PANDUAN
PRAKTIK
KIINIS
Editor
&
Idrus Alwi
Simon Salim
Rudy Hidayat
Juferdy Kumiawan
Dicky L Tahapary
U
n
IN
mm
PENATALAKSANAAN Dl BIDANGI1MU PENVAKIT DA1AM
PANDUAN PRAKTIK KLINIS
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
Editor
Prof . Dr. dr. Idrus Alwi, SpPD, K- KV, FINASIM, FACC, FESC, FAPSIC, FACP
dr. Simon Salim, SpPD, FINASIM, MKes, AIFO
dr. Rudy Hidayat, SpPD, K- R, FINASIM
dr. Juferdy Kurniawan, SpPD
dr. Dicky L. Tahapary, SpPD
ISBN 17 fl - b 02 -fleiQ 7- b 7 - 5
I Hill I
17.5 cm x 25 cm
xiv+ 986 Halaman
9 786028 907675
Seluruh naskah yang terdapat dalam buku Panduan Praktik Klinis (PPK) yang
diterbitkan oleh Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam
Indonesia (PB.PAPDI) hanya sebagai rujukan /referensi, guna membantu penyusunan
panduan pelayanan klinis yang baik dan benar, disesuaikan dengan kondisi rumah
sakit masing-masing.
iii
«1
KATA PENGANTAR
P
uji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas keberhasilan penyusunan
buku Panduan Praktik Klinis (PPK) PAPDI. Dengan terbitnya buku PPK PAPDI
ini, diharapkan akan semakin jelas rujukan / panduan segala sesuatu yang
berhubungan dengan prosedur standar operasional dalam pelayanan dan perawatan
kepada pasien. Buku PPK PAPDI ini terdiri dari 2 (dua) bagian yaitu penatalaksanaan
dan prosedur.
Seiring dengan arus kemajuan dan perkembangan pengetahuan dan teknologi di
bidang kedokteran khususnya Ilmu Penyakit Dalam serta dalam rangka meningkatkan
profesionalisme Dokter Spesialis Penyakit Dalam, diharapkan buku ini menjadi acuan/
panduan dalam menjalankan tugas profesi seorang Dokter Spesialis Penyakit Dalam di
rumah sakit pemerintah dan swasta serta fasilitas pelayanan kesehatan lain di seluruh
Indonesia, disesuaikan dengan sarana yang tersedia.
Untuk mencapai keberhasilan pelayanan dan perawatan kepada pasien yang
berkualitas dan bertanggung jawab, disamping mengacu pada buku PPK PAPDI yang
sudah dirancang dengan sebaik- baiknya sebagai panduan kerja yang bermutu dan
dapat dipertanggungjawabkan, juga harus didukung sumber daya manusia (SDM)
yang berkualitas dalam pengetahuan dan bertanggungjawab secara moral dalam sikap
dan perilaku serta sarana prasarana yang sesuai dengan kebutuhan. Untuk itu Dokter
Spesialis Penyakit dalam harus selalu berupaya memperbaiki dan meningkatkan
pengetahuan terutama dalam hubungannya dengan pasien baik melalui pendidikan
formal maupun non formal.
Kami menyampaikan banyak terima kasih kepada Tim Penyusun buku PPK PAPDI
yang telah membantu terbitnya buku ini serta kepada para Ketua Perhimpunan Seminat
dalam Lingkup Ilmu Penyakit Dalam yang telah berpartisipasi dalam penyusunan
buku ini.
Semoga buku ini dapat membantu dalam melaksanakan tugas sehari-hari Dokter
Spesialis Penyakit Dalam di rumah sakit sebagai bentuk pelayanan dan pengabdian
V
masyarakat, dan semoga Allah SWT memberikan bimbingan dan meridhoi segala
aktivitas para Dokter Spesialis Penyakit Dalam seluruh Indonesia. Amin.
vi
KONTRIBUTOR
• Perhimpunan Alergi Imunologi Indonesia (PERALMUNI)
• Perhimpunan Gerontologi Medik Indonesia (PERGEMI)
• Perhimpunan Nefrologi Indonesia ( PERNEFRI)
• Perhimpunan Gastroenterologi Indonesia [PGI)
• Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia (PPHI)
• Perhimpunan Hematologi Dan Transfusi Darah Indonesia ( PHTDI ) Dan
Perhimpunan Hematologi Onkologi Medik Ilmu Penyakitdalam Indonesia
(PERHOMPEDIN)
• Ikatan Keseminatan Kardioserebrovaskular Indonesia (IKKI)
• Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI)
• Perhimpunan Kedokteran Psikosomatik Indonesia (PKPI)
• Perhimpunan Respirologi Indonesia (PERPARI)
• Perhimpunan Reumatologi Indonesia (IRA)
• Perhimpunan Peneliti Penyakit Tropik Dan Infeksi Indonesia (PETRI)
vii
DAFTARISI
ALERGI IMUNOLOGI
Alergi Obat 1
Asma Bronkial ...5
Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) 12
Renjatan Anafilaksis 22
Urtikaria 29
Vaksinasi Pada Orang Dewasa 33
HIV/AIDS Tanpa Komplikasi 40
METABOLIK ENDOKRIN
Diabetes Melitus 47
Diabetes Melitus Gestasional 60
Dislipidemia 64
Hipoglikemia 73
Hipogonadisme 77
Hipoparatiroidisme 83
Hipotiroidisme 85
Hiperparatiroidisme 90
Karsinoma Tiroid 93
Kelainan Adrenal 96
Kista Tiroid 105
Krisis Hiperglikemia 109
Krisis Tiroid 115
Perioperatif Diabetes Melitus 118
Kaki Diabetik 123
Sindrom Ovarium Polikistik (PCOS) . 131
Struma Difusa Non Toksik 134
Struma Nodosa Non Toksik (SNNT) 137
Struma Nodosa Toksik 144
Tiroiditis 147
Tirotoksikosis 151
IX
Tumor Hipofisis 156
Obesitas 162
GASTROENTEROLOGI
Diare Kronik 167
Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) 172
Hematemesis Melena 176
Hematokezia 182
Ileus Paralitik 186
Konstipasi 189
Pankreatitis Akut 196
Penyakit Tukak Peptik 201
Tumor Gaster 208
Tumor Kolorektal 211
HEPATOLOGI
Abses Hati 217
Batu Sistem Bilier 223
Hepatitis Imbas Obat 227
Hepatitis Virus Akut 232
Hepatitis B Kronik 236
Hepatitis C Kronik 240
Hepatitis D Kronik 242
Hepatoma 244
Ikterus 250
Kolangitis 253
Kolesistitis 256
Kolesistitis Kronik 259
Penyakit Perlemakan Hati Non Alkoholik. 261
Sirosis Hati 266
Tumor Pankreas 272
Tumor Sistem Bilier 277
X
GERIATRI
Dehidrasi 287
Gangguan Kognitif Ringan dan Demensia 290
Imobilisasi 297
Inkontinensia Urin 302
Instabilitas dan Jatuh 305
Tatalaksana Nutrisi Pada "Frailty" Usia Lanjut. 316
...
Pendekatan Paripurna Pasien Geriatri ( Comprehensive Geriatric Assessment) 321
Sindrom Delirium Akut. 331
Ulkus Dekubitus 338
Sarkopenia 344
GINJAL HIPERTENSI
Batu Saluran Kemih 363
Gangguan Asam Basa 368
Alkalosis Metabolik 374
Alkalosis Respiratorik 376
Gangguan Ginjal Akut 379
Gangguan Kalium 388
Gangguan Kalsium 394
Gangguan Natrium 400
Hiponatremia 400
Hipertensi 408
Hipertrofi Prostat Benigna 415
Infeksi Saluran Kemih 418
ISK pada Wanita Hamil 422
ISKyang Disebabkan oleh Jamur. 423
Krisis Hipertensi 426
Penyakit Glomerular 433
Penyakit Ginjal Kronik 437
Penyakit Ginjal Polikistik 443
Sindrom Nefrotik 448
xi
Anemia Hemolitik 461
Anemia Penyakit Kronik 470
Dasar- Dasar Kemoterapi 475
Diatesis Hemoragik 483
Hemoglobinopati 491
Trombositopenia Imun 498
Koagulasi Intravaskular Diseminata 504
Leukemia 510
Limfoma .... 517
Polisitemia Vera 523
Sindrom Antifosfolipid 530
Sindrom Lisis Tumor 535
Terapi Suportif pada Pasien Ranker. 537
Trombosis Vena Dalam 544
Trombositosis Esensial 551
KARDIOLOGI
Angina Pektoris Stabil 555
Angina Pektoris Tidak Stabil/Afon St Elevation Myocardial Infarction
(APTS/ NSTEMI) 560
ST Elevation Myocardial Infarction (STEMI) .... 564
Penyakit Jantung Koroner 569
Bradiartima 572
Takiaritmia 578
Cardiac Arrest 587
Ekstrasistol Ventrikular 590
Gagal Jantung 594
Endokarditis Infektif 606
Penyakit Katup Jantung 618
Peripartum Cardiomyopathy 627
Perikarditis 632
Penyakit Jantung Kongenital 642
Hipertensi Pulmonal 649
Penyakit Arteri Perifer 656
Kelainan Sistem Vena dan Limfatik 664
xii
PSIKOSOMATIK
Ansietas 673
Depresi 676
Dispepsia Fungsional 680
Nyeri Psikogenik 685
Penyakit Jantung Fungsional ( Neurosis Kardiak ) 688
Sindrom Kolon Iritabel 690
Sindrom Lelah Kronik 695
Sindrom Hiperventilasi 699
Pengelolaan Paliatif pada Penyakit Kronis 703
PULMONOLOGI
Acute Respiratory Distress Syndrome 707
Bronkiektasis 711
Emboli Paru 719
Flu Burung 727
Gagal Napas 731
Massa Mediastinum 735
Penyakit Paru Kerja 740
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK] 744
Penyakit Pleura 752
Pneumonia Atipik 761
Pneumonia Didapat di Rumah Sakit 765
Pneumonia Didapat di Masyarakat 772
Sindrom Vena Kava Superior 783
-
Kelainan Napas SaatTidur (Sleep Disordered Breathing / Sleep Apnea), 788
Tuberkulosis Paru 792
Tumor Paru 800
REUMATOLOGI
Artritis Reumatoid 807
Artritis Gout dan Hiperurisemia . 812
Artritis Septik 817
Fibromialgia 821
Lupus Eritematosus Sistemik 824
Nyeri Pinggang 832
xiii
Osteoporosis 836
Osteoartritis 842
Reumatik Ekstraartikular 846
Skleroderma 851
Spondiloartropati 857
TROPIK INFEKSI
Chikungunya 867
Demam Berdarah Dengue 873
Demam Neutropenia 882
Demam Tifoid 888
Diare Infeksi 894
Diare Terkait Antibiotik [ Infeksi Clostridium Difficile) 901
Fever Of Unknown Origin 904
Filariasis 907
Leptospirosis 910
Human Immunodeficiency Virus ( HIV ) / Acquired Immunodeficiency Syndrome
(AIDS) 914
Infeksi Jamur 926
Infeksi Oportunistik pada AIDS 930
Infeksi pada Kehamilan 941
Intoksikasi Organofosfat 945
Intoksikasi Opiat 949
Keracunan Makanan 952
Malaria 955
Penatalaksanaan Gigitan Ular 966
Penggunaan Antibiotika Rasional 972
Rabies 977
Sepsis dan Renjatan Septik 982
xiv
PENATALAKSANAAN
D l BIDANG HMD PENYAKIT DAIAM
PANDUAN A
!
PBAKTIK £
KLINIS H
Alergi Obat
r
*' ^ i
Asma Bronkial .5
Acquired Immunodeficiency Syndrome ( AIDS ) 12
Renjatan Anafilaksis . 22
Urtikaria 29
Vaksinasi Pada Orang Dewasa 33
HIV / AIDS Tanpa Komplikasi 40
» ’ «
f
1
ALERGI OBAT
PENGERTIAN
Alergi obat merupakan reaksi simpang obat yang tidak diinginkan akibat adanya
interaksi antara agen farmakologi dan sistem imun manusia. Terdapat empat jenis
reaksi imunologi menurut Gell dan Coombs, yaitu hipersensitivitas tipe 1[reaksi dengan
IgE ), tipe 2 (reaksi sitotoksik), tipe 3 (reaksi kompleks imun ) dan tipe 4 ( reaksi imun
selular).1
Manifestasi alergi obat tersering adalah di kulit, yang terbanyak yaitu berupa ruam
makulopapular. Selain di kulit, alergi obat dapat bermanifestasi pada organ lain, seperti
hati, paru, ginjal, dan darah. Reaksi alergi obat dapat terjadi cepat atau lambat, dapat
terjadi setelah 30 menit pemberian obat hingga beberapa minggu.
2
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Riwayat obat-obatan yang sedang dipakai pasien, riwayat obat-obatan masa lampau,
lama pemakaian dan reaksi yang pernah timbul, lama waktu yang diperlukan mulai
dari pemakaian obat hingga timbulnya gejala, gejala hilang setelah pemakaian obat
dihentikan dan timbul kembali bila diberikan kembali, riwayat pemakaian antibiotik
topikal j angka lama, keluhan yang dialami pasien dapat timbul segera ataupun beberapa
hari setelah pemakaian obat (pasien dapat mengeluh pingsan, sesak, batuk, pruritus,
demam, nyeri sendi, mual)1, 3 4'
Pemeriksaan Fisik
Pasien tampak sesak, hipotensi, limfadenopati, ronki, mengi, urtikaria, angioedema,
14, 5
eritema, makulopapular, eritema multiforme, bengkak dan kemerahan pada sendi
Pemeriksaan Penunjang:13 4
• Pemeriksaan hematologi: darah lengkap, fungsi ginjal, fungsi hati
• Urinalisis lengkap
• Foto toraks
PanduanPraktik Minis
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
# SSfiSSSSRfi Alergi Imunologi
DIAGNOSIS BANDING4
Sindrom karsinoid -
Penyakit graft-versus host
Gigitan serangga Penyakit Kawasaki
Mastositosis Psoriasis
Asma Infeksi virus
Alergi makanan Infeksi Streptococcus
Keracunan makanan
Alergi lateks
Infeksi
TATALAKSANA
Non Farmakologis1
Tindakan pertama adalah menghentikan pemakaian obatyang dicurigai.
Farmakologis
• Terapi tergantung dari manifestasi dan mekanisme terjadinya alergi obat.
Pengobatan simtomatik tergantung atas berat ringannya reaksi alergi obat. Gejala
ringan biasanya hilang sendiri setelah obat dihentikan.1 Pada kasus yang berat,
kortikosteroid sistemik dapat mempercepat penyembuhan.4
• Pada kelainan kulit yang berat seperti pada SSJ, pasien harus menjalani perawatan.
Pasien memerlukan asupan nutrisi dan cairan yang adekuat . Perawatan kulit juga
memerlukan waktu yang cukup lama, mulai dari hitungan hari hingga minggu . Hal
lain yang harus diperhatikan adalah terjadinya infeksi sekunder yang membuat
pasien perlu diberikan antibiotika.1
• Tata laksana anafilaksis dapat dibaca pada bagian anafilaksis.
• Pada kasus urtikaria dan angioedema pemberian antihistamin saja biasanya
sudah memadai, tetapi untuk kelainan yang lebih berat seperti vaskulitis, penyakit
serum, kelainan darah, hepatitis, atau nefritis interstisial biasanya memerlukan
2
Alergi Obat $)
( •
I
Kecurlgaan terhadap
reaksi obat
1
Cari etiologi lain
i
hipersensitivltas
terhadap obat/ reaksi
imunologi?
Evaluasi dan terapi
Ya Tidak etiologi tersebut
I 1
Mekanlsme non Imun:
Mekanlsme Imunologls: • Etek samping obal
• Diperantaral IgE • Toksisitas obat
• Sitotoksik • Intoraksl antar obat
• kompleks iinuri • Overdosis obat
• Reaksi Npe tambat • Pseudoalergi
• Mekanisme Imun lain • idiosinkrasi
• intoleransi
I
Evaluasi dengan
melakukan tes provokasi
Manajemen:
• Modiflkasl dosis
• Substltusi obal
• Atasi etek samping
• Lakukan pemberlan
obat bertahap
Apakah tes mendukung • Edukasl pasieri
diagnosis alergi obat
karena reaksi imunologi?
Ya Tidak
f
Diagnosis
1
Apakah tes memiliki
alergi obat nilai kemaknaan tinggi
ditegakkan
I
Tidak Ya
l 1
Berikan obat
Manajemen: dengan observasi
• Desensitlsosi atau u)i bertahap
sebelum obal dlberikan
• Reaksi anattlaksls dlberikan terapi
emergens!
• Hlndari pemakatan obat
• Pemberian profilaksls sebelum
pemakalan obal
• waspada poda penggunaan
obat dl masa mendatang
• Edukasl posten
3
If) ly •
PanduanPraMik minis Alergi Imunologi
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia 19
KOMPLIKASI
Anafilaksis , anemia imbas obat, serum sickness, kematian 3,5 6
PROGNOSIS
Alergi obat akan membaik dengan penghentian obat penyebab dan tatalaksana
yang tepat. Apabila penghentian pemberian obat yang menjadi penyebab alergi segera
dilakukan, maka prognosis akan semakin baik . 3 5
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Semua Divisi di lingkungan Departemen Penyakit Dalam,
Bagian Kulit dan Kelamin
• RS non pendidikan : Departemen Kulit dan Kelamin
REFERENSI
1. Djauzi S, Sundaru H, Mahdi D, Sukmana N. Alergi obat. Dalam: Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I,
.
Simadibrata M, Setiati S, ed. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5lh ed Jakarta: Pusat Informasi dan
Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2009 p. 387 - 91 .
2. Baratawidjaja KG, Rengganis I. Alergi Dasar edisi ke- 1 . Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit
Dalam. 2009. h. 457-95.
3. Shinkai K, Stern R, Wintroub B. Cutaneous drug reactions. In: Fauci A, Kasper D, Longo D, Braunwald
E, Plauser S, Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison ' s principles of internal medicine. 18lh ed.
United States of America: The McGraw-Hill Companies, 2012 p. 432 - 9 .
4. Riedl M, Casillas A. Adverse drug reactions: types and treatment options. Am Fam Physician 2003:
68 ( 9 ) : 1 781 - 91.
5. Warrington R, Silviu-Dan F. Drug allergy. Allergy, Asthma & Clinical Immunology 2011: 7 ( Suppl 1 ) :S 10
6. Greenberger PA . Drug allergy. J Allergy Clin Immunol 2006; 117 ( 2 Suppl):S464-70
4
5
ASMA BRONKIAL
PENGERTIAN
Asma bronkial adalah penyakit inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan
banyak sel dan elemen selular. Inflamasi kronik ini terkait dengan hiperreaktivitas
saluran napas, pembatasan aliran udara, gejala respiratorik dan perjalanan penyakit
yang kronis. Episode ini biasanya terkait dengan obstruksi aliran udara dalam paru
yang reversibel baik secara spontan ataupun dengan pengobatan.
13 '
Asma disebabkan oleh faktor genetik dan lingkungan. Faktor genetik yang
berpengaruh adalah riwayat keluarga dan atopi. Obesitas juga terkait dengan
,
peningkatan prevalensi asma. Beberapa pemicu serangan asma antara lain alergen
infeksi virus pada saluran napas atas, olahraga dan hiperventilasi, udara dingin, polusi
,
udara (asap rokok, gas iritan), obat-obatan seperti penyekat beta dan aspirin serta
stres.2
Pada asma, terdapat inflamasi mukosa saluran napas dari trakea sampai bronkiolus
terminal, namun predominan pada bronkus. Sel-sel inflamasi yang terlibat pada asma
antara lain sel mast, eosinofil, limfosit T, sel dendritik, makrofag, dan netrofil. Sel -sel
,
struktural saluran napas yang terlibat antara lain sel epitel, sel otot polos, sel endotel
fibroblas dan miofibroblas, serta sel saraf. Penyempitan saluran nafas terutama terjadi
akibat kontraksi otot polos saluran napas, edema saluran napas, penebalan saluran
napas akibat remodeling , serta hipersekresi mukus.
2
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Asma dapat didiagnosis dari gejala yang dialami dan riwayat penyakit pasien.
Anamnesis' -3
Episode berulang sesak napas, mengi, batuk, dan rasa berat di dada, terutama saat
malam dan dini hari. Riwayat munculnya gejala setelah terpapar alergen atau terkena
udara dingin atau setelah olahraga. Gejala membaik dengan obat asma. Riwayat asma
pada keluarga dan penyakit atopi dapat membantu diagnosis.
Pemeriksaan Fisik1 3
Temuan fisis paling sering adalah mengi pada auskultasi. Pada eksaserbasi berat,
mengi dapat tidak ditemukan namun pasien mengalami tanda lain seperti sianosis,
mengantuk, kesulitan berbicara , takikardi, dada hiperinflasi, penggunaan otot
pernapasan tambahan, dan retraksi interkostal.
Pemeriksaan Penunjang1 3
Spirometri (terutama pengukuran VEP1 [volume ekspirasi paksa dalam 1 detik]
dan KVP [kapasitas vital paksa]) serta pengukuran APE (arus puncak ekspirasi) adalah
pemeriksaan yang penting.
• Spirometri: peningkatan VEP1 >12% dan 200 cc setelah pemberian bronkodilator
menandakan reversibilitas penyempitan jalan napas yang sesuai dengan
asma. Sebagian besar pasien asma tidak menunjukkan reversibilitas pada tiap
pemeriksaan sehingga dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan ulang.
• Pengukuran APE Idealnya dibandingkan dengan nilai terbaik APE pasien sendiri
sebelumnya, dengan menggunakan alat peak flow meter sendiri. Peningkatan
60 L/ menit (atau 20% dari APE prebronkodilator) setelah pemberian inhalasi
bronkodilator atau variasi diurnal APE lebih dari 20 % (lebih dari 10 % dengan
pemeriksaan dua kali sehari) mendukung diagnosis asma .
Pemeriksaan IgE serum total dan IgE spesifik terhadap alergen hirup
[iradioallergosorbent test ( RAST)] dapat dilakukan pada beberapa pasien. Foto toraks
dan uji tusuk kulit ( skin prick test/SPT) dapat membantu walaupun tidak menegakkan
diagnosis asma. Selain itu, dapat pula dilakukan uji bronkodilator atas indikasi, tes
provokasi bronkus atas indikasi, dan analisis gas darah atas indikasi .
6
Asma Bronkial
DIAGNOSIS BANDING
Sindrom hiperventilasi dan serangan panik, obstruksi saluran napas atas dan
),
terhirupnya benda asing, disfungsi pita suara, penyakit paru obstruktif kronik (PPOK
penyakit paru parenkim difus, gagal jantung
TATALAKSANA
Nonfarmakologis2
Menghindari paparan terhadap alergen dan penggunaan obatyang menjadi pemicu
asma, penurunan berat badan pada pasien yang obese .
Farmakologis
Tahap-tahap tatalaksana untuk mencapai kontrol :
3
7
E5&JESS5* Alergi Imunologi
TAHAP PENGOBATAN
i
dlturunkan
dltlngkatkan
^
agonis- 2 kerja
cepat sesuai
agonis-(52 kerja cepat sesuai kebutuhan
kebutuhan
Pillha n obat Pilih satu Pilih satu Selain terapi pada Selain terapi
pengendall* tahap 3, pilih satu pada tahap 4,
atau lebih dari tambahkan salah
terapi berikut satu dari terapi
berikut
kortikosteroid kortikosteroid kortikosteroid kortikosteroid oral
inhalas! dosis inhalasi dosis inhalasi dosis ( dosis terendah )
rendah rendah ditambah sedang/ tinggi
agonis-& 2 inhalasi ditambah
kerja-panjang agonis- fi2 Inhalasi
kerja-panjang
leukotriene
modiier
,t
kortikosteroid
inhalasi dosis
leukotriene modiier terapi anti-lgE
sedang atau tinggi
teoilin lepas-
kortikosteroid lambat
inhalasi dosis
rendah ditambah
leukotriene modiier
kortikosteroid
inhalasi dosis
rendah ditambah
teoilin lepas-
lambat
Keterangan
•Kotak yang diarsir merupakan terapi yang direkomendasikan berdasarkan data rerata kelompok. Harus dipertimbangkan
kebutuhan dan kondisi pasien
•’antagonis reseptor atau inhibitor sintesis
Gambar 1 . Pendekatan tatalaksana asma berdasarkan tingkat kontrol3
8
Asma Bronkial
9
# SSBfflBSBtt Alergi Imunologi
KOMPLIKASI
Penyakit paru obstruktif kronik ( PPOK) , gagal jantung. Pada keadaan eksaserbasi
akut dapat terjadi gagal napas dan pneumotoraks.
PROGNOSIS
Keadaan yang berkaitan dengan prognosis yang kurang baik antara lain asma
tidak terkontrol secara klinis, eksaserbasi sering terjadi dalam satu tahun terakhir,
menjalani perawatan kritis karena asma, VEP1 yang rendah, paparan terhadap asap
rokok, pengobatan dosis tinggi.2
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : ICU / Medical High Care
• RS non pendidikan : ICU
10
Asma Bronkial fp):
REFERENSI
Sundaru H, Sukamto. Asma bronkial. Dalam:Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M Setiati
,
1.
S, penyunting. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi V. Jakarta: InternaPublishi ng, 2009. H. 404-14
2. . .
Barnes PJ. Asthma Dalam: Longo DL Kasper DL. Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo
J,
penyunting. Harrison' s principle of internal medicine. Edisi XVIII. McGraw- Hill Companies , 2012.
h. 2102-15
3. Global initiative for asthma. Global strategy for asthma management and prevention. 2011
11
12
ACQUIRED IMMUNODEFICIENCY
SYNDROME (AIDS)
PENGERTIAN
AIDS adalah infeksi yang disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus yang
menyebabkan suatu spektrum penyakit yang menyerang sel-sel kekebalan tubuh
yang meliputi infeksi primer, dengan atau tanpa sindrom akut, stadium asimtomatik,
hingga stadium lanjut).1 2
Stadium AIDS menurut WHO yaitu:2
-
• Stadium 1: asimtomatik, limfadenopati generalisata
• Stadium 2
Berat badan turun kurang dari 10 %
Manifestasi mukokutan minor (dermatitis seboroik, prurigo, infeksi jamur
kuku, ulkus oral rekuren, cheilitis angularis)
Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir
Infeksi saluran napas atas rekuren
• Stadium 3
Berat badan turun lebih dari 10 %
Diare yang tidak diketahui penyebabnya lebih dari 1 bulan
Demam berkepanjangan (intermiten atau konstan) kurang dari 1 bulan
Kandidiasis oral
Oral hairy leucoplakia
Tuberkulosis paru
Infeksi bakteri berat ( pneumonia, piomiositis)
• Stadium 4
HIV wasting syndrome
Pneumonia Pneumocystis carinii
Toksoplasmosis serebral
Kriptosporidiosis dengan diare lebih dari 1 bulan
Sitomegalovirus pada organ selain hati, limpa atau kelenjar getah bening
(misalnya retinitis CMV)
DIAGNOSIS1 4
Anamnesis
• Kemungkinan sumber infeksi HIV
• Gejala dan keluhan pasien saat ini, termasuk untuk mencari adanya infeksi
oportunistik, antara lain demam, batuk, sakit kepala, diare
• Riwayat penyakit sebelumnya, diagnosis dan pengobatan yang diterima termasuk
infeksi oportunistik
• Riwayat penyakit dan pengobatan tuberkulosis (TB ) termasuk kemungkinan
kontak dengan TB sebelumnya
• Riwayat kemungkinan infeksi menular seksual ( IMS)
• Riwayat dan kemungkinan adanya kehamilan
• Riwayatpenggunaan terapi anti retroviral [ Anti Retroviral Therapy (ART)) termasuk
riwayat regimen untuk PMTCT ( Prevention of Mother to Child Transmission )
sebelumnya
• Riwayat pengobatan dan penggunaan kontrasepsi oral pada perempuan
• Kebiasaan sehari -hari dan riwayat perilaku seksual
• Kebiasaan merokok
• Riwayat alergi
• Riwayat vaksinasi
• Riwayat penggunaan NAPZA suntik
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Fisik meliputi tanda - tanda vital , berat badan, tanda - tanda yang
mengarah kepada infeksi oportunistik sesuai dengan stadium klinis HIV seperti yang
13
frl PanduanPratttt Minis Alergi Imunologi
Perhimpunan DoklerSpesialis Penyakil Dalam Indonesia W W
terdapat pada tabel di bawah ini. Pemeriksaan fisik juga bertujuan untuk mencari
faktor risiko penularan HIV dan AIDS seperti needle track pada pengguna NAPZA
suntik, dan tanda-tanda IMS.
Pemeriksaan Penunjang
• Pemeriksaan penyaring: enzyme immunoassay ( EIA) atau rapid tests (aglutinasi,
immunoblot) dengan tiga metode yang berbeda
Pemeriksaan konfirmasi: metode Western Blot (WB) bila diperlukan
• Pemeriksaan Darah lainnya
DPL dengan hitung jenis
Total lymphocye count (TLC] atau hitung limfosit total: [% limfosit x jumlah
Leukosit] ( dengan catatan jumlah leukosit dalam batas normal]
Hitung CD4 absolut
Pemeriksaan HIV RNA viral load dengan polymerase chain reaction
DIAGNOSIS BANDING1 2
Penyakit imunodefisiensi primer
14
Acquired Immunodeficiency Syndrome ( AIDS ) |jjj|
Pemeriksaan Lanjutan1 4
• Serologi Hepatitis B dan Hepatitis C
• Pemeriksaan penunjang untuk diagnosis infeksi oportunistik
1. Tuberkulosis
a. Pemeriksaan BTA sewaktu- pagi - sewaktu (SPS) dan atau foto toraks
b. Diagnosis definitif dengan kultur BTA, tetapi hal ini membutuhkan waktu
yang lama
2 . Diare : pemeriksaan analisis feses
3. Infeksi otak: ensefalitits toksoplasma, meningoensefalitis tuberkulosis, atau
kriptokokkus . Diagnosis dan tata laksana bekerja sama dengan Departemen
Neurologi .
TATALAKSANA1 4
• Konseling
• Suportif
• Terapi infeksi oportunistik dan pencegahan infeksi oportunistik
• Profilaksis kotrimoksasol :
• Profilaksis kotrimoksasol diberikan sebagai pencegahan terhadap pneumonia
Pneumocystis jirovecii dan infeksi toxoplasmosis pada pasien dengan CD 4 kurang
dari 200 sel / mm3 Profilaksis primer menggunakan kotrimoksasol double strength
( DS) 1 tablet /hari.
• Terapi antiretroviral [ART] dengan pemantauan efek samping dan adherens minum
obat. Pada tabel 1 dapat dilihat indikasi untuk memulai ART. Pada tabel 2 dapat
dilihat rekomendasi regimen lini pertama ART pada target populasi yang belum
pernah terapi ARV. Dosis ART dapat dilihat pada tabel 3.
15
w Alergi Imunologi
Pada ODHA yang mengalami resistensi pada lini pertama maka kombinasi obat
yang digunakan adalah :
Apabila pada lini pertama menggunakan d4T atau AZT maka gunakan TDF + (3 TC
atau FTC) sebagai dasar NRTI pada regimen lini kedua. Apabila pada lini pertama
menggunakan TDF maka gunakan AZT + 3 TC sebagai dasar NRTI pada regimen lini
kedua.
16
Acquired Immunodeficiency Syndrome ( AIDS ) jjp
Tabel 3. Rekomendasi regimen lini pertama pada target populasi yang belum pernah terapi ARV
1 '5
Bila terdapat indikasi memulai ART, dilakukan pemeriksaan penunjang yang sesuai
dengan ART yang diberikan untuk mengetahui ada tidaknya kontraindikasi .
• ZDV : pemeriksaan kadar hemoglobin
• NVP : pemeriksaan SGPT
• TD : pemeriksaan fungsi ginjal (kreatinin darah]
• LPV / r : pemeriksaan profil lipid dan kadar gula darah puasa
• Bagi perempuan usia subur yang akan mendapat efavirenz dilakukan tes kehamilan
sebelum mendapat ARV.
Tabel 4. Rekomendasi pemeriksaan laboratorlum untuk memonltor terapi ARV (modHikasI Depkes)
3
17
# ESSHSJEHSSRSS5 , Alergi Imunologi
18
Acquired Immunodeficiency Syndrome ( AIDS) ( jp
Nama Obat Efek Sampfng Subsltusi
Tenofovlr • Asthenia, sakit kepala, diare, mual, • Jika digunakan pada lini pertama,
muntah, sering buang angin, ZDV ( atau d4T jika tidak ada pili-
insufisiensi ginjal, sindrom Fanconi han)
• Osteomalasia • Jika digunakan pada lini kedua,
• Penurunan densitas tulang Secara pendekatan kesehatan
• Hepatitis eksaserbasi akut berat pada masyarakat, maka tidak ada pilihan
pasien HIV dengan koinfeksi Hepatitis lain jika pasien telah gagal ZDV /
B yang menghentikan TDF d4T pada terapi lini pertama. Jika
memungkinkan, dipertimbangkan
merujuk ke tingkat perawatan yang
lebih tinggi dimana terapi individual
tersedia.
Emtrldtabine Ditoleransi dengan baik
Efavlrenz • Reaksi hipersensitivitas • NVP
• Sindroma Steven-Johnson • bPI jika tidak toleran terhadap
• Ruam kedua NNRTI
• Toksisitas hepar • Tiga NRTI jika tidak ada pilihan lain
• Toksisitas sistem saraf pusat yang
berat dan persisten ( depresi dan
pusing)
• Hiperlipidemia
• Ginekomastia ( pada laki-laki)
• Kemungkinan efek teratogenik ( pada
kehamilan trimester pertama atau
wanita yang tidak menggunakan
kontrasepsi yang adekuat )
Nevirapin • Reaksi hipersensitivitas EFV
• Sindroma Steven-Johnson bPI jika tidak toleran terhadap kedua
• Ruam NNRTI
• Toksisitas hepar Tiga NRTI jika tidak ada pilihan lain
• Hiperlipidemia
Ritonavir Hiperlipidemia Jika digunakan pada lini kedua, tidak
pilihan lain*
Lopinavir • Intoleransi gastrointestinal, mual , ada
muntah, semutan, hepatitis, dan pan-
kreatitis, hiperglikemia, pemindahan
lemak dan abnormalitas lipid
19
M
•Sjl > wfy
PanduanPraktlk Minis Alergi Imunologi
^
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
'
Pemberian CD4
Vaksln Indlkasl Booster Keterangan
awal (sel/mm3)
HPV r 3 dosis tidak ada berapapun
Influenza R 1 dosis tiap tahun berapapun
Japanese rS 3-4 dosis 3 tahun berapapun
encephalitis
MMR RS 1 -2 dosis tidak ada >200 2 dosis jika IgG
measles negatif
Meningokok rS 1 dosis 5 tahun berapapun
Pneumokok R 1 dosis 5-10 tahun berapapun
Rabies RS 3 dosis 1 tahun pertama, berapapun
3-5 tahun
berikutnya
Tetanus-difteri R 1-5 dosis 10 tahun berapapun
Tifoid RS 1 dosis 2-3 tahun berapapun
Varisela RS / CS 2 dosis tidak ada >200
Yellow fever CS 1 dosis 100 tahun > 200 kontraindikasi
jika usia >60
tahun
R = rekomendasi; RS = rekomendasi pada orang tertentu; CS = dipertimbangkan pada orang tertentu
KOMPLIKASI
Infeksi oportunistik, kanker terkait HIV, dan manifestasi HIV pada organ lain.1 4 "
PROGNOSIS
Pemberian terapi ARV kepada orang dengan HIV /AIDS ( ODHA) dapat menurunkan
penyebaran virus Human Immunodefficiency Virus ( HIV) hingga 92 %.14
UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : Semua Sub Bagian di Lingkungan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam
• RS non pendidikan
20
Acquired Immunodeficiency Syndrome ( AIDS) |fj
REFERENSI
^
1. Fauci AS. Lane HC. Human Immunodeficiency Virus: AIDS and related disorders. In: Fauci A,
Braunwcrid E, Kasper D. Harrison' s Principles of Internal Medicine. 17th ed. New York: McGraw-
Hill; 2009: 1138-1204
2. .
HIV. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S Buku Ajar llmu Penyakit
Dalam. Jakarta; Interna Publishing: 2009.p. 2130-32.
3. .
Departemen Kesehatan Rl Tata Laksana HIV/ AIDS. 2012
4. World Health Organization. Antiretroviral therapy for hiv infection in adults and adolescent. 2010
revision. [Update 2010; cited 2011 Mar 11 ] Available from http:/ /www.who.int
5. Antiretroviral Drugs for Treating Pregnant Women and Preventing HIV Infections in Infants:
Guidelines on care, treatment and support for women living with HIV / AIDS and their children in
. . .
resource-constrained settings World Health Organization Switzerland 2004
6. .
Centers for Disease Control and Prevention Recommended Adult Immunization Schedule. United
.
States. 201Z Diunduh dari http:/ /www.cdc gov /vaccines/recs /schedules/downloads /adult /
adutt-5chedule.pdf padd tanggal 2 Mei 2012.
21
22
RENJATAN ANAFILAKSIS
PENGERTIAN
Anafilaksis adalah reaksi hipersensitivitas tipe 1yang beronset cepat, sistemik, dan
mengancam nyawa. Jika reaksi tersebut hebat dapat menimbulkan syok yang disebut
syok anafilaktik. Syok anafilaktik membutuhkan pertolongan cepat dan tepat. Untuk
itu diperlukan pengetahuan serta keterampilan dalam pengelolaan syok anafilaktik.
Insidens syok anafilaktik 40 -60 persen adalah akibat gigitan serangga, 20 - 40
persen akibat zat kontras radiografi, dan 10- 20 persen akibat pemberian obat
.
penisilin Belum ada data yang akurat dalam insiden dan prevalensi terjadinya syok
anafilaktik di Indonesia. Anafilaksis yang fatal hanya kira -kira 4 kasus kematian dari
10 juta masyarakat pertahun. Penisilin merupakan penyebab kematian 100 dari 500
kematian akibat reaksi anafilaksis.
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Menegakkan diagnosis penyakit alergi diawali dengan anamnesis yang teliti.
Gambaran atau gejala klinik suatu reaksi anafilakis berbeda - beda gradasinya sesuai
dengan tingkat sensitivitas seseorang, namun pada tingkat yang berat berupa syok
anafilaktik, gejala yang menonjol adalah gangguan sirkulasi dan gangguan respirasi.
Kedua gangguan tersebut dapat timbul bersamaan atau berurutan yang kronologisnya
sangat bervariasi dari beberapa detik sampai beberapa jam. Pada dasarnya, makin
cepat reaksi timbul makin berat keadaan penderita.
Gejala respirasi dapat dimulai berupa bersin, hidung tersumbat atau batuk saja
yang kemudian segera diikuti dengan sesak napas.
Gejala pada kulit merupakan gejala klinik yang paling sering ditemukan pada
reaksi anafilaktik. Walaupun gejala ini tidak mematikan namun gejala ini amat penting
untuk diperhatikan sebab ini mungkin merupakan gejala prodromal untuk timbulnya
gejala yang lebih berat berupa gangguan napas dan gangguan sirkulasi. Oleh karena itu
setiap gejala kulit berupa gatal, kulit kemerahan harus diwaspadai untuk kemungkinan
PanduanPraktikKIinis
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
Renjatan Anafilaksis 1
Faktor Risiko
Faktor risiko terjadinya anafilaksis antara lain usia, jenis kelamin, rute pajanan ,
maupun riwayat atopi. Anafilaksis lebih sering terjadi pada wanita dewasa (60 %) yang
umumnya terjadi pada usia kurang dari 39 tahun. Pada anak-anak usia di bawah 15
tahun, anafilaksis lebih sering terjadi pada laki-laki. Rute pajanan paraenteral biasanya
menimbulkan reaksi yang lebih berat dibanding oral.
Pemeriksaan Fisik
Pasien tampak sesak, frekuensi napas meningkat, sianosis karena edema laring
dan bronkospasme. Hipotensi merupakan gejala yang menonjol pada syok anafilaktik.
Adanya takikardia, edema periorbital, mata berair, hiperemi konjungtiva. Tanda
prodromal pada kulit berupa urtikaria dan eritema.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium hitung eosinofil darah tepi dapat normal atau meningkat,
demikian halnya dengan IgE total sering kali menunjukkan nilai normal.
Pemeriksaan secara invivo dengan uji kulit kulit ( skin prick test/SPT) untuk mencari
faktor pencetus yang disebabkan oleh alergen hirup dan makanan dapat dilakukan
setelah pasiennya sehat.
Penegakan Diagnostis
Diagnosis Klinis
Untuk membantu menegakkan diagnosis maka World Allergy Organization telah
membuat beberapa kriteria di mana reaksi anafilaktik dinyatakan sangat mungkin
bila (Simons et al. 2011) :
1. Onset gejala akut (beberapa menit hingga beberapa jam) yang melibatkan kulit, jaringan
mukosa, atau keduanya (misal: urtikaria generalisata, pruritus dengan kemerahan,
pembengkakan bibir /lidah / uvula) dan sedikitnya salah satu dari tanda berikut ini:
a. Gangguan respirasi (misal: sesak nafas, wheezing akibat bronkospasme, stridor,
penurunan arus puncak ekspirasi / APE, hipoksemia)
b. Penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan dengan kegagalan organ
target (misal: hipotonia, kolaps vaskular, sinkop, inkontinensia).
23
fP B5fi9S99& Alergi Imunologi
3. Atau, dua atau lebih tanda berikut yang muncul segera ( beberapa menit hingga
beberapa jam) setelah terpapar alergen yang mungkin ( likely allergen ), yaitu:
a. Keterlibatan jaringan mukosa dan kulit
b. Gangguan respirasi
c. Penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan dengan kegagalan organ
target
d . Gejala gastrointestinal yang persisten ( misal: nyeri kram abdomen, muntah)
5. Atau, penurunan tekanan darah segera (beberapa menit atau jam) setelah terpapar
alergen yang telah diketahui ( known allergen ), sesuai kriteria berikut:
a. Bayi dan anak : Tekanan darah sistolik rendah (menurut umur) atau
terjadi penurunan > 30 % dari tekanan darah sistolik semula
b. Dewasa : Tekanan darah sistolik < 90 mmHg atau terjadi penurunan
c. > 30% dari tekanan darah sistolik semula.
DIAGNOSIS BANDING
1. Beberapa kelainan menyerupai anafilaksis
a. Serangan asma akut
b. Sinkop
c. Gangguan cemas /serangan panik
d. Urtikaria akut generalisata
e. Aspirasi benda asing
f. Kelainan kardiovaskuler akut ( infark miokard, emboli paru)
g. Kelainan neurologis akut ( kejang, strok)
2. Sindromflush
a. Peri- menopause
b. Sindrom karsinoid
c. Epilepsi otonomik
d. Karsinoma tiroid meduler
3. Sindrom pasca- prandial
a. Scombroidosis, yaitu keracunan histamin dari ikan, misalnya tuna, yang
disimpan pada suhu tinggi.
b. Sindrom alergi makanan berpolen, umumnya buah atau sayuryang mengandung
protein tanaman yang telah bereaksi silang dengan alergen di udara
c. Monosodium glutamat atau Chinese restaurant syndrome
d. Sulfit
e. Keracunan makanan
24
Renjatan Anafilaksis
TATALAKSANA
.
1 Posisi trendelenburg atau berbaring dengan kedua tungkai diangkat (diganjal
dengan kursi) akan membantu menaikkan venous return sehingga tekanan darah
ikut meningkat.
.
2 Pemberian Oksigen 3-5 liter / menit harus dilakukan, pada keadaan yang amat
ekstrim tindakan t 29
.
3 rakeostomi atau krikotiroidektomi perlu dipertimbangkan.
4. Pemasangan infus, Cairan plasma expander (Dextran) merupakan pilihan utama
guna dapat mengisi volume intravaskuler secepatnya . Jika cairan tersebut tak
tersedia, Ringer Laktat atau NaCl fisiologis dapat dipakai sebagai cairan pengganti.
Pemberian cairan infus sebaiknya dipertahankan sampai tekanan darah kembali
optimal dan stabil.
5. Adrenalin 0,3- 0,5 ml dari larutan 1:1000 diberikan secara intramuskuler yang
.
dapat diulangi 5-10 menit Dosis ulangan umumnya diperlukan, mengingat lama
kerja adrenalin cukup singkat. Jika respon pemberian secara intramuskuler kurang
efektif, dapat diberi secara intravenous setelah 0,1-0,2 ml adrenalin dilarutkan
dalam spuit 10 ml dengan NaCl fisiologis, diberikan perlahan-lahan. Pemberian
25
m HfiSJHKHBl Alergi Imunologi
subkutan, sebaiknya dihindari pada syokanafilaktikkarena efeknya lambatbahkan
mungkin tidak ada akibat vasokonstriksi pada kulit, sehingga absorbsi obat tidak
terjadi.
6. Aminofilin, dapat diberikan dengan sangat hati- hati apabila bronkospasme belum
hilang dengan pemberian adrenalin. 250 mg aminofilin diberikan perlahan -lahan
selama 10 menit intravena. Dapat dilanjutkan 250 mg lagi melalui drips infus bila
dianggap perlu.
7. Antihistamin dan kortikosteroid merupakan pilihan kedua setelah adrenalin. Kedua
obat tersebut kurang manfaatnya pada tingkat syok anafilaktik, dapat diberikan
setelah gejala klinik mulai membaik guna mencegah komplikasi selanjutnya berupa
serum sickness atau prolonged effect. Antihistamin yang biasa digunakan adalah
difenhidramin HC15- 20 mg IV dan untukgolongan kortikosteroid dapat digunakan
deksametason 5-10 mg IV atau hidrokortison 100-250 mg IV.
8. Resusitasi Kardio Pulmoner ( RKP), seandainya terjadi henti jantung ( cardiac
arrest ) maka prosedur resusitasi kardiopulmoner segera harus dilakukan sesuai
dengan falsafah ABC dan seterusnya. Mengingat kemungkinan terjadinya henti
jantung pada suatu syok anafilaktik selalu ada, maka sewajarnya ditiap ruang
praktek seorang dokter tersedia selain obat-obat emergency , perangkat infus
dan cairannya juga perangkat resusitasi ( Resuscitation kit ) untuk memudahkan
tindakan secepatnya.
.
9 Penatalaksanaan reaksi anafilaksis
26
Renjatan Anafilaksis 0
HINDARKAN / HENTIKAN paparan alergen yang diketahui / dicurigai I
I
I 1
slmultan
CARI BANTUAN I
Hubungi 118 (ambulans)
atau RS terdekat
*
EPINEFRIN I
Segera injeksikan Epinefrin IM pada
mid-anterolateral paha
Dosls 0,01 mg/kgBB ( sediaan ampul
1mg/ml); maksimal pada dewasa 0,5
.
ELEVAS11
Telentangkan pasien dengan tungkai
bawah dielevasi. Posisi pemulihan bila
terjadi distres atau pasien muntah.
JANGAN BIARKAN PASIEN DUDUK
mg, maksimal pada anak 0,3 mg . ATAU BERDIRII
OBSERVASl I
Ulangi Epinefrin 5 - 15 menit kemudlan
bila belum ada perbaikan
INTRAVENA I RJP I
OKSIGEN I
Bila ada indikasi, beri Pasang Infos (dartgan jarum ukuian M 16 - Di setiap saat, apabila perlu, lakukan
Oksigen 6 - 8 liter / menit gauge) Bila syok . berikon NoCI 0,9% ! - ? Resusitasi Jantung Paru ( RJP ) dengan
-
liter secaro cepat (pada 5 10 menit kompresi jantung yang kontiniu ( Dewasa:
dengan sungkup muka atau
oro-pharyngeal airway -
pertama, dapat dlberikan 5 1 0 ml/kgBB 100 - 120 x/menit, kedalaman 5 6 cm.
-
( OPA ) . ontuk dewasa dan 10 ml/kgBB onluk anak ) Anak: 100 x /menit, kedalaman 4 5 cm) .
-
t I
MONITOR I
Nilai dan catat TANDA VITAL, STATUS MENTAL, dan OKSIGENASI setiap 5 15 menit sesuai
kondisi pasien.
-
Observasi 1 - 3 x 24 jam atau rujuk ke RS terdekat.
Untuk kasus ringan, observasi cukup dilakukan selama 6 jam
TERAPITAMBAHAN
Kortikosteroid untuk semua kasus berat, berulang, dan pasien dengan asma
o Methyl prednisolone 125 - 250 mg IV
o Dexamethasone 20 mg IV
-
o Hydrocortisone 100 500 mg IV pelan
-
Inhalasi short acting f } 2 agonist pada bronkospasme berat
Vasopressor IV
Antihistamin IV
Bila keadaan stabil, dapat mulai diberikan kortikosteroid dan antihistamin PO
selama 3 x 2 4 j a m
.
( Simons et al 2011 )
Kriteria Rujukan
Kegawatan pasien ditangani, apabila dengan penanganan yang dilakukan tidak
terdapat perbaikan, pasien dirujuk ke layanan sekunder .
KOMPLIKASI
Kerusakan otak, koma, kematian .
PROGNOSIS
Prognosis suatu syok anafilaktik amat tergantung dari kecepatan diagnosa dan
pengelolaannya karena itu umumnya adalah dubia ad bonam.
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan :-
• RS non pendidikan
REFERENSI
1. .
Simons FER, et.al 2012 Update: World Allergy Organization Guidelines
for the assessment and
management of anaphylaxis. Curr Opin Allergy Clin Immunol 2012; 12:
389-99
2. .
Simons FER, et.al World Allergy Organization Guidelines for the Assessmen
t and Management
of Anaphylaxis. WAO Journal 2011; 4:13-37
3. Baratawidjaja KG, Rengganis I. Reaksi Anafilaksis dan Anafilaktoid. Dalam
.
Interna Publishing 2009. Hal. 67-94. .
.
: Alergi Dasar Jakarta:
28
29
URTIKARIA
PENGERTIAN
Urtikaria adalah suatu kelainan yang terbatas pada superfisial dermis berupa
bentol (wheal ) yang terasa gatal, berbatas jelas, dikelilingi daerah eritematous, tampak
kepucatan di bagian tengahnya, bersifat sementara, gejala puncaknya selama 3-6 jam
dan menghilang dalam 24 jam, lesi lama berangsur hilang sejalan dengan munculnya lesi
baru, serta dapatterjadi di manapun pada permukaan kulit di seluruh tubuh, terutama
ekstremitas dan wajah. Episode urtikaria yang berlangsung kurang dari 6 minggu disebut
urtikaria akut, sedangkan yang menetap lebih dari 6 minggu disebut urtikaria kronik.1 4 '
Klasifikasi 2
-
1. IgE dependent: Sensitifitas terhadap alergen seperti tungau debu rumah, serbuk
sari, makanan, obat, jamur udara, bulu binatang peliharaan, venom Hymenoptera )
2. Fisik: dermografisme, dingin, cahaya, kolinergik, getaran, berhubungan dengan
olahraga
3. Autoimun
4. Perantaraan bradikinin
a. Angioedema herediter, defisiensi inhibitor Cl: null (tipe 1) dan disfungsional
(tipe 2]
b. Angioedema didapat: defisiensi inhibitor Cl : anti idiotipe dan anti- Cl inhibitor
c. -
^
Angiotensin converting enzyme ACE) inhibitor
5. Perantaraan komplemen
a. Vaskulitis nekrotikans
b. Serum -sickness
c. Reaksi produk darah
6. Non imunologis
a. Zat pelepas langsung sel mast (opiat, antibiotik, kurare, D-tubocurarin, media
radiokontras]
b. Zatpengubah metabolisme asam arakidonat (aspirin, NSAID, azo-dyes, benzoat)
7. Idiopatik
PanduanPraktlk Klinls
Pertilmpunan DokterSpesialis PenyakH Dalam Indonesia
# E5S5SSHM! Alergi Imunologi
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis 1 4
• Onset dan lamanya keluhan, apakah sudah pernah berulang atau baru pertama kali
• Faktor pencetus; misalnya zat farmakologis (seperti antibiotik, analgetik,
antikonvulsan, cairan infus, imunisasi), makanan tertentu, bahan pengawet, bahan
kimia (contact urticaria), rangsang tekanan ( pressure urticaria ) atau rangsang
fisik [ physical urticaria) seperti paparan dingin, air [ aquagenic urticaria ), cahaya
[ solar urticaria ) , dan trauma ringan.
• Faktor yang memperberat: seperti stres, temperatur panas, alkohol.
• Riwayat infeksi terutama karena virus (infeksi saluran napas atas, hepatitis, rubela]
Pemeriksaan Fisik1 4
• Bentuk, distribusi, dan aktivitas lesi urtikaria pada kulit
• Adakah angioedema pada profunda dermis dan jaringan subkutan, keterlibatan
mukosa atau submukosa, memar, keterlibatan jaringan ikat, dan edema kulit yang luas
• Kemungkinan kelainan sistemik atau metabolik, seperti gangguan tiroid, ikterus,
artritis
• Urtikaria yang ditemukan di tungkai saja dan tidak hilang dalam 24 jam dicurigai
adanya urtikaria vaskulitis.
Pemeriksaan Penunjang 1 4
• Pemeriksaan dasar: darah perifer lengkap, urin lengkap, fungsi hati, fungsi ginjal
• Tes Alergi
• IgE Atopi
DIAGNOSIS BANDING
Mastositosis (urtikaria pigmentosa ), mastositosis sistemik, vaskulitis kulit
.
[ cutaneous vasculitis) Episodic Angioedema Associated with Eosinophilia ( EAAE ),
angioedema herediter, urtikaria papular, dermatitis atopik, eritema ultiformis ,
pemfigoid bulosa ,1, 2,3
TATALAKSANA
• Paliatif, edukasi untuk mengurangi gejala, menghindari pencetus
• Urtikaria akut akan sembuh sendiri dan memberikan respons yang baik dengan
pemberian antihistamin generasi pertama.5
30
Urtikaria
• Medikamentosa:1
Lini 1 : Antihistamin generasi pertama (klorfeniramin, hidroksizin, difenhidramin ),
antihistamin generasi kedua (setirizin, loratadin], antagonis H 2 (simetidin,
ranitidin) per oral
Lini 2 : Kortikosteroid per oral jangka panjang, pada beberapa kasus yang berat,
kalau perlu dilakukan biopsi bila dicurigai adanya vaskulitis untuk klasifikasi
histopatologis. Bila disertai angioedema yang berat, injeksi adrenalin
intramuskular dapat diberikan.
KOMPLIKASI
• Sumbatan jalan napas akibat angioedema akut pada faring atau laring
• Gangguan tidur dan aktivitas sehari- hari
PROGNOSIS
Belum ada data pasti mengenai kasus urtikaria, tapi diperkirakan 15-23% individu
pernah mengalami urtikaria, dan sebagian besar menjadi kronik dan sering kambuh.
Pada 25 % kasus urtikaria seringkali disertai angioedema. Diperkirakan wanita dua
kali lebih sering mengidap urtikaria dari pada laki-laki.4
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Departemen Kulit dan Kelamin, Unit Perawatan Intensif
• RS nonpendidikan : Bagian Kulit dan Kelamin, Unit Perawatan Intensif
REFERENSI
1. Baskoro A, Soegiarto G, Effendi C, Konthen PG. Urtikaria dan Angioedema. Dalam: Setiati S, Alwi
.
I, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF, eds Buku Ajar llmu Penyakit Dalam Edisi VI
. .
Jilid I Jakarta: Interna Publishing; 2014. h495-503
2. .
Sundaru Heru. Urtikaria Dalam :Setiati Siti, et al editor. Lima Puluh Masalah Kesehatan Di Bidang
llmu Penyakit Dalam. jilid I. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen llmu Penyakit Dalam FKUI;
. .
2008 h 245-50
3. Baratawidjaja KG, Rengganis I. Urtikaria dan Angioedema dalam Alergi Dasar edisi ke- 1 . Jakarta:
Pusat Penerbitan llmu Penyakit Dalam;2009. Hal 95-123 .
4. Bernstein JA, et.al. The diagnosis and management of acute and chronic urticaria: 2014 update.
J Allergy Clin Immunol. 2014;133( 5):1270-7.
31
0 JSSSJESSSSSt Alergi Imunologi
5. .
Mtynek A, et al How to assess disease activity in patients with chronic urticaria ? Allergy .
. . .
2008;63 ( 6):777-80.http://www.ncbi nlm nlh gov/pubmed/18445192
6. Mathias SD.etal. Evaluating the minimally important difference of the urticaria activity score
another measures of disease activity In patients with chronic idiopathic urticaria. Ann Allergy
. .
Asthma Immunol 108 (2012) 20-24 http: //marcus-maurer info/ flleadmin/ documents/ publications/
_ _ _ _
original/ 121 Mathias et al Evaluating UAS_CIU_AAAI_2012 pdf .
32
33
PENGERTIAN
Imunisasi adalah induksi yang bertujuan untuk membentuk suatu imunitas dengan
berbagai cara, baik secara aktif maupun pasif . Sebagai contoh imunisasi pasif adalah
pemberian imunoglobulin , sedangkan vaksinasi merupakan imunisasi aktif dengan
cara pemberian vaksin.1
JENIS VAKSIN
Tabel 1. Jenb- jenis vaksin12
llpe Vaksin Contoh
Virus yang diemahkan (live attenuated virus ] Polio sabin, measles , mumps , rubela,
varicella, yellow fever
Bakteri yang diemahkan ( live attenuated BCG*, TY21 a ( vaksin oral tifoid)
bacterium)
Virus yang telah dimatikan ( killed whole virus ) Polio salk, influenza, hepatitis A
Set bakteri yang dimatikan ( killed whole cell Pertusis, kolera, antraks
bacterium )
Toxoid Difteri, tetanus
Molecular vaccine: protein .
Acellular pertusis, subunit influenza Hepatitis B,
HPV **
Molecular vaccine: carbohydrate Haemophilus influenza type B ( Hib ) , Vi tifoid,
meningokok, pneumokok
Molecular vaccine: carbohydrate-protein Hib, meningokok, pneumokok
conjugate
Combination vaccine Difteri, pertusis, tetanus (DPT ) ; measles-
mumps-rubella ( MMR ) ; DPT-Hib
.
*BCG = Badus Catnette-Guerin vaksin antituberkulosis
**HPV = Human Papdoma Virus
Beberapa vaksin dapat diberikan secara bersamaan pada satu waktu. Bila dua atau
lebih vaksin hidup diberikan secara terpisah, maka sebaiknya pemberian pertama dan
keduaberjaraklebih daripada 28 hari . Apabila pemberian vaksin hidup ( MMR, MMRV,
varicella zoster, yellow fever ) dilakukan kurang daripada 28 hari, maka pemberian
vaksin hidup kedua perlu diulang untuk mencegah menurunnya efektivitas vaksin
34
Tabel 2. Jadwal Imunisasi Dewasa yang Direkomendasikan oleh PAPDI Tahun 2014
Vaksln 19-22iohun 22-24 tahun «
27- 9 tahun -
50 S9 tahun
Influenza 1 dosis setiap tahun
(Td/Tdap) Imunisasi primer diberikan 3 dosis (bulan ke-0, 1, 7-13) selanjutnya 1 dos
tahun
Varicella 2 dosis bulan ke 0 & 4 8
( - - minggu kemudian )
Human Papilloma Virus (HPV ) 3 dosis HPV bivalent / quadrivalent ( bulan ke-0, / atau 2, dan 6 )
untuk perempuan
Human Papilloma Virus ( HPV ) HPV quadrivalent 3 dosis (bu/an ke-0,
untuk laki-laki 2, dan 6 )
Zoster
MMR 1 atau 2 dosis ( jeda minimum 28 hari)
Pneumokokal konjugat
13-valent ( PCV-13)
Pneumokokal polisakarida 1 atau 2 dosis (pengulangan diberikan setelah 5 tahun)
tfS: Panduan Praktik Klinis Alergi Imunologi
-'
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakif Dalam Indonesia
' v
USIA LANJUT
Orang yang berusia di atas 60 tahun memiliki kekebalan tubuh yang menurun.
Produksi dan proliferasi limfosit T berkurang sesuai usia sehingga imunitas selular
dan produksi antibodi berkurang sehingga lebih mudah terserang penyakit.4 Menurut
American Geriatrics Society, vaksinasi yang dianjurkan bagi individu > 65 tahun yaitu,
seperti tercantum pada tabel 3.
36
Vaksinasi pada Orang Dewasa 0
HAMIL
Pada wanita hamil terjadi perubahan pada tubuhnya termasuk sistem imun. Pada
kehamilan, sistem imun mengalami pergeseran dari imunitas selular menjadi imunitas
humoral sehingga wanita hamil rentan terkena infeksi.6
Rekomendasi vaksinasi untuk wanita hamil dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
-
Mcningokok Jika ada Ya, Jika ada Jika ada
konjugaR indikasi indikasi indikasi inaktif IM
• PoBsakorida inaktif SC
Pneumokok Jika ada Jika ada indikasi Jika ada inaktif IM atau SC
indikasi indikasi
Palo (TV) Jika ada Dihindari, kecuali Jika ada inaktif SC
indikasi ada risiko indikasi
Ya, Tdap lebih Jika ada indikasi Ya, Tdap lebih toxoid IM
Diplieita(Td) dipilih dipilih
Tetonus- Ya Ya, Jika risiko Ya toxoid IM
tinggi pertusis
Pedusn(Tdap)
V< Ya, hindari Tidak Ya, hindari hidup SC
konsepsi konsepsi
selama 4 selama 4
minggu minggu
Influenza (LAIV) Ya, jika <50 Tidak Ya, jika <50 hidup Nasal spray
tahun dan tahun dan
sehat; hindari sehat; hindari
konsepsi konsepsi
selama 4 selama 4
minggu minggu
MMR Ya, hindari Tidak Ya, hindari hidup SC
konsepsi konsepsi
selama 4 selama 4
minggu minggu
37
# ESSSjfiSSlSHS Alergi Imunologi
HAJI1 8
Kementerian Kesehatan Kerajaan Arab Saudi, sejaktahun 2002 telah mewajibkan
negara - negara yang mengirimkan jemaah haji untuk memberikan vaksinasi
meningokoktetravalen (A/C/Y/W-135) sebagai syarat pokok pemberian visa haji dan
umroh, dalam upaya mencegah penularan meningitis meningokokus. Cara pemberian
vaksin berupa dosis tunggal 0,5 mL disuntikkan subkutan di daerah deltoid atau gluteal.
Respons antibodi terhadap vaksin dapat diperoleh setelah 10 -14 hari dan dapat
bertahan selama 2 -3 tahun. Vaksin diberikan pada jemaah haji minimal 10 hari sebelum
berangkat ke Arab Saudi dan bagi jemaah yang sudah divaksin sebelumnya ( kurang
dari tiga tahun ) tidak perlu vaksinasi ulang.
Di samping vaksin meningokok dianjurkan juga pemberian vaksin influenza dan
pneumokok mengingat lingkungan tempat tinggal yang berdesakkan dan usia jemaah
yang sebagian besar termasuk usia lanjut.
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Bagian Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam
38
Vaksinasi* pada Orang Dewasa $|
?
REFERENSI
1 . Winulyo EB. Imunisasi Dewasa. Dalam: Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B,
Syam AF (ed) . Buku Ajar llmu Penyakit Dalam Jilid I. Edisi ke-6. Jakarta: Interna Publishing: 2014.
h. 951-7.
2. Yunihastuti E. Vaksinasi pada Kelompok Khusus. Dalam: Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata
M , Setiyohadi B, Syam AF (ed.) . Buku Ajar llmu Penyakit Dalam Jilid I. Edisi ke-6. Jakarta: Interna
. . .
Publishing; 2014 h 958-62
3. .
Center for Disease Control & Prevention Recommended immunization schedule, United States .
Washington DC: Center for Disease Control & Prevention; 2014.
4. The American Geriatrics Society. A Pocket Guide To Common Immunization for the Older Adults .
Centers for Disease Control and Prevention. USA, 2009 .
.
5 Wahyudi ER, Yasmin E. Vaksinasi pada Usia Lanjut. Dalam: Pedoman Imunisasi pada Orang
. . .
Dewasa Djauzi S, Rengganis I, Koenoe S, Ahani AR (ed) Tahun2012 Jakarta: Badan Penerbit
.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2012. h 261-7.
6. Ocvyanti D, Novianti H. Vaksinasi pada Kehamilan. Dalam: Pedoman Imunisasi pada Orang
.
Dewasa Djauzi S, Rengganis I, Koenoe S, Ahani AR ( ed) . Tahun2012. Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2012. h.268-79.
7. Yunihastuti E, Winulyo BE, Sukmana N, Yogani I. Vaksinasi pada Pasien Imunokompromais.
Dalam: Pedoman Imunis'asi pada Orang Dewasa. Djauzi S, Rengganis I, Koenoe S, Ahani AR ( Ed).
.
Tahun2012 Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: 2012 h.331-41 . .
8. Koesnoe S, Novianti H. Vaksinasi untuk Jemaah Umroh dan Haji. Dalam: Pedoman Imunisasi
pada Orang Dewasa. Djauzi S, Rengganis I, Koenoe S, Ahani AR ( ed). Tahun2012. Jakarta: Badan
.
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2012. h 320-6.
39
40
PENGERTIAN
Masalah HIV/AIDS adalah masalah besar yang mengancam Indonesia dan banyak
negara di dunia serta menyebabkan krisis multi dimensi. Berdasarkan basil estimasi
Departemen Kesehatan tahun 2006 diperkirakan terdapat 169.000 - 216.000
orang dengan HIV dan AIDS di Indonesia. Program bersama UNAIDS dan WHO
memperkirakan sekitar 4,9 juta orang hidup dengan HIV di Asia.
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Keluhan
Infeksi HIV tidak akan langsung memperlihatkan gejala atau keluhan tertentu.
Pasien datang dapat dengan keluhan:
1. Demam (suhu > 37,5°C) terus menerus atau intermiten lebih dari satu bulan.
2. Diare yang terus menerus atau intermiten lebih dari satu bulan.
.
3 Keluhan disertai kehilangan berat badan ( BB) >10% dari berat badan dasar.
4. Keluhan lain bergantung dari penyakit yang menyertainya.
Faktor Risiko
1. Penjaja seks laki-laki atau perempuan
2. Pengguna NAPZA suntik
3. Laki-laki yang berhubungan seks dengan sesama laki-laki dan transgender
4. Hubungan seksual yang berisiko / tidak aman
5. Pernah atau sedang mengidap penyakit infeksi menular seksual (IMS)
6. Pernah mendapatkan transfusi darah
7. Pembuatan tato dan atau alat medis /alat tajam yang tercemar HIV
8. Bayi dari ibu dengan HIV/AIDS
9. Pasangan serodiskor (yang satu terinfeksi HIV, lainnya tidak) dan salah satu
pasangan positif HIV
PanduanPraktlk Minis
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
HIV /AIDS Tanpa Komplikasi
Pemeriksaan fisik
1. Keadaan Umum
a. Herat badan turun
b. Demam
2. Kulit
a. Tanda-tanda masalah kulit terkait HIV misalnya kulit kering, dermatitis
seboroik.
b. Tanda-tanda herpes simpleks dan zoster atau jaringan parut bekas herpes
zoster.
3. Pembesaran kelenjar getah bening
4. Mulut: kandidiasi oral, oral hairy leukoplakia, keilitis angularis
5. Dada: dapat dijumpai ronki basah aldbat infeksi paru
6. Abdomen: hepatosplenomegali, nyeri, atau massa.
7. Anogenital: tanda-tanda herpes simpleks, duh vagina atau uretra
8. Neurologi: tanda neuropati dan kelemahan neurologis.
Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
a. Hitung jenis leukosit :
Limfopenia, dan CD4 hitung <500 (CD4 sekitar 30 % dari jumlah total limfosit)
b. Tes HIV menggunakan strategi III yaitu menggunakan 3 macam tes dengan titik
tangkap yang berbeda, umumnya dengan ELISA dan dikonfirmasi Western Blot
c. Pemeriksaan DPL
.
2 Radiologi: Rontgen toraks
Sebelum melakukan tes HIV perlu dilakukan konseling sebelumnya. Terdapat dua
macam pendekatan untuktes HIV :
1. Konseling dan tes HIV sukarela (KTS-VCT = Voluntary Counseling & Testing )
'
2. Tes HIV dan konseling atas inisiatif petugas kesehatan (TIPK - PITC - Provider-
Initiated Testing and Counseling )
41
# E55SSSS& Alergi Imunologi
42
HIV / AIDS Tanpa Komplikasi
DIAGNOSIS BANDING
Penyakit gangguan sistem imun.
TATALAKSANA
Prosedur
Untuk memulai terapi anti retroviral perlu dilakukan pemeriksaan jumlah CD 4
(bila tersedia) dan penentuan stadium klinis infeksi HIV.
1. Dokter melakukan workup kemungkinan adanya infeksi oportunistik, seperti
tuberkulosis dan ensefalitis toksoplasma. Bila di temukan infeksi oportunistik seperti
tuberkulosis dan ensefalitis toksoflasma, lakukan terapi untuk infeksi oportunistik
tersebut dahulu.
2. Dilakukan pemeriksaan CD4 dan viral load (bila memungkinkan)
3. Tidak tersedia pemeriksaan CD 4
Penentuan mulai terapi ARVdidasarkan pada penilaian klinis.
4. Pada pasien dengan CD4 < 200 pada orang dewasa dan tidak ditemukan toksoplasma
ensefalitis , berikan profilaksis untuk toksoplasma ensefalitis, yaitu kortimoksasol .
Indikasi pada anak sesuai bagian profilaksis pencegahan kortimoksasol diatas .
5. Dokter mengidentifikasi apakah terdapat indikasi untuk memulai ARV seperti pada
tabel 2 .
6. Bila terdapat indikasi memulai ARV dilakukan pemeriksaan yang menunjang yang
sesuai dengan ARV yang diberikan untuk mengetahui ada tidaknya kontraindikasi
sesuai dengan hasil pemeriksaan laboratorium pada tabel 2 .
7. Identifikasi dan tatalaksana fk +ctor yang dapat mempengaruhi adherens .
8. Sebelum memulai ARV, pasien diberikan konseling sebelum memulai ARV
(konseling pra ARV)
Tabel 2. Rekomendasi Inisiasi ARV pada anak dan Dewasa
Populasl Rekomendasi
Dewasa dan Inisiasi ARV pada orang terinfeksi HIV stadium klinis 3 dan 4, atau jika jumlah CD4
anak >5 tahun 350 sel/mm3
.
Inisiasi ARV tanpa melihat stadium klinis WHO dan berapapun jumlah CD4
Koinfeksi TBa
• Koinfeksi hepatitis B
• Ibu hamil dan menyusui terinfeksi HIV
• Orang terinfeksi HIV yang pasanganya HIV negative ( pasangan serodiskordan) ,
untuk mengurangi risiko penularan
• LSL, PS, atau Penasunb
Populasi umum pada daerah dengan epidemi HIV meluas
•
- sejak mulai TB. tanpa menghentikan
^PengobatonTB haiusdl mulai ferlebih dahulu, kemudian obat ARV diberikan dalam 2 8 minggu
i pengobatan TB.
i : • CD 4 kurang dari 50 sel / mm , ARV harus dimulai dalam
3 '
| okut
Sodangkan unliJk ODHA dengan meningitis kriptokokus, ARV dimulai setelah 5 minggu pengobatan rfi
1 ,i |
BDengan memperhatikan kepatuhan.
43
KSE5S* Alergi Imunologi
Tabel 3. Pondnan In Pertama yang Dkekomendasacan poda Orang Dewasa yang Belum
Mendapat Tempi ARV fTreatment Naive )
roputadToget yang Dfcefcomendadnai
Dewasa dan AZT aicM TDF + 3TC (atau FTC) + Merupcfccn pBxn paduan yang sesuai
arx * EVFatauNVP untuk sebagtan besar pasien
Gonckan FDC pea tetsedta
Perempuan bami AZT + 3IC + EFV atau NVP TDF btsa merupakan piihan
Ko-infeksi HIV/IB AZT atau TDF + 3TC (FTC) + BV Muia terapi ARV segera setetoh terapi
TB dapat cftolercnsi (antaa 2 minggu
hingga 8 minggu)
Gundcai NVP atau tripe! NRT1 bSa EFV
44
a. Pemantauan klinis
HIV/AIDS Tanpa Komplikasi
dan kemudian setiap 6 bulan bila pasien telah mencapai keadaan stabil.
b. Pemantauan laboratorium
• Pemantauan CD4 secara rutin setiap 6 bulan, atau lebih sering bila ada
indikasi klinis.
• Pasien yang akan memulai terapi dengan AZT maka perlu dilakukan
pengukuran kadar Hemoglobin (Hb) sebelum memulai terapi dan pada minggu
ke 4, 8 dan 12 sejak mulai terapi atau ada indikasi tanda dan gejala anemia
• Bila menggunakan NVP untuk perempuan dengan CD4 antara 250-350 sel/
mm3 maka perlu dilakuan pemantauan enzim transaminase pada minggu
2, 4, 8 dan 12 sejak memulai terapi ARV [bila memungkinkan ), dilanjutkan
dengan pemantauan berdasarkan gejala klinis.
• Evaluasi fungsi ginjal perlu dilakukan untuk pasien yang mendapatkan I DE
Kriteria Rujukan
1. Setelah dinyatakan terinfeksi HIV maka pasien perlu dirujuk ke Pelayanan
Dukungan Pengobatan untuk menjalankan serangkaian layanan yang meliputi
penilaian stadium klinis, penilaian imunologis dan penilaian virologi.
2. Pasien HIV/AIDS dengan komplikasi.
Sarana Prasarana
Layanan VCT
PROGNOSIS
Prognosis sangat tergantung kondisi pasien saat datang dan pengobatan. Terapi
hingga saat ini adalah untuk memperpanjang masa hidup, belum merupakan terapi
definitif, sehingga prognosis pada umumnya buruk.
m
# tSSSSBSSi
'
A ergi Imunologi
REFERENSI
1. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman Nasional
Tatblaksana Ififeksi HIV dan ferapi Antiretroviral pada Orang Dewasa.Jakarta: Kemenkes. 2011.
.
2 . .
Djoerban Z, Djauzi S HIV /AIDS di Ihdbnesia Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata
. . . .
M, Setjati S Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam 4lhEd Vol II Jakarta; Pusat Penerbitan Departemen
Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2006. Hal. 1825-30 .
.
3 . .
Yunihastuti E, Karjadi TH, Suroyo Yudianto B, Nelwan JE, Ujainah ZN, Kurniati N, Imran D, dkk
Pedoman Layanan HIV RSCM 2014 .
46
PENATALAKSANAAN
DIBII 1GI UPENYAKIT
PANDUANH
PRAKTIK M2
KIINIS I M
METABOLIK ENDOKRIN
Diabetes Melitus 47
Diabetes Melitus Gestasional 60
Dislipidemia 64
Hipoglikemia 73
Hipogonadisme 77
Hipoparatiroidisme . 83
Hipotiroidisme 85
Hiperparatiroidisme 90
Karsinoma Tiroid 93
Kelainan Adrenal 96
Kista Tiroid 105
Krisis Hiperglikemia 109
Krisis Tiroid 115
Perioperatif Diabetes Melitus 118
Kaki Diabetik 123
Sindrom Ovarium Polikistik ( PCOS ) 131
Struma Difusa Non Toksik 134
Struma Nodosa Non Toksik ( SNNT ) 137
Struma Nodosa Toksik 144
Tiroiditis 147
Tirotoksikosis 151
Tumor Hipofisis 156
Obesitas 162
*
!
47
DIABETES MELITUS
PENGERTIAN
Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia kronik yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja
insulin, atau kedua- duanya. 1 Dalam praktik sehari - hari DM tipe 2 yang paling sering
ditemui , sehingga pembahasan lebih banyak difokuskan pada DM tipe 2 .
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Kriteria diagnosis DM (Gambar 1) 11
1. Gejala klasik DM + glukosa plasma scwaktu > 200 mg/dl
Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari
tanpa mcmperhatikan waktu makan terakhir atau
2. Gejala klasik DM + glukosa plasma puasa > 126 mg/dL
Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam
3. Glukosa plasma 2 jam pada TTGO > 200 mg/dl
TTGO dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang setara
dengan 75 gram glukosa anhidrat yang dilarutkan ke dalam air.
l
low 25
I < 100
< 140
I
140-199
DIABETES MHITUS
48
Diabetes Melitus |j?
|
Cara pelaksanaan TTGO (WHO, 1994) 1
• Tiga hari sebelum pemeriksaan, pasien tetap makan seperti kebiasaan sehari-hari
(dengan karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan kegiatan jasmani seperti
biasa)
• Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan, minum
air putih tanpa gula tetap diperbolehkan
• Diperiksa kadar glukosa darah puasa
• Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa) atau 1,75 gram / kgBB (anak-anak),
dilarutkan dalam air 250 ml dan diminum dalam waktu 5 menit
• Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam
setelah minum larutan glukosa selesai
• Diperiksa kadar glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa
Selama proses pemeriksaan, subjek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok
1
•
ANAMNESIS
• Gejala yang timbul
• Hasil pemeriksaan laboratorium terdahulu meliputi : glukosa darah, A1C, dan hasil
pemeriksaan khusus yang terkait DM
• Pola makan, status nutrisi, dan riwayat perubahan berat badan
• Riwayat tumbuh kembang pada pasien anak/ dewasa muda
• Pengobatan yang pernah diperoleh sebelumnya secara lengkap, termasuk terapi gizi
medis dan penyuluhan yang telah diperoleh tentang perawatan DM secara mandiri,
serta kepercayaan yang diikuti dalam bidang terapi kesehatan
• Pengobatan yang sedang dijalani, termasuk obat yang digunakan, perencanaan
makan dan program latihan jasmani
• Riwayat komplikasi akut (ketoasidosis diabetik, hiperosmolar hiperglikemia, dan
hipoglikemia)
• Riwaya infeksi sebelumnya, terutama infeksi kulit, gigi, dan traktus urogenitalis
serta kaki
• Gejala dan riwayat pengobatan komplikasi kronik (komplikasi pada ginjal, jantung,
susunan saraf, mata, saluran pencernaan, dll.)
• Pengobatan lain yang mungkin berpengaruh terhadap glukosa darah
• Faktor risiko: merokok, hipertensi, riwayat penyakit jantung koroner, obesitas, dan
riwayat penyakit keluarga (termasuk penyakit DM dan endokrin lain)
Riwayat penyakit dan pengobatan di luar DM
• Pola hidup, budaya, psikososial, pendidikan, dan status ekonomi
• Kehidupan seksual, penggunaan kontrasepsi, dan kehamilan1
49
© Metabolik Endokrin
Pemeriksaan Fisik1
• Pengukuran tinggi badan, berat badan, dan lingkar pinggang
• Pemeriksaan ekstremitas atas dan bawah, termasuk jari
• Pemeriksaan funduskopi
• Pemeriksaan rongga mulut dan kelenjar tiroid
• Pemeriksaan jantung
• Evaluasi nadi, baik secara palpasi maupun dengan stetoskop
• Pemeriksaan kulit (acantosis nigrican dan bekas tempat penyuntikan insulin) dan
pemeriksaan neurologis
• Pengukuran tekanan darah, termasuk pengukuran tekanan darah dalam posisi
berdiri untuk mencari kemungkinann adanya hipotensi ortostatik, serta ankle
brachial index (ABI), untuk mencari kemungkinan penyakit pembuluh darah arteri
tepi
• -
Tanda tanda penyakit lain yang dapat menimbulkan DM tipe lain1
Pemeriksaan Penunjang
• Glukosa darah puasa dan 2 jam post prandial
• HbAlc
• Profil lipid pada keadaan puasa (kolesterol total, HDL, LDL, dan trigliserida)
• Kreatinin serum
• Albuminuria
• Keton, sedimen, dan protein dalam urin
• Elektrokardiogram
• Foto sinar -x dada
1
DIAGNOSIS BANDING
• Hiperglikemia reaktif
• Pre diabetes
TATALAKSANA
Non farmakologisu
• Edukasi
• Terapi gizi medis
• Kebutuhan kalori'
50
Diabetes Melitus
^
Berat Badan Idaaj BI) • x 1 kg
Bagi pria dengan tinggi badan < 160 cm dan wanita <150 cm
i: . i 3 ^ :
rumus dimodifikasi menjadi :
. BBI = (TB dalam cm -100) x 1 kgBB
normal : BBI ± 10%
BB kurus : < (BBI - 10%)
BB gemuk : > (BBI + 10%) Induks massa tubuh
CIMT) dapat dihitung dengan rumus :
BB(kg )
IMT=
TB(m2 )
Faktor -
faktor yang menentukan kebutuhanikalori:
1. Umur
--
- 40 59 tahun 5%
- 60 69 tahun -10%
-
- >70 tahun -20%
2. AktiyitasFisik atau Pekerjaan
- Istirahat +10P/o;
- Aktivitas ringan + 20,%
- Aktivitas sedang + 30%
- Aktivitas sangat berat +50%
3. Berat Badan
- Kegemukan -20 30% -
- Kurus + 20 30% -
4. Stres metabolik: +10 30% -
51
MPJHSSSS Metabolik Endokrin
Untuk wanita paling sedikit 1000-1200 kkal, untuk pria 1200-1600 kkal, dibagi
menjadi makan pagi (20%), siang (30%), dan sore (25%), serta 2-3 porsimakanan
ringan (10 -15%) diantaranya.
• Karbohidrat
Karbohidrat 45-65% total asupan energi, diutamakan yang berserat tinggi
Pembatasan karbohidrat total <130 gr/ hari tidak dianjurkan
Gula dalam bumbu diperbolehkan, sukrosa < 5% total asupan energi
Pemanis alternatif dapat digunakan asal tidak melebihi batas aman konsumsi
harian
Makan 3x/hari. makanan selingan buah atau makanan lain sebagai bagian dari
kebutuhan kalori lain dapat diberikan
• Lemak
Asupan lemak + 20 - 25 % kebutuhan kalori. Tidak diperkenankan melebihi
30 % total asupan energi
Lemak jenuh <7% kebutuhan kalori
Lemak tak jenuh ganda < 10%, selebihnya dari lemak tak jenuh tunggal
Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung lemak
jenuh dan lemak trans antara lain : daging berlemak dan penuh susu ( whole
milk)
Anjuran konsumsi kolesterol < 200 mg/ hari
• Protein
-
10 20% total asupan energi
Sumber protein yang baik adalah seafood (ikan, udang, cumi, dll), daging tanpa
lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-kacangan. tabu,
dan tempe
Pada pasien dengan nefropati : 0,8 g/ KgBB / hari atau 10% kebutuhan energi
dan 65% hendaknya bernilai biologik tinggi
52
Diabetes Melitus
• Natrium
< 3000 mg atau sama dengan 6 - 7 gram (1 sendok teh) garam dapur
Mereka yang hipertensi , pembatasan natrium sampai 2400 mg
Sumber natrium antara lain adalah garam dapur, vetsin, soda, dan bahan
pengawet seperti natrium benzoat dan natrium nitrit
Serat
Kacang - kacangan, buah, sayuran, serta sumber karbohidrat yang tinggi serat
25 g/ hari
-±
• Pemanis alternatif
- Fruktosa tidak dianjurkan
Pemanis sesuai batas aman konsumsi harian
Pemanis tak berkalori yang dapat digunakan: aspartam, sakarin, acesulfam
potassium, sukralose, dan neotame
• Latihan
Teratur, 4- 5x seminggu selama kurang lebih 30 menit (total durasi minimal
150 menit/ minggu)
Yang dianjurkan, yang bersifat aerobik : jalan kaki , bersepeda santai . jogging ,
dan berenang
Farmakologis 13
53
fl 5!!!!, !?““* Metabolik Endokrin
Golongan Genartk Mg/tab Doris Harlan (mg) Lama k«r]a
Frek/hari Waktu
(Jam)
15-30 15-45 18-24 1
Pengham- Acarbose 50-100 100-300 3
bat Glukosi-
dase alfa
50- 100 100-300 3
Biguanid Metformin 500-850 250-3000 6-8 1 -3
500 500-3000 6-8 2-3
Metformin XR 500-750 24 1
500 500-2000 24 1
Pengham- Vildagliptin 50 50-100 12-24 1 -2
bat DPP-IV
Sitagliptin 25, 50, 100 25-100 24 1
Saxagliptin 5 5 24 1
Linagliptin 5 5 24 1
Individualisasi Terapi
Berdasarkan pedoman yang dikeluarkan oleh ADA / EASD 2012 , maka diperlukan
pendekatan individual untuk menentukan regimen dan target pengobatan pada
penyandang DM tipe 2.4
55
PanduanPrahilkHlinis Metabolik
Soeoallt
Pmhlmpunan Doktm! ' Endokrin
Penyall Dolam mdoneiM
KOMPLIKASI
Ketoasidosis diabetik ( KAD], status hiperglikemia hiperosmolar (SHH), hipoglikemi,
retinopati, nefropati, neuropati, penyakit kardiovaskular.1'3
PROGNOSIS
Diabetes menyebabkan kematian pada 3 juta orang setiap tahun ( 1, 7 - 5, 2%
kematian di dunia) . 1
56
DM Tahap-I Tahap- ll
GHS
GHS
+
Monoterapi
GHS
> +
Catalan: Kombinasi 2 OHO
1. GHS= gaya hidup sehat
2. Dinyatakan gagal bila terapi
selama 2-3 bulan pada tiap
Jalur pilihan alternate, bila:
tahap tidak mencapai target
tidak terdapat insulin
terapi HbAlc <7%
00
I < 7%
I 7-8%
I 8 - 9%
I > 9%
I 9
I GHS
GHS GHS
+ +
Monoterapi Kombinasi 2
Gaya Hidup
Met, SU, AGI, obat
Sehat
Glinid, TZD, Met, SU, AGI,
• Penu-
njnan be- DPP 4- 1 Glinid, TZD,
rat badan DPP 4-1
• Mengatur GHS
diit +
• Latihan
Diabetes Melitus
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Divisi Ginjal- Hipertensi, Divisi Kardiologi - Departemen
Penyakit Dalam, Departemen Neurologi, Patologi Klinik,
Mata dan Gizi .
• RS non pendidikan : Bagian Neurologi , Patologi Klinik, Mata dan Gizi .
REFERENSI
1. PERKENI. (Consensus Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. 2011 .
2. The Expert Committee on The Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus. Report of The
Expert Committee on The Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus. Diabetes Care, Jan
2003:26(Suppl. 1):S5-20.
3 . Suyono S. Type 2 Diabetes Mellitus is a Beta-Cell Dysfunction. Prosiding Jakarta Diabetes Meeting
2002: The Recent Management in Diabetes and Its Complications : From Molecular to Clinic.
Jakarta, 2-3 Nov 2002. Slmposium Current Treatment in Internal Medicine 2000. Jakarta,11-12
November 2000:185-99.
4. Inzucch SE, Bergenstal RM, Buse JB et al. Management of HyperglycemiainType2 Diabetes: A
Patient-Centered Approach. Position Statement of the American Diabetes Association ( ADA )
and the European Association for the Study of Diabetes ( EASD).Diunduh dari http:/ /care.
diabetesjournals.org/content /35/ 6/ 1364.full.pdf+html pada tanggal 7 Juni 2012
59
60
PENGERTIAN
Diabetes Melitus Gestasional (GDM) adalah diabetes yang didiagnosis pertama kali
saat kehamilan, dan terjadi pada 5-10% kehamilan. Definisi ini berlaku dengan tidak
memandang apakah pasien diabetes melitus hamil yang mendapatterapi insulin atau
diet saja, juga apabila pada pasca persalinan keadaan intoleransi glukosa menetap.
Demikian pula ada kemungkinan pasien tersebut sebelum hamil sudah terjadi
intoleransi glukosa. Resistensi insulin pada kehamilan normal diperkirakan meningkat
40- 70 % umumnya pada trimester pertama. Pada GDM terjadi gangguan fungsi sel beta
pankreas, dan terjadi penurunan insulin. Resistensi insulin memperberat keadaan
defek sel beta pankreas pada GDM. Risiko tinggi diabetes gestasional:
1. Umur lebih dari 30 tahun
2. Obesitas dengan indeks massa tubuh > 30 kg/ m 2
3. Riwayat diabetes melitus dalam keluarga
4. Pernah menderita diabetes melitus gestasional sebelumnya
5. Pernah melahirkan anak besar > 4000 gram
6. Adanya glukosuria
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Wanita dengan diabetes gestasional hampir tidak pernah memberikan keluhan,
sehingga perlu dilakukan skrining. Anamnesis ditujukan untuk mencari faktor risiko
diabetes melitus gestational.
Pemeriksaan Fisik
Pada umumnya tidak ditemukan kelainan pada pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan Penunjang
• Pemeriksaan laboratorium: glukosa darah puasa dan 2 jam sesudah makan, HbAlc
Tabel 1 . Nilai Glukosa Plasma Puasa dan Tes Toleransi Glukosa Oral dengan Beban Glukosa 75
gram
Glukosa plasma puasa
• Normal <110 mg/dl
• Glukosa puasa terganggu >110 mg/dl - <126 mg/dl
Diabetes melitus Si 26 mg/ dl
Glukosa plasma 2 jam setelah pemberian 75 gram glukosa oral
• Normal <140 mg/dl
• Toleransi glukosa terganggu 2:140 mg/dl - <200 mg/dl
• Diabetes melitus S200 mg / dl
DIAGNOSIS BANDING
TATALAKSANA
1. Terapi Nutrisi Medik
a. Jumlah kalori yang dianjurkan adalah 30 kkal/berat badan ideal sebelum hamil.
b. Sasaran glukosa plasma puasa < 105 mg / dl dan dua jam setelah makan < 130
mg / dl. Apabila sasaran tidak tercapai dapat diberikan terapi insulin
2. TerapiInsulin
a. Jenis insulin yang dipakai adalah insulin manusia.
b. Insulin analog dipakai jika tidak tersedia insulin manusia.
c. Dosis dan frekuensi sangat tergantung kadar glukosa darah.
d. Pada umumnya insulin dihentikan pada saat pasien bersalin untuk mencegah
hipoglikemia
3. Terapi Farmakologis
Tabel 2. Terapi Farmakologis pada Diabetes Melitus Gestasional
Insulin Gllbenldamld Metformlnb
Mekanisme Pengambilan insulin Menstimulasi sekresi insu- Meningkatkan
melalui reseptor lin oleh sel beta pankreas sensitivitas terhadap
insulin, menstimulasi
pengambilan glu-
kosa yang disebab-
kan insulin
61
KSKSSMHI Metabolik Endokrin
KOMPLIKASI
• Komplikasi pada ibu
Preeklampsi
Infeksi kandung kemih
Persalinan seksio sesaria
Dan trauma persalinan akibat bayi besar
• Komplikasi pada anak
Makrosomia (paling sering)
Hambatan pertumbuhan janin
Cacat bawaan
Hipoglikemia
Hipokalsemia dan hipomagnesemia
Hiperbilirubinemia
Polisitemia hiperviskositas
Sindrom gawat napas neonatal
PROGNOSIS
Hipertensi kronik terjadi pada 1 dari 10 ibu hamil dengan diabetes melitus . 3
Preeklamsia terjadi lebih sering pada wanita dengan diabetes melitus (mencapai
62
Diabetes Melitus Gastasional |S|
UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : Divisi Kardiologi , Departemen Patologi Klinik , Gizi Klinik
• RS non Pendidikan : Bagian Patologi Klinik, Gizi Klinik
REFERENSI
1 . .
Adam JMF Diabetes Melitus Gestasional dalam Buku Ajar llmu Penyakit Dalam Jilid III edisi IV.
Pusat Penerbitan Departemen llmu enyakit Dalam. Jakarta, 2006 ( 1927-1929)
2. Pridjian G, Benjamin TD. Update Gestational Diabetes. Obstet Gynecol Clin N Am 37 ( 2010) 255-267
3. Tobias DK, Hu FB , Forman JP, Chavarro J, Zhang C. Increased Risk of Hypertension After
Gestational Diabetes Mellitus: Findings from a large prospective cohort study. Diabetes Care .
Jul 2011:34( 7) :1582-4.
4. Yogev Y, Xenakis EM, Longer O. The association between preeclampsia and the severity of
gestational diabetes: the impact of glycemic control. Am J Obstet Gynecol. Nov 2004:191 (5 ):1655 60.
5. Lucas MJ, Leveno KJ, Williams ML, Raskin P, Whalley PJ. Early pregnancy glycosylated hemoglobin,
severity of diabetes, and fetal malformations. Am J Obstet Gynecol. Aug 1989:161 ( 2):426-31
6. Ehrenberg HM, Mercer BM, Catalano PM. The influence of obesity and diabetes on the prevalence
of macrosomia. Am J Obstet Gynecol. Sep 2004:191 (3):964-8
63
64
DISLIPIDEMIA
PENGERTIAN
Dislipidemia adalah kelainan metabolisme lipid yang ditandai dengan peningkatan
atau penurunan fraksi lipid dalam plasma. Kelainan fraksi lipid yang utama adalah
kenaikan kadar kolesterol total, kolesterol LDL, trigliserida, serta penurunan kadar
kolesterol HDL. European Atherosclerosis Society ( EAS ) menetapkan klasifikasi
sederhana yaitu : 1
• Hiperkolesterolemia (peningkatan lipoproterin LDL, Kolesterol > 240 mg/dL),
• Hipertrigliseridemia ( peningkatan lipoprotein VLDL, Trigliserida > 200 mg/ dL),
• Dislipidemia campuran ( peningkatan VLDL + LDL; kadar TG > 200 mg/ dL +
Kolesterol > 240 mg/ dL) .
Berdasarkan patogenesisnya, dislipidemia dibagi 2 menjadi dislipidemia primer
(akibat kelainan genetik) dan dislipidemia sekunder (akibat penyakit lain).
PENDEKATAN DIAGNOSIS1
• Untuk menegakkan diagnosis, perlu pemeriksaan kadar kolesterol total, HDL, LDL
dan TG plasma darah vena.
Persiapan puasa 12 jam sebelumnya diperlukan untuk pemeriksaan TG dan LDL
indirek yang menggunakan rumus Friedwald yaitu
PanduanPraktik Minis
Perhimpunan Dokler Spesiolis Penyakil Dalam Indonesia
Dislipidemia
*Rumus ini tidak dapat digunakan apabila kadar TG > 400 mg/ dL
• Pemeriksaan penyaring dianjurkan untuk setiap orang usia > 20 tahun (bila normal
perlu diulang tiap 5 tahun )
• Pemeriksaan lain dapat disesuaikan dengan klinis untuk mencari adakah penyakit
lain yang menyertai atau menjadi penyebabnya (misalnya glukosa darah, tes fungsi
hati, urin lengkap, tes fungsi ginjal, TSH, EKG)
• Penting untuk menilai seberapa besar faktor risiko penyakit jantung koroner ( PJK)
sebelum memulai terapi dislipidemia. Faktor risiko utama (selain kolesterol LDL)
yang menentukan sasaran kolesterol LDL yang ingin dicapai, di antaranya yaitu:
1
Merokok
Hipertensi (TD 140 / 90 atau dalam terapi antihipertensi)
Kolesterol HDL rendah ( < 40 mg/ dL)‘
Riwayat PJK dini dalam keluarga (ayah < 55 tahun, ibu < 65 tahun)
Umur pria 45 tahun, wanita 55 tahun
Terdapat 3 kelompok faktor risiko, menurut NCEP ATP III dengan Framingham
Risk Score ( FRS ) untuk menghitung besarnya risiko penyakit jantung koroner ( PJK )
yang meliputi: umur, kadar kolesterol total, kolesterol HDL, kebiasaan merokok, dan
hipertensi (lihat appendix ) . Penjumlahan skor pada FRS akan menghasilkan angka
persentase risiko PJK dalam 10 tahun.’
* kolesterol HDL (> 60 mg/dL) dianggap sebagai faktor risiko negatif, artinya mengurangi 1
faktor risiko dari perhitungan total.
65
#
vjH.y y,
'
Perhimpunan Dokler SpesiaRs Penyakit Dalam Indonesia Metabolik Endokrin
1. Risiko tinggi:
a. Mempunyai riwayat PJK
b. Mereka yang memiliki risiko yang disamakan dengan PJK:
Diabetes
Gagal ginjal kronik
- Bentuk lain aterosklerosis: stroke, penyakit arteri perifer, aneurisma aorta
abdominalis
Faktor risiko multipel ( > 2 faktor) dan mempunyai risiko PJK dalam 10
tahun > 20 %
.
2 Risiko multipel ( 2 faktor risiko) dengan risiko PJK dalam waktu 10 tahun < 20 %
3. Risiko Rendah ( 0 - 1 faktor risiko) dengan risiko PJK dalam waktu 10 tahun < 10 %
DIAGNOSIS BANDING i
• Hiperkolesterolemia sekunder, karena hipotiroidisme, penyakit had obstruksi, sindrom
nefrotik, anoreksia nervosa, porfiria intermiten akut, obat ( progestin, siklosporin,
thiazide)
• Hipertrigliseridemia sekunder, karena obesitas, DM, penyakit ginjal kronik,
lipodistrofi, glycogen storage disease, alkohol, bedah bypass ileal, stres, sepsis,
kehamilan, obat (estrogen, isotretinoin, penyekat beta, glukokortikoid, resin
pengikat bile - acid , thiazide), hepatitis akut, lupus eritematosus sistemik,
gammopati monoklonal: myeloma multipel, limfoma AIDS: inhibitor protease
• HDL rendah sekunder, karena malnutrisi, obesitas, merokok, penyekat beta, steroid
anabolik
TATALAKSANA
66
Dislipidemia
Tabel 3. Faktor Risiko Utama (terkecuali kolesterol LDL) yang Menentukan Sasaran
Kolesterol LDL*4
Perokok sigaret
Hipertensi ( TD >140 /90 mmHg atau sedang dapat obat hipertensi)
Kolesterol HDL-C <40 mg/ dld
Riwayat keluarga adanya PJK dini ( PJK orang tua pria <55 tahun, orang tua wanita <65 tahun)
Umur (pria <45 tahun, wanita >55 tahun)
^Diabetes mellitus disamakan dengan penyakit jantung koroner ( PJK )
risiko di atas
fKoleserol HDL >60 mg/ dLdihitung sebagai faktor risiko negatif, oleh karena itu dapat mengurangi satu dari faktor
Tabel 4 . Target KolesteroUDL (mg/ dL ) dan Batasan untuk Pemberian Terapi berdasarkan
Kelompok Risiko
Target Kolesterol
Kelompok Risiko LDL (mg/dL)
1. Risiko Rendah <160
Risiko rendah ( 0- 1 faktor risiko )
2. Risiko Mullipel <130
Risiko multiple ( £2 faktor risiko )
3. Risiko Tinggi < 100
a. Mempunyai riwayat PJK
b. Mereka yang mempunyai risiko yang disamakan dengan PJK :
Diabetes melitus
Bentuk lain penyakit aterosklerotik yaitu strok, penyakit arteri
perifer, aneurisma aorta abdominalis
Faktor risiko multiple (>2 faktor risiko )
4. Risiko Sangat Tinggi
Kelompok ini dikhususkan pada pasien paska penyakit kardiovaskuler
dengan keadaan khusus, yaitu:
Disertai faktor risiko multipel ( terutama pasien diabetes melitus )
Disertai faktor risiko yang tidak dapat dikendalikan, seperti masih
tetap merokok
67
M
-
vlW fHr
PanduanPraktikMinis Metabolik Endokrin
Peitilmpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
Farmakologis1
Predominan
• Golongan statin :
Simvastatin 5 - 40 mg
Lovastatin 10 - 80 mg
- Pravastatin 10 - 40 mg
Fluvastatin 20 - 80 mg
Atorvastatin 10 - 80 mg
Rosuvastatin 10 - 40 mg
Pitavastatin 1- 4 mg
• Golongan bile acid sequestrant:
Kolestiramin 4 - 16 g
• Golongan nicotinic acid:
-Nicotinic acid ( immediate release) 2 x 100 mg s.d. 1,5 - 3 g
Terapi hiperkolesterolemia untuk pencegahan primer, dimulai dengan statin atau
bile acid sequestrant atau nicotinic acid. Pemantauan profil lipid dilakukan setiap
6 minggu.
Bila target sudah tercapai (lihat tabel target di atas), pemantauan setiap 4 - 6
bulan. Bila setelah 6 minggu terapi, target belum tercapai: intensifkan atau naikkan
dosis statin atau kombinasi dengan yang lain . Bila setelah 6 minggu berikutnya terapi
non - farmakologis tidak berhasil menurunkan kadar kolesterol LDL, maka terapi
farmakologis diintensifkan. Pasien dengan PJK, kejadian koroner mayor atau dirawat
untuk prosedur koroner, diberi terapi obat saat pulang dari RS jika kolesterol LDL
> 100 mg / dL. 1
68
Dislipidemia |§|
PROGNOSIS
Risiko menjadi PJK dalam 10 tahun ke depan berdasarkan Skor Framingham yaitu
menjumlahkan poin-poin dari faktor usia, nilai kolesterol, nilai HDL, tekanan darah
sistolik.1
69
Metabolik Endokrin
Tabel 5. Skor Framingham untuk Rislko PJK dalam 10 Tahun untuk Wanita 5
Langkah 1 Langkah 7 (Jumlah Poln dari langkah 1- 6 )
Usia Jumlah Semua Poln
Tahun Poln LDL Poln Kolesterol Usia
30-34 -9 [ 9] - LDL-C atau Kolesterol
35-39
40- 44
-4 [ 4] - HDL-C
0 [0] Tekanan Darah
45-49 3 [3] Diabetes
50-54 6 [6] Perokok
55-59 7 [7 ] Total Poin
60-64 8 [8]
65-69 8 [8]
70-74 8 [8]
Langkah 2 Langkah 8
LDL-C Rislko PJK
(mg/dL) (mmol/L) Poln LDL Total Poln LDL Rislko 10 Tahun Total Poln Kolesterol Rislko 10 Tahun
<100 <2,59 -2 <-2 1% [<-2] [ 1 %]
100-129 2,60-3.36 0 -1 2% [- U [2%]
130-159 3,37-4,14 0 0 2% [0] [ 2%]
160-190 4,15-4,92 2 1
2
2%
3%
m [ 2%]
>190 4,92 2 [2] [3%]
3 3% [3] [3%]
4 4% [4] [4%]
Kolesterol
5 5% [5] [4%]
(mg/dL) (mmol/L) Poln Kol 6 6% [6 ] [5%]
<160 <4,14 [-2]
160-199 -
4, 15 5,17 [0] 7 7% [7] [6%]
200-239 -
5,18 6,21 [ 1] 8 8% [8] [7%]
240-279 -
6,22 7,24 m 9
10
9%
11%
[9]
[ 10]
[8%]
[ 10%]
*280 >7,25 [3]
11 13% [ 11 ] [H%]
12 15% [ 12] [ 13%]
Langkah 3 13 17% [ 13] [ 15%]
14 20% [14] [18%]
HDL-C 15 24% [ 15] [ 20%]
(mg/dL) (mmol/L) Poln LDL Poln Kol 16 27% [ 16] [24%]
<35
35- 44
<0,90
0,91-1,16
5
2
[5]
[2] *17 *32% £ 17]
*
[ 27%]
45-49 -
1,17 1,29 1 HI
50-59 -
1,30 1,55 0 [0]
>60
*
1 ,56 -2 [ 3]-
Langkah 4 Langkah 9 (Perbandingan dengan rata-rata orang dalam
Tekanan Darah usia yang sama )
StafoHk DkistoDk (mmHg) Perbandingan Rislko
(mmHg)
<120
<60
-3 [-3]
60-84 65-89 90- 99 £100 Usia
(Tahun)
Rata- Rata Rata- Rata RWkoPJK Rislko Rlngan PJK
RIsIkoPJK 10 Tahun Berat* 10 Tahun 10 Tahun
~
120-129 0 [0] 30-34 <1% <1% < 1%
130-139 0 [0] 35-39 < %1 <1% 1%
140- 159 2 [ 2] 40- 44 2% 1% 2%
45-49 5%
*160 3 [3]
Ketorangan: apabila tekanan slstollk dan dlastolik menunjukkan estimasi poin yang berbeda,
gunakan ppoin tertlnggi
50-54 8%
2%
3%
3%
5%
55-59 12% 7% 7%
60-64 12% 8% 8%
Langkah 5 65-69 13% 8% 8%
70-74 14% 11 % 8%
Diabetes
* PJK berat termasuk angina pektoris
Poln LDL Poln Kol + Risiko ringan dihitung dari orang dengan
* usia yang sama, tekanan darah yang optimal,
Ya 0 [0] LDL-C 100-l29mg/dL atau kolesterol 160-199mg/dL, HDL-C 45mg/ dL pada pria atau
Tidak 4 [4] 55mg/ dL pada wanita , bukan perokok, lidak diabetes
Langkah 6
Perokok
Poln LDL Poln Kol
Ya 0 [0]
Tidak 2 [ 2]
70
Dislipidemia
5
Tabel 6 . Skor Framingham untuk Risiko PJK dalam 10 Tahun untuk Pria
Langkah 1 Langkah 6
Utla Porokok
Tdiun Poln LDL Poln Kotastarol Poln LDL PotnKol
30-34 -1 H] Ya 0 [0]
-
35 39 0 [0] Tidak 2 12]
40-44 1 m
45-49 2 2
[ ] Langkah 7 ( Jumlah Poin dari langkah 1 - 6)
50-54 3 [3]
55-59 4 [4] Jumlah Somua Poln
60-64 5 [5] Usla
65-69 6 [6] LDL-C atau Kolesterol
70- 74 7 [71 HDL-C
Tekanan Darah
Diabetes
Perokok
Langkah 2 Total Poin
LDL- C
Langkah 8
(mg/dL) (mmol/L) Poln LDL
<2,59 -3 RWkoPJK
<100
100-129 2,60-3,36 0 Total Poln RJsJko 10 total Poln RbfcolO
130- 159 3,37-4,14 o LDL Tatum
160-190
2190
4,15- 4,92
!>4,92
1
2
<3-
-2
1%
2%
-1 2% Ml [2%]
0 3% [0] [3%1
1 4% [1] [3%]
(mg/dL) (mmol/ L) PolnICol
2 4% [ 21 [4%]
< 160 <4,14 [-3] [3] [5%1
3 6%
-
160 199 4,15-5,17 [01
4 7% [ 41 [ 7%]
200-239 5,10- 6,21 HI 5 9% [51 [8%1
240-279 6,22-7,24 [ 2]
6 11 % [6] [ 10%]
280 7 ,25 [31 [13%]
7 14% [7]
8 18% [8] [ 16%1
9 22% [9] [ 20%]
Langkah 3 10 27% [ 10] [25%]
11 33% [1 1] [31%]
HDL-C 12 40% [ 12] [37%]
(mg/dL) (mmol/L) Poin LDL PoInKol 13 47% [ 13] [45%]
<35
35-44
<0,90
0,91- 1.16
2
1
[ 2]
[ 1]
214 >56%
^ 14] [253%]
Langkah 5
Dlabetos
Poln LDL PoInKol
Ya 0 [0]
Tidak 2 [2]
71
Panduan Praktik Klinis Metabolik
P«thlmponcm oaklet tyttMiit RonyaMt Oalam Indorwio Endokrin
REFERENSI
1 AdOTi JMfv&Qegondo S> SemisydjL.G, Adriansyah H. Editor. Petunjuk Praktis Penatalaksanaan
DIsIlfbldenTld. PB'PERKENI; April 2004'
1
72
73
HIPOGLIKEMIA
PENGERTIAN
Hipoglikemia adalah keadaan dengan kadar glukosa darah < 70 mg / dL, atau kadar
glukosa darah < 80 mg/ dL dengan gejala klinis. Kasus hipoglikemia paling banyak
dijumpai pada penderita diabetes, sehingga pada panduan pelayanan medis ini akan
dibatasi pada kondisi tersebut. Hipoglikemia pada penderita diabetes biasanya terjadi
karena : 1,2
• Kelebihan obat atau dosis obat: terutama insulin, atau obat hipoglikemik oral
• Kebutuhan tubuh akan insulin yang relatif menurun: gagal ginjal kronik, pasca
persalinan
• Asupan makan tidak adekuat: jumlah kalori atau waktu makan tidak tepat
• Kegiatan jasmani berlebihan.
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis1 3
• Penggunaan preparat insulin atau obat hipoglikemik oral: dosis terakhir, waktu
pemakaian terakhir, perubahan dosis.
• Waktu makan terakhir, jumlah asupan gizi
• Riwayat jenis pengobatan dan dosis sebelumnya
• Lama menderita DM, komplikasi DM
• Penyakit penyerta: ginjal, hati, dll.
• Penggunaan obat sistemik lainnya: penghambat adrenergik beta, dll.
Pemeriksaan Fisik
Pucat, diaforesis, tekanan darah, frekuensi denyut jantung meningkat, penurunan
kesadaran, defisit neurologik fokal transien.
Pemeriksaan Penunjang
Kadar glukosa darah, tes fungsi ginjal, tes fungsi hati, C- Peptide. 2
DIAGNOSIS BANDING2
Hipoglikemia karena penyebab lain, seperti
• Obat:
sering: alkohol,
kadang: kinin, pentamidine
jarang: salisilat, sulfonamid
• Hiperinsulinisme endogen: insulinoma, autoimun, sekresi insulin ektopik
• Gagal ginjal, sepsis, starvasi, gagal hati , gagal jantung
• Defisiensi endokrin: kortisol, growth hormone, glukagon, epinefrin
• Tumor non -sel : sarkoma, tumor adrenokortikal, hepatoma, leukemia, limfoma,
melanoma
• Pasca -prandial: reaktif (setelah operasi gaster], diinduksi alkohol
TATALAKSANA
74
Hipoglikemia
Stadium Lanjut (koma hipoglikemia atau tidak sadar dan curiga hipoglikemia)
13
KOMPLIKASI
Kerusakan otak, koma, kematian.3
PROGNOSIS
Hipoglikemia meningkatkan angka mortalitas pada pasien dalam kondisi kritis.
Pada 22 % pasien mengalami episode hipoglikemia lebih dari 1 kali. Angka mortalitas
meningkat sesuai dengan parahnya derajat hipoglikemia.3
$5
PanduanPraktikKlinis Metabolik Endokrin
SSiQp —
PniWmpwtian Doklnr Spoikilli PMiyaMI Dalam tntJonmla l
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Semua Sub - Bagian di Lingkungan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : -
REFERENSI
1. .
Rudianto A KONSENSUS Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia
2011. Jakarta: PB PERKENI .
2. . .
Cryer PE Hypoglycemia In Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL.
. .
Harrison' s ,Principles of Internal Medicine 18th ed New York: McGraw-Hill; 200.
,
3. .
Arsana PM, Purnamasari D, Hipoglikemia dan Hiperglikemia Dalam: Abdullah M', Arsana PM,
.
Setyohadi B, Soeroto AY, Suryanto A EIMED PAPDI Kegawatdaruratan Penyakit Dalam (Emergency
.
in Internal Medicine) Jakarta: lnterna Publishing; 2011;hal 305-13
!
. .
76
77
HIPOGONADISME
PENGERTIAN
Hipogonadisme adalah suatu kondisi yang dihasilkan akibat menurunnya produksi
fungsi gonad secara abnormal, terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan seksual,
serta karakteristik seksual sekunder. Sering juga disebut dengan hipogenitalisme.1
Hipogonadisme bermanifestasi berbeda pada pria dan wanita sebelum dan sesudah
onset pubertas.2
alkoholisme, penyakit hati, diabetes melitus, infeksi HIV, dan pen> .it sickle cell.3 5 '
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Dalam menegakkan diagnosis, berikut adalah langkah -langkah yang sebaiknya
-
dilakukan: 4 5
PanduanPraktikKIinis
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
HSSHFIHWJSS, Metabolik Endokrin
1. Evaluasi kesehatan secara umum untuk melihat tanda dan gejala defisiensi
androgen dan mengeksklusikan penyakit sistemik, gangguan makanan, dan
masalah gaya hidup seperti olahraga yang berlebihan atau penyalahgunaan obat-
obatan seperti etanol, marijuana, dan opiat.
2 . Mengukur testosteron total, lebih baik dilakukan sampel darah pada pagi hari.
3. Pengukuran LH pada pasien yang dianggap mengalami defisiensi androgen
untuk menentukan apakah defek tersebut terjadi pada tingkat testikular atau
pada tingkat hipotalamus- hipofisis. Pada defisiensi androgen, pasien seringkali
menunjukan keterlambatan perkembangan seksual atau terjadi seksual inkomplit
dan proporsi eunuchoidal Pada pasien yang mengalami defisiensi androgen pada
-
masa prepubertal juga didapatkan suara yang high pitched dan tidak mengalami
resesi temporal rambut seiring berjalannya umur. Pada lelaki yang mengalami
defisiensi androgen setelah lengkapnya maturasi pubertas, gejala - gejalanya
meliputi berkurangnya gairah seksual dan aktivitas, menurunnya ereksi spontan,
hilangnya rambut badan, infertilitas, berkurangnya massa otot dan tenaga, hot
flush , berkeringat, berkurangnya tinggi badan yang berhubungan dengan fraktur
atraumatik, testis mengkerut atau mengecil dan terjadi pembesaran payudara.
4. Selain itu diajukan kriteria minimum untuk diagnosis dari hipogonad late -
onset :
• Setidaknya tiga gejala seksual
Ereksi pagi yang buruk
Gairah seksual rendah
Disfungsi ereksi
• Tingkat testosteron total < 11 nmol / L (3.2 ng/ mL)
• Tingkat testosteron total < 220 pmol / L (64 pg/ mL)
Keluhan Utama
Pada kebanyakan lelaki yang lebih tua libido rendah. Gejala lain : disfungsi ereksi,
penurunan massa otot dan kekuatan, penurunan vitalitas, mood menurun.
Riwayat Medikasi
Pada lelaki lebih muda ditanyakan riwayat konsumsi maternal estrogen, progestin
atau androgen pada kehamilan 2 bulan awal.
78
Riwayat Keluarga
Hipogonadisme
Pemeriksaan Penunjang3 5
• Laboratorium
Pengukuran testosteron serum total, FSH, LH (ketiganya diambil pada sampel
darah pagi hari), prolaktin serum, hormon hipofisis lain
Analisis semen untuk memeriksa infertilitas
• Radiologis
USG pelvis untuk mencari uterus, testis tersembunyi (cryptochismus)
Studi kontras dari orifisium perineal dapat membantu anatomi internal dan
mengkonfirmasi keberadaan vagina
MR1 Kepala
DIAGNOSIS BANDING3 5
Hipogonadisme primer, hipogonadisme sekunder, resistensi target organ (sindrom
-
insensitivitas androgen atau defisiensi 5-alpha-reductase ) , hipogonadisme late onset
79
ESSaiSSKH! Metabolik Endokrin
Hipogonadisme Pertimbangan
klinis penyakit sistemik
Tes'os'eron
total
I
Ulang Testosteron total, Ukur
Testosteron bebas
LH
'’ ir
m
Hipogonadisme fjfj}
(
TATALAKSANA3 5
Terapi pengganti androgen dapat dilihat pada Tabel 1. Indikasi dan kontraindikasi
pemberian androgen dapat dilihat pada Tabel 2.
81
# ' '
SSSISS.SB Metabolik Endokrin
KOMPLIKASI
Organ seksual tidak berkembang, kegagalan perkembangan karakteristik seksual
sekunder ( pubertas) , osteoporosis , hilangnya massa otot, dan penurunan fungsi
seksual termasuk disfungsi ereksi dan penurunan libido ( dewasa) .4,67
PROGNOSIS
Pada usia lanjut laki - laki, perbaikan manifestasi klinis diperkirakan dalam 3 - 6
bulan dengan terapi pengganti testosteron . 67
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Semua Divisi di lingkungan Departemen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan
REFERENSI
1. Dorland ' s Illustrated Medical Dictionary. 23rd Ed. Philadelphia. Elsevier. 2007
2. Viswanathan V, Eugster EA. Etiology and treatment of hypogonadism in adolescents. Endocrinol
Mefab Clin North Am. Dec 2009:38 ( 4) :719-38.
3. Bhasin S, Jameson J. Disorders of the Testes and Male Reproductive System. In: Longo Fauci Kasper,
Harrison' s Principles of Internal Medicine 18lh edition. United States of America. McGraw Hill. 2012
4. Kronenberg H, Melmed S, Polonsky K. Testicular disorder. William ' s textbook of endocrinology 11 th
edition. Philadelphia. Saunders Elsevier. 2008
5. .
Swerdloff R, Wang C. The Testis and Male Sexual Function. In: Goldman, Ausiello Cecil Medicine .
23rd Edition. Philadelphia. Saunders, Elsevier. 2008
6. .
Wang C, Nieschlag E, Swerdloff RS et al ISA, ISSAM, EAU, EAA and ASA recommendations:
investigation, treatment and monitoring of late-onset hypogonadism in males.
7. Often B, Stikkelbroeck N, Hermus R . Hypogonadism in Males With Congenital Adrenal Hyperplasia
In: Winters S.Male hypogonadism : basic, clinical, and therapeutic principles. New Jersey. Humana
Press. 2004
82
83
HIPOPARATIROIDISME
PENGERTIAN
Hipoparatiroidisme adalah keadaan berkurangnya hormon paratiroid; yang dapat
dibagi menjadi hipoparatiroidisme herediter dan hipoparatiroidisme akuisita.
1
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Pemeriksaan penunjang1 2
• Hipokalsemia, hiperkalsiuria
• Kalsifikasi ganglia basal lebih sering terjadi pada hipoparatiroidisme herediter
• EKG: interval QT memanjang, aritmia
PanduanPraktik Minis
Perhimpunan Dokfer Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
f$ Metabolik Endokrin
DIAGNOSIS BANDING
Pseudohipoparatiroidisme, hipokalsemia oleh sebab lain ( lihat bab Gangguan
Kalsium).1
TATALAKSANA
Farmakologis
1. Kalsium oral dosis tinggi ( >1 g kalsium elemental) ; jika perlu dikombinasikan
dengan vitamin D dosis 40.000-120.000 U / hari (1-3 mg/ hari).
2 . Diuretiktiazid .1
3. Penambahan terapi pengganti hormon paratiroid 1-84 pada terapi konvensional
(kalsium dan vitamin D) terkait dengan penurunan kebutuhan kalsium dan vitamin
D harian.2,3
KOMPLIKASI
Kejang, gagal napas, parkinsonisme, perubahan kronik pada kuku dan rambut,
katarak lentikular, insensitivitas terhadap digoksin.4
PROGNOSIS
Hipoparatiroidisme permanen dapat terjadi pada 3, 8 % yang menjalani
tiroidektomi.2
UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan
• RS non Pendidikan
REFERENSI
1 . Potts Jr JT. Diseases of the parathyroid gland. Dalam: Longo DL. Kasper DL. Jameson JL, Fauci AS,
Hauser SL, Loscalzo J, penyunting. Harrison ' s principle of internal medicine. Edisi XVIII. McGraw-
Hill Companies: 2012. Hal.
2. Rubin MR, Sliney J, McMahon DJ, Silverberg SJ, Brlezikian JP. Therapy of hypoparathyroidism with
intact parathyroid hormone. Osteoporosis Int 2010:21 ( 11):1927-34
3. SikjaerT, Rejnmark L, Rolighed L, Heickendorff L, Mosekilde L. The effect of adding PTH ( 1 -84 ) to
conventional treatment of hypoparathyroidism: a randomized placebo-controlled study. J Bone
Miner Res 2011;26 ( 10 ) :2358-70
4. .
Sitqes-Serra A, RuizS, Girvent M, Duenas JP, Sancho JJ Outcome of protracted hypoparathyroidism
after total thyroidectomy. Br J Surg 2010:97 ( 11 ) :1687-95
84
85
HIPOTIROIDISME
PENGERTIAN
Hipotiroidisme adalah berkurangnya efek hormon tiroid di jaringan. Terdapat
3 bentuk hipotiroidisme, yaitu hipotiroidisme sentral (kerusakan hipotalamus /
hipofisis seperti, tumor, nekrosis sistemik, iatrogen, infeksi), hipotiroidisme primer
(kerusakan kelenjar tiroid seperti pasca radiasi, tiroiditis, atrofi, dishormogenesis,
hipotiroidisme transien), hipotiroidisme karena sebab lain (farmakologis, defisiensi
yodium, kelebihan yodium dan resistensi perifer) . Hipotiroidisme juga dapat
dibedakan berdasarkan gejala yaitu hipotiroidisme klinik dan subklinik.1
DIAGNOSIS
Anamnesis1
• Rasa capek
• Sering mengantuk
• Tidak tahan dingin
• Lesu, lamban
• Rambut alis mata lateral rontok
• Rambut rapuh
• Lamban bicara
• Berat badan naik
• Mudah lupa
• Dispnea
• Suara serak
• Otot lembek
• Depresi
• Obstipasi
• Kesemutan
• Reproduksi: oligomenorea, infertil, aterosklerosis
• Tipe sentral: gangguan visus, sakit kepala, muntah
PanduanPraktikKIInis
Dafam
uffc PenyokR i
/A
'wlflp
PanduanPrahtlk Minis Metabolik Endokrin
Pertiimpunan DoMer 5p«oh PanyoMt Dalam mdorwrtlrj
Pemeriksaan Fislk1
• Kulit kering, dingin, pucat, kasar
• Gerakan lamban
• Edema wajah
• Refleks fisiologis menurun
• Lidah tebal dan besar
• Otot lembek, kurang kuat
• Obesitas
• Edema 6kstremitas
• Bradikardia
Pemeriksaan Penunjang1 2
• Darah perifer lengkap (bisa terdapat sitopenia)
• Kreatin fosfokinase
• Antibodi TPO
• Anti-Tg-Ab
• Pemeriksaan TSH, T3, FT4
• Profil lipid
• Biopsi aspirasi j arum halus bila terdapat struma
• Elektrokardiogram (untuk mencari komplikasi jantung)
Pada hipotiroidisme subklinis, TSH naik, namun kadar hormon tiroid dalam batas
normal. Gejala dan tanda tidak ada atau minimal.1 2 -
DIAGNOSIS BANDING
Euthyroid sick syndrome, insufisiensi adrenal, gagal hati, efek obat-obatan, depresi,
sindrom lelah kronik3
TATALAKSANA
Nonfarmakologls
edukasi, pemantauan fungsi tiroid berkala4
Farmakologis
• Levotiroksin: pagi hari dalam keadaan perut kosong. Dosis rerata substitusi L-T
— -
adalah 112 pg/ hari atau 1,6 pg/kgBB atau 100 125 pg sehari. Untuk L T adalah
25 - 50 pg. Sebagian besar kasus membutuhkaii L-T 100- 200 pg/ hari. Untuk pasien-
4
86
Hipotiroidisme
pasien kanker tiroid pasca tiroidektomi, dosis T4 rata-rata adalah 2, 2 pg / kgBB / hari.
Target TSH disesuaikan dengan latar belakang kasus.
• Untuk hipotiroidisme subklinis, tidak dianjurkan memberikan terapi rutin apabila
TSH <10 mU / L. Substitusi tiroksin diberikan untuk memperbaiki keluhan dan
kelainan objektif jantung. Terapi diberikan dengan levotiroksin dosis rendah
(25-50 pg/ hari] hingga mendapatkan kadar TSH normal.1
1
Menlngkat
I i
I
Hipotiroidisme Rendah
v subklinis ^
TPOAb+, i TPOAb+,
TPOAb+, TPOAb-,
simtomatlk asimtomatlk Rendah Normal
87
PaHrtuanPrakUkKMni8 Metabolik Endokrin
Perhlmpunan Dokter Spesialls Penyakil Dalam Indonesia
KOMPLIKASI
Koma miksedema, depresi, kelainan neuropsikiatri ( myxedema madness ), penyakit
jantung, komplikasi pengobatan 2 4 '
88
Hipotiroidisme
PROGNOSIS
Kebanyakan kasus hipotiroidisme klinik membutuhkan terapi seumur hidup.
Komplikasi koma miksedema terkait dengan kematian . Sekitar 40 % kasus
hipotiroidisme subklinis akan berkembang menjadi hipotiroidisme klinis, hal ini
terkait dengan kadar awal TSH . Sisanya akan mengalami resolusi spontan dalam
waktu 1 - 5 tahun. 2 3
UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : Semua Divisi di lingkungan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam
• RS non Pendidikan
REFERENSI
1. Djokomoeljanto R. Kelenjar tiroid, hipotiroidisme, dan hipertiroidisme. In: Sudoyo A, Setiyohadi
B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5 ed. Jakarta; Pusat
lh
Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2009 : 1993 - 2008
2 . Lameson JL, Weetman AP.Disorders of the thyroid gland. In: Fauci A, Kasper D, Longo D, Braunwald
E, Hauser S, Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison ' s principles of internal medicine. 18 ed.
lh
Fransisco.
4. .
Allahabadia A, Razvi S, Abraham P, Franklyn J Diagnosis and treatment of primary hypothyroidism .
BMJ.2009;33:b725
5. Stagnaro-Green A, Abalovich M, Alexander E, Azizi F, Mestman J, Negro R, et al. Guidelines of
the American thyroid association for the diagnosis and management of thyroid disease during
pregnancy and postpartum. Thyroid. 2011:21 ( 10) :1081 - 1125
6. .
Alinbinde, Steven W. et al. Thyroid and Others Endocrine Disorders During Pregnancy Current
Diagnosis & Treatment Obstetrics & Gynecology, Tenth Edition. The Mac -Graw Hill Companies.
2007.
89
90
HIPERPARATIROIDISME
PENGERTIAN
Hiperparatiroidisme adalah keadaan berlebihnya sekresi hormon paratiroid; yang
dapat dibagi menjadi 3 kategori, yaitu primer, sekunder dan tersier.1,2Hiperparatiroidisme
primer terjadi jika sekresi hormon paratiroid yang berlebihan disebabkan oleh
kelenjar paratiroid yang autonom, menyebabkan hiperkalsemia, dengan insidens
tertinggi pada wanita pascamenopause.2-4 Perubahan patologik yang dapat terjadi
pada hiperparatiroidisme primer adalah adenoma, hiperplasia dan karsinoma.3 5 '
PENDEKATAN DIAGNOSIS2 4 5
Anamnesis
• Gejala konstitusional nonspesifik: kelelahan, kelemahan, anoreksia, mual, muntah,
konstipasi, nyeri tulang.
• Gejala neuropsikologik: gangguan tidur, depresi, mental confusion , konsentrasi
menurun, iritabilitas, demensia
• Manifestasi pada sistem rangka: osteoporosis, patah tulang atau riwayat patah tulang
• Riwayat batu ginjal berulang
• Riwayat penggunaan obat: diuretik tiazid, litium
• Riwayat hipertiroidisme, hiperkalsemia.
Pemeriksaan Fisik
Manifestasi kardiovaskular: hipertensi, kalsifikasi valvular, hipertrofi ventrikel
PanduanPraktik Minis
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
Hiperparatiroidisme
Pemerlksaan Penunjang
• Pemeriksaan darah
• Peningkatan kalsium serum total dan peningkatan hormon paratiroid, penurunan
kadar fosfat serum, peningkatan kadar 1, 25-dihidroksi vitamin D, peningkatan
marker pembbntUkan (aktivitas osteoblastik) dan resorpsi tulang' (osteoklastik).
Pada hiperparatiroidisme sekunder, terjadi peningkatan hormon paratiroid,
hijjokalsemia atau defisienSivitaminD. Pasien dengan htperparatiroidisrtie tbrsier
memiliki kadar kalSium darah yang normal atau meningkat, penurunan kadar
vitamin D, penurunan kadar fosfat dan peningkatan fosfatase alkali.
• Pencitraan: nefrolitiasis dan gambaran keropos tulang
• Penurunan GFR
• Pemeriksaan urin: hiperkalsiuria, peningkatan ekskresi kalsium urin 24 jam.
• EKG: interval QT memendek
• Densitometri tulang: penurunan densitas tulang
• Kedokteran nuklir: Sestamibi scan
DIAGNOSIS BANDING2 4
Keganasan, penggunaan litium dan tiazid , benign familial hypercalcemic
hypocalciuria, hiperkalsemia oleh sebab lain (llhat bab Gangguan Kalsium].
TATALAKSANA
91
#> E999JSSS! Metabolik Endokrin
KOMPLIKASI
4,5
Fraktur patologis, pankreatitis, batu ginjal berulang.
PROGNOSIS
Hiperparatiroidisme primer ringan yang tidak ditatalaksana terkait dengan
peningkatan mortalitas, penyakit kardiovaskular, gagal ginjal, dan batu ginjal. Pada
pasien hiperparatiroidisme primer simtomatik, paratiroidektomi bersifat kuratif dan
bermanfaat. Pada hiperparatiroidisme sekunder, sekitar 1- 2 % pasien membutuhkan
paratiroidektomi setiap tahunnya. Pada hiperparatiroidisme tersier, kelenjar abnormal
jarang mengalami involusi.46
UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : Departemen Bedah
• RS non Pendidikan : Bagian Bedah
REFERENSI
Hiperparatiroidisme. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, penyunting.
Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi V. Jakarta; Interna Publishing; 2009.
2. Potts Jr JT. Diseases of the parathyroid gland. In: Longo DL. Kasper DL. Jameson JL, Fauci AS, Hauser
.
SL, Loscalzo J, penyunting Harrison' s principle of internal medicine. 18th Edition. McGraw-Hill. 2012.
3. .
Fraser WD. Hyperparathyroidism Lancet 2009;374 ( 9684) :145-58.
4. Ahmad R, Hammond JM. Primary, secondary, and tertiary hyperparathyroidism Otolaryngol .
Clin N Am 2004;37:701- 13
5. Pitt SC, Sippel RS, Chen H. Secondary and tertiary hyperparathyroidism, state of the art surgical
management. Surg Clin North Am 2009:89 ( 5 ) :1227
92
93
KARSINOMA TIROID
PENGERTIAN
Karsinoma tiroid merupakan keganasan kelenjar tiroid yang paling sering
ditemukan . Klasifikasi karsinoma tiroid dibedakan atas dasar : asal sel yang
berkembang menjadi sel ganas dan tingkat keganasannya.1 Untuk kepentingan praktis,
berdasarkan tingkat keganasan, karsinoma tiroid dibagi atas 3 kategori :2
1. Tingkat Keganasan Rendah
a. Karsinoma papilar
b. Karsinoma folikular (dengan invasi minimal)
2. Tingkat Keganasan Menengah
a. Karsinoma folikular ( dengan invasi luas)
b. Karsinoma medular
c. Limfoma maligna
d. Karsinoma tiroid berdiferensiasi buruk
3. Tingkat Keganasan Tinggi
a. Karsinoma tidak berdiferensiasi (anaplastik)
b. Haemangioendothelioma maligna (angiosarkoma)
PENDEKATAN DIAGNOSIS
PanduanPiaktik Minis
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
PanduanPraktiKKflinis
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakil Dalam Indonesia Metabolik Endokrin
Pemeriksaan Penunjang
1. Biopsi Aspirasi Jarum Halus ( BAJAH ] :
2. Laboratorium
3. Pencitraan
• USG
• Skintigrafi Tiroid
4. Histopatologi
DIAGNOSIS BANDING
Nodul Tiroid Jinak
TATALAKSANA 1
1. Operasi
• Tiroidektomi total merupakan prosedur awal pilihan pada hampir sebagian
besar pasien karsinoma tiroid.
2. Terapi Ablasi Iodium Radioaktif
• Untuk memaksimalkan uptake iodium radioaktif setelah tiroidektomi total, kadar
hormon tiroid diturunkan dengan menghentikan obat L -tiroksin sehingga TSH
endogen terstimulasi hingga mencapai kadar di atas 25 - 30 mU / L. Mengingat
waktu paruh L-tiroksin adalah 7 hari, biasanya diperlukan waktu 4-5 minggu.
• Pasien juga menghindari makanan yang mengandung tinggi yodium paling
kurang 2 minggu sebelum skintigrafi dikerjakan.
3. Terapi Supresi L-Tiroksin
• Kelompok Risiko Rendah : Target TSH : 0.1-0.5 mU / L
• Kelompok Risiko Tinggi : Target TSH : 0.01 mU / L
4. Tyrosine kinase inhibitor
5. Radioterapi paliatif
EVALUASI
1. Skintigrafi Seluruh Tubuh [ Whole Body Scan )
• Dilakukan 6-12 bulan setelah terapi ablasi pertama
2 . USG
• Mengevaluasi kekambuhan atau adanya KGB lokal atau metastasis regional
3. Pencitraan Lain: CT scan, Rontgen dada, MRI dan FDG - PET tidak rutin dikerjakan
4. Tiroglobulin
Tiroglobulin dan TSH diperiksa setiap 6 bulan selama 3 tahun pertama
94
Karsinoma Tiroid
KOMPLIKASI
• Penekanan saluran nafas
• Metastasis fails
PROGNOSIS
Pada pasien muda, rata -rata kesembuhan 97 % pada karsinoma tiroid baik yang
folikular maupun yang papilar. Karsinoma tiroid tipe medular, memiliki prognosis
lebih buruk karena menyebar ke kelenjar limfe lebih cepat sehingga membutuhkan
terapi lebih agresif .1
UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : Semua Divisi di lingkungan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
• RS non Pendidikan : -
REFERENSI
1. .
Jameson JL, Weetman AP Disorder of the Thyroid Gland. In : Longo DL, Fauci AS, Kasper DL,
,
Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J. Harrison ' s Principles of Internal Medicine. 18 hed. New York:
McGraw-Hill; 2012. 2911-39
2. Subekti Imam. Pengelolaan karsinoma tiroid. Dalam : Penatalaksanaan Penyakit-Penyakit Tiroid
bagi Dokter. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia Cabang Jakarta. Jakarta. 2008. Him 88-102.
95
KELAINAN ADRENAL
PENGERTIAN
Kelainan adrenal memiliki karakteristik defisiensi atau produksi berlebihan dari
satu atau beberapa kelas kortikosteroid utama . Defisiensi hormon dapat disebabkan
oleh kelainan enzimatik atau glandular bawaan atau rusaknya kelenjar hipofisis
atau adrenal oleh karena penyakit autoimun, infeksi, infark, atau kondisi iatrogenik
seperti pembedahan atau supresi hormonal . Hormon yang berlebihan biasanya
diakibatkan oleh neoplasia atau keganasan, yang meningkatkan produksi hormon
adrenokortikotropik (ACTH ) oleh sel neuroendokrin atau adanya neoplasia di
tempat lain yang menghasilkan ACTH (ACTH ektopik), atau meningkatnya produksi
glukokortikoid atau mineralokortikoid oleh nodul adrenal . 1
Kelainan adrenal yang akan dibahas pada bab ini adalah Sindrom Cushing, tumor
adrenal, hirsutisme, hiperaldosteronisme, dan insufisiensi adenokortikal .
DIAGNOSIS
PanduanPraktikKIinis
Perhimpunon Dokler Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
Kelainan Adrenal
TATALAKSANA
Non farmakologis
Farmakologis
Hiperplasia adrenal : " medical" adrenalektomi [ Mitotan [2 - 3 g / hari ) ], penghambat
steroidogenesis [ketokonazol [ 600 - 1200 mg / hari ) ], penghambat sintesis steroid
aminoglutetimid [1 g /hari ) dan metiraponi ( 2 - 3 g / hari ) , mifepristone .
Bedah
Adenoma atau karsinoma, hiperplasia bilateral (adrenalektomi )
97
O Metabolik Endokrin
Tanda klinik
Osteoporosis
Diabetes melitus
Hipertensi diastolik
Adipositas sentral
Hirsutisme dan amenorea
T
Tes skrining
1 .Kortisol plasma pada jam 08.00
> 140 nmol/ L (5 g/ dL) setelah 1 mg
deksametason pada tengah malam;
2.kortisol bebas urin > 275 nmol/ L ( 100
pg/hari)
3. Salivary Cortisol tengah malam
T
Tes supresi deksametason
Respon kortisol pada hari ke-2
menjadi 0,5 mg per 6 jam
I
Supresi Tidak ada respon
Hiperplasia adrenal - Hiperplasia adrenal
Sekunder terhadap sekresi - sekunder terhadap tumor
ACTH hipofisis yang menghasilkan ACTH
- Neoplasia adrenal
f ACTH
ACTH tinggi ACTH rendah
Hiperplasia adrenal Neoplasia
sekunder terhadap tumor
yang menghasilkan ACTH
17-KS-urin atau
Pencitraan pituitari dan/ atau DHEA sulfat serum
pengambilan sampel darah vena yang CTscan abdomen
selektif
( 1 I
Positif Negatif Tinggi (> 6 cm) Normal-rendah ( <3 cm)
Adenoma hipofisis Tumor ektopik Karsinoma adrenal Adenoma adrenal
Gambar 1. Alur Diagnostik untuk Mengevaluasi Pasien Tersangka Menderlta Sindrom Cushing
'
98
Kelainan Adrenal
Komplikasi
Trombosis vena dalam, emboli paru, ansietas, depresi, paranoid akut, psikosis
depresif, osteoporosis. Karsinoma adrenal : metastatis paru dan hati
Prognosis
• Overt Cushing’s berhubungan dengan prognosis buruk
• Kebanyakan pasien dengan karsinoma adrenal meninggal dalam 3 tahun setelah
diagnosis
• Adenoma adrenal yang berhasil diobati dengan pembedahan mempunyai prognosis
baik dan tidak mungkin kekambuhan terjadi.
B. TUMOR ADRENAL’ 2
Tumor adrenal memiliki hubungan dengan sindrom Cushing dan sindrom Conn
serta tumor -tumor lain yang mensekresi androgen ( menyebabkan virilisasi pada
perempuan), yang mengekskresikan estrogen ( menyebabkan feminisasi pada laki-laki
dan perdarahan uterus pada perempuan pascamenopause)
TATALAKSANA
Nonfarmakologis
Kondisi dimana operasi tidak memberikan hasil yang baik diantaranya adalah
-
kelainan adrenal bilateral seperti corticotropin dependent Cushing disease atau
hiperaldosteronisme bilateral. Adenoma kortikal adrenal non - fungsional bukan
merupakan premalignan dan tindak pembedahan tidak diindikasikan.
99
# HSMfiSSSHi Metabolik Endokrin
Temuan CT/MRI massa adrenal yang
didapatkan secara insidental
l
Skrining hormon berlebihan
• Metanefrin plasma atau urin 24 jam untuk ekskresi katekolamin
atau metanefrin
• Urin 24 jam untuk ekskresi kortisol bebas, ACTH plasma, cortisol
plasma (atau saliva) tengah malam, tes deksametason I mg
satu malam penuh (melakukan paling sedikit didapatkan
dua dari empat tes)
• Aldosteron plasma dan renin plasma
• Jika tumor >2 cm: 17-hidroksiprogesteron dan DHEAS
Positif
1
Tes konfirmasi
Negatif tapi:
hasil pencitraan
Negatif dan pencitraan tidak
didapatkan adanya keganasan :
• Ukuran <4 cm
tidak didapatkan • Densitas CT yang rendah
keganasan: (<10 HU)
• Ukuran >4cm • Wash-out kontras CT >50%
• Densitas CT yang
tinggi (>20 HU )
• Wash-out kontras CT
<40%
Ulangi skrining untuk Ulangi skrining untuk hormon
hormon yang berlebih yang berlebih setelah 12 bulan:
setelah 12 bulan ulangi pencitraan setelah 6-12
bulan
Neg Pos
Bedah
Pengobatan untuk tumor adrenal yang secara hormonal aktif
100
Kelainan Adrenal fro
PROGNOSIS
Delapan puluh persen adenoma adrenal merupakan non fungsional dan jinak.
Dan sebesar 20 %, adenoma adrenal adalah fungsional atau ganas dan membutuhkan
evaluasi dan pengobatan lebih lanjut untuk mencegah komplikasi.
Gambaran Klinis
Pertumbuhan rambut ekstra pada daerah wajah, bibir atas, dan dagu. Rambut
pada lengan bawah meningkat dan rambut tumbuh panjang antara payudara dan
pubik, meluas sampai ke paha atas dan dinding perut depan ( male escutcheon). Kulit
cenderung berkeriput, dan dapat muncul jerawat
TATALAKSANA
Non farmakologis
Depilatory cream, bleaches dan heavy layer cosmetics
Farmakologis
Siproteron asetat
Prognosis
Riwayat hirsutisme simpleks tidak jelas tetapi memberi kesan rambut tubuh
berlebihan dan tidak berkembang lebih luas setelah usia 35 tahun dan cenderung
berkurang setelah menopause
D. HIPERALDOSTERONISME 2
’
Etiologi hiperaldosteronisme ada tiga macam yaitu primer, sekunder, dan kelebihan
mineralkortikoid non aldosteron. Pada hiperaldosteronisme primer terjadi kelainan
pada adrenal dan tidak peningkatan hormon aldosteron tidak bergantung pada renin.
Penyebab hiperaldosteronisme diantaranya adalah hiperplasia ( 70 % ) , adenoma
(sindroma Conn, 25%), karsinoma (5%).
Pada hiperaldosteronisme sekunder terjadi kelainan pada ekstraadrenal dan
peningkatan aldosteron bergantung dari renin . Primary reninism : tumor yang
mengsekresi renin ( jarang) , Secondary reninism: penyakit renovaskular ( RAS,
hipertensi maligna ) , edema dengan penurunan volume arteri yang efektif ( CHF,
101
( fA PanfluanPraktikKlinis Metabolik Endokrin
’
Anamnesis
Sakit kepala, poliuria, nokturia, parestesia, kelemahan otot
Pemeriksaan Fisik
Hipertensi, edema, hiporefleksi, paralisis, distensi abdomen
Pemeriksaan Penunjang
• Laboratorium: Hipokalemia, kadar aldosteron tinggi, kadar renin rendah
• Radiologi : CTscan adrenal
Diagnosis Banding
Hipertensi esensial, adenoma adrenal, Sindrom Bartter, Sindrom Conn , Sindrom
Cushing , hipertensi renovaskular
Tatalaksana
• Nonfarmakologis : diet rendah garam
• Farmakologis : Spironolakton (awal 400 mg/ hari per oral, kemudian 100-400 mg
sekali sehari atau setiap 12 jam), amiloride, triamterene, nifedipin
• Terapi invasif : -
• Tindakan operatif : untuk kasus adenoma atau karsinoma
Komplikasi
Komplikasinya adalah komplikasi yang berhubungan dengan hipertensi kronik
(infark miokard, penyakit serebrovaskular, gagal jantung kongestif )
E. INSUFISIENSI ADRENAL’ 2
Adalah defisiensi kortisol absolut atau relatif yang terjadi mendadak biasanya
disebabkan oleh penyakit atau stres yang berat. Insufisiensi adrenal akut juga dapat
102
Kelainan Adrenal iTj
terjadi akibat stres, infeksi berat, pada pasien dimana respons adrenal menurun karena
sesuatu sebab atau gangguan pelepasan ACTH akibat kerusakan hipofisis atau terapi
kortikosteroid lama.
Anamnesis
Akut: Nyeri kepala, mual, muntah, diare
-
Kronik: lesu, letih, lemah, anoreksia, mual, penurunan berat badan, muntah muntah,
nyeri perut, depresi, psikosis
Pemeriksaan Fisik
Hipotensi
Kronik: kurus, lemah, hipotensi, pigmentasi pada perut, tempat-tempat tertekan
fdaerah tali pinggang, lipatan telapak tangan, areola, perineum dan daerah yang
terpapar sinar matahari), vitiligo, atau pigmentasi kelabu pada muka pipi, gusi dan
bibir
Pemeriksaan Penunjang
• Kadar kortisol darah
• Kronik: hipoglikemia
• Tes Synacthen (ACTH stimulation test)
• CT scan adrenal
Diagnosis Banding
Krisis adrenal, perdarahan adrenal, eosinofilia, histoplasmosis, sarkoidosis
TATALAKSANA
Non farmakologis: Edukasi pasien
Farmakologis: Pemberian larutan NaCl 0,9 %, kortikosteroid, glukosa intravena, dan
pengobatan penyakit pencetusnya
Alternatif lain: hidrokortison IV dengan larutan NaCl 0,9%
Kronik :
• Pemberian kortisol
Mula-mula pasien diberikan kortison dosis tinggi. Untuk jangka panjang, dosis 25 mg
pagi hari dan 12, 5 mg pada sore hari per oral
• Mineralkortikoid (fludrokortison 100 pg/ hari]
103
Crl PaoMua«rrelrtll[ Klims Metabolik Endokrin
KompUKasi
Syok, krisis adrenal
Prognosis
Kecuali risiko krisis adrenal, kesehatan dan usia pasien biasanya normal, sedangkan
pigmentasi dapatmenetap
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Semua Divisi di lingkungan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam
• RS non pendidikan :
REFERENSI
. . .
Arlt W Disorder of the Adrenal Cortex In : Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL,
. , .
1
.
Loscalzo J Harrison's Principles of Internal Medicine 18 hed New York: McGraw-Hill; 2012.2940-61
2, . . . . .
Nieman L Adrenal Cortex In: Goldman, Ausiello Cecil Medicine 23rd Edition Philadelphia .
Saunders, Elsevier. 2008
104
105
KISTA TIROID
PENGERTIAN
-
^
Kista tir d adalah nodul kistik pada jaringan tiroid, merupakan 1,0 25 °/o dari
seluruh nodul tiroid. Insidens keganasan pada nodul kistiklebih rendah dibandingkan
nodul solid. Pada nodul kistik kompleks masih mungkin merupakan suatu keganasan.
Sebagian nodul kistik mempunyai bagian yang solid.1
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis1 2 -
• Anamnesis Umum:
-Sejak kapan benjolan timbul
- Rasa nyeri spontan atau tidak spontan, berpindah atau tetap
-Cara membesarnya: cepat atau lambat
- Pada awalnya berupa satu benjolan yang membesar menjadi beberapa benjolan
atau hanya pembesaran leher saja
• Riwayat keluarga
• Riwayat penyinaran daerah leher pada waktu kecil / muda
• Perubahan suara
• Gangguan menelan, sesak nafas
• Penurunan berat badan
• Keluhan tirotoksikosis
Pemeriksaan Flslk12
• Umum
• Lokal:
Nodus tunggal atau banyak, atau difus
Nyeri tekan
Konsistensi: kistik
Permukaan
Perlekatan pada jaringan sekitarnya
Pemeriksaan Penunjang 4
• USG tiroid:
dapat membedakan bagian padat dan cair,
dapat untuk memandu BAJAH : menemukan bagian solid .
Gambaran USG Kista = kurang lebih bulat, seluruhnya hipoekoik sonolusen,
dinding tipis.
106
Kista Tiroid
DIAGNOSIS BANDING
• Kista tiroid
• kista degenerasi
• Karsinoma tiroid
TATALAKSANA
Pungsi aspirasi seluruh cairan kista:1 3 '
KOMPLIKASI
Penekanan pada organ sekitar yang dapat mengakibatkan kesulitan makan,
menelan, bernapas, dapat juga terasa nyeri.
PROGNOSIS
Prognosis tergantung tipe kista tiroid.
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan Departemen Radiologi / Kedokteran Nuklir, Patologi
Kltnik, Departemen Bedah -Onkologi, Departemen
Patologi Anatomi
• RS non Pendidikan : Bagian Neurologi, Patologi Klinik, Radiologi, dan Bedah.
REFERENSI
1. .
Kariadi SHKS. Struma Nodosa Non-Toksik. Dalam Waspadji S, et al. ( eds ) Buku Ajar llmu Penyakit
.
Dalam Edisi 3. Jakarta, Balai Penerbit FKUI:757-65 .
2. . .
Suyono S Pendekatan Pasien dengan Struma Dalam Markum HMS, Sudoyo HAW, Effendy S,
Setiati S, Gani RA, Alwi I (eds). Naskah Lengkap Pertemuan llmiah Tahunan llmu Penyakit Dalam
1997. Jakarta, 1997:207-13.
107
PanduanPraktikKlinis Metabolik Endokrin _
V
^ L I I M 11 I
P w w m p w w n D a t i a SontaK Ponvutll Dalam m d o r o i l a
' ’ '
.
3 .
Subekti I. Struma Nodosa Non-Toksik (SNNT) In Simadibrata M, Setiatl S, Alwi I, Maryantoro, Gani
.
RA, Mansjoer A (eds) Pedoman Diagnosis dan Tata Laksand di Bidang llmu Penyakit Dalam .
Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian llmu Penyakit Dalam FKUU 999:187-9 .
.
4 . .
Soebardi S Pemeriksaan Diagnostik Nodul Tiroid Makalah Jakarta Endocrinology Meeting 2003 .
Jakarta, 18 Oktober 2003 .
108
109
KRISIS HIPERGLIKEMIA
PENGERTIAN
Krisis hiperglikemia , mencakup ketoasidosis diabetik [KAD ) dan status
hiperglikemia hiperosmolar [SHH), merupakan komplikasi metabolik akut paling
serius pada pasien diabetes melitus. Krisis hiperglikemia terjadi akibat defisiensi
insulin dan peningkatan hormon counterregulatory [glukagon, katekolamin, kortisol
dan growth hormone). SHH terjadi ketika defisiensi insulin yang relatif [terhadap
kebutuhan insulin) menimbulkan hiperglikemia berat dan dehidrasi dan akhirnya
menyebabkan kondisi hiperosmolalitas. KAD terjadi bila defisiensi insulin yang
berat tidak saja menimbulkan hiperglikemia dan dehidrasi, tapi juga mengakibatkan
produksi keton meningkat serta asidosis metabolik. Spektrum kedua kondisi ini dapat
.
saling overlap 1 *
PENDEKATAN DIAGNOSIS
1. KAD
• Anamnesis3 4
Mual / muntah, haus / poliuria, nyeri perut, sesak napas; g ala berkembang
dalam waktu < 24 jam. Faktor presipitasi meliputi riwayat pemberian insulin
inadekuat, infeksi [pneumonia, infeksi saluran kemih, infeksi intraabdominal,
sepsis ), infark (serebral, koroner, mesenterika, perifer ) , obat ( kokain ),
kehamilan .
• Pemeriksaan Fisik 4
Takikardia, dehidrasi, hipotensi, takipnea, pernapasan Kussmaul, distres
pernapasan, napas bau keton, nyeri tekan perut [menyerupai pankreatitis
akut), letargi atau koma.
• Pemeriksaan Penunjang3 5
Diagnosis KAD ditegakkan bila ditemukan hiperglikemia [ > 250 mg / dL ) ,
ketonemia dan atau ketonuria dan asidosis metabolik [HC03<18) dengan anion
gap meningkat.
PanduanPraktik Minis
Perhlmpunan Dokler Spesialis Penyakit Dolam Indonesia
II EKSSJSSRHSSi Metabolik Endokrin
2 . SHH
• Anamnesis 6
Riwayat poliuria, berat badan turun, dan berkurangnya asupan oral yang
terjadi dalam beberapa minggu dan akhir nya terjadi letargi / koma. Faktor
presipitasi meliputi infark miokard , stroke, sepsis, pneumonia, infeksi berat
lainnya, keadaan seperti riwayat stroke sebelumnya atau demensia atau situasi
sosial yang menyebabkan asupan air berkurang.
• Pemeriksaan Fisik6
Dehidrasi, hipotensi, takikardia, perubahan status mental .
• Pemeriksaan Penunjang6
Hiperglikemia ( dapat > 600 mg / dL ), hiperosmolalitas ( > 350 mOsmol / L ),
azotemia prerenal. Asidosis dan ketonemia tidak ada atau ringan . pH > 7,3 dan
bikarbonat >18 mEq / L.
DIAGNOSIS BANDING
Starvation ketosis, alcoholic ketoacidosis, asidosis laktat, penyalahgunaan obat-
obatan (salisilat, metanol, etilen glikol, paraldehid ), akut pada gagal ginjal kronik5
TATALAKSANA
1. Pemberian cairan 4
Pemberian cairan mengikuti algoritma
110
Krisis Hiperglikemia
Cairan intravena
Jika glukosa serum mencapai 200 mg/dL (KAD) atau 300 mg/dL (SHH), ganti cairan dekstrosa
5 % menjadi NaCI 0.45 % ( 150-250 mL/jam)
2. Terapi insulin4
Insulin: regular
0, 1 U/ kgBB
sebagai bolus IV
KAD SHH
Ketika kadar GD mencapai 200 mg/ dL, Ketika GD mencapai 200 mg / dL,
turunkan infus insulin regular menjadi turunkan infus insulin regular menjadi
0,05-0, 1 U / kgBB / jam IV Pertahankan 0,05-0,1 U / kgBB / jam IV. Pertahankan
kadar GD antara 150 dan 200 mg/dL kadar GD antara 200 dan 300 mg/dL
sampai terjadi resolusi KAD sampai pasien sadar penuh.
Periksa kadar elektrolit, pH vena, kreatinin, dan GD tiap 2-4 jam sampai
pasien stabil. Setelah terjadi resolusi KAD atau SHH dan ketika pasien
mampu untuk makan, berikan regimen insulin subkutan. Untuk mengganti
dari IV ke subkutan, lanjutkan infus insulin IV selama 1 -2 jam setelah insulin
subkutan dimulai untuk mencapai kadar insulin plasma yang adekuat.
Pada pasien insulin-naive, mulai dengan 0,5 U/ kgBB sampai 0,8 U/ kgBB
per hari dan sesuaikan sesuai kebutuhan. Cari faktor presipitasi
Gambar 2. Algoritma Protokol Tatalaksana Insulin pada Pasien Dewasa dengan KAD atau SHH4
112
Krisis Hiperglikemia
3 . Koreksi kalium4
Kalium
Kalium < 3.0 mEq/ L Kalium 3.0-5.0 mEq / L I Kalium > 5.0 mEq/L
Gambar 3. Algoritma Koreksi Kalium pada Paslen Dewasa dengan KAD atau SHH
4
4 . Bikarbonat4
• Jika pH vena < 6, 9 , berikan 100 mmol natrium bikarbonat dalam 400 ml sterile
water ditambah 20 mEq KC1 diberikan selama 2 jam . Jika pH masih < 7, ulangi
setiap 2 jam sampai pH > 7 . Periksan kadar kalium serum setiap 2 jam .
• Jika pH vena > 6.9 : tidak perlu diberikan natrium bikarbonat.
5 . Pemantauan45
Pantau tekanan darah, nadi, napas, status mental, asupan cairan dan urin tiap 1-4 jam
KOMPLIKASI
Renjatan hipovolemik, trombosis vena, perdarahan saluran cerna atas, sindrom
distres pernapasan akut.
Komplikasi pengobatan adalah hipoglikemia, hipokalemia, over load edema
serebral56
PROGNOSIS
KAD memiliki angka kematian 2% untuk usia < 65 tahun dan 22% untuk usia >
65 tahun . SHH memiliki angka mortalitas 20 - 30%. 5-6
113
# S5SHM5SS5H* Metabolik Endokrin
UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : ICU
• RS non Pendidikan : ICU
REFERENSl
1 . . .
Soewondo Pradana Ketoasidosis Diabetik Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata
. .
M, Setiati S, penyunting. Buku ajar ilmu penyakit dalam Edisi V Jakarta; Interna Publishing; 2009.
Hal 1906-1911.
2 . Davis Joe C. Diabetes Mellitus. Dqlam; Longo DL. Kasper DL. Jameson JL, Fauci AS, Hauser
SL, Loscalzo J, penyunting. Harrison ' s principle of internal medicine. Edisi XVIII. McGraw-Hill
Companies;2012.
3. . .
Perkeni Petunjuk praktis terapi insulin pada pasien diabetes melitus Jakarta:Pusat penerbitan
ilmu penyakit dalam;2011
4. Kitabchi AE, Umpierrez GE, Miles JM, Fisher JN. Hyperglycemic crises in adult patients with
diabetes. Diabetes Care 2009;32 ( 7):1335-43. Diunduh dari http:/ /care.diabetesjournals .org /
content/32/7/ 1335,full.pdf+html pad atanggal 7 Juni 2012.
.
5 Trachtenbarg DE. Diabetic ketoacidosis. American Family Physician 2005;71 ( 9 ) :1705- 14
.
6 Stoner GD. Hyperosmolar hyperglycemic state. American Family Physician 2005;71 (9):1723-30
114
115
KRISIS TIROID
PENGERTIAN
Krisis tiroid merupakan suatu keadaan klinis hipertiroidisme yang paling berat dan
mengancam jiwa. Umumnya keadaan ini timbul pada pasien dengan dasar penyakit
Graves atau struma multinodular toksik, dan berhubungan dengan faktor pencetus:
infeksi, operasi, trauma, zat kontras beriodium, hipoglikemia, partus, stres emosi,
penghentian obatanti-tiroid, terapi I , ketoasidosis diabetikum, tromboemboli paru,
131
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Riwayat penyakit hipertiroidisme dengan gejala khas, berat badan turun,
perubahan suasana hati, bingung sampai tidak sadar, diare, amenorea 1 .
Pemeriksaan Fisik12
• Gejala dan tanda khas hipertiroidisme, karena penyakit Graves acau penyakit lain
• Sistem saraf pusat terganggu: delirium, koma
• Demam tinggi sampai 40°C
• Takikardia sampai 130-200 x/ menit
• Dapat terjadi gagal jantung kongestif
• Diare
• Ikterus
Pemeriksaan Penunjang
• TSHs sangat rendah, fT4/T3 tinggi, anemia normositik normokromik, limfositosis
relatif, hiperglikemia, enzim transaminase hati meningkat hiperbilirubinemia,
azotemia prerenal
• EKG: sinus takikardia atau fibrilasi atrial dengan respons ventrikular cepat.
PanduanPraktik Klinis #
# EBSBBKB — Metabolik Endokrin
Tabel 1 . Skor Indeks Kllnis Krisis Tiroid (Burch - Wartosky, 1993)
'
Krlterla Dlagnostfk
Dlsfungsl pengaturan panas : Dlsfungsl kardlovaskular :
Suhu 99-99.9 (° F) 37.2 - 37,7 (°C) 5 Takikardi 99- 109 5
100- 100,9 37,8 - 38,2 10 110- 119 10
100- 101,9 38,3 - 38,8 15 120- 129 15
102- 102,9 38,9 - 39,2 20 130- 139 20
103- 103,9 39.3 - 39,9 25 >140 25
> 104,0 >40,0 30
Efek pada susunan soraf pusat : Gagal Jantung :
Tidak ada 0 Tidak ada 0
Ringan (agitasi) 10 Ringan 5
Sedang ( delirium, psikosis, letargi berat ) 20 Sedang 10
Berat (koma, kejang ) 30 Berat 15
Fibrilasi atrium
Tidak ada 0
Ada 10
Riwayat pencetus
Negatif 0
Positif 10
Dlsfungsl gastrolntesttnal- hepar
Tidak ada 0 >45 : highly suggestive
Ringan ( diare, nausea / muntah/ nyeri perut ) 10 25 - 44 : suggestive of im -
Berat (ikterus tanpa sebab yang jelas ) 20 pending storm
25 : kemungkinan kecil
TATALAKSANA 1
1. Perawatan suportif :
• Kompres dingin , antipiretik (asetaminofen )
• Memperbaiki gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit: infus dekstrosa
5% dan NaCl 0,9 %
• Mengatasi gagal jantung: C> 2, diuretik, digitalis
2 . Antagonis aktivitas hormon tiroid :
Blokade produksi hormon tiroid:
PTU dosis 300 mg tiap 4-6 jam PO.
Alternatif : Metimazol 20 - 30 mg tiap 4 jam PO
Pada keadaan sangat berat, dapat diberikan melalui pipa nasogastrik ( NGT)
PTU 600 - 1000 mg atau metimazol 60 -100 mg.
Blokade ekskresi hormon tiroid
Solutio Lugol ( saturated solution of potassium iodida) 8 tetes tiap 6 jam
Penyekat beta
Propanolol 60 - 80 mg tiap 6 jam PO atau 1 - 5 mg tiap 6 jam intravena, dosis
disesuaikan respons (target: frekuensi jantung < 90 x / menit).
116
Krisis Tiroid
•Glukokortikoid
Hidrokortison 100-500 mg IV tiap 12 jam; Deksametason 2 mg tiap 6 jam.
• Bila refrakter terhadap terapi di atas: plasmaferesis, dialisis peritoneal.
3. Pengobatan terhadap faktor presipitasi: antibiotik spektrum luas, dll.
KOMPLIKASI
Krisis tiroid: kematian
PROGNOSIS
Mortalitas krisis tiroid dengan pengobatan adekuat = 10 -15 %.1
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Dalam Divisi Ginjal-Hipertensi, Divisi Kardiovaskular
- Departemen Penyakit Dalam, Departemen Neurologi,
Departemen Radiologi / Kedokteran Nuklir, Patologi
Klinik, Departemen Bedah-Onkologi.
• RS non Pendidikan : Bagian Neurologi, Patologi Klinik, Radiologi, dan Bedah.
REFERENSI
1. Djokomoeljanto R . Kelenjar tiroid, hipotiroidisme, dan hipertiroidisme. In: Sudoyo AW , Setiyohadi
B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, et al. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam. Edisi 5 . Jakarta:
InternaPublishing. 1993-2008.
