
dengan disfungsi susuan saraf pusat seperti mual, muntah, sakit kepala, perubahan
kepribadian, kelemahan, keram otot, agitasi, disorientasi, kejang, bahkan koma. Pada
kasus asimptomatik dapat mulai bermanifestasi kehilangan kestabilan sehingga
beresiko jatuh . Selain itu perlu ditanyakan riwayat penyakit seperti yang tercantum
dalam table 1.1,2

Pemeriksaan Fisik
Perubahan kesadaran atau perubahan kepribadian, hipotermia, reflex menurun,
pola pernapasan Cheyne-Stokes, pseudobulbar palsy, kulit dingin dan basah, tremor,
dan disertai gangguan saraf sensorik. 1,2

Pemeriksaan Penunjang1
• Natrium serum: < 137 mEq / L
• Osmolalitas serum: menurun kecuali pada kasus pseudohiponatremia, azotemia,
intoksikasi etanol, metanol .
• Berat jenis urin
• Natrium urin
• Fungsi ginjal: ureum, kreatinin, asam urat
• Glukosa darah (setiap peningkatan glukosa lOOmg/ dl menurunkan natrium
2.4 mEq / L), profile lemak
• Fungsi tiroid
• Radiologi: mencari apakah ada efek hiponatremia pada paru atau susunan saraf
pusat

DIAGNOSIS BANDING
Berdasarkan klasifikasi hipotonik hiponatremia (tabel 1)

401
t f S ] PanduanPraktikMinis Ginial Hipertensi
Perhlmpunan Dokler Spesialls Penyakit Dalam Indonesia J

Hipotonik

Hipovolemia Euvolemik Hipervolemia


hiponatremia hiponatremia

i
Na urin >20 Na urin <20 Anamnesis Na urin <20 Na urin >20

Kehilangan Kehilangan Osmolalitas Osmolalitas • Congestive Gagal


melalui gin- selain dari urin > 100 urin bervariasi Heart Failure ginjal
jal, defisiensi ginjal • Sirosis
mineralokor- Osmolalitas • Nefrosis
tikoid urin > 100

i
• SIADH polydipsia Ulangi
• Hipotiroid low solute pemeriksaan
• Defisiensi
glukokortikoid

Algoritme 1. Pendekatan Hiponatremia 1 ' 3

TATALAKSANA2 3
1. Hal - hal yang perlu diperhatikan:
• Cepat lambatnya onset penyakit
• Derajat, durasi, dan gejala dari hiponatremia
• Ada atau tidaknya factor resiko yang dapat meningkatkan resiko komplikasi
neurologis
2. Menyingkirkan diagnosis pseudohiponatremia atau hipertonik hiponatremia
( hiperglikemia)
3. Mengatasi penyakit dasarnya
4. Hiponatremia asimptomatik: menaikkan natrium dengan kecepatan 0.5 mEq / L /
jam
5. Hiponatremia akut simptomatik:
• Tujuan : meningkatkan kadar natirum 1.5- 2 mEq / L / jam sampai gejala
berkurang atau sampai konsentrasi natrium serum > 118 mEq / L dan
mengobati penyakit dasarnya

402
Gangguan Natrium

• Peningkatan kadar natrium harus < 12 mEq / L dalam 24 jam pertama dan
< 18 mEq / L dalam 48 jam pertama untuk menghindari demielinisasi osmotik.
• Cairan saline hipertonik 3 % diberikan secara infuse intravena dengan
kecepatan 1- 2 ml / kg/ jam dan ditambah loop diuretic
• Jika ada gejala neurologik berat: kecepatan dapat dinaikkan menjadi 4-6 ml /
kg/ jam.
• Jika gejala sudah menghilang dan kadar natrium > 118 Eq / L, pemberian cairan
diturunkan menjadi maksimal 8 mEq / L dalam 24 jam sampai target kadar
natrium 125 mEq / L.
• Pemantauan ketat natrium serum dan elektrolit sampai terjadi kenaikan kadar
natrium dan gejala meghilang.
6. Hiponatremia kronik simptomatik
• Jika tidak diketahui durasi atau onset gejala, koreksi dilakukan dengan hati-hati
karena otak sudah beradaptasi dengan kadar natrium yang rendah.
• Jika gejala berat: tatalaksana seperti kasus hipernatremia akut. Peningkatan
natrium tidak melebihi 10 -12 mEq / L pada 24 jam pertama, dan < 6 mEq / L /
hari pada hari berikutnya.
• Jika gejala ringan -sedang: koreksi dilakukan secra perlahan. 0.5 mEq / L / jam,
sampai target tercapai terapi tetap diteruskan. Maksimal pemberian 10 mEq / L
dalam 24 jam
7 . Hiponatremia kronik asimptomatik
• Tujuan terapi: mencegah penurunan natrium serum da nenjaga kadar
natrium mendekati normal.
8. Hipervolemia hiponatremia : restriksi cairan 1000 -1500 ml / hari dan restriksi
natrium. CHF: furosemid dan ACE ( Angiotensin Converting Enzyme ) inhibitor .
9 . Euvolemik hiponatremia (SIADH): restriksi cairan 1000 -1500 ml / hari.
10 . Hipovolemia hiponatremia: berikan normal saline (NS) atau D 5 NS
Rumus untuk mengetahui jumlah natrium dalam larutan natrium hipertonik yang
diberikan : 3
Na infus - Na serum
TBW+ 1

TBW ( total -body water ): berat badan (kg) x konstanta

Konstanta : 0.6 ( laki - laki), 0.5 ( perempuan ), 0.5 (laki - laki usia lanjut) , 0.45
( perempuan usia lanjut)

403
tSSSSSSSL Ginjal Hipertensi

KOMPLIKASI
Kejang, herniasi batang otak, kerusakan otak permanen, koma disebabkan karena
edema serebral . 1, 2

PROGNOSIS
Wanita yang belum menopause , anak prepubertas, dan pasien dengan hipoksia
serebral lebih besar kemungkinan berkembang menjadi ensefalopati dan sequelae
gejala neurologic yang berat.12

HIPERNATREMIA
PENGERTIAN
Hipernatremia adalah peningkatan kadar natrium plasma > 145 mEq / L akibat dari
kehilangan cairan dan elektrolit lebih besar daripada kehilangan natrium . 1'4

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis
Pasien dapat mengeluhkan rasa haus, kelelahan, iritabilitas atau gelisah ,
disorientasi , mulut kering, demam45

Pemeriksaan Fisik
Hiperventilasi, demam ringan, kulit kemerahan, edema perifer, edema pulmonary,
hipotensi, peningkatan tonus otot, peningkatan refleks tendon dalam, disertai oligouria
atau anuria.Tingkat kesadaran pasien dapat koma jika perjalanan penyakit sudah progresif.
Hipernatremia yang disertai hipovolemia dapat menunjukkan tanda -tanda kekurangan
cairan seperti takikardia, hipotensi.45

Pemeriksaan Penunjang4 5
• Natrium serum > 147 mEq/ L. Jika > 150 -170 mEq/ L bisanya karena dehidrasi,
sedangkan jika > 170 mEq / L karena diabetes insipidus. Natrium > 190 mEq / L
karena asupan natrium yang tinggi dan kronik.
• Osmolalitas serum: meningkat

404
Gangguan Natrium
^
• Berat jenis urin: meningkat. Menurun pada diabetes insipidus. Jika normal dapat
terjadi pada pemakaian diuretik.
• Natrium urin
• Water Deprivation Test: pada diabetes insipidus, osmolalitas urin tidak meningkat
dengan hipernatremia
• Antidiuretic Hormone (ADH ) Stimulation: diabetes insipidus nefrogenik, osmolalitas
urin tidak meningkat setelah pemberian ADH ( desmopressin).
• CT Scan atau MRI ( Magnetic Resonance Imaging ) kepala: melihat adanya tarikan
pada vena duramater dan sinus yang dapat menyebabkan perdarahan intracranial
dan meningkatkan kadar natrium

Pendekatan diagnostik pada pasien hipernatremia:1

Volume ekstraselular

Meningkat Tidak meningkat

1 1
Volum minimum
Pemberian
NaCI hipertonik pada konsentrasi
atau NaHC03 urin makslmum

Osmolalitas urin insens/b/e water


>750 mosmol/hari tosses, kehilangan
calran dari saluran
cema,. glnjal
Tidak Ya

Renal berespon Diuretik, osmotik


terhadap diuresis

1
desmopresin

I Osmolalitas
Osmolalitas urin
menigkat urin tetap

1 I
Diabetes insipidus Diabetes insipidus
sentral nefrogenik

Algortime 2. Pendekatan Diagnostic Pasien Hipernatremia 1

405
Ufl PanduanPraktikKMnis Ginjal
J
Hipertensi
I
Perhimpunan Dokler SpesiaHs Penyakil Dalom Indonesia

DIAGNOSIS BANDING
Berdasarkan penyebabnya seperti pada algoritme 2

TATALAKSANA1
1. Tujuan: menghentikan kehilangan cairan yang sedang terjadi dengan mengatasi
penyakit penyebabnya dan mengoreksi defisit cairan.
2. Tentukan defisit cairan
• Estimasi TBW
-
• Kalkulasi free water deficit: {([ Na+]-140) /140} x TBW
• Pemberian defisit dalam 48-7 jam tanpa menaikkan konsentrasi natrium
plasma > 10 mM / 24 jam
3. Tentukan ongoing water losses
• Kalkulasi electrolyte free water clearance -
Volume urin (1- natrium urin + kalium urin)
Natrium plasma

4. Tentukan insensible losses : ± 10 mL / kg/ hari, berkurang jika dalam ventilsi


mekanik, bertambah jika demam.
5. Menjumlahkan defisit cairan, ongoing water losses, dan insensible losses. Pemberian
dalam 48- 72 jam dan maksimal 10 mM / hari.
6. Cairan diberikan secara oral atau melalui selang nasogastrik.
7. Pemberian intravena cairan hipotonik yang dapat diberikan : dekstrosa 5 %, NaCl
0.2 %, atau 0.45 % NaCl. Semakin hipotonik cairan yang diberikan, kecepatan
pemberian juga semakin lambat
8. Dialisis

KOMPLIKASI4
• Kejang
• Retardasi mental
• Otak mengecil sehingga menarik pembuluh darah otak yang dapat meningkatkan
resiko perdarahan maupun infark.
• Kongesti vena menyebabkan thrombosis
• Hiperaktivitas

406
Gangguan Ginjal Akut |
<f p
PROGNOSIS
Resiko kematian akibat hipernatremia mencapai 40 - 60 % kasus berhubungan
dengan tignkat keparahan penyakit penyertanya, terbanyak terjadi pada usia tua. Pada
hipernatremia akut dan kadar > 180 mEq/ L kerusakan neurologik permanen terjadi
pada 10- 30 % kasus . Durasi perjalan penyakit yang lama ( > 2 hari) akan meningkatkan
resiko kematian . 1,s'6

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Ginjal - Hipertensi
• RS non pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam

UNIT YANG TERKAIT


• RS pendidikan : Depertemen Neurologi , Unit Perawatan Intensif
• RS non pendidikan : Bagian Neurologi, Bagian Perawatan Intensif

REFERENSI
1. Aminoff M..Fluid and Electrolyte Disturbances . In: Fauci A, Kasper D, Longo D, Braunwald E, Hauser
.
S, Jameson J, Loscalzo J, editors Harrison ' s principles of internal medicine. 18lh ed. United States
of America; The McGraw-Hill Companies, 2012 .
2. Douglas Ivor. Cleveland Clinic Journal of Medicine vol 73, supplement 3. 2006. Diunduh dari
http://www.ccjm.org/ content / 73 / Suppl_3 /S 4.full.pdf pad atanggal 10 Mei 2012.
3. Androgue H, Madias N. Hyponatremia. Diunduh dari http:// www.nejm.org / doi/ full / 10.1056 /
NEJM200005253422107 pada tanggal 10 Mei 2012.
4. Siregar Parlindungan. Gangguan Keseimbangan Cairan dan Elektrolit. Dalam: Alwi I, Setiati S,
Setiyohadi B, Simadibrata M, Sudoyo AW . Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV . Jakarta:
Interna Publishing; 2006: Hal 134- 142.
5. Ciammaichella D . Hypernatremia. Diunduh dari http:/ /www.emjournal.net / htdocs / pages /
art / 118_hypernatremia.html pada tanggal 10 Mei 2012
6. Alshayeb, Hala, Arif, Babar Fatima. Severe Hypernatremia Correction Rate and Mortality in
Hospitalized Patients. American Journal of the Medical Sciences:. May 2011 - Volume 341 - Issue
5 - pp 356-360. Diunduh dari http:// journals.lww.com / amjmedsci/Abstract / 2011 / 05000/ Severe.
Hypernatremia_Correction_Rate_and_Mortality.5.aspx pada tanggal 10 Mei 2012.

407
408

HIPERTENSI

PENGERTIAN
Hipertensi adalah keadaan di mana tekanan darah (TD ) sama atau melebihi 140
mmHg sistolik dan / atau sama atau lebih dari 90 mmHg diastolik pada seseorang yang
tidak sedang minum obat antihipertensi.1 2 -
Tabel 1. Klasifikasi Tekanan Darah Berdasarkan Joint National Committee VII (2007)3
TD sMoNk
Klasifikasi TD dlastoBk (mmHg)
(mmHg)
Normal <120 dan <80
Pre-hipertensi 120-139 atau 80-89
Hipertensi stage 1 140-159 atau 90-99
Hipertensi stage 2 3160 atau 3100
Hipertensi sistolik terisolasi 3
140 dan <90

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Penilaian Awal Klinis Hipertensi


Penilaian awal klinis hipertensi sebaiknya meliputi tiga hal yaitu klasifikasi
hipertensi, menilai risiko kardiovaskular pasien, dan mendeteksi etiologi sekunder
hipertensi yang memerlukan penanganan lebih lanjut. Penilaian awal tersebut
diperoleh dari anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan darah rutin, spesimen urin
pagi, dan EKG 12 -lead saat istirahat. Pada pasien tertentu, pemantauan TD berjalan
dan ekokardiografi dapat memberikan informasi tambahan mengenai beban sistem
kardiovaskular berdasarkan urutan waktu.2

Indikasi Pemantauan TD Berjalan (ambulatory blood pressure monitoring )4


1. Kecurigaan hipertensi white coat
2 . Kecurigaan white coat aggravation pada pasien dengan hipertensi tidak terkontrol
secara medis
3. Kecurigaan hipertensi nokturnal atau hipertensi terselubung ( masked hypertension]
4. Hipertensi pada kehamilan
5. Kecurigaan hipertensi ortostatik atau kegagalan otonom

PanduanPraktik Klinis
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
Hipertensi

Anamnesis’
1. Durasi hipertensi
2 . Riwayat terapi hipertensi sebelumnya dan efek sampingnya bila ada
3 . Riwayat hipertensi dan kardiovaskular pada keluarga
4 . Kebiasaan makan dan psikososial
5 . Faktor risiko lainnya: kebiasaan merokok, perubahan berat badan, dislipidemia,
diabetes, inaktivitas fisik
6. Bukti hipertensi sekunder ( tabel 2 ) : riwayat penyakit ginjal , perubahan
penampilan, kelemahan otot ( palpitasi, keringat berlebih, tremor), tidur tidak
teratur, mengorok, somnolen di siang hari, gejala hipo - atau hipertiroidisme,
riwayat konsumsi obat yang dapat menaikkan tekanan darah
7 . Bukti kerusakan organ target: riwayat TIA, stroke, buta sementara, penglihatan
kabur tiba-tiba, angina, infark miokard, gagal jantung, disfungsi seksual

Tabel 2. Etlologi Sekunder Hipertensi'


Berikan subjudul pada tabel
Renal Penyakit parenkim, kista renalis ( termasuk penyakit ginjal polikistik ) ,
tumor renal, uropati obstruktif
Renovaskular Arterioskeloris, displasia fibromuskular
Adrenal Aldosteronisme primer, sindrom Cushing, defisiensi I 7a-hydroxylase,
^
defisiensi 11 -hydroxylase, defisiensi 11 -hydroxysteroid
dehydrogenase ( licorice ) , pheochromocytoma
Koarktaksio aorta
Obstructive sleep apnea
Preeklampsia/eklampsia
Neurogenik Psikogenik, sindrom diensefalik, disotonomia familial, polineuritis,
peningkatan TIK akut
Kelainan endokrin lainnya Hipotiroidisme, hipertiroidisme, hiperkalsemia, akromegali
Obat-obatan Estrogen dosis tinggi, steroid, dekongestan, penekan nafsu makan,
siklosporin, antidepresan trisiklik, kokain, NSAID, eritropoetin
Hipertensi bentuk Jarang
Mendelian

Pemeriksaan Fisik1 5
1. Pengukuran tinggi dan berat badan, tanda -tanda vital
2 . Metode auskultasi pengukuran TD :
• Semua instrumen yang dipakai harus dikalibrasi secara rutin untuk memastikan
keakuratan hasil .
• Posisi pasien duduk di atas kursi dengan kaki menempel di lantai dan telah
beristirahat selama 5 menit dengan suhu ruangan yang nyaman .
• Dengan sfigmomanometer, oklusi arteri brakialis dengan pemasangan cuff di
lengan atas dan diinflasi sampai di atas TD sistolik. Saat deflasi perlahan-lahan,

409
m^
1
PanduanPraktik Minis Ginjal
J Hipertensi
r'w ^
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
W

suara pulsasi aliran darah dapat dideteksi dengan auskultasi dengan stetoskop
tipe be/// genta di atas arteri tepat di bawah cuff.
• Klasifikasi berdasarkan hasil rata- rata pengukuran tekanan darah yang
dilakukan minimal 2 kali tiap kunjungan pada 2 kali kunjungan atau lebih
dengan menggunakan cuff
• Tekanan sistolik = suara fase 1 dan tekanan diastolik = suara fase 5.
• Pengukuran pertama harus di kedua sisi lengan untuk menghindarkan kelainan
pembuluh darah perifer
• Pengukuran tekanan darah pada waktu berdiri diindikasikan pada pasien
dengan risiko hipotensi postural (lanjut usia, pasien DM, dll)

Tabel 3. Rekomendasi follow -up pengukuran TD pada dewasa tanpa kerusakan organ
target3
TD Inlslal (mmHg)a Rekomendasi foflow -up
Normal Periksa ulang dalam 2 tahun
Pre-hipertensi Periksa ulang dalam 1 tahunb
Hipertensi stage 1 Konfirmasi dalam 2 bulanb
Hipertensi stage 2 Evaluasi atau rujuk ke pelayanan kesehatan dalam waktu 1 bulan,
apabila TD lebih tinggi (misal >180/ 110 mmHg), evaluasi dan terapi
segera atau dalam waktu 1 minggu tergantung kondisi klinis dan
komplikasi

3. Palpasi leher apabila terdapat pembesaran kelenjar tiroid


4. Palpasi pulsasi arteri femoralis, pedis
5. Auskultasi bruit karotis, bruit abdomen
6. Funduskopi
7. Evaluasi gagal jantung dan pemeriksaan neurologis

Pemeriksaan Penunjang
Urinalisis, tes fungsi ginjal, ekskresi albumin, serum BUN, kreatinin, gula darah,
elektrolit, profil lipid, foto toraks, EKG; sesuai penyakit penyerta: asam urat, aktivitas
renin plasma, aldosteron, katekolamin urin, USG pembuluh darah besar, USG ginjal,
ekokardiografi.12

DIAGNOSIS BANDING
Peningkatan tekanan darah akibat white coat hypertension, rasa nyeri, peningkatan
tekanan intraserebral, ensefalitis, akibat obat, dll

410
Hipertensi

TATALAKSANA3
1. Modifikasi gaya hidup (Tabel 4) .
2. Pemberian p-blocker pada pasien unstable angina / non-STelevated myocardial infark
( NSTEMI) atau STEMI harus memperhatikan kondisi hemodinamik pasien. fi-blocker
hanya diberikan pada kondisi hemodinamik stabil.6 (Gambar 1)
3. Pemberian angiotensin convertin enzyme inhibitor (ACE - I) atau angiotensin
receptor blocker (ARB) pada pasien NSTEMI atau STEMI apabila hipertensi
persisten, terdapat infark miokard anterior, disfungsi ventrikel kiri, gagal jantung,
atau pasien menderita diabetes danpenyakit ginjal kronik. 6
4. Pemberian antagonis aldosteron pada pasien disfungsi ventrikel kiri bila terjadi
gagal jantung berat (misal gagal jantung New York Heart Association / NYU A kelas
III-IV atau fraksi ejeksi ventrikel kiri < 40% dan klinis terdapat gagal jantung)
6

5. Kondisi khusus lain:


a. Obesitas dan sindrom metabolik
Terdapat 3 atau lebih keadaan berikut : lingkar pinggang laki-laki >102 cm
atau perempuan >89 cm, toleransi glukosa terganggu dengan gula darah
puasa 110 mg / dl, tekanan darah minimal 130 /85 mmHg, trigliserida tinggi
150 mg/dl, kolesterol HDL rendah < 40 mg / dl pada laki -laki atau <50 mg/dl
pada perempuan) a modifikasi gaya hidup yang intensif dengan pilihan terapi
utama golongan ACE - I . Pilihan lain adalah ARB, CCB.3
b. Hipertrofi ventrikel kiri3
• Tatalaksana agresif termasuk penurunan berat badan dan restriksi garam
• Pilihan terapi : dengan semua kelas antihipertensi
• Kontraindikasi: vasodilator langsung, hidralazin dan minoksidil
c. Penyakit arteri perifer: semua kelas anti hipertensi, tatalaksana faktor risiko
lain, dan pemberian aspirin.3
d. Lanjut usia (s 65 tahun)7
• Identifikasi etiologi lain yang bersifat ireversibel
• Evaluasi kerusakan organ target
• Evaluasi penyakit komorbid lain yang mempengaruhi prognosis
• Identifikasi hambatan dalam pengobatan
• Terapi farmakologis: diuretik thiazid (inisial), CCB.
e. Kehamilan 3
• Pilihan terapi: metildopa, p-blocker, dan vasodilator.
• Kontraindikasi: ACE-1 dan ARB.

411
*
|
f Panduan Praktlk Kllnis Ginial Hipertensi
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakit Dalam Indonesia J I

Tabel 4. Modifikasi Gaya Hidup pada Penderita Hipertensi1


Turunkan berat badan Target indeks massa tubuh ( IMT) < 25 kg/ m2
Diet rendah garam < 6 g NaCI/hari
Adaptasi menu diet DASH (Dietary Perbanyak buah, sayur, produk susu rendah
Approaches to Stop Hypertension ) lemakjenuh
Membatasi konsumsi alcohol Bagi peminum alkohol, konsumsi £2 gelas/hari
pada pria dan < 1 gelas/hari pada wanita
Aktivitas fisik Aerobik rutin, seperti jalan cepat selama 30
menit /hari

Modifikasi gaya hidup

1
Target TD <140/ 90 mmHg ( atau
< 130/80 mmHg pada pasien DM atau
penyakit ginjal kronis ) tidak tercapai

i
Inisiasi obat lini pertama

J J
Pencegahan umum Risiko tinggi PJK Stable angina,
Disfungsi ventrikel kiri
PJK Target <140/ 90 Target <130 / 80 unstable angina /
Target <120 /80
NSTEMI, STEMI
Target <130 / 80

ACE-I atau ARB atau


I
13 -blocker * + ACE-I ACE-I atau ARB dan
CCB atau diuretik thiazid atau ARB fi -blocker dan antagonis
atau kombinasi aldosteron dan diuretik
thiazid atau diuretik loop,
dan ISDN / hydralazine

Target TD masih belum


tercapai setelah
optimalisasi dosis

I
Pertimbangkan rujuk
ke spesialis hipertensi

Gambar 1. Algoritma Penatalaksanaan Hipertensi34

412
Hipertensi fgi
KOMPLIKASI
Hipertrofi ventrikel kiri, proteinuria dan gangguan fungsi ginjal, aterosklerosis
pembuluh darah, retinopati, stroke atau TIA, infark miokard, angina pektoris, gagal
jantung. 12

PROGNOSIS
Hipertensi tidak dapat disembuhkan, namun dapat dikontrol dengan terapi yang sesuai.
Terapi kombinasi obat dan modifikasi gaya hidup umumnya dapat mengontrol tekanan
darah agar tidak merusak organ target. Oleh karena itu, obat antihipertensi harus terus
diminum untuk mengontrol tekanan darah dan mencegah komplikasi. Studi menunjukkan
kontrol tekanan darah pada hipertensi menurunkan insidens stroke sebesar 35 -44%,
3

tetapi sampai saat ini belum jelas apakah golongan obat antihipertensi tertentu memiliki
perlindungan khusus terhadap stroke. Satu studi menunjukkan efek ARB (antagonis
reseptor All ) dibandingkan dengan penghambat ACE menurunkan risiko infark miokard,
stroke, dan kematian 13% lebih banyak, termasuk 25% penurunan risiko stroke baik fatal
maupun non-fatal.8

Tabel 5. Obat Anti Hipertensi Oral3


Kelas Nama obat Dosls (mg/harl)
Diuretik • Hidroklorotiazid 12.5 - 50
• Furosemid 20 - 80
• Spironolakton 25 - 50
j3-blocker • Metoprolol 50 - 100
• Bisoprolol 2.5 - 10
• Propanolol 40 - 160
Calcium channel blocker (CCB) • Amlodipin 2,5 - 10
• Nifedipin 30 - 60
• Verapamil 120 - 360
• Diltiazem 120 - 540
Angiotensin converting enzyme • Captopril 25 - 100
inhibitor ( ACE-I)
• Enalapril 5 - 40
• Lisinopril 10 - 40
Angiotensin receptor blocker ( ARB) • Losartan 25 - 100
• Valsartan 80 - 320
a-blocker • Klonidin 0, 1 - 0,8
Kombinasi a-blocker dan /3-blocker • Carvedilol 12,5 - 50
• Labetalol 200 - 800
Vasodilator direk • Hidralazin 25 - 100
• Minoxidil 2,5 - 80

413
Panduan PraktikKlinis Ginial
J
Hipertensi
Perhimpunan Dokter Spesiatis Penyakil Dolam Indonesia

Tabel 6. Petunjuk pemilihan obat dengon indikasi khusus 3


Obat - obat yang Dlrekomendaslkan
Indikasi khusus Penyekat Penghambat Antagonls Penghambat
Dlurettk Antagonls
Reseptor b ACE Reseptor All Kalslum Aldosteron
Gagal Jantung V V
Pasca Infark V V
Miokard
Risiko Tinggi V
Peny. Koroner
DM V
Penyakit Ginjal V
Kronik
Pencegahan V
Stroke Berulang

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Divisi Ginjal - Hipertensi, Divisi Kardiologi - Departemen
Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : ICCU / ICU , Departemen Ilmu Kesehatan Mata, Departemen
Neurologi
• RS non pendidikan : ICCU / ICU , Bagian Ilmu Kesehatan Mata, Bagian Neurologi

REFERENSI
l. Kotchen T. Hypertensive vascular disease. In: Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL,
. .
Loscalzo J. Harrison ' s Principles of Internal Medicine 18lhEdition New York: McGraw-Hill: 2012.halaman
2. Victor R. Arterial hypertension. In: Goldman, Ausiello. Cecil Medicine. 23rd Edition. Philadelphia:
Saunders, Elsevier; 2008.
3. Chobanian AV et al: The Seventh Report of the Joint National Committee on Prevention, Detection,
.
Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure: The JNC 7 Report JAMA. 2003:289:2560 .
4. O ' Brien E, Asmar R, Beilin L, et al. Practice guidelines of the European Society of Hypertension for
clinic, ambulatory and self blood pressure measurement. J Hypertens 2005:23:697-701 .
5. Pickering TG, Hall JE, Appel LJ, et al. Recommendations for blood pressure measurement in
humans and experimental animals part 1 : blood pressure measurement in humans a statement for
professionals from the Subcommittee of Professional and Public Education of the American Heart
Association Council on High Blood Pressure Research. AHA Scientific Statement. Hypertension.
2005; 45:142-61.
6. .
Rosendorff C, Black H, Cannon C, et al Treatment of hypertension in the prevention and
management of ischemic heart disease. Circulation. 2007:115:2761-88.
7. Aronow W, Fleg JL, Pepine CJ, et al. ACCF/ AHA 2011 Expert Consensus Document on Hypertension
in the Elderly. J Am Coll Cardiol. 2011;57;2037-l 14.
8. Psaty BM, Smith NL, Siscovick DS, et al. Health outcomes associated with antihypertensives
therapies used as first line-agent. A systematic review and meta -analysis. JAMA. 1997:277:739-45.

414
415

HIPERTROFI PROSTAT BENIGNA

PENGERTIAN
Hipertropi prostat adalah hiperplasia kelenjar periuretral yang kemudian
mendesak jaringan prostat asli ke perifer. 1

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis '
1. Gejala iritatif, yaitu sering miksi (frekuensi), terbangun pada malam hari untuk
miksi ( nokturia ), perasaan ingin miksi yang sangat mendesak (urgensi ), dan nyeri
saat miksi ( disuria ).
2. Gejala obstruktif adalah pancaran melemah, rasa tidak puas setelah miksi, kalau
mau miksi harus menunggu lama, harus mengedan, miksi terputus -putus , waktu
miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensi urin dan inkontinen karena
overflow.

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan colok dubur dapat memberikan kesan keadaan tonus sfingter anus,
mukosa rektum, serta kelainan lain seperti benjolan dalam rektum dan prostat. Pada
perabaan melalui colok dubur diperhatikan konsistensi prostat, adakah asimetri,
adakah nodul pada prostat, apakah batas atas dapat diraba . Derajat berat obstruksi
dapat diukur dengan menentukan jumlah sisa urin setelah miksi spontan. Sisa miksi
ditentukan dengan mengukur urin yang masih dapat keluar dengan kateterisasi . Sisa
urin dapat pula diketahui dengan melakukan ultrasonografi kandung kemih setelah
miksi .

Pemeriksaan Penunjang
Urinalisis, serum prostate spesific antigen ( PSA), serum creatinin. transrectal
ultrasonography ( TRUS) of the prostate untuk melihat ukuran dan volume prostat.

PanduanPraktikKIinis
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
o PanduanrrakUk minis Ginial
J Hipertensi
^
perhimpunan Dokler Spesiafc PenyaJcil Dalam Indonesia

DIAGNOSIS BANDING
1. Striktur uretra
2. Kontraktur leher vesika urinaria
3. Kanker prostat
4. Kanker vesika urinaria
5. Bladder calculi
6. Infeksi saruran kemih dan prostatitis
7. Neurogenic bladder

TATALAKSANA

Medikamentosa1
• Antagonis a-adrenergik (menghilangkan ketegangan otot halus) : terazosin,
doksazosin, dan tamsulosin
• Inhibitor 5-a reduktase ( mengurangi ukuran prostat): finasteride

Pembedahan2
• Transuretral resection of prostate ( TURP)
Indikasi: retensi urin akut, infeksi berulang, hematuria berulang, azotemia
• Open prostatectomy
Indikasi sama seperti TURP. Teknik ini dapat lebih dipertimbangkan untuk
obstruksi saluran keluar vesika urinaria, perkiraan pembesaran prostat > 100
gram, dan pada laki-laki dengan ankilosis panggul atau penyakit ortopedi lainnya.

KOMPLIKASI
1. Retensio urine
2. Insufisiensi renal
3. Infeksi saluran kemih berulang
4. Gross hematuria
5. Bladder calculi
6. Gagal ginjal atau uremia

PROGNOSIS
Sekitar 2,5% pasien mengalami retensio urine akut dan 6% membutuhkan terapi
invasif dalam 5 tahun. Risiko progresivitas BPH meningkat pada volume prostat dan
level PSA yang tinggi. Turunnya risiko progresivitas BPH tampak pada 39 % pasien

416
Hipertrofi Prostat Benigna

diterapi dengan doksazosin, 34% dengan finasterid, dan 66% dengan kombinasi
keduanya. Kombinasi doksazosin dan finasterid menurunkan risiko retensi urin akut
sebesar 81% dan operasi invasif sebesar 69%.3

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Divisi Ginjal - Hipertensi - Departemen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Departemen Bedah Urologi
• RS non pendidikan : Bagian Bedah

REFERENSI
1. AUA guideline on the management of benign prostatic hyperplasia: diagnosis and treatment
. _
recommendations. Diunduh dari http:/ / www auanet.org / guidelines / main reports / bph
_
_ .
management/ chapt l _appendix pdf pada tanggal 15 Mei 2012 .
2. . .
AUA clinical guidelines - management of BPH Diunduh dari http:/ / www.auanet org/ content/
guidelines-and-quality-care /clinical-guidelines.cfm ? sub=bph pada tanggal 15 Mei 2012.
3. .
McConnell JD, Roehrborn CG, Bautista O, et al The long term effect of doxazosin, finasteride,
and combination therapy on the clinical progression of benign prostatic hyperplasia. N Engl J
.
Med 2003;349:2387-98.

417
418

INFEKSI SALURAN KEMIH

PENGERTIAN
Infeksi Saluran Kemih (ISK) adalah keadaan adanya infeksi (ada perkembangbiakan
bakteri) dalam saluran kemih, meliputi infeksi di parenkim ginjal sampai infeksi di
kandung kemih dengan jumlah bakteriuria yang bermakna. Bakteriuria bermakna adalah
bila ditemukan pada biakan urin pertumbuhan bakteri sejumlah >100.000 per ml urin
segar (yang diperoleh dengan cara pengambilan yang steril atau tanpa kontaminasi) .1
Konsensus 2010 Infectious Disease Society of America ( IDSA) memberikan batasan
hasil positif kultur urine pada wanita adalah 103-104 organisme/ ml urine yang diambil
secara midstream.2 Sebanyak 20-40% wanita penderita ISK dengan gejala, memiliki
hasil kultur bakteri 102-104/ ml urine.3 Faktor risiko: Kerusakan atau kelainan anatomi
saluran kemih berupa obstruksi internal oleh jaringan parut, pemasangan kateter urin
yang lama, endapan obat intratubular, refluks, instrumentasi saluran kemih, konstriksi
arteri-vena, hipertensi, analgetik, ginjal polikistik, kehamilan, DM, atau pengaruh obat-
obat estrogen.4

ISK sederhana /tak Berkomplikasi


ISK yang terjadi tidak terdapat disfungsi struktural ataupun ginjal

ISK Berkomplikasi
ISK yang berlokasi selain di vesika urinaria, ISK pada anak-anak, laki-laki, atau ibu
hamil

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis4
ISK bawah frekuensi, disuria terminal, polakisuria, nyeri suprapubik.
ISK atas: nyeri pinggang, demam, menggigil, mual dan muntah, hematuria
Anannesa adanya faktor risiko seperti disebutkan diatas.

PanduanPraktik Klinis
Perhimpunan Dokler Spesiais Penyakil Dalam Indonesia
Infeksi Saluran Kemih Q

GEJALA KARAKTERISTIK PASIEN DIAGNOSIS DAN PERTIMBANGAN


KLINIS MANAJEMEN

Pertimbangkan sistisis tanpa


komplikasi
Wanita sehat tidak hamil, • Tidak diperlukan kultur urin
riwayat jelas
• Pertimbangkan telephone
management

Pertimbangkan sistisis tanpa


Wanita dengan komplikasi atau PMS
anamnesa tidak jelas,
terdapat faktor risiko
• Urinalisis, dipstick, kultur
• evaluasi PMS, pemeriksaan pelvis
Gejala akut
: disuria, Pertimbangkan prostatitis akut
Pria dengan nyeri • Urinalisis dan kultur
frekuensi,
perineal, prostat, pelvis
urgensi • Pertimbangkan evaluasi urologi

Pertimbangkan CAUTI
• Ganti atau cabut kateter
Ada kateter urin • Urinalisis dan kultur
• Kultur darah bila ada gejala
demam

Pertimbangkan ISK komplikasi


• Urinalisis dan kultur
Pasien lain • Cari adanya abnormalitas
fungsi maupun anatomi

Pertimbangkan pyelonefritis
tanpa komplikasi
Gejala akut : Wanita sehat, tidak hamil
• kultur urin
nyeri punggung, • pertimbangkan rawatjalan
nausea /muntah,
demam,
kemungkinan Pertimbangkan pyelonefritis
Pasien lainnya
gejala sistisis • kultur urin, kultur darah

Gejala akut :
Pertimbangkan ISK komplikasi /
nyeri punggung, Pasien dengan tanda dan pielonefritis
nausea /muntah, gejala infeksi sistemik dan
demam,
• pertimbangkan etiologi
tidak ada gejala yang potensial lainnya
kemungkinan jelas
gejala sistisis
• kultur urine, kultur darah

419
tfS
flwH
PanduanPraktikMinis Ginial
J Hioertensi
Perhimpunan Dokler Spesialls Penyakit Dalam Indonesia

GEJALA KARAKTERISTIK PASIEN DIAGNOSIS DAN PERTIMBANGAN


KLINIS MANAJEMEN

Pasien dengan
kehamilan, penerima Pertimbangkan Bakteriuri
transplantasi ginjal, akan asimptomatik
melalui prosedur urologi • Skrining dan terapi
Kultur urine (+) , invasif
tidak ada:
Gejala saluran
kemih Pertimbangkan Bakteriuri
Gejala Pasien lainnya asimptomatik
sistemik yang • tidak ada tambahan pemeriksaan
berhubungan penunjang atau tatalaksana
dengan
saluran kemih
Pertimbangkan Bakteriuri
asimptomatik terkait kateter
— Pasien dengan kateter urin • tidak ada tambahan pemeriksaan
penunjang atau tatalaksana
• Lepas kateter yang tidak
diperlukan

Pertimbangkan sistisis rekuren


• kultur urine untuk menegakkan
Wanita sehat, tidak hamil diagnosis
• pertimbangkan profilaksis atau
Gejala akut memulai terapi
infeksi saluran
kemih rekuren
Pertimbangkan prostatitis
— bacterial kronik
Pria
• -Tes meares-stamey 4 - glass
• -Pertimbangkan konsul urologi

Gambar 1. Pendekatan Diagnosis Pada Infeksi Saluran Kemih4

Pemeriksaan Fisik 4
Febris, nyeri tekan suprapubik, nyeri ketok sudut kostovertebra, demam

Pemeriksaan Penunjang'
• DPL, tes resistensi kuman, tes fungsi ginjal, gula darah.
• Kultur urin (+]: bakteriuria >105/ml urin
• Foto BNO - IVP bila perlu
• USG ginjal bila perlu

420
Infeksi Saluran Kemih

DIAGNOSIS BANDING
• Keganasan kandung kemih
• Nonbacterial cystitis
• Interstitial cystitis
• Pelvic inflammatory disease
• Pyeolonephritis akut
• Urethritis
• Vaginitis

TATALAKSANA1

Nonfarmakologis
• Banyak minum bila fungsi ginjal masih baik
• Menjaga higiene genitalia eksterna

Farmakologis
• Antimikroba berdasarkan pola kuman yang ada; Bila hasil tes resistensi kuman
sudah ada, pemberian antimikroba disesuaikan

Tabel 1.Antimikroba pada ISK Bawah tak Berkomplikasl4


Antimikroba Doils Lama Terapl
Trimetoprim- Sulfametoksazol 2 x 160 / 800 mg 3 hari
Trimetoprim 2 x 100 mg 3 hari
Siprofloksasin 2 x 100-250 mg 3 hari
Levofloksasin 2 x 250 mg 3 hari
Seflksim 1 x 400 mg 3 hari
Sefpodoksim proksetil 2 x 100 mg 3 hari
Nitrofurantoin makrokristal 4 x 50 mg 7 hari
Nitrofurantoin monohidrat makrokristal 2 x 100 mg 7 hari
Amoksisilin/klavulanat 2 x 500 mg 7 hari

Tabel 2. Obat parenteral pada ISK atas Akut Berkomplikasl4


Dost
Antimikroba *
2x 1 gram
Sefepim
Siprofloksasin 2x 400 mg
Levofloksasin 1 x500 mg
Ofloksasin 2x400 mg
Gentamisin ( + ampisilin) 1 x3-5 mg/ kgBB
3x 1 mg/kgBB
Ampisilin ( +gentamisin) 4x 1 -2 gram
Tikarsilin-klavulanat 3x3,2 gram
Piperasilin-tazobaktam 3- 12x3,375 gram
Imipenem-silastatin 3-4x250-500 mg

421
Panduan PraktikKlinis Ginjal
J Hipertensi
PerhimpunanDoklerSpesialisPenyakil Dalam Indonesia W

ISK PADA WANITA HAMIL7


PENGERTIAN
Bakteriuria asimptomatik: ditemukan minimal 105 / ml bakteri specimen urin steril
pada 2 kali pemeriksaan berturut-turut
Infeksi saluran kemih : ditemukan 103/ml bakteri dan adanya gejala ISK.

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis
Riwayat faktor risiko: wanita usia tua, paritas tinggi, status sosial ekonomi rendah,
riwayat ISK sebelumnya, abnormalitas fungsi dan anatomi, memiliki penyakit diabetes
mellitus atau sickle sell.

Pemeriksaan Fisik
Sama seperti ISK pada umumnya

Pemeriksaan Penunjang
Urinalisis, kultur urin. Ulangi pemeriksaan setelah 2 minggu untuk melihat eradikasi
bakteri.

TATALAKSANA
ISK pada kehamilan diterapi dengan antibiotika dan menghilangkan faktor
predisposisi. Terapi antibiotika lebih lengkapnya dibahas pada tabel 3 .

Tabel 3. Terapi Antibiotika pada Wanita Hamll dengan ISK4


Terapi dosls tunggal
Amoxicillin, 3g
Ampicilin, 2g
Cephalosporin, 2g
Nitrofurantoin, 200mg
TMP-sulfamethoxazole, 320/ 160mg
Terapi 3 harl
Amoxicillin, 3x500mg /hari
Ampicillin, 4x250mg/hari
Cephalosporin, 4x250mg/hari
Levofloxacin, lx250mg/hari

422
Infeksi Saluran Kemih

Nitrofurantoin, 4x50- 100mg ; 2xl 00mg/hari


TMP-sulfamethoxazole, 2xl 60/800mg
Terapl talnnya
Nitrofurantoin, 4xl 00mg/hari untuk 10 hari
Nitrofurantoin, 1OOmg pada waktu tidur selama 10 hari
BHa terapl gagal
Nitrofurantoin, 4xl 00mg/hari selama 21 hari
Bakteri penlsten atau kambuh
Nitrofurantoin, lOOmg at bedtime for reminder of pregnancy

ISK YANG DISEBABKAN OLEH JAMUR8


PENGERTIAN
Infeksi simple: kultur urin ditemukan > 105/ ml organism.
Infeksi complex: melibatkan infeksi saluran kemih bagian atas dan kultur darah positif .
Infeksi jamur pada saluran kemih kebanyakan adalah infeksi oportunistik. Yang paling
sering menyebabkan funguria adalah spesies Candida.

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesa
Penderita dapat tanpa gejala , disuria dan frekuensi . Adanya faktor resiko :
imunosupresan, diabetes, penggunaan antibiotika atau kortikosteroid jangka panjang,
penggunaan kateter urin jangka panjang.

Pemeriksan Fisik
Sama seperti ISK pada umumnya.

Pemeriksaan Penunjang
Kultur urin, urinalisis, pada CT scan dan IVP dapat tampak fungal ball.

TATALAKSANA
Infeksi simple: stop antibiotik yang biasa digunakan, lepas kateter urin. Bila cara ini
tidak berhasil maka lakukan irigasi saluran kemih dengan amphoterisi B (50 mg/ L
sebanyak 42 ml / jamJ
Infeksi complex: Terapi utama ISK jamur adalah dengan amphoterisin B intravena.
Untuk mengurangi efek sistemik seperti menggigil, demar dan kaku yang berhubungan

423
0 HSSJSSMB! Ginjal Hipertensi
dengan terapi, maka berikan premedikasi steroid, meperidine, ibuprofen, dan
dantrolene. Jika terdapat /imga / ball: ambil fungal ball secara percutaneus lanjutkan
dengan irigasi pelvis renalis dengan amphoterisin B.

KOMPLIKASI
Batu saluran kemih, obstruksi saluran kemih , sepsis, infeksi kuman yang
multiresisten, gangguan fungsi ginjal5

PROGNOSIS
Infeksi saluran kemih tanpa kelainan anatomis mempunyai prognosis lebih baik
bila dilakukan pengobatan pada fase akut yang adekuat dan disertai pengawasan
terhadap kemungkinan infeksi berulang. Prognosis jangka panjang pada sebagian
besar penderita dengan kelainan anatomis umumnya kurang memuaskan meskipun
telah diberikan pengobatan yang adekuat dan dilakukan koreksi bedah, hal ini terjadi
terutama pada penderita dengan nefropati refluks. Deteksi dini terhadap adanya
kelainan anatomis, pengobatan yang segera pada fase akut, kerjasama yang baik antara
dokter, dan pasien sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya perburukan yang
mengarah ke fase terminal gagal ginjal kronis.4

UNIT YANGMENANGANI
• RS pendidikan : Divisi Ginjal - Hipertensi - Departemen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Divisi Tropik Infeksi , Departemen Bedah Urologi -
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Bagian Bedah

REFERENSI
1. .
Infeksi saluran Kemih In: Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku
ajar ilmu penyakit dalam. 5lh ed. Jakarta; Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit
Dalam FKUI, 2009:2009 - 15
2. Infection of the Urinary Tract. Dalam: Wein et al. Campbell-Walsh Urology 9 lh Edition. Saunders.
3. Mehnert-Kay SA. Diagnosis and Management of Uncomplicated Urinary Tract Infections.
American Family Physician [serial online], August 1, 2005;27/No.3:l-9. Accessed September 22,
2010. Available at http:/ /www.aafp.org/ afp / 20050801 / 451.html.
4. Urinary tract Infections, Pyelonephirits, ad Prostatitis. In: Fauci A, Kasper D, Longo D, Braunwald E,
Hauser S, Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison’s principles of internal medicine. 18th ed. United
States of America; The McGraw-Hill Companies, 2012: 2911 - 39

424
Jnfeksi Saluran Kemih 0:
(

5. . .
Urinary tract Infection Copyrights 2012 @ Mayoclinic Diunduh dari http:/ /www.mayoclinic .com/
health/urinary-tract-infection/DS00286
6. Renal and Urinary Tract Disorders. Dalam: Cunningham, Gary F et al. Williams Obstretic 22
nd

Edition. The McGraw-Hills Companies .


7. .
Hickey, Kimberly W. Renal Complications. Dalam:Evans, Arthur T. Manual of Obstretic Lippincott
Williams 8, Wilkins. 2007
8. Urology. Dalam ; Brunicandi, Charles F. Schwartz' s Principle of Surgery 8lh Edition. The McGraw-
Hill Companies. 2007.

425
426

KRISIS HIPERTENSI

PENGERTIAN
Istilah "Krisis Hipertensi" merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai dengan
peningkatan tekanan darah mendadak pada penderita hipertensi , dimana tekanan
darah sistolik (TDS) > 180 mmHg dan tekanan darah diastolik (TDD) > 120 mmHg,
dengan komplikasi disfungsi dari target organ, baik yang sedang dalam proses
( impending ) maupun sudah dalam tahap akut progresif. Yang dimaksud target organ
disini adalah jantung, otak, ginjal, mata (retina), dan arteri perifer. 1 Sindroma klinis
krisis hipertensi meliputi : 2
1. Hipertensi gawat ( hypertensive emergency ) : peningkatan tekanan darah yang
disertai kerusakan target organ akut .
2. Hipertensi mendesak ( hypertensive urgency)-, peningkatan tekanan darah tanpa
disertai kerusakan target organ akut progresif .
3 . Hipertensi akselerasi ( acceleratedhypertension ): peningkatan tekanan darah yang
berhubungan dengan perdarahan retina atau eksudat.
4. Hipertensi maligna ( malignant hypertension ): peningkatan tekanan darah yang
berkaitan dengan edema papil.
Dari klasifikasi di atas, jelas terlihat bahwa tidak ada batasan yang tajam antara
hipertensi gawat dan mendesak, selain tergantung pada penilaian klinis. Hipertensi
gawat ( hypertensive emergency / HE) selalu berkaitan dengan kerusakan target organ,
tidak dengan level spesifik tekanan darah . Manifestasi klinisnya berupa peningkatan
tekanan darah mendadak sistolik > 180 mmHg atau diastolik > 120 mmHg dengan
adanya atau berlangsungnya kerusakan target organ yang bersifat progresif seperti
perubahan status neurologis , hipertensif ensefalopati, infark serebri , perdarahan
intrakranial , iskemi miokard atau infark, disfungsi ventrikel kiri akut, edema paru
akut, diseksi aorta, insufisiensi renal , atau eklampsia. Istilah hipertensi akselerasi
dan hipertensi maligna sering dipakai pada hipertensi mendesak .

Panduan Praktik Klinis


Perhimpunon Dokter Spesiolis Penyakil Dalam Indonesia
Krisis Hipertensi

Tabel 1 . Karakteristik Klinis HE2


Temuan Status Temuan Gejala pada Gejala
TD (mmHg) glnjal saluran cerna
funduskopl Neurologls Jantung
Biasanya > Perdarahan, Nyeri kepala, Pulsasi apeks Azotemia, Mual, muntah
220 / 140 eksudat, disorientasi, prominen, proteinuria,
edema papil somnolen, stupor , kardiomegali, oligouria
gangguan congestive heart
penglihatan failure ( CHF)

PENDEKATAN DIAGNOSIS3 5
• Anamnesis: selain ditanyakan mengenai etiologi hipertensi pada umumnya,
perlu juga ditanyakan gejala - gejala kerusakan target organ seperti : gangguan
penglihatan, edema pada ekstremitas, penurunan kesadaran, sakit kepala , mual /
muntah, nyeri dada, sesak napas, kencing sedikit / berbusa, nyeri seperti disayat
pada abdomen.
• Pemeriksaan fisik: Tekanan darah pada kedua ekstremitas, perabaan denyut nadi
perifer, bunyi jantung, bruit pada abdomen, adanya edema atau tanda penumpukan
cairan, funduskopi, dan status neurologis.
• Pemeriksaan penunjang: darah perifer lengkap, panel metabolik, urinalisis,
toksikologi urin, EKG, CT Scan, MRI, foto toraks

Berikut merupakan evaluasi triase hipertensi emergency dan hipertensi urgency (tabel 2].

Tabel 2. Evaluasi Triase pada Hipertensi Emergency dan Hipertensi Urgency 2


Hipertensi urgency
Parameter Hipertensi emergency
Aslmtomatlk Slmtomatlk
TD (mmHg) > 180/ 110 > 180/ 110 Biasanya > 220/ 140
Gejala Nyeri kepala, cemas: sering Nyeri kepala berat, napas Napas pendek, nyeri dada,
asimptomatik pendek ( shortness of breath) nokturia , disartria, lemah,
gangguan kesadaran
Pemeriksaan Kerusakan organ target (-), Kerusakan organ target ( +) , Ensefalopati, edema paru,
temuan klinis kardiovaskular temuan klinis kardiovaskular insuflsiensi renal, gangguan
H ( +) , stabil serebrovaskular , iskemik
jantung
Terapi Observasi l -3 jam; mulaidan Observasi 3-6 jam: turunkan Pemeriksaan laboratorium;
lanjutkan terapi; naikkan TD dengan antihipertensi line intravena: dapat dimulai
dosis agen yang tidak oral short-acting terapi parenteral di IGD
adekuat
Rencana Follow-up dalam 3-7 hari Follow-up dalam < 72 jam Rawat dalam ICU: terapi
inisial untuk mencapai target
TD: pemeriksaan diagnostik
tambahan
Keterangan :
TD = tekanan darah; IGD = instalasi gawat darurat; ICU = intensive care unit

All
ffS Panduan Praktlk Minis Ginjal
J Hipertensi
Perhimpunan Dokter SpeslaKs Penyakil Dalam Indonesia W1 W

DIAGNOSIS BANDING

Penyebab hipertensi emergency 3 4


Hipertensi maligna terakselerasi dan papiledema
• Kondisi serebrovaskular: ensefalopati hipertensi, infark otak aterotrombotik
dengan hipertensi berat, perdarahan intraserebral, perdarahan subarahnoid, dan
trauma kepala
• Kondisi jantung: diseksi aorta akut, gagal jantung kiri akut, infark miokard akut,
pasca operasi bypass koroner
• Kondisi ginjal: GN akut, hipertensi renovaskular, krisis renal karena penyakit
kolagen -vaskular, hipertensi berat pasca transplantasi ginjal
• Akibat katekolamin di sirkulasi: krisis feokromositoma, interaksi makanan atau
obat dengan MAO inhibitor, penggunaan obat simpatomimetik, mekanisme rebound
akibat penghentian mendadak obat antihipertensi, hiperrefleksi otomatis pasca
cedera korda spinalis
• Eklampsia
• Kondisi bedah: hipertensi berat pada pasien yang memerlukan operasi segera,
hipertensi pasca operasi, perdarahan pasca operasi dari garis jahitan vaskular
• Luka bakar berat
• Epistaksis berat
• Thrombotic thrombocytopenic purpura

TATALAKSANA
• Hipertensi mendesak ( hypertensive urgency / HU/ dapat diterapi rawat jalan
dengan antihipertensi oral; terapi ini meliputi penurunan TD dalam 24- 48 jam.
Penurunan TD tidak boleh lebih dari 25% dalam 24 jam pertama.6 Terapi lini
pertama HU seperti tercantum pada tabel 3. Nifedipine oral ataupun sublingual
(SL) saat ini tidak lagi dianjurkan karena dapat menyebabkan hipotensi berat dan
iskemik organ.7
• Pada sebagian besar HE, tujuan terapi parenteral dan penurunan mean arterial
pressure ( MAP) secara bertahap (tidak lebih dari 25% dalam beberapa menit
sampai 1 jam). Aturannya adalah menurunkan arterial pressure yang meningkat
sebanyak 10% dalam 1 jam pertama, dan tambahan 15% dalam 3-12 jam . Setelah
diyakinkan tidak ada tanda hipoperfusi organ, penurunan dapat dilanjutkan dalam
2 - 6 jam sampai tekanan darah 160 /100 -1lOmmHgselanjutnya sampai mendekati
normal. TD dapat diturunkan lebih lanjut dalam 48 jam berikutnya. Pengecualian

428
Krisis Hipertensi ,$)

untuk aturan ini antara lain pada diseksi aorta dan perdarahan pasca operasi dari
bekas jahitan vaskular, yang merupakan keadaan yang membutuhkan normalisasi
TD secepatnya. Pada sebagian besar kasus, koreksi cepat tidak diperlukan karena
pasien berisiko untuk perburukan serebrak jantung, dan iskemi ginjal.
1,4

• Pada hipertensi kronis, autoregulasi serebral di -set pada TD yang lebih tinggi
daripada normal. Penyesuaian kompensasi ini untuk mencegah overperfusi
jaringan ( peningkatan TIK) pada TD sangat tinggi, namun juga underperfusion
[iskemi serebral) apabila TD diturunkan terlalu cepat. Pada pasien dengan penyakit
jantung koroner, penurunan TD diastolik terlalu cepat di ICU dapat memicu iskemik
miokard akut atau infark .4
• Terapi antihipertensi parenteral pada HE seperti tercantum pada tabel 4.

Tabel 3. Terapi lini pertama pada HU2- e


Obat Dosls Awttan lama keija
Captopril Rekomendasi: 25 mg PO atau SL 15-30 menit; 6-8 jam;
Range dosis; 6,25-50 mg PO 10-20 menit SL 2-6 jam
Dosis maks: 50 mg PO
Clonidine Rekomendasi: 0,1 -0,2 mg PO, dilanjutkan dengan 15-30 menit 2-8 jam
0,05-0, 1 mg per jam s /d efek yang diinginkan
Dosis maks; 0,8 mg PO
Labetalol Range dosis: 200-400 mg PO, dapat diulang tiap 1-2 jam 2-12 jam
2-3 jam
Dosis maks: 1200 mg PO
Amlodipin Range dosis: 2,5-5 mg PO 1 -2 jam 12-18 jam

Tabel 4. Terapi antihipertensi parenteral pada HE3


Obat Dosis Intravena
Nitroprusside Inisial 0,3 pg/kg/menit; biasa 2-4 pg/kg/menit; maks 10 pg/kg/menit selama
10 menit
Nicardipine Inisial 5 mg/jam; titrasi 2,5 mg/ jam tiap interval 5- 15 menit; maks 15 mg/ jam
Labetalol 2 mg/ menit s / d 300 mg atau 20 mg dalam 2 menit, kemudian 40-80 mg
pada interval 10 menit s / d total 300 mg
Esmolol Inisial 80-500 pg/kg dalam 1 menit, kemudian 50-300 pg/kg/ menit
Phentolamine 5-15 mg bolus
Nitrogliserin Inisial 5 pg/menit, titrasi 5 pg/menit tiap interval 3-5 menit; apabila tidak
ada respon pada 20 pg /menit, dosis tambahan 10-20 pg /menit dapat
digunakan
Hydralazine 10-50 mg tiap interval 30 menit

429
PanduanPraktikMinis Ginial Hipertensi
^ f Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakit Dalam Indonesia J

Tatalaksana Krisis Hipertensi pada Keadaan Khusus


Berikut adalah terapi pilihan krisis hipertensi pada beberapa keadaan khusus
seperti tercantum pada tabel 5 - 7 .

Tabel 5. Terapi Antihlpertensi Parenteral Terpilih bagi HE Pada Keadaan Khusus2 3


Keadaan emergens! Pilihan obat (drugs of choice) Target TD
Hipertensif ensefalopati Nitroprusside 20%- 25% dalam 2-3 jam
Stroke iskemik Nicardipine, 0%-20% dalam 6-12 jam
nitroprusside (kontroversial)
Perdarahan subaraknoid Nitroprusside, nimodipin, nicardipin 20%-25% dalam 2-3 jam
Infark miokard akut , Nitrogliserin, nitroprussid, nicardipin Sekunderdari pemulihan iske-
iskemik mik
Edema paru Nitroprusid, nitrogliserin, labetalol Memperbaiki gejala 10%- 15%
dalam 1 -2 jam
Diseksi aorta Nitroprusid + esmolol TDS 110-120 secepatnya
Kegawatan pada ginjal Fenoldopam, nitroprusside, labetalol Target TD 20% - 25% dalam
( renal emergenciesJ 2-3 jam
Katekolamin berlebihan Pentolamine, labetalol Kontrol serangan tiba - tiba
10%- 15% dalam 1 -2 jam
Preeklampsia / eklampsia Hydralazin, labetalol, nicardipin TDS < 150 mmHg, TDD 80- 100
dalam kehamilan mmHg9

Tabel 6. Tatalaksana Pre- Eklampsia dalam Kehamilan9


Hipertensi ringan Hipertensi sedang Hipertensi berat
Rawat inap Ya Ya Ya
Terapi Tidak Labetalol oral sebagai Labetalol oral sebagai
lini pertama dengan lini pertama dengan
target TD <150 / 80- target TD <150 / 80- 100
100 mmHg mmHg
Pengukuran TD Sedikitnya 4x / hari Sedikitnya 4x / hari > 4x / hari, tergantung
klinis
Pemeriksaan Tidak periu mengulang pemeriksaan kuantitatif
proteinuria
Pemeriksaan darah Monitor fungsi ginjal, Monitor fungsi ginjal, Monitor fungsi ginjal,
elektrolit, hitung darah elektrolit, hitung elektrolit, hitung
lengkap, transaminase, darah lengkap, darah lengkap,
bilirubin 2x /minggu transaminase, bilirubin transaminase, bilirubin
3x /minggu 3x/minggu

430
Krisis Hipertensi <fp

Tabel 7. Rekomendasi AHA/ ASA 2006 untuk tatalaksana hipertensi pada stroke iskemik akut10
Tekanan Darah Tatalaksana
Non-kandidat terapi Observasi kecuali ada disfungsi organ target ( contoh diseksi aorta, infark
trombolisis: TDS 2220 miokard akut, edema paru, hipertensif ensefalopati)
atau TDD 2120 Tatalaksana gejala lain stroke (nyeri kepala, nyeri, agitasi, mual, muntah)
Tatalaksana komplikasi akut stroke lainnya seperti hipoksia, peningkatan
TIK, kejang atau hipoglikemia
Non-kandidat terapi Labetalol 10-20 mg IV selama 1 -2 menit, dapat diulang atau digandakan
trombolisis: TDS >220 tiap 10 menit (max 300 mal atau Nicardipine 5 ma /iam infus dosis awal, titrasi
atau TDD 121-140 2,5 mg/ jam tiap 5 menit s /d 15 mg / jam sampai target TD yang diinginkan.
Target penurunan TD 10-15%
Non-kandidat terapi Nitroprussid 0,5 g /kgBB/menit infus IV dosis inisial dengan monitoring TD
trombolisis: TDD >140 kontinu
Target penurunan TD 10-15%
Kandidat terapi Labetalol 10-20 mg IV selama 1 -2 menit, dapat diulang 1 x atau nitropaste
trombolisis ( sebelum 1 -2 menit
tatalaksana) TDS >185
atau TDD >110
Kandidat terapi • cek TD tiap 15 menit selama 2 jam -» tiap 30 menit selama 6 jam
trombolisis ( selama / berikutnya -» lanjut tiap jam selama 16 jam
setelah perawatan) • Sodium Nitroprussid 0,5 g/kgBB /menit infus IV dosis inisial, titrasi sampai
• Monitor tekanan target TD
darah • Labetalol 10 mg selama 1-2 menit, dapat diulang atau digandakan
• TDD 140 tiap 10 menit ( max 300 mg) atau diberikan dosis inisial, kemudian mulai
• TDS > 230 a t a u drip 2-8 mg /menit atau Nicardipine 5 mg /jam infus dosis awal, titrasi 2,5
diastolik 121-140 mg/ jam tiap 5 menit s/ d 15 mg/ jam sampai target TD yang diinginkan.
• TDS 180- 230 atau Apabila TD tidak dapat terkontrol dengan labetalol, pertimbangkan
TDD 121- 140 sodium nitroprussid
• TDS 180- 230 atau • Labetalol 10 mg selama 1-2 menit, dapat diulang atau digandakan tiap
TDD 105-120 10-20 menit ( max 300 mg) atau diberikan dosis inisial, kemudian mulai
drip 2-8 mg/ menit

KOMPLIKASI
Kerusakan organ target

PROGNOSIS
Tergantung respon terapi dan kerusakan target organ

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Divisi Ginjal - Hipertensi , Divisi Kardiologi - Departemen
Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : ICCU, Departemen Kesehatan Mata, Departemen Penyakit Saraf
• RS non pendidikan : ICCU / ICU, Bagian Kesehatan Mata , Bagian Penyakit Saraf

431
# fSSSSSSSB. Ginja| Hipertensi

REFERENSI
1. Chobanian AV etal: The Seventh Report of the Joint National Committee on Prevention, Detection,
.
Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure: The JNG 7 Report JAMA, 2003; 289:2560-72 .
2 . . . .
Vldt DG Hypertensive Crisis In : Carey W, Abelson A, Dwelk R, et al Current Clinical Medicine.
. . .
2nd Edition. The Cleveland Clinic Foundation Philadelphia : Elsevier 2010 Tersedla di http:/ /
.
www.clevelandcllnicmeded com/medicalpub3/diseasemanagement/nephrology/hypertensive-
crises/
3:- •ICdtclTerttrHypfffehsiyeArascdlai Disease. In : Longo DLVFG05T'A$J KOSltertn* HdOSSr Strjafflgldn
JL, Loscaizo J. Harrison' s Principles of Infernal Medicine. 18lh Edition. NewYork: McGraw-Hill Medical
Publishing Division; 2012.
. . .
4 Victor R. Arterial Hypertension In: Goldman L, Ausiello D, eds. Cecil medicine 23rd ed Philadhelphia,
Pa: Saunders Elsevier; 2007.
.
5 Roesma J. Krisis Hipertensi. Dalam : Sudoyo A, Sefiyohadi B, Alwi I, et al. Buku Ajar llmu Penyakit
. .
Dalam. Edisi V. Jilid II Jakarta: Interna Publishing; 2009 Hal 1103-4
. .
6 Vadiya C, Ouellette J. Hypertensive urgency and emergency Hospital Physician. 2007;43:43 50.
.
7. BenderS, Filippone J, HeitzS, Bisognano J A systematic approach to hypertensive urgencies and
-
.
emergencies. Curr Hypertehs Rev 2005;1:275-281 ' .
. . .
8 Hardy Y, Jenkins A. Hypertensive Crisis ; Urgencies and Emergencies US Pharm 2011;36 (3) :Epub .
. .
Diakses melalui http://www uspharmacist eom/content /d/ feature/i/ 1444/c /27112/ pada 12
Mel 2012 .
9. National Institute for Health and Clinical Excellence. NICE clinical guideline 107 - Hypertension in
pregnancy: the management of hypertensive disorders during pregnancy. August 2010. Diunduh
dari http://www.nice.org.uk/nicernedia / live / l 3098/50418 /50418.pdf pada tanggal 18 Mei 2012.
10. Goldstein LB, Adams R, Alberts MJ, et al. American Heart Association; American Stroke Association
Stroke Council. Primary prevention of ischemic stroke: a guideline from the AHA /ASA. Circulation
-
2006;113:e873 e923.

432
433

PENYAKIT GLOMERULAR

PENGERTIAN
Penyakit Glomerular merupakan penyakit ginjal berupa peradangan pada glomerulus
dan dapat dibedakan menjadi penyakit glomerular primer atau sekunder.
1

Penyakit Glomerular Primer1


1. Kelainan minimal
2. Glomerulosklerosis fokal segmental
3. Glomerulonefritis (GN ) difus:
a. GN membranosa ( nefropati membranosa)
b. GN proliferatif (terdapat sedimen aktif pada urinalisis: sedimen eritrosit ( +),
hematuri):
GN proliferatif mesangial
- GN proliferatif endokapiler
GN membranoproliferatif (mesangiokapiler)
GN kresentik dan necrotizing
c. GN sclerosing
4. Nefropati IgA

Penyakit Glomerular Sekunder


1. Nefropati diabetik
2. Nefritis lupus
3. GN pasca infeksi
4. GN terkait hepatitis
5. GN terkait HIV

Keterangan

• Difus: lesi mencakup >80% glomerulus.


• Fokal: lesi mencakup <80% glomerulus.
• Segmental: lesi mencakup sebagian gelung glomerulus.
• Global: lesi mencakup keseluruhan gelung glomerulus.

PanduanPraktlk Minis
Perhimpunan Dokter ! i Indonesia
m1
jfyf '
Panduan Praktik Klinis
Perhimpunan DoklerSpesialis Penyakil Dalarn Indonesia Ginial Hioertensi
J

DIAGNOSIS2

Anamnesis
Warna urine, keluhan penyerta: lemas, bengkak, sesak, kadang terdapat syndroma
uremik : mual , muntah .

Pemeriksaan Fisik
Dapat ditemukan hipertensi, edema anasarka

Pemeriksaan Penunjang
• Urin : proteinuria, hematuria, piuria, silinder eritrosit.
• Darah : kreatinin meningkat
• Biopsi ginjal

DIAGNOSIS BANDING
Etiologi dari penyakit glomerular

TATALAKSANA
Tatalaksana tergantung etiologi, terapi beberapa penyakit glomerular dapat dilihat
lebih lengkap pada tabel 1.

Tabel 1. Beberapa Penyebab Penyakit Glomerulus Sekunder Tersering2


Penyaldt Diagnosis Tatalaksana khusus Prognosis
Poststreptococcus Anamnesis Suportif : kontrol Sebesar 1 % kasus
glomerulonefritis Biasanya pada anak usia 2- 14 hipertensi, edema, menjadi gagal
tahun dan orang tua, riwayat dialysis jika perlu. ginjal pada
streptococcus faringitis, riwayat Antibiotika anak. Pada lanjut
impetigo, gejala sistemik : sakit usia, sebesar
kepala, malaise, anoreksia, nyeri 60% menjadi
pinggang azotemia. Angka
Laboratorium kekambuhan
Urin : kultur streptococcus jarang
( +) , titer ASO meningkat, kecuali infeksi
anti DNA-ase, atau antibody streptococcus
antihyaluronidase, biopsy ginjal berulang.
( jarang)
Subakut Bakterlal Labroratorium Antibiotika Prognosis fungsi
Endokarditls Biopsi ginjal : proriferasi fokal ginjal baik.
sekitar focus nekrosis yang
berkaitan dengan banyaknya
mesangial, subendothelial, dan
deposit imun subepithelial dari
IgG, IgM, dan C3.

434
Penyakit Glomerular

Penyakit Diagnosis Tatalaksana khusus Prognosis


Titer rheumatoid factor ,
cyroglobulin tipe III, dan
circulating immune complexes
yang meningkat. CRP
meningkat.
Kultur darah (+)
Nefritls Lupus Anamnesis Steroid, Pasien dengan
Gejala kulit : ruam, fotosensitif cyclophosphamide proliferasi
Laboratorium / mycophenolate ringan memiliki
Anti-dsDNA antibody, mofetil selama progesifitas < 5%
hipokomplementemia, 2-6 bulan, untuk menjadi
imunosupresan gagal ginjal.
: cyclosporine,
tacrolimus,
rituximab,
azathioprine.
Nefropati IgA Anamnesis Suportif : ACE Jarang yang
Episodik hematuria inhibitor, steroid, berkembang
Laboratorium cytotoxic menjadi progresif.
Biopsi ginjal : deposit difus IgA agents , and Progresifitas
pada mesangial, hiperselular plasmapheresis . lambat, sekitar 20-
mesangial 25 tahun, 25-30%
menjadi gagal
ginjal.
Glomerulosklerosis Biopsi ginjal : focal and Renin-angiotensin Ras Afrika-
fokal segmental segmental scarring , lesi inhibitor, steroid, amerika,
selular dengan endocapiltary cyclosporin insufisiensi ginjal
hypercellularity berkaitan dengan
hasil yang buruk,
50% pasien
berkembang
menjadi gagal
ginjal dalam 6-8
tahun.
Nefropati dlabetlk Faktor risiko : hiperglikemia, Kontrol 50% pasien
hipertensi, dyslipidemia, perokok, hiperglikemia berkembang
riwayat keluarga nefropati dengan insulin dan menjadi gagal
diabetic, obesitas. obat antidiabetik ginjal setelah 5- 10
Anamnesa peroral. tahun.
Keluhan klasik DM, poliuri,
polidipsi, polifagi, penurunan
berat badan, anamnesa faktor
risiko.
Laboratorium
Urin : glukosuria, albuminuria. Laju
filtrasi glomerulus menurun .
PanduanPrakUkKllnls Ginjal Hipertensi
J •
PdMhinwunon Dofclar Spwiiafa Penyv ll Datam kxtonQffo
*

U Z I' 1/
KOMPLIKASI ^ y A: , “\ n

Gagal ginjal akut dan kronis, penyakit ginjal stadium akhir 2 .


PROGNOSIS
Prognosis tergantung etiologi. Prognosis beberapa penyakit glomerular dapat
dilihat lebih lengkap pada, tabel, i

UNIT YANG MENANGANI


• RS ftleffiMft&n : ) jYjsi Qinjal-Hipertensi - Departemen Penyakit Dalam
|
'

• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam

UNIT JERKAIT
:-
• RS non pendidikan !“

REFERENSI
1. Penyakit glomerular. In: Sudoyo A, Setiyohadl B, Alwi I, Simadlbrata M, Setjati S, editors. Buku

.
.
Dalam FKUI 2009:2009 - 15
*
. .
^^ ^
ajarilmu penyakit dalam. S ed. Jakarta; Pusat Infortnasl dart PenefBitdn BdQidriirrHU F hj/dl it

2
.
Lewis JB< Mellsdn EG Glomerular Disease Dalam : Fguci A, Kgsper D, longo D, Braunwald E, Hauser
.
. . .
5, Jdmesorid Loscalzo J, editors Harrison'S principles of internal medicine 18lh ed United States
of AmefloaFTffe McGraw-Hill Companies 2Q12: 2911 - 39

436
437

PENYAKIT GINJAL KRONIK

PENGERTIAN
Penyakit ginjal kronik ( PGK) merupakan penurunan progresif fungsi ginjal yang
bersifat ireversibel , Menurutguideline The National Kidney Foundation's Kidney Disease
Outcomes Quality Initiative ( NKF KDOQI ), PGK didefinisikan sebagai kerusakan ginjal
persisten dengan karakteristik adanya kerusakan struktural atau fungsional (seperti
mikroalbuminuria / proteinuria, hematuria, kelainan histologis ataupun radiologis ) ,
dan / atau menurunnya laju filtrasi glomerulus ( LFG ) menjadi < 60 ml / menit / 1, 73 m
2

selama sedikitnya 3 bulan .1


Berikut adalah stadium PGK dan rencana tindakan berdasarkan klinis
(tabel 1) dan klasifikasi tekanan darah (tabel 2) .

Tabel 1. Stadium PGK dan rencana Tindakan Berdasarkan Klinis2


LFG Rencana
Derajat Deskrlpsl
(ml/menlt/ 1,73 m2)
Kerusakan ginjal dengan > 90 Diagnosis, tatalaksana penyakit
-
G1
LFG normal atau meningkat penyerta dan komorbid, 4 risiko
penyakit kardiovaskular
G2 Kerusakan ginjal dengan 60-89 Estimasi progresifitas
-
4 LFG ringan
Evaluasi dan tatalaksana komplikasi
G3a 4,LFG sedang 45-59
G3b 4.LFG sedang-berat 30-44 Evaluasi dan tatalaksana komplikasi
G4 -
4 LFG berat 15-29 Persiapan dialisis / transplantasi
ginjal
G5 Gagal ginjal kronik ( end- <15 Dialisis / transplantasi ginjal
stage renal disease / ESRD )

Proteinuria merupakan suatu marker dini dan sensitif pada berbagai tipe
kerusakan ginjal . Albumin merupakan protein yang paling banyak terdapat pada urin
penderita PGK . Nilai normal ekskresi albumin urin pada dewasa adalah 10 mg / hari ,
dan dipengaruhi oleh berbagai kondisi seperti postur tubuh, olahraga, kehamilan,
dan demam . 2 Oleh karena itu , sering terjadi hasil proteinuria dan albuminuria palsu
dalam praktek sehari - hari karena berbagai kondisi seperti tercantum pada tabel 2 .
Penilaian hasil proteinuria pada dewasa dilakukan dengan pengambilan spesimen

PanduanPraktik Klinis
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
itfS: PanduanPraktikMinis Ginial
J
Hipertensi
Perhimpunan Dokter Sposiafis Penyakit Do orn Indonesia

.
*
urin pagi hari dan hasil > +1 pada dipstick memerlukan konfirmasi lebih lanjut dengan
penilaian kuantitatif dalam 3 bulan. Pada pasien dengan proteinuria > + 2 pada tes
kuantitatif dalam interval 1- 2 minggu, didiagnosis sebagai proteinuria persisten dan
dilakukan evaluasi dan tatalaksana lebih lanjut seperti pada pasien PGK. Monitoring
proteinuria pada PGK selalu menggunakan tes kuantitatif . 2

Tabel 2. Stadium PGK Berdasarkan Klasifikasi Tekanan Darah2


Dengan kerusakan glnjal Tanpa kerusakan glnjal
LFG (ml/menH/ 1,73 m2)
Dengan TDT Tanpa TDT Dengan TDT Tanpa TDT
3
90 1 1 Hipertensi Normal
60-89 2 2 Hipertensi dengan

*
LFG * LFG*

30-59 3 3 3 3
15 - 29 4 4 4 4
<15 ( atau dialisis) 5 5 5 5
Keterangan :
Daerah yang diarsir merupakan PGK beserta stadiumnya
TDT = tekanan darah tinggi / hipertensi, yaitu sistolik 3140 /90 pada dewasa dan > persentil 90 pada anak menurut tinggi dan
berat badan
*Dapat normal pada bayi dan orang tua

Tabel 3 . Kondisi yang Menyebabkan Hasil Positif Palsu pada Proteinuria dan Albuminuria2
Positlf palsu Negattf palsu
Keseimbangan
cairan
Dehidrasi -> konsentrasi protein urin V - Hidrasi berlebihan -» konsentrasi
protein urin
Hematuria Jumlah protein urin l '
Olahraga
Infeksi
--
Ekskresi protein urin T
Produksi protein dari organisme dan
reaksi selular terhadap organisme
tersebut
Protein urin lain Protein ini biasanya tidak
selain albumin bereaksi sekuat albumin pada
reagen dipstick
Obat-obatan Urin sangat alkalis (pH >8) dapat
bereaksi dengan reagen dipstick

Penilaian awal / skrining pada dewasa dengan risiko tinggi PGK, pemeriksaan
sampel albumin urin sebaiknya menggunakan albumin specific dipstick atau ratio -
albumin -kreatinin. Sedangkan untuk monitoring proteinuria pada dewasa dengan
PGK, ratio protein -kreatinin pada sampel urin sebaiknya diperiksa menggunakan ratio
albumin - kreatinin dan ratio protein total - kreatinin, apabila ratio albumin - kreatinin
tinggi ( > 500 mg - 1.000 mg / g).2

438
Penyakit Ginjal Kronik

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis3 4
• Riwayat hipertensi, DM, ISK, batu saluran kemih, hipertensi, hiperurisemia, lupus
• Riwayat hipertensi dalam kehamilan (pre-eklampsi, abortus spontan)
• Riwayat konsumsi obat NSA1D, penisilamin, antimikroba, kemoterapi, antiretroviral,
proton pump inhibitors, paparan zat kontras
• Evaluasi sindrom uremia : lemah, nafsu makant, berat badani, mual, muntah,
nokturia, sendawa, edema perifer, neuropati perifer, pruritus, kram otot, kejang
sampai koma
• Riwayat penyakit ginjal pada keluarga, juga evaluasi manifestasi sistem organ
seperti auditorik, visual, kulit dan lainnya untuk menilai apa ada PGK yang
diturunkan (Sindrom Alport atau Fabry, sistinuria) atau paparan nefrotoksin dari
lingkungan (logam berat)

Pemeriksaan Fisik3
• Difokuskan kepada peningkatan tekanan darah dan kerusakan target organ :
funduskopi, pemeriksaan pre-kordial (heaving ventrikel kiri, bunyi jantung IV)
• Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit : edema, polineuropati
• Gangguan endokrin -metabolik : amenorrhea, malnutrisi, gangguan pertumbuhan
dan perkembangan, infertilitas dan disfungsi seksual
• Gangguan saluran cerna : anoreksia, mual, muntah, nafas bau urin ( uremic fetor ),
disgeusia ( metallic taste), konstipasi
• Gangguan neuromuskular : letargi, sendawa, asteriksis, mioklonus, fasikulasi otot,
restless leg syndrome, miopati, kejang sampai koma
• Gangguan dermatologis : palor, hiperpigmentasi, pruritus, ekimosis, uremic frost,
nephrogen ic fibrosing dermopathy

Pemeriksaan Penunjang3 4
• Laboratorium : darah perifer lengkap, penurunan LFG dengan rumus Kockroft-
Gault, iserum ureum dan kreatinin, tes klirens kreatinin (TTK) ukur, asam urat,
elektrolit, gula darah, profil lipid, analisa gas darah, serologis hepatitis, SI, TIBC,
feritin serum, hormon PTH, albumin, globulin, pemeriksaan imunologi, hemostasis
lengkap, urinalisis
• Radiologis : foto polos abdomen, BNO IVP, USG, CT scan, ekokardiografi
• Biopsi ginjal

439
Panduan Praktik Klinis Ginial
J Hioertensi
Perhlmpunan Dokler SpesiaHs Penyakil Dalam Indonesia

Rumus Kockroft - Gault :3


Creatinine Clearance atau LFG = [ (140-umur) x berat badan]/ (72 x SCr) ml/ menit/1,73 m 2
Keterangan : pada wanita hasil LFG x 0.85

DIAGNOSIS BANDING
Penyakit ginjal akut, Acute on Chronic Kidney Disease

TATALAKSANA

Nonfarmakologis1 3'4 -
• Nutrisi : pada pasien non -dialisis dengan LFG < 20 mL/ menit, evaluasi status nutrisi
dari 1) serum albumin dan / atau 2 ) berat badan aktual tanpa edema.

Tabel 2. Anjuran Nutrisi pada PGK berdasarkan LFG24


LFG (ml/ Asupan protein Asupan kalorl Fosfat
menlt/1,73 m2) (g/kgBB Ideal/hari) (kkal/kgBB Ideal/harl) (g/kgBB/harl)
> 60 0,75 Tidak dibatasi
25 - 60 0,6 - 0,8 ; termasuk 3 0,35 g/ 30-35 10
kgBB/hari protein nilai biologi
tinggi
5 - 25 0,6 - 0,8 : termasuk 3 0,35 g/ 30-35 10
kgBB /hari protein nilai biologi
tinggi atau tambahan 0,3 g
asam amino esensial atau
asam keton
< 60 (sindrom 0,8 (+1 g protein / g proteinuria 30-35 9
nefrotik) atau 0,3 g/kgBB tambahan
asam amino esensial atau
asam keton

• Protein :
pasien non dialisis 0,6- 0,75 gram / kgBB ideal/ hari sesuai dengan CCT dan
toleransi pasien
pasien hemodialisis 1-1, 2 gram / kgBB ideal / hari
pasien peritoneal dialisis 1,3 gram / kgBB / hari
• Pengaturan asupan lemak: 30 - 40% dari kalori total dan mengandung jumlah yang
sama antara asam lemak bebas jenuh dan tidak jenuh
• Pengaturan asupan karbohidrat: 50-60% dari kalori total
• Natrium: <2 gram / hari (dalam bentuk garam <6 gram / hari)

440
Penyakit Ginjal Kronik fjj}

• Kalium: 40 - 70 mEq / hari


• Fosfor: 5-10 mg/kgBB /hari. Pasien HD: 17 mg/ hari
• Kalsium: 1400 -1600 mg / hari (tidak melebih 2000 mg / hari)
• -
Besi: 10 18 mg/hari
• Magnesium: 200 - 300 mg / hari
• Asam folat pasien HD: 5 mg
• Air: jumlah urin 24 jam + 500 ml ( insensible water loss ) .
Farmakologis134
• Kontrol tekanan darah:
Penghambat ACE atau antagonis reseptor Angiotensin II: evaluasi kreatinin
dan kalium serum, bila terdapat peningkatan kreatinin > 35 % atau timbul
hiperkalemi harus dihentikan
Penghambat kalsium
Diuretik
• Pada pasien DM, kontrol gula darah: hindari pemakaian metformin dan obat-obat
sulfonilurea dengan masa kerja panjang. Target HbAlC untuk DM tipe 10, 2 di atas
nilai normal tertinggi, untuk DM tipe 2 adalah 6%
• Koreksi anemia dengan target Hb 10-12 g/ dl
• Kontrol hiperfosfatemi: kalsium karbonat atau kalsium asetat
• Kontrol osteodistrofi renal : Kalsitriol
• Koreksi asidosis metabolik dengan target HCO 3 20 - 22 mEq /1
• Koreksi hiperkalemi
• Kontrol dislipidemia dengan target LDL <100 mg / di, dianjurkan golongan statin
• Terapi ginjal pengganti

KOMPLIKASI
Kardiovaskular, gangguan keseimbangan cairan, natrium, kalium, kalsium, fosfat,
asidosis metabolik, osteodistrofi renal, anemia.13

PROGNOSIS
Penting sekali untuk merujuk pasien PGK stadium 4 dan 5. Terlambat merujuk
(kurang dari 3 bulan sebelum onset terapi penggantian ginjal) berkaitan erat dengan
meningkatnya angka mortalitas setelah dialisis dimulai. Pada titik ini, pasien lebih
baik ditangani bersama oleh pelayanan kesehatan tingkat primer bersama nefrologis.
Selama fase ini, perhatian harus diberikan terutama dalam memberikan edukasi

441
Al ' '
PanduanPraktikKIinis Ginial
J Hioertensi
Perhimpunan Dokler SpesiaNs Penyakil Dalam Indonesia

pada pasien mengenai terapi penggantian ginjal (hemodialisis, dialisis peritoneal,


transplantasi] dan pemilihan akses vaskular untuk hemodialisis. Bagi kandidat
transplantasi, evaluasi donor harus segera dimulai.

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Ginjal- Hipertensi
• RS non pendidikan : Bagian llmu Penyakit Dalam
• Hemodialisis : Subspesialis Ginjal-Hipertensi dan internis dengan sertifikasi
hemodialisis

UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Unit Hemodialisis, ICU / Medical High Care , Departemen
Bedah Urologi
• RS non pendidikan : Unit hemodialisis, ICU, Bagian Bedah

REFERENSI
1. .
Lascano M, Schreiber M, Nurko S. Chronic Kidney Disease In : Carey W, Abelson A , Dweik R,
et al. Current Clinical Medicine. 2nd Edition. The Cleveland Clinic Foundation. Philadelphia :
Elsevier. 2010. Hal 853-6
2. The National Kidney Foundation : NKF KDOQI Clinical Practice guidelines for Chronic Kidney
Disease: Evaluation, classification, and stratification. Am J Kidney Dis 2002;39:S 1 -266
3. Bargman J, Scorecki K. Chronic Kidney Disease. In : Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL,
Jameson JL, Loscalzo J. Harrison' s Principles of Internal Medicine. 18lhEdition. New York, McGraw -
Hill. 2012.
4. Suwitra K. Penyakit Ginjal Kronik. Dalam : Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I, et al. Buku Ajar llmu
.
Penyakit Dalam. Edisi V Jilid II. 2009 Hal 1035-40 .

442
443

PENYAKIT GINJAL POLIKISTIK

PENGERTIAN
Merupakan penyakit ginjal yang diturunkan secara autosomal dominan [autosomal
dominant polycystic kidney disease/ ADPKD) maupun autosomal resesif (autosomal
recessive polycystic kidney disease/ ARPKD). ADPKD lebih sering dijumpai pada orang
dewasa, sedangkan ARPKD lebih banyak pada anak-anak. Penyakit kista ginjal juga
dapat dijumpai pada beberapa penyakit ginjal keturunan lainnya, seperti di tabel 2 .
Hampir semua kasus ADPKD disebabkan akibat mutasi pada gen PKD1 dan PKD 2.
Mutasi gen PKD 2 berjalan lebih lambat dan onset gejala muncul lebih lama. Mutasi
PKD1 mencakup sekitar 85% kasus dan menyebabkan gagal ginjal yang lebih dini
dibandingkan mutasi PKD 2. PKD1 dan PKD 2 merupakan protein transmembran
yang ada di semua nefron yang berfungsi dalam regulasi trankripsi gen sel epitel,
apoptosis, differensiasi, dan interaksi matriks sel pada fetal dan orang dewasa.
Gangguan pada protein akan menyebabkan terganggunya proses- proses tersebut,
proliferasi sel berlebihan, sekresi cairan dalam kista. Pada umumnya penyakit ini akan
asimpotomatik, kista akan membesar, menekan parenkim ginjal sekitarnya, secara
progresif akan menganggu fungsi ginjal dan menimbulkan gejala. Faktor risiko untuk
progresivitas penyakit yaitu usia muda saat terdiagnosa, ras kulit hitam, laki-laki,
ditemukan adanya mutasi pada PKD1, dan adanya hipertensi. 1
ARPKD merupakan penyakit primer pada balita dan anak-anak. Pada 50 %
neonates akan meninggal karena hipoplasia paru, oligohidromnion karena penyakit
ginjal berat, dan sepertiganya akan berkembang menjadi gagal ginjal tahap akhir.
Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan ultrasonography saat dalam kandungan.
Sampai saat ini belum ada terapi spesifik, yang dilakukan adalah terapi simptomatik
sesuai keadaan klinis pasien.12

PENDEKATAN DIAGNOSIS
Pada umumnya diagnosis ditegakkan sebelum timbul keluhan pada saat dilakukan
skrining. Diagnosis berdasarkan riwayat keluarga dan pemeriksaan imaging yang
menunjukkan kista multipel pada kedua ginjal, bahkan pada hepar. Kriteria untuk

PanduanPrakUk Klinis
Perhimpunan Dokter Speslais Penyakil Dalam Indonesia m
m PanduanPraktikKlinis Ginjal
J Hipertensi
Perhimpunan Dokter SpesiaSs Penyakil Dalam Indonesia V

diagnosis ADPKD dengan ultrasonography pada pasien yang asimpomatik berdasarkan


pada onset yang lama timbul pada PKD 2 dan asumsi bahwa genotip dari individu dan
keluarga yang sedang diperiksa tidak diketahui. Sensitifitas dan spesifisitas diagnosis
ADPKD berdasarkan usia: 1

Tabel 1. Sensitifitas dan Spesifisitas Diagnosis ADPKD berdasarkan Usia 1


Usia (tahun ) Jumlah kista dalam 1 atau 2 ginjal Spesifisitas (%) Sensltfvltas (%)
15-39 >3 100
15-29 >3 82-96
30-39 >3 82-96
40-59 >2 100 90
>60 4 dalam 1 ginjal 100 90

Anamnesis
Pada anamnesis perlu ditanyakan riwayat penyakit pada keluarga, riwayat
hipertensi sebelumnya. Gambaran klinis dapat berupa rasa nyeri pada perut { flank
pain ), hematuria, infeksi saluaran kemih, dan keluhan poliuria atau nokturia, urin
berwarna merah.12
Sedangkan manifestasi di luar ginjal dapat menyebabkan kista di hati yang
membesar sehingga merusak hati dan menimbulkan masalah di abdomen. Kista di
limpa dan pankreas umumnya bersifat asimptomatik. Pada jantung dapat dijumpai
kelainan katup. Sehingga perlu ditanyakan keluhan -keluhan yang mencakup organ-
organ tersebut . 1

Pemeriksaan Fisik
Terabanya massa pada abdomen, nyeri tekan pada abdomen , tanda - tanda
peritonitis lokal, hipertensi. 1

Pemeriksaan Penunjang1 2
• Fungsi ginjal : ureum, kreatinin serum
• Kultur darah jika curiga ada infeksi
• Urinalisis : proteinuria ringan
• Ultrasonography
• Computed tomography (CT ): lebih sensitif untuk deteksi pada usia muda yang
belum ada gejala
• Magnetic resonance imaging ( MRIJ -T2 : telihat ada kista dalam ginjal

444
Penyakit Ginjal Polikistik

DIAGNOSIS BANDING

Beberapa penyakit ginjal yang diturunkan (tabel 2 ).


i

Tabel 2. Penyakit Kista Ginjal yang Diturunkan' -


3

Epldemlologl Genetik Kllnls Diagnosis Terapl


Nephronophthisis Anak dan Auto- • Poliuria, polydipsia, Riwayat ke- • Tidak spesifik
dewasa somal volume depletion, luarga, gagal • Natirum
recessive atau asidosis ginjal awal bikarbonat
sistemik. yang progresfi, atau sitrat
• Retinitis pigmentosa kelainan pada untuk asidosis
( Senior-Loken urin sedimen • Dialisis
syndrome ) , dengan pro- • Transplantasi
amaurosis , teinuria. Didu- ginjal
oculomotor kung dengan
apraxia, cerebellar pemeriksaan
ataxia ( Joubert Ultrasonogra-
syndrome ), phy.
polydactyly ,
mental retardation,
hepatic fibrosis, dan
ventricular septal
defect .
Dewasa Autoso- • Poliuria, polydipsia, Riwayat keluar- • Simptomatik
Medullary Cystic muda mal domi- volume depletion , ga, proteiunuria • Dialisis
Kidney Disease nant atau asidosis ringan -sedang, • Transplantasi
sistemik. adanya kista ginjal
• Gejala ekstrareanal pada pemerik -
: hiperurisemia saan imaging.
Tuberous Dewasa Autoso- • Flank pain Ultrasonogra- • Simptomatik
Sclerosis mal domi- • Hematuria phy atau CT sesuai klinis
nant • Perdarahan scan .
spontan,
perdarahan
retroperitoneal
• Renal cell
carcinoma
• Ekstrarenal : Facial
angiofibromas; CNS
hamartomas
Von Hippel- Dewasa Autoso- • Kista ginjal; renal CT scan atau • Percutane-
Lindau Disease mal domi - cell carcinoma MRI ous radio
nan • Ekstrarenal : Retinal frequency
angiomas ; CNS ablation
hemangioblasto- • Selective
mas ; pheochromo- arterial
cytomas embolization
• Partial ne-
phrectomy
Medullary Anak dan Autoso- • Asimptomatik Ultra sonogra- • Cairan
Sponge Kidney dewasa mal domi- • Hematuria phy, abdominal • Simptomatik
nan • Nephrolithiasis x -ray , intrave -
• Infeksi saluran nous urography
kemih

445
# !!«!# * Ginjal Hipertensi
TATALAKSANA
Belum ada tatalaksana yang dapat mencegah pertumbuhan kista atau penurunan
fungsi ginjal. 1,2
• Hipertensi : obat antihipertensi dengan target tekanan darah < 130 /90 mmHg.
-
angiotensin converting enzyme ( ACE) inhibitors dan angiotensin receptor blockers
( ARBs ) dapat memperlambat pertumbuhan volume ginjal dan penurunan
glomerular filtration rate (GFR).
• Nyeri : obat analgesik, drainase dengan aspirasi perkutan, skleroterapi dengan
alkohol, atau tindakan bedah untuk drainase
• Jika ada infeksi pada kista : antibiotik yang larut lemak seperti trimethoprim -
sulfamethoxazole dan fluoroquinolones
• Peritoneal atau hemodialisis
• Tindakan bedah jika kista membesar secara masif atau terinfeksinya kista, berupa
bilateral nephrectomy dan membutuhkan transplantasi ginjal.

KOMPLIKASI
Batu ginjal, infeksi saluran kemih, pielonefritis akut, infeksi pada kista ginjal.1

PROGNOSIS
Risiko untuk menjadi batu ginjal sekitar 2 % pada pasien dengan ADPKD, dan
meningkatkan risiko 2 - 4 kali lipat terjadinya perdarahan serebral dan subaraknoid.
Aneurisma sakular pada sirkulasi serebral anterior terdeteksi pada 10 % pasien
yang asimptomatik saat skrining magnetic resonance angiography MR4 , umumnya
/ J
kecil dan kecil kemungkinan akan ruptur spontan. Jika ada riwayat keluarga dengan
perdarahan intrakranial, maka besar kemungkinan akan terjadi hal serupa sebelum
usia 50 tahun; dan jika selamat akan mempunyai aneurisma >10 mm dan hipertensi
yang tidak terkontrol. Abnormalitas katup jantung terjad pada 25 % kasus. Insiden
terjadinya kista hepar berkisar 83 % pada pemeriksaan MRI pasien usia 15- 46 tahun,
wanita mempunyai kecenderungan menjadi kista masif. Sekitar 4 % kasus akan
berakhir dengan end -stage renal disease ( ESRD ).1

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Divisi Ginjal -Hipertensi - Departemen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam

446
Penyakit Ginjal Polikistik

UNIT YANG TERKAIT


• RS pendidikan
• RS non pendidikan

REFERENSI
Salant, David J. Polycystic Kidney Disease and Other Inherited Tubular Disorders, In: Fauci A Kasper
,
1.
D, Longo D, Braunwald E, HauserS, Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison ' s principles of
internal
. .
medicine 18 ed United States of America: The McGraw Hill
lh - Companies , 2012 .
2. Pirson, Yves. Autosomal Polycystic Kidney Disease, In: Davidson A, Cameron J, Grunfeld J editors
, .
.
Oxford Textbook of Clinical Nephrology. 2 ed United States of America
nd . 1998 .
3. . .
Grantham J, Winklhofer F Cystic Disease of The Kidney. In: Brenner B, Rector F, editors Benner
&
Rector the Kidney. 7 1 ed. United States of America: Saunders. 2003.
"

447
448

SINDROM NEFROTIK

PENGERTIAN
Sindrom nefrotik (SN) merupakan salah satu gambaran klinikpenyakit glomerular
yang ditandai dengan proteinuria masif >3,5 gram / 24 jam disertai hipoalbuminemia
< 3, 5 g/ L, edema, hiperkolesterolemia dan lipiduria.1

PENDEKATAN DIAGNOSIS
Gejala klasik SN ditandai dengan edema, proteinuria berat , hpoalbuminemia,
hperkolesterolemia, dan lipiduria.2 SN dapat bermanifestasi dengan spektrum keluhan
yang luas, mulai dari proteinuria asimtomatik sampai keluhan yang sering yaitu
bengkak.

Anamnesis'
Bengkak biasanya berawal pada area dengan tekanan hidrostatik intravaskular
yang tinggi seperti kedua kaki dan ankle, tetapi dapat juga terjadi pada area dengan
tekanan hidrostatik intravaskular yang rendah seperti periorbita dan skrotum . Bila
bengkak hebat dan generalisata dapat bermanifestasi sebagai anasarka. Keluhan
buang air kecil berbusa. Gejala-gejala lain dapat muncul sebagai manifestasi penyakit
penyebab SN sekunder seperti diabetes melitus, nefritis lupus riwayat obat-obatan,
riwayat keganasan atau amyloidosis.

Pemeriksaan Fisik1
Pretibial edema, edema periorbita, edema skrotum, edema anasarka, asites.
Xanthelasmas bisa didapatkan akibat hyperlipidemia.

Pemeriksaan Penunjang
• Laboratorium : Proteinuria masif > 3, 5 gram / 24 jam, hiperlipidemia ,
hipoalbuminemia ( < 3,5 gram / dl), lipiduria, hiperkoagulabilitas
• Biopsi ginjal: dapat digunakan untuk penegakkan diagnosis

PanduanPraktfkKIinis
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
Sindrome Nefrotik

Tabel 1 . Pola Klinis Sindroma Nefrotik2


Hiologl Proteinuria Hematuria Kerusakan vaskular
Minimal change disease + ++ +
Fokal segmental +++/ ++++ +
glomerulonephritis
Membranous ++++ +
glomerulonephritis
Nefropati diabetik ++/+++ + -/+
AL dan AA amiloidosis +++ /++++ + +/ + +

Light-chain deposition +++ +


disease
Fibrillary-immunotactoid +++ / ++++ + +
disease
Fabry ' s disease + +

DIAGNOSIS BANDING
Edema dan asites akibat penyakit hati atau malnutrisi , diagnosis etiologi SN .
1

TATALAKSANA

Nonfarmakologis1
• Istirahat
• Restriksi protein dengan diet protein 0, 8 gram / kgBB ideal / hari + ekskresi protein
dalam urin / 24 jam. Bila fungsi ginjal sudah menurun, diet protein disesuaikan hingga
0,6 gram /kgBB ideal / hari + ekskresi protein dalam urin / 24 jam
• Diet rendah kolesterol < 600 mg / hari
• Berhenti merokok
• Diet rendah garam, restriksi cairan pada edema

Farmakologis '
• Pengobatan edema : diuretik loop
• Pengobatan proteinuria dengan penghambat ACE dan /atau antagonis reseptor
Angiotensin II
• Pengobatan dislipidemia dengan golongan statin
• Pengobatan hipertensi dengan target tekanan darah <125/75 mmHg. Penghambat
ACE dan antagonis reseptor Angiotensin II sebagai pilihan obat utama
• Pengobatan kausal sesuai etiologi SN (lihat topik penyakit glomerular)

449
IfpS
wjK'
PanfluanPraktikKlinis Ginjal
J Hipertensi
M
Perhimpunan Pokier SpesialisPenyakil Dalam Indonesia

KOMPLIKASI
Gagal jantung, sirosis hepatis, penyakit ginjal kronik, tromboemboli1

PROGNOSIS
Hanya sekitar 20 % pasien yang menderita fokal glomerulosclerosis mengalan
remisi dari proteinuria, 10% membaik tapi masih mengalami proteinuria. Stadium
akhir penyakit ginjal berkembang pada 25 - 30 % pasien dengan fokal segmental
glomerulosclerosis dalam waktu 5 tahun dan 30-40% dalam 10 tahun. Prognosis
pasien dengan perubahan nefropati minimal memiliki risiko kambuh. Tetapi prognosis
jangka panjang untuk fungsi ginjalnya baik, dengan sedikit risiko gagal ginjal. Respon
pasien yang buruk terhadap steroid dapat menyebabkan hasil yang buruk. Pada
sindroma nefrotik sekunder, mortalitas dan morbiditas tergantung pada penyakit
primernya. Pada nefropati, diabetik tingkat proteinuria berhubungan langsung dengan
mortalitas. Pada amyloidosis primer, prognosis buruk, meskipun dengan kemoterapi.
Pada amyloidosis sekunder, perbaikan penyakit penyebab diikuti oleh perbaikan
amyloidosis dan sindroma nefrotik yang mengikuti.3, 4

UNIT YANGMENANGANI
• RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Ginjal- Hipertensi
• RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS pendidikan :-
• RS non pendidikan : -

REFERENSI
1 . .
Sindroma Nefrotik. In: Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors Buku ajar
ilmu penyakit dalam. 5lh ed. Jakarta; Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FKUI, 2009:2009 - 15
2. Glomerular Disease. In: Fauci A, Kasper D, Longo D, Braunwald E, HauserS, Jameson J, Loscalzo J,
.
editors. Harrison ' s principles of internal medicine. 18lh ed United States of America; The McGraw-
Hill Companies, 2012: 2911 - 39
3. Donadio JV Jr, Torres VE, Velosa JA, Wagoner RD, Holley KE, Okamura M. Idiopathic membranous
.
nephropathy: the natural history of untreated patients. Kidney Int. Mar 1988;33(3):708-l5 [Medline].
4. .
Jude EB, Anderson SG, Cruickshank JK, et al Natural history and prognostic factors of diabetic
.
nephropathy in type 2 diabetes Quart J Med. 2002;95:371-7. [Medline] .

450
Jm
PENATALAKSAN A AN
D l BIDANG HMD PENYAKIT DALAM

PANDUAN
PRAKTIK At ]
KLINIS Oli
'

HEMATOLOGI ONKOLOGI MEDIK

Anemia Aplastik 451


Anemia Defisiensi Besi 455
Anemia Hemolitik 461
Anemia Penyakit Kronik 470
Dasar-Dasar Kemoterapi 475
Diatesis Hemoragik 483
Hemoglobinopati 491
Trombositopenia Imun 498
Koagulasi Intravaskular Diseminata . 504
Leukemia 510
Limfoma . 517
Polisitemia Vera 523
Sindrom Antifosfolipid 530
Sindrom Lisis Tumor 535
Terapi Suportif pada Pasien Kanker . 537
Trombosis Vena Dalam 544
Trombositosis Esensial .551
w w

••
451

ANEMIA APLASTIK

PENGERTIAN
Anemia aplastik (AA] adalah suatu kelainan hematologi dengan manifastasi klinis
pansitopenia dan hiposelularitas pada sumsum tulang, dapat bersifat didapat atau
diturunkan (Tabel 1)1 Z

Tabel 1 . Klasifikasi Anemia Aplastik Berdasarkan Etiologi


12

Acquired Idiopatik (autoimun) TERC , TERT , TERF 1 & 2, TIN 2 susceptibility mutations
Obat-obatan sulfonamid, kloramfenikol, aspirin,fenilbutazon, PTU,
salicylamide , kuinidin, karbamazepin, hidantoin, felbamate,
tiklopidin, furosemid
Toksin Benzene, chlorinated hydrocarbons, organofosfat
Virus Virus Epstein-Barr, virus hepatitis non-A, non-B, non-C, non-D,
non-E, and non-G, human immunodeficiency virus ( HIV )
Paroxysmal nocturnal
hemoglobinuria
Autoimun / connective .
Eosinophilic fasciitis Immune thyroid disease (Graves
disease, Hashimoto thyroiditis ) , Rheumatoid arthritis,
tissue disorders
Systemic lupus erythematosus, Thymoma
Kehamilan
Heredlter Anemia Fanconi , diskeratosis kongenital, shwachman-diamond syndrome

Berdasarkan beratnya penyakit, AA dapat dibagi:


1. Anemia aplastik berat
Selularitas sumsum tulang < 25 % dan terdapat 2 dari 3 gejala berikut
• Granulosit < 500 / ul
• Trombosit < 20.000 / ul
• Retikulosit < 10 %o
2. Anemia aplastik sangat berat
• Seperti anemia apalastik berat
•Netrofil < 0.2 x 109 / L,
3. Anemia aplastik tidak berat
• Tidak memenuhi kedua kriteria di atas

PanduanPraktik Minis
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
# KSUSSfiL Hematologi Onkologi Medik

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis
Onset keluhan dapat terjadi perlahan- perlahan berupa lemah, dyspnea, rasa lelah,
pusing, adanya perdarahan ( petekie, epistaksis, perdarahan dari vagina, atau lokasi
lain) dapat disertai demam dan menggigil akibat infeksi. Riwayat paparan terhadap
zat toksik (obat, lingkungan kerja, hobi), menderita infeksi virus 6 bulan terakhir
( hepatitis, parvovirus), pernah mendapat transfusi darah13

Pemeriksaan Fisik
Pasien tampak pucat pada konjungtiva atau kutaneus, resting tachycardia ,
perdarahan (ekimosis, petekie, perdarahan gusi, purpura). Jika ditemukan limfadenopati
dan splenomegali perlu dicurigai adanya leukemia atau limfoma.1,4

Pemeriksaan Penunjang12
• Normositik normokrom, makrositik
• Darah tepi lengkap ditemukan pansitopenia, tidak terdapat sel abnormal pada
hitung jenis leukosit
• Hitung retikulosit: rendah (< 1%)
• Serologi virus ( hepatitis)
• Aspirasi dan biopsi sumsum tulang: terdapat spicules yang kosong, terisi lemak,
dan sel hematopoietik yang sedikit. Limfosit, sel plasma, makrofag, dan sel mast
mungkin prominen
-
• MR1 ( Magnetic resonance imaging ) , membedakan lemak pada sumsum tulang
dengan sel hematopoietic, mengestimasi densitas sel hematopoietik pada sumsum
tulang, dan membedakan anemia aplastik dengan leukemia mielogenik hipoplasia.

DIAGNOSIS BANDING
Sindrom mielodisplastik ( MDS), anemia karena keganasan sumsum tulang,
hipersplenisme, leukemia akut3,4

TATALAKSANA
Pemilihan terapi berdasarkan beberapa faktor seperti usia pasien, kondisi umum,
dan ketersediaan donor stem cell.1

Tatalaksana Penunjang12
• Menghentikan obat-obatan yang diduga sebagai faktor pencetus dan mengganti
dengan obat lain yang lebih aman

452
Anemia Aplastik

• Transfusi komponen darah ( PRC / packed red cell dan / atau TC) sesuai indikasi
( pada topik transfusi darah )
• Menghindari dan mengatasi infeksi: antibiotik spektrum luas
• Kortikosteroid: prednison 1-2 mg/ kgBB/ hari, metilprednisolon 1 mg/ kg beratbadan
• Androgen : Metenolol asetat 2-3 mg / kgBB / hari, maksimal diberikan selama 3
bulan.Nandrolone decanoate 400 mg IM (intramuskular) / minggu
• Terapi imunosupresif:
• Siklosporin 10-12 mg/ kgBB / hari selama 4-6 bulan
• ATG (anti thymocyte globulin ) 15-40 mg/ kgBB / hari intravena selama 4-10 hari
• Terapi kombinasi: untuk anemia aplastik berat. ATG 40 mg/ kg / hari untuk 4 hari,
siklosporin 10 -12 mg/ kg/ hari for 6 bulan, dan metilprednisolon 1 mg/ kg / hari
untuk 2 minggu.
• Transplantasi sumsum tulang alogenik, bila ditemukan HLA yang cocok,
dilakukan tes histokompatibilitas pada pasien, orang tua, dan keluarga.

Kriteria Respons Tatalaksana 2

Tabel 2. Kriteria Respon Tatalaksana Anemia Aplastik2


Anemia aplastik berat Tidak respon anemia aplastik berat menetap
Respon parsial membutuhkan transfusi darah merah dan trombosit,
tidak memenuhi kriteria untuk anemia aplastik berat
Respon komplit Hb normal, netrofil > 1 ,5xl 09 /L, trombosit > 150 xl 09/L
Anemia aplastik tidak Tidak respon Memburuk atau tidak memenuhi kriteria di bwah ini
berat Respon parsial •
Tidak membutuhkan transfusi darah jika sebelumnya
tergantung transfusi darah, atau

Normalnya minimal 1 sel, atau

Meningkatnya hemoglobin > 30 g / L

Meningkatnya netrofil >0.5x 109 / L
• Meningkatnya trombosit > 20x 109 /L
Penyebab kegagalan terapi dapat karena kelelahan cadangan sel asal, imunosupresi tidak
cukup, kesalahan dalam mendiagnosis, atau adanya kegagalan sumsum tulang herediter.4

KOMPLIKASI
Infeksi (bisa fatal), perdarahan, gagal jantung akibat anemia berat3

PROGNOSIS
Tergantung pada jumlah neutrofil, trombosit, dan ada tidaknya komorbiditas.
Jumlah neutrofil < 200 / pl mempunyai respon yang rendah terhadap imunoterapi.
Transplantasi sumsum tulang dapat menyembuhkan pada 80% pasien berusia < 20

453
H SSSSSfifi Hematologi Onkologi Medik
tahun, 70 % pada usia 20- 40 tahun, dan 50% pada usia > 40 tahun. Pada pasien yang
menerima terapi dengan siklosporin sebelum transplantasi, risiko menjadi kanker
sebesar 11%. Dalam 10 tahun, anemia aplastik dapat berkembang menjadi paroxysmal
nocturnal hemoglobinuria , sindrom mielodisplastik, atau leukemia mielogenik akut
sebesar 40 % pasien yang menerima terapi imunosupresan . Angka relaps pada
pasien yang menerima imunosupresi adalah 35 % dalam 7 tahun.4 Pada 168 pasien
yang menerima transplantasi, angka harapan hidup dalam 15 tahun sebesar 69 %,
sedangkan pada 227 pasien yang menerima terapi imunosupresan angka harapan
hidup hanya 38%.1

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Hematologi -
Onkologi Medik
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam

UNIT YANG TERKAIT


• RS pendidikan : Unit Transfusi Darah
• RS non pendidikan : Unit Transfusi Darah

REFERENSI
1. Lichtman M. Aplastic Anemia: Overview. In: Lichtman M, Beutler E, Kipps T, editors. Williams
Hematology 7lh ed. Me Graw Hill. Chapter 33
2. Marsh J. et all. Guidelines for the diagnosis and management of aplastic anaemia., British Journal
of Haematology, 147, 43-70.2010. Diunduh dari http:// www.bcshguidelines.com / documents /
Aplast _anaem_bjhjune2010.pdf pada tanggal 22 Mei 2012
3. Young N.S..Aplastic anemia , myelodysplasia, and related bone marrow failure syndromes:
introduction. In: Longo Fauci Kasper, Harrison’ s Principles of Internal Medicine 18lh edition.United
States of America .Mcgraw Hill. 2012
4. Widjanarko A, Sudoyo A, Salonder, H. Anemia aplastik. Dalam: Suyono, S . Waspadj'i, S . Lesmana,
L. Alwi, I. Setiati, S . Sundaru, H. dkk . Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi V. Jakarta: Interna
Publishing: 2010. Hal.l 117- 1126

454
455

ANEMIA DEFISIENSI BESI

PENGERTIAN
Anemia adalah menurunnya kadar hemoglobin ( Hb) di bawah normal yang
disebabkan banyak faktor seperti defisiensi besi, asam folat, B12, hemolitik, aplastik,
atau penyakit sistemik kronik. Nilai normal hemoglobin bervariasi sesuai usia dan jenis
kelamin, sehingga nilai yang digunakan sebagai patokan untuk mendiagnosis anemi
yaitu :1
Tabel 1. Nilai Hb untuk Krlteria Anemia ’
Nilai Hb
CDC
WHO (Centers for Disease Control
(world health organization) and Prevention)
Usia 6 bulan - 4.9 tahun < 11 g / dl
Usia 5 tahun -11.9 tahun < 11.5 g/dl
Wanita menstruasi < 12 g/ dl
Wanita hamil pada trimester I dan III < 11 g/dl < 11 g/ dl
Wanita hamil pada trimester II < 11 g/dl < 10.5 g/dl
Laki-laki < 13 g / dl

Anemia defisiensi besi adalah salah satu golongan anemia hipoproliferatif yang
disebabkan karena kelainan metabolisme besi. Besi merupakan elemen penting
dalam fungsi semua sel karena perannya dalam transport oksigen sebagai bagian
dari hemoglobin. Besi juga merupakan bagian penting dari enzim sitokrom dalam
mitokondria. Jika kekurangan besi maka sel akan kehilangan kemampuan dalam
transpor elektron dan metabolisme energi, sehingga mengganggu sintesis Hb.
Metabolisme sel besi lebih dipengaruhi absorbsi daripada eksresi. Kehilangan besi
terjadi karena perdarahan atau kehilangan sel. Laki-laki dan wanita yang tidak
menstruasi kehilangan besi sebesar 1 mg / hari, sedangkan wanita yang sedang
menstruasi kehilangan besi 0.6 - 2.5 % / hari. Besi akan diabsorbsi dari saluran cerna
(proksimal usus halus) dalam bentuk ferrous atau dari cadangan ke dalam sirkulasi
dan berikatan dengan transferin ( protein pengangkut besi) . Distribusi besi dalam
tubuh terbagi menjadi:2

PanduanPraktik Minis
Perhimpunan Dokler Spesiolis Penyakit Dalam Indonesia
# Hematologi Onkologi Medik

Tabel 2. Distrlbusi Besi dalam Tubuh2


Kandungan best (mg)
Lakl-lakl dewasa, berat badan 80 kg Wanlta dewasa, berat badan 60 kg
Hemoglobin 2500 1700
Mioglobin 500 300
Transferin 3 3
Cadangan besi 600-1000 0-300

Absorbsi besi dihambat oleh oksalat, phytates, fosfat, dan red wine . Sedangkan
yang dapat meningkatkan absorbsi besi yaitu hidrokuinon, askorbat, laktat, piruvat,
suksinat, fruktosa, sistein, dan sorbitol . Progresivitas defisiensi besi dapat dibedakan
menjadi 3 stadium yaitu negative iron balance, iron - deficient erythropoiesis, dan anemia
defisiensi besi seperti pada tabel di bawah ini: 2 3
Tabel 3. Stadium Defisiensi Besi2
Normal negative Iron balance -
iron deficient
erythropoiesis
anemia
defisiensi besi
Cadangan besi normal < « «<
Erythron iron normal < « «<
Marrow iron store 1 -3 + 0-1 + 0 0
Feritin serum (pig/L) 50-200 <20 <15 <15
TIBC (|jg/dl ) 300-360 >360 >380 >400
SI (pg /dl) 50- 150 NL <50 <30
Saturasi (%) 30-50 NL <20 <10
Marrow sideroblast (%) 40-60 NL <10 < 10
RBC protoporphyrin 30-50 NL >100 >200
iMg/dl)
Morfologi RBC NL NL NL Mikrositik/
hipokrom
Faktor penyebab Kebutuhan besi lebih Kelainan Penurunan Hb
besar daripada sintesis Hb dan hematokrit
kemampuan absorbsi
dari makanan
Etologi Perdarahan, kehamilan,
pertumbuhan cepat
pada masa remaja, diit
tidak adekuat.

Keterangan: total iron - binding capacity (TIBC ) , serum iron ( SI )

456
Anemia Defisiensi Besi

Penyebab dari defisiensi besi dapat dilihat pada tabel 4.

Tabel 4. Penyebab Defisiensi Besi23


Meningkatnya kebutuhan besi • Pertumbuhan cepat pada masa anak-anak atau remaja
• Kehamilan
• Terapi eritropoietin
Meningkatkan kehilangan besi • Perdarahan akut atau kronik
• Menstruasi
• Donasidarah
• Flebotomi
Menurunnya absorbsl besi • Diet inadekuat
• Malabsorpsi ( sprue, Crohn 's disease )
• Malabsorption from surgery ( postgastrectomy )
• Inflamasi akut atau kronik

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis
Gejala klinis bervariasi tergantung beratnya dan lamanya anema, berupa rasa
-
lemah dan lelah, sakit kepala, light headedness, kesemutan, rambut rontok, restless
leg , dan gejala angina pektoris pada kasus berat. Gejala khas yaitu adanya glositis,
disfagia, pica, koilonychia (spoon nail ) jarang ditemukan.3

Pemeriksaan Fisik
Pasien tampak lemah dan pucat (anemis), disertai takikardia, adanya glositis ( lidah
bewarna merah dan permukaannya licin), stomatitis, angular cheilitis, koilonychia.
Perdarahan maupun adanya eksudat pada retina dapat ditemukan pada anemia berat .
Splenomegali mengindikasikan adanya penyebab defisiensi besi lainnya.3,4

Pemeriksaan Penunjang1 3
• DPL: Hb menurun, leukosit menurun, trombosit meningkat / menurun
• Retikulosit: normal atau menurun
• Morfologi eritrosit: mikrositik hipokrom
• Sediaan darah tepi: adanya anisositosis
• Besi serum: menurun
• Feritin serum : hasil bervariasi seperti pada tabel 3
• Transferin : meningkat
• TIBC: meningkat
• Saturasi transferin: menurun
• Aspirasi sumsum tulang: sideroblas menurun atau negatif.

457
HSKEfiBBS Hematologi Onkologi Medik

Pendekatan diagnosis anemia defisiensi besi:1

Anemia, MCV < 95 |jm3 (95 fL)

i
Periksa feritin

< 45 ng per mL 46 to 99 ng per mL


1
> 100 ng per ml
( 45 meg per L ( 46 to 99 meg per L) ( 100 meg per L)

1
TIBCmeningkat, besi Hasil lain : TIBC menurun, FE
serum menurun, cek TfR meningkat,
transferin menurun Saturasi transferrin
saturation meningkat

t 1
TfR meningkat Hasil lain : TfR menurun
jika dicurigai periksa
biopsi sumsum tulang
Anemia
defisiensi 4.
besi -
i
Besi rendah Besi normal

I i
+ Anemia defisiensi besi
• Cari penyebab lain

l
terapi

Keterangan :
ng : Nanogram
meg : microgram
pm : mikrometer

Algoritme 1. Pendekatan Diagnosis Anemia Defisiensi Besi1

DIAGNOSIS BANDING
Talasemia, anemia sideroblastik, anemia penyakit kronik, dan keracunan logam berat3

TATALAKSANA
• Tatalaksana diet3
Makan makanan yang bervariasi untuk memenuhi kebutuhan nutrisi
Makan makanan yang mengandung zat besi tinggi, seperti daging merah

458
Anemia Defisiensi Besi

• Preparat besi oral23


Preparat besi inorganik mengandung 30 dan 100 mg besi elemental.
Dosis 200- 300 mg besi elemental per hari harus diabsorbsi sebanyak 50 mg/ hari.
Tujuan terapi tidak hanya memperbaiki anemia tetapi juga menambah
cadangan besi minimal 0.5-1 gram, sehingga diperlukan terapi selama 6-12
bulan setelah anemia terkoreksi.
- Dosis: 3- 4 kali 1 tablet (150 dan 200 mg) diminum 1 jam sebelum makan.
Efek samping: mual, heartburn , konstipasi, metalic taste, buang air besar hitam
Macam - macam preparat besi oral:

Tabel 5. Preparat Besi Oral2


Nama generik Tablet (Jumlah besi) (mg) Ellkslr (jumlah besi) (mg/5ml)
Ferrous sulfate 325 ( 65) 300 ( 60)
195 ( 39 ) 90 ( 18 )
Extended release 525 ( 105 )
Ferrous fumarate 325 ( 107 ) 100 ( 33 )
Ferrous gluconate 195 ( 64)
325 (39 ) 300 ( 35 )
Polysaccharide iron 150 ( 150) 100 ( 100 )
50 ( 50)

Preparat besi parenteral3


Indikasi: malabsorbsi, intoleransi terhadap preparat oral, dibutuhkan dalam
jumlah banyak.
Dosis besi ( mg) = (15- Hb yang diperiksa) x berat badan (kg) x 2.3 + 500 atau
1000 mg ( untuk cadangan) 2
Iron sucrose: 5 ml (100 mg besi elemental) diberikan secara intravena tidak
melebihi 3x seminggu. Efek samping: hipotensi, kram, mual, sakit kepala,
muntah, dan diare
Iron Dextran: dosis untuk tes 0.5 ml secara intravena sebelum terapi dimulai,
selanjutnya diberikan 2 ml setiap dosis. Efek samping: hipotensi, mialgia, sakit
kepala, nyeri perut, mual dan muntah, limfadenopati, efusi pleura, pruritus,
urtikaria, kejang , flushing , menggigil, flebitis, dizziness
• Transfusi sel darah merah : diberikan jika ada gejala anemia , instabilitas
kardiovaskular, perdarahan masih berlangsung, dan membutuhkan intervensi
segera.2

KOMPLIKASI
Gangguan jantung (kardiomegali atau gagal jantung), gangguan pertumbuhan pada
anak dan remaja.2 3 -
459
ft Papuan Prawn Minis Hematologi Onkologi Medik

PROGNOSIS
Jika penyebab defisiensi besi diatasi maka prognosis akan baik. Terapi inadekuat
akan menyebabkan anemia rekuren, sehingga terapi harus diberikan minimal 12 bulan
setelah anemia terkoreksi . 2,3

UNITYANGMENANGANI , . . _
... .
• RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Hematologi -
Onkologi Medik
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam

UNIT YANG TERKAIT


• » RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Gastroenterologi
bila yang absobsi
• RS non pendidikan : -

REFERENSI
1 . Killip S. Iron Deficiency Anemia. American Academy of Family Physicians.Volume 75, Number 5.
2007. Diunduh dari www.aafp.org/afp pada tanggal 23 Mei 2012.
2. Adamson J. Iron deficiency and other hypoproliferative anemias. Inlongo DL, Kasper DL, Jameson
.
DL, Fauci AS; Hauser SL, Losealzo J, editors Harrison' s Principals of Internal Medicine 18lh ed Me .
.
Graw Hill Chapter 98
3. Beutler E. Disorders of iron metabolism. Inlichtman M, Beutler E, Kipps T, editors. Williams
Hematology 7 ed. Me Graw Hill. Chapter 40
lh

4. Bakta I, Suega B, Charmayuda T. Anemia defisiensi besi. Dalam: Suyono, S. Waspadji, S. Lesmana,
L. Alwi, I. Setiati, S. Sundaru, H. dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi V. Jakarta: Interna
Publishing; 2010. Hal.1127-1140.

460
461

ANEMIA HEMOLITIK

PENGERTIAN
Anemia hemolitik adalah anemia yang terjadi karena destruksi atau pembuangan
sel darah merah dari sirkulasi sebelum waktunya, yaitu 120 hari yang merupakan
1,2
masa hidup sel darah merah normal . Ada 2 mekanisme terjadinya hemolitik yaitu :
• hemolitik intravaskular : destruksi sel darah merah terjadi di dalam sirkulasi
pembuluh darah dengan pelepasan isi sel ke dalam
plasma . Penyebabnya antara lain karena trauma
mekanik dari endotel yang rusak, fiksasi komplemen
serta aktivasi pada permukaan sel, dan infeksi .
• hemolitik ekstravaskular : destruksi sel darah merah yang ada kelainan membran
oleh makrofag di limpa dan hati . Sirkulasi darah
difiltrasi melalui splenic cords menuju sinusoid
limpa . Sel darah merah dengan abnormalitas
struktur membran tidak dapat melewati proses
filtrasi sehingga difagositosis dan dihancurkan oleh
makrofag yang ada di sinusoid .
Klasifikasi anemia hemolitk dapat berdasarkan mekanisme terjadinya, secara
klinis (akut atau kronik) , dan berdasarkan penyebabnya :
3

Tabel 1 . Klasifikasi Anemia Hemolitik3


Defek Intracorpuscular Defek extracorpuscular

Herediter Hemoglobinopati, Enzymopathies , defek Familial ( atypical ) hemolytic uremic


membran-sitoskeletal syndrome

Acquired Paroxysmal nocturnal hemoglobinuria ( PNH ) Destruksi mekanis (microangiopathic ) , zat


toksik, obat-obatan, infeksi, autoimun

PanduanPraktik Klinis
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
# SSSSSSfil Hematologi Onkologi Medik
t
DIAGNOSIS ANEMIA HEMOLITIK

Tabel 2. Diagnosis dan Terapi Anemia Hemolitik


' 2

KlasHIkasi Eflologl Hal yang


berhubungan Diagnosis Terapi
Acquired Immune- Antibody Idiopatik, Sferosit dan Atasi penyebab,
mediated terhadap keganasan, DAT (direct hentikan
antigen kelainan antiglobulin obat-obatan
permukaan autoimun, test ) + yang menjadi
sel darah obat-obatan, penyebab,
merah infeksi, tranfusi hindari suhu
darah dingin, steroid,
gama globulin
IV (intravena ),
plasmaferesis,
sitotoksik,
danazol,
splenektomi,
Microangiopathic Gangguan TTP, HUS, DIC, Schistocytes Atasi
mekanik sel eklamsia, penyebabnya
darah merah preeklamsia,
di sirkulasi hipertensi
malignan,
katup jantung
prostetik.
Infeksi Malaria, Kultur, Antibiotik
babesiosis, serologis,
klostridium apusan
darah tebal
dan tipis
Herediter Enzymopathies Defisiensi Infeksi, obat- Enzim G6PD
G6PD obatan . rendah,
Atasi infeksi dan
menghentikan
obat-obatan
Membranopa- Sferositosis Sferosit, Splenektomi
thies herediter riwayat
keluarga,
DAT -
Hemoglobinopati Talasemia Hemoglobin, Asam folat,
dan sickle elektrofore- transfusi
cell disease sis, pemer-
iksaan
genetic
Keterangan : TTP = thrombotic thrombocytopenic purpura; HUS = hemolytic uremic syndrome ; DIC = disseminated intravascular
--
coagulation ; G6 PD = g/ ucose 6 phosphate dehydrogenase.

462
Pendekatan diagnosis pada anemia hemolitik yaitu :*
I
Pikirkan
Evaluasi hemofisis : DPL.
.
retikulosit LDH, Bilinjbin
terma
.
indirek haptoglobulin SDT. Tidak
menyeba
normokrom
(sediaan darah tepi)
kronik. ga
Ya

i i. j i
Sferosit. Sferosit DAT Schistocytes
Anemia mikrositik . Sickle cells Inf
DAT riwayat keluarga + hipokromik

i i J i j
immune hemolysis : Sferositosis Anemia hemoKtik Anemia
Talasemia Aktr
kelainan herediter mikroangiopatik Sickle cells

i J
limfoproliferatif /keganas
.
an penyakit autoimun . T
.
tnfeksi transfusi darah PT/PTT . Bektroforesis
fungsi ginja! dan hemoglobin
w Easaflssast Hematologi Onkologi Medik

ANEMIA HEMOLITIK AUTOIMUN


PENGERTIAN
Anemia hemolitikautoimun ( AHA) adalah anemia hemolitkyang ditandai adanya
autoantibodi terhadap sel darah merah autolog yang ditandai dengan pemeriksaan
DAT / tes Coombs yang positif. Penyebab pasti belum diketahui. Klasifikasi dari anemia
hemolitikautoimun yaitu:34 (Tabel 3)

Tabel 3. Klasifikasi Anemia Hemolitik AutoimunM


Primary or idiopathic warm Berhubungan dengan kelainan
AHA limfoproliferatif, seperti penyakit Hodgkin,
Secondary warm AHA limfoma
Tlpe warm Berhubungan dengan penyakit rheumatik,
autoantibody : seperti SLE
Autoantibodi
akan akttf secara Berkaitan dengan penyakit inflamasi kronik
makslmal pada tertentu, seperti colitis ulseratif
suhu tubuh 37°C Berkaitan dengan keganasan limfoid
tertentu, seperti tumor ovarian
Berkaitan dengan konsumsi obat-obatan
tertentu, seperti metildopa
Diperantarai oleh cold Idiopathic (primary ) chronic cold agglutinin
agglutinins disease
Secondary cold agglutinin hemolytic
tlpe cold - anemia : post infeksi ( Mycoplasma
autoantibody pneumonia, mononucleosis), berkaitan
Autoantibodi dengan keganasan sel B, kelainan,
akan aktif secara limfoproliferatif
makslmal pada Diperantarai oleh cold Primary or idiopathic mixed AHA
suhu tubuh < 37°C hemolysins Secondary :
Anemia hemolitik Donath-Landsteiner
.umumnya berhubungan dengan sindrom
virus akut pada anak-anak ( sering)
Sifilis kongenitl/ tertier pada dewasa (jarang)
Primary or idiopathic mixed
Mixed cold AHA
and warm
autoantibodies Secondary mixed AHA Berhubungan dengan penyakit rheumatik
seperti SLE
Hapten or drug adsorption
mechanism
Drug -immune
hemolytic anemia Ternary ( immune ) complex
mechanism
True autoantibody
mechanism

Pada umumnya 80 % kasus tergolong warm - reactive antibodies terhadap


IgG. Golongan cold agglutinins mempunyai autoantibody terhadap IgM, dan cold
hemolysins terhadap IgG. Autoantibodi akan terikat pada sel darah merah. Pada saat

464
Anemia Hemolitik

sel darah merah dilapisi oleh antibodi, maka akan difagositosis oleh makrofag dan
memicu terjadinya eritrofagositosis yang dapat berlangsung intravaskular maupun
ekstravaskular.

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Tabel 4. Diagnosis Anemia Hemolitik Autoimun24


AHA Warm - Antibody AHA Cold - Antibody
Anamnesis Keluhan anemia ikterik. Keluhan
, Berlangsung kronik. Self limiting
penyakit penyebabnya. Keluhan dalam 1 -3 mingu
angina atau gagal jantung.
Riwayat dalam keluarga. Dapat
akut maupun kronik
Pemeriksaan fisik Dapat normal, pucat, Ikterik +/-, acrocyanosis , dapat
ikterik, takikardia, demam, ditemukan ulserasi kulit dan nekrosis.
hepatosplenomegali Splenomegali + /-
Pemeriksaan DPL : hemoglobin menurun, DPL : hemoglobin menurun,
penunjang hematokrit < 10% atau normal hematokrit 15-20 %
jika sudah terkompensasi, Sediaan darah tepi : autoaglutinasi
leukopenia, neutropenia,
Bilirubin plasma : peningkatan
trombosit normal
bilirubin unconjugated dan bilirubin
Hitung retikulosit : meningkat total
Bilirubin plasma : peningkatan Laktat dehidrogenase : meningkat,
bilirubin unconjugated dan merupakan hasil dari destruksi sel
bilirubin total darah merah
Laktat dehidrogenase : Haptoglobin : menurun
meningkat, merupakan hasil dari
DAT + : hanya terdeteksi komplemen
destruksi sel darah merah
Urinalisis : urobilinogen +, bilirubin +/
Haptoglobin : menurun
hemoglobinuria
Sediaan darah tepi : sferosit, Aspirasi sumsum tulang : eritroid
fragment sel darah merah, sel
hiperplasia
darah merah berinti
DAT + : terdeteksi adanya
autoantibody dan/atau fragmen
proteolitik dari komplemen ( C 3)
Urinalisis : urobilinogen +, bilirubin
+/-, hemoglobinuria
Aspirasi sumsum tulang : eritroid
hiperplasia

Direct antiglobulin test ( DAT)


Diagnosis untuk anemia hemolitik autoimun membutuhkan adanya immunoglobulin
dan / atau komplemen yang terikat pada sel darah merah. Hasil yang positif menandakan
bahwa sel darah merah terlapisis oleh Ig G atau komplemen terutama C 3. Hasil positif
lemah juga dapat ditemukan tanpa adanya tanda hemolisis. Pada 34 % kasus positif
pada pasien AIDS dengan / atau tanpa tanda hemolisis. Hasil negatif ditemukan pada
2 - 5 % kasus karena jumlah globulin pada pada permukaan sangat sedikit sehingga

465
# '
SSffJHSSHIIi!?. Hematologi Onkologi Medik
tidak terdeteksi . Metode lama (tube method ) hanya dapat mendeteksi sampai 150 - 200
molekul Ig G / sel, sedangkan dengan metode terbaru sedikitnya 8 Ig G molekul/sel akan
menimbulkan aglutinasi sebanyak 5 %. Ada 3 kemungklnan pola reaksi pada DAT yaitu :45
.
Tabel 5 Kemungkinan Pola Reaksi pada DAT4
Pola reaksi Tlpe kelalnan Imunltas
Hanya Ig G AHA Warm- Antibody, drug-immune hemolytic anemia, Hapten or
drug adsorption mechanism
Hanya komplemen AHA Warm- Antibody dengan deposit IgG yang sedikit (subthreshold ) ,
penyakit cold agglutinins, paroxysmal nocturnal hemoglobinuria
( PNH )drug-immune hemolytic anemia : tipe ternary complex
Ig G dan komplemen AHA Warm- Antibody, drug-immune hemolytic anemia : tipe
autoantibodi.

DIAGNOSIS BANDING
Penyakit autoimun lain seperti sferositosis herediter (hereditary spherocytosis /
HS], Zieve syndrome, sepsis karena klostridium, anemia hemolitik yang mengawali
penyakit Wilson. 4

TATALAKSANA
Jika pasien mengalami hemolisis minimal, hematokrit stabil, dengan DAT positif
umumnya tidak membutuhkan terapi dan hanya diobservasi jika terjadi kelainan klinis.
Transfusi PRC ( packed red cell ) dapat diberikan terutama jika ada penyakit komorbid
seperti penyakit arteri koroner simptomatik atau anemia berat dengan kegagalan
sirkulasi seperti pada paroxysmal cold hemoglobinuria.4

Anemia Hemolitik Autoimun dengan Warm - Antibody 146


• Glukokortikoid :
o Menurunkan angka kematian pada kasus berat , memperlambat proses
hemolisis
o 20% kasus remisi komplit dan 10 % kasus berespon minimal atau tidak
berespon terhadap glukokortikoid.
o Prednison 60 - 100 mg po ( per oral ) sampai hematokrit stabil atau mulai
meningkat, dosis diturunkan sampai mencapai 30 mg / hari . Jika keadaan
membaik, prednison dapat diturunkan 5 mg/ hari setiap minggu sampai
mencapai dosis 15 - 20 mg/hari, yang selanjutnya diberikan selama 2- 3 bulan
setelah episode akut hemolitik reda. Terapi dapat dihentikan setelah 1- 2 bulan
atau diganti alternate-day therapy schedule.

466
|
: ff
Anemia Hemolitik |

o Alternate - day therapy schedule : hanya dapat diberikan setelah remisi stabil
pada dosis prednison 15 - 20 mg / hari , untuk mengurangi efek samping
glukokortikoid . Terapi diberikan sampai DAT negatif.
o Metilprednisolon 100- 200 mg IV (dosis terbagi ) dalam 24 jam pertama, atau
prednison dosis tinggi selama 10-14 hari jika keadaannya berat
o Jika terapi dihentikan, masih dapat terjadi remisi, sehingga harus dilakukan
pemantauan minimal beberapa tahun setelah terapi . Jika remisi makan
diperlukan terapi glukokortikoid ulang, splenektomi , atau imunosupresan .
• Rituximab
o Antibodi monoklonal terhadap antigen CD 20 yangada pada limfosit B, sehingga
dapat mengeliminasi limfosit B pada kasus AHA
o Dosis: 375 mg/ m2 / minggu selama 2 - 4 minggu
• Obat imunosupresan
o cyclophosphamide, 6 - mercaptopurine, azathioprine, and 6 - thioguanine : dapat
mensupresi sintesis autoantibodi .
o cyclophosphamide 50 mg/ kg berat badan idel /hari selama 4 hari berturut-
turut.
o Jika pasien tidak dapat mentoleransi dapat diberikan cyclophosphamide 60
mg/m 2 azathioprine 80 mg / mzsetiap hari.
o Jika pasien dapat mentoleransi : terapi dilanjutkan sampai 6 bulan untuk
melihat respon. Jika berespon, dosis dapat diturunkan . Jika tidak ada respon,
dapat digunakan obat alternatif lain,
o Indikasi : jika tidak respon terhadap terapi glukokortikoid
o Selama terapi : monitor DPL, retikulosit
o Efek samping: meningkatkan risiko keganasan, sistitis hemoragik berat.
• Splenektomi :
o Indikasi : pasien yang mendapatkan prednison berkepanjangan > 15 mg / hari
untuk menjaga konsentrasi haemoglobin
o 2 minggu sebelum operasi , diberikan vaksinasi H . influenzae type b,
pneumococcal, dan meningococcal

• Tatalaksana lain :
o Asam folat 1 mg /hari : untuk memenuhi kebutuhan produksi sel darah merah
yang meningkat.
o Plasmaferesis : masih kontroversial
o Thymectomy : pada anak yang refrakter terhadap glukokortikoid dan splenektomi

467
S EHM3&K5H! Hematologi Onkologi Medik
o Danazol: golongan androgen, dikombinasi dengan prednison dapat menurunkan
kebutuhan splenektomi , memperpendek durasi prednison
o Globulin IV dosis tinggi
o Purine analogue 2- chlorodeoxyadenosine (cladribine )

Anemia Hemolitik Autoimun dengan Cold - Antibody ' 4 6


• Menjaga suhu pasien tetap hangat, terutama daerah ekstremitas
• Rituximab: 375 mg/m 2/minggu selama 4 minggu dapat meningkatkan hemoglobin
• Klorambusil , siklofosfamid
• Interferon : menurunkan titer aglutinin
• Plasma exchange

KOMPLIKASI
Emboli paru, infeksi, kolaps kardiovaskular, tromboemboli, gagal ginjal akut3

PROGNOSIS
Pasien dengan AHA warm antibodyidiopatik dapat relaps dan remisi . Tidak
ada faktor yang dapat memprediksi prognosisnya. Umumnya berespon terhadap
glukokortikoid dan splenektomi . Angka kematian mencapai 46% pada beberapa
kasus . Angka harapan hidup dalam 10 tahun sebesar 73%. Sedangkan prognosis
AHA warm antibody sekunder tergantung penyakit penyebabnya . Pada kasus AHA
cold antibody idiopatik, perjalanan penyakit umumnya benign dan bertahan untuk
beberapa tahun. Kematian karena infeksi, anemia berat, atau proses limfoproliferatif
yang mendasarinya . Jika disebabkan karena infeksi, AHA cold antibody akan sembuh
sendiri dalam beberapa minggu. Pada kasus hemoglobinuria masif dapat terjadi gagal
ginjal akut yang membutuhkan hemodialisis.4

UNIT YANGMENANGANI
• RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Hematologi -
Onkologi Medik
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam

UNIT YANG TERKAIT


• RS pendidikan :-
• RS non pendidikan :

468
Anemia Hemolitik

REFERENSI
1. Dhaliwal G. Hemolytic Anemia. American Family Physician, June 1, 2004 / VOL. 69, No. 11. Diunduh
dari http:// www.aafp.org / afp/ 2004/0601 /p2599.html pada tanggal 23 Mei 2012.
2. Parjono E, Hariadi K. Anemia Hemolitik Autoimun. .Dalam: Suyono, S. Waspadji, S. Lesmana, L.
Alwi, I. Setiati, S. Sundaru, H. dkk. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi V. Jakarta: Interna
Publishing; 2010. Hal.l 152-1156
3. Luzzato L. Hemolytic Anemias and Anemia Due to Acute Blood Loss. In: Longo Fauci Kasper,
, .
Harrison' s Principles of Internal Medicine 18 h edition.United States of America.Mcgraw Hill 2012
4. Packman C. Hemolytic Anemia Resulting from Immune Injury . In : Lichtman M, Beutler E, Kipps
. , .
T, editors Williams Hematology 7 h ed. Me Graw Hill Chapter 52
5. . .
Neff A Autoimmune Hemolytic Anemia In: Geer J, Foerster J, Luken J. Wintrobe ' s Clinical
.
Hematology 11 lh ed. Lippincott Williams &wilkins Chapter 35.
6. Lechner K, Jager U. How I treat autoimmune hemolytic anemias in adults. The American
Society of Hematology .BLOOD, 16 September 2010 Vol 116, No 11. Diunduh dari bloodjournal.
hematologylibrary.org pada tanggal 23 Mei 2012.

469
470

ANEMIA PENYAKIT KRONIK

PENGERTIAN
Anemia adalah suatu keadaan berkurangnya sel darah merah dalam tubuh. Anemia
penyakit kronik adalah anemia yang terjadi pada yang ditemukan pada kondisi penyakit
kronik seperti infeksi kronik, inflamasi kronik, atau beberapa keganasan. Pada penyakit
inflamasi, sitokin dihasilkan oleh leukosit yang aktif dan sel lain yang ikut berperan
menurunkan kadar hemoglobin ( Hb). Ada beberapa mekanisme terjadinya anemia
pada anemia penyakit kronik :u
• Anemia yang terjadi disebabkan karena sitokin inflamasi yaitu interleukin - 6
( IL - 6) menghambat produksi sel darah merah . 1L -6 meningkatkan produksi
hormon hepcidin yang diproduksi oleh sel hepatosit berperan dalam regulator zat
.
besi Hormon hepcidin akan menghambat pelepasan zat besi dari makrofag dan
hepastosit, sehingga jumlah zat besi untuk pembentukan sel darah merah terbatas ,
• Inhibisi pelepasan eritropoietin dari ginjal oleh IL-1 dan TNF a ( tumour necrosis factor)
• Inhibisi langsung proliferasi progenitor eritroid oleh TNF a dan INF y ( interferon y),
dan IL 1
• Peningkatan eritrofagositosis makrofag RES (reticuloendothelial system ) oleh TNF a
Keadaan yang berkaitan dengan anemia penyakit kronik yaitu i 1

Tabel 1. Keadaan yang Berkaitan dengan Anemia Penyakit Kronik13


Kategorl Penyakit yang berhubungan
Infeksi Tuberkulosis, HIV / AIDS, malaria, osteomielitis, abses kronik, sepsis, hepatitis B,
hepatitis C
Inflamasi Reumatoid artritis, kelainan reumatologi lain, inflammatory bowel diseases,
sindrom respon inflamasi sistemik
Keganasan Karsinoma, limfoma, multiple myeloma, penyakit Hodgkin
Disregulasi sitokin Anemia karena usia tua
Penyakit sistemik Gagal ginjal kronik, sirosis hepatis, gagal jantung

Penyebab dari anemia penyakit kronik


• Ketidakmampuan tubuh meningkatkan produksi eritrosit (sel darah merah )
sebagai kompensasi pemendekan umur eritrosit
• Destruksi sel darah merah

PanduanPraktikKIinis
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
Anemia Penyakit Kronik |
||

• Sekresi hormon eritropoietin yang tidak adekuat dan resistensi terhadap hormon
tersebut
• Eritropoiesis yang terbatas karena menurunnya jumlah zat besi
• Absorpsi zat besi dari saluran cerna yang terhambat

PENDEKATAN DIAGNOSIS
Diagnosis cukup sulit terutama jika bersamaan dengan defisiensi zat besi. Penyebab
anemia lain harus disingkirkan sebelum mendiagnosis, seperti perdarahan, malnutrisi,
defisiensi asam folat, defisiensi vitamin B12, dan hemolisis.2

Anamnesis
Keluhan - keluhan yang didapatkan berupa rasa lemah dan lelah, sakit kepala,
nafas pendek3

Pemeriksaan Fisik
Pucat, tampak anemis, dapat ditemukan kelainan - kelainan sesuai penyakit
penyebabnya.4

Pemeriksaan Penunjang2 5
• Hemoglobin (Hb): menurun ( kadar : 8-9 g/ dl)
• Hitung retikulosit absolut : normal atau meningkat sedikit
3

• Feritin serum: normal atau meningkat. Merupakan penanda simpanan zat besi,
kadar 15 ng / ml mengindikasikan tidak adanya cadangan zat besi
• Besi dalam serum: menurun (hipoferemia). Half -life : 90 menit
-
• Transferin serum: menurun. Half life / 8-12 hari, sehingga penurunan transferin
serum lebih lama terjadi daripada penurunan kadar besi serum.
• Saturasi transferin
• Reseptor transferin terlarut ( soluble transferrin receptor ) : menurun
• Rasio reseptor transferin terlarut dengan log feritin
• Kadar sitokin
• Eritropoietin
• Hapusan darah tepi: normositik normokrom, dapat hipokrom mikrositik ringan
• Aspirasi dan biopsi sumsum tulang : jarang dilakukan untuk mendiagnosis anemia
penyakit kronik, tetapi dapat dilakukan sebagai gold standard untuk membedakan
dengan anemia defisiensi besi. Morfologi sumsum tulang dan pewarnaan zat besi
normal, kecuali dikarenakan penyakit penyebabnya. Hal yang penting diperhatikan

47 }
# SaSSjESSfJH! Hematologi Onkologi Medik

adanya simpanan zat besi dalam sitoplasma makrofag atau berfungsi di dalam nucleus.
Pada individu normal, dengan pewarnaan Prussian blue partikel dapat ditemukan di
dalam atau di sekitar makrofag, sepertiga mukleus mengandung1-4 badan inklusi halus
bewarna biru [sideroblas], Pada anemia penyakit kronik, partikel besi di sideroblas
bekurang atau tidak ada, tetapi di makrofag meningkat. Peningkatan simpanan zat
besi di makrofag berhubungan dengan menurunnya kadar besi di sirkulasi 4 .
Perbedaan anemia penyakit kronik dengan anemia defisiensi besi dari hasil
pemeriksaan labroratorium :
Tabel 2. Perbedaan Anemia dari Hasil Pemeriksaan Penunjang54
Parameter Anema penyakit kronik Anemia defisiensi besi
-
Campuran keduanya
Serum besi 4 atau normal l
Transferin i atau normal t 4>
Saturasi transferin •latau normal l i
Feritin Normal atau t l l atau normal
TFR normal t Normal atau t
TFR /log feritin Rendah ( < 1 ) Tinggi (>4) Meningkat ( <2)
Sitokin Meningkat Normal t

DIAGNOSIS BANDING1
• Supresi sumsum tulang karena obat: besi serum meningkat, hitung retikulosit rendah
• Hemolisis karena obat: hitung retikulosit, haptoglobin, bilirubin, dan laktat
dehidrogenase meningkat
• Kehilangan darah kronik: serum besi menurun, feritin serum menurun, transferin
meningkat
• Gangguan ginjal
• Gangguan endokrin: hipotiroid, hipertiroid, diabetes mellitus
• -
Metastasis sumsum tulang: poikilosit, normoblas, teardrop shaped red cells, sel
mieloid imatur
• Thalasemia minor

TATALAKSANA1 7
• Mengenali dan mengatasi penyakit penyebabnya
• Terapi besi: kegunaannya masih dalam perdebatan
• Kontraindikasi jika feritin normal ( >100 ng/ ml ) 4
• Agen Erythropoietic :
o Indikasi: anemia pada kanker yang akan menjalani kemoterapi, gagal ginjal
kronik, infeksi HIV yang akan menjalani terapi mielosupresif.

472
Anemia Penyakit Kronik

o 3 jenis: epoetin a, eportin (3, darbepoetin a


o Epoetin :Dosis awal 50-150 U / kg berat badan diberikan 3 kali seminggu selama
minimal 4 mingu, jika tidak ada respon dosis dinaikkan 300 U / kg diberikan
-
3 kali seminggu 4 8 minggu setelah dosis awal.
o Target: Hb 11-12 gram / dl
o Sebelum pemberian harus menyingkirkan adanya anemia defisiensi besi
o Monitoring selama terapi: setelah terapi selama 4 minggu dilakukan
pemeriksaan kadar Hb, dan 2 - 4 minggu kemudian. Jika Hb meningkat <1 gram /
dl, evaluasi ulang status besi dan pertimbangkan pemberian suplemen besi.
Jika Hb mencapai 12 gram / dl, diperlukan penyesuaian dosis. Jika tidak ada
respon dengan dosis optimal dalam 8 minggu, berarti pasien tidak responsif
terhadap terapi agen erythropoietic.
• Transfusi darah: jika anemia sedang- berat (Hb < 6.5 gram / dl) dan bergejala

KOMPLIKASI
Gagal jantung, kematian3

PROGNOSIS
Keluhan anemia akan berkurang jika mengobati penyakit penyebabnya . Pada
suatu penelitian dinyatakan bahwa anemia berhubungan dengan gagal ginjal, gagal
jantung kongestif, dan kanker. Derajat anemia berhubungan dengan tingkat keparahan
penyakit, prognosis buruk pada pasien dengan penyakit keganasan, gagal ginjal kronik,
dan gagal jantung kongestif. Kematian yang terjadi tidak dikarenakan anemia secara
langsung. Belum terbukti bahwa perbaikan anemia saja akan meningkatkan prognosis
penyakit penyebabnya seperti kanker atau penyakit inflamasi.
2,3

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Hematologi -
Onkologi Medik
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam

UNIT YANG TERKAIT


• RS pendidikan : Semua Divisi di lingkungan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
yang terkait
• RS non pendidikan

473
Panduan PraMU Kllnis Hematologi Onkologi Medik

REFERENSI
1. Ggns T, Anemia of Chronic Disease. In :Uchtm<an M, BeutlerE, Kipps T, editors. Williams Hematology
.
7lh ed Me Grow Hill. Chapter 43
2 . Zarychanski R . Clinical paradigms Anemia of chronic disease: A harmful disorder or an adaptive.
.
CMAJ, 2008 August 12; 179(4): 333-337. Diunduh dari http://www ncbi.nlm.nih.gov /pmc/articles/
PMC2492976/ pada tanggal 19 Mei 2012,
3 . Gardner l.B, Benz Jr EJ. Anemia of chronic diseases. In: Hoffman R, Benz EJ, Shattil SS, et al„
.
eds. Hematology: Basic Principles and Practice 5th ed, Philadelphia, Pat- Elsevier Churchill
Livingstone; 2008:chapi37:
4. ..
Supandiman I, padjartiiiSukrisman L. Anemia Pada Penyakit Kronis. Dalam: Suyono S Waspadji,
S. Lesmana, L. Alwi, I. Setiati, S. Sundaru, H. dkk, Buku Ajgr llmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi V.
Jakarta: Interna Publishing; 2010. Hal.1138- 1140
5 . W6iss G, Goodnough LT, Anemia of chronic disease. N Engl J Med. 2005; 352: 1011-1023.
6 . . .
Silver B, Anemia, Diunduh dari https:/ / www clevelandclinicmeded com /medicalpubs /
diseasemanagement /hematology-oncology/anemia / #top pada tanggal 19 Mei 2012.
.
7 Adamson J. Iron Deficiency and Other Hypoproliferative Anemias. In :Longo DL, Kasper DL,
Jameson DL, Fduci AS, Hauser SL, Loscalzo J, editors. Hantsoh' s Principals of Internal Medicine
18lh ed. Me Graw Hill. Chapter 98

474
475

DASAR - DASAR KEMOTERAPI

PENDAHULUAN
Agen kemoterapi diklasifikasikan menjadi beberapa kelompok. Kelompok agen
kemoterapi yang sering digunakan dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1 . Agen Kemoterapi yang Umum Digunakan12


Interaksl, hal yang
Obat Doils umum Toksfsltas harus dlperhatikan
Agen yang berinteraksi dengan DNA secara langsung

Alkylators
Siklofosfamid 400-2000 mg /m2 IV Sumsum tulang, Metabolisme di hati .
100 mg/m2 PO qd kardiotoksik ( dosis tinggi)
Mekloretamin 6 mg/m2 IV hari 1 dan Sumsum tulang, nausea Digunakan pada
hari 8 cutaneus lymphoma
secara topikal
Klorambusil 1-3 mg /m2 qd PO Sumsum tulang
Mefalan 8 mg/m2 qd x 5, PO Sumsum tulang, Fungsi clearance
pencernaan |dosis ginjal menurun
tinggi)
Karmustin ( BCNU) 200 mg /m2 IV 150 Sumsum tulang,
mg/m2 PO pencernaan, hepar,
ginjal
Lomastin ( CCNU) 100-300 mg/m2 PO Sumsum tulang
Ifosfamid 1.2 g/m2 per hari qd x Mielosupresif, kandung Isomeric analogue of
5 + mesna kemih, neurologik, cyclophosphamide ,
asidosis metabolik, lebih larut lemak,
neuropati harus menggunakan
mesna
Prokarbazin 100 mg /m2 per hari Sumsum tulang, nausea,
qd x 14 neurologik
Dakarbazin ( DTIC ) 375 mg /m2 IV hari 1 Sumsum tulang Aktivasi metabolit
dan hari 15 Nausea
Flulike
Temozolomid 150-200 mg/m2 qd x 5 Nausea, muntah, Mielosupresi ( jarang)
q28d atau 75 mg/m2 sakit kepala, fatique ,
qd x 6-7 minggu konstipasi
Altretamin ( formerly 260 mg / m2 /hari qd x Nausea, neurologik Aktivasi hati, menin-
hexamethylmelamine ) 14-21 dibagi 4 dosis ( mood swing ) , gkatkan barbiturate
oral neuropati, sumsum / menghilangkan
tulang ( sedikit ) cimetidine.

PanduanPraktik Minis
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyaki! Dalam Indonesia
fP SSSSJ5SS5H! Hematologi Onkologi Medik
Obat Dosis umum Interaksl, hal yang
Tokslsltas
harus dlperhatlkan
Cisplatin 20 mg/m2 qd x 5 IV 1 Nausea, neuropati, Jaga high urine flow ;
q3-4 minggu atau100- pendengaran, trombosit osmotic diuresis ,
200 mg/m2 per dosis IV sumsum tulang> darah monitor intake / output
q3-4 minggu tepi, Renal Mg2+, Ca2* K+, Mg2*
Profilaksis antiemetik
Carboplatin 365 mg/ m2 IV q3-4 Trombosit sumsum Reduce dose
minggu, disesuaikan tulang > darah tepi, according to CrCI: to
dengan kreatinin nausea, ginjal ( dosis AUC of 5-7 mg/mL
klirens tinggi) per min [ AUC = dose /
( CrCI + 25) ]
Oxaliplatin 130 mg/m2 q3 minggu Nausea, Anemia Acute reversible
selama 2 jam atau 85 neurotoxicity , chronic
mg/m2 q2 minggu sensory neurotoxicity
cumulative with
dose; reversible
laryngopharyngeal
spasm
Antitumor Antibiotics dan Topoisomerase Poisons
Bleomisin 15-25 mg/ d qd x 5 Paru-paru, efek pada Inaktif oleh bleomycin
IV bolus atau kontinu kulit, Raynaud ’ s, hydrolase (menurun
continuous IV hipersensitifitas pada paru/kulit),
meningkatkan
toksisitas 02 pada
paru.
Aktinomisin D -
10 15 mg/kg per hari Sumsum tulang, nausea, Radiation kembali
qd x 5 IV bolus mucositis, bengkak,
alopesia
Etoposid ( VP16-213 ) 100-150 mg/m2 IV qd Susmsum tulang Metabolisme hati,
-
x 3 5 hari atau 50 mg/ ( trombosit darah 30% ginjal, kurangi
m2 PO qd x 21 hari tepi>sumsum tulang), dosis bila pasien
atau sampai 1500 mg/ alopesia, hipotensi, disertai gagal ginjal,
m2 per dosis. hipersensitivitas ( IV Schedule-dependent
cepat ), nausea, ( 5 hari lebih baik
mucositis ( dosis tinggi) dari 1 hari) , Late
leukemogenic
Accentuate
antimetabolite action
Topotekan 20 mg/m2 IV q3-4 Sumsum tulang, Kurangi dosis bila ada
minggu selama 30 mucositis, nausea, gagal ginjal, tidak
menit atau 1.5-3 alopesia ringan hepatotoksik
mg/m2 q3-4 minggu
selama 24 jam atau
0.5 mg/m2 per hari
selama 21 hari
Irinotekan ( CPT II) 100-150 mg/m2 IV Diare : gejala awal Diare karena ekskresi
selama 90 menit q3-4 dengan kram, muntah, bilier, gunakan
minggu atau 30 mg/ gejala lambat setelah loperamide ( 2 mg
m2 per hari selama 120 beberapa dosis q2- 4 jam)
jam : sumsum tulang,
alopesia, nausea,
muntah, paru

476
Dasar-Dasar Kemoterapi

Interaksl, hal yang


Obat Dosis umum Toksisitas
harus diperhatlkan
Doksorubisin dan 45-60 mg/ m2 dosisi Sumsum tulang, Agregasi heparin
daunorubisin q3-4 minggu atau mucositis, alopesia, : coadministration
10-30 mg/ m2 dosis akut /kronik increases clearance
q minggu atau kardiovaskular, bengkak Acetaminophen ,
contin uo us-infusion BCNU meningkatkan
regimen hepatotoksik,
membutuhkan radiasi
kembali
Idarubisin 10-15 mg/m2 IV q 3 Sumsum tulang, kardiak
minggu atau 10 mg/ (lebih sedikit dari
m2 IV qd x 3 doxorubicin)
Epirubisin 150 mg/m2 IV q3 Sumsum tulang, kardiak
minggu
Mitoxantrone 12 mg/ m2 qd x 3 Sumsum tulang, kardiak Interaksi dengan
(lebih sedikit dari heparin, efek
atau 12-14 mg /m2 q3
minggu doxorubicin) , bengkak alopesia dan
(ringan) , urin, sklera dan nausea lebih kecil
kuku berwarna biru. dari doxorubicin,
membutuhkan radiasi
kembali.
Indirect DNA - Interacting Agents
Antimetabolites
Deoxycoformycin 4 mg/m2 IV setiap Nausea, immunosupresi, Dikeluarkan di
minggu neurologik, renal urine, kurangi dosis
pada gagal ginjal,
menghambat
adenosine
deaminase.
6-Mercaptopurine 75 mg/ m2 PO Sumsum tulang, hati, Bioavaibilitas
Atau sampai 500 mg/ nausea metabolisme
m2 PO ( dosis tinggi) bervariasi,
dimetabolisme oleh
xanthine oxidase,
kurangi dosisi dengan
allopurinol, toksisitas
meningkat dengan
thiopurine
methyltransferase
deficiency
6-Thioguanine 2-3 mg /kg per hari Sumsum tulang , hati, Bioavaibilitas
sampai 3-4 minggu nausea bervariasi, toksisitas
meningkat dengan
thiopurine
methyltransferase
deficiency
Azatioprin -
1 5 mg/kg per hari Sumsum tulang, hati. Metabolisme menjadi
nausea 6MP, oleh karena itu
kurangi dosis dengan
allopurinol, toksisitas
meningkat dengan
thiopurine
methyltransferase
deficiency

477
/A PanduanPraktlk Minis Hematologi Onkologi Medik
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
^ '

Obat Dosis umum Interaksl, hal yang


Toksisltas
harus dlperhatlkan
2-Klorodeoksiadenosin 0.09 mg/kg per hari qd Sumsum tulang, ginjal, Patut
x 7 secara continuous demam dipertimbangkan
infusion untuk terapi hairy cell
leukemia
Hidroksiurea 20-50 mg/kg PO qd Sumsum tulang, nausea, Kurangi dosis
atau 1-3 g/hari mukositis, perubahan dengan gagal ginjal,
kulit, jarang pada ginjal, menambah efek
hati dan paru. antimetabolit .
CNS
Metotreksat 15-30 mg PO or IM qd Sumsum tulang, paru / Ekskresi di urin,
x 3-5 hati, renal tubular .
kurangi dosis pada
Atau 30 mg IV hari 1 mukositis gagal ginjal, NSAIDs
dan 8 atau 1.5— 12g/ meningkatkan
m2 per hari (dengan toksisitas ginjal.
leucovorin)
5-Fluorouracil ( 5FU) 375 mg/ m2 IV qd x 5 Sumsum tulang, Toksisitas meningkat
atau 600 mg/m2 IV hari mukositis, neurologik, oleh leucovorin .
1 dan 8 perubahan kulit Dihydropyrimidine
dehydrogenase
deficiency
meningkatkan
toksisitas metabolit di
jaringan.
Capecitabine 665 mg /m2 bid con- Diare, Hand -foot Pre obat karena me-
tinuous; 1250 mg/m2 syndrome tabolisme intratumor
bid 2 minggu on / 1
off ; 829 mg/m2 bid 2
minggu on / 1 off + 60
mg /hari leucovorin
Sitosin arabinosid 100 mg/m2 per hari qd Sumsum tulang, Meningkatkan
x 7 continuous infusion mucositis, neurologik aktivitas agen alkilasi,
atau 1-3 g /m2 dosis IV ( dosis tinggi) , metabolisme di
p0lus Konjungtivitis (dosis jaringan dengan
tinggi) , non kardiogenik cara deaminasi.
edem pulmonal
Azasitidin 750 mg/m2 per minggu Sumsum tulang, nausea , Digunakan terbatas
atau 75-200 mg/m2 hati, neurologik, mialgia pada leukemia,
per hari x 5-10 (bolus ) Altered methylation
atau ( continuous IV of DNA alters gene
atau subkutan) expression
Gemcitabin 1000 mg /m IV setiap
2
Sumsum tulang, nausea,
minggu x 7 hati
Fever / " flu syndrome"
Fludarabin fosfate 25 mg/m2 IV qd x 5 Sumsum tulang, Dosis berkurang
neurologik, paru dengan gagal ginjal,

Asparaginase 25,000 IU/m2 q3-4 Sintesis protein, Menghambat aksi


minggu atau 6000 IU/ factor pembekuan, methotrexate
m2 per hari qod untuk glukosa, albumin,
3-4 minggu atau hipersensitivitas, CNS
1000-2000 IU/m2 untuk pankreatitis, hati
-
10 20 hari

478
Dasar-Dasar Kemoterapi

Interaksl, hal yang


Obat Dosb umum Tokslsltas horu dlperhatikan
*
Suplementasi folat/
Pemetrexed 200 mg/ m2 q3 weeks Anemia, neutropenia
Thrombositopenia Bl2, waspada pada
gagal ginjal
Antimitotic Agents
Vinkristin 1-1.4 mg /m2 per Bengkak, sumsum Hepatic clearance
minggu tulang, neurologik, Dose reduction for
pencernaan :ileus, bilirubin > 1.5 mg / dL
konstipasi, kanndung Prophylactic bowel
kemih : hipotoksisitas, regimen
SIADH kardiovaskular
Vinblastin 6-8 mg/ m2 per minggu Bengkak, sumsum Hepatic clearance
tulang, neurologik, Dose reduction as
hipertensi, Raynaud' s with vincristine
Vinorelbin 15-30 mg/m2 per Bengkak, sumsum Hepatic clearance
minggu tulang, bronkospasme/
alergi.
Dispnea /batuk,
neurologik
Paklitaksil 135-175 mg/m2 per Hipersensitivitas, sumsum Premedikasi dengan
24 jam infuse atau tulang, mukositis, steroid, H, dan H2
175 mg/m2 per 3 jam alopesia, blocker,
infuse atau 140 mg/m2 Sensory neuropathy , Hepatic clearance
per 96 jam infuse atau Dose reduction as
250 mg/m2 per 24 jam
CV conduction
disturbance , nausea with vincas
infus plus G-CSF
Doketaksil 100 mg / m2 per 1 jam Hipersensitivitas, retensi Premedikasi dengan
infus q3 minggu cairan, sumsum tulang, steroid, H, dan H2
dermatologis , blocker
Sensory neuropathy .
nausea, stomatitis
Estramustin fosfat 14 mg/kg per hari Nausea, muntah,
terbagi dalam 3-4 diaere, CHF, Thrombosis
dosis dengan air > 2 Ginekomasti.
jam setelah makan,
hindari makanan kaya
kalsium
Nab-pac litaxel 260 mg/m2 q3 minggu Neuropati, anemia . Waspada pada
( protein bound ) Neutropenia, insufisiensi hati
thrombocytopenia
Ixabepilone 40 mg/m2 q3 minggu Myelosupresi, neuropati
Molecularly Targeted Agents
Retinoids
Tretinoin 45 mg/ m2 per hari Teratogenik, APL differentiation
sampai respon komplit Kutaneus syndrome : disfungsi/
+ anthracycline-based infiltrat pulmonal,
regimen in APL efusi pleura /
perikardial, demam
Bexarotene 300-400 mg /m2 per Hypercholesterolemia, Hipotiroidisme sentral
hari, continuous Hypertriglyceridemia
Kutaneus, teratogenik

479
PaRdumPnkUkKHnis Hematologi Onkologi Medik

Obat Dotk umum ToksMtas Interaksl, hal yang


harus dlperhattkan
Targeted Toxins
Denileukin diftitox 9-18 mg/kg per hari x Nausea /muntah, Hypersensitivitas
5 d q3 minggu menggigil/demam, akut, hipotensi,
asthenia, hepatik vasodilatasi, rash ,
kebocoran vascular
ihipotensi, edema,
hipoalbuminemia,
thrombotic events
( Ml, DVT, CVA )
Penghambat Tyrosine Kinase
Imatinib 400 mg/ d, continuous Nausea, edema Mielosuppresi tidak
periorbital sering pada tumor
solid
Gefitinib 250 mg PO per hari Rash , diare
Erlotinib 150 mg PO per hari Rash, diare 1 jam sebelum, 2 jam
sesudah makan
Dasatinib 70 mg PO bid; 100 mg Perubahan hari,
PO per hari rash , neutropenia,
trombositopenia
Sorafenib 400 mg PO bid Diare,
Hand- foot syndrome,
rash
Sunitinib 50 mg PO qd for 4-6 Fatigue , diare,
minggu neutropenia
Penghambat Proteosome
Bortezomib 1.3 mg/m2 day 1,4 Neuropati,
trombositopenia
Penghambat Histone Deacetylase
Vorinostat 400 mg /hari Fatigue , diare,
trombositopenia, emboli
Romidepsin 14 mg/m2 hari 1, 8, 15 Nausea, muntah,
sitopenia, cardiac
conduction
Penghambat mTOR
Termsirolimus 25 mg setiap minggu Stomatitis,
trombositopenia,
nausea, anoreksia,
fatigue , metabolik
( glukosa, lipid)
Everolimus 10 mg setiap hari Stomatitis, fatigue
Agen hormon
Tamoxifen Retensi cairan, nausea
Gonadotropin- Nausea, muntah,
Releasing Hormone edema, tromboemboli,
Agonists painful gynecomastia
Inhibitor Aromatase
Lalnnya
Arsenik trioksida 0.16 mg /kg per Meningkatkan QTc APL differentiation
hari sampai 50 hari
dengan APL
.nyeri
neuropati perifer,
musculoskeletal,
syndrome ( lihat
tretinoin)
hiperglikemia

480
Dasar-Dasar Kemoterapi

PENANGANAN KOMPLIKASI AKUT KEMOTERAPI

Mielosupresi2

Manifestasi klinik
. -
Febril neutropenia Neutropenia maksimal muncul 6 14 hari setelah pemberian
kemoterapi.

Tatalaksana
1. Rontgen toraks
2. Kultur darah, urin, sputum
3. Resistensi obat
.
4 Antibiotika empiris sambil menunggu kultur : seftazidim , vankomisin atau
metronidazol / imipenem jika curiga kuman anaerob dari abdomen atau tempat lain.
5. Antibiotika sesuai kuman penyebab

Nausea dan muntah2


Nausea dan muntah dapatterjadiakut (< 24 jam kemoterapi) dan delayed (> 24 jam
.
kemoterapi) Profilaksis antiemetik pada obat kemoterapi yang sangat menginduksi
muntah :
• Kombinasi 100 mg penghambat 5-HT3 dolasetron (Anzamet) (iv atau oral), 12
mg deksametason, dan 125 mg NK1 antagonist aprepitant (oral), pada hari saat
pemberian agen kemoterapi.
• Pemberian deksametason (8 mg) and aprepitant (80 mg) hari ke 2-3 untuk delayed
nausea .
Atau
• 3x0.15 mg / kg antagonis 5- HT 3 ; ondansetron (iv), diberikan sebelum dan 4-8
jam setelah kemoterapi

Diare2
• Diare terkait kemoterapi dapat timbul segera atau delayed (48- 72 jam setelah
pemberian obat).Tatalaksana :
• Hidrasi
• Jaga keseimbangan elektrolit
• Dosis loperamid tinggi, dosis awal 4 mg, lanjutkan 2 mg setiap 2 jam sampai 12
jam bebas diare. Maksimal dosis 16 mg / hari.

481
W fSSSSSSSSS. Hematologi Onkologi Medik

• Untuk yang tidak respon terhadap loperamid : Oktreotid ( 100 - 150 mg},
somatostatin analog, atau opiate - based preparations

Mukositis2
• Terapi anestesi topikal dan barrier- creating preparations
• Mukosistis berat : palifermin atau keratinocyte growth factor

Alopesia2
• Mulai muncul sekitar awal minggu kedua atau ketiga setelah siklus pertama
• Chemo caps mengurangi temperatur kulit kepala sehingga mengurangi derajat
alopesia
• Kosmetik
• Dukungan psikologis

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Hematologi -
Onkologi Medik
• RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Unit Perawatan Khusus Imunosupresi
• RS non pendidikan : Unit Perawatan Khusus Imunosupresi

REFERENSI
1. Salmon, S. E. and Sartorelli, A. C. Cancer Chemotherapy, in Basic and Clinical Pharmacology,
( Katzung, B. G„ ed) Appleton-Lange, 1998, p. 881-911.
2. Principle of cancer treatment. Dalam : Fauci A, Kasper D, Longo D, Braunwald E, Hauser S,
Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison' s principles of internal medicine. 18lh ed. United States of
America; The McGraw-Hill Companies, 2011.

482
483

DIATESIS HEMORAGIK

PENGERTIAN
Diathesis adalah suatu tampilan fisik atau kondisi tubuh yang menyebabkan
jaringan tubuh bereaksi secara khusus terhadap stimulus ekstrinsik tertentu yang
akan membuat seseorang Iebih mudah terkena penyakit tertentu. Diatesis hemoragik
( hemorrhagic diathesis/ bleeding diathesis/ bleeding tendency ) merupakan suatu
predisposisi hemostasis abnormal atau kecenderungan perdarahan ( bleeding
tendency).1 Proses patofisiologis ini terbagi menjadi 3 kategori yaitu kelainan fungsi
atau jumlah trombosit, gangguan faktor koagulasi, dan kombinasi dari keduanya.2

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis2 4
• Riwayat perdarahan spontan di masa lalu, perdarahan di berbagai tempat (multiple
sites), perdarahan terisolasi (mis hematuria, hematemesis, hemoptisis)
• Riwayat perdarahan masif pasca operasi atau trauma (immediate atau delayed ] ,
termasuk sirkumsisi, tonsilektomi, melahirkan, menstruasi, pencabutan gigi,
vaksinasi, dan injeksi
• Riwayat penyakit komorbid ( gagal ginjal, infeksi HIV, penyakit mieloproliferatif,
penyakit jaringan ikat, limfoma, penyakit hati)
• Riwayat transfusi
• Riwayat kebiasaan makan, malabsorpsi, dan antibiotik -> predisposisi defisiensi
vitamin K
• -
Riwayat konsumsi obat seperti aspirin, nonsteroidal anti inflammatory drugs
( NSAIDs]
• Riwayat koagulopati dalam keluarga (hemofilia, dll]

Pemeriksaan Fisik2 5
• Identifikasi tanda perdarahan (perdarahan mukosa, petekia, purpura, ekimosis/common
bruises, perdarahan jaringan lunak, saluran cema, epistaksis, hemoptisis)

PanduanPraktik Minis
Perhimpunan Dokler Spesialls Penyakil Dalam Indonesia
w SSB5ES5HH! Hematologi Onkologi Medik
• Tanda infeksi
• Tanda penyakit autoimun

Tabel 1. Karakteristik Pola Perdarahan poda Gangguan Hemostasis Sistemik*


Tempat perdarahan Onset
TIpe Contoh mani-
kelalnan Membran perdara-
Umum Kullt Lafnnya festos! kllnls
mukosa han
Gang- Permu- Petekia, Sering: oral, Jarang Spontan Trombositopenia,
guan kaan ekimosis nasal, gas- atau gangguan fungsi
trombosit supertisial trointestinal, segera trombosit, vascu-
vaskular genitourinaria setelah lar fragility , koag-
trauma ulasi intravaskular
diseminata ( KID) ,
penyakit hati
Defisiensi Jaringan Hematoma Jarang Sering: Delayed Defisiensi faktor
faktor profunda sendi, otot, setelah koagulasi ditu-
koagulasi retro-peri- trauma runkan, inhibitor
toneal didapat, KID,
penyakit hati,
antikoagulasi

Pemeriksaan Penunjang2 5
• Laboratorium :
o Inisial : darah perifer lengkap, prothrombin time ( PT], activated partial
thromboplastin time (aPTT) dan morfologi darah tepi
o Skrining pre - operatif : bila riwayat perdarahan negatif -> darah perifer
lengkap, PT, aPTT, bleeding time ( BT )
o Lainnya (sesuai indikasi]: thrombin time ( TT], faktor koagulasi, fibrin
degradation products ( FDP ), agregasi trombosit, serologi virus ( Dengue,
CMV, Epstein Barr Virus, hepatitis C, HIV, rubella], serologi LES, elektroforesis
serum protein, imunoglobulin, fungsi hati, defisiensi IgA atau monoclonal
gammopathies (selektif ], tes Coomb

484
Diatesis btemoragik

Bleeding lime (BT) PT dan/ atau


memanjang aPTT memanjang

Riwayal konsumsi obat


i
1:1 mix
yang mengganggu lungsl [skrinlng Inhibitor)
Iromboitif ?
Ya Tidak
l
Gagcil glnjal .
l l
penyakil hati, Terkoreksl Tidak terkoreksl
Hentlkan obat
kelainan mleloprollferatlf

i
Wang BT -»
terkoreksl

Ya
I Tidak Tidak Ya

* i t 1
'

Periksa assay faktor Tes antikoagulan lupus, inhibitor


Tidak perlu Periksa penyaklt von Willebrand: Terapi koagulasl individual faktor koagulan spesiflk
tlndak lanjut agregasi trombosit

Gambar 1 . Algoritma Diagnosis Paslen dengan BT, PT, aPTT Memanjang


4

PT normal (N) B Ptt


aPTT t aPTTT
Trombosit (N Trombosit |N

T t
Perdarahan Tidak ada perdarahan Perdarahan Tidok ada perdarahan

l
Terkalt fojai
i
Tanpa provokasi .
• Deftsiensl fafctcx XII HK, Deflslensl faktor •
1
Deflslensl faktor VII
deflifensf fakior XI, atau PK VII derajat berat derajat rlngan
hemophilia A • Antikoagulan lupus • Konsumsi
alau B derojat • Adanya heparin antikoagulan oral
rlngan sampai
sedang
I PTt
X i aPHt
Trombosit (N)
aPTTt
Trombosit i

I
Minor : , Mayor :
vWD • Hemophilia A atau B
derajat berat
• vWD tlpe 3 (berat)
i 1
Perdarahan Tidak ada perdarahan Dengan/tanpa perdarahan
• Inhibitor faktor VIII
dldapat
• vWD dldapat
1
• Hlpoflbrinogenemta • KID
1
.
• DefKiensi faMor II V. X • Penyaklt hati
derafal rlngan • Antikoagulan lupus

Aflbri ogenemia
• Deflslensl faktor II, V, X derajat berat
• Komblnasi deflslensi faktor V dap VIII
• Komblnasi deflslensl faktor vltamin-K
dependent
• Inhibitor faktor II dan V dldapat
• Inhibitor faktor X didapat
(amlloldosls)

Keferangan:
HK = high molecular weigh! kininogen ;
PK - prekalikrein;
vWD = penyakit von Willebrand ;
KID = koagulasi intravaskular diseminafa

Gambar 2 . Algoritma Diagnosis Tentatlf Gangguan Hemostasis


3

485
# ES
^ JSSPJHfil Hematologi Onkologi Medik

Tabel 2. Penyebab PT dan aPTT Memanjang 2


PT memanjang aPTT memanjang PT dan aPTT memanjang
Dlturunkan
Defisiensi faktor VII Defisiensi faktor von Defisiensi protrombin, fibrinogen, faktor V, X,
Willebrand (vWF) , faktor VIII, atau kombinasi
IX, XI, atau XII
Didapat
Defisiensi vitamin K Penggunaan heparin Penyakit hati
Penyakit hati Inhibitor vWF, faktor VIII, IX, XI, KID
atau XII
Penggunaan Antibodi antifosfolipid Heparin atau warfarin supraterapeutik
warfarin
Inhibitor faktor VII Kombinasi heparin atau warfarin
Inhibitor protrombin, fibrinogen, faktor V
atau X
Direct thrombin inhibitor

DIAGNOSIS BANDING
Sesuai etiologi

TATALAKSANA

1. Gangguan koagulasi : hemofilia A dan B, vWD


Preventif : hindari olahraga kontak, higiene oral yang baik, teknik imunisasi
yang hati-hati, terapi pengganti segera setelah trauma, tatalaksana episode
perdarahan akut . Terapi profilaksis primer dapat menurunkan insidens
artropati, namun inisiasi terapi dan biaya yang dibutuhkan masih menjadi
kontroversi.2 Hindari juga pemberian aspirin, NSAIDs, dan obat lain yang dapat
mengganggu agregasi trombosit.5
Terapi pengganti 2
o Hemofilia A: recombinant atau plasma -derived factor VIII
1. Plasma kriopresipitat ( ~ 80 unit faktor VIII dalam larutan 10 cc]6
2. Generasi pertama: Bioclate, Helixate FS, Kogenate, Recombinate
3. Generasi kedua: Kogenate FS dan B-domain deleted recombinant
factor VIII ( BDDrFVIII)
4. Karena waktu paruh faktor VIII hanya 12 jam, maka kadar faktor
tersebut harus diperiksa tiap 12 jam.
5. Dosis pemeliharaan : 1/ 2 dosis awal dan diberikan setiap hari.
Monitoring kadar faktor pembekuan biasanya dianjurkan setiap
pasca trauma besar, perdarahan, atau operasi.
6. Rumus yang digunakan untuk menghitung pengganti dosis faktor VIII:

486
Diatesis Hemoragik

Dosis (unit) = (target kadar faktor - baseline) x berat badan [kg]/ 2


7. Dosis faktor VIII untuk terapi perdarahan tercantum pada tabel 3.
Tabel 3. Dosis Faktor VIII untuk Terapi Perdarahan0 ‘
Target kadar Dosis Frekuensi
Tempat perdarahan faktor VIII (% faktor VIII dosis Durasl (hari)
darl normal) (U/kgBB)b (flap Jam)0
Hemartrosis 30-50 ~ 25 12-24 1-2
Hematoma 30-50 -25 12-24 1 -2
intramuskular superflsial
Traktus gastrointestinal ~ 50 ~ 25 12 7- 10
Epistaksis 30-50 ' 25 12 Sampai sembuh
Mukosa oral 30-50 ~ 25 12 Sampai sembuh
Hematuria 30- 100 -25-50 12 Sampai sembuh
Sistem saraf pusat 50- 100 50 12 7- 10
Retrofaringeal 50-100 50 12 7- 10
Retroperitoneal 50- 100 50 12 7- 10
Keterangan
“Pasiendrengan perdarahan ringan atau sedang mungkin merespon desmopressin, yang seharusnya digunakan
- -

daripada] darah atau produk darah bila memungkinkan


'Faktor VIII dapat diberikan dalam infus kontinu apabila pasien dirawat inap.Setelah bolus inisial, sekitar 150 U
faktor VIII per jam biasanya cukup untuk dewasa ukuran rata-rata. Dosis diberikan flap 12-24 jam
.
"Frekuensi dosis dan durasi terapi dapat disesuaikan tergantung dari keparahan dan durasi episode perdarahan

o Hemofilia B : recombinant atau plasma - derived factor IX


1. Pengganti faktor IX: prothrombin complex concentrates ( PCCs) yang
mengandung faktor II , VII, X, dan IX
2 . Karena waktu paruh faktor IX hanya sekitar 16 jam, maka level faktor
tersebut harus diperiksa tiap 16 jam .
3. Dosis pemeliharaan : 1 / 2 dosis awal dan diberikan setiap hari .
Monitoring kadar faktor pembekuan biasanya dianjurkan setiap
pasca trauma besar, perdarahan, atau operasi .
4. Rumus yang digunakan untuk menghitung pengganti dosis faktor IX:
Desmopressin ( DDAVP ) : terapi pilihan pada penderita hemofilia A ringan
dengan perdarahan ringan -sedang

Dosis (unit) = (target kadar faktor - baseline ) x berat badan [kg] x 1,2
Terapi antifibrinolisis pada hemofilia A ( asam traneksamat atau asam
e-aminocaproic/ EACA): bermanfaat perdarahan gusi dan menoragia . Dosis oral
asam traneksamat dewasa 4 x 1 g/ hari , EACA loading dose 4- 5 g dilanjutkan 1
g / jam ( continuous infusion ) pada dewasa atau 4 g tiap 4 - 6 jam per oral selama
2 - 8 hari tergantung dari derajat perdarahan . Terapi ini dikontraindikasikan
bila ada hematuria . 6

487
m ESSSJMJHfit Hematologi Onkologi Medik

Fibrin glue/ fibrin tissue adhesives dapat digunakan untuk terapi adjuvan untuk
faktor VIII.6
Faktor Vila rekombinan -> pada pasien hemofilia dengan titer inhibitor tinggi.
Dosis anjuran: 90 pg / kgtiap 2 jam sampai tercapai hemostasis
2. Gangguan inhibisi faktor koagulasi: autoantibodi faktor VIII 2
-
Tatalaksana etiologi bila diketahui. Apabila imbas obat > stop konsumsi maka
perdarahan akan berhenti dalam beberapa bulan. Sebagian besar (inhibitor
-
postpartum) sembuh dalam waktu 2 3 bulan pasca persalinan
-
- Pasien simptomatik > mengatasi perdarahan dan menurunkan titer antibodi
o Menurunkan titer antibodi : imunosupresan (steroid, cyclophosphamide,
azathioprine, desmopressin, (intravenous immunoglobulin ) / WIG , atau
plasmaferesis)
o Prednison 1 mg/ kg/ hari selama 3-6 minggu, atau
o Cyclophosphamide 2 mg / kg / hari selama 6 minggu, atau

-
o Pada pasien dengan kontraindikasi imunosupresan > IVIG 0,4 g/ kg / hari
selama 5 hari
3 . Kelainan hematologis terkait abnormalitas fungsi trombosit 7
- Kelainan mieloproliferatif kronis
o Polisitemia vera lihat pada bab Polisitemia Vera
o Trombositosis esensial -> lihat pada bab Trombositosis Esensial
o Leukemia mielogenus kronis -> lihat pada bab Leukemia
o Mielofibrosis dengan metaplasia mieloid
Terapi sebaiknya diberikan pada pasien simptomatis, usia > 60 tahun, individu
yang akan menjalani operasi, meliputi koreksi polisitemia, pemeliharaan massa
eritrosit, tatalaksana penyakit yang mendasari. Reduksi trombosit hingga
< 400 , 000 / uL dengan plateletferesis atau agen sitoreduktif .
Leukemia dan sindrom mielodisplasia -> lihat pada bab Leukemia
Disproteinemia : terapi sitoreduktif, plasmaferesis
Penyakit von Willebrand didapat: infus DDAVP, vWF-containing factor VIII
concentrates, IVIG dosis tinggi
4. Kelainan sistemik terkait dengan abnormalitas fungsi trombosit7
Uremia: agregasi trombosit abnormal, dan BT memanjang sering terjadi
pada pasien uremik, tapi bukan merupakan indikasi intervensi terapeutik.
Terapi: dialisis, transfusi trombosit, recombinant human Epo, DDAVP, estrogen
konjugasi, kriopresipitat
- Antibodi antitrombosit (ITP, LES, alloimunisasi trombosit, trombositopenia )

488
Diatesis Hemoragik

-> lihat pada bab Immune Thrombocytopenia dan Lupus Sistemik


Eritematosus
Cardiopulmonary bypass
o Evaluasi preoperatif: riwayat perdarahan pada pasien atau keluarga
o Transfusi profilaksis komponen darah allogenik tidak diindikasikan
o Pada pasien anemia preoperatif, dapat diberikan recombinant human Epo
dan non -anemis dapat diberikan Epo + donor darah autolog
o Cell savers dan darah yang dikumpulkan dari drainase chest tube dapat
digunakan selama operasi dan di re-infus untuk mengurangi transfusi
allogenik. Keamanan transfusi dalam jumlah besar dengan teknik ini
belum ditetapkan.
o Perdarahan pasca operasi pada pasien dengan BT memanjang dan
kehilangan darah berlebihan dapat merespon terapi DDVAP, dan
perdarahan pasca operasi yang tidak dapat dikontrol dapat diberikan
recombinant factor Vila.
o Inhibisi fibrinolisis dengan aprotinin, EACA, asam traneksamat terbukti
mengurangi kehilangan darah mediastinum dan kebutuhan transfusi.
o Apabila perdarahan pasca operasi non - bedah terjadi, pastikan pasien
tidak dalam keadaan hipotermia dan heparin telah fully reversed. Pada
tahap ini, administrasi obat dan transfusi trombosit, kriopresipitat, FFP,
dan PRC dapat diberikan.
Kelainan lainnya
-
o Penyakit hati kronis > BT memanjang merespon infusan DDVAP
-
o KID > lihat pada bab Koagulasi Intravaskular Diseminata

KOMPLIKASI
Perdarahan internal profunda, kerusakan sendi, infeksi

PROGNOSIS
Tergantung dari etiologi dan respon terapi

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Hematologi -
Onkologi Medik
• RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

489
# Sfi&JBSBSK* Hematologi Onkologi Medik

UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Unit Transfusi Darah
• RS non pendidikan : Unit Transfusi Darah

REFERENSI
1. ;Dorland's Illustrated Medical Dictionary
,. 23 rd
. .
Edit|Qn. :Philad.plph1a;- Saunders Elsevier 2007
2. . .
Baz R, Mekhail T Bleeding Disorders, |n : Carey W,; Abeison A,, Dweik R, et ql Current Clinical
Medicine. 2nd Edition. The Cleveland Clinic Foundation. Philadelphia : Elsevier, 2010.
3. Kaushansky K, Selighson U. Classification, Clinical Manifestations, and Evaluation of Disorders of
.
Hemostasis: Overview In : Lichtman M, Beutler E, Selighson U, et al. Williams Hematology. 7th
. .
Edition New York, McGraw-Hill 2007
4. McMillan R. Evaluation of the Patient With a Possible Bleeding Disorder. In: Goldman, Ausiello.
Cecil Medicine 23,d Edition Philadelphia Saunders, Elsevier 2008
. . . . .
5. .
Konkle B. Disorders of Platelets and Vessel Wall In : Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL,
. . .
Jameson JL, Loscalzo J Harrison ' s Principles of Internal Medicine 18lh Edition New York, McGraw-
Hill. 2012 .
6. .
Escobar M, Roberts HR, White IIGC. Hemophilia A and Hemophilia B In : Lidhtman M, Beutler E,
. . .
Sellghson U, et al Williams Hematology 7th Edition New York, McGraw-Hill 2007 .
7. Abrams CS, Bennett J$, Shattil SJ. AcquirediQualitatiye Platelets Disorders: Overview. In: Lichtman
M, Beutler E, Selighson U, et al. Williams Hematology. 7th Edition. New York, McGraw-Hill. 2007

490
491

HEMOGLOBINOPATI

PENGERTIAN
Hemoglobinopati adalah kelainan dari struktur, fungsi, atau produksi hemolobin
( Hb) yang diturunkan secara genetik ataupun didapat . Hemoglobin normal pada orang
dewasa ( HbA) terdiri dari tetramer polipeptida globin yang mempunyai subunit atau
rantai yaitu 2 a dan 2 (3.1 Rantai a berhubungan dengan kromosom 16, sedangkan
rantai p (non a) berhubungan dengan kromosom 11. Subunit tidak selalu P tetapi
dapat e (embrionik), 8 ( normal minor HbA 2] atau y (fetus) . Sel darah merah pada
orang dewasa mempunyai 3 tipe yaitu HbA (a 2 02) sebanyak 95 %, HbA 2 (a 2 82)
sebanyak 2.5 %, dan HbF (a 2 y 2) sebanyak 2.5 %. Perbedaan pada ketiga tipe rantai
menentukan afinitas oksigen, kelarutan, dan stabilitas. Segera setelah lahir, produksi
rantai p baru dimulai, sedangkan produksi rantai y mulai menurun. Abnormalitas
rantai p tidak bermanifestasi pada bulan pertama kehidupan. Mutasi pada Hb dan
sindroma yang berhubungan dapat dilihat pada tabel di bawah ini: 2

Tabel 1 . Mutasi Hb dan Sindrom yang Berhubungan2


Mutasi
Hb Kondlsl yang berhubungan Struktur molekular kromosom
A Dewasa normal a2 p 2
A2 Dewasa normal ( minor ) <x 2 62
A Talasemia a, asimptomatik atau Menurunnya atau tidak adanya sintesis rantai a 16
fatal
A Talasemia p Menurunnya atau tidak adanya sintesis rantai p 11
F Fetal ( usia < 6 bulan) a2 y 2
S Sickle cell disease / trait Lisin mengsubsitusi glutamat di posisi nomor 6 11
pada rantai p
H Terbentuk pada talasemia a berat P4 16
C Menurunya usia sel darah merah, Lisin mengsubsitusi glutamat di posisi nomor 6 11
anemia ringan,vaso-occ / us/Ve pada rantai p
disease .
SC HbS dari 1 orang tua, HbC dari Lisin mengsubsitusi glutamat di posisi nomor 6 11
orang tua lainnya. Gejala ringan pada rantai p
D Asimptomatik, terkecuali jika Glutamat disubstitusi di nomor 121 pada rantai 11
diturunkan bersama HbS P
E Mikrositosis, jarang terjadi anemia Lisin mengsubsitusi di nomor 26 pada rantai p 11

Panduan Praktik Klinis


Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
Panduan Praktik Kllnis Hematologi Onkologi Medik
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakit Dalam Indonesia w
'

Ada 5 golongan dari hemoglobinopati yaitu:

Tabel 2. Klasifikasi Hemoglobinopati1


Structural Polimerisasi Hb abnormal HbS, hemoglobin sickling
hemoglobinopathies :
Hemoglobin dengan kelainan Kelainan aflnitas oksigen 1. High affinity : polisitemia
sekuens asam amino yang 2. Low affinity : sianosis,
menyebabkan gangguan pseudoanemia
fungsi . Hemoglobins that oxidize 1. Hb tidak stabil: anemia
readily hemolitik, ikterik.
2. M hemoglobin—methemo-
globinemia, sianosis
Talasemia: defek biosintesis aTalasemia: Thalassemias;
rantai globin api, 6 fk y 6p Thalassemias

Thalassemic hemoglobin HbE, Hb Constant Spring, Hb


variants : Lepore
Abnormalitas struktus Hb
berhubungan dengan fenotip
talasemia yang diturunkan.
Hereditary persistence of fetal Methemoglobin due to toxic
hemoglobin: persistensi HbF exposures
dengan kadar tinggi sampai B . Sulfhemoglobin due to toxic
dewasa. exposures
C. Carboxyhemoglobin
D. HbH in erythroleukemia
E. Elevated HbF in states of
erythroid stress and bone
marrow dysplasia
Acquired Methemoglobin dan
hemoglobinopathies sulfhemoglobin karena
paparan bahan toksik,
karboksihemoglobin, HbH
pada eritroleukemia,
meningkatnya HbF pada
sritroid stres dan displasia
sumsum tulang

Pada bab ini akan dibahas lebih lanjut mengenai talasemia.

492
Hemoglobinopati

SINDROM TALASEMIA
PENGERTIAN
Kelainan biosintesis rantai a dan p globin yang bersifat diturunkan yaitu
menurunnya kecepatan produksi atau abnormalitas produksi satu atau lebih rantai
globin sehingga menyebabkan menurunnya produksi hemoglobin dan terjadi detruksi
berlebihan . Ada 2 tipe talasemia yaitu : 3 4
• Talasemia a: hilang atau berubahnya gen yang berhubungan dengan rantai globin a
o Paling banyak terjadi pada daerah Asia Tenggara, Timur Tengah, China, dan
keturunan Afrika
o Terbagi menjadi dua subtype yaitu mayor dan minor
• Talasemia p : hilang atau berubahnya gen yang berhubungan dengan rantai globin p
o Paling banyak terjadi pada Mediteranian
o Terbagi menjadi dua subtipe yaitu mayor (anemia Cooley ) dan minor

DIAGNOSIS
Tabel 3. Diagnosis Talasemia
Talasemia Anamnesis Pemerlksaan Flslk Pemeriksaan Penunjang
Talasemia • Anemia mun- • Tampak anemis • Hb 2-3 gram/ dl
Talasemia (3 b mayor / cul pada bulan
Cooley ' s pertama kehidu-
• Deformitas • Leukosit dan trombosit
skeletal meningkat ringan
anemia . pan, dan dapat
berkembang men- • Deformitas • Retikulosit meningkat
jadi progresif . maksila ( mon-
goloid face )
• HbA2 meningkat
• Gangguan makan • HbF meningkat
• Hepatospleno-
• Demam, diare, megali • SDT ( sediaan darah
keluhan pencer- tepi) : anisopoikilositosis,
naan • Pigmentasi kulit hipokromia, target sel,
basophilic stippling
• Perdarahan atau
infeksi • Rontgen kepala,
tangan, tulang
• Gangguan neu-
panjang: tampak
rologik
hair on end atau sun
ray" appearance dan
lacy trabeculation
pada tulang panjang
dan phalanx
• Sumsum tulang: hiper-
plasia eritroid dengan
abnormalitas morfologi
eritroblas seperti ba-
sophilic stippling dan
peningkatan deposit
besi

493
PanduanPraktik Minis Hematologi Onkologi Medik
Wljjlr' ^ ^
Perhlmpunan DoklerSpesialis Penyakil Dalam Indonesia

Talasemia Anamnesis Pemerlksaan Flslk Pemerlksaan Penunjang


Talasemia p • Dapat asimtomatik • Ulkus kronik
intermedia sampai dewasa pada tungkai
• Gangguan • Splenomegali
perkembangan progresif
dan retardasi
mental
• Deformitas skeletal,
artritis, nyeri tulang
Talasemia p • Asimptomatik • Hb 9- 11 gram /dl
minor
• HbF meningkat pada
50 % kasus
• Sumsum tulang:
hiperplasia ringan dari
eritroid, jarang disertai
inklusi sel darah merah
yang
Talasemia a Hemoglobin • Stillbirth atau hidup • Pucat, anemia • Hb Bart +, Hb Portland
Bart ' s Hy- dalam beberapa 10-20 % dari total Hb
drops Fetalis jam setelah dila-
• Edema
Syndrome hirkan • Hepatospleno- • HbA dan Hb F nega-
megali tive
• SDT: banyak sel darah
merah berinti.
Hemoglobin • Retikulosit mencapai
H Disease 5%
• HbH 5-40 % dari total
Hb.
• Jumlah HbA 2 sedikit
menurun
• SDT: hipokromik, aniso-
poikilositosis.
Milder Forms • Splenomegali • Anemia ringan
of a -Thal-
assemia,
• SDT: perubahan mor-
fologi sel darah merah,
Including the hipokromik ringan.
Traits
cyS15- • Neonatus: anemia • Talasemia heterozigot
Thalassemia
• Anak dan dewasa: • Jumlah HbA 2 normal
asimptomatik

DIAGNOSIS BANDING
Anemia sideroblastik kongenitafy wenz'/e chronic myelogenous leukemia.

TATALAKSANA
• Transfusi darah:
Ditransfusi jika Hb terlalu rendah agar pertumbuhan normal
Jika ditransfusi terlalu dini maka talasemia intermedia dapat terlewatkan.
Transfusi dilakukan setiap 4 minggu pada pasien rawat jalan.

494
Hemoglobinopati

Ras, riwayat keluarga, usia saat pertama keluhan


Anamnesis pertama muncul, perkembangan

Pucat, ikterik, splenomegali,


Pemeriksaan fisik
defoimitas skeletal, pigmentasi

DPLdanSDT
.
Hb MCV,MCH, retikulosit, inklusi sel darah
merah pada darah dan sumsum tulang

Adanya Hb abnormal, analisis


Hb elektroforesis
HbH dan Hb Barts pada pH 6-7

Estimasi HbA 2 dan HbF Untuk mengkonflrmasi talasemia (1

i
Distribusi Sintesis Analisis struktural dan
intraselular HbF rantai globin variasi Hb,
misalnya Hb Lepore

Gambr 1 . Algoritme Investigasi Pemeriksaan Penunjang pada Kasus Suspek4

Penatalaksanaan umum
Mengatasi keluhan infeksi, penyakit tulang, atau gagal jantung.
- Jika ada defisiensi folat: diberikan suplementasi asam folat. Suplementasi tidak
diberikan jika sudah menjalani transfusi darah rutin .
Mengatasi gangguan akibat deformitas tulang tengkorak khususnya pada teliga,
hidung, dan tenggorokan, seperti infeksi sinus kronik dan penyakit telinga
tengah.
• Iron Chelation
- Anak- anak yang mendapat transfusi dapat menyebabkan kelebihan besi
sehingga harus menjalani program chelation pada usia 2 -3 tahun kehidupan.
Deferoxamine diberikan selama 8-12 jam melalui syringe pump, diinfuskan ke
dalam jaringan subkutan pada dinding anterior abdomen.
Diberikan jika kadar feritin serum mencapai 1000 gram / dl, atau setelah
transfusi ke 12 -15.
Dosis inisial 20 mg/ kg selama 5 malam dalam seminggu, bersamaan dengan
vitamin C 200 mg per oral, atau setelah deferoxamine diberikan. Jika diberikan
sebelum pemberian deferoxamine dapat mencetuskan miokardiopati.
Jika kelebihan besi beratterutama pada pasien dengan komplikasi kardiak dan
endokrin, infus deferoxamine dapat diberikan sampai 50 mg/ kg berat badan
Feritin serum dijaga < 1500 gram / liter

495
m fSSSSSSSSSL Hematologi Onkologi Medik

Komplikasi: eritema lokal, nodul subkutan yang nyeri pada lokasi suntikan,
reaksi alergi, toksisitas neurosensori (30% kasus ), penurunan pendengaran
sampai kehilangan pendengaran permanen, gangguan penglihatan, buta warna,
perubahan densitas tulang, retardasi mental, nyeri tulang.
Terapi jika muncul komplikasi: hidrokortison 5-10 mg secara infusan.
• Transplantasi sumsum tulang
Sebelum dilakukan transplantasi, sebaiknya dilakukan chelation secara adekuat
sampai transplantasi akan dilakukan
• Terapi spesifik talasemia
Penyakit HbH : tidak ada terapi spesifik, splenektomi mungkin dapat berguna
pada kasus anemia berat dan adanya splenomegali. Obat oksidan sebaiknya
tidak diberikan pada penyakit HbH,
Talasemia intermedia: observasi ketat pasien selama tahun pertama kehidupan.
Jika tanpa keluhan dan tidak ada deformitas pasien tidak perlu ditransfusi.
Jika selama observasi ditemui adanya gangguan pertumbuhan ( retardasi atau
keterbatasan dalam akivitas karena anemia) harus ditransfusi rutin. Splenektomi
dapat dilakukan sesuai indikasi

KOMPLIKASI5 4
Gagal jantung, gangguan hati, infeksi

PROGNOSIS
Talasemia berat dapat menyebabkan kematian karena gagal jantung terutama
pada usia 20 dan 30. Terapi dengan transfusi darah dan chelation secara adekuat
mempunyai prognosis yang baik dan meningkatkan kualitas hidup. Pencegahan
dengan skrining dan konseling dignostik pada pasangan yang mempunyai riwayat
talasemia dalam keluarga. Diagnosis antenatal dilakukan berdasarkan pemeriksaan
DNA pada amplifikasi PCR DNA fetus yang didapatkan dari amniosentesis atau biopsi
vili korionik.1'56

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Hematologi -
Onkologi Medik
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam

496
Hemoglobinopati

UNIT YANG TERKAIT


• RS pendidikan : Unit TransfusiDarah
• RS no n pendidikan Unit Transfusi Darah

REFERENSI
1. Benz E. Disorders of Hemoglobin. ln:Longo DL, Kasper DL, Jameson DL, Fauci AS, Hauser SL,
Loscalzo J, editors. Harrison' s Principals of Internal Medicine 18lh ed. Me Graw Hill. Chapter 104
2. Wilson M, Forsyth P. Haemoglobinopathy and sickle cell disease. Continuing Education in
Anaesthesia, Critical Care & Pain.2012. Diunduh dari http://ceaccp.oxfordjournals.org/ pada
tanggal 26 Mei 2012.
3. Shivashankara A.R, Jailkhani R, Kini A. Hemoglobinopathies In Dharwad. Journal of Clinical and
Diagnostic Research 2008 February; 2:593-599. Diunduh dari http:/ /www.jcdr.net /back_issues.
asp ? issn=0973-709x &year=2008&month= February & volume=28<issue=l &page=5 &id= 156 pada
tanggal 26 Mei 2012.
4. Weatherall S.Disorders of Globin Synthesis: The Thalassemias. In: Lichtman M, Beutler E, Kipps T,
.
editors Williams Hematology 7th ed. Me Graw Hill. Chapter 46.
5. Giardina PJ, Forget BG. Thalassemia syndromes. In: Hoffman R, Benz EJ, Shattil SS , et al.,
eds. Hematology: Basic Principles and Practice. 5th ed. Philadelphia, Pa: Elsevier Churchill
Livingstone; 2008:chap 41.
6. DeBaun MR, Vichinsky E. Hemoglobinopathies. In: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton
.
BF, eds Nelson Textbook of Pediatrics. 18th ed. Philadelphia, Pa: Saunders Elsevier; 2007:chap 462.

497
498

TROMBOSITOPENIA IMUN

PENGERTIAN
Immune Thrombocytopenia, atau yang sebelumnya dikenal dengan Idiopathic
Thrombocytopenic Purpura yang kemudian menjadi Immune Thrombocytopenic Purpura
( ITP), merupakan suatu kelainan autoimun dimana terjadi destruksi imunologis
trombosit yang seringkali menjadi respon dari stimulus yang tidak diketahui. ITP
dapat terisolasi ( primer] atau berkaitan dengan kelainan lainnya (sekunder]. Etiologi
sekunder ITP meliputi penyakit autoimun (terutama sindrom antibodi antifosfolipid],
infeksi virus (hepatitis C dan human immunodeficiency virus / HW ), dan beberapa
macam obat (tabel l ).1 ITP primer didefinisikan sebagai hitung trombosit < 100 x 109/ L
dan tidak ditemukan kelainan lain yang dapat menjadi penyebab trombositopenia.2
Tabel 1 . Etiologi Sekunder UP 1
• Sindrom antifosfolipid
• Trombositopenia autoimun (Evans syndrome )
• Variasi umum imunodefisiensi
• Efek samping pemberian obat
• Infeksi sitomegalovirus ( CMV), Helicobacter pylori , hepatitis C, HIV, varicella zoster
• Kelainan limfoproliferatif
• Efek samping transplantasi sumsum tulang
• Efek samping vaksinasi
• Lupus eritematosus sistemik (LES)

Karakteristik ITP yaitu perdarahan mukokutaneus dan hitung trombosit rendah,


seringkali sangat rendah, dengan apusan darah tepi normal. Pasien umumnya datang
dengan ekimosis dan petekia, atau trombositopenia yang secara tidak sengaja
ditemukan pada pemeriksaan darah rutin. ITP juga dapat mengancam nyawa, meskipun
lebih jarang terjadi, misalnya perdarahan pada susunan saraf pusat, purpura basah
(perdarahan di dalam mulut], dan perdarahan pada retina.3
Pada anak-anak, penyakit ini terjadi akut, dan sering terjadi pasca infeksi, dan
bersifat self -limited . 3 ITP kronis merupakan manifestasi trombositopenia yang
persisten ( > 6 bulan] akibat kelainan autoimun. Diagnosis ITP kronis merupakan
diagnosis Per eksklusionam (memungkinkan diagnosis yang lain] dan mengacu pada
rekomendasi American Society of Hematology (tabel 2].4

PanduanPrakdk Minis
Perhimpunan Dokter Spesiais Penyakil Dalam Indonesia
Trombositopenia Imun

Tabel 2. Kriteria Diagnosis ITP Kronis Menurut American Society of Hematology : DiagnosisEksklusi4
• Anamnesis sesuai dengan diagnosis ITP kronis
• Pemeriksaan fisik normal kecuali adanya tanda trombositopenia (petekia, purpura, atau
perdarahan mukosa) ; tanpa adenopati atau splenomegali
• Hitung darah lengkap : trombositopenia terisolasi dengan trombosit besar tanpa anemia,
kecuali adanya perdarahan atau hemolisis imun
• Pemeriksaan sumsum tulang menunjukkan nilai normal atau peningkatan megakariosit ( tidak
diperlukan dalam diagnosis kecuali manifestasi tidak biasa atau usia > 60 tahun)
• Pada klinis dan laboratorium tidak ditemukan penyebab lain dari trombositopenia

PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
• Gejala perdarahan terisolasi yang konsisten dengan trombositopenia tanpa gejala
konstitusional ( penurunan berat badan signifikan, keringat malam, nyeri tulang)1
• Pada kasus akut, perlu ditanyakan riwayat infeksi yang mengawali seperti rubeola,
rubella, atau infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) 5
• Pada kasus kronis, perlu ditanyakan riwayat epistaksis berulang, menometrorrhagia,
infeksi hepatitis C, HIV, penyakit autoimun (LES)3'4

Pemeriksaan Fisik
• Perdarahan mukokutaneus (petekia, purpura, ekimosis) pada mukosa oral (gum
bleeding ), saluran cerna 34
• Tanda infeksi 3
• Tanda penyakit autoimun 3
• Jarang ditemukan hepatosplenomegali, limfadenopati, tidak ditemukan jaundice
atau stigmata kelainan kongenital1

Pemeriksaan Penunjang3
• Laboratorium : darah perifer lengkap, morfologi darah tepi, serologi virus (Dengue,
CMV, Epstein Barr Virus, hepatitis C, HIV, rubella), serologi LES, elektroforesis serum
protein, imunoglobulin, fungsi hati, defisiensi IgA atau monoclonal gammopathies
(selektif ), tes Coomb.
• Pungsi sumsum tulang, dengan indikasi 6(tidak rutin dikerjakan)
• Usia > 60 tahun dengan manifestasi atipik (lelah, demam, nyeri sendi, makrositosis,
neutropenia
• Sebelum splenektomi pada pasien dengan diagnosis non - definitif

DIAGNOSIS BANDING
ITP - / / ke syndrome pada penderita HIV atau hepatitis C, ITP sekunder imbas obat,
hipogamaglobulinemia.4

499
(* A
' \ ? wy
PanduanPraktikKIinis Hematologi Onkologi Medik
^
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia

TATALAKSANA
Prinsip tata laksana ITP ditentukan berdasarkan beratnya trombositopenia
dan terjadinya perdarahan . Tujuan tata laksana awal adalah mencapai keadaan
hemostatik, dengan jumlah hitung, trombosit > 30.000xl 09 / L. Gambar 1 di bawah
ini memperlihatkan tata laksana ITP sebelum dilakukan splenektomi. Splenektomi
direkomendasikan pada kasus dimana memerlukan lebih dari 12 bulan untuk
mecapai hitung trombosit yang hemostatik dan kondisi tidak toleran terhadap terapi
sebelumnya
Terapi diindikasikan pada semua pasien dengan keluhan perdarahan dan jumlah
hitung trombosit kurang dari 20.000 x 109/ L karena pada kondisi ini kurang dari
10 % yang dapat mencapai remisi spontan. Pada kondisi dimana hitung trombosit
> 50.000 x 109/ L biasanya cukup dilakukan observasi saja meskipun beberapa kasus
memerlukan tata laksana lebih lanjut. Secara umum, pada kondisi hitung trombosit
antara 20.000-50.000 x 109/ L, tidak diperlukan tata laksana segera pada kondisi tanpa
perdarahan maupun tidaka didapatinya penyakit komorbid lain seperti : hipertensi
tidak terkontrol, ulkus peptik aktif, operasi maupun trauma kepala.

Emergency’

IV methylprednisolone ( 1.0 g/d x 1-3d)


.
IVIG (l Og /kg/ d for 2-3 days )
± IV anti-D ( 75 ng/kg)
± IV vincristine ( 1 -2 mg)
± Platelet transfusion
± Factor Vila
Initial Treatment2

Platelet count: <20,000x 10’/L

Prednisone ( 1 mg / day po )
Platelet count: >20- 30,000 xlO’/L ± IV anti D ( 50-70 pg/kg)
-
± IVIG ( 1 g/kg/ day x 2 3 as needed
No treatment or
in the absence of special Dexamethasone ( 40 mg / day po x 4
circumstances days /month)

3
l 1
Stable platelet count:
ITP with persistent platelet count:
<20- 30,000 x1071 >30 - 50,000 x 1071

Low dose prednisone (< 10 mg/ day ) No therapy, observe


IV anti-D (50-75pg/kg/dose prn)
IV anti- CD20 ( 375 mg/m2 q week x 4)
dazanpt ( 10- 15mh/kg/ day po)

Treatment for 3- 12 months from diagnosis

r
‘Platelet count: ‘Stable platelet count:
<20,000 xl 07L -
>30 50,000 X107L

Immunize No therapy, observe


Splenectomy

Gambar 1 . Tata Laksana ITP Dewasa Sebelum Splenektomi7

500
Trombositopenia Imun ffijp
ITP KRONIK
Tigapuluh sampai dengan empat puluh persen pasien tetap memiliki hitung
trombosit kuang dari 50.000 x 109 / L meskipun telah dilakukan splenektomi , hal ini
diakibatkan tidak respon maupun kekambuhan . Pada kondisi seperti ini , tujuan dari
pengobatan lebih ke arah mencapai kondisi trombosit hemostatik dengan efek samping
minimal , dibandingkan mencapai kesembuhan.

TERAPI ITP SEKUNDER PADA KEADAAN KHUSUS


Berikut adalah terapi ITP sekunder pada keadaan khusus seperti tercantum pada
tabel 3 .

Treatment of Patients Failing Splenectomy '


Platelet count : <20-30,000 xlO / L

Firs-llne Therapy2
Second-line
IV anti-CD20 Therapy Third-line Therapy
or
Danazol + either Azathioprine
Cyclophosphamide Combination chemotherapy
or Mycophenolate mofeli
(IV or oral) Stem-cell transplantation
Cyclosporine
Prednisone or IVIG prn

Experimental Therapy

Thrombopoietic factors

Gambar 2. Tata Laksana Pasien ITP yang Gagal dengan Splenektomi7

Tabel 3. Terapi ITP Sekunder pada Keadaan Khusus'


ITP sekunder terkait HIV • Tatalaksana infeksi HIV dengan antiviral
• IVIG, kortikosteroid, atau anti-D
• Apabila gagal, pertimbangkan splenektomi
ITP sekunder terkait hepatitis C • Terapi antiviral bila tidak ada kontraindikasi
• Observasi ketat karena interferon dapat memperburuk
kondisi trombositopenia
• Bila diperlukan, mulai terapi IVIG
ITP sekunder terkait H. pylori • Skrining H . pylori sebelum terapi dimulai
• Terapi eradikasi H . pylori bila diemukan infeksi H Pylori
ITP pada kehamilan • Kortikosteroid atau IVIG
• Metode persalinan sesuai indikasi obstetric

501
0 SSHHSKHS Hematologi Onkologi Medik

KOMPLIKASI
Infeksi, ITP berat, diabetes-induced steroid , hipertensi, imunokompromais

PROGNOSIS
Prognosis pada dewasa baik, sebagian besar pasien memiliki hitung trombosit aman
pasca terapi. Dalam studi Italia tahun 2010, 310 anak dan dewasa dengan ITP kronis,
sebanyak 40,3% dapat mempertahankan hitung trombositnya > 50 x 109/ L dengan
prednison dosis rendah atau terapi lainnya. Hanya 11% yang tetap memiliki hitung
trombosit rendah [< 30 x 109/ L) dalam follow-up selama 121 bulan; dan 56% diantaranya
menjadi ITP berat karena tidak diterapi. Dari 109 pasien pasca splenektomi, 66% merespon
dengan baik dan 34% lainnya dilaporkan relaps.8Risiko perdarahan fatal pada dewasa
dengan ITP kronis pada analisis tahunan sebanyak 1,6-3,9 kasus per 100 pasien dalam 1
tahun. Risiko ini lebih rendah pada usia < 40 tahun dan lebih tinggi pada usia > 60 tahun.9

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Hematologi -
Onkologi Medik
• RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Unit Transfusi Darah
• RS non pendidikan : Unit Transfusi Darah

REFERENSI
1. Neunert C, Lim W , CrowtherM, et al. The American Society of Hematology 2011 evidence-based
.
practice guideline for immune thrombocytopenia. Blood 2011:117: 4190-4207 Diunduhdarihttp://
bloodjournal.hematologylibrary.org/content/ 117/ 16 / 4190.full.pdf pada tanggal 17 Mei 2012.
2. Rodeghiero F, Stasi R, GernsheimerT, et al. Standardization of terminology, definitions and outcome
criteria in immune thrombocytopenic purpura of adults and children: report from an international
working group. Blood. 2009;113 ( 11 ) :2386-2393.
3. Konkle B , Disorders of Platelets and Vessel Wall. In : Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL,
Jameson JL, Loscalzo J. Harrison ' s Principles of Internal Medicine. 18 th Edition. New York, McGraw-
Hill. 2012.
4. McMillan R. Hemorrhagic Disorders: Abnormalities of Platelet and Vascular Function. In: Goldman,
Ausiello. Cecil Medicine. 23rd Edition. Philadelphia. Saunders, Elsevier. 2008.
5. Purwanto I. Trombositopenia Purpura Imun. Dalam : Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I, et al. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V . Jilid II. 2009. Hal 1165-73.
6. Baz R, Mekhail T. Disorder of Platelet Function and Number. In : Carey W, Abelson A, Dweik R ,
et al. Current Clinical Medicine. 2nd Edition . The Cleveland Clinic Foundation. Philadelphia :
Elsevier. 2010. Hal 577-8

502
Trombositopenia Imun

7. Cines DB, Bussel JB.How I treat Idiopathic Trombocytopenia purpura. Blood.2005:106: 2244-9.
8. Vianelli N, Valdre L, Fiacchini M, et al. Long-term follow-up of idiopathic thrombocytopenic
purpura in 310 patients. Haematologica. 2001:86:504-509. [Abstrak]
9. Cohen YC, Djulbegovic B, Shamai-Lubovitz O, Mozes B. The bleeding risk and natural history of
idiopathic thrombocytopenic purpura in patients with persistent low platelet counts. Arch Intern
Med. 2000:160:1630-1638. [Abstrak]

503
504

KOAGULASIINTRAVASKULAR
DISEMINATA

PENGERTIAN
Koagulasi Intravaskular Diseminata ( KID ) atau Disseminated Intravascular
Coagulation ( DIC) , juga dikenal dengan sebutan consumptive coagulopathy atau
defibrination , merupakan suatu sindrom klinikopatologis yang ditandai dengan
pembentukan fibrin intravaskular yang menyebar akibat aktivitas protease darah
berlebihan yang mengganggu mekanisme antikoagulan alami . Beberapa kondisi yang
berkaitan dengan KID seperti tercantum pada tabel l .1 2 -
Tabel 1. Beberapa Kondlsl yang Berkaitan dengan KID 1
S psls Bakterial, viral, mikotik, parasitik, rickettsia
Trauma dan jejas Jejas otak (luka tembak) , luka bakar luas, emboli lemak,
Jarlngan rhabdomiolisis
Gangguan vaskular Giant hemangioma (Kasabach-Merritt syndrome ) , aneurisma
pembuluh darah besar (mis. aorta)

Komplikasl obstetrf Solusio plasenta, emboli air ketuban, dead fetus syndrome , abortus
septik
Keganasan Adenokarsinoma (prostat, pankreas, dll), keganasan hematologis
( acute promyelocytic leukemia )
Gangguan Imunologls Reaksi transfusi hemolisis akut, reaksi penolakan organ/jaringan
transplan
Obat- obatan Agen fibrinolisis, aprotinin, warfarin (khususnya pada neonatus
dengan defisiensi protein C) , konsentrat kompleks protrombin, obat
rekreasional ( amfetamin)
Toksln / racun Bisa ular, serangga
Penyaklt hati Gagal hati fulminan, sirosis, perlemakan hati dalam kehamilan
Lalnnya Syok, sindrom distres pernapasan, transfusi masif

PENDEKATAN DIAGNOSIS
Diagnosis KID dapat ditegakkan dengan sistem skoring The International Society
for Thrombosis and Haemostasis ( ISTH ) seperti tercantum pada tabel 2 . Skoring ini
memberikan 5 -tahap diagnosis KID dengan menggunakan pemeriksaan laboratorium
sederhana yang tersedia di hampir semua laboratorium rumah sakit. Skoring ini juga

PanduanPraktlkKIInls
Perhimpunan DoklerSpesialis Penyakil Dalam Indonesia
Koagulasi Intravaskular Diseminata

dapat digunakan pada KID akut (misalnya sepsis) maupun kronis ( mis . malformasi
vaskular dan aneurisma ) dan memiliki sensitivitas 91% dan spesifisitas 97% untuk
KID nyata ( overt DIC )?

Tabel 2. Sistem Skoring KID menurut ISTH3


Penllalan rislko : apakah pasien memiliki kelainan komorbid yang berkaitan dengan KID ?
• Bila ya -> lanjut
• Bila tidak -> hentikan menggunakan algoritma
Lakukan pemerlksaan koagulasi (hitung trombosit, prothrombin time / PT, fibrinogen, marker
terkait fibrin)
Berlkan skor untuk flap hasil pemerlksaan :
Hitung trombosit > 100 x 107L Skor = 0
< lOOx 107L Skor = 1
< 50 x 1071- Skor = 2
Marker fibrin (D- dlmer, produk degradasi fibrin) Tidak meningkat Skor = 0
Sedikit meningkat Skor = 2
Sangat meningkat Skor = 3
PT memanjang < 3 detik Skor = 0
3 - 6 detik Skor = 1
> 6 detik Skor = 2
Level fibrinogen > 1 g/ L Skor = 0
< 1 g/L Skor = 1
Perhitungan skor :
• > 5 sesuai dengan gambaran KID nyata ( overt / ; skoring diulang setiap hari
• < 5 sugestif untuk KID tidak nyata ( non-overtj ; skoring diulang tiap 1 -2 hari

Pemeriksaan penunjang lainnya1 2 4


• Laboratorium: activated partial thromboplastin time (aPTT), thrombin time (TT),
antitrombin III, morfologi darah tepi (dapat ditemukan fragmentasi eritrosit /
schistocytes)

DIAGNOSIS BANDING
Fibrinolisis primer, penyakit hati berat, kelainan mikroangiopati.12

TATALAKSANA
Tatalaksana KID terdiri dari :2,6
1. Identifikasi dan tata laksana penyakit komorbid yang mendasari terjadinya KID
dan terapi suportif tanda vital
2. Terapi tidak dibutuhkan apabila gejala ringan, asimptomatik, dan sembuh sendiri
( self -limited )

505
E5SSJSSSJH5 , Hematologi Onkologi Medik

3. Menjaga keseimbangan hemodinamik


4. Terapi komponen darah (lebih lengkap lihat pada bab prosedur Transfusi Darah]
Indikasi transfusi trombosit :
i. Perdarahan aktif atau
ii. Risiko tinggi perdarahan (mis. pasien pasca operasi atau akan menjalani
prosedur invasif dengan hitung trombosit < 50 x 109/ L]3 atau
iii. Pasien tanpa perdarahan dengan hitung trombosit 10 - 20 x 109/ L.3
-
Fresh frozen plasma (FFP)3
i. Dapat diberikan pada pasien KID dengan perdarahan dan aPTT dan PT
memanjang, atau level fibrinogen < 50 mg/ dL
ii. Dosis inisial : 15-30 ml/ kg
iii. Apabila transfusi FFP tidak memungkinkan ( mis. karena adanya fluid
overload ) -> pertimbangkan faktor konsentrat seperti konsentrat
kompleks protrombin
Trombosit jika :
1. Trombosit < 10.000/ mm 2 atau 20.000 / mm 2 dengan infeksi berat
2. Terdapat perdarahan dengan jumlah trombosit < 50.000 / mm 2
Pada kasus dengan defisiensi fibrinogen spesifik -> koreksi dengan purified
fibrinogen concentrates atau kriopresipitat.31 kantung kriopresipitat /10 kg
BB dapat meningkatkan kadar fibrinogen 100 mg/ dl.
Pada kasus tertentu, pertimbangkan kriopresipitat (mis. pada hipofibrinogenemia
berat <1 g/ L) 3, antitrombin III
5. Terapi obat
Antikoagulan diberikan pada KID dengan manifestasi predominan trombosis
seperti tromboemboli arteri atau vena, purpura fulminan berat yang berkaitan
dengan iskemi atau infark kulit akral, atau pada pasien KID kritis tanpa
perdarahan dapat diberikan antikoagulan profilaksis unfractioned heparin
-
( UFH) diberikan 10 unit/ kg/ jam tanpa target aPTT sampai 1,5 2,5 x kontrol
atau LMWH.3
Konsentrat faktor koagulan : recombinant human activated protein C (Drotrecogin
alfa] infus selama 96 jam2 -> terbukti efektif pada pasien KID dengan sepsis berat
dan dalam seting ICU karena adanya risiko perdarahan.5
Antifibrinolisis pada umumnya merupakan kontraindikasi kecuali pada
perdarahan yang mengancam nyawa dan kegagalan terapi komponen darah

506
Koagulasi Intravaskular Diseminata

KID PADA KEADAAN KHUSUS6

• Kehamilan
Solusio plasenta
.
Derajat keparahan berbeda-beda dari ringan hingga syok dan kematian janin.
Penggantian volum secara cepat dan evakuasi uterus merupakan terapi
terpilih. Transfusi kriopresipitat, FFP, dan trombosit sebaiknya diberikan
bila perdarahan masif terjadi. Akan tetapi, bila tidak ada perdarahan berat,
pemberian komponen darah tidak perlu karena deplesi faktor koagulasi
meningkat secara cepat saat persalinan. Heparin atau antifibrinolisis tidak
diindikasikan.
- Emboli cairan ketuban
Pemicu KID adalah adanya faktor jaringan / tissue factor (TF) pada cairan
ketuban. Oklusi ekstensif pada arteri pulmonalis dan respon anafilaktoid akut
merupakan tanda dari SIRS ( systemic inflammatory response syndrome ) berat
yang memicu dispneu tiba-tiba, sianosis, kor pulmonal akut, disfungsi ventrikel
kiri, syok, dan kejang. Gejala ini terjadi dalam hitungan menit sampai beberapa
jam diikuti perdarahan berat yang disebabkan oleh atonia uteri, tempat
tusukan, saluran cerna, dan organ lainnya. Cara terbaik untuk menurunkan
mortalitas adalah terminasi dini pada pasien risiko tinggi dan pencegahan uteri
tetani dan hipertonus saat persalinan. Saat sindrom dikenali, sangat penting
untuk terminasi kehamilan segera dengan support paru dan kardiovaskular.
Preeklampsia dan eklampsia
Pemberian heparin tidak menunjukkan manfaat bermakna
- Sindrom HELLP
Sindrom hemolisis ( H), peningkatan enzim hati (E), trombositopenia (LP ),
dan nyeri epigastrium akut merupakan komplikasi dari hipertensi kehamilan.
Tatalaksana meliputi terapi suportif, observasi ketat, dan terapi komponen
darah. Dengan beberapa pengecualian, persalinan tidak harus dilakukan per
abdominam. Sindrom HELLP cenderung berulang.
Sepsis
Terapi untuk semua kasus KID terkait sepsis termasuk antibiotik, dukungan
fungsi vital, dan intervensi bedah untuk membuang sarang infeksi lokal. Dapat
dipertimbangkan aborsi atau bahkan histerektomi.

507
m HSSiSSBSfifi , Hematologi Onkologi Medik

Dead Fetus Syndrome


Beberapa minggu setelah kematian janin, sekitar 1/ 3 pasien menunjukkan
tanda laboratorium KID, yang biasanya diikuti dengan perdarahan. Komplikasi
jarang terjadi karena induksi persalinan dilakukan segera setelah diagnosis
ditegakkan . Namun apabila induksi persalinan harus ditunda, sebaiknya
dilakukan pemeriksaan serial koagulasi darah . Apabila kasus kematian janin
pada kehamilan multipel aterm, terapi dimulai menurut diskusi. Namun bila
terjadi saat preterm , pemberian heparin jangka panjang dapat bermanfaat.
Perlemakan hati akut
Terapi primer pada pasien ini adalah persalinan lebih awal dan terapi suportif .
Komplikasi yang berpotensi letal adalah pankreatitis.

KOMPLIKASI
Gagal organ, trombosis vena dalam, KID fulminan

PROGNOSIS
Tergantung penyebab dan respon terhadap terapi

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Departemen llmu Penyakit Dalam - Divisi Hematologi -
Onkologi Medik
• RS non pendidikan : Bagian llmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Unit Transfusi Darah
• RS non pendidikan : Unit Transfusi Darah

REFERENSI
1. Arruda V, High KA. Coagulation Disorders. In : Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson
.
JL, Loscalzo J Harrison ' s Principles of Internal Medicine. 18th Edition. New York, McGraw-Hill. 2012.
2. Schafer Al. Hemorrhagic Disorders : Disseminated Intravascular Coagulation, Liver Failure, and
.
Vitamin K Deficiency. In: Goldman, Ausiello Cecil Medicine. 23rd Edition. Philadelphia. Saunders,
Elsevier. 2008.
3. Levi M, Toh CH, Thachil J, Watson HG. Guidelines for the diagnosis and management of
disseminated intravascular coagulation. British Journal of Haematology 2009:145:24-33
4. Sukrisman L. Koagulasi Intravaskular Diseminata. Dalam : Sudoyo A , Setiyohadi B, Alwi I, et al.
Buku Ajar llmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jilid II. 2009. Hal 1319 - 22.

508
Koagulasi Intravaskular Diseminata

5. Vincent JL, Bernard GR, Beale R, et al. Drotrecogin alfa ( activated) treatment in severe sepsis from
the global open-label trial ENHANCE: further evidence for survival and safety and implications
.
for early treatment. Crit Care Med 2005;33:2266-2277 .
6. Levi M, Selighson U. Disseminated Intravascular Coagulation. In: Kaushansky K, Lichtman M, Beutler
E, et al. Williams Hematology. 8th Edition. China, McGraw-Hill. 2012

509
510

LEUKEMIA

PENGERTIAN
Leukemia merupakan penyakit proliferasi neoplastik yang sangat cepat dan
progresif sehingga susunan sumsum tulang normal digantikan oleh sel primitif dan
sel induk darah. 1 Leukemia akut dibagi dua berdasarkan sel yang mendominasi yaitu:
1. Leukemia seri mieloid: akut dan kronik
2 . Leukemia seri limfoid : akut dan kronik
Berikut akan dijelaskan satu persatu mengenai jenis leukemia tersebut diatas .

LEUKEMIA MIELOBLASTIK AKUT (LMA)


PENGERTIAN
Leukemia mieloblastik akut adalah suatu penyakit yang ditandai dengan
transformasi neoplastik dan gangguan diferensiasi sel-sel progenitor dari seri mieloid . 1

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis
Mudah lelah, dapat ditemukan gusi berdarah, mimisan, anoreksia, berat badan
turun . 2

Pemeriksaan Fisik
Peteki atau purpura yang biasanya terdapat pada ekstremitas bawah, tanda -tanda
infeksi tenggorokan, paru- paru, kulit, daerah perirektal, dll, demam, gejala leukostatis :
gangguan kesadaran , sesak napas, nyeri dada, dan priapismus, hepatomegali,
splenomegali . 1'2

PanduanPraktlk Klinis
Perhlmpunan DoklerSpesialis Penyakit Dalam Indonesia
Leukemia

Laboratorium
• Pemeriksaan morfologi sel: tampak blast, banyak granul, auer rods (eusinofil
batang- seperti inklusi)
• Pengecatan sitokimia (sudan black b dan mieloperoksidase): hasil pengecatan
sitokimia pada setiap tipe LMA dapat dilihat pada tabel 1.
• Immunofenotip: CD13 dan CD 33, CD 41 berkaitan dengan M 7 .

label 1 . Hasil Pengecatan Sitokimia masing- masing Subgroup LMA Berdasarkan Klasiflkasi
France American British (FAB). 1
Hasil pengecatan
Subtipe Sudan Esterase non
Nama umum (% kasus)
FAB mieloperoksidase black speslflk
M0 LMA dengan diferensiasi minimal ( 3%)
Ml LMA tanpa maturasi (25-30%) + +
M2 LMA dengan maturasi ( 25-30%) + +
M3 Leukemia promielositik akut (5- 10%) + +
M4 Leukemia mielomonositik akut (20%) + + +
M4E0 Leukemia mielomonositik dengan + + +
eosinofil abnormal ( 5- 10%)
M5 Leukemia monositik akut ( 2-9%) +
M6 Eritroleukemia (3-5%) + +
M7 Leukemia megakariositik akut (3-12%) +

DIAGNOSIS BANDING
Leukemia mieloblastik kronik, sindrom dismielipoetik.
3

TATALAKSANA ’
1. Tatalaksana standar 7 + 3 : kemoterapi induksi dengan sitarabin 100 mg/mz
diberikan secara infuse kontinyu selama 7 hari dan daunorubisin 45 - 60mg/ m /
2

hari iv selama 3 hari


2 . Tatalaksana pasca remisi dapat dilihat pada tabel 2 .

Tabel 2. Pilihan Tatalaksana LMA - 2


'
Kemoterapi Terapl post remisi
Sltogenlk awal
Induksi Donor HLA sesual Tidak ada donor
Favorable Standar 7+3 High dose citarabine (ara-C ) / HDACx 3-4/ 2-3 siklus diikuti
HDACx 3-4/ 2-3 siklus diikuti HSCT otolog
hematopoefic stem cell
transplantation / HSCT) otology
Intermediate Standar 7+3 HSCT alogenik sesegera mungkin HDACx 2-4 siklus + HSCT
atau HDACx 2-4 siklus otology

Unfavorable Standar 7+3 HSCT alogenik sesegera mungkin HDACx 2- 4 siklus + HSCT
otolog

511
m H^JESSSSSft Hematologi Onkologi Medik

KOMPLIKASI
Leukostatis dan akibatnya.

PROGNOSIS
Sekitar 80-90% pasien dibawah 60 tahun dan 50-60% pasien usia lanjutmengalami
remisi komplit dengan terapi sitarabin dan daunorubisin yang diberikan obat tunggal.3
Sedang bila diberikan sebagai kombinasi remisi komplit dicapai oleh lebih dari 60%
pasien. Durasi median remisi komplit kedua umumnya kurang dari 6 bulan bila tanpa
HSCT dengan disease free survival kurang dari 10 bulan.1

LEUKEMIA MIELOSITIK KRONIK (LMK)


PENGERTIAN
Leukemia mieloblastik kronik ganguan mieloproliferatif dari primitive hemopoietic
stem cell yang dikarakteristikan dengan produksi berlebihan sel seri myeloid.4 LMK
diidentifikasi dengan ditemukannya ekspansi klonal dari hematopoietic stem cell dengan
translokasi resiprokal antara kromosom 9 dan 22.2

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesa
Fatigue, malaise, berat badan turun, demam, dapat ditemukan nyeri kuadran kiri atas.2

Pemeriksaan Fisik
Splenomegali, hepatomegali, limfadenopati, perdarahan ( jarang), dapat ditemukan
arthritis gout, tanda leukositosis berat seperti infark miokard, vasoocclusive disease,
cerebrovascular accidents , trombosis vena, gangguan penglihatan, insufisiensi
pulmonal, tanda -tanda infeksi.4

Laboratorium4
• Leukositosis [10.000 -500.000/ m 3) didominasi oleh neutrofil, basofil dan eusinofil
meningkat. Level Leukosit alkaline phosphatase [ LAP) rendah. Hemoglobin
> 11 g% ditemukan pada 1/ 3 kasus. Level serum vitamin B12, laktat dehidrogenase,
asam urat, lisosim.

512
Leukemia

• Pada sumsum tulang tampak hiperselular dengan hiperplasia mieloid, meningkatnya


retisulin atau fibrosis kolagen.
o Kronis : < 10% blast [perifer atau sumsum tulang)
o Akselerasi : 10 - 20% blast
o Blastik: > 20% bias (2 / 3 mieloid, 1/ 3 limfoid)
• Sitogenetik ditemukan abnormalitas t(9;22) (q 34;qll . 2 ) .

DIAGNOSIS BANDING
Polisitemia rubra vera 3

TATALAKSANA2
• Non transplantasi: imatinib mesylate
• Transplantasi : (allogenic stem cell transplantation)
• HSCT otologi
• Interferon a
• Kemoterapi : hidroksiurea
• Leukapharesis dan splenektomi

PROGNOSIS
Dengan terapi imatinib , perkiraan angka bertahan 5 tahun . 90%. Dengan
[ allogeneic stem cell transplantation), angka kesembuhan 40- 80% pada pasien dalam
fase kronik dari LMK, 15 -40% pada pasien dalan fase akselerasi LMK, 2 - 20% pada
pasien fase blastik LMK.4

LEUKEAAIA LIMFOBLASTIK AKUT (LLA)


PENGERTIAN
Leukemia limfoblastik akut adalah keganasan klonal dari sel -sel prekursor limfoid .
Dapat terjadi pada limfosit T maupun limfosit B.5

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis4
• Gejala anemia: rasa lemas / lemah , pucat, pusing, sesak napas / gagal jantung,
berkunang - kunang

513
w Hematologi Onkologi Medik

• Tanda -tanda infeksi: sering demam


• Akibat trombositopenia: perdarahan (menstruasi lama, epistaksis, perdarahan
gusi, perdarahan di bawah kulit, hematuria, buang air besar campur darah, muntah
darah)

Pemeriksaan Fisik
Pucat, demam, pembesaran kelenjar getah bening ( KGB) superfisial, organomegali,
petekie / purpura / ekimosis.5

Pemeriksaan Penunjang5
• Laboratorium: darah tepi lengkap (termasuk retikulosit dan hitung jenis), LDH,
asam urat, fungsi ginjal, fungsi hati, serologi virus ( hepatitis, HSV, EBV, CMV)
• Morfologi : tidak ada granul
• Sitologi aspirasi sumsum tulang tampak hiperselular dengan limfoblas yang sangat
banyak, hitung jenis sel bias dan /atau progranulosit > 30%
• Pengecatan sitokimia, Sudan black dan mieloperoksidase negatif, pewarnaan asam
fostase positif pada limfosit T ganas, pewarnaan Periodic Acid Schiff ( PAS) akan
positif pada limfosit B.
• Sitogenetik : pada LLA sel B ditemukan t(8;14), t ( 2 ;8), dan t (8; 22).

DIAGNOSIS BANDING
Leukemia limfositik kronik, hairy cell leukemia, limfoma, atypical lymphocytosis
of mononucleosis dan pertussis.4

TATALAKSANA
• Kombinasi kemoterapi dengan daunorubisin , vinsristin, prednison dan
asparaginase.3
• Transplantasi sumsum tulang bagi pasien yang memiliki risiko tinggi unuk kambuh
(kromosom Philadelphia , perubahan susunan gen MLL, hiperleukositosis, gagal
mencapai remisi komplit dalam 4 minggu).5

KOMPLIKASI
Sindrom lisis tumor, infeksi neutropenia dan perdarahan trombopenia / koagulasi
intravaskular diseminata.5

514
Leukemia C9

PROGNOSIS
Kebanyakan pasien dewasa mencapai remisi tapi tidak sembuh dengan kemoterapi
saja, dan hanya 30 % yang bertahan hidup lama. (Overall disease free survival rate)
untuk pasien dewasa kira -kira 30%. Pasien usia > 60 tahun mempunyai [ disease free
survival rate) 10% setelah remisi komplit.5

LEUKEMIA LIMFOSITIK KRONIK (LLK)


PENGERTIAN
Leukemia limfoblastik kronik (LLK) adalah suatu keganasan hematologik yang
ditandai oleh proliferasi klonal dan penumpukan limfosit B neoplastik dalam darah,
sumsum tulang, limfonodi, limpa, hati, dan organ -organ lain.6

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis
Hilangnya nafsu makan, menurunnya kemampuan latihan / olahraga, demam,
keringat malam, dapat juga tanpa gejala.3

Pemereiksaan Fisik
Limfadenopati terlokalisir atau generalisata, hepatosplenomegali.3

Laboratorium6
• Hapus darah tepi: peningkatan jumlah leukosit dengan limfositosis kecil sekitar
95% (kriteria diagnostik ) .
• Imunofenotip khas limfosit (CD5+, CD19 +, CD 20 +, CD 23 +, CD 22 - / + )
• Sumsum tulang: normal atau hiperselular, infiltrasi limfosit pada sumsum tulang
> 30%
• Sitogenetik: llq 22 - 23 & 17 pl 3 unfavorable, trisomy 12 neutral, 13ql 4 favorable

DIAGNOSIS BANDING
Pertussis, [Waldenstrom macroglobulinemia), hairy cell leukemia , mantle cell
lymphoma , leukemia limfoplasmasitik, leukemia sel T kronik.3

515
fp !555a?J5EB5RfiHSL Hematologi Onkologi Medik

KOMPLIKASI
Infeksi, hipogamaglobulinemia, transformasi menjadi keganasan limfoid yang
progresif, komplikasi akibat penyakit autoimun, keganasan.6

PROGNOSIS
Prognosis tergantung stadium, lebih lengkap dapat dilihat pada tabel 3 .

Tabel 3. Stadium LLK dengan Prognosisnya


Prognosis
Stadium Gejala Minis dan laboratortum
Median survival (bulan)
0 Limfositosis darah tepid an sumsum tulang >150
I Limfositosis + pembesaran limfonodi 101
Limfositosis + splenomegali / hepatomegali >71
Limfositosis + anemia (Hb < 11 gr/dL) 19
IV Limfositosis + trombositopenia ( trombosit < 100.000/ uL) 19

UNIT YANGMENANGANI
• RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Hematologi - Onkologi
Medik
• RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS pendidikan :-
• RS non pendidikan : -

REFERENSI
1. Kurnianda, Johan, Leukemia mieloblastik akut. Dalam Sudoyo, Aru W. Setyohadi, Bambang Alwi, .
Idrus. Simadibrata, Marcellus. Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi V. Jakarta
:Balai Penerbit FKUI;2009.p. 1234- 40.
2. .
Acute and chronic myeloid leukemia Dalam : Fauci A, Kasper D, Longo D, Braunwald E, Hauser
.
S, Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison ' s principles of internal medicine 18lh ed. United States
of America; The McGraw-Hill Companies, 2011.
3. General approach to anemia. Dalam : McPhee, Stephen J. Papadakis, Maxine A . Current
Medical Diagnosis and Treatment. The McGrow Hills Companies. 2011
4. The acute Leukemia. Dalam : Ausiello. Goldman. Cecil Medicine 23,d edition. Saunders :
Philadhelphia . 2007.
5. Fianza, Panji Irani. Leukemia limfoblasyik akut. Dalam : Sudoyo, Aru W. Setyohadi, Bambang. Alwi,
Idrus. Simadibrata, Marcellus. Setiati, Siti. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V. Jakarta: Pusat
Informasi dan Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSCM ; 2009. Halaman 1266-1275.
6. Rotty, Linda W.A. Leukemia Limfositik Kronik. Dalam : Sudoyo, Aru W. Setyohadi, Bambang Alwi, .
Idrus. Simadibrata, Marcellus. Setiati, Siti. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V. Jakarta: Pusat
Informasi dan Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSCM ; 2009. Halaman 1276-82.

516
517

LIMFOMA

PENGERTIAN
Limfoma adalah keganasan sel limfoid yang terjadi pada jaringan limfoid . Limfoma
1

dibagi menjadi 2 macam ; 1. Limfoma non Hodgkin , dan 2 . Limfoma Hodgkin .

LIMFOMA NON HODGKIN


PENGERTIAN
Limfoma non Hodgkin adalah kelompok keganasan primer limfosit yang dapat
berasal dari limfosit B , limfosit T, dan kadang berasal dari sel NK ( natural Killer ) .
1

Klasifikasi Limfoma non Hodgkin dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1 . Klasifikasi Limfoma non Hodgkin menurut WHO


2

Hubungan dengan kelalnan


Tip Contoh
* genetfk
Sel B matang Diffuse large B-cell lymphoma ( DLBCL)
Follicular lymphoma IGH-BCL 2
CLL / small lymphocytic lymphoma
t ( ll;14) BCLl -lgH- cyclin D 1
Mantle cell
Marginal zone lymphoma ( nodal, dysreg
^
extranodal ( MALT ), splenic ) API 2-MALT 1 & BCL-10-lg
Burkitt ' s lymphoma enhancer
Hairy cell leukemia ( p / w fatique,
splenomegali massif, TRAP +) 8q24,c-MYC

Sel T matang Peripheral T cell lymphoma


dan sel NK Mycosis fungoides ( cutaneous
lymphoma) / sezary syndrome ( +LAN )
Anaplastic large cell lymphoma Some ALK 1 +
Angioimmunoblastic T cell lymphoma

PanduanPraktik Minis
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
|) SfiSSSfiL Hematologi Onkologi Medik
|
Tabel 2. Stadium Limfoma non Hodgkin berdasarkan Ann Harbor 2
Stadium Keterangan
I Pembesaran kelenjar getah bening ( KGB) hanya 1 regio
1 E : jika hanya terkena 1 organ ekstra limfatik tidak difus / batas tegas

Pembesaran 2 regio KGB atau lebih, tetapi masih sati sisi diafragma
112 : pembesaran 2 regio KGB atau lebih, tetapi masih satu sis diafragma
113 : pembesaran 3 regio KGB dalam 1 sisi diafragma
HE : pembesaran 1 regio atau lebih KGB dalam 1 sisi diafragma dan 1 organ ekstra
limfatik tidak difus / batas tegas

Pembesaran KGB di 2 sisi diafragma


IV Jika mengenai 1 organ ekstra limfatik atau lebih tetapi secara difus.

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis1
Umum
• Pembesaran kelenjar getah bening dan malaise umum : berat badan menurun
10% dalam waktu 6 bulan, demam tinggi . 38° dalam waktu 1 minggu tanpa sebab,
keringat malam.
• Keluhan anemia
• Keluhan organ
• Penggunaan obat ( diphantoine )
Khusus
• Penyakit infeksi ( toksoplasma, mononukleosis, tuberkulosis luas) dan lain-lain

Pemeriksaan Fisik
Limfadenopati yang sangat besar dan cepat berkembang, hepatomegali,
splenomegali, masa abdomen yang besar ( biasanya pada limfoma burkitt ) ,2 masa
testikular, lesi kulit.3

Laboratorium
Darah lengkap, morfologi darah tepi, urine lengkap, SGOT /SGPT, LDH, protein total,
albumin, asam urat, alkali fosfatase, gula darah puasa dan glukosa darah 2 jam post
prandial, elektrolit: natrium, kalium, klorida, Kalsium, fosfat. Gamma GT, cholinesterase
( CHE ) , LDH / fraksi, serum protein elektroforesis ( SPE ) , Tes HIV, imuno elektroforese
( IEP), tes coombs, B2 mikroglobulin. Biopsi sumsum tulang.2

518
Limfoma

DIAGNOSIS BANDING
Limfoma Hodgkin , limfadenitis, tuberkulosis, toksoplasmosis, filariasis, tumor
padat yang lain.1

TATALAKSANA 4
Tatalaksana yang dilakukan biasanya melalui pendekatan multidisiplin. Tatalaksana
yang dapat dilakukan adalah:
1. Derajat Keganasan Rendah ( DKR) / /r? do /en :
Pada prinsipnya simtomatik
• Kemoterapi: obat tunggal atau ganda (per oral), jika dianggap perlu: COP
[ Cyclophosphamide, Oncovin, dan Prednisone )
.
• Radioterapi: LNH sangat radiosensitif Radioterapi ini dapat dilakukan untuk
lokal dan paliatif .
• Radioterapi: Low Dose TOI + Involved Field Radiotherapy saja.
2. Derajat Keganasan Mengah ( DKM ) / agresif limfoma
• Stadium I : Kemoterapi ( CHOP / CHVMP / BU ) + radioterapi CHOP
( Cyclophosphamide, Hydroxydounomycin, Oncovin, Prednisone )
• Stadium II - IV: kemoterapi parenteral kombinasi, radioterapi berperan untuk
tujuan paliasi.
3. Derajat Keganasan Tinggi (DKT)
DKT Limfoblastik ( LNH - Limfoblastik)
• Selalu diberikan pengobatan seperti Leukemia Limfoblastik Akut (LLA)
Re-evaluasi hasil pengobatan dilakukan pada:
1. setelah siklus kemoterapi kedua dan keempat
2 . setelah siklus pengobatan lengkap

KOMPLIKASI4
Akibat langsung penyakitnya:
• Penekanan terhadap organ khususnya jalan napas, usus, dan saraf
• Mudah terjadi infeksi, bisa fatal
Akibat efek samping pengobatan:
• Aplasia sumsum tulang
• Gagal jantung oleh obat golongan antrasiklin
• Gagal ginjal oleh obat cisplatin
• Neuritis oleh obat vinkristin

519
Panduan Praktik Klinis Hematologi Onkologi Medik
Perhimpunan DoklerSpesialis Penyakll Dalam Indonesia

PROGNOSIS
Indolen : respon kemoterapi turun, tapi median survival panjang

Tabel 3. Follicular Lymphoma International Prognostic Index .*


Faktor : usla > 60 tahun, stadium lll/IV, Hb <12g/ dL, area nodul >4, LDH > batas normal
Faktor Bertahan 5 tahun Bertahan 10 tahun
0- 1 90% 71%
2 78% 51%
>3 52% 35%
Agresif : kemungkinan sembuh meningkat tapi prognosis buruk

Tabel 4. International Prognostic Index (IPI) for Aggressive NHL.


Faktor : usla > 60 tahun, stadium lll/IV, > kelalnan ekstranodul, performance status >2, LDH >
batas normal
Faktor Respon komplit Bertahan 5 tahun
0- 1 87% 73%
2 67% 51%
3 55% 43%
4-5 44% 26%

-
Revlsl prognosis IPI pada paslen dengan terapl CHOP R (cyclophosphamide, doxorubicin
- -
hydroxydaunorublcln, vincristine Oncovorln, prednisone, rttuximab)
Faktor % saat diagnosis Bertahan 4 tahun
0 10% 94%

1 -2 45% 79%
3-5 45% 55%

Tabel 5. Jenis - jenis Non Hodgkin Lymphoma.2


Indolen Agresif
SelB Small lymphocytic / pro- lymphocytic lymphoma Small noncleaved cell lymphoma
( SLL ) (SNCL)
Follicular lymphoma ( few large cells ) Burkitt Lymphoma
Lymphoplasmacytoid lymphoma
Marginal zone lymphoma
SelT Large granular lymphocyte leukemia
Adult T-cell leukemia / lymphoma ( ATL / L )
Mycosis fungoides / Sezary Syndrome

520
Limfoma <fjp

LIMFOMA HODGKIN

PENGERTIAN
Limfoma Hodgkin adalah keganasan limforetikular yaitu limfoma malignum dimana
secara histopatologis ditemukan sel reed sternberg.1
-
PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesa
Demam, berkeringat pada malam hari, penurunan berat badan, lemah badan,
pruritus, pembesaran kelenjar getah bening yang tidak nyeri, dapat dijumpai nyeri
abdomen atau nyeri tulang.1

Pemeriksaan Fisik2
• Limfadenopati dengan konsistensi rubbery dan tidak nyeri
-
• Demam, tipe pel ebstein
• Hepatosplenomegali
• Neuropati

Laboratorium
Darah : anemia, eosinofilia, peningkatan LED, pada flow-cytometry dapat terdeteksi
limfosit abnormal atau limfositosis dalam sirkulasi, peningkatan ureum kreatinin,
hiperkalsemia, hiperurikemia, biopsi sumsum tulang, CT scan.

DIAGNOSIS BANDING
Limfoma Hodgkin , limfadenitis, tuberkulosis, toksoplasmosis, filariasis, tumor
padat yang lain.1

TATALAKSANA
Target tatalaksana limfoma Hodgkin adalah menghancurkan sebanyak mungkin
sel kanker menuju remisi penyakit. Pengobatan limfoma Hodgkin adalah dengan
radioterapi meliputi Extended Field radiotherapy (EFRT), Involved Field Radiotherapy
( IFRT) dan radioterapi ( RT) ditambah dengan kemoterapi. Regimen kemoterapi yang
paling banyak digunakan adalah doxorubicin, bleomycin, vinblastine, dan dacarbazine
[ABVD] dan mechlorethamine, vincristine, procarbazin,dan prednisone ( MOPP), atau
kombinasi obat dari kedua regimen ini.5

521
HSHfiSSHH! Hematologi Onkologi Medik
KOMPLIKASI
Efusi perikardial , metastasis ke tulang.

PROGNOSIS
Ada 7 faktor risiko independen untuk memprediksi masa bebas progesi penyakit
FFR ( Freedom From Progression ), yaitu : 1. Jenis kelamin, 2. Usia > 45 tahun, 3. Stadium
IV, 4. Hb < 10 gr%, 5 . Leukosit > 15000 / mm3, 6 . Limfosit < 600 / mm 3 atau < 8% leukosit,
7. Serum albumin < 4 gr%. Pasien tanpa faktor risiko FFR = 84%, dengan 1 faktor risiko
FFR = 77%, dengan dia faktor risiko FFR = 67%, dengan tiga faktor risiko = 60%, dengan
empat faktor risiko = 51%, dengan lima atau lebih faktor risiko = 42% .5

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Hematologi -
Onkologi Medik
• RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Departemen THT, Patologi Anatomi, Radiologi / Radioterapi
• RS non pendidikan : Bagian THT, Patologi Anatomi , Radiologi / Radioterapi

REFERENSI
. .
Reksodiputro, AH Irawan C Limfoma non Hodgkin. In: Sudoyo, Aru W. Setyohadi, Bambang.
.
Alwi, Idrus. Simadibrata, Marcellus Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi V .
Jakarta:Balai Penerbit FKUI;2009.p. 1251 -61 .
2. Malignancies of Umphoid cells. Dalam : Fauci A, Kasper D, Longo D, Braunwald E, Hauser S,
.
Jameson J, Loscalzo J, editors Harrison' s principles of internal medicine. 18lh ed. United States of
America; The McGraw-Hill Companies, 2011
3. Hsia CC, Howson-Jan K, Rizkalla KS. Hodgkin lymphoma with cutaneous involvement Dermatol .
Online J. May 15 2009;15 (5):5. [Medline],
4. Abdulmuthalib. Limfoma non- Hodgkin. In: Simadibrata M, Setiati S, Alwi I, Oemardi M, Gani RA,
Mansjoer A, editors. Pedoman diagnosis dan terapi di bidang ilmu penyakit dalam. Jakarta:
Pusat Informasi dan Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSCM; 1999. p. 113-4.
5. Blood Disorder. Dalam : Mcphee, Stephen J. Papadakis, Maxine A. Curret Medical Diagnosis and
Ttreatment. The MacGraw Hill Companies. 2011
6. Celiqny P, Solal. Et all. Follicular lymphoma international prognostic index. Blood 2004
Sep 1 ;104 ( 5 ) :1258- 65 . Epub 2004 May 4 . Diunduh pada : http : / / www .ncbi.nlm.nih. gov /
pubmed/ 15126323 pada tanggal 29 mei 2012.

522
523

POLISITE MIA VERA

PENGERTIAN
Polisitemia adalah kelainan sistem hemopoesis yang merupakan bagian dari
penyakit mieloproilferatif yang dihubungkan dengan peningkatan jumlah dan volume
sel darah merah ( eritrosit) di atas ambang batas nilai normal dalam sirkulasi darah,
tanpa memperdulikan jumlah leukosit dan trombosit. Disebut polisitemia vera bila
sebagian populasi eritrosit berasal dari suatu klon sel induk darah yang abnormal
(tidak membutuhkan eritropoetin untuk proses pematangannya) . 1 Perjalanan Minis :
2

1. Fase eritrositik atau fase polisitemia


Berlangsung 5 - 25 tahun, membutuhkan flebotomi teratur untuk mengendalikan
viskositas darah dalam batas normal.
2 . Fase burn out atau spent out
Kebutuhan flebotomi menurun jauh, kesannya seperti remisi, kadang timbul anemia.
3. Fase mielofibrotik
Bila terjadi sitopenia dan splenomegali progresif, menyerupai mielofibrosis dan
metaplasia mieloid
4. Fase terminal
Berbeda dengan polisitemia sekunder (eritrositosis sekunder) yang kadar eritropoetin
meningkat secara fisiologis sebagai kompensasi atas kebutuhan oksigen yang meningkat
atau eritropoetin meningkat secara non fisiologis pada sindrom paraneoplastik sebagai
manifestasi neoplasma lain yang mensekresi eritropoetin. Polisitemia sekunder ditandai
dengan peningkatan hanya pada jumlah eritrosit dalam darah, tanpa peningkatan sel
darah putih dan splenomegali. Keadaan ini dapat disebabkan karena penyakit lain seperti
infeksi paru pada penyakit paru obstruktif kronis dengan cor pulmonale.3

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis
Gejala Minis berjalan lambat dan tidak terdeteksi , umumnya pada decade ke 6,
meskipun mungkin terjadi pada usia anak atau usia tua. Gejala Minis terbagi menjadi
3 fase : 13

PanduanPrakdk Minis
Perhimpunan Dokler Speslalis Penyakil Dalam Indonesia
# S£u®Pl”!®f!5!!. Hematologi Onkologi Medik
• Gejala awal: gejalasangat minimal dan dapatasimptomatikwalaupun telah diketahui
melalui tes laboratorium. Gejala awal biasanya sakit kepala (48%), telinga berdenging
(47%), mudah lelah (47%), gangguan daya ingat, susah bernapas (26%), darah tinggi
(72%), gangguan penglihatan ( 31%), rasa panas pada tangan atau kaki ( 29%), gatal
(43%), perdarahan dari hidung, lambung ( 24%) , atau sakit tulang (26%)
• Gejala akhir dan komplikasi: perdarahan atau thrombosis
• Fase splenomegali : sekitar 30 % dari gejala akhir berkembang menjadi fase
spelnomegali . Pada fase ini terjadi kegagalan sumsum tulang sehingga timbul
anemia, kebutuhan transfusi meningkat, pembesaran hati dan limpa .

Pemeriksaan Fisik
Berkeringat, pembesaran limpa, gangguan neurologis seperti gangguan penglihatan
dan transient ischemic attacks ( TIAs ). Tekanan darah sistolik dapat meningkat karena
peningkatan masa sel darah merah. Dapat dijumpai perdarahan (bruising, epistaksis,
perdarahan saluran cerna) . Eritromelalgiayangterdiri dari eritema, rasa terbakar, dan
nyeri pada ekstremitas merupakan komplikasi dari trombositosis.13

Pemeriksaan Penunjang3
• Eritrosit dan hematokrit: meningkat
• Leukosit: neutrofilia absolut, basofilia (pada kasus tidak terkontrol )
• Trombosit: meningkat pada sebagian pasien saat didiagnosis, dapat melebihi
1000 x 109/ liter
• Leukosit alkalin fosfat: meningkat pada 70 %
• Serum besi, TIBC (Total Iron Binding Capacity ) , Ferritin serum : jika ada perdarahan
atau setelah plebotomi.
• B 12 serum : meningkat karena peningkatan pemecahan leukosit
• Hiperurisemia: timbul sebagai akibat mielopoiesis hiperproliferatif
• Eritropoietin plasma : normal atau rendah. Digunakan untuk membedakan kelainan
polisitemia lain .
• Saturasi oksigen arteri: < 63 mmHg (10 % pasien)
• Pemeriksaan massa sel darah merah [ Red Cell Mass) : mahal dan membutuhkan
keahlian pemeriksan . Tidak dapat membedan polisitemia primer dan sekunder.
• Kultur bone marrow : melihat koloni eritroid endogen spesifik dansensitif untuk
diagnosis polisitemia vera.
• Bone Marrow: hiperselular, tidak adanya cadangan besi, menyingkirkan kelainan
mieloproliferatif lain

524
Polisitemia Vera Ip
International Polycythemia Study Group II1
Diagnosis polisitemia dapat ditegakkan jika memenuhi kriteria
a. A1+ A 2 + A 3 atau
b. A1+A 2 + 2 kategori B

Kategori A1
1. Meningkatnya massa sel darah merah diukur dengan krom radioaktif Cr -51. Pada
pria 36 ml / kg dan pada wanita 32 ml / kg.
2. Saturasi oksigen arterial 92% (padapolisitemia vera, saturasi oksigentidakmenurun)
3. Splenomegali

Kategori B1
1. Trombositosis : trombosit 400.000 / ml
2. Leukositosis: leukosit 12.000 / ml (tidak ada infeksi)
3. Leukosit alkali fosfatase (LAF) score meningkat > 100 (tanpa ada panas / infeksi)
4. Kadar vitamin B12 > 900 pg/ ml dan atau UB12BC dalam serum 2200 pg/ ml
Klasifikasi berdasarkan WHO (World Health Organization ) : 2
Peningkatan masa sel darah merah tanpa adanya pertumbuhan spotan eritroid pada
kultur dan :
• Satu di antara kriteria berikut: splenomegali, abnormalitas kariotipik selain t9 : 22,
adanya formasi koloni eritroid endogen; atau
• Dua di antara berikut: Jumlah trombosit > 400 x 109/ liter, sel darah putih > 12 x
109 / liter, aspirasi sumsum tulang menunjukkan panmielosis, dan eritropoietin
serum menurun

DIAGNOSIS BANDING
Polisitemia sekunder akibat saturasi oksigen arterial rendah atau eritropoetin
meningkat akibat manifestasi sindrom paraneoplastik4

TATALAKSANA

Prinsip pengobatan 2
1. Menurunkan viskositas darah sampai ke tingkat normal dan mengendalikan
eritropoesis dengan flebotomi
2 . Menghindari pembedahan elektif pada fase eritrositik/ polisitemia yang belum
terkendali

525
0 E5SJESSSJSS, Hematologi Onkologi Medik

3 . Menghindari pengobatan berlebihan


4. Menghindari obat yang mutagenik, teratogenik dan berefek sterilisasi pada pasien
usia muda
5 . Mengontrol panmielosis dengan fosfor radioaktif dosis tertentu atau kemoterapi
sitostatik pada pasien di atas 40 tahun bila didapatkan:
Trombositosis persisten di atas 800.000 / Ml terutama jika disertai gejala
trombosis
Leukositosis progresif
Splenomegali simtomatik atau menimbulkan sitopenia problematic
Gejala sistemikyangtidakterkendali seperti pruritus yang sukar dikendalikan,
penurunan berat badan atau hiperurikosuria yang sulit diatasi .

A. HIDRASI
Dehidrasi dapat mencetuskan terjadinya trombosis, sehingga berikan pasien
hidrasi yang cukup, terutama dengan kelainan saluran cerna . 3

B. FLEBOTOMI
Pada PV tujuan prosedur flebotomi adalah mempertahankan hematokrit 42% pada
wanita dan 47% pada pria untuk mencegah timbulnya hiperviskositas dan penurunan
shear rate . Indikasi flebotomi terutama untuk untuk semua pasien pada permulaan
penyakit dan yang masih dalam usia subur. Indikasi:2,4
1. Polisitemia vera fase polisitemia
2 . Polisitemia sekunder fisiologis hanya dilakukan jika Ht > 55% (target Ht 55 %)
3 . Psolisitemia sekunder nonfisiologis bergantung pada derajatberatnya gejala yang
ditimbulkan akibat hiperviskositas dan penurunan shear rate

C. KEMOTERAPI SITOSTATIKA
Tujuannya adalah sitoreduksi . Indikasi : 2
• Hanya untuk polisitemia rubra primer (PV)
• Flebotomi sebagai pemeliharaan dibutuhkan > 2 kali sebulan
• Trombositosis yang terbukti menimbulkan trombosis
• Urtikaria berat yang tidak dapat diatasi dengan antihistamin
• Splenomegali simtomatik / mengancam ruptur limpa

526
Polisitemia Vera $[$
Cara pemberian:23
^
• Hidroksiurea 800 -1200 mg / m / hari atau 10-15 mg / kg / kali diberikan dua
kali sehari. Bila tercapai target dilanjutkan pemberian secara intermiten untuk
pemeliharaan
• Klorambusil dengan dosis induksi 0,1-0,2 mg/ kg / hari selama 3-6 minggu dan
dosis pemeliharaan 0,4 mg/ kgBB tiap 2-4 minggu.
• Busulfan 0,06 mg/ kgBB/ hari atau 1,8 mg/ m 2 / hari (2 atau 4 mg setiap hari) selama
beberapa minggu. Bila tercapai target dilanjutkan pemberian secara intermiten
untuk pemeliharaan.

D. FOSFOR RADIOAKTIF
P 32 pertama kali diberikan dengan dosis 2-3 mCi / m 2 intravena, bila per oral
dinaikkan 25%. Selanjutnya bila setelah 6-8 minggu pemberian P 32 pertama:3
• Mendapatkan hasil, reevaluasi setelah 10-12 minggu. Dapat diulang jika diperlukan
• Tidak berhasil, dosis kedua dinaikkan 25% dari dosis pertama, diberikan setelah
10-12 minggu dosis pertama. Pasien diperiksa setiap 2/ 3 bulan setelah keadaan stabil

E. KEMOTERAPI BIOLOGI (SITOKIN)

F. PENGOBATAN SUPORTIF 3
• Hiperurisemia: allopurinol 100-600 mg/ hari
• Pruritus dengan urtikaria: antihistamin kurang bermanfaat, fotokemoterapi dengan
psoralen dan PUVA, aspirin telah direkomendasikan, interferon a juga bermanfaat.
2
• Gastritis / ulkus peptikum: antagonis reseptor H
• Antiagregasi trombosit: anagrelid, aspirin

G. SPLENEKTOMI
Indikasi jika ada trombositopenia berat atau pembesaran limpa yang mengganggu. 3

H. JAK2 TARGETED INHIBITORS


Menghambat aktivitas JAK 2 tirosin kinase karena mutasi JAK 2 berperan dalam
terjadinya polisitemia vera 34

I. TRANSPLANTASI SUMSUM TULANG


Transplantasi stem cell nonmieloablatif merupakan prosedur transplantasi yang
dapat dilakukan pada penderita usia dekade ke 6 dan 7.3

527
PanduanPraktikKlinis Hematologi Onkologi Medik
Perhlmpunan DoklerSpeslalls Penyakil Dalam Indonesia

Berbagai macam terapi dapat digunakan untuk mengatasi polisitemia vera, akan
tetapi banyak kelebihan dan kekurangan dari masing-masing terapi tersebut yaitu : 3
Tabel 1 . Kelebihan dan Kekurangan terapi3
Terapi Kelebihan Kekurangan
Flebotomi Resiko rendah, mudah dilakukan Tidak dapat mengontrol trombositosis
atau leukositosis
Hidroksiurea Dapat mengontrol trombositosis atau Memerlukan terapi lanjutan
leukositosis, risiko leukemogenic rendah
Busulfan Mudah dilakukan, dapat remisi jangka panjang, Dosis lebih dapat menekan sumsum
risiko leukemogenic tidak tinggi tulang, risiko leukemogenic, toksisitas
paru dan kutaneus jangka panjang
32 P Dapat mengontrol trombositosis atau Mahal, tidak nyaman, risiko
leukositosis dalam jangka lama , leukemogenic sedang

Klorambusil mudah dilakukan, dapat mengontrol risiko leukemogenic tinggi


trombositosis atau leukositosis
Interferon risiko leukemogenic rendah, pruritus Tidak nyaman, mahal, efek samping
besar
Anagrelide Efek selektif pada trombosit Efek selektif pada trombosit

KOMPLIKASI
Trombosis pada vena hepatik ( Budd -Chiari Syndrome ) terjadi pada 10 % dari 140
pasien, stroke iskemik dan transient ischemic attacks (TIA), perdarahan, mielofibrosis,
peningkatan asam urat sekitar 10% berkembang menjadi gout , peningkatan risiko
ulkus peptikum (10 %) , infark miokard, tombosis vena dalam ( deep vein thrombosis
/ DVT ), emboli paru. Dari 164 kematian, 41% karena thrombosis dan 7% karena
perdarahan. 1,3

PROGNOSIS
Angka harapan hidup setelah terdiagnosis tanpa diobati yaitu 1,5-3 tahun, sedangkan
dengan pengobatan lebih dari 10 tahun . Pasien yang diterapi dengan flebotomi
mempunyai angka harapan hidup 13,9 tahun, 8.9 tahun pada pasien yang diterapi dengan
klorambusil. Polisitemia vera meningkatkan resiko menjadi leukemia. Dalam 10 tahun,
40-60% kasus menjadi trombosis. Kematian terjadi paling banyak karena trombosis
(31%), leukemia akut (19%), keganasan lain (15%), perdarahan (5%). 3

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Departemen Penyakit Dalam - Divisi Hematologi - Onkologi Medik
• RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

528
Polisitemia Vera

UNIT YANG TERKAIT


• RS pendidikan :-
• RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

REFERENSI
1 . Prenggono M. Darwin. Polisitemia vera. Dalam: Suyono, S. Waspadji, S. Lesmana, L. Alwi,I. Setiati,
S. Sundaru, H. dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi V. Jakarta: Interna Publishing; 2010.
.
Hal 1214-1219 .
2. .
Polycythemia vera. Hematologie Klapper. 8th ed Leids Universitair Medisch Centrum Leiden.
Juni 1999:48-9 .
3. Beutler Ernest. Primary dan Secondary Polycythemias (Erythrocytosis) . In : Lichtman M, Beutler E,
Kipps T, editors. Williams Hematology 7lh ed. Me Graw Hill. Chapter 56
4. . .
Spivak JL Polycythemia Vera and Other Meloproliferative Disease In: Longo Fauci Kasper,
Harrison' s Principles of Internal Medicine 18th edition.United States of America.Mcgraw Hill.2012

529
530

SINDROM ANTIFOSFOLIPID

PENGERTIAN
Sindrom antibodi antifosfolipid ( antiphospholipid antibody syndrome / APS),
merupakan suatu trombofilia autoimun didapat dengan karakteristiktrombosis arteri
atau vena berulang dan / atau adanya morbiditas kehamilan; dengan adanya antibodi
terhadap protein plasma yang mengikat fosfolipid.1
Sindrom antifosfolipid ditandai dengan trombosis arteri dan vena, abortus spontan
berulang (akibat trombosis), trombositopenia, dan sejumlah variasi manifestasi
neuropsikiatri.2
Sindrom antibodi antifosfolipid didefinisikan sebagai penyakit trombofilia
autoimun yang ditandai dengan adanya 1) antibodi antifosfolipid (antibodi cardiolipin
dan / atau antikoagulan lupus) yang menetap (persisten) serta 2 ) kejadian berulang
trombosis vena / arteri, keguguran, atau trombositopenia.3
Sindrom antifosfolipid didiagnosis pada seorang pasien dengan trombosis dan /
atau morbiditas kehamilan yang memiliki antibodi antifosfolipid (aPL). Trombosis
vena dalam pada ekstremitas bawah dan / atau emboli paru merupakan trombosis
vena yang paling sering terjadi pada APS, namun semua sistem vena dapat terlibat,
termasuk vena superfisial, portal, renal, mesenterika, dan intrakranial. Sedangkan
tempat yang paling sering menjadi trombosis arteri adalah pembuluh darah serebral
yang berakibat pada iskemi serebral sementara (transient ischemic attack / TIA) atau
stroke. Trombosis mikrovaskular pada APS jarang terjadi namun dapat berpotensi
fatal yang dikenal dengan catastrophic antiphospholipid syndrome (CAPS), dimana
terdapat kegagalan fungsi multiorgan termasuk paru, otak, dan ginjal.4

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis3
Difokuskan pada kejadian dan frekuensi terjadinya tromboemboli
• Mata: penglihatan kabur atau ganda, melihat kilatan cahaya, kehilangan sebagian
atau seluruh lapang pandang

Panduan Prtttik Minis


Perhlmpunan Dokfer SpesiaSs Penyakit Dalam Indonesia
Sindrom Antifosfolipid

• Kardiorespirasi: nyeri dada, menjalar ke lengan, napas pendek


• Gastrointestinal: nyeri perut, kembung, muntah
• Pembuluh darah perifer : nyeri atau bengkak tungkai, klaudikasio, ulserasi jari /
tungkai, nyeri jari tangan atau kaki yang dicetuskan oleh dingin
• Muskuloskeletal : nyeri tulang, nyeri sendi
• Kulit : purpura dan / atau petekia, ruam livedo retikularis temporer atau menetap,
jari- jari tangan / kaki kehitam - hitaman atau terlihat pucat
• Neurologi dan psikiatri : pingsan, kejang, migrain, parestesi, paralisis, ascending
weakness, tremor, gerakan abnormal, hilangnya memori, masalah dalam pendidikan
(sulit berkonsentrasi, sulit mengerti yang dibaca dan berhitung)
• Endokrin: rasa lemah, lelah, artralgia, nyeri abdomen (gambaran penyakit Addison)
• Urogenital: hematuria, edema perifer
• Riwayat kehamilan : riwayat abortus berulang, kelahiran prematur, pertumbuhan
janin terhambat ( PJT)
• Riwayat keluarga : risiko APS meningkat pada pasien yang memiliki anggota
keluarga dengan abortus berulang, kelahiran prematur, oligohidramnion, khorea
gravidarum, infark plasenta, preeklampsia, PJT, tromboembolisme neonatorum,
infark miokard atau stroke pada anggota keluarga yang berusia < 50 tahun ,
trombosis vena dalam, flebitis, atau emboli paru , penyakit Raynaud , TIA
• Riwayat kontrasepsi oral

Pemeriksaan Fisik3
Pembuluh darah Nyeri tekan pada palpasi tulang atau sendi (infark tulang )
perifer Nyeri saat sendi digerakkan, tanpa artritis (nekrosis avaskular)
Pembengkakan tungkai ( trombosis vena dalam)
ICapillary refill time , denyut nadi, perfusi ( trombosis arterial / vasospasme )
Gangren ( trombosis arteri atau infark)
Manlfestasi kulit Livedo retikularis
Purpura
Tromboflebitis superfisial
Vasospasme fenomena Raynaud
Splinter hemorrhages periungual atau subungual ( perdarahan dibawah
kuku)
Infark perifer ( digital pitting)
Ulserasi
Memar
Ginjal Hipertensi trombosis arteri renalis, lesi pembuluh darah intrarenal
Hematuria -> trombosis vena renalis
Paru Distres pernapasan
Takipneu -> emboli paru, hipertensi pulmonal
Gastrointestinal Nyeri tekan abdomen kuadran kanan atas, hepatomegaly ( sindrom Budd -
Chiari , trombosis pembuluh darah kecil hati, infark hati)
Nyeri tekan abdomen ( trombosis arteri mesenterika )
• Endokrin: kelemahan otot, kekakuan progresif pada otot-otot pelvis dan
paha dengan kontraktur fleksi (infark / perdarahan adrenal )

531
# aassassst Hematologi Onkologi Medik

Kelainan sistem • Strok


saraf pusat atau • TIA
perifer • Parestesia, polineuritis atau mononeuritis multikompleks -> iskemi/infark
vasovorum
• Paralisis, hiperrefleksi, lemah -» transvere myelitis , sindrom Guillain-Barre
• Tremor khoreiform
• Short-term memory loss
• Kelainan menyerupai sklerosis multipel
Jantung • »
Murmur pada katup aorta, atau mitral - endokarditis
• Nyeri dada, diaphoresis infark miokard
Mata • Oklusi arteri retina
• Trombosis vena retina

Pemeriksaan Penunjang13
• Laboratorium (sesuai indikasi) : darah perifer lengkap, LDH, bilirubin, haptoglobin,
tes Coomb direk / indirek, urinalisis, immunoassays (tes serologis sifilis positif palsu,
antibodi antifosfolipid, antibodi anticardiolipin, antibodi antiplatelet, antibodi
antiprotrombin, antibodi antifosfatidil serine), polimorfisme genetik, tes koagulasi
• Radiologis (sesuai indikasi) : USG Doppler, venografi, ventilation/ perfusion scan (pada
emboli paru), CT scan, MRI, arteriografi, ekokardiografi, angiografi dengan kateterisasi
• Biopsi dari organ yang terkena seperti pada kulit atau ginjal
Kriteria diagnosis sindrom antifosfolipid menggunakan kriteria Sapporo ( juga
dikenal dengan kriteria Sydney) tahun 2006. Menurut kriteria Sapporo, diagnosis
definitif APS dipertimbangkan apabila terdapat sedikitnya satu kriteria klinis dan
sedikitnya satu kriteria laboratoris :5
• Kriteria Klinis - adanya trombosis vaskular atau morbiditas kehamilan, dengan
penjelasan sebagai berikut :
o Trombosis vaskular didefinisikan sebagai satu episode atau lebih dari
trombosis vena, arteri, atau pembuluh darah kecil, dengan temuan radiologis
atau histologis trombosis jaringan atau organ yang jelas. Trombosis vena
superfisial saja tidak cukup untuk memenuhi kriteria trombosis untuk APS.
o Morbiditas kehamilan didefinisikan sebagai kematian janin pada usia gestasi
*10 minggu dengan morfologi normal sebelumnya, yang tidak dapat dijelaskan
atau satu atau lebih kelahiran prematur sebelum usia gestasi 34 minggu akibat
eklampsia, preeklampsia, insufisiensi plasenta, atau keguguran pada usia
gestasi <10 minggu sebanyak tiga kali atau lebih yang tidak dapat dijelaskan
dengan kelainan kromosom maternal atau paternal atau anatomi maternal
atau penyebab hormonal.
• Kriteria Laboratoris - adanya aPL, dalam dua kondisi atau lebih dalam selang
waktu sedikitnya 12 minggu dan tidak lebih dari 5 tahun sebelum muncul
manifestasi klinis :

532
Sindrom Antifosfolipid fgy

o Titer sedang atau tinggi dari IgG dan / atau IgM antibodi anticardiolipin (aCL)
> 40 unit IgG antifosfolipid atau IgM antifosfolipid atau > persentil 99
o IgG atau IgM isotype antibodi (32-glikoprotein (anti- p2GPI) pada titer > persentil 99
o Aktivitas antikoagulan lupus (LA) yang terdeteksi dalam plasma

DIAGNOSIS BANDING
Berdasarkan eksklusi penyebab trombofilia didapat atau diturunkan
lainnya . 1 Banyak kelainan genetik dan didapat yang berakibat pada keguguran,
penyakit tromboemboli , atau keduanya ( mis. trombositopenia diinduksi heparin,
homosisteinemia, kelainan mieloproliferatif, dan hiperviskositas) . Penyakit lain yang
berhubungan dengan APS adalah immune thrombocytopenia ( ITP), kelainan autoimun
sekunder, keganasan, penyakit infeksi, sirosis hati , sindrom hemolitik, thalassemia,
inkompatibilitas ibu dan bayi (ABO, Rh, HLA) . 3

TATALAKSANA
Setelah trombosis pertama kali , pasien APS sebaiknya diberikan warfarin seumur
hidup untuk mencapai INR ( international normalized ratio ) antara 2 , 5 - 3 , 5 atau
kombinasi dengan aspirin 80 mg/hari. Morbiditas kehamilan dapat dicegah dengan
kombinasi heparin dengan aspirin 80 mg/hari . Intravena immunoglobulin ( IVIG ) 1
x 400 mg/ kg selama 5 hari dapat juga mencegah aborsi , sementara glukokortikoid
tidak efektif. Terapi evidence - based pada pasien dengan aPL tanpa gambaran klinis
tidak tersedia; akan tetapi aspirin 80 mg/ hari melindungi pasien dengan lupus
eritematosus sistemik dengan antibodi aPL positif dari berkembangnya trombosis .
Beberapa pasien APS dan CAPS sering mengalami trombosis rekuren meskipun telah
mendapat antikoagulan sesuai. Dalam kasus ini IVIG 1 x 400 mg / kg selama 5 hari atau
antibodi monoklonal anti - CD 20 375 mg/m2 per minggu selama 4 minggu bermanfaat .
Pasien CAPS yang dirawat didalam ICU, tidak dapat menerima warfarin; pada situasi
ini dosis terapeutik low molecular weight heparin / LMWH dapat diberikan. Pada
kasus trombositopenia imbas heparin dan sindrom trombosis, inhibitor faktor X yang
mengikat fosfolipid ( inhibitors of phospholipid - bound activated factor X / FXa) seperti
fondaparinux 7 , 5 mg SC per hari atau rivaroxaban 10 mg PO per hari terbukti efektif .
Obat - obatan tersebut diberikan dalam fixed dose dan tidak memerlukan observasi
ketat; namun keamanannya dalam trimester pertama kehamilan belum ditentukan . 1

KOMPLIKASI
Keguguran, koagulasi intravaskular diseminata . 1
mm Panduan Praktik Kllnls Hematologi Onkologi' Medik
Pertiimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia

PROGNOSIS
Bahaya serangan kedua terbesar pada pasien dengan antibodi yang mengenali p 2
glikoprotein I yang memiliki hemolisis autoimun pada serangan pertama, dan terkecil
pada pasien tanpa antibodi tersebutyang mengalami aborsi berulang sebagai serangan
pertama mereka. Penyesuaian terapi pada pasien yang mengalami serangan dua kali,
tingkat efek samping serius yang mengikuti 6,86 kali lebih tinggi, pada pasien dengan
presentasi hemolisis autoimun 1, 56 kali lebih tinggi, dan pada pasien dengan antibodi
anti- p 2 - glikoprotein- I sebesar 1,69 kali lebih tinggi, dan 46 % lebih rendah pada
presentasi trombositopenia. Gambaran klinis inisial APS menentukan evolusi jangka
panjang, dan kumpulan manifestasi klinis tipe spesifik selama perjalanan penyakit. 6

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Hematologi-
Onkologi Medik
• RS non pendidikan : Bagian llmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS pendidikan
• RS non pendidikan

REFERENSI
1 . Moutsopoulos HM, Vlachoyiannopoulos PG. Antiphospholipid Antibody Syndrome. In : Longo DL,
Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J. Harrison’ s Principles of Internal Medicine.
18m Edition. New York, McGraw-Hill 2012. .
2. . .
Schafer Al Thrombotic Disorders:Hypercoagulable States In : Goldman, Ausiello. Cecil Medicine.
23ra Edition. Philadelphia. Saunders, Elsevier. 2008.
3. Effendy S. Sindrom Antibodi Antifosfolipid: Aspek Hematologik dan Penatalaksanaan. Dalam :
Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I, et al. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jilid II. 2009. Hal 1345-53.
4. Keeling D, Mackie I, Moore GW, et al. Guidelines on the investigation and management of
antiphospholipid syndrome. British Journal of Haematology 2012;157:47-58
5. .
Miyakis S, Lockshin MD, Atsumi T, et al International consensus statement on an update of the
classification criteria for definite antiphospholipid syndrome ( APS). J Thromb Haemost 2006: 4:295.
6. .
Tektonidou MG, loannidis JPA, Boki KA, et al Prognostic factors and clustering of serious clinical
.
outcomes in antiphospholipid syndrome Q J Med 2000;93:523-530. Diunduh dari http:/ / qjmed.
oxfordjournals.org/ content/ 93/8/523.full.pdf pada tanggal 30 Mei 2012 .

534
535

SINDROM LISIS TUMOR

PENGERTIAN
Sindrom lisis tumor adalah suatu kelainan metabolik yang mengancam jiwa, akibat
pelepasan sejumlah zat interseluler ke dalam aliran darah akibat tingkat penghancuran
sel tumor yang tinggi karena pemberian kemoterapi . Sindrom ini ditandai dengan:
hiperurisemia, hiperkalemia, hiperfosfatemia dan hipokalsemia. Faktor risiko ;
peningkatan LDL, ukuran tumor yang besar ( bulky tumor ) dengan tingkat ploriferasi
yang tinggi, tumor yang sangat sensitif , hiperurisemia yang sudah ada sebelum
pengobatan, penurunan fungsi ginjal.1

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis
Dapat ditemukan pembengkakan pada sendi, otot melemah, konstipasi . Riwayat
mendapat kemoterapi dalam 1- 5 hari terakhir, jenis tumor yang diderita (limfoma
burkitt, leukemia limfoblastik akut dan limfoma derajat tinggi lainnya)

Pemeriksaan Fisik
Tidakkhas, sesuai dengan kelainan yang terjadi (misalnya: pernapasan kussmaul
pada asidosis laktat, oliguria / anuria bila terjadi gagal ginjal, aritmia ventrikel pada
hiperkalemia) 1

Laboratorium
Peningkatan LDH , asam urat darah, kalium darah, fosfat darah, penurunan
kalsium darah, analisis gas darah (AGD) menunjukkan asidosis metabolik, urinalisa
menunjukkan pH urin < 7 dan / terdapat kristal asam urat.2

DIAGNOSIS BANDING
Gagal ginjal akut karena penyebab yang lain.

PanduanPraktlk Minis
Pertilmpunan Dokler SpesiaRs Penyakit Dalam Indonesia
# SSSlSSSSi Hematologi Onkologi Medik
TATALAKSANA 1
• Mencegah dan mendeteksi faktor risiko lebih penting
• Hidrasi adekuat 2000 -3000 ml / m 2 per hari
• Mempertahankan pH urin > 7 dengan pemberian Na bikarbonat
• Allopurinol 2x300 mg/ m per hari ^
• Natrium bikarbonat 50 -100 mEq / L cairan intravena
• Monitor fungsi ginjal, elektrolit, AGD dan asam urat
• Bila secara konservatif tidak berhasil dan ditemukan tanda-tanda sebagai berikut
(K > 6 meq /1, asam urat > 10 mg/ dl, kreatinin > 10 mg/ dl, F >10 mg/ dl atau semakin
meningkat, hipokalsemia simtomatik) maka dilakukan hemodialisa

KOMPLIKASI
Gagal ginjal akut, aritmia ventrikel, kematian mendadak.2

PROGNOSIS
Mengenali gejala dini pada pasien dengan risiko sindrom lisis tumor, termasuk
mengidentifikasi abnormalitas manifestasi klinis dan laboratorium, dapan mencegah
komplikasi yang mengancam jiwa.

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Departemen llmu Penyakit Dalam - Divisi Hematologi -
Onkologi Medik
• RS non pendidikan : Bagian llmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Departemen Penyakit dalam - Konsultan Hemato
Onkologi medik
• RS non pendidikan : Departemen Penyakit dalam - Konsultan Hemato
Onkologi medik

REFERENSI
1. Jack, Zakifman. Diagnosis dan Penatalaksanaan Sindrom Lisis Tumor. Dalam: Sudoyo, Aru W .
. . .
Setyohadi, Bambang Alwi, Idrus. Simadibrata, Marcellus Setiati, Siti Buku Ajar llmu Penyakit
. . .
Dalam Jilid I Edisi V. Jakarta:Balai Penerbit FKUI;2009.p 311- 12 .
.
2 Oncologies Emergency. Dalam: Fauci A, Kasper D, Longo D, Braunwald E, Hauser S, Jameson J,
.
Loscalzo J, editors. Harrison' s principles of internal medicine 18lh ed. United States of America;
The McGraw-Hill Companies. 2011

536
537

TERAPI SUPORTIF PADA PASIEN RANKER

PENGERTIAN
Terapi suportif pada pasien kanker merupakan terapi yang diberikan pada
pasien kanker, yang menunjang pengobatan kanker. Pengobatan suportif ini tidak
hanya diperlukan pada pasien kanker yang menjalani pengobatan kuratif tetapi juga
pada pengobatan paliatif. Terapi suportif ini meliputi semua aspek kesehatan dan
terdiri dari berbagai prosedur yang bertujuan untuk meningkatkan atau setidaknya
mempertahankan kondisi kesehatan pasien sehingga ia dapat menerima pengobatan
kuratif (bedah, radiasi, kemoterapi, atau kombinasi) tanpa efek samping yang berarti.
1

Beberapa aspek yang termasuk dalam terapi ini antara lain :2


-
1. Nyeri terkait kanker ( cancer related pain)
2. Lelah terkait kanker ( cancer- related fatigue )
3. Dispneu
4. Delirium
5. Anoreksia dan cachexia
6. Depresi dan ansietas

PENDEKATAN DIAGNOSIS

I. NYERI TERKAIT KANKER (CANCER - RELATED PAIN )

Anamnesis
Perlu ditanyakan tipe nyeri (berdenyut, kram, seperti terbakar, dll), periodisitas
(terus-menerus, dengan /tanpa eksaserbasi, atau tiba -tiba), lokasi, intensitas, faktor
yang memperberat / memperingan, efek terapi, dampak fungsional, dampak terhadap
pasien.3 Beberapa penilaian kualitas nyeri yang dapat digunakan alat bantu seperti
Visual Analogue Scale (VAS), the Brief Pain Inventory, atau sistem klasifikasi nyeri
kanker Edmonton.2,3 Untuk menentukan mekanisme nyeri apakah termasuk nyeri
nosiseptif (somatik, viseral) atau neuropatik (tabel 1).

PanduanPrakdk Minis
Perhimpunan Dokter Speslaiis Penyakil Dalam Indonesia
HMSSSSHl Hematologi Onkologi Medik

Tabel 1. Mekanlsme Nyeri Kanker dan Tatalaksananya2


Mekanisme Karaktoriiflk nyeri Contoh Terapl
Nosiseptlf
• Somatik Well localized Metastasis tulang, fraktur NSAIDs, opioid,
patologis, nyeri insisi bisfosfonat, radiasi
bedah
• Viseral Poorly localized , dalam, seperti
ditekan (squeezing, pressurej ,
Metastasis hati, Opioid
pankreatitis, obstruksi usus
nyeri yang menjalar (referred
pain ]
Neuropatlk Poorly localized , nyeri seperti Kompresi medula spinalis, Gabapentin, TCA,
terbakar, ditusuk-tusuk, shooting / kompresi saraf oleh carbamazepine,
radiating , secara umum lebih tumor, neuropati perifer venlafaxine, opioid
sulit dikontrol imbas kemoterapi
Keterangan: NSAIDs = nonsteroidal anti-inflammatory drugs; TCAs = tricyclic antidepressants

Pemeriksaan Fisik
Umum dan status neurologis

Pemeriksaan Penunjang
• Laboratorium (sesuai indikasi): darah perifer lengkap, elektrolit
• Radiologis (sesuai indikasi): foto polos abdomen 3 posisi, CT scan, MRI

II. LELAH TERKAIT KANKER (CANCER - RELATED FATIGUE)

Anamnesis
Karena lelah terkait kanker bersifat subyektif, maka evaluasi klinis dilakukan
berdasarkan keluhan pasien sendiri. Alat bantu untuk menilai skala lelah seperti the
Edmonton Functional Assessment Tool, the Fatigue Self - Report Scales, dan the Rhoten
Fatigue Scale umumnya hanya dapat digunakan untuk keperluan penelitian, bukan
evaluasi klinis. Pada praktik klinis, evaluasi performa sederhana dapat menggunakan
Karnofsky Performance Status atau the Eastern Cooperative Oncology Groups. Perlu
juga diidentifikasi faktor -faktor yang berpotensi menyebabkan lelah seperti gangguan
tidur, anemia, nyeri, depresi, ansietas, gangguan elektrolit, anoreksia -cachexia,
hipotiroidisme, hipogonadisme, dan penyakit komorbid lainnya.2

Pemeriksaan Fisik
• Umum, status gizi, dan status psikiatri
• Konjungtiva anemis, tanda Chovstek, tanda Trousseau

538
Terapi Suportif pada Pasien Kanker

Pemeriksaan Penunjang
• Laboratorium (sesuai indikasi): darah perifer lengkap, elektrolit, fungsi kelenjar
tiroid, fungsi hati, profil lipid

III. DISPNEU2 3

Anamnesis
Dokumentasi dan nilai episode dispneu beserta intensitasnya. Derajat keparahan
dan efek terapi dapat dinilai melalui skala dispneu visual atau analog. Perlu juga
dievaluasi penyebab dispneu lain yang berpotensi reversibel atau dapat diobati
seperti infeksi, efusi pleura, emboli paru, edema paru, asma, atau tumor yang berada
di jalan napas.

Pemeriksaan Fisik
• Takipneu, restriksi gerakan dada ipsilateral, stem fremitus, bunyi napas, ronki,
mengi, ada / tidaknya distensi vena jugularis
• Tanda infeksi

Pemeriksaan Penunjang
• Laboratorium: darah perifer lengkap, D-dimer, analisa gas darah
• Radiologis: foto toraks PA/lateral

IV. DELIRIUM

Anamnesis
Disorientasi onset baru, gangguan kognitif, restlessness,somnolen, tingkatfluktuasi
kesadaran.2

Pemeriksaan Fisik
• Umum, status psikiatri, dan status neurologis
• Tanda infeksi

Pemeriksaan Penunjang
• Laboratorium (sesuai indikasi): darah perifer lengkap

539
# SSSESSSSfift Hematologi Onkologi Medik

V . ANOREKSIA DAN CACHEXIA

Anamnesis
Kehilangan berat badan yang tidak dikehendaki, laju kehilangan berat badan, berat
badan sebelum sakit, penurunan nafsu makan dari biasanya, pola dietterakhir. Apabila
penurunan berat badan >5% dari biasanya (sebelum sakit] dalam 6 bulan maka harus
dicurigai cachexia, terutama apabila terdapat muscle wasting . Sedangkan bila terjadi
penurunan berat badan >10% menunjukkan adanya malnutrisi berat dan sindrom
cachexia -anoreksia mulai ditegakkan. Untuk mendapatkan informasi hilangnya nafsu
makan secara kuantitatif, dapat digunakan skor 0 - 7 dengan penjelasan 0 = tidak ada
nafsu makan, 1 = nafsu makan sangat kecil, 2 = nafsu makan kecil, 3 nafsu makan
=
cukup, 4 = nafsu makan baik, 5 = nafsu makan sangat baik, 6 = nafsu makan luar biasa,
7 = selalu lapar].4

Pemeriksaan Fisik
Umum dan antropometri secara keseluruhan; berat badan, tinggi badan , tebal
lemak subkutis, wasting jaringan, edema atau asites, tanda tanda defisiensi vitamin
dan mineral, serta status fungsional pasien. Harus diperhatikan apabila ditemukan
adanya muscle wasting dan hilangnya jaringan lemak merupakan tanda lanjut dari
malnutrisi .4

Pemeriksaan Penunjang4
• Laboratorium : albumin, prealbumin, transferrin, imbang nitrogen 24 jam , kadar
Fe, pemeriksaan sistem imun seperti limfosit total, fungsi hati dan ginjal, elektrolit,
dan mineral serum, C reactive protein (CRP).

VI. DEPRESI DAN ANSIETAS

Anamnesis
Karena lelah terkait kanker bersifat subyektif, diperlukan alat bantu untuk menilai
-
skala lelah seperti the Edmonton Functional Assessment Tool, the Fatigue Self Report
Scales, dan the Rhoten Fatigue Scale.

Pemeriksaan Fisik
• Umum, status psikiatri, dan status neurologis
• Tanda infeksi

540
Terapi Suportif pada Pasien Kanker $)
.

Pemeriksaan Penunjang
• Laboratorium (sesuai indikasi): darah perifer lengkap

TATALAKSANA

I. NYERI TERKAIT KANKER2


• Manajemen analgetik WHO tahun 1987 merekomendasikan acetaminophen dan
nonsteroidal anti - inflammatory drugs (NSAIDs) sebagai terapi lini pertama, opioid
lemah seperti kodein dan hydrocodone sebagai lini kedua, dan opioid kuat untuk
lini ketiga.
• Opioid kuat yang sering digunakan yaitu morfin, hydromorphone, oxycodone,
oxymorphone, fentanyl, dan methadone. Ketika memulai terapi opioid, formulasi
short - acting sebaiknya digunakan untuk dosis titrasi; apabila nyeri sudah terkontrol
dengan dosis stabil, maka formulasi long - acting dapat digunakan. Formulasi long -
acting lebih nyaman dengan dosis dua kali dalam sehari, namun formulasi short -
acting jauh lebih murah. Dosis dan rute pemberian tercantum pada tabel 2.

Tabel 2. Dosis Opioid Kuat yang Sering Digunakan2

Dosis Inlslal Ratio ekulan- Rute pembe- Apabila dosis opioid


Opioid kuat umum (mg Dosis (mg) algeslk * rlan** stabil tercapal*”
PO)

Morfin 5 -
2,5 5 PO 1 PO, PR, SC, Ganti ke morfin long-
acting
tiap 4 jam tiap 1 jam PRN IV

Hydromor- 1 -2 0,5- 1 PO 5 PO, PR , SC, Ganti ke


phone tiap 4 jam tiap 1 jam PRN IV hydromorphone
long-acting

Oxycodone 5 2,5 PO 1,5 PO, PR, SC Ganti ke oxycodone


tiap 4 jam tiap 1 jam PRN long - acting

Oxymorphone 5 2,5 PO 3 PO , IV, SC Ganti ke


tiap 4 jam tiap 1 jam PRN oxymorphone long -
acting

Methadone 5 Gunakan 2-20 PO, PR, IV Lanjutkan


tiap 12 jam salah satu methadone dosis
diatas sama

Patch Lihat catatan TD Ganti patch fentanyl


fentanyl* ** * dibawah tiap 72 jam

Keterangan: IV, intravena; PO, per oral; PR , per rectal; PRN, bila perlu; SC, subkutan; TD, transdermal
.
’Ratio ekuianalgesik disediakan untuk opioid oral vs morfin oral Contoh, hydromorphone 5x lebih poten daripada morfin
oral
Potensi methadone meningkat dengan dosis Ini sebaiknya dipertimbangkan dengan input spesialis
* *Morfin, hydromorphone, oxycodone, dan oxymorphone sekitar 2-3 kali lebih poten daripada sediaan oral / rektal
'“‘’Apabila nyeri st il ill s < if ii dlpeillmlxingkan formula long - acting untuk kenyamanan
liiyarlli u - ' u - i :ah pasien mencapai kontrol nyeri yang baik dengan dosis stabil opioid. Untuk mengganti
-
’“’Patch fentanyl
patch fentanyl de ' igai moili « al 11 u |l dosis total ekuivalen morfin per hari dalam milligram dengan 3,6 untuk mendapat dosis
"
patch fentanyl dalam mikrogram Contoh. 360 mg morfin/hari ekuivalen dengan patch fentanyl 100 mg

541
# EaSJSSSJHfiL Hematologi Onkologi Medik

• Terapi adjuvan non -opioid : NSAIDs, bisfosfonat, gabapentin, TCA, karbamazepin,


venlafaksin

II. LELAH TERKAIT KANKER 2


• Terapi terdiri dari stimulan ( methylphenidate), wakefulness- promoting agents
(modafinil), dan suplementasi makanan (ginseng)
• Kortikosteroid dapat diberikan dalam jangka waktu pendek sebagai terapi
sementara, namun memiliki efek samping yang berpotensi serius
• Identifikasi dan terapi faktor-faktor yang berpotensi menyebabkan lelah seperti
gangguan tidur, anemia, nyeri, depresi, ansietas, gangguan elektrolit, anoreksia-
cachexia, hipotiroidisme, hipogonadisme, dan penyakit komorbid lainnya

III. DISPNEU2
• Intervensi bedah pada obstruksi jalan napas akibat pertumbuhan tumor: reseksi
bronkoskopik, elektrokauter, dilatasi balon, krioterapi, laser, brakiterapi
• Torasentesis terapeutik: pada efusi pleura besar. Hindari mengambil >1,5 L per
seting karena risiko reekspansi edema paru. Pleurodesis dan indwelling kateter
jangka panjang dapat menjadi pilihan bagi pasien dengan efusi pleura berulang
dengan ekspektasi harapan hidup 3 bulan.
• Suplementasi oksigen: meredakan hipoksemia
• Opioid, kortikosteroid, bronkodilator

IV. DELIRIUM
• Neuroleptik: haloperidol, chlorpromazine, olanzapine, dan quetiapine
• Golongan benzodiazepine disarankan karena memiliki efek sedasi dan amnesia,
namun juga berpotensi memperburuk delirium

V. ANOREKSIA DAN CACHEXIA 4


• Terapi nutrisi tergantung dari kondisi pasien, status nutrisi, dan lokasi tumor serta
indikasi terapi untuk pasien.
• Kebutuhan energi: mempertahankan status gizi : 25 -35 kal / kgBB, sedangkan untuk
menggantikan cadangan tubuh dianjurkan 40-50 kal/ kgBB.
• Kebutuhan protein: 1,5 - 2 g/ kgBB
• Kebutuhan lemak : 20 -50 % dari kebutuhan kalori total
• Cara pemberian: oral, enteral (selang nasogastrik), parenteral

542
Terapi Suportif pada Pasien Kanker

VI. DEPRESI DAN ANSIETAS


• Depresi lihat pada bab Depresi
• Ansietas -> lihat pada bab Ansietas

KOMPLIKASI
Hati-hati dengan efek samping morfin

PROGNOSIS
Tergantung etiologi dan respon terapi

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Hematologi-
Onkologi Medik
• RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS pendidikan
• RS non pendidikan

REFERENSI
1 . Reksodiputro AH. Pengobatan Suportif pada Pasien Kanker. Dalam : Sudoyo A, Setiyohadi B,
.
Alwi I, et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V. Jilid II. 2009. Hal 1482-97.
2 . .
Bruera E, Hui D. Palliative and Supportive Care Diunduh dari http:/ /www.clinicaloptions com/ .
_
inPractice/ Oncology /Supportive_Care / ch51 SuppCare-Palliative.aspx pada tanggal 21 Mei
2012.
3. Emanuel EJ. Palliative and End-of-Life Care. In : Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson
JL, Loscalzo J. Harrison ’ s Principles of Internal Medicine. 18lh Edition. New York, McGraw-Hill. 2012.
4. .
Sutandyo N. Terapi Nutrisi pada Pasien Kanker Dalam : Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I, et al. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jilid I. 2009. Hal 342-6.

543
544

TROMBOSIS VENA DALAM

PENGERTIAN
Tromboemboli vena merupakan suatu spektrum kondisi yang mencakup trombosis
vena dalam ( deep venous thrombosis/ DVT) dan emboli paru ( pulmonary embolism /
PE) .1 Sedangkan DVT merupakan suatu kondisi yang dikarakteristikkan oleh bekuan
darah pada vena, dan paling sering terjadi pada ekstremitas bawah, seringkali naik
menjadi emboli dan jaringan nekrosis. 2 Trombosis vena dalam dibagi menjadi 2
kategori prognosis yaitu 1) trombosis vena betis, dimana trombus tetap berada di
vena betis dalam, dan 2 ) trombosis vena proksimal, yang melibatkan vena popliteal,
femoral, atau iliaka. 3
Triad Virchow untuk trombogenesis terdiri dari : 1) gangguan pada aliran darah
yang menyebabkan stasis, 2 ) gangguan pada keseimbangan antara prokoagulan dan
antikoagulan yang menyebabkan aktivasi faktor pembekuan, dan 3) gangguan pada
dinding pembuluh darah (endotel) yang menyebabkan prokoagulan.4 Faktor risiko
tromboembolisme tercantum pada tabel 1.

Tabel 1 . Faktor Risiko Tromboembolisme3


Didapat Trombofllla heredlter
Usia lanjut (>40 tahun) Activated protein C resistance
Riwayat tromboemboli sebelumnya Protrombin G20210A
Pasca operasi Defisiensi antitrombin
Pasca trauma Defisiensi protein C
Imobilisasi lama Defisiensi protein S
Bentuk kanker tertentu Disfibrinogenemia
Gagal jantung kongestif
Pasca infark miokard
Paralisis tungkai bawah
Penggunaan estrogen
Kehamilan atau periode pasca persalinan
Vena varikosus / varices
Obesitas
Sindrom antibodi antifosfolipid
Hiperhomosisteinemia

PanduanPrakfikKIinis
Dokler
Perhimpunan Spesialls Penyakil Dalam Indonesia
Trombosis Vena Dalam

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis4 5
• Kram pada betis bagian bawah yang menetap selama beberapa hari dan
memberikan ketidaknyamanan seiring berjalannya waktu
• Kaki bengkak, nyeri tungkai bawah
• Riwayat trombosis sebelumnya
• Riwayat trombosis dalam keluarga

Skoring Wells untuk memprediksi DVT tercantum pada tabel 2 .

Tabel 2. Skoring Wells untuk Memprediksi DVT '


2 0

Nllal
Gambaran Kllnls
Ranker aktif (sedang terapi dalam 1-6 bulan, atau paliatif)
Paralisis, paresis, atau imobilisasi ekstremitas bawah
Terbaring selama > 3 hari atau operasi besar (dalam 4 minggu)
Nyeri tekan terlokalisir sepanjang distribusi vena dalam
Seluruh kaki bengkak
Pembengkakan betis unilateral 3 cm lebih dari sisi yang asimtomatik ( diukur
10 cm di bawah tuberositas tibia )
Pitting edema unilateral (pada tungkai yang simtomatik) 1

Vena superfisial kolateral 1

Diagnosis alternatif yang lebih mungkin dari DVT -2

Keterangcan :
Interpretasi ( Pretestprobability DVT ) : > 3 = risiko tinggi ( 75%); 1-2 = risiko sedang ( 17%) ; < 0 = risiko rendah % .
( 3 ) Pada pasien yang
gejalanya pada kedua tungkai, tungkai yang lebih bergejala digunakan.

Pemeriksaan Fisik3 5
• Rasa tidak nyaman pada palpasi ringan betis bagian bawah
• Edema tungkai unilateral, eritema, hangat, nyeri, pembuluh darah superfisial dapat
teraba, Homan's sign ( + ), distensi vena, diskolorasi, sianosis

Pemeriksaan Penunjang:4 6
• Laboratorium :
Kadar antitrombin 111 menurun
Kadar fibrinogen degradation product [ FDP] meningkat
Titer D - dimer meningkat: indikator adanya trombosis yang aktif , sensitif tapi
tidak spesifik

545
(# E5S5S?JKSi Hematologi Onkologi Medik

• Radiologis :
Compression USG ( CUS): sensitivitas 95% dan spesifisitas 96 % untuk DVT
proksimal simptomatik, sensitivitas 11-100% dan spesifisitas 90-100% untuk
DVT distal simptomatik. Kriteria diagnostik USG dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel 3. USG Vena Dalam Tungkai Bawahs
Kriteria diagnosis DVT akut:
• Kriteria utama: kurangnya kompresibilitas vena
• Vena tidak " wink" saat kompresi perlahan pada cross-section
• Gagal untuk mendekati dinding vena akibat distensi pasif
Visualisasi trombus direk:
• Homogen
• Hipoekoik
Dinamika aliran Doppler abnormal
• Respon normal: kompresi betis meningkatkan sinyal aliran Doppler dan
mengkonfirmasi patensi vena proksimal dan distal
• Respon abnormal: aliran Doppler terhalangi dengan kompresi betis

CT scan dengan injeksi kontras: sensitivitas 96 % dan spesifisitas 95%


( predominan DVT proksimal)
Magnetic resonance [ MR ) venografi dengan kontras , apabila tidak
memungkinkan dapat menggunakan MRI (mis. pada kasus alergi kontras dan
insufisiensi ginjal): sensitivitas 96% (lebih rendah pada DVT distal, sekitar
62 %) dan spesifisitas 93%
Venografi: teknik standar terpilih, dapat mendeteksi DVT distal terisolasi dan
trombosis vena iliaka dan vena cava inferior

Algoritma diagnostik bagi tersangka DVT dapat dilihat pada gambar 1.10

DIAGNOSIS BANDING
Ruptur kista Baker, selulitis, sindrom pasca phlebitis / insufisiensi vena.2

TATALAKSANA

Farmakologis
1. Terapi antikoagulan 35
• Merupakan terapi terpilih bagi sebagian besar pasien dengan trombosis vena
proksimal atau emboli paru
• Kontraindikasi absolut: perdarahan intrakranial, perdarahan aktif berat, pasca
operasi otak, mata, atau medula spinalis, dan hipertensi maligna

546
Trombosis Vena Dalam

Gejala tungkai bawah


dan klinis tersangka DVT

f 1
Probabilitas Probabilitas
klinis rendah klinis sedang atau tinggi

i i
Tes D-dimer USG Doppler vena
ekstremitas tungkai

Negatif Po ^llil atau tidak tersedia Negatif Positif

1 1 1
'

USG Doppler vena Tes D-dimer Konfirmasi


ekstremitas tungkai diagnosis DVT

Negatif Positif 1
I Terapi

Eksklusi DVT Konfirmasi


diagnosis DVT Negotll Positif

i [ 1
Follow- up lanjutan
Terapi Eksklusi DVT
(USG ke-2/ serial, venografi)

Negatif Positif

t I
Eksklusi DVT Diagnosis DVT

Gambar 1 . Algoritma Diagnosis DVT '

• Kontraindikasi relatif : pasca bedah mayor, pasca insiden serebrovaskular,


perdarahan saluran cerna aktif, hipertensi berat, gagal hati atau ginjal berat,
trombositopenia berat (trombosit < 50.000 / pL)
• Pilihan antikoagulan dapat dilihat pada tabel 4 .
Tabel 4. Antikoagulan pada Tromboemboli Vena
5

Antikoagulasl parenteral segera


• Unfractionated heparin bolus dan infus kontinu, untuk mencapai aPTT 2-3x batas atas
laboratorium normal, atau
• Enoxaparin 2 x 1 mg/kg dengan fungsi ginjal normal, atau Dalteparin 1 x 200 U/kg atau 2
x 100 U /kg dengan fungsi ginjal normal, atau Tinzaparin 1 x 175 U / kg dengan fungsi ginjal
normal
• Fondaparinux sehari sekali berdasarkan berat badan; sesuaikan pada gangguan fungsi
ginjal
Warfarin
• Dosis awal 5 mg, titrasi hingga INR 2-3
• Lanjutkan antikoagulasi parenteral selama minimal 5 hari dan hasil INR selama 2 kali
pemeriksaan berturut-turut (interval 1 hari) tercapai

547
# fSSSSSSSSS. Hematologi Onkologi Medik
• Regimen low - molecular - weight heparin ( LMWH ) dan fondaparinux dapat
dilihat pada tabel 5 .
Tabel S . Regimen Low-Molecular-Weight Heparin (LMWH) dan Fondaparinux pada Terapi
Tromboemboli Vena 3
Obat ReJImen subkutan
Enoxaparin 2 x 1 mg /kg/harP
Dalteparin 1 x 200 IU /kg/ harib
Tinzaparin 1 x 175 IU /kg / haric
Nadroparin 2 x 6150 IU ( untuk berat badan 50-70 kg) d
Reviparin 2 x 4200 IU (untuk berat badan 46- 60 kg) °
Fondaparinux 1 x 7 , 5 mg/hari (untuk berat badan 50- 100 kg )
Keterangan:
aRegimen 1 x 1,5 mg/kg/hari dapat diberikan namun kurang efekfif pada pasien dengan kanker
Setelah 1 bulan, dapat diikuti dengan dosis 1 x 150 lU / kg / hari sebagai alternatif antagonis vitamin K oral
“jangka untuk terapi
panjang
cRegimen ini dapat juga digunakan untuk terapi jangka panjang sebagai alternatif antago
d2 x
nis vitamin K oral
4100 lU/hari bila berat badan pasien <50 kg atau 2 x 9200 lU / hari bila berat badan pashen >70 kg
' 2 x 3500 lU / hari bila berat badan pasien
-
35 45 kg atau 2 x 6300 lU /hari bila berat badan pasien >60 kg
' 1 x 5 mg /hari bila berat badan pasien <50 kg atau 1 x 10 mg/hari bila berat badan pasien
> 100 kg

• Jika diperlukan, dosis LMWH disesuaikan untuk mencapai target anti faktor
Xa : 0, 6 - 1 IU / ml - 4 jam setelah pemberian LMWH . 10
• Apabila unfractionated heparin digunakan sebagai terapi inisial, sangat penting
untuk mencapai efek antikoagulan adekuat yaitu aPTT di atas batas bawah
therapeutic range dalam 24 jam pertama . Regimen heparin dapat dilihat pada
tabel 6 .