2. Jameson JL, Weetman AP. Disorder of the Thyroid Gland. In : Longo DL, Fauci AS, Kasper DL,
Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J. Harrison' s Principles of Internal Medicine. 18lhed. New York:
McGraw-Hill; 2012.2911-39
117
118
PENGERTIAN
Perioperatif secara umum merupakan tiga fase pembedahan yaitu preoperatif,
intraoperatif dan pasca operasi. Tujuan dari evaluasi dan penatalaksanaan perioperatif
adalah mempersiapkan kondisi pasien yang optimal sebelum operasi, selama
operasi dan setelah operasi. Secara umum evaluasi perioperatif pada pasien DM
sama dengan kondisi pasien lain yang akan menjalani operasi. Pada pasien DM maka
evaluasi difokuskan pada evaluasi komplikasi jangka panjang DM (mikrovaskuler,
makrovaskuler dan neuropati) yang akan meningkatkan risiko operasi. Perhatian
khusus perlu diberikan pada evaluasi fimgsi kardiovaskuler dan ginjal. Evaluasi risiko
kardiovaskuler merupakan prioritas utama. Adanya neuropati otonom juga dapat
memperberat dan memperpanjang fase pemulihan pasca operasi.
PENDEKATAN DIAGNOSIS
# PanduanPraktikKIinls
Perioperatif Diabetes Melitus
merlksaan Penunjang
• Glukosa Darah
• Profil Lipid
• HbAlC
DPL
Fungsi hafci : SGGT/PT
mgkiklm : Ur/ Cr
’
Elbktfblit '
Hemostasis
Urinaiisa
EKG
Foto Toraks
DIAGNOSIS BANDING
KOMPLIKASI
Hipoglikemia, Hiperglikemia
TATALAKSANA
1. Kontrol Gula Darah (GD)
• Biasanya dilakukan saat rawat jalan sebelum tindakan
• Target GD belum ada keseragaman (secara umum Gt> i40-180mg/dL)
• Untuk memperbaiki kontrol GD
- Pemeriksaan GD lebih sering
- Dosis insulin disesuaikan
2. Pemberian Insulin
• GD dikendalikan dengan insulin kerja pendek (insulin manusia ) atau insulin
kerja cepat analog
Regimen insulin di rumah dapat dilanjutkan, terutama jika menggunakan
insulin basal
Pemberian Insulin
- Metode pemberian insulin sebaiknya dapat memberikan kontrol GD yang
baik sehingga dapat mencegah hiper- atau hipoglikemia dan mencegah
gangguan metabolik lain.
119
©
'Iji l M7 f?nd«
,
, ,
ans !!L! !?
ra|l cl is Metabolik Endokrin
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
120
Perioperatif Diabetes Melitus
• Pengosongan lambung
semua pasien DM dengan trauma maka dianggap lambung penuh karena
kemungkinan adanya gastroparesis DM, sehingga sebaiknya ditunda 4 - 6
jam jika memungkinkan
• Infus insulin intravena
7. Penatalaksanaan Intra Operasi
• Semua pasien yang menggunakan insulin baik tipe 1 maupun tipe 2 harus
mendapatkan insulin selama prosedur operasi
• DM tipe 2 yang terkontrol baik dengan diet dan OAD mungkin tidak
membutuhkan insulin jika prosedur relatif mudah dan singkat
• Kontrol GD yang buruk dan prosedur operasi yang sulit : Pemberian insulin
bermanfaat
8. Pemberian Glukosa, Cairan dan Elektrolit
• Selama puasa sebaiknya diberikan glukosa yang adekuat dengan tujuan
mencegah hipoglikemia, mencukupi kebutuhan energi dan katabolisme berat.
• Dapat diberikan dekstrosa 5% lOOcc / jam, disesuaikan dengan status hidrasi.
• Pada stress berat diperlukan glukosa lebih banyak.
• Jika dibutuhkan penambahan cairan dapat diberikan cairan yang tidak
mengandung dekstrosa.
• Kalium seharusnya dilakukan monitor sebelum dan sesudah operasi
9. Paska tindakan operasi
• Infus dextrose dan insulin dilanjutkan sampai pasien bisa makan lalu dimulai
dengan pemberian insulin subkutan sesuai dengan kebutuhan.
• Pada pasien dengan nutrisi enteral tetap dianjurkan pemberian insulin kerja
singkat tiap 6 jam dan pengawasan hipoglikemia.
• Bila tidak bisa makan per oral maka dapat diberikan nutrisi parenteral.
UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : Semua Divisi di lingkungan Departemen Imu Penyakit Dalam
• RS non Pendidikan
121
m
_
\gf f Jyp
PanHuanPraitm
« nman
P him| Sexnkrtt Powerful
Doctor
Klims Metabolik Endokrin
Dctliam Irldo/ioita
REFERENSI
.
1 . .
Perkumpulan pndokrinologi Indonesia Petunjuk praktis terapl insulin pada pasien diabetes melitus
.
PB PERKENI Jakarta 2011 .
.
2 . .
Jacober SJ, Sowers JR Scott J An Update on Perioperative Management of Diabetes Arch .
.
Intern Med 1999;159:2405-11
.
3 Kedokteran Perioperatif 2007
122
123
KAKI DIABETIK
PENGERTIAN
Kaki diabetes merupakan komplikasi kronik DM yang diakibatkan kelainan
neuropati sensorik, motorik, maupun otonomik serta kelainan pada pembuluh darah .
Alasan terjadinya peningkatan insiden ini adalah interaksi beberapa faktor patogen:
neuropati, biomekanika kaki abnormal, penyakit arteri perifer, penyembuhan luka
yang buruk dan infeksi.1
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Lama menderita DM, kontrol gula darah, gejala komplikasi ( jantung, ginjal ,
penglihatan) penyakit penyerta, riwayat pengobatan saat ini, pemakaian sepatu, ada
callus, ada kelainan bentuk kaki, riwayat infeksi atau pembedahan pada kaki, nyeri
pada tungkai saat beristirahat. 1
Pemeriksaan Fisik2
a. Pemeriksaan vaskular
Palpasi pulsasi arteri, perubahan warna kulit, adanya edema, perubahan
suhu, riwayat perwatan sebelumnya, kelainan lokal di ekstremitas : kelainan
pertumbuhan kaki, rambut, atrofi kulit.
b. Pemeriksaan neuropati
Vibrasi dengan garputala 128 Hz, sensasi halus dengan kapas, perbedaan dua
titik, sensasi suhu, panas dan dingin, pinprick untuk nyeri, pemeriksaan refleks
fisiologis, pemeriksaaan klonus, dan tes Romberg.
c. Pemeriksaan kulit
Tekstur, turgor dan warna, kulit kering, adanya callus, adanya fisura, ulkus ,
gangren, infeksi, jamur, sela-sela jari, adanya kelainan akantosis nigikans dan
dermopati.
DIAGNOSIS BANDING
Peripheral arterial disease ( PAD), vaskulitis, tromboangiitis obliterans ( penyakit
Buerger’s), venous stasis ulcer.1
TATALAKSANA
Pengelolaan kaki diabetik dimulai sejak diagnosis diabetes ditegakkan. Pengelolaan
awal meliputi deteksi dini kaki diabetik dan identifikasi kaki diabetik. Terdapat sistem
skoring neuropati yang dibuat untuk mempermudah deteksi dini yaitu Modified
Diabetic Examination Score yaitu :
a . Pemeriksaan kekuatan otot
Otot Gastroknemius : plantar fleksi kaki
Otot Tibialis anterior: dorsofleksi kaki
124
Kaki Diabetik
b. Pemeriksaan refleks
Tendon Patela
Tendon Achilles
Pemeriksaan sensorik pada Ibu jari kaki
Sensasi terhadap tusukan jarum
Sensasi terhadap perabaan
Sensasi terhadap vibrasi
Sensasi terhadap gerak posisi
Pengelolaaan kaki diabetik dengan risiko tinggi dan kaki diabetik dengan luka,
dapat dijelaskan sebagai berikut:
Deteksi Dini4
• Kaki berisiko tinggi
Penyandang DM yang memiliki satu atau lebih risiko terdiri dari kelainan
neuropati, vaskular (iskemia], deformitas, kalus dan pembengkakan.
Dilakukan kontrol mekanik, metabolik, edukasi dan ditambah dengan kontrol
vaskular
• Kaki dengan sensasi normal disertai deformitas
Kelainan deformitas yang lazim dijumpai antara lain claw toes, hammer toes,
metatarsal heads yang menonjol, hallux rigidus, hallux valgus dan callus
Adanya kulit kering atau fisura akibat neuropati dapat diatasi dengan
pemberian krim pelembab untuk mencegah timbulnya lecet, mengingat setiap
lecet berpotensi sebagai tempat masuknya infeksi bakteri
• Kaki insensitifitas dengan deformitas
• Iskemia dengan deformitas
Tindakan Pencegahan
Dilakukan bila belum ada luka di kaki (Texas Modifikasi Stadium A Tingkat 0) dan
berdasarkan kategori risiko lesi kaki diabetik.4
Langkah-langkah pencegahan perlu dijelaskan saat edukasi perawatan kaki
diabetes, diantaranya sebagai berikut:5
• Tidak boleh berjalan tanpa alas kaki, termasuk di atas pasir dan di air.
• Periksa kaki setiap hari untuk deteksi dini dan laporkan pada dokter / perawat
.
apabila ada kulit terkelupas, kemerahan, atau luka
125
f§ aggBSBBS Metabolik Endokrin
Sepatu Diabetes5
• Kategori risiko 0: meskipun belum ada gangguan sensasi, karena gangguan sensasi
pada kategori tersebut dapat terjadi sewaktu -waktu.
• Kategori resiko 1: saat mana sudah terdapat gangguan sensoris dan pembentukan
calus
• Kategori resiko 2 dan 3: sudah terdapat deformitas dan kerapuhan jaringan akibat
tukak terdahulu
126
Kaki Diabetik
1. Kontrol mekanik:
Mengistirahatkan kaki.
- Menghindari tekanan pada daerah kaki yang luka ( non weight bearing ).
Menggunakan bantal saat berbaring pada tumit kaki / bokong/ tonjolan
tulang,untuk mencegah lecet.
Memakai kasur anti dekubitus bila perlu.
Mobilisasi (bila perlu dengan alat bantu berupa kursi roda atau tongkat).
Pada luka yang didominasi oleh faktor neuropati maka tujuan utama adalah
mendistribusikan beban tekanan pada kaki, sedangkan yang didominasi faktor
vaskular tujuan utamanya adalah menghindari luka pada daerah yang rentan .
2. Kontrol luka:
Evakuasi jaringan nekrotik dan pus yang adekuat perlu dilakukan secepat
mungkin, jika perlu dapat dilalukan dengan tindakan operatif .
Pembalutan luka dengan pembalut yang basah atau lembab .
Debridemen dan nekrotomi.
Amputasi
3. Kontrol infeksi (mikrobiologi ): diperlukan pada ulkus neuropati maupun ulkus
neuroiskemia ( PAD),
Terapi antimikroba empirik pada saat awal bila belum ada hasil pemeriksaan
kultur mikroorganisme dan resistensi.
Luka yang superfisial: diberikan antibiotik untuk kuman gram positif. Luka
lebih dalam diberikan antibiotik untuk kuman gram negatif ditambah golongan
metronidazol bila ada kecurigaan infeksi bakteri anaerob.
Pada luka yang dalam, luas, disertai gejala infeksi sistemik yang memerlukan
perawatan di rumah sakit: dapat diberikan antibiotik spektrum luas yang
dapat mencakup kuman gram positif , gram negatif dan anaerob. Sehingga
dapat digunakan 2 atau 3 golongan antibiotik.
Penggunaan antibiotik diobservasi seminggu kemudian, dan disesuaikan
dengan hasil kultur mikroorganisme.
4. Kontrol vaskular: sebaiknya ditelusuri sampai diketahui perlu tidaknya penilaian
status vaskular secara invasif
Periksa ankle brachial index (ABI), trans cutaneous oxygen tension, toe pressure
bahkan angiografi.
127
:<y> PanduanPrakUkMinis Metabolik Endokrin
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia W
128
Kaki Diabetik
KOMPLIKASI
Osteomielitis, sepsis, amputasi
PROGNOSIS
Di RSUPN dr.Cipto Mangunkusumo angka kematian dan angka amputasi masih
tinggi masing masing 16% dan 25 % (data RSUPN Cipto Mangunkusumo 2003).
Sebanyak 14, 3% akan meninggal dalam setahun pasca amputasi dan sebanyak 37%
akan meninggal 3 tahun pasca -amputasi.2 3
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Departemen Bedah , Departemen Rehabilitasi Medik,
Divisi Kardiologi , Divisi Hematologi - Departemen
Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Bagian Bedah , Bagian Rehabilitasi Medik.
129
# BSBSaBBS Metabolik Endokrin
REFERENSI
1 . : PowersAi Diabetes Mellitus. In: Longo FaucbKasper, Harrison' s Principles of Internal Medicine 18th
edltion.United States of America.Mcgraw Hill. 2012
2. .
Waspadjl S. Kaki Diabetes. Dalam: Sudoyo Setiyohadi, Buku Ajar llmu Penyaklt Dalam. Edisi V.
Jakarta. Interna PUblls (iingJ2011
3 . .
Konsensus Kaki Diabetik Jakarta. Pengurus Besar Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PB
.
PERKENI) 2008
4 . Pedoman Penatalaksanaan Kaki Diabetes. Jakarta. Perkeni. 2010
5 . Adhiarta. Penatalaksanaan Kaki Diabetes. Dalam : Kariadi SHKS, Arifln AYL, Adhiarta IGN, Permana
H, Soetedjo NNM. Editors. Naskah Lengkap Forum Diabetes Nasional V. Bandung. 2011
6 . Ismiarto YD. Aspek Bedah Penanganan Luka Diabetes. Dalam : Kariadi SHKS, Arifin AYL, Adhiarta
IGN, Permana H, Soetedjo NNM. Editors . Na'skdh Len kcip Fdrurn Diabetes NasiOrrdl V; Bandung.
2011 ^
.
7 Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus pengelolaan dan pencegghan diabetes melitus
tipe 2 di Indonesia. PB PERKENI. Jakarta, 2011.
130
131
PENGERTIAN
Sindrom ovarium polikistik ( PCOS) yang didapatkan pada sekitar 5 - 10% perempuan
usia produktif, didefinisikan sebagai suatu sindrom klinis akibat resistensi insulin yang
ditandai dengan obesitas, menstruasi tidak teratur, dan terdapat tanda berlebihan
androgen (seperti hirsutisme, jerawat) . Pada mayoritas pasien, ditemukan kista multipel
dalam ovariumnya, dengan etiologi multifaktorial yang tidak jelas.1 Istilah lain PCOS
adalah Gambaran Ovarium Polifolikular [ polyfollicular ovarian appearance ) .2
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Diagnosis biasanya ditemukan pada saat pemeriksaan hormon, kehamilan , atau
infertilitas . Mayoritas perempuan dengan PCOS memiliki periode menstruasi yang
tidak teratur (oligomenorea) .
Kriteria diagnosis
Kriteria diagnosis PCOS dari Eshre / Asrm ( Rotterdam )2003 dipenuhi minimal 2
dari 3 kriteria berikut:1
1. Disfungsi ovulasi yang menyebabkan menstruasi tidak teratur dan infertilitas
2. Hiperandrogenisme dengan bukti klinis atau laboratoris (biokimia)
3 . Dengan USG pelvis atau transvaginal , pada bagian perifer dalam satu ovarium
ditemukan > 10 kista folikular tampak seperti untaian mutiara, berukuran 2 - 6
mm atau kadang lebih besar berisi sel -sel atresia.
Pemeriksaan Penunjang
• Gula darah puasa/ sewaktu (atau TTGO bila perlu) dan profil lipid untuk mencari
adakah sindrom metabolik.
• Hormon kortisol pada pagi hari (pk 08.00), untuk menyingkirkan sindrom Cushing
• Hormon 17 -hidroksi progesteron pada pagi hari, untuk menyingkirkan virilisme adrenal
• DHEAS ( dehydroepiandrosterone sulfate ) serum, dinilai sebagai amenorea bila
hasilnya abnormal
• USG, juga untuk menyingkirkan virilizing tumor
PanduanPraktfk Klinis
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
0 EHSIHJ5SPJSSL Metabolik Endokrin
DIAGNOSIS BANDING
Hirsutisme idiopatik, hiperprolaktinemia, hipotiroidisme, hiperplasia adrenal non
klasik, tumor ovarium, tumor adrenal, sindrom Cushing , resistensi glukokortikoid ,
hiperandrogen dengan penyebab lain yang jarang.1
TATALAKSANA3
• Prinsip penatalaksanaan disesuaikan dengan gejala klinis dan apakah
menginginkan kehamilan.
• Setiap pasien PCOS yang overweight sebaiknya dimotivasi untuk menurunkan berat
badannya, untuk memperbaiki manifestasi klinis (terutama menstruasi yang tidak
teratur) dan menurunkan risiko DM tipe 2.
Metformin (untuk mengurangi resistensi insulin sehingga dapat mengembalikan
siklus ovulasi yang teratur)
Thiazolidinedione (tidak disarankan untuk perempuan yang ingin hamil)
Klomifen sitrat (untuk mengembalikan fertilitas agar kehamilan dapat terjadi)
Progesteron (medroksi progesteron 5 - 10 mg PO, 1x/ hari, selama 10 - 14 hari
tiap 1 - 2 bulan 4
Progestogen-impregnated intra uterine coil
PROGNOSIS3 4 5
Wanita dengan PCOS memiliki risiko jangka panjang yang lebih besar untuk
terjadinya:
• intoleransi glukosa, DM tipe 2, hipertensi, hiperkolesterolemia, hipertrigliseridemia
• obesitas ; bertambahnya rasio pinggang- pinggul
• infertilitas involunter (17,5% vs 1,3% kelompok kontrol)
• risiko hiperplasia atau kanker endometrium
• risiko penyakit serebrovaskular dan kardiovaskular
• hirsutisme
UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : Departemen Obstetri dan Ginekologi
• RS non Pendidikan : Bagian Obstetri- Ginekologi
132
Sindrom Ovarium Polikistik (PCOS) <f|
ft
REFERENSI
1 . Kronenberg HM, Melmed S, Polonsky KS, Larsen PR, editors. Disorders in female reproductive
system. In: Williams Textbook of Endocrinology, 11lh ed. Philadelphia, Pa: Saunders-Elsevier; 2008.
2. Gazvani MR, Hamilton M, Kingsland CR, et al. Polycystic ovarian syndrome: a misleading label?
Lancet. 2000; 355 (9201 ) :411 -2.
3. Colledge NR, Walker BR, Ralston SH, editors. In : Davidson ' s Principles and Practice of Medicine
,
21s ed.Churchill Livingstone-Elsevier: 2010
4. Porter RS, Kaplan JL, editors. The Merck Manual of Diagnosis and Therapy 19 th ed. USA: Merck
Research Laboratories, 2011 .
5. .
Wild S, Pierpoint T, Jacobs H, et al Long-term consequences of polycystic ovarian syndrome:
results of a 31 year follow-up study. Hum Fertil ( Camb) 2000;3(2) :101-5.
6. .
Wild S, Pierpoint T, McKeiqueP, et al Cardiovascular disease in women with polycystic
ovary syndrome at long-term follow up: a retrospective cohort study. Clin Endocrinol (Oxf) ,
.
2000:52 (5 ) :595-600
133
134
PENGERTIAN
Pembesaran kelenjar tiroid difus tanpa adanya nodul maupun hipertiroid. Struma
difusa non toksik paling sering disebabkan oleh defisiensi yodium dan disebut juga
goiter endemik apabila menyerang > 5% populasi. Pada area yang kekurangan iodium,
pembesaran tiroid mencerminkan efek kompensasi untuk mempertahankan iodium
sehingga tetap dapat memproduksi hormon yang cukup. WHO, UNICEF dan ICCIDD
menganjurkan kebutuhan yodium sehari adalah 90 meg untuk anakpra sekolah, 120
meg untuk anak sekolah dasar (6 - 12 tahun ), 150 meg untuk dewasa (di atas 12 tahun)
dan 200 meg untuk wanita hamil dan menyusui. Goiter endemik juga disebabkan oleh
pajanan terhadap goitrogen lingkungan seperti singkong yang mengandung tiosianat,
sayur -sayuran dari famili Cruciferae ( kol, kembang kol) dan susu sapi pada area yang
memiliki rumput yang mengandung goitrogen. Goiter juga dapat terjadi pada defek
sintesis hormon tiroid yang diturunkan.1
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Goiter kebanyakan asimtomatik. Apabila goiter sangat besar, maka dapat
menimbulkan gejala-gejala kompresi trakea atau esofagus. Goiter substernal dapat
mengobstruksi thoracic outlet. 1
Pemeriksaan Fisik 1
• Palpasi kelenjar tiroid menunjukkan adanya pembesaran yang tidak nyeri, lunak
dan tidak adanya nodul pada kelenjar tiroid
• Apabila terjadi obstruksi thoracic outlet didapatkan Pemberton’s sign positif ( rasa
pusing yang disertai dengan kongesti wajah dan obstruksi vena jugularis eksterna
saat lengan dinaikkan di atas kepala].
PanduanPraktik Klinis
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
Struma Difusa Non Toksik
Pemeriksaan Penunjang:2
• Tes fungsi tiroid: untuk menyingkirkan adanya hipotiroid atau hipertiroid. Pada
simple goiter, kadar T4 dan TSH adalah normal. Pada bentuk yang baru dan lama
T4 dapat ditemukan rendah
• Antibodi TPO: untuk mengidentifikasi pasien dengan peningkatan risiko penyakit
tiroid autoimun
• Kadar iodium urin: rendah, <10 g/ dL
• Scan tiroid: peningkatan ambilan yodium radioaktif
• Pengukuran laju pernapasan / CT / MRI: diperlukan pada pasien goiter substernal
yang memiliki gejala atau tanda obstruksi
DIAGNOSIS BANDING
Tiroiditis, adenoma non neoplastik, kista tiroid / paratiroid / tiroglosus, hyperplasia
remnant post bedah, keganasan1
TATALAKSANA
Non farmakologis
Edukasi.2
Farmakologis
Terapi dengan iodium maupun hormon tiroid dapat mengecilkan goiter pada
defisiensi iodium, tergantung pada lamanya goiter dan derajat fibrosis yang timbul.
Pemberian hormon tiroksin harus berhati-hati terutama apabila TSH rendah atau
normal. Pada pasien muda, dosis levotiroksin dapat dimulai pada 100 mcg / hari
sedangkan pada pasien yang lebih tua dimulai pada 50 mcg/ hari. Regresi nyata
biasanya terlihat dalam 3 - 6 bulan terapi.2
Bedah
Terapi bedah dilakukan apabila terjadi kompresi trakea ataupun obstruksi thoracic
outlet. Tirodektomi subtotal atau hampir total dapat dilakukan untuk kepentingan
kosmetik. Operasi harus diikuti penggantian hormon dengan levotiroksin agar TSH
tetap pada batas bawah nilai normal sehingga mencegah timbulnya kembali goiter.
135
HSHSSBSHI Metabolik Endokrin
KOMPLIKASI
Kompresi saluran napas dan esofagus, obstruksi thoracic outlet, sindrom vena
kava superior, penekanan nervus frenikus atau laringeus rekuren, sindrom Horner .
Stroke dan iskemik serebral dapat terjadi akibat kompresi arteri atau sindrom pintas
tiroservikal.1
PROGNOSIS
Pada pasien tua, goiter yang telah lama diderita dan tingkat fibrosis yang lebih
tinggi, kurang dari sepertiga yang menunjukkan respons dengan terapi farmakologis.4
UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : Semua Divisi di lingkungan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam
• RS non Pendidikan
REFERENSI
1. .
Djokomoeljanto. Gangguan akibat kekurangan iodium In: Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I,
.
Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5lh ed Jakarta; Pusat Informasi
dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2009 :2009 - 15
2. .
Lameson JL, Weetman AP.Disorders ot the thyroid gland In: Fauci A, Kasper D, Longo D, Braunwald
E, Fiauser S, Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison' s principles of internal medicine. 18th ed.
United States of America: The McGraw-Hill Companies, 2012: 2911 - 39
3 . Fritzgerald PA. Endocrine disorders. In: McPhee S, Papadakis M, Rabow M. Current medical
diagnosis and treatment 2011.50lh ed. California; The McGraw -Hill Education. 2010:1061 - 90
4. ,
Gardner DG, Shoback D, editors. Greenspan ' s basic and clinical endocrinology. 8 h ed. San
Fransisco
5. Peloquin JM, Wondisford FE. Nontoxic diffuse and nodular goiter. In: Wondisford FE, Radovick S,
editors. Clinical management of thyroid. Is1 ed. Philadelphia: Saunders, 2009 : 339 - 47
136
137
PENGERTIAN
Pembesaran kelenjar tiroid yang teraba sebagai suatu nodul, tanpa disertai tanda-
tanda hipertiroidisme.1
Berdasarkan jumlah nodul, dibagi:12
• Struma mononodosa non toksik
• Struma multinodosa non toksik
Berdasarkan kemampuan menangkap iodium radioaktif :
• Nodul dingin
• Nodul hangat
• Nodul panas
Berdasarkan konsistensinya:
• Nodul lunak
• Nodul kistik
• Nodul keras
• Nodul sangat keras
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis3
• Sejak kapan benjolan timbul
• Rasa nyeri spontan atau tidak spontan, berpindah atau tetap
• Cara membesarnya: cepat, atau lambat
• Pada awalnya berupa satu benjolan yang membesar menjadi beberapa benjolan
atau hanya pembesaran leher saja
• Riwayat keluarga
• Riwayat penyinaran daerah leher pada waktu kecil / muda
• Perubahan suara
• Gangguan menelan, sesak nafas
• Penurunan berat badan
• Keluhan tirotoksikosis
PanduanPraktik Minis
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
A
iwfwv
FanduiuiPiaBiliKHnls Metabolik Endokrin
Perhimpunan Dokter Spesialh Penyakit Dalom Indonesia
Pemeriksaan Fisik4 5
• Umum
• Lokal:
Nodus tunggal atau majemuk, atau difus
Nyeri tekan
Konsistensi
Permukaan
Perlekatan pada jaringan sekitarnya
Pendesakan atau pendorongan trakea
Pembesaran kelenjar getah bening regional
Pemberton' s sign
138
Struma Nodosa Non Toksik ( SNNT )
DIAGNOSIS BANDING6
• Struma nodosa pada:
Peningkatan kebutuhan terhadap tiroksin pada masa pertumbuhan, pubertas,
, .
laktasi, menstruasi kejiamilan, menopause, infeksi, stres lain.
• Tiroiditis akut
• Tiroiditis subakut
• Tiroiditis kronis: limfositik (Hashimoto), fibrous-invasif ( Riedel)
• Simple Goiter
• Struma endemik
• Kista tiroid, kista degenerasi
• Adenoma
• Karsinoma tiroid primer, metastatik
• Limfoma
PEMERIKSAAN PENUNJANG
• Biosi aspirasi jarum halus (BAJAH) nodul tiroid
• BAJAH merupakan prosedur diagnostikyang penting dilakukan pada kasus SNNT,
dapat dilakukan tanpa menunggu hasil laboratorium bila klinis eutiroid.
• Laboratorium: T4 atau FT4, dan TSHs sesuai gambaran klinis6
• USG tiroid:
• USG baik untuk mengukur jumlah, ukuran, dan karakteristik sonografi nodul.
Karakteristik sonografi yang curiga keganasan adalah hypoechoic, mikrokalsifikasi,
- -
makrokalsifikasi, intranOdular vaskularity, taller than wide dimensions, dan batas
yang samar. 8
TATALAKSANA3
Sesuai hasil BAJAH, maka Tata Laksana :
139
Itl Panduan PraktikKlinis Metabolik Endokrin
*— IV^ WIVI I I I
**lmpufwriDoM*Sffe**Pony** Odom*done*o
Nodut tiroid
TSH
i 11
Co/d/ tdk
Hot spesifik
J
Mungkin jinak.
adenoma toksik :
. .
ablosi reseksi rerapi
medikamentosa
i
Observasi atau Terapi RAIU Bedah RAIU Bedah
-
terapi supresi supresif
i 1
140
A. Ganas
Struma Nodosa Non Toksik ( SNNT )
^
• Operasi Tiroidektomi near- total / Total tiroidektomi
D. Jinak
Tata Laksana dengan Levo-tiroksin (LT 4] dosis subtoksis.(terapi supresi]
• dosis dititrasi mulai 2 x 25 ug (3 hari],
• dilanjutkan 2 x 50 ug (3 - 4 hari],
• bila tidak ada efek samping atau tanda toksis : dosis T menjadi 2 x 100 mg
sampai 4 - 6 minggu, kemudian evaluasi TSH ( target 0,1 - 0,3 mlU / L]
• supresi TSH dipertahankan selama 6 bulan
• evaluasi dengan USG: apakah nodul berhasil mengecil atau tidak (berhasil bila
mengecil > 50% dari volume awal]
• Bila nodul mengecil atau tetap
-* L-tiroksin distop dan diobservasi:
Bila setelah itu struma membesar lagi, maka L-tiroksin dimulai lagi (target
TSH 0,1 - 0,3 mlU / L],
Bila setelah l-tiroksin distop, struma tidak berubah, diobservasi saja.
—
• Bila nodul membesar dalam 6 bulan atau saat terapi supresi > obat dihentikan
dan operasi tiroidektomi dan dilakukan pemeriksaan histopatologi -» hasil PA:
Jinak: Observasi
Ganas: Tata Laksana dengan L -tiroksin
• Individu dengan risiko ganas tinggi: target TSH < 0,01 - 0,05 mlU / L
• Individu dengan risiko ganas rendah : target TSH 0,05 - 0,1 mlU / L
KOMPLIKASI
Umumnya tidak ada, kecuali ada infeksi seperti pada tiroiditis akut /subakut
PROGNOSIS
Prognosis baik. Biasanya SNNT berkembang sangat lambat. Bila ada pertumbuhan
yang cepat harus dievaluasi kemungkinan adanya degenerasi, perdarahan pada nodul,
atau adanya neoplasma.
142
Struma Nodosa Non Toksik ( SNNT)
AH U ? '
C L: K ^
• RS non penciijlikan : .B ian Peny kit Dalapi
V: ^
UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : Semua Divisi di lingkungan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam
• RS non Pendidikan : -
REFERENSI
1
^ .
Brunjcardi, C grjes F Schwartz' s Principle pf Surgery, 8lh Edition, Copyright @2007 The tylcGraw-
2. . .
Gdhong, Willlarfi F Bdku ajar flslblogi 'Kedoktefdn, fediif i20 EGC, Jakarta 2002 i 305-309 .
3. . ' . .
Kariadi SHKS, Struma Nodosa Non-Tokslk Daldtn Wd$pddji S, et at ( eds) Buku Ajbrllmu Penyakit
. .
Dalam Edisi 3 Jakarta, Balai Penerbit FKUI:757-65
4. .
Cooper DS, Doherty GM, Haugen BR, et al Revised Americaip Thyroid, Assqajatiqn rhpnggprp t
guidelines for patients with thyroid nodules and differentiated thyroid cancer! Thyroid Nov
‘
. ^
2009:19(11):1167-214 .
5 . . .
Bahn RS, Castro MR Approach to the patient with nontoxic multinodular goiter J Cljn Endocrinol
.
6 . . ^
Metab, May 2011:96(5) :1202-1 [Medline],
.
Subekti I Struma Nodosa Non-Toksik (SNNT) In Simadibrata M, Setiati S, Alwi I, Maryantqro, Gani
.
RA; Mdhs)obr' A !(e<iis) Pe'ddhndhiDtddhosis ' ddh Tatd' LdksdHa dl ' Bldahd' ilfnU ' Pdhydkit Daldm .
'
Jakarta: Pusat Informasl dan Penerbitan Baglan Ilmu Penyakit Dalam FKUI,1999:187-? ; .
7 . Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J : Harrison' s Principles of Internal
.
medicine, 18th edition : www accesmedlcine com .
8. .
Cooper DS, Doherty GM, Haugen BR, et al Revised American Thyroid AsSdcIbtidn maridgbmerit
.
guidelines 1or pajlents with thyroid noddles and differentiated thyrpid cdricer Thyroid Nov .
2009;19 ( 11 ):1167-214. [Medline].
9 . .
Jameson JL, Weetman AP. Disorders of the Thyroid Gland In Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL,
Hauser SL, Longo DL, Jameson JL. Harrison' s Principles of InteMal /vfedidrte.ie^ ed. NeUr Y6rk:
McGraw-Hill, 2001:2060-84.
10. 8dhn RS, Castro MR, Approach to the patient wlfh nontoxic multinodylqr goiter. J Clin Endocrinol
'
Metab. May 2011:96(5):1202-12.
143
144
PENGERTIAN
Adalah nodul tiroid soliter berkapsul yang berfungsi secara autonom menghasilkan
hormon tiroid. Disebut juga adenoma tiroid toksik.1 3 '
Sebagian besar pasien mengalami mutasi somatik pada gen reseptor TSH. Mutasi
ini menyebabkan peningkatan proliferasi dan fungsi sel folikular tiroid. Sebagian kecil
mengalami mutasi pada gen protein Gs-alpha (GSa).2'3
PENDEKATAN DIAGNOSIS2 3
Anamnesis
Gejala tirotoksikosis ringan (kelelahan, tidak tahan panas, refleks hiperaktif,
peningkatan berkeringat, peningkatan nafsu makan, palpitasi, polidipsia, tremor, berat
badan turun)
Pemeriksaan fisik
Nodul tiroid yang biasanya cukup besar (s 3cm) sehingga dapat dipalpasi
Pemeriksaan penunjang
• Tes fungsi tiroid: TSH rendah
• Thyroid scan: dapat menjadi tes diagnostik definitif, menunjukkan adanya uptake
lokal pada nodul dan berkurangnya uptake pada bagian lain dari kelenjar tiroid
• USG
DIAGNOSIS BANDING
Graves disease, struma multinodosa toksik, tiroiditis, nodul tiroid.
TATALAKSANA
• Farmakologis4
- Antitiroid dan penyekat beta:
Dapat menormalkan fungsi tiroid namun bukan terapi jangka panjang optimal.
Bedah4
Lobektomi tiroid ipsilateral atau isthmusektomi ( jika adenoma terdapat pada
isthmus).
Lebih dipilih pada pasien dengan gejala dan tanda kompresi pada leher,
ukuran goiter besar (s80 g) , ekstensi substernal atau retrosternal, atau
kebutuhan untuk koreksi cepat status tirotoksikosis. Kontraindikasi mencakup
komorbiditas signifikan seperti penyakit kardiopulmoner dan kanker stadium
akhir. Kontraindikasi relatif adalah kehamilan.
• Radiasi 4
Terapi radioiodin:
Lebih dipilih pada pasien usia lanjut, memiliki komorbiditas, riwayat operasi
atau jaringan parut pada anterior leher, dan ukuran struma kecil. Kontraindikasi
mencakup kehamilan, laktasi, wanita yang merencanakan akan hamil dalam
4-6 bulan.
• Terapi Lainnya4,5
Injeksi etanol berulang atau ablasi termal radiofrekuensi per kutan.
KOMPLIKASI
Hipertiroidisme, tirotoksikosis, krisis tiroid. Komplikasi terapi: hipotiroid.
PROGNOSIS
Kebanyakan pasien yang diterapi memiliki prognosis baik. Prognosis buruk
berhubungan dengan hipertiroid yang tidak ditangani. Jika tidak ditangani, hipertiroid
dapat menyebabkan osteoporosis, aritmia, gagal jantung, koma, dan kematian. Ablasi
iodine ” dapat mengakibatkan hipertiroid, pada beberapa pasien (menurut beberapa
penelitian berkisar 73 %, tergantung pada ukuran goiter dan dosis radioiodine)
membutuhkan terapi ulang atau operasi pengangkatan tiroid. Hipotiroid setelah ablasi
radioiodine telah dilaporkan pada 0-35% individu. Tatalaksana operatif terdiri dari
lobektomi nodul yang hyperfungtioning . Tingkat hipotiroid berkaitan dengan prosedur
ini, sangat rendah. Tingkat kekambuhan hipertiroid dengan operasi, dilaporkan berkisar
0 - 9 %.‘
145
$$! Panduan
; PraktlkKllnis Metabolik Endokrin W 1
^ ^ ^^
PArtiknjAinwCX IwipftUtihPei ltXjIaTP iio
UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : Departemen Ilmu Bedah
* RS non Pendidikan : Bagian Ilmu Bedah
REFERENSI
1. ‘ Dalam: Suddyo AW, Setlyohadl B,' Alwi I, Slmddibfata M, Setiati S, penyunting. Buku ajar ilmu
.
, :J2?ny.gKLt:dsteiJdiii Y/.J.q| itq;;lnteroaEwbli?blng;> 2908 .hgL .
^.
. .
• rJ
3. Mandel SJ, Larsen PR, Davies TF. Thyrotoxicosis, balam: Melrned S, Polonsky KS, Larsen PR,
Kronenberg HM, penyunting. Williams textbook of endocrinology. Edisi XII. Philadelphia: Elsevier
Saunders; 2011
4. Bahn RS, Burch HB, Cooper DS, Garber JR, Greenlee MC, Klein I, et al. , Hyperthyroidism and
other causes of thyrotoxicosis: management guideiinesof the american thyroid association and
.
american association of clinical endocrinologists Endocrine Practice 2011; 17(3): 456 520
. -
5. . .
Siegel RD, Lee SL Toxic.nodular goiter: toxic adenoma and toxic multinodular goiter Endocrinol
Metab Clin North Am 1998; 27 ( 1 ): 151-68
6. .
Allahabadia A,Daykin J,Sheppard MC, et al Radioiodine treatment of hyperthyroidism-prognostic
. .
factors for outcome J Clin Endocrinol Metab Aug 2001;86 (8):3611-7
146
147
TIROIDITIS
PENGERTIAN
-
Istilah tiroiditis mencakup kelainan kelainan yang ditandai dengan adanya inflamasi
padatiroid. Gejala yang timbul dapat berupa asimtomatiksampai nyeriyanghebatpada
tiroid, dengan atau tanpa manifestasi disfungsi tiroid maupun pembesaran kelenjar
tiroid. Berdasarkan perjalanan penyakit dan ada tidaknya rasa sakit, tiroiditis dapat
dibagi atas tiroiditis akut, subakut serta tiroiditis kronis.1
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis dan pemeriksaan fisik masing-masing tipe tiroiditis dapat dilihat pada
tabel 1.
Pemeriksaan Penunjang
• Kadar T3, T4, TSH
• Sidik tiroid
DIAGNOSIS BANDING
Jenis- jenis tiroiditis, karsinoma tiroid.
TATALAKSANA
Apabila pasien dalam keadaan hipotiroid dapat diberikan levotiroksin untuk
mencapai kondisi eutiroid.1
KOMPLIKASI
Hipotiroidisme permanen, thyroid storm3 Obstruksi trakea, paralisis pita suara,
gangguan saraf simpatis regional, ruptur abses ke jaringan sekitar, trombosis vena
jugularis internal (sindrom Lemierre), sepsis, abses retrofaring, mediastinitis,
perikarditis, pneumonia.2
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Semua Divisi di lingkungan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : -
REFERENSI
1. . .
Wiyono P Tiroiditis In: Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors . Buku ajar
ilmu penyakit dalam. 5 th ed. Jakarta; Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FKUI, 2009:2016 - 2021
2. .
Lameson JL, Weetman AP.Disorders of the thyroid gland In: Fauci A, Kasper D, Longo D, Braunwald
E, Hauser S, Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison ’ s principles of internal medicine . 18lh ed.
United States of America ; The McGraw-Hill Companies, 2012: 2911 - 39
3. Yamada M, Satoh T, Hashimoto K. Thyroiditis. In: Wondisford FE, Radovick S, editors . Clinical
management of thyroid disease. 1 sl ed. Philadelphia; Saunders Elsevier, 2009: 191 - 203
4. Gardner DG, Shoback D, editors. Greenspan ' s basic and clinical endocrinology. 8lh ed. San Fransisco
5. Stagnaro-Green A, Abalovich M, Alexander E, et at Guidelines of the american thyroid association
for the diagnosis and management of thyroid disease during pregnancy and postpartum. Thyroid.
2011 ;21 ( 10):1081-125
6. Dayan CM, Daniels GH. Chronic autoimmune thyroiditis. N Engl J Med. 1996:335 ( 2 ) :99 - 107
7. Bindra A, Braunstein GD. Thyroiditis. Am Fam Physician. 2006;73 ( 10) :1769- 76
149
# E5SSJ53SHSSSL Metabolik Endokrin
8. Pearce EN, Farwell AP, Braverman LE. Thyroiditis. N Engl J Med. 2003:348 (26) :2646-55
9. Slatosky J, Shipton B, Wahba H. Thyroiditis: differential diagnosis and management. Am Fam
Physician. 2000:61 ( 4) :1047-52, 1054
150
151
TIROTOKSIKOSIS
PENGERTIAN
Tirotoksikosis adalah manifestasi klinis kelebihan hormon tiroid yang beredar
dalam sirkulasi. Sedangkan hipertiroidisme adalah tirotoksikosis yang diakibatkan
oleh kelenjar tiroid yang hiperaktif.1 Penyakit Graves adalah penyakit autoimun yang
dikarakteristikkan dengan adanya antibodi terhadap reseptor tirotropin (TRAb).
Penyakit Graves merupakan penyebab tersering hipertiroidisme.2
Panduan
rrihunun Doki <
Praktik Klinis
ir iptMloili foflytikll DoVxm ItvJolvwlo m
(# PamUian PrakUk Minis Metabolik Endokrin
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Penunjang
TSH, FT4, T3 (dengan indikasi) sidik tiroid
DIAGNOSIS BANDING2
• Hipertiroidisme primer: penyakit Graves, struma multinodosa toksik, adenoma
toksik, metastasis karsinoma tiroid fungsional, struma ovarii, mutasi reseptor
TSH, obat: kelebihan iodium (fenomena Jod Basedow)
• Tirotoksikosis tanpa hipertiroidisme: tiroiditis subakut, tiroiditis silent, destruksi
tiroid ( karena amiodarone, radiasi, infark adenoma ) , asupan hormon tiroid
berlebihan (tirotoksikosis factitia )
• Hipertiroidisme sekunder: adenoma hipofisis yang mensekresi TSH, sindrom
resistensi hormon tiroid, tumor yang mensekresi HCG, tirotoksikosis gestasional
152
Tirotoksikosis
Tersangka Tirotoksikosis
r
TSH rendah, T4 TSH normal atau TSH dan T4 bebas
TSH rendah, T4
bebas tinggi bebas normal -
meningkat, T4 bebas tinggi normal
Tidak diperlukan
Normal tes tambahan
T3 toksikosis | Hipertiroid
subklinls
Tidak
1
Hipertiroid nodular toksik | Pengombilan radionukleida rendah |
1
153
# SagagBBS Metabolik Endokrin
TATALAKSANA
Farmakologis
1. Obat Antitiroid
• Propiltiourasil ( PTU ) dosis awal 300- 600 mg/ hari, dosis maksimal 2.000 mg/
hari.
• Metimazol dosis awal 20 - 40 mg/ hari.
• Indikasi:
Mendapatkan remisi yang menetap atau memperpanjang remisi pada
pasien muda dengan struma ringan - sedang dan tirotoksikosis
Untuk mengendalikan tirotoksikosis pada fase sebelum pengobatan atau
sesudah pengobatan iodium radioaktif
- Persiapan tiroidektomi
Pasien hamil, lanjut usia
Krisis tiroid
2. Penyekat adrenergik beta
Pada awal terapi diberikan, sementara menunggu pasien menjadi eutiroid setelah
6-12 minggu pemberian antitiroid. Propanolol dosis 40 - 200 mg dalam 2 - 3 dosis.
Pada awal pengobatan, pasien kontrol setelah 4 - 6 minggu . Setelah eutiroid,
pemantauan setiap 3- 6 bulan sekali: memantau gejala dan tanda klinis, serta lab.
FT4 dan TSHs. Setelah tercapai eutiroid, obat antitiroid dikurangi dosisnya dan
dipertahankan dosis terkecil yang masih memberikan keadaan eutiroid selama 12- 24
bulan. Kemudian pengobatan dihentikan, dan dinilai apakah terjadi remisi. Dikatakan
remisi apabila setelah 1 tahun obat antitiroid dihentikan, pasien masih dalam keadaan
eutiroid, walaupun kemudian hari dapat tetap eutiroid atau terjadi relaps.
Bedah1
Indikasi
• Pasien usia muda dengan struma besar dan tidak respons dengan antitiroid
• Wanita hamil trimester kedua yang memerlukan obat dosis tinggi
• Alergi terhadap obat antitiroid, dan tidak dapat menerima terapi iodium radioaktif
• Adenoma toksik, struma multinodosa toksik
• Graves yang berhubungan dengan satu atau lebih nodul
154
Tirotoksikosis |p
Radioiodine1 2
Indikasi
• Pasien berusia > 35 tahun
• Hipertiroidisme yang kambuh setelah dioperasi
• Gagal mencapai remisi setelah pemberian obat antitiroid
• Tidak mampu atau tidak mau terapi obat antitiroid
• Adenoma toksik, struma multinodosa toksik
KOMPLIKASI1
Penyakit Graves: penyakit jantung hipertiroid, oftalmopati Graves, dermopati
Graves, infeksi karena agranulositosis pada pengobatan dengan obat antitiroid .
PROGNOSIS
Cenderung tidak mengalami remisi pada laki-laki usia < 40 tahun dengan ukuran
gondokyangbesar dan tirotoksikosis yangklinis lebih berat (didapatkan titer antibodi
reseptor TSH yang tinggi) 1 .
UNIT YANG MENANGANI
• RS pendidikan : Divisi Metabolik Endokrin - Departemen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan -
: Divisi Ginjal- Hipertensi, Divisi Kardiologi Departemen
Penyakit Dalam, Departemen Neurologi, Departemen
Radiologi / Kedokteran Nuklir, Patologi Klinik, Departemen
Bedah-Onkologi.
• RS non Pendidikan : Bagian Neurologi, Patologi Klinik, Radiologi, dan Bedah.
REFERENSI
1. Djokomoeljanto R. Kelenjar tiroid, hipotiroidisme, dan hipertiroidisme. In: Sudoyo AW, Setiyohadi
B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, et al. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam. Edisi 5. Jakarta:
InternaPublishing. 1993-2008.
2 . Jameson JL, Weetman AP. Disorder of the Thyroid Gland. In : Longo DL, Fauci AS, Kasper DL,
Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J. Harrison' s Principles of Internal Medicine. 18lhed. New York:
McGraw-Hill; 2012. 2911-39
155
156
TUMOR HIPOFISIS
PENGERTIAN
Tumor hipofisis jarang ditemukan dan terdiagnosis biasanya karena gangguan
hormonal, mass effect, atau tidak sengaja pada pemeriksaan CT Scan atau MRI karena
trauma kepala atau nyeri kepala.1 Tumor hipofisis, biasanya dapat berupa adenoma
mikro ( diameter < 10 mm) ataupun adenoma makro (diameter > 10 mm ). Sekitar
92% lesi di sella tursika merupakan adenoma hipofisis. Adenoma hipofisis adalah
neoplasma jinak yang muncul dari satu atau lima tipe sel hipofisis anterior. Tumor /
adenoma hipofisis merupakan penyebab tersering dari sindrom hiposekresi dan
hipersekresi hormon hipofisis pada orang dewasa . Manifestasi secara klinis dan
secara fenotipe biokimiawi dari tumor hipofisis, tergantung dari tipe sel tumor asal
dan besar ukuran tumor tersebut1. Sekitar 15 % neoplasma intrakranial merupakan
tumor hipofisis yang ditemukan pada populasi dengan prevalensi 80 /100.0002. Paling
sering ditemukan pada wanita usia reproduktif, dengan perkiraan insiden 1, 2 - 1,7 /
satu juta orang/ tahun di Denmark dengan 60% kasus hiperkortisolisme.3 Prevalensi
pada growth hormone-secreting pituitary adenoma adalah 50 - 60 kasus /1,000,000
orang. Pada wanita lebih sering ditemukan corticotropin-secreting pituitary adenoma,
daripada pria dengan perbandingan 8:1.3
Tumor hipofisis dapat pula digolongkan menjadi 2 jenis : 4 5
.
1 Functioning
-
Prolactin secreting tumors, (kadar prolaktin serum > 100 pg/ L )
Growth Hormone secreting tumors, -
-
Corticotropin ( adrenocorticotropic hormone [ACTH ]) secreting tumors,
-
Thyrotropin ( thyroid -stimulating hormone [TSH ] ) seereting tumors, and
Gonadotropin ( Follicle-Stimulating Hormone [ FSH ]/ Luteinizing Hormone [LH ])-
secreting tumors
Beberapa tumor mensekresi gabungan / campuran beberapa hormon, misalnya
prolaktin dan hormon lain (contoh Growth Hormone), dengan kadar prolaktin
serum berkisar antara 30 -100 pg/ L.
PanduanPraktik Klinis
Perhimpunan Dokler Spesiolfs Penyakii Dalam Indonesia
Tumor Hipofisis Ip
2. Non - functioning
Biasanya berupa adenoma hipofisis jinak, yang mengsekresi hormon hipofisis yang
tidak dapat terdeteksi secara klinis. Prolaktin disekresikan melalui penekanan
pembuluh portal dan pituitary stalk , dengan kadar prolaktin serum 25- 75 pg/ L
[Stalk effect).
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Manifestasi klinik tumor hipofisis diakibatkan oleh massa tumor, hipopituitari,
serta sekresi hormon yang berlebihan. Pada tiap kasus mungkin ditemukan gabungan
dari ketiga efek tersebut.
Anamnesis
Gejala sakit kepala, migren, gangguan penglihatan, masalah lapangan pandang
menyempit atau gangguan saraf ekstraokular.4 Pada kecurigaan disfungsi gonad
atau defisiensi hormon hipofisis, perlu ditanyakan bagaimana riwayat menstruasi:
oligomenorea / amenorea [± 20 % wanita yang mengalami amenorea primer / sekunder
6
) dan infertilitas pada wanita usia reproduktif, atau disfungsi ereksi dan menurunnya
libido pada pria.1,2
Pemeriksaan Fisik
• Pemeriksaan luas lapangan pandang (visual field testing ) untuk menilai fungsi
optic chiasm dan traktusnya.
• Akromegali [pembesaran akral, perubahan wajah), moon face, buffalo hump,
penipisan kulit, osteoporosis, hirsutisme
• Produksi keringat berlebih, nodul tiroid, tirotoksikosis, muscle wasting , tekanan
darah meningkat
Manifestasi klinis akibat efek massa tumor hipofisis terhadap struktur sekitar
dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Manifestasi Klinik Akibat Efek Massa Tumor Hipofisis Terhadap Struktur yang Terkena2
Struktur yang terkena Manifestasi klinis
Struktur Hipofisis dan sekitar Gangguan pertumbuhan, hipogonadisme, hipotiroidisme, hipoadrenal-
isme
Traktus optikus Hilangnya penglihatan wama merah, hemianopsia bitemporal, defek
lapang pandang superior atau bitemporal, skotoma, kebutaan
Hipotalamus Disregulasi temperatur, obesitas, diabetes insipidus, gangguan tidur,
gangguan selera makan.
157
# ESSSfflWJSft Metabolik Endokrin
Pemeriksaan Penunjang2
• Magnetic resonance imaging ( MRI )
• Computed Tomography (CT ) Scan kepala, fokus pada hipofisis dan regio parasella
• Pemeriksaan laboratorium hormon dalam darah :
(1) prolaktin basal;
( 2 ) insulin - like growth factor ( IGF) /;
( 3 ) ACTH;
( 4 ) FSH dan LH; and
( 5 ) Tes fungsi tiroid : TSH dan FT4 .
Selain itu, perlu juga diperiksa kadar hormon testosteron atau estradiol , dan
kadar kortisol pk. 8 pagi hari. Pemeriksaan laboratorium analisis sperma dapat
didapatkan abnormalitas spermatogenesis pada prolaktinoma.
• Angiografi (untuk menyingkirkan adanya aneurisma)
Pemeriksaan penapis pada adenoma hipofisis fungsional :
158
Tumor Hipofisis |
|j
|
Anamnesis dan
Pemerlksaan fisik
Gejala dan tanda akibai
efek massa
Sakit kepala
Gangguan penglihatan
MRI
Kepala
'
Evaluosi
Hipotpitultari
TSH. ACTH .
FSH. LH
UJI lapang
-
penglil atan
MRI
Kepala Kepala Kepala
Calalan : MRI
dan
pemoeriksaan laboralorium dahulu.
Gambar 1. Pendekatan Kecurigaan Adenoma HlpoflSIs2
DIAGNOSIS BANDING2
• Prolajctinping:
Kehamilan
- Perdarahan postpartum
- Hipotiroidisme. printer
-
-
-
PgnyaWt: padaspayadara atau aKibat stimulasi payudara
Penggunaan obat [fenotiazin, antidepresan, hjaloperidol, metildopa, reserpin,
opiat, amfetamin, simetidin)
• Gagal gjnjal kronik
• Liver disease
• Polycystic ovarian disease
• Gangguan dinding dada
• Lesi medula spinalis
• Riwayat iradiasi kepala
159
0 SSJMH Metabolik Endokrin
TATALAKSANA1 2 5
Tata laksana tumor hipofisis harus bersifat komprehensif dan individualistik.
Tujuan tata laksana meliputi beberapa aspek :
1. Mengontrol manifestasi klinis akibat kelebihan sekresi hormon .
2. Mempertahankan fungsi hipofisis yang normal semaksimal mungkin.
3. Memperbaiki gangguan fungsi hipofisis yang terjadi.
4. Mengendalikan pertumbuhan tumor serta efek mekanikyang ditimbulkan oleh tumor.
Beberapa modalitas yang ada adalah tindakan bedah , radioterapi, serta
medikamentosa.
1. Tindakan bedah
Tindakan operasi ( mikro) transfenoid sangat efektif pada 90 % kasus dengan angka
morbiditas dan mortalitas yang rendah.
Tindakan operasi transkranial biasanya dikerjakan pada tumor dengan perluasan
ekstensif ke suprasella atau fossa media. Pembedahan atau radioterapi merupakan
terapi pilihan pada tumor hipofisis nonsekretorik.
Ketelitian saat follow up pasien sangat penting, terutama yang menjalani operasi
pembedahan mikro trans -sfenoid, sebaiknya kontrol dalam 4 - 6 minggu
untuk memastikan adenoma tersebut sudah diangkat seluruhnya dan masalah
hipersekresi endokrin sudah teratasi.
2 . Radioterapi (Stereotactic radio surgery)
Radioterapi jarang menjadi pilihan pertama pada tata laksana tumor hipofisis.
Radioterapi saat ini berperan sebagai terapi tambahan pada pasien adenoma
fungsional maupun non fungsional, terutama yanggagal dengan terapi pembedahan.
3. Medikamentosa
Tata laksana medikamentosa dapat menjadi pilihan utama pada beberapa kasus
tumor hipofisis.
-
Prolaktinoma (baik mikroprolaktinoma maupun makroprolaktinoma) > agonis
dopamin / analog merupakan terapi lini pertama; yang sering digunakan adalah
bromokriptin (per oral 1,5 - 10 mg dalam dosis terbagi) dan cabergoline.
-
Akromegali > pengobatannya terdiri atas tiga golongan, yaitu agonis dopamin
-
(bromokriptin 10 - 20 mg p.o tid qid), analog somatostatin ( octreotide 100
gg s.c), dan antagonis reseptor hormon pertumbuhan. Meskipun bromokriptin
kurang efektif bila dibandingkan dengan octreotide, namun bromokriptin dapat
diberikan per oral.
160
Tumor Hipofisis
PROGNOSIS
• Meskipun telah menjalani operasi transfenoid, Penyakit Cushing dapat muncul
kembali pada ± 25 % pasien.7
• Insiden (adjusted ) dalam 3 tahun untuk terjadinya sindroma metabolik adalah
23,4% pada riwayat Penyakit Cushing vs 9, 2 % pada riwayat adenoma hipofisis
non - functioning (p = 0,01)
• Tidak terdapat perbedaan bermakna pada insiden (adjusted ) 3 tahun untuk
terjadinya penyakit kardiovaskular atau penyakit serebrovaskular, atau diabetes
melitus.8
UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : Departemen Mata, Departemen Neurologi,
Departemen Bedah Saraf, Departemen Radioterapi
• RS non Pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
REFERENSI
1 . Hall JE, Nieman LK. Editors. Contemporary Endocrinology: Handbook of Diagnostic Endocrinology.
.
Humana Press Totowa, NJ 2003.
2. .
Jameson JL, Melmed S. Disorders of the Anterior Pituitary and Hypothalamus In : Longo DL, Fauci
AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J. Harrison ' s Principles of Internal Medicine. 18
lh
161
162
OBESITAS
PENGERTIAN
Obesitas merupakan suatu keadaan di mana terdapat massa jaringan adiposa yang
berlebih.1 Penyakit ini bersifat multifaktorial dan dapat mengganggu kesehatan. Obesitas
dapat juga terjadi secara sekunder akibat adanya penyakit penyebab. Beberapa penyakit
yang dapat menyebabkan obesitas adalah defisiensi hormon tiroid (hipotiroidisme),
sindrom ovarium polikistik, sindrom Cushing, kelainan di hipotalamus, dan mutasi genetik.2
Pada tahun 2000 WHO membuat klasifikasi berat badan berdasarkan IMT (Indeks
Massa Tubuh). Obesitas didefinisikan bila IMT seseorang > 30 kg/ mz. Sedangkan wilayah
Asia Pasifik pada saat ini telah mengusulkan kriteria dan klasifikasi obesitas sendiri.3
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Diagnosis obesitas ditegakkan dengan cara pengukuran IMT, yaitu berat badan
dalam kilogram (kg] dibagi tinggi dalam meter kuadrat ( mz). Pada pemeriksaan fisik,
harus diperiksa tekanan darah, nadi, suhu tubuh, berat badan, tinggi badan, IMT,
dan lingkar perut. Berikut adalah klasifikasi berat badan lebih dan obesitas menurut
kriteria Asia Pasifik (tabel 1],
Tabel 1 . Klasifikasi Berat Badan Lebih dan Obesitas Berdasarkan IMT dan Lingkar Perut Menurut
Kriteria Asia Pasifik3
Rlslko Ko - Morbiditas
Klasifikasi IMT ( kg/m2 )
Lingkar Perut*
< 90 cm ( laki-laki ) > 90 cm ( laki-laki )
< 80 cm ( perempuan ) > 80 cm ( perempuan )
Berat Badan Kurang < 18,5 Rendah (risiko meningkat Sedang
pada masalah klinis lain )
Kisaran Normal 18,5 - 22,9 Sedang Meningkat
Berat Badan Lebih > 23,0
Berisiko 23,0 - 24,9 Meningkat Moderat
Obes Tingkat I 25,0 - 29,9 Moderat Berat
Obes Tingkat II > 30,0 Berat Sangat Berat
Keterangan
‘Lingkar perut sebaiknya diukurpada pertengahan antara batas bawah iga dan krista iliaka, dengan menggunakan ukuran pita secara
horisontal pada saat akhir ekspirasi dengan kedua tungkai dilebarkan 20 - 30 cm.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan untukmenyingkirkan adanya penyakit endokrin
lainnya sebagai penyebab obesitas, skrining untuk keadaan komorbid (sindrom
metabolik), dan untuk melihat adanya komplikasi dari organ target.4
TATALAKSANA45
Berikut adalah manajemen penanganan obesitas menurut IMT (tabel 2) .
Tabel 2. Manajemen Penanganan Obesitas berdasarkan IMT6
IMT 23,0- 24,9 25,0 - 29,9 £ 30,0
Risiko Ringan Sedang Berat
Nutrisi V V V
Aktivitas fisik V V
Terapi perilaku V V V
Medikasi V*
Pembedahan V*
Keterangan :
*Dapat dipertimbangkan apabila terdapat faktor risiko atau berat badan gagal terkontrol dengan modifikasi
gaya hidup
Nonfarmakologis
• Perubahan gaya hidup
Terapi diet : Bertujuan membuat defisit kalori sebesar 500 - 1000 kkal / hari
Aktivitas fisik : Program aktivitas fisik harus dibuat berdasarkan status kesehatan
dan kondisi fisik pasien. Perlu juga diperhatikan asupan cairan pasien sebelum, saat,
dan sesudah melakukan aktivitas fisik. Pada tahap awal dapat melakukan aktivitas
fisik sedang selama 30 - 45 menit sehari, sebanyak 3 - 5 kali seminggu. Aktivitas
fisik dapat ditingkatkan sesuai kemampuan pasien. Pasien juga harus melakukan
latihan kekuatan otot dengan 1 - 3 set latihan untuk otot-otot utama setidaknya
dua kali dalam seminggu.
• Terapi perilaku
Farmakologis
Orlistat
Pembedahan
Indikasi : BMI > 35 kg/ m 2; adanya satu atau lebih penyakit komorbid yang dapat
teratasi secara signifikan dengan penurunan berat badan (imobilitas, artritis, DM Tipe
2}; berat badan tidak dapat dikontrol setelah dilakukan pengontrolan diet, aktivitas
fisik, terapi perilaku dan obat-obatan.
163
Os
Pasien datang
I i <
risiko
Apakah pasien
ingin menurunkan
Hitung berat badan, Hitung berat badan, berat badanya ?
tinggi badan, lingkar _ tinggi badan, lingkar
^
Obesitas
KOMPLIKASI
Peningkatan angka mortalitas, disabilitas, morbiditas, peningkatan risiko penyakit
kardiovaskular, peningkatan risiko DM tipe 2, peningkatan risiko kanker, demensia,
peningkatan risiko GERD, batu saluran empedu, penyakit hati, penyakit ginjal kronik,
batu ginjal, infertilitas pada laki-laki, low back pain, fraktur, osteoartritis. '
12
PROGNOSIS
Tiap peningkatan 5 kg / m 2 pada BMI > 25 kg / m 2 berhubungan dengan peningkatan
risiko kematian sebesar 30 %.5
UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : Semua Divisi di lingkungan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam, Departemen Rehabilitasi Medik, Departemen
Gizi, Departemen Bedah
• RS non Pendidikan
REFERENSI
1. Flier J, Maratos-Flier M. Biology of Obesity: Introduction. In : Longo DL, Fauci AS, Kasper DL,
.
Flauser SL, Jameson JL, Loscalzo J. Flarrison ’ s Principles of Internal Medicine. 18 Edition New
th
165
.
r I 4 «
PENATALAKSANAAN
D l BIDANGILMU PENYAKIT DALAM
PANDUAN
PRAKTIK
KUNIS
^
GASTROENTEROLOGI
Diare Kronik
H
167
Gastroesophageal Reflux Disease ( GERD ) 172
Hematemesis Melena 176
Hematokezia 182
Ileus Paralitik 186
Konstipasi 189
Pankreatitis Akut 196
Penyakit Tukak Peptik 201
Tumor Gaster 208
Tumor Kolorektal 21 1
ft 4
'
167
DIARE KRONIK
PENGERTIAN
Diare kronik adalah diare yang berlangsung lebih dari 14 hari sejak awal diare. Diare
dapat diklasifikasikan berdasarkan:1
1. Lama waktu: akut atau kronik
2. Mekanisme patofisiologi: sekretorik, osmotik, dll
3. Berat ringannya diare: ringan atau berat
-
4. Penyebab infeksi atau tidak: infektif atau non infektif
5. Penyebab organik atau tidak: organik atau fungsional
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis1
1. Waktu dan frekuensi diare
2. Bentuk tinja
3. Keluhan lain yang menyertai seperti nyeri abdomen , demam, mual muntah ,
penurunan berat badan
4. Obat-obatan: laksan, antibiotika, imunospresan, dll
5. Makanan / minuman
Pemeriksaan Fisik1
Keadaan umum, status dehidrasi
Pemeriksaan Penunjang1
• Pemeriksaan tinja, darah, urin
• Pemeriksaan anatomi usus sesuai indikasi: Barium enema / co/on in loop (didahului
BNO ), Kolonoskopi, ileoskopi, dan biopsi, barium follow through atau enteroclysis,
USG abdomen, CTScan abdomen
• Fungsi usus dan pankreas: tes fungsi pankreas, CEA dan CA 19-9.
PanduanPraktik Minis
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
ggjfe
I w£f
PanduanPraktik Minis Gastroenterologi
Pertiimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
.
Tabel 1 Diagnosis Banding Penyebab Tersering Diare Kronis di Indonesia1
Etiologl
Anamnesa Pemerlksaan Flslk Penunjang
Tersering
Infeksi Disertai gejala demam dan mual Sesuai dengan Pemeriksaan tinja:
muntah etiologi infeksi leukosit (+)
Darah: leukositosis
Malabsorpsi Riwayat reseksi usus. Diare membaik Bila berat: malnutrisi Pemeriksaan tinja
lemak setelah puasa. Tinja mengambang ; berwarna muda,
pada air toilet bau busuk, ph
> 6,8, tes Sudan
( +) , jumlah lemak
> 14gram / 24 jam
Malabsorbsi Riwayat makan makanan yang Bila berat: malnutrisi Pemeriksaan tinja:
karbohidrat mengandung laktosa ( susu) , sorbitol amilum ( +) , pH <5,5,
( pemanis buatan) , Disertai gejala tes reduksi ( +) ,
kembung, kram abdomen, dan
flatus fruktosa (sirupjagung) . Tinja
mengambang pada air toilet, dan
berbau asam.
Sindroma Diare pada pagi hari berhubungan Keadaan umum Pemeriksaan
usus iritabel dengan stress, berselang antara baik, dehidrasi ( -) tinja: darah
konstipasi dan diare. Banyak samar (+), tes
keluhan menyertai seperti perut phenolphthalein
begah, mual, nyeri daerah anus (+) .
setelah defekasi, sendawa
Karena Diare berhenti dengan Bisacodyl,
obat-obatan dihentikannya obat anthraquinon,
phenolphthalein:
pemeriksaan
kromatografl lapis
tipis
Keganasan Disertai gejala demam, darah Pemeriksaan tinja:
menyertai tinja normal, disertai nyeri eritrosit (+)
abdomen terus menerus Darah : eusinofilia
Petanda tumor
Kelainan Tiroroksikosis: Berdebar-debar, Tirotoksikosis: BB Tirotoksikosis
endokrin tremor /gemetaran turun, suhu naik, Darah: TSH, T3
pembesaran kelenjar uptake, FT4
tiroid, tremor
DIAGNOSIS BANDING
Penyebab tersering diare kronis di Indonesia dapat dilihat pada tabel 1.
TATALAKSANA
Nonfarmakologis
Seperti tatalaksana pada diare umumnya . Untuk lebih lengkap dapat dilihat pada
tabel diare infeksi.
168
Diare Kronik
DIARE KRONIS
DIARE KRONIS
Terbatas untuk penyakit organik
r Transit usus i
Titrasi terapi untuk
Lemak feses Normal dan lemak penuh I mempercepat
>20 g /hari, fungsi feses < 14g /hari transit
pankreas
169
fp 5SSJSS !! Gastroenterologi
Farmakologis
Pengobatan diare kronik ditujuan terhadap penyakit yang mendasari. Sejumlah
obat anti diare dapat digunakan pada diare kronik. Opiat mungkin dapat digunakan
dengan aman pada keadaan gejala stabil.
. .
1 Loperamid : 4 mg dosis awal, kemudian 2 mg setiap mencret Dosis maksimum
16 mg/ hari .
.
2 Kodein: Karena memiliki potensi adiktif , obat ini sebaiknya dihindari, kecuali
pada keadaan diare yang menetap. Kodein dapat diberikan dengan dosis 15- 60
mg setiap 4 jam. Paregoric diberikan 4-8 ml.
3. Klonidin: P 2 adrenergic agonis yang menghambat sekresi elektrolit intestinal.
Diberikan 0,1- 0, 2 mg/ hari selama 7 hari. Bermanfaat pada pasien dengan diare
sekretorik, kriptosporodiosis dan diabetes.
4. Octreotide: Suatu analog somatostatin yang menstimulasi cairan instestinal
dan absorbsi elektrolit dan menghambat sekresi melalui pelepasan peptida
gastrointestinal. Berguna pada pengobatan diare sekretori yang disebabkan oleh
Vipoma dan tumor carcinoid dan pada beberapa kasus diare kronik yang berkaitan
dengan AIDS. Dosis efektif 50mg -250mg subkutan tiga kali sehari.
5. Cholestiramin : mengikat garam empedu dan mencegah reabsorsinya, berguna
pada pasien diare sekunder karena garam empedu akibat reseksi intestinal atau
penyakit ileum . Dosis 4 gr 1 s/d 3 kali sehari.
6. Atapulgit, biasanya dosis yang diberikan 3x 2 tablet selama diare.
KOMPLIKASI
Dehidrasi sampai syok hipovolemik, sepsis, gangguan elektrolit, dan asam basa/
gas darah, gagal ginjal akut, kematian 1
PROGNOSIS
Prognosis diare kronik ini sangat tergantung pada penyebabnya . Prognosis baik
pada penyakit endokrin. Pada penyebab obat-obatan, tergantung pada kemampuan
untuk menghindari pemakaian obat-obat tersebut.2
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan: Departemen Bedah Digestif, ICU / Medical High Care
• RS non pendidikan: ICU, Bagian Bedah
170
Diare Kronik
REFERENSI
1. Kolopaking SM. Pendekatan Diagnostik Diare Kronik. Dalam Alwi I, Setiati S, Setiyohadi
B, Simadibrata M, Sudoyo AW. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi V . Jakarta:
Interna Publishing; 2010:534-559.
2. McQuaid K. Chronic Diarrhea. In Lawrence M ( Eds). Current Medical Diagnosis &
Treatment 37th Ed. Prentice Hall International Inc, 1998: 544
3. Camilleri M, Murray JA. Diarrhea and Constipation. Dalam: Fauci A, Kasper D, Longo
D, Braunwald E, Hauser S, Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison ' s principles of internal
medicine. 18th ed. United States of America; The McGraw-Hill Companies, 2012. Chapter
40, p308.
171
GASTROESOPHAGEAL REFLUX DISEASE
(GERD)
PENGERTIAN
Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) merupakan suatu keadaan patologis
sebagai akibat refluks kandungan lambung ke dalam esofagus, dengan berbagai gejala
yang timbul akibat keterlibatan esophagus, laring, dan saluran napas; akibat kelemahan
ototsfingter esofagus bagian bawah (LES/ Lower Esophageal Sfingter ). Refluks dapat
terjadi melalui 3 mekanisme yaitu refluks spontan pada saat relaksasi LES, aliran
balik sebelum kembalinya tonus LES setelah menelan, meningkatnya tekanan dalam
12
abdomen . '
Faktor risiko terjadinya refluks esofagus yaitu alkohol, hernia hiatus, obesitas,
kehamilan, skleroderma, rokok, obat -obatan seperti antikolinergik, beta blocker ,
bronkodilator, Calcium channel blockers, progestin , sedatif, antidepresi trisiklik.3
Terdapat dua kelompok pasien GERD yaitu pasien dengan esofagitis erosif yang
ditandai dengan adanya mucosal break diesofagus pada pemeriksaan endoskopi ( GERD)
dan pasien GERD yang pada pemeriksaan endoskopi tidak ditemukan mucosal break
( non erosive reflux disease/ NERD ).
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Dari anamnesis dapat ditemukan keluhan seperti: 1.2,4
• Keluhan paling sering: merasakan adanya makanan yang menyumbat di dada,
nyeri seperti rasa terbakar di dada yang meningkat dengan membungkukkan
badan, tiduran, makan; dan menghilang dengan pemberin antasida, non cardiac
chest pain ( NCCP).
• Keluhan yang jarang dikeluhkan: batuk atau asma, kesulitan menelan, hiccups,
suara serak atau perubahan suara, sakit tenggorokan, bronchitis
• Pada anamnesis juga perlu ditanyakan riwayat pemakaian obat-obatan.
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik tidak ada yang khas untuk GERD. Pada pemeriksaan laring
dapat ditemukan inflamasi yang mengindikasikan GERD.
Pemeriksaan Penunjang
Jika keluhan tidak berat, jarang dilakukan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan
34
dilakukan jika keluhan berat atau timbul kembali setelah diterapi ,
• Esophagogastroduodenoscopy ( EGD ): melihat adanya kerusakan esofagus
• Barium meal: melihat stenosis esofagus, hiatus hernia.
• Continuous esophageal pH monitoring : mengevaluasipasien GERDyang tidak respon
dengan PPI ( proton pump inhibitor ), evaluasi pasien- pasien dengan gejala ekstra
esophageal sebelum terapi PPI, memastikan diagnosis GERD sebelum operasi anti
refluks atau mengevaluasi NERD berulang setelah operasi anti refluks.
• Manometri esofagus: mengevaluasi pengobatan pasien NERD dan untuk tujuan
penelitian.
• Stool occult blood test: untuk melihat adanya perdarahan dari iritasi esofagus,
lambung, atau usus.
• Pemeriksaan histopatologis: menentukan adanya metaplasia, displasia, atau
keganasan.
DIAGNOSIS BANDING2
• Dispepsia
• Ulkus peptikum
• Kolikbilier
• Eosinophilic esophagitis
• Infeksi esofagitis
• Penyakit jantung koroner
• Gangguan motilitas esofagus.
TATALAKSANA
Nonfarmakologis2
1. Modifikasi gaya hidup, menghentikan obat-obatan (anti kolinergik, teofilin] dan
mengurangi makan makanan yang yang dapat menstimulasi sekresi asam seperti
kopi, mengurangi coklat, keju dan minuman bersoda.
2. Menaikkan posisi kepala saat tidur jika keluhan seringkali dirasakan pada malam hari.
3. Makanan selambat-lambatnya 2 jam sebelum tidur.
-
173
m SSSBSfJSl Gastroenterologi
Farmakologis2 4
^
1 . Histamine type -2 receptor antagonists ( F RAs]
2. Proton pump inhibitors ( PPIs) : umumnya diberikan selama 8 miggu dengan dosis
ganda .
3 . Untuk NERD, terapi inisial dengan dosis standar selama 8 minggu lalu diberikan
pada saat keluhan timbul dan dilanjutkan sampai keluhan hilang.3
4. Antasida hanya untuk mengurangi gejala yang timbul
Tindakan invasif 3 4
1. Pembedahan anti refluks: Laparoscopic Nissen fundoplication
2. Terapi endoskopi : radiofrequency ablation, endoscopic suturing , endoscopic
implantation, endoscopic gastroplasty
KOMPLIKASI
Refluks esofagusdapatmenimbulkankomplikasiesofagusmaupunekstraesofagus .
• Komplikasi esofagus : striktuc ulkus, Barrett’s esophagus bahkan adenokarsinoa
12
di kardia dan esofagus. '
• Komplikasi ekstra esofagus : asma, bronkospasme, batuk kronik atau suara serak,
3
masalah gigi,
PROGNOSIS
Pengobatan dengan penghambatsekresiasamlambungdapatmengurangi keluhan,
derajat esofagitis dan perjalanan penyakit . Risiko dari striktur menjadi Barrett's
esophagus atau adenokarsinoma yaitu 6% dalam 2 - 20 tahun pada kasus. 3
UNIT YANGMENANGANI
• RS pendidikan : Divisi Gastroentero-Hepatologi - Departemen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Divisi Bedah Digestif - Departemen Bedah, ICU / Medical
High Care
• RS non pendidikan : Bagian Bedah
174
Gastroesophageal Reflux Disease ( GERD)
REFERENSI
1 Makmun D. Penyaklt Refluks Gastroesofageal. Dalam:Sudoyo AW, et al editor. Buku Ajar
.
llmu Penyaklt Dalam jllld I edlsl IV. Jakarta: Pusat Penerbltan Departemen llmu Penyaklt
Dalam FKUI, 2006. him 317 - 321.
2. Kahrilas PJ. Esophageal Structure and Function. In: Fauci A. Kasper D. Longo D, Braunwald
. .
E, Hauser S Jameson J Loscalzo J, editors. Harrison' s principles of internal medicine. 18
th
ed. United States of America: The McGraw-Hill Companies, 2012.
. .
3. Longstreth GF. Gastroesophageal reflux disease In Peptic esophagitis;Reflux esophagitis;
GERD; Heartburn - chronic; Dyspepsia - GERD. 2011. Dlunduh darl http:/ / www.ncbi.
nlm.nih.gov / pubmedhealth / PMH0001311 / pada tanggal 7 Mel 2012.
.
4. KelompokStudi GERD Indonesia Konsensus Naslonal: Penatalaksanaan'Pehy
^kifReiluks
. Gastroesofageabdlilndonesia,' Perkumpulan!©as’trdenterologiilndonesia.'2Q04rl' , ’
175
176
HEMATEMESIS MELENA
PENGERTIAN
Hematemesis adalah muntah darah kehitaman yang merupakan indikasi adanya
perdarahan saluran cerna bagian atas atau proksimal ligamentum Treitz. Perdarahan
saluran cerna bagian atas (SCBA), terutama dari duodenum dapat pula bermanifestasi
dalam bentuk keluarnya darah segar per anum bila perdarahannya banyak. Melena
(feses berwarna hitam] biasa berasal dari perdarahan SCBA, walaupun perdarahan
usus halus dan bagian proksimal kolon dapat juga bermanifestasi dalam bentuk
melena.1
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis1'2
1. Jumlah, warna, perdarahan
2. Riwayat konsumsi obat NSAID jangka panjang
3. Riwayat merokok, pecandu alkohol
4. Keluhan lain seperti mual, kembung, nyeri abdomen, dll
Pemeriksaan Fisik1 2
Memeriksa status hemodinamik:
1. Tekanan darah dan nadi posisi baring
2. Perubahan ortostatik tekanan darah dan nadi
3. Ada tidaknya vasokonstriksi perifer (akral dingin)
4. Kondisi pernapasan
5. Produksi urin
Pemeriksaan Penunjang1 2
1. Laboratorim : darah lengkap, elektrolit, fungsi hati, masa pembekuan dan
perdarahan, petanda virus hepatitis, ratio BUN / Kreatinin
2. Radiologi: OMD ( Oesophagus Maag Duodenum) jika ad aindikasi
3. Endoskopi saluran cerna
PanduanPraktik Minis
Pertiimpunan Dokter Spesiais Penyakll Dalam Indonesia
Hematemesis Melena
Tabel 1. Keparahan perdarahan saluran cerna baglan atas berdasarkan skor Glasgow -
Blatchford (Modiflkasi) 3
Penanda Risiko NNai Skor
Urea darah (mmol/L) > 6.5 - 7,9 2
8 - 9,9 3
10 - 24,9 4
> 25 6
Hemoglobin (gr/dL)
Lelaki > 12 - 13 1
10 - 11,9 3
< 10 6
Perempuan > 10 - 12 1
< 10 6
Tekanan darah Sistolik 100 - 109 1
90 - 99 2
< 90 3
Laju Nadi > 100 1
Datang dengan Melena 1
Datang dengan Sinkop 2
Penyakit Hati 2
Gagal Jantung 2
Keterangan:
Skor 0: risiko minimal akan membutuhkan intervensi seperti transfusi, endoskopi atau pembedahan, dapat dipulangkan dini atau
rawat jalan
Skor 1 - 5 : memiliki risiko yang meningkal membutuhkan intervensi
Skor > 6: memiliki risiko > 50 % akan membutuhkan intervensi
177
/S
H ? If:
Panduan Praktik Klinis Gastroenterolo
w w qi
Perhimpunan Doktef Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
^
EHologl Pemeriksaan
terserlng Anamnesis Pemeriksaan flslk
penunjang
Gastritis Hematemesis, melena, riwayat Nyeri tekan Gastroduodenoskopi
erosif perokok, pecandu alkohol, riwayat epigastrium ringan tampak mukosa
makan obat NSAID jangka panjang sembab, merah,
mudah berdarah
atau terdapat
perdarahan
spontan, erosi
mukosa yang
.
bervariasi
DIAGNOSIS BANDING
1
Hemoptoe, hematokezia.
TATALAKSANA
Stabilisasi hemodinamik4 5
1. Jaga patensi jalan napas
2. Suplementasi oksigen
3. Akses intravena 2 line dengan jarum besai; pemberian cairan Normal Saline atau
Ringer Laktat
4. Evaluasi laboratorium : waktu koagulasi, Hb, Ht, serum elektrolit, ratio Blood Urea
Nitrogen ( BUN ) : serum kreatinin
5. Pertimbangkan transfusi Packed Red Cell ( PRC ) apabila kehilangan darah sirkulasi
> 30 % atau Ht < 18% (atau menurun > 6%) sampai target Ht 20 - 25 % pada dewasa
muda atau 30 % pada dewasa tua
6. Pertimbangkan transfusi Fresh Frozen Plasma ( FFP ) atau trombosit apabila 1 NR
>1,5 atau trombositopeni
7. Pertimbangkan Intersive Care Unit ( ICU ) apabila :
a. Pasien dalam keadaan syok
b. Pasien dengan perdarahan aktif yang berlanjut
c. Pasien dengan penyakit komorbid serius, yang membutuhkan transfusi darah
multipel, atau dengan akut abdomen
Nonfarmakologis
Balon tamponade untuk menghentikan perdarahan varises esophagus.1
Farmakologis1
• Transfusi darah PRC (sesuai perdarahan yang terjadi dan Hb). Pada kasus varises
transfusi sampai dengan Hb 10gr%, pada kasus non varises transfusi sampai dengan Hb
12gr%. Bila perdarahan berat (25-30%), boleh dipertimbangkan transfusi whole blood.
178
Hematemesis Melena
HEMOSTASIS ENDOSKOPI
• Untuk perdarahan non varises : Penyuntikan mukosa disekitar titik perdarahan
menggunakan adrenalin 1: 10000 sebanyak 0,5-1 ml tiap kali suntik dengan batas
dosis 10 ml. Penyuntikan ini harus dikombinasi dengan terapi endoskopik lainnya
seperti klipping, termo koagulasi atau eleltro koagulasi.
• Untuk perdarahan varises: dilakukan ligasi atau sklerosing
179
® fSSSSSSS. Gastroenterologi
TATALAKSANA RADIOLOGI
Terapiangiografi perlu dipertimbangkan bila perdarahan tetap berlangsung dan
belum bisa ditentukan asal perdarahan. Pada varises dapat dipertimbangkan TIPS
( Transjugular Intrahepatic Portosystemic Shunt). Pada keadaan sumber perdarahan
yang tidak jelas dapat dilakukan tindakan arteriografi. Prosedur bedah dilakukan
sebagai tindakan emergensi atau elektif.
KOMPLIKASI
Syok hipovolemik, pneumonia aspirasi, gagal ginjal akut, sindrom hepatorenal,
koma hepatikum, anemia karena perdarahan1
PROGNOSIS
Pada umumnya penderita dengan perdarahan SCBA yang disebabkan pecahnya
varises esofagus mempunyai faal hati yang buruk / terganggu sehingga setiap
perdarahan baik besar maupun kecil mengakibatkan kegagalan hati yang berat.
Banyak faktor yang mempengaruhi prognosis penderita seperti faktor umur, kadar Hb,
tekanan darah selama perawatan, dan lain-lain. Mengingat tingginya angka kematian
dan sukarnya dalam menanggulangi perdarahan saluran makan bagian atas maka
perlu dipertimbangkan tindakan yang bersifat preventif terutama untuk mencegah
terjadinya terjadinya pecahnya varises pada pasien.
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Divisi Hematologi - Onkologi Medik - Departemen Penyakit
Dalam, Divisi Bedah Digestif - Departemen Bedah, 1CU /
Medical High Care
• RS non pendidikan : ICU, Bagian Bedah
REFERENSI
1. .
Adi P Pengelolaan Perdarah saluran Cerna Bagian Atas. Dalam Alwi I, Setiati S, Setiyohadi
B, Simadibrata M, Sudoyo AW. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi V. Jakarta: Interna
Publishing; 2010:447-452.
2. Cirrhosis and its Complications, Peptic Ulcer Disease and Related Disorders. Dalam: Fauci A,
Kasper D, Longo D, Braunwald E, HauserS, Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison ' s principles of
internal medicine. 18th ed. United States of America; The McGraw-Hill Companies, 2011
180
Hematemesis Melena
.
3 Stephens JR, Hare NC, Warshow U, Hamad N, Fellows HJ, Pritchard C, Thatcher P, Jackson L,
Michell N, Murray IA, Hyder Hussainl S, Dalton HR. Management of minor upper gastrointestinal
haemorrhage In the community using the Glasgow Blatchford Score. Eur J Gastroenterol Hepatol.
2009;21( 12) :1340-6.
. Zuccaro G Jr. Management p thd gdli11 patient with acute lower gastrointestinal bleeding.
-
4
^ .
American College of Gastroenterology. Practice Parameters Cornn Ittee Am J Gastroenterol.
1998:93 (8):1204.
5 . Scottish Intercollegiate Guidelines Network (SIGN). Management of acute upper and lower
. .
gastrointestinal bleeding. A national clinical guideline SIGN publication: no 105. Edinburgh
(Scotland) : Scottish Intercollegiate Guidelines Network (SIGN); 2008
181
182
HEMATOKEZIA
PENGERTIAN
Hematokezia merupakan suatu gejala perdarahan gastrointestinal, yaitu keluarnya
darah segar atau merah marun dari rektum.1 Hematokezia lebih sugestif ke arah
perdarahan saluran cerna bagian bawah (SCBB), namun pada 10 % kasus, dapat
juga berasal dari perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA) yang masif.2 Apabila
hematokezia merupakan gejala klinis dari perdarahan SCBA, maka akan terjadi
instabilitas hemodinamik dan terjadi penurunan hemoglobin .1
Evaluasi diagnostik perdarahan SCBB lebih sulit secara signifikan dibandingkan
dengan perdarahan SCBA. Hal ini disebabkan oleh: 1) lokasi perdarahan dapat terjadi
di traktus gastrointestinal manapun, 2) perdarahan seringkali bersifat intermitent
[hilang-timbul], 3) bukti adanya perdarahan aktif mungkin tidak jelas sampai perdarahan
berhenti, dan 4) operasi kegawatdaruratan mungkin dibutuhkan untuk diagnosis spesifik
dan lokalisasi perdarahan.3
PENDEKATAN DIAGNOSIS
DIAGNOSIS BANDING
Tabel 1. Diagnosis Banding Perdarahan SCBB berdasarkan Karakteristik Klinis45
PanduanPraktik Klinis
Perhimpunon Dokter Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
Hematokezia
Frekuensl
EHologi Karakteristik Kllnls (%)
Kolitis
• Kolitis iskemik Self- limited , diare berdarah diikuti dengan nyeri perut akut
bagian bawah pada pasien dengan faktor risiko jantung
• Kolitis infeksius Diare berdarah disertai demam, dan risiko diet tinggi atau 9 - 21
penggunaan antibiotik sebelumnya
• Penyakit Crohn Diare berdarah disertai berat badan turun dan nyeri perut rekuren
Karsinoma kolon Lambat, perdarahan kronis dengan perubahan pola BAB atau 11 - 14
anemia defisiensi Fe
Pasca polipektomi Perdarahan self -limited yang terjadi dalam 30 hari setelah 11 - 14
atau perdarah polipektomi atau biopsi sebelumnya
an pasca biopsi
endoskopik
Hemoroid Perdarahan yang terkait dengan pergerakan BAB dan pruritus 4 - 10
ani; umumnya tidak nyeri, tapi dapat juga nyeri pada trombosis
hemoroid
Perdarahan SCBA Meningkatnya BUN terhadap ratio kreatinin, atau terdapat 0 - 11
aspirasi darah (+) pada NGT
Pemeriksaan Penunjang' 34
• Laboratorium: darah lengkap, elektrolit, koagulasi, golongan darah
• Kolonoskopi:
Merupakan pemeriksaan penunjang diagnostik utama terpilih pada penderita
perdarahan SCBB. Selama prosedur berlangsung, operator dapat mengevaluasi
perubahan mukosa kolon, patologi infeksius, kolitis, dan perubahan iskemik
untuk menyingkirkan diagnosis banding.
Sebaiknya dilakukan dalam 12 -48 jam saat gejala pertama kali muncul, dan
setelah dilakukan persiapan bilas kolon (1 L polyethylene glycol solution tiap
30 - 45 menit selama sedikitnya 2 jam atau sampai cairan jernih)
• Pencitraan radionuklir ( Blood pool scan) :
Dilakukan apabila kolonoskopi gagal mengidentifikasi lokasi sumber perdarahan.
• Angiografi :
Injeksi zat kontras ke dalam arteri mesenterika superior dan inferior dan
cabang- cabangnya untuk menentukan lokasi perdarahan .
TATALAKSANA
Penatalaksanaan perdarahan SCBB memiliki 3 komponen yaitu:1,2,4
1. Resusitasi dan penilaian awal
2 . Identifikasi sumber perdarahan -> dengan pemeriksaan penunjang tersebut diatas
3 . Intervensi terapeutik untuk menghentikan perdarahan
183
fjf tgSSSSBBSi Gastroenterologi
^
Tidak adatandagangguan hemodinamik (sistoli 100 mmHg, nadi < lOOx/ menit)
Tidak ada tanda perdarahan rektal yang terlihat jelas
Sumber perdarahan jelas pada pemeriksaan rektal / sigmoidoskopi
• Pertimbangkan rawat inap dan endoskopi dini apabila:
Usia 60 tahun (semua pasien > 70 tahun harus dirawat)
Ada tanda gangguan hemodinamik (sistolik < 100 mmHg, nadi > 100 x/menit)
Adanya tanda perdarahan per rektal yang terlihat jelas {gross rectal bleeding )
Riwayat konsumsi aspirin atau NSAID
Memiliki penyakit komorbid
KOMPLIKASI
Syok hipovolemik, gagal ginjal akut, anemia karena perdarahan
PROGNOSIS
-
Meskipun sebagian besar perdarahan divertikular bersifat seif limited dan sembuh
-
spontan 7 8, hilangnya darah bersifat masif dan cepat pada 9-19% pasien.910 Pada
pasien dengan penyakit komorbid, malnutrisi, atau penyakit hati, memiliki prognosis
buruk.5 Penggunaaan aspirin dan NSAID berkaitan erat dengan meningkatnya risiko
perdarahan divertikular ( odds ratio = l,9-18,4).n
UNIT YANGMENANGANI
• RS pendidikan : Divisi Gastroentero-Hepatologi - Departemen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam
184
Hematokezia
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Divisi Hematologi - Onkologi Medik - Departemen
Penyakit Dalam, Divisi Bedah Digestif - Departemen Bedah,
ICU / Medical High Care
• RS non pendidikan : ICU, Bagian Bedah
REFERENSI
1. Laine L. Gastrointestinal Bleeding. In : Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson
.
JL, Loscalzo J. Harrison’s Principles of Internal Medicine 18th Edition New York: McGraw-
Hill. 2012.
2 . Bjorkman D. Gastrointestinal Hemorrhage and Occult Gastrointestinal Bleeding. In:
*
Goldman, Ausiello. Cecil Medicine 23rc Edition. Philadelphia: Saunders, Elsevier. 2008.
3 . Currie G, Towers P, Wheat J. Improved Detection and Localization of Lower
Gastrointestinal Tract Hemorrhage by Subtraction Scintigraphy: Phantom Analysis J .
Nucl Med Technol 2006: 34:160-8.
4. Wilkins T, Baird C, Pearson AN, Schade RR. Diverticular bleeding. Am Fam Physician. Nov
1 2009:80 ( 9 ) :977-83
5. .
Zuccaro G Jr Management of the adult patient with acute lower gastrointestinal
bleeding. American College of Gastroenterology. Practice Parameters Committee. Am
J Gastroenterol. 1998:93 ( 8 ) : 1204.
6. .
Scottish Intercollegiate Guidelines Network (SIGN) Management of acute upper and
.
lower gastrointestinal bleeding. A national clinical guideline SIGN publication; No. 105 .
Edinburgh ( Scotland) : Scottish Intercollegiate Guidelines Network (SIGN) ; 2008,
7. Stollman NH, Raskin JB. Diagnosis and management of diverticular disease of the
.
colon in adults Ad Hoc Practice Parameters Committee of the American College of
Gastroenterology . Am J Gastroenterol. 1999:94 ( 11 ) :3110-21.
8. McGuire HH Jr. Bleeding colonic diverticula . A reappraisal of natural history and
management. Ann Surg. 1994:220 ( 5 ) :653—6.
9. Browder W, Cerise EJ, Litwin MS. Impact of emergency angiography in massive lower
gastrointestinal bleeding. Ann Surg. 1986:204 ( 5 ) :530—6.
10 Peura. DA, Lanza FL, Gostout CJ, Foutch PG. The American College of Gastroenterology
Bleeding Registry: preliminary findings. Am J Gastroenterol. 1997:92 ( 6) :924-8.
11 . Laine L, Smith R , Min K, Chen C, Dubois RW . Systematic review: the lower gastrointestinal
adverse effects of non-steroidal anti-inflammatory drugs. AlimentPharmacol Ther.
2006:24 ( 5) :751—67.
185
186
ILEUS PARALITIK
PENGERTIAN
Ileus paralitik atau adynamic ileus adalah keadaan dimana usus gagal / tidak
mampu melakukan kontraksi peristaltik untuk menyalurkan isinya.1 Keadaan ini dapat
disebabkan oleh tindakan /operasi yang berhubungan dengan rongga perut, hematoma
retroperitoneal yang berhubungan dengan fraktur vertebra, kalkulus ureteral, atau
pielonefritis berat, penyakit paru seperti pneumonia lobus bawah, fraktur iga, infark
miokard, gangguan elektrolit ( berkurangnya kaliumj, dan iskemik usus, baik dari
oklusi vaskular ataupun distensi usus.2
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis2
• Rasa tidak nyaman pada perut, tanpa nyeri kolik
• Muntah sering terjadi namun tidak profuse,sendawa, bisa disertai diare, sulit buang
air besar
• Dapat disertai demam
• Perlu dicari juga riwayat: batu empedu, trauma, tindakan bedah di abdomen,
diabetes, hipokalemia, obat spasmolitik, pankreatitis akut, pneumonia, dan semua
jenis infeksi tubuh
Pemeriksaan Fisik2
• Keadaan umum pasien sakit ringan sampai berat, bisa disertai penurunan
kesadaran, demam, tanda dehidrasi, syok.
• Distensi abdomen ( +), rasa tidak nyaman pada perut, perkusi timpani, bising usus
yang menurun sampai hilang.
• Reaksi peritoneal (- ) (nyeri tekan dan nyeri lepas tidak ditemukan). Apabila
penyakit primernya peritonitis, manifestasi klinis yang ditemukan adalah
gambaran peritonitis.
• Pada colok dubur: rektum tidak kolaps, tidak ada kontraksi
PanduanPraktlk Klinis
Perhlmpunan Dokler SpesiaBs Penyakil Dalam Indonesia
Ileus Paralitik
Pemeriksaan Penunjang1 2
• Laboratorium: darah perifer lengkap, amilase-lipase, gula darah, elektrolit, dan
analisis gas darah
• Radiologis: foto polos abdomen, akan ditemukan gambaran air fluid level. Apabila
meragukan, dapat mempergunakan kontras
DIAGNOSIS BANDING
Ileus obstruktif
TATALAKSANA1 2
• Non farmakologis
Puasa dan nutrisi parenteral total sampai bising usus positif atau dapat buang
angin melalui dubur
Pasang NGT dan rectal tube bila perlu
- Pasang kateter urin
• Farmakologis
- Infus cairan, rata-rata 2,5-3 liter / hari disertai elektrolit
- Natrium dan kalium sesuai kebutuhan / 24 jam
Nutrisi parenteral yang adekuat sesuai kebutuhan kalori basal ditambah
kebutuhan lain
Metoklopramid (gastroparesis) , cisapride (ileus paralitik pasca operasi) ,
klonidin (ileus karena obat-obatan )
• Terapi Etiologi
KOMPLIKASI
Syok hipovolemik, septikemia sampai dengan sepsis, malnutrisi
PROGNOSIS
Tergantung penyebabnya
187
© !HSSJSS!S.!!iS*. Gastroenterologi
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Divisi Bedah Digestif - Departemen Bedah, ICU / Medical
High Care
• RS non pendidikan : ICU, Bagian Bedah
REFERENSI
1. . .
Djumhana A, Syam A Ileus Paralitik. Dalam: Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I, et al Buku Ajar llmu
.
Penyakit Dalam. Edisi V. Jilid I. 2009 Hal 307-8
2. .
Silen W Acute Intestinal Obstruction. In: Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL,
. .
Loscalzo J. Harrison ' s Principles of Internal Medicine 18lhEdition New York, McGraw-Hill. 2012.
188
189
KONSTIPASI
PENGERTIAN
Konstipasi merupakan gangguan motilitas kolon akibat terganggunya fungsi
motorik dan sensorik kolon . Keluhan ini sering ditemukan dalam praktek sehari- hari,
dan biasanya merujuk pada kesulitan defekasi yang persisten atau rasa tidak puas.
Meskipun konstipasi seringkali hanya menjadi suatu gejala yang mengganggu, hal ini
dapat menjadi berat dan mengancam nyawa.
Pada konstipasi fungsional, transit time biasanya normal, dan tidak ada kelainan
evakuasi. Pasien sering mengeluh nyeri yang terkait dengan konstipasi, dan seringkali
tumpang tindih dengan sindrom kolon iritabel dengan predominan konstipasi.
12
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Perlu juga diperhatikan apakah ada tanda - tanda "alarm " seperti penurunan berat
badan, perdarahan rektum, atau anemia, terutama pada pasien usia > 40 tahun, harus
dilakukan sigmoidoskopi atau kolonoskopi untuk menyingkirkan penyakit struktural
seperti kanker atau striktur.1
Pemeriksaan Penunjang 2
’
• Laboratorium: darah perifer lengkap, glukosa dan elektrolit (terutama kalium dan
kalsium ) darah, fungsi tiroid
• Anuskopi (dianjurkan dilakukan secara rutin pada semua pasien dengan konstipasi
untuk menemukan fisura, ulkus, hemoroid, dan keganasan )
• Foto polos perut harus dikerjakan pada pasien konstipasi, terutama yang terjadinya
akut untuk mendeteksi adanya impaksi feses yang dapat menyebabkan sumbatan
dan perforasi kolon. Bila diperkirakan ada sumbatan kolon, dapat dilanjutkan
dengan barium enema untuk memastikan tempat dan sifat sumbatan.
• Pemeriksaan yang intensif dikerjakan secara selektif setelah 3- 6 bulan bila
pengobatan konstipasi kurang berhasil dan dilakukan hanya pada pusat - pusat
pengelolaan konstipasi tertentu .
190
Konstipasi
Kriteria Diagnosis3
Dalam menegakkan diagnosis konstipasi fungsional, digunakan kriteria Rome
III yaitu munculnya gejala dalam 3 bulan terakhir atau sudah dimulai sejak 6 bulan
sebelum terdiagnosis :
1. Terdapat 2 gejala berikut:
a. Mengejan sedikitnya 25% dari defekasi
b. Feses keras sedikitnya 25 % dari defekasi
c . Sensasi tidak puas saat evakuasi pada sedikitnya 25% dari defekasi
d . Sensasi obstruksi anorektal pada sedikitnya 25% dari defekasi
e. Diperlukan manuver manual untuk memfasilitasi pada sedikitnya 25% dari
defekasi [evakuasi jari , bantuan dasar panggul)
191
PanduanPraktikKlinis Gastroenteroloai
» Bp Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
TATALAKSANA4
• Non - farmakologis
Apabila diketahui bahwa konsumsi obat - obatan menjadi penyebab , maka
menghentikan konsumsi obat dapatmenghilangkan keluhan konstipasi. Namun
pada kondisi medis tertentu , konsumsi obat tidak boleh dihentikan sehingga
digunakan cara-cara lain untuk mengatasinya.4
Bowel training . Pasien dianjurkan untuk defekasi di pagi hari, saat kolon dalam
keadaan aktif, dan 30 menit setelah makan, dengan mengambil keuntungan dari
refleks gastrokolon .4 Diharapkan kebiasaan ini dapat menyebabkan penderita
tanggap terhadap tanda -tanda dan rangsang untuk BAB, dan tidak menahan
atau menunda dorongan untuk BAB ini.
Asupan cairan yang cukup dan diet tinggi serat.1 5 Rekomendasi asupan serat -
adalah 20 - 35 gram per hari.5
Aktivitas dan olahraga teratur.4
• Farmakologis
Apabila terapi nonfarmakologis diatas tidak mampu meredakan gejala, maka dapat
digunakan obat -obatan seperti tercantum pada tabel 3.
Tabel 3. Golongan Obat yang Digunakan pada Konstipasi Kronik4
Golongan Obat Formula Dosls dewasa
Bulk laxatives
Methylcellulose Bubuk: 2 gram ( dilarutkan dalam 240 ml air ) 1 - 3x /hari
Tablet: 500 mg 2 tablet /hari
( maksimal 6x /hari)
Polycarbophil Tablet: 625 mg 1 - 4 x 2 tablet /hari
Psyllium Bubuk: 3,4 gram ( dilarutkan dalam 240 ml air) 1 - 4x/hari
Pelunak feses/Laksatlf emolien
Docusate calcium Kapsul: 240 mg 1 x 1 /hari
Docusate sodium Kapsul: 50 atau 100 mg 50 - 300 mgVhari
Cairan: 150 mg per 15 mL
Sirup: 60 mg per 15 mL
Laksatif osmotlk
Laktulosa Cairan: 10 g per 15 mL 15 - 60 mL* /hari
Magnesium sitrat Cairan: 296 ml per botol ' /i - 1 botol /hari
Magnesium Cairan: 400 mg per 5 mL 15 - 60 mLVhari
hidroksida
Polyethylene Bubuk: 17 gram ( dilarutkan dalam 240 ml air ) Ix/hari
glycol 3350
192
Konstipasi
• Terapi lainnya 6
Bakterioterapi ( probiotik) : lactobacillus, bifidobacterium
Complimentary Alternative Medicine: herbal, akupuntur
• Bedah
Bila dijumpai konstipasi kronis yang berat dan tidak dapat diatasi dengan
cara - cara tersebut di atas, mungkin dibutuhkan tindakan pembedahan .
Secara umum, tindakan pembedahan tidak dianjurkan pada konstipasi yang
disebabkan oleh disfungsi anorektal.4
Kolektomi subtotal dengan ileorektostomi merupakan prosedur pilihan bagi
pasien dengan konstipasi transit lama yang persisten dan sulit dikontrol.
7
wanita hamil sebaiknya dianjurkan untuk menambah asupan serat ke dalam makanan,
namun apabila konstipasi menjadi persisten, dapat diberikan laksatif stimulan.
193
o
mLlM?
PanfluanPraMik Minis Gastroenterologi
^
Perhimpunan Dokter Spesiafis Penyakil Dalam Indonesia W W
KOMPLIKASI
Sindrom delirium akut, aritmia , ulserasi anorektal, perforasi usus, retensio urin,
hidronefrosis bilateral, gagal ginjal , inkontinensia urin, inkontinensia alvi , dan volvulus
daerah sigmoid akibat impaksi feses, serta prolaps rektum.5
PROGNOSIS
Secara umum, konstipasi memiliki dampak signifikan terhadap indikator kualitas
hidup ( quality of life ) terutama pada usia lanjut. 9 Hampir 80% dari 300 anak yang
dievaluasi pada usia 16 tahun memiliki prognosis baik. Prognosis buruk setelah usia
16 tahun secara signifikan berhubungan dengan usia ketika onset gejala, lamanya jeda
antara onset gejala dengan kunjungan pertama ke dokter, dan rendahnya frekuensi
defekasi (sekali seminggu) saat datang berobat . Risiko prognosis buruk sebanyak 16%
pada tipikal pasien dengan onset keluhan saat usia 3 tahun, tertundanya berobat selama
5 tahun, frekuensi defekasi dua kali seminggu, dan 10 episode inkontinensia per minggu.
Apabila penundaan antara onset dan berobat 1 tahun, risiko berkurang menjadi 7%,
dan bila jeda waktu 9 tahun, risiko meningkat menjadi 31%.10
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Departemen Bedah Digestif, Departemen Gizi Klinik
• RS non pendidikan : Bagian Bedah, Bagian Gizi
REFERENSI
1. . . .
Camilleri M Disorders of Gastrointestinal Motility In: Goldman, Ausiello. Cecil Medicine 23rd Edition.
Philadelphia. Saunders, Elsevier. 2008
2. Camilleri M, Murray J. Diarrhea and Constipation. In: Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL,
Jameson JL, Loscalzo J. Harrison ' s Principles of Internal Medicine. 18lhed. New York: McGraw-Hill:
2012.
3. Functional Constipation. Rome III Diagnostic Criteria for Functional Gastrointestinal Disorders.
Diunduh dari http://www.romecriteria.org/assets/pdf / 19_RomellLapA _885-898.pdfpadatanggal
9 Mei 2012.
4. .
Hsieh C Treatment of Constipation in Older Adults. Am Fam Physician 2005:72:2277-84, 2285 .
5. Thomas DR, Forrester L, Gloth MF, Gruber J, Krause RA, Prather C, et al. Clinical consensus: the
constipation crisis in long-term care. Ann Long-Term Care 2003;Suppl:3-14.
6. Leung L, Riutta T, Kotecha J, Rosser W. Chronic Constipation: An Evidence-based Review. J Am
Board Fam Med 2011;24:436 - 451
194
Konstipasi
7. Cameron JL. Current surgical therapy. 7th ed. St. Louis: Mosby, 2001
8. Jewell DJ, Young G. Interventions for treating constipation in pregnancy. Cochrane Database
Syst Rev 2001;(2):CD001142.
9. O’ Keefe EA, Talley NJ, Zinsmeister AR, Jacobsen SJ. Bowel disorders impair functional status and
quality of life in the elderly: a population-based study. J Gerontol A Biol Sci Med Sci 1995:50:
Ml 84 -9.
10. Bongers ME, van Wi]k MP, Reitsma JB, Benninga MA . Long-term prognosis for childhood
constipation: Clinical outcomes in adulthood. Pediatrics 2010 ; 126 ( l ) :e 156-62
195
196
PANKREATITIS AKUT
PENGERTIAN
Pankreatitis akut adalah proses peradangan pankreas yang reversibel.1 Hal ini
memiliki karakteristik episode nyeri perutyang diskret (menyebar) dan meningkatnya
serum amilase dan lipase.2
DIAGNOSIS
Anamnesis
Gejala klinis khas pada pankreatitis akut adalah onset nyeri perut bagian atas
yang akut dan persisten, dan biasanya disertai mual dan muntah. Lokasi tersering
adalah regio epigastrium dan periumbilikalis. Nyeri dapat menjalar ke punggung,
dada, pinggang, dan perut bagian bawah. Pasien biasanya sulit tidur dan membungkuk
ke depan (knee -chest position ) untuk meredakan nyeri karena posisi supine dapat
memperberat intensitas nyeri.1 4 '
Pemeriksaan Fisik
• Demam ( biasanya < 38,5°C], takikardi, gangguan hemodinamik ( hipotensi), nyeri
perut berat , guarding / defans muscular, distres pernapasan, dan distensi abdomen.
Bising usus biasanya menurun sampai hilang akibat ileus. Ikterus dapat muncul
tanpa adanya batu pankreas sebagai akibat dari kompresi duktus koledokus dari
edema pankreas. 44
• Pada serangan akut, dapat terjadi hipotensi, takipneu, takikardi, dan hipertemi.
Pada pemeriksaan kulit dapat terlihat daerah indurasi yang nyeri dan eritema
akibat nekrosis lemak subkutaneus.2
• Pada pankreatitis dengan nekrosis berat, dapat muncul ekimosis besar yang
terkadang muncul di pinggang (tanda Grey Turner ) atau area umbilikus (tanda
Cullen ); ekimosis ini diakibatkan oleh perdarahan dari pankreas yang terletak di
daerah retroperitoneal.2
• Perlu juga dicari: tanda Murphy untuk membedakan dengan kolesistitis akut.5
PanduanPr
Dokler
Perhimpunan
aktik Klinis
Spesialls Penyakit Dalam Indonesia
Pankreatitis Akut
Pemeriksaan Penunjang2 4
• Laboratorium: darah rutin (biasa ditemukan leukositosis), serum amilase, lipase,
gula darah, serum kalsium, LDH, fungsi ginjal, fungsi hati, profil lipid, analisis gas
darah, elektrolit
• Radiologis: USG abdomen, foto abdomen, CTscan abdomen dengan kontras, MRI
abdomen (lebih baik untuk ibu hamil dan pasien yang memiliki alergi terhadap
zat kontras)
197
H fSSSSSSSB. Gastroenterologi
DIAGNOSIS BANDING
Perforasi ulkus peptikum, kolesistitis akut, kolik bilier, obstruksi intestinal akut,
oklusi pembuluh darah mesenterika, kolik renal, infark miokard, diseksi aneurisma aorta,
kelainan jaringan ikat dengan vaskulitis, pneumonia, diabetes ketoasidosis.24
TATALAKSANA
Nonfarmakologis
• Suportif: pada pankreatitis ringan, oral feeding sebaiknya dimulai dalam 24- 72 jam
setelah onset. Apabila pasien tidak dapat mentoleransi, dapat dipertimbangkan
enteral feeding dengan NGT. Nutrisi parenteral hanya diberikan pada pasien yang
tidak dapat mentoleransi enteral feeding atau pemberian infus yang adekuat tidak
dapat dicapai dalam 2 -4 hari.2
• Resusitasi cairan dengan kristaloid (sampai dengan 10 L / hari bila terjadi gangguan
hemodinamik pada pankreatitis berat).11 Koloid seperti packed red cells diberikan
apabila Ht < 25% dan albumin apabila serum albumin < 2 mg/ dL.12
• Bedah: dapat dipertimbangkan nekrosektomi apabila terjadi infeksi pada nekrosis
pankreas atau peripankreas. Teknik debridement yang dapat dipertimbangkan
adalah open packing atau single necrosectomy with continuous lavage. Pada
pankreatitis bilier, dapat dipertimbangkan kolesistektomi.211
-
Farmakologis2 4'10'11
• Analgesik dan sedatif
• Antibiotik sistemik diberikan apabila ada tanda - tanda infeksi / sepsis sambil
menunggu hasil kultur. Apabila hasil kultur negatif, maka antibiotik dihentikan.
KOMPLIKASI2
• Lokal: nekrosis pankreas yang terinfeksi, infeksi pankreas atau peripankreas,
ascites, pseudokista pankreas
• Sistemik: gagal ginjal, gagal napas
PROGNOSIS
Tergantung berat- ringannya pankreatitis akut, maka disusun sistem skoring
prognostik berdasarkan klinis pasien seperti tercantum pada tabel 2 dan tabel 3.
198
Pankreatitis Akut
.
Tabel 3 Nilai Prediksi dari Sistem Skoring Prognostik Pankreatitis Akut '
Sistem Skoring Konsekuensl LR* poslttf LR negattf
APACHE II skor > 8 Perlu dirawat di ICU, infeksi pankreas berat, infeksi 1 ,7 - 4 0,25
dalam 24 jam sekunder, gagal organ, rawat inap lama, kematian
Skor Imrie > 3 Akumulasi cairan pankreas, keparahan, kematian 4,6 0,36
Kriteria Ranson > 3 Komplikasi mayor, keparahan, gagal organ, nekrosis 2,4 - 2,5 0,47
dalam 48 jam pankreas, rawat inap lama, kematian
Keterangan:
* LR = likelihood ratio
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan Divisi Bedah Digestif - Departemen Bedah , ICU / Medical
High Care
• RS non pendidikan ICU, Bagian Bedah
199
# ISSSSSSSSL Gastroenterologi
REFERENSI
1 .
Cfflrrslha, Hetrick B, Gipson T,;et ak Acute Pancreatitis: Pldgjhosis, Prognosis, and Treatment. Am
'
.
Farri Physician ?007 75( 10) :1513-20.
.
2. Owyang C . Pancreatitis.- In: Goldman, Ausiello , Cecil Medicine. 23rd Edition Philadelphia.
Saunders, Elsevier. 2008
3. Nurman A. Pankreatltis Akut. Dalam: Sudoyo A, Setlyohddl B, Alwi I, et al. Buku Ajar llmu Penyakit
. .
alarm. Edisl V j|lid 1.2009 Hal 731-8
1
4. Greenbergef NrCoriwell D, Wit B, et al. Acute and Chronic Pancreatitis. In: Longo DL, Fauci AS,
Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J . Harrison' s Principles of Internal Medicine. 18thed.
New York: McGraw-Hill; 2012 .
5. Urbano F, Carroll M. Murphy's Sign of Cholecystitis. Hospital Physician. 2000:11:51-2.
.
6. Knaus WA, Zimmerman JE, Wagner DP, Draper EA, Lawrence DE APACHE-acute physiology
and chronic health evaluation: a physiologically based classification system. Crit Care Med
-
1981;9:591 7.
7. Balthazar EJ, Robinson DL, Megibow AJ, Ranson JH. Acute pancreatitis: value of CT in establishing
prognosis. Radiology 1990;174:331-6.
8. Mortele K, Wiesner W, Intriere L et al. A Modified CT Severity Index for Evaluating Acute Pancreatitis:
Improved correlation with Patient Outcome. AJR 2004;183:1261-5.
9. Blarney SL, Imrie CW, O ' Neill J, Gilmour WH, Carter DC. Prognostic factors in acute pancreatitis.
Gut 1984;25:1340-6.
10. Ranson JH. Etiological and prognostic factors in human acute pancreatitis: a review. Am J
Gastroenterol 1982;77:633-8.
11. Tglukdar R , Vege S. Recent developments in acute pancreatitis. Clinical Gastroenterology and
Hepatology.2009;7:S3-S 9.
12. Forsmark CE, Baillie J. AGA Institute technical review on acute pancreatitis. Gastroenterology
2007; 132:2022-44.
200
201
PENGERTIAN
Dispepsia merupakan kumpulan gejala atau sindrom yang terdiri atas nyeri ulu
hati, mual, kembung, muntah, rasa penuh atau cepat kenyang dan sendawa. Dispepsia
diklasifikasikan menjadi dua golongan yaitu dispepsia organik dan dispepsia fungsional.
Bedasarkan Rome III, dispepsia fungsional merupakan rasa penuh ( kekenyangan )
setelah makan (bothersome postprandial fullness), perasaan cepat kenyang, nyeri ulu
hati, rasa terbakar di ulu hati, dan tidak ditemukan kelainan struktural yang dapat
menjelaskan keluhan saat dilakukan pemeriksaan endoskopi saluran cernabagian atas
(SCBA). (lebih lanjut lihat di bab Dispepsia Fungsional). Sedangkan dipepsia organik
banyak disebabkan oleh tukak peptikum, penyakit refluks gastroesofagus, keganasan
lambung atau esofagus, kelainan pankreas atau bilier, intoleran makanan dan obat,
infeksi, atau penyakit sistemik1
Tukak peptik adalah salah satu penyakit saluran cerna bagian atas yang kronis.
Tukak peptik terbagi dua yaitu tukak duodenum dan tukak lambung. Kedua tukak ini
seringkali berhubungan dengan infeksi Helicobacter pylori. H.pylori adalah organisme
yang hidup pada mukosa gaster, gram negative berbentuk batang atau spiral,
mikroaerofilik berflagela, mengandung urease, hidup di bagian antrum dan migrasi
ke proksimal lambung berubah menjadi kokoid suatu bentuk dorman bakteri; dan
diperkirakan berhubungan dengan beberapa penyakit.
23
Tukak adalah suatu gambaran bulat atau oval berukuran > 5 mm mencapai submukosa
pada mukosa lambung dan duodenum akibat terputusnya integritas mukosa. Faktor
yang berperan yaitu faktor agresif dan faktor defensif . Faktor agresif yaitu H. pylori, obat
nonsteroid antiinflamasi (OAINS), sedangkan faktor defensif yaitu:
2
• Faktor preepitel:
Mukus dan bikarbonat: untuk menahan pengaruh asam lambung atau pepsin
Mucoid cap: struktur terdiri dari mucus dan fibrin yang terbentuk sebagai
respon terhadap rangsangan inflamasi
Active surface phospholipid : meningkatkan hidrofobisitas membran sel dan
meningkatkan viskositas mukus.
PanduanPraktik Minis
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
(SI
j
Panduan PraktikKlinis Gastroenteroloai
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
• Faktor epitel :
Kecepatan perbaikan mukosa rusak
Pertahanan seluler
Kemampuan transporter asam - basa
Faktor pertumbuhan, prostaglandin, dan nitrit oksida
• Faktor subepitel
Aliran darah (mikrosirkulasi)
Prostaglandin endogen
Faktor lain yaitu stres beperan sebagai faktor agresif dan defensif. Stress ulcer
merupakan erosi mukosa lambung atau timbulnya ulkus dengan perdarahan pada
pasien penderita syok, sepsis, luka bakar masif, trauma berat, atau cedera kepala.
Ulkus paling banyak terjadi pada daerah /undus dan corpus yang merupakan lokasi
produksi asam lambung. Peningkatan asam lambung juga menjadi faktor penyebab
khususnya pada pasien dengan trauma kepala (Cushing's ulcer ) dan luka bakar berat
(Curling ’s ulcer ), selain itu iskemik mukosa lambung dan rusaknya jaringan mukosa
juga berperan dalam terjadinya stress ulcer.2
DIAGNOSIS
Diagnosis tukak duodenum dan tukak gaster yaitu:2,3
202
Penyakit Tukak Peptik
Secara umum jika ditemukan rasa nyeri yang konstan, tidak reda dengan obat
antasida atau makanan, menjalar ke punggung menindikasikan adanya perforasi.
Sedangkan nyeri yang bertambah dengan makanan, mual, memuntahkan makanan
yang tidak tercerna mengindikasikan gastric outlet obstruction. Nyeri mendadak dapat
dikarenakan adanya perforasi.5
Pada pemeriksaan fisikperlu diperhatikan pula ada tidaknya alarm symptom yaitu:
2
.
Tabel 2. Tes untuk Mendeteksi H pylori2
SensItlvHas Speslflsltas
Tes Keterangan
(%) (%)
Rapid urease 80-95 95- 100 Simpel. False negative : PPI, antibiotik, komponen
bismut
Histologi 80-90 >95 Membutuhkan proses pewarnaan
Kultur Mahal, lebih sulit, tergantung keahlian, dapat
memberikan informasi resistensi terhadap
antibiotik
Serologi >80 >90 Murah, tida berguna untuk follow up awal.
Urea breath >90 >90 Simpel, cepat, berguna untuk follow up awal.
test False negatives dengan PPI, antibiotik, komponen
bismut
Stool antigen >90 >90 Murah, nyaman untuk pasien
203
jfjiS PanduanPraMk Minis Gastroenterologi
Pertilmpunan Dokter Speslalls Penyakit Dalam Indonesia
Dispepsia belum
diinvestigasi selama
3 bulan atau lebih
Tidak
Tanda bahaya * Terapi empiris
Ya Rujuk
Temuan menjelaskan
gejala
I
Hasil pemeriksaan
Dispepsia organik Dispepsia fungsional
menjelaskan gejala
Keteran gan:
Tanda bahcaya: penurunan berat badan ( unintended) , disfagia progresif, muntah rekuren/persisten, perrdarahan saluran cerna, anemia,
demam, massa daerah abdomen bagian atas, riwayat keluarga kanker lambung, dispepsia awitan baru pada pasien >45 tahun
PP nemeriksann fkik SCR A willimn cerna hnninn ntns
.
Gambar 1. Algorltma Penatalaksanaan Dispepsia1
DIAGNOSIS BANDING 4
Akalasia
Penyakit refluks gastroesofagus
Pankreatitis
Hepatitis
Kolesistitis
Kolikbilier
Keganasan esofagus atau gaster
Inferior myocardial infarction
Referred pain (pleuritis,perikarditis)
Sindrom arteri mesenterium superior Terapi
204
Penyakit Tukak Peptik
TATALAKSANA
Tanpa Komplikasi 2
• Suportif: nutrisi
• Memperbaiki atau menghindari faktor risiko
• Pemberian obat-obatan:
Obat yang dipergunakan dapat berupa antasida, antisekresi asam lambung ( PPI
misalnya omeprazol, rabeprazol dan lansoprazol dan /atau H 2- Receptor Antagonist
[ H 2 RA] ), prokinetik, dan sitoprotektor (misalnya rebamipid,teprenon, sukralfat),
di mana pilihan ditentukan berdasarkan dominasi keluhan dan riwayatpengobatan
pasien sebelumnya. Masih ditunggu pengembangan obat baru yang bekerja melalui
-
down regulation proton pump yang diharapkan memiliki mekanisme kerja yang
lebih baik dari PPI, yaitu DLBS 2411.6
Dengan Komplikasi
Pada tukak peptik yang berdarah dilakukan penatalaksanaan umum atau suportif
sesuai dengan penatalaksanaan hematemesis melena secara umum.
2
KOMPLIKASI4
Perdarahan : hematemesis, melena disertai tanda syok jika perdarahan masif
Anemia defisiensi besi jika perdarahan tersembunyi
Perforasi
Penetrasi tukak yang dapat mengenai pankreas
Obstruksi atau stenosis
Keganasan: jarang
291
tv K)
)
PanduanPraktikKlinis Gastroenteroloai
Perhlmpunan Dokter Speslalis Penyakit Dalam Indonesia
206
Penyakit Tukak Peptik
PROGNOSIS
Tukak gaster yang terinfeksi H . pylori mempunyai angka kekambuhan 60% jika tidak
dieradikasi dan 5% jika dieradikasi . Sedangkan untuk tukak duodenum yang terinfeksi
H . pylori mempunyai angka kekambuhan 80 % jika kuman tetap ada dan 5 % jika sudah
dilakukan eradikasi . Tukak yang disebabkan karena pemakaian OAINS menunjukkan
penurunan keluhan dispepsia jika dikombinasi dengan pemberian PPI pada 66%
kasus.7
Risiko perdarahan merupakan komplikasi tukak tersering pada 15 - 25 % kasus dan
tersering pada usia lanjut, di mana 5% kasus membutuhkan tranfusi . Perforasi terjadi
2 - 3 % kasus. Kasus perdarahan dapat terjadi bersamaan dengan kasus perforasi pada
10 % kasus. Sedangkan obstruksi saluran cerna dapat terjadi pada 2 - 3% kasus. Adapun
angka kematian sekitar 15.000 dalam setahun karena komplikasi yang terjadi . 2
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : DepartemenPenyakit Dalam ( RS tertentu )
• RS non pendidikan
REFERENSI
1. Oustamanolakis P , Tack J . Dyspepsia : Organic Versus Functional . Journal of Clinical
Gastroenterology . 2012:46 ( 3) : 175-90.
2. Valle JD. Peptic Ulcer Disease. In : Fauci A , Kasper D, Longo D, Braunwald E, Hauser S,
Jameson J, Loscalzo J , editors. Harrison ' s principles of internal medicine 18th ed . New
York : The McGraw- Hill Companies, 2012.
3. Tarigan Pengarepan . Tukak Gaster. Dalam : Alwi I , Setiati S, Setiyohadi B, Simadibrata
M , Sudoyo AW . Buku Ajar llmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi V . Jakarta : Interna Publishing :
2010: Hal 513-522
4 . Akil HAM. Tukak Duodenum . Dalam: Alwi I , SetiatiS, Setiyohadi B , Simadibrata M , Sudoyo
AW . Buku Ajar llmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi V. Jakarta : Interna Publishing ; 2010: Hal 523-8.
5. DyspepsiaManageemntGuidelines.British Society of Gastroenterology. 2002. Dunduh dari
_
www. bsg.org . uk / pdf word _docs / dyspepsia . doc pada tanggal 7 Mei 2012 .
6. Kolopaking MS , Makmun D, Abdullah M , et al . Konsensus nasional penatalaksanaan dispepsia
dan infeksi Helicobacter pylori . Jakarta , 2014.
_ _ _
7. NHS. Dyspepsia - proven peptic ulcer-what is the prognosis ? Diunduhdarihttp: / / www.
cks. nhs . uk / dyspepsia _ proven peptic ulcer / background information / prognosis .
pada tanggal 7 mei 2012
207
208
TUMOR GASTER
PENGERTIAN
Tumor merupakan salah satu dari lima karakteristik inflamasi berasal dari bahasa
latin , yang berarti bengkak. Istilah tumor ini digunakan untuk menggambarkan
pertumbuhan biologi jaringan tidak normal . Karsinoma gaster adalah pertumbuhan
abnormal secara tidak terkontrol dari sel -sel pada gaster, yang membentuk masa
(tumor) .1 Klasifikasi tumor gaster dapat dilihat pada gambar 1.
Tumor Gaster
PanduanPrakfik Minis
Perhlmpunan Dokter Spesiafc Penyakil Dalam Indonesia
Tumor Gaster
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Berat badan turun, nyeri epigastrium, muntah, keluhan pencernaan, anoreksia,
disfagia, nausea, kelemahan, sendawa, hematemesis, regurgitasi, dan cepat kenyang.
1
Faktor risiko kanker gaster: diet tinggi garam, nitrat (pengawet makanan ), obesitas,
merokok, hormon reproduksi, riwayat kanker pada keluarga, riwayat ulkus gaster.
3
Pemeriksaan Fisik
Mungkin ditemukan adanya masa didaerah epigastrium. Jika sudah metastasis ke
hati maka hati teraba ireguler, teraba pembesaran kelenjar limfe klavikula.
1
Pemeriksaan Penunjang1
• Radiologi
• USG abdomen
• Gastroskopi dan biopsi: curiga ganas jika ditemukan mukosa merah, erosi pada
permukaan dan tidak adanya pedikle.
• Endoskopi ultrasound
• Pemeriksaan darah pada tinja, darah samar ( +), test benzidin
• Sitologi: pemeriksaan papanicolaou dari cairan lambung.
DIAGNOSIS BANDING’
Karsinoma esofagus
TATALAKSANA ’
Beberapa tatalaksana yang dapat dilakukan:
1. Pembedahan: reseksi tumor dan jaringan sekitar, pengambilan kelenjar linfe
2. Kemoterapi: 5 FU, trimetroxote, mitomisin C, hidrourea, epirubisin, dan karmisetin
3. Radiasi
KOMPLIKASI
Perforasi, hematemesis, obstruksi, adhesi, metastasis.
PROGNOSIS
Faktor yang menentukan prognosis adalah derajat invasi dinding gaster, adanya
penyebaran ke kelenjar limfe, metastasis di peritoneum dan tempat lain. Kanker
1
209
<fj\
iBMjW
Panduan PraktIK Klinis Gastroenteroloqi
Perhimpunao Doltler Spesinfis Penyakil Dalam Indonesia W
gaster lanjut memiliki rata -rata bertahan dalam 5 tahun sebesar 60 -80 %, tumor
yang menginvasi subserosa memiliki angka bertahan 5 tahun sebesar 50 %. Pada
pasien dimana kelenjar limfe telah terkena sekitar 16 kelenjar limfe, angka bertahan
5 tahun adalah 44 %, sementara apabila yang terkena 7-15 kelenjar limfe maka angka
bertahannya sekitar 30%. Pada GIST, Pada MALToma, angka bertahan 5 tahun sebesar
99 % pada kelompok risiko rendah, 85-88% pada kelompok risiko sedang dan 27 %
pada kelompok risiko tinggi. Pada GIST, angka kekambuhan pada risiko rendah adalah
2,4%, 1,9% pada risiko sedang dan 62,5% pada risiko tinggi. Penggolongan tingkat
risiko pada GIST , dapat dilihat pada tabel l.3
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Divisi Hematologi - Onkologi Medik - Departemen Penyakit
Dalam, Divisi Bedah Digestif - Departemen Bedah, ICU /
Medical High Care
• RS non pendidikan : ICU, Bagian Bedah
REFERENSI
1. .
Julius. Tumor Gaster Dalam Alwi I, Setiati S, Setiyohadi B, Simadibrata M, Sudoyo AW . Buku Ajar
llmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi V. Jakarta: Interna Publishing: 2010:576-580.
2. Park DY, Lauwers GY. Gastric polyps: classification and management. Arch Pathol Lab Med.
2008:132( 4):633-40.
3. Bearzi I, Mandolesi A, Arduini F, Costagliola A, Ranaldi R. Gastrointestinal stromal tumor. A study
of 158 cases: clinicopathological features and prognostic factors. Anal Quant Cytol Histol.
2006:28 ( 3) :137-47.
210
211
TUMOR KOLOREKTAL
PENGERTIAN
Tumor kolorektal dapat dibagi dalam dua kelompokyakni polip kolon dan kanker
kolon. Polip adalah tonjolan diatas permukaan mukosa. Makna klinis yang penting dari
polip ada dua yakni pertama kemungkinan mengalami transformasi menjadi kanker
kolorektal dan kedua dengan tindakan pengangkatan polip, kanker kolorektal dapat
dicegah.1 Faktor risiko kanker kolorektal:2
1. Umur risiko terkena kanker kolorektal meningkat dengan bertambahnya usia.
Kebanyakan kasus terjadi pada usia 60 - 70 an tahun.
2. Adanya polip (tumor jinak] pada usus besar, polip ( terutama adenomatous).
3. Riwayat kanker: wanita yang memiliki kanker ovarium, rahim, atau payudara juga
berisiko tinggi terserang penyakit kanker kolorektal.
4. Adanya riwayat kanker usus besar pada keluarga, terutama keluarga dekat (atau
bisa juga beberapa kerabat) yang terkena sebelum usia 55 tahun bisa meningkatkan
resiko kanker ini. Selain itu, keberadaan Familial adenomatous polyposis (FAP)
membawa resiko yang mendekati 100% terkena kanker kolorektal pada usia 40
tahun jika tidak diobati. Juga perlu diperhatikan bahwa Hereditary nonpolyposis
colorectal cancer (HNPCC) atau syndrome Lynch , yaitu kondisi genetik autosomal
dominan yang memiliki risiko tinggi kanker usus besar serta kanker lainnya.
5. Merokok . Perokok lebih cenderung meninggal karena kanker kolorektal
dibandingkan non - perokok. Sebuah studi American Cancer Society menemukan
bahwa wanita yang merokok lebih dari 40% lebih cenderung meninggal karena
kanker kolorektal dibandingkan wanita yang tidak pernah merokok, sedangkan
pria perokok memiliki lebih dari 30% peningkatan risiko kematian akibat penyakit
ini dibanding laki-laki yang tidak pernah merokok.
6. Makanan. Studi menunjukkan bahwa konsumsi tinggi daging merah dan kurang
mengkonsumsi buah segar, sayuran, ikan, dan unggas meningkatkan resiko terkena
kanker kolorektal .
7. Fisik tidak aktif.
PanduanPraktik Klinis
Perhimpunan Dokier Spesialis Penyakil Dalam Indonesia m
# HttJHSSJHSl Gastroenterologi
8. Primary sclerosing cholangitis ( PSC) - penyakit hati kronis - membuka peluang
terkena risiko independen untuk colitis ulseratif.
9 . Radang usus. Sekitar satu persen pasien kanker kolorektal memiliki riwayat
ulcerative colitis kronis.
10. Alkohol. terutama peminum berat, dapat memiliki risiko terkena kanker ini
( khususnya pada pria). NIAAA (melalui studi epidemiologi) telah menemukan
hubungan dosis kecil (tapi konsisten / sering) minuman ber -alkohol dengan kanker
kolorektal (walaupun peminum itu juga mengkonsumsi makanan serattinggi dan
rendah lemak) .
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis1
1. Perubahan pola buang air besar, perdarahan per anus ( hematokezia , dan
konstipasi) .
2 . Gejala obstruksi:
a. Parsial: nyeri abdomen
b. Total: nausea, muntah, distensi, dan obstipasi
3. Invasi lokal bisa menimbulkan tenesmus, hematuria, infeksi saluran kemih
berulang, dan obstruksi urethra.
4. Anamnesa adanya faktor risiko kanker kolorektal seperti tercantum diatas.
Pemeriksaan Fisik2
Dapat ditemukan masa yang nyeri pada abdomen . Nyeri dapat menjalar ke pinggul
sampai tungkai atas. Bila ada obstruksi dapat ditemukan distensi abdomen. Tumor
pada kolon kiri lebih sering menyebabkan gejala obstruksi. Metastasis paling sering
ke organ hati, dapat ditemukan hati teraba ireguler.
Pemeriksaan Penunjang1
• Laboratorium : perdarahan intermitten dan polip yangbesar dapat dideteksi melalui
darah samar feses atau anemia defisiensi Fe.
• Radiologi; Kolonoskopi
• Evaluasihistologi: gambaranatipikberat menunjukkan adanya fokuskarsinomatous
yang belum menyentuh membrane basalis. Bilamana sel ganas menembus membrane
basalis tapi tidak melewati muskularis mukosa disebut karsinoma intra mukosa.
Berikut dijelaskan mengenai strategi penapisan kanker kolorektal.
212
Tumor Kolorektal f ?®
DIAGNOSIS BANDING4
Tumor Retrorektal, Volvulus, Prolaps rekti
TATALAKSANA1
1. Kemoprevensi: obat anti inflamasi nonsteroid (OAINS) termasuk aspirin. Beberapa
OAINS seperti sulindac dan celecoxib telah terbukti secara efektif menurunkan
insidens berulangnya adenoma pada pasien dengan FAP ( Familial Adenomatus
Polyposis)
2. Endoskopi dan operasi
• Bila ukuran < 5 mm maka pengangkatan cukup dengan biopsy atau
elektrokoagulasi bipolar
• Hemikolektomi apabila tumor di caecum, kolon ascending , kolon transfersum
tetapi lesi di fleksura lienalis dan kolon desending
• Tumor di sigmoid dan rektum proksimal dapat diangkat dengan tindakan LAR
(Low Anterior Resection)
3. Terapi ajuvan
5 FU ( pada Dukes C ) , irnotecan ( CPT 11) inhibitor topoisomer, Oxaliplatin .
Manajemen kanker kolorektal yang non reseksibel:
• Nd-YAG foto koagulasi laser
• Self expanding metal endoluminal stent
KOMPLIKASI
1. Perdarahan masif dapat menyebabkan anemia defisiensi besi,
2. Metastase
PROGNOSIS
Pada Familial adenomatous Polyposis, kemungkinan berkembang menjadi kanker
noncolorektal adalah 11% pada usia 50 tahun dan 52% pada usia 75 tahun. Pada
5
213
A Panduan PrakUk Klinis Gastroenteroloai
} w/ Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
-
v/
214
Tumor Kolorektal
Rekomendasl Keterangan
1 orang keluarga derajat Sama seperti risiko umum
pertama dengan kanker
kolorektal atau adenoma
lanjut pada usia > 60 tahun
1 orang keluarga derajat Kolonoskopi setiap 5 tahun
pertama dengan kanker dimulai pada umur 40 tahun
kolorektal atau adenoma atau 10 tahun lebih muda
tingkat lanjut pada usia pada saat keluarga tersebut
< 60 tahun, atau 2 orang didiagnosis
keluarga derajat pertama
dengan kanker kolorektal
atau adenoma tingkat lanjut
pada segala usia
FAP Sigmoidoskopi atau Pertimbangkan konseling dan
kolonoskopi setiap 1 tahun, pemeriksaan genetik
dimulai pada umur 10-12 tahun
HNPCC Kolonoskopi setiap 2 tahun Pertimbangkan evaluasi
mulai uasia 20-25 tahun sampai histology atau microsatellite
usia 40, selanjutnya setahun instability pada spesimen
sekali tumor atau pada pasien yang
ditemukan kriteria Bethesda ;
pertimbangkan konseling dan
pemeriksaan genetik.
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Divisi Hematologi-Onkologi Medik - Departemen Penyakit
Dalam, Divisi Bedah Digestif - Departemen Bedah
• RS non pendidikan : Bagian Bedah
215
frt SS9KSS* Gastroenterologi
REFERENSI
1. . .
Abdullah, M Tumor kolorektal In: Alwi I, SetiatlS, Setiyohadl B, Slmadlbratg Sudoyo AW Buku.
. .
Ajar llmu Penyakit Dalam Jilld I Edlsi V Jakarta: Interna Publishing; 2010: Hal, 5567-7$
2. Cohen, AM. Colorectal tumors. Oxford Textbook of Surgery 2nd Edition; •
3. Gastrointestinal endoscopy. In: Fauci A, Kasper D; Longo D, BraunwaldS, HquserS, Jameson
.
J, Loscalzo J, editors. Harrison’s principles of Internal medicine 18th ed United New York; The
McGraw-Hill Companies, 2012 .
.
4 .
Colon; rectum and anus. In: Brurllcandl; Charles F. Schwartz's Principles of Sbrgery '8th~Eaitioh
'
Chapter 28 .
.
5 . . .
Wehbi M Familial adenomatous polyposis Diunduh dari : httpV/emedicine medseape:eom/
*
216
agfc>
fc PENATALAKSANAAN
i
^
i
$
BIDANGILMU PENYAKIT DALAM
PANDUAN
P
PRAKTIK A
|
KIINIS IJH m
HEPATOLOGI
ABSES HATI
PENGERTIAN
Abses hati adalah rongga patologis yang timbul dalam jaringan hati akibat infeksi
bakteri, parasit, jamur, yang bersumber dari saluran cerna, yang ditandai adanya
proses supurasi dengan pembentukan pus yang terdiri dari jaringan hati nekrotik,
sel - sel inflamasi, atau sel darah di dalam parenkim hati. Abses hati dapat terbentuk
soliter atau multipel dari penyebaran hematogen maupun secara langsung dari tempat
terjadinya infeksi di dalam rongga peritoneum. Abses hati terbagi 2 yaitu abses hati
amebik [AHA) dan piogenik [AHP). u
Abses hati piogenik adalah rongga supuratif pada hati yang timbul dalam jaringan
hati akibat infeksi bakteri seperti enterobacteriaceae, microaerophilic streptococci,
anaerobic streptococci, klebsiella pneumonia, bacteroides, fusobacterium, staphylococcus
aureus, salmonella typhi. Sedangkan abses hati amebik disebabkan infeksi Entamoeba
histolytica Abses hati amebik lebih banyak terjadi pada laki-laki dan jarang pada
anak-anak.2
Abses hati piogenik dapat terjadi karena beberapa mekanisme:
• Infeksi dari traktur bilier (kolangitis, kolesistitis) atau dari fokus septik sekitarnya
( pylephlebitisJ
• Komplikasi lanjut dari sfingterektomi endoskopik untuk batu saluran empedu
atau 3-6 minggu setelah operasi anastomosis bilier -intestinal.
,
• Komplikasi bakteremia dari penyakit abdomen seperti divertikulitis, apendisitis
ulkus peptikum perforasi, keganasan saluran cerna, inflammatory bowel disease,
peritonitis, endokarditis bakteria, atau penetrasi benda asing melalui dinding kolon.
• 40 % abses hati piogenik tidak diketahui sumber infeksinya. Adanya flora dalam
mulut diduga menjadi penyebabnya, terutama pada pasien dengan penyakit
periodontal berat.
Sedangkan abses hati amebik terjadi karena
2
• Entamoeba histolytica keluar sebagai trofozoit atau bentuk kista. Setelah terinfeksi
,
kista melewati saluran pencernaan dan menjadi trofozoit di kolon, lalu menginvasi
mukosa dan menyebabkan ulkus flask shaped. Selanjutnya organisme dibawa
menuju hati dan dapat menyebabkan abses di paru - paru atau otak. Abses hati
dapat ruptur ke dalam pleura, perikardium, dan rongga peritoneum.
DIAGNOSIS
218
Abses Hati fi
( )
DIAGNOSIS BANDING
Hepatoma, kolesistitis, tuberkulosis hati, aktinomikosis hati
TATALAKSANA
219
(fv ) PandinnPrakilkMinis Hepatoloqi
IMMf 'JHiWf Perhimpunan Dokler Spesiolis Penyokil Dalam Indonesia f
- Jika dalam waktu 4- 72 jam belum ada pebaikan klinis,maka antibiotika diganti
dengan antibiotika yang sesuai hasil kultur sensitifitas. Pengobatan secara
parenteral selama minimal 14 hari lalu dapat diubah menjadi oral sampai 6
minggu kemudian. Jika diketahui jenis kuman streptokokus, antibiotik oral
dosis tinggi diberikan sampai 6 bulan.
• Drainase terbuka cairan abses terutama pada kasus yang gagal dengan terapi
konservatif atau bila abses berukuran besar (> 5 cm). Jika abses kecil dapat dilakukan
aspirasi berulang. Pada abses multipel, dilakukan aspirasi jika ukuran abses yang
besar, sedangkan abses yang kecil akan menghilang dengan pemberian antibiotik.
• Surgical drainage: dilakukan jika drainase perkutaneus tidak komplit dilakukan, ikterik
yang persisten, gangguan ginjal, multiloculated abscess, atau adanya ruptur abses.
KOMPLIKASI
220
Abses Hati
PROGNOSIS
Jika diterapi dengan antibiotika yang sesuai dan dilakukan drainase, angka kematian
adalah 10 -16 %. Abses piogenik yang unilokular abses di lobus kanan hati mempunyai
prognosis lebih baik dengan angka harapan hidup 90%. Jika abses multipel terutama
yang mengenai traktur bilier, akan mempunyai prognosis lebih buruk.
Pada abses amebik yang berada di lobus kiri lebih besar kemungkinan ruptur ke
peritoneum. Prognosis buruk jika terjadi keterlambatan diagnosis dan penanganan
serta hasil kultur memperlihatkan adanya bakteri yang multipel, tidak dilakukan
drainase, adanya ikterus, hipoalbuminemia, efusi pleura, atau adanya penyakit lain
seperti keganasan bilier, disfungsi multiorgan, sepsis.1
221
(fj\ PanduanPraktikKIinis Hepatologi
Xfl f */ IndoruMio •
fwhimpuhon Dofcfet tyetloftf PcnyokJI Oafcjm w
REFERENSI
.
1 .
Sherlock S, Dooley J. Tumours of the Gallbladder and Bjlf Duets Jn:: Dooley J, Lok A, Burroughs
..
A, Heathcote . Diseases of the Liver and biliary System. 12lh ed. UK; Blackwell Science P 632-659.
.
2 Kim AY, Chung RT. Bacterial,Parasitic, and Fungal Infections of the Liver, Including Liver Abscess..
In: Feldman M, Friedman L,Brandt L. Sleisengerand Fordtran's Gastrointestinal and Liver Disease:
. .
.PathPRhysiolpgy(Piggnosis/Mgnagei?nent 9? ed, USA;\Elseyier Chapter 82,
3 . Nazir NT, Penfield JD, HgjjgrV, Pyogenic liver abscess. Cleveland Clinic Journal of Medicine July
2010 voL 777- 426-427T Diunduh dari-http:/ Avww.ccjm.org/ content / 77/ 7 / 426.fuH pada tanggal
20 Juni 2012.
222
223
PENGERTIAN
Pembentukan batu pada sistem bilier, baik di kandung empedu (kolesistolitiasis)
maupun di saluran empedu (koledokolitiasis). Menurut gambaran makroskopik dan
kimiawinya batu empedu dibagi menjadi: batu kolesterol (komposisi kolesterol > 70%),
batu pigmen coklat atau batu calcium bilirubinate dan batu pigmen hitam. Insiden
terjadinya batu di duktus koledokus meningkat dengan seiringnya usia (25% pada
pasien usia lanjut). 12 Faktor risiko terbentuknya batu:3
• Usia dan jenis kelamin: batu kolesterol jarang sering terjadi pada anak-anak dan
remaja, insiden meningkat sesuai pertambahan usia dan wanita lebih banyak terkena
daripada laki-laki. Pada wanita usia 70 tahun insiden meningkat sampai 50%.
• Diit: makanan mengandung tinggi kalori, kolesterol, asam lemak tersaturasi,
karbohidrat, protein, dan garam dengan jumlah serat yang rendah meningkatkan
insiden batu empedu.
• Kehamilan dan paritas: kehamilan meningkatkan risiko terjadinya biliary sludge
dan batu empedu. Selama kehamilan, empedu menjadi lebih lithogenic karena
peningkatan kadar estrogen sehingga terjadi peningkatan sekresi kolesterol
dan supersaturated bile. Selain itu hipomotilitas kendung empedu menyebabkan
peningkatan volume dan stasis empedu.
• Penurunan berat badan terlalu cepat menyebabkan peningkatan sekresi kolesterol
oleh hati selama restriksi kalori, peningkatan produksi musin oleh kandung
empedu, dan gangguan motilitas kandung empedu . Sebagai profilaksis dapat
diberikan Ursodeoxy Cholic Acid ( UDCA) 600 mg setiap hari
• Total parenteral nutrition (TPN ) dalam jangka waktu lama akan menyebabkan
gangguan pada relaksasi sfingter Oddi sehingga menimbulkan aliran ke kandung
empedu. Sebagai profilaksis dapat diberikan cholecystokinin ( CCK ) octapeptide 2
kali sehari intravena.
• Biliary sludge: mencetuskan kristalisasi dan glomerasi kristal kolesterol dan
mempresipitasi kalsium bilirubinat.
• Obat- obatan : estrogen, clofibrate , oktreotid (analog somatostatin ), seftriakson.
PanduanPraktik Minis
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
Panduan PraktikKlinis Hepatoloqi
•
NW ? W? Indonesia
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakil Dalam w
DIAGNOSIS
Anamnesis
Biasanya asimtomatik, ada juga yang menimbulkan keluhan kolik bilier, yakni
nyeri di perut bagian atas berlangsung lebih dari 30 menit dan kurang dari 12 jam.
1,2
Pemeriksaan fisik
Ikterus, nyeri epigastrium , dan tanda -tanda komplikasi seperti kolesistitis,
kolangitis.1-3
DIAGNOSIS BANDING
• kolesistolitiasis: tumor kandung empedu, sludge, polip.
• Koledokolitiasis: tumor saluran bilier
TATALAKSANA
Kolelitiasis 1 3
• Pasien batu asimtomatik tidak memerlukan terapi bedah
• Kolesistektomi laparoskopik jika bergejala
• ESWL: Kriteria untuk dilakukan ESWL (Tabel 1):
224
Batu Sistem Bilier
Koledokolitiasis2
• Kolesistektomi baik secara laparoskopik maupun endoskopik (ERCP) dikerjakan
pada pasien:
Gejala cukup sering maupun cukup berathingga mengganggu aktifitas sehari-hari.
Adanya komplikasi batu saluran empedu
Adanya faktor predisposisi pada pasien untuk terjadinya komplikasi
• Terapi farmakologik dengan menggunakan Ursodeoxy Cholic Acid (UDCA) untuk
mencegah dan mengobati batu kolesterol dosis 8-10 mg / hari selama 6 bulan
sampai 2 tahun, persentase keberhasilan lebih baik pada batu diameter < 10 mm. ’
12
KOMPLIKASI
Kolesistitis akut, kolangitis, apendisitis, pankreatitis, secondary biliary cirrhosis. '
123
'
PROGNOSIS
Adanya obstruksi dan infeksi di dalam saluran bilier dapat menyebabkan kematian .
Akan tetapi dengan diagnosis dini dan penatalaksanaan yang tepat, prognosis
umumnya baik.
225
of ly
PanduanPraktik Minis Hepatoloqi
•
PertwnpwKin Doklot Speiialli PnnyairH Dalam Indonesia w
REFERENSI
.
1 .. . . .
Lesmana L A Penyakit Batu Empedu Dalam: Sudoyo A W , Setyohadi B„ Idrus I, dkk, Buku Ajar .
. . .
llmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi V Jakarta: Interna Publishing; 2010. h.721-6 .
2 . . .
Greenberger NJ Diseases of the Gallbladder and Bile Ducts In: Fauci AS, Kasper DL, Longo DL,
.
Braunwald E, Lauser SL, Jameson JJ, et al, eds Harrison' s Principles of Internal Medicine. Edisi
ke-17. New York: McGraw-Hill 2008 Chapter 311 . .
.
3 . .
Wang DQ, Afdhal NH Gallstone Disease In: Feldman M, Friedman L, Brandt L. Sleisenger and
Fordtran' s Gastrointestinal and Liver Disease: Pathophysioiogy/Diagnosis/Management 9lh ed . .
.
USA: Elsevier Chapter 66 .
226
227
PENGERTIAN
Hepatitis imbas obat atau yang sekarang lebih dikenal dengan drug -induced liver
injury ( DILI ) merupakan suatu peradangan pada hati yang terjadi akibat reaksi efek
samping obat atau hepatic drug reactions ketika mengkonsumsi obat tertentu. Hepatitis
imbas obat merupakan salah satu penyebab terjadinya penyakit hati akut maupun
kronis .1 Pada umumnya, ada 2 tipe hepatotoksisitas utama yaitu toksik langsung
( direct toxic ) dan idiosinkrasi. Hepatitis toksik langsung dapat diduga terjadinya pada
individu yang terpapar dengan obat tertentu dan tergantung dosis ( dose dependent ).
Periode laten antara paparan dan jejas hati biasanya singkat (seringkali hanya
beberapa jam ), meskipun manifestasi klinisnya dapat terlambat 24- 48 jam.2 Faktor
risiko hepatotoksisitas imbas obat tercantum pada tabel 1.
PanduanPraktikKIinis
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dolam Indonesia
ifrY
f >
Paniian Prakdk Klinis Hepatologi
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakif Dalam Indonesia I w
DIAGNOSIS
Anamnesis4
• Riwayat konsumsi obat atau jamu dalam 5-90 hari terakhir
• Tanggal mulai dan tanggal berhenti konsumsi untuk tiap obat dan jamu
• Riwayat hepatotoksisitas dan konsumsi obat yang dimaksud
• Onset gejala (demam, ruam, lelah, nyeri perut, nafsu makan menurun )
• Penyakit lainnya, dari obat yang dikonsumsi
• Episode hipotensi akut
Pemeriksaan Fisik4
• Ikterik, ruam, demam, klinis adanya pruritus
• Hepatomegali, splenomegali
• Stigmata penyakit hati kronis
Pemeriksaan Penunjang4
• Laboratorium
Rutin : darah perifer lengkap dan hitung jenis leukosit (ditemukan gambaran
eosinofilia), trombosit protein total, albumin /globulin, prothrombin time (PT) /
INR, kreatinin
Kimia hati : SGOT, SGPT, alkali fosfatase, bilirubin total / direk, gamma GT
- Serologis: IgM anti- HAV, HBsAg, IgM anti-HCV, HCV RNA, anti- HEV, anti- EBV,
anti- CMV
Autoantibodi : antibodi antinuklear, antibodi otot polos , antibodi
antimitokondrial
Khusus: serum besi, ferritin, ceruloplasmin, a- l -antitrypsin
• Radiologis: USG, CTscan, MRI / MRCP (atas indikasi)
• Biopsi hati, dengan indikasi :
Apabila hubungan temporal antara konsumsi agen hepatotoksik dengan onset
jejas hati tidak jelas1
.
Tabel 2 Terminologi Jejas Hati Imbas Obat menurut Kriteria Konsensus CIOMS5
Termlnologl Kriteria
Jejas hepatoselular ALT terisolasi > 2x normal, atau ALT/ ALP 5
Jejas kolestatik ALP terisolasi > 2x normal, atau ALT/ALP 2
Jejas kombinasi ALT dan ALP meningkat, atau 2<ALT / ALP <5
Jejas akut ALT dan ALP meningkat , atau 2<ALT/ ALP <5 terjadi selama < 3 bulan
228
Hepatitis Imbas Obat 3|
|§
Ternilnologl Krtterla
Jejas kronis ALT dan ALP, atau 2<ALT/ ALP <5 terjadi selama > 3 bulan
Penyakit hati kronis Istilah ini hanya dipakai setelah konflrmasi pemeriksaan histologis
Keterangan: CIOMS = Council for International Organizations of Medical Sciences; ALP = alkaline phosphatase,
ALT = alanine aminotransferase
DIAGNOSIS BANDING
Hepatitis viral akut, hepatitis autoimun, syok hati , kolesistitis , kolangitis, sindrom
Budd - Chiari , penyakit hati alkoholik, penyakit hati kolestatik, kondisi hati yang
berhubungan dengan kehamilan , keganasan , penyakit Wilson, hemokromatosis ,
gangguan koagulasi.1,4
Tabel 3. Aksis dan Skoring Jejas Hati Imbas Obat
NADPRS CIOMS/RUCAM MA V DDW - J
Aksis $ Aksis $ Aksis SDQO Alois $
Respon Os / d + 1
placebo
Konsentrasi 0 s / d +1 Manifestasi 0 s /d +3 Manifestasi 0 s /d + 1
obat dan ekstrahepatik ekstrahepatik
monitoring (ruam, eosinophilic
demam,
artralgia,
eosinophilia,
sitopenia
Hubungan Os / d + 1
dosis
Paparan Os /d +1
sebelumnya
dan reaktivitas
silang
229
0 PanduanPraktlkKlinls Hepatologi
TATALAKSANA
Terapi sebagian besar bersifat suportif, kecuali pada hepatotoksisitas acetaminophen.
Pada pasien dengan hepatitis fulminan akibat hepatotoksisitas obat, maka transplantasi
hati dapat menyelamatkan nyawa. Penghentian konsumsi dari agen yang dicurigai
diindikasikan pada tanda pertama terjadinya reaksi simpang obat. Pada kasus toksin
direk, keterlibatan hati sebaiknya juga diperhatikan keterlibatan ginjal atau organ lain,
yang juga dapat mengancam nyawa. Glukokortikoid untuk hepatotoksisitas obat dengan
gambaran alergi, silibinin untuk keracunan jamur hepatotoksik, dan ursodeoxycholic
acid untuk hepatotoksisitas obat kolestatik tidak dianjurkan.2
KOMPLIKASI
Gagal hati sampai dengan kematian.
PROGNOSIS
Tergantung etiologi dan respons terapi. Pada sebagian besar kasus, fungsi hati
akan kembali normal apabila obat dihentikan.
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan
• RS non pendidikan : -
230
Hepatitis Imbas Obat O
REFERENSI
1. Teoh NC, Chitturi S, Farrell GC. Liver Disease Caused by Drugs. In : Feldman M, Friedman LS,
Brandt LJ. Sleisenger and Fordtrand' s Gastrointestinal and Liver Disease. 9th Edition. Philadelphia:
Saunders, Elsevier. 2010. Hal 1431-9.
2. Dienstag J. Toxic and Drug-Induced Hepatitis. In : Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL,
Jameson JL, Loscalzo J. Harrison' s Principles of Internal Medicine. 18 Edition. New York, McGraw-
lh
Hill. 2012.
3. Mitchell S, Hilmer SN. Drug-induced liver injury in older adults. Therapeutic Advances in Drug
Safety 2010:1 :65.
4. Seeff LB, Fontana RJ. Drug-Induced Liver Injury. In : Dooley JS, Lok ASF, Burroughs AK, et ai. Sherlock ' s
Diseases of the Liver and Biliary System. 12lh Edition. United Kingdom: Blackwell Publishing Ltd. 2011
231
232
PENGERTIAN
Hepatitis virus akut adalah inflamasi hati akibat infeksi virus hepatitis yang
berlangsung selama < 6 bulan.1
DIAGNOSIS
Anamnesis
-
Anoreksia, nausea, muntah , fatique, malaise, atralgia, myalgia, sakit kepala, 1 5
hari sebelum ikterus timbul. Urine pekat dan kadang feses seperti dempul. Setelah
ikterus timbul, gejala -gejala diatas menjadi berkurang. Demam tidak terlalu tinggi,
biasa terjadi pada hepatitis A dan E ( jarang pada B dan C).
Pemeriksaan Fisik
Ikterus, hepatomegali, splenomegali.1
Laboratorium
SGOT, SGPT, bilirubin. Serologi hepatitis :
1. Hepatitis A : IgM anti HAV ( + ) 3
2. Hepatitis B : dapat dilihat pada tabel 2
3. Hepatitis C : HCV RNA ( + ) setelah 7-10 hari pajanan, anti HCV ( + ) 5 -10 minggu
setelah pajanan dan dapat bertahan seumur hidup
4. Hepatitis D : HDV Ag, HDV- RNA and Ig M anti- HDV ( + ) sekitar 30- 40 hari setelah
gejala awal timbul.6
5. Hepatitis E : Ig G dan Ig M anti HEV.3
Penularan
+++
Fekal-oral +++
Tidak +++ +++ +++
Perkutaneus
biasa
+++ ±° +
Perinatal
Seksual ± ++ ±° ++
Manifestasi Kilnis
Kadangkala berat Sedang Kadangkala Ringan
Keparahan Ringan
berat
Keterangan tabel
a. Primer dengan koinfeksi HIV dan level tinggi viremia pada index kaus risiko %
; 5
HDV dari infeksi kronis HBV
b. Hingga 5% pada koinfeksi HBV / HDV akut, sampai dengan 20% pada superinfeksi
c. Tergantung populasi
superinfeksi HDV, kekronisan tetap
d. Pada koinfeksi HBV / HDV akut, frekuensi menuju kronis sama seperti HBV pada
;
Anti-HBs + + -/ +
IgM anti Total anti Total anti Total +
Anti-HBc
HBC HBC HBC anti HBC
+ + -/+
Anti-HBe
HBeAg + + h+
HBsAg +
233
# tSSSSSSa* Hepatologi
DIAGNOSIS BANDING
Hepatitis akibat obat, hepatitis alkoholik, penyakit saluran empedu, leptospirosis. 2
TATALAKSANA
• Hepatitis A akut: Terapi suportif.3
• Hepatitis B akut
Hepatitis B akut ringan-sedang: Terapi suportif.6 Tidak ada indikasi terapi anti virus.
Hepatitis B akut berat: pemberian antivirus mungkin dapat dipertimbangkan
Monitor pasien dengan pemeriksaan HBV DNA, HBsAg 3- 6 bulan untuk
mengevaluasi perkembangan menjadi hepatitis B kronik.3
• Hepatitis C akut
Peginterferon alfa- 2a (180 pg) atau alfa- 2 b (1.5 pg kg) seminggu sekali selama
/
12 minggu pada genotipe non 1, pada genotipe 1 selama 24 minggu.
• Hepatitis D akut: Terapi suportif.6 Lamivudine dan obat antiviral, tidak efektif
melawan replikasi virus.3
• Hepatitis E akut: Terapi suportif.
KOMPLIKASI
Hepatitis fulminan, kolestasis berkepanjangan, hepatitis kronik.1
PROGNOSIS
• Hepatitis A akut
Biasanya sembuh komplit dalam waktu 3 bulan, tidak menyebabkan hepatitis virus
-
kronik. Rata rata angka mortalitas < 0,2 %.3
• Hepatitis B akut
Sekitar 95-99% pasien dewasa penderita hepatitis B yang sebelumnya sehat,
sembuh dengan baik. Pada pasien dengan hepatitis B berat sehingga harus dirawat,
rata-rata tingkat kematian sebesar 1% tetapi meningkat pada usia lanjut dan yang
memiliki komorbit. Pada pasien pengguna obat suntik, penderita hepatitis B dan D
secara bersamaan, dilaporkan rata-rata kematian 5%.2 Risiko berkembang menjadi
kronis tergantung pada usia, yaitu: 90% pada bayi, sekitar 30% pada infant, < 10%
pada dewasa.3
• Hepatitis C akut
Sekitar 50-85% berkembang menjadi kronik.3
• Hepatitis D akut
Risiko fulminant hepatitis pada koinfeksi sekitar 5%.6
234
Hepatitis Virus Akut |j?|
j
• Hepatitis E akut
Pada wabah hepatitis E di India dan Asia, rata - rata tingkat kematian adalah 1- 2%
dan 10 - 20% pada wanita hamil . 2,4
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan
• RS non pendidikan
REFERENSI
Sanityoso, Andri. Hepatitis Viral Akut. Dalam : Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M Setiati
,
1.
. .
S, editors Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5th ed Jakarta; Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian
Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2009:644-652 .
,
2 . Acute Viral Hepatitis. Dalam : Fauci A, Kasper D, Longo D, Braunwald E, Hauser S, Jameson J
Loscalzo J editors
,
lh .
. Harrison ' s principles of internal medicine. 18 ed United States of America ;
The McGraw-Hill Companies, 2012.
. Acute Viral Hepatitis Dalam : Ausiello. Goldman. Cecil Medicine 23 edition. Saunders :
. rd
3
Philadhelphia. 2007.
4. .
Liver and Biliary tract. Dalam : McPhee, Stephen J. Papadakis, Maxine A Current Medical
Diagnosis and Treatment. The McGraw Hills Companies. 2011.
5. Lisotti A, Azzaroli F, Buonfiglioli F, Montagnani M, Alessandrelli F, Mazzella G. Lamivudine treatment
for severe acute HBV hepatitis. Int J Med Sci 2008; 5 ( 6) :309-312. Available from http:/ / www .
medsci.org/v05p0309.htm
6. .
Heathcote, J. et all Management of acute viral hepatitis. World Gastroenterology Organisation
,
2007.
7. .
Torbenson M, Thomas DL. Occult Hepatitis B Lancet Infect Dis 2002;2:479-86.