Tabel 6. Regimen Heparin Berdasarkan aPTT7


Dosis inisial Bolus 80 U / kg, kemudian 18 U/kg/ jam dengan infus
aPTT <35 detik ( <l,2x kontrol) Bolus 80 U/kg, kemudian 4 U /kg / jam dengan infus

-
aPTT 35-45 detik ( 1 ,2 1,5x kontrol) Bolus 40 U /kg, kemudian 2 U/kg / jam dengan infus
-
aPTT 46-70 detik (l,5 2,3x kontrol) Tidakada perubahan
aPTT 71 -90 detik ( 2,3-3x kontrol) Turunkan kecepatan infus 2 U/kg/ jam
aPTT >90 detik (>3x kontrol ) Hentikan infus selama 1 jam, kemudian turunkan
kecepatan infus 3 U /kg / jam

• Warfarin diberikan pada hari pertama atau kedua dengan dosis awal 5 mg /
hari - untuk mencapai target INR 2 - 3 dalam 4- 5 hari . Pada pasien usia lanjut,
berat badan rendah, warfarin diberikan dengan dosis awal yang lebih rendah
( 2 -4 mg / hari) . 10

548
Trombosis Vena Dalam

2 . Trombolisis
• Terapi ini tidak dianjurkan pada DVT karena risiko perdarahan intrakranial
yang besar, kecuali kasus tertentu seperti trombus ileofemoral masif atau
bagian dari protokol penelitian.8
3. Antiagregasi trombosit (aspirin, dipiridamol, sulfinpirazon)
• Bukan merupakan terapi utama
• Pemakaiannya dapat dipertimbangkan 3-6 minggu setelah terapi standar
heparin atau warfarin

DVT PADA KEADAAN KHUSUS KEHAMILAN


• Warfarin merupakan kontraindikasi pada kehamilan.57
• Terapi terpilih: unfractionated heparin subkutan dan LMWH jangka panjang- mis.
Tinzaparin 1 x 175 IU / kg / hari SC.510
• Pilihan terapi unfractionated heparin atau LMWH merupakan keputusan klinis
berdasarkan kondisi pasien.5

KOMPLIKASI
Perdarahan akibat antikoagulan / antiagregasi trombosit, trombositopenia imbas
heparin, osteoporosis imbas heparin (biasanya setelah terapi > 3 bulan).
5

PROGNOSIS
Sekitar 50% pasien dengan DVT proksimal simptomatis yang tidak mendapat
diterapi akan berkembang menjadi emboli paru simptomatis dalam waktu 3 bulan.
Meskipun telah mendapat terapi adekuat, DVT dapat berulang. Sekitar 10% pasien
dengan DVT simptomatis berkembang menjadi sindrom post-trombosis berat dalam
5 tahun.9

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Hematologi -
Onkologi Medik
• RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Departemen Radiologi, Bedah / Vaskular
• RS non pendidikan : Bagian Radiologi, Bedah

549
PraktiliKlinis Hematologi Onkologi Medik

REFERENSI
1 . . .
Ramzi DW Leeper KV DVT and Pulmonary Embolism: Part I, Diagnosis Am Fam Physician .
. . . .
2004;69:2829-36 Diunduh dari http:/ / www aafp org/ afp/ 2004/0615/p2829 pdf pada tanggal 29
Mei 2012 .
2. McGraw-Hill Concise Dictionary of Modern Medicine. New York, McGraw-Hill 2002 .
3. .
Hull RD, Pineo GF, Raskob GE. Venous Thrombosis In : Lichtman M, Beutler E, Sellghson U, et al .
. .
Williams Hematology 7th Edition New York, McGraw-Hill 2007 .
4 . .
Sukrlsman L. TromboslS Vend Dalam dan Emboli Paru Dalam : Sudoyo A, Setlyohadi B, Alwi I, et
. . . .
al. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam Edisi V Jilid II 2009 Hal 1354-8 .
5 . . .
GoldhaberSZ Deep Venous Thrombosis and Pulmonary Thromboembolism In : Ldngo DL, Fauci
. .
AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J Harrison' s Principles of Internal Medicine 18lh
Edition. New York, McGraw-Hill. 2012 .
6. Ho WK. Deep vein thrombosis: risks and diagnosis. Australian Family Physician July 2010:39:7
7. .
Ramzi DW. Leeper KV. DVT and Pulmonary Embolism: Part II Treatment and Prevention. Am Fam
Physician 2004:69:2841-8.
8. Kovacs MJ, Rodger M, Anderson DR, Morrow B, Kells G, Kovacs J, etal. Comparison of 10-mg and
5-mg warfarin initiation nomograms together with low-molecular-weight heparin for outpatient
treatment of acute venous thromboembolism. A randomized, double-blind, controlled trial, Ann
Intern Med 2003:138:716.
9. Kearon C. Natural history of venous thromboembolism. Circulation 2003:107 (23 suppl 1 ):T22—30.
10. Hirsh J, Lee AYY. How we diagnose and treat deep vein thrombosis. Blood 2002; 99; 3102-10.

550
551

TROMBOSITOSIS ESENSIAL

PENGERTIAN
Trombositosis esensial / TE [nama lainnya antara lain trombositosis primer,
trombositemia esensial, trombositosis idiopatik, trombositemia hemoragik) termasuk
dalam klasifikasi penyakit keganasan mieloproliferatif . TE merupakan kelainan klonal
dengan etiologi yang belum diketahui, yang melibatkan sel progenitor hematopoiesis
multipoten dengan manifestasi klinis produksi trombositberlebihan tanpa penyebab
yang jelas.1 Istilah trombositosis esensial lebih banyak dipakai di Amerika Serikat,
sedangkan di Eropa dikenal dengan trombositemia vera.2 Macam- macam etiologi
trombositosis dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Etiologi Trombositosis3


Primer Sekunder Trombositosis Palsu
Trombositosis esensial Infeksi Mikrosferosit (mis. luka bakar
yang luas)
Polisitemia vera Inflamasi Krioglobulinemia
Mielofibrosis primer Kerusakan jaringan Frogmen sitoplasma sel
neoplastik
Mieodisplasia Hiposplenisme Schistocytes

Anemia refrakter dengan cincin Pasca operasi Bakteri


sideroblast yang berkaitan dengan
trombositosis
Leukemia mieloid kronis Perdarahan Pappenheimer bodies
Leukemia mielomonositik kronis Defisiensi besi
Leukemia mieloid kronis atipikal Keganasan

Keganasan mieloproliferasi/ Hemolisis


mielodisplasia
Terapi obat ( kortikosteroid,
adrenalin)
Administrasi sitokin
( trombopoietin)
Rebound pada
kemoterapi mielosupresit

Panduan Praktik Klinis


Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakii Dalam Indonesia
^4
|) Inr
# PanduanPraktikKlinis Hematologi Onkologi Medik
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakll Dalam Indonesia W W

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis1 2
• Tidak ada tanda dan gejala spesifik, 1/ 3 pasien tidak memiliki gambaran klinis
• Acroparesthesis \ sensasi gatal pada kaki yang diikuti dengan rasa nyeri / terbakar,
kemerahan, berdenyut, cenderungtimbul kembali disebabkan panas, pergerakan
jasmani dan hilang bila kaki ditinggikan (eritromialgia ).
• Riwayat mudah memar
• Riwayat gangguan penglihatan sementara, klaudikasio intermiten, infark / gangren
pada jari kaki dengan pulsasi arteri perifer masih baik, perdarahan spontan dari
hidung atau ginggiva, genitourinarius, saluran cerna
• Pada wanita hamil ditemukan riwayat abortus berulang, pertumbuhan janin
terhambat

Pemeriksaan Fisik1 2
-
• Splenomegali (70 %), hipertensi (30%), tanda tanda perdarahan atau trombosis
sesuai lokasi yang terkena

Pemeriksaan Penunjang1 4
• Laboratorium : darah perifer lengkap, morfologi darah tepi
• Pemeriksaan genetik molekuler
• Tes sitogenetika
• Biopsi dan aspirasi sumsum tulang : peningkatan selularitas dengan hiperplasia
megakariositik

Kriteria diagnosis trombositosis esensial :4


• Hitung trombosit > 600.000/ pL (yang telah dikonfirmasi > lx)
• Hemoglobin 13 g/ dl atau massa eritrosit normal (pria <36 ml/ kg, wanita < 32 ml / kg)
• Besi yang terlihat pada pewarnaan sumsum atau kegagalan uji besi (kenaikan
hemoglobin <1 g/dl setelah terapi besi 1 bulan )
• Tidak ditemukan kromosom Philadelphia
• Fibrosis kolagen sumsum : a) tidak ada, atau b) <1/3 area biopsi tanpa splenomegali
dan reaksi leukoeritroblastik
• Tidak ditemukan penyebab trombositosis reaktif
• Megakariosit dalam gumpalan

552
Trombositosis Esensial

DIAGNOSIS BANDING
Seperti tercantum pada tabel 1.

TATALAKSANA 4
Tujuan pengobatan untuk menurunkan jumlah trombosit dan menurunkan fungsi
trombosit
• Untuk menurunkan trombosit:
-
o PThombopheresis > pada trombositosis akut dan gangguan hemostasis yang
mengancam nyawa
o Hydroxyurea : 10- 30 mg/ kgBB / hari. Hitung darah harus diperiksa dalam 7 hari
setelah terapi dimulai dan diperiksa secara rutin karena hydroxyurea dapat
menyebabkan mielosupresi dengan cepat
-
o Anagrelide. dosis awal 4 x 0,5 mg/ hari atau 2 x 1 mg/ hari (maksimal 10 mg/
hari), dosis disesuaikan dengan interval tiap minggu. Dosis pemeliharaan 2 -3 mg/
hari
o Rekombinan interferon alfa: 3 juta IU subkutan sebanyak 3x/ minggu
• Untuk menurunkan fungsi trombosit (terapi adjuvan):
o Aspirin dosis rendah (100 mg / hari) masih menjadi kontroversi

KOMPLIKASI
Risiko klinis komplikasi trombohemoragik pada trombositosis esensial tercantum
pada tabel 2 ,

Tabel 2. Risiko Klinis Komplikasi Trombohemoragik pada Trombositosis Esensial


4

Trombosis Perdarahan
Risiko V Riwayat trombosis sebelumnya Penggunaan aspirin dan nonsteroidal anti-
inflammatory drugs ( NSAIDs ) lainnya
Faktor risiko terkait kardiovaskular Trombositosis ekstrim ( trombosit > 1.500.000/ pL)
( terutama merokok )
Usia lanjut (> 60 tahun )
Trombositosis tidak terkontrol ( pada
pasien risiko tinggi)
Tanpa risiko Derajat trombositosis Masa perdarahan ( bleeding time)
terkait memanjang
Fungsi trombosit in vitro Fungsi trombosit in vitro

PROGNOSIS
Tergantung usia dan riwayat trombosis. Angka harapan hidup 10 tahun pada 64%-
80 % terutama pada pasien usia muda. Kurang dari 10% pasien dengan trombositosis

553
# !SSSSaK > Hematologi Onkologi Medik

esensial berubah menjadi leukemia mieloid akut dan kurang dari 5% berubah menjadi
mielofibrosis dengan metaplasia meiloid. 5

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Hematologi -
Onkologi Medik
• RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS pendidikan
• RS non pendidikan :

REFERENSI
1. . .
Spivak JL Polycythemia Vera and Other Myoproliferative Diseases In : Longo DL, Fauci AS, Kasper
. . .
DL, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J Harrison' s Principles of Internal Medicine 18lhEdition New
York, McGraw-Hill. 2012 .
2 . . .
Wahid I Trombositosis Esensial. Dalam : Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I, et al Buku Ajar Ilmu Penyakit
. . .
Dalam. Edisi V Jilid II 2009 Hal 1220-4 .
3. Harrison CN, Bareford D, Butt N, et al. Guideline for investigation and management of adults
and children presenting with a thrombocytosis. British Journal of Haematology 2010;149:352-375 .
4. . .
Schafer Al Essential Thrombocythemia and Thrombocytosis: Overview In : Lichtman M, Beutler
. .
E, Sellghson U, et al. Williams Hematology 7th Edition New York, McGraw-Hill 2007 .
5. . .
Ciesla B Hematology in Practice Philadelphia, FA Davis 2007.

554
<I I PENATALAKSANAAN
% BIDANGILMU PEN KIT

PANDUAN
U !Ji « 1

KARDIOLOGI

Angina Pektoris Stabil 555


Angina Pektoris Tidak Stabil/Non St Elevation Myocardial
Infarction ( APTS / NSTEMI) . 560
ST Elevation Myocardial Infarction ( STEMI ) 564
Penyakit Jantung Koroner 569
Bradiartima . 572
Takiaritmia . 578

Cardiac Arrest 587


Ekstrasistol Ventrikular , 590

Gagal Jantung . 594


Endokarditis Infektif 606
Penyakit Katup Jantung 618
Peripartum Cardiomyopathy 627
Perikarditis 632
Penyakit Jantung Kongenital 642
Hipertensi Pulmonal 649
Penyakit Arteri Perifer 656
Kelainan Sistem Vena Dan Limfatik 664
555

ANGINA PEKTORIS STABIL

PENGERTIAN
Angina pektoris stabil adalah nyeri dada atau chest discomfort yang terjadi karena
keadaan seperti olahraga atau stres emosional yang meningkatkan kebutuhan oksigen
miokard. Karakteristik nyeri dada khas angina yang mengarah ke infark miokard /
iskemia miokard akut adalah: 1
1. Lokasi di dada/substernal/sedikit di kiri, dengan penjalaran ke leher, rahang, bahu kiri,
sampai dengan lengan dan jari- jari bagian ulnar, punggung/ pundak kiri.
2. Kualitas nyeri biasanya merupakan nyeri tumpul seperti rasa tertindih, terdesak,
diremas - remas, dada mau pecah. Seringkali disertai keringat dingin, sesak napas.
3. Nyeri pertama kali timbul biasanya agak nyata, dari beberapa menit sampai < 20
menit.
Nyeri dada ada yang memiliki ciri-ciri iskemik miokardium yang lengkap, sehingga
tak diragukan lagi diagnosisnya disebut nyeri dada (angina) tipikal, sedangkan nyeri
dada yang meragukan tidak memiliki ciri yang lengkap dan perlu dilakukan pendekatan
yang hati- hati disebut, nyeri dada (angina) atipik. Nyeri dada lain yang sudah jelas
berasal dari luar jantung disebut nyeri non kardiak.1 Klasifikasi angina pektoris stabil
dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1 . Klasifikasi Angina Pektoris Stabil2


Kelas Canadian Cardiovascular Society Functional Classification
I Aktivitas sehari-hari seperti berjalan atau menaiki tangga tidak menyebabkan angina.
Angina muncul jika melakukan aktivitas berat terus-menerus saat kerja maupun rekreasi.
II Keterbatasan ringan saat melakukan aktivitas sehari-hari. Berjalan atau menaiki tangga
dengan cepat atau setelah makan, berjalan menanjak, dalam kedinginan, atau dalam
kondisi stres. Berjalan sebanyak lebih dari 2 blok dan menaiki tangga lebih dari 1 lantai
dengan kecepatan normal .
III Keterbatasan bermakna dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Berjalan dengan
mendatar sebanyak 1 atau 2 blok dan menaiki tangga 1 lantai dalam kondisi normal.
IV ketidakmampuan beraktivitas tanpa ketidaknyamanan. Angina dapat timbul saat
istirahat

PanduanPraktik Minis
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyokil Dalam Indonesia
m Kardiologi

Terdapat 3 kriteria untuk membantu menentukan jenis Angina : 1. Nyeri dada


substernal, 2. Dicetuskan oleh aktifitas / emosi, 3. Membaik dengan istirahat atau NTG.
Pasien disebut non anginal chest pain bila hanya ada < 1 gejala, disebut angina atipik
bila terdapat 2 gejala, dan angina tipikal bila ada 3 gejala. Kemungkinan penyakit
arteri koroner berdasarkan kombinasi usia, jenis kelamin dan gejala dapat dilihat
pada Tabel 2.

Tabel 2. Probabilitas Penyakit Arteri Koroner Berdasarkan Usia dan Gejala (NEJM 1979:300:1350)3
Usia 1 Gejala 2 Gejala 3 Gejala
(tahun) laki-lakl (L) Perempuan (P) L P L P
30-39 4% 1% 34% 12% 76% 26%
40-49 13% 3% 51% 22% 87% 55%
50-59 20% 7% 65% 31% 93% 73%
60-69 27% 14% 72% 51% 94% 86%
Keterangan
Gejala : nyeri dada substernal, nyeri dada karena aktivitas, nyeri dada hilang saat istirahat

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis
Biasa muncul pada pria > 50 tahun atau wanita > 60 tahun dengan keluhan chest
discomfort (seperti berat, tertekan, diremas, terdesak, dan jarang nyeri yang nyata ),
biasanya lokasi di dada, crescendo -decrescendo, berlangsung 2 - 5 menit ( dapat
menjalar ke bahu maupun kedua lengan, punggung, interscapular, leher, rahang, gigi,
dan epigastrium ) . Biasanya episode angina muncul karena latihan atau emosi, dapat
juga saat istirahat dan membaik setelah istirahat. Pasien dapat terbangun pada malam
hari karena chest discomfort dan dispnea.2

Pemeriksaan Fisik
Auskultasi sebaiknya dilakukan pada pasien dengan posisi lateral dekubitus. Pada
auskultasi dapat ditemukan bruit arteri, bunyi jantung III atau IV, jika iskemi akut
atau infark sebelumnya merusak fungsi otot papilar maka dapat ditemukan murmur
sistolik di apikal karena regurgitasi mitral, meskipun tidak khas untuk iskemi miokard.2

Pemeriksaan Penunjang2
• Elektrokardiografi ( EKG ) : tidak spesifik, dapat ditemukan hipertrofi ventrikel
• Stress testing dengan EKG
.
• Rontgen dada: pembesaran jantung, aneurisma ventrikular (tidak khas)

556
Angina Pektoris Stabil

• Darah (untuk mengetahui faktor yang memperberat seperti DM, gangguan ginjal,
-
dan lain lain): GDS, profit lipid, hemoglobin A1C, fungsi ginjal
• Pencitraan jantung: SPECT, MSCT
Arteriografi koroner, dipertimbangkan pada : pasien yang tetap pada kelas III-IV
meskipun telah mendapat terapi yang cukup, pasien dengan risiko tinggi tanpa
mempertimbangkan beratnya angina, pasien - pasien yang pulih dari serangan
aritmia ventrikel yang berat sampai cardiac arrest, yang telah berhasil diatasi,
-
dan pasien pasien yang diketahui mempunyai disfungsi ventrikel kiri (fraksi
ejeksi < 45%)

DIAGNOSIS BANDING NYERI DADA3


• Kardiovaskular: infark miokard, unstable angina, perikarditis, mioperikarditis,
diseksi aorta.
• Paru: pneumonia, pleuritis, pneumotoraks, efusi pleura, hipertensi pulmonal
• Saluran cerna: refluk esofagus, spasme esofagus, Mallory - weis, pankreatitis,
penyakit bilier.
• Muskuloskeletal dan lainnya: costochondritis, herpes zoster, ansietas.

TATALAKSANA

• -
Non farmakologis: stop rokok, stop alkohol, kurangi berat badan, olahraga 30 60
menit setiap hari.4
• Farmakologis: 24
Aspirin 75-162 mg/ hari
-
Hipertensi: ACE inhibitor, Renin Angiotensin -Aldosterone System Blockers,
Penyakit Beta.
Kontrol gula darah,lipid
Untuk obat-obatan nirat, nitrogliserin, penyakit beta dan calcium channel blocker
dapat dilihat pada tabel 3, 4 dan 5.

KOMPLIKASI
Aritmia jantung, regurgitasi mitral, gagal jantung kongestif, perikarditis, emboli
paru, renjatan kardiogenik, stroke.

557
PanduanPraktikKlinis Kardioloqi
Perhimpunan Dokter Spesialls Penyakil Dalam Indonesia
^

Tabel 3. Terapi Nitrat dan Nitroglycerin2


Rut Dotls
Nitroglycerin
*
Tablet sublingual 0.3-0.6 mg sampai denganl .5 mg
Spray 0.4 mg sesuai kebutuhan
Salep 2% ( 15 x 15 cm)
7.5-40 mg
Transdermal 2x0.2-0.8 mg/ jam
Oral sustained release 2.5-13 mg
Intravena 5-200 mcg/menit
Isosorbide dinitrate Sublingual 2.5-10 mg
Oral 2-3x5-80 mg
Spray 1 x 1.25 mg
Tablet kunyah 5 mg
Oral slow release 1-2x40 mg
Intravena 1.25-5.0 mg/jam
Salep 1 x 100 mg
Isosorbide mononitrate Oral 2x20 mg atau lx 60-240 mg
Pentaerythritol tetranitrate Sublingual 10 mg sesuai kebutuhan

Tabel 4. Terapi Penyakit Beta2


Obat Dosls
Acebutolol 2x200-600 mg
Atenolol 50-200 mg/hari
Betaxolol 10-20 mg/ hari
Bisoprolol 2,5- 10 mg/hari
Esmolol (intravena) 50-300 mcg /kg /menit
Labetalol 2x200-600 mg
Metoprolol 2x50-200 mg
Nadolol 40-80 mg/hari
Nebivolol 5-40 mg /hari
Pindolol 3x2.5-7.5 mg
Propranolol 2x80-120 mg
Timolol 2x 10 mg

Tabel 5 . Terapi Antagonis kalsium2


Obat Dosls
Non Dlhydropyrldlnes
Diltiazem Immediate release : 4x30-80 mg
Slow release: 120-320 mg qd
Verapamil Immediate release: 80-160 mg tid
S/ow release : 120-480 mg qd

PROGNOSIS
Prognosis menggunakan bantuan tes Treadmill , akan didapatkan Dukes Treadmill
score seperti tercantum pada tabel 6.

m
Angina Pektoris Stabil

Tabel 6 . Duke Treadmill Score7


Interpretasl
Risiko Nilai Mortalitas dalam 1 tahun
Risiko rendah >5 <1%
Risiko sedang 4 sampai - 10 2-3%
Risiko tinggi -
S ll 5%
Keterangan :
Duke Treadmill Score = lama latihan (menit) - ( 5 x max ST deviasi ( mm) ) - ( 4 x indeks angina )
Indeks Angina = 0 : tidak ada angina
1 : angina non limiting
2 : limiting angina

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan :-
• RS non pendidikan : -

UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Departemen Penyakit dalam - Divisi Kardiovaskular
• RS non pendidikan : Departemen Penyakit dalam - Divisi Kardiovaskular

REFERENSI
1 . .
Rahman, A Muin Angina pektoris stabil. Dalam : Sudoyo, Aru W. Setyohadi, Bambang. Alwi,
Idrus. Simadibrata, Marcellus. Setiati, Siti. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam Edisi V Jakarta: Pusat .
Informasi dan Penerbitan Departemen llmu Penyakit Dalam FKUI-RSCM ; 2009. Halaman 1735-39.
2. Ischemic heart disease in adult. Dalam : Fauci A, Kasper D, Longo D, Braunwald E, Flauser S,
Jameson J, Loscalzo J, editors. Plarrison ' s principles of internal medicine. 18lh ed. United States of
America; The McGraw-Fiill Companies, 2011.
3. Diamond GA, Forrester JS. Analysis of Probability as an Aid in the Clinical Diagnosis of Coronary-
Artery Disease. N Engl J Med 1979; 300: 1350-8.
,
4 . .
Theroux, Pierre. Angina Pectoris Dalam : Ausiello. Goldman. Cecil Medicine 23 d edition. Saunders
: Philadhelphia. 2007.
5. .
Fraker, Theodore D 2007 Chronic Angina Focused Update of the ACC / APIA 2002 Guidelines for
the Practice Management of Patients With Chronic Stable Angina: A Report of the American
College of Cardiology / American Heart Association Task Force on Guidelines Writing Group to
Develop the Focused Update of the 2002 Guidelines for the Management of Patients With Chronic
Stable Angina. J. Am. Coll. Cardiol. 2007:50:2264- 2274; originally published online Nov 12, 2007
5. Harris, Ian S. Foster, Elyse. Congenital Heart Disease in Adults. Dalam : Crawford, Michael H.
Current Diagnosis & Treatment Cardiology 3rd Edition. The MacGraw Hills Companies. 2009 .
6. Warnes, Carole A. et al. ACC / AHA 2011 Guidelines forthe management of adults with congenital
.
heart disease : executive summary Circulation. 2008:118:2395-2451;originally published online
November 7, 2008 : doi : 10.1161 / CIRCULATIONAHA .108.190811.
7. Fox, Kim. Et all. Guidelines on the management of stable angina pectoris: full text{The Task Force on
the Management of Stable Angina Pectoris of the European Society of Cardiology. Diunduh dari
: http:// www.escardio.org/ guidelines-surveys / esc -guidelines / GuidelinesDocuments/ guidelines-
angina-FT.pdf . pada tanggal 10 juni 2012.

559
560

ANGINA PEKTORIS TIDAK STABIL/


NON ST ELEVATION MYOCARDIAL
INFARCTION ( APTS/ NSTEMI)

PENGERTIAN
Unstable angina ( UA] adalah angina pektoris setara dengan ischemic discomfort
dengan 1 diantara 3 kriteria : 1. Muncul saat istirahat (atau latihan ringan), biasanya
berlangsung > 10 menit, 2 . Gejala berat dan baru pertama kali timbul, dan atau 3.
Muncul dengan pola crescendo (lebih berat, panjang, dan sering daripada sebelumnya).
Diagnosis Non ST Elevation Myocardial Infarction ( NSTEMI ) ditegakkan jika pasien
dengan UA memiliki nekrosis miokard, yang terlihat pada peningkatan cardiomarkers.1

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis 1
• Nyeri dada : lokasi regio substernal atau kadangkala epigastrium, yang menjalar
ke leher, bahu kiri, dan atau tangan kiri
• Sesak napas, epigastric discomfort

Pemeriksaan Fisik1
Jika iskemi miokard luas, dapat ditemukan diaphoresis, pucat, kulit dingin, sinus
takikardi, bunyi jantung ketiga atau keempat, ronki basal paru, terkadang ditemukan
hipotensi.

Pemeriksaan Penunjang1
• EKG : depresi segmen ST, peningkatan transien segmen ST dan atau inversi
gelombang T -> tampak pada 30-50% pasien.
• Cardiac Biomarkers : CK-MB dan Troponin meningkat
• Stress testing
• CT angiography

PanduanPraktik Minis
Perhimpunan Dokter SpeslaRs Penyakll Dalam Indonesia
Angina Pektoris Tidak Stabil /Non ST Elevation
Myocardial Infarction ( APTS / NSTEMI)
Tabel 1 . Kemungkinan Sindrom Koroner Akut
2

Tlnggl Sedang Rendah


Anamnesis Nyeri dada atau lengan Nyeri dada atau lengan Gejala atipik (nyeri
angina riwayat kiri, usia > 70 tahun , laki- pleuritik , tajam, atau
kiri seperti ,
penyakit jantung koroner laki, diabetes posisional)
( termasuk infark miokard)
Pemerlksaan Hipotensi, diaphoresis , Penyakit arteri perifer atau Pain reproduce on palp
Flslk gagal jantung kongestif, penyakit serebrovaskular
regurgitasi mitral transient
EKG Depresi ST baru ( > lmm) , Gelombang Q lama, Gelombang T datar
inversi gelombang T pada deperesi ST ( 0,5-0, 9 mm ) , atau inversi gelombang
multipel lead inversi gelombang T T ( < 1 mm) dengan
(> lmm) gelombang R dominan
Blomarker Troponin atau CK-MB ( +) Normal Normal

Pendekatan untuk triage :


• Jika hasil anamnesis PF, EKG, dan biomarker tidak mengarah diagnosis, ulangi EKG
dam biomarker 12 jam kedepan.
• Jika tetap normal dan kemungkinan kecil sindrom koroner akut, cari penyebab
nyeri dada lain.
• Jika tetap normal dan nyeri hilang > singkirkan infark miokard,-
• Jika curiga sindrom koroner akut berdasarkan anamnesis PF, singkirkan NSTEMI
dengan tes treadmill . Jika risiko rendah ( usia > 70 tahun, tidak memiliki penyakit
jantung koroner, penyakit serebrovaskular, penyakit arteri perifer sebelumnya,
tidak ada sisa angina], pasien dapat dipulangkan dalam 72 jam. Jika tidak risiko
rendah -> rawat inap dan evaluasi iskemi (tes treadmill atau kateter)
• Jika EKG atau biomarker abnormal atau kemungkinan tinggi sindrom koroner
akut rapat inap dan terapi

Risiko Rendah Risiko Tlnggl


-
Troponin ( ), depresi ST ( *) , TIMI Risk Score 0-2, Troponin ( +) , depresi ST > 0,5mm, TIMI Risk
Score >3, curiga gagal jantung kongestif
gagal jantung kongestif (- )

1 1
Aspirin dan clopidogrel EF turun, PCI Aspirin, clopidogrel ( upstream atau saat PCI)
ENOX, fonda, atau unfractioned sebelum UFH, ENOX, atau bival (tergantung hasil kateter
heparin (UFH) CABG sebelumnya)

i
Strategl Konservatff
Iskemi
rekurent
+ GP lla /llb inhibitor ( GPI)

I
1
Tes treadmill ketika stabil dan
Strategl Invaslf

i
sebelum pulang ranap
+ GPI Angiografl

I
f t PCI dengan GP Inhibitor meski
Risiko Risiko tinggi CABG
Terapi bivalen : pertimbangkan
Treadmill score < 11

1
rendah

i
clopidogrel vs dopi

I
besar (terutama
i
Defek perfusi
anterior ) , defek perfusi
Terapi medikamentosa jangka panjang
Terapi
medikamentosa

Gambar 1. Algoritme Pendekatan NSTEMI


2

561
<r>
1B>
PandaanPraMIk Minis Kardiologi
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
^

DIAGNOSIS BANDING
ST elevation myocardial infarction (STEMI ).

TATALAKSANA 3
• Nitrat diberikan sublingual atau buccal spray [0,3- 0,6 mg). Jika telah diberikan
3 dosis dengan jeda 5 menit tetapi nyeri tetap ada, maka berikan nitroglycerin
intravena (5-10 g / menit), titer infus dapat dinaikkan 10 gram menit setiap 3-5
/
menit sampai gejala hilang atau tekanan darah sistol turun jadi < 100 mmHg.
Setelah 12 - 24 jam bebas nyeri, ganti nitroglycerin iv dengan oral / topikal.
• Beta Adrenergik Bloker : Metoprolol 4x 25-50 mg po . Jika diperlukan dan tidak
ada gagal jantung dapat dinaikkan bertahap 5 mg setiap 1- 2 menit.
• Atorvastatin 20 -80 mg
-
• Calcium channel blockers , verapamil atau diltiazem. Direkomendasikan untuk
pasien yang memiliki gejala persisten atau rekuren setelah terapi beta bloker
dan nitrat dosis penuh, atau pada pasien yang kontaindikasi ca channel blocker
• Angiotensin -Converting Enzyme (ACE) inhibitor
• Morfin ( bila diperlukan ) ; 2-5 mg IV dapat diulang setiap 5- 30 menit
• Antitrombotik
Tabel 1. Obat Antitrombotik pada NSTEMI
'
Antiplatelet oral
Aspirin Dosis awal 162-325 mg formula nonenterik lalu 75-162 mg / hari formula
enterik / nonenterik
Clopidogrel Loading dose 300-600 mg lalu 75 mg/hari
Prasugrel Pre-percutaneous coronary intervention ( PCI) : Loading dose 60 mg lalu
10 mg/ hari
Antiplatelet Intravena
Abciximab 0.25 mg/ kg bolus lalu infus 0.125 g / kg per menit ( maksimal 10 g /menit )
selama 12-24 jam
Eptifibatid 180 g/ kg bolus lalu infus 2.0 g /kg/ menit selama 72-96 jam
Tirofiban 0.4 g/kg/menit selama 30 menit lalu infuse 0,1 gram/kg selama 48-96 jam
Hepartns
Unfractionated Bolus 60-70 U /kg ( maksimal 5000 U) IV lalu infus 12-15 U /kg/ jam ( dosis
Heparin ( UFH ) maksimal awal 1000 U / jam) titrasi sampai PTT 50- 70 detik atau 1 ,5-2,5
kali kontrol
Enoxaparin 2x 1 mg /kg SC, dosis awal 30 mg iv bolus. Disesuaikan dengan kondisi
ginjal jika creatinin clearance < 30 cc /menit : 1 xl mg /kg
Fondaparinux 2.5 mg SC qd
Bivalirudin Dosis awal 0,1 mg/kg iv bolus, infuse 0,25 mg.kg/jam. Sebelum PCI, dapat
ditambahkan 0,5 mg/kg iv bolus dan infuse dinaikkan sampai 1,75 mg/kg/jam.

562
Angina Pektoris Tidak Stabil/Non ST Elevation
Myocardial Infarction ( APTS / NSTEMI)

PROGNOSIS

Prognosis NSTEMI berdasarkan TIMI Risk Score dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 2. Timi Risk Score /


Storing Kriteria Nllal Apllkasl
Timi Usia > 65 tahun Nilai Kematlan/ Infark mlokard/
score revaskularisasl segera
dalam 14 hari
>3 faktor risiko CAD I 0- 1 5%
Menggunakan ASA ( 7 hari terakhir) 1 2 8%
Diketahui CAD (stenosis > 50) 3 13%

> 1 episode angina saat istirahat 1 4 20%


dalam < 24 jam
Deviasi segmen ST 1 5 26%
Meningkatnya marker kardiak 1 6-7 41%

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Kardiovaskular
• RS non pendidikan : Bagian llmu Penyakit Dalam Divisi Kardiovaskular

UNIT TERKAIT
• RS pendidikan
• RS non pendidikan : -
REFERENSI
1 . Unstable Angina and Non ST Elevation Miocard Infark. Dalam : Fauci A, Kasper D, Longo D,
.
Braunwald E, Hauser S, Jameson J, Loscaizo J, editors Harrison' s principles of internal medicine.
18th ed. United States of America; The McGraw-Hill Companies, 2011 .
2. .
Anderson, Jeffrey L Et all. ACC / AHA 2007 Guidelines for the Management of Patients With Unstable
.
Angina / Non-ST-Elevation Myocardial Infarction Vol. 50, No. 7, 2007.
3. Wright, R. Scott. 2011 ACCF/ AHA Focused Update of the Guidelines for the Management of
Patients With Unstable Angina /Non-ST-Elevation Myocardial Infarction ( Updating the 2007
Guideline) . J Am Coll Cardiol, 2011; 57:1920- 1959, doi;10.1016/ j. jacc.2011.02.009.
4. Goncalves, Pedro de Araujo. Et all. TIMI, PURSUIT, and GRACE risk scores : sustained prognostic
value and interaction with revascularization in NSTE- ACS. European Heart Journal ( 2005 ) 26, 865-
872. Doi:10.1093 / euheartj/ehi187.

563
564

ST ELEVATION MYOCARDIAL
INFARCTION (STEMI)

PENGERTIAN
Menurut ACC/ AHA STEMI Guidelines 2004, STEMI adalah elevasi segmen ST > lmm
pada 2 lead berturut-turut (baik prekordial atau limb leads ). Progresifitas infark
miokard dibagi menjadi 1. akut (beberapa jam pertama- 7 hari), 2 . healing ( 7-28 hari),
dan 3. Sembuh ( 29 hari) . 1

DIAGNOSIS

Anamnesa
Nyeri visera seperti terbakar atau tertusuk, letaknya biasanya di dada tengah atau
epigastrium, biasanya terjadi pada saat istirahat, terkadang menjalar ke lengan, dapat
juga ke perut, punggung, rahang bawah, dan leher, nyeri dibarengi dengan lemah,
nausea, keringat, muntah, ansietas.1

Pemeriksaan Fisik
Pucat, eketremitas teraba dingin, dapat ditemukan takikardi dan atau hipertensi
( pada anterior infark), bradikardi dan atau hipotensi ( posterior infarc ) . Terdapat
bunyi jantung III dan IV, penurunan intensitas bunyi jantung, paradoxical splitting
pada bunnyi jantung II, dapat juga ditemukan transient midsystolic atau late systolic
apical systolic murmur karena disfungsi katup mitral. Pericardial friction rub dapat
ditemukan pada transmural STEMI. Pulsasi karotis seringkali menurun dalam volume. 1

Laboratorium 1
1. EKG : elevasi segmen ST dengan gelombang Q

Panduan Praktfk Klinis


Perhimpunan Dokter Spesialls Penyokil Dalam Indonesia
ST Elevation Myocardial Infarction (STEMI)

Tabel 1. Lokasi Infark Mlokard2


Lead EKG dengan
Area anatoml Alter) koroner
elevasl segmen ST
Septal v , -v 2 Proksimal left anterior descending coronary artery
(LAD)
Anterior v3-v, LAD
Apikal v 5-v 6 Distal LAD, Left coronary circumflex artery ( LCx), atau
right coronary artery ( RCA)
Lateral I, aVL LCx
Inferior II, III, aVF -
RCA ( 85%), LCx ( 15%)-
Ventrikel kanan VrV2 & V4R Proksimal RCA
Posterior ,
Depresi ST V -V 2 RCA atau LCx

2 . Serum Cardiac Biomarkers. -


• Cardiac - specific troponin T (cTnT) and cardiac- specific troponin I (cTnl )
meningkat > 20 kali dari nilai normal tertinggi dan bertahan 7 -10 hari setelah
STEMI .

45

40

35

30
£
25
ra
20
S<
2 15
o
10
5 •

0
0 10 24
Waktu setelah onset nyeri dada
Keterangan: > = GPBB, o = mioglobin, = Troponin T, segitiga penuh: CKMB

Gambar 1 . Diagram Perbandingan Konsentrasi


Cardiacmarker .‘

3 . Pencitraan jantung
• Ekokardiografi : infark ventrikel kanan, aneurisma ventrikel, efusi perikardial ,
dan trombus ventrikel kiri. Doppler ekokardiografi untuk deteksi dan kuantitas
defek septum ventrikel dan regurgutasi mitral .
• Cardiac MRI

565
frl randuanPraklik Mills Kardioloqi
Perhimpunan Dokler Speslalis PenyaWI Dolam Indonesia

DIAGNOSIS BANDING
Unstable angina, Non ST Elevation Myocardial Infarction, gambaran EKG elevasi
segmen ST: perikarditis dengan miokard infark, kor pulmonal akut, kontusio miokard,
dressier's syndrome.

TATALAKSANA
Pada ruang emergensi
1. Aspirin: 160-325- mg tablet buccal, lanjutkan 75-162 mg / hari.1
2. Jika hipoksemia, berikan suplementasi 02 2-41/ menit selama 6 -12 jam
3. Kontrol ketidaknyamanan
• Nitrogliserin sublingual 3x0,4 mg dengan jeda 5 menit. Bila gejala tidak hilang,
berikan nitrogliserin intravena.
• Morfin 2 - 4 mg intravena, dapat diulang sampai 3 kali dengan jeda 5 menit.
• Betabiocker iv: Metoprolol 5 mg. 2-5 menit sebanyak 3 kali.15 menit setelah dosis
ke- 3, berikan 4x50 mgp.o selama 2 hari, lalu 2xl00mg. atenolol: 2,5-5 mg selama
2 menit, total 10 mg selama 10 -15 menit. bisoprolol lx 2,5-10 mg. Percutaneous
Coronary Intervention ( PCI): jika diagnosis meragukan, kontraindikasi terapi
fibrinolisis, ada renjatan kardiogenik, risiko perdarahan meningkat, atau gejala
tidak tertangani dalam 2 - 3 jam.
4. Terapi revaskularisasi
• Jika tidak tersedia sarana Intervensi Koroner Perkutan ( IKP) atau tidak
mungkin mengerjakan IKP primer < 2 jam
a. Terapi Fibrinolisis 5
• Waktu pemberian: efektifitas menurun dengan lamanya waktu, terutama
bila > 3 jam setelah onset
• Indikasi : serangan < 12 jam, elevasi segmen ST > 0,1 mV ( > lmm ) dalam 2
lead berturut -turut atau adanya Left Bundle Branch Block ( LBBB)
• Kontraindikasi :
Absolut: neoplasma intrakranial, aneurisma, malformasi arteri vena,
strok non hemoragik atau trauma kepala tertutup dalam 3 bulan terakhir,
perdarahan internal aktif atau adanya perdarahan diastesis, curiga
diseksi aorta
Relatif: hipertensi berat dengan tekanan darah sistol > 180 atau diastol
> 110 mmHg, strok iskemik, resusitasi kardiopulmonal yang lama > 10
menit, trauma atau operasi besar dalam 3 minggu terakhir, perdarahan
interna dalam 2 -4 minggu terakhir, noncompressible vascular puncture,
kehamilan, menggunakan antikoagulan.

566
ST Elevation Myocardial Infarction (STEMI)

• Tissue Plasminogen Activator (tPA): 15 mg bolus iv , lanjutkan 50 mg selama


30 menit, lalu 35 mg selama 60 menit
• Streptokinase: 1,5 juta unit iv selama 1 jam
• Tenecteplase (TNK): 0,53 mg/ kg iv bolus
• Reteplase (rPA) : 2 x10 juta unit bolus dalam 2-3 menit, jeda 30 menit antara
dosis pertama dan kedua.
b. Intervensi Koroner Perkutan (IKP): jika tersedia sarana ikp dan ikp bisa
dikerjakan < 2 jam. jika tidak bisa berikan fibrinolitik
5. Tienopiridin 2
• Clopidogrel 300-600 mg
• Prasugrel 60 mg
6. Glycoprotein Ilb/ lIIa Inhibitors ( GP Ilb/ IIIa inhibitors ) : bekerja menghambat
agregasi trombosit.2
7. ACE Inhibitor untuk hipertensi, akut miokard infark anterior, atau disfungsi
ventrikel kiri: captopril 3x6,25 mg, mulai dalam waktu 24 jam atau ketika stabil
(tekanan darah sistolik > 100 mmHg).3
8. Lipid -lowering agent ( jika LDL > 70-100 mg/ dL, total cholesterol > 135 mg/ dL) :
Atorvastatin 10 -80 mg/ hari, rosuvastatin 20-40 mg/ hari.4

KOMPLIKASI
Disfungsi ventrikel, hipovolemia, gagal jantung kongestif , renjatan kardiogenik,
infark ventrikel kanan, aritmia, ventrikel takikardi dan fibrilasi.1

PROGNOSIS
Terapi jangka panjang dengan antiplatelet agent (biasanya aspirin) mengurangi
angka kekambuhan STEMI sebesar 25%.1

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Kardiovaskular
• RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Departemen Rehabilitasi Medik
• RS non pendidikan: Departemen Rehabilitasi Medik

567
frl
Vljp
Pa»duanPraWlk Klinls Kardiologi
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia

Diagnosis STEMI*

Rumah Sakit Rumah Sakit


dengan fasilitas IKP tanpa fasilitas IKP

IKP bisa dilaksanakan


Lebih baik
<60 menit <120 menit

*
Segera kirim ke RS
dengan fasilitas PCI
IKP Primer < Va Tidak
Lebih baik
< 90menit
Rescue PCI Lebih baik
<30menit
Segera
Segera kirim
ke RS dengan
Tidak Fibrinolisis fasilitas PCI Fibrinolisis
+

sukses ^ segera
Ya
Lebih baik
3-24jam

Anglografl koroner
*The time point the diagnosis incomfirmed with patient
history and ECG ideally within 10 min from the first medical contact(FMC)
All delay are related to FMC (first medical contact)

FMC = first medical contact, IKP = Intervensi Koroner Perkutan, STEMI = ST Segment Elevation Myocardial Infarction

Algoritme Tatalaksana STEMI

REFERENSI
1. ST Elevation Miocard Infark. Dalam: Fauci A, Kasper D, Longo D, Braunwald E, Hauser S, Jameson
J, Loscalzo J, editors. Harrison ' s principles of internal medicine. I8lh ed. United States of America:
The McGraw-Hill Companies, 2011.
2. Boyle, Andrew J. Jaffe, Allan S. Acute Myocardial Infarction. Dalam: Crawford, Michael H Current .
Diagnosis & Treatment Cardiology 3rd Edition. The MacGraw Hills Companies. 2009.
3. Jois, Preeti. NSTEMI and STEMI Therapeutic Updates 2011. Emergency Medicine Reports / Volume
32, Number 1 / January 1 , 2011 .
4. Anderson, Jeffrey L. ST Segment Elevation Acute Myocardial Infarction and Complications
of Myocardial Infarction. Dalam: Ausiello. Goldman. Cecil Medicine 23,d edition. Saunders:
Philadhelphia. 2007 .
5. Wright, R Scott. 2011 ACCF/AHA Focused Update of the Guidelines for the Management of Patients
With Unstable Angina / Non-ST-Elevation Myocardial Infarction ( Updating the 2007 Guideline) .
6. http:// en.wikipedia.0rg/ wiki/ File:CardiacMarkerC0mparis0n.JPG

568
569

PENYAKIT JANTUNG KORONER

PENGERTIAN
Penyakit jantung koroner (PJK) adalah penyempitan atau blokade arteri yang
mensuplai oksigen dan nutrisi ke jantung. Penyempitan itu dapat disebabkan
ateroskeloris yaitu akumulasi zatlemakpada bagian dalam arteri yang menyebabkan
keterbatasan aliran darah ke jantung.1

Faktor risiko PJK:


1. Yang tidak dapat dimodifikasi: usia, riwayat keluarga, riwayat penyakit jantung
koroner sebelumnya, jenis kelamin (laki-laki)
2. Yang dapat dimodifikasi: merokok, obesitas, dislipidemia, hipertensi, diabetes
mellitus.

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis
Nyeri dada, napas pendek, letih, lemah, berkurangnya kapasitas aktivitas, palpitasi,
kaki bengkak, berat badan turun, gejala yang berkaitan dengan faktor risiko seperti
DM dan hipertensi.3

Pemeriksaan Fisik
Dapat ditemukan hipo / hipertensi, S4/S3 gallop, murmur, edema tungkai, dan
pemeriksaan fisik lain yang berkaitan dengan faktor risiko.3

Pemeriksaan Penunjang
• Darah: Darah lengkap, profil lipid, hemoglobinAlc, gula darah
• Elektrokardiografi : inversi gelombang T pada lead aVL
• Stress testing
• Ekokardiografi
• Arteriografi jika ditemukan hasil tes risiko tinggi yaitu pada Tes Treadmill

PanduanPrakdk Minis
Pertiimpunan Dokter Spesiafis Penyakit Dalam Indonesia
/rS P»ndu n PrakUk Minis Kardiologi
vaW ? W
.
*
Perhlmpunan DoklerSpesialis Penyakil Dalam Indonesia

ditemukan depresi ST > 2 mm atau > 1 mm pada stage 1 atau di > 5 lead atau
recovery > 5 menit , menurunnya tekanan darah, angina selama latihan, duke score
< -11, serta fraksi ejeksi < 35%.

DIAGNOSIS BANDING
Penyakit jantunghipertensi, angina pektoris stabil dan tidakstabil, infarkmiokard.
Gambaran EKG T inverted: miokarditis, kardiomiopati.

TATALAKSANA4
Tujuan terapi: tekanan darah < 140 /90 mmHg, HbAlc < 7%, kolesterol LDL <_100
mg/ dL (< 70 mg/ dL pada pasien dengan DM).
Non farmakologis : stop rokok, olahraga 30-60 menit/ hari, kurangi berat badan
( BMI 21-25 kg/ m 2)
• Hipertensi: ACE inhibitor, beta blocker, calcium channel blocker, diuretik
• Aspirin 81-162 mg/ hari, clopidogrel 75 mg/ hari, prasugrel
• Nitrat
• Hiperkolesterolemia : statin

KOMPLIKASI
Strok, infark miokard, aritmia.

PROGNOSIS
Prognosis tergantung beratnya penyakit.

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Kardiovaskular
• RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS pendidikan
• RS non pendidikan : -

REFERENSI
1. Coronary artery disease definition. Diunduh dari : http:/ /medical-dictionary.thefreedictionary.
com/ coronary+artery+disease pada tanggal 10 juni 2012.
2. Crawford, MH. Chronic Ischemic Heart Disease. Dalam : Crawford, Michael H. Current Diagnosis
& Treatment Cardiology 3,d Edition. The MacGraw Hills Companies. 2009.

570
Penyakit Jantung Koroner

3. .
Ischemic heart disease in adult Dalam : Fauci A, Kasper D, Longo D, Braunwald E, Hauser S,
.
Jameson J, Loscalzo J, editors Harrison' s principles of internal medicine. 18lh ed. United States of
America; The McGraw-Hill Companies, 2011 .
4. The UCLA Comprehensive AtherosclerosisTreatment Program Clinical Practice Guideline. Diunduh
. .
dari : www.med ucla edu/ champ / CHAMP05b.pdf pada tanggal 10 juni 2012
5. Cardiovascular Disease (ASCVD) Prevention, Screening, and Treatment Guideline. Diunduh dari
.
; http://www.ghc.org/all-sites/guidelines/ascvd pdfpada tanggal 10 juni 2012 .

571
572

BRADIARITMA

PENGERTIAN
Bradikardia adalah laju denyut jantung kurang dari 60 kali/ menit. Pada orangyang
sering berolahraga, laju denyut jantung 50 kali / menit saat terjaga dapat merupakan
hal yang normal. Sinus bradikardia yang penting secara klinis umumnya didefinisikan
sebagai laju denyut jantung kurang dari 45 kali / menit yang menetap saat terjaga.
Disfungsi nodus sinus / sinus node dysfunction (SND), atau lebih dikenal dengan sick
sinus syndrome (SSS), dapat juga merupakan manifestasi dari kegagalan akselerasi
laju sinus (kurangnya respons kronotropik) dalam situasi seperti olahraga, gagal
jantung, demam, obat simpatomimetik, atau parasimpatolitik. Sangat penting untuk
menentukan bahwa SND termasuk sinus bradikardia pada seorang individu bukanlah
-
akibat sekunder dari obat kardioaktif seperti fi blockers atau calcium-channel blockers
non dihydropyridine.1 Klasifikasi bradiaritmia secara umum dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Klasifikasi Bradikardia 1
Disfungsi nodus sinus / sinus node dysfunction (SND)
• Sinus bradikardia <45 kali/menit
• Sinoatrial exit block (SA block ) : derajat satu, derajat dua, derajat tiga
• Sinus arrest
• Bradycardia-tachycardia syndrome
Blok atrioventrlkular (AV block)
• Derajat satu
• Derajat dua : Mobitz tipe I ( fenomena Weckenbach), Mobitz tipe II, derajat lebih tinggi
(contoh 2:1, 3:1)
• Derajat tiga (blok total) : atrioventricular node, sistem His-Purkinje

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis1 2
• Gejala bradikardia: pusing, lelah, exertional dyspnea, perburukan gagal jantung,
lightheadedness ( presinkop], atau pingsan / sinkop
• Sindrom nervus vagus: episode vasovagal, muntah, bedah abdomen, prosedur
invasif saluran cerna atas dan bawah

PanduanPraktik Klinis
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyaklf Dalam Indonesia

Bradiaritma

Penyakit komoabid : penyakit jantung koroner, iskemik atau infark miokard,


||
^
tumor intrakranial , tumor servikal dan mediastinum , peningkatan tekanan
intrakranial, hipoksia berat, myxedema, hipotermia, perubahan fibrodegeneratif,
fase konvalesens dari infeksi tertentu, depresi mental, sepsis gram negatif
• Riwayat konsumsi obat digitalis, antiaritmia
• Riwayat penyakit infeksi (mis. Penyakit Chagas, meningitis)
• Pasca bedah jantung dengan trauma pada sinus node
• Riwayat operasi mata, arteriografi koroner

Pemeriksaan Fisik1 2
• Tekanan darah, nadi: dapat ditemukan bradikardia, takikardia (pada bradycardia-
tachycardia syndrome).
• Stimulasi sinus karotis: masase karotis dilakukan saat pasien supine dan nyaman,
dengan kepala menengok ke arah yang berlawanan dengan sisi yang distimulasi.
Auskultasi bruit karotis perlahan-lahan sebelum dilakukan masase karena dapat
terjadi emboli akibat masase. Palpasi sinus karotis pada bifurkasio arteri dengan 2
jari, pada sudut rahang sampai pulsasi yang bagus teraba. Dengan tekanan minimal
dapat menginduksi reaksi hipersensitivitas pada individu yang terkena. Apabila
tidak ada efek inisial, gerakan jari memutar atau sisi-demi-sisi ( side - by-side ) di
atas bifurkasio arteri dilakukan selama 5 detik. Respons negatif adalah kurangnya
efek pada EKG setelah penekanan adekuat selama 5 detik yang menyebabkan rasa
tidak nyaman yang ringan (tidak ada penurunan laju denyut nadi s 20 %) . Karena
respons masase dapat berbeda pada kedua sisi, maneuver ini dapat dilakukan pada
sisi kontralateral, akan tetapi kedua sisi tidak boleh dirangsang secara bersamaan.
• Temuan fisik lain sugestif penyakit struktural jantung.

Pemeriksaan Penunjang’ 3
• EKG 12 sadapan. Interpretasi EKG dapat dilihat pada tabel 2.
• Ambulatory monitoring, Holter monitors (lebih lengkap lihat pada bab prosedur
Hotter Monitoring ), event monitors, implantable loop recorders
• Tilt table testing : untuk menyingkirkan diagnosis sinkop neurokardiogenik
• Sulphate Atropine test
• Studi elektrofisiologis
• Ekokardiografi
• Exercise testing

573
| ,\
f PanduanPraktik Minis Kardiologi
-
By 1
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakit Dalam Indonesia w

Tabel 2 . Interpretasi EKG pada bradiaritmia 13


SND
Sinus bradikardia Laju denyut nadi <60 kali/menit, hilangnya aktivitas
sinus mendadak ( gelombang P tidak ada ) , kontur
gelombang P normal dan terjadi sebelum kompleks QRS,
biasanya dengan interval PR konstan >120 milidetik (ms) .
Terkadang bersamaan dengan sinus aritmia.
SA block derajat II tipe I Interval PP memendek secara progresif setelah jeda /
pause , dan siklus berulang.
SA block derajat II tipe II Gelombang P menghilang tiba-tiba, dan jeda sepanjang
kelipatan interval PP
SA block derajat III Gelombang P sinus menghilang seluruhnya
Sinus arrest Jeda gelombang P yang hilang bukan merupakan
kelipatan dari interval PP
Bradycardia-tachycardia syndrome Sinus bradikardia dan atrial takiaritmia muncul
bergantian ( alternating ) . Dapat juga muncul atrial
takikardia, atrial flutter , fibrilasi atrial
Blok atrloventrikular ( AV block )
Derajat satu Interval PR >200 ms, semua impuls atrium terkonduksi ( 1 : 1 )
Derajat dua Mobitz tipe I TPR progresif hingga tidak ada konduksi impuls
( ‘‘ grouped beating" ) , tinterval RR, durasi jeda <2x yang
mendahului interval RR
Derajat dua Mobitz tipe II Blok impuls sesekali atau berulang dengan interval PR
konsisten
Derajat III ( blok total) Tidak ada konduksi AV

DIAGNOSIS BANDING
Sinus bradikardia fungsional , peningkatan rangsang vagal, kondisi gastrointestinal
dan neurologis, sinkop neurokardiogenik, hipersensitivitas sinus karotis ( carotid sinus
syndrome/ collar syndrome , inflamasi ( perikarditis, miokarditis, penyakit jantung
reumatik, penyakit Lyme ) , iatrogenik, pasca operasi, penyakit jantung kongenital,
penyakit infeksi.134

TATALAKSANA
• Apabila tanpa gejala (asimptomatik] terapi tidak diperlukan1
• Manajemen SND dan blok AV derajat II dan III : atropine 1 mg IV atau isoproterenol
1- 2 pg / menit infusan, pacu jantung sementara mungkin dibutuhkan1
• Sinus bradikardia : apabila curah jantung tidak cukup atau bila aritmia berkaitan
dengan laju denyut jantung pelan, berikan atropine 0,5 mg IV sebagai dosis inisial,
dapat diulang bila perlu . Pada episode sinus bradikardia simtomatikyang lebih dari
sesaat atau rekuren (mis. saat infark miokard], pacu jantung sementara melalui
elektroda transvena lebih disukai daripada terapi obat yang lama atau berulang.
Pada sinus bradikardia kronis, pacu jantung permanen mungkin dibutuhkan bila
ada gejala 2

574
Bradiaritma !'

• Sinus aritmia: terapi biasanya tidak diperlukan. Meningkatkan laju denyut jantung
dengan olahraga atau obat- obatan umumnya menghilangkan sinus aritmia. Pada
pasien simtomatik, palpitasi dapat reda dengan sedatif / penenang, sedangkan
2
atropin, efedrin, atau isoproterenol untuk terapi sinus bradikardia
• BlokAV: pacu jantung buatan sementara atau permanen. Eksklusi penyebabblok
AV reversibel berdasarkan kondisi hemodinamik pasien . Terapi farmakologis
adjuvan seperti atropin atau isoproterenol mungkin dibutuhkan bila blok berada
di AV node. Pacu jantung transkutaneus sangat efektif pada serangan akut, namun
durasi pemakaian sangat tergantung dari kenyamanan pasien dan kegagalan
menangkap ventrikel pada penggunaan jangka panjang. Bila pasien memerlukan
dukungan pacu jantung lebih dari beberapa menit -> gunakan pacu jantung
transvena. Sadapan pacu jantung sementara dapat diletakkan pada sistem vena
jugularis atau subklavia dan diteruskan ke ventrikel kanan. Pada kebanyakan kasus
-
blok AV node distal tanpa adanya resolusi > pacu jantung permanen. Rekomendasi
3

implantasi pacemaker pada disfungsi SA node dapat dilihat pada tabel 3.

BRADIARITMIA PADA US 1 A LANJUT


SND paling sering terjadi pada dekade ketujuh atau kedelapan kehidupan akibat
penuaan dari sinus node.Chronotropic incompetence (Cl] merupakan suatu kegagalan
peningkatan laju denyut jantung saat olahraga .3 Diagnosis Cl dapat dipertimbangkan
pada pasien yang memiliki keluhan lelah atau dispneu saat berolahraga tanpa laju
denyut jantung meningkat menjadi >100x / menit (atau lebih tinggi pada pasien usia
muda). Selanjutnya dilakukan pemeriksaan formal menggunakan standar Protokol
Bruce, modifikasi Protokol Bruce atau Protokol Naughton. Penegakan diagnosis Cl
didefinisikan sebagai ketidakmampuan jantung untuk mencapai 85% laju denyut
jantung maksimal yang diprediksi sesuai umur dan jenis kelamin pada dosis maksimum
dobutamin ( 40 pg / kg / menit) yang digunakan pada studi dobutamine stress test.
5

Tabel 3. Rekomendasi Implantasi Pacemaker pada Disfungsi SA Node


3

Kelas I
1 . Disfungsi SA node dengan bradikardia simptomatik atau jeda sinus ( sinus pauses )
2. Disfungsi SA node simtomatik sebagai akibat dari terapi obat esensial jangka panjang tanpa
alternatif yang dapat diterima
3. Simptomatik chronotropic incompetence
4. Fibrilasi atrial dengan bradikardia dan jeda > 5 detik
Kelas lla
1. Disfungsi SA node dengan laju denyut jantung <40 x/menit tanpa hubungan yang jelas dan
konsisten antara bradikardia dan gejala
2. Disfungsi SA node dengan laju denyut jantung <40 x /menit akibat dari terapi obat esensial
jangka panjang tanpa alternatif yang dapat diterima, tanpa hubungan yang jelas dan
konsisten antara bradikardia dan gejala

575
HI
t ry
Panil«a» Praktik Minis Kardiologi
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
^

3. Sinkop tanpa sebab yang diketahui saat abnomalitas disfungsi SA node diketahui atau
diprovokasi oleh pemeriksaan elektrofisiologis
Kelas lib
1 . Pasien simtomatik ringan dengan laju denyut jantung <40 x/menit saat terjaga
Kelas III
1 . Disfungsi SA node pada pasien simptomatik, meskipun laju denyut jantung <40 x/menit
2. Disfungsi SA node pada gejala sugestif bradikardia yang tidak berhubungan dengan laju
denyut jantung lambat
3. Disfungsi SA node pada bradikardia simtomatik akibat terapi obat non-esensial
Keterangan :
Kelas I : keuntungan jauh melebihi risiko prosedur dan prosedur dinilai efektif sebagai terapi
Kelas lla : keuntungan melebihi risiko proisedur dan prosedur kemungkinan besar efektif sebagai terapi
Kelas lib : keuntungan mungkin melebihi bihi risiko prosedur dan kegunaan prosedur sebagai terapi tidak tentu efektif
Kelas III : risiko mungkin melebihi keuntungan prosedur dan prosedur tidak direkomendasikan untuk dikerjakan

KOMPLIKASI
Pacemaker syndrome, takikardia terkait pacu jantung.3

PROGNOSIS
Beberapa penelitian6 7 mengevaluasi morbiditas dan mortalitas pasien dengan SSS
yang menggunakan berbagai mode pacu jantung. Bila dibandingkan dengan pacu ventrikel,
pacu atrium berkaitan dengan insidens komplikasi tromboemboli, atrial fibrilasi, gagal
jantung, mortalitas kardiovaskular, dan morbiditas total lebih rendah.8,9 Pasien dengan
SSS dengan gejala sinus bradikardia saja, memiliki prognosis yang lebih baik.4

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Departemen llmu Penyakit Dalam - Divisi Kardiovaskular
• RS non pendidikan : Bagian llmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS pendidikan
• RS non pendidikan

REFERENSI
1 . AkhtarM. Cardiac Arrythmias with Supraventricular Origin. In: Goldman, Ausiello. Cecil Medicine.
23rd Edition. Philadelphia. Saunders, Elsevier. 2008 .
2. Olgin J. Specific Arrhythmias: Diagnosis and Treatment . In : Libby P, Bonow RO, Mann DL, Zipes
DP. Braunwald' s Heart Disease. 9 th Edition. Philadelphia. Saunders, Elsevier. 2012.
3. Spragg D. The Bradyarrythmias. In: Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo
J. Harrison’ s Principles of Internal Medicine. 18th Edition. New York, McGraw-Hill. 2012.
4. Adan V , Crown L . Diagnosis and Treatment of Sick Sinus Syndrome . Am Fam
Physician. 2003 Apr 15;67 ( 8) :1725-1732 .

576
Bradiaritma

5. Elhendy A, Domburg RT, Bax JJ, et al. The functional significance of chronotropic incompetence
during dobutamine stress test. Heart 1999;81:398-403
6. Lamas GA, Lee K, Sweeney M, Leon A, Yee R, Ellenbogen K, et al. The mode selection trial
(MOST) in sinus node dysfunction; design, rationale, and baseline characteristics of the first 1000
patients. Am Heart J. 2000;140:541-51 .
7. . .
Tang CY Kerr CR, Connolly SJ. Clinical trials of pacing mode selection. Cardiol Clin 2000;18:1-23.
8. .
Mangrum JM, DiMarco JP The evaluation and management of bradycardia. N Engl J
Med. 2000;342:703-9.
9. Andersen HR, Nielsen JC, Thomsen PE, Thuesen L, Mortensen PT, Vesterlund T, et al. Long-
term follow-up of patients from a randomised trial of atrial versus ventricular pacing for sick-sinus
syndrome. Lancet. 1997;350:1210-6.

577
578

TAKIARITMIA

PENGERTIAN
Sinus takikardia didefinisikan sebagai peningkatan laju denyut sinus >100x / menit
sebagai respons stimulus fisiologis sesuai ( mis. olahraga) atau stimulus berlebihan
( mis. hipertiroidisme). Kegagalan mekanisme yang mengatur laju denyut sinus dapat
menyebabkan sinus takikardia yang tidak sesuai. Penyebabnya antara lain pireksia,
hipovolemia, atau anemia, yang dapat berasal dari infeksi. Obat-obatan yang dapat
menginduksi sinus takikardia termasuk stimulan (kafein, alkohol, nikotin); komponen
yang diresepkan (salbutamol, aminofilin, atropine, katekolamin); terapi antikanker
(doxorubicin / adriamycin, daunorubicin); dan beberapa obat rekreasional/ ilisit
(amfetamin, kokain, kanabis, "ecstasy" ) .1
Istilah takiaritmia umumnya merujuk pada bentuk takikardia berkelanjutan
(sustained) atau tidak ( nonsustained' ), yang berasal dari fokus miokardial atau sirkuit
reentrant.2 Takiaritmia supraventrikular dapat terjadi tunggal atau sebagai kompleks
prematur berturut-turut atau dalam bentuktakikardia sustained atau nonsustained. Defmisi
nonsustained tachycardia adalah suatu aritmia dengan laju denyut jantung >100x/menit
yang berlangsung > 3x namun bertahan <30 detik. Sustained tachycardia adalah episode
pemanjangan takikardia yang berlangsung sedikitnya 30 detik atau diterminasi lebih awal
dengan intervensi, seperti obat-obatan intravena, overdrive pacing , atau direct current
electrical cardioversion karena situasi yang mendesak (urgent).2
Penting untuk membedakan takikardia ventrikular (VT) dari SVT dengan konduksi
intraventrikular abberant karena (a) VT umumnya lebih berat ( meskipun SVT dapat
juga mencetuskan iskemia akut atau gagal jantung), dan (b) terapi lini pertama SVT
-
seperti 0 blocker dan calcium - channel blocker (CCB) dapat mencetuskan kolaps
hemodinamik pada pasien VT. SVT pada pasien dengan bundle branch block ( BBB)
dapat diidentifikasi dengan ketidaksesuaian QRS pada sadapan dada ( kompleks
positif predominan pada V1-V 2 hanya dengan right bundle branch block ( RBBB), dan
left bundle branch block (LBBB) hanya pada V 5-V6. Sementara takikardia pacemaker -
dependent diidentifikasi berdasarkan pacemaker spikes dan adanya generator
pacemaker pada pemeriksaan klinis dan radiologis.4

nduan Praktik Klinis


Perhlmpunan Dokler Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
Takiaritmia

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis13'5'4
• Palpitasi, melambatnya nadi atau pusing akibat denyut prematur, dengan
takiaritmia cepat dapat terjadi gangguan hemodinamik seperti pusing atau pingsan
akibat penurunan curah jantung atau sulit bernapas.
• Terkadang dapat terjadi rasa tidak nyaman pada dada yang menyerupai gejala
iskemi miokard.
• Kegagalan hemodinamik dengan berkembangnya fibrilasi ventrikel dapat
menyebabkan kematian mendadak / sudden cardiac death (SCD).
• Kondisi jantung komorbid umumnya menentukan derajat keparahan gejala pada
laju jantung tertentu.
• Riwayat penyakit komorbid seperti hipertiroidisme.
• Perlu juga ditanyakan riwayat konsumsi obat-obatan stimulan (kafein, alkohol,
nikotin ) ; komponen yang diresepkan (salbutamol, aminofilin , atropine,
katekolamin); terapi antikanker (doxorubicin /Adriamycin, daunorubicin); dan
obat adiktif (amfetamin, kokain, kanabis, "ecstasy" )

Pemeriksaan Fisik35 4
• Maneuver fisik saat takikardia : maneuver Valsava atau masase sinus karotis
dapat menyebabkan peningkatan tonus vagal sementara; takiaritmia yang
bergantung pada nodus AV untuk kontinuasi dapat berhenti atau melambat
dengan maneuver ini, namun dapat juga tidak ada perubahan. Takikardia atrium
fokal sesekali berhenti karena respons stimulasi vagal, begitu juga takikardi
ventrikel yang jarang. Takikardia sinus sedikit melambat mengikuti stimulasi
vagal, dan kembali ke laju semula langsung setelahnya; respon ventrikel saat
fluter dan fibrilasi atrium dan takikardia atrium lainnya dapat menurun dengan
jelas. Selama takikardia QRS lebar 1:1 hubungan antara gelombang P dengan
kompleks QRS, pengaruh vagal dapat menggentikan atau memperlambat takikardia
supraventrikular (SVT) yang tergantung pada nodus AV; sebaliknya efek vagal
pada nodus AV dapat memblok konduksi retrograd sementara dan menegakkan
diagnosis VT yang menunjukkan disosiasi AV. Efek dari maneuver ini hanya
bertahan beberapa detik; sehingga pemantauan adanya perubahan pada EKG saat
maneuver ini dilakukan seringkali tidak dianggap
• Stimulasi sinus karotis (lebih lengkap lihat pada bab Bradiaritmia )
• Temuan fisik sugestif penyakit struktural jantung (lebih lengkap lihat pada
bab Bradiaritmia]

579
<fj>
> M!
PanduanPraktlli minis Kardiologi
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakif Dolam Indonesia

Pemeriksaan Penunjang2 3 5
• Laboratorium (sesuai indikasi) : tes fungsi tiroid, elektrolit, urinalisis untuk obat ilisit
• EKG 12 sadapan untuk mengkonfirmasi aritmia . Hasil ritme sinus harus dinilai
secara hati- hati pada pasien tanpa penyakit jantung struktural untuk bukti adanya
elevasi segmen ST pada Vt dan V 2 yang konsisten dengan Brugada syndrome ,
perubahan interval QT yang konsisten dengan long or short QT syndromes, atau
interval PR pendek dan gelombang delta yang konsisten dengan Wolff - Parkinson -
White ( WPW) syndrome. Pola EKG ini mengidentifikasi kemungkinan substrat
aritmogenikyang dapatmengancam nyawa dan membutuhkan evaluasi dan terapi
lebih lanjut. Interpretasi EKG pada SVT dapat dilihat pada tabel 1.
• Holter monitoring selama 24 jam sebaiknya dipertimbangkan pada pasien dengan
gejala harian, event monitor ( King of Hearts) apabila gejala mingguan
• Rawat inap dan pemeriksaan elektrofisiologis pada pasien dengan penyakit jantung
struktural dan sinkop yang dicurigai takikardia ventrikel dengan pertimbangan
kuat alat implantable cardioverter/ defibrillator ( ICD' ).
• Penilaian ukuran dan fungsi ventrikel kiri dan kanan dengan ekokardiografi pada
pasien takikardia ventrikel.

Tabel 1 . Interpretasi EKG pada Takikardia Supraventrikular3


Regularltas R - R Morfologl gelombang P
Takikardia atrium
Takikardia sinus Regular Positif di II, III, aVF
Sinus node re-entry Regular Positif di II, III, aVF
Takikardia atrium, unifokal Regular P berbeda dari sinus
Takikardia atrium, multifokal Iregular P berbeda 3
Fluter atrium, common , Regular, iregular bila Gelombang fluter sawtooth ; bentuk
counterclockwise blok AV variabel .
gelombang regular; negatif di II Ill, aVF
Fluter atrium, uncommon , Regular, iregular bila Gelombang fluter upright ; positif di II, III, aVF
clockwise blok AV variabel
Fibrilasi atrium Irregularly irregular Gelombang fibrilasi iregular
Takikardia AV junctional
AV re-entry (menggunakan
accessory pathway )
Orthodromik Regular P retrograd pada gelombang ST-T
Antidromik Regular preeksitasi P retrograd, RP pendek
Konduksi lambat Regular P retrograd pada akhir gelombang T atau
berikutnya ( RP panjang)
Atriofasikular (antidromik) Regular preeksitasi P retrograd, RP pendek
AV nodal re-entry
Common ( slow-fast ) Regular P retrograd yang ditutupi oleh QRS atau
perubahan pada akhir QRS (RP pendek)
Uncommon ( fast-slow) Regular P retrograd pada akhir gelombang T atau
berikutnya ( RP panjang )
Lainnya (slow-slow ) Regular PR -RP hampir sama

580
Takiaritmia

Rsgularitas R- R Moifologl gdombang P


Takikardia junctional Regular, slow rate Disosiasi AV
nonparoksismal*
Takikardia junctional Regular Disosiasi AV
otomatis*
Keterangan : "lokasi asal biasanya berasal dari infranodal, AV = atrioventrikular

Evaluasl patlen dengan palpttatl, pre- slnkop, dan/atau slnkop

Penyakit jantung struktural? (PJK, Rujuk ke studi elektroflsiologi


kardiomiopati, penyakit katup ) ( £P studyJ
>
Anamnesa, EKG, echo, exercise testing Kemungkinan ICD

Tilt table testing ,


ambulatory Ya
i Tidak

Baseline EKG Tidak _ Bagaimana


monitoring,
rujuk ke studi EP
+

normal? * kelainannya ?

bila rekuren

{
Pre-eksitasi
I
1 atau 2 AV block Long QT (LQTS )
1
Infark lama
( WPW ) atau QRS lebar Tanda Brugada
Epsilon wave /R ' VI
( ARVD)

I
Mungkin sindrom
Mungkin
Mungkin SVT bradiaritmia SCD yang
diturunkan

I
Rujuk ke studi EP
i
Rujuk ke studi EP
1
Rujuk ke studi EP
Ablasi Pacu jantung Kemungkinan ICD

Keterangan : Echo = ekokardiografi, WPW = Wolff-Parkinson-White, ICD = implantable cardioverter-defibrillator,


PJK = penyakit jantung koroner, ARVD= arrythmogenic right ventricular dysplasia, AV = atrioventikular,
SCD = sudden cardiac death, LQTS = Long QT syndrome

Gambar 1 . Algorltma evaluasi pasien dengan gejala palpitasi, pusing, dan/atau slnkop
4

581
Q SSHfiKMH! Kcrdiologi
Kriteria diagnosis takikardia sinus berdasarkan metode invasif dan non-invasif
( ACC/ AHA / ESC 2003) :>
• Adanya takikardia sinus persisten ( laju denyut jantung > 100x / menit) saat
siang hari dengan peningkatan laju berlebihan dalam merespons aktivitas dan
normalisasi laju denyut jantung pada malam hari yang dikonfirmasi dengan
monitor Holter selama 24 jam .
• Takikardia dan gejalanya bersifat non-paroksismal .
• Morfologi gelombang P dan aktivasi endokardium identik dengan ritme sinus.
• Eksklusi penyebab sekunder sistemik (mis . hipertiroidisme , feokromositoma,
physical deconditioning )

DIAGNOSIS BANDING
Hipertiroidisme, tirotoksikosis, feokromositoma, sindrom Brugada, sindrom Wolff -
Parkinson -White, sindrom long QT. 12

TATALAKSANA
Tatalaksana primer takikardia sinus yaitu identifikasi penyebab serta
mengeliminasi atau mengobatinya. Beta blocker dapat menjadi sangat berguna dan
efektif pada takikardia sinus simptomatis fisiologis yang dipicu oleh stres emosional ,
dan gangguan lain terkait ansietas; manfaat prognostik pasca infark miokard ;
simptomatis dan manfaat prognostik pada kondisi lain dengan etiologi sinus takikardia
ireversibel seperti gagal jantung kongestif; dan tirotoksikosis simptomatis yang
dikombinasikan dengan carbimazole atau propylthiouracyl (PTU) . Nondihydropyridine
calcium - channel blockers, seperti dilitiazem atau verapamil, dapat bermanfaat pada
pasien tirotoksikosis simptomatis apabila beta blocker dikontraindikasikan . 1 Terapi
SVT dapat dilihat pada tabel 2 . Tatalaksana AF dapat dilihat pada tabel 3 .

Tabel 2. Tatalaksana SVT’ 35


Ritme Terapi akut Terapi jangka panjang
Tidak stabil Kardioversi per ACLS n/ a
Takikardia sinus Terapi stresor pencetus n/a
Takikardia atrium fi-blocker, CCB, atau amiodaron fi-blocker atau CCB, dengan/
tanpa antiaritmia, RFA **
AVNRT atau AVRT Maneuver vagal, adenosine Untuk AVNRT: RFA, CCB atau
( hati-hati pada AVRT*), CCB, atau p-blocker (kronis atau prn) dengan/
P-blocker tanpa antiaritmia kelas 1C (bila
jantung normal )
NPJT CCB, p-blocker, amiodaron .
Terapi penyakit primer (mis
intoksikasi digitalis, iskemia )
Fibrilasi atrium fi-blocker, CCB, digoxin, AAD Lihat "fibrilasi atrium"

582
Takiaritmia

Rltme Terapi akut Terapf jangka panjang


Fluter atrium P-b/ocker, CCB, digoxin, AAD RFA, P-b/ocker atau CCB, dengan/
tanpa antiaritmia
Taklkardla atrium CCB atau (3-b/ocker bila ditoleransi Terapi penyakit primer, ablasi AV
multifokal node + pacu jantung pemnanen
Keterangan:
*Hindari adenosin dan agen nodus pada WPW karena dapat mencetuskan fibrilasi atrium, siapkan defibrilator
- -
** Ablasi kateter memiliki tingkat kesuksesan tinggi pada fluter atrium/ AVNRT 95%, fibrilasi atrium 80%
n / a = tidak tersedia, CCB = ca/ c / um- channe/ blockers , RFA = radiofrequency ablation , AVNRT = atrioventricular nodal reentrant
tachycardia , AVRT = atrioventricular reciprocating tachycardia, NPJT = nonparoxysma/ junctional tachycardia, prn = bila perlu

Tabel 3. Tatalaksana Fibrilasi Atrium ( AF) pada seting akut *


Kontrol laju denyut Jantung pada AF
(target 60- 80x/menft saat Isttrahat, 90- 115x/menit saat olahraga sedang)
Agen Loading dose Onset PemeUharaan Efek Samplng
Tanpa accessory pathway
Q) Esmolol* 500 mcg/ kg IV 5 mnt 60-200 mcg / kg / IBP, HB, IHR, asma, HF
-v
O dim 1 mnt mnt IV
o IBP, HB , IHR, asma, HF
5 Metoprolol 2,5-5 mg IV 5 mnt n/ a
c£l bolus dim 2
mnt, dapat
diulang 3x tiap
5 mnt
Propanolol 0, 15 mg /kg IV 5 mnt n/ a IBP, HB, IHR , asma, HF
g Diltiazem 0,25 mg/ kg IV 2-7 mnt 5- 15 mg/ jam IV IBP, HB, HF
o dim 2 mnt
Verapamil 0,075-0,15 mg/ 3-5 mnt n/ a IBP, HB, HF
kg IV dim 2 mnt
Dengan accessory pathway
Amiodaron** 150 mg dim 10 Berhari- 0,5- 1 mg/menit IBP, HB, toksisitas
mnt PCT ' hari IV paru, diskolorasi kulit,
hipotiroidisme, deposit
kornea, neuropati
optikus, interaksi warfarin,
bradikardia
Pada gagal Jantung & tanpa accessory pathway
Digoxin 0,25 mg IV tiap >60 0,125-0,375 mg / Toksisitas digitalis, HB, IHR
2 jam hingga menit hari IV atau PO
1 ,5 mg
Amiodaron** 150 mg dim 10 Berhari- 0,5- 1 mg /menit IBP , HB, toksisitas
mnt hari IV paru, diskolorasi kulit,
hipotiroidisme, deposit
kornea, neuropati
optikus, interaksi warfarin,
bradikardia
Keterangan:
tOnset bervariasi dan beberapa efek terjadi lebih awal. Obat disusun berdasarkan susunan alfabet
* * Amiodaron dapat digunakan untuk mengontrol laju denyut jantung pada AF apabila tindakan lainnya tidak berhasil atau
dikontraindikasikan
*** Apabila ritme tidak dapat dikonversi atau diablasi, namun kontrol laju denyut jantung diperlukan, amiodaron IV dianjurkan
.
eBP = hipotensi HB = heart block , eHR = bradikardia, HF = gagal jantung, n/ a = nof applicable

583
O PanduanPraMlli minis Kardiologi
^
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakit Dalam Indonesia

Tabel 4. Terapi Pemeliharaan AF Kronis dan pada Seting Non - akut6


Agen Loading dose Onset Pemeliharaan Efek Samplng
Metoprolol Sama 4-6 jam 2 x 25- 100 mg /hari ABP, HB, AHR, asma,
dengan dosis PO HF
ai
-V pemeliharaan
o Propanolol Sama 60-90 80-240 mg/ ABP, HB, AHR , asma,
-Q
d
dengan dosis mnt hari terbagi dim HF
pemeliharaan beberapa dosis,
PO
Diltiazem Sama 2- 4 jam 120-360 mg / ABP, HB, HF
dengan dosis hari terbagi dim
pemeliharaan beberapa dosis;
tersedia slow
CO release, PO
O Verapamil Sama 1 -2 jam 120-360 mg/ ABP, HB, HF, interaksi
dengan dosis hari terbagi dim digoxin
pemeliharaan beberapa dosis;
tersedia slow
release, PO
Pada gagal Jantung i tanpa accessory pathway
Digoxin 0,5 mg/ hari PO 2 hari 0,125-0,375 mg/ Toksisitas digitalis,
hari PO HB, AHR
Amiodaron** 800 mg /hari 1 -3 200 mg/hari PO ABP, HB, toksisitas
PO selama 1 minggu para diskolorasi
minggu, 600 mg / kulit, hipotiroidisme,
hari PO selama 1 deposit kornea,
minggu, 400 mg/ neuropati optikus,
hari PO selama interaksi warfarin,
4-6 minggu bradikardia
Keterangan:
*Onset bervariasi dan beberapa efek terjadi lebih awal Obat disusun berdasarkan susunan alfabet
* * Amiodaron dapat digunakan untuk mengontrol laju denyui jantung pada AF apabila tindakan lainnya tidak berhasil atau
dikontraindikasikan

-
4» BP = hipotensi , HB = heart block , iHR = bradikardia, HF = gagal jantung

Pencegahan tromboemboli pada AF6


• Terapi antitrombotik diberikan pada semua pasien dengan AF, kecuali pasien
dengan lone AF atau memiliki kontraindikasi
• Pemilihan agen antitrombotik sebaiknya berdasarkan risiko absolut stroke dan
perdarahan, dan risiko relatif dan manfaat pemberian bagi pasien
• Pada pasien tanpa katup jantung mekanis dengan risiko tinggi stroke, terapi
antikoagulan kronis dengan antagonis vitamin K dianjurkan pada dosis penyesuaian
untuk mencapai target INR 2,0 - 3,0 kecuali dikontraindikasikan
• Pada pasien dengan katup jantung mekanis, target intensitas antikoagulan
sebaiknya berdasarkan tipe prostetik dengan pemeliharaan INR sedikitnya 2, 5
• INR sebaiknya diperiksa sedikitnya setiap minggu selama inisiasi terapi dan
bulanan setelah antikoagulasi stabil
• Aspirin 81-325 mg/ hari dianjurkan sebagai alternatif antagonis vitamin K pada
pasien risiko rendah atau pada pasien dengan kontraindikasi oral antikoagulasi

584
Takiaritmia

Tabel 5. Pillhan Terapi pada VT4


Termlnasl Akut
Unstable VT
Terapi Pencegahan Sekunder
Cardiac VT dengan Stable VT
arrest nadl leraba
Elektrik + ( DCC) + ( DCC) + ' ( DCC) + (ICD4)
Farmakologis
Obat antiaritmia + + + +
Non-obat antiaritmia +2
+2

Revaskularisasi koroner +3 +3 +
Ablasi +3 +
Keterangan:
'Biasanyaadrenalin
2Atropin,
bukan merupakan terapi pilihan pertama
untuk cardiac arrest; magnesium sulfate, isoproterenol untuk torsades des pointes
Biasanya VT tidak merespon terapi medis saja, dan memerlukan revaskularisasi koroner emergensi atau RFA
3

DCC = direct current cardioversion; ICD = implantable cardioverter defibrillator

KOMPLIKASI
Tromboemboli, gagal jantung, kematian mendadak.6

PROGNOSIS
Tergantung penyebab, berat gejala dan respons terapi

UNIT YANG MENANGANI


• RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Kardiovaskular
• RS non Pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : Departemen Patologi Klinik, Medical High Care / ICCU
• RS non Pendidikan : Bagian Patologi Klinik, ICCU

REFERENSI
1. Blomstrom-Lundqvist C, et al. ACC / AHA / ESC guidelines for the management of patients with
supraventricular arrhythmias: a report of the American college of cardiology / American heart
association task force on practice guidelines and the European society of cardiology committee
for practice guidelines ( writing committee to develop guidelines for the management of patients
with supraventricular arrhythmias) Developed in Collaboration with NASPE-Heart Rhythm Society ,
J Am Coll Cardiol, 2003; 42 : 1493- 1531
2. Marchlinski F. The Tachyarrythmias. In : Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL,
Loscalzo J. Harrison ' s Principles of Internal Medicine. 18th Edition. New York, McGraw-Hill. 2012.
3. AkhtarM. Cardiac Arrythmias with Supraventricular Origin. In: Goldman, Ausiello. Cecil Medicine.
23rd Edition. Philadelphia. Saunders, Elsevier. 2008.

585

4I f
% >^ Panduan Praktlk Kllnis» Kardioloqi
PeihSmourianDaWei SpedOfc PeciyoUt Dalam lnrioriM a
'

4. . .
Adelmann GA Rhythm and Conduction Disorders In : Cardiology Essentials In Clinical Practice .
.
London Springer-Verlag 2011 v .
5. . .
Olgin J. Approach to the Patient With Suspected Arrythmlartn: Goldman, Auslello Cecil Medicine .
. - . .
^^
" ' 23rd Edition Philadelphia .Spyrisiets, Elsev,r 0J3§ ? .

. Olgin J, Zipes DP. Specific Arrhythmias: Diaghd$ls' <aWd Treathenf. In : Libby P, Bonow RO, Mann
6
. . . .
DL, ZipeSiDP Braunwald ' s Heart iDipease 9th Edition Philadelphia Saunders, Elsevier, 2012.
.
7 .
Fuster V, et al 2011 ACCF/AHA /HRS Focused Updates Incorporated Into the ACC/AHA /ESC
2006 Guidelin©s for the Management of Patienls With-Atrial Fibrillation: A Report of the American
College of Cardiology Foundation/ American Heart Association Task Force on Practice Guidelines .
Circulation 201l;123:e269 - e367 .

586
587

CARDIAC ARREST

PENGERTIAN
Cardiac arrest didefinisikan sebagai berhentinya fungsi mekanis jantung secara
mendadak, yang mungkin dapat reversibel dengan intervensi cepat namun dapat
menyebabkan kematian apabila tidak ada intervensi.1

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis1
Didapatkan secara aloanamnesis. Dapat diawali dengan riwayat peningkatan
angina, dispneu, palpitasi, mudah lelah, dan keluhan tidak spesifik lainnya. Akan tetapi
gejala prodromal umumnya prediktif untuk penyakit jantung, namun tidak spesifik
untuk memprediksi sudden cardiac death (SCD).

Pemeriksaan Fisik1 2
• Nadi tidak teraba

Pemeriksaan Penunjang1 2
• EKG : dapat ditemukan fibrilasi ventrikel, takikardia ventrikel, artifak EKG yang
mirip dengan fibrilasi ventrikel, left bundle branch block baru

DIAGNOSIS BANDING
Hipovolemia, hipoksia, asidosis, hipokalemia / hiperkalemia, hipotermia, tension
pneumothorax, tamponade jantung, toksin, trombosis paru, trombosis koroner.2

TATALAKSANA
Tatalaksana cardiac arrest dapat dilihat pada gambar 1.

Pand uanPiraktik Klinis


Perhimpunan Dokler Spesialls Penyakil Dalam Indonesia
B
NSiyway
Panduan Pramk Klfnls Kardiologi
^
Perhlmpunan Dokler Spesialis Penyakif Dalam Indonesia

Cardiac arrest dewasa


1
Teriak untuk bantuan/ Kualltas CPR
respons emergensi • Tekan 5 cm dan cepat (>100x/
I menit) , allow complete chest
recoil
Mulai CPR berikan
oksigen, tempelkan monitor/defibrilator • Kurangi interupsi saat kompresi
• Hindari ventilasi berlebihan
2 Ya I Tidak 9
• Rotasi kompresor tiap 2 menit
• Bila tidak ada advanced airway,
Rhythm gunakan rasio kompresi-ventilasi
VT / VF Asistol / PEA
shockable ? 30:2
• Kapnografi kuantitatif: bila
PETC 02 <10 mmHg, tingkatkan
'r kualitas CPR
4 • Tekanan intraarteri: bila tekanan
CPR 2 mnt
Akses IV/IO fase relaksasi ( diastolik) <20
mmHg, tingkatkan kualitas CPR

lRhythm
Tidak
10
''
Return of Spontaneous Circulation
(ROSC )
CPR 2 mnt • Nadi dan tekanan darah
* " shockable ? Akses IV/IO, Epinefrin • Kenaikan PETC02 >40 mmHg
tiap 3 - 5 mnt, berkelanjutan
pertimbangkan advanced Gelombang tekanan arteri spon-
airway, capnography

tan dengan monitor intraarterial
6 CPR 2 mnt Shock energy
Epinefrin tiap 3 - 5 • Blfaslk: dosis inisial 120-200 J; bila
mnt, pertimbangkan tidak diketahui, gunakan dosis
advanced airway, maksimum yang tersedia. Dosis
capnography Ya kedua dan selanjutnya sebai-
Rhythm
knya ekuivalen atau lebih tinggi
I shockable? • Monofasik : 360 J

I
Tidak
Rhythm
Terapi obat
shockable ? > Tidak • Eplnefrln IV /IO 1 mg per 3-5 menit
11 • Vasopressin IV /IO 40 unit dapat
CPR 2 mnt menggantikan dosis epinefrin
Tatalaksana etiologi pertama dan kedua
reversibel
CPR 2 mnt • Amlodaron IV /IO, Dosis pertama
Amiodarone, 300 mg bolus, dosis kedua 150
tatalaksana mg
etiologi reversibel Advanced airway
Tidak
Rhythm Ya
• Intubasi endotrakeal atau supra-
glottic advanced airway
shockable?
• Kapnografi waveform untuk kon-
firmasi dan monitor pemasangan
ETT
12
If w • RR: 8- 10x/menit dengan kompresi
Tanda kembalinya sirkulasi
'' dada kontinu
Lanjut ke 5 atau 7
spontan / ROSC ( -) 4 lanjut ke Etiologi reversibel
10 atau 11. Bila ROSC ( +) post - ->lihat pada diagnosis banding
cardiac arrest care

Gambar 1 . Algoritma Penanganan Cardiac Arrest (ACLS 2010)2

588
Cardiac Arrest

PERAWATAN PASCA RESUSITASI


Fase tatalaksana ini ditentukan oleh seting klinis cardiac arrest. Fibrilasi ventrikel
primer pada infark miokard akut (tidak diikuti dengan keadaan low-output ) umumnya
sangat responsif terhadap resusitasi dan mudah dikontrol setelah peristiwa inisial.
Dalam seting rumah sakit ( RS), dukungan respirator umumnya tidak diperlukan
atau hanya diperlukan dalam waktu singkat, dan stabilisasi hemodinamik dilakukan
segera setelah defibrilasi atau kardioversi. Pada fibrilasi ventrikel sekunder pada
infark miokard akut (abnormalitas hemodinamik yang berpotensi aritmia fatal), usaha
resusitasi jarang berhasil, dan pasien yang sukses diresusitasi memiliki rekurensi
tinggi. Gambaran klinis dan prognosis didominasi oleh instabilitas hemodinamik
dan kemampuan untuk mengontrol disfungsi hemodinamik. Bradiaritmia, asistole,
dan pulseless electrical activity (PEA) seringkali merupakan peristiwa sekunder pada
pasien dengan hemodinamik tidak stabil. Fase rawat inap dari korban selamat dari
cardiac arrest di luar RS ditentukan oleh masalah klinis spesifik. Yang paling sulit
adalah adanya ensefalopati anoksia, yang merupakan prediktor kuat kematian dalam
RS. Tambahan manajemen terkini dari kondisi ini adalah hipotermia yang diinduksi
untuk menurunkan kebutuhan metabolik dan edema serebral.1

KOMPLIKASI
Ensefalopati pasca resusitasi, kematian

PROGNOSIS
Prognosis cardiac arrest di dalam RS terkait penyakit non - kardiak buruk, dan
perawatan pasca resusitasi didominasi oleh penyakit komorbid. Pasien dengan kanker
stadium akhir, gagal ginjal, penyakit sistem saraf pusat akut, infeksi tidak terkontrol,
memiliki survival rate <10%.1

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Kardiovaskular
• RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Medical High Care / ICCU
• RS non pendidikan : ICCU

REFERENSI
1. Castellanos A, Myerburg RJ. Cardiovascular Collapse, Cardiac Arrest, and Sudden Cardiac
Death, In : Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, HauserSL, Jameson JL, Loscalzo J. Harrison ' s Principles
,
of Internal Medicine. 18 h Edition. New York, McGraw-Hill. 2012.
2. Sinz E, Navarro K, et al. Part 5: Managing VF/Pulseless VT. Advanced Cardiovascular Life Support
Provider Manual. American Heart Association. 2011

m
590

EKSTRASISTOL VENTRIKULAR

PENGERTIAN
Ekstrasistol ventrikular / premature ventricular contractions ( PVC ) merupakan
suatu aritmia yang terlihat jelas pada elektrokardiogram dengan lebar (umumnya
> 120 milidetik) dan morfologi QRS unik, yang terjadi akibat aktivasi atrium secara
independen ( gelombang P ) . PVS dapat terjadi akibat peningkatan automatisitas ,
aktivitas yang dipicu, atau re - entry . 1 Macam - macam PVC dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1 . Macam - macam PVC2
PVC Skenarlo Kepentingon
Muncul pada Istirahat vs olahraga, dengan / tanpa Risiko lebih tinggi sudden cardiac death
keadaan penyakit jantung komorbid (SCD) pada PVC frekuen (>10/ jam),
Jumlah > 10 vs <10/ jam terutama pada pasien dengan penyakit
jantung komorbid
Morfologi Morfologi tunggal vs multipel ( PVC Probabilitas penyakit jantung komorbid
uni- vs multifokal) lebih tinggi pada PVC multifokal
Regularitas PVC dapat terjadi secara acak Bila frekuen, dapat menyebabkan
atau mengikuti suatu pola: PVC tiap palpitasi dan / atau kardiomiopati
.
gelombang ke-2 ke-3, atau ke- 4 (bi
tri-, atau quadrigeminy )
Waktu Beberapa PVC sangat prekoksius, PVC R -on-T dapat memicu VT atau
dengan kompleks QRS jatuh pada VF; PVC prekoksius mempunyai stroke
gelombang T pada kompleks volume rendah, akibat poor filling , dan
sebelumnya ( fenomena R-on-T) dapat menyebabkan gejala " missed
beats"
Clustering 2 PVC berturut-turut disebut couplet , 3 Risiko lebih tinggi terjadi aritmia signifikan
= triplet , disebut "VTrun" bila HR >100x/ pada couplets dan triplets
menit, dan " accelerated idioventricular
rhythm" bila <100x/menit
Efek pada Absennya depolarisasi sinus node Compensatory pause menyebabkan
sinus node retrograd ( full compensatory pause) gejala klinis " missed beats ”
atau ada ( incomplete compensatory
pause ) 0
Keterangan:
“Seringkali PVC tidak menyebar secara retrograd ke sinus node, sehingga 2 gelombang P konsekutif
gagal mengaktivasi ventrikel: pertama akibat PVC, dan kedua, karena PVC mencapai ventrikel pada
.
periode refrakter post-PVC Hanya gelombang P ke-3 yang dapat mencapai ventrikel; sehingga jeda
post-PVC sama dengan 2x siklus jantung normal ( antara gelombang P pertama dank e-3). Ini adalah full
compensatory pause. Apabila PVC berjalan retrograd dan depolarisasi sinus, selanjutnya akan di-resef,
dan compensatory pause menjadi incomplete ( namun lebih panjang dari normal, dengan durasi konduksi
retrograd ) ; ini merupakan interpolasi dari PVC .
VT = takikardia ventrikel; VF = fibrilasi ventrikel; HR = heart rate

Panduan Praktik Klinis


Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
Ekstrasistol Ventrikular

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis1 3
• Umumnya asimptomatik
• Palpitasi, rasa tidak nyaman pada leher atau dada, sinkop
• Pasien akan merasa jantungnya seolah-olah berhenti berdenyut setelah suatu PVC
• Pada pasien dengan penyakit jantung dan PVC frekuen jangka panjang, dapat
menyebabkan angina, hipotensi, atau gagal jantung
• Riwayat penyakit komorbid seperti penyakit jantung struktural (iskemia atau
penyakit katup jantung]
• Perlu juga ditanyakan riwayat konsumsi obat - obatan digitalis, kebiasaan
mengonsumsi tembakau, kafein, alkohol berlebihan

Pemeriksaan Fisik1 3
• Tekanan darah (dapat ditemukan hipotensi), nadi (dapat ditemukan denyut ektopik
yang diikuti dengan long pause ), dapat diikuti dengan menurunnya intensitas bunyi
jantung, pulse oxymetry (hipoksia dapat memicu PVC)
• Gelombang A atau giant A pada pulsasi vena jugularis, splitting bunyi jantung II,
dapat juga terdapat bunyi jantung S3 dan ronki (pada gagal jantung kongestif ),
hipertensi dan S4 pada PVC dengan hipertensi lama
• Temuan neurologis : agitasi dan temuan aktivasi simpatis (dilatasi pupil, kulit kering
dan hangat, tremor, takikardia, hipertensi) sugestif katekolamin sebagai penyebab
PVC

Pemeriksaan Penunjang1 3
• Laboratorium (sesuai indikasi): elektrolit (terutama kalium dan magnesium),
kadar obat digitalis dalam serum darah, skrining obat-obatan
• EKG 12 sadapan selama 2 menit dapat membantu untuk menentukan frekuensi
ektopi dan merekam PVC infrekuen. Pada EKG dapat ditemukan hipertrofi ventrikel
kiri, iskemia jantung aktif (ST depresi atau elevasi, T-inverted ) , infark miokard
sebelumnya (gelombang Q atau hilangnya gelombang R, bundle branch block ),
gangguan elektrolit (QT memanjang, gelombang T hiperakut) , efek obat ( QRS
melebar, QT memanjang), gambaran morfologi PVC. Derajat keparahan PVC dapat
diukur dengan skoringLown yaitu nilai 0 = tidakada PVC, 1 = sesekali ( < 30 / jam),
2 = frekuen (>30/ jam), 3 = multiform, 4 = repetitif (A = couplets, B = Salvos atau
> 3), 5 = pola R- on -T. Semakin tinggi nilai Lown, maka PVC makin serius.

591
#: •
RSJSSS5H! Kardiologi
• Holter monitoring selama 24 jam untuk menentukan kuantitas dan karakteristik
PVC.
• Ekokardiografi berguna untuk evaluasi fraksi ejeksi, yang berguna untuk
menentukan prognosis dan juga mengidentifikasi penyakit katup atau hipertrofi
ventrikel.

DIAGNOSIS BANDING
Sindrom koroner akut, infark miokard, miokarditis, fibrilasi ventrikel, takikardia
ventrikel

TATALAKSANA1 3
• Secara umum tidak perlu diterapi, terutama pada pasien yang tidak memiliki
penyakit jantung struktural.
• Indikasi terapi primer adalah meredakan gejala.
• Terapi lini pertama adalah 0-blocker. atenolol 25-100 mg/ hari atau metoprolol
50- 200 mg/ hari. Apabila tidak efektif, amiodaron dapat dipertimbangkan.
• Obat antiaritmia kelas I atau kelas III dapat dipertimbangkan, namun potensi untuk
proaritmia dan toksisitas organ harus menjadi pertimbangan. Alternatif pada
pasien simptomatis, terutama yang tidak memiliki penyakit jantung struktural,
adalah ablasi kateter radiofrekuensi ( RFA).
• PVC yang mengikuti denyut ventrikel lambat dapat dihilangkan dengan
meningkatkan laju denyut jantung dasar dengan atropine atau isoproterenol atau
dengan pacu jantung, sementara menurunkan HR pada pasien dengan takikardia
sinus dapat menghilangkan PVC.
• PVC frekuen, meskipun dalam seting infark miokard akut, tidak perlu diterapi,
kecuali memberi kontribusi hemodinamik kompromais. Pada pasien rawat inap
dapat diberi lidokain. Apabila dosis maksimum lidokain maksimal tidak berhasil,
procainamide IV dapat diberikan. Propranolol dianjurkan bila obat lain tidak
berhasil.
• Koreksi gangguan elektrolit, gangguan keseimbangan asam basa, dan hipoksia

KOMPLIKASI
Takikardia ventrikel, fibrilasi ventrikel, kematian mendadak

PROGNOSIS
Tergantung penyebab, beratnya gejala dan respons terapi

592
UNIT YANG MENANGANI
Ekstrasistol Ventrikular
^
• RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Kardiovaskular
• RS non pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS pendidikan
• RS non pendidikan

REFERENSI
1. . . .
Lerman BB. Ventricular Arrythmias In: Goldman, Ausiello Cecil Medicine. 23 Edition Philadelphia.
rd

.
Saunders, Elsevier 2008.
2. .
Adelmann GA. Rhythm and Conduction Disorders In : Cardiology Essentials in Clinical Practice .
London. Springer-Verlag. 2011
. .
Olgin J, Zipes DP Ventricular Rhythm Disturbances. In : Libby P, Bonow RO, Mann DL, Zipes DP.
3
, .
Braunwald' s Heart Disease. 9 h Edition. Philadelphia Saunders, Elsevier. 2012.

593
594

GAGAL JANTUNG

PENGERTIAN
Merupakan sindrom klinis yang terjadi karena abnormalitas struktur dan/atau
fungsi jantung yang diturunkan atau didapat sehingga mengganggu kemampuan
pompa jantung. Ada beberapa istilah gagal jantung :14
• Berdasarkan onset tejadinya:
o Gagal jantung akut : adalah suatu kondisi curah jantung yang menurun secara
tiba - tiba menyebabkan penurunan tekanan darah tanpa disertai edema perifer,
disebabkan sindrom koroner akut, hipertensi berat, regurgitasi katup akut.
o Gagal jantung kronik / kongestif : adalah suatu kondisi patofisiologis terdapat
kegagalan jantung memompa darah yang sesuai dengan kebutuhan jaringan,
terjadi sejak lama.
• Gagal jantung sistolik adalah ketidakmampuan kontraksi jantung memompa
sehingga curah jantung menurun dan menyebabkan keluhan hipoperfusi . Gagal
jantung diastolik yaitu gangguan relaksasi dan gangguan pengisian ventrikel atau
disebut juga gagal jantung dengan fraksi ejeksi > 50%.
• Gagal jantung kanan dan gagal jantung kiri . Gagal jantung kiri disebabkan
kelemahan ventrikel kiri, sehingga meningkatkan tekanan vena pulmonalis
dan paru, sedangkan gagal jantung kanan terjadi akibat kelebihan melemahnya
ventrikel kanan seperti pada hipertensi pulmonal primer / sekunder, tromboemboli
paru kronik sehingga terjadi kongesti vena sistemik.
• Low output dan high output heart failure (secara klinis tidak dapat diebdakan]
o Low output heart failure adalah gagal jantung yang disertai disebabkan oleh
hipertensi, kardiomiopati dilatasi , kelainan katup dan perikardium .
o High output heart failure adalah gagal jantung yang disertai penurunan
resistensi vaskular sistemik seperti pada hipertiroidisme, anemia, kehamilan,
fistula A-V, beri-beri, dan penyakit Paget.
• Berdasarkan klasifikasi NYHA :

PanduanPrakUk Minis
Pertilmpunan DoMer Speslafc Penyakit Dalom Indonesia
Gagal Jantung

Tabel 1 . Klasifikasi Gagal Jantung berdasarkan NYHA34


Kapasltas fungslonal Kllnls
Class I Pasien dengan penyakit jantung tanpa keterbatasan aktivitas. Aktivitas
.
biasa tidak menyebabkan fatigue, dyspnea atau nyeri angina
Class II Penderita penyakit jantung dengan keterbatasan ringan pada aktivitas
fisik. Aktivitas biasa menyebabkan fatigue, dyspnea,atau nyeri angina;
yang hilang dengan istirahat
Class llll Penderita penyakit jantung dengan keterbatasan pada aktivitas fisik.
Sedikit aktivitas menyebabkan fatigue, dyspnea, palpitasi, atau nyeri
angina; yang hilang dengan istirahat
Class IV Penderita penyakit jantung dengan ketidakmampuan melakukan
aktivitas fisik. Keluhan gagal jantung atau sindroma angina mungkin masih
dirasakan meskipun saat istirahat. Jika melakukan aktivitas fisik, rasa tidak
nyaman bertambah.

Tabel 2. Penyebab Gagal Jantung Akut5


Dekompensasl pada gagal Jantung kronlk yang sudah ada
• Sindrom koroner akut : Infark miokard /angina pectoris tidak stabil dengan iskemia yang
bertambah luas dan disfungsi iskemik
• Komplikasi kronik infark miokard akut
• Infark ventrikel kanan
• Krisis hipertensi
• Aritmia akut ; takikardia ventrikular, fibrilasi ventricular, fibrilasi atrial atau fluter atrial, takikardia
supraventikular lain
• Refurgitasi valvular/endokarditis/ruptur korda tendinae, perburukan regurgitasi katup yang
sudah ada
• Stenosis katop aorta berat
• Miokarditis berat akut
• Tamponade jantung
• Diseksi aorta
• Kardiomiopati pasca melahirkan
• Faktor predisposisi non kardiovaskular : pelaksanaan terhadap pengobatan kurang
• Overload volume
• Infeksi
• Severe brain insult
• Penurunan fungsi ginjal
• Asma
• Penyalahgunaan obat
• Penggunaan alkohol
• Feokromositoma

Klasifikasi gagal jantung akut2 5


Klasifikasi Killip
a. Stage I : tidak ada gagal jantung, tidak ada tanda klinis yang menunjukkan
dekompensasi kardiak
b. Stage II : gagal jantung, kriteria diagnosis : ronki di basal paru, S3 gallop, dan
hipertensi vena pulmonal

595
@ tS
^ ZSmSS* Kardiologi

c. Stage III : gagal jantung berat yang ditandai adanya edema pulmonal dengan ronki
di seluruh lapangan paru.
d . Stage IV : rejatan kardiogenik yang ditandai hipotensi ( tekanan darah sistolik
< 90 mmHG) , vasokontriksi perifer seperti oligouria, sianosis, dan diaforesis .

Klasifikasi ini dikembangkan untuk pasien dengan infark miokard akut, terdiri dari:
1 . Klasifikasi Forrester
Pasien diklasifikasikan berdasarkan hipoperfusi perifer, kongesti pulmonal ,
hemodinamik, dan meningkatnya tekanan kapiler pulmonal, dikembangkan untuk
infark miokard akut
2 . Klasifikasi berdasarkan perfusi dan kongesti ( Klasifikasi Stevenson ) :
a. Kategori Forrester 1 (grup A) : warm and dry. Berisiko tinggi menderita gagal
jantung tetapi tanpa kelainan struktur jantung atau tanpa adanya keluhan gagal
jantung
b . Kategori Forrester 2 (grup B) : warm and wet. Adanya penyakit struktur jantung
tanpa keluhan atau tanda gagal jantung, PCWP > 18 mmHg
c. Kategori Forrester 3 (grup C] : cold and dry . Adanya penyakit struktur jantung
dengan keluhan atau tanda gagal jantung, hipoperfusi : cardiac index < 2, 2
d . Kategori Forrester 4 (grup D) : cold and wet . Gagal jantung refrakter, kongesti
paru dan hipoperfusi
3. Klasifikasi berdasarkan Framingham
a. Kriteria major :
o Paroxysmal nocturnal dyspnea
o Distensi vena leher
o Ronki paru
o Kardiomegali
o Edema paru akut
o Gallop S3
o Peninggian tekanan vena jugularis
o Refluks hepatojugular
b . Kriteria minor ;
o Edema ekstremitas
o Batuk malam hari
o Dispnea d'effort
o Hepatomegali
o Efusi pleura

596
Gagal Jantung

o Penurunan kapasitas vital 1/ 3 dari normal


o Takikarida (> 120 kali / menit)
4. Klasifikasi berdasarkan dominasi jantung yang kiri atau kana yaitu :
a. Forward acute heart failure ,

b. Left heart backward failure : yang dominan gagal jantung kiri


c . Right heart backward failure : berhubungan dengan disfungsi paru dan jantung
sebelah kanan.

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis
Fatigue, dyspnea, shortness of breath . Keluhan dapat berupa keluhan saluran
pencernaan seperti anoreksia, nausea, dan rasa penuh. Jika berat dapat terjadi konfusi,
disorientasi, gangguan pola tidur dan mood . 1

Pemeriksaan Fisik
Posisi pasien dapat tidur terlentang atau duduk jika sesak. Tekanan darah dapat
normal atau meningkat pada tahap awal, selanjutnya akan menurun karena disfungsi
ventrikel kiri. Penilaian perfusi perifer, suhu kulit, peninggian tekanan pengisian vena,
adanya murmur sistolik, murmur diastolik, dan irama gallop perlu dideteksi dalam
auskultasi jantung. Kongesti paru ditandai dengan ronki basah pada kedua basal paru.
Penilaian vena jugular dapat normal saat istirahat tetapi dapat meningkat dengan
adanya tekanan pada abdomen [ abdominojugular reflux positif ) . Pada abdomen
adanya hepatomegali merupakan tanda penting pada gagal jantung, asites, ikterus
karena fungsi hepar yang terganggu . Edema ekstremitas yang umumnya simetris
dapat ditemukan.1

Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium : DPL, elektrolit, urea, kreatinin, gula darah, albumin, enzim hati .
Analisa gas darah
Natriuretic peptide ( B type natriuretic peptides/ BNP atau NT- pro BNP )
Elektrokardiografi
Foto toraks
Ekokardiografi
Exercise Testing

597
0 SftSHSSSH! Kardiologi
Dicurigai gagal jantung akut

i
Adakah penyakit jantung?
Pemeriksaan EKG/BNP/Rontgen
1
1
Abnormal Normal

1
Evaluasi fungsi kardiak dengan
I
ekokardiografl/pemeriksaan Pikirkan diagnosis lain
pencitraan lain
1
f 1
Abnormal Normal

i
Gagal jantung ditentukan Pemeriksaan lain
dari ekokardiografi > (angiografi, monitor
hemodinamik, PAC)
i
Menentukan tipe
dan derajat keparahan

Gambar 1 . Algorltma Pendekatan Diagnosis Pada Gagal Jantung Akut5

Menentukan fungsi ventrikel


( LVEF / teft ventricular ejection fraction )
I
f 1
LVEF berkurang Preserved LVEF
( < 40 %) ( > 40 % )

i
Disfungsi sistolik
ventrikel kiri

f
Disfungsi
’ t
i
Disfungsi Penyebab lain dari
diastolik sistolik transien gagal jantung .
Kesalahan dalam diagnosis
/pemeriksaan

Gambar 2. Algoritma Pendekatan Gagal Jantung dari Fungsi Ventrikel5

598
Gagal Jantung

Dicurigai gagal jantung

1
Anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan penunjang

l
Diagnosis
i
Gagal jantung
1
Diagnosis
tidak tepat equivocal pasti

1 1 1
Pikirkan Pemeriksaan Gagal
diagnosis lain NP, ekokardiografi jantung

Nilai NP
i
Nilai NP
1
Nilai NP
normal sedang tingl

1 1 1
Ekokardiografi Ekokardiografi Ekokardiografi Ekokardiografi Ekokardiografi Ekokardiografi
normal abnormal normal abnormal normal abnormal

1 1 1
Kemungkinan
1 1
Kemungkinan
Kemungkinan Kemungkinan
Kemungkinan gagal jantung, gagal jantung,
bukan gagal gagal jantung gagal jantung
jantung tapi pikirkan tapi pikirkan
diagnosis lain diagnosis lain

Gambar 3. Algoritma Pendekatan Diagnosis pada Gagal Jantung1

DIAGNOSIS BANDING
Acute respiratory distress syndrome, gagal ginjal.

TATALAKSANA

Gagal jantung akut7 8


Oksigen
• Ventilasi non invasif (dengan PEEP / positive end - expiratory pressure)
o Indikasi : Edema paru kardiogenik, gagal jantung akut hipertensif.
o Kontraindikasi : pasien tidak kooperatif, diperkirakan perlu segera pemakaian
intubasi endotrakial karena hipoksia yang progresif
o Penyakit obstruksi saluran napas berat leih hati-hati dalam pemberian
• Morfin : jika pasien gelisah atau ada nyeri dada. Dosis 2.5 - 5 mg IU bolus intravena
Ov).

599
Panduan PraktikKlinis Kardioloqi
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyokil Dalam Indonesia

Diuretika loop
Vasodilator ( tabel 5 )
o diberikan jika tidak ada tanda - tanda hipotensi yang simptomatik, tekanan

sistolik < 90 mmHg atau penyakit valvuler yang serius


o Nitrat/ nitroprusside iv bila tekanan darah > 110 mmHg.
Nesiritide : menurunkan tekanan pengisisan ventrikel kiri .
Obat- obat inotropik ( tabel 6]
o Indikasi : tekanan sistolik rendah, cardiac index rendah dengan adanya tanda -

tanda hipoperfusi atau kongesti .


o Dobutamin
o Dopamin
o Milrinone dan enoximone
o Levosimendan

Tabel 4. Jenis Diuretika pada Gagal Jantung Akut6 7


Retensl air Jenis dluretlk Dosls harlan (mg) Keterangan
Sedang Fursemid atau 20-40 Oral/iv sesuai klinis
Bumetanide atau 0.5- 1 Dosis dititrasi
Torasemid 10-20 Monitor kalium, natrium,
kreatinin, tekanan darah
Berat Fursemid 40- 100 Dosis iv ditinggikan
Fursemide infus 5- 40 mg /jam Lebih baik daripada bolus dosis
tinggi
Bumetanid 1 -4 Oral/iv
Torasemid 20- 100 Oral
Refraktor terhadap Tambah FICT atau 50-100 Kombinasi lebih baik daripada
diuretika loop diuretika dosis tinggi
Metolazon atau 2.5- 10 Labih poten jika CCT < 30 ml/
menit
Spironolakton 25-50 Terutama bila fungsi renal baik
dan kalium normal atau renhda
Dengan Alkalosis Acetazolamid 0.5 iv
Refraktor terhadap Tambah dopamin Pertimbangkan ultrafiltrasi dan
diuretika dan FICT atau dobutamin FiD apabila ada gangguan
renal dan hiponatremia.

Tabel 5. Jenis Vasodilator pada Gagal Jantung Akut1 ‘


Indikasi Vasodilator Dosis Keterangan
Kongesti paru atau Nitrogliserin Muiai 10-20 pg/menit, Flipotensi, sakit
edema dengan TD ditingkatkan sampai 200 kepala.
>90 mm Fig pg/ menit. Maksimal 40-400
pg/menit
Isosorbide dinitrate Muiai dengan 1 mg/ jam, Flipotensi, sakit
dinaikkan sampai 10 mg/ kepala
jam

600
Gagal Jantung

Indlkasf Vasodilator Dosis Keterangan


Nitroprusside Dosis awal 0.3 pg/ kg / menit Hipotensi,
dan naikkan dosis sampai keracunan
5 pg/kg/ menit. Maksimal isocyanate , sensitif
30-350 pg/menit terhadap cahaya
Nesiritide Bolus 2 pg/kg + infus 0.015- Hipotensi
0.03 pg/kg/menit. Maksimal
0.01-0.03 pg/kg/menit

Tabel 6. Jenis Inotropik pada Gagal Jantung Akut14


Jenls Inotropik Bolus Kecepatan Infus
Dobutamin Tidak 2-20 pg/kg/menit (P +)
< 3 pg/kg/menit : efek renal (P +)
Dopamin Tidak 3-5 pg/kg/menit : inotropik (P +)
> 5 pg/kg/menit : (P +) , vasopresor a+
Milrinon 25-75 pg/kg selama 10-20 menit 0.375-0.75 pg/kg/menit
Enoximon 0.25-0375 mg/kg 1.25-7.5 pg/kg/menit
Levosimendan 12 pg/kg selama 10 menit 0.1 pg/kg/menit , dapat diturunkan
mencapai 0.05 atau ditingkatkan
menjadi 0.2 pg/kg/menit
Norepinephrine Tidak 0.2- 1.0 pg/kg/menit
Epinefrin 1 mg dapat diberikan selama 0.05-0.5 pg/ kg/menit
resusitasi intravena, diulang setiap
3-5 menit

GAGAL JANTUNG KRONIK

Non farmakologis4 8
a. Diet (hindarkan obesitas, rendah garam: 2 g pada gagal jantung ringan dan 1 g
pada gagal jantung berat, jumlah cairan 1 liter pada gagal jantung berat dan 1,5
liter pada gagal jantung ringan.
b. Hentikan rokok
c. Hentikan alkohol pada kardiomiopati. Batasi 20- 30 g/ hari pada yang lainnya
d. Aktivitas fisik (latihan jasmani : jalan 3 - 5 kali/ minggu selama 20 - 30 menit atau
sepedastatis 5 kali/ minggu selama 20 menit denganbeban 70- 80% denyut jantung
maksimal pada gagal jantung ringan dan sedang]
e. Istirahat baring pada gagal jantung akut, berat dan eksaserbasi akut

Farmakologis 1.4,8
a. Diuretik. Kebanyakan pasien dengan gagal jantung membutuhkan paling sedikit
diuretik regular dosis rendah tujuan untuk mencapai tekanan vena jugularis

601
<fj\
wfw
B PrakUk Klinl:
Perhlmpunan Dokler Spesialls Penyakit Dalam Indonesia
Kardioloqi
w

.
normal dan menghilangkan edema Permulaan dapat digunakan loop diuretic
atau tiazid. Bila respons tidak cukup baik dosis diuretik dapat dinaikkan, berikan
diuretik intravena, atau kombinasi loop diuretik dan tiazid. Diuretik hemat kalium,
spironolakton, dengan dosis 25-50 mg/ hari dapat mengurangi mortalitas pada
pasien dengan gagal jantung sedang sampai berat ( klas fungsional IV) yang
disebabkan gagal jantung sistolik.
b. Penghambat ACE bermanfaat untuk menekan aktivasi neurohormonal, dan pada
gagal jantung yang disebabkan disfungsi sistolik ventrikel kiri. Pemberian dimulai
dengan dosis rendah, dititrasi selama beberapa minggu sampai dosis yang efektif.
c. Penyekat Beta bermanfaat sama seperti penghambat ACE. Pemberian mulai dosis
kecil, kemudian dititrasi selama beberapa minggu dengan kontrol ketat sindrom
gagal jantung. Biasanya diberikan bila keadaan sudah stabil. Pada gagal jantung
.
klas fungsional II dan III Penyekat Beta yang digunakan carvedilol, bisoprolol
atau metoprolol. Biasa digunakan bersama -sama dengan penghambat ACE dan
diuretik.
d. Angiotensin II antagonis reseptor dapat digunakan bila ada kontraindikasi
penggunaan penghambat ACE
e. Kombinasi hidralazin dengan isosorbide dinitrat memberi hasil yang baik pada
pasien yang intoleran dengan penghambat ACE dapat dipertimbangkan
.f Digoksin diberikan untuk pasien simptomatik dengan gagal jantung disfungsi
sistolik ventrikel kiri dan terutama yang dengan fibrilasi atrial, digunakan bersama-
sama diuretik, penghambat ACE , penyekat beta. Dosis : 0.125 qd dengan dosis
maksimal 0.375 qd.
g. Antikoagulan dan antiplatelet. Aspirin diindikasikan untuk pencegahan emboli
serebral pada penderita dengan fibrilasi atrial dengan fungsi ventrikel yang
buruk. Antikoagulan perlu diberikan pada fibrilasi atrial kronis maupun dengan
riwayat emboli, trombosis dan transient ischemic attacks, trombus intrakardiak
dan aneurisma ventrikel.
h. Antiaritmia tidak direkomendasikan untuk pasien yang asimptomatik atau
aritmia ventrikel yang tidak menetap. Antiaritmia klas I harus dihindari kecuali
pada aritmia yang mengancam nyawa. Antiaritmia kelas III terutama amiodaron
dapat digunakan untuk terapi aritmia atrial dan tidak digunakan untuk mencegah
kematian mendadak.
i. Antagonis kalsium dihindari. Jangan menggunakan kalsium antagonis untuk
mengobati angina atau hipertensi pada gagal jantung.
j. Pemakaian alat dan tindakan bedah :

602
Gagal Jantung

o Revaskularisasi
o Operasi katup mitral
o Aneurismektomi
o Kardiomioplasti
o External cardiac support
o Pacu jantung konvensional, resinkronisasi pacu jantung biventricular
o Implantable carioverter defibrillators ( ICD )
o Heart transplantation, ventricular assist devices, artificial heart
o Ultrafiltrasi, hemodialisis

Tabel 7. Jenis Diuretik pada Gagal Jantung Kongestif


18

Jenls dluretika Dosls Inlslasl (mg) Frekuensl pemberian Dosls makslmum (mg/harl)
Furosemid 20-40 1 -2 kali sehari 500

Bumetanid 0.5-1.0 1 -2 1 -2 kali sehari 10

Torasemid 10- 20 qd atau bid 1 kali sehari 200

Hidroklorotiazid 25 qd 1 -2 kali sehari 100

Metolazon 2.5 qd atau bid 1 kali sehari 20


Indapamid 2.5 1 kali sehari 2.5
Amilorid 5 1 kali sehari 40

Triamteren 50 2 kali sehari 200

Spironolakton 1.5-50 qd 1 kali sehari 100-200

Tabel. 8. Jenis Obat yang Dlgunakan pada Gagal Jantung Kongestif ' 48

Jenis obat Dosls Inlslasl (mg) Dosls pemeDharaan (mg)


Obat ACE inhibitor Captopril 6.25 25-50 fid
Benazepril 2.5 5-10 bid
Enalapril 2.5 10 bid
Lisinopril 2.5-5 5-20 perhari
Ramipril 1.25-2.5 2.5-5 bid
Trandolapril 0.5 4 qd

Obat ARB inhibitor Valsartan 40 bid 80-320


Candesartan 4 qd 4-32
Irbesartan 75 qd 150-300
Losartan 12.5 qd 50- 100

Obat penyekat p Carvedilol 3.125 qd 12.5-50 bid

Bisoprolol 1.25 qd 2- 10 qd
Metoprolol suksinat 12.5-25 qd 10-30

603
Panduan Praktik Klinis
Perhimpunan Dokier Spesialis Penyakit Dalam Indonesia Kardioloai

KOMPLIKASI
Syok kardiogenik, infeksi paru, gangguan keseimbangan elektrolit

PROGNOSIS
Angka kematian dalam 1 tahun setelah terdiagnosis mencapai 30-40 %, sedangkan
angkan dalam 5 tahun 60 - 70 %. Kematian disebabkan karena perburuhkan klinis
mendadakan yang kemungkinan disebabkan karena arimia ventrikel. Berdasarkan
klasifikasi, NYHA kelas IV mempunyai angka kematian 30- 70 %, sedangkan NYHA
kelas II 5 -10 Vo.1

UNIT YANG MENANGANI


• RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Kardiologi
• RS non Pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : 1CCU medical High Care
• RS non Pendidikan . ICCU / ICU -
REFERENSI
Anil Chandraker A. Heart Failure. In: Fauci A, Kasper D, Longo D, Braunwald E, Hauser S, Jameson
.
J, Loscalzo J, editors Harrison ' s principles of internal medicine. 18lh ed. United States of America;
The McGraw-Hill Companies, 2012.chapter 234.
2. Panggabean M. Gagal Jantung. . Dalam: Alwi I, Setiati S, Setiyohadi B, Simadibrata M, Sudoyo
AW , editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta: Interna Publishing; 2006: Hal
1513- 1514
3. . .
Gary S. Francis, Theodore G Ganiats, Marvin A . Konstam 2009 Focused Update: ACCF/ AHA
Guidelines for the Diagnosis and Management of Heart Failure in Adults: 2009 Wrint Group to review
new evidence and update the 2005 guideline for the management of patients with chronic heart
.
failure witing on behalf the 2005 heart failure writing. Circulation. 2009:119:1977-2016 Diunduh dari
http:/ /circ .ahaj0urnals.0rg/c0ntent/ l 19 / 14/ 1977 pada tanggal 19 Juni 2012.
4. Sharon Ann Hunt, William T. Abraham, Marshall H Chin. ACC / AHA 2005 Guideline Update for the
Diagnosis and Management of Chronic Heart Failure in the Adult : A Report of the American
College of Cardiology / American Heart Association Task Force on Practice Guidelines ( Writing
Committee to Update the 2001 Guidelines for the Evaluation and Management of Heart Failure ) :
Developed in Collaboration With the American College of Chest Physicians and the International
Society for Heart and Lung Transplantation: Endorsed by the Heart Rhythm Society. Circulation.
2005: 112:el 54-e 235. http:/ /circ .ahajournals.Org/content / 112/ 12/el 54
5. Nieminen MS, Bohm M, Cowie MR et all. Executive summary of the guidelines on the diagnosis
and treatment of acute heart failure :The Task Force on Acute Heart Failure of the European
Society of Cardiology. European Heart Journal ( 2005) 26, 384-416.
6 . Greenberg B, Kahn AM. Clinical Assessment of Heart Failure. In : Bonow RO, Mann DL, Zipes DP,
Lib P, editors. Braunwald ' s Heart Disease. A Textbook of Cardiovascular Medicine.9 lh ed. United
States of America; Elsevier, 2012. P.517-542

604
Gagal Jantung

7. Panggabean MM. Dalam BAB 248: Gagal jantung akut. Alwi I, Setiati S, Setiyohadi B, Simadibrata
M, Sudoyo AW , editors. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V . Jakarta: Interna Publishing:
2010: Hal 1583- 1585
8 Ghanie A. Gagal jantung kronik. Dalam: Alwi I, Setiati S , Setiyohadi B, Simadibrata M, Sudoyo
AW, editors. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V . Jakarta: Interna Publishing; 2010: Hal
1596- 1601

605
606

ENDOKARDITIS INFEKTIF

PENGERTIAN
Definisi endokarditis infektif ( El) menurut modifikasi kriteria Duke adalah
• Kriteria patologis :
o Kultur atau pemeriksaan histologis adanya vegetasi yang telah menjadi emboli,
atau spesimen abses intrakardiak menunjukkan mikroorganisme (+), atau
o Lesi patologis; vegetasi atau abses intrakardiak yang dikonfirmasi dengan
pemeriksaan histologis menunjukkan endokarditis aktif
• Kriteria klinis
o 2 kriteria mayor, atau
o 1 kriteria mayor dan 3 kriteria minor, atau
o 5 kriteria minor
• Kemungkinan El
o 1 kriteria mayor dan 1 atau 2 kriteria minor, atau
o 3 kriteria minor
• Bukan El
o Tegaknya diagnosis alternatif yang menjelaskan bukti El atau
o Resolusi sindrom El dengan terapi antibiotik dalam 4 hari , atau
o Tidak ada bukti patologis El pada saat operasi atau autopsi , dengan terapi
antibiotik dalam < 4 hari , atau
o Tidak memenuhi kriteria kemungkinan El seperti diatas
Penjelasan kriteria mayor dan minor dapat dilihat pada tabel 1.
Klasifikasi dan definisi El menurut European Society of Cardiology tahun 2009
dapat dilihat pada tabel 2 .
Beberapa kondisi jantung terkait peningkatan risiko prognosis buruk dari
endokarditis ketika profilaksis tindakan dental diperlukan dapat dilihat pada tabel 3.

Panduan Praktik Klinis


Perhimpunan Dokler Spesialls Penyakft Dalam Indonesia
Endokarditis Infektif

Tabel 1 . Modifikasi kriteria Duke '


Krlterla Mayor Kriteria Minor
Kultur darah El ( +} • Predisposisi , kondisi jantung yang
• Mikroorganisme tipikal konsisten dari 2 kultur mempermudah terjadinya El, atau pengguna
terpisah : Viridans streptococci, Streptococcus obat intravena
bo vis , kelompok HACEK , Staphylococcus • Demam > 38°C
aureus , atau enterokokus didapat dari • Fenomena vaskular, emboli arteri mayor, infark
komunitas tanpa fokus primer, atau paru septik, aneurisma mikotik, perdarahan
• Setidaknya 2 kultur darah ( +) dengan sampel intrakranial, perdarahan konjungtiva, lesi
yang diambil pada interval > 12 jam; atau Janeway
ketiganya atau mayoritas dari S4 kultur darah • Fenomena imunologis: glomerulonefritis, nodus
terpisah ( sampel pertama dan terakhir diambil Osier, Roth ' s spots , dan faktor rheumatoid
selang 1 jam) • Bukti mikrobiologis: kultur darah (+) tapi tidak
• Kultur darah (+) untuk Coxiella burnetii atau titer memenuhi kriteria mayor*, atau bukti serologis
antibodi IgG anti-fase 1 > 1:800 adanya infeksi aktif organisme yang konsisten
dengan El
Bukti keterlibatan endokardial
• E k o k a r d i o g r a m ( + ) u n t u k E l ( T E E
direkomendasikan pada katup prostetik,
dengan indikasi kemungkinan El berdasarkan
klinis, atau El komplikasi [abses paravalvular ],
TTE sebagai tes pertama pada pasien lainnya)
: adanya massa intrakardiak pada katup atau
struktur pendukung yang berosilasi, in the path
of regurgitant jets , atau pada materi implan
dengan absennya penjelasan anatomis lain;
atau abses; atau dehisensi parsial baru katup
prostetik; regurgitasi katup baru (perburukan
atau perubahan atau adanya murmur tidak
cukup )
Keterangan : *tidak termasuk kultur (+) untuk stafilokokus yang tidak memproduksi enzim koagulase dan organisme yang tidak
menyebabkan El, TEE : fransesophagea/ echocardiography , TTE : fransthorac /c echocardiography , HACEK ( HaemopMus,
ActinobacUlus , Cardiobacterium , Eikenella, dan Kinge /la; Haemophilus aphrophilus dan ActinobacUlus acf /nomycefemcom/tans
telah direklasifikasikan ke dalam genus Aggregatibacter )

Tabel 2. Klasifikasi dan Definisi El Menurut European Society of Cardiology Tahun 20092
El menurut lok si Infeksi dan adanya alau absennya materi Intrakardiak
• El katup asli ( native ) sebelah kiri ( NVE)
• El katup prostetik sebelah kiri ( prosthetic valve endocarditis / PVE)
o PVE dini ; < 1 tahun setelah operas! katup
o PVE lambat : > 1 tahun setelah operasl katup

• El sebelah kanan
• El terkait alat (pacu jantung permanen atau cardioverter -defibrillator )
El menurut cara didapat
• El terkait pelayanan kesehatan
o Nosokomial El berkembang pada pasien rawat inap >48 jam sebelum
onset tanda / gejala konsisten dengan El
o Non-nosokomial Tanda dan/atau gejala El muncul <48 jam setelah dirawat
dengan definisi kontak sebagai berikut:
1 . Perawatan di rumah atau terapi IV, hemodialisis, atau
kemoterapi IV <30 hari sebelum onset El; atau
2. Dirawat <90 hari sebelum onset El; atau
3. Penghuni rumah jompo atau fasilitas perawatan
angka panjang

607
PanduanPraktikKlinis Kardioloqi
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakii Dalam Indonesia

• El didapat dari komunitas Tanda dan/ aiau gejala El dimulai <48 jam setelah dirawat
pada pasien yang tidak memenuhi kriteria infeksi terkait
pelayanan kesehatan
• El terkait penyalahgunaan obat IV El pada pengguna injeksi aktif tanpa sumber infeksi
lainnya
El aktif
• El dengan demam persisten dan kultur darah (+) atau
• Morfologi inflamasi aktif yang ditemukan saat operasi atau
• Pasien masih dalam terapi antibiotik atau
• Bukti histopatologis El aktif
Rekuren
• Relaps Episode berulang El oleh mikroorganisme yang sama <6
bulan setelah episode inisial
• Reinfeksi Infeksi oleh mikroorganisme berbeda
Episode berulang El oleh mikroorganisme yang sama >6
bulan setelah episode inisial

Tabel 3. Kondisi Jantung Terkait Peningkatan Rlsiko Prognosis Buruk darl Endokardltis dimana
Profilaksis Tindakan Dental Dlperlukan’
Katup jantung prostetik atau materi prostetik yang digunakan untuk perbaikan katup jantung
Riwayat El sebelumnya
Penyakit jantung bawaan ( PJB ) *
PJB sianotik yang tidak dapat diperbaiki, termasuk shunt dan pipa ( conduit ) paliatif
Defek jantung kongenital yang telah diperbaiki dengan materi atau alat prostetik, baik yang
ditempatkan melalui operasi atau kateter, dalam 6 bulan pertama setelah tindakan* *
Defek residual PJB yang telah diperbaiki pada tempat pemasangan patch atau alat prostetik
atau sekitarnya ( yang menghambat endotelialisasi)
Resipien transplantasi jantung yang memiliki valvulopati jantung
Keterangan :
‘Kecuali kondisi yang disebutkan diatas, antibiotik profilaksis tidak lagi direkomendasikan
“Profilaksis dianjurkan karena endotelialisasi materi prostetik terjadi dalam 6 bulan pasca tindakan

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis23
• Demam : akut dan subakut, menggigil, keringat, sepsis of unknown origin
• Anoreksia, penurunan berat badan, malaise
• Mialgia, artralgia
• Nyeri punggung
• Riwayat El sebelumnya, penyakit jantung bawaan (PJB), atau penyakit katup jantung

Pemeriksaan Fisik2 3 -
• Febris (dapat absen pada usia lanjut, setelah pre - terapi antibiotik, pasien
imunokompromais, dan El virulensi rendah atau organisme atipikal)
• Manifestasi kardiak : takikardi, murmur regurgitasi baru atau perburukan (pada
El akut murmur dapat absen namun pada akhirnya akan terdeteksi), gagal jantung

608
Endokarditis Infektif

kongestif akibat disfungsi katup atau fistula intrakardiak. Abses perivalvular


dapat menimbulkan perikarditis atau masuk ke dalam septum ventrikel atas dan
mengganggu sistem konduksi menimbulkan berbagai derajat blok jantung. Emboli
arteri koroner dapat menyebabkan infark miokard .
• Manifestasi non- kardiak
o Perdarahan subungual, nodus Osier (pada El S. aureus), lesi Janeway, Roth's
spots , petekia
o Nyeri muskuloskeletal, nyeri dada pleuritis, batuk (akibat emboli sepsis ),
infiltrat paru nodular, piopneumotoraks
o Splenomegali

Pemeriksaan Penunjang3
• Laboratorium : anemia, leukositosis, hematuria mikroskopis, peningkatan LED
dan protein C - reaktif, faktor rheumatoid , kompleks imun sirkulasi, penurunan
komplemen serum, tes serologis Brucella , Bartonella , Legionella , Chlamydophila
psittaci, dan C. burnetii
• Kultur darah
• Ekokardiografi : konfirmasi anatomis El, ukuran vegetasi, deteksi komplikasi
intrakardiak, dan penilaian fungsi jantung. Definisi anatomis dan ekokardiografi
dapat dilihat pada tabel 4.

Tabel 4. Definisi anatomis dan ekokardiografi2


Operasl / nekropsl Ekokardiografi
Vegetasi Massa yang terinfeksi melekat Massa intrakardiak pada katup
pada struktur endokardium, atau atau struktur pendukung yang
materi implan intrakardiak berosilasi atau tidak pada struktur
endokardium, atau materi implan
intrakardiak
Abses Kavitas perivalvular dengan Area perivalvular menebal, non -

nekrosis dan materi purulen yang homogen dengan gambaran


tidak berhubungan dengan lumen ekodens dan ekolusen
kardiovaskular
Pseudoaneurlsma Kavitas perivalvular berhubungan Ruang echo- free perivalvular
dengan lumen kardiovaskular yang pulsatile , dengan aliran yang
terdeteksi oleh Doppler warna
Perforasi Diskontinuitas jaringan Diskontinuitas jaringan endokardium
endokardium yang dilalui oleh Doppler warna
Fistula Hubungan antara 2 kavitasi melalui Hubungan Doppler warna antara 2
perforasi kavitasi melalui perforasi
Aneurisma katup Kantung sakular jaringan valvular Penonjolan sakular jaringan valvular
Dehisensi katup Dehisensi prostetik Regurgitasi paravalvular yang
prostetik diidentifikasi oleh TTE/TEE, dengan
atau tanpa gerakan prostetik

609
Panduan PrakUkMinis Kardioloai
Perhimpunan Dolder Spesialls Penyakit Dalam Indonesia W

PENDEKATAN DIAGNOSIS
Klinis curiga El

TTE

Katup prostetik
1
HE Positif Negatif
intracardiac kualitas rendah
device

I
Klinis curiga El

TEE 4
Tlnggi Rendah
I i
TEE Stop

Jika TEE (-) tapi masih curiga El, ulang TEE setelah 7-10 hari
Keterangan: TTE = transthoracic echocardiography , TEE = trans esophageal echocardiography

Gambar 1. Algoritma Pendekatan Diagnosis El2

Tiga sampel kultur darah independen


diinkubasi dalam kondisi aerob dan
anaerob

kultur (+)
1
Kultur ( -J dalam 48 jam

Tidak
i
Ya
Mulai terapi antibiotik
I
Gambaran klinis / echo
yang sesuai menunjukkan IE

I
Ya Tidak
I
Observasi pasien dan Kerjasama dengan lab
Memerlukan
pertimbangkan diagnosis lain mikrobiologi, Pertimbangkan
operasi
penunjang tambahan

1
Terapi sebagai kultur (-) IE
Tidak Ya
dengan regimen yang menutup
kemungkinan organism© ,
(ganti ke regimen sesuai ketika
organisme sudah teridentifikasi)

Terapi Kirim potongan Observasi pasien dan


medikamentosa katup atau materi pertimbangkan diagnosis
emboli ke patologi & lain
cryopreservation untuk
kemungkinan PCR

Gambar 2. Algoritma Pendekatan Diagnosis Mikrobiologis El2

6W
Endokarditis Infektif

DIAGNOSIS BANDING
Demam reumatik , atrial myxoma, endokarditis Libman -Sacks, non - bacterial
thrombotic endocarditis ( NTBE) .

TATALAKSANA

Tabel 5. Terapi Antibiotik El Akibat Streptokokus Oral dan Streptokokus Grup D


2

Dura si Komentar
Antibiotik Dosis dan rule pemberian (mlnggu)
Strains fully susceptible to penicillin (MIC <0, 125 mg / L)
Terapi standard
Penicillin G 12- 18 juta U /hari IV dalam 6 dosis 4° Lebih dipilih pada pasien >65
tahun atau gangguan fungsi
ginjal
atau
Amoxicillin 100-200 mg/kg/hari IV dalam 4-6 4a Dapat diganti dengan
dosis ampicillin dengan dosis yang
sama
atau
Ceftriaxone 2 g/hari IV atau IM dosis tunggal 4° Lebih dipilih pada pasien
rawat jalan
Terapi 2 minggu 0

Penicillin G -
12 18 juta U /hari IV dalam 6 dosis 2
atau
Amoxicillin 100-200 mg/kg/hari IV dalam 4-6 2 Dapat diganti dengan
dosis ampicillin dengan dosis yang
sama
atau
Ceftriaxone 2 g/hari IV atau IM dosis tunggal 2 Lebih dipilih pada pasien
rawat jalan
dengan
Gentamisin 3 mg/ kg/hari IV atau IM dosis 2 Fungsi ginjal dan konsentrasi
tunggal serum gentamisin sebaiknya
dimonitor tiap minggu. Pada
dosis tunggal, konsentrasi
serum pre- dose < 1 mg/ L dan
-
post dose ( puncak 1 jam
setelah injeksi) - 10- 12 mg/ L
atau
Netilmicin 4-5 mg / kg/ hari IV dosis tunggal 2
Pada pasien alergl beta laktam
Vancomycin 30 mg /kg/hari IV dalam 2 dosis 4a Konsentrasi serum vancomycin
mencapai 10- 15 mg/ L pada
pre-dose dan 30-45 mg/ L post -

dose (puncak 1 jam setelah


infus selesai)

611
®r&
Wl) *?:
Papuan Praktlk Kllnis
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
Kardiolo^
gi

Antibiotik Dosis dan rute pemberian Durasl


(mlnggu) Komentar
Strains relatively resistant to penicillin (MIC 0.125 - 2 mg / dL)
Terapl standard
Penicillin G 24 juta U /hari IV dalam 6 dosis 4°
atau
Amoxicillin 200 mg/kg/hari IV dalam 4-6 4a
dosis
dengan
Gentamisin 3 mg/kg/hari IV atau IM dosis 2 Fungsi ginjal dan konsentrasi
tunggal serum gentamisin sebaiknya
dimonitor tiap minggu. Pada
dosis tunggal, konsentrasi
serum pre-dose < 1 mg/ L dan
post - dose ( puncak 1 jam
-
setelah injeksi) 10- 12 mg/ L
Pada pasien alergi beta laktam
Vancomycin 30 mg/kg/hari IV dalam 2 dosis 4° Konsentrasi serum vancomycin
mencapai 10- 15 mg/ L pada
pre-dose dan 30-45 mg/L post-
dose ( puncak 1 jam setelah
infus selesai)
dengan
Gentamisin 3 mg/kg /hari IV atau IM dosis 2 Fungsi ginjal dan konsentrasi
tunggal serum gentamisin sebaiknya
dimonitor tiap minggu. Pada
dosis tunggal, konsentrasi
serum pre-dose <1 mg/L dan
post - dose ( puncak 1 jam

Keterangan :
-
setelah injeksi) 10- 12 mg/ L
°Terapi 6 miniggu pada PVE
bHanya padaNV E tanpa komplikasi

Tabel 6 . Terapi antibiotik El akibat Staphylococcus spp 2

Antibiotik Dosis dan rute pemberian Durasl


(minggu) Komentar
Katup asli
Methlclllin - susceptlble staphylococci
Flucloxacillin 12 g/hari IV dalam 4-6 dosis 4-6
atau
Oxacillin
dengan
Gentamisin 3 mg/kg/hari IV atau IM 3-5 hari Gentamicin tetap dianjurkan
dalam 2 atau 3 dosis pada PVE meskipun manfaat
klinisnya belum jelas. Fungsi ginjal
dan konsentrasi serum gentamisin
sebaiknya dimonitor tiap minggu,
pada pasien gagal ginjal 2x /
minggu. Saat diberikan dalam 3
dosis, konsentrasi serum pre-dose < 1
mg/ L dan post- dose (puncak 1 jam
setelah injeksi) 3- 4 mg/ L

612
Endokarditis Infektif m
Durasl Komentar
Antiblottk Dosls dan rute pemberlan (minggu)
Pasien alergi penlsllln atau stafllokokus reslsten methicillln
Vancomycin 30 mg/kg/hari IV dalam 4-6 Konsentrasi serum vancomycin
2 dosis mencapai 25-30 mg / L pada pre-
dose
dengan
Gentamisin 3 mg/kg /hari IV atau IM 2 Fungsi ginjal dan konsentrasi serum
dalam 2 atau 3 dosis gentamisin sebaiknya dimonitor
.
tiap minggu Pada dosis tunggal,
konsentrasi serum pre - dose < 1
mg/L dan post-dose (puncak 1 jam
setelah injeksi) -10- 12 mg / L
Katup prostetik
Methlclllin - susceptible staphylococci
( Flu) coxacillin 12 g /hari IV dalam 4-6 dosis >6
atau
Oxacillin
dengan
Rifampin 1200 mg / hari IV atau PO £6 Rifampin meningkatkan
dalam 2 dosis metabolisme warfarin dan obat
lainnya di hati. Sebaiknya digunakan
dalam kombinasi dengan obat lain
untuk mencegah resistensi
dan
Gentamicin 3 mg/kg/hari IV atau IM 2 Gentamicin tetap dianjurkan
dalam 2 atau 3 dosis pada PVE meskipun manfaat
klinisnya belum jelas. Fungsi ginjal
dan konsentrasi serum gentamisin
sebaiknya dimonitor tiap minggu,
pada pasien gagal ginjal 2 x /
minggu. Saat diberikan dalam 3
dosis, konsentrasi serum pre-dose < 1
mg/L dan post-dose (puncak 1 jam
setelah injeksi) 3- 4 mg / L
Pasien alergi penisilin atau stafllokokus resisten methlcillin
Vancomycin 30 mg/kg/hari IV dalam 2 >6 Konsentrasi serum vancomycin
dosis mencapai 25-30 mg / L pada pre-
dose
dengan
Rifampin 1200 mg/hari IV atau PO >6 Rifampin meningkatkan
dalam 2 dosis metabolisme warfarin dan obat
lainnya di hati. Sebaiknya digunakan
dalam kombinasi dengan obat lain
untuk mencegah resistensi
dan
Gentamisin 3 mg/kg/hari IV atau IM 2 Fungsi ginjal dan konsentrasi serum
dalam 2 atau 3 dosis gentamisin sebaiknya dimonitor
tiap minggu. Pada dosis tunggal,
konsentrasi serum pre - dose < 1
mg/L dan post-dose ( puncak 1 jam
-
setelah injeksi) 10-12 mg/ L

613
M,
I V/ - '
Panduan Praktik Kllnis Kardiologi
Perhimpunan Dokler Spesiolis Penyakil Dalam Indonesia w

Tabel 7. Terapi Antibiotik El Akibat Enterococcus spp 2

Antibiotik Dosis dan rute pemberlan Durasl


(mlnggu) Komentar
Beta -lactam and gentamicin susceptible strain (pada strain resisten lihatabc )
Amoxicillin 200 mg/kg/hari IV dalam 4-6 Terapi 6 minggu dianjurkan pada pasien
4-6 dosis dengan gejala >3 bulan dan pada PVE
dengan
Gentamisin 3 mg/kg /hari IV atau IM 4-6 Monitor kadar serum aminoglikosida dan
dalam 2 atau 3 dosis fungsi ginjal sesuai yang diindikasikan
pada tabel 6
atau
Ampicillin 200 mg /kg/hari IV dalam 4-6 Terapi 6 minggu dianjurkan pada pasien
4-6 dosis dengan gejala >3 bulan dan pada PVE
dengan
Gentamisin 3 mg/kg/hari IV atau IM 4-6 Monitor kadar serum aminoglikosida dan
dalam 2 atau 3 dosis fungsi ginjal sesuai yang diindikasikan
pada tabel 6
atau
Vancomycin 30 mg/kg/ hari IV dalam 6 Pada pasien alergi beta-lactam . Monitor
2 dosis serum vancomycin dapat dilihat pada
tabel 6
dengan
Gentamisin 3 mg/kg/hari IV atau IM 6 Monitor kadar serum aminoglikosida dan
dalam 2 atau 3 dosis fungsi ginjal sesuai yang diindikasikan
pada tabel 6
Keterangan :
“Resistensi tingkat tinggi terhadap gentamisin (MIC >500 mg/L): bila sensitif terhadap streptomycin, ganti
gentamicin dengan streptomycin 15 mg /kg / hari dibagi dalam 2 dosis. Jika tidak, gunakan terapi beta
-lactam
jangka panjang. Kombinasi ampicillin dengan ceftriaxone dianjurkan pada E. faecalis yang resisten terhadap
gentamicin
bResistensi beta-lactam : (i) bila akibat produksi beta-lactamase , ganti ampicillin dengan ampicillin sulbactam
-
atau amoxicillin dengan amoxicillin-clavulanate; (ii) bila akibat PBPS, gunakan rejimen berbasis vancomycin
cBila multiresistensi terhadap aminoglikosida, beta-lactam, dan vancomycin alternatif : (i) linezolid 2 x
600 mg IV / hari atau PO selama >8 minggu ( monitor toksisitas hematologis) ; (ii) quinupristin- dafopristin 3 x
7,5 mg / kg / hari selama >8 minggu; ( iii) kombinasi beta-lactam dengan imipenem ditambah ampicillin
atau
ceftriaxone ditambah ampicillin selama >8 minggu

Tabel 8 . Terapi Antibiotik El dengan Kultur Darah Negatif 2


Patogen Terapi anjuran Hasll terapi Komentar
Brucella spp. Doxycycline Sukses apabila Tambahan streptomycin 25
( 200 mg /24 jam) titer antibodi mg/kg / hari dalam 2 dosis
+ Cotrimoxazole < 1 :60 pada beberapa minggu
(960 mg/ 12 jam) pertama bersifat optional
+ Rifampin ( 300-600 mg/ 24 jam)
selama >3 bulan PO
Coxiella Doxycycline Sukses apabila Doxycycline + Hydroxychlo-
burnetti (Q ( 200 mg / 24 jam) titer anti-fase roquine ( dengan monitor
fever ) + Hydroxychloroquine IgG < 1 :200, titer kadar serum hydroxychloro-
( 200-600 mg / 24 jam) PO IgG dan IgM quine ) lebih superior diband-
atau < 1 :50 ing doxycycline sendiri dan
Doxycycline doxycycline^ fluoroquinolone
( 200 mg / 24 jam)
+ Kuinolon
( Ofloxacin 400 mg/ 24 jam) PO
selama >3 bulan

614
Endokarditis Infektif Q

Patogen Terapl anjuran Hasll terapl Komentar


Ceftriaxone ( 2 g / 24 jam) atau Diharapkan dilaporkan termasuk
Bartonella
spp. Ampicillin (atau Amoxicillin) ( 12 sukses pada aminopenicillin
g / 24 jam) IV >90% kasus
atau
Doxycycline ( 200 mg / 24 jam) Beberapa rejimen terapi dan
PO selama 6 minggu cephalosporin dikombinasikan
+ Gentamicin ( 3 mg/ 24 jam) dengan aminoglikosida ,
atau Netilmicin IV selama 3 doxycycline , vancomycin,
minggu dan kuinolon

Legionella Eritromisin (3 g/ 24 jam) IV Terapi optimal


spp. selama 2 minggu, kemudian PO tidak diketahui.
selama 4 minggu Karena high
+ Rifampin susceptibility,
( 300- 1200 mg/ 24 jam) maka kuinolon
atau Ciprofloxacin (1,5 g/24 sebaiknya
jam) PO selama 6 minggu disertakan

Mycoplasma Fluoroquinolon terbaru Terapi optimal Fluoroquinolon terbaru lebih


spp. tidak diketahui poten dibanding ciprofloxacin
terhadap patogen intraselular
seperti Mycoplasma spp . ,
.
L e g i o n e l l a s p p , dan
Chlamydia spp.

Tropheryma Cotrimoxazole Terapijangka Terapi ini bersifat empiris .


whipplei Penicillin G ( 1 ,2 juta U / 24 jam ) panjang, durasi Kesuksesan terapi dilaporkan
( agen dan Streptomycin ( 1 g / 24 jam) optimal tidak dengan terapi cotrimoxazole
penyakit IV selama 2 minggu, kemudian diketahui jangka panjang ( > 1 tahun) ,
Whipple ) Cotrimoxazole PO selama 1 y-interferon berperan sebagai
tahun pelindung p a d a i n f e k s i
atau intraselular dan telah diajukan
Doxycycline sebagai terapi adjuvan pada
( 200 mg / 24 jam) penyakit Whipple
+ Hydroxychloroquine
( 200-600 mg/24 jam) PO
selama >18 minggu

EVALUASI DAN TINDAK LANJUT TERAPI


Panduan evaluasi dan tindak lanjut terapi dapat dilihat pada tabel 9.

Tabel 9. Panduan Evaluasi Selama dan Setelah Terapi Antimikroba Selesai'


Dilakukan sebelum atau saat terapl selesai
Lakukan ekokardiogram transtorakal untuk menetapkan baseline baru
Rujukan rehabilitasi obat bagi pasien yang menyalahgunakan obat-obatan intravena
Edukasi tanda El, kebutuhan antibiotik profilaksis untuk beberapa tindakan invasif /bedah /
dental
menyeluruh dan tatalaksana apabila tidak dilakukan dalam evaluasi sebelumnya
Evaluasi dental
Cabut kateter IV segera saat terapi selesai
Tindak lanjut jangka pendek
Ambil 3 set kultur darah dari beberapa lokasi berbeda untuk semua penyakit demam dan sebelum
inisiasi terapi antibiotik
Pemeriksaan fisik untuk bukti adanya gagal jantung kongestif
Evaluasi toksisitas dari terapi antibiotik sebelumnya / saat ini

615
M PanduanPraktik Minis Kardiologi
—•
'
*
Ws'
*
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakit Dalam Indonesia

Tlndak lanjut jangka panjang


Ambil 3 set kultur darah dari beberapa lokasi berbeda untuk semua penyakit
demam dan sebelum
inisiasi terapi antibiotik
Evaluasi fungsi katup dan ventrikel ( ekokardiografi)
Edukasi pasien untuk oral hygiene dan kunjungan rutin ke dokter gigi

PEMBERIAN ANTIBIOTIK PROFILAKSIS


Rekomendasi pemberian antibiotik profilaksis dapat dilihat pada tabel 10.

Tabel 10. Rekomendasi Profilaksis pada Tindakan Dental dengan Risiko 2

Sltuasl Dosls tunggal 30 -60 menit sebelum tindakan


Antibiotik
Dewasa Anak
Tidak ada alergi Amoxicillin atau 2 g PO atau IV 50 mg/kg PO atau IV
terhadap penisilin atau ampisilin*
ampisilin
Alergi terhadap Klindamisin 600 mg PO atau IV 20 mg /kg PO atau IV
penisilin atau ampisilin
Keterangan : Sefalosporin sebaiknya tidak digunakan pada pasien dengan
anafilaksis, angioedema, atau urtikaria setelah
intake penisilin dan ampisilin. * Alternatif cephalexin 2 g IV atau 50 mg / kg IV untuk
anak, cefazolin atau ceftriaxone 1 g IV untuk
dewasa atau 50 mg/kg IV untuk anak

KOMPLIKASI
Kerusakan lokal pada endokardium atau miokardium, perforasi katup atau fistula
intrakardiak, abses paravalvular, abses miokardium, gagal jantung, abses ginjal, emboli
serebrovaskular.3

PROGNOSIS
Studi menunjukkan El dengan komplikasi gagal jantung, operasi katup dapat
menurunkan tingkat mortalitas sebesar 1 tahun.4 Tingkat mortalitas NVE bervariasi
sebesar 16- 27%, sedangkan PVE lebih tinggi. Lebih dari 50 % kasus menunjukkan
infeksi dalam 2 bulan pasca operasi. Tingkat fatalitas pacu jantung El dapat mencapai
34%.5 Prediktor prognosis burukpada pasien El dapat dilihat pada tabel.