235
236
HEPATITIS B KRONIK
PENGERTIAN
Suatu sindrom klinis dan patologis yg disebabkan oleh virus hepatitis, ditandai
oleh berbagai tingkat peradangan dan nekrosis pada hati, dimana seromarker virus
hepatitis positif pada 2 kali pemeriksaan berjarak 6 bulan.
DIAGNOSIS
Anamnesis
Dapat tanpa keluhan, tetapi dapat juga berupa fatigue, malaise, anoreksia, ikterus
persisten atau intermiten. Faktor risiko penularan virus hepatitis yaitu pengguna
narkoba suntik, infeksi hepatitis B pada ibu, pasangan atau saudara kandung, penerima
transfusi darah, perilaku seksual risiko tinggi, riwayat tertusuk jarum suntik atau
terkena cairan tubuh pasien berisiko.2
Pemeriksaan fisik
Dapat ditemukan hepatomegali, demam subfebris, ikterus ( jarang). Bila telah
terjadi komplikasi, dapat ditemukan asites, ensefalopati, dan hipersplenisme.
Pemeriksaan penunjang2
• Seromarker hepatitis : HBsAg (+), pemeriksaan selama 6 bulan, Anti- HBc ( + ), IgM
- -
anti HBc ( ), Anti- HBs (-)
• Aminotransfe rase meningkat (100-1000 unit), alanin aminotransferase (ALT) lebih
meningkat daripada aspartate aminotransferase (AST), alkali fosfatase normal
atau meningkat ringan.
• Serum bilirubin meningkat (3-10 mg/ dL), hipoalbuminemia, protrombin time
( PT) memanjang.
• USG hati: gambaran penyakit hati kronis ( inhomogen echostructure, permukaan
mulai ireguler, vena hepatika mulai kabur /terputus- putus), sirosis ( parmukaan
hati yang iregular, perenkim noduler, hati mengecil, dapat disertai pembesaran
limpa, pelebaran vena porta) , atau adanya karsinoma hepatoselular.
PanduanPraktik Klinis
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
Hepatitis B Kronik
KRITERIA DIAGNOSTIK
Hepatitis B : dikatakan hepatitis B kronik bila HBsAg positif dalam 2 kali
pemeriksaan berjarak 6 bulan.
DIAGNOSIS BANDING
Perlemakan hati
TATALAKSANA2 6
• Interferon: lx 5 juta unit atau 10 juta unit 3 kali seminggu, subkutan, selama 4-6
bulan untuk HBeAg (+), dan setidaknya 1 tahun untuk pasien dengan HBeAg (-),
bila dengan pegylated interferon baik HBeAg (-) dan HBeAg ( +) diberikan selamal
tahun
• Lamivudine : 1x100 mg
-
• Adefovir dipivoxil . 1 x 10 mg
• PEG IFN a- 2a (monoterapi): 180 gram atau PEG IFN a- 2 b l,5 ug/ KgBB
• Entecavir: 1x0,5 mg
• Telbivudine: 1x600 mg
• Tenofovir: 1x300 mg
• Thymosin 1 selama 6 bulan
• Lamapemberian antivirus tergantung pada status HBeAg pasien ketika memulai
terapi dan target pencapaian HBV DNA serta HBeAg loss
KOMPLIKASI
Sirosis hati, karsinoma hepatoselular.
PROGNOSIS
5-year mortality rate adalah 0-2% pada pasien tanpa sirosis, 14-20 % pada pasien
dengan sirosis kompensasis, dan 70-86% yang dekompensasi. Risiko sirosis dan
karsinoma hepatoselular berhubungan dengan level serum HBV DNA.4
237
Panduan Praktik Klinis Hepatoloqi
C
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia 1^ /
HBsAg ( +)
J
HBV DNA < 20.000 IU/ HBV DNA > 20.000 lU /ml
ml (<105 kopi/ml) (>105 kopi/ml)
ALT normal ALT normal ALT l -2x ULN ALT 2-5x ULN ALT >5x ULN
T T
Pantau HBV Pertimbangkan
DNA , HbeAg, ALT strategi lain
setiap 1 -3 bulan termasuk
transplantasi hati
238
HBsAg (-)
Hepatitis B Kronik
^
g
|
HBV DNA < 2.000 lU/ml HBV DNA > 2.000 lU/ml
|<10' kopi/ml] (> 10' kopi/ml)
ALT normal ALT normal ALT l-2x ULN ALT >2x ULN
I
Biopsi hati jika usia > 40 tahun, terapi
jika pada biopsi tampak fibrosis atau Respon Tidak Respon
I
inflamasi sedang atau membesar
l
Pantau HBV Lanjutkan terapi
DNA, ALT setiap untuk mengenali
1 -3 bulan respon lambat ,
setelah terapi pertlmbangkan
strategi lain
239
(f > N
’4 I '
raklik Klini
Perhimpunan Dokter Speslalis Penyakit Dalam Indonesia
Hepatoloqi
~
HEPATITIS C KRONIK
PENGERTIAN
Suatu sindrom klinis dan patologis yang disebabkan oleh virus hepatitis, ditandai
oleh berbagai tingkat peradangan dan nekrosis pada hati, dimana penanda virus
hepatitis positif pada 2 kali pemeriksaan berjarak > 6 bulan.
DIAGNOSIS
Anamnesis
Umumnya tanpa keluhan, tetapi dapat juga berupa fatigue, malaise, anoreksia.
Faktor risiko: penggunaan narkoba suntik, menerima transfusi darah, tingkat ekonomi
rendah, perilaku seksual risiko tinggi, tingkat edukasi rendah, menjalani tindakan invasif,
menjalani hemodialisis, tertusuk jarum suntik atau terkena cairan tubuh pasien berisiko.2
Pemeriksaan Fisik
Dapat ditemukan hepatomegali, demam subfebris, ikterus [ jarang], Bila telah terjadi
komplikasi, dapat ditemukan asites, ensefalopati, dan hipersplenisme.
Manifestasi ekstrahepatik (cryoglobulinemia, porfiria kutanea tarda, glomerulonefritis
mcmbranoproliferatif , dan sialoadenitis limfositik).2
Pemeriksaan Penunjang
• Seromarker hepatitis (Anti HCV)
• Jumlah virus: HCV RNA kuantitatif dan genotipe
• Enzim hati : SGOT dan SGPT, untukmenilai aktifitas kerusakan hati dan keputusan
pengobatan antivirus
• USG hati: gambaran penyakit hati kronis ( inhomogen echostructure , permukaan
mulai iregular, vena hepatik mulai kabur / terputus- putus], sirosis (parmukaan hati
yang iregular, parenkim noduler, hati mengecil, dapat disertai pembesaran limpa,
pelebaran vena porta ], atau adanya karsinoma hepatoseluler.
• Biopsi hati: untuk mengetahui derajatnekroinflamasi, dianjurkan untuk dilakukan
sebelum memulai terapi antivirus, terapi antivirus sangat dianjurkan diberikan
pada fibrosis F 2 dan F 3 (skor METAVIR).
• Alfa feto protein [AFP], PIVKA-II ( Prothrombine Induced by Vitamin KAbsence ).
• Monitoring tahunan untuk deteksi dini kanker hati dan progresivitas penyakit
SGOT, SGPT tiap 1-3 bulan dan USG abdomen serta AFT per 6 bulan
240
Hepatitis B Kronik
Kriteria Diagnosis
Hepatitis C kronik: anti HCV positif dan HCV RNA terdeteksi dalam 2 kali
pemeriksaan berjarak 6 bulan .
DIAGNOSIS BANDING
Perlemakan hati
TATALAKSANA 4 5
Pada infeksi hepatitis C kronis genotip 1:
• Terapi dengan pegylated interferon (peg- IFN ) dan ribavirin selama 1 tahun - 72
minggu. Peg- IFNa - 2 a 180 g seminggu sekali atau peg-IFNa- 2 b 1,5 mg / kg BB. Bila
-
menggunakan Peg-IFNa 2 a. Dosis ribavirin 1000 mg (BB 75 kg) dan 1200 mg (BB
> 75 mg), bila menggunakan peg- IFNa- 2 b dosis ribavirin ± 15 mg / kg BB, ribavirin
diberikan dalam 2 dosis terbagi.
• Jikaresponvirologis cepat (serum HCV RNA tidak terdeteksi ( < 50 IU / ml) dalam 4
minggu), maka terapi dapat distop setelah 24 minggu, bila HCP RNA < 4 x 105 IU/ ml.
• Jika respon virologis dini (serum HCV RNA tidak terdeteksi (< 50 IU / ml) atau
terjadi penurunan 2 log serum HCV RNA dari level awal setelah 12 minggu), terapi
dilanjutkan sampai 1 tahun.
• Terapi distop jika pasien tidak mencapai respon virologis dini dalam waktu 12 minggu
Pada infeksi hepatitis C kronik genotip 2 dan 3: Interferon konvensional dan ribavirin
atau peg- IFN -dengan ribavirin selama 24 minggu. Dosis Interferon / Feg IFN sama
dengan geotipe 1, hanya dosis ribavirin 800 mg sehari dalam 2 dosis terbagi.
Pada infeksi hepatitis c kronik genotip 4, berikan terapi peg-IFN + ribavirin selama
48 minggu, dosis Peg IFN dan ribavirin sama dengan geotipe 1.
Pantau kemungkinan terjadinya efek samping terapi Ribavirin, yaitu anemia.
Dosis ribavirin sedapat mungkin dipertahankan, bila terjadi anemia dapat diberikan
eritropoietin untuk meningkatkan Hb. Pantau kemungkinan efek samping terapi
interferon, yaitu neutropeni, trombositopenia, depresi, dan lain-lain.
Bagi pasien yang memiliki kontaindikasi penggunaan interferon atau tidak berhasil
dengan terapi interferon maka berikan terapi ajuvan :
• Flebotomi
• Urcedeoxycholic acid (UDCA) 600 mg/ hari
• Glycyrrhizin
• Medikasi herbal: silymarin atau silibinin
241
# SBgBBfflB Hepatologi
KOMPLIKASI
Sirosis hati, karsinoma hepatoselular.
PROGNOSIS
Rata -rata per tahun terjadinya karsinoma hepatoselular pada pasien sirosis dengan
-
infeksi hepatitis C adalah 1 4%, muncul setelah 30 tahun infeksi virus hepatitis C.
Indikator prognosis pada hepatitis C kronis adalah dengan biopsi hati. Pasien dengan
nekrosis dan inflamasi sedang- berat atau adanya fibrosis, progresifitas ke arah sirosis
sangattinggi dalam 10-20 tahun kedepan. Diantara pasien dengan sirosis kompensasi
yang terkait hepatitis C, angka bertahan 10 tahun adalah 80 %, mortality rate 2 - 6 %,
sementara pada sirosis dekompensasi terkait infeksi virus hepatitis C mortality rate
4-5 % / tahun, dan 1- 2 % / tahun pada karsinoma hepatoseluler terkait infeksi virus
hepatitis C.4
HEPATITIS D KRONIK
Hepatitis D kronik biasa mengikuti infeksi hepatitis B. Anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang sama seperti pada hepatitis B.2
TATALAKSANA 2
• Sesuai dengan Hepatitis B kronik
242
Hepatitis B Kronik
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan
• RS non pendidikan : -
REFERENSI
1. . .
Gunawan, Stephanus Soemahardjo, Soewignjo Hepatitis B Kronik. Dalam : Sudoyo A, Setiyohadi
B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5lh ed. Jakarta; Pusat
Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2009:653-661.
2. .
Chronic Viral Hepatitis Dalam : Fauci A, Kasper D, Longo D, Braunwald E, HauserS, Jameson J,
. .
Loscalzo J, editors. Harrison ' s principles of internal medicine 18 th ed United States of America;
The McGraw-Hill Companies, 2012: 2911 - 39
3. .
Liaw YF, Leung N, Kao JH, et al Asian-Pacific consensus statement on the management of chronic
hepatitis B: a 2008 update. Hepatol Int 2008. Available at: http:// www.springerlink.com/content /
du475u12q655175j/ Accessed July 27, 2008.
4. Liver and Biliary tract. Dalam : McPhee , Stephen J. Papadakis, Maxine A . Current Medical
Diagnosis and Treatment. The McGraw Hills Companies. 2011.
5. Asian Pacific Association for the Study of the Liver consensus statements on the diagnosis,
.
management and treatment of hepatitis C virus infection Diunduh dari : http:// onlinelibrary.
.
wiley com/ doi/ 10.1111 /j.l 440- 1746 ,2007.04883.x /pdf pada tanggal 30 mei 2012.
6. Amarapurkar, D. Et all. APASL guidelines on the management chronic hepatitis B. Feb 16-19, 2012
243
244
HEPATOMA
PENGERTIAN
Hepatoma ( hepatocarcinoma/ hepatocellularcarcinoma/ HCC ) merupakan kanker
yang berasal dari sel hati.1 HCC merupakan kanker no. 5 tersering di dunia dan no. 3
yang paling sering menyebabkan kematian. Insidens HCC bervariasi di setiap negara,
secara umum bergantung pada prevalensi penyakit hati kronis, khususnya hepatitis
virus kronis.
Faktor risiko hepatoma dibagi menjadi 2 yaitu :2
• Umum : sirosis karena sebab apapun, infeksi kronis Hepatitis B atau C, konsumsi
etanol kronis, NASH / NAFL, aflatoxin Bx atau mikotoksin lainnya
-
• Lebih jarang: sirosis bilier primer, hemokromatosis, defisiensi antitrypsin , penyakit
penyimpanan glikogen, citrullinemia , tirosinemia herediter, penyakit Wilson
DIAGNOSIS
Anamnesis
Penurunan beratbadan, nyeri perutkanan atas, anoreksia, malaise, benjolan perut
kanan atas, jaundice, nausea.1
Pemeriksaan Fisik
Hepatomegali berbenjol-benjol, stigmata penyakit hati kronik.1
Pemeriksaan Penunjang2
• Laboratorium : anemia, trombositopenia, kreatinin meningkat, prothrombin
time ( PT) memanjang, partial thromboplastin time ( PTT), fungsi hati; aspartat
aminotransferase (AST) dan alanin aminotransferase (ALT) meningkat (AST > ALT),
bilirubin meningkat .
• Serologis: peningkatan Alfa Feto Protein (AFP), AFP- L3, des- y-carboxy prothrombin
( DCP), atau ( PIVKA- 2 ), vitamin B12, ferritin, antibodi antimitokondria, serologis
hepatitis B, dan C.
PanduanPraktikKlinis
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
Hepatoma
DIAGNOSIS BANDING
Abses hati
TATALAKSANA
Algoritma terapi pada hepatoma dapat dilihat lebih lengkap pada gambar 1.
KOMPLIKASI
Ensefalopati hepatikum, ruptur tumor spontan, hematemesis melena, kegagalan
hati.1
PROGNOSIS
Pasien dengan hepatoselular karsinoma dini dapat bertahan selama 5 tahun
setelah dilakukan reseksi, transplantasi hati atau terapi perkutaneus sebesar 50-
70 %. Kekambuhan tetap dapat terjadi walaupun telah dilakukan terapi kuratif.
Kesintasan 1 dan 2 tahun adalah masing-masing 10 - 72 % dan 8-50%. Demikian
-
pula, HCC stadium lanjut dan Child Pugh C mempunyai prognosis yang sangat buruk.
-
Dilaporkan kesintasan untuk 6 bulan sebesar 5% pada HCC stadium Child Pugh C
dengan peritonitis bakteri spontan dan stadium lanjut.12
245
dti: iPrakdk llinls Hepatoloqi
Perhlmpunan DokferSpeslalls Penyakit Dalam Indonesia t
*
Massa < 1 cm pada USG observasi sirosis hatl
i
USG ulang dalam 3-4 bulan kedepan
i
Stabil dalam
i
16-24 bolan Mambesar
i
Kembali ke protokol
I
Tatalaksana
standar Evaluasi sesuai ukuran lesi
USG dalam 6-12 bulan
1
Dua studi pencitraan dinamis
1
Diagnosis HCC
1
Biopsi
Non
1 Ulang biopsi atau
Positif pencitraan lanjutan
diagnostlk (MRI dengan kontras
ft khusus/USG kontras
i
Petubahan
ukuran/profll Non HCC
i
-
i
Ulang biopsi
dan atau
pencitraan
1
Pola vaskular atipikal pada 1 Pola vaskular tipikal
teknik pencitraan dinamis pada 1 teknik
atau AFP > 200ng/mL pencitraan dinamis
1
Diagnosis
1
HCC
Biopsi - Non HCC
1
r
Positif
l
Non
Ulang biopsi atau
pencitraan lanjutan
HCC diagnostik |MRI dengan kontras
khujus /l/SG kontras
t
i
Perubahan
ukuran/profit
1
Ulang biopsi
dan atau
pencitraan
246
Hepatoma
Single < 2 cm
c
< 3 le$i < 3 cm Multinodular Invasi vena porta
PS-0 PS-0 N1M1 PS 1-2
i
Kemoembol Sorafenlb
Y
Normal Pehydklt ferkait v
Terapi
simptomatlk
Tidak Ya
l I
Reseksi OLT PEI/RFA
Gambar 2. Skema Stadium dan Strategi Tatalaksana Hepatoma berdasarkan Barcelona Cancer
of the Uver Clinic (BCLC). 3
247
A
'• 4 ) r
PnduanPraktik Klims Hepatoloqi
Pertimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
* v
-'
Klasifikasi dan stadium Hepatoma dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Stadium Hepatoma Menurut Berbagai Klasifikasi
Klasifikasi Tip
* Stadium Referent!
Stadium Okuda'1 Sistem 3 Stadium 1,11,111 7
French5 Nilai 3 A : 0 point 26
B : 1 -5 point
C : > 6 point
CUP 4 Nilai 7 0, 1, 2, 3. 4, 5, 6 27
Stadium BCLC 7 Stadium 5 0 : Sangat dini 11
A : Dini
B : Sedang
C : Lanjut
D : Stadium akhir
CUPI8 Nilai 3 Risiko rendah : nilai < 1 28
Sedang : 2-7
Risiko tinggo : > 8
Stadium TNM9 Sistem 3 Stadium I, II, III 29
JIS °' Nilai 4 Stadium I, II, III, IV 30
ER" Sistem 2 ER wild type 31
ER variant
UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : Divisi Kardiologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam ,
Departemen Bedah, Divisi Bedah Digestif, Radiologi
Intervensi
• RS non Pendidikan : Bagian Bedah, Bagian Radiologi
REFERENSI
1. Webster ' s New World Medical Dictionary. 3rd Edition. Wiley Publishing. 2008.
. 2. Carr Bl. Tumors of the Liver and Biliary Tree. In : Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson
. ,
JL, Loscalzo J. Harrison ' s Principles of Internal Medicine 18 hEdition. New York, McGraw-Hill. 2012.
3. Sherman M. Primary Malignant Neoplasms of the Liver. In : Dooley JS, Lok ASF, Burroughs AK,
et al. Sherlock ' s Diseases of the Liver and Biliary System. 12lh Edition. United Kingdom: Blackwell
Publishing Ltd. 2011 . Hal 681 -95.
248
Hepatoma
.
4. Gtata 1C OMsuW 1» Obata H, Tomimatsu M, Okazaki N, Haregawwa H eft dL Natural history of
^
jfj
249
250
IKTERUS
DEFINISI
Ikterus adalah warna kuning pada jaringan tubuh karena deposit bilirubin . 2
Terlihatnya ikterus jika level bilirubin > 3 mg/ dL2 (tergantung dari warna kulit2).
Ikterus diklasifikasikan menjadi tiga kategori, tergantung pada bagian mana dari
mekanisme fisiologis mempengaruhi patologi. Klasifikasi ikterus tersebut adalah :
1. Pra - hepatik: Patologi yang terjadi sebelum hati.
2 . Hepatik: Patologi terletak di dalam hati .
3. Post-hepatik: Patologi terletak setelah konjugasi bilirubin dalam hati .
DIAGNOSIS
Anamnesis1
• Penggunaan obat- obatan jangka panjang seperti anabolik steroid, vitamin, herbal,
dll.
• Riwayat penggunaan obat- obatan suntik, tato, aktivitas seksual risiko tinggi
• Riwayat konsumsi makanan dengan kontaminasi yang tidak baik, konsumsi alkohol
jangka panjang
• Atralgia, mialgia, rash , anoreksia, berat badan turun, nyeri perut, pruritus, demam,
perubahan warna urin dan warna feses
Pemeriksaan Fisik1
• Stigmata penyakit hati kronis: spider nevi , palmar eritema, gynecomastia, caput
medusa.
• Atrofi testis pada sirosis hepatis dekompensata.
• Pembesaran kelenjar limfe supraclavicular atau nodul periumbilical : curiga
keganasan abdomen
• Distensi vena jugular, gejala gagal jantung kanan: pada kongesti hati
• Efusi pleura kanan, ascites: pada sirosis hati dekompensata
• Hepatomegali , splenomegali
PanduanPraktfk Minis
Perhlmpunan Dokier SpesiaBs Penyakit Dalam Indonesia
Ikterus
Laboratorium1 2
• Darah : Alkalin fosfatase ( ALP) , Aspartat aminotranferase ( AST ) , Alanin
Aminotransferase ( ALT) , bilirubin total , konjugasi bilirubin , bilirubin tak
terkonjugasi, albumin, protrombim time ( PT)
• Urin: urobilinogen, bilirubin urin
Tabel 1. Klaslfikasi Ikterus3
Ikterus
Tes fungsl
Pra hepatlk hepatlk Pos hepatlk
Bilirubin total Normal/ meningkat Meningkat Meningkat
Bilirubin terkonjugasi ( direct ) Meningkat Normal Meningkat
Bilirubin tak terkonjugasi ( indirect ) Meningkat Normal/meningkat Normal
Urobilinogen Meningkat Normal/ meningkat Menurun atau
negatif
Warna urine Normal Gelap Gelap
Warna feses Normal Normal Pucat
Alkaline fosfatase Normal Meningkat Meningkat
Alanin aminotransferase dan Normal Meningkat Meningkat
aspartat aminotransferase
Bilirubin terkonjugasi dalam urin Tidak ada Ada Ada
Penyakit yang berhubungan Malaria, spherositosis, Hepatitis virus, sirosis Batu saluran
anemia hemolitik, bilier primer empedu, kanker
sickle cells anemia pancreas, kanker
saluran empedu
DIANOSIS BANDING
Hiperkarotenemia
TATALAKSANA1
1. Tatalaksana suportif : koreksi cairan dan elektrolit, penurun demam ( jika disertai
demam ), dan lain lain .
2 . Tatalaksana sesuai dengan penyakit yang mendasari, dapat dilihat pada bab
malaria, hepatitis virus akut, sirosis hati, batu sistem bilier.
KOMPLIKASI
Sepsis, komplikasi lain sesuai dengan penyakit penyebabnya .
PROGNOSIS
Prognosis tergantung penyakit penyebabnya, lebih lengkap dapat dilihat pada bab
malaria , hepatitis virus akut, sirosis hati, batu sistem bilier, dan lain lain .
251
Hepatologi
i
1
Iteritatftedl Bfrubin dcwi tes ftuirnjpi ttnnfii
dtewaffiiorrn tta'ilhiuttjfmi kwirrya merrfinigjfantt
l
f 1 f
^
ndiek (direUc < 1K5)
-
' ftpefhillr tirrer iic, Mipsitbllliubinemia Pola hepatoseMer :
Wn/tai Itatlefltnfllk <W
diiek Jdftek > 15%) peningkatan ALT/ AST
tHlluioir [pmnpicmii ASKWII
i I
diluar proporsi ALP
1
,
1
syindlrofnn®
< 40 tahun)
4. ANA, SMA. LKM. SPB>
1«
ICdtanmami KneirmnlBk.. CT/HMDP//tMlBDP Ttemndtaffls ::
erihopaoeas iimelfeMlf /WMtA,s£n®ttmgj&
.
HiffipmHHa IHtepA,
Tes vkologct
lambahan : CMV
DMtCW '
DNA, EBV capsid
.
antigen Hep D
antibody (jlca ada
indikasi). Hep E IgM SbqprilMioffi
( jika ada indicasi)
1"
Hops!hafl
UNIT TERKATT
• RS pendidikan : Departemen Bedah, Divisi Bedah Digestif
• RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Bagian Bedah
REFERENSI
l. Jaundice. Ddtatnrn : Fauai A. Kasper D, Longo D, Braunwaid E, Hauser 3., Jameson J„ Loscaitao J,
editors. Harrison 's ptiinvdptes of internal medicine. 18,h ed. United States of Armetiica;lifoe McGrawv-
Hi Companies, 2012.
2. Liver and Bifictiy tract Dakim : McPhee, Stephen J. Papadakis, Mtat»ine A. Current tvtediDdl
Diagnosis anal Tireaflmeml Ihe McGraw Hills Companies. 2011
3. Approach to palfenf with jaundice or abnormal liver test results.Dataim :: Ausiello. Goldman. Cecil
Medicine 23rd edition. Saunders : Philadhelphia. 2007.
252
253
KOLANGITIS
PBiGERTIAN
Kollamgittiis adalab inflamasi dan infeksi pada saluran empedu yang paling sering
diisefeabkam aUi karena koledokolitiasis. Penyebab lain antara lain karena intervensi/
nmamipiuillasi dam pemasangan stent, keganasan hepatobilier, hepatolitiasis.13 Kuman
tterseriinig pemydbab infeksi yaitu Escherichia coli, Klebsiella, Enterococcus Sp, dan
BadtemMes Jfmgilis..4 Ada 2 jenis kolangitis yaitu primary sclerosing cholangitis dan
secondary sclerosing cholangitis. Pada bab ini akan dibahas mengenai secondary
sclerosing cholangitis Secondary sclerosing cholangitis disebabkan oleh5
• Trauma saat operas!
• Iskemmia imisalnya trombosis arteri hepatik setelah transplantasi, atau kemoterapi
trams arterial
Bata kamdumg empedu
• Infeksi baktteri/Vinis (sitomegalovirus, kriptosporidiosis, sepsis berat)
• Lmka camstiic misalnya pada terapi formalin untuk kista hidatid
• Ramkireatiittiis autoimun berhubungan dengan IgG4
» Kejjamasam
• Pemyakit latti polikistik
-
• Slmosis
Kistik fibrosis
DIAGNOSIS
AiKMmesis
Nyeri abdomen yang dirasakan tiba-tiba dan hilang-timbul, dapat disertai dengan
mengjgDgBl dam kaku. Riwayat koledokolitiasis atau manipulasi traktus bilier.4
Pemeriksoan fisic
Rada pasiem usia lanjut dapat terjadi perubahan status mental, konfusi, letargi,
atau delirium. Trias Charcot terdiri dari nyeri abdomen kuadran kanan atas, ikterik,
Pcftmipiiimnnn QMUter
^raa inilB Mbm flmdtomesb
'
CT£ PanduanPrakUk Minis
III
• Perhimpunan Dokfer Spcsialis Penyakit Dalarn Indonesia
Hepatologi
/
dan demam. Perubahan status mental disertai hipotensi dan Trias Charcot dikenal
dengan Reynolds’ pentad yang bisa terjadi pada kolangitis supuratif berat. 4
Pemeriksaan Penunjang4
• DPL: leukositosis
• Fungsi hati : hiperbilirubinemia, peningkatan alkali fosfatase, enzim transaminase,
serum amilase jika ada pankreatitis.
• Kultur darah : positif pada 50 % kasus
• Kultur empedu : positif hampir pada semua kasus.
• Ultrasonografi abdomen: untuk diagnosis dan terapeutik
• Endoscopic retrograde cholangiopancreatography ( ERCP)
• Percutaneous transhepatic cholangiography ( PTC)
DIAGNOSIS BANDING
Primary sclerosing cholangitis, infeksi
TATALAKSANA4
• Hidrasi dengan cairan intravena dan koreksi ketidakseimbangan elektrolit
• Antibiotik :
Derivat penisilin (piperasilin) : untuk gram negatif
Sefalosporin generasi II atau III (ceftazidim): untuk gram negative, cefoksitin
2 gram intravena setiap 6-8 jam
Ampisilin untuk gram positif
Metronidasol untuk kuman anaerob
Fluorokuinolon (siprofloksasin, levofloksasin)
Keadaan umum pasien akan membaik dalam 6-12 jam setelah pemberian
antibiotik dan dapat diatasi dalam 2-3 hari. Jika dalam 6-12 jam tidak membaik,
harus segera dilakukan tindakan dekompresi secepatnya.
• Dekompresi dan drainase sistem bilier: jika tekanan dalam bilier meningkat karena
adanya obstruksi
Non operatif
° Percutaneous cholecystostomy
° Percutaneous transhepatic biliary drainage ( PTBD ): tindakan drainase
bilier tanpa operasi.
Drainase bilier dengan pemasangan NBT ( Naso Billiary Tube] atau Stent
0
254
Kolangitis |p
KOMPLIKASI
Sepsis, kematian
PROGNOSIS
Angka kematian bervariasi antara 13- 88 %.
REFERENSI
1 . .
Lee JG Diagnosis and management of acute cholangitis. Nat Rev Gastroenterol Hepatol . Aug
4 2009
2. .
Esmaeilzadeh M, Ghafouri A, Mehrabi A Various techniques for the surgical treatment of common
.
bile duct stones: a meta review. Gastroenterol Res Pract 2009:2009:840208.
3. Li FY, Cheng NS, Mao H, Jiang LS, et al. Significance of controlling chronic proliferative cholangitis
in the treatment of hepatolithiasis. World J Surg. Jul 30 2009: Diunduh dari http://www.wjgnet.
com/ 1007-9327 / 15 / 95.asp pada tanggal 22 Mei 2012.
4. Wang D, Afdhal N. Gallstone Disease. In : Feldman M, Friedman L, Brandt L. Sleisenger and
Fordtran ' s Gastrointestinal and Liver Disease: Pathophysiology/Diagnosis /Management. 9lh ed .
USA: Elsevier. Chapter 65.
5.
, .
Rushbrook S, Chapman RW. Sclerosing Cholangitis In: Dooley J, Lok A, Burroughs A, Heathcote
E Diseases of the Liver and biliary System. 12 h ed. UK : Blackwell Science.p 342-352
255
256
KOLESISTITIS
PENGERHAN
Kolesistitis akut adalah reaksi inflamasi kandung empedu dengam/atau tanpa
adanya batu, akibat infeksi bakterial akut yang disertai keluhan nyeri pernt kanan
atas, nyeri tekan dan panas badan. Faktor yang mempengaruhi terjadinya kolesistitis
akut yaitu statis cairan empedu, infeksi kuman, dan iskemia dindimg kamdumg
empedu. Kuman yang tersering menyebabkan kolesistitis akut yaitu EColi Strep.
Fecalis, Klebsiella, anaerob ( Bacteroides dan Clostridia); kuman akan mendekonjjugpsi
garam empedu sehingga menghasilkan asam empedu toksik yang memmsak mukosa.
Penyebab utarna adalah batu kandung empedu yang terletak di duktus sisltiikims sebingga
menyebabkan statis cairan empedu, sedangkan sebagian kecil kasus timbul taupa
adanya batu empedu (kolesistitis akut akalkulus) seperti karena reguurgitasi enzimn
.
pankreas. Wanita obesitas, dan usia lebih dari 40 tahun akan lebib serinig terkena.1'2
DIAGNOSIS
Anamnesis
Nyeri epigastrium atau perut kanan atas yang dapat menjalar ke daeirah pundak,
skapula kanan dapat berlangsung sampai 60 menit tanpa reda, disertai demam.1
Nyeri dapat dirasakan tengah malam atau pagi hari, penjalaran dapat ke sisi kniri
menstimulasi angina pektoris. Nyeri timbul dipresipitasi oleh makaman ttiuggi lemak,
palpasi abdomen, atau yawning. 2
Pemeriksaan Rsk
Peningkatan suhu tubuh mengindikasikan adanya infeksi kuinai. Posisi pasien
akan menekuk badannya, teraba massa kandung empedu, nyeri tekan disertai tanda-
tanda peritonitis lokal, tanda Murphy (+), ikterik biasanya menunjukkan adanya batu
di saluran empedu ekstrahepatik1
m PemtTiirmffiiuiTTioini Dtartdterr
( FFtemjpnikilt imcdtaimTi IbraltniieMi
Kolesistitis
Pemeriksaan Penunjang1 2
• Laboratorium: DPL (leukositosis ), SGOT, SGPT, fosfatase alkali , bilirubin meningkat
( jika kadar bilirubin total > 85.6 mol / L atau 5 mg / dl dicurigai adanya batu di
duktus koledokus), kultur darah
• USG hati: penebalan dinding kandung empedu ( double layer) pada kolesistisis
akut, sering ditemukan pula sludge atau batu
• Cholescintigraphy
DIAGNOSIS BANDING
Angina pektoris, infark miokard akut, apendisitis akut retrosaekal, tukak peptik
perforasi, pankreatitis akut, obstruksi intestinal 2
TATALAKSANA
257
w fSSSJSmSS. Hepatologi
Pemberian diet rendah lemak pada kondisi akut atau nutrisi parsial/ parenteral
bila asupan tidak adekuat
Hidrasi kecukupan cairan tambahkan hidrasi intravena sesuai klinis
Pengobatan suportif (antipiretik, analgetik, pemberian cairan infus dan
mengoreksi kelainan elektrolit]
Antibiotika parenteral: untuk mengobati septikemia dan mencegah peritonitis
dan empiema.
Anibiotikyangbersprektrum luas seperti golongan sefalosporin, dan metronidazol
Kolesistektomi awal lebih disarankan karena menurunkan morbiditas dan
mortalitas. Jika dilakukan selama 3 hari pertama, angka mortalitas 0.5 %. Ada
juga yang berpendapat dilakukan setelah 6-8 minggu setelah terapi konservatif
dan keadaan umum pasien lebih baik.
KOMPLIKASI
Gangren / empiema kandung empedu, perforasi kandung empedu , fistula ,
peritonitis umum, abses hati, kolesistitis kronik 2
PROGNOSIS
Penyembuhan total didapatkan pada 85% kasus, sekalipun kandung empedu
menjadi tebal, fibrotik, penuh dengan batu, dan tidak berfungsi lagi. Tidak jarang
menjadi rekuren, maksimal 30 % akan rekuren dalam 3 bulan ke depan. Pada 50 %
kasus dengan serangan akut akan membaiktanpa operasi, dan 20 % kasus memerlukan
tindakan operasi. Tindakan bedah akut pada usia lanjut [ > 75 tahun] mempunyai
prognosis yang buruk.2 Pencegahan kolesistitis akut dengan memberikan CCK 50 ng/
kg intravena dalam 10 menit, terbukti mencegah pembentukan sludge pada pasien
yang mendapatkan total parenteral nutrition.3
258
Kolesistitis
KOLESISTITIS KRONIK
PENGERTIAN
Kolesistitis kronik adalah inflamasi pada kandung empedu yang berlangsung lama
dan berhubungan dengan adanya batu di kandung empedu, kolesistitis akut atau subakut
yang berulang, atau iritasi dinding kandung empedu karena batu. Adanya bakteria di
dalam empedu ditemukan pada > 25 % pasien dengan kolesistitis kronik.4
DIAGNOSIS
Anamnesis
Gejala sangat minimal dan tidak menonjol seperti dispepsia, rasa penuh di
epigastrium, dan nausea setelah makan makanan berlemak. Perlu ditanyakan riwayat
batu empedu dalam keluarga, ikterus, kolik berulang. 2
Pemeriksaan Fisik
Ikterus, nyeri tekan pada daerah kandung empedu, tanda Murphy (+ ) 2
Pemeriksaan Penunjang'
• Ultrasonografi: melihat besar, bentuk, penebalan dinding kandung empedu, batu
dan saluran empedu ekstra hepatik. Nilai kepekaan dan ketepatan USG mencapai
90 -95 %
• MRCP ( Magnetic Resonance Choledochopancreaticography ): melihat adanya batu
di kandung empedu dan duktus koledokus
• -
ERCP ( Endoscopy Retrogade Choledochopancreaticography). bisa digunakan juga
untuk terapi
• Kolesistografi oral: gambaran duktur koledokus tanpa adanya gambaran kandung
empedu
DIAGNOSIS BANDING
Intoleransi lemak, ulkus peptik, kolon spastik, karsinoma, kolon kanan, pankreatitis
kronik, dan kelainan duktus koledokus.2
TATALAKSANA
Jika gejala + dengan /tanpa batu empedu : kolesistektomi2
259
trS h»duan Prakllk Kllnls Hepatoloqi
Pettwnpunan Dokler Spesiais Penyakit Dalam Indonesia I
KOMPLIKASI
Keganasan kandung empedu, jaundice , pankreatitis, empiema dan hydrops,
gangren, perforasi, pembentukan batu kandung empedu dan fistula.3 4
PROGNOSIS
Angka rekurensi mencapai 40 % dalam 2 tahun. Jarang menjadi karsinoma kandung
empedu dalam perkembangan selanjutnya.2
REFERENSI
i. Pridady. Kolesistitis. Dalam Dalam: Suyono, S. Waspadji, S. Lesmana, L. Alwi, I. Setiati, S. Sundaru,
H. dkk. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi V . Jakarta: Interna Publishing; 2010. Hal.718-726
2. Sherlock S, Dooley J. Gallstones and Benign Biliary Disease. In: Dooley J, Lok A , Burroughs A,
Heathcote E. Diseases of the Liver and biliary System. 12th ed. UK : Blackwell Science. P257-293
3. Andersson KL, Friedman LS. Acalculous Biliary Pain, Acalculous Cholecystitis, Cholesterolosis,
Adenomyomatosis, and Polyps of the Gallbladder. In :Feldman M, Friedman L, Brandt L. Sleisenger
and Fordtran ' s Gastrointestinal and Liver Disease: Pathophysiology / Diagnosis /Management 9lh .
ed. USA: Elsevier. Chapter 67.
4. Greenberger NJ. Diseases of the Gallbladder and Bile Ducts. In: Fauci AS, Kasper DL, Longo DL,
Braunwald E, Lauser SL, Jameson JJ, et al, eds. Fiarrison' s Principles of Internal Medicine. Edisi
ke-17. New York: McGraw-Hill 2008. Chapter 311.
260
261
PENGERTIAN
Penyakit perlemakan hati non alkoholik ( NAFLD / Non Alcoholic Fatty Liver atau NASH/
Non Alcoholic Steatohepatitis ) merupakan suatu sindrom klinis dan patologis akibat
perlemakan hati, ditandai oleh berbagai tingkat perlemakan, peradangan dan fibrosis
pada hati. Perlemakan hati (Fatty liver atau steatosis) merupakan suatu keadaan
adanya lemak di hati (sebagian besar terdiri dari trigliserida) melebihi 5% dari
seluruh berat hati yang disebabkan kegagalan metabolisme lemak hati dikarenakan
defek di antara hepatosit atau proses transport kelebihan lemak, asam lemak, atau
karbohidrat karena melebihi kapasitas sel hati untuk sekresi lemak. Kriteria non
alkoholik disepakati bahwa konsumsi alkohol 20 gram / hari. Terjadinya perlemakan
hati melalui 4 mekanisme yaitu :1 Z
• Peningkatan lemak dan asam lemak dari makanan yang dibawa ke hati.
• Peningkatan sintesis asam lemak oleh mitokondrial atau menurunnya oksidasi
yang meningkatkan produksi trigliserida
• Kelainan transport trigliserid keluar dari hati
• Peningkatan konsumsi karbohidrat yang selanjutnya dibawa ke hati dan dikonversi
menjadi asam lemak.
Faktor risiko : obesitas, diabetes melitus, hipertrigliserida, obat-obatan (amiodaron,
tamoksifen, steroid, estrogen sintetik), dan toksin (pestisida ).3 Berdasarkan tingkat
gambaran histopatologikada beberapa perjalanan ilmiah penyakit ini yaitu perlemakan
hati sederhana, steatohepatitis, steatohepatitis yang disertai fibrosis dan sirosis.
Hipotesis terjadinya NAFLD yaitu :2
• First Hit
terjadi akibat penumpukan lemak di hepatosit akibat peningkatan lemak bebas
pada dislipidemia, obesitas, diabetes mellitus. Bertambahnya asam lemak bebas
di dalam hati akan menimbulkan peningkatan oksidasi dan esterifikasi lemak
pada mitokondria sel hati sehingga pada akhirnya akan meningkatkan kerusakan
mitokondria itu sendiri12
• Second Hit
peningkatan stres oksidatif dapat terjadi karena resistensi insulin, peningkatan
-
endotoksin di hati, peningkatan aktivitas un coupling protein mitokondria, pe-
ningkatan aktivitas sitokrom P 450, peningkatan cadangan besi, dan menurunnya
aktivitas anti oksidan. Ketika stres oksidatif yang terjadi melebihi kemampuan
perlawanan anti oksidan, maka aktifasi sel stelata dan sitokin pro inflamasi akan
berlanjutdengan inflamasi progresif, pembengkakan hepatosit dan kematian sel,
pembentukan badan Mallory, serta fibrosis. 1,2
DIAGNOSIS
Anamnesis
Umumnya pasien tidak menunjukkan gejala atau tanda -tanda penyakit hati,
Beberapa pasien mengeluhkan rasa lemah, malaise, rasa mengganjal di perut kanan
atas. Riwayat konsumsi alkohol, riwayat penyakit hati sebelumnya.2
Pemeriksaan Fisik
Dapat ditemukan adanya kelebihan berat badan, hepatomegali, komplikasi sirosis
yaitu asites, perdarahan varises. Sindrom resistensi insulin : obesitas (lemak viseral ).12
Pemeriksaan Penunjang2 4
• Fungsi hati : peningkatan ringan (< 4 kali) AST (aspartate aminotransferase ), ALT
[ alanine aminotransferase ). AST > ALT pada kasus hepatitis karena alkohol .
• Alkali fosfatase, gamma GT [glutamil transferase) : dapat meningkat
• Bilirubin serum, albumin serum, dan prothrombin time: dapat normal, kecuali
pada kasus NAFLD terkait sirosis hepatis.
• Gula darah, profil lipid, seromarker hepatitis.
• ANA, anti ds DNA : titer rendah ( < 1 : 320)
• USG: gambaran bright liver
• CT Scan
• MRI : deteksi infiltrasi lemak
• Biopsi hati : baku emas diagnosis. Ditemukan 5-10 % sel lemak dari keseluruhan
hepatosit, peradangan lobulus, kerusakan hepatoselular, hialin Mallory dengan
atau tanpa fibrosis. Kegunaan biopsy hati : membedakan steatosis non alkoholik
dengan perlemakan tanpa atau disertai inflamasi, menyingkirkan etiologi penyakit
hati lain, memperkirakan prognosis, dan menilai progresi fibrosis dari waktu ke
waktu. Grading dan staging NAFL :
262
Penyakit Perlemakan Hati Non Alkohol
DIAGNOSIS BANDING
Hepatitis B dan C kronik, penyakit hati autoimun, hemokromatosis, Penyakit
Wilson ’s, defisiensi a1 antitripsin1
TATALAKSANA
Non farmakologis
Mengontrol faktor risiko : penurunan berat badan, kontrol gula darah, memperbaiki
profil lipid, memperbaiki resistensi insulin, mengurangi asupan lemak ke hati, dan olah
raga2,3
263
'
tirS
VMV
; Panduan PraktikKlinis Hepatoloqi
PerhlmpunanDoklerSpesialisPenyakilDalam Indonesia
* C /
Farmakologis
• Antidiabetik dan insulin sensitizer: 2 3
metformin 3x500 mg selama 4 bulan didapatkan perbaikan konsentrasi AST dan
ALT, peningkatan sensitivitas insuin, dan penurunan volume hati. Cara kerja:
meningkatkan kerja insulin pada sel hati dan menurunkan produksi glukosa
hati melalui penghambatan TNF-a.
• Tiazolidindion (pioglitazon) : memperbaiki kerja insulin di jaringan adipose.5
• Obat anti hiperlipidemia 23
Gemfibrozil: perbaikan ALT dan konsetrasi lipid setelah pemberian 1 bulan
- Atorvastatin: perbaikan parameter biokimiawi dan histologi
• Antioksidan 2'3,5
Tujuan: mencegah steatosis menjadi steatohepatitis dan fibrosis
- Vitamin E, vitamin C, betain, N-asetilsistein.
- Vitamin E 400, 800 IU / hari dapat menurunkan TGF- p, memperbaiki inflamasi
dan fibrosis, perbaikan fungsi hati dengan cara menghambat produksi sitokin
oleh leukosit.
Betain berfungsi sebagai donor metil pada pembentukan lesitin dalam siklus
metabolik metionin, dengan dosis 20 mg / hari selama 12 bulan terlihat
perbaikan bermakna konsentrasi ALT, steatosis, aktivitas nekroinflamasi, dan
fibrosis.
Ursideoxycholic acid (UDCA) adalah asam empedu yang mempunyai efek
imunomodultor, pengaturan lipid, efek sitoproteksi. Dosis 13-15 mg/ kg berat
badan selama satu tahun menunjukkan perbaikan ALT, fosfatase alkali, gamma
GT, dan steatosis tanpa perbaikan bermakna derajat inflamasi dan fibrosis. 2
KOMPLIKASI
Sirosis hati, karsinoma hepatoselular 3
PROGNOSIS
Pada 257 pasien NAFL yang dipantau selama 3,5 tahun sampai 11 tahun melalui
biopsi hati, didapatkan 28 % mengalami kerusakan hati progresif, 59 % tidak mengalami
perubahan, dan 13 % membaik. Pasien steatohepatitis non alkoholik memiliki kesintasan
yang lebih pendek yaitu 5-10 tahun, kesintasan 5 tahun hanya 67% dan kesintasan 10
tahun 59%. Banyak faktor yang mempengaruhi mortalitas yaitu obesitas, diabetes melitus
dan komplikasinya, komorbiditas lain yang berkaitan dengan obesitas, serta kondisi hati
sendiri.2
264
Penyakit Periemakan Hati Non Alkohol ®g|
REFERENSI
11 . Shotlock:S, Oodtey JL INtanHdicahafc Fatty ILihrer Disease amid Nutrition. In: Dooley J, LokA, Burroughs
,
A, IHteotlhcol Diseases olf line iLiraor and Wary System. 12 hed. UK : Blackwell Science. P 546 567 -
2 . .
Hnsm Item Porltemalism Mafi iNim AJIkdhdI. Ddtanni: Suryorno, S. Waspadji, S. Lesmana, L. Alwi, I.
A]mlirTOPmyWtDolarn. Jfliidill- Edisi V. Jakarta: Interna Publishing;
20ML HdL&25-roil
3. Kaftan M. INtoimdlcoltiiolfc steafohepatife JNASH)). Diuffiduh dari http: / / www.u ptodate com / .
contteBte//pciiieirntHWoiriiiMrtic!)rHnt(mallco)hdric-$tfeato!hepatitis -nash-beyond- the -basics pada
Itamggdl 22 Moi 20112
4. Reiid AE. INtandiooltitenc ffottlly liwer dfeease. h : ifelldinnian !M , Friedman L, Brandt L. Sleisenger and
tadfcmi's Gasltuoir»ttesfin»dl and ILwer Disease:Pattlbophysitek>gy/Diagnosis / Management. 9 ed.
' lh
265
266
SIROSIS HATI
PENGERTIAN
Sirosis adalah penyakit hati kronis yang ditandai dengan hilangnya arsitektur lobulus
normal oleh fibrosis, dengan destruksi sel parenkim disertai dengan regenerasi yang
membentuk nodulus. Penyakit ini memiliki periode laten yang panjang, biasanya diikuti
dengan pembengkakan abdomen dengan atau tanpa nyeri, hematemesis, edema dan
ikterus. Pada stadium lanjut, gejala utamanya berupa asites Jaundice, hipertensi portal,
dan gangguan sistem saraf pusat yang dapat berakhir menjadi koma hepatikum.1 3 '
,
Penyakit hati metabolik diturunkan : hemokromatosis, penyakit Wilson, defisiensi a -antitripsin,
fibrosis kistik
Sirosis kriptogenik
DIAGNOSIS
Anamnesis4
• Perasaan mudah lelah dan berat badan menurun
• Anoreksia, dispepsia
• Nyeri abdomen
• Jaundice, gatal, warna urin lebih gelap dan feses dapat lebih pucat
• Edema tungkai atau asites
• Perdarahan : hidung, gusi, kulit, saluran cerna
• Libido menurun
• Riwayat: jaundice , hepatitis, obat- obatan hepato toksik, transfusi darah
PanduanPraktik Minis
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
Sirosis Hati &
• Kebiasaan minum alkohol
• Riwayat keluarga : penyakit hati, penyakit autoimun
• Perlu juga dicari gejala dan tanda :
Gejala awal sirosis (kompensata ):
Perasaan mudah lelah dan lemas, selera makan berkurang, perasaan perut
kembung, mual , berat badan menurun.
Gejala lanjut sirosis (dekompensata]:
Bila terdapat kegagalan hati dan hipertensi portal , meliputi hilangnya rambut
badan , gangguan tidur, demam subfebris, perut membesar. Bisa terdapat
gangguan pembekuan darah, perdarahan gusi, epistaksis, hematemesis melena,
ikterus , perubahan siklus haid, serta perubahan mental . Pada laki - laki dapat
impotensi , buah dada membesar, hilangnya dorongan seksualitas .
Pemeriksaan Fisik2 4
• Status nutrisi , demam, fetor hepatikum, ikterus, pigmentasi, purpura, clubbing
finger, white nails, spider naevi , eritema palmaris, ginekomastia, atrofi testis,
distribusi rambut tubuh, pembesaran kelenjar parotis, kontraktur dupuytren —
(dapat ditemukan pada sirosis akibat alkoholisme namun dapat juga idiopatik) ,
hipogonadisme, asterixis bilateral , tekanan darah .
• Abdomen: asites, pelebaran vena abdomen, ukuran hati bisa membesar / normal /
kecil, splenomegali
• Edema perifer
• Perubahan neurologis: fungsi mental, stupor, tremor
Pemeriksaan Penunjang2 4
1. Laboratorium :
a . Tes biokimia hati
• SGOT / SGPT: dapat meningkat tapi tak begitu tinggi, biasanya SGOT lebih
meningkat dari SGPT, dapat pula normal
• Alkali fosfatase: dapat meningkat 2 - 3x dari batas normal atau normal
• GGT: dapat meningkat atau normal
• Bilirubin: dapat normal atau meningkat
• Albumin : menurun
• Globulin meningkat : rasio albumin dan globulin terbalik
• Waktu protrombin: memanjang
2S7
Q EKSHHSfJH! Hepatologi
b. Laboratorium lainnya
Sering terjadi anemia, trombositopenia, leukopenia, ndnpsiia riikaiiltkan demgain
hipersplenisme. Bila terdapat asites, periksa eiektroht. ureum. kreatnran,, timhamg
setiap hari, ukur volum urin 24 jam dan ekskresi natrium urin.
2 . Pencitraan
• USG : sudut hati, permukaan hati. ukuran,homogenitas, dan ada tidaknya massa,
pada sirosis lanj ut hati mengecil dan nodular; permukaan iregulei; peningkatara
ekogenitas parenkim hati, vena hepatika sempit dan berkelok-kelok.
• Transient Elastography (fibroscan®]
• CT scan : informasi sama dengan USG biaya relatif mahal, MRI
• EEG bila ada perubahan status neurologis
3. esofagugastroduodenoskopi, staining varises esofagus.
4. Biopsi hati : Algoritma biopsi pada pasien dengan hepatitis virus kronis dapat
dilihat pada gambar 1.
5. Cek AFP untuk skrining hepatoma.
6. Mencari etiologi : serologi hepatitis ( HbsAg. anti HCV), hepatitis autoimun (ANA,,
antibodi anti-smooth muscle ), pemeriksaan Fe dan Cu ( atas kecurigaan adanya
penyakit Wilson ], pemeriksaan a -antitripsin (atas indikass pada yang memiliki
riwayat merokok dan mengalami PPOK), biopsi hati.
1
Lakukan 2 tes fibrosis inominwasffi
I
* A
"
I
Biopsi hanya bila hasilnya
l
BoMi adcnrya
i 1
-
Host rmrltemnneidfoitte
akan mempengaruhi fibrosis irfograni [lR2 3[ F4
1 I
tatalaksana
1
Biiopai fiddle Bibpsii hamyra Mia Biopsi fidok
ditaMcan haHltnrya dkom dflMnutara
mempeogainuM
takrtaiksoina
268
Sirosis Hati
AltaM
modular ^
Maio nmakiiiD -H- ± ± ± +
/MlkramodUlnir ± +
(tea's
IBemjfdtaif
'
(MtaltaonodU- ± ± ± + +
WMIboni liar
Offiffisiemai o,- /Miltau//inmnkir<n> ± ± ± ± + ±
omtfnripaini ittodUtair
IHIKnr primmer fflllrar + ±
QWiUfcsi m&rnised
uririrram wgmu
'
Opemasi /MitaranodUtair ± ±
(bypass UJJBUS
SITUSS mnasci
'
ftritilkiriamudUtetr ±
tamaik-lbnmirifc
llmdtam
-
^iiin aUra
fetomwiyiuiiii: ttniamarm#?m tlrdinlk <mitta; it rrmum ; ttninfflnimDrai mini
DIAGNOSIS BANDING
Hepatitis kronik aktif.2
KOMPUKASI
Vaiises esoiagus/gaster, hipertensi portal, peritonitis bakterial spontan, sindrom
hepatorenal, simdromltiepatnpiilinonal, gangguan hemostasis, ensefalopati hepatikum,
gastropati Mpeitensi portal.1
TATALAKSANA2'*
• Istirahat cukup
• Diet seimbamg (ttergamtung kondisi klinis)
• Pada pasien sirosis dekompensata dengan komplikasi asites : diet rendah garam.
Laktulosa dengan target BAB 2-3 x sehari.
• Terapi peeyakit penyebab, lebih lengkap dapat dilihat pada tabel 1 .
209
M
jr |f ?r
Panduan Praktik Minis Hepatoloai
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia I
PROGNOSIS
Lihat pada tabel 3 dan 4.
Tabel 3. Beberapa Penyebab Tersering Sirosis Hepatis5
Penyebab Diagnosis Terapl Prognosis
Sirosis alkohol Anamnesis Stop konsumsi alkohol. Pada pasien
Jumlah dan durasi konsumsi Medikamentosa yang sudah
alkohol, pada pria dapat : glukokortikoid, sirosis alkohol
terjadi gejala ginekomasti
(rambut tubuh menghilang,
pentoxifylline . dan masih tetap
mengkonsumsi
atrofi testis) . alkohol maka
Laboratorium angka bertahan
Pada alkoholik berat dapat 5 tahun sebesar
terjadi anemia hemolitik < 50%.
( spur cells dan akantosit ) ;
Zieve ' s syndrome, nodul
biasaya berdiameter <3mm
( mikronodul) , perbandingan
serum AST:ALT = 2:1.
Sirosis karena virus Laboratorium Lamivudine, adefovir,
Hepatitis Sirosis Hep. C : Anti HCV, RNA, telbivudine, entecavir,
serologis hepatitis B : HbsAg, tenofovir, interferon/
anti-HBs, HBeAg, anti HBe, dan Peg IFN + Ribavirin
HBV DNA kuantitatif
Sirosis bilier Sirosis bilier primer Sirosis Bilier Primer PSC dapat
Anamnesa : rasa lelah, pruritus : Ursodeoxycholic berkempang
(intermiten, biasa apada sore- Acid ( UDCA ) 13- 15 menjadi
malam hari) mg /kg /hari, Pruritus : karsinoma.
Pemeriksaan fisik : antihistamin, narcotic
hiperpigmentasi, xanthelesma, receptor antagonists
xantoma, likenlflkasi karena (naltrexone ) ,
garukan . dan rifampin.
Laroratorium : serum ALT dan Cholestyramine.
AST meningkat, tes AMA (+) Plasmapheresis.
PSC :
Primary Sclerosing Cholangitis UDCA 20mg/kg.hr,
fPSCl endoscopic dilatation ,
Anamnesa : rasa lelah, pruritus, transplantasi hati.
steatorhea, defisiensi vitamin
larut lemak.
Laboratorium : serum Alkaline
Phosphatase ( ALP) meingkat
2x, Endoscopic Retrograde
Cholangiopancreatography
( ERCP ) : striktur.
Sirosis Hati ip
-
Tabel 4. Slstem Penilaian Child Turcotie- Pugh*
Krttefta 1 2 3
Asites Nihil Mudah dikontrol Sulit dikontrol
Ensefalopati Nihil Gradelataull Grade III atau IV
Bllirubln(mg/dl) <2 2-3 >3
Albumin |g/dl) >3.5 2.8-3.S <2.8
Waklu protrombln ( detlk dlatas waktu i-3 4-6 >6
protTombin normal)
Klaslflkasl A B C
Jumlah poln total 5- 6 7- 9 10- 15
Prosentase hldup dalam 1 tahun pertama 100% 80% 45%
MENANGANI
• RS Pendidikan : Oejtartemen ilmu Penyakit balam - Divisi Gastroentero-
riepatdlogi
:
• RSrionPendidikan : Bagian HmuPehyakitDalam *
, n - ;• - . • . . • • '
UNIT TERftAIT
. ^
RS ridiaikaii
• RS rioriPerididikan
7 ;
REPEREKISI
1. ^ bBriartd' s lllustrdtedfMSdfcal Dictionary. 23fd'Etf. Philadelphia. Elsevier. 2007
.
2. Bacon BR. Cirrhosis dfidlts CorMplicatiorts In s lidhgd tiivtauel AS> Kasper DL, HauserSL, Jameson
'
-
JL„ LQSAgJzp J. Harrison' s Principles of Internal Medicine. 18lhEdition,New York, McGraw-t-p. 2012.
.
271
272
TUMOR PANKREAS
PENGERTIAN
Tumor pankreas dapat diklasifikasikan sebagai neoplasma eksokrin atau
endokrin berdasarkan asal dari selnya dan morfologi tumor (solid atau kistik).
Kasus adenokarsinoma duktus terjadi sekitar 90% dari kasus neoplasma pankreas.
Adenokarsinoma duktus infiltrat merupakan tumor pankreas yang paling sering
terjadi. Karsinoma sel asinar, tipe lain dari tumor pankreas solid, menyerupai bola
kecil sel epitel yang berbentuk piramid. Tumor pankreas eksokrin ini lebih banyak
mengenai pria. Seringkali overproduksi lipase menyebabkan sindrom metastasis
nekrosis lemak, yang dikarakteristikan dengan nekrosis lemak perifor, eosinofilia,
dan poliartralgia. Tumor pankreas kistik termasuk neoplasma (tipe musin, serosa],
dan tumor sohd - pseudopapillary sangat jarang terjadi, umumnya jinak dan dapat
disembuhkan dengan reseksi bedah. Namun terkadang, tumor kistik memilild
komponen invasifyang memberikan prognosisburuksetara keseluruhan.' Klasifikasi
tumor primer pankreas menurut WHO dapat dilihat pada tabel 1.
Karsinoma pankreas merupakan penyakit kanker no.4 yang menyebabkan
kematian terbanyak di Amerika Serikat dan sering dikaitkan dengan prognosis buruk.
Faktor risiko yang dapat menyebabkan karsinoma pankreas antara lain merokok ( 20-
25 %), pankreatitis kronis, dan diabetes.1 Pembagian stadium karsinoma pankreas
tidak menggunakan sistem tumor-nodus-metastasis (TNM), namun dibagi menjadi 3
kategori primer yaitu 1) terlokalisir, dan dapat direseksi; 2] lokasi meluas, dan tidak
dapat direseksi; dan 3) adanya metastasis.3
Skrining rutin CA 19-9 dan carcinoembryonic antigen (CEA) tidak dianjurkan
karena tidak memiliki sensitivitas yang cukup, dan computed tomography (CT) tidak
memiliki resolusi yang adekuat untuk mendeteksi displasia pankreas. Endoscopic
ultrasound (EUS) merupakan alat skrining yang menjanjikan, dan merupakan usaha
preklinis untuk mendeteksi biomarker yang dapat mendeteksi stadium awal karsinoma
.
pankreas.1
Panduan Praktik
*
Perhimpunan Dokler SpesiaSs Penyakil Dc m ktdoreso
Tumor Pankreas
DIAGNOSIS
Anamnesis1
• Rasa tidak nyaman pada perut, mual, muntah, pruritus, letargi, penurunan berat
badan
• Jarang : nyeri epigastrium, nyeri punggung, diabetes new onset
• Penyakit komorbid seperti pankreatitis kronis, diabetes
• Riwayat kebiasaan merokok
Pemeriksaan Fisik1
• Ikterik, kakesia, tanda bekas garukan
• Kandung empedu teraba (tanda Courvoisier )
• Tanda metastasis jauh : hepatomegali, asites, limfadenopati supraklavikular kiri
( nodus Virchow ), limfadenopati periumbilikus (nodus Sister Mary Joseph )
Pemeriksaan Penunjang1'4
• Laboratorium
Rutin : darah perifer lengkap dan hitung jenis leukosit, amilase, lipase, serum
bilirubin, alkali fosfatase, protein total, albumin / globulin,
273
0 tmSSSSSSSL Hepatologi
DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis ini harus dipertimbangkan pada semua pasien > 40 tahun dengan
ikterik progresif atau intermiten, terutama bila diperkuat dengan gejala seperti nyeri
abdomen persisten atau tidak dapat dijelaskan, lemah dan beratbadan menurun, diare,
glikosuria, faecal occult blood ( +), hepatomegali, limpa teraba atau tromboflebitis
migrans.3
TATALAKSANA2 5
1. Reseksi ( pancreaticoduodenectomy / operasi Whipple)
2. Adjuvan: 5 -fluorouracil (5 - FU), asam folinik
3. Paliatif: diberikan pada pasien yang tidak dapat menjalani reseksi untuk meredakan
ikterik, obstruksi duodenum atau nyeri
Pendekatan Diagnosis
I
Helical CT
I
Tumor caput Tumor corpus
Tidak tampak Tumor caput atau
tumor pancreas < 2cm pankreas > 2cm cauda pankreas
(+) (-)
Bedah eksplorasi untuk reseksi
274
Tumor Pankreas
KOMPLIKASI
Ikterik, nyeri, obstruksi usus, penurunan berat badan.25
PROGNOSIS
Prognosis tumor pankreas dapat dilihat pada tabel 2 dan tabel 3.
UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : Departemen Bedah Digestif
• RS non Pendidikan : Bagian Bedah
REFERENSI
Hidalgo M. Progress in Pancreatic Cancer: Where Are We Nowand Where Must We Go ? . Optimal
Treatment of Locally Advanced / Metastatic Pancreatic Cancer: Current Progress and Future
Challenges. Clinical Care Options Oncology. Diakses melalui http:/ / www.clinicaloptions.com /
Oncology / Treatment%20Updates / Pancreatic / Modules / Progress / Pages / Page%202. aspx pada
tanggal 25 Juni 2012.
275
# HSSflSKHSl Hepatologi
2. .
Jimenez RE, Castillo CF Tumors ot the Pancreas. In : Feldman, Friedman, Brandt. Sleisenger and
. .
Fordtran' s Gastrointestinal and Liver Disease 9th Edition Vol 1.20 ) 0
3. .
Chong I, Cunningham D. Pancreatic Cancer In : Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL,
. .
Jameson JL, loscalzo J. Harrison's Principles of Internal Medicine 18th Edition New York,McGraw-
.
Hill 2012 .
4. . .
Ko A Pancreatic Adenocarcinoma. CCO in Practice. Diakses melalui http:/ / www clinicaloptions.
_ _ .
com/inPractice /Oncology /Gastrointestinal Cancer /chl 3 GI-Pancreas aspx pada tanggal 22
Mei 2012.
5. . . . .
Koti RS Davidson BR Malignant Biliary Diseases In : Dooley JS, Lok ASF Burroughs AK et al . .
. .
Sherlock ' s Diseases of the Liver and Biliary System 12th Edition United Kingdom: Blackwell
Publishing Ltd. 2011. Hal 302-8.
276
277
Tumor sistem bilier dibagi berdasarkan anatomis yaitu tumor jinak dan ganas kandung
empedu, tumor jinak saluran empedu ekstrahepatik, karsinoma saluran empedu
intrahepatik [cholangiocarcinoma ). Pada bab ini akan dibahas lebih lanjut mengenai
karsinoma kandung empedu dan cholangiocarcinoma.
I
Tumor Jinak Karsinoma Intrahepatik Ekstrahepatik
1
Polip kolesterol
l
• Adenokarsinoma
1
Cholangiocarcinoma • Papiloma
i
• Adenoma • Adenoskuamosa • Adenomioma
• Karsinoma sel skuamosa • Fibroma
• Small cell carcinoma • Tumor sel granular
PanduanPraUIkKIinis
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
m
M Panduan PrakUk Kllnls Hepatoloqi
•
Perhimpunan DoklerSpesialis Penyakil Dalam Indonesia
DIAGNOSIS
Anamnesis
Pada stadium awal umumnya tidak menimbulkan gejala sampai pada stadium
lanjut. Beberapa keluhan pasien yaitu nyeri abdomen kuadran kanan atas, mual dan
muntah, ikterik, napsu makan menurun, kehilangan berat badan, pembengkakan
abdomen, gatal -gatal, tarry stools 2
Pemeriksaan Fisik
Pasien tampak ikterik, dapat ditemukan pembesaran kandung empedu atau teraba
masa pada area kandung emperu, nyeri tekan abdomen12
Pemeriksaan Penunjang
• Tes fungsi hati dan kandung empedu : bilirubin, albumin, alkalin fosfatase, AST
[ aspartate aminotransferase ), ALT [ alanine aminotransferase ), and Gama GT
( glutamil transferase ).
• Tumor markers : CEA dan CA 19-9
• Pemeriksaan urin dan feses
• Ultrasonography : adanya masa di lumen kandung empedu
• CTScan ( Computed Tomography) : masa di daerah kandung empedu sebagai diagnosis
awal, menentukan staging dari penyebaran tumor dan keterlibatan lymph nodes, juga
dapat digunakan sebagai alat bantu dalam biopsi dengan jarum. Dapat dilakukan CT
scanner (CTangiography) untuk melihat keadaan pembuluh darah hepatik dan portal.
• Magnetic resonance imaging ( MR1 ) scan : melihat secara detail kandung empedu
dan salurannya, serta organ sekitar. Salah satu jenis MRI yang berguna pada kasus
ini yaitu MR cholangiopancreatography ( MRCP) yang dapat melihat langsung ke
dalam saluran empedu dan MR angiography ( MRA ) yang dapat melihat keadaan
pembuluh darah hepatik dan portal.
• Endoscopic retrograde cholangiopancreatography ( ERCP) : melihat adanya
sumbatan pada duktus biliaris atau duktus pankreatikus.
• Percutaneous transhepatic cholangiography ( PTC ): dapat digunakan untuk
mengambil sampel cairan atau jaringan
• Laparoskopi : membantu , merencanakan operasi atau terapi lain, konfirmasi
staging kanker, pengambilan sampel biopsi, mengangkat kandung empedu pada
kasus batu empedu atau inflamasi kronik [ laparoscopic cholecystectomy).
• Biopsi
278
Tumor Sistem Bilier
DIAGNOSIS BANDING
Batu kandung empedu, sludge
TATALAKSANA
• Operasi : kolesistektomi
• Radiasi
• Kemoterapi
KOMPLIKASI
Metastasis, obstruksi sistem bilier
PROGNOSIS
Faktor yang menentukan prognosis yaitu staging dari kanker, kanker dapat
diangkat seluruhnya atau tidak, tipe dari kanker ( dilihat dari mikroskop) , kanker
pertama kali didiagnosis atau rekuren . Prognosis umumnya buruk karena umumnya
tidak dapat dioperasi saat terdiagnosis . Pada 50 % kasus sudah terjadi metastasis
jauh . Rata - rata harapan hidup dari saat terdiagnosis yaitu 3 bulan, 14 % dapat
bertahan sampai 1 tahun. Kanker jenis papilari dan well -differentated adenokarsinoma
mempunyai harapan hidup lebih lama dibandingkan jenis tubuler dan undifferentiated .
1,3
Berdasarkan staging angka harapan hidup dalam 5 tahun yaitu : 2
279
# ES
^ JfiSffJSS, Hepatologi
B. KOLANGIOKARSINOMA
PENGERTIAN
Kolangiokarsinoma adalah keganasan yang berasal dari sel epitel bilier, dapat
timbul pada saluran intra- dan ekstrahepatik. Merupakan keganasan primer hepatik
yang kedua terbanyak. Umumnya tumor ini jenis adenokarsinoma.4 Klasifikasi
terbagi menjadi intrahepatik dan ekstrahepatik (terbagi lagi menjadi hilar dan
distal). Kolangiokarsinoma berhubungan dengan kolitis ulseratif dengan / atau tanpa
kolangitis sklerosing, usia lanjut > 60 tahun, jenis kelamin laki-laki.1 Faktor risiko
untuk kolangiokarsinoma :4
• Prosedur drainase bilier-enterik
• Penyakit Caroli
• Kista duktus koledokus
• Sirosis hepatik
• Infeksi Clonorchis sinensis
• Hepatitis C
• Hepatolithiasis
• Infeksi Opisthorchis viverrini
• Primary sclerosing cholangitis
• Toksin (dioksin, polivinil klorida)
280
Tumor Sistem Bilier
• Tipe I: tumor distal dari pertemuan duktus hepatikus kiri dan kanan
• Tipe II: tumor mencapai daerah pertemuan kedua duktus
• Tipe III: tumor yang mencakup duktus hepatikus komunis dan salah satu duktus
hepatikus (duktus hepatikus kanan tipe Ilia, duktus hepatikut kiri tipe IHb)
• Tipe IV: tumor yang multisentrik, atau mencakup daerah pertemuan kedua duktus
dan kedua duktus kanan dan kiri.
Bila tumor melibatkan daerah pertemuan kedua duktus maka disebut klatskin
tumor.
Adenokarsinoma dibagi menjadi 3 jenis berdasarkan bentuk pertumbuhannya :
nodular, sklerosis, dan papiler.
• Sklerosis: terdapat banyak jaringan yang fibrosis, cepat menginvasi dinding duktus.
Jenis yang terbanyak.
• Noduler : lesi anular yang mengkonstriksi duktus bilier, sangat invasif.
• Papiler : lesi tampak sebagai massa yang jelas pada duktus biliaris komunis,
menyebabkan obstruksi bilier sejak awal penyakit.
Tipe IV
Gambar 2. Klasifikasi Blsmuth -Corlette untuk Kolangiosarkoma
5
261
# SSgBBgfflBl Hepatologi
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Umumnya tidak bergejala sampai timbul obstruksi bilier. Gejala yang sering
dikeluhkan yaitu pruritus, nyeri abdomen, terasa sebagai nyeri tumpul di region kanan
atas. penurunan berat badan, demam, tinja berwarna seperti dempul, urin warna gelap
Pemeriksaan Fisik
Ikterus, hepatomegali, massa abdomen bagian kanan atas, penurunan berat badan,
tanda Courvoisier: ( kandung empedu teraba), biasanya karena sumbatan tepat di
distal duktus sistikus.1
Pemeriksaan Penunjang
• Laboratorium1
Peningkatan bilirubin total dan direk, alkali fosfatase, 5'-nukleotidase, dan
y-glutamiltransferase
SGOT, dan SGPT dapat meningkat pada obstruksi bilier lama
Tumor marker: CEA, CA 19-9
Billiary insulin -like growth factor
Fluorescence in situ hybridization
• Imaging 1
USG: dapat ditemukan gambaran massa, dilatasi duktus bilier intrahepatik pada
sumbatan proksimal ( pada tumor duktus intrahepatik atau pada pertemuan
kedua duktus), dilatasi duktus intra - dan ekstrahepatik pada sumbatan distal.
Klatskin tumor tampak sebagai tidak menyatunya duktus hepatikus kanan
dan kiri. Tumor papiler: massa intralumen polipoid. Tumor noduler : massa
diskret disertai penebalan dinding duktus.
CT scan: berguna untuk mendeteksi tumor intrahepatik, level obstruksi bilier,
dan adanya atrofi hepar.
MRCP: massa hipointens pada Tl , hiperintens pada T 2. Dapat juga untuk
melihat struktur anatomis sekitar -> evaluasi resektabilitas
Kolangiografi: melalui endoscopic retrograde pancreatography (ERCP) atau
perkutan, dengan percutaneous transhepatic cholangiogram (PTC).
ERCP / PTC + -> sampel empedu /sitologi brushing
Endoscopic ultrasonography (EUS): dapat menunjukkan gambaran massa, lebih
baik untuk lesi distal.
282
Tumor Sistem Bilier
PET scan: dapat mendeteksi mulai dari lesi 1 cm, dan lesi - lesi metastasis
Angiografi : Digunakan untuk melihat adanya pembuluh darah yang melingkari
lesi, sekaligus mendeteksi trombosis vena porta .
Kriteria diagnosis untuk kolangiokarsinoma (tabel 3) .
Suspek kolangiokarsinoma
i
Pemeriksaan CA 19-9,
kolangiografl endoskopi
(brushing, sitologi, FISH)
r
Striktur dominan, CA 19-
1
Tidak ada striktur
9 > 129 U/ mi. Biopsi, dominan, CA 19-9 < 129
Inderterminate U/ml. Biopsi, sitologi, atau
sitologi, atau FISH
polisomi yang positif
I
MRI
FISH polisomi yang negatif
t 1
Mass vascular Negatif
encasement
1
i
Klinis Klinis
signifikan tidak signifikan
I
PET scan
Penatalaksanaan
i
Hot spot Negatif Observasi
kolangiokarsinoma *
Gambar 3. Algortima Pendekatan Diagnosis Kolangiokarsinoma4
283
©^
'
• V5JI » 1
Panduan PrakUk Klinis Hepatologi
•
Perhimpunan Doklef Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
-
N /
DIAGNOSIS BANDING
Koledokolitiasis, striktur duktus biliaris jinak, kolangitis sklerotikans, keganasan
pankreas, pankreatitis kronik
TATALAKSANA1
• Terapi diutamakan reseksi pada yang masih memenuhi kriteria
• Radioterapi dengan atau tanpa sensitisasi menggunakan kemoterapi
• Brakiterapi intralumen
• Terapi fotodinamik
• Kemoterapi : gemcitabin.
284
Tumor Sistem Bilier
KOMPLIKASI
Kolangitis, kematian.
PROGNOSIS
Prognosis tergantung lokasi tumor, lokasi lebih distal lebih besar kemungkinan
direseksi daripada yangdi hilus . Secara histologik well - differentated lebih baik
prognosisnya daripada yang undifferentiated . Jika direseksi, angka harapan hidup
1 tahun sebesar 50 %, 2 tahun 20 %, dan 3 tahun 10 %. x
REFERENSI
1 . .
Sherlock S, Dooley J. Tumours of the Gallbladder and Bile Ducts In: Dooley J, Lok A, Burroughs
A, Heathcote E Diseases of the Liver and biliary System. 12lh ed. UK : Blackwell Science. P 294-311
.
2. American Cancer Society. Gallbladder Cancer. 2012 Diunduh dari http:/ / www. cancer org/ .
Cancer /GallbladderCancer /DetailedGuide/gallbladder-cancer pada tanggal 21 Mei 2012
3. National Cancer Institute. Gallbladder Cancer Treatment. 2011. Diunduh dari http:/ / www.cancer .
gov/cancertopics/pdq/ treatment/gallbladder/Patient/pagel pada tanggal 21 Mei 2012.
4. Blechacz B, Gores G. Tumors of the Bile Ducts, Gallbladder, and Ampulla. In : Feldman M, Friedman
L, Brandt L. Sleisenger and Fordtran ' s Gastrointestinal and Liver Disease : Pathophysiology /
Diagnosis /Management. 9 lh ed. USA : Elsevier. Chapter 69.
5. Blechacz BR, Gores GJ. Cholangiosarcoma. Clin Liver Dis 2008; 12:131-150.
6. DeOliveira ML, Schulic RD, Nimura Y et all. New Staging System and a Registry for Perihilar
Cholangiocarcinoma. HEPATOLOGY 2011:53 : 1363- 1371 ) .
285
»
PENATAIAKSANAAN
D l BIDANG IlMU PENYAKIT DALAM
PANDUAMH
PRAKTIK MJM
KLINIS HHEl
Dehidrasi . 287
Gangguan Kognitif Ringan dan Demensia 290
Imobilisasi 297
Inkontinensia Urin 302
Instabilitas dan Jatuh 305
Tatalaksana Nutrisi Pada “Frailty " Usia Lanjut 316
Pendekatan Paripurna Pasien Geriatri (Comprehensive
Geriatric Assessment ) , 321
DEHIDRASI
PENGERTIAN
Dehidrasi adalah berkurangnya cairan tubuh total, dapat berupa hilangnya air lebih
banyak dari natrium [dehidrasi hipertonik), atau hilangnya air dan natrium dalam
jumlah yang sama (dehidrasi isotonik), atau hilangnya natrium yang lebih banyak
daripada air (dehidrasi hipotonik).1
Dehidrasi hipertonik ditandai dengan tingginya kadar natrium serum (lebih
dari 145 mmol / Liter) dan peningkatan osmolalitas efektif serum (lebih dari 285
mosmol / Liter). Dehidrasi isotonik ditandai dengan normalnya kadar natrium serum
(135 -145 mmol / Liter ) dan osmolalitas efektif serum ( 270 - 285 mosmol / Liter ) .
Dehidrasi hipotonik ditandai dengan rendahnya kadar natrium serum (kurang dari
135 mmol / Liter) dan osmolalitas efektif serum (kurang dari 270 mosmol / Liter).
Penting diketahui perubahan fisiologi pada usia lanjut. Secara umum, terjadi
penurunan kemampuan homeostatik seiring dengan bertambahnya usia. Secara
khusus, terjadi penurunan respons rasa haus terhadap kondisi hipovolemik dan
hiperosmolaritas. Di samping itu juga terjadi penurunan laju filtrasi glomerulus,
kemampuan fungsi konsentrasi ginjal, renin, aldosteron, dan penurunan tanggapan
ginjal terhadap vasopresin.
DIAGNOSIS
Anamnesis
Gejala klasik dehidrasi seperti rasa haus, lidah kering, mengantuk.1
Pemeriksaan Fisik
Aksila lembab / basah, suhu tubuh meningkat dari suhu basal, diuresis berkurang.
Penurunan turgor dan mata cekung sering tidak jelas. Penurunan berat badan akut
lebih dari 3%. Hipotensi ortostatik.1
PanduanPraktikMinis
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
irl
XML£1fp
Panduan raktik Minis Geriatri
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
Laboratorium
Urin : berat jenis ( BJ) urin >1,019 (tanpa adanya glukosuria dan proteinuria), serta
rasio Blood Urea Nitrogen / Kreatinin >16,9 (tanpa adanya perdarahan aktif saluran cerna).
Kriteria ini dapat dipakai dengan syarat: tidak menggunakan obat -obat sitostatik,
tidak ada perdarahan saluran cerna, dan tidak ada kondisi overload (gagal jantung
kongestif, sirosis hepatis dengan hipertensi portal, penyakit ginjal kronik stadium
terminal, sindrom nefrotik).
Jika memungkinkan sebaiknya dilakukan pemeriksaan pengukuran kadar natrium
plasma darah, osmolaritas serum, dan tekanan vena sentral.
TATALAKSANA
Lakukan pengukuran keseimbangan cairan yang masuk dan keluar secara berkala
sesuai kebutuhan. Pada dehidrasi ringan, terapi cairan dapat diberikan secara oral
sebanyak 1500 - 2500 ml / 24 jam (30 ml / kg berat badan / 24 jam ) untuk kebutuhan
dasar, ditambah dengan penggantian defisit cairan dan kehilangan cairan yang masih
berlangsung. Menghitung kebutuhan cairan sehari, termasuk jumlah insensible water
loss sangat perlu dilakukan setiap hari. Perhatikan tanda - tanda kelebihan cairan
seperti ortopnea, sesak napas, perubahan pola tidur, atau confusion . Pemantauan
dilakukan setiap 4-8 jam tergantung beratnya dehidrasi. Cairan yang diberikan secara
oral tergantung jenis dehidrasi.
• Dehidrasi hipertonik: cairan yang dianjurkan adalah air atau minuman dengan
kandungan sodium rendah, jus buah seperti apel, jeruk, dan anggur
• Dehidrasi isotonik: cairan yang dianjurkan selain air dan suplemen yang
mengandung sodium ( jus tomat), juga dapat diberikan larutan isotonik yang ada
di pasaran
• Dehidrasi hipotonik cairan yang dianjurkan seperti di atas tetapi dibutuhkan kadar
sodium yang lebih tinggi
Pada dehidrasi sedang sampai berat dan pasien tidak dapat minum per oral, selain
pemberian cairan enteral, dapat diberikan rehidrasi parenteral. Jika cairan tubuh
yang hilang terutama adalah air, maka jumlah cairan rehidrasi yang dibutuhkan dapat
dihitung dengan rumus:
Defisit cairan (liter) = Cairan badan total (CBT) yang diinginkan - CBT saat ini
CBT yang diinginkan = Kadar Na serum x CBT saat ini
140
CBT saat ini (pria) = 50 % x berat badan (kg)
CBT saat ini ( perempuan ) = 45% x berat badan (kg)
288
Dehidrasi
Jenis cairan kristaloid yang digunakan untuk rehidrasi tergantung dari jenis
dehidrasinya. Pada dehidrasi isotonik dapat diberikan cairan Na Cl 0,9% atau Dekstrosa
5% dengan volume sebanyak 25- 30 % dari defisit cairan total per hari. Pada dehidrasi
hipertonik digunakan cairan NaCl 0,45%. Dehidrasi hipotonik ditatalaksana dengan
mengatasi penyebab yang mendasari, penambahan diet natrium , dan bila perlu
pemberian cairan hipertonik.1
KOMPLIKASI
Gagal ginjal, sindrom delirium akut, kejang.
PROGNOSIS
Deteksi dan terapi dini dehidrasi menghasilkan prognosis kesembuhan yang baik.
Bila tidak ada komplikasi maka keseimbangan cairan akan terkoreksi.
KOMPETENSI
• Spesialis Penyakit Dalam : A 3, B 4
• Konsultan Geriatri
UNIT YANGMENANGANI
• RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Geriatri,
Departemen Rehabilitasi Medik
• RS non pendidikan : Departemen llmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Departemen llmu Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Departemen llmu Penyakit Dalam
REFERENSI
1. . .
Kuswardhani, RATuty Sari, Nina Kemala. Dehidrasi dan gangguan elektrolit Dalam :Sudoyo, Aru
. . .
W. Setyohadi, Bambang. Alwi, Idrus Simadibrata, Marcellos Setiati, Siti Buku ajar llmu Penyakit
Dalam Edisi V . Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Departemen llmu Penyakit Dalam FKUI-
RSCM : 2009. Halaman 797-801 .
289
290
PENGERTIAN
Antara fungsi kognitif yang normal untuk usia lanjut dan demensia yang jelas,
terdapat suatu kondisi penurunan fungsi kognitif ringan yang disebut dengan mild
cognitive impairment ( MCI) dan vascular cognitive impairment (VCI ), yang sebagian
akan berkembang menjadi demensia, baik penyakit Alzheimer maupun demensia
tipe lain.
Mild cognitive impairment ( MCI ) merupakan suatu kondisi "sindrom
predemensia” (kondisi transisi fungsi kognisi antara penuaan normal dan demensia
ringan), yang pada berbagai studi telah dibuktikan sebagian akan berlanjut menjadi
demensia (terutama demensia Alzheimer) yang simtomatik.1
Vascular cognitive impairment (VCI) merujuk pada keadaan penurunan fungsi
kognitif ringan dan dihubungkan dengan iskemia serta infark jaringan otak akibat
penyakit vaskular dan aterosklerosis.1
Demensia adalah gangguan fungsi intelektual ( berpikir abstrak, penilaian,
kepribadian, bahasa, praksis, dan visuospasial) dan memori didapat yang disebabkan
oleh penyakit otak, yang tidak berhubungan dengan gangguan tingkat kesadaran,
sehingga mempengaruhi aktivitas kerja dan sosial secara bermakna.1
Demensia Alzheimer merupakan demensia yang disebabkan oleh penyakit
.
Alzheimer; munculnya gejala perlahan -lahan namun progresif Demensia vaskular
merupakan demensia yang terjadinya berhubungan dengan serangan strok ( biasanya
terjadi 3 bulan pasca strok); munculnya gejala biasanya bertahap sesuai serangan strok
yang mendahului ( step ladder ). Pada satu pasien pasca strok bisa terdapat kedua jenis
ini (tipe campuran) . Pada kedua tipe ini lazim terdapat faktor risiko seperti: hipertensi,
diabetes melitus, dislipidemia, dan faktor risiko aterosklerosis lain.2
Demensia dapat disertai behavioral and psychological symptoms of dementia
( BPSD ) yang lazim disebut sebagai perubahan perilaku dan kepribadian . Gejala
BPSD dapat berupa depresi, wandering / pacing , pertanyaan berulang atau manerism,
kecemasan, atau agresivitas.
Anamnesis
Memori pasien, tingkat aktivitas sehari-hari, juga diperlukan anamnesis dari orang
terdekat pasien, riwayat stroke, hipertensi, diabetes.
Pemeriksaan Penunjang1
• Pemeriksaan neuropsikiatrik dengan the Mini - Mental State Examination ( MMSE) ,
The Global Deterioration Scale (GDS), dan The Clinical Dementia Ratings (CDR). Nilai
MMSE dipengaruhi oleh umur dan tingkat pendidikan, sehingga pemeriksa harus
mempertimbangkan hal- hal tersebut dalam menginterpretasi hasil pemeriksaan
MMSE .
• Fungsi tiroid, hati, dan ginjal
• Radar vitamin B12
• Radar obat dalam darah (terutama yang bekerja pada susunan saraf pusat]
• CT scan, MR1
Untuk kriteria diagnosis MCI dan VCI dapat dilihat pada Tabel 1, sementara kriteria
diagnosis demensia dapat dilihat pada Tabel 2.
291
f *s Panduan Praktik Klinis Geriatri
Perhimpunan Dokfer Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
DIAGNOSIS BANDING
Transient ischemic attack , delirium, depresi, factitious disorder, normal aging .2
Kondisi klinis lain yang juga harus dibedakan adalah pengaruh obat- obatan
dan defisit sensori pada orang tua . Beberapa jenis obat yang sering dikatakan
menimbulkan confusi adalah opiat, benzodiasepin, neuroleptik, antikolinergik, H 2
blockers, dan kortikosteroid. Gangguan sensoris pada orang tua seperti impairment
of hearing dan vision juga sering menyebabkan identifikasi yang salah dengan
demensia. (current) Demensia sering terdapat bersamaan dengan depresi dan /
atau penyakit Parkinson. 2
Tabel 3. Kriteria untuk Diagnosis Klinis Penyakit Alzheimer menurut the National Institute of
Neurological and Communicative Disorders and Stroke (NINCDS) dan the Alzheimer ' s Disease
and Related Disorders Association ( ADRDA)4
1 . Kriteria diagnosis klinis untuk probable penyakit Alzheimer mencakup:
• Demensia yang ditegakkan oleh pemeriksaan klinis dan tercatat dengan pemeriksaan the
mini-mental test, Blessed Dementia Scale, atau pemeriksaan sejenis, dan dikonfirmasi oleh tes
neuropsikologis
• Defisit pada dua atau lebih area kognitif
• Tidak ada gangguan kesadaran
• Awitan antara umur 40 dan 90, umumnya setelah umur 65 tahun
• Tidak adanya kelainan sistemik atau penyakit otak lain yang dapat menyebabkan defisit progresif
pada memori dan kognitif
2. Diagnosis probable penyakit Alzheimer didukung oleh:
• Penurunan progresif fungsi kognitif spesifik seperti afasia, apraksia, dan agnosia
• Gangguan aktivitas hidup sehari-hari dan perubahan pola perilaku
• Riwayat keluarga dengan gangguan yang sama, terutama bila sudah dikonfirmasi secara
neuropatologl
• Hasil laboratorium yang menunjukkan
• Pungsi lumbal yang normal yang dievaluasi dengan teknik standar
• Pola normal atau perubahan yang nonspesifik pada EEG, seperti peningkatan aktivitas slow-wave
• Bukti adanya atrofi otak pada pemeriksaan CT yang progresif dan terdokumentasi oleh
pemeriksaan serial
3. Gambaran klinis lain yang konsisten dengan diagnosis probable penyakit Alzheimer, setelah
mengeksklusi penyebab demensia selain penyakit Alzheimer:
• Perjalanan penyakit yang progresif namun lambat (plateau)
• Gejala-gejala yang berhubungan seperti depresi, insomnia, inkontinensia, delusi, halusinasi, verbal
katastrofik, emosional, gangguan seksual, dan penurunan berat badan
• Abnormalitas neurologis pada beberapa pasien, terutama pada penyakit tahap lanjut, seperti
peningkatan tonus otot, mioklonus, dan gangguan melangkah ( gait disorder )
• Kejang pada penyakit yang lanjut
• Pemeriksaan CT normal untuk usianya
4. Gambaran yang membuat diagnosis probable penyakit Alzheimer menjadi tidak cocok adalah:
• Onset yang mendadak dan apolectic
• Terdapat defisit neurologis fokal seperti hemiparesis, gangguan sensorik, defisit lapang pandang,
dan inkoordinasi pada tahap awal penyakit; dan kejang atau gangguan melangkah pada saat
awitan atau tahap awal perjalanan penyakit
5. Diagnosis possible penyakit Alzheimer:
• Dibuat berdasarkan adanya sindrom demensia, tanpa adanya gangguan neurologis, psikiatrik,
atau sistemik lain yang dapat menyebabkan demensia, dan adanya variasi pada awitan, gejala
klinis, atau perjalanan penyakit
• Dibuat berdasarkan adanya gangguan otak atau sistemik sekunder yang cukup untuk
menyebabkan demensia, namun penyebab primernya bukan merupakan penyebab demensia
292
Gangguan Kognitif Ringan dan Demensia frl
6. Kriteria untuk diagnosis definite penyakit Alzheimer adalah:
• Kriteria klinis untuk probable penyakit Alzheimer
• Bukti histopatologi yang didapat dari biopsi atau autopsi
7. Klasifikasi penyakit Alzheimer untuk tujuan penelitian dilakukan bila terdapat gambaran khusus
yang mungkin merupakan subtipe penyakit Alzheimer, seperti:
• Banyak anggota keluarga yang mengalami hal yang sama
• Awitan sebelum usia 65 tahun
• Adanya trisomi-21
• Terjadi bersamaan dengan kondisi lain yang relevan seperti penyakit Parkinson
Tabel 4. P natalaksanaan terhadap Faktor Risiko Timbulnya Gangguan Kognitif pada Usia Lanjut
Faktor Risiko Penatalaksanaan Keterangan
Hipertensi • Kurangi asupan garam • Rekomendasi JNC
• Obat antihipertensi: awal dengan VII dan penelitian
diuretik, dapat dikombinasikan dengan ALLHATT
ACE- inhibitor , ARB, penyekat 13 ( 13
-blocker ) , atau antagonis kalsium
• Target: TDS <130 mmHg, TDD <80
mmHg.
Dislipidemia • Kurangi asupan makanan berlemak • Konsensus
• Obat antidislipidemik Pengendalian
Dislipidemia yang
dikeluarkan oleh
PERKENI dan NCEP-
ATP III
• Target: trigliserida < 150 mg / dL, HDL • Beberapa penulis
kolesterol > 40 mg/ dL untuk laki-laki melaporkan statin
dan > 50 mg/dL untuk perempuan dapat menurunkan
serta LDL kolesterol < 100 mg/ dL) . fungsi kognitif
(terutama memory
loss )
Diabetes Melitus • 5 pilar penatalaksanaan DM: edukasi, • Konsensus
perencanaan makan ( diet) , latihan Penatalaksanaan DM
fisik, obat hipoglikemik oral, dan insulin tipe 2 oleh PERKENI
• Perhatian pada pemilihan OHO dan • Penggunaan insulin
insulin, disesuaikan dengan penurunan sering menimbulkan
fungsi organ efek hipoglikemia
• Target: GDP <120 mg/ dL, pada usia pada usia lanjut yang
lanjut GDP <160 mg/ dL masih diterima dapat bermanifestasi
sebagai gangguan
kognitif
TDD=tekanan darah diastolik, HDL=high-density-lipoprotein, LDL=low- density-lipoprotein, JNC Vll= the seventh
,
report of the Joint National Committee on Prevention , Detection , Evaluation , and Treatment of High Blood Pressur
gula
PERKENI=Perkumpulan Endokrinologi Indonesia, DM= diabetes melitus, OHO=obat hipoglikemik oral GDP =
,
293
mSi
*i w
PanduanPraKtik Minis Geriatri
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyoki! Dalam Indonesia
TATALAKSANA1 2 3
• Libatkan seorang usia lanjut pada kehidupan sosial yang lebih intensif serta
partisipasi pada aktivitas yang merangsang fungsi kognitif dan stimulasi
mental maupun emosional untuk menurunkan risiko penyakit Alzheimer dan
memperlambat munculnya manifestasi klinis gangguan kognitif .
• Latihan memori multifaset dan latihan relaksasi
• Penyampaian informasi yang benar kepada keluarga, latihan orientasi realitas,
rehabilitasi, dukungan kepada keluarga, manipulasi lingkungan, program harian
untuk pasien, reminiscence, terapi musik , psikoterapi, modifikasi perilaku,
konsultasi untuk pramuwerdha, jaminan nutrisi yang optimal
• Pemberian obat pada BPSD ditujukan untuk target gejala tertentu dengan pem -
batasan waktu. Tentukan target gejala yang hendak diobati, identifikasi pencetus
gejala; psikoterapi dan konseling diberikan bersama dengan obat ( risperidon,
sertralin, atau haloperidol, sesuai dengan gejala yang muncul
• Tatalaksana pada demensia berat terutama modalitas non -farmakologi
• Tatalaksana faktor risiko gangguan kognitif
• Medikamentosa dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Obat - obatan yang Dipergunakan untuk Menghambat Penurunan dan Memperbaiki
Fungsi Kognitif pada Demensia dan Gangguan Kognitif Ringan * 2
'
Nama Obat
Karakterlstik Donepezll Rtvastigmln Galantamln Memantln
Mekanlsme kerja Inhibitor Inhibitor Inhibitor Antagonis
kollnesterase kollnesterase kollnesterase reseptor- NMDA
Waktu untuk mencapai 3-5 0.5-2 0 , 5- 1 3-7
konsentrasi maksimal ( jam)
Absorpsi dipengaruhi Tidak Ya Ya Tidak
makanan
Waktu-paruh serum (jam) 70-80 2 5-7 60-80
Metabolisme
Dosis (inisial/ maksimal)
Sitokrom P-450 Non-hepatik Sitokrom P-450 -
Non hepatik
1 x 5 mg/ 2 x 1,5 mg/ 2 x 4 mg/ 2 x 5 mg /
1 x 10 mg 2 x 6 mg 2 x 12 mg 2 x 10 mg
•Modifikasi dari Cummings (2004). NMDA= N -methyl D-aspartate
KOMPLIKASI
Jatuh, rusaknya struktur sosial keluarga, isolasi, malnutrisi
PROGNOSIS
Rata - rata harapan hidup pasien demensia sekitar delapan tahun dengan kisaran
1- 20 tahun. Pasien dengan awitan dini atau memiliki riwayat demensia dalam keluarga,
progesifitasnya lebih cepat. 10 -15 % pasien berpotensi untuk kembali ke kondisi awal
jika terapi dimulai sebelum terjadi kerusakan otak permanent
294
Gangguan Kognitif Ringan dan Demensia
.
pada SSP)
• Rtwayat keluarga • Qbesitas • Neuixwifillf
• Penoflunaqn obat
obatan dan alkohol
- • PPOk 8 HIV
Terapl sesual penyebab
• Rlwayat CABG Modlflkasl/ terapl blla ada blla abnormal
Oplimallsasi
pangetolaan
faktor resiko
Lanjutkan
MMS£<24 MMSE 24 28- MMSE>28 pengelolaan
faktor resiko:
Dugaan Demensia Dugaan MC1-VCI Normal (?)
• Terapl
antlhlpertensl
• Injeksl/obat
hlpoglikemik
• Obat penurun
Edukasi Edukasi Evaluasl fungsi kadar lemak
RujukSpKJ /SpS / Inhibitor kolinesterase (masih kontroversi) kognitif tiap • Antikoagulan
Konsultan Geriatri Kerjasama dengan spesialis terkait 6 bulan • Olahraga
yang teratur
• Suplementasi
asam folat &
Skor MMSE Skor MMSE Vlt, B12
tetap/ turun meningkat • Konsumsl
Evaluasi 6 bulan serat larut air
• Asupan kalori
yang balk
( proper caloric
intake )
• Berhenti
merokok
Gambar 1. Algoritme Evaluasi dan Penatalaksanaan Pasien Usla Lanjut dengan Penurunan Fungsi
Kognitif
KOMPETENSI
• Spesialis Penyakit Dalam
• Konsultan Geriatri
UNIT TERKAIT
RS pendidikan : Departemen Psikiatri - Divisi Psikiatri - Geriatri
RS non pendidikan : Bagian Psikiatri
295
Panduan
rnrtimounari
OoJcfer
Praktik
I’
Klinis Geriatri
SpoSOlln rtnyqkr! OaJnm maonctta
REFERENSI
1. Dementia. Dalam : Fauci A, Kasper D, Longo D, Braunwald E, Hauser S, Jameson J, Loscalzo J,
. .
editors Harrison' s principles of internal medicine. 1§ifi ed United States of America; The McGraw-
Hill Companies, 2011
2. ,
Dementia. Dalam : Kaplan and Sadock's Synopsis of Psychiatry 10 h Edition. Lipplncott Williams
& Wilkins 2007 .
.-
3. RdqtirtidO Wasilah. Murtl, KOhtjoraf-larl,Demensia, Dalam :Sudoyo, Aru W. Setyohadi, Bdmbang.
[
'
.
AlWlrldrus Simadjbr«!af Maicelfws,.Setiati;'5ifr: Buku afar llmu Peny,gjjitpplam Edisi V. Jakarta: Pusat
info®$felan PeherblfdhD partfmen llmu Penyakil Dalam FKUI RSCM ; 2009. Halaman 837-844.
4. ^ *
McKhan Guy et al. Clinical diagnosis of alzheimer disease. Reporf of the NINCDSADRDA Work
group neurology, Neurology 1984(34):939-943.
5. Current: Sink KM, Yaffe K. Cognitive impairment and dementia. In: Williams BA, Chang A, Ahalt
C, Conqnt R, Ritchie C, Chen H, Landefeld CS, Yukawa M. Current Diagnosis and treatment
Geriatrics. 2nd ed. New York; Me Graw Hill, 2014.
296
297
IMOBILISASI
PENGERTIAN
Mobilisasi tergantung pada interaksi yang terkoordinasi antara fungsi sensorik
persepsi, keterampilan motorik, kondisi jasmani, tingkat kognitif , dan kesehatan
premorbid, serta variabel eksternal seperti keberadaan sumber-sumber komunitas,
dukungan keluarga, adanya halangan arsitektural ( kondisi lingkungan ) , dan
kebijaksanaan institusional .1
Imobilisasi didefinisikan sebagai kehilangan gerakan anatomik akibat
perubahan fungsi fisiologis, yang dalam praktek sehari-hari dapat diartikan sebagai
ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas mobilitas di tempattidur, transfer, atau
ambulasi selama lebih dari tiga hari. Imobilisasi menggambarkan sindrom degenerasi
fisiologis yang diakibatkan penurunan aktivitas dan “ deconditioning", erbagai faktor ^
jasmani, psikologis, dan lingkungan yang dapat menyebabkan imobilisasi pada usia
lanjut dapat dilihat pada Tabel 1.
PanduanPraktik Minis
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
m tSSSSSSSSL Geriatri
DIAGNOSIS
Anamnesis1
• Riwayat dan lama disabilitas / imobilisasi
• Kondisi medis yg merupakan faktor risiko dan penyebab imobilisasi
• Kondisi premorbid
• Nyeri
• Obat -obatan yang dikonsumsi
• Dukungan pramuwerdha
• Interaksi sosial
• Faktor psikologis
• Faktor lingkungan
Pemeriksaan Fisik1
• Status kardiopulmonal
• Kulit
• Muskuloskeletal: kekuatan dan tonus otot, lingkup gerak sendi, lesi dan deformitas
kaki
• Neurologis: kelemahan fokal, evaluasi persepsi dan sensorik
• Gastrointestinal
• Genitourinarius
• Status Fungsional: Antara lain dengan pemeriksaan indeks aktivitas kehidupan
sehari-hari (AKS) Barthel
• Status Mental: Antara lain penapisan dengan pemeriksaan geriatric depression
scale (GDS)
• Status Kognitif: Antara lain penapisan dengan pemeriksaan mini - mental state
examination (MMSE), abbreviated mental test (AMT)
• Tingkat Mobilitas : Mobilitas di tempat tidur, kemampuan transfer, mobilitas di
kursi roda, keseimbangan saat duduk dan berdiri, cara berjalan {gait ), nyeri saat
bergerak.
Pemeriksaan Penunjang1
• Penilaian berat ringannya kondisi medis penyebab imobilisasi (foto lutut,
ekokardiografi, dll) dan komplikasi akibat imobilisasi ( pemeriksaan albumin,
elektrolit, glukosa darah, hemostasis, dll.
298
Imobilisasi
TATALAKSANA1
Tatalaksana Umum
• Kerjasama tim medis interdisiplin dengan partisipasi pasien , keluarga , dan
pramuwerdha
• Edukasi kepada pasien dan keluarga mengenai bahaya tirah baring lama,
pentingnya latihan bertahap dan ambulasi dini , serta mencegah ketergantungan
pasien dengan melakukan aktivitas kehidupan sehari -hari sendiri, semampu pasien
• Dilakukan pengkajian geriatri paripurna, perumusan target fungsional, dan
pembuatan rencana terapi yang mencakup pula perkiraan waktu yang diperlukan
untuk mencapai target terapi
• Temukenali dan tatalaksana infeksi , malnutrisi, anemia, gangguan cairan dan
elektrolit yang mungkin terjadi pada kasus imobilisasi, serta penyakit/kondisi
penyerta lainnya
• Evaluasi seluruh obat - obatan yang dikonsumsi ; obat - obatan yang dapat
menyebabkan kelemahan atau kelelahan harus diturunkan dosisnya atau
dihentikan bila memungkinkan.
• Berikan nutrisi yang adekuat, asupan cairan dan makanan yang mengandung serat,
serta suplementasi vitamin dan mineral
• Program latihan dan remobilisasi dimulai ketika kestabilan kondisi medis sudah
tercapai , meliputi latihan mobilitas di tempat tidur, latihan lingkup gerak sendi
( pasif, aktif, dan aktif dengan bantuan) , latihan penguatan otot-otot ( isotonik,
isometrik, isokinetik) , latihan koordinasi / keseimbangan (misalnya berjalan pada
satu garis lurus), transfer dengan bantuan, dan ambulasi terbatas .
• Bila diperlukan, sediakan dan ajarkan cara penggunaan alat-alat bantu berdiri
dan ambulasi
• Manajemen miksi dan defekasi, termasuk penggunaan komod atau toilet
TATALAKSANA KHUSUS
• Tatalaksana faktor risiko imobilisasi (lihat Tabel 1)
• Tatalaksana komplikasi akibat imobilisasi
• Pada keadaan - keadaan khusus, konsultasikan kondisi medik kepada dokter
spesialis yang kompeten
• Lakukan remobilisasi segera dan bertahap pada pasien - pasien yang mengalami
sakit atau dirawat di rumah sakit dan panti werdha untuk mencegah imobilisasi
lebih lanjut
299
Panduan Praktik Klinis Geriatri
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyokil Dalam Indonesia
Upayakan dukungan lingkungan dan ketersediaan alat bantu untuk mobilitas yang
adekuat bagi usia lanjut yang mengalami disabilitas permanen
Low dose heparin ( LDH), dan Low Molecular Weight Heparin (LMWH), pencegahan
kontraktur dan pneumonia ( gerakan-gerakan yang harus dikerjakan, pencegahan
ulkus dekubitus)
KOMPLIKASI
Trombosis, emboli paru, kelemahan otot, kontraktur otot dan sendi, osteoporosis,
ulkus dekubitus, hipotensi postural, pneumonia dan infeksi saluran kemih, gangguan
nutrisi ( hipoalbuminemia ), konstipasi dan skibala.12
PROGNOSIS
Prognosis tergantung pada penyakit yang mendasari imobilisasi dan komplikasi
yang ditimbulkannya . Perlu dipahami, imobilisasi dapat memperberat penyakit
dasarnya bila tidak ditangani sedini mungkin, bahkan dapat sampai menimbulkan
kematian.
300
Imobilisasi
KOMPETENSI
• Dokter Spesialis Penyakit Dalam
• Konsultan Geriatri
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam
REFERENSI
1. . . .
Setiati, Siti Roosheroe, Arya Govinda Imobilisasi Pada Usia Lanjut Dalam :Sudoyo, Aru W .
.
Setyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata, Marcellus. Setiati, Siti Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Edisi V . Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-
.
RSCM ; 2009 Halaman 859-864.
2. .
Stechmiller JK, Cowan L, Whitney JD, et al Guidelines for the prevention of pressure ulcers. Wound
Repair Regen 2008; 16 ( 2) :151-168
301
302
INKONTINENSIA URIN
PENGERTIAN
Inkontinensia urin adalah keluarnya urin yang tidak terkendali sehingga
menimbulkan masalah higiene dan sosial. Inkontinensia urin merupakan masalah yang
sering dijumpai pada pasien geriatri dan menimbulkan masalah fisik dan psikososial,
seperti dekubitus, jatuh, depresi, dan isolasi sosial.1
Inkontinensia urin dapat bersifat akut atau persisten. Inkontinensia urin yang akut
dapat diobati bila penyakit atau masalah yang mendasarinya diatasi seperti infeksi
saluran kemih, gangguan kesadaran, vaginitis atrofik, obat-obatan, masalah psikologik,
dan skibala. Inkontinensia urin yang persisten biasanya dapat pula dikurangi dengan
berbagai modalitas terapi.1
Inkontinensia urin persisten dapat dibedakan menjadi: 2
• Inkontinensia urin tipe urgensi dicirikan oleh gejala adanya sering berkemih,
keinginan berkemih yang tidak tertahankan ( urgensi), yang disebabkan oleh
overaktivitas otot detrusor karena hilangnya kontrol neurologis atau iritasi lokal
• Inkontinensia urin tipe stres adalah kegagalan mekanisme sfingter menutup
ketika ada peningkatan tekanan intra-abdomen mendadak seperti bersin, batuk,
mengangkat barang berat dan tertawa.
• Inkontinensia urin tipe overflow dicirikan oleh menggelembungnya kandung kemih
-
melebihi volume yang seharusnya dimiliki kandung kemih, post void residu (PVR)
>100 cc.
Penyebab reversibel dari inkontinentia (DIAPPERS) : 3
Delirium or confusion = delirium atau acute cofusional state
Infection, urinary symptoms = infeksi, gejala traktus urinarius
Atrophic genital tract changes ( vaginitis or urethritis) = atrofi traktus genitalia (vaginitis
atau urethritis)
Pharmaceutical agents = obat-obatan atau zatyang menimbulkan efek sering berkemih
Psychological factors = faktor psikologi
Excess urine production [ excess fluid intake, volume overload, metabolic such as
hyperglycemia or hypercalcemia) = kelebihan produksi urin ( konsumsi cairan yang
banyak, kondisi overload atau metabolik seperti hiperglikemia atau hiperkalsemia)
PanduanPrakiikKIinis
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
Inkontinensia Urin
DIAGNOSIS
Anamnesis
Frekuensi, urgensi, nokturia, disuria, hesitancy, pancaran lemah , tanyakan
frekuensi miksi, banyaknya kejadian inkontinensia, konsumsi cairan, gejala ginekologis:
perdarahan pervaginam, iritasi vagina.4
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaaan neurologis: kesadaran, nervus cranialis, fungsi motorik, refleks
spinal, dan fungsi sensoris. Pemeriksaan pelvis : inflamasi atau infeksi traktus genitalia
dapat meningkatkan sensasi aferen yang menyebabkan irritative voiding symptoms.4
Pemeriksaan Penunjang
Urin lengkap dan kultur urin, PVR, kartu catatan berkemih, gula darah, kalsium
darah dan urin, perineometri, urodynamic study.
TATALAKSANA
Terapi untuk inkontinensia urin tergantung pada penyebab inkontinensi urin.1
• Untuk inkontinensia urin tipe urgensi dan overactive bladder, diberikan latihan
otot dasar panggul, bladder training , schedule toiletting , dan obat yang bersifat
antimuskarinik (antikolinergik) seperti tolterodin, solifenacin, propiverine atau
oksibutinin. Obat antimuskarinik yang dipilih seyogyanya yang bersifat uroselektif.
• Untuk inkontinensia urin tipe stres, latihan otot dasar panggul merupakan pilihan
utama, dapat dicoba bladder training dan obat agonis alfa ( hati- hati pemberian
agonis alfa pada orang usia lanjut).
• Untuk inkontinensia tipe overflow, perlu diatasi penyebabnya. Bila ada sumbatan,
perlu diatasi sumbatannya (misalnya hipertrofi prostat).
KOMPLIKASI
Inkontinensia urin dapat menimbulkan komplikasi infeksi saluran kemih, lecet
pada area bokong sampai dengan ulkus dekubitus karena selalu lembab, serta jatuh
dan fraktur akibat terpeleset oleh urin yang tercecer.
303
l PW
Panduan Praktik Klinis Geriatri
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
PROGNOSIS
Inkontinensia urin tipe stres biasanya dapat diatasi dengan latihan otot dasar
panggul, prognosis cukup baik.
Inkontinensia urin tipe urgensi atau overactive bladder umumnya dapat diperbaiki
dengan obat-obat golongan antimuskarinik, prognosis cukup baik.
Inkontinensia urin tipe overflow, tergantung pada penyebabnya ( misalnya dengan
mengatasi sumbatan / retensi urin ).
KOMPETENSI
• Spesialis Penyakit Dalam ; A3, B4
• Konsultan Geriatri
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Divisi Geriatri- Departemen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Departemen Penyakit Dalam
REFERENSI
1. .
Setiati, Siti. Pramantara, I Dewa Putu Inkontinensia Urin dan kandung kemih hiperaktif. Dalam
:Sudoyo, Aru W . Setyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata, Marcellus. Setiati, Siti. Buku ajar
Ilmu Penyakit Dalam Edisi V. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Departemen ilmu Penyakit
Dalam FKUI-RSCM : 2009. Halaman 837 -844.
2. Clinical problems of aging. Dalam : Fauci A , Kasper D, Longo D, Braunwald E, Flauser S, Jameson
J, Loscalzo J, editors. Harrison ' s principles of internal medicine. 18lh ed. United States of America;
The McGraw-Hill Companies, 2011 .
3. Resnick NM. Urinary incontinence in the elderly. Medical Grand Rounds 1984:3:281-90.
4. Botros, Sylvia M. sand, Peter K. Urinary Incontinence. Diunduh pada : http://www. menopausemgmt.
.
com /issues / 13-05 /MM 13-5_lncontinence pdf pada tanggal 28 Mei 2012.
304
305
PENGERTIAN
Stabilitas adalah proses menerima dan mengintegrasikan input sensorik serta
merencanakan dan melaksanakan gerakan untuk mencapai tujuan yang membutuhkan
postur tegak, atau mengontol pusat gravitasi tetap berada di atas landasan penopang
1
.
Instabilitas adalah kekurangan atau kehilangan kemampuan mempertahankan
stabilitas2. Jatuh adalah suatu kondisi seseorang mengenai lantai atau posisi yang
lebih rendah karena ketidak hati-hatian (inadvertently) dengan atau tanpa penurunan
kesadaran.3
Adanya instabilitas membuat seseorang berisiko untuk jatuh. Kemampuan untuk
mengontrol posisi tubuh dalam ruang merupakan suatu interaksi kompleks sistem
saraf dan muskuloskeletal yang dikenal sebagai sistem kontrol postural. Jatuh terjadi
manakala sistem kontrol postural tubuh gagal mendeteksi pergeseran dan tidak
mereposisi pusat gravitasi terhadap landasan penopang ( kaki, saat berdiri) pada
waktu yang tepat untuk menghindari hilangnya keseimbangan. Kondisi ini seringkali
merupakan keluhan utama yang menyebabkan pasien datang berobat ( keluhan utama
dari penyakit- penyakit yang juga bisa mencetuskan sindrom delirium akut).
1
Terdapat faktor risiko intrinsik dan ekstrinsik untuk terjadinya jatuh. Faktor
intrinsik terdiri atas faktor lokal dan faktor sistemik. Faktor intrinsik lokal: osteoartritis
genu / vertebra lumbal, plantar fasciitis, kelemahan otot kuadrisep femoris, gangguan
pendengaran, gangguan penglihatan, gangguan pada alat keseimbangan seperti vertigo
yang dapat ditimbulkan oleh gangguan aliran darah ke otak akibat hiperkoagulasi,
.
hiperagregasi, atau spondiloartrosis servikal Faktor intrinsik sistemik: penyakit
paru obstruktif kronik ( PPOK ) , pneumonia, infark miokard akut, gagal jantung,
infeksi saluran kemih, gangguan aliran darah ke otak (hiperkoagulasi, strok, dan
transient ischemic attact / T1A), diabetes melitus dan / atau hipertensi (terutama
jika tak terkontrol), paresis inferior, penyakit atau sindrom parkinson, demensia,
gangguan saraf lain serta gangguan metabolik seperti hiponatremia, hipoglikemia
atau hiperglikemia, dan hipoksia. Faktor risiko ekstrinsik / lingkungan antara lain :
alas kaki yang tidak sesuai, kain / pakaian bagian bawah tubuh yang terjuntai, lampu
Panduan PrakUkKIinis
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
/ vY
jpft
Panduan Praktik Klinis Geriatri
Perhimpunan Dokier Spesialis Pertyakil Dalcim Indonesia
ruangan yang kurang terang, lantai yang licin, basah, atau tidak rata , furnitur yang
terlalu rendah atau tinggi, tangga yang tak aman, kamar mandi dengan bak mandi
/
closet terlalu rendah atau tinggi dan tak memiliki alat bantu untuk berpegangan, tali
atau kabel yang berserakan di lantai , karpet yang terlipat, dan benda - benda di lantai
yang membuat seseorang terantuk.1
DIAGNOSIS
Anamnesis
Terdapat keluhan perasaan seperti akan jatuh, disertai atau tanpa dizziness, vertigo,
rasa bergoyang, rasa tidak percaya diri untuk transfer atau mobilisasi mandiri . Riwayat
jatuh, frekuensi, dan gejala yang dirasakan saat jatuh, riwayat pengobatan, dan faktor
risiko jatuh perlu ditanyakan.4
Pemeriksaan Fisik
Pendekatan dalam pemeriksaan jasmani dapat menggunakan singkatan "I HATE
FALLING" yaitu :5
I : inflamasi pada sendi (deformitas sendi)
H : hipotensi (orthostatik)
306
Instabilitas dan Jatuh
307
M: Panduan Prakakminis Geriatri
Pertiimpunan Dokter SpesiaRs Penyakit Dalam Indonesia
Pemeriksaan penunjang
Beberapa pemeriksaan (dapat dilihat pada bab prosedural) seperti the timed
up - and -go test (TUG ), uji menggapai fungsional { functional reach test ) , dan uji
keseimbangan Berg { the Berg balance sub-scale of the mobility index ) dapat untuk
mengevaluasi fungsi mobilitas sehingga dapat mendeteksi perubahan klinis bermakna
yang menyebabkan seseorang berisiko untuk jatuh atau timbul disabilitas dalam
mobilitas. Instrumen untuk memeriksa keseimbangan dan mobilitas fungsional
dapat dilihat pada lampiran l.1 Pemeriksaan penunjang diperlukan untuk membantu
mengidentifikasi faktor risiko; menemukan penyebab / pencetus: 1
• Lakukan pemeriksaan neurologis untuk mendeteksi defisit neurologis fokal,
adakah cerebro vascular disease atau transient ischemic attack; lakukan brain CT
scan jika ada indikasi
• Darah perifer lengkap
• Elektrolit (terutama natrium dan kalium), ureum, kreatinin, dan glukosa darah
• Analisis gas darah
• Urin lengkap dan kultur resistensi urin
• Hemostasis darah dan agregasi trombosit
• Foto toraks, vertebra, genu, dan pergelangan kaki (sesuai indikasi)
• EKG
• Identifikasi faktor domisili (lingkungan tempat tinggal)
Penilaian Risiko Jatuh Ada beberapa metode untuk menilai risiko jatuh pada
geriatri seperti the downtown fall risk index dan rumus seperti di bawah ini :6 7 -
Rumus menghitung kemungkinan jatuh pada geriatri :6
Kemungkinan exp [-7.519 + 0.026 x (reaction time/ - 0.071x (ABC1/ - 2.139 x (Berg 14) ]
jatuh x 100 %
1 + exp /-7.519 + 0.026 x (reaction time/ - 0.071x (ABC1J - 2.139 x (Berg 14//
Keterangan :
• Skala uji keseimbangan Berg : lihat di lampiran
• Reaction time : merupakan waktu yang diukur dari pemberian unexpected stimulus sampai merespon
terhadap stimuli tersebut
• Skala Activities-specific Balance Confidence (ABC) : terdiri dari 16 poin [ subscale ), subjek diminta untuk
menentukan tingkat kepercayaan diri mereka ketika diminta menyelesaikan suatu aktivitas.
Catalan: risiko jatuh dengan rumus di atas lebih banyak untuk kepentingan penelitian
308
Instabilitas dan Jatuh
Tabel 3. Penilaian Klinis dan Tatalaksana yang Direkomendasikan bagi Orang Usia Lanjut yang
Berisiko Jatuh1
Penilaian dan Faktor Rlsiko Tatalaksana
Lingkungan saat jatuh sebelumnya Perubahan lingkungan dan aktivitas untuk mengurangi
kemungkinan jatuh berulang
Tekanan darah postural ( setelah >5 menit Diagnosis dan tatalaksana penyebab dasar jika
dalam posisi berbaring/sup/ne, segera memungkinkan; review dan kurangi obat-obatan;
setelah berdiri, dan 2 menit setelah modifikasi dari restriksi garam; hidrasi yang adekuat;
berdiri) tekanan sistolik turun > 20 mmHg strategi kompensasi ( elevasi bagian kepala tempat
( atau > 20%), dengan atau tanpa gejala, tidur, bangkit perlahan, atau latihan dorsofleksi) ;
segera atau setelah 2 menit berdiri. stoking kompresi; terapi farmakologis jika strategi di
atas gagal.
309
Panduan Praktik Klinis Geriatri
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
TATALAKSANA
• Prinsip dasar tatalaksana usia lanjut dengan masalah instabilitas dan riwayat j atuh
adalah identifikasi faktor risiko intrinsik dan ekstrinsik, mengkaji dan mengobati
trauma fisik akibat jatuh; mengobati berbagai kondisi yang mendasari instabilitas
dan jatuh; memberikan terapi fisik dan penyuluhan berupa latihan cara berjalan,
penguatan otot, alat bantu, sepatu atau sandal yang sesuai; mengubah lingkungan
agar lebih aman seperti pencahayaan yang cukup; pegangan; lantai yang tidak
licin, dan sebagainya. 1
• Latihan desensitisasi faal keseimbangan, latihan fisik [penguatan otot, fleksibilitas
sendi, dan keseimbangan], latihan Tai Chi, adaptasi perilaku [bangun dari duduk
perlahan -lahan, menggunakan pegangan atau perabot untuk keseimbangan , dan
teknik bangun setelah jatuh] perlu dilakukan untuk mencegah morbiditas akibat
instabilitas dan jatuh berikutnya.1
• Perubahan lingkungan acapkali penting dilakukan untuk mencegah j atuh berulang
karena lingkungan tempat orang usia lanjut tinggal seringkali tidak aman sehingga
upaya perbaikan diperlukan untuk memperbaiki keamanan mereka agar kejadian
jatuh dapat dihindari.1
• Keluarga harus dilibatkan dalam program pencegahan jatuh berulang
• Penatalaksanaan faktor risiko juga dilakukan seperti pada Tabel 3.1
310
Instabilitas dan Jatuh tAj
• Suplementasi vitamin D dengan dosis 800 IU setiap hari dapat diberikan pada
usia lanjut yang berisiko jatuh, adanya defisiensi vitamin D, adanya gangguan
keseimbangan atau gait3
• Algoritme pendekatan dan penanganan jatuh pada usia lanjut8’9 dapat dilihat pada
lampiran 2.
KOMPLIKASI
Fraktur ( tersering tulang vertebra, panggul, ibu jari, tungkai, pergelangan kaki,
lengan atas, tangan), memar jaringan lunak, isolasi dan depresi, imobilisasi10
PROGNOSIS
Kemungkinan jatuh berulang lebih dari satu kali setiap tahunnya, terjadi pada
50% penghuni rumah perawatan / panti werdha, 10-25% mengalami komplikasi serius.
Jatuh dapat memengaruhi kualitas hidup. Ketakutan mengalami jatuh dialami 25-40%
orang berusia lanjut.1
Jatuh menyebabkan kematian karena kecelakaan dan terbanyak menyebabkan perawatan
di rumah sakit. Sebanyak 20-30% kasus jatuh menyebabkan luka berat seperti laserasi, fraktur
panggul, atau trauma kepala (46%). Kematian berhubungan dengan usia ( 82% kasus terjadi
-
pada usia > 65 tahun), jenis kelamin laki-laki, ras kulit putih, non Hispanics. 9
KOMPETENSI
• Spesialis Penyakit Dalam
• Konsultan Geriatri :
REFERENSI
1. Setiati Siti, Laksmi Niko Adhi. Gangguan Keseimbangan Jatuh dan Fraktur . Dalam: Suyono, S.
Waspadji, S. Lesmana, L. Alwi, I. Setiati, S. Sundaru, H. dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I.
Edisi V. Jakarta: Interna Publishing: 2010. Hal.812-825.
311
tr% Panduan Praktik Klinis Geriatri
^MTW
' 7 Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalom Indonesia
2. Instability. Dorland's Medical Dictionary for Health Consumers.2007. Diunduh dari http:/ /medical-
dictionary.thefreedictionary.com/instability pada tanggal 29 Mei 2012.
3. Yoshida S . A Global Report on Falls Prevention Epidemiology of Falls. Diunduh dari http://www.
who.int / ageing/projects/ 1 .Epidemiology%20of%20falls%20in%20older%20age.pdf pada tanggal
20 Mei 2012.
4. 2010 AGS / BGS Clinical Practice Guideline: Prevention of Falls in Older Persons. http:/ / www.
americangeriatrics.org/ files / documents/health_care_pros / Falls.Summary.Guide.pdf
5. Sloan JP. Mobility failure. In: Protocols in primary care geriatrics. New York: Springer, 1997:33-8 .
6. Lajoie Y, Gallagher S. Predicting falls within the elderly community:comparison of postural sway,
reaction time, the Berg balance scale and the Activities-speciflc Balance Confidence ( ABC )
.
scale for comparing toilers and non-fallers. Arch. Gerontol Geriatr. 38 ( 2004) 11-26 Diunduh.
. . .
dari http:// mrvar.fdv uni-lj si/ sola / info 4/tina / clanki/ dolinar_eva pdf pada tanggal 28 Mei 2012.
7. Rosendahl E. Prediction of falls among older people in residential care facilities by the Downtowm
. .
Index. Aging Clin Exp Resp, vol 15, no 2. 2002 Diunduh dari http:// ourfuture eu / OurFutureEU /
Files /results //Health%20and%20Social%20Services /Home%20 Visits / Prediction%20of %20falls%20
among%20older%20people%20%20DFRI.pdf pada tanggal 29 Mei 2012.
8. Summary of the Updated American Geriatrics Society/ British Geriatrics Society Clinical Practice
Guideline for Prevention of Falls in Older Persons, e Panel on Prevention of Falls in Older Persons,
American Geriatrics Society and British Geriatrics Society. http:// www. americangeriatrics.org/
files / documents / health_care_pros/ JAGS.Falls.Guidelines.pdf
9. Ferrucci L. Clinical Problems of Aging. . In: Longo Fauci Kasper, Harrison ' s Principles of Internal
Medicine 18lh edition.United States of America.Mcgraw Hill. 2012
10. Falls Among Older Adults. Centers for Disease Controland Prevention. 2012. Diunduh dari http://
www.cdc.gov /HomeandRecreationalSafety/Falls / adultfalls.html pada tanggal 20 Mei 2012.
312
Instabilitas dan Jatuh
Lampiran 1
Cara pelaksanaan : subyek bangun dari kursi setinggi 46 cm dengan sandaran lengan
dan punggung, berjalan sepanjang 3 meter, berbalik arah kembali menuju kursi, dan
duduk kembali . 1
Hasil :
Tabel 4. Hasi pemeriksaan The Timed Up and Go1
Waktu (detik) Ttngkat mobilitas
< 10 Kemandirian penuh
< 20 Umumnya mandiri untuk berbagai aktivitas mobilitas seperti akivitas
mandi, mampu untuk baik tangga, dan bepergian sendiri
20-2? Variasi dalam mobilitas dan keseimbangan
>30 Mobilitas terganggu dan ketergantungan pada kebanyakan aktivitas
karena risiko jatuh tinggi
Hasil :
Tabel 5. Hasil pemeriksaan uji menggapai fungsional1
Kriteria Usla (tahun) Jenls kelamln Hasil pemeriksaan
Normal -
41 69 Laki-laki 14,98 inci ± 2,21
Perempuan 13,81 inci ± 2.2
70-87 Laki-laki 13,16 inci ± 1,55
Perempuan 10,47 inci ± 3, 4
Berisiko jatuh > 70 < 6 inci
313
ir$
milr
Papuan Prakiik Minis
. *)
PwtilmtnjlKln Dailm Jpeilat I'onraUt Oalam mdon© Geriatri
W
Berdiri ke duduk
Transfer
Berdiri tanpa bantuan
Berdiri dengan mata tertutup
B6rdiri dengan kedua kaki rapat
Berdiri dengan kedua kaki dalam posisi tandem
Berdiri dengan satu kaki
Rotasi punggung saat berdiri
Mengambil obyek tertentu dari lantai
Berputar 3600 - AVii
f Sr.
314
Instabilitas dan Jatuh
Lampiran 2
I
Jatuh > 1 kali, kesulitan dalam 1 kali jatuh Tidak ada
keseimbangan dan gait , mencari dalam 6 bulan masalah
penyebab medis.
315
316
FRAILTY
Frailty merupakan sindroma geriatri yang dihasilkan dari kumulasi penurunan
sistem fisiologi yang multipel, dengan gangguan cadangan homeostatik dan
penurunan kapasitas terhadap stress, termasuk kerentanan terhadap risiko jatuh,
perawatan ulang, dan mortalitas. Fried dkk, menyatakan terdapat tiga atau lebih
gejala : penurunan berat badan, kelelahan, kelemahan, kecepatan berjalan menurun
dan aktifitas fisik lambat. Frailty dan sarkopenia tumpang tindih; sebagian besar
usia lanjut yang frail memperlihatkan sarkopenia, dan beberapa usia lanjut yang
sarkopenia juga mengalami /ra //. 5 Sarkopenia adalah sindroma yang ditandai dengan
menurunnya kekuatan dan massa otot secara progresif yang dapat menyebabkan
disabilitas, kualitas hidup menurun dan kematian .6 Salah satu penyebab sarkopenia
adalah asupan energi dan protein tidak adekuat, misalnya malabsorpsi, gangguan
gastrointestinal atau obat - obatan.5
Protein
Protein merupakan suatu "kunci" nutrient pada usia lanjut. Diet protein yang
9
mengandung asam amino diperlukan untuk sintesis protein otot. Absorbsi asam
amino mempunyai efek stimulasi pada sintesis protein otot setelah makan. Pada
10
asupan makanan yang kurang dan konsumsi protein bersamaan dengan karbohidrat,
menyebabkan respon sintesa asam amino tidak bekerja baik pada usia lanjut. Asupan
9,11
Pada kondisi sarkopenia terjadi penurunan massa otot 3-8% per dekade. Untuk
mencegah atau memperlambat terjadinya sarkopenia, seorang usia lanjut perlu
mengkonsumsi protein dalam jumlah adekuat. Untuk memaksimalkan sintesis protein
otot, asupan protein 25-30 gram protein dengan kualitas tinggi per kali makan (setara
dengan 10 gram asam amino esensial) . Leusin, suatu insulin secretogogue, dapat
meningkatkan sintesis protein otot, sehingga suplementasi leusin ke dalam asupan
makanan dapat mencegah terjadinya sarkopenia.1113-
,
Vitamin D
Hubungan defisiensi vitamin D osteomalasia dan myopati sudah dikenal sejak
beberapa tahun yang lalu.14 Tetapi, peranan vitamin D langsung terhadap kekuatan otot
dan fungsi fisik masih kontroversial.15 Mekanisme status vitamin D terhadap fungsi otot
cukup kompleks, termasuk peranan genomik dan nongenomik. -
14 16 Reseptor vitamin
D, suatu target organ telah diisolasi dari otot skeletal. dan polimorfisme reseptor
14
317
Panduan Praktik Klinis Geriatri
Pertiimpunan Dokter Spesialls Penyakil Dalam Indonesia
Antioksidan
Kerusakan yang disebabkan stres oksidatif dapat menyebabkan gangguan pada
fungsi fisikusia lanjut.20 Kerusakan DNA, lipid, dan protein dapat terjadi bila reactive
oxygen species ( ROS) pada sel meningkat. Kerja ROS diimbangi oleh mekanisme
pertahanan antioksidan yang termasuk enzim dismutase peroksidase dan peroksidase
gluthation, sebagai antioksidan eksogen pada diet, misalnya selenium, karotenoid,
-
tokopherol, flavonoid, tanaman polyphenol yang lain.10 20 Pada usia lanjut, akumulasi
ROS memicu kerusakan oksidatif dan berperan pada hilangnya massa dan kekuatan
otot.10 Sejumlah studi observasional menunjukkan hubungan positif antara status
anti oksidan tinggi dengan pengukuran fungsi fisik.7 Pada studi cross-sectional dan
longitudinal, status oksidan rendah merupakan prediksi penurunan fungsi fisik. Studi
InCHIANTI pada usia lanjut laki-laki dan wanita, kadar karotenoid plasma tinggi
berhubungan dengan risiko yang rendah terhadap disabilitas berjalan yang berat, di-
-
follow up selama enam tahun. Pada studi ini setelah diperhitungkan faktor perancu
termasuk level aktifitas fisik dan morbiditas yang lain, OR 0,44 (95% Cl 0, 27-0,74).21-
318
Tatalaksana Nutrisi pada "Frailty" Usia Lanjut
KESIMPULAN
Perlu pemahaman strategi mencegah atau menunda /raz / ty / sarkopenia pada usia
'
lanjut. Faktor gaya hidup [ lifestyle ) berpengaruh pada penurunan massa dan kekuatan
otot. Hal yang penting dalam diet adalah asupan nutrisi yang adekuat dalam hal kualitas
dan kuantitas yang mencakup nutrient protein, vitamin D dan antioksidan. Nutrisi dan
diet adekuat selama hidup merupakan kunci dalam pencegahan sarkopenia dalam
meningkatkan kapabilitas fisik pada usia lanjut. Gabungan asupan nutrisi yang adekuat
dan exercise lebih baik dalam pencegahan dan tatalaksana sarkopenia.
REFERENSI
1. Nieuwenhuizen WF, Weenen H, Rigby P, Hetrington MM. Older adults and patients in need of
nutritional support: review of current treatment options and factors influencing nutritional intake.
Clin Nutr 2010: 29 ( 2) : 160-69 .
2. Murphy C. The chemical senses and nutrition in older adults. Jour Nutr Eld 2008:27 (3-4) :247-65.
3. Richard N, Baumgartner, Waters DL. Sarcopenia and sarcopenic-obesity. In: Pathy MSJ, Sinclair
AJ, Morley JE, eds Principles and Practice of Geriatric Medicine. 4 ed. John Wilwy & sons Ltd.
lh
: 2006.p. 909-27 .
4. Robinson S, Cooper C, Sayer AA . Nutrition and sarcopenia: a review of the evidence and
implications for preventive strategies. Jour Aging Research 2012: 1 -6.
5. Cruz-jentoft AJ, Baeyens JP, Bauer JM, Boirie Y , Cederholm T, Landi F, et al. Sarcopenia:European
consensus on definition and diagnosis. Age and Ageing 2010; 39: 412-23.
6. Delmonico MJ, Harris TB, Lee JS et al. Alternative definitions of sarcopenia, lower extremity
performance,and functional impairment with aging in older men and women. J Am Geriatr
Soc 2007; 55: 769-74.
7. Kaiser M, Bandinelli, Lunenfeld B . Frailty and the role of nutrition in older people. A review of the
current literature. Acta Biomedica 2010; 81 (5): 37-45.
319
itvSJyT;
yW I
Panduan Praktik Klinis Geriatri
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
8. Calder PC. N-3 Polyunsaturated fatty acid, inflammation, and inflammatory disease. Am Jour of
Clin Nutr 2006; 83 ( 6 ) : 1505S-1519 S.
9. Wolfe RR , Miller SL, Miller KB. Optimal protein intake in the elderly. Clin Nutr 2008: 27 ( 5) : 675 -84.
10 . Kim JS, Wilson JM, Lee SR. Dietary implication on mechanisms of sarcopenia: roles of protein,
amino acids and antioxidants. Jour Nutr Biochem 2010; 21 ( 1): 1-13.
Paddon-Jones D, Rasmussen BB. Dietary protein recommendations and the prevention of
.
sarcopenia Curr Opin Clin Nutr Metab Care 2009: 12( 1 ) : 86-90.
.
12. Borsheim E, Bui QT, TissierS, Kobayashi H, Ferrando A, Wolfe RR Effect of amino acid supplementation
.
on muscle mass, strength and physical function in elderly Clin Nutr 2008; 27 ( 2 ) : 189-95.
13. Konsensus pengelolaan nutrisi pada usia lanjut 2012. PB Pergemi
.
14 . Hamilton B . Vitamin D and human skeletal muscle Scandinavian Jour Med Sci Sports 2010; 20 ( 2) :
182-90.
15 . Annweiler C, Schott AM, Berrut G, Fantino B , Beauchet O. Vitamin D-related changes in physical
performance: a systematic review. Jour Nutr Health Aging 2009: 13 ( 10 ) : 893-98.
16. Ceglia L. Vitamin D and its role in skeletal muscle. Curr Op Clin Nutr Metab Care 2009; 12( 6) : 628-33.
.
17. Geusens P, Vandevyver C, Vanhoof J, Cassiman JJ, Boonen S, Raus J Quadriceps and grip
strength are related to vitamin D receptor genotype in elderly nonobese women. Jour Bon Min
Research 1997; 12 ( 12) : 2082-88.
18. Wilhelm-Leen ER , Hall YN, de Boer IH, Chertow GM. Vitamin D deficiency and frailty in older
Americans. Jour Int Med 2010; 268 ( 2) : 171 -80.
19. Bischoff -Ferrari HA, Dawson-Hughes B, staehelin HB et al. Fall prevention with supplemental and
active forms of vitamin D: a meta-analisis of randomised controlled trials. British Med Jour 2009;
339: ID b 3692.
20. Semba RD, Ferruci L, Sun etal. Oxidative stress and severe walking disability among older women.
Am Jour Med 2007; 120 ( 12) : 1084-89.
21. Lauretani F, Semba RD, Bandinelli S, et al. Carotenoids as protection against disability in older
persons. Rejuvenation Research 2008; 11 (3) : 557-63.
22. Jensen GL. Inflammation: roles in aging and sarcopenia. Jour Parent Ent Nutr 2008; 32 ( 6 ) : 656-59 .
23. Robinson SM, Jameson KA , Batelann SF et al. Diet and its relationship with grip strength in
community-dwelling older men and women: the Hertfordshire cohort study. Jour Am Ger Soc
2008; 56 ( 1 ) : 84-90.
24. Smith Gl, Atherton P, Reeds DN et al. Dietary omega-3 fatty acid supplementation increases the
rate of muscle protein synthesis in older adults: a randomized controlled trial. Am Jour Clin Nutr
2011: 93 ( 2) : 402- 12.
25. Liu CJ, Latham NK. Progressive resistence strength training forimproving physical function in older
adults. Cochrane Database of Systematic Review 2009; 3: article IDCD002759.
26. Symons TB, Sheffleld-Moore M, Mamerow MM, Wolfe RR, Paddon- Jones D. The anabolic response
to resistence exercise and a protein-rich meal is not diminished by age. Jour Nutr Health Aging
2010; 15 ( 5) : 376-81.
320
321
PanduanPraktik Klinis
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
/ft - PandumPnMlk Minis Geriatri
Perhimpunan Dokler Spesialls Penyakil Dalam Indonesia
STATUS FUNGSIONAL
Pendekatan yang dilakukan untuk menyembuhkan kondisi akut pasien geriatri
tidak akan cukup untuk mengatasi permasalahan yang muncul. Meskipun kondisi
akutnya sudah teratasi, tetapi pasien tetap tidak dapat dipulangkan karena belum
mampu duduk, apalagi berdiri dan berjalan, pasien belum mampu makan dan minum
serta membersihkan diri tanpa bantuan. Pengkajian status fungsional untuk mengatasi
berbagai hendaya menjadi penting, bahkan seringkali menjadi prioritas penyelesaian
masalah . Nilai dari kebanyakan intervensi medis pada orang usia lanjut dapat diukur
dari pengaruhnya pada kemandirian atau status fungsionalnya. Kegagalan mengatasi
hendaya maupun gejala yang muncul akan mengakibatkan kegagalan pengobatan
secara keseluruhan.
Mengkaji status fungsional seseorang berarti melakukan pemeriksaan dengan
instrumen tertentu untuk membuat penilaian menjadi obyektif, antara lain dengan
indeks aktivitas kehidupan sehari-hari ( activity of daily living ADL) Barthel atau
/
322
Pendekatan Paripurna Pasien Geriatri/
Comprehensive Geriatric Assessment ( CGA )
Katz . Pasien dengan status fungsional tertentu akan memerlukan berbagai program
untuk memperbaiki status fungsionalnya agar kondisi kesehatan kembali pulih,
mempersingkat lama rawat, meningkatkan kualitas hidup dan kepuasan pasien.
STATUS KOGNITIF
Pada pasien geriatri, peran dari aspek selain fisik justru terlihat lebih menonjol
terutama saat mereka sakit. Faal kognitif yang paling sering terganggu pada pasien
geriatri yang dirawat inap karena penyakit akut antara lain memori segera dan jangka
pendek, persepsi, proses pikir, dan fungsi eksekutif. Gangguantersebutdapatmenyulitkan
dokter dalam pengambilan data anamnesis, demikian pula dalam pengobatan dan tindak
lanjut. Adanya gangguan kognitif tentu akan mempengaruhi kepatuhan dan kemampuan
pasien untuk melaksanakan program yang telah direncanakan sehingga pada akhirnya
pengelolaan secara keseluruhan akan terganggu juga.
Gangguan faal kognitif bisa ditemukan pada derajat ringan ( mild cognitive
impairment / MCI dan vascular cognitive impairment /VCl ) maupun yang lebih berat
(demensia ringan, sedang, dan berat) . Hal tersebut tentunya memerlukan pendekatan
diagnosis dan terapeutik tersendiri. Penapisan adanya gangguan faal kognitif secara
obyektif antara lain dapat dilakukan dengan pemeriksaan neuropsikiatrik seperti
Abbreviated Mental Test ( AMT ) dan the Mini - Mental State Examination ( MMSE) .
STATUS NUTRISI
Masalah gizi merupakan masalah lain yang mutlak harus dikaji pada seorang
pasien geriatri . Gangguan nutrisi akan mempengaruhi status imun dan keadaan umum
323
(frY-
VM * WBt Mm
PanduanPrakUkKlinis
Perhimponan Dokter Spesialis Penyakil Dalam Indonesia Geriatri
pasien. Adanya gangguan nutrisi seringkali terabaikan mengingat gejala awal seperti
rendahnya asupan makanan disangka sebagai kondisi normal yang terjadi pada pasien
geriatri. Sampai kondisi status gizi turun menjadi gizi buruk baru tersadar bahwa
memang ada masalah di bidang gizi. Pada saat tersebut biasanya s udah terlambat atau
setidaknya akan amat sulit menyusun program untuk mengobati status gizi buruk.
Pengkajian status nutrisi dapat dilakukan dengan anamnesis gizi (anamnesis
asupan ), pemeriksaan antropometrik, maupun biokimiawi. Dari anamnesis harus
dapat dinilai berapa kilokalori energi, berapa gram protein, dan berapa gram lemak
yang rata - rata dikonsumsi pasien. Juga perlu dievaluasi berapa gram serat dan mililiter
cairan yang dikonsumsi. Jumlah vitamin dan mineral biasanya dilihat secara lebih
spesifik sehingga memerlukan perangkat instrumen lain dengan bantuan seorang
ahli gizi. Pemeriksaan antropometrik yang lazim dilakukan adalah pengukuran indeks
massa tubuh dengan memperhatikan perubahan tinggi tubuh dibandingkan saat usia
dewasa muda. Rumus tinggi lutut yang disesuaikan dengan ras Asia dapat dipakai
untuk kalkulasi tinggi badan orang usia lanjut. Pada pemeriksaan penunjang dapat
diperiksa hemoglobin dan kadar albumin plasma untuk menilai status nutrisi secara
biokimiawi.
Instrumen untuk mengkaji status nutrisi pasien geriatri yaitu dengan Mini
Nutrisional Assessment ( MNA). Mini Nutrisional Assessment terdiri dari pertanyaan
penapisan dan pengkajian meliputi anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Instrumen untuk mengkaji status fungsional, kognitif, emosional dan nutrisi dapat
dilihat pada lampiran.
REFERENSI
1. .
Soejono CH. Pengkajian paripurna pada pasien geriatri In: Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I,
.
Simadibrata M, Setiati S Buku Ajar llmu Penyakit Dalam. Edisi V. InternaPublishing Pusat Penerbitan
Departemen llmu Penyakit Dalam. 2010 p 768-75 ..
2. . .
Reuben DB, Rosen S Principles of Geriatric Assessment In : Halter JB, Ouslander JG, Tinetti ME,
. .
Studenski S, High KP, Asthana S Eds. Hazzard’ s Geriatric Medicine and Gerontology. 6lh ed New
York: McGraw-Hill Companies, Inc. 2009. p.141-52
3 . . .
Evaluating the geriatric patient In : Kane RL, Oustlander JG, Abrass IB, Resnick B Eds. Essentials
of Clinical Geriatrics. 6lh ed. New York: McGraw-Hill. 2009 p.41 -77 .
4. .
Steinweig KK. Initial assessment In : Ham RJ. Sloane PD. Warshaw GA, Bernard MA. Flaherty E Eds.
.
.
Primary care geriatrics a case-based approach. 5lh ed.Philadelphia: Mosby Elsevier 2007.p.50-71
324
^°
Pendekatan Paripurna Pasien Geriatri/
Comprehensive Geriatric Assessment ( CGA )
Lampiran 1
325
t \
vi "
I wf
Panduan Praktik Klinis Geriatri
Perhimpunan Dokter Speslalls Penyakit Dalam Indonesia
Lampiran 2
Skor AMT
Skor AMT :
0-3 : gangguan ingatan berat
4- 7 : gangguan ingatan sedang
8- 10 : normal
.
11 Perasaan hati 1. Baik 2. Labil 3. Depresi
4. Gelisah 5. Cemas
ass
Pendekatan Paripurna Pasien Geriatri/
Comprehensive Geriatric Assessment ( CGA )
Lampiran 3
JUMLAH NILAI ( ]
327
Panduan Praktik Klinis Geriatri
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
Lampiran 4
Pilihlah jawaban yang paling tepat, yang sesuai dengan perasaan pasien /responden dalam dua
minggu terakhir. Jawaban yang bercetak tebal diberi nilai 1 .
1. Apakah Bapak/ lbu sebenarnya puas dengan kehidupan Bapak / lbu ? Ya TIDAK
2. Apakah Bapak/ lbu telah meninggalkan banyak kegiatan dan minat YA Tidak
atau kesenangan Bapak/ lbu ?
3. Apakah Bapak /lbu merasa kehidupan Bapak/ lbu kosong ? YA Tidak
4. Apakah Bapak/ lbu sering merasa bosan ? YA Tidak
5. Apakah Bapak/ lbu mermpunyai semangat yang baik setiap saat ? Ya TIDAK
6. Apakah Bapak / lbu takut bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi pada YA Tidak
Bapak /lbu ?
7. Apakah Bapak / lbu merasa bahagia untuk sebagian besar hidup Bapak/ Ya TIDAK
Ibu ?
8. Apakah Bapak /lbu sering merasa tidak berdaya ? YA Tidak
9. Apakah Bapak /lbu lebih senang tinggal di rumah daripada pergi ke luar YA Tidak
dan mengerjakan sesuatu hal yang baru ?
10. Apakah Bapak /lbu merasa mempunyai banyak masalah dengan daya YA Tidak
ingat Bapak/ lbu dibandingkan kebanyakan orang ?
11. Apakah Bapak/lbu pikir bahwa hidup Bapak/ lbu sekarang ini Ya TIDAK
menyenangkan ?
12. Apakah Bapak /lbu merasa tidak berharga seperti perasaan Bapak/ lbu YA Tidak
saat ini ?
13. Apakah Bapak/lbu merasa penuh semangat ? Ya TIDAK
14. Apakah Bapak /lbu merasa bahwa keadaan Bapak / lbu tidak ada YA Tidak
harapan ?
15. Apakah Bapak / lbu pikir bahwa orang lain lebih baik keadaannya dari YA Tidak
Bapak /lbu ?
328
Pendekatan Paripurna Pasien Geriatri/
Comprehensive Geriatric Assessment ( CGA )
Lampiran 5
PENAPISAN fSCREENING )
A . Apakah ada penurunan asupan makanan dalam jangka waktu 3 bulan oleh
karena kehilangan nafsu makan, masalah pencernaan, kesulitan menelan, atau
mengunyah ?
0 = nafsu makan yang sangat berkurang
1 = nafsu makan sedikit berkurang (sedang)
2 = nafsu makan biasa saja
B. Penurunan berat badan dalam 3 bulan terakhir:
0 = penurunan berat badan lebih dari 3 kg
1 = tidak tahu
2 = penurunan berat badan 1 - 3 kg
3 = tidak ada penurunan berat badan
C. Mobilitas
0 = harus berbaring di tempat tidur atau menggunakan kursi roda
1 = bisa keluar dari tempat tidur atau kursi roda, tetapi tidak bisa ke
luar rumah.
2 = bisa keluar rumah
D. Menderita stres psikologis atau penyakit akut dalam 3 bulan terakhir
0 = ya 2 = tidak
E. Masalah neuropsikologis
0 = demensia berat atau depresi berat
1 = demensia ringan
2 = tidak ada masalah psikologis
F. Indeks massa tubuh ( IMT) ( berat badan dalam kg/ tinggi badan dalam m2)
0 = IMT < 19 1 = IMT 19 - < 21
2 = IMT 21 - < 23 3 = IMT 23 atau lebih
329
4)
’>,
PanduanPraktik Klinis Geriatri
Pertwnpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
330
331
PENGERTIAN
Sindrom delirium akut [ acute confusional state /ACS) adalah sindrom mental organik
yang ditandai dengan gangguan kesadaran dan atensi serta perubahan kognitif atau
gangguan persepsi yang timbul dalam jangka pendek dan berfluktuasi . Penyebabnya
yaitu defisiensi neurotransmiter asetilkolin, gangguan metabolisme oksidatif di otak
yang berkaitan dengan hipoksia dan hipoglikemia, meningkatnya sitokin otak pada
penyakit akut; sehingga mengganggu transduksi sinyal neurotransmiter serta second
messenger system dan akibatnya menimbulkan gejala serebral dan aktivitas psikomotor.
Faktor predisposisi dan fator pencetus yaitu:1
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Gejala yang dapat dijumpai yaitu gangguan kognitif global berupa gangguan
memori jangka pendek, gangguan persepsi (halusinasi, ilusi], gangguan proses pikir
( disorientasi waktu , tempat, orang) , komunikasi tidak relevan, autoanamnesis sulit
dipahami. Pasien mengomel terus atau terdapat ide- ide pembicaraan yang melompat-
PanduanPraktikKIinis
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
o
wllv B|
|
Panduan Praktik Klinis Geriatri
§ PerhimpunanDoklerSpesiallsPenyakjtDalamIndonesia
lompat, gangguan siklus tidur (siang hari tertidur sedangkan malam hari terjaga].
Gejala-gejala tersebutterjadi secara akut dan fluktuatif, dari hari ke hari dapat terjadi
perubahan gejala secara berganti-ganti. Pada anamnesis perlu ditanyakan fungsi
intelektual sebelumnya, status fungsional, awitan dan perjalanan konfusi, riwayat
serupa sebelumnya, Faktor pencetus dan faktor predisposisi juga perlu ditanyakan
pada anamnesis.12
Pemeriksaan Jasmani
Perubahan kesadaran dapat dijumpai. Perubahan aktivitas psikomotor baik
hipoaktif ( 23%], hiperaktif (25%), campuran keduanya (35%), atau normal (15% ).
Pasien dapat berada dalam kondisi fully alert di satu hari namun hari berikutnya
pasien tampak gelisah . Gangguan konsentrasi dan perhatian terganggu saat
^
pembicaraan Pemeriksaan neurologis, tingkat kesadaran ( Glasgow Coma Scale ),
pemeriksaan tanda - tanda vital (adanya demam).2
Pemeriksaan Penunjang1
Diperlukan untuk membantu menegakkan diagnosis; menemukan penyebab /
pencetus:
• Lakukan pemeriksaan neurologis untuk mendeteksi defisit neurologis fokal,
adakah cerebro vascular disease atau transient ischemic attack ; lakukan brain CT
scan jika ada indikasi
• Darah perifer lengkap
• Elektrolit (terutama natrium], ureum, kreatinin, dan glukosa darah, fungsi hati,
• Analisis gas darah
• Urin lengkap dan kultur resistensi urin
• Foto toraks
• EKG
• Kultur darah
• Uji atensi (mengurutkan nama hari dalam seminggu, mengurutkan nama bulan
dalam setahun, mengeja balik kata "pintu ”]
• -
Uji status mental : MMSE ( Mini mental State Examination ), Delirium Rating Scale,
Delirium Symptom Interview.
• Pemeriksaan lain sesuai indikasi yang didapatkan dari anamnesis dan pemeriksaan
jasmani : 2
CT Scan : jika ditemukan kelainan neurologis
Kadar B12 dan asam folat
332
Sindrom Delirium Akut
Gangguan perhatian/konsentrasi
Sindrom delirium
333
($$
wy
J
} Panduan Praktik Klinis Geriatri
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
DIAGNOSIS BANDING
Demensia, psikosis fungsional, kelainan neurologis, gangguan cemas, gangguan
depresi, gangguan kognitif pasca operasi ( GKPO ) .1
334
Sindrom Delirium Akut ffip
PENATALAKSANAAN1
• Tujuan pengobatan : menemukan dan mengatasi pencetus serta faktor predisposisi
- Penanganan tidak hanya dari aspek jasmaniah, namun juga aspek psikologik /
psikiatrik, kognitif, lingkungan, serta pemberian obat.
• Berikan oksigen, pasang infus dan monitor tanda-tanda vital pasien setidaknya
4 jam sekali
- Segera dapatkan hasil pemeriksaan penunjang untuk memandu langkah
selanjutnya; tujuan utama terapi adalah mengatasi faktor pencetus.
• Jika khawatir aspirasi dapat dipasang pipa naso-gastrik
• Kateter urin dipasang terutama jika terdapat ulkus dekubitus disertai inkontinensia
urin
• Awasi kemungkinan imobilisasi (lihat topik imobilisasi)
Hindari sebisa mungkin pengikatan tubuh untuk mencegah imobilisasi. Jika
memang diperlukan, gunakan dosis terendah obat neuroleptik dan atau
benzodiazepin dan monitor status neurologisnya; pertimbangkan penggunaan
antipsikotik atipikal. Kaji ulang intervensi ini setiap hari; targetnya adalah
penghentian obat antipsikotik dan pembatasan penggunaan obat tidur
secepatnya (algoritme 2).
Kaji status hidrasi secara berkala, hitung urine output setiap 4 jam
335
fA
( PanduanPraktik Klinis
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
Geriatri
W
^ ^" '
KOMPLIKASI
Fraktur, hipotensi sampai renjatan, trombosis vena dalam, emboli paru, sepsis
PROGNOSIS
Gejala dan tanda sindrom delirium dapat bersifat akut maupun menetap sampai
berbulan - bulan. Pasien dengan sindrom delirium mempunyai risiko 1,71 kali lebih
tinggi untuk meninggal dalam tiga tahun kedepan. Peningkatan risiko demensia
pasca delirium sebesar 5.97. Delirium berhubungan dengan status fungsional yang
lebih rendah, baik pada kelompok dengan maupun tanpa demensia. Pasien dengan
sindrom delirium mempunyai skor ADL Barthel ( Activities of daily living ) yang lebih
buruk dibandingkan dengan kontrol. Gejala sisa delirium daril 25 pasien didapatkan
hanya 44 % dari pasien yang gejalanya sudah tidak sesuai kriteria diagnostic DSM -IV
untuk delirium. Setelah enam bulan pascarawat terdapat 13% pasien menunjukkan
gejala delirium, 69 % pasien menunjukkan gejala perubahan aktivitas namun tidak
sesuai kriteria diagnostik delirium, dan hanya 18% pasien menunjukkan gejala resolusi
komplit. Risiko kematian meningkat jika komorbiditasnya tinggi, penyakit yang lebih
berat, dan jenis kelamin laki-laki. Pencegahan delirium :
336
Sindrom Delirium Akut
REFERENSI
1. . .
Soejono Czeresna H Sindrorn Delirium Akut ( Acute Confusional State Dalam; Suyono, S Waspadji, .
. . . . . .
S Lesmana, L Alwi, I Setiati, S Sundaru, H dkk Buku Ajar llmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi V .
.
Jakarta: Interna Publishing; 2010 Hal 907-912. .
2. Purchas M, Guidelines for the Diagnosis and Management of Acute Confusion Diunduh dari .
. .
http:/ /www acutemed.co uk pada tan'ggal 19 Mel 2012 .
3 . & . .
Marcantonio EkV oldman L Mangione CM, et al A clinicaf prediction rule for delirium after
elective rioncardlac surgery. JAMA 1994; 271:134 139. -
4. .
Inouye SK, van DyckCH, Alessi CA, Balkin S, Siegal AP, Horwitz Rl Clarifying confusion: the confusion
. .
assessment method A new method for detection of delirium Ann Intern Med ( 1990) 113:941-8.
5 . Guidelines for the prevention, diagnosis and management of delirium in older people in hospital.
. .
British Geriatrics Society ClinicalGuidelines 2006.Diunduhdari http:/ /www bgs.org.uk/Publicatlons/
.
Clinical%20Guidelines/clinicdll-2_fulldelirium htm pada tanggal 19 Mei 2012 .
337
338
ULKUS DEKUBITUS
PENGERTIAN
Ulkus dekubitus (UD) atau luka akibat tekanan merupakan salah satu komplikasi
imobilisasi pada usia lanjut. UD adalah luka akibat peningkatan tekanan pada daerah
kulityang sama secara terus - menerus. Pada posisi berbaring, tekanan akan memberikan
pengaruh pada daerah kulit ,dimana terjadi penonjolan tulang yang menyebabkan
aliran darah terhambat, dan terbentuknya anoksia jaringan dan nekrosis. 1 UD dapat
terjadi dimana saja, namun 80% - nya terjadi pada tumit, malleolus lateralis , sakrum,
tuberositas ischium, dan trochanter mayor. 2 Opini bahwa semua UD dapat dicegah
masih kontroversial . Beberapa faktor risiko UD pada geriatri tercantum pada tabel 1.
DIAGNOSIS
Anamnesis3
• Identifikasi faktor - faktor risiko seperti tercantum pada Tabel 1
• Onset dan durasi ulkus
• Riwayat perawatan luka sebelumnya
Pemeriksaan Fisik3 4
• Inspeksi kulit dari kepala hingga ujung kaki, depan hingga belakang, palpasi sesuai
indikasi: perhatikan jumlah, lokasi, ukuran (panjang, lebar, kedalaman ) ulkus dan
periksalah apakah ada eksudat, bau, traktus sinus, formasi nekrosis atau eschar ,
undermining ( cekungan ), tunneling ( terowongan ), infeksi, penyembuhan ( granulasi
dan epitelialisasi), dan batas luka. Kemudian klasifikasikan ke dalam stadium klinis
seperti tercantum pada Tabel 2.
• Penilaian ulang kulit tiap 8- 24 jam, dengan perubahan kondisi atau level of care
• Tanda infeksi
Tabel 2. Stadium Ulkus Dekubitus menurut National Pressure Ulcer Advisory Panel (NPUAP)3
Stadium Deskripsi
Suspekjejas jaringan Perubahan warna ungu atau marun pada area terlokalisir, kulit utuh
profunda ( suspected ( intact ) atau luka lecet terisi darah yang disebabkan oleh kerusakan
deep- tissue injury ) pada jaringan lunak akibat tekanan atau goresan ( shearj : diskolorasi ini
dapat muncul sebelum rasa nyeri, keras, lunak, basah, lebih hangat atau
lebih dingin daripada jaringan sekitarnya
I Kemerahan non- blanchable terlokalisir pada kulit utuh, biasanya pada
puncak tulang; pada kulit hitam, warna pucat mungkin tidak terlihat,
dan area yang terkena dapat berbeda dengan sekitarnya; area yang
terkena mungkin nyeri, keras, lunak, lebih hangat atau lebih dingin
daripada jaringan sekitarnya
Partial- thickness loss dari dermis yang tampak sebagai ulkus dangkal,
terbuka, dengan dasar kemerahan, tanpas/ough ( tidak bergaung) ; luka
dapat juga tampak utuh atau terbuka dan terisi serum; stadium ini tidak
termasuk luka robek ( tear ) , luka bakar adhesif ( tape burns ) , dermatitis
perineum, maserasi, atau ekskoriasi
Full- thickness tissue loss ; lemak subkutan dapat terlihat, dasar luka dapat
bergaung, tapi tidak dapat menentukan kedalaman hilangnya jaringan;
dapat termasuk undermining dan tunneling
IV Full- thickness tissue loss dengan otot, tulang, dan tendon yang terlihat;
dasar luka dapat bergaung atau eschar , seringkali termasuk undermining
dan tunneling
Tidak dapat Full- thickness tissue loss dengan dasar ulkus tertutup gaung ( kuning,
diklasifikasikan tan ??, abu-abu, hijau atau coklat ) atau nekrosis /eschar ( tan ?? , coklat,
( unstageable ) atau hitam )
Keterangan : kedalaman UD stadium III atau IV bervariasi tergantung lokasi anatomis Karena jembatan?? jaringanantara
hidung, telinga, oksiput, dan malleolus tidak memiliki jaringan subkutan, maka ulkus pada daerah ini dapat dangkal
Sebaliknya, area dengan jaringan lemak yang cukup dapat berkembang menjadi ulkus stadium III dan IV dalam Pada ulkus
stadium IV, tulang atau tendon dapat terekspos atau dipalpasi secara langsung
339
( ;% Panduan Praktik Klinis Geriatri
MINT Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
PEMERIKSAAN PENUNJANG4 5
• Laboratorium (sesuai indikasi) : darah perifer lengkap, protein total, albumin, gula darah
• Sesuai indikasi: foto toraks, USG, termografi
DIAGNOSIS BANDING4 7
• Eritema non - palpable yang menghilang pada penekanan, penyebab lainnya
• Dermatitis terkait kelembaban ( moisture-associated dermatitis)
• Luka kronis tipe lainnya ( ulkus diabetikum, ulkus venosus, ulkus arteriosus)
• Ulkus dekubitus atipikal
• Pioderma gangrenosum
• Osteomielitis
TATALAKSANA
ir V
v
Dressing Bersihkan Bersihkan luka, Infeksi
protektif luka, dressing dressing lemba- lokai
bila perlu lembab absorbent
(mis film (hydrogel, foam ,
transparan) atau alginate;
konsul Bedah
Bersihkan luka,
juan dalam 14 hari dressing lembab- dressing lembab-
absorbent : bersih- absorbent
kan luka
340
Ulkus Dekubitus
• Pencegahan: skrining risiko dengan Skala Braden, yang menilai durasi dan intensitas
tekanan eksternal (fungsi sensoris, aktivitas, mobilisasi), hindari kulit terhadap
faktor yang berpotensi melukai (kelembaban, status gizi kurang, friksi).6 Preventive
positioning (miring 30 Q ke kanan danke kiri setiap dua jam) diberikan untukmencegah
dekubitus pada sakrum dan spina iliaca anterior superior (SIAS). Therapeutic
positioning diberikan dengan teknikyang sama namun dilakukan setiap satu jam.