Karakteristik pasien : usia tua, El katup prostetik, diabetes melitus insulin-dependent,


komorbiditas
(kelemahan, penyakit kardiovaskular, ginjal, paru sebelumnya)
Adanya komplikasi El : gagal jantung, gagal ginjal, stroke, syok sepsis, komplikasi
perianular
Mikroorganisme : 5. aureus, jamur, basil gram negatif
Temuan ekokardiografi : komplikasi perianular, regurgitasi berat katup sebelah ,
kiri fraksi ejeksi
ventrikel kiri rendah, hipertensi pulmonal, vegetasi besar , disfungsl prostetik berat ,
penutupan
katup mitral prematur dan tanda lain dari meningkatnya tekanan diastolik

616
Endokarditis Infektif

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Kardiovaskular
• RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Departemen Patologi Klinik
• RS non pendidikan : Bagian Patologi Klinik

REFERENSI
1 . .
Baddour LM, Taubert KA, Gewitz MH, Wilson WR. Infective Endocarditis In : Fuster V The AHA .
.
Guidelines and Scientific Statements Handbook American Heart Association Texas: Willey- .
Blackwell. 2009. Hal 312-35.
2 . Habib G, Hoen B, Tornos P, et al. Guidelines on the prevention, diagnosis, and treatment of
.
infective endocarditis ( new version 2009) The Task Force on the Prevention, Diagnosis, and
.
Treatment of Infective Endocarditis of the European Society of Cardiology (ESC) European Heart
Journal 2009:30; 2369-2413 .
3. Karchmer AW. Infective Endocarditis. In : Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL,
,
Loscalzo J. Harrison' s Principles of Internal Medicine. 18 Edition. New York, McGraw-Hill. 2012.
h

4. .
Kiefer T, Park L, Tribouilloy C, Cortes C, Casillo R, Chu V, et al Association between valvular surgery
and mortality among patients with infective endocarditis complicated by heart failure. JAMA.
Nov 23 2011:306( 20):2239-47 .
5. Wallace SM, Walton Bl, Kharbanda RK, Hardy R, Wilson AP, Swanton RH. Mortality from infective
endocarditis: clinical predictors of outcome. Heart. Jul 2002:88( 1 ) :53-60.

617
618

PENYAKIT KATUP JANTUNG

PENGERTIAN
Penyakit katup jantung adalah gangguan dari katup jantung, yaitu jarih&aftryang
.
ntengatur aliran darah melalui b’ilik jantung 1 Pada bab ini akan dibahas mehgenai
stenosis IMitral dan regurgitasi, aorta stenosis dan regurgitasi.

STENOSIS MITRAL
PENGERTIAN
Stenosis Mitral adalah penyempitan atau konstriksi dari katup mitral, yaitu katup
yang memisahkan atrium kiri dengan ventrikel kiri.2

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis
Sesak napas yang diperberat aktivitas, paroxysmal nocturnal dyspnea, orthopnea,
fatigue.3

PanduanPraktlkKIInis
P<MhimDunan Ooktw Spesloli PmiyoWi Dobrn Indarmtfa
Penyakit Katup Jantung

Pemeriksaan Fisik
Opening snap, loud SI ( closing snap ), diastolic rumbling murmur dengan hipertensi
pulmonal, a parasternal lift with a loud P2?

Pemeriksaan Penunjang3 4 5
• Elektrokardiogram: pembesaran atrium kiri, fibrilasi atrial, hipertrofi ventrikel
kanan
• Rontgen thorax: pembesaran atrium kiri dan ukuran ventrikel normal
• Echokardiografi dua dimensi: penebalan katup mitral dengan keterbatasan gerakan
katup dan berkurangnya diameter katup.
• -
Doppler echokardiografi: peningkatan tekanan trasmitral dan pressure half time
memanjang
• Kateter jantung: peningkatan tekanan baji kapiler paru, gradient transmitral
biasanya > 10 mmHg, pada kasus berat di area katup mitral < 1 cm 2.

DIAGNOSIS BANDING,
Atrial septal defect dalam klinis, EKG dan rontgen thorax seringkali mirip dengan
stenosis Mitral yaitu ditemukannya pembesaran ventrikel kanan dan peningkatan
vaskularisasi paru, left atrial myxoma dapat menghalangi pengosongan atrium kiri
menyebabkan dyspnea dan murmur diastolik.4

TATALAKSANA3
• Nor farmakologis: diet rendah natrium, olahraga
• Farmakologis
• Beta bloker, kalsium channel bloker, diuretik, digoksin
• Perkutaneus BMV
• Pembedahan: closed commissurotomy, open commissurotomy, dan mitral valve
replacement

Algoritme terapi stenosis mitral dapat dilihat pada gambar 1.

619
/ft PanduanPraktik Klims Kardiologi
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
'

Stenosis Mitral simptomatik


I
Anamnesis, pemeriksaan fisik, EKG, echo / doppler

r
Stenosis ringan, area
Stenosis sedang-berat,
katup mitral > 1 ,5 cm2
area katup mitral < 1 ,5 cm2
I
Latihan

PASP > 60 mmHg


PAWP > 25 mmHg Morfologi katup
MVG > 15 mmHg baik untuk PMBV
I I
r
tidak ya tidak
ya
I I
Morfologi katup
Follow up Hipertensi pulmonal berat,
baik untuk PMBV
per tahun tekanan arteri paru > 60 mmHg
1
tidak ya
\ ya tidak

I
t
Follow up Pertimbangkan Follow up
per 6 bulan PMBV per 6 bulan
Pertimbangkan
commisurotomy atau mitral
valve replacement
Keterangan :
PASP = Pulmonary Artery Sistolic Pressure
PAWP = Pulmonary Artery Wedge Pressure
MVG = Mean Mitral Valve Pressure Gradient
PMBV = Percufaneous Mitral Balloon Valvotomy

Gambar 1. Aigoritma Tatalaksana Stenosis Mitral 4

Tabel 1 . Penilaian Anatomi Katup Mitral Berdasarkan Wilkins Score9


Nllal Mobllitas Penebalan Kalslflkasl
Penebalan
subvalvular
1 Katup bebas Penebalan ujung Pada echo tampak 1 Sedikit penebalan,
bergerak dengan mendekati normal ( 4-5 area terang hanya pada
ujungnya sedikit mm ) bagian bawah
terbatas katup mitral
2 Mobilitas normal Bagian tengah normal, Area terang tampak Penebalan struktur
pada katup bagian banyak penebalan menyebar a batas chordal sepanjang
tengah dan dasar pada tepi ( 5-8 mm) katup 1 / 3 chordal
3 Katup terus-menerus Penebalan pada Area terang tampak Penebalan sampai
bergerak maju setiap katup ( 5-8 mm) pada bagian tengah 1 ./3 distal chordal
selama diastol, katup
terutama dari dasar
4 Mobilitas minimal Banyak penebalan Tampak banyak area Banyak penebalan
atau tidak ada pada jaringan katup terang pada jaringan dan pemendekan
pergerakan katup ( >8- 10 mm) katup pada struktur
selama diastol. chordal sampai
muskulus papilary
Penilaian:
Karakteristik yang baik untuk PMBV adalah jika wilkins score <8
>8 = keberhasilan rendah untuk PMBV

620
Penyakit Katup Jantung fg|
(

STENOSIS MITRAL PADA KEHAMILAN


Pada kehamilan, wanita dengan stenosis Mitral ringan sampai sedang dapat
diterapi dengan diuretik dan beta bloker. Obat antiaritmia yang disarankan adalah
quinidine atau procainamide. Jika memerlukan antikoagulan, sebaiknya berikan
heparin, hindari warfarin. Pada stenosis Mitral berat, bila anatomi katup mitral baik,
pertimbangkan percutaneus balloon valvuloplasty.3

REGURGITASI MITRAL
PENGERTIAN
Regurgitasi mitral ( RM ) adalah aliran balik darah dari ventrikel kiri ke atrium kiri
karena insufisiensi dari katup mitral.6

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis
Dyspnea karena latihan, orthopnea, paroxysmal nocturnal dyspnea .5

Pemeriksaan Fisik
Holosistolik murmur menjalar ke aksila, S3, pergeseran apex jantung.5

Pemeriksaan Penunjang4 5
• EKG: pembesaran atrium kiri, hipertrofi ventrikel kiri
• Rontgen thorax: pembesaran jantung kiri
• Echokardiografi : pada mitral regurgitasi yang kronis dan berat dapat ditemukan
pembesaran atrium dan ventrikel kiri
• Doppler echokardiografi: pada MR berat dapat ditemukan j et regurgitasi yang besar
• Kateter jantung: peningkatan tekanan baji kapiler paru ( PCWP) , ventrikulografi:
regurgitasi kontras ke atrium kiri

DIAGNOSIS BANDING
-
Stenosis aorta > murmur pada stenosis aorta dapat menyerupai mitral regurgitasi,
terutama bila murmur mitral regurgitasi atipik atau menjalar ke area aorta, ventricular
septal defect, prolaps katup mitral.3

621
tfS P
*»*i*n Praktik Klials
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakll Dalam Indonesia
Kardiologi
w

TATALAKSANA4 5
• RM asimptomatik tanpa pembesaran ventrikel kiri, ritme sinus : hindari olahraga
atau latihan isometrik, ekokardiografi ulang setiap 6 bulan
• RM kronik: antikoagulan, ACE inhibitor, pembedahan
• RM akut: vasodilator nitropruside, jika terjadi hipotensi : intra - aortic balloon
counterpulsation
• Pembedahan : valvuloplasti
• Indikasi :
o Regurgitasi mitral kronik, berat, atau non iskemik .
o Hipertensi pulmonal : tekanan arteri pulmonal > 50 mmHg saat istirahat atau
> 60 mmHg saat aktivitas.

PROGNOSIS
Mitral regurgitasi kronik memiliki prognosis lebih baik daripada akut . 3

MITRAL REGURGITASI PADA KEHAMILAN


Regurgitasi mitral pada kehamilan biasanya ditoleransi dengan baik meskipun
berat, tetapi disfungsi ventrikel kiri dapat menyebabkan gagal jantung. Manajemennya
adalah pemberian diuretik, dan pembedahan jika dibutuhkan . Pembedahan yang
disarankan adalah mitral valve repair diindikasikan bila mitral regurgitasi berat, akut
atau ruptur chordae dan gejala gagal jantung tidak terkontrol .

STENOSIS AORTA
PENGERTIAN
Stenosis aorta adalah penyempitan pada katup aorta yaitu katup antara ventrikel
kiri dengan aorta .

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis
Angina pektoris , sinkop, gejala gagal jantung kongestif: dyspnea saat aktivitas,
orthopnea , paroxysmal nocturnal dyspnea .7

622
Penyakit Katup Jantung

Pemeriksaan Fisik
Murmur ejeksi sistolik ; medium pitched , baik terdengar pada area aorta menjalar
sampai arteri karotis, carotid upstroke ; volume rendah, keterlambatan mencapai
amplitudo puncak. 7

Pemeriksaan Penunjang3 5
• EKG : pembesaran atrium kiri , hipertrofi ventrikel kiri
• Rontgen thorax: boot-shaped heart, pada foto lateral tampak kalsifikasi katup aorta
• Echokardiografi : penebalan katup aorta, berkurangnya mobilitas katup, hipertrofi
ventrikel kiri konsentris. Doppler echokardiografi: meningkatnya tekanan gradient
transvalvular dan menurunnya area aorta, gradient rata- rata > 50 mmHg ( pada
kasus berat].
• Kateter jantung: meningkatnya left ventricular end - diastolic pressure , gradient
transaorta 50 mmHg, area katup aorta < 0,7cm2.

DIAGNOSIS BANDING
Sindrom koroner akut, mitral regurgitasi, stenosis Mitral , prolaps katup mitral,
miokard infark.

TATALAKSANA3 4
• Hindari aktivitas berat
• Terapi simptomatik
o Hipertensi : ACE inhibitor (perlu hati-hati dalam penggunaannya karena dapat
menyebabkan hipotensi, penggunaan ACE inhibitor pada pasien asimptomatik
tidak direkomendasikan], beta bloker
o Angina: nitogliserin
o Statin untuk memperlambat kalsifikasi katup aorta
• Transcateter Aortic Valve Implantation (TAVI)
• Pembedahan: aortic valve replacement
Indikasi :
o Stenosis aorta berat: area katup < 1 cm2 atau 0,6 cm2 / m2 area permukaan tubuh
o Disfungsi ventrikel kiri
o Aneurisma atau expanding aortic root (dimensi maksimal > 4.5 cm atau
peningkatan ukuran > 0.5 cm / tahun ) .
o Hipertrofi ventrikel kiri dengan ketebalan dinding > 15 mm

623
PanduanPrakUk Kllnls Kardioloqi
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
^

PROGNOSIS
Rata - rata kematian sebesar 5% dalam 3 bulan setelah gejala muncul, 75% dalam
3 tahun setelah gejala muncul, bila tidak dilakukan intervensi pembedahan.3

AORTA STENOSIS PADA KEHAMILAN


Bila aorta stenosis berat, lakukan balloon valvuloplasty atau valve replacement.

REGURGITASI AORTA
PENGERTIAN
Regurgitasi aorta adalah aliran balik darah dari aorta ke dalam ventrikel kiri karena
insufisiensi katup semilunaris aorta.6

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis
Dyspnea, orthopnea, proxismal nocturnal dyspnea, angina, sinkop.5

Pemeriksaan Fisik
Kronik: Diastolic blowing murmur pada batas kiri sternum, sirkulasi hiperdinamik,
.
perubahan point maximal impulse Akut: short diastolic blowing murmur, soft SI .5

Pemeriksaan Penunjang4 5 8
• EKG: pembesaran atrium kiri, hipertrofi ventrikel kiri
• Rontgen thorax: kronik -> pembesaran jantung, uncoiling of the aorta , akut
kongesti paru dengan ukuran jantung normal.
• Echokardiografi: kronik -> pembesaran ventrikel kiri, large Doppler jet pressure
halftime < 400 ms, akut -> ventrikel kiri belum membesar
• Kateter jantung tekanan pulsasi lebar, aortografi: regurgitasi kontras ke ventrikel
kiri

DIAGNOSIS BANDING
Mitral stenosis , regurgitasi pulmonal, stenosis tricuspid.

624
Penyakit Katup Jantung

TATALAKSANA4 5 8
• Kronik:
Vasodilator jika asimptomatik dan fungsi ventrikel kiri normal
Pembedahan
• Akut: vasodilator
• Pembedahan: aortic valve replacement
Indikasi:
o Kronik: adanya gejala , ejection fraction < 0,55, end -systolic diameter > 55 mm
o Akut: gagal jantung (walaupun ringan)

PROGNOSIS
Dengan aortic valve replacement , rata- rata kematian 3-4% dan bertahan selama
5 tahun sebesar 85%.3

REGURGITASI AORTA PADA KEHAMILAN


Regurgitas aorta kronik tanpa disfungsi ventrikel kiri biasanya ditoleransi dengan
baik, bahkan yang dengan gejala. Manajemen dengan vasodilator, diuretik, dan restriksi
garam. Indikasi pembedahan yaiutu pada aorta regurgitasi akut atau yang gejalannya
tidak dapat dikontrol.

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Kardiovaskular
• RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Departemen Bedah Jantung, Departemen Rehabilitasi Medik
• RS non pendidikan Departemen Bedah Jantung, Departemen Rehabilitasi Medik

REFERENSI
1. Mosby’s Medical Dictionary, 8th edition. © 2009, Elsevier.
2 . The American Heritage® Medical Dictionary Copyright © 2007, 2004 by Houghton Mifflin Company .
Published by Houghton Mifflin Company.
3. .
Bryg, Robert J. Stenosis Mitral Dalam: Crawford, Michael H. Current Diagnosis & Treatment
Cardiology 3rd Edition. The MacGraw Hills Companies. 2009.
4. Valvular Heart Disease. Dalam: Fauci A, Kasper D, Longo D, Braunwald E, Hauser S, Jameson J,
,
.
Loscalzo J, editors Harrison' s principles of internal medicine. 18 ed. United States of America;
h

The McGraw-Hill Companies, 2011.

625
(
f,> Panduan Praktik Klinls Kardiologi
*
PmtilmDinrOri OofcliK Sixrtk
^
i Pftnyuklt DrAirn irvlooevo

5. . . .
Carabello, Blase A Valvular Heart Disease. Dalam: Ausiello. Goldman Cecil Medicine 23,d edition
Saunders: Phlladhelphia. 2007 .
6. .
Dorland' s Medical Dictionary for Health Consumers © 2007 by Saunders, an Imprint of Elsevier.
7 . . .
Carabello, blase A Crawford, Michael H Aortic stenosis. Dalam:' Crawford, Michael H. Current
Diagnosis & Treatment Cardiology 3,d Edition. The MacGraw Hills Companies. 2Q09.
8. . .
Zoghbi, William A Crawford, Michael H Aortic Regurgitation. Dalam: Crawford. Michael H. Current
.
Diagnosis & Treatment Cardiology 3,d Edition The MacGraw Hills Companies. 2009.
.
9 .
Bonser, Robert Pagano, Domenico. Haverich, Ax§l. Steriosis Mitral Surgery. Springer. 2011.

626
627

PERIPARTUM CARDIOMYOPATHY

PENGERTIAN
Peripartum cardiomyopathy (PPCM ) merupakan suatu kardiomiopati idiopatik
dengan gagal jantung sekunder akibat disfungsi sistolik ventrikel kiri pada akhir masa
kehamilan atau dalam bulan menjelang persalinan, dan merupakan suatu diagnosis
eksklusi.1 Kriteria diagnosis PPCM yaitu:2
1. Berkembangnya gagal jantung pada akhir bulan masa kehamilan atau dalam 5
bulan pasca persalinan
2 . Disfungsi sistolik ventrikel kiri (fraksi ejeksi ventrikel kiri < 45%)
3. Penyebab gagal jantung tidak dapat diidentifikasi, dan
4. Tidak ditemukannya penyakit jantung sebelum bulan terakhir masa kehamilan
PPCM berkembang selama trimester akhir atau dalam 6 bulan pertama kehamilan,
dengan frekuensi 1: 3.000 dan 1:15.000 kelahiran. Faktor risikonya antara lain
meningkatnya usia maternal, paritas, kehamilan kembar, malnutrisi, penggunaan
terapi tokolitik pada kehamilan prematur, dan preeklampsia.3

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis1 3 4
• Tanda dan gejala awal PPCM seringkali menyerupai fisiologis normal kehamilan
dan dapat meliputi kelelahan, edema perifer, sesak napas terutama saat beraktivitas
( dyspnea on exertion ), orthopnea, paroxysmal nocturnal dyspnea, dan batuk kering
persisten .
• Gejala tambahan: rasa tidak nyaman pada abdomen akibat kongesti hati, pusing,
nyeri prekordial, palpitasi, pada stadium lanjut dapat terjadi hipotensi postural,
anemia
• Riwayat PPCM pada kehamilan sebelumnya
• Riwayat gagal jantung, miopati skeletal, gangguan konduksi dan takiaritmia,
kardiomiopati, sudden death dalam keluarga
• Riwayat kebiasaan minum alkohol, narkoba, kemoterapi, atau terapi radiasi

PanduanPraktikKIinls
Perhimpunan Dokler Spesiafis Penyakil Dalam Indonesia
PanduanPnktlk Kllnis Kardioloqi
'WUJr Perhimpunan Dokter Speslalis Penyakil Dalam Indonesia

Pemeriksaan Fisik14
• Konjungtiva anemis , takikardia, tekanan darah dapat normal atau meningkat,
peningkatan tekanan vena jugularis (JVP)
• Bunyi jantung ke - IIl ( + ), pergeseran impuls apeks ( displaced apical impulse ),
murmur baru yang konsisten dengan regurgitasi mitral dan trikuspid
• Ronki basal paru ( + )
• Bunyi jantung ke - 11 yang loud atau split , ronki ( + ) -> tanda hipertensi pulmonal

Pemeriksaan Penunjang14
• Laboratorium : darah perifer lengkap, parameter biokimia, fungsi tiroid, skrining
sepsis, serologi virus, marker molekular
• Marker jantung : troponin T (ditentukan dini setelah onset PPCM ) , peningkatan
B- type natriuretic peptide (BNP) dan N - terminal pro - BNP ( NT-proBNP)
• EKG : umumnya tidak spesifik. Dapat menunjukkan gambaran ritme sinus atau
sinus takikardia, dapat terjadi atrial fibrilasi atau ventrikel takikardia terutama
bila disfungsi sistolik ventrikel kiri menjadi kronis
• Radiologis:
' Foto toraks : dapat ditemukan kardiomegali, edema paru/ kongesti, efusi pleura
1 o

o Ekokardiografi : tidak diagnostik untuk PPCM , namun penting untuk


menyingkirkan penyebab gagal jantung lainnya, melihat EF, besar ventrikel
kiri
o Cardiac magnetic resonance imaging ( MRI): menilai struktur dan fungsi jantung,
deteksi fibrosis miokard
• Biopsi endomiokard : tidak rutin dilakukan karena pola mikroskopik spesifik
PPCM tidak ada

DIAGNOSIS BANDING

Pre-existing idiopathic dilated cardiomyopathy ( IDC) yang terungkap saat hamil ,


pre -existing familial dilated cardiomyopathy (FDC) yang terungkap saat hamil , HIV /
AIDS cardiomyopathy, pre - existing valvular heart disease yang terungkap saat hamil ,
penyakit jantung hipertensi (hypertensive heart disease ), pre - existing unrecognized
congenital heart disease , infark miokard terkait kehamilan, emboli paru. 4

628
Peripartum Cardiomyopathy

TATALAKSANA'

• Gagal jantung akut pada PPCM


o Inisial:
1. Suplementasi oksigen hingga saturasi oksigen arteri > 95%
2. Furosemid 20 - 40 mg IV bolus bila ada kongesti atau volume overload
3. Nitrogliserin 10 - 20 hingga 200 pg / menit IV pada pasien dengan tekanan
sistolik > 110 mmHg dan diberikan dengan hati-hati pada sistolik 90-110
mmHg.
4. Pertimbangkan agen inotropik (mis. dobutamin) bila ada tanda hipoperfusi
jaringan (akral dingin, kulit lembab, vasokonstriksi, asidosis, gangguan
ginjal, disfungsi hati, gangguan kesadaran) atau pada kongesti persisten
setelah administrasi vasodilator dan / atau diuretik
o Dukungan ventilator mekanik dan transplantasi jantung: apabila pasien
-
bergantungpada agen inotropik atau intra aortic balloon pump counterpulsation,
meskipun telah mendapat terapi medis optimal.

Gagal jantung stabil pada PPCM


o Farmakologis
-
Pasca persalinan > mengikuti tatalaksana gagal jantung
-
Antepartum: kombinasi hydralazine /diuretik dan nitrat long acting , diuretik
(furosemid, hidroklortiazid / HCT), beta blocker, terapi antitrombosis
(warfarin, heparin). Kontraindikasi: ACE inhibitor,ARB, antagonis aldosterone,
o Cardiac resynchronization therapy and implantable cardioverters/ defibrillators
sesuai indikasi
o Strategi terapeutik baru
Bromocriptine 2 x 2,5 mg / hari selama 2 minggu, dilanjutkan dengan 1 x
2,5 mg / hari selama 4 minggu
Skrining awal PPCM dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1 . Skrining Awal PPCM (Fett JD, 2011)4
Tanda / gejala Karakteriitik Skorlng
Orthopnea (sulit bernapas saat berbaring) Tidak ada 0
Perlu elevasi kepala
Perlu elevasi kepala > 45° 2
Dispnea (napas pendek saat beraktivitas ) Tidak ada 0
Menaiki 8 anak tangga
Berjalan menanjak 2

629
W Kardiologi

Tanda / gejala Karakterlstlk Skoring


Batuk kering yang tidak diketahui penyebabnya Tidak ada 0
Malam hari 1
Siang dan malam 2
Bengkak pada ekstremitas bawah Tidak ada 0
Dibawah lutut 1
Diatas dan dibawah lutut 2
Kenaikan berat badan berlebih (selama <1 kg/minggu 0
trimester III) 1-2 kg/minggu 1
>2 kg/minggu 2
Palpitasi ( sensasi denyut jantung ireguler) Tidak ada 0
Saat berbaring di malam hari 1
Siang dan malam, semua posisi 2
-
Interpretasi skoring: <4 monitor BNP dan protein C-reaktif; 4 - perlu investigasi lebih lanjut; >5 - selalu
berhubungan dengan disfungsi sistolik ventrikel kiri

KOMPLIKASI
Gagal jantung kronis, kematian.13'4

PROGNOSIS
Pemulihan fungsi sistolik terjadi pada 23-41% danbiasanyaterjadi dalam 6 bulan
setelah onset gejala . Pemulihan fraksi ejeksi cepat seringkali terlihat pada pasien
setelah diagnosis inisial dan diuresis. Fraksi ejeksi > 45% pada 2 bulan setelah diagnosis
memberikan prognosis pemulihan fungsional secara penuh pada 75% wanita. Akan
tetapi suatu studi melaporkan mortalitas 28% dapat terjadi hingga 2 tahun setelah
terdiagnosis meskipun telah terjadi pemulihan fungsional. Sekitar 50% wanita tanpa
pemulihan fungsi sistolik sempurna, sebagian memperoleh perbaikan fraksi ejeksi
atau status fungsional, sementara lainnya mengalami disfungsi sistolik persisten
atau progresif sehingga membutuhkan transplantasi atau berakibat pada kematian. 4

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Kardiovaskular
• RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Medical High Care / ICCU
• RS non pendidikan : ICCU

630
Peripartum Cardiomyopathy

REFERENSI
1 Sliwa K, Hilfiker-Kleiner D, Petrie MC, et al. Current state of knowledge on aetiology, diagnosis,
management, and therapy of peripartum cardiomyopathy: a position statement from the
Heart Failure Association of the European Society of Cardiology Working Group on peripartum
cardiomyopathy. European Journal of Heart Failure ( 2010) 12, 767-778. Diunduh dari http:/ /eurjhf.
oxfordjournals.org / pada tanggal 6 Juni 2012.
2. .
Morales A, Painter T, Li R, et al Rare Variant Mutations in Pregnancy-Associated or Peripartum
Cardiomyopathy. Circulation 2010:121:2176-2182. Diunduh dari http:/ / circ.ahajournals org/ .
content / 121 / 20/ 2176 pada tanggal 6 Juni 2012 .
3. .
Loscalzo J, Stevenson LW Cardiomyopathy and Myocarditis. In: Longo DL, Fauci AS, Kasper DL,
Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J. Harrison' s Principles of Internal Medicine. 18 Edition. New York,
lh

.
McGraw-Hill 2012.
4. .
Aursulesei V, Datcu MD Peripartum Cardiomyopathy: A Systematic Review. In: Veselka J.
Cardiomyopathies - From Basic Research to Clinical Management. Croatia, Intech 2011. Hal .
.
83 - 116. Tersedia di http:/ /www.intechopen com/books/cardiomyopathies-from-basic-research-
to-clinical-management

631
632

PERIKARDITIS

PENGERTIAN
Perikardium adalah lapisan avaskular yang melapisi jantung, terdiri dari 2 bagian
yaitu perikardium viseralis dan parietalis. Perikardium viseralis merupakan membran
serosa yang terdiri dari satu lapisan tersusun atas sel mesotelial dan menempel pada
jantung, sedangkan perikardium parietalis merupakan membran fibrosa dengan tebal
< 2 mm yang banyak mengandung kolagen dan sedikit elastin . Perikardium viseralis
dan parietalis dipisahkan oleh cairan yang berasal dari ultrafiltrasi plasma dalam
jumlah sedikit ± 15 - 35 ml . Fungsi dari perikardium yaitu :u
• Mencegah dilatasi jantung tiba-tiba terutama pada atrium dan ventrikel kanan
selama aktivitas dan hipervolemia.
• Menjaga posisi anatomis jantung dan mencegah terlipatnya pembuluh darah besar
• Mengurangi gesekan antara jantung dan struktur sekitarnya
• Mencegah perpindahan letak jantung
• Mengurangi risiko penyebaran infeksi dari paru - paru dan rongg pleura
Walaupun perikardium mempunyai fungsi yang penting, tidak adanya perikardium
karena kelainan kongenital ataupun operasi, tidak menimbulkan keluhan klinis. Salah
satu kelainan yang dapat terjadi pada perikardium yaitu perikarditis . Perikarditis
adalah peradangan pada perikardium viseralis dan / atau parietalis yang dapat
diklasifikasikan berdasarkan keadaan klinis dan etiologi.1

Tabel 1. Klasifikasi Perikarditis Berdasarkan Keadaan Klinis 1


Perikarditis akut ( < 6 minggu) Fibrinosa
Efusi (serousa dan sanguineous )
Perikarditis subakut ( 6 minggu-6 bulan) Effusive-constrictive
Constrictive
Perikarditis kronik (> 6 bulan) Constrictive
Efusi
Adhesif ( non Constrictive )

PanduanPraktik Klinis
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
Perikarditis

Tabel 2. Klasifikasi Perikarditis berdasarkan Etioiogl12


Perikarditis infeksi Virus (coxsackievirus A and B, echo virus, mumps , adenovirus,
hepatitis, HIV)
.
Pyogenic ( pneumokukus, streptokokus, stafilokokus Neisseria,
Legionella )
Tuberkulosis
Jamur (histoplasmosis, kokidiomikosis, kandida, blastomikosis )
Lain-lain ( sifilis, protozoa, parasit)
Perikarditis non infeksi Infark miokar akut
Uremia
Keganasan (primer atau metastasis ke perikardium)
Myxedema
Kolesterol
Chylopericardium
Trauma ( penetrasi dinding dada dan tidak penetrasi)
Diseksi aota ( dengan kebocoran ke dalam rongga perikardium)
Setelah radiasi
Familial Mediterranean fever
Perikarditis familial ( Mulibrey nanism )
Idiopatik
Whipple ' s disease
Sarkoidosis
Perikarditis berhubungan • Demam reumatik
dengan hipersensitivitas • Penyakit kolagen vaskular ( SLE/system/c lupus erythematosus ) ,
atau autoimun
artritis reumatoid, spondilitis ankilosing, skleroderma, demam
reumatik akut, granulomatosis dengan poliangitis/ wegener 's)
• Obat-obatan (prokainamid, hidralazin, fenitoin, isoniasid,
minoksidil, antikoagulan, metisergid
• Setelah penyakit jantung seperti infark miokard, perikardiotomi,
trauma.

Perikarditis rekurens adalah perikarditis yang memenuhi kriteria :


3

• Intermiten (gejala yang bervariasi disertai ada interval bebas gejala tanpa terapi]
• Terjadi terus- menerus ( penghentian OAINS / Obat Anti Inflmasi Non Steroid pasti
menyebabkan relaps
Perikarditis rekurens terjadi karena insufisiensi dosis dan / atau durasi yang tidak
cukup dari kortikosteroid pada penyakit perikard autoimun, terapi kortikosteroid
yang terlalu dini menyebabkan bertambahnya replikasi virus DNA / RNA pada jaringan
perikard, reinfeksi , dan eksaserbasi panyakit jaringan ikat.

633
jffs
i wfry
Panduan PraktikKllnis Kardiolog
w
i
Perhimpunan Dokler Spesralis Penyakif Dalam Indonesia

PENDEKATAN DIAGNOSIS
Tabel 3. Diagnosis perikarditisM
Anamnesis Pemeriksaan flsik Pemeriksaan penunjang
Perikarditis • Nyeri dada tiba-tiba • Tampak cemas, subfe- • Laboratorium : leukosisto-
akut yang terkadang bril , sinus takikardia sis, limfosistosis ringan.
berat, dirasakan • Pada auskultasi terden- • Peningkatan creatine
di retrosternal dan gar friction rub pada kinase MB (CKMB) atau
dada sebelah kiri akhir ekspirasi di bagian troponin I
( precordial ) , pen- bawah batas sternalis • Rontgen toraks : normal
jalaran yang khas ke sinistra, terdengar jelas pada perikarditis akut
trapezius ridge ,teta- jika pasien membung- yang tidak komplikasi.
pi dapat menjalar ke kuk. Dapat ditemukan kelain-
leher, lengan, atau an-kelainan sesuai etiologi
bahu kiri Nyeri sering. penyebabnya.
bersifat pleuritic, dira- • EKG : ST elevasi cekung
sakan seperti tertusuk ( bedakan dengan infark
( tajam) , bertambah jantung akut dan repolari-
berat dengan batuk,
inspirasi, dan tidur
.
sasi dini)
• Echocardiography :
terlentang. menentukan adanya
• Sesak napas cairan pericardial, iokasi ,
• Batuk dan jumlahnya. Jantung
• Demam dapat bergerak bebas
• Riwayat penyaki dalam perikardium
sistemik, keganasan, • Computed tomogra-
autoimun ( tabel 2) phy (CT ) atau magnetic
resonance imaging ( MRI ) :
mengetahui Iokasi cairan,
penebalan perikardium,
dan massa perikardium.
Efusi • Asimptomatik, ke- • Pada palpasi : iktus kor- • Rontgen toraks : jantung
perikard / cuali sudah terjadi dis dapat tidak teraba tampak normal jika jumlah
tamponade • Pada auskultasi : bunyi cairan efusi sedikit . Jika
tamponade • Jika sudah terjadi jantung dapat terden- cairan efusi bertambah,
tamponade : sesak gar menjauh, friction jantung tampak mem-
napas, nyeri dada rub tidak terdengar, bulat. Pada posisi lateral,
bunyi napas pada tampak daerah lusen
basal paru dapat berbentuk linear antara
menghilang, ewart ' s dinding dada dan jantung
sign yaitu adanya bagian anterior yang
bagian redup, pening- menandakan terpisahnya
katan fremitus ( ego- lemak parietal perikari-
foni) di bawah sudut dum dari epikardium.
skapula kiri • EKG : low voltage and
• Trias Beck : hipotensi, electrical alternans
muffled heart sounds, • Echocardiography :
dan peningkatan daerah lusen di antara
tekanan vena jugular . perikardium viseralis dan
• Tanda-tanda shok : parietalis. Cairan efusi
takipnea, diaforesis, yang sedikit dapat terlihat
akral dingin, sianosis di ventrikel kiri postero-
perifer . basal.
• Computed tomography
(CT) atau cardiac magnetic
resonance (CMR) : men-
tukan kuantitas dan Iokasi
regional dari cairan efusi

634
Perikarditis

Anamnesis Pemerlksaan flslk Pemerlksaan penunjang


Perikarditis • Sesak napas, batuk, • Lemas, musc /e wasting • Rontgen toraks : jantung
konstriktiva orthopnea . • Edema ekstremitas tampak membesar.
inferior, tanda-tanda Pada foto lateral tam-
kongestif hepar ( asites, pak kalsifiaksi sepanjang
ikterik) batas jantung kanan dan
• Peningkatan tekanan atrioventrikular. Dapat
vena jugularis ditemukan efusi pleura.
• Tanda Kussmaul : • EKG : tidak spesiflk, ab-
peningkatan tekanan normalitas gelombang T
vena sistemik pada saat tidak spesiflk, penurunan
inspirasi. voltage, abnormalitas
• Auskultasi jantung : atrium kiri, atrial fibrilasi.
murmur, bunyi jan- • Echocardiography :
tung kedua melebar, penebalan perikardial,
pericardial knock : early displacement septum
diastolic pada batas interventrikular yang tiba-
sternalis sinistra atau tiba selama early diastolik
apeks jantung. ( septal bouncej.
• Abdomen : hepato- • Cardiac catheteriza-
megali dengan/ atau . tion dan angiography :
tanpa asites. dilakukan pada pasien
• Tanda-tanda kongesti yang akan dilakukan
hepar atau kardiak perikardiektomi.
sirosis : ikterik, spider • Computed tomography
angiomas , dan palmar (CT ) atau cardiac mag-
erythema . netic resonance (CMRj
: mendeteksi kalsifikasi
perikardial dalam jumlah
kecil, penebalan perikar-
dium.
Perikarditis
rekuren

,%
I

. .
fcUrv
* .
ST

r,fcCUAtN> VP.

Gambar 1 . Gambaran EKG pada Perikarditis Akut


5
0 Eaaaaaaa Kardioiogi

mm
m 1

11981
nns

It?
Gambar 2. Gambaran EKG pada Repolarisasi Dlnl Normal1

Pendekatan pada suspek perikarditis akut :4


• Jika dicurigai tetapi diagnosis perikarditis akut belum pasti, lakukan auskultasi
jantung untuk mencari adanya pericardial rub dan dilakukan elektrokardiografi
lebih sering,
• Jika dicurigai atau sudah pasti terdiagnosis, lakukan pemeriksaan penunjang
berikut ini untuk menentukan apakah etiologi spesifik berhubungan dengan
kondisis klinis atau komplikasinya :
o Rontgen thoraks
o Hemogram
o Ekokardiografi
o Kreatinin kinase dengan fraksi MB dan Troponin I
o Ekokardiogram
o Jika wanita muda, periksa antibodi antinuklear serum
• Jika diagnosis sudah pasti, terapi inisial dengan OAINS (obat anti inflamasi non
steroid) dapat diberikan.

Pendekatan pada pasien dengan efusi perikard :4


• Menentukan apakah ada tamponade jantung dari anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan ekokardiogram
• Jika tidak ada tamponade jantung
o Jika penyebab diketahui , lakukan pemeriksaan penunjang seperti pada
perikarditis akut
o Jika efusi banyak, berikan OAINS atau kortikosteroid.
Jika tidak ada respon,
lakukan perikardiosentesis tertutup.

636
Perikarditis

Efusi perikard sedang-berat

Tamponade jantung
atau suspek infeksi

Ya Tidak

Drainase efusi Efusi masif (> 20 mm)

I
i I
Tidak Ya

I I
Terapi Terjadi selama < 1
perikarditis bulan atau adanya
kolaps bagian kanan

I
i
f53ak Ya.
i
Terapi perikarditis Drainose efusi

Gambar 3. Algoritma Penanganan Pasien dengan Efusi Perikard Sedang- Berat7

Tabel 4. Hemodinamik dan Ekokardiografi pada Perikarditis Konstriktiva Dibandingkan dengan


Kardiomiopati Restriktif
Konstriktiva Resatrikttf
Penurunan tekanan vena yang bermakna Ada bervariasi
Paradoxical pulse ' A kasus Tidak ada
Pericardial knock +
Filling pressures kiri sama dengan kanan + Kiri > 3-5 mmHg dari kanan
Filling pressures > 25 mmHg Jarang Umum
Tekanan sistolik arteri pulmonal > 60 mmHg umum
Panda square root + Bervariasi
Variasi pola pernapasan pada tekanan kiri Berlebihan normal
dan kana
Ketebalan dinding ventrikel Normal Umumnya meningkat
Ukuran atrium Normal Pembesaran kedua atrium
Septal bounce +
Kecepatan dalam Doppler Meningkat Menurun
Ketebalan perikardium Meningkat Normal

m
Crl PandiMnPrakdk Klinis Kardiologi
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakit Dalam Indonesia

• Jika ada tamponade jantung :


o Lakukan perikardiosentesis tertutup emergensi atau observasi pasien
secara ketat jika efusi berkurang setelah diberikan terapi percobaan dengan
farmakologis

DIAGNOSIS BANDING
• Perikarditis akut: infark jantung akut, emboli paru, pleuropneumonia, diseksi
aorta, pneumonia, penumonitis, kostokondritis, gastroesophageal reflux disesase,
akut abdomen.4
• Efusi perikard / tamponade : kardiomiopati dilatasi atau gagal jantung, emboli paru,
• Perikarditis konstriktiva : kardiomiopati restriktif

Tabel 5. Perbedaan Perikarditis dari Iskemi / lnfark Miokard dan Emboli Paru7
Iskeml/lnfark
Perikarditis Emboli paru
miokard
Nyeri dada Karakter Seperti ada Tajam, stabbing Tajam, stabbing
yang menekan,
squeezing
Perubahan Tidak ada Memburuk Tidak ada
dengan
pernapasan
Perubahan Tidak ada Memburuk jika Tidak ada
denganposisi terlentang, berkurang
jika duduk atau
membungkuk ke
depan
Durasi Menit (iskemia) , Jam-hari Jam-hari
jam (infark)
Respon Meningkat Tidak ada perubahan Tidak ada
terhadap perubahan
nitrogliserin
Pemeriksaan Friction rub Tidak ada (kecuali Ada pada 85 % kasus Jarang. Pleural
fisik ada periakrditis) friction rub ada
pada 3 % kasus.
EKG Elevasi segmen Konveks, lokal Konkaf, luas Terbatas di lead III,
ST aVF, dan VI
Depresi segmen Jatang Sering Tidak ada
PR
Gelombang <3 Mungkin ada Tidak da Mungkin ada di
lead III dan /atau
aVF
Gelombang T Inverted ketika Inverted setelah Inverted di lead
segmen ST segmen ST normal II, aVF, VI -V4
meningkat ketika segmen ST
meningkat

638
Perikarditis

TATALAKSANA

Perikarditis Akut1 4
• Cari etiologi / kausal
• Pasien harus dirawat inap dan istirahat baring untuk memastikan diagnosis dan
diagnosis banding serta melihat kemungkinan terjadinya tamponade
• OAINS :
o Ibuprofen 600 - 800 mg ( 3x sehari) setiap hari secara oral,
o Aspirin 2 - 4 gram / hari
o Indometasin 25 - 50 mg ( 3x sehari)
o Diberikan sampai gejala menghilang atau tidak demam selama seminggu lalu
dosis di - tapering off .
• Kolkisin 2 - 3 mg per oral dilanjutkan dengan 1 mg setiap hari selama 10 - 14 hari
jika respon terhadap OAINS tidak adekuat.
• Kostikosteroid sebaiknya dihindari karena dapat meningkatkan risiko rekurensi .
o Indikasi : onset akut, perikarditis karena kelainan jaringan ikat dan gagal
ginjal, respon terhadap OAINS dan /atau kolkisin tidak adekuat.
o Prednison 40 - 80 mg setiap hari per oral selama 2 hari , lalu tapering off selama
selama

Perikarditis Rekuren4
• OAINS selama 2 minggu
• Kolkisin 2 - 3 mg per oral dilanjutkan dengan 1 mg
• Predniosn 0.2 - 0.5 mg / kg berat badan / hari
• Perikardiotomi

Efusi Perikard4
• OAINS atau kolkisin : dapat mengurangi cairan efusi
• Pungsi perikardi untuk diagnostik

Tamponade Jantung4
• Perikardiosentesis perkutan
• Bila belum bisa dilakukan perikardiosentesis perkutan, infus normal salin 500
ml dalam 10 menit disertai dobutamin 2 -10 ug/ kgBB / menit, untuk memperbaiki
hemodinamik atau isoproterenol 2 - 20 ug/ menit

639
# Panduan Praktik Minis Kardioloqi
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia W

• Kalau perlu membuat jendela perikardial dengan :


o Dilatasi balon melalui perikardiostomi jarum perkutan
o Pembedahan ( dengan mortalitas sekitar 15 %) untuk membuat jendela
perikardial dapat dilakukan bila : tidak ada cairan yang keluar saat
perikardiosentesis, tidak membaik dengan perikardiosentesis, kasus trauma
• Pembedahan yang dapat dilakukan :
o Bedah sub - xyphoid perikardiostomi
o Reseksi perikard lokal dengan bantuan video
o Reseksi perikard anterolateral jantung
• Pengobatan kausal : bila sebabnya antikoagulan, harus dihentikan; antibiotik,
antituberkulosis, atau steroid tergantung etiologi , kemoterapi intraperikard bila
etiologinya tumor.

Perikarditis Konstriktiva4
• Bila ringan diberikan diuretika atau dapat dicoba OAINS
• Bila progresif, dapat dilakukan perikardiektomi

KOMPLIKASI4
• Perikarditis akut : chronic relapsing pericarditis, efusi perikard, tamponade,
perikarditis konstriktiva
• Efusi perikard / tamponade: henti jantung, aritmia : fibrilasi atrial atau flutter,
perikarditis konstriktiva.

PROGNOSIS
Tergantung beratnya gejala dan komplikasi yangterjadi. Perikarditis akut idiopatik
umumnya akan sembuh sendiri atau rekuren pada 70 - 90 % kasus. Pada perikarditis
konstrikitiva, kematian saat dilakukan perikardiektomi terjadi pada 5 - 15 % kasus.
Kematian dini terjadi karena curah jantung yang rendah, sepsis , perdarahan masif ,
insufisiensi ginjal, dan insufisiensi pernapasan .4

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Kardiologi
• RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

640
Perikarditis

UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : ICCU / medical High Care, Departemen Bedah
• RS non pendidikan : ICCU / ICU, Bagian Bedah

REFERENSI
,
1 . Braunwald E. Pericardial Disease. In: Fauci A, Kasper D, Longo D, Braunwald E, HauserS Jameson
. . .
J, Loscalzo J, editors Harrison’s principles of internal medicine 18th ed United States of America
;
The McGraw-Hill Companies, 2012.chapter 239.
2. Little W, Freeman G Pericardial Disease. Circulation. 2006:113:1622-1632. Diunduh dari http://
.
.
circ.ahajournals.org/content / 113/ 12 / 1622.full pdf+html pada tanggal 3 Juni 2012.
.
3. Maisch B, Seferovi PM, Ristic A et all Guidelines on the Diagnosis and Management of Pericardial
Diseases Full Text: The Task Force on the Diagnosis and Management of Pericardial Diseases of
. .
the European Society of Cardiology. 2004. Diunduh dari http:/ / www nvvc nl/UserFiles /Richtlijnen/
.
ESC /Pericardial%20diseases%202004 pdf pada tanggal 2 Juni 2012.
4. .
LeWinter M, Tischler M Pericardial Diseases. In : Bonow R, Mann D, Zlpes D, Lib P, editors .
. .
Braunwald’ s Heart Disease A Textbook of Cardiovascular Medicine 9h ed United States of .
.
America: Elsevier, 2012. P 1651-1671
. . .
5. Diunduh dari http:/ / www cardiacedu com/ ecg/pericarditis jpg pada tanggal 21 Juni 2012.
6. Diunduh dari www.emedu.org pada tanggal 12 Juni 2012.
.
7. Little WC, Freeman GL. Pericardial Disease. Circulation. 2006:113:1622- 1632 Diunduh dari http:/ /
circ.ahajournals.org / content/ 113/ 12/ 1622 pada tanggal 2 Juni 2012.

641
642

PENYAKIT JANTUNG KONGENITAL

PENGERTIAN
Penyakit jantung kongenital adalah defek pada struktur jantung atau fungsi
dari sistem kardiovaskular yang sudah ada saat lahir, walaupun dapat ditemukan di
kemudian hari . Berdasarkan lesi, Penyakit jantung kongenital dapat diklasifikasikan
menjadi : 1. Sianosis : membran mukosa berwarna kebiruan karena peningkatan
pengurangan (saturasi oksigen yang rendah) hemoglobin, sianosis sentral terjadi
karena bercampurnya sirkulasi karena right - to - leftshunt , dan 2 . Asianosis.1 Pada bab
ini hanya akan dibahas Atrial Septal Defect (ASD), Ventricular Septal Defect ( VSD ) ,
Patent Ductus Arteriosus (PDA), Tetralogy of Fallot (TOF) .

Tabel 1 . Pembagian Penyakit Jantung Kongenital2


Aslanotik Slanottk
Bikuspid atrioventrikel Tetralogy of Fallot (TOF )
Valvar PS Eisenmenger Syndrome
Atrium Septal Defect ( ASD ) Secundum Tricuspid Atresia
Atrium Septal Defect ( ASD) Primum Pulmonary atresia with intact septum
Atrioventrikular Septal Defect Dextro type-Transposition of Great Arteries
Ventricular Septal Defect (VSD)
Patent Ductus Arteriosus (PDA)
Coarctatio Aorta
Congenitally Coreccted Transposition of Great
Arteries
Ebstein Anomaly
Coronary Atrioventricular Fistulae

ATRIAL SEPTAL DEFECT (ASD)


PENGERTIAN
Atrial Septal Defect (ASD) adalah keadaan adanya defek pada bagian septum antar
atrium sehingga terjadi komunikasi langsung antara atrium kiri dan kanan .
Berdasarkan lokasi anatomi, ASD diklasifikasikan menjadi: 1. Ostium Sekundum
ASD : kelainan pada bagian tengan septum interatrium yang disebabkan karena
pembesaran foramen ovale atau resorpsi berlebihan dari septum primum, 2 . Ostium

PanduanPrakNkKIinis
Perhimpunan Dokler Speslalis Penyakil Dalam Indonesia
Penyakit Jantung Kongenital

primum ASD : kelainan pada bagian bawah septum atrium, 3 . Sinus venosus ASD:
kelainan pada superior dari hubungan antara vena cava superior dengan atrium kanan.
1

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis
Jika tekanan arteri pulmonal normal, biasanya tanpa gejala. Dapat ditemukan sesak
napas setelah latihan dan nyeri dada yang atipikyang frekuensinya makin meningkat.
2

Pemeriksaan Fisik
Impuls ventrikel kanan yang menonjol pada batas dada kiri bawah, arteri pulmonal
teraba, sistolik ejeksi murmur, bunyi jantung II dengan fixed split ( patognomonik] ,

Pada pasien dengan ostium primum ASD ditemukan holosistolik murmur. Jika terdapat
hipertensi pulmonal , dapat ditemukan peningkatan P 2 dengan high - pitched murmur.
Tanda gagal jantung kanan : peningkatan tekanan vena jugular. 2

Pemeriksaan Penunjang2
• Elektrokardiografi ( EKG ) :
• Pada 90% kasus ditemukan incomplete right bundle branch block
• Pada ostium secundum dan sinus venosus ASD: aksis QRS tampak vertikal pada
lead VI atau rightward
• Rontgen thorax: cabang arteri pulmonalis tampak menonjol, small aortic knob ,
pembesaran ventrikel kanan .
• Ekokardiografi : pembesaran jantung kanan, meningkatnya aliran arteri pulmonal ,
ada shunt
• Kateter jantung kanan : oxygen step up dari vena kava ke atrium kanan. Semakin
besar saturasi oksigen arteri pulmonal , semakin besar shunt nya .

TATALAKSANA3
• Shuntkecil (rasio sirkulasi pulmonal : sirkulasi sistemik (Qp : Qs) < 1, 5 ) , ASD kecil
(<5mm) dan tidak ada pembesaran jantung kanan: observasi, ulangi ekokardiogram
setiap 2 - 3 tahun untuk memantau fungsi dan ukuran jantung kanan serta tekanan
pulmonal.
• Penutupan defek baik bedah maupun perkutaneus: bila ada pembesaran ventrikel
maupun atrium kanan dengan atau tanpa gejala, adanya komplikasi . Sinus venosus,
sinus coronary atau primum ASD sebaiknya dikoreksi dengan pembedahan.

643
ffl
mFw
rtndu«Q Prawn minis Kardiologi
^
Perhimpunan Dokter Spestalls Penyaklt Dalam Indonesia

KOMPLIKASI
Gagal jantung kanan, hipertensi pulmonal, paradoxical embolization .2

PROGNOSIS
Ostium secundum ASD yang tidak dikoreksi, harapan hidup sebesar 50% dibawah
usia 40 tahun . Rata - rata kematian sebesar 6% per tahun setelah usia 40 tahun. 2

ASD DAN KEHAMILAN


Kehamilan dapat menyebabkan paradoxical embolization pada ibu dan kematian
pada fetus.3

VENTRICULAR SEPTAL DEFECT ( VSD)


PENGERTIAN
Ventricular Septal Defect (VSD]adalah defek kongenital pada septum di antara ventrikel,
biasanya disebabkan karena kegagalan septum spiral menutup foramen interventrikular.
VSD diklasifikasikan berdasarkan lokasi anatomi: 1. Membranous: supracristal,
perimembranous, malalignment . 2 . Muscular: inlet dan oulet .1

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis
Jika tekanan arteri pulmonal normal, biasanya tanpa gejala . Dapat ditemukan
sesak napas setelah latihan. 2

Pemeriksaan Fisik2 4
• Murmur holosistolik, kadangkala sistolic thrill , terdengar jelas di ruang interkostal
IV atau V sepanjang batas sternum kiri, menjalar ke regio parasternal kanan
• Bunyi jantung II dengan fixed split.
• Dapat ditemukan S 3 gallop dan diastolic rumble karena peningkatan aliran melalui
katup mitral.
• Jika ada komplikasi insufisiensi trikuspid akan ditemukan prominent jugular venous
v wave dan murmur sistolik.
• Jika ada komplikasi
regurgitasi katup aorta akan ditemukan diastolic blowing
murmur, peningkatan pulsasi arteri

644
Penyakit Jantung Kongenital

Pemeriksaan Penunjang2
• EKG : jika shunt besar, dapat ditemukan pembesaran ventrikel kiri atau kedua
ventrikel .
• Rontgen thorax lateral: pembesaran atrium kiri
• Ekokardiografi
• Color- flow Doppler: jet sistolik berkecepatan tinggi melintasi septum ventrikular
ke ventrikel kanan
• Kateter jantung kanan ; menilai saturasi oksigen ventrikel kanan (untuk mengetahui
besarnya shunt dari ratio Qp:Qs) , tekanan arteri pulmonal, dan resistensi vascular.

TATALAKSANA 3
• Observasi : jika Op : Qs < 2 , tidak ada gejala, tidak ada overload volume ventrikel
kiri , tidak ada regurgitasi aorta yang berhubungan dengan VSD.
• Pembedahan: jika Qp:Qs > 2 atau bila Op:Qs > 1, 5 dengan disfungsi sistolik atau
diastolik ventrikel kiri atau dengan tekanan arteri pulmonal < 2 / 3 dari tekanan
sistemik.
• Terapi vasodilatasi pulmonal dapat dipertimbangkan pada pasien VSD dengan
penyakit vaskular pulmonal berat.
• Percutaneus device closure dapat dipertimbangkan pada VSD muskular

PROGNOSIS
VSD yang tidak dikoreksi , rata - rata bertahan 10 tahun sejak gejala muncul adalah
75 %. 3

VSD DAN KEHAMILAN


Pada pasien dengan VSD ringan, kehamilan biasanya ditoleransi dengan baik, tanpa
peningkatan risiko kematian ibu maupun bayi meskipun left- to - right shunt meningkat
karena meningkatnya cardiac output selama kehamilan. Pada pasien dengan VSD berat
( large shunt ) dapat mengalami aritmia, disfungsi ventrikel .
3

PATENT DUCTUS ARTERIOSUS (PDA)


PENGERTIAN
Patent Ductus Arteriosus ( PDA) adalah sisa dari sirkulasi normal fetus . Pada
neonatus normal, PDA akan menutup dalam 10 - 15 jam setelah lahir.
2

645
# ESftiSSPJSS Kardiologi

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis
Riwayat ibu terinfeksi rubela ketika hamil, sesak napas karena latihan, nyeri dada,
palpitasi.2

Pemeriksaan Fisik
Pulsasi nadi teraba lebar dan kolaps, murmur yang terdengar paling j elas dibawah
klavikula kiri dan bunyinya meningkat pada late systole . Jika shuntnya besar, dapat
ditemukan S 3 gallop dan diastolic murmur.4 Continous machinery murmur

Pemeriksaan Penunjang2
• EKG: Pada shunt yang besar dapat ditemukan hipertrofi atrium dan ventrikel kiri ,
jika ada hipertensi pulmonal , dapat ditemukan P- pulmonale, right - axis deviation ,
dan hipertrofi ventrikel kanan .
• Rontgen thorax : jika shunt besar, dapat ditemukan bayangan jantung membesar
dan vaskular pulmonal yang berlebihan. Jika ada hipertensi pulmonal, dapat
ditemukan ; pembuluh darah paru perifer berkurang, arteri pulmonalis sentral
menonjol , Pada pasien dewasa tampak duktus mengalami kalsifikasi .
• Ekokardiografi
• Color - flow Doppler: aliran berkecapatan tinggi yang kontinu didalam arteri
pulmonalis utama dekat cabang kiri.
• Kateter jantung kanan

TATALAKSANA 3
• Observasi dengan /o //ow- up rutin setiap 3 - 5 tahun pada PDA ringan tanpa bukti
overload volume jantung kiri
• Penutupan PDA secara perkutaneus lebih disarankan karena tingkat keberhasilan
tinggi dan komplikasi kecil .

KOMPLIKASI
Gagal jantung kongestif, hipertensi pulmonal .4

PROGNOSIS
Sekitar 15 % pasien > 40 tahun memiliki kalsifikasi dan aneurismal dilatation dari
duktus yang menyulitkan operasi.

646
Penyakit Jantung Kongenital jgy

TETRALOGY OF FALLOT (TOF)


PENGERTIAN
Empat komponen tetralogy of /allot adalah malaligned VSD , obstruksi aliran
ventrikel kanan, aortic override of the VSD, dan hipertrofi ventrikel kanan karena
respon ventrikel kanan terhadap tekanan aorta lewat VSD besar.
4

PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Riwayat sianosis ketika lahir, intoleransi latihan.
2

Pemeriksaan Fisik
Sianosis, clubbing, pulmonic flow murmur,

Pemeriksaan Penunjang4
• EKG: hipertrofi ventrikel kanan
• Rontgen thorax: boot shaped heart dengan ventrikel kanan yang menonjol dan
cekung di daerah konus paru.
• Echokardiografi dua dimensi: malaligned VSD dengan overriding aorta
• MRI
• Kateter jantung: tekanan pulmonal normal

TATALAKSANA
Pembedahan ; angioplasty dan stenting of branch pulmonary stenosis.
3

PROGNOSIS
Hanya 11% individu yang lahir dengan TOF dapat bertahan hidup tanpa operasi
paliatif sampai usia 20 tahun, dan hanya 3% yang dapat hidup sampai usia 40 tahun.
2

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Departemen llmu Penyakit Dalam - Divisi Kardiovaskular
• RS non pendidikan : Depatemen llmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Departemen Bedah Jantung, Departemen llmu Kesehatan
Anak Divisi Kardiologi
• RS non pendidikan : Departemen Bedah , Departemen Anak, Departemen
Rehabilitasi Medik

647
# Kardiologi

REFERENSI
1 . .
Saunders: Phlladhelphia. 2007 .
. . .
Marelli, Ariane J Congenital Heart Disease Dalam: Ausiello Goldman Cecil Medicine 23,!i edition .
2. . . .
Harris, Ian S Foster, Elyse Congenital Heart Disease in Adults. Dalam: Crawford, Michael H Current
.
Diagnosis & Treatment Cardiology 3r< Edition The MacGrgw Hills Companies. 2009
* ' .
3 .
Wames Carole A. Et?all,ACC /AHA 20Q8 Guidelines for the mdnag.emenfcof adultswith congenital

.
November 7 2008 : doi: 10.1161 / CIRCUIATIONAHA .108.190811.
.
heart disease: executive summary. Circulation. 2008:118:2395- 2451 originally published online

4
.
.- ' .
Congenital heart disease in adult. Dalam: Fauci A, Kasper D ongp D Brauriwald E, Hauser S,
. ' .
Jameson J, Loscalzo J, editors Harrison's principles of internal medicine i8 h ed Unified States of
America; The McGraw-Hill Companies, 2011 .

648
649

HIPERTENSI PULMONAL

PENGERTIAN
Definisi hipertensi pulmonal / pulmonary hypertension (PH] merujuk pada adanya
tekanan vaskular paru yang tinggi secara abnormal. Sedangkan hipertensi arteri pulmonal /
pulmonary arterial hypertension (PAH) adalah kumpulan gejala akibat dari restriksi aliran
melalui sirkulasi arteri pulmonal, yang mengakibatkan peningkatan resistensi vaskular
paru dan pada akhimya gagal jantung kanan. PAH merupakan suatu kategori PH, oleh
karena itu keduanya bukan merupakan sinonim.1 Pada individu yang sehat, tekanan darah
pada arteri pulmonal lebih rendah daripada arteri lainnya didalam tubuh. Apabila tekanan
darah yang melewati seluruh tubuh berkisar 120/80 mmHg, maka tekanan arteri pulmonal
berkisar 25 /10 mmHg. Apabila tekanan arteri pulmonal mencapai 40/ 20 mmHg, atau
tekanan rata-rata melebihi 25 mmHg, maka terjadi PH . Apabila PH menjadi persisten atau
sangat tinggi, maka ventrikel kanan jantung yang menyuplai darah ke arteri pulmonal tidak
dapat memompa secara efektif sehingga pasien akan mengeluh napas pendek, kehilangan
energi, dan edema, yang merupakan tanda gagal jantung kanan.2 Berbagai kondisi dan
penyakit juga dapat meningkatkan tekanan arteri pulmonal tercantum pada tabel 1.

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis2 3
• Sesak, lelah, angina pektoris, sinkop, hampir sinkop
• Riwayat penyakit komorbid

Pemeriksaan Fisik1
• Mencerminkan derajat keparahan PH :
o Aksentuasi komponen pulmonal S2 (terdengar pada apeks > 90%)
o Bunyi klik pada awal sistolik ( early systolic click )
o Ejeksi murmur midsistolik
o Left parasternal lift

Panduan Praktlk Kllnis


Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
Panduan PraktikKlinis Kardioloqi
Perhimpunan Dokler Spesiolis Penyakil Dalam Indonesia

o S4 ventrikel kanan (38 %)


o Meningkatnya gelombang " a" jugular

Tabel 1. Mekanisme Penyakit yang dapat menyebabkan Hiperlensi Pulmonal2


Aklbat gagal jantung kiri ( tekanan balik pembuluh darah paru ft )
• Gagal pompa ventrikel kiri (serangan jantung, kardiomiopati)
• Kekakuan ventrikel kiri ( hipertensi, diabetes, sindrom metabolik)
• Penyakit katup (stenosis katup mitral atau aorta, atau regurgitasi)
Penyakit yang mempengaruhl seluruh paru ( penyakit paru yang merusak pembuluh darah)
• Bronkitis kronis dan emfisema
• Penyakit paru interstitial ( fibrosis paru, sarkoidosis, dll)
Terkait hipoksla ( berkurangnya oksigen membuat pembuluh darah paru konstriksi)
• Tinggal di daerah pegunungan
• Sleep apnea dan sindrom hipoventilasi lainnya
• Hipoksia akibat ronkitis kronis dan emfisema (penyakit paru obstruktif kronik /PPOK )
Hipertensi arteri pulmonal ( perubahan pada struktur dan fungsi arteri pulmonal)
• Idiopatik ( sebelumnya dikenal dengan hipertensi pulmonal primer)
• Diturunkan ( akibat mutasi BMPR 2 atau Alk-1 )
• Imbas obat dan toksin ( stimulan)
• Penyakit jaringan konektif (khususnya skleroderma)
• Infeksi HIV ( jarang terjadi <1%)
• Hipertensi portal ( sirosis dan penyakit hati lanjut lainnya)
• Penyakit jantung kongenital
• Penyakit oklusi vena pulmonal dan hemangiomatosis kapiler paru
Penyakit obstruksi pembuluh darah paru primer
• Tromboemboli paru
• Schistosomiasis
• Anemia sickle cell
• Emboli tumor
• Mediastinitis fibrosa ( obstruksi akibat fibrosis yang terkait histoplasmosis )

Klasifikasi revisi PH menurut WHO dapat dilihat pada tabel 2 .

Tabel 2. Klasifikasi Revisi Hipertensi Pulmonal menurut WHO 1


1 . Hipertensi arteri pulmonal ( PAH) : idiopatik ( IPAH) , familial (FPAH ) , terkait dengan ( APAH) ; penyakit
jaringan konektif, shunt sistemik-ke-paru kongenital, infeksi HIV, obat dan toksin, lainnya (penyakit
tiroid, penyakit cadangan glikogen, penyakit Gaucher, teleangiektasis hemoragik herediter,
hemoglobinopati, gangguan mieloproliferatif kronis, splenektomi) , terkait dengan keterlibatan
vena atau kapiler ( pulmonary veno-occlusive disease, pulmonary capillary hemangiomatosis),
hipertensi pulmonal persisten pada neonatus
2. Hipertensi pulmonal dengan penyakit jantung kiri : penyakit jantung atrium atau ventrikel bagian
kiri, penyakit katup jantung bagian kiri
3. Hipertensi pulmonal terkait dengan penyakit paru dan / atau hipoksemia : PPOK, penyakit paru
interstitial, gangguan bernapas saat tidur, gangguan hipoventilasi alveolar, paparan kronis
terhadap ketinggian, gangguan perkembangan
4. Hipertensi pulmonal akibat trombosis kronis dan / atau penyakit emboli ( CTEPH ) : obstruksi
tromboemboli arteri pulmonal proksimal, distal, emboli paru non- trombosis ( tumor, parasit,
benda asing)
5. Lainnya ( sarkoidosis, histiositosisX, limfangiomatosis, kompresi pembuluh darah paru; adenopati,
tumor, mediastinitis fibrosa )

650
Hipertensi Pulmonal

• Sugestif PH derajat sedang- berat :


o Derajat sedang - berat : murmur holosistolik yang meningkat saat inspirasi,
meningkatnya gelombang "v ” jugular, pulsatile liver, murmur diastolik,
hepatojugular reflux
o PH stadium lanjut dengan kegagalan ventrikel kiri : S3 ventrikel kanan
( 23 % ) , distensi vena jugular, hepatomegali, edema perifer ( 32 % ) , asites,
tekanan darah rendah, hilangnya tekanan nadi, akral dingin
• Sugestif kemungkinan penyebab lain atau kaitan dengan PH :
o Sianosis sentral, clubbing
o Temuan pada auskultasi jantung ( murmur sistolik, diastolik, opening snap ,
gallop)
o Ronki, perkusi redup atau menurunnya bunyi napas
o Ronki basah halus, penggunaan otot aksesorius, mengi, ekspirasi protraksi,
batuk produktif
o Obesitas, kifoskoliosis, pembesaran tonsil
o Sklerodaktili, artritis, teleangiektasis, fenomena Raynaud , ruam
o Insufisiensi vena perifer atau obstruksi
o Ulkus vena stasis
o Bruit vaskular paru
o Splenomegali, spider angiomata , palmar eritem, ikterus, kaput medusa, asites

Pemeriksaan Penunjang1 3
• Laboratorium : darah perifer lengkap, ANA, HIV, TSH, fungsi hati, biomarker
jantung ( BNP, NT- proBNP, troponin T)
• EKG : right axis deviation , hipertrofi ventrikel kanan , hipertrofi atrium kanan
• Radiologis :
o Foto toraks : pembesaran arteri pulmonalis sentral, hipertrofi ventrikel kanan,
hipertrofi atrium kanan
o Ekokardiogram : pembesaran ventrikel dan atrium kanan, penurunan fungsi
ventrikel kanan, regurgitasi trikuspid, pergeseran septum intraventrikular,
efusi perikardial
o MRI jantung : menilai ukuran dan fungsi ventrikel kanan secara akurat

DIAGNOSIS BANDING
Lihat tabel 2

651
O PanduanPiaMIli Minis Kardiologi
Pertilmpunan DoklerSpeslalls Penyakil Dalam Indonesia

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Tes pivotal Tes kontingen Penilaian

I
Anamnesis,
pemeriksaan fisik, Index kemungkinan PH
rontgen thorax,
EKG

I
Echocardiogram
TEE
RVE, RAE, naiknnya RSVP,
fungsi RV
Penyakit jantung kiri
Excersice Echo VHD, CHD

I
VQ scan
Angiografi pulmonal
Chest CT angiogram PE kronis

I
PFTs -
Profil koagulopati

ABGs Fungsi ventilator

I Pertukaran gas

Overnight
oxymetri Polysomnography Gangguan tidur

\
HIV Infeksi HIV
ANA Serologis CTD lainnya Skleroderma, SLE, RA
LFTs
Hipertensi portopulmonar

l
Tes fungsional Data dasar
(6MWT, CPET) prognosis

Tes vasodilator

Excersice Rh cath Konfirmasi PH


Rh Cath
Volume loading Profil hemodinamik
Kateter jantung kiri Respon vasodilator

Gambar 1. Algoritma Pendekatan Diagnosis PH 1

652
Hipertensi Pulmonal ftp

TATALAKSANA3
Prinsip terapi :
1. Memastikan diagnosis dengan benar : pasien sebaiknya melakukan kateterisasi
jantung sebelum terapi dimulai
2. Menilai kondisi baseline penyakit : untuk menilai efektivitas terapi
3. Tes vasoreaktivitas :sebaiknya diperiksa saat didiagnosis untuk memandu terapi
4. Pasien reaktif sebaiknya diterapi dengan calcium channel blockers dosis tinggi
( drug of choice )
5. Pasien non - reaktif sebaiknya ditawarkan terapi lain, namun tidak ada terapi
spesifik yang ditawarkan sebagai terapi lini pertama
6. Follow- up periodik manfaat obat sangat penting : lakukan penilaian ulang dalam
8 minggu setelah obat baru dimulai, karena pasien yang tidak merespon pada
awalnya mungkin dapat merespon setelah paparan lebih lama. Efektivitas terapi
dapat menghilang seiring berjalannya waktu
7. Terapi yang tidak efektif sebaiknya diganti daripada ditambah. Pasien yang gagal
pada semua terapi sebaiknya dipertimbangkan transplantasi paru
8. Manfaat dan risiko terapi kombinasi tidak diketahui : hanya tambahan sildenafil
pada epoprostenol yang terbukti bermanfaat

Tabel 3 . Agen untuk Pemeriksaan Vasodilator Akut '


Epoprostenol Adenosine Nitric oxide
Rute administrasi Infus IV Infus IV Inhalasi
Titrasi dosis 2 ng/kg/menit tiap 10- 50 mcg/kg /menit tiap Tidak ada
15 menit 2 menit
Range dosis 2 - 10 ng/kg/menit 50 - 250 mcg/kg/menit 10 - 80 ppm
Efek samping Sakit kepala, mual, Dispneu, nyeri dada, Peningkatan filling
pre-sinkop blok AV pressure jantung kiri
pada pasien yang
memiliki kecenderungan

KOMPLIKASI
Gagal jantung kanan (cor pulmonale ), bekuan darah, aritmia, perdarahan

653
5>
(r Panduan Praktik Klinis Kardioloqi
Perhimpunan DoklerSpesialis Penyakil Dalam Indonesia

TATALAKSANA PH

Antikoagulan + diuretik - Acute vasoreactivity testing


+ oksigen + digoksin I
M

f
(+} l

Risiko rendah Risiko tinggi


Oral CCB

Respon
i Tidak
ERAS atau PDE-5 Is ( oral)
Epoprostenol atau
Treprostinil ( iv )
lliprost (inhalasi)
Epoprostenol atau
treprostinil (iv)
lliprost (inhalasi)
Treprostinil ( Sc )
berkelanjutan Treprostinil ( Sc ) ERAS atau PDE-5 Is

I
( oral)
Ya
1
Lanjutkan CCB
Observasi ulang :
pertimbangkan terapi
f
combo
Atrial septosomy
1 lung transplant
Investigasi protokol

Gambar 2. Algoritma Penatalaksanaan PH1

PROGNOSIS
Determinan prognosis PH dapat dilihat pada tabel 4.

Tabel 4. Determinan Prognosis PH 1


Determinan risiko Prognosis balk (risiko rendah) Prognosis buruk (risiko tlnggl)
Bukti klinis kegagalan ventrikel Tidak ada Ada
kanan
Progresi gejala Perlahan-lahan Cepat
Kelas WHO* II Ill . IV
Jarak 6MW * * Lebihjauh ( > 400 meter ) Lebih pendek ( < 300 meter)
CPET Peak V 02 > 10,4 mL/ kg/ menit Peak V 02 < 10, 4 mL /kg/menit
Ekokardiografl Disfungsi ventrikel kanan Efusi perikardial, disfungsi
minimal ventrikel kanan signifikan
Hemodinamik RAP <10 mmHg, Cl >2,5 L/
menit/m2
.
RAP >20 mmHg Cl <2,0 1/
menit/m2
BNP*** Sedikit meningkat Meningkat secara signifikan
Keterangan :
•Kelas WHO merupakan klasifikasi fungsional PH dan merupakan modifikasi kelas fungsional NYHA
**Jarak 6 -minute-walk juga dapat dipengaruhi oleh usia, Jenis kelamin, dan tinggi badan
* * *Saat ini penelitian BNP dalam mempengaruhi prognosis masih terbatas, oleh karena itu angka absolut tidak
diberikan pada variabel ini
Cl = cardiac index ; CPET = cardiopulmonary exercise testing ; peak V 02 = average peak oxygen uptake during
exercise ; RAP = right atrial pressure; WHO = World Health Organization

654
Hipertensi Pulmonal

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Kardiovaskular
• RS non pendidik

UNIT TERKAIT
• RS pendidikan
• RS non pendidikan : -

REFERENSI
1 . McLaughlin V, Archer S, Badesch D, et al. ACCF/ AHA 2009 Expert Consensus Document on
Pulmonary Hypertension: A Report of the American College of Cardiology Foundation Task
Force on Expert Consensus Documents and the American Heart Association Developed in
Collaboration With the American College of Chest Physicians; American Thoracic Society, Inc.;
. . . .
and the Pulmonary Hypertension Association J. Am Coll Cardiol 2009;53:1573-1619. Diunduh
.
dari http://content onlinejacc.org/ cgi/reprintframed/ 53/ 17/ 1573 pada tanggal 14 Juni 2012.
2. . .
Newman JH, Hemnes AR. Pulmonary Hypertension In : Schraugnagel DE Breathing in America :
.
Diseases, Progress, and Hope. American Thoracic Society 2010. Hal 175-84. Diunduh dari http:/ /
. .
www thoracic.org/education /breathing-in-america /resources /breathing-in-america pdf pada
tanggal 23 Mei 2012.
3 . Rich S. Pulmonary Hypertension. In : Longo DL, Fauci AS, KasperDL, HauserSL, Jameson JL, Loscalzo
.
J. Harrison' s Principles of Internal Medicine IS* Edition. New York, McGraw -Hill. 2012

655
656

PENYAKIT ARTERI PERIFER

PENGERTIAN
Penyakit arteri perifer ( PAP) adalah kelainan klinis karena adanya stenosis atau
oklusi di aorta atau arteri ekstremitas. Stenosis atau oklusi pada usia > 40 tahun paling
banyak disebabkan karena aterosklerosis, sisanya disebabnya trombosis, emboli,
vaskulitis, displasia fibromuskular, tekanan organ sekitar, cystic adventitial disease ,
dan trauma. Lokasi primer terjadi di aorta abdominalis dan arteri iliaka (30 % pada
pasien dengan gejala), arteri femoral dan poplitea (80 -90 % pasien), dan arteri tibia
dan peroneus (40 -50 % pasien).12
Ada berbagai macam PAP yaitu :
• Vaskulitis : arteritis Takayasu, arteritis sel giant (temporal)
• Oklusi arteri akut
• Arteroemboli
• Thoracic Outlet Compression Syndrome
• Popliteal Artery Entrapment
• Aneurisma arteri poplitea
• Fistula arteriovena
• Raynaud' s Phenomenon
• Akrosianosis
• Livedo Reticularis
• Pernio (Chilblains)
• Eritromelalgia
• Frostbite

Faktor Risiko PAP pada Ekstremitas Inferior2


• Usia < 50 tahun, dengan diabetes melitus dan satu faktor risiko arterosklerosis
(merokok, dislipidemia, hipertensi, atau hiperhomosisteinemia)
• Usia 50-69 tahun dan riwayat merokok atau diabetes melitus.
• Usia > 70 tahun
• Abnormalitas pulsasi ekstremitas bawah
• Diketahui adanya aterosklerotik koroner, carotid, atau penyakir arteri renalis.

PanduanPraktik Minis
Perhlmpunan Dokter Spesfafis Penyakit Dalam Indonesia
Penyakit Arteri Perifer

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis
Keluhan terjadi pada < 50 % pasien yaitu klaudikasio intermiten ( rasa nyeri,
ache , keram, baal, atau kelelahan pada otot selama aktivitas dan menghilang dengan
istirahat] yang dirasakan di distal dari lokasi oklusi, misalnya di bokong, pinggul,
dan otot paha jika oklusi di aortoiliaka, sedangkan sakit di betis dirasakan jika oklusi
di arteri femoral- poplitea. Keluhan dirasakan lebih sering pada ekstremitas bawah
dibandingkan ekstremitas atas. Keluhan lain yaitu pasien merasakan dingin atau baal
pada kaki dan ibu jari kaki yang seringkali dirasakan pada malam hari ketika posisi
tungkai horizontal dan meningkat ketika tungkai pada posisi menggantung. Pada kasus
iskemia berat, nyeri dapat tetap ada pada saat istirahat. 1,2

Pemeriksaan Fisik
Menurunnya atau tidak terabanya nadi di distal dari oklusi, terdengarnya bruit ,
dan otot ampak atrofi. Pada kasus berat terdapat penebalan kuku, kulit tampak halus
dan mengkilap, menurunnya suhu kulit, rambut kaki rontok, pucat atau sianosis. Ulkus
atau gangren dapat ditemui pada pasien dengan critical limb ischemia. Pemeriksaan
refleks tungkai juga dapat menurun karena neuropati iskemia. 1,3

Pemeriksaan Penunjang' 3
• Laboratorium: darah lengkap, PT [prothrombine time ), APTT ( activated partial
thromboplastin time ), trombosit
• Elektrolit, ureum, kreatinin, gula darah, profil lipid
• Urin lengkap
• Rontgen toraks
• Elektrokardiografi
• Ankle brachial index ( ABI ) (lebih lengkap pada bab ABI)
• Pengukuran tekanan segmental
• Segmental pulse volume recordings
• Ultrasonografi dupleks: gambaran B-mode dan pengukuran kecepatan aliran darah
dengan Doppler
• Oksimetri transkutaneus
• Tes stress ( treadmill)
• Arteriogram
• Magnetic resonance angiography ( MRA), computed tomographic angiography (CTA),
dan ongiografi kontras konvensional

657
PanduanPraktikMinis Kardioloai
Perhlmpunan Dokler Spesialis Penyakit Dalam Indonesia

o tidak dilakukan secara rutin untuk mendiagnosis PAP


o Dilakukan sebelum revaskularisasi

Ada 2 klasifikasi penyakit arteri perifer: 2


.
Tabel 1 Klasifikasi Fontaine untuk Penyakit Arteri Perifer2
Stag
I
* Gejaki
Asimptomatik
lla Klaudikasio intermiten
lib Tidak ada nyeri, klaudikasio jika jalan >200 m
Nyeri saat istirahat dan nocturnal
IV Nekrosis, gangren

Tabel 2. Klasifikasi Ruf /ierford untuk penyakit arteri perifer2


Grade
0
Kategrt
0 ^
G aki
Asimptomatik
I 1 Klaudikasio intermiten
I 2 Klaudikasio sedang
I 3 Klaudikasio berat
4 Nyeri iskemik saat istirahat
5 Kehilangan jaringan minor
IV 6 Ulserasi atau gangren

Berisiko PAP tanpa keluhan

1
Pemeriksaan ABI

f I
ABI > 1.30 ABI 0.91-1.30 ABI 0.90
(abnormal) (normal) ( abnormal)

i i
Pulse volume recording
Toesw - brachial index Pengukuran ABI
(ultrasonografi dupleks) setelah treadmill

1 I
i i l i
Hasil normal : Hasil Hasil normal : Hasil abnormal
tidak ada PAP abnormal tidak ada PAP (menurun)

1
Evaluasi
penyebab lain

i
Konfimnasi
diagnosis PAP

1
Memperbaiki faktor risiko :
stop rokok, atasi hipertensi,
hiperiipidemia, diabetes melitus

I
Terapi farmakologik :
antipiateiet, inhibitor ACE

Gambar 1. Algoritma Pendekatan Berisiko PAP Tanpa Keluhan2

6m
Penyakit Arteri Perifer $$
Keluhan klasik klaudikasio

i
Anamnesis gangguan
berjalan dan keterbatasan

I
Pemeriksaan nadi

TABI ABI > 0.9


ABI setelah treadmill ( TBI,
tekanan segmental, atau
ultrasonografl dupleks)

ABi
l 0.9 Hasil Hasil

I
abnormal normal

Konfirmasi diagnosis PAP


I
1
Tidak ada PAP atau
plkirkan adanya
sindroma entrapment
Mengatasi faktor risiko : stop rokok, arteri
mengontrol tekanan darah, kadar
lemak darah, dan gula darah

t
Terapi farmakologik :
antiplatelet, inhibitor ACE

1
Algortime 3

Gambar 2. Algorltma pendekatan berislko PAP dengan keluhan klasik


2

DIAGNOSIS BANDING
Pseudoklaudikasio (nyeri jika berdiri / posisi lordosis dan menghilang dengan
duduk, tidur terlentang, membungkuk ke depan, atau meregangkan spinal) , penyakit
obstruksi vena berat, kompartemen sindrom kronik, penyakit lumbar dan stenosis
spinal , penyakit muskular inflamasi .

659
# SSHfiSBaH! Kardiologi
Diagnosis pasti PAP

Tidak ada disabilitas


I
Keterbatasan aktivitas Keterbatasan aktivitas
disertai bukti adanya PAP
I
Tidak perlu terapi. I
Periksa secara Program Farmakologik : Pemeriksaan angiografik
rutin saat kontrol latihan Cilostazol atau untuk membantu
apakah ada diagnosis

I
Pentoxifylline
tanda- tanda
iskemik

Percobaan Percobaan Terapi endovaskular


selama 3 bulan selama 3 bulan atau operasi bypass
per anatomy

i
Tes efikasi
sebelum
dan sesudah

PT
Perbaikan klinis. Disabilitas yang signiflkan walaupun
Follow up secara dengan terapi medis dan / atau
rutin saat kontrol terapi endovaskular.

l
Evaluasi kebutuhan operasi
revaskularisasi atau endovaskular.

Gambar 3. Algoritma Penanganan PAP 2

TATALAKSANA12
• Tujuan: menurunkan risiko kardiovaskular, meningkatkan fungsi ekstremitas,
mencegah progresifitas menjadi iskemia, dan menjaga viabilitas ekstremitas.
• Modifikasi faktor risiko :
o Menghentikan rokok
o Mengontrol tekanan darah dengan Angiotensin converting - enzyme inhibitors

dan penghambat (3 adrenergik


o Mengatasi hiperkolesterolemia : statin. Target penurunan LDL < 100 mg dl.
/
• Antiplatelet:
o Aspirin 81- 325 mg/hari per oral
o Klopidogrel 75 mg/hari per oral
o Menurunkan risiko kardiovaskular pada pasien dengan aterosklerosis

660
Penyakit Arteri Perifer 0
(

• Antikoagulan : warfarin
o Sama efektif dengan antiplatelet, tetapi meningkatkan risiko perdarahan
i

sehingga tidak direkomendasikan pada PAP kronik.


• Suportif
o Perawatan kaki, menjaga kebersihan, dan menjaga kelembapan kulit kaki
o Mengurangi trauma dengan memakai sepatu dengan ukuran yang sesuai
o Menghindari pemakaian kaus kaki (berbahan karet) karena dapat menurunkan
aliran darah ke kulit
• Olahraga :
o Secara teratur dan meningkat secara progresif
o Olahraga dengan pengawasan dilakukan 30-45 menit, 3- 5 kali seminggu selama
12 minggu
o Olahraga dilakukan dengan berjalan kaki sampai muncul klaudikasio hampir
maksimal, lalu beristirahat sampai gejala menghilang sebelum mulai berjalan
lagi.
• Obat - obatan :
o Cilostazol : inhibitor fosfodiesterase dengan efek vasodilator dan antiplatelet,
meningkatkan durasi olahraga. Dosis 100 mg ( 2 kali sehari ) , hati - hati
pemberian pada gagal jantung (dosis menjadi 50 mg 2 kali sehari)
o Pentoxifylline : derivate xantin, meningkatkan aliran darah ke mikrosirkulasi
dan oksigenasi jaringan, meningkatkan durasi olahraga. Dosis 3x400 mg/ hari
minimal 8 minggu.
• Revaskularisasi
o Indikasi : keluhan klaudikasio intermiten progresif atau berat, adanya diabilitas,
critical limb ischemia.
o Sebelum revaskularisasi sebaiknya dilakukan angiografi kontras konvensional.
o Operasi :
Indikasi : pasien dengan keluhan klaudikasio dengan disabilitas fungsi
yang tidak membaik dengan farmakoterapi atau olahraga, pasien yang
berisiko keluhan klaudikasio bertambah berat . Tidak diindikasikan
untuk mencegah progresivitas critical limb ischemia pada pasien dengan
klaudikasio intermiten.
Tergantung lokasi oklusi, luasnya oklusi, dan komorbid .
Jenis operasi untuk penyakit aortoiliaka : aortobifemoral bypass,
axillofemoral bypass, femoro- femoral bypass, and aortoiliac endarterectomy

661
itfS
WMR
PanduanFrakilkKIInis Kardioloqi
w
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakit Dalam Indonesia

Jenis operasi untuk penyakit arteri femoralis - poplitea : autogenous


saphenous vein bypass grafts, penempatan PTFE ( polytetrafluoroethylene ),
dan tromboendarterektomi.

Tabel 3. Jenis operasi untuk revaskularisasi1


Angka kematlan Angka patensl dalam 5 tahun
Prosedur
(%) (%)
Aortobifemoral bypass 3.3 87.5
Aortoiliac atau aortofemoral bypass 1-2 85-90
Iliac endarterectomy 0 79-90
Femorofemoral bypass 6 71
Axillofemoral bypass 6 49-80
Axillofemoral-femoral bypass 4.9 63-67.7

o Non - operasi :
Percutaneous transluminal angiography fP 7VlJ, pemasangan stent ,
arterektomi
Angka keberhasilan pada PTA iliaka sebesar 90 -95 % , dan ketahanan
selama 3 tahun sebesar > 75%
Angka keberhasilan pada PTA dan pemasngan stent pada femoral - poplitea
sebesar 80 %, dan ketahanan selama 3 tahun sebesar 60 %

KOMPLIKASI
Critical limb ischemia, amputasi, ulkus, gangren

PROGNOSIS
Pada 1/ 3-1/ 2 pasien PAP dengan keluhan, berdasarkan klinis dan EKG juga
mengidap penyakit arteri koroner (CAD/ coronary artery disease ), sedangkan > %
pasien terdeteksi dengan angiografi koroner. Angka harapan hidup 5 tahun pada
pasien dengan PAP sebesar 15-30 % , dan meningkatkan risiko kematian akibat CAD
sebesar 2 - 6 kali. Angka kematian meningkat seiring dengan derajat beratnya PAP.
Sebanyak 75-80 % pasien dengan PAP tanpa diabetes mellitus mempunyai keluhan
yang stabil, sedangkan 1- 2 % berkembang menjadi critical limb ischemia setiap tahun.
Pada kasus critical limb ischemia, 25-30 % kasus menjalani amputasi dalam 1 tahun,
dan mempunyai prognosis buruk pada yang merokok dan diabetes mellitus. 1

662
REFERENSI
Penyakit Arteri Perifer
^
1. Creager MA. Vascular Diseases of the Extremities. In: Fauci A, Kasper D, Longo D, Braunwald E,
.
HauserS, Jameson J, Loscalzo J, editors Harrison' s principles of internal medicine. 18th ed. United
States of America; The McGraw-Hill Companies, 2012,chapter 249
2. Hirsch AT, Haskal ZJ, Hertzer NR et al. ACC / AHA 2005 Practice Guidelines for the Management
of Patients With Peripheral Arterial Disease ( Lower Extremity, Renal, Mesenteric, and Abdominal
Aortic ) : A Collaborative Report from the American Association for Vascular Surgery /Society
for Vascular Surgery,* Society for Cardiovascular Angiography and Interventions, Society for
Vascular Medicine and Biology, Society of Interventional Radiology, and the ACC /AHA Task
Force on Practice Guidelines ( Writing Committee to Develop Guidelines for the Association of
Cardiovascular and Pulmonary Rehabilitation; National Heart, Lung, and Management of Patients
With Peripheral Arterial Disease ) : Endorsed by the American Blood Institute; Society for Vascular
.
Nursing; TransAtlantic Inter-Society Consensus; and Vascular Disease Foundation Circulation.
2006;113:e463-e654. Diunduh dari http:/ / circ.ahajournals.org/ pada tanggal 2 Juni 2012.
3. Antono D, Ismail D. Penyakit arteri perifer. Dalam: Alwi I, Setiqti S, Setiyohadi B, Simadibrata M,
Sudoyo AW, editors. Buku Ajar limu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V. Jakarta: Interna Publishing;
2010: Hal 1831-1841

663
664

KELAINAN SISTEM VENA DAN LIMFATIK

KELAINAN SISTEM VENA


PENGERTIAN
Penyakit vena kronik ( chronic venous disease ) yaitu kelainan yang ditimbulkan
akibat abnormalitas struktur dinding vena, katup dan/ atau abnormalitas sehinggga
menyebabkan refluks dan/ atau obstruksi. Pembuluh darah vena pada ekstremitas
terbagi atas superfisial dan profundus. Pada ekstremitas inferior, vena superfisial
terdiri dari vena safena magna dan parfa, sedangkan vena profundus berjalan
bersamaan dengan permbuluh darh arteri besar. Vena superfisialis dan profundus
dihubungkan dengan vena perforantes. Sistem vena disertai dengan katup bikuspid
yang mengatur aliran darah vena. Beberapa kelainan sistem vena yaitu
• Trombosis vena
o Trombosis vena dalam [deep venous thrombosis/ DVT ) dan tromboemboli
pulmonal
Akut [bila gejala < 10 hari)
Kronik [bila gejala > 10 hari)
o Trombosis vena superfisial
o Faktor risiko yang dapat meningkatkan terjadinya trombosis vena :
Operasi : prosedur ortopedik, thoracic, abdominal, dan genitourinarius
Keganasan : pankreas , paru - paru, ovarium, testis, traktus urinarius,
payudara, lambung
Trauma
Imobilisasi
Kehamilan
Pemakaian kontrasepsi atau preparat estrogen
Hiperkoaguabilitas
Venulitis
Riwayat DVT sebelumnya

nd nPraktfk Kllnis
Perhimpunan Dokler SpesiaHs Penyakll Dalam Indonesia
Kelainan Sistem Vena dan Limfatik jj
||

Vena varikosa ( varicose veins)


o Primer : berasal dari sistem vena superfisial, terjadi lebih banyak pada wanita
daripada laki - laki, disertai riwayat dalam keluarga .
o Sekunder : berasal dari insufisiensi sistem vena dalam dan oklusi vena dalam
yang menyebabkan pelebaran vena supersial
• Insufisiensi vena kronik
o Dapat berasal dari DVT dan / atau inkompetensi katup. Setelah DVT, katup
menjadi menebal dan berkontraksi sehingga tidak dapat mencegah aliran
darah balik. Dinding vena menjadi kaku dan tebal .
o Klasifiaksi berdasarkan CEAP (clinical, etiologic, anatomic, pathophysiologic )
untuk memperkirakan derajat keparahan klinis.

Tabel 1 . Klasifikasi Insufisiensi Kronik BerddSdrkdn CEAP1


KldsMkdtl Klinis
Klinis CO Tidak terlihat atau teraba adanya kelainan vena
Cl Teleangiektasis, vena retikular
C2 Vena varikosa
C3 Edema tanpa perubahan kuiit
C 4a Adanya perubahan kuiit seperti pigmentasi dan / atau eksema
C 4b Lipodermatoskeloris dan / atau atrophie blanche
C5 Healed venous ulcer
C6 Ulkus vena aktif
Etiologi Ec Kongenital
EP Primer
Es Sekunder
En No venous etiology indentified
Anatomis As Vena superficial
Ap Perforator vein
Ad Vena dalam ( deep vein )
An No venous location indentified
Patoflsiologi Pr Refluks
Po Obstruksi
Pr,o Refluks dan obstruks
Pn No venous pathophysiology indentified
Keterangan:diagnosis harus mencakup keempat klasifikasi di atas

PENDEKATAN DIAGNOSIS
Diagnosis berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik :

665
Panduan PraktikKlinis Kardioloqi
Perhimpunan Pokier Spesialis Penyakit Dalam Indonesia

Tabel 2. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik pada Kelainan Vena14


Trombosls vena Trombosls vena Vena varlkosa Insuflslensl vena
datam/DVT supefflskil kronlk
Anamnesis Asimptomatik Nyeri Dull ache atau Dull ache yang
sampai merasakan ada semakin memberat
menyebabkan tekanan pada dengan posisi
nyeri atau kram ekstremitas setelah berdiri lama dan
di betis selama berdiri lama dan menghilang dengan
beberapa hari menghilang elevasi tungkai
dan menjadi dengan elevasi
progresif. tunkai. Terasa berat
pada tungkai .
Pemeriksaan Kemerahan, Kemerahan, Terlihat vena pada Terlihat vena,
fisik bengkak, nyeri, suhu kulit teraba posisi tungkai edema,
peningkatan hangat, dan menggantung, meningkatnya
suhu nyeri tekan disertai edema diameter tungkai.
sepanjang vena pada pergelangan Pada bagian distal
superfisialis kaki. Ulkus pada terlihat kemerahan,
kulit dekat dengan dermatitis, dan
pergelangan kaki. hiperpigmentasi.
Ulkus terjadi pada
daerah sekitar
maleolus medial
dan lateral, serta
dapat berkembang
menjadi selulitis.

Pemeriksaan Penunjang3
• Ultrasonografi : Continuous - wave ( CW ) Doppler, duplex scan, echocardiografi
Doppler :
o Tujuan : melihat adanya refluks , mencari sumber lokasi dan morfologi ,
pemeriksaan preoperatif
• Imajing: angiografi - CT scan, angiografi - MRI
• Plethysmography : quantitative photoplethysmography, phlebography ( venography)
o Indikasi phlebography : mempunyai anomali anatomis atau malformasi, atau
jika ada indikasi operasi sistem vena dalam .

DIAGNOSIS BANDING
Ruptur kista Baker , selulitis, sindroma postflebitis , sumbatan arteri menahun .*

666
Kelainan Sistem Vena dan Limfatik

Tabel 3. Krlteria Diagnosis DVT4


KHnls Skor
Kanker aktif 1

Paralisis, paresis, atau menggunakan cast i


Terbaring di tempat tidur > 3 hari, post operasi mayor < 12 minggu I
Nyeri tekan di sepanjang vena dalam
Edema tungkai i
Pembengkakan pada betis unilateral > 3 cm
Edema pitting i
Collateral superficial nonvaricose vein i
Adanya diagnosis alternative menyerupai DVT -2
Keterangan :
> 0 : kecil kemungkinan adanya DVT
-
1 2 : kemungkinan DVT
3 : kemungkinan besar DVT

Pendekatan diagnosis untuk DVT

Pemeriksaan imajing

i
Ultrasonografi vena
1
I 1
Non diagnostik
Diagnostik

i t 1
Phlebography
Ultrasonografi vena MRI CT scan

Gambar 1. Algorltma Pendekatan Diagnostik untuk DVT


4

TATALAKSANA13 s

Trombosis vena dalam/DVT


• Antikoagulan :
o Indikasi: untuk mencegah perluasan trombos ke vena dalam dan mencegah
emboli paru.
o Heparin 5000 unit intravena ( IV) setiap 4 jam selama 5 -10 hari . Heparin
dihentikan jika waktu protrombin sudah mencapai 2 - 2.5 kali nilai normal
(biasanya dalam 3- 5 hari), dan dilanjutkan dengan preparat oral sampai 3 - 4
Mjlr
m|
Panduan Praktik Klinis Kardioloq
w
i
Perhimpunan Dokler Spesiafis Penyalat Dalam Indonesia

• Anti agregasi trombosit:


o Golongan vasoaktif
• Operasi :
o Indikasi : jika terapi antikoagulan dan trombolitik tidak berhasil serta ada
bahaya gangrene
o Ligasi vena, trombektomi vena , femorofemoral grafts, atau saphenopoliteal
bypass : sesuai indikasi

Trombosis vena superfisial


• Suportif
• Bed rest dengan elevasi tungkai dan kompres hangat
• OAINS (obat anti steroid non inflamasi )
• Obat antikoagulan : untuk mencegah perluasan trombos ke vena dalam dan
mencegah emboli paru. Diberikan jika trombosis berada di vena safena magna
pada daerah paha dan meluas sampai perbatasan dengan femoral ( saphenofemoral
junction ).

Vena varikosa
• Menghindari posisi berdiri terlalu lama
• Memakai kaus kaki elastis atau compression stocking
• Elevasi tungkai secara periodik
• Prosedur:
o Indikasi: jika keluhan tetap ada, trombosis vena superficial yang rekuren, dan
/
atau adanya
o Skleroterapi: jika varikosa kecil
o Radiofrekuensi endovenus:untuk mengatasi vena safena magna inkompeten
o Ablasi laser.
o Operasi : berupa ligasi dan stripping vena safena magna dan parva .

Insufisiensi vena kronik


• Menghindari posisi berdiri dan duduk terlalu lama
• Elevasi tungkai secara periodik
• Memakai kaus kaki elastic atau compression stocking setiap hari
• Ulkus: kompres dan ditutup dengan occlusive hydrocolloid
• Operasi:
o Indikasi : jika ulkus berulang dan edema berat

668
Kelainan Sistem Vena dan Limfatik

o SEPS ( Subfascial endoscopic perforator surgery): untuk memutuskan vena yang


inkompeten .
o Valvuloplasty dan bypass of venous occlusions

.
Tabel 3 Prosedur operasi pada kelainan vena2
Angka kematlan Angka patens! dalam 5 tahun
Prosedur (%) (%)
Femoral-AK popliteal vein 1.3-6.3 66
Femoral-AK popliteal prosthetic 1.3-6.3 50
Femoral-BK popliteal vein 1.3-6.3 66
Femoral-BK popliteal prosthetic 1.3-6.3 33
Femoral-tibial vein 1.3- 6.3 74-80
Femoral-tibial prosthetic 1.3-6.3 25
Composite sequential bypass 0-4 28-40
Femoral-Tibial blind segment bypass 2.7-3.2 64-67
Profundaplasty 0-3 49-50

.
Keterangan:AK - above knee. SK:be / ow knee

KOMPLIKASI
Tromboemboli , emboli paru, ruptur vena, perdarahan, gangguan sistem limfatik . 1

PROGNOSIS
Komplikasi tromboemboli dapat meningkatkan morbiditas ada DVT dan
meningkatkan angka kematian sebesar 30% dalam 1 bulan. Pada 25 % kasus dengan
emboli paru akan menyebabkan kematian mendadak. Angka rekurensi DVT sebesar
30% dalam 10 tahun.6

KELAINAN SISTEM LIMFATIK


PENGERTIAN
Pada sistem limfatik juga dikenal sistem limfe tepi dan dalam . Sistem limfe tepi
menerima cairan limfer dari dermis dan jaringan di bawah kulit, sedangkan sistem
limfe dalam menerima cairan limfe dari otot dan sendi . Cairan limfe akan didorong
dari dalam ke arah tepi . Cairan limfe diperoleh dari cairan interstitial yang berasal
dari darah arterial melalui proses ultrafiltrasi pada dinding kapiler serta adanya
perbedaan tekanan onkotik. Kelainan sisrem limfatik yaitu kelainan yang ditimbulkan
akibat abnormalitas sistem limfatik sehingga menyebabkan gangguan drainase cairan
pada jaringan dan organ . 1

669
#
( tSSSSSmSSt Kardiologi

Pada bab ini akan dibahas mengenai limfedema.

LIMPEDEMA
Limfedema adalah akumulasi cairan berlebihan dari cairan ekstraseluler yang
dapat disebabkan oleh :

Primer Sekunder
Kongenital Limfangitis rekuren
Lymphedema praecox Filariasis
Limfedema tarda Tuberkulosis
Keganasan
Operasi
Terapi radiasi

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis
Asimptomatik atau tungkai terasa berat, chronic dull .1 7 -
Pemeriksaan Fisik
Edema yang dimulai dari kaki dan menyebar sampai tungkai atas. Awalnya edema
bersifat halus dan pitting , selanjutnya menjadi indurasi dan fibrosis. Dermatitis stasis
dan hiperpigmentasi dapat ditemui. 1,7

Pemeriksaan Penunjang1 7
• Ultrasonografi vena : sesuai indikasi
• Ultrasonografi abdomen dan pelvis: untuk mendeteksi lesi obstruksi seperti
keganasan .
• MRI atau CT scan: sesuai indikasi
• Lymphoscintigraphy dan lymphangiography:
o Tujuan : untuk mendiagnosis atau membedakan antara limfedema primer atau
sekunder.
o Lymphoscintigraphy: menyuntikkan plasma protein radioaktif yang berlabel
technetium ke distal dari jaringan subkutaneus pada ekstremitas yang terkena.
o Lymphangiography:
Tujuan: mencari penyebab, melihat kelainan anatomis dari saluran limfe .
kontras disuntikkan ke distal saluran linfe yang sudah dikanulasi .

670
Kelainan Sistem Vena dan Limfatik fj®
DIAGNOSIS BANDING
DVT, myxedema pretibial, lipedema.

TATALAKSANA1 7
• Edukasi perawatan kaki pada pasien, menjaga kebersihan tungkai
• Fisioterapi: massage untuk meningkatkan drainase
• Konservatif : elevasi tungkai, kompresi dengan kaos kaki elastis, pemakaian
pelembab jika kulit kering
• Obat vasoaktif seperti flavonoid:memperbaiki mikrosirkulasi dinding pembuluh
darah.
• Antibiotik profilaksis:sesuai indikasi
• Terapi bedah: limfangioplasti, transposisi flap omentum, eksisi radikal dan graft
kulit, lymphovenous shunts.

KOMPLIKASI7
• Komplikasi dermatologis:inflamasi (erysipelas, selulitis, dermatitis, limfangitis),
onkologi (angiosarkoma /S/ ndroma Stewar Treves ).
-
• Komplikasi terlibatnya sistem saraf, otot, dan skeletakartropati, ligamentoses,
tendinoses, dan periostases.

PROGNOSIS
Limfedema menyebabkan keterbatasan dalam aktivitas yang dapat mengakibatkan
distress psikis , Selain itu dapat menjadilimfangiosarkoma, dengan insiden sebesar 10
% pada penderita limfedema selama 10 tahun.8 9 -
UNIT YANG MENANGANI
• RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Kardiologi
• RS non Pendidikan :Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Hematologi
Onkologi Medik, ICCU / medical High Care , Departemen
Bedah
• RS non Pendidikan : ICCU / ICU, Departemen Bedah

671
#&
? PaaduanPrainili Minis Kardiologi
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia

REFERENSI
1. Creager MA. Vascular Diseases of the Extremities. In: Fauci A, Kasper D, Longo D, Braunwald E,
HauserS, Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison ' s principles of internal medicine. 18th ed. United
States of America; The McGraw-Hill Companies, 2012,chapter 249.
2. Hirsch AT, Haskal ZJ, Hertzer NR et all. ACC/ AHA 2005 Practice Guidelines for the Management
of Patients With Peripheral Arterial Disease ( Lower Extremity, Renal, Mesenteric, and Abdominal
Aortic ) :A Collaborative Report from the American Association for Vascular Surgery / Society
for Vascular Surgery,* Society for Cardiovascular Angiography and Interventions, Society for
Vascular Medicine and Biology, Society of Interventional Radiology, and the ACC / AHA Task
Force on Practice Guidelines ( Writing Committee to Develop Guidelines for the Association of
Cardiovascular and Pulmonary Rehabilitation; National Heart, Lung, and Management of Patients
With Peripheral Arterial Disease) : Endorsed by the American Blood Institute; Society for Vascular
Nursing; TransAtlantic Inter-Society Consensus; and Vascular Disease Foundation. Circulation.
2006;113:e 463-e 654. Diunduh dari http://circ.ahajournals.org/ pada tanggal 2 Juni 2012
.
3. Agus GB, Allegro C, Arpaia G et all. Guidelines for the diagnosis and therapy of diseases of
the veins and lymphatic vessels. Evidence-based report by the Italian College of Phlebology .
INTERNATIONAL ANGIOLOGY vol. 21 - suppl.2 to issue 2 - JUNE 2005
. ..
4. Goldhaber SZ Deep Venous Thrombosis and Pulmonary Thromboembolism In: Fauci A, Kasper
D, Longo D, Braunwald E, HauserS, Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison' s principles of internal
.
medicine 18th ed. United States of America; The McGraw-Hill Companies, 2012 chapter 262.
.
5. Jusi HD. Flebolofi. Dalam: Jusi HD. Dasar-Dasar llmu Bedah Vaskuler edisi IV.Jakarta : Balai Penerbit
.
FKUI. 2008. Hal 210-316
6. CDC Division of Blood Disorders :Public Health Research Activities in Venous Thromboembolism.
.
Michele G. Beckman, Sara E. Critchley, W Craig Hooper, Althea M. Grant and Roshni Kulkarni.
Arterioscler Thromb Vase Biol. 2008;28:394-395.Diunduh dari http:/ / atvb.ahajournals.org /
content / 28 / 3/394.full.pdf +html pada tanggal 4 Juni 2012.
7. Jusi HD.Limfologi. Dalamdusi HD. Dasar-Dasar llmu Bedah Vaskuler edisi IV.Jakarta:Balai Penerbit
.
FKUI. 2008. Hal 317-343
8. .
Chopra, S; Ors, F; Bergin, D ( 2007) “MRI of angiosarcoma associated with chronic lymphoedema:
Stewart Treves syndrome". British Journal of Radiology 80 ( 960 ) : e 310-3.DOI:10.1259 /
bjr/ 19441948. PMID 18065640.
9. Stopple mS. Lymphedema.Diunduh dari http:/ / www.emedicinehealth.com pada tanggal 22
Juni 2012.

672
PENATALAKSANAAN
i f BIDANG HMD PENYAKIT DALAM

PANDUAN
M
PBAKTIK
KLINISHH
PSIKOSOMATIK

Ansietas 673
Depresi 676
Dispepsia Fungsional 680
Nyeri Psikogenik 685
Penyakit Jantung Fungsional ( Neurosis Kardiak ) 688
Sindrom Kolon Iritabel 690
Sindrom Lelah Kronik 695
Sindrom Hiperventilasi 699
Pengelolaan Paliatif pada Penyakit Kronis 703
. * '
T

'
673

ANSIETAS

PENGERTIAN
Ansietas merupakan kecemasan yang berlebihan dan lebih bersifat subyektif .
Pada umumnya pasien datang ke poliklinik penyakit dalam dengan keluhan somatik.
Sindrom ansietas menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder Fourth
Edition Text Revision ( DSMIV-TR) dibedakan menjadibeberapamacamyaitu: ansietas
GAD (Generalized Anxiety Disorder), ansietas panik (Panic Disorder ] , ansietas OCD
[ Obsessive Compulsive Disorder ] , Fobia, PTSD (Post Traumatic Stress Disorder ] , dan
ansietas lainnya.1
Pada bab ini akan lebih dibahas mengenai Generalized Anxiety Disorder (GAD)
karena kasusnya yang lebih sering ditemukan. Pada beberapa penelitian menyebutkan
adanya pengaruh dari agen anxiogenic sebagai penyebab.1

PENDEKATAN DIAGNOSIS3 4

Kriteria Diagnosis GAD menurut DSM IV - TR


a. Rasa cemas berlebihan mengenai beberapa aktivitas atau kejadian, lebih sering
dialami daripada tidak selama paling tidak 6 bulan.
b. Orang tersebut mengalami kesulitan untuk mengontrol rasa cemas tersebut.
c. Rasa cemas tersebut berhubungan dengan setidaknya tiga atau lebih gejala berikut
(paling tidak selama 6 bulan): (1) tidak bisa istirahat; ( 2 ) gampang lelah; (3)
kesulitan berkonsentrasi; (4) mudah tersinggung; ( 5) otot tegang; (6) gangguan
tidur.
d. Fokus ansietas dan kecemasan tidak berhubungan dengan kelainan Axis I. contoh:
ansietas tidak berhubungan dengan serangan panik (seperti pada kelainan panik),
merasa malu di depan umum (seperti pada fobia sosial), merasa terkontaminasi
(seperti pada kelainan obsesif kompulsif ). Rasa cemas dan ansietas juga tidak
terjadi pada posttraumatic stress disorder (PTSD).
e. Ansietas, rasa cemas, atau keluhan fisik menyebabkan adanya penurunan kualitas
hidup.

PanduanPraktik Minis
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
Pandnan Praktlk Minis Psikosomatik
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakil Dalam Indonesia

f. Gangguan tersebut tidak disebabkan oleh efek langsung penggunaan obat atau
kondisi medis (contoh: hipertiroid), dan tidak muncul saat terdapat gangguan
mood, gangguan psikotik, atau gangguan perkembangan pervasive.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan bila dicurigai adanya kelainan organik.
• Hb, Ht, Leukosit, Ureum, Kreatinin, gula darah, tes fungsi hati, urin lengkap.
• Analisa gas darah, Na +, K +, Ca 2 , T3, T4, TSH sesuai indikasi.
• Foto toraks, bila perlu.
• EKG, elektromiogram, elektroensefalogram, bila perlu.
• Endoskopi, kolonoskopi, USG bila perlu.
• Stress analyzer / Heart rate variability untuk menilai vegetative imbalance

DIAGNOSIS BANDING
Ansietas panik, fobia, PTSD, gangguan campuran ansietas dan depresi, depresi,
gangguan somatisasi, kelainan organ yang ditemukan (koinsidensi).

TATALAKSANA5 4
• Nonfarmakologis : Edukasi, Reassurance, psikoterapi
• Farmakologis
a. Benzodiazepin : Diazepam, alprazolam, clobazam
b. Nonbenzodiazepin : Buspiron, penyekat beta bila gejala hiperaktivitas
menonjol
c. SSRI : Sertraline, fluoxetine, citalopram
d. SNRI : Duloxetine, venlafaxine
e. Simtomatik : Sesuai indikasi

KOMPLIKASI
Kurang atau tidak mampu melakukan aktivitas sehari-hari

PROGNOSIS
Angka remisi kurang dari 50% dalam rentang 5 - 1 2 tahun . Penurunan angka
remisi dapat disebabkan oleh:
1. Hubungan keluarga yang tidak harmonis.
2. Komorbid dengan kepribadian menghindar.
3. Komorbid dengan kepribadian dependent.

674
Ansietas

4. Komorbid dengan gangguan kepribadian obsesif kompulsif .


5 . Komorbid dengan gangguan Axis I .
6. Jenis kelamin perempuan.

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Divisi Psikosomatik - Departemen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Semua Divisi di lingkungan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
• RS non pendidikan

REFERENSI
Mudjaddid E. Pemahaman dan penanganan psikosomatik gangguan ansietas dan depresi: di
.
bidang ilmu penyakit dalam Dalam: Alwi I, Setiati S, Setiyohadi B, Simadibrata M, Sudoyo AW .
.
Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid III edisi V Jakarta: Interna Publishing; 2010:2105-8.
2. .
Reus VI. Mental disorders In: Braunwald E, Fauci AS, Hauser SL, Jameson JL, Kasper DL, Longo
. .
DL Harrison’ s rinciples of Internal Medicine 17th Edition New York: McGraw-Hill Companies;
2010:2547-61.
3. Diagnostic and statistical manual of mental disorders 4lh ed. Washington DC. American Psychiatric
Association. 2000
4. Yonkers A. Factors predicting the clinical course of generalised anxiety disorder .The British Journal
of Psychiatry.2000; 176: 544-9.
5. .
Baldwin DS, Anderson IM, Nutt DJ, et al Evidence -based guidelines for the pharmacological
treatment of anxiety disorders: recommendations from the British Association for
Psychopharmacology. J Psychopharmacol, Nov 2005; 19: 567 - 596 .
6. Kendall T, Cape J, Chan M, Taylor C .Management of generalised anxiety disorder in adults:
summary of NICE guidance. BMJ;2011:342: c 7460 .

675
676

DEPRESI

PENGERTIAN
Depresi merupakan gangguan afektifyang ditandai adanya mood depresi (sedih) ,
hilang minat, dan mudah lelah . Pada umumnya pasien datang ke klinik penyakit dalam
dengan keluhan somatik . Pada pembahasan berikut, depresi berat dengan gejala
psikotik tidak termasuk didalamnya . 12

PENDEKATAN DIAGNOSIS 1 3 4
Depresi mayor ditegakkan apabila pasien mengalami gejala -gejala di atas selama
minimal 2 minggu. Adapun kriteria diagnosis episode depresi mayor berdasarkan
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder Fourth Edition Text Revision ( DSM
IV-TR] adalah sebagai berikut:
Tabel 1. Kriteria Diagnosis Depresi Mayor Berdasarkan DSM IV - TR 1
A. Lima atau lebih dari gejala berikut dialami selama 2 minggu yang sama dan
merasa terdapat
perubahan fungsional dari keadaan sebelumnya: minimal mengalami satu dari gejala berikut
yaitu ( 1) mood depresif atau ( 2) hilang minat atau kesenangan. Catatan: gejala yang
disebabkan
karena kondisi medis umum atau waham mood-inkongruen atau halusinasi tidak dlikutsertakan.
.
1 Mood depresif sepanjang hari, hampir setiap hari yang ditandai dengan keluhan pasien
berupa perasaan sedih atau hampa atau laporan dari orang lain (misalnya terlihat menangis )
.
2 Kehilangan minat atau rasa senang pada semua atau hampir semua aktivitas sepanjang
hari,
hampir setiap hari
.
3 Terdapat penurunan atau peningkatan berat badan signifikan(>5% berat badan awal dalam
sebulan) walaupun tidak sedang dalam program diet atau penurunan atau peningkatan
nafsu makan hampir setiap hari
4. Insomnia atau hipersomnia hampir setiap hari
5. Agitasi psikomotor atau retardasi hampir setiap hari
6 . Merasa lelah atau hilang energi hampir setiap hari
7. Perasaan tidak berharga atau perasaan bersalah yang berlebihan atau tidak sesuai hampir
setiap hari
8. Kehilangan kemampuan untuk berpikir atau konsentrasi, sulit membuat keputusan hampir setiap
hari
9. Timbul pemikiran akan kematian yang berulang-ulang, ide untuk bunuh diri dengan atau
tanpa rencana spesifik
B . Gejala-gejala tersebut tidak memenuhi kriteria untuk episode campuran
C. Gejala-gejala tersebut secara klinis menimbulkan distress atau gangguan dalam kehidupan
sosial,
pekerjaan atau kegiatan fungsional lainnya
D. Gejala-gejala tersebut timbul tanpa terkait dengan penggunaan obat-obatan atau kelainan
medis umum ( misal hipotiroid)
E. Gejala-gejala tersebut tidak terkait dengan adanya kejadian menyedihkan seperti kehilangan orang
yang dicintai, gejala menetap >2 bulan atau adanya gangguan fungsional yang berarti, preokupasi
morbid terhadap rasa tidak berharga, ide bunuh diri, gejala psikotik atau retardasi psikomotor

y|
< j
Panduan Praktik Klinis
Perhimpunan Dokler Spesiolis Penyakil Dalam Indonesia
Depresi

Depresi minor ditegakkan apabila pasien mengalami minimal dua gejala depresi
selama dua minggu namun tidak memenuhi kriteria depresi mayor. Pemeriksaan
penunjang dilakukan sesuai indikasi, Stress analyzer / Heart rate variability untuk
menilai vegetative imbalance.
Terdapat beberapa alat penapisan untuk depresi:
• Beck Depression Inventory
• Beck Depression Inventory- PC
• Center for Epidemiological Studies Depression
• Edinburgh Postnatal Depression Scale
• Zung Depression Rating Scale

DIAGNOSIS BANDING
Gangguan campuran ansietas dan depresi, ansietas, gangguan somatisasi, kelainan
organ yang ditemukan (koinsidensi), kelainan karena pengaruh obat- obatan.1

TATALAKSANA
Nonfarmakologis : edukasi, reassurance, psikoterapi 2 5 6
Farmakologis : 12
• Antidepresan:
o antidepresan trisiklik (nortriptilin, imipramin, desipramin, amineptin)
o penghambat reversibel MAO (moklobemid)
o antidepresan generasi dua (amoksapin, maprotilin, trazodon, bupropion)
o golongan SRRI (sertralin, paroksetin, fluoksetin, sitalopram, esitalopram )
• Simtomatik, sesuai indikasi
Berikut ini adalah algoritma penatalaksaan depresi mayor menggunakan terapi
farmakologis.

KOMPLIKASI
Berkurangnya/tidak mampu melakukan aktivitas sehari-hari (bekerja), bunuh
diri, komplikasi akibat pengobatan.5

PROGNOSIS
Di antara individu dengan depresi mayor dengan pengobatan, 76% mencapai
remisi dengan angka rekurensi mencapai 70% dalam waktu 5 tahun dan setidaknya
80% dalam 8 tahun.1

677
QI vpp
Pandu nPraW Klinl8 Psikosomatik
* »
Perhimpunon Dokler Spesialis Penyakit Dalam Indonesia

Tanyakan riwayal pengobatan depresi sebelumnya pada pasien atau pada keluarga lini
pertama yang pernah menjalani pengobatan, bila ada, pertimbangkan untuk menggunakan
obat yang sama. Bila tidak ada, evaluasi karakteristik pasien dan sesuaikan dengan obat-
obatan yang ada, pertimbangkan status kesehatan, efek samping, kenyamanan, harga ,
preferensi pasien, interaksi obat, potensi bunuh diri dan riwayat kepatuhan pasien

Inisiasi terapi, mulai dengan 1 / 3 hingga Vi dosis sasaran apabila obat yang akan
digunakan adalah golongan antidepresan trisiklik, bupropion, venlafaksin, mirtazapin.
Atau gunakan dosis penuh yang dapat ditoleransi apabila menggunakan obat
golongan SSRI

Apabila terjadi efek samping, evaluasi kemungkinan toleransi, pertimbangkan


penurunan dosis atau terapi pengganti sementara

Apabila efek samping berlanjut, turunkan dosis obat bertahap dalam satu minggu dan
inisiasi terapi baru. Pertimbangkan interaksi obat-obatan yang dipilih.

Evaluasi respon setelah 6 minggu pada dosis sasaran, apabila respon tidak adekuat .
tingkatkan dosis bertahap sesuai kemampuan toleransi pasien.

Apabila setelah pemakaian dosis maksimal respon belum adekuat, pertimbangkan untuk
penurunan dosis bertahap dan ganti dengan obat jenis lain atau pertimbangkan terapi
tambahan. Apabila obat yang dipakai adalah antidepresan trisiklik, periksa kadar obat
dalam plasma sebagai dasar untuk pemilihan obat selanjutnya

Gambar 1. Algoritma Penatalaksanaan Depresi Mayor Menggunakan Terapi farmakologis2

678
Depresi ?
f|
UNIT YANG MENANGANI
• RS pendidikan : Divisi Psikosomatik - Departemen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Semua Divisi di lingkungan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : -

REFERENSI
1. Mudjaddid E. Pemahaman dan penanganan psikosomatik gangguan ansietas dan depresi: di
bidang ilmu penyakit dalam. In: Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors.
Buku ajar ilmu penyakit dalam edisi V. Jakarta: Interna Publishing: 2009:2105 - 10
2. .
Reus V.Mental disorders In: Fauci A, Kasper D, Longo D, Braunwald E, Hauser S, Jameson J,
Loscalzo J, editors. Harrison' s principles of internal medicine 18"ed. New York: McGraw-Hill Medical
Publishing Division: 2012: 3529 - 43.
3.
.
Association 2000
^ .
Diagnostic and statistical manual of mental disorders ed Washington DC. American Psychiatric

4. Sharp L, Lipsky M. Screening for depression across the lifespan: a review of measures for use in
primary care settings. Am Fam Physician. 2002:66 ( 6) :1001 - 9.
5. .
Current depression among adults—United States, 2006 and 2008 MMWR Morb Mortal Wkly Rep.
2010:59 ( 38):1229-35
6. .
Eisendrath S, Lichtmacher J. Psychiatric disorders In: McPhee S, Papadakis M, Rabow M, editors.
Current medical diagnosis and treatment 2012. 51“ ed. Asia: The McGraw -Hill Education.
2012:1034-47
7 . .
Qaseem A, Snow V, Denberg, TD, et al Using Second-Generation Antidepressants to Treat
Depressive Disorders: A Clinical Practice Guideline from the American College of Physicians.
.
Ann Intern Med 2008:149:725-733

679
680

DISPEPSIA FUNGSIONAL

PENGERTIAN
Dispepsia merupakan gejala atau kumpulan gejala berasal dari regio
gastroduodenum yang dapat berupa nyeri epigastrium, rasa terbakar, rasa penuh
setelah makan, perasaan cepat kenyang, dan lainnya termasuk rasa kembung pada
area abdomen atas, mual, muntah, dan berdahak. Keluhan dispepsia kronik dapat
terjadi terus -menerus, intermiten, atau kambuhan yang dirasakan minimal 6 bulan
atau lebih . u 3 -
Berdasarkan kriteria Roma III , dispepsia fungsional adalah adanya satu atau lebih
dari:
• Rasa penuh (kekenyangan) setelah makan ( bothersome postprandial fullness )
• Perasaan cepat kenyang
• Nyeri ulu hati
• Rasa terbakar di ulu hati
• Tidak ditemukan kelainan struktural yang dapat menjelaskan keluhan saat
dilakukan pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas (SCBA) .
Keluhan berlangsung > 3 bulan terus menerus, atau dimulai sejak 6 bulan sebelum
diagnosis ditegakkan. Dispepsia fungsional dibagi kedalam dua kategori diagnostik,
yaitu : w
1. Postprandial distress syndrome ( PDS)
2. Epigastric Pain Syndrome (EPS)
Penyebab dispepsia fungsional bersifat multifaktorial, diduga dapat timbul karena
keterlambatan pengosongan lambung, hipersensitif aferen visera terhadap zat asam
dan lemak sehubungan dengan rangsang sentral maupun perifer, status inflamasi
ringan, serta predisposisi genetis. Rangsang psikis atau emosi dapat mempengaruhi
fungsi saluran cerna melalui jalur neurogenik atau jalur neurohormonal . 2,3

PENDEKATAN DIAGNOSIS
Diagnosa ditegakkan berdasarkan klinis dan pemeriksaan endoskopi saluran cerna
bagian atas 1,4

Panduan Praktik Klinis


Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
Dispepsia Fungsional

Anamnesis1 4
Rasa sakit dan tidak enak di ulu hati. Perih, mual, muntah, cepat kenyang,
kembung, sering bersendawa, regurgitasi. Keluhan dirasakan umumnya berhubungan /
dicetuskan dengan adanya stres, berlangsung lama dan sering kambuh. Sering disertai
gejala - gejala ansietas dan depresi (misalnya dysphoric state )

Pemeriksaan Fisik1 4
• Evaluasi sistem kardiovaskuler, hepatobilier, ginjal, tiroid: dalam batas normal
• Turgor kulit, berat badan

Pemeriksaan Penunjang1 4
• Laboratorium : Hb, Ht, leukosit, gula darah, faal ginjal, tes fungsi hati, urin lengkap,
darah samar feses, dan pemeriksaan laboratorium lain sesuai indikasi untuk
menyingkirkan diagnosis banding (misal hormon tiroid, kalsium, dsb)
• EKG
• Radiologi : Foto lambung dan duodenum dengan kontras
• Pemeriksaan endoskopi bagian atas (EGD ) :
• Pemeriksaan untuk Helicobacter Pylori
• Stress analyzer / Heart rate variability untuk menilai vegetative imbalance

Dispepsia yang tidak teratasi minimal 3 bulan

Menyingkirkan penyebab dispepsia lain dari anamnesa

Terapi empiris
Respon setelah
Tanda "alarm" 4 minggu
Tes dan terapi untuk H.pylori

Tidak
Endoskopi SCBA

Ya
1
Etiologi keluhan
Tidak

i
Jika ada indikasi klinis : pemeriksaan feses untuk parasit
Ya dan darah samar, kimia darah, dan / atau imaging abdomen

Ya
I
Hasil dapat menjelaskan Tidak
Dispepsia fungsional
Dispepsia organik
keluhan

Algoritma 1 . Diagnosa Dispepsia Fungsional'

681
# IgSSSSgBSL Psikosomatik

Sebelum mendiagnosa dispepsia fungsional, hendaknya diperhatikan terlebih


dahulu apakah ada tanda -tanda bahaya seperti : ( lebih lanjutlihat di bab Dispepsia ) . 2
• Penurunan berat badan
• Disfagia yang progresif
• Muntah yang berulang atau menetap
• Perdarahan saluran cerna
• Anemia
• Demam
• Mempunyai riwayat keluarga menderita kanker lambung
• Dispepsia pertama kali dirasakan pada kasus keganasan
• Usia > 45 tahun atau > 50 tahun pada populasi yang prevalensinya rendah

TATALAKSANA1 4 5
Pendekatan psikosomatik terhadap aspek fisik, psikososial dan lingkungan :
psikoterapi suportif dan psikoterapi perilaku
Pengaturan diet untuk mencegah pencetus gejala
Simptomatik : diberikan antasida, antagonis H 2 [simetidin, ranitidin ) , penghambat
pompa proton (omeprazol , lansoprazol) dan obat prokinetik (metoklopramid,
domperidon, cisapride].
Bila jelas terdapat ansietas atau depresi diberikan anti cemas atau anti depresan
yang sesuai.
Eradikasi Helicobacter pylori bila terbukti ada infeksi penyerta.
Obat relaksan fundus gaster (nitrat, sildenafil (phosphodiesterase - 5 inibitor] dan
sumartiptan (antagoni reseptor 5 -HTJ

DIAGNOSIS BANDING6
Dispepsia organik, misalnya ulkus peptikum, gastritis erosif, infeksi saluran cerna,
GERD
Gangguan pada sistem hepato - bilier dan pankreas
Intoleransi laktosa atau karbohidratlain (fruktosa, sorbitol), sindrom kolon iritabel
Dispepsia yang disebabkan penyakit kronik seperti gagal ginjal, diabetes melitus,
keganasan, dsb
Iskemia jantung, gagal jantung kongestif, tuberkulosis
Gangguan psikologis (ansietas dengan ataupun tanpa aerofagia, gangguan
penyesuaian, somatisasi pada depresi, hipokondriasis)

682
Dispepsia Fungsional @
Dispepsia fungsional

Tes dan eradlkasi H.pylori apabila


belum pemah dllakukan sebelumnya

Modiflkasi diet

Keluhan yang menonjol

Rasa penuh setelah makan, mual,


1
Nyeri epigastrium
muntah, cepat kenyang, kembung atau terasa perih

l 1
PPI + prokinetik
Prokinetik ± PPI

I
Respon setelah Anti depresi .
i
Respon setelah
4 atau 8 minggu anti cemas. herbal 4 atau 8 minggu

I
Rujuk spesialis

Stop obat /
sesual kebutuhan

Gambar 2. Algoritma Penatalaksanaan Dyspepsia Fungsional1

KOMPLIKASI
• Dehidrasi bila muntah berlebihan
• Gangguan gizi
• Berat badan turun

PROGNOSIS
Dispepsia fungsional merupakan penyakit kronis dan keluhan dapat menyerupai
gangguan gastrointestinal lainnya. Pada beberapa pasien, keluhan akan tetap dirasakan
10 % kasus akan mempunyai keluhan menyerupai gangguan gastrointestinal lain,

683
«! ?
* > w/
v
Panfluan PraWH Kllnis Psikosomatik
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia

sedangkan 10 % kasus akan remisi spontan . Walaupun perjalanan penyakit ini tidak
stabil , tetapi hanya 2 % kasus akan berkembanga menjadi ulkus peptikum dalam 7
tahun, belum terbukti penyakit ini menyebabkan kematian . 7

UNIT YANGMENANGANI
• RS pendidikan : Divisi Psikosomatik - Departemen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Divisi Gastroentero - Hepatologi, Divisi Ginjal - Hipertensi ,
Divisi Metabolik Endokrin - Departemen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : -

REFERENSI
1. Asian Consensus Report on Functional Dyspepsia, J Neurogastroenterol Motil. 2012 April; 18 ( 2):
150-168. http:/ /www.ncbi.nlm.nih.gov / pmc /articles/ PMC3325300 /
2. Mudjaddid E. Dispepsia Funsional. Dalam : Sudoyo AW , et al editor. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam
jilid II edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen llmu Penyakit Dalam FKUI, 2006. him 916
3. . .
Hosier, W L. Naussea, Vomiting and Indigestion In : Kasper D L, et al ediors Harrison' s Principal
of Internal Medicine 16th ed. Me Graw-Hill Companies: 2005. p222 - 223.
4. .
Djojoningrat Dharmika. Dispepsia fungsional Buku Ajar llmu Penyakit Dalam jilid 1 edisi IV . Jakarta:
Pusat Penerbitan Departemen llmu Penyakit Dalam FKUI, 2006. Hal 354-356.
5. .
Karamanolis Georgios P, Tack Jan Current management of functional dyspepsia:impact of Rome
III subdivision, Annals of gastroenterology. Volume 25. No. 2 ( 2012) . http:/ /www.annalsgastro.gr /
index.php / annalsgastro / article / view / 1110 /819
6. .
HANNAH VU, D.O. Ferri Fred F. Irritable bowel syndrome In: Ferri ' s Clinical Advisor 2008, 10th ed.
Mosby. 2008.
7. Bhatia Shobna, Grover Anumeet Singh. Natural History of Functional Dyspepsia. SUPPLEMENT
TO JAPI • march 2012. VOL. 60. http:/ / www.japi.org/march_2012_special_issue_dyspepsia / 05_
natural_history_of.pdf

684
685

NYERI PSIKOGENIK

PENGERTIAN
Nyeri psikogenik adalah keluhan nyeri yang penyebabnya bukan penyebab penyakit
organik. Faktor psikologis berperan dalam persepsi, awitan, keparahan, eksaserbasi
dan lamanya nyeri. Nyeri psikogenik tidak pura-pura diciptakan atau dibuat- buat.
Nama lainnya adalah pain disorder.13

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis23
Faktor yang harus ditanyakan adalah lokasi nyeri, intensitas sifatnya terus -menerus
atau hilang timbul, karakteristik nyeri, faktor-faktor pemberat dan peringan nyeri,
faktor penyebabnya, akut atau kronik, riwayat penggunaan analgetik sebelumnya,
dan keadaan lain yang berhubungan dengan nyerinya. Perlu juga dilakukan penilaian
status psikis.1
Nyeri psikogenik pada umumnya bersifat difus, tidak jelas hubungannya dengan
struktur jaringan, intensitasnya berubah-ubah, terdapat disparitas antara mekanisme
yang mencetuskan dengan jenis dan beratnya nyeri. Pasien umumnya memiliki riwayat
sudah berulang kali mengunjungi petugas kesehatan, riwayat telah mengonsumsi
berbagai obat penghilang nyeri, dan riwayat memiliki stresor psikososial, antara lain
masalah pernikahan, pekerjaan, atau keluarga. Sering disertai komorbid depresi atau
ansietas atau penyalahgunaan obat. Pemeriksaan status psikis menunjukkan bahwa
keluhan utama akan memburuk bila terdapat stres.

Pemeriksaan Fisik1 3 -
Diperlukan pemeriksaan yang teliti pada area nyeri dan sekitarnya, sistem saraf ,
fungsi motoris dan sensoris serta fungsi organ -organ dalam.
Pada nyeri psikogenik tidak terdapat temuan fisis, atau temuan fisis tidak adekuat
untuk menjelaskan keparahan nyeri.

PanduanPraktik Kllnis
Pertilmpunan Dokter Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
fA
( UK inis Psikosomatik
Perhimpunon Dokler Spesialis Penyakif Dalam Indonesia

Pemeriksaan Penunjang1 3
• Pemeriksaan penunjang dilakukan sesuai indikasi dan diagnosis banding nyeri
organik. Untuk menilai nyeri secara obyektif dapat dilakukan metode visual analog
scale (VAS) . Untuk menilai deskripsi nyeri secara terperinci dapat digunakan
McGill Pain Questionnaire (MPQ). Untuk menilai nyeri kronik dapat digunakan
The Westhave-Yale Multidimensional Pain Inventory [WHYMPI]. Stress analyzer /
Heart rate variability untuk menilai vegetative imbalance.

Kriteria Diagnosis
Kriteria diagnosis nyeri psikogenikmenurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorder Fourth Edition Text Revision ( DSM - IV TR ): -
1. Nyeri pada satu atau lebih daerah anatomis dengan keparahan yang cukup sehingga
membutuhkan perhatian klinis.
2. Menyebabkan distres atau gangguan pada bidang sosial, pekerjaan, atau bidang
fungsional lain yang signifikan secara klinis
3. Faktor psikologis dinilai memiliki peran penting dalam awitan , keparahan,
eksaserbasi atau lamanya nyeri.

DIAGNOSIS BANDING
Nyeri organik sesuai dengan lokasi nyeri

TATALAKSANA 3 4

Nonfarmakologis
istirahat, cognitive behavior therapy (CBT)

Farmakologis
1. Antidepresan : Fluoxetin, citalopram, fluvoxamin, mianserin, clomipramin
2. Antiansietas : benzodiazepin
3. Antinyeri

KOMPLIKASI3
Kurang / tidak mampu melakukan aktivitas sehari-hari [bekerja], bunuh diri

PROGNOSIS
Belum ada studi yang melaporkan prognosis nyeri psikogenik

686
Nyeri Psikogenik $jjj|

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Divisi Psikosomatik - Departemen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
RS Pendidikan : Semua Divisi di lingkungan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : -

REFERENSI
1. Shatri H, Setiyohadi B. Nyeri psikogenik. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M,
Setiati S, penyunting. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi V. Jakarta;InternaPublishing; 2009. hal.
2143- 7.
2. Reus VI. Mental disorders. Dalam: Longo DL. Kasper DL. Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo
J, penyunting. Harrison' s principle of internal medicine. Edisi XVIII. McGraw-Hill Companies; 2012.
Hal. 3529-3545
3. .
Oyama O, Paltoo C, Greengold J Somatoform disorders. Am Fam Physician 2007;76:1333-8.
4 . Kroenke K. Efficacy of treatment for somatoform disorders: a review of randomized controlled
trials. Psychosomatic Medicine 69:881-888 ( 2007)
5. Diagnostic and statistical manual of mental disorders. 4lh ed. Washington DC. American Psychiatric
Association. 2000
6. Fishbain DA, Cutler RB, Rosomoff HL. , et al. Do antidepressants have an analgesic effect in
psychogenic pain and somatoform pain disorder? A meta-analysis. Psychosom Med 1998 ;
6: 503.

687
688

PENYAKIT JANTUNG FUNGSIONAL


( NEUROSIS KARDIAK )

PENGERTIAN
Penyakit jantung fungsional adalah kelainan dengan keluhan seperti penyakit
jantung tanpa disertai kelainan organik. Etiologi berhubungan dengan keadaan
psikiatri, paling sering disebabkan ansietas, biasanya berhubungan dengan depresi
aktif dan tidak jarang dengan gejala histerik.1
Menurut ICD 10, Penyakit jantung fungsional dikategorikan dalam gangguan
somatisasi.3

PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis2
1. Nyeri dada menyerupai angina pectoris, biasanya dicetuskan suatu stressor tertentu
2. Berdebar -debar / palpitasi, sesak nafas, nafas terasa berat
3. Keluhan vegetatif : kesemutan, tremor, sakitkepala, tidak bisa tidur, dan sebagainya
4. Keluhan psikis: rasa takut, risau /was-was, gelisah, dan sebagainya
5. Keluhan-keluhan umum lainnya seperti pandangan mata gelap, berkunang-kunang
6. Terdapat stressor psikososial
7. Pemeriksaan penunjang1
8. EKG, echocardiography, maupun tes Treadmill normal
9. Stress analyzer / Heart rate variability untuk menilai vegetative imbalance

DIAGNOSIS BANDING
Penyakit jantung Koroner ( angina pectoris, infark miocard ) 1

TATALAKSANA2 4

Nonfarmakologis
• Memberikan edukasi dan bimbingan, menjelaskan tentang gejala yang timbul
dengan tepat tanpa menakuti pasien, meluruskan pola pikir pasien yang salah
tentang penyakit jantung.

PanduanPrakUkKlinls
Perhimpunan DoMerSpesiais Penyaldl Dalam Indonesia
Penyakit Jantung Fungsional ( Neurosis Kardiak)

• Terapi Kognitif dan Perilaku ( Cognitive Behavioural Therapy / CBT)

Farmakologis
• Analgetik untuk rasa nyeri
• Vasodilator koroner
• Psikotropik golongan benzodiazepine untuk mengurangi kecemasan
• Terapi simptomatik lain dapat diberikan sesuai indikasi.

KOMPLIKASr
• Merasa memiliki penyakit jantung organik sehingga menghindari aktivitas /
kegiatan sehari - hari.
• Pada pasien usia tua dengan faktor psikis yang menonjol dapat mencetuskan
timbulnya penyakit jantung organik.
• Aritmia.

PROGNOSIS
Gangguan ini bersifat kronis, hilang timbul dan jarang sembuh secara sempurna .
Sangat jarang seseorang dengan gangguan ini dapat bebas dari gejala selama lebih
dari 1 tahun.3

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Divisi Psikosomatik - Departemen Penyakit Dalam
• RS nonpendidikan : Bagian Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Divisi Kardiovaskular - Departemen Penyakit Dalam
• RS nonpendidikan :-

REFERENSI
1. .
Shatri H. Gangguan jantung fungsional Dalam: Alwi I, Setiati S, Setiyohadi B, Simadibrata M,
Sudoyo AW . Buku Ajar llmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi V. Jakarta: Interna Publishing: 2010:21222126.
2. Wood P . Refresher Course for General Practitioners Cardiac Neurosis. British Medical Journal.
1950: 2 ( 4669) :33-5.
3. Sadock BJ, Sadock VA . Somatization disorders. In: Kaplan & Sadock ’ s Synopsis of Psychiatry
Behavioural sciece / Clinical Psychiatry 10th Edition. Lippincott Williams & Wilkins: 2007.
4. Thompson DR , Lewin RJP. Management of the post-myocardial infarction patient: rehabilitation
and cardiac neurosis. Heart 2000:84:101 - 105

689
690

SINDROM KOLON IRITABEL

PENGERTIAN
Berdasarkan Rome III, Sindrom Kolon Iritabel (SKI) merupakan nyeri abdomen
berulang atau ketidaknyamanan abdomen (sensasi tidak nyaman yang tidak bisa
dikatakan sebagai nyeri) paling tidak 3 hari dalam satu bulan pada 3 bulan terakhir
yang berhubungan dengan 2 atau Iebih hal berikut:
• Perbaikan gejala setelah defekasi
• Onset berhubungan dengan perubahan frekuensi defekasi
• Onset berhubungan dengan perubahan bentuk feses
Dikatakan positif jika kriteria terpenuhi pada 3 bulan terkahir dengan onset paling
tidak 6 bulan sebelum didiagnosis.13 -
Sindrom kolon iritabel dibagi menjadi beberapa subtipe berdasarkan konsitensi
feses yaitu tipe konstipasi, tipe diare, tipe campuran, dan tipe lainnya13 -
Tabel 1. Subtipe Sindrom Kolon Iritabel13
Deskripil
IBS dengan konstipasi .
Feses keras > 25% dan feses lunak atau cair <25%
IBS dengan diare Feses lunak atau cair >25% dan feses keras < 25 %
IBS tipe campuran Feses keras > 25% dan feses lunak atau cair > 25%
IBS yang tak terklasifikasi Abnormalitas yang tidak memenuhi semua kriteria di atas

Penyebab sindrom ini belum diketahui pasti, diperkirakan karena beberapa faktor
pencetus seperti: 1
• Gangguan Motilitas
Kemungkinan terdapat gangguan intestinal inhibitory reflex karena distensi kolon
tidak dapat mengurangi motilitas duodenal.
• Hipersensitivitas viseral
Yaitu sensitivitas terhadap nyeri yang meningkat pada stimulasi usus. Hal ini yang
menyebabkan nyeri kronik pada pasien ini.
• Post Infeksi
Biasa terjadi setelah infeksi Shigella, Salmonella dan Campylobacter, ditandai
dengan meningkatnya jumlah limfosit dan sel mast pada mukosa usus.

PanduanPrakdkKIinis
Perhimpunan DokferSpesiaBs Penyakit Dalam Indonesia
Sindrom Kolon Iritabel

• Faktor dalam lumen yang merangsang kolon


Komponen dalam makanan (eksogen) atau faktor kimiawi (endogen ) yang terlibat
dalam proses pencernaan. Faktor endogen seperti hormon kolesistokinin ( CCK)
dapat mempercepat motilitas sigmoid
• Respon terhadap stress
Stress yang berasal dari lingkungan dan riwayat penyiksaan masa kanak-kanak
adalah faktor predisposisi.

PENDEKATAN DIAGNOSIS2

Anamnesis
Pasien mengeluhkan nyeri pada abdomen bagian bawah dengan kelainan pola
defekasi selama periode waktu tertentu tanpa progresivitas penyakit. Keluhan muncul
selama stress atau perubahan emosional tanpa disertai keluhan sistemik. Apakah nyeri
dirasakan hanya pada satu tempat atau berpindah-pindah, seberapa sering merasakan
nyeri, berapa lama nyeri dirasakan, bagaimana keadaan nyeri jika pasien defekasi
atau flatus; memenuhi kriteria Rome Ill. Pada anamnesis juga perlu menyingkirkan
tanda -tanda "alarm ” seperti: usia > 55 tahun, riwayat gejala yang progresif atau sangat
berat, riwayat keluhan pertama kali kurang dari 6 bulan, berat badan menurun, gejala
nokturnal, laki-laki, riwayat kanker kolon pada keluarga, anemia, anoreksia, perdarahan
rektal, anemia, distensi abdomen, demam. 1,2

Pemeriksaan Fisik
Perut tampak kembung atau distensi, kadang dapat teraba kolon pada fosa
iliaka kiri [86 %) disertai nyeri tekan [78%), bising usus meningkat pada fosa iliaka
kanan[36%). Pada colok dubur didapatkan adanya rasa nyeri [52 % ), rectum kosong
[64% ), feses yang keras dalam rectum [68%), dan lendir yang banyak. 2

Pemeriksaan Penunjang2 4
• Laboratorium : dilakukan untuk mencari etiologi lain misalnya pemeriksaan darah
lengkap,
• Pemeriksaan hormon TSH dan serologis sesuai indikasi.
• Pemeriksaan feses: melihat adanya darah samar, bakteri atau parasit jika dicurigai
pada kasus diare kronik
• Rontgen abdomen: jika dicurigai adanya penyakit Crohn atau ada obstruksi
• Kolonoskopi atau sigmoidoskopi : dilakukan sesuai indikasi.
• Stress analyzer / Heart rate variability untuk menilai vegetative imbalance

691
O Panduan Praktik Minis
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
Psikosomatik

DIAGNOSA BANDING2 3
Intoleransi laktosa -> diperiksa dengan hydrogen breath test
Intoleransi makanan -> contohnya MSG
Infeksi
Penyakit Celiac 4 diidentifikasi dengan analisis kadar IgA, antibodi anti
transglutaminase
Pertumbuhan bakteri usus halus berlebih -> ditandai malabsorpsi nutrient
Inflammatory bowel disease -> ditandai anemia , leukositosis . Kolonoskopi :
inflamasi, eritema, eksudat, ulserasi
Kolitis mikroskopik
Divertikulitis
Obstruksi mekanis pada usus halus
Iskemia
Maldigesti
Malabsorbsi
Penyakit hati dan kandung empedu
Pankreatitis kronik
Endometriosis.

TATALAKSANA

Tempi Non farmakologi: 1,2,3


o Penjelasan mengenai penyakit yang diderita dapat disembuhkan
o Menjaga asupan tinggi serat dan menghindari makanan yang menjadi pencetus
keluhan. Menghindari kafein, produk olahan, makanan berlemak, gandum,
bawang, coklat .
o Terapi perilaku: terutama pada pasien usia muda yang stressor psikososial
cukup tinggi.
o Olah raga teratur dan menjaga asupan cairan yang cukup

Tempi Farmakologi: 1 , 2,3-8


o Anti spasmodik yang bersifat anti kolinergik: dicyclomine 10 - 20 mg ( 1- 3 x
sehari), hyosin N - butilbromida 3x10 mg.
o Obat anti diare: loperamid 2 -16 mg sehari, , diphenoxylate hydrochlorideatropine
sulfate, cholestyramine resin

692
Sindrom Kolon Iritabel

o Obat memperbaiki konstipasi: laksatif osmotif seperti laktulosa , tegaserod


o Obat anti ansietas: antidepresan trisiklik, Selective Serotonin Re - uptake
Inhibitors (SSRI )
o Probiotik

Tabel 2.Terapi Farmakologi2


Gejala Obat Dosls
Diare Loperamide 2- 4 mg , maks 12 mg/hari
Cholestyramine resin 4 x 4 g / hari
Alosetron 0,5 - 1 mg dua kali sehari
Konstipasi Metilselulose 3 g/hari
Calcium polycarbophil 1 g per hari, sampai 4 x per hari
Sirup laktulosa 10- 20 g 2 x /hari
Sorbitol 70% 15 ml 2x/hari
Polietilen glikol 17 g dalam 250 ml air per hari
Nyeri Abdomen disiklomin, trimebutin
Depresi Antidepresan trisiklik ( Amitriptilin ) Mulai 25-50 mg menjelang tidur
Selective serotonin reuptake inhibitor Dimulai dari dosis kecil,
( fluoxetine, sertraline , paroxetine , ditingkatkan bila perlu
citalopram, escitalopram ) .

KOMPLIKASI
Sindrom kolon irritabel tidak menyebabkan komplikasi yang berbahaya. Beberapa
gangguan akibat Sindrom Kolon Iritabel seperti menurunnya kualitas hidup, dan waktu
cuti dari sekolah dan kerja yang memanjang, masalah psikologis seperti ansietas dan
depresi, malnutrisi, 5

PROGNOSIS
Keluhan akan membaik dan hilang setelah 12 bulan pada 50 % kasus, dan hanya
kurang dari 5 % yang akan memburuk, dan sisanya dengan gejala menetap.
6

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam

• RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT YANG TERKAIT


• RS pendidikan Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Gastroentero -
hepatologi, Divisi Ginjal - Hipertensi, Divisi Metabolik
Endokrin
• RS non pendidikan : -

693
PanduanPrakiik Minis Psikosomatik
P«wNmpuncffl Dokltr 5|je»latti PenydkJI Dulling mdotwlo

REFERENSI
1. .
Owyang C. Irritable bowel syndrome In: Kasper, Braunwald, Fauci et al Harrison' s Principles of
.
Internal Medicine vol II 17th ed. McGrawHill. 2008 pg 1899- 1903.
.
2. Mudjaddid E. Sindrom kolon iritabel In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati
.
S, eds. Buku ajarilmu penyakit dalam. 4 ed. Vol II. Jakarta: Pusat Penerbitan Deparfemen llmu
.
Penyakit Dalam FKUI 2006; hal 2115-2118 .
3. Ferri Fred F. Irritable bowel syndrome. Ferri ' s Clinical Advisor 2008, 10th ed. Mosby. 2008.
4. - Hay-David lrritable bowel syndrome. The Little Blq IcBpok of Gastreentefoldgy. 2 ed; Jones
^ ^ pd.
^
'

and Bartlett Publishers. 2006; hal 154- 162.


5. Friedman S. Irritable bowel syndrome. In:Greenbexger NJ, Blum.berg RS,Burakoff R. Lange Current
Diagnosis Treatment, Gastroenterology, Hepatology, Endoscopy. McGrawHill, 2009.
^
6. Manan Chudahman, Ari Fahrial Syam. Irritable bowel syndrome. Buku ajar ilmu penyakit dalam .
.
, 4 ed. Vol I. Jakarta; Pusat Penerbitan Departemen llmu Penyakit Dalam FKUI. 2006; hal 383-385.
7. R Spiller, Q Aziz, F Creed, A Emmanuel, L Houghton; P Hungin, R Jones, D Kumar, G Rubin, N
Trudgill, and P Whorwell. Guidelines on the irritable bowel syndrome: mechanisms and practical
management. Gut. 2007 December; 56( 12): 1770-1798.
8. Aragon G, Graham DB, Borum M, Doman DB. Probiotic Therapy for Irritable Bowel Syndrome.
Gastroenterol Hepatol (N Y). 2010 January; 6(1): 39-44.

694
695

SINDROM LELAH KRONIK

PENGERTIAN
Suatu kumpulan gejala yang ditandai dengan keluhan rasa lelah yang berlangsung
terus - menerus atau berulang dalam waktu enam bulan atau lebih, dapat disertai
gejala demam tidak tinggi, mialgia, artralgia, sefalgia, nyeri tenggorok (faringitis)
yang kadang- kadang disertai pembesaran kelenjar, gejala psikis terutama depresi
dan gangguan tidur. Kelelahan yang tidak berkurang dengan istirahat dan mungkin
akan bertambah berat saat melakukan aktifitas fisik atau mental, sehingga sering
menurunkan tingkat aktivitas seseorang. Keluhan pasien dapat bervariasi dan
tidak spesifik, seperti kelemahan, nyeri otot, gangguan daya ingat atau konsentrasi,
gangguan tidur, dan kelelahan setelah aktifitas yang berlangsung minimal 24 jam
atau lebih, bahkan bertahun -tahun. Beberapa keluhan - keluhan pada sindrom lelah
kronik seperti : 1, 2, 3.4

Tabel 1. Keluhan pada Sindrom Lelah Kronik2


Kekihan Percentate {%)
Fatigue 100
Sulit berkonsentrasi 90
Sakit kepala 90
Sakit tenggorokan 85
Pembesaran KGB 80
Nyeri otot 80
Nyeri sendi 75
Demam 75
Sulit tidur 70
Permasalahan psikiatri 65
Alergi 55
Keram perut 40
Berat badan menurun 20
Rash 10
Nadi cepat 10
Berat badan menurun 5
Nyeri dada 5
Keringat malam 5

PanduanPraktik Minis
Perhimpunan Dokler Speslalis Penyakil Dalam Indonesia
ffS
^> trf
PanduanPraktllt minis Psikosomatik
Pertiimpunan Dokler Spesialis Penyakit Dalam Indonesia

PENYEBAB
Belum diketahui penyebab pastinya, ada kemungkinan bahwa sindrom lelah kronik
menggambarkan tingkat akhir dari beberapa penyakit. Beberapa kemugkinan seperti
infeksi, gangguan imunologi, faktor stres yang mengaktifkan jalur hipotalamik-pituitari,
hipotensi neural , dan / atau defisiensi nutrisi .4

Tabel 2. Faktor Predisposisi2


Faktor - faktor Predlsposlsi
. .
Trauma masa kanak ( seksual fisik penyalahgunaan emosionakpengabaian fisik dan emosional)
Inaktivitas fisik selama masa kanak kanak
Psikiatrik atau psikopathologi Premorbid
Hiperaktivitas premorbid
Faktor-faktor Preslpltasl
Kejadian somatik: infeksi (mononukleosis, demam Q, penyakit Lyme) ,pembedahan,kehamilan
Stres Psikososial,kejadian hidup
Faktor- faktor Perpetuating
( Non) penerangan oleh dokter
Negatifitas efikasi diri
Atribusi fisik yang kuat
Fokus yang kuat pada gejala tubuh
Takut atau lemah
( Kekurangan ) dukungan social
Pola aktivitas fisik lemah

PENDEKATAN DIAGNOSIS
Kriteria untuk diagnosis bila memenuhi 2 kriteria dan tidak memenuhi kriteria
eksklusi (Tabel 3) 2
Tabel 3. Kriteria diagnostik sindrom lelah kronik2
Dltandal oleh Lelah kronik yang menetap atau relapi dan tidak dapat dljelaskan
Lelah selama 6 bulan terakhir
Lelah onset baru atau definitif
Lelah bukan merupakan hasil dari penyakit organik atau pengeluaran tenaga secara terus-menerus
Lelah tidak berkurang dengan istirahat
Lelah merupakan hasil reduksi substansi dari pekerjaan,edukasi,sosial,dan aktivitas personal sebelumnya
.
Empat gejala atau lebih dari gejala berikut dan berlanjut terus-menerus selama 6 bulan:
. .
Gangguan memori dan konsentrasi nyeri tenggorok pembesaran kelenjar getah bening cervikalis
. . . .
atau, nyeri otot nyeri beberapa sendi sakit kepala tidur yang tidak nyenyak atau malaise setelah
pengeluaran tenaga
Krtterta Eksldusl
Kondisi Medis yang menjelaskan lelah
Gangguan depresi mayor ( gambaran psikotik) atau gangguan bipolar
. .
Skizoprenia demensia atau gangguan delusi
Anorexia nervosa, bulimia nervosa
Penyalahgunaan Alkohol dan substansinya
Obesitas berat ( BMI >40 )

696
Sindrom Lelah Kronik

Pemeriksaan Penunjang
• Tidak ada pemeriksaan spesifik yang dapat mendiagnosa atau mengukur tingkat
keparahan penyakit. Stress analyzer / Heart rate variability untuk menilai vegetative
imbalance. Pemeriksaan lain dapat dilakukan tergantung pada hasil anamnesa
dan pemeriksaan fisik. '

DIAGNOSIS BANDING3
• Depresi psikososial, dysthymia, gangguan cemas, dan penyakit psikiatrik lainnya.
• Penyakit infeksi (SBE, penyakit Lyme, janur, mononucleosis, HIV, hepatitis B kronik
atau C, TB, parasit kronik.
• Autoimun : SLE, miastenia gravis, multipel sklerosis, tiroiditis, rheumatoid arthritis
• Kelainan endokrin : hipotiroid, hipopituari, insufisiensi adrenal, sindroma Cushing,
diabetes mellitus, hiperparatiroid, kehamilan, hipoglikemia reaktif
• Penyakit keganasan tersamar
• Ketergantungan obat
• Gangguan sistemik : gagal ginjal kronik, penyakit kardiovaskular, anemia, kelainan
elektrolit, penyakit hati.
• Lain -lain : kurang istirahat, sleep apnea , narcolepsy, fibromyalgia, sarkoidosis,
medikasi, paparan bahan toksik, granulomatosis Wegener.