• Komponen dasar tatalaksana UD: mengurangi tekanan pada kulit, membersihkan
luka, debridement jaringan nekrotik, mengatasi kolonisasi dan bacterial load , dan
pemilihan wound dressing .3
• Status gizi pada semua stadium UD : pada pasien malnutrisi, diet tinggi kalori
(30 - 35 kal / kg/ hari) tinggi protein (1, 25-1,5 g/ kg/ hari) dan hidrasi cukup dapat
membantu penyembuhan luka, durasi rawat inap lebih pendek, dan komplikasi
yang lebih sedikit. Protein, vitamin C, dan suplemen zinc dapat dipertimbangkan
apabila intake kurang atau terdapat bukti defisiensi.3,6,8
• Antibiotik sistemik diberikan bila terdapat bukti selulitis, osteomielitis, atau
bakteremia. Rejimen terapi ditujukan untuk gram positif , negatif , dan anaerob.
Karena tingginya angka mortalitas, antibiotik empiris dapat diberikan pada suspek
sepsis atau bakteremia. Antibiotik topikal tidak diindikasikan .8
• Tempat tidur khusus : penggunaan kasur anti- dekubitus yang berisi udara
(alternating pressure air mattress) menurunkan angka kejadian ulkus dekubitus
pada tumit daripada kombinasi matras viskoelastis dan reposisi tiap 4 jam, namun
tidak untuk sakral.9
• Perawatan luka : luka harus dibersihkan sebelum mengganti dressing (pemilihan
dressing dapat dilihat pada Tabel 3). Debridement jaringan nekrotik secara
pembedahan atau dengan menggunakan kompres kasa dengan normal saline.
Antiseptik seperti povidone iodine, asam asetat, hidrogen peroksida, dan sodium
hipoklorit (larutan Dakin ) harus dihindari karena menghancurkan jaringan
granulasi. Antibiotik topikal seperti silver sulfadiazin sebaiknya digunakan selama
2 minggu untuk membersihkan luka yang tidak sembuh seperti seharusnya setelah
perawatan optimal 2 -4 minggu.3
• Konsultasi Bedah dipertimbangkan pada UD stadium 111 dan IV yang tidak respon
dengan perawatan optimal atau bila kualitas hidup pasien dapat meningkat dengan
penutupan luka secara cepat.3
<* Wrap therapy dapat dipertimbangkan pada UD stadium III dan IV.11
• Manfaat terapi elektromagnetik, ultrasound , oksigen hiperbarik masih belum jelas.3
• Tranplantasi kulit (skin grafting) sesuai indikasi
• Terapi sel punca (stemcell therapy) (masih dalam fase penelitian pendahuluan )
Pinduan Praktik Klinis Geriatri
Perhimpunan Ooklet Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
KOMPLIKASI
Hipoalbuminemia, anemia, Infeksisepsis5
PROGNOSIS
Prognosis ulkus dekubitus stadium I dapat diprediksi dengan penilaian awal dan
manajemen yang sesuai.5 Studi di Texas menunjukkan angka mortalitas sebanyak 68,9%
ditemukan pada pasien yang mengalami ulkus dekubitus stadium IIMV nosokomial,
dengan rata - rata 47 hari mulai dari onset ulkus dekubitus hingga kematian. Menurut
penelitian ini, pasien dengan beban penyakit berat yang mendekati akhir hidupnya,
-
berkembangnya ulkus dekubitus full thickness nosokomial merupakan suatu proses
patologis komorbid.12
KOMPETENSI
• Spesialis Penyakit Dalam : A3, B3
• Konsultan Geriatri : A3, B3/ B4
UNIT YANGMENANGANI
• RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Geriatri,
Departemen Rehabilitasi Medik, Bedah Ortopedi, Bedah
Plastik, Bedah Vaskular, Departemen Gizi Klinik
• RS non pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Bidang Keperawatan, Departemen Kulit dan Kelamin
• RS non pendidikan : -
342
Ulkus Dekubitus
REFERENSI
1. Setiati S, Roosheroe AG. Imobilisasi Pada Usia Lanjut. Dalam : Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I, et
al. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jilid I. 2009. Hal 859-63.
2. Caruso LB. Geriatric Medicine. In : Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo
J. Harrison ' s Principles of Internal Medicine . 17lh Edition. New York, McGraw-Hill. 2008
3. Bluestein D, Javaheri A. Pressure Ulcers : Prevention, Evaluation, and Management. Am Fam
Physician. 2008;78 ( 10) :1186- 1194, 1195-1196. Diunduh dari http:/ /www.aafp.Org / afp / 2008 / l 115/
pi 186.pdf pada tanggal 25 Mei 2012.
4. .
Institute for Clinical Systems Improvement Health Care Protocol: Pressure Ulcer Prevention and
Treatment Protocol. 3rd Edition. January 2012. Diakses melalui http:/ / www.icsi.org/pressure_ulcer _
_
treatment _protocol review_and_comment / pressure_ulcer_treatment protocol .html pada
tanggal 25 Mei 2012.
5. Sato M, Sanada H, Konya C, et al. Prognosis of stage I pressure ulcers and related factors. Int
Wound J. 2006 Dec;3( 4) :355-62. [ Abstract ]
6. Anders J, Heinemann A, Leffmann C, et al. Decubitus Ulcers: Pathophysiology and Primary
.
Prevention. Dtsch Arztebl Int. 2010 May; 107 ( 21 ) : 371-382. Diunduh dari http:/ /www ncbi.nlm.nih.
gov / pmc / artides /PMC 2883282 /pdf /Dtsch_ ArzteblJnt-l07-0371 .pdf pada tanggal 25 Mei 2012.
. .
7. Pressure Ulcer. Tersedia di http:/ / bestpractice bmi com/ best-practice / monograph / 378 /
diagnosis/ differential.html
8. .
Livesley NJ, Chow AW. Infected Pressure Ulcers in Elderly Individuals Clinical Infectious Diseases
2002; 35:1390-6. Diunduh dari http:/ /cid.oxfordjournals.org / content / 35 / 11 / 1390.full.pdf pada
tanggal 25 Mei 2012.
9. Vanderwee K, Grypdonck MH, Defloor T. Effectiveness of an alternating pressure air mattress for
the prevention of pressure ulcers. Age and Ageing 2005: 34: 261-267. Diunduh dari http:/ / ageing.
oxfordjournals.org/ content / 34/3/ 261.full.pdf pada tanggal 25 Mei 2012.
10. Lyder CH. Pressure Ulcer Prevention and Management. JAMA 2003;289 ( 2):223-6.
.
11. Bito S, Mizuhara A, Oonishi S, et al Randomised controlled trial evaluating the efficacy of wrap
therapy for wound healing acceleration in patients with NPUAP stage II and III pressure ulcer.
BMJ Open 2012;2:e 000371 . Diunduh dari http:/ / bmjopen.bmj.eom / content / 2/ l / e000371. full,
pdf pada tanggal 25 Mei 2012 .
12. Brown G. Long-term outcomes of full-thickness pressure ulcers: healing and mortality. Ostomy
Wound Manage 2003 Oct;49 ( 10) :42-50. [Abstract ]
343
344
SARKOPENIA
DEFINISI SARKOPENIA
Sarkopenia merupakan sindroma yang ditandai dengan berkurangnya massa
otot rangka serta kekuatan otot secara progresif dan menyeluruh. Sarkopenia
umumnya diiringi inaktivitas fisik, penurunan mobilitas, cara berjalan yang lambat,
dan enduransi fisik yang rendah. Otot rangka mengalami penurunan sejalan dengan
bertambahnya usia baik pada wanita ataupun pria. Massa dan kekuatan otot tertinggi
dicapai pada usia belasan sampai dengan dua puluhan dan kemudian mulai mengalami
penurunan pada usia tiga puluhan. Kecepatan penurunan kekuatan otot sekitar 10-
15% per dekade setelah usia 50 tahun, dan akan menurun dengan cepat setelah usia
75 tahun.1
Definisi Sarkopenia menurut The European Working Group on Sarkopenia in Older
People (EWGSOP) 2010 dapat ditegakkan bila didapatkan penurunan massa otot
rangka ditambah salah satu atau lebih dari dua kriteria berikut yaitu kekuatan otot
buruk dan atau performa fisik yang kurang. 2,3
Penurunan massa otot didefinisikan berdasarkan Indeks Otot Rangka (Skeletal
Muscle Index / SMI ) yaitu , massa otot rangka apendikular (Appendicular Skeletal
Muscle / ASM ) ( kg) dibagi dengan tinggi badan dalam meter kuadrat (SMI = kg/ m 2) .
Massa otot rangka apendikular didapatkan dari penjumlahan total dari massa otot
rangka kedua lengan dan kedua kaki. Titikpintas (Cut-off ] SMI adalah nilai kurang dari
2 kali standar deviasi referensi populasi laki-laki atau perempuan dewasa muda yang
sehat di wilayah tersebut. Pemeriksaan massa otot rangka dapat dilakukan dengan
pemeriksaan Dual - Energy X- ray Absorptiometry (DEXA) atau dengan Bioelectric
-
Impedance Analysis (BIA).3 4 Kriteria diagnosis tersebut sulit diterapkan di Indonesia
karena belum ada data normatif besaran massa otot rangka pada populasi dewasa
muda serta data referensi kekuatan otot pada berbagai kelompok usia dan jenis
kelamin. Selain itu, hingga kini belum ada standar teknik pengukuran besaran massa
otot untuk usia lanjut.12
PanduanPraktikKlinis
Perhimpunan Dokler SpesiaBs Penyakil Dalam Indonesia
Sarkopenia
.
Tabel 1 Kriteria Sarkopenia pada Populasi Asia5
Kriteria Metode Nllal Titlk Plntas sesuai Jenls kelamln Negara/ Etnlk
Pemedksaan
Massa Otot DXA ASM/ Tinggi badan 2 Jepang
Klas 1 dan klas 2 sarkopenia
Pria : 7,77 dan 6,87 kg/ m2
Wanita : 6,12 dan 5,46 kg/m2
SMI ( %)
BIA SMI Taiwan
Pria < 8,87 kg/m2
Wanita < 6, 42 kg/m2
Saat ini teknik yang dianggap sebagai baku emas untik pemeriksaan masa otot
adalah pemeriksaan dual - energy X- ray absorptiometry ( DEXA), Bioelectric Impedance
Analysis ( BIA ) computed tomography, magnetic resonance imaging , serta pengukuran
ekskresi kreatinin urin, pengukuran antropometri dan aktivasi netron.
1,4,6
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Diagnosis Sarkopenia
Berdasarkan European Working Group on Sarkopenia in Older People ( EWGSOP)
tahun 2010 oleh Cruz-Jentoft A] dkk., kriteria sarkopenia harus memenuhi yaitu adanya
345
M
4?
\
Panduan Praktik Kllnis Geriatri
Perhimpunon DoWer Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
massa otot yang kurang disertai kekuatan otot yang berkurang dan atau perfoma
aktivitas fisik yang menurun.2, 7 Seperti terlihat pada gambar di bawah ini mengenai
algoritma diagnosis sarkopenia
I
Pemeriksaan Kecepabn
Beijalan
1
>0, 8 meter / detik <0,8 Meter / detik
I I
J
Pemeriksaan Kekuatan Pemeriksaan
menggenggam Masa Otot
r
Normal Menurun Menurun Normal
I I I
Normal Sarkopenia Normal
Manajemen Sarkopenia
Keberhasilan penatalaksanaan pada sarkopenia sangat bergantung pada
latihan fisik, gaya hidup, dan pola makan. Latihan fisik memberikan dampak positif
346
Sarkopenia
pada sarkopenia terutama yang berkaitan dengan kondisi penyakit kronis seperti
diabetes mellitus , hipertensi, dan penyakit jantung koroner. Pengaturan pola makan
sebaiknya tetap dikombinasikan dengan program latihan fisik, mencakup latihan
tahanan dan peregangan. Latihan tahanan progresif sebanyak 2 - 3 kali per minggu
terbukti meningkatkan kapasitas fisik dan mencegah / mengurangi disabilitas dan
kelemahan otot pada usia lanjut . Faktor psikologis pada pasien dengan sarkopenia
dan frailty syndrome juga penting, sehingga terapi suportif psikologis diperlukan pada
penatalaksanaan sarkopenia ,
Tujuan dari penatalaksanaan sarkopenia adalah tercapainya perbaikan dari
keluaran primer dan sekunder. Untuk terapi yang bersifat intervensi EWGSOP
merekomendasikan tiga variabel keluaran yaitu massa otot, kekuatan otot dan
performa fisik
347
,>
.(f
’MlJy
Panduan Praktik Minis Geriatri
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyaki! Dalam Indonesia
stabil , seperti : diabetes yang tidak terkontrol, hiperetensi, hernia, katarak , dan
perdarahan retina. Sedangkan latihan beban harus dihindari oleh pasien dengan irama
jantung tidak teratur, gangguan kognitif berat dan demensia. American College Of Sport
Medicine (ACSM ) dan American Heart Association (AHA ) merekomendasikan latihan
dengan intensitas 70-90% dari 1- RM [ MaximalRepetition ) dengan frekuensi 2 hingga
3 kali per minggu secara tidak berurutan (selang 1 hari) cukup untuk meningkatkan
massa dan kekuatan otot pada usia lanjut. Sedangkan pada latihan aerobik, walaupun
peningkatan massa otot yang didapat tidak sebanyak pada latihan tahanan, namun
latihan aerobik terbukti dapat mengurangi presentase lemak tubuh, dimana hal ini
cukup berperan penting untuk meningkatkan fungsi otot relatif terhadap berat badan .
NUTRISI
Sebagian besar populasi usia lanjut tidak dapat memenuhi asupan nutrisi terutama
protein sesuai jumlah yang dianjurkan sehingga terjadi pengurangan massa otot dan
gangguan fungsional 7 Hal ini disebabkan karena berkurangnya kemampuan ekonomi
untuk membeli bahan makanan dengan nilai biologis tinggi , kesulitan mengunyah,
ketakutan untuk mengkonsumsi terlalu banyak lemak atau kolesterol dan intoleransi
terhadap beberapa jenis makanan. 11 Asupan protein yang tidak adekuat adalah barrier
utama untuk mendapatkan peningkatan massa otot pada usia lanjut walaupun telah
menjalani latihan tahanan dan aerobik.
Asupan nutrisi merupakan kontributor utama proses menua terutama dalam
terjadinya sarkopenia dan sindroma kerapuhan . Pada penelitian kohort 10 tahun di
Amerika Serikat yang melibatkan 304 orang sehat dengan rerata usia 72 tahun saat
penelitian dimulai , sindroma kerapuhan atau kematian dalam 10 tahun lebih banyak
terjadi pada kelompok yang mengkonsumsi kalori lebih tinggi dari anjuran RDA ( 25 -
30 kal / kgBB / hari]. Sebaliknya, pada kelompok yang mengkonsumsi protein lebih
tinggi dari anjuran RDA ( > 0.8 gr/ kgBB / hari] lebih sehat daripada kelompok yang
mengkonsumsi protein lebih sedikit.12
PROTEIN
Protein merupakan nutrisi kunci pada usia lanjut. Asupan protein yang tinggi
diperlukan untuk mencegah keseimbangan nitrogen negatif yang dapat memperburuk
pengurangan massa otot secara progresif yang berhubungan dengan proses menua.
Diit tinggi protein ini terbukti dapat memperbaiki status fungsional, meningkatkan
kualitas hidup, mempercepat penyembuhan, memperpendek masa perawatan di
rumah sakit, mempercepat penyembuhan trauma sehingga dapat menurunkan biaya
348
Sarkopenia
perawatan. Akibat penurunan massa otot, komposisi tubuh akan berubah sehingga
komposisi lemak menjadi lebih tinggi. Usia lanjut dengan komposisi lemak yang lebih
tinggi akan lebih mudah menderita gangguan toleransi glukosa dan diabetes dan
resistensi insulin. Penurunan massa otot menyebabkan penurunan kekuatan otot dan
berakibat pada gangguan kesehatan tulang13
Otot berperan dalam metabolisme protein tubuh sebagai cadangan asam amino
untuk mempertahankan sintesa protein pada organ dan jaringan vital terutama pada
saat tidak ada absorbsi usus melalui proses glukoneogenesis. Kondisi patologis dan
penyakit kronis dapat menyebabkan pengurangan massa otot; Gangguan metabolism
otot memainkan peranan terutama sebagai respons terhadap stress. 14 Kekurangan
asupan protein dan inaktifitas merupakan faktor utama penyebab deplesi otot. Asupan
protein yang tidak adekuat dapat menyebabkan laju sintesa protein lebih rendah
daripada degradasi protein otot sehingga dapat mempercepatterjadinya sarkopenia. 15
Berdasarkan rekomendasi RDA, jumlah protein yang harus dikonsumsi untuk
untuk dewasa adalah sebesar 0.8 gr / kgBB/ hari tanpa melihat umur. Jumlah protein
ini didasarkan pada penelitian keseimbangan nitrogen selama 10-14 hari. Jumlah
tersebut merupakan perkiraan asupan protein minimal yang diperlukan untuk
mempertahankan keseimbangan nitrogen pada dewasa muda yang sehat untuk
mempertahankan kesehatannya secara optimal untuk mencegah kehilangan massa
otot secara progresif pada populasi normal . Pada survey yang diselenggarakan
oleh USDA tahun 1996 di Amerika Serikat, didapatkan data bahwa 32- 41% wanita
dan 22 - 38 % laki-laki berusia lebih dari 50 tahun dan lebih dari 40 % usia lanjut
berusia lebih dari 70 tahun mengkonsumsi protein kurang dari jumlah tersebut. 11
15 13
Beberapa penelitian membuktikan bahwa jumlah tersebut tidak cukup untuk
mencegah terjadinya sarkopenia 13,16
Gangguan sistem imun dan inflamasi kronis pada usia lanjut dapat menyebabkan
katabolisme protein. Sitokin inflamasi yang berperan dalam hal ini adalah Tumor
Necrosis Factor a (TNF a], Interleukin 6 (IL-6) dan C-reactive protein (CRP). Sitokin ini
juga berhubungan dengan penurunan status fungsional, degradasi otot dan mortalitas
pada usia lanjut. Pada Penelitian Framingham didapatkan hubungan antara tingginya
IL-6 dan TNF a berhubungan dengan penurunan kekuatan otot dan meningkatkan
mortalitas. Sebagian besar sitokin inflamasi berasal dari jaringan adiposa, sehingga
peningkatan proporsi lemak karena penurunan massa otot menyebabkan terjadinya
penihgkatan sitokin inflamasi. Hal ini terutama terlihat pada usia lanjut dengan
rheumathoid arthritis dan osteoarthritis dan disebut sarcopenic obesity. Penelitian
juga membuktikan, sitokin inflamasi yang diproduksi oleh jaringan adiposa juga akan
349
M P*»duanPr*|
M l(IW« Geriatri
Perhlmpunan Dokler SpeslaDs Penyaldt Dalam Indonesia
memacu terjadinya katabolisme otot sehingga terjadi lingkaran setan yang menginisiasi
dan mempertahankan terjadinya sarcopenic obesity. Penderita dengan sarcopenic
obesity mempunyai risiko disabilitas 2-3 kali lebih besar daripada non-sarcopenic
obesity. Berdasarkan hal tersebut, maka peningkatan massa otot dan penurunan
komposisi lemak dapat menurunkan sitokin inflamasi dan selanjutnya mencegah
terjadinya katabolisme protein.13
Sejumlah penelitian prospektif selama 3 tahun terakhir membuktikan bahwa
kecukupan asupan protein berperngaruh secara positif terhadap preservasi otot
dan mencegah terjadinya sarkopenia pada usia lanjut berusia lebih dari 70 tahun.
lsPenelitian terhadap 608 orang usia lanjut sehat etnis China mulai tahun 1993-1997
oleh Stookey, dkk membuktikan bahwa pada kelompok yang mendapat intake protein
tinggi, terjadinya penurunan massa otot lebih rendah pada follow up selama 4 tahun
dibandingkan pada kelompok yang mendapat intake protein rendah.17 Penelitian
lain dari Houston di Memphis dan Pitstburg pada 2732 usia lanjut selama 3 tahun
membuktikan bahwa asupan protein merupakan faktor yang dapat dimodifikasi
untuk terjadinya sarkopenia, pada kelompok usia lanjut dengan konsumsi protein
rata- rata 1.1 gr / kg BB / hari penurunan massa otot lebih rendah 40% dibandingkan
pada kelompok yang mengkonsumsi protein sebanyak 0.7 gr / kgBB / hari 18 .
Manfaat dari pemberian diit tinggi protein ini juga terjadi pada usia lanjut dengan
malnutrisi bahkan pada penderita perfusi organ. Peningkatan asupan protein dari
0.5 gr / kgBB / hari menjadi 1 gr / kgBB / hari selanjutnya ditingkatkan hingga 2 gram /
kgBB/ hari per hari terbukti dapat meningkatkan sintesis protein secara progresif dan
memperbaiki keseimbangan nitrogen. 13
Efek positif asupan protein terhadap komposisi tubuh diperantarai oleh stimulasi
- .
insulin-like growth factor 1 ( IGF 1 ) Pada usia lanjut, terjadi penurunan kadar IGF-1yang
berakibat pada penurunan sintesa protein dan mempercepat terjadinya penurunan
massa otot. Intervensi nutrisi dapat meningkatkan kadar IGF-1 pada usia lanjut.13
Efek lain dari peningkatan kadar protein pada usia lanjut adalah peningkatan
kepadatan tulang. Diit tinggi protein dapat meningkatkan retensi kalsium dalam
otot terutama bila asupan kalsium rendah. Ini merupakan efek sinergistik dari diit
tinggi protein dan kalsium bagi kesehatan tulang. Selain itu asupan protein tinggi
meningkatkan kepadatan tulang melalui efek peningkatan massa otot dan kekuatan
otot. Rangsang mekanis pada tulang merupakan hal yang penting untuk meningkatkan
kekuatan tulang dan massa tulang melalui peningkatan kekuatan kontraksi otot.
Korelasi antara kekuatan otot yang diukur dengan hand grip dengan bone mineral
content dan kepadatan tulang.13
350
Sarkopenia
Jenis protein yang diperlukan dalam proses sintesa protein adalah asam amino
esensial . Protein otot berespons terhadap pemberian 15 gram asam amino esensial
351
If! PandiwnPraltiliMinis
HnK 1
Perhlmpunan Dokler Spesialls Penyakil Dalam Indonesia Geriatri
KREATIN
Kreatin adalah asam amino yang penting untuk otot. Kreatin berperan penting
dalam metabolisme protein dan metabolisme seluler. Kreatin meningkatkan ekspresi
faktor transkripsi miogenik seperti miogenin dan faktor regulasi miogenik yang akan
meningkatkan massa dan kekuatan otot. Suplementasi kreatin akan meningkatkan
kadar fosfokreatin otot. Hal tersebut akan meningkatkan kemampuan untuk melakukan
latihan dengan intensitas tinggi, yang akan mendorong terjadinya proses sintesis
protein otot. 7
Kreatin sebagai bahan alami makanan terutama terdapat pada produk daging
dengan asupan harian rata - rata 2 gram per hari. Masih terdapat pertentangan
mengenai suplementasi keratin karena dapat meningkatkan risiko terjadinya nefritis
interstitial sehingga menjadi perhatian khusus pada pemberian terhadap orang usia
lanjut. Kreatin saat ini bukan menjadi rekomendasi terapi sarkopenia . 7
352
Sarkopenia
Tabel. Contoh Jalur Potensial dan Target Molekular untuk Obat Sarkopenia
Target atau Jalur Efek Potensial Menguntungkan pada Otot
Reseptor androgen Meningkatkan massa dan kekuatan otot
Peroxisome proliferator-activated receptor-gamma Meningkatkan metabolisme oksidatif otot
coactivator 1 -alpha
Miostatin Meningkatkan massa dan kekuatan otot
Peroxisome proliferator-activated receptor delta
- Meningkatkan serabut tipe I dan
metabolisme oksidatif
Insulin-like growth factor I Meningkatkan massa dan kekuatan otot
B-adrenergic receptor Meningkatkan massa otot
Neuregulin Meningkatkan massa otot dan
penggunaan glukosa
Angiotensin-converting enzyme Meningkatkan fungsi otot dan performa
fisik
Sitokin inflamatorik Menurunkan efek katabolik
VITAMIN D
Kadar vitamin D menurun sesuai dengan penambahan usia . Tidak jarang
didapatkan kadar vitamin D yang sangat rendah pada orang usia lanjut. Studi
longitudinal ( jangka panjang) yang dilakukan di Amsterdam, Belanda oleh Visser
353
Panduan Praktik Klinis Geriatrl
Perhimpunan DoklerSpesiolis Penyakil Dalam Indonesia
dkk. (2003) menunjukkan bahwa kadar vitamin D yang rendah berhubungan erat
dengan melemahnya kekuatan dan menurunnya massa otot rangka. Peranan vitamin
D dalam osteoporosis telah lama diketahui. Pada beberapa tahun terakhir, peranan
vitamin D dalam sarkopenia telah banyak diteliti. 26Beberapa penelitian membuktikan
bahwa penurunan kadar 1, 25 hidroksivitamin D dan 25- hidroksivitamin D (25-OHD)
berhubungan dengan penurunan kekuatan otot, peningkatan body sway dan risiko
jatuh, sindroma kerapuhan dan disabilitas pada usia lanjut. 26 Kadar vitamin D yang
rendah juga dapat disebabkan insufisiensi ginjal dan rendahnya asupan kalsium atau
karena hiperparatiroid sekunder. Kadar vitamin D yang rendah berhubungan dengan
sarkopenia 25
Reseptor vitamin D pada otot menurun sejalan dengan penambahan usia. Vitamin
D dalam bentuk metabolit aktif 1.25( OH) 2 D menstimulasi diferensiasi mioblas yang
selanjutnya menstimulasi masuknya kalsium ke dalam sel yang diperlukan dalam
kontraksi otot. Kadar vitamin D menurun seiring dengan bertambahnya usia dan kadar
vitamin D pada kulit usia lanjut lebih rendah empat kali lipat dibandingkan kadar
orang dengan usia muda. Vitamin D memiliki peranan pada sintesis protein otot dan
mendorong pengambilan kalsium melalui membran sel. Kadar vitamin D yang rendah
biasanya berdampak pada kelemahan otot, kesulitan bangun dari tempat duduk,
kesulitan menaiki tangga, dan masalah keseimbangan. Beberapa sumber makanan
yang mengandung vitamin D antara lain : ikan, hati sapi, telur, dan sereal. 715
Sekitar 30 -90 % usia lanjut mengalami defisiensi vitamin D terutama pada pasien
rawat inap. Hal ini terutama disebabkan karena rendahnya paparan sinar matahari
dan menurunnya kemampuan kulit usia lanjut untuk mensintesa vitamin D3.25
Hubungan vitamin D dengan fungsi otot rangka adalah melalui reseptor Vitamin
D (Vitamin D receptors /VDR ) yang terdapat di otot rangka . Peran VDR pada otot
rangka adalah dalam proses stimulasi sel-sel otot rangka untuk meningkatkan asupan
fosfat-inorganik yang penting dalam menghasilkan senyawa fosfat kaya-energi seperti
-
ATP dan Creatine phosphate yang berperan penting dalam proses kontraksi otot.
Peran VDR lainnya adalah bertugas dalam mengatur distribusi dan regulasi kalsium
intraseluler. Keadaan defisiensi vitamin D juga dapat mengakibatkan suatu keadaan
hipoparatiroidisme sekunder dimana hal tersebut menyebabkan perburukan pada
fungsi otot. Pada studi percobaan yang dilakukan pada tikus, kadar PTH yang berlebihan
meningkatkan proses katabolisme protein otot, mengurangi serabut otot tipe 2 dan
senyawa fosfat intraseluler kaya energi, serta mengurangi asupan oksigen mitokondria. 26
Terdapat hubungan yang sangat erat antara osteoporosis dengan sarkopenia.
Pasien - pasien osteoporosis biasanya disertai dengan menurunnya massa otot dan
354
Sarkopenia
kekuatan otot, dimana hal ini menunjukkan bahwa berkurangnya kepadatan massa
tulang berhubungan erat dengan berkurangnya massa otot. Pada pasien-pasien usia
lanjut yang memiliki pola diet dengan asupan kalsium dan vitamin D yang buruk,
disertai juga dengan menurunnya kemampuan menghasilkan vitamin D melalui kulit
dan menurunnya produksi kalsitriol (l,25(OH) 2 vit D) oleh ginjal, keadaan ini dapat
meningkatkan risiko kejadian jatuh disebabkan karena terjadi suatu miopati proksimal
yang disebabkan oleh karena defisiensi vitamin D dan hiperparatiroidisme sekunder.
26
355
jfj\
iMUp
PanduanPraktlkKIinis Geriatri
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
yang tidak diberikan Alfakalsidol dapat memberikan manfaat yang baik untuk massa
otot. Pemberian Alfakalsidol dapat mempertahankan hilangnya massa otot sejalan
dengan bertambahnya usia, dan terbukti dapat meningkatkan Indeks Massa Otot
Rangka (Skeletal muscle index ).30
O’Donnel S. et al (2008) melakukan suatu tinjauan sistematik tentang manfaat dan
bahaya pemberian Alfakalsidol dan kalsitriol dalam menghindarkan jatuh dan kejadian
fraktur dimana dari penelitian tersebut didapatkan 51 penelitian metanalisis dari
1019 artikel. Alfakalsidol dan kalsitriol secara bermakna mengurangi risiko kejadian
fraktur non vertebra karena diduga memiliki efek pleiotropik selain kepada tulang,
yaitu efeknya kepada VDRyang terdapat di otot dimana kejadian fraktur non vertebra
berhubungan erat dengan kejadian jatuh. Diduga pengaruh kalsitriol / kalsidol terhadap
peningkatan kekuatan otot. 31
Morley dkk. (2010) yang tergabung dalam The Society for Sarkopenia, Cachexia,
and Wasting Disease di Amerika Serikat memberikan suatu rekomendasi tatalaksana
nutrisi dalam penatalaksanaan sarkopenia. Rekomendasi yang dianjurkan adalah
semua pasien usia lanjut dengan sarkopenia sebaiknya selalu diperiksakan kadar
vitamin D (25 ( OH ) vitamin D) danperlu diberikan suplementasi vitamin D yang sesuai
untuk meningkatkan kadar vitamin D diatas 100 nmol / L. Vitamin D yang diberikan
dapat berupa vitamin D2 maupun D3, dan dinyatakan dalam rekomendasi bahwa dosis
vitamin D sampai 50.000 1U per minggu aman diberikan tanpa efek samping yang
bermakna . Heaney dkk. merekomendasikan rumus " Rule of thumb" dalam menentukan
dosis suplementasi vitamin D yang diberikan, yaitu untuk setiap kenaikan 1 ng/ ml
( 2.5 nmol / L) serum 25 OH Vit D maka diperlukan 100 IU asupan vitamin D. Sebagai
contoh, pasien dengan kadar serum 25(OH) D 15 ng/ ml akan memerlukan 1500 IU /
hari untuk mencapai kadar sampai 30 ng/ ml. 30
TERAPI HORMONAL
Proses penuaan akan diikuti dengan penurunan kadar hormon-hormon esensial
pada tubuh terutama hormon pertumbuhan {growth hormone ) dan testosteron .
Kekurangan atau minimalnya hormon testosteron berpengaruh pada berkurangnya
massa dan kekuatan otot serta penurunan densitas tulang. Pada akhirnya akan
berdampak pada peningkatan risiko keterbatasan fungsional, disabilitas, fraktur dan
risiko jatuh. Menopause juga berhubungan dengan penurunan densitas tulang dan
penurunan kekuatan otot. 30
• Growth hormone (GH) menstimulasi pertumbuhan pada fase awal kehidupan
dan ini dibutuhkan untuk pemeliharaan otot dan tulang pada masa dewasa.
356
Sarkopenia
Meskipun seseorang memiliki pola makan dan latihan yang baik, tanpa adanya
kadar hormon pertumbuhan yang adekuat akan sulit untuk mempertahankan
kekuatan otot . Pada orang usia lanjut terjadi ketidakseimbangan sekresi hormon
pertumbuhan. Berbagai penelitian yang melibatkan percobaan dengan terapi
pengganti hormon melaporkan insidensi berbagai efek samping contohnya
retensi cairan, ginekomastia, dan hipotensi ortostatik. Pada penelitian pada tikus
yang dilakukan oleh Briosche (2013), pemberian GH dengan dosis rendah dapat
meningkatkan lean body mass dan meningkatkan sintesis protein otot. Namun
studi-studi mengenai suplemantasi growth hormone memberikan hasil kurang baik,
bahkan GH meningkatkan mortalitas pada penderita yang mengalami sakit berat
dengan malnutrisi. Efek samping yang didapatkan antara lain artralgia, edema, efek
samping kardiovaskular, dan resistensi insulin membatasi penggunaan hormon
ini. GH juga mempunyai efek karsinogenik.30
• Hormon testosteron : pemberian hormon ini tidak dianjurkan sebagai terapi
dari sarkopenia dikarenakan efek samping yang besar yaitu peningkatan kadar
Prostat Specific Antigen (PSA), hematokrit dan risiko kardiovaskular dibandingkan
dengan bukti-bukti yang lemah untuk peningkatan performa fisik. Studi lain untuk
pemberian DHEA juga melaporkan tidak adanya perubahan dari kekuatan otot.
• Estrogen dan tibolone: pada penelitian mengenaikekuatan otot dan komposisi
tubuh, kedua hormon ini dapat meningkatkan kekuatan otot, tapi hanya tibolone
yang dapat meningkatkan lean body mass dan menurunkan massa lemak total.
Tibolone adalah steroid sintetis yang mempunyai efek estrogenik, androgenik
dan progestogenik.
MIOSTATIN
Miostatin baru-baru ini ditemukan sebagai inhibitor alami terhadap pertumbuhan
otot, dan adanya mutasi pada gen miostatin ini mengakibatkan hipertrofi otot.
Antagonis miostatin dapat meningkatkan regenerasi jaringan otot pada mencit dengan
meningkatkan proliferasi dari sel satelit. Sel satelit ini sangat penting untuk regenerasi
sel otot. Terapi dengan miostatin mungkin dapat digunakan pada sarkopenia di masa
yang akan datang.
357
fr>
( PanduanPraktikKliais Geriatri
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
oksidatif , metabolik dan aktivasi alur inflamasi. ACE inhibitors ini menurunkan kadar
Angiotensin II pada otot polos di vaskular. Angiotensin II berperan dalam sarkopenia
melalui jalur pembentukan sitokin proinflamasi. ACE inhibitors juga berperan dalam
memperbaiki toleransi olahraga melalu komposisi rantai panjang dari miosin pada
otot rangka . Polimorfisme dari gen ACE juga mempunyai efek anabolik dan efisiensi
muskular setelah olahraga.1
INHIBITOR SITOKIN
Inhibitor sitokin seperti talidomid dapat meningkatkan berat badan dan
menimbulkan efek anabolik pada pasien AIDS. TNF a menyebabkan atrofi otot secara
in vitro. Antibodi anti TNF a yang biasa diberikan sebagai terapi pada pasien artritis
reumatoid dapat menjadi terapi alternatif pada sarkopenia. Akan tetapi sampai saat
ini belum ada penelitian pada penderita sarkopenia, dan juga mengingat keterbatasan
dana dan efek samping dari obat ini. Dari data - data epidemiologi didapatkan bahwa
lemak ikan mempunyai efek anti inflamasi yaitu omega-3, dan zat ini mungkin dapat
mencegah sarkopenia .1
358
Sarkopenia 0
( ;
obatan tertentu . Tapi penggunaannya untuk membangun massa otot pada manusia
belum diteliti dan tidak direkomendasikan . 34
• Bimagrumab , yang merupakan suatu antibodi monoklonal . Bimagrumab
merangsang pertumbuhan otot dengan mengikat reseptor pada sel - sel otot yang
normalnya mengikat miostatin, yang menghambat pertumbuhan otot . Hasil
penelitian menunjukkan bahwa pemberian Brimagumab dosis tunggal setelah
pembukaan gips pada 24 pasien yang mengalami imobilisasi selama 2 minggu,
setelah 12 minggu didapatkan volume otot paha kembali normal dalam waktu 4
minggu dibandingkan pasien yang hanya mendapatkan placebo . 35
• SARM ( Selective Androgen Receptor Molecules ) , yang saat ini sedang diteliti untuk
mengetahui senyawa androgenik yang memiliki efek spesifik pada otot tapi dengan
efek samping yang minimal . Ostarine adalah salah satu SARM yang meningkatkan
massa otot dan performa fisik pada pasien usia lanjut. 36
REFERENSI
1. Cesari M, Ferrini A, Zamboni V, Pahor M. Sarcopenia: Current Clinical and Research Issues. The
Open Geriatric Medicine Journal. 2008;1 : 14-23.
2. Cruz Jentoft Aj, Baeyens Jp, Bauer Jm, CederhoImT, Landi F, Martin Fc, etal. Sarcopenia: European
-
consensus on definition and diagnosis. Report of the European Working Group on Sarcopenia in
Older People. Age and Ageing 2010. 2010:39: 412-23.
3. Nakasato, Yuri R „ Carnes, Bruce A. Myopathy, Polymyalgia Rheumatica, and Temporal Arteritis
in hazzard ' s geriatric medicine and gerontology Sixth Edition. Him 1475.2009. Me Graw Hill
4. Rom O, Kaisari S, Aizenbud D, Reznick AZ. Lifestyle and Sarcopenia—Etiology, Prevention, and
Treatment . Rambam Maimonides Medical Journal. 2012:3: 1 - 12.
5. Chen L.K, Liu L „ Woo Jean, Assantachai P, Auyeung T, Bahyah K .S, Sarcopenia in Asia: Consensus
Report of the Asian Working Group for Sarcopenia JAMDA 15 ( 2014) 95el 01
6. Setiati S. Geriatric Medicine, Sarkopenia, Frailty, dan Kualitas Hidup Pasien Usia Lanjut:Tantangan
Masa Depan Pendidikan, Penelitian dan Pelayanan Kedokteran di Indonesia. eJKI. 2013: 1 No
3:236- 45.
7. . .
Rosenberg I Sarcopenia: Origins and Clinical Relevance. J Nutr 1997;127:990S- 1 S.
8 . Bergera MJ, Doherty TJ. Sarcopenia: Prevalence, Mechanisms, and Functional Consequences .
Interdiscipl Top Gerontol Basel, Karger,. 2010:37:94-114.
9. Visser M. Towards a definition of sarcopenia -resulds from epidemiologic studies The Journal of
Nutrition, Health 8, Aging. 2009:13 No 8:713- 16.
10. Janssen I, Shepard D, Katzmarzyk P, Roubenoff R. The Healthcare Costs of Sarcopenia in the
United States. JAGS. 2004;52:80-5.
11. Data tables: results from USDA ' s 1996 Continuing Survey of Food Intakes by Individuals and
1996 Diet and Health Knowledge Survey. Online ARS Food Surveys Research: USDA Agricultural
Research Service. 1996.
12. Vellas BJ, Hung WC, Romero LJ. Changes in nutritional status and patterns of morbidity among
free-living elderly persons: A lOyear longitudinal study . . Nutrition 1997: 13:515-9.
13. Wolfe RR , Miller SL, Miller KB. Optimal protein intake in the elderly . Clin Nutr 2008:27:675-84.
359
M PanduanPraktik Minis Geriatri
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakif Dalam Indonesia
.
14. Wolfe RR The underappreciated role of muscle in health and disease. Am J Clin Nutr 2006:84:475-
82.
15. Mithal A, Bonjour JP, Boonen S, Burckhardt P, Degens H, Fuleihan GEH, et al. Impact of nutrition
on muscle mass, strength, and performance in older adults. Osteoporos Int 2013;24:1555-66.
16. Paddon- Jones D, Rasmussen BB. Dietary protein recommendations and the prevention of
.
sarcopenia Curr Opin Clin Nutr Metab Care 2009:12:86-90.
17. Stookey JD AL, Popkin BM. . Do protein and energy intakes explain long-term changes in body
composition ? . J Nutr Health Aging. 2005:9:5- 17.
.
18. Houston DK, Nicklas BJ, Ding J, HarrisTB, Tylavsky FA, Anne B Newman, etal Dietary protein intake
is associated with lean mass change in older, community-dwelling adults: the Health, Aging, and
Body Composition ( Health ABC) Study. Am J Clin Nutr 2008. 2008:87:150-5.
19. Schurch MA, Rizzoli R, Slosman D, Vadas L, Vergnaud P, Bonjour J. Protein supplements increase
serum insulinlike growth factor-1 levels and attenuate proximal femur bone loss in patients with
recent hip fracture. A randomized, double-blind, placebo-controlled trial. . Ann Intern Med
1998:128:801-9.
20. Catnpbell WW, TrappeTA, Wolfe RR, Evans WJ. The Recommended Dietary Allowance for Protein
May Not Be Adequate for Older People to Maintain Rangka Muscle. Journal of Gerontology.
2001;56A ( 6 ) :M373-80.
21. Paddon-Jones D, Rasmussen BB. Dietary protein recommendations and the prevention of
sarcopenia: Protein, amino acid metabolism and therapy. Curr Opin Clin Nutr Metab Care.
2009: 12 ( 1 ) :86-90.
22. Gaffney-Stomberg E, Insogna KL, Rodriguez NR, Kerstetter JE. Increasing Dietary Protein
Requirements in Elderly People for Optimal Muscle and Bone Health. J American Geriatrics
Society. 2009:57:1073-9.
23. Arnal M-A, Mosoni L, Boirie Y, Houlier M-L, Morin L, Verdier E, et al. Protein pulse feeding improves
protein retention in elderly women. Am J Clin Nutr 1999. 1999:69:1202-8.
24. Wilson GJ, Wilson JM, Manninen AH. Nutrition & Metabolism Review Effects of beta-hydroxy-beta-
methylbutyrate ( HMB ) on exercise performance and body composition across varying levels of
age, sex,and training experience: A review. Nutrition & Metabolism 2008:5.
25. VisserM, Deeg DJH, Lips P. Low Vitamin D and High Parathyroid Hormone Levels as Determinants of
Loss of Muscle Strength and Muscle Mass (Sarcopenia ) : The Longitudinal Aging Study Amsterdam.
The Journal of Clinical Endocrinology & Metabolism 88 ( 12) :5766-5772. 2003:88 ( 12) :5766-72.
26. Mosekilde L. Vitamin D and the Elderly. Clinical Endocrinology ( 2005) 62,265-281
27. Bischoff -Ferrari HA, Dawson-Hughes B, Staehelin HB, Orav JE, Stuck AE, Theiler R , et al. Fall
prevention with supplemental and active forms of vitamin D: A meta-analysis of randomised
controlled trials . BMJ. 2009:339 :339. b3692
28. Latham N.K, Anderson C.S., Reid I.R . Effects of Vitamin D Supplementation on Strength, Physical
Performance, and Falls in Older Persons : A Systematic Review. J Am Geriatr Soc 2003:51 :1219-1226
29. Muir. W .S. Effect of Vitamin D Supplementation on Muscle Strength, Gait and Balance in Older
Adults : Systematic Review and Meta- Analysis. J Am Geriatr Soc . 2011:1-10
30. Morley JE. Vitamin D redux. J Am Med Dir Assoc 2009:10:591 -2.
31. Burton L, Sumukadas D. Optimal management of sarcopenia. Clinical Interventions in Aging
2010:5:217-28.
32. Brass EP, Sietsema KE. Considerations in the Development of Drugs to Treat Sarcopenia. J Am
Geriatric Soc . 2011:59 ( 3);530-535.
33. Ryall JG, Lynch GS. Role of (3- Adrenergic Signalling in Skeletal Muscle Wasting: Implications for
Sarcopenia: Sarcopenia - Age-related Muscle Wasting and Weakness. London: Springer; 2011.
p. 449- 471.
360
Sarkopenia
34. Blahd W . Sarcopenia with Aging. J Nutr Health Aging. Jul 2013;17 ( 7 ) :612-618.
35. Salva A. Experimental Treatment Shows Promise in Reversing Loss of Muscle Mass. The International
Conference on Frailty & Sarcopenia Research 201 4. Press Release.
36. Morley JE. Frailty: Pathy's Principles and Practice of Geriatric Medicine, 5 edition. Oxford: John
th
.
Wiley & Sons Ltd: 2012. p. 1387- 1393.
361
- Kr I
«
PENATALAKSANAAH
D lBIDAN6 HMD PENYAKIT DALAM
PANDUAN
PRAKTIK
KIINIS Ilfcl
GINJAL HIPERTENSI
••
363
PENGERTIAN
Batu saluran kemih adalah batu di traktus urinarius mencakup ginjal, ureter, vesika
urinaria.1 Faktor resiko batu saluran kemih adalah:2
• Volume urin yang rendah
• Hiperkalsiuria, hiperoksalaturia
• Faktor diet: asupan cairan kurang, sering konsumsi soda, jus aple, jus jeruk bali,
asupan tinggi natrium klorida, rendah kalsium, tinggi protein
• Riwayat batu saluran kemih sebelumnya
• Renal tubular asidosis tipe 1
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis1
Nyeri / kolik ginjal dan saluran kemih, pinggang pegal, gejala infeksi saluran kemih,
hematuria, riwayat keluarga, faktor resiko batu ginjal penyakit gout
Pemeriksaan Fisik1
Nyeri ketok sudut kostovertebra, nyeri tekan perut bagian bawah, terdapat tanda
balotemen
Pemeriksaan Penunjang
1
• Laboratorium :hematuria
• Radiologi : bayangan radio opak pada foto BNO, filling defect pada IVP atau
pielogra antegrad / retrograd, gambaran batu di ginjal atau kandung kemih serta
hidronefrosis pada USG
DIAGNOSIS BANDING
• Nefrokalsinosis
• Lokasi batu: batu ginjal, batu ureter, batu vesika
• Jenis batu: asam urat, kalsium, struvite
PanduanPrakUk Minis
Pertiimpunan DoklerSpesialis Penyakit Dalam Indonesia
CO
TATALAKSANA
Nonfarmakologis1
• Batu kalsium : kurangi asupan garam dan protein hewani
• Batu urat: diet rendah asam urat
• Minum banyak (2,5 L/ hari) bila fungsi ginjal masih baik
Farmakologis
• Antispasmodik bila ada kolik
• Antimikroba bila ada infeksi
• Batu kalsium : kalium sitrat
• Batu urat: allopurinol, pemberian oral bicarbonate or potassium citrate untuk
membuat pH urin menjadi basa.3
Bedah3
• -
Extracorporeal shock wave lithotripsy (untuk batu pada proksimal ginjal dan
urethra < 2 cm )
• Percutaneous lithotripsy ( untuk batu > 2 cm)
• Ureteroscopy ( untuk batu pada ginjal dan ureter)
• Pielotomi
• Nefrostomi
KOMPLIKASI
Abses, gagal ginjal, fistula saluran kemih, stenosis urethra , perforasi urethra,
urosepsis, renal loss karena obstruksi kronis.4
PROGNOSIS
Batu saluran kemih adalah penyakit seumur hidup. Rata- rata kekambuhan pada
pertama kali batu terbentuk adalah 50% dalam 5 tahun dan 80 % dalam 10 tahun.
Pasien yang mamiliki risiko tinggi kambuh adalah yang tidak patuh pada pengobatan,
tidak modifikasi gaya hidup, atau ada penyakit lain yang mendasari. Fragmen batu
yang tersisa pada pembedahan biasanya keluar dengan sendirinya jika ukuran batu
tersebut < 4 mm.4
366
Batu Saluran Kemih
REFERENSI
1. |B, AlwJJy
Infeksi saluran Kemih. In: Sudpy fa .S(etiyohcid M,iSeJifltl.S,. .Eluty
. ^.
ajar ilmu penyakit dalam 5(h ed Jakarta; Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian llmu Penyakit
.
Dalam FKUI 2009:2009 - 15 ': ; 1
' :
2. . .
Nephrolithiasis In: Fauci A, Kasper D, Longo D, Braunwald E, Hauser S Jameson J, Loscalzo J,
^^ ^^
Mne- ' uhit©d.§tdtes of Ar ertca; The McQrgw-
Hii!l of l Vl^ ^
' 1 e? '
18 h
’
panTe
3. . . .
Nephrolithiasis Dalam : Acosta, Jose. Sabiston Texfbdbk of Surg’eiy 18th Edition SdunderS 2608
4. . . .
Stoller ML Urinary stone disease In : Tanagho EA, McAninch JW, eds Smith' s General Urology,
. .
16th Edition New York, NY:McGraw-HIII 2004:256-291 .
367
368
PENGERTIAN
Ganggguan asam basa terdiri dari dua yaitu asidosis dan alkalosis. Tingkat
keasaman arteri ( pH) dipertahankan 7.35- 7.45. Asidosis jika pH < 7.35 dan alkalosis
jika pH > 7.45. Pengontrolan tekanan C02 (PaC02) dilakukan oleh sistem saraf pusat
dan sistem respirasi, sedangkan pengaturan bikarbonat plasma diatur oleh ginjal
dengan mengekskresi dan meretensi asam atau basa. Regulasi pH darah digambarkan
dengan rumus Henderson- Hasselbalch:liZ
plasma yang bersifat asam seperti asam bukan klorida yang mengandung bahan
inorganik (fosfat, sulfat) , bahan organik (asam keto, laktat, anion uremia),
bahan eksogen (salisilat, toksin lain)
c . Jika AG menurun: terdapat penurunan albumin atau peningkatan kation yang
tidak terukur (kalsium, magnesium , kalium, bromine , imunoglobulin)
d . Nilai normal 8 - 12 mEq / L
e . AG meningkat menunjukkan adanya penambahan asam lain sedangkan jika
AG normal menunjukkan bikarbonat yang kurang yang menjadi penyebab
asidosis metabolik
f . AG dihitung dengan rumus :
AG = Na - (C1+ HC03)
Jika terjadi peningkatan glukosa plasma, gunakan kadar natrium yang diukur,
jangan menggunakan kadar natrium terkoreksi .
6. Mengetahui 4 penyebab high AG yaitu ketoasidosis, asidosis asam laktat, gagal
ginjal , toksin
7 . Mengetahui 2 penyebab hiperkloremik atau asidosis nongap (hilangnya bikarbonat
dari saluran cerna, renal tubular acidosis/ RTA ).
8. Mengestimasi respon kompensasi (Tabel 2)
369
(f )
Wtjy
Panduan Praktlk Kllnis Ginial
J^ Hipertensi
^
Perhlmpunan Deleter Speslalis Penyakit Dalom Indonesia
WM 1 1
ASIDOSIS METABOLIK
PENGERTIAN
Asidosis metabolik adalah adalah suatu keadaan patologis ditandai dengan penurunan
HC03 - 1 dan sebagai kompensasi terjadi penurunan PC02 . Asidosis metabolik dengan
anion hgap(AG) disebabkan oleh: ketoasidosis, laktat asidosis, gagal ginjal, intoksikasi
(metanol, salisilat, etilen glikol, propilen glikol, asetamonofen) . Sedangkan asidosis
metabolik tanpa AG disebabkan oleh diare atau asidosis tubulus renalis ( RTA) 3
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Riwayat penyakit yang diderita seperti penyakit ginjal (gagal ginjal akut), diabetes
lcohol, riwayat konsumsi alkohol, kelaparan, gangguan herediter, obat-obatan yang
rutin dikonsumsi , atau riwayat operasi sebelumnya. Pada kasus kronik pasien dapat
tidak menunjukkan gejala (asimptomatik) atau merasa lelah, letih dan nafsu makan
menurun . 1,3
• Kehilangan melalui saluran cerna: daire, fistula intestinal atau pankreas, drainase
• Renal Tubular Acidosis
• Gagal ginjal tahap awal
• Intoksikasi: asetazolamid, kolestiramin, toluen
• Dilusi karena infus bikarbonat terlalu cepat
• Post- hypocapnia respiratory alkalosis
• Renal wasting HC03
• Koreksi alkalosis respiratorik terlalu cepa
• Diversi ureter
370
Gangguan Asam Basa (fj®
Pemeriksaan Fisik
Penurunan tekanan darah, takikardia, hiperventilasi (pernapasan Kussmaul' s),
kulit dingin dan lembab, disritmia, dan syok. u
Pemeriksaan Penunjang3
• Analisis gas darah: pH < 7.35. PaC02 < 35 mmHg, bikarbonat < 22 mEq / L
• Elektrolit serum: mungkin terjadi peningkatan kalium.
• Osmolalitas darah, glukosa darah, ureum, kreatinin
• Keton urin
• Skrining toksin
• EKG : disritmia akibat hiperkalemia, memuncaknya gelombang T, penurunan
segmen ST, penurunan ukuran gelombang R, menurun atau tidak terdapatnya
gelombang P, dan melebarnya kompleks QRS.
DIAGNOSIS BANDING1
• AG normal: saluran cerna diare, fistula, ileal loop ), ginjal (renal tubular acidosis,
carbonic anhydrase inhibitor, post hypocapnia ).
• AG meningkat: eksogen (salisilat, metanol, paraldehid), endogen (laktat asidosis,
ketoasidosis, uremia)
TATALAKSANA3
• Terapi penyakit yang mendasarinya
• Terapi asidosis metabolik dengan AG
Jika keton urin negatif: hitung osmolalitas gap ( OG ). Jika OG > 10: curiga
intoksikasi.
Osmolalitas gap = osmolalitas terukur - osmolalitas perhitungan
Osmolalitas perhitungan = [ 2 x Na] + [glukosa /18] + [BUN / 2.8]
• Terapi asidosis metabolik tanpa AG
Terapi penyakit yang mendasarinya
Periksa AG urin (UAG)
371
m
WTMP
Panduan Praktik Kllnls
Perhimpunan DokterSpestalis Penyakil Dalam Indonesia Ginial
'J ^ Hipertensi
11
r' W
*'*
Mengitung rerata Ru - bikar: [Ru - bikar dari hasil pemeriksaan HC 03] - [Ru -
bikar dari hasil HC 03 yang diharapkan]
Jumlah bikarbonat yang dibutuhkan (mEq) = Rerata Ru-bikar x berat badan x
[HC03 yang diharapkan - HC03 hasi pemeriksaan]
Diberikan melalui drip intravena dalam 1000 ml dekstrosa 5% dalam air ( D 5 W)
KOMPLIKASI
Aritmia, koma dan kematian jika asidosis metabolik berat3
PROGNOSIS
Perjalanan penyakit tergantung penyakit yang mendasarinya . Pada 543 pasien
yang menderita asidosis metabolik, 44 % di antaranya menderita asidosis laktat, 37 %
di antaranya menderita asidosis dengan AG yang tinggi, dan 19 % dengan asidosis
hiperkloremik. Angka kematian mencapai 45% pada kasus asidosis metabolik,
pasien dengan laktat asidosis 56%, asidosis dengan AG yang tinggi 39%, dan asidosis
hiperkloremik 29%34
ASIDOSIS RESPIRATORIK
PENGERTIAN
Peningkatan PaC02 dengan kompensasi peningkatan HC 03 Faktor resiko yaitu : 3
• Penyakit pernapasan akut: pneumonia,ARDS ( acute respiratory distress syndrome)
• Obat-obatan yang mendepresi susunan saraf pusat
372
Gangguan Asam Basa
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Sesak nafas, asteriksis, gelisah menimbulkan letargi, perubahan status mental,
dan koma 3
Pemeriksaan Fisik
Peningkatan frekuensi jantung dan pernapasan, diaphoresis, dan sianosis. Dapat
ditemukan tanda -tanda peningkatan tekanan intracranial seperti edema papil, dilatasi
pembuluh darah konjungtiva dan wajah.
Pemeriksaan Penunjang3
• Analisa gas darah (AGD): PaC02 > 40 mmHG, pH < 7.40
• Elektrolit serum
• Rontgen paru: melihat adanya penyakit pernapasan yang mendasari
• Skrining obat
DIAGNOSIS BANDING
Dilihat dari beberapa faktor resiko yang dapat menyebkan terjadinya asidosis
respiratori 3
TATALAKSANA2 3
• Terapi penyakit yang mendasarinya
• Menaikkan frekuensi napas dan menurunkan C02
• Akut: Oksigen jika saturasi oksigen rendah, ventilator
• Kronik: oksigen, bronkodilator dan antibiotik sesuai indikasi, fisioterapi dada.
KOMPLIKASI
Gagal napas, syok3
373
PanduanPraktik minis Ginial
J Hipertensi
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakii Dalam Indonesia
PROGNOSIS
Perjalanan penyakit tergantung penyakit yang mendasarinya. Jika cepat diatasi
maka maka tidak ada efek jangka panjang. Asidosis respiratorik dapat terjadi secara
kronik bersamaan dengan penyakit paru atau gagal napas yang membutuhkan ventilasi
mekanik.3
ALKALOSIS METABOLIK
PENGERTIAN5
Peningkatan HC 03 dengan peningkatan PaC02 sebagai kompensasi . Penyebab
alkalosis metabolik yaitu :
• Saline responsive: kehilangan H + melalui muntah, penghisapan dari selang NGT,
adenoma villous, laksatif, cystic fibrosis; dari ginjal misalnya pemakaian diuretik
• Saline resistant: kelebihan mineralokortikoid, hipokalemia berat, hipokalsemia
atau hipoparatiroidisme, sindroma Bartter's, sindroma Gitelman’s
DIAGNOSIS
Anamnesis
Gejala klinis kelemahan otot, ketidakstabilan saraf otot, menurunnya refleks,
perubahan status mental seperti apatis, stupor. Riwayat penyakit sebelumnya dan
obat -obatan seperti diuretik tiazid. 1,3
Pemeriksaan Fisik
Konfusi, aritmia, peningkatan kepekaan neuromuskular, dapat ditemukan ileus
karena penurunan motilitas saluran pencernaan. 13
Pemeriksaan Penunjang13
• Analisa gas darah (AGD): pH > 7.40, bikarbonat > 26 mEq / L
• Klorida urin
• Elektrolit serum : umumnya dijumpai penurunan kalium dan klorida.
• EKG: melihat ada tidanya disritmia terutama pada kasus berat
374
Gangguan Asam Basa
f
Alkalosis Metabollk
I
Saline responsive
I
Saline resistant
1 1 l 1
Kehilangan dari sal - Dluretlk Setelah hipokapnla. Hlperlensl Normal atau
uran cema : muntah. laksallf , cystic hfpotensl
dralnase NGT . fibrosis
adenoma vilus
.
^
Algorltme 1 Pend katan Alkalosis
Metabollk 3
DIAGNOSIS BANDING?
• Sensitif terhadap klorida (/ klorida urin < 10 mEq / LJ : saline responsive
- Kehilangan klorida dari urin: pemakaian diuretik, kistik fibrosis, post
hiperkapnia
Kehilangan klorida dan H+ dari saluran cerna: penghisapan selang NGT, muntah,
kelainan kongenital
• Resisten terhadap klorida (klorida urin > 10 mEq/ Ii): saline resistant
- Hipertensi: kelebihan mineralokortikoid: sindronuCus/i / n jisindrom Conn,
Normotensif atau hipotensi: hipokalemia berat, sindrom Barttler.
^
TATALAKSANA? 3
• Terapi penyakit yang mendasarinya
• Infus normal saline
• Kalium klorida (KG1) sesuai indikasi
• Antagonis reseptor histamin H 2. menurunkan produksi HC1 dan mencegah alkalosis
metabolik yang dapat terjadi akibat penghisapan dari NGT
• Inhibitor karbonik anhidrase: asetazolamid
375
PanAinrrakUk Minis Ginjal Hipertensi
Perhimpunan Dokler SpesiaBs Penyalot Dalam Indonesia J I
• Asam hidroklorida ( HC1) 0.1 N juga efektif, tetapi dapat menyebabkan hemolisis
dan harus diberikan melalui pembuluh darah sentral dan perlahan - lah
KOMPLIKASI
Aritmia jantung, gangguan elektrolik, koma
PROGNOSIS
Perjalanan penyakit tergantung penyakit yang mendasarinya. Angka kematian
pada pH darah 7.55 sebesar 45 %, sedangkan angka kematian pada pH darah lebih
dari 7, 65 yaitu 80 %. 3 S
ALKALOSIS RESPIRATORIK
PENGERTIAN
Penurunan PC 02 dengan penurunan HC03 sebagai kompensasi . Terjadi karena
peningkatan ventilasi alveolar. Penyebab terjadinya alkalosis respiratorik: 3
• Hipoksia: hiperventilasi pada pneumonia, edema pulmonal, penyakit paru restriktif
• Hiperventilasi primer : gangguan sistem saraf pusat, nyeri, cemas, obat (salisilat,
progesteron, metilxantin], kehamilan, sepsis, gagal hati .
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Gejala yang dikeluhkan: kepala terasa melayang, ansietsas parestesia, tetani ,
pingsan, dan kejang jika sudah berat. 3
Pemeriksaan Fisik
Ditemukan adanya peningkatan frekuensi dan kedalaman pernapasan3
Pemeriksaan Penunjang3
• Analisis gas darah (AGD) : PaC02 < 40 mmHG, pH > 7.40, Pa02 menurun
• Elektrolit serum
• Fosfat serum: penurunan
• EKG : disritmia
376
Gangguan Asam Basa
DIAGNOSIS BANDING
Dibedakan berdasarkan etiologinya
TATALAKSANA 3
• Terapi penyakit yang mendasarinya
• Memastikan apakah ansietas merupakan penyebabnya dan penurunan PaC02
• Jika gejala memberat: pasien perlu menghirup kembali C02 melalui masker oksigen
yang dihubungkan dengan reservoir C02 atau mengunakan sejenis kantong untuk
bernapas.
• Terapi oksigen jika hipoksia dalah faktor penyebabnya
• Sedatif dan tranquilizer jika disebabkan karena cemas
• Ventilasi mekanik
KOMPLIKASI
Aritmia jantung, gangguan elektrolik, koma
PROGNOSIS
Perjalanan penyakit tergantung penyakit yang mendasarinya. Angka kematian
27,9 % seiring dengan meningkatnya pH, mencapai 48,5 % jika pH > 7.60. Pasien
dengan alkalosis respiratori dan alkalosis metabolik mempunyai prognosis lebih
buruk (44.2 %]6
REFERENSI
1. DuBose TD. Acidosis and alkalosis . In:Fauci A, Kasper D, Longo D, Braunwald E, Hauser S, Jameson
.
J, Loscalzo J, editors Harrison ' s principles of internal medicine. 18 ed. New York: McGraw-Hill
Medical Publishing Division; 2012.
2. Siregar P. Gangguan Keseimbangan Cairan dan Elektrolit. Dalam: Alwi I, Setiati S, Setiyohadi
B, Simadibrata M, Sudoyo AW. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi V. Jakarta: Interna
Publishing; 2009: Hal 189- 196.
377
B*gagB!Ginjal Hipertensi
3. . .
Seifter JL , Acid-base disorders In: Goldman L, Schafer Al, eds. Cecil Medicine 24th ed .
Philadelphia, Pa: Saunders Elsevier; 2011:chap 120.
4. .
Gunnerson K, Saul M, He S, et al Lactate vs. non-lactate metabolic acidosis: a retrospective
.
outcome evaluation of critically ill patients. Crit Care 2006; 10( 1 ) : R 22.
5. .
Galla J. Metabolic alkalosis JASN. 2000;11 ( 2):369-75.
6. .
Anderson LE, Henrich WL Alkalemia-associated morbidity and mortality in medical and surgical
.
patients South Med J. 1987:80(6):729-33.
378
379
PENGERTIAN
Gangguan ginjal akut atau yang sebelumnya dikenal dengan gagal ginjal akut (GGA),
sekarang disebut jejas ginjal akut (acute kidney injury / AKI ). AKI merupakan kelainan
ginjal struktural dan fungsional dalam 48 jam yang diketahui melalui pemeriksaan
.
darah, urin, jaringan, atau radiologis ^ Kriteria diagnosis AKI menurut the International
Kidney Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO) sebagai berikut:
3
• peningkatan serum kreatinin (SCr) > 0,3 mg/ dL (> 26,5 pmol / L) dalam 48 jam; atau
• peningkatan SCr > 1, 5 x baseline, yang terjadi atau diasumsikan terjadi dalam
kurun waktu 7 hari sebelumnya; atau
• Volume urin < 0, 5 mL / kgBB / jam selama > 6 jam
3
Tabel 1. Stadium AKI Berdasarkan Derajat Keparahannya
Stadium Krtteria serum kreatinin (SCr) Krtteria urine output ( UO)
1 1.5 - 1,9 X baseline < 0,5 mL/kgBB/jam selama 6-12 jam
atau
0,3 mg / dL (> 26,5 pmol/L)
2 2 - 2,9 X baseline < 0,5 mL/kgBB/jam selama > 12 jam
3 3 X baseline < 0,3 mL/ kgBB / jam selama 24 jam
atau atau
t 4,0 mg/ dL (> 354 pmol/L) anuria selama 12 jam
atau
Inisiasi terapi penggantian ginjal (TPG)
atau
Pasien < 18 tahun dengan penurunan
eGFR < 35mL/menit per 1,73 m2
Keterangan :
eGFR = Estimated glomerular nitration rate (estimasi laju filtrasi glomerolus / LFG )
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis1
1. Suspek pre-renal azotemia: muntah, diare, poliuria akibat glikosuria, riwayat konsumsi
obat termasuk diuretik, nonsteroidal anti-inflammatory drugs ( NSAID), angiotensin
converting enzyme (ACE) inhibitors, dan angiotensin receptor blocker (ARB).
PanduanPraktikKIinis
Perhimpunan Dokfer Spesiolis Penyakit Dalam Indonesia
I( S PanduanPrakiik Minis
Pertiimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia Ginial
J Hioertensi
2. Kolik pinggang yang menjalar ke daerah genital > sugestif obstruksi ureter -
3. Seringkencing di malam hari (nokturia) dan gangguan berkemih lain ; dapat muncul
pada penyakit prostat
4. Riwayat penyakit prostat, batu ginjal, atau keganasan pelvis atau paraaorta ->
suspek post -renal
Pemeriksaan Fisik’
1. Hipotensi ortostatik, takikardi, tekanan vena jugularis menurun, turgor kulit
menurun, dan membran mukosa kering.
2 Perut kembung dan nyeri suprapubik -> pembesaran kandung kemih
.
3. AKI dengan purpura palpable, perdarahan paru, atau sinusitis > sugestif vaskulitis -
sistemik
4. Reaksi idiosinkrasi (demam, artralgia, rash kemerahan yang gatal) - suspek nefritis
interstitial alergi
^
5. Tanda iskemik pada ekstremitas bawah positif -> suspek rhabdomiolisis
I 1
Pre-renal Intrinsik Post-renal
Hipovolemia
I t
Tubulus dan
I
•
-
Obstruksi saluran kandung
Cardiac output 4 interstitium kemih
Volume sirkulasi etektif 4,
• Obstruksi pelvo-ureteral
• Gagal jantung kongestif bilateral (atau obstruksi
• Gagal hati unilateral dari fungsi ginjal
Autoregulasi ginjal terganggu
soliter )
• NSAID
ii
• ACE-I / ARB
• Siklosporin • Glomerular • Vaskular
• Glomerulo • Vaskulitis
nefritis akut • Hipertensi maligna
• TTP -HUS
f i
Iskemi Sepsis / infeksi NEFROTOKSIN
• Eksogen: kontras, aminoglikosida,
cisplatin, amfoterisin B
Ket: TTP- HUS = thrombotic thrombocytopenic • Endogen: hemolisis, mieloma, kristal
purpura- hemolytic uremic syndrome intratubular, rhabdomiolisis
380
Gangguan Ginjal Akut mm
Pemeriksaan Penunjang1
1. Laboratorium: darah perifer lengkap, urinalisis, sedimen urin, serum ureum,
kreatinin, asam urat, kreatin kinase , elektrolit, lactate dehydrogenase ( LDH ), blood
urea nitrogen [BUN], antinuclear antibodies (ANAs), antineutrophilic cytoplasmic
antibodies (ANCAs), antiglomerular basement membrane antibodies (AGBM), dan
cryoglobulins.
2 . Radiologis: USG ginjal dan traktus urinarius, CT scan, pielografi antegrad atau
retrograd, MRI
3. Biopsi ginjal
>
25 7,5% 0,04%
Diabetes 3
6- 10 14% 0, 12%
1 11 - 16 26, 1 % 1,09%
Volume zat kontras
tiap 100 cc 3 16 57,3% 12, 6%
SCr > 1,5 mg/dL 4
atau
eGFR < 60 mL/menit/ 1,73 m2 2 bila 40-60 J
4 bila 20- 40
6 bila <20
Keterangan :
aTekanan sistolik <80 mmHg selama sedikitnya 1 jam dan memerlukan terapi inotropik atau IABP dalam 24 jam periprosedural
cGagal jantung kongestif menurut klasifikasi New York Heart Association ( NYHA ) kelas lll / IV dan / atau riwayat edema paru
cHt <39% pada laki-laki, <36% pada perempuan
381
PanduanPrakUkKlinis Ginial
J Hioertensi
Perhimpunan DokJer Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
382
Gangguan Ginjal Akut
DIAGNOSIS BANDING
383
m
^ '
PanduanPraktikKlims Ginial Hipertensi
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakit Dalam Indonesia J
Etlologl
Pemerlksaan
Manifestos! Kilnls Keterangan
Penunjang
Nefropati kontras Paparan terhadap kontras Serum kreatinin dalam FeNa mungkin
yang teriodinasi 1 -2 hari, puncaknya rendah (<1%)
pada hari 3-5, pulih
dalam 7 hari
AKI- terkalt nefrotoksln : faktor eksogen
Penyakit tubular Antibiotik aminoglikosida, Sedimen urin sering
cisplatin, tenofovir, terdapat bentuk
zoledronate granular, sel epitel
tubular, FeNa > 1 %
Nefritis interstitial Paparan obat, dapat terjadi Eosinophilia, piuria Eosinophil
demam, rash , artralgia steril, seringkali non- urin memiliki
oligouria keakuratan
diagnostik
terbatas, tanda
sistemik reaksi
obat seringkali ( ) ,
-
384
Gangguan Ginjal Akut ((fj;
TATALAKSANA
Tabel 6. Manajemen Tatalaksana AKI Berdasarkan Stadium3
Rlslko tlnggl Stadium 1 Stadium 2 Stadium 3
Hentikan semua agen nefrotoksik bila memungkinkan
Pastikan status volume dan tekanan perfusi
Pertimbangkan pemantauan hemodinamik fungsional
Pantau SCrdan UO
Hindari hiperglikemia
Pertimbangkan prosedur alternatif dari radiokontras
Lakukan pemeriksaan diagnostik non-invasif
Tatalaksana Pertimbangkan pemeriksaan diagnostik invasif
Periksa bila ada perubahan dosis obat
Pertimbangkan terapi penggantian ginjal
Pertimbangkan ICU
Hindari kateter
subklavia bila
memungkinkan
.
1 Asupan nutrisi3
• Pemberian nutrisi enteral lebih disukai
• Target total asupan kalori per hari: 20 - 30 kkal / kgBB pada semua stadium
• Hindari restriksi protein
• Kebutuhan protein per hari:
- AKI non -katabolik tanpa dialisis: 0,8 - 1 g / kgBB
AKI dalam terapi penggantian ginjal (TPG ) : 1 - 1, 5 g/ kgBB
AKI hiperkatabolik dan dengan TPG kontinu: s / d maksimal 1, 7 g / kgBB
2. Asupan cairan dan terapi farmakologis3
• Tentukan status hidrasi pasien, bila tidak ada syok hemoragik a infus kristaloid
isotonik
• Pada pasien dengan syok vasomotor a berikan vasopressor dengan cairan IV
• Pada seting perioperatif atau syok sepsis, tatalaksana gangguan hemodinamik
dan oksigenasi sesuai protokol
• Pada pasien sakit berat berikan terapi insulin dengan target glukosa plasma
110-149 mg/ dL
• Diuretik hanya diberikan pada keadaan volume overload
• Tidak dianjurkan : dopamin dosis rendah, atrial natriuretic peptide (ANP) ,
recombinant human ( rh ) IGF-1
3. Intervensi dialisis13
• Indikasi dialisis:
Terapi yang sudah diberikan tidak mampu mengontrol volume overload,
hiperkalemia, asidosis, ingesti zat toksik
385
# “
J JSS?JKl Ginjal Hipertensi
Komplikasi uremia berat: asterixis, efusi perikardial, ensefalopati, uremic
bleeding
• Inisiasi dialisis secepatnya pada keadaan gangguan cairan , elektrolit,
keseimbangan asam-basa yang mengancam nyawa
• Pertimbangkan kondisi klinis lain yang dapat dimodifikasi melalui dialisis
(tidak hanya ratio BUN : kreatinin saja]
• Gangguan ginjal akut stadium III
• Diskontinu dialisis bila tidak lagi dibutuhkan (fungsi intrinsik ginjal telah
pulih) atau jika dialisis tidak lagi memenuhi tujuan terapi
KOMPLIKASI
Gangguan asam basa dan elektrolit, uremia, infeksi, perdarahan, komplikasi pada
jantung, malnutrisi.1
PROGNOSIS
Tingkat mortalitas AKI yang berat hampir 50%, tergantung tipe AKI dan penyakit
komorbid pasien . Pada studi Madrid, pasien dengan nekrosis tubular akut memiliki
386
Gangguan Ginjal Akut Q
angka mortalitas 60%, sedangkan pada penyakit pre-renal atau post-renal 35 %. Sebagian
besar kematian bukan disebabkan AKI itu sendiri, melainkan oleh penyakit penyerta dan
komplikasi. Pada data Madrid, 60% kematian disebabkan oleh penyakit primer dan 40%
lainnya disebabkan oleh gagal kardiopulmonal atau infeksi. Sekitar 50% orang pulih
sepenuhnya dari nekrosis tubular akut, 40% tidak pulih dengan sempurna, hanya 5 - 10%
yang memerlukan hemodialisis.8
sertifikasi hemodialisis
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Unit Hemodialisis, ICU / Medical High Care , Departemen
Bedah Urologi
• RS non pendidikan : Unit hemodialisis, ICU
REFERENSI
1. .
Bonventre J, WaikarS. Acute kidney injury In: Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson
JL, Loscalzo J. Harrison' s Principles of Internal Medicine. 18m Edition. New York: McGraw-Hill; 2012.
halaman
2. Molitoris B. Acute kidney injury. In: Goldman, Ausiello. Cecil medicine. 23rd Edition. Philadelphia:
Saunders, Elsevier; 2008. halaman
3. The International Kidney Disease: Improving Global Outcomes ( KDIGO ) . KDIGO clinical practice
guideline for acute kidney injury. Kidney International Supplements ( 2012) 2, Diunduh dari http:/ /
_
www.kdigo.org / clinical practice_guidelines /pdf /KDIGO%20AKI%20 Guideline.pdf pada tanggal
16 Mei 2012.
4. Mehran R, Aymong E, Nikolsky E, et al. A simple risk score for prediction of contrast-induced
.
nephropathy after percutaneous coronary intervention. J Am Coll Cardiol 2004; 44:1393-9.
5. Palomba H, Castro I, Neto et al. Acute kidney injury prediction following elective cardiac
ALC,
surgery: AKICS Score. Kidney International. 2007:72:624-31.
6. Candela-Toha A, Elias-Martin E, Abraira V, et al. Predicting acute renal failure after cardiac surgery
external validation of two new clinical scores. Clin J Am Soc Nephrol. 2008:3:1260-5.
7. Karkouti K, Wijeysundera D, Yau T, et al. Acute kidney injury after cardiac surgery: focus on
modifiable risk factors. Circulation 2009:119:495-502.
8. Liano F, Junco E, Pascual J, Madero R , Verde E. The spectrum of acute renal failure in the
intensive care unit compared with that seen in other settings. The Madrid Acute Renal Failure
Study Group. Kidney IntSuppI 1998; 66:S 16-S 24.
387
388
GANGGUAN KALIUM
PENGERTIAN
Gangguan kalium ada 2 yaitu hipokalemia dan hiperkalemia. Nilai normal kalium
plasma yaitu 3.5 - 5 meq / L . Hipokalemia yaitu kadar kalium plasma < 3.5 meqL / L, dan
hiperkalemia jika kadar kalium plasma > 5 meq / L . Kalium adalah kation utama dalam
intraselular dan berperan penting dalam metabolism sel . Kalium berfungsi dalam
sintesis protein, kontraksi otot, konduksi saraf , pengeluaran hormone, transport
cairan, perkembangan janin. Ginjal merupakan pengatur utama keseimbangan kalium
dengan mengatur jumlah yang diekskresikan dalam urin . Penyebab dari hipokalemia
dan hiperkalemia pada tabel 1 . i
Tabel 1. Penyebab Terjadinya Hipokalemia dan Hiperkalemia
Hipokalemia Hiperkalemia
Pengeluaran kalium melalui ginjal: Keluarnya kalium dari intrasel ke ekstrasel:
• ketoasidosis diabetik ( KAD) • asidosis metabolik ( bukan karena asidosis organik
• renal tubular acidosis ( RTA [ proximal RTA ( type pada ketoasidosis, asidosis laktat )
llj and some distal RTAs ( type ! ] ] • defisiensi insulin
• diuretik • katabolisme jaringan meningkat
• sindroma Bartter ' s , sindroma Gitelman ’ s • pemakaian obat penghambat a adrenergik
• hiperaldosteronisme derajat 1 ( sindroma Conn ' s) • pseudo hiperkalemia akibat kesalahan pengam-
• hiperaldosteronisme derajat 2 ( penyakit bilan contoh darah
renovaskular, renin-secreting tumor ) • latihan olah raga
• nonaldosterone mineralocorticoid (Cushing' s ,
Liddle ' s, exogenous mineralocorticoid, licorice )
• muntah, drainase selang nasogastrik ( NGT/
nasogastric tube ) pada hiperaldosteronisme
derajat 2.
Pengeluaran kalium yang berlebihan melalui sa- Berkurangnya ekskresi kalium dari ginjal:
luran cerna: • laju filtrasi glomerulus (LFG) normal: sekresi aldos-
• diare teron normal ( CHF/Chronlc Heart Failure ) , sirosis,
• laksatif konsumsi kalium berlebihan.
• adenoma vilus • Hipoaldosteronemia: menurunnya renin ( nefropati
diabetik, OAINS, nefritis interstitial kronik ) , sinte-
sis aldosteron menurun ( kelainan adrenal, ACEI/
angiotensin converting enzyme inhibitor ) , ARBs /
angiotensin receptor blockers, heparin ) , menurun-
nya respon terhadap aldosteron ( diuretik hemat
kalium, trimetoprim-sulfometokasol, pentamidin,
amiloid, diabetes melitus, SLE / systemik lupus eryth-
romatosus, sickle cell.
Kalium masuk ke dalam sel: alkalosis ekstrasel, Menurunnya LFG: semua penyebab anuria atau
pemberian insulin, pemakaian (52 agonis, paralisis oligouria, semua penyebab pada penyakit ginjal
periodik hipokalemik, hipotermia. tahap akhir
DIAGNOSIS BANDING
TATALAKSANA
A. HIPOKALEMIA
Pendekatan tatalaksana hipokalemia:3
• Menyingkirkan adanya transcellular shifts [keadaan yang menyebabkan masuknya
kalium ke dalam sel)
• Pemeriksaan kalium urin 24 jam
389
m &S9BSB& Ginjal Hipertensi
Jika Kalium urin > 30 meq / hari atau > 15 mEq / L atau TTKG > 7: kehilangan kalium
melalui ginjal, cek tekanan darah, cek klorida urin.
Jika Kalium urin < 25 meq /hdri atau < 15 mEq / L atau TTKG < 3: kehilangan kalium
tidak mqlalui ginjal
Hipokalemia
n
'i
Periksa status asam-basa hlperaldosteronisme derajat I.
hiperaldosteronisme derajat 2.
nonaldosterone mlneralocorllcoid
(
Campuran
1
Asidosls Alkalosis
u
KAD, RTA Detlsiensl Klorida urin
magnesium
f
< 20 >20
1 l
Muntah / NGT .
Dluretik sindroma Bortter ' s ,
sindroma Gitelman ’ s
.
Algoritme 1 Penatalaksanaan HIpokalemld4
390
Gangguan Kalium mp
Indikasi Koreksi Kalium
• Indikasi mutlak: pemberian kalium mutlak diberikan pada keadaan
Pasien sedang dalam pengobatan digitalis
Pasien dengan ketoasidosis diabetik
Pasien dengan kelemahan otot pernapasan
Hipokalemia berat (kalium < 2 meq / L)
• Indikasi kuat: kalium harus diberikan dalam waktu tidak terlalu lama yaitu
insufisiensi koroner atau skemia otot jantung, ensefalopati hepatikum, pasien
memakai obat yang dapat menyebabkan perpindahan kalium dari ekstra ke
intrasel.
• Indikasi sedang: pemberian kalium tidak perlu segera seperti pada hipokalemia
ringan (kalium 3 - 3,5 meq / L]
Tatalaksana Hipokalemia1 2
1. Penurunan kalium plasma ImEq / L sama dengan kehilangan 200 mEq dari total
tubuh
2. Pengobatan penyebab dasar
3. Terapi hipomagnesia jika ada.
4. Penggantiam kalium secara oral ( slow correction ): 40 -60 meq dapat menaikkan
kadar kalium sebesar l -l,5meq / L
5. -
Penggantian kalium secara intravena dalam bentuk larutan KC1 ( rapid correction ).
jika hiperkalemia berat atau pasien tidak mampu menggunakan kalium per oral.
KC120 meq dilarutkan dalam 100 cc NaCl isotonik. Pemberian melalui vena besar
dengan kecepatan maksimal 10 meq / jam atau konsentrasi maksimal 30 - 40 meq / L
karena dapat menyebabkan hiperkalemia yang mengancam hidup. Jika melaui
vena perifer, KC1 maksimal 60 meq dilarutkan dalam NaCl isotonic 1000 cc dengan
kecepatan dikurangi untuk mencegah iritasi pembuluh darah.
Dosis untuk berat badan < 40 kg: 0,25 meq / L x kg x jam x 2 jam
> 40 kg: 10-20 meq / L x 2 jam
6. Pada kasus aritmia berat atau kelumpuhan otot pernapasan: KC1 diberikan dengan
kecepatan 40 -100 meq / L.
7. Pasien yang menerima 10 - 20 meq / jam harus pada pemantauan jantung secara
kontinu. Jika terdapat gelombang T datar menunjukkan adanya hiperkalemia dan
memerlukan perhatian segera.
391
jSjl
•4?^
PanduanPraktikKlinis Ginjal
J Hipertensi
**
Peitiimpunan Doktef Spesiali; Penyakil Dalam Indonesia
B. HIPERKALEMIA
Pendekatan terapi hiperkalemia: 5
• Menyingkirkan adanya pseudohyperkalemia, misalnya pemberian kalium intravena,
hemolisis selama venipucture, peningkatan sel darah putih atau trombosit
• Menyingkirkan adanya transcellular shifts
• Menetukan LFG. Jika LFG normal pikirkan menurunnya kadar natrium di distal
dan menurunnya aliran urin
Tatalaksana Hiperkalemia 6
1. Pengobatan penyebab dasar
2 . Pembatasan asupan kalium: menghindari makanan yang mengandung kalium
tinggi
3. Pengecekan ulang kadar kalium 1- 2 jam setelah terapi untuk menilai keefektifan terapi,
dan diulang secara rutin sesuai kadar kalium awal dan gejala kilnis.
4. Subakut: slow correction
Kation yang mengubah resin (sodium polystyrene sulfonate/ Kayexalate ):
diberikan secara oral, selang nasogastrik, atau melalui retensi enema untuk
menukar natrium dengan kalium di usus. Dosis 20-60 gram per oral dengan
100 - 200 ml sorbitol atau 40 gram Kayexalate dengan 40 gram sorbitol dalam
100 ml air sebagai enema.
5. Akut: rapid correction
Kalsium glukonat intravena: untuk menghilangkan efek neuromuskular dan
jantung akibat hiperkalemia
Glukosa dan insulin intravena: untuk memindahkan kalium ke dalam sel,
dengan efek penurunan kalium kira-kira 6 jam. Dosis: insulin 10 unit dalam
glukosa 40 %, 50 ml bolus intravena, lalu diikuti dengan infuse Dekstrosa
5 % untuk mencegah hipoglikemia.
Natrium bikarbonat: untuk memindahkan kalium ke dalam sel, dengan efek
penurunan kalium kira- kira 1-2 jam.
6. Pemberian a 2 agonis (albuterol): untuk memindahkan kalium ke dalam sel.
Dosis 10 - 20 mg secara inhalasi maupun tetesan intravena.
7. Dialisis: untuk membuang kalium dari tubuh paling efektif .
KOMPLIKASI
Aritmia jantung, henti jantung. 6
392
Gangguan Kalium
PROGNOSIS
Pada hipokalemia jika diterapi dengan adekuat akan sembuh. Resiko peningkatan
kadar kalium mencapai 7- 8 meq/L menjadi fibrilasi ventrikel yaitu 5 %, sedangkan
jika kadar kalium 10 meq/L resiko menjadi fibrilasi ventrikel meningkat 90 %. Pada
kasus berat resiko mortalitas sebesar 67 %. 6
REFERENSI
1. Aminoff M..Fluid and Electrolyte Disturbances . In: Fauci A, Kasper D, Longo D, Braunwald E, Flauser
S, Jameson J, Loscalzo J, editors. Flarrison ' s principles of internal medicine. 18 th ed. United States
of America: The McGraw-Flill Companies, 2012.
2. Siregar Parlindungan. Gangguan Keseimbangan Cairan dan Elektrolit. Dalam: Alwi I, Setiati S,
Setiyohadi B, Simadibrata M, Sudoyo AW . Buku Ajar llmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV . Jakarta:
Interna Publishing: 2006: Hal 134- 142.
3. Gennari FJ. Hypokalemia. N Engl J Med 1998; 339:451-458August 13, 1998. Diunduh dari http:/ /
www.nejm.org / doi/ pdf / 10.1056 / NEJM 199808133390707 pada tanggal 15 Mei 2012.
4. Arroliga AC. Algorithms forHypokalemia K<3.5. Diunduh dari http:/ /www. clevelandclinicmeded.
com/medicalpubs/micu/ pada tanggal 15 mei 2012
5. Weisberg LS. Management of severe hypokalemia. Crit Care Med. 2008: 36:3246-51.
6. Elliot M. Management of patient with acute hyperkalemia. CMAJ. 2010:182 ( 15) : 1631-5.
393
394
GANGGUAN KALSIUM
PENGERTIAN
Kadar kalsium ion normal adalah 4.75 - 5.2 mg/dl atau 1-1.3 mmol / L Nilai normal ,
kalsium total serum : 8.2 - 10.2 mg/ dl . Hipokalsemia jika kadar kalsium total plasma
< 8.2 mg / dl . Gejala hipokalsemia belum timbul bila kadar kalsiumion > 3.2 mg/ dl
atau> 0.8 mmol / L atau kalsium total sebesar> 8 - 8.5 mg/ dl . Gejala hipokalsemia akan
timbul jika kadar kalsium ion < 2.8 mg/ dl atau < 0.7 mmol / L atau kadar kalsium total
< 7 mg / dl . Hiperkalsemia jika kadar kalsium total plasma > 10.2 mg/ dl . Kalsium aktif
terdapat dalam bentuk kalsium terionisasi. Pemeriksaan serum kalsium merupakan
kalsium total yaitu gabungan dari kalsium bebas dan yang terikat albumin . Nilai
kalsium total dapat tetap normal dengan penurunan kalsium terionisasi seperti
pada alkalosis (menyebabkan banyak kalsium yang terikat dengan albumin, sehingga
pemeriksaan paling akurat dengan memeriksa kalsium terionisasi secara langsung . 1, 2
PENDEKATAN DIAGNOSIS
A . HIPOKALSEMIA
Anamnesis
Pasien dengan hipokalsemia dapata simptomatik jika penurunan kadar kalsium
plasma ringan dan sudah kronik. Sedangkan jika penurunan kalsium sedang- berat
dapat menimbulkan keluhan-keluhan seperti kebas, kramotot, parestesia umumnya di
jari kaki, jari- jari tangan, dan regio circumoral , peningkatkan reflex, yang disebabkan
karena meningkatnya iritabilitas neuromuskular. Jika sudah berat dapat terjadi tetani
dan kejang. Pada anamnesis juga perlu ditanyakan factor risiko seperti pada tabel 2.1
Pemeriksaan Fisik' 2
• Tanda Trousseau's: spasme karpal karena iskemia. Cara : dengan mengembangkan
manset pada lengan atas 20 mmHg lebih tinggi dari tekanan sistolik selama 3 menit.
-
• Tanda Chvostek’s. kontraksi unilateral dari wajah dan otot kelopak mata karena
iritasi saraf fasial dengan memperkusi wajah tepat di depan telinga. Cara:
mengetukkan ringan saraf wajah di daerah anterior telinga
• Hipokalsemia berat: spasme carpopedal, bronkospasme, laringospasme, kejang.
Pemeriksaan Penunjang1 2
• Kadar kalsium serum total mungkin < 8.5 mg/ dl
• Kadar albumin serum: penurunan kadar albumin serum 1.0 d /dl terjadi penurunan
0.8-1.0 mg / dl kadar kalsium total
395
# 55SSSJHS1IH& Ginjal Hipertensi
• Kadar forfor, magnesium serum
• Kadar hormone paratiroid (PTH)
• EKG : interval QT memanjang, Torsades de pointes
B. HIPERKALSEMIA
Anamnesis
-
Hiperkalsemia ringan (kadar kalsium 11 11,5 mg/ dl) umumnya asimptomatik dan
terdeteksi saat pemeriksaan kalsium rutin. Beberapa pasien mengeluhkan keluhan
neuropsikiatrik seperti kesulitan konsentrasi, perubahan kepribadian, ataudepresi.
Keluhan lain dapat berupa ulkus peptikum atau nefrolitiasis. Hiperkalsemia berat
( kadar kalsium >12 -13 mg/ dl) jika terjadi secara mendadak atau akut, dapat
menyebabkan letargi, stupor, koma , Keluhan lain seperti mual, nafsu makan menurun,
konstipasi, pankreatitis, poliuria, polidipsi perlu ditanyakan. Keluhan nyeri pada tulang
ataua danya fraktur patologis dapat mengarahkan kehiperparatiroid ismekronik. Pada
anamnesis juga perlu ditanyakan faktor risiko seperti pada tabel 2.1A
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik tidak ada yang spesifik untuk hiperkalsemia, penemuan
dapat tergantung etiologi penyebab. Pada pasien dengan keganasan dapat ditemukan
adanya perubahan kulit, limfadenopati, hepatosplenomeglali. Pada pemeriksaan dapat
ditemukan hipertensi dan bradikardia, akan tetapi tidak spesifik. Pemeriksaan sendi
ditemukan nyeri pada palpasi, kelemahan otot, hiperrefleksia, fasikulasi ototli dahd
apatdi temukan. Tanda - tanda dehidrasi juga perlu diperhatikan . Tingkat kesadaran
pasien mungkin menurun menjadi letargi atau stupor. Jika kadar kalsium 13-15 mg/ dl
dikenal dengan istilah krisis hiperkalsemia yang ditandai dengan poliuria, dehidrasi,
dan perubahan status mental. 4
Pemeriksaan Penunjang1 4
• Kadar kalsium serum total :> 10.5 mg/ dl
• Kalsium terionisasi :> 5.5 mg/ dl
• Hormon paratiroid
• Fungsi ginjal: kreatinin dan ureum
• Rontgen tulang : osteoporosis.
• EKG : pemendekan segmen ST dan interval QT, bradikardia, blok AV.
396
Gangguan Kalsium |jg|
DIAGNOSIS BANDING2
• Hipokalsemia : Hydrofluoric Acid Burns, hiperkalemia , hipermagnesemia ,
hipernatremia, Hyperosmolar Hyperglycemic Nonketotic Coma, hipoparatiroidisme,
hiperfosfatemia.
• Hiperkalsemia: hiperparatiroidisme, keganasan, sarkoidosis, intoksikasi obat
seperti litium, teofilin.
TATALAKSANA
A. HIPOKALSEMIA1
1. Pengobatan penyakit dasar
2. Penggantian kalsium tergantung dari tingkat keparahan penyakit, progresifitas,
dan komplikasi yang timbul.
3. Peningkatan asupan diet kalsium: 1000-1500 mg/ hari pada orang dewasa.
4. Antasida hidroksia lumunium: mengurangi kadar fosfor sebelum mengatasi
hipokalsemia
5. Hipokalsemia akut (simptomatik) :
a. Kalsium glukonat 10 % 10 ml ( 90 mg atau 2.2 mmol) diencerkan dengan
50 ml Dekstrosa 5 % atau 0.9 Na Cl secara intravena selama 5 menit.
b. Dilanjutkan pemberian secara infus 10 ampul kalsium glukonat ( atau
900 mg kalsium dalam 1 liter Dekstrosa 5 % atau 0.9 NaCl) dalam 24 jam.
c. Jika ada hipomagnesemia dengan fungsi ginjal normal larutan magnesium
sulfat 10 % sebesar 2 gram selama 10 menit, dilanjutkan dengan 1 gram dalam
100 cc cairan per 1 jam .
6. Hipokalsemia kronik :
a. Tujuan: meningkatkan kadar kalsium sampai batas bawah normal, menghindari
terjadinya hiperkalsiuria yang dapat mencetuskan batu ginjal.
b. Suplemen kalsium 1.000-1.500 mg/ hari dalam dosis terbagi. Kalsium karbonat;
250 mg kalsium elemental dalam 650 mg tablet.
c. Vitamin D 2 atau D 3 25.000 -100.000 U / hari
d. Kalsitriol [1, 25 ( OH ) 2D] 0.23-2 gram / hari
7. Jika albumin serum menurun: penurunan albumin serum 1.0 gram / dl (dari nilai
normal 4.1 gram / dl), koreksi konsentrasi kalsium dengan menambahkan 0.8 mg/
dl dari kadar kalsium total :
Koreksi konsentrasi kalsium = kalsium hasil pemeriksaan (mg/ dl ) + [ 0.8 x (4- albumin (gr / dl ) i
397
PanduanPraktikKlinis Ginjal Hipertensi
,v
-'
*fV J 1 1
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakil Dolam Indonesia
B. HIPERKALSEMIA 1
1. Pengobatan penyebab dasar
2. Diet rendah kalsium
3. Hiperkalsemia ringan ( asimtomatik ) : tidak memerlukan koreksi cepat
4. Hiperkalsemia yang bergejala (simtomatik)
• Hidrasi karena hiperkalsemia berhubungan dengan dehidrasi : 4-8 liter cairan
isotonic secara intravena dalam 24 jam pertama, dengan target urin 100 -
150 ml per jam. Jika ada penyakit komorbid (gagal jantung kongestif ) dapat
ditambahkan loop diuretic untuk meningkatkan ekskresi natrium dan kalsium;
setelah status volume menjadi normal.
• Penghambat resorbsi tulang: pada keganasan atau hiperparatiroidisme berat
Tabel 3. Obat Penghambat Resorbsi Tulang1 '2
Nama obat Dosls Onset
Kalsitonin 4 lU/kg itramuskular/subkutan setiap 12 jam
Asamzoledronik 4 mg IV dalam 30 menit
Pamidronat 60-90 mg IV dalam 2- 4 jam 1 -3 hari
Etidronat 7.5 mg/kg/hari dalam 3-7 hari
KOMPLIKASI
Hipokalsemia dapat terjadi kejang dan laringospasme. Hiperkalsemia dapat
meningkatkan resiko terjadinya batu ginjal, dehidrasi, gagal ginjal, resiko patah tulang,
dan osteoporosis.1'45
PROGNOSIS
Pada hipokalsemia dapat meninggalkan kelainan neurologis seperti kejang dan
tetani. Kematian sangat jarang karena hipokalsemia. Hiperkalsemia yang berhubungan
dengan keganasan mempunyai prognosis lebih buruk, harapan hidup dalam 1
tahun sekitar 10 - 30 %. Dalam suatu studi, 50 % pasien meninggal dalam 1 bulan
setelah dimulainya terapi, dan 75% meninggal dalam 3 bulan. Hiperkalsemia yang
berhubungan dengan hiperparatiroidisme mempunyai prognosis baik jika diterapi.3 5 '
398
Gangguan Kalsium
REFERENSI
1. KhoslaS. Hypercalcemia and Hypocalcemia .In: Fauci A, Kasper D, Longo D, Braunwald E, Hauser
S, Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison’s principles of internal medicine. 18lh ed. United States
of America; The McGraw-Hill Companies, 2012.
2. Siregar P. Gangguan Keseimbangan Cairandan Elektrolit. Dalam: Alwi I, Setiati S, Setiyohadi
B, Simadibrata M, Sudoyo AW . Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: Interna
Publishing: 2006: Hal 134- 142.
3. Anne L. Schafer.Hypocalcemia: Diagnosis and Treatment.2011 . Diunduh darihttp:/ /www .
endotext.org/parathyroid/parathyroid7/parathyroid7.htm pada tanggal 9 Mei 2012.
4. Ciammaichella D. Hypercalcemia. Diunduhd dari http:// www.emjournal.net / htdocs /pages /
art / 115hypercalcemia.html.pada tanggal 9 Mei 2012.
5. Cooper R .Hypercalcemia . Diunduh dari http: / /www .ncbi.nlm.nih.gov / pubmedhealth /
PMH0001404/ pada tanggal 9 Mei 2012
399
400
GANGGUAN NATRIUM
HIPONATREMIA
PENGERTIAN
Hiponatremia adalah penurunan kadar natrium ( Na ) plasma < 135 mEq / L.
Hiponatremia akut adalah hiponatremia yang terjadi < 48 jam dan membutuhkan
penanganan segera, sedangkan hiponatremia kronik adalah hiponatremia yang
berlangsung > 48 jam. Gejalaakanmunculjika kadar natirum < 125 mEq / L. Hiponatremia
dibagi menjadi tiga kelompok berdasarkan osmolalitas plasma:1
• Isotonik hiponatremia: osmolalitas plasma normal
• Hipertonik hiponatremia : osmolalitas plasma meningkat. Cairan berpindah dari
intrasel ke ekstrasel sebagai respon adanya kosentrasi terlarut yang meningkat
( glukosa, manitol)
• Hipotonik hiponatremia: osmolalitas plasma menurun. Berdasarkan perjalanan
penyakit dan status volume intravaskular yaitu hipovolemia hiponatremia ,
euvolemik hiponatremia, dan hipervolemia hiponatremia. Pembagian klasifikasi
dari hiponatremia yaitu:
PanduanPraktik Minis
Indonesia
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam
Gangguan Natrium Rp
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Pendekatan dalam mendiagnosis hiponatremia yaitu menentukan osmolaliats
plasma. ]ika hipotonik hiponatremia tentukan status volume ( tanda vital, ortostatik,
JVP {Jugular Venous Pressure), turgor kulit, membrane mukosa, edema perifer, BUN,
kreatinin, asam urat) 3
Anamnesis
Umumnya tidak menimbulkan gejala. Gejala yang dikeluhkan berhubungan
dengan disfungsi susuan saraf pusat seperti mual, muntah, sakit kepala, perubahan
kepribadian, kelemahan, keram otot, agitasi, disorientasi, kejang, bahkan koma. Pada
kasus asimptomatik dapat mulai bermanifestasi kehilangan kestabilan sehingga
beresiko jatuh . Selain itu perlu ditanyakan riwayat penyakit seperti yang tercantum
dalam table 1.1,2
Pemeriksaan Fisik
Perubahan kesadaran atau perubahan kepribadian, hipotermia, reflex menurun,
pola pernapasan Cheyne-Stokes, pseudobulbar palsy, kulit dingin dan basah, tremor,
dan disertai gangguan saraf sensorik. 1,2
Pemeriksaan Penunjang1
• Natrium serum: < 137 mEq / L
• Osmolalitas serum: menurun kecuali pada kasus pseudohiponatremia, azotemia,
intoksikasi etanol, metanol .
• Berat jenis urin
• Natrium urin
• Fungsi ginjal: ureum, kreatinin, asam urat
• Glukosa darah (setiap peningkatan glukosa lOOmg/ dl menurunkan natrium
2.4 mEq / L), profile lemak
• Fungsi tiroid
• Radiologi: mencari apakah ada efek hiponatremia pada paru atau susunan saraf
pusat
DIAGNOSIS BANDING
Berdasarkan klasifikasi hipotonik hiponatremia (tabel 1)
401
t f S ] PanduanPraktikMinis Ginial Hipertensi
Perhlmpunan Dokler Spesialls Penyakit Dalam Indonesia J
Hipotonik
i
Na urin >20 Na urin <20 Anamnesis Na urin <20 Na urin >20
i
• SIADH polydipsia Ulangi
• Hipotiroid low solute pemeriksaan
• Defisiensi
glukokortikoid
TATALAKSANA2 3
1. Hal - hal yang perlu diperhatikan:
• Cepat lambatnya onset penyakit
• Derajat, durasi, dan gejala dari hiponatremia
• Ada atau tidaknya factor resiko yang dapat meningkatkan resiko komplikasi
neurologis
2. Menyingkirkan diagnosis pseudohiponatremia atau hipertonik hiponatremia
( hiperglikemia)
3. Mengatasi penyakit dasarnya
4. Hiponatremia asimptomatik: menaikkan natrium dengan kecepatan 0.5 mEq / L /
jam
5. Hiponatremia akut simptomatik:
• Tujuan : meningkatkan kadar natirum 1.5- 2 mEq / L / jam sampai gejala
berkurang atau sampai konsentrasi natrium serum > 118 mEq / L dan
mengobati penyakit dasarnya
402
Gangguan Natrium
• Peningkatan kadar natrium harus < 12 mEq / L dalam 24 jam pertama dan
< 18 mEq / L dalam 48 jam pertama untuk menghindari demielinisasi osmotik.
• Cairan saline hipertonik 3 % diberikan secara infuse intravena dengan
kecepatan 1- 2 ml / kg/ jam dan ditambah loop diuretic
• Jika ada gejala neurologik berat: kecepatan dapat dinaikkan menjadi 4-6 ml /
kg/ jam.
• Jika gejala sudah menghilang dan kadar natrium > 118 Eq / L, pemberian cairan
diturunkan menjadi maksimal 8 mEq / L dalam 24 jam sampai target kadar
natrium 125 mEq / L.
• Pemantauan ketat natrium serum dan elektrolit sampai terjadi kenaikan kadar
natrium dan gejala meghilang.
6. Hiponatremia kronik simptomatik
• Jika tidak diketahui durasi atau onset gejala, koreksi dilakukan dengan hati-hati
karena otak sudah beradaptasi dengan kadar natrium yang rendah.
• Jika gejala berat: tatalaksana seperti kasus hipernatremia akut. Peningkatan
natrium tidak melebihi 10 -12 mEq / L pada 24 jam pertama, dan < 6 mEq / L /
hari pada hari berikutnya.
• Jika gejala ringan -sedang: koreksi dilakukan secra perlahan. 0.5 mEq / L / jam,
sampai target tercapai terapi tetap diteruskan. Maksimal pemberian 10 mEq / L
dalam 24 jam
7 . Hiponatremia kronik asimptomatik
• Tujuan terapi: mencegah penurunan natrium serum da nenjaga kadar
natrium mendekati normal.
8. Hipervolemia hiponatremia : restriksi cairan 1000 -1500 ml / hari dan restriksi
natrium. CHF: furosemid dan ACE ( Angiotensin Converting Enzyme ) inhibitor .
9 . Euvolemik hiponatremia (SIADH): restriksi cairan 1000 -1500 ml / hari.
10 . Hipovolemia hiponatremia: berikan normal saline (NS) atau D 5 NS
Rumus untuk mengetahui jumlah natrium dalam larutan natrium hipertonik yang
diberikan : 3
Na infus - Na serum
TBW+ 1
Konstanta : 0.6 ( laki - laki), 0.5 ( perempuan ), 0.5 (laki - laki usia lanjut) , 0.45
( perempuan usia lanjut)
403
tSSSSSSSL Ginjal Hipertensi
KOMPLIKASI
Kejang, herniasi batang otak, kerusakan otak permanen, koma disebabkan karena
edema serebral . 1, 2
PROGNOSIS
Wanita yang belum menopause , anak prepubertas, dan pasien dengan hipoksia
serebral lebih besar kemungkinan berkembang menjadi ensefalopati dan sequelae
gejala neurologic yang berat.12
HIPERNATREMIA
PENGERTIAN
Hipernatremia adalah peningkatan kadar natrium plasma > 145 mEq / L akibat dari
kehilangan cairan dan elektrolit lebih besar daripada kehilangan natrium . 1'4
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Pasien dapat mengeluhkan rasa haus, kelelahan, iritabilitas atau gelisah ,
disorientasi , mulut kering, demam45
Pemeriksaan Fisik
Hiperventilasi, demam ringan, kulit kemerahan, edema perifer, edema pulmonary,
hipotensi, peningkatan tonus otot, peningkatan refleks tendon dalam, disertai oligouria
atau anuria.Tingkat kesadaran pasien dapat koma jika perjalanan penyakit sudah progresif.
Hipernatremia yang disertai hipovolemia dapat menunjukkan tanda -tanda kekurangan
cairan seperti takikardia, hipotensi.45
Pemeriksaan Penunjang4 5
• Natrium serum > 147 mEq/ L. Jika > 150 -170 mEq/ L bisanya karena dehidrasi,
sedangkan jika > 170 mEq / L karena diabetes insipidus. Natrium > 190 mEq / L
karena asupan natrium yang tinggi dan kronik.
• Osmolalitas serum: meningkat
404
Gangguan Natrium
^
• Berat jenis urin: meningkat. Menurun pada diabetes insipidus. Jika normal dapat
terjadi pada pemakaian diuretik.
• Natrium urin
• Water Deprivation Test: pada diabetes insipidus, osmolalitas urin tidak meningkat
dengan hipernatremia
• Antidiuretic Hormone (ADH ) Stimulation: diabetes insipidus nefrogenik, osmolalitas
urin tidak meningkat setelah pemberian ADH ( desmopressin).
• CT Scan atau MRI ( Magnetic Resonance Imaging ) kepala: melihat adanya tarikan
pada vena duramater dan sinus yang dapat menyebabkan perdarahan intracranial
dan meningkatkan kadar natrium
Volume ekstraselular
1 1
Volum minimum
Pemberian
NaCI hipertonik pada konsentrasi
atau NaHC03 urin makslmum
1
desmopresin
I Osmolalitas
Osmolalitas urin
menigkat urin tetap
1 I
Diabetes insipidus Diabetes insipidus
sentral nefrogenik
405
Ufl PanduanPraktikKMnis Ginjal
J
Hipertensi
I
Perhimpunan Dokler SpesiaHs Penyakil Dalom Indonesia
DIAGNOSIS BANDING
Berdasarkan penyebabnya seperti pada algoritme 2
TATALAKSANA1
1. Tujuan: menghentikan kehilangan cairan yang sedang terjadi dengan mengatasi
penyakit penyebabnya dan mengoreksi defisit cairan.
2. Tentukan defisit cairan
• Estimasi TBW
-
• Kalkulasi free water deficit: {([ Na+]-140) /140} x TBW
• Pemberian defisit dalam 48-7 jam tanpa menaikkan konsentrasi natrium
plasma > 10 mM / 24 jam
3. Tentukan ongoing water losses
• Kalkulasi electrolyte free water clearance -
Volume urin (1- natrium urin + kalium urin)
Natrium plasma
KOMPLIKASI4
• Kejang
• Retardasi mental
• Otak mengecil sehingga menarik pembuluh darah otak yang dapat meningkatkan
resiko perdarahan maupun infark.
• Kongesti vena menyebabkan thrombosis
• Hiperaktivitas
406
Gangguan Ginjal Akut |
<f p
PROGNOSIS
Resiko kematian akibat hipernatremia mencapai 40 - 60 % kasus berhubungan
dengan tignkat keparahan penyakit penyertanya, terbanyak terjadi pada usia tua. Pada
hipernatremia akut dan kadar > 180 mEq/ L kerusakan neurologik permanen terjadi
pada 10- 30 % kasus . Durasi perjalan penyakit yang lama ( > 2 hari) akan meningkatkan
resiko kematian . 1,s'6
REFERENSI
1. Aminoff M..Fluid and Electrolyte Disturbances . In: Fauci A, Kasper D, Longo D, Braunwald E, Hauser
.
S, Jameson J, Loscalzo J, editors Harrison ' s principles of internal medicine. 18lh ed. United States
of America; The McGraw-Hill Companies, 2012 .
2. Douglas Ivor. Cleveland Clinic Journal of Medicine vol 73, supplement 3. 2006. Diunduh dari
http://www.ccjm.org/ content / 73 / Suppl_3 /S 4.full.pdf pad atanggal 10 Mei 2012.
3. Androgue H, Madias N. Hyponatremia. Diunduh dari http:// www.nejm.org / doi/ full / 10.1056 /
NEJM200005253422107 pada tanggal 10 Mei 2012.
4. Siregar Parlindungan. Gangguan Keseimbangan Cairan dan Elektrolit. Dalam: Alwi I, Setiati S,
Setiyohadi B, Simadibrata M, Sudoyo AW . Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV . Jakarta:
Interna Publishing; 2006: Hal 134- 142.
5. Ciammaichella D . Hypernatremia. Diunduh dari http:/ /www.emjournal.net / htdocs / pages /
art / 118_hypernatremia.html pada tanggal 10 Mei 2012
6. Alshayeb, Hala, Arif, Babar Fatima. Severe Hypernatremia Correction Rate and Mortality in
Hospitalized Patients. American Journal of the Medical Sciences:. May 2011 - Volume 341 - Issue
5 - pp 356-360. Diunduh dari http:// journals.lww.com / amjmedsci/Abstract / 2011 / 05000/ Severe.
Hypernatremia_Correction_Rate_and_Mortality.5.aspx pada tanggal 10 Mei 2012.
407
408
HIPERTENSI
PENGERTIAN
Hipertensi adalah keadaan di mana tekanan darah (TD ) sama atau melebihi 140
mmHg sistolik dan / atau sama atau lebih dari 90 mmHg diastolik pada seseorang yang
tidak sedang minum obat antihipertensi.1 2 -
Tabel 1. Klasifikasi Tekanan Darah Berdasarkan Joint National Committee VII (2007)3
TD sMoNk
Klasifikasi TD dlastoBk (mmHg)
(mmHg)
Normal <120 dan <80
Pre-hipertensi 120-139 atau 80-89
Hipertensi stage 1 140-159 atau 90-99
Hipertensi stage 2 3160 atau 3100
Hipertensi sistolik terisolasi 3
140 dan <90
PENDEKATAN DIAGNOSIS
PanduanPraktik Klinis
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
Hipertensi
Anamnesis’
1. Durasi hipertensi
2 . Riwayat terapi hipertensi sebelumnya dan efek sampingnya bila ada
3 . Riwayat hipertensi dan kardiovaskular pada keluarga
4 . Kebiasaan makan dan psikososial
5 . Faktor risiko lainnya: kebiasaan merokok, perubahan berat badan, dislipidemia,
diabetes, inaktivitas fisik
6. Bukti hipertensi sekunder ( tabel 2 ) : riwayat penyakit ginjal , perubahan
penampilan, kelemahan otot ( palpitasi, keringat berlebih, tremor), tidur tidak
teratur, mengorok, somnolen di siang hari, gejala hipo - atau hipertiroidisme,
riwayat konsumsi obat yang dapat menaikkan tekanan darah
7 . Bukti kerusakan organ target: riwayat TIA, stroke, buta sementara, penglihatan
kabur tiba-tiba, angina, infark miokard, gagal jantung, disfungsi seksual
Pemeriksaan Fisik1 5
1. Pengukuran tinggi dan berat badan, tanda -tanda vital
2 . Metode auskultasi pengukuran TD :
• Semua instrumen yang dipakai harus dikalibrasi secara rutin untuk memastikan
keakuratan hasil .
• Posisi pasien duduk di atas kursi dengan kaki menempel di lantai dan telah
beristirahat selama 5 menit dengan suhu ruangan yang nyaman .
• Dengan sfigmomanometer, oklusi arteri brakialis dengan pemasangan cuff di
lengan atas dan diinflasi sampai di atas TD sistolik. Saat deflasi perlahan-lahan,
409
m^
1
PanduanPraktik Minis Ginjal
J Hipertensi
r'w ^
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
W
suara pulsasi aliran darah dapat dideteksi dengan auskultasi dengan stetoskop
tipe be/// genta di atas arteri tepat di bawah cuff.
• Klasifikasi berdasarkan hasil rata- rata pengukuran tekanan darah yang
dilakukan minimal 2 kali tiap kunjungan pada 2 kali kunjungan atau lebih
dengan menggunakan cuff
• Tekanan sistolik = suara fase 1 dan tekanan diastolik = suara fase 5.
• Pengukuran pertama harus di kedua sisi lengan untuk menghindarkan kelainan
pembuluh darah perifer
• Pengukuran tekanan darah pada waktu berdiri diindikasikan pada pasien
dengan risiko hipotensi postural (lanjut usia, pasien DM, dll)
Tabel 3. Rekomendasi follow -up pengukuran TD pada dewasa tanpa kerusakan organ
target3
TD Inlslal (mmHg)a Rekomendasi foflow -up
Normal Periksa ulang dalam 2 tahun
Pre-hipertensi Periksa ulang dalam 1 tahunb
Hipertensi stage 1 Konfirmasi dalam 2 bulanb
Hipertensi stage 2 Evaluasi atau rujuk ke pelayanan kesehatan dalam waktu 1 bulan,
apabila TD lebih tinggi (misal >180/ 110 mmHg), evaluasi dan terapi
segera atau dalam waktu 1 minggu tergantung kondisi klinis dan
komplikasi
Pemeriksaan Penunjang
Urinalisis, tes fungsi ginjal, ekskresi albumin, serum BUN, kreatinin, gula darah,
elektrolit, profil lipid, foto toraks, EKG; sesuai penyakit penyerta: asam urat, aktivitas
renin plasma, aldosteron, katekolamin urin, USG pembuluh darah besar, USG ginjal,
ekokardiografi.12
DIAGNOSIS BANDING
Peningkatan tekanan darah akibat white coat hypertension, rasa nyeri, peningkatan
tekanan intraserebral, ensefalitis, akibat obat, dll
410
Hipertensi
TATALAKSANA3
1. Modifikasi gaya hidup (Tabel 4) .
2. Pemberian p-blocker pada pasien unstable angina / non-STelevated myocardial infark
( NSTEMI) atau STEMI harus memperhatikan kondisi hemodinamik pasien. fi-blocker
hanya diberikan pada kondisi hemodinamik stabil.6 (Gambar 1)
3. Pemberian angiotensin convertin enzyme inhibitor (ACE - I) atau angiotensin
receptor blocker (ARB) pada pasien NSTEMI atau STEMI apabila hipertensi
persisten, terdapat infark miokard anterior, disfungsi ventrikel kiri, gagal jantung,
atau pasien menderita diabetes danpenyakit ginjal kronik. 6
4. Pemberian antagonis aldosteron pada pasien disfungsi ventrikel kiri bila terjadi
gagal jantung berat (misal gagal jantung New York Heart Association / NYU A kelas
III-IV atau fraksi ejeksi ventrikel kiri < 40% dan klinis terdapat gagal jantung)
6
411
*
|
f Panduan Praktlk Kllnis Ginial Hipertensi
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakit Dalam Indonesia J I
1
Target TD <140/ 90 mmHg ( atau
< 130/80 mmHg pada pasien DM atau
penyakit ginjal kronis ) tidak tercapai
i
Inisiasi obat lini pertama
J J
Pencegahan umum Risiko tinggi PJK Stable angina,
Disfungsi ventrikel kiri
PJK Target <140/ 90 Target <130 / 80 unstable angina /
Target <120 /80
NSTEMI, STEMI
Target <130 / 80
I
Pertimbangkan rujuk
ke spesialis hipertensi
412
Hipertensi fgi
KOMPLIKASI
Hipertrofi ventrikel kiri, proteinuria dan gangguan fungsi ginjal, aterosklerosis
pembuluh darah, retinopati, stroke atau TIA, infark miokard, angina pektoris, gagal
jantung. 12
PROGNOSIS
Hipertensi tidak dapat disembuhkan, namun dapat dikontrol dengan terapi yang sesuai.
Terapi kombinasi obat dan modifikasi gaya hidup umumnya dapat mengontrol tekanan
darah agar tidak merusak organ target. Oleh karena itu, obat antihipertensi harus terus
diminum untuk mengontrol tekanan darah dan mencegah komplikasi. Studi menunjukkan
kontrol tekanan darah pada hipertensi menurunkan insidens stroke sebesar 35 -44%,
3
tetapi sampai saat ini belum jelas apakah golongan obat antihipertensi tertentu memiliki
perlindungan khusus terhadap stroke. Satu studi menunjukkan efek ARB (antagonis
reseptor All ) dibandingkan dengan penghambat ACE menurunkan risiko infark miokard,
stroke, dan kematian 13% lebih banyak, termasuk 25% penurunan risiko stroke baik fatal
maupun non-fatal.8
413
Panduan PraktikKlinis Ginial
J
Hipertensi
Perhimpunan Dokter Spesiatis Penyakil Dolam Indonesia
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : ICCU / ICU , Departemen Ilmu Kesehatan Mata, Departemen
Neurologi
• RS non pendidikan : ICCU / ICU , Bagian Ilmu Kesehatan Mata, Bagian Neurologi
REFERENSI
l. Kotchen T. Hypertensive vascular disease. In: Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL,
. .
Loscalzo J. Harrison ' s Principles of Internal Medicine 18lhEdition New York: McGraw-Hill: 2012.halaman
2. Victor R. Arterial hypertension. In: Goldman, Ausiello. Cecil Medicine. 23rd Edition. Philadelphia:
Saunders, Elsevier; 2008.
3. Chobanian AV et al: The Seventh Report of the Joint National Committee on Prevention, Detection,
.
Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure: The JNC 7 Report JAMA. 2003:289:2560 .
4. O ' Brien E, Asmar R, Beilin L, et al. Practice guidelines of the European Society of Hypertension for
clinic, ambulatory and self blood pressure measurement. J Hypertens 2005:23:697-701 .
5. Pickering TG, Hall JE, Appel LJ, et al. Recommendations for blood pressure measurement in
humans and experimental animals part 1 : blood pressure measurement in humans a statement for
professionals from the Subcommittee of Professional and Public Education of the American Heart
Association Council on High Blood Pressure Research. AHA Scientific Statement. Hypertension.
2005; 45:142-61.
6. .
Rosendorff C, Black H, Cannon C, et al Treatment of hypertension in the prevention and
management of ischemic heart disease. Circulation. 2007:115:2761-88.
7. Aronow W, Fleg JL, Pepine CJ, et al. ACCF/ AHA 2011 Expert Consensus Document on Hypertension
in the Elderly. J Am Coll Cardiol. 2011;57;2037-l 14.
8. Psaty BM, Smith NL, Siscovick DS, et al. Health outcomes associated with antihypertensives
therapies used as first line-agent. A systematic review and meta -analysis. JAMA. 1997:277:739-45.
414
415
PENGERTIAN
Hipertropi prostat adalah hiperplasia kelenjar periuretral yang kemudian
mendesak jaringan prostat asli ke perifer. 1
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis '
1. Gejala iritatif, yaitu sering miksi (frekuensi), terbangun pada malam hari untuk
miksi ( nokturia ), perasaan ingin miksi yang sangat mendesak (urgensi ), dan nyeri
saat miksi ( disuria ).
2. Gejala obstruktif adalah pancaran melemah, rasa tidak puas setelah miksi, kalau
mau miksi harus menunggu lama, harus mengedan, miksi terputus -putus , waktu
miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensi urin dan inkontinen karena
overflow.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan colok dubur dapat memberikan kesan keadaan tonus sfingter anus,
mukosa rektum, serta kelainan lain seperti benjolan dalam rektum dan prostat. Pada
perabaan melalui colok dubur diperhatikan konsistensi prostat, adakah asimetri,
adakah nodul pada prostat, apakah batas atas dapat diraba . Derajat berat obstruksi
dapat diukur dengan menentukan jumlah sisa urin setelah miksi spontan. Sisa miksi
ditentukan dengan mengukur urin yang masih dapat keluar dengan kateterisasi . Sisa
urin dapat pula diketahui dengan melakukan ultrasonografi kandung kemih setelah
miksi .
Pemeriksaan Penunjang
Urinalisis, serum prostate spesific antigen ( PSA), serum creatinin. transrectal
ultrasonography ( TRUS) of the prostate untuk melihat ukuran dan volume prostat.
PanduanPraktikKIinis
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
o PanduanrrakUk minis Ginial
J Hipertensi
^
perhimpunan Dokler Spesiafc PenyaJcil Dalam Indonesia
DIAGNOSIS BANDING
1. Striktur uretra
2. Kontraktur leher vesika urinaria
3. Kanker prostat
4. Kanker vesika urinaria
5. Bladder calculi
6. Infeksi saruran kemih dan prostatitis
7. Neurogenic bladder
TATALAKSANA
Medikamentosa1
• Antagonis a-adrenergik (menghilangkan ketegangan otot halus) : terazosin,
doksazosin, dan tamsulosin
• Inhibitor 5-a reduktase ( mengurangi ukuran prostat): finasteride
Pembedahan2
• Transuretral resection of prostate ( TURP)
Indikasi: retensi urin akut, infeksi berulang, hematuria berulang, azotemia
• Open prostatectomy
Indikasi sama seperti TURP. Teknik ini dapat lebih dipertimbangkan untuk
obstruksi saluran keluar vesika urinaria, perkiraan pembesaran prostat > 100
gram, dan pada laki-laki dengan ankilosis panggul atau penyakit ortopedi lainnya.
KOMPLIKASI
1. Retensio urine
2. Insufisiensi renal
3. Infeksi saluran kemih berulang
4. Gross hematuria
5. Bladder calculi
6. Gagal ginjal atau uremia
PROGNOSIS
Sekitar 2,5% pasien mengalami retensio urine akut dan 6% membutuhkan terapi
invasif dalam 5 tahun. Risiko progresivitas BPH meningkat pada volume prostat dan
level PSA yang tinggi. Turunnya risiko progresivitas BPH tampak pada 39 % pasien
416
Hipertrofi Prostat Benigna
diterapi dengan doksazosin, 34% dengan finasterid, dan 66% dengan kombinasi
keduanya. Kombinasi doksazosin dan finasterid menurunkan risiko retensi urin akut
sebesar 81% dan operasi invasif sebesar 69%.3
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Departemen Bedah Urologi
• RS non pendidikan : Bagian Bedah
REFERENSI
1. AUA guideline on the management of benign prostatic hyperplasia: diagnosis and treatment
. _
recommendations. Diunduh dari http:/ / www auanet.org / guidelines / main reports / bph
_
_ .
management/ chapt l _appendix pdf pada tanggal 15 Mei 2012 .
2. . .
AUA clinical guidelines - management of BPH Diunduh dari http:/ / www.auanet org/ content/
guidelines-and-quality-care /clinical-guidelines.cfm ? sub=bph pada tanggal 15 Mei 2012.
3. .
McConnell JD, Roehrborn CG, Bautista O, et al The long term effect of doxazosin, finasteride,
and combination therapy on the clinical progression of benign prostatic hyperplasia. N Engl J
.
Med 2003;349:2387-98.
417
418
PENGERTIAN
Infeksi Saluran Kemih (ISK) adalah keadaan adanya infeksi (ada perkembangbiakan
bakteri) dalam saluran kemih, meliputi infeksi di parenkim ginjal sampai infeksi di
kandung kemih dengan jumlah bakteriuria yang bermakna. Bakteriuria bermakna adalah
bila ditemukan pada biakan urin pertumbuhan bakteri sejumlah >100.000 per ml urin
segar (yang diperoleh dengan cara pengambilan yang steril atau tanpa kontaminasi) .1
Konsensus 2010 Infectious Disease Society of America ( IDSA) memberikan batasan
hasil positif kultur urine pada wanita adalah 103-104 organisme/ ml urine yang diambil
secara midstream.2 Sebanyak 20-40% wanita penderita ISK dengan gejala, memiliki
hasil kultur bakteri 102-104/ ml urine.3 Faktor risiko: Kerusakan atau kelainan anatomi
saluran kemih berupa obstruksi internal oleh jaringan parut, pemasangan kateter urin
yang lama, endapan obat intratubular, refluks, instrumentasi saluran kemih, konstriksi
arteri-vena, hipertensi, analgetik, ginjal polikistik, kehamilan, DM, atau pengaruh obat-
obat estrogen.4
ISK Berkomplikasi
ISK yang berlokasi selain di vesika urinaria, ISK pada anak-anak, laki-laki, atau ibu
hamil
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis4
ISK bawah frekuensi, disuria terminal, polakisuria, nyeri suprapubik.
ISK atas: nyeri pinggang, demam, menggigil, mual dan muntah, hematuria
Anannesa adanya faktor risiko seperti disebutkan diatas.
PanduanPraktik Klinis
Perhimpunan Dokler Spesiais Penyakil Dalam Indonesia
Infeksi Saluran Kemih Q
Pertimbangkan CAUTI
• Ganti atau cabut kateter
Ada kateter urin • Urinalisis dan kultur
• Kultur darah bila ada gejala
demam
Pertimbangkan pyelonefritis
tanpa komplikasi
Gejala akut : Wanita sehat, tidak hamil
• kultur urin
nyeri punggung, • pertimbangkan rawatjalan
nausea /muntah,
demam,
kemungkinan Pertimbangkan pyelonefritis
Pasien lainnya
gejala sistisis • kultur urin, kultur darah
Gejala akut :
Pertimbangkan ISK komplikasi /
nyeri punggung, Pasien dengan tanda dan pielonefritis
nausea /muntah, gejala infeksi sistemik dan
demam,
• pertimbangkan etiologi
tidak ada gejala yang potensial lainnya
kemungkinan jelas
gejala sistisis
• kultur urine, kultur darah
419
tfS
flwH
PanduanPraktikMinis Ginial
J Hioertensi
Perhimpunan Dokler Spesialls Penyakit Dalam Indonesia
Pasien dengan
kehamilan, penerima Pertimbangkan Bakteriuri
transplantasi ginjal, akan asimptomatik
melalui prosedur urologi • Skrining dan terapi
Kultur urine (+) , invasif
tidak ada:
Gejala saluran
kemih Pertimbangkan Bakteriuri
Gejala Pasien lainnya asimptomatik
sistemik yang • tidak ada tambahan pemeriksaan
berhubungan penunjang atau tatalaksana
dengan
saluran kemih
Pertimbangkan Bakteriuri
asimptomatik terkait kateter
— Pasien dengan kateter urin • tidak ada tambahan pemeriksaan
penunjang atau tatalaksana
• Lepas kateter yang tidak
diperlukan
Pemeriksaan Fisik 4
Febris, nyeri tekan suprapubik, nyeri ketok sudut kostovertebra, demam
Pemeriksaan Penunjang'
• DPL, tes resistensi kuman, tes fungsi ginjal, gula darah.
• Kultur urin (+]: bakteriuria >105/ml urin
• Foto BNO - IVP bila perlu
• USG ginjal bila perlu
420
Infeksi Saluran Kemih
DIAGNOSIS BANDING
• Keganasan kandung kemih
• Nonbacterial cystitis
• Interstitial cystitis
• Pelvic inflammatory disease
• Pyeolonephritis akut
• Urethritis
• Vaginitis
TATALAKSANA1
Nonfarmakologis
• Banyak minum bila fungsi ginjal masih baik
• Menjaga higiene genitalia eksterna
Farmakologis
• Antimikroba berdasarkan pola kuman yang ada; Bila hasil tes resistensi kuman
sudah ada, pemberian antimikroba disesuaikan
421
Panduan PraktikKlinis Ginjal
J Hipertensi
PerhimpunanDoklerSpesialisPenyakil Dalam Indonesia W
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Riwayat faktor risiko: wanita usia tua, paritas tinggi, status sosial ekonomi rendah,
riwayat ISK sebelumnya, abnormalitas fungsi dan anatomi, memiliki penyakit diabetes
mellitus atau sickle sell.
Pemeriksaan Fisik
Sama seperti ISK pada umumnya
Pemeriksaan Penunjang
Urinalisis, kultur urin. Ulangi pemeriksaan setelah 2 minggu untuk melihat eradikasi
bakteri.
TATALAKSANA
ISK pada kehamilan diterapi dengan antibiotika dan menghilangkan faktor
predisposisi. Terapi antibiotika lebih lengkapnya dibahas pada tabel 3 .
422
Infeksi Saluran Kemih
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesa
Penderita dapat tanpa gejala , disuria dan frekuensi . Adanya faktor resiko :
imunosupresan, diabetes, penggunaan antibiotika atau kortikosteroid jangka panjang,
penggunaan kateter urin jangka panjang.
Pemeriksan Fisik
Sama seperti ISK pada umumnya.
Pemeriksaan Penunjang
Kultur urin, urinalisis, pada CT scan dan IVP dapat tampak fungal ball.
TATALAKSANA
Infeksi simple: stop antibiotik yang biasa digunakan, lepas kateter urin. Bila cara ini
tidak berhasil maka lakukan irigasi saluran kemih dengan amphoterisi B (50 mg/ L
sebanyak 42 ml / jamJ
Infeksi complex: Terapi utama ISK jamur adalah dengan amphoterisin B intravena.
Untuk mengurangi efek sistemik seperti menggigil, demar dan kaku yang berhubungan
423
0 HSSJSSMB! Ginjal Hipertensi
dengan terapi, maka berikan premedikasi steroid, meperidine, ibuprofen, dan
dantrolene. Jika terdapat /imga / ball: ambil fungal ball secara percutaneus lanjutkan
dengan irigasi pelvis renalis dengan amphoterisin B.
KOMPLIKASI
Batu saluran kemih, obstruksi saluran kemih , sepsis, infeksi kuman yang
multiresisten, gangguan fungsi ginjal5
PROGNOSIS
Infeksi saluran kemih tanpa kelainan anatomis mempunyai prognosis lebih baik
bila dilakukan pengobatan pada fase akut yang adekuat dan disertai pengawasan
terhadap kemungkinan infeksi berulang. Prognosis jangka panjang pada sebagian
besar penderita dengan kelainan anatomis umumnya kurang memuaskan meskipun
telah diberikan pengobatan yang adekuat dan dilakukan koreksi bedah, hal ini terjadi
terutama pada penderita dengan nefropati refluks. Deteksi dini terhadap adanya
kelainan anatomis, pengobatan yang segera pada fase akut, kerjasama yang baik antara
dokter, dan pasien sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya perburukan yang
mengarah ke fase terminal gagal ginjal kronis.4
UNIT YANGMENANGANI
• RS pendidikan : Divisi Ginjal - Hipertensi - Departemen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Divisi Tropik Infeksi , Departemen Bedah Urologi -
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Bagian Bedah
REFERENSI
1. .
Infeksi saluran Kemih In: Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku
ajar ilmu penyakit dalam. 5lh ed. Jakarta; Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit
Dalam FKUI, 2009:2009 - 15
2. Infection of the Urinary Tract. Dalam: Wein et al. Campbell-Walsh Urology 9 lh Edition. Saunders.
3. Mehnert-Kay SA. Diagnosis and Management of Uncomplicated Urinary Tract Infections.
American Family Physician [serial online], August 1, 2005;27/No.3:l-9. Accessed September 22,
2010. Available at http:/ /www.aafp.org/ afp / 20050801 / 451.html.
4. Urinary tract Infections, Pyelonephirits, ad Prostatitis. In: Fauci A, Kasper D, Longo D, Braunwald E,
Hauser S, Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison’s principles of internal medicine. 18th ed. United
States of America; The McGraw-Hill Companies, 2012: 2911 - 39
424
Jnfeksi Saluran Kemih 0:
(
5. . .
Urinary tract Infection Copyrights 2012 @ Mayoclinic Diunduh dari http:/ /www.mayoclinic .com/
health/urinary-tract-infection/DS00286
6. Renal and Urinary Tract Disorders. Dalam: Cunningham, Gary F et al. Williams Obstretic 22
nd
425
426
KRISIS HIPERTENSI
PENGERTIAN
Istilah "Krisis Hipertensi" merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai dengan
peningkatan tekanan darah mendadak pada penderita hipertensi , dimana tekanan
darah sistolik (TDS) > 180 mmHg dan tekanan darah diastolik (TDD) > 120 mmHg,
dengan komplikasi disfungsi dari target organ, baik yang sedang dalam proses
( impending ) maupun sudah dalam tahap akut progresif. Yang dimaksud target organ
disini adalah jantung, otak, ginjal, mata (retina), dan arteri perifer. 1 Sindroma klinis
krisis hipertensi meliputi : 2
1. Hipertensi gawat ( hypertensive emergency ) : peningkatan tekanan darah yang
disertai kerusakan target organ akut .
2. Hipertensi mendesak ( hypertensive urgency)-, peningkatan tekanan darah tanpa
disertai kerusakan target organ akut progresif .
3 . Hipertensi akselerasi ( acceleratedhypertension ): peningkatan tekanan darah yang
berhubungan dengan perdarahan retina atau eksudat.
4. Hipertensi maligna ( malignant hypertension ): peningkatan tekanan darah yang
berkaitan dengan edema papil.
Dari klasifikasi di atas, jelas terlihat bahwa tidak ada batasan yang tajam antara
hipertensi gawat dan mendesak, selain tergantung pada penilaian klinis. Hipertensi
gawat ( hypertensive emergency / HE) selalu berkaitan dengan kerusakan target organ,
tidak dengan level spesifik tekanan darah . Manifestasi klinisnya berupa peningkatan
tekanan darah mendadak sistolik > 180 mmHg atau diastolik > 120 mmHg dengan
adanya atau berlangsungnya kerusakan target organ yang bersifat progresif seperti
perubahan status neurologis , hipertensif ensefalopati, infark serebri , perdarahan
intrakranial , iskemi miokard atau infark, disfungsi ventrikel kiri akut, edema paru
akut, diseksi aorta, insufisiensi renal , atau eklampsia. Istilah hipertensi akselerasi
dan hipertensi maligna sering dipakai pada hipertensi mendesak .
PENDEKATAN DIAGNOSIS3 5
• Anamnesis: selain ditanyakan mengenai etiologi hipertensi pada umumnya,
perlu juga ditanyakan gejala - gejala kerusakan target organ seperti : gangguan
penglihatan, edema pada ekstremitas, penurunan kesadaran, sakit kepala , mual /
muntah, nyeri dada, sesak napas, kencing sedikit / berbusa, nyeri seperti disayat
pada abdomen.
• Pemeriksaan fisik: Tekanan darah pada kedua ekstremitas, perabaan denyut nadi
perifer, bunyi jantung, bruit pada abdomen, adanya edema atau tanda penumpukan
cairan, funduskopi, dan status neurologis.
• Pemeriksaan penunjang: darah perifer lengkap, panel metabolik, urinalisis,
toksikologi urin, EKG, CT Scan, MRI, foto toraks
Berikut merupakan evaluasi triase hipertensi emergency dan hipertensi urgency (tabel 2].
All
ffS Panduan Praktlk Minis Ginjal
J Hipertensi
Perhimpunan Dokter SpeslaKs Penyakil Dalam Indonesia W1 W
DIAGNOSIS BANDING
TATALAKSANA
• Hipertensi mendesak ( hypertensive urgency / HU/ dapat diterapi rawat jalan
dengan antihipertensi oral; terapi ini meliputi penurunan TD dalam 24- 48 jam.
Penurunan TD tidak boleh lebih dari 25% dalam 24 jam pertama.6 Terapi lini
pertama HU seperti tercantum pada tabel 3. Nifedipine oral ataupun sublingual
(SL) saat ini tidak lagi dianjurkan karena dapat menyebabkan hipotensi berat dan
iskemik organ.7
• Pada sebagian besar HE, tujuan terapi parenteral dan penurunan mean arterial
pressure ( MAP) secara bertahap (tidak lebih dari 25% dalam beberapa menit
sampai 1 jam). Aturannya adalah menurunkan arterial pressure yang meningkat
sebanyak 10% dalam 1 jam pertama, dan tambahan 15% dalam 3-12 jam . Setelah
diyakinkan tidak ada tanda hipoperfusi organ, penurunan dapat dilanjutkan dalam
2 - 6 jam sampai tekanan darah 160 /100 -1lOmmHgselanjutnya sampai mendekati
normal. TD dapat diturunkan lebih lanjut dalam 48 jam berikutnya. Pengecualian
428
Krisis Hipertensi ,$)
untuk aturan ini antara lain pada diseksi aorta dan perdarahan pasca operasi dari
bekas jahitan vaskular, yang merupakan keadaan yang membutuhkan normalisasi
TD secepatnya. Pada sebagian besar kasus, koreksi cepat tidak diperlukan karena
pasien berisiko untuk perburukan serebrak jantung, dan iskemi ginjal.
1,4
• Pada hipertensi kronis, autoregulasi serebral di -set pada TD yang lebih tinggi
daripada normal. Penyesuaian kompensasi ini untuk mencegah overperfusi
jaringan ( peningkatan TIK) pada TD sangat tinggi, namun juga underperfusion
[iskemi serebral) apabila TD diturunkan terlalu cepat. Pada pasien dengan penyakit
jantung koroner, penurunan TD diastolik terlalu cepat di ICU dapat memicu iskemik
miokard akut atau infark .4
• Terapi antihipertensi parenteral pada HE seperti tercantum pada tabel 4.
429
PanduanPraktikMinis Ginial Hipertensi
^ f Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakit Dalam Indonesia J
430
Krisis Hipertensi <fp
Tabel 7. Rekomendasi AHA/ ASA 2006 untuk tatalaksana hipertensi pada stroke iskemik akut10
Tekanan Darah Tatalaksana
Non-kandidat terapi Observasi kecuali ada disfungsi organ target ( contoh diseksi aorta, infark
trombolisis: TDS 2220 miokard akut, edema paru, hipertensif ensefalopati)
atau TDD 2120 Tatalaksana gejala lain stroke (nyeri kepala, nyeri, agitasi, mual, muntah)
Tatalaksana komplikasi akut stroke lainnya seperti hipoksia, peningkatan
TIK, kejang atau hipoglikemia
Non-kandidat terapi Labetalol 10-20 mg IV selama 1 -2 menit, dapat diulang atau digandakan
trombolisis: TDS >220 tiap 10 menit (max 300 mal atau Nicardipine 5 ma /iam infus dosis awal, titrasi
atau TDD 121-140 2,5 mg/ jam tiap 5 menit s /d 15 mg / jam sampai target TD yang diinginkan.
Target penurunan TD 10-15%
Non-kandidat terapi Nitroprussid 0,5 g /kgBB/menit infus IV dosis inisial dengan monitoring TD
trombolisis: TDD >140 kontinu
Target penurunan TD 10-15%
Kandidat terapi Labetalol 10-20 mg IV selama 1 -2 menit, dapat diulang 1 x atau nitropaste
trombolisis ( sebelum 1 -2 menit
tatalaksana) TDS >185
atau TDD >110
Kandidat terapi • cek TD tiap 15 menit selama 2 jam -» tiap 30 menit selama 6 jam
trombolisis ( selama / berikutnya -» lanjut tiap jam selama 16 jam
setelah perawatan) • Sodium Nitroprussid 0,5 g/kgBB /menit infus IV dosis inisial, titrasi sampai
• Monitor tekanan target TD
darah • Labetalol 10 mg selama 1-2 menit, dapat diulang atau digandakan
• TDD 140 tiap 10 menit ( max 300 mg) atau diberikan dosis inisial, kemudian mulai
• TDS > 230 a t a u drip 2-8 mg /menit atau Nicardipine 5 mg /jam infus dosis awal, titrasi 2,5
diastolik 121-140 mg/ jam tiap 5 menit s/ d 15 mg/ jam sampai target TD yang diinginkan.
• TDS 180- 230 atau Apabila TD tidak dapat terkontrol dengan labetalol, pertimbangkan
TDD 121- 140 sodium nitroprussid
• TDS 180- 230 atau • Labetalol 10 mg selama 1-2 menit, dapat diulang atau digandakan tiap
TDD 105-120 10-20 menit ( max 300 mg) atau diberikan dosis inisial, kemudian mulai
drip 2-8 mg/ menit
KOMPLIKASI
Kerusakan organ target
PROGNOSIS
Tergantung respon terapi dan kerusakan target organ
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : ICCU, Departemen Kesehatan Mata, Departemen Penyakit Saraf
• RS non pendidikan : ICCU / ICU, Bagian Kesehatan Mata , Bagian Penyakit Saraf
431
# fSSSSSSSB. Ginja| Hipertensi
REFERENSI
1. Chobanian AV etal: The Seventh Report of the Joint National Committee on Prevention, Detection,
.
Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure: The JNG 7 Report JAMA, 2003; 289:2560-72 .
2 . . . .
Vldt DG Hypertensive Crisis In : Carey W, Abelson A, Dwelk R, et al Current Clinical Medicine.
. . .
2nd Edition. The Cleveland Clinic Foundation Philadelphia : Elsevier 2010 Tersedla di http:/ /
.
www.clevelandcllnicmeded com/medicalpub3/diseasemanagement/nephrology/hypertensive-
crises/
3:- •ICdtclTerttrHypfffehsiyeArascdlai Disease. In : Longo DLVFG05T'A$J KOSltertn* HdOSSr Strjafflgldn
JL, Loscaizo J. Harrison' s Principles of Infernal Medicine. 18lh Edition. NewYork: McGraw-Hill Medical
Publishing Division; 2012.
. . .
4 Victor R. Arterial Hypertension In: Goldman L, Ausiello D, eds. Cecil medicine 23rd ed Philadhelphia,
Pa: Saunders Elsevier; 2007.
.
5 Roesma J. Krisis Hipertensi. Dalam : Sudoyo A, Sefiyohadi B, Alwi I, et al. Buku Ajar llmu Penyakit
. .
Dalam. Edisi V. Jilid II Jakarta: Interna Publishing; 2009 Hal 1103-4
. .
6 Vadiya C, Ouellette J. Hypertensive urgency and emergency Hospital Physician. 2007;43:43 50.
.
7. BenderS, Filippone J, HeitzS, Bisognano J A systematic approach to hypertensive urgencies and
-
.
emergencies. Curr Hypertehs Rev 2005;1:275-281 ' .
. . .
8 Hardy Y, Jenkins A. Hypertensive Crisis ; Urgencies and Emergencies US Pharm 2011;36 (3) :Epub .
. .
Diakses melalui http://www uspharmacist eom/content /d/ feature/i/ 1444/c /27112/ pada 12
Mel 2012 .
9. National Institute for Health and Clinical Excellence. NICE clinical guideline 107 - Hypertension in
pregnancy: the management of hypertensive disorders during pregnancy. August 2010. Diunduh
dari http://www.nice.org.uk/nicernedia / live / l 3098/50418 /50418.pdf pada tanggal 18 Mei 2012.
10. Goldstein LB, Adams R, Alberts MJ, et al. American Heart Association; American Stroke Association
Stroke Council. Primary prevention of ischemic stroke: a guideline from the AHA /ASA. Circulation
-
2006;113:e873 e923.
432
433
PENYAKIT GLOMERULAR
PENGERTIAN
Penyakit Glomerular merupakan penyakit ginjal berupa peradangan pada glomerulus
dan dapat dibedakan menjadi penyakit glomerular primer atau sekunder.
1
Keterangan
PanduanPraktlk Minis
Perhimpunan Dokter ! i Indonesia
m1
jfyf '
Panduan Praktik Klinis
Perhimpunan DoklerSpesialis Penyakil Dalarn Indonesia Ginial Hioertensi
J
DIAGNOSIS2
Anamnesis
Warna urine, keluhan penyerta: lemas, bengkak, sesak, kadang terdapat syndroma
uremik : mual , muntah .
Pemeriksaan Fisik
Dapat ditemukan hipertensi, edema anasarka
Pemeriksaan Penunjang
• Urin : proteinuria, hematuria, piuria, silinder eritrosit.
• Darah : kreatinin meningkat
• Biopsi ginjal
DIAGNOSIS BANDING
Etiologi dari penyakit glomerular
TATALAKSANA
Tatalaksana tergantung etiologi, terapi beberapa penyakit glomerular dapat dilihat
lebih lengkap pada tabel 1.
434
Penyakit Glomerular
U Z I' 1/
KOMPLIKASI ^ y A: , “\ n
UNIT JERKAIT
:-
• RS non pendidikan !“
REFERENSI
1. Penyakit glomerular. In: Sudoyo A, Setiyohadl B, Alwi I, Simadlbrata M, Setjati S, editors. Buku
.
.
Dalam FKUI 2009:2009 - 15
*
. .
^^ ^
ajarilmu penyakit dalam. S ed. Jakarta; Pusat Infortnasl dart PenefBitdn BdQidriirrHU F hj/dl it
2
.
Lewis JB< Mellsdn EG Glomerular Disease Dalam : Fguci A, Kgsper D, longo D, Braunwald E, Hauser
.
. . .
5, Jdmesorid Loscalzo J, editors Harrison'S principles of internal medicine 18lh ed United States
of AmefloaFTffe McGraw-Hill Companies 2Q12: 2911 - 39
436
437
PENGERTIAN
Penyakit ginjal kronik ( PGK) merupakan penurunan progresif fungsi ginjal yang
bersifat ireversibel , Menurutguideline The National Kidney Foundation's Kidney Disease
Outcomes Quality Initiative ( NKF KDOQI ), PGK didefinisikan sebagai kerusakan ginjal
persisten dengan karakteristik adanya kerusakan struktural atau fungsional (seperti
mikroalbuminuria / proteinuria, hematuria, kelainan histologis ataupun radiologis ) ,
dan / atau menurunnya laju filtrasi glomerulus ( LFG ) menjadi < 60 ml / menit / 1, 73 m
2
Proteinuria merupakan suatu marker dini dan sensitif pada berbagai tipe
kerusakan ginjal . Albumin merupakan protein yang paling banyak terdapat pada urin
penderita PGK . Nilai normal ekskresi albumin urin pada dewasa adalah 10 mg / hari ,
dan dipengaruhi oleh berbagai kondisi seperti postur tubuh, olahraga, kehamilan,
dan demam . 2 Oleh karena itu , sering terjadi hasil proteinuria dan albuminuria palsu
dalam praktek sehari - hari karena berbagai kondisi seperti tercantum pada tabel 2 .
Penilaian hasil proteinuria pada dewasa dilakukan dengan pengambilan spesimen
PanduanPraktik Klinis
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
itfS: PanduanPraktikMinis Ginial
J
Hipertensi
Perhimpunan Dokter Sposiafis Penyakit Do orn Indonesia
’
.
*
urin pagi hari dan hasil > +1 pada dipstick memerlukan konfirmasi lebih lanjut dengan
penilaian kuantitatif dalam 3 bulan. Pada pasien dengan proteinuria > + 2 pada tes
kuantitatif dalam interval 1- 2 minggu, didiagnosis sebagai proteinuria persisten dan
dilakukan evaluasi dan tatalaksana lebih lanjut seperti pada pasien PGK. Monitoring
proteinuria pada PGK selalu menggunakan tes kuantitatif . 2
*
LFG * LFG*
30-59 3 3 3 3
15 - 29 4 4 4 4
<15 ( atau dialisis) 5 5 5 5
Keterangan :
Daerah yang diarsir merupakan PGK beserta stadiumnya
TDT = tekanan darah tinggi / hipertensi, yaitu sistolik 3140 /90 pada dewasa dan > persentil 90 pada anak menurut tinggi dan
berat badan
*Dapat normal pada bayi dan orang tua
Tabel 3 . Kondisi yang Menyebabkan Hasil Positif Palsu pada Proteinuria dan Albuminuria2
Positlf palsu Negattf palsu
Keseimbangan
cairan
Dehidrasi -> konsentrasi protein urin V - Hidrasi berlebihan -» konsentrasi
protein urin
Hematuria Jumlah protein urin l '
Olahraga
Infeksi
--
Ekskresi protein urin T
Produksi protein dari organisme dan
reaksi selular terhadap organisme
tersebut
Protein urin lain Protein ini biasanya tidak
selain albumin bereaksi sekuat albumin pada
reagen dipstick
Obat-obatan Urin sangat alkalis (pH >8) dapat
bereaksi dengan reagen dipstick
Penilaian awal / skrining pada dewasa dengan risiko tinggi PGK, pemeriksaan
sampel albumin urin sebaiknya menggunakan albumin specific dipstick atau ratio -
albumin -kreatinin. Sedangkan untuk monitoring proteinuria pada dewasa dengan
PGK, ratio protein -kreatinin pada sampel urin sebaiknya diperiksa menggunakan ratio
albumin - kreatinin dan ratio protein total - kreatinin, apabila ratio albumin - kreatinin
tinggi ( > 500 mg - 1.000 mg / g).2
438
Penyakit Ginjal Kronik
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis3 4
• Riwayat hipertensi, DM, ISK, batu saluran kemih, hipertensi, hiperurisemia, lupus
• Riwayat hipertensi dalam kehamilan (pre-eklampsi, abortus spontan)
• Riwayat konsumsi obat NSA1D, penisilamin, antimikroba, kemoterapi, antiretroviral,
proton pump inhibitors, paparan zat kontras
• Evaluasi sindrom uremia : lemah, nafsu makant, berat badani, mual, muntah,
nokturia, sendawa, edema perifer, neuropati perifer, pruritus, kram otot, kejang
sampai koma
• Riwayat penyakit ginjal pada keluarga, juga evaluasi manifestasi sistem organ
seperti auditorik, visual, kulit dan lainnya untuk menilai apa ada PGK yang
diturunkan (Sindrom Alport atau Fabry, sistinuria) atau paparan nefrotoksin dari
lingkungan (logam berat)
Pemeriksaan Fisik3
• Difokuskan kepada peningkatan tekanan darah dan kerusakan target organ :
funduskopi, pemeriksaan pre-kordial (heaving ventrikel kiri, bunyi jantung IV)
• Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit : edema, polineuropati
• Gangguan endokrin -metabolik : amenorrhea, malnutrisi, gangguan pertumbuhan
dan perkembangan, infertilitas dan disfungsi seksual
• Gangguan saluran cerna : anoreksia, mual, muntah, nafas bau urin ( uremic fetor ),
disgeusia ( metallic taste), konstipasi
• Gangguan neuromuskular : letargi, sendawa, asteriksis, mioklonus, fasikulasi otot,
restless leg syndrome, miopati, kejang sampai koma
• Gangguan dermatologis : palor, hiperpigmentasi, pruritus, ekimosis, uremic frost,
nephrogen ic fibrosing dermopathy
Pemeriksaan Penunjang3 4
• Laboratorium : darah perifer lengkap, penurunan LFG dengan rumus Kockroft-
Gault, iserum ureum dan kreatinin, tes klirens kreatinin (TTK) ukur, asam urat,
elektrolit, gula darah, profil lipid, analisa gas darah, serologis hepatitis, SI, TIBC,
feritin serum, hormon PTH, albumin, globulin, pemeriksaan imunologi, hemostasis
lengkap, urinalisis
• Radiologis : foto polos abdomen, BNO IVP, USG, CT scan, ekokardiografi
• Biopsi ginjal
439
Panduan Praktik Klinis Ginial
J Hioertensi
Perhlmpunan Dokler SpesiaHs Penyakil Dalam Indonesia
DIAGNOSIS BANDING
Penyakit ginjal akut, Acute on Chronic Kidney Disease
TATALAKSANA
Nonfarmakologis1 3'4 -
• Nutrisi : pada pasien non -dialisis dengan LFG < 20 mL/ menit, evaluasi status nutrisi
dari 1) serum albumin dan / atau 2 ) berat badan aktual tanpa edema.
• Protein :
pasien non dialisis 0,6- 0,75 gram / kgBB ideal/ hari sesuai dengan CCT dan
toleransi pasien
pasien hemodialisis 1-1, 2 gram / kgBB ideal / hari
pasien peritoneal dialisis 1,3 gram / kgBB / hari
• Pengaturan asupan lemak: 30 - 40% dari kalori total dan mengandung jumlah yang
sama antara asam lemak bebas jenuh dan tidak jenuh
• Pengaturan asupan karbohidrat: 50-60% dari kalori total
• Natrium: <2 gram / hari (dalam bentuk garam <6 gram / hari)
440
Penyakit Ginjal Kronik fjj}
KOMPLIKASI
Kardiovaskular, gangguan keseimbangan cairan, natrium, kalium, kalsium, fosfat,
asidosis metabolik, osteodistrofi renal, anemia.13
PROGNOSIS
Penting sekali untuk merujuk pasien PGK stadium 4 dan 5. Terlambat merujuk
(kurang dari 3 bulan sebelum onset terapi penggantian ginjal) berkaitan erat dengan
meningkatnya angka mortalitas setelah dialisis dimulai. Pada titik ini, pasien lebih
baik ditangani bersama oleh pelayanan kesehatan tingkat primer bersama nefrologis.
Selama fase ini, perhatian harus diberikan terutama dalam memberikan edukasi
441
Al ' '
PanduanPraktikKIinis Ginial
J Hioertensi
Perhimpunan Dokler SpesiaNs Penyakil Dalam Indonesia
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Unit Hemodialisis, ICU / Medical High Care , Departemen
Bedah Urologi
• RS non pendidikan : Unit hemodialisis, ICU, Bagian Bedah
REFERENSI
1. .
Lascano M, Schreiber M, Nurko S. Chronic Kidney Disease In : Carey W, Abelson A , Dweik R,
et al. Current Clinical Medicine. 2nd Edition. The Cleveland Clinic Foundation. Philadelphia :
Elsevier. 2010. Hal 853-6
2. The National Kidney Foundation : NKF KDOQI Clinical Practice guidelines for Chronic Kidney
Disease: Evaluation, classification, and stratification. Am J Kidney Dis 2002;39:S 1 -266
3. Bargman J, Scorecki K. Chronic Kidney Disease. In : Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL,
Jameson JL, Loscalzo J. Harrison' s Principles of Internal Medicine. 18lhEdition. New York, McGraw -
Hill. 2012.
4. Suwitra K. Penyakit Ginjal Kronik. Dalam : Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I, et al. Buku Ajar llmu
.
Penyakit Dalam. Edisi V Jilid II. 2009 Hal 1035-40 .
442
443
PENGERTIAN
Merupakan penyakit ginjal yang diturunkan secara autosomal dominan [autosomal
dominant polycystic kidney disease/ ADPKD) maupun autosomal resesif (autosomal
recessive polycystic kidney disease/ ARPKD). ADPKD lebih sering dijumpai pada orang
dewasa, sedangkan ARPKD lebih banyak pada anak-anak. Penyakit kista ginjal juga
dapat dijumpai pada beberapa penyakit ginjal keturunan lainnya, seperti di tabel 2 .
Hampir semua kasus ADPKD disebabkan akibat mutasi pada gen PKD1 dan PKD 2.
Mutasi gen PKD 2 berjalan lebih lambat dan onset gejala muncul lebih lama. Mutasi
PKD1 mencakup sekitar 85% kasus dan menyebabkan gagal ginjal yang lebih dini
dibandingkan mutasi PKD 2. PKD1 dan PKD 2 merupakan protein transmembran
yang ada di semua nefron yang berfungsi dalam regulasi trankripsi gen sel epitel,
apoptosis, differensiasi, dan interaksi matriks sel pada fetal dan orang dewasa.
Gangguan pada protein akan menyebabkan terganggunya proses- proses tersebut,
proliferasi sel berlebihan, sekresi cairan dalam kista. Pada umumnya penyakit ini akan
asimpotomatik, kista akan membesar, menekan parenkim ginjal sekitarnya, secara
progresif akan menganggu fungsi ginjal dan menimbulkan gejala. Faktor risiko untuk
progresivitas penyakit yaitu usia muda saat terdiagnosa, ras kulit hitam, laki-laki,
ditemukan adanya mutasi pada PKD1, dan adanya hipertensi. 1
ARPKD merupakan penyakit primer pada balita dan anak-anak. Pada 50 %
neonates akan meninggal karena hipoplasia paru, oligohidromnion karena penyakit
ginjal berat, dan sepertiganya akan berkembang menjadi gagal ginjal tahap akhir.
Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan ultrasonography saat dalam kandungan.
Sampai saat ini belum ada terapi spesifik, yang dilakukan adalah terapi simptomatik
sesuai keadaan klinis pasien.12
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Pada umumnya diagnosis ditegakkan sebelum timbul keluhan pada saat dilakukan
skrining. Diagnosis berdasarkan riwayat keluarga dan pemeriksaan imaging yang
menunjukkan kista multipel pada kedua ginjal, bahkan pada hepar. Kriteria untuk
PanduanPrakUk Klinis
Perhimpunan Dokter Speslais Penyakil Dalam Indonesia m
m PanduanPraktikKlinis Ginjal
J Hipertensi
Perhimpunan Dokter SpesiaSs Penyakil Dalam Indonesia V
Anamnesis
Pada anamnesis perlu ditanyakan riwayat penyakit pada keluarga, riwayat
hipertensi sebelumnya. Gambaran klinis dapat berupa rasa nyeri pada perut { flank
pain ), hematuria, infeksi saluaran kemih, dan keluhan poliuria atau nokturia, urin
berwarna merah.12
Sedangkan manifestasi di luar ginjal dapat menyebabkan kista di hati yang
membesar sehingga merusak hati dan menimbulkan masalah di abdomen. Kista di
limpa dan pankreas umumnya bersifat asimptomatik. Pada jantung dapat dijumpai
kelainan katup. Sehingga perlu ditanyakan keluhan -keluhan yang mencakup organ-
organ tersebut . 1
Pemeriksaan Fisik
Terabanya massa pada abdomen, nyeri tekan pada abdomen , tanda - tanda
peritonitis lokal, hipertensi. 1
Pemeriksaan Penunjang1 2
• Fungsi ginjal : ureum, kreatinin serum
• Kultur darah jika curiga ada infeksi
• Urinalisis : proteinuria ringan
• Ultrasonography
• Computed tomography (CT ): lebih sensitif untuk deteksi pada usia muda yang
belum ada gejala
• Magnetic resonance imaging ( MRIJ -T2 : telihat ada kista dalam ginjal
444
Penyakit Ginjal Polikistik
DIAGNOSIS BANDING
445
# !!«!# * Ginjal Hipertensi
TATALAKSANA
Belum ada tatalaksana yang dapat mencegah pertumbuhan kista atau penurunan
fungsi ginjal. 1,2
• Hipertensi : obat antihipertensi dengan target tekanan darah < 130 /90 mmHg.
-
angiotensin converting enzyme ( ACE) inhibitors dan angiotensin receptor blockers
( ARBs ) dapat memperlambat pertumbuhan volume ginjal dan penurunan
glomerular filtration rate (GFR).
• Nyeri : obat analgesik, drainase dengan aspirasi perkutan, skleroterapi dengan
alkohol, atau tindakan bedah untuk drainase
• Jika ada infeksi pada kista : antibiotik yang larut lemak seperti trimethoprim -
sulfamethoxazole dan fluoroquinolones
• Peritoneal atau hemodialisis
• Tindakan bedah jika kista membesar secara masif atau terinfeksinya kista, berupa
bilateral nephrectomy dan membutuhkan transplantasi ginjal.
KOMPLIKASI
Batu ginjal, infeksi saluran kemih, pielonefritis akut, infeksi pada kista ginjal.1
PROGNOSIS
Risiko untuk menjadi batu ginjal sekitar 2 % pada pasien dengan ADPKD, dan
meningkatkan risiko 2 - 4 kali lipat terjadinya perdarahan serebral dan subaraknoid.
Aneurisma sakular pada sirkulasi serebral anterior terdeteksi pada 10 % pasien
yang asimptomatik saat skrining magnetic resonance angiography MR4 , umumnya
/ J
kecil dan kecil kemungkinan akan ruptur spontan. Jika ada riwayat keluarga dengan
perdarahan intrakranial, maka besar kemungkinan akan terjadi hal serupa sebelum
usia 50 tahun; dan jika selamat akan mempunyai aneurisma >10 mm dan hipertensi
yang tidak terkontrol. Abnormalitas katup jantung terjad pada 25 % kasus. Insiden
terjadinya kista hepar berkisar 83 % pada pemeriksaan MRI pasien usia 15- 46 tahun,
wanita mempunyai kecenderungan menjadi kista masif. Sekitar 4 % kasus akan
berakhir dengan end -stage renal disease ( ESRD ).1
446
Penyakit Ginjal Polikistik
REFERENSI
Salant, David J. Polycystic Kidney Disease and Other Inherited Tubular Disorders, In: Fauci A Kasper
,
1.
D, Longo D, Braunwald E, HauserS, Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison ' s principles of
internal
. .
medicine 18 ed United States of America: The McGraw Hill
lh - Companies , 2012 .
2. Pirson, Yves. Autosomal Polycystic Kidney Disease, In: Davidson A, Cameron J, Grunfeld J editors
, .
.
Oxford Textbook of Clinical Nephrology. 2 ed United States of America
nd . 1998 .
3. . .
Grantham J, Winklhofer F Cystic Disease of The Kidney. In: Brenner B, Rector F, editors Benner
&
Rector the Kidney. 7 1 ed. United States of America: Saunders. 2003.