TATALAKSANA

Terapi Non farmakologi2 3 6


• Menyakinkan pasien bahwa penyakitnya tidak berbahaya dan dapat membaik
seiring waktu
• Latihan fisik dapat meningkatkan daya tahan dan kekuatan pasien sehingga mengurangi
keluhan atau cognitive behaviour therapy (CBT) dan graded exercise therapy [GET)

Terapi Farmakologi
Umumnya bersifat paliatif, seperti anti depresi, anti inflamasi non steroid, terapi
alternatif (multivitamin , suplemen nutrisi)
2,3
.
KOMPLIKASI
Isolasi sosial, tidak mampu kerja

697
# HSSJfiSMH! Psikosomatik
PROGNOSIS
Perbaikan sempurna dari sindrom lelah kronik yang tidak diobati jarang: tingkat
pemulihan median adalah 5% ( rentang 0- 31%) dan tingkat perbaikan dan 39% (rentang
8-63%) . Hasil akan lebik buruk bila pasien dengan latar belakang gangguan psikiatri
dan kondisi gejala yang berlanjut tanpa ditangani secara medis . Keluhan berkurang
pada > 50 % kasus Penyembuhan total dalam 1 tahun terjadi pada 22 - 60 % kasus . 23

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Divisi Psikosomatik - Departemen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Semua Divisi di lingkungan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
• RS non pendidikan :-

REFERENSI
1. .
Mudjaddid E, Shatri H. Sindrom Lelah Kronik. dalam: Sudoyo Setiyohadi, Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Edisi V . Jakarta. Interna Publishing. 2011 .
2. Bleijenberg G.Chronic Fatigue Syndrome. In: Longo Fauci Kasper, Harrison ' s principles of internal
medicine 18 lh edition.United States of America.Mcgraw Hill.
3. Ferri Fred F. Chronic Fatigue Syndome. In: Ferri ' s Clinical Advisor 2008, 10th ed. Mosby. 2008.
4. .
CDC (http:/ / www.cdc .gov /cfs/ general/index html)
5. Fernandez AA, Martin AP, Martinez Ml, Bustillo MA, Hernandez FJB, Labrado JC, et al. Penas RD,
Chronic fatigue syndrome: aetiology, diagnosis and treatment . BMC Psychiatry. 2009; 9 ( Suppl
1 ) : SI
6. White PD, Goldsmith KA , Johnson AL, Potts L, Walwyn R , DeCesare JC, et al. Comparison of
adaptive pacing therapy, cognitive behaviour therapy, graded exercise therapy, and specialist
medical care for chronic fatigue syndrome (PACE): a randomised trial. Lancet. 2011 March
.
5; 377 ( 9768) : 823-836.

698
699

SINDROM HIPERVENTILASI

PENGERTIAN
Hiperventilasi didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana terjadi ventilasi
berlebihan yang mengakibatkan menurunnya PaC 02.12 Ketika hiperventilasi
berlangsung lama ( kronis) atau terjadi episode berulang dan berkaitan dengan
gejala somatik (respirasi, neurologis, intestinal) ataupun psikologis (ansietas), maka
kumpulan gejala ini dinamakan sindrom hiperventilasi (SH). Etiologi dan mekanisme
terjadinya hiperventilasi belum diketahui dengan jelas, namun SH erat kaitannya
dengan gangguan panik ( panic disorder), karena sebagian besar pasien menunjukkan
karakteristik dari kedua kelainan tersebut namun tidak ditemukan kelainan organik
pada keduanya.3, 4
Pada level fisiologis, hiperventilasi murni merupakan gangguan pernapasan. Hal
ini hampir tidak pernah menjadi masalah hingga saatnya bermanifestasi sebagai gejala
menjadi kunci penting dalam memahami mengapa hiperventilasi menjadi masalah
besar bagi sebagian pasien. Oleh karena itu, sangat penting untuk mencari faktor
pencetus terjadinya SH pada pasien.5

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis
Cari faktor pencetus :5 6
1. Fisiologis: setelah berolahraga, nyeri. dispnea, pireksia, efek progesteron pada
wanita hamil
2 . Organik: asma, pireksia, obat/ alkohol, hipertiroid, gagal jantung, emboli paru,
hipertensi pulmonal, alveolitis fibrosa, gangguan metabolik (contoh: diabetes
ketoasidosis), dll
3. Psikogenik: pura- pura, depresi / ansietas, gangguan panik, fobia

Gambaran Klinis4
1. Kesulitan bernapas intermiten yang bersifat episodik dan tidak berkaitan dengan
olahraga, meskipun dapat diperburuk dengan olahraga.

PanduanPrakdk Minis
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
ffl '
Fanduan PrakUkKlims Psikosomatik
Perhimpunan DoklerSpesialis Penyakil Dalam Indonesia

2. Dapat berkaitan dengan gejala alkalosis respiratorik, seperti kebas/mati rasa


( numbness), kesemutan pada daerah ekstremitas ( tingling of the extremities),
perasaan 'kiamat sudah dekat’, dan rasa melayang (light-headedness), biasanya
sampai hilang kesadaran (vasokonstriksi serebral karena hipokapnia).
3. Sensasi tidak dapat bernapas dengan lega .
4. Tidak ada riwayat sugestifgangguan pernapasan sebelumnya, meskipun terkadang
juga dapat ada.
5. Riwayat stres dalam kehidupan pasien.
6. Episode sebelumnya.

Pemeriksaan Penunjang2
• Saturasi oksigen Sa02
• Hb, Ht, leukosit, ureum, kreatinin, gula darah, tes fungsi had, urin lengkap, Elisa D-dimer
• Analisa gas darah (AGD), K, Na, Ca
• Foto toraks, EKG (interval QT memanjang, ST depresi atau elevasi, gelombang T
inversi), sesuai diagnosis banding
• Hormon paratiroid
• V/ Q scan, computed tomography pulmonary angiogram
• Stress analyzer / Heart rate variability untuk menilai vegetative imbalance

Kriteria Diagnosis6
Untuk menegakkan diagnosis SH, pada dasarnya menggunakan kriteria diagnosis
ekslusi namun tetap diperlukan pemeriksaan penunjang tambahan lain, antara lain: 6
1. Tidak ditemukannya etiologi kardiak pada kesulitan bernapas
2. Tidak ditemukannya etiologi respirasi pada kesulitan bernapas ( fungsi paru
normal, rontgen thorax paru normal, dan Sa 02 normal dalam keadaan istirahat
maupun olahraga)
3. Pola napas ireguler dalam keadaan istirahat maupun olahraga
4. Tidak ada bukti adanya hipertensi pulmonal
5. Tidak ada bukti yang cukup kuat untuk menegakkan emboli paru
6. Tidak ada bukti hipertiroidisme
7. PaC02 rendah, pH meningkat pada AGD (dan gradien A-a normal)
8. Tidak ditemukannya asidosis metabolik pada AGD ( contoh : ketoasidosis,
laktoasidosis)
9. Masalah psikologis yang belum sembuh, atau fobia sosial/ agorafobia
Selain itu, juga dapat digunakan skoring hiperventilasi Nijmegen.

700
Sindrom Hiperventilasi

Tabel 1 . Skoring Hiperventilasi Nijmegen4

Sebelum terapl Tldak Pernah 0 Jarang 1


Kadang-
kadang * 2
Serlng * 3 Selalu - 4

Nyeri dada
Perasaan
tegang
Pandangan
kabur
Pusing
Rasa bingung
Napas cepat /
dalam
Napas pendek
Rasa tercekik
di dada
Perut kembung
Jari kesemutan
Sulit bernapas
dalam
Sulit buka
mulut
Tangan atau
kaki dingin
Palpitasi
Ansietas
Total skor
Keterangan :
Formulir ini diiiisi oleh pasien, dan nilai > 22 sugestif ke arah SH

DIAGNOSIS BANDING
Sangat penting untuk menyingkirkan penyebab patologis yaitu :6
1. Penyakit paru interstitial dengan rontgen thorax normal -> pertimbangkan CTscan
2 . Asma ringan dengan fungsi paru normal pertimbangkan monitoring peak
expiratory flow rate ( PEFR), provokasi olahraga, atau tes provokasi bronkus
3. Hipertensi pulmonal / penyakittromboembolus > pertimbangkan ekhokardiografi -
atau CT pulmonary angiogram (CTPA)
4. Hipertiroidisme
5. Asidosis yang tidakterduga: misalnya pada gagal ginjal, laktoasidosis, ketoasidosis

TATALAKSANA2 6 7
Pada penatalaksanaan pada pasien dengan SH, sangat penting untuk tidak
melupakan gejala pasien hanya karena beranggapan "ini hanya pikiran saja”. Pasien
memiliki gejala, yang membutuhkan penjelasan sebenarnya. Belum ada rekomendasi
untuk manajemen pada pasien SH, namun sebagian besar klinisi akan memberikan
penjelasan berdasarkan sensasi napas berlebihan yang diperburuk dengan ansietas.

701
ff$
v|
Pand«an PrahtlkKllnls Psikosomatik
Perhimpunan Pokier Spesialis Penyakil Dalam Indonesia

Rekomendasi lama untuk bernapas di dalam paper bag belum sepenuhnya terbukti
dan tidakpraktis. Penjelasan dengan hati- hati mungkin dirasakan cukup, atau dapat
digunakananxiolitikjangkapendek (contoh: diazepam 2 x 2 -5 mg / hari). Penanganan
dari bagian psikologis atau fisioterapi untuk latihan pernapasan mungkin dibutuhkan
untuk mengontrol gejala. Apabila pasien gagal merespon, selalu pikirkan penyakit
yang menyertai.

KOMPLIKASI
Sesuai dengan penyakit organik yang menyertai.

PROGNOSIS4 6
Baikpada serangan akut. Pada kasus kronik, 65 % mengalami perbaikan dan 26 %
keluhannya hilang dalam 7 tahun . Sindrom ini sangat jarang menyebabkan kematian .

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Divisi Psikosomatik - Departemen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Divisi Pulmonologi, Divisi Kardiologi - Departemen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan

REFERENSI
1. McConville J, Solway J. Chapter 264: Disorders of Ventilation. In: Longo D, Fauci A, Kasper D, et
al. Harrison ' s Principles of Internal Medicine. 18th ed. New York: McGraw-Hill. 2011.
2. Mudjaddid E, Putranto R , Shatri H. Sindrom Hiperventilasi. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajarllmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing: 2009.p. 2130-32.
3. Malmberg L, Tamminen K, Sovijarvi A . Orthostatic increase of respiratory gas exchange in
hyperventilation syndrome. Thorax 2000:55:295-301 .
4. Cowley DS, Roy-Byrne PP. Hyperventilation and panic disorder. Am J Med 1987:83:929-37.
5. .
Gardner W The Pathophysiology of Hyperventilation Disorders. Chest 1996:109:516- 534. DOI
10.1378/ chest.109.2.516
6. Chapman S, Robinson G, Stradling J, et al. Chapter 29: Hyperventilation Syndrome. Oxford
Handbook of Respiratory Medicine. 2nd Ed. Oxford University Press. 2011
7. Kern B. Hyperventilation Syndrome. Emedicine ( serial online ) last updates April 2012 ( cited 2012,
Jun 2) Available from: URL: http://www.emedicine.com.
8. Meuret AE , RitzT. Hyperventilation in Panic Disorder and Asthma : Empirical Evidence and Clinical
Strategies. Int J Psychophysiol. 2010 October: 78 ( 1 ) : 68-79.

702
703

PENGELOLAAN PALIATIF PADA


PENYAKIT KRONIS

PENGERTIAN
Organisasi kesehatan dunia, World Health Organization (WHO) mendefinisikan
palliative care sebagai suatu intervensi yang dapat memperbaiki kualitas hidup pasien
dan keluarganya yang sedang mengalami pengalaman penyakit yang berat. Tujuan
intervensi ini adalah mengurangi keluhan nyeri dan gejala lain termasuk dukungan
psikososial dan spiritiual. Karakteristik penyakit kronis adalah perjalanan penyakit
yang fluktuatif dengan prognosis yang kadang tidak jelas. Menurut Centers for Disease
Control, yang termasuk penyakit kronis adalah heart disease, stroke, kanker, diabetes
dan arthritis. Klasifikasi lain penyakit kronis adalah depresi, diabetes, penyakit paru
obstruksi kronis,gagal ginjal kronis dan HIV /AIDS. Penyakit kronis menyebabkan
kecacatan dan kematian utama di Amerika serikat.
Murray dkk menyatakan bahwa pengelolaan pasien dengan penyakit kronis
progresif sering terlupakan aspek paliatif sehingga pengelolaan pasien tidak
holistik. Beberapa studi menunjukkan bahwa pasien dengan penyakit kronis non
kanker menunjukkan penderitaan yang lebih berat dalam hal nyeri dan kualitas hidup
dibanding pasien kanker yang penilaiannya lebih baik. Pengelolaan paliatif dapat
digunakan sebagai model pelayanan kesehatan pasien penyakit kronis termasuk
kanker, sejak pasie terdiagnosis dan bukan saat pasien menjelang fase terminal.
Kementerian kesehatan telah mengeluarkan surat keputusan menteri yang
menegaskan bahwa seluruh rumah sakit diharapkan dapat menerapkan model
pelayanan paliatif bagi pasiennya. (SK Menkes Nomor: 812 / Menkes /SK / VII / 2007)

RUANG LINGKUP
1. Inisiasi diskusi tentang paliatif
2. Penapisan dan penilaian paliatif (lihat lampiran) serta tujuan pengelolaan
3. Pengelolaan aspek fisik, seperti :
• Nyeri

PanduanPraktik Kllnis
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakil Dalam Indonesia m
Panduan Praktlk Klinis
Perhimpunan DoklerSpesiaRs Penyakit Dalam Indonesia
Psikosomatik

• Ansietas dan depresi


• Anoreksia dan kaheksia
• Konstipasi
• Delirium
• Diare
• Sesak nafas
• Fatik
• Gastroesophageal reflux disease
• Hypodermoclysis
• Malignant ascites and pleural effusions
•Mual dan muntah
4. Pengelolaan aspek psikis : ansietas, depresi (lihat ansietas, depresi)
5. Pengelolaan aspek kultural, psikologi, sosial, spiritual, religious, etika, dan legal
6. Hospis dan Rawatan rumah [ Home care)
7. Konsultasi dan rujukan ke spesialis
8. Pengelolaan fase kritis (last day) dan masa duka cita

PENGELOLAAN ( Berdasarkan Rekomendasi American College of


Physicians , 2008 )

Rekomendasi 1: Setiap pasien rawat inap dengan penyakit serius / berat pada fase
terminal, maka dokter harus secara reguler menilai adanya nyeri, sesak nafas, dan
depresi.
Recomendasi 2: Setiap pasien dengan penyakit berat pada fase terminal, dokter
harus melakukan pengelolaan nyeri dengan baik. Pada pasien kanker dapat anti -
inflammatory , opioid, dan bisphosphonate.
Recomendasi 3: Setiap pasien dengan penyakit berat pada fase terminal , dokter
harus dapat mengelola keluhan sesak napas dengan baik termasuk menggunakan
opioid pada pasien yang tidak perbaikan dengan terapi standar dan pemberian oksigen
jangka pendek bila terjadi hipoksemia
Recomendasi 4: Setiap pasien dengan penyakit berat pada fase terminal, dokter
harus mengelola depresi dengan efektif, termasuk pasienkanker dengan trsiklik
antidepresan, selective serotonin reuptake inhibitors (SSR1), atau psikoterapi
Recomendasi 5: Para klinisi harus memastikan perencanaan lanjut [ advance care
planning ) pada setiap pasien penyakit berat.

704
Pengelolaan Paliatif pada Penyakit Kronis iWI

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Divisi Psikosomatik - Departemen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Semua Divisi di lingkungan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : -

REFERENSI
1. .
Effiong A’ Effiong Al Palliative care for the management of chronic illness: a systematic review
study protocol. BMJ Open. 2012; 2(3)
2. Keputusan Menteri Kesehatan Rl No 812 Menkes / VII / 2007 tentang kebijakan perawatan paliatif
3. Qaseem A, Snow V, Shekelle P, Casey Jr DE„ Cross Jr JT „ Owens DK, for the Clinical Efficacy
Assessment Subcommittee of the American College of Physicians. Evidence-Based Interventions to
Improve the Palliative Care of Pain, Dyspnea, and Depression at the End of Life: A Clinical Practice
Guideline from the American College of Physicians. Ann Intern Med January 15, 2008 148:141-146
4. Lo B, Quill T, Tulsky J. Discussing palliative care with patients. ACP-ASIM End-of -Life Care Consensus
Panel. American College of Physicians-American Society of Internal Medicine. Ann Intern
Med. 1999 May 4;130( 9 ):744-9 .
5 . . .
Beynon T, Hodson F Coady K, Kinirons K, Selman L, Higginson I Provision of palliative care for
.
chronic heart failure inpatients: how much do we need? BMC Palliat Care 2009; 8: 8.

705
Panduan Praktlk KUnls Psikosomatik
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia

Lampiran . Penapisan pasien paliatif

Tabel 1. PENAPISAN PASIEN PALLIATIVE CARE

l. Penyakit Dasar SKORING


a . Kanker ( Metastatis/ Rekuren) d. Penyakit Ginjal Kronis
b. PPOK lanjut e. .
Penyakit Jantung Berat - i.e CHF, skor 2, Tiap poin
c. Stroke ( dengan penurunan severe CAD, CM (LVEF < 25%)
fungsional > 50%) f. HIV/AIDS
2. Penyakit Ko Morbiditas Skorl, poin
a. Penyakit hati Kronis d. Gagal Jantung Kongestif
b. Penyakit Ginjal Moderat e. Kondisi/ Komplikasi lain
c. PPOK Moderat

3 . Status Fungsional Pasien Skor speslfik


Menggunakan Status Performa ECOG ( Eastern Cooperative Oncology Group) dibawah ini

ECOG Deraiat Skala


0 Aktif penuh, dapat melakukan kegiatan tanpa hambatan seperti
sebelum ada penyakit Skor 0
1 Terdapat hambatan dalam aktifitas berat tetapi dapat melakukan
pekerjaan ringan seperti pekerjaan rumah dan kantor yang ringan,
rawat jalan SkorO.
2 rawat jalan, dapat mengurus diri sendiri, tetapi tidak dapat
melakukan semua aktifitas ,lebih dari 50% jam bangun Skor 1
3 Dapat mengurus diri sendiri secara terbatas; lebih banyak
waktunya di tempat tidur atau dikursi roda dengan wakti Skor 2
4 Tidak dapat mengurus diri sendiri, sebagian besar waktu di tempat
tidur, kondisi berat/cacat. Skor 3
4. Kriteria Lain yang perlu dipertimbangkan Skor 1 untuk tiap kondisi
Pasien :
a . Tidak akan menjalani pengobatan kuratif
b. Kondisi penyakit berat dan memilih untuk tidak melanjutkan terapi
c. Nyeri tidak teratasi lebih dari 24 jam
d. Memiliki keluhan yang tidak terkontrol (contoh; mual dan muntah)
e. Memiliki kondisi psikososial dan spiritual yang perlu perhatian
f. Sering berkunjung ke unit gawat darurat /dirawat di rumah sakit ( lebih dari 1kali / bulan
untuk diagnosis yang sama )
g. Lebih dari satu kali untuk diagnosis yang sama dalam 30 hari
h. Memiliki lama perawatan tanpa kemajuan yang bermakna
i. Lama rawat yang panjang di ICU tanpa kemajuan
j.. Memiliki prognosis yang jelek
TOTAL Skor
PETUNIUK SKORING. TOO
TOTI
=0 2- ptrlu imervonw Paliatif
3 Obsorva !
* *
TOTAL SKOR = 4 Perlu Konsultasi Paliatif

706
PENATALAKSANAAN
Dl BIDANGILMIIPENYAKIT DALAM

PANDUAN H
PRAKTIK M M ^
Klims mm
Acute Respiratory Distress Syndrome 707
Bronkiektasis 711
Emboli Paru 719
Flu Burung 727
Gagal Napas .731
Massa Mediastinum 735
Penyakit Paru Kerja 740
Penyakit Paru Obstruktif Kronik ( PPOK) .744
Penyakit Pleura 752
Pneumonia Atipik 761
Pneumonia Didapat Di Rumah Sakit 765
Pneumonia Didapat Di Masyarakat 772
Sindrom Vena Kava Superior 783
Kelainan Napas Saat Tidur ( Sleep-Disordered Breathing /
Sleep Apnea ) 788
Tuberkulosis Paru 792
, 800
Tumor Paru
707

ACUTE RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME

PENGERTIAN
Acute respiratory distress syndrome (ARDS] merupakan suatu kondisi ketika paru
mengalami jejas berat yang tersebar, sehingga mempengaruhi kemampuan untuk
mengambil oksigen. Rendahnya kadar oksigen dalam darah dan ketidakmampuan
untuk mengambil oksigen pada tingkat normal merupakan gejala khas ARDS. Jejas
paru akut ( acute lung injury / ALI] merupakan istilah baru yang saat ini digunakan,
yang meliputi ARDS dan juga jejas paru yang lebih ringan . Penyakit yang dapat
menyebabkan ARDS banyak sekali, dan dapat merusak organ lain selain paru, namun
jejas paru biasanya mendominasi gambaran klinis. Gangguan klinis yang umumnya
1

berkaitan dengan ARDS dapat dilihat pada tabel 1.

.
Tabel 1 Gangguan Klinis yang Umumnya Berkaitan dengan ARDS
2

Jejas paru dfrck Jejas paru Indirek


Pneumonia Sepsis
Aspirasi cairan lambung Trauma berat : fraktur multipel, flail chest,
trauma kapitis, luka bakar
Kontusi paru Transfusi multipel
Hampir tenggelam Overdosis obat
Jejas inhalasi toksin Pankreatitis
Pasca bypass kardiopulmonar

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis1 2
Identifikasi penyakit yang mendasari: sepsis, pneumonia, aspirasi isi lambung,
pankreatitis, transfusi darah, atau trauma berat

Pemeriksaan Fisik1 2
• Demam, takipneu, takikardi, ronki difus

PanduanPraktik Klinis
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
0 EafiHSBESSSaSfe Pulmonologi

Pemeriksaan Penunjang' 2
• Laboratorium: darah perifer lengkap, analisa gas darah, elektrolit, plasma brain
natriuretic peptide [BNP]
• EKG, ekokardiografi
• Radiologis: foto toraks menunjukkan infiltrat bilateral yang konsisten dengan
edema paru, CT scan tidak rutin dilakukan
Kriteria diagnosis ALI dan ARDS dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. Kriteria Diagnosis ALI dan ARDS2


Okslgenasi Onset Foto toraks Absennya hlpertensl atrium klrl
ALI : Pa02/ FI02 5300 Akut Infiltrat alveolar atau PCWP 518 mmHg atau tidak
mmHg interstitial bilateral adanya bukti klinis peningkatan
ARDS : Pa02/ FI02 5200 tekanan atrium kiri
mmHg

Keterangan: ALI = acute lung injury ; ARDS = acute respiratory distress syndrome ; FI
parslal 02 arteri; PCWP = pulmonary capillary wedge pressure 02 = persentase inspirasi 02; Pa02 = tekanan

Pendekatan Diagnosis' 2
• Pendekatan umum - ALI /ARDS merupakan suatu diagnosis eksklusi; sehingga
sebaiknya penegakan diagnosis dilakukan setelah penyebab infiltrat bilateral akut,
hipoksemia berat, dan distres pernapasan lain telah disingkirkan.
• Edema paru kardiogenik adalah satu penyakit yang harus selalu disingkirkan,
karena sering terjadi dan seringkali sulit dibedakan secara klinis. Setelah edema
paru kardiogenik disingkirkan, pertimbangan lainnya termasuk pneumonia,
perdarahan alveolar difus, pneumonia eosinofilik idiopatik akut, cryptogenic
organizing pneumonia [COP], pneumonia interstitial akut ( Hamman - Rich
syndrome], dan kanker progresif. Untuk menyingkirkan diagnosis edema paru
kardiogenik — Dibutuhkan beberapa pemeriksaan penunjangyaitu plasma BNP,
ekokardiografi, dan kateterisasi jantung kanan.
• Menyingkirkan penyebab gagal napas lainnya - Apabila penyakit tersebut
tidak bisa disingkirkan berdasarkan gambaran klinis dan tanda dan gejala yang
menyertai, pemeriksaan diagnostik tambahan ( mis . bronkoskopi] sebaiknya
dilakukan . Biopsi paru sebaiknya dilakukan pada beberapa pasien dengan etiologi
gagal napas akut yang masih belum pasti setelah bronkoskopi nondiagnostik dan
pada pasien yang memiliki kemungkinan diagnosis: perdarahan alveolar difus,
COP, metastasis kanker, vaskulitis, atau penyakit paru difus yang tidak terdiagnosis.
• Diagnosis akhir - ALI / ARDS ditegakkan setelah semua diagnosis banding
disingkirkan.

708
Acute Respiratory Distress Syndrome jgg|

DIAGNOSIS BANDING
Edema paru kardiogenik, pneumonia difus, perdarahan alveolar, penyakit paru
interstitial akut (misalnya pneumonitis interstitial akut), jejas imunologis akut (mis.
pneumonitis hipersensitivitas), jejas toksin (mis. pneumonitis radiasi), dan edema
paru neurogenik.2

TATALAKSANA1 2
• Prinsip umum: (1) identifikasi dan tatalaksana penyakit primer dan kelainan bedah
(mis. sepsis, aspirasi, trauma) ; ( 2 ) meminimalisir tindakan dan komplikasinya; ( 3)
profilaksis terhadap tromboemboli vena, perdarahan saluran cerna, aspirasi, sedasi
berlebihan , dan infeksi kateter vena sentral; (4) identifikasi infeksi nosokomial;
dan (5) nutrisi adekuat.
• Dukungan ventilasi mekanik : tidal volum rendah , kurangi tekanan pengisian
atrium kiri lebih lengkap lihat pada bab Ventilasi Mekanik
• Kebutuhan cairan : restriksi cairan dan diuretik digunakan untuk mengurangi
tekanan pengisian atrium kiri, monitor tanda hipotensi dan hipoperfusi organ
seperti ginjal
• Glukokortikoid : beberapa studi menunjukkan adanya penurunan mortalitas dan
perbaikan prognosis pada pemberian kortikosteroid dosis rendah.
34
-
KOMPLIKASI
Fibrosis paru, pneumotoraks, emboli paru, infeksi akibat pemasangan ventilator.
24

PROGNOSIS
Mortalitas diperkirakan 26- 44%. Pasien usia > 75 tahun memiliki mortalitas lebih
tinggi ( ~ 60 %) dibandingkan dengan < 45 tahun ( ~ 20%).
24
-
UNIT YANG MENANGANI
• RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Pulmonologi
• RS non Pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : Departemen Radiologi / Radiodiagnostik, Patologi Klinik
• RS non Pendidikan : Bagian Patologi Klinik, Radiologi

709
# Pandtan PrakUk Minis Pulmonologi

REFERENSI
1 . .
Hudson LD. Acute Respiratory Distress Syndrome In ,: Schraugnagel DE. Breathing in America :
Diseases, Progress, and Hope, American Thoracic Society. 2010. Hal 15-24.
.
2 Choi AMK, Levy BD. Acute Respiratory Distress Syndrome, In : Longo DL, Fauci AS, Kasper DL,

.
York, McGraw-Hill 2012 .
.
Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J. Harrison's Principles of Internal Medicine. 18th Edition New

.
3 .
Tang BMP, Craig JC, Eslick GD, Seppelt I, McLean AS Use of corticosteroids in acute lung injury
- -
.
and acute respiratory distress syndrome: A systematic review and meta-analysis- Crit-Care Med
2009 Vol. 37, No. 5
.
4 Amin Z. Sindrom Gangguan Respirasi Akut (ARDS). Ddlam : Amin Z, Dahlan Z, Yuwo'no A (Eds).
Panduan Tatalaksana /Prosedur Respirologi dan Penyakit Kritis Paru.

710
711

BRONKIEKTASIS

PENGERTIAN
Dilatasi jalan napas yang ireversibel dan melibatkan paru -paru lokal atau difus,
dengan gambaran pelebaran alveoli dapat berupa silindris atau tubular, varicose,
atau kistik. Etiologi bronkiektasis pada banyak kasus tidak diketahui , kemungkinan
penyebabnya dapat dilihat di tabel 1
Tabel 1. Etiologi Bronkiektasis1'2
K llbatan Lokasl Penanganan
Etiologi
paru-paru tersering
Fokal Obstruksi lapangan Rontgen toraks dan/atau CT
• Intrinsik : tumor di dalam jalan tengah scan toraks, bronkoskopi
napas, aspirasi benda asing, paru
stenosis / jaringan parut pada
jalan napas, atresia brokus
akibat perkembangan tidak
sempurna (kongenital)
• Ekstrinsik : limfadenopati,
tumor parenkimal
Difus Infeksi : bakteri, mikobakterium non lapangan Kultur, pewarnaan Gram,
tuberkulosis [Mycobacterium avium- tengah BAL ( bronchoalverolar
intracellulare complex (MAC) ] paru lavagej jika tidak ditemukan
kuman patogen
Imunodefisiensi : lapangan DPL , immunoglobulin, tes
hipogamaglobulinemia, HIV, bawah HIV
bronkiolitis setelah transplantasi paru paru
Genetik : cystic fibrosis, sindroma Pengukuran kadar klorida
Kartegener , defisiensial antitripsin. dalam keringat, kadar a 1
antitripsin, atau biopsi/
sikatan saluran napas.
• Autoimun atau rematologi : Pemeriksaan sendi, serologis
artritis rematoid, sindrom Sjogren , daerah ( faktor rematoid) .
inflammatory bowel disease. sentral paru
• Penyakit terkait imun : allergic
bronchopulmonary aspergillosis
( ABPA )
Aspirasi berulang lapangan Tes fungsi menelan dan
bawah kekuatan neuromuskular .
paru
Lain-lain : yellow nail syndrome Kondisi klinis
Idiopatik ( 25-50 %) Singkirkan penyakit lain

Panduan Praktik Klinis


Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
PanduanPraktikKlinis Pulmonoloqi
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis
Pada pasien bronkiektasis dapat ditemukan riwayat batuk produktif persisten
dengan sputum yang purulen ( jika ada infeksi sekunder] atau mukoid ( jika tidak ada
infeksi sekunder] dengan jumlah banyak terutama pada pagi hari sesudah perubahan
posisi tidur. Bau mulut yang tidak sedap { fetor ex ore ) ditemukan jika ada infeksi
sekunder. Batuk darah, sesak napas, demam berulang dapat dikeluhkan pasien.13 Pada
kasus bronkiektasis harus dicari kemungkinan penyebab seperti kelainan kongenital,
aspirasi cairan lambung, riwayat infeksi saluran napas bawah yang disebabkan bakteri
atau virus pneumonia, pertusis, atau tuberkulosis, kelainan imunitas seperti pada
tabel 1. Pada orang dewasa jika tidak ditemukan penyebab bronkiektasis, riwayat
asma harus ditanyakan .4

Bronkiektasis harus dicurigai jika ada gejala :4


• Batuk produktif persisten, terutama jika ada satu dari kriteria di bawah ini
o Usiamuda
o Riwayat keluhan selama beberapa tahun
o Tidak ada riwayat merokok
o Jumlah sputum yang banyak dan purulen setiap hari
o Batuk darah
o Pada sputum ditemukan kolonisasi P. aeruginosa
• Batuk darah yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya atau batuk tidak produktif
• Pasien yang dicurigai mempunyai Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK] dapat
terjadi pula bronkiektasis, dan membutuhkan pemeriksaan lanjutan jika :
o penyembuhan infeksi saluran napas bawah yang lambat
o eksaserbasi rekuren
o tidak ada riwayat merokok

Pemeriksaan fisik
Pada kasus bronkiektasis dapat ditemukan sianosis, retraksi dinding dada dan
berkurangnya gerakan dada daerah yang terkena disertai pergeseran mediastinum
akibat bagian paru yang terkena luas, ronki, mengi, jari tabuh, serta dapat disertai
demam.1 Pada kasus berat dapat ditemukan tanda -tanda kor pulmonal kronik maupun
gagal jantung kanan.

712
Bronkiektasis mp

Sindrom kartagener terdiri atas gejala: bronkiektasis kongenital, sering disertai


dengan silia bronkus imotil, situs invertus, sinusitis paranasal atau tidak terdapatnya
sinus frontalis.

Pemeriksaan Penunjang 125


• Pemeriksaan sputum: kultur dan uji sensitivitas antibiotik. Untuk memperbesar
kemungkinan menemukan kuman H.influenzae dan S. pneumonia, spesimen
hendaknya diperiksa di laboratorium dalam waktu 3 jam setelah spesimen
didapatkan.3
• Imunoglobulin serum (Ig G, Ig A, Ig M) dan elektroforesis serum : sesuai indikasi
• Ig E serum, tes skin prick : untuk mencari kemungkinan aspergilus
• Bronkoskopi dilakukan bila:4
o Pada kasus kelainan lokal : untuk menyingkirkan adanya obstruksi proksimal
o Pemeriksaan sputum negatif dan tidak membaik dengan pengobatan
o Jika pada pemeriksaan HRCT [high-resolution CT scanning ) dicurigai adanya
infeksi mikobakterium atipikal dan kultur sputum yang negatif.
o Bronkoskopi saluran napas bawah dengan pengambilan sampel, tidak
dianjurkan dilakukan secara rutin pada pasien dengan bronkiektasis.
• Pemeriksaan fungsi silia :4
o Dilakukan jika ada riwayat kelainan kronik pada saluran napas atas, otitis
media, atau adanya riwayat otitis media kronik saat anak-anak, bronkiektasis
di lobus medius, infertilitas, atau dekstrokardia ,
o Tes sakarin dan / atau NO ekspirasi dari hidung dapat digunakan untuk
menyingkirkan kelainan yang tidak membutuhkan pemeriksaan fungsi silia.
• Rontgen thoraks : dapat menunjukkan tram track yang menandakan adanya dilatasi
jalan napas, gambaran saranglebah, kista-kista kecil dengan air fluid level [13 %)
,
bercak- bercak pneumonia, fibrosis, kolaps, bahkan dapat menunjukkan gambaran
paru normal (7%).3
• Pemeriksaan Faal paru: 3
o Tergantung pada luas dan beratnya penyakit
o Bronkiektasis ringan : fungsi ventilasi masih normal
o Keadaan berat dan difus: VC (vital capacity) dan FEV1 [ forced expiratory volume
in 1 s) cenderung menurun karena obstruksi aliran udara pernapasan.
scan
• CT scan toraks: lebih spesifik untuk bronkiektasis. Bronkiektasis pada CT
toraks dapat menunjukkan adanya dilatasi jalan napas [ tram track atau signet
ring yang merupakan area cross sectional dengan diameter minimal 1, 5 kali dari

713
# SBgBBB& Pulmonologi

pembuluh darah sekitarnya), tidak adanya bronchial tapering (termasuk adanya


struktur tubular 1 cm dari permukaan pleura), penebalan dinding bronkus, the
"tree - in - bud" pattern
, serta adanya kista yang berasal dari dinding bronkus [ cystic
bronchiectasis)

Tabel 2. Jenis Pemeriksaan Fungsi Paru Yang Harus Dilakukan Pada Orang Dewasa 4
Keadaan Jenis pemeriksaan Frekuensl pemeriksaan
Bronkiektasis FVC, FEV 1, PEF (peak Secara rutin setiap kontrol ke
expiratory flow) dokter
Defisiensi imun FVC, FEV1 4 kail dalam setahun
PPOK /emflsema Volume paru, gas transfer
coefficient
Sebelum dan setelah antibiotik FVC, FEV 1
intravena
Antibiotik oral atau nebulisasi Spirometri dan volume paru

Pemeriksaan untuk menyingkirkan cystic fibrosis dilakukan terutama pada :4


• Usia > 40 tahun dan tidak ditemukan penyebabnya
• Ditemukannya S.aureus persisten pada sputum
• Adanya malabsorbsi
• Infertilitas primer pada laki -laki
• Bronkiektasis pada lobus atas
• Riwayat steatorrhoea pada anak-anak
• Penapisan (screening ) mencakup pemeriksaan kadar klorida pada keringat dan
CFTR genetic mutation analysis.

Bronkiektasis karena infeksi mikobakterium non tuberkulosis1


Diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang,
yaitu :
• Pemeriksaan kultur sputum minimal 2 menunjukkan hasil positif dengan minimal
1 pemeriksaan BAL [ bronchoalveolar lavage) cairan sampel positif pada kultur
.
• Atau pemeriksaan kultur sputum atau cairan pleura minimal 1 hasil positif
disertai sampel biopsi histopatologik menunjukkan adanya mikobakterium non
tuberculosis (granuloma atau pewarnaan asam-basa positif ) .

DIAGNOSIS BANDING3
• Bronkitis kronik
• Tuberkulosis paru
• Abses paru

714
Bronkiektasis

• Karsinoma paru, adenoma paru


• Fistula bronkopleural dengan empiema

TATALAKSANA1 2
• Mengontrol infeksi dan meningkatkan sekresi sputum dan higienitas bronkus
untuk menurunkan jumlah mikroba dalam jalan napas dan risiko infeksi berulang
• Menciptakan lingkungan yang baik dan tepat bagi pasien : 3
o Membuat ruangan hangat, udara ruangan kering
o Menghentikan merokok
o Mencegah / meghindari debu, asap
• Memperbaiki drainase sekret bronkus dan menjaga higienitas bronkus
3

o Drainase postural: dikerjakan 10- 20 menit 2-4 kali setiap hari, atau sampai sputum
tidak keluar lagi, dibantu dengan memberikan tepukan pada punggung pasien.
o Mencairkan sputum yang kental: hidrasi, mukolitik, inhalasi uap air panas / dingin
o Mengatur posisi tempat tidur pasien
o Nebulisasi dengan bronkodilator dan cairan hiperosmolar (saline hipertonik):
Ketika nebulisasi dengan cairan saline hipertonik, sebelumnya diberikan
bronkodilator pada pasien yang mempunyai hipereaktivitas bronkus. Sebelum
dan 5 menit setelah dilakukan nebulisasi, FEV1 atau PEF harus diperiksa untuk
menilai adanya bronkokonstriksi .4-6
o Fisioterapi dada: drainase postural, chest flapping , oscillatory positive expiratory
pressure flutter valve , atau high - frequency chest wall oscillation vest,
o Sebelum dilakukan fisioterapi dapat diberikan nebulisasi dengan (32 agonis
untuk meningkatkan pengeluaran sputum . 3
o Setiap 3 bulan harus dinilai keefektifan terapi .
• Latihan rehabilitasi paru
o Jika ada kesulitan bernapas ketika melakukan aktivitas sehari -hari
o Latihan kekuatan otot pernapasan
• Antiinflamasi
o Glukokortikoid oral / sistemik: jika disebabkan ABPA, kondisi autoimun
o Glukokortikoid inhalasi: tidak dianjurkan secara rutin, kecuali pada pasien asma. -
46

• Anti jamur
o Jika disebabkan ABPA: itrakonazol
• Antibiotik
o Eksaserbasi akut: patogen terduga paling sering adalah Haemophilus influenzae
dan P . aeruginosa. Antibiotik diberikan selama 7 - 10 hari .

715
ffl PanduanPraktikKlinis Pulmonologi
Perhimpunan Dokler Spesialls Penyakil Dalam Indonesia w

o Pada kasus infeksi MAC dan HIV negatif : makrolid dengan rifampisin dan
etambutol
o Kombinasi antibiotik tidak diberikan jika infeksi disebabkan H . influenza,
Moraxella catarhalis, Staphylococcus aureus, dan Streptococcus pneumonia .
o P. aeruginosa yang sensitif terhadap siprofloksasin dapat diberikan
siprofloksasin secara oral sebagai antibiotik lini pertama, dan diganti ke
intravena jika tidak membaik.
o Nebulisasi dengan antibiotik: jika eksaserbasi > 3 kali setahun atau episode
eksaserbasi yang jarang tetapi diperkirakan menyebabkan morbiditas yang
signifikan . Antibiotik disesuaikan dengan hasil kultur sensitivitas. 4
• Operasi : 3A6
o Tujuan : mengangkat/reseksi segmen atau lobus paru yang terkena
o Indikasi :
Bronkiektasis terbatas dan dapat tereseksi, yang tidak berespon terhadap
tindakan -tindakan konservatif yang adekuat
Bronkiektasis terbatas tetapi sering mengalami infeksi berulang atau
hemoptisis yang berasal dari derah tersebut.
o Kontraindikasi :
Bronkiektasis dengan PPOK ( penyakit paru obstruksi kronik)
Bronkiektasis berat
Bronkiektasis dengan komplikasi kor pulmonal kronik dekompensata
o Jenis operasi : elektif dan paliatif (pada keadaan gawat darurat dan tidak
terdapat kontraindikasi )
o Persiapan operasi :
Pemeriksaan faal paru : spirometri, analisa gas darah, bronkospirometri
CT scan atau USG
Meneliti ada tidaknya kontraindikasi operasi
Memperbaiki keadaan umum pasien
• Ventilasi non - invasif : 3
o Meningkatkan kualitas hidup pasien dengan gagal napas kronik akibat
bronkiektasis
• Pada kasus refrakter:
o Operasi dengan reseksi bagian paru yang mengalami supurasi .
o Transplantasi paru: sesuai indikasi
• Pada kasus eksaserbasi ( 3 episode dalam setahun) :
o Antibiotik oral : siprofloksasin selama 1- 2 minggu / bulan

716
Bronkiektasis

o Merotasi jadwal pemberian antibiotik untuk menurunkan risiko resistensi


o Makrolid setiap hari atau 3 kali seminggu
o Inhalasi antibiotik: tobramycin inhalation solution ( TOBI ) dengan jadwal rotasi
30 hari pemakaian, 30 hari penghentian
o Antibiotik intravena intermiten: pada kasus bronkiektasis berat dan / atau
resistensi kuman .

KOMPLIKASI
Perdarahan sampai hemoptisis masif karena kerusakan mukosa pembuluh darah
akibat infeksi berulang. Resistensi terhadap antibiotik karena infeksi berat, berulang,
atau pemakaian antibiotik terlalu sering.1 Pneumonia dengan / atau tanpa atelektasis,
pleuritis, efusi pleura atau empiema, abses metastasis di otak, hemoptisis, sinusitis,
kor pulmonal kronik, kegagalan pernapasan, amiloidosis. -
36

PROGNOSIS
Prognosis tergantung etiologi penyebab dan frekuensi eksaserbasi. FEV1 menurun
50 -55 ml / tahun, sedangkan pada orang sehat 20-30 ml / tahun. Risiko infeksi berulang
dapat diturunkan dengan memberikan vaksinasi pada kasus infeksi pernapasan kronik
(seperti influenza, pneumokokus}.1 Pada kasus berat dan tidak diobati lama harapan
hidup < 5 -15 tahun. Penyebab kematian dikarenakan pneumonia, empiema, gagal
jantung kanan, hemoptisis.3 6 -
UNIT YANGMENANGANI
• RS Pendidikan : Departemen llmu Penyakit Dalam Divisi Pulmonologi
• RS non Pendidikan : Bagian llmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : Departemen Radiologi , Bedah / toraks, Departemen
Rehabilitasi Medik
• RS non Pendidikan : Bagian Radiologi, Bedah

REFERENSI
1. .
Baron R Bronchiectasis and Lung Abscess. In: Fauci A, Kasper D, Longo D, Braunwald E, Hauser
S, Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison’s principles of internal medicine. 18 th ed. United States
of America; The McGraw-Hill Companies, 2012.chapter 258.
2. Iseman M. Bronchiectasis. In : Mason: Murray & Nadel' s Textbook of Respiratory Medicine, 4 ed
lh .
United States of America : Saunders .2005 . chapter 39.

717
# Pulmonologi

3 . .
Rahmatullah P. Bronkiektasis Dalam: Alwi I, Setiati S, Setiyohadi B, Simadibrata M, Sudoyo AW .
.
Buku AJarllmu Penydklt Dalam Jilldlil Edfsi V Jdkdrtd: iii'temd Pobllshlngi 2010: Hal 2297-2304.
4. British Thoracic Society. BTS Guideline for non-CF Bronchiectasis A Quick Reference Guide.2010.
. - .
Diunduh dari www brit thpracic.org ukpada tanggal 30 mei 2012 .
5. . .
O'Donnell A Bronchiectasis. Chest 2008;!34;$15-823. Diunduh dari http:/ /chestjoumal chestpubs.
. .
org/content/134/4/815 full html pada tanggal 30 Mei 2012.
6. Prdhggdno E. Mlkobdkteilosis :N6rt-TB Dalam : Arrifn 1, Ddhldn Z, Yuwoho A (Eds) Panduan
. .
.
Tatalaksana/Prosedur Respirologi dan Penyakit Kritis Paru :i i

718
719

EMBOLI PARU

PENGERTIAN
Emboli paru adalah kelainan jaringan paru yang disebabkan oleh embolus pada arteri
pulmonalis paru. Bekuan vena sistemik yang menyangkut di percabangan arteri
pulmonalis, merupakan komplikasi Deep Vein Thrombosis ( DVT) yang umumnya terjadi
pada kaki atau panggul. Faktor predisposisi trombosis vena yaitu :1'2
• Trias Virchow, yaitu
o Stasis: Imobilitas, tirah baring, anestesi, gagal jantungkongestif / kor pulmonal,
trombosis vena sebelumnya
o Hiperkoagulabilitas: keganasan, antibodi antikardiolipin, sindrom nefrotik,
trombositosis esensial, terapi estrogen, heparin -induced thrombocytopenia,
inflammatory bowel disease , Paroxysmal nocturnal hemoglobinuria, koagulasi
intravaskular diseminata, defisiensi protein C dan S, defisiensi antitrombin III
o Kerusakan dinding pembuluh darah: trauma, pembedahan

• Keganasan
• Riwayat trombosis
• Preparat estrogen

PENDEKATAN DIAGNOSIS
Pada 50 % kasus dapat asimptomatik

Tabel 1. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik pada Emboli Paru1 3 '

EmboQ paru ukuran


Emboli paru ukuran sedang Emboli paru maslf
keel
Anamnesis Sesak napas jika nyeri pleura, sesaknapas batuk sinkop mendadak ,
beraktivitas yang darah renjatan, pucat, sesak
terjadi berulang sampai napas berat
berbulan-bulan, mudah
lelah , pingsan saat
beraktivitas ,
Pemeriksaan Tidak spesifik . Dapat Peningkatan suhu tubuh, pleural tanda - tanda gagal
fisik berupa takipneu ( laju rub, suara napas dan gerak paru jantung kanan akut
pernapasan > 20 kali / berkurang pada sisi yang terkena, ( berkeringat , JVP
menit ) , takikardia , fremitus raba mengeras, perkusi meningkat , bunyi P 2
demam, sianosis, pleural redup pada sisi yang terkena, suara mengeras, murmur sistolik
rub , tanda - tanda efusi bronchial dan egofoni mengeras. daerah katup pulmonal) .
pleura. Dapat ditemukan efusi pleura dan
wheezing .

PanduanPraktikKlinis
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
B SSSJSSSJSS Pulmonologi

Pemeriksaan Penunjang3
• Laboratorium : DPL, hemostasis ( PT, aPTT, INR , aktivitas protrombin, kadar
fibrinogen) , kadar protein C dan S, ACA
• Urin lengkap
• Analisa gas darah / AGD : hipoksemia, alkalosis respiratorik
• D -dimer plasma: meningkat (sensitif, tidak spesifik) . Bila > 500 ng/ mL, dilanjutkan
dengan pemeriksaan
• Foto toraks : menyingkirkan penyebab lain berupa emboli paru infiltrat, efusi,
atelektasis, gambaran khas emboli paru Hampton's sign, Westermark’s sign, Palla’s
sign, pada sebagian kasus: tidak tampak kelainan
• EKG : terutama menyingkirkan penyakit lain, perubahan ST-T tidak spesifik. Inversi
gelombang T di VI - V4, kadang -kadang dijumpai RBBB, fibrilasi atrium. Dapat
dijumpai perubahan aksis tiba-tiba. Pada emboli paru masif dapat dijumpai RAD,
P pulmonal, SI Q 3 T 3 ( Meginn White Pattern ) .
• Ekokardiografi : jika terlihat adanya peningkatan tekanan atau volume ventrikel
kanan yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya, maka dapat dicurigai adanya
emboli paru . Ekokardiografi trans esophageal mempunyai sensitivitas dan
spesifisitas mencapai 90 % untuk mendeteksi emboli paru proksimal.
• Ventilation / Perfusion Lung Scan: (sensitif, tidak spesifik)
o Pada emboli paru : kelainan perfusi tidak disertai kelainan ventilasi , atau
kelainan perfusi lebih menonjol
o Berdasarkan adanya, ukuran, dan hubungan defek ventilasi - perfusi , hasil
dibagi atas: high- probability lung scan, non-high probablity lung scan (= low
dan intermediate probability lung scan ), normal lung scan.
• USG (ultrasonografi ) tungkai .
o Indikasi : jika hasil scan menunjukkan non -high probablity lung scan, sedangkan
klinis sangat mengarah ke emboli paru, mencari adanya trombosis vena dalam.
o Jika hasil scan adalah high - probability lung scan, atau USG kaki positif DVT:
diterapi sebagai emboli paru.
• Angiografi pulmoner : baku emas.
o Indikasi : hasil diagnostik lain tidak jelas, dan dibutuhkan diagnosis pasti
(seperti pada pasien yang tidak stabil, atau yang memiliki risiko tinggi bila
diterapi antikoagulan atau trombolitik) .
Terdapat 2 cara penilaian klinis untuk memprediksi adanya emboli paru :x

720
Emboli Paru

Tabel 2. Penilalan klinis Berdasarkan Skor Geneva ' Skor


Variabel
Faktor predisposisi Usia > 65 tahun +1
Riwayat trombosis vena dalam atau emboli paru sebelumnya +3
Riwayat operasi atau fraktur dalam 1 bulan +2
Keganasan +2
Keluhan Nyeri pada tungkai bawah unilateral +3
Batuk darah +2
Klinis Denyut jantung
75-94 kali/menit +3
95 kali/menit +5
Nyeri tekan pada tungkai bawah dan edema unilateral +4

Keterangan :
Kemungkinan emboli paru rendah : skor 0-3
sedang : skor 4- 10
tinggi : skor > 11

Tabel 3. Penilalan Klinis Berdasarkan Skor Wells ' Skor


Variabel
Faktor predisposisi Riwayat trombosis vena dalam atau emboli paru sebelumnya + 1.5
Riwayat operasi atau imobilisasi + 1.5
Keganasan +1

Keluhan Batuk darah +1


+2
Klinis Denyut jantung >100 kali/menit + 1.5
Tanda klinis trombosis vena dalam +3
Adanya alternatif diagnosis selain emboli paru +3

Kemungkinan emboli paru : rendah : skor 0- 1


sedang : skor 2- 6
tinggi : skor > 7
Kemungkinan emboli paru kecil jika skor 0-4, sedangkan kemungkinan paru besar jika skor > 4

DIAGNOSIS BANDING
Pneumonia, bronkitis, asma bronkial, bronkitis kronis eksaserbasi akut,
infark miokard, sindrom koroner akut, edema paru, kanker paru , pneumotoraks,
kostokondritis, aorta dissekans, tamponade, fraktur iga, hipertensi pulmoner primer,
nyeri muskukoskeletal, ansietas.2

TATALAKSANA

Tempi Suportif4
• Oksigen
• Infus cairan
• Inotropik: dobutamin drip, bila hipotensi, atau tanda-tanda gagal jantung akut lain
• Vasopresor sesuai indikasi
• Anti aritmia sesuai indikasi
• Analgetik

721
# Puimonologi

Ris'ko Jingg s ^spe : emoOl: paru


-
dengan h' ootersi *ata. renjoton

1
CT scan ragero
I
1 I
Tidak fefsedia Tersedla

1
Ekokardiografi:
overload ventrikol konan

1
i i CT scon fersodla
Tidak Ya CT scon
dan paslen stabli
I
I 1
Positit Negallf

Can penyebab Pernenksaon Jan


1
Te*ap > embcH po:u.
1
Cart penyebab
lain IJdo< te'sedi'a dan Pei Pmbangkon trcrrboi sis Icrin
DCS sn l'da < slab I clcu omDo cr '
^^
Gambar 1. Algorltma Pendekatan Djagiip s Bertslko Tlnggl Emboli Paru dengan Gangguan
Hemodlnamlk1 ^

iW<o lendah uspsk emttr;pair


lunpa hipoiemi alau renjalan

1
Menentukan komungkinan
kllnis emboli paru

I
Kemungkinan
i
kemungkinan
emboli paru randan emboli paru linggl

i
Pernerlksaari
D'dimer
I
1
Negollt
1
Positlf

1
Tidak
1
Mullidetectof Mulliclefector
dilerapl CT scan CT scan
I
i
Tidak ada
1
Ada
i 1
Tidak ada Ada
emboli paru emboli paru emboli paru emboli paru

1
Tidak
1 1 i
Terapi Tidak difeiapl ataU
dilerapl pemoriksaan lanjul Terapi

Gambar 2. Algorltma Pendekatan Diagnosis Berlslko Rendah Ertlboll Paru Tdnpa Gdfigguan
Hemodlnamlk1

722
Emboli Paru

Terapi Emboli Paru Akut5 4


• Unfractionated heparin (UFH )
o Bolus inisial intravena 80 IU / kgBB atau sekitar 5.000 IU, dilanjutkan dengan
drip 18 IU / kgBB / jam IV
o Pemantauan dengan pemeriksaan aPTT setiap 6 jam: target <1.2 kali kontrol

Tabel 4. Perubahan Dosis Berdasarkan Nilai aPTTI


aPTT Perubahan dosli
< 35 detik (< 1.2 kali kontrol) 80 U/kg bolus, kecepatan infus dinaikkan menjadi 4 U/kg/jam
-
< 35-45 detik ( 1.2 1.5 kali kontrol) 40 U/kg bolus, kecepatan infus dinaikkan menjadi 3 U /kg/ jam
-
< 46-70 detik ( 1.5 2.3 kali kontrol) Tidak berubah
< 71-90 detik (2.3-3.0 kali kontrol) kecepatan infus dikurangi menjadi 2U /kg/jam
>90 detik (>3.0 kali kontrol) Stop infuse selama 1 jam, selanjutnya kecepatan infus
dinaikkan menjadi 3 U/kg/jam

• Low Molecular Weight Heparin (LMWH )


o Diberikan subkutan tiap 12 jam
o Enoxaparin 1 mg/ kgBB subkutan
o Dalteparin 200 IU / kgBB subkutan
o Nadroparin 0,1 mL / kgBB
o Tinzaparin 175 U / kg satu kali sehari
o Fondaparinux (diberikan sekali sehari). Berat badan < 50 kg dosis 5mg , berat
50 -100 kg dosis 7.5 mg, dan berat > 100 kg dosis 10 mg.

Terapi Emboli Paru4 9


• Trombolitik :
o Indikasi: emboli paru masif, pemberian dipertimbangkan jika emboli paru
tanpa gangguan hemodinamik, tetapi berisiko tinggi (emboli paru submasif ),
adanya trombois vena dalam, adanya penyakit jantung atau paru yang belum
mengalami perbaikan dengan pemberian heparin, dan risiko perdarahan rendah
o Streptokinase: dosis loading 250.000 1U dalam larutan garam fisiologis atau
glukosa 5% drip IV dalam 30 menit. Dilanjutkan 100.000 1U per jam drip IV,
selama total 24-72 jam. Perbaikan biasanya terlihat dalam 24 jam.
o Urokinase 4400 unit / kgBB / jam selama 12 - 24 jam. Perbaikan biasanya terlihat
dalam 12 jam .
o Recombinant tissue plasminogen activator (rTPA) 100 mg dalam 2 jam atau
0.6 mg/ kgBB dalam 15 menit. Dosis maksimum 50 mg.
o Terapi trombolitik terbukti mengurangi obstruksi dan memperbaiki
hemodinamik.

723
# SSSSfflHMtt Pulmonologi

o Kontraindikasi absolut:
Stroke hemoragik atau stroke yang tidak diketahui penyebabnya
Stroke iskemik yang terjadi dalam 6 bulan
Kerusakan susunan saraf pusat atau keganasan
Baru saja terkena trauma/operasi / trauma kepala (dalam waktu 3 minggu)
Perdarahan saluran cerna dalam waktu 1 bulan
Adanya perdarahan
o Kontraindikasi relatif :
Transient ischaemic attack dalam 6 bulan
Mengkonsumsi antikoagulan oral
Kehamilan atau 1 minggu setelah melahirkan
Non - compressible punctures
Hipertensi refrakter (tekanan darah sistolik > 180 mmHg)
Penyakit hati lanjut
Endokarditis infektif
Ulkus peptikum aktif
Traumatic resuscitation
• Percutaneous catheter embolectomy and fragmentation:
o Tujuan : menghilangkan obstruksi dari arteri pulmonal
o Indikasi : sebagai alternatif jika ada kontraindikasi absolut terapi trombolitik,
jika ada kegagalan terapi trombolitik untuk memperbaiki hemodinamik, atau
sebagai alternatif operasi jika akses bypass kardiopulmonal tidak tersedia .
• Trombektomi
• IVC filter: jika ada kontraindikasi atau tidak ada perbaikan hemodinamik setelah
pemberian antikoagulan

Terapi Preventif

Tabel 5. Terapi Tromboprofilaksis pada Emboli Paru7 ’


Rislko Kllnls dan kondlsl paslen Profllaksls
Rendah (< 10 % ) Operasi minor pada pasien yang dapat Mulai gerak secara dini
bergerak
Sedang ( 10-40 %) Operasi pada umumnya, pasien yang UFH 5000 U subkutan (bid atau tidj
diharuskan bed rest
Tinggi ( 40-80 %) Operasi ortopedik, trauma susunan saraf LMWH (Fondaparinux) , warfarin
belakang

724
Emboli Paru

Terapi Jangka Panjang


• Warfarin : dimulai bersamaan dengan pemberian heparin dengan dosis awal 5
mg/ hari. Pemantauan dengan pemeriksaan INR tiap 1- 3 hari : target INR 2 - 3.
Bila INR < 2: dosis dinaikkan Vz tablet / hari, bila INR > 3: dosis diturunkan, bila
INR 2-3: dosis dipertahankan

Menentukan risiko dan


klinis emboli paru

f
Normotensi dan
ventrikel kanan normal
1
Normotensi dan
ventrikel kanan hipokinesis
1
Hipotensi

i
Pencegahan
i
Terapi disesuaikan
i
Terapi primer
sekunder masing-masing individu

1 1 I 1
Embolektomi
Antikoagulan
Antikoagulan Filter IVC kateter / operasi
dan trombolisis

Gambar 3. Algoritma Penatalaksanaan Emboli Paru’

KOMPLIKASI
Sindroma posttrombotik (25%) berupa nyeri dan edema. Emboli paru berulang
(1% pada emboli paru pertama kali- 5% dalam setahun pada emboli paru berulang),
gagal napas, gagal jantung kanan akut, hipotensi / renjatan kardiogenik. Komplikasi
diagnostik : reaksi alergi terhadap zat kontras. Komplikasi terapi : perdarahan
-
(termasuk intra - kranial), heparin induced thrombocytopenia , nekrosis kulit, warfarin
embriopati.

PROGNOSIS
Prognosis baik jika terapi yang tepat dapat segera diberikan . Prognosis juga
tergantung pada penyakit yang mendasarinya, ketepatan diagnosis, dan pengobatan
yang diberikan. Umumnya prognosis emboli paru kurang baik. Angka kematian karena
emboli paru mencapai 15% dalam 6 bulan. Sedangkan pada emboli paru masif 70 %
mengalami kematian dalam waktu 2 jam sesudah serangan akut . Prognosis juga buruk
pada pasien emboli paru kronik dan sering mengalami serangan ulangan . Resolusi
komplit dapat tercapai dalam waktu 7-19 hari, tergantung dari waktu mulai terapi,
adekuat tidaknya terapi, dan derajat emboli paru.48'9

725
Panduan PraktikKlinis Pulmonoloqi
Perhimpunan Dokfer Spesialis Penyaldl Dalam Indonesia
^

UNIT YANGMENANGANI
• RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Pulmonologi,
Kardiovaskular, Hematologi- Onkologi Medik.
• RS non Pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : Divisi Hematologi- Onkologi Medik, Departemen Radiolog,
Patologi Klinik, Bedah / toraks
• RS non Pendidikan : Bagian Bedah, Patologi Klinik, Radiologi

REFERENSI
1. Torbicki A, Perrier A, Konstantinides S. Guidelines on the diagnosis and management of acute
pulmonary embolism. European Heart Journal ( 2008) 29, 2276-2315.Diunduh dari www.escardio.
org /guidelines pada tanggal 23 Juni 2012.
2. Goldhaber SZ. Deep Venous Thrombosis and Pulmonary Thromboembolism. In: Fauci A, Kasper
D, Longo D, Braunwald E, HauserS, Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison's principles of internal
.
medicine. 18th ed United States of America; The McGraw-Hill Companies, 2012.chapter 262 .
3. Fedullo PF, Morris TA. Pulmonary Thromboembolism. In : Mason: Murray & Nadel' s Textbook of
.
Respiratory Medicine, 4th ed. United States of America : Saunders 2005. chapter 48
4. Rahmatullah P. Tromboemboli Paru. Dalam: Alwi I, Setiati S, Setiyohadi B, Simadibrata M, Sudoyo
AW . Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV. Jakarta: Interna Publishing; 2006: Hal 1050- 1056.
5. Diunduh dari Chest 2008;133;454S pada tanggal 23 Juni 2012.
6. Diunduh dari NEJM 2008:359:2804 pada tanggal 23 Juni 2012.
7. Diunduh dari Chest 2008;133:381 S pada tanggal 23 Juni 2012.
8. Diunduh dari Circ 2003:107:1-4 pada tanggal 23 Juni 2012.
9. Rasyid A . Emboli Paru. Dalam : Amin Z, Dahlan Z, Yuwono A ( Eds) . Panduan Tatalaksana / Prosedur
Respirologi dan Penyakit Kritis Paru.

726
727

FLU BURUNG

PENGERTIAN
Flu burung (avian influenza ) merupakan penyakit infeksi akibat virus influenza
tipe A yang biasa mengenai unggas. Subtipe virus influenza yang lazim mengenai
manusia adalah dari kelompokHl, H 2, H 3, serta N1 dan N 2 dan disebut sebagai human
influenza. Secara ringkas virus ini dikenal dengan virus A (H 5 N1).1

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis1 2
• Gejala sistemik mendadak: sakit kepala, demam, menggigil, mialgia, malaise, batuk,
radang tenggorokan
• Keluhan gastrointestinal: diare
• Identifikasi untuk kelompok risiko tinggi: pekerja peternakan /pemrosesan unggas
(termasuk dokter hewan /insinyur peternakan], pekerja laboratorium yang memproses
sampel pasien, pengunjung peternakan/ pemrosesan unggas dalam 1 minggu terakhir,
pernah kontak dengan unggas (ayam, itik, burung] sakit/ mati mendadak yang belum
diketahui penyebabnya dan /atau babi serta produk mentahnya dalam 7 hari terakhir,
atau pernah kontak dengan penderita flu burung dalam 7 hari terakhir.

Pemeriksaan Fisik1 2
• Febris, takipneu, takikardi
• Konjungtivitis
• Ronkhi kasar pada kedua lapang paru

Pemeriksaan Penunjang1 2
• Laboratorium : darah perifer lengkap, fungsi hati, fungsi ginjal, kreatin kinase,
analisa gas darah
• Uji konfirmasi :
o Kultur dan identifikasi virus H 5 N 1

PanduanPraktik Minis
Perhlmpunan Dokler Speslafis Penyaldl Dalam Indonesia
m fSSSSSSSSS. Pulmonologi

o Uji Real Time Nested PCR untuk H 5


o Serologis immunofluorescence test ( IFA), uji netralisasi, uji penapisan dengan
rapid test, HI test, atau ELISA
• Radiologis (tidak ada gambaran khas) : foto toraks PA / lateral ditemukan gambaran
infiltrat bilateral luas, difus, multilokal, atau tersebar ( patchy ), atau dapat berupa
kolapslobar
Kriteria diagnosis flu burung menurut Departemen Kesehatan Rl (2005) :
• Pasien dalam observasi
Demam > 38 °C disertai 1 atau lebih gejala berikut :
o Batuk,
o Sakit tenggorokan,
o Pilek,
o Napas pendek/sesak napas (pneumonia) dimana belum jelas ada/tidaknya
kontak dengan unggas sakit / mati mendadak yang belum diketahui
penyebabnya dan produk mentahnya.
Pasien masih dalam observasi klinis, epidemiologis, dan pemeriksaan laboratorium.
• Kasus suspek AI H 5 N 1 (dalam pengawasan)
Demam > 38 °C disertai 1 atau lebih gejala berikut :
o Batuk, sakit tenggorokan, pilek, napas pendek/sesak napas, pneumonia dan
diikuti salah satu atau lebih keadaan :
1. Pernah kontak dengan unggas sakit/mati mendadak yang belum diketahui
penyebabnya dan /atau babi serta produk mentahnya dalam 7 hari terakhir,
2. Pernah tinggal di daerah yang terdapat kematian unggas yang tidak biasa
dalam 14 hari terakhir sebelum timbulnya gejala,
3 . Pernah kontak dengan penderita flu burung konfirmasi dalam 7 hari
terakhir sebelum timbulnya gejala,
4. Pernah kontak dengan spesimen AI H 5 N 1 dalam 7 hari terakhir sebelum
timbulnya gejala (pekerja lab),
5 . Ditemukannya leukopeni < 3000/ pL,
6 . DitemukanadanyatiterantibodiH 5 dengan pemeriksaan HI test menggunakan
eritrosit kuda atau ELISA untuk influenza A tanpa subtipe.
ATAU
o Kematian akibat acute respiratory distress syndrome (ARDS) dengan 1 atau
lebih keadaan dibawah ini : 1) leukopenia atau limfopenia dengan / tanpa
trombositopenia (trombosit < 150.000 / pL), 2) gambaran pneumonia atipikal
atau infiltrat di kedua sisi paru yang makin meluas pada foto toraks serial

728
Flu Burung

• Kasus probabel AI H 5 N 1
Kriteria kasus suspek ditambah dengan 1 atau lebih keadaan dibawah ini :
o Ditemukan adanya kenaikan titer antibodi minimum 4x terhadap H 5 dengan
pemeriksaan HI test menggunakan eritrosit kuda atau ELISA
o Hasil laboratorium terbatas untuk influenza H 5 (dideteksi dengan antibodi
spesifik H 5 dalam spesimen serum tunggal ) menggunakan tes netralisasi
(dikirim ke referensi laboratorium)
o Dalam waktu singkat menjadi pneumonia berat / gagal napas / meninggal dan
terbukti tidak ada penyebab lain
• Kasus konfirmasi AI H 5 N 1
Kasus suspek atau probabel dengan 1 atau lebih keadaan dibawah ini :
o Kultur virus influenza A / H 5 N 1 ( +)
o PCR influenza A / H 5 N 1 ( + )
o 1 FA test ditemukan antigen ( + ) menggunakan antibodi monoklonal influenza A/
H5 N1
o Kenaikan titer antibodi spesifik influenza A / H 5 N 1 sebanyak 4x dalam paired
serum dengan uji netralisasi
Kriteria rawat
• Suspek flu burung dengan gejala klinis berat yaitu 1) sesak napas dengan frekuensi
napas s 30x / menit, 2) nadi slOOx / menit, gangguan kesadaran ( + ) , 3 ) kondisi
umum lemah
• Suspek dengan leukopenia
• Suspek dengan gambaran radiologis pneumonia
• Kasus probabel dan konfirmasi

DIAGNOSIS BANDING
Pneumonia

TATALAKSANA1 3
• Prinsip penatalaksanaan adalah istirahat, peningkatan daya tahan tubuh,
pengobatan antiviral , antibiotik, perawatan respirasi , antiinflamasi , dan
imunomodulator
• Antiviral sebaiknya diberikan pada awal infeksi yaitu 48 jam pertama
o Penghambat M 2 : amantadine, rimantidin dengan dosis 2 x 100 mg/hari atau
5 mg /kgBB selama 3 - 5 hari
o Penghambat neuramidase (WHO) : zanamivir, oseltamivir (tamiflu) dengan
dosis 2 x 75 mg selama 1 minggu

729
# SfiSSSSSS! Pulmonologi
• Pedoman Departemen Kesehatan RI :
o Kasus suspek : oseltamivir (tamiflu) 2 x 75 mg selama 5 hari, simptomatik dan
antibiotik jika ada indikasi
o Kasus probabel : oseltamivir (tamiflu) 2 x 75 mg selama 5 hari, antibiotik
spektrum luas yang mencakup kuman tipik dan atipikal, dan steroid jika ada
indikasi (pneumonia berat, ARDS). Respiratory care di ICU sesuai indikasi.
• Profilaksis pada kelompok risiko tinggi : oseltamivir 1 x 75 mg selama 1-6 minggu

KOMPLIKASI
Pneumonia dan manifestasi ekstrapulmonal seperti diare dan keterlibatan sistem
saraf pusat. Kematian berkaitan dengan disfungsi sistem multipel, termasuk gagal
jantung dan ginjal.2

PROGNOSIS
Berkaitan dengan derajat dan durasi hipoksemia . Angka mortalitas dari semua
kasus sampai saat ini mencapai 60%. Risiko mortalitas tergantung dari derajat penyakit
respirasi daripada komplikasi bakteri ( pneumonia). Hanya sedikit bukti yang tersedia
yang menunjukkan efek jangka panjang dari korban selamat.3

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Pulmonologi
• RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS pendidikan: Radiologi / Radiodiagnostik, Patologi Klinik
• RS non pendidikan: Bgian Radiologi, Bagian Patologi Klinik

REFERENSI
1. .
Nainggolan L, Rumende CM, Pohan HT Influenza Burung. Dalam : Sudoyo A , Setiyohadi B, Alwi
.
I, et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V. Jilid III. 2009. Hal 2786-9.
.
2 .
Keliat EN. Pneumonia Virus. Dalam : Amin Z, Dahlan Z, Yuwono A ( Eds) Panduan Tatalaksana /
Prosedur Respirologi dan Penyakit Kritis Paru.
3 . Dolin RD. Influenza. In : Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, HauserSL, Jameson JL, Loscalzo J. Harrison ' s
Principles of Internal Medicine. 18th Edition. New York, McGraw-Hill. 2012.

730
731

GAGAL NAPAS

PENGERTIAN
Gagal napas adalah suatu kondisi kegagalan sistem pernapasan pada fungsi
pertukaran gas seperti oksigenasi dan / atau eliminasi karbondioksida dari darah
vena. Gagal napas juga didefinisikan tekanan oksigen arteri ( Pa 02) < 60 mmHg (8.0
kPa) dan /atau tekanan karbondioksia arteri ( Pa C02) > 45 mmHg (6.0 kPa]. Sistem
pernapasan terdiri dari 4
Paru- paru : sebagai organ pertukaran gas
Sistem pompa yang memventilasi paru - paru : terdiri dari dinding dada, otot pernapasan,
pusat pernapasan di susunan saraf pusat (SSP), dan jalur yang menghubungkan SSP
dengan otot pernapasan (saraf spinalis dan saraf perifer)
Gagal napas dapat terjadi karena 2 mekanisme yaitu :

Gagal napas

f 1
Kegagalan paru Kegagalan pompa

I 1
Kegagalan pertukaran udara Kegagalan ventilasi yang
yang ditandai dengan hipoksemia ditandai dengan hiperkapnia

Gambar 1. Algoritma Tipe Gagal Napas'

Penyabab gagal napas yaitu :


Tabel 1. Penyebab Gagal Napas Berdasarkan Onset Kejadian
1

Onset Penyebab hlpoventllasl alveolar


Akut Penurunan fungsi susunan saraf Obat ( sedatif ), penyakit susunan saraf pusat
pusat (ensefalitis, stroke, trauma )
Gangguan transmisi Trauma saraf spinal, mielitis transversal, tetanus,
neuromuskular dan neural amyotrophic lateral sclerosis , poliomyelitis,
sindroma Guillain-Barre , keracunan
organofosfat, keracunan botulinum
Abnormalitas otot Distrofi muscular, atrofi, prematuritas
Abnormalitas dinding dada dan Hiperinflasi akut, trauma dinding dada
pleura

PanduanPraktik Minis
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
ff$
ATLR
PanduanPraktik Minis Pulmonologi
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakil Dalam Indonesia w

Onset Penyebab hlpoventllasl alveolar


Penyakit paru dan jalan napas Asma akut, penyakit paru obstruktif kronik
eksaserasi akut, pneumonia, obstruksi jalan
napas atas, bronkiektasis
Lain-lain Sepsis, rejatan sirkulasi
Kronik Penyakit paru dan jalan napas penyakit paru obstruktif kronik ( bronkitis,
emfisema, bronkiektasis)
Abnormalitas dinding dada Obesitas, kifoskoliosis, efusi pleura, gangguan
neuromuskular
Penyakit paru dan dinding dada Polimiositis, skleroderma , SLE
Abnormalitas susunan saraf pusat Hipoventilasi alveolar primer (Ondine ' s curse )
Lain-lain Malnutrisi, gangguan elektrolit, kelainan
endokrin

Gagal napas mempunyai beberapa tipe yaitu :


Tabel 2. Tipe Gagal Napas 1 4 '

Tipe I Gagal napas Disebabkan karea ventilasi/perfusi yang tidak seimbang,


hipoksemia peningkatan shunt gangguan difusi, hipoventilasi alveolar . Faktor
akut risiko:

Disfungsi kardiak

Infeksi pulmonal atau aspirasi

Tromboemboli vena

Penyakit paru obstruktif.
• Trauma toraks: pneumotoraks, hemotoraks, kontusi paru
Tipe II Gagal napas Terjadi karena adanya hipoventilasi alveolar dan ketidakmampuan
hiperkapnia mengeliminasikarbondioksida yang disebabkan:

Gangguan pada SSP dalam mengontrol pernapasan ( intoksikasi
obat-obatan, trauma batang otak, hipotiroid, kelainan napas
saat tidur)
• Melemahnya otot pernapasan karena gangguan fungsi
neuromuskular ( miastenia gravis, sindroma Guillain Barre, sklerosis
lateral amiotrofik, trauma nervus frenikus)
• Peningkatan beban sistem respirasi:
- meningkatnya beban resistive : bronkospasme
- menurunnya compliance paru: edema elveolar, atelektasis,
intrinsic positive end -expiratory pressure ( autoPEEP )
- menurunnya compliance dinding dada : pneumotoraks, efusi
pleura, distensi abdomen
- meningkatnya kebutuhkan ventilasi/menit: emboli paru
dengan peningkatan dead space fraction , sepsis.
Tipe III Akibat atelektasis, terjadi paling sering pada periode perioperatif
sehingga disebut kegagalan napas perioperatif .
Tipe IV Disebabkan hipoperfusi otot pernapasan pada pasien dengan
rejatan. Pasien dengan rejatan mengalami distress pernapasan
.
karena edema paru laktat asidosis, dan anemia.

732
Gogol Napas

DIAGNOSIS
Tabel 3. Diagnosis Gagal Napas14
Tipe gagal napas Anamnesis Pemeriksaan flslk
Tlpel • Mengenali faktor rislko Cemas, porubahan status mental , bingung.
• Sesak napas takikardia , takipnea. diaforesis . sianosis,
hipertensl / hipotensi . arltmia .
Tlpe II Mencari penyebab Somnolen . letargi . atau koma . Asteriks, tremor,
dan faktor flslkd. Pbslen bicara kacau , edema papil .
mengeluhkan sesak napas.

Pemerlksaaan penunjang
• Laboratorium : DPL.
• Analisis gas darah
• Foto toraks
• Kateter Swan Ganz dengan monitor - tekanan kapiler paru (PCWP)
• EKG
• CT (computed tomographic ) angiography toraks: sesuai indikasi
• Bronkoskopi: sesuai indikasi

DIAGNOSIS BANDING
Edema paru, ARDS

TATALAKSANA

Tipe I
• Mengobatai penyakit dasar
• Oksigen
• Ventilasi mekanik: pada penyakit berat (ARDS)
• Bronkodilator
o Agonis beta adrenergik: terbutalin , albuterol
o Antikolinergik: diberikan kobinasi dengan agonis beta adrenergik
• Antibiotika: sesuai indikasi
• Kortikosteroid oral atau parenteral
• Ekspektoran dan nukleonik
• Fisioterapi dada

733
m PaiduanPraktUMinis Pulmonologi
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakif Dalam Indonesia

Tipe II3 4
• Tujuan: memperbaiki ventilasi alverolar menjadi normal, hingga penyakit dasar
dapat diobati
• Menjaga patensi jalan napas : penyedotan secret, drainase postural, stimulasi batuk,
perkusi dada, atau dengan pemasangan selang endotrakea atau trakeostomi.
• Alat napas buatan: ventilator mekanik
• Oksigen: jika ada hipoksemia, diberikan secara hati- hati

KOMPLIKASI
• Komplikasi paru: emboli paru , barotrauma, fibrosis pulmonal.
• Komplikasi kardiovaskular : hipotensi , cardiac output menurun , aritmia ,
perikarditis, infark miokard akut

PROGNOSIS
Prognosis tergantung dari penyakit penyebab dan komorbid. Kematian pada kasus
gagal napas umumnya disebabkan karena kegagalan multiorgan . Angka kematian pada
gagal napas yang disertai kegagalan kardiovaskular, ginjal, atau neurologis sebesar
55.4 %, 57.4 %, dan 48.1 %. Sedangkan angka kematian pada gagal napas dengan
kegagalan satu organ sebesar 20.7 %.3 4 '

UNIT YANGMENANGANI
• RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Pulmonologi
• RS non Pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : Departemen Patologi Klinik, Radiologi, Anestesi / ICU
• RS non Pendidikan : Bagian Patologi Klinik, Radiologi, Anestesi / ICU

REFERENSI
1. C. Roussos, A. Koutsoukou. Respiratoryfailure. EurRespir J 2003; 22: Suppl. 47, 3s-14s. Diunduh dari
http: / / erj.ersjournals.com /content / 22/ 47_suppl/ 3s.full.pdf pada tanggal 20 Juni 2012.
2. .
Amin Z, Purwoto J. Gagal Napas Akut. Dalam :Simadibrata M, Setiati S, Alwi I Maryantoro, Gani
RA , Mansjoer A , editors. Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam Jilid I.
Edisi IV Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006.p. 170-75.
3. Vincent JL, de Mendonca A , Cantraine F, Moreno R, Takala J, Suter PM, Sprung CL, Colardyn F,
Blecher S: Use of the SOFA score to assess the incidence of organ dysfunction/ failure in intensive
care units: results of a multicenter, prospective study. Working group on ' sepsis-related problems'
of the European Society of Intensive Care Medicine. Crit Care Med 1998, 26: 1793- 1800.
4. Amin 1 , Pitoyo CW . Gagal Napas. Dalam : Amin Z, Dahlan Z, Yuwono A ( Eds ) . Panduan
Tatalaksana /Prosedur Respirologi dan Penyakit Kritis Paru.

734
735

MASSA MEDIASTINUM

PENGERTIAN
Mediastinum adalah regio di dalam rongga dada di antara rongga pleura yang di
dalamnya terdapat jantung dan organ lain, kecuali paru - paru . Batas- batas mediastinum
yaitu sebelah lateral dibatasi oleh pleura parietalis, anterior oleh sternum, posterior
oleh kolum vertebra, superior oleh thoracic inlet, dan inferior oleh diafragma . Daerah
mediastinum terbagi menjadi 3 yaitu :1 Z
• Mediastinum anterior
• Mediastinum media
• Mediastinum posterior
Massa mediastinum adalah lesi spesifik yang ditemukan di dalam mediastinum,
baik dari metastasis atau tumor dari lokasi intratorakal lain yang menginvasi ke dalam
mediatinum, seringkali ditemukan secara kebetulan pada saat pemeriksaan. Etiologi
dari massa mediastinum dapat dibagi berdasarkan lokasi dari massa :

Tabel 1. Etiologi dari Massa Mediastinum2


Mediastinum anterior kelenjar timus, perluasan kelenjar tiroid dan paratiroid ke substernal,
saluran limfe dan kelenjar getah bening, jaringan ikat.

Mediastinum media Jantung, perikardium, arkus aorta dan pembuluh darah besar, hilus,
kelenjar getah bening, vena inominata dan vena kava superior, nervus
phrenikus, nervus vagus bagian atas, jaringan ikat
Mediastinum posterior aorta torakalis desending, esofagus, duktus torasikus, vena azigos, vena
hemiazigos, dan kelenjar getah bening bagian posterior, nervus vagus
bagian bawah, jaringan ikat.

Ada banyak jenis massa mediastinum, yang tersering ditemukan :


Tabel 2. Jenis Massa Mediastinum yang Tersering Ditemukan
2

Jenis massa Frekuensl (%)


Developmental cysts 21
Tumor neurogeni 21
Timoma 19
Limfoma 13
Germ cell tumors 11
Tumor mesenkim 7
Tumor endokrin ( tiroid, paratiroid, karsinoid) 6
Keganasan lain 3

PanduanPraktik Minis
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
<fj\
NJ > K
PandtianPrakUk Klims Pulmonologi
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dolam Indonesia v
- /

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis
Keluhan dapat disebabkan karena efek lokal atau gejala sistemik sesuai dengan
jenis tumor, yaitu : 2
• Keluhan sesuai tirotoksikosis pada gondok intratoraks
• Sindroma cushing pada timoma dan tumor karsinoid
• Diare pada ganglioneuroma

Pemeriksaan fisik dan Pemeriksaan Penunjang


Tabel 3. Pemeriksaan Fisik Dan Pemeriksaan Penunjang Berdasarkan Jenis Tumor M
Pemeriksaan fisik Jenis tumor
Peningkatan tekanan darah Ganglioneroma, feokromositoma, kemodiktoma
Ginekomastia Human chorionic gonadotropin-secreting germ cell tumors
Peningkatan suhu tubuh Limfoma
Opsomioklonus Neuroblastoma
Kelainan vertebra Kista enterik
Pemeriksaan penunjang
Laboratorium : DPL
Hiperkalsemia Adenoma paratiroid dan limfoma
Hipoglikemia Tumor pleura , teratoma, fibrosarkoma, neurosarkoma
Fungsi tiroid, tiroid scan Gandok
Kadar katekolamin Tumor neurogenik
Alpha fetoprotein and /5 -human
-
Germ cell tumor
chorionic gonadotropin
Anti- acetylcholine receptor antibody Simptom miastenik atau massa berkaitan dengan timus
Hipogamaglobulinemia Timoma
Gallium-67 scan Sarkoidosis
Somatostatin receptor scintigraphy Timoma
Technetium-99m scan Adenoma paratiroid
PET Kanker paru

Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan untuk membantu mendiagnosis


massa mediastinum:
• Rontgen toraks: menentukan lokasi, karakteristik tumor ( ukuran, bentuk, densitas,
dan invasinya)
• CT ( computed tomography ) scan toraks: 5
o Tujuan :
menentukan lokasi massa (anterior, media, atau posterior )
karakteristik tumor ( ukuran, bentuk, densitas)

736
Massa Mediastinum $[f$
'

memperkirakan asal tumor (neural, esophagus, atau dari jalan napas)


Penyebaran dan kompresi ke struktur sekitar
o Dengan kontras dapat terlihat jelas: gondok, adenoma paratiroid, penyakit
castleman, lesi vaskular, paraganglioma, dan beberapa lesi metastasis ,
o Berdasarkan densitas massa :
Massa yang mengandung cairan: gondok, kista timus, timoma, teratoma,
limfoma, nodus nekrotik dari inflamasi atau keganasan (kista perikardium,
bronkogenik, dan oesophageal duplication cysts)
Mengandung lemak (densitas rendah): timolipoma, teratoma
Mengandung kalsifikasi : gondok, timoma, limfoma, tumor karsinoid, massa
inflamasi (tuberkulosis, histoplasmosis, sarkoid), aneurisma
o Kelebihan CT scan dibandingkan MRI :
Spatial resolution.
Dapat mendeteksi kalsifikasi dan destruksi tulang
Skrining hati, paru - paru, dan metastasis adrenal dalam sekali pemeriksaan
Dapat digunakan sebagai pemandu aspirasi jarum untuk biopsi massa
Alat lebih banyak dijumpai
o Kekurangan:
Paparan terhadap radiasi
Pemakaian kontras ( iodinated contrast agent )
• MRI (magnetic resonance imaging ) 5
o Kegunaan :
Memberikan informasi mengenai sumber massa, lokasi, dan penyebaran
ke struktur sekitar.
Mengkonfirmasi adanya lesi kistik pada mediastinum yang tampak solid
pada CT scan.
Menggambarkan adanya jaringan lemak intralesi yang jumlahnya sedikit
Mendiagnosis : hemangioma, teratoma, atau hematopoiesis ekstramedular.
Tumor neurogenik (75 % kasus massa mediastinum posterior )
o Kelebihan :
Potongan lebih banyak
Resolusi tinggi
Tidak menggunakan zat kontras
o Kekurangan:
Keterbatasan alat
Lebih mahal

737
# BSBflgBSS Pulmonologi

PET [ positron emission tomography) 5



o Memberikan informasi mengenai abnormalitas mediastinum, informasi tentang
metabolism dan penyebaran penyakit.
o Sensitivitas dan spesifisitas mencapai 90 - 95 %
o Kerugian : biaya mahal dan keterbatasan fasilitas.
• Angiografi5
o Indikasi :
Jika ada kecurigaan adanya keterlibatan vaskular ( aneurisma ,
haemangioma, dan malformasi arteriovenosus]
Memastikan invasi ke vaskular oleh tumor
Embolisasi pada lesi vaskular sebelum operasi
• Biopsi jaringan5
o Kegunaan: untuk diagnosis definitif dan tatalaksana lanjut
o Komplikasi : perdarahan, pneumotoraks
o Dapat dilakukan dengan endoscopic ultrasonography ( EUS] :
Menggambarkan secara akurat aortopulmonal , nodus subkarina,
mediastinum posterior dan inferior yang tidak dapat terdeteksi dengan CT
scan.
Dapat digunakan untuk pemandu aspirasi jarum halus ( free needle
aspiration / FNA ) massa mediastinum .
Sensitivitas dan Spesifitas EUS: 84, 7 % dan 84, 6 %
Sedangkan jika EUS dikombinasi dengan FNA, sensitivitas dan spesifisitas
menjadi 88 % dam 96,4 %.
o Endobronchial ultrasound ( EBUS) dan EBUS transbronchial needle aspiration
(EBUS-TBNA).
Menggambarkan lesi paratrakeal dan peribronkial utama
Digunakan untuk panduan FNA
o Transthoracic atau transesophageal needle biopsy : untuk lesi yang mudah
diakses yang tidak dapat dilakukan reseksi primer,
o Mediastinoscopy atau mediastinotomy: untuk lesi yang mudah diakses jika
pemeriksaan lain tidak berhasil.
• Operasi reseksi primer
o Pendekatan diagnosis terakhir dan dapat digunakan sebagai pilihan terapi

DIAGNOSIS BANDING
Sesuai etiologi tabel l . 67

738
Massa Mediastinum 0
TATALAKSANA
Tergantung etiologi

KOMPLIKASI
Obstruksi trakea, sindroma vena kava superior, invasi vaskular dan perdarahan
katastropik, serta ruptur esofagus.47

PROGNOSIS
Prognosis tumor mediastinum jinak umumnya cukup baik, terutama jika tanpa
gejala. Sedangkan tumor mediastinum ganas tergantung dari keparahan penyakit dan
komorbid. Umumnya penyakit infeksi berespon baik terhadap terapi konvensional,
sedangkan penyakit infeksi berespon baik dan cepat terhadap pemberian antibiotik
yang tepat dan tindakan bedah.6’7

UNIT YANG MENANGANI


• RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Divisi Pulmonologi
• RS non Pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : Departemen Radiologi, Radioterapi, Bedah / toraks
• RS non Pendidikan : Bagian Radiologi, Bedah

REFERENSI
1. .
Light RW Disorders of the Pleura and Mediastinum. In: Fauci A, Kasper D, Longo D, Braunwald E,
HauserS, Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison' s principles of internal medicine. 18th ed. United
.
States of America; The McGraw-Hill Companies, 2012 chapter 263.
2 . . .
Park D, Vallieres E Tumors and Cysts of the Mediastinum In : Mason: Murray & Nadel ' s Textbook
.
of Respiratory Medicine, 4th ed. United States of America : Saunders .2005 chapter 71.
3. Diunduh dari www.chestjournal.chestpubs.org pada tanggal 30 Mei 2012.
4. Amin Z. Penyakit Mediatinum. Dalam: Alwi I, Setiati S, Setiyohadi B, Simadibrata M, Sudoyo AW .
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V . Jakarta : Interna Publishing; 2010: Hal 2249 - 2253.
5 . Amin Z. Tumor Mediastinum. Dalam : Amin Z, Dahlan Z , Yuwono A (Eds ) . Panduan Tatalaksana /
Prosedur Respirologi dan Penyakit Kritis Paru.
6. Diagnostic Imaging Pathways : suspected mediastinal mass. 2011. Diunduh dari http:/ / www.
. .
imagingpathways health.wa gov.au /includes/pdf / med_mass.pdf pada tanggal 30 Mei 2012.
.
7. Haas C, Haap M. A mediastinal mass The journal of family practise vol 59, no 6. Juni 2010.
.
Diunduh dari http://www.jfponline.com/ Pages asp ? AID=8696 &issue= June%202010&UID= pada
tanggal 30 Mei 2012.

739
740

PENYAKIT PARU KERJA

PENGERTIAN
Penyakit paru interstitial merupakan istilah Minis bagi sekelompok gangguan
traktus respiratorius bagian bawah yang meninggalkan jejas pada parenkim paru,
dan memberikan gambaran Minis, radiologis, dan manifestasi fisiologis atau patologis
yang sama .1-3
Penyakit paru kerja adalah sekumpulan diagnosis yang disebabkan oleh inhalasi
debu, zat kimia, atau protein . "Pneumokoniosis ” merupakan istilah yang digunakan
untuk penyakit yang berkaitan dengan inhalasi debu mineral. Keparahan penyakit
ini berkaitan erat dengan materi yang dihirup, intensitas, dan durasi dari paparan
terhadap materi tersebut. Bahkan beberapa orang yang tidak bekerja di industri pun
dapat terkena penyakit ini melalui paparan tidak langsung.4 Berikut daftar penyakit
paru kerja, zat paparan, dan waktu terpapar sampai onset timbul gejala tercantum
pada tabel 1.

label 1. Daftar Penyakit Paru Kerja , Zat Paparan, dan Waktu Paparan sampai Onset Gejala4

Zat Paparan Nama Penyakit Pekerja yang terpapar Waktu paparan sampai
onset ttmbul gejala
Silika Silikosis Penambang, pembuat gelas, Akut (< 1 tahun)
penggali pasir, pengrajin tanah Accelerated (3- 10
liat, penambang terowongan, tahun)
pekerja konstruksi, pembuat Kronik atau silikosis klasik
adonan tepung silika, pekerja (berabad)
abrasif (pembuat gigi)
Asbestos Asbestosis Primer : penambang, pekerja Tahunan
penggilingan Efusi pleura asbestos
Sekunder : pekerja keramik, jinak ( <20 tahun )
asbestos insulators, fireproofing, Plak pleura ( tahunan)
ship building and repair , brake
liners, boilermakers
Indirek : tukang listrik, tukang
ledeng, tukang kayu
Batu bara Pneumokoniosis Penambang batu bara Tahunan s /d berabad-
abad
Bahan kimia reaktif Pneumonitis Hari dari paparan
sederhana, produk hipersensitivitas
serangga, produk
binatang, produk
tanaman

PanduanPraktikKIinis
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
Penyakit Paru Kerja

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis1 3 5 7
• Tempat tinggal pasien
• Manifestasi pulmonal dan ekstrapulmonal
o Sesak napas terutama setelah beraktivitas ( dyspnea on exertion ), batuk kering /
non-produktif yang semakin memburuk pada usia pertengahan atau usia lanjut
yang tidak diketahui penyebabnya
• Tempo perjalanan penyakit
• Kebiasaan merokok
• Obat-obatan
• Riwayat penyakit dahulu dan komorbid
• Riwayat penyakit keluarga
• Riwayat pekerjaan, paparan lingkungan dalam waktu lama

Pemeriksaan Fisik5 7 '

• Auskultasi paru: crackles (ronki) pada kedua basal paru, terutama saat akhir
inspirasi
• Jari tabuh
• Tanda ekstrapulmonal

Pemeriksaan Penunjang1 3 5 7
• Laboratorium : darah perifer lengkap, panel kimia, urinalisis
o Kasus tertentu : tes serologis (pneumonitis hipersensitivitas, penyakit jaringan
ikat), antibodi antinetrofil sitoplasmik, kadar brain natriuretic peptide ( BNP)
• Radiologis : foto toraks, CTscan toraks dengan resolusi tinggi, foto toraks dan CT
scan toraks sebelumnya, ekokardiografi (bila ada indikasi)
• Bilas bronkoalveolar ( bronchoalveolar lavage ) : identifikasi dan hitung badan
asbestos dan seratnya
• Tes fungsi paru : spirometri, volum paru, kapasitas difusi, dan oksimetri, analisis
gas darah arteri, cardiopulmonary exercise testing (bila ada indikasi)
• Bronkoskopi (bila ada indikasi)
• Biopsi paru ( bila ada indikasi)

DIAGNOSIS BANDING
Bronkitis kronis, penyakit paru obstruktif kronis / PPOK, fibrosis paru, kanker paru.
1

741
I^ |

^
» w
Panduen Praktik Klinis Pulmonoloqi
Perhimpunan Dokter Spesiafis Penyakil Dalam Indonesia W

TATALAKSANA1 3
• Silikosis
o Prinsip : mencegah progresifitas penyakit dan timbulnya komplikasi
o Terapi suportif, rehabilitasi, oksigen
o Pada pasien positif silikosis dengan tes tuberkulin (+), pertimbangkan
untuk
terapi infeksi TB laten, misalnya profilaksis INH 300 mg / hari
• Asbestosis
o Tidak ada terapi spesifik yang efektif, terapi umumnya bersifat suportif
(sama
dengan fibrosis interstitial difus yang tidak diketahui penyebabnya]
o Vaksinasi influenza dan pneumococcus
o Terapi oksigen
o Transplantasi paru dapat dipertimbangkan pada kasus tertentu
o Konseling untuk berhenti merokok karena adanya peningkatan risiko kanker
paru
• Pneumokoniosis
o Terapi suportif dan rehabilitasi untuk gangguan fungsi paru
o Konseling untuk berhenti merokok
• Pneumonitis hipersensitivitas

KOMPLIKASI
Emfisema paru, infeksi tuberkulosis laten, PPOK, kanker paru, mesothelioma,
kanker lambung . 13

PROGNOSIS
Tergantung lamanya paparan, usia saat onset gejala, dan komplikasi yang muncul .

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Pulmonologi
• RS non pendidikan : Bagian llmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Radiologi, Patologi Klinik, Mikrobiologi klinik , Patologi
Anatomi
• RS non pendidikan : Radiologi, Patologi Klinik, Patologi Anatomi , Mikrobiologi
klinik

742
REFERENSI
1.
Penyakit Paru Kerja

King Jr. TE. Interstitial Lung Diseases. In : Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL,
^
.
Loscalzo J. Harrison ' s Principles of Internal Medicine 18m Edition. New York, McGraw-Hill. 2012 .
,
Raghu G. Interstitial Lung Diseases. In: Goldman, Ausiello. Cecil Medicine. 23 d Edition. Philadelphia.
2.
Saunders, Elsevier. 2008.
3. .
King Jr. TE, Schwarz Ml. Infiltrative and Interstitial Lung Diseases In : Mason, Murray, Broaddus,
.
Nadel Murray and Nadel ' s Textbook of Respiratory Medicine. 4th Edition. Philadelphia. Saunders,
Elsevier. 2005.
4. .
Boylan AM, Broaddus VC. Pleural Diseases In : Schraugnagel DE. Breathing in America : Diseases,
Progress, and Hope. American Thoracic Society. 2010. Hal 145-54. Diunduh dari http://www.
.
thoracic org/education/breathing-in-america /resources/breathing-in-america.pdf padatanggal
23 Mei 2012.
5. Guidotti TL, Miller A, Christiani D, et al. American Thoracic Society Documents : Diagnosis and
Initial Management of Nonmalignant Diseases Related to Asbestos. Am J Respir Crit Care Med
2004;170:691-715.
6. .
Ryu JH, Daniels CE, Hartman TE, Yi ES Diagnosis of Interstitial Lung Diseases. Mayo Clin
.
Proc. 2007;82 ( 8) :976- 986 Diunduh dari http:/ /www.cchil.org / hospitalmedicine /images /
resources/091408-024700am-ILD.pdf pada tanggal 1 Juni 2012 .
7. .
Pasiyan R, Arsyad Zulkarnain, Tandjung A Penyakit Paru akibat Kerja dan Lingkungan . Dalam
: Amin Z, Dahlan Z, Yuwono A (Eds ) . Panduan Tatalaksana /Prosedur Respirologi dan Penyakit
Kritis Paru.

743
744

PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK


(PPOK)

PENGERTIAN
Penyakit paru obstruktif kronik [PPOK) adalah penyakit yang ditandai dengan
adanya keterbatasan aliran udara kronis dan perubahan patologis pada paru - paru,
beberapa memiliki efek ekstra pulmonal.1 Ditandai dengan keterbatasan aliran udara
yang tidak sepenuhnya reversibel. Keterbatasan aliran udara biasanya progresif
dan berhubungan dengan respon inflamasi abnormal paru - paru terhadap partikel
berbahaya atau gas.2 Faktor risiko yaitu perokok aktif atau pasif, tinggal di daerah
berpolusi, lingkungan kerja) industri kapas, pertambangan batu bara, pertambangan
emas) defisiensi al antitripsin.1

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis
Sesak napas yang diperberat oleh latihan, batuk-batuk kronis, sputum yang
produktif, faktor risiko (+), PPOK ringan dapat tanpa keluhan atau gejala.1

Pemeriksaan Fisik3
• Laju napas meningkat > 20 kali / menit, bila sesak napas berat : sianosis (hipoksia
berat), retraksi intercostal.
• Pemeriksaan paru : barrel chest : meningkatnya diameter anteroposterior
(merupakan tanda hiperinflasi), diafragma letak rendah, suara napas melemah,
dapat ditemukan ronki dan wheezing.
• Suara jantung melemah . Pada PPOK berat dapat ditemukan gagal jantung kanan,
kor pulmonal : bunyi jantung kedua meningkat, distensi vena jugular, kongesti
hati, edema mata kaki.

Panduan Praktik Klinis


Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
Penyakit Paru Obstruktif Kronik ( PPOK )
^
Pemeriksaan Penunjang
• Uji spirometri (standard baku )
Volume Ekspirasi Paksa (VEP) j
< 70 %.3
/ Kapasitas Vital Paru ( KVP ) atau FEV
^ FVC

Meningkatnya kapasitas total paru - paru, kapasitas residual fungsional, dan


volume residual.1
Rontgen Thorax : paru hiperinflasi, diafragma mendatar.
3

• Analisis gas darah
Level serum al antitripsin sesuai indikasi
1

PPOK EKSASERBASI AKUT1


Gejala eksaserbasi: bertambahnya sesak napas, kadang-kadang disertai mengi,
bertambahnya batuk disertai meningkatnya sputum dan sputum menjadi lebih
purulen atau berubah warna.
Gejala non -spesifik : malaise, insomnia, fatigue , depresi
Spirometri: fungsi paru sangat menurun

Etiologi Eksaserbasi
Infeksi mukosa trakeobronkial, terutama Streptococcus pneumonie, Haemophilus
influenzae, Moraxella catarrhalis, pajanan polusi udara.
1

Tabel 1. Klasifikasi Derajat Sumbatan PPOK2


Stadium Klasifikasi
I
,
PPOK rlnaan
VEP / KVP < 70%
VEP ] > 80% prediksi
Dengan/ tanpa keluhan kronik (batuk, sputum produktif )
II PPOK sedana
VEP ] / KVP < 70%
30% < VEP ] < 80% prediksi
Dengan keluhan naps pendek terutama pada saat latihan, terkadang ada
keluhan batuk dengan sputum produktif

,
PPOK berat
VEP / KVP < 70%
30% < VEP ] < 50% prediksi
Keluhan napas pendek bertambah, kemampuan latihan berkurang, lelah, dan
eksaserbasi berulang sehlngga mempengaruhi kualitas hidup pasien
IV PPOK sangat berat
,
VEP / KVP < 70%
VEP , < 30% prediksi atau VEPI < 50% prediksi + gagal napas kronik
PaO,< 60 mmHg dengan/ tanpa PaCO, > 50 mmHg
Gejala gagal jantung kanan dan atau pulmonal
Kualitas hidup pasien sangat terganggu, eksaserbasi bisa menyebabkan
kematian.

745
RrS
' K'
Pandvan mum Minis Pulmonoloqi
PerWmpunan Dokler Spesiais Penyakil Dalam Indonesia
^

DIAGNOSIS BANDING
Asma dapat berbarengan dengan PPOK. Beda asma dan PPOK dapat dilihat pada
asma terjadi peningkatan eosinofil dan obstruksi saluran napas yang terjadi biasanya
reversibel, sementara pada PPOK tampak peningkatan neutrofil dan obstruksi
saluran napas yang terjadi tidak sepenuhnya reversibel. Akan tetapi asma yang sudah
berlangsung lama dapat saja menyebabkan terbatasnya aliran udara yang menetap.2
Diagnosis banding lain: Bronkiektasis, gagal jantung kongestif.3

TATALAKSANA

Terapi PPOK Stabil2


• Terapi Farmakologis
a . Bronkodilator
Secara inhalasi ( MDI / metered dose inhalation ) , kecuali preparat tak
tersedia / tak terjangkau
Rutin ( bila gejala menetap, kapasitas fungsional rendah atau sering
kambuh sesak) atau hanya bila diperlukan (kapasitas fungsional baikdan
kambuh kurang dari 2 kali/ tahun)
3 golongan:
o agonis b- 2 : fenopterol, salbutamol, albuterol, terbutalin, formoterol,
salmeterol,
o antikolinergik: ipratropium bromid, oksitroprium bromid
o metilxantin: teofilin lepas lambat, bila kombinasi agonis b- 2 dan steroid
belum memuaskan
Dianjurkan bronkodilator kombinasi daripada meningkatkan dosis
bronkodilator monoterapi
b. Steroid, pada :
PPOK yang menunjukkan respons pada uji steroid
PPOK dengan golongan C dan D
Eksaserbasi akut
c. Obat-obat tambahan lain
mukolitik (mukokinetik, muko regulator): ambroksol, karbosistein, gliserol
iodida
antioksidan : N -asetil sistein -
imunoregulator (imunostimulator, imunomodulator ) : tidak rutin
antitusif : tidak rutin
vaksinasi: influenza, pneumokok

746
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK ) fjS

• Terapi Non-farmakologis : u
a. Berhenti merokok
b. Rehabilitasi : latihan fisik, latihan endurance , latihan pernapasan, rehabilitasi
psikososial.
c. Terapi oksigen jangka panjang [ > 15 jam sehari ): Pada PPOK stadium IV
Pa 02 < 55 mmHg, atau Sa 02 < 88 % dengan / tanpa hiperkapnia
Pa02 55 - 60 mmHg, atau SaC> 2 < 88 % disertai hipertensi pulmonal, edema
perifer karena gagal jantung, polisitemia.
d. Nutrisi
e. Pembedahan: bullectomy, transplantasi paru, lung volume reduction surgery
[LVRS) .

Terapi PPOK Eksaserbasi Akut


Penatalaksanaan PPOK eksaserbasi akut di rumah : bronkodilator seperti pada
PPOK stabil, dosis 4 - 6 kali 2 - 4 hirup sehari. Steroid oral dapat diberikan selama
10 -14 hari. Bila infeksi: diberikan antibiotika spektrum luas (termasuk S pneumonie,
H influenzae, M catarrhalis ).2
Terapi eksaserbasi akut di rumah sakit:1,2
• Terapi oksigen terkontrol, melalui kanul nasal atau venturi mask.
• Bronkodilator : inhalasi agonis b- 2 ( dosis dan frekuensi ditingkatkan ) +
antikolinergik. Pada eksserbasi akutberat: + aminofilin ( 0,5 mg / kgbb / jam )
• Steroid: prednisolon 30-40 mg PO selama 10-14 hari. Steroid intra vena: pada
keadaan berat.
• Antibiotika terhadap S pneumonie, H influenzae, M catarrhalis.
• Ventilasi mekanik pada: gagal napas akut atau kronik dengan PaC 02 > 45 mmHg.

Tabel 1. Terapi farmakologis yang umum digunakan pada PPOK stabil.


2

Larutan untuk Injeksl Durasl


Obat Inhalasi nebulizer Oral
(mg/mi)
(mg) 0am)
Agonis b -2
Masa kerja pendek
Fenoterol 100-200 (MDI) 1 0,05% (sirup) 4-6
Salbutamol 100, 200 5 5 mg ( tablet ) , 0.1, 0.5 4-6
( albuterol) (MDI, DPI) sirup 0,024%
Terbutaline 400, 500 (DPI) 0.2, 0.25 4-6
Masa kerja panjang
Formoterol 4,5-12 (MDI, DPI) 12+
Salmeterol 25-50 12+
(MDI & DPI)

747
# SSSJSSPJHi Pulmonologi

Larutan untuk
Obort Inhalasl nebuffizar Oral
Injeksl Duratl
(mg/ml) (mg) Qam)
Antlkolinerglk
Masa kerja pendek
Ipratroprium 20, 40 (MDI) 0,25-0,5 6-8
bromida
Oxitroprium bromida 100 (MDI) 1 ,5 7-9
Masa kerja panjang
Tiotropium 18 ( DPI) 24+
Kombinasi agonls b-2 kerja pendek dengan antlkolinerglk dalam 1 inhaler
Fenoterol/ 200/80 (MDI) 1,25 /0,5 6-8
ipratropium
Salbutamol/ 75/ 15 (MDI) 0,75/ 4,5 6-8
ipratropium
Metllsantln
Aminofilin 200-600 mg 240 mg Variatif ,
( tablet ) sampai 24
jam
Teofilin 100-600 mg Variatif,
( tablet) sampai 24
jam
Giukokortikoid inhalasl
Beklometason 50-400 (MDI & DPI) 0,2 - 0,4
Budesonid 100, 200, 400 (MDI) 0.2, 0.25, 0.5
Flutikason 500-500 (MDI &
DPI)
Triamsinolon 100 (MDI) 40 40
Kombinasi agonls b-2 kerja panjang dengan giukokortikoid dalam satu inhaler
Formoterol/ 4,5 / 160, 9/320 ( DPI)
budesonid
Salmeterol/ 50/ 100, 250, 500
Flutikason ( DPI)
25 / 50, 125, 250
(MDI)
Giukokortikoid slstemlk
Prednison 5-60 mg
(tablet)
Metil-prednisolon 4, 8, 16 mg
( tablet )

Tabel 2. Terapl Farmakologis yang Umum Digunakan pada Ppok Eksaserbasi Akut3
Obat Cara aplikatl Dosls Frekuensl
Bronkodilator
Agonis fl-Adrenergik
Salbutamol Metered -dose inhaler 100-200 pg 4 kali sehari
Nebulizer 0.5-2.0 mg 4 kali sehari
Metaproterenol Nebulizer 0.1-0.2 mg 4 kali sehari
Terbutalin Metered -dose inhaler 400 pg 4 kali sehari
Antikolinergik
Ipratropium bromid Metered-dose inhaler 18-36 pg 4 kali sehari
Nebulizer 0.5 mg 4 kali sehari

748
Penyakit Paru Obstruktif Kronik ( PPOK )

Obat Cara apllkasl Dosis Frekuensi


Metilsantin
Aminofilin Intravena 0.9 mg/ kgBB / Infus
hari
Teofilin Tablet ( sustained-release 150-450 mg 2 kali sehari
preparations )
Kortikosteroid
Metilprednisolon suksinat iv lalu oral 125 mg Setiap 6 jam selama
3 hari, lalu
60 mg lxl selama 4 hari
40 mg lxl selama 4 hari
20 mg lxl selama 4 hari
Prednison (untuk rawat Tablet 30-60 mg lxl selama 5- 10
jalan) hari
Antibiotik spektrum terbatas
Trimetoprim- Tablet 160 mg dan 2 kali sehari selama
sulfametoksazol 800 mg 5-10 hari
Amoksilin Tablet 250 mg 4 kali sehari selama
5-10 hari
Doksisiklin Tablet 100 mg Hari pertama 2
tablet, lalu lxl tab/
hari selama 5- 10 hari

Tabel 3. Terapi Antibiotik pada PPOK Eksaserbasi Akut24


Alternative terapi Terapi
Grup Deflnlsl Mlkroorganlsme Terapi oral
oral parenteral
A Eksaserbasi H.influenza, Pasien dengan b-lactam
ringan, tidak S.pneumonia, hanya 1 gejala / inhibitor
ada risiko M.catharralis, cardinal, tidak b-lactamase
perburukan Chlamidia memerlukan ( co-amoxiclav
pneumonia, virus terapi antibiotic. 3 x 625 mg
Jika ada indikasi atau 2 x 875
maka gunakan mg), makrolic'
: b-laktam ( azithromycin
( penisilin, 1 x 500 mg
ampisilin, lalu 1 x 250,
amoksisiiin) , clarithromycin
tetrasiklin, 2 x 500 mg,
trimetoprim- roxithromycin) ,
sulfametoksazol cephalosporin
generasi 2
dan 3, ketotid
( telithromycin)
B Eksaserbasi Grup A + adanya b-laktam / Flurokuinolon b-laktam /
sedang mikroorganisme penghambat ( Gemifloksasin, penghambat
dengan risiko resisten ( produksi b-laktamase levofloksasin b-laktamase
perburukan b-laktamase, ( co-amoksiklav lx500mg, (ko-amoksiklav
s.pneumonia 3x625 mg atau moksifloksasin / ampisilin/
resisten peni- 2x875mg) lx400mg) sulbaktam) ,
cillin), entero- sepalosporin
bacteriaceae geresai
( K.pneumonia, 2 atau 3,
E.coli, Proteus, Florokuinolon
Enterobakter , dll) ( Levofloksasin,
Moksifloksasin )

749
( fS Panduan PrakUk Klinis Pulmonologi
^
' 1 Pertiimpunan Dokler Spesialis Penyakit Dalam Indonesio

Grup Deflnlsl Mlkroorganlsme Terapl oral Alternative terapl Terapl


oral parenteral
C Eksaserbasi Grup B + P. Pasien Florokuinolon
berat dengan aeruginosa risiko infeksi (Siprofloksasin ,
risiko infeksi pseudomonas Levofloksasin
P.aeruginosa : Florokuinolon lx500mg)
(Siprofloksasin, atau b-laktam
Levofloksasin dengan
dosis tinggi) aktivitas
P .aeruginosa

KOMPLIKASI
Bronkitis akut, pneumonia, tromboemboli pulmo, gagal jantung kanan , kor
pulmonal, hipertensi pulmonal, gagal napas kronik, pneumotoraks spontan , 5

PROGNOSIS
Prognosis berdasarkan BODE index, dapat dilihat pada tabel 4 dan 5.

Tabel 4. The BODE Index .6 *


Point BODE Index
Variable
0 1 2 3
FEV 1 (prediksi dalam %) >65 50-64 36-49 <35
Jarak tempuh berjalan (m) dalam 6 menit >350 , 250-349 150-249 < 149
Dyspnea berdasarkan MMRC 0- 1 2 3 4
Body Mass Index >21 <21

Tabel 5 . Interpretasl BODE Index.78


Nilal BODE Index Mortalltas dalam 1 tahun Mortalltas dalam 2 Mortalltas dalam 52
(%) tahun ( % ) bulan (%)
0-2 2 6 19
3-4 2 8 32
4-6 2 14 40
7- 10 5 31 80

UNIT YANGMENANGANI
• RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Pulmonologi
• RS non pendidikan : Bagian llmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : Departemen Rehabilitasi Medik, Radiologi / Radiodiagnostik,
Anestesi / lCU
• RS non pendidikan : Bagian Patologi Klinik, Paru, Radiologi, Anestesi / ICU

750
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)

REFERENSI
1 . Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Dalam : Fauci A, Kasper D, Longo D, Braunwald E, Hauser
S, Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison's principles of internal medicine. 18lh ed. United States
of America; The McGraw-Hill Companies, 2011.
2. Global strategy for the diagnosis, management, and prevention of chronic obstructive pulmonary
.
disease Global initiative for Chronic Obstructive Lung Disease. 2006 .
3. Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Dalam : Ausiello. Goldman. Cecil Medicine 23rd edition.
Saunders : Philadhelphia. 2007.
4. Hunter, Mellisa. King, Dana E. COPD: Management of Acute Exacerbations and Chronic Stable
Disease. Am Fam Physician. 2001 Aug 15;64 (4):603-613.
5. .
Pulmonary disorders. Dalam:McPhee, Stephen J Papadakis, Maxine A. Current Medical Diagnosis
and Treatment. The McGraw Hills Companies. 2011 .
6. Bartolome, R. Et all. The Body-Mass Index, Airflow Obstruction, Dyspnea, and Exercise Capacity
Index in Chronic Obstructive Pulmonary Disease. N Engl J Med 2004; 350:1005-1012March 4, 2004
7. .
Childers, Julie Wilson. Arnold, Ronald. Curtis, J Randall Prognosis in End Stage COPD. Diunduh
. .
dari : http://www.eperc mcw edu/EPERC /FastFactslndex/ ff_141.htm pada tanggal 10 juni 2012.
8. .
Yuwono A Penyakit Paru Obstruksi Kronik. Dalam : Amin Z, Dahlan Z, Yuwono A (Eds) . Panduan
Tatalaksana / Prosedur Respirologi dan Penyakit Kritis Paru.
752

PENYAKIT PLEURA

PENGERTIAN
Penyakit pleura merupakan suatu gangguan yang mempengaruhi lebih dari
3000 orang dalam 1 juta populasi setiap tahunnya. Penyakit ini berasal dari berbagai
kelainan patologis dan sering merupakan efek sekunder dari proses penyakit lain, oleh
karena itu dibutuhkan pendekatan sistematis untuk identifikasi dan tatalaksana lebih
lanjut. 1'2 Penyebab tersering penyakit pleura adalah kanker, dan diperkirakan efusi
pleura maligna terjadi pada 150.000 orang per tahun di Amerika Serikat.1 Penyakit
pleura terdiri dari efusi pleura dan pneumotoraks.3

PENDEKATAN DIAGNOSIS

I. EFUSI PLEURA
Efusi pleura adalah akumulasi cairan berlebihan dalam rongga pleura.3 Hal ini
dapat disebabkan oleh berbagai mekanisme seperti tercantum pada tabel 1.

Tabel 1 . Berbagai Mekanisme Penyebab Akumulasi Cairan Pleura 4


Peningkatan tekanan hidrostatik dalam sirkulasi mikrovaskular (gagal jantung)
Penurunan tekanan onkotik dalam sirkulasi mikrovaskular (hipoalbuminemia berat)
Penurunan tekanan dalam rongga pleura (kolaps paru)
Peningkatan permeabilitas dalam sirkulasi mikrovaskular (pneumonia)
Gangguan drainase limfatik dari rongga pleura (efusi maligna)
Perpindahan cairan dari rongga peritoneal ( asites)

Anamnesis3 4 -
• Nyeri unilateral , tajam, bertambah parah saat inspirasi atau batuk, dapat menjalar
ke bahu, leher, atau abdomen
• Sesak napas, batuk
• Riwayat trauma dada
• Riwayat penyakit komorbid (gagal jantung kongestif, sirosis, sindrom nefrotik,
tuberkulosis / TB , emboli paru, tumor mediastinum, dll)
• Riwayat penggunaan obat (nitrofurantoin, dantrolen, metisergid, bromokriptin,
prokarbazin, amiodaron, dasatinib)

Panduan Praktik Klinis


Perhimpunan Dokter SpesiaKs Penyakii Dalam Indonesia
Penyakit Pleura

Pemeriksaan Fisik4
• Paru: restriksi ipsilateral pada pergerakan dinding dada, fremitus taktil menghilang,
perkusi redup, bunyi napas menurun, splinting (pada daerah paru yang terkena].
Kadang ditemukan egobronkofoni pada batas cairan atas bila terjadi kompresi
parenkim paru.

Pemeriksaan Penunjang
• Radiologis :
o Foto toraks : 4
Gambaran sudut kostofrenikus tumpul dan bergeser ke arah medial
menggambarkan efusi pleura
Peningkatan nyata hemidiafragma atau perluasan bayangan lambung
yang terisi gas dan batas paru kiri bawah membawa kecurigaan efusi
subpulmonal
Bila efusi > 300 mL akan terlihat pada foto toraks PA
Bila efusi 150 - 300 mL akan terlihat pada foto toraks lateral dekubitus
o USG : menentukan adanya efusi, lokasi cairan di rongga pleura, membimbing
aspirasi efusi bersepta /terlokulasi.2
o CT Scan , dengan indikasi : z
Efusi pleura eksudatif yang tidak terdiagnosis , untuk membedakan
penebalan pleura benigna dari maligna
Sebelum dilakukan drainase cairan pleura, pertimbangkan CT scan dengan
kontras
Infeksi pleura dengan komplikasi saat drainase awal gagal dan
dipertimbangkan untuk operasi
• Torakosentesis (pungsi pleura) dan analisis cairan pleura : melihat komposisi
cairan pleura dan membandingkan komposisi cairan pleura dengan darah . 34
Tentang ini lebih lengkap lihat pada bab prosedural Pungsi Cairan Efusi Pleura
• Biopsi pleura perkutaneus4 lebih lengkap lihat pada bab prosedural Biopsi Pleura
• Torakoskopi : merupakan prosedur invasif terpilih pada efusi pleura eksudatif
dimana aspirasi cairan pleura tidak konklusif dan dicurigai keganasan . 2 4

753
# Pulmonologi

PENDEKATAN DIAGNOSIS
'
" A? ; : -
‘ i j ? •* ' i

Anamnesis, PF. Foto loraks

Apakah gamba an
1
' -?
.
Minis sugestif transuda Ya Tatalaksana
(gagol jantung klri . penyebab Sombuh Stop
hipoalburr n, d a’sis)
'
Tldak
Rujuk ke
i Tldak

konsultan pulmonologi

1
Aspires' pleura dengan
banfuon L*SG.
' .
PeMksa s to'og: prote'n LDH .
pH. Gram, ku lur dan res?ster si -
1 Ya
Apakah transudat? Tatalaksana penyebab

Tldak
1
Apakah klinis don ana :$ls Ya .
colran pleura Berlkan lercpl yang sesual
rremberrkan diagnosis?

Tldak
1
Lakukan CT scan taraks d
engan kon*ras

Pertirnbangkan kondlsi yang dapat diterapi


Pertirnbangkan torakoskopi
.
mis. Edema paru. TB gagal jantung kronis.
atau bedah VATS
.
dan limfoma Observasi.

Etiologi diketahuif Beri<an terapi yang sesuai

1
Pert mbangkan biopsi pleura dengan
'

-
banluan rodiologis / dralnaie chest tube
bOa simptomatik

!ESTOP *m. i I .
J

didfiiBdf 1. P hdikidtclK >l«UrH uhlld^rai


^ 2 s,

754
Penyakit Pleura

DIAGNOSIS BANDING
Tergantung etiologi seperti tercantum pada tabel 2 . Kriteria Light untuk
membedakan efusi eksudat dari transudatyaitu apabila memenuhi > 1 kriteria berikut
: (1) ratio kadar protein cairan pleura : kadar serum protein > 0, 5; ( 2 ) ratio kadar LDH
cairan pleura : kadar serum LDH > 0, 6; [3] kadar LDH cairan pleura > 2 / 3 batas atas
nilai normal untuk kadar serum LDH . 5

Tabel 2. Diagnosis Banding Efusi Pleura3


Efusi Pleura Transudattf
1 . Gagal jantung kongestif
2. Sirosis
3. Emboli paru
4. Sindrom nefrotik
5. Dialisis peritoneal
6. Obstruksi vena cava superior
7. Miksedema
8. Urinotoraks
Efusi Pleura Eksudatif
1 . Penyakit neoplastik Metastasis, mesotelioma
2. Penyakit infeksi Infeksi bakteri, TB, infeksi jamur, virus, parasit
3. Emboli paru
4. Penyakit gastrointestinal Perforasi esofagus, penyakit pankreas, abses
intraabdominal, hernia diafragmatika, pasca operasi
abdomen, skleroterapi endoskopik varises, pasca
transplantasi hati
5 . Penyakit kolagen vaskular Pleuritis rheumatoid, lupus sistemik eritematosus, lupus
imbas obat, limfadenopati imunoblastik, sindrom Sjogren .
granulomatosis Wegener , sindrom Churg-Strauss
6. Pasca operasi bypass arteri
koronaria
7. Paparan asbes
8. Sarkoidosis
9. Uremia
lO.Sindrom Meig
11.Sindrom yellow nail
12.Penyakit pleura imbas obat Nitrofurantoin, dantrolen, metisergid, bromokriptin,
prokarbazin, amiodaron, dasatinib
13.Trapped lung
14.Terapi radiasi
15.Sindrom pasca jejas kardiak
16.Hemotoraks
17.Jejas iatrogenik
18. Sindrom hiperstimuiasi ovarium
19. Penyakit pericardial
20. Chylothorax

755
( fS Panduan Prawn Minis Pulmonologi
Perhimpunan Dokler Spesiafis Penyakil Dalam Indonesia
-
v/

TATALAKSANA 6

Efusi karena gagal jantung


• Menurunkan afterload, diuretik, dan inotropik sesuai indikasi
• Torakosentesis diagnostik bila:
Efusi menetap dengan terapi diuretik
Efusi unilateral
Efusi bilateral, ketinggian cairan berbeda bermakna
Efusi + febris
Efusi + nyeri dada pleuritik

Efusi Parapneumonia / Empiema


• Torakosentesis diagnostik, torakosentesis terapeutik, tube thoracostomy, tube
thoracostomy dengan trombolitik, torakoskopi, dan torakotomi dengan dekortikasi,
drainase
• Antibiotika sesuai tatalaksana pneumonia bakteri

Efusi pleura karena pleuritis tuberkulosis


• Obat anti Tuberkulosis (minimal 9 bulan] + kortikosteroid dosis 0,75 - 1 mg/ kgBB/
hari selama 2 - 3 minggu, setelah ada respons diturunkan bertahap + torakosentesis
terapeutik, bila sesak atau efusi lebih tinggi dari sela iga III

Efusi pleura keganasan


Tatalaksana efusi pleura keganasan dapat dilihat pada gambar 2 .
Chylothorax
Chest tube/ thoracostomy sementara, selanjutnya dipasang pleuroperitoneal shunt

Hemotoraks
Chest tube/ thoracostomy, bila perdarahan > 200 mL / jam , pertimbangkan
torakotomi

Efusi karena penyebab lain


Atasi penyakit primer

756
Penyakit Pleura |jjj|
Efusi pleura keganasan

Ya
i Tidak
Rujuk ke konsultan Pulmonologi Simptomatik? r Observasi

i
Asplrasi 500 - 1500 mL Aspirasl sebanyak yang
untuk meredakan gejala diperiukan untuk mengontrol gejala

i
Prognosis > 1 bulan Trapped lung ?

Ya I Tidak /belurn tahu

I Tidak
I
Lengkap ? * Drainase efusi ± pleurodesis

[ 1
Torakoskopi
Tube interkostal
dan talc poudrage

Pleurodesis mungkin gagal I


-»pertimbangkan indwelling 4 —— — i Trapped lung

l
pleural catheter
Tidak

Talc slurry Pleurodesis berhasil

Tidak

^
Pertimbangkan indwelling
pleural catheter
atau
jYa
STOP

ulangi pleurodesis

•Aposisi pleura <50% cenderung membuat pleurodesis tidak berhasil

Gambar 2. Algoritma Penatalaksanaan Efusi Pleura Keganasan


2

KOMPLIKASI
Efusi pleura berulang, efusi pleura terlokalisir, empiema, gagal napas. '
46

PROGNOSIS
Tergantung etiologi yang mendasari dan respon terapi .

II. PNEUMOTORAKS
Pneumotoraks adalah akumulasi udara dalam rongga pleura, yang dapat
disebabkan oleh 1) perforasi pleura viseral dan masuknya gas dari paru - paru, 2 )
penetrasi dinding dada, diafragma , mediastinum, atau esofagus, atau 3 ) produksi gas
oleh mikroorganisme dalam empiema.4 Pneumotoraks spontan dapat terjadi tanpa

757
PanduanPraMIk Minis Pulmonoloqi
Perhimpunan Dokler Spesialls Penyakit
Dalam w Indonesia

trauma dada sebelumnya. Pneumotoraks spontan primer dapatterjadi tanpa adanya


penyakit komorbid, sedangkan pneumotoraks sekunder terjadi karena adanya penyakit
komorbid . Pneumotoraks traumatik merupakan akibat dari jejas dada dengan/tanpa
penetrasi , sedangkan tension pneumothorax adalah suatu keadaan pneumotoraks
dengan terbentuknya tekanan positif dalam rongga pleura selama siklus respirasi.3

Anamnesis3 4
• Onset mendadak atau dalam waktu beberapa jam
• Sesak / sulit bernapas, nyeri dada terlokalisir, batuk
• Riwayat trauma dada
• Riwayat penyakit paru komorbid

Pemeriksaan Fisik3 4
• Takipneu
• Pada area paru yang terkena: gerakan dada tertinggal , fremitus taktil menghilang,
perkusi hipersonor, bunyi napas menghilang
• Tanda pneumotoraks tension:
o Keadaan umum sakit berat
o Denyut jantung > 140 x/m
o Hipotensi
o Takipneu, pernapasan berat
o Sianosis
o Diaforesis
o Deviasi trakea ke sisi kontralateral
o Distensi vena leher

Pemeriksaan Penunjang3 4
• Radiologis
o Foto toraks:
Tepi luar pleura viseral terpisah dari pleura parietal oleh ruangan lusen
PA tegak pneumotoraks kecil: tampak ruangan antara paru dan dinding
dada pada apeks,
Bila perlu foto saat ekspirasi: mediastinum bergeser, depresi diafragma,
pelebaran rongga toraks dan sela iga.
o USG: Dapat mendiagnosis pneumotoraks secara cepat, bed side sebelum hasil
radiologis

758
Penyakit Pleura

o CT Semi, membedakan pneumotoraks terlokulasi dari kista atau bullae


• Analisis gas darah ( AGD ): hipokscmia, mungkin difeettai hipOkarbia (karena
. - . . .' ’ ; I," c j ; :

hiperventilasi ) atau hiperkarbia ( karenarestriksi) •


i/

DIAGNOSIS BANDING
Penyakit tromboemboli paru, pnepmonia, infark miokardium , PPbk eksaserbasi
akut, efusi pleura, kanker paru 3,4 .
PNEUMOTORAKS SPONTAN
Apabiia Wtajofot/ Komodlna ink rdak stabii
4iakokan dHafnowi fiJada

i Tldak
Ukuran > 2 cm Ya
B jjcti adanya panyakil paru primer Pneuniot wales sekvndor
dan /atau sUil bamapas pada Mints atau *0*0 tOfOks?

1 Ya * 16 18G
Ya
l
Ukuran > 2 cm
Prieumaioraks primer AspIraH < 2.5L dan /atau KJIII borriapas

1 . I b I J>

Tidak
BorbaSil
( <2 cm don napes membatkl
Tldak
-
Aj plrasi dengan
kanul 14 18G <
A& pIrcBl <2.51 —Ya
Ukuran I*2 cm

Ya
Tidak
Per):mban gkar rawol 3 an . Tidak ttorhasii.
-
follow up dia’ om 2 4 rn'•neftu
* i ukUran n*ien|adl < l cm »
<
|
Ya

Dralnoue dada .
Rawal inop sup(1emenfajl okstgen
ukuran ft-14 F ( kecualJ tuspok sonsrtlf o lessen)
Rdwdt Iriap otiSQivasl so'arna 24 lorn
j

’Pada beberapa paslen dengan prieumotordts besar namun


gejaid minimal, tatalaksana kon$erva1lf mungHn sesual
Gambar 3. Tatalaksanci Prteumotoraks Spontan
2

TATALAKSANA4 7
• Tatalaksana pneumotoraks spontan dapat dilihat pada gambar 3.
• Jika pneumotoraks rekurens:
o Pleurodesis klmiawi dengan zat iritan terhadap pleura, atau:
o Konsul Bagian Bedah/Subbagian Bedah Toraks untuk pertimbangan:
Pleurodesis mekanik (abrasi permukaan pleura parietal atau stripping
pleura parietal ), atau
Torakoskopi, atau torakotomi terbuka.
Indikasi:
Kebocoran udara memanjang,
Reekspansi paru tidak sempurna

759
0 fandii Pi iktl KHnis Pulmonoloqi
Pertiimpunan Dokler Spesialis Penyakit Dalam Indonesia w

Bullae besar
Risiko pekerjaan
Indikasi relatif:
Pneumotoraks tension
Hemopneumotoraks
Bilateral pneumotoraks
Rekurens ipsilateral/ kontralateral

KOMPLIKASI
Gagal napas, pneumotoraks tension, hemopneumotoraks, infeksi/piopneumotoraks,
penebalan pleura, atelektasis, pneumotoraks rekurens, emfisema mediastinum, edema
paru reekspansi.4'6 7

PROGNOSIS
Tergantung etiologi dan respon terapi

UNIT YANG MENANGANI


• RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Pulmonologi
• RS non Pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : Departemen Bedah / Toraks, Radiologi / Radiodiagnostik,
Patologi Klinik, mikrobiologi klinik, Patologi Anatomi
• RS non Pendidikan : Bagian Bedah, Patologi Klinik, Radiologi, Patologi Anatomi,
Mikrobiologi klinik

REFERENSI
l. Boylan AM, Broaddus VC. Pleural Diseases. In : Schraugnagel DE. Breathing in America : Diseases,
Progress, and Hope. American Thoracic Society. 2010 Hal 145-54. .
2. Rand ID, Maskell N. British Thoracic Society Pleural Disease Guideline 2010. Thorax Vol 65 Suppl 2.
3. Halim H, Budiono E, Wibisono BH. Penyakit Pleura . Dalam : Amin Z, Dahlan Z, Yuwono A ( Eds ) .
Panduan Tatalaksana /Prosedur Respirologi dan Penyakit Kritis Paru.
4. Light RW. Disorders of the Pleura. In : Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL,
Loscalzo J. Harrison ' s Principles of Internal Medicine. 18lh Edition. New York, McGraw-Hill. 2012.
5. Celli BR . Diseases of the Diaphragm, Chest Wall, Pleura, and Mediastinum. In: Goldman, Ausiello.
Cecil Medicine. 23,d Edition. Philadelphia. Saunders, Elsevier. 2008.
6. Light RW . Pleural Effusion. N Engl J Med 2002; 346: 1971 - 1977
7. Broaddus VC, Light RW. Disorders of the Pleura . In : Mason , Murray, Broaddus, Nadel. Murray and
, .
Nadel’s Textbook of Respiratory Medicine. 4 h Edition Philadelphia. Saunders, Elsevier. 2005 .

760
761

PNEUMONIA ATIPIK

PENGERTIAN
Pneumonia atipik adalah pneumonia yang disebabkan infeksi bakterial, tapi
mempunyai gambaran klinis radiologis tersendiri yang berbeda dari pneumonia
umumnya, yakni onset yang perlahan, demam ringan sampai berat, batuk tanpa
produksi sputum, dan tidak berespons dengan terapi antibiotik b-laktam.Etiologi:
Mycoplasma pneumoniae, chlamydia pneumoniae, legionella spp, influenza virus tipe
A dan B.1 Pneumonia ini disebut juga walking pneumonia.

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis2
Pada pneumonia yang disebabkan oleh mikroba atipik, gejala sistem pernapasan
dapat tidak khas (umumnya tampak seperti faringitis dan trakeobronkitis), sedangkan
gejala sistemik seperti sakit kepala, nyeri otot /sendi dapat lebih menonjol.
• Batuk tanpa sputum, kecuali bila penyakit memberat / infeksi sekunder -
• Demam ringan, dapat dengan cepat meningkat hingga menggigil
• Malaise, kelemahan seluruh anggota tubuh
• Sakit kepala, nyeri otot (sering)
• Nyeri dada ( jarang), sesak napas (bila berat)

Pemeriksaan Fisik2
• Tanda-tanda radang dan konsolidasi paru: suara napas bronkial, ronkhi
• Efusi pleura, abses paru (bila berat)
• Gejala gangguan ekstra paru (terutama oleh Legionella dan Mycoplasma) :
Infeksi saluran napas atas: laringitis, faringitis, rinitis
Saluran gastrointestinal: diare, muntah, nyeri perut, hepato-splenomegali
Sistem kardiovaskular: bradikardia relatif, miokarditis, perikarditis
Gangguan sistem saraf: gangguan kesadaran, ensefalitis, meningismus, paralisis
Guillain Barre , kelumpuhan saraf kranial, neuropati perifer

PanduanPraktik Klinis
Pertu'mpunan DokferSpesialis Penyakll Dalam Indonesia
W SSSJS!. Pulmonologi
Gangguan dermato-muskuloskeletal : rash, eritema, myalgia, artritis, arthralgia,
Gangguan sistem urogenital: glomerulonefritis, gagal ginjal akut, abses tubo -
ovarian
Mata : bullous myringitis
Telinga : otitis media

Laboratorium
Leukositosis ( jarang), biasanya < 15.000 / mL, trombositopenia, anemia hemolitik
( kadang- kadang), LED meningkat, SGOT, SGPT meningkat

Foto Thoraks
• Legionella: infiltrat pada lobus bawah paru, adenopati hilus
• Mycoplasma: infiltral dapat uni/ bilateral, dapat multilobus, adenopati hilus.
• Chlamydia: infiltrat subsegmen

DIAGNOSIS BANDING
• Pneumonia didapat di masyarakat Comunity Aqcuired Pneumonia ( CAP) : CAP
memiliki onset lebih cepat dan keadaan umum pasien lebih buruk sementara gejala
pneumonia atipik lebih ringan dan lebih menonjol gejala sistemiknya.
• Bronkitis kronik

TATALAKSANA
Antibiotik: pemilihan antibiotika dengan spektrum sesempit mungkin:3 •
• Makrolid :
Eritromisin 4 x 250 - 500 mg
Claritomisin 2 x 500 mg
Azitromicin 1 x 500 mg
Roksitromisin 2 x 500 mg
• Doksisiklin 2 x 100 mg
• Respirasi - Fluorokuinolon
• -
Bila penyebabnya terkonfirmasi Legionella pertimbangkan Rifampisin 2 x 300 600 mg

Tatalaksana umum pneumonia atipik sama dengan tata laksana umum CAP):45

762
Pneumonia Atipik

Rawat jalan
• Dianjurkan untuk tidak merokok, beristirahat, dan minum banyak cairan
• Nyeri pleuritik/demam diredakan dengan parasetamol
• Ekspektoran / mukolitik
• Nutrisi tambahan pada penyakit yang berkepanjangan
• Kontrol setelah 48 jam atau lebih awal bila diperlukan
• Bila tidak membaik dalam 48 jam: dipertimbangkan untuk dirawat di rumah sakit,
atau dilakukan foto toraks

Keputusan merawat pasien di RS ditentukan oleh


• Derajat berat
• Penyakit terkait
• Faktor prognostik lain
• Kondisi dan dukungan orang di rumah
• Kepatuhan, keinginan pasien

Rawat inap di RS
• Oksigen, bila perlu dengan pemantauan saturasi oksigen dan konsentrasi oksigen
inspirasi. Tujuannya: mempertahankan PaC> 2 > 60 mmhg dan SaC> 2 >90 %.
• Terapi oksigen pada pasien dengan penyakit dasar PPOK dengan komplikasi gagal
napas dituntun dengan pengukuran AGD berkala
• Cairan: bila perlu dengan cairan intravena
• Nutrisi
• Nyeri pleuritik / demam diredakan dengan parasetamol
• Ekspektoran / mukolitik
• Foto toraks diulang pada pasien yang tidak menunjukkan perbaikan yang
memuaskan

Rawat di ICU
• Bronkoskopi dapat bermanfaat untuk retensi sekret, mengambil sampel
untuk kultur guna penelusuran mikrobiologi lain dan menyingkirkan kelainan
endobronkial.

KOMPLIKASI5
Efusi pleura, empiema, abses paru , atelektasis, gagal napas, kor pulmonal,
pneumotoraks, septikemia, herpes labialis, penyakit tromboemboli

743
$Y
» Ws
Panduan
'
t Ookte
PrakiihDdtam
oihurtpuncm
* '
Klinis Pulmonologi
Spi&ik'jlU I wriyaMf
MJcnmio v
- /

PROGNOSIS5
Tergantung derajat berat penyakit dan penyakit terkait.

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Departemen IJmu Penyakit Dalam - Divisi Pulmonologi
• RS non pendidikan : Bagiaii Umu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : Departemen Radiologi / Radiodiagnostik, Patologi Klinik,
Mikrobiologi Klinik
• RS non pendidikan : Bagian Patologi Klinik, Paru, Radiologi, Mikrobiologi klinik

REFERENSI
1
2
.
. -
McGraw-Hill Concise Dictionary of Modern Medicine. © 2002 by The McGraw Hill Companies.
Bahar A. Diagnosis Pneumonia Atipik. Makalah Siang Klinik Penyakit Dalam FKUI/RSUPN CM, 25
Maret 1999.
3. .
Suwondo A. Penatalaksanaan Pneumonia Atipik Makalah Siang Klinik Penyakit Dalam FKUI/
RSUPN CM, 25 Maret 1999 .
4. .
American Thoracic Society Guidelines for.the Management of Adults with Community-Acquired
.
Pneumonia: Diagnosis, Assessment of Severity, Antimicrobial Therapy, and Prevention Am J Respir
.
Crit Care Med 2001: 163:1730 54. -
5. . .
.
Dahlan Z, Pneumonia Bakterial Dalam : Amin Z, Dahlan Z, Yuwono A (Eds) Panduan Tatalaksana /
Prosedur Respirologi dan Penyakit Kritis Paru

764
765

PNEUMONIA DIDAPAT Dl RUMAH SAKIT

PENGERTIAN
Pneumonia didapat dirumah sakitatau hospital acquired pneumonia ( HAP) adalah
pneumonia yang muncul > 48 jam setelah dirawat di Rumah Sakit ( RS) dan tidak
diintubasi saat masuk. HAP dapat dibagi menjadi: 1. onset dini : muncul 4-5 hari
setelah masuk RS, 2. onset lambat : muncul setelah > 5 hari dirawat di RS.1

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis
Gambaran klinis HAP tidak begitu jelas dan tidak bisa dijadikan kriteria diagnosis
HAP. Dapat ditemukan demam, sputum purulen.1

Pemeriksaan Fisik (PF)


Suhu tubuh > 38,3°C, pemeriksaan paru dapat ditemukan tanda-tanda konsolidasi
seperti perkusi yang pekak.1

Pemeriksaan Penunjang1
• Darah : leukositosis > 10.000 / mm3, atau leukopenia < 4000 / mm3
• Rontgen thorax: infiltrat alveolar
• Broncho alveolar lavage (BAL)
• Kultur darah

DIAGNOSIS BANDING
Eksaserbasi PPOK, tromboemboli paru, pendarahan paru, acute respiratory distress
syndrome (ARDS).

PanduanPraktik Klinis
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
Irl
f WJ
PanduanPraMili Minis Pulmonologi
Perhimpunan DoklerSpesiolis Penyakil Dalam Indonesia

TATALAKSANA2
• Suplementasi 02 jika perlu
• Berikan terapi cairan yang adekuat
• Jika ada nyeri pleuritik berikan analgetik : diklofenak 3 x 8 0 mg
• Terapi antibiotik seperti pada tabel 1. Antibiotik diberikan selama 8 hari.
• Tidak ada kriteria khusus untuk mengubah terapi antibiotik intravena menjadi
terapi per oral, hal ini disesuaikan dengan kondisi perbaikan pasien yang
diobservasi setiap hari.
• Pada pasien yang imunokompromais, terutama yang neutropenia (hitung neutrofil
< 0,5 x 109 / L selama > 2 minggu atau < 0,1 x 109/ L selama 1 minggu] yang sering
mengunjungi RS secara teratur atau dirawat di RS, disarankan untuk diberikan
profilaksis anti jamur.

Tabel 1. Rekomendasi Terapi Antibiotik pada HAP.23


Jenls Patogen Potential Rekomendasi antibiotik
Onset dini, tidak ada Streptococcus pneumonia, Ceftriazone; levofloxacin
faktor risiko multi drug Haemophillus influenza , methicillin- lx 750mg iv, moxifloxacin
resistant (MDR ) susceptible Staphylococcus aureus lx 400mg iv, ciprofloxacin
(MSSA ) , basil enterik gram negatif 3x 400mg iv; ampicillin-
( E. coli, K. pneumonia, spesies sulbactam 3 gram iv q6h;
Enterobacter, Proteus sp, seratia atau ertapenem 1 x 1 gram iv.
marcescens )
Onset lambat, ada Pseudomona aeruginosa, K. Kombinasi terapi antibiotik:
factor risiko MDR pneumonia, Acinetobacter species, • antipseudomonal
Legionella pneumophila, methicillin cephalosporin (cefepime
resistant Staphylococcus aureus 2x2 gram iv atau
(MRSA ) . ceftazidime 2 gram iv q8h ) ,
• antipseudomonal
carbepenem (imipenem
500 mg iv q6h atau 1 gram
iv q8h atau meropenem 1
gram iv q8h) ,
• b-lactam atau b-lactam
inhibitor (piperacilin-
tazobactam 4,5 gram iv
tds ) + antipseudomonal
flouroquinolone
( ciprofloxacin atau
levofloxacin) + linezolid 600
mg iv ql 2h atau
• vancomycin 15mg/ kgBB,
sampai 1 gram iv, ql 2h ( jika
ada faktor risiko MRSA )
Keterangan :
Faktor risiko MDR : terapi antibiotik dalam 90 hari terakhir, insiden tinggi MDR pada komunitas atau RS terkait, rawat inap selama >
5 hari, terapi atau penyakit imunosupresif 4

766
Pneumonia Didapat Di Rumah Sakit ( jj
|

KOMPLIKASI
Syok septik

PROGNOSIS
Mortalitas yang berhubungan dengan HAP atau attributable mortality diperkirakan
sebesar 33-50%. Rata-rata mortalitas meningkatberkaitan dengan infeksi Pseudomonas
aeruginosa atau Acinetobacter spesies, dan terapi antibiotik tidak adekuat.5 Rata - rata
mortalitas pada patogen risiko tinggi dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. Rata- Rata Mortalitas pada Pathogen Risiko Tinggi4


Mlkroorganlsme Rata-rata Mortalitas (%)
Gram negatlf 62,9
Acinetobacter baumannii 73.8 dari seluruh gram negatif
Psedomonas aeruginosa 67.9 dari seluruh gram negatif
Gram positif 66,7
MRSA 71,4 dari seluruh gram positif

PNEUMONIA TERKAIT VENTILATOR


PENGERTIAN
Pneumonia terkait ventilator atau ventilator associated pneumonia (VAP) adalah
pneumonia yang muncul > 48 jam setelah intubasi trakea dan pemasangan ventilasi
mekanik yang belum muncul sebelumnya. VAP dapat dibagi jadi : 1) Onset dini :
muncul pada 4 hari pertama setelah intubasi / pemakaian ventilasi mekanik, dan 2 )
Onset lambat : muncul > 5 hari setelah intubasi atau pemasangan ventilasi mekanik.

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis
Pemasangan intubasi atau ventilasi mekanik > 48 jam, demam.4

Pemeriksaan Fisik
Suhu tubuh > 38,3°C, tachypnea, takikardi, perburukan oksigenasi, meningkatnya
minute ventilation, pemeriksaan paru dapat ditemukan tanda-tanda konsolidasi seperti
perkusi yang pekak.4

767
if
! Partus rraktlk Kllnis Pulmonologi
^f y' Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia

Pemeriksaan Penunjang4
• Darah: leukositosis >10.000 / mm3, atau leukopenia < 4000 / mm3
• Rontgen thorax : infiltrat alveolar
• Kultur aspirasi trakea
• Kultur darah
Untuk mendiagnosis VAP dapat digunakan Modified Clinical Pulmonary Infection
Score (CPIS) seperti tampak pada tabel 3 . apabila CPIS > 6 a VAP.7

Tabel 3. Modified Clinical Infection Pulmonary Score .6 ' 0


Varlabsl 0 1 2
Suhu > 36,5 dan < 38,4 38,5 dan > 38,9 > 39 dan < 36
Leukosit > 4.000 dan < 11.000 < 4000 atau + bentuk batang
> 11.000 > 500
Oksigenasi [Pa02 (dalam > 240 atau ARDS <.240 dan tidak ada
mmHg) x 100 / Fi02 bukti ARDS
(dalam %) ]
Roentgen thorax Infiltrat (-) Infiltrat difus Infiltrat terlokalisasi
Sputum Tidak ada Non purulen Purulen
Kultur aspirasi trakea < 10 > 10 dan < 100 > 100

DIAGNOSIS BANDING
Pneumonia aspirasi.

Gambaran kllnis curiga VAP

I
CIPS > 6 Ya Antibiotik 10-21 hari

Tidak

Ciprofloxacin iv selama 3 hari

Re-evaluasi 3 hari berikutnya CPIS <6 Ya Terapi sebagai pneumonia

Tidak

I
Stop ciprofloxacin

Gambar 1 . Strategi Tatalaksana pada Pasien VAP Berdasarkan CPIS.710

768
Diagnosis VAP
^ kultur Potensial MDR

Pilih salah satu regimen Agen antipseudomonas ( A,


Ceftriazone, levotloxacin, Jika hipotensi (-), dapat dip
Tidak
moxifloxocin atau ciprofloxacin,
.
ampicillin/ sulbactam ertapenem A
Cephalosporin |cefepime .
Carbapenem fimipenem m .
b-laclam/ b-lactamase Inh
Perbaikan klinis pada
hari ke-2 atau 3

^
Flouroquinolone (ciprofloxa
CdemSran !ePuekosftemuannF
(

sputum purulen atau


' Jika strain ESBL dgurtakan c
Aminoglycoside (amikodn.
rontgen thorax)
C (jika curiga MRSA)
Vancomycin, linezoic

(-) Hasil kultur Hasil kultur


?
** Panduan Praktlk Kllnis Pulmonologi
Perhimpunan DoklerSpesialis Penyakil Dalam Indonesia w

TATALAKSANA
Suportif : cairan adekuat, oksigenasi yang cukup, bersihkan jalan napas dari sekret,
antipiretik.
Antibiotik; dapat dilihat pada gambar 2. Dosis obat dapat dilihat pada tabel 1.

KOMPLIKASI
Pemasangan ventilator mekanik dan perawatan ICU yang semakin lama . 4

PROGNOSIS
Crude mortality rate adalah 50 - 70 %, tapi sebenarnya adalah mortalitas yg
disebabkan karena penyakit lain . Banyak pasien dengan VAP, memiliki penyakit
lain yang mendasari yang menyebabkan kematian bahkan jika VAP tidak timbul.
Attributable mortality melebihi 25 %.4

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Pulmonologi
• RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : Departemen Rehabilitasi Medik, Radiologi / Radiodiagnostik,
Anestesi / ICU
• RS non pendidikan : Bagian Patologi Klinik, Paru, Radiologi, Anestesi / ICU

REFERENSI
Masterton, RG. Et all. Guidelines for the management of hospital-acquired pneumonia in the UK :
Report of the Working Party on Hospital- Acquired Pneumonia of the British Society for Antimicrobial
.
Chemotherapy Journal of Antimicrobial Chemotherapy ( 2008) 62, 5-34 doi:10.1093 / jac / dknl 62
2. Tores. Et all. Treatment Guidelines and Outcomes of Hospital-Acquired and Ventilator-Associated
Pneumonia. Clin Infect Dis. 2010 Aug 1:51 Suppl l :S 48-53.
3. Pneumonia. Dalam : Fauci A, Kasper D, Longo D, Braunwald E, Hauser S, Jameson J, Loscalzo J,
editors. Harrison's principles of internal medicine. 18lh ed. United States of America; The McGraw-
Hill Companies, 2011.
4. .
Overview of Pneumonia. Dalam : Ausiello Goldman. Cecil Medicine 23rd edition. Saunders :
Philadhelphia. 2007.
5. Guidelines for the Management of Adults with Hospital-acquired, Ventilator-associated, and
Healthcare-associated Pneumonia. American thoracic society. Am J Respir Crit Care Med Vol
171 . pp 388-416.2005.
6. Emine, Alp. Et all. Incidence, risk factors and mortality of nosocomial pneumonia in Intensive Care
Units: A prospective study. Ann Clin Microbiol Antimicrob. 2004; 3: 17.
7. Luyt, Charles-Edouard. Chastre Jean. Fagon, Jean Yves. Value of the clinical pulmonary infection
score for the identification and management of ventilator-associated pneumonia. Intensive Care

770
Pneumonia Didapat Di Rumah Sakit $|
J
Med (2004) 30:844-852 DOI 10.1007 /s00134-003-2125-0
8. Schurlnk, Carolina A.M. Clinical pulmonary Infection score for ventilator-associated pneumonia:
accuracy and inter-observer variability. Intensive Care Med ( 2004) 30:217-224 DOI 10.1007/
sOOl 34 -003-2018-2.
Koenig. Steven M. Truwil , Jonathan D. Ventilator- Associated Pneumonia: Diagnosis, Treatment
and Prevention. Clin Microbiol Rev. 2006 October: 19 ( 4 ): 637-657.
.
10. Dahlan Z.Pneumonia Bakferial Daldm : Amin Z, Dahlan Z, Yuwono A (Eds) . Panduan Tatalaksana/
Prosedur Respirologl dan Penyakit Kritis Paru.

771
772

PNEUMONIA DIDAPAT Dl MASYARAKAT

PENGERTIAN
Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari
bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius, dan alveoli, serta
menimbulkan konsolidas jaringan paru dan pertukaran gas setempat.1 Pneumonia
dikelompokan menjadi2:
-
1. Pneumonia didapat di masyarakat atau Community Acquired Pneumonia (CAP) :
Pneumonia pada individu yang menjadi sakit di luar rumah sakit, atau dalam 48
jam sejak masuk rumah sakit.1
-
2. Pneumonia di dapat di rumah sakit atau Hospital Acquired Pneumonia (HAP),
3. Pneumonia terkait pelayanan kesehatan atau Health Care Associated Pneumonia
( HCAP)
4. Pneumonia karena pemakaian ventilator atau Ventilator-associated Pneumonia
(VAP).
Di bab ini akan dibahas mengenai PNEUMONIA DIDAPAT DI MASYARAKAT dan
PNEUMONIA TERKAIT PELAYANAN KESEHATAN.

ETIOLOGI
Etiologi pneumonia dibagi menjadi 4 kelompok pasien berdasarkan tempat dirawat,
ada tidaknya penyakit kardiopulmonal dan faktor modifikasinya. Untuk lebih jelas
dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Etiologi Pneumonia.345
Etiologi Terapl
Grup I: Rawat jalan, tanpa penyakit kardiopulmonal, tanpa faktor modifikasi
• Streptococcus pneumoniae Makrolid (azithromycin lx500mg peroral
(po) lalu 1 x250 mg po, clarithromycin
• Mycoplasma pneumonia 2x500mg po, atau erythromycin
• Chlamydia pneumoniae ( tunggal atau infeksi
campuran)
.
4x500mg po) Doxycycline 2x100 mg po.

• Hemophilus influenza
• Virus saluran pernapasan
• Lain: Legionella spp., Mycobacterium tuberculosis,
fungi endemik

Panduan Praktik Klinis


Perhimpunan DoklerSpesiolis Penyakif Dalam Indonesia
Pneumonia Didapat Di Masyarakat |g|

Etlologl Terapl
kardlopul monal dan / atau faktor modlflkasl
Grup II : Rawat jalan, dengan penyaklt ,

( termasuk • Fluoroquin olone (moxifloxacin


• Streptococcus pneumoniae
Streptococcus Pneumonia yang resisten ) lx400mg po, gemifloxacin, atau
• Mycoplasma pneumonia levofloxacin lx500mg po /iv )
• Chlamydia pneumonia • b -lactam + makrolid
• Infeksi campuran ( bakteri + patogen atipik atau ( pilihan : amoxicillin dosis tinggi
virus) 3 x 1 gram iv atau amoxicillin-
clavulana te 2x 2 gram, atau alternatif
• Hemophilus influenza
gram negative ceftriaxon e 1x1 gram iv, cefpodoxime
• Enterik , dan cefuroxime 2x500
2 x 200 mg po
• Virus saluran pernapasan
• Lain: Moraxella catarrhalis , Legionella spp, aspirasi mg po atau 3x750-1500mg iv dengan
( anaerob ) , Mycobacterium tuberculosis , fungi doxycycline ( makrolid alternatif )
endemik
Grup III: rawat inap Non- ICU
A. Dengan penyakit kardlopulmonal dan/ atau faktor Fluoroquinolon
modifikasi ( termasuk penghuni panti jompo) b-lactam + makrolid (b-lactam pilihan:
• Streptoco ccus pneumoni ae ( termasuk cefotaxime, ceftriaxone, dan ampicillin,
Streptococcus Pneumonia yang resisten ) ertapenem (untuk pasien tertentu)
dengan doxycycline 4x500- 1 OOOmg iv
• Hemophilu s influenzae
( alternatif makrolid )
• Mycoplasma pneumon iae
jika alergi penicillin, gunakan
• Chlamydia pneumoniae
• Infeksi campuran (bakteri + patogen atipik ) fluoroquinolon
• Enterik gram negatif
• Aspirasi ( Anaerob )
• Virus
• Legionella spp
• Lain: Mycobacterium tuberculosis, fungi
endemik, Pneumocystis carinii
B. Tanpa penyakit kardiopulmonal, tanpa faktor
modifikasi
• Streptococcus pneumoniae
• Hemophilus influenzae
• Mycoplasma pneumoniae
• Chlamydia pneumoniae
• Infeksi campuran ( bakteri + patogen atipik)
• Virus
• Legionella spp
• Lain: Mycobacterium tuberculosis,fungi
endemik, Pneumocystis carinii
Grup IV : Rawat ICU
A. Tanpa resiko infeksi Pseudomonas aeruginosa • b-lactam (cefotaxime, ceftriaxone, or
• Streptococcus pneumoniae ( termasuk DRSP ) ampicillin-sulbactam ) + azithromycin
• Legionella spp atau fluoroquinolon (jika alergi
• Hemophilus influenzae penicillin, gunakan fluoroquinolon
• Enterik gram negatif atau aztreonam)
• Staphylococcus aureus • jika ada risiko infeksi pseudomonas,
• Mycoplasma pneumoniae gunakan antipneumococcal,
• Respiratory Virus antipseudomonal b-lactam
• Lain: Chlamydia pneumoniae ,Mycobacterium (piperaclllln-tazobactam, cefepime,
tuberculosis , fungi endemik imipenem, atau merapenem) +
B, Ada resiko infeksi Pseudomonas aeruginosa ciprofloxacin atau levofloxacin 750
• Semua patogen diatas (IV.a) mg atau b-lactam + amlnoglikosida
• + Pseudomonas aeruginosa + azithromycin atau b-lactam plus +
aminoglycosida + antipneumococcal
fluoroquinolon ( untuk alergi penicillin,
ganti b-lactam dengan aztreonam)
Keterangan
: Confusion, Uremia, Respiratory rate, low Blood pressure , age
Kriteria rawat inap :jika terdapat kriteria CURP 65 > 2 { Kriteria CURB 65
,
65 years or greater ) atau tidak mendapat perawatan yang baik dirumah 5

773
f§ Pulmonologi

Kriteria rawat ICU :4


1. Ditemukan 1 diantara 2 kriteria mayor:
Memerlukan ventilasi mekanik
Syok septik dan memerlukan obat vasopresor
2. Atau ditemukan 3 kriteria minor;
- Laju napas > 30x / menit
- Pa02 / Fi02 rasio < 250
Infiltrat multilobus
Konfusi
Blood Urea Nitrogen ( BUN) > 20 mg/dl
Leukopenia (leukosit < 4.000 / mm 3)
Trombositopenia (trombosit < 100.000/ mm 3)
Hipotermi (suhu tubuh < 36°C)
- Hipotensi, memerlukan terapi cairan agresif
Faktor modifikasi : penyakit jantung, hati, atau ginjal yang kronis, diabetes mellitus,
alkoholik, keganasan, asplenia, imunokompromais, menggunakan antibiotik
dalam 3
bulan terakhir, adanya risiko streptococcus pneumonia resisten obat.

l
Tatalaksana Tatalaksana
rawat Jalan CAP
Rawat Inap
r
Tanpa Penyakit Riwayat penyakit
Kardiopulmonal, Kardiopulmonal, Sakit ringan-sedang Severe CAP
tanpa faktor + / atau
modifikasi faktor modifikasi r j

Penyakit Tampa penyakit Tanpa Tanpa


Grupl Grup II Kardiopulmonal Kardiopulmonal, risiko risiko
+/ atau tanpa faktor P.aeruginosa P.aeruginosa
faktor modikasi modifikasi

Grup III A Grup III B Grup IV A Grup IV B

Gambar 1. Stratifikasl Pasien CAP.3

DIAGNOSIS

Anamnesis
Demam, fatique, malaise, sakit kepala, mialgia, athralgia, batuk produktif tidak
/
.
produktif dengan sputum purulen, bisa disertai darah Dapat dijumpai keluhan
sesak
napas, nyeri dada.2

774
Pneumonia Didapat Di Masyarakat ra

Pemerlksaan flslk
Demam, sesak napas (berbicara dengan kalimat terpengal), perkusi paru pekak,
ronki nyaring, suara pernapasan bronchial
1
.
-
.3; ;: ’O 'i i
fi i 'i: . >U =
Pemerlksaan penunjangi 2
• Rontgen thoraks
• Pulse oxymetry
• Laboratorium Rutin: DPL, hitung jenis, LED / laju endap darah, glukosa darah,
ureum, kreatinin, SGOT, SGPT
• Analisis gas darah, elektrolit
• Pewarnaan Gram sputum
• Kultur sputum
• Kultur darah
• Pemeriksaan serologis
• Pemeriksaan antigen
• Pemeriksaan polymerase chain reaction ( PCR )
• Tes invasif (torakosentesis, aspirasi transtrakheal, bronkoskopi, aspirasi jarum
transtorakal, biopsi paru terbuka dan thorakoskopi

DIAGNOSIS BANDING
Bronkitis akut, bronchitis kronis eksaserbasi akut, gagal jantung, emboli paru,
pneumonitis radiasi.2

TATALAKSANA4 4

Tatalaksana Umum

RawatJalan
• Dianjurkan untuk tidak merokok> beristirahat, dan minum banyak cairan
• Nyeri pleuritik/demam diredakan dengan parasetamol
• Ekspektoran / mukolitik
• Nutrisi tambahan pada penyakit yang berkepanjangan
• Kontrol setelah 48 jam atau lebih awal bila diperlukan
• Bila tidak membaik dalam 48 jam: dipertimbangkan untuk dirawat di rumah sakit,
atau dilakukan foto toraks

775
# BSBBSMtt Pulmonologi

Rawat Inap di RS
• Oksigen, bila perlu dengan pemantauan saturasi oksigen dan konsentrasi oksigen
inspirasi.
• Terapi oksigen pada pasien dengan penyakit dasar PPOK dengan komplikasi gagal
napas dituntun dengan pengukuran analisis gas darah berkala
• Cairan : bila perlu dengan cairan intravena
• Nutrisi
• Nyeri pleuritik/ demam diredakan dengan parasetamol
• Ekspektoran / mukolitik

Foto toraks diulang pada pasien yang tidak menunjukkan perbaikan yang memuaskan

Rawat di ICU
• Bronkoskopi dapat bermanfaat untuk retensi sekret , mengambil sampel
untuk kultur guna penelusuran mikrobiologi lain dan menyingkirkan kelainan
endobronkial.

Tatalaksana Antibiotika
• Pemilihan antibiotika dengan spektrum sesempit mungkin, berdasarkan perkiraan
etiologi yang menyebabkan CAP pada kelompok pasien tertentu seperti tercantum
pada tabel 1.
• Terapi antibiotik diberikan selama 5 hari.
• Syarat untuk alih terapi antibiotik intravena ke oral (ATS 2007) : Hemodinamik
stabil dan gejala klinis membaik.
• Kriteria pasien dipulangkan : klinis stabil, tidak ada masalah medis aktif, memiliki
lingkungan yang sesuai untuk rawat jalan.
• Kriteria klinis stabil; suhu < 37,6, laju nadi < lOOx/ menit, laju napas < 24x / menit,
tekanan darah sistolik > 90 mmHg, saturasi oksigen arteri > 90% atau Pa > 60 mmHg
02
pada udara ruangan, dapat memelihara asupan oral, status kesadaran compos mentis.

KOMPLIKASI
• CAP berat: 4
Bila memenuhi satu kriteria mayor atau dua kriteria minor
Kriteria Mayor
o Memerlukan ventilasi mekanik
o Syok septik dan memerlukan obat vasopresor

776
Pneumonia Didapat Di Masyarakat rap

Kriteria minor;
o Laju napas > 30 x / menit
o Pa02 / Fi02 rasio < 250
o Infiltrat multilobus
o Konfusi
o Blood Urea Nitrogen (BUN ) > 20 mg / dl
o Leukopenia (leukosit < 4.000 / mm 3 )
o Trombositopenia (trombosit < 100.000 /mm 3)
o Hipotermi (suhu tubuh < 36°C)
o Hipotensi , memerlukan terapi cairan agresif
Gagal napas, syok, gagal multiorgan, koagulopati , eksaserbasi penyakit komorbid .
2

PROGNOSIS
Mortalitas pasien CAP yang dirawat jalan < 1%, yang dirapat inap di rumah sakit
5 , 7 - 14%, yang dirawat di 1 CU > 30% (penelitian di United Kingdom) . Mortalitas pasien
4

dengan nilai CURB - 65 = 0 adalah 1.2%, 3-4 adalah 31%.


5

PNEUMONIA PADA KEHAMILAN


DIAGNOSIS

Anamnesis
7
Batuk (90%), sesak napas (65%), sputum produktif, nyeri dada, malaise .

Pemeriksaan Fisik
Laju napas meningkat . 7

Pemeriksaan Penunjang
• Rontgen thorax
• Kultur sputum, tes serologis, identifikasi cold agglutinin, dan tes antigen bakteri
tidak direkomendasikan. 7

TATALAKSANA 78
1. Tanpa faktor risiko komplikasi atau kematian ; Erythromycin, 500 -1000 mg IV
q6h, diberikan dalam 10-14 hari.

777
PanduauPraktik Minis Pulmonoloqi
Pertiimpunan Dokler Spesialis Penyakif Dalam Indonesia
^

2. Jika ditemukan faktor risiko seperti tercantum dalam tabel, maka pasien perlu di
rawat inap dan berikan tambahan cefotaxime (1 gram iv q 24h) atau ceftriaxone
(1 gram iv q8h ) selain erithromycin. Monoterapi dengan obat antipneumococcal
seperti fluoroquinolone (ciprofloxacin, ofloxacin, levofloxacin) juga dapat
diberikan .
3. Jika dicurigai penyebabnya adalah virus ( biasanya paparan infeksi terjadi pada
bulan Oktober - Mei) : Oseltamivir 2x75 mg oral, Zanamivir 2xl 0 mg inhalasi

Tabel 2. Faktor Risiko Komplikasi atau Kematian7


Temuan klinis
Laju napas 30/min, hipotensi, nadi 125 x/menit, > 40 C, atau perubahan status mental,
keterlibatan ekstrapulmo.
°
Temuan laboratorium
Leukopenia (< 4000/L) or leukocytosis 30,000/L; P 60 mmHg atau retensi C retention
02
dalam udara ruangan, peningkatan serum kreatinin, anemia, bukti adanya02 sepsis atau
disfungsi organ seperti asidosis atau koagulopati.
Temuan Radiologis
Keterlibatan lebih dari 1 lobus, kavitas, efusi pleura

KOMPLIKASI
Persalinan prematur, sepsis dan asfiksi neonatal.7

PNEUMONIA PADA GERIATRI


Gejala pneumonia pada geriatri cenderung lebih samar dari pada pneumonia
umumnya , dan terkadang dapat muncul delirium . Hal ini disebabkan karena
kapasitas paru pada usia lanjut cenderung menurun sehingga kemampuan untuk
batukberkurang. Produksi sputum dapat banyaktapi kemampuan membersihkannya
berkurang, dan juga karena respon imum pasien usia lanjut telah menurun.9
Faktor risiko pneumonia pada geriatri: kondisi komorbid, usia > 70 tahun, status
nutrisi yang buruk, imunosupresi, curiga aspirasi, level serum albumin yang rendah,
gangguan menelan, kualitas hidup yang buruk, konsumsi alkohol dan merokok.
Terapi pneumonia pada geriatri sesuai dengan penyebab sama seperti pada umumnya
dapat dilihat pada tabel 1. Terapi antibiotik empiris adalah fluoroquinolon karena
kebanyakan CAP pada geriatri disebabkan oleh streptococcus pneumonia.9 Pasien
usia lanjut disarankan untuk melakukan vaksinasi pneumococcal dan influenza untuk
mencegah terjadinya pneumonia.10

778
Pneumonia Didapat Di Masyarakat

PNEUMONIA TERKAIT PELAYANAN KESEHATAN


PENGERTIAN
Pneumonia terkait pelayanan kesehatan atau Health Care Associates Pneumonia
(HCAP) adalah pneumonia yang terjadi pada pasien setelah >48 jam masuk ke pelayanan
kesehatan.

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis
Demam, batuk dengan sputum purulen.11

Pemeriksaan Fisik
Suhu tubuh > 38,3°C, pemeriksaan paru dapat ditemukan tanda-tanda konsolidasi
paru.11

Pemeriksaan Penunjang11
• Darah: leukositosis
• Rontgen thorax: bervariasi dari infiltrat samar sampai konsolidasi lobus dengan
air bronchogram sampai infiltrat alveolar atau interstitial difus.
• Kultur darah, analisa gas darah, elektrolit, fungsi hati dan ginjal
• Aspirasi endotrakeal menggunakan kateter steril dan fibreoptic bronchoscopy
dengan broncholalveolar lavage untuk mengambil spesimen sehingga dapat di
analisis.

DIAGNOSIS BANDING
Gagal jantung kongestif, atelektasis, aspirasi, tromboemboli paru, perdarahan paru,
dan reaksi obat.11

TATALAKSANA

Suportif
• Terapi 02 jika diperlukan, untuk mencapai Pa 02 80 -100 mmHg atau saturasi 95-
96 %.

779
(ft)^
VS ? 9 /
Panduan Praktik Klinis Pulmonologi
Perhimpunan Dokter Spesiolis Penyakil Dalam Indonesia
'

• Humidifikasi dengan nebulizer untuk mengencerkan dahak


• Fisioterapi dada untuk pengeluaran dahak
• Terapi cairan
• Antipiretik

Antibiotik : dapat dilihat pada tabel 3.

label 3. Terapi Antibiotika Empiris pada HCAP.2


Paslen tanpa faktor rlslko patogen MDR
Ceftriaxone (2 g IV q24h) atau
Moxifloxacin ( 400 mg IV q24h) , ciprofloxacin ( 400 mg IV q8h|, atau levofloxacin ( 750 mg IV q24h) or
Ampicillin/sulbactam (3 g IV q6h) atau
Ertapenem ( I g IV q24h)

Paslen dengan faktor rlslko patogen MDR


l. b-lactam:
Ceftazidime ( 2 g IV q8h) atau cefepime ( 2 g IV q8-12h) atau
Piperacillin/ tazobactam (4.5 g IV q6h), imipenem (500 mg IV q6h atau 1 g IV q8h) , or meropenem
( 1 g IV q8h) ditambah

2. Agen kedua melawan bakteri patogen gram negatif


Gentamicin atau tobramycin ( 7 mg/kg IV q24h) atau amikacin ( 20 mg/kg IV q24h) atau
Ciprofloxacin ( 400 mg IV q8h) atau levofloxacin ( 750 mg IV q24h) ditambah

3. Agen aktiv melawan bakteri patogen gram positif


Linezolid (600 mg IV ql 2h) atau
Vancomycin (15 mg/kg, sampai 1 gram iv, ql 2h)
Keterangan
Faktor risiko MDR : terapi antibiotik dalam 90 hari terakhir, rawat inap selama > 5 hari, immonokompromais,
dialisis kronik dalam 30
pelayanan kesehatan terkait, riwayat keluarga MDR . 12 u
.
hari terakhir, terapi infus di rumah ( termasuk antibiotik) perawatan luka di rumah, insiden tinggi MDR pada
komunitas atau pada

PROGNOSIS
Prognosis berdasarkan Pneumonia Severity Index ( PSI ) Bila nilai PSI < 90 ( risiko
rendah, rata - rata mortalitas sebesar 3,3%. Bila nila PSI >130 (risiko tinggi), maka
rata - rata mortalitas sebesar 34%. Detail PSI dapat dilihat pada tabel 4.1314

Tabel 4. Pneumonia Severity Index


Faktor demografl Nilai
Usla (dalam tahun)
Pria
Wanita -10
Nursing home resident + 10
Penyaklt lain
Penyakit neoplastik +30
Penyakit hati + 20
Gagal jantung kongestif + 10
Penyakit serebrovaskular + 10

780
Pneumonia Didapat Di Masyarakat

Faktor demografl Nllal


Penyakit ginjal +10
Pemeriksaan Fislk
Perubahan status mental +20
La]u napas > 30/menit +20
Tekanan darah sistolik < 90 +20
mmHg
Suhu < 35oC atau > 40oC +15
Laju nadi > 125 kali/menit +10
Temuan laboratorlum dan radlografl
pH arteri < 7,35 +30
Blood urea nitrogen ( BUN) > 30 +20
mg/dL ( 1 lmmol/L)
Natrium < 130 mmol/L +20
Glukosa > 250 mg/dL +10
( 14 mmOI/ L)
Hematokrit < 30% +10
Tekanan parsial dari oksigen + 10
arteri < 60 mmHg atau saturasi
oksigen < 90%
Efusi pleura +10

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Pulmonologi
• RS non pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : Divisi Tropik - Infeksi , Departemen Radiologi /
Radiodiagnostik, Patologi Klinik , mikrobiologi klinik ,
Parasitologi , Anestesi / lCU
• RS non pendidikan : Bagian Paru , Patologi Klinik , Radiologi , Parasitologi ,
Mikrobiologi klinik, Anestesi / ICU

REFERENSI
1. Dahlan, Zul. Pneumonia. Dalam : Sudoyo, Aru W. Setyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata,
Marcellus. Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi V. Jakarta :Balai Penerbit FKU I;
2009. p 2196-2206.
2. Dahlan Z. Pneumonia Bakterial. Dalam : AminZ, Dahlan Z, Yuwono A ( Eds ) . PanduanTatalaksana /
Prosedur Respirologi dan Penyakit Kritis Paru.
3. Pneumonia. Dalam : Fauci A, Kasper D, Longo D, Braunwald E, HauserS, Jameson J, Loscalzo J,
editors. Harrison ' s principles of internal medicine. 18lh ed. United States of America; The McGraw-
Hill Companies, 2011

781
fis
^1 w'y
PanduanPrakUkMinis
Pemlmpiinnn
Pulmonoloqi
'
IXHiliK Spmlnfe Pnhynldt OoKim HuJonetlo O

4. American Thoracic SocletMi&uldelines for the Management.©fAdul.t§>vyJJ|'u£pmmunity-Acquired


Pneumonia:Diagnosis, Assessment of Severity, Antimicrobial Therapy, and Prevention Am J Respir .
Crit Care Med, 2001;163:1730-54 .
5. . .
Mandell, Lionel A Et all Infectious Diseases Society of America American Thoracic Society .
.
Consensus Guidelines on the Management of Community-acquired: Pneumonia in Adults CID .
. . .
2007:44 (Suppl 2) Dlundu,h dari : http://www thorgcic org/staternents/resources/mtpi/idsaats-
. .
cap pdf pada tanggal 29 Mei 2012 .
6. . . .
Lutfiyya, M Nawal Et all Diagnosis and Treatment of Community-Acquired Pneumonia American .
. . .
PamllyTsycian 20W DTuMOhdafi i tTpi/Twww ddTpBfgi/Sfp' padd fd?iggal 29"Mel 2012.
^
7. British Thoracic Society Standards of Cafe'Co'mfnifte'e. Bfttlsh Thbradc Society Guidelines for the
Management of Community Acquired Pneumonia in Adults Thorax 2001;56 (suppl IV ) :1 -64. .
8. .
Pulmonary Disorders Dalam : Cunningham, Gary F. Et all. William Obstetric 22nd Edition The .
MacGraw Hills Companies 2007 . .
9. .
Infectious Complications Dalam : Evans, Arthur T. Manual of Obstretic Lippincott Williams & .
.
Wilkins 2007 .
.
10. Marie, Thomas J Community-Aquired Pneumonia in Elderly. Clinical Infectious Diseases
2000;31:1066-78 q 2000 by the Infectious Diseases Society of America .
. . .
11 Fung HB Chu MO, Monteaqudo Community-acquired pneumonia in the elderly Am J Geriatr .
Pharmacother. 2010 Feb;8 ( l ) :47-62.
. . .
12 Pulmonary disorders Dalam : McPhee, Stephen J Papadakis,Maxine A. Current Medical Diagnosis
.
and Treatment The McGraw Hills Companies 2011 . .
. .
13 Tuberculosis. Dalam : Ausiello. Goldman Cecil Medicine 23rd edition Saunders : Philadhelphia . .
2007 .
.
14. Seymann, Gregory B Health care-associated pneumonia : Meeting the clinical challenges .
The Journal Of Respiratory;Diseases - • Vol 29,- No 5 • May 2008 . .

782
783

SINDROM VENA KAVA SUPERIOR

PENGERTIAN
Sindrom vena kava superior (SVKS) adalah kumpulan gejala yang disebabkan
obstruksi pada dinding vena kava superior yang tipis, sehingga terjadi penurunan
venous return dari kepala, leher, dan ekstremitas atas. Obstruksi dapat disebabkan
2 hal yaitu keganasan dan non - keganasan. Penyebab keganasan seperti kanker paru
[ small cell dan squamous cell pada 85 % kasus), limfoma [pada usia muda), dan tumor
metastasis. Sedangkan penyebab non -kegansan yaitu aneurisma aorta, thyromegaly,
trombosis, mediastinitis fibrosing akibat radiasi, histoplasmosis, atau sindroma Behcet,
dan alat intravaskular (seperti permanent central venous access catheters , pacemaker/
defibrillator leads ) angka kejadian SVKS semakin meningkat (40 % kasus). 1,2

DIAGNOSIS
Diagnosis berdasarkan keluhan klinis

Anamnesis
Onset keluhan terjadi tanpa diketahui (insidious ) dan berkembang menyebabkan
sesak nafas (63% kasus), batuk dapat berdarah [ hemoptysis ) pada 24% kasus, suara
serak, sakit kepala, hidung tersumbat, epsitaksis, kesulitan menelan [ dysphagia pada
9% kasus), nyeri dada (15% kasus), dizziness, sinkop. Keluhan dapat diperberat dengan
membungkukkan tubuh ke depan atau tidur terlentang. 12

Pemeriksaan Fisik
Pasien tampak lethargy, ditemukan adanya pembengkakan tangan (18 % kasus ) ,
distensi vena leher (66 %), dinding dada (54 %), edema wajah terutama pada daerah
mata (46 %), plethora (46 %), sianosis (19 %) pembengkakan lidah dan laring, nasal
congestion. Keluhan terjadi progresif dan dapat lebih ringan jika obstruksi terjadi di
atas vena azygos. Adanya edema serebral dan / atau laring walaupun jarang terjadi
tetapi menandakan prognosis buruk dan membutuhkan penanganan segera. Kejang
terjadi lebih sering karena metastasis ke serebral daripada edema serebral akibat

PanduanPraklik Klinis
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
cSH.fJP
PaMUranPraUlli minis Pulmonologi
^
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia

oklusi vena. Adanya keluhan kardiorespiratori yang dipicu dengan perubahan posisi
menandakan adanya obstruksi jalan napas dan pembuluh darah disertai keterbatasan
cadangan fisiologis. Pada pasien yang mendapat sedatif atau anestesi umum dapat
terjadi cardiac arrest atau gagal napas. Jika obstruksi vena kava superior terjadi di
proksimal vena azygos dapat menyebabkan terjadinya varises esofagus pada 1/ 3
bagian atas, sedangkan jika mengenai distal dari vena azygos maka varises akan terjadi
di sepanjang esofagus.

Pemeriksaan Penunjang1
• Rontgen dada: pelebaran mediastinum superior terutama pada sisi kanan, adanya
efusi pleura eksudat dan chylous (hanya 25 % kasus) terutama pada sisi kanan.
Jika rontgen normal (16 %) kembali melihat pada keluhan klinis.
• CT scan : melihat mediastinum lebih jelas. Diagnosis ditegakkan bila tidak adanya
opasifikasi pada struktur vena sentral dengan sirkulasi vena kolateral yang
dominan.
• Venography: mengetahui sumber obstruksi dari dalam lumen atau luar lumen,
jika akan dilakukan operasi bypass. Tidak dilakukan jika ada peningkatan tekanan
intralumen karena dapat merusak integritas dinding pembuluh darah sehingga
berisiko perdarahan masif pada daerah penyuntikan.
• Galium single photo emission CT : sesuai indikasi
• Bronchoscopy, percutaneous needle biopsy, mediastinoscopy, dan thoracotomy:
dilakukan sesuai indikasi dan dilakukan oleh tenaga profesional.
• Percutaneous transthoracic CT guided fine needle biopsy: sesuai indikasi

Modalitas diagnostik pada SVKS dapat dibagi menjadi : 4 6 '

Tabel 1. Modalitas Diagnostik pada SVKS4 * '

Non Invaslf Rontgen dada


Venogram dengan kontras
Radionucleotide venogram
CT scan
Invasff Induced sputum cytology
Bronchoscopy
Mediastinoscopy
Thoracotomy
Median sternotomy

784
Sindrom Vena Kava Superior

Penatalaksanaan SVKS :4

SVKS

1
Berikan segera .
oksigen, diuretlk.
deksamateson 16 mg
sekali sehari

NSCLC Rekuren, tidak Diagnosis


Tumor responsive terhadap
(non small cell belum pasli
kemosensitif kemoterapi dan XRT
lung cancer)

I i i
Inisial external beam .
l
Paliatif. External beam Kemoterapi Stent Antikoagulan
XRT (radiation therapy, XRT waktu singkat . jika ada kompllkasi
single fraction) Diagnosis histologis edema pulmonal.
sebelum terapi definitif

Gambar 1. Algorltme Penatalaksanaan SVKS 4 6

DIAGNOSIS BANDING
• Tumor mediastinum: tumor ganas, teratoma, limfoma malignum
• Tumor paru

TATALAKSANA3
• Elevasi kepala
• Menjaga patensi jalan napas
• Bed rest
• Oksigen
• Diet rendah garam
• Cairan infus: diberikan secara hati-hati
• Diuretik : furosemid 40 mg intravena (IV) untuk menghilangkan gejala
• Glukokortikoid: metilprednisolon 125 mg IV, dekstametason 16-20 mg IV; untuk
mengecilkan masa limfoma. Tidak berguna pada kasus kanker paru.
• Radioterapi: jika obstruksi disebabkan oleh non - small cell lung cancer dan
metastasis tumor solid lainnya. Pada kasus darurat dapat meringankan gejala
pada 70% kasus, dosis harian dimulai dengan dosis tinggi ( > 3 Gy/ hari) untuk
mendapatkan pengecilan masa tumor yg dibutuhkan 4

785
f $ mSSSSSSL Pulmonologi
• Kemoterapi: jika obstruksi disebabkan small cell carcinoma of the lung,lymphoma,
atau germ cell tumor.
• Kombinasi radioterapi dan / atau kemoterapi: keluhan berkurang pada waktu 2 - 4
minggu, efek samping seperti mual, muntah, nekrosis tumor, dan fibrosis radiasi.3
• Antikoagulan: mencegah trombosis dan embolisasi pada pasien dengan kateter
vena sentral jangka panjang. Jika trombosis ditemukan secara dini dapat diberikan
fibrinolitik tanpa pencabutan kateter.
• Pemasangan stent: untuk kasus berulang, kasus berat.
• Operasi: jika obstruksi disebabkan oleh non-keganasan, dilakukan setelah pasien stabil

KOMPLIKASI
Trombosis vena jugularis dan otak

PROGNOSIS
Angka rekurensi terjadi pada 10 -30% kasus. Tanpa diterapi, pasien SVKS karena
keganasan dapat bertahan sekitar 1 bulan. Angka rekurensi terjadi pada 17% pasien
yang diterapi dengan radiasi dan 19 % kasus yang diterapi dengan radiasi dan
kemoterapi. Rekonstruksi vena kava superior menunjukkan patensi 80-90 % dengan
angka kematian pada operatif mencapai 5%.5'6 Kematian pada SVKS dikarenakan
penyakit penyebabnya, tidak berhubungan dengan obstruksi.1 Efek samping serius
SVKS jarang terjadi dan berhubungan dengan obstruksi jalan napas atau edema
serebral. Pada 1986 pasien dengan SVKS, kematian hanya terjadi pada 1 kasus.46

UNIT YANG MENANGANI


• RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Hematologi -
Onkologi Medik, Pulmonologi
• RS non Pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : Departemen Radiologi, Radioterapi, Bedah / toraks
• RS non Pendidikan : Bagian Radiologi, Bedah

REFERENSI

.
1 .
Dutcher J Oncologic Emergencies. In: Fauci A , Kasper D, Longo D, Braunwald E, Hauser S,
.
Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison's principles of internal medicine. 18th ed United States
of America: The McGraw-Hill Companies, 2012.chapter 276.

786
Sindrom Vena Kava Superior

.
2 . .
Yahalom J Superior Vena Cava Syndromes In: Debvita V, Heilman S, Rosenberg S. Cancer:
Principles and Practice of Oncology . 6th ed. Lipptncott. 2001. Chapter 51.
3. Roman M. Emergency Complications of Malignancy. In : Tintinalli J, Kelen O, Stapczynskl.
Emergency Medicine. United States of America: The McGraw-Hill Companies. 2004. Chapter 18.
.
4. Shah A, Kennedy M. Oncologic Emergencies. In: Johnston P Spence R. Cardiovascular
Emergencies. USA : Oxford University Press Inc. 2009.chapter 1 .
5. Grant J, Lee J. Lee E. Superior Vena Cava Syndrome An update on causes and treatments. 2009.
_
Dlunduh dari http:/ /bmctoday.net /evtoday /pdfs/ EVT0709 09.pdf pada tanggal 30 Mei 2012.
6. Amin Z. Sindrom Vena Cava Superior. Dalam : Amin Z. Dahlan Z, Yuwono A (Eds). Panduan
Tatalaksana/Prosedur Respirologi dan Penyakit Kritis Paru.

787
788

KELAINAN NAPAS SAAT TIDUR


(SLEEP - DISORDERED BREATHING /
SLEEP APNEA)

PENGERTIAN
Sleep -disordered breathing atau sleep apnea merupakan merupakan istilah bagi
beberapa kondisi kronis berupa hilangnya napas parsial atau seluruhnya, yang terjadi
beberapa kali sepanjang malam, yang mengakibatkan ngantuk atau kelelahan di siang
hari sehingga mempengaruhi fungsi kehidupan seseorang dan menurunkan kualitas
hidup. Obstructive sleep apnea (OSA) merupakan bentuk sleep - disordered breathing
yang paling sering terjadi, dan berkaitan dengan meningkatnya risiko kematian.1
Obstructive sleep apnea/ hypopnea syndrome ( OSAHS ) didefinisikan sebagai
koeksistensi dari ngantuk berlebih pada siang hari yang tidak dapat dijelaskan dengan
sedikitnya 5 kali obstruksi napas (apneu atau hipopneu ) per jam waktu tidur. Apneu
pada dewasa merupakan jeda napas / breathing pauses selama >10 detik dan hipopneu
sebagai momen 10 detik dimana napas berlanjut tetapi ventilasi berkurang sedikitnya
50 % dari baseline sebelumnya saat tidur. Indikator klinis pada pasien ngantuk dapat
dilihat pada tabel l.z

Tabel 1 . Indikator Klinis pada Pasien Ngantuk2


Indikator OSAHS Narkolepsi IHS
Umur waktu onset ( tahun) -
35 60 10 - 30 -
10 30
Katapleksi Tidak Ya Tidak
Tidur malam
Durasi Normal Normal Panjang
Terbangun Kadang-kadang Sering Jarang
Mengorok Ya, keras Kadang-kadang Kadang-kadang
Mabuk pagi hari Kadang-kadang Kadang-kadang Umum
Tidur siang
Frekuensi Biasanya Banyak Sedikit
beberapa
Waktu Siang/malam Siang/malam Pagi
Durasi < 1 jam < 1 jam > 1 jam
Keterangan: HIS = idiopathic hypersomnolence

PanduanPraktik Klinis
Perhimpunon Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
Kelainan Napas Saat Tidur

DIAGNOSIS

Anamnesis1 4
• Aloanamnesis oleh pasangan tidur pasien: mengorok saat tidur, pause / jeda saat
bernapas , tidur terganggu
• Somnolen berlebihan di siang hari, gangguan kewaspadaan, performa kognitif dan
menyetir, hubungan interpersonal terganggu
• Kesulitan berkonsentrasi, sakit kepala di pagi hari, tidur malam tidak puas , rasa
tercekik di malam hari, libido menurun

Pemeriksaan Fisik2 4
• Hipertensi
• Obesitas
• Kelainan saluran napas atas : kongesti nasal, rhinitis , sinusitis kronis , kelainan
anatomis nasofaringeal, pembesaran tonsil atau adenoid, lidah besar
• Kelainan kraniofasial : mikrognatia, retrognatia
• Tanda hipotiroidisme atau akromegali

Pemeriksaan Penunjang
• Tes tidur (polisomnografi) : mengukur beberapa parameter fisiologis saat tidur.
Salah satu parameter penting adalah napas dan hilangnya napas saat tidur. Jeda
napas ( breathing pause) slO detik disebut sebagai apnea .
• EEG ( Electroencephalography)
• EKG ( Elektrokardiogram)

DIAGNOSIS BANDING
Tidur tidak cukup, kerja shift , penyebab psikologis, obat - obatan, narkolepsi , IHS,
phase alteration syndromes.2

TATALAKSANA3 4
Tujuan tatalaksana adalah mengurangi fragmentasi tidur dan repetisi asfiksia,
stress kardiovaskular, dan meningkatnya usaha napas yangberkaitan dengan OSAHS .
• Umum
o Posisi tidur : posisi lateral dekubitus lebih baik daripada supinasi atau pronasi
o Penurunan berat badan
o Terapi mekanis

789
$rl Pani«M PrakUk Minis Pulmonologi
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakil Dalam Indonesia

o Ventilasi tekanan positif


o Oksigen
o Cara mekanis lain untuk meredakan atau bypass obstruksi
• Operasi
o Trakeostomi
o Uvulopalatofaringoplasti
• Medikamentosa
o Selective serotonin reuptake inhibitors (SSRI): fluoxetine dan paroxetine 20 mg/
hari selama 4- 6 minggu

KOMPLIKASI
Hipertensi, gagal jantung, stroke, penyakit jantung koroner, hipertensi pulmonal,
sampai kematian . 3

PROGNOSIS
Indeks Apnea / Hypopnea (AHI ) tidur 5 per jam berkaitan dengan meningkatnya
risiko hipertensi arterial , gagal jantung, stroke, penyakit jantung koroner, dan
hipertensi pulmonal . Data menunjukkan bahwa OSAHS yangtidak diterapi berkaitan
dengan meningkatnya mortalitas, terutama pada pasien dengan indeks apneu
sedikitnya 20 kali per jam tidur. Pasien dengan OSAHS memiliki risiko lebih tinggi
untuk kematian mendadak saat tidur dan morbiditas dan mortalitas dari kecelakaan
lalu lintas 3 kali lebih tinggi.3

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Pulmonologi
• RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS pendidikan :-
• RS non pendidikan

REFERENSI
1. Prasad B, Croft JB, Liu Y. Sleep-Disordered Breathing. In : Schraugnagel DE. Breathing in America
: Diseases, Progress, and Hope. American Thoracic Society. 2010. Hal 237-48. Diunduh dari http:/ /
www.thoracic.org/education/breathing-in-america /resources/breathing-in-america.pdfpada
tanggal 23 Mei 2012.
2. Douglas NJ. Sleep Apnea. In : Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J.
,
Harrison ' s Principles of Internal Medicine. 18 hEdition. New York, McGraw-Hill. 2012.

790
M W

Kelainan Napas Saat Tidur

3. Basner RC. Obstructive Sleep Apnea-Hypopnea Syndrome. In: Goldman, Ausiello. Cecil Medicine.
23rd Edition. Philadelphia. Saunders, Elsevier. 2008.
4. .
Sumardi Sleep Studies. Dalam : AminZ, DahlanZ, Yuwono A ( Eds ) . PanduanTatalaksana / Prosedur
Respirologi dan Penyakit Kritis Paru.

791
792

TUBERKULOSIS PARU

PENGERTIAN
Tuberkulosis paru (TB para ) adalah infeksi paru yang menyerang jaringan
parenkim paru, disebabkan bakteri Mycobacterium tuberculosis.1

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis
Demam biasanya subfebril, batuk (dapat ditemukan batuk darah), sesak napas,
nyeri dada, malaise, berat badan menurun, keringat malam, riwayat kontak penderita
TB.23

Pemeriksaan Fisik
Demam, konjungtiva anemis, berat badan berkurang, auskultasi suara napas
bronkial, dapat ditemukan ronki basah / kasar/ nyaring. Bila infiltrat diliputi penebalan
pleura, suara napas jadi vesikuler melemah, bila terdapat kavitas besar ditemukan
perkusi hipersonor ertimpani, auskultasi suara amphorik.1

Laboratorium2'34
• Darah: LED meningkat
• Mikrobiologis
• BTA sputum positif minimal 2 dari 3 spesimen SPS
• Kultur Mycobacterium tuberculosis positif (diagnosis pasti)
• Foto toraks PA ± lateral (hasil bervariasi) : infiltrat, pembesaran kelenjar getah
bening (KGB) hilus / KGB paratrakeal, milier, atelektasis, efusi pleura, kalsifikasi,
bronkiektasis, kavitas, destroyed lung.3
• Imuno- Serologis
• Uji tuberculin: sensitivitas 93,6%, spesifisitas 98,4%.4 Kriteria positif uji tuberculin
dapat dilihat pada tabel 1.
• Tes PAP, ICT-TB: positif

PanduanPraklik Minis
Perhlmpunan Dokler Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
Tuberkulosis Paru iml

• PCR- TB dari sputum ( hanya menunjang klinis)


• Pemeriksaan adenosine deaminase pada tuberkulosis di cairan pleura, perikardial dan
peritoneal. Kriteria positif adalah 100U / L untuk pleural TB, 92 U / L untuk peritoneal
dan 90 U / L untuk efusi perikardial. Sensivisitas 100% dan spesifisitas 94,6%.

Tabel 1. Kriteria Positif Ujl Tuberkulln 3


Ukuran Indurasl Kelompok
>5 Pasien HIV (+), baru kontak dengan pasien TB ( +) , pada rontgen thorax tampak
fibrosis, pasien immunocompromized
> 10 Baru bermigrasi dari tempat yang berprevalensi tinggi TB, HIV (-) pengguna obat
suntik, yang memiliki risiko tinggi: tinggal dipanti jompo, orang yang merawat
pasien AIDS, tuna wisma, tenaga medis. Orang yang memiliki kondisi medis yang
dapat meningkatkan risiko TB: post gastrektomi, berat badan < 10% dari berat
ideal, bypass jejunoileal , diabetes mellitus, silikosis, gagal ginjal kronik, kelainan
hematologi, keganasan. Anak-anak <4 tahun, balita atau remaja yang kontak
dengan orang dewasa berisiko TB.
>15 Pasien yang tidak memiliki faktor risiko TB

DIAGNOSIS BANDING
Pneumonia, tumor / keganasan paru, jamur paru, penyakit paru, akibat kerja.

TATALAKSANA
Suportif: istirahat, stop merokok, hindari polusi, tata laksana komorbiditas, nutrisi,
vitamin.
Medikamentosa : obat anti tuberkulosis ( OAT ) 6 7
1. Kategori 1. Pasien baru yaitu pasien yang belum pernah mendapatkan terapi
OAT atau pernah mendapatkan OAT sebelumnya selama <1 bulan, maka regimen
terapinya adalah 2 HRZE / 4 HR. Dosis obat dapat dilihat pada tabel 2. Pada pasien
baru yang diketahui resisten isoniazid atau diketahui lingkungan sekitar risiko
ringgi resisten isoniazid, maka berikan 2 HRZE / 4 HRE.
2. Kategori 2. Pasien yang sebelumnya pernah mendapat terapi OAT
• Kultur dan resistensi OAT atau drug susceptibility test (DST)
• Jika hasil DST belum ada
o Pasien yang gagal terapi (sputum BTA atau kultur tetap positif pada
akhir bulan ke-5 pengobatan) Pasien yang putus berobat (pasien yang
putus berobat selama > 2 bulan berturut-turut) atau kambuh, berikan
2 HRZES /1HRZE / 5HRE
• Jika hasil DST sudah ada, sesuaikan terapi dengan antibiotik spesifik patogen.

793
# E5SH!BSS“ Pulmonologi
Tabel 2. Dosis dan Efek Samping OAT
' 4

Dosis berkala 3 kail


Dosls harlan
semlnggu
Nama obat Dosis dan Dosis dan Efek samping
range Makslmum range Makslmum
(mg/kg BB) (mg/kgBB)
Isoniasid (H) 5 ( 4-6) 300 mg 10 (8-12) 900 Neuropati perifer
Rifampisin (R) 10 (8-12) 600 mg 10 (8-12) 600
Pirazinamide (Z) 25 (20-30) 35 (30-40) Sindrom flu,
hepatotoksik
Streptomisin (S ) 15 ( 15-20) 15 (12-18) 1000 Nefrotoksik,
gangguan NVIII
kranial
Etambutol (E) 15 ( 15-20) 30 (25-35) Neuritis optika,
nefrotoksik, skin
rash / dermatitis

3. Indikasi kortikosteroid 7
• Meningitis TB
• TB milier dengan atau tanpa meningitis
• TB dengan Pleuritis eksudativa
• TB dengan Perikarditis konstriktiva.
• Manifestasi klinis insufisiensi adrenal karena TB

Pemeriksaan Terapi6
• Pada pasien yang sebelumnya telah mendapat OAT, periksa hasilDST pada bulan
kedua pengobatan, bila terdapat resistensi ganti obat sesuai protokol MDR-TB
• Cek sputum BTA pada akhir fase intensif (akhir bulan ke-2 terapi pada pasien baru
dan akhir bulan ke-3 pada pasien yang sebelumnya telah mendapat OAT)
• Jika masih positif, cek ulang sputum BTA pada akhir bulan ke-3 terapi pada pasien
-
baru dan akhir bulan ke 4 pada pasien yang sebelumnya telah mendapat OAT
• Jika masih positif, pasien dinyatakan gagal terapi. Pada pasien baru yang belum
pernah mendapat OAT stop kategori 1 atau mulai terapi kategori 2. Cek kultur dan
DST pada pasien baru cek bulan dan DST pasien yang sebelumnya telah mendapat
OAT)
• Jika hasil kultur dan DST positif ditemukan resistensi, maka pasien mulai dulu
protokol MDR-TB.

794
Tuberkulosis Paru

PENGOBATAN TB PADA KEADAAN KHUSUS


Multi Drug - Resistant TB ( MDR-TB) dan Extensively Drug - ResistantTB (XDR-TB)
MDR-TB adalah resisten terhadap 2 jenis OAT lini pertama yang paling efektif yaitu
Isoniazid dan Rifampisin. XDR-TB adalah resiten terhadap Isoniazid, Rifampisin dan
OAT lini kedua.7 Faktor risiko MDR; tidak patuh berobat, hasil monitoring sputum BTA
tetap positif pada akhir bulan ke- 2 dan ke- 3 setelah terapi, riwayat perburukan dengan
terapi OAT, terpajan pada lingkungan atau instansi yang prevalensi tinggi MDR, gagal
terapi sebelumnya, kondisi komorbid seperti malabsobsi, atau rapid - transit diare,
memiliki diabetes mellitus tipe 2.6
Prinsip terapi MDR TB :
• Terapi dengan setidaknya 4 obat yang masih efektif berdasarkan hasil kultur
International Standarsfor Tuberculosis Care ( ISTC )
• Pengobatan paling sedikit selama 18 bulan (ISTC)
• Monitoring kultur/sputum BTA setiap bulan, sampai terjadi konversi
• Bila sudah terjadi konversi, monitoring kultur/sputum BTA dilakukan tiap 2 -3 bulan
• Terapi dilanjutkan selama 18 bulan setelah konversi. Tetapi agen injeksi dilanjutkan
4 - 6 bulan setelah konversi.
Pemilihan terapi MDR TB:
• Pemilihan obat berdasarkan hierarki seperti yang tercantum pada tabel 3.
• Pilihlah obat yang paling efektif (berdasarkan hasil DST) pada kelompok 1 terlebih
dahulu, baru kemudian kelompok 2, 3, dan 4.
Tabel 3. Kelompok Obat untuk Terapi MDR TB 4 8
Kelompok Obat (slngkatan) Dosls
Kelompok 1 : Pyrzinamide (Z) 25 mg/kg/hari (maksimal 2 gram/hari) (po )
Agen lini pertama Etambutol (E) 15-25 mg/kg / hari (po )
peroral 5 mg/kg/dosis (maksimal 300 mg) ( po )
Rifabutin ( Rfb )
Kelompok 2 : Kanamycin (Km) 15 mg/kg /hari, 5-7 hari/minggu (maksimal
1 gram) - 15 mg/kg/hari, 2-3 kali/minggu
Agen injeksi
*
setelah periode awal (iv atau im)
Amikacin ( Am) 15 mg/kg/hari, 5-7 hari/minggu ( maksimal
1 gram) - 15 mg/kg/hari, 2-3 kali/minggu
*
setelah periode awal (iv atau im)
Capreomycin (Cm) 15 mg/kg/hari, 5-7 hari/ minggu (maksimal
1 gram) - 15 mg/kg/hari, 2-3 kali/ minggu
*
setelah periode awal (iv atau im)
Streptomycin ( S ) 15 mg/kg/hari, 5-7 hari / minggu (maksimal
1 gram) - 15 mg/kg/hari, 2-3 kali/ minggu
*
setelah periode awal (iv atau im)
Kelompok 3 : Levofloxacin (Lfx) 500-1000 mg/hari (po atau iv)
Frouloquinolone Moxifloxacin (Mfx ) 1x400 mg (po atau iv )
Ofloxacin ( Ofx) 2x400 mg (po)

795
(
HKVWfr> Panduan Praktlh Kllnls Pulmonologi
-
Perhimpunan DoklerSpesialis Penyakit Dalam Indonesia v/

Kelompok Obat (slngkatan) Dosis


Kelompok 4 : Para-aminosalicylic acid 8- 12 gram / hari dibagi 2-3 kali dosis (po )
Agen lini kedua ( PAS )
Bakteriostatik oral Cyclocerine ( Cs) 2x250 mg (po)
Terizidone ( Trd) 15-20 mg/ kg / hari (maksimal 1 gram) ( po )
Protionamide ( Pto) 10- 20 mg/kg (maksimal 750mg ) (po)
Kelompok 5 : Clofazimine ( Cfz) 100-200 mg/hari (po)
Agen yang belum jel
Linezolid (Lzd) 1x600 mg
as perannya dalam
terapi MDR TB Amoxicillin/ clavulanate 2 x 2 gram Amx + 125 mg Civ (po )
( Amx / CIv )
Thiocetazone ( Thz) 1 x 150 mg (po)
Imipenem/cilastatin 2x 1 gram (iv)
(Ipm/CIn )
Dosis tinggi Isoniazid ( H) 16-20 mg/ kg/hari (po)
Clarithromycin ( Clr ) 2x500mg (po )

TB ekstra paru
TB ekstra paru diterapi sama seperti TB paru. Pada meningitis TB, disarankan
terapi berlangsung selama 9-12 bulan sementara pada TB tulang dan sendi, disarankan
terapi selama 9 bulan. Kortikosteroid ditambahkan pada terapi meningitis TB dan
perikarditis. Dosis kortikosteroid pada meningitis TB dan efusi perkardial dapat dilihat
pada tabel 4. Pada meningitis TB, etambutol diganti streptomisin .6

Tabel 4. Rekomendasi dosis kortikosteroid pada TB ekstrapulmonai.10,11


Kondisi kllnls Regimen obat
Meningitis TB stadium 1 Durasi selama 6 minggu
Hari 1 -7 : Dexamethasone 0,3 mg / kg iv
Hari 8-14 : 0,2 mg/ kg iv
Hari 15-21 : 0,1 mg/ kg iv
Hari 22- 28 : 1 x3 mg po
Hari 29-35 : lx 2mg po
Hari 36- 42 : 1x 1mg
Meningitis TB stadium 2 dan 3 Durasi 8 minggu
Hari 1 -7 : Dexamethasone 0,4 mg/ kg iv
Hari 8- 14 : 0,3 mg/kg iv
Hari 15-21 : 0,2 mg/kg iv
Hari 22-28 : 0,1 mg /kg iv
Hari 29-35 : lx 4mg po
Hari 36- 42 : lx3mg po
Hari 43-49 : 1 x2mg po
Hari 50-56 : lxl mg po
Efusi pericardial TB Total durasi 11 minggu
Hari 1 -28 : prednisone 1 x 60 mg po
Hari 29-56 : 1 x30 mg po
Hari 57-70 : 1 x 15 mg po
Hari 71 - 77 : lx5mg po

796
Tuberkulosis Paru i

Kehamilan
Pada prinsipnya pengobatan TB pada kehamilan tidakberbeda dengan pengobatan
TB pada umumnya. Menurut WHO, hampir semua OAT aman untuk kehamilan,
kecuali streptomisin. Streptomisin tidak dapat dipakai pada kehamilan karena
bersifat ototoksik permanen dan dapat menembus sekat plasenta. Keadaan ini dapat
mengakibatkan terjadinya gangguan pendengaran dan keseimbangan yang menetap
pada bayi yang akan dilahirkan. Perlu dijelaskan kepada ibu hamil bahwa keberhasilan
pengobatannya sangat penting artinya supaya proses kelahiran dapat berjalan lancar
dan bayi yang akan dilahirkan terhindar dari kemungkinan tertular TB.6 711

Ibu menyusui dan bayinya


Pada prinsipnya pengobatan TB pada ibu menyusui tidakberbeda dengan pengobatan
pada umumnya. Semua jenis OAT relatif aman untuk ibu menyusui. Seorang ibu menyusui
yang menderita TB harus mendapat paduan OAT secara adekuat. Pemberian OAT yang
tepat merupakan cara terbaik untuk mencegah penularan kuman TB kepada bayinya.
Ibu dan bayi tidak perlu dipisahkan dan bayi tersebut dapat terus disusui. Pengobatan
pencegahan dengan INH diberikan kepada bayi tersebut sesuai dengan berat badannya.6

Pasien TB dengan infeksi HIV / AIDS


Tatalaksana pengobatan TB pada pasien dengan infeksi HIV/AIDS adalah sama
seperti pasien TB lainnya. ObatTB pada pasien HIV / AIDS sama efektifnya dengan pasien
TB yang tidak disertai HIV / AIDS. Prinsip pengobatan pasien TB- HIV adalah dengan
mendahulukan pengobatan TB. Pengobatan ARV (antiretroviral) dimulai berdasarkan
stadium klinis HIV sesuai dengan standar WHO. Penggunaan suntikan Streptomisin
harus memperhatikan Prinsip-prinsip Universal Precaution ( Kewaspadaan Keamanan
Universal) Pengobatan pasien TB- HIV sebaiknya diberikan secara terintegrasi dalam
satu UPK untuk menjaga kepatuhan pengobatan secara teratur. Pasien TB yang berisiko
tinggi terhadap infeksi HIV perlu dirujuk ke pelayanan VCT (Voluntary Counceling and
Testing = Konsul sukarela dengan test HIV) 7.
Rekomendasi ARV pada pasien dengan TB adalah evafirenz (EFV) dan 2 nukleoside.6

KOMPLIKASI PENYAKIT
• Komplikasi paru: atelektasis, hemoptisis, fibrosis, bronkiektasis, pneumotoraks, gagal
napas,
• TB ekstra paru: pleuritis, efusi pleura, perikarditis, peritonitis, TB kelenjar limfe,
• Kor Pulmonal

797
jf»>
.vifwj?: PanduanPralttili Minis Pulmonologi
v
Perhimpunan DoklerSpesialis Penyakil Dalam Indonesia «/

PROGNOSIS
Dengan terapi INH dan rifampisin selama 6 bulan dan pyrazinamide selama 2 bulan,
sekitar 96-99% sembuh (bagi pasien HIV negatif ).0 Angka kambuh < 5 %.3

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Pulmonologi
• RS non pendidikan : Bagian llmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : Divisi di Departemen Ilmu Penyakit Dalam yang terkait
dengan keterlibatan organ / komplikasi TB, Departemen
Radiologi / Radiodiagnostik, Patologi Klinik, mikrobiologi
klinik, Patologi Anatomi, Bedah / toraks dan Bagian lain yang
terkait dengan keterlibatan organ / komplikasi TB
• RS non pendidikan : Bagian Bedah, Patologi Klinik, Paru, Radiologi, Patologi
Anatomi, Mikrobiologi klinik dan Bagian lain yang terkait
dengan keterlibatan organ / komplikasi TB

REFERENSI
1. . .
Amin, Zulkifli Bahar, Asril. Tuberkulosis Paru. Dalam : Sudoyo, Aru W Setyohadi, Bambang. Alwi,
.
Idrus. Simadibrata, Marcellus Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi V. Jakarta
:Balai Penerbit FKU I; 2009. P2230-39.
2. . .
Achmad Y Tuberkulosis Paru Dalam : Amin Z, Dahlan Z, Yuwono A (Eds). Panduan Tatalaksana /
Prosedur Respirologi dan Penyakit Kritis Paru.
3. Tuberculosis. Dalam : Fauci A, Kasper D, Longo D, Braunwald E, FlauserS, Jameson J, Loscalzo J,
editors. Harrison ' s principles of internal medicine. 18th ed. United States of America; The McGraw-
Hill Companies, 2011.
4. .
Pulmonary disorders. Dalam : McPhee, Stephen J Papadakis, Maxine A. Current Medical Diagnosis
and Treatment . The McGraw Hills Companies 2011 . .
5. EA, Talbot. D, Harland. W , Wieland-Alter. S, Burrer. LV, Adams. Specificity of the tuberculin skin
test and the T-SPOT.TB assay among students in a low-tuberculosis incidence setting. Jam Coll
Health. 2012;60 ( 1 ) :94-6. Diunduh dari : http:/ /www.ncbi.nlm.nih.gov /pubmed/ 22171735 pada
tanggal 3 Juni 2012.
6. Tuberculosis Coalition for Technical Assistance. International Standards for Tuberculosis Care
(ISTC ) . The Hague: Tuberculosis Coalition for Technical Assistance, 2006.
7. Treatment of Tuberculosis Guidelines 4th Edition. World Health Organization. 2010.
8. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis Edisi Kedua Cetakan Pertama. Depatemen
Kesehatan Republik Indonesia. 2007.
9. Francis J. Curry National Tuberculosis Center and California Department of Public Health, 2009:
Tuberculosis Drug Information Guide

798
Tuberkulosis Paru

10. Tuberculosis. Dalam : Ausiello. Goldman. Cecil Medicine 23rd edition. Saunders : Philadhelphia .
2007.
11. Kadhiravan, Tamilarasu. Deepanjali, Surendran. Role of Corticosteroids in the Treatment of
Tuberculosis: An Evidence-based Update. http:/ / medind.nic.in/iae/ tlO/i3/iaetlOi3pl 53.pdf pada
tanggal lOjuni 2012.

799
800

TUMOR PARU

Pembagian tumor paru berdasarkan klasifikasi WHO :

Tabel 1 . Klasifikasi pembagian tumor berdasarkan WHO 1 '2


Epithelial tumors Benign Papiloma, adenoma
Preinvasive lesions Squamous dysplasia / Carcinoma
in situ, Atypical adenomatous
hyperplasia, Diffuse idiopathic
pulmonary neuroendocrine
Malignant Squamous celt carcinoma, Small
cell carcinoma, Adenocarcinoma,
Large cell carcinoma,
Adenosquamous carcinoma,
Carcinomas with pleomorphic ,
sarcomatoid or
sarcomatous elements, Carcinoid
tumour, Carcinomas of salivary -
.
gland type Unclassified carcinoma
Soft Tissue Tumours
Mesothelial Benign Adenomatoid tumour
Tumours Malignant Epithelioid mesothelioma,
Sarcomatoid mesothelioma,
Biphasic mesothelioma
Miscellaneous Hamartoma
Tumours Sclerosing hemangioma
Clear cell tumour
Germ cell neoplasms Teratoma, mature or immature
Malignant germ cell tumour
Thymona
Melanoma
Others
Lymphoproliferative Lymphoid interstitial pneumonia
Disease Nodular lymphoid hyperplasia
Low -grade marginal zone B-cell
lymphoma of the mucosa-
associated lymphoid tissue
Lymphomatoid granulomatosis
Secondary Tumours
Unclassified Tumours

Tumour-like Lesions

Pada bab ini akan dibahas mengenai karsinoma paru.

PanduanPraktikKlinis
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
Tumor Paru

KARSINOMA PARU
PENGERTIAN
Merupakan sel kanker yang tumbuh dan berasal dari jaringan paru. Pembagian
praktis karsinoma paru untuk tujuan pengobatan yaitu i
1

• small cell lung cancer (SCLC)


• non small cell lung cancer (NSCLC)
Faktor risiko1 3
• Merokok [aktif, pasif ),
• Polusi lingkungan kerja:
asbestis (galangan kapal, konstruksi, pertambangan)
arsenik [kebun anggur, gembala kambing, tambang emas, pelapis logam),
hidrokarbon aromatik polisiklik (industri baja)
kromat dan kromium ( pekerja industri, pelapis krom)
silika (penemuan baja),
- pabrik gas beracun, penyulingan nikel
- tambang uranium, radon, dan turunannnya
• Polusi udara: gas buangan kendaraan bermotor mengandung hidrokarbon aromatik
polisiklik
• Radiasi non -ionisasi (telepon selular),
• Radiasi prosedur diagnostik

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis
.
Asimptomatis, batuk, hemoptisis, nyeri dada, dyspnea karena efusi pleura Jika
sudah ada metastasis dapat memberikan keluhan nyeri tulang, sakit kepala, suara
serak, sulit menelan, dan sesak napas.
1

Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan wheezing , stridor, abses, atelektasis, aritmia
(invasi ke pericardium ), sindrom vena kava superior, sindrom Horner ( facial anhidrosis
,
ptosis, miosis), suara serak [penekanan pada N.laryngeal recurrent ) , sindrom Pancoast
(invasi pleksus brakialis dan saraf simpatis servikalis). Jika sudah ada metastasis dapat
ditemukan ikterus, perubahan neurologis, pembesaran kelanjar getah bening.
1

801
ip ESS5JESSPJHS! Pulmonologi
Pemeriksaan Penunjang13
• Pemeriksaan serologi / tumor marker: karena spesifisitas yang rendah dalam
mendiagnosis karsinoma paru, maka Iebih banyak digunakan untuk evaluasi hasil
pengobatan .
o CEA [carcinoma embryonic antigen )
o NSE [ neuron-spesific enolase )
o Cyfra 21 - 2 [ cytokeratin fragments 19 )
• Foto rontgen dada
• CT scan atau MRI
• Bone scanning
o Indikasi : jika diduga ada tanda-tanda metastasis ke tulang
• Pemeriksaan sitologi sputum: dilakukan rutin dan sebagai skrining untuk diagnosis
dini
o Hasil pemeriksaan tergantung: letak tumor terhadap bronkus, jenis tumor
teknik
,
mengeluarkan sputum, jumlah sputum yang diperiksa, dan waktu pemeriksaan
sputum .
• Pemeriksaan histopatologi : standar emas diagnosis karsinoma paru . Cara
mendapatkan spesimennya:
o Bronkoskopi
o Trans torakal biopsi ( TTB )
o Torakoskopi
o Mediastinoskopi
o Torakotomi
Sindrom paraneoplastik terdapat pada 10 % karsinoma paru, terdiri dari :
• Gejala sistemik: penurunan berat badan, anoreksia, demam
• Hematologi : leukosistosis, anemia, hiperkoagulasi
• Neurologik: demensia, ataksia, tremor, neuropati perifer
• Endokrin: sekresi PTH (hiperkalsemia)
• Dermatologi : eritema multiform, hiperkeratosis, jari tabuh
• Renal : SIADH ( Syndrome Of Inappropriate Antidiuretic Hormone 3
• Osteoartropati hipertrofi

802
Tumor Paru |g|
STAGING KARSINOMA PARU

Tabel 2. Staging Karslnoma Paru19


TNM
Stage IA T 1 N0M0
Stage IB T2N0M0
Stage II A T 1 N1M0
Stage II B T2NIM0
Stage III A -
TI 3N2M0
T3NIM0
Stage III B T 4 any N MO
Any T N3M0
Stage IV Any T any N Ml

KETERANGAN
.
Tx : Tumor terbuktl ganas dldapat dari secret bronkopulmonar, tapl tldak terlihat secara bronkoskopis dan radiologis Tumor tidak
dapat dlnllal pada staging re treatment.
T1 : Tumor dengan diameter < 3 cm
T2 : Tumor dengan diameter > 3 cm atau terdapat atelektasls pada distal hllus
T3 : Tumor ukuran apapun meluas ke pleura, binding dada, dlafragma, perikardlum, < 2 cm dari carina,
t e a p o t K t J s.T t a J ; : „j y. /
^ ^ y
T4 : Tumor ufcuran apapun Invasl ke medlastlrtum atau terdapat efusi pleura mallgnan
NO : Tldak ada kelenjdr getah benlng ( KGB) yang terlibat
N1 : Metastasis KGB bronkopulmoner atau Ipsllateral hllus
N2 : Metastasis KGB mediastinal atau sub carina
N3 : Metastasis KGB mediastinal kontralateral atau hllus atau KGB skaleneus atau supraklavikular
MO : Tldak ada metastasis Jlnak
Ml: Metastasis jinak pada organ (otak, hati)

Pendekatan diagnosis pada nodul sollter paru


TerdeieksJ adonyo
nodul baai pada CT scan

i
KaWflkasI Jlnak poda CT scan atau Tidak perlu pamerlksaan lobih lanjut
Ya
sfabw seiama 2 lahun pada rontgen

i
Tldak

l
Apakah komungkinan kanker

iYa
1
f 1
kemungklnan kanicor kemungVJnan kapker Ada loklo/ nsiv.o operas)
sodang Tldak >•
rendah

i
Ct scan serial
.
3.6 12.24 butan

i
PenHjiikwjon tarnbahan
• PET Jlka ukuran nodul 1 cm vidoo-ostifed fhorocoscop/c surgery,
• Aspfraji jorum ha|us trans toraslk pemedksoan kelenjar fletah benlng
Hasll nogatlf |!ko retak rodu' O pester Hasil Poiltlt mediastinum dan frozen section
• Bronkoskopl pka udara bronkus dilkuti loboktomi Jlka se» ganas
poslIK
• CT scan

Gambar 1. Algorltma Pendekatan Diagnosis pada Nodul Sollter Paru4 5

803
Panduan Praktik Kllnis Pulmonoloqi
Perhlmpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia

DIAGNOSIS BANDING
Tumor metastasis dari kanker primer di tempat lain, tumor jinak paru

TATALAKSANA

SCLC
• Limited stage [status tampilan baik ) kemoterapi kombinasi dan radioterapi
toraks
• Extensive stage [status tampilan baik ) : kemoterapi kombinasi
• Respons tumor komplit [semua stage ) : radioterapi kranial profilaktik
• Status tampilan buruk [semua stage ) : k e m o t e r a p i k o m b i n a s i d e n g a n
modifikasi dosis radioterapi paliatif
Tabel 3. Terapi untuk NSCLC13 5
Stage Operasl Kemoterapi Radioterapi Kemoterapi kombinasi
I dan II Lini pertama Adjuvan pada Linl kedua Tidak
stage IB, IIA, lib
II B Lini pertama Tidak Tidak Lini pertama-neoadjuvan
III A Lini kedua Lini kedua- Tidak Lini pertama
neoadjuvan
III B resectable Lini pertama Tidak Tidak Lini pertama ± neoadjuvan
III B unresectable Tidak Tidak Tidak Lini pertama
IV Tidak Lini pertama Lini kedua Tidak
Kemoterapi :
Lini pertama : siklofosfamid, doksorubisin, metotraksat, prokarbasin
Lini kedua : docetaxel, pemefrexed, and erlotinib, vinorelbine, gemcitabine, paclitaxel, gisplatin, carboplatin

Pendekatan Tatalaksana pada Karsinoma Paru


Anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
Menentukan slatus performance , adakah penurunan berat badan.

I
Tidak ada gejala atau Ditemukan lesi single
1
Ditemukan lesi multipel
hasil pemeriksaan yang menunjukkan pada imajing pada imajing

I
adanya metastasis

Biopsi lesi

I
Tidak ada kontraindikasi
1
Ada kontraindikasi
l
Tidak ada
I
Ada
kemoterapi kombinasi kemoterapi kombinasi Kemoterapi dan /atau
metastasis metastasis radioterapi untuk paliatif
dan radioterapi dan radioterapi

i
Terapi kombinasi dengan
1
Terapi dengan
platinum based terapi, kemoterapi dan
.
etoposide dan radioterapi radioterapi

Gambar 2. Algoritma Terapi pada SCLC4

804
Tumor Paru

Anamnesis, pemeriksaan flsik, dan pemeriksaan penunjang


Menentukan status performance , adakah penurunan berat badan

f I
Ditemukan lesi single
1
Ditemukan lesi multipel
Tidak ada gejala atau
hasi pemeriksaan yang menunjukkan pada imajing pada imajing
adanya metastasis.
Tidak ada kontraindikasi operasi,
kemoterapi kombinasi , atau radioterapi

Biopsi lesi

I
f 1 f
Ada
I
Lihat
Tes fungsi paru, Tidak ada
pemeriksaan imajing untuk metastasis metastasis Gambar 1
melihat adanya metastasis.
Tes kardiopulmonar. Tes koagulasi

I
Rujuk ke bedah untuk evaluasi
mediastinum dan rencana reseksi

l 1
NO atau N1 N2 atau N3

T
Stage IA :
i
Stage II atau III : Stage IB :
1
Tidak dioperasi.
Operasi Operasi diikuti .
Ukuran < 4cm operasi Terapi kemoterapi
kemoterapi adjuvan Ukuran > 4 cm operasi kombinasi
dan kemoterapi adjuvan

Gambar 3. Algoritma Terapi pada NSCLC45

KOMPLIKASI
Obstruksi jalan napas, gagal napas, perdarahan / hemoptisis, abses, atelektasis,
metastasis ke organ: otak,

PROGNOSIS
Tergantung tipe histologi, staging , resektabilitas dan operabilitas . Pada SCLS
kemungkinan harapan hidup rata- rata yaitu 1 tahun. Pada kelompok limited stage
kemungkinan hidup rata - rata yaitu 1- 2 tahun. Sebesar 30 % kematian terjadi karena
komplikasi lokal dari tumor, 70% meninggal kareka karsinomatosis. Pada NSCLC yang
dilakukan tindakan bedah, kemungkinan hidup 5 tahun setelah operasi adalah 30 %.
Survival setelah tindakan bedah yaitu 30 - 40 % pada stadium 1, 10-15 % pada stadium
II, dan < 10 % pada stadium III. Kemungkinan hidup rata - rata pasien tumor metastasis
bervariasi, dari 6 bulan sampai dengan 1 tahun tergantung dari performance status (skala
Karnofsky ) , luasnya penyakit, adanya penurunan berat badan dalam 6 bulan terakhir.
1, 3

805
M
\l t wr '
PanduanPra
Peirwriounan »iiolli
OokJwi S|x
ktik Minis Pulmonoloqi
Ddtdm tndc «
fJ<tuvufcll
*i Ua

UNIT YANG MENANGANI


• RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Divisi Pulmonologi
• RS non Pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : Divisi Hematologi Onkologi Medik Departemen Ilmu
Penyakit Dalam, Departemen Radiologi, Radioterapi, Bedah/
toraks
• RS non Pendidikan : Bagian Radiologi, Bedah

REFERENSI
i. Amin Z. Kanker paru. Dalam: Alwi I, Setiati S, Setiyohadi B, Simadibrata M, Sudoyo AW, editors.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi V. Jakarta: Interna Publishing; 2010: Hal 2254-62.
2. .
Brambilla E, Travis WD, Colby TV et all The new World Health Organization classification
.
of lung tumours. Eur Respir J 2001; 18: 1059-1068. Diunduh dari http:/ /erj ersjournals.com/
content / 18/6/ 1059.full.pdf +html pada tanggal 22 Juni 2012.
3. Takahashi T, Sidransky D. Neoplasms of the Lungin : Mason: Murray & Nadel ' s Textbook of
.
Respiratory Medicine, 4th ed. United States of America : Saunders 2005. chapter 42 .
4. .
Horn L Neoplasms of the Lung.In: Fauci A, Kasper D, Longo D, Braunwald E, HauserS, Jameson J,
. .
Loscalzo J, editors. Harrison ' s principles of internal medicine 18th ed United States of America;
The McGraw-Hill Companies, 2012.chapter 89.
5. . .
Amin Z. Kanker Paru Dalam : Amin Z, Dahlan Z, Yuwono A (Eds) Panduan Tatalaksana /Prosedur
Respirologi dan Penyakit Kritis Paru.

806
PENATALAKSANBAN
D l BIDANGILMU PENYAKIT DBLBM

PANDUAN
PRAKTIKl
KIINISB
Artritis Reumatoid . 807

Artritis Gout Dan Hiperurisemia. . 812


Artritis Septik 817
Fibromialgia . 821
Lupus Eritematosus Sistemik . 824
Nyeri Pinggang 832
Osteoporosis 836
Osteoartritis 842
Reumatik Ekstraartikular 846
Skleroderma . 851
Spondiloartropati .857
V

.
807

ARTRITIS REUMATOID

PENGERTIAN
Artritis reumatoid (AR) adalah penyakit autoimun yang ditandai oleh inflamasi
sistemik kronik dan progresif dimana sendi merupakan target utama selain organ
lain, sehingga mengakibatkan kerusakan dan deformitas sendi , bahkan disabilitas
dan kematian. Walaupun etiologi yang sebenarnya belum dapat diketahui dengan
pasti, ada beberapa faktor yang diperkirakan berperan dalam timbulnya penyakit ini
seperti kompleks histokompatibilitas utama kelas II dan faktor infeksi seperti virus
Epstein Barr ( EBV) . 1

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis1 2
• Radang sendi (merah, bengkak, nyeri] umumnya menyerang sendi - sendi kecil,
lebih dari empat sendi (poliartikular) dan simetris.
• Kaku pada pagi hari yang berlangsung lebih dari 1 jam atau membaik dengan
beraktivitas
• Terdapat gejala konstitusional seperti kelemahan, kelelahan, anoreksia, demam
ringan

Pemeriksaan Fislk
Dalam keadaan dini AR dapat bermanifestasi sebagai palindromic rheumatism yaitu
timbulnya gejala monoartritis yang hilang timbul antara 3- 5 hari dan diselingi masa
remisi sempurna sebelum bermanifestasi sebagai AR yang khas . AR awal juga dapat
bermanifestasi sebagai pauciarticular rheumatism yaitu gejala oligoartikuler yang
melibatkan 4 persendian atau kurang. Kedua gambaran ini seringkali menyulitkan
1
dalam menegakkan diagnosis AR dalam masa dini .

Pandua n Praktlk
Dalam
Spesialis Penyakit
Perhimpunan Dokter
Minis
Indonesia fA
(
Panduan Praktik Klinis Reumatologi
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia

Tabel 1. Kelainan yang Ditemukan pada Pemeriksaan Fisik 12

Artlkular Ekstra Artikular

.
• Tanda kardinal inflamasi pada sendi, sendi yang • Nodul reumatoid
terkena umumnya adalah metakarpofalangeal,
skleritis episkleritis
pergelangan tangan dan interfalang proksimal
• Deformitas sendi (deformitas leherangsa, deformitas atau• Kelainan pada pemeriksaan paru dan
jantung
boutonniere, deformitas kunci piano, deviasi ulna,
deformitas 1-thumb , artritis mutilans, hallux valgus ) • Splenomegali
• Ankilosis tulang • Vaskulitis

Tabel 2. Kriteria Diagnosis Artritis Reumatoid berdasarkan ACR 2010 4


Kriteria diagnosis diperiksakan pada pasien dengan keluhan sinovitis yang jelas (minimal satu sendi)
dan keluhan sinovitis tidak dijelaskan lebih baik dengan penyakit lain
Tambahkan seluruh skor pada kategori A-D, pasien dengan skor >6 / 10 diperlukan untuk dimasukkan
dalam klasifikasi pasien yang memiliki artritis reumatoid.*
A. Keterlibatan sendi** Satu sendi besar *** 0
2 - 10 sendi besar 1
1 - 3 sendi kecil** ** dengan atau tanpa
keterlibatan sendi besar 2
4 - 1 0 sendi kecil dengan atau tanpa
keterlibatan sendi besar 3
> 10 sendi , minimal satu sendi kecil 5
B . Serologi ( minimal 1 pemeriksaan RF negatif dan ACPA negatif 0
untuk RF positif lemah atau ACPA positif lemah 2
dimasukkan dalam klasifikasi) * 3
RF positif kuat atau ACPA positif kuat
C . Protein fase akut ( minimal 1 CRP normal dan LED normal 0
pemeriksaan untuk dimasukkan CRP abnormal atau LED 1
abnormal
dalam klasifikasi) # #
D. Lama gejala # # # < 6 minggu 0
>_6 minggu 1
Keterangan:
* Walaupun skor pasien <6 / 10 tidak dianggap menderlta artritis reumatoid, akan tetapi status mereka dapat
dinilai ulang dan kriteria dapat dipenuhi secara kumulatif sepanjang waktu
** Keterlibatan sendi merujuk pada adanya pembengkakan atau rasa nyeri sendi pada pemeriksaan
yang dikonflrmasi dengan gambaran sinovitis pada pencitraan . Sendi interfalangeal
distal ,
karpometakarpolalangeal pertama dan metatarsofalangeal pertama tidak dianggap bermakna Kategori .
sendi yang lerllbat berdasarkan pada lokasi dan jumlah sendi yang terlibat dengan
.
*** Sendi besar merujuk pada bahu, siku, paha lutut dan pergelangan kaki
**** Sendi kecil merujuk pada sendi metakarpofalangeal, interfalangeal proksimal, metatarsofalangeal
dua hingga lima , interfalangeal ibu jari, pergelangan tangan dan sendi-sendi tidak spesifik seperti
temporomandibular, akromioklavlkular , stemoklavikular
* Nilai negatif merujuk pada nilai IU lebih kecil atau soma dengan nilai batas atas normal untuk laboratorium,
positif lemah merujuk pada nilai IU lebih tinggi dari nilai batas atas normal namun < 3 kali batas atas
nilai
normal, positif kuat merujuk pada nilai IU >3 kali batas atas nilai normal. Apabila pemeriksaan
faktor
reumatoid hanya lerdiri dari positif dan negatit, maka nilai positif dianggap sebagai positif lemah. ACPA =
anti citrulinated protein antibody
** Nilai normal memakai pafokan nilai laboratorium setempal
ft
Durasi gejala adalah durasl pasien mengalaml keluhan sinovitis yang dinilai secara klinis pada saat pemeriksaan
* ACR : American College of Rheumatology

Pemeriksaan Penunjang2 3
• Darah perifer lengkap: anemia, trombositosis
• Rheumatoid Factor (RF), anti-cyclic citrullinated peptide antibodies (ACPA/ anti -
CCP / anti - CMV)

808
Artritis Reumatoid

• Laju endap darah atau C- reactive protein (CRP) meningkat


• Fungsi hati, fungsi ginjal
• Analisis cairan sendi (peningkatan leukosit > 2.000 / mm3 ).
dini berupa
• Pemeriksaan radiologi (foto polo / sUSG Doppler ): gambaran
pembengkakan jaringan lunak, diikuti oleh osteoporosis juxta -articular
dan erosi

pada bare area tulang.


• Biopsi sinovium / nodul reumatoid.
fisik atau
ACR juga menilai sensitivitas dan spesifisitas baik dari pemeriksaan
pemeriksaan penunjang guna mengarah pada diagnosis AR.

Tabel 3. Sensitivitas dan Spesifisitas Pemeriksaan


4

Kriterla ACR Sensitivitas (%) Spesifisitas (%)


68 65
Kaku pagi hari
80 43
Artritis >3 tahun
81 46
Artritis sendi tangan
77 37
Artritis simetris
3 100
Nodul reumatoid
59 93
Faktor reumatoid
22 98
Perubahan radiologis

DIAGNOSIS BANDING
tif,
Lupus eritematosus sistemik, gout, osteoartritis, spondiloartropati seronega
sindrom Sjogren 2,6

TATALAKSANA
Nonfarmakologis
Edukasi, proteksi sendi pada stadium akut, foot orthotic / splint ( jika perlu )
, terapi

spa, latihan fisik (dynamic strength training) 30 menit setiap latihan 2 - 3 kali
seminggu

dengan intensitas sedang, suplemen minyak ikan, suplemen asam lemak


esensial .2 4

Farmakologis1 2 6
lorokuin
• Disease modifying anti rheumatic drugs (DMARD) konvensional: MTX, hidroksik
atau klorokuin fosfat, sulfasalazin, leflunomid, azatioprin, siklosporin
• Agen biologik: infliksimab, etanersep, tocilizumab, golimumab, adalimumab
• Glukokortikoid
• OAINS: non-selektif atau selektif COX- 2

809
# ESSSSSSa Reumatologi

Tabel 4. Dosls Obat untuk Penatalaksanaan Artritis Reumatoid ( DMARD


konvensional) 4
Nama Obat Dosls Obats
Metotreksat Oral: 7.5-25 mg setiap minggu
Sulfasalazin Oral: 500 mg setiap hari lalu naikkan sampai
maksimal 3 g setiap hari.
Anti malaria Hidroksikloroquin Oral: 400-600 mg/hari
Kloroquin sulfat Oral 250 mg/hari
Pirimidin, synthesis Inhibitors Leflunomide Dosis: 20 mg/hari: jika tidak dapat mentoleransi,
10 mg/hari.
Azatioprin Oral: 50-100 mg/hari, sampai maksimal 2.5 mg/
kg/hari.
Alkylating agents Siklofosfamid Oral: 50-100 mg setiap hari lalu naikkan sampai
maksimal 2.5 mg/kg/hari
Siklosporin Oral 2.5-5 mg/kg/hari

Terapi Bedah
Dilakukan bila terdapat nyeri berat yang berhubungan dengan kerusakan sendi
yang ekstensif, nyeri persisten pada sinovitis yang terlokalisasi, keterbatasan
gerak
yang bermakna atau keterbatasan fungsi yang berat, kompresi saraf dan adanya
ruptur tendon12

KOMPLIKASI
Anemia, komplikasi kardiak, gangguan mata, pembentukan fistula, peningkatan
infeksi, deformitas sendi tangan, deformitas sendi lain, komplikasi pernapasan, nodul
reumatoid, vaskulitis, komplikasi pleuroparenkimal primer dan sekunder, komplika
si
akibat pengobatan.6
Osteoporosis lebih sering terjadi pada penderita AR yang berkaitan dengan
aktivitas penyakit AR dan pemakaian glukokortikoid, sehingga perlu terapi terhadap
pencegahan osteoporosis dan patah tulang.

PROGNOSIS
Kriteria remisi pada artritis reumatoid dapat menggunakan ACR EULAR yaitu
/
apabila pasien memenuhi seluruh kriteria berikut:2
1. Jumlah sendi yang nyeri < 1
2 . Jumlah sendi yang bengkak < 1
3. Nilai CRP < lmg / dL
4. Penilaian global pasien < 1 (dalam skala 0 - 10)
Sejumlah 10% pasien yang memenuhi kriteria AR akan mengalami remisi spontan
dalam 6 bulan. Akan tetapi kebanyakan pasien akan mengalami penyakit yang persisten

810
Artritis Reumatoid

i umum dengan
dan progresif. Tingkat kematian pada AR dua kali lebih besar dari populas
n terbanyak diikuti
penyakit jantung iskemik yang menjadi penyebab utama kematia
7 tahun untuk laki-
dengan infeksi. Median harapan hidup lebih pendek dengan rata - rata
laki dan 3 tahun untuk perempuan dibandingkan populasi kontrol.
1,2

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Reumatologi
• RS non pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
-
: Semua Sub Bagian Di Lingkungan Departemen Ilmu Penyak
it
• RS pendidikan
Dalam, Departemen Ortopedi, Departemen Rehabilitasi
Medik
• RS non pendidikan : Bagian Ortopedi, Bagian Rehabilitasi Medik

REFERENSI
Suarjana I. Artritis reumatoid. In: Sudoyo A, Setiyohadi B Alwi
, I, Simadibrata M, Setiati S, editors.
1.
th ed. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu
Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5
Penyakit Dalam FKUI, 2009:2495 - 513
.
2. Shah A, StClair E. Rheumatoid arthritis In: Fauci A Kasper
, D, Longo D, Braunwald E, Hauser S,
Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison ' s principle s of internal .
medicine 18lh ed. United States of
America: The McGraw-Hill Companies, 2012: 2738 - 52
. Advisor 2008, 10th ed. Mosby. 2008.
3. Mercier Lonnie R Rheumatoid Arthritis. In: Ferri: Ferri ’ s Clinical
.
4. Aletaha C, Neogi T Silman A, Funovits J, Felson D Bingham
, C, et al. 2010 rheumatoid arthritis
classification criteria. Arthritis & Rheumatism. 20 I 0 62; ( 9 ) : 2569 - 81

.
5 . Beers MH, Berkow R, editors Crystal-Induced Conditions In
. : The Merck Manual of Diagnosis and
Therapy 17 th ed.
6. USA : Merck Research Laboratories, 1999. p 460 - 4.
ogic disorders. In: McPhee S, Papadakis
7. Hellmann D, Imboden J. Musculosceletal and immunol
M, Rabow M, editors.
8. Current medical diagnosis and treatment 2011.50 ed.
th California; The McGraw -Hill Education.
2010:779 - 840 .

811
812

ARTRITIS GOUT DAN HIPERURISEMIA

PENGERTIAN
Hiperurisemia adalah meningkatnya kadar asam urat darah diatas normal
(pria
> 7 mg/ dL, wanita > 6 mg/ dL] yang bisa disebabkan oleh
peningkatan produksi asam
urat, penurunan ekskresi asam urat pada urin, atau gabungan keduany .
a Hiperurisemia
yang berkepanjangan dapat menyebabkan gout, namun tidak semua
hiperurisemia
menimbulkan patologi berupa gout.1
Gout atau pirai adalah penyakit metabolik yang sering ditemuk
an pada laki-laki
> 40 tahun dan perempuan pasca menopause, karena penump
ukan kristal monosodium
urat (MSU) pada jaringan akibat dari hiperurisemia. Biasanya ditandai
dengan episode
artritis akutdan kronis, pembentukan tofus, serta risiko untuk deposisi di
interstitium
ginjal ( Nefropati) dan saluran kemih (nefrolitiasis]. 1
Artritis gout adalah peradangan akut yang hebat pada jaringan sendi
disebabkan
oleh endapan kristal - monosodium urat dan mengakibatkan satu
atau beberapa
manifestasi klinik. 23

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Diagnosis Hiperurisemia
Anamnesis
Perjalanan alamiah gout terdiri dari tiga periode yaitu: periode hiperuri
semia
tanpa gejala klinis, episode artritis gout akut diselingi interval tanpa
gejala klinis, dan
artritis gout kronis. Serangan artritis gout akut yang pertama paling
sering mengenai
tungkai bawah (80-90% kasus] umumnya pada sendi metatarsofalange
al I (MTP 1)
yang secara klasik disebut podagra, onsetnya tiba -tiba, sendi terkena
mengalami
eritema, hangat, bengkak dan nyeri tekan, serta biasanya disertai
gejala sistemik,
seperti demam, menggigil, dan malaise.12
Pada beberapa pasien hanya mengalami satu kali episode serangan akut,
namun pasien
pada umumnya akan mengalami serangan artritis akutkedua dalam 6 bulan
sampai dengan
2 tahun. Serangan akut artritis berikutnya dapat mengenai beberapa sendi,
menyebar

PanduanPraktik Klinis
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
Artritis Gout dan Hiperurisemia

ke tungkai atas terutama lengan dan tangan. Serangan akut artritis yang tidak terobati
dengan baik akan mengakibatkan artritis gout kronis yang ditandai destruksi kronis
beberapa sendi yangtelah seringmengalami serangan akut, disertai inflamasi ringan pada
sendi, deformitas sendi dan terdapattofi (kristal MSU dikelilingi sel mononuklear dan sel
raksasa). artritis gout Kronis berkembang dalam 5 tahun dari onset pertama akut artritis
gout pada sekitar 30% pasien yang tidak terobati dengan baik.
12

Anamnesis arthritis, perjalanan penyakitditujukan untukmencari adanya riwayat


keluarga, penyakit lain sebagai penyebab sekunder hiperurisemia, riwayat minum
minuman beralkohol, obat-obatan tertentu.1

Pemeriksaan Fisik
Keadaan sendi harus dievaluasi apakah terdapat tanda- tanda inflamasi, seperti
eritema , hangat, bengkak, dan nyeri tekan, serta tanda deformitas sendi dan tofi (tanda
khas gout). Sendi yang terkena biasanya pada tungkai bawah, umumnya pada sendi
metatarsofalangeal I ( MTP 1).
Faktor lain perlu juga dicari kelainan atau penyakit sekunder seperti tanda-tanda
anemia, pembesaran organ limfoid, keadaan kardiovaskular, tekanan darah, tanda
kelainan ginjal .1

Pemeriksaan Penunjang1 3
• Pemeriksaan darah rutin, asam urat, kreatinin
• Ekskresi asam urat urin 24 jam
• Bersihan kreatinin
• Radiologis sendi ( jika perlu)

Diagnosis Artritis Gout


Berdasarkan Kriteria ACR ( American College Rheumatology), diagnosis ditegakkan
bila salah satu dari poin (A), ( B) dan (C) berikut terpenuhi.
45

A. Didapatkan kristal MSU di dalam cairan sendi, atau


B. Didapatkan kristal MSU pada tofus, atau
C. Didapatkan 6 dari 12 kriteria berikut:
• Inflamasi maksimal pada hari pertama
• Serangan artritis akut lebih dari 1 kali
• Serangan artritis monoartikular
• Sendi yang terkena berwarna kemerahan

813
BgBBBB1 Reumatologi

• Pembengkakan dan sakit pada sendi metatarsofalangeal (MTP) I


• Serangan pada sendi MTP unilateral
• Serangan pada sendi tarsal unilateral
• Tofus (atau suspek tofus )
• Hiperurisemia
• Pembengkakan sendi asimetris ( radiologis )
• Kista subkortikal tanpa erosi ( radiologis )
• Kultur bakteri cairan sendi negatif

DIAGNOSIS BANDING4
• Pseudogout ( penimbunan kristal kalsium pirofosfat dehydrogenase / CPPD )
• Artritis septik
• Artritis reumatoid
• Palindromic rheumatism
Tabel 1. Perbandingan Gout dan Pseudogout: 4
Gout Pseudogout (CPPD)
Rasio laki-laki: perempuan 7: 1 1:1.5
Kelompok Usia -
Laki laki > 40 tahun Lansia
Perempuan pascamenopause
Asam urat darah Meningkat Normal
Sendi yang terlibat metatarsophalangeal (MTP) digiti I, Lutut, pergelangan tangan,
insteps, lutut, pergelangan tangan, pergelangan kaki
jari, bursa olekranon.
Keterlibatan sendi MTP digiti Sering Jarang
I (podagra)
Tofus Ada Jarang, deposit mirip tofus
Temuan radiologis Erosi dengan tepi ( Erosions with Chondrocalcinosis
overhanging edges )
Kristal Berbentuk jarum, birefringence positif Berbentuk rhomboid,
kuat birefringence positif lemah

TATALAKSANA
Prinsip pengelolaan hiperurisemia maupun gout, yaitu:
1. Non-farmakologis: 1, 2 , 6
• Penyuluhan diet rendah purin ( hindari jerohan , seafood )
• Hidrasi yang cukup
• Penurunan berat badan (target BB ideal)
• Menghindari konsumsi alkohol dan obat-obatan yang menaikkan asam urat
darah (etambutol, pirazinamid, siklosporin, asetosal, tiazid )
• Olahraga ringan

814
Artritis Gout dan Hiperurisemia

2 . Farmakologis: 2
• Pengobatan fase akut:
Obat anti inflamasi non-steroid (OAINS) kerja cepat, baikyang non selektif
maupun yang selektif.
Kortikosteroid (glukokortikoid) per oral dosis rendah, parenteral, atau
injeksi lokal IA (seperti triamsinolon 5-10 mg untuk sendi kecil atau
20-40 mg untuk sendi besar) terutama bila ada kontraindikasi dari OAINS.
Kolkisin dapat menjadi terapi efektif namun efeknya lebih lambat
dibandingkan OAINS dan kortikosteroid. Manfaat kolkisin lebih nyata
untuk pencegahan serangan akut, terutama pada awal pemberian obat
antihiperurisemik, dengan dosis 0,5-1 mg/ hari.
Obat antihiperurisemik seperti alopurinol tidak boleh diberikan pada fase
akut kecuali pada pasien yang sudah rutin mengkonsumsinya.
• Obat antihiperurisemik:
a. Obat penghambat xantin oksidase (untuktipe produksi berlebih), misalnya
allopurinol
b. Obat urikosurik (untuk tipe ekskresi rendah), misal probenesid,

KOMPLIKASI
Tofus, deformitas sendi, nefropati gout, gagal ginjal, batu saluran kencing (obstruksi
dan / atau infeksi).

PROGNOSIS
Angka kekambuhan gout akut: 60% dalam satu tahun pertama; 80 % dalam 2
tahun; 90 % dalam 5 tahun. Perjalanan penyakit gout akan lebih buruk bila: onset
gejala muncul pada usia muda (<30 tahun), serangan sering berulang, kadar asam urat
darah tinggi (tidak terkontrol), dan mengenai banyak sendi. Sekitar 20 % pasien gout
akan timbul urolitiasis dengan batu asam urat atau batu kalsium oksalat. 7

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Reumatologi
• RS non pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam

815
ft EafiMSSH?1 Reumatologi

UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam- Divisi Ginjal Hipertensi,
Departemen Bedah Urologi, Departemen Ortopedi
• RS non pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Departemen Bedah /
Ortopedi

REFERENSI
.
1. Tjokord.a RP. Hiperurisemia. Dalam; Sudoyo AW, et dj editor Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid
. .
II edisi IV Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2006 Him 1213 - 7 .
2. .
Edward ST. Artritis Pirai Dalam: Sudoyo AW, et al editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II
.
edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2006 Him 1218 - 20 .
3. . .
Chen Lan X Primary Immune Deficiency Diseases In: Longo Fauci Kasper, Harfison' s Principles of
.
Internal Medipine 18lh edition United.States of America:Mcgraw Hill 2012 .
4. . .
Schlesinger N Diagnosis of Gout: Clinical, Laboratory, and Radiologic Findings Arp JManagCare.
. .
2005 Nov;l 1 (15 suppl):s443-50 http://www ajmc.com/publlcations/supplement/2005/2005-l 1 -vol
11-n15Suppl/Nov05-2217pS443-S 450
5. Hadi S. Gambaran Klinik dan Diagnosis! Gout. Dalam:Setiyohadi B, Kasjmir VI, editor. Kumpulan
Makalah Temu llmiah Reumatologi 2010 Him 94 - 7 . .
6. . .
Karapang K Penatalaksanaan Artritis Gout Dalam:Setiyohadi B, Kasjmir VI, editor Kumpulan .
Makalah Temu llrhlah Reumatologi 2011 Him 17 - 21 . .
7. .
Thompson AE Tarascon Pocket Rheumatologica, 4th ed. Massachusetts: Jones and Bartlett
.
Publishers 2010, p 39 - 42 .

816
817

ARTRITIS SEPTIK

PENGERTIAN
Artritis septik adalah infeksi pada sendi, yang umumnya disebabkan oleh bakteri
gonokokal maupun nongonokokal. Penyakit ini disebut juga artritis bakterialis,
artritis supuratif, atau artritis infeksiosa. Penyebab nongonokokal tersering adalah
Staphylococcus aureus, diikuti oleh Streptococcus sp. Selain itu, Escherichia coli dan
Pseudomonas aeruginosa merupakan bakteri gram negatif paling sering ditemukan
pada dewasa. Artritis septik yang disebabkan Neisseria gonorrhoeae merupakan entitas
yang terpisah dari disseminated gonococcal infection .Faktor risiko artritis septik antara
lain adalah sebagai berikut:1, 2
• Prostesis sendi lutut dan sendi panggul disertai infeksi kulit
• Infeksi kulit dengan prostesis
• Prostesis panggul dan lutut tanpa infeksi lutut tanpa infeksi kulit
• Umur >80 tahun
• Diabetes Melitus
• Artritis reumatoid yang mendapat imunosupresif
• Tindakan bedah persendian atau prosedur injeksi intra-artikular
• Lupus eritematosus sistemik (merupakan faktor risiko ke- 5 di Filipina)

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis3
• Keluhan Utama: nyeri sendi akut, nyeri tekan, hangat, gerakan terbatas, gangguan
fungsi. Pada 90% pasien umumnya hanya terkena satu sendi, yaitu sendi lutut.
Lokasi lainnya dapat juga terjadi pada sendi panggul, bahu, pergelangan tangan
atau siku meskipun lebih jarang. Selain itu, keluhan demam ditemukan pada
-
rentang suhu tubuh 38.3° 38.9°C (101°-102° F), namun dapat pula ditemukan
suhu tubuh yang lebih tinggi pada keadaan, seperti: artritis reumatoid, insufisiensi
renal atau hepatik, dan kondisi yang membutuhkan terapi imunosupresif.
• Riwayat Penyakit Dahulu: prostesis sendi, injeksi intra-artikular, trauma sendi.

PanduanPraktlk Minis
Pertiimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
®ri PmlMMPraUlliiaws Reumatologi
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia

Pemeriksaan Fisik 2
Demam pada sepertiga pasien, pemeriksaan sendi yang terlibat: hangat, merah
dan bengkak. Sebagian besar kasus mengenai 1 sendi (80%-90%).

Pemeriksaan Penunjang
1. Evaluasi cairan Sinovial: 13
• Dapat ditemukan cairan sinovial yang keruh, serosanguin, atau purulen.
• Jumlah sel dan diferensiasi
• Jumlah sel leukosit, yang berkisar 100,000/ L (50,000-250,000/ LJ , dengan > 90%
neutrofil, merupakan karakterisitik infeksi bakteri akut. Pada Crystal-induced ,
reumatoid, dan inflamasi artritis lainnya biasanya < 30,000-50,000 sel L. Sedangkan,
/
hitung sel 10,000-30,000 / L, 50-70% neutrofil dan sisanya limfosit, merupakan
gambaran yang paling umum dari infeksi mikobakterial dan infeksi fungal.
• Pewarnaan gram dan kultur untuk antibiotik
• Organisme yang ditemukan pada infeksi dengan S. aureus dan streptokokus hampir
mendekati tiga per empat kasus dan sisa 30-50% infeksi disebabkan oleh gram-
negatif bakteri lain. Kultur cairan sinovial positif pada > 90% kasus.
• Mikroskopi polarisasi untuk mengeksklusi kristal artritis.
2 . Pemeriksaan darah:
Kultur darah bisa positif walaupun kultur cairan sinovial negatif. Jumlah sel darah
putih dan diferensiasinya, protein c reaktif, laju endap darah juga dapat membantu
monitoring terapi. u
3. Gambaran rontgen
Pada orang dewasa pencitraan tidak dapat digunakan sebagai alat diagnostik artritis
septik, tetapi dapat membantu sebagai dasar penilaian kerusakan sendi. Rontgen
polos dapat digunakan untuk melihat jaringan lunak yang membengkak, pelebaran
ruang sendi, dan pergeseran jaringan oleh kapsul yang mengalami distensi. Gambaran
penyempitan ruang sendi dan erosi tulang menunjukkan bahwa telah terjadi infeksi
lanjut dan prognosis yang buruk. Ultrasonografi dapat digunakan untuk mendeteksi
adanya efusi sendi dan bisa sebagai pemandu pada tindakan aspirasi. CT scan dan
MRI dapat digunakan untuk membantu menilai luasnya infeksi1,3 5

DIAGNOSIS BANDING
Selulitis, bursitis, osteomielitis akut, artritis reumatoid, still disease, gout dan
pseudogout

816
Artritis Septik

TATALAKSANA
A. Aspirasi sendi yang adekuat12
B. Pengobatan empiris dengan obatantibiotik intravena dapat dimulai setelah sampel
kultur dan jenis gram didapatkan 1,3,4-5
1. Bila pada hasil pemeriksaan gram didapatkan gram positif maka antibiotik
empirik yang dapat diberikan adalah Oxacillin atau Cefazolin
2. Bila pada hasil pemeriksaan gram didapatkan gram negatif maka antibiotik
empirik yang dapat diberikan adalah sefalosporin generasi ketiga seperti
ceftriaxon atau cefotaxim
3. Antibiotik definitif intravena diberikan sesuai dengan hasil kultur selama dua
minggu dan dilanjutkan dengan antibiotik oral selama empat minggu .
C. Latihan sendi segera setelah infeksi teratasi untuk mencegah deformitas sendi

KOMPLIKASI
Kerusakan kartilago atau tulang, osteomielitis, syok septik, gagal organ

PROGNOSIS
Angka mortalitas rawatinap mencapai 7-15% meski dengan penggunaan antibiotik.
Pada usia tua, angka kematian ditemukan lebih tinggi. Angka mortalitas pada pasien
dengan sepsis poliartikular dapat mencapai 30%. Dari 335 pasien yang datang ke rumah
sakit dengan artritis septik, ditemukan data angka kematian sebagai berikut:
6

0.7 % dari 87 pasien dengan umur < 60 tahun


- 4.8% dari 206 pasien dengan umur 60-79 tahun
- 9.5 % dari 42 pasien dengan umur > 80 tahun

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Departemen llmu Penyakit Dalam - Divisi Reumatologi
• RS non pendidikan : Departemen llmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Divisi Tropik Infeksi, Departemen llmu Penyakit Dalam,
Departemen Ortopedi, Departemen Rehabilitasi Medik,
Departemen Patologi Klinik / Departemen Mikrobiologi Klinik
• RS non pendidikan : Bagian Ortopedi, Bagian Rehabilitasi Medik, Departemen
Patologi Klinik / Departemen Mikrobiologi Klinik

819
PanduaH Praktlk
Dilom
Kllnis Reumatoloqi
PBftiirtipunnn Do k ter Spusidlio Pflrtyjwl Irtdonesa sy

REFERENSI
1. Fischer A.Primary Immune Deficiency Diseases. In: Longo Fauci Kasper, Flarrison ' s Principles of
.
Internal Medicine 18th edition United States of America:Mcgraw Hill. 2012
2. Setiyohadi B , Tambunan A. Infeksi Tulang dan Sendi. dalam: Sudoyo,Setiyohadi,Buku Ajar llmu
Penyakit Dalam. Edisi V . Jakarta. Interna Publishing. 2011
3. ,
McPhee, Current Medical Diagnosis and Treatment 2011.50 h ed. United State of American. 201
4. .
Kelley Septic arthritis 1701-45 . .
5. Primer 271-6.
6. Gavet F, et al. Septic arthritis in patients aged 80 and older: a comparison with younger adults. J
.
Am GeriatrSoc 2005 Jul;53 ( 7) :l 210). Diunduhdari http://www.ncbi.nlm.nih g0v /pubmed/l 6108940
pada tanggal 3 Mei 2012.

820
821

FIBROMIALGIA

PENGERTIAN
Sindrom kronikyang ditandai dengan nyeri otot dan sendi yang menyebar luas. Sering
terkait dengan kelelahan, kesulitan tidur, gangguan kognitif, ansietas, dan depresi .
13 '

PENDEKATAN DIAGNOSIS
Diagnosis fibromialgia ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis American College
of Rheumatology (ACR) tahun 2010 (tabel l ) . 3

Tabel 1. Kriteria Diagnosis Berdasarkan ACR 2010:3


Pasien memenuhi kriteria diagnosis jika 3 kondisi berikut dipenuhi:
1. Widespread pain index ( WPI) 7 dan skor skala symptom severity (SS) S5 atau WPI S3- 6 dan skor skala
SS 9
2 . Gejala telah ada selama minimal 3 bulan
3. Pasien tidak memiliki penyakit lain yang dapat menjelaskan nyeri yang dialami
Skor
1. WPI: perhatikan daerah-daerah di mana pasien mengalami nyeri selama seminggu terakhir. Pada
berapa banyak daerah pasien mengalami nyeri? Skor antara 0 dan 19
Bahu, kiri Panggul (bokong, trokanter ) , kiri Rahang, kiri Punggung atas
Bahu, kanan Panggul (bokong, trokanter ) , kanan Rahang, kanan Punggung bawah
Lengan atas, kiri Tungkai atas, kiri Dada Leher
Lengan atas, kanan Tungkai atas, kanan Abdomen
Lengan bawah, kiri Tungkai bawah, kiri
Lengan bawah, kanan Tungkai bawah, kanan
2. Skor skala SS
a. Kelelahan
b Tidak segar pada waktu bangun tidur
c. Gejala kognitif
Untuk masing-masing dari gejala di atas, tentukan tingkat keparahan dalam satu minggu terakhir
menggunakan skala berikut:
0 = tidak ada masalah
1 = masalah minimal atau ringan, biasanya ringan atau intermiten
2 = masalah sedang, sering muncul dan atau pada tingkat sedang
3 = masalah berat: pervasif, berkesinambungan dan mengganggu kehidupan
Mempertimbangkan gejala somatik secara umum, tentukan apakah pasien memiliki:
0 = tidak ada gejala
1 = sedikit gejala
2 = gejala dalam jumlah sedang
3 = banyak gejala
Skor skala SS adalah jumlah dari keparahan tiga gejala (kelelahan, tidak segar pada waktu bangun tidur gejala
,

kognitif ) ditambah keparahan gejala somatik secara umum. Skor akhir antara 0 dan 12
. . .
gejala somatik yang dopal dlpeillmbongkan: nyeri otol irritable bowel syndrome , kelelahan. masalah dalam bOpikll atau
‘mengingal .
.
, kelemahan olol, soldi kepala, kram peiul boa!/ kosomutan, pitting Insomnia depresi
,
..
komllpasl nyeil psriil boglan
. . . . .
atas, rnual. gugup nyeri dada pandangan kabur , demons, dlare mulul ketlng grjtal mengi fenomena Raynaud's
, berdeting dl
. mala koring, sesak nopas .
telinga, muntah, rasa lerbakar dl dodo, ulkus di mulul . hilanrjnya / pwubahan pcmgecopan kcjarig
sensltil Ion idnp malohurl, fct endengat, mi lah mei lai nbul ronlok. unilasi senng d in
hilangnyn nolsu ruukan
spasme kandung kemih

PanduanPraktfk Minis
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
£!fy)
-
# Reumatologi

DIAGNOSIS BANDING1 2
Sindrom nyeri regional miofasial, miopati karena kelainan endokrin (hipotiroid,
hipertiroid, hiperparatiroid, insufisiensi adrenal], miopati metabolik, neurosis,
metastasis karsinoma, sindrom lelah kronik.

TATALAKSANA
• Nonfarmakologis1'2 4
Edukasi, olahraga aerobik, pemanasan, cognitive - behaviorial therapy, terapi kolam
panas, relaksasi, fisioterapi .
• Farmakologis1 2 4
1. Antinyeri : tramadol , parasetamol, opioid lemah lainnya.
2 . Antidepresan: amitriptilin, fluoxetin, duloxetin
3. Antikonvulsan : pregabalin . gabapentin

KOMPLIKASI
Depresi , penurunan kualitas hidup

PROGNOSIS
Pada usia muda dengan gejala ringan, prognosis lebih baik. Prognosis lebih buruk
pada pasien dengan ansietas atau depresi . Kebanyakan pasien terus mengalami nyeri
kronik dan kelelahan namun sebagian pasien masih dapat bekerja penuh dan hanya
sedikit mengganggu kehidupan mereka. 2 4 -
UNIT YANG MENANGANI
• RS pendidikan : Departemen llmu Penyakit Dalam - Divisi Reumatologi
• RS non pendidikan : Departemen llmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Departemen llmu Penyakit Dalam
Divisi Psikosomatik,
-

Departemen Rehabilitasi Medik, Departemen Psikiatri


• RS non pendidikan : Departemen Rehabilitasi Medik, Departemen Psikiatri

REFERENSI
l. .
Sjah OKM Fibromialgia dan nyeri miofasial. Dalam: Sudoyo AW , Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata
M, Setiati S, penyunting. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi V. Jakarta; InternaPublishing; 2009.
Hal. 2709- 13

822
Fibromialgia fjp
2. .
Crofford LJ. Fibromyalgia. Dalam: Longo DL. Kasper DL Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo
.
J, penyunting Harrison' s principle of internal medicine. Edisi XVIII. McGraw-Hill Companies;2012.
Hal. 2849-51
3. Wolfe F, Clauw DJ, Fitzcharles MA, Goldenberg DL, Katz RS, Mease P, et al. The american college
of rheumatology preliminary diagnostic criteria for fibromyalgia and measurement of symptom
severity. Arthritis Care and Research 2010; 62 ( 5 ) ; 600-610.
4. Carville SF, Arendt-Nielsen S, Bliddal H, Blotman F, Branco JC, Buskilla D. Eular evidence
.
based recommendations for the management of fibromyalgia syndrome Ann Rheum Dis.
2007;67(4):536-41.

823
824

LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK

PENGERTIAN
Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah penyakit reumatik autoimun yang
ditandai adanya inflamasi sistemik, yang dapat mengenai beberapa organ atau sistem
dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan kompleks
imun, sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan. Etiopatologi dari SLE belum
diketahui secara pasti. Diduga melibatkan interaksi yang kompleks antara faktor
genetik dan lingkungan.1

DIAGNOSIS
Diagnosis SLE mengacu pada kriteria dari American College of Rheumatology
(ACR) yang direvisi pada tahun 1982 dan kriteria Systemic Lupus International
Collaborating Clinics (SLICC] 2012. Berdasarkan kriteria ACR, diagnosis SLE
dapat ditegakkanjikamemenuhi 4 dari 11 kriteria tersebutyang terjadi secara
bersamaan atau dengan tenggang waktu ( Tabel l ) .1 2 Berdasarkan kriteria -
SLICC 2012, diagnosis SLE dapat ditegakkan jika memenuhi 4 dari kriteria klinis
dan imunologis (Tabel 2), atau memiliki biopsi terbukti nefritis kompatibel dengan
SLE dengan adanya ANA ( antinuclear antibody ) dan antibodi anti- dsDNA ( anti-double-
stranded DNA ).3

Tabel 1. Kriteria Diagnosis Lupus Eritematosus Sistemik Berdasarkan ACR 12


Kriteria Batasan
Ruam malar Eritema menetap, datar, atau menonjol, pada malar eminensia tanpa
melibatkan lipat nasolabial.
Ruam diskoid Bercak eritema menonjol dengan gambaran keratotik dan sumbatan
folikular. Pada SLE lanjut dapat ditemukan parut atrofik.
Fotosensitivitas Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal terhadap sinar matahari,
baik dari anamnesis pasien atau yang dilihat oleh dokter pemeriksa.
Ulkus mulut Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak nyeri dan dilihat oleh dokter
pemeriksa.
-
Artritis non erosif Melibatkan dua atau lebih sendi perifer, ditandai oleh rasa nyeri, bengkak,
dan efusi.

Panduan PrakUk Klinis


Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam
Indonesia
Lupus Eritematosus Sistemik $p
Krtterla Batasan
Pleuritis atau perikarditis Pleuritis-riwayat nyeri pleuritik atau pleuritic friction rub yang didengar
oleh dokter pemeriksa atau bukti efusi pleura.
Atau
Perikarditis-bukti rekaman EKG atau pericardial friction rub yang didengar
oleh dokter pemeriksa atau bukti efusi perikardial.
Gangguan renal a. Proteinuria menetap >0,5 gram per hari atau >3+
atau
b. Cetakan selular-dapat eritrosit, hemoglobin, granular, tabular, atau
c. gabungan.
Gangguan neurologi Kejang yang tidak disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan
metabolik (uremia, ketoasidosis, atau ketidakseimbangan elektrolit )
atau
Psikosis yang tidak disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan
metabolik (uremia, ketoasidosis, atau ketidakseimbangan elektrolit) .
Gangguan hematologik a. Anemia hemolitik dengan retikulosis
atau
b. Leukopenia-<4000/ mm3 pada dua kali pemeriksaan
atau
c . Limfopenia-<1500/mm3 pada dua kali pemeriksaan
atau
d. Trombositopenia-<l 00.000 /mm3 yang tidak disebabkan oleh obat-
obatan .
Gangguan imunologik a. Anti-DNA : antibodi terhadap native DNA dengan titer yang abnormal
atau
b. Anti-Sm: terdapatnya antibodi terhadap antigen nuklearSm
atau
c. Temuan positif terhadap antibodi antifosfolipid yang didasarkan atas:
1 ) kadar serum antibodi antikardiolipin abnormal baik IgG atau IgM,
2) Tes lupus antikoagulan positif menggunakan metode standar atau .
3) hasil tes positif palsu paling tidak selama 6 bulan dan dikonflrmasi
dengan tes Imobitisasi Treponema pallidum atau tes fluoresensi absorpsi
antibodi treponemal.
Antibodi antinuklear Titer abnormal dari antibodi anti-nuklear berdasarkan pemeriksaan
( ANA ) positif imunofluoresensi atau pemeriksaan setingkat pada setiap kurun waktu
perjalanan penyakit tanpa keterlibatan obat.

Pemeriksaan Penunjang2
• Darah perifer lengkap : Hemoglobin, Leukosit, Trombosit, Hematokrit, LED
• Ureum, kreatinin, fungsi hati dan profil lipid
• Urinalisis
• ANA, Anti dsDNA
• Foto toraks
• C3 dan C 4 (untuk menilai aktifitas penyakit)
Pemeriksaan berikut dilakukan jika ada indikasi:
• Protein urin kuantitatif 24 jam
• Profil ANA : Anti Sm, Anti- Ro / SS - A, anti La / SS - B dan anti- RNP
• antiphosph olipid antibodies , lupus anticoagul ant , anticardio lipin , anti - /i 2 -

825
mX/ PanduanPraktikKlinis Reumatoloai
^
*v 1 w? ' Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia

glycoprotein /bila ada kecurigaan sindroma anti - fosfolipid


• Coomb test , bila ada kecurigaaan AIHA
• EKG , ekokardiografi
• Biopsi kulit

Tabel 2. Kriteria Diagnosis Lupus Eritematosus Sistemik berdasarkan SUCC 2012 3


*
A. Kriteria klinis:
1. Lupus kutaneus akut:
Ruam malar ( kecuali malar diskoid)
Lupus bulosa
Nekrolisis epidermal toksik
Ruam makulopapular
Ruam fotosensitivitas
tan pa adanya dermatomiositis
ATAU lupus kutaneus subakut ( nonindurated psoriasiform dan/ atau lesi anular polisiklik
yang hilang tanpa jaringan parut, walaupun terkadang timbul pigmentasi abnormal
setelah inflamasi atau telangiektasis.
2. Lupus kutaneus kronis:
Ruam discoid klasik
Terlokalisir ( diatas leher)
Meyeluruh (diatas dan dibawah leher)
Lupus hipertropik ( veruka)
Lupus panikulitis ( profundus)
Lupus mucosal
Lupus eritematosus tumidus
Lupus chilblain
Lupus discoid bersamaan dengan linchen planus
3. Ulkus mulut
Langit-langit
Bukal
Lidah
ATAU ulkus nasal
tanpa adanya penyebab lain, seperti vaskulitis, infeksi virus herpes, penyakit Behcet ,
inflammatory bowel disease, artritis reaktif , dan makanan asam.
4. Alopesia tanpa jaringan parut ( penipisan yang menyeluruh, atau rambut rapuh dengan
kerusakan yang jelas)
tanpa adanya penyebab lain, seperti alopesia areata, obat- obatan, deifisiensi besi , dan
alopesia androgenik
5. Sinovitis yang melibatkan 2 sendi/lebih ditandai dengan adanya pembengkakan atau efusi
ATAU nyeri pada 2 sendi/lebih dan kekakuan pagi setidaknya selama 30 menit
6. Serositis
Pleuritis tipikal lebih dari 1 hari
ATAU efusi pleura
ATAU pleural rub
Nyeri perikardial tipikal lebih dari 1 hari
ATAU efusi pericardium
ATAU pericardial rub
ATAU perikarditis pada EKG
tanpa adanya penyebab lain, seperti infeksi, uremia, dan Dressler ' s pericarditis
7. Ginjal
Rasio protein kreatinin urin ( atau protein urin 24 jam| menunjukkan 500mg protein 24 jam
/
ATAU cast eritrosit

826
Lupus Eritematosus Sistemik

8. Neurologi
Kejang
Psikosis
Mononeuritis multiplex
tanpa adanya penyebab lain, seperti vaskulitis primer
Mielitis
Neuropati perifer atau kranial , dan DM
tanpa adnaya penyebab lain, seperti vaskulitis primer, infeksi
Status konfusional akut , obat-obatan
tanpa adanya penyebab lain, seperti toksik / metabolic, uremia
9. Anemia hemolitik
10. Leukopenia ( <4.000/mm ) setidaknya sekali
3
, dan hipertensi portal
tanpa adanya penyebab lain, seperti sindrom Felty, obat-obatan
3 setidaknya sekali
ATAU limfopenia ( < 1.000/mm )
dan infeksi
tanpa adanya penyebab lain , seperti pemakaian kortikosteroid
3 ) setidaknya sekali
11. Trombositopenia (<100.000/mm
i portal, dan thrombotic
tanpa adanya penyebab lain, seperti obat -obatan, hipertens
thrombocytopenic purpura ( TTP )

B. Krlterla Imunologls:
1. Level ANA yang meningkat melebihi batas atas normal
batas atas normal ( atau 2x batas atas
2. Level antibody anti- dsDNA yang meningkat melebihi
normal bila pemeriks aan dilakukan dengan ELISA )
3. Anti-Sm: adanya antibodi terhadap antigen nuklir Sm
4. Adanya antibody antifosfolipid yang ditentukan dengan:
Tes lupus antikoagulan positif
Pemeriksaan RPR (rapid plasma regain ) yang positif palsu
lipin (IgA , IgM, atau IgG) yang sedang atau tinggi
Titer antibodi antikardio
Anti-Pj-glikoprotein I (IgA, IgM, atau IgG) positif
5. Kadar komplemen yang rendah
Rendah C3
Rendah C 4
Rendah CH50
6. Tes Coombs langsung tanpa adanya anemia hemolitik
waktu yang bersamaan. SLICC: Systemic Lupus International
Keterangan: '(Criteria SLICC bersifat kumulatif dan tidak harus timbul pada assay .
-stranded DNA: ELISA: enzyme -linked immunosorbent
Collaborating Clinics ; ANA: antinuclear antibody ; anti-dsDNA: anti-double

DIAGNOSIS BANDING
3

oid , sindrom
Undifferentiated connective tissue disease ( UCTD ) , artritis reumat
, fibromyalgia, lupus
vaskulitis, sindrom sjogren primer, sindrom anti - fosfolipid primer
imbas obat.

Derajat Berat Ringannya Penyakit LES


, terutama
Seringkali terjadi kebingungan dalam proses pengelolaan LES
dan pemantauan
menyangkut obat yang akan diberikan, berapa dosis, lama pemberian
yang dilakukan
efek samping obat yang diberikan pada pasien . Salah satu upaya
dengan ditetapkannya
untuk memperkecil berbagai kemungkinan kesalahan adalah
gambaran tingkat keparahan LES.

827
frl rtmiwnPiiWIliMinis Reumatoloqi
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
W

Penyakit LES dapat dikategorikan ringan atau berat sampai mengan


cam nyawa.
• Kriteria untuk dikatakan LES ringan adalah:3
1. Secara klinis tenang
2 . Tidak terdapat tanda atau gejala yang mengancam nyawa
3. Fungsi organ normal atau stabil, yaitu: ginjal, paru, jantung
, gastroin testinal,
susunan saraf pusat, sendi, hematologi dan kulit.
4. Tidak ditemukan tanda efek samping atau toksisitas pengob
atan
Contoh LES dengan manifestasi artritis atralgia dan kulit.
/
• Penyakit LES dengan tingkat keparahan sedang apabila ditemukan.3
1. Nefritis ringan sampai sedang ( Lupus nefritis kelas I dan )
II
2 . Trombositopenia (trombosit 20-50xl 03 mm 3)
/
3. Serositis mayor
• Penyakit LES berat atau mengancam nyawa apabila ditemukan keadaan
sebagaimana tercantum di bawah ini, yaitu 3:
-
1. Jantung: endokarditis Libman Sacks, vaskulitis arteri korona ,
ria miokarditis,
tamponade jantung, hipertensi maligna.
-
2. Paru paru: hipertensi pulmonal, perdarahan paru, pneumo
nitis, emboli paru,
infark paru, fibrosis interstisial, shrinking lung.
3. Gastrointestinal: pankreatitis, vaskulitis mesenterika.
4 . Ginjal : nefritis persisten, RPGN ( rapidly progressive giomer
uio nephritis) ,
sindroma nefrotik.
5. Kulit : vaskulitis berat, ruam difus disertai ulkus atau melepuh
.
[ blister )
6. Neurologi: kejang, acute confusional state, koma, stroke, mielopa
ti transversa,
mononeuritis, polineuritis, neuritis optik, psikosis, sindroma
demielinasi.
7. Otot: miositis.
8. Hematologi: anemia hemolitik, neutropenia (leukosi
t <1.000 / mm 3) ,
trombositopenia < 20.000 / mm , 3 purpura trombotik trombo
sitopenia,
trombosis vena atau arteri.
9. Konstitusional: demam tinggi yang persisten tanpa bukti
infeksi .

Penilaian Aktifitas Penyakit LES


Perjalanan penyakit LES yang ditandai dengan eksaserbasi dan
remisi, memerlukan
pemantauan yang ketat akan aktifitas penyakitnya . Untuk itu dapat
digunakan berbagai
indeks aktifitas penyakit seperti SLEDAI, MEX-SLEDAI, SLAM,
dsb. Dianjurkan untuk menggunakan MEX-SLEDAI atau SLEDA
BILAG Score, LAM 6 -
I . MEX-SLEDAI lebih

828
Lupus Eritematosus Sistemik 0
:

mudah diterapkan pada pusat kesehatan primer yang jauh dari tersedianya fasilitas
laboratorium canggih, dengan cara sebagai berikut:
4

Masukkan bobot MEX SLEDAI bila terdapat gambaran deskripsi pada saat
pemeriksaan atau dalam 10 hari ini .
BOBOT DESKRIPSI DEFINISI
8 Gangguan • Psikosa.Gangguan kemampuan melaksanakan aktifitas fungsi normal
neurologis dikarenakan gangguan persepsi realitas. Termasuk: halusinasi, inkoheren,
kehilangan berasosiasi, isi pikiran yang dangkal, berfikir yang tidak logis,
.
bizzare disorganisasi atau bertingkah laku kataton.
• Eksklusi:uremia dan pemakaian obat.
• CVA ( Cerebrovascular accident ) : Sindrom baru. Eksklusi arteriosklerosis.
• Kejang: Onset baru, eksklusi metabolik, infeksi, atau pemakaian obat.
• Sindrom otak organik: Keadaan berubahnya fungsi mental yang ditandai
dengan gangguan orientasi, memori atau fungsi intelektual lainnya dengan
onset yang cepat, gambaran klinisyang berfluktuasi. Seperti: a ) kesadaran
yang berkabut dengan berkurangnya kapasitas untuk memusatkan pikiran
dan ketidak mampuan memberikan perhatian terhadap lingkungan,
disertai dengan sedikitnya 2 dari b) gangguan persepsi; berbicara melantur;
insomnia atau perasaan mengantuk sepanjang hari; meningkat atau
menurunnya aktifitas psikomotor. Eksklusi penyebab metabolik, infeksi atau
penggunaan obat .
• Mononeuritis; Defisit sensorik atau motorik yang baru disatu atau lebih
saraf kranial atau perifer.
• Myelitis; Paraplegia dan/ atau gangguan mengontrol BAK /BAB dengan
onset yang baru. Eksklusi penyebab lainnya
6 Gangguan ginjal • Caste, Heme granular atau sel darah merah.
• Haematuria. >5 /Ipb. Eksklusi penyebab lainnya (batu/infeksi)
• Proteinuria. Onset baru, >0.5g/l pada random spesimen.
• Peningkatan kreatinine (>5 mg/dl)
4 Vasculitis • Ulserasi, gangren, nodul pada jari yang lunak, infark periungual , splinter
haemorrhages . Data biopsi atau angiogram dari vaskulitis.
3 Hemolisis • Hb<12.0 g/dl dan koreksi retikulosit >3%.
Trombositopeni • Trombosit: < 100.000. bukan disebabkan oleh obat
3 Miositis • Nyeri dan lemahnya otot-otot proksimal, yang dihubungkan dengan
peningkatan CPK
2 Artritis • Pembengkakan atau efusi lebih dari 2 sendi.
2 Gangguan • Ruam malar. Onset baru atau malar erithema yang menonjol.
Mucokutaneous • Mucous ulcers . Oral atau nasopharyngeal ulserasi dengan onset baru
atau berulang.
• Abnormal Alopenia. Kehilangan sebagaian atau seluruh rambut atau
mudahnya rambut rontok.
2 Serositis • Pleuritis. Terdapatnya nyeri pleura atau pleural rub atau efusi pleura
pada pemeriksaan fisik.
• Perikarditis. Terdapatnya nyeri pericardial atau terdengarnya rub .
.
• Peritonitis Terdapatnya nyeri abdominal difus dengan rebound
tenderness ( Eksklusi penyakit intra-abdominal).
I Demam • Demam >38° C sesudah eksklusi infeksi.
Fatigue • Fatigue yang tidak dapat dijelaskan
1 Leukopenia • Sel darah putih < 4000/mm3, bukan akibat obat
Limfopeni • Limfosit < 1200.mm3, bukan akibat obat.
-
TOTAL SKOR MEX SLEDAI =

829
f§ HaHaaaSfif * Reumatologi

PENGELOLAAN 1 5 4
Pengelolaan pasien SLE harus dilakukan secara komprehensif dengan
memperhatikan berbagai faktor seperti jenis organ yang terlibat dan derajat berat
ringannya, aktifitas penyakit, komorbiditas, dan komplikasi.
Pengelolaan ini terdiri dari:
1. Edukasi dan konseling: penjelasan tentang penyakit Lupus, perjalanan penyakit,
program pengobatan yang direncanakan, komplikasi dan perlunya upaya
pencegahan termasuk menghindari paparan sinar matahari ( ultraviolet]
2. Rehabilitasi: istirahat, terapi fisik, terapi dengan modalitas, ortosis
3. Medikamentosa berdasarkan keterlibatan organ dan derajat aktifitas penyakit:
SLE ringan: parasetamol, OAINS, kortikosteroid topikal, klorokuin,
kortikosteroid oral dosis rendah, tabir surya
SLE sedang: kortikosteroid dosis sedang -tinggi, beberapa imunosupresan
seperti azatioprin dan mikofenolat mofetil ( MMF)
SLE berat atau mengancam nyawa: kortikosteroid pulse dose, siklofosfamid
Terapi lain yang dapat digunakan pada kondisi respons steroid yang tidak adekuat
atau diperlukan steroid sparing agent antara lain: MMF, siklosporin, azatioprin,
metotreksat, klorokuin, rituximab. 2

KOMPLIKASI
.
Anemia hemolitik, trombosis, lupus serebral, nefritis lupus, infeksi sekunder 1,2

PROGNOSIS
Angka harapan hidup pasien dengan SLE di Amerika Serikat, Kanada, Eropa, dan
Cina sekitar 95% dalam 5 tahun, 90% dalam 10 tahun, 78% dalam 20 tahun. Ras
Afrika-Amerika dan Hispanik-Amerika keturunan mestizo mempunyai prognosis lebih
buruk daripada ras kaukasia. Prognosis di negara berkembang lebih buruk daripada
negara maju yaitu dengan angka kematian 50% dalam 10 tahun; seringkali berkaitan
dengan saat pertama kali terdiagnosis, antara lain: pasien dengan nilai kreatinin serum
>124 mol / L atau >1.4 mg / dL, hipertensi, sindroma nefrotik (ekskresi protein urin
> 2.6 g/ 24 jam], anemia (hemoglobin <124 g/ L atau <12.4 g dL], hipoalbumin, jenis
/
-
kelamin laki -laki, dan ras (Afrika Amerika dan Hispanik-Amerika keturunan mestizo).
Disabilitas pada pasien SLE karena kelelahan kronis, artritis, nyeri, adanya penyakit
ginjal. Remisi terjadi pada 25 % kasus selama hanya beberapa tahun. Kematian pada
dekade pertama karena penyakit sistemik, gagal ginjal, tromboemboli, dan infeksi.2

830
Lupus Eritematosus Sistemik fg|
(

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Reumatologi
• RS non pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Alergi Imunologi,
Divisi Ginjal Hipertensi, Divisi Pulmonologi, Divisi
Hematologi dan Departemen Ilmu Penyakit Kulit-Kelamin
• RS non pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Kulit-Kelamin

REFERENSI
1. .
Isbagio H, Albar Z, Kasjmir Yl, Setiyohadi B. Lupus Eritematosus Sistemik In: Sudoyo AW , Setiyohadi
.
B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing:
2009.p. 2565-77.
2. Hahn BH. Systemic Lupus Erythematosus. ln:Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, Fauci AS, Hauser
SL, Loscalzo J. Harrisons Principles of Internal Medicine 18lh ed. USA: The McGraw Hill companies:
2012.p.2724-35
3. Petri M, Orbai AM, Alarcon GS, et al. Derivation and validation of the systemic lupus international
collaborating clinics classification criteria for systemic lupus erythematosus. Arthritis Rheum .
2012:64(8):2677-86.
4. American College of Rheumatology Ad Hoc Committee on systemic lupus erythematosus
guidelines. Arthritis Rheum 1999: 42 (9 ) :1785 -96
5. Guzman J, Cardiel MH, Arce-salinas, et al. Measurement of disease activity in systemic lupus
erythematosus. Prospective validation of 3 clinical indices. J Rheumatol 1992:19:1551-1558
6. Petri M. Systemic Lupus Erythematosus. In: Imboden J, Hellmann DB, Stone JH. Current
Rheumatology Diagnosis and Treatment. Singapore: McGraw Hill: 2005. P.171- 178
7. Rekomendari IRA 2011

831
832

NYERI PINGGANG

PENGERTIAN
Nyeri pinggang diartikan sebagai nyeri pada daerah pinggang atau punggung
bagian bawah ( low back pain ) yaitu daerah di daerah lumbal antara tulang rusuk
paling bawah dan garis pinggang. Identifikasi faktor risiko penting untuk memahami
penyakit dasarnya, umumnya berhubungan dengan radikulopati, fraktur, infeksi,
tumor, atau nyeri alih visera.12
Klasifikasi nyeri pinggang ( LBP):3
- Akut : durasi 0-3 bulan
- Kronik: durasi > 3 bulan

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis
• Deskripsi nyeri pinggang: sifat, tingkat beratnya nyeri, onset, durasi, frekuensi,
lokasi nyeri, distribusi / penjalaran, serta faktor pencetus atau yang memperberat.
• Adakah tanda bahaya [ red flags ) atau tanda waspada [yellow flags) . 12
• Adakah defisitneurologis
Tabel 1. Tanda - tanda alarm nyeri pinggang254
Red Flags (tanda bahaya) Yellow Flags (tanda waspada)
Sindrom kauda equina Sikap dan kepercayaannya tentang sakit
Nyeri yang memberat, terutama malam hari pinggangnya
dan saat istirahat Suasana hati/emosi
Trauma yang signifikan Perilaku saat sakit
Penurunan berat badan Problem diagnosis dan terapi
Riwayat keganasan Problem keluarga
Demam Problem pekerjaan
Penggunaan obat intravena atau steroid
Pasien berusia 50 tahun

Panduan Praktik Klinis


Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
Nyeri Pinggang

Pemeriksaan Flsik4
• Inspeksi bentuk tulang belakang dengan posisi pasien berdiri, terlentang, atau
telungkup: adakah kifosis /skoliosis/ hiperlordosis / gibbus/ deformitas lain
• Palpasi untuk menilai kelainan struktur anatomis, lokasi dan adanya nyeri tekan
• Perkusi daerah sekitar tulang belakang seperti pemeriksaan nyeri ketok pada
daerah kostovertebra untuk menyingkirkan kemungkinan sumber nyeri dari ginjal
• Pemeriksaan persendian sakroiliaka: tes Fabere atau Patrick yaitu abduksi dan
rotasi eksternal panggul; pelvic rock test dengan cara meletakkan jari- jari pada
krista iliaka bilateral dan ibu jari pada spina iliaka anterior superior dan kemudian
dilakukan tekanan kea rah garis tengah.
• Pemeriksaan neurologis sesuai dermatom keluhan nyeri, tes Laseque atau straight
leg raising ( SLR)atau reverse SLR, serta pemeriksaan kekuatan otot ekstremitas
inferior.
• Pemeriksaan pergerakan tulang belakang: Schober test, lateral flexion.
• Sindrom kauda ekuina ditandai dengan kesulitan miksi, berkurangnya tonus
sphincter ani atau inkontinensia alvi, saddle anaesthesia, gangguan berjalan.

DIAGNOSIS ETIOLOGI1 2 4

Berasal dari tulang belakang dan sekitarnya


• Mekanis: herniasi diskus, spondilolistesis, stenosis spinalis, hiperostosis skeletal
difus idiopatik, fraktur, idiopatik (lumbago, sprain and strain)
• Neoplasma
• Infeksi (spondilitis TB)
• Inflamasi (spondilitis ankilosa)
• Metabolik

Berasal dari visera


• Nefrolitiasis
• Pielonefritis
• Pankreatitis
• Kolelitiasis
• Endometriosis

833
# HSHMH85S* Reumatologi

Nyeri pinggang
(diluarsebab trauma, non-spinal, atau penyakit sistemlk )

l 1

Anamnesis dan pemeriksaan fisik :


• Lamagejala
• Faktor risiko yang mengarah ke kondisi berat ( RED FLAG |
• Gejala -gejala yang mengarah pada radikulopati atau stenosis spinal
• Adanya tanda dan keparahan defisit neurogis
• Faktor risiko psikososial
i
Konsui ke spesiaiis
Kecurigaaan kuat adanya keganasan, inreksi/inflamasi, sindrom
Ya MRI atau CT scan
kauda ekuina, atau defisit neurologis berat /progresif
*
Tdak

Tidak mengarah kuat pada keganasan, infeksi/inflamasi, atau


• Pertimbangkan pemeriksaan
radiologi/foto polos awal ( pada
fraktur kompresi vertebra, atau kondisi spesifik lain, tetapi Ya banyak kasus)
terdapat salu atau lebih faktor risiko
• Pertimbangkan pemeriksaan LED
untuk evaluasi keganasan, Infeksi
l Tidak atau inflamasl
• Jika faktor risiko lemah ke arah
Tidak diperlukan pemeriksaan radiologi rutin atau tes diagnosis
>
kondisi berat - pertimbangkan
lain. Berikan informasi dan nasehat perawatan diri kepada pasien teraDiawal
• Berikan informasi tentang target yang diharapkan serta


perawatan dlri yang efektif
1
f
Sarankan sebisa mungkin melanjutkan aktifitas, tidak dianjurkan
Terdapat kondisi spesifik
bed rest
• Jelaskan indikasi pemeriksaan kembali dan untuk diagnosis Ya Tidak

Evaluasi dan berikan terapi yang sesuai

Nyeri pinggang sedang dan tidak ada gangguan fungsi yang


Va Lanjutkan perawatan diri
signifikan ^ Jelaskan indikasi pemeriksaan kembali

Tidak

Pertimbangkan terapi farmakologi, non- farmakologi/non- invasif, sebagai terapi awal


Terapi farmakologi : asetaminofen, NSAID, opioid, tramadol, benzodlazepin, obat pelemasotot (nyeri pinggang akut),
antidepresan trisiklik (nyeri pinggang kronik)
Terapi non - farmakologi (untuk nyeri pinggang kronik ): akupuntur, latihan fisik, massage, yoga, terapi behavioral,
manipulasi spinal (juga untuk nyeri pinggang akut), rehabilitasi fisik yang holistik

Terapi inisial
Pasien bersedia menerima risiko dan manfaat terapi
Evaluasi respon terapi
Tidak

lanjutkan perawatan diri, pasien kontrol setelah satu bulan

I
Nyeri pinggang teratasi atau metnberat dengan tanpa
Lanjutkan perawatan diri
dlsertai gangguan fungsi * Jelaskan indikasi untuk kontrol
Ya

834
Nyeri Pinggang

KOMPLIKASI1
Kerusakan saraf pada ganglion nervus dorsalis

PROGNOSIS3

Sebagian besar nyeri pinggang mekanik sembuh spontan dengan penjelasan,


reassurance , dan analgesik sederhana. Setelah 2 hari, 30% mengalami perbaikan, dan
dalam 6 minggu, 90% sembuh. Akan tetapi nyeri berulang sering terjadi, dan pada 10-
15 % pasien dengan nyeri pinggang akut yang menjadi kronis, 85 % merupakan nyeri
punggung.

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Reumatologi
• RS non pendidikan : Departemen llmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Ginjal Hipertensi,
Departemen Neurologi, Departemen Bedah Saraf,
Departemen Bedah Orthopedi
• RS non pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam

REFERENSI
1. .
Back and Neck Pain In: Longo DL, Kasper DL, Jameson DL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J, editors.
Harrison ' s Principals of Internal Medicine 18lh ed. McGraw Hill. 2012
2. Kasjmir Yl. Nyeri Spinal. Dalam: Sudoyo AW, et al editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II edisi
V . Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2011 him 1314 - 6.
3. Huddleston J. Hip and Knee Pain. In: Firestein G, Budd R , Harris Jr E et al. Kelley ' s Textbook of
Rheumatology. 8th Edition. Vol I. Philadelphia: Elsevier Saunders. 2008
4. Colledge NR, Walker BR, Ralston SH, editors. Presenting Problems In Musculoskeletal Disease. In:
Davidson' s Principles and Practice of Medicine 21st ed. Churchill Livingstone-Elsevier: 2010.Page
1072 - 4.
5. The Peterborough Back Rules chart template. G. Powell and The Peterborough Back Rules Working
Group. September, 1997.
6. Guide to Assessing Psychosocial Yellow Flags in Acute Low Back Pain: Risk Factors for Long-Term
Disability and Work Loss. January 1997

835
836

OSTEOPOROSIS

PENGERTIAN
Osteoporosis didefinisikan sebagai penyakit tulang sistemik yang ditandai oleh
compromised bone strength sehingga tulang mudah patah . Meningkatnya aktivitas
resorpsi tulang (bone resorption) melebihi aktivitas pembentukan tulang ( bone
formation) merupakan patogenesis utama terjadinya osteoporosis. Pada wanita
-
post menopause hal tersebut terjadi karena adanya defisiensi estrogen. Osteoporosis
merupakan penyakit dengan etiologi multifaktorial. Umur dan densitas tulang
merupakan faktor risiko osteoporosis yang berhubungan erat dengan risiko terjadinya
fraktur osteoporotik.12

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis1-3
• Keluhan utama: Seringkali pasien tidak disertai keluhan sampai timbul fraktur.
Apabila sudah terjadi fraktur maka akan memberikan gejala sesuai lokasi fraktur
(leher femur, vertebra torakal dan lumbal, distal radius) misalnya nyeri pinggang
bawah, penurunan tinggi badan, kifosis.
• Faktor risiko osteoporosis atau penyebab osteoporosis sekunder:
Riwayat konsumsi obat-obatan rutin: kortikosteroid, hormon tiroid, anti konvulsan
(fenitoin, fenobarbital, karbamazepin, pirimidon, asam valproat), warfarin.
- Penyakit- penyakit lain yang berkaitan dengan osteoporosis: penyakit ginjal
kronik, saluran cerna, hati, hipertiroidisme, hipogonadisme, sindrom Cushing ,
insufisiensi pankreas, artritis reumatoid.
Faktor -faktor lain: merokok, peminum alkohol, riwayat haid, menarche ,
menopause dini, penggunaan obat-obat kontrasepsi, riwayat keluarga dengan
osteoporosis, asupan kalsium kurang.

Panduan Praktik Klinis


Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
Osteoporosis @

Pemeriksaan Fisik1 3
tulang, leg -
• Keadaan umum, tinggi dan berat badan, gaya berjalan, deformitas
length inequality.
• Evaluasi gigi geligi
• Tanda -tanda goiter, atau adanya jaringan parut pada leher dapat menandakan
riwayat operasi tiroid.
• Protuberansia abdomen yang dapat disebabkan oleh kifosis
• Kifosis dorsal ( Dowager's Hump ), spasme otot paravertebra
• Nyeri tulang atau deformitas yang disebabkan oleh fraktur
• Kulit yang tipis (tanda McConkey )

Pemeriksaan Penunjang
• Radiologis
Foto polos ( untuk kecurigaan fraktur osteoporosis misalnya pada fraktur
vertebra atau panggul)
Dual Energy X- Ray Absorptiometry (DXA) untuk mengukur Bone Mineral Density
( BMD )S’6
- Indikasi : wanita premenopause dengan risiko tinggi, Iaki-laki dengan satu
atau lebih faktor risiko (hipogonadisme, pengguna alkohol, osteoporosis
pada radiografi, fraktur karena trauma ringan), imobilisasi lama (lebih
dari 1 bulan), masukan kalsium yang rendah lebih dari 10 tahun, artritis
reumatoid atau spondilitis ankilosa selama lebih dari 5 tahun terus
menerus, awal pengobatan kortikosteroid atau methotrexat dan setiap 1- 2
tahun pengobatan, menggunakan terapi antikonvulsan dengan dilantin atau
fenobarbital selama lebih dari 5 tahun, kreatinin klirens < 50 mililiter /
menit atau penyakit tubular ginjal, osteomalasia, hiperparatiroidisme,
penggunaan terapi pengganti tiroid lebih dari 10 tahun, evaluasi terapi
osteoporosis, wanita postmenopause dengan 2 atau lebih faktor risiko
.
Pada wanita postmenopause dan laki-laki > 50 tahun tanpa adanya fraktur
patologis menggunakan T-score:
Nilai T-score -1 dikatakan normal
Nilai T-score -1 sampai dengan - 2,5 dikatakan osteopenia
Nilai T-score - 2,5 dikatakan osteoporosis
Pada wanita premenopause dan laki - laki < 50 tahun , dan anak - anak
menggunakan Z -score\

837
>
tfj PanduanPraktlkMinis Reumatoloqi
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
W

Nilai Z -score > - 2 dikatakan within expected range for age


Nilai Z-score - 2 dikatakan low BMD for chronological age
Keterangan:
Bagian tulang yang diperiksa adalah: tulang belakang (L1- L4], tulang
panggul { femoral neck, total femoral neck ), lengan bawah (diperiksa bila
tulang belakang dan/ atau panggul tidak dapat diukur, hiperparatiroidisme,
obesitas ) .

• Petanda biokimia tulang3


Tabel 1 memuat semua petanda biokimia tulang yang dapat diperiksa dari sampel
darah atau urin, yang terbagi dalam kelompok petanda pembentukan formasi
/ dan
resorpsi tulang.

Tabel 1. Petanda Biokimia Tulang 3


Petanda Forma 1
Pemeriksaan Serum
* Petanda Resorpsi

Bone-specific alkaline phosphatase Aminoterminal telopeptide of type I collagen


Osteocalcin Carboxyterminal telopeptide of type 1 collagen
Procollagen I carboxyterminal propeptide
Procollagen I aminoterminal propeptide
Pemeriksaan Urine
Amino-terminal telopeptide of type I collagen ( NTXJ
Carboxy- terminal telopeptide of type I collage (CTX )
Pyridinoline and deoxypyridinoline cross-links

Pemeriksaan petanda biokimia tulang ini ditujukan untukmenilai turnover tulang


.
Pada osteoporosis high bone turnover pemeriksaan petanda biokomi tulang
a bisa
digunakan untuk menilai respon terapi secara Iebih dini.

DIAGNOSIS BANDING
Osteomalasia, tumor, osteonekrosis, metastasis, osteogenesis imperfekta,
renal
osteodystrophy, sickle cell anemia, fraktur patologis sekunder yang disebabkan metastas 1 3
is. '

TATALAKSANA' 3

Non farmakologis
• Edukasi dan pencegahan
• Latihan dan program rehabilitasi

838
Osteoartritis

Belum terkena osteoporosis: sifat latihan adalah pembebanan terhadap tulang


,
Pasien osteoporosis: latihan dimulai dengan latihan tanpa beban kemudian
ditingkatkan secara bertahap hingga mencapai latihan beban yang adekuat
.
Memenuhi kebutuhan kalsium > 1200 mg / hari dan Vitamin D 800 - 1000 U / hari
.

• Paparan sinar matahari yang cukup

Farmakologis
• Bifosfonat:
Alendronat, dosis 10 mg / hari atau 70 mg / minggu peroral
Risendronat, dosis 5 mg / hari atau 35 mg / minggu atau 150 mg / bulan peroral
Ibandronat, dosis 150 mg / bulan peroral atau 3 mg/ 3bulan intravena
Asam Zoledronat, dosis 5 mg/tahun intravena
• Selective Estrogen Receptor Modulator (SERM): Raloxifene, dosis 60 -120 /
mg hari

• Terapi lainnya
Kalsitriol
Hormon Paratiroid
Strontium Ranelat
Kalsitonin injeksi (untuk pencegahan acute bone loss pada pasien dengan
imobilisasi, diberikan paling lama empat minggu)
7

Denosumab (belum tersedia di Indonesia)

Bedah
Tindakan pembedahan dilakukan bila terjadi fraktur, terutama fraktur panggul
.
Beberapa hal yang harus diperhatikan:
tindakan
1. Penderita osteoporosis usia lanjut dengan fraktur, bila diperlukan
dan
bedah, sebaiknya segera dilakukan untuk menghindari imobilisasi yang lama
komplikasi fraktur.
, sehingga
2. Tujuan pembedahan adalah untuk mendapatkan fiksasi yang stabil
mobilisasi dapat dilakukan sedini mungkin.
menjadi
3. Asupan kalsium harus tetap diperhatikan, sehingga mineralisasi kalus
sempurna.
4. Walaupun dilakukan pembedahan, terapi medikamentosa tetap diberikan
.

KOMPLIKASI
Kifosis, penurunan tinggi badan, nyeri punggung, nerve entrapment syndrome
,
peningkatan risiko jatuh, dan fraktur.
13

839
Hi
(HUfnH
Panduan PraktikKlinis Reumatoloai
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia

PROGNOSIS
Untuk menentukan risiko terjadinya fraktur panggul dan fraktur osteopo
rosis
lainnya, dapat menggunakan WHO Fracture Risk Assessment Tool
(FRAX) . Hanya
7

dengan mengisi kuesioner yang terdiri dari 12 pertanyaan yang


dapat diakses di
http:/ / www.shef. ac.uk / FRAX / tool. jsp ?country= 46 [khusus Indonesia),
maka akan
keluar prediksi berupa persentase terjadinya fraktur panggul osteopo
rosis mayor
dalam 10 tahun yang akan datang. Berikut merupakan faktor risiko
yang digunakan
pada kalkulasi FRAX ini ( tabel 2) .

Tabel 2. Faktor risiko yang dinilai dalam kalkulasi FRAX7


Usia Model ini hanya menerima rentang usia 40-90 tahun, apabila usia yang
diinput lebih rendah atau lebih tinggi, maka program akan
menghitung
pada usia 40 atau 90 tahun
Jenls Kelamin Pilih laki-laki atau perempuan
Tinggi badan Dalam sentimeter (cm )
Berat badan Dalam kilogram (kg)
Fraktur sebelumnya Riwayat fraktur yang terjadi secara spontan
dalam kehidupan dewasa,
apabila fraktur terjadi akibat trauma pada individu yang sehat,
maka
tidak digolongkan ke dalam riwayat fraktur sebelumnya
F r a k t u r p a d a Riwayat fraktur panggul yang terjadi pada ayah
atau ibu
orangtua
Kebiasaan merokok Pilih YA atau TIDAK, tergantung dari apakah saat
ini pasien merokok atau tidak
saat Ini
Glukokortikoid Pilih YA apabila saat ini pasien sedang mengonsumsi glukokortikoid oral
atau
telah terpapar glukokortikoid oral selama > 3 bulan pada dosis ekuivalen
dengan prednisolon 5 mg per hari
Artrltis reumatoid Pilih YA apabila pasien telah terdiagnosis dengan artritis rheumatoid
O s t e o p o r o s i s Pilih YA apabila pasien memillki kelainan yang
berkaitan erat dengan
sekunder
.
osteoporosis ( termasuk diabetes tipe I osteogenesis imperfekta
dewasa, hipertiroid yang tidak diobati dalam waktu lama, hipogonadisme
pada

. .
atau menopause dini (<45 tahun) malnutrisi kronis atau malabsorpsi atau
penyakit hati kronis
Alkohol > 3 unit / hari Pilih YA apabila pasien meminum alkohol 3 unit
/ hari. 1 unit alkohol pada
.
tiap negara berbeda-beda berkisar antara 8-10 gram atau setara dengan
1 gelas birstandar ( 285 ml) . I ukuranspirits ( 30 ml) , gelas wine medium (
120
ml) , atau 1 ukuran aperitif ( 60 ml)

UNIT YANG MENANGANI


• RS Pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Reumatologi
• RS Non Pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan Bagian bedah - ortopedi, Rehabilitasi Medik
• RS Non Pendidikan Bagian bedah - ortopedi, Rehabilitasi Medik

840
Osteoartritis

REFERENSI
1. Lindsay R, Cosman F. Osteoporosis. In: Longo Fauci Kasper,Harrison’ s Principles of Internal Medicine
.
18th Edition. United States of America McGraw Hill. 2012
2. Setiyohadi B. Osteoporosis. Dalam: Alwi I, Setiati S, Setiyohadi B, Simadibrata M, Sudoyo AW. Buku
Ajar llmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi V. Jakarta: Interna Publishing; 2010:2650-76
3. .
Saag G, Sambrook P, Watts N. Osteoporosis. In: Klippel J, Stone J, Crofford L, White P Primer on
.
the Rheumatic Disease. 13th Edition Springer. 2008
4. Curtis JR, Delzell E, Kilgore M, Patkar NM, Saaq K, Warriner AH. Which Fractures Are Most Attributable
to Osteoporosis? J Clin Epidemiol 2011 Jan;64(l):46
5. Qaseem A, Snow V, Shekelle P, Hopkins R Jr, Forciea MA, Owens DK, Clinical Efficacy Assessment
Subcommittee of the American College of Physicians. Pharmacologic treatment of low bone
density or osteoporosis to prevent fractures: a clinical practice guideline from the American
.
College of Physicians. Ann Intern Med 2008 Sep 16:149 ( 6) :404-l 5
6. Bates D, Black DM, Cummings SR. Clinical Use of Bone Densitometry: Scientific Review. JAMA
2002 Oct 16:288 ( 15);1889
7. FRAX WHO Fracture Assessment Tool. Diakses melalui http:/ / www.shef.ac.uk / FRAX / tool
. .
jsp? country=46 pada tanggal 5 Mei 2012

841
842

OSTEOARTRITIS

PENGERTIAN
Osteoartritis (OA) adalah penyakit sendi degeneratif dan inflamasi yang ditandai
dengan perubahan patologik pada seluruh struktur sendi. Keadaan patologis yang
terjadi adalah hilangnya rawan sendi hialin, diikuti penebalan dan sklerosis tulang
subkondral, pertumbuhan osteofit pada tepi sendi, teregangnya kapsul sendi, sinovitis
ringan, dan kelemahan otot yang menyokong sendi.12
Secara etiopatogenesis, osteoartritis adalah kegagalan perbaikan kerusakan sendi
yang disebabkan oleh stres mekanik yang berlebih. Faktor mekanik yang mendasari
OA adalah peningkatan stres intra -artikular patologis, yang terjadi akibat peningkatan
kuantitatif dari pembebanan sendi ( misalnya pembebanan impulsif berulang). Beban
impulsif menyebabkan jejas mikro pada tulang subkondral dan rawan sendi yang
melebihi kemampuan sendi untuk memperbaiki kerusakan. Inflamasi pada osteoartritis
timbul sekunder akibat produk degradasi rawan sendi dan tulang.3 5 '

Faktor risiko osteoartritis adalah faktor genetik, faktor konstitusional (usia, jenis
kelamin perempuan, obesitas), dan faktor biomekanik ( jejas sendi, penggunaan pada
pekerjaan, berkurangnya kekuatan otot, malalignment sendi).2

PENDEKATAN DIAGNOSIS
Tabel 1. Kriteria diagnosis osteoartritis lutut berdasarkan ACR tahun 1986 7

Minis dan laboratorlum KHnls dan radk>grafl Kllnls
Nyeri lutut dan setidaknya 5 dari Nyeri lutut dan setidaknya 1 dari Nyeri lutut dan setidaknya 3 dari
9 kriteria berikut: 3 kriteria berikut: 6 kriteria berikut:
1. Usia > 50 tahun 1. Usia > 50 tahun .
1 Usia > 50 tahun
.
2 Kaku sendi < 30 menit 2. Kaku sendi < 30 menit .
2 Kaku sendi < 30 menit
.
3 Krepitus 3. Krepitus + osteofit .
3 Krepitus
4. Nyeri tulang .
4 Nyeri tulang
5. Pembesaran tulang 5. Pembesaran tulang
6. Tidak teraba hangat pada 6. Tidak teraba hangat pada
palpasi palpasi
7. LEDS 40 mm/jam

PanduanPraktik Klims
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
Osteoartritis

Kllnls dan laboratorium Kllnls dan radlografl KJInls


8. Faktor reumatoid ( RF )
< 1:40
9 . Cairan sinovial petanda OA
(jemih, viscous, atau hitung
leukosit <2000/mm3)
, spesifisitas 69 %
Sensitifltas 92 %, spesifisitas 75 % Sensitifltas 91 %. spesifisitas 86 % Sensitifitas 95 %

Kriteria diagnosis osteoartritis tangan berdasarkan kriteria ACR tahun 199068


1. Nyeri tangan atau kaku, dan
2. Tiga dari empat dari kriteria berikut:
a) Pembesaran jaringan keras pada > 2 dari 10 sendi tangan tertentu [sendi DIP II
dan III, sendi PIP II dan III, serta sendi CMC I pada tangan kiri dan kanan)
b) Pembesaran jaringan keras pada > 2 sendi DIP
c) Pembengkakan pada < 3 sendi MCP
d) Deformitas pada minimal 1 dari 10 sendi tangan tertentu.
Kriteria diagnosis osteoartritis sendi pinggul berdasarkan kriteria ACR tahun
19919
1. Nyeri pinggul, dan
2. Minimal 2 dari 3 kriteria berikut:
a) LED < 20 mm / jam
b) Radiologi: terdapat osteofit pada femur atau asetabulum
c) Radiologi: terdapat penyempitan celah sendi (superior, aksial, dan/atau medial)

DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding perlu dipikirkan terutama pada osteoarthritis dengan efusi
sendi atau inflamasi minimal. Diagnosis banding pada kasus tersebut adalah: Reumatik
,
ekstraartikuler ( bursitis, tendinitis), artritis gout, artritis reumatoid, artritis septik
spondilitis ankilosa, dan hemokromatosis.
10

TATALAKSANA

Nonfarmakologis
Edukasi, menghindari aktivitas yang menyebabkan pembebanan berlebih pada
sendi, olahraga untuk penguatan otot lokal dan olahraga aerobik, penurunan berat
badan jika berat badan berlebih atau obes, aplikasi lokal panas atau dingin, peregangan
sendi, transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS), penggunaan penyokong sendi
,

penggunaan alat bantu pada yang mengalami gangguan dalam aktivitas sehari- hari.
210

843
O
'cl ? %$'
PandtianPraktlk Minis Reumatoloqi
Perhimpunan Ookter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
W

Farmakologis210
1. Antinyeri: Parasetamol, obat anti inflamasi non steroid (OAINS) topikal atau sistemik
(baik yang nonspesifik maupun spesifik COX II), opioid, tergantung derajat nyeri dan
inflamasi
2. Pertimbangkan injeksi kortikosteroid intraartikular terutama untuk OA lutut
dengan efusi.
3. Injeksi hialuronat atau viscosupplement intra artikular untuk OA lutut
-
Bedah
Tindakan bedah dilakukan jika terapi farmakologis sudah diberikan dan tidak
memberikan hasil misalnya pasien masih merasa nyeri, disabilitas, dan mengurangi
kualitas hidup mereka. Tindakan bedah yang diindikasikan untuk osteoartritis lutut
dan sendi panggul adalah total joint arthroplasty. 2

KOMPLIKASI
Deformitas sendi

PROGNOSIS
Osteoartritis tangan memiliki prognosis yang baik. Keterlibatan dasar ibu
jari memiliki prognosis yang lebih buruk. Osteoartritis lutut memiliki prognosis
yang bervariasi. Osteoartritis sendi pinggul memiliki prognosis yang lebih buruk
dibandingkan osteoartritis pada tempat lain. Faktor risiko untuk total hip replacement
adalah usia > 60 tahun, kaku pagi , nyeri pada kemaluan atau paha sisi medial,
berkurangnya ekstensi / adduksi, rotasi internal yang nyeri, IMT < 30 kg m 2.11
/
UNIT YANG MENANGANI
• RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Reumatologi
• RS non pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Departemen Bedah - Orthopedi, Rehabilitasi Medik
• RS non pendidikan : Departemen Bedah

844
Osteoartritis ip

REFERENSI
1. Soeroso J, isbagio H, Kalim H, Broto R, Pramudiyo R . Osteoartritis. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi
.
B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, penyunting Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi V. Jakarta;
InternaPublishing; 2009. Hal. 2538-49
2. Felson DT. Osteoarthritis. Dalam: Longo DL. Kasper DL. Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo
J, penyunting. Harrison' s principle of internal medicine. Edisi XVIII. McGraw-Hill Companies; 2012.
Hal. 2828-36
3. Brandt KD, Dieppe P, Radin EL. Etiopathogenesis of osteoarthritis. Rheum Dis Clin N Am 2008:34:531 -59
4. National Collaborating Centre for Chronic Conditions. Osteoarthritis: national clinical guideline
for care and management in adults. London: Royal College of Physicians, 2008
5. Abramson SB, Attur M. Developments in the scientific understanding of osteoarhtritis. Arthritis
research and therapy 2009 , 11 :227
6 . Klippel JH, Stone JH, Crofford LJ, White PH, penyunting. Primer on the rheumatic diseases. Edisi
XIII. New York: Springer Science;2008. Hal 669-82
7. Altman R , Asch E, Block G, et al. Development of criteria for the classification and reporting of
osteoarthritis: classification of osteoarthritis of the bone. Arthritis Rheum 1986; 29. 1039- 49.
8 . Altman R, Alarcon G, Appelrouth D, Bloch D, Borenstein D, Brandt K. The american college of
rheumatology criteria for the classification and reporting of osteoarthritis of the hip. Arthritis and
Rheumatism 1991:34:5:505- 14
9. Altman R , Alarcon G, Appelrouth D, et al. The American College of rheumatology for the
classification and reporting of osteoarthritis of the bone. Arthritis Rheum 1990; 33: 1601- 10.
10. Conaghan PG, Dickson J, Grant RL. Care and management of osteoarthritis in adults: summary
of nice guidance. BMJ 2008:336:502-3
11 . Lievense AM, Koes BW, Verhaar JAN, Bohnen AM, Bierma -Zeinstra SMA. Prognosis of hip pain in
general practice: a prospective followup study. Arthritis and rheumatism 2007; 57 (8): 1368-1374

845
846

REUMATIK EKSTRAARTIKULAR

PENGERTIAN
Reumatik ekstraartikular adalah sekelompok penyakit dengan manifestasi klinik
umumnya berupa nyeri dan kekakuan jaringan lunak, otot atau tulang tanpa hubungan
yang jelas dengan sendi bersangkutan ataupun penyakit sistemik serta tidak semuanya
dapat dibuktikan penyebabnya . Terdapat tiga faktor yang diduga menjadi penyebab
REA antara lain mekanikal, inflamasi dan deposisi kristal . Beberapa penyakit reumatik
ekstraartikular yang penting dan sering ditemui adalah periartritis kalsifik, entesopati,
tenosinovitis, bursitis. Pada bab ini, reumatik ekstraartikular yang akan dibahas adalah
berdasarkan lokasi bagian tubuh yang terkena.12

PENDEKATAN DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING

Kelainan Reumatik pada Bahu134


1 . Rotator cuff tendinitis
Anamnesis: nyeri saat abduksi aktifterutama pada sudut 60° - 120° , nyeri hebat pada
otot deltoid lateral, nyeri biasanya dijumpai pada malam hari. Pada kasus yang lebih
berat, nyeri dirasakan mulai awal abduksi dan sepanjang lingkup gerak sendi (LGS).
Nyeri bertambah hebat apabila lengan dalam posisi menjangkau, mendorong, menarik,
mengangkat, meluruskan lengan setinggi bahu atau berbaring ke sisi yang sakit.
Pemeriksaan fisik: pemeriksaan LGS aktif dengan tahanan akan menimbulkan rasa
nyeri sesuai dengan tendon yang terlibat, misalnya supraspinatus untuk gerakan
abduksi.
Diagnosis banding: robekan rotator cuff , angina pektoris , tendinitis bisipital ,
radikulopati servikal .
2 . Frozen shoulder syndrome
Anamnesis : Nyeri pada bagian atas humerus dan menjalar ke lengan atas bagian
ventral, scapula, lengah bawah serta terutama bila lengan atas digerakkan dan
kambuh pada malam hari, gerakan abduksi , elevasi dan rotasi eksternal terbatas,
umumnya menyerang usia di atas 40 tahun.