"
447
448
SINDROM NEFROTIK
PENGERTIAN
Sindrom nefrotik (SN) merupakan salah satu gambaran klinikpenyakit glomerular
yang ditandai dengan proteinuria masif >3,5 gram / 24 jam disertai hipoalbuminemia
< 3, 5 g/ L, edema, hiperkolesterolemia dan lipiduria.1
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Gejala klasik SN ditandai dengan edema, proteinuria berat , hpoalbuminemia,
hperkolesterolemia, dan lipiduria.2 SN dapat bermanifestasi dengan spektrum keluhan
yang luas, mulai dari proteinuria asimtomatik sampai keluhan yang sering yaitu
bengkak.
Anamnesis'
Bengkak biasanya berawal pada area dengan tekanan hidrostatik intravaskular
yang tinggi seperti kedua kaki dan ankle, tetapi dapat juga terjadi pada area dengan
tekanan hidrostatik intravaskular yang rendah seperti periorbita dan skrotum . Bila
bengkak hebat dan generalisata dapat bermanifestasi sebagai anasarka. Keluhan
buang air kecil berbusa. Gejala-gejala lain dapat muncul sebagai manifestasi penyakit
penyebab SN sekunder seperti diabetes melitus, nefritis lupus riwayat obat-obatan,
riwayat keganasan atau amyloidosis.
Pemeriksaan Fisik1
Pretibial edema, edema periorbita, edema skrotum, edema anasarka, asites.
Xanthelasmas bisa didapatkan akibat hyperlipidemia.
Pemeriksaan Penunjang
• Laboratorium : Proteinuria masif > 3, 5 gram / 24 jam, hiperlipidemia ,
hipoalbuminemia ( < 3,5 gram / dl), lipiduria, hiperkoagulabilitas
• Biopsi ginjal: dapat digunakan untuk penegakkan diagnosis
PanduanPraktfkKIinis
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
Sindrome Nefrotik
DIAGNOSIS BANDING
Edema dan asites akibat penyakit hati atau malnutrisi , diagnosis etiologi SN .
1
TATALAKSANA
Nonfarmakologis1
• Istirahat
• Restriksi protein dengan diet protein 0, 8 gram / kgBB ideal / hari + ekskresi protein
dalam urin / 24 jam. Bila fungsi ginjal sudah menurun, diet protein disesuaikan hingga
0,6 gram /kgBB ideal / hari + ekskresi protein dalam urin / 24 jam
• Diet rendah kolesterol < 600 mg / hari
• Berhenti merokok
• Diet rendah garam, restriksi cairan pada edema
Farmakologis '
• Pengobatan edema : diuretik loop
• Pengobatan proteinuria dengan penghambat ACE dan /atau antagonis reseptor
Angiotensin II
• Pengobatan dislipidemia dengan golongan statin
• Pengobatan hipertensi dengan target tekanan darah <125/75 mmHg. Penghambat
ACE dan antagonis reseptor Angiotensin II sebagai pilihan obat utama
• Pengobatan kausal sesuai etiologi SN (lihat topik penyakit glomerular)
449
IfpS
wjK'
PanfluanPraktikKlinis Ginjal
J Hipertensi
M
Perhimpunan Pokier SpesialisPenyakil Dalam Indonesia
KOMPLIKASI
Gagal jantung, sirosis hepatis, penyakit ginjal kronik, tromboemboli1
PROGNOSIS
Hanya sekitar 20 % pasien yang menderita fokal glomerulosclerosis mengalan
remisi dari proteinuria, 10% membaik tapi masih mengalami proteinuria. Stadium
akhir penyakit ginjal berkembang pada 25 - 30 % pasien dengan fokal segmental
glomerulosclerosis dalam waktu 5 tahun dan 30-40% dalam 10 tahun. Prognosis
pasien dengan perubahan nefropati minimal memiliki risiko kambuh. Tetapi prognosis
jangka panjang untuk fungsi ginjalnya baik, dengan sedikit risiko gagal ginjal. Respon
pasien yang buruk terhadap steroid dapat menyebabkan hasil yang buruk. Pada
sindroma nefrotik sekunder, mortalitas dan morbiditas tergantung pada penyakit
primernya. Pada nefropati, diabetik tingkat proteinuria berhubungan langsung dengan
mortalitas. Pada amyloidosis primer, prognosis buruk, meskipun dengan kemoterapi.
Pada amyloidosis sekunder, perbaikan penyakit penyebab diikuti oleh perbaikan
amyloidosis dan sindroma nefrotik yang mengikuti.3, 4
UNIT YANGMENANGANI
• RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Ginjal- Hipertensi
• RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan :-
• RS non pendidikan : -
REFERENSI
1 . .
Sindroma Nefrotik. In: Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors Buku ajar
ilmu penyakit dalam. 5lh ed. Jakarta; Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FKUI, 2009:2009 - 15
2. Glomerular Disease. In: Fauci A, Kasper D, Longo D, Braunwald E, HauserS, Jameson J, Loscalzo J,
.
editors. Harrison ' s principles of internal medicine. 18lh ed United States of America; The McGraw-
Hill Companies, 2012: 2911 - 39
3. Donadio JV Jr, Torres VE, Velosa JA, Wagoner RD, Holley KE, Okamura M. Idiopathic membranous
.
nephropathy: the natural history of untreated patients. Kidney Int. Mar 1988;33(3):708-l5 [Medline].
4. .
Jude EB, Anderson SG, Cruickshank JK, et al Natural history and prognostic factors of diabetic
.
nephropathy in type 2 diabetes Quart J Med. 2002;95:371-7. [Medline] .
450
Jm
PENATALAKSAN A AN
D l BIDANG HMD PENYAKIT DALAM
PANDUAN
PRAKTIK At ]
KLINIS Oli
'
••
451
ANEMIA APLASTIK
PENGERTIAN
Anemia aplastik (AA] adalah suatu kelainan hematologi dengan manifastasi klinis
pansitopenia dan hiposelularitas pada sumsum tulang, dapat bersifat didapat atau
diturunkan (Tabel 1)1 Z
Acquired Idiopatik (autoimun) TERC , TERT , TERF 1 & 2, TIN 2 susceptibility mutations
Obat-obatan sulfonamid, kloramfenikol, aspirin,fenilbutazon, PTU,
salicylamide , kuinidin, karbamazepin, hidantoin, felbamate,
tiklopidin, furosemid
Toksin Benzene, chlorinated hydrocarbons, organofosfat
Virus Virus Epstein-Barr, virus hepatitis non-A, non-B, non-C, non-D,
non-E, and non-G, human immunodeficiency virus ( HIV )
Paroxysmal nocturnal
hemoglobinuria
Autoimun / connective .
Eosinophilic fasciitis Immune thyroid disease (Graves
disease, Hashimoto thyroiditis ) , Rheumatoid arthritis,
tissue disorders
Systemic lupus erythematosus, Thymoma
Kehamilan
Heredlter Anemia Fanconi , diskeratosis kongenital, shwachman-diamond syndrome
PanduanPraktik Minis
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
# KSUSSfiL Hematologi Onkologi Medik
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Onset keluhan dapat terjadi perlahan- perlahan berupa lemah, dyspnea, rasa lelah,
pusing, adanya perdarahan ( petekie, epistaksis, perdarahan dari vagina, atau lokasi
lain) dapat disertai demam dan menggigil akibat infeksi. Riwayat paparan terhadap
zat toksik (obat, lingkungan kerja, hobi), menderita infeksi virus 6 bulan terakhir
( hepatitis, parvovirus), pernah mendapat transfusi darah13
Pemeriksaan Fisik
Pasien tampak pucat pada konjungtiva atau kutaneus, resting tachycardia ,
perdarahan (ekimosis, petekie, perdarahan gusi, purpura). Jika ditemukan limfadenopati
dan splenomegali perlu dicurigai adanya leukemia atau limfoma.1,4
Pemeriksaan Penunjang12
• Normositik normokrom, makrositik
• Darah tepi lengkap ditemukan pansitopenia, tidak terdapat sel abnormal pada
hitung jenis leukosit
• Hitung retikulosit: rendah (< 1%)
• Serologi virus ( hepatitis)
• Aspirasi dan biopsi sumsum tulang: terdapat spicules yang kosong, terisi lemak,
dan sel hematopoietik yang sedikit. Limfosit, sel plasma, makrofag, dan sel mast
mungkin prominen
-
• MR1 ( Magnetic resonance imaging ) , membedakan lemak pada sumsum tulang
dengan sel hematopoietic, mengestimasi densitas sel hematopoietik pada sumsum
tulang, dan membedakan anemia aplastik dengan leukemia mielogenik hipoplasia.
DIAGNOSIS BANDING
Sindrom mielodisplastik ( MDS), anemia karena keganasan sumsum tulang,
hipersplenisme, leukemia akut3,4
TATALAKSANA
Pemilihan terapi berdasarkan beberapa faktor seperti usia pasien, kondisi umum,
dan ketersediaan donor stem cell.1
Tatalaksana Penunjang12
• Menghentikan obat-obatan yang diduga sebagai faktor pencetus dan mengganti
dengan obat lain yang lebih aman
452
Anemia Aplastik
• Transfusi komponen darah ( PRC / packed red cell dan / atau TC) sesuai indikasi
( pada topik transfusi darah )
• Menghindari dan mengatasi infeksi: antibiotik spektrum luas
• Kortikosteroid: prednison 1-2 mg/ kgBB/ hari, metilprednisolon 1 mg/ kg beratbadan
• Androgen : Metenolol asetat 2-3 mg / kgBB / hari, maksimal diberikan selama 3
bulan.Nandrolone decanoate 400 mg IM (intramuskular) / minggu
• Terapi imunosupresif:
• Siklosporin 10-12 mg/ kgBB / hari selama 4-6 bulan
• ATG (anti thymocyte globulin ) 15-40 mg/ kgBB / hari intravena selama 4-10 hari
• Terapi kombinasi: untuk anemia aplastik berat. ATG 40 mg/ kg / hari untuk 4 hari,
siklosporin 10 -12 mg/ kg/ hari for 6 bulan, dan metilprednisolon 1 mg/ kg / hari
untuk 2 minggu.
• Transplantasi sumsum tulang alogenik, bila ditemukan HLA yang cocok,
dilakukan tes histokompatibilitas pada pasien, orang tua, dan keluarga.
KOMPLIKASI
Infeksi (bisa fatal), perdarahan, gagal jantung akibat anemia berat3
PROGNOSIS
Tergantung pada jumlah neutrofil, trombosit, dan ada tidaknya komorbiditas.
Jumlah neutrofil < 200 / pl mempunyai respon yang rendah terhadap imunoterapi.
Transplantasi sumsum tulang dapat menyembuhkan pada 80% pasien berusia < 20
453
H SSSSSfifi Hematologi Onkologi Medik
tahun, 70 % pada usia 20- 40 tahun, dan 50% pada usia > 40 tahun. Pada pasien yang
menerima terapi dengan siklosporin sebelum transplantasi, risiko menjadi kanker
sebesar 11%. Dalam 10 tahun, anemia aplastik dapat berkembang menjadi paroxysmal
nocturnal hemoglobinuria , sindrom mielodisplastik, atau leukemia mielogenik akut
sebesar 40 % pasien yang menerima terapi imunosupresan . Angka relaps pada
pasien yang menerima imunosupresi adalah 35 % dalam 7 tahun.4 Pada 168 pasien
yang menerima transplantasi, angka harapan hidup dalam 15 tahun sebesar 69 %,
sedangkan pada 227 pasien yang menerima terapi imunosupresan angka harapan
hidup hanya 38%.1
REFERENSI
1. Lichtman M. Aplastic Anemia: Overview. In: Lichtman M, Beutler E, Kipps T, editors. Williams
Hematology 7lh ed. Me Graw Hill. Chapter 33
2. Marsh J. et all. Guidelines for the diagnosis and management of aplastic anaemia., British Journal
of Haematology, 147, 43-70.2010. Diunduh dari http:// www.bcshguidelines.com / documents /
Aplast _anaem_bjhjune2010.pdf pada tanggal 22 Mei 2012
3. Young N.S..Aplastic anemia , myelodysplasia, and related bone marrow failure syndromes:
introduction. In: Longo Fauci Kasper, Harrison’ s Principles of Internal Medicine 18lh edition.United
States of America .Mcgraw Hill. 2012
4. Widjanarko A, Sudoyo A, Salonder, H. Anemia aplastik. Dalam: Suyono, S . Waspadj'i, S . Lesmana,
L. Alwi, I. Setiati, S . Sundaru, H. dkk . Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi V. Jakarta: Interna
Publishing: 2010. Hal.l 117- 1126
454
455
PENGERTIAN
Anemia adalah menurunnya kadar hemoglobin ( Hb) di bawah normal yang
disebabkan banyak faktor seperti defisiensi besi, asam folat, B12, hemolitik, aplastik,
atau penyakit sistemik kronik. Nilai normal hemoglobin bervariasi sesuai usia dan jenis
kelamin, sehingga nilai yang digunakan sebagai patokan untuk mendiagnosis anemi
yaitu :1
Tabel 1. Nilai Hb untuk Krlteria Anemia ’
Nilai Hb
CDC
WHO (Centers for Disease Control
(world health organization) and Prevention)
Usia 6 bulan - 4.9 tahun < 11 g / dl
Usia 5 tahun -11.9 tahun < 11.5 g/dl
Wanita menstruasi < 12 g/ dl
Wanita hamil pada trimester I dan III < 11 g/dl < 11 g/ dl
Wanita hamil pada trimester II < 11 g/dl < 10.5 g/dl
Laki-laki < 13 g / dl
Anemia defisiensi besi adalah salah satu golongan anemia hipoproliferatif yang
disebabkan karena kelainan metabolisme besi. Besi merupakan elemen penting
dalam fungsi semua sel karena perannya dalam transport oksigen sebagai bagian
dari hemoglobin. Besi juga merupakan bagian penting dari enzim sitokrom dalam
mitokondria. Jika kekurangan besi maka sel akan kehilangan kemampuan dalam
transpor elektron dan metabolisme energi, sehingga mengganggu sintesis Hb.
Metabolisme sel besi lebih dipengaruhi absorbsi daripada eksresi. Kehilangan besi
terjadi karena perdarahan atau kehilangan sel. Laki-laki dan wanita yang tidak
menstruasi kehilangan besi sebesar 1 mg / hari, sedangkan wanita yang sedang
menstruasi kehilangan besi 0.6 - 2.5 % / hari. Besi akan diabsorbsi dari saluran cerna
(proksimal usus halus) dalam bentuk ferrous atau dari cadangan ke dalam sirkulasi
dan berikatan dengan transferin ( protein pengangkut besi) . Distribusi besi dalam
tubuh terbagi menjadi:2
PanduanPraktik Minis
Perhimpunan Dokler Spesiolis Penyakit Dalam Indonesia
# Hematologi Onkologi Medik
Absorbsi besi dihambat oleh oksalat, phytates, fosfat, dan red wine . Sedangkan
yang dapat meningkatkan absorbsi besi yaitu hidrokuinon, askorbat, laktat, piruvat,
suksinat, fruktosa, sistein, dan sorbitol . Progresivitas defisiensi besi dapat dibedakan
menjadi 3 stadium yaitu negative iron balance, iron - deficient erythropoiesis, dan anemia
defisiensi besi seperti pada tabel di bawah ini: 2 3
Tabel 3. Stadium Defisiensi Besi2
Normal negative Iron balance -
iron deficient
erythropoiesis
anemia
defisiensi besi
Cadangan besi normal < « «<
Erythron iron normal < « «<
Marrow iron store 1 -3 + 0-1 + 0 0
Feritin serum (pig/L) 50-200 <20 <15 <15
TIBC (|jg/dl ) 300-360 >360 >380 >400
SI (pg /dl) 50- 150 NL <50 <30
Saturasi (%) 30-50 NL <20 <10
Marrow sideroblast (%) 40-60 NL <10 < 10
RBC protoporphyrin 30-50 NL >100 >200
iMg/dl)
Morfologi RBC NL NL NL Mikrositik/
hipokrom
Faktor penyebab Kebutuhan besi lebih Kelainan Penurunan Hb
besar daripada sintesis Hb dan hematokrit
kemampuan absorbsi
dari makanan
Etologi Perdarahan, kehamilan,
pertumbuhan cepat
pada masa remaja, diit
tidak adekuat.
456
Anemia Defisiensi Besi
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Gejala klinis bervariasi tergantung beratnya dan lamanya anema, berupa rasa
-
lemah dan lelah, sakit kepala, light headedness, kesemutan, rambut rontok, restless
leg , dan gejala angina pektoris pada kasus berat. Gejala khas yaitu adanya glositis,
disfagia, pica, koilonychia (spoon nail ) jarang ditemukan.3
Pemeriksaan Fisik
Pasien tampak lemah dan pucat (anemis), disertai takikardia, adanya glositis ( lidah
bewarna merah dan permukaannya licin), stomatitis, angular cheilitis, koilonychia.
Perdarahan maupun adanya eksudat pada retina dapat ditemukan pada anemia berat .
Splenomegali mengindikasikan adanya penyebab defisiensi besi lainnya.3,4
Pemeriksaan Penunjang1 3
• DPL: Hb menurun, leukosit menurun, trombosit meningkat / menurun
• Retikulosit: normal atau menurun
• Morfologi eritrosit: mikrositik hipokrom
• Sediaan darah tepi: adanya anisositosis
• Besi serum: menurun
• Feritin serum : hasil bervariasi seperti pada tabel 3
• Transferin : meningkat
• TIBC: meningkat
• Saturasi transferin: menurun
• Aspirasi sumsum tulang: sideroblas menurun atau negatif.
457
HSKEfiBBS Hematologi Onkologi Medik
i
Periksa feritin
1
TIBCmeningkat, besi Hasil lain : TIBC menurun, FE
serum menurun, cek TfR meningkat,
transferin menurun Saturasi transferrin
saturation meningkat
t 1
TfR meningkat Hasil lain : TfR menurun
jika dicurigai periksa
biopsi sumsum tulang
Anemia
defisiensi 4.
besi -
i
Besi rendah Besi normal
I i
+ Anemia defisiensi besi
• Cari penyebab lain
l
terapi
Keterangan :
ng : Nanogram
meg : microgram
pm : mikrometer
DIAGNOSIS BANDING
Talasemia, anemia sideroblastik, anemia penyakit kronik, dan keracunan logam berat3
TATALAKSANA
• Tatalaksana diet3
Makan makanan yang bervariasi untuk memenuhi kebutuhan nutrisi
Makan makanan yang mengandung zat besi tinggi, seperti daging merah
458
Anemia Defisiensi Besi
KOMPLIKASI
Gangguan jantung (kardiomegali atau gagal jantung), gangguan pertumbuhan pada
anak dan remaja.2 3 -
459
ft Papuan Prawn Minis Hematologi Onkologi Medik
PROGNOSIS
Jika penyebab defisiensi besi diatasi maka prognosis akan baik. Terapi inadekuat
akan menyebabkan anemia rekuren, sehingga terapi harus diberikan minimal 12 bulan
setelah anemia terkoreksi . 2,3
UNITYANGMENANGANI , . . _
... .
• RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Hematologi -
Onkologi Medik
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam
REFERENSI
1 . Killip S. Iron Deficiency Anemia. American Academy of Family Physicians.Volume 75, Number 5.
2007. Diunduh dari www.aafp.org/afp pada tanggal 23 Mei 2012.
2. Adamson J. Iron deficiency and other hypoproliferative anemias. Inlongo DL, Kasper DL, Jameson
.
DL, Fauci AS; Hauser SL, Losealzo J, editors Harrison' s Principals of Internal Medicine 18lh ed Me .
.
Graw Hill Chapter 98
3. Beutler E. Disorders of iron metabolism. Inlichtman M, Beutler E, Kipps T, editors. Williams
Hematology 7 ed. Me Graw Hill. Chapter 40
lh
4. Bakta I, Suega B, Charmayuda T. Anemia defisiensi besi. Dalam: Suyono, S. Waspadji, S. Lesmana,
L. Alwi, I. Setiati, S. Sundaru, H. dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi V. Jakarta: Interna
Publishing; 2010. Hal.1127-1140.
460
461
ANEMIA HEMOLITIK
PENGERTIAN
Anemia hemolitik adalah anemia yang terjadi karena destruksi atau pembuangan
sel darah merah dari sirkulasi sebelum waktunya, yaitu 120 hari yang merupakan
1,2
masa hidup sel darah merah normal . Ada 2 mekanisme terjadinya hemolitik yaitu :
• hemolitik intravaskular : destruksi sel darah merah terjadi di dalam sirkulasi
pembuluh darah dengan pelepasan isi sel ke dalam
plasma . Penyebabnya antara lain karena trauma
mekanik dari endotel yang rusak, fiksasi komplemen
serta aktivasi pada permukaan sel, dan infeksi .
• hemolitik ekstravaskular : destruksi sel darah merah yang ada kelainan membran
oleh makrofag di limpa dan hati . Sirkulasi darah
difiltrasi melalui splenic cords menuju sinusoid
limpa . Sel darah merah dengan abnormalitas
struktur membran tidak dapat melewati proses
filtrasi sehingga difagositosis dan dihancurkan oleh
makrofag yang ada di sinusoid .
Klasifikasi anemia hemolitk dapat berdasarkan mekanisme terjadinya, secara
klinis (akut atau kronik) , dan berdasarkan penyebabnya :
3
PanduanPraktik Klinis
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
# SSSSSSfil Hematologi Onkologi Medik
t
DIAGNOSIS ANEMIA HEMOLITIK
462
Pendekatan diagnosis pada anemia hemolitik yaitu :*
I
Pikirkan
Evaluasi hemofisis : DPL.
.
retikulosit LDH, Bilinjbin
terma
.
indirek haptoglobulin SDT. Tidak
menyeba
normokrom
(sediaan darah tepi)
kronik. ga
Ya
i i. j i
Sferosit. Sferosit DAT Schistocytes
Anemia mikrositik . Sickle cells Inf
DAT riwayat keluarga + hipokromik
i i J i j
immune hemolysis : Sferositosis Anemia hemoKtik Anemia
Talasemia Aktr
kelainan herediter mikroangiopatik Sickle cells
i J
limfoproliferatif /keganas
.
an penyakit autoimun . T
.
tnfeksi transfusi darah PT/PTT . Bektroforesis
fungsi ginja! dan hemoglobin
w Easaflssast Hematologi Onkologi Medik
464
Anemia Hemolitik
sel darah merah dilapisi oleh antibodi, maka akan difagositosis oleh makrofag dan
memicu terjadinya eritrofagositosis yang dapat berlangsung intravaskular maupun
ekstravaskular.
PENDEKATAN DIAGNOSIS
465
# '
SSffJHSSHIIi!?. Hematologi Onkologi Medik
tidak terdeteksi . Metode lama (tube method ) hanya dapat mendeteksi sampai 150 - 200
molekul Ig G / sel, sedangkan dengan metode terbaru sedikitnya 8 Ig G molekul/sel akan
menimbulkan aglutinasi sebanyak 5 %. Ada 3 kemungklnan pola reaksi pada DAT yaitu :45
.
Tabel 5 Kemungkinan Pola Reaksi pada DAT4
Pola reaksi Tlpe kelalnan Imunltas
Hanya Ig G AHA Warm- Antibody, drug-immune hemolytic anemia, Hapten or
drug adsorption mechanism
Hanya komplemen AHA Warm- Antibody dengan deposit IgG yang sedikit (subthreshold ) ,
penyakit cold agglutinins, paroxysmal nocturnal hemoglobinuria
( PNH )drug-immune hemolytic anemia : tipe ternary complex
Ig G dan komplemen AHA Warm- Antibody, drug-immune hemolytic anemia : tipe
autoantibodi.
DIAGNOSIS BANDING
Penyakit autoimun lain seperti sferositosis herediter (hereditary spherocytosis /
HS], Zieve syndrome, sepsis karena klostridium, anemia hemolitik yang mengawali
penyakit Wilson. 4
TATALAKSANA
Jika pasien mengalami hemolisis minimal, hematokrit stabil, dengan DAT positif
umumnya tidak membutuhkan terapi dan hanya diobservasi jika terjadi kelainan klinis.
Transfusi PRC ( packed red cell ) dapat diberikan terutama jika ada penyakit komorbid
seperti penyakit arteri koroner simptomatik atau anemia berat dengan kegagalan
sirkulasi seperti pada paroxysmal cold hemoglobinuria.4
466
|
: ff
Anemia Hemolitik |
o Alternate - day therapy schedule : hanya dapat diberikan setelah remisi stabil
pada dosis prednison 15 - 20 mg / hari , untuk mengurangi efek samping
glukokortikoid . Terapi diberikan sampai DAT negatif.
o Metilprednisolon 100- 200 mg IV (dosis terbagi ) dalam 24 jam pertama, atau
prednison dosis tinggi selama 10-14 hari jika keadaannya berat
o Jika terapi dihentikan, masih dapat terjadi remisi, sehingga harus dilakukan
pemantauan minimal beberapa tahun setelah terapi . Jika remisi makan
diperlukan terapi glukokortikoid ulang, splenektomi , atau imunosupresan .
• Rituximab
o Antibodi monoklonal terhadap antigen CD 20 yangada pada limfosit B, sehingga
dapat mengeliminasi limfosit B pada kasus AHA
o Dosis: 375 mg/ m2 / minggu selama 2 - 4 minggu
• Obat imunosupresan
o cyclophosphamide, 6 - mercaptopurine, azathioprine, and 6 - thioguanine : dapat
mensupresi sintesis autoantibodi .
o cyclophosphamide 50 mg/ kg berat badan idel /hari selama 4 hari berturut-
turut.
o Jika pasien tidak dapat mentoleransi dapat diberikan cyclophosphamide 60
mg/m 2 azathioprine 80 mg / mzsetiap hari.
o Jika pasien dapat mentoleransi : terapi dilanjutkan sampai 6 bulan untuk
melihat respon. Jika berespon, dosis dapat diturunkan . Jika tidak ada respon,
dapat digunakan obat alternatif lain,
o Indikasi : jika tidak respon terhadap terapi glukokortikoid
o Selama terapi : monitor DPL, retikulosit
o Efek samping: meningkatkan risiko keganasan, sistitis hemoragik berat.
• Splenektomi :
o Indikasi : pasien yang mendapatkan prednison berkepanjangan > 15 mg / hari
untuk menjaga konsentrasi haemoglobin
o 2 minggu sebelum operasi , diberikan vaksinasi H . influenzae type b,
pneumococcal, dan meningococcal
• Tatalaksana lain :
o Asam folat 1 mg /hari : untuk memenuhi kebutuhan produksi sel darah merah
yang meningkat.
o Plasmaferesis : masih kontroversial
o Thymectomy : pada anak yang refrakter terhadap glukokortikoid dan splenektomi
467
S EHM3&K5H! Hematologi Onkologi Medik
o Danazol: golongan androgen, dikombinasi dengan prednison dapat menurunkan
kebutuhan splenektomi , memperpendek durasi prednison
o Globulin IV dosis tinggi
o Purine analogue 2- chlorodeoxyadenosine (cladribine )
KOMPLIKASI
Emboli paru, infeksi, kolaps kardiovaskular, tromboemboli, gagal ginjal akut3
PROGNOSIS
Pasien dengan AHA warm antibodyidiopatik dapat relaps dan remisi . Tidak
ada faktor yang dapat memprediksi prognosisnya. Umumnya berespon terhadap
glukokortikoid dan splenektomi . Angka kematian mencapai 46% pada beberapa
kasus . Angka harapan hidup dalam 10 tahun sebesar 73%. Sedangkan prognosis
AHA warm antibody sekunder tergantung penyakit penyebabnya . Pada kasus AHA
cold antibody idiopatik, perjalanan penyakit umumnya benign dan bertahan untuk
beberapa tahun. Kematian karena infeksi, anemia berat, atau proses limfoproliferatif
yang mendasarinya . Jika disebabkan karena infeksi, AHA cold antibody akan sembuh
sendiri dalam beberapa minggu. Pada kasus hemoglobinuria masif dapat terjadi gagal
ginjal akut yang membutuhkan hemodialisis.4
UNIT YANGMENANGANI
• RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Hematologi -
Onkologi Medik
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam
468
Anemia Hemolitik
REFERENSI
1. Dhaliwal G. Hemolytic Anemia. American Family Physician, June 1, 2004 / VOL. 69, No. 11. Diunduh
dari http:// www.aafp.org / afp/ 2004/0601 /p2599.html pada tanggal 23 Mei 2012.
2. Parjono E, Hariadi K. Anemia Hemolitik Autoimun. .Dalam: Suyono, S. Waspadji, S. Lesmana, L.
Alwi, I. Setiati, S. Sundaru, H. dkk. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi V. Jakarta: Interna
Publishing; 2010. Hal.l 152-1156
3. Luzzato L. Hemolytic Anemias and Anemia Due to Acute Blood Loss. In: Longo Fauci Kasper,
, .
Harrison' s Principles of Internal Medicine 18 h edition.United States of America.Mcgraw Hill 2012
4. Packman C. Hemolytic Anemia Resulting from Immune Injury . In : Lichtman M, Beutler E, Kipps
. , .
T, editors Williams Hematology 7 h ed. Me Graw Hill Chapter 52
5. . .
Neff A Autoimmune Hemolytic Anemia In: Geer J, Foerster J, Luken J. Wintrobe ' s Clinical
.
Hematology 11 lh ed. Lippincott Williams &wilkins Chapter 35.
6. Lechner K, Jager U. How I treat autoimmune hemolytic anemias in adults. The American
Society of Hematology .BLOOD, 16 September 2010 Vol 116, No 11. Diunduh dari bloodjournal.
hematologylibrary.org pada tanggal 23 Mei 2012.
469
470
PENGERTIAN
Anemia adalah suatu keadaan berkurangnya sel darah merah dalam tubuh. Anemia
penyakit kronik adalah anemia yang terjadi pada yang ditemukan pada kondisi penyakit
kronik seperti infeksi kronik, inflamasi kronik, atau beberapa keganasan. Pada penyakit
inflamasi, sitokin dihasilkan oleh leukosit yang aktif dan sel lain yang ikut berperan
menurunkan kadar hemoglobin ( Hb). Ada beberapa mekanisme terjadinya anemia
pada anemia penyakit kronik :u
• Anemia yang terjadi disebabkan karena sitokin inflamasi yaitu interleukin - 6
( IL - 6) menghambat produksi sel darah merah . 1L -6 meningkatkan produksi
hormon hepcidin yang diproduksi oleh sel hepatosit berperan dalam regulator zat
.
besi Hormon hepcidin akan menghambat pelepasan zat besi dari makrofag dan
hepastosit, sehingga jumlah zat besi untuk pembentukan sel darah merah terbatas ,
• Inhibisi pelepasan eritropoietin dari ginjal oleh IL-1 dan TNF a ( tumour necrosis factor)
• Inhibisi langsung proliferasi progenitor eritroid oleh TNF a dan INF y ( interferon y),
dan IL 1
• Peningkatan eritrofagositosis makrofag RES (reticuloendothelial system ) oleh TNF a
Keadaan yang berkaitan dengan anemia penyakit kronik yaitu i 1
PanduanPraktikKIinis
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
Anemia Penyakit Kronik |
||
• Sekresi hormon eritropoietin yang tidak adekuat dan resistensi terhadap hormon
tersebut
• Eritropoiesis yang terbatas karena menurunnya jumlah zat besi
• Absorpsi zat besi dari saluran cerna yang terhambat
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Diagnosis cukup sulit terutama jika bersamaan dengan defisiensi zat besi. Penyebab
anemia lain harus disingkirkan sebelum mendiagnosis, seperti perdarahan, malnutrisi,
defisiensi asam folat, defisiensi vitamin B12, dan hemolisis.2
Anamnesis
Keluhan - keluhan yang didapatkan berupa rasa lemah dan lelah, sakit kepala,
nafas pendek3
Pemeriksaan Fisik
Pucat, tampak anemis, dapat ditemukan kelainan - kelainan sesuai penyakit
penyebabnya.4
Pemeriksaan Penunjang2 5
• Hemoglobin (Hb): menurun ( kadar : 8-9 g/ dl)
• Hitung retikulosit absolut : normal atau meningkat sedikit
3
• Feritin serum: normal atau meningkat. Merupakan penanda simpanan zat besi,
kadar 15 ng / ml mengindikasikan tidak adanya cadangan zat besi
• Besi dalam serum: menurun (hipoferemia). Half -life : 90 menit
-
• Transferin serum: menurun. Half life / 8-12 hari, sehingga penurunan transferin
serum lebih lama terjadi daripada penurunan kadar besi serum.
• Saturasi transferin
• Reseptor transferin terlarut ( soluble transferrin receptor ) : menurun
• Rasio reseptor transferin terlarut dengan log feritin
• Kadar sitokin
• Eritropoietin
• Hapusan darah tepi: normositik normokrom, dapat hipokrom mikrositik ringan
• Aspirasi dan biopsi sumsum tulang : jarang dilakukan untuk mendiagnosis anemia
penyakit kronik, tetapi dapat dilakukan sebagai gold standard untuk membedakan
dengan anemia defisiensi besi. Morfologi sumsum tulang dan pewarnaan zat besi
normal, kecuali dikarenakan penyakit penyebabnya. Hal yang penting diperhatikan
47 }
# SaSSjESSfJH! Hematologi Onkologi Medik
adanya simpanan zat besi dalam sitoplasma makrofag atau berfungsi di dalam nucleus.
Pada individu normal, dengan pewarnaan Prussian blue partikel dapat ditemukan di
dalam atau di sekitar makrofag, sepertiga mukleus mengandung1-4 badan inklusi halus
bewarna biru [sideroblas], Pada anemia penyakit kronik, partikel besi di sideroblas
bekurang atau tidak ada, tetapi di makrofag meningkat. Peningkatan simpanan zat
besi di makrofag berhubungan dengan menurunnya kadar besi di sirkulasi 4 .
Perbedaan anemia penyakit kronik dengan anemia defisiensi besi dari hasil
pemeriksaan labroratorium :
Tabel 2. Perbedaan Anemia dari Hasil Pemeriksaan Penunjang54
Parameter Anema penyakit kronik Anemia defisiensi besi
-
Campuran keduanya
Serum besi 4 atau normal l
Transferin i atau normal t 4>
Saturasi transferin •latau normal l i
Feritin Normal atau t l l atau normal
TFR normal t Normal atau t
TFR /log feritin Rendah ( < 1 ) Tinggi (>4) Meningkat ( <2)
Sitokin Meningkat Normal t
DIAGNOSIS BANDING1
• Supresi sumsum tulang karena obat: besi serum meningkat, hitung retikulosit rendah
• Hemolisis karena obat: hitung retikulosit, haptoglobin, bilirubin, dan laktat
dehidrogenase meningkat
• Kehilangan darah kronik: serum besi menurun, feritin serum menurun, transferin
meningkat
• Gangguan ginjal
• Gangguan endokrin: hipotiroid, hipertiroid, diabetes mellitus
• -
Metastasis sumsum tulang: poikilosit, normoblas, teardrop shaped red cells, sel
mieloid imatur
• Thalasemia minor
TATALAKSANA1 7
• Mengenali dan mengatasi penyakit penyebabnya
• Terapi besi: kegunaannya masih dalam perdebatan
• Kontraindikasi jika feritin normal ( >100 ng/ ml ) 4
• Agen Erythropoietic :
o Indikasi: anemia pada kanker yang akan menjalani kemoterapi, gagal ginjal
kronik, infeksi HIV yang akan menjalani terapi mielosupresif.
472
Anemia Penyakit Kronik
KOMPLIKASI
Gagal jantung, kematian3
PROGNOSIS
Keluhan anemia akan berkurang jika mengobati penyakit penyebabnya . Pada
suatu penelitian dinyatakan bahwa anemia berhubungan dengan gagal ginjal, gagal
jantung kongestif, dan kanker. Derajat anemia berhubungan dengan tingkat keparahan
penyakit, prognosis buruk pada pasien dengan penyakit keganasan, gagal ginjal kronik,
dan gagal jantung kongestif. Kematian yang terjadi tidak dikarenakan anemia secara
langsung. Belum terbukti bahwa perbaikan anemia saja akan meningkatkan prognosis
penyakit penyebabnya seperti kanker atau penyakit inflamasi.
2,3
473
Panduan PraMU Kllnis Hematologi Onkologi Medik
REFERENSI
1. Ggns T, Anemia of Chronic Disease. In :Uchtm<an M, BeutlerE, Kipps T, editors. Williams Hematology
.
7lh ed Me Grow Hill. Chapter 43
2 . Zarychanski R . Clinical paradigms Anemia of chronic disease: A harmful disorder or an adaptive.
.
CMAJ, 2008 August 12; 179(4): 333-337. Diunduh dari http://www ncbi.nlm.nih.gov /pmc/articles/
PMC2492976/ pada tanggal 19 Mei 2012,
3 . Gardner l.B, Benz Jr EJ. Anemia of chronic diseases. In: Hoffman R, Benz EJ, Shattil SS, et al„
.
eds. Hematology: Basic Principles and Practice 5th ed, Philadelphia, Pat- Elsevier Churchill
Livingstone; 2008:chapi37:
4. ..
Supandiman I, padjartiiiSukrisman L. Anemia Pada Penyakit Kronis. Dalam: Suyono S Waspadji,
S. Lesmana, L. Alwi, I. Setiati, S. Sundaru, H. dkk, Buku Ajgr llmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi V.
Jakarta: Interna Publishing; 2010. Hal.1138- 1140
5 . W6iss G, Goodnough LT, Anemia of chronic disease. N Engl J Med. 2005; 352: 1011-1023.
6 . . .
Silver B, Anemia, Diunduh dari https:/ / www clevelandclinicmeded com /medicalpubs /
diseasemanagement /hematology-oncology/anemia / #top pada tanggal 19 Mei 2012.
.
7 Adamson J. Iron Deficiency and Other Hypoproliferative Anemias. In :Longo DL, Kasper DL,
Jameson DL, Fduci AS, Hauser SL, Loscalzo J, editors. Hantsoh' s Principals of Internal Medicine
18lh ed. Me Graw Hill. Chapter 98
474
475
PENDAHULUAN
Agen kemoterapi diklasifikasikan menjadi beberapa kelompok. Kelompok agen
kemoterapi yang sering digunakan dapat dilihat pada tabel 1.
Alkylators
Siklofosfamid 400-2000 mg /m2 IV Sumsum tulang, Metabolisme di hati .
100 mg/m2 PO qd kardiotoksik ( dosis tinggi)
Mekloretamin 6 mg/m2 IV hari 1 dan Sumsum tulang, nausea Digunakan pada
hari 8 cutaneus lymphoma
secara topikal
Klorambusil 1-3 mg /m2 qd PO Sumsum tulang
Mefalan 8 mg/m2 qd x 5, PO Sumsum tulang, Fungsi clearance
pencernaan |dosis ginjal menurun
tinggi)
Karmustin ( BCNU) 200 mg /m2 IV 150 Sumsum tulang,
mg/m2 PO pencernaan, hepar,
ginjal
Lomastin ( CCNU) 100-300 mg/m2 PO Sumsum tulang
Ifosfamid 1.2 g/m2 per hari qd x Mielosupresif, kandung Isomeric analogue of
5 + mesna kemih, neurologik, cyclophosphamide ,
asidosis metabolik, lebih larut lemak,
neuropati harus menggunakan
mesna
Prokarbazin 100 mg /m2 per hari Sumsum tulang, nausea,
qd x 14 neurologik
Dakarbazin ( DTIC ) 375 mg /m2 IV hari 1 Sumsum tulang Aktivasi metabolit
dan hari 15 Nausea
Flulike
Temozolomid 150-200 mg/m2 qd x 5 Nausea, muntah, Mielosupresi ( jarang)
q28d atau 75 mg/m2 sakit kepala, fatique ,
qd x 6-7 minggu konstipasi
Altretamin ( formerly 260 mg / m2 /hari qd x Nausea, neurologik Aktivasi hati, menin-
hexamethylmelamine ) 14-21 dibagi 4 dosis ( mood swing ) , gkatkan barbiturate
oral neuropati, sumsum / menghilangkan
tulang ( sedikit ) cimetidine.
PanduanPraktik Minis
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyaki! Dalam Indonesia
fP SSSSJ5SS5H! Hematologi Onkologi Medik
Obat Dosis umum Interaksl, hal yang
Tokslsltas
harus dlperhatlkan
Cisplatin 20 mg/m2 qd x 5 IV 1 Nausea, neuropati, Jaga high urine flow ;
q3-4 minggu atau100- pendengaran, trombosit osmotic diuresis ,
200 mg/m2 per dosis IV sumsum tulang> darah monitor intake / output
q3-4 minggu tepi, Renal Mg2+, Ca2* K+, Mg2*
Profilaksis antiemetik
Carboplatin 365 mg/ m2 IV q3-4 Trombosit sumsum Reduce dose
minggu, disesuaikan tulang > darah tepi, according to CrCI: to
dengan kreatinin nausea, ginjal ( dosis AUC of 5-7 mg/mL
klirens tinggi) per min [ AUC = dose /
( CrCI + 25) ]
Oxaliplatin 130 mg/m2 q3 minggu Nausea, Anemia Acute reversible
selama 2 jam atau 85 neurotoxicity , chronic
mg/m2 q2 minggu sensory neurotoxicity
cumulative with
dose; reversible
laryngopharyngeal
spasm
Antitumor Antibiotics dan Topoisomerase Poisons
Bleomisin 15-25 mg/ d qd x 5 Paru-paru, efek pada Inaktif oleh bleomycin
IV bolus atau kontinu kulit, Raynaud ’ s, hydrolase (menurun
continuous IV hipersensitifitas pada paru/kulit),
meningkatkan
toksisitas 02 pada
paru.
Aktinomisin D -
10 15 mg/kg per hari Sumsum tulang, nausea, Radiation kembali
qd x 5 IV bolus mucositis, bengkak,
alopesia
Etoposid ( VP16-213 ) 100-150 mg/m2 IV qd Susmsum tulang Metabolisme hati,
-
x 3 5 hari atau 50 mg/ ( trombosit darah 30% ginjal, kurangi
m2 PO qd x 21 hari tepi>sumsum tulang), dosis bila pasien
atau sampai 1500 mg/ alopesia, hipotensi, disertai gagal ginjal,
m2 per dosis. hipersensitivitas ( IV Schedule-dependent
cepat ), nausea, ( 5 hari lebih baik
mucositis ( dosis tinggi) dari 1 hari) , Late
leukemogenic
Accentuate
antimetabolite action
Topotekan 20 mg/m2 IV q3-4 Sumsum tulang, Kurangi dosis bila ada
minggu selama 30 mucositis, nausea, gagal ginjal, tidak
menit atau 1.5-3 alopesia ringan hepatotoksik
mg/m2 q3-4 minggu
selama 24 jam atau
0.5 mg/m2 per hari
selama 21 hari
Irinotekan ( CPT II) 100-150 mg/m2 IV Diare : gejala awal Diare karena ekskresi
selama 90 menit q3-4 dengan kram, muntah, bilier, gunakan
minggu atau 30 mg/ gejala lambat setelah loperamide ( 2 mg
m2 per hari selama 120 beberapa dosis q2- 4 jam)
jam : sumsum tulang,
alopesia, nausea,
muntah, paru
476
Dasar-Dasar Kemoterapi
477
/A PanduanPraktlk Minis Hematologi Onkologi Medik
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
^ '
478
Dasar-Dasar Kemoterapi
479
PaRdumPnkUkKHnis Hematologi Onkologi Medik
480
Dasar-Dasar Kemoterapi
Mielosupresi2
Manifestasi klinik
. -
Febril neutropenia Neutropenia maksimal muncul 6 14 hari setelah pemberian
kemoterapi.
Tatalaksana
1. Rontgen toraks
2. Kultur darah, urin, sputum
3. Resistensi obat
.
4 Antibiotika empiris sambil menunggu kultur : seftazidim , vankomisin atau
metronidazol / imipenem jika curiga kuman anaerob dari abdomen atau tempat lain.
5. Antibiotika sesuai kuman penyebab
Diare2
• Diare terkait kemoterapi dapat timbul segera atau delayed (48- 72 jam setelah
pemberian obat).Tatalaksana :
• Hidrasi
• Jaga keseimbangan elektrolit
• Dosis loperamid tinggi, dosis awal 4 mg, lanjutkan 2 mg setiap 2 jam sampai 12
jam bebas diare. Maksimal dosis 16 mg / hari.
481
W fSSSSSSSSS. Hematologi Onkologi Medik
• Untuk yang tidak respon terhadap loperamid : Oktreotid ( 100 - 150 mg},
somatostatin analog, atau opiate - based preparations
Mukositis2
• Terapi anestesi topikal dan barrier- creating preparations
• Mukosistis berat : palifermin atau keratinocyte growth factor
Alopesia2
• Mulai muncul sekitar awal minggu kedua atau ketiga setelah siklus pertama
• Chemo caps mengurangi temperatur kulit kepala sehingga mengurangi derajat
alopesia
• Kosmetik
• Dukungan psikologis
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Unit Perawatan Khusus Imunosupresi
• RS non pendidikan : Unit Perawatan Khusus Imunosupresi
REFERENSI
1. Salmon, S. E. and Sartorelli, A. C. Cancer Chemotherapy, in Basic and Clinical Pharmacology,
( Katzung, B. G„ ed) Appleton-Lange, 1998, p. 881-911.
2. Principle of cancer treatment. Dalam : Fauci A, Kasper D, Longo D, Braunwald E, Hauser S,
Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison' s principles of internal medicine. 18lh ed. United States of
America; The McGraw-Hill Companies, 2011.
482
483
DIATESIS HEMORAGIK
PENGERTIAN
Diathesis adalah suatu tampilan fisik atau kondisi tubuh yang menyebabkan
jaringan tubuh bereaksi secara khusus terhadap stimulus ekstrinsik tertentu yang
akan membuat seseorang Iebih mudah terkena penyakit tertentu. Diatesis hemoragik
( hemorrhagic diathesis/ bleeding diathesis/ bleeding tendency ) merupakan suatu
predisposisi hemostasis abnormal atau kecenderungan perdarahan ( bleeding
tendency).1 Proses patofisiologis ini terbagi menjadi 3 kategori yaitu kelainan fungsi
atau jumlah trombosit, gangguan faktor koagulasi, dan kombinasi dari keduanya.2
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis2 4
• Riwayat perdarahan spontan di masa lalu, perdarahan di berbagai tempat (multiple
sites), perdarahan terisolasi (mis hematuria, hematemesis, hemoptisis)
• Riwayat perdarahan masif pasca operasi atau trauma (immediate atau delayed ] ,
termasuk sirkumsisi, tonsilektomi, melahirkan, menstruasi, pencabutan gigi,
vaksinasi, dan injeksi
• Riwayat penyakit komorbid ( gagal ginjal, infeksi HIV, penyakit mieloproliferatif,
penyakit jaringan ikat, limfoma, penyakit hati)
• Riwayat transfusi
• Riwayat kebiasaan makan, malabsorpsi, dan antibiotik -> predisposisi defisiensi
vitamin K
• -
Riwayat konsumsi obat seperti aspirin, nonsteroidal anti inflammatory drugs
( NSAIDs]
• Riwayat koagulopati dalam keluarga (hemofilia, dll]
Pemeriksaan Fisik2 5
• Identifikasi tanda perdarahan (perdarahan mukosa, petekia, purpura, ekimosis/common
bruises, perdarahan jaringan lunak, saluran cema, epistaksis, hemoptisis)
PanduanPraktik Minis
Perhimpunan Dokler Spesialls Penyakil Dalam Indonesia
w SSB5ES5HH! Hematologi Onkologi Medik
• Tanda infeksi
• Tanda penyakit autoimun
Pemeriksaan Penunjang2 5
• Laboratorium :
o Inisial : darah perifer lengkap, prothrombin time ( PT], activated partial
thromboplastin time (aPTT) dan morfologi darah tepi
o Skrining pre - operatif : bila riwayat perdarahan negatif -> darah perifer
lengkap, PT, aPTT, bleeding time ( BT )
o Lainnya (sesuai indikasi]: thrombin time ( TT], faktor koagulasi, fibrin
degradation products ( FDP ), agregasi trombosit, serologi virus ( Dengue,
CMV, Epstein Barr Virus, hepatitis C, HIV, rubella], serologi LES, elektroforesis
serum protein, imunoglobulin, fungsi hati, defisiensi IgA atau monoclonal
gammopathies (selektif ], tes Coomb
484
Diatesis btemoragik
i
Wang BT -»
terkoreksl
Ya
I Tidak Tidak Ya
* i t 1
'
T t
Perdarahan Tidak ada perdarahan Perdarahan Tidok ada perdarahan
l
Terkalt fojai
i
Tanpa provokasi .
• Deftsiensl fafctcx XII HK, Deflslensl faktor •
1
Deflslensl faktor VII
deflifensf fakior XI, atau PK VII derajat berat derajat rlngan
hemophilia A • Antikoagulan lupus • Konsumsi
alau B derojat • Adanya heparin antikoagulan oral
rlngan sampai
sedang
I PTt
X i aPHt
Trombosit (N)
aPTTt
Trombosit i
I
Minor : , Mayor :
vWD • Hemophilia A atau B
derajat berat
• vWD tlpe 3 (berat)
i 1
Perdarahan Tidak ada perdarahan Dengan/tanpa perdarahan
• Inhibitor faktor VIII
dldapat
• vWD dldapat
1
• Hlpoflbrinogenemta • KID
1
.
• DefKiensi faMor II V. X • Penyaklt hati
derafal rlngan • Antikoagulan lupus
Aflbri ogenemia
• Deflslensl faktor II, V, X derajat berat
• Komblnasi deflslensi faktor V dap VIII
• Komblnasi deflslensl faktor vltamin-K
dependent
• Inhibitor faktor II dan V dldapat
• Inhibitor faktor X didapat
(amlloldosls)
Keferangan:
HK = high molecular weigh! kininogen ;
PK - prekalikrein;
vWD = penyakit von Willebrand ;
KID = koagulasi intravaskular diseminafa
485
# ES
^ JSSPJHfil Hematologi Onkologi Medik
DIAGNOSIS BANDING
Sesuai etiologi
TATALAKSANA
486
Diatesis Hemoragik
Dosis (unit) = (target kadar faktor - baseline ) x berat badan [kg] x 1,2
Terapi antifibrinolisis pada hemofilia A ( asam traneksamat atau asam
e-aminocaproic/ EACA): bermanfaat perdarahan gusi dan menoragia . Dosis oral
asam traneksamat dewasa 4 x 1 g/ hari , EACA loading dose 4- 5 g dilanjutkan 1
g / jam ( continuous infusion ) pada dewasa atau 4 g tiap 4 - 6 jam per oral selama
2 - 8 hari tergantung dari derajat perdarahan . Terapi ini dikontraindikasikan
bila ada hematuria . 6
487
m ESSSJMJHfit Hematologi Onkologi Medik
Fibrin glue/ fibrin tissue adhesives dapat digunakan untuk terapi adjuvan untuk
faktor VIII.6
Faktor Vila rekombinan -> pada pasien hemofilia dengan titer inhibitor tinggi.
Dosis anjuran: 90 pg / kgtiap 2 jam sampai tercapai hemostasis
2. Gangguan inhibisi faktor koagulasi: autoantibodi faktor VIII 2
-
Tatalaksana etiologi bila diketahui. Apabila imbas obat > stop konsumsi maka
perdarahan akan berhenti dalam beberapa bulan. Sebagian besar (inhibitor
-
postpartum) sembuh dalam waktu 2 3 bulan pasca persalinan
-
- Pasien simptomatik > mengatasi perdarahan dan menurunkan titer antibodi
o Menurunkan titer antibodi : imunosupresan (steroid, cyclophosphamide,
azathioprine, desmopressin, (intravenous immunoglobulin ) / WIG , atau
plasmaferesis)
o Prednison 1 mg/ kg/ hari selama 3-6 minggu, atau
o Cyclophosphamide 2 mg / kg / hari selama 6 minggu, atau
-
o Pada pasien dengan kontraindikasi imunosupresan > IVIG 0,4 g/ kg / hari
selama 5 hari
3 . Kelainan hematologis terkait abnormalitas fungsi trombosit 7
- Kelainan mieloproliferatif kronis
o Polisitemia vera lihat pada bab Polisitemia Vera
o Trombositosis esensial -> lihat pada bab Trombositosis Esensial
o Leukemia mielogenus kronis -> lihat pada bab Leukemia
o Mielofibrosis dengan metaplasia mieloid
Terapi sebaiknya diberikan pada pasien simptomatis, usia > 60 tahun, individu
yang akan menjalani operasi, meliputi koreksi polisitemia, pemeliharaan massa
eritrosit, tatalaksana penyakit yang mendasari. Reduksi trombosit hingga
< 400 , 000 / uL dengan plateletferesis atau agen sitoreduktif .
Leukemia dan sindrom mielodisplasia -> lihat pada bab Leukemia
Disproteinemia : terapi sitoreduktif, plasmaferesis
Penyakit von Willebrand didapat: infus DDAVP, vWF-containing factor VIII
concentrates, IVIG dosis tinggi
4. Kelainan sistemik terkait dengan abnormalitas fungsi trombosit7
Uremia: agregasi trombosit abnormal, dan BT memanjang sering terjadi
pada pasien uremik, tapi bukan merupakan indikasi intervensi terapeutik.
Terapi: dialisis, transfusi trombosit, recombinant human Epo, DDAVP, estrogen
konjugasi, kriopresipitat
- Antibodi antitrombosit (ITP, LES, alloimunisasi trombosit, trombositopenia )
488
Diatesis Hemoragik
KOMPLIKASI
Perdarahan internal profunda, kerusakan sendi, infeksi
PROGNOSIS
Tergantung dari etiologi dan respon terapi
489
# Sfi&JBSBSK* Hematologi Onkologi Medik
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Unit Transfusi Darah
• RS non pendidikan : Unit Transfusi Darah
REFERENSI
1. ;Dorland's Illustrated Medical Dictionary
,. 23 rd
. .
Edit|Qn. :Philad.plph1a;- Saunders Elsevier 2007
2. . .
Baz R, Mekhail T Bleeding Disorders, |n : Carey W,; Abeison A,, Dweik R, et ql Current Clinical
Medicine. 2nd Edition. The Cleveland Clinic Foundation. Philadelphia : Elsevier, 2010.
3. Kaushansky K, Selighson U. Classification, Clinical Manifestations, and Evaluation of Disorders of
.
Hemostasis: Overview In : Lichtman M, Beutler E, Selighson U, et al. Williams Hematology. 7th
. .
Edition New York, McGraw-Hill 2007
4. McMillan R. Evaluation of the Patient With a Possible Bleeding Disorder. In: Goldman, Ausiello.
Cecil Medicine 23,d Edition Philadelphia Saunders, Elsevier 2008
. . . . .
5. .
Konkle B. Disorders of Platelets and Vessel Wall In : Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL,
. . .
Jameson JL, Loscalzo J Harrison ' s Principles of Internal Medicine 18lh Edition New York, McGraw-
Hill. 2012 .
6. .
Escobar M, Roberts HR, White IIGC. Hemophilia A and Hemophilia B In : Lidhtman M, Beutler E,
. . .
Sellghson U, et al Williams Hematology 7th Edition New York, McGraw-Hill 2007 .
7. Abrams CS, Bennett J$, Shattil SJ. AcquirediQualitatiye Platelets Disorders: Overview. In: Lichtman
M, Beutler E, Selighson U, et al. Williams Hematology. 7th Edition. New York, McGraw-Hill. 2007
490
491
HEMOGLOBINOPATI
PENGERTIAN
Hemoglobinopati adalah kelainan dari struktur, fungsi, atau produksi hemolobin
( Hb) yang diturunkan secara genetik ataupun didapat . Hemoglobin normal pada orang
dewasa ( HbA) terdiri dari tetramer polipeptida globin yang mempunyai subunit atau
rantai yaitu 2 a dan 2 (3.1 Rantai a berhubungan dengan kromosom 16, sedangkan
rantai p (non a) berhubungan dengan kromosom 11. Subunit tidak selalu P tetapi
dapat e (embrionik), 8 ( normal minor HbA 2] atau y (fetus) . Sel darah merah pada
orang dewasa mempunyai 3 tipe yaitu HbA (a 2 02) sebanyak 95 %, HbA 2 (a 2 82)
sebanyak 2.5 %, dan HbF (a 2 y 2) sebanyak 2.5 %. Perbedaan pada ketiga tipe rantai
menentukan afinitas oksigen, kelarutan, dan stabilitas. Segera setelah lahir, produksi
rantai p baru dimulai, sedangkan produksi rantai y mulai menurun. Abnormalitas
rantai p tidak bermanifestasi pada bulan pertama kehidupan. Mutasi pada Hb dan
sindroma yang berhubungan dapat dilihat pada tabel di bawah ini: 2
492
Hemoglobinopati
SINDROM TALASEMIA
PENGERTIAN
Kelainan biosintesis rantai a dan p globin yang bersifat diturunkan yaitu
menurunnya kecepatan produksi atau abnormalitas produksi satu atau lebih rantai
globin sehingga menyebabkan menurunnya produksi hemoglobin dan terjadi detruksi
berlebihan . Ada 2 tipe talasemia yaitu : 3 4
• Talasemia a: hilang atau berubahnya gen yang berhubungan dengan rantai globin a
o Paling banyak terjadi pada daerah Asia Tenggara, Timur Tengah, China, dan
keturunan Afrika
o Terbagi menjadi dua subtype yaitu mayor dan minor
• Talasemia p : hilang atau berubahnya gen yang berhubungan dengan rantai globin p
o Paling banyak terjadi pada Mediteranian
o Terbagi menjadi dua subtipe yaitu mayor (anemia Cooley ) dan minor
DIAGNOSIS
Tabel 3. Diagnosis Talasemia
Talasemia Anamnesis Pemerlksaan Flslk Pemeriksaan Penunjang
Talasemia • Anemia mun- • Tampak anemis • Hb 2-3 gram/ dl
Talasemia (3 b mayor / cul pada bulan
Cooley ' s pertama kehidu-
• Deformitas • Leukosit dan trombosit
skeletal meningkat ringan
anemia . pan, dan dapat
berkembang men- • Deformitas • Retikulosit meningkat
jadi progresif . maksila ( mon-
goloid face )
• HbA2 meningkat
• Gangguan makan • HbF meningkat
• Hepatospleno-
• Demam, diare, megali • SDT ( sediaan darah
keluhan pencer- tepi) : anisopoikilositosis,
naan • Pigmentasi kulit hipokromia, target sel,
basophilic stippling
• Perdarahan atau
infeksi • Rontgen kepala,
tangan, tulang
• Gangguan neu-
panjang: tampak
rologik
hair on end atau sun
ray" appearance dan
lacy trabeculation
pada tulang panjang
dan phalanx
• Sumsum tulang: hiper-
plasia eritroid dengan
abnormalitas morfologi
eritroblas seperti ba-
sophilic stippling dan
peningkatan deposit
besi
493
PanduanPraktik Minis Hematologi Onkologi Medik
Wljjlr' ^ ^
Perhlmpunan DoklerSpesialis Penyakil Dalam Indonesia
DIAGNOSIS BANDING
Anemia sideroblastik kongenitafy wenz'/e chronic myelogenous leukemia.
TATALAKSANA
• Transfusi darah:
Ditransfusi jika Hb terlalu rendah agar pertumbuhan normal
Jika ditransfusi terlalu dini maka talasemia intermedia dapat terlewatkan.
Transfusi dilakukan setiap 4 minggu pada pasien rawat jalan.
494
Hemoglobinopati
DPLdanSDT
.
Hb MCV,MCH, retikulosit, inklusi sel darah
merah pada darah dan sumsum tulang
i
Distribusi Sintesis Analisis struktural dan
intraselular HbF rantai globin variasi Hb,
misalnya Hb Lepore
Penatalaksanaan umum
Mengatasi keluhan infeksi, penyakit tulang, atau gagal jantung.
- Jika ada defisiensi folat: diberikan suplementasi asam folat. Suplementasi tidak
diberikan jika sudah menjalani transfusi darah rutin .
Mengatasi gangguan akibat deformitas tulang tengkorak khususnya pada teliga,
hidung, dan tenggorokan, seperti infeksi sinus kronik dan penyakit telinga
tengah.
• Iron Chelation
- Anak- anak yang mendapat transfusi dapat menyebabkan kelebihan besi
sehingga harus menjalani program chelation pada usia 2 -3 tahun kehidupan.
Deferoxamine diberikan selama 8-12 jam melalui syringe pump, diinfuskan ke
dalam jaringan subkutan pada dinding anterior abdomen.
Diberikan jika kadar feritin serum mencapai 1000 gram / dl, atau setelah
transfusi ke 12 -15.
Dosis inisial 20 mg/ kg selama 5 malam dalam seminggu, bersamaan dengan
vitamin C 200 mg per oral, atau setelah deferoxamine diberikan. Jika diberikan
sebelum pemberian deferoxamine dapat mencetuskan miokardiopati.
Jika kelebihan besi beratterutama pada pasien dengan komplikasi kardiak dan
endokrin, infus deferoxamine dapat diberikan sampai 50 mg/ kg berat badan
Feritin serum dijaga < 1500 gram / liter
495
m fSSSSSSSSSL Hematologi Onkologi Medik
Komplikasi: eritema lokal, nodul subkutan yang nyeri pada lokasi suntikan,
reaksi alergi, toksisitas neurosensori (30% kasus ), penurunan pendengaran
sampai kehilangan pendengaran permanen, gangguan penglihatan, buta warna,
perubahan densitas tulang, retardasi mental, nyeri tulang.
Terapi jika muncul komplikasi: hidrokortison 5-10 mg secara infusan.
• Transplantasi sumsum tulang
Sebelum dilakukan transplantasi, sebaiknya dilakukan chelation secara adekuat
sampai transplantasi akan dilakukan
• Terapi spesifik talasemia
Penyakit HbH : tidak ada terapi spesifik, splenektomi mungkin dapat berguna
pada kasus anemia berat dan adanya splenomegali. Obat oksidan sebaiknya
tidak diberikan pada penyakit HbH,
Talasemia intermedia: observasi ketat pasien selama tahun pertama kehidupan.
Jika tanpa keluhan dan tidak ada deformitas pasien tidak perlu ditransfusi.
Jika selama observasi ditemui adanya gangguan pertumbuhan ( retardasi atau
keterbatasan dalam akivitas karena anemia) harus ditransfusi rutin. Splenektomi
dapat dilakukan sesuai indikasi
KOMPLIKASI5 4
Gagal jantung, gangguan hati, infeksi
PROGNOSIS
Talasemia berat dapat menyebabkan kematian karena gagal jantung terutama
pada usia 20 dan 30. Terapi dengan transfusi darah dan chelation secara adekuat
mempunyai prognosis yang baik dan meningkatkan kualitas hidup. Pencegahan
dengan skrining dan konseling dignostik pada pasangan yang mempunyai riwayat
talasemia dalam keluarga. Diagnosis antenatal dilakukan berdasarkan pemeriksaan
DNA pada amplifikasi PCR DNA fetus yang didapatkan dari amniosentesis atau biopsi
vili korionik.1'56
496
Hemoglobinopati
REFERENSI
1. Benz E. Disorders of Hemoglobin. ln:Longo DL, Kasper DL, Jameson DL, Fauci AS, Hauser SL,
Loscalzo J, editors. Harrison' s Principals of Internal Medicine 18lh ed. Me Graw Hill. Chapter 104
2. Wilson M, Forsyth P. Haemoglobinopathy and sickle cell disease. Continuing Education in
Anaesthesia, Critical Care & Pain.2012. Diunduh dari http://ceaccp.oxfordjournals.org/ pada
tanggal 26 Mei 2012.
3. Shivashankara A.R, Jailkhani R, Kini A. Hemoglobinopathies In Dharwad. Journal of Clinical and
Diagnostic Research 2008 February; 2:593-599. Diunduh dari http:/ /www.jcdr.net /back_issues.
asp ? issn=0973-709x &year=2008&month= February & volume=28<issue=l &page=5 &id= 156 pada
tanggal 26 Mei 2012.
4. Weatherall S.Disorders of Globin Synthesis: The Thalassemias. In: Lichtman M, Beutler E, Kipps T,
.
editors Williams Hematology 7th ed. Me Graw Hill. Chapter 46.
5. Giardina PJ, Forget BG. Thalassemia syndromes. In: Hoffman R, Benz EJ, Shattil SS , et al.,
eds. Hematology: Basic Principles and Practice. 5th ed. Philadelphia, Pa: Elsevier Churchill
Livingstone; 2008:chap 41.
6. DeBaun MR, Vichinsky E. Hemoglobinopathies. In: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton
.
BF, eds Nelson Textbook of Pediatrics. 18th ed. Philadelphia, Pa: Saunders Elsevier; 2007:chap 462.
497
498
TROMBOSITOPENIA IMUN
PENGERTIAN
Immune Thrombocytopenia, atau yang sebelumnya dikenal dengan Idiopathic
Thrombocytopenic Purpura yang kemudian menjadi Immune Thrombocytopenic Purpura
( ITP), merupakan suatu kelainan autoimun dimana terjadi destruksi imunologis
trombosit yang seringkali menjadi respon dari stimulus yang tidak diketahui. ITP
dapat terisolasi ( primer] atau berkaitan dengan kelainan lainnya (sekunder]. Etiologi
sekunder ITP meliputi penyakit autoimun (terutama sindrom antibodi antifosfolipid],
infeksi virus (hepatitis C dan human immunodeficiency virus / HW ), dan beberapa
macam obat (tabel l ).1 ITP primer didefinisikan sebagai hitung trombosit < 100 x 109/ L
dan tidak ditemukan kelainan lain yang dapat menjadi penyebab trombositopenia.2
Tabel 1 . Etiologi Sekunder UP 1
• Sindrom antifosfolipid
• Trombositopenia autoimun (Evans syndrome )
• Variasi umum imunodefisiensi
• Efek samping pemberian obat
• Infeksi sitomegalovirus ( CMV), Helicobacter pylori , hepatitis C, HIV, varicella zoster
• Kelainan limfoproliferatif
• Efek samping transplantasi sumsum tulang
• Efek samping vaksinasi
• Lupus eritematosus sistemik (LES)
PanduanPrakdk Minis
Perhimpunan Dokter Spesiais Penyakil Dalam Indonesia
Trombositopenia Imun
Tabel 2. Kriteria Diagnosis ITP Kronis Menurut American Society of Hematology : DiagnosisEksklusi4
• Anamnesis sesuai dengan diagnosis ITP kronis
• Pemeriksaan fisik normal kecuali adanya tanda trombositopenia (petekia, purpura, atau
perdarahan mukosa) ; tanpa adenopati atau splenomegali
• Hitung darah lengkap : trombositopenia terisolasi dengan trombosit besar tanpa anemia,
kecuali adanya perdarahan atau hemolisis imun
• Pemeriksaan sumsum tulang menunjukkan nilai normal atau peningkatan megakariosit ( tidak
diperlukan dalam diagnosis kecuali manifestasi tidak biasa atau usia > 60 tahun)
• Pada klinis dan laboratorium tidak ditemukan penyebab lain dari trombositopenia
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
• Gejala perdarahan terisolasi yang konsisten dengan trombositopenia tanpa gejala
konstitusional ( penurunan berat badan signifikan, keringat malam, nyeri tulang)1
• Pada kasus akut, perlu ditanyakan riwayat infeksi yang mengawali seperti rubeola,
rubella, atau infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) 5
• Pada kasus kronis, perlu ditanyakan riwayat epistaksis berulang, menometrorrhagia,
infeksi hepatitis C, HIV, penyakit autoimun (LES)3'4
Pemeriksaan Fisik
• Perdarahan mukokutaneus (petekia, purpura, ekimosis) pada mukosa oral (gum
bleeding ), saluran cerna 34
• Tanda infeksi 3
• Tanda penyakit autoimun 3
• Jarang ditemukan hepatosplenomegali, limfadenopati, tidak ditemukan jaundice
atau stigmata kelainan kongenital1
Pemeriksaan Penunjang3
• Laboratorium : darah perifer lengkap, morfologi darah tepi, serologi virus (Dengue,
CMV, Epstein Barr Virus, hepatitis C, HIV, rubella), serologi LES, elektroforesis serum
protein, imunoglobulin, fungsi hati, defisiensi IgA atau monoclonal gammopathies
(selektif ), tes Coomb.
• Pungsi sumsum tulang, dengan indikasi 6(tidak rutin dikerjakan)
• Usia > 60 tahun dengan manifestasi atipik (lelah, demam, nyeri sendi, makrositosis,
neutropenia
• Sebelum splenektomi pada pasien dengan diagnosis non - definitif
DIAGNOSIS BANDING
ITP - / / ke syndrome pada penderita HIV atau hepatitis C, ITP sekunder imbas obat,
hipogamaglobulinemia.4
499
(* A
' \ ? wy
PanduanPraktikKIinis Hematologi Onkologi Medik
^
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
TATALAKSANA
Prinsip tata laksana ITP ditentukan berdasarkan beratnya trombositopenia
dan terjadinya perdarahan . Tujuan tata laksana awal adalah mencapai keadaan
hemostatik, dengan jumlah hitung, trombosit > 30.000xl 09 / L. Gambar 1 di bawah
ini memperlihatkan tata laksana ITP sebelum dilakukan splenektomi. Splenektomi
direkomendasikan pada kasus dimana memerlukan lebih dari 12 bulan untuk
mecapai hitung trombosit yang hemostatik dan kondisi tidak toleran terhadap terapi
sebelumnya
Terapi diindikasikan pada semua pasien dengan keluhan perdarahan dan jumlah
hitung trombosit kurang dari 20.000 x 109/ L karena pada kondisi ini kurang dari
10 % yang dapat mencapai remisi spontan. Pada kondisi dimana hitung trombosit
> 50.000 x 109/ L biasanya cukup dilakukan observasi saja meskipun beberapa kasus
memerlukan tata laksana lebih lanjut. Secara umum, pada kondisi hitung trombosit
antara 20.000-50.000 x 109/ L, tidak diperlukan tata laksana segera pada kondisi tanpa
perdarahan maupun tidaka didapatinya penyakit komorbid lain seperti : hipertensi
tidak terkontrol, ulkus peptik aktif, operasi maupun trauma kepala.
Emergency’
Prednisone ( 1 mg / day po )
Platelet count: >20- 30,000 xlO’/L ± IV anti D ( 50-70 pg/kg)
-
± IVIG ( 1 g/kg/ day x 2 3 as needed
No treatment or
in the absence of special Dexamethasone ( 40 mg / day po x 4
circumstances days /month)
3
l 1
Stable platelet count:
ITP with persistent platelet count:
<20- 30,000 x1071 >30 - 50,000 x 1071
r
‘Platelet count: ‘Stable platelet count:
<20,000 xl 07L -
>30 50,000 X107L
500
Trombositopenia Imun ffijp
ITP KRONIK
Tigapuluh sampai dengan empat puluh persen pasien tetap memiliki hitung
trombosit kuang dari 50.000 x 109 / L meskipun telah dilakukan splenektomi , hal ini
diakibatkan tidak respon maupun kekambuhan . Pada kondisi seperti ini , tujuan dari
pengobatan lebih ke arah mencapai kondisi trombosit hemostatik dengan efek samping
minimal , dibandingkan mencapai kesembuhan.
’
Platelet count : <20-30,000 xlO / L
Firs-llne Therapy2
Second-line
IV anti-CD20 Therapy Third-line Therapy
or
Danazol + either Azathioprine
Cyclophosphamide Combination chemotherapy
or Mycophenolate mofeli
(IV or oral) Stem-cell transplantation
Cyclosporine
Prednisone or IVIG prn
Experimental Therapy
Thrombopoietic factors
501
0 SSHHSKHS Hematologi Onkologi Medik
KOMPLIKASI
Infeksi, ITP berat, diabetes-induced steroid , hipertensi, imunokompromais
PROGNOSIS
Prognosis pada dewasa baik, sebagian besar pasien memiliki hitung trombosit aman
pasca terapi. Dalam studi Italia tahun 2010, 310 anak dan dewasa dengan ITP kronis,
sebanyak 40,3% dapat mempertahankan hitung trombositnya > 50 x 109/ L dengan
prednison dosis rendah atau terapi lainnya. Hanya 11% yang tetap memiliki hitung
trombosit rendah [< 30 x 109/ L) dalam follow-up selama 121 bulan; dan 56% diantaranya
menjadi ITP berat karena tidak diterapi. Dari 109 pasien pasca splenektomi, 66% merespon
dengan baik dan 34% lainnya dilaporkan relaps.8Risiko perdarahan fatal pada dewasa
dengan ITP kronis pada analisis tahunan sebanyak 1,6-3,9 kasus per 100 pasien dalam 1
tahun. Risiko ini lebih rendah pada usia < 40 tahun dan lebih tinggi pada usia > 60 tahun.9
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Unit Transfusi Darah
• RS non pendidikan : Unit Transfusi Darah
REFERENSI
1. Neunert C, Lim W , CrowtherM, et al. The American Society of Hematology 2011 evidence-based
.
practice guideline for immune thrombocytopenia. Blood 2011:117: 4190-4207 Diunduhdarihttp://
bloodjournal.hematologylibrary.org/content/ 117/ 16 / 4190.full.pdf pada tanggal 17 Mei 2012.
2. Rodeghiero F, Stasi R, GernsheimerT, et al. Standardization of terminology, definitions and outcome
criteria in immune thrombocytopenic purpura of adults and children: report from an international
working group. Blood. 2009;113 ( 11 ) :2386-2393.
3. Konkle B , Disorders of Platelets and Vessel Wall. In : Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL,
Jameson JL, Loscalzo J. Harrison ' s Principles of Internal Medicine. 18 th Edition. New York, McGraw-
Hill. 2012.
4. McMillan R. Hemorrhagic Disorders: Abnormalities of Platelet and Vascular Function. In: Goldman,
Ausiello. Cecil Medicine. 23rd Edition. Philadelphia. Saunders, Elsevier. 2008.
5. Purwanto I. Trombositopenia Purpura Imun. Dalam : Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I, et al. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V . Jilid II. 2009. Hal 1165-73.
6. Baz R, Mekhail T. Disorder of Platelet Function and Number. In : Carey W, Abelson A, Dweik R ,
et al. Current Clinical Medicine. 2nd Edition . The Cleveland Clinic Foundation. Philadelphia :
Elsevier. 2010. Hal 577-8
502
Trombositopenia Imun
7. Cines DB, Bussel JB.How I treat Idiopathic Trombocytopenia purpura. Blood.2005:106: 2244-9.
8. Vianelli N, Valdre L, Fiacchini M, et al. Long-term follow-up of idiopathic thrombocytopenic
purpura in 310 patients. Haematologica. 2001:86:504-509. [Abstrak]
9. Cohen YC, Djulbegovic B, Shamai-Lubovitz O, Mozes B. The bleeding risk and natural history of
idiopathic thrombocytopenic purpura in patients with persistent low platelet counts. Arch Intern
Med. 2000:160:1630-1638. [Abstrak]
503
504
KOAGULASIINTRAVASKULAR
DISEMINATA
PENGERTIAN
Koagulasi Intravaskular Diseminata ( KID ) atau Disseminated Intravascular
Coagulation ( DIC) , juga dikenal dengan sebutan consumptive coagulopathy atau
defibrination , merupakan suatu sindrom klinikopatologis yang ditandai dengan
pembentukan fibrin intravaskular yang menyebar akibat aktivitas protease darah
berlebihan yang mengganggu mekanisme antikoagulan alami . Beberapa kondisi yang
berkaitan dengan KID seperti tercantum pada tabel l .1 2 -
Tabel 1. Beberapa Kondlsl yang Berkaitan dengan KID 1
S psls Bakterial, viral, mikotik, parasitik, rickettsia
Trauma dan jejas Jejas otak (luka tembak) , luka bakar luas, emboli lemak,
Jarlngan rhabdomiolisis
Gangguan vaskular Giant hemangioma (Kasabach-Merritt syndrome ) , aneurisma
pembuluh darah besar (mis. aorta)
Komplikasl obstetrf Solusio plasenta, emboli air ketuban, dead fetus syndrome , abortus
septik
Keganasan Adenokarsinoma (prostat, pankreas, dll), keganasan hematologis
( acute promyelocytic leukemia )
Gangguan Imunologls Reaksi transfusi hemolisis akut, reaksi penolakan organ/jaringan
transplan
Obat- obatan Agen fibrinolisis, aprotinin, warfarin (khususnya pada neonatus
dengan defisiensi protein C) , konsentrat kompleks protrombin, obat
rekreasional ( amfetamin)
Toksln / racun Bisa ular, serangga
Penyaklt hati Gagal hati fulminan, sirosis, perlemakan hati dalam kehamilan
Lalnnya Syok, sindrom distres pernapasan, transfusi masif
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Diagnosis KID dapat ditegakkan dengan sistem skoring The International Society
for Thrombosis and Haemostasis ( ISTH ) seperti tercantum pada tabel 2 . Skoring ini
memberikan 5 -tahap diagnosis KID dengan menggunakan pemeriksaan laboratorium
sederhana yang tersedia di hampir semua laboratorium rumah sakit. Skoring ini juga
PanduanPraktlkKIInls
Perhimpunan DoklerSpesialis Penyakil Dalam Indonesia
Koagulasi Intravaskular Diseminata
dapat digunakan pada KID akut (misalnya sepsis) maupun kronis ( mis . malformasi
vaskular dan aneurisma ) dan memiliki sensitivitas 91% dan spesifisitas 97% untuk
KID nyata ( overt DIC )?
DIAGNOSIS BANDING
Fibrinolisis primer, penyakit hati berat, kelainan mikroangiopati.12
TATALAKSANA
Tatalaksana KID terdiri dari :2,6
1. Identifikasi dan tata laksana penyakit komorbid yang mendasari terjadinya KID
dan terapi suportif tanda vital
2. Terapi tidak dibutuhkan apabila gejala ringan, asimptomatik, dan sembuh sendiri
( self -limited )
505
E5SSJSSSJH5 , Hematologi Onkologi Medik
506
Koagulasi Intravaskular Diseminata
• Kehamilan
Solusio plasenta
.
Derajat keparahan berbeda-beda dari ringan hingga syok dan kematian janin.
Penggantian volum secara cepat dan evakuasi uterus merupakan terapi
terpilih. Transfusi kriopresipitat, FFP, dan trombosit sebaiknya diberikan
bila perdarahan masif terjadi. Akan tetapi, bila tidak ada perdarahan berat,
pemberian komponen darah tidak perlu karena deplesi faktor koagulasi
meningkat secara cepat saat persalinan. Heparin atau antifibrinolisis tidak
diindikasikan.
- Emboli cairan ketuban
Pemicu KID adalah adanya faktor jaringan / tissue factor (TF) pada cairan
ketuban. Oklusi ekstensif pada arteri pulmonalis dan respon anafilaktoid akut
merupakan tanda dari SIRS ( systemic inflammatory response syndrome ) berat
yang memicu dispneu tiba-tiba, sianosis, kor pulmonal akut, disfungsi ventrikel
kiri, syok, dan kejang. Gejala ini terjadi dalam hitungan menit sampai beberapa
jam diikuti perdarahan berat yang disebabkan oleh atonia uteri, tempat
tusukan, saluran cerna, dan organ lainnya. Cara terbaik untuk menurunkan
mortalitas adalah terminasi dini pada pasien risiko tinggi dan pencegahan uteri
tetani dan hipertonus saat persalinan. Saat sindrom dikenali, sangat penting
untuk terminasi kehamilan segera dengan support paru dan kardiovaskular.
Preeklampsia dan eklampsia
Pemberian heparin tidak menunjukkan manfaat bermakna
- Sindrom HELLP
Sindrom hemolisis ( H), peningkatan enzim hati (E), trombositopenia (LP ),
dan nyeri epigastrium akut merupakan komplikasi dari hipertensi kehamilan.
Tatalaksana meliputi terapi suportif, observasi ketat, dan terapi komponen
darah. Dengan beberapa pengecualian, persalinan tidak harus dilakukan per
abdominam. Sindrom HELLP cenderung berulang.
Sepsis
Terapi untuk semua kasus KID terkait sepsis termasuk antibiotik, dukungan
fungsi vital, dan intervensi bedah untuk membuang sarang infeksi lokal. Dapat
dipertimbangkan aborsi atau bahkan histerektomi.
507
m HSSiSSBSfifi , Hematologi Onkologi Medik
KOMPLIKASI
Gagal organ, trombosis vena dalam, KID fulminan
PROGNOSIS
Tergantung penyebab dan respon terhadap terapi
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Unit Transfusi Darah
• RS non pendidikan : Unit Transfusi Darah
REFERENSI
1. Arruda V, High KA. Coagulation Disorders. In : Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson
.
JL, Loscalzo J Harrison ' s Principles of Internal Medicine. 18th Edition. New York, McGraw-Hill. 2012.
2. Schafer Al. Hemorrhagic Disorders : Disseminated Intravascular Coagulation, Liver Failure, and
.
Vitamin K Deficiency. In: Goldman, Ausiello Cecil Medicine. 23rd Edition. Philadelphia. Saunders,
Elsevier. 2008.
3. Levi M, Toh CH, Thachil J, Watson HG. Guidelines for the diagnosis and management of
disseminated intravascular coagulation. British Journal of Haematology 2009:145:24-33
4. Sukrisman L. Koagulasi Intravaskular Diseminata. Dalam : Sudoyo A , Setiyohadi B, Alwi I, et al.
Buku Ajar llmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jilid II. 2009. Hal 1319 - 22.
508
Koagulasi Intravaskular Diseminata
5. Vincent JL, Bernard GR, Beale R, et al. Drotrecogin alfa ( activated) treatment in severe sepsis from
the global open-label trial ENHANCE: further evidence for survival and safety and implications
.
for early treatment. Crit Care Med 2005;33:2266-2277 .
6. Levi M, Selighson U. Disseminated Intravascular Coagulation. In: Kaushansky K, Lichtman M, Beutler
E, et al. Williams Hematology. 8th Edition. China, McGraw-Hill. 2012
509
510
LEUKEMIA
PENGERTIAN
Leukemia merupakan penyakit proliferasi neoplastik yang sangat cepat dan
progresif sehingga susunan sumsum tulang normal digantikan oleh sel primitif dan
sel induk darah. 1 Leukemia akut dibagi dua berdasarkan sel yang mendominasi yaitu:
1. Leukemia seri mieloid: akut dan kronik
2 . Leukemia seri limfoid : akut dan kronik
Berikut akan dijelaskan satu persatu mengenai jenis leukemia tersebut diatas .
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Mudah lelah, dapat ditemukan gusi berdarah, mimisan, anoreksia, berat badan
turun . 2
Pemeriksaan Fisik
Peteki atau purpura yang biasanya terdapat pada ekstremitas bawah, tanda -tanda
infeksi tenggorokan, paru- paru, kulit, daerah perirektal, dll, demam, gejala leukostatis :
gangguan kesadaran , sesak napas, nyeri dada, dan priapismus, hepatomegali,
splenomegali . 1'2
PanduanPraktlk Klinis
Perhlmpunan DoklerSpesialis Penyakit Dalam Indonesia
Leukemia
Laboratorium
• Pemeriksaan morfologi sel: tampak blast, banyak granul, auer rods (eusinofil
batang- seperti inklusi)
• Pengecatan sitokimia (sudan black b dan mieloperoksidase): hasil pengecatan
sitokimia pada setiap tipe LMA dapat dilihat pada tabel 1.
• Immunofenotip: CD13 dan CD 33, CD 41 berkaitan dengan M 7 .
label 1 . Hasil Pengecatan Sitokimia masing- masing Subgroup LMA Berdasarkan Klasiflkasi
France American British (FAB). 1
Hasil pengecatan
Subtipe Sudan Esterase non
Nama umum (% kasus)
FAB mieloperoksidase black speslflk
M0 LMA dengan diferensiasi minimal ( 3%)
Ml LMA tanpa maturasi (25-30%) + +
M2 LMA dengan maturasi ( 25-30%) + +
M3 Leukemia promielositik akut (5- 10%) + +
M4 Leukemia mielomonositik akut (20%) + + +
M4E0 Leukemia mielomonositik dengan + + +
eosinofil abnormal ( 5- 10%)
M5 Leukemia monositik akut ( 2-9%) +
M6 Eritroleukemia (3-5%) + +
M7 Leukemia megakariositik akut (3-12%) +
DIAGNOSIS BANDING
Leukemia mieloblastik kronik, sindrom dismielipoetik.
3
TATALAKSANA ’
1. Tatalaksana standar 7 + 3 : kemoterapi induksi dengan sitarabin 100 mg/mz
diberikan secara infuse kontinyu selama 7 hari dan daunorubisin 45 - 60mg/ m /
2
Unfavorable Standar 7+3 HSCT alogenik sesegera mungkin HDACx 2- 4 siklus + HSCT
otolog
511
m H^JESSSSSft Hematologi Onkologi Medik
KOMPLIKASI
Leukostatis dan akibatnya.
PROGNOSIS
Sekitar 80-90% pasien dibawah 60 tahun dan 50-60% pasien usia lanjutmengalami
remisi komplit dengan terapi sitarabin dan daunorubisin yang diberikan obat tunggal.3
Sedang bila diberikan sebagai kombinasi remisi komplit dicapai oleh lebih dari 60%
pasien. Durasi median remisi komplit kedua umumnya kurang dari 6 bulan bila tanpa
HSCT dengan disease free survival kurang dari 10 bulan.1
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesa
Fatigue, malaise, berat badan turun, demam, dapat ditemukan nyeri kuadran kiri atas.2
Pemeriksaan Fisik
Splenomegali, hepatomegali, limfadenopati, perdarahan ( jarang), dapat ditemukan
arthritis gout, tanda leukositosis berat seperti infark miokard, vasoocclusive disease,
cerebrovascular accidents , trombosis vena, gangguan penglihatan, insufisiensi
pulmonal, tanda -tanda infeksi.4
Laboratorium4
• Leukositosis [10.000 -500.000/ m 3) didominasi oleh neutrofil, basofil dan eusinofil
meningkat. Level Leukosit alkaline phosphatase [ LAP) rendah. Hemoglobin
> 11 g% ditemukan pada 1/ 3 kasus. Level serum vitamin B12, laktat dehidrogenase,
asam urat, lisosim.
512
Leukemia
DIAGNOSIS BANDING
Polisitemia rubra vera 3
TATALAKSANA2
• Non transplantasi: imatinib mesylate
• Transplantasi : (allogenic stem cell transplantation)
• HSCT otologi
• Interferon a
• Kemoterapi : hidroksiurea
• Leukapharesis dan splenektomi
PROGNOSIS
Dengan terapi imatinib , perkiraan angka bertahan 5 tahun . 90%. Dengan
[ allogeneic stem cell transplantation), angka kesembuhan 40- 80% pada pasien dalam
fase kronik dari LMK, 15 -40% pada pasien dalan fase akselerasi LMK, 2 - 20% pada
pasien fase blastik LMK.4
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis4
• Gejala anemia: rasa lemas / lemah , pucat, pusing, sesak napas / gagal jantung,
berkunang - kunang
513
w Hematologi Onkologi Medik
Pemeriksaan Fisik
Pucat, demam, pembesaran kelenjar getah bening ( KGB) superfisial, organomegali,
petekie / purpura / ekimosis.5
Pemeriksaan Penunjang5
• Laboratorium: darah tepi lengkap (termasuk retikulosit dan hitung jenis), LDH,
asam urat, fungsi ginjal, fungsi hati, serologi virus ( hepatitis, HSV, EBV, CMV)
• Morfologi : tidak ada granul
• Sitologi aspirasi sumsum tulang tampak hiperselular dengan limfoblas yang sangat
banyak, hitung jenis sel bias dan /atau progranulosit > 30%
• Pengecatan sitokimia, Sudan black dan mieloperoksidase negatif, pewarnaan asam
fostase positif pada limfosit T ganas, pewarnaan Periodic Acid Schiff ( PAS) akan
positif pada limfosit B.
• Sitogenetik : pada LLA sel B ditemukan t(8;14), t ( 2 ;8), dan t (8; 22).
DIAGNOSIS BANDING
Leukemia limfositik kronik, hairy cell leukemia, limfoma, atypical lymphocytosis
of mononucleosis dan pertussis.4
TATALAKSANA
• Kombinasi kemoterapi dengan daunorubisin , vinsristin, prednison dan
asparaginase.3
• Transplantasi sumsum tulang bagi pasien yang memiliki risiko tinggi unuk kambuh
(kromosom Philadelphia , perubahan susunan gen MLL, hiperleukositosis, gagal
mencapai remisi komplit dalam 4 minggu).5
KOMPLIKASI
Sindrom lisis tumor, infeksi neutropenia dan perdarahan trombopenia / koagulasi
intravaskular diseminata.5
514
Leukemia C9
PROGNOSIS
Kebanyakan pasien dewasa mencapai remisi tapi tidak sembuh dengan kemoterapi
saja, dan hanya 30 % yang bertahan hidup lama. (Overall disease free survival rate)
untuk pasien dewasa kira -kira 30%. Pasien usia > 60 tahun mempunyai [ disease free
survival rate) 10% setelah remisi komplit.5
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Hilangnya nafsu makan, menurunnya kemampuan latihan / olahraga, demam,
keringat malam, dapat juga tanpa gejala.3
Pemereiksaan Fisik
Limfadenopati terlokalisir atau generalisata, hepatosplenomegali.3
Laboratorium6
• Hapus darah tepi: peningkatan jumlah leukosit dengan limfositosis kecil sekitar
95% (kriteria diagnostik ) .
• Imunofenotip khas limfosit (CD5+, CD19 +, CD 20 +, CD 23 +, CD 22 - / + )
• Sumsum tulang: normal atau hiperselular, infiltrasi limfosit pada sumsum tulang
> 30%
• Sitogenetik: llq 22 - 23 & 17 pl 3 unfavorable, trisomy 12 neutral, 13ql 4 favorable
DIAGNOSIS BANDING
Pertussis, [Waldenstrom macroglobulinemia), hairy cell leukemia , mantle cell
lymphoma , leukemia limfoplasmasitik, leukemia sel T kronik.3
515
fp !555a?J5EB5RfiHSL Hematologi Onkologi Medik
KOMPLIKASI
Infeksi, hipogamaglobulinemia, transformasi menjadi keganasan limfoid yang
progresif, komplikasi akibat penyakit autoimun, keganasan.6
PROGNOSIS
Prognosis tergantung stadium, lebih lengkap dapat dilihat pada tabel 3 .
UNIT YANGMENANGANI
• RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Hematologi - Onkologi
Medik
• RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan :-
• RS non pendidikan : -
REFERENSI
1. Kurnianda, Johan, Leukemia mieloblastik akut. Dalam Sudoyo, Aru W. Setyohadi, Bambang Alwi, .
Idrus. Simadibrata, Marcellus. Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi V. Jakarta
:Balai Penerbit FKUI;2009.p. 1234- 40.
2. .
Acute and chronic myeloid leukemia Dalam : Fauci A, Kasper D, Longo D, Braunwald E, Hauser
.
S, Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison ' s principles of internal medicine 18lh ed. United States
of America; The McGraw-Hill Companies, 2011.
3. General approach to anemia. Dalam : McPhee, Stephen J. Papadakis, Maxine A . Current
Medical Diagnosis and Treatment. The McGrow Hills Companies. 2011
4. The acute Leukemia. Dalam : Ausiello. Goldman. Cecil Medicine 23,d edition. Saunders :
Philadhelphia . 2007.
5. Fianza, Panji Irani. Leukemia limfoblasyik akut. Dalam : Sudoyo, Aru W. Setyohadi, Bambang. Alwi,
Idrus. Simadibrata, Marcellus. Setiati, Siti. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V. Jakarta: Pusat
Informasi dan Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSCM ; 2009. Halaman 1266-1275.
6. Rotty, Linda W.A. Leukemia Limfositik Kronik. Dalam : Sudoyo, Aru W. Setyohadi, Bambang Alwi, .
Idrus. Simadibrata, Marcellus. Setiati, Siti. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V. Jakarta: Pusat
Informasi dan Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSCM ; 2009. Halaman 1276-82.
516
517
LIMFOMA
PENGERTIAN
Limfoma adalah keganasan sel limfoid yang terjadi pada jaringan limfoid . Limfoma
1
PanduanPraktik Minis
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
|) SfiSSSfiL Hematologi Onkologi Medik
|
Tabel 2. Stadium Limfoma non Hodgkin berdasarkan Ann Harbor 2
Stadium Keterangan
I Pembesaran kelenjar getah bening ( KGB) hanya 1 regio
1 E : jika hanya terkena 1 organ ekstra limfatik tidak difus / batas tegas
Pembesaran 2 regio KGB atau lebih, tetapi masih sati sisi diafragma
112 : pembesaran 2 regio KGB atau lebih, tetapi masih satu sis diafragma
113 : pembesaran 3 regio KGB dalam 1 sisi diafragma
HE : pembesaran 1 regio atau lebih KGB dalam 1 sisi diafragma dan 1 organ ekstra
limfatik tidak difus / batas tegas
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis1
Umum
• Pembesaran kelenjar getah bening dan malaise umum : berat badan menurun
10% dalam waktu 6 bulan, demam tinggi . 38° dalam waktu 1 minggu tanpa sebab,
keringat malam.
• Keluhan anemia
• Keluhan organ
• Penggunaan obat ( diphantoine )
Khusus
• Penyakit infeksi ( toksoplasma, mononukleosis, tuberkulosis luas) dan lain-lain
Pemeriksaan Fisik
Limfadenopati yang sangat besar dan cepat berkembang, hepatomegali,
splenomegali, masa abdomen yang besar ( biasanya pada limfoma burkitt ) ,2 masa
testikular, lesi kulit.3
Laboratorium
Darah lengkap, morfologi darah tepi, urine lengkap, SGOT /SGPT, LDH, protein total,
albumin, asam urat, alkali fosfatase, gula darah puasa dan glukosa darah 2 jam post
prandial, elektrolit: natrium, kalium, klorida, Kalsium, fosfat. Gamma GT, cholinesterase
( CHE ) , LDH / fraksi, serum protein elektroforesis ( SPE ) , Tes HIV, imuno elektroforese
( IEP), tes coombs, B2 mikroglobulin. Biopsi sumsum tulang.2
518
Limfoma
DIAGNOSIS BANDING
Limfoma Hodgkin , limfadenitis, tuberkulosis, toksoplasmosis, filariasis, tumor
padat yang lain.1
TATALAKSANA 4
Tatalaksana yang dilakukan biasanya melalui pendekatan multidisiplin. Tatalaksana
yang dapat dilakukan adalah:
1. Derajat Keganasan Rendah ( DKR) / /r? do /en :
Pada prinsipnya simtomatik
• Kemoterapi: obat tunggal atau ganda (per oral), jika dianggap perlu: COP
[ Cyclophosphamide, Oncovin, dan Prednisone )
.
• Radioterapi: LNH sangat radiosensitif Radioterapi ini dapat dilakukan untuk
lokal dan paliatif .
• Radioterapi: Low Dose TOI + Involved Field Radiotherapy saja.
2. Derajat Keganasan Mengah ( DKM ) / agresif limfoma
• Stadium I : Kemoterapi ( CHOP / CHVMP / BU ) + radioterapi CHOP
( Cyclophosphamide, Hydroxydounomycin, Oncovin, Prednisone )
• Stadium II - IV: kemoterapi parenteral kombinasi, radioterapi berperan untuk
tujuan paliasi.
3. Derajat Keganasan Tinggi (DKT)
DKT Limfoblastik ( LNH - Limfoblastik)
• Selalu diberikan pengobatan seperti Leukemia Limfoblastik Akut (LLA)
Re-evaluasi hasil pengobatan dilakukan pada:
1. setelah siklus kemoterapi kedua dan keempat
2 . setelah siklus pengobatan lengkap
KOMPLIKASI4
Akibat langsung penyakitnya:
• Penekanan terhadap organ khususnya jalan napas, usus, dan saraf
• Mudah terjadi infeksi, bisa fatal
Akibat efek samping pengobatan:
• Aplasia sumsum tulang
• Gagal jantung oleh obat golongan antrasiklin
• Gagal ginjal oleh obat cisplatin
• Neuritis oleh obat vinkristin
519
Panduan Praktik Klinis Hematologi Onkologi Medik
Perhimpunan DoklerSpesialis Penyakll Dalam Indonesia
PROGNOSIS
Indolen : respon kemoterapi turun, tapi median survival panjang
-
Revlsl prognosis IPI pada paslen dengan terapl CHOP R (cyclophosphamide, doxorubicin
- -
hydroxydaunorublcln, vincristine Oncovorln, prednisone, rttuximab)
Faktor % saat diagnosis Bertahan 4 tahun
0 10% 94%
1 -2 45% 79%
3-5 45% 55%
520
Limfoma <fjp
LIMFOMA HODGKIN
PENGERTIAN
Limfoma Hodgkin adalah keganasan limforetikular yaitu limfoma malignum dimana
secara histopatologis ditemukan sel reed sternberg.1
-
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesa
Demam, berkeringat pada malam hari, penurunan berat badan, lemah badan,
pruritus, pembesaran kelenjar getah bening yang tidak nyeri, dapat dijumpai nyeri
abdomen atau nyeri tulang.1
Pemeriksaan Fisik2
• Limfadenopati dengan konsistensi rubbery dan tidak nyeri
-
• Demam, tipe pel ebstein
• Hepatosplenomegali
• Neuropati
Laboratorium
Darah : anemia, eosinofilia, peningkatan LED, pada flow-cytometry dapat terdeteksi
limfosit abnormal atau limfositosis dalam sirkulasi, peningkatan ureum kreatinin,
hiperkalsemia, hiperurikemia, biopsi sumsum tulang, CT scan.
DIAGNOSIS BANDING
Limfoma Hodgkin , limfadenitis, tuberkulosis, toksoplasmosis, filariasis, tumor
padat yang lain.1
TATALAKSANA
Target tatalaksana limfoma Hodgkin adalah menghancurkan sebanyak mungkin
sel kanker menuju remisi penyakit. Pengobatan limfoma Hodgkin adalah dengan
radioterapi meliputi Extended Field radiotherapy (EFRT), Involved Field Radiotherapy
( IFRT) dan radioterapi ( RT) ditambah dengan kemoterapi. Regimen kemoterapi yang
paling banyak digunakan adalah doxorubicin, bleomycin, vinblastine, dan dacarbazine
[ABVD] dan mechlorethamine, vincristine, procarbazin,dan prednisone ( MOPP), atau
kombinasi obat dari kedua regimen ini.5
521
HSHfiSSHH! Hematologi Onkologi Medik
KOMPLIKASI
Efusi perikardial , metastasis ke tulang.
PROGNOSIS
Ada 7 faktor risiko independen untuk memprediksi masa bebas progesi penyakit
FFR ( Freedom From Progression ), yaitu : 1. Jenis kelamin, 2. Usia > 45 tahun, 3. Stadium
IV, 4. Hb < 10 gr%, 5 . Leukosit > 15000 / mm3, 6 . Limfosit < 600 / mm 3 atau < 8% leukosit,
7. Serum albumin < 4 gr%. Pasien tanpa faktor risiko FFR = 84%, dengan 1 faktor risiko
FFR = 77%, dengan dia faktor risiko FFR = 67%, dengan tiga faktor risiko = 60%, dengan
empat faktor risiko = 51%, dengan lima atau lebih faktor risiko = 42% .5
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Departemen THT, Patologi Anatomi, Radiologi / Radioterapi
• RS non pendidikan : Bagian THT, Patologi Anatomi , Radiologi / Radioterapi
REFERENSI
. .
Reksodiputro, AH Irawan C Limfoma non Hodgkin. In: Sudoyo, Aru W. Setyohadi, Bambang.
.
Alwi, Idrus. Simadibrata, Marcellus Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi V .
Jakarta:Balai Penerbit FKUI;2009.p. 1251 -61 .
2. Malignancies of Umphoid cells. Dalam : Fauci A, Kasper D, Longo D, Braunwald E, Hauser S,
.
Jameson J, Loscalzo J, editors Harrison' s principles of internal medicine. 18lh ed. United States of
America; The McGraw-Hill Companies, 2011
3. Hsia CC, Howson-Jan K, Rizkalla KS. Hodgkin lymphoma with cutaneous involvement Dermatol .
Online J. May 15 2009;15 (5):5. [Medline],
4. Abdulmuthalib. Limfoma non- Hodgkin. In: Simadibrata M, Setiati S, Alwi I, Oemardi M, Gani RA,
Mansjoer A, editors. Pedoman diagnosis dan terapi di bidang ilmu penyakit dalam. Jakarta:
Pusat Informasi dan Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSCM; 1999. p. 113-4.
5. Blood Disorder. Dalam : Mcphee, Stephen J. Papadakis, Maxine A. Curret Medical Diagnosis and
Ttreatment. The MacGraw Hill Companies. 2011
6. Celiqny P, Solal. Et all. Follicular lymphoma international prognostic index. Blood 2004
Sep 1 ;104 ( 5 ) :1258- 65 . Epub 2004 May 4 . Diunduh pada : http : / / www .ncbi.nlm.nih. gov /
pubmed/ 15126323 pada tanggal 29 mei 2012.
522
523
PENGERTIAN
Polisitemia adalah kelainan sistem hemopoesis yang merupakan bagian dari
penyakit mieloproilferatif yang dihubungkan dengan peningkatan jumlah dan volume
sel darah merah ( eritrosit) di atas ambang batas nilai normal dalam sirkulasi darah,
tanpa memperdulikan jumlah leukosit dan trombosit. Disebut polisitemia vera bila
sebagian populasi eritrosit berasal dari suatu klon sel induk darah yang abnormal
(tidak membutuhkan eritropoetin untuk proses pematangannya) . 1 Perjalanan Minis :
2
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Gejala Minis berjalan lambat dan tidak terdeteksi , umumnya pada decade ke 6,
meskipun mungkin terjadi pada usia anak atau usia tua. Gejala Minis terbagi menjadi
3 fase : 13
PanduanPrakdk Minis
Perhimpunan Dokler Speslalis Penyakil Dalam Indonesia
# S£u®Pl”!®f!5!!. Hematologi Onkologi Medik
• Gejala awal: gejalasangat minimal dan dapatasimptomatikwalaupun telah diketahui
melalui tes laboratorium. Gejala awal biasanya sakit kepala (48%), telinga berdenging
(47%), mudah lelah (47%), gangguan daya ingat, susah bernapas (26%), darah tinggi
(72%), gangguan penglihatan ( 31%), rasa panas pada tangan atau kaki ( 29%), gatal
(43%), perdarahan dari hidung, lambung ( 24%) , atau sakit tulang (26%)
• Gejala akhir dan komplikasi: perdarahan atau thrombosis
• Fase splenomegali : sekitar 30 % dari gejala akhir berkembang menjadi fase
spelnomegali . Pada fase ini terjadi kegagalan sumsum tulang sehingga timbul
anemia, kebutuhan transfusi meningkat, pembesaran hati dan limpa .
Pemeriksaan Fisik
Berkeringat, pembesaran limpa, gangguan neurologis seperti gangguan penglihatan
dan transient ischemic attacks ( TIAs ). Tekanan darah sistolik dapat meningkat karena
peningkatan masa sel darah merah. Dapat dijumpai perdarahan (bruising, epistaksis,
perdarahan saluran cerna) . Eritromelalgiayangterdiri dari eritema, rasa terbakar, dan
nyeri pada ekstremitas merupakan komplikasi dari trombositosis.13
Pemeriksaan Penunjang3
• Eritrosit dan hematokrit: meningkat
• Leukosit: neutrofilia absolut, basofilia (pada kasus tidak terkontrol )
• Trombosit: meningkat pada sebagian pasien saat didiagnosis, dapat melebihi
1000 x 109/ liter
• Leukosit alkalin fosfat: meningkat pada 70 %
• Serum besi, TIBC (Total Iron Binding Capacity ) , Ferritin serum : jika ada perdarahan
atau setelah plebotomi.
• B 12 serum : meningkat karena peningkatan pemecahan leukosit
• Hiperurisemia: timbul sebagai akibat mielopoiesis hiperproliferatif
• Eritropoietin plasma : normal atau rendah. Digunakan untuk membedakan kelainan
polisitemia lain .
• Saturasi oksigen arteri: < 63 mmHg (10 % pasien)
• Pemeriksaan massa sel darah merah [ Red Cell Mass) : mahal dan membutuhkan
keahlian pemeriksan . Tidak dapat membedan polisitemia primer dan sekunder.
• Kultur bone marrow : melihat koloni eritroid endogen spesifik dansensitif untuk
diagnosis polisitemia vera.
• Bone Marrow: hiperselular, tidak adanya cadangan besi, menyingkirkan kelainan
mieloproliferatif lain
524
Polisitemia Vera Ip
International Polycythemia Study Group II1
Diagnosis polisitemia dapat ditegakkan jika memenuhi kriteria
a. A1+ A 2 + A 3 atau
b. A1+A 2 + 2 kategori B
Kategori A1
1. Meningkatnya massa sel darah merah diukur dengan krom radioaktif Cr -51. Pada
pria 36 ml / kg dan pada wanita 32 ml / kg.
2. Saturasi oksigen arterial 92% (padapolisitemia vera, saturasi oksigentidakmenurun)
3. Splenomegali
Kategori B1
1. Trombositosis : trombosit 400.000 / ml
2. Leukositosis: leukosit 12.000 / ml (tidak ada infeksi)
3. Leukosit alkali fosfatase (LAF) score meningkat > 100 (tanpa ada panas / infeksi)
4. Kadar vitamin B12 > 900 pg/ ml dan atau UB12BC dalam serum 2200 pg/ ml
Klasifikasi berdasarkan WHO (World Health Organization ) : 2
Peningkatan masa sel darah merah tanpa adanya pertumbuhan spotan eritroid pada
kultur dan :
• Satu di antara kriteria berikut: splenomegali, abnormalitas kariotipik selain t9 : 22,
adanya formasi koloni eritroid endogen; atau
• Dua di antara berikut: Jumlah trombosit > 400 x 109/ liter, sel darah putih > 12 x
109 / liter, aspirasi sumsum tulang menunjukkan panmielosis, dan eritropoietin
serum menurun
DIAGNOSIS BANDING
Polisitemia sekunder akibat saturasi oksigen arterial rendah atau eritropoetin
meningkat akibat manifestasi sindrom paraneoplastik4
TATALAKSANA
Prinsip pengobatan 2
1. Menurunkan viskositas darah sampai ke tingkat normal dan mengendalikan
eritropoesis dengan flebotomi
2 . Menghindari pembedahan elektif pada fase eritrositik/ polisitemia yang belum
terkendali
525
0 E5SJESSSJSS, Hematologi Onkologi Medik
A. HIDRASI
Dehidrasi dapat mencetuskan terjadinya trombosis, sehingga berikan pasien
hidrasi yang cukup, terutama dengan kelainan saluran cerna . 3
B. FLEBOTOMI
Pada PV tujuan prosedur flebotomi adalah mempertahankan hematokrit 42% pada
wanita dan 47% pada pria untuk mencegah timbulnya hiperviskositas dan penurunan
shear rate . Indikasi flebotomi terutama untuk untuk semua pasien pada permulaan
penyakit dan yang masih dalam usia subur. Indikasi:2,4
1. Polisitemia vera fase polisitemia
2 . Polisitemia sekunder fisiologis hanya dilakukan jika Ht > 55% (target Ht 55 %)
3 . Psolisitemia sekunder nonfisiologis bergantung pada derajatberatnya gejala yang
ditimbulkan akibat hiperviskositas dan penurunan shear rate
C. KEMOTERAPI SITOSTATIKA
Tujuannya adalah sitoreduksi . Indikasi : 2
• Hanya untuk polisitemia rubra primer (PV)
• Flebotomi sebagai pemeliharaan dibutuhkan > 2 kali sebulan
• Trombositosis yang terbukti menimbulkan trombosis
• Urtikaria berat yang tidak dapat diatasi dengan antihistamin
• Splenomegali simtomatik / mengancam ruptur limpa
526
Polisitemia Vera $[$
Cara pemberian:23
^
• Hidroksiurea 800 -1200 mg / m / hari atau 10-15 mg / kg / kali diberikan dua
kali sehari. Bila tercapai target dilanjutkan pemberian secara intermiten untuk
pemeliharaan
• Klorambusil dengan dosis induksi 0,1-0,2 mg/ kg / hari selama 3-6 minggu dan
dosis pemeliharaan 0,4 mg/ kgBB tiap 2-4 minggu.
• Busulfan 0,06 mg/ kgBB/ hari atau 1,8 mg/ m 2 / hari (2 atau 4 mg setiap hari) selama
beberapa minggu. Bila tercapai target dilanjutkan pemberian secara intermiten
untuk pemeliharaan.
D. FOSFOR RADIOAKTIF
P 32 pertama kali diberikan dengan dosis 2-3 mCi / m 2 intravena, bila per oral
dinaikkan 25%. Selanjutnya bila setelah 6-8 minggu pemberian P 32 pertama:3
• Mendapatkan hasil, reevaluasi setelah 10-12 minggu. Dapat diulang jika diperlukan
• Tidak berhasil, dosis kedua dinaikkan 25% dari dosis pertama, diberikan setelah
10-12 minggu dosis pertama. Pasien diperiksa setiap 2/ 3 bulan setelah keadaan stabil
F. PENGOBATAN SUPORTIF 3
• Hiperurisemia: allopurinol 100-600 mg/ hari
• Pruritus dengan urtikaria: antihistamin kurang bermanfaat, fotokemoterapi dengan
psoralen dan PUVA, aspirin telah direkomendasikan, interferon a juga bermanfaat.
2
• Gastritis / ulkus peptikum: antagonis reseptor H
• Antiagregasi trombosit: anagrelid, aspirin
G. SPLENEKTOMI
Indikasi jika ada trombositopenia berat atau pembesaran limpa yang mengganggu. 3
527
PanduanPraktikKlinis Hematologi Onkologi Medik
Perhlmpunan DoklerSpeslalls Penyakil Dalam Indonesia
Berbagai macam terapi dapat digunakan untuk mengatasi polisitemia vera, akan
tetapi banyak kelebihan dan kekurangan dari masing-masing terapi tersebut yaitu : 3
Tabel 1 . Kelebihan dan Kekurangan terapi3
Terapi Kelebihan Kekurangan
Flebotomi Resiko rendah, mudah dilakukan Tidak dapat mengontrol trombositosis
atau leukositosis
Hidroksiurea Dapat mengontrol trombositosis atau Memerlukan terapi lanjutan
leukositosis, risiko leukemogenic rendah
Busulfan Mudah dilakukan, dapat remisi jangka panjang, Dosis lebih dapat menekan sumsum
risiko leukemogenic tidak tinggi tulang, risiko leukemogenic, toksisitas
paru dan kutaneus jangka panjang
32 P Dapat mengontrol trombositosis atau Mahal, tidak nyaman, risiko
leukositosis dalam jangka lama , leukemogenic sedang
KOMPLIKASI
Trombosis pada vena hepatik ( Budd -Chiari Syndrome ) terjadi pada 10 % dari 140
pasien, stroke iskemik dan transient ischemic attacks (TIA), perdarahan, mielofibrosis,
peningkatan asam urat sekitar 10% berkembang menjadi gout , peningkatan risiko
ulkus peptikum (10 %) , infark miokard, tombosis vena dalam ( deep vein thrombosis
/ DVT ), emboli paru. Dari 164 kematian, 41% karena thrombosis dan 7% karena
perdarahan. 1,3
PROGNOSIS
Angka harapan hidup setelah terdiagnosis tanpa diobati yaitu 1,5-3 tahun, sedangkan
dengan pengobatan lebih dari 10 tahun . Pasien yang diterapi dengan flebotomi
mempunyai angka harapan hidup 13,9 tahun, 8.9 tahun pada pasien yang diterapi dengan
klorambusil. Polisitemia vera meningkatkan resiko menjadi leukemia. Dalam 10 tahun,
40-60% kasus menjadi trombosis. Kematian terjadi paling banyak karena trombosis
(31%), leukemia akut (19%), keganasan lain (15%), perdarahan (5%). 3
528
Polisitemia Vera
REFERENSI
1 . Prenggono M. Darwin. Polisitemia vera. Dalam: Suyono, S. Waspadji, S. Lesmana, L. Alwi,I. Setiati,
S. Sundaru, H. dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi V. Jakarta: Interna Publishing; 2010.
.
Hal 1214-1219 .
2. .
Polycythemia vera. Hematologie Klapper. 8th ed Leids Universitair Medisch Centrum Leiden.
Juni 1999:48-9 .
3. Beutler Ernest. Primary dan Secondary Polycythemias (Erythrocytosis) . In : Lichtman M, Beutler E,
Kipps T, editors. Williams Hematology 7lh ed. Me Graw Hill. Chapter 56
4. . .
Spivak JL Polycythemia Vera and Other Meloproliferative Disease In: Longo Fauci Kasper,
Harrison' s Principles of Internal Medicine 18th edition.United States of America.Mcgraw Hill.2012
529
530
SINDROM ANTIFOSFOLIPID
PENGERTIAN
Sindrom antibodi antifosfolipid ( antiphospholipid antibody syndrome / APS),
merupakan suatu trombofilia autoimun didapat dengan karakteristiktrombosis arteri
atau vena berulang dan / atau adanya morbiditas kehamilan; dengan adanya antibodi
terhadap protein plasma yang mengikat fosfolipid.1
Sindrom antifosfolipid ditandai dengan trombosis arteri dan vena, abortus spontan
berulang (akibat trombosis), trombositopenia, dan sejumlah variasi manifestasi
neuropsikiatri.2
Sindrom antibodi antifosfolipid didefinisikan sebagai penyakit trombofilia
autoimun yang ditandai dengan adanya 1) antibodi antifosfolipid (antibodi cardiolipin
dan / atau antikoagulan lupus) yang menetap (persisten) serta 2 ) kejadian berulang
trombosis vena / arteri, keguguran, atau trombositopenia.3
Sindrom antifosfolipid didiagnosis pada seorang pasien dengan trombosis dan /
atau morbiditas kehamilan yang memiliki antibodi antifosfolipid (aPL). Trombosis
vena dalam pada ekstremitas bawah dan / atau emboli paru merupakan trombosis
vena yang paling sering terjadi pada APS, namun semua sistem vena dapat terlibat,
termasuk vena superfisial, portal, renal, mesenterika, dan intrakranial. Sedangkan
tempat yang paling sering menjadi trombosis arteri adalah pembuluh darah serebral
yang berakibat pada iskemi serebral sementara (transient ischemic attack / TIA) atau
stroke. Trombosis mikrovaskular pada APS jarang terjadi namun dapat berpotensi
fatal yang dikenal dengan catastrophic antiphospholipid syndrome (CAPS), dimana
terdapat kegagalan fungsi multiorgan termasuk paru, otak, dan ginjal.4
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis3
Difokuskan pada kejadian dan frekuensi terjadinya tromboemboli
• Mata: penglihatan kabur atau ganda, melihat kilatan cahaya, kehilangan sebagian
atau seluruh lapang pandang
Pemeriksaan Fisik3
Pembuluh darah Nyeri tekan pada palpasi tulang atau sendi (infark tulang )
perifer Nyeri saat sendi digerakkan, tanpa artritis (nekrosis avaskular)
Pembengkakan tungkai ( trombosis vena dalam)
ICapillary refill time , denyut nadi, perfusi ( trombosis arterial / vasospasme )
Gangren ( trombosis arteri atau infark)
Manlfestasi kulit Livedo retikularis
Purpura
Tromboflebitis superfisial
Vasospasme fenomena Raynaud
Splinter hemorrhages periungual atau subungual ( perdarahan dibawah
kuku)
Infark perifer ( digital pitting)
Ulserasi
Memar
Ginjal Hipertensi trombosis arteri renalis, lesi pembuluh darah intrarenal
Hematuria -> trombosis vena renalis
Paru Distres pernapasan
Takipneu -> emboli paru, hipertensi pulmonal
Gastrointestinal Nyeri tekan abdomen kuadran kanan atas, hepatomegaly ( sindrom Budd -
Chiari , trombosis pembuluh darah kecil hati, infark hati)
Nyeri tekan abdomen ( trombosis arteri mesenterika )
• Endokrin: kelemahan otot, kekakuan progresif pada otot-otot pelvis dan
paha dengan kontraktur fleksi (infark / perdarahan adrenal )
531
# aassassst Hematologi Onkologi Medik
Pemeriksaan Penunjang13
• Laboratorium (sesuai indikasi) : darah perifer lengkap, LDH, bilirubin, haptoglobin,
tes Coomb direk / indirek, urinalisis, immunoassays (tes serologis sifilis positif palsu,
antibodi antifosfolipid, antibodi anticardiolipin, antibodi antiplatelet, antibodi
antiprotrombin, antibodi antifosfatidil serine), polimorfisme genetik, tes koagulasi
• Radiologis (sesuai indikasi) : USG Doppler, venografi, ventilation/ perfusion scan (pada
emboli paru), CT scan, MRI, arteriografi, ekokardiografi, angiografi dengan kateterisasi
• Biopsi dari organ yang terkena seperti pada kulit atau ginjal
Kriteria diagnosis sindrom antifosfolipid menggunakan kriteria Sapporo ( juga
dikenal dengan kriteria Sydney) tahun 2006. Menurut kriteria Sapporo, diagnosis
definitif APS dipertimbangkan apabila terdapat sedikitnya satu kriteria klinis dan
sedikitnya satu kriteria laboratoris :5
• Kriteria Klinis - adanya trombosis vaskular atau morbiditas kehamilan, dengan
penjelasan sebagai berikut :
o Trombosis vaskular didefinisikan sebagai satu episode atau lebih dari
trombosis vena, arteri, atau pembuluh darah kecil, dengan temuan radiologis
atau histologis trombosis jaringan atau organ yang jelas. Trombosis vena
superfisial saja tidak cukup untuk memenuhi kriteria trombosis untuk APS.
o Morbiditas kehamilan didefinisikan sebagai kematian janin pada usia gestasi
*10 minggu dengan morfologi normal sebelumnya, yang tidak dapat dijelaskan
atau satu atau lebih kelahiran prematur sebelum usia gestasi 34 minggu akibat
eklampsia, preeklampsia, insufisiensi plasenta, atau keguguran pada usia
gestasi <10 minggu sebanyak tiga kali atau lebih yang tidak dapat dijelaskan
dengan kelainan kromosom maternal atau paternal atau anatomi maternal
atau penyebab hormonal.
• Kriteria Laboratoris - adanya aPL, dalam dua kondisi atau lebih dalam selang
waktu sedikitnya 12 minggu dan tidak lebih dari 5 tahun sebelum muncul
manifestasi klinis :
532
Sindrom Antifosfolipid fgy
o Titer sedang atau tinggi dari IgG dan / atau IgM antibodi anticardiolipin (aCL)
> 40 unit IgG antifosfolipid atau IgM antifosfolipid atau > persentil 99
o IgG atau IgM isotype antibodi (32-glikoprotein (anti- p2GPI) pada titer > persentil 99
o Aktivitas antikoagulan lupus (LA) yang terdeteksi dalam plasma
DIAGNOSIS BANDING
Berdasarkan eksklusi penyebab trombofilia didapat atau diturunkan
lainnya . 1 Banyak kelainan genetik dan didapat yang berakibat pada keguguran,
penyakit tromboemboli , atau keduanya ( mis. trombositopenia diinduksi heparin,
homosisteinemia, kelainan mieloproliferatif, dan hiperviskositas) . Penyakit lain yang
berhubungan dengan APS adalah immune thrombocytopenia ( ITP), kelainan autoimun
sekunder, keganasan, penyakit infeksi, sirosis hati , sindrom hemolitik, thalassemia,
inkompatibilitas ibu dan bayi (ABO, Rh, HLA) . 3
TATALAKSANA
Setelah trombosis pertama kali , pasien APS sebaiknya diberikan warfarin seumur
hidup untuk mencapai INR ( international normalized ratio ) antara 2 , 5 - 3 , 5 atau
kombinasi dengan aspirin 80 mg/hari. Morbiditas kehamilan dapat dicegah dengan
kombinasi heparin dengan aspirin 80 mg/hari . Intravena immunoglobulin ( IVIG ) 1
x 400 mg/ kg selama 5 hari dapat juga mencegah aborsi , sementara glukokortikoid
tidak efektif. Terapi evidence - based pada pasien dengan aPL tanpa gambaran klinis
tidak tersedia; akan tetapi aspirin 80 mg/ hari melindungi pasien dengan lupus
eritematosus sistemik dengan antibodi aPL positif dari berkembangnya trombosis .
Beberapa pasien APS dan CAPS sering mengalami trombosis rekuren meskipun telah
mendapat antikoagulan sesuai. Dalam kasus ini IVIG 1 x 400 mg / kg selama 5 hari atau
antibodi monoklonal anti - CD 20 375 mg/m2 per minggu selama 4 minggu bermanfaat .
Pasien CAPS yang dirawat didalam ICU, tidak dapat menerima warfarin; pada situasi
ini dosis terapeutik low molecular weight heparin / LMWH dapat diberikan. Pada
kasus trombositopenia imbas heparin dan sindrom trombosis, inhibitor faktor X yang
mengikat fosfolipid ( inhibitors of phospholipid - bound activated factor X / FXa) seperti
fondaparinux 7 , 5 mg SC per hari atau rivaroxaban 10 mg PO per hari terbukti efektif .
Obat - obatan tersebut diberikan dalam fixed dose dan tidak memerlukan observasi
ketat; namun keamanannya dalam trimester pertama kehamilan belum ditentukan . 1
KOMPLIKASI
Keguguran, koagulasi intravaskular diseminata . 1
mm Panduan Praktik Kllnls Hematologi Onkologi' Medik
Pertiimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
PROGNOSIS
Bahaya serangan kedua terbesar pada pasien dengan antibodi yang mengenali p 2
glikoprotein I yang memiliki hemolisis autoimun pada serangan pertama, dan terkecil
pada pasien tanpa antibodi tersebutyang mengalami aborsi berulang sebagai serangan
pertama mereka. Penyesuaian terapi pada pasien yang mengalami serangan dua kali,
tingkat efek samping serius yang mengikuti 6,86 kali lebih tinggi, pada pasien dengan
presentasi hemolisis autoimun 1, 56 kali lebih tinggi, dan pada pasien dengan antibodi
anti- p 2 - glikoprotein- I sebesar 1,69 kali lebih tinggi, dan 46 % lebih rendah pada
presentasi trombositopenia. Gambaran klinis inisial APS menentukan evolusi jangka
panjang, dan kumpulan manifestasi klinis tipe spesifik selama perjalanan penyakit. 6
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan
• RS non pendidikan
REFERENSI
1 . Moutsopoulos HM, Vlachoyiannopoulos PG. Antiphospholipid Antibody Syndrome. In : Longo DL,
Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J. Harrison’ s Principles of Internal Medicine.
18m Edition. New York, McGraw-Hill 2012. .
2. . .
Schafer Al Thrombotic Disorders:Hypercoagulable States In : Goldman, Ausiello. Cecil Medicine.
23ra Edition. Philadelphia. Saunders, Elsevier. 2008.
3. Effendy S. Sindrom Antibodi Antifosfolipid: Aspek Hematologik dan Penatalaksanaan. Dalam :
Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I, et al. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jilid II. 2009. Hal 1345-53.
4. Keeling D, Mackie I, Moore GW, et al. Guidelines on the investigation and management of
antiphospholipid syndrome. British Journal of Haematology 2012;157:47-58
5. .
Miyakis S, Lockshin MD, Atsumi T, et al International consensus statement on an update of the
classification criteria for definite antiphospholipid syndrome ( APS). J Thromb Haemost 2006: 4:295.
6. .
Tektonidou MG, loannidis JPA, Boki KA, et al Prognostic factors and clustering of serious clinical
.
outcomes in antiphospholipid syndrome Q J Med 2000;93:523-530. Diunduh dari http:/ / qjmed.
oxfordjournals.org/ content/ 93/8/523.full.pdf pada tanggal 30 Mei 2012 .
534
535
PENGERTIAN
Sindrom lisis tumor adalah suatu kelainan metabolik yang mengancam jiwa, akibat
pelepasan sejumlah zat interseluler ke dalam aliran darah akibat tingkat penghancuran
sel tumor yang tinggi karena pemberian kemoterapi . Sindrom ini ditandai dengan:
hiperurisemia, hiperkalemia, hiperfosfatemia dan hipokalsemia. Faktor risiko ;
peningkatan LDL, ukuran tumor yang besar ( bulky tumor ) dengan tingkat ploriferasi
yang tinggi, tumor yang sangat sensitif , hiperurisemia yang sudah ada sebelum
pengobatan, penurunan fungsi ginjal.1
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Dapat ditemukan pembengkakan pada sendi, otot melemah, konstipasi . Riwayat
mendapat kemoterapi dalam 1- 5 hari terakhir, jenis tumor yang diderita (limfoma
burkitt, leukemia limfoblastik akut dan limfoma derajat tinggi lainnya)
Pemeriksaan Fisik
Tidakkhas, sesuai dengan kelainan yang terjadi (misalnya: pernapasan kussmaul
pada asidosis laktat, oliguria / anuria bila terjadi gagal ginjal, aritmia ventrikel pada
hiperkalemia) 1
Laboratorium
Peningkatan LDH , asam urat darah, kalium darah, fosfat darah, penurunan
kalsium darah, analisis gas darah (AGD) menunjukkan asidosis metabolik, urinalisa
menunjukkan pH urin < 7 dan / terdapat kristal asam urat.2
DIAGNOSIS BANDING
Gagal ginjal akut karena penyebab yang lain.
PanduanPraktlk Minis
Pertilmpunan Dokler SpesiaRs Penyakit Dalam Indonesia
# SSSlSSSSi Hematologi Onkologi Medik
TATALAKSANA 1
• Mencegah dan mendeteksi faktor risiko lebih penting
• Hidrasi adekuat 2000 -3000 ml / m 2 per hari
• Mempertahankan pH urin > 7 dengan pemberian Na bikarbonat
• Allopurinol 2x300 mg/ m per hari ^
• Natrium bikarbonat 50 -100 mEq / L cairan intravena
• Monitor fungsi ginjal, elektrolit, AGD dan asam urat
• Bila secara konservatif tidak berhasil dan ditemukan tanda-tanda sebagai berikut
(K > 6 meq /1, asam urat > 10 mg/ dl, kreatinin > 10 mg/ dl, F >10 mg/ dl atau semakin
meningkat, hipokalsemia simtomatik) maka dilakukan hemodialisa
KOMPLIKASI
Gagal ginjal akut, aritmia ventrikel, kematian mendadak.2
PROGNOSIS
Mengenali gejala dini pada pasien dengan risiko sindrom lisis tumor, termasuk
mengidentifikasi abnormalitas manifestasi klinis dan laboratorium, dapan mencegah
komplikasi yang mengancam jiwa.
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Departemen Penyakit dalam - Konsultan Hemato
Onkologi medik
• RS non pendidikan : Departemen Penyakit dalam - Konsultan Hemato
Onkologi medik
REFERENSI
1. Jack, Zakifman. Diagnosis dan Penatalaksanaan Sindrom Lisis Tumor. Dalam: Sudoyo, Aru W .
. . .
Setyohadi, Bambang Alwi, Idrus. Simadibrata, Marcellus Setiati, Siti Buku Ajar llmu Penyakit
. . .
Dalam Jilid I Edisi V. Jakarta:Balai Penerbit FKUI;2009.p 311- 12 .
.
2 Oncologies Emergency. Dalam: Fauci A, Kasper D, Longo D, Braunwald E, Hauser S, Jameson J,
.
Loscalzo J, editors. Harrison' s principles of internal medicine 18lh ed. United States of America;
The McGraw-Hill Companies. 2011
536
537
PENGERTIAN
Terapi suportif pada pasien kanker merupakan terapi yang diberikan pada
pasien kanker, yang menunjang pengobatan kanker. Pengobatan suportif ini tidak
hanya diperlukan pada pasien kanker yang menjalani pengobatan kuratif tetapi juga
pada pengobatan paliatif. Terapi suportif ini meliputi semua aspek kesehatan dan
terdiri dari berbagai prosedur yang bertujuan untuk meningkatkan atau setidaknya
mempertahankan kondisi kesehatan pasien sehingga ia dapat menerima pengobatan
kuratif (bedah, radiasi, kemoterapi, atau kombinasi) tanpa efek samping yang berarti.
1
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Perlu ditanyakan tipe nyeri (berdenyut, kram, seperti terbakar, dll), periodisitas
(terus-menerus, dengan /tanpa eksaserbasi, atau tiba -tiba), lokasi, intensitas, faktor
yang memperberat / memperingan, efek terapi, dampak fungsional, dampak terhadap
pasien.3 Beberapa penilaian kualitas nyeri yang dapat digunakan alat bantu seperti
Visual Analogue Scale (VAS), the Brief Pain Inventory, atau sistem klasifikasi nyeri
kanker Edmonton.2,3 Untuk menentukan mekanisme nyeri apakah termasuk nyeri
nosiseptif (somatik, viseral) atau neuropatik (tabel 1).
PanduanPrakdk Minis
Perhimpunan Dokter Speslaiis Penyakil Dalam Indonesia
HMSSSSHl Hematologi Onkologi Medik
Pemeriksaan Fisik
Umum dan status neurologis
Pemeriksaan Penunjang
• Laboratorium (sesuai indikasi): darah perifer lengkap, elektrolit
• Radiologis (sesuai indikasi): foto polos abdomen 3 posisi, CT scan, MRI
Anamnesis
Karena lelah terkait kanker bersifat subyektif, maka evaluasi klinis dilakukan
berdasarkan keluhan pasien sendiri. Alat bantu untuk menilai skala lelah seperti the
Edmonton Functional Assessment Tool, the Fatigue Self - Report Scales, dan the Rhoten
Fatigue Scale umumnya hanya dapat digunakan untuk keperluan penelitian, bukan
evaluasi klinis. Pada praktik klinis, evaluasi performa sederhana dapat menggunakan
Karnofsky Performance Status atau the Eastern Cooperative Oncology Groups. Perlu
juga diidentifikasi faktor -faktor yang berpotensi menyebabkan lelah seperti gangguan
tidur, anemia, nyeri, depresi, ansietas, gangguan elektrolit, anoreksia -cachexia,
hipotiroidisme, hipogonadisme, dan penyakit komorbid lainnya.2
Pemeriksaan Fisik
• Umum, status gizi, dan status psikiatri
• Konjungtiva anemis, tanda Chovstek, tanda Trousseau
538
Terapi Suportif pada Pasien Kanker
Pemeriksaan Penunjang
• Laboratorium (sesuai indikasi): darah perifer lengkap, elektrolit, fungsi kelenjar
tiroid, fungsi hati, profil lipid
III. DISPNEU2 3
Anamnesis
Dokumentasi dan nilai episode dispneu beserta intensitasnya. Derajat keparahan
dan efek terapi dapat dinilai melalui skala dispneu visual atau analog. Perlu juga
dievaluasi penyebab dispneu lain yang berpotensi reversibel atau dapat diobati
seperti infeksi, efusi pleura, emboli paru, edema paru, asma, atau tumor yang berada
di jalan napas.
Pemeriksaan Fisik
• Takipneu, restriksi gerakan dada ipsilateral, stem fremitus, bunyi napas, ronki,
mengi, ada / tidaknya distensi vena jugularis
• Tanda infeksi
Pemeriksaan Penunjang
• Laboratorium: darah perifer lengkap, D-dimer, analisa gas darah
• Radiologis: foto toraks PA/lateral
IV. DELIRIUM
Anamnesis
Disorientasi onset baru, gangguan kognitif, restlessness,somnolen, tingkatfluktuasi
kesadaran.2
Pemeriksaan Fisik
• Umum, status psikiatri, dan status neurologis
• Tanda infeksi
Pemeriksaan Penunjang
• Laboratorium (sesuai indikasi): darah perifer lengkap
539
# SSSESSSSfift Hematologi Onkologi Medik
Anamnesis
Kehilangan berat badan yang tidak dikehendaki, laju kehilangan berat badan, berat
badan sebelum sakit, penurunan nafsu makan dari biasanya, pola dietterakhir. Apabila
penurunan berat badan >5% dari biasanya (sebelum sakit] dalam 6 bulan maka harus
dicurigai cachexia, terutama apabila terdapat muscle wasting . Sedangkan bila terjadi
penurunan berat badan >10% menunjukkan adanya malnutrisi berat dan sindrom
cachexia -anoreksia mulai ditegakkan. Untuk mendapatkan informasi hilangnya nafsu
makan secara kuantitatif, dapat digunakan skor 0 - 7 dengan penjelasan 0 = tidak ada
nafsu makan, 1 = nafsu makan sangat kecil, 2 = nafsu makan kecil, 3 nafsu makan
=
cukup, 4 = nafsu makan baik, 5 = nafsu makan sangat baik, 6 = nafsu makan luar biasa,
7 = selalu lapar].4
Pemeriksaan Fisik
Umum dan antropometri secara keseluruhan; berat badan, tinggi badan , tebal
lemak subkutis, wasting jaringan, edema atau asites, tanda tanda defisiensi vitamin
dan mineral, serta status fungsional pasien. Harus diperhatikan apabila ditemukan
adanya muscle wasting dan hilangnya jaringan lemak merupakan tanda lanjut dari
malnutrisi .4
Pemeriksaan Penunjang4
• Laboratorium : albumin, prealbumin, transferrin, imbang nitrogen 24 jam , kadar
Fe, pemeriksaan sistem imun seperti limfosit total, fungsi hati dan ginjal, elektrolit,
dan mineral serum, C reactive protein (CRP).
Anamnesis
Karena lelah terkait kanker bersifat subyektif, diperlukan alat bantu untuk menilai
-
skala lelah seperti the Edmonton Functional Assessment Tool, the Fatigue Self Report
Scales, dan the Rhoten Fatigue Scale.
Pemeriksaan Fisik
• Umum, status psikiatri, dan status neurologis
• Tanda infeksi
540
Terapi Suportif pada Pasien Kanker $)
.
Pemeriksaan Penunjang
• Laboratorium (sesuai indikasi): darah perifer lengkap
TATALAKSANA
Morfin 5 -
2,5 5 PO 1 PO, PR, SC, Ganti ke morfin long-
acting
tiap 4 jam tiap 1 jam PRN IV
Keterangan: IV, intravena; PO, per oral; PR , per rectal; PRN, bila perlu; SC, subkutan; TD, transdermal
.
’Ratio ekuianalgesik disediakan untuk opioid oral vs morfin oral Contoh, hydromorphone 5x lebih poten daripada morfin
oral
Potensi methadone meningkat dengan dosis Ini sebaiknya dipertimbangkan dengan input spesialis
* *Morfin, hydromorphone, oxycodone, dan oxymorphone sekitar 2-3 kali lebih poten daripada sediaan oral / rektal
'“‘’Apabila nyeri st il ill s < if ii dlpeillmlxingkan formula long - acting untuk kenyamanan
liiyarlli u - ' u - i :ah pasien mencapai kontrol nyeri yang baik dengan dosis stabil opioid. Untuk mengganti
-
’“’Patch fentanyl
patch fentanyl de ' igai moili « al 11 u |l dosis total ekuivalen morfin per hari dalam milligram dengan 3,6 untuk mendapat dosis
"
patch fentanyl dalam mikrogram Contoh. 360 mg morfin/hari ekuivalen dengan patch fentanyl 100 mg
541
# EaSJSSSJHfiL Hematologi Onkologi Medik
III. DISPNEU2
• Intervensi bedah pada obstruksi jalan napas akibat pertumbuhan tumor: reseksi
bronkoskopik, elektrokauter, dilatasi balon, krioterapi, laser, brakiterapi
• Torasentesis terapeutik: pada efusi pleura besar. Hindari mengambil >1,5 L per
seting karena risiko reekspansi edema paru. Pleurodesis dan indwelling kateter
jangka panjang dapat menjadi pilihan bagi pasien dengan efusi pleura berulang
dengan ekspektasi harapan hidup 3 bulan.
• Suplementasi oksigen: meredakan hipoksemia
• Opioid, kortikosteroid, bronkodilator
IV. DELIRIUM
• Neuroleptik: haloperidol, chlorpromazine, olanzapine, dan quetiapine
• Golongan benzodiazepine disarankan karena memiliki efek sedasi dan amnesia,
namun juga berpotensi memperburuk delirium
542
Terapi Suportif pada Pasien Kanker
KOMPLIKASI
Hati-hati dengan efek samping morfin
PROGNOSIS
Tergantung etiologi dan respon terapi
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan
• RS non pendidikan
REFERENSI
1 . Reksodiputro AH. Pengobatan Suportif pada Pasien Kanker. Dalam : Sudoyo A, Setiyohadi B,
.
Alwi I, et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V. Jilid II. 2009. Hal 1482-97.
2 . .
Bruera E, Hui D. Palliative and Supportive Care Diunduh dari http:/ /www.clinicaloptions com/ .
_
inPractice/ Oncology /Supportive_Care / ch51 SuppCare-Palliative.aspx pada tanggal 21 Mei
2012.
3. Emanuel EJ. Palliative and End-of-Life Care. In : Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson
JL, Loscalzo J. Harrison ’ s Principles of Internal Medicine. 18lh Edition. New York, McGraw-Hill. 2012.
4. .
Sutandyo N. Terapi Nutrisi pada Pasien Kanker Dalam : Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I, et al. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jilid I. 2009. Hal 342-6.
543
544
PENGERTIAN
Tromboemboli vena merupakan suatu spektrum kondisi yang mencakup trombosis
vena dalam ( deep venous thrombosis/ DVT) dan emboli paru ( pulmonary embolism /
PE) .1 Sedangkan DVT merupakan suatu kondisi yang dikarakteristikkan oleh bekuan
darah pada vena, dan paling sering terjadi pada ekstremitas bawah, seringkali naik
menjadi emboli dan jaringan nekrosis. 2 Trombosis vena dalam dibagi menjadi 2
kategori prognosis yaitu 1) trombosis vena betis, dimana trombus tetap berada di
vena betis dalam, dan 2 ) trombosis vena proksimal, yang melibatkan vena popliteal,
femoral, atau iliaka. 3
Triad Virchow untuk trombogenesis terdiri dari : 1) gangguan pada aliran darah
yang menyebabkan stasis, 2 ) gangguan pada keseimbangan antara prokoagulan dan
antikoagulan yang menyebabkan aktivasi faktor pembekuan, dan 3) gangguan pada
dinding pembuluh darah (endotel) yang menyebabkan prokoagulan.4 Faktor risiko
tromboembolisme tercantum pada tabel 1.
PanduanPrakfikKIinis
Dokler
Perhimpunan Spesialls Penyakil Dalam Indonesia
Trombosis Vena Dalam
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis4 5
• Kram pada betis bagian bawah yang menetap selama beberapa hari dan
memberikan ketidaknyamanan seiring berjalannya waktu
• Kaki bengkak, nyeri tungkai bawah
• Riwayat trombosis sebelumnya
• Riwayat trombosis dalam keluarga
Nllal
Gambaran Kllnls
Ranker aktif (sedang terapi dalam 1-6 bulan, atau paliatif)
Paralisis, paresis, atau imobilisasi ekstremitas bawah
Terbaring selama > 3 hari atau operasi besar (dalam 4 minggu)
Nyeri tekan terlokalisir sepanjang distribusi vena dalam
Seluruh kaki bengkak
Pembengkakan betis unilateral 3 cm lebih dari sisi yang asimtomatik ( diukur
10 cm di bawah tuberositas tibia )
Pitting edema unilateral (pada tungkai yang simtomatik) 1
Keterangcan :
Interpretasi ( Pretestprobability DVT ) : > 3 = risiko tinggi ( 75%); 1-2 = risiko sedang ( 17%) ; < 0 = risiko rendah % .
( 3 ) Pada pasien yang
gejalanya pada kedua tungkai, tungkai yang lebih bergejala digunakan.
Pemeriksaan Fisik3 5
• Rasa tidak nyaman pada palpasi ringan betis bagian bawah
• Edema tungkai unilateral, eritema, hangat, nyeri, pembuluh darah superfisial dapat
teraba, Homan's sign ( + ), distensi vena, diskolorasi, sianosis
Pemeriksaan Penunjang:4 6
• Laboratorium :
Kadar antitrombin 111 menurun
Kadar fibrinogen degradation product [ FDP] meningkat
Titer D - dimer meningkat: indikator adanya trombosis yang aktif , sensitif tapi
tidak spesifik
545
(# E5S5S?JKSi Hematologi Onkologi Medik
• Radiologis :
Compression USG ( CUS): sensitivitas 95% dan spesifisitas 96 % untuk DVT
proksimal simptomatik, sensitivitas 11-100% dan spesifisitas 90-100% untuk
DVT distal simptomatik. Kriteria diagnostik USG dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel 3. USG Vena Dalam Tungkai Bawahs
Kriteria diagnosis DVT akut:
• Kriteria utama: kurangnya kompresibilitas vena
• Vena tidak " wink" saat kompresi perlahan pada cross-section
• Gagal untuk mendekati dinding vena akibat distensi pasif
Visualisasi trombus direk:
• Homogen
• Hipoekoik
Dinamika aliran Doppler abnormal
• Respon normal: kompresi betis meningkatkan sinyal aliran Doppler dan
mengkonfirmasi patensi vena proksimal dan distal
• Respon abnormal: aliran Doppler terhalangi dengan kompresi betis
Algoritma diagnostik bagi tersangka DVT dapat dilihat pada gambar 1.10
DIAGNOSIS BANDING
Ruptur kista Baker, selulitis, sindrom pasca phlebitis / insufisiensi vena.2
TATALAKSANA
Farmakologis
1. Terapi antikoagulan 35
• Merupakan terapi terpilih bagi sebagian besar pasien dengan trombosis vena
proksimal atau emboli paru
• Kontraindikasi absolut: perdarahan intrakranial, perdarahan aktif berat, pasca
operasi otak, mata, atau medula spinalis, dan hipertensi maligna
546
Trombosis Vena Dalam
f 1
Probabilitas Probabilitas
klinis rendah klinis sedang atau tinggi
i i
Tes D-dimer USG Doppler vena
ekstremitas tungkai
1 1 1
'
Negatif Positif 1
I Terapi
i [ 1
Follow- up lanjutan
Terapi Eksklusi DVT
(USG ke-2/ serial, venografi)
Negatif Positif
t I
Eksklusi DVT Diagnosis DVT
547
# fSSSSSSSSS. Hematologi Onkologi Medik
• Regimen low - molecular - weight heparin ( LMWH ) dan fondaparinux dapat
dilihat pada tabel 5 .
Tabel S . Regimen Low-Molecular-Weight Heparin (LMWH) dan Fondaparinux pada Terapi
Tromboemboli Vena 3
Obat ReJImen subkutan
Enoxaparin 2 x 1 mg /kg/harP
Dalteparin 1 x 200 IU /kg/ harib
Tinzaparin 1 x 175 IU /kg / haric
Nadroparin 2 x 6150 IU ( untuk berat badan 50-70 kg) d
Reviparin 2 x 4200 IU (untuk berat badan 46- 60 kg) °
Fondaparinux 1 x 7 , 5 mg/hari (untuk berat badan 50- 100 kg )
Keterangan:
aRegimen 1 x 1,5 mg/kg/hari dapat diberikan namun kurang efekfif pada pasien dengan kanker
Setelah 1 bulan, dapat diikuti dengan dosis 1 x 150 lU / kg / hari sebagai alternatif antagonis vitamin K oral
“jangka untuk terapi
panjang
cRegimen ini dapat juga digunakan untuk terapi jangka panjang sebagai alternatif antago
d2 x
nis vitamin K oral
4100 lU/hari bila berat badan pasien <50 kg atau 2 x 9200 lU / hari bila berat badan pashen >70 kg
' 2 x 3500 lU / hari bila berat badan pasien
-
35 45 kg atau 2 x 6300 lU /hari bila berat badan pasien >60 kg
' 1 x 5 mg /hari bila berat badan pasien <50 kg atau 1 x 10 mg/hari bila berat badan pasien
> 100 kg
• Jika diperlukan, dosis LMWH disesuaikan untuk mencapai target anti faktor
Xa : 0, 6 - 1 IU / ml - 4 jam setelah pemberian LMWH . 10
• Apabila unfractionated heparin digunakan sebagai terapi inisial, sangat penting
untuk mencapai efek antikoagulan adekuat yaitu aPTT di atas batas bawah
therapeutic range dalam 24 jam pertama . Regimen heparin dapat dilihat pada
tabel 6 .
-
aPTT 35-45 detik ( 1 ,2 1,5x kontrol) Bolus 40 U /kg, kemudian 2 U/kg / jam dengan infus
-
aPTT 46-70 detik (l,5 2,3x kontrol) Tidakada perubahan
aPTT 71 -90 detik ( 2,3-3x kontrol) Turunkan kecepatan infus 2 U/kg/ jam
aPTT >90 detik (>3x kontrol ) Hentikan infus selama 1 jam, kemudian turunkan
kecepatan infus 3 U /kg / jam
• Warfarin diberikan pada hari pertama atau kedua dengan dosis awal 5 mg /
hari - untuk mencapai target INR 2 - 3 dalam 4- 5 hari . Pada pasien usia lanjut,
berat badan rendah, warfarin diberikan dengan dosis awal yang lebih rendah
( 2 -4 mg / hari) . 10
548
Trombosis Vena Dalam
2 . Trombolisis
• Terapi ini tidak dianjurkan pada DVT karena risiko perdarahan intrakranial
yang besar, kecuali kasus tertentu seperti trombus ileofemoral masif atau
bagian dari protokol penelitian.8
3. Antiagregasi trombosit (aspirin, dipiridamol, sulfinpirazon)
• Bukan merupakan terapi utama
• Pemakaiannya dapat dipertimbangkan 3-6 minggu setelah terapi standar
heparin atau warfarin
KOMPLIKASI
Perdarahan akibat antikoagulan / antiagregasi trombosit, trombositopenia imbas
heparin, osteoporosis imbas heparin (biasanya setelah terapi > 3 bulan).
5
PROGNOSIS
Sekitar 50% pasien dengan DVT proksimal simptomatis yang tidak mendapat
diterapi akan berkembang menjadi emboli paru simptomatis dalam waktu 3 bulan.
Meskipun telah mendapat terapi adekuat, DVT dapat berulang. Sekitar 10% pasien
dengan DVT simptomatis berkembang menjadi sindrom post-trombosis berat dalam
5 tahun.9
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Departemen Radiologi, Bedah / Vaskular
• RS non pendidikan : Bagian Radiologi, Bedah
549
PraktiliKlinis Hematologi Onkologi Medik
REFERENSI
1 . . .
Ramzi DW Leeper KV DVT and Pulmonary Embolism: Part I, Diagnosis Am Fam Physician .
. . . .
2004;69:2829-36 Diunduh dari http:/ / www aafp org/ afp/ 2004/0615/p2829 pdf pada tanggal 29
Mei 2012 .
2. McGraw-Hill Concise Dictionary of Modern Medicine. New York, McGraw-Hill 2002 .
3. .
Hull RD, Pineo GF, Raskob GE. Venous Thrombosis In : Lichtman M, Beutler E, Sellghson U, et al .
. .
Williams Hematology 7th Edition New York, McGraw-Hill 2007 .
4 . .
Sukrlsman L. TromboslS Vend Dalam dan Emboli Paru Dalam : Sudoyo A, Setlyohadi B, Alwi I, et
. . . .
al. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam Edisi V Jilid II 2009 Hal 1354-8 .
5 . . .
GoldhaberSZ Deep Venous Thrombosis and Pulmonary Thromboembolism In : Ldngo DL, Fauci
. .
AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J Harrison' s Principles of Internal Medicine 18lh
Edition. New York, McGraw-Hill. 2012 .
6. Ho WK. Deep vein thrombosis: risks and diagnosis. Australian Family Physician July 2010:39:7
7. .
Ramzi DW. Leeper KV. DVT and Pulmonary Embolism: Part II Treatment and Prevention. Am Fam
Physician 2004:69:2841-8.
8. Kovacs MJ, Rodger M, Anderson DR, Morrow B, Kells G, Kovacs J, etal. Comparison of 10-mg and
5-mg warfarin initiation nomograms together with low-molecular-weight heparin for outpatient
treatment of acute venous thromboembolism. A randomized, double-blind, controlled trial, Ann
Intern Med 2003:138:716.
9. Kearon C. Natural history of venous thromboembolism. Circulation 2003:107 (23 suppl 1 ):T22—30.
10. Hirsh J, Lee AYY. How we diagnose and treat deep vein thrombosis. Blood 2002; 99; 3102-10.
550
551
TROMBOSITOSIS ESENSIAL
PENGERTIAN
Trombositosis esensial / TE [nama lainnya antara lain trombositosis primer,
trombositemia esensial, trombositosis idiopatik, trombositemia hemoragik) termasuk
dalam klasifikasi penyakit keganasan mieloproliferatif . TE merupakan kelainan klonal
dengan etiologi yang belum diketahui, yang melibatkan sel progenitor hematopoiesis
multipoten dengan manifestasi klinis produksi trombositberlebihan tanpa penyebab
yang jelas.1 Istilah trombositosis esensial lebih banyak dipakai di Amerika Serikat,
sedangkan di Eropa dikenal dengan trombositemia vera.2 Macam- macam etiologi
trombositosis dapat dilihat pada tabel 1.
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis1 2
• Tidak ada tanda dan gejala spesifik, 1/ 3 pasien tidak memiliki gambaran klinis
• Acroparesthesis \ sensasi gatal pada kaki yang diikuti dengan rasa nyeri / terbakar,
kemerahan, berdenyut, cenderungtimbul kembali disebabkan panas, pergerakan
jasmani dan hilang bila kaki ditinggikan (eritromialgia ).
• Riwayat mudah memar
• Riwayat gangguan penglihatan sementara, klaudikasio intermiten, infark / gangren
pada jari kaki dengan pulsasi arteri perifer masih baik, perdarahan spontan dari
hidung atau ginggiva, genitourinarius, saluran cerna
• Pada wanita hamil ditemukan riwayat abortus berulang, pertumbuhan janin
terhambat
Pemeriksaan Fisik1 2
-
• Splenomegali (70 %), hipertensi (30%), tanda tanda perdarahan atau trombosis
sesuai lokasi yang terkena
Pemeriksaan Penunjang1 4
• Laboratorium : darah perifer lengkap, morfologi darah tepi
• Pemeriksaan genetik molekuler
• Tes sitogenetika
• Biopsi dan aspirasi sumsum tulang : peningkatan selularitas dengan hiperplasia
megakariositik
552
Trombositosis Esensial
DIAGNOSIS BANDING
Seperti tercantum pada tabel 1.
TATALAKSANA 4
Tujuan pengobatan untuk menurunkan jumlah trombosit dan menurunkan fungsi
trombosit
• Untuk menurunkan trombosit:
-
o PThombopheresis > pada trombositosis akut dan gangguan hemostasis yang
mengancam nyawa
o Hydroxyurea : 10- 30 mg/ kgBB / hari. Hitung darah harus diperiksa dalam 7 hari
setelah terapi dimulai dan diperiksa secara rutin karena hydroxyurea dapat
menyebabkan mielosupresi dengan cepat
-
o Anagrelide. dosis awal 4 x 0,5 mg/ hari atau 2 x 1 mg/ hari (maksimal 10 mg/
hari), dosis disesuaikan dengan interval tiap minggu. Dosis pemeliharaan 2 -3 mg/
hari
o Rekombinan interferon alfa: 3 juta IU subkutan sebanyak 3x/ minggu
• Untuk menurunkan fungsi trombosit (terapi adjuvan):
o Aspirin dosis rendah (100 mg / hari) masih menjadi kontroversi
KOMPLIKASI
Risiko klinis komplikasi trombohemoragik pada trombositosis esensial tercantum
pada tabel 2 ,
Trombosis Perdarahan
Risiko V Riwayat trombosis sebelumnya Penggunaan aspirin dan nonsteroidal anti-
inflammatory drugs ( NSAIDs ) lainnya
Faktor risiko terkait kardiovaskular Trombositosis ekstrim ( trombosit > 1.500.000/ pL)
( terutama merokok )
Usia lanjut (> 60 tahun )
Trombositosis tidak terkontrol ( pada
pasien risiko tinggi)
Tanpa risiko Derajat trombositosis Masa perdarahan ( bleeding time)
terkait memanjang
Fungsi trombosit in vitro Fungsi trombosit in vitro
PROGNOSIS
Tergantung usia dan riwayat trombosis. Angka harapan hidup 10 tahun pada 64%-
80 % terutama pada pasien usia muda. Kurang dari 10% pasien dengan trombositosis
553
# !SSSSaK > Hematologi Onkologi Medik
esensial berubah menjadi leukemia mieloid akut dan kurang dari 5% berubah menjadi
mielofibrosis dengan metaplasia meiloid. 5
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan
• RS non pendidikan :
REFERENSI
1. . .
Spivak JL Polycythemia Vera and Other Myoproliferative Diseases In : Longo DL, Fauci AS, Kasper
. . .
DL, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J Harrison' s Principles of Internal Medicine 18lhEdition New
York, McGraw-Hill. 2012 .
2 . . .
Wahid I Trombositosis Esensial. Dalam : Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I, et al Buku Ajar Ilmu Penyakit
. . .
Dalam. Edisi V Jilid II 2009 Hal 1220-4 .
3. Harrison CN, Bareford D, Butt N, et al. Guideline for investigation and management of adults
and children presenting with a thrombocytosis. British Journal of Haematology 2010;149:352-375 .
4. . .
Schafer Al Essential Thrombocythemia and Thrombocytosis: Overview In : Lichtman M, Beutler
. .
E, Sellghson U, et al. Williams Hematology 7th Edition New York, McGraw-Hill 2007 .
5. . .
Ciesla B Hematology in Practice Philadelphia, FA Davis 2007.
554
<I I PENATALAKSANAAN
% BIDANGILMU PEN KIT
PANDUAN
U !Ji « 1
KARDIOLOGI
PENGERTIAN
Angina pektoris stabil adalah nyeri dada atau chest discomfort yang terjadi karena
keadaan seperti olahraga atau stres emosional yang meningkatkan kebutuhan oksigen
miokard. Karakteristik nyeri dada khas angina yang mengarah ke infark miokard /
iskemia miokard akut adalah: 1
1. Lokasi di dada/substernal/sedikit di kiri, dengan penjalaran ke leher, rahang, bahu kiri,
sampai dengan lengan dan jari- jari bagian ulnar, punggung/ pundak kiri.
2. Kualitas nyeri biasanya merupakan nyeri tumpul seperti rasa tertindih, terdesak,
diremas - remas, dada mau pecah. Seringkali disertai keringat dingin, sesak napas.
3. Nyeri pertama kali timbul biasanya agak nyata, dari beberapa menit sampai < 20
menit.
Nyeri dada ada yang memiliki ciri-ciri iskemik miokardium yang lengkap, sehingga
tak diragukan lagi diagnosisnya disebut nyeri dada (angina) tipikal, sedangkan nyeri
dada yang meragukan tidak memiliki ciri yang lengkap dan perlu dilakukan pendekatan
yang hati- hati disebut, nyeri dada (angina) atipik. Nyeri dada lain yang sudah jelas
berasal dari luar jantung disebut nyeri non kardiak.1 Klasifikasi angina pektoris stabil
dapat dilihat pada tabel 1.
PanduanPraktik Minis
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyokil Dalam Indonesia
m Kardiologi
Tabel 2. Probabilitas Penyakit Arteri Koroner Berdasarkan Usia dan Gejala (NEJM 1979:300:1350)3
Usia 1 Gejala 2 Gejala 3 Gejala
(tahun) laki-lakl (L) Perempuan (P) L P L P
30-39 4% 1% 34% 12% 76% 26%
40-49 13% 3% 51% 22% 87% 55%
50-59 20% 7% 65% 31% 93% 73%
60-69 27% 14% 72% 51% 94% 86%
Keterangan
Gejala : nyeri dada substernal, nyeri dada karena aktivitas, nyeri dada hilang saat istirahat
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Biasa muncul pada pria > 50 tahun atau wanita > 60 tahun dengan keluhan chest
discomfort (seperti berat, tertekan, diremas, terdesak, dan jarang nyeri yang nyata ),
biasanya lokasi di dada, crescendo -decrescendo, berlangsung 2 - 5 menit ( dapat
menjalar ke bahu maupun kedua lengan, punggung, interscapular, leher, rahang, gigi,
dan epigastrium ) . Biasanya episode angina muncul karena latihan atau emosi, dapat
juga saat istirahat dan membaik setelah istirahat. Pasien dapat terbangun pada malam
hari karena chest discomfort dan dispnea.2
Pemeriksaan Fisik
Auskultasi sebaiknya dilakukan pada pasien dengan posisi lateral dekubitus. Pada
auskultasi dapat ditemukan bruit arteri, bunyi jantung III atau IV, jika iskemi akut
atau infark sebelumnya merusak fungsi otot papilar maka dapat ditemukan murmur
sistolik di apikal karena regurgitasi mitral, meskipun tidak khas untuk iskemi miokard.2
Pemeriksaan Penunjang2
• Elektrokardiografi ( EKG ) : tidak spesifik, dapat ditemukan hipertrofi ventrikel
• Stress testing dengan EKG
.
• Rontgen dada: pembesaran jantung, aneurisma ventrikular (tidak khas)
556
Angina Pektoris Stabil
• Darah (untuk mengetahui faktor yang memperberat seperti DM, gangguan ginjal,
-
dan lain lain): GDS, profit lipid, hemoglobin A1C, fungsi ginjal
• Pencitraan jantung: SPECT, MSCT
Arteriografi koroner, dipertimbangkan pada : pasien yang tetap pada kelas III-IV
meskipun telah mendapat terapi yang cukup, pasien dengan risiko tinggi tanpa
mempertimbangkan beratnya angina, pasien - pasien yang pulih dari serangan
aritmia ventrikel yang berat sampai cardiac arrest, yang telah berhasil diatasi,
-
dan pasien pasien yang diketahui mempunyai disfungsi ventrikel kiri (fraksi
ejeksi < 45%)
TATALAKSANA
• -
Non farmakologis: stop rokok, stop alkohol, kurangi berat badan, olahraga 30 60
menit setiap hari.4
• Farmakologis: 24
Aspirin 75-162 mg/ hari
-
Hipertensi: ACE inhibitor, Renin Angiotensin -Aldosterone System Blockers,
Penyakit Beta.
Kontrol gula darah,lipid
Untuk obat-obatan nirat, nitrogliserin, penyakit beta dan calcium channel blocker
dapat dilihat pada tabel 3, 4 dan 5.
KOMPLIKASI
Aritmia jantung, regurgitasi mitral, gagal jantung kongestif, perikarditis, emboli
paru, renjatan kardiogenik, stroke.
557
PanduanPraktikKlinis Kardioloqi
Perhimpunan Dokter Spesialls Penyakil Dalam Indonesia
^
PROGNOSIS
Prognosis menggunakan bantuan tes Treadmill , akan didapatkan Dukes Treadmill
score seperti tercantum pada tabel 6.
m
Angina Pektoris Stabil
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Departemen Penyakit dalam - Divisi Kardiovaskular
• RS non pendidikan : Departemen Penyakit dalam - Divisi Kardiovaskular
REFERENSI
1 . .
Rahman, A Muin Angina pektoris stabil. Dalam : Sudoyo, Aru W. Setyohadi, Bambang. Alwi,
Idrus. Simadibrata, Marcellus. Setiati, Siti. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam Edisi V Jakarta: Pusat .
Informasi dan Penerbitan Departemen llmu Penyakit Dalam FKUI-RSCM ; 2009. Halaman 1735-39.
2. Ischemic heart disease in adult. Dalam : Fauci A, Kasper D, Longo D, Braunwald E, Flauser S,
Jameson J, Loscalzo J, editors. Plarrison ' s principles of internal medicine. 18lh ed. United States of
America; The McGraw-Fiill Companies, 2011.
3. Diamond GA, Forrester JS. Analysis of Probability as an Aid in the Clinical Diagnosis of Coronary-
Artery Disease. N Engl J Med 1979; 300: 1350-8.
,
4 . .
Theroux, Pierre. Angina Pectoris Dalam : Ausiello. Goldman. Cecil Medicine 23 d edition. Saunders
: Philadhelphia. 2007.
5. .
Fraker, Theodore D 2007 Chronic Angina Focused Update of the ACC / APIA 2002 Guidelines for
the Practice Management of Patients With Chronic Stable Angina: A Report of the American
College of Cardiology / American Heart Association Task Force on Guidelines Writing Group to
Develop the Focused Update of the 2002 Guidelines for the Management of Patients With Chronic
Stable Angina. J. Am. Coll. Cardiol. 2007:50:2264- 2274; originally published online Nov 12, 2007
5. Harris, Ian S. Foster, Elyse. Congenital Heart Disease in Adults. Dalam : Crawford, Michael H.
Current Diagnosis & Treatment Cardiology 3rd Edition. The MacGraw Hills Companies. 2009 .
6. Warnes, Carole A. et al. ACC / AHA 2011 Guidelines forthe management of adults with congenital
.
heart disease : executive summary Circulation. 2008:118:2395-2451;originally published online
November 7, 2008 : doi : 10.1161 / CIRCULATIONAHA .108.190811.