PanduanPraktik Minis
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
Reumatik Ekstraartikular ifp
Pemeriksaan fisik: nyeri pada palpasi, pemeriksaan LGS aktif dan pasif terbatas
ke semua arah
Diagnosis banding: artritis glenohumeral .
3. Tendinitis bicipital
Anamnesis : nyeri difus pada anterior bahu, nyeri bersifat kronis dan berkaitan
dengan penjepitan tendon bisep oleh akromion .
Pemeriksaan fisik: palpasi daerah bisipital, terdapat nyeri pada manuver supinasi
lengan bawah melawan tahanan ( Yergason's sign ) , fleksi bahu melawan tahanan
Cspeed's test ) , ekstensi bahu.
Diagnosis banding: robekan labral, osteoartritis, robekan rotator cuff, rotator cuff
tendinitis, bursitis subakromial.

Kelainan Reumatik pada Siku12


1. Epikondilitis lateral ( tennis elbow ) dan epikondilitis medial { golfer’s elbow )
Anamnesis: nyeri lokal subakut atau kronik pada bagian medial {golfer’s elbow )
atau lateral sendi siku { tennis elbow ) , menyerang lengan yang dominan, kadang -
kadang dapat timbul bilateral, tidak ditemukan adanya hambatan sendi .
Pemeriksaan fisik: nyeri tekan pada atau sekitar { epicondylus ) lateral atau medial.
Diagnosis banding: radikulopati servikal, fibromialgia, robekan pronator teres,
neuritis ulnar.
2. Bursitis olekranon
Anamnesis: pembengkakan pada daerah posterior siku, nyeri yang memberat dengan
adanya tekanan, adanya riwayat trauma terisolasi atau mikrotrauma berulang.
Pemeriksaan fisik: Pembengkakan, nyeri dan hangat pada palpasi olekranon dan
sering disertai efusi

Kelainan Reumatik pada Jari dan Tangan124


1. Stenosing tenosinovitis ( triggerfinger)
Anamnesis: nyeri lokal pada basis jari yang terkena, gerakan makin lama makin
kaku hingga suatu saat jari tak dapat diluruskan kembali yang terasa terutama
malam hari , sensasi 'pop' atau 'klik' bila jari digerakkan, bengkak, bila terkena >
3 jari tangan cari kaitan dengan diabetes dan hipotiroid .
Pemeriksaan fisik: nodul yang terasa nyeri pada telapak tangan distal yang bergerak
dengan fleksi dan ekstensi jari dan bunyi 'klik'.

847
# Esasass* Reumatologi

2 . Tenosinovitis De Quervain
Anamnesis: nyeri lokal pada bagian punggung pergelangan tangan menjalar ke ibu
jari dan lengan atas sisi radial, bendayangdipegangterlepas sendiri dari genggaman.
Pemeriksaan fisik: nyeri dan pembengkakan tendon di daerah prosesus stiloideus radii,
tes Finkelstein positif (nyeri bertambah dengan adduksi ibu jari dan deviasi ulnar).
3. Carpal Tunnel Syndrome
Anamnesis: parastesia atau mati rasa pada ibu jari, telunjuk dan jari tengah, dapat
menjalar hingga telapak tangan, keluhan semakin bertambah pada saat mengetuk,
memeras, menggerakkan pergelangan tangan, nyeri bertambah hebat pada malam
hari, pergelangan tangan terasa diikat ketat dan kaku gerak.
Pemeriksaan fisik: kekuatan tangan menurun, atrofi tenar, tes provokasi (p/ia /en
test ) , Tinnel's sign.
Diagnosis banding: sindrom nyeri servikobrakial, mononeuritis multipleks.

Kelainan Reumatik pada Panggul128

Bursitis trokanterik
Anamnesis: nyeri di daerah trokanter mayor, pembengkakan lokal, rasa nyeri
terutama malam hari, nyeri dirasakan intensif bila berjalan, gerakan yang bervariasi
dan berbaring pada sisi yang terkena.
Pemeriksaan fisik: nyeri tekan di atas daerah panggul lateral dan dapat menjalar
ke bawah, ke kaki atau ke lutut, nyeri bertambah pada rotasi eksternal dan abduksi
melawan tahanan, tenderness point pada daerah trokanterik.
Diagnosis banding: radikulopati, osteoartritis panggul.

Kelainan Reumatik pada Lutut


1. Kista popliteal (Baker's cyst )12
Anamnesis: bengkak ringan pada lutut bagian belakang, rasa tidak nyaman di lutut
terutama dalam keadaan fleksi dan ekstensi penuh.
Pemeriksaan fisik: tampak kista apabila pasien berdiri dan diperiksa dari belakang,
pembengkakan yang difus dari betis bila terjadi ruptur kista.
Diagnosis banding: tromboflebitis (bila ruptur kista).
.
2 Bursitis pes anserina7
Anamnesis: nyeri, kadang-kadang bengkak dan terasa panas di bagian medial
inferior dan distal garis sendi lutut, nyeri bertambah berat apabila naik tangga.

848
Reumatik Ekstraartikular Cp
Pemeriksaan fisik: nyeri tekan dan pembengkakan pada daerah bursa anserine
(anteromedial dari tibia proksimal], nyeri memberat dengan kontraksi otot
sartorius, grasilis dan semitendinosus.
3. Bursitis prepatelar (Housemaid’s knee )12
Anamnesis: nyeri saat berlutut, terasa kaku.
Pemeriksaan fisik: bengkak superfisial dan merah pada bagian anterior lutut.
Diagnosis banding: infeksi, gout, pseudogout, fraktur, dislokasi patella, robekan
ligamen, bursitis infrapatella.
4. Tendinitis patellar12 6
Anamnesis: nyeri di daerah tendon patella, nyeri saat melompat, naik tangga atau
jongkok.
Pemeriksaan fisik: nyeri tekan pada tendon patellar.

Kelainan Reumatik pada Kaki dan Pergelangan1 2


1. Tendinitis Achilles
Anamnesis: nyeri tumit posterior, nyeri tajam di atas tumit terutama pada saat
awal melangkah setelah duduk, nyeri dan kaku terlokalisasi pada distal tendon
Achilles, fleksibilitas pergelangan kaki terbatas saat berjalan.
Pemeriksaan fisik: pembengkakan, nyeri tekan tendon Achilles, nyeri pada
pergerakan aktif dan pasif dorsofleksi.
2. Fasciitis plantaris
Anamnesis: nyeri pada area plantar tumit, serangan biasanya bertahap atau diikuti
beberapa trauma atau penggunaan berlebihan pada aktivitas atletik, berjalan
terlalu lama atau memakai sepatu yang tidak sesuai, nyeri timbul pada pagi hari
dan bertambah berat saat awal berjalan.
Pemeriksaan fisik: nyeri tekan pada palpasi di anteromedial pada tuberkel
kalkaneus medial dari fasia plantaris

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan- pemeriksaan penunjang yang bisa dilakukan antara lain ultrasonografi
muskuloskeletal, MRI , foto polos untuk menyingkirkan diagnosis banding, artrografi,
aspirasi bursa untuk mencari etiologi (pada bursitis], elektromiografi. Pemilihan
18'

pemeriksaan penunjang untuk penyakit Reumatik ekstraartikular harus disesuaikan


dengan kecurigaan klinis. Misalnya pada kasus dengan nyeri bahu yang diduga
tendinitis rotator cuff disertai dengan ruptur tendon, maka diperlukan pemeriksaan
USG atau MRI bahu.

849
fifk Panduan Praktik Klinis Reumatoloai
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia

TATALAKSANA1 5 8
Nonfarmakologis : edukasi, menghindari faktor pencetus, istirahat, latihan ,
rehabilitasi, fisioterapi ( kompres air dingin, pemanasan, ultrasound, diatermi),
pemasangan bidai.
Farmakologis: OAINS, Analgesik, Injeksi intralesi ( kortikosteroid, lidokain lokal)
Bedah: apabila dengan terapi konservatif tidak menunjukkan perbaikan

KOMPLIKASI
Kontraktur, jepitan saraf

PROGNOSIS
Pada umumnya penyakit Reumatik ekstraartikular bersifat self -limiting .

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Reumatologi
• RS non pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Semua Divisi di lingkungan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
• RS non pendidikan

REFERENSI
l. . .
Marpaung B Reumatik ekstra artikular In: Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati
.
S, editors Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5lh ed. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian
Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2009:2698 - 2704
2. Langford C, Gilliland B . Periarticular disorders of the extremities. In: Fauci A , Kasper D, Longo D,
Braunwald E, HauserS, Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison ' s principles of internal medicine.
18lh ed. United States of America; The McGraw-Hill Companies. 2012: 2860 - 3
3. Woodward T, Best T. The painful shoulder. Am Fam Physician. 2000:61 ( 10) :3079 - 3088
4. Makkouk AH, Oetgen M, Swigart C, Dodds S. Trigger finger: etiology, evaluation and treatment.
Curr Rev Musculoskelet Med. 2008: 1 ( 2 ) : 92 - 96
5. Hellmann D, Imboden J. Musculosceletal and immunologic disorders. In: McPhee S, Papadakis
M, Rabow M, editors. Current medical diagnosis and treatment 2011.50lh ed. California; The
McGraw -Hill Education. 2010:779 - 840
6. Visentini PJ, Khan KM, Cook JL, Kiss ZS, Harcourt PR, Wark JD. The VISA score: an index of severity
of symptoms in patients with jumper ' s knee (patellar tendinosis) . Victorian Institute of Sport Tendon
Study Group. J Sci Med Sport.1998;1 ( 1 ) :22 - 8
7. .
Handy JR. Anserine bursitis: a brief review. South Med J 1997:90 ( 4) :376 - 7
8. Starr M, Kang H. Recognition and management of common forms of tendinitis and bursitis.
Canadian J CME. 2001: 155 - 63

850
851

SKLERODERMA

PENGERTIAN
Sklerosis sistemik (skleroderma) adalah penyakit jaringan ikat yang tidak
diketahui penyebabnya yang ditandai oleh fibrosis kulit dan organ viseral serta
kelainan mikrovaskuler. Penyakit ini merupakan penyakit autoimun, yang dimediasi
oleh limfosit.12

DIAGNOSIS
Pada tahun 1980, American Rheumatism Association ( ARA) mengajukan kriteria
pendahuluan untuk klasifikasi sklerosis sistemik progresif. Kriteria ini terdiri atas:
3

1. Kriteria Mayor:
Skleroderma proksimal: penebalan, penegangan dan pengerasan kulit yang
simetrik pada kulit jari dan kulit proksimal terhadap sendi metakarpofalangeal
,
atau metatarsofalangeal. Perubahan ini dapat mengenai seluruh ekstremitas, muka
leher dan batang tubuh (toraks dan abdomen).
2. Kriteria Minor:
• Sklerodaktil: perubahan kulit seperti disebut diatas, tetapi hanya terbatas
pada jari.
• Pencekungan jari atau hilangnya substansi jari terjadi akibat iskemia. Daerah
yang mencekung pada ujung jari atau hilangnya substansi jari terjadi akibat
iskemia .
• Fibrosis basal dikedua paru. Gambaran linier atau lineonodular yang retikuler
terutama dibagian basal kedua paru tampak pada gambaran foto dada standar.
Gambaran paru mungkin menimbulkan bercak difus atau seperti sarang lebah.
Kelainan ini bukan merupakan kelainan primer paru.
Diagnosis sklerosis sistemik ditegakkan bila didapatkan 1 kriteria mayor atau
2 kriteria minor. Namun kriteria ARA ini sudah mulai ditinggalkan dan tidak lagi
ditujukan untuk diagnosis karena banyak pasien dengan sklerosis sistemik terbatas
( limited systemic sclerosis) tidak memenuhi kriteria ini.
4
M
vjU f y
Panduan PraktikKlinis Reumatoloai
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia w ^ w w

Pada tahun 2013, American College of Rheumatology European League Against


/
Rheumatism (ACR / EULAR) menetapkan kriteria untuk klasifikasi sklerosis sistemik
(Tabel 2 ) . Berdasarkan kriteria ini, diagnosis dapat ditegakkan apabila skor
total
pasien > 9.

Tabel 2. Kriteria Sistemik Sklerosis Berdasarkan ACR / EULAR 2013


Item Sub -Item Skor
Penebalan kulit jari pada kedua tangan sampai
9
ke bagian proksimal sendi metakarpofalangeal
( kriteria yang mencukupij
Penebalan kulit pada jari ( hanya menghitung nilai Jari bengkak
yang paling tinggi }
2
Skelerodaktil pada jari (bagian distal 4
dari sendi metakarpofalangeal
tetapi proksimal dari sendi
interfalangeal )
Lesi pada ujung jari ( hanya menghitung nilai yang Ulkus pada ujung jari
paling tinggi )
2
Luka yang mencekung pada ujung 3
jari
Telangiektasia
2
Kapiler abnormal pada lipatan kuku
2
Hipertensi pulmonal dan/atau penyakit paru Hipertensi pulmonal 2
interstisial (skor maksimal: 2 } Penyakit paru interstisial 2
Fenomena Raynaud
3
Autoantibodi yang berhubungan dengan sklerosis Anticentromere
3
sistemik ( skor maksimal : 3 ) Anfi-topoisomerase I ( anti-Scl-70
antibody )
«
Anti-RNA polyemerase III

Secara klinis, sklerosis sistemik dibagi dalam 5 kelompok, yaitu:1,25


• Sklerosis sistemik difus, dengan penebalan kulit terdapat di ekstremitas distal,
proksimal, muka dan seluruh batang tubuh.
• Sklerosis sistemik terbatas, penebalan kulit terbatas pada distal siku dan
lutut , tetapi dapat juga mengenai muka dan leher. Sinonimnya adalah
CREST syndrome ( C = Calsinosis subkutan ; R = Raynaud phenomenon ;
E = Oesophagus dismotility ; S = Sklerodaktili; T = Telengiektasis) .
• Sklerosis sistemik sine scleroderma , secara klinins tidak didapatkan kelainan
kulit, walaupun terdapat kelainan organ dan gambaran serologis yang khas untuk
sklerosis sistemik.
• Sklerosis sistemik pada overlap sindrom, artritis reumatoid atau penyakit otot
inflamasi.
• Penyakit jaringan ikat yang tidak terdiferensial, yaitu bila didapatkan fenomena
raynaud dengan gambaran klinis dan / atau laboratorik sesuai dengan sklerosis
sistemik.

852
Skleroderma $7)
"

Selain itu terdapat varian skleroderma lokal yang hanya mengenai kulit tanpa
disertai kelainan sistemik:6
• Morfea adalah perubahan skleroderma setempat yang dapat ditemukan pada
bagian tubuh mana saja. Fenomena raynaud sangat jarang didapatkan .
• Skleroderma linier umumnya didapatkan pada anak - anak, ditandai oleh
perubahan skleroderma pada kulit dalam bentuk garis-garis dan umumnya disertai
atrofi otot dan tulang dibawahnya.
• Skleroderma en coupe de sabre. Merupakan varian skleroderma linier, dengan
manifestasi berupa garis sklerotik pada ekstremitas atas atau bawah atau daerah
frontoparietal yang dapat menyebabkan deformitas muka dan kelainan tulang.

Pemeriksaan Penunjang' 2

Laboratorium
Autoantibodi ditemukan hampir pada semua pasien dengan skleroderma
(sensitivitas > 95%). ANA merupakan antibodi yang paling sering ditemukan, tetapi
tidak cukup spesifik untuk skleroderma .4

Tabel 1. Autoantibodi yang Berhubungan dengan Skleroderma '


Auto antibody Prevalent Gambaran kJInls
Antinuclear antibody >95 %
Anti-Sci-70 ( Anti-topoisomerase I) 20- 40% Penyakit Paru, Kulit, Afro-Amerika , Prognosis
buruk
Anti-centromere 20- 40% Sindrom CREST, Ulserasi atau hilangnya jari
Anti-RNA polymerase 4- 20% Keterlibatan penyakit kulit difus, skleroderma,
krisis Renal, penyakit Jantung, prognosis buruk
Anti-B 23 10% Hipertensi Pulmoner
Anti-Pm-Sci 2-10% Limited cutaneous involvement , miositis
Anti-U3-RNP ( Antifibrillarin ) 8% Penyakit Paru, keterlibatan penyakit kulit difus,
Afro- Amerika laki-laki
Anti-Ul -RNP Anti-Th/To 5% Penyakit Jaringan ikat campuran
Anti-Th /To 1 -5% Limited cutaneous involvement , penyakit paru

Pemeriksaan Patolog
biopsi kulit

Pemeriksaan Penunjang lainnya 1 2


• oesophagus maag duodenum ( OMD ) : untuk menilai adanya dismotilitas saluran
cerna bagian atas

853
# tSSgBSS& X* Reumatologi

Ekokardiografi: untuk mendeteksi kelainan kardiologi, seperti efusi perikard, dan


hipertensi pulmonal
Spirometri: untuk menilai adanya restriksi paru
Urinalisis dan kadar kreatinin serum: untuk menilai keterlibatan ginjal
Kapilaroskopi: untuk menilai status mikrovaskuler pasien, pada skleroderma
-
didapatkan gambaran kapiler kapiler yang berdilatasi dengan area pembuluh
yang dropout tampak jelas.
Esofagogastroduodenoskopi dilakukan sesuai indikasi.

DIAGNOSIS BANDING' 2
Nephrogenic sistemik fibrosis, eosinofilic fasciitis, sclerodema diabeticorum dan
scleremyxedema

TATALAKSANA5
Penyuluhan dan dukungan sosial
Penanganan Fenomena raynaud dan kelainan kulit
Menghindari merokok dan udara dingin.
Pada keadaan berat, bila disertai ulkus pada ujung jari atau mengganggu
.
aktivitas sehari- hari dapat dicoba vasodilator misalnya nifedipin,prazosin,atau
nitrogliserin topikal.
Obat lain adalah iloprost suatu analog protasiklin, diberikan secara intravena
dengan dosis 3ng/ kgBB/ mnt, 5-8 jam / hari selama 3 hari berturut-turut. Selain
itu obat ini juga digunakan untuk mengobati ulkus pada jari.
Perawatan kulit dapat dipertimbangkan bila ada infeksi sekunder, bila luka
cukup dalam dibutuhkan perawatan secara bedah,nekrotomi dan pemberian
antibiotik parenteral.
Pemberian obat remitif
-
• D penisilamin,kolkisin, metotreksat, siklofosfamid dan obat-obat imunosupresif
lainnya.
Penanganan kelainan muskuloskeletal
Obat anti inflamasi non-steroid (OAINS) dapat diberikan. Bila nyeri menetap
dipertimbangkan injeksi steroid lokal atau steroid sistemik dosis kecil dalam
waktu singkat. Fisioterapi untuk mencegah dan mengatasi kontraktur.
Penanganan kelainan gastrointestinal
Pasien dengan dismotilitas esofagus disarankan meninggikan kepalanya pada
waktu berbaring, makan pada posisi tegak dengan porsi kecil dan sering.

854
Skleroderma ffip
.
Antasida antagonis H 2 dan obat sitoprotektif pada kasus ringan sedang, pada
kasus berat dianjurkan PPI.
Obat prokinetik pada keadaan disfagia dan hipomotilitas usus.
Bila terdapat striktur esofagus dilakukan dilatasi secara berkala.
Bila konstipasi diberikan pelunak tinja dan diet serat tinggi.
• Penanganan kelainan paru
Pneumonitis interstitial diterapi menggunakan kortikosteroid atau siklofosfamid.
Bila terjadi hipertensi arteri pulmonal,pengobatan dimulai dengan oral endothelin-1
receptor antagonist atau phosphodiesterase inhibitor seperti sildenafil, selain itu
pasien mungkin membutuhkan diuretik,antikoagulan dan digoksin.
• Penanganan kelainan ginjal
Krisis renal dengan hipertensi berat merupakan komplikasi yang serius dan angka
kematian yang cukup tinggi, yang dapat diturunkan dengan menggunakan obat
penghambat enzim pengkonversi angiotensin. Jika diperlukan dapat dilakukan
dialisis.

KOMPLIKASI
Hipertensi pulmonal, krisis renal sistemik, Barret's esofhagitis. ulkus dan gangren
.
ujung jari 1, 2,5

PROGNOSIS
Angka harapan hidup 5 tahun pasien sklerosis sistemik adalah sekitar 68%.
Penelitian Altman dkk, mendapatkan beberapa prediktor yang memperburuk
prognosis sklerosis sistemik adalah:5
• Usialanjut (> 64tahun) penurunan fungsi ginjal (BUN<16mg/ dl] anemia (Hb < llg/ dl)
• Penurunan kapasitas difusi C02 pada paru (< 50% prediksi]
• Penurunan kapasitas difusi C02 pada paru (<50% prediksi)
• Penurunan kadar protein serum total (6mg/dl)
• Penurunan cadangan paru (kapasitas vital paksa <80 % pada Hb >14g / dl atau
kapasitas vital paksa < 65% pada Hb <14g/ dl).

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Reumatologi
• RS non pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam

855
# MSMSSSfi* Reumatologi
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Semua Divisi di lingkungan Departemen Ilmu Penyakit Dalam ,
Departemen Bedah Vaskuler
• RS non pendidikan : Departemen Bedah

REFERENSI
.
1 . .
Vgrga j 'Systemic Sclerosis (Scleroderma) and Related Disorders In: Long© Fauci Kasper, Harrison' s
'

. .
Principles of Internal Medicine 1§lh Edition United States of America McGraw Hill 2012.
.
2 .
Setiyohadi B. Sklerosis Sistemik Dalam: Sudoyo, Setiyohadi, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi .
V. Jakarta, jnferna Publishing. 2dH
.
3 Subcommittee for Scleroderma Criteria of the American Rheumatism Association Diagnostic
.
and Therapeutic Criteria Committee Preliminary criteria for the classification of systerriic sclerosis
(scleroderma). Arthritis Rheum 1980;23:581-90 .
4 . .
HduStein U. Systemic Sclerosis - scleroderma. Dermatology Online Journal 8 (1 ):3 2002. Diakses
melalui http://dermatology:cdlib,org/DOJvol8nUml /reviews/scleroderma /haustein html pada .
tanggal 4 Mei 2012.
5 . .
Hummers L, Wigley F. Scleroderma. In: Imboden J, Hellmann D, Stone J Current Rheumatology
Diagnosis & Treatment. 2nd Edition. United States of America. McGraw Hill. 2004
.
6 Falanga V, Killoran C. Chapter 62: Morphea. In: Wolff K, Goldsmith L, Katz S, et al. Fitzpatricks' s
, .
Dermatology in General Medicine. 7 h Edition. United States of America. McGraw Hill 2008 p543-6

856
857

SPONDILOARTROPATI

PENGERTIAN
Spondiloartropati adalah sekelompok penyakit radang sendi yang mempunyai
faktor predisposisi dan tampilan klinis yang mirip. Yang termasuk spondiloartropati
adalah spondilitis ankilosa, artritis reaktif (termasuk Reiter' s syndrome) , artritis
psoriatik, inflammatory bowel disease - associated spondyloarthropathy,dan
undifferentiated spondyloarthropathy. Penyakit-penyakit ini mempunyai kesamaan
yaitu berhubungan dengan gen HLA- B 27 dan adanya entesitis sebagai lesi patologi
dasar. Tampilan klinis lain diantaranya adalah inflammatory back pain , daktilitis,
manifestasi ekstraartikular seperti uveitis dan ruam kulit.12

DIAGNOSIS SPONDILOARTROPATI
Spondiloartropati dicurigai pada setiap kasus dengan nyeri pinggang inflamasi > 3
bulan (spondiloartritis aksial), maupun artritis perifer yang asimetris, dan / atau yang
predominan di ekstrimitas bawah (spondiloartritis perifer). Kriteria nyeri pinggang
inflamasi mengikuti kriteria ASAS tahun 2009 (tabel l ).3 Selanjutnya penegakan
diagnosis spondiloartropati berdasarkan kriteria menurut ASAS tahun 2010 (gambar l) .4

Tabel 1. Kriteria Nyeri Pinggang Inflamasi menurut ASAS (2009)


Pada pasien dengan nyeri pinggang > 3 bulan
Onset usia pasien <45 tahun
Onset insidious (perlahan-lahan)
Perbaikan dengan aktifltas/latihan
Tidak membaik dengan istirahat
Nyeri di malam hari
Nyeri pinggang inflamasi jika minimal terdapat 4 dari 5 kriteria tersebut terpenuhi.
Sensitifltas 77% dan spesifisitas 91,7%
(diadaptasi dari SieperJ, dkk. Ann Rheum Dis 2009;68 :784-8 )

PanduanPrakdk Klinis
Pertiimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
ES55SIR1* Reumatologi

Pada pasien nveri pinggang bawah =3 bulan Pada pasien dengan


( dengan/tanpa manifestasi perifer ) manifestasi perifersaia :
dengan onset usia pasien < 45 tahun

i
Sakroiliitis pada HLA-B 27 PLUS Artritis atau entesitis atau daktilitis
pencitraaan PLUS =2 gambaran SpA PLUS
=1gambaran SpA yang lain

Gambaran SpA yang dimaksud: =1gambaran SpA :


• Nyeri pinggang inflamasi Uveitis
• Artritis Psoriasis
• Entesitis (tumit ) Penyakit Crohn/Colitis Ulseratif
• Uveitis Infeksi yangmendahului
• Daktilitis HLA- B 27
• Psoriasis
• Penyakit Crohn/Colitis Ulseratif Sakroiliitis pada pencitraan
• Respon baik dengan OAINS
• Riwayat keluarga dengan SpA
• HLA-B27
• Peningkatan kadarC-/teacftVe Protein
( CRP )

( diadoptasi dan Rudwaleit M , dkk . Ann Rheum Dis 2011:70:25-31 )

Keterangan :
1 Nyeri pinggang inflamasi: adanya gejala saat ini atau riwayat nyeri spinal (pinggang, dorsal atau servikal), dengan 4 dari 5 gejala,
yaitu onset <45 tahun, onset insidious, perbaikan dengan latihan, kaku pagi hari dan durasi > 3 bulan.
2. Sinovitis: adanya gejala saat ini atau riwayat artritis asimetris atau artritis yang predominan di ekstrimitas bawah.
3. Riwayat keluarga pada tingkat satu atau dua, berupa spondilitis ankilosa, psoriasis, uveitis akut, artritis reaktif, IBD
4 . Psoriasis: adanya gejala saat ini atau riwayat psoriasis yang didiagnosis oleh dokter
5. IBD: adanya gejala saat ini atau riwayat penyakit Crohn atau colitis ulseratif yang didiagnosis oleh dokter dan dikonflrmasi dengan
pemeriksaan radiologi dan endoskopi
.
6 Nyeri gluteus yang bergantian: adanya gejala saat ini atau riwayat nyeri bokong yang bergantian antara regio gluteus kanan dan kiri.
7. Entesopati : adanya gejala saat ini atau riwayat nyeri spontan atau nyeri tekan pada insersi tendon achilles dan fasia plantaris
saat pemeriksaan fisik
8. Diare akut: diare yang terjadi dalam satu bulan sebelum timbulnya artritis.
.
9 . Urethritis/servisitis: uretritis atau servisitis non-gonokokal yang terjadi dalam satu bulan sebelum timbulnya artritis
10. Sakroilitis: sakroilitis dengan grade 2-4 ( bilateral) atau grade 3 - 4 ( unilateral) berdasarkan pemeriksaan radiografl,
(0= normal, l=suspek, 2=minimal, 3=sedang, 4=ankilosis).

Gambar 1. Kriteria Diagnosis Spondiloartropati ASAS 2010

SPONDILITIS ANKILOSA
Nyeri pinggang pada spondilitis ankilosa timbul secara bertahap dan sifat nyerinya
tumpul , dengan penjalaran ke arah gluteal . Nyeri pinggang memberat pada pada pagi
hari dan membaik dengan aktivitas dan serta mempunyai komponen nyeri nokturnal . Hal
tersebut sesuai dengan kriteria nyeri pinggang inflamasi, seperti yang telah dijelaskan
di subtopik Spondiloartropati. Seiring dengan berjalannya waktu, artritis aksial dapat
berkembang dari sendi sakroiliak, menuju ke vertebra lumbalis / servikalis . Mobilitas

858
Spondiloartropati 0
'

tulang belakang menjadi terbatas karena adanya deformitas spinal seperti lordosis
lumbar yang mendatar, kifosis dada yang berlebih, hiperekstensi vertebra servikalis, dan
adanya sindesmofit di antara ruas-ruas tulang belakang. Pemeriksaan tulang belakang
seperti tes Schober dan tes jarak occiput ke dinding memberikan hasil positif terutama
yang sudah lanjut.5 8 '

Pemeriksaan Penunjang5 8
• DPL, LED, dan CRP
• HLA- B 27 (dapat dilakukan untuk membantu penegakan diagnosis tetapi tidak
direkomendasikan dilakukan secara rutin]
• Pemeriksaan radiologis: foto polos sendi sakroiliaka dan vertebra serta sendi lain
yang terlibat, bila diperlukan dapat dilakukan MRI pada sendi sakroiliaka, terutama
pada awal perjalanan penyakit

DIAGNOSIS
Diagnosis AS dapat ditegakkan dengan menggunakan kriteria modifikasi New
York 1984 seperti pada tabel 2.9

Tabel 2. Kriteria Diagnosis Ankilosing Spondilitis ( AS), New York 1984


Kriteria:
- Nyeri pinggang bawah minimal 3 bulan, yang membaik dengan aktifitas, dan tidak membaik
dengan istirahat
- Keterbatasan gerak vertebra lumbalis pada arah sagital dan frontal
- Penurunan ekspansi rongga dada, jika dibandingkan umur dan jenis kelamin yang sesuai
- Sakroiliitis bilateral grade 2 sampai 4
- Sakroiliitis unilateral grade 3 sampai 4
Ankilosing Spondilitis deflnitif: jika didapatkan kriteria sakroiliitis dengan salah satu kriteria klinis
(diadaptasi dari van der Linden S, dkk. Arthritis Rheum 1984:27: 361-8)

TATALAKSANA1011

Non farmakologis
Edukasi, terapi fisik, program latihan di rumah , sikap tubuh yangtepat dan sesuai.
Rehabilitasi pasien rawat mungkin dibutuhkan pada pasien- pasien tertentu.

Farmakologis
• OAINS adalah pilihan utama untuk mengatasi nyeri dan kaku. Analgesik lain seperti
asetaminofen dan tramadol bisa dipertimbangkan untuk kombinasi.

859
aasag Reumatologi

• Injeksi steroid lokal dapat digunakan untuk mengontrol inflamasi lokal, sedangkan
pemberian sistemik tidak dianjurkan.
• DMARD konvensional seperti metotreksat dan sulfasalazine tidak terbukti
bermanfaat, kecuali sulfasalazin yang bisa digunakan pada kasus yang disertai
artritis perifer.
• Agen biologik yang saat ini direkomendasikan untuk terapi AS adalah golongan anti-
TNFa. Agen biologik sebaiknya diberikan pada kasus dengan aktifitas penyakit yang
tinggi dan menetap serta kurang respon dengan terapi konvensional.

Tindakan Bedah
• Artroplasti panggul dilakukan pada nyeri panggul yang refrakter disertai dengan
kerusakan struktural secara radiologis.
• Spinal corrective osteotomy dipertimbangkan pada pasien dengan deformitas
tulang belakang berat .

ARTRITIS REAKTIF112
, 3

Anamnesis
Artritis reaktif terjadi satu sampai empat minggu setelah infeksi saluran pencernaan
ataugenitourinarius. Organisme penyebab diantaranya adalah Chlamydia, Ureaplasma,
Shigella, Salmonella, Yersinia, dan Campylobacter sp. Diare akut seringkali merupakan
manifestasi yang terlihat jika artritis reaktif terjadi setelah infeksi Shigella, Yersinia
dan Salmonella. Beberapa studi menunjukkan adanya bukti bahwa Chlamydophila
(Chlamydia) pneumoniae yang menimbulkan infeksi saluran nafas dapat menimbulkan
artritis reaktif , meskipun angka kejadiannya lebih jarang. Pada 20% pasien laki-laki
dengan artritis reaktif didapatkan balanitis sirsinata.

Pemeriksaan Fisik
Oligoartritis akut terjadi dalam beberapa hari, dengan distribusi asimetris, terutama di
ekstrimitas bawah. Entesitis seringterjadi, terutama pada tumit. Manifestasi ekstraartikuler
dapat berupa konjungtivitis (50 %), atau uveitis (akut, unilateral, dan berulang).

Pemeriksaan Penunjang
• Laboratorium: darah perifer lengkap, LED, CRP, dan analisa cairan sendi (gambaran
inflamasi) . Pemeriksaan mendapatkan sumber infeksi pemicu seperti dengan

860
Spondiloartropati |p
kultur atau serologi, dapat membantu penegakan diagnosis ( terutama untuk
Chlamydiae ), namun tidak dianjurkan untuk dilakukan secara rutin.
• Radiologi: Pada kasus artritis reaktif yang kronik, pemeriksaan radiologis foto polos
dapat memberikan gambaran sakroiliitis, periostitis, sindesmofit non -marginal,
erosi sendi dan penyempitan celah sendi. Pemeriksaan USG dan MRI pada sendi
terutama sendi sakroiliak akan sangat membantu deteksi dini perubahan tersebut.

Tatalaksana
• Non farmakologis: edukasi, terapi fisik / rehabilitasi medik
• Farmakologis
Obat anti inflamasi non -steroid (OAINS)
Injeksi kortikosteroid intraartikuler dapat digunakan pada artritis yang
mengenai 1- 2 sendi atau monoartritis yang berat
Pada arthritis reaktif yang kronik dan berat dapat diberikan DMARD, seperti
sulfasalazin dan metotreksat, atau steroid sistemik
Terapi terhadap infeksi pemicu hanya diindikasikan pada infeksi Chlamydia
trachomatis, antara lain dengan kombinasi terapi sinovektomi dan azitromisin
selama 3 bulan.

Prognosis
Pada umumnya prognosis baik, dan sebagian besar sembuh total setelah beberapa
bulan, dan hanya didapatkan 14- 20 % pasien yang menetap dan menjadi artritis kronik.

ARTRITIS PSORIATIK1141516

Anamnesis
Pada kebanyakan kasus, manifestasi kulit mendahului keterlibatan sendi.
Walaupun dapat terjadi sebaliknya pada 15-20% kasus. Ada beberapa tipe, yaitu tipe
oligoartikular (empat atau kurang sendi terlibat], tipe poliartikuler (lima atau lebih
sendi terlibat) , pola dengan predominan keterlibatan sendi interfalangeal distal,
artritis mutilan, dan spondilitis psoriatik. Lebih dari 70 % kasus merupakan tipe
oligoartikular.

861
I
Panduan Praktik Klinis
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia Reumatoloai

Tabel 2. Kriteria CASPAR 17


Untuk memenuhi kriteria CASPAR, pasien harus mempunyai penyakit radang sendi ( joint, spine,
atau entheseal ) dengan > 3 poin dari 5 kategori berikut:°
1. Bukti adanya psoriasis,13- c riwayat psoriasis pribadi, atau riwayat keluarga psoriasis '3
2. Distrofi kukue yang khas psoriatik , didapatkan pada pemeriksaan sekarang
3. Faktor rematoid (-)
4. Dactylitis saat ini atau riwayat dactylitis yang dinilai oleh seorang ahli Reumatologi
'
5. Bukti radiologi adanya pembentukan tulang baru juxtaarticutar 9 pada telapak tangan dan kaki
Keterangan:
QSpesifitas 99% dan sensitivitas 91%
bPsoriasis saat ini mendapat poin 2, sedangkan yang lain bernilai 1 poin
cPenyakit kulit atau kulit kepala psoriatik yang ada pada saat pemeriksaan, ditentukan oleh ahli Reumatologi atau ahli kulit
°Riwayat psoriasis pada keturunan pertama dan kedua
eOnikolisis, pitting, atau hiperkeratosis
'
Pembengkakan pada seluruh jari
9Osifikasi didekat batas sendi, namun tidak termasuk pembentukan osteofit

Pemeriksaan Fisik
Manifestasi klinis dapat ringan hingga berat (destruktif ]. Selain di tempatnya yang
khas, permukaan ekstensor lutut, psoriasis dapat pula terdapat pada bagian kecil
pada kulit kepala, telinga, celah anus, perineum, atau umbilikus. Lesi kuku, termasuk
pitting dan onikolisis, terdapat pada lebih dari 80 % pasien dengan artritis psoriatik.
Pada artritis psoriatik, uveitis cenderung kronik dan terjadi bilateral.

Tempat Predileksi
Asimetris, pada sendi distal. Jika akan dibuat diagnosis artritis psoriatik, maka
kulit diperiksa secara hati- hati untuk mencari lesi psoriatik.

Radiologi
Gambaran radiografi pasien dengan artritis psoriatik memperlihatkan adanya artritis
erosif, dengan tersering terjadi pada sendi DIP dan terjadi perubahan pencil-in - cup akibat
resorpsi tulang. Temuan lain diantaranya adalah enthesitis dengan reaksi periosteal,
sakroiliitis, dan spondilitis, sama seperti yang ditemukan pada artritis reaktif

Tatalaksana
• Non farmakologis
• Farmakologis:
Manifestasi Kulit
• Terapi topikal kortikosteroid, retinoid
• Terapi UV

862
Spondiloartropati

Manifestasi Sendi
• Obat anti inflamasi non -steroid (OAINS)
• Kortikosteroid oral
• Injeksi kortikosteroid intraartikular
• Metotreksat, sulfasalazin, dan inhibitor TNF-a

Prognosis
Riwayat keluarga adanya artritis psoriatik, onset penyakit dibawah 20 tahun,
adanya HLA DR 3 atau DR4, kelainan sendi poliartikuler atau erosif dan kelainan kulit
yang luas diduga berkaitan dengan prognosis yang buruk.

SPONDILOARTROPATI YANG BERHUBUNGAN DENGAN INFLAMMATORY


BOWEL DISEASE'

Anamnesis
Penyakit ini berhubungan dengan penyakit Crohn atau kolitis ulseratif . Pada
beberapa pasien, manifestasi artritis terjadi sebelum manifestasi penyakit usus.

Pemeriksaan Fisik
Penyakit ini biasanya terjadi tiba-tiba dan pola nyeri berpindah - pindah . Artritis
secara umum berkurang dalam waktu enam hingga delapan minggu . Walaupun
rekurensi sering terjadi, 10% pasien terjadi artritis kronik. Pada 20% pasien,
manifestasi spondiloartropati yang berhubungan dengan inflammatory bowel disease
tidak berbeda dengan spondilitis ankilosa idiopatik.

Tempat predileksi
Artritis terjadi pada ekstremitas bawah secara asimetris

Tatalaksana
• Non farmakologis: edukasi, terapi fisik/ rehabilitasi medik.
• Farmakologis
Obat anti inflamasi non-steroid harus digunakan secara hati-hati, karena dapat
mengeksaserbasi penyakit usus
Sulfasalazin, metotreksat, dan azatioprin
- TNF-a inhibitor.

863
» Wt
PanduanPraktikMinis Reumatoloai
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia

UNDIFFERENTIATED SPONDYLOARTHRITIS1 2

Kriteria Diagnosis
Kebanyakan pasien mempunyai gejala yang tidak spesifik termasuk nyeri
punggung, nyeri pada bokong unilateral atau bergantian, entesitis, daktilitis, dan
kadang-kadang terdapat manifestasi ekstraartikular. Undifferentiated spondyloarthritis
merupakan diagnosis ekslusi, dimana terdapat manifestasi spondiloartritis tanpa
adanya spondilitis ankilosa, infeksi yang mendahului, psoriasis, kolitis ulseratif,
ataupun penyakit Crohn.

Tatalaksana (sesuai klinis yang muncul)


• Obat anti inflamasi non -steroid (OAINS)

Sulfasalazin, Metotreksat
• Injeksi intraartikular kortikosteroid
• TNF - a inhibitor.

Ringkasan
Tabel 3. Karakteristik Spondiloartropati Seronegatif 18
Atrttls reaktif
Spondilitis IBD-assoclated
(termasuk Reiter's Artrttls psorlatlk
Ankilosa spondyloarthropathy
syndrome)
Prevalens 0, 1 %-0,2% 0, 1 % 0,2%-0,4% Jarang
Onset Akhir remaja Akhir remaja 35-45 tahun Umur berapapun
sampai awal sampai awal
dewasa muda dewasa
Laki-laki: wanita 3: 1 5:1 1 :1 1:1
HLA- B27 90-95% 80% 40% 30%
Sacroiliitis
Frekuensi 100% 40-60% 40% 30%
Distribusi Simetrik Asimetrik Asimetrik Simetrik
Sindesmoflt Delicate , Bulky, Bulky, Delicate, marginal
marginal nonmarginal nonmarginal
Artritis perifer
Frekuensi Jarang Sering Sering Sering
Distribusi Asimetrik, Asimetrik, Asimetrik, setiap Asimetrik, ekstremitas
ekstremitas ekstremitas sendi bawah
bawah bawah
Entesitis Sering Sangat sering Sangat sering Jarang
Daktilitis Jarang Sering Sering Jarang

864
Spondiloartropati

Atrtti reakttf
SpondHttU *
(tormasuk Reiter's Artrttfs psortatlk
IBD-assoclatod
Ankilosa spondyloarthropathy
syndrome)
Lesi kulit Tidak ada Carcinate Psoriasis Eritema nodosum,
balanitis, pyoderma
keratoderma, gangrenosum
blennorhagicum
Perubahan kuku Tidak ada Onikolisis Pitting, onikolisis Clubbing
Kondisi mulut Ulkus Ulkus Ulkus Ulkus
Kondisi jantung Aortic Aortic Aortic Aortic regurgitation
regurgitation, regurgitation, regurgitation,
conduction conduction conduction
defects defects defects
Paru-paru Fibrosis lobus atas Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Saluran Tidak ada Diare Tidak ada Penyakit Crohn,
pencernaan ulcerative colitis
Kondisi ginjal Amiloidosis, IgA Amiloidosis Amiloidosis Nefrolitiasis
nefropati
Kondisi Prostatitis Uretritis, servisitis Tidak ada Tidak ada
genitourinarius

KOMPLIKASI
Deformitas

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Reumatologi
• RS Non Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : Departemen Rehab Medik
• RS Non Pendidikan : Bagian Rehab Medik

REFERENSI
Taurog JD. The Spondyloarthritides. In: Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, Fauci AS Hauser SL
,
1.
,

Loscalzo J. Harrisons Principles of Internal Medicine. Singapore: The McGraw Hill companies
;
2012,p.2774-85
2. Yu D, McGonagle D, Marzo-Ortega M et al. Undifferentiated Spondyloarthritis and Reactive
Arthritis. In: Firestein G, Budd R, Harris Jr E et al. Kelley ' s Textbook of Rheumatology. 8th Edition.
Vol I. Philadelphia: Elsevier Saunders. 2008
3. SieperJ, van derHeijde D, Landewe R, Brandt J , Burgos-Vagas R , Collantes-Estevez E, etal . New
kriteria for inflammatory back pain in patients with chronic back pain - a real patient exercise
of the Assessment in SpondytoArthritis international Society ( ASAS ) . Ann Rheum Dis 2009 68 :784 8
; -

865
I wy
Panduan PraktikKlinis Reumatoloai
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia

4. RudwaleitM , van derHeijde D, Landewe R, Listing J, Akkoc N, Brandt J, etal . The development of
Assessment of SpondyloArthritis international Society classification kriteria for axial spondyloarthritis
( part II ): validation and final selection. Ann Rheum Dis 2009:68:777-83
5. RudwaleitM , van derHeijde D, Landewe R, Listing J , Akkoc N, Brandt J , etal . The development of
Assessment of SpondyloArfhritis international Society classification kriteria for axial spondyloarthritis
( part II ) : validation and final selection. Ann Rheum Dis 2009:68:777 -83
6. Kataria RK , Brent LH. Spondyloarthropathies. Am Fam Physician. 2004. 2853 -60
7. Zochling J, van der Heijde D, Burgos-Vargas R, Collantes E, Davis JC, Dijkmans B. ASAS EULAR
/
recommendation for the management of ankylosing spondylitis. Ann Rheum Dis 2006:65: 444-52
8. Gladman DD . Psoriatik arthritis:clinical feature. ln:Klippel JH, et al. ( eds ) Primer on the Rheumatic
Diseases. I 3 ,h ed. New York : Springer Science, 2008 .pp. 170-7
9. van der Linden S, Valkenburg HA, Cats A. Evaluation of diagnostic criteria for ankylosing spondylitis:
A proposal for modification of the New York kriteria. Arthritis Rheum 1984:27: 361-8
10. Kiltz U, van der Heijde D, Mielants H, et al.. ASAS /EULAR recommendations for the management
of ankylosing spondylitis - the patient version, Ann Rheum Dis 2009;68:1381-6
,

11. Braun J, van der Berg R, Baraliakos X, Boehm H , Burgos-Vargas R, Collantes-Estevez E, et al. 2010
update of the ASAS / EULAR recommendations for the management of ankylosing spondylitis
.
Ann Rheum Dis 2011:70:896-904
12. Carter JD, Hudson AP. Reactive arthritis: clinical aspects and medical management. Rheum
Dis
Clin N Am 2009;35:21-44
13 . Sieper J, Rudwaleit M, Braun J, van der Heijde D. Diagnosing Reactive Arthritis: Role of Clinical
Setting in the Value of Serologic and Microbiologic Assays. Arthritis Rheum 2002; 46 ( 2)
: 319-327
14. Albar Z. Artritis Psoriatik. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S . Buku Ajar
llmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing; 2009.p. 2532-34
15. Hidayat R . Reactive Arthritis. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M,
Setiati S. Buku
Ajar llmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing; 2009.p. 2535-37
16 . Fitzgerald O. Psoriatic Arthritis. In: Firestein G, Budd R, Harris Jr E et al. Kelley ' s Textbook
of
Rheumatology. 8 th Edition. Vol I. Philadelphia: Elsevier Saunders. 2008
17 . Taylor W, Gladman D, Helliwell P, Marchesoni A , Mease P, Mielants H; CASPAR Study Group
.
Classification kriteria for psoriatic arthritis: development of new kriteria from a large international
study. Arthritis Rheum 2006:54 ( 8) :2665-73

866
k
PENATAIAKSANAAN
D l BIDANGI1MU PENYAKIT DALAM

PANDUAN M
PRAKTIK JM
KIINIS iWi
TROPIK INFEKSI

Chikungunya 867
, 873
Demam Berdarah Dengue
Demam Neutropenia 882
Demam Tifoid 888
Diare Infeksi 894
Diare Terkait Antibiotik (Infeksi Clostridium Difficile ) 901
Fever Of Unknown Origin , 904
, 907
Filariasis
Leptospirosis 910
Human Immunodeficiency Virus ( HIV ) / Acquired
Immunodeficiency Syndrome ( AIDS) , 914
Infeksi Jamur 926
Infeksi Oportunistik Pada Aids 930
Infeksi pada Kehamilan 941
Intoksikasi Organofosfaf 945
Intoksikasi Opiat 949
Keracunan Makanan 952
Malaria 955
Penatalaksanaan Gigitan Ular 966
Penggunaan Antibiofika Rasional 972
Rabies . 977
Sepsis Dan Renjatan Septik 982
« • * *.

.
867

CHIKUNGUNYA

PENGERTIAN
Demam chikungunya merupakan suatu infeksi akutyang disebabkan oleh alfavirus
dan ditularkan melalui gigitan nyamukA aegypti dan A albopictus.l z

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis1 3
Penyakit ini dapat bersifat akut, subakut, maupun kronis. Fase akut berlangsung
3-10 hari, ditandai dengan demam tinggi mendadak (39°-40°C) dan nyeri sendi berat.
Nyeri sendi ini terkadang membuat seseorang menjadi terbaring lemah, namun
biasanya sembuh dalam beberapa hari atau beberapa minggu. Infeksi chikungunya
dapat juga disertai gejala lain seperti sakit kepala, nyeri seluruh punggung, mialgia,
mual, muntah, poliartritis, bintik merah ( rash ), dan konjungtivitis. Pada fase subakut
dan kronis, dapat memberikan gejala klinis pembengkakan tangan disertai deskuamasi
halus, hiperpigmentasi wajah, tenosinovitis pada tangan, mata kaki, higroma siku,
bengkak dan kaku pada jari- jari tangan.

Manifestasi Atipikal3
Meskipun sebagian besar infeksi virus chikungunya ( CHIKV) bermanifestasi
sebagai demam dan artralgia, manifestasi atipikal dapat muncul seperti yang
.
digambarkan pada tabel 1 Manifestasi ini dapat terjadi akibat efek langsung dari
virus, respon imunologis tubuh terhadap virus, atau toksisitas obat.

Tabel 1. Manifestasi atlpik dari infeksi CHIKV 3


Sltfem Manifestasi Kllnls
Neurologis meningoensefalitis, ensefalopati, kejang, sindrom guillain- barre , sindrom
serebelar, paresis, kelemahan saraf, neuropati
Okular .
neuritis optik uveitis, episkleritis, retinitis
Kardiovaskular miokarditis, perikarditis, gagal jantung, aritmia, instabilitas hemodinamik
Dermatologis hiperpigmentasi fotosensitivitos, ulkusintertriginosa (bentuk seperti sariawan) ,
dermatosis vesikobulosa

PanduanPraktik Minis
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
£
Mf
fS‘.
By
PanduanPraKtik Minis Tropik
r' Infeksi
Perhimpunan Dokler SpesiaHs Penyokil Dalam Indonesia

Slstem Manlfestasl Kllnls


Renal nefritis, penyakit ginjal akut
Lainnya Perdarahan abnormal, pneumonia, gagal napas, hepatitis, pankreatitis,
hipoadrenalisme, SIADH

Pemeriksaan Fisik
Demam 39°- 40 °C berlangsung beberapa hari - 1 minggu, bersifat kontinu atau
intermiten, terkadang dapat disertai bradikardi relatif.3
Nyeri sendi biasanya simetris dan sering mengenai sendi-sendi kecil pada tangan
dan kaki. Pembengkakan sendi sering dikaitkan dengan tenosinovitis.12'3
Bintik merah biasanya muncul 2 -3 hari setelah onset demam, dengan karakteristik
makulopapular pada batang tubuh dan ekstremitas, namun juga dapat ditemukan
pada telapak tangan, telapak kaki, dan wajah. Bintik merah juga dapat bermanifestasi
sebagai eritema difus, yang menghilang pada penekanan. Pada bayi, lesi vesikulobulosa
sering ditemukan.3

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan darah dapat ditemukan :3
• Trombositopenia
• Leukopenia
• Peningkatan tes fungsi hati
• Peningkatan LED dan CRP
• Ig M Chikungunya

Kriteria Diagnosis3
• Kasus suspek
Pasien dengan onset demam akut >38,5°C dan artralgia berat atau artritis yang tidak
dapat dijelaskan oleh kondisi medis lain, dan telah tinggal atau berkunjung ke daerah
endemis atau epidemis dalam dua minggu terakhir sebelum munculnya gejala.
• Kasus terkonfirmasi ( confirmed case )
Pasien kasus suspek dengan salah satu hasil pemeriksaan spesifik CHIKV :
1. Isolasi virus
2. Deteksi virus RNA dengan RT- PCR
3. IgM positif pada satu sampel serum yang diambil pada fase akut atau
convalescent
4. Kenaikan titer antibodi spesifik CHIKV sebanyak 4x lipat dari sampel yang
diambil dengan selang waktu 2 atau 3 minggu

868
Chikungunya

Catatan :3
Apabila terjadi epidemi, semua pasien tidak wajib dikonfirmasi dengan pemeriksaan
diatas. Evaluasi sensitivitas dan spesifisitas dari kriteria klinis infeksi CHIKV dilakukan
saat KLB terjadi. Kombinasi demam dan poliartralgia memiliki sensitivitas dan spesifisitas
terbaik dengan nilai 84% dan 89%. Kriteria klinis tersebut mampu menegakan diagnosis
pada 87% individu dengan infeksi CHIKV yang konfirm secara serologis.
Pemeriksaan penunjang yang saat inidapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis :
3

a. Isolasi virus chikungunya (CHIKV)


Isolasi CHIKV dapat diambil dari nyamukyang didapat dari lapangan atau spesimen
serum akutyang diambil dari darah pasien pada minggu pertama demam. Setelah
spesimen ini didapat, harus segera dikirim ke laboratorium dalam waktu 48 jam
setelah pengambilan dengan suhu 2 - 8°C atau dry ice. Isolasi CHIKV ini kemudian
harus dikonfirmasi dengan immunofluorescence assay (IFA), antiserumspesifik
CHIKV atau dengan kultur supernatan reverse transcriptase- polymerase chain
reaction ( RT- PCR), atau suspensi otak tikus.
b. RT- PCR
Deteksi RNA CHIKV menggunakan metode RT- PCR sudah beberapa kali
dipublikasikan . Penggunaan sistem assay tertutup dan real time untuk
meningkatkan sensitivitas dan menurunkan resiko kontaminasi. Serum yang
digunakan sama dengan isolasi CHIKV.
c. Tes serologis
Enzyme -linked immunosorbent assay (ELISA) dan plaque reduction neutralization
testing (PRNT ) untuk memeriksa serum darah digunakan untuk diagnosis
serologis. Pengiriman spesimen ke laboratorium dengan suhu 2 - 8°C, tidak boleh
dibekukan.
Diagnosis serologis fase akut dan pemulihan ditegakkan dengan hasil titer IgM
antibodi spesifik CHIKV yang positif atau kenaikan titer PRNT sebanyak 4x lipat.
antibodi IgG dan IgM anti-chikungunya. Level antibodi IgM mulai muncul pada
-
akhir minggu pertama demam, tertinggi pada 3 5 minggu setelah onset penyakit
dan bertahan selama 2 bulan. Oleh karena itu, untuk menyingkirkan diagnosis
chikungunya, sampel fase pemulihan ( convalescent ) harus tetap diperiksa apabila
hasil pemeriksaan sampel fase akut negatif.
Apabila PRNT tidak tersedia, pemeriksaan serologis lain seperti hemaglutination
inhibition (HI ) dapat digunakan untuk mengidentifikasi infeksi alfavirus yang baru
saja terjadi ( recentinfection ). Namun PRNT tetap diperlukan untuk mengkonfirmasi
recent infection CHIKV.

869
fil PanduanPraklikKIinis Trooik Infeksi
Pefhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia

Spesimen lain yang dapat digunakan untuk peraeriksaan laboratorium :


1. Cairan serebrospinal pada kasus meningoensefalitis
2 . Cairan sinovial pada kasus artritis disertai efusi
3 . Materi autopsi - serum atau jaringan yang tersedia
Sebelum mengidentifikasi CHIKV di sebuah negara, survailans laboratorium harus
mengambil 3 set sampel untuk memeriksa :
1. Spesimen dengue negatif pada pasien dengan keluhan nyeri sendi berat
2 . Sampel dari penyakit yang gambaran klinisnya serupa dari area geografis baru
tanpa sirkulasi dengue aktif
3 . Sekumpulan ( clustersJ penyakit demam dengan nyeri sendi berat
Berikut adalah tabel yang menunjukkan pemeriksaan ideal yang sebaiknya
dilakukan dalam setting epidemiologis yang bervariasi :

Tabel 2. Survailans Laboratorium untuk CHIKV menurut Varlasi Epidemiologis


Skenarlo Epidemiologis Tes yang Dlperlukan Sampel yang Dlperlksa
Tidak ada tanda penularan / ELISA IgM dan IgG Semua sampel dari pasien
transmisi dengan gambaran klinis yang
serupa
Suspek penyakit CHIKV ELISA IgM dan IgG, RT-PCR real Semua sampel dari pasien
time , isolasi virus, PRNT dengan gambaran klinis yang
serupa
Transmisi berkelanjutan ELISA IgM dan IgG, RT-PCR real Sampel dari kasus CHIK klasik,
time , isolasi virus terbatas yang ditentukan oleh lab dan
status epidemiologis; sampel
dari semua kasus berat atau
atipikal sebaiknya diperiksa
Kejadian Luar Biasa |KLB) periodik ELISA IgM dan IgG, RT-PCR real Sampel dari kasus CHIK klasik,
( CHIKV pernah terdeteksi pada time , isolasi virus terbatas yang ditentukan oleh lab dan
daerah tersebut ) atau survailans status epidemiologis ; sampel
aktif pada area sekitar transmisi dari semua kasus berat atau
CHIKV atipikal sebaiknya diperiksa

Tabel 3. Interpretasi Hasil Pemeriksaan CHIKV menurut waktu pascainfeksi3


Hart Pasca Onset Penyakit Pemeriksaan Virus Pemeriksaan Anttbodl
Hari 1 - 3 RT-PCR : Positif IgM :Negatif
Isolasi : Positif PRNT :Negatif
Hari 4 - 8 RT-PCR : Positif IgM :Positif
Isolasi : Negatif PRNT :Negatif
> Hari 8 RT-PCR : Negatif IgM :Positif
Isolasi : Negatif PRNT iPositif

Berikut adalah hasil pemeriksaan laboratorium untuk mengkonfirmasi recent


infection CHIKV : 3
Isolasi CHIKV, termasuk identifikasi konfirmasi (IFA, RT-PCR, atau sequencing )
Deteksi RNA CHIKV dengan RT- PCR real time

870
Chikungunya

Identifikasi hasil IgM positif pada pasien dengan gejala akut CHIKV, diikuti dengan
adanya antibodi spesifik CHIKV yang ditentukan oleh PRNT dengan virus lain yang
ada didalam serogrup Semliki Forest virus (SFV)
Adanya serokonversi atau kenaikan titer 4x lipat pada PRNT, HI, atau ELISA (sekali
lagi, dengan menggunakan virus lain yang ada di dalam serogrup SFV) antara
spesimen fase akut dan convalescent .

DIAGNOSIS BANDING
Malaria, demam dengue, leptospirosis, demam rematik3, demam typoid, influenza

Tabel 4. Perbandingan Gambaran Klinis dengan Laboratorium Infeksi CHIKV dengan Dengue
0 3

GAMBARAN KLINIS DAN INFEKSI CHIKV INFEKSI VIRUS DENGUE


LABORATORIUM
Demam > 39°C +++ ++
Mialgia + ++
Artralgia +++ +/-
Sakit kepala ++ ++b
Bintik-bintik merah ++ +
Perdarahan abnormal +/- ++
Syok +
Leukopeni ++ +++
Neutropeni + +++
Limfopeni +++ ++
Peningkatan hematokrit ++
Trombositopeni + +++

° Rata-rata frekuensi gejala yang muncul pada pasien terhadap kedua penyakit ini dibandingkan dengan
penelitian; +++ = dialami oleh 70-100% pasien; ++ = 40-69% pasien; + = 10-39% pasien; +/- = < 10% pasien; - = 0%
b
Lebih sering berupa nyeri retroorbita

TATALAKSANA
Tidak ada terapi spesifik, tatalaksana ditujukan untuk meringankan gejala,
termasuk nyeri sendi.

Tabel 5. Tatalaksana Demam Chikungunya 3


FASE AKUT FASE SUBAKUT DAN KRONIS
Rehidrasi ( bila muntah, berkeringat, insensible Nyeri sendi ; kortikosteroid oral atau injeksi intra-
losses ) artikular, atau NSAID oral
Antipiretik : asetaminofen ( parasetamol) Alternatif : metotreksat **
Anti radang* : ibuprofen, naproksen Fisioterapi -> kasus artralgia lama dan kaku sendi
Nyeri sendi berat yang tidak membaik dengan
NSAID : narkotik ( morfin) , kortikosteroid durasi
singkat

* Perhatlan :tidak dianjurkan memberikan aspirin karena resiko perdarahan dan sindroma Reye pada anak <12 tahun
* *Pada fase subakut dan kronis, dapaf dipertimbangkan bila terapi lain tidak adekuat untuk mengatasi keluhan artralgia
berulang ( refractory joint symptoms /

871
:$Y
f 9F
PanduanPra
Pamlmiiuncin Doklor
ktlkKlinis Tropik Infeksi
Spesiallt Penyoklf Oalam inotonesn

PROGNOSIS
Seb.agian bpsar pasiensembuh sempurna, namun pada beberapa kasus, nyeri sendi
dapat persisten untuk beberapa bulan sampai beberapa tahun. Tingkat mortalitas
pada-iAdivtd.ui> 65 tahun lebihtinggi 50 kaMipat dibandingkan dengan dewasa muda
<45 tahun.*

UNIT YANG MENANGANI


• • RS pendidikan : Divisi Tropik Infeksi - Departemefl Pehyakit! Balatn ;
• v • RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam
,

UNIT TERKAIT
3 UO PG
* IJ» " # HA
• RS pendidikan :-
• RS non pendidikan : -

REFERENSI
1. Peters CJ. Infections Caused by Arthropod- and Rodent-Borne Viruses, In: Longo Fauci Kasper,
.
Harrison ' s Principles of Internal Medicine 17th edition.United States of America McGraw Hill. 2008
2. . . . .
WHO Fact sheets' Chikungunya Diunduh darihttp:/ / www.who int/mediacentre /factsheets/
fs327/en/ pada tanggal 26 April 2012
.
3 Staples CJ et al. Preparedness and Response for Chikungunya Virus:Introduction in the Americas .
CDC. 2011

872
873

DEMAM BERDARAH DENGUE

PENGERTIAN
Merupakan penyakit demam akut yang disebabkan oleh virus dengue dan
ditularkan melalui gigitan nyamukj4edes aegypty dan Aedes albopictus serta memenuhi
kriteria WHO untuk demam berdarah dengue.1

PENDEKATAN DIAGNOSIS2

Anamnesis
Demam mendadaktinggi dengan tipe bifasik disertai oleh kecenderungan perdarahan
(perdarahan kulit, perdarahan gusi, epistaksis, hematemesis, melena, hematuria], sakit
kepala, nyeri otot dan sendi, ruam, nyeri di belakang mata, mual -muntah, pemanjangan
siklus menstruasi. Riwayat penderita DBD di sekitar tempat tinggal, sekolah atau di
tempat bekerja di waktu yang sama. Pasien dapat juga datang disertai dengan keluhan
sesak, lemah hingga penurunan kesadaran.

Pemeriksaan Fisik
Demam
Gejala infeksi viral seperti: injeksi konjungtiva, mialgia, artalgia
Tanda perdarahan : ptekie, purpura, ekimosis
Hepatomegali
- Tanda-tanda kebocoran plasma: efusi pleura, asites, edema, kandung empedu

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan darah rutin: lekopenia, trombositopenia, hemokonsentrasi
Serologi : IgG-IgM antidengue (+), pemeriksaan protein virus NS-1 Dengue,
Foto toraks: penumpulan sudut kostofrenikus
USG abdomen: double layer pada dinding kandung empedu, atau asites

Panduan Praktik Klinis


Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
m E5SKMK5HL Tropik Infeksi

Kriteria Diagnosis3 4
Definisi Kasus untuk Demam Dengue
Probable - demam akut disertai dua atau lebih gejala berikut:
• sakit kepala
• nyeri retro-orbital
• myalgia
• artralgia
• ruam
• manifestasi perdarahan
• leukopenia ; dan
• Hasil pemeriksaan serologi ( +) atau adanya demam dengue di lokasi dan waktu
yang sama
Confirmed - kasus di konfirmasi dengan kriteria laboratorium
• Isolasi virus dengue dari serum atau sampel otopsi
• Kenaikan > 4 kali titer antibodi IgG atau IgM pada sampel plasma
• Terdapatnya antigen virus dengue pada sampel otopsi jaringan, plasma, atau LCS
dengan teknik imunihistokimia, imunofluoresens, atau ELISA
• Deteksi sekuens genom virus dengue di sampel jaringan atau LCS dengan cara PCR
Reportable - setiap kejadian kasus probable atau confirmed harus dilaporkan

Kriteria Diagnosis Klinis Demam Berdarah Dengue (DBD) WHO 1997


1. Demam atau riwayat demam akut, antara 2 - 7 hari, biasanya bifasik.
2 . Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut:
• Uji bendung positif.
• Ptekie, ekimosis, atau purpura.
• Perdarahan mukosa (tersering epistaksis atau perdarahan gusi ), atau
perdarahan dari tempat lain.
• Hematemesis atau melena.
3. Trombositopenia ( jumlah trombosit < 100.000/ ml).
4. Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage ( kebocoran plasma) sebagai
berikut:
• Peningkatan hematokrit > 20 % dibandingkan standar sesuai dengan umur
dan jenis kelamin .
• Penurunan hematokrit > 20 % setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan
dengan nilai hematokrit sebelumnya.
• Tanda kebocoran plasma seperti: efusi pleura, asites, hipoproteinemia, atau
hiponatremia

874
Demam Berdarah Dengue

Derajat Keparahan Demam Berdarah Dengue


• Derajat I: Demam disertai gejala-gejala konstitusional yang tidak spesifik; satu-
satunya manifestasi perdarahan adalah hasil uji tourniquet yang positif.
• Derajat II : Sebagai tambahan dari manifestasi pasien derajat I, terdapat perdarahan
spontan, biasanya dalam bentuk perdarahan kulit dan /atau perdarahan lainnya.
• Derajat III : Kegagalan sirkulasi dengan manifestasi nadi yang lemah dan cepat,
menyempitnya tekanan nadi (20 mmHg atau kurang ) atau hipertensi, serta gelisah
dan kulit teraba dingin
• Derajat IV: Renjatan / syok berat dengan nadi dan tekanan darah yang tidak
terdeteksi

DENGUE SHOCK SYNDROME ( DSS)

Diagnosis Dengue Shock Syndrome (DSS )


Semua gejala kriteria DBD ditambah bukti adanya kegagalan sirkulasi seperti:
Nadi lemah dan cepat
Tekanan nadi sempit ( < 20 mmHg)
Atau adanya manifestasi :
Hipotensi
Akral dingin, lembab dan gelisah

Diagnosis Banding
Demam akut lain yang disertai trombositopenia seperti demam tifoid, malaria,
chikungunya

Pemeriksaan Penunjang
Hemoglobin ( Hb), hematokrit (Ht), lekosit, trombosit, serologi dengue, foto toraks.
Evaluasi Ht dan trombosit setiap 12 / 24 jam sesuai keadaan Minis, USG abdomen sesuai
indikasi atau bila perlu.

DIAGNOSIS BANDING
Demam akut lain yang disertai trombositopenia seperti demam tifoid, malaria,
chikungunya.

875
Panduan PraktikKlinis Tropik Infeksi
Perhimpunan Dokler Speslalis Penyakit Dalam Indonesia

TATALAKSANA4

Nonfaramakologis
• Istirahat, makanan lunak, tingkatkan asupan cairan oral
• Pantau tanda -tanda syok, terutama pada transisi fase febris (hari 4 - 6 )
Klinis: tingkat kesadaran, nadi , tekanan darah
Laboratorium : Hb, Ht, Trombosit, Lekosit

Farmakologis
• Simtomatis: antipiretik parasetamol bila demam
• Tatalaksana terinci pada lampiran protokol tatalaksana DBD
-
Cairan intravena: Ringer Laktat atau ringer asetat 4 6 jam/ kolf. Evaluasi jumlah
cairan, kondisi klinis, perbaikan / perburukan hemokonsentrasi. Koloid / plasma
ekspander pada DBD stadium III dan IV bila diperlukan.
Transfusi trombosit dan komponen darah sesuai indikasi
Pertimbangan heparinisasi pada DBD stdadium III dan IV dengan Koagulasi
intravaskular diseminata ( KID)

Kriteria Merujuk Pasien ke RS/ICU:


Takikardi
Capillary refill time ( < 2 detik )
Kulit dingin, lembab dan pucat
Nadi perifer lemah atau hilang
Perubahan status mental
Oliguria
Peningkatan mendadak Ht atau peningkatan kontinyu Ht setelah terapi cairan
diberikan
Tekanan nadi sempit ( < 20 mmHg)
Hipotensi

Protokol penatalaksanaan DBD pada pasien dewasa:


Protokol 1: Penanganan Tersangka ( Probable ) DBD dewasa tanpa syok
Protokol 2: Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat
Protokol 3: Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan Ht > 20 %
Protokol 4: Penatalaksanaan Perdarahan Spontan pada DBD dewasa
Protokol S: Tatalaksana Sindroma Syok Dengue pada dewasa

876
Demam Berdarah Dengue

Protokol 1: Penanganan Tersangka ( Probable ) DBD dewasa tanpa syok


Keluhan DBD
(Kriteria WHO 1997)

4 T 4 4
Hb, Ht, Hb, Ht normal, Hb, Ht normal .
Hb, Ht meningkat,
trombo normal trombo 100.000-150.000 trombo <100.000 trombo normal/ turun

4 4 4 4
Observasi Observasi Rawat Rawat
Rawat jalan Rawat jalan
Penanganan protocol
Periksa Hb, Periksa Hb,
rawat inap untuk
Ht, Leuko, Ht, Leuko,
DBD (protokol2)
trombo/ 24 jam trombo / 24 jam

Protokol 2: Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat

Suspek DBD
Perdarahan Spontan dan Masif ( -)
Syok (-)

4 i
Hb, Ht meningkat 10-20%
4
Hb, HtTrombo < 100.000
Trombo < 100.000 Hb, Ht meningkat > 20%
Infus Kristaloid Hb, Ht,
Infus Kristaloid Hb, Ht, Trombo < 100.000
Trombo tiap 24 jam
Trombo tiap 12 jam

1
Protocol pemberian
cairan DBD dengan
Ht meningkat >20%

Keterangan :
* Volume cairan kristaloid per hari yang diperlukan:
Sesuai rumus berikut 1500 + 20 x (berat badan dalam kg - 20)
Contoh volume rumatan untuk berat badan 55 kg : 1500 + 20 x ( 55-20) = 2200 ml
** Pemantauan disesuaikan dengan fase /hari perjalanan penyakit dan kondisi klinis

Setelah cairan diberikan dilakukan pemeriksaan Hb, Httiap 24 jam:


• Bila Hb,Ht meningkat 10 - 20 % dan trombosit < 100.000 jumlah pemberian cairan
tetap sperti rumus di atas tapi pemantauan Hb, Ht , trombosit dilakukan tiap 12 jam
• Bila Hb, Ht meningkat > 20 % dan trombosit < 100.000 maka pemberian cairan
sesuai protocol penatalaksanaan DBD dengan peningkatan Ht > 20%.

877
iftY
f P..
PanduanPraktikKlinis Tropik Infeksi
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia

Protokol 3: Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan Ht > 20 %

> 5% defisit cairan

Terapi awal cairan intravena


kristaloid 6-7 mi /kg / jam
Evaluasi
3- 4 jam
PERBAIKAN TIDAK MEMBAIK
Ht dan frekuensi nadi Ht dan frekuensi nadi meningkat
turun , tekanan darah tekanan darah menurun < 20
membaik, produksi urin mmHg, produksi urin menurun
meningkat

I
Kurangi infus TANDA VITAL DAN
I
Infus kristaloid
kristaloid HEMATOKRIT > • 10 ml/kg/ jam
5 ml/kg / jam MEMBURUK

PERBAIKAN PERBAIKAN TIDAK MEMBAIK

1
Kurangi infus
1
Infus kristaloid
kristaloid 10 ml /kg/jam
3 ml/kg / jam

1 1
PERBAIKAN
KONDISI

1
MEMBURUK
Tanda syok
Terapi cairan
dihentikan 24- 48
jam
*
Tatalaksana sesuai
protocol syok dan
PERBAIKAN
perdarahan

Membaik: penurunan hematokrit, stabilnya pulsasi dan tekanan darah, urine output
meningkat
Tidak membaik : hematokrit dan pulsasi meningkat, tekanan darah menurun dibawah
20 mmHg, menurunnya urine output
Tanda -tanda vital tidak stabil : menurunnya urine output, tanda -tanda syok

878
Demam Berdarah Dengue

Protokol 4: Penatalaksanaan Perdarahan Spontan pada DBD dewasa

Kasus DBD :
Perdarahan spontan masif :
Epistaksis tidak terkendali,Gross hematuria,
Hematemesis dan atau melena, Hematokezia,
Perdarahan otak

Syok (-)

1
Hb, Ht, Leukosit, Trombosit,
Pemeriksaan hemostasis ( KID)
Golongan darah, uji cocok serasi

i 1
KID ( +)
Transfusi komponen darah : KID ( -)
PRC (Hb <10g%) Transfusi komponen darah :
FFP PRC (Hb <10g%)
TC (Trombosit <100.000) FFP
Heparinisasi 5000- 10000/ 24 jam drip TC (Trombosit <100.000)
Pemantauan Hb, Ht, Trombosit tiap 4-6 jam Pemantauan Hb, Ht, Trombosit tiap 4-6 jam
Ulang pemeriksaan hemostasis 24 jam kemudian Ulang pemeriksaan hemostasis 24 jam kemudian
Cek APTT tiap hari, target 1,5-2,5 kali kontrol

m
PanduanPraktikKlinis Trooik Infeksi
Perhlmpunan Dokter Speslalis Penyakil Dalam Indonesia

Protokol 5: Tatalaksana Sindroma Syok Dengue pada dewasa

Jalan napas
Pernapasan : 02 l-2L/menit dengan nasal kateter.
Bila lebih memakai sungkup wajah.
Sirkulasi : cairan kristaloid dan atau koloid 10-20 ml/kg
secepatnya (bila mungkln < 10 menit)
Perhatikan : tanda-tanda hipovolemia, hipervolemia /
overload dan respon pemberian cairan

Perbaikan Tetap syok

I
Kristaloid 7ml/ kg/ jam
Perburukan
1
Kristaloid guyur 30ml /kg /jam
dalam 1 jam dalam 20-30 menit

l
Perbaikan
f
Ht naik
J
Tetap syok
J
Ht turun

1
Kristaloid 5ml/kg/jam
1 Transfusi darah 10 ml/kg,
dalam 1 jam Perhitungan Koloid 10-20 ml /kg
nutrisi setelah dapat diulang sesuai

i
dalam 10- 15 menit
12 jam kebutuhan
(dextrose 5% I
bila tidak ada
24-48 jam setelah kontra indikasi) Perbaikan Tetap syok

i
syok teratasi,
tanda vital / Ht stabil,
dieresis cukup

1
Koloid
maksimal 30 ml/kg
I
Stop infus
Perbaikan *
Tetap syok

Pasang kateter
vena sentral

i
Koloid, bila dosis maksimal belum dicapai
atau kristaloid/ gelattn ( bila koloid sebelumnya
telah mencapai dosis maksimal) 10 ml / kg
dalam 10 menit dapat diulang sampai 30 menit
sasaran tek vena sentral (TVS) 15-18 smHp

f
Hipovolemik Normovolemik

Perbaikan
I
Kristaloid dipantau
10-15 menit
Tetap syok
I
Koreksi gangguan
J i asam basa, elektrolit,
hipoglikemia, anemia,
KID, infeksi sekunder

Kombinasi
koloid -kristaloid ^
Perbaikan bertahap
vasopresor
1
Inotropik, vasopresor
vasodilator

880
Demom Berdarah Dengue

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Divisi Tropik Infeksi - Departemen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS pendidikan
• RS non pendidikan : -

KOMPLIKASI
Renjatan (syok) , ensefalopati dengue, perdarahan saluran cerna , KID (koagulasi
intravaskular diseminata]

REFERENSI
Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL. Infection caused by arthropod
and rodent-borne viruses. Harrisson' s: Principle of Internal Medicine.17th ed.New York: McGraw-
Hill Companies; 2009: 1230, 1239.
2. Suhendro LN, Khie C, Herdiman TP. Demam Berdarah Dengue. Dalam: Buku ajar ilmu penyakit
dalam edisi 5. Jakarta: Interna Publishing; 2009: 2773 - 9.
3. .
World Health Organization Dengue hemorrhagic Fever: Diagnosis, treatment, prevention, and
control. 2nd ed. Geneva: World Health Organization Publication; 1997 .
4. Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

881
882

DEMAM NEUTROPENIA

PENGERTIAN
Demam didefinisikan bila ditemukan suhu oral 38,3°C pada satu kali pengukuran
atau suhu > 38°C bertahan lebih dari satu jam. Neutropenia didefiniskan sebagai
penurunan jumlah netrofil absolut < 500 sel / mm3 atau jumlah netrofil diperkirakan
akan menurun < 500 sel/ mm 3 selama 48 jam kemudian.12

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis
Gejala dan tanda inflamasi seringkali kurang tampak atau tidak tampak sama sekali
pada pasien neutropenia pada keadaan klasik adanya. Infeksi bakteri pada kulit dan
jaringan lunak jarang menimbulkan indurasi, eritema, panas, dan pustulasi. Infiltrat
pada infeksi paru dapat tidak terlihat pada radiografi. Infeksi pada meningen dapat
hanya ditemukan pleiositosis ringan di cairan serebro spinal [CSS). Infeksi traktus
urinarius dapat menunjukkan piuria ringan atau bahkan tidak ada sama sekali.
Demam seringkali merupakan satu -satunya tanda infeksi. Adanya kondisi komorbid
yang mendasari seperti diabetes, penyakit paru obstruktif kronik, dan / atau prosedur
bedah harus dievaluasi. Pemeriksaan fisik pasien demam neutropenia membutuhkan
ketelitian untuk mendeteksi gejala dan tanda yang minimal, khususnya pada lokasi
yang paling sering terkena infeksi seperti di kulit [khusunya tempat pemasangan
kateter, seperti tempat masuk atau keluarnya kateter atau tempat aspirasi sumsum
tulang), orofaring (termasuk periodontium), saluran cerna, paru, dan perineum.2

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pasien demam neutropenia membutuhkan ketelitian untuk
mendeteksi gejala dan tanda yang minimal, khususnya pada lokasi yang paling sering
terkena infeksi seperti di kulit [khususnya tempat pemasangan kateter, seperti
tempat masuk atau keluarnya kateter atau tempat aspirasi sumsum tulang), orofaring
[termasuk periodontium), saluran cerna, paru, dan perineum.2

PanduanPraktik Minis
Perhimpunan Dokler SpesiaBs Penyaki! Dalam Indonesia
Demam Neutropenia

Pemeriksaan Penunjang
• Laboratorium sebaiknya dilakukan pemeriksaan darah lengkap dengan hitung
jenis leukosit dan jumlah trombosit, mengukur kreatinin serum dan blood urea
nitrogen, elektrolit, enzim transaminase hati, dan bilirubin total.2
• Kultur : sebaiknya dilakukan sesuai dengan gejala dan tanda klinis tetapi tidak
secara rutin. 2
Feses: diambil untuk memeriksa Clostridium difficile toxin assay pada pasien
yang mengalami diare
Urin: dilakukan pemeriksaan jika ditemukan gejala dan tanda infeksi saluran
kemih, terpasangnya kateter saluran kemih, atau ditemukannya hasil urinalisis
yang abnormal.
CSS: Pemeriksaan dan kultur cairan spinal diindikasikan jika dicurigai meningitis
Kulit: biopsi dari lesi kulit yang terinfeksi sebaiknya dilakukan pemeriksaan
sitologi, pewarnaan gram, dan kultur.
Spesimen respiratori: sampel sputum untuk kultur bakteri rutin dikirim jika
pasien mengalami batuk produktif. Spesimen traktus respiratori bawah diambil
dengan cara bilasan bronkus direkomendasikan pada pasien dengan infiltrat
yang penyebabnya tidak jelas pada foto thoraks. Nasal wash atau spesimen BAL
direkomendasikan untuk mengevaluasi gejala infeksi virus respirasi.
• Pencitraan
Pasien dengan gejala dan tanda respiratori sebaiknya dilakukan foto thoraks untuk
mengeksklusi pneumonia. Pneumonia selama neutropenia biasanya perjalanan
penyakitnya berlangsung progresif sehingga disarankan untuk segera dilakukan
perawatan di ruang rawat inap.2

DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding berdasarkan etiologi yang menyebabkan demam neutropenia yaitu:
2

Tabel 1. Etiologi Demam Neutropenia


Kokus gram positif Staphylococcus epidermidis
Staphylococcus aureus
Varidans Streptococcus
Enterococcus faecalis
Streptococcus pneumoniae
Basilus gram negatif Escherichia coli
Pseudomonas aeruginosa
Non-aeruginosa Pseudomonas spp

883
(fA PanduanPraktikKIinis Tropik Infeksi
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakil Dalam Indonesia

Enterobacter spp.
Klebsiella spp.
Serratia spp
Acinetobacter spp
Citrobacter spp
Basilus gram positif Diphtheroids
Fungi Candida spp
Aspergillus spp

TATALAKSANA
Penilaian risiko komplikasi infeksi berat sebaiknya dinilai pada saat demam .
Penilaian resiko dapat menentukan jenis antibiotik empiri ( oral atau IV ) , jenis
perawatan (rawat inap atau rawat jalan), dan durasi terapi antibiotik.2
Sistem skoring MASCC ( Multinational Association for Supportive Care in Cancer
Risk - Index Score) merupakan hasil penjumlahan skor faktor risiko, termasuk umur
pasien, riwayat, status rawat inap atau rawat jalan, tanda klinis akut, adanya kondisi
komorbid, dan deratnya demam dan neutropenia yang dinilai oleh beratnya beban
penyakit. Penilaian risiko dengan sistem skor MASCC ini dapat membantu menilai
kondisi pasien untuk menentukan regimen dan tempat perawatan yang sesuai untuk
pemberian antibiotik empiris, juga waktu pemulangan dari rumah sakit.2 3 -
Tabel 2. The Multinational Association for Supportive Care in Cancer Risk- Index Score (apendiks )2
KARAKTERISTIK SKOR
Demam neutropenia dengan tidak ada gejala atau ringan 5
Tidak ada hipotensi ( tekanan darah sistolik<90mmHg ) 5
Tidak ada Penyakit Paru Obstruktif 4
Tumor solid atau keganasan hematologis tanpa adanya riwayat infeksi jamursebelumnya 4
Tidak ada dehidrasi yang membutuhkan cairan parenteral 3
Beban demam neutropenia dengan gejala sedang 3
Status rawat jalan 3
Umur <60tahun 2
Catalan: Nilai skor maksimum 26

-
a Demam neutropenia merujuk kepada status klinis umum yang dipengaruhi episode demam neutropenia Sebaiknya di evaluasi
pada skala: gejala tidak ada atau ringan ( skor 5) ; gejala moderate ( skor 3 ) : dan gejala berat ( skor 0)
b Penyakit Paru Obstruktif Kronis berarti bronkitis aktif kronis
< , emfisema, penurunan FEV, membutuhkan oksigen dan / atau steroid
dan / atau bronkodilator pada saat epsode demam neutropenia ,

c , Riwayat infeksi jamur sebelumnya berarti terkena infeksi jamur atau secara empiris mengobati pasien suspek jamur

884
Demam Neutropenia

Pasien Risiko Tinggi2


Pasien dengan kriteria di bawah ini dipertimbangkan menjadi risiko tinggi untuk
komplikasi serius selama demam dan neutropenia. Sebagai alternatif , skor MASCC
< 21 dapat digunakan sebagai panduan. Pasien risiko tinggi sebaiknya mendapatkan
terapi antibiotik empiris di rumah sakit:
• Profound neutropenia (Jumlah neutrofilabsolut <100 sel/ mm 3) diperkirakan bertahan
> 7 hari
• Adanya penyakit komorbiditas dibawah ini:
Instabilitas hemodinamik
Mukositis oral atau gastrointestinal yang menganggu proses menelan atau
yang mengakibatkan diare berat
Gejala gastrointestinal, termasuk nyeri abdomen, mual, muntah,atau diare
Perubahan neurologis atau status mental
Infeksi kateter intravaskular
Infiltrat paru baru atau hipoksemia, atau penyakit paru kronis yang mendasari
• Bukti adanya insufisiensi hepatik (didefinisikan sebagai peningkatan aminotransferase
> 5x batas atas normal) atau insufisiensi ginjal (didefinisikan sebagai bersihan
kreatinin < 30 mL/ min) .

Pasien Risiko Rendah2


Pasien risiko rendah adalah pasien dengan neutropenia yang diharapkan membaik
dalam 7 hari dan tidak ada penyakit komorbid, secara klinis stabil, serta fungsi hepar
dan renal yang adekuat. Kebanyakan pasien ini ditemukan dengan tumor solid. Pasien
dengan risiko rendah mempunyai kriteria MASCC skor > 21.

Penatalaksanaan Pengobatan Antimikroba


Adapun prinsip pengobatan empirik pada neutropenia febris adalah sebagai
berikut: 3
• Prompt atau secepatnya, karena cepat dan tingginya angka kematian.
• Empirik yang didasarkan pada surveillance , kondisi pasien dan kondisi setempat.
• Bakterisidal lebih dipilih daripada antibiotik bakteriostatik pada keadaan netrofil
rendah .
• Spektrum luas untuk mencakup semua bakteri patogen.
Regimen antibakterial sebaiknya diberikan sesuai dengan hasil kultur. Kultur darah
merupakan pemeriksaan yang paling relevan terhadap dasar terapi, sedangkan kultur
permukaan kulit dan membran mukosa dapat terjadi salah interpretasi.1

885
frl
a > wF
PanduanPraMikKIWs Tropik Infeksi
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakil Dalam Indonesia 1

Demam > 3B,3°C dan neutropenia < 500 sel/mm


3

Reslko rendah
I Reslko tlnggl
i
Anticipated neutropenia < 7 hari Anticipated neutropenia > 7 hari
dan secara klinis stabil dan tidak atau secara klinis tdk stabil atau
ada komorbiditas Penyakit komorbiditas lain

i i i
Antlblotlk rawat jalan Antlblotlk IV rawat Inap
Antlblotlk IV rawat Inap
-
Regimen oral jika mampu Antibiotik empiris monoterapi:
•Infeksi yang membutuhkan Piperacilin /tazobactam atau
mentoleransi dan mengabsorbsi
antibiotik IV •Carbapenem
•Tersedianya caregiver , telefon,
•Intoleransi Gastrointestinal •Ceftazidime
transportasi
•Keputusan pasien dan dokter •Cefepime
•Keputusan pasien dan dokter

Jika respon dan masuk .


^
kriteria rawat jalan
if

Ciprofloxacilin oral Sesualkan pemberlan antlmlkroba


+ berdasarkan tanda klinis speslflk ,
amoxicillin /clavulanat radiografi dan/ atau data kultur .

1
Contoh
Vancomycin atau linezolid untuk
selulitis atau pneumonia
•Tambahkan aminoglikosid dan ganti
Observasi 4-24 jam di klinik untuk ke carbapenem untuk pneumonia
memastikan antibiotik empiris atau bakteremia gram negatif
dapat ditoleransi dan pasien •Metronidazol untuk gejala abdomen
tetap stabil sebelum rawat jalan atau suspek infeksi C.difficile

Gambar 1 . Algoritme manajemen inisial demam neutropenia 2

Pengobatan Antijamur dan Dekontaminasi Antibiotik Parsial


Sebelum dilakukan pemberian kemoterapi, beberapa pusat pengobatan termasuk
Indonesia , terlebih dahulu memberikan PAD [ Partial Antibiotic Decontamination]
dengan tujuan sterilisasi usus atau saluran cerna . Regimen PAD dapat berupa
kolistin , neomisin, pipemidic acid ditambah dengan anti jamur profilaksis seperti
flukonazol , itrakonazol, atau amfoterisin B atau dapat juga regimen lain seperti
;

kuinolon - siprofloksasin , bahkan yang sederhana dengan kotrimoksazol. Pengobatan


standar sampai saat ini masih menggunakan flukonazol, itrakonazol, amfoterisin B
atau liposomal amfoterisin B. Pada risiko rendah penggunaan obat antijamur tidak
direkomendasikan .

Pengobatan Antivirus
Pengobatan antivirus tidak dipergunakan sebagai pengobatan empirik . Obat
antivirus hanya diindikasikan bila terbukti secara klinis atau laboratoris dengan
adanya penyakit virus.1,3

886
Demam Neutropenia iffira

Pengobatan Lain
Pengobatan growth factor dn imunomodulator serta empirikal immunoglobulin
tidak direkomendasikan secara rutin, karena belum ada bukti nyata.13

KOMPLIKASI
Bakteriemia . 1'4

PROGNOSIS
Demam neutropeni terjadi pada 10% - 50% pasien dengan tumor solid dan 80%
pada keganasan hematologi, dan biasanya membutuhkan waktu pengobatan 7 -12 hari
dengan angka kematian 10%. Angka kematian rata - rata sebesar 15 % pada kelompok
risiko tinggi dan 1% pada kelompok risiko rendah. Demam neutropenia, jika tidak
ditangani dalam 48 jam pertama, maka angka kematian mencapai 50 %.4

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Divisi Tropik Infeksi - Departemen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Divisi Hematologi - Onkologi Medik, Divisi Alergi Imunologi
- Departemen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam

REFERENSI
1. .
Kosten T Infections in Patients with Cancer. In: Longo Fauci Kasper, Harrison s Principles of Internal
1

Medicine 18th edition.United States of America.Mcgraw Hill. 2012


2. Clinical Practice Guideline for the Use of Antimicrobial Agents in Neutropenic Patientswith Cancer:
2010 Update by the InfectiousDiseases Society of America
3. .
Ranuhardy D. Neutropeni Febril pada Kanker. dalam: Sudoyo Setiyohadi. Buku Ajar llmu Penyakit
Dalam. Edisi V. Jakarta. Interna Publishing. 2011
4. Klastersky Jean. Management of Fever in Neutropenic Patients with Different Risks of
Complications. Diunduh dari http://cid.oxfordjournals.org/ content /39 / Supplement _l / S32.full
pada tanggal 1 Mei 2012.

887
888

DEMAM TIFOID

PENGERTIAN
Demam tifoid merupakan penyakit sistemik akut yang disebabkan oleh infeksi
kuman Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi.1

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis
Gejala yang paling menonjol adalah prolonged fever (38.8°-40.5° C), dan berlanjut
hingga 4 minggu jika tidak ditangani. S.paratyphi A dapat mengakibatkan gejala
penyakit yang lebih ringan daripada S.typhi,dengan predominan gejala gastrointestinal.
Pada minggu pertama, gejala yang ditemukan adalah sakit kepala, menggigil, batuk,
berkeringat, mialgia, malaise, dan artralgia. Gejala gastrointestinal yang ditemukan
yaitu: anoreksia, nyeri abdomen, mual, muntah, diare, konstipasi.1

Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan meningkat. Sifat demam
adalah meningkat perlahan - lahan dan terutama pada sore hingga malam hari.
Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi jelas berupa demam, bradikardia relatif
(peningkatan suhu 1° C, tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8x / menit), lidah yang
berselaput (kotor di tengah, tepi dan ujung merah serta tremor], hepatomegali,
splenomegali, meteorismus, gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium
atau psikosis. Roseola jarang ditemukan pada orang Indonesia.1

Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan darah perifer lengkap sering ditemukan leukopenia, dapat
pula terjadi kadar leukosit normal, atau leukositosis walaupun tanpa disertai infeksi
sekunder. Selain itu dapat ditemukan anemia dan trombositopenia. Nilai SGOT dan
SGPT seringkali meningkat. 12
Pemeriksaan lain yang rutin dilakukan adalah uji Widal dan kultur organisme.
Kuman tifoid yang mengandung antigen (0 and H] dapat menstimulasi host untuk

nd i Praktik Klinis
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakil Dolam Indonesia
Demam Tifoid

terbentuknya antibodi. Saat ini belum ada kesamaan pendapat mengenai aglutinin
yang bermakna diagnostik untuk demam tifoid. Batas titer yang sering dipakai hanya
kesepakatan saja, hanya berlaku setempat dan batas ini bahkan dapat berbeda di
berbagai laboratorium setempat. 1,2
Pada uji Widal, bila terjadi kenaikan 4 kali titer antibody 0 dan H pada spesimen
yang diambil dalam jarak 2 minggu, maka kemungkinan tinggi terjadi proses infeksi
.
S typhi. Pembentukan aglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam,
kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada minggu keempat, dan
tetap tinggi selama beberapa minggu. Bagaimanapun juga, pemeriksaan ini mempunyai
persentase sensitivitas sekitar 70% dan mempunyai nilai spesifitas yang rendah;
banyak strain Salmonella non typhoidal terjadi reaksi silang, dan sirosis hepatis dapat
mengakibatkan /a /se- positif .12
Kultur merupakan standar baku dalam menegakkan diagnosis. Kultur darah,
feses dan urin sebaiknya dilakukan. Kultur darah biasanya positif pada awal 2 minggu
pertama, tapi kultur feses biasanya positif selama minggu ke 3 hingga ke 5. Sedangkan
kultur urin pada minggu ke 4. Jika kultur tersebut negatif tetapi secara klinis suspek
kuat demam tifoid, maka kultur biopsi spesimen sumsum tulang belakang dapat
dijadikan pertimbangan untuk mencari kuman Salmonella. Tingkat sensitivitas kultur
sumsum tulang mencapai 55-90%, dan tidak seperti kultur darah, hasil kultur tidak
berkurang walaupun setelah 5 hari pemberian antibiotik sebelumnya . Akan tetapi,
metode ini memakan waktu lama dengan tingkat sensitivitas dan spesifisitas yang
relatif rendah, dan juga memerlukan fasilitas laboratorium yang khusus.
12

Selain uji Widal , terdapat beberapa metode pemeriksaan lain yang dapat
dilakukan dengan cepat, mudah serta memiliki sensitivitas dan spesifitas yang lebih
baik antara lain uji TUBEX, Typhidot dan dipstik. Uji TUBEX merupakan uji semi-
kuantitatif kolometrik yang cepat ( beberapa menit) dan mudah untuk dikerjakan.
Uji ini digunakan untuk mendeteksi antibodi anti-S.typhi 09 pada serum pasien.
Deteksi terhadap anti 09 dapat dilakukan lebih dini,yaitu pada hari ke 4-5 untuk
infeksi primer dan hari ke 2 - 3 untuk infeksi sekunder. Pada penelitian tahun 2006,
di Jakarta, Surya H dkk, didapatkan sensitivitas uji Tubex sebesar 100 %, spesifitas
90%. Uji Typhidot dapat mendeteksi antibody IgM dan IgG yang terdapat pada protein
membran luar Salmonella Typhi. Hasil positif didapatkan 2 -3 hari setelah infeksi dan
dapat mengidentifikasi secara spesifik IgM dan IgG terhadap antigen S.typhi seberat
50 kD, yang terdapat pada strip nitroselulosa. 3

889
f i fjjy
r ) Panduan PraktikKlinis Trooik Infeksi
Perhimpunan Dokler Spcsialis Penynkit Dalam Indonesia

Tabel 1. Interpretasi Hasil UJiTubex2


Skor Interpretasi
<2 Negatif Tidak menunjuk infeksi tifoid aktif
3 Borderline Pengukuran tidak dapat disimpulkan. Ulangi pengujian, apabila masih
meragukan lakukan pengulangan beberapa hari kemudian
4-5 Positif Menunjukan infeksi tifoid aktif
>6 Positif Indikasi kuat infeksi tifoid

Saat ini, metode enzyme linked immunosorbent assay ( ELISA ) telah banyak
digunakan dalam membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dari serum dan urin.
Meskipun metode ELISA dengan mengambil cairan tubuh memiliki tingkat sensitivitas
dan spesifisitas yang lebih tinggi dibanding uji Widal, teknik yang invasif serta
kesulitan mengambil dan mempertahankan sampel hingga waktunya untuk diperiksa
telah mengurangi manfaat metode ini. Oleh karena itu, saat ini telah dikembangkan
ELISA untuk mendeteksi antibodi IgA lipopolisakarida anti S.typhi pada sampel air -
liur pasien yang dicurigai menderita demam tifoid. Dari hasil penelitian, metode ini
mampu mendeteksi demam tifoid pada fase akut dan paling efisien selama minggu
ke- 2 dan ke-3 demam, yaitu saat dimana pasien datang untuk dirawat.3

Tabel 2. Perbedaan Nilai Sensitivitas dan Spesifisitas dari Pemeriksaan ELISA, Tubex- TF, Typhidot
IgG dan IgM.
Sensitivitas (%) Spesifisitas (%)
Demam
Konftrmasl
Demam
Assay Konflrmasi dengan etfologl
kultur (+) dengan etiologl Sehat

-
Widal (+)
-
yang tidak
yang dlketahul (n*7)
(n 67) (n ?8)
-
(n 73)
dlketahul
-88
(n 143)
Tubex-TF 75 78 85 100
Typhidot IgM 63 62 95 97 100
Typhidot IgG 28 28 99 99 100
ELISA total Ig 93 78 95 94 100
ELISA IgG 75 65 95 96 100
ELISA IgM 79 78 95 95 100
ELISA IgA 57 64 96 97 100
ELISA IgG + IgM 88 84 91 92 100
ELISA IgG + IgA 84 73 93 95 100
ELISA IgM + IgA 88 85 91 94 100
ELISA IgG + IgM + IgA 90 86 90 92 100

Toksik Tifoid
Demam tifoid disertai gangguan kesadaran dengan atau tanpa kelainan neurologis
lainnya dan hasil pemeriksaan cairan otak masih dalam batas normal. 2

890
Demam Tifoid

Tifoid Karier
.
Seseorang yang kotorannya (feses atau urin) mengandung S typhi setelah
satu

tahun pasca demam tifoid, tanpa disertai gejala klinik.


2

DIAGNOSIS BANDING4
Demam dengue, malaria, enteritis bakterial

TATALAKSANA
Trilogi penatalaksanaan demam tifoid, yaitu :
1. Diet dan terapi penunjang (simtomatik dan suportif )
dini yaitu
Beberapa peneliti menunjukkan bahwa pemberian makan padat
(menghindari sementara sayuran yang berserat) dapat diberikan dengan aman
.23
2. Pemberian antimikroba12
- Pilihan utama: Kloramfenikol 4 x 500 mg sampai dengan 7 hari bebas demam.
Alternatif lain:
- Tiamfenikol 4 x 500 mg (komplikasi hematologi lebih rendah dibandingkan
kloramfenikol)
Kotrimoksazol 2 x 960 mg selama 2 minggu
-
Ampisilin dan amoksisilin 50 150 mg / kgBB selama 2 minggu
Sefalosporin generasi III; yangterbukti efektif adalah seftriakson 3- 4 gram dalam
dekstrosa 100 cc selama V2 jam per-infus sekali sehari, selama 3- 5 hari.
Dapat pula diberikan sefotaksim 2 - 3 x 1 gram , sefoperazon 2 x 1 gram
):
Fluorokuinolon (demam umumnya lisis pada hari III atau menjelang hari IV
• Norfloksasin 2 x 400 mg/ hari selama 14 hari
• Siprofloksasin 2 x 500 mg/ hari selama 6 hari
• Ofloksasin 2 x 400 mg / hari selama 7 hari
• Pefloksasin 400 mg/hari selama 7 hari
• Fleroksasin 400 mg/ hari selama 7 hari

Kasus Toksik Tifoid3


Pada kasus toksik tifoid langsung diberikan kombinasi kloramfenikol 4 x
500 mg
PO (atau
dengan ampisilin 4 x 1 gram dan Prednison 20 hingga 40 mg sekali sehari
yang ekuivalen) selama 3 hari pertama dari pengobatan biasanya cukup. Dosis
tinggi

kortikosteroid (dexametason 3 mg/ kg IV awal, diikuti dengan 1 mg/kg per 6 jam selama
48 jam), digunakan pada pasien dengan delirium, koma, syok.

891
0 aagJ5
*SB» Tropik Infeksi

KOMBINASI ANTIBIOTIKA 3
Kombinasi antibiotika hanya diindikasikan pada toksik tifoid, peritoniti
s atau
perforasi, dan renjatan septik.

Kasus Tifoid Karier 2


• Tanpa kolelitiasis -» pilihan rejimen terapi selama 3 bulan:
Ampisilin 100 mg / kgBB / hari + Probenesid 30 mg kgBB hari
/ /
- Amoksisilin 100 mg/ kgBB / hari + Probenesid 30 mg/ kgBB / hari
Kotrimoksazol 2 x 2 tablet / hari
• Dengan kolelitiasis -> kolesistektomi + regimen tersebut di atas selama 28 hari
atau kolesistektomi + salah satu rejimen berikut:
Siprofloksasin 2 x 750 mg/ hari
Norfloksasin 2 x 400 mg/ hari
• -
Dengan infeksi Schistosoma haematobium pada traktus urinarius eradikas
* i
Schistosoma haematobium:
Prazikuantel 40 mg / kgBB dosis tunggal, atau
Metrifonat 7,5 -10 mg / kgBB bila perlu diberikan 3 dosis, interval 2 minggu
Setelah eradikasi berhasil, diberikan rejimen terapi untuk tifoid karier seperti
di atas
Perhatian: Pada kehamilan fluorokuinolon dan kotrimoksazol tidakboleh digunak
an.
Kloramfenikol dan tiamfenikol tidak dianjurkan pada kehamilan.

KOMPLIKASI

Komplikasi Intestinal2
Perdarahan usus, perforasi usus, ileus paralitik, pankreatitis

Komplikasi Ekstraintestinai 2
• Komplikasi kardiovaskuler : gagal sirkulasi perifer, miokarditis, tromboflebitis
• Komplikasi darah: anemia hemolitik, trombositopenia, KID, trombosis,
• Komplikasi paru: pneumonia, empiema, pleuritis.
• Komplikasi hepatobilier: hepatitis, kolesistitis.
• Komplikasi ginjal: glomerulonefritis, pielonefritis, perinefritis.
• Komplikasi tulang: osteomielitis, periostitis, spondilitis, arthritis.
• Komplikasi neuropsikiatrik atau tifoid toksik

892
Demam Tifoid @
PROGNOSIS
Jika tidak diobati, angka kematian pada demam tifoid 10 - 20%, sedangkan pada
kasus yang diobati angka mortalitas demam tifoid sekitar 2%. Kebanyakan kasus
kematian berhubungan dengan malnutrisi, balita dan lansia. Pasien lanjut usia atau
pasien debil prognosisnya lebih buruk. Bila terjadi komplikasi, maka prognosis semakin
buruk. Relaps terjadi pada 25% kasus.6

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Divisi Tropik Infeksi - Departemen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS pendidikan
• RS non pendidikan

REFERENSI
1 . Peters CJ. Infections Caused by Arthropod- and Rodent-Borne Viruses. In: Longo Fauci Kasper,
Harrison ' s Principles of Internal Medicine 17th edition.United States of America. McGraw Hill.2008
2. Widodo D. Demam Tifoid. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam. Edisi 5. Jakarta: Pusat Penerbitan llmu
Penyakit Dalam; 2009 : 2797 - 2805.
3. Parry Christopher M, Hien Trans tinh. Thyphoid Fever. N Engl J Med 2002; 347:1770-1782.
4. Herath. Early diagnosis of typhoid fever by the detection of salivary IgA. J Clin Pathol 2003:56:694-
698.
5. Utah Public Health - Disease Investigation Plans. Thypoid Fever (Enteric Fever, Typhus Abdominalis).
2010. Diunduh dari http://health.utah.gov / epi/ diseases / typhoid/plan/TyphoidPlan081610 pdf .
pada tanggal 2 Mei 2012.

893
894

DIARE INFEKSI

PENGERTIAN 1 2 3
Diare didefinisikan sebagai perubahan frekuensi buang air besar menjadi lebih
sering dari normal/ lebih dari 3 kali per hari disertai perubahan konsistensi feses
menjadi lebih encer. Diare juga dapat diartikan sebagai keluarnya feses lebih dari
200 gram per hari (pada populasi barat), atau kandungan air pada feses lebih dari
200 mL per hari.
Berdasarkan durasinya, diare dibagi menjadi tiga: diare akut (kurang dari 14 hari),
diare persisten ( berlangsung selama 2 - 4 minggu), dan diare kronis ( berlangsung
lebih dari 4 minggu ). Diare disebut sebagai diare infeksi bila etiologinya adalah karena
infeksi bakteri, virus, parasit, jamur, atau toksin dalam makanan

Penyebab Gastroenteritis Karena Infeksi


Toksin dalam makanan (inkubasi < 6 jam) :
• Bacillus cereus
• Staph, aureus
• Clostridium spp. enterotoxin
Bakteri (inkubasi 12-72 jam) :

• Vibrio cholerae • Salmonella*


• E. colienterotoksigenik ( ETEC) • Shigella*
• Shiga toxin- producing E. coli ( EHEC' )* • Campylobacter*
• E. colienteroinvasif ( EIEC )* • Clostridium difficile*

Virus (inkubasi singkat): Rotavirus, Norovirus


Protozoa (inkubasi lama ) : Giardiasis, Cryptosporidium, Microsporidiosis, disentri
amuba*, Isosporiasis
Keterangan: *diare berdarah

Panduan Praktik Minis


Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
Diare Infeksi §
|
®

PENDEKATAN DIAGNOSIS4

Anamnesis
Onset, durasi, frekuensi, progresivitas , kualitas diare (konsistensi feses, adakah
disertai darah atau lendir), gejala penyerta (muntah, nyeri perut, demam), riwayat
makanan / minuman yang dikonsumsi 6 - 2 4 jam terakhir, adakah keluarga atau
orang disekitarnya dengan gejala serupa, kebersihan / kondisi tempat tinggal , apakah
wisatawan atau pendatang baru, riwayat seksual, riwayat penyakit dahulu, penyakit
dasar / komorbid .

Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum, tanda vital, status gizi , tanda dehidrasi, tanda anemia, kualitas
dan lokasi nyeri perut, colok dubur (dianjurkan untuk usia > 50 tahun, dan feses
berdarah) , identifikasi penyakit komorbid .

Pemeriksaan Penunjang
Darah Perifer Lengkap ( DPL) , elektrolit, ureum, kreatinin, Analisa Gas Darah
(AGD) bila dicurigai ada kelainan asam basa, analisa tinja, kultur dan resistensi feses,
immunoassay toksin bakteri ( C. difficile ) / antigen virus (rotavirus), antigen protozoa
{ Giardia, E. Histolytica )

DIAGNOSIS BANDING
Gastroenteritis (non infeksi)
Infeksi C. difficile
Divertikulitis akut
Sepsis
Pelvic inflammatory disease ( PID )

TATALAKSANA4

A. Terapi Suportif
1. Rehidrasi cairan dan elektrolit
Per oral : larutan garam gula, oralit, Larutan Rehidrasi Oral ( LRO)
Intravena : ringer laktat, ringer asetat, normal salin, ringer dekstrosa , dsb
Jumlah kebutuhan cairan disesuaikan dengan status hidrasi ( menggunakan
klasifikasi berdasarkan CDC AS 2008) atau dengan menggunakan skor Daldiyono.

895
Panduan PrakUk Klinis Tropik Infeksi
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia I

Tabel 1. Klasifikasi Dehidrasl menurut WHO


Penllalan D sit Cairan Dalam % BB Deflstt Cairan Dalam ml/kg BB
Tanpa dehidrasi/ dehidrasi ringan <5% <50 ml/kg
Dehidrasi sedang 5-10% 50- 100 ml/kg
Dehidrasi berat > 10% >100 ml/kg

Kebutuhan cairan per hari menggunakan metode ini adalah :


• Dehidrasi minimal : 103 /100 x 30 - 40 mL / kgBB / hari
• Dehidrasi ringan sedang : 109 /100 x 30 - 40 mL / kgBB / hari
• Dehidrasi berat : 112 / 100 x 30 - 40 mL / kgBB / hari

Tabel 2. Penilaian Derajat Dehidrasi menurut WHO


Penllalan Skor 1 Skor 2 Skor 3
Keadaan umum Baik Lesu/haus .
Gelisah mengantuk, hingga syok
Mata Biasa Cekung Sangat cekung
Mulut Biasa Kering Sangat kering
Pernapasan 30 x/menit / menit >40x /menit
Turgor Baik Kurang Jelek
Nadi 120 x/menit 120- 140x/ menit > 140 x/ menit
Skor >6 Tanpa dehidrasi
7-12 dehidrasi ringan-sedang
>13 Dehidrasi berat

Evaluasi dan penatalaksanaan dehidrasi berdasarkan CDC AS 2008:


• Dehidrasi minimal ( kekurangan cairan <3% dari kebutuhan normal / berat badan):
Kebutuhan cairan = 103 /100 x 30 - 40 ml / kgBB / hari , atau
Kebutuhan cairan = pengeluaran [feses + IWL (10 % BB) ] + 30 - 40 ml / kgBB / hari
• Dehidrasi ringan sedang ( kekurangan cairan 3- 9 % dari kebutuhan normal / berat
badan ) :
Kebutuhan cairan = 109 / 100 x 30 - 40 ml / kgBB / hari ,atau
Kebutuhan cairan = pengeluaran [feses + IWL (10 % BB) ] + 30 - 40 ml / kgBB / hari
• Dehidrasi berat ( kekurangan cairan > 9 % dari kebutuhan normal / berat badan )
Kebutuhan cairan = 112 / 100x 30 - 40 ml / kgBB / hari , atau
Kebutuhan cairan = pengeluaran [feses + lWL (10% BB)] +30- 40 ml / kgBB / hari

Tabel 3. Skor Daldiyono


Kriteria Skor
Haus / muntah 1
TD sistolik 60-90 mmHg 1
TD sistolik<60 mmHg 2
Frekuensi nadi>l 20 x/ menit
Kesadaran apatis 1
Somnolen/spoor koma 2
Frekuensi napas> 30 x /menit 1
Facieskholerica 2

896
Diare Infeksi

Kritorla Skor
Voxkholerica 2
Turgor kulit menurun 1
Washer Woman Hand
Ekstremitas dingin 1
Sianosis 2
Umur 50-60 tahun -1
Umur>60 tahun -2

Kebutuhan cairan / 2 jam pertama melalui metode ini adalah =


Skor /15 X 10% X KgBB X 1 liter

• Terapi nutrisi sesuai kebutuhan: nutrisi oral, enteral, parenteral, ataupun kombinasi

1. Terapi Etiologis Infeksi


Bakteri
.
• E Coli patogen ( EPEC), toksigenik (ETEC), hemoragik (EHEC); Enterobacter
aerogenes; Shigella sp :
Kuinolon : siprofloksasin 2 x 500 mg p.o, norfloksasin 2 x 400 mg p.o,
levofloksasin 1 x 500 mg p.o selama 3 hari
Kotrimoksazol forte 2 x (160 mg + 800 mg) tab p.o selama 5 hari
Salmonella sp:
• Kloramfenikol 4 x 500 mg p.o, Tiamfenikol 50 mg/ kgBB (q /d) p.o selama
'

10 -14 hari
Kuinolon: siprofloksasin 2 x 500 mg p.o, norfloksasin 2 x 400 mg p.o,
levofloksasin 1 x 500 mg p.o selama 3-5 hari
-
Kotrimoksazol forte 2 x (160 mg + 800 mg) tab p.o selama 10 14 hari
Vibrio cholera:
Tetrasiklin 4 x 500 mg p.o selama 3 hari
Doksisiklin 4 x 300 mg p.o, dosis tunggal
Fluorokuinolon (siprofloksasin 2 x 500 mg p.o, norfloksasin /levofloksasin
1x500 mg p.o)
Clostridium difficile:
Metronidazol ( PO) 4 x 250-500 mg selama 7 - 14 hari
- Vankomisin ( PO) 4 x 125 mg selama 7- 14 hari ( Bila resistensi
metronidazole)
- Probiotik
Yersinia enterocolytica :
- Aminoglikosida : streptomisin (IM ) 30 mg/ kgBB / hari p.o bid , selama 10 hari

897
fr
ndi : 1 PraktikKlinis Trooik Infeksi
^ C'' ^ ^
Perhirnpunan Doklor Spesialis Penyakit Dalnm Indonesia

Kotrimoksazol forte 2 x (160 mg + 800 mg) tab p.o


- Fluorokuinolon (siprofloksasin 2 x 500 mg p.o, norfloksasin 2 x 400 mg
p.o, levofloksasin 1 x 500 mg p.o
Shigela dysentrase:
Kuinolon
Cephalosporine generasi III
Aminoglikosida
Campylobacter jejunii:
kuinolon : siprofloksasin 2 x 500 mg p.o, norfloksasin / levofloksasin 1 x
500 mg p.o
.
- makrolid : eritromisin 2 x500 mg p o selama 5 hari
Virus: tidak diberikan antivirus, hanya terapi suportif dan simptomatik
Parasit:
• Giardia lamblia: metronidazol 4 x 250-500 mg p.o selama 7-14 hari
• Cryptosporidium: paromomisin (4g/ hari p.o dosis terbagi) plus azitromisin
(500 mg p.o dosis tunggal dilanjutkan 1 x 250 mg p.o selama 4 hari)
• Entamoeba histolytica :
Metronidazol 4 x 250-500 mg p.o selama 7 - 14 hari
- Tinidazol 2 g/ hari p.o selama 3 hari
Paromomisin 4 g/ hari p.o, dosis terbagi
• Isospora belii:
Kotrimoksazol forte 2 x (160 mg + 800 mg) tab p.o, selama 7 - 10 hari
Jamur ( pada pasien dengan HIV / AIDS) : Candida sp,Cryptococcus sp,
Coccidiomycosis sp.
Biasanya diberikan intravena dulu, dilanjutkan oral, tergantung keadaan umum
Flukonazol 2 x 50 mg; itrakonazol 2 x 200 mg; vorikonazol 2 x 200 mg;
amfoterisin B lmg/ kgBB / hari; nistatin 4 x 1 mL atau 1 tab

2. Terapi Simptomatik
• Adsorbent (kaolin, attapulgite, smectite, karbon aktif, kolestiramin ) : bekerja
dengan cara mengikat dan inaktivasi toksin bakteri atau zat lain yang
menyebabkan diare.
• Probiotik:terdiri dari Lactobacillus dan Bifidobacteria atau Saccharomyces
boulardii, bila mengalami peningkatan jumlahnya di saluran cerna akan
memiliki efekyang positif karena berkompetisi dengan bakteri patogen untuk
nutrisi dan reseptor saluran cerna.

898
Diare Infeksi ($j>:

, tinktur
• Antimotilitas (loperamid hidroklorida, difenoksilat dengan atropin
frekuensi
opium, tinktur opium camphor, paregoric, kodein ) : mengurangi
boleh
BAB pada orang dewasa, tetapi tidak mengurangi volume tinja. Tidak
abkan
diberikan pada bayi dan anak-anak dengan diare karena dapat menyeb
mbat
ileus paralitik berat dan memperpanjang durasi infeksi karena mengha
toksik
eliminasi organisme penyebab. Pada dosis tinggi dapat menyebabkan
n pada
megakolon. Antimotilitas yg membuat spasme, tidak boleh diberika
wanita hamil (komplikasi abortus).
if . Diberikan
• Bismuth subsalisilat: mengurangi volume tinja dan keluhan subyekt
setiap 4 jam, dapat mengurangi volume tinja pada diare akut sampai 30
%.
Obat antidiare: kontraindikasi bila feses berdarah, immunocompromise
, atau pada
risiko sepsis

KOMPLIKASI1
, kejang dan
Komplikasi sistemik: hipovolemia, hiponatremia, hipoglikemia, sepsis
energi protein .
ensefalopati, sindroma uremik hemolitik ( HUS), pneumonia, kurang
Komplikasi saluran cerna: perforasi, toksik megakolon.

PROGNOSIS5 4
• akut, diare cair, tipikal berlangsung 5-7 hari
• kebanyakan kasus membaik dalam 2 minggu
: prognosis
• bila ada komplikasi serius seperti dehidrasi dan syok hipovolemik
umumnya baik bila rehidrasi berhasil
nya :
• faktor -faktor yang memiliki prognosis yang lebih buruk, diantara
diare disertai darah ' dehidrasi dan hipovolemia
syok hipovolemik, gejala diare berulang
malnutrisi' immunodefisiensi, termasuk infeksi HIV
usia > 65 tahun ' diare karena antibiotika
infeksi nosokomial atau wabah diare
tanda - tanda peritonitis

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Divisi Infeksi Tropik, Divisi Gastroenterologi - Departemen
Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam

899
# *
Panduan Pratt minis Tropik Infeksi

UNIT YANG TERKAIT


• RS pendidikan : Divisi Ginjal Hipertensi - Departemen Penyakit Dalam,
Bagian Parasitologi, Bagian Mikrobiologi,
• RS non pendidikan

REPERENSI
1. Maladuin DhSimddibrata M, Abdullah M, Sy.am AF, Fauzi A, editors, Konsens "
us penatala ksanaan
diare akut pada dewasa dl Indonesia. Perkumpulan Gastroenterologi
Indonesia (PGI), 2009
2 . Camilleri M, Murray JA . Diarrhea and constipation. In: Longo DL, Kasper
. .
AS , FauciAS HduserSL LoscalzoJ, editors. Harrison s Principals
'
DL, Jameson DL, Fauci
of Internal Medicine 18th ed. New
.
York: McGraw-Hill Medical Publishing Division: 2012 Chapter , p
40 308-19 .
3 . . .
Colledge NR, Walker BR, Ralston SH, editors Presenting problem
.
s in infectious diseases In :
Davidson ' s Principles and Practice of Medicine 21st ed. Churchill Livingsto
ne-Elsevier;2010, Page
302 - 4
4 . .
Setiawan B. Diare akut karena infeksi Dalam: Buku Ajar llmu Penyakit
.
Dalam Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen llmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokte
ran Indonesia, 2011 Halaman.
1794 - 8
5 . WorldHealthOfganization.Thefreatmentofdiarrhoea manualforphysicia
workers. WHO 2005 PDF ^ nsandothersenior health

6 . Manatsathit S, Dupont HL, Farthing M, et ,al; Working Party of the Program


Committee of the
Bangkok World Congress of Gastroenterology 2002. Guidelin
e for the management of acute
diarrhea in adults .

900
»01

DIARE TERKAIT ANTIBIOTIK


( INFEKSI CLOSTRIDIUM DIFFICILE )

PENGERTIAN
Diare terkait antibiotik / pseudomembran adalah peradangan pada kolon akibat
toksin A maupun toksin B dari Clostridium difficile yang ditandai dengan terbentuknya
lapisan eksudatif ( pseudomembran] yang melekat di permukaan mukosa, yang
umumnyatimbul setelah menggunakan antibiotik. Penggunaan antibiotikmenyebabkan
terganggunya kolonisasi flora normal di kolon sehingga Clostridium difficile tumbuh
berlebihan . Antibiotik yang paling sering dikaitkan dengan keadaan ini adalah
klindamisin, ampisilin dan sefalosporin generasi 2 dan 3.12

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis1 3
• Diare cair atau berlendir 10 - 20 x sehari
• Diare berdarah
• Kram perut
• Demam
• Riwayat penggunaan antibiotik minimal 72 jam sebelumnya

Pemeriksaan Fisik1 3
• Febris
• Nyeri tekan abdomen bawah

Pemeriksaan Penunjang1 3 '

-
• Darah tepi lengkap > leukositosis, sering hingga 50.000/ mm
3

• Hipoalbuminemia
-
• Kolonoskopi > diawali lesi kecil (2 - 5 mm] putih atau kekuningan, diskret, timbul,
mukosa di antaranya terlihat normal atau eritema, granularitas, kerapuhan. Jika lesi
membesar, terbentuk pseudomembran yang luas berwarna kuning keabu -abuan

Panduan Praktik Klinis


Perhimpunan Dokfer Spesialls Penyakit Dalam Indonesia
w ssasaasatt Tropik mteksi
dan jika diambil dengan forsep biopsi terlihat mukosa di bawahnya mengalami
ulserasi .
• Histopatologi
• -
ELISA, PCR > mencari toksin A ataupun toksin B, antigen C.difficile

DIAGNOSIS BANDING
Diare akibat kuman patogen lain, efek samping obat non-antibiotik, kolitis non -
infeksi, sepsis intra abdominal.1

TATALAKSANA

Nonfarmakologis' 2'4
• Menghentikan antibiotik yang diduga sebagai penyebab, obat - obatan yang
mengganggu peristaltik, opiat
• Mencegah penyebaran nosokomial
• Pemberian cairan dan elektrolit (lebih lengkap lihat di bab Diare Infeksi]

Farmakologis1 2 4
• Metronidazol -> pada kasus ringan-sedang (leukosit < 15.000/ mm 3 atau kreatinin
< 1,5 kali kreatinin awal ) diberikan peroral dengan dosis 4 x 250 - 500 mg selama
7-10 hari
• Vankomisin digunakan pada kasus berat dengan dosis peroral 4 x 125-500
mg selama 7 -14 hari. Pada kasus berat dengan komplikasi atau fulminan, dosis
vankomisin yang digunakan adalah 500 mg per oral atau per NGT ditambah dengan
metronidazol iv 3 x sehari selama > 2 minggu. Tigesiklin iv 2 x 50 mg setelah dosis
awal 100 mg dapat menggantikan metronidazol
• Kasus rekurensi pertama menggunakan dosis yang sama dengan kasus baru. Kasus
rekurensi kedua menggunakan vankomisin per oral dengan dosis tapering yaitu 4
x 125 mg selama 10-14 hari lalu 2 x sehari selama 1 minggu lalu lx sehari selama
1 minggu lalu setiap 2 - 3 hari selama 2 -8 minggu
• Kolestiramin untuk mengikat toksin, dosis 3 x 4 gram selama 5 - 10 hari
• Kuman laktobasilus atau ragi (Saccharomyces bouiardii) selama beberapa minggu
• Imunoglobulin iv -> antibodi terhadap toksin C.difficile
Bedah: operasi kolektomi subtotal untuk menyelamatkan nyawa dan apabila dengan
terapi farmakologis tidak berhasil 2,4

902
Diare Terkait Antibiotik

KOMPLIKASI
Dehidrasi, gangguan elektrolit, syok, edema anasarka, megakolon toksik, perforasi
kolon, gagal ginjal, sepsis, kematian1

PROGNOSIS
Sebanyak 15 - 35 % kasus akan kambuh dalam beberapa minggu atau bulan .
Rekurensi dapattimbul sebagai relaps atau reinfeksi oleh strain baru . Rekurensi lebih
sering pada pasien geriatri, pasien yang tetap melanjutkan pemakaian antibiotik
penyebab saat terapi Clostridium difficile, pasien yang tetap dirawat di rumah sakit
setelah pengobatan pertama selesai dan pasien yang menggunakan proton pump
inhibitor . Pasien yang telah mengalami rekurensi pertama memiliki kemungkinan
rekurensi kembali sebesar 33- 65% . Pada kasus rekuren, risiko timbulnya komplikasi
serius meningkat sebesar 11%. Angka mortalitas meningkat hingga 6,9% dan lebih
tinggi pada usia tua.2 3

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Divisi Tropik Infeksi, Divisi Gastroenterologi - Departemen
Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Semua Divisi di lingkungan Departemen Ilmu Penyakit Dalam

• RS non pendidikan

REFERENSI
1 . Oesman N. Kolitis infeksi. In: Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku
ajar ilmu penyakit dalam. 5lh ed. Jakarta; Pusat Informal dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit
Dalam FKUI, 2009:560 - 6
2 . Gerding DN, Johnson S.CIostridium difficile infection, including pseudomembranous colitis. In: Fauci
A, Kasper D, Longo D, Braunwald E, Flauser S, Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison ' s principles of
internal medicine. 18 th ed. United States of America; The McGraw-Hill Companies, 2012: 1091 - 4
3. Bartlett JG, Gerding DN. Clinical recognition and diagnosis of Clostridium difficile infection. Clin
Infect Dis. 2008:46 Suppl 1:S 12 —
4. Cohen SH, Gerding DN, Johnson S, et al. Clinical practice guidelines for Clostridium difficile infection
in adults: 2010 update by the society for healthcare epidemiology of America ( SHEA ) and the
infectious disease society of america ( IDSA) . Infect Control Hosp Epidemiol. 2010:31 ( 5 ) :431 - 55

903
904

FEVER OF UNKNOWN ORIGIN

PENGERTIAN1 2
Fever of Unknown Origin (FUO) dibagi menjadi empat macam, yaitu :
• FUO klasik adalah demam > 38,3°C selama lebih dari 3 minggu, kemudian dirawat
selama 1 minggu untuk dicari penyebabnya, namun tidak ditemukan penyebabnya.
Penyebab bisa merupakan undetermined infection, malignancy, autoimmune disease.
• FUO pada pasien HIV adalah demam > 38,3° C selama lebih dari 4 minggu pada
rawat jalan atau lebih dari 3 hari pada pasien rawat inap
• FUO pada pasien netropenia adalah demam > 38,3°C pada pasien dengan jumlah
lekosit PMN < 500 / gL atau diperkirakan akan turun mencapai nilai tersebut dalam
1- 2 hari (dibahas lebih lanjut pada bab demam neutropenia )
• FUO pada pasien nosokomial demam > 38,3°C timbul pada pasien yang dirawat
di RS dan pada saat mulai dirawat tidak timbul gejala atau dalam masa inkubasi,
penyebab demam tak diketahui dalam waktu 3 hari, termasuk 2 hari telah diperiksa
kultur.

ETIOLOGI
FUO disebabkan karena infeksi (30 -40 %), neoplasma (20-30%), penyakitkolagen
vaskular (10 - 20 %), dan beberapa penyakit lainnya (15- 20%). FUO yang menetap
selama lebih dari 1 tahun cenderung disebabkan oleh infeksi atau neoplasma dan
kebanyakan adalah penyakit granulomatosa.

PENDEKATAN DIAGNOSIS3

Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik


Keluhan utamanya adalah demam berkepanjangan tanpa sebab yang jelas. Hal
yang perlu ditanyakan diantaranya : onset demam, durasi demam, pola demam.
Riwayat pengobatan yang berhubungan dengan FUO diantaranya adalah antimikroba
( carbapenem, cephalosporin, erythromycin, isoniazid, minocycline, nitrofurantoin,
penicillin G, penicillin V, rifampin, sulfonamides), antileptik (carbamazepine, phenytoin ),
obat kardiovaskular ( captopril, clofibrate, heparin, hydralazine, methyldopa, nifedipine .
PanduanPraktikKIinis
Perhimpunan Dokler Speslalis Penyakit Dalam Indonesia
Fever of Unknown Origin 0$
procainamide, quinidine), ailopurinol, barbiturate, cimetidine, meperidine, pil diet,
obat herbal.
Riwayat penyakit terdahulu : keganasan, penyakit inflamasi, riwayat operasi
sebelumnya (terutama yang berhubungan dengan benda asing), infeksi HIV. Riwayat
.
pada keluarga (kondisi keluarga ke arah FUO): demam periodik familial Mediterranian
fever ( FMF), penyakit reumatik, kondisi inflamasi sistemik (seperti inflammatory bowel
.
disease , polimialgia rematika, temporal arteritis, atau vaskulitis lain) Riwayat sosial :
mengenai paparan ke hewan peliharaan atau binatang lain, terpapar dengan orang
dengan mempunyai gejala yang sama, riwayat bepergian, tempat tinggal sebelumnya,
riwayat pekerjaan, ketergantungan obat injeksi, aktivitas seksual. Selain itu, perlu
ditanyakan lagi gigitan kutu.

Pemeriksaan Penunjang
Sesuai mikroorganisme dan organ terkait. Pemeriksaan hematologi, kimia darah,
urine Lengkap, mikrobiologi, imunologi, radiologi, EKG , biopsi jaringan tubuh,
pencitraan, sidikan [ scanning ) , endoskopi / peritoneoskopi, angiografi, limfografi,
tindakan bedah (laparatomi percobaan), uji pengobatan, PET scan.

DIAGNOSIS BANDING
Infeksi, penyakit kolagen, neoplasma, efek samping obat

TATALAKSANA
Tidak ada pengobatan untuk FUO sampai penyakit yang mendasari teridentifikasi.
Obat-obatan untuk mengurangi demam tidak didukung bukti yang kuat. Pengobatan
empirik dengan menggunakan antibiotik, antituberkulosis, atau kortikosteroid tidak
direkomendasikan bila belum ditegakkan diagnosis pasti

KOMPLIKASI
Efek samping dari tes diagnostik untuk mencari etiologi FUO

PROGNOSIS
• 19-34 % pasien dengan FUO tidak pernah mengetahui diagnosisnya
• Pasien dengan FUO idiopatik mempunyai prognosis yang baik sebab pada sebagian
besar kasus, penyakit dapat sembuh dengan spontan.

905
Panduan
. Praktik KlinKs Tropik Infeksi
«loiti PonvoWI
Poihimpuwm OoU v 3p lnidon«*
OafQm a

UNIT YANG MENANGANI


• RSpendidikan : Divisi Tropik dan Infeksi - Departemen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : Divisi Pulmonologi , Divisi Hematologi - Onkologi Medik .
Divisi Reumatolbgi - Departemen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : -

REFERENSI
1. ErgonOI O, Wlllke A, Azap A, et al. Revised definition of fever of unknown origin : limitations and
‘ '
. .
opportunities. J Infect 2005;50 ( l ):l -5
2. . .
Cunha BA Fever of Unknown Origin New York, NY: Informa Healthcare; 2007.
3. Arnow PM, Flaherty JP. Fever of unknown origin. Lancet.1997;350:575-80 .
4. http:/ /medical-mdstermind-communlty,com/uploads/ Fever-of-Unkhown-Origin pdf .

906
907

FILARIASIS

PENGERTIAN
Filariasis adalah infeksi pada saluran limfe atau kelenjar limfe yang disebabkan
oleh cacing Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, atau B. timori , dengan klinis bervariasi
mulai dari infeksi subklinis, limfedema, sampai hidrokel, dan kaki gajah (elephantiasis) .
Toksin yang dilepaskan oleh cacing dewasa menyebabkan limfangiektasia, apabila
cacing dewasa telah mati dapat mengakibatkan limfangitis filaria akut dan obstruksi
saluran limfe .12

PENDEKATAN DIAGNOSIS2
Filariasis dapat berlangsung selama beberapa tahun dengan gambaran klinis yang
berbeda -beda .
Infeksi filaria , dibagi 3 stadium:
1. Bentuk tanpa gejala / asimptomatik
• Pembesaran kelenjar limfe terutama daerah inguinal
• Dalam darah ditemukan banyak mikrofilaria, disertai eosinofilia.
2. Filariasis dengan peradangan [akut]
• Demam, menggigil (bila ada infeksi sekunder karena bakteri) , sakit kepala
,

muntah, lemah, mialgia, hematuria mikroskopik, proteinuria


• Saluran limfe / kelenjar getah bening ( KGB ) yang terkena: aksila, inguinal
,

tungkai, epitroklear, genitalia (funikulitis, epididimis, orkitis)


• Pembengkakan epididimis, jaringan retro peritoneal, kelenjar ari ari, dan
-

iliopsoas
• Infeksi kulit , plak edematosa , disertai vesikel , ulkus steril ( cairan
serosanguineus), dan hiperpigmentasi .
• Lekositosis dengan eosinofilia
• Sindroma eosinofilia paru tropik ( tropical pulmonary eosinophilia) , kejadian
< 1% dari seluruh kasus filariasis, ditandai dengan:
kadar eosinofil darah tepi yang sangat tinggi ,
gejala mirip asma, mengi, batuk
penyakit paru restriktif (dan kadang obstruktif )

PanduanPraktik Klinis
Perhimpunan Dokler Speslalis Penyakit Dalam Indonesia
($ y PanduanPraktik Klinis Trorjik Infpk Ji
wM
Peihimpunan Dokler Sposiolls Ponyakil Dalam Indonesia 1 1 1
^ 11 1 1
^^ ^ 1

kadar antibodi spesifik antifilaria sangat tinggi


respon pengobatan yang baik dengan terapi antifilaria ( DEC)
• Berlangsung selama satu bulan atau lebih
3. Filariasis dengan penyumbatan
Limfedema pada filariasis bancrofti biasanya mengenai seluruh tungkai, dapat
dibagi dalam 4 tingkat, yaitu:
Tingkat 1: edema pitting pada tungkai, hilang bila tungkai diangkat
Tingkat 2 : edema pitting / non - pitting, tidak hilang bila tungkai diangkat
Tingkat 3: edema non-pitting, tidak hilang bila tungkai diangkat, kulit menjadi tebal
Tingkat 4: edema non- pitting dengan jaringan fibrosis dan verukosa pada kulit
[ elephantiasis )

Pemeriksaan Penunjang
• Pemeriksaan parasitologi mikroskopik, ditemukan mikrofilaria dalam darah
(kapiler lebih baik daripada vena), cairan hidrokel, atau cairan tubuh lainnya.
Kesulitan penegakan diagnosis sering dialami, karena mikrofilaria menghilang
setelah cacing dewasa mati, dan cacing dewasa hidup yang ada di pembuluh limfe
atau KGB sulit dijangkau .
• Limfoskintigrafi dengan radionuklir pada sistem limfatik ekstremitas
• USG Dopier pada skrotum atau payudara, terlihat cacing dewasa aktif
• ELISA dan ICT untuk antigen W. bancrofti yang bersirkulasi (sensitivitas
96-100 %, spesifisitas hampir 100%)
• Polymerase chain reaction [ PCR ) untuk deteksi DNA W. Bancrofti

DIAGNOSIS BANDING2
Pada episode akut: tromboflebitis, infeksi, keganasan, gagal jantung kongestif,
trauma, abnormalitas sistem limfatik.

TATALAKSANA1 2 3
• Umum: tirah baring, penggunaan stocking elastis untuk kompresi edema, antibiotik
bila ada infeksi sekunder atau abses.
• Spesifik:
Pengobatan infeksi:
Dietilkarbamazin [ DEC ] , 6 mg / kgBB/ hari selama 12 hari, dapat diulangi
1 - 6 bulan kemudian bila perlu, atau selama 2 hari per bulan ( 6 - 8 mg
/
kgBB/ hari)

908
Filariasis

Ivermektin, 200 meg / kgBB, efektif untuk mikrofilaremia


Albendazol, 1 - 2 x 400 mg setiap hari selama 2 - 3 minggu
Pengobatan penyakit:
- Aspirasi dan operasi, untuk drainase cairan limfe
Psikoterapi
Fisioterapi

KOMPLIKASI2
• Abses pelvis renalis sampai kerusakan ginjal
• Fibrosis interstisial paru kronik dan gagal nafas
• Rejeksi sosial, disabilitas seksual, depresi

PROGNOSIS
Prognosis baik pada kasus yang terdeteksi dini dan sedang, sedangkan prognosis
lebih burukpada kasus yang sudah lanjutterutama dengan edema genitalia (skrotum)
dan tungkai / elephantiasis, dapat menyebabkan kecacatan permanen.
2, 4

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Divisi InfeksiTropik - Departemen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam

UNIT YANG TERKAIT


• RS pendidikan Bagian Parasitologi, Bagian Bedah, Bagian Rehabilitasi Medik
• RS non pendidikan

REFERENSI
1. Colledge NR, Walker BR , Ralston SH, editors. Infections caused by helminths. In: Davidson ' s
Principles and Practice of Medicine 21s ed. Churchill Livingstone-Elsevier: 2010. page 366 - 8.
'
2. .
Herdiman T Pohan. Filariasis Dalam: Buku Ajar llmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen llmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Indonesia, 2011.
3 . Filarial and Related Infections. Inlongo DL, Kasper DL, Jameson DL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo
J, editors. Harrison ' s Principals of Internal Medicine 18 ed. Me Graw Hill. Chapter 218
th

909
910

LEPTOSPIROSIS

PENGERTIAN
Adalah penyakit zoonotik yang disebabkan spirochaeta dari genus Leptospira. Dalam
tubuh hewan, leptospira akan menetap dan membentuk koloni serta berkembang biak
di dalam epitel tubulus ginjal dan secara terus-menerus ikut mengalir dalam filtrat urin.
Leptospira menginfeksi manusia melalui mukosa atau melalui abrasi kulit, memasuki
aliran darah dan berkembang. Masa inkubasi berkisar antara 2-26 hari, rata-rata 10 hari.
Leptospira dapat melewati rongga interstisial ginjal, menembus membran basal tubulus
proksimal ginjal dan sel tubuloepitel proksimal ginjal dan menempel pada brush border
tubulus proksimal ginjal, sehingga dapat diekskresikan ke urin.1-3
Penyakit Weil's merupakan bentuk berat leptospirosis yang ditandai oleh demam,
ikterus, gagal ginjal akut, syok refrakter dan perdarahan (terutama perdarahan paru).2

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis1 3
Riwayat paparan / kontak dengan urin serta air, tanah, atau makanan yang
terkontaminasi urin dari hewan yang terinfeksi (hewan ternak, babi, kuda, anjing,
kucing, hewan pengerat, atau hewan liar)
Riwayat pekerjaan risiko tinggi, mencakup tukang potong hewan, petani, peternak,
pekerja limbah, dan pekerja kehutanan
Demam yang muncul mendadak, bersifatbifasikyaitu demam remiten tinggi pada
fase awal leptospiremia (berlangsung antara 3-10 hari) kemudian demam turun
dan muncul kembali pada fase imun.
Sakit kepala, terutama di bagian frontal
Anoreksia
Nyeri otot
Mata merah / fotofobia
Mual, muntah
Nyeri abdomen

PanduanPrakUk Minis
Perhimpunan DoklerSpeslalis Penyakil Dalam Indonesia
Leptospirosis

Pemeriksaan Fisik1 3
Demam
Injeksi konjungtiva tanpa sekret purulen
Bradikardi
Eritema faring tanpa eksudat
Nyeri tekan otot, terutama pada betis dan daerah lumbal
Ronki pada auskultasi paru
Redup pada perkusi dada di atas area perdarahan paru
Ruam (dapat berupa makula, makulopapula, eritematosa, petekia, atau ekimosis)
Ikterus
Meningismus
Hipo - atau arefleksia, terutama pada tungkai.
Penyakit Weil's ditandai oleh ikterus, gagal ginjal akut, hipotensi dan perdarahan
( terutama perdarahan paru namun juga dapat mengenai saliran cerna ,
retroperitonium, perikardium dan otak). Sindrom lainnya mencakup meningitis
aseptik, uveitis , kolesistitis, akut abdomen, dan pankreatitis. Hepar dapat
membesar dan nyeri. Splenomegali dapat terjadi pada sebagian kecil kasus.

Pemeriksaan Penunjang' 3
Leukositosis atau leukopenia disertai gambaran netrofilia dan laju endap darah
yang meninggi.
- Anemia hemolitik
- Trombositopeni
Urinalisis: proteinuria, leukosituria, sedimen abnormal (leukosit, eritrosit, cast
hialin dan granular)
Diagnosis definitif : pemeriksaan langsung urin atau darah dengan mikroskop
lapang gelap.
Microscopic Agglutination Test (MAT) atau Macroscopic Slide Agglutination Test
( MSAT)
Kultur ganda darah atau LCS pada 7-10 hari pertama, kultur urin mulai minggu
kedua.
Peningkatan kreatin kinase isoform nonkardiak, menunjukkan kerusakan otot
rangka
Penyakit Weil ditandai dengan peningkatan blood urea nitrogen dan kreatinin
serum, campuran hiperbilirubinemia terkonjugasi dan tak terkonjugasi, serta
peningkatan aminotransferase sampai kurang dari 5 kali batas atas normal.

911
f\
, ndi iPraktikKlinis Tronik Infeksi
^
Perhimpunan Dokler Spesialls Penyakil Dalam Indonesia 11 IIX 1 1 M FWI

DIAGNOSIS BANDING
Influenza, malaria, infeksi dengue, chikungunya, demam tifoid, hepatitis virus

TATALAKSANA

Nonfarmakologis1 3
Tirah baring

Farmakologis
1. Pengobatan suportif dengan observasi ketatuntukmengatasi dehidrasi, hipotensi,
perdarahan, gagal ginjal1 3 '

2. Antibiotik:14
a. Leptospirosis ringan:
Doksisiklin oral 2 x 100 mg selama 7 hari
Amoksisilin oral 4 x 500 mg selama 7 hari
- Ampisilin oral 4 x 500-750 mg selama 7 hari
Azitromisin oral lxl gram pada hari pertama, selanjutnya lx 500 mg
pada hari kedua dan ketiga.5
b. Leptospirosis sedang-berat:
Penisilin G intravena 1,5 juta unit/6 jam selama 7 hari
Seftriakson intravena 1 gram / 24 jam selama 7 hari
Doksisiklin intravena 100 mg/12 jam selama 7 hari
Amoksisilin intravena 1 gram /6 jam selama 7 hari
Ampisilin intravena 1 gram / 6 jam selama 7 hari
Sefotaksim intravena 1 gram / 6 jam selama 7 hari

KOMPLIKASI
Gagal ginjal, meningitis aseptik, pankreatitis, perdarahan masif , hepatitis,
miokarditis

PROGNOSIS
Usia lanjut, keterlibatan paru , peningkatan kadar kreatinin serum, oliguria,
dan trombositopeni terkait dengan prognosis yang buruk. Faktor independen yang
terkait dengan keparahan penyakit meliputi hipertensi kronik, alkoholisme kronik,
keterlambatan pemberian antibiotik, hasil pemeriksaan auskultasi dada yang abnormal,
ikterus, oligoanuria, gangguan kesadaran, peningkatan AST, hiperamilasemia, dan

912
Leptospirosis

Leptospira interrogans serovar icterohemorrhagiae. Oliguria, ikterus dan aritmia


merupakan prediktor kuat munculnya komplikasi gagal ginjal akut atau miokarditis.
Angka kematian yang dilaporkan bervariasi antara < 5 % sampai > 20 %.
68 '

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Divisi Tropik Infeksi - Departemen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : DivisiGinjal - Hipertensi - DepartemenPenyakitDalam
• RS non pendidikan

REFERENSI
, penyunting.
1 . Zein U. Leptospirosis.Dalam: Sudoyo AW , Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M Setiati S
,

Buku ajarilmu penyakit dalam. Edisi V. Jakarta InternaPublis


; hing ; 2009. Hal 2807 - 12

2. Dalam: Longo DL. Kasper DL. Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J penyunting
, . Harrison’s
principle of internal medicine. Edisi XVIII. McGraw-Hill Companies ; 2012 . Hal .
3. Levett PN, Haake DA . Leptospira species . Dalam: Mandell GL , Bennett JE, Dolin R, penyunting.
Mandell, douglas, and bennett ' s principles and practice of infectious diseases Edisi
VII..
Philadelphia : Churchill Livingstone Elsevier; 2010.
Gilbert DN, et al. The sanford guide to antimicrobial therapy. Edisi ke 40. 2010
-
4.
5. Phimda K, Hoontrakul S, Suttinont C, Chareonwat S, Losuwanalu k K, Chueasuwanchai S, et al.
Doxycycline versus azithromycin for treatment of leptospirosis and scrub typhus. Antimicrob
Agents Chemother 2007; 51 ( 9 ) : 3259- 63
6 Ko AL Leptospirosis. Dalam: Goldman L, Schafer Al, penyunting. Goldman ' s Cecil medicine
. Edisi
XXIV . Philadelphia : Elsevier. 2012 .
Herrmann-Storck C, Louis MS, Foucand T, Lamaury I, Deloumeaux J, Baranton G et al. Severe
,
7
patients guadeloupe . Emerging Infectious Diseases 2010 ; 16 ( 2) :331 - 4
leptospirosisin hospitalized ,

8 Dassanayake DLB, Wimalaratna H, Nandadewa D, Nugaliyadda A .


RatnatungaC N , Agampodi
or acute renal failure in patients with leptospirosis :
SB. Predictors of the development of myocarditis
an observational study . BMC Infectious Diseases 2012; 12 : 4

913
914

HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS


( HIV ) / ACQUIRED IMMUNODEFICIENCY
SYNDROME ( AIDS)

PENGER TIAN
Infeksi HIV adalah suatu spektrum penyakit yang menyerang sel -sel kekebalan
tubuh (dari infeksi primer, dengan atau tanpa sindrom akut, stadium asimtomatik,
hingga stadium lanjut) yang disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus.12

PENDEKATAN DIAGNOSIS
' 4

Anamnesis
• Kemungkinan sumber infeksi HIV
• Gejala dan keluhan pasien saat ini
• Riwayat penyakit sebelumnya, diagnosis dan pengobatan yang diterima termasuk
infeksi oportunistik
• Riwayat penyakit dan pengobatan tuberkulosis (TB) termasuk kemungkinan
kontak dengan TB sebelumnya
• Riwayat kemungkinan infeksi menular seksual (IMS)
• Riwayat dan kemungkinan adanya kehamilan
• Riwayat penggunaan terapi anti retroviral (Anti Retroviral Therapy (ART) )
termasuk riwayat rejimen untuk PMTCT ( prevention of mother to child transmission)
sebelumnya
• Riwayat pengobatan dan penggunaan kontrasepsi oral pada perempuan
• Kebiasaan sehari-hari dan riwayat perilaku seksual
• Kebiasaan merokok
• Riwayat Alergi
• Riwayat vaksinasi
• Riwayat penggunaan NAPZA suntik

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Fisik meliputi tanda-tanda vital, berat badan, tanda - tanda yang

PanduanPraktik Minis
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
Human immunodeficiency virus ( HIV ) /
acquired immunodeficiency syndrome ( AIDS ) °
mengarah kepada infeksi oportunistik sesuai dengan stadium klinis HIV seperti yang
terdapat pada tabel di bawah ini. Pemeriksaan fisik juga bertujuan untuk mencari
faktor risiko penularan HIV dan AIDS seperti needle track pada pengguna NAPZA
suntik, dan tanda -tanda IMS.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Darah untuk Skrining HIV
• Anti HIV rapid
Pemeriksaan Darah untuk Diagnosis HIV
• Anti-HIV ELISA 3 X
• Anti- HIV Western Blot 1 X
Pemeriksaan Darah lainnya
• DPL dengan Diff Count
• Total Limfosit Count (TLC) atau hitung limfosit total: % limfosit x jumlah Leukosit
( dengan catatan jumlah leukosit dalam batas normal)
• Prediksi Hitung CD 4 + Berdasarkan Hitung Limfosit Total

CD4+ = 0, 3 limfosit - 8, 2

Persamaan ini digunakan bila tidak didapatkan faktor perancu seperti infeksi CMV
dan Tuberkulosis.