7. Fox, Kim. Et all. Guidelines on the management of stable angina pectoris: full text{The Task Force on
the Management of Stable Angina Pectoris of the European Society of Cardiology. Diunduh dari
: http:// www.escardio.org/ guidelines-surveys / esc -guidelines / GuidelinesDocuments/ guidelines-
angina-FT.pdf . pada tanggal 10 juni 2012.
559
560
PENGERTIAN
Unstable angina ( UA] adalah angina pektoris setara dengan ischemic discomfort
dengan 1 diantara 3 kriteria : 1. Muncul saat istirahat (atau latihan ringan), biasanya
berlangsung > 10 menit, 2 . Gejala berat dan baru pertama kali timbul, dan atau 3.
Muncul dengan pola crescendo (lebih berat, panjang, dan sering daripada sebelumnya).
Diagnosis Non ST Elevation Myocardial Infarction ( NSTEMI ) ditegakkan jika pasien
dengan UA memiliki nekrosis miokard, yang terlihat pada peningkatan cardiomarkers.1
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis 1
• Nyeri dada : lokasi regio substernal atau kadangkala epigastrium, yang menjalar
ke leher, bahu kiri, dan atau tangan kiri
• Sesak napas, epigastric discomfort
Pemeriksaan Fisik1
Jika iskemi miokard luas, dapat ditemukan diaphoresis, pucat, kulit dingin, sinus
takikardi, bunyi jantung ketiga atau keempat, ronki basal paru, terkadang ditemukan
hipotensi.
Pemeriksaan Penunjang1
• EKG : depresi segmen ST, peningkatan transien segmen ST dan atau inversi
gelombang T -> tampak pada 30-50% pasien.
• Cardiac Biomarkers : CK-MB dan Troponin meningkat
• Stress testing
• CT angiography
PanduanPraktik Minis
Perhimpunan Dokter SpeslaRs Penyakll Dalam Indonesia
Angina Pektoris Tidak Stabil /Non ST Elevation
Myocardial Infarction ( APTS / NSTEMI)
Tabel 1 . Kemungkinan Sindrom Koroner Akut
2
1 1
Aspirin dan clopidogrel EF turun, PCI Aspirin, clopidogrel ( upstream atau saat PCI)
ENOX, fonda, atau unfractioned sebelum UFH, ENOX, atau bival (tergantung hasil kateter
heparin (UFH) CABG sebelumnya)
i
Strategl Konservatff
Iskemi
rekurent
+ GP lla /llb inhibitor ( GPI)
I
1
Tes treadmill ketika stabil dan
Strategl Invaslf
i
sebelum pulang ranap
+ GPI Angiografl
I
f t PCI dengan GP Inhibitor meski
Risiko Risiko tinggi CABG
Terapi bivalen : pertimbangkan
Treadmill score < 11
1
rendah
i
clopidogrel vs dopi
I
besar (terutama
i
Defek perfusi
anterior ) , defek perfusi
Terapi medikamentosa jangka panjang
Terapi
medikamentosa
561
<r>
1B>
PandaanPraMIk Minis Kardiologi
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
^
DIAGNOSIS BANDING
ST elevation myocardial infarction (STEMI ).
TATALAKSANA 3
• Nitrat diberikan sublingual atau buccal spray [0,3- 0,6 mg). Jika telah diberikan
3 dosis dengan jeda 5 menit tetapi nyeri tetap ada, maka berikan nitroglycerin
intravena (5-10 g / menit), titer infus dapat dinaikkan 10 gram menit setiap 3-5
/
menit sampai gejala hilang atau tekanan darah sistol turun jadi < 100 mmHg.
Setelah 12 - 24 jam bebas nyeri, ganti nitroglycerin iv dengan oral / topikal.
• Beta Adrenergik Bloker : Metoprolol 4x 25-50 mg po . Jika diperlukan dan tidak
ada gagal jantung dapat dinaikkan bertahap 5 mg setiap 1- 2 menit.
• Atorvastatin 20 -80 mg
-
• Calcium channel blockers , verapamil atau diltiazem. Direkomendasikan untuk
pasien yang memiliki gejala persisten atau rekuren setelah terapi beta bloker
dan nitrat dosis penuh, atau pada pasien yang kontaindikasi ca channel blocker
• Angiotensin -Converting Enzyme (ACE) inhibitor
• Morfin ( bila diperlukan ) ; 2-5 mg IV dapat diulang setiap 5- 30 menit
• Antitrombotik
Tabel 1. Obat Antitrombotik pada NSTEMI
'
Antiplatelet oral
Aspirin Dosis awal 162-325 mg formula nonenterik lalu 75-162 mg / hari formula
enterik / nonenterik
Clopidogrel Loading dose 300-600 mg lalu 75 mg/hari
Prasugrel Pre-percutaneous coronary intervention ( PCI) : Loading dose 60 mg lalu
10 mg/ hari
Antiplatelet Intravena
Abciximab 0.25 mg/ kg bolus lalu infus 0.125 g / kg per menit ( maksimal 10 g /menit )
selama 12-24 jam
Eptifibatid 180 g/ kg bolus lalu infus 2.0 g /kg/ menit selama 72-96 jam
Tirofiban 0.4 g/kg/menit selama 30 menit lalu infuse 0,1 gram/kg selama 48-96 jam
Hepartns
Unfractionated Bolus 60-70 U /kg ( maksimal 5000 U) IV lalu infus 12-15 U /kg/ jam ( dosis
Heparin ( UFH ) maksimal awal 1000 U / jam) titrasi sampai PTT 50- 70 detik atau 1 ,5-2,5
kali kontrol
Enoxaparin 2x 1 mg /kg SC, dosis awal 30 mg iv bolus. Disesuaikan dengan kondisi
ginjal jika creatinin clearance < 30 cc /menit : 1 xl mg /kg
Fondaparinux 2.5 mg SC qd
Bivalirudin Dosis awal 0,1 mg/kg iv bolus, infuse 0,25 mg.kg/jam. Sebelum PCI, dapat
ditambahkan 0,5 mg/kg iv bolus dan infuse dinaikkan sampai 1,75 mg/kg/jam.
562
Angina Pektoris Tidak Stabil/Non ST Elevation
Myocardial Infarction ( APTS / NSTEMI)
PROGNOSIS
Prognosis NSTEMI berdasarkan TIMI Risk Score dapat dilihat pada tabel 1.
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan
• RS non pendidikan : -
REFERENSI
1 . Unstable Angina and Non ST Elevation Miocard Infark. Dalam : Fauci A, Kasper D, Longo D,
.
Braunwald E, Hauser S, Jameson J, Loscaizo J, editors Harrison' s principles of internal medicine.
18th ed. United States of America; The McGraw-Hill Companies, 2011 .
2. .
Anderson, Jeffrey L Et all. ACC / AHA 2007 Guidelines for the Management of Patients With Unstable
.
Angina / Non-ST-Elevation Myocardial Infarction Vol. 50, No. 7, 2007.
3. Wright, R. Scott. 2011 ACCF/ AHA Focused Update of the Guidelines for the Management of
Patients With Unstable Angina /Non-ST-Elevation Myocardial Infarction ( Updating the 2007
Guideline) . J Am Coll Cardiol, 2011; 57:1920- 1959, doi;10.1016/ j. jacc.2011.02.009.
4. Goncalves, Pedro de Araujo. Et all. TIMI, PURSUIT, and GRACE risk scores : sustained prognostic
value and interaction with revascularization in NSTE- ACS. European Heart Journal ( 2005 ) 26, 865-
872. Doi:10.1093 / euheartj/ehi187.
563
564
ST ELEVATION MYOCARDIAL
INFARCTION (STEMI)
PENGERTIAN
Menurut ACC/ AHA STEMI Guidelines 2004, STEMI adalah elevasi segmen ST > lmm
pada 2 lead berturut-turut (baik prekordial atau limb leads ). Progresifitas infark
miokard dibagi menjadi 1. akut (beberapa jam pertama- 7 hari), 2 . healing ( 7-28 hari),
dan 3. Sembuh ( 29 hari) . 1
DIAGNOSIS
Anamnesa
Nyeri visera seperti terbakar atau tertusuk, letaknya biasanya di dada tengah atau
epigastrium, biasanya terjadi pada saat istirahat, terkadang menjalar ke lengan, dapat
juga ke perut, punggung, rahang bawah, dan leher, nyeri dibarengi dengan lemah,
nausea, keringat, muntah, ansietas.1
Pemeriksaan Fisik
Pucat, eketremitas teraba dingin, dapat ditemukan takikardi dan atau hipertensi
( pada anterior infark), bradikardi dan atau hipotensi ( posterior infarc ) . Terdapat
bunyi jantung III dan IV, penurunan intensitas bunyi jantung, paradoxical splitting
pada bunnyi jantung II, dapat juga ditemukan transient midsystolic atau late systolic
apical systolic murmur karena disfungsi katup mitral. Pericardial friction rub dapat
ditemukan pada transmural STEMI. Pulsasi karotis seringkali menurun dalam volume. 1
Laboratorium 1
1. EKG : elevasi segmen ST dengan gelombang Q
45
40
35
30
£
25
ra
20
S<
2 15
o
10
5 •
0
0 10 24
Waktu setelah onset nyeri dada
Keterangan: > = GPBB, o = mioglobin, = Troponin T, segitiga penuh: CKMB
3 . Pencitraan jantung
• Ekokardiografi : infark ventrikel kanan, aneurisma ventrikel, efusi perikardial ,
dan trombus ventrikel kiri. Doppler ekokardiografi untuk deteksi dan kuantitas
defek septum ventrikel dan regurgutasi mitral .
• Cardiac MRI
565
frl randuanPraklik Mills Kardioloqi
Perhimpunan Dokler Speslalis PenyaWI Dolam Indonesia
DIAGNOSIS BANDING
Unstable angina, Non ST Elevation Myocardial Infarction, gambaran EKG elevasi
segmen ST: perikarditis dengan miokard infark, kor pulmonal akut, kontusio miokard,
dressier's syndrome.
TATALAKSANA
Pada ruang emergensi
1. Aspirin: 160-325- mg tablet buccal, lanjutkan 75-162 mg / hari.1
2. Jika hipoksemia, berikan suplementasi 02 2-41/ menit selama 6 -12 jam
3. Kontrol ketidaknyamanan
• Nitrogliserin sublingual 3x0,4 mg dengan jeda 5 menit. Bila gejala tidak hilang,
berikan nitrogliserin intravena.
• Morfin 2 - 4 mg intravena, dapat diulang sampai 3 kali dengan jeda 5 menit.
• Betabiocker iv: Metoprolol 5 mg. 2-5 menit sebanyak 3 kali.15 menit setelah dosis
ke- 3, berikan 4x50 mgp.o selama 2 hari, lalu 2xl00mg. atenolol: 2,5-5 mg selama
2 menit, total 10 mg selama 10 -15 menit. bisoprolol lx 2,5-10 mg. Percutaneous
Coronary Intervention ( PCI): jika diagnosis meragukan, kontraindikasi terapi
fibrinolisis, ada renjatan kardiogenik, risiko perdarahan meningkat, atau gejala
tidak tertangani dalam 2 - 3 jam.
4. Terapi revaskularisasi
• Jika tidak tersedia sarana Intervensi Koroner Perkutan ( IKP) atau tidak
mungkin mengerjakan IKP primer < 2 jam
a. Terapi Fibrinolisis 5
• Waktu pemberian: efektifitas menurun dengan lamanya waktu, terutama
bila > 3 jam setelah onset
• Indikasi : serangan < 12 jam, elevasi segmen ST > 0,1 mV ( > lmm ) dalam 2
lead berturut -turut atau adanya Left Bundle Branch Block ( LBBB)
• Kontraindikasi :
Absolut: neoplasma intrakranial, aneurisma, malformasi arteri vena,
strok non hemoragik atau trauma kepala tertutup dalam 3 bulan terakhir,
perdarahan internal aktif atau adanya perdarahan diastesis, curiga
diseksi aorta
Relatif: hipertensi berat dengan tekanan darah sistol > 180 atau diastol
> 110 mmHg, strok iskemik, resusitasi kardiopulmonal yang lama > 10
menit, trauma atau operasi besar dalam 3 minggu terakhir, perdarahan
interna dalam 2 -4 minggu terakhir, noncompressible vascular puncture,
kehamilan, menggunakan antikoagulan.
566
ST Elevation Myocardial Infarction (STEMI)
KOMPLIKASI
Disfungsi ventrikel, hipovolemia, gagal jantung kongestif , renjatan kardiogenik,
infark ventrikel kanan, aritmia, ventrikel takikardi dan fibrilasi.1
PROGNOSIS
Terapi jangka panjang dengan antiplatelet agent (biasanya aspirin) mengurangi
angka kekambuhan STEMI sebesar 25%.1
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Departemen Rehabilitasi Medik
• RS non pendidikan: Departemen Rehabilitasi Medik
567
frl
Vljp
Pa»duanPraWlk Klinls Kardiologi
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
Diagnosis STEMI*
*
Segera kirim ke RS
dengan fasilitas PCI
IKP Primer < Va Tidak
Lebih baik
< 90menit
Rescue PCI Lebih baik
<30menit
Segera
Segera kirim
ke RS dengan
Tidak Fibrinolisis fasilitas PCI Fibrinolisis
+
•
sukses ^ segera
Ya
Lebih baik
3-24jam
Anglografl koroner
*The time point the diagnosis incomfirmed with patient
history and ECG ideally within 10 min from the first medical contact(FMC)
All delay are related to FMC (first medical contact)
FMC = first medical contact, IKP = Intervensi Koroner Perkutan, STEMI = ST Segment Elevation Myocardial Infarction
REFERENSI
1. ST Elevation Miocard Infark. Dalam: Fauci A, Kasper D, Longo D, Braunwald E, Hauser S, Jameson
J, Loscalzo J, editors. Harrison ' s principles of internal medicine. I8lh ed. United States of America:
The McGraw-Hill Companies, 2011.
2. Boyle, Andrew J. Jaffe, Allan S. Acute Myocardial Infarction. Dalam: Crawford, Michael H Current .
Diagnosis & Treatment Cardiology 3rd Edition. The MacGraw Hills Companies. 2009.
3. Jois, Preeti. NSTEMI and STEMI Therapeutic Updates 2011. Emergency Medicine Reports / Volume
32, Number 1 / January 1 , 2011 .
4. Anderson, Jeffrey L. ST Segment Elevation Acute Myocardial Infarction and Complications
of Myocardial Infarction. Dalam: Ausiello. Goldman. Cecil Medicine 23,d edition. Saunders:
Philadhelphia. 2007 .
5. Wright, R Scott. 2011 ACCF/AHA Focused Update of the Guidelines for the Management of Patients
With Unstable Angina / Non-ST-Elevation Myocardial Infarction ( Updating the 2007 Guideline) .
6. http:// en.wikipedia.0rg/ wiki/ File:CardiacMarkerC0mparis0n.JPG
568
569
PENGERTIAN
Penyakit jantung koroner (PJK) adalah penyempitan atau blokade arteri yang
mensuplai oksigen dan nutrisi ke jantung. Penyempitan itu dapat disebabkan
ateroskeloris yaitu akumulasi zatlemakpada bagian dalam arteri yang menyebabkan
keterbatasan aliran darah ke jantung.1
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Nyeri dada, napas pendek, letih, lemah, berkurangnya kapasitas aktivitas, palpitasi,
kaki bengkak, berat badan turun, gejala yang berkaitan dengan faktor risiko seperti
DM dan hipertensi.3
Pemeriksaan Fisik
Dapat ditemukan hipo / hipertensi, S4/S3 gallop, murmur, edema tungkai, dan
pemeriksaan fisik lain yang berkaitan dengan faktor risiko.3
Pemeriksaan Penunjang
• Darah: Darah lengkap, profil lipid, hemoglobinAlc, gula darah
• Elektrokardiografi : inversi gelombang T pada lead aVL
• Stress testing
• Ekokardiografi
• Arteriografi jika ditemukan hasil tes risiko tinggi yaitu pada Tes Treadmill
PanduanPrakdk Minis
Pertiimpunan Dokter Spesiafis Penyakit Dalam Indonesia
/rS P»ndu n PrakUk Minis Kardiologi
vaW ? W
.
*
Perhlmpunan DoklerSpesialis Penyakil Dalam Indonesia
ditemukan depresi ST > 2 mm atau > 1 mm pada stage 1 atau di > 5 lead atau
recovery > 5 menit , menurunnya tekanan darah, angina selama latihan, duke score
< -11, serta fraksi ejeksi < 35%.
DIAGNOSIS BANDING
Penyakit jantunghipertensi, angina pektoris stabil dan tidakstabil, infarkmiokard.
Gambaran EKG T inverted: miokarditis, kardiomiopati.
TATALAKSANA4
Tujuan terapi: tekanan darah < 140 /90 mmHg, HbAlc < 7%, kolesterol LDL <_100
mg/ dL (< 70 mg/ dL pada pasien dengan DM).
Non farmakologis : stop rokok, olahraga 30-60 menit/ hari, kurangi berat badan
( BMI 21-25 kg/ m 2)
• Hipertensi: ACE inhibitor, beta blocker, calcium channel blocker, diuretik
• Aspirin 81-162 mg/ hari, clopidogrel 75 mg/ hari, prasugrel
• Nitrat
• Hiperkolesterolemia : statin
KOMPLIKASI
Strok, infark miokard, aritmia.
PROGNOSIS
Prognosis tergantung beratnya penyakit.
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan
• RS non pendidikan : -
REFERENSI
1. Coronary artery disease definition. Diunduh dari : http:/ /medical-dictionary.thefreedictionary.
com/ coronary+artery+disease pada tanggal 10 juni 2012.
2. Crawford, MH. Chronic Ischemic Heart Disease. Dalam : Crawford, Michael H. Current Diagnosis
& Treatment Cardiology 3,d Edition. The MacGraw Hills Companies. 2009.
570
Penyakit Jantung Koroner
3. .
Ischemic heart disease in adult Dalam : Fauci A, Kasper D, Longo D, Braunwald E, Hauser S,
.
Jameson J, Loscalzo J, editors Harrison' s principles of internal medicine. 18lh ed. United States of
America; The McGraw-Hill Companies, 2011 .
4. The UCLA Comprehensive AtherosclerosisTreatment Program Clinical Practice Guideline. Diunduh
. .
dari : www.med ucla edu/ champ / CHAMP05b.pdf pada tanggal 10 juni 2012
5. Cardiovascular Disease (ASCVD) Prevention, Screening, and Treatment Guideline. Diunduh dari
.
; http://www.ghc.org/all-sites/guidelines/ascvd pdfpada tanggal 10 juni 2012 .
571
572
BRADIARITMA
PENGERTIAN
Bradikardia adalah laju denyut jantung kurang dari 60 kali/ menit. Pada orangyang
sering berolahraga, laju denyut jantung 50 kali / menit saat terjaga dapat merupakan
hal yang normal. Sinus bradikardia yang penting secara klinis umumnya didefinisikan
sebagai laju denyut jantung kurang dari 45 kali / menit yang menetap saat terjaga.
Disfungsi nodus sinus / sinus node dysfunction (SND), atau lebih dikenal dengan sick
sinus syndrome (SSS), dapat juga merupakan manifestasi dari kegagalan akselerasi
laju sinus (kurangnya respons kronotropik) dalam situasi seperti olahraga, gagal
jantung, demam, obat simpatomimetik, atau parasimpatolitik. Sangat penting untuk
menentukan bahwa SND termasuk sinus bradikardia pada seorang individu bukanlah
-
akibat sekunder dari obat kardioaktif seperti fi blockers atau calcium-channel blockers
non dihydropyridine.1 Klasifikasi bradiaritmia secara umum dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Klasifikasi Bradikardia 1
Disfungsi nodus sinus / sinus node dysfunction (SND)
• Sinus bradikardia <45 kali/menit
• Sinoatrial exit block (SA block ) : derajat satu, derajat dua, derajat tiga
• Sinus arrest
• Bradycardia-tachycardia syndrome
Blok atrioventrlkular (AV block)
• Derajat satu
• Derajat dua : Mobitz tipe I ( fenomena Weckenbach), Mobitz tipe II, derajat lebih tinggi
(contoh 2:1, 3:1)
• Derajat tiga (blok total) : atrioventricular node, sistem His-Purkinje
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis1 2
• Gejala bradikardia: pusing, lelah, exertional dyspnea, perburukan gagal jantung,
lightheadedness ( presinkop], atau pingsan / sinkop
• Sindrom nervus vagus: episode vasovagal, muntah, bedah abdomen, prosedur
invasif saluran cerna atas dan bawah
PanduanPraktik Klinis
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyaklf Dalam Indonesia
•
Bradiaritma
Pemeriksaan Fisik1 2
• Tekanan darah, nadi: dapat ditemukan bradikardia, takikardia (pada bradycardia-
tachycardia syndrome).
• Stimulasi sinus karotis: masase karotis dilakukan saat pasien supine dan nyaman,
dengan kepala menengok ke arah yang berlawanan dengan sisi yang distimulasi.
Auskultasi bruit karotis perlahan-lahan sebelum dilakukan masase karena dapat
terjadi emboli akibat masase. Palpasi sinus karotis pada bifurkasio arteri dengan 2
jari, pada sudut rahang sampai pulsasi yang bagus teraba. Dengan tekanan minimal
dapat menginduksi reaksi hipersensitivitas pada individu yang terkena. Apabila
tidak ada efek inisial, gerakan jari memutar atau sisi-demi-sisi ( side - by-side ) di
atas bifurkasio arteri dilakukan selama 5 detik. Respons negatif adalah kurangnya
efek pada EKG setelah penekanan adekuat selama 5 detik yang menyebabkan rasa
tidak nyaman yang ringan (tidak ada penurunan laju denyut nadi s 20 %) . Karena
respons masase dapat berbeda pada kedua sisi, maneuver ini dapat dilakukan pada
sisi kontralateral, akan tetapi kedua sisi tidak boleh dirangsang secara bersamaan.
• Temuan fisik lain sugestif penyakit struktural jantung.
Pemeriksaan Penunjang’ 3
• EKG 12 sadapan. Interpretasi EKG dapat dilihat pada tabel 2.
• Ambulatory monitoring, Holter monitors (lebih lengkap lihat pada bab prosedur
Hotter Monitoring ), event monitors, implantable loop recorders
• Tilt table testing : untuk menyingkirkan diagnosis sinkop neurokardiogenik
• Sulphate Atropine test
• Studi elektrofisiologis
• Ekokardiografi
• Exercise testing
573
| ,\
f PanduanPraktik Minis Kardiologi
-
By 1
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakit Dalam Indonesia w
DIAGNOSIS BANDING
Sinus bradikardia fungsional , peningkatan rangsang vagal, kondisi gastrointestinal
dan neurologis, sinkop neurokardiogenik, hipersensitivitas sinus karotis ( carotid sinus
syndrome/ collar syndrome , inflamasi ( perikarditis, miokarditis, penyakit jantung
reumatik, penyakit Lyme ) , iatrogenik, pasca operasi, penyakit jantung kongenital,
penyakit infeksi.134
TATALAKSANA
• Apabila tanpa gejala (asimptomatik] terapi tidak diperlukan1
• Manajemen SND dan blok AV derajat II dan III : atropine 1 mg IV atau isoproterenol
1- 2 pg / menit infusan, pacu jantung sementara mungkin dibutuhkan1
• Sinus bradikardia : apabila curah jantung tidak cukup atau bila aritmia berkaitan
dengan laju denyut jantung pelan, berikan atropine 0,5 mg IV sebagai dosis inisial,
dapat diulang bila perlu . Pada episode sinus bradikardia simtomatikyang lebih dari
sesaat atau rekuren (mis. saat infark miokard], pacu jantung sementara melalui
elektroda transvena lebih disukai daripada terapi obat yang lama atau berulang.
Pada sinus bradikardia kronis, pacu jantung permanen mungkin dibutuhkan bila
ada gejala 2
574
Bradiaritma !'
• Sinus aritmia: terapi biasanya tidak diperlukan. Meningkatkan laju denyut jantung
dengan olahraga atau obat- obatan umumnya menghilangkan sinus aritmia. Pada
pasien simtomatik, palpitasi dapat reda dengan sedatif / penenang, sedangkan
2
atropin, efedrin, atau isoproterenol untuk terapi sinus bradikardia
• BlokAV: pacu jantung buatan sementara atau permanen. Eksklusi penyebabblok
AV reversibel berdasarkan kondisi hemodinamik pasien . Terapi farmakologis
adjuvan seperti atropin atau isoproterenol mungkin dibutuhkan bila blok berada
di AV node. Pacu jantung transkutaneus sangat efektif pada serangan akut, namun
durasi pemakaian sangat tergantung dari kenyamanan pasien dan kegagalan
menangkap ventrikel pada penggunaan jangka panjang. Bila pasien memerlukan
dukungan pacu jantung lebih dari beberapa menit -> gunakan pacu jantung
transvena. Sadapan pacu jantung sementara dapat diletakkan pada sistem vena
jugularis atau subklavia dan diteruskan ke ventrikel kanan. Pada kebanyakan kasus
-
blok AV node distal tanpa adanya resolusi > pacu jantung permanen. Rekomendasi
3
Kelas I
1 . Disfungsi SA node dengan bradikardia simptomatik atau jeda sinus ( sinus pauses )
2. Disfungsi SA node simtomatik sebagai akibat dari terapi obat esensial jangka panjang tanpa
alternatif yang dapat diterima
3. Simptomatik chronotropic incompetence
4. Fibrilasi atrial dengan bradikardia dan jeda > 5 detik
Kelas lla
1. Disfungsi SA node dengan laju denyut jantung <40 x/menit tanpa hubungan yang jelas dan
konsisten antara bradikardia dan gejala
2. Disfungsi SA node dengan laju denyut jantung <40 x /menit akibat dari terapi obat esensial
jangka panjang tanpa alternatif yang dapat diterima, tanpa hubungan yang jelas dan
konsisten antara bradikardia dan gejala
575
HI
t ry
Panil«a» Praktik Minis Kardiologi
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
^
3. Sinkop tanpa sebab yang diketahui saat abnomalitas disfungsi SA node diketahui atau
diprovokasi oleh pemeriksaan elektrofisiologis
Kelas lib
1 . Pasien simtomatik ringan dengan laju denyut jantung <40 x/menit saat terjaga
Kelas III
1 . Disfungsi SA node pada pasien simptomatik, meskipun laju denyut jantung <40 x/menit
2. Disfungsi SA node pada gejala sugestif bradikardia yang tidak berhubungan dengan laju
denyut jantung lambat
3. Disfungsi SA node pada bradikardia simtomatik akibat terapi obat non-esensial
Keterangan :
Kelas I : keuntungan jauh melebihi risiko prosedur dan prosedur dinilai efektif sebagai terapi
Kelas lla : keuntungan melebihi risiko proisedur dan prosedur kemungkinan besar efektif sebagai terapi
Kelas lib : keuntungan mungkin melebihi bihi risiko prosedur dan kegunaan prosedur sebagai terapi tidak tentu efektif
Kelas III : risiko mungkin melebihi keuntungan prosedur dan prosedur tidak direkomendasikan untuk dikerjakan
KOMPLIKASI
Pacemaker syndrome, takikardia terkait pacu jantung.3
PROGNOSIS
Beberapa penelitian6 7 mengevaluasi morbiditas dan mortalitas pasien dengan SSS
yang menggunakan berbagai mode pacu jantung. Bila dibandingkan dengan pacu ventrikel,
pacu atrium berkaitan dengan insidens komplikasi tromboemboli, atrial fibrilasi, gagal
jantung, mortalitas kardiovaskular, dan morbiditas total lebih rendah.8,9 Pasien dengan
SSS dengan gejala sinus bradikardia saja, memiliki prognosis yang lebih baik.4
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan
• RS non pendidikan
REFERENSI
1 . AkhtarM. Cardiac Arrythmias with Supraventricular Origin. In: Goldman, Ausiello. Cecil Medicine.
23rd Edition. Philadelphia. Saunders, Elsevier. 2008 .
2. Olgin J. Specific Arrhythmias: Diagnosis and Treatment . In : Libby P, Bonow RO, Mann DL, Zipes
DP. Braunwald' s Heart Disease. 9 th Edition. Philadelphia. Saunders, Elsevier. 2012.
3. Spragg D. The Bradyarrythmias. In: Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo
J. Harrison’ s Principles of Internal Medicine. 18th Edition. New York, McGraw-Hill. 2012.
4. Adan V , Crown L . Diagnosis and Treatment of Sick Sinus Syndrome . Am Fam
Physician. 2003 Apr 15;67 ( 8) :1725-1732 .
576
Bradiaritma
5. Elhendy A, Domburg RT, Bax JJ, et al. The functional significance of chronotropic incompetence
during dobutamine stress test. Heart 1999;81:398-403
6. Lamas GA, Lee K, Sweeney M, Leon A, Yee R, Ellenbogen K, et al. The mode selection trial
(MOST) in sinus node dysfunction; design, rationale, and baseline characteristics of the first 1000
patients. Am Heart J. 2000;140:541-51 .
7. . .
Tang CY Kerr CR, Connolly SJ. Clinical trials of pacing mode selection. Cardiol Clin 2000;18:1-23.
8. .
Mangrum JM, DiMarco JP The evaluation and management of bradycardia. N Engl J
Med. 2000;342:703-9.
9. Andersen HR, Nielsen JC, Thomsen PE, Thuesen L, Mortensen PT, Vesterlund T, et al. Long-
term follow-up of patients from a randomised trial of atrial versus ventricular pacing for sick-sinus
syndrome. Lancet. 1997;350:1210-6.
577
578
TAKIARITMIA
PENGERTIAN
Sinus takikardia didefinisikan sebagai peningkatan laju denyut sinus >100x / menit
sebagai respons stimulus fisiologis sesuai ( mis. olahraga) atau stimulus berlebihan
( mis. hipertiroidisme). Kegagalan mekanisme yang mengatur laju denyut sinus dapat
menyebabkan sinus takikardia yang tidak sesuai. Penyebabnya antara lain pireksia,
hipovolemia, atau anemia, yang dapat berasal dari infeksi. Obat-obatan yang dapat
menginduksi sinus takikardia termasuk stimulan (kafein, alkohol, nikotin); komponen
yang diresepkan (salbutamol, aminofilin, atropine, katekolamin); terapi antikanker
(doxorubicin / adriamycin, daunorubicin); dan beberapa obat rekreasional/ ilisit
(amfetamin, kokain, kanabis, "ecstasy" ) .1
Istilah takiaritmia umumnya merujuk pada bentuk takikardia berkelanjutan
(sustained) atau tidak ( nonsustained' ), yang berasal dari fokus miokardial atau sirkuit
reentrant.2 Takiaritmia supraventrikular dapat terjadi tunggal atau sebagai kompleks
prematur berturut-turut atau dalam bentuktakikardia sustained atau nonsustained. Defmisi
nonsustained tachycardia adalah suatu aritmia dengan laju denyut jantung >100x/menit
yang berlangsung > 3x namun bertahan <30 detik. Sustained tachycardia adalah episode
pemanjangan takikardia yang berlangsung sedikitnya 30 detik atau diterminasi lebih awal
dengan intervensi, seperti obat-obatan intravena, overdrive pacing , atau direct current
electrical cardioversion karena situasi yang mendesak (urgent).2
Penting untuk membedakan takikardia ventrikular (VT) dari SVT dengan konduksi
intraventrikular abberant karena (a) VT umumnya lebih berat ( meskipun SVT dapat
juga mencetuskan iskemia akut atau gagal jantung), dan (b) terapi lini pertama SVT
-
seperti 0 blocker dan calcium - channel blocker (CCB) dapat mencetuskan kolaps
hemodinamik pada pasien VT. SVT pada pasien dengan bundle branch block ( BBB)
dapat diidentifikasi dengan ketidaksesuaian QRS pada sadapan dada ( kompleks
positif predominan pada V1-V 2 hanya dengan right bundle branch block ( RBBB), dan
left bundle branch block (LBBB) hanya pada V 5-V6. Sementara takikardia pacemaker -
dependent diidentifikasi berdasarkan pacemaker spikes dan adanya generator
pacemaker pada pemeriksaan klinis dan radiologis.4
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis13'5'4
• Palpitasi, melambatnya nadi atau pusing akibat denyut prematur, dengan
takiaritmia cepat dapat terjadi gangguan hemodinamik seperti pusing atau pingsan
akibat penurunan curah jantung atau sulit bernapas.
• Terkadang dapat terjadi rasa tidak nyaman pada dada yang menyerupai gejala
iskemi miokard.
• Kegagalan hemodinamik dengan berkembangnya fibrilasi ventrikel dapat
menyebabkan kematian mendadak / sudden cardiac death (SCD).
• Kondisi jantung komorbid umumnya menentukan derajat keparahan gejala pada
laju jantung tertentu.
• Riwayat penyakit komorbid seperti hipertiroidisme.
• Perlu juga ditanyakan riwayat konsumsi obat-obatan stimulan (kafein, alkohol,
nikotin ) ; komponen yang diresepkan (salbutamol, aminofilin , atropine,
katekolamin); terapi antikanker (doxorubicin /Adriamycin, daunorubicin); dan
obat adiktif (amfetamin, kokain, kanabis, "ecstasy" )
Pemeriksaan Fisik35 4
• Maneuver fisik saat takikardia : maneuver Valsava atau masase sinus karotis
dapat menyebabkan peningkatan tonus vagal sementara; takiaritmia yang
bergantung pada nodus AV untuk kontinuasi dapat berhenti atau melambat
dengan maneuver ini, namun dapat juga tidak ada perubahan. Takikardia atrium
fokal sesekali berhenti karena respons stimulasi vagal, begitu juga takikardi
ventrikel yang jarang. Takikardia sinus sedikit melambat mengikuti stimulasi
vagal, dan kembali ke laju semula langsung setelahnya; respon ventrikel saat
fluter dan fibrilasi atrium dan takikardia atrium lainnya dapat menurun dengan
jelas. Selama takikardia QRS lebar 1:1 hubungan antara gelombang P dengan
kompleks QRS, pengaruh vagal dapat menggentikan atau memperlambat takikardia
supraventrikular (SVT) yang tergantung pada nodus AV; sebaliknya efek vagal
pada nodus AV dapat memblok konduksi retrograd sementara dan menegakkan
diagnosis VT yang menunjukkan disosiasi AV. Efek dari maneuver ini hanya
bertahan beberapa detik; sehingga pemantauan adanya perubahan pada EKG saat
maneuver ini dilakukan seringkali tidak dianggap
• Stimulasi sinus karotis (lebih lengkap lihat pada bab Bradiaritmia )
• Temuan fisik sugestif penyakit struktural jantung (lebih lengkap lihat pada
bab Bradiaritmia]
579
<fj>
> M!
PanduanPraktlli minis Kardiologi
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakif Dolam Indonesia
Pemeriksaan Penunjang2 3 5
• Laboratorium (sesuai indikasi) : tes fungsi tiroid, elektrolit, urinalisis untuk obat ilisit
• EKG 12 sadapan untuk mengkonfirmasi aritmia . Hasil ritme sinus harus dinilai
secara hati- hati pada pasien tanpa penyakit jantung struktural untuk bukti adanya
elevasi segmen ST pada Vt dan V 2 yang konsisten dengan Brugada syndrome ,
perubahan interval QT yang konsisten dengan long or short QT syndromes, atau
interval PR pendek dan gelombang delta yang konsisten dengan Wolff - Parkinson -
White ( WPW) syndrome. Pola EKG ini mengidentifikasi kemungkinan substrat
aritmogenikyang dapatmengancam nyawa dan membutuhkan evaluasi dan terapi
lebih lanjut. Interpretasi EKG pada SVT dapat dilihat pada tabel 1.
• Holter monitoring selama 24 jam sebaiknya dipertimbangkan pada pasien dengan
gejala harian, event monitor ( King of Hearts) apabila gejala mingguan
• Rawat inap dan pemeriksaan elektrofisiologis pada pasien dengan penyakit jantung
struktural dan sinkop yang dicurigai takikardia ventrikel dengan pertimbangan
kuat alat implantable cardioverter/ defibrillator ( ICD' ).
• Penilaian ukuran dan fungsi ventrikel kiri dan kanan dengan ekokardiografi pada
pasien takikardia ventrikel.
580
Takiaritmia
bila rekuren
{
Pre-eksitasi
I
1 atau 2 AV block Long QT (LQTS )
1
Infark lama
( WPW ) atau QRS lebar Tanda Brugada
Epsilon wave /R ' VI
( ARVD)
I
Mungkin sindrom
Mungkin
Mungkin SVT bradiaritmia SCD yang
diturunkan
I
Rujuk ke studi EP
i
Rujuk ke studi EP
1
Rujuk ke studi EP
Ablasi Pacu jantung Kemungkinan ICD
Gambar 1 . Algorltma evaluasi pasien dengan gejala palpitasi, pusing, dan/atau slnkop
4
581
Q SSHfiKMH! Kcrdiologi
Kriteria diagnosis takikardia sinus berdasarkan metode invasif dan non-invasif
( ACC/ AHA / ESC 2003) :>
• Adanya takikardia sinus persisten ( laju denyut jantung > 100x / menit) saat
siang hari dengan peningkatan laju berlebihan dalam merespons aktivitas dan
normalisasi laju denyut jantung pada malam hari yang dikonfirmasi dengan
monitor Holter selama 24 jam .
• Takikardia dan gejalanya bersifat non-paroksismal .
• Morfologi gelombang P dan aktivasi endokardium identik dengan ritme sinus.
• Eksklusi penyebab sekunder sistemik (mis . hipertiroidisme , feokromositoma,
physical deconditioning )
DIAGNOSIS BANDING
Hipertiroidisme, tirotoksikosis, feokromositoma, sindrom Brugada, sindrom Wolff -
Parkinson -White, sindrom long QT. 12
TATALAKSANA
Tatalaksana primer takikardia sinus yaitu identifikasi penyebab serta
mengeliminasi atau mengobatinya. Beta blocker dapat menjadi sangat berguna dan
efektif pada takikardia sinus simptomatis fisiologis yang dipicu oleh stres emosional ,
dan gangguan lain terkait ansietas; manfaat prognostik pasca infark miokard ;
simptomatis dan manfaat prognostik pada kondisi lain dengan etiologi sinus takikardia
ireversibel seperti gagal jantung kongestif; dan tirotoksikosis simptomatis yang
dikombinasikan dengan carbimazole atau propylthiouracyl (PTU) . Nondihydropyridine
calcium - channel blockers, seperti dilitiazem atau verapamil, dapat bermanfaat pada
pasien tirotoksikosis simptomatis apabila beta blocker dikontraindikasikan . 1 Terapi
SVT dapat dilihat pada tabel 2 . Tatalaksana AF dapat dilihat pada tabel 3 .
582
Takiaritmia
583
O PanduanPraMlli minis Kardiologi
^
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
-
4» BP = hipotensi , HB = heart block , iHR = bradikardia, HF = gagal jantung
584
Takiaritmia
Revaskularisasi koroner +3 +3 +
Ablasi +3 +
Keterangan:
'Biasanyaadrenalin
2Atropin,
bukan merupakan terapi pilihan pertama
untuk cardiac arrest; magnesium sulfate, isoproterenol untuk torsades des pointes
Biasanya VT tidak merespon terapi medis saja, dan memerlukan revaskularisasi koroner emergensi atau RFA
3
KOMPLIKASI
Tromboemboli, gagal jantung, kematian mendadak.6
PROGNOSIS
Tergantung penyebab, berat gejala dan respons terapi
UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : Departemen Patologi Klinik, Medical High Care / ICCU
• RS non Pendidikan : Bagian Patologi Klinik, ICCU
REFERENSI
1. Blomstrom-Lundqvist C, et al. ACC / AHA / ESC guidelines for the management of patients with
supraventricular arrhythmias: a report of the American college of cardiology / American heart
association task force on practice guidelines and the European society of cardiology committee
for practice guidelines ( writing committee to develop guidelines for the management of patients
with supraventricular arrhythmias) Developed in Collaboration with NASPE-Heart Rhythm Society ,
J Am Coll Cardiol, 2003; 42 : 1493- 1531
2. Marchlinski F. The Tachyarrythmias. In : Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL,
Loscalzo J. Harrison ' s Principles of Internal Medicine. 18th Edition. New York, McGraw-Hill. 2012.
3. AkhtarM. Cardiac Arrythmias with Supraventricular Origin. In: Goldman, Ausiello. Cecil Medicine.
23rd Edition. Philadelphia. Saunders, Elsevier. 2008.
585
/»
4I f
% >^ Panduan Praktlk Kllnis» Kardioloqi
PeihSmourianDaWei SpedOfc PeciyoUt Dalam lnrioriM a
'
4. . .
Adelmann GA Rhythm and Conduction Disorders In : Cardiology Essentials In Clinical Practice .
.
London Springer-Verlag 2011 v .
5. . .
Olgin J. Approach to the Patient With Suspected Arrythmlartn: Goldman, Auslello Cecil Medicine .
. - . .
^^
" ' 23rd Edition Philadelphia .Spyrisiets, Elsev,r 0J3§ ? .
. Olgin J, Zipes DP. Specific Arrhythmias: Diaghd$ls' <aWd Treathenf. In : Libby P, Bonow RO, Mann
6
. . . .
DL, ZipeSiDP Braunwald ' s Heart iDipease 9th Edition Philadelphia Saunders, Elsevier, 2012.
.
7 .
Fuster V, et al 2011 ACCF/AHA /HRS Focused Updates Incorporated Into the ACC/AHA /ESC
2006 Guidelin©s for the Management of Patienls With-Atrial Fibrillation: A Report of the American
College of Cardiology Foundation/ American Heart Association Task Force on Practice Guidelines .
Circulation 201l;123:e269 - e367 .
586
587
CARDIAC ARREST
PENGERTIAN
Cardiac arrest didefinisikan sebagai berhentinya fungsi mekanis jantung secara
mendadak, yang mungkin dapat reversibel dengan intervensi cepat namun dapat
menyebabkan kematian apabila tidak ada intervensi.1
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis1
Didapatkan secara aloanamnesis. Dapat diawali dengan riwayat peningkatan
angina, dispneu, palpitasi, mudah lelah, dan keluhan tidak spesifik lainnya. Akan tetapi
gejala prodromal umumnya prediktif untuk penyakit jantung, namun tidak spesifik
untuk memprediksi sudden cardiac death (SCD).
Pemeriksaan Fisik1 2
• Nadi tidak teraba
Pemeriksaan Penunjang1 2
• EKG : dapat ditemukan fibrilasi ventrikel, takikardia ventrikel, artifak EKG yang
mirip dengan fibrilasi ventrikel, left bundle branch block baru
DIAGNOSIS BANDING
Hipovolemia, hipoksia, asidosis, hipokalemia / hiperkalemia, hipotermia, tension
pneumothorax, tamponade jantung, toksin, trombosis paru, trombosis koroner.2
TATALAKSANA
Tatalaksana cardiac arrest dapat dilihat pada gambar 1.
lRhythm
Tidak
10
''
Return of Spontaneous Circulation
(ROSC )
CPR 2 mnt • Nadi dan tekanan darah
* " shockable ? Akses IV/IO, Epinefrin • Kenaikan PETC02 >40 mmHg
tiap 3 - 5 mnt, berkelanjutan
pertimbangkan advanced Gelombang tekanan arteri spon-
airway, capnography
•
tan dengan monitor intraarterial
6 CPR 2 mnt Shock energy
Epinefrin tiap 3 - 5 • Blfaslk: dosis inisial 120-200 J; bila
mnt, pertimbangkan tidak diketahui, gunakan dosis
advanced airway, maksimum yang tersedia. Dosis
capnography Ya kedua dan selanjutnya sebai-
Rhythm
knya ekuivalen atau lebih tinggi
I shockable? • Monofasik : 360 J
I
Tidak
Rhythm
Terapi obat
shockable ? > Tidak • Eplnefrln IV /IO 1 mg per 3-5 menit
11 • Vasopressin IV /IO 40 unit dapat
CPR 2 mnt menggantikan dosis epinefrin
Tatalaksana etiologi pertama dan kedua
reversibel
CPR 2 mnt • Amlodaron IV /IO, Dosis pertama
Amiodarone, 300 mg bolus, dosis kedua 150
tatalaksana mg
etiologi reversibel Advanced airway
Tidak
Rhythm Ya
• Intubasi endotrakeal atau supra-
glottic advanced airway
shockable?
• Kapnografi waveform untuk kon-
firmasi dan monitor pemasangan
ETT
12
If w • RR: 8- 10x/menit dengan kompresi
Tanda kembalinya sirkulasi
'' dada kontinu
Lanjut ke 5 atau 7
spontan / ROSC ( -) 4 lanjut ke Etiologi reversibel
10 atau 11. Bila ROSC ( +) post - ->lihat pada diagnosis banding
cardiac arrest care
588
Cardiac Arrest
KOMPLIKASI
Ensefalopati pasca resusitasi, kematian
PROGNOSIS
Prognosis cardiac arrest di dalam RS terkait penyakit non - kardiak buruk, dan
perawatan pasca resusitasi didominasi oleh penyakit komorbid. Pasien dengan kanker
stadium akhir, gagal ginjal, penyakit sistem saraf pusat akut, infeksi tidak terkontrol,
memiliki survival rate <10%.1
REFERENSI
1. Castellanos A, Myerburg RJ. Cardiovascular Collapse, Cardiac Arrest, and Sudden Cardiac
Death, In : Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, HauserSL, Jameson JL, Loscalzo J. Harrison ' s Principles
,
of Internal Medicine. 18 h Edition. New York, McGraw-Hill. 2012.
2. Sinz E, Navarro K, et al. Part 5: Managing VF/Pulseless VT. Advanced Cardiovascular Life Support
Provider Manual. American Heart Association. 2011
m
590
EKSTRASISTOL VENTRIKULAR
PENGERTIAN
Ekstrasistol ventrikular / premature ventricular contractions ( PVC ) merupakan
suatu aritmia yang terlihat jelas pada elektrokardiogram dengan lebar (umumnya
> 120 milidetik) dan morfologi QRS unik, yang terjadi akibat aktivasi atrium secara
independen ( gelombang P ) . PVS dapat terjadi akibat peningkatan automatisitas ,
aktivitas yang dipicu, atau re - entry . 1 Macam - macam PVC dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1 . Macam - macam PVC2
PVC Skenarlo Kepentingon
Muncul pada Istirahat vs olahraga, dengan / tanpa Risiko lebih tinggi sudden cardiac death
keadaan penyakit jantung komorbid (SCD) pada PVC frekuen (>10/ jam),
Jumlah > 10 vs <10/ jam terutama pada pasien dengan penyakit
jantung komorbid
Morfologi Morfologi tunggal vs multipel ( PVC Probabilitas penyakit jantung komorbid
uni- vs multifokal) lebih tinggi pada PVC multifokal
Regularitas PVC dapat terjadi secara acak Bila frekuen, dapat menyebabkan
atau mengikuti suatu pola: PVC tiap palpitasi dan / atau kardiomiopati
.
gelombang ke-2 ke-3, atau ke- 4 (bi
tri-, atau quadrigeminy )
Waktu Beberapa PVC sangat prekoksius, PVC R -on-T dapat memicu VT atau
dengan kompleks QRS jatuh pada VF; PVC prekoksius mempunyai stroke
gelombang T pada kompleks volume rendah, akibat poor filling , dan
sebelumnya ( fenomena R-on-T) dapat menyebabkan gejala " missed
beats"
Clustering 2 PVC berturut-turut disebut couplet , 3 Risiko lebih tinggi terjadi aritmia signifikan
= triplet , disebut "VTrun" bila HR >100x/ pada couplets dan triplets
menit, dan " accelerated idioventricular
rhythm" bila <100x/menit
Efek pada Absennya depolarisasi sinus node Compensatory pause menyebabkan
sinus node retrograd ( full compensatory pause) gejala klinis " missed beats ”
atau ada ( incomplete compensatory
pause ) 0
Keterangan:
“Seringkali PVC tidak menyebar secara retrograd ke sinus node, sehingga 2 gelombang P konsekutif
gagal mengaktivasi ventrikel: pertama akibat PVC, dan kedua, karena PVC mencapai ventrikel pada
.
periode refrakter post-PVC Hanya gelombang P ke-3 yang dapat mencapai ventrikel; sehingga jeda
post-PVC sama dengan 2x siklus jantung normal ( antara gelombang P pertama dank e-3). Ini adalah full
compensatory pause. Apabila PVC berjalan retrograd dan depolarisasi sinus, selanjutnya akan di-resef,
dan compensatory pause menjadi incomplete ( namun lebih panjang dari normal, dengan durasi konduksi
retrograd ) ; ini merupakan interpolasi dari PVC .
VT = takikardia ventrikel; VF = fibrilasi ventrikel; HR = heart rate
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis1 3
• Umumnya asimptomatik
• Palpitasi, rasa tidak nyaman pada leher atau dada, sinkop
• Pasien akan merasa jantungnya seolah-olah berhenti berdenyut setelah suatu PVC
• Pada pasien dengan penyakit jantung dan PVC frekuen jangka panjang, dapat
menyebabkan angina, hipotensi, atau gagal jantung
• Riwayat penyakit komorbid seperti penyakit jantung struktural (iskemia atau
penyakit katup jantung]
• Perlu juga ditanyakan riwayat konsumsi obat - obatan digitalis, kebiasaan
mengonsumsi tembakau, kafein, alkohol berlebihan
Pemeriksaan Fisik1 3
• Tekanan darah (dapat ditemukan hipotensi), nadi (dapat ditemukan denyut ektopik
yang diikuti dengan long pause ), dapat diikuti dengan menurunnya intensitas bunyi
jantung, pulse oxymetry (hipoksia dapat memicu PVC)
• Gelombang A atau giant A pada pulsasi vena jugularis, splitting bunyi jantung II,
dapat juga terdapat bunyi jantung S3 dan ronki (pada gagal jantung kongestif ),
hipertensi dan S4 pada PVC dengan hipertensi lama
• Temuan neurologis : agitasi dan temuan aktivasi simpatis (dilatasi pupil, kulit kering
dan hangat, tremor, takikardia, hipertensi) sugestif katekolamin sebagai penyebab
PVC
Pemeriksaan Penunjang1 3
• Laboratorium (sesuai indikasi): elektrolit (terutama kalium dan magnesium),
kadar obat digitalis dalam serum darah, skrining obat-obatan
• EKG 12 sadapan selama 2 menit dapat membantu untuk menentukan frekuensi
ektopi dan merekam PVC infrekuen. Pada EKG dapat ditemukan hipertrofi ventrikel
kiri, iskemia jantung aktif (ST depresi atau elevasi, T-inverted ) , infark miokard
sebelumnya (gelombang Q atau hilangnya gelombang R, bundle branch block ),
gangguan elektrolit (QT memanjang, gelombang T hiperakut) , efek obat ( QRS
melebar, QT memanjang), gambaran morfologi PVC. Derajat keparahan PVC dapat
diukur dengan skoringLown yaitu nilai 0 = tidakada PVC, 1 = sesekali ( < 30 / jam),
2 = frekuen (>30/ jam), 3 = multiform, 4 = repetitif (A = couplets, B = Salvos atau
> 3), 5 = pola R- on -T. Semakin tinggi nilai Lown, maka PVC makin serius.
591
#: •
RSJSSS5H! Kardiologi
• Holter monitoring selama 24 jam untuk menentukan kuantitas dan karakteristik
PVC.
• Ekokardiografi berguna untuk evaluasi fraksi ejeksi, yang berguna untuk
menentukan prognosis dan juga mengidentifikasi penyakit katup atau hipertrofi
ventrikel.
DIAGNOSIS BANDING
Sindrom koroner akut, infark miokard, miokarditis, fibrilasi ventrikel, takikardia
ventrikel
TATALAKSANA1 3
• Secara umum tidak perlu diterapi, terutama pada pasien yang tidak memiliki
penyakit jantung struktural.
• Indikasi terapi primer adalah meredakan gejala.
• Terapi lini pertama adalah 0-blocker. atenolol 25-100 mg/ hari atau metoprolol
50- 200 mg/ hari. Apabila tidak efektif, amiodaron dapat dipertimbangkan.
• Obat antiaritmia kelas I atau kelas III dapat dipertimbangkan, namun potensi untuk
proaritmia dan toksisitas organ harus menjadi pertimbangan. Alternatif pada
pasien simptomatis, terutama yang tidak memiliki penyakit jantung struktural,
adalah ablasi kateter radiofrekuensi ( RFA).
• PVC yang mengikuti denyut ventrikel lambat dapat dihilangkan dengan
meningkatkan laju denyut jantung dasar dengan atropine atau isoproterenol atau
dengan pacu jantung, sementara menurunkan HR pada pasien dengan takikardia
sinus dapat menghilangkan PVC.
• PVC frekuen, meskipun dalam seting infark miokard akut, tidak perlu diterapi,
kecuali memberi kontribusi hemodinamik kompromais. Pada pasien rawat inap
dapat diberi lidokain. Apabila dosis maksimum lidokain maksimal tidak berhasil,
procainamide IV dapat diberikan. Propranolol dianjurkan bila obat lain tidak
berhasil.
• Koreksi gangguan elektrolit, gangguan keseimbangan asam basa, dan hipoksia
KOMPLIKASI
Takikardia ventrikel, fibrilasi ventrikel, kematian mendadak
PROGNOSIS
Tergantung penyebab, beratnya gejala dan respons terapi
592
UNIT YANG MENANGANI
Ekstrasistol Ventrikular
^
• RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Kardiovaskular
• RS non pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan
• RS non pendidikan
REFERENSI
1. . . .
Lerman BB. Ventricular Arrythmias In: Goldman, Ausiello Cecil Medicine. 23 Edition Philadelphia.
rd
.
Saunders, Elsevier 2008.
2. .
Adelmann GA. Rhythm and Conduction Disorders In : Cardiology Essentials in Clinical Practice .
London. Springer-Verlag. 2011
. .
Olgin J, Zipes DP Ventricular Rhythm Disturbances. In : Libby P, Bonow RO, Mann DL, Zipes DP.
3
, .
Braunwald' s Heart Disease. 9 h Edition. Philadelphia Saunders, Elsevier. 2012.
593
594
GAGAL JANTUNG
PENGERTIAN
Merupakan sindrom klinis yang terjadi karena abnormalitas struktur dan/atau
fungsi jantung yang diturunkan atau didapat sehingga mengganggu kemampuan
pompa jantung. Ada beberapa istilah gagal jantung :14
• Berdasarkan onset tejadinya:
o Gagal jantung akut : adalah suatu kondisi curah jantung yang menurun secara
tiba - tiba menyebabkan penurunan tekanan darah tanpa disertai edema perifer,
disebabkan sindrom koroner akut, hipertensi berat, regurgitasi katup akut.
o Gagal jantung kronik / kongestif : adalah suatu kondisi patofisiologis terdapat
kegagalan jantung memompa darah yang sesuai dengan kebutuhan jaringan,
terjadi sejak lama.
• Gagal jantung sistolik adalah ketidakmampuan kontraksi jantung memompa
sehingga curah jantung menurun dan menyebabkan keluhan hipoperfusi . Gagal
jantung diastolik yaitu gangguan relaksasi dan gangguan pengisian ventrikel atau
disebut juga gagal jantung dengan fraksi ejeksi > 50%.
• Gagal jantung kanan dan gagal jantung kiri . Gagal jantung kiri disebabkan
kelemahan ventrikel kiri, sehingga meningkatkan tekanan vena pulmonalis
dan paru, sedangkan gagal jantung kanan terjadi akibat kelebihan melemahnya
ventrikel kanan seperti pada hipertensi pulmonal primer / sekunder, tromboemboli
paru kronik sehingga terjadi kongesti vena sistemik.
• Low output dan high output heart failure (secara klinis tidak dapat diebdakan]
o Low output heart failure adalah gagal jantung yang disertai disebabkan oleh
hipertensi, kardiomiopati dilatasi , kelainan katup dan perikardium .
o High output heart failure adalah gagal jantung yang disertai penurunan
resistensi vaskular sistemik seperti pada hipertiroidisme, anemia, kehamilan,
fistula A-V, beri-beri, dan penyakit Paget.
• Berdasarkan klasifikasi NYHA :
PanduanPrakUk Minis
Pertilmpunan DoMer Speslafc Penyakit Dalom Indonesia
Gagal Jantung
595
@ tS
^ ZSmSS* Kardiologi
c. Stage III : gagal jantung berat yang ditandai adanya edema pulmonal dengan ronki
di seluruh lapangan paru.
d . Stage IV : rejatan kardiogenik yang ditandai hipotensi ( tekanan darah sistolik
< 90 mmHG) , vasokontriksi perifer seperti oligouria, sianosis, dan diaforesis .
Klasifikasi ini dikembangkan untuk pasien dengan infark miokard akut, terdiri dari:
1 . Klasifikasi Forrester
Pasien diklasifikasikan berdasarkan hipoperfusi perifer, kongesti pulmonal ,
hemodinamik, dan meningkatnya tekanan kapiler pulmonal, dikembangkan untuk
infark miokard akut
2 . Klasifikasi berdasarkan perfusi dan kongesti ( Klasifikasi Stevenson ) :
a. Kategori Forrester 1 (grup A) : warm and dry. Berisiko tinggi menderita gagal
jantung tetapi tanpa kelainan struktur jantung atau tanpa adanya keluhan gagal
jantung
b . Kategori Forrester 2 (grup B) : warm and wet. Adanya penyakit struktur jantung
tanpa keluhan atau tanda gagal jantung, PCWP > 18 mmHg
c. Kategori Forrester 3 (grup C] : cold and dry . Adanya penyakit struktur jantung
dengan keluhan atau tanda gagal jantung, hipoperfusi : cardiac index < 2, 2
d . Kategori Forrester 4 (grup D) : cold and wet . Gagal jantung refrakter, kongesti
paru dan hipoperfusi
3. Klasifikasi berdasarkan Framingham
a. Kriteria major :
o Paroxysmal nocturnal dyspnea
o Distensi vena leher
o Ronki paru
o Kardiomegali
o Edema paru akut
o Gallop S3
o Peninggian tekanan vena jugularis
o Refluks hepatojugular
b . Kriteria minor ;
o Edema ekstremitas
o Batuk malam hari
o Dispnea d'effort
o Hepatomegali
o Efusi pleura
596
Gagal Jantung
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Fatigue, dyspnea, shortness of breath . Keluhan dapat berupa keluhan saluran
pencernaan seperti anoreksia, nausea, dan rasa penuh. Jika berat dapat terjadi konfusi,
disorientasi, gangguan pola tidur dan mood . 1
Pemeriksaan Fisik
Posisi pasien dapat tidur terlentang atau duduk jika sesak. Tekanan darah dapat
normal atau meningkat pada tahap awal, selanjutnya akan menurun karena disfungsi
ventrikel kiri. Penilaian perfusi perifer, suhu kulit, peninggian tekanan pengisian vena,
adanya murmur sistolik, murmur diastolik, dan irama gallop perlu dideteksi dalam
auskultasi jantung. Kongesti paru ditandai dengan ronki basah pada kedua basal paru.
Penilaian vena jugular dapat normal saat istirahat tetapi dapat meningkat dengan
adanya tekanan pada abdomen [ abdominojugular reflux positif ) . Pada abdomen
adanya hepatomegali merupakan tanda penting pada gagal jantung, asites, ikterus
karena fungsi hepar yang terganggu . Edema ekstremitas yang umumnya simetris
dapat ditemukan.1
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium : DPL, elektrolit, urea, kreatinin, gula darah, albumin, enzim hati .
Analisa gas darah
Natriuretic peptide ( B type natriuretic peptides/ BNP atau NT- pro BNP )
Elektrokardiografi
Foto toraks
Ekokardiografi
Exercise Testing
597
0 SftSHSSSH! Kardiologi
Dicurigai gagal jantung akut
i
Adakah penyakit jantung?
Pemeriksaan EKG/BNP/Rontgen
1
1
Abnormal Normal
1
Evaluasi fungsi kardiak dengan
I
ekokardiografl/pemeriksaan Pikirkan diagnosis lain
pencitraan lain
1
f 1
Abnormal Normal
i
Gagal jantung ditentukan Pemeriksaan lain
dari ekokardiografi > (angiografi, monitor
hemodinamik, PAC)
i
Menentukan tipe
dan derajat keparahan
i
Disfungsi sistolik
ventrikel kiri
f
Disfungsi
’ t
i
Disfungsi Penyebab lain dari
diastolik sistolik transien gagal jantung .
Kesalahan dalam diagnosis
/pemeriksaan
598
Gagal Jantung
1
Anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan penunjang
l
Diagnosis
i
Gagal jantung
1
Diagnosis
tidak tepat equivocal pasti
1 1 1
Pikirkan Pemeriksaan Gagal
diagnosis lain NP, ekokardiografi jantung
Nilai NP
i
Nilai NP
1
Nilai NP
normal sedang tingl
1 1 1
Ekokardiografi Ekokardiografi Ekokardiografi Ekokardiografi Ekokardiografi Ekokardiografi
normal abnormal normal abnormal normal abnormal
1 1 1
Kemungkinan
1 1
Kemungkinan
Kemungkinan Kemungkinan
Kemungkinan gagal jantung, gagal jantung,
bukan gagal gagal jantung gagal jantung
jantung tapi pikirkan tapi pikirkan
diagnosis lain diagnosis lain
DIAGNOSIS BANDING
Acute respiratory distress syndrome, gagal ginjal.
TATALAKSANA
599
Panduan PraktikKlinis Kardioloqi
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyokil Dalam Indonesia
Diuretika loop
Vasodilator ( tabel 5 )
o diberikan jika tidak ada tanda - tanda hipotensi yang simptomatik, tekanan
600
Gagal Jantung
Non farmakologis4 8
a. Diet (hindarkan obesitas, rendah garam: 2 g pada gagal jantung ringan dan 1 g
pada gagal jantung berat, jumlah cairan 1 liter pada gagal jantung berat dan 1,5
liter pada gagal jantung ringan.
b. Hentikan rokok
c. Hentikan alkohol pada kardiomiopati. Batasi 20- 30 g/ hari pada yang lainnya
d. Aktivitas fisik (latihan jasmani : jalan 3 - 5 kali/ minggu selama 20 - 30 menit atau
sepedastatis 5 kali/ minggu selama 20 menit denganbeban 70- 80% denyut jantung
maksimal pada gagal jantung ringan dan sedang]
e. Istirahat baring pada gagal jantung akut, berat dan eksaserbasi akut
Farmakologis 1.4,8
a. Diuretik. Kebanyakan pasien dengan gagal jantung membutuhkan paling sedikit
diuretik regular dosis rendah tujuan untuk mencapai tekanan vena jugularis
601
<fj\
wfw
B PrakUk Klinl:
Perhlmpunan Dokler Spesialls Penyakit Dalam Indonesia
Kardioloqi
w
.
normal dan menghilangkan edema Permulaan dapat digunakan loop diuretic
atau tiazid. Bila respons tidak cukup baik dosis diuretik dapat dinaikkan, berikan
diuretik intravena, atau kombinasi loop diuretik dan tiazid. Diuretik hemat kalium,
spironolakton, dengan dosis 25-50 mg/ hari dapat mengurangi mortalitas pada
pasien dengan gagal jantung sedang sampai berat ( klas fungsional IV) yang
disebabkan gagal jantung sistolik.
b. Penghambat ACE bermanfaat untuk menekan aktivasi neurohormonal, dan pada
gagal jantung yang disebabkan disfungsi sistolik ventrikel kiri. Pemberian dimulai
dengan dosis rendah, dititrasi selama beberapa minggu sampai dosis yang efektif.
c. Penyekat Beta bermanfaat sama seperti penghambat ACE. Pemberian mulai dosis
kecil, kemudian dititrasi selama beberapa minggu dengan kontrol ketat sindrom
gagal jantung. Biasanya diberikan bila keadaan sudah stabil. Pada gagal jantung
.
klas fungsional II dan III Penyekat Beta yang digunakan carvedilol, bisoprolol
atau metoprolol. Biasa digunakan bersama -sama dengan penghambat ACE dan
diuretik.
d. Angiotensin II antagonis reseptor dapat digunakan bila ada kontraindikasi
penggunaan penghambat ACE
e. Kombinasi hidralazin dengan isosorbide dinitrat memberi hasil yang baik pada
pasien yang intoleran dengan penghambat ACE dapat dipertimbangkan
.f Digoksin diberikan untuk pasien simptomatik dengan gagal jantung disfungsi
sistolik ventrikel kiri dan terutama yang dengan fibrilasi atrial, digunakan bersama-
sama diuretik, penghambat ACE , penyekat beta. Dosis : 0.125 qd dengan dosis
maksimal 0.375 qd.
g. Antikoagulan dan antiplatelet. Aspirin diindikasikan untuk pencegahan emboli
serebral pada penderita dengan fibrilasi atrial dengan fungsi ventrikel yang
buruk. Antikoagulan perlu diberikan pada fibrilasi atrial kronis maupun dengan
riwayat emboli, trombosis dan transient ischemic attacks, trombus intrakardiak
dan aneurisma ventrikel.
h. Antiaritmia tidak direkomendasikan untuk pasien yang asimptomatik atau
aritmia ventrikel yang tidak menetap. Antiaritmia klas I harus dihindari kecuali
pada aritmia yang mengancam nyawa. Antiaritmia kelas III terutama amiodaron
dapat digunakan untuk terapi aritmia atrial dan tidak digunakan untuk mencegah
kematian mendadak.
i. Antagonis kalsium dihindari. Jangan menggunakan kalsium antagonis untuk
mengobati angina atau hipertensi pada gagal jantung.
j. Pemakaian alat dan tindakan bedah :
602
Gagal Jantung
o Revaskularisasi
o Operasi katup mitral
o Aneurismektomi
o Kardiomioplasti
o External cardiac support
o Pacu jantung konvensional, resinkronisasi pacu jantung biventricular
o Implantable carioverter defibrillators ( ICD )
o Heart transplantation, ventricular assist devices, artificial heart
o Ultrafiltrasi, hemodialisis
Jenls dluretika Dosls Inlslasl (mg) Frekuensl pemberian Dosls makslmum (mg/harl)
Furosemid 20-40 1 -2 kali sehari 500
Tabel. 8. Jenis Obat yang Dlgunakan pada Gagal Jantung Kongestif ' 48
Bisoprolol 1.25 qd 2- 10 qd
Metoprolol suksinat 12.5-25 qd 10-30
603
Panduan Praktik Klinis
Perhimpunan Dokier Spesialis Penyakit Dalam Indonesia Kardioloai
KOMPLIKASI
Syok kardiogenik, infeksi paru, gangguan keseimbangan elektrolit
PROGNOSIS
Angka kematian dalam 1 tahun setelah terdiagnosis mencapai 30-40 %, sedangkan
angkan dalam 5 tahun 60 - 70 %. Kematian disebabkan karena perburuhkan klinis
mendadakan yang kemungkinan disebabkan karena arimia ventrikel. Berdasarkan
klasifikasi, NYHA kelas IV mempunyai angka kematian 30- 70 %, sedangkan NYHA
kelas II 5 -10 Vo.1
UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : 1CCU medical High Care
• RS non Pendidikan . ICCU / ICU -
REFERENSI
Anil Chandraker A. Heart Failure. In: Fauci A, Kasper D, Longo D, Braunwald E, Hauser S, Jameson
.
J, Loscalzo J, editors Harrison ' s principles of internal medicine. 18lh ed. United States of America;
The McGraw-Hill Companies, 2012.chapter 234.
2. Panggabean M. Gagal Jantung. . Dalam: Alwi I, Setiati S, Setiyohadi B, Simadibrata M, Sudoyo
AW , editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta: Interna Publishing; 2006: Hal
1513- 1514
3. . .
Gary S. Francis, Theodore G Ganiats, Marvin A . Konstam 2009 Focused Update: ACCF/ AHA
Guidelines for the Diagnosis and Management of Heart Failure in Adults: 2009 Wrint Group to review
new evidence and update the 2005 guideline for the management of patients with chronic heart
.
failure witing on behalf the 2005 heart failure writing. Circulation. 2009:119:1977-2016 Diunduh dari
http:/ /circ .ahaj0urnals.0rg/c0ntent/ l 19 / 14/ 1977 pada tanggal 19 Juni 2012.
4. Sharon Ann Hunt, William T. Abraham, Marshall H Chin. ACC / AHA 2005 Guideline Update for the
Diagnosis and Management of Chronic Heart Failure in the Adult : A Report of the American
College of Cardiology / American Heart Association Task Force on Practice Guidelines ( Writing
Committee to Update the 2001 Guidelines for the Evaluation and Management of Heart Failure ) :
Developed in Collaboration With the American College of Chest Physicians and the International
Society for Heart and Lung Transplantation: Endorsed by the Heart Rhythm Society. Circulation.
2005: 112:el 54-e 235. http:/ /circ .ahajournals.Org/content / 112/ 12/el 54
5. Nieminen MS, Bohm M, Cowie MR et all. Executive summary of the guidelines on the diagnosis
and treatment of acute heart failure :The Task Force on Acute Heart Failure of the European
Society of Cardiology. European Heart Journal ( 2005) 26, 384-416.
6 . Greenberg B, Kahn AM. Clinical Assessment of Heart Failure. In : Bonow RO, Mann DL, Zipes DP,
Lib P, editors. Braunwald ' s Heart Disease. A Textbook of Cardiovascular Medicine.9 lh ed. United
States of America; Elsevier, 2012. P.517-542
604
Gagal Jantung
7. Panggabean MM. Dalam BAB 248: Gagal jantung akut. Alwi I, Setiati S, Setiyohadi B, Simadibrata
M, Sudoyo AW , editors. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V . Jakarta: Interna Publishing:
2010: Hal 1583- 1585
8 Ghanie A. Gagal jantung kronik. Dalam: Alwi I, Setiati S , Setiyohadi B, Simadibrata M, Sudoyo
AW, editors. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V . Jakarta: Interna Publishing; 2010: Hal
1596- 1601
605
606
ENDOKARDITIS INFEKTIF
PENGERTIAN
Definisi endokarditis infektif ( El) menurut modifikasi kriteria Duke adalah
• Kriteria patologis :
o Kultur atau pemeriksaan histologis adanya vegetasi yang telah menjadi emboli,
atau spesimen abses intrakardiak menunjukkan mikroorganisme (+), atau
o Lesi patologis; vegetasi atau abses intrakardiak yang dikonfirmasi dengan
pemeriksaan histologis menunjukkan endokarditis aktif
• Kriteria klinis
o 2 kriteria mayor, atau
o 1 kriteria mayor dan 3 kriteria minor, atau
o 5 kriteria minor
• Kemungkinan El
o 1 kriteria mayor dan 1 atau 2 kriteria minor, atau
o 3 kriteria minor
• Bukan El
o Tegaknya diagnosis alternatif yang menjelaskan bukti El atau
o Resolusi sindrom El dengan terapi antibiotik dalam 4 hari , atau
o Tidak ada bukti patologis El pada saat operasi atau autopsi , dengan terapi
antibiotik dalam < 4 hari , atau
o Tidak memenuhi kriteria kemungkinan El seperti diatas
Penjelasan kriteria mayor dan minor dapat dilihat pada tabel 1.
Klasifikasi dan definisi El menurut European Society of Cardiology tahun 2009
dapat dilihat pada tabel 2 .
Beberapa kondisi jantung terkait peningkatan risiko prognosis buruk dari
endokarditis ketika profilaksis tindakan dental diperlukan dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel 2. Klasifikasi dan Definisi El Menurut European Society of Cardiology Tahun 20092
El menurut lok si Infeksi dan adanya alau absennya materi Intrakardiak
• El katup asli ( native ) sebelah kiri ( NVE)
• El katup prostetik sebelah kiri ( prosthetic valve endocarditis / PVE)
o PVE dini ; < 1 tahun setelah operas! katup
o PVE lambat : > 1 tahun setelah operasl katup
• El sebelah kanan
• El terkait alat (pacu jantung permanen atau cardioverter -defibrillator )
El menurut cara didapat
• El terkait pelayanan kesehatan
o Nosokomial El berkembang pada pasien rawat inap >48 jam sebelum
onset tanda / gejala konsisten dengan El
o Non-nosokomial Tanda dan/atau gejala El muncul <48 jam setelah dirawat
dengan definisi kontak sebagai berikut:
1 . Perawatan di rumah atau terapi IV, hemodialisis, atau
kemoterapi IV <30 hari sebelum onset El; atau
2. Dirawat <90 hari sebelum onset El; atau
3. Penghuni rumah jompo atau fasilitas perawatan
angka panjang
607
PanduanPraktikKlinis Kardioloqi
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakii Dalam Indonesia
• El didapat dari komunitas Tanda dan/ aiau gejala El dimulai <48 jam setelah dirawat
pada pasien yang tidak memenuhi kriteria infeksi terkait
pelayanan kesehatan
• El terkait penyalahgunaan obat IV El pada pengguna injeksi aktif tanpa sumber infeksi
lainnya
El aktif
• El dengan demam persisten dan kultur darah (+) atau
• Morfologi inflamasi aktif yang ditemukan saat operasi atau
• Pasien masih dalam terapi antibiotik atau
• Bukti histopatologis El aktif
Rekuren
• Relaps Episode berulang El oleh mikroorganisme yang sama <6
bulan setelah episode inisial
• Reinfeksi Infeksi oleh mikroorganisme berbeda
Episode berulang El oleh mikroorganisme yang sama >6
bulan setelah episode inisial
Tabel 3. Kondisi Jantung Terkait Peningkatan Rlsiko Prognosis Buruk darl Endokardltis dimana
Profilaksis Tindakan Dental Dlperlukan’
Katup jantung prostetik atau materi prostetik yang digunakan untuk perbaikan katup jantung
Riwayat El sebelumnya
Penyakit jantung bawaan ( PJB ) *
PJB sianotik yang tidak dapat diperbaiki, termasuk shunt dan pipa ( conduit ) paliatif
Defek jantung kongenital yang telah diperbaiki dengan materi atau alat prostetik, baik yang
ditempatkan melalui operasi atau kateter, dalam 6 bulan pertama setelah tindakan* *
Defek residual PJB yang telah diperbaiki pada tempat pemasangan patch atau alat prostetik
atau sekitarnya ( yang menghambat endotelialisasi)
Resipien transplantasi jantung yang memiliki valvulopati jantung
Keterangan :
‘Kecuali kondisi yang disebutkan diatas, antibiotik profilaksis tidak lagi direkomendasikan
“Profilaksis dianjurkan karena endotelialisasi materi prostetik terjadi dalam 6 bulan pasca tindakan
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis23
• Demam : akut dan subakut, menggigil, keringat, sepsis of unknown origin
• Anoreksia, penurunan berat badan, malaise
• Mialgia, artralgia
• Nyeri punggung
• Riwayat El sebelumnya, penyakit jantung bawaan (PJB), atau penyakit katup jantung
Pemeriksaan Fisik2 3 -
• Febris (dapat absen pada usia lanjut, setelah pre - terapi antibiotik, pasien
imunokompromais, dan El virulensi rendah atau organisme atipikal)
• Manifestasi kardiak : takikardi, murmur regurgitasi baru atau perburukan (pada
El akut murmur dapat absen namun pada akhirnya akan terdeteksi), gagal jantung
608
Endokarditis Infektif
Pemeriksaan Penunjang3
• Laboratorium : anemia, leukositosis, hematuria mikroskopis, peningkatan LED
dan protein C - reaktif, faktor rheumatoid , kompleks imun sirkulasi, penurunan
komplemen serum, tes serologis Brucella , Bartonella , Legionella , Chlamydophila
psittaci, dan C. burnetii
• Kultur darah
• Ekokardiografi : konfirmasi anatomis El, ukuran vegetasi, deteksi komplikasi
intrakardiak, dan penilaian fungsi jantung. Definisi anatomis dan ekokardiografi
dapat dilihat pada tabel 4.
609
Panduan PrakUkMinis Kardioloai
Perhimpunan Dolder Spesialls Penyakit Dalam Indonesia W
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Klinis curiga El
TTE
Katup prostetik
1
HE Positif Negatif
intracardiac kualitas rendah
device
I
Klinis curiga El
TEE 4
Tlnggi Rendah
I i
TEE Stop
Jika TEE (-) tapi masih curiga El, ulang TEE setelah 7-10 hari
Keterangan: TTE = transthoracic echocardiography , TEE = trans esophageal echocardiography
kultur (+)
1
Kultur ( -J dalam 48 jam
Tidak
i
Ya
Mulai terapi antibiotik
I
Gambaran klinis / echo
yang sesuai menunjukkan IE
I
Ya Tidak
I
Observasi pasien dan Kerjasama dengan lab
Memerlukan
pertimbangkan diagnosis lain mikrobiologi, Pertimbangkan
operasi
penunjang tambahan
1
Terapi sebagai kultur (-) IE
Tidak Ya
dengan regimen yang menutup
kemungkinan organism© ,
(ganti ke regimen sesuai ketika
organisme sudah teridentifikasi)
6W
Endokarditis Infektif
DIAGNOSIS BANDING
Demam reumatik , atrial myxoma, endokarditis Libman -Sacks, non - bacterial
thrombotic endocarditis ( NTBE) .
TATALAKSANA
Dura si Komentar
Antibiotik Dosis dan rule pemberian (mlnggu)
Strains fully susceptible to penicillin (MIC <0, 125 mg / L)
Terapi standard
Penicillin G 12- 18 juta U /hari IV dalam 6 dosis 4° Lebih dipilih pada pasien >65
tahun atau gangguan fungsi
ginjal
atau
Amoxicillin 100-200 mg/kg/hari IV dalam 4-6 4a Dapat diganti dengan
dosis ampicillin dengan dosis yang
sama
atau
Ceftriaxone 2 g/hari IV atau IM dosis tunggal 4° Lebih dipilih pada pasien
rawat jalan
Terapi 2 minggu 0
Penicillin G -
12 18 juta U /hari IV dalam 6 dosis 2
atau
Amoxicillin 100-200 mg/kg/hari IV dalam 4-6 2 Dapat diganti dengan
dosis ampicillin dengan dosis yang
sama
atau
Ceftriaxone 2 g/hari IV atau IM dosis tunggal 2 Lebih dipilih pada pasien
rawat jalan
dengan
Gentamisin 3 mg/ kg/hari IV atau IM dosis 2 Fungsi ginjal dan konsentrasi
tunggal serum gentamisin sebaiknya
dimonitor tiap minggu. Pada
dosis tunggal, konsentrasi
serum pre- dose < 1 mg/ L dan
-
post dose ( puncak 1 jam
setelah injeksi) - 10- 12 mg/ L
atau
Netilmicin 4-5 mg / kg/ hari IV dosis tunggal 2
Pada pasien alergl beta laktam
Vancomycin 30 mg /kg/hari IV dalam 2 dosis 4a Konsentrasi serum vancomycin
mencapai 10- 15 mg/ L pada
pre-dose dan 30-45 mg/ L post -
611
®r&
Wl) *?:
Papuan Praktlk Kllnis
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
Kardiolo^
gi
Keterangan :
-
setelah injeksi) 10- 12 mg/ L
°Terapi 6 miniggu pada PVE
bHanya padaNV E tanpa komplikasi
612
Endokarditis Infektif m
Durasl Komentar
Antiblottk Dosls dan rute pemberlan (minggu)
Pasien alergi penlsllln atau stafllokokus reslsten methicillln
Vancomycin 30 mg/kg/hari IV dalam 4-6 Konsentrasi serum vancomycin
2 dosis mencapai 25-30 mg / L pada pre-
dose
dengan
Gentamisin 3 mg/kg /hari IV atau IM 2 Fungsi ginjal dan konsentrasi serum
dalam 2 atau 3 dosis gentamisin sebaiknya dimonitor
.
tiap minggu Pada dosis tunggal,
konsentrasi serum pre - dose < 1
mg/L dan post-dose (puncak 1 jam
setelah injeksi) -10- 12 mg / L
Katup prostetik
Methlclllin - susceptible staphylococci
( Flu) coxacillin 12 g /hari IV dalam 4-6 dosis >6
atau
Oxacillin
dengan
Rifampin 1200 mg / hari IV atau PO £6 Rifampin meningkatkan
dalam 2 dosis metabolisme warfarin dan obat
lainnya di hati. Sebaiknya digunakan
dalam kombinasi dengan obat lain
untuk mencegah resistensi
dan
Gentamicin 3 mg/kg/hari IV atau IM 2 Gentamicin tetap dianjurkan
dalam 2 atau 3 dosis pada PVE meskipun manfaat
klinisnya belum jelas. Fungsi ginjal
dan konsentrasi serum gentamisin
sebaiknya dimonitor tiap minggu,
pada pasien gagal ginjal 2 x /
minggu. Saat diberikan dalam 3
dosis, konsentrasi serum pre-dose < 1
mg/L dan post-dose (puncak 1 jam
setelah injeksi) 3- 4 mg / L
Pasien alergi penisilin atau stafllokokus resisten methlcillin
Vancomycin 30 mg/kg/hari IV dalam 2 >6 Konsentrasi serum vancomycin
dosis mencapai 25-30 mg / L pada pre-
dose
dengan
Rifampin 1200 mg/hari IV atau PO >6 Rifampin meningkatkan
dalam 2 dosis metabolisme warfarin dan obat
lainnya di hati. Sebaiknya digunakan
dalam kombinasi dengan obat lain
untuk mencegah resistensi
dan
Gentamisin 3 mg/kg/hari IV atau IM 2 Fungsi ginjal dan konsentrasi serum
dalam 2 atau 3 dosis gentamisin sebaiknya dimonitor
tiap minggu. Pada dosis tunggal,
konsentrasi serum pre - dose < 1
mg/L dan post-dose ( puncak 1 jam
-
setelah injeksi) 10-12 mg/ L
613
M,
I V/ - '
Panduan Praktik Kllnis Kardiologi
Perhimpunan Dokler Spesiolis Penyakil Dalam Indonesia w
614
Endokarditis Infektif Q
615
M PanduanPraktik Minis Kardiologi
—•
'
*
Ws'
*
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
KOMPLIKASI
Kerusakan lokal pada endokardium atau miokardium, perforasi katup atau fistula
intrakardiak, abses paravalvular, abses miokardium, gagal jantung, abses ginjal, emboli
serebrovaskular.3
PROGNOSIS
Studi menunjukkan El dengan komplikasi gagal jantung, operasi katup dapat
menurunkan tingkat mortalitas sebesar 1 tahun.4 Tingkat mortalitas NVE bervariasi
sebesar 16- 27%, sedangkan PVE lebih tinggi. Lebih dari 50 % kasus menunjukkan
infeksi dalam 2 bulan pasca operasi. Tingkat fatalitas pacu jantung El dapat mencapai
34%.5 Prediktor prognosis burukpada pasien El dapat dilihat pada tabel.
616
Endokarditis Infektif
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Departemen Patologi Klinik
• RS non pendidikan : Bagian Patologi Klinik
REFERENSI
1 . .
Baddour LM, Taubert KA, Gewitz MH, Wilson WR. Infective Endocarditis In : Fuster V The AHA .
.
Guidelines and Scientific Statements Handbook American Heart Association Texas: Willey- .
Blackwell. 2009. Hal 312-35.
2 . Habib G, Hoen B, Tornos P, et al. Guidelines on the prevention, diagnosis, and treatment of
.
infective endocarditis ( new version 2009) The Task Force on the Prevention, Diagnosis, and
.
Treatment of Infective Endocarditis of the European Society of Cardiology (ESC) European Heart
Journal 2009:30; 2369-2413 .
3. Karchmer AW. Infective Endocarditis. In : Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL,
,
Loscalzo J. Harrison' s Principles of Internal Medicine. 18 Edition. New York, McGraw-Hill. 2012.
h
4. .
Kiefer T, Park L, Tribouilloy C, Cortes C, Casillo R, Chu V, et al Association between valvular surgery
and mortality among patients with infective endocarditis complicated by heart failure. JAMA.
Nov 23 2011:306( 20):2239-47 .
5. Wallace SM, Walton Bl, Kharbanda RK, Hardy R, Wilson AP, Swanton RH. Mortality from infective
endocarditis: clinical predictors of outcome. Heart. Jul 2002:88( 1 ) :53-60.
617
618
PENGERTIAN
Penyakit katup jantung adalah gangguan dari katup jantung, yaitu jarih&aftryang
.
ntengatur aliran darah melalui b’ilik jantung 1 Pada bab ini akan dibahas mehgenai
stenosis IMitral dan regurgitasi, aorta stenosis dan regurgitasi.
STENOSIS MITRAL
PENGERTIAN
Stenosis Mitral adalah penyempitan atau konstriksi dari katup mitral, yaitu katup
yang memisahkan atrium kiri dengan ventrikel kiri.2
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Sesak napas yang diperberat aktivitas, paroxysmal nocturnal dyspnea, orthopnea,
fatigue.3
PanduanPraktlkKIInis
P<MhimDunan Ooktw Spesloli PmiyoWi Dobrn Indarmtfa
Penyakit Katup Jantung
Pemeriksaan Fisik
Opening snap, loud SI ( closing snap ), diastolic rumbling murmur dengan hipertensi
pulmonal, a parasternal lift with a loud P2?
Pemeriksaan Penunjang3 4 5
• Elektrokardiogram: pembesaran atrium kiri, fibrilasi atrial, hipertrofi ventrikel
kanan
• Rontgen thorax: pembesaran atrium kiri dan ukuran ventrikel normal
• Echokardiografi dua dimensi: penebalan katup mitral dengan keterbatasan gerakan
katup dan berkurangnya diameter katup.
• -
Doppler echokardiografi: peningkatan tekanan trasmitral dan pressure half time
memanjang
• Kateter jantung: peningkatan tekanan baji kapiler paru, gradient transmitral
biasanya > 10 mmHg, pada kasus berat di area katup mitral < 1 cm 2.
DIAGNOSIS BANDING,
Atrial septal defect dalam klinis, EKG dan rontgen thorax seringkali mirip dengan
stenosis Mitral yaitu ditemukannya pembesaran ventrikel kanan dan peningkatan
vaskularisasi paru, left atrial myxoma dapat menghalangi pengosongan atrium kiri
menyebabkan dyspnea dan murmur diastolik.4
TATALAKSANA3
• Nor farmakologis: diet rendah natrium, olahraga
• Farmakologis
• Beta bloker, kalsium channel bloker, diuretik, digoksin
• Perkutaneus BMV
• Pembedahan: closed commissurotomy, open commissurotomy, dan mitral valve
replacement
619
/ft PanduanPraktik Klims Kardiologi
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
'
r
Stenosis ringan, area
Stenosis sedang-berat,
katup mitral > 1 ,5 cm2
area katup mitral < 1 ,5 cm2
I
Latihan
I
t
Follow up Pertimbangkan Follow up
per 6 bulan PMBV per 6 bulan
Pertimbangkan
commisurotomy atau mitral
valve replacement
Keterangan :
PASP = Pulmonary Artery Sistolic Pressure
PAWP = Pulmonary Artery Wedge Pressure
MVG = Mean Mitral Valve Pressure Gradient
PMBV = Percufaneous Mitral Balloon Valvotomy
620
Penyakit Katup Jantung fg|
(
REGURGITASI MITRAL
PENGERTIAN
Regurgitasi mitral ( RM ) adalah aliran balik darah dari ventrikel kiri ke atrium kiri
karena insufisiensi dari katup mitral.6
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Dyspnea karena latihan, orthopnea, paroxysmal nocturnal dyspnea .5
Pemeriksaan Fisik
Holosistolik murmur menjalar ke aksila, S3, pergeseran apex jantung.5
Pemeriksaan Penunjang4 5
• EKG: pembesaran atrium kiri, hipertrofi ventrikel kiri
• Rontgen thorax: pembesaran jantung kiri
• Echokardiografi : pada mitral regurgitasi yang kronis dan berat dapat ditemukan
pembesaran atrium dan ventrikel kiri
• Doppler echokardiografi: pada MR berat dapat ditemukan j et regurgitasi yang besar
• Kateter jantung: peningkatan tekanan baji kapiler paru ( PCWP) , ventrikulografi:
regurgitasi kontras ke atrium kiri
DIAGNOSIS BANDING
-
Stenosis aorta > murmur pada stenosis aorta dapat menyerupai mitral regurgitasi,
terutama bila murmur mitral regurgitasi atipik atau menjalar ke area aorta, ventricular
septal defect, prolaps katup mitral.3
621
tfS P
*»*i*n Praktik Klials
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakll Dalam Indonesia
Kardiologi
w
TATALAKSANA4 5
• RM asimptomatik tanpa pembesaran ventrikel kiri, ritme sinus : hindari olahraga
atau latihan isometrik, ekokardiografi ulang setiap 6 bulan
• RM kronik: antikoagulan, ACE inhibitor, pembedahan
• RM akut: vasodilator nitropruside, jika terjadi hipotensi : intra - aortic balloon
counterpulsation
• Pembedahan : valvuloplasti
• Indikasi :
o Regurgitasi mitral kronik, berat, atau non iskemik .
o Hipertensi pulmonal : tekanan arteri pulmonal > 50 mmHg saat istirahat atau
> 60 mmHg saat aktivitas.
PROGNOSIS
Mitral regurgitasi kronik memiliki prognosis lebih baik daripada akut . 3
STENOSIS AORTA
PENGERTIAN
Stenosis aorta adalah penyempitan pada katup aorta yaitu katup antara ventrikel
kiri dengan aorta .
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Angina pektoris , sinkop, gejala gagal jantung kongestif: dyspnea saat aktivitas,
orthopnea , paroxysmal nocturnal dyspnea .7
622
Penyakit Katup Jantung
Pemeriksaan Fisik
Murmur ejeksi sistolik ; medium pitched , baik terdengar pada area aorta menjalar
sampai arteri karotis, carotid upstroke ; volume rendah, keterlambatan mencapai
amplitudo puncak. 7
Pemeriksaan Penunjang3 5
• EKG : pembesaran atrium kiri , hipertrofi ventrikel kiri
• Rontgen thorax: boot-shaped heart, pada foto lateral tampak kalsifikasi katup aorta
• Echokardiografi : penebalan katup aorta, berkurangnya mobilitas katup, hipertrofi
ventrikel kiri konsentris. Doppler echokardiografi: meningkatnya tekanan gradient
transvalvular dan menurunnya area aorta, gradient rata- rata > 50 mmHg ( pada
kasus berat].
• Kateter jantung: meningkatnya left ventricular end - diastolic pressure , gradient
transaorta 50 mmHg, area katup aorta < 0,7cm2.
DIAGNOSIS BANDING
Sindrom koroner akut, mitral regurgitasi, stenosis Mitral , prolaps katup mitral,
miokard infark.
TATALAKSANA3 4
• Hindari aktivitas berat
• Terapi simptomatik
o Hipertensi : ACE inhibitor (perlu hati-hati dalam penggunaannya karena dapat
menyebabkan hipotensi, penggunaan ACE inhibitor pada pasien asimptomatik
tidak direkomendasikan], beta bloker
o Angina: nitogliserin
o Statin untuk memperlambat kalsifikasi katup aorta
• Transcateter Aortic Valve Implantation (TAVI)
• Pembedahan: aortic valve replacement
Indikasi :
o Stenosis aorta berat: area katup < 1 cm2 atau 0,6 cm2 / m2 area permukaan tubuh
o Disfungsi ventrikel kiri
o Aneurisma atau expanding aortic root (dimensi maksimal > 4.5 cm atau
peningkatan ukuran > 0.5 cm / tahun ) .
o Hipertrofi ventrikel kiri dengan ketebalan dinding > 15 mm
623
PanduanPrakUk Kllnls Kardioloqi
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
^
PROGNOSIS
Rata - rata kematian sebesar 5% dalam 3 bulan setelah gejala muncul, 75% dalam
3 tahun setelah gejala muncul, bila tidak dilakukan intervensi pembedahan.3
REGURGITASI AORTA
PENGERTIAN
Regurgitasi aorta adalah aliran balik darah dari aorta ke dalam ventrikel kiri karena
insufisiensi katup semilunaris aorta.6
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Dyspnea, orthopnea, proxismal nocturnal dyspnea, angina, sinkop.5
Pemeriksaan Fisik
Kronik: Diastolic blowing murmur pada batas kiri sternum, sirkulasi hiperdinamik,
.
perubahan point maximal impulse Akut: short diastolic blowing murmur, soft SI .5
Pemeriksaan Penunjang4 5 8
• EKG: pembesaran atrium kiri, hipertrofi ventrikel kiri
• Rontgen thorax: kronik -> pembesaran jantung, uncoiling of the aorta , akut
kongesti paru dengan ukuran jantung normal.
• Echokardiografi: kronik -> pembesaran ventrikel kiri, large Doppler jet pressure
halftime < 400 ms, akut -> ventrikel kiri belum membesar
• Kateter jantung tekanan pulsasi lebar, aortografi: regurgitasi kontras ke ventrikel
kiri
DIAGNOSIS BANDING
Mitral stenosis , regurgitasi pulmonal, stenosis tricuspid.
624
Penyakit Katup Jantung
TATALAKSANA4 5 8
• Kronik:
Vasodilator jika asimptomatik dan fungsi ventrikel kiri normal
Pembedahan
• Akut: vasodilator
• Pembedahan: aortic valve replacement
Indikasi:
o Kronik: adanya gejala , ejection fraction < 0,55, end -systolic diameter > 55 mm
o Akut: gagal jantung (walaupun ringan)
PROGNOSIS
Dengan aortic valve replacement , rata- rata kematian 3-4% dan bertahan selama
5 tahun sebesar 85%.3
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Departemen Bedah Jantung, Departemen Rehabilitasi Medik
• RS non pendidikan Departemen Bedah Jantung, Departemen Rehabilitasi Medik
REFERENSI
1. Mosby’s Medical Dictionary, 8th edition. © 2009, Elsevier.
2 . The American Heritage® Medical Dictionary Copyright © 2007, 2004 by Houghton Mifflin Company .
Published by Houghton Mifflin Company.
3. .
Bryg, Robert J. Stenosis Mitral Dalam: Crawford, Michael H. Current Diagnosis & Treatment
Cardiology 3rd Edition. The MacGraw Hills Companies. 2009.
4. Valvular Heart Disease. Dalam: Fauci A, Kasper D, Longo D, Braunwald E, Hauser S, Jameson J,
,
.
Loscalzo J, editors Harrison' s principles of internal medicine. 18 ed. United States of America;
h
625
(
f,> Panduan Praktik Klinls Kardiologi
*
PmtilmDinrOri OofcliK Sixrtk
^
i Pftnyuklt DrAirn irvlooevo
5. . . .
Carabello, Blase A Valvular Heart Disease. Dalam: Ausiello. Goldman Cecil Medicine 23,d edition
Saunders: Phlladhelphia. 2007 .
6. .
Dorland' s Medical Dictionary for Health Consumers © 2007 by Saunders, an Imprint of Elsevier.
7 . . .
Carabello, blase A Crawford, Michael H Aortic stenosis. Dalam:' Crawford, Michael H. Current
Diagnosis & Treatment Cardiology 3,d Edition. The MacGraw Hills Companies. 2Q09.
8. . .
Zoghbi, William A Crawford, Michael H Aortic Regurgitation. Dalam: Crawford. Michael H. Current
.
Diagnosis & Treatment Cardiology 3,d Edition The MacGraw Hills Companies. 2009.
.
9 .
Bonser, Robert Pagano, Domenico. Haverich, Ax§l. Steriosis Mitral Surgery. Springer. 2011.
626
627
PERIPARTUM CARDIOMYOPATHY
PENGERTIAN
Peripartum cardiomyopathy (PPCM ) merupakan suatu kardiomiopati idiopatik
dengan gagal jantung sekunder akibat disfungsi sistolik ventrikel kiri pada akhir masa
kehamilan atau dalam bulan menjelang persalinan, dan merupakan suatu diagnosis
eksklusi.1 Kriteria diagnosis PPCM yaitu:2
1. Berkembangnya gagal jantung pada akhir bulan masa kehamilan atau dalam 5
bulan pasca persalinan
2 . Disfungsi sistolik ventrikel kiri (fraksi ejeksi ventrikel kiri < 45%)
3. Penyebab gagal jantung tidak dapat diidentifikasi, dan
4. Tidak ditemukannya penyakit jantung sebelum bulan terakhir masa kehamilan
PPCM berkembang selama trimester akhir atau dalam 6 bulan pertama kehamilan,
dengan frekuensi 1: 3.000 dan 1:15.000 kelahiran. Faktor risikonya antara lain
meningkatnya usia maternal, paritas, kehamilan kembar, malnutrisi, penggunaan
terapi tokolitik pada kehamilan prematur, dan preeklampsia.3
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis1 3 4
• Tanda dan gejala awal PPCM seringkali menyerupai fisiologis normal kehamilan
dan dapat meliputi kelelahan, edema perifer, sesak napas terutama saat beraktivitas
( dyspnea on exertion ), orthopnea, paroxysmal nocturnal dyspnea, dan batuk kering
persisten .
• Gejala tambahan: rasa tidak nyaman pada abdomen akibat kongesti hati, pusing,
nyeri prekordial, palpitasi, pada stadium lanjut dapat terjadi hipotensi postural,
anemia
• Riwayat PPCM pada kehamilan sebelumnya
• Riwayat gagal jantung, miopati skeletal, gangguan konduksi dan takiaritmia,
kardiomiopati, sudden death dalam keluarga
• Riwayat kebiasaan minum alkohol, narkoba, kemoterapi, atau terapi radiasi
PanduanPraktikKIinls
Perhimpunan Dokler Spesiafis Penyakil Dalam Indonesia
PanduanPnktlk Kllnis Kardioloqi
'WUJr Perhimpunan Dokter Speslalis Penyakil Dalam Indonesia
Pemeriksaan Fisik14
• Konjungtiva anemis , takikardia, tekanan darah dapat normal atau meningkat,
peningkatan tekanan vena jugularis (JVP)
• Bunyi jantung ke - IIl ( + ), pergeseran impuls apeks ( displaced apical impulse ),
murmur baru yang konsisten dengan regurgitasi mitral dan trikuspid
• Ronki basal paru ( + )
• Bunyi jantung ke - 11 yang loud atau split , ronki ( + ) -> tanda hipertensi pulmonal
Pemeriksaan Penunjang14
• Laboratorium : darah perifer lengkap, parameter biokimia, fungsi tiroid, skrining
sepsis, serologi virus, marker molekular
• Marker jantung : troponin T (ditentukan dini setelah onset PPCM ) , peningkatan
B- type natriuretic peptide (BNP) dan N - terminal pro - BNP ( NT-proBNP)
• EKG : umumnya tidak spesifik. Dapat menunjukkan gambaran ritme sinus atau
sinus takikardia, dapat terjadi atrial fibrilasi atau ventrikel takikardia terutama
bila disfungsi sistolik ventrikel kiri menjadi kronis
• Radiologis:
' Foto toraks : dapat ditemukan kardiomegali, edema paru/ kongesti, efusi pleura
1 o
DIAGNOSIS BANDING
628
Peripartum Cardiomyopathy
TATALAKSANA'
629
W Kardiologi
KOMPLIKASI
Gagal jantung kronis, kematian.13'4
PROGNOSIS
Pemulihan fungsi sistolik terjadi pada 23-41% danbiasanyaterjadi dalam 6 bulan
setelah onset gejala . Pemulihan fraksi ejeksi cepat seringkali terlihat pada pasien
setelah diagnosis inisial dan diuresis. Fraksi ejeksi > 45% pada 2 bulan setelah diagnosis
memberikan prognosis pemulihan fungsional secara penuh pada 75% wanita. Akan
tetapi suatu studi melaporkan mortalitas 28% dapat terjadi hingga 2 tahun setelah
terdiagnosis meskipun telah terjadi pemulihan fungsional. Sekitar 50% wanita tanpa
pemulihan fungsi sistolik sempurna, sebagian memperoleh perbaikan fraksi ejeksi
atau status fungsional, sementara lainnya mengalami disfungsi sistolik persisten
atau progresif sehingga membutuhkan transplantasi atau berakibat pada kematian. 4
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Medical High Care / ICCU
• RS non pendidikan : ICCU
630
Peripartum Cardiomyopathy
REFERENSI
1 Sliwa K, Hilfiker-Kleiner D, Petrie MC, et al. Current state of knowledge on aetiology, diagnosis,
management, and therapy of peripartum cardiomyopathy: a position statement from the
Heart Failure Association of the European Society of Cardiology Working Group on peripartum
cardiomyopathy. European Journal of Heart Failure ( 2010) 12, 767-778. Diunduh dari http:/ /eurjhf.
oxfordjournals.org / pada tanggal 6 Juni 2012.
2. .
Morales A, Painter T, Li R, et al Rare Variant Mutations in Pregnancy-Associated or Peripartum
Cardiomyopathy. Circulation 2010:121:2176-2182. Diunduh dari http:/ / circ.ahajournals org/ .
content / 121 / 20/ 2176 pada tanggal 6 Juni 2012 .
3. .
Loscalzo J, Stevenson LW Cardiomyopathy and Myocarditis. In: Longo DL, Fauci AS, Kasper DL,
Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J. Harrison' s Principles of Internal Medicine. 18 Edition. New York,
lh
.
McGraw-Hill 2012.
4. .
Aursulesei V, Datcu MD Peripartum Cardiomyopathy: A Systematic Review. In: Veselka J.
Cardiomyopathies - From Basic Research to Clinical Management. Croatia, Intech 2011. Hal .
.
83 - 116. Tersedia di http:/ /www.intechopen com/books/cardiomyopathies-from-basic-research-
to-clinical-management
631
632
PERIKARDITIS
PENGERTIAN
Perikardium adalah lapisan avaskular yang melapisi jantung, terdiri dari 2 bagian
yaitu perikardium viseralis dan parietalis. Perikardium viseralis merupakan membran
serosa yang terdiri dari satu lapisan tersusun atas sel mesotelial dan menempel pada
jantung, sedangkan perikardium parietalis merupakan membran fibrosa dengan tebal
< 2 mm yang banyak mengandung kolagen dan sedikit elastin . Perikardium viseralis
dan parietalis dipisahkan oleh cairan yang berasal dari ultrafiltrasi plasma dalam
jumlah sedikit ± 15 - 35 ml . Fungsi dari perikardium yaitu :u
• Mencegah dilatasi jantung tiba-tiba terutama pada atrium dan ventrikel kanan
selama aktivitas dan hipervolemia.
• Menjaga posisi anatomis jantung dan mencegah terlipatnya pembuluh darah besar
• Mengurangi gesekan antara jantung dan struktur sekitarnya
• Mencegah perpindahan letak jantung
• Mengurangi risiko penyebaran infeksi dari paru - paru dan rongg pleura
Walaupun perikardium mempunyai fungsi yang penting, tidak adanya perikardium
karena kelainan kongenital ataupun operasi, tidak menimbulkan keluhan klinis. Salah
satu kelainan yang dapat terjadi pada perikardium yaitu perikarditis . Perikarditis
adalah peradangan pada perikardium viseralis dan / atau parietalis yang dapat
diklasifikasikan berdasarkan keadaan klinis dan etiologi.1
PanduanPraktik Klinis
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
Perikarditis
• Intermiten (gejala yang bervariasi disertai ada interval bebas gejala tanpa terapi]
• Terjadi terus- menerus ( penghentian OAINS / Obat Anti Inflmasi Non Steroid pasti
menyebabkan relaps
Perikarditis rekurens terjadi karena insufisiensi dosis dan / atau durasi yang tidak
cukup dari kortikosteroid pada penyakit perikard autoimun, terapi kortikosteroid
yang terlalu dini menyebabkan bertambahnya replikasi virus DNA / RNA pada jaringan
perikard, reinfeksi , dan eksaserbasi panyakit jaringan ikat.
633
jffs
i wfry
Panduan PraktikKllnis Kardiolog
w
i
Perhimpunan Dokler Spesralis Penyakif Dalam Indonesia
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Tabel 3. Diagnosis perikarditisM
Anamnesis Pemeriksaan flsik Pemeriksaan penunjang
Perikarditis • Nyeri dada tiba-tiba • Tampak cemas, subfe- • Laboratorium : leukosisto-
akut yang terkadang bril , sinus takikardia sis, limfosistosis ringan.
berat, dirasakan • Pada auskultasi terden- • Peningkatan creatine
di retrosternal dan gar friction rub pada kinase MB (CKMB) atau
dada sebelah kiri akhir ekspirasi di bagian troponin I
( precordial ) , pen- bawah batas sternalis • Rontgen toraks : normal
jalaran yang khas ke sinistra, terdengar jelas pada perikarditis akut
trapezius ridge ,teta- jika pasien membung- yang tidak komplikasi.
pi dapat menjalar ke kuk. Dapat ditemukan kelain-
leher, lengan, atau an-kelainan sesuai etiologi
bahu kiri Nyeri sering. penyebabnya.
bersifat pleuritic, dira- • EKG : ST elevasi cekung
sakan seperti tertusuk ( bedakan dengan infark
( tajam) , bertambah jantung akut dan repolari-
berat dengan batuk,
inspirasi, dan tidur
.
sasi dini)
• Echocardiography :
terlentang. menentukan adanya
• Sesak napas cairan pericardial, iokasi ,
• Batuk dan jumlahnya. Jantung
• Demam dapat bergerak bebas
• Riwayat penyaki dalam perikardium
sistemik, keganasan, • Computed tomogra-
autoimun ( tabel 2) phy (CT ) atau magnetic
resonance imaging ( MRI ) :
mengetahui Iokasi cairan,
penebalan perikardium,
dan massa perikardium.
Efusi • Asimptomatik, ke- • Pada palpasi : iktus kor- • Rontgen toraks : jantung
perikard / cuali sudah terjadi dis dapat tidak teraba tampak normal jika jumlah
tamponade • Pada auskultasi : bunyi cairan efusi sedikit . Jika
tamponade • Jika sudah terjadi jantung dapat terden- cairan efusi bertambah,
tamponade : sesak gar menjauh, friction jantung tampak mem-
napas, nyeri dada rub tidak terdengar, bulat. Pada posisi lateral,
bunyi napas pada tampak daerah lusen
basal paru dapat berbentuk linear antara
menghilang, ewart ' s dinding dada dan jantung
sign yaitu adanya bagian anterior yang
bagian redup, pening- menandakan terpisahnya
katan fremitus ( ego- lemak parietal perikari-
foni) di bawah sudut dum dari epikardium.
skapula kiri • EKG : low voltage and
• Trias Beck : hipotensi, electrical alternans
muffled heart sounds, • Echocardiography :
dan peningkatan daerah lusen di antara
tekanan vena jugular . perikardium viseralis dan
• Tanda-tanda shok : parietalis. Cairan efusi
takipnea, diaforesis, yang sedikit dapat terlihat
akral dingin, sianosis di ventrikel kiri postero-
perifer . basal.
• Computed tomography
(CT) atau cardiac magnetic
resonance (CMR) : men-
tukan kuantitas dan Iokasi
regional dari cairan efusi
634
Perikarditis
,%
I
. .
fcUrv
* .
ST
r,fcCUAtN> VP.
mm
m 1
11981
nns
It?
Gambar 2. Gambaran EKG pada Repolarisasi Dlnl Normal1
636
Perikarditis
Tamponade jantung
atau suspek infeksi
Ya Tidak
I
i I
Tidak Ya
I I
Terapi Terjadi selama < 1
perikarditis bulan atau adanya
kolaps bagian kanan
I
i
f53ak Ya.
i
Terapi perikarditis Drainose efusi
m
Crl PandiMnPrakdk Klinis Kardiologi
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
DIAGNOSIS BANDING
• Perikarditis akut: infark jantung akut, emboli paru, pleuropneumonia, diseksi
aorta, pneumonia, penumonitis, kostokondritis, gastroesophageal reflux disesase,
akut abdomen.4
• Efusi perikard / tamponade : kardiomiopati dilatasi atau gagal jantung, emboli paru,
• Perikarditis konstriktiva : kardiomiopati restriktif
Tabel 5. Perbedaan Perikarditis dari Iskemi / lnfark Miokard dan Emboli Paru7
Iskeml/lnfark
Perikarditis Emboli paru
miokard
Nyeri dada Karakter Seperti ada Tajam, stabbing Tajam, stabbing
yang menekan,
squeezing
Perubahan Tidak ada Memburuk Tidak ada
dengan
pernapasan
Perubahan Tidak ada Memburuk jika Tidak ada
denganposisi terlentang, berkurang
jika duduk atau
membungkuk ke
depan
Durasi Menit (iskemia) , Jam-hari Jam-hari
jam (infark)
Respon Meningkat Tidak ada perubahan Tidak ada
terhadap perubahan
nitrogliserin
Pemeriksaan Friction rub Tidak ada (kecuali Ada pada 85 % kasus Jarang. Pleural
fisik ada periakrditis) friction rub ada
pada 3 % kasus.
EKG Elevasi segmen Konveks, lokal Konkaf, luas Terbatas di lead III,
ST aVF, dan VI
Depresi segmen Jatang Sering Tidak ada
PR
Gelombang <3 Mungkin ada Tidak da Mungkin ada di
lead III dan /atau
aVF
Gelombang T Inverted ketika Inverted setelah Inverted di lead
segmen ST segmen ST normal II, aVF, VI -V4
meningkat ketika segmen ST
meningkat
638
Perikarditis
TATALAKSANA
Perikarditis Akut1 4
• Cari etiologi / kausal
• Pasien harus dirawat inap dan istirahat baring untuk memastikan diagnosis dan
diagnosis banding serta melihat kemungkinan terjadinya tamponade
• OAINS :
o Ibuprofen 600 - 800 mg ( 3x sehari) setiap hari secara oral,
o Aspirin 2 - 4 gram / hari
o Indometasin 25 - 50 mg ( 3x sehari)
o Diberikan sampai gejala menghilang atau tidak demam selama seminggu lalu
dosis di - tapering off .
• Kolkisin 2 - 3 mg per oral dilanjutkan dengan 1 mg setiap hari selama 10 - 14 hari
jika respon terhadap OAINS tidak adekuat.
• Kostikosteroid sebaiknya dihindari karena dapat meningkatkan risiko rekurensi .
o Indikasi : onset akut, perikarditis karena kelainan jaringan ikat dan gagal
ginjal, respon terhadap OAINS dan /atau kolkisin tidak adekuat.
o Prednison 40 - 80 mg setiap hari per oral selama 2 hari , lalu tapering off selama
selama
Perikarditis Rekuren4
• OAINS selama 2 minggu
• Kolkisin 2 - 3 mg per oral dilanjutkan dengan 1 mg
• Predniosn 0.2 - 0.5 mg / kg berat badan / hari
• Perikardiotomi
Efusi Perikard4
• OAINS atau kolkisin : dapat mengurangi cairan efusi
• Pungsi perikardi untuk diagnostik
Tamponade Jantung4
• Perikardiosentesis perkutan
• Bila belum bisa dilakukan perikardiosentesis perkutan, infus normal salin 500
ml dalam 10 menit disertai dobutamin 2 -10 ug/ kgBB / menit, untuk memperbaiki
hemodinamik atau isoproterenol 2 - 20 ug/ menit
639
# Panduan Praktik Minis Kardioloqi
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia W
Perikarditis Konstriktiva4
• Bila ringan diberikan diuretika atau dapat dicoba OAINS
• Bila progresif, dapat dilakukan perikardiektomi
KOMPLIKASI4
• Perikarditis akut : chronic relapsing pericarditis, efusi perikard, tamponade,
perikarditis konstriktiva
• Efusi perikard / tamponade: henti jantung, aritmia : fibrilasi atrial atau flutter,
perikarditis konstriktiva.
PROGNOSIS
Tergantung beratnya gejala dan komplikasi yangterjadi. Perikarditis akut idiopatik
umumnya akan sembuh sendiri atau rekuren pada 70 - 90 % kasus. Pada perikarditis
konstrikitiva, kematian saat dilakukan perikardiektomi terjadi pada 5 - 15 % kasus.
Kematian dini terjadi karena curah jantung yang rendah, sepsis , perdarahan masif ,
insufisiensi ginjal, dan insufisiensi pernapasan .4
640
Perikarditis
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : ICCU / medical High Care, Departemen Bedah
• RS non pendidikan : ICCU / ICU, Bagian Bedah
REFERENSI
,
1 . Braunwald E. Pericardial Disease. In: Fauci A, Kasper D, Longo D, Braunwald E, HauserS Jameson
. . .
J, Loscalzo J, editors Harrison’s principles of internal medicine 18th ed United States of America
;
The McGraw-Hill Companies, 2012.chapter 239.
2. Little W, Freeman G Pericardial Disease. Circulation. 2006:113:1622-1632. Diunduh dari http://
.
.
circ.ahajournals.org/content / 113/ 12 / 1622.full pdf+html pada tanggal 3 Juni 2012.
.
3. Maisch B, Seferovi PM, Ristic A et all Guidelines on the Diagnosis and Management of Pericardial
Diseases Full Text: The Task Force on the Diagnosis and Management of Pericardial Diseases of
. .
the European Society of Cardiology. 2004. Diunduh dari http:/ / www nvvc nl/UserFiles /Richtlijnen/
.
ESC /Pericardial%20diseases%202004 pdf pada tanggal 2 Juni 2012.
4. .
LeWinter M, Tischler M Pericardial Diseases. In : Bonow R, Mann D, Zlpes D, Lib P, editors .
. .
Braunwald’ s Heart Disease A Textbook of Cardiovascular Medicine 9h ed United States of .
.
America: Elsevier, 2012. P 1651-1671
. . .
5. Diunduh dari http:/ / www cardiacedu com/ ecg/pericarditis jpg pada tanggal 21 Juni 2012.
6. Diunduh dari www.emedu.org pada tanggal 12 Juni 2012.
.
7. Little WC, Freeman GL. Pericardial Disease. Circulation. 2006:113:1622- 1632 Diunduh dari http:/ /
circ.ahajournals.org / content/ 113/ 12/ 1622 pada tanggal 2 Juni 2012.
641
642
PENGERTIAN
Penyakit jantung kongenital adalah defek pada struktur jantung atau fungsi
dari sistem kardiovaskular yang sudah ada saat lahir, walaupun dapat ditemukan di
kemudian hari . Berdasarkan lesi, Penyakit jantung kongenital dapat diklasifikasikan
menjadi : 1. Sianosis : membran mukosa berwarna kebiruan karena peningkatan
pengurangan (saturasi oksigen yang rendah) hemoglobin, sianosis sentral terjadi
karena bercampurnya sirkulasi karena right - to - leftshunt , dan 2 . Asianosis.1 Pada bab
ini hanya akan dibahas Atrial Septal Defect (ASD), Ventricular Septal Defect ( VSD ) ,
Patent Ductus Arteriosus (PDA), Tetralogy of Fallot (TOF) .
PanduanPrakNkKIinis
Perhimpunan Dokler Speslalis Penyakil Dalam Indonesia
Penyakit Jantung Kongenital
primum ASD : kelainan pada bagian bawah septum atrium, 3 . Sinus venosus ASD:
kelainan pada superior dari hubungan antara vena cava superior dengan atrium kanan.
1
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Jika tekanan arteri pulmonal normal, biasanya tanpa gejala. Dapat ditemukan sesak
napas setelah latihan dan nyeri dada yang atipikyang frekuensinya makin meningkat.
2
Pemeriksaan Fisik
Impuls ventrikel kanan yang menonjol pada batas dada kiri bawah, arteri pulmonal
teraba, sistolik ejeksi murmur, bunyi jantung II dengan fixed split ( patognomonik] ,
Pada pasien dengan ostium primum ASD ditemukan holosistolik murmur. Jika terdapat
hipertensi pulmonal , dapat ditemukan peningkatan P 2 dengan high - pitched murmur.
Tanda gagal jantung kanan : peningkatan tekanan vena jugular. 2
Pemeriksaan Penunjang2
• Elektrokardiografi ( EKG ) :
• Pada 90% kasus ditemukan incomplete right bundle branch block
• Pada ostium secundum dan sinus venosus ASD: aksis QRS tampak vertikal pada
lead VI atau rightward
• Rontgen thorax: cabang arteri pulmonalis tampak menonjol, small aortic knob ,
pembesaran ventrikel kanan .
• Ekokardiografi : pembesaran jantung kanan, meningkatnya aliran arteri pulmonal ,
ada shunt
• Kateter jantung kanan : oxygen step up dari vena kava ke atrium kanan. Semakin
besar saturasi oksigen arteri pulmonal , semakin besar shunt nya .
TATALAKSANA3
• Shuntkecil (rasio sirkulasi pulmonal : sirkulasi sistemik (Qp : Qs) < 1, 5 ) , ASD kecil
(<5mm) dan tidak ada pembesaran jantung kanan: observasi, ulangi ekokardiogram
setiap 2 - 3 tahun untuk memantau fungsi dan ukuran jantung kanan serta tekanan
pulmonal.
• Penutupan defek baik bedah maupun perkutaneus: bila ada pembesaran ventrikel
maupun atrium kanan dengan atau tanpa gejala, adanya komplikasi . Sinus venosus,
sinus coronary atau primum ASD sebaiknya dikoreksi dengan pembedahan.
643
ffl
mFw
rtndu«Q Prawn minis Kardiologi
^
Perhimpunan Dokter Spestalls Penyaklt Dalam Indonesia
KOMPLIKASI
Gagal jantung kanan, hipertensi pulmonal, paradoxical embolization .2
PROGNOSIS
Ostium secundum ASD yang tidak dikoreksi, harapan hidup sebesar 50% dibawah
usia 40 tahun . Rata - rata kematian sebesar 6% per tahun setelah usia 40 tahun. 2
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Jika tekanan arteri pulmonal normal, biasanya tanpa gejala . Dapat ditemukan
sesak napas setelah latihan. 2
Pemeriksaan Fisik2 4
• Murmur holosistolik, kadangkala sistolic thrill , terdengar jelas di ruang interkostal
IV atau V sepanjang batas sternum kiri, menjalar ke regio parasternal kanan
• Bunyi jantung II dengan fixed split.
• Dapat ditemukan S 3 gallop dan diastolic rumble karena peningkatan aliran melalui
katup mitral.
• Jika ada komplikasi insufisiensi trikuspid akan ditemukan prominent jugular venous
v wave dan murmur sistolik.
• Jika ada komplikasi
regurgitasi katup aorta akan ditemukan diastolic blowing
murmur, peningkatan pulsasi arteri
644
Penyakit Jantung Kongenital
Pemeriksaan Penunjang2
• EKG : jika shunt besar, dapat ditemukan pembesaran ventrikel kiri atau kedua
ventrikel .
• Rontgen thorax lateral: pembesaran atrium kiri
• Ekokardiografi
• Color- flow Doppler: jet sistolik berkecepatan tinggi melintasi septum ventrikular
ke ventrikel kanan
• Kateter jantung kanan ; menilai saturasi oksigen ventrikel kanan (untuk mengetahui
besarnya shunt dari ratio Qp:Qs) , tekanan arteri pulmonal, dan resistensi vascular.
TATALAKSANA 3
• Observasi : jika Op : Qs < 2 , tidak ada gejala, tidak ada overload volume ventrikel
kiri , tidak ada regurgitasi aorta yang berhubungan dengan VSD.
• Pembedahan: jika Qp:Qs > 2 atau bila Op:Qs > 1, 5 dengan disfungsi sistolik atau
diastolik ventrikel kiri atau dengan tekanan arteri pulmonal < 2 / 3 dari tekanan
sistemik.
• Terapi vasodilatasi pulmonal dapat dipertimbangkan pada pasien VSD dengan
penyakit vaskular pulmonal berat.
• Percutaneus device closure dapat dipertimbangkan pada VSD muskular
PROGNOSIS
VSD yang tidak dikoreksi , rata - rata bertahan 10 tahun sejak gejala muncul adalah
75 %. 3
645
# ESftiSSPJSS Kardiologi
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Riwayat ibu terinfeksi rubela ketika hamil, sesak napas karena latihan, nyeri dada,
palpitasi.2
Pemeriksaan Fisik
Pulsasi nadi teraba lebar dan kolaps, murmur yang terdengar paling j elas dibawah
klavikula kiri dan bunyinya meningkat pada late systole . Jika shuntnya besar, dapat
ditemukan S 3 gallop dan diastolic murmur.4 Continous machinery murmur
Pemeriksaan Penunjang2
• EKG: Pada shunt yang besar dapat ditemukan hipertrofi atrium dan ventrikel kiri ,
jika ada hipertensi pulmonal , dapat ditemukan P- pulmonale, right - axis deviation ,
dan hipertrofi ventrikel kanan .
• Rontgen thorax : jika shunt besar, dapat ditemukan bayangan jantung membesar
dan vaskular pulmonal yang berlebihan. Jika ada hipertensi pulmonal, dapat
ditemukan ; pembuluh darah paru perifer berkurang, arteri pulmonalis sentral
menonjol , Pada pasien dewasa tampak duktus mengalami kalsifikasi .
• Ekokardiografi
• Color - flow Doppler: aliran berkecapatan tinggi yang kontinu didalam arteri
pulmonalis utama dekat cabang kiri.
• Kateter jantung kanan
TATALAKSANA 3
• Observasi dengan /o //ow- up rutin setiap 3 - 5 tahun pada PDA ringan tanpa bukti
overload volume jantung kiri
• Penutupan PDA secara perkutaneus lebih disarankan karena tingkat keberhasilan
tinggi dan komplikasi kecil .
KOMPLIKASI
Gagal jantung kongestif, hipertensi pulmonal .4
PROGNOSIS
Sekitar 15 % pasien > 40 tahun memiliki kalsifikasi dan aneurismal dilatation dari
duktus yang menyulitkan operasi.
646
Penyakit Jantung Kongenital jgy
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Riwayat sianosis ketika lahir, intoleransi latihan.
2
Pemeriksaan Fisik
Sianosis, clubbing, pulmonic flow murmur,
Pemeriksaan Penunjang4
• EKG: hipertrofi ventrikel kanan
• Rontgen thorax: boot shaped heart dengan ventrikel kanan yang menonjol dan
cekung di daerah konus paru.
• Echokardiografi dua dimensi: malaligned VSD dengan overriding aorta
• MRI
• Kateter jantung: tekanan pulmonal normal
TATALAKSANA
Pembedahan ; angioplasty dan stenting of branch pulmonary stenosis.
3
PROGNOSIS
Hanya 11% individu yang lahir dengan TOF dapat bertahan hidup tanpa operasi
paliatif sampai usia 20 tahun, dan hanya 3% yang dapat hidup sampai usia 40 tahun.
2
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Departemen Bedah Jantung, Departemen llmu Kesehatan
Anak Divisi Kardiologi
• RS non pendidikan : Departemen Bedah , Departemen Anak, Departemen
Rehabilitasi Medik
647
# Kardiologi
REFERENSI
1 . .
Saunders: Phlladhelphia. 2007 .
. . .
Marelli, Ariane J Congenital Heart Disease Dalam: Ausiello Goldman Cecil Medicine 23,!i edition .
2. . . .
Harris, Ian S Foster, Elyse Congenital Heart Disease in Adults. Dalam: Crawford, Michael H Current
.
Diagnosis & Treatment Cardiology 3r< Edition The MacGrgw Hills Companies. 2009
* ' .
3 .
Wames Carole A. Et?all,ACC /AHA 20Q8 Guidelines for the mdnag.emenfcof adultswith congenital
.
November 7 2008 : doi: 10.1161 / CIRCUIATIONAHA .108.190811.
.
heart disease: executive summary. Circulation. 2008:118:2395- 2451 originally published online
4
.
.- ' .
Congenital heart disease in adult. Dalam: Fauci A, Kasper D ongp D Brauriwald E, Hauser S,
. ' .
Jameson J, Loscalzo J, editors Harrison's principles of internal medicine i8 h ed Unified States of
America; The McGraw-Hill Companies, 2011 .
648
649
HIPERTENSI PULMONAL
PENGERTIAN
Definisi hipertensi pulmonal / pulmonary hypertension (PH] merujuk pada adanya
tekanan vaskular paru yang tinggi secara abnormal. Sedangkan hipertensi arteri pulmonal /
pulmonary arterial hypertension (PAH) adalah kumpulan gejala akibat dari restriksi aliran
melalui sirkulasi arteri pulmonal, yang mengakibatkan peningkatan resistensi vaskular
paru dan pada akhimya gagal jantung kanan. PAH merupakan suatu kategori PH, oleh
karena itu keduanya bukan merupakan sinonim.1 Pada individu yang sehat, tekanan darah
pada arteri pulmonal lebih rendah daripada arteri lainnya didalam tubuh. Apabila tekanan
darah yang melewati seluruh tubuh berkisar 120/80 mmHg, maka tekanan arteri pulmonal
berkisar 25 /10 mmHg. Apabila tekanan arteri pulmonal mencapai 40/ 20 mmHg, atau
tekanan rata-rata melebihi 25 mmHg, maka terjadi PH . Apabila PH menjadi persisten atau
sangat tinggi, maka ventrikel kanan jantung yang menyuplai darah ke arteri pulmonal tidak
dapat memompa secara efektif sehingga pasien akan mengeluh napas pendek, kehilangan
energi, dan edema, yang merupakan tanda gagal jantung kanan.2 Berbagai kondisi dan
penyakit juga dapat meningkatkan tekanan arteri pulmonal tercantum pada tabel 1.
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis2 3
• Sesak, lelah, angina pektoris, sinkop, hampir sinkop
• Riwayat penyakit komorbid
Pemeriksaan Fisik1
• Mencerminkan derajat keparahan PH :
o Aksentuasi komponen pulmonal S2 (terdengar pada apeks > 90%)
o Bunyi klik pada awal sistolik ( early systolic click )
o Ejeksi murmur midsistolik
o Left parasternal lift
650
Hipertensi Pulmonal
Pemeriksaan Penunjang1 3
• Laboratorium : darah perifer lengkap, ANA, HIV, TSH, fungsi hati, biomarker
jantung ( BNP, NT- proBNP, troponin T)
• EKG : right axis deviation , hipertrofi ventrikel kanan , hipertrofi atrium kanan
• Radiologis :
o Foto toraks : pembesaran arteri pulmonalis sentral, hipertrofi ventrikel kanan,
hipertrofi atrium kanan
o Ekokardiogram : pembesaran ventrikel dan atrium kanan, penurunan fungsi
ventrikel kanan, regurgitasi trikuspid, pergeseran septum intraventrikular,
efusi perikardial
o MRI jantung : menilai ukuran dan fungsi ventrikel kanan secara akurat
DIAGNOSIS BANDING
Lihat tabel 2
651
O PanduanPiaMIli Minis Kardiologi
Pertilmpunan DoklerSpeslalls Penyakil Dalam Indonesia
PENDEKATAN DIAGNOSIS
I
Anamnesis,
pemeriksaan fisik, Index kemungkinan PH
rontgen thorax,
EKG
I
Echocardiogram
TEE
RVE, RAE, naiknnya RSVP,
fungsi RV
Penyakit jantung kiri
Excersice Echo VHD, CHD
I
VQ scan
Angiografi pulmonal
Chest CT angiogram PE kronis
I
PFTs -
Profil koagulopati
I Pertukaran gas
Overnight
oxymetri Polysomnography Gangguan tidur
\
HIV Infeksi HIV
ANA Serologis CTD lainnya Skleroderma, SLE, RA
LFTs
Hipertensi portopulmonar
l
Tes fungsional Data dasar
(6MWT, CPET) prognosis
Tes vasodilator
652
Hipertensi Pulmonal ftp
TATALAKSANA3
Prinsip terapi :
1. Memastikan diagnosis dengan benar : pasien sebaiknya melakukan kateterisasi
jantung sebelum terapi dimulai
2. Menilai kondisi baseline penyakit : untuk menilai efektivitas terapi
3. Tes vasoreaktivitas :sebaiknya diperiksa saat didiagnosis untuk memandu terapi
4. Pasien reaktif sebaiknya diterapi dengan calcium channel blockers dosis tinggi
( drug of choice )
5. Pasien non - reaktif sebaiknya ditawarkan terapi lain, namun tidak ada terapi
spesifik yang ditawarkan sebagai terapi lini pertama
6. Follow- up periodik manfaat obat sangat penting : lakukan penilaian ulang dalam
8 minggu setelah obat baru dimulai, karena pasien yang tidak merespon pada
awalnya mungkin dapat merespon setelah paparan lebih lama. Efektivitas terapi
dapat menghilang seiring berjalannya waktu
7. Terapi yang tidak efektif sebaiknya diganti daripada ditambah. Pasien yang gagal
pada semua terapi sebaiknya dipertimbangkan transplantasi paru
8. Manfaat dan risiko terapi kombinasi tidak diketahui : hanya tambahan sildenafil
pada epoprostenol yang terbukti bermanfaat
KOMPLIKASI
Gagal jantung kanan (cor pulmonale ), bekuan darah, aritmia, perdarahan
653
5>
(r Panduan Praktik Klinis Kardioloqi
Perhimpunan DoklerSpesialis Penyakil Dalam Indonesia
TATALAKSANA PH
f
(+} l
Respon
i Tidak
ERAS atau PDE-5 Is ( oral)
Epoprostenol atau
Treprostinil ( iv )
lliprost (inhalasi)
Epoprostenol atau
treprostinil (iv)
lliprost (inhalasi)
Treprostinil ( Sc )
berkelanjutan Treprostinil ( Sc ) ERAS atau PDE-5 Is
I
( oral)
Ya
1
Lanjutkan CCB
Observasi ulang :
pertimbangkan terapi
f
combo
Atrial septosomy
1 lung transplant
Investigasi protokol
PROGNOSIS
Determinan prognosis PH dapat dilihat pada tabel 4.
654
Hipertensi Pulmonal
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan
• RS non pendidikan : -
REFERENSI
1 . McLaughlin V, Archer S, Badesch D, et al. ACCF/ AHA 2009 Expert Consensus Document on
Pulmonary Hypertension: A Report of the American College of Cardiology Foundation Task
Force on Expert Consensus Documents and the American Heart Association Developed in
Collaboration With the American College of Chest Physicians; American Thoracic Society, Inc.;
. . . .
and the Pulmonary Hypertension Association J. Am Coll Cardiol 2009;53:1573-1619. Diunduh
.
dari http://content onlinejacc.org/ cgi/reprintframed/ 53/ 17/ 1573 pada tanggal 14 Juni 2012.
2. . .
Newman JH, Hemnes AR. Pulmonary Hypertension In : Schraugnagel DE Breathing in America :
.
Diseases, Progress, and Hope. American Thoracic Society 2010. Hal 175-84. Diunduh dari http:/ /
. .
www thoracic.org/education /breathing-in-america /resources /breathing-in-america pdf pada
tanggal 23 Mei 2012.
3 . Rich S. Pulmonary Hypertension. In : Longo DL, Fauci AS, KasperDL, HauserSL, Jameson JL, Loscalzo
.
J. Harrison' s Principles of Internal Medicine IS* Edition. New York, McGraw -Hill. 2012
655
656
PENGERTIAN
Penyakit arteri perifer ( PAP) adalah kelainan klinis karena adanya stenosis atau
oklusi di aorta atau arteri ekstremitas. Stenosis atau oklusi pada usia > 40 tahun paling
banyak disebabkan karena aterosklerosis, sisanya disebabnya trombosis, emboli,
vaskulitis, displasia fibromuskular, tekanan organ sekitar, cystic adventitial disease ,
dan trauma. Lokasi primer terjadi di aorta abdominalis dan arteri iliaka (30 % pada
pasien dengan gejala), arteri femoral dan poplitea (80 -90 % pasien), dan arteri tibia
dan peroneus (40 -50 % pasien).12
Ada berbagai macam PAP yaitu :
• Vaskulitis : arteritis Takayasu, arteritis sel giant (temporal)
• Oklusi arteri akut
• Arteroemboli
• Thoracic Outlet Compression Syndrome
• Popliteal Artery Entrapment
• Aneurisma arteri poplitea
• Fistula arteriovena
• Raynaud' s Phenomenon
• Akrosianosis
• Livedo Reticularis
• Pernio (Chilblains)
• Eritromelalgia
• Frostbite
PanduanPraktik Minis
Perhlmpunan Dokter Spesfafis Penyakit Dalam Indonesia
Penyakit Arteri Perifer
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Keluhan terjadi pada < 50 % pasien yaitu klaudikasio intermiten ( rasa nyeri,
ache , keram, baal, atau kelelahan pada otot selama aktivitas dan menghilang dengan
istirahat] yang dirasakan di distal dari lokasi oklusi, misalnya di bokong, pinggul,
dan otot paha jika oklusi di aortoiliaka, sedangkan sakit di betis dirasakan jika oklusi
di arteri femoral- poplitea. Keluhan dirasakan lebih sering pada ekstremitas bawah
dibandingkan ekstremitas atas. Keluhan lain yaitu pasien merasakan dingin atau baal
pada kaki dan ibu jari kaki yang seringkali dirasakan pada malam hari ketika posisi
tungkai horizontal dan meningkat ketika tungkai pada posisi menggantung. Pada kasus
iskemia berat, nyeri dapat tetap ada pada saat istirahat. 1,2
Pemeriksaan Fisik
Menurunnya atau tidak terabanya nadi di distal dari oklusi, terdengarnya bruit ,
dan otot ampak atrofi. Pada kasus berat terdapat penebalan kuku, kulit tampak halus
dan mengkilap, menurunnya suhu kulit, rambut kaki rontok, pucat atau sianosis. Ulkus
atau gangren dapat ditemui pada pasien dengan critical limb ischemia. Pemeriksaan
refleks tungkai juga dapat menurun karena neuropati iskemia. 1,3
Pemeriksaan Penunjang' 3
• Laboratorium: darah lengkap, PT [prothrombine time ), APTT ( activated partial
thromboplastin time ), trombosit
• Elektrolit, ureum, kreatinin, gula darah, profil lipid
• Urin lengkap
• Rontgen toraks
• Elektrokardiografi
• Ankle brachial index ( ABI ) (lebih lengkap pada bab ABI)
• Pengukuran tekanan segmental
• Segmental pulse volume recordings
• Ultrasonografi dupleks: gambaran B-mode dan pengukuran kecepatan aliran darah
dengan Doppler
• Oksimetri transkutaneus
• Tes stress ( treadmill)
• Arteriogram
• Magnetic resonance angiography ( MRA), computed tomographic angiography (CTA),
dan ongiografi kontras konvensional
657
PanduanPraktikMinis Kardioloai
Perhlmpunan Dokler Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
1
Pemeriksaan ABI
f I
ABI > 1.30 ABI 0.91-1.30 ABI 0.90
(abnormal) (normal) ( abnormal)
i i
Pulse volume recording
Toesw - brachial index Pengukuran ABI
(ultrasonografi dupleks) setelah treadmill
1 I
i i l i
Hasil normal : Hasil Hasil normal : Hasil abnormal
tidak ada PAP abnormal tidak ada PAP (menurun)
1
Evaluasi
penyebab lain
i
Konfimnasi
diagnosis PAP
1
Memperbaiki faktor risiko :
stop rokok, atasi hipertensi,
hiperiipidemia, diabetes melitus
I
Terapi farmakologik :
antipiateiet, inhibitor ACE
6m
Penyakit Arteri Perifer $$
Keluhan klasik klaudikasio
i
Anamnesis gangguan
berjalan dan keterbatasan
I
Pemeriksaan nadi
ABi
l 0.9 Hasil Hasil
I
abnormal normal
t
Terapi farmakologik :
antiplatelet, inhibitor ACE
1
Algortime 3
DIAGNOSIS BANDING
Pseudoklaudikasio (nyeri jika berdiri / posisi lordosis dan menghilang dengan
duduk, tidur terlentang, membungkuk ke depan, atau meregangkan spinal) , penyakit
obstruksi vena berat, kompartemen sindrom kronik, penyakit lumbar dan stenosis
spinal , penyakit muskular inflamasi .
659
# SSHfiSBaH! Kardiologi
Diagnosis pasti PAP
I
Pentoxifylline
tanda- tanda
iskemik
i
Tes efikasi
sebelum
dan sesudah
PT
Perbaikan klinis. Disabilitas yang signiflkan walaupun
Follow up secara dengan terapi medis dan / atau
rutin saat kontrol terapi endovaskular.
l
Evaluasi kebutuhan operasi
revaskularisasi atau endovaskular.
TATALAKSANA12
• Tujuan: menurunkan risiko kardiovaskular, meningkatkan fungsi ekstremitas,
mencegah progresifitas menjadi iskemia, dan menjaga viabilitas ekstremitas.
• Modifikasi faktor risiko :
o Menghentikan rokok
o Mengontrol tekanan darah dengan Angiotensin converting - enzyme inhibitors
660
Penyakit Arteri Perifer 0
(
• Antikoagulan : warfarin
o Sama efektif dengan antiplatelet, tetapi meningkatkan risiko perdarahan
i
661
itfS
WMR
PanduanFrakilkKIInis Kardioloqi
w
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
o Non - operasi :
Percutaneous transluminal angiography fP 7VlJ, pemasangan stent ,
arterektomi
Angka keberhasilan pada PTA iliaka sebesar 90 -95 % , dan ketahanan
selama 3 tahun sebesar > 75%
Angka keberhasilan pada PTA dan pemasngan stent pada femoral - poplitea
sebesar 80 %, dan ketahanan selama 3 tahun sebesar 60 %
KOMPLIKASI
Critical limb ischemia, amputasi, ulkus, gangren
PROGNOSIS
Pada 1/ 3-1/ 2 pasien PAP dengan keluhan, berdasarkan klinis dan EKG juga
mengidap penyakit arteri koroner (CAD/ coronary artery disease ), sedangkan > %
pasien terdeteksi dengan angiografi koroner. Angka harapan hidup 5 tahun pada
pasien dengan PAP sebesar 15-30 % , dan meningkatkan risiko kematian akibat CAD
sebesar 2 - 6 kali. Angka kematian meningkat seiring dengan derajat beratnya PAP.
Sebanyak 75-80 % pasien dengan PAP tanpa diabetes mellitus mempunyai keluhan
yang stabil, sedangkan 1- 2 % berkembang menjadi critical limb ischemia setiap tahun.
Pada kasus critical limb ischemia, 25-30 % kasus menjalani amputasi dalam 1 tahun,
dan mempunyai prognosis buruk pada yang merokok dan diabetes mellitus. 1
662
REFERENSI
Penyakit Arteri Perifer
^
1. Creager MA. Vascular Diseases of the Extremities. In: Fauci A, Kasper D, Longo D, Braunwald E,
.
HauserS, Jameson J, Loscalzo J, editors Harrison' s principles of internal medicine. 18th ed. United
States of America; The McGraw-Hill Companies, 2012,chapter 249
2. Hirsch AT, Haskal ZJ, Hertzer NR et al. ACC / AHA 2005 Practice Guidelines for the Management
of Patients With Peripheral Arterial Disease ( Lower Extremity, Renal, Mesenteric, and Abdominal
Aortic ) : A Collaborative Report from the American Association for Vascular Surgery /Society
for Vascular Surgery,* Society for Cardiovascular Angiography and Interventions, Society for
Vascular Medicine and Biology, Society of Interventional Radiology, and the ACC /AHA Task
Force on Practice Guidelines ( Writing Committee to Develop Guidelines for the Association of
Cardiovascular and Pulmonary Rehabilitation; National Heart, Lung, and Management of Patients
With Peripheral Arterial Disease ) : Endorsed by the American Blood Institute; Society for Vascular
.
Nursing; TransAtlantic Inter-Society Consensus; and Vascular Disease Foundation Circulation.
2006;113:e463-e654. Diunduh dari http:/ / circ.ahajournals.org/ pada tanggal 2 Juni 2012.
3. Antono D, Ismail D. Penyakit arteri perifer. Dalam: Alwi I, Setiqti S, Setiyohadi B, Simadibrata M,
Sudoyo AW, editors. Buku Ajar limu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V. Jakarta: Interna Publishing;
2010: Hal 1831-1841
663
664
nd nPraktfk Kllnis
Perhimpunan Dokler SpesiaHs Penyakll Dalam Indonesia
Kelainan Sistem Vena dan Limfatik jj
||
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Diagnosis berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik :
665
Panduan PraktikKlinis Kardioloqi
Perhimpunan Pokier Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
Pemeriksaan Penunjang3
• Ultrasonografi : Continuous - wave ( CW ) Doppler, duplex scan, echocardiografi
Doppler :
o Tujuan : melihat adanya refluks , mencari sumber lokasi dan morfologi ,
pemeriksaan preoperatif
• Imajing: angiografi - CT scan, angiografi - MRI
• Plethysmography : quantitative photoplethysmography, phlebography ( venography)
o Indikasi phlebography : mempunyai anomali anatomis atau malformasi, atau
jika ada indikasi operasi sistem vena dalam .
DIAGNOSIS BANDING
Ruptur kista Baker , selulitis, sindroma postflebitis , sumbatan arteri menahun .*
666
Kelainan Sistem Vena dan Limfatik
Pemeriksaan imajing
i
Ultrasonografi vena
1
I 1
Non diagnostik
Diagnostik
i t 1
Phlebography
Ultrasonografi vena MRI CT scan
TATALAKSANA13 s
Vena varikosa
• Menghindari posisi berdiri terlalu lama
• Memakai kaus kaki elastis atau compression stocking
• Elevasi tungkai secara periodik
• Prosedur:
o Indikasi: jika keluhan tetap ada, trombosis vena superficial yang rekuren, dan
/
atau adanya
o Skleroterapi: jika varikosa kecil
o Radiofrekuensi endovenus:untuk mengatasi vena safena magna inkompeten
o Ablasi laser.
o Operasi : berupa ligasi dan stripping vena safena magna dan parva .
668
Kelainan Sistem Vena dan Limfatik
.
Tabel 3 Prosedur operasi pada kelainan vena2
Angka kematlan Angka patens! dalam 5 tahun
Prosedur (%) (%)
Femoral-AK popliteal vein 1.3-6.3 66
Femoral-AK popliteal prosthetic 1.3-6.3 50
Femoral-BK popliteal vein 1.3-6.3 66
Femoral-BK popliteal prosthetic 1.3-6.3 33
Femoral-tibial vein 1.3- 6.3 74-80
Femoral-tibial prosthetic 1.3-6.3 25
Composite sequential bypass 0-4 28-40
Femoral-Tibial blind segment bypass 2.7-3.2 64-67
Profundaplasty 0-3 49-50
.
Keterangan:AK - above knee. SK:be / ow knee
KOMPLIKASI
Tromboemboli , emboli paru, ruptur vena, perdarahan, gangguan sistem limfatik . 1
PROGNOSIS
Komplikasi tromboemboli dapat meningkatkan morbiditas ada DVT dan
meningkatkan angka kematian sebesar 30% dalam 1 bulan. Pada 25 % kasus dengan
emboli paru akan menyebabkan kematian mendadak. Angka rekurensi DVT sebesar
30% dalam 10 tahun.6
669
#
( tSSSSSmSSt Kardiologi
LIMPEDEMA
Limfedema adalah akumulasi cairan berlebihan dari cairan ekstraseluler yang
dapat disebabkan oleh :
Primer Sekunder
Kongenital Limfangitis rekuren
Lymphedema praecox Filariasis
Limfedema tarda Tuberkulosis
Keganasan
Operasi
Terapi radiasi
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Asimptomatik atau tungkai terasa berat, chronic dull .1 7 -
Pemeriksaan Fisik
Edema yang dimulai dari kaki dan menyebar sampai tungkai atas. Awalnya edema
bersifat halus dan pitting , selanjutnya menjadi indurasi dan fibrosis. Dermatitis stasis
dan hiperpigmentasi dapat ditemui. 1,7
Pemeriksaan Penunjang1 7
• Ultrasonografi vena : sesuai indikasi
• Ultrasonografi abdomen dan pelvis: untuk mendeteksi lesi obstruksi seperti
keganasan .
• MRI atau CT scan: sesuai indikasi
• Lymphoscintigraphy dan lymphangiography:
o Tujuan : untuk mendiagnosis atau membedakan antara limfedema primer atau
sekunder.
o Lymphoscintigraphy: menyuntikkan plasma protein radioaktif yang berlabel
technetium ke distal dari jaringan subkutaneus pada ekstremitas yang terkena.
o Lymphangiography:
Tujuan: mencari penyebab, melihat kelainan anatomis dari saluran limfe .
kontras disuntikkan ke distal saluran linfe yang sudah dikanulasi .
670
Kelainan Sistem Vena dan Limfatik fj®
DIAGNOSIS BANDING
DVT, myxedema pretibial, lipedema.
TATALAKSANA1 7
• Edukasi perawatan kaki pada pasien, menjaga kebersihan tungkai
• Fisioterapi: massage untuk meningkatkan drainase
• Konservatif : elevasi tungkai, kompresi dengan kaos kaki elastis, pemakaian
pelembab jika kulit kering
• Obat vasoaktif seperti flavonoid:memperbaiki mikrosirkulasi dinding pembuluh
darah.
• Antibiotik profilaksis:sesuai indikasi
• Terapi bedah: limfangioplasti, transposisi flap omentum, eksisi radikal dan graft
kulit, lymphovenous shunts.
KOMPLIKASI7
• Komplikasi dermatologis:inflamasi (erysipelas, selulitis, dermatitis, limfangitis),
onkologi (angiosarkoma /S/ ndroma Stewar Treves ).
-
• Komplikasi terlibatnya sistem saraf, otot, dan skeletakartropati, ligamentoses,
tendinoses, dan periostases.
PROGNOSIS
Limfedema menyebabkan keterbatasan dalam aktivitas yang dapat mengakibatkan
distress psikis , Selain itu dapat menjadilimfangiosarkoma, dengan insiden sebesar 10
% pada penderita limfedema selama 10 tahun.8 9 -
UNIT YANG MENANGANI
• RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Kardiologi
• RS non Pendidikan :Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Hematologi
Onkologi Medik, ICCU / medical High Care , Departemen
Bedah
• RS non Pendidikan : ICCU / ICU, Departemen Bedah
671
#&
? PaaduanPrainili Minis Kardiologi
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
REFERENSI
1. Creager MA. Vascular Diseases of the Extremities. In: Fauci A, Kasper D, Longo D, Braunwald E,
HauserS, Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison ' s principles of internal medicine. 18th ed. United
States of America; The McGraw-Hill Companies, 2012,chapter 249.
2. Hirsch AT, Haskal ZJ, Hertzer NR et all. ACC/ AHA 2005 Practice Guidelines for the Management
of Patients With Peripheral Arterial Disease ( Lower Extremity, Renal, Mesenteric, and Abdominal
Aortic ) :A Collaborative Report from the American Association for Vascular Surgery / Society
for Vascular Surgery,* Society for Cardiovascular Angiography and Interventions, Society for
Vascular Medicine and Biology, Society of Interventional Radiology, and the ACC / AHA Task
Force on Practice Guidelines ( Writing Committee to Develop Guidelines for the Association of
Cardiovascular and Pulmonary Rehabilitation; National Heart, Lung, and Management of Patients
With Peripheral Arterial Disease) : Endorsed by the American Blood Institute; Society for Vascular
Nursing; TransAtlantic Inter-Society Consensus; and Vascular Disease Foundation. Circulation.
2006;113:e 463-e 654. Diunduh dari http://circ.ahajournals.org/ pada tanggal 2 Juni 2012
.
3. Agus GB, Allegro C, Arpaia G et all. Guidelines for the diagnosis and therapy of diseases of
the veins and lymphatic vessels. Evidence-based report by the Italian College of Phlebology .
INTERNATIONAL ANGIOLOGY vol. 21 - suppl.2 to issue 2 - JUNE 2005
. ..
4. Goldhaber SZ Deep Venous Thrombosis and Pulmonary Thromboembolism In: Fauci A, Kasper
D, Longo D, Braunwald E, HauserS, Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison' s principles of internal
.
medicine 18th ed. United States of America; The McGraw-Hill Companies, 2012 chapter 262.
.
5. Jusi HD. Flebolofi. Dalam: Jusi HD. Dasar-Dasar llmu Bedah Vaskuler edisi IV.Jakarta : Balai Penerbit
.
FKUI. 2008. Hal 210-316
6. CDC Division of Blood Disorders :Public Health Research Activities in Venous Thromboembolism.
.
Michele G. Beckman, Sara E. Critchley, W Craig Hooper, Althea M. Grant and Roshni Kulkarni.
Arterioscler Thromb Vase Biol. 2008;28:394-395.Diunduh dari http:/ / atvb.ahajournals.org /
content / 28 / 3/394.full.pdf +html pada tanggal 4 Juni 2012.
7. Jusi HD.Limfologi. Dalamdusi HD. Dasar-Dasar llmu Bedah Vaskuler edisi IV.Jakarta:Balai Penerbit
.
FKUI. 2008. Hal 317-343
8. .
Chopra, S; Ors, F; Bergin, D ( 2007) “MRI of angiosarcoma associated with chronic lymphoedema:
Stewart Treves syndrome". British Journal of Radiology 80 ( 960 ) : e 310-3.DOI:10.1259 /
bjr/ 19441948. PMID 18065640.
9. Stopple mS. Lymphedema.Diunduh dari http:/ / www.emedicinehealth.com pada tanggal 22
Juni 2012.
672
PENATALAKSANAAN
i f BIDANG HMD PENYAKIT DALAM
PANDUAN
M
PBAKTIK
KLINISHH
PSIKOSOMATIK
Ansietas 673
Depresi 676
Dispepsia Fungsional 680
Nyeri Psikogenik 685
Penyakit Jantung Fungsional ( Neurosis Kardiak ) 688
Sindrom Kolon Iritabel 690
Sindrom Lelah Kronik 695
Sindrom Hiperventilasi 699
Pengelolaan Paliatif pada Penyakit Kronis 703
. * '
T
'
673
ANSIETAS
PENGERTIAN
Ansietas merupakan kecemasan yang berlebihan dan lebih bersifat subyektif .
Pada umumnya pasien datang ke poliklinik penyakit dalam dengan keluhan somatik.
Sindrom ansietas menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder Fourth
Edition Text Revision ( DSMIV-TR) dibedakan menjadibeberapamacamyaitu: ansietas
GAD (Generalized Anxiety Disorder), ansietas panik (Panic Disorder ] , ansietas OCD
[ Obsessive Compulsive Disorder ] , Fobia, PTSD (Post Traumatic Stress Disorder ] , dan
ansietas lainnya.1
Pada bab ini akan lebih dibahas mengenai Generalized Anxiety Disorder (GAD)
karena kasusnya yang lebih sering ditemukan. Pada beberapa penelitian menyebutkan
adanya pengaruh dari agen anxiogenic sebagai penyebab.1
PENDEKATAN DIAGNOSIS3 4
PanduanPraktik Minis
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
Pandnan Praktlk Minis Psikosomatik
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
f. Gangguan tersebut tidak disebabkan oleh efek langsung penggunaan obat atau
kondisi medis (contoh: hipertiroid), dan tidak muncul saat terdapat gangguan
mood, gangguan psikotik, atau gangguan perkembangan pervasive.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan bila dicurigai adanya kelainan organik.
• Hb, Ht, Leukosit, Ureum, Kreatinin, gula darah, tes fungsi hati, urin lengkap.
• Analisa gas darah, Na +, K +, Ca 2 , T3, T4, TSH sesuai indikasi.
• Foto toraks, bila perlu.
• EKG, elektromiogram, elektroensefalogram, bila perlu.
• Endoskopi, kolonoskopi, USG bila perlu.
• Stress analyzer / Heart rate variability untuk menilai vegetative imbalance
DIAGNOSIS BANDING
Ansietas panik, fobia, PTSD, gangguan campuran ansietas dan depresi, depresi,
gangguan somatisasi, kelainan organ yang ditemukan (koinsidensi).
TATALAKSANA5 4
• Nonfarmakologis : Edukasi, Reassurance, psikoterapi
• Farmakologis
a. Benzodiazepin : Diazepam, alprazolam, clobazam
b. Nonbenzodiazepin : Buspiron, penyekat beta bila gejala hiperaktivitas
menonjol
c. SSRI : Sertraline, fluoxetine, citalopram
d. SNRI : Duloxetine, venlafaxine
e. Simtomatik : Sesuai indikasi
KOMPLIKASI
Kurang atau tidak mampu melakukan aktivitas sehari-hari
PROGNOSIS
Angka remisi kurang dari 50% dalam rentang 5 - 1 2 tahun . Penurunan angka
remisi dapat disebabkan oleh:
1. Hubungan keluarga yang tidak harmonis.
2. Komorbid dengan kepribadian menghindar.
3. Komorbid dengan kepribadian dependent.
674
Ansietas
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Semua Divisi di lingkungan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
• RS non pendidikan
REFERENSI
Mudjaddid E. Pemahaman dan penanganan psikosomatik gangguan ansietas dan depresi: di
.
bidang ilmu penyakit dalam Dalam: Alwi I, Setiati S, Setiyohadi B, Simadibrata M, Sudoyo AW .
.
Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid III edisi V Jakarta: Interna Publishing; 2010:2105-8.
2. .
Reus VI. Mental disorders In: Braunwald E, Fauci AS, Hauser SL, Jameson JL, Kasper DL, Longo
. .
DL Harrison’ s rinciples of Internal Medicine 17th Edition New York: McGraw-Hill Companies;
2010:2547-61.
3. Diagnostic and statistical manual of mental disorders 4lh ed. Washington DC. American Psychiatric
Association. 2000
4. Yonkers A. Factors predicting the clinical course of generalised anxiety disorder .The British Journal
of Psychiatry.2000; 176: 544-9.
5. .
Baldwin DS, Anderson IM, Nutt DJ, et al Evidence -based guidelines for the pharmacological
treatment of anxiety disorders: recommendations from the British Association for
Psychopharmacology. J Psychopharmacol, Nov 2005; 19: 567 - 596 .
6. Kendall T, Cape J, Chan M, Taylor C .Management of generalised anxiety disorder in adults:
summary of NICE guidance. BMJ;2011:342: c 7460 .
675
676
DEPRESI
PENGERTIAN
Depresi merupakan gangguan afektifyang ditandai adanya mood depresi (sedih) ,
hilang minat, dan mudah lelah . Pada umumnya pasien datang ke klinik penyakit dalam
dengan keluhan somatik . Pada pembahasan berikut, depresi berat dengan gejala
psikotik tidak termasuk didalamnya . 12
PENDEKATAN DIAGNOSIS 1 3 4
Depresi mayor ditegakkan apabila pasien mengalami gejala -gejala di atas selama
minimal 2 minggu. Adapun kriteria diagnosis episode depresi mayor berdasarkan
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder Fourth Edition Text Revision ( DSM
IV-TR] adalah sebagai berikut:
Tabel 1. Kriteria Diagnosis Depresi Mayor Berdasarkan DSM IV - TR 1
A. Lima atau lebih dari gejala berikut dialami selama 2 minggu yang sama dan
merasa terdapat
perubahan fungsional dari keadaan sebelumnya: minimal mengalami satu dari gejala berikut
yaitu ( 1) mood depresif atau ( 2) hilang minat atau kesenangan. Catatan: gejala yang
disebabkan
karena kondisi medis umum atau waham mood-inkongruen atau halusinasi tidak dlikutsertakan.
.
1 Mood depresif sepanjang hari, hampir setiap hari yang ditandai dengan keluhan pasien
berupa perasaan sedih atau hampa atau laporan dari orang lain (misalnya terlihat menangis )
.
2 Kehilangan minat atau rasa senang pada semua atau hampir semua aktivitas sepanjang
hari,
hampir setiap hari
.
3 Terdapat penurunan atau peningkatan berat badan signifikan(>5% berat badan awal dalam
sebulan) walaupun tidak sedang dalam program diet atau penurunan atau peningkatan
nafsu makan hampir setiap hari
4. Insomnia atau hipersomnia hampir setiap hari
5. Agitasi psikomotor atau retardasi hampir setiap hari
6 . Merasa lelah atau hilang energi hampir setiap hari
7. Perasaan tidak berharga atau perasaan bersalah yang berlebihan atau tidak sesuai hampir
setiap hari
8. Kehilangan kemampuan untuk berpikir atau konsentrasi, sulit membuat keputusan hampir setiap
hari
9. Timbul pemikiran akan kematian yang berulang-ulang, ide untuk bunuh diri dengan atau
tanpa rencana spesifik
B . Gejala-gejala tersebut tidak memenuhi kriteria untuk episode campuran
C. Gejala-gejala tersebut secara klinis menimbulkan distress atau gangguan dalam kehidupan
sosial,
pekerjaan atau kegiatan fungsional lainnya
D. Gejala-gejala tersebut timbul tanpa terkait dengan penggunaan obat-obatan atau kelainan
medis umum ( misal hipotiroid)
E. Gejala-gejala tersebut tidak terkait dengan adanya kejadian menyedihkan seperti kehilangan orang
yang dicintai, gejala menetap >2 bulan atau adanya gangguan fungsional yang berarti, preokupasi
morbid terhadap rasa tidak berharga, ide bunuh diri, gejala psikotik atau retardasi psikomotor
y|
< j
Panduan Praktik Klinis
Perhimpunan Dokler Spesiolis Penyakil Dalam Indonesia
Depresi
Depresi minor ditegakkan apabila pasien mengalami minimal dua gejala depresi
selama dua minggu namun tidak memenuhi kriteria depresi mayor. Pemeriksaan
penunjang dilakukan sesuai indikasi, Stress analyzer / Heart rate variability untuk
menilai vegetative imbalance.
Terdapat beberapa alat penapisan untuk depresi:
• Beck Depression Inventory
• Beck Depression Inventory- PC
• Center for Epidemiological Studies Depression
• Edinburgh Postnatal Depression Scale
• Zung Depression Rating Scale
DIAGNOSIS BANDING
Gangguan campuran ansietas dan depresi, ansietas, gangguan somatisasi, kelainan
organ yang ditemukan (koinsidensi), kelainan karena pengaruh obat- obatan.1
TATALAKSANA
Nonfarmakologis : edukasi, reassurance, psikoterapi 2 5 6
Farmakologis : 12
• Antidepresan:
o antidepresan trisiklik (nortriptilin, imipramin, desipramin, amineptin)
o penghambat reversibel MAO (moklobemid)
o antidepresan generasi dua (amoksapin, maprotilin, trazodon, bupropion)
o golongan SRRI (sertralin, paroksetin, fluoksetin, sitalopram, esitalopram )
• Simtomatik, sesuai indikasi
Berikut ini adalah algoritma penatalaksaan depresi mayor menggunakan terapi
farmakologis.
KOMPLIKASI
Berkurangnya/tidak mampu melakukan aktivitas sehari-hari (bekerja), bunuh
diri, komplikasi akibat pengobatan.5
PROGNOSIS
Di antara individu dengan depresi mayor dengan pengobatan, 76% mencapai
remisi dengan angka rekurensi mencapai 70% dalam waktu 5 tahun dan setidaknya
80% dalam 8 tahun.1
677
QI vpp
Pandu nPraW Klinl8 Psikosomatik
* »
Perhimpunon Dokler Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
Tanyakan riwayal pengobatan depresi sebelumnya pada pasien atau pada keluarga lini
pertama yang pernah menjalani pengobatan, bila ada, pertimbangkan untuk menggunakan
obat yang sama. Bila tidak ada, evaluasi karakteristik pasien dan sesuaikan dengan obat-
obatan yang ada, pertimbangkan status kesehatan, efek samping, kenyamanan, harga ,
preferensi pasien, interaksi obat, potensi bunuh diri dan riwayat kepatuhan pasien
Inisiasi terapi, mulai dengan 1 / 3 hingga Vi dosis sasaran apabila obat yang akan
digunakan adalah golongan antidepresan trisiklik, bupropion, venlafaksin, mirtazapin.
Atau gunakan dosis penuh yang dapat ditoleransi apabila menggunakan obat
golongan SSRI
Apabila efek samping berlanjut, turunkan dosis obat bertahap dalam satu minggu dan
inisiasi terapi baru. Pertimbangkan interaksi obat-obatan yang dipilih.
Evaluasi respon setelah 6 minggu pada dosis sasaran, apabila respon tidak adekuat .
tingkatkan dosis bertahap sesuai kemampuan toleransi pasien.
Apabila setelah pemakaian dosis maksimal respon belum adekuat, pertimbangkan untuk
penurunan dosis bertahap dan ganti dengan obat jenis lain atau pertimbangkan terapi
tambahan. Apabila obat yang dipakai adalah antidepresan trisiklik, periksa kadar obat
dalam plasma sebagai dasar untuk pemilihan obat selanjutnya
678
Depresi ?
f|
UNIT YANG MENANGANI
• RS pendidikan : Divisi Psikosomatik - Departemen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Semua Divisi di lingkungan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : -
REFERENSI
1. Mudjaddid E. Pemahaman dan penanganan psikosomatik gangguan ansietas dan depresi: di
bidang ilmu penyakit dalam. In: Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors.
Buku ajar ilmu penyakit dalam edisi V. Jakarta: Interna Publishing: 2009:2105 - 10
2. .
Reus V.Mental disorders In: Fauci A, Kasper D, Longo D, Braunwald E, Hauser S, Jameson J,
Loscalzo J, editors. Harrison' s principles of internal medicine 18"ed. New York: McGraw-Hill Medical
Publishing Division: 2012: 3529 - 43.
3.
.
Association 2000
^ .
Diagnostic and statistical manual of mental disorders ed Washington DC. American Psychiatric
4. Sharp L, Lipsky M. Screening for depression across the lifespan: a review of measures for use in
primary care settings. Am Fam Physician. 2002:66 ( 6) :1001 - 9.
5. .
Current depression among adults—United States, 2006 and 2008 MMWR Morb Mortal Wkly Rep.
2010:59 ( 38):1229-35
6. .
Eisendrath S, Lichtmacher J. Psychiatric disorders In: McPhee S, Papadakis M, Rabow M, editors.
Current medical diagnosis and treatment 2012. 51“ ed. Asia: The McGraw -Hill Education.
2012:1034-47
7 . .
Qaseem A, Snow V, Denberg, TD, et al Using Second-Generation Antidepressants to Treat
Depressive Disorders: A Clinical Practice Guideline from the American College of Physicians.
.
Ann Intern Med 2008:149:725-733
679
680
DISPEPSIA FUNGSIONAL
PENGERTIAN
Dispepsia merupakan gejala atau kumpulan gejala berasal dari regio
gastroduodenum yang dapat berupa nyeri epigastrium, rasa terbakar, rasa penuh
setelah makan, perasaan cepat kenyang, dan lainnya termasuk rasa kembung pada
area abdomen atas, mual, muntah, dan berdahak. Keluhan dispepsia kronik dapat
terjadi terus -menerus, intermiten, atau kambuhan yang dirasakan minimal 6 bulan
atau lebih . u 3 -
Berdasarkan kriteria Roma III , dispepsia fungsional adalah adanya satu atau lebih
dari:
• Rasa penuh (kekenyangan) setelah makan ( bothersome postprandial fullness )
• Perasaan cepat kenyang
• Nyeri ulu hati
• Rasa terbakar di ulu hati
• Tidak ditemukan kelainan struktural yang dapat menjelaskan keluhan saat
dilakukan pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas (SCBA) .
Keluhan berlangsung > 3 bulan terus menerus, atau dimulai sejak 6 bulan sebelum
diagnosis ditegakkan. Dispepsia fungsional dibagi kedalam dua kategori diagnostik,
yaitu : w
1. Postprandial distress syndrome ( PDS)
2. Epigastric Pain Syndrome (EPS)
Penyebab dispepsia fungsional bersifat multifaktorial, diduga dapat timbul karena
keterlambatan pengosongan lambung, hipersensitif aferen visera terhadap zat asam
dan lemak sehubungan dengan rangsang sentral maupun perifer, status inflamasi
ringan, serta predisposisi genetis. Rangsang psikis atau emosi dapat mempengaruhi
fungsi saluran cerna melalui jalur neurogenik atau jalur neurohormonal . 2,3
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Diagnosa ditegakkan berdasarkan klinis dan pemeriksaan endoskopi saluran cerna
bagian atas 1,4
Anamnesis1 4
Rasa sakit dan tidak enak di ulu hati. Perih, mual, muntah, cepat kenyang,
kembung, sering bersendawa, regurgitasi. Keluhan dirasakan umumnya berhubungan /
dicetuskan dengan adanya stres, berlangsung lama dan sering kambuh. Sering disertai
gejala - gejala ansietas dan depresi (misalnya dysphoric state )
Pemeriksaan Fisik1 4
• Evaluasi sistem kardiovaskuler, hepatobilier, ginjal, tiroid: dalam batas normal
• Turgor kulit, berat badan
Pemeriksaan Penunjang1 4
• Laboratorium : Hb, Ht, leukosit, gula darah, faal ginjal, tes fungsi hati, urin lengkap,
darah samar feses, dan pemeriksaan laboratorium lain sesuai indikasi untuk
menyingkirkan diagnosis banding (misal hormon tiroid, kalsium, dsb)
• EKG
• Radiologi : Foto lambung dan duodenum dengan kontras
• Pemeriksaan endoskopi bagian atas (EGD ) :
• Pemeriksaan untuk Helicobacter Pylori
• Stress analyzer / Heart rate variability untuk menilai vegetative imbalance
Terapi empiris
Respon setelah
Tanda "alarm" 4 minggu
Tes dan terapi untuk H.pylori
Tidak
Endoskopi SCBA
Ya
1
Etiologi keluhan
Tidak
i
Jika ada indikasi klinis : pemeriksaan feses untuk parasit
Ya dan darah samar, kimia darah, dan / atau imaging abdomen
Ya
I
Hasil dapat menjelaskan Tidak
Dispepsia fungsional
Dispepsia organik
keluhan
681
# IgSSSSgBSL Psikosomatik
TATALAKSANA1 4 5
Pendekatan psikosomatik terhadap aspek fisik, psikososial dan lingkungan :
psikoterapi suportif dan psikoterapi perilaku
Pengaturan diet untuk mencegah pencetus gejala
Simptomatik : diberikan antasida, antagonis H 2 [simetidin, ranitidin ) , penghambat
pompa proton (omeprazol , lansoprazol) dan obat prokinetik (metoklopramid,
domperidon, cisapride].
Bila jelas terdapat ansietas atau depresi diberikan anti cemas atau anti depresan
yang sesuai.
Eradikasi Helicobacter pylori bila terbukti ada infeksi penyerta.
Obat relaksan fundus gaster (nitrat, sildenafil (phosphodiesterase - 5 inibitor] dan
sumartiptan (antagoni reseptor 5 -HTJ
DIAGNOSIS BANDING6
Dispepsia organik, misalnya ulkus peptikum, gastritis erosif, infeksi saluran cerna,
GERD
Gangguan pada sistem hepato - bilier dan pankreas
Intoleransi laktosa atau karbohidratlain (fruktosa, sorbitol), sindrom kolon iritabel
Dispepsia yang disebabkan penyakit kronik seperti gagal ginjal, diabetes melitus,
keganasan, dsb
Iskemia jantung, gagal jantung kongestif, tuberkulosis
Gangguan psikologis (ansietas dengan ataupun tanpa aerofagia, gangguan
penyesuaian, somatisasi pada depresi, hipokondriasis)
682
Dispepsia Fungsional @
Dispepsia fungsional
Modiflkasi diet
l 1
PPI + prokinetik
Prokinetik ± PPI
I
Respon setelah Anti depresi .
i
Respon setelah
4 atau 8 minggu anti cemas. herbal 4 atau 8 minggu
I
Rujuk spesialis
Stop obat /
sesual kebutuhan
KOMPLIKASI
• Dehidrasi bila muntah berlebihan
• Gangguan gizi
• Berat badan turun
PROGNOSIS
Dispepsia fungsional merupakan penyakit kronis dan keluhan dapat menyerupai
gangguan gastrointestinal lainnya. Pada beberapa pasien, keluhan akan tetap dirasakan
10 % kasus akan mempunyai keluhan menyerupai gangguan gastrointestinal lain,
683
«! ?
* > w/
v
Panfluan PraWH Kllnis Psikosomatik
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
sedangkan 10 % kasus akan remisi spontan . Walaupun perjalanan penyakit ini tidak
stabil , tetapi hanya 2 % kasus akan berkembanga menjadi ulkus peptikum dalam 7
tahun, belum terbukti penyakit ini menyebabkan kematian . 7
UNIT YANGMENANGANI
• RS pendidikan : Divisi Psikosomatik - Departemen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Divisi Gastroentero - Hepatologi, Divisi Ginjal - Hipertensi ,
Divisi Metabolik Endokrin - Departemen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : -
REFERENSI
1. Asian Consensus Report on Functional Dyspepsia, J Neurogastroenterol Motil. 2012 April; 18 ( 2):
150-168. http:/ /www.ncbi.nlm.nih.gov / pmc /articles/ PMC3325300 /
2. Mudjaddid E. Dispepsia Funsional. Dalam : Sudoyo AW , et al editor. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam
jilid II edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen llmu Penyakit Dalam FKUI, 2006. him 916
3. . .
Hosier, W L. Naussea, Vomiting and Indigestion In : Kasper D L, et al ediors Harrison' s Principal
of Internal Medicine 16th ed. Me Graw-Hill Companies: 2005. p222 - 223.
4. .
Djojoningrat Dharmika. Dispepsia fungsional Buku Ajar llmu Penyakit Dalam jilid 1 edisi IV . Jakarta:
Pusat Penerbitan Departemen llmu Penyakit Dalam FKUI, 2006. Hal 354-356.
5. .
Karamanolis Georgios P, Tack Jan Current management of functional dyspepsia:impact of Rome
III subdivision, Annals of gastroenterology. Volume 25. No. 2 ( 2012) . http:/ /www.annalsgastro.gr /
index.php / annalsgastro / article / view / 1110 /819
6. .
HANNAH VU, D.O. Ferri Fred F. Irritable bowel syndrome In: Ferri ' s Clinical Advisor 2008, 10th ed.
Mosby. 2008.
7. Bhatia Shobna, Grover Anumeet Singh. Natural History of Functional Dyspepsia. SUPPLEMENT
TO JAPI • march 2012. VOL. 60. http:/ / www.japi.org/march_2012_special_issue_dyspepsia / 05_
natural_history_of.pdf
684
685
NYERI PSIKOGENIK
PENGERTIAN
Nyeri psikogenik adalah keluhan nyeri yang penyebabnya bukan penyebab penyakit
organik. Faktor psikologis berperan dalam persepsi, awitan, keparahan, eksaserbasi
dan lamanya nyeri. Nyeri psikogenik tidak pura-pura diciptakan atau dibuat- buat.
Nama lainnya adalah pain disorder.13
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis23
Faktor yang harus ditanyakan adalah lokasi nyeri, intensitas sifatnya terus -menerus
atau hilang timbul, karakteristik nyeri, faktor-faktor pemberat dan peringan nyeri,
faktor penyebabnya, akut atau kronik, riwayat penggunaan analgetik sebelumnya,
dan keadaan lain yang berhubungan dengan nyerinya. Perlu juga dilakukan penilaian
status psikis.1
Nyeri psikogenik pada umumnya bersifat difus, tidak jelas hubungannya dengan
struktur jaringan, intensitasnya berubah-ubah, terdapat disparitas antara mekanisme
yang mencetuskan dengan jenis dan beratnya nyeri. Pasien umumnya memiliki riwayat
sudah berulang kali mengunjungi petugas kesehatan, riwayat telah mengonsumsi
berbagai obat penghilang nyeri, dan riwayat memiliki stresor psikososial, antara lain
masalah pernikahan, pekerjaan, atau keluarga. Sering disertai komorbid depresi atau
ansietas atau penyalahgunaan obat. Pemeriksaan status psikis menunjukkan bahwa
keluhan utama akan memburuk bila terdapat stres.
Pemeriksaan Fisik1 3 -
Diperlukan pemeriksaan yang teliti pada area nyeri dan sekitarnya, sistem saraf ,
fungsi motoris dan sensoris serta fungsi organ -organ dalam.
Pada nyeri psikogenik tidak terdapat temuan fisis, atau temuan fisis tidak adekuat
untuk menjelaskan keparahan nyeri.
PanduanPraktik Kllnis
Pertilmpunan Dokter Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
fA
( UK inis Psikosomatik
Perhimpunon Dokler Spesialis Penyakif Dalam Indonesia
Pemeriksaan Penunjang1 3
• Pemeriksaan penunjang dilakukan sesuai indikasi dan diagnosis banding nyeri
organik. Untuk menilai nyeri secara obyektif dapat dilakukan metode visual analog
scale (VAS) . Untuk menilai deskripsi nyeri secara terperinci dapat digunakan
McGill Pain Questionnaire (MPQ). Untuk menilai nyeri kronik dapat digunakan
The Westhave-Yale Multidimensional Pain Inventory [WHYMPI]. Stress analyzer /
Heart rate variability untuk menilai vegetative imbalance.
Kriteria Diagnosis
Kriteria diagnosis nyeri psikogenikmenurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorder Fourth Edition Text Revision ( DSM - IV TR ): -
1. Nyeri pada satu atau lebih daerah anatomis dengan keparahan yang cukup sehingga
membutuhkan perhatian klinis.
2. Menyebabkan distres atau gangguan pada bidang sosial, pekerjaan, atau bidang
fungsional lain yang signifikan secara klinis
3. Faktor psikologis dinilai memiliki peran penting dalam awitan , keparahan,
eksaserbasi atau lamanya nyeri.
DIAGNOSIS BANDING
Nyeri organik sesuai dengan lokasi nyeri
TATALAKSANA 3 4
Nonfarmakologis
istirahat, cognitive behavior therapy (CBT)
Farmakologis
1. Antidepresan : Fluoxetin, citalopram, fluvoxamin, mianserin, clomipramin
2. Antiansietas : benzodiazepin
3. Antinyeri
KOMPLIKASI3
Kurang / tidak mampu melakukan aktivitas sehari-hari [bekerja], bunuh diri
PROGNOSIS
Belum ada studi yang melaporkan prognosis nyeri psikogenik
686
Nyeri Psikogenik $jjj|
UNIT TERKAIT
RS Pendidikan : Semua Divisi di lingkungan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : -
REFERENSI
1. Shatri H, Setiyohadi B. Nyeri psikogenik. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M,
Setiati S, penyunting. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi V. Jakarta;InternaPublishing; 2009. hal.
2143- 7.
2. Reus VI. Mental disorders. Dalam: Longo DL. Kasper DL. Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo
J, penyunting. Harrison' s principle of internal medicine. Edisi XVIII. McGraw-Hill Companies; 2012.
Hal. 3529-3545
3. .
Oyama O, Paltoo C, Greengold J Somatoform disorders. Am Fam Physician 2007;76:1333-8.
4 . Kroenke K. Efficacy of treatment for somatoform disorders: a review of randomized controlled
trials. Psychosomatic Medicine 69:881-888 ( 2007)
5. Diagnostic and statistical manual of mental disorders. 4lh ed. Washington DC. American Psychiatric
Association. 2000
6. Fishbain DA, Cutler RB, Rosomoff HL. , et al. Do antidepressants have an analgesic effect in
psychogenic pain and somatoform pain disorder? A meta-analysis. Psychosom Med 1998 ;
6: 503.
687
688
PENGERTIAN
Penyakit jantung fungsional adalah kelainan dengan keluhan seperti penyakit
jantung tanpa disertai kelainan organik. Etiologi berhubungan dengan keadaan
psikiatri, paling sering disebabkan ansietas, biasanya berhubungan dengan depresi
aktif dan tidak jarang dengan gejala histerik.1
Menurut ICD 10, Penyakit jantung fungsional dikategorikan dalam gangguan
somatisasi.3
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis2
1. Nyeri dada menyerupai angina pectoris, biasanya dicetuskan suatu stressor tertentu
2. Berdebar -debar / palpitasi, sesak nafas, nafas terasa berat
3. Keluhan vegetatif : kesemutan, tremor, sakitkepala, tidak bisa tidur, dan sebagainya
4. Keluhan psikis: rasa takut, risau /was-was, gelisah, dan sebagainya
5. Keluhan-keluhan umum lainnya seperti pandangan mata gelap, berkunang-kunang
6. Terdapat stressor psikososial
7. Pemeriksaan penunjang1
8. EKG, echocardiography, maupun tes Treadmill normal
9. Stress analyzer / Heart rate variability untuk menilai vegetative imbalance
DIAGNOSIS BANDING
Penyakit jantung Koroner ( angina pectoris, infark miocard ) 1
TATALAKSANA2 4
Nonfarmakologis
• Memberikan edukasi dan bimbingan, menjelaskan tentang gejala yang timbul
dengan tepat tanpa menakuti pasien, meluruskan pola pikir pasien yang salah
tentang penyakit jantung.
PanduanPrakUkKlinls
Perhimpunan DoMerSpesiais Penyaldl Dalam Indonesia
Penyakit Jantung Fungsional ( Neurosis Kardiak)
Farmakologis
• Analgetik untuk rasa nyeri
• Vasodilator koroner
• Psikotropik golongan benzodiazepine untuk mengurangi kecemasan
• Terapi simptomatik lain dapat diberikan sesuai indikasi.
KOMPLIKASr
• Merasa memiliki penyakit jantung organik sehingga menghindari aktivitas /
kegiatan sehari - hari.
• Pada pasien usia tua dengan faktor psikis yang menonjol dapat mencetuskan
timbulnya penyakit jantung organik.
• Aritmia.
PROGNOSIS
Gangguan ini bersifat kronis, hilang timbul dan jarang sembuh secara sempurna .
Sangat jarang seseorang dengan gangguan ini dapat bebas dari gejala selama lebih
dari 1 tahun.3
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Divisi Kardiovaskular - Departemen Penyakit Dalam
• RS nonpendidikan :-
REFERENSI
1. .
Shatri H. Gangguan jantung fungsional Dalam: Alwi I, Setiati S, Setiyohadi B, Simadibrata M,
Sudoyo AW . Buku Ajar llmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi V. Jakarta: Interna Publishing: 2010:21222126.
2. Wood P . Refresher Course for General Practitioners Cardiac Neurosis. British Medical Journal.
1950: 2 ( 4669) :33-5.
3. Sadock BJ, Sadock VA . Somatization disorders. In: Kaplan & Sadock ’ s Synopsis of Psychiatry
Behavioural sciece / Clinical Psychiatry 10th Edition. Lippincott Williams & Wilkins: 2007.
4. Thompson DR , Lewin RJP. Management of the post-myocardial infarction patient: rehabilitation
and cardiac neurosis. Heart 2000:84:101 - 105
689
690
PENGERTIAN
Berdasarkan Rome III, Sindrom Kolon Iritabel (SKI) merupakan nyeri abdomen
berulang atau ketidaknyamanan abdomen (sensasi tidak nyaman yang tidak bisa
dikatakan sebagai nyeri) paling tidak 3 hari dalam satu bulan pada 3 bulan terakhir
yang berhubungan dengan 2 atau Iebih hal berikut:
• Perbaikan gejala setelah defekasi
• Onset berhubungan dengan perubahan frekuensi defekasi
• Onset berhubungan dengan perubahan bentuk feses
Dikatakan positif jika kriteria terpenuhi pada 3 bulan terkahir dengan onset paling
tidak 6 bulan sebelum didiagnosis.13 -
Sindrom kolon iritabel dibagi menjadi beberapa subtipe berdasarkan konsitensi
feses yaitu tipe konstipasi, tipe diare, tipe campuran, dan tipe lainnya13 -
Tabel 1. Subtipe Sindrom Kolon Iritabel13
Deskripil
IBS dengan konstipasi .
Feses keras > 25% dan feses lunak atau cair <25%
IBS dengan diare Feses lunak atau cair >25% dan feses keras < 25 %
IBS tipe campuran Feses keras > 25% dan feses lunak atau cair > 25%
IBS yang tak terklasifikasi Abnormalitas yang tidak memenuhi semua kriteria di atas
Penyebab sindrom ini belum diketahui pasti, diperkirakan karena beberapa faktor
pencetus seperti: 1
• Gangguan Motilitas
Kemungkinan terdapat gangguan intestinal inhibitory reflex karena distensi kolon
tidak dapat mengurangi motilitas duodenal.
• Hipersensitivitas viseral
Yaitu sensitivitas terhadap nyeri yang meningkat pada stimulasi usus. Hal ini yang
menyebabkan nyeri kronik pada pasien ini.
• Post Infeksi
Biasa terjadi setelah infeksi Shigella, Salmonella dan Campylobacter, ditandai
dengan meningkatnya jumlah limfosit dan sel mast pada mukosa usus.
PanduanPrakdkKIinis
Perhimpunan DokferSpesiaBs Penyakit Dalam Indonesia
Sindrom Kolon Iritabel
PENDEKATAN DIAGNOSIS2
Anamnesis
Pasien mengeluhkan nyeri pada abdomen bagian bawah dengan kelainan pola
defekasi selama periode waktu tertentu tanpa progresivitas penyakit. Keluhan muncul
selama stress atau perubahan emosional tanpa disertai keluhan sistemik. Apakah nyeri
dirasakan hanya pada satu tempat atau berpindah-pindah, seberapa sering merasakan
nyeri, berapa lama nyeri dirasakan, bagaimana keadaan nyeri jika pasien defekasi
atau flatus; memenuhi kriteria Rome Ill. Pada anamnesis juga perlu menyingkirkan
tanda -tanda "alarm ” seperti: usia > 55 tahun, riwayat gejala yang progresif atau sangat
berat, riwayat keluhan pertama kali kurang dari 6 bulan, berat badan menurun, gejala
nokturnal, laki-laki, riwayat kanker kolon pada keluarga, anemia, anoreksia, perdarahan
rektal, anemia, distensi abdomen, demam. 1,2
Pemeriksaan Fisik
Perut tampak kembung atau distensi, kadang dapat teraba kolon pada fosa
iliaka kiri [86 %) disertai nyeri tekan [78%), bising usus meningkat pada fosa iliaka
kanan[36%). Pada colok dubur didapatkan adanya rasa nyeri [52 % ), rectum kosong
[64% ), feses yang keras dalam rectum [68%), dan lendir yang banyak. 2
Pemeriksaan Penunjang2 4
• Laboratorium : dilakukan untuk mencari etiologi lain misalnya pemeriksaan darah
lengkap,
• Pemeriksaan hormon TSH dan serologis sesuai indikasi.
• Pemeriksaan feses: melihat adanya darah samar, bakteri atau parasit jika dicurigai
pada kasus diare kronik
• Rontgen abdomen: jika dicurigai adanya penyakit Crohn atau ada obstruksi
• Kolonoskopi atau sigmoidoskopi : dilakukan sesuai indikasi.
• Stress analyzer / Heart rate variability untuk menilai vegetative imbalance
691
O Panduan Praktik Minis
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
Psikosomatik
DIAGNOSA BANDING2 3
Intoleransi laktosa -> diperiksa dengan hydrogen breath test
Intoleransi makanan -> contohnya MSG
Infeksi
Penyakit Celiac 4 diidentifikasi dengan analisis kadar IgA, antibodi anti
transglutaminase
Pertumbuhan bakteri usus halus berlebih -> ditandai malabsorpsi nutrient
Inflammatory bowel disease -> ditandai anemia , leukositosis . Kolonoskopi :
inflamasi, eritema, eksudat, ulserasi
Kolitis mikroskopik
Divertikulitis
Obstruksi mekanis pada usus halus
Iskemia
Maldigesti
Malabsorbsi
Penyakit hati dan kandung empedu
Pankreatitis kronik
Endometriosis.
TATALAKSANA
692
Sindrom Kolon Iritabel
KOMPLIKASI
Sindrom kolon irritabel tidak menyebabkan komplikasi yang berbahaya. Beberapa
gangguan akibat Sindrom Kolon Iritabel seperti menurunnya kualitas hidup, dan waktu
cuti dari sekolah dan kerja yang memanjang, masalah psikologis seperti ansietas dan
depresi, malnutrisi, 5
PROGNOSIS
Keluhan akan membaik dan hilang setelah 12 bulan pada 50 % kasus, dan hanya
kurang dari 5 % yang akan memburuk, dan sisanya dengan gejala menetap.
6
693
PanduanPrakiik Minis Psikosomatik
P«wNmpuncffl Dokltr 5|je»latti PenydkJI Dulling mdotwlo
REFERENSI
1. .
Owyang C. Irritable bowel syndrome In: Kasper, Braunwald, Fauci et al Harrison' s Principles of
.
Internal Medicine vol II 17th ed. McGrawHill. 2008 pg 1899- 1903.
.
2. Mudjaddid E. Sindrom kolon iritabel In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati
.
S, eds. Buku ajarilmu penyakit dalam. 4 ed. Vol II. Jakarta: Pusat Penerbitan Deparfemen llmu
.
Penyakit Dalam FKUI 2006; hal 2115-2118 .
3. Ferri Fred F. Irritable bowel syndrome. Ferri ' s Clinical Advisor 2008, 10th ed. Mosby. 2008.
4. - Hay-David lrritable bowel syndrome. The Little Blq IcBpok of Gastreentefoldgy. 2 ed; Jones
^ ^ pd.
^
'
694
695
PENGERTIAN
Suatu kumpulan gejala yang ditandai dengan keluhan rasa lelah yang berlangsung
terus - menerus atau berulang dalam waktu enam bulan atau lebih, dapat disertai
gejala demam tidak tinggi, mialgia, artralgia, sefalgia, nyeri tenggorok (faringitis)
yang kadang- kadang disertai pembesaran kelenjar, gejala psikis terutama depresi
dan gangguan tidur. Kelelahan yang tidak berkurang dengan istirahat dan mungkin
akan bertambah berat saat melakukan aktifitas fisik atau mental, sehingga sering
menurunkan tingkat aktivitas seseorang. Keluhan pasien dapat bervariasi dan
tidak spesifik, seperti kelemahan, nyeri otot, gangguan daya ingat atau konsentrasi,
gangguan tidur, dan kelelahan setelah aktifitas yang berlangsung minimal 24 jam
atau lebih, bahkan bertahun -tahun. Beberapa keluhan - keluhan pada sindrom lelah
kronik seperti : 1, 2, 3.4
PanduanPraktik Minis
Perhimpunan Dokler Speslalis Penyakil Dalam Indonesia
ffS
^> trf
PanduanPraktllt minis Psikosomatik
Pertiimpunan Dokler Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
PENYEBAB
Belum diketahui penyebab pastinya, ada kemungkinan bahwa sindrom lelah kronik
menggambarkan tingkat akhir dari beberapa penyakit. Beberapa kemugkinan seperti
infeksi, gangguan imunologi, faktor stres yang mengaktifkan jalur hipotalamik-pituitari,
hipotensi neural , dan / atau defisiensi nutrisi .4
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Kriteria untuk diagnosis bila memenuhi 2 kriteria dan tidak memenuhi kriteria
eksklusi (Tabel 3) 2
Tabel 3. Kriteria diagnostik sindrom lelah kronik2
Dltandal oleh Lelah kronik yang menetap atau relapi dan tidak dapat dljelaskan
Lelah selama 6 bulan terakhir
Lelah onset baru atau definitif
Lelah bukan merupakan hasil dari penyakit organik atau pengeluaran tenaga secara terus-menerus
Lelah tidak berkurang dengan istirahat
Lelah merupakan hasil reduksi substansi dari pekerjaan,edukasi,sosial,dan aktivitas personal sebelumnya
.
Empat gejala atau lebih dari gejala berikut dan berlanjut terus-menerus selama 6 bulan:
. .
Gangguan memori dan konsentrasi nyeri tenggorok pembesaran kelenjar getah bening cervikalis
. . . .
atau, nyeri otot nyeri beberapa sendi sakit kepala tidur yang tidak nyenyak atau malaise setelah
pengeluaran tenaga
Krtterta Eksldusl
Kondisi Medis yang menjelaskan lelah
Gangguan depresi mayor ( gambaran psikotik) atau gangguan bipolar
. .
Skizoprenia demensia atau gangguan delusi
Anorexia nervosa, bulimia nervosa
Penyalahgunaan Alkohol dan substansinya
Obesitas berat ( BMI >40 )
696
Sindrom Lelah Kronik
Pemeriksaan Penunjang
• Tidak ada pemeriksaan spesifik yang dapat mendiagnosa atau mengukur tingkat
keparahan penyakit. Stress analyzer / Heart rate variability untuk menilai vegetative
imbalance. Pemeriksaan lain dapat dilakukan tergantung pada hasil anamnesa
dan pemeriksaan fisik. '
DIAGNOSIS BANDING3
• Depresi psikososial, dysthymia, gangguan cemas, dan penyakit psikiatrik lainnya.
• Penyakit infeksi (SBE, penyakit Lyme, janur, mononucleosis, HIV, hepatitis B kronik
atau C, TB, parasit kronik.
• Autoimun : SLE, miastenia gravis, multipel sklerosis, tiroiditis, rheumatoid arthritis
• Kelainan endokrin : hipotiroid, hipopituari, insufisiensi adrenal, sindroma Cushing,
diabetes mellitus, hiperparatiroid, kehamilan, hipoglikemia reaktif
• Penyakit keganasan tersamar
• Ketergantungan obat
• Gangguan sistemik : gagal ginjal kronik, penyakit kardiovaskular, anemia, kelainan
elektrolit, penyakit hati.
• Lain -lain : kurang istirahat, sleep apnea , narcolepsy, fibromyalgia, sarkoidosis,
medikasi, paparan bahan toksik, granulomatosis Wegener.
TATALAKSANA
Terapi Farmakologi
Umumnya bersifat paliatif, seperti anti depresi, anti inflamasi non steroid, terapi
alternatif (multivitamin , suplemen nutrisi)
2,3
.
KOMPLIKASI
Isolasi sosial, tidak mampu kerja
697
# HSSJfiSMH! Psikosomatik
PROGNOSIS
Perbaikan sempurna dari sindrom lelah kronik yang tidak diobati jarang: tingkat
pemulihan median adalah 5% ( rentang 0- 31%) dan tingkat perbaikan dan 39% (rentang
8-63%) . Hasil akan lebik buruk bila pasien dengan latar belakang gangguan psikiatri
dan kondisi gejala yang berlanjut tanpa ditangani secara medis . Keluhan berkurang
pada > 50 % kasus Penyembuhan total dalam 1 tahun terjadi pada 22 - 60 % kasus . 23
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Semua Divisi di lingkungan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
• RS non pendidikan :-
REFERENSI
1. .
Mudjaddid E, Shatri H. Sindrom Lelah Kronik. dalam: Sudoyo Setiyohadi, Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Edisi V . Jakarta. Interna Publishing. 2011 .
2. Bleijenberg G.Chronic Fatigue Syndrome. In: Longo Fauci Kasper, Harrison ' s principles of internal
medicine 18 lh edition.United States of America.Mcgraw Hill.
3. Ferri Fred F. Chronic Fatigue Syndome. In: Ferri ' s Clinical Advisor 2008, 10th ed. Mosby. 2008.
4. .
CDC (http:/ / www.cdc .gov /cfs/ general/index html)
5. Fernandez AA, Martin AP, Martinez Ml, Bustillo MA, Hernandez FJB, Labrado JC, et al. Penas RD,
Chronic fatigue syndrome: aetiology, diagnosis and treatment . BMC Psychiatry. 2009; 9 ( Suppl
1 ) : SI
6. White PD, Goldsmith KA , Johnson AL, Potts L, Walwyn R , DeCesare JC, et al. Comparison of
adaptive pacing therapy, cognitive behaviour therapy, graded exercise therapy, and specialist
medical care for chronic fatigue syndrome (PACE): a randomised trial. Lancet. 2011 March
.
5; 377 ( 9768) : 823-836.
698
699
SINDROM HIPERVENTILASI
PENGERTIAN
Hiperventilasi didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana terjadi ventilasi
berlebihan yang mengakibatkan menurunnya PaC 02.12 Ketika hiperventilasi
berlangsung lama ( kronis) atau terjadi episode berulang dan berkaitan dengan
gejala somatik (respirasi, neurologis, intestinal) ataupun psikologis (ansietas), maka
kumpulan gejala ini dinamakan sindrom hiperventilasi (SH). Etiologi dan mekanisme
terjadinya hiperventilasi belum diketahui dengan jelas, namun SH erat kaitannya
dengan gangguan panik ( panic disorder), karena sebagian besar pasien menunjukkan
karakteristik dari kedua kelainan tersebut namun tidak ditemukan kelainan organik
pada keduanya.3, 4
Pada level fisiologis, hiperventilasi murni merupakan gangguan pernapasan. Hal
ini hampir tidak pernah menjadi masalah hingga saatnya bermanifestasi sebagai gejala
menjadi kunci penting dalam memahami mengapa hiperventilasi menjadi masalah
besar bagi sebagian pasien. Oleh karena itu, sangat penting untuk mencari faktor
pencetus terjadinya SH pada pasien.5
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Cari faktor pencetus :5 6
1. Fisiologis: setelah berolahraga, nyeri. dispnea, pireksia, efek progesteron pada
wanita hamil
2 . Organik: asma, pireksia, obat/ alkohol, hipertiroid, gagal jantung, emboli paru,
hipertensi pulmonal, alveolitis fibrosa, gangguan metabolik (contoh: diabetes
ketoasidosis), dll
3. Psikogenik: pura- pura, depresi / ansietas, gangguan panik, fobia
Gambaran Klinis4
1. Kesulitan bernapas intermiten yang bersifat episodik dan tidak berkaitan dengan
olahraga, meskipun dapat diperburuk dengan olahraga.
PanduanPrakdk Minis
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
ffl '
Fanduan PrakUkKlims Psikosomatik
Perhimpunan DoklerSpesialis Penyakil Dalam Indonesia
Pemeriksaan Penunjang2
• Saturasi oksigen Sa02
• Hb, Ht, leukosit, ureum, kreatinin, gula darah, tes fungsi had, urin lengkap, Elisa D-dimer
• Analisa gas darah (AGD), K, Na, Ca
• Foto toraks, EKG (interval QT memanjang, ST depresi atau elevasi, gelombang T
inversi), sesuai diagnosis banding
• Hormon paratiroid
• V/ Q scan, computed tomography pulmonary angiogram
• Stress analyzer / Heart rate variability untuk menilai vegetative imbalance
Kriteria Diagnosis6
Untuk menegakkan diagnosis SH, pada dasarnya menggunakan kriteria diagnosis
ekslusi namun tetap diperlukan pemeriksaan penunjang tambahan lain, antara lain: 6
1. Tidak ditemukannya etiologi kardiak pada kesulitan bernapas
2. Tidak ditemukannya etiologi respirasi pada kesulitan bernapas ( fungsi paru
normal, rontgen thorax paru normal, dan Sa 02 normal dalam keadaan istirahat
maupun olahraga)
3. Pola napas ireguler dalam keadaan istirahat maupun olahraga
4. Tidak ada bukti adanya hipertensi pulmonal
5. Tidak ada bukti yang cukup kuat untuk menegakkan emboli paru
6. Tidak ada bukti hipertiroidisme
7. PaC02 rendah, pH meningkat pada AGD (dan gradien A-a normal)
8. Tidak ditemukannya asidosis metabolik pada AGD ( contoh : ketoasidosis,
laktoasidosis)
9. Masalah psikologis yang belum sembuh, atau fobia sosial/ agorafobia
Selain itu, juga dapat digunakan skoring hiperventilasi Nijmegen.
700
Sindrom Hiperventilasi
Nyeri dada
Perasaan
tegang
Pandangan
kabur
Pusing
Rasa bingung
Napas cepat /
dalam
Napas pendek
Rasa tercekik
di dada
Perut kembung
Jari kesemutan
Sulit bernapas
dalam
Sulit buka
mulut
Tangan atau
kaki dingin
Palpitasi
Ansietas
Total skor
Keterangan :
Formulir ini diiiisi oleh pasien, dan nilai > 22 sugestif ke arah SH
DIAGNOSIS BANDING
Sangat penting untuk menyingkirkan penyebab patologis yaitu :6
1. Penyakit paru interstitial dengan rontgen thorax normal -> pertimbangkan CTscan
2 . Asma ringan dengan fungsi paru normal pertimbangkan monitoring peak
expiratory flow rate ( PEFR), provokasi olahraga, atau tes provokasi bronkus
3. Hipertensi pulmonal / penyakittromboembolus > pertimbangkan ekhokardiografi -
atau CT pulmonary angiogram (CTPA)
4. Hipertiroidisme
5. Asidosis yang tidakterduga: misalnya pada gagal ginjal, laktoasidosis, ketoasidosis
TATALAKSANA2 6 7
Pada penatalaksanaan pada pasien dengan SH, sangat penting untuk tidak
melupakan gejala pasien hanya karena beranggapan "ini hanya pikiran saja”. Pasien
memiliki gejala, yang membutuhkan penjelasan sebenarnya. Belum ada rekomendasi
untuk manajemen pada pasien SH, namun sebagian besar klinisi akan memberikan
penjelasan berdasarkan sensasi napas berlebihan yang diperburuk dengan ansietas.
701
ff$
v|
Pand«an PrahtlkKllnls Psikosomatik
Perhimpunan Pokier Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
Rekomendasi lama untuk bernapas di dalam paper bag belum sepenuhnya terbukti
dan tidakpraktis. Penjelasan dengan hati- hati mungkin dirasakan cukup, atau dapat
digunakananxiolitikjangkapendek (contoh: diazepam 2 x 2 -5 mg / hari). Penanganan
dari bagian psikologis atau fisioterapi untuk latihan pernapasan mungkin dibutuhkan
untuk mengontrol gejala. Apabila pasien gagal merespon, selalu pikirkan penyakit
yang menyertai.
KOMPLIKASI
Sesuai dengan penyakit organik yang menyertai.
PROGNOSIS4 6
Baikpada serangan akut. Pada kasus kronik, 65 % mengalami perbaikan dan 26 %
keluhannya hilang dalam 7 tahun . Sindrom ini sangat jarang menyebabkan kematian .
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Divisi Pulmonologi, Divisi Kardiologi - Departemen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan
REFERENSI
1. McConville J, Solway J. Chapter 264: Disorders of Ventilation. In: Longo D, Fauci A, Kasper D, et
al. Harrison ' s Principles of Internal Medicine. 18th ed. New York: McGraw-Hill. 2011.
2. Mudjaddid E, Putranto R , Shatri H. Sindrom Hiperventilasi. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajarllmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing: 2009.p. 2130-32.
3. Malmberg L, Tamminen K, Sovijarvi A . Orthostatic increase of respiratory gas exchange in
hyperventilation syndrome. Thorax 2000:55:295-301 .
4. Cowley DS, Roy-Byrne PP. Hyperventilation and panic disorder. Am J Med 1987:83:929-37.
5. .
Gardner W The Pathophysiology of Hyperventilation Disorders. Chest 1996:109:516- 534. DOI
10.1378/ chest.109.2.516
6. Chapman S, Robinson G, Stradling J, et al. Chapter 29: Hyperventilation Syndrome. Oxford
Handbook of Respiratory Medicine. 2nd Ed. Oxford University Press. 2011
7. Kern B. Hyperventilation Syndrome. Emedicine ( serial online ) last updates April 2012 ( cited 2012,
Jun 2) Available from: URL: http://www.emedicine.com.
8. Meuret AE , RitzT. Hyperventilation in Panic Disorder and Asthma : Empirical Evidence and Clinical
Strategies. Int J Psychophysiol. 2010 October: 78 ( 1 ) : 68-79.
702
703
PENGERTIAN
Organisasi kesehatan dunia, World Health Organization (WHO) mendefinisikan
palliative care sebagai suatu intervensi yang dapat memperbaiki kualitas hidup pasien
dan keluarganya yang sedang mengalami pengalaman penyakit yang berat. Tujuan
intervensi ini adalah mengurangi keluhan nyeri dan gejala lain termasuk dukungan
psikososial dan spiritiual. Karakteristik penyakit kronis adalah perjalanan penyakit
yang fluktuatif dengan prognosis yang kadang tidak jelas. Menurut Centers for Disease
Control, yang termasuk penyakit kronis adalah heart disease, stroke, kanker, diabetes
dan arthritis. Klasifikasi lain penyakit kronis adalah depresi, diabetes, penyakit paru
obstruksi kronis,gagal ginjal kronis dan HIV /AIDS. Penyakit kronis menyebabkan
kecacatan dan kematian utama di Amerika serikat.
Murray dkk menyatakan bahwa pengelolaan pasien dengan penyakit kronis
progresif sering terlupakan aspek paliatif sehingga pengelolaan pasien tidak
holistik. Beberapa studi menunjukkan bahwa pasien dengan penyakit kronis non
kanker menunjukkan penderitaan yang lebih berat dalam hal nyeri dan kualitas hidup
dibanding pasien kanker yang penilaiannya lebih baik. Pengelolaan paliatif dapat
digunakan sebagai model pelayanan kesehatan pasien penyakit kronis termasuk
kanker, sejak pasie terdiagnosis dan bukan saat pasien menjelang fase terminal.
Kementerian kesehatan telah mengeluarkan surat keputusan menteri yang
menegaskan bahwa seluruh rumah sakit diharapkan dapat menerapkan model
pelayanan paliatif bagi pasiennya. (SK Menkes Nomor: 812 / Menkes /SK / VII / 2007)
RUANG LINGKUP
1. Inisiasi diskusi tentang paliatif
2. Penapisan dan penilaian paliatif (lihat lampiran) serta tujuan pengelolaan
3. Pengelolaan aspek fisik, seperti :
• Nyeri
PanduanPraktik Kllnis
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakil Dalam Indonesia m
Panduan Praktlk Klinis
Perhimpunan DoklerSpesiaRs Penyakit Dalam Indonesia
Psikosomatik
Rekomendasi 1: Setiap pasien rawat inap dengan penyakit serius / berat pada fase
terminal, maka dokter harus secara reguler menilai adanya nyeri, sesak nafas, dan
depresi.
Recomendasi 2: Setiap pasien dengan penyakit berat pada fase terminal, dokter
harus melakukan pengelolaan nyeri dengan baik. Pada pasien kanker dapat anti -
inflammatory , opioid, dan bisphosphonate.
Recomendasi 3: Setiap pasien dengan penyakit berat pada fase terminal , dokter
harus dapat mengelola keluhan sesak napas dengan baik termasuk menggunakan
opioid pada pasien yang tidak perbaikan dengan terapi standar dan pemberian oksigen
jangka pendek bila terjadi hipoksemia
Recomendasi 4: Setiap pasien dengan penyakit berat pada fase terminal, dokter
harus mengelola depresi dengan efektif, termasuk pasienkanker dengan trsiklik
antidepresan, selective serotonin reuptake inhibitors (SSR1), atau psikoterapi
Recomendasi 5: Para klinisi harus memastikan perencanaan lanjut [ advance care
planning ) pada setiap pasien penyakit berat.
704
Pengelolaan Paliatif pada Penyakit Kronis iWI
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Semua Divisi di lingkungan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : -
REFERENSI
1. .
Effiong A’ Effiong Al Palliative care for the management of chronic illness: a systematic review
study protocol. BMJ Open. 2012; 2(3)
2. Keputusan Menteri Kesehatan Rl No 812 Menkes / VII / 2007 tentang kebijakan perawatan paliatif
3. Qaseem A, Snow V, Shekelle P, Casey Jr DE„ Cross Jr JT „ Owens DK, for the Clinical Efficacy
Assessment Subcommittee of the American College of Physicians. Evidence-Based Interventions to
Improve the Palliative Care of Pain, Dyspnea, and Depression at the End of Life: A Clinical Practice
Guideline from the American College of Physicians. Ann Intern Med January 15, 2008 148:141-146
4. Lo B, Quill T, Tulsky J. Discussing palliative care with patients. ACP-ASIM End-of -Life Care Consensus
Panel. American College of Physicians-American Society of Internal Medicine. Ann Intern
Med. 1999 May 4;130( 9 ):744-9 .
5 . . .
Beynon T, Hodson F Coady K, Kinirons K, Selman L, Higginson I Provision of palliative care for
.
chronic heart failure inpatients: how much do we need? BMC Palliat Care 2009; 8: 8.
705
Panduan Praktlk KUnls Psikosomatik
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
706
PENATALAKSANAAN
Dl BIDANGILMIIPENYAKIT DALAM
PANDUAN H
PRAKTIK M M ^
Klims mm
Acute Respiratory Distress Syndrome 707
Bronkiektasis 711
Emboli Paru 719
Flu Burung 727
Gagal Napas .731
Massa Mediastinum 735
Penyakit Paru Kerja 740
Penyakit Paru Obstruktif Kronik ( PPOK) .744
Penyakit Pleura 752
Pneumonia Atipik 761
Pneumonia Didapat Di Rumah Sakit 765
Pneumonia Didapat Di Masyarakat 772
Sindrom Vena Kava Superior 783
Kelainan Napas Saat Tidur ( Sleep-Disordered Breathing /
Sleep Apnea ) 788
Tuberkulosis Paru 792
, 800
Tumor Paru
707
PENGERTIAN
Acute respiratory distress syndrome (ARDS] merupakan suatu kondisi ketika paru
mengalami jejas berat yang tersebar, sehingga mempengaruhi kemampuan untuk
mengambil oksigen. Rendahnya kadar oksigen dalam darah dan ketidakmampuan
untuk mengambil oksigen pada tingkat normal merupakan gejala khas ARDS. Jejas
paru akut ( acute lung injury / ALI] merupakan istilah baru yang saat ini digunakan,
yang meliputi ARDS dan juga jejas paru yang lebih ringan . Penyakit yang dapat
menyebabkan ARDS banyak sekali, dan dapat merusak organ lain selain paru, namun
jejas paru biasanya mendominasi gambaran klinis. Gangguan klinis yang umumnya
1
.
Tabel 1 Gangguan Klinis yang Umumnya Berkaitan dengan ARDS
2
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis1 2
Identifikasi penyakit yang mendasari: sepsis, pneumonia, aspirasi isi lambung,
pankreatitis, transfusi darah, atau trauma berat
Pemeriksaan Fisik1 2
• Demam, takipneu, takikardi, ronki difus
PanduanPraktik Klinis
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
0 EafiHSBESSSaSfe Pulmonologi
Pemeriksaan Penunjang' 2
• Laboratorium: darah perifer lengkap, analisa gas darah, elektrolit, plasma brain
natriuretic peptide [BNP]
• EKG, ekokardiografi
• Radiologis: foto toraks menunjukkan infiltrat bilateral yang konsisten dengan
edema paru, CT scan tidak rutin dilakukan
Kriteria diagnosis ALI dan ARDS dapat dilihat pada tabel 2.
Pendekatan Diagnosis' 2
• Pendekatan umum - ALI /ARDS merupakan suatu diagnosis eksklusi; sehingga
sebaiknya penegakan diagnosis dilakukan setelah penyebab infiltrat bilateral akut,
hipoksemia berat, dan distres pernapasan lain telah disingkirkan.
• Edema paru kardiogenik adalah satu penyakit yang harus selalu disingkirkan,
karena sering terjadi dan seringkali sulit dibedakan secara klinis. Setelah edema
paru kardiogenik disingkirkan, pertimbangan lainnya termasuk pneumonia,
perdarahan alveolar difus, pneumonia eosinofilik idiopatik akut, cryptogenic
organizing pneumonia [COP], pneumonia interstitial akut ( Hamman - Rich
syndrome], dan kanker progresif. Untuk menyingkirkan diagnosis edema paru
kardiogenik — Dibutuhkan beberapa pemeriksaan penunjangyaitu plasma BNP,
ekokardiografi, dan kateterisasi jantung kanan.
• Menyingkirkan penyebab gagal napas lainnya - Apabila penyakit tersebut
tidak bisa disingkirkan berdasarkan gambaran klinis dan tanda dan gejala yang
menyertai, pemeriksaan diagnostik tambahan ( mis . bronkoskopi] sebaiknya
dilakukan . Biopsi paru sebaiknya dilakukan pada beberapa pasien dengan etiologi
gagal napas akut yang masih belum pasti setelah bronkoskopi nondiagnostik dan
pada pasien yang memiliki kemungkinan diagnosis: perdarahan alveolar difus,
COP, metastasis kanker, vaskulitis, atau penyakit paru difus yang tidak terdiagnosis.
• Diagnosis akhir - ALI / ARDS ditegakkan setelah semua diagnosis banding
disingkirkan.
708
Acute Respiratory Distress Syndrome jgg|
DIAGNOSIS BANDING
Edema paru kardiogenik, pneumonia difus, perdarahan alveolar, penyakit paru
interstitial akut (misalnya pneumonitis interstitial akut), jejas imunologis akut (mis.
pneumonitis hipersensitivitas), jejas toksin (mis. pneumonitis radiasi), dan edema
paru neurogenik.2
TATALAKSANA1 2
• Prinsip umum: (1) identifikasi dan tatalaksana penyakit primer dan kelainan bedah
(mis. sepsis, aspirasi, trauma) ; ( 2 ) meminimalisir tindakan dan komplikasinya; ( 3)
profilaksis terhadap tromboemboli vena, perdarahan saluran cerna, aspirasi, sedasi
berlebihan , dan infeksi kateter vena sentral; (4) identifikasi infeksi nosokomial;
dan (5) nutrisi adekuat.
• Dukungan ventilasi mekanik : tidal volum rendah , kurangi tekanan pengisian
atrium kiri lebih lengkap lihat pada bab Ventilasi Mekanik
• Kebutuhan cairan : restriksi cairan dan diuretik digunakan untuk mengurangi
tekanan pengisian atrium kiri, monitor tanda hipotensi dan hipoperfusi organ
seperti ginjal
• Glukokortikoid : beberapa studi menunjukkan adanya penurunan mortalitas dan
perbaikan prognosis pada pemberian kortikosteroid dosis rendah.
34
-
KOMPLIKASI
Fibrosis paru, pneumotoraks, emboli paru, infeksi akibat pemasangan ventilator.
24
PROGNOSIS
Mortalitas diperkirakan 26- 44%. Pasien usia > 75 tahun memiliki mortalitas lebih
tinggi ( ~ 60 %) dibandingkan dengan < 45 tahun ( ~ 20%).
24
-
UNIT YANG MENANGANI
• RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Pulmonologi
• RS non Pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : Departemen Radiologi / Radiodiagnostik, Patologi Klinik
• RS non Pendidikan : Bagian Patologi Klinik, Radiologi
709
# Pandtan PrakUk Minis Pulmonologi
REFERENSI
1 . .
Hudson LD. Acute Respiratory Distress Syndrome In ,: Schraugnagel DE. Breathing in America :
Diseases, Progress, and Hope, American Thoracic Society. 2010. Hal 15-24.
.
2 Choi AMK, Levy BD. Acute Respiratory Distress Syndrome, In : Longo DL, Fauci AS, Kasper DL,
.
York, McGraw-Hill 2012 .
.
Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J. Harrison's Principles of Internal Medicine. 18th Edition New
.
3 .
Tang BMP, Craig JC, Eslick GD, Seppelt I, McLean AS Use of corticosteroids in acute lung injury
- -
.
and acute respiratory distress syndrome: A systematic review and meta-analysis- Crit-Care Med
2009 Vol. 37, No. 5
.
4 Amin Z. Sindrom Gangguan Respirasi Akut (ARDS). Ddlam : Amin Z, Dahlan Z, Yuwo'no A (Eds).
Panduan Tatalaksana /Prosedur Respirologi dan Penyakit Kritis Paru.
710
711
BRONKIEKTASIS
PENGERTIAN
Dilatasi jalan napas yang ireversibel dan melibatkan paru -paru lokal atau difus,
dengan gambaran pelebaran alveoli dapat berupa silindris atau tubular, varicose,
atau kistik. Etiologi bronkiektasis pada banyak kasus tidak diketahui , kemungkinan
penyebabnya dapat dilihat di tabel 1
Tabel 1. Etiologi Bronkiektasis1'2
K llbatan Lokasl Penanganan
Etiologi
paru-paru tersering
Fokal Obstruksi lapangan Rontgen toraks dan/atau CT
• Intrinsik : tumor di dalam jalan tengah scan toraks, bronkoskopi
napas, aspirasi benda asing, paru
stenosis / jaringan parut pada
jalan napas, atresia brokus
akibat perkembangan tidak
sempurna (kongenital)
• Ekstrinsik : limfadenopati,
tumor parenkimal
Difus Infeksi : bakteri, mikobakterium non lapangan Kultur, pewarnaan Gram,
tuberkulosis [Mycobacterium avium- tengah BAL ( bronchoalverolar
intracellulare complex (MAC) ] paru lavagej jika tidak ditemukan
kuman patogen
Imunodefisiensi : lapangan DPL , immunoglobulin, tes
hipogamaglobulinemia, HIV, bawah HIV
bronkiolitis setelah transplantasi paru paru
Genetik : cystic fibrosis, sindroma Pengukuran kadar klorida
Kartegener , defisiensial antitripsin. dalam keringat, kadar a 1
antitripsin, atau biopsi/
sikatan saluran napas.
• Autoimun atau rematologi : Pemeriksaan sendi, serologis
artritis rematoid, sindrom Sjogren , daerah ( faktor rematoid) .
inflammatory bowel disease. sentral paru
• Penyakit terkait imun : allergic
bronchopulmonary aspergillosis
( ABPA )
Aspirasi berulang lapangan Tes fungsi menelan dan
bawah kekuatan neuromuskular .
paru
Lain-lain : yellow nail syndrome Kondisi klinis
Idiopatik ( 25-50 %) Singkirkan penyakit lain
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Pada pasien bronkiektasis dapat ditemukan riwayat batuk produktif persisten
dengan sputum yang purulen ( jika ada infeksi sekunder] atau mukoid ( jika tidak ada
infeksi sekunder] dengan jumlah banyak terutama pada pagi hari sesudah perubahan
posisi tidur. Bau mulut yang tidak sedap { fetor ex ore ) ditemukan jika ada infeksi
sekunder. Batuk darah, sesak napas, demam berulang dapat dikeluhkan pasien.13 Pada
kasus bronkiektasis harus dicari kemungkinan penyebab seperti kelainan kongenital,
aspirasi cairan lambung, riwayat infeksi saluran napas bawah yang disebabkan bakteri
atau virus pneumonia, pertusis, atau tuberkulosis, kelainan imunitas seperti pada
tabel 1. Pada orang dewasa jika tidak ditemukan penyebab bronkiektasis, riwayat
asma harus ditanyakan .4
Pemeriksaan fisik
Pada kasus bronkiektasis dapat ditemukan sianosis, retraksi dinding dada dan
berkurangnya gerakan dada daerah yang terkena disertai pergeseran mediastinum
akibat bagian paru yang terkena luas, ronki, mengi, jari tabuh, serta dapat disertai
demam.1 Pada kasus berat dapat ditemukan tanda -tanda kor pulmonal kronik maupun
gagal jantung kanan.
712
Bronkiektasis mp
713
# SBgBBB& Pulmonologi
Tabel 2. Jenis Pemeriksaan Fungsi Paru Yang Harus Dilakukan Pada Orang Dewasa 4
Keadaan Jenis pemeriksaan Frekuensl pemeriksaan
Bronkiektasis FVC, FEV 1, PEF (peak Secara rutin setiap kontrol ke
expiratory flow) dokter
Defisiensi imun FVC, FEV1 4 kail dalam setahun
PPOK /emflsema Volume paru, gas transfer
coefficient
Sebelum dan setelah antibiotik FVC, FEV 1
intravena
Antibiotik oral atau nebulisasi Spirometri dan volume paru
DIAGNOSIS BANDING3
• Bronkitis kronik
• Tuberkulosis paru
• Abses paru
714
Bronkiektasis
TATALAKSANA1 2
• Mengontrol infeksi dan meningkatkan sekresi sputum dan higienitas bronkus
untuk menurunkan jumlah mikroba dalam jalan napas dan risiko infeksi berulang
• Menciptakan lingkungan yang baik dan tepat bagi pasien : 3
o Membuat ruangan hangat, udara ruangan kering
o Menghentikan merokok
o Mencegah / meghindari debu, asap
• Memperbaiki drainase sekret bronkus dan menjaga higienitas bronkus
3
o Drainase postural: dikerjakan 10- 20 menit 2-4 kali setiap hari, atau sampai sputum
tidak keluar lagi, dibantu dengan memberikan tepukan pada punggung pasien.
o Mencairkan sputum yang kental: hidrasi, mukolitik, inhalasi uap air panas / dingin
o Mengatur posisi tempat tidur pasien
o Nebulisasi dengan bronkodilator dan cairan hiperosmolar (saline hipertonik):
Ketika nebulisasi dengan cairan saline hipertonik, sebelumnya diberikan
bronkodilator pada pasien yang mempunyai hipereaktivitas bronkus. Sebelum
dan 5 menit setelah dilakukan nebulisasi, FEV1 atau PEF harus diperiksa untuk
menilai adanya bronkokonstriksi .4-6
o Fisioterapi dada: drainase postural, chest flapping , oscillatory positive expiratory
pressure flutter valve , atau high - frequency chest wall oscillation vest,
o Sebelum dilakukan fisioterapi dapat diberikan nebulisasi dengan (32 agonis
untuk meningkatkan pengeluaran sputum . 3
o Setiap 3 bulan harus dinilai keefektifan terapi .
• Latihan rehabilitasi paru
o Jika ada kesulitan bernapas ketika melakukan aktivitas sehari -hari
o Latihan kekuatan otot pernapasan
• Antiinflamasi
o Glukokortikoid oral / sistemik: jika disebabkan ABPA, kondisi autoimun
o Glukokortikoid inhalasi: tidak dianjurkan secara rutin, kecuali pada pasien asma. -
46
• Anti jamur
o Jika disebabkan ABPA: itrakonazol
• Antibiotik
o Eksaserbasi akut: patogen terduga paling sering adalah Haemophilus influenzae
dan P . aeruginosa. Antibiotik diberikan selama 7 - 10 hari .
715
ffl PanduanPraktikKlinis Pulmonologi
Perhimpunan Dokler Spesialls Penyakil Dalam Indonesia w
o Pada kasus infeksi MAC dan HIV negatif : makrolid dengan rifampisin dan
etambutol
o Kombinasi antibiotik tidak diberikan jika infeksi disebabkan H . influenza,
Moraxella catarhalis, Staphylococcus aureus, dan Streptococcus pneumonia .
o P. aeruginosa yang sensitif terhadap siprofloksasin dapat diberikan
siprofloksasin secara oral sebagai antibiotik lini pertama, dan diganti ke
intravena jika tidak membaik.
o Nebulisasi dengan antibiotik: jika eksaserbasi > 3 kali setahun atau episode
eksaserbasi yang jarang tetapi diperkirakan menyebabkan morbiditas yang
signifikan . Antibiotik disesuaikan dengan hasil kultur sensitivitas. 4
• Operasi : 3A6
o Tujuan : mengangkat/reseksi segmen atau lobus paru yang terkena
o Indikasi :
Bronkiektasis terbatas dan dapat tereseksi, yang tidak berespon terhadap
tindakan -tindakan konservatif yang adekuat
Bronkiektasis terbatas tetapi sering mengalami infeksi berulang atau
hemoptisis yang berasal dari derah tersebut.
o Kontraindikasi :
Bronkiektasis dengan PPOK ( penyakit paru obstruksi kronik)
Bronkiektasis berat
Bronkiektasis dengan komplikasi kor pulmonal kronik dekompensata
o Jenis operasi : elektif dan paliatif (pada keadaan gawat darurat dan tidak
terdapat kontraindikasi )
o Persiapan operasi :
Pemeriksaan faal paru : spirometri, analisa gas darah, bronkospirometri
CT scan atau USG
Meneliti ada tidaknya kontraindikasi operasi
Memperbaiki keadaan umum pasien
• Ventilasi non - invasif : 3
o Meningkatkan kualitas hidup pasien dengan gagal napas kronik akibat
bronkiektasis
• Pada kasus refrakter:
o Operasi dengan reseksi bagian paru yang mengalami supurasi .
o Transplantasi paru: sesuai indikasi
• Pada kasus eksaserbasi ( 3 episode dalam setahun) :
o Antibiotik oral : siprofloksasin selama 1- 2 minggu / bulan
716
Bronkiektasis
KOMPLIKASI
Perdarahan sampai hemoptisis masif karena kerusakan mukosa pembuluh darah
akibat infeksi berulang. Resistensi terhadap antibiotik karena infeksi berat, berulang,
atau pemakaian antibiotik terlalu sering.1 Pneumonia dengan / atau tanpa atelektasis,
pleuritis, efusi pleura atau empiema, abses metastasis di otak, hemoptisis, sinusitis,
kor pulmonal kronik, kegagalan pernapasan, amiloidosis. -
36
PROGNOSIS
Prognosis tergantung etiologi penyebab dan frekuensi eksaserbasi. FEV1 menurun
50 -55 ml / tahun, sedangkan pada orang sehat 20-30 ml / tahun. Risiko infeksi berulang
dapat diturunkan dengan memberikan vaksinasi pada kasus infeksi pernapasan kronik
(seperti influenza, pneumokokus}.1 Pada kasus berat dan tidak diobati lama harapan
hidup < 5 -15 tahun. Penyebab kematian dikarenakan pneumonia, empiema, gagal
jantung kanan, hemoptisis.3 6 -
UNIT YANGMENANGANI
• RS Pendidikan : Departemen llmu Penyakit Dalam Divisi Pulmonologi
• RS non Pendidikan : Bagian llmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : Departemen Radiologi , Bedah / toraks, Departemen
Rehabilitasi Medik
• RS non Pendidikan : Bagian Radiologi, Bedah
REFERENSI
1. .
Baron R Bronchiectasis and Lung Abscess. In: Fauci A, Kasper D, Longo D, Braunwald E, Hauser
S, Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison’s principles of internal medicine. 18 th ed. United States
of America; The McGraw-Hill Companies, 2012.chapter 258.
2. Iseman M. Bronchiectasis. In : Mason: Murray & Nadel' s Textbook of Respiratory Medicine, 4 ed
lh .
United States of America : Saunders .2005 . chapter 39.
717
# Pulmonologi
3 . .
Rahmatullah P. Bronkiektasis Dalam: Alwi I, Setiati S, Setiyohadi B, Simadibrata M, Sudoyo AW .
.
Buku AJarllmu Penydklt Dalam Jilldlil Edfsi V Jdkdrtd: iii'temd Pobllshlngi 2010: Hal 2297-2304.
4. British Thoracic Society. BTS Guideline for non-CF Bronchiectasis A Quick Reference Guide.2010.
. - .
Diunduh dari www brit thpracic.org ukpada tanggal 30 mei 2012 .
5. . .
O'Donnell A Bronchiectasis. Chest 2008;!34;$15-823. Diunduh dari http:/ /chestjoumal chestpubs.
. .
org/content/134/4/815 full html pada tanggal 30 Mei 2012.
6. Prdhggdno E. Mlkobdkteilosis :N6rt-TB Dalam : Arrifn 1, Ddhldn Z, Yuwoho A (Eds) Panduan
. .
.
Tatalaksana/Prosedur Respirologi dan Penyakit Kritis Paru :i i
718
719
EMBOLI PARU
PENGERTIAN
Emboli paru adalah kelainan jaringan paru yang disebabkan oleh embolus pada arteri
pulmonalis paru. Bekuan vena sistemik yang menyangkut di percabangan arteri
pulmonalis, merupakan komplikasi Deep Vein Thrombosis ( DVT) yang umumnya terjadi
pada kaki atau panggul. Faktor predisposisi trombosis vena yaitu :1'2
• Trias Virchow, yaitu
o Stasis: Imobilitas, tirah baring, anestesi, gagal jantungkongestif / kor pulmonal,
trombosis vena sebelumnya
o Hiperkoagulabilitas: keganasan, antibodi antikardiolipin, sindrom nefrotik,
trombositosis esensial, terapi estrogen, heparin -induced thrombocytopenia,
inflammatory bowel disease , Paroxysmal nocturnal hemoglobinuria, koagulasi
intravaskular diseminata, defisiensi protein C dan S, defisiensi antitrombin III
o Kerusakan dinding pembuluh darah: trauma, pembedahan
• Keganasan
• Riwayat trombosis
• Preparat estrogen
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Pada 50 % kasus dapat asimptomatik
PanduanPraktikKlinis
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
B SSSJSSSJSS Pulmonologi
Pemeriksaan Penunjang3
• Laboratorium : DPL, hemostasis ( PT, aPTT, INR , aktivitas protrombin, kadar
fibrinogen) , kadar protein C dan S, ACA
• Urin lengkap
• Analisa gas darah / AGD : hipoksemia, alkalosis respiratorik
• D -dimer plasma: meningkat (sensitif, tidak spesifik) . Bila > 500 ng/ mL, dilanjutkan
dengan pemeriksaan
• Foto toraks : menyingkirkan penyebab lain berupa emboli paru infiltrat, efusi,
atelektasis, gambaran khas emboli paru Hampton's sign, Westermark’s sign, Palla’s
sign, pada sebagian kasus: tidak tampak kelainan
• EKG : terutama menyingkirkan penyakit lain, perubahan ST-T tidak spesifik. Inversi
gelombang T di VI - V4, kadang -kadang dijumpai RBBB, fibrilasi atrium. Dapat
dijumpai perubahan aksis tiba-tiba. Pada emboli paru masif dapat dijumpai RAD,
P pulmonal, SI Q 3 T 3 ( Meginn White Pattern ) .
• Ekokardiografi : jika terlihat adanya peningkatan tekanan atau volume ventrikel
kanan yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya, maka dapat dicurigai adanya
emboli paru . Ekokardiografi trans esophageal mempunyai sensitivitas dan
spesifisitas mencapai 90 % untuk mendeteksi emboli paru proksimal.
• Ventilation / Perfusion Lung Scan: (sensitif, tidak spesifik)
o Pada emboli paru : kelainan perfusi tidak disertai kelainan ventilasi , atau
kelainan perfusi lebih menonjol
o Berdasarkan adanya, ukuran, dan hubungan defek ventilasi - perfusi , hasil
dibagi atas: high- probability lung scan, non-high probablity lung scan (= low
dan intermediate probability lung scan ), normal lung scan.
• USG (ultrasonografi ) tungkai .
o Indikasi : jika hasil scan menunjukkan non -high probablity lung scan, sedangkan
klinis sangat mengarah ke emboli paru, mencari adanya trombosis vena dalam.
o Jika hasil scan adalah high - probability lung scan, atau USG kaki positif DVT:
diterapi sebagai emboli paru.
• Angiografi pulmoner : baku emas.
o Indikasi : hasil diagnostik lain tidak jelas, dan dibutuhkan diagnosis pasti
(seperti pada pasien yang tidak stabil, atau yang memiliki risiko tinggi bila
diterapi antikoagulan atau trombolitik) .
Terdapat 2 cara penilaian klinis untuk memprediksi adanya emboli paru :x
720
Emboli Paru
Keterangan :
Kemungkinan emboli paru rendah : skor 0-3
sedang : skor 4- 10
tinggi : skor > 11
DIAGNOSIS BANDING
Pneumonia, bronkitis, asma bronkial, bronkitis kronis eksaserbasi akut,
infark miokard, sindrom koroner akut, edema paru, kanker paru , pneumotoraks,
kostokondritis, aorta dissekans, tamponade, fraktur iga, hipertensi pulmoner primer,
nyeri muskukoskeletal, ansietas.2
TATALAKSANA
Tempi Suportif4
• Oksigen
• Infus cairan
• Inotropik: dobutamin drip, bila hipotensi, atau tanda-tanda gagal jantung akut lain
• Vasopresor sesuai indikasi
• Anti aritmia sesuai indikasi
• Analgetik
721
# Puimonologi
1
CT scan ragero
I
1 I
Tidak fefsedia Tersedla
1
Ekokardiografi:
overload ventrikol konan
1
i i CT scon fersodla
Tidak Ya CT scon
dan paslen stabli
I
I 1
Positit Negallf
1
Menentukan komungkinan
kllnis emboli paru
I
Kemungkinan
i
kemungkinan
emboli paru randan emboli paru linggl
i
Pernerlksaari
D'dimer
I
1
Negollt
1
Positlf
1
Tidak
1
Mullidetectof Mulliclefector
dilerapl CT scan CT scan
I
i
Tidak ada
1
Ada
i 1
Tidak ada Ada
emboli paru emboli paru emboli paru emboli paru
1
Tidak
1 1 i
Terapi Tidak difeiapl ataU
dilerapl pemoriksaan lanjul Terapi
Gambar 2. Algorltma Pendekatan Diagnosis Berlslko Rendah Ertlboll Paru Tdnpa Gdfigguan
Hemodlnamlk1
722
Emboli Paru
723
# SSSSfflHMtt Pulmonologi
o Kontraindikasi absolut:
Stroke hemoragik atau stroke yang tidak diketahui penyebabnya
Stroke iskemik yang terjadi dalam 6 bulan
Kerusakan susunan saraf pusat atau keganasan
Baru saja terkena trauma/operasi / trauma kepala (dalam waktu 3 minggu)
Perdarahan saluran cerna dalam waktu 1 bulan
Adanya perdarahan
o Kontraindikasi relatif :
Transient ischaemic attack dalam 6 bulan
Mengkonsumsi antikoagulan oral
Kehamilan atau 1 minggu setelah melahirkan
Non - compressible punctures
Hipertensi refrakter (tekanan darah sistolik > 180 mmHg)
Penyakit hati lanjut
Endokarditis infektif
Ulkus peptikum aktif
Traumatic resuscitation
• Percutaneous catheter embolectomy and fragmentation:
o Tujuan : menghilangkan obstruksi dari arteri pulmonal
o Indikasi : sebagai alternatif jika ada kontraindikasi absolut terapi trombolitik,
jika ada kegagalan terapi trombolitik untuk memperbaiki hemodinamik, atau
sebagai alternatif operasi jika akses bypass kardiopulmonal tidak tersedia .
• Trombektomi
• IVC filter: jika ada kontraindikasi atau tidak ada perbaikan hemodinamik setelah
pemberian antikoagulan
Terapi Preventif
724
Emboli Paru
f
Normotensi dan
ventrikel kanan normal
1
Normotensi dan
ventrikel kanan hipokinesis
1
Hipotensi
i
Pencegahan
i
Terapi disesuaikan
i
Terapi primer
sekunder masing-masing individu
1 1 I 1
Embolektomi
Antikoagulan
Antikoagulan Filter IVC kateter / operasi
dan trombolisis
KOMPLIKASI
Sindroma posttrombotik (25%) berupa nyeri dan edema. Emboli paru berulang
(1% pada emboli paru pertama kali- 5% dalam setahun pada emboli paru berulang),
gagal napas, gagal jantung kanan akut, hipotensi / renjatan kardiogenik. Komplikasi
diagnostik : reaksi alergi terhadap zat kontras. Komplikasi terapi : perdarahan
-
(termasuk intra - kranial), heparin induced thrombocytopenia , nekrosis kulit, warfarin
embriopati.
PROGNOSIS
Prognosis baik jika terapi yang tepat dapat segera diberikan . Prognosis juga
tergantung pada penyakit yang mendasarinya, ketepatan diagnosis, dan pengobatan
yang diberikan. Umumnya prognosis emboli paru kurang baik. Angka kematian karena
emboli paru mencapai 15% dalam 6 bulan. Sedangkan pada emboli paru masif 70 %
mengalami kematian dalam waktu 2 jam sesudah serangan akut . Prognosis juga buruk
pada pasien emboli paru kronik dan sering mengalami serangan ulangan . Resolusi
komplit dapat tercapai dalam waktu 7-19 hari, tergantung dari waktu mulai terapi,
adekuat tidaknya terapi, dan derajat emboli paru.48'9
725
Panduan PraktikKlinis Pulmonoloqi
Perhimpunan Dokfer Spesialis Penyaldl Dalam Indonesia
^
UNIT YANGMENANGANI
• RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Pulmonologi,
Kardiovaskular, Hematologi- Onkologi Medik.
• RS non Pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : Divisi Hematologi- Onkologi Medik, Departemen Radiolog,
Patologi Klinik, Bedah / toraks
• RS non Pendidikan : Bagian Bedah, Patologi Klinik, Radiologi
REFERENSI
1. Torbicki A, Perrier A, Konstantinides S. Guidelines on the diagnosis and management of acute
pulmonary embolism. European Heart Journal ( 2008) 29, 2276-2315.Diunduh dari www.escardio.
org /guidelines pada tanggal 23 Juni 2012.
2. Goldhaber SZ. Deep Venous Thrombosis and Pulmonary Thromboembolism. In: Fauci A, Kasper
D, Longo D, Braunwald E, HauserS, Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison's principles of internal
.
medicine. 18th ed United States of America; The McGraw-Hill Companies, 2012.chapter 262 .
3. Fedullo PF, Morris TA. Pulmonary Thromboembolism. In : Mason: Murray & Nadel' s Textbook of
.
Respiratory Medicine, 4th ed. United States of America : Saunders 2005. chapter 48
4. Rahmatullah P. Tromboemboli Paru. Dalam: Alwi I, Setiati S, Setiyohadi B, Simadibrata M, Sudoyo
AW . Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV. Jakarta: Interna Publishing; 2006: Hal 1050- 1056.
5. Diunduh dari Chest 2008;133;454S pada tanggal 23 Juni 2012.
6. Diunduh dari NEJM 2008:359:2804 pada tanggal 23 Juni 2012.
7. Diunduh dari Chest 2008;133:381 S pada tanggal 23 Juni 2012.
8. Diunduh dari Circ 2003:107:1-4 pada tanggal 23 Juni 2012.
9. Rasyid A . Emboli Paru. Dalam : Amin Z, Dahlan Z, Yuwono A ( Eds) . Panduan Tatalaksana / Prosedur
Respirologi dan Penyakit Kritis Paru.
726
727
FLU BURUNG
PENGERTIAN
Flu burung (avian influenza ) merupakan penyakit infeksi akibat virus influenza
tipe A yang biasa mengenai unggas. Subtipe virus influenza yang lazim mengenai
manusia adalah dari kelompokHl, H 2, H 3, serta N1 dan N 2 dan disebut sebagai human
influenza. Secara ringkas virus ini dikenal dengan virus A (H 5 N1).1
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis1 2
• Gejala sistemik mendadak: sakit kepala, demam, menggigil, mialgia, malaise, batuk,
radang tenggorokan
• Keluhan gastrointestinal: diare
• Identifikasi untuk kelompok risiko tinggi: pekerja peternakan /pemrosesan unggas
(termasuk dokter hewan /insinyur peternakan], pekerja laboratorium yang memproses
sampel pasien, pengunjung peternakan/ pemrosesan unggas dalam 1 minggu terakhir,
pernah kontak dengan unggas (ayam, itik, burung] sakit/ mati mendadak yang belum
diketahui penyebabnya dan /atau babi serta produk mentahnya dalam 7 hari terakhir,
atau pernah kontak dengan penderita flu burung dalam 7 hari terakhir.
Pemeriksaan Fisik1 2
• Febris, takipneu, takikardi
• Konjungtivitis
• Ronkhi kasar pada kedua lapang paru
Pemeriksaan Penunjang1 2
• Laboratorium : darah perifer lengkap, fungsi hati, fungsi ginjal, kreatin kinase,
analisa gas darah
• Uji konfirmasi :
o Kultur dan identifikasi virus H 5 N 1
PanduanPraktik Minis
Perhlmpunan Dokler Speslafis Penyaldl Dalam Indonesia
m fSSSSSSSSS. Pulmonologi
728
Flu Burung
• Kasus probabel AI H 5 N 1
Kriteria kasus suspek ditambah dengan 1 atau lebih keadaan dibawah ini :
o Ditemukan adanya kenaikan titer antibodi minimum 4x terhadap H 5 dengan
pemeriksaan HI test menggunakan eritrosit kuda atau ELISA
o Hasil laboratorium terbatas untuk influenza H 5 (dideteksi dengan antibodi
spesifik H 5 dalam spesimen serum tunggal ) menggunakan tes netralisasi
(dikirim ke referensi laboratorium)
o Dalam waktu singkat menjadi pneumonia berat / gagal napas / meninggal dan
terbukti tidak ada penyebab lain
• Kasus konfirmasi AI H 5 N 1
Kasus suspek atau probabel dengan 1 atau lebih keadaan dibawah ini :
o Kultur virus influenza A / H 5 N 1 ( +)
o PCR influenza A / H 5 N 1 ( + )
o 1 FA test ditemukan antigen ( + ) menggunakan antibodi monoklonal influenza A/
H5 N1
o Kenaikan titer antibodi spesifik influenza A / H 5 N 1 sebanyak 4x dalam paired
serum dengan uji netralisasi
Kriteria rawat
• Suspek flu burung dengan gejala klinis berat yaitu 1) sesak napas dengan frekuensi
napas s 30x / menit, 2) nadi slOOx / menit, gangguan kesadaran ( + ) , 3 ) kondisi
umum lemah
• Suspek dengan leukopenia
• Suspek dengan gambaran radiologis pneumonia
• Kasus probabel dan konfirmasi
DIAGNOSIS BANDING
Pneumonia
TATALAKSANA1 3
• Prinsip penatalaksanaan adalah istirahat, peningkatan daya tahan tubuh,
pengobatan antiviral , antibiotik, perawatan respirasi , antiinflamasi , dan
imunomodulator
• Antiviral sebaiknya diberikan pada awal infeksi yaitu 48 jam pertama
o Penghambat M 2 : amantadine, rimantidin dengan dosis 2 x 100 mg/hari atau
5 mg /kgBB selama 3 - 5 hari
o Penghambat neuramidase (WHO) : zanamivir, oseltamivir (tamiflu) dengan
dosis 2 x 75 mg selama 1 minggu
729
# SfiSSSSSS! Pulmonologi
• Pedoman Departemen Kesehatan RI :
o Kasus suspek : oseltamivir (tamiflu) 2 x 75 mg selama 5 hari, simptomatik dan
antibiotik jika ada indikasi
o Kasus probabel : oseltamivir (tamiflu) 2 x 75 mg selama 5 hari, antibiotik
spektrum luas yang mencakup kuman tipik dan atipikal, dan steroid jika ada
indikasi (pneumonia berat, ARDS). Respiratory care di ICU sesuai indikasi.
• Profilaksis pada kelompok risiko tinggi : oseltamivir 1 x 75 mg selama 1-6 minggu
KOMPLIKASI
Pneumonia dan manifestasi ekstrapulmonal seperti diare dan keterlibatan sistem
saraf pusat. Kematian berkaitan dengan disfungsi sistem multipel, termasuk gagal
jantung dan ginjal.2
PROGNOSIS
Berkaitan dengan derajat dan durasi hipoksemia . Angka mortalitas dari semua
kasus sampai saat ini mencapai 60%. Risiko mortalitas tergantung dari derajat penyakit
respirasi daripada komplikasi bakteri ( pneumonia). Hanya sedikit bukti yang tersedia
yang menunjukkan efek jangka panjang dari korban selamat.3
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan: Radiologi / Radiodiagnostik, Patologi Klinik
• RS non pendidikan: Bgian Radiologi, Bagian Patologi Klinik
REFERENSI
1. .
Nainggolan L, Rumende CM, Pohan HT Influenza Burung. Dalam : Sudoyo A , Setiyohadi B, Alwi
.
I, et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V. Jilid III. 2009. Hal 2786-9.
.
2 .
Keliat EN. Pneumonia Virus. Dalam : Amin Z, Dahlan Z, Yuwono A ( Eds) Panduan Tatalaksana /
Prosedur Respirologi dan Penyakit Kritis Paru.
3 . Dolin RD. Influenza. In : Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, HauserSL, Jameson JL, Loscalzo J. Harrison ' s
Principles of Internal Medicine. 18th Edition. New York, McGraw-Hill. 2012.
730
731
GAGAL NAPAS
PENGERTIAN
Gagal napas adalah suatu kondisi kegagalan sistem pernapasan pada fungsi
pertukaran gas seperti oksigenasi dan / atau eliminasi karbondioksida dari darah
vena. Gagal napas juga didefinisikan tekanan oksigen arteri ( Pa 02) < 60 mmHg (8.0
kPa) dan /atau tekanan karbondioksia arteri ( Pa C02) > 45 mmHg (6.0 kPa]. Sistem
pernapasan terdiri dari 4
Paru- paru : sebagai organ pertukaran gas
Sistem pompa yang memventilasi paru - paru : terdiri dari dinding dada, otot pernapasan,
pusat pernapasan di susunan saraf pusat (SSP), dan jalur yang menghubungkan SSP
dengan otot pernapasan (saraf spinalis dan saraf perifer)
Gagal napas dapat terjadi karena 2 mekanisme yaitu :
Gagal napas
f 1
Kegagalan paru Kegagalan pompa
I 1
Kegagalan pertukaran udara Kegagalan ventilasi yang
yang ditandai dengan hipoksemia ditandai dengan hiperkapnia
PanduanPraktik Minis
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
ff$
ATLR
PanduanPraktik Minis Pulmonologi
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakil Dalam Indonesia w
732
Gogol Napas
DIAGNOSIS
Tabel 3. Diagnosis Gagal Napas14
Tipe gagal napas Anamnesis Pemeriksaan flslk
Tlpel • Mengenali faktor rislko Cemas, porubahan status mental , bingung.
• Sesak napas takikardia , takipnea. diaforesis . sianosis,
hipertensl / hipotensi . arltmia .
Tlpe II Mencari penyebab Somnolen . letargi . atau koma . Asteriks, tremor,
dan faktor flslkd. Pbslen bicara kacau , edema papil .
mengeluhkan sesak napas.
Pemerlksaaan penunjang
• Laboratorium : DPL.
• Analisis gas darah
• Foto toraks
• Kateter Swan Ganz dengan monitor - tekanan kapiler paru (PCWP)
• EKG
• CT (computed tomographic ) angiography toraks: sesuai indikasi
• Bronkoskopi: sesuai indikasi
DIAGNOSIS BANDING
Edema paru, ARDS
TATALAKSANA
Tipe I
• Mengobatai penyakit dasar
• Oksigen
• Ventilasi mekanik: pada penyakit berat (ARDS)
• Bronkodilator
o Agonis beta adrenergik: terbutalin , albuterol
o Antikolinergik: diberikan kobinasi dengan agonis beta adrenergik
• Antibiotika: sesuai indikasi
• Kortikosteroid oral atau parenteral
• Ekspektoran dan nukleonik
• Fisioterapi dada
733
m PaiduanPraktUMinis Pulmonologi
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakif Dalam Indonesia
Tipe II3 4
• Tujuan: memperbaiki ventilasi alverolar menjadi normal, hingga penyakit dasar
dapat diobati
• Menjaga patensi jalan napas : penyedotan secret, drainase postural, stimulasi batuk,
perkusi dada, atau dengan pemasangan selang endotrakea atau trakeostomi.
• Alat napas buatan: ventilator mekanik
• Oksigen: jika ada hipoksemia, diberikan secara hati- hati
KOMPLIKASI
• Komplikasi paru: emboli paru , barotrauma, fibrosis pulmonal.
• Komplikasi kardiovaskular : hipotensi , cardiac output menurun , aritmia ,
perikarditis, infark miokard akut
PROGNOSIS
Prognosis tergantung dari penyakit penyebab dan komorbid. Kematian pada kasus
gagal napas umumnya disebabkan karena kegagalan multiorgan . Angka kematian pada
gagal napas yang disertai kegagalan kardiovaskular, ginjal, atau neurologis sebesar
55.4 %, 57.4 %, dan 48.1 %. Sedangkan angka kematian pada gagal napas dengan
kegagalan satu organ sebesar 20.7 %.3 4 '
UNIT YANGMENANGANI
• RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Pulmonologi
• RS non Pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : Departemen Patologi Klinik, Radiologi, Anestesi / ICU
• RS non Pendidikan : Bagian Patologi Klinik, Radiologi, Anestesi / ICU
REFERENSI
1. C. Roussos, A. Koutsoukou. Respiratoryfailure. EurRespir J 2003; 22: Suppl. 47, 3s-14s. Diunduh dari
http: / / erj.ersjournals.com /content / 22/ 47_suppl/ 3s.full.pdf pada tanggal 20 Juni 2012.
2. .
Amin Z, Purwoto J. Gagal Napas Akut. Dalam :Simadibrata M, Setiati S, Alwi I Maryantoro, Gani
RA , Mansjoer A , editors. Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam Jilid I.
Edisi IV Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006.p. 170-75.
3. Vincent JL, de Mendonca A , Cantraine F, Moreno R, Takala J, Suter PM, Sprung CL, Colardyn F,
Blecher S: Use of the SOFA score to assess the incidence of organ dysfunction/ failure in intensive
care units: results of a multicenter, prospective study. Working group on ' sepsis-related problems'
of the European Society of Intensive Care Medicine. Crit Care Med 1998, 26: 1793- 1800.
4. Amin 1 , Pitoyo CW . Gagal Napas. Dalam : Amin Z, Dahlan Z, Yuwono A ( Eds ) . Panduan
Tatalaksana /Prosedur Respirologi dan Penyakit Kritis Paru.
734
735
MASSA MEDIASTINUM
PENGERTIAN
Mediastinum adalah regio di dalam rongga dada di antara rongga pleura yang di
dalamnya terdapat jantung dan organ lain, kecuali paru - paru . Batas- batas mediastinum
yaitu sebelah lateral dibatasi oleh pleura parietalis, anterior oleh sternum, posterior
oleh kolum vertebra, superior oleh thoracic inlet, dan inferior oleh diafragma . Daerah
mediastinum terbagi menjadi 3 yaitu :1 Z
• Mediastinum anterior
• Mediastinum media
• Mediastinum posterior
Massa mediastinum adalah lesi spesifik yang ditemukan di dalam mediastinum,
baik dari metastasis atau tumor dari lokasi intratorakal lain yang menginvasi ke dalam
mediatinum, seringkali ditemukan secara kebetulan pada saat pemeriksaan. Etiologi
dari massa mediastinum dapat dibagi berdasarkan lokasi dari massa :
Mediastinum media Jantung, perikardium, arkus aorta dan pembuluh darah besar, hilus,
kelenjar getah bening, vena inominata dan vena kava superior, nervus
phrenikus, nervus vagus bagian atas, jaringan ikat
Mediastinum posterior aorta torakalis desending, esofagus, duktus torasikus, vena azigos, vena
hemiazigos, dan kelenjar getah bening bagian posterior, nervus vagus
bagian bawah, jaringan ikat.
PanduanPraktik Minis
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
<fj\
NJ > K
PandtianPrakUk Klims Pulmonologi
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dolam Indonesia v
- /
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Keluhan dapat disebabkan karena efek lokal atau gejala sistemik sesuai dengan
jenis tumor, yaitu : 2
• Keluhan sesuai tirotoksikosis pada gondok intratoraks
• Sindroma cushing pada timoma dan tumor karsinoid
• Diare pada ganglioneuroma
736
Massa Mediastinum $[f$
'
737
# BSBflgBSS Pulmonologi
DIAGNOSIS BANDING
Sesuai etiologi tabel l . 67
738
Massa Mediastinum 0
TATALAKSANA
Tergantung etiologi
KOMPLIKASI
Obstruksi trakea, sindroma vena kava superior, invasi vaskular dan perdarahan
katastropik, serta ruptur esofagus.47
PROGNOSIS
Prognosis tumor mediastinum jinak umumnya cukup baik, terutama jika tanpa
gejala. Sedangkan tumor mediastinum ganas tergantung dari keparahan penyakit dan
komorbid. Umumnya penyakit infeksi berespon baik terhadap terapi konvensional,
sedangkan penyakit infeksi berespon baik dan cepat terhadap pemberian antibiotik
yang tepat dan tindakan bedah.6’7
UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : Departemen Radiologi, Radioterapi, Bedah / toraks
• RS non Pendidikan : Bagian Radiologi, Bedah
REFERENSI
1. .
Light RW Disorders of the Pleura and Mediastinum. In: Fauci A, Kasper D, Longo D, Braunwald E,
HauserS, Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison' s principles of internal medicine. 18th ed. United
.
States of America; The McGraw-Hill Companies, 2012 chapter 263.
2 . . .
Park D, Vallieres E Tumors and Cysts of the Mediastinum In : Mason: Murray & Nadel ' s Textbook
.
of Respiratory Medicine, 4th ed. United States of America : Saunders .2005 chapter 71.
3. Diunduh dari www.chestjournal.chestpubs.org pada tanggal 30 Mei 2012.
4. Amin Z. Penyakit Mediatinum. Dalam: Alwi I, Setiati S, Setiyohadi B, Simadibrata M, Sudoyo AW .
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V . Jakarta : Interna Publishing; 2010: Hal 2249 - 2253.
5 . Amin Z. Tumor Mediastinum. Dalam : Amin Z, Dahlan Z , Yuwono A (Eds ) . Panduan Tatalaksana /
Prosedur Respirologi dan Penyakit Kritis Paru.
6. Diagnostic Imaging Pathways : suspected mediastinal mass. 2011. Diunduh dari http:/ / www.
. .
imagingpathways health.wa gov.au /includes/pdf / med_mass.pdf pada tanggal 30 Mei 2012.
.
7. Haas C, Haap M. A mediastinal mass The journal of family practise vol 59, no 6. Juni 2010.
.
Diunduh dari http://www.jfponline.com/ Pages asp ? AID=8696 &issue= June%202010&UID= pada
tanggal 30 Mei 2012.
739
740
PENGERTIAN
Penyakit paru interstitial merupakan istilah Minis bagi sekelompok gangguan
traktus respiratorius bagian bawah yang meninggalkan jejas pada parenkim paru,
dan memberikan gambaran Minis, radiologis, dan manifestasi fisiologis atau patologis
yang sama .1-3
Penyakit paru kerja adalah sekumpulan diagnosis yang disebabkan oleh inhalasi
debu, zat kimia, atau protein . "Pneumokoniosis ” merupakan istilah yang digunakan
untuk penyakit yang berkaitan dengan inhalasi debu mineral. Keparahan penyakit
ini berkaitan erat dengan materi yang dihirup, intensitas, dan durasi dari paparan
terhadap materi tersebut. Bahkan beberapa orang yang tidak bekerja di industri pun
dapat terkena penyakit ini melalui paparan tidak langsung.4 Berikut daftar penyakit
paru kerja, zat paparan, dan waktu terpapar sampai onset timbul gejala tercantum
pada tabel 1.
label 1. Daftar Penyakit Paru Kerja , Zat Paparan, dan Waktu Paparan sampai Onset Gejala4
Zat Paparan Nama Penyakit Pekerja yang terpapar Waktu paparan sampai
onset ttmbul gejala
Silika Silikosis Penambang, pembuat gelas, Akut (< 1 tahun)
penggali pasir, pengrajin tanah Accelerated (3- 10
liat, penambang terowongan, tahun)
pekerja konstruksi, pembuat Kronik atau silikosis klasik
adonan tepung silika, pekerja (berabad)
abrasif (pembuat gigi)
Asbestos Asbestosis Primer : penambang, pekerja Tahunan
penggilingan Efusi pleura asbestos
Sekunder : pekerja keramik, jinak ( <20 tahun )
asbestos insulators, fireproofing, Plak pleura ( tahunan)
ship building and repair , brake
liners, boilermakers
Indirek : tukang listrik, tukang
ledeng, tukang kayu
Batu bara Pneumokoniosis Penambang batu bara Tahunan s /d berabad-
abad
Bahan kimia reaktif Pneumonitis Hari dari paparan
sederhana, produk hipersensitivitas
serangga, produk
binatang, produk
tanaman
PanduanPraktikKIinis
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
Penyakit Paru Kerja
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis1 3 5 7
• Tempat tinggal pasien
• Manifestasi pulmonal dan ekstrapulmonal
o Sesak napas terutama setelah beraktivitas ( dyspnea on exertion ), batuk kering /
non-produktif yang semakin memburuk pada usia pertengahan atau usia lanjut
yang tidak diketahui penyebabnya
• Tempo perjalanan penyakit
• Kebiasaan merokok
• Obat-obatan
• Riwayat penyakit dahulu dan komorbid
• Riwayat penyakit keluarga
• Riwayat pekerjaan, paparan lingkungan dalam waktu lama
• Auskultasi paru: crackles (ronki) pada kedua basal paru, terutama saat akhir
inspirasi
• Jari tabuh
• Tanda ekstrapulmonal
Pemeriksaan Penunjang1 3 5 7
• Laboratorium : darah perifer lengkap, panel kimia, urinalisis
o Kasus tertentu : tes serologis (pneumonitis hipersensitivitas, penyakit jaringan
ikat), antibodi antinetrofil sitoplasmik, kadar brain natriuretic peptide ( BNP)
• Radiologis : foto toraks, CTscan toraks dengan resolusi tinggi, foto toraks dan CT
scan toraks sebelumnya, ekokardiografi (bila ada indikasi)
• Bilas bronkoalveolar ( bronchoalveolar lavage ) : identifikasi dan hitung badan
asbestos dan seratnya
• Tes fungsi paru : spirometri, volum paru, kapasitas difusi, dan oksimetri, analisis
gas darah arteri, cardiopulmonary exercise testing (bila ada indikasi)
• Bronkoskopi (bila ada indikasi)
• Biopsi paru ( bila ada indikasi)
DIAGNOSIS BANDING
Bronkitis kronis, penyakit paru obstruktif kronis / PPOK, fibrosis paru, kanker paru.
1
741
I^ |
•
^
» w
Panduen Praktik Klinis Pulmonoloqi
Perhimpunan Dokter Spesiafis Penyakil Dalam Indonesia W
TATALAKSANA1 3
• Silikosis
o Prinsip : mencegah progresifitas penyakit dan timbulnya komplikasi
o Terapi suportif, rehabilitasi, oksigen
o Pada pasien positif silikosis dengan tes tuberkulin (+), pertimbangkan
untuk
terapi infeksi TB laten, misalnya profilaksis INH 300 mg / hari
• Asbestosis
o Tidak ada terapi spesifik yang efektif, terapi umumnya bersifat suportif
(sama
dengan fibrosis interstitial difus yang tidak diketahui penyebabnya]
o Vaksinasi influenza dan pneumococcus
o Terapi oksigen
o Transplantasi paru dapat dipertimbangkan pada kasus tertentu
o Konseling untuk berhenti merokok karena adanya peningkatan risiko kanker
paru
• Pneumokoniosis
o Terapi suportif dan rehabilitasi untuk gangguan fungsi paru
o Konseling untuk berhenti merokok
• Pneumonitis hipersensitivitas
KOMPLIKASI
Emfisema paru, infeksi tuberkulosis laten, PPOK, kanker paru, mesothelioma,
kanker lambung . 13
PROGNOSIS
Tergantung lamanya paparan, usia saat onset gejala, dan komplikasi yang muncul .
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Radiologi, Patologi Klinik, Mikrobiologi klinik , Patologi
Anatomi
• RS non pendidikan : Radiologi, Patologi Klinik, Patologi Anatomi , Mikrobiologi
klinik
742
REFERENSI
1.
Penyakit Paru Kerja
King Jr. TE. Interstitial Lung Diseases. In : Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL,
^
.
Loscalzo J. Harrison ' s Principles of Internal Medicine 18m Edition. New York, McGraw-Hill. 2012 .
,
Raghu G. Interstitial Lung Diseases. In: Goldman, Ausiello. Cecil Medicine. 23 d Edition. Philadelphia.
2.
Saunders, Elsevier. 2008.
3. .
King Jr. TE, Schwarz Ml. Infiltrative and Interstitial Lung Diseases In : Mason, Murray, Broaddus,
.
Nadel Murray and Nadel ' s Textbook of Respiratory Medicine. 4th Edition. Philadelphia. Saunders,
Elsevier. 2005.
4. .
Boylan AM, Broaddus VC. Pleural Diseases In : Schraugnagel DE. Breathing in America : Diseases,
Progress, and Hope. American Thoracic Society. 2010. Hal 145-54. Diunduh dari http://www.
.
thoracic org/education/breathing-in-america /resources/breathing-in-america.pdf padatanggal
23 Mei 2012.
5. Guidotti TL, Miller A, Christiani D, et al. American Thoracic Society Documents : Diagnosis and
Initial Management of Nonmalignant Diseases Related to Asbestos. Am J Respir Crit Care Med
2004;170:691-715.
6. .
Ryu JH, Daniels CE, Hartman TE, Yi ES Diagnosis of Interstitial Lung Diseases. Mayo Clin
.
Proc. 2007;82 ( 8) :976- 986 Diunduh dari http:/ /www.cchil.org / hospitalmedicine /images /
resources/091408-024700am-ILD.pdf pada tanggal 1 Juni 2012 .
7. .
Pasiyan R, Arsyad Zulkarnain, Tandjung A Penyakit Paru akibat Kerja dan Lingkungan . Dalam
: Amin Z, Dahlan Z, Yuwono A (Eds ) . Panduan Tatalaksana /Prosedur Respirologi dan Penyakit
Kritis Paru.
743
744
PENGERTIAN
Penyakit paru obstruktif kronik [PPOK) adalah penyakit yang ditandai dengan
adanya keterbatasan aliran udara kronis dan perubahan patologis pada paru - paru,
beberapa memiliki efek ekstra pulmonal.1 Ditandai dengan keterbatasan aliran udara
yang tidak sepenuhnya reversibel. Keterbatasan aliran udara biasanya progresif
dan berhubungan dengan respon inflamasi abnormal paru - paru terhadap partikel
berbahaya atau gas.2 Faktor risiko yaitu perokok aktif atau pasif, tinggal di daerah
berpolusi, lingkungan kerja) industri kapas, pertambangan batu bara, pertambangan
emas) defisiensi al antitripsin.1
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Sesak napas yang diperberat oleh latihan, batuk-batuk kronis, sputum yang
produktif, faktor risiko (+), PPOK ringan dapat tanpa keluhan atau gejala.1
Pemeriksaan Fisik3
• Laju napas meningkat > 20 kali / menit, bila sesak napas berat : sianosis (hipoksia
berat), retraksi intercostal.
• Pemeriksaan paru : barrel chest : meningkatnya diameter anteroposterior
(merupakan tanda hiperinflasi), diafragma letak rendah, suara napas melemah,
dapat ditemukan ronki dan wheezing.
• Suara jantung melemah . Pada PPOK berat dapat ditemukan gagal jantung kanan,
kor pulmonal : bunyi jantung kedua meningkat, distensi vena jugular, kongesti
hati, edema mata kaki.
Etiologi Eksaserbasi
Infeksi mukosa trakeobronkial, terutama Streptococcus pneumonie, Haemophilus
influenzae, Moraxella catarrhalis, pajanan polusi udara.
1
,
PPOK berat
VEP / KVP < 70%
30% < VEP ] < 50% prediksi
Keluhan napas pendek bertambah, kemampuan latihan berkurang, lelah, dan
eksaserbasi berulang sehlngga mempengaruhi kualitas hidup pasien
IV PPOK sangat berat
,
VEP / KVP < 70%
VEP , < 30% prediksi atau VEPI < 50% prediksi + gagal napas kronik
PaO,< 60 mmHg dengan/ tanpa PaCO, > 50 mmHg
Gejala gagal jantung kanan dan atau pulmonal
Kualitas hidup pasien sangat terganggu, eksaserbasi bisa menyebabkan
kematian.
745
RrS
' K'
Pandvan mum Minis Pulmonoloqi
PerWmpunan Dokler Spesiais Penyakil Dalam Indonesia
^
DIAGNOSIS BANDING
Asma dapat berbarengan dengan PPOK. Beda asma dan PPOK dapat dilihat pada
asma terjadi peningkatan eosinofil dan obstruksi saluran napas yang terjadi biasanya
reversibel, sementara pada PPOK tampak peningkatan neutrofil dan obstruksi
saluran napas yang terjadi tidak sepenuhnya reversibel. Akan tetapi asma yang sudah
berlangsung lama dapat saja menyebabkan terbatasnya aliran udara yang menetap.2
Diagnosis banding lain: Bronkiektasis, gagal jantung kongestif.3
TATALAKSANA
746
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK ) fjS
• Terapi Non-farmakologis : u
a. Berhenti merokok
b. Rehabilitasi : latihan fisik, latihan endurance , latihan pernapasan, rehabilitasi
psikososial.
c. Terapi oksigen jangka panjang [ > 15 jam sehari ): Pada PPOK stadium IV
Pa 02 < 55 mmHg, atau Sa 02 < 88 % dengan / tanpa hiperkapnia
Pa02 55 - 60 mmHg, atau SaC> 2 < 88 % disertai hipertensi pulmonal, edema
perifer karena gagal jantung, polisitemia.
d. Nutrisi
e. Pembedahan: bullectomy, transplantasi paru, lung volume reduction surgery
[LVRS) .
747
# SSSJSSPJHi Pulmonologi
Larutan untuk
Obort Inhalasl nebuffizar Oral
Injeksl Duratl
(mg/ml) (mg) Qam)
Antlkolinerglk
Masa kerja pendek
Ipratroprium 20, 40 (MDI) 0,25-0,5 6-8
bromida
Oxitroprium bromida 100 (MDI) 1 ,5 7-9
Masa kerja panjang
Tiotropium 18 ( DPI) 24+
Kombinasi agonls b-2 kerja pendek dengan antlkolinerglk dalam 1 inhaler
Fenoterol/ 200/80 (MDI) 1,25 /0,5 6-8
ipratropium
Salbutamol/ 75/ 15 (MDI) 0,75/ 4,5 6-8
ipratropium
Metllsantln
Aminofilin 200-600 mg 240 mg Variatif ,
( tablet ) sampai 24
jam
Teofilin 100-600 mg Variatif,
( tablet) sampai 24
jam
Giukokortikoid inhalasl
Beklometason 50-400 (MDI & DPI) 0,2 - 0,4
Budesonid 100, 200, 400 (MDI) 0.2, 0.25, 0.5
Flutikason 500-500 (MDI &
DPI)
Triamsinolon 100 (MDI) 40 40
Kombinasi agonls b-2 kerja panjang dengan giukokortikoid dalam satu inhaler
Formoterol/ 4,5 / 160, 9/320 ( DPI)
budesonid
Salmeterol/ 50/ 100, 250, 500
Flutikason ( DPI)
25 / 50, 125, 250
(MDI)
Giukokortikoid slstemlk
Prednison 5-60 mg
(tablet)
Metil-prednisolon 4, 8, 16 mg
( tablet )
Tabel 2. Terapl Farmakologis yang Umum Digunakan pada Ppok Eksaserbasi Akut3
Obat Cara aplikatl Dosls Frekuensl
Bronkodilator
Agonis fl-Adrenergik
Salbutamol Metered -dose inhaler 100-200 pg 4 kali sehari
Nebulizer 0.5-2.0 mg 4 kali sehari
Metaproterenol Nebulizer 0.1-0.2 mg 4 kali sehari
Terbutalin Metered -dose inhaler 400 pg 4 kali sehari
Antikolinergik
Ipratropium bromid Metered-dose inhaler 18-36 pg 4 kali sehari
Nebulizer 0.5 mg 4 kali sehari
748
Penyakit Paru Obstruktif Kronik ( PPOK )
749
( fS Panduan PrakUk Klinis Pulmonologi
^
' 1 Pertiimpunan Dokler Spesialis Penyakit Dalam Indonesio
KOMPLIKASI
Bronkitis akut, pneumonia, tromboemboli pulmo, gagal jantung kanan , kor
pulmonal, hipertensi pulmonal, gagal napas kronik, pneumotoraks spontan , 5
PROGNOSIS
Prognosis berdasarkan BODE index, dapat dilihat pada tabel 4 dan 5.
UNIT YANGMENANGANI
• RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Pulmonologi
• RS non pendidikan : Bagian llmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : Departemen Rehabilitasi Medik, Radiologi / Radiodiagnostik,
Anestesi / lCU
• RS non pendidikan : Bagian Patologi Klinik, Paru, Radiologi, Anestesi / ICU
750
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
REFERENSI
1 . Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Dalam : Fauci A, Kasper D, Longo D, Braunwald E, Hauser
S, Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison's principles of internal medicine. 18lh ed. United States
of America; The McGraw-Hill Companies, 2011.
2. Global strategy for the diagnosis, management, and prevention of chronic obstructive pulmonary
.
disease Global initiative for Chronic Obstructive Lung Disease. 2006 .
3. Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Dalam : Ausiello. Goldman. Cecil Medicine 23rd edition.
Saunders : Philadhelphia. 2007.
4. Hunter, Mellisa. King, Dana E. COPD: Management of Acute Exacerbations and Chronic Stable
Disease. Am Fam Physician. 2001 Aug 15;64 (4):603-613.
5. .
Pulmonary disorders. Dalam:McPhee, Stephen J Papadakis, Maxine A. Current Medical Diagnosis
and Treatment. The McGraw Hills Companies. 2011 .
6. Bartolome, R. Et all. The Body-Mass Index, Airflow Obstruction, Dyspnea, and Exercise Capacity
Index in Chronic Obstructive Pulmonary Disease. N Engl J Med 2004; 350:1005-1012March 4, 2004
7. .
Childers, Julie Wilson. Arnold, Ronald. Curtis, J Randall Prognosis in End Stage COPD. Diunduh
. .
dari : http://www.eperc mcw edu/EPERC /FastFactslndex/ ff_141.htm pada tanggal 10 juni 2012.
8. .
Yuwono A Penyakit Paru Obstruksi Kronik. Dalam : Amin Z, Dahlan Z, Yuwono A (Eds) . Panduan
Tatalaksana / Prosedur Respirologi dan Penyakit Kritis Paru.
752
PENYAKIT PLEURA
PENGERTIAN
Penyakit pleura merupakan suatu gangguan yang mempengaruhi lebih dari
3000 orang dalam 1 juta populasi setiap tahunnya. Penyakit ini berasal dari berbagai
kelainan patologis dan sering merupakan efek sekunder dari proses penyakit lain, oleh
karena itu dibutuhkan pendekatan sistematis untuk identifikasi dan tatalaksana lebih
lanjut. 1'2 Penyebab tersering penyakit pleura adalah kanker, dan diperkirakan efusi
pleura maligna terjadi pada 150.000 orang per tahun di Amerika Serikat.1 Penyakit
pleura terdiri dari efusi pleura dan pneumotoraks.3
PENDEKATAN DIAGNOSIS
I. EFUSI PLEURA
Efusi pleura adalah akumulasi cairan berlebihan dalam rongga pleura.3 Hal ini
dapat disebabkan oleh berbagai mekanisme seperti tercantum pada tabel 1.
Anamnesis3 4 -
• Nyeri unilateral , tajam, bertambah parah saat inspirasi atau batuk, dapat menjalar
ke bahu, leher, atau abdomen
• Sesak napas, batuk
• Riwayat trauma dada
• Riwayat penyakit komorbid (gagal jantung kongestif, sirosis, sindrom nefrotik,
tuberkulosis / TB , emboli paru, tumor mediastinum, dll)
• Riwayat penggunaan obat (nitrofurantoin, dantrolen, metisergid, bromokriptin,
prokarbazin, amiodaron, dasatinib)
Pemeriksaan Fisik4
• Paru: restriksi ipsilateral pada pergerakan dinding dada, fremitus taktil menghilang,
perkusi redup, bunyi napas menurun, splinting (pada daerah paru yang terkena].
Kadang ditemukan egobronkofoni pada batas cairan atas bila terjadi kompresi
parenkim paru.
Pemeriksaan Penunjang
• Radiologis :
o Foto toraks : 4
Gambaran sudut kostofrenikus tumpul dan bergeser ke arah medial
menggambarkan efusi pleura
Peningkatan nyata hemidiafragma atau perluasan bayangan lambung
yang terisi gas dan batas paru kiri bawah membawa kecurigaan efusi
subpulmonal
Bila efusi > 300 mL akan terlihat pada foto toraks PA
Bila efusi 150 - 300 mL akan terlihat pada foto toraks lateral dekubitus
o USG : menentukan adanya efusi, lokasi cairan di rongga pleura, membimbing
aspirasi efusi bersepta /terlokulasi.2
o CT Scan , dengan indikasi : z
Efusi pleura eksudatif yang tidak terdiagnosis , untuk membedakan
penebalan pleura benigna dari maligna
Sebelum dilakukan drainase cairan pleura, pertimbangkan CT scan dengan
kontras
Infeksi pleura dengan komplikasi saat drainase awal gagal dan
dipertimbangkan untuk operasi
• Torakosentesis (pungsi pleura) dan analisis cairan pleura : melihat komposisi
cairan pleura dan membandingkan komposisi cairan pleura dengan darah . 34
Tentang ini lebih lengkap lihat pada bab prosedural Pungsi Cairan Efusi Pleura
• Biopsi pleura perkutaneus4 lebih lengkap lihat pada bab prosedural Biopsi Pleura
• Torakoskopi : merupakan prosedur invasif terpilih pada efusi pleura eksudatif
dimana aspirasi cairan pleura tidak konklusif dan dicurigai keganasan . 2 4
753
# Pulmonologi
PENDEKATAN DIAGNOSIS
'
" A? ; : -
‘ i j ? •* ' i
Apakah gamba an
1
' -?
.
Minis sugestif transuda Ya Tatalaksana
(gagol jantung klri . penyebab Sombuh Stop
hipoalburr n, d a’sis)
'
Tldak
Rujuk ke
i Tldak
konsultan pulmonologi
1
Aspires' pleura dengan
banfuon L*SG.
' .
PeMksa s to'og: prote'n LDH .
pH. Gram, ku lur dan res?ster si -
1 Ya
Apakah transudat? Tatalaksana penyebab
Tldak
1
Apakah klinis don ana :$ls Ya .
colran pleura Berlkan lercpl yang sesual
rremberrkan diagnosis?
Tldak
1
Lakukan CT scan taraks d
engan kon*ras
1
Pert mbangkan biopsi pleura dengan
'
-
banluan rodiologis / dralnaie chest tube
bOa simptomatik
!ESTOP *m. i I .
J
754
Penyakit Pleura
DIAGNOSIS BANDING
Tergantung etiologi seperti tercantum pada tabel 2 . Kriteria Light untuk
membedakan efusi eksudat dari transudatyaitu apabila memenuhi > 1 kriteria berikut
: (1) ratio kadar protein cairan pleura : kadar serum protein > 0, 5; ( 2 ) ratio kadar LDH
cairan pleura : kadar serum LDH > 0, 6; [3] kadar LDH cairan pleura > 2 / 3 batas atas
nilai normal untuk kadar serum LDH . 5
755
( fS Panduan Prawn Minis Pulmonologi
Perhimpunan Dokler Spesiafis Penyakil Dalam Indonesia
-
v/
TATALAKSANA 6
Hemotoraks
Chest tube/ thoracostomy, bila perdarahan > 200 mL / jam , pertimbangkan
torakotomi
756
Penyakit Pleura |jjj|
Efusi pleura keganasan
Ya
i Tidak
Rujuk ke konsultan Pulmonologi Simptomatik? r Observasi
i
Asplrasi 500 - 1500 mL Aspirasl sebanyak yang
untuk meredakan gejala diperiukan untuk mengontrol gejala
i
Prognosis > 1 bulan Trapped lung ?
I Tidak
I
Lengkap ? * Drainase efusi ± pleurodesis
[ 1
Torakoskopi
Tube interkostal
dan talc poudrage
l
pleural catheter
Tidak
Tidak
^
Pertimbangkan indwelling
pleural catheter
atau
jYa
STOP
ulangi pleurodesis
KOMPLIKASI
Efusi pleura berulang, efusi pleura terlokalisir, empiema, gagal napas. '
46
PROGNOSIS
Tergantung etiologi yang mendasari dan respon terapi .
II. PNEUMOTORAKS
Pneumotoraks adalah akumulasi udara dalam rongga pleura, yang dapat
disebabkan oleh 1) perforasi pleura viseral dan masuknya gas dari paru - paru, 2 )
penetrasi dinding dada, diafragma , mediastinum, atau esofagus, atau 3 ) produksi gas
oleh mikroorganisme dalam empiema.4 Pneumotoraks spontan dapat terjadi tanpa
757
PanduanPraMIk Minis Pulmonoloqi
Perhimpunan Dokler Spesialls Penyakit
Dalam w Indonesia
Anamnesis3 4
• Onset mendadak atau dalam waktu beberapa jam
• Sesak / sulit bernapas, nyeri dada terlokalisir, batuk
• Riwayat trauma dada
• Riwayat penyakit paru komorbid
Pemeriksaan Fisik3 4
• Takipneu
• Pada area paru yang terkena: gerakan dada tertinggal , fremitus taktil menghilang,
perkusi hipersonor, bunyi napas menghilang
• Tanda pneumotoraks tension:
o Keadaan umum sakit berat
o Denyut jantung > 140 x/m
o Hipotensi
o Takipneu, pernapasan berat
o Sianosis
o Diaforesis
o Deviasi trakea ke sisi kontralateral
o Distensi vena leher
Pemeriksaan Penunjang3 4
• Radiologis
o Foto toraks:
Tepi luar pleura viseral terpisah dari pleura parietal oleh ruangan lusen
PA tegak pneumotoraks kecil: tampak ruangan antara paru dan dinding
dada pada apeks,
Bila perlu foto saat ekspirasi: mediastinum bergeser, depresi diafragma,
pelebaran rongga toraks dan sela iga.
o USG: Dapat mendiagnosis pneumotoraks secara cepat, bed side sebelum hasil
radiologis
758
Penyakit Pleura
DIAGNOSIS BANDING
Penyakit tromboemboli paru, pnepmonia, infark miokardium , PPbk eksaserbasi
akut, efusi pleura, kanker paru 3,4 .
PNEUMOTORAKS SPONTAN
Apabiia Wtajofot/ Komodlna ink rdak stabii
4iakokan dHafnowi fiJada
i Tldak
Ukuran > 2 cm Ya
B jjcti adanya panyakil paru primer Pneuniot wales sekvndor
dan /atau sUil bamapas pada Mints atau *0*0 tOfOks?
1 Ya * 16 18G
Ya
l
Ukuran > 2 cm
Prieumaioraks primer AspIraH < 2.5L dan /atau KJIII borriapas
1 . I b I J>
Tidak
BorbaSil
( <2 cm don napes membatkl
Tldak
-
Aj plrasi dengan
kanul 14 18G <
A& pIrcBl <2.51 —Ya
Ukuran I*2 cm
Ya
Tidak
Per):mban gkar rawol 3 an . Tidak ttorhasii.
-
follow up dia’ om 2 4 rn'•neftu
* i ukUran n*ien|adl < l cm »
<
|
Ya
Dralnoue dada .
Rawal inop sup(1emenfajl okstgen
ukuran ft-14 F ( kecualJ tuspok sonsrtlf o lessen)
Rdwdt Iriap otiSQivasl so'arna 24 lorn
j
TATALAKSANA4 7
• Tatalaksana pneumotoraks spontan dapat dilihat pada gambar 3.
• Jika pneumotoraks rekurens:
o Pleurodesis klmiawi dengan zat iritan terhadap pleura, atau:
o Konsul Bagian Bedah/Subbagian Bedah Toraks untuk pertimbangan:
Pleurodesis mekanik (abrasi permukaan pleura parietal atau stripping
pleura parietal ), atau
Torakoskopi, atau torakotomi terbuka.
Indikasi:
Kebocoran udara memanjang,
Reekspansi paru tidak sempurna
759
0 fandii Pi iktl KHnis Pulmonoloqi
Pertiimpunan Dokler Spesialis Penyakit Dalam Indonesia w
Bullae besar
Risiko pekerjaan
Indikasi relatif:
Pneumotoraks tension
Hemopneumotoraks
Bilateral pneumotoraks
Rekurens ipsilateral/ kontralateral
KOMPLIKASI
Gagal napas, pneumotoraks tension, hemopneumotoraks, infeksi/piopneumotoraks,
penebalan pleura, atelektasis, pneumotoraks rekurens, emfisema mediastinum, edema
paru reekspansi.4'6 7
PROGNOSIS
Tergantung etiologi dan respon terapi
UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : Departemen Bedah / Toraks, Radiologi / Radiodiagnostik,
Patologi Klinik, mikrobiologi klinik, Patologi Anatomi
• RS non Pendidikan : Bagian Bedah, Patologi Klinik, Radiologi, Patologi Anatomi,
Mikrobiologi klinik
REFERENSI
l. Boylan AM, Broaddus VC. Pleural Diseases. In : Schraugnagel DE. Breathing in America : Diseases,
Progress, and Hope. American Thoracic Society. 2010 Hal 145-54. .
2. Rand ID, Maskell N. British Thoracic Society Pleural Disease Guideline 2010. Thorax Vol 65 Suppl 2.
3. Halim H, Budiono E, Wibisono BH. Penyakit Pleura . Dalam : Amin Z, Dahlan Z, Yuwono A ( Eds ) .
Panduan Tatalaksana /Prosedur Respirologi dan Penyakit Kritis Paru.
4. Light RW. Disorders of the Pleura. In : Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL,
Loscalzo J. Harrison ' s Principles of Internal Medicine. 18lh Edition. New York, McGraw-Hill. 2012.
5. Celli BR . Diseases of the Diaphragm, Chest Wall, Pleura, and Mediastinum. In: Goldman, Ausiello.
Cecil Medicine. 23,d Edition. Philadelphia. Saunders, Elsevier. 2008.
6. Light RW . Pleural Effusion. N Engl J Med 2002; 346: 1971 - 1977
7. Broaddus VC, Light RW. Disorders of the Pleura . In : Mason , Murray, Broaddus, Nadel. Murray and
, .
Nadel’s Textbook of Respiratory Medicine. 4 h Edition Philadelphia. Saunders, Elsevier. 2005 .
760
761
PNEUMONIA ATIPIK
PENGERTIAN
Pneumonia atipik adalah pneumonia yang disebabkan infeksi bakterial, tapi
mempunyai gambaran klinis radiologis tersendiri yang berbeda dari pneumonia
umumnya, yakni onset yang perlahan, demam ringan sampai berat, batuk tanpa
produksi sputum, dan tidak berespons dengan terapi antibiotik b-laktam.Etiologi:
Mycoplasma pneumoniae, chlamydia pneumoniae, legionella spp, influenza virus tipe
A dan B.1 Pneumonia ini disebut juga walking pneumonia.
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis2
Pada pneumonia yang disebabkan oleh mikroba atipik, gejala sistem pernapasan
dapat tidak khas (umumnya tampak seperti faringitis dan trakeobronkitis), sedangkan
gejala sistemik seperti sakit kepala, nyeri otot /sendi dapat lebih menonjol.
• Batuk tanpa sputum, kecuali bila penyakit memberat / infeksi sekunder -
• Demam ringan, dapat dengan cepat meningkat hingga menggigil
• Malaise, kelemahan seluruh anggota tubuh
• Sakit kepala, nyeri otot (sering)
• Nyeri dada ( jarang), sesak napas (bila berat)
Pemeriksaan Fisik2
• Tanda-tanda radang dan konsolidasi paru: suara napas bronkial, ronkhi
• Efusi pleura, abses paru (bila berat)
• Gejala gangguan ekstra paru (terutama oleh Legionella dan Mycoplasma) :
Infeksi saluran napas atas: laringitis, faringitis, rinitis
Saluran gastrointestinal: diare, muntah, nyeri perut, hepato-splenomegali
Sistem kardiovaskular: bradikardia relatif, miokarditis, perikarditis
Gangguan sistem saraf: gangguan kesadaran, ensefalitis, meningismus, paralisis
Guillain Barre , kelumpuhan saraf kranial, neuropati perifer
PanduanPraktik Klinis
Pertu'mpunan DokferSpesialis Penyakll Dalam Indonesia
W SSSJS!. Pulmonologi
Gangguan dermato-muskuloskeletal : rash, eritema, myalgia, artritis, arthralgia,
Gangguan sistem urogenital: glomerulonefritis, gagal ginjal akut, abses tubo -
ovarian
Mata : bullous myringitis
Telinga : otitis media
Laboratorium
Leukositosis ( jarang), biasanya < 15.000 / mL, trombositopenia, anemia hemolitik
( kadang- kadang), LED meningkat, SGOT, SGPT meningkat
Foto Thoraks
• Legionella: infiltrat pada lobus bawah paru, adenopati hilus
• Mycoplasma: infiltral dapat uni/ bilateral, dapat multilobus, adenopati hilus.
• Chlamydia: infiltrat subsegmen
DIAGNOSIS BANDING
• Pneumonia didapat di masyarakat Comunity Aqcuired Pneumonia ( CAP) : CAP
memiliki onset lebih cepat dan keadaan umum pasien lebih buruk sementara gejala
pneumonia atipik lebih ringan dan lebih menonjol gejala sistemiknya.
• Bronkitis kronik
TATALAKSANA
Antibiotik: pemilihan antibiotika dengan spektrum sesempit mungkin:3 •
• Makrolid :
Eritromisin 4 x 250 - 500 mg
Claritomisin 2 x 500 mg
Azitromicin 1 x 500 mg
Roksitromisin 2 x 500 mg
• Doksisiklin 2 x 100 mg
• Respirasi - Fluorokuinolon
• -
Bila penyebabnya terkonfirmasi Legionella pertimbangkan Rifampisin 2 x 300 600 mg
Tatalaksana umum pneumonia atipik sama dengan tata laksana umum CAP):45
762
Pneumonia Atipik
Rawat jalan
• Dianjurkan untuk tidak merokok, beristirahat, dan minum banyak cairan
• Nyeri pleuritik/demam diredakan dengan parasetamol
• Ekspektoran / mukolitik
• Nutrisi tambahan pada penyakit yang berkepanjangan
• Kontrol setelah 48 jam atau lebih awal bila diperlukan
• Bila tidak membaik dalam 48 jam: dipertimbangkan untuk dirawat di rumah sakit,
atau dilakukan foto toraks
Rawat inap di RS
• Oksigen, bila perlu dengan pemantauan saturasi oksigen dan konsentrasi oksigen
inspirasi. Tujuannya: mempertahankan PaC> 2 > 60 mmhg dan SaC> 2 >90 %.
• Terapi oksigen pada pasien dengan penyakit dasar PPOK dengan komplikasi gagal
napas dituntun dengan pengukuran AGD berkala
• Cairan: bila perlu dengan cairan intravena
• Nutrisi
• Nyeri pleuritik / demam diredakan dengan parasetamol
• Ekspektoran / mukolitik
• Foto toraks diulang pada pasien yang tidak menunjukkan perbaikan yang
memuaskan
Rawat di ICU
• Bronkoskopi dapat bermanfaat untuk retensi sekret, mengambil sampel
untuk kultur guna penelusuran mikrobiologi lain dan menyingkirkan kelainan
endobronkial.
KOMPLIKASI5
Efusi pleura, empiema, abses paru , atelektasis, gagal napas, kor pulmonal,
pneumotoraks, septikemia, herpes labialis, penyakit tromboemboli
743
$Y
» Ws
Panduan
'
t Ookte
PrakiihDdtam
oihurtpuncm
* '
Klinis Pulmonologi
Spi&ik'jlU I wriyaMf
MJcnmio v
- /
PROGNOSIS5
Tergantung derajat berat penyakit dan penyakit terkait.
UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : Departemen Radiologi / Radiodiagnostik, Patologi Klinik,
Mikrobiologi Klinik
• RS non pendidikan : Bagian Patologi Klinik, Paru, Radiologi, Mikrobiologi klinik
REFERENSI
1
2
.
. -
McGraw-Hill Concise Dictionary of Modern Medicine. © 2002 by The McGraw Hill Companies.
Bahar A. Diagnosis Pneumonia Atipik. Makalah Siang Klinik Penyakit Dalam FKUI/RSUPN CM, 25
Maret 1999.
3. .
Suwondo A. Penatalaksanaan Pneumonia Atipik Makalah Siang Klinik Penyakit Dalam FKUI/
RSUPN CM, 25 Maret 1999 .
4. .
American Thoracic Society Guidelines for.the Management of Adults with Community-Acquired
.
Pneumonia: Diagnosis, Assessment of Severity, Antimicrobial Therapy, and Prevention Am J Respir
.
Crit Care Med 2001: 163:1730 54. -
5. . .
.
Dahlan Z, Pneumonia Bakterial Dalam : Amin Z, Dahlan Z, Yuwono A (Eds) Panduan Tatalaksana /
Prosedur Respirologi dan Penyakit Kritis Paru
764
765
PENGERTIAN
Pneumonia didapat dirumah sakitatau hospital acquired pneumonia ( HAP) adalah
pneumonia yang muncul > 48 jam setelah dirawat di Rumah Sakit ( RS) dan tidak
diintubasi saat masuk. HAP dapat dibagi menjadi: 1. onset dini : muncul 4-5 hari
setelah masuk RS, 2. onset lambat : muncul setelah > 5 hari dirawat di RS.1
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Gambaran klinis HAP tidak begitu jelas dan tidak bisa dijadikan kriteria diagnosis
HAP. Dapat ditemukan demam, sputum purulen.1
Pemeriksaan Penunjang1
• Darah : leukositosis > 10.000 / mm3, atau leukopenia < 4000 / mm3
• Rontgen thorax: infiltrat alveolar
• Broncho alveolar lavage (BAL)
• Kultur darah
DIAGNOSIS BANDING
Eksaserbasi PPOK, tromboemboli paru, pendarahan paru, acute respiratory distress
syndrome (ARDS).
PanduanPraktik Klinis
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
Irl
f WJ
PanduanPraMili Minis Pulmonologi
Perhimpunan DoklerSpesiolis Penyakil Dalam Indonesia
TATALAKSANA2
• Suplementasi 02 jika perlu
• Berikan terapi cairan yang adekuat
• Jika ada nyeri pleuritik berikan analgetik : diklofenak 3 x 8 0 mg
• Terapi antibiotik seperti pada tabel 1. Antibiotik diberikan selama 8 hari.
• Tidak ada kriteria khusus untuk mengubah terapi antibiotik intravena menjadi
terapi per oral, hal ini disesuaikan dengan kondisi perbaikan pasien yang
diobservasi setiap hari.
• Pada pasien yang imunokompromais, terutama yang neutropenia (hitung neutrofil
< 0,5 x 109 / L selama > 2 minggu atau < 0,1 x 109/ L selama 1 minggu] yang sering
mengunjungi RS secara teratur atau dirawat di RS, disarankan untuk diberikan
profilaksis anti jamur.
766
Pneumonia Didapat Di Rumah Sakit ( jj
|
KOMPLIKASI
Syok septik
PROGNOSIS
Mortalitas yang berhubungan dengan HAP atau attributable mortality diperkirakan
sebesar 33-50%. Rata-rata mortalitas meningkatberkaitan dengan infeksi Pseudomonas
aeruginosa atau Acinetobacter spesies, dan terapi antibiotik tidak adekuat.5 Rata - rata
mortalitas pada patogen risiko tinggi dapat dilihat pada tabel 2.
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Pemasangan intubasi atau ventilasi mekanik > 48 jam, demam.4
Pemeriksaan Fisik
Suhu tubuh > 38,3°C, tachypnea, takikardi, perburukan oksigenasi, meningkatnya
minute ventilation, pemeriksaan paru dapat ditemukan tanda-tanda konsolidasi seperti
perkusi yang pekak.4
767
if
! Partus rraktlk Kllnis Pulmonologi
^f y' Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
Pemeriksaan Penunjang4
• Darah: leukositosis >10.000 / mm3, atau leukopenia < 4000 / mm3
• Rontgen thorax : infiltrat alveolar
• Kultur aspirasi trakea
• Kultur darah
Untuk mendiagnosis VAP dapat digunakan Modified Clinical Pulmonary Infection
Score (CPIS) seperti tampak pada tabel 3 . apabila CPIS > 6 a VAP.7
DIAGNOSIS BANDING
Pneumonia aspirasi.
I
CIPS > 6 Ya Antibiotik 10-21 hari
Tidak
Tidak
I
Stop ciprofloxacin
768
Diagnosis VAP
^ kultur Potensial MDR
^
Flouroquinolone (ciprofloxa
CdemSran !ePuekosftemuannF
(
TATALAKSANA
Suportif : cairan adekuat, oksigenasi yang cukup, bersihkan jalan napas dari sekret,
antipiretik.
Antibiotik; dapat dilihat pada gambar 2. Dosis obat dapat dilihat pada tabel 1.
KOMPLIKASI
Pemasangan ventilator mekanik dan perawatan ICU yang semakin lama . 4
PROGNOSIS
Crude mortality rate adalah 50 - 70 %, tapi sebenarnya adalah mortalitas yg
disebabkan karena penyakit lain . Banyak pasien dengan VAP, memiliki penyakit
lain yang mendasari yang menyebabkan kematian bahkan jika VAP tidak timbul.
Attributable mortality melebihi 25 %.4
UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : Departemen Rehabilitasi Medik, Radiologi / Radiodiagnostik,
Anestesi / ICU
• RS non pendidikan : Bagian Patologi Klinik, Paru, Radiologi, Anestesi / ICU
REFERENSI
Masterton, RG. Et all. Guidelines for the management of hospital-acquired pneumonia in the UK :
Report of the Working Party on Hospital- Acquired Pneumonia of the British Society for Antimicrobial
.
Chemotherapy Journal of Antimicrobial Chemotherapy ( 2008) 62, 5-34 doi:10.1093 / jac / dknl 62
2. Tores. Et all. Treatment Guidelines and Outcomes of Hospital-Acquired and Ventilator-Associated
Pneumonia. Clin Infect Dis. 2010 Aug 1:51 Suppl l :S 48-53.
3. Pneumonia. Dalam : Fauci A, Kasper D, Longo D, Braunwald E, Hauser S, Jameson J, Loscalzo J,
editors. Harrison's principles of internal medicine. 18lh ed. United States of America; The McGraw-
Hill Companies, 2011.
4. .
Overview of Pneumonia. Dalam : Ausiello Goldman. Cecil Medicine 23rd edition. Saunders :
Philadhelphia. 2007.
5. Guidelines for the Management of Adults with Hospital-acquired, Ventilator-associated, and
Healthcare-associated Pneumonia. American thoracic society. Am J Respir Crit Care Med Vol
171 . pp 388-416.2005.
6. Emine, Alp. Et all. Incidence, risk factors and mortality of nosocomial pneumonia in Intensive Care
Units: A prospective study. Ann Clin Microbiol Antimicrob. 2004; 3: 17.
7. Luyt, Charles-Edouard. Chastre Jean. Fagon, Jean Yves. Value of the clinical pulmonary infection
score for the identification and management of ventilator-associated pneumonia. Intensive Care
770
Pneumonia Didapat Di Rumah Sakit $|
J
Med (2004) 30:844-852 DOI 10.1007 /s00134-003-2125-0
8. Schurlnk, Carolina A.M. Clinical pulmonary Infection score for ventilator-associated pneumonia:
accuracy and inter-observer variability. Intensive Care Med ( 2004) 30:217-224 DOI 10.1007/
sOOl 34 -003-2018-2.
Koenig. Steven M. Truwil , Jonathan D. Ventilator- Associated Pneumonia: Diagnosis, Treatment
and Prevention. Clin Microbiol Rev. 2006 October: 19 ( 4 ): 637-657.
.
10. Dahlan Z.Pneumonia Bakferial Daldm : Amin Z, Dahlan Z, Yuwono A (Eds) . Panduan Tatalaksana/
Prosedur Respirologl dan Penyakit Kritis Paru.
771
772
PENGERTIAN
Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari
bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius, dan alveoli, serta
menimbulkan konsolidas jaringan paru dan pertukaran gas setempat.1 Pneumonia
dikelompokan menjadi2:
-
1. Pneumonia didapat di masyarakat atau Community Acquired Pneumonia (CAP) :
Pneumonia pada individu yang menjadi sakit di luar rumah sakit, atau dalam 48
jam sejak masuk rumah sakit.1
-
2. Pneumonia di dapat di rumah sakit atau Hospital Acquired Pneumonia (HAP),
3. Pneumonia terkait pelayanan kesehatan atau Health Care Associated Pneumonia
( HCAP)
4. Pneumonia karena pemakaian ventilator atau Ventilator-associated Pneumonia
(VAP).
Di bab ini akan dibahas mengenai PNEUMONIA DIDAPAT DI MASYARAKAT dan
PNEUMONIA TERKAIT PELAYANAN KESEHATAN.
ETIOLOGI
Etiologi pneumonia dibagi menjadi 4 kelompok pasien berdasarkan tempat dirawat,
ada tidaknya penyakit kardiopulmonal dan faktor modifikasinya. Untuk lebih jelas
dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Etiologi Pneumonia.345
Etiologi Terapl
Grup I: Rawat jalan, tanpa penyakit kardiopulmonal, tanpa faktor modifikasi
• Streptococcus pneumoniae Makrolid (azithromycin lx500mg peroral
(po) lalu 1 x250 mg po, clarithromycin
• Mycoplasma pneumonia 2x500mg po, atau erythromycin
• Chlamydia pneumoniae ( tunggal atau infeksi
campuran)
.
4x500mg po) Doxycycline 2x100 mg po.
• Hemophilus influenza
• Virus saluran pernapasan
• Lain: Legionella spp., Mycobacterium tuberculosis,
fungi endemik
Etlologl Terapl
kardlopul monal dan / atau faktor modlflkasl
Grup II : Rawat jalan, dengan penyaklt ,
773
f§ Pulmonologi
l
Tatalaksana Tatalaksana
rawat Jalan CAP
Rawat Inap
r
Tanpa Penyakit Riwayat penyakit
Kardiopulmonal, Kardiopulmonal, Sakit ringan-sedang Severe CAP
tanpa faktor + / atau
modifikasi faktor modifikasi r j
DIAGNOSIS
Anamnesis
Demam, fatique, malaise, sakit kepala, mialgia, athralgia, batuk produktif tidak
/
.
produktif dengan sputum purulen, bisa disertai darah Dapat dijumpai keluhan
sesak
napas, nyeri dada.2
774
Pneumonia Didapat Di Masyarakat ra
Pemerlksaan flslk
Demam, sesak napas (berbicara dengan kalimat terpengal), perkusi paru pekak,
ronki nyaring, suara pernapasan bronchial
1
.
-
.3; ;: ’O 'i i
fi i 'i: . >U =
Pemerlksaan penunjangi 2
• Rontgen thoraks
• Pulse oxymetry
• Laboratorium Rutin: DPL, hitung jenis, LED / laju endap darah, glukosa darah,
ureum, kreatinin, SGOT, SGPT
• Analisis gas darah, elektrolit
• Pewarnaan Gram sputum
• Kultur sputum
• Kultur darah
• Pemeriksaan serologis
• Pemeriksaan antigen
• Pemeriksaan polymerase chain reaction ( PCR )
• Tes invasif (torakosentesis, aspirasi transtrakheal, bronkoskopi, aspirasi jarum
transtorakal, biopsi paru terbuka dan thorakoskopi
DIAGNOSIS BANDING
Bronkitis akut, bronchitis kronis eksaserbasi akut, gagal jantung, emboli paru,
pneumonitis radiasi.2
TATALAKSANA4 4
Tatalaksana Umum
RawatJalan
• Dianjurkan untuk tidak merokok> beristirahat, dan minum banyak cairan
• Nyeri pleuritik/demam diredakan dengan parasetamol
• Ekspektoran / mukolitik
• Nutrisi tambahan pada penyakit yang berkepanjangan
• Kontrol setelah 48 jam atau lebih awal bila diperlukan
• Bila tidak membaik dalam 48 jam: dipertimbangkan untuk dirawat di rumah sakit,
atau dilakukan foto toraks
775
# BSBBSMtt Pulmonologi
Rawat Inap di RS
• Oksigen, bila perlu dengan pemantauan saturasi oksigen dan konsentrasi oksigen
inspirasi.
• Terapi oksigen pada pasien dengan penyakit dasar PPOK dengan komplikasi gagal
napas dituntun dengan pengukuran analisis gas darah berkala
• Cairan : bila perlu dengan cairan intravena
• Nutrisi
• Nyeri pleuritik/ demam diredakan dengan parasetamol
• Ekspektoran / mukolitik
Foto toraks diulang pada pasien yang tidak menunjukkan perbaikan yang memuaskan
Rawat di ICU
• Bronkoskopi dapat bermanfaat untuk retensi sekret , mengambil sampel
untuk kultur guna penelusuran mikrobiologi lain dan menyingkirkan kelainan
endobronkial.
Tatalaksana Antibiotika
• Pemilihan antibiotika dengan spektrum sesempit mungkin, berdasarkan perkiraan
etiologi yang menyebabkan CAP pada kelompok pasien tertentu seperti tercantum
pada tabel 1.
• Terapi antibiotik diberikan selama 5 hari.
• Syarat untuk alih terapi antibiotik intravena ke oral (ATS 2007) : Hemodinamik
stabil dan gejala klinis membaik.
• Kriteria pasien dipulangkan : klinis stabil, tidak ada masalah medis aktif, memiliki
lingkungan yang sesuai untuk rawat jalan.
• Kriteria klinis stabil; suhu < 37,6, laju nadi < lOOx/ menit, laju napas < 24x / menit,
tekanan darah sistolik > 90 mmHg, saturasi oksigen arteri > 90% atau Pa > 60 mmHg
02
pada udara ruangan, dapat memelihara asupan oral, status kesadaran compos mentis.
KOMPLIKASI
• CAP berat: 4
Bila memenuhi satu kriteria mayor atau dua kriteria minor
Kriteria Mayor
o Memerlukan ventilasi mekanik
o Syok septik dan memerlukan obat vasopresor
776
Pneumonia Didapat Di Masyarakat rap
Kriteria minor;
o Laju napas > 30 x / menit
o Pa02 / Fi02 rasio < 250
o Infiltrat multilobus
o Konfusi
o Blood Urea Nitrogen (BUN ) > 20 mg / dl
o Leukopenia (leukosit < 4.000 / mm 3 )
o Trombositopenia (trombosit < 100.000 /mm 3)
o Hipotermi (suhu tubuh < 36°C)
o Hipotensi , memerlukan terapi cairan agresif
Gagal napas, syok, gagal multiorgan, koagulopati , eksaserbasi penyakit komorbid .
2
•
PROGNOSIS
Mortalitas pasien CAP yang dirawat jalan < 1%, yang dirapat inap di rumah sakit
5 , 7 - 14%, yang dirawat di 1 CU > 30% (penelitian di United Kingdom) . Mortalitas pasien
4
Anamnesis
7
Batuk (90%), sesak napas (65%), sputum produktif, nyeri dada, malaise .
Pemeriksaan Fisik
Laju napas meningkat . 7
Pemeriksaan Penunjang
• Rontgen thorax
• Kultur sputum, tes serologis, identifikasi cold agglutinin, dan tes antigen bakteri
tidak direkomendasikan. 7
TATALAKSANA 78
1. Tanpa faktor risiko komplikasi atau kematian ; Erythromycin, 500 -1000 mg IV
q6h, diberikan dalam 10-14 hari.
777
PanduauPraktik Minis Pulmonoloqi
Pertiimpunan Dokler Spesialis Penyakif Dalam Indonesia
^
2. Jika ditemukan faktor risiko seperti tercantum dalam tabel, maka pasien perlu di
rawat inap dan berikan tambahan cefotaxime (1 gram iv q 24h) atau ceftriaxone
(1 gram iv q8h ) selain erithromycin. Monoterapi dengan obat antipneumococcal
seperti fluoroquinolone (ciprofloxacin, ofloxacin, levofloxacin) juga dapat
diberikan .
3. Jika dicurigai penyebabnya adalah virus ( biasanya paparan infeksi terjadi pada
bulan Oktober - Mei) : Oseltamivir 2x75 mg oral, Zanamivir 2xl 0 mg inhalasi
KOMPLIKASI
Persalinan prematur, sepsis dan asfiksi neonatal.7
778
Pneumonia Didapat Di Masyarakat
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Demam, batuk dengan sputum purulen.11
Pemeriksaan Fisik
Suhu tubuh > 38,3°C, pemeriksaan paru dapat ditemukan tanda-tanda konsolidasi
paru.11
Pemeriksaan Penunjang11
• Darah: leukositosis
• Rontgen thorax: bervariasi dari infiltrat samar sampai konsolidasi lobus dengan
air bronchogram sampai infiltrat alveolar atau interstitial difus.
• Kultur darah, analisa gas darah, elektrolit, fungsi hati dan ginjal
• Aspirasi endotrakeal menggunakan kateter steril dan fibreoptic bronchoscopy
dengan broncholalveolar lavage untuk mengambil spesimen sehingga dapat di
analisis.
DIAGNOSIS BANDING
Gagal jantung kongestif, atelektasis, aspirasi, tromboemboli paru, perdarahan paru,
dan reaksi obat.11
TATALAKSANA
Suportif
• Terapi 02 jika diperlukan, untuk mencapai Pa 02 80 -100 mmHg atau saturasi 95-
96 %.
779
(ft)^
VS ? 9 /
Panduan Praktik Klinis Pulmonologi
Perhimpunan Dokter Spesiolis Penyakil Dalam Indonesia
'
PROGNOSIS
Prognosis berdasarkan Pneumonia Severity Index ( PSI ) Bila nilai PSI < 90 ( risiko
rendah, rata - rata mortalitas sebesar 3,3%. Bila nila PSI >130 (risiko tinggi), maka
rata - rata mortalitas sebesar 34%. Detail PSI dapat dilihat pada tabel 4.1314
780
Pneumonia Didapat Di Masyarakat
UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : Divisi Tropik - Infeksi , Departemen Radiologi /
Radiodiagnostik, Patologi Klinik , mikrobiologi klinik ,
Parasitologi , Anestesi / lCU
• RS non pendidikan : Bagian Paru , Patologi Klinik , Radiologi , Parasitologi ,
Mikrobiologi klinik, Anestesi / ICU
REFERENSI
1. Dahlan, Zul. Pneumonia. Dalam : Sudoyo, Aru W. Setyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata,
Marcellus. Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi V. Jakarta :Balai Penerbit FKU I;
2009. p 2196-2206.
2. Dahlan Z. Pneumonia Bakterial. Dalam : AminZ, Dahlan Z, Yuwono A ( Eds ) . PanduanTatalaksana /
Prosedur Respirologi dan Penyakit Kritis Paru.
3. Pneumonia. Dalam : Fauci A, Kasper D, Longo D, Braunwald E, HauserS, Jameson J, Loscalzo J,
editors. Harrison ' s principles of internal medicine. 18lh ed. United States of America; The McGraw-
Hill Companies, 2011
781
fis
^1 w'y
PanduanPrakUkMinis
Pemlmpiinnn
Pulmonoloqi
'
IXHiliK Spmlnfe Pnhynldt OoKim HuJonetlo O
’
782
783
PENGERTIAN
Sindrom vena kava superior (SVKS) adalah kumpulan gejala yang disebabkan
obstruksi pada dinding vena kava superior yang tipis, sehingga terjadi penurunan
venous return dari kepala, leher, dan ekstremitas atas. Obstruksi dapat disebabkan
2 hal yaitu keganasan dan non - keganasan. Penyebab keganasan seperti kanker paru
[ small cell dan squamous cell pada 85 % kasus), limfoma [pada usia muda), dan tumor
metastasis. Sedangkan penyebab non -kegansan yaitu aneurisma aorta, thyromegaly,
trombosis, mediastinitis fibrosing akibat radiasi, histoplasmosis, atau sindroma Behcet,
dan alat intravaskular (seperti permanent central venous access catheters , pacemaker/
defibrillator leads ) angka kejadian SVKS semakin meningkat (40 % kasus). 1,2
DIAGNOSIS
Diagnosis berdasarkan keluhan klinis
Anamnesis
Onset keluhan terjadi tanpa diketahui (insidious ) dan berkembang menyebabkan
sesak nafas (63% kasus), batuk dapat berdarah [ hemoptysis ) pada 24% kasus, suara
serak, sakit kepala, hidung tersumbat, epsitaksis, kesulitan menelan [ dysphagia pada
9% kasus), nyeri dada (15% kasus), dizziness, sinkop. Keluhan dapat diperberat dengan
membungkukkan tubuh ke depan atau tidur terlentang. 12
Pemeriksaan Fisik
Pasien tampak lethargy, ditemukan adanya pembengkakan tangan (18 % kasus ) ,
distensi vena leher (66 %), dinding dada (54 %), edema wajah terutama pada daerah
mata (46 %), plethora (46 %), sianosis (19 %) pembengkakan lidah dan laring, nasal
congestion. Keluhan terjadi progresif dan dapat lebih ringan jika obstruksi terjadi di
atas vena azygos. Adanya edema serebral dan / atau laring walaupun jarang terjadi
tetapi menandakan prognosis buruk dan membutuhkan penanganan segera. Kejang
terjadi lebih sering karena metastasis ke serebral daripada edema serebral akibat
PanduanPraklik Klinis
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
cSH.fJP
PaMUranPraUlli minis Pulmonologi
^
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
oklusi vena. Adanya keluhan kardiorespiratori yang dipicu dengan perubahan posisi
menandakan adanya obstruksi jalan napas dan pembuluh darah disertai keterbatasan
cadangan fisiologis. Pada pasien yang mendapat sedatif atau anestesi umum dapat
terjadi cardiac arrest atau gagal napas. Jika obstruksi vena kava superior terjadi di
proksimal vena azygos dapat menyebabkan terjadinya varises esofagus pada 1/ 3
bagian atas, sedangkan jika mengenai distal dari vena azygos maka varises akan terjadi
di sepanjang esofagus.
Pemeriksaan Penunjang1
• Rontgen dada: pelebaran mediastinum superior terutama pada sisi kanan, adanya
efusi pleura eksudat dan chylous (hanya 25 % kasus) terutama pada sisi kanan.
Jika rontgen normal (16 %) kembali melihat pada keluhan klinis.
• CT scan : melihat mediastinum lebih jelas. Diagnosis ditegakkan bila tidak adanya
opasifikasi pada struktur vena sentral dengan sirkulasi vena kolateral yang
dominan.
• Venography: mengetahui sumber obstruksi dari dalam lumen atau luar lumen,
jika akan dilakukan operasi bypass. Tidak dilakukan jika ada peningkatan tekanan
intralumen karena dapat merusak integritas dinding pembuluh darah sehingga
berisiko perdarahan masif pada daerah penyuntikan.
• Galium single photo emission CT : sesuai indikasi
• Bronchoscopy, percutaneous needle biopsy, mediastinoscopy, dan thoracotomy:
dilakukan sesuai indikasi dan dilakukan oleh tenaga profesional.
• Percutaneous transthoracic CT guided fine needle biopsy: sesuai indikasi
784
Sindrom Vena Kava Superior
Penatalaksanaan SVKS :4
SVKS
1
Berikan segera .
oksigen, diuretlk.
deksamateson 16 mg
sekali sehari
I i i
Inisial external beam .
l
Paliatif. External beam Kemoterapi Stent Antikoagulan
XRT (radiation therapy, XRT waktu singkat . jika ada kompllkasi
single fraction) Diagnosis histologis edema pulmonal.
sebelum terapi definitif
DIAGNOSIS BANDING
• Tumor mediastinum: tumor ganas, teratoma, limfoma malignum
• Tumor paru
TATALAKSANA3
• Elevasi kepala
• Menjaga patensi jalan napas
• Bed rest
• Oksigen
• Diet rendah garam
• Cairan infus: diberikan secara hati-hati
• Diuretik : furosemid 40 mg intravena (IV) untuk menghilangkan gejala
• Glukokortikoid: metilprednisolon 125 mg IV, dekstametason 16-20 mg IV; untuk
mengecilkan masa limfoma. Tidak berguna pada kasus kanker paru.
• Radioterapi: jika obstruksi disebabkan oleh non - small cell lung cancer dan
metastasis tumor solid lainnya. Pada kasus darurat dapat meringankan gejala
pada 70% kasus, dosis harian dimulai dengan dosis tinggi ( > 3 Gy/ hari) untuk
mendapatkan pengecilan masa tumor yg dibutuhkan 4
785
f $ mSSSSSSL Pulmonologi
• Kemoterapi: jika obstruksi disebabkan small cell carcinoma of the lung,lymphoma,
atau germ cell tumor.
• Kombinasi radioterapi dan / atau kemoterapi: keluhan berkurang pada waktu 2 - 4
minggu, efek samping seperti mual, muntah, nekrosis tumor, dan fibrosis radiasi.3
• Antikoagulan: mencegah trombosis dan embolisasi pada pasien dengan kateter
vena sentral jangka panjang. Jika trombosis ditemukan secara dini dapat diberikan
fibrinolitik tanpa pencabutan kateter.
• Pemasangan stent: untuk kasus berulang, kasus berat.
• Operasi: jika obstruksi disebabkan oleh non-keganasan, dilakukan setelah pasien stabil
KOMPLIKASI
Trombosis vena jugularis dan otak
PROGNOSIS
Angka rekurensi terjadi pada 10 -30% kasus. Tanpa diterapi, pasien SVKS karena
keganasan dapat bertahan sekitar 1 bulan. Angka rekurensi terjadi pada 17% pasien
yang diterapi dengan radiasi dan 19 % kasus yang diterapi dengan radiasi dan
kemoterapi. Rekonstruksi vena kava superior menunjukkan patensi 80-90 % dengan
angka kematian pada operatif mencapai 5%.5'6 Kematian pada SVKS dikarenakan
penyakit penyebabnya, tidak berhubungan dengan obstruksi.1 Efek samping serius
SVKS jarang terjadi dan berhubungan dengan obstruksi jalan napas atau edema
serebral. Pada 1986 pasien dengan SVKS, kematian hanya terjadi pada 1 kasus.46
UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : Departemen Radiologi, Radioterapi, Bedah / toraks
• RS non Pendidikan : Bagian Radiologi, Bedah
REFERENSI
.
1 .
Dutcher J Oncologic Emergencies. In: Fauci A , Kasper D, Longo D, Braunwald E, Hauser S,
.
Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison's principles of internal medicine. 18th ed United States
of America: The McGraw-Hill Companies, 2012.chapter 276.
786
Sindrom Vena Kava Superior
.
2 . .
Yahalom J Superior Vena Cava Syndromes In: Debvita V, Heilman S, Rosenberg S. Cancer:
Principles and Practice of Oncology . 6th ed. Lipptncott. 2001. Chapter 51.
3. Roman M. Emergency Complications of Malignancy. In : Tintinalli J, Kelen O, Stapczynskl.
Emergency Medicine. United States of America: The McGraw-Hill Companies. 2004. Chapter 18.
.
4. Shah A, Kennedy M. Oncologic Emergencies. In: Johnston P Spence R. Cardiovascular
Emergencies. USA : Oxford University Press Inc. 2009.chapter 1 .
5. Grant J, Lee J. Lee E. Superior Vena Cava Syndrome An update on causes and treatments. 2009.
_
Dlunduh dari http:/ /bmctoday.net /evtoday /pdfs/ EVT0709 09.pdf pada tanggal 30 Mei 2012.
6. Amin Z. Sindrom Vena Cava Superior. Dalam : Amin Z. Dahlan Z, Yuwono A (Eds). Panduan
Tatalaksana/Prosedur Respirologi dan Penyakit Kritis Paru.
787
788
PENGERTIAN
Sleep -disordered breathing atau sleep apnea merupakan merupakan istilah bagi
beberapa kondisi kronis berupa hilangnya napas parsial atau seluruhnya, yang terjadi
beberapa kali sepanjang malam, yang mengakibatkan ngantuk atau kelelahan di siang
hari sehingga mempengaruhi fungsi kehidupan seseorang dan menurunkan kualitas
hidup. Obstructive sleep apnea (OSA) merupakan bentuk sleep - disordered breathing
yang paling sering terjadi, dan berkaitan dengan meningkatnya risiko kematian.1
Obstructive sleep apnea/ hypopnea syndrome ( OSAHS ) didefinisikan sebagai
koeksistensi dari ngantuk berlebih pada siang hari yang tidak dapat dijelaskan dengan
sedikitnya 5 kali obstruksi napas (apneu atau hipopneu ) per jam waktu tidur. Apneu
pada dewasa merupakan jeda napas / breathing pauses selama >10 detik dan hipopneu
sebagai momen 10 detik dimana napas berlanjut tetapi ventilasi berkurang sedikitnya
50 % dari baseline sebelumnya saat tidur. Indikator klinis pada pasien ngantuk dapat
dilihat pada tabel l.z
PanduanPraktik Klinis
Perhimpunon Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
Kelainan Napas Saat Tidur
DIAGNOSIS
Anamnesis1 4
• Aloanamnesis oleh pasangan tidur pasien: mengorok saat tidur, pause / jeda saat
bernapas , tidur terganggu
• Somnolen berlebihan di siang hari, gangguan kewaspadaan, performa kognitif dan
menyetir, hubungan interpersonal terganggu
• Kesulitan berkonsentrasi, sakit kepala di pagi hari, tidur malam tidak puas , rasa
tercekik di malam hari, libido menurun
Pemeriksaan Fisik2 4
• Hipertensi
• Obesitas
• Kelainan saluran napas atas : kongesti nasal, rhinitis , sinusitis kronis , kelainan
anatomis nasofaringeal, pembesaran tonsil atau adenoid, lidah besar
• Kelainan kraniofasial : mikrognatia, retrognatia
• Tanda hipotiroidisme atau akromegali
Pemeriksaan Penunjang
• Tes tidur (polisomnografi) : mengukur beberapa parameter fisiologis saat tidur.
Salah satu parameter penting adalah napas dan hilangnya napas saat tidur. Jeda
napas ( breathing pause) slO detik disebut sebagai apnea .
• EEG ( Electroencephalography)
• EKG ( Elektrokardiogram)
DIAGNOSIS BANDING
Tidur tidak cukup, kerja shift , penyebab psikologis, obat - obatan, narkolepsi , IHS,
phase alteration syndromes.2
TATALAKSANA3 4
Tujuan tatalaksana adalah mengurangi fragmentasi tidur dan repetisi asfiksia,
stress kardiovaskular, dan meningkatnya usaha napas yangberkaitan dengan OSAHS .
• Umum
o Posisi tidur : posisi lateral dekubitus lebih baik daripada supinasi atau pronasi
o Penurunan berat badan
o Terapi mekanis
789
$rl Pani«M PrakUk Minis Pulmonologi
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
KOMPLIKASI
Hipertensi, gagal jantung, stroke, penyakit jantung koroner, hipertensi pulmonal,
sampai kematian . 3
PROGNOSIS
Indeks Apnea / Hypopnea (AHI ) tidur 5 per jam berkaitan dengan meningkatnya
risiko hipertensi arterial , gagal jantung, stroke, penyakit jantung koroner, dan
hipertensi pulmonal . Data menunjukkan bahwa OSAHS yangtidak diterapi berkaitan
dengan meningkatnya mortalitas, terutama pada pasien dengan indeks apneu
sedikitnya 20 kali per jam tidur. Pasien dengan OSAHS memiliki risiko lebih tinggi
untuk kematian mendadak saat tidur dan morbiditas dan mortalitas dari kecelakaan
lalu lintas 3 kali lebih tinggi.3
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan :-
• RS non pendidikan
REFERENSI
1. Prasad B, Croft JB, Liu Y. Sleep-Disordered Breathing. In : Schraugnagel DE. Breathing in America
: Diseases, Progress, and Hope. American Thoracic Society. 2010. Hal 237-48. Diunduh dari http:/ /
www.thoracic.org/education/breathing-in-america /resources/breathing-in-america.pdfpada
tanggal 23 Mei 2012.
2. Douglas NJ. Sleep Apnea. In : Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J.
,
Harrison ' s Principles of Internal Medicine. 18 hEdition. New York, McGraw-Hill. 2012.
790
M W
3. Basner RC. Obstructive Sleep Apnea-Hypopnea Syndrome. In: Goldman, Ausiello. Cecil Medicine.
23rd Edition. Philadelphia. Saunders, Elsevier. 2008.
4. .
Sumardi Sleep Studies. Dalam : AminZ, DahlanZ, Yuwono A ( Eds ) . PanduanTatalaksana / Prosedur
Respirologi dan Penyakit Kritis Paru.
791
792
TUBERKULOSIS PARU
PENGERTIAN
Tuberkulosis paru (TB para ) adalah infeksi paru yang menyerang jaringan
parenkim paru, disebabkan bakteri Mycobacterium tuberculosis.1
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Demam biasanya subfebril, batuk (dapat ditemukan batuk darah), sesak napas,
nyeri dada, malaise, berat badan menurun, keringat malam, riwayat kontak penderita
TB.23
Pemeriksaan Fisik
Demam, konjungtiva anemis, berat badan berkurang, auskultasi suara napas
bronkial, dapat ditemukan ronki basah / kasar/ nyaring. Bila infiltrat diliputi penebalan
pleura, suara napas jadi vesikuler melemah, bila terdapat kavitas besar ditemukan
perkusi hipersonor ertimpani, auskultasi suara amphorik.1
Laboratorium2'34
• Darah: LED meningkat
• Mikrobiologis
• BTA sputum positif minimal 2 dari 3 spesimen SPS
• Kultur Mycobacterium tuberculosis positif (diagnosis pasti)
• Foto toraks PA ± lateral (hasil bervariasi) : infiltrat, pembesaran kelenjar getah
bening (KGB) hilus / KGB paratrakeal, milier, atelektasis, efusi pleura, kalsifikasi,
bronkiektasis, kavitas, destroyed lung.3
• Imuno- Serologis
• Uji tuberculin: sensitivitas 93,6%, spesifisitas 98,4%.4 Kriteria positif uji tuberculin
dapat dilihat pada tabel 1.
• Tes PAP, ICT-TB: positif
PanduanPraklik Minis
Perhlmpunan Dokler Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
Tuberkulosis Paru iml
DIAGNOSIS BANDING
Pneumonia, tumor / keganasan paru, jamur paru, penyakit paru, akibat kerja.
TATALAKSANA
Suportif: istirahat, stop merokok, hindari polusi, tata laksana komorbiditas, nutrisi,
vitamin.
Medikamentosa : obat anti tuberkulosis ( OAT ) 6 7
1. Kategori 1. Pasien baru yaitu pasien yang belum pernah mendapatkan terapi
OAT atau pernah mendapatkan OAT sebelumnya selama <1 bulan, maka regimen
terapinya adalah 2 HRZE / 4 HR. Dosis obat dapat dilihat pada tabel 2. Pada pasien
baru yang diketahui resisten isoniazid atau diketahui lingkungan sekitar risiko
ringgi resisten isoniazid, maka berikan 2 HRZE / 4 HRE.
2. Kategori 2. Pasien yang sebelumnya pernah mendapat terapi OAT
• Kultur dan resistensi OAT atau drug susceptibility test (DST)
• Jika hasil DST belum ada
o Pasien yang gagal terapi (sputum BTA atau kultur tetap positif pada
akhir bulan ke-5 pengobatan) Pasien yang putus berobat (pasien yang
putus berobat selama > 2 bulan berturut-turut) atau kambuh, berikan
2 HRZES /1HRZE / 5HRE
• Jika hasil DST sudah ada, sesuaikan terapi dengan antibiotik spesifik patogen.
793
# E5SH!BSS“ Pulmonologi
Tabel 2. Dosis dan Efek Samping OAT
' 4
3. Indikasi kortikosteroid 7
• Meningitis TB
• TB milier dengan atau tanpa meningitis
• TB dengan Pleuritis eksudativa
• TB dengan Perikarditis konstriktiva.
• Manifestasi klinis insufisiensi adrenal karena TB
Pemeriksaan Terapi6
• Pada pasien yang sebelumnya telah mendapat OAT, periksa hasilDST pada bulan
kedua pengobatan, bila terdapat resistensi ganti obat sesuai protokol MDR-TB
• Cek sputum BTA pada akhir fase intensif (akhir bulan ke-2 terapi pada pasien baru
dan akhir bulan ke-3 pada pasien yang sebelumnya telah mendapat OAT)
• Jika masih positif, cek ulang sputum BTA pada akhir bulan ke-3 terapi pada pasien
-
baru dan akhir bulan ke 4 pada pasien yang sebelumnya telah mendapat OAT
• Jika masih positif, pasien dinyatakan gagal terapi. Pada pasien baru yang belum
pernah mendapat OAT stop kategori 1 atau mulai terapi kategori 2. Cek kultur dan
DST pada pasien baru cek bulan dan DST pasien yang sebelumnya telah mendapat
OAT)
• Jika hasil kultur dan DST positif ditemukan resistensi, maka pasien mulai dulu
protokol MDR-TB.
794
Tuberkulosis Paru
795
(
HKVWfr> Panduan Praktlh Kllnls Pulmonologi
-
Perhimpunan DoklerSpesialis Penyakit Dalam Indonesia v/
TB ekstra paru
TB ekstra paru diterapi sama seperti TB paru. Pada meningitis TB, disarankan
terapi berlangsung selama 9-12 bulan sementara pada TB tulang dan sendi, disarankan
terapi selama 9 bulan. Kortikosteroid ditambahkan pada terapi meningitis TB dan
perikarditis. Dosis kortikosteroid pada meningitis TB dan efusi perkardial dapat dilihat
pada tabel 4. Pada meningitis TB, etambutol diganti streptomisin .6
796
Tuberkulosis Paru i
Kehamilan
Pada prinsipnya pengobatan TB pada kehamilan tidakberbeda dengan pengobatan
TB pada umumnya. Menurut WHO, hampir semua OAT aman untuk kehamilan,
kecuali streptomisin. Streptomisin tidak dapat dipakai pada kehamilan karena
bersifat ototoksik permanen dan dapat menembus sekat plasenta. Keadaan ini dapat
mengakibatkan terjadinya gangguan pendengaran dan keseimbangan yang menetap
pada bayi yang akan dilahirkan. Perlu dijelaskan kepada ibu hamil bahwa keberhasilan
pengobatannya sangat penting artinya supaya proses kelahiran dapat berjalan lancar
dan bayi yang akan dilahirkan terhindar dari kemungkinan tertular TB.6 711
KOMPLIKASI PENYAKIT
• Komplikasi paru: atelektasis, hemoptisis, fibrosis, bronkiektasis, pneumotoraks, gagal
napas,
• TB ekstra paru: pleuritis, efusi pleura, perikarditis, peritonitis, TB kelenjar limfe,
• Kor Pulmonal
797
jf»>
.vifwj?: PanduanPralttili Minis Pulmonologi
v
Perhimpunan DoklerSpesialis Penyakil Dalam Indonesia «/
PROGNOSIS
Dengan terapi INH dan rifampisin selama 6 bulan dan pyrazinamide selama 2 bulan,
sekitar 96-99% sembuh (bagi pasien HIV negatif ).0 Angka kambuh < 5 %.3
UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : Divisi di Departemen Ilmu Penyakit Dalam yang terkait
dengan keterlibatan organ / komplikasi TB, Departemen
Radiologi / Radiodiagnostik, Patologi Klinik, mikrobiologi
klinik, Patologi Anatomi, Bedah / toraks dan Bagian lain yang
terkait dengan keterlibatan organ / komplikasi TB
• RS non pendidikan : Bagian Bedah, Patologi Klinik, Paru, Radiologi, Patologi
Anatomi, Mikrobiologi klinik dan Bagian lain yang terkait
dengan keterlibatan organ / komplikasi TB
REFERENSI
1. . .