CD4+ = 0 , 3 limfosit - 41 CMV + 37 antiretrovirus - ± 6


Persamaan di atas dapat membantu dokter untuk mengestimasi hitung CD 4 + pada
penderita infeksi HIV dimana sudah diketahui ada infeksi oportunistik seperti
infeksi CMV atau tuberculosis.
• Hitung CD4
• Jumlah virus HIV dengan RNA-PCR
Pemeriksaan HIV dipertimbangkan pada keadaan dibawah ini :
• Infeksi menular secara seksual (IMS)
• Pasangan atau anak:
diketahui positif HIV
mengidap HIV atau penyakit yang terkait dengan HIV
• Kematian pasangan muda yang tidak jelas penyebabnya
• Pengguna NAPZA suntikan

9)5
Panduan Praktik Klinis Tropik Infeksi
Perhimpunan DoklerSpesialis Penyakil Dalam Indonesia

• Pekerjaanyangberisikotinggi
• Aktif secara seksual dan mempunyai banyak mitra seksual.
Berikut merupakan strategi penyaring tes HIV menurut WHO dan UNAIDS (tabel 1).
Tabel 1. Strategi Penyaring Tes HIV menurut WHO dan UNAIDS Berdasarkan Tujuan Pemeriksaan
dan Prevalens Infeksi pada Populasi Sampel3
Tujuan Pemeriksaan Prevalensi Infeksi Strategi Pemeriksaan1
Keamanan transfusi/ Semua Prevalensi
tranplantasi
>10%
Surveilans
<10%
Diagnosis Terdapat gejala klinis >30%
infeksi HIV <30%
Tanpa gejala klinik > 10%
infeksi HIV <10%

Stadium WHO 2
• Stadium 1: asimtomatik, limfadenopati generalisata
• Stadium 2
Berat badan turun <10%
Manifestasi mukokutan minor (dermatitis seboroik, prurigo, infeksi jamur
kuku, ulkus oral rekuren, cheilitis angularis)
Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir
Infeksi saluran napas atas rekuren
• Stadium 3
Berat badan turun >10%
Diare yang tidak diketahui penyebab, >1 bulan
Demam berkepanjangan (intermiten atau konstan), >1 bulan
Kandidiasis oral
Oral hairy leucoplakia
Tuberkulosis paru
Infeksi bakteri berat (pneumonia, piomiositis)
• Stadium 4
HIV wasting syndrome
Pneumonia Pneumocystis carinii
Toksoplasma serebral
Kriptosporidiosis dengan diare >1 bulan
- Sitomegalovirus pada organ selain hati, limpa atau kelenjar getah bening
(misalnya retinitis CMV)

916
Human immunodeficiency virus ( HIV ) /
acquired immunodeficiency syndrome ( AIDS ) °
Infeksi herpes simpleks, mukokutan (>1 bulan) atau viseral
Progressive multifocal leucoencephalopathy
Mikosis endemic diseminata
Kandidiasis esofagus, trakea, dan bronkus
Mikobakteriosis atipik, diseminata atau paru
Septikemia salmonela non -tifosa
Tuberkulosis ekstrapulmonar
Limfoma
Sarkoma kaposi
Ensefalopati HIV

DIAGNOSIS BANDING1 2
Penyakit imunodefisiensi primer

TATALAKSANA1 4
• Konseling
• Suportif
• Terapi infeksi oportunistik dan pencegahan infeksi oportunistik (dapat dilihat
pada bab Infeksi Oportunistik )
• Terapi antiretrovirus (ARV) kombinasi, efek samping dan penanganannya

Tabel 2. Obat ARV yang digunakan2 4


Data
No Nama Gonerlk Formulasl Doils
farmakokinetik
Uni pertama
1 . Zidovudin ( ZDV) Tablet : Semua umur < 4 minggu: 4 mg/kg/
300 mg dosis , 2 x / hari ( untuk
pencegahan)
4 minggu sampai 13 tahun : 180-
240 mg/m2/dosis, 2x/hari
Dosis maksimal:
13 tahun: 300 mg/dosis, 2x/hari
2. Lamivudin (3TC) Tablet: Semua umur < 30 hari: 2 mg/kg/dosis,
150 mg 2x/hari ( dosis pencegahan)
> 30 hari atau < 60 kg:
4 mg/kg/dosis, 2x/hari
Dosis maksimal:
> 60 kg: 150 mg/ dosis,
2x/hari

917
fftj
WIV
-
PanduanPiaktikKIinis Tronik Infeksi
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
11 11 1

Data
No Nama Generlk Formulasl Dosis
farmakoklnoflk
3. Kombinasi tetap Tablet: 300 mg Remaja dan Dosis maksimal:
ZDV + 3TC ZDV plus 150 Dewasa > 13 tahun atau > 60 kg:
mg 3TC 1 tablet/dosis, 2x/hari
( tidak untuk berat badan
< 30 kg)
4. Nevirapin (NVP) Tablet: 200 mg Semua umur < 8 tahun: 200 mg / m2, dua
.
minggu pertama sekali sehari.
Selanjutnya dua kali sehari.
> 8 tahun: 120-150 mg/m2, dua
minggu pertama sekali sehari.
Selanjutnya dua kali sehari.
5. Efavirenz ( EFV ) 600 mg Hanya untuk 10-15 kg: 200 mg sekali sehari
anak > 3 tahun 15 - < 20 kg: 250 mg
dan berat > sekali sehari
10 kg 20 - < 25 kg: 300 mg
sekali sehari
25 - < 33 kg: 350 mg sekali sehari
33 - < 40 kg: 400 mg
sekali sehari
Dosis maksimal:
> 40 kg: 600 mg sekali sehari
6. Stavudin ( d4T) Tablet: 30 mg Semua umur < 30 kg: 1 mg/kg/dosis,
2x/hari
30kg atau lebih: 30 mg/dosis,
2x/hari
7. Abacavir ( ABC ) Tablet: 300 mg Umur > 3 bulan < 16 tahun atau < 37.5 kg: 8
mg/kg/dosis, 2x /hari
Dosis maksimal:
> 16 tahun atau > 37.5 kg:
300 mg/dosis, 2x/hari,
8. Tenofovir disoproxil Tablet : 300 mg Diberikan setiap 24 jam
fumarat ( TDF) Interaksi obat dengan
didanosine ( ddl) , tidak lagi
dipadukan dengan ddl
9. Tenofovir + Emtricitabin Tablet 200 mg/
300 mg
Lini Kedua
1. Lopinavir / ritonavir Tablettahansuhu > 6 bulan 400 mg/ 100 mg setiap 12 jam-
(LPV /r) panas, 200mg untuk pasien naif baik dengan
lopinavir + 50 mg atau tanpa kombinasi EFV
ritonavir atau NVP
600 mg/ 150 mg setiap 12 jam
bila dikombinasi dengan EFV
atau NVP-untuk pasien yang
pernah mendapat terapi ARV
2 minggu-6 bulan : 16 mg/ 4 mg
/kgBB 2x/hari
6 bulan-18 tahun : 10 mg/kgBB /
dose lopinavir
2. TDF Tablet : 300 mg Diberikan setiap 24 jam
— Interaksi obat dengan ddl, tidak
lagi dipadukan dengan ddl

918
Human immunodeficiency virus ( HIV ) /
acquired immunodeficiency syndrome ( AIDS )
Tabel 3. Rekomendasi Rejimen Uni Pertama pada Target Populasi yang belum pernah Terapi ARV
15

Target Populasi Rekomendasi Catatan


Dewasa dan ZDV atau TDF + 3TC atau Pilih rejimen yang sesuai untuk mayoritas ODHA
Remaja FTC + EFV atau NVP Gunakan FDC
Perempuan ZDV + 3TC + EFV atau Tidak boleh menggunakan EFV pada trimester
Hamil NVP pertama
TDF bisa merupakan pilihan
Pada perempuan HIV yang pernah menjalani
rejimen PMTCT, lihat rekomendasi di bagian lain
(Tabel 4)
Koinfeksi HIV / TB ZDV atau TDF + 3TC atau Mulailah terapi ARV secepat mungkin ( dalam 8
FTC + EFV minggu pertama) setelah memulai terapi TB
Gunakan NVP atau triple NRTI bila EFV tidak dapat
digunakan
Koinfeksi HIV / HBV TDF + 3TC atau FTC + EFV Pertimbangkan screening HBsAg sebelum memulai
atau NVP terapi ARV
Diperlukan penggunaan 2 terapi ARV yang
memiliki aktivitas anti-HBV
Pada ODHA yang mengalami resistensi pada lini pertama maka kombinasi obat yang
digunakan adalah :
(TDF atau ZDV) + 3 TC atau FTC + (LPV /RTV)

Tabel 4. Rekomendasi Pemeriksaan Laboratorlum untuk Memonitor Paslen dalam Terapi ArV
(Modifikasi Depkes)3
Tahap Terapi ARV Tes yang Dlrekomendasikan Tes yang Dlanjurkan
Pada saat diagnosis HIV CD4 - HbsAg (periksa HCV ?? )
Sebelum memulai ARV CD4
Pada saat memulai ARV CD4 - Hb untuk ZDV
- Kreatinin Klirens untuk TDF
- SGPT untuk NVP
Pada saat menjalani ARV CD4 ( tiap berapa bulan ) - Hb untuk ZDV
- Kreatinin Klirens untuk TDF
- SGPT untuk NVP
Pada saat kegagalan klinis CD4 - Viral load
Pada saat kegagalan imunologis Viral load
Wanita yang menjalani PMTCT Viral load enam bulan
dengan NVP dosis tunggal dengan setelah memulai terapi ARV
lanjutan dalam 12 bulan

Tabel 5. Efek Samping ARV dan Subsltuslnya12


Nama Obat Bek Samptng Subsltusl
Zidovudin - Supresi sumsum tulang Jika digunakan pada terapi
- Anemia makrositik atau neutropenia lini pertama, TDF ( atau d4T jika
- Intoleransi gastrointestinal, sakit kepala, tidak ada pilihan lain)
insomnia, asthenia Jika digunakan pada terapi lini
- Pigmentasi kulit dan kuku kedua, d4T
- Asidosis laktat dengan steatosis hepatic
Stavudin - Pankreatitis, neuropati perifer, asidosis laktat ZDV atau TDF
dengan steatosis hepatitis ( jarang) , lipoatrofi

919
Panduan Praktik Klinis Tropik Infeksi
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyaklt Dalam Indonesia

Nama Obat Bek Samplng SubsHusI


Lamivudin - Toksisitas rendah
- - Asidosis laktat dengan steatosis hepatitis ( jarang)
Abacavir - Reaksi hipersensitif ( dapat fatal) ZDV atau TDF
- Demam, ruam, kelelahan, mual, muntah, tidak
nafsu makan
- Gangguan pernafasan ( sakit tenggorokan,
batuk)
- Asidosis laktat dengan steatosis hepatitis ( jarang)
Tenofovir - Asthenia, sakit kepala, diare, mual, muntah, Jika digunakan pada lini
sering buang angin, insuflsiensi ginjal, sindrom pertama, ZDV ( atau d4T jika
Fanconi tidak ada pilihan)
- Osteomalasia Jika digunakan pada lini kedua,
- Penurunan densitas tulang Secara pendekatan kesehatan
- Hepatitis eksaserbasi akut berat pada masyarakat, maka tidak ada
pasien HIV dengan koinfeksi Hepatitis B yang pilihan lain jika pasien telah
menghentikan TDF gagal ZDV /d4T pada terapi lini
pertama, Jika memungkinkan,
dipertimbangkan merujuk ke
tingkat perawatan yang lebih
tinggi dimana terapi individual
tersedia.
Emtricitabine Ditoleransi dengan baik
Efavirenz - Reaksi hipersensitivitas NVP
- Sindroma Steven-Johnson - bPI jika tidak toleran
- Ruam terhadap kedua NNRTI
- Toksisitas hepar
- Toksisitas sistem saraf pusat yang berat dan
- Tiga NRTI jika tidak ada
pilihan lain
persisten ( depresi dan pusing)
- Hiperlipidemia
- Ginekomastia ( pada laki-laki)
- Kemungkinan efek teratogenik ( pada kehami-
lan trimester pertama atau wanita yang tidak
menggunakan kontrasepsi yang adekuat)

Nevirapin - Reaksi hipersensitivitas EFV


- Sindroma Steven-Johnson - bPI jika tidak toleran
- Ruam terhadap kedua NNRTI
- Toksisitas hepar - Tiga NRTI jika tidak ada
- Hiperlipidemia pilihan lain

Ritonavir Hiperlipidemia Jika digunakan pada lini kedua,


tidak ada pilihan lain*
Lopinavir Intoleransi gastrointestinal, mual, muntah, semu-
tan, hepatitis, dan pankreatitis, hiperglikemia,
pemindahan lemak dan abnormalitas lipid
R = rekomendasi; RT= rekomendasi pada orang tertentu; D = dipertimbangkan pada orang tertentu

920
Human immunodeficiency virus ( HIV ) /
acquired immunodeficiency syndrome ( AIDS )
-

Tabel 6. Jadwal Vaksin pada Pasien HIV Dewasa


4

Hltung CD4 + Llmfosit T


Vakslnasl > 200 sel / uL
< 200 sel / uL
Influenza 1 dosis TIV * setiap tahun
Tetanus, difteri, pertusis (Td /Tdap) Ganti 1 dosisTdapdenganboosterTd, lanjutkan dengan booster
Tdtiap 10 tahun
Varisela Kontraindikasi 2 dosis
HPV ( wanita)
3 dosis setelah berusia 26 tahun
HPV (pria)
Zoster Kontraindikasi 1 dosis
MMR Kontraindikasi 1 atau 2 dosis
Polisakarida pneumokokus 1 atau 2 dosis
Meningokokus Dosis 1 atau lebih**
Hepatitis A 2 dosis**
Hepatitis B 3 dosis
Keterangan:
*TIV: trivalent inactivated influenza virus
“ Dianjurkan apabila ada faktor resiko lain (riwayat kesehatan, pekerjaan, gaya hidup, dll)

Penatalaksanaan Penanganan Pajanan HIV di Tempat Kerja


24

• Pertolongan pertama diberikan segera setelah cedera: luka dan kulit yang terkena
darah atau cairan tubuh dicuci dengan sabun dan air, dan permukaan mukosa
dibilas dengan air.
• Penilaian pajanan tentang potensi penularan infeksi HIV (berdasarkan cairan
tubuh dan tingkat berat pajanan).
• PPP ( profilaksis pasca pajanan) untuk HIV dilakukan pada pajanan bersumber
dari ODHA (atau sumber yang kemungkinan terinfeksi dengan HIV).
• Sumber pajanan perlu dievaluasi tentang kemungkinan adanya infeksi HIV.
Pemeriksaan HIV atas sumber pajanan hanya dapat dilaksanakan setelah diberikan
konseling pra - tes dan mendapatkan persetujuan ( informed consent), dan tersedia
rujukan untuk konseling, dukungan selanjutnya serta jaminan untuk menjaga
konfidensialitas.
• Evaluasi klinik dan pemeriksaan terhadap petugas yang terpajan hanya
dilaksanakan setelah diberikan konseling dan dengan persetujuan ( informed
consent ).
• Edukasi tentang cara mengurangi pajanan yang berisiko terkena HIV perlu
diberikan oleh konselor yang menilai urutan kejadian pajanan dengan cara yang
penuh perhatian dan tidak menghakimi.
• Harus dibuat laporan pajanan.

921
Panduan Praktik Minis Tropik Infeksi
Perhimpunan Dokler Speslalls Penyakil Dalam Indonesia

Pemberian PPP dengan ARV2 4


PPP harus dimulai sesegera mungkin setelah pajanan, sebaiknya dalam waktu
2 - 4 jam . Pemberian PPP setelah 72 jam dilaporkan tidak efektif . Direkomendasikan
pengobatan kombinasi dua atau tiga jenis obat ARV.
Pilihan jenis obat ditetapkan berdasarkan pengobatan ARV pada sumber pajanan
sebelumnya dan informasi tentang kemungkinan resistensi dari obat yang pernah
digunakan. Pilihan juga berdasarkan tingkat keseriusan pajanan dan ketersediaan ARV.
Pemberian ARV tersebut didasarkan pada pedoman yang ada, dan disediakan satu
"kit ” yang berisi ARV yang direkomendasi, atau berdasarkan konsultasi dengan
dengan
dokter ahli. Konsultasi dengan dokter ahli sangat penting dalam hal adanya resistensi
terhadap ARV. Perlu tersedia jumlah ARV cukup untuk pemberian satu bulan penuh
sejak awal pemberian PPP.

Tabel 7. Penilaian Pajanan untuk Profilaksis Pascapajanan HIV4


Perlukaan kullt
Status Infeksi sumber pajanan

HIV poslttf
HIV poslttf
Jenis Pajanan Tingkat 2° b Tidak dlketahul Tidak dlketahul HIV
Tingkat 1° staus HIV - nyac sumbernyad negattf
Kurang berat' Dianjurkan Anjuran Umumnya Umumnya Tidak
Pengobatan pengobatan Tidak perlu PPP, Tidak perlu perlu PPP
dasar dengan pertimbangkan9 pPPh.i
2 - obat PPP 3 -obat PPP 2-obat PPP bila
sumber berisikof’
Leblh beraf Pengobatan Anjuran
Umumnya Umumnya Tidak
dengan pengobatan
Tidak perlu PPP Tidak perlu perlu PPP
3 -obat PPP dengan
pertimbangkan ppph.i
3 -obat PPP
2-obat PPP bila
sumber berisikoh
Pajanan pada laplsan mukosa atau pajanan pada luka di kullt
Status Infeksi sumber pajanan
Volume Pertimbangkan Anjuran Umumnya Umumnya Tidak
sediklt Pengobatan pengobatan Tidak perlu PPP Tidak perlu perlu PPP
( beberapa dasar dengan pertimbangkan9 PPPh '
tetes) 2 - obat PPPh 3 -obat PPP 2-obat PPP bila
sumber berisikoh
Volume Dianjurkan Anjuran Umumnya Umumnya Tidak
banyak Pengobatan pengobatan Tidak perlu PPP Tidak perlu perlu PPP
( tumpahan dasar dengan pertimbangkan PPPhii
banyak 2 - obat PPP 3 -obat PPP 2-obat PPP bila
darah) sumber berisikohJ
Keterangan:
a HIV Asimtomatis atau diketahui viral load rendah ( yaitu <1500 RNA /mL)
b HIV Simtomatis, AIDS, serokonversi akut, atau diketahui viral load tinggi, bila dikhawatirkan adanya resistensi
obat, konsultasikan kepada ahlinya. Pemberian PPP tidak boleh ditunda dan perlu tersedia sarana untuk
melakukan perawatan lanjutan secepatnya
.
c contoh, pasien meninggal 8 tidak dapat dilakukan pemeriksaan darah

922
Human immunodeficiency virus ( HIV ) /
acquired immunodeficiency syndrome ( AIDS )
d contoh, jarum dari tempat sampah
e y.i. jarum buntu, luka di permukaan
darah pada alat, atau jarum bekas dipakai pada arteri
f y.i. jarum besar berlubang, luka tusuk dalam, nampak
atau vena
g Pernyataan “Pertimbangkan PPP " menunjukkan bahwa
PPP merupakan pilihan lidak mutlak dan harus
,
yang terpajan dan keahlian dokternya. Namun
diputuskan secara individual tergantung dari orang
PPP bila ditemuka n faktor risiko pada sumber pajanan ,
pertimbangkanlah pengobatan dasar dengan 2- obat
atau bila terjadi di daerah dengan risiko tinggi HIV.
h Bila diberikan PPP dan diterima, dan sumber pajanan
kemudian diketahui HIV negatif, maka PPP harus
dihentikan.
tanda-tanda kulit yang tidak utuh ( seperti, dermatitis
,
i Pada pajanan kulit, tindak lanjut hanya diperlukan bila ada
abrasi atau luka )

label 8. Rejimen ARV untuk Profilaksls Pascapajanan


4

Tlngkat risiko pajanan Rejimen'


Rejimen kombina sl dua obat dasar, contohnya:
Risiko menengah 2 x 150 mg atau
( Kemungkinan ada risiko terjadi infeksi) AZT 2 x 300 mg + 3TC
d4T 2 x 40 mg + 3TC
atau
ddl 1 x 400 mg + d4T
Risiko tinggi Rejimen kombinasl 3 obat. contohnya:
(Risiko terjadi infeksi yang nyata, misalnya AZT / 3TC / IDR |3 x 800 mg) alaur NFV ( 3 x 750 mg)
pajanan dengan darah volume banyak , AZT / 3 TC / IDV /r
luka tusuk yang dalam) AZT/ 3TC + NNRTI (EFV 1 x 600 mg| ’
Keterangan:
1 Rejimen PPP perlu disesuaikan dengan menggunakan
obat yang tidak resisten terhadap sumber pajanan
(bila diketahui)
perempuan hamil. Telah dilaporkan 2 kematian
2 Efavirenz lebih baik dari pada NVP tapi tidak dianjurkan untuk
dengan PPP yang mengandung NVP, oleh karena
dari petugas kesehatan dengan toksisitas hati yang terkait
itu tidak dianjurkan

Efek Samping2 4 '

adalah mual dan rasa


Efek samping yang paling sering terjadi pada pemberian ARV
, lelah, mual dan diare.
tidak enak. Pengaruh yang lainnya kemungkinan sakit kepala
i di bawah ini
Efek samping lain yang berat pada pemberian ARV adalah sepert
PPP (NVP tidak dianjurkan
• NVP: pernah dilaporkan hepatotoksisitas berat pada
untuk rejimen kombinasi pada PPP}
• ddl: pankreatitis yang fatal
• IDV / NFV: diare, hiperglikemia, lipodistrofi

Pemeriksaan Tindak Lanjut dan Konseling


4

Orang yang mendapatkan ARV untuk PPP perlu dievaluasi


dan ditindak lanjuti
nya gejala toksisitas
dalam 72 jam setelah pajanan serta perlu dipantau terhadap timbul
di HIV sebagai data
obat untuk sedikitnya selama 2 minggu . Pemeriksaan antibo
selanjutnya dievaluasi
dasar dapat dilakukan dalam 8 hari pascapajanan dan untuk
minggu ke 6,
secaraberkala setidaknya selama 6 bulan pascapajanan, misalnya pada

923
( jSS-
y
PanduanPraktik Minis Trnnik Infpksi
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakif Dalam Indonesia 11

bulan ke 3 dan bulan ke 6, namun apabila timbul gejala penyakit yang


sesuai dengan
sindrom retroviral akut maka pemeriksaan antibodi HIV perlu
dilakukan segera.
Perlu diberikan konseling dukungan dan juga anjuran untuk melakuk
an pencegahan
terhadap penularan sekunder HIV sedapat mungkin selama masa pemanta
uan .
Tabel 9. Pemantauan Laboratorium pada Profilaksls Pascapa
janan2 4
Waktu Jlka memlnum PPP Tldak memlnum PPP
Data Dasar HIV, HCV, HBV HIV, HCV, HBV
(Dalam waktu 8 hari) DL, Transaminase
Minggu ke 4 Transaminase, DL Transaminase
Bulan ke 3 HIV, HCV, HBV HIV, HCV, HBV
Transaminase Transaminase
Bulan ke 6 HIV, HCV, HBV HIV, HCV, HBV
Transaminase Transaminase
Keterangan:
HIV pemeriksaan antibodi HIV
HCV pemeriksaan diagnostik unluk hepatitis C
HBV pemeriksaan diagnostik untuk hepatitis B
DL Pemeriksaan darah lengkap

PENATALAKSANAAN INFEKSI HIV PADA KEHAMILAN5


Semua ARV diketahui memiliki toksisitas terhadap kehamilan,
namun tetap
diperlukan dalam keadaan seperti :
• Terapi kombinasi poten bagi penyakit HIV maternal; atau
• Sebagai profilaksis untuk mencegah infeksi HIV ke janin.

Status HIV
dari Wanita

Sudah didiagnosis HIV Tes HIV (+) Tes HIV ( -)


sebelumnya dan sudah
mendapat terapi

ZDV+3TC+NVP atau
TDF+3TC+EFC ata TDF+3TC
( atau FTCJ +EFV

ir

Lanjutkan Terapi ARV

Gambar 1 . Algoritma Tatalaksana HIV Pada Wanita Hamil

924
Human immunodeficiency virus ( HIV ) / A
acquired immunodeficiency syndrome ( AIDS ) *
KOMPLIKASI
Infeksi oportunistik, kanker terkait HIV, dan manifestasi HIV pada organ lain.1 4 ’

PROGNOSIS
Pemberian terapi ARV kepada orang dengan HIV / AIDS (ODHA) dapat menurunkan
penyebaran virus Human Immunodefficiency Virus ( HIV] hingga 9 2 %.1-4

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Divisi Tropik Infeksi, Divisi Alergi Imunologi - Departemen
Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : Divisi Pulmonologi, Divisi Hematologi - Departemen Penyakit
Dalam
• RS non pendidikan

REFERENSI
1. Fauci AS, Lane HC. Human Immunodeficiency Virus: AIDS and related disorders. In: Fauci A,
Braunwald E, Kasper D. Harrison ' s Principles of Internal Medicine. 17 th ed. New York: McGraw-
Hill; 2009: 1138- 1204
2. HIV . Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar llmu Penyakit
Dalam. Jakarta: Interna Publishing; 2009.p. 2130-32.
3. Departemen Kesehatan Rl. Tata Laksana HIV/ AIDS. 2012
4. World Health Organization. Antiretroviral therapy for hiv infection in adults and adolescent. 2010
revision. [Update 2010; cited 2011 Mar 11 ] Available from http:/ / www.who.int
5 . Antiretroviral Drugs for Treating Pregnant Women and Preventing HIV Infections in Infants:
Guidelines on care, treatment and support for women living with HIV / AIDS and their children in
resource-constrained settings. World Health Organization. Switzerland. 2004
6. Centers for Disease Control and Prevention. Recommended Adult Immunization Schedule. United
States. 2012. Diunduh dari http:/ / www.cdc.gov / vaccines/recs /schedules/ downloads /adult /
adult-schedule.pdf pada tanggal 2 Mei 2012.

925
926

INFEKSI JAMUR

PENGERTIAN
Mayoritas jamur tidak patogenik bagi orang yang imunokompeten, namun
beberapa jamur dapat menginfeksi orang sehat, diantaranya dermatofita (trikofiton,
epidermofiton , dan mikrosporum), histoplasma, blastomyces , cryptococcus,
coccidioides, dan paracoccidioides.1
Pada individu dengan imunokompromis berisiko terkena infeksi oportunistik
oleh jamur seperti kandida, aspergillus, fusarium atau mukor. Mereka yang terkena
diantaranya adalah infeksi HIV, terapi imunosupresan, kemoterapi kanker, pasien
netropenik, pasien dengan diabetes melitus yang tidak terkontrol. Pada keadaan
tertentu, jamur dapat menginfeksi hampir semua organ atau dapat terjadi diseminasi
dan menyebabkan sepsis fungal.

KANDIDIASIS
Definisi1
Kandidiasis adalah infeksi yang disebabkan oleh organisme dari genus Candida ,
yang paling sering Candida albicans. Infeksi kandida pada penderita imunokompromais
dapat dilihat pada bab Infeksi Oportunistik.

Faktor Risiko
Faktor risiko untuk infeksi kandida adalah netropenia, imunosupresi, antibiotik
spektrum luas, terpasang infus, pengguna jarum suntik, operasi abdomen, DM, gagal ginjal

Manifestasi Klinis
Tergantung dari lokasi terkenanya, kandidiosis memiliki manifestasi klinis :
• Mukokutan : kutan (merah, lesi maserasi, zona intertriginosa)
• Candidiuria : kolonisasi karena antibiotik spektrum luas dan atau indwelling catheter
• Candidemia : (nosocomial bloodstream infection)
• Hepatosplenik : intestinal seeding of portal and venous circulation ; ditemukan
pada leukimia akut
• Diseminasi hematogenus : paru -paru, otak, meningen

PandiianPraktik Klinis
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
Infeksi Jcrnnur |g|

Diagnosis4
Untuk menegakkan diagnosis candidiasis dengan menemukan pseudohifa atau
hifa spesies Candida pada kultur spesimen.
Sebelum menunggu hasil kultur, kondisi pasien dapat kita nilai dengan
menggunakan scoring kandida untuk menentukan apakah ia memiliki kecenderungan
menderita infeksi jamur. Skoring kandida secara lengkap dibahas pada appendiks.

Tatalaksana 2 3

Terapi empirik

Terapi empirik

Mukokutan Topikal klotrimazol, nistatin, flukonazol, itrakonazol.


Kandiduria Flukonazol 200 mg/hariselama 2 minggu, atau intravesikal ampho
B. Jika simptomatik,imunosupresi berat, akan melakukan prosedur
genitourinari
Kandididemia tanpa netropenia Flukonazol 400mg/hari atau ekinokandin, atau ampho B
Febril netropenia Ekinokandin (micafungin lOOmg/hari iv selama 2 minggu atau
sampai hasil kultur negatif) , atau ampho B

Prognosis
Pada pasien sehat dengan kandidiosis superfisial, terapi yang tepat dapat
sembuh sempurna tanpa meninggalkan kerusakan permanen . Candidiosis tidak akan
kambuh bila pasien tetap sehat dan asupannya baik. Pada pasien immunokompromis,
kandidiosis lebih persisten dan lebih resisten terhadap terapi.

ASPERGILLOSIS
Definisi1
Aspergilosis adalah infeksi yang disebabkan oleh jamur Aspergillus.

Manifestasi Klinis
Beberapa bentuk aspergillosis
• Aspergilloma : biasanya didahului adanya kavitas ( dari TB ) ; kebanyakan
asimptomatik tapi dapat menyebabkan hemoptisis
• Necrotizing tracheitis: pseudomembran nekrotik putih pada pasien dengan AIDS
transplan paru
• Necrotizing kronik : pada pasien dengan PPOK; imunosupresi ringan

927
O PanduanPraktikKIinis Trooik
Il Jfw/ IIV Infpksi
' llllt? lvOl
Perhimpunan DokterSpesialis Penyakit Dalam Indonesia

• Diseminata / invasif : pada pasien dengan imunosupresi [neutropenia , post


transplant, steroid, AIDS dengan steroid atau neutropenia)

PENDEKATAN DIAGNOSIS
Laboratorium: Kultur, pemeriksaan antibodi, deteksi antigen [histo urin / serum
Ag, 1, 3 - p - D -glucan, Galactomannan, Crypto Ag ) , pemeriksaan histopatologik.

TATALAKSANA4

Nonfarmakologis
Lepaskan akses intravaskular, menjaga higienitas

Farmakologis
Fungus ball biasanya tidak diterapi dengan antijamur kecuali ada perdarahan pada
jaringan paru - paru. Pada kasus tersebut, diperlukan tindakan operasi . Aspergillosis
invasiv diterapi dengan antijamur voriconazole oral atau intravena . Dapat juga
menggunakan Amphotherisin B, Ekinokandin, atau Itraconazole . Endokarditis yang
disebabkan Aspergillus diterapi dengan tindakan operasi mengambil katup jantung
yang terinfeksi serta terapi antijamur dalam jangka panjang.

PROGNOSIS
Invasif aspergilosis sulit membaik dengan terapi farmakologis, dapat menyebabkan
kematian .

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Divisi Tropik Infeksi - Departemen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : Divisi Pulmonologi - Departemen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : -

REFERENSI
1. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam.
Jakarta: Interna Publishing: 2009.p. 2130-32.
2. CharlierC , HartE , LefortA, etal. Fluconazole for the management of invasive candidiasis : where
do we stand after 15 years?. J Antimicrob Chemother. Mar 2006;57(3 ) :384-410. [ Medline] ,

928
Infeksi Jamur 0
3. Kuse ER , Chetchotisakd P , da Cunha CA, et al . Micafungin versus liposomal amphotericin B for
candidaemia and invasive candidosis : a phase III randomised double- blind trial . Lancet. May 5
2007:369 ( 9572 ] : 1519-27 . [ Medline] ,
4. Faunci et all. Harrison ' sPrincipal of Internal Medicine 18lh Edition.

929
930

INFEKSI OPORTUNISTIK PADA AIDS

PENGERTIAN1
Infeksi oportunistik adalah infeksi yang timbul akibat penurunan kekebalan
tubuh. Infeksi ini dapat timbul karena mikroba yang berasal dari luar tubuh, maupun
yang sudah ada dalam tubuh manusia namun dalam keadaan normal terkendali
oleh kekebalan tubuh. Infeksi oportunistik pada ODHA dihubungkan dengan tingkat
kekebalan tubuhnya (kadar CD 4).
Berikut akan dibahas infeksi oportunistik yang sering terjadi pada ODHA di
Indonesia.

PENDEKATAN DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA


Berikut adalah diagnosis dan tatalaksana beberapa infeksi oportunistik tersering:

TUBERKULOSIS
Pendekatan Diagnosis
• Anamnesis: demam diurnal, keringat malam, batuk kronik lebih dari 3 minggu,
hemoptisis, penurunan berat badan, penurunan napsu makan, rasa letih, dan
nyeri dada pleuritik.
• Pemeriksaan fisik: febris, kakeksia, takipnea, suara napas bronkial, amorfik, suara
napas melemah, ronki basah yang terdengar jelas saat inspirasi.
• Pemeriksaan penunjang: sputum BTA yang positif minimal 2 dari 3 spesimen SPS
pada waktu yang bersamaan, foto rontgen toraks (infiltrat, pembesaran KGB hilus /
paratrakeal, milier, kavitasi, efusi pleura), laju endap darah meningkat, kultur
Mycobacterium tuberculosis yang positif, tes Mantoux positif, tes IGRA positif .

Diagnosis Banding
Pneumonia, tumor / keganasan paru, bronkiektasis, abses paru.

Panduan
Dokiet
Perhimpunan
Praktik Klinis
Spesialis Penyakif Dalam
Indonesia
Infeksi Oportunistik pada AIDS $?$ •

Tatalaksana
• Obat antituberkulosis ( OAT) yang diberikan pada pasien ODHA tidak berbeda
pada pasien biasa.
• Semua pasien ODHA harus menerima terapi antiretroviral (ARV). OAT diberikan
lebih dahulu, disusul pemberian ARV sesegera mungkin selambat-lambatnya 8
minggu setelah dimulainya OAT.
• ARV yang dianjurkan adalah zidovudin atau tenofovir disoproksil fumarat ( NRTI /
Nucleotide Reverse Transcriptase Inhibitor) dikombinasikan dengan lamivudin atau
emtrisitabin. Untuk NNRTI / Non - Nucleotide Reverse Transcriptase Inhibitor, WHO
merekomendasikan efavirenz atau nevirapin.

MYCOBACTERIUM AVIUM COMPLEX (MAC)


Pendekatan Diagnosis

• Anamnesis: demam, penurunan berat badan, keringat malam, rasa letih, diare.
• Pemeriksaanfisik: limfadenopati, hepatosplenomegali, anemia.
• Pemeriksaan penunjang: gangguan fungsi hati, peningkatan alkali fosfatase serum,
leukopenia, anemia, kultur darah atau cairan lain yang steril, pemeriksaan sputum
yang menunjukkan MAC positif sebanyak 2 kali, biopsi sumsung tulang atau hati.

Diagnosis Banding

Tuberkulosis

Tatalaksana

• Klaritromisin 2 x500 mg + etambutol 15 mg/ kgBB atau azitromisin 1x600 mg +


etambutol 15 mg/ kgBB.
• Obat tambahan untuk kuman resisten makrolid: Moksifloksasin 1x400 mg atau
levofloksasin 1x500-750 mg + etambutol 15 mg/ kgBB + rifabutin 1x 300 mg ±
amikasin iv 10-15 mg/ kgBB.
• CDC menganjurkan penghentian terapi kronis dapat dihentikan setelah 12 bulan
terapi jika tidak ditemukan gejala dan tanda infeksi MAC disertai peningkatan CD 4
> 100 sel / pL yang menetap selama lebih6bulandenganpemberian ARV.

931
Panduan Praktik Klinis Tropik Infeksi
Perhlmpunan Dokler Speslalis Penyakit Dalam Indonesia

KANDIDIASIS
Pendekatan Diagnosis
• Anamnesis:

Kandidiasis orofaring: rasa terbakar, gangguan mengecap, sulit menelan


makanan cair atau padat.
Kandidiasis esophagus: disfagia, odinofagia, nyeri retrosternal, nyeri seperti
ada yang terhambat di kerongkongan.
Kandidiasis vulvovagina: gatal, keputihan, kemerahan di vagina, dispareunia,
disuria, pembengkakan vulva dan labia, gejala memburuk seminggu sebelum
menstruasi.
Kandidiasis kulit: gatal dan kemerahan.
• Pemeriksaan Fisik
Plak putih 1 - 2 cm atau lebih di mukosa mulut, jika dilepaskan akan
meninggalkan bercak merah atau perdarahan.
Plak kemerahan halus di palatum, mukosa bukal atau permukaan dorsal lidah.
Kemerahan, fisura atau keretakan di sudut bibir.
Inflamasi vulvolabia,duhtubuh berwarna putih kekuningan, lesi pustulopapuler
diskrit.
- Maserasi kulit, paronikia, balanitis, lesi pustular diskrit pada kulit.
• Pemeriksaan penunjang: Pemeriksaan spesimen jaringan / sekret dengan KOH,
endoskopi.

Diagnosis Banding
• Kandidiasis orofaring: lik-en planus, karsinoma sel skuamosa, leukoplakia,
aspergilosis invasif, mukormikosis, blastomikosis, histoplasmosis.
• Kandidiasis esofagus: esofagitis radiasi, GERD, infeksi CMV, esofagitis herpes
simpleks.
• Kandidiasis vulvovagina: trikomoniasis, vaginosis bakterialis.
• Kandidiasis kulit: eritroderma, infeksi jamur lainnya .

Tatalaksana
• Kandidiasis orofaring:
Terapi pilihan:
Nistatin drop 4 - 5x kumur 500.000 U hingga lesi hilang (10 - 14 hari)
Flukonazol oral 1x100 mg selama 10 - 14hari

932
Infeksi Oportunistik pada AIDS

Terapi alternatif :
Itrakonazol suspensi 200 mg / hari saat perut kosong
Amfoterisin B iv 0, 3 mg / kgBB
• Kandidiasis esofagus:
Terapi pilihan:
Flukonazol oral 200 mg/ hari hingga 800 mg / hari selama 14 21 hari
-

-
Itrakonazol suspensi 200 mg/ hari selama 14 21 hari
Terapi alternatif: Amfoterisin B iv 0,3 mg/ kgBB
• Kandidiasis vulvovagina:
Terapi pilihan:
Klotrimazol krim 1% 5mg/ hari selama 3 hari atau tablet vagin
Mikonazolkrim 2 % 5 mg / hari selama 7 hari Tiokonazolkrim 0 8 % 5 /
, mg hari

selama 3 hari
Terapi alternatif:
- Flukonazol oral 1x150 mg tunggal
- Itrakonazol oral 1 - 2x 200 mg selama 3 hari
Ketokonazol oral 1x200 mg selama 5-7hariatau 2 x 200mg selama 3 hari
• Kandidiasis kulit:
, sulkonazol,
Krim atau losio klotrimazol, mikonazol, ekonazol, ketokonazol
oksikonazol.

KRIPTOKOKOSIS (INFEKSI OLEH CRYPTOCOCCUS


NEOFORMANS )
Pendekatan Diagnosis:
• Anamnesis
, muntah ,
Meningitis kriptokokus: gejala prodromal 2 - 4 minggu, mual
gangguan kesadaran dan perilaku, sakit kepala.
if.
Kriptokokosis paru : Demam, batuk dengan sputum tidak terlalu produkt
• Pemeriksaan Fisik
Meningitis kriptokokus: kaku kuduk, edema papil, parese.
Pada infeksi C.neoformans juga dapat ditemukan lesi kulit yaitu kelainan
serupa
akne, papul, vesikel, nodul, tumor, abses, ulkus dan granuloma.
tivitis,
Kriptokokosis juga dapat terjadi pada mata dan menimbulkan konjung
korioretinitis, endoftalmitis, kebutaan.

933
Panduan Praktik Klinis Tropik Infek
si
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakil Dalam Indonesia

• Pemeriksaan penunjang
CT scan / MRI otak: hidrosefalus, edema difus, atrofi, penyang
atan meningen
dan pleksus koroideus.
Isolasi jamur ( pewarnaan tinta India ) dari darah, cairan serebrospinal,
urin,
cairan pleura, sputum, bilasan bronkus, lesi kulit.
Histopatologi.
- Serologi antigen C neoformans. .
Diagnosis Banding
Tuberkulosis, tuberkuloma,sifilis sistem saraf pusat

Tatalaksana
• Meningitis kriptokokus
Menurunkan tekanan intrakranial/ TIK hingga < 200 mmHg dengan : punksi
lumbal (bila TIK > 250 mmHg), pemasangan drain lumbal (bila TIK
> 400
mmHg), VP shunt ( bila kedua terapi di atas gagal).
Antijamur pilihan pertama :
Induksi: amfoterisin B iv 0, 7 - lmg / kgBB/ hari dan 5- fluorositosin oral
100 mg / kgBB/ hari selama 2 minggu.
Konsolidasi:flukonazol oral 400 mg/ hari selama 8 minggu atau hingga cairan
serebrospinal steril.
Pilihan kedua:
Induksi: amfoterisin B iv 0,7 - lmg/ kgBB / hari selama 2 minggu.
Konsolidasi:flukonazol oral 400 mg/ hari selama 10 minggu atau hingga cairan
serebrospinal steril.
Pilihan ketiga:
Flukonazol oral 400 - 800 mg/ hari dan fluorositosin oral 100 mg kgBB
/ / hari
selama 6 - 10 minggu
• Kriptokokosis paru, kriptokokosis diseminata dan antigenemia :
Flukonazol 200 - 400 mg / hari secara oral hingga nilai CD 4 > 200 sel pL.
/

934
Infeksi Oportunistik pada AIDS $$

ENSEFALITIS TOKSOPLASMA (ET) & KORIORETINITIS


TOKSOPLASMA
Pendekatan Diagnosis
• Anamnesis
i fokal
Ensefalitis toksoplasma : demam, rasa letih,sakit kepala, defisit neurolog
, penurunan
( hemiparese, kejang, ataksia, afasia, parkinsonism, koreaatetosis)
kesadaran, gangguan perilaku.
, skotoma,
Korioretinitis toksoplasma: demam, rasa letih, penglihatan kabur
nyeri mata, fotofobia, epifora
• Pemeriksaan Fisik
, umumnya
Penemuan umum: pembesaran KGB kenyal, tidak nyeri, berkonfluens
di daerah servikal, hepatosplenomegali, ruam kulit.
Ensefalitis toksoplasma: parese saraf cranial, heimparese, gangguan
lapang
pandang, rubral tremor , gangguan sensorik daerah tungkai.
- Korioretinitis toksoplasma: penurunan visus
• Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan umum: serologi toksoplasma.
Ensefalitis toksoplasma :
pada
CTscan / MRI : lesi tunggal / multipel hipodens pada CT atau hipointens
MRI menyangat kontras berbentuk cincin disertai edema dan efek masa
.
Histopatologi jaringan otak.
Korioretinitis toksoplasma:
h
Funduskopi: nekrosis multifocal atau bilateral, bercak multiple yellowis
white di daerah kutub posterior.

Diagnosis Banding
oma, progressive
• Ensefalitis toksoplasma: limfoma sistem saraf pusat, tuberkul
multifocal leucoencephalopathy.
mosis.
• Korioretinitis toksoplasma: korioretinitisTB, sifilis, lepra, histoplas

Tatalaksana
• Pilihan pertama
Fase akut: pirimetamin oral 200mg hari pertama, selanjutnya 50 - 75 /
mg hari +
.
leukovorin oral 10 - 20 mg / hari + sulfadiazin oral 1000 - 1500mg/ hari
Rumatan: pirimetamin oral 25 - 50 mg/ hari + leukovorin oral 10 - 20
mg / hari
+ sulfadiazine oral 500 - lOOOmg/ hari.

935
Panduan Praktik Klinis Tropik Infek
Daiam si
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Indonesia

• Pilihan kedua
Fase akut: pirimetamin + leukovorin + klindamisin oral atauiv4x600 mg
Rumatan: pirimetamin +leukovorin (dosis rumatan) + klindamisinoral4
x300-450 mg
• Pilihan ketiga :
Fase akut: pirimetamin + leukovorin + salah satu : atovaquone oral 2 x1500
mg,
-
azitromisin oral 1x900 1200 mg,klaritromisinoral 2 x500 mg, dapson
oral 1x100
mg, minosiklinoral 2xl50-200 mg.
Fase rumatan: pirimetamin + leukovorin (dosis rumatan) + salah satu antibioti
k
tersebut dosis sama.
• Di Indonesia tidak terdapat sulfadiazin dan pirimetamin tunggal karena
itu dapat
digunakan fansidar (pirimetamin 25mg dan sulfadoksin 500 mg) dengan
dosis
pirimetamin seperti di atas.

PNEUMOC /ST/S PNEUMONIA


Pendekatan Diagnosis
• Anamnesis: demam tidak tinggi, batuk kering,nyeri dada retrosternal (tajam atau
seperti terbakar)yang memburuk saat inspirasi, sesak napas subakut ( 2
minggu
atau lebih).
• Pemeriksaanfisik: takipnea, takikardi, sianosis akral, sentral, dan membran
mukosa. Tidak ditemukan ronki pada auskultasi paru.
Pemeriksaan penunjang:
Roentgen dada : infiltrat interstitial bilateral di daerah perihiler yang kemudian
menjadi lebih homogen dan difus sesuai dengan perjalanan penyakit
.
Kadang ditemui nodul soliter atau multipel, infiltrat di lobus bawah,
abses,
pneumatokel, pneumotoraks .
CTscan: gambaran "groundglass" atau lesi kistik. Peningkatan LDH ( umumny
a
> 220 IU / L).
- Peningkatan gradient oksigen alveolar-arterial (AaDO ), pO < 70 mmHg pada
analisis gas darah.
Peningkatan LED > 50 mm / jam
Leukositosis ringan
Serum (1- 3) beta - D-glukan positif
Pemeriksaan mikroskopik sputum, lavase bronkoalveolar atau jaringan paru
menunjukkan adanya kista Pneumocystis jiroveci

936
Infeksi Oportunistik pada AIDS If ]
Diagnosis Banding
Pneumonia bakterialis, pneumonitis interstitial nonspesifik

Tatalaksana
• Derajat sedang - berat [sesak napas saat istirahat / PaO < 70 mmHg dalam udara
kamar atau AaDC> 2 > 35 mmHg):
Rawat inap, oksigen, ventilator bila perlu .
Kotrimoksazol iv atau trimetoprim oral 15 - 20 mg / kgBB / hari dan 75 - 100
mg/ kgBB / hari sulfametoksazol dibagi 4 dosis selama 21 hari.
Prednison oral 2x40 mg 5 hari pertama, 1x40 mg 5 hari berikutnya dilanjurkan
20 mg / hari hingga terapi selesai atau metilprednisolon iv dosis 75% dosis
prednison atau hidrokortison iv dosis awal 4xl 00 mg.
- Alternatif : primakuin 30 mg / hari + klindamisin 3x600 mg atau pentamidin
4 mg/ kgBB / hari.
• Derajat ringan - sedang (sesak napas pada latihan, PaO > 70 mmHg dalam udara
kamar, AaDO > 35 mmHg) :
Trimetoprim oral 15 - 20 mg / kgBB / hari dan 75 - 100 mg / kgBB / hari
sulfametoksazol dibagi 4 dosis selama 21 hari.
Alternatif : primakuin pral 30 mg / hari + klindamisin 3x 600 mg / hari atau
atovaquone 2x750 mg selama 21 hari.
• Repons pengobatan dapat dilihat setelah hari ke-5 sampai ke- 7.

CYTOMEGALOVIRUS (CMV)
Pendekatan Diagnosis
Anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang:
• Korioretinitis :
- Gangguan penglihatan unilateral, penglihatan floater, fotopsia, skotoma,
gangguan lapang pandang unilateral.
Funduskopi : perdarahan retina brush - fire, catchup - sauce appearance,
pigmentasi granuler atau eksudat kekuningan seperti pizza pie appearance,
cotton - wool spot pada daerah perifer atau fundus.
Pemeriksaan antigen CMV secara serologis.
• CMV saluran cerna:
Diare, sariawan, nyeri epigastrium, ulkus pada sfinkter esofagus, ulkus rectum,
perforasi ileum.

937
tfS PanduanPraMik Minis Trnnik Infpksi
M 01
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyokil
Dalam Indonesia
1 1 W 1 11 1 1 W 1X

Biopsi mukosa saluran cerna: tanda inflamasi dan CMV inclusion body.
Pemeriksaan antigen CMV secara serologis.
• Pneumonitis CMV:
- Sesak napas yang memburuk perlahan, sesak saat aktivitas, batuk non -
produktif, ronki minimal.
Roentgen dada: infiltrat difus interstitialis seperti PCP.
Biopsi paru / makrofag dari bilasan bronkoalveoler: CMV inclusion body
intraselular.
Pemeriksaan antigen CMV secara serologis.
• Ventrikuloensefalitis CMV:
Letargi, gangguan mental, delirium, demam, sulit konsentrasi, sakit kepala,
somnolen, gangguan saraf kranial .
Pemeriksaan cairan serebrospinal: ditemukan antigen atau DNA CMV dan
kultur.
Pemeriksaan antigen CMV secara serologis.

Tatalaksana
• Mata
Gansikloviriv 2 x 5 mg/ kgBB / hari dalam infus 1 jam selama 2 - 3 minggu,
dilanjutkan dengan dosis rumatan iv 5mg/ kgBB / hari sekali sehari.
- Valgansiklovir oral 2x900 mg selama 21 hari dilanjutkan dosis rumatanlx900mg.
Foscarnet iv 2 x 60 mg / kgBB atau 2 x 90 mg/ kgBB selama 2 - 3 minggu
dilanjutkan dosis rumataniv 2 x90-120 mg/ kgBB.
Pada ancaman gangguan penglihatan berat dan pemulihan sistem imun
sulit diharapkan, dipasang implant gansiklovir intraokuler per 6 -8 bulan
dikombinasi dengan valgansiklovirorallx900mg.
Saluran cerna
Gansiklovir iv 2x5 mg/ kgBB selama 2 - 3 minggu .
Valgansiklovir 2 x900 mgselama 2 - 3 minggu.
Foscarnetiv3x60 mg/ kgBBatau 2x90 mg/ kgBB selama 2 - 3 minggu.
Tidak diperlukan terapi rumatan kecuali relaps selama atau setelah terapi
Paru
Gansiklovir iv 2x5 mg / kgBB selama > 21 hari.
Valgansiklovir 2 x900 mgselama 21 hari.
Foscarnetiv3x60 mg/ kgBBatau 2x90mg/ kgBBselama > 21hari.

938
Infeksi Oportunistik pada AIDS

• Sistem saraf
Gansiklovir iv 2 x 5 mg/ kgBB kombinasi dengan foscarnet iv 3x60 mg / kgBB
atau 2x90 mg/ kgBB selama 3 - 6 minggu, dilanjutkan dengan dosis rumatan
seperti pada mata.
Gansiklovir iv 2 x5 mg / kgBB selama 3-6 minggudilanjutkan dengan rumatan
gansiklovir iv atau valgansiklovir seperti dosis pada mata.

DIARE KARENA PROTOZOA


Pendekatan Diagnosis
• Anamnesis: Infeksi Cryptosporidia sp., microsporidia, isospora belli menunjukkan
gejala yang sama yaitu:diarenon -inflamasi,kram perut, mual, muntah, demam,
sakit kepala, penurunan berat badan. Dapat menyebabkan kolesistitis, kolangitis,
pankreatitis. Microsporidia dapat menyebar di luar usus yaitu pada mata, otak,
otot, hati dan dapat menyebabkan konjungtivitis dan hepatitis.
• Pemeriksaan penunjang: analisis tinja (mencari ookista), pemeriksaan tinja dengan
mikroskop elektron, aspirasi usus atau biopsi usus.

Diagnosis banding
Diare karena parasit lain , amebiasis, infeksi Campylobacter , colitis CMV,
gastroenteritis virus, gastroenteritis bakteri, giardiasis.

Tatalaksana
• Cryptosporidia sp.:Tidak ada terapi spesifik untuk infeksi Cryptosporidia sp. Infeksi
ini akan mengalami resolusi dengan sendirinya apabila kadar CD 4 >100sel / pL.
Alternatif: paramomisin 500 mgperoral 3xsehariselamal 4hari.
• Microsporidia :
Albendazol 400 mg 2 x sehari selama 14 hari. Untuk infeksi diseminata ,
albendazol dapat dikombinasikan dengan itrakonazol 200 - 400 mg/ hari.
Infeksi okular dapat mendapat terapi tambahan fumagilin bisiloheksilammonium
topikal
• Isospora belli:
Kotrimoksazoll 60 mg TMP / 800 mg SMX oral atau iv 2 - 4x sehari selama 10
hari, dapat diperpanjang hingga 3 - 4 minggu bila gejala menetap.
Alternatif : pirimetamin 50 - 75 mg / hari [+ asam folat 5 - 10 mg / hari) atau
siprofloksasin 500mg oral 2 x sehari selama 7 hari.
Terapi rumatan : kotrimoksazol 320 mgTMP /1.600 SMX lx sehari atau 3x
seminggu bila CD4 < 200sel / pL atau pirimetamin 25 mg/ hari.

939
Panduan Praktik Klinis Tropik Infeksi
Perhimpunan Dokfer Spesiolis Penyakit Dalam Indonesia

KOMPLIKASI
Kematian, komplikasi sesuai organ yang terlibat, komplikasi akibat pengobatan

PROGNOSIS
Sebagian besar infeksi oportunistik dapat diobati, namun jika kekebalan tubuh
tetap rendah, infeksi oportunistik dapat kambuh kembali atau juga timbul infeksi
oportunistik yang lain.

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Divisi Tropik Infeksi, Divisi Alergi Imunologi - Departemen
Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Semua Divisi di lingkungan Departemen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan

REFERENSI
.
Yunihastuti E, Djauzi S, Djoerban Z, editors. Infeksi oportunistik pada AIDS Jakarta; Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005.
2. Nasronudin. Infeksi jamur. In: Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku
ajarilmu penyakit dalam. 5th ed. Jakarta; Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian llmu Penyakit
Dalam FKUI, 2009:2871 - 80
3. Pohan HT.. Toksoplasmosis. In; Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors.
Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5th edition. Jakarta; Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian llmu
Penyakit Dalam FKUI, 2009:2881 - 8
4. .
FauciAS ,LaneHC Humanimmunodeficiencyvirusdisease:AIDSandrelateddisorders.ln:FauciA ,
Kasper D, Longo D, Braunwald E, HauserS, Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison ' s principles of
.
internalmedicine l 8thed.UnitedStatesofAmerica;TheMcGraw-HillCompanies,2012:1506-87
5. World Health Organization. Treatment of tuberculosis guidelines. 4th edition. 2010:65 - 74
6. Kaplan JE, Benson C, Holmes KH, Brooks JT, Pau A, Masur H. Guidelines for prevention and
treatment of opportunistic infections in HIV-infected adults and adolescents: recommendations
from CDC , the National Institutes of Health, and the HIV Medicine Association of the Infectious
Diseases Society of America . MMWR Recomm Rep. 2009;58( RR -4) : 1 -207.
7. LimperAH,KnoxKS,SarosiGA,AmpelNM,BennettJE,CatanzaroA.AnofficialAmericanthoracic society
statement: treatment of fungal infections in adult pulmonary and critical care patients. Am J
Respir Crit Care Med.2011;183:96 - 128

940
941

INFEKSI PADA KEHAMILAN

PENGERTIAN
Infeksi telah lama diketahui sebagai penyebab utama morbiditas dan mortalitas
ibu dan janin di seluruh dunia, dan infeksi ini masih menjadi masalah di abad 21 .
Faktor -faktor seperti status serologis maternal , waktu terjadinya infeksi saat hamil,
cara penularan, dan status imunologis mempengaruhi manifestasi penyakitnya. Infeksi
1

akut selama kehamilan yang sering seperti infeksi kulit atau infeksi saluran nafas ,
biasanya bukan merupakan masalah yang serius, namun pada beberapa kasus dapat
mempengaruhi persalinan ataupun pemilihan cara persalinan, dan meningkatkan
resiko kejadian abortus, ketuban pecah dini, kelahiran prematur, dan stillbirth . *
2

PENDEKATAN
Berikut merupakan beberapa infeksi yang sering ditemukan selama kehamilan
(tabel 1) .

label 1. Diagnosis, Pencegahan, Terapi, dan Komplikasi pada macam- macam Infeksi dalam
Kehamilan ' " 5

TES
INFEKSI PENCEGAHAN TERAPI KOMPUKASI
LABORATORIUM
Rubella Isolasi virus, PCR, Vaksinasi dengan Simptomatik Sindrom rubella kon-
serologis ELISA interval 3 bulan genital
IgM dan IgG sebelum hamil,
hindari kontak
dengan penderita
CMV Isolasi virus, PCR, Imunisasi Simptomatik, Pertumbuhan janin
serologis ELISA pasif dengan ganciclovirl terhambat ( IUGR ) ,
IgM dan IgG imunoglobulin mikrosefali, prema-
( IG) CMV , hindari turitas, oligo / polihi-
kontak dengan dramnion
penderita
Varicella Klinis, sitologis, Vaksinasi tidak Isolasi, rawat inap Infeksi neonatorum,
zoster virus isolasi virus dianjurkan pada bila komplikasi malformasi
( VZV ) wanita hamil, VZIG ( +) , asiklovir 10- 15 kongenital, infeksi
profilaksis2 625 unit im mg/kgBB tiap 8 berat pada ibu
jam
( bila riwayat cacar
air dan seronegatif
VZV ) dalam kurun
waktu 96 jam paska
paparan.

Panduan Praktik Klinis


PerhiTiconan Dckler Spesiaiis Penyokil Dalam Indonesia
CSj
'M j w /

Panduan Praktik Klinis jronik infpksi
^
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakif Dalam Indonesia

TES
INFEKSI PENCEGAHAN TERAPI KOMPUKASI
LABORATORIUM
Herpes simplex Klinis, sitologis, Kontrasepsi barrier
Asiklovir atau Infeksi neonatorum,
isolasi virus, PCR, (kondom) , hindari
valasiklovir, infeksi berat pada
serologis kontak dengan
pertimbangan ibu
penderita sectio caesarea
(SC ) . Neonatus
yang terinfeksi
diberikan asiklovir.
Hepatitis B Lihat pembahasan pada bab Hepatitis Virus Akut
HIV Lihat pembahasan pada bab HIV
Parvovirus B19 PCR, Serologis Simptomatik Anemia fetus,
antibodi IgG dan abortus spontan,
IgM hydrops fetalis
Campak Klinis, PCR, Vaksinasi tidak Simptomatik Abortus, prematuritas,
(Rubeola / serologis dianjurkan pada berat badan lahir
Measles) wanita hamil rendah ( BBLR )
Sifilis
Neisseria gon-
orrhoeae and Lihat pembahasan pada bab Infeksi Menular Seksuai
Chlamydia
trachomatis
Listeriosis Kultur darah Hindari keju atau Ampisilin + Infeksi fetus, stillbirth
produk susu yang gentamisin, bila
tidak dipasteurisasi, alergi a trime-
mencuci sayur toprim-sulfametok-
mentah, memasak sazol (TMP-SMX)
dengan matang
Brucellosis Riwayat paparan, Hindari produk Dual therapy Abortus spontan
isolasi bakteri susu yang tidak antimikroba: TMP-
dari darah atau terpasteurisasi SMX, rifampin
jaringan, kultur,
PCR, serologis, tes
aglutinasi, dipstick
Infeksi Strepto- Klinis, darah Profilaksis: Penicillin Sesuai dengan Sepsis maternal post
coccus Grup B lengkap, kultur G 5 juta unit iv ( dosis profilaksis partum, infeksi neona-
dari swab vagina awal), dilanjutkan torum
dan rektum 2,5 juta unit iv tiap 4
jam s/d partus atau
ampisilin 2 g iv ( dosis
awal), dilanjutkan
1 giv tiap 4 jam s /d
partus.
Bila alergi penisilin:
Cefazolin 2 g iv ( dosis
awal), dilanjutkan
1 g iv tiap 8 jam
s/d partus atau
klindamisin 900 mg iv
tiap 8 jam s /d partus
atau eritromisin 500
mg iv tiap 6 jam
s /d partus atau
vancomycin 1 g
iv tiap 12 jam s/d
partus

942
Infeksi pada Kehamilan Q

TES TERAPI KOMPUKASI


INFEKSI PENCEGAHAN
LABORATORIUM
Toxoplasmosis PCR, serologis Hindari daging yang Malformasi kongenital
ELISA IgM dan kurang matang
/ mentah, cuci
IgG, isolasi parasit,
USG tangan setelah
kontak dengan
daging mentah,
cuci buah dan
sayuran sebelum
dikonsumsi,
gunakan sarung
tangan saat
membersihkan
kotoran kucing,
hindari memberi
makan daging
mentah pada
kucing, hindari
memelihara kucing
di dalam rumah
Malaria Lihat pembahasan pada bab Malaria
ISK Lihat pembahasan pada bab Infeksi Saluran Kemlh
Tuberkulosis Uhat pembahasan pada bab Tuberkulosls Paru

PROGNOSIS
Tergantung infeksi

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Divisi Infeksi Tropik - Departemen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam

UNIT YANG TERKAIT


• RS pendidikan . Departemen Obstetri dan Ginekologi

• RS non pendidikan : -

REFERENSI
Cunningham, Leveno, Bloom et al. Williams Obstetrics 23 Ed. United States of America. McGraw
rd -
1.
Hill. 2010;58:1210-34.
2. Brocklehurst P. Infection and preterm delivery. BMJ 1999;318:548e9.
Goldenberg RL, Hauth JC, Andrews WW Intrauterine infection and preterm delivery. N Engl
. J
3.
Med 2000:342:1500e7.
e90.
Goldenberg RL, McClure EM, Saleem S, et al. Infection-related stillbirths. Lancet 2010:375 1482
:
4.
5. Gershon A. Chapter 186: Rubella ( German Measles) . In: Longo Fauci Kasper Harrison’
, s Principles
of Internal Medicine 17 lh
edition. United States of America . McGraw .
Hill 2008

943
Panduan Praktik Klinis Tropik Infeksi
PofhlmfiunonDotiry SpesJob Periyukil Dokim IrdonMio

6. YInon Y, Farine D, Yudin Met al. Cytomegatovlius Infection in Pregnancy. Society of Obstetricians

. ^ ^
afYd "Gyhcte&ologists of Canacid (SOGC) Clfrtlb l F fa ’tldal Guideline no» 24Q,.April 20if Sftfdnduh
dari http;//www sogc.org/guidellnes/documents/’gul240CPG1004E pdf pada tqnggal 2 Mei 2012
. <
.
7. .
Anzivino E, Floritl D, Mischltelli M et al Herpes simplex virus Infection in pregnancy and in neonate:
status of art of epidemiology, diagnosis, therapy arid' prevention. Virology Journal 2009, 6:40
. .
doi:10.1186/1743-422X-6-40 Diunduh dari http://wvyw virologyj.com/content/pdf /1743-422X-6-40.
pdf pada tanggal 2 Mel 2012.
8. .
Parvovirus B19 Infection in Pregnancy: Information Pack. Diunduh dari http://www fifthdisease .
9. . .
Pappas G, Akritidis N, Bosilkovski M, et al Brucellosis N Ehgl J Med 2005; 352:2325
-2336 Diunduh.
. .
dari http:/ /www nejm org/doi/full/10.1056/NEJMrad5057Cj pada tanggal 2 Mei 2012 .
. .
10 Khan M, Mah M, Memish Z Brucellosis in Pregnant Women. Clinical Infectious Diseases
2001;
-
32:1172 7. Diunduh dari http://cid.oxfordjournals Org/content /32/8/ l 172 full pdf pada tanggal
. . .
2 Mei 2012 .

944
945

INTOKSIKASI ORGANOFOSFAT

PENGERTIAN
osfat
Adalah intoksikasi akibat zat yang mengandung organofosfat. Organof
enzim
digunakan sebagai insektisida. Mekanisme kerjanya adalah melalui inhibisi
kolinergik,
asetilkolinesterase, menyebabkan akumulasi asetilkolin pada sinaps-sinaps
g reseptor
baik perifer maupun sentral. Asetilkolin berlebih menyebabkan triggerin
sistem saraf
asetilkolin secara konstan, stimulasi berlebih pada sinaps kolinergik di
pusat, sistem saraf otonom, dan neuromuscular junction.
13 '

ik akut,
Intoksikasi organofosfat bermanifestasi dalam 3 fase, yaitu krisis kolinerg
intermediate neurotoxic syndrome, dan delayed polyneuropathy.
3

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik


23

, bau pestisida
• Riwayat minum / kontak dengan zat yang mengandung organofosfat
• Gambaran klinis khas krisis kolinergik akut:
, Bradikardi,
a. Gejala dan tanda muskarinik: Diare, banyak berkemih, Miosis
LS),
Bronchorrhoea , Bronkokonstriksi, Emesis, Lakrimasi, Salivasi ( DUMBE
hipotensi, aritmia jantung
gagal
b. Gejala dan tanda nikotinik: fasikulasi, tremor, kelemahan otot dengan
napas, hipertensi, takikardi, berkeringat, midriasis
c. Gejala SSP: gangguan kesadaran, kejang
• Gambaran klinis intermediate neurotoxic syndrome
Cranial nerve palsies, kelemahan leher dan ekstremitas proksimal, dan gagal
napas tipe II

• Gambaran klinis delayed polyneuropathy
n
• Gangguan neurologis 1- 3 minggu setelah paparan akut, terutama ganggua
motorik, namun juga dapat sensorik

Pemeriksaan Penunjang3
4

plasma
• Berkurangnya aktivitas kolinesterase darah atau butirilkolinesterase
• < 80 % menunjukkan paparan signifikan

PanduanPrakdk Klinis
Pertilmpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
# SSBflSBBB Tropik Infeksi
• EKG: bradikardi, pemanjangan QT, torsade de pointes ventricular tachycar
dia ,
ventricular fibrillation

DIAGNOSIS BANDING
Intoksikasi karbamat, perdarahan pontin

TATALAKSANA

Nonfarmakologis56
• Membebaskan jalan napas
• Melepas pakaian yang terpapar
• Dekontaminasi kulit dengan air dan sabun
• Menempatkan pasien pada posisi lateral dekubitus kiri

Farmakologis5
1. Resusitasi adekuat: oksigen, cairan normal saline ( NS] 0,9%
2. Antagonis muskarinik: Atropin; untuk memperbaiki tanda dan gejala muskarin
ik
Dosis awal 1- 3 mg bolus
5 menit setelahnya, periksa nadi, tekanan darah, ukuran pupil, keringat dan
auskultasi dada. Jika belum ada perbaikan, gandakan dosis pertama
Pantau setiap 5 menit, gandakan dosis jika respon masih belum muncul.
Jika
terjadi perbaikan, hentikan penggandaan dosis. Gunakan dosis yang sama
atau lebih kecil.
Berikan atropin bolus sampai denyut jantung >80 kali menit, dan tekanan
/
darah sistolik >80 mmHg dan lapang paru bersih.
- Setelah pasien stabil, berikan infus atropin setiap jam sebesar 10-20% total
dosis yang dibutuhkan untuk menstabilkan pasien.
.
3 Reaktivator kolinesterase: pralidoxime ( 2 - PAM ), obidoxim ,
e trimedoxime,
metohoxime, dll untuk memperbaiki tanda dan gejala nikotinik 7 8
-
2 g IV selama 20-30 menit dilanjutkan dengan 0,5 1 g jam dalam NS ,9
/ 0 %. Berikan
pralidoxime sampai atropin tidak digunakan lagi selama 12- 24 jam dan
pasien
telah diekstubasi
.
4 Diazepam jika agitasi dan kejang
Dosis awal 2-10 mg, dosis maksimal 30 mg.
5. Kumbah lambung
Hanya dilakukan setelah pasien stabil, biasanya dilakukan < 4 jam setelah keracuna
n,

946
Intoksikasi Organofosfat .0

yaitu dengan cara memberikan dan mengaspirasi 5 ml cairan / kgBB melalui French
orogastric tube (OGT). Dapat menggunakan air atau NS.
6. Pemberian activated charcoal 50 mg dalam bentuk suspensi secara oral melalui
cangkir, sedotan, atau nasogastric tube (NGT ]
7. Ventilasi mekanik jika terjadi gagal napas

KOMPLIKASI
9,10
Hipoksia, asidosis, pneumonia, gagal napas, aritmia jantung.

PROGNOSIS
Angka kematian lebih dari 15 %. Skor APACHE II awal dapat digunakan sebagai
indikator prognostik. Nilai GCS juga dapat digunakan untuk memprediksi outcome .
Hipoksemia, asidosis, dan gangguan elektrolit merupakan faktor predisposisi komplikasi
jantung.910

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Divisi Tropik Infeksi - Departemen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Divisi Pulmonologi, Divisi Psikosomatik , Divisi
Gastroenterologi - Departemen Penyakit Dalam, Unit
Perawatan ICU
• RS non pendidikan : Unit Perawatan ICU

REFERENSI
1 . Dalam: Sudoyo AW , Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, penyunting. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. Edisi V. Jakarta: InternaP ublishing; 2009. Hal
2. Poisoning and drug overdose. Dalam: Longo DL. Kasper DL. Jameson JL, Fauci AS, Hauser
SL, Loscalzo J, penyunting. Harrison ' s principle of internal medicine. Edisi XVIII. McGraw-Hill
.
Companies: 2012 Hal.
3. Aardema H, Meertens JHJM, Ligtenberg JJM, Peters-Polman OM, Tulleken JE, Zijlstra JG.
Organophosphorus pesticide poisoning: cases and developments. The Netherlands Journal of
Medicine 2008: 66 ( 4) : 149- 153
4. Karki P, Ansari JA, Bhandary S, Koirala S. Cardiac and electrocardiographical manifestations of
acute organophosphate poisoning. Singapore Med J 2004: 45 ( 8) : 385
5. Eddlestone M, Buckley NA, Eyer P, Dawson AH. Management of acute organophosphorus
pesticide poisoning. Lancet 2008; 371 ( 9612): 597-607

947
O ssasaasas! Trap* mteksi
6. .
Roberts MD, Aqron CK. Managing acute organophosphorus pesticide poisoning BMJ 2007; 334;
629-34
7. Eddleston M, Eyer P, Worek F, Juszczak E, Alder N, Mohamed F, et al. Pralidoxinrie in acute
- .
^
; arganaphosphorys insectiside poisoning a rqndprn ed controlled trial PLoS Med 2009:6 ( 6)
.
8. Bajgar J Treatment and prophylaxis of nerve agent. Organophosphates intoxication. Therapeutics
pharmacology and clinical toxicology 2009; 13(3):hal 247-253
9. Kang EJ, Seok SJ, Lee KH, Gil HW, Yang JO, Lee EY, etai 'Fdctors for determining survival in acute
.
organophosphorus poisoning. Korean J Intern Med 2009;24:362-267
TO. Cander B, Dur A, Yildiz M, Koyuncu F, Girlsgin AS, Gul M, et al.The prognostic value Qf the glasgow
coma scale, serum acetylcholinesterase and leukocyte levels in acute organophosphorus
poisoning. Ann Saudi Med 2011:31|2j;i63
^

948
949

INTOKSIKASI OPIAT

PENGERTIAN
Intoksikasi opiat merupakan intoksikasi akibat penggunaan obat golongan opiat
yaitu morfin, petidin, heroin, opium, pentazokain, kodein, loperamid, dekstrometorfan1

PATOFISIOLOGI
Opiat akan berikatan dengan reseptor opiat pada sistem saraf pusat, menyebabkan
inhibisi jalur nyeri ascending , menyebabkan perubahan persepsi dan respons terhadap
stimulus nyeri. Opiat juga bekerja pada sistem neurotransmitter SSP lain seperti
dopamine, GABA, dan glutamate, menyebabkan depresi SSP secara umum.2

PENDEKATAN DIAGNOSIS1 2

Anamnesis
Informasi mengenai seluruh obat yang digunakan, sisa obat yang ada

Pemeriksaan Fisik
Perubahan status mental (somnolen, konfusi, stupor, koma), miosis pupil, hipotensi,
sinus bradikardia, bising usus menurun, kelemahan otot, depresi napas, apneu, koma,
kejang (lebih sering karena overdosis propoksifen dan meperidin)

Pemeriksaan Penunjang
Opiat urin /darah, AGD, elektrolit, gula darah, rontgen toraks

Pemeriksaan Lain
Penemuan needle track sign, respon cepat terhadap pemberian nalokson
menunjang diagnosis intoksikasi opiat

DIAGNOSIS BANDING
Intoksikasi obat sedatif : barbiturat, benzodiazepin, etanol.1,2

Panduan Praktlk Kllnis


m
W iW/
PsndiHin PrsktikKlinis Tronik lnf © ksi
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia 1 1 11

TATALAKSANA
A. Penanganan kegawatan: resusitasi A-B-C [ airway, breathing, circulation) dengan
memperhatikan prinsip kewaspadaan universal. Bebaskan dan proteksi jalan
napas, berikan oksigen sesuai kebutuhan, pemasangan infus dan pemberian cairan
sesuai kebutuhan.2-5
B . Pemberian antidot nalokson 2'3 6
1. Glukosa [D 5W), tiamin 100 mg dan nalokson 2 mg harus diberikan pada semua
pasien dengan perubahan kesadaran dan ada kecurigaan keracunan.4
2. Tanpa hipoventilasi: dosis awal nalokson 0,4 mg intravena pelan - pelan atau
diencerkan
3. Dengan hipoventilasi: dosis awal nalokson 1-2 mg intravena pelan - pelan atau
diencerkan
4. Bila tak ada respon, diberikan nalokson 1- 2 mg intravena tiap 5 -10 menit hingga
timbul respons (perbaikan kesadaran, hilangnya depresi pernapasan, dilatasi
pupil) atau telah mencapai dosis maksimal 10 mg. Bila tetap tak ada respon,
diagnosis intoksikasi opiat perlu dikaji ulang,
5. Efek nalokson berkurang dalam 20-40 menit dan pasien dapat jatuh kedalam
keadaan overdosis kembali, sehingga perlu pemantauan ketat tanda vital,
kesadaran, dan perubahan pupil selama 24 jam. Untuk pencegahan dapat diberikan
drip nalokson satu ampul dalam 500 ml D5% atau NaCl 0,9 % diberikan dalam
4 - 6 jam.
6. Simpan sampel urin untuk pemeriksaan opiat urin dan lakukan foto toraks
7. Pertimbangan pemasangan pipa endo trakeal bila: pernapasan tak adekuat setelah
pemberian nalokson yang optimal, oksigenasi kurang meski ventilasi cukup, atau
hipoventilasi menetap setelah 3 jam pemberian nalokson yang optimal
8. Pasien dipuasakan 6 jam untuk menghindari aspirasi akibat spasme pilorik, bila
diperlukan dapat dipasang NGT untuk mencegah aspirasi atau bilas lambung pada
intoksikasi opiat oral
9. Activated charcoal dapat diberikan pada intoksikasi peroral dengan memberikan
240 ml cairan dengan 30 gram charcoal, dapat diberikan sampai 100 gram
10. Bila terjadi kejang dapat diberikan diazepam intravena 5-10 mg dan dapat diulang
bila perlu
Pasien dirawat untuk penilaian keadaan klinis dan rencana rehabilitasi.

KOMPLIKASI
Pneumonitis aspirasi, gagal napas, edema paru akut12

950
Intoksikasi Opiat

PROGNOSIS
Dubia

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Divisi Infeksi Tropik - Departemen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam

UNITTERKAIT » 1 - f i: ’

* RS pendidikan Divisi' Pslkbsomatik, Divisi Pulmonolbgi - Departehien


Penyakit? 'Dalam , Depahettien Psikiatri, Departemen
Anestesi/Unit Perawatan ICU
• RS non pendidikan : Bagian Psikiatri 1 - A J . :

" I

RBFERENSI
.
1 ; Griffith;GH: Hoelleln .
AR- Feddopk GAt Harrell HE/ First Exposure to Internal Medicine; Hospital
Medicine. Edlsl. McGraw-Hill Companies; 2Q07. Hal; 4 1-2 ,

-
2. . . . ^ .
Toxicology in adults Dalam:Hall JB Schmidt GA Hogarth DK, penyuntlng Critical Care Medicine

» ,
. .
just the facts Edisi McGraw-Hill Companies: 2007, Hgl: 377-: i .
.
SsSSwS ^. *^^ '.
3' JOnSS P 0id P walk ng fb © 'tlghtrepev iEmerg
S
4. .
Poisoning and drug overdose Dalam: Longo DL Kasper DL Jameson JL, Fauci AS, Hauser
. . .
SL, L<5$daiZ6: J, periyuhtlng Harrison's principle Of internal medicine Edisi XVIII McGraw Hill -
.
Companies; 2012 Hal
5. .
The American Heart ' Association Guidelines 2005 for cardiopulmonary resuscitation and
1

emergency cardiovascular care. Circulation: 2005; 112(Suppl I): lVl -211


6 . .
Endo Pharmaceuticals Narcan® (naloxone hydrochloride Injection, USP) prescribing information .
Chadds Ford, PA; 2003 Jul

951
952

KERACUNAN MAKANAN

PENGERTIAN
Adalah penyakit yang disebabkan oleh konsumsi makanan yang terkontaminasi
bakteri , toksin bakteri , parasit, virus , atau zat kimia.1 3 Yang dibahas di sini adalah
'

keracunan makanan oleh bakteri atau toksin bakteri .

PENDEKATAN DIAGNOSIS
Hal yang perlu ditanyakan adalah makanan yang dikonsumsi; periode waktu antara
konsumsi makanan dengan awitan gejala; gejala klinis yang dominan; jumlah orang
yang mengonsumsi makanan dan berapa banyak yang menjadi sakit; cara penyiapan
dan penyimpanan makanan yang dicurigai 3
Tabel 1 . Keracunan Makanan Akibat Bakteri 2 4 ’

Masa Inkubasl,
Gejala Sumber makanan Pemertksaan penunjang
Organism©
1-6 jam
Staphylococcus Mual, muntah, Ham, daging unggas, identifikasi toksin dan kultur
aureus diare salad kentang atau pada feses, muntahan dan
telur, mayonais makanan
Bacillus cereus tipe Mual, muntah, Nasi goreng identifikasi toksin dan kultur
emetik diare pada feses dan makanan
8-16 Jam
Clostridium perfringens Kram perut, diare Daging sapi, daging pemeriksaan enterotoksin dan
(muntah jarang unggas, kacang- kultur kuantitatif pada feses
terjadi) kacangan
Bacillus cereus tipe Kram perut, diare Daging, sayuran, identifikasi toksin dan kultur
diare (muntah jarang kacang kering, sereal pada feses dan makanan
terjadi)
> 16 jam
Clostridium botulinum Muntah, diare, Makanan kaleng yang pemeriksaan neurotoksin
pandangan diawetkan secara pada feses, serum, dan
kabur, diplopia, tidak benar, kentang makanan; kultur pada feses
disfagia, panggang dalam dan makanan
kelemahan otot aluminium foil, saus keju,
descending bawang putih botol
Vibrio cholerae Diare berair Kerang-kerangan, air Kultur feses pada media
khusus
E. coli enterotoksigenik Diare berair Salad, keju, daging, air Kultur feses dengan teknik
( ETEC) khusus

Panduan Praktik Klinis


Perhlmpunan Dokler Spesiotis Penyaki! Dalam Indonesia
Keracunan Makanan

Masa Inkubasl. Gsjala Sumber makanan Psmsrfksaan psnunfang


Organisms
E. co// Diare berdarah Daging sapi, daging Kultur feses pada media
enterohemoragik panggang, susu khusus
(EHEC) mentah, sayuran
mentah, jus apel
Salmonella spp. Diare inflamasi Daging sapi, daging Kultur feses rutin
unggas, telur, produk
susu
Campylobacter jejuni Diare inflamasi Daging unggas, susu Kultur feses rutin pada media
mentah khusus dan inubasi pada suhu
42°C
Shigella spp. Disentri Salad kentang atau Kultur feses rutin
telur, selada, sayuran
mentah
Vibrio Disentri Moluska, krustasea Kultur feses pada media
parahaemolyticus khusus

DIAGNOSIS BANDING
Keracunan makanan akibat penyebab lain, gastroenteritis non-infeksi

TATALAKSANA
35
Tabel 2. Tatalaksana Keracunan Makanan Akibat Bakteri
Organisms Tatalaksana
Staphylococcus aureus Suportif
Bacillus cereus tipe emetik Suportif
Clostridium perfringens Suportif
Bacillus cereus tipe diare Suportif
Clostridium botulinum Suportif; antitoksin botulinum equine trivalen dosis tunggal 10 ml
Vibrio cholerae Suportif dengan rehidrasi oral dan intravena agresif; pada kasus kolera
confirmed , antibiotik direkomendasikan ( lihat di bab diare infeksi)
(lihat di bab diare infeksi)
E. coli enterotoksigenik (ETEC) Suportif; antibiotik diberikan pada kasus berat
dan trombosit secara ketat
E. coli enterohemoragik ( EHEC) Suportif; pantau fungsi ginjal Hb ,
Salmonella spp. Suportif ; selain untuk S. typhii dan S . paratyphii , antibiotik tidak
diindikasika n kecuali terdapat penyebaran ekstra -intestinal ( lihat
di bab diare infeksi)
Campylobacter jejuni Suportif; pada kasus berat dapat diberikan antibiotik (lihat di bab
Diare Infeksi)
Shigella spp. Suportif; antibiotik lihat di bab Diare Infeksi
Vibrio parahaemolyticus Suportif, antibiotik direkomendasikan pada kasus berat ( lihat di
bab Diare Infeksi)

953
fA
(
WW
Panduan Praktik Minis Tronik Infpksi
^ * -
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakif Dalam Indonesia II I I V / IVJI

Terapi Suportif Mencakup


1. Rehidrasi, baik oral ataupun intravena (lebih lengkap lihat di bab Diare
Infeksi)
2. Koreksi gangguan elektrolit dan asam basa
3. Simtomatik: antiemetik
4. Ventilasi mekanik jika terjadi gagal napas (pada kasus botulisme)

KOMPLIKASI
• Dehidrasi
• Gangguan elektrolit dan keseimbangan asam basa
• Perforasi, perdarahan dan sepsis (kasus C . perfringens tipe C)
• Gagal napas (kasus botulisme)

PROGNOSIS
Sebagian sembuh sendiri. Mortalitas akibat C. perfringens tipe C 40 %. Mortalitas
akibat C . botulinum 10- 46%

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Divisi Tropik Infeksi, Divisi Gastroenterologi - Departemen
Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Bagian Mikrobiologi, ICU
• RS non pendidikan : -

REFERENSI
l. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, penyunting. Buku ajar
ilmu
.
penyakit dalam Edisi V. Jakarta; InternaPublishing; 2009. hal
2. Acute infectious diarrheal diseases and bacterial food poisoning. Dalam: Longo DL
. Kasper DL.
Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J , penyunting. Harrison ' s principle of
internal medicine.
Edisi XVIII. McGraw-Hill Companies; 2012. Hal.
3. Giannella RA. Infectious enteritis and proctocolitis and bacterial food poisoning.
Dalam: Feldman
M, Friedman LS, Brandt LJ, penyunting.Sleisenger and fordtran s gastrointestinal
’ and liver disease:
.
pathophysiology / diagnosis/ management Edisi IX. Philadelphia: Saunders Elsevier.
2010
4. .
CDC Diagnosis and management of foodborne ilnesses. MMWR 2004; 53(RR04) : 1 33
-
5. Lawrence DT, Dobmeier SG, Bechtel LK, Holstege CP. Food poisoning. Emerg
Med Clin N Am
2007; 25: 357-373

954
955

MAL ARIA

PENGERTIAN1 4 '

Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit genus Plasmodium
.
( P falsiparum, P.vivax, P.ovale, atau P.malariae, P.knowlesi) yang hidup dan berkembang
biak dalam sel darah merah manusia (eritrositik) atau jaringan (stadium ekstra
eritrositik], Penyakit ini secara alami ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles
betina. (WHO 2010)

PENDEKATAN DIAGNOSIS
• Klinis :demam, menggigil, berkeringat, sakit kepala, mual, muntah, diare, nyeri
otot, penurunan kesadaran.
• Parasitologi: Sediaan Apus Darah Tepi (SADT) tebal dan tipis dijumpai parasit malaria
Tanda dan gejala klinis malaria sangat tidak spesifik. Secara klinis, kecurigaan
malaria sebagian besar berdasarkan riwayat demam. Diagnosis berdasarkan gambaran
klinis sendiri memiliki spesifisitas yang sangat rendah dan dapat berakibat pada
tatalaksana yang berlebihan.3

ANAMNESIS
Riwayat demam intermiten atau terus menerus, riwayat dari atau pergi ke daerah
endemis malaria, dan trias malaria (keadaan menggigil yang diikuti dengan demam dan
kemudian timbul keringatyangbanyak; pada daerah endemis malaria, trias malaria mungkin
tidak ada, diare dapat merupakan gejala utama).
12

Kriteria diagnosis menurut rekomendasi WHO tahun 20105


• Pada daerah resiko rendah, diagnosis klinis malaria inkomplikata sebaiknya
1

berdasarkan kemungkinan terpapar malaria dan riwayat demam dalam 3 hari


terakhir tanpa ada tanda penyakit akut lain.
• Pada daerah resiko tinggi, diagnosis klinis sebaiknya berdasarkan keluhan demam
dalam 24 jam terakhir dan / atau adanya anemia, yang pada anak-anak, telapak
tangan yang pucat merupakan tanda yang sangat jelas.

berat atau bukti klinis/laboratoris


Malaria tanpa kompllkasi didefinisikan sebagai malaria simptomatik tanpa adanya tanda malaria

m
adanya disfungsi organ vital.5

PanduanPraktik Klinis
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
itiS . PanduanPraklikMinis Tronik Infpksi
^ *
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia III l\JI

Tabel 1. Survailans Laboratorium untuk Malaria menurut Variasi Epidemiologis 4


Skenario Epidemiologis Tes yang DIperlukan Keterangan
Transmisi rendah - Konfirmasi parasitologis; Pemilihan tes konfirmasi tergantung situasi lokal,
sedang dan / atau tidak mikroskop cahaya dan termasuk tenaga ahli yang tersedia, jumlah
stabil rapid diagnostic tests kasus, epidemiologi malaria, dan kemungkinan
( RDT ) diagnosis mikroskop untuk penyakit lain.
Transmisi tinggi dan Mikroskop kualitas tinggi Terapi antimalaria berdasarkan gejala klinis
stabil atau RDT sebaiknya hanya dilakukan pada kelompok
resiko tinggi ( anak <5 tahun, wanita hamil,
suspek malaria berat , dan area dengan
prevalensi HIV / AIDS tinggi) apabila diagnosis
parasitologis tidak tersedia, mengingat penyakit
ini dapat beresiko fatal terhadap kelompok ini.
Area yang sering Identiflkasi spesies ( RDT) Apabila monoinfeksi P.vivax sering dan mikroskop
terinfeksi dengan S 2 tidak tersedia, disarankan menggunakan
spesies malaria kombinasi RDT yang mengandung antigen
pan-malaria.
Apabila P.vivax, P.malariae, atau P.ovale terjadi
dan selalu ko-infeksi dengan P.falciparum , maka
cukup dilakukan RDT untuk P. falciparum saja.
Situasi epidemi dan Pada situasi ini, fasilitas untuk diagnosis
kegawatdaruratan parasitologis mungkin tidak tersedia atau tidak
kompleks cukup menampung dengan banyaknya kasus
sehingga terapi dapat dimulai segera.

Pemeriksaan Fisik
Demam > 37,5°C, konjungtiva atau telapak tangan pucat, sklera ikterik, hepato
/
splenomegali .1 2'4,5 -
Pemeriksaan Penunjang
Sediaan darah tebal dan tipis ditemukan plasmodium, serologi malaria ( + ).12 4'5 -
Pada tersangka malaria P. falciparum berat, kriteria diagnosis berdasarkan
ditemukannya P. falciparum stadium aseksual disertai satu atau lebih gejala klinis
atau laboratorium berikut:1'2,45

Kriteria Diagnosis
1. Malaria Berat :
Klinis
Parasitologik
2 . Malaria Ringan :
Klinis
Parasitologik (WHO, 2010 ]

956
Malaria

Gejala Klinis
1. Gangguan kesadaran atau koma yang tidak dapat dibangunkan
2. Prostrasi, contoh kelemahan menyeluruh (generalized weakness ) sehingga pasien
tidak dapat duduk atau berjalan tanpa bantuan
3. Tidak dapat makan ( failure to feed ]
4. Kejang berulang - lebih dari 2 episode dalam 24 jamsetelah pendinginan pada
hipertermia
5. Napas dalam, distres pernapasan ( napas Kussmaul )
6. Gagal sirkulasi atau syok, tekanan sistolik < 70 mraHg pada dewasa dan < 50 mmHg
pada anak-anakdisertai keringat dingin atau perbedaan temperatur kulit-mukosa >1°C
7. Ikterik disertai tanda disfungsi organ vital
8. Hemoglobinuria
9. Perdarahan spontan dan disertai abnormaldari hidung, gusi, saluran cerna, dan /
atau disertai gangguan koagulasi intravaskular
10. Edema paru ( radiologis) / acute respiratory distress syndrome (ARDS)

Laboratorium
1. Hipoglikemia (gula darah < 2.2 mmol / L atau <40 mg/ dL)
2. Asidosis metabolik ( pH 7, 25, plasma bikarbonat <15 mEq / L)
3. Anemia normositik berat pada keadaan hitung parasit >10.000 / ul(Hb < 5 gr / dL
atau Ht<15%)
4. Hemoglobinuri amakroskopik oleh karena infeksi malaria akut (bukan karena efek
samping obat antimalaria pada pasien dengan defisiensi G 6 PDj
5. Hiperparasitemia (> 2 % /100 000 / pl pada area transmisi rendah atau 5% atau
250 000 / pl pada area transmisi tinggi)
6. Hiperlaktatemia (laktat > 5 mmol /1)
7. Gangguan ginjal (urin < 400 ml / 24 jam pada orang dewasa, atau <12 ml / kgBB pada
anak-anak setelah dilakukan rehidrasi disertai kreatinin > 3 mg / dl).
8. Ditemukannya P. Falciparum yang padat pada pembuluh darah kapiler jaringan
otak apabila dilakukan otopsi
Beberapa keadaan yang juga digolongkan sebagai malaria berat sesuai dengan
gambaran klinis daerah setempat:2 4
1. Gangguan kesadaran
2. Kelemahan otot tanpa kelainan neurologis (tak bisa duduk / jalan )
3. Hiperparasitemia > 5% pada daerah hipoendemis atau daerah tak stabil malaria
4. Ikterus (bilirubin > 3 mg / dl)
5. Hiperpireksia (suhu rektal >40°C)

957
Panduan Praktik Klinis Tropik Infeksi
Perhlmpunan Dokfer Spesialis Penyakil Dalam
Indonesia

Kriteria Diagnosis2 5
1. Konfirmasi ditemukannya parasit malaria dibawah mikroskop atau alternatif
lainnya dengan rapid diagnostic test (RDT) dianjurkan bagi semua pasien tersangka
malaria sebelum dimulainya pengobatan.
2 , Tatalaksana hanya berdasarkan kecurigaan klinis sebaiknya hanya dipertimbangkan
apabila diagnosis parasitologis tidak tersedia.

Pemeriksaan Penunjang
Darah tebal dan tipis malaria, serologi malaria, DPL, tes fungsi ginjal, tes fungsi
hati, gula darah, urin lengkap, AGD, elektrolit, hemostasis, foto toraks, EKG.1A4,S

DIAGNOSIS BANDING
Infeksi virus, demam tifoid toksik , hepatitis fulminan , leptospirosis ,
meningoensefalitis.2’45

TATALAKSANA2 4 5

A. Pengobatan malaria tanpa kompiikasi


1. Pengobatan malaria falsiparum dan malaria vivaks
Metode pengobatan saat ini:
Dihidroartemisin - Primakuin (DHP) /Artesunat-Amodiakuin + Primakuin
• Pengobatan malaria falsiparum:
Pada malaria tipe ini, metode pengobatan yang diberikan adalah:
ACT 1 kali / hari selama 3 hari + Primakuin 0,75mg/ kgBB pada hari
pertama saja

Dosis obat diberikan sesuai dengan berat badan atau kelompok umur penderita
(lihat Tabel 1 dan 2 ).

Tabel 1. Pengobatan dengan DHP dan Primakuin


Jumlah tablet per hari menurut berat badan
Hari JenUobat <5 kg -
6 10kg -
ll 17kg -
18 30kg -
31 40kg 4159kg 260kg

-
-
0 1 bulari - , -
2 11 bulan 1 4 tahun - -
5 ftahun 10 14 tahon 215 tahun 215 tahun
13
I
DHP
Primakuin
V
V
I
. 114
I Vi
2
2
3
2
4
3

ATAU

958
Malaria

Tabel 2. Pengobatan dengan Artesunat + Amodiakuin dan Primakuin


Jumlah tablet per harl menurut berat badan
£5 kg A - lOkg 11 - 17 kg 18 - 30kg 31 - 40kg 41 -49kg 50 - S? kg 240kg
Harl Jenli obat
0 -1 2-11 1 -4 5- 9 10- 14 215 215 215
bulan bulan tahun tahun tahun tahun tahun tahun
Artesunat VA 'A 1 1 V4 2 3 4 4
1 -3
Amodiakuin % 'A 1 VA 2 3 4 4
1 Primakuin y< VA 2 2 2 3

• Pengobatan malaria vivaks:


Pada malaria tipe ini, metode pengobatan yang diberikan adalah:
ACT 1 kali / hari selama 3 hari + Primakuin 0,25mg / kgBB
selama 14 hari
Dosis pengobatan malaria vivaks juga diberikan sesuai dengan berat badan atau
kelompok umur penderita (Tabel 3 dan 4).

Tabel 3. Pengobatan dengan DHP dan Primakuin


Jumlah tablet per hart menurut berat badan
Harl Jenlsobat £5 kg 6 - 10kg 11 - 17kg 18 - 30kg 31 -40kg 41 -S9kg 260kg
0 - 1 bulan 2- 11 bulan 1 - 4 tahun 5 - 9 tahun 10 - 14 tahun > 15 tahun 215 tahun
-
13 DHP 'A 'A 1 VA 2 3 4
1 -14 Primakuin 'A 'A % 1 1

ATAU
Tabel 4. Pengobatan dengan Artesunat + Amodiakuin dan Primakuin
Jumlah tablet per harl menurut berat badan
Harl Jenls obat £5 kg 6 - 10kg ll - 17 kg 18 - 30kg 31 -40kg 41 - 4?kg 50 59kg 260kg -
0-1
bulan
2 11
bulan
1 -4
tahun
- 5-9
tahun
10 - 14
tahun
215
tahun
215
tahun 215 tahun
Artesunat 'A 'A 1 154 2 3 4 4
1 -3
Amodiakuin 'A 'A VA 2 3 4 4
1 -14 Primakuin VA 'A % 1 1 1

Pengobatan malaria vivaks yang relaps (kambuh):



Dugaan relaps pada malaria vivaks adalah apabila pemberian primakuin dosis
0, 25 mg/ kgBB / hari sudah diminum selama 14 hari dan pasien sakitkembali
dengan parasit positif dalam kurun waktu 3 minggu sampai 3 bulan setelah
pengobatan . Pada kasus seperti ini regimen yang diberikan adalah ACT lkali /
hari selama 3 hari ditambah dengan primakuin yang ditingkatkan menjadi
0, 5 mg/ kgBB.
2 . Pengobatan malaria ovale
Pengobatan malaria ovale saat ini menggunakan ACT (DHP atau kombinasi
Artesunat +Amodiakuin) dengan dosis pemberian obat yang sama dengan untuk
malaria vivaks.

959
tiS:
'

xMjJpy
PanduanPraktikKIinis jronik Infeksi
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakit Dalam Indonesia

3. Pengobatan malaria malariae


Pengobatan P.malariae cukup dengan pemberian ACT lkali / hari selama 3 hari
dengan dosis yang sama dengan pengobatan malaria lainnya dan tidak diberikan
primakuin.
4. Pengobatan infeksi campur P. faciparum + P.vivaks/ P.ovale
Metode pengobatan yang digunakan adalah:
ACT 1 kali / hari selama 3 hari + Primakuin 0, 25 mg / kgBB
selama 14 hari
Pemberian obat pada kasus seperti ini disesuaikan berdasarkan berat badan atau
kelompok umur penderita (Tabel 5 dan 6).

Tabel 5. Pengobatan dengan DHP dan Primakuin


Jumlah tablet per hari menurut berat badan
<5 kg 4- 10kg 11 - 17kg 18 - 30kg 31 - 40kg 41- 59kg 240kg
Hari Jenls obat
10- 14
0- 1 bulan 2 - 11 bulan 1- 4 tahun 5- 9 tahun 215 tahun 215 tahun
tahun
1-3 DHP A A 1 VA 2 3 4
1 -14 Primakuin A A A 1 1

ATAU
Tabel 6 . Pengobatan dengan Artesunat+ Amodiakuin dan Primakuin
Jumlah tablet per hari menurut berat badan

55 kg 4 - 10kg 18- 30kg 41- 49kg


50
11- 17kg 31- 40kg 240kg
"

Hari Jenls obat 59kg


0- 1 2- 11 1- 4 5- 9 10- 14 215 215
215 tahun
bulan bulan tahun tahun tahun tahun tahun
Artesunat A A 1 \A 2 3 4 4
1 -3
Amodiakuin V, A 1 114 2 3 4 4
1 - 14 Primakuin A A A 1 1 1
Dosis obat: Artesunat : 4mg /kgBB dan Amodiakuin basa: lOmg/kgBB
Catatan:
• Apabila ada ketidaksesuaian antara umur dan berat badan (pada tabel pengobatan) , maka dosis yang dipakai berdasarkan
berat badan.
• Untuk anak dengan obesitas, gunakan dosis berdasarkan berat badan ideal.

B. Pengobatan malaria pada ibu hamil


Metode pengobathn pada ibu hamil prinsipnya sama dengan pengobatan pada
orang dewasa lainnya. Perbedaannya adalah pemberian obat malaria disesuaikan
berdasaran umur kehamilan. ACT tidak boleh diberikan pada ibu hamil trimester 1
dan Primakuin tidak boleh diberikan sama sekali pada ibu hamil.

Tabel 7. Pengobatan malaria falsiparum


Umur kehamilan Pengobatan
Trimester I ( 0-3bulan) Kina 3x2tablet + Klindamisin 2x300mg selama 7 hari
Trimester II ( 4-6bulan) ACT tablet selama 3 hari
Trimester III ( 7-9bulan) ACT tablet selama 3 hari

960
Malaria

.
Tabel 8 Pengobatan malaria vivaks
Umur kehamllan Pengobatan
Trimester I (0-3bulan) Kina 3x2tablet selama 7 hari
Trimester II ( 4-6bulan ) ACT tablet selama 3 hari
Trimester III ( 7-9bulan) ACT tablet selama 3 hari
.
Dosis kiindamisin lOmg /kgBB diberikan 2 kali sehari

C. Pengobatan malaria berat


1. Pengobatan di puskesmas / klinik non - perawatan
• Berikan artemeter intramuskular 3, 2 mg/ kgBB.
• Rujuk ke fasilitas dengan rawat inap.
2. Pengobatan di puskesmas / kliik perawatan / rumah sakit
• Pilihan pertama: Artesunat intravena
Dosis: 2, 4 mg / kgBB sebanyak 3 kali ( jam ke 0,12, 24] dilanjutkan dengan
dosis yang sama setiap 24 jam sehari sampai penderita mampu minum
obat. Apabila penderita sudah bisa minum obat, berikan ACT 3hari dan
Primakuin (sesuai jenis plamodiumnya].
Kemasan dan cara pemberian: Artesunat parenteral tersedia dalam vial
yang berisi 60 mg serbuk kering asam artesunik dan pelarut dalam ampul
yang berisi natrium bikarbonat 5%. Keduanya dicampur untuk membuat
1 ml larutan sodium artesunat. Kemudian diencerkan dengan Dextrose
5% atau NaCl 0,9% sebanyak 5ml sehingga didapat konsentrasi 60 mg / 6 ml
( lOmg / ml ) . Obat diberikan secara bolus perlahan-lahan.
• Alternatif: Artemeter intramuskular
Dosis: 3, 2 mg / kgBB pada hari pertama dan dilanjutkan dengan l,6 mg / kgBB
satu kali sehari sampai penerita mampu minum obat. Apabila penderita
sudah bisa minum obat, berikan ACT 3hari dan Primakuin ( sesuai
jenis plamodiumnya].
Kemasan dan cara pemberian: Artemeter diberikan secara intramuskular. Obat
ini tersedia dalam ampul yang berisi 80mg artemeter dalam larutan minyak.
• Alternatif lain : Kina drip
Dosis pemberian kina pada dewasa:
• Loading dose: 20 mg / kgBB dilarutkan dalam 500 ml Dextrose 5 % atau
NaCl 0,9 % diberikan selama 4 jam pertama.
• 4 jam kedua hanya diberikan cairan Dextrose 5 % atau NaCl 0, 9 %.
• 4 jam berikutnya diberikan kina dengan dosis rumatan lOmg / kgBB
dalam larutan 500ml Dextrose 5% atau NaCl 0,9%.
• 4 jam selanjutnya hanya diberikan cairan Dextrose 5% atau NaCl 0 ,9 %.

961
f\
, PanduanPraktikKIinis Trooik
Vm > ry w Infeksi
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia I I IIV II I I W IVO I

• Setelah itu diberikan lagi dosis rumatan seperti diatas sampai penderita
dapat minum kina per-oral.
• Bila sudah dapat minum obat, pemberian kina IV diganti dengan kina
tablet per-oral dengan dosis lOmg/ kgBB / kali diberikan tiap 8 jam.
Kina oral diberikan bersama doksisiklin atau tetrasiklin pada orang
dewasa atau klindamisin pada ibu hamil. Dosis total kina selama 7 hari
dihitung sejak pemberian kina perinfus yang pertama.
Dosis pemberian kina pada anak:
Kina HC1 25% perinfus dosis lOmg/ kgBB (bila umur < 2 bulan : 6 -8 mg/
kgBB) diencerkan dengan Dextrose 5% atau NaCl 0,9 % sebanyak 5-1Occ /
kgBB diberikan selama 4 jam, diulang setiap 8 jam sampai penderita dapat
minum obat.
Kemasan: Obat ini dikemas dalam bentuk ampul kina dihidroklorida 25%.
Satu ampul berisi 500mg/ 2 ml.
Catatan:
• Kina tidak boleh diberikan secara bolus intravena, karena toksik bagi
jantung dan dapat menimbulkan kematian.
• Dosis kina maksimum dewasa: 2000 mg/ hari.

D. Pengobatan malaria berat pada ibu hamil


Pengobatan malaria berat untuk ibu hamil dilakukan dengan memberikan
kina HCI drip intravena pada trimester 1 dan artesunat / artemeter injeksi untuk
trimester 2 dan 3

PEMANTAUAN PENGOBATAN
Hitung parasit minimal tiap 24 jam, target hitung parasit pada HI 50 % HO dan
H3 < 25% HO. Pemeriksaan diulang sampai dengan tidak ditemukan parasit malaria
dalam 3 kali pemeriksaan berturut-turut.24,5

PENCEGAHAN2 4 5
WHO menetapkan langkah ABCD untuk pencegahan malaria, yakni dengan:
A . Awareness (Pengetahuan)
Mengetahui segala hal yang berisiko untuk terkena malaria, habitat nyamuk
Anopheles, sadari masa inkubasi dan gejala utamanya.

962
Malaria

B. Bite prevention (Pencegahan gigitan nyamuk)


cara:
• Hindari gigitan nyamuk terutama menjelang senja hingga fajar dengan
Membatasi aktivtas luar saat menjelang senja hingga fajar.
Memakai pakaian yang sesuai , misalnya dengan memakai baju lengan panjang
dan celana panjang.
Tutup jendela dan pintu rapat - rapat atau menggunakan kelambu yang
menggunakan insektisida.
- Menggunakan spray atau losion anti nyamukyang mengandung diethyltol
uamide
( DEET)
nyamuk:
• Bersihkan daerah - daerah yang memungkinka untuk menjadi sarang
Menutup rapat tempat penampungan air.
Menguras bak mandi dan membuang / mengganti genangan - genangan air
secara rutin.
Mengubur kaleng bekas atau wadah kosong ke dalam tanah.

C . Chemoprophylaxis (Kemoprofilaksis)
Doksisiklin: diberikan 1- 2 hari sebelum keberangkatan, diminum pada waktu yang
sama pada setiap harinya, sampai 4 minggu setelah meninggalkan daerah tersebut
.

Obat ini tidak boleh diberikan kepada anak-anak < 8 tahun dan ibu hamil .
Dosis dewasa: lxlOOmg
- Dosis anak tahun: 2 mg/ kgBB / hari, maksimum lOOmg
• Untuk daerah dengan infeksi P.vivax :
Primakuin dengan cara pemberian yang sama dengan pemberian obat malaron Obat
.

ini tidak boleh diberikan pada pasien defisiensi G6PD, ibu hamil dan menyusui (kecuali
bayi yang disusui mempunyai bukti dokumen dengan level G 6PD yang normal) .
Dosis dewasa: primakuin basa lx 30mg
Dosis anak : primakuin basa 0, 5 mg / kgBB / hari , maksimum 30 mg / hari
,

dikonsumsi saat makan .


• Sebagai terapi anti relaps pada infeksi P.vivax dan P.ovale:
Primakuin diberikan pada orang - orang yang telah terkena eksposur yang
lama terhadap P.vivax dan P.ovale . Obat ini diberikan selama 14 hari setelah
meninggalkan daerah endemis malaria dan tidak boleh diberikan pada pasien
defisiensi G 6 PD, ibu hamil dan menyusui (kecuali bayi yang disusui mempunyai
bukti dokumen dengan level G 6PD yang normal) .
Dosis dewasa: primakuin basa 1x 3 Omg
- Dosis anak: primakuin basa 0, 5 mg / kgBB /hari, maksimum 30mg / hari

963
/V > PanduanPraktikKIinis Trooik Infeksi
^
,
Perhimpunon Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia 1 11 1 1

D. Diagnosis
• Segera dapatkan diagnosis dan terapi apabila mengalami gejala malaria yang
muncul 1 minggu setelah memasuki daerah rawan malaria sampai 3 bulan setelah
meninggalkan daerah tersebut .

KOMPLIKASI
Malaria berat, renjatan, gagal napas, gagal ginjal akut . 1'2-4-5 Pada kehamilan, dapat
menimbulkan abortus spontan , pertumbuhan janin terhambat ( IUGR ) , BBLR , malaria
kongenital ( < 5% pada bayi dari ibu terinfeksi ) , malaria berat pada ibu, kematian ibu
dan janin . 7

Tabel 2. Penatalaksanaan segera pada manifestasi berat dan komplikasi malaria


P. falciparum
Mantfestasl/Kompllkasl Penatalaksanaan segera
Koma (malaria serebral) Jaga patensi jalan napas (airway), posisi miring kanan/ kiri, singkirkan
.
etiologi lain ( hipoglikemia meningitis bakterial) ; hlndari terapi
tambahan yang dapat membahayakan seperti kortikosteroid, heparin,
adrenalin; intubasi jika perlu.
Hlperpireksia
.
Kompres hangat, selimut pendingin, dan obat antipiretik Parasetamol
menjadi pilihan utama dibanding NSAID.
Kejang Jaga airway ; beri diazepam iv/rektal atau paraldehid im. Cek gula
darah.
Hipoglikemia Cek gula darah, koreksi hipoglikemia, dan atur infus glukosa.
Anemia berat Transfusi whole blood
Edema pare akut Posisi kepala naik 45°, beri 02, diuretik, stop cairan iv, intubasi dan
berikan ventilasi tekanan positif ( VTP ) pada hipoksemia yang
mengancam nyawa.
Gagal ginjal akut Eksklusi etiologi pre-renal, periksa balance cairan dan natrium urin;
pada gagal ginjal tambahkan hemofiltrasi atau hemodialisis, atau
peritoneal dlalisis bila tidak tersedia.
Perdarahan spontan dan Transfusi whole b/oodfkriopresipitat, FFP, dan trombosit jika
tersedia) ,
koagulopati berikan injeksi vitamin K.
Asidosis metabolik Eksklusi atau koreksi hipoglikemia, hipovolemia, dan septikemia. Jika
berat tambahkan hemofiltrasi atau hemodialisis.
Syok Suspek septikemia, ambil kultur darah; berikan antimikroba parenteral
spektrum luas, koreksi gangguan hemodinamik.

PROGNOSIS' 2 4
• Malaria falsiparum ringan / sedang, malaria vivax , atau malaria ovale : bonam .
• Malaria berat: dubia ad malam. Prognosis malaria berat tergantung kecepatan dan
ketepatan diagnosis serta pengobatan . Apabila tidak ditanggulangi, dilaporkan
bahwa mortalitas pada anak-anak 15%, dewasa 20%, dan pada kehamilan meningkat
sampai 50%. Mortalitas dengan kegagalan 3 fungsi organ adalah 50%, kegagalan
4 fungsi organ atau lebih adalah 75 %. Adanya korelasi antara kepadatan parasit
dengan mortalitas yaitu :

964
Malaria

Kepadatan parasit < 100.000 / ul, maka mortalitas < 1 %


Kepadatan parasit > 100.000 /ul, maka mortalitas > 1 %
Kepadatan parasit > 500.000 /ul, maka mortalitas > 50 %

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Divisi Tropik Infeksi - Departemen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Divisi Ginjal- Hipertensi, Divisi Pulmonologi - Departemen
Penyakit Dalam dan Departemen Neurologi, ICU
• RS non pendidikan : Bagian Neurologi

REFERENSI
et al.
White NJ , Breman JG . Malaria Introduction . In : Kasper, Braunwald Fauci
,
1.
Harrison ' s Principles of Internal Medicine vol I 17 ^ ed. McGrawhill . 2009: 1280 - 1293

2 . Harijanto PN. Malaria. Dalam : Sudoyo K, Setiyohadi B, et al., ed. Buku Ajar llmu Penyakit
Dalam . Edisi ke - 4. Jakarta : Pusat Penerbitan llmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia: 2006: 1732- 1744.
3. Ireiman M, Warberg J . Chapter 33: Infectious Diseases In: Paulev . PE, Textbook
in Medical Physiology and Pathophysiology: Essentials and clinical
problems .
Copenhagen Medical Publishers. 1999- 2000. Chapter 33 .
Penyehatan
4. Buku saku penatalaksanaan kasus malaria. Ditjen Pengendalian Penyakit dan
Lingkungan Kementrian Kesehatan Rl. 2012.
Rl. 2008.
5. Pedoman Penatalaksanaan Malaria di Indonesia. Departemen Kesehatan
6. WHO. Guidelines for the treatment of Malaria. 2
nd Edition . 2010 . Diunduh dari http:/ /
. pada tanggal 26 April
whqlibdoc . who.int / publications / 2010 / 978924154 7925 _eng pdf
2012.
WHO Expert Committee on Malaria. Twentieth report. Geneva, World Health
Organization,
7.
2000 in WHO Technical Report Series, No . 892.
8. Marchesini P, Crawley J. Reducing the burden of malaria in pregnancy
. Roll Back
Organization 2004 . Diunduh darihttp :/ / www.
Malaria Department. Geneva World Health
, ,
publications / atoz / merajan 2003 .pdf pada tanggal 1 Mei 2012.
who.int /malaria /

965
966

PENATALAKSANAAN GIGITAN ULAR

PENGERTIAN
Merupakan penyakit akibat gigitan ular. Berdasarkan morfologi gigi taringnya, ular
dapat diklasifikasikan ke dalam 4 famili utama yaitu Famili Elapidae (ular sendok, ular
wereg), Famili Viperidae (ular tanah, ular hijau ), Famili Hydrophidae (ular laut), dan
-
Famili Colubridae (ular pohon}. Ciri ciri ular tidak berbisa yaitu bentuk kepala segi
empat panjang, gigi taring kecil, bekas gigitan berupa luka halus berbentuk lengkungan.
Sedangkan ciri -ciri ular berbisa yitu kepala segi tiga, dua gigi taring besar di rahang
atas, dua luka gigitan akibat gigi taring. 1
Sedangkan berdasarkan dampak yang ditimbulkan yang banyak di Indonesia yaitu:1
• Hematotoksik: menyebabkan perdarahan spontan dan kerusakan endotel (racun
prokoagulan memicu kaskade pembekuan)
• Neurotoksik: neurotoksin pasca sinaps seperti a-bungarotoxindan dan cobratoxin
terikat pada reseptor asetilkolin pada motor end - plate, sedangkan neurotoksin
prasinaps seperti /3-bungarotoxin, crotoxin, taipoxin , dan notexin merupakan
fosfolipase A- 2 yang mencegah pelepasan asetilkolin pada neuromuscular junction.

MANIFESTASI KLINIS 1 2
• Gejala lokal : edema , nyeri tekan pada luka gigitan , ekimosis ( dalam
30 menit- 24 jam)
• Gejala sistemik: hipotensi, kelemahan otot, berkeringat, menggigil, mual,
hipersalivasi, muntah, nyeri kepala, dan pandangan kabur
• Gejala khusus gigitan ular berbisa:
Hematotoksik: perdarahan di tempat gigitan, paru, jantung, ginjal, peritoneum,
otak, gusi, hematemesis dan melena, perdarahan kulit, hemoptoe, hematuria,
koagulasi intravascular diseminata (KID)
Neurotoksik: hipertonik, fasikulasi, paresis, paralisis pernapasan, ptosis,
oftalmoplegi, paralisis otot laring, refleks abnormal, kejang, koma.
- Kardiotoksik: hipotensi, henti jantung, koma
Sindrom kompartemen : edema tungkai dengan tanda 5P { pain, pallor,
paresthesia, paralysis, pulseslesness ).

nduanPraktikKIinis
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
Penatalaksanaan Gigitan Ular

Tabel 1 . Klasifikasi Gigitan Ular Menurut Schwartz


Nyeri Edema /
3

erttema SlJtemlk
^ jp

Derajat Venrasi Luka


0 0 +/- < 3 cm / 12 jam 0
+/- 3-12cm / 12 jam 0
+ + +++ 12-25 cm /12jam Neurotoksik, mual, pusing, syok
+ + > 25 cm/ 12 jam Petekie, syok, ekimosis
IV +++ + ++ + >ekstremitas Gagal ginjal akut, koma,
perdarahan

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis
Identitas individu, waktu dan tempat kejadian, memastikan bahwa benar digigit
oleh ular, jenis, dan ukuran ular, riwayat penyakit sebelumnya. Perlu ditanyakan lokasi
yang tergigit, jarak dan waktu dari tergigit sampai ke pusat kesehatan, keberadaan
ular tersebut saat ini apakah sudah mati dan dibawa hal ini dapat mempermudah
mengetahui jenis spesies . Menanyakan bagaimana keadaan pasien saat ini, apakah
ada yang dirasakan nyeri , apakah pasien cenderung mengantuk.
2

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan meliputi status umum dan lokal, serta perkembangannya setiap 12 jam .

Pemeriksaan Status Lokal pada Bekas Gigitan


Luasnya pembengkakan , nyeri tekan, pembesaran getah bening, ekimosis
,
.
suhu kulit apakah dingin, pergerakan bebas atau terbatas dan palpasi nadi arteri
Hal ini untuk mencari adakah tanda - tanda trombosis intravascular atau sindrom
kompartemen . Jika memungkinkan dapat dilakukan pengukuran tekanan dalam
kompartemen, aliran darah, dan patensi arteri maupun vena (menggunakan Doppler
m
ultrasound ) . Mencari tanda -tanda nekrosis seperti blister, warna kulit menghita
atau pucat, sensorik menurun.
2

Pemeriksaan Status Umum


Memeriksa tekanan darah pasien saat duduk dan tiduran untuk menilai adakah
.
hipotensi postural yang mengarah ke hipovolemia; mengukur denyut jantung
Pemeriksaan seluruh tubuh untuk melihat adanya ptekie , purpura, ekimosis
konjungtiva, kemosis, perdarahan gusi, epistaksis. Nyeri tekan abdomen perlu dicurigai
adanya perdarahan saluran cerna atau retroperitoneal . Nyeri punggung bawah
dapat mengarah ke iskemia ginjal akut. Jika ada gangguan neurologis seperti pupil

967
@ ESSSPJE
^ JSSS, Tropik Infeksi

anisokor, kejang, atau gangguan kesadaran; perlu dibuktikan apakah ada perdaraha
n
intrakranial. 2

Pemeriksaan Penunjang1
• Laboratorium : Hb, leukosit, trombosit, kreatinin, urea N, elektrolit, waktu
perdarahan, waktu pembekuan, waktu protrombin, fibrinogen, APTT, D - dimer, uji
faal hepar, golongan darah dan uji cocok silang.
• Pemeriksaan urin: hematuria, glikosuria, proteinuria
• EKG
• Foto dada

DIAGNOSIS BANDING
Gigitan hewan lain seperti binatang laut, sengatan lebah 2

TATALAKSANA
1. Penatalaksaan sebelum penderita dibawa ke pusat pengobatan yaitu:1'24
• Penderita diistarahatkan dalam posisi horisontal terhadap luka gigitan
• Jangan memanipulasi daerah gigitan
• Penderita dilarang berjalan dan dilarang minum minuman yang mengandung
alkohol.
• Apabila gejala timbul secara cepat sementara belum tersedia antibisa, ikat
daerah proksimal dan distal dari gigitan. Tindakan ini kurang berguna jika
dilakukan lebih dari 30 menit setelah gigitan. Tujuan ikatan adalah untuk
menahan aliran limfe, bukan menahan aliran vena atau arteri,
2. Penatalaksanaan setelah penderita tiba di pusat pengobatan diberikan terapi suportif: l2A
• Penatalaksanaan jalan napas, fungsi pernapasan, sirkulasi (beri infus cairan
kristaloid )
• Beri pertolongan pertama pada luka gigitan: verban ketat dan luas di atas luka,
imobilisasi dengan bidai
-
• Cek pemeriksaan laboratorium: ambil 5 10 ml darah untuk pemeriksaan waktu
protrombin, APTT, D - Dimer, fibrinogen, Hb, Leukosit, trombosit, kreatinin,
urea, elektrolit (terutama kalium ), CK. Jika waktu pembekuan > 10 menit
menunjukkan kemungkinan adanya kogulopati.
• Apus tempat gigitan dengan venom detection.
• Berikan SABU [Serum Anti Bisa Ular, merupakan serum kuda yang dikebalkan ]
polivalen 1 ml.

968
Penatalaksanaan Gigitan Ular

Indikasi: adanya gejala venerasi sistemik dan edema hebat pada bagian
luka.
Kontraindikasi: tidak ada kontraindikasi absolut. Perhatian diberikan
pada individu yang mempunyai riwayat alergi terhadap serum kuda atau
domba, seperti pada anti tetanus serum, anti rabies serum. Serta pada
individu yang mempunyai riwayat dermatitis atopi, misalnya asma berat;
atau diperkirakan akan mengalami reaksi berat. Pada kasus seperti ini,
pemberian antivenom ditunda sampai muncul gejala sistemik.
Cara pemberian: 2 vial (@ 5 ml] dalam 500 ml NaCl 0.9% atau Dekstrosa 5%
diberikan melalui intravena dengan kecepatan 40-80 tetes / menit. Jumlah
maksimal 100 ml ( 20 vial). Tidakboleh diberikan secara infiltrasi pada luka .

13
Pedoman terapi SABU berdasarkan Schwartz dan Way
• Derajat 0 dan I : tidak memerlukan SABU, evaluasi dalam 12 jam, jika ditemukan
peningkatan derajat maka diberikan SABU
• Derajat II 3 - 4 vial SABU
• Derajat Ill 5-15 vial
• Derajat IV berikan penambahan 6-8 vial SABU

Pedoman terapi SABU berdasarkan Luck


i

• Monitor keseimbangan cairan dan elektrolit


• Pedoman terapi SABU menurut Luck berdasarkan derajat gigitan:
Tabel 2. Pedoman terapi SABU menurut Luck
3

Beratnya Taring / Ukuran zona edema / erttemato Gejala Jumiah vial


Derajat glgl kullt (cm) sistemik SABU
evenomasi
0 Tidak ada <2 0
Minimal + 2- 15 5
+ 15-30 10
II Sedang
Berat >30 ++ 15
Berat <2 +++ 15
IV

Ulangi pemeriksaan darah pada 3 jam setelah pemberian antivenom.


1

tidak
Jika koagulopati tidak membaik yang ditandai dengan fibrinogen
meningkat dan waktu pembekuan darah tetap memanjang, maka ulangi
pemberian SABU Ulangi pemeriksaan darah pada 1 dan 3 jam berikutnya.
- koagulasi membaik yang ditandai dengan peningkatan fibrinogen dan
Jika
penurunan waktu pembekuan, maka monitor ketat diteruskan dan ulangi
pemeriksaan darah untuk memonitor perbaikannya . Monitor dilakukan hingga

969
mXCfJy
Panduan PraktikKlinis Tronik Infpksi
" ^
Perhlmpunan Dokter Spesialis Penyakil Dalam Indonesia II ll / rwi

2 x 24 jam untuk mendeteksi koagulasi berulang. Pada penderita yang digigit


ular dari spesies Vipiridae hendaknya tidak menjalani operasi minimal 2
minggu setelah gigitan
• Terapi suportif lainnya pada keadaan : 14
Gangguan koagulasi berat: berikan plasma fresh-frozen dan antivenom
Perdarahan : beri transfusi darag segar atau komponen darah, fibrinogen,
vitamin K, transfusi trombosit
Hipotensi: beri infus cairan kristaloid
Rabdomiolisis: beri cairan dan natrium bikarbonat
Monitor pembengkakan lokal setiap jam dengan ukuran lilitan lengan atau
anggota badan
Sindrom kompartemen: lakukan fasiotomi
- Gangguan neurotoksik: beri sulfas atropin 0.6 mg IV, diikuti edrophoni
um:10 mg
IV (children, 0.25 mg/ kg) atau neostigmin 1.5-2.0 mg IM (asetilkolinesterase).
Jika ada perbaikan dalam 5 menit, neostigmin dapatdilanjutkan dengan dosis
0.5 mg setiap 30 menit sesuai indikasi, dilanjutkan pemberian sulfas atropin
0.6 mg selam 8 jam melalui infus.
Beri tetanus profilaksis jika diperlukan .
Analgetik: aspirin atau kodein, jangan memberikan obat narkotik depresan.
• Terapi profilaksis124
Antibiotika spektrum luas. Kuman yang banyak dijumpai adalah P.aeroginosa,
Proteus sp., Clostridium sp., B. fragilis
Ampisillin / sulbaktam 1.5-3.0 gram IV setiap 6 jam. Klindamisin 2 x 150-300
mg PO ditambah TMP-SMX ( 2x1 tablet PO) atau siprofloksasin 2 x500 mg PO.
Berikan tetanus toksoid
Pemberian serum anti tetanus sesuai indikasi.

KOMPLIKASI2
• Kehilangan permanen fungsi ekstremitas yang terkena gigitan
• Hipotensi dan syok
• Gagal ginjal akut
• Gangguan pembekuan darah
• Sindrom kompartemen

970
Penatalaksanaan Gigitan Ular

PROGNOSIS
Angka kematian karena gigitan ular berbisa rendah pada area yang dekat dengan
pusat kesehatan dan tersedianya antivenom. Pada individu yang inendapat antivenom
,

kematian hanya terjadi <1% kasus. "

UNIT YANG MENANGANI


u
" RS pen< $Ks» - furn . Efcifwn
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam • / !' ?

UNIT YANG TERKAIT


R dah. Departomen
• RS pendidikan : Ragian ParasjtQlpgi, Depajt
^ njen,
^
. RehabiiitasiMedik
• RS non pendidikan : -

REFERENSI
1. Djoni D. Penatalaksanaan Gigitan Ular Berbisa. Bukuxijqr IJmy. ;Penyakit Dalarp. Edisi IV
jllid 1 .
Jakarta: Pusat Penerbitan llmu Penyakit Dalam ; 2006: rial 210-212 .
Warrell David A WHO: Guideline for the management of snake-bites 2010. Diunduh
. dari
2.
. . .
http://www searo who int/LinkFiles/BCfiShbkifc.Ht4igUicleilnes .pdf pada tahqqdl 2M &1 2012 :<
3 . .
Depkes.2001.Penatalaksanaan gigitan ularbgrbisa. Dalam SIKer Ditjen POM Depkespi Pedoman .
Harrison' s Principles of Intefndl’Mealcine ‘18« edltioh,United States of AmericaiMcgraw
Hill.2008

971
972

PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA RASIONAL

Pertimbangan penting dalam memberikan antibiotik rasional mencakup:12


1. Indikasi yang tepat sesuai dengan pertimbangan medis.
2. Obat yang tepat sesuai dengan kebutuhan pasien dan memperhitungkan efektifitas,
keamanan, dan biaya.
3. Dosis obat, cara administrasi, dan durasi terapi yang tepat.
4. Pasien yang tepat, yaitu tanpa adanya kontraindikasi dan dengan kemungkinan
efek samping yang minimal.
5. Pemberian obat yang tepat, termasuk pemberian informasi terkait mengenai obat
tersebut.
6. Ketaatan pasien terhadap terapi.

MEMILIH DAN MEMULAI TERAPI ANTIBIOTIK


1. Diagnosis Penyakit Infeksi yang Tepat
Diagnosis penyakit infeksi ditegakkan dengan menentukan lokasi infeksi, status
pejamu (imunokompromais, diabetes, atau usia lanjut), dan menetapkan diagnosis
mikrobiologi. Untuk mengoptimalkan diagnosis, spesimen diagnostik harus
diambil dengan benar dan dikirimkan ke laboratorium mikrobiologi, sebaiknya
sebelum pemberian terapi antibiotik.2
2. Waktu untuk Memulai Terapi Antibiotik
Waktu untuk terapi awal tergantung pada urgensi situasi. Pada pasien kritis,
seperti syok septik, netropenia febris, dan pasien dengan meningitis bakteri, terapi
empirik harus diberikan segera sesudah atau bersamaan dengan pengambilan
spesimen diagnostik. Pada kondisi klinis yang lebih stabil, terapi dapat ditunda
sampai spesimen diagnostik telah diambil, sebagai contoh endokarditis bakterial
subakut, dan osteomielitis vertebral .
3. Terapi Empirik vs Terapi Definitif

-
Karena hasil kultur resistensi mikrobologi belum tersedia dalam 24 72 jam, terapi awal
untuk infeksi adalah terapi empirik. Terapi yang inadekuat pada pasien kritis di rawat
inap terkait dengan outcome yang buruk, peningkatan morbiditas dan mortilitas, dan
juga peningkatan length of stay.Antibiotik empirik awal yang dipilih biasanya antibiotik

PanduanPraktik Klinis
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
Penggunaan Antibiotika Rasional ®!j

spektrum -luas (atau antibiotik kombinasi) dengan tujuan untuk mencakup patogen
multipel yang paling mungkin menginfeksi, dengan mempertimbangkan apakah
infeksinya didapat dari komunitas atau nosokomial. Pemilihan antibiotik dilakukan
berdasarkan pola kuman rumah sakit setempat, lokasi infeksi, serta uji klinis. Rejimen
antibiotik sebaiknya mengikuti pedoman penggunaan antibiotik (PPAB) setempat
kecuali ada pertimbangan khusus, antara lain riwayat memakai antibiotik yang sama
dalam waktu dekat, sudah ada hasil kultur yang resisten terhadap antibiotik tersebut,
serta alergi terhadap antibiotik tersebut.
Setelah hasil mikrobiologi keluar, terapi untuk infeksi merupakan terapi
definitif. Pemberian antibiotik definitif ini mengikuti hasil kultur resistensi pada
spesimen yang didapatkan sesuai lokasi infeksi, dengan perhatian khusus yaitu
mempertimbangkan pola kultur dari sumber infeksi yang paling berat, dan waspada
kolonisasi atau flora normal. Antibiotik yang dipilih harus merupakan drug of
choice bakteri yang diisolasi, dengan spektrum paling sempit dan diutamakan
monoterapi. Jika kuman resisten, optimalisasi dilakukan dengan dosis yang lebih
besar atau terapi kombinasi.
4. Strategi eskalasi vs strategi de -eskalasi
Strategi eskalasi adalah strategi terapi awal dengan satu antibiotik. Jika pendekatan
ini gagal setelah 72 jam, digunakan antibiotik yang lebih poten . Terapi eskalasi
dilakukan dengan pertimbangan spektrum antibiotik yang digunakan sebelumnya;
jika spektrum antibiotik yang sebelumnya sudah luas, gunakan antibiotik dengan
spektrum yang lebih luas dari antibiotik tersebut. Strategi ini umumnya digunakan
pada infeksi ringan.
Strategi menggunakan terapi kombinasi antibiotik empirik spektrum luas
kemudian setelah hasil kultur resistensi keluar, dilakukan pengurangan jumlah
antibiotik dan penyempitan spektrum disebut terapi de-eskalasi. Terapi de-eskalasi
umumnya dilakukan pada pasien kritis atau sepsis, dan jika lokasi infeksi berisiko
tinggi dan memiliki dampak besar jika terapi gagal (contoh: infeksi pada sendi,
prostesis, mata, dan meningoensefalitis). Antibiotik yang paling sering dide -
eskalasi adalah aminoglikosida.
5 . Interpretasi Hasil Kultur Resistensi
Data hasil kultur resistensi dilaporkan dalam bentuk minimum inhibitory
concentration ( MIC ) dan diinterpretasikan laboratorium sebagai "sensitif ",
"resisten”, atau "intermediet”. Hasil ini memiliki beberapa keterbatasan. Yang
pertama, klinisi dan petugas lab harus waspada terhadap lokasi infeksi karena
suatu antibiotik, walaupun sensitif secara in vitro, belum tentu mencapai

973
# E5SHHSK5H! Tropik Infeksi
konsentrasi terapeutik pada lokasi infeksi tertentu. Kemudian, beberapa bakteri
memiliki enzim yang ketika diekspresikan secara in vivo, dapat menginaktivasi
antibiotik yang sensitif secara in vitro.
6. Terapi Bakterisidal vs Terapi Bakteriostatik
Antibiotik bakterisidal lebih dipilih pada kasus infeksi berat seperti endokarditis
dan meningitis untuk cepat mencapai kesembuhan (lihat Tabel 1)

Tabel 1. Contoh Golongan Antibiotik Bakterisidal dan Bakteriostatik21


Bakterisidal Bakteriostatik
Aminoglikosida Makrolid
Kuinolon Tetrasiklin
Beta-laktam Kloramfenikol
Rifamisin Sulfonamid
Daptomisin Linezolid
Catatan: pembagian ini tidak absolut, beberapa agen bakterisidal terhadap mikroorgan- isrme tertentu
dapat bersifat bakterostatik terhadap bakteri lainnya dan sebaliknya.

7. Penggunaan Antibiotik Kombinasi


Walapun monoterapi lebih dipilih, kombinasi 2 atau lebih antibiotik dibutuhkan
pada beberapa keadaan:
a. Ketika antibiotik menunjukkan aktivitas sinergistik
Kombinasi antibiotik (3-laktam tertentu dan aminoglikosida menunjukkan
aktivitas sinergistik terhadap berbagai bakteri gram positif dan negatif dan
digunakan pada infeksi berat. Pada streptokokus tertentu, kombinasi sinergistik
yang sama juga dapat memperpendek durasi terapi antibiotik.
b. Ketika pasien kritis membutuhkan terapi empirik sebelum hasil kultur resistensi
keluar
Kombinasi antibiotik digunakan sebagai terapi empirik pada infeksi nosokomial
-
yang sering disebabkan multi drug resistant organisms ( MDRO) .
c. Untuk memperluas spektrum antibiotik pada infeksi polimikrobial
d . Untuk mencegah munculnya resistensi
Penggunaan terapi kombinasi dapat memberikan kesempatan yang lebih tinggi
untuk setidaknya satu antibiotik akan efektif, sehingga mencegah munculnya
populasi mutan resisten.
8. Faktor Penjamu yang Dipertimbangkan pada Pemilihan Antibiotik
a. Fungsi ginjal dan hati
b. Usia
c. Variasi genetik

974
Penggunaan Antibiotika Rasional

d . Kehamilan dan laktasi


^
e. Riwayat alergi atau intoleransi
f. Riwayat penggunaan antibiotik dalam waktu dekat
9. Terapi Oral vs Terapi Intravena
Pasien umumnya menggunakan terapi intravena berdasarkan keparahan
penyakitnya. Pasien dengan infeksi ringan-sedang yang dirawat dan memiliki
fungsi saluran pencernaan normal dapat diberikan terapi oral. Pasien yang awalnya
mendapat terapi intravena juga dapat diganti ke terapi oral jika sudah stabil secara
klinis.
10. Karakteristik Farmakodinamik
Karakteristik farmakodinamik yang penting dipahami adalah konsep time -
dependent dan concentration-dependent killing . Antibiotik dengan aktivitas time-
dependent (contoh: (3-laktam dan vankomisin) lebih baik diberikan secara infus
kontinu atau frekuensi pemberian yang sering. Sedangkan antibiotik dengan
-
aktivitas concentration dependent (contoh: aminoglikosida, fluorokuinolon
,
metronidazol, dan daptomisin) lebih mengutamakan konsentrasi serum "puncak”
daripada frekuensi pemberian.
11. Efikasi pada Lokasi Infeksi
Efikasi antibiotik juga bergantung pada kapasitasnya untuk mencapai konsentrasi
yang sama dengan atau di atas MIC pada lokasi infeksi. Pada beberapa lokasi,
konsentrasi antibiotik sering lebih rendah daripada konsentrasi di serum.
12. Pemilihan Antibiotik pada Terapi Antibiotik Parenteral Pasien Rawat Jalan
Beberapa pertimbangan yang perlu diperhatikan adalah:
a. Antibiotik dengan frekuensi pemberian yang lebih jarang lebih dipilih
b. Antibiotik harus memiliki stabilitas kimia dan harus stabil selama sekitar 24
jam setelah mixing
c. Antibiotik dengan toksisitas minimal lebih dipilih
d. Harus dipertimbangkan pemberian antibiotik oral
5. Therapeutic Drug Monitoring
Pemantauan konsentrasi serum diperlukan pada antibiotik dengan therapeutic index
sempit.

PERTIMBANGAN UNTUK MELANJUTKAN TERAPI ANTIBIOTIK


1. Durasi Terapi Antibiotik
Antibiotik diberikan dengan durasi sesingkat mungkin, sesuai dengan PPAB
dan uji klinis. Durasi yang lebih lama diperlukan pada infeksi sistem saraf pusat

975
fy\ PanduanPraktikMinis Tronik Infeksi
^ r^
Perhimpunan DoklerSpesialis Penyakit Dalam Indonesia l l v i r V 11

(SSP], prostesi dan infeksi vaskular. Pemberian antibiotik yang terlalu lama akan
meningkatkan resistensi dan menurunkan efikasi.
2 . Pengkajian Respons Terapi
Respon terapi dapat dinilai dengan parameter klinis dan mikrobiologi. Parameter
klinis mencakup gejala dan tanda, nilai laboratorium, dan temuan radiologik.
Parameter mikrobiologi antara lain hilangnya bakteremia.
3 . Efek Samping
Efek samping yang dapat timbul antara lain:
a. Efek langsung
Alergi
Toksisitas
Interaksi obat
Kegagalan terapeutik
b. Efek tidak langsung
Efek terhadap flora komensal: infeksi Clostridium difficile, meningkatnya
kemungkinan terinfeksi oleh MDRO
Efek terhadap flora lingkungan

REFERENSI
1. World Health Organization. Managing for rational medicine use. Management Sciences for
Health. 2012. Chapter 27, p27.1-27.6.
2. Leekha S, Terrell CL, Edson RS. General principles of antimicrobial therapy. Mayo Clin Proc
2011:
86 ( 2): 156-167
3. Morel J, Casoetto J, Jospe R , Aubert G, Terrana R, Dumont A, et al. De-escalation as part
of a
global strategy of empiric antibiotherapy management: a retrospective study in a
medico-surgical
intensive care unit . Critical Care 2010: 14:R 225
4. Mouton JW, Ambrose PG, Canton R, Drusano GL, Harbarth S, MacGowan A, et al. Conserving
antibiotics for the future: new ways to use old and new drugs from a pharmacokineticand
pharmacodynamic perspective. Drug Resistance Updates 2011; 14: 107- 117
5. Rodloff AC, Goldstein EJC, Torres A. Two decades of imipenem therapy. Journal of Antimicrobia
l
Chemotherapy 2006; 58:916-929
6. Kohanski MA, Dwyer DJ , Collins JJ. How antibiotics kill bacteria: from targets to networks. Nat Rev
Microbiol 2010; 8 (6) :423-35

976
977

RABIES

PENGERTIAN
Rabies adalah infeksi virus akut dari sistem saraf pusat (SSP) yang ditransmisikan
dari hewan yang terinfeksi ke manusia dan dapat bermanifestasi sebagai ensefalitis
bahkan dapat menyebabkan koma dan kematian.1

ETIOLOGI
Infeksi disebabkan virus rabies yang termasuk dalam genus Lyssavirus dan famili
Rhabdoviridae. Virus menular melalui gigitan hewan yang tertular, seperti anjing yang
merupakan reservoir pertama dan vektor untuk rabies.1

MANIFESTASI KLINIS

Tabel 1. Manifestos! klinis1


Fase Durasi Klinis
Masa inkubasi l-3 bulan Tidakada
Prodromal 1 -7 hari Demam, malaise, sakit kepala, mual, muntah, agitasi, pares-
tesia fokal, nyeri
Fase neurologik akut 1 -7 hari
Ensefalitis ( 80%) 2-10 hari Demam, konfusi, halusinasi, hiperaktivitas, spasme faringeal
(hidrofobia, aerofobia), kejang.
Paralitik ( 20%) 2- 10 hari Ascending flaccid paralysis
Koma / kematian 1-14 hari -

• Pemeriksaan cairan serebro spinal (CSS): bisa ditemui peningkatan ringan sel
mononuklear, peningkatan kadar protein, dan pleositosis. Pleositosis berat ( >
1000 sel / pl ) sangat jarang ditemui dan harus dicari penyebab lain. Infeksi virus
rabies dicurigai jika ditemukan antibodi spesifik virus rabies pada CSS.
• Isolasi Virus: dari saliva, CSS, atau serum.
• CT Scan kepala: umumnya normal pada kasus rabies.
• MRI kepala: abnormalitas pada batang otak dan area lain, tetapi sangat bervariasi.
• Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction ( RT- PCR): mendeteksi RNA virus
rabies dan membedakan variasi virus. Dapat ditemukan pada saliva, CSS, dan jaringan
• Pemeriksaan Direct Fluorescent Antibody ( DFA): antibodi dikonjugasikan ke bahan

PanduanPraktik Klinis
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
HI KttJSSSJBK Tropik Infeksi

pewarna flouresens , dapat dilakukan pada jaringan otak, biopsi kulit dari leher,
saraf kutaneus pada dasar folikel rambut. Pemeriksaan ini mempunyai sensitifitas
dan spesifisitas yang tinggi .

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesia
Riwayat tergigit binatang, adanya saliva binatang yang mengenai membran mukosa,
bekas garukan, atau luka terbuka. Diagnosa rabies dicurigai pada kasus ensefalitis akut
atau dengan ascending paralysis yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya . 1

Pemeriksaan Fisik
Pada fase prodromal belum ada tanda-tanda yang spesifik. Jika memasuki fase
neurologik akut dapat ditemukan kelainan neurologi seperti hidrofobia, paresis ,
disfagia . Jika selama pemeriksaan tidak ditemukan perubahan neurologi dan penyakit
sudah berlangsung selama > 2 - 3 minggu makan dapat dipikirkan penyebab lainnya. 3

Pemeriksaan Penunjang
• Laboratorium: pemeriksaan darah lengkap. Pada fase awal pemeriksaan mungkin
dalam batas normal .1 2,

• Antibodi virus rabies : ditemukannya antibodi neutralizing serum merupakan


diagnostik untuk kasus rabies. Antibodi mungkin dideteksi dalam beberapa hari
setelah muncul gejala. Beberapa pasien meninggal tanpa antibodi yang terdeteksi .

DIAGNOSA BANDING1 2
Fase awal : penyebab lain ensefalitis, seperti infeksi virus herpes simpleks tipe 1
atau virus herpes lainnya, enterovirus , virus yang menular melalui arthropoda .
Ensefalitis setelah vaksinasi rabies (contohnya: Semple vaccine ) .
Reaksi obat
Vaskulitis
Rabies histeria : kelainan karena rasa ketakutan berlebihan terhadap rabies
yang bermanifestasi perilaku agresif, kehilangan kemampuan menelan atau
berkomunikasi .
Guiliain - Barre syndrome: fase paralitik.
Poliomielitis
Delirium tremens

978
Rabies

TATALAKSANA

Nonfarmakologis2
• Isolasi pasien untuk mencegah transmisi virus ke orang lain.
• Terapi suportif

Farmakologis1 2
• Tidak ada terapi spesifik untuk rabies.
• Profilaksis pada individu yang terpapar seperti pembersihan dan irigasi luka secepat
mungkin, imunisasi aktif dan pasif efektif dalam 72 jam setelah terpapar.
Tabel 2. Vaksinasi Virus Rabies34
Jadwal
Vaksinasi Cara pemberian Keterangan
pemberian
Intramuskular
Human diploid cell Hari ke lml intramuscular ( deltoid) Tidak boleh diberikan
vaccine (HDCV) 0,3,7,14, dan pada area gluteus
28
Human rabies .
20 lU/kg Infiltrasi sekitar pada individu yang
imunoglobulin ( RIG) luka sebanyak mungkin, belum pernah
dan disuntikkan secara mendapat imunisasi
intramuscular pada lokasi lain
yang jauh dari luka.
Vaksinasi intradermal
Human diploid cell 0.1 ml di 8 lokasi secara Dapat digunakan
vaccine (HDCV ) intradermal ( 8-0-4-0-1-1 ) pada kasus darurat
yang tidak tersedia RIG
Purified vero cell 0, 1 mL di 2 lokasi secara
vaccine (PVRV ) intradermal ( 2-2-2-0- 1 - 1 )
Purified chick embryo 0.1 ml di 8 lokasi secara
cell vaccine ( PCECV ) intradermal ( 8-0-4-0-1 - 1 )
atau 0,2 mLdi 2 lokasi secara
intradermal ( 2-2-2-0-1 -1 )

• Penatalaksanaan setelah terpapar virus rabies pada individu yang belum


divaksinasi: 3AS
Merupakan kasus emergensi sehingga penatalaksanaan harus dimulai secara
dini baik pembersihan luka maupun pemberian vaksinasi tanpa menunggu hasil
laboratorium atau mengobservasi binatang jika dicurigai terinfeksi virus rabies.
Sebaiknya luka tidak dijahit terlebih dahulu, jika akan menjahit luka pastikan
sudah memberikan RIG terlebih dahulu pada luka tersebut.
WHO membagi kategori paparan dan penatalaksanaannya menjadi 3 yaitu :

979
tSSSSSSSSL Tropik Infeksi

Tabel 3. Kategori Paparan dan Penatalaksanaan3


Kategori Jenls Kontak Terapl
1 Menyentuh, memberi makan binatang, atau terjilat pada -
kulit intak
2 Garukan ringan atau abrasi tanpa berdarah, terjilat pada Vaksin
kulit yang terluka
3 Satu atau lebih gigitan, garukan, terkena membran Vaksin + Imunoglobulin
mukosa

• Penatalaksanaan setelah terpapar virus rabies pada individu yang sudah


divaksinasi :
Pembersihan luka, lalu vaksinasi 1 dosis pada hari 0 dan 3. Tidak perlu
diberikan RIG.45
• Pencegahan virus rabies pada individu beresiko tinggi.4'5
Profilaksis sebelum terpapar dengan HDCV atau RNA (1 ml intramuscular pada
hari 0, 7, dan 21 atau 28) pada individu yang beresiko tinggi, seperti pada dokter
hewan, pekerja laboratorium,anak dan balita pada daerah endemis, rencana
berkunjung ke wilayah endemis.
Individu yang beresiko tinggi hendaknya melakukan pemeriksaan rutin setiap
tahun dan dapat diberikan vaksinasi booster jika titer < 0.5 IU / ml.
Individu yang berhubungan dengan virus rabies hidup dilakukan pemeriksaan
setiap 6 bulan dan diberikan vaksinasi booster jika titer < 0.5 IU / ml.

PROGNOSIS
Rabies merupakan penyakit yang fatal. Pada umumnya pasien dengan rabies
meninggal dalam beberapa hari meskipun sudah mendapat perawatan pada unit
internsif . Akan tetapi, hal ini dapat dicegah dengan penanganan yang tepat setelah
terkena infeksi dan pemberian profilaksis setelah terpapar. Vaksinasi akan efektif jika
diberikan dalam waktu 2 hari setelah terpapar, seiring bertambahnya hari makan
tingkat efektivitasnya akan menurun. Walaupun demikian selama belum ada gejala,
vaksinasi akan tetap efektif diberikan dalam beberapa minggu sampai beberapa bulan
setelah terpapar.1
Jika gejala sudah muncul, koma dan kematian akan terjadi dalam 3- 20 hari setelah
awal mulai gejala . Hampir 100 % individu yang menunjukkan gejala akan meninggal.
Hanya kurang dari 10 kasus yang sembuh dan 2 diantaranya tidak ada riwayat
profilaksis sebelum maupun sesudah terpapar. 56

980
Rabies $jp
.

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Divisi Tmpik Infekst - Departemen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS pendidikan
• RS non pendidikan : -

RIEBRINSli /' jj

1. . .
Jackson Alan C Rabies and Other Rhabdovirus Infections In: Hdrrison' s Internal Medicine 17Jh
. .
ed United States of America Mcgraw Hill . .
! 2. . .
Opal Steven M, Policar Maurice Rabies In: Ferri ' s Clinical Advisor 2008. 10th ed. Mosby. 2008.
3 . .
WHO Current WHO Guide for Rabies Pre and Post -exposure Treatment in Human Diunduh
_ _
.
.
dari http:/ /www.who int /rabies/ en/ WHO_guide rabies_pre_post_exp_ treat humans pdf pada .
.
tanggal 2 Mei 2012 , ; ; jS '.
. til. f,y lin fpr ,R,q p(<?s
4 gJiondl,(
. ^^. ^ ^
j r r p q l Adml iftr
. ^
Vaccine 2007 National Institute of Communicable Diseases New Delhi Diunduh dari http;//
.
^.
n pf.c.e|| Culture Rabies

.
. . .
^
www ncdc gov In/Rabies_Gblde!lifies dfpaid8i!tdHggdf 2:Miai ;2'(5l2 n;i i
;' ' 1 1
' 1

5. > -©DCi Rabies;. Dliiihduh dari httpV /www.edc gov /rabies/SyhnptO'itffs/iHdexlhtml pada tanggal 2
. .
Mei 2012 .
. . . .
6
tanggal 2 Ivtei 2012. ’ "
^ ^
/v|piGyi !ipes Raples Diunduh . dari http:/ / www nndgufi lines,p m/rabies/prpgnosis pada
^

981
982

SEPSIS DAN RENJATAN SEPTIK

PENGERTIAN1
Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) adalah pasien yang memiliki
dua atau lebih kriteria sebagai berikut:
a ) suhu > 38° C atau < 36° C,
b) denyut jantung >90 denyut/ menit,
c) respirasi > 20 / menit atau PaC 02 < 32 mmHg,
d ) hitung leukosit >12.000 / mm 3 atau >10% sel imatur [ band ) .
Sepsis adalah SIRS ditambah sumber infeksi yang diketahui (ditandai dengan
biakan positif terhadap organisme dari tempat tersebut).
Sepsis berat adalah sepsis ditambah dengan satu atau lebih disfungsi organ seperti
berikut:
• Tekanan sistolik darah < 90 mmHgatau MAP < 70 mmHgyangberespon terhadap
pemberian cairan intravena,
• keluaran urin < 0,5 mL/ kg/ jam untuk selama 1 jam dengan resusitasi cairan,
• Pa 02 / FI 02 < 300,
• Trombosit < 100.000,
• pH < 7, 30 atau defisit basa > 5,0 mEq / L dan laktat plasma >1,5 kali batas atas nilai
normal, (> / mmol / L)
• adanya resusitasi cairan yang adekuat ditandai dengan tekanan arteri paru
>12 mmHg atau tekanan vena sentral >8 mmHg.
Renjatan septik adalah sepsis dengan hipotensi ( tekanan darah sistolik
< 90 mmHg atau 40 mmHg lebih rendah dari tekanan darah pasien yang biasa ) selama
kurang lebih satu jam dengan resusitasi cairan adekuat atau pasien memerlukan
vasopresor untuk mempertahankan tekanan sistolik >90 mmHg atau MAP > 70 mmHg.

PENDEKATAN DIAGNOSIS3

Anamnesis
• Menentukan apakah infeksi didapat dari komunitas atau nosokomial atau apakah
pasien imunokompromais

Pandnan
Dokter
Perhimpunan
PraktikDalam
Klinis
Indonesia
Spesialis Penyakil
Sepsis dan Renjatan Septlk fp

• Demam
• Sesak napas
• Disorientasi, bingung, perubahan status mental
• Perdarahan
• Mual, muntah, diare, ileus

Pemeriksaan Fisik
• Hipotensi
• Sianosis
• Nekrosis iskemik jaringan perifer, umumnya jari
• Selulitis, pustul, bula atau lesi hemoragik pada kulit
• Ikterik
• Pemeriksaan fisik lengkap untuk mencari sumber infeksi

Pemeriksaan Penunjang
• Darah perifer lengkap dengan hitung diferensial
• Urinalisis
• Gambaran koagulasi
• Glukosa darah
• Urea darah, kreatinin
• Tes fungsi hati
• Kadar asam laktat
• Analisis gas darah
• Kadar asam laktat
• Biakan darah (minimal 2 set dalam 24 jam], sputum, urin dan tempat lain yang
dicurigai terinfeksi

DIAGNOSIS BANDING
Renjatan kardiogenik, renjatan hipovolemik

TATALAKSANA245

Nonfarmakologis
• Stabilisasi pasien (pemulihan airway, breathing, circulation]
• Perawatan ICU
• Dialisis

983
Panduan Praktik Klinis Tropik Infeksi
Pertiimpunan DokferSpes'rafe Penyakif Dalam Indonesia

• Nutrisi, pemantauan glukosa hingga <150 mg/ dL setiap 1 - 2 jam hingga 4 hari
• Transfusi darah PRC apabila Hb < 7 g / dL , TC apabila trombosit < 5000 tanpa
perdarahan atau 5.000 - 30.000 dengan perdarahan
• Menghilangkan fokus infeksi (penyaluran eksudat purulen, nekrotomi, drainase abses)

Farmakologis
• Cairan kristaloid atau koloid
• Obat-obatan vasoaktif untuk kondisi renjatan: dopamin (> 8 mcg/ kg/ menit),
norepinefrin (0,03 - 1,5 mcg/ kg/ menit), epinefrin (0,1 - 0,5 mcg/ kg/ menit) atau
fenilefrin ( 0,5 - 8 mcg/ kg/ menit)
• Obat- obatan inotropik: dobutamin ( 2 - 28mcg/ kg/ menit), dopamin (3 - 8 meg/
kg/ menit), epinefrin (0,1- 0,5/ kg/ menit) atau fosfodiesterase inhibitor (amrinon
dan milrinon).
• Dalam 6 jam pertama, target resusitasi adalah: tekanan vena sentral 8 - 12 mmHg,
MAP > 65 mmHg, keluaran urin > 0,5 ml / kg / jam, saturasi oksigen vena sentral
atau campuran berturut-turut >70% atau >65%. Target tekanan vena sentral
pada penggunaan ventilasi mekanik atau penurunan compliance ventrikel adalah
12 - 15 mmHg.
• Sodium bikarbonat bila pH < 7,2 atau bikarbonat serum <9 meq / L
• Antagonis reseptor H 2 atau penghambat pompa proton pada sepsis berat untuk
mencegah stress ulcer
• Kortikosteroid dosis rendah (hidrokortison 200 - 300 mg/ hari terbagi dalam 3 - 4
dosis selama 7 hari) bila terbukti insufisiensi adrenal
• Bila terdapat KID dan didapatkan bukti terjadinya tromboemboli, dapat diberikan
heparin dengan dosis 100 IU / kgBB bolus, dilanjutkan 15-25 IU / kgBB / jam dengan
infus kontinu, dosis lanjutan disesuaikan untuk mencapai target aPTT 1,5- 2 kali
kontrol atau antikoagulan lainnya
• Antimikroba empirik diberikan sesuai dengan tempat infeksi, dugaan kuman
penyebab, profil antimikroba (farmakokinetik dan farmakodinamik), keadaan
fungsi ginjal dan fungsi hati. Antimikroba definitif diberikan bila hasil kultur
mikroorganisme telah diketahui, antimikroba dapat diberikan sesuai hasil uji
kepekaan mikroorganisme. Antimikroba yang dipakai adalah yang dianggap
tidak menyebabkan pelepasan lebih banyak lipopolisakarida ( LPS) sehingga
menimbulkan masalah yang lebih banyak. Antimikroba yang dianggap tidak
menyebabkan perburukan adalah: karbapenem, seftriakson , sefepim, glikopeptida,
aminoglikosida, kuinolon.

984
Sepsis dan Renjatan Septik

Berikut adalah pilihan antimikroba sesuai sumber infeksi;


Pneumonia komuniti: 2 regimen obat, yaitu sefalosporin generasi 3 (seftriakson
lxl gram selama 2 minggu) atau keempat (sefepim 2 x 2 gram selama 2 minggu)
dan aminoglikosida (gentamisin iv atau im 2 mg/ kgBB dilanjutkan dengan
3x1,7 mg/ kgBB atau 1x5 mg/ kg BB selama 14 - 21 hari atau amikacin 1x15
mg/ kgBB atau tobramisin 1x1,7 mg/ kgBB )
Pneumonia nosokomial : sefepim ( 2 x 2 gram selama 2 minggu) atau imipenem
- silastatin (4x0.5 gram ) dan aminoglikosida
Infeksi abdomen: imipenem - silastatin ( 4 x 0.5 gram ) atau piperasilin -
tazobaktam (4 - 6x3,375gram) dan aminoglikosida
- Infeksi abdomen nosokomial: imipenem - silastatin ( 4 x 0.5 gram ) dan
aminoglikosida atau piperasilin - tazobaktam (4-6x 3,375gram) dan amfoterisin
B (dosis inisial 0, 25 - 0, 3 mg / kgBB / hari, tingkatkan perlahan -lahan hingga
mencapai dosis biasa 0,5 - 1 mg/ kgBB atau hingga 1,5 mg/ kgBB, pada keadaan
mengancam nyawa dosis inisial dapat langsung diberikan 0,6 - 0,7 mg/ kgBB)
Kulit/ jaringan lunak: vankomisin ( 2x15 mg/ kgBB) dan imipenem - silastatin
( 4x0.5 gram) atau piperasilin - tazobaktam (4 - 6x 3,375gram)
Kulit / jaringan lunak nosokomial: vankomisin ( 2 x15 mg/ kgBB) dan sefepim
( 2 x 2 gram selama 2 minggu)
Infeksi traktus urinarius: siprofloksasin (2x400 mg) dan aminoglikosida
Infeksi traktus urinarius nosokomial: vankomisin (2x15 mg/ kgBB) dan sefepim
( 2 x 2 gram selama 2 minggu )
Infeksi SSP: vankomisin ( 2x15 mg/ kgBB) dan sefalosporin generasi ketiga atau
meropenem (3x1 gram)
Infeksi SSP nosokomial: meropenem (3x1 gram) dan vankomisin (2x15 mg/kgBB)

KOMPLIKASI6
• Sindrom distres pernapasan dewasa (ARDS)
• Koagulasi intravascular diseminata (DIC)
• Gagal ginjal akut (ARF)
• Perdarahan usus
• Gagal hati
• Disfungsi sistem saraf pusat (SSP)
• Gagal jantung
• Kematian

985
Panduan Praktik Klinis Tropik Infeksi
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia

PROGNOSIS4
Sekitar 20 - 35 % pasien dengan sepsis berat dan 40 - 60% pasien dengan renjatan
septik meninggal dalam 30 hari. Sistem stratifikasi prognosis seperti APACHE II
menunjukkan bahwa usia pasien, penyakit dasar dan berbagai variabel fisiologi
menentukan risiko kematian pada sepsis berat. Pada pasien tanpa penyakit morbiditas
sebelumnya, case- fatality rate di bawah 10% hingga usia dekade keempat, dan setelahnya
meningkat hingga 35 %.

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Divisi Tropik Infeksi - Departemen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Semua Divisi di lingkungan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : -

REFERENSI
1. Bone RC, Balk RA, Cerra FB, et al. Definitions for sepsis and organ failure and guidelines for the use
of innovative therapies in sepsis. The ACCP /SCCM Concensus Conference Committee. American
. .
College of Chest Physicians/ Scoiety of Critical Care Medicine Chest. 1992 101:1644 - 55
2. . .
Chen K, Pohan HT Penatalaksanaan syok setiks In: Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M,
Setiati S, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5lh ed. Jakarta; Pusat Informasi dan Penerbitan
Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2009:252 - 7
3. .
Guntur A Sirs & sepsis. Is1 edition. Surakarta; Sebelas Maret University Press, 2006:1 66-
4. Dellinger P, Carlet J, Masur Pi, Gerlach PI, Calandra T, Cohen J, et al. Surviving sepsis campaign
guidelines for management of severe sepsis and septic shock. Crit Care Med. 2004;32:858 - 7.
5. Dellinger P, Levy M, Carlet J, Bion J, Parker M, Jaeschke R. Surviving sepsis campaign: international
guidelines for management of severe sepsis and septic shock:2008. Intensive Care Med. 2008;34: 17 - 60.
6. Reus V . Severe sepsis and septic shock, In: Fauci A, Kasper D, Longo D, Braunwald E, Plauser S,
Jameson J, Loscalzo J, editors. Plarrison ' s principles of internal medicine. 18 th ed. United States of
America; The McGraw-Hill Companies, 2012: 2710 - 23

986

Anda mungkin juga menyukai