Amin, Zulkifli Bahar, Asril. Tuberkulosis Paru. Dalam : Sudoyo, Aru W Setyohadi, Bambang. Alwi,
.
Idrus. Simadibrata, Marcellus Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi V. Jakarta
:Balai Penerbit FKU I; 2009. P2230-39.
2. . .
Achmad Y Tuberkulosis Paru Dalam : Amin Z, Dahlan Z, Yuwono A (Eds). Panduan Tatalaksana /
Prosedur Respirologi dan Penyakit Kritis Paru.
3. Tuberculosis. Dalam : Fauci A, Kasper D, Longo D, Braunwald E, FlauserS, Jameson J, Loscalzo J,
editors. Harrison ' s principles of internal medicine. 18th ed. United States of America; The McGraw-
Hill Companies, 2011.
4. .
Pulmonary disorders. Dalam : McPhee, Stephen J Papadakis, Maxine A. Current Medical Diagnosis
and Treatment . The McGraw Hills Companies 2011 . .
5. EA, Talbot. D, Harland. W , Wieland-Alter. S, Burrer. LV, Adams. Specificity of the tuberculin skin
test and the T-SPOT.TB assay among students in a low-tuberculosis incidence setting. Jam Coll
Health. 2012;60 ( 1 ) :94-6. Diunduh dari : http:/ /www.ncbi.nlm.nih.gov /pubmed/ 22171735 pada
tanggal 3 Juni 2012.
6. Tuberculosis Coalition for Technical Assistance. International Standards for Tuberculosis Care
(ISTC ) . The Hague: Tuberculosis Coalition for Technical Assistance, 2006.
7. Treatment of Tuberculosis Guidelines 4th Edition. World Health Organization. 2010.
8. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis Edisi Kedua Cetakan Pertama. Depatemen
Kesehatan Republik Indonesia. 2007.
9. Francis J. Curry National Tuberculosis Center and California Department of Public Health, 2009:
Tuberculosis Drug Information Guide
798
Tuberkulosis Paru
10. Tuberculosis. Dalam : Ausiello. Goldman. Cecil Medicine 23rd edition. Saunders : Philadhelphia .
2007.
11. Kadhiravan, Tamilarasu. Deepanjali, Surendran. Role of Corticosteroids in the Treatment of
Tuberculosis: An Evidence-based Update. http:/ / medind.nic.in/iae/ tlO/i3/iaetlOi3pl 53.pdf pada
tanggal lOjuni 2012.
799
800
TUMOR PARU
Tumour-like Lesions
PanduanPraktikKlinis
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
Tumor Paru
KARSINOMA PARU
PENGERTIAN
Merupakan sel kanker yang tumbuh dan berasal dari jaringan paru. Pembagian
praktis karsinoma paru untuk tujuan pengobatan yaitu i
1
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
.
Asimptomatis, batuk, hemoptisis, nyeri dada, dyspnea karena efusi pleura Jika
sudah ada metastasis dapat memberikan keluhan nyeri tulang, sakit kepala, suara
serak, sulit menelan, dan sesak napas.
1
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan wheezing , stridor, abses, atelektasis, aritmia
(invasi ke pericardium ), sindrom vena kava superior, sindrom Horner ( facial anhidrosis
,
ptosis, miosis), suara serak [penekanan pada N.laryngeal recurrent ) , sindrom Pancoast
(invasi pleksus brakialis dan saraf simpatis servikalis). Jika sudah ada metastasis dapat
ditemukan ikterus, perubahan neurologis, pembesaran kelanjar getah bening.
1
801
ip ESS5JESSPJHS! Pulmonologi
Pemeriksaan Penunjang13
• Pemeriksaan serologi / tumor marker: karena spesifisitas yang rendah dalam
mendiagnosis karsinoma paru, maka Iebih banyak digunakan untuk evaluasi hasil
pengobatan .
o CEA [carcinoma embryonic antigen )
o NSE [ neuron-spesific enolase )
o Cyfra 21 - 2 [ cytokeratin fragments 19 )
• Foto rontgen dada
• CT scan atau MRI
• Bone scanning
o Indikasi : jika diduga ada tanda-tanda metastasis ke tulang
• Pemeriksaan sitologi sputum: dilakukan rutin dan sebagai skrining untuk diagnosis
dini
o Hasil pemeriksaan tergantung: letak tumor terhadap bronkus, jenis tumor
teknik
,
mengeluarkan sputum, jumlah sputum yang diperiksa, dan waktu pemeriksaan
sputum .
• Pemeriksaan histopatologi : standar emas diagnosis karsinoma paru . Cara
mendapatkan spesimennya:
o Bronkoskopi
o Trans torakal biopsi ( TTB )
o Torakoskopi
o Mediastinoskopi
o Torakotomi
Sindrom paraneoplastik terdapat pada 10 % karsinoma paru, terdiri dari :
• Gejala sistemik: penurunan berat badan, anoreksia, demam
• Hematologi : leukosistosis, anemia, hiperkoagulasi
• Neurologik: demensia, ataksia, tremor, neuropati perifer
• Endokrin: sekresi PTH (hiperkalsemia)
• Dermatologi : eritema multiform, hiperkeratosis, jari tabuh
• Renal : SIADH ( Syndrome Of Inappropriate Antidiuretic Hormone 3
• Osteoartropati hipertrofi
802
Tumor Paru |g|
STAGING KARSINOMA PARU
KETERANGAN
.
Tx : Tumor terbuktl ganas dldapat dari secret bronkopulmonar, tapl tldak terlihat secara bronkoskopis dan radiologis Tumor tidak
dapat dlnllal pada staging re treatment.
T1 : Tumor dengan diameter < 3 cm
T2 : Tumor dengan diameter > 3 cm atau terdapat atelektasls pada distal hllus
T3 : Tumor ukuran apapun meluas ke pleura, binding dada, dlafragma, perikardlum, < 2 cm dari carina,
t e a p o t K t J s.T t a J ; : „j y. /
^ ^ y
T4 : Tumor ufcuran apapun Invasl ke medlastlrtum atau terdapat efusi pleura mallgnan
NO : Tldak ada kelenjdr getah benlng ( KGB) yang terlibat
N1 : Metastasis KGB bronkopulmoner atau Ipsllateral hllus
N2 : Metastasis KGB mediastinal atau sub carina
N3 : Metastasis KGB mediastinal kontralateral atau hllus atau KGB skaleneus atau supraklavikular
MO : Tldak ada metastasis Jlnak
Ml: Metastasis jinak pada organ (otak, hati)
i
KaWflkasI Jlnak poda CT scan atau Tidak perlu pamerlksaan lobih lanjut
Ya
sfabw seiama 2 lahun pada rontgen
i
Tldak
l
Apakah komungkinan kanker
iYa
1
f 1
kemungklnan kanicor kemungVJnan kapker Ada loklo/ nsiv.o operas)
sodang Tldak >•
rendah
i
Ct scan serial
.
3.6 12.24 butan
i
PenHjiikwjon tarnbahan
• PET Jlka ukuran nodul 1 cm vidoo-ostifed fhorocoscop/c surgery,
• Aspfraji jorum ha|us trans toraslk pemedksoan kelenjar fletah benlng
Hasll nogatlf |!ko retak rodu' O pester Hasil Poiltlt mediastinum dan frozen section
• Bronkoskopl pka udara bronkus dilkuti loboktomi Jlka se» ganas
poslIK
• CT scan
803
Panduan Praktik Kllnis Pulmonoloqi
Perhlmpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
DIAGNOSIS BANDING
Tumor metastasis dari kanker primer di tempat lain, tumor jinak paru
TATALAKSANA
SCLC
• Limited stage [status tampilan baik ) kemoterapi kombinasi dan radioterapi
toraks
• Extensive stage [status tampilan baik ) : kemoterapi kombinasi
• Respons tumor komplit [semua stage ) : radioterapi kranial profilaktik
• Status tampilan buruk [semua stage ) : k e m o t e r a p i k o m b i n a s i d e n g a n
modifikasi dosis radioterapi paliatif
Tabel 3. Terapi untuk NSCLC13 5
Stage Operasl Kemoterapi Radioterapi Kemoterapi kombinasi
I dan II Lini pertama Adjuvan pada Linl kedua Tidak
stage IB, IIA, lib
II B Lini pertama Tidak Tidak Lini pertama-neoadjuvan
III A Lini kedua Lini kedua- Tidak Lini pertama
neoadjuvan
III B resectable Lini pertama Tidak Tidak Lini pertama ± neoadjuvan
III B unresectable Tidak Tidak Tidak Lini pertama
IV Tidak Lini pertama Lini kedua Tidak
Kemoterapi :
Lini pertama : siklofosfamid, doksorubisin, metotraksat, prokarbasin
Lini kedua : docetaxel, pemefrexed, and erlotinib, vinorelbine, gemcitabine, paclitaxel, gisplatin, carboplatin
I
Tidak ada gejala atau Ditemukan lesi single
1
Ditemukan lesi multipel
hasil pemeriksaan yang menunjukkan pada imajing pada imajing
I
adanya metastasis
Biopsi lesi
I
Tidak ada kontraindikasi
1
Ada kontraindikasi
l
Tidak ada
I
Ada
kemoterapi kombinasi kemoterapi kombinasi Kemoterapi dan /atau
metastasis metastasis radioterapi untuk paliatif
dan radioterapi dan radioterapi
i
Terapi kombinasi dengan
1
Terapi dengan
platinum based terapi, kemoterapi dan
.
etoposide dan radioterapi radioterapi
804
Tumor Paru
f I
Ditemukan lesi single
1
Ditemukan lesi multipel
Tidak ada gejala atau
hasi pemeriksaan yang menunjukkan pada imajing pada imajing
adanya metastasis.
Tidak ada kontraindikasi operasi,
kemoterapi kombinasi , atau radioterapi
Biopsi lesi
I
f 1 f
Ada
I
Lihat
Tes fungsi paru, Tidak ada
pemeriksaan imajing untuk metastasis metastasis Gambar 1
melihat adanya metastasis.
Tes kardiopulmonar. Tes koagulasi
I
Rujuk ke bedah untuk evaluasi
mediastinum dan rencana reseksi
l 1
NO atau N1 N2 atau N3
T
Stage IA :
i
Stage II atau III : Stage IB :
1
Tidak dioperasi.
Operasi Operasi diikuti .
Ukuran < 4cm operasi Terapi kemoterapi
kemoterapi adjuvan Ukuran > 4 cm operasi kombinasi
dan kemoterapi adjuvan
KOMPLIKASI
Obstruksi jalan napas, gagal napas, perdarahan / hemoptisis, abses, atelektasis,
metastasis ke organ: otak,
PROGNOSIS
Tergantung tipe histologi, staging , resektabilitas dan operabilitas . Pada SCLS
kemungkinan harapan hidup rata- rata yaitu 1 tahun. Pada kelompok limited stage
kemungkinan hidup rata - rata yaitu 1- 2 tahun. Sebesar 30 % kematian terjadi karena
komplikasi lokal dari tumor, 70% meninggal kareka karsinomatosis. Pada NSCLC yang
dilakukan tindakan bedah, kemungkinan hidup 5 tahun setelah operasi adalah 30 %.
Survival setelah tindakan bedah yaitu 30 - 40 % pada stadium 1, 10-15 % pada stadium
II, dan < 10 % pada stadium III. Kemungkinan hidup rata - rata pasien tumor metastasis
bervariasi, dari 6 bulan sampai dengan 1 tahun tergantung dari performance status (skala
Karnofsky ) , luasnya penyakit, adanya penurunan berat badan dalam 6 bulan terakhir.
1, 3
805
M
\l t wr '
PanduanPra
Peirwriounan »iiolli
OokJwi S|x
ktik Minis Pulmonoloqi
Ddtdm tndc «
fJ<tuvufcll
*i Ua
UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : Divisi Hematologi Onkologi Medik Departemen Ilmu
Penyakit Dalam, Departemen Radiologi, Radioterapi, Bedah/
toraks
• RS non Pendidikan : Bagian Radiologi, Bedah
REFERENSI
i. Amin Z. Kanker paru. Dalam: Alwi I, Setiati S, Setiyohadi B, Simadibrata M, Sudoyo AW, editors.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi V. Jakarta: Interna Publishing; 2010: Hal 2254-62.
2. .
Brambilla E, Travis WD, Colby TV et all The new World Health Organization classification
.
of lung tumours. Eur Respir J 2001; 18: 1059-1068. Diunduh dari http:/ /erj ersjournals.com/
content / 18/6/ 1059.full.pdf +html pada tanggal 22 Juni 2012.
3. Takahashi T, Sidransky D. Neoplasms of the Lungin : Mason: Murray & Nadel ' s Textbook of
.
Respiratory Medicine, 4th ed. United States of America : Saunders 2005. chapter 42 .
4. .
Horn L Neoplasms of the Lung.In: Fauci A, Kasper D, Longo D, Braunwald E, HauserS, Jameson J,
. .
Loscalzo J, editors. Harrison ' s principles of internal medicine 18th ed United States of America;
The McGraw-Hill Companies, 2012.chapter 89.
5. . .
Amin Z. Kanker Paru Dalam : Amin Z, Dahlan Z, Yuwono A (Eds) Panduan Tatalaksana /Prosedur
Respirologi dan Penyakit Kritis Paru.
806
PENATALAKSANBAN
D l BIDANGILMU PENYAKIT DBLBM
PANDUAN
PRAKTIKl
KIINISB
Artritis Reumatoid . 807
.
807
ARTRITIS REUMATOID
PENGERTIAN
Artritis reumatoid (AR) adalah penyakit autoimun yang ditandai oleh inflamasi
sistemik kronik dan progresif dimana sendi merupakan target utama selain organ
lain, sehingga mengakibatkan kerusakan dan deformitas sendi , bahkan disabilitas
dan kematian. Walaupun etiologi yang sebenarnya belum dapat diketahui dengan
pasti, ada beberapa faktor yang diperkirakan berperan dalam timbulnya penyakit ini
seperti kompleks histokompatibilitas utama kelas II dan faktor infeksi seperti virus
Epstein Barr ( EBV) . 1
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis1 2
• Radang sendi (merah, bengkak, nyeri] umumnya menyerang sendi - sendi kecil,
lebih dari empat sendi (poliartikular) dan simetris.
• Kaku pada pagi hari yang berlangsung lebih dari 1 jam atau membaik dengan
beraktivitas
• Terdapat gejala konstitusional seperti kelemahan, kelelahan, anoreksia, demam
ringan
Pemeriksaan Fislk
Dalam keadaan dini AR dapat bermanifestasi sebagai palindromic rheumatism yaitu
timbulnya gejala monoartritis yang hilang timbul antara 3- 5 hari dan diselingi masa
remisi sempurna sebelum bermanifestasi sebagai AR yang khas . AR awal juga dapat
bermanifestasi sebagai pauciarticular rheumatism yaitu gejala oligoartikuler yang
melibatkan 4 persendian atau kurang. Kedua gambaran ini seringkali menyulitkan
1
dalam menegakkan diagnosis AR dalam masa dini .
Pandua n Praktlk
Dalam
Spesialis Penyakit
Perhimpunan Dokter
Minis
Indonesia fA
(
Panduan Praktik Klinis Reumatologi
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
.
• Tanda kardinal inflamasi pada sendi, sendi yang • Nodul reumatoid
terkena umumnya adalah metakarpofalangeal,
skleritis episkleritis
pergelangan tangan dan interfalang proksimal
• Deformitas sendi (deformitas leherangsa, deformitas atau• Kelainan pada pemeriksaan paru dan
jantung
boutonniere, deformitas kunci piano, deviasi ulna,
deformitas 1-thumb , artritis mutilans, hallux valgus ) • Splenomegali
• Ankilosis tulang • Vaskulitis
Pemeriksaan Penunjang2 3
• Darah perifer lengkap: anemia, trombositosis
• Rheumatoid Factor (RF), anti-cyclic citrullinated peptide antibodies (ACPA/ anti -
CCP / anti - CMV)
808
Artritis Reumatoid
DIAGNOSIS BANDING
tif,
Lupus eritematosus sistemik, gout, osteoartritis, spondiloartropati seronega
sindrom Sjogren 2,6
TATALAKSANA
Nonfarmakologis
Edukasi, proteksi sendi pada stadium akut, foot orthotic / splint ( jika perlu )
, terapi
spa, latihan fisik (dynamic strength training) 30 menit setiap latihan 2 - 3 kali
seminggu
Farmakologis1 2 6
lorokuin
• Disease modifying anti rheumatic drugs (DMARD) konvensional: MTX, hidroksik
atau klorokuin fosfat, sulfasalazin, leflunomid, azatioprin, siklosporin
• Agen biologik: infliksimab, etanersep, tocilizumab, golimumab, adalimumab
• Glukokortikoid
• OAINS: non-selektif atau selektif COX- 2
809
# ESSSSSSa Reumatologi
Terapi Bedah
Dilakukan bila terdapat nyeri berat yang berhubungan dengan kerusakan sendi
yang ekstensif, nyeri persisten pada sinovitis yang terlokalisasi, keterbatasan
gerak
yang bermakna atau keterbatasan fungsi yang berat, kompresi saraf dan adanya
ruptur tendon12
KOMPLIKASI
Anemia, komplikasi kardiak, gangguan mata, pembentukan fistula, peningkatan
infeksi, deformitas sendi tangan, deformitas sendi lain, komplikasi pernapasan, nodul
reumatoid, vaskulitis, komplikasi pleuroparenkimal primer dan sekunder, komplika
si
akibat pengobatan.6
Osteoporosis lebih sering terjadi pada penderita AR yang berkaitan dengan
aktivitas penyakit AR dan pemakaian glukokortikoid, sehingga perlu terapi terhadap
pencegahan osteoporosis dan patah tulang.
PROGNOSIS
Kriteria remisi pada artritis reumatoid dapat menggunakan ACR EULAR yaitu
/
apabila pasien memenuhi seluruh kriteria berikut:2
1. Jumlah sendi yang nyeri < 1
2 . Jumlah sendi yang bengkak < 1
3. Nilai CRP < lmg / dL
4. Penilaian global pasien < 1 (dalam skala 0 - 10)
Sejumlah 10% pasien yang memenuhi kriteria AR akan mengalami remisi spontan
dalam 6 bulan. Akan tetapi kebanyakan pasien akan mengalami penyakit yang persisten
810
Artritis Reumatoid
i umum dengan
dan progresif. Tingkat kematian pada AR dua kali lebih besar dari populas
n terbanyak diikuti
penyakit jantung iskemik yang menjadi penyebab utama kematia
7 tahun untuk laki-
dengan infeksi. Median harapan hidup lebih pendek dengan rata - rata
laki dan 3 tahun untuk perempuan dibandingkan populasi kontrol.
1,2
REFERENSI
Suarjana I. Artritis reumatoid. In: Sudoyo A, Setiyohadi B Alwi
, I, Simadibrata M, Setiati S, editors.
1.
th ed. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu
Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5
Penyakit Dalam FKUI, 2009:2495 - 513
.
2. Shah A, StClair E. Rheumatoid arthritis In: Fauci A Kasper
, D, Longo D, Braunwald E, Hauser S,
Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison ' s principle s of internal .
medicine 18lh ed. United States of
America: The McGraw-Hill Companies, 2012: 2738 - 52
. Advisor 2008, 10th ed. Mosby. 2008.
3. Mercier Lonnie R Rheumatoid Arthritis. In: Ferri: Ferri ’ s Clinical
.
4. Aletaha C, Neogi T Silman A, Funovits J, Felson D Bingham
, C, et al. 2010 rheumatoid arthritis
classification criteria. Arthritis & Rheumatism. 20 I 0 62; ( 9 ) : 2569 - 81
.
5 . Beers MH, Berkow R, editors Crystal-Induced Conditions In
. : The Merck Manual of Diagnosis and
Therapy 17 th ed.
6. USA : Merck Research Laboratories, 1999. p 460 - 4.
ogic disorders. In: McPhee S, Papadakis
7. Hellmann D, Imboden J. Musculosceletal and immunol
M, Rabow M, editors.
8. Current medical diagnosis and treatment 2011.50 ed.
th California; The McGraw -Hill Education.
2010:779 - 840 .
811
812
PENGERTIAN
Hiperurisemia adalah meningkatnya kadar asam urat darah diatas normal
(pria
> 7 mg/ dL, wanita > 6 mg/ dL] yang bisa disebabkan oleh
peningkatan produksi asam
urat, penurunan ekskresi asam urat pada urin, atau gabungan keduany .
a Hiperurisemia
yang berkepanjangan dapat menyebabkan gout, namun tidak semua
hiperurisemia
menimbulkan patologi berupa gout.1
Gout atau pirai adalah penyakit metabolik yang sering ditemuk
an pada laki-laki
> 40 tahun dan perempuan pasca menopause, karena penump
ukan kristal monosodium
urat (MSU) pada jaringan akibat dari hiperurisemia. Biasanya ditandai
dengan episode
artritis akutdan kronis, pembentukan tofus, serta risiko untuk deposisi di
interstitium
ginjal ( Nefropati) dan saluran kemih (nefrolitiasis]. 1
Artritis gout adalah peradangan akut yang hebat pada jaringan sendi
disebabkan
oleh endapan kristal - monosodium urat dan mengakibatkan satu
atau beberapa
manifestasi klinik. 23
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Diagnosis Hiperurisemia
Anamnesis
Perjalanan alamiah gout terdiri dari tiga periode yaitu: periode hiperuri
semia
tanpa gejala klinis, episode artritis gout akut diselingi interval tanpa
gejala klinis, dan
artritis gout kronis. Serangan artritis gout akut yang pertama paling
sering mengenai
tungkai bawah (80-90% kasus] umumnya pada sendi metatarsofalange
al I (MTP 1)
yang secara klasik disebut podagra, onsetnya tiba -tiba, sendi terkena
mengalami
eritema, hangat, bengkak dan nyeri tekan, serta biasanya disertai
gejala sistemik,
seperti demam, menggigil, dan malaise.12
Pada beberapa pasien hanya mengalami satu kali episode serangan akut,
namun pasien
pada umumnya akan mengalami serangan artritis akutkedua dalam 6 bulan
sampai dengan
2 tahun. Serangan akut artritis berikutnya dapat mengenai beberapa sendi,
menyebar
PanduanPraktik Klinis
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
Artritis Gout dan Hiperurisemia
ke tungkai atas terutama lengan dan tangan. Serangan akut artritis yang tidak terobati
dengan baik akan mengakibatkan artritis gout kronis yang ditandai destruksi kronis
beberapa sendi yangtelah seringmengalami serangan akut, disertai inflamasi ringan pada
sendi, deformitas sendi dan terdapattofi (kristal MSU dikelilingi sel mononuklear dan sel
raksasa). artritis gout Kronis berkembang dalam 5 tahun dari onset pertama akut artritis
gout pada sekitar 30% pasien yang tidak terobati dengan baik.
12
Pemeriksaan Fisik
Keadaan sendi harus dievaluasi apakah terdapat tanda- tanda inflamasi, seperti
eritema , hangat, bengkak, dan nyeri tekan, serta tanda deformitas sendi dan tofi (tanda
khas gout). Sendi yang terkena biasanya pada tungkai bawah, umumnya pada sendi
metatarsofalangeal I ( MTP 1).
Faktor lain perlu juga dicari kelainan atau penyakit sekunder seperti tanda-tanda
anemia, pembesaran organ limfoid, keadaan kardiovaskular, tekanan darah, tanda
kelainan ginjal .1
Pemeriksaan Penunjang1 3
• Pemeriksaan darah rutin, asam urat, kreatinin
• Ekskresi asam urat urin 24 jam
• Bersihan kreatinin
• Radiologis sendi ( jika perlu)
813
BgBBBB1 Reumatologi
DIAGNOSIS BANDING4
• Pseudogout ( penimbunan kristal kalsium pirofosfat dehydrogenase / CPPD )
• Artritis septik
• Artritis reumatoid
• Palindromic rheumatism
Tabel 1. Perbandingan Gout dan Pseudogout: 4
Gout Pseudogout (CPPD)
Rasio laki-laki: perempuan 7: 1 1:1.5
Kelompok Usia -
Laki laki > 40 tahun Lansia
Perempuan pascamenopause
Asam urat darah Meningkat Normal
Sendi yang terlibat metatarsophalangeal (MTP) digiti I, Lutut, pergelangan tangan,
insteps, lutut, pergelangan tangan, pergelangan kaki
jari, bursa olekranon.
Keterlibatan sendi MTP digiti Sering Jarang
I (podagra)
Tofus Ada Jarang, deposit mirip tofus
Temuan radiologis Erosi dengan tepi ( Erosions with Chondrocalcinosis
overhanging edges )
Kristal Berbentuk jarum, birefringence positif Berbentuk rhomboid,
kuat birefringence positif lemah
TATALAKSANA
Prinsip pengelolaan hiperurisemia maupun gout, yaitu:
1. Non-farmakologis: 1, 2 , 6
• Penyuluhan diet rendah purin ( hindari jerohan , seafood )
• Hidrasi yang cukup
• Penurunan berat badan (target BB ideal)
• Menghindari konsumsi alkohol dan obat-obatan yang menaikkan asam urat
darah (etambutol, pirazinamid, siklosporin, asetosal, tiazid )
• Olahraga ringan
814
Artritis Gout dan Hiperurisemia
2 . Farmakologis: 2
• Pengobatan fase akut:
Obat anti inflamasi non-steroid (OAINS) kerja cepat, baikyang non selektif
maupun yang selektif.
Kortikosteroid (glukokortikoid) per oral dosis rendah, parenteral, atau
injeksi lokal IA (seperti triamsinolon 5-10 mg untuk sendi kecil atau
20-40 mg untuk sendi besar) terutama bila ada kontraindikasi dari OAINS.
Kolkisin dapat menjadi terapi efektif namun efeknya lebih lambat
dibandingkan OAINS dan kortikosteroid. Manfaat kolkisin lebih nyata
untuk pencegahan serangan akut, terutama pada awal pemberian obat
antihiperurisemik, dengan dosis 0,5-1 mg/ hari.
Obat antihiperurisemik seperti alopurinol tidak boleh diberikan pada fase
akut kecuali pada pasien yang sudah rutin mengkonsumsinya.
• Obat antihiperurisemik:
a. Obat penghambat xantin oksidase (untuktipe produksi berlebih), misalnya
allopurinol
b. Obat urikosurik (untuk tipe ekskresi rendah), misal probenesid,
KOMPLIKASI
Tofus, deformitas sendi, nefropati gout, gagal ginjal, batu saluran kencing (obstruksi
dan / atau infeksi).
PROGNOSIS
Angka kekambuhan gout akut: 60% dalam satu tahun pertama; 80 % dalam 2
tahun; 90 % dalam 5 tahun. Perjalanan penyakit gout akan lebih buruk bila: onset
gejala muncul pada usia muda (<30 tahun), serangan sering berulang, kadar asam urat
darah tinggi (tidak terkontrol), dan mengenai banyak sendi. Sekitar 20 % pasien gout
akan timbul urolitiasis dengan batu asam urat atau batu kalsium oksalat. 7
815
ft EafiMSSH?1 Reumatologi
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam- Divisi Ginjal Hipertensi,
Departemen Bedah Urologi, Departemen Ortopedi
• RS non pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Departemen Bedah /
Ortopedi
REFERENSI
.
1. Tjokord.a RP. Hiperurisemia. Dalam; Sudoyo AW, et dj editor Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid
. .
II edisi IV Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2006 Him 1213 - 7 .
2. .
Edward ST. Artritis Pirai Dalam: Sudoyo AW, et al editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II
.
edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2006 Him 1218 - 20 .
3. . .
Chen Lan X Primary Immune Deficiency Diseases In: Longo Fauci Kasper, Harfison' s Principles of
.
Internal Medipine 18lh edition United.States of America:Mcgraw Hill 2012 .
4. . .
Schlesinger N Diagnosis of Gout: Clinical, Laboratory, and Radiologic Findings Arp JManagCare.
. .
2005 Nov;l 1 (15 suppl):s443-50 http://www ajmc.com/publlcations/supplement/2005/2005-l 1 -vol
11-n15Suppl/Nov05-2217pS443-S 450
5. Hadi S. Gambaran Klinik dan Diagnosis! Gout. Dalam:Setiyohadi B, Kasjmir VI, editor. Kumpulan
Makalah Temu llmiah Reumatologi 2010 Him 94 - 7 . .
6. . .
Karapang K Penatalaksanaan Artritis Gout Dalam:Setiyohadi B, Kasjmir VI, editor Kumpulan .
Makalah Temu llrhlah Reumatologi 2011 Him 17 - 21 . .
7. .
Thompson AE Tarascon Pocket Rheumatologica, 4th ed. Massachusetts: Jones and Bartlett
.
Publishers 2010, p 39 - 42 .
816
817
ARTRITIS SEPTIK
PENGERTIAN
Artritis septik adalah infeksi pada sendi, yang umumnya disebabkan oleh bakteri
gonokokal maupun nongonokokal. Penyakit ini disebut juga artritis bakterialis,
artritis supuratif, atau artritis infeksiosa. Penyebab nongonokokal tersering adalah
Staphylococcus aureus, diikuti oleh Streptococcus sp. Selain itu, Escherichia coli dan
Pseudomonas aeruginosa merupakan bakteri gram negatif paling sering ditemukan
pada dewasa. Artritis septik yang disebabkan Neisseria gonorrhoeae merupakan entitas
yang terpisah dari disseminated gonococcal infection .Faktor risiko artritis septik antara
lain adalah sebagai berikut:1, 2
• Prostesis sendi lutut dan sendi panggul disertai infeksi kulit
• Infeksi kulit dengan prostesis
• Prostesis panggul dan lutut tanpa infeksi lutut tanpa infeksi kulit
• Umur >80 tahun
• Diabetes Melitus
• Artritis reumatoid yang mendapat imunosupresif
• Tindakan bedah persendian atau prosedur injeksi intra-artikular
• Lupus eritematosus sistemik (merupakan faktor risiko ke- 5 di Filipina)
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis3
• Keluhan Utama: nyeri sendi akut, nyeri tekan, hangat, gerakan terbatas, gangguan
fungsi. Pada 90% pasien umumnya hanya terkena satu sendi, yaitu sendi lutut.
Lokasi lainnya dapat juga terjadi pada sendi panggul, bahu, pergelangan tangan
atau siku meskipun lebih jarang. Selain itu, keluhan demam ditemukan pada
-
rentang suhu tubuh 38.3° 38.9°C (101°-102° F), namun dapat pula ditemukan
suhu tubuh yang lebih tinggi pada keadaan, seperti: artritis reumatoid, insufisiensi
renal atau hepatik, dan kondisi yang membutuhkan terapi imunosupresif.
• Riwayat Penyakit Dahulu: prostesis sendi, injeksi intra-artikular, trauma sendi.
PanduanPraktlk Minis
Pertiimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
®ri PmlMMPraUlliiaws Reumatologi
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
Pemeriksaan Fisik 2
Demam pada sepertiga pasien, pemeriksaan sendi yang terlibat: hangat, merah
dan bengkak. Sebagian besar kasus mengenai 1 sendi (80%-90%).
Pemeriksaan Penunjang
1. Evaluasi cairan Sinovial: 13
• Dapat ditemukan cairan sinovial yang keruh, serosanguin, atau purulen.
• Jumlah sel dan diferensiasi
• Jumlah sel leukosit, yang berkisar 100,000/ L (50,000-250,000/ LJ , dengan > 90%
neutrofil, merupakan karakterisitik infeksi bakteri akut. Pada Crystal-induced ,
reumatoid, dan inflamasi artritis lainnya biasanya < 30,000-50,000 sel L. Sedangkan,
/
hitung sel 10,000-30,000 / L, 50-70% neutrofil dan sisanya limfosit, merupakan
gambaran yang paling umum dari infeksi mikobakterial dan infeksi fungal.
• Pewarnaan gram dan kultur untuk antibiotik
• Organisme yang ditemukan pada infeksi dengan S. aureus dan streptokokus hampir
mendekati tiga per empat kasus dan sisa 30-50% infeksi disebabkan oleh gram-
negatif bakteri lain. Kultur cairan sinovial positif pada > 90% kasus.
• Mikroskopi polarisasi untuk mengeksklusi kristal artritis.
2 . Pemeriksaan darah:
Kultur darah bisa positif walaupun kultur cairan sinovial negatif. Jumlah sel darah
putih dan diferensiasinya, protein c reaktif, laju endap darah juga dapat membantu
monitoring terapi. u
3. Gambaran rontgen
Pada orang dewasa pencitraan tidak dapat digunakan sebagai alat diagnostik artritis
septik, tetapi dapat membantu sebagai dasar penilaian kerusakan sendi. Rontgen
polos dapat digunakan untuk melihat jaringan lunak yang membengkak, pelebaran
ruang sendi, dan pergeseran jaringan oleh kapsul yang mengalami distensi. Gambaran
penyempitan ruang sendi dan erosi tulang menunjukkan bahwa telah terjadi infeksi
lanjut dan prognosis yang buruk. Ultrasonografi dapat digunakan untuk mendeteksi
adanya efusi sendi dan bisa sebagai pemandu pada tindakan aspirasi. CT scan dan
MRI dapat digunakan untuk membantu menilai luasnya infeksi1,3 5
DIAGNOSIS BANDING
Selulitis, bursitis, osteomielitis akut, artritis reumatoid, still disease, gout dan
pseudogout
816
Artritis Septik
TATALAKSANA
A. Aspirasi sendi yang adekuat12
B. Pengobatan empiris dengan obatantibiotik intravena dapat dimulai setelah sampel
kultur dan jenis gram didapatkan 1,3,4-5
1. Bila pada hasil pemeriksaan gram didapatkan gram positif maka antibiotik
empirik yang dapat diberikan adalah Oxacillin atau Cefazolin
2. Bila pada hasil pemeriksaan gram didapatkan gram negatif maka antibiotik
empirik yang dapat diberikan adalah sefalosporin generasi ketiga seperti
ceftriaxon atau cefotaxim
3. Antibiotik definitif intravena diberikan sesuai dengan hasil kultur selama dua
minggu dan dilanjutkan dengan antibiotik oral selama empat minggu .
C. Latihan sendi segera setelah infeksi teratasi untuk mencegah deformitas sendi
KOMPLIKASI
Kerusakan kartilago atau tulang, osteomielitis, syok septik, gagal organ
PROGNOSIS
Angka mortalitas rawatinap mencapai 7-15% meski dengan penggunaan antibiotik.
Pada usia tua, angka kematian ditemukan lebih tinggi. Angka mortalitas pada pasien
dengan sepsis poliartikular dapat mencapai 30%. Dari 335 pasien yang datang ke rumah
sakit dengan artritis septik, ditemukan data angka kematian sebagai berikut:
6
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Divisi Tropik Infeksi, Departemen llmu Penyakit Dalam,
Departemen Ortopedi, Departemen Rehabilitasi Medik,
Departemen Patologi Klinik / Departemen Mikrobiologi Klinik
• RS non pendidikan : Bagian Ortopedi, Bagian Rehabilitasi Medik, Departemen
Patologi Klinik / Departemen Mikrobiologi Klinik
819
PanduaH Praktlk
Dilom
Kllnis Reumatoloqi
PBftiirtipunnn Do k ter Spusidlio Pflrtyjwl Irtdonesa sy
REFERENSI
1. Fischer A.Primary Immune Deficiency Diseases. In: Longo Fauci Kasper, Flarrison ' s Principles of
.
Internal Medicine 18th edition United States of America:Mcgraw Hill. 2012
2. Setiyohadi B , Tambunan A. Infeksi Tulang dan Sendi. dalam: Sudoyo,Setiyohadi,Buku Ajar llmu
Penyakit Dalam. Edisi V . Jakarta. Interna Publishing. 2011
3. ,
McPhee, Current Medical Diagnosis and Treatment 2011.50 h ed. United State of American. 201
4. .
Kelley Septic arthritis 1701-45 . .
5. Primer 271-6.
6. Gavet F, et al. Septic arthritis in patients aged 80 and older: a comparison with younger adults. J
.
Am GeriatrSoc 2005 Jul;53 ( 7) :l 210). Diunduhdari http://www.ncbi.nlm.nih g0v /pubmed/l 6108940
pada tanggal 3 Mei 2012.
820
821
FIBROMIALGIA
PENGERTIAN
Sindrom kronikyang ditandai dengan nyeri otot dan sendi yang menyebar luas. Sering
terkait dengan kelelahan, kesulitan tidur, gangguan kognitif, ansietas, dan depresi .
13 '
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Diagnosis fibromialgia ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis American College
of Rheumatology (ACR) tahun 2010 (tabel l ) . 3
kognitif ) ditambah keparahan gejala somatik secara umum. Skor akhir antara 0 dan 12
. . .
gejala somatik yang dopal dlpeillmbongkan: nyeri otol irritable bowel syndrome , kelelahan. masalah dalam bOpikll atau
‘mengingal .
.
, kelemahan olol, soldi kepala, kram peiul boa!/ kosomutan, pitting Insomnia depresi
,
..
komllpasl nyeil psriil boglan
. . . . .
atas, rnual. gugup nyeri dada pandangan kabur , demons, dlare mulul ketlng grjtal mengi fenomena Raynaud's
, berdeting dl
. mala koring, sesak nopas .
telinga, muntah, rasa lerbakar dl dodo, ulkus di mulul . hilanrjnya / pwubahan pcmgecopan kcjarig
sensltil Ion idnp malohurl, fct endengat, mi lah mei lai nbul ronlok. unilasi senng d in
hilangnyn nolsu ruukan
spasme kandung kemih
PanduanPraktfk Minis
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
£!fy)
-
# Reumatologi
DIAGNOSIS BANDING1 2
Sindrom nyeri regional miofasial, miopati karena kelainan endokrin (hipotiroid,
hipertiroid, hiperparatiroid, insufisiensi adrenal], miopati metabolik, neurosis,
metastasis karsinoma, sindrom lelah kronik.
TATALAKSANA
• Nonfarmakologis1'2 4
Edukasi, olahraga aerobik, pemanasan, cognitive - behaviorial therapy, terapi kolam
panas, relaksasi, fisioterapi .
• Farmakologis1 2 4
1. Antinyeri : tramadol , parasetamol, opioid lemah lainnya.
2 . Antidepresan: amitriptilin, fluoxetin, duloxetin
3. Antikonvulsan : pregabalin . gabapentin
KOMPLIKASI
Depresi , penurunan kualitas hidup
PROGNOSIS
Pada usia muda dengan gejala ringan, prognosis lebih baik. Prognosis lebih buruk
pada pasien dengan ansietas atau depresi . Kebanyakan pasien terus mengalami nyeri
kronik dan kelelahan namun sebagian pasien masih dapat bekerja penuh dan hanya
sedikit mengganggu kehidupan mereka. 2 4 -
UNIT YANG MENANGANI
• RS pendidikan : Departemen llmu Penyakit Dalam - Divisi Reumatologi
• RS non pendidikan : Departemen llmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Departemen llmu Penyakit Dalam
Divisi Psikosomatik,
-
REFERENSI
l. .
Sjah OKM Fibromialgia dan nyeri miofasial. Dalam: Sudoyo AW , Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata
M, Setiati S, penyunting. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi V. Jakarta; InternaPublishing; 2009.
Hal. 2709- 13
822
Fibromialgia fjp
2. .
Crofford LJ. Fibromyalgia. Dalam: Longo DL. Kasper DL Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo
.
J, penyunting Harrison' s principle of internal medicine. Edisi XVIII. McGraw-Hill Companies;2012.
Hal. 2849-51
3. Wolfe F, Clauw DJ, Fitzcharles MA, Goldenberg DL, Katz RS, Mease P, et al. The american college
of rheumatology preliminary diagnostic criteria for fibromyalgia and measurement of symptom
severity. Arthritis Care and Research 2010; 62 ( 5 ) ; 600-610.
4. Carville SF, Arendt-Nielsen S, Bliddal H, Blotman F, Branco JC, Buskilla D. Eular evidence
.
based recommendations for the management of fibromyalgia syndrome Ann Rheum Dis.
2007;67(4):536-41.
823
824
PENGERTIAN
Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah penyakit reumatik autoimun yang
ditandai adanya inflamasi sistemik, yang dapat mengenai beberapa organ atau sistem
dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan kompleks
imun, sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan. Etiopatologi dari SLE belum
diketahui secara pasti. Diduga melibatkan interaksi yang kompleks antara faktor
genetik dan lingkungan.1
DIAGNOSIS
Diagnosis SLE mengacu pada kriteria dari American College of Rheumatology
(ACR) yang direvisi pada tahun 1982 dan kriteria Systemic Lupus International
Collaborating Clinics (SLICC] 2012. Berdasarkan kriteria ACR, diagnosis SLE
dapat ditegakkanjikamemenuhi 4 dari 11 kriteria tersebutyang terjadi secara
bersamaan atau dengan tenggang waktu ( Tabel l ) .1 2 Berdasarkan kriteria -
SLICC 2012, diagnosis SLE dapat ditegakkan jika memenuhi 4 dari kriteria klinis
dan imunologis (Tabel 2), atau memiliki biopsi terbukti nefritis kompatibel dengan
SLE dengan adanya ANA ( antinuclear antibody ) dan antibodi anti- dsDNA ( anti-double-
stranded DNA ).3
Pemeriksaan Penunjang2
• Darah perifer lengkap : Hemoglobin, Leukosit, Trombosit, Hematokrit, LED
• Ureum, kreatinin, fungsi hati dan profil lipid
• Urinalisis
• ANA, Anti dsDNA
• Foto toraks
• C3 dan C 4 (untuk menilai aktifitas penyakit)
Pemeriksaan berikut dilakukan jika ada indikasi:
• Protein urin kuantitatif 24 jam
• Profil ANA : Anti Sm, Anti- Ro / SS - A, anti La / SS - B dan anti- RNP
• antiphosph olipid antibodies , lupus anticoagul ant , anticardio lipin , anti - /i 2 -
825
mX/ PanduanPraktikKlinis Reumatoloai
^
*v 1 w? ' Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
826
Lupus Eritematosus Sistemik
8. Neurologi
Kejang
Psikosis
Mononeuritis multiplex
tanpa adanya penyebab lain, seperti vaskulitis primer
Mielitis
Neuropati perifer atau kranial , dan DM
tanpa adnaya penyebab lain, seperti vaskulitis primer, infeksi
Status konfusional akut , obat-obatan
tanpa adanya penyebab lain, seperti toksik / metabolic, uremia
9. Anemia hemolitik
10. Leukopenia ( <4.000/mm ) setidaknya sekali
3
, dan hipertensi portal
tanpa adanya penyebab lain, seperti sindrom Felty, obat-obatan
3 setidaknya sekali
ATAU limfopenia ( < 1.000/mm )
dan infeksi
tanpa adanya penyebab lain , seperti pemakaian kortikosteroid
3 ) setidaknya sekali
11. Trombositopenia (<100.000/mm
i portal, dan thrombotic
tanpa adanya penyebab lain, seperti obat -obatan, hipertens
thrombocytopenic purpura ( TTP )
B. Krlterla Imunologls:
1. Level ANA yang meningkat melebihi batas atas normal
batas atas normal ( atau 2x batas atas
2. Level antibody anti- dsDNA yang meningkat melebihi
normal bila pemeriks aan dilakukan dengan ELISA )
3. Anti-Sm: adanya antibodi terhadap antigen nuklir Sm
4. Adanya antibody antifosfolipid yang ditentukan dengan:
Tes lupus antikoagulan positif
Pemeriksaan RPR (rapid plasma regain ) yang positif palsu
lipin (IgA , IgM, atau IgG) yang sedang atau tinggi
Titer antibodi antikardio
Anti-Pj-glikoprotein I (IgA, IgM, atau IgG) positif
5. Kadar komplemen yang rendah
Rendah C3
Rendah C 4
Rendah CH50
6. Tes Coombs langsung tanpa adanya anemia hemolitik
waktu yang bersamaan. SLICC: Systemic Lupus International
Keterangan: '(Criteria SLICC bersifat kumulatif dan tidak harus timbul pada assay .
-stranded DNA: ELISA: enzyme -linked immunosorbent
Collaborating Clinics ; ANA: antinuclear antibody ; anti-dsDNA: anti-double
DIAGNOSIS BANDING
3
oid , sindrom
Undifferentiated connective tissue disease ( UCTD ) , artritis reumat
, fibromyalgia, lupus
vaskulitis, sindrom sjogren primer, sindrom anti - fosfolipid primer
imbas obat.
827
frl rtmiwnPiiWIliMinis Reumatoloqi
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
W
828
Lupus Eritematosus Sistemik 0
:
mudah diterapkan pada pusat kesehatan primer yang jauh dari tersedianya fasilitas
laboratorium canggih, dengan cara sebagai berikut:
4
Masukkan bobot MEX SLEDAI bila terdapat gambaran deskripsi pada saat
pemeriksaan atau dalam 10 hari ini .
BOBOT DESKRIPSI DEFINISI
8 Gangguan • Psikosa.Gangguan kemampuan melaksanakan aktifitas fungsi normal
neurologis dikarenakan gangguan persepsi realitas. Termasuk: halusinasi, inkoheren,
kehilangan berasosiasi, isi pikiran yang dangkal, berfikir yang tidak logis,
.
bizzare disorganisasi atau bertingkah laku kataton.
• Eksklusi:uremia dan pemakaian obat.
• CVA ( Cerebrovascular accident ) : Sindrom baru. Eksklusi arteriosklerosis.
• Kejang: Onset baru, eksklusi metabolik, infeksi, atau pemakaian obat.
• Sindrom otak organik: Keadaan berubahnya fungsi mental yang ditandai
dengan gangguan orientasi, memori atau fungsi intelektual lainnya dengan
onset yang cepat, gambaran klinisyang berfluktuasi. Seperti: a ) kesadaran
yang berkabut dengan berkurangnya kapasitas untuk memusatkan pikiran
dan ketidak mampuan memberikan perhatian terhadap lingkungan,
disertai dengan sedikitnya 2 dari b) gangguan persepsi; berbicara melantur;
insomnia atau perasaan mengantuk sepanjang hari; meningkat atau
menurunnya aktifitas psikomotor. Eksklusi penyebab metabolik, infeksi atau
penggunaan obat .
• Mononeuritis; Defisit sensorik atau motorik yang baru disatu atau lebih
saraf kranial atau perifer.
• Myelitis; Paraplegia dan/ atau gangguan mengontrol BAK /BAB dengan
onset yang baru. Eksklusi penyebab lainnya
6 Gangguan ginjal • Caste, Heme granular atau sel darah merah.
• Haematuria. >5 /Ipb. Eksklusi penyebab lainnya (batu/infeksi)
• Proteinuria. Onset baru, >0.5g/l pada random spesimen.
• Peningkatan kreatinine (>5 mg/dl)
4 Vasculitis • Ulserasi, gangren, nodul pada jari yang lunak, infark periungual , splinter
haemorrhages . Data biopsi atau angiogram dari vaskulitis.
3 Hemolisis • Hb<12.0 g/dl dan koreksi retikulosit >3%.
Trombositopeni • Trombosit: < 100.000. bukan disebabkan oleh obat
3 Miositis • Nyeri dan lemahnya otot-otot proksimal, yang dihubungkan dengan
peningkatan CPK
2 Artritis • Pembengkakan atau efusi lebih dari 2 sendi.
2 Gangguan • Ruam malar. Onset baru atau malar erithema yang menonjol.
Mucokutaneous • Mucous ulcers . Oral atau nasopharyngeal ulserasi dengan onset baru
atau berulang.
• Abnormal Alopenia. Kehilangan sebagaian atau seluruh rambut atau
mudahnya rambut rontok.
2 Serositis • Pleuritis. Terdapatnya nyeri pleura atau pleural rub atau efusi pleura
pada pemeriksaan fisik.
• Perikarditis. Terdapatnya nyeri pericardial atau terdengarnya rub .
.
• Peritonitis Terdapatnya nyeri abdominal difus dengan rebound
tenderness ( Eksklusi penyakit intra-abdominal).
I Demam • Demam >38° C sesudah eksklusi infeksi.
Fatigue • Fatigue yang tidak dapat dijelaskan
1 Leukopenia • Sel darah putih < 4000/mm3, bukan akibat obat
Limfopeni • Limfosit < 1200.mm3, bukan akibat obat.
-
TOTAL SKOR MEX SLEDAI =
829
f§ HaHaaaSfif * Reumatologi
PENGELOLAAN 1 5 4
Pengelolaan pasien SLE harus dilakukan secara komprehensif dengan
memperhatikan berbagai faktor seperti jenis organ yang terlibat dan derajat berat
ringannya, aktifitas penyakit, komorbiditas, dan komplikasi.
Pengelolaan ini terdiri dari:
1. Edukasi dan konseling: penjelasan tentang penyakit Lupus, perjalanan penyakit,
program pengobatan yang direncanakan, komplikasi dan perlunya upaya
pencegahan termasuk menghindari paparan sinar matahari ( ultraviolet]
2. Rehabilitasi: istirahat, terapi fisik, terapi dengan modalitas, ortosis
3. Medikamentosa berdasarkan keterlibatan organ dan derajat aktifitas penyakit:
SLE ringan: parasetamol, OAINS, kortikosteroid topikal, klorokuin,
kortikosteroid oral dosis rendah, tabir surya
SLE sedang: kortikosteroid dosis sedang -tinggi, beberapa imunosupresan
seperti azatioprin dan mikofenolat mofetil ( MMF)
SLE berat atau mengancam nyawa: kortikosteroid pulse dose, siklofosfamid
Terapi lain yang dapat digunakan pada kondisi respons steroid yang tidak adekuat
atau diperlukan steroid sparing agent antara lain: MMF, siklosporin, azatioprin,
metotreksat, klorokuin, rituximab. 2
KOMPLIKASI
.
Anemia hemolitik, trombosis, lupus serebral, nefritis lupus, infeksi sekunder 1,2
PROGNOSIS
Angka harapan hidup pasien dengan SLE di Amerika Serikat, Kanada, Eropa, dan
Cina sekitar 95% dalam 5 tahun, 90% dalam 10 tahun, 78% dalam 20 tahun. Ras
Afrika-Amerika dan Hispanik-Amerika keturunan mestizo mempunyai prognosis lebih
buruk daripada ras kaukasia. Prognosis di negara berkembang lebih buruk daripada
negara maju yaitu dengan angka kematian 50% dalam 10 tahun; seringkali berkaitan
dengan saat pertama kali terdiagnosis, antara lain: pasien dengan nilai kreatinin serum
>124 mol / L atau >1.4 mg / dL, hipertensi, sindroma nefrotik (ekskresi protein urin
> 2.6 g/ 24 jam], anemia (hemoglobin <124 g/ L atau <12.4 g dL], hipoalbumin, jenis
/
-
kelamin laki -laki, dan ras (Afrika Amerika dan Hispanik-Amerika keturunan mestizo).
Disabilitas pada pasien SLE karena kelelahan kronis, artritis, nyeri, adanya penyakit
ginjal. Remisi terjadi pada 25 % kasus selama hanya beberapa tahun. Kematian pada
dekade pertama karena penyakit sistemik, gagal ginjal, tromboemboli, dan infeksi.2
830
Lupus Eritematosus Sistemik fg|
(
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Alergi Imunologi,
Divisi Ginjal Hipertensi, Divisi Pulmonologi, Divisi
Hematologi dan Departemen Ilmu Penyakit Kulit-Kelamin
• RS non pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Kulit-Kelamin
REFERENSI
1. .
Isbagio H, Albar Z, Kasjmir Yl, Setiyohadi B. Lupus Eritematosus Sistemik In: Sudoyo AW , Setiyohadi
.
B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing:
2009.p. 2565-77.
2. Hahn BH. Systemic Lupus Erythematosus. ln:Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, Fauci AS, Hauser
SL, Loscalzo J. Harrisons Principles of Internal Medicine 18lh ed. USA: The McGraw Hill companies:
2012.p.2724-35
3. Petri M, Orbai AM, Alarcon GS, et al. Derivation and validation of the systemic lupus international
collaborating clinics classification criteria for systemic lupus erythematosus. Arthritis Rheum .
2012:64(8):2677-86.
4. American College of Rheumatology Ad Hoc Committee on systemic lupus erythematosus
guidelines. Arthritis Rheum 1999: 42 (9 ) :1785 -96
5. Guzman J, Cardiel MH, Arce-salinas, et al. Measurement of disease activity in systemic lupus
erythematosus. Prospective validation of 3 clinical indices. J Rheumatol 1992:19:1551-1558
6. Petri M. Systemic Lupus Erythematosus. In: Imboden J, Hellmann DB, Stone JH. Current
Rheumatology Diagnosis and Treatment. Singapore: McGraw Hill: 2005. P.171- 178
7. Rekomendari IRA 2011
831
832
NYERI PINGGANG
PENGERTIAN
Nyeri pinggang diartikan sebagai nyeri pada daerah pinggang atau punggung
bagian bawah ( low back pain ) yaitu daerah di daerah lumbal antara tulang rusuk
paling bawah dan garis pinggang. Identifikasi faktor risiko penting untuk memahami
penyakit dasarnya, umumnya berhubungan dengan radikulopati, fraktur, infeksi,
tumor, atau nyeri alih visera.12
Klasifikasi nyeri pinggang ( LBP):3
- Akut : durasi 0-3 bulan
- Kronik: durasi > 3 bulan
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
• Deskripsi nyeri pinggang: sifat, tingkat beratnya nyeri, onset, durasi, frekuensi,
lokasi nyeri, distribusi / penjalaran, serta faktor pencetus atau yang memperberat.
• Adakah tanda bahaya [ red flags ) atau tanda waspada [yellow flags) . 12
• Adakah defisitneurologis
Tabel 1. Tanda - tanda alarm nyeri pinggang254
Red Flags (tanda bahaya) Yellow Flags (tanda waspada)
Sindrom kauda equina Sikap dan kepercayaannya tentang sakit
Nyeri yang memberat, terutama malam hari pinggangnya
dan saat istirahat Suasana hati/emosi
Trauma yang signifikan Perilaku saat sakit
Penurunan berat badan Problem diagnosis dan terapi
Riwayat keganasan Problem keluarga
Demam Problem pekerjaan
Penggunaan obat intravena atau steroid
Pasien berusia 50 tahun
Pemeriksaan Flsik4
• Inspeksi bentuk tulang belakang dengan posisi pasien berdiri, terlentang, atau
telungkup: adakah kifosis /skoliosis/ hiperlordosis / gibbus/ deformitas lain
• Palpasi untuk menilai kelainan struktur anatomis, lokasi dan adanya nyeri tekan
• Perkusi daerah sekitar tulang belakang seperti pemeriksaan nyeri ketok pada
daerah kostovertebra untuk menyingkirkan kemungkinan sumber nyeri dari ginjal
• Pemeriksaan persendian sakroiliaka: tes Fabere atau Patrick yaitu abduksi dan
rotasi eksternal panggul; pelvic rock test dengan cara meletakkan jari- jari pada
krista iliaka bilateral dan ibu jari pada spina iliaka anterior superior dan kemudian
dilakukan tekanan kea rah garis tengah.
• Pemeriksaan neurologis sesuai dermatom keluhan nyeri, tes Laseque atau straight
leg raising ( SLR)atau reverse SLR, serta pemeriksaan kekuatan otot ekstremitas
inferior.
• Pemeriksaan pergerakan tulang belakang: Schober test, lateral flexion.
• Sindrom kauda ekuina ditandai dengan kesulitan miksi, berkurangnya tonus
sphincter ani atau inkontinensia alvi, saddle anaesthesia, gangguan berjalan.
DIAGNOSIS ETIOLOGI1 2 4
833
# HSHMH85S* Reumatologi
Nyeri pinggang
(diluarsebab trauma, non-spinal, atau penyakit sistemlk )
l 1
•
perawatan dlri yang efektif
1
f
Sarankan sebisa mungkin melanjutkan aktifitas, tidak dianjurkan
Terdapat kondisi spesifik
bed rest
• Jelaskan indikasi pemeriksaan kembali dan untuk diagnosis Ya Tidak
Tidak
Terapi inisial
Pasien bersedia menerima risiko dan manfaat terapi
Evaluasi respon terapi
Tidak
I
Nyeri pinggang teratasi atau metnberat dengan tanpa
Lanjutkan perawatan diri
dlsertai gangguan fungsi * Jelaskan indikasi untuk kontrol
Ya
834
Nyeri Pinggang
KOMPLIKASI1
Kerusakan saraf pada ganglion nervus dorsalis
PROGNOSIS3
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Ginjal Hipertensi,
Departemen Neurologi, Departemen Bedah Saraf,
Departemen Bedah Orthopedi
• RS non pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam
REFERENSI
1. .
Back and Neck Pain In: Longo DL, Kasper DL, Jameson DL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J, editors.
Harrison ' s Principals of Internal Medicine 18lh ed. McGraw Hill. 2012
2. Kasjmir Yl. Nyeri Spinal. Dalam: Sudoyo AW, et al editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II edisi
V . Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2011 him 1314 - 6.
3. Huddleston J. Hip and Knee Pain. In: Firestein G, Budd R , Harris Jr E et al. Kelley ' s Textbook of
Rheumatology. 8th Edition. Vol I. Philadelphia: Elsevier Saunders. 2008
4. Colledge NR, Walker BR, Ralston SH, editors. Presenting Problems In Musculoskeletal Disease. In:
Davidson' s Principles and Practice of Medicine 21st ed. Churchill Livingstone-Elsevier: 2010.Page
1072 - 4.
5. The Peterborough Back Rules chart template. G. Powell and The Peterborough Back Rules Working
Group. September, 1997.
6. Guide to Assessing Psychosocial Yellow Flags in Acute Low Back Pain: Risk Factors for Long-Term
Disability and Work Loss. January 1997
835
836
OSTEOPOROSIS
PENGERTIAN
Osteoporosis didefinisikan sebagai penyakit tulang sistemik yang ditandai oleh
compromised bone strength sehingga tulang mudah patah . Meningkatnya aktivitas
resorpsi tulang (bone resorption) melebihi aktivitas pembentukan tulang ( bone
formation) merupakan patogenesis utama terjadinya osteoporosis. Pada wanita
-
post menopause hal tersebut terjadi karena adanya defisiensi estrogen. Osteoporosis
merupakan penyakit dengan etiologi multifaktorial. Umur dan densitas tulang
merupakan faktor risiko osteoporosis yang berhubungan erat dengan risiko terjadinya
fraktur osteoporotik.12
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis1-3
• Keluhan utama: Seringkali pasien tidak disertai keluhan sampai timbul fraktur.
Apabila sudah terjadi fraktur maka akan memberikan gejala sesuai lokasi fraktur
(leher femur, vertebra torakal dan lumbal, distal radius) misalnya nyeri pinggang
bawah, penurunan tinggi badan, kifosis.
• Faktor risiko osteoporosis atau penyebab osteoporosis sekunder:
Riwayat konsumsi obat-obatan rutin: kortikosteroid, hormon tiroid, anti konvulsan
(fenitoin, fenobarbital, karbamazepin, pirimidon, asam valproat), warfarin.
- Penyakit- penyakit lain yang berkaitan dengan osteoporosis: penyakit ginjal
kronik, saluran cerna, hati, hipertiroidisme, hipogonadisme, sindrom Cushing ,
insufisiensi pankreas, artritis reumatoid.
Faktor -faktor lain: merokok, peminum alkohol, riwayat haid, menarche ,
menopause dini, penggunaan obat-obat kontrasepsi, riwayat keluarga dengan
osteoporosis, asupan kalsium kurang.
Pemeriksaan Fisik1 3
tulang, leg -
• Keadaan umum, tinggi dan berat badan, gaya berjalan, deformitas
length inequality.
• Evaluasi gigi geligi
• Tanda -tanda goiter, atau adanya jaringan parut pada leher dapat menandakan
riwayat operasi tiroid.
• Protuberansia abdomen yang dapat disebabkan oleh kifosis
• Kifosis dorsal ( Dowager's Hump ), spasme otot paravertebra
• Nyeri tulang atau deformitas yang disebabkan oleh fraktur
• Kulit yang tipis (tanda McConkey )
Pemeriksaan Penunjang
• Radiologis
Foto polos ( untuk kecurigaan fraktur osteoporosis misalnya pada fraktur
vertebra atau panggul)
Dual Energy X- Ray Absorptiometry (DXA) untuk mengukur Bone Mineral Density
( BMD )S’6
- Indikasi : wanita premenopause dengan risiko tinggi, Iaki-laki dengan satu
atau lebih faktor risiko (hipogonadisme, pengguna alkohol, osteoporosis
pada radiografi, fraktur karena trauma ringan), imobilisasi lama (lebih
dari 1 bulan), masukan kalsium yang rendah lebih dari 10 tahun, artritis
reumatoid atau spondilitis ankilosa selama lebih dari 5 tahun terus
menerus, awal pengobatan kortikosteroid atau methotrexat dan setiap 1- 2
tahun pengobatan, menggunakan terapi antikonvulsan dengan dilantin atau
fenobarbital selama lebih dari 5 tahun, kreatinin klirens < 50 mililiter /
menit atau penyakit tubular ginjal, osteomalasia, hiperparatiroidisme,
penggunaan terapi pengganti tiroid lebih dari 10 tahun, evaluasi terapi
osteoporosis, wanita postmenopause dengan 2 atau lebih faktor risiko
.
Pada wanita postmenopause dan laki-laki > 50 tahun tanpa adanya fraktur
patologis menggunakan T-score:
Nilai T-score -1 dikatakan normal
Nilai T-score -1 sampai dengan - 2,5 dikatakan osteopenia
Nilai T-score - 2,5 dikatakan osteoporosis
Pada wanita premenopause dan laki - laki < 50 tahun , dan anak - anak
menggunakan Z -score\
837
>
tfj PanduanPraktlkMinis Reumatoloqi
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
W
DIAGNOSIS BANDING
Osteomalasia, tumor, osteonekrosis, metastasis, osteogenesis imperfekta,
renal
osteodystrophy, sickle cell anemia, fraktur patologis sekunder yang disebabkan metastas 1 3
is. '
TATALAKSANA' 3
Non farmakologis
• Edukasi dan pencegahan
• Latihan dan program rehabilitasi
838
Osteoartritis
Farmakologis
• Bifosfonat:
Alendronat, dosis 10 mg / hari atau 70 mg / minggu peroral
Risendronat, dosis 5 mg / hari atau 35 mg / minggu atau 150 mg / bulan peroral
Ibandronat, dosis 150 mg / bulan peroral atau 3 mg/ 3bulan intravena
Asam Zoledronat, dosis 5 mg/tahun intravena
• Selective Estrogen Receptor Modulator (SERM): Raloxifene, dosis 60 -120 /
mg hari
• Terapi lainnya
Kalsitriol
Hormon Paratiroid
Strontium Ranelat
Kalsitonin injeksi (untuk pencegahan acute bone loss pada pasien dengan
imobilisasi, diberikan paling lama empat minggu)
7
Bedah
Tindakan pembedahan dilakukan bila terjadi fraktur, terutama fraktur panggul
.
Beberapa hal yang harus diperhatikan:
tindakan
1. Penderita osteoporosis usia lanjut dengan fraktur, bila diperlukan
dan
bedah, sebaiknya segera dilakukan untuk menghindari imobilisasi yang lama
komplikasi fraktur.
, sehingga
2. Tujuan pembedahan adalah untuk mendapatkan fiksasi yang stabil
mobilisasi dapat dilakukan sedini mungkin.
menjadi
3. Asupan kalsium harus tetap diperhatikan, sehingga mineralisasi kalus
sempurna.
4. Walaupun dilakukan pembedahan, terapi medikamentosa tetap diberikan
.
KOMPLIKASI
Kifosis, penurunan tinggi badan, nyeri punggung, nerve entrapment syndrome
,
peningkatan risiko jatuh, dan fraktur.
13
839
Hi
(HUfnH
Panduan PraktikKlinis Reumatoloai
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
PROGNOSIS
Untuk menentukan risiko terjadinya fraktur panggul dan fraktur osteopo
rosis
lainnya, dapat menggunakan WHO Fracture Risk Assessment Tool
(FRAX) . Hanya
7
. .
atau menopause dini (<45 tahun) malnutrisi kronis atau malabsorpsi atau
penyakit hati kronis
Alkohol > 3 unit / hari Pilih YA apabila pasien meminum alkohol 3 unit
/ hari. 1 unit alkohol pada
.
tiap negara berbeda-beda berkisar antara 8-10 gram atau setara dengan
1 gelas birstandar ( 285 ml) . I ukuranspirits ( 30 ml) , gelas wine medium (
120
ml) , atau 1 ukuran aperitif ( 60 ml)
UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan Bagian bedah - ortopedi, Rehabilitasi Medik
• RS Non Pendidikan Bagian bedah - ortopedi, Rehabilitasi Medik
840
Osteoartritis
REFERENSI
1. Lindsay R, Cosman F. Osteoporosis. In: Longo Fauci Kasper,Harrison’ s Principles of Internal Medicine
.
18th Edition. United States of America McGraw Hill. 2012
2. Setiyohadi B. Osteoporosis. Dalam: Alwi I, Setiati S, Setiyohadi B, Simadibrata M, Sudoyo AW. Buku
Ajar llmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi V. Jakarta: Interna Publishing; 2010:2650-76
3. .
Saag G, Sambrook P, Watts N. Osteoporosis. In: Klippel J, Stone J, Crofford L, White P Primer on
.
the Rheumatic Disease. 13th Edition Springer. 2008
4. Curtis JR, Delzell E, Kilgore M, Patkar NM, Saaq K, Warriner AH. Which Fractures Are Most Attributable
to Osteoporosis? J Clin Epidemiol 2011 Jan;64(l):46
5. Qaseem A, Snow V, Shekelle P, Hopkins R Jr, Forciea MA, Owens DK, Clinical Efficacy Assessment
Subcommittee of the American College of Physicians. Pharmacologic treatment of low bone
density or osteoporosis to prevent fractures: a clinical practice guideline from the American
.
College of Physicians. Ann Intern Med 2008 Sep 16:149 ( 6) :404-l 5
6. Bates D, Black DM, Cummings SR. Clinical Use of Bone Densitometry: Scientific Review. JAMA
2002 Oct 16:288 ( 15);1889
7. FRAX WHO Fracture Assessment Tool. Diakses melalui http:/ / www.shef.ac.uk / FRAX / tool
. .
jsp? country=46 pada tanggal 5 Mei 2012
841
842
OSTEOARTRITIS
PENGERTIAN
Osteoartritis (OA) adalah penyakit sendi degeneratif dan inflamasi yang ditandai
dengan perubahan patologik pada seluruh struktur sendi. Keadaan patologis yang
terjadi adalah hilangnya rawan sendi hialin, diikuti penebalan dan sklerosis tulang
subkondral, pertumbuhan osteofit pada tepi sendi, teregangnya kapsul sendi, sinovitis
ringan, dan kelemahan otot yang menyokong sendi.12
Secara etiopatogenesis, osteoartritis adalah kegagalan perbaikan kerusakan sendi
yang disebabkan oleh stres mekanik yang berlebih. Faktor mekanik yang mendasari
OA adalah peningkatan stres intra -artikular patologis, yang terjadi akibat peningkatan
kuantitatif dari pembebanan sendi ( misalnya pembebanan impulsif berulang). Beban
impulsif menyebabkan jejas mikro pada tulang subkondral dan rawan sendi yang
melebihi kemampuan sendi untuk memperbaiki kerusakan. Inflamasi pada osteoartritis
timbul sekunder akibat produk degradasi rawan sendi dan tulang.3 5 '
Faktor risiko osteoartritis adalah faktor genetik, faktor konstitusional (usia, jenis
kelamin perempuan, obesitas), dan faktor biomekanik ( jejas sendi, penggunaan pada
pekerjaan, berkurangnya kekuatan otot, malalignment sendi).2
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Tabel 1. Kriteria diagnosis osteoartritis lutut berdasarkan ACR tahun 1986 7
‘
Minis dan laboratorlum KHnls dan radk>grafl Kllnls
Nyeri lutut dan setidaknya 5 dari Nyeri lutut dan setidaknya 1 dari Nyeri lutut dan setidaknya 3 dari
9 kriteria berikut: 3 kriteria berikut: 6 kriteria berikut:
1. Usia > 50 tahun 1. Usia > 50 tahun .
1 Usia > 50 tahun
.
2 Kaku sendi < 30 menit 2. Kaku sendi < 30 menit .
2 Kaku sendi < 30 menit
.
3 Krepitus 3. Krepitus + osteofit .
3 Krepitus
4. Nyeri tulang .
4 Nyeri tulang
5. Pembesaran tulang 5. Pembesaran tulang
6. Tidak teraba hangat pada 6. Tidak teraba hangat pada
palpasi palpasi
7. LEDS 40 mm/jam
PanduanPraktik Klims
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
Osteoartritis
DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding perlu dipikirkan terutama pada osteoarthritis dengan efusi
sendi atau inflamasi minimal. Diagnosis banding pada kasus tersebut adalah: Reumatik
,
ekstraartikuler ( bursitis, tendinitis), artritis gout, artritis reumatoid, artritis septik
spondilitis ankilosa, dan hemokromatosis.
10
TATALAKSANA
Nonfarmakologis
Edukasi, menghindari aktivitas yang menyebabkan pembebanan berlebih pada
sendi, olahraga untuk penguatan otot lokal dan olahraga aerobik, penurunan berat
badan jika berat badan berlebih atau obes, aplikasi lokal panas atau dingin, peregangan
sendi, transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS), penggunaan penyokong sendi
,
penggunaan alat bantu pada yang mengalami gangguan dalam aktivitas sehari- hari.
210
843
O
'cl ? %$'
PandtianPraktlk Minis Reumatoloqi
Perhimpunan Ookter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
W
Farmakologis210
1. Antinyeri: Parasetamol, obat anti inflamasi non steroid (OAINS) topikal atau sistemik
(baik yang nonspesifik maupun spesifik COX II), opioid, tergantung derajat nyeri dan
inflamasi
2. Pertimbangkan injeksi kortikosteroid intraartikular terutama untuk OA lutut
dengan efusi.
3. Injeksi hialuronat atau viscosupplement intra artikular untuk OA lutut
-
Bedah
Tindakan bedah dilakukan jika terapi farmakologis sudah diberikan dan tidak
memberikan hasil misalnya pasien masih merasa nyeri, disabilitas, dan mengurangi
kualitas hidup mereka. Tindakan bedah yang diindikasikan untuk osteoartritis lutut
dan sendi panggul adalah total joint arthroplasty. 2
KOMPLIKASI
Deformitas sendi
PROGNOSIS
Osteoartritis tangan memiliki prognosis yang baik. Keterlibatan dasar ibu
jari memiliki prognosis yang lebih buruk. Osteoartritis lutut memiliki prognosis
yang bervariasi. Osteoartritis sendi pinggul memiliki prognosis yang lebih buruk
dibandingkan osteoartritis pada tempat lain. Faktor risiko untuk total hip replacement
adalah usia > 60 tahun, kaku pagi , nyeri pada kemaluan atau paha sisi medial,
berkurangnya ekstensi / adduksi, rotasi internal yang nyeri, IMT < 30 kg m 2.11
/
UNIT YANG MENANGANI
• RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Reumatologi
• RS non pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Departemen Bedah - Orthopedi, Rehabilitasi Medik
• RS non pendidikan : Departemen Bedah
844
Osteoartritis ip
REFERENSI
1. Soeroso J, isbagio H, Kalim H, Broto R, Pramudiyo R . Osteoartritis. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi
.
B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, penyunting Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi V. Jakarta;
InternaPublishing; 2009. Hal. 2538-49
2. Felson DT. Osteoarthritis. Dalam: Longo DL. Kasper DL. Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo
J, penyunting. Harrison' s principle of internal medicine. Edisi XVIII. McGraw-Hill Companies; 2012.
Hal. 2828-36
3. Brandt KD, Dieppe P, Radin EL. Etiopathogenesis of osteoarthritis. Rheum Dis Clin N Am 2008:34:531 -59
4. National Collaborating Centre for Chronic Conditions. Osteoarthritis: national clinical guideline
for care and management in adults. London: Royal College of Physicians, 2008
5. Abramson SB, Attur M. Developments in the scientific understanding of osteoarhtritis. Arthritis
research and therapy 2009 , 11 :227
6 . Klippel JH, Stone JH, Crofford LJ, White PH, penyunting. Primer on the rheumatic diseases. Edisi
XIII. New York: Springer Science;2008. Hal 669-82
7. Altman R , Asch E, Block G, et al. Development of criteria for the classification and reporting of
osteoarthritis: classification of osteoarthritis of the bone. Arthritis Rheum 1986; 29. 1039- 49.
8 . Altman R, Alarcon G, Appelrouth D, Bloch D, Borenstein D, Brandt K. The american college of
rheumatology criteria for the classification and reporting of osteoarthritis of the hip. Arthritis and
Rheumatism 1991:34:5:505- 14
9. Altman R , Alarcon G, Appelrouth D, et al. The American College of rheumatology for the
classification and reporting of osteoarthritis of the bone. Arthritis Rheum 1990; 33: 1601- 10.
10. Conaghan PG, Dickson J, Grant RL. Care and management of osteoarthritis in adults: summary
of nice guidance. BMJ 2008:336:502-3
11 . Lievense AM, Koes BW, Verhaar JAN, Bohnen AM, Bierma -Zeinstra SMA. Prognosis of hip pain in
general practice: a prospective followup study. Arthritis and rheumatism 2007; 57 (8): 1368-1374
845
846
REUMATIK EKSTRAARTIKULAR
PENGERTIAN
Reumatik ekstraartikular adalah sekelompok penyakit dengan manifestasi klinik
umumnya berupa nyeri dan kekakuan jaringan lunak, otot atau tulang tanpa hubungan
yang jelas dengan sendi bersangkutan ataupun penyakit sistemik serta tidak semuanya
dapat dibuktikan penyebabnya . Terdapat tiga faktor yang diduga menjadi penyebab
REA antara lain mekanikal, inflamasi dan deposisi kristal . Beberapa penyakit reumatik
ekstraartikular yang penting dan sering ditemui adalah periartritis kalsifik, entesopati,
tenosinovitis, bursitis. Pada bab ini, reumatik ekstraartikular yang akan dibahas adalah
berdasarkan lokasi bagian tubuh yang terkena.12
PanduanPraktik Minis
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
Reumatik Ekstraartikular ifp
Pemeriksaan fisik: nyeri pada palpasi, pemeriksaan LGS aktif dan pasif terbatas
ke semua arah
Diagnosis banding: artritis glenohumeral .
3. Tendinitis bicipital
Anamnesis : nyeri difus pada anterior bahu, nyeri bersifat kronis dan berkaitan
dengan penjepitan tendon bisep oleh akromion .
Pemeriksaan fisik: palpasi daerah bisipital, terdapat nyeri pada manuver supinasi
lengan bawah melawan tahanan ( Yergason's sign ) , fleksi bahu melawan tahanan
Cspeed's test ) , ekstensi bahu.
Diagnosis banding: robekan labral, osteoartritis, robekan rotator cuff, rotator cuff
tendinitis, bursitis subakromial.
847
# Esasass* Reumatologi
2 . Tenosinovitis De Quervain
Anamnesis: nyeri lokal pada bagian punggung pergelangan tangan menjalar ke ibu
jari dan lengan atas sisi radial, bendayangdipegangterlepas sendiri dari genggaman.
Pemeriksaan fisik: nyeri dan pembengkakan tendon di daerah prosesus stiloideus radii,
tes Finkelstein positif (nyeri bertambah dengan adduksi ibu jari dan deviasi ulnar).
3. Carpal Tunnel Syndrome
Anamnesis: parastesia atau mati rasa pada ibu jari, telunjuk dan jari tengah, dapat
menjalar hingga telapak tangan, keluhan semakin bertambah pada saat mengetuk,
memeras, menggerakkan pergelangan tangan, nyeri bertambah hebat pada malam
hari, pergelangan tangan terasa diikat ketat dan kaku gerak.
Pemeriksaan fisik: kekuatan tangan menurun, atrofi tenar, tes provokasi (p/ia /en
test ) , Tinnel's sign.
Diagnosis banding: sindrom nyeri servikobrakial, mononeuritis multipleks.
Bursitis trokanterik
Anamnesis: nyeri di daerah trokanter mayor, pembengkakan lokal, rasa nyeri
terutama malam hari, nyeri dirasakan intensif bila berjalan, gerakan yang bervariasi
dan berbaring pada sisi yang terkena.
Pemeriksaan fisik: nyeri tekan di atas daerah panggul lateral dan dapat menjalar
ke bawah, ke kaki atau ke lutut, nyeri bertambah pada rotasi eksternal dan abduksi
melawan tahanan, tenderness point pada daerah trokanterik.
Diagnosis banding: radikulopati, osteoartritis panggul.
848
Reumatik Ekstraartikular Cp
Pemeriksaan fisik: nyeri tekan dan pembengkakan pada daerah bursa anserine
(anteromedial dari tibia proksimal], nyeri memberat dengan kontraksi otot
sartorius, grasilis dan semitendinosus.
3. Bursitis prepatelar (Housemaid’s knee )12
Anamnesis: nyeri saat berlutut, terasa kaku.
Pemeriksaan fisik: bengkak superfisial dan merah pada bagian anterior lutut.
Diagnosis banding: infeksi, gout, pseudogout, fraktur, dislokasi patella, robekan
ligamen, bursitis infrapatella.
4. Tendinitis patellar12 6
Anamnesis: nyeri di daerah tendon patella, nyeri saat melompat, naik tangga atau
jongkok.
Pemeriksaan fisik: nyeri tekan pada tendon patellar.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan- pemeriksaan penunjang yang bisa dilakukan antara lain ultrasonografi
muskuloskeletal, MRI , foto polos untuk menyingkirkan diagnosis banding, artrografi,
aspirasi bursa untuk mencari etiologi (pada bursitis], elektromiografi. Pemilihan
18'
849
fifk Panduan Praktik Klinis Reumatoloai
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
TATALAKSANA1 5 8
Nonfarmakologis : edukasi, menghindari faktor pencetus, istirahat, latihan ,
rehabilitasi, fisioterapi ( kompres air dingin, pemanasan, ultrasound, diatermi),
pemasangan bidai.
Farmakologis: OAINS, Analgesik, Injeksi intralesi ( kortikosteroid, lidokain lokal)
Bedah: apabila dengan terapi konservatif tidak menunjukkan perbaikan
KOMPLIKASI
Kontraktur, jepitan saraf
PROGNOSIS
Pada umumnya penyakit Reumatik ekstraartikular bersifat self -limiting .
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Semua Divisi di lingkungan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
• RS non pendidikan
REFERENSI
l. . .
Marpaung B Reumatik ekstra artikular In: Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati
.
S, editors Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5lh ed. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian
Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2009:2698 - 2704
2. Langford C, Gilliland B . Periarticular disorders of the extremities. In: Fauci A , Kasper D, Longo D,
Braunwald E, HauserS, Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison ' s principles of internal medicine.
18lh ed. United States of America; The McGraw-Hill Companies. 2012: 2860 - 3
3. Woodward T, Best T. The painful shoulder. Am Fam Physician. 2000:61 ( 10) :3079 - 3088
4. Makkouk AH, Oetgen M, Swigart C, Dodds S. Trigger finger: etiology, evaluation and treatment.
Curr Rev Musculoskelet Med. 2008: 1 ( 2 ) : 92 - 96
5. Hellmann D, Imboden J. Musculosceletal and immunologic disorders. In: McPhee S, Papadakis
M, Rabow M, editors. Current medical diagnosis and treatment 2011.50lh ed. California; The
McGraw -Hill Education. 2010:779 - 840
6. Visentini PJ, Khan KM, Cook JL, Kiss ZS, Harcourt PR, Wark JD. The VISA score: an index of severity
of symptoms in patients with jumper ' s knee (patellar tendinosis) . Victorian Institute of Sport Tendon
Study Group. J Sci Med Sport.1998;1 ( 1 ) :22 - 8
7. .
Handy JR. Anserine bursitis: a brief review. South Med J 1997:90 ( 4) :376 - 7
8. Starr M, Kang H. Recognition and management of common forms of tendinitis and bursitis.
Canadian J CME. 2001: 155 - 63
850
851
SKLERODERMA
PENGERTIAN
Sklerosis sistemik (skleroderma) adalah penyakit jaringan ikat yang tidak
diketahui penyebabnya yang ditandai oleh fibrosis kulit dan organ viseral serta
kelainan mikrovaskuler. Penyakit ini merupakan penyakit autoimun, yang dimediasi
oleh limfosit.12
DIAGNOSIS
Pada tahun 1980, American Rheumatism Association ( ARA) mengajukan kriteria
pendahuluan untuk klasifikasi sklerosis sistemik progresif. Kriteria ini terdiri atas:
3
1. Kriteria Mayor:
Skleroderma proksimal: penebalan, penegangan dan pengerasan kulit yang
simetrik pada kulit jari dan kulit proksimal terhadap sendi metakarpofalangeal
,
atau metatarsofalangeal. Perubahan ini dapat mengenai seluruh ekstremitas, muka
leher dan batang tubuh (toraks dan abdomen).
2. Kriteria Minor:
• Sklerodaktil: perubahan kulit seperti disebut diatas, tetapi hanya terbatas
pada jari.
• Pencekungan jari atau hilangnya substansi jari terjadi akibat iskemia. Daerah
yang mencekung pada ujung jari atau hilangnya substansi jari terjadi akibat
iskemia .
• Fibrosis basal dikedua paru. Gambaran linier atau lineonodular yang retikuler
terutama dibagian basal kedua paru tampak pada gambaran foto dada standar.
Gambaran paru mungkin menimbulkan bercak difus atau seperti sarang lebah.
Kelainan ini bukan merupakan kelainan primer paru.
Diagnosis sklerosis sistemik ditegakkan bila didapatkan 1 kriteria mayor atau
2 kriteria minor. Namun kriteria ARA ini sudah mulai ditinggalkan dan tidak lagi
ditujukan untuk diagnosis karena banyak pasien dengan sklerosis sistemik terbatas
( limited systemic sclerosis) tidak memenuhi kriteria ini.
4
M
vjU f y
Panduan PraktikKlinis Reumatoloai
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia w ^ w w
852
Skleroderma $7)
"
Selain itu terdapat varian skleroderma lokal yang hanya mengenai kulit tanpa
disertai kelainan sistemik:6
• Morfea adalah perubahan skleroderma setempat yang dapat ditemukan pada
bagian tubuh mana saja. Fenomena raynaud sangat jarang didapatkan .
• Skleroderma linier umumnya didapatkan pada anak - anak, ditandai oleh
perubahan skleroderma pada kulit dalam bentuk garis-garis dan umumnya disertai
atrofi otot dan tulang dibawahnya.
• Skleroderma en coupe de sabre. Merupakan varian skleroderma linier, dengan
manifestasi berupa garis sklerotik pada ekstremitas atas atau bawah atau daerah
frontoparietal yang dapat menyebabkan deformitas muka dan kelainan tulang.
Pemeriksaan Penunjang' 2
Laboratorium
Autoantibodi ditemukan hampir pada semua pasien dengan skleroderma
(sensitivitas > 95%). ANA merupakan antibodi yang paling sering ditemukan, tetapi
tidak cukup spesifik untuk skleroderma .4
Pemeriksaan Patolog
biopsi kulit
853
# tSSgBSS& X* Reumatologi
DIAGNOSIS BANDING' 2
Nephrogenic sistemik fibrosis, eosinofilic fasciitis, sclerodema diabeticorum dan
scleremyxedema
TATALAKSANA5
Penyuluhan dan dukungan sosial
Penanganan Fenomena raynaud dan kelainan kulit
Menghindari merokok dan udara dingin.
Pada keadaan berat, bila disertai ulkus pada ujung jari atau mengganggu
.
aktivitas sehari- hari dapat dicoba vasodilator misalnya nifedipin,prazosin,atau
nitrogliserin topikal.
Obat lain adalah iloprost suatu analog protasiklin, diberikan secara intravena
dengan dosis 3ng/ kgBB/ mnt, 5-8 jam / hari selama 3 hari berturut-turut. Selain
itu obat ini juga digunakan untuk mengobati ulkus pada jari.
Perawatan kulit dapat dipertimbangkan bila ada infeksi sekunder, bila luka
cukup dalam dibutuhkan perawatan secara bedah,nekrotomi dan pemberian
antibiotik parenteral.
Pemberian obat remitif
-
• D penisilamin,kolkisin, metotreksat, siklofosfamid dan obat-obat imunosupresif
lainnya.
Penanganan kelainan muskuloskeletal
Obat anti inflamasi non-steroid (OAINS) dapat diberikan. Bila nyeri menetap
dipertimbangkan injeksi steroid lokal atau steroid sistemik dosis kecil dalam
waktu singkat. Fisioterapi untuk mencegah dan mengatasi kontraktur.
Penanganan kelainan gastrointestinal
Pasien dengan dismotilitas esofagus disarankan meninggikan kepalanya pada
waktu berbaring, makan pada posisi tegak dengan porsi kecil dan sering.
854
Skleroderma ffip
.
Antasida antagonis H 2 dan obat sitoprotektif pada kasus ringan sedang, pada
kasus berat dianjurkan PPI.
Obat prokinetik pada keadaan disfagia dan hipomotilitas usus.
Bila terdapat striktur esofagus dilakukan dilatasi secara berkala.
Bila konstipasi diberikan pelunak tinja dan diet serat tinggi.
• Penanganan kelainan paru
Pneumonitis interstitial diterapi menggunakan kortikosteroid atau siklofosfamid.
Bila terjadi hipertensi arteri pulmonal,pengobatan dimulai dengan oral endothelin-1
receptor antagonist atau phosphodiesterase inhibitor seperti sildenafil, selain itu
pasien mungkin membutuhkan diuretik,antikoagulan dan digoksin.
• Penanganan kelainan ginjal
Krisis renal dengan hipertensi berat merupakan komplikasi yang serius dan angka
kematian yang cukup tinggi, yang dapat diturunkan dengan menggunakan obat
penghambat enzim pengkonversi angiotensin. Jika diperlukan dapat dilakukan
dialisis.
KOMPLIKASI
Hipertensi pulmonal, krisis renal sistemik, Barret's esofhagitis. ulkus dan gangren
.
ujung jari 1, 2,5
PROGNOSIS
Angka harapan hidup 5 tahun pasien sklerosis sistemik adalah sekitar 68%.
Penelitian Altman dkk, mendapatkan beberapa prediktor yang memperburuk
prognosis sklerosis sistemik adalah:5
• Usialanjut (> 64tahun) penurunan fungsi ginjal (BUN<16mg/ dl] anemia (Hb < llg/ dl)
• Penurunan kapasitas difusi C02 pada paru (< 50% prediksi]
• Penurunan kapasitas difusi C02 pada paru (<50% prediksi)
• Penurunan kadar protein serum total (6mg/dl)
• Penurunan cadangan paru (kapasitas vital paksa <80 % pada Hb >14g / dl atau
kapasitas vital paksa < 65% pada Hb <14g/ dl).
855
# MSMSSSfi* Reumatologi
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Semua Divisi di lingkungan Departemen Ilmu Penyakit Dalam ,
Departemen Bedah Vaskuler
• RS non pendidikan : Departemen Bedah
REFERENSI
.
1 . .
Vgrga j 'Systemic Sclerosis (Scleroderma) and Related Disorders In: Long© Fauci Kasper, Harrison' s
'
. .
Principles of Internal Medicine 1§lh Edition United States of America McGraw Hill 2012.
.
2 .
Setiyohadi B. Sklerosis Sistemik Dalam: Sudoyo, Setiyohadi, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi .
V. Jakarta, jnferna Publishing. 2dH
.
3 Subcommittee for Scleroderma Criteria of the American Rheumatism Association Diagnostic
.
and Therapeutic Criteria Committee Preliminary criteria for the classification of systerriic sclerosis
(scleroderma). Arthritis Rheum 1980;23:581-90 .
4 . .
HduStein U. Systemic Sclerosis - scleroderma. Dermatology Online Journal 8 (1 ):3 2002. Diakses
melalui http://dermatology:cdlib,org/DOJvol8nUml /reviews/scleroderma /haustein html pada .
tanggal 4 Mei 2012.
5 . .
Hummers L, Wigley F. Scleroderma. In: Imboden J, Hellmann D, Stone J Current Rheumatology
Diagnosis & Treatment. 2nd Edition. United States of America. McGraw Hill. 2004
.
6 Falanga V, Killoran C. Chapter 62: Morphea. In: Wolff K, Goldsmith L, Katz S, et al. Fitzpatricks' s
, .
Dermatology in General Medicine. 7 h Edition. United States of America. McGraw Hill 2008 p543-6
856
857
SPONDILOARTROPATI
PENGERTIAN
Spondiloartropati adalah sekelompok penyakit radang sendi yang mempunyai
faktor predisposisi dan tampilan klinis yang mirip. Yang termasuk spondiloartropati
adalah spondilitis ankilosa, artritis reaktif (termasuk Reiter' s syndrome) , artritis
psoriatik, inflammatory bowel disease - associated spondyloarthropathy,dan
undifferentiated spondyloarthropathy. Penyakit-penyakit ini mempunyai kesamaan
yaitu berhubungan dengan gen HLA- B 27 dan adanya entesitis sebagai lesi patologi
dasar. Tampilan klinis lain diantaranya adalah inflammatory back pain , daktilitis,
manifestasi ekstraartikular seperti uveitis dan ruam kulit.12
DIAGNOSIS SPONDILOARTROPATI
Spondiloartropati dicurigai pada setiap kasus dengan nyeri pinggang inflamasi > 3
bulan (spondiloartritis aksial), maupun artritis perifer yang asimetris, dan / atau yang
predominan di ekstrimitas bawah (spondiloartritis perifer). Kriteria nyeri pinggang
inflamasi mengikuti kriteria ASAS tahun 2009 (tabel l ).3 Selanjutnya penegakan
diagnosis spondiloartropati berdasarkan kriteria menurut ASAS tahun 2010 (gambar l) .4
PanduanPrakdk Klinis
Pertiimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
ES55SIR1* Reumatologi
i
Sakroiliitis pada HLA-B 27 PLUS Artritis atau entesitis atau daktilitis
pencitraaan PLUS =2 gambaran SpA PLUS
=1gambaran SpA yang lain
Keterangan :
1 Nyeri pinggang inflamasi: adanya gejala saat ini atau riwayat nyeri spinal (pinggang, dorsal atau servikal), dengan 4 dari 5 gejala,
yaitu onset <45 tahun, onset insidious, perbaikan dengan latihan, kaku pagi hari dan durasi > 3 bulan.
2. Sinovitis: adanya gejala saat ini atau riwayat artritis asimetris atau artritis yang predominan di ekstrimitas bawah.
3. Riwayat keluarga pada tingkat satu atau dua, berupa spondilitis ankilosa, psoriasis, uveitis akut, artritis reaktif, IBD
4 . Psoriasis: adanya gejala saat ini atau riwayat psoriasis yang didiagnosis oleh dokter
5. IBD: adanya gejala saat ini atau riwayat penyakit Crohn atau colitis ulseratif yang didiagnosis oleh dokter dan dikonflrmasi dengan
pemeriksaan radiologi dan endoskopi
.
6 Nyeri gluteus yang bergantian: adanya gejala saat ini atau riwayat nyeri bokong yang bergantian antara regio gluteus kanan dan kiri.
7. Entesopati : adanya gejala saat ini atau riwayat nyeri spontan atau nyeri tekan pada insersi tendon achilles dan fasia plantaris
saat pemeriksaan fisik
8. Diare akut: diare yang terjadi dalam satu bulan sebelum timbulnya artritis.
.
9 . Urethritis/servisitis: uretritis atau servisitis non-gonokokal yang terjadi dalam satu bulan sebelum timbulnya artritis
10. Sakroilitis: sakroilitis dengan grade 2-4 ( bilateral) atau grade 3 - 4 ( unilateral) berdasarkan pemeriksaan radiografl,
(0= normal, l=suspek, 2=minimal, 3=sedang, 4=ankilosis).
SPONDILITIS ANKILOSA
Nyeri pinggang pada spondilitis ankilosa timbul secara bertahap dan sifat nyerinya
tumpul , dengan penjalaran ke arah gluteal . Nyeri pinggang memberat pada pada pagi
hari dan membaik dengan aktivitas dan serta mempunyai komponen nyeri nokturnal . Hal
tersebut sesuai dengan kriteria nyeri pinggang inflamasi, seperti yang telah dijelaskan
di subtopik Spondiloartropati. Seiring dengan berjalannya waktu, artritis aksial dapat
berkembang dari sendi sakroiliak, menuju ke vertebra lumbalis / servikalis . Mobilitas
858
Spondiloartropati 0
'
tulang belakang menjadi terbatas karena adanya deformitas spinal seperti lordosis
lumbar yang mendatar, kifosis dada yang berlebih, hiperekstensi vertebra servikalis, dan
adanya sindesmofit di antara ruas-ruas tulang belakang. Pemeriksaan tulang belakang
seperti tes Schober dan tes jarak occiput ke dinding memberikan hasil positif terutama
yang sudah lanjut.5 8 '
Pemeriksaan Penunjang5 8
• DPL, LED, dan CRP
• HLA- B 27 (dapat dilakukan untuk membantu penegakan diagnosis tetapi tidak
direkomendasikan dilakukan secara rutin]
• Pemeriksaan radiologis: foto polos sendi sakroiliaka dan vertebra serta sendi lain
yang terlibat, bila diperlukan dapat dilakukan MRI pada sendi sakroiliaka, terutama
pada awal perjalanan penyakit
DIAGNOSIS
Diagnosis AS dapat ditegakkan dengan menggunakan kriteria modifikasi New
York 1984 seperti pada tabel 2.9
TATALAKSANA1011
Non farmakologis
Edukasi, terapi fisik, program latihan di rumah , sikap tubuh yangtepat dan sesuai.
Rehabilitasi pasien rawat mungkin dibutuhkan pada pasien- pasien tertentu.
Farmakologis
• OAINS adalah pilihan utama untuk mengatasi nyeri dan kaku. Analgesik lain seperti
asetaminofen dan tramadol bisa dipertimbangkan untuk kombinasi.
859
aasag Reumatologi
• Injeksi steroid lokal dapat digunakan untuk mengontrol inflamasi lokal, sedangkan
pemberian sistemik tidak dianjurkan.
• DMARD konvensional seperti metotreksat dan sulfasalazine tidak terbukti
bermanfaat, kecuali sulfasalazin yang bisa digunakan pada kasus yang disertai
artritis perifer.
• Agen biologik yang saat ini direkomendasikan untuk terapi AS adalah golongan anti-
TNFa. Agen biologik sebaiknya diberikan pada kasus dengan aktifitas penyakit yang
tinggi dan menetap serta kurang respon dengan terapi konvensional.
Tindakan Bedah
• Artroplasti panggul dilakukan pada nyeri panggul yang refrakter disertai dengan
kerusakan struktural secara radiologis.
• Spinal corrective osteotomy dipertimbangkan pada pasien dengan deformitas
tulang belakang berat .
ARTRITIS REAKTIF112
, 3
Anamnesis
Artritis reaktif terjadi satu sampai empat minggu setelah infeksi saluran pencernaan
ataugenitourinarius. Organisme penyebab diantaranya adalah Chlamydia, Ureaplasma,
Shigella, Salmonella, Yersinia, dan Campylobacter sp. Diare akut seringkali merupakan
manifestasi yang terlihat jika artritis reaktif terjadi setelah infeksi Shigella, Yersinia
dan Salmonella. Beberapa studi menunjukkan adanya bukti bahwa Chlamydophila
(Chlamydia) pneumoniae yang menimbulkan infeksi saluran nafas dapat menimbulkan
artritis reaktif , meskipun angka kejadiannya lebih jarang. Pada 20% pasien laki-laki
dengan artritis reaktif didapatkan balanitis sirsinata.
Pemeriksaan Fisik
Oligoartritis akut terjadi dalam beberapa hari, dengan distribusi asimetris, terutama di
ekstrimitas bawah. Entesitis seringterjadi, terutama pada tumit. Manifestasi ekstraartikuler
dapat berupa konjungtivitis (50 %), atau uveitis (akut, unilateral, dan berulang).
Pemeriksaan Penunjang
• Laboratorium: darah perifer lengkap, LED, CRP, dan analisa cairan sendi (gambaran
inflamasi) . Pemeriksaan mendapatkan sumber infeksi pemicu seperti dengan
860
Spondiloartropati |p
kultur atau serologi, dapat membantu penegakan diagnosis ( terutama untuk
Chlamydiae ), namun tidak dianjurkan untuk dilakukan secara rutin.
• Radiologi: Pada kasus artritis reaktif yang kronik, pemeriksaan radiologis foto polos
dapat memberikan gambaran sakroiliitis, periostitis, sindesmofit non -marginal,
erosi sendi dan penyempitan celah sendi. Pemeriksaan USG dan MRI pada sendi
terutama sendi sakroiliak akan sangat membantu deteksi dini perubahan tersebut.
Tatalaksana
• Non farmakologis: edukasi, terapi fisik / rehabilitasi medik
• Farmakologis
Obat anti inflamasi non -steroid (OAINS)
Injeksi kortikosteroid intraartikuler dapat digunakan pada artritis yang
mengenai 1- 2 sendi atau monoartritis yang berat
Pada arthritis reaktif yang kronik dan berat dapat diberikan DMARD, seperti
sulfasalazin dan metotreksat, atau steroid sistemik
Terapi terhadap infeksi pemicu hanya diindikasikan pada infeksi Chlamydia
trachomatis, antara lain dengan kombinasi terapi sinovektomi dan azitromisin
selama 3 bulan.
Prognosis
Pada umumnya prognosis baik, dan sebagian besar sembuh total setelah beberapa
bulan, dan hanya didapatkan 14- 20 % pasien yang menetap dan menjadi artritis kronik.
ARTRITIS PSORIATIK1141516
Anamnesis
Pada kebanyakan kasus, manifestasi kulit mendahului keterlibatan sendi.
Walaupun dapat terjadi sebaliknya pada 15-20% kasus. Ada beberapa tipe, yaitu tipe
oligoartikular (empat atau kurang sendi terlibat], tipe poliartikuler (lima atau lebih
sendi terlibat) , pola dengan predominan keterlibatan sendi interfalangeal distal,
artritis mutilan, dan spondilitis psoriatik. Lebih dari 70 % kasus merupakan tipe
oligoartikular.
861
I
Panduan Praktik Klinis
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia Reumatoloai
Pemeriksaan Fisik
Manifestasi klinis dapat ringan hingga berat (destruktif ]. Selain di tempatnya yang
khas, permukaan ekstensor lutut, psoriasis dapat pula terdapat pada bagian kecil
pada kulit kepala, telinga, celah anus, perineum, atau umbilikus. Lesi kuku, termasuk
pitting dan onikolisis, terdapat pada lebih dari 80 % pasien dengan artritis psoriatik.
Pada artritis psoriatik, uveitis cenderung kronik dan terjadi bilateral.
Tempat Predileksi
Asimetris, pada sendi distal. Jika akan dibuat diagnosis artritis psoriatik, maka
kulit diperiksa secara hati- hati untuk mencari lesi psoriatik.
Radiologi
Gambaran radiografi pasien dengan artritis psoriatik memperlihatkan adanya artritis
erosif, dengan tersering terjadi pada sendi DIP dan terjadi perubahan pencil-in - cup akibat
resorpsi tulang. Temuan lain diantaranya adalah enthesitis dengan reaksi periosteal,
sakroiliitis, dan spondilitis, sama seperti yang ditemukan pada artritis reaktif
Tatalaksana
• Non farmakologis
• Farmakologis:
Manifestasi Kulit
• Terapi topikal kortikosteroid, retinoid
• Terapi UV
862
Spondiloartropati
Manifestasi Sendi
• Obat anti inflamasi non -steroid (OAINS)
• Kortikosteroid oral
• Injeksi kortikosteroid intraartikular
• Metotreksat, sulfasalazin, dan inhibitor TNF-a
Prognosis
Riwayat keluarga adanya artritis psoriatik, onset penyakit dibawah 20 tahun,
adanya HLA DR 3 atau DR4, kelainan sendi poliartikuler atau erosif dan kelainan kulit
yang luas diduga berkaitan dengan prognosis yang buruk.
Anamnesis
Penyakit ini berhubungan dengan penyakit Crohn atau kolitis ulseratif . Pada
beberapa pasien, manifestasi artritis terjadi sebelum manifestasi penyakit usus.
Pemeriksaan Fisik
Penyakit ini biasanya terjadi tiba-tiba dan pola nyeri berpindah - pindah . Artritis
secara umum berkurang dalam waktu enam hingga delapan minggu . Walaupun
rekurensi sering terjadi, 10% pasien terjadi artritis kronik. Pada 20% pasien,
manifestasi spondiloartropati yang berhubungan dengan inflammatory bowel disease
tidak berbeda dengan spondilitis ankilosa idiopatik.
Tempat predileksi
Artritis terjadi pada ekstremitas bawah secara asimetris
Tatalaksana
• Non farmakologis: edukasi, terapi fisik/ rehabilitasi medik.
• Farmakologis
Obat anti inflamasi non-steroid harus digunakan secara hati-hati, karena dapat
mengeksaserbasi penyakit usus
Sulfasalazin, metotreksat, dan azatioprin
- TNF-a inhibitor.
863
» Wt
PanduanPraktikMinis Reumatoloai
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
UNDIFFERENTIATED SPONDYLOARTHRITIS1 2
Kriteria Diagnosis
Kebanyakan pasien mempunyai gejala yang tidak spesifik termasuk nyeri
punggung, nyeri pada bokong unilateral atau bergantian, entesitis, daktilitis, dan
kadang-kadang terdapat manifestasi ekstraartikular. Undifferentiated spondyloarthritis
merupakan diagnosis ekslusi, dimana terdapat manifestasi spondiloartritis tanpa
adanya spondilitis ankilosa, infeksi yang mendahului, psoriasis, kolitis ulseratif,
ataupun penyakit Crohn.
Sulfasalazin, Metotreksat
• Injeksi intraartikular kortikosteroid
• TNF - a inhibitor.
Ringkasan
Tabel 3. Karakteristik Spondiloartropati Seronegatif 18
Atrttls reaktif
Spondilitis IBD-assoclated
(termasuk Reiter's Artrttls psorlatlk
Ankilosa spondyloarthropathy
syndrome)
Prevalens 0, 1 %-0,2% 0, 1 % 0,2%-0,4% Jarang
Onset Akhir remaja Akhir remaja 35-45 tahun Umur berapapun
sampai awal sampai awal
dewasa muda dewasa
Laki-laki: wanita 3: 1 5:1 1 :1 1:1
HLA- B27 90-95% 80% 40% 30%
Sacroiliitis
Frekuensi 100% 40-60% 40% 30%
Distribusi Simetrik Asimetrik Asimetrik Simetrik
Sindesmoflt Delicate , Bulky, Bulky, Delicate, marginal
marginal nonmarginal nonmarginal
Artritis perifer
Frekuensi Jarang Sering Sering Sering
Distribusi Asimetrik, Asimetrik, Asimetrik, setiap Asimetrik, ekstremitas
ekstremitas ekstremitas sendi bawah
bawah bawah
Entesitis Sering Sangat sering Sangat sering Jarang
Daktilitis Jarang Sering Sering Jarang
864
Spondiloartropati
Atrtti reakttf
SpondHttU *
(tormasuk Reiter's Artrttfs psortatlk
IBD-assoclatod
Ankilosa spondyloarthropathy
syndrome)
Lesi kulit Tidak ada Carcinate Psoriasis Eritema nodosum,
balanitis, pyoderma
keratoderma, gangrenosum
blennorhagicum
Perubahan kuku Tidak ada Onikolisis Pitting, onikolisis Clubbing
Kondisi mulut Ulkus Ulkus Ulkus Ulkus
Kondisi jantung Aortic Aortic Aortic Aortic regurgitation
regurgitation, regurgitation, regurgitation,
conduction conduction conduction
defects defects defects
Paru-paru Fibrosis lobus atas Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Saluran Tidak ada Diare Tidak ada Penyakit Crohn,
pencernaan ulcerative colitis
Kondisi ginjal Amiloidosis, IgA Amiloidosis Amiloidosis Nefrolitiasis
nefropati
Kondisi Prostatitis Uretritis, servisitis Tidak ada Tidak ada
genitourinarius
KOMPLIKASI
Deformitas
UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : Departemen Rehab Medik
• RS Non Pendidikan : Bagian Rehab Medik
REFERENSI
Taurog JD. The Spondyloarthritides. In: Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, Fauci AS Hauser SL
,
1.
,
Loscalzo J. Harrisons Principles of Internal Medicine. Singapore: The McGraw Hill companies
;
2012,p.2774-85
2. Yu D, McGonagle D, Marzo-Ortega M et al. Undifferentiated Spondyloarthritis and Reactive
Arthritis. In: Firestein G, Budd R, Harris Jr E et al. Kelley ' s Textbook of Rheumatology. 8th Edition.
Vol I. Philadelphia: Elsevier Saunders. 2008
3. SieperJ, van derHeijde D, Landewe R, Brandt J , Burgos-Vagas R , Collantes-Estevez E, etal . New
kriteria for inflammatory back pain in patients with chronic back pain - a real patient exercise
of the Assessment in SpondytoArthritis international Society ( ASAS ) . Ann Rheum Dis 2009 68 :784 8
; -
865
I wy
Panduan PraktikKlinis Reumatoloai
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
4. RudwaleitM , van derHeijde D, Landewe R, Listing J, Akkoc N, Brandt J, etal . The development of
Assessment of SpondyloArthritis international Society classification kriteria for axial spondyloarthritis
( part II ): validation and final selection. Ann Rheum Dis 2009:68:777-83
5. RudwaleitM , van derHeijde D, Landewe R, Listing J , Akkoc N, Brandt J , etal . The development of
Assessment of SpondyloArfhritis international Society classification kriteria for axial spondyloarthritis
( part II ) : validation and final selection. Ann Rheum Dis 2009:68:777 -83
6. Kataria RK , Brent LH. Spondyloarthropathies. Am Fam Physician. 2004. 2853 -60
7. Zochling J, van der Heijde D, Burgos-Vargas R, Collantes E, Davis JC, Dijkmans B. ASAS EULAR
/
recommendation for the management of ankylosing spondylitis. Ann Rheum Dis 2006:65: 444-52
8. Gladman DD . Psoriatik arthritis:clinical feature. ln:Klippel JH, et al. ( eds ) Primer on the Rheumatic
Diseases. I 3 ,h ed. New York : Springer Science, 2008 .pp. 170-7
9. van der Linden S, Valkenburg HA, Cats A. Evaluation of diagnostic criteria for ankylosing spondylitis:
A proposal for modification of the New York kriteria. Arthritis Rheum 1984:27: 361-8
10. Kiltz U, van der Heijde D, Mielants H, et al.. ASAS /EULAR recommendations for the management
of ankylosing spondylitis - the patient version, Ann Rheum Dis 2009;68:1381-6
,
11. Braun J, van der Berg R, Baraliakos X, Boehm H , Burgos-Vargas R, Collantes-Estevez E, et al. 2010
update of the ASAS / EULAR recommendations for the management of ankylosing spondylitis
.
Ann Rheum Dis 2011:70:896-904
12. Carter JD, Hudson AP. Reactive arthritis: clinical aspects and medical management. Rheum
Dis
Clin N Am 2009;35:21-44
13 . Sieper J, Rudwaleit M, Braun J, van der Heijde D. Diagnosing Reactive Arthritis: Role of Clinical
Setting in the Value of Serologic and Microbiologic Assays. Arthritis Rheum 2002; 46 ( 2)
: 319-327
14. Albar Z. Artritis Psoriatik. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S . Buku Ajar
llmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing; 2009.p. 2532-34
15. Hidayat R . Reactive Arthritis. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M,
Setiati S. Buku
Ajar llmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing; 2009.p. 2535-37
16 . Fitzgerald O. Psoriatic Arthritis. In: Firestein G, Budd R, Harris Jr E et al. Kelley ' s Textbook
of
Rheumatology. 8 th Edition. Vol I. Philadelphia: Elsevier Saunders. 2008
17 . Taylor W, Gladman D, Helliwell P, Marchesoni A , Mease P, Mielants H; CASPAR Study Group
.
Classification kriteria for psoriatic arthritis: development of new kriteria from a large international
study. Arthritis Rheum 2006:54 ( 8) :2665-73
866
k
PENATAIAKSANAAN
D l BIDANGI1MU PENYAKIT DALAM
PANDUAN M
PRAKTIK JM
KIINIS iWi
TROPIK INFEKSI
Chikungunya 867
, 873
Demam Berdarah Dengue
Demam Neutropenia 882
Demam Tifoid 888
Diare Infeksi 894
Diare Terkait Antibiotik (Infeksi Clostridium Difficile ) 901
Fever Of Unknown Origin , 904
, 907
Filariasis
Leptospirosis 910
Human Immunodeficiency Virus ( HIV ) / Acquired
Immunodeficiency Syndrome ( AIDS) , 914
Infeksi Jamur 926
Infeksi Oportunistik Pada Aids 930
Infeksi pada Kehamilan 941
Intoksikasi Organofosfaf 945
Intoksikasi Opiat 949
Keracunan Makanan 952
Malaria 955
Penatalaksanaan Gigitan Ular 966
Penggunaan Antibiofika Rasional 972
Rabies . 977
Sepsis Dan Renjatan Septik 982
« • * *.
.
867
CHIKUNGUNYA
PENGERTIAN
Demam chikungunya merupakan suatu infeksi akutyang disebabkan oleh alfavirus
dan ditularkan melalui gigitan nyamukA aegypti dan A albopictus.l z
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis1 3
Penyakit ini dapat bersifat akut, subakut, maupun kronis. Fase akut berlangsung
3-10 hari, ditandai dengan demam tinggi mendadak (39°-40°C) dan nyeri sendi berat.
Nyeri sendi ini terkadang membuat seseorang menjadi terbaring lemah, namun
biasanya sembuh dalam beberapa hari atau beberapa minggu. Infeksi chikungunya
dapat juga disertai gejala lain seperti sakit kepala, nyeri seluruh punggung, mialgia,
mual, muntah, poliartritis, bintik merah ( rash ), dan konjungtivitis. Pada fase subakut
dan kronis, dapat memberikan gejala klinis pembengkakan tangan disertai deskuamasi
halus, hiperpigmentasi wajah, tenosinovitis pada tangan, mata kaki, higroma siku,
bengkak dan kaku pada jari- jari tangan.
Manifestasi Atipikal3
Meskipun sebagian besar infeksi virus chikungunya ( CHIKV) bermanifestasi
sebagai demam dan artralgia, manifestasi atipikal dapat muncul seperti yang
.
digambarkan pada tabel 1 Manifestasi ini dapat terjadi akibat efek langsung dari
virus, respon imunologis tubuh terhadap virus, atau toksisitas obat.
PanduanPraktik Minis
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
£
Mf
fS‘.
By
PanduanPraKtik Minis Tropik
r' Infeksi
Perhimpunan Dokler SpesiaHs Penyokil Dalam Indonesia
Pemeriksaan Fisik
Demam 39°- 40 °C berlangsung beberapa hari - 1 minggu, bersifat kontinu atau
intermiten, terkadang dapat disertai bradikardi relatif.3
Nyeri sendi biasanya simetris dan sering mengenai sendi-sendi kecil pada tangan
dan kaki. Pembengkakan sendi sering dikaitkan dengan tenosinovitis.12'3
Bintik merah biasanya muncul 2 -3 hari setelah onset demam, dengan karakteristik
makulopapular pada batang tubuh dan ekstremitas, namun juga dapat ditemukan
pada telapak tangan, telapak kaki, dan wajah. Bintik merah juga dapat bermanifestasi
sebagai eritema difus, yang menghilang pada penekanan. Pada bayi, lesi vesikulobulosa
sering ditemukan.3
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan darah dapat ditemukan :3
• Trombositopenia
• Leukopenia
• Peningkatan tes fungsi hati
• Peningkatan LED dan CRP
• Ig M Chikungunya
Kriteria Diagnosis3
• Kasus suspek
Pasien dengan onset demam akut >38,5°C dan artralgia berat atau artritis yang tidak
dapat dijelaskan oleh kondisi medis lain, dan telah tinggal atau berkunjung ke daerah
endemis atau epidemis dalam dua minggu terakhir sebelum munculnya gejala.
• Kasus terkonfirmasi ( confirmed case )
Pasien kasus suspek dengan salah satu hasil pemeriksaan spesifik CHIKV :
1. Isolasi virus
2. Deteksi virus RNA dengan RT- PCR
3. IgM positif pada satu sampel serum yang diambil pada fase akut atau
convalescent
4. Kenaikan titer antibodi spesifik CHIKV sebanyak 4x lipat dari sampel yang
diambil dengan selang waktu 2 atau 3 minggu
868
Chikungunya
Catatan :3
Apabila terjadi epidemi, semua pasien tidak wajib dikonfirmasi dengan pemeriksaan
diatas. Evaluasi sensitivitas dan spesifisitas dari kriteria klinis infeksi CHIKV dilakukan
saat KLB terjadi. Kombinasi demam dan poliartralgia memiliki sensitivitas dan spesifisitas
terbaik dengan nilai 84% dan 89%. Kriteria klinis tersebut mampu menegakan diagnosis
pada 87% individu dengan infeksi CHIKV yang konfirm secara serologis.
Pemeriksaan penunjang yang saat inidapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis :
3
869
fil PanduanPraklikKIinis Trooik Infeksi
Pefhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
870
Chikungunya
Identifikasi hasil IgM positif pada pasien dengan gejala akut CHIKV, diikuti dengan
adanya antibodi spesifik CHIKV yang ditentukan oleh PRNT dengan virus lain yang
ada didalam serogrup Semliki Forest virus (SFV)
Adanya serokonversi atau kenaikan titer 4x lipat pada PRNT, HI, atau ELISA (sekali
lagi, dengan menggunakan virus lain yang ada di dalam serogrup SFV) antara
spesimen fase akut dan convalescent .
DIAGNOSIS BANDING
Malaria, demam dengue, leptospirosis, demam rematik3, demam typoid, influenza
Tabel 4. Perbandingan Gambaran Klinis dengan Laboratorium Infeksi CHIKV dengan Dengue
0 3
° Rata-rata frekuensi gejala yang muncul pada pasien terhadap kedua penyakit ini dibandingkan dengan
penelitian; +++ = dialami oleh 70-100% pasien; ++ = 40-69% pasien; + = 10-39% pasien; +/- = < 10% pasien; - = 0%
b
Lebih sering berupa nyeri retroorbita
TATALAKSANA
Tidak ada terapi spesifik, tatalaksana ditujukan untuk meringankan gejala,
termasuk nyeri sendi.
* Perhatlan :tidak dianjurkan memberikan aspirin karena resiko perdarahan dan sindroma Reye pada anak <12 tahun
* *Pada fase subakut dan kronis, dapaf dipertimbangkan bila terapi lain tidak adekuat untuk mengatasi keluhan artralgia
berulang ( refractory joint symptoms /
871
:$Y
f 9F
PanduanPra
Pamlmiiuncin Doklor
ktlkKlinis Tropik Infeksi
Spesiallt Penyoklf Oalam inotonesn
PROGNOSIS
Seb.agian bpsar pasiensembuh sempurna, namun pada beberapa kasus, nyeri sendi
dapat persisten untuk beberapa bulan sampai beberapa tahun. Tingkat mortalitas
pada-iAdivtd.ui> 65 tahun lebihtinggi 50 kaMipat dibandingkan dengan dewasa muda
<45 tahun.*
UNIT TERKAIT
3 UO PG
* IJ» " # HA
• RS pendidikan :-
• RS non pendidikan : -
REFERENSI
1. Peters CJ. Infections Caused by Arthropod- and Rodent-Borne Viruses, In: Longo Fauci Kasper,
.
Harrison ' s Principles of Internal Medicine 17th edition.United States of America McGraw Hill. 2008
2. . . . .
WHO Fact sheets' Chikungunya Diunduh darihttp:/ / www.who int/mediacentre /factsheets/
fs327/en/ pada tanggal 26 April 2012
.
3 Staples CJ et al. Preparedness and Response for Chikungunya Virus:Introduction in the Americas .
CDC. 2011
872
873
PENGERTIAN
Merupakan penyakit demam akut yang disebabkan oleh virus dengue dan
ditularkan melalui gigitan nyamukj4edes aegypty dan Aedes albopictus serta memenuhi
kriteria WHO untuk demam berdarah dengue.1
PENDEKATAN DIAGNOSIS2
Anamnesis
Demam mendadaktinggi dengan tipe bifasik disertai oleh kecenderungan perdarahan
(perdarahan kulit, perdarahan gusi, epistaksis, hematemesis, melena, hematuria], sakit
kepala, nyeri otot dan sendi, ruam, nyeri di belakang mata, mual -muntah, pemanjangan
siklus menstruasi. Riwayat penderita DBD di sekitar tempat tinggal, sekolah atau di
tempat bekerja di waktu yang sama. Pasien dapat juga datang disertai dengan keluhan
sesak, lemah hingga penurunan kesadaran.
Pemeriksaan Fisik
Demam
Gejala infeksi viral seperti: injeksi konjungtiva, mialgia, artalgia
Tanda perdarahan : ptekie, purpura, ekimosis
Hepatomegali
- Tanda-tanda kebocoran plasma: efusi pleura, asites, edema, kandung empedu
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan darah rutin: lekopenia, trombositopenia, hemokonsentrasi
Serologi : IgG-IgM antidengue (+), pemeriksaan protein virus NS-1 Dengue,
Foto toraks: penumpulan sudut kostofrenikus
USG abdomen: double layer pada dinding kandung empedu, atau asites
Kriteria Diagnosis3 4
Definisi Kasus untuk Demam Dengue
Probable - demam akut disertai dua atau lebih gejala berikut:
• sakit kepala
• nyeri retro-orbital
• myalgia
• artralgia
• ruam
• manifestasi perdarahan
• leukopenia ; dan
• Hasil pemeriksaan serologi ( +) atau adanya demam dengue di lokasi dan waktu
yang sama
Confirmed - kasus di konfirmasi dengan kriteria laboratorium
• Isolasi virus dengue dari serum atau sampel otopsi
• Kenaikan > 4 kali titer antibodi IgG atau IgM pada sampel plasma
• Terdapatnya antigen virus dengue pada sampel otopsi jaringan, plasma, atau LCS
dengan teknik imunihistokimia, imunofluoresens, atau ELISA
• Deteksi sekuens genom virus dengue di sampel jaringan atau LCS dengan cara PCR
Reportable - setiap kejadian kasus probable atau confirmed harus dilaporkan
874
Demam Berdarah Dengue
Diagnosis Banding
Demam akut lain yang disertai trombositopenia seperti demam tifoid, malaria,
chikungunya
Pemeriksaan Penunjang
Hemoglobin ( Hb), hematokrit (Ht), lekosit, trombosit, serologi dengue, foto toraks.
Evaluasi Ht dan trombosit setiap 12 / 24 jam sesuai keadaan Minis, USG abdomen sesuai
indikasi atau bila perlu.
DIAGNOSIS BANDING
Demam akut lain yang disertai trombositopenia seperti demam tifoid, malaria,
chikungunya.
875
Panduan PraktikKlinis Tropik Infeksi
Perhimpunan Dokler Speslalis Penyakit Dalam Indonesia
TATALAKSANA4
Nonfaramakologis
• Istirahat, makanan lunak, tingkatkan asupan cairan oral
• Pantau tanda -tanda syok, terutama pada transisi fase febris (hari 4 - 6 )
Klinis: tingkat kesadaran, nadi , tekanan darah
Laboratorium : Hb, Ht, Trombosit, Lekosit
Farmakologis
• Simtomatis: antipiretik parasetamol bila demam
• Tatalaksana terinci pada lampiran protokol tatalaksana DBD
-
Cairan intravena: Ringer Laktat atau ringer asetat 4 6 jam/ kolf. Evaluasi jumlah
cairan, kondisi klinis, perbaikan / perburukan hemokonsentrasi. Koloid / plasma
ekspander pada DBD stadium III dan IV bila diperlukan.
Transfusi trombosit dan komponen darah sesuai indikasi
Pertimbangan heparinisasi pada DBD stdadium III dan IV dengan Koagulasi
intravaskular diseminata ( KID)
876
Demam Berdarah Dengue
4 T 4 4
Hb, Ht, Hb, Ht normal, Hb, Ht normal .
Hb, Ht meningkat,
trombo normal trombo 100.000-150.000 trombo <100.000 trombo normal/ turun
4 4 4 4
Observasi Observasi Rawat Rawat
Rawat jalan Rawat jalan
Penanganan protocol
Periksa Hb, Periksa Hb,
rawat inap untuk
Ht, Leuko, Ht, Leuko,
DBD (protokol2)
trombo/ 24 jam trombo / 24 jam
Suspek DBD
Perdarahan Spontan dan Masif ( -)
Syok (-)
4 i
Hb, Ht meningkat 10-20%
4
Hb, HtTrombo < 100.000
Trombo < 100.000 Hb, Ht meningkat > 20%
Infus Kristaloid Hb, Ht,
Infus Kristaloid Hb, Ht, Trombo < 100.000
Trombo tiap 24 jam
Trombo tiap 12 jam
1
Protocol pemberian
cairan DBD dengan
Ht meningkat >20%
Keterangan :
* Volume cairan kristaloid per hari yang diperlukan:
Sesuai rumus berikut 1500 + 20 x (berat badan dalam kg - 20)
Contoh volume rumatan untuk berat badan 55 kg : 1500 + 20 x ( 55-20) = 2200 ml
** Pemantauan disesuaikan dengan fase /hari perjalanan penyakit dan kondisi klinis
877
iftY
f P..
PanduanPraktikKlinis Tropik Infeksi
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
I
Kurangi infus TANDA VITAL DAN
I
Infus kristaloid
kristaloid HEMATOKRIT > • 10 ml/kg/ jam
5 ml/kg / jam MEMBURUK
1
Kurangi infus
1
Infus kristaloid
kristaloid 10 ml /kg/jam
3 ml/kg / jam
1 1
PERBAIKAN
KONDISI
1
MEMBURUK
Tanda syok
Terapi cairan
dihentikan 24- 48
jam
*
Tatalaksana sesuai
protocol syok dan
PERBAIKAN
perdarahan
Membaik: penurunan hematokrit, stabilnya pulsasi dan tekanan darah, urine output
meningkat
Tidak membaik : hematokrit dan pulsasi meningkat, tekanan darah menurun dibawah
20 mmHg, menurunnya urine output
Tanda -tanda vital tidak stabil : menurunnya urine output, tanda -tanda syok
878
Demam Berdarah Dengue
Kasus DBD :
Perdarahan spontan masif :
Epistaksis tidak terkendali,Gross hematuria,
Hematemesis dan atau melena, Hematokezia,
Perdarahan otak
Syok (-)
1
Hb, Ht, Leukosit, Trombosit,
Pemeriksaan hemostasis ( KID)
Golongan darah, uji cocok serasi
i 1
KID ( +)
Transfusi komponen darah : KID ( -)
PRC (Hb <10g%) Transfusi komponen darah :
FFP PRC (Hb <10g%)
TC (Trombosit <100.000) FFP
Heparinisasi 5000- 10000/ 24 jam drip TC (Trombosit <100.000)
Pemantauan Hb, Ht, Trombosit tiap 4-6 jam Pemantauan Hb, Ht, Trombosit tiap 4-6 jam
Ulang pemeriksaan hemostasis 24 jam kemudian Ulang pemeriksaan hemostasis 24 jam kemudian
Cek APTT tiap hari, target 1,5-2,5 kali kontrol
m
PanduanPraktikKlinis Trooik Infeksi
Perhlmpunan Dokter Speslalis Penyakil Dalam Indonesia
Jalan napas
Pernapasan : 02 l-2L/menit dengan nasal kateter.
Bila lebih memakai sungkup wajah.
Sirkulasi : cairan kristaloid dan atau koloid 10-20 ml/kg
secepatnya (bila mungkln < 10 menit)
Perhatikan : tanda-tanda hipovolemia, hipervolemia /
overload dan respon pemberian cairan
I
Kristaloid 7ml/ kg/ jam
Perburukan
1
Kristaloid guyur 30ml /kg /jam
dalam 1 jam dalam 20-30 menit
l
Perbaikan
f
Ht naik
J
Tetap syok
J
Ht turun
1
Kristaloid 5ml/kg/jam
1 Transfusi darah 10 ml/kg,
dalam 1 jam Perhitungan Koloid 10-20 ml /kg
nutrisi setelah dapat diulang sesuai
i
dalam 10- 15 menit
12 jam kebutuhan
(dextrose 5% I
bila tidak ada
24-48 jam setelah kontra indikasi) Perbaikan Tetap syok
i
syok teratasi,
tanda vital / Ht stabil,
dieresis cukup
1
Koloid
maksimal 30 ml/kg
I
Stop infus
Perbaikan *
Tetap syok
Pasang kateter
vena sentral
i
Koloid, bila dosis maksimal belum dicapai
atau kristaloid/ gelattn ( bila koloid sebelumnya
telah mencapai dosis maksimal) 10 ml / kg
dalam 10 menit dapat diulang sampai 30 menit
sasaran tek vena sentral (TVS) 15-18 smHp
f
Hipovolemik Normovolemik
Perbaikan
I
Kristaloid dipantau
10-15 menit
Tetap syok
I
Koreksi gangguan
J i asam basa, elektrolit,
hipoglikemia, anemia,
KID, infeksi sekunder
Kombinasi
koloid -kristaloid ^
Perbaikan bertahap
vasopresor
1
Inotropik, vasopresor
vasodilator
880
Demom Berdarah Dengue
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan
• RS non pendidikan : -
KOMPLIKASI
Renjatan (syok) , ensefalopati dengue, perdarahan saluran cerna , KID (koagulasi
intravaskular diseminata]
REFERENSI
Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL. Infection caused by arthropod
and rodent-borne viruses. Harrisson' s: Principle of Internal Medicine.17th ed.New York: McGraw-
Hill Companies; 2009: 1230, 1239.
2. Suhendro LN, Khie C, Herdiman TP. Demam Berdarah Dengue. Dalam: Buku ajar ilmu penyakit
dalam edisi 5. Jakarta: Interna Publishing; 2009: 2773 - 9.
3. .
World Health Organization Dengue hemorrhagic Fever: Diagnosis, treatment, prevention, and
control. 2nd ed. Geneva: World Health Organization Publication; 1997 .
4. Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
881
882
DEMAM NEUTROPENIA
PENGERTIAN
Demam didefinisikan bila ditemukan suhu oral 38,3°C pada satu kali pengukuran
atau suhu > 38°C bertahan lebih dari satu jam. Neutropenia didefiniskan sebagai
penurunan jumlah netrofil absolut < 500 sel / mm3 atau jumlah netrofil diperkirakan
akan menurun < 500 sel/ mm 3 selama 48 jam kemudian.12
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Gejala dan tanda inflamasi seringkali kurang tampak atau tidak tampak sama sekali
pada pasien neutropenia pada keadaan klasik adanya. Infeksi bakteri pada kulit dan
jaringan lunak jarang menimbulkan indurasi, eritema, panas, dan pustulasi. Infiltrat
pada infeksi paru dapat tidak terlihat pada radiografi. Infeksi pada meningen dapat
hanya ditemukan pleiositosis ringan di cairan serebro spinal [CSS). Infeksi traktus
urinarius dapat menunjukkan piuria ringan atau bahkan tidak ada sama sekali.
Demam seringkali merupakan satu -satunya tanda infeksi. Adanya kondisi komorbid
yang mendasari seperti diabetes, penyakit paru obstruktif kronik, dan / atau prosedur
bedah harus dievaluasi. Pemeriksaan fisik pasien demam neutropenia membutuhkan
ketelitian untuk mendeteksi gejala dan tanda yang minimal, khususnya pada lokasi
yang paling sering terkena infeksi seperti di kulit [khusunya tempat pemasangan
kateter, seperti tempat masuk atau keluarnya kateter atau tempat aspirasi sumsum
tulang), orofaring (termasuk periodontium), saluran cerna, paru, dan perineum.2
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pasien demam neutropenia membutuhkan ketelitian untuk
mendeteksi gejala dan tanda yang minimal, khususnya pada lokasi yang paling sering
terkena infeksi seperti di kulit [khususnya tempat pemasangan kateter, seperti
tempat masuk atau keluarnya kateter atau tempat aspirasi sumsum tulang), orofaring
[termasuk periodontium), saluran cerna, paru, dan perineum.2
PanduanPraktik Minis
Perhimpunan Dokler SpesiaBs Penyaki! Dalam Indonesia
Demam Neutropenia
Pemeriksaan Penunjang
• Laboratorium sebaiknya dilakukan pemeriksaan darah lengkap dengan hitung
jenis leukosit dan jumlah trombosit, mengukur kreatinin serum dan blood urea
nitrogen, elektrolit, enzim transaminase hati, dan bilirubin total.2
• Kultur : sebaiknya dilakukan sesuai dengan gejala dan tanda klinis tetapi tidak
secara rutin. 2
Feses: diambil untuk memeriksa Clostridium difficile toxin assay pada pasien
yang mengalami diare
Urin: dilakukan pemeriksaan jika ditemukan gejala dan tanda infeksi saluran
kemih, terpasangnya kateter saluran kemih, atau ditemukannya hasil urinalisis
yang abnormal.
CSS: Pemeriksaan dan kultur cairan spinal diindikasikan jika dicurigai meningitis
Kulit: biopsi dari lesi kulit yang terinfeksi sebaiknya dilakukan pemeriksaan
sitologi, pewarnaan gram, dan kultur.
Spesimen respiratori: sampel sputum untuk kultur bakteri rutin dikirim jika
pasien mengalami batuk produktif. Spesimen traktus respiratori bawah diambil
dengan cara bilasan bronkus direkomendasikan pada pasien dengan infiltrat
yang penyebabnya tidak jelas pada foto thoraks. Nasal wash atau spesimen BAL
direkomendasikan untuk mengevaluasi gejala infeksi virus respirasi.
• Pencitraan
Pasien dengan gejala dan tanda respiratori sebaiknya dilakukan foto thoraks untuk
mengeksklusi pneumonia. Pneumonia selama neutropenia biasanya perjalanan
penyakitnya berlangsung progresif sehingga disarankan untuk segera dilakukan
perawatan di ruang rawat inap.2
DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding berdasarkan etiologi yang menyebabkan demam neutropenia yaitu:
2
883
(fA PanduanPraktikKIinis Tropik Infeksi
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
Enterobacter spp.
Klebsiella spp.
Serratia spp
Acinetobacter spp
Citrobacter spp
Basilus gram positif Diphtheroids
Fungi Candida spp
Aspergillus spp
TATALAKSANA
Penilaian risiko komplikasi infeksi berat sebaiknya dinilai pada saat demam .
Penilaian resiko dapat menentukan jenis antibiotik empiri ( oral atau IV ) , jenis
perawatan (rawat inap atau rawat jalan), dan durasi terapi antibiotik.2
Sistem skoring MASCC ( Multinational Association for Supportive Care in Cancer
Risk - Index Score) merupakan hasil penjumlahan skor faktor risiko, termasuk umur
pasien, riwayat, status rawat inap atau rawat jalan, tanda klinis akut, adanya kondisi
komorbid, dan deratnya demam dan neutropenia yang dinilai oleh beratnya beban
penyakit. Penilaian risiko dengan sistem skor MASCC ini dapat membantu menilai
kondisi pasien untuk menentukan regimen dan tempat perawatan yang sesuai untuk
pemberian antibiotik empiris, juga waktu pemulangan dari rumah sakit.2 3 -
Tabel 2. The Multinational Association for Supportive Care in Cancer Risk- Index Score (apendiks )2
KARAKTERISTIK SKOR
Demam neutropenia dengan tidak ada gejala atau ringan 5
Tidak ada hipotensi ( tekanan darah sistolik<90mmHg ) 5
Tidak ada Penyakit Paru Obstruktif 4
Tumor solid atau keganasan hematologis tanpa adanya riwayat infeksi jamursebelumnya 4
Tidak ada dehidrasi yang membutuhkan cairan parenteral 3
Beban demam neutropenia dengan gejala sedang 3
Status rawat jalan 3
Umur <60tahun 2
Catalan: Nilai skor maksimum 26
-
a Demam neutropenia merujuk kepada status klinis umum yang dipengaruhi episode demam neutropenia Sebaiknya di evaluasi
pada skala: gejala tidak ada atau ringan ( skor 5) ; gejala moderate ( skor 3 ) : dan gejala berat ( skor 0)
b Penyakit Paru Obstruktif Kronis berarti bronkitis aktif kronis
< , emfisema, penurunan FEV, membutuhkan oksigen dan / atau steroid
dan / atau bronkodilator pada saat epsode demam neutropenia ,
c , Riwayat infeksi jamur sebelumnya berarti terkena infeksi jamur atau secara empiris mengobati pasien suspek jamur
884
Demam Neutropenia
885
frl
a > wF
PanduanPraMikKIWs Tropik Infeksi
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakil Dalam Indonesia 1
Reslko rendah
I Reslko tlnggl
i
Anticipated neutropenia < 7 hari Anticipated neutropenia > 7 hari
dan secara klinis stabil dan tidak atau secara klinis tdk stabil atau
ada komorbiditas Penyakit komorbiditas lain
i i i
Antlblotlk rawat jalan Antlblotlk IV rawat Inap
Antlblotlk IV rawat Inap
-
Regimen oral jika mampu Antibiotik empiris monoterapi:
•Infeksi yang membutuhkan Piperacilin /tazobactam atau
mentoleransi dan mengabsorbsi
antibiotik IV •Carbapenem
•Tersedianya caregiver , telefon,
•Intoleransi Gastrointestinal •Ceftazidime
transportasi
•Keputusan pasien dan dokter •Cefepime
•Keputusan pasien dan dokter
1
Contoh
Vancomycin atau linezolid untuk
selulitis atau pneumonia
•Tambahkan aminoglikosid dan ganti
Observasi 4-24 jam di klinik untuk ke carbapenem untuk pneumonia
memastikan antibiotik empiris atau bakteremia gram negatif
dapat ditoleransi dan pasien •Metronidazol untuk gejala abdomen
tetap stabil sebelum rawat jalan atau suspek infeksi C.difficile
Pengobatan Antivirus
Pengobatan antivirus tidak dipergunakan sebagai pengobatan empirik . Obat
antivirus hanya diindikasikan bila terbukti secara klinis atau laboratoris dengan
adanya penyakit virus.1,3
886
Demam Neutropenia iffira
Pengobatan Lain
Pengobatan growth factor dn imunomodulator serta empirikal immunoglobulin
tidak direkomendasikan secara rutin, karena belum ada bukti nyata.13
KOMPLIKASI
Bakteriemia . 1'4
PROGNOSIS
Demam neutropeni terjadi pada 10% - 50% pasien dengan tumor solid dan 80%
pada keganasan hematologi, dan biasanya membutuhkan waktu pengobatan 7 -12 hari
dengan angka kematian 10%. Angka kematian rata - rata sebesar 15 % pada kelompok
risiko tinggi dan 1% pada kelompok risiko rendah. Demam neutropenia, jika tidak
ditangani dalam 48 jam pertama, maka angka kematian mencapai 50 %.4
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Divisi Hematologi - Onkologi Medik, Divisi Alergi Imunologi
- Departemen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam
REFERENSI
1. .
Kosten T Infections in Patients with Cancer. In: Longo Fauci Kasper, Harrison s Principles of Internal
1
887
888
DEMAM TIFOID
PENGERTIAN
Demam tifoid merupakan penyakit sistemik akut yang disebabkan oleh infeksi
kuman Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi.1
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Gejala yang paling menonjol adalah prolonged fever (38.8°-40.5° C), dan berlanjut
hingga 4 minggu jika tidak ditangani. S.paratyphi A dapat mengakibatkan gejala
penyakit yang lebih ringan daripada S.typhi,dengan predominan gejala gastrointestinal.
Pada minggu pertama, gejala yang ditemukan adalah sakit kepala, menggigil, batuk,
berkeringat, mialgia, malaise, dan artralgia. Gejala gastrointestinal yang ditemukan
yaitu: anoreksia, nyeri abdomen, mual, muntah, diare, konstipasi.1
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan meningkat. Sifat demam
adalah meningkat perlahan - lahan dan terutama pada sore hingga malam hari.
Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi jelas berupa demam, bradikardia relatif
(peningkatan suhu 1° C, tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8x / menit), lidah yang
berselaput (kotor di tengah, tepi dan ujung merah serta tremor], hepatomegali,
splenomegali, meteorismus, gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium
atau psikosis. Roseola jarang ditemukan pada orang Indonesia.1
Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan darah perifer lengkap sering ditemukan leukopenia, dapat
pula terjadi kadar leukosit normal, atau leukositosis walaupun tanpa disertai infeksi
sekunder. Selain itu dapat ditemukan anemia dan trombositopenia. Nilai SGOT dan
SGPT seringkali meningkat. 12
Pemeriksaan lain yang rutin dilakukan adalah uji Widal dan kultur organisme.
Kuman tifoid yang mengandung antigen (0 and H] dapat menstimulasi host untuk
nd i Praktik Klinis
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakil Dolam Indonesia
Demam Tifoid
terbentuknya antibodi. Saat ini belum ada kesamaan pendapat mengenai aglutinin
yang bermakna diagnostik untuk demam tifoid. Batas titer yang sering dipakai hanya
kesepakatan saja, hanya berlaku setempat dan batas ini bahkan dapat berbeda di
berbagai laboratorium setempat. 1,2
Pada uji Widal, bila terjadi kenaikan 4 kali titer antibody 0 dan H pada spesimen
yang diambil dalam jarak 2 minggu, maka kemungkinan tinggi terjadi proses infeksi
.
S typhi. Pembentukan aglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam,
kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada minggu keempat, dan
tetap tinggi selama beberapa minggu. Bagaimanapun juga, pemeriksaan ini mempunyai
persentase sensitivitas sekitar 70% dan mempunyai nilai spesifitas yang rendah;
banyak strain Salmonella non typhoidal terjadi reaksi silang, dan sirosis hepatis dapat
mengakibatkan /a /se- positif .12
Kultur merupakan standar baku dalam menegakkan diagnosis. Kultur darah,
feses dan urin sebaiknya dilakukan. Kultur darah biasanya positif pada awal 2 minggu
pertama, tapi kultur feses biasanya positif selama minggu ke 3 hingga ke 5. Sedangkan
kultur urin pada minggu ke 4. Jika kultur tersebut negatif tetapi secara klinis suspek
kuat demam tifoid, maka kultur biopsi spesimen sumsum tulang belakang dapat
dijadikan pertimbangan untuk mencari kuman Salmonella. Tingkat sensitivitas kultur
sumsum tulang mencapai 55-90%, dan tidak seperti kultur darah, hasil kultur tidak
berkurang walaupun setelah 5 hari pemberian antibiotik sebelumnya . Akan tetapi,
metode ini memakan waktu lama dengan tingkat sensitivitas dan spesifisitas yang
relatif rendah, dan juga memerlukan fasilitas laboratorium yang khusus.
12
Selain uji Widal , terdapat beberapa metode pemeriksaan lain yang dapat
dilakukan dengan cepat, mudah serta memiliki sensitivitas dan spesifitas yang lebih
baik antara lain uji TUBEX, Typhidot dan dipstik. Uji TUBEX merupakan uji semi-
kuantitatif kolometrik yang cepat ( beberapa menit) dan mudah untuk dikerjakan.
Uji ini digunakan untuk mendeteksi antibodi anti-S.typhi 09 pada serum pasien.
Deteksi terhadap anti 09 dapat dilakukan lebih dini,yaitu pada hari ke 4-5 untuk
infeksi primer dan hari ke 2 - 3 untuk infeksi sekunder. Pada penelitian tahun 2006,
di Jakarta, Surya H dkk, didapatkan sensitivitas uji Tubex sebesar 100 %, spesifitas
90%. Uji Typhidot dapat mendeteksi antibody IgM dan IgG yang terdapat pada protein
membran luar Salmonella Typhi. Hasil positif didapatkan 2 -3 hari setelah infeksi dan
dapat mengidentifikasi secara spesifik IgM dan IgG terhadap antigen S.typhi seberat
50 kD, yang terdapat pada strip nitroselulosa. 3
889
f i fjjy
r ) Panduan PraktikKlinis Trooik Infeksi
Perhimpunan Dokler Spcsialis Penynkit Dalam Indonesia
Saat ini, metode enzyme linked immunosorbent assay ( ELISA ) telah banyak
digunakan dalam membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dari serum dan urin.
Meskipun metode ELISA dengan mengambil cairan tubuh memiliki tingkat sensitivitas
dan spesifisitas yang lebih tinggi dibanding uji Widal, teknik yang invasif serta
kesulitan mengambil dan mempertahankan sampel hingga waktunya untuk diperiksa
telah mengurangi manfaat metode ini. Oleh karena itu, saat ini telah dikembangkan
ELISA untuk mendeteksi antibodi IgA lipopolisakarida anti S.typhi pada sampel air -
liur pasien yang dicurigai menderita demam tifoid. Dari hasil penelitian, metode ini
mampu mendeteksi demam tifoid pada fase akut dan paling efisien selama minggu
ke- 2 dan ke-3 demam, yaitu saat dimana pasien datang untuk dirawat.3
Tabel 2. Perbedaan Nilai Sensitivitas dan Spesifisitas dari Pemeriksaan ELISA, Tubex- TF, Typhidot
IgG dan IgM.
Sensitivitas (%) Spesifisitas (%)
Demam
Konftrmasl
Demam
Assay Konflrmasi dengan etfologl
kultur (+) dengan etiologl Sehat
-
Widal (+)
-
yang tidak
yang dlketahul (n*7)
(n 67) (n ?8)
-
(n 73)
dlketahul
-88
(n 143)
Tubex-TF 75 78 85 100
Typhidot IgM 63 62 95 97 100
Typhidot IgG 28 28 99 99 100
ELISA total Ig 93 78 95 94 100
ELISA IgG 75 65 95 96 100
ELISA IgM 79 78 95 95 100
ELISA IgA 57 64 96 97 100
ELISA IgG + IgM 88 84 91 92 100
ELISA IgG + IgA 84 73 93 95 100
ELISA IgM + IgA 88 85 91 94 100
ELISA IgG + IgM + IgA 90 86 90 92 100
Toksik Tifoid
Demam tifoid disertai gangguan kesadaran dengan atau tanpa kelainan neurologis
lainnya dan hasil pemeriksaan cairan otak masih dalam batas normal. 2
890
Demam Tifoid
Tifoid Karier
.
Seseorang yang kotorannya (feses atau urin) mengandung S typhi setelah
satu
DIAGNOSIS BANDING4
Demam dengue, malaria, enteritis bakterial
TATALAKSANA
Trilogi penatalaksanaan demam tifoid, yaitu :
1. Diet dan terapi penunjang (simtomatik dan suportif )
dini yaitu
Beberapa peneliti menunjukkan bahwa pemberian makan padat
(menghindari sementara sayuran yang berserat) dapat diberikan dengan aman
.23
2. Pemberian antimikroba12
- Pilihan utama: Kloramfenikol 4 x 500 mg sampai dengan 7 hari bebas demam.
Alternatif lain:
- Tiamfenikol 4 x 500 mg (komplikasi hematologi lebih rendah dibandingkan
kloramfenikol)
Kotrimoksazol 2 x 960 mg selama 2 minggu
-
Ampisilin dan amoksisilin 50 150 mg / kgBB selama 2 minggu
Sefalosporin generasi III; yangterbukti efektif adalah seftriakson 3- 4 gram dalam
dekstrosa 100 cc selama V2 jam per-infus sekali sehari, selama 3- 5 hari.
Dapat pula diberikan sefotaksim 2 - 3 x 1 gram , sefoperazon 2 x 1 gram
):
Fluorokuinolon (demam umumnya lisis pada hari III atau menjelang hari IV
• Norfloksasin 2 x 400 mg/ hari selama 14 hari
• Siprofloksasin 2 x 500 mg/ hari selama 6 hari
• Ofloksasin 2 x 400 mg / hari selama 7 hari
• Pefloksasin 400 mg/hari selama 7 hari
• Fleroksasin 400 mg/ hari selama 7 hari
kortikosteroid (dexametason 3 mg/ kg IV awal, diikuti dengan 1 mg/kg per 6 jam selama
48 jam), digunakan pada pasien dengan delirium, koma, syok.
891
0 aagJ5
*SB» Tropik Infeksi
KOMBINASI ANTIBIOTIKA 3
Kombinasi antibiotika hanya diindikasikan pada toksik tifoid, peritoniti
s atau
perforasi, dan renjatan septik.
KOMPLIKASI
Komplikasi Intestinal2
Perdarahan usus, perforasi usus, ileus paralitik, pankreatitis
Komplikasi Ekstraintestinai 2
• Komplikasi kardiovaskuler : gagal sirkulasi perifer, miokarditis, tromboflebitis
• Komplikasi darah: anemia hemolitik, trombositopenia, KID, trombosis,
• Komplikasi paru: pneumonia, empiema, pleuritis.
• Komplikasi hepatobilier: hepatitis, kolesistitis.
• Komplikasi ginjal: glomerulonefritis, pielonefritis, perinefritis.
• Komplikasi tulang: osteomielitis, periostitis, spondilitis, arthritis.
• Komplikasi neuropsikiatrik atau tifoid toksik
892
Demam Tifoid @
PROGNOSIS
Jika tidak diobati, angka kematian pada demam tifoid 10 - 20%, sedangkan pada
kasus yang diobati angka mortalitas demam tifoid sekitar 2%. Kebanyakan kasus
kematian berhubungan dengan malnutrisi, balita dan lansia. Pasien lanjut usia atau
pasien debil prognosisnya lebih buruk. Bila terjadi komplikasi, maka prognosis semakin
buruk. Relaps terjadi pada 25% kasus.6
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan
• RS non pendidikan
REFERENSI
1 . Peters CJ. Infections Caused by Arthropod- and Rodent-Borne Viruses. In: Longo Fauci Kasper,
Harrison ' s Principles of Internal Medicine 17th edition.United States of America. McGraw Hill.2008
2. Widodo D. Demam Tifoid. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam. Edisi 5. Jakarta: Pusat Penerbitan llmu
Penyakit Dalam; 2009 : 2797 - 2805.
3. Parry Christopher M, Hien Trans tinh. Thyphoid Fever. N Engl J Med 2002; 347:1770-1782.
4. Herath. Early diagnosis of typhoid fever by the detection of salivary IgA. J Clin Pathol 2003:56:694-
698.
5. Utah Public Health - Disease Investigation Plans. Thypoid Fever (Enteric Fever, Typhus Abdominalis).
2010. Diunduh dari http://health.utah.gov / epi/ diseases / typhoid/plan/TyphoidPlan081610 pdf .
pada tanggal 2 Mei 2012.
893
894
DIARE INFEKSI
PENGERTIAN 1 2 3
Diare didefinisikan sebagai perubahan frekuensi buang air besar menjadi lebih
sering dari normal/ lebih dari 3 kali per hari disertai perubahan konsistensi feses
menjadi lebih encer. Diare juga dapat diartikan sebagai keluarnya feses lebih dari
200 gram per hari (pada populasi barat), atau kandungan air pada feses lebih dari
200 mL per hari.
Berdasarkan durasinya, diare dibagi menjadi tiga: diare akut (kurang dari 14 hari),
diare persisten ( berlangsung selama 2 - 4 minggu), dan diare kronis ( berlangsung
lebih dari 4 minggu ). Diare disebut sebagai diare infeksi bila etiologinya adalah karena
infeksi bakteri, virus, parasit, jamur, atau toksin dalam makanan
PENDEKATAN DIAGNOSIS4
Anamnesis
Onset, durasi, frekuensi, progresivitas , kualitas diare (konsistensi feses, adakah
disertai darah atau lendir), gejala penyerta (muntah, nyeri perut, demam), riwayat
makanan / minuman yang dikonsumsi 6 - 2 4 jam terakhir, adakah keluarga atau
orang disekitarnya dengan gejala serupa, kebersihan / kondisi tempat tinggal , apakah
wisatawan atau pendatang baru, riwayat seksual, riwayat penyakit dahulu, penyakit
dasar / komorbid .
Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum, tanda vital, status gizi , tanda dehidrasi, tanda anemia, kualitas
dan lokasi nyeri perut, colok dubur (dianjurkan untuk usia > 50 tahun, dan feses
berdarah) , identifikasi penyakit komorbid .
Pemeriksaan Penunjang
Darah Perifer Lengkap ( DPL) , elektrolit, ureum, kreatinin, Analisa Gas Darah
(AGD) bila dicurigai ada kelainan asam basa, analisa tinja, kultur dan resistensi feses,
immunoassay toksin bakteri ( C. difficile ) / antigen virus (rotavirus), antigen protozoa
{ Giardia, E. Histolytica )
DIAGNOSIS BANDING
Gastroenteritis (non infeksi)
Infeksi C. difficile
Divertikulitis akut
Sepsis
Pelvic inflammatory disease ( PID )
TATALAKSANA4
A. Terapi Suportif
1. Rehidrasi cairan dan elektrolit
Per oral : larutan garam gula, oralit, Larutan Rehidrasi Oral ( LRO)
Intravena : ringer laktat, ringer asetat, normal salin, ringer dekstrosa , dsb
Jumlah kebutuhan cairan disesuaikan dengan status hidrasi ( menggunakan
klasifikasi berdasarkan CDC AS 2008) atau dengan menggunakan skor Daldiyono.
895
Panduan PrakUk Klinis Tropik Infeksi
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia I
896
Diare Infeksi
Kritorla Skor
Voxkholerica 2
Turgor kulit menurun 1
Washer Woman Hand
Ekstremitas dingin 1
Sianosis 2
Umur 50-60 tahun -1
Umur>60 tahun -2
• Terapi nutrisi sesuai kebutuhan: nutrisi oral, enteral, parenteral, ataupun kombinasi
10 -14 hari
Kuinolon: siprofloksasin 2 x 500 mg p.o, norfloksasin 2 x 400 mg p.o,
levofloksasin 1 x 500 mg p.o selama 3-5 hari
-
Kotrimoksazol forte 2 x (160 mg + 800 mg) tab p.o selama 10 14 hari
Vibrio cholera:
Tetrasiklin 4 x 500 mg p.o selama 3 hari
Doksisiklin 4 x 300 mg p.o, dosis tunggal
Fluorokuinolon (siprofloksasin 2 x 500 mg p.o, norfloksasin /levofloksasin
1x500 mg p.o)
Clostridium difficile:
Metronidazol ( PO) 4 x 250-500 mg selama 7 - 14 hari
- Vankomisin ( PO) 4 x 125 mg selama 7- 14 hari ( Bila resistensi
metronidazole)
- Probiotik
Yersinia enterocolytica :
- Aminoglikosida : streptomisin (IM ) 30 mg/ kgBB / hari p.o bid , selama 10 hari
897
fr
ndi : 1 PraktikKlinis Trooik Infeksi
^ C'' ^ ^
Perhirnpunan Doklor Spesialis Penyakit Dalnm Indonesia
2. Terapi Simptomatik
• Adsorbent (kaolin, attapulgite, smectite, karbon aktif, kolestiramin ) : bekerja
dengan cara mengikat dan inaktivasi toksin bakteri atau zat lain yang
menyebabkan diare.
• Probiotik:terdiri dari Lactobacillus dan Bifidobacteria atau Saccharomyces
boulardii, bila mengalami peningkatan jumlahnya di saluran cerna akan
memiliki efekyang positif karena berkompetisi dengan bakteri patogen untuk
nutrisi dan reseptor saluran cerna.
898
Diare Infeksi ($j>:
, tinktur
• Antimotilitas (loperamid hidroklorida, difenoksilat dengan atropin
frekuensi
opium, tinktur opium camphor, paregoric, kodein ) : mengurangi
boleh
BAB pada orang dewasa, tetapi tidak mengurangi volume tinja. Tidak
abkan
diberikan pada bayi dan anak-anak dengan diare karena dapat menyeb
mbat
ileus paralitik berat dan memperpanjang durasi infeksi karena mengha
toksik
eliminasi organisme penyebab. Pada dosis tinggi dapat menyebabkan
n pada
megakolon. Antimotilitas yg membuat spasme, tidak boleh diberika
wanita hamil (komplikasi abortus).
if . Diberikan
• Bismuth subsalisilat: mengurangi volume tinja dan keluhan subyekt
setiap 4 jam, dapat mengurangi volume tinja pada diare akut sampai 30
%.
Obat antidiare: kontraindikasi bila feses berdarah, immunocompromise
, atau pada
risiko sepsis
KOMPLIKASI1
, kejang dan
Komplikasi sistemik: hipovolemia, hiponatremia, hipoglikemia, sepsis
energi protein .
ensefalopati, sindroma uremik hemolitik ( HUS), pneumonia, kurang
Komplikasi saluran cerna: perforasi, toksik megakolon.
PROGNOSIS5 4
• akut, diare cair, tipikal berlangsung 5-7 hari
• kebanyakan kasus membaik dalam 2 minggu
: prognosis
• bila ada komplikasi serius seperti dehidrasi dan syok hipovolemik
umumnya baik bila rehidrasi berhasil
nya :
• faktor -faktor yang memiliki prognosis yang lebih buruk, diantara
diare disertai darah ' dehidrasi dan hipovolemia
syok hipovolemik, gejala diare berulang
malnutrisi' immunodefisiensi, termasuk infeksi HIV
usia > 65 tahun ' diare karena antibiotika
infeksi nosokomial atau wabah diare
tanda - tanda peritonitis
899
# *
Panduan Pratt minis Tropik Infeksi
REPERENSI
1. Maladuin DhSimddibrata M, Abdullah M, Sy.am AF, Fauzi A, editors, Konsens "
us penatala ksanaan
diare akut pada dewasa dl Indonesia. Perkumpulan Gastroenterologi
Indonesia (PGI), 2009
2 . Camilleri M, Murray JA . Diarrhea and constipation. In: Longo DL, Kasper
. .
AS , FauciAS HduserSL LoscalzoJ, editors. Harrison s Principals
'
DL, Jameson DL, Fauci
of Internal Medicine 18th ed. New
.
York: McGraw-Hill Medical Publishing Division: 2012 Chapter , p
40 308-19 .
3 . . .
Colledge NR, Walker BR, Ralston SH, editors Presenting problem
.
s in infectious diseases In :
Davidson ' s Principles and Practice of Medicine 21st ed. Churchill Livingsto
ne-Elsevier;2010, Page
302 - 4
4 . .
Setiawan B. Diare akut karena infeksi Dalam: Buku Ajar llmu Penyakit
.
Dalam Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen llmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokte
ran Indonesia, 2011 Halaman.
1794 - 8
5 . WorldHealthOfganization.Thefreatmentofdiarrhoea manualforphysicia
workers. WHO 2005 PDF ^ nsandothersenior health
900
»01
PENGERTIAN
Diare terkait antibiotik / pseudomembran adalah peradangan pada kolon akibat
toksin A maupun toksin B dari Clostridium difficile yang ditandai dengan terbentuknya
lapisan eksudatif ( pseudomembran] yang melekat di permukaan mukosa, yang
umumnyatimbul setelah menggunakan antibiotik. Penggunaan antibiotikmenyebabkan
terganggunya kolonisasi flora normal di kolon sehingga Clostridium difficile tumbuh
berlebihan . Antibiotik yang paling sering dikaitkan dengan keadaan ini adalah
klindamisin, ampisilin dan sefalosporin generasi 2 dan 3.12
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis1 3
• Diare cair atau berlendir 10 - 20 x sehari
• Diare berdarah
• Kram perut
• Demam
• Riwayat penggunaan antibiotik minimal 72 jam sebelumnya
Pemeriksaan Fisik1 3
• Febris
• Nyeri tekan abdomen bawah
-
• Darah tepi lengkap > leukositosis, sering hingga 50.000/ mm
3
• Hipoalbuminemia
-
• Kolonoskopi > diawali lesi kecil (2 - 5 mm] putih atau kekuningan, diskret, timbul,
mukosa di antaranya terlihat normal atau eritema, granularitas, kerapuhan. Jika lesi
membesar, terbentuk pseudomembran yang luas berwarna kuning keabu -abuan
DIAGNOSIS BANDING
Diare akibat kuman patogen lain, efek samping obat non-antibiotik, kolitis non -
infeksi, sepsis intra abdominal.1
TATALAKSANA
Nonfarmakologis' 2'4
• Menghentikan antibiotik yang diduga sebagai penyebab, obat - obatan yang
mengganggu peristaltik, opiat
• Mencegah penyebaran nosokomial
• Pemberian cairan dan elektrolit (lebih lengkap lihat di bab Diare Infeksi]
Farmakologis1 2 4
• Metronidazol -> pada kasus ringan-sedang (leukosit < 15.000/ mm 3 atau kreatinin
< 1,5 kali kreatinin awal ) diberikan peroral dengan dosis 4 x 250 - 500 mg selama
7-10 hari
• Vankomisin digunakan pada kasus berat dengan dosis peroral 4 x 125-500
mg selama 7 -14 hari. Pada kasus berat dengan komplikasi atau fulminan, dosis
vankomisin yang digunakan adalah 500 mg per oral atau per NGT ditambah dengan
metronidazol iv 3 x sehari selama > 2 minggu. Tigesiklin iv 2 x 50 mg setelah dosis
awal 100 mg dapat menggantikan metronidazol
• Kasus rekurensi pertama menggunakan dosis yang sama dengan kasus baru. Kasus
rekurensi kedua menggunakan vankomisin per oral dengan dosis tapering yaitu 4
x 125 mg selama 10-14 hari lalu 2 x sehari selama 1 minggu lalu lx sehari selama
1 minggu lalu setiap 2 - 3 hari selama 2 -8 minggu
• Kolestiramin untuk mengikat toksin, dosis 3 x 4 gram selama 5 - 10 hari
• Kuman laktobasilus atau ragi (Saccharomyces bouiardii) selama beberapa minggu
• Imunoglobulin iv -> antibodi terhadap toksin C.difficile
Bedah: operasi kolektomi subtotal untuk menyelamatkan nyawa dan apabila dengan
terapi farmakologis tidak berhasil 2,4
902
Diare Terkait Antibiotik
KOMPLIKASI
Dehidrasi, gangguan elektrolit, syok, edema anasarka, megakolon toksik, perforasi
kolon, gagal ginjal, sepsis, kematian1
PROGNOSIS
Sebanyak 15 - 35 % kasus akan kambuh dalam beberapa minggu atau bulan .
Rekurensi dapattimbul sebagai relaps atau reinfeksi oleh strain baru . Rekurensi lebih
sering pada pasien geriatri, pasien yang tetap melanjutkan pemakaian antibiotik
penyebab saat terapi Clostridium difficile, pasien yang tetap dirawat di rumah sakit
setelah pengobatan pertama selesai dan pasien yang menggunakan proton pump
inhibitor . Pasien yang telah mengalami rekurensi pertama memiliki kemungkinan
rekurensi kembali sebesar 33- 65% . Pada kasus rekuren, risiko timbulnya komplikasi
serius meningkat sebesar 11%. Angka mortalitas meningkat hingga 6,9% dan lebih
tinggi pada usia tua.2 3
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Semua Divisi di lingkungan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
• RS non pendidikan
REFERENSI
1 . Oesman N. Kolitis infeksi. In: Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku
ajar ilmu penyakit dalam. 5lh ed. Jakarta; Pusat Informal dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit
Dalam FKUI, 2009:560 - 6
2 . Gerding DN, Johnson S.CIostridium difficile infection, including pseudomembranous colitis. In: Fauci
A, Kasper D, Longo D, Braunwald E, Flauser S, Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison ' s principles of
internal medicine. 18 th ed. United States of America; The McGraw-Hill Companies, 2012: 1091 - 4
3. Bartlett JG, Gerding DN. Clinical recognition and diagnosis of Clostridium difficile infection. Clin
Infect Dis. 2008:46 Suppl 1:S 12 —
4. Cohen SH, Gerding DN, Johnson S, et al. Clinical practice guidelines for Clostridium difficile infection
in adults: 2010 update by the society for healthcare epidemiology of America ( SHEA ) and the
infectious disease society of america ( IDSA) . Infect Control Hosp Epidemiol. 2010:31 ( 5 ) :431 - 55
903
904
PENGERTIAN1 2
Fever of Unknown Origin (FUO) dibagi menjadi empat macam, yaitu :
• FUO klasik adalah demam > 38,3°C selama lebih dari 3 minggu, kemudian dirawat
selama 1 minggu untuk dicari penyebabnya, namun tidak ditemukan penyebabnya.
Penyebab bisa merupakan undetermined infection, malignancy, autoimmune disease.
• FUO pada pasien HIV adalah demam > 38,3° C selama lebih dari 4 minggu pada
rawat jalan atau lebih dari 3 hari pada pasien rawat inap
• FUO pada pasien netropenia adalah demam > 38,3°C pada pasien dengan jumlah
lekosit PMN < 500 / gL atau diperkirakan akan turun mencapai nilai tersebut dalam
1- 2 hari (dibahas lebih lanjut pada bab demam neutropenia )
• FUO pada pasien nosokomial demam > 38,3°C timbul pada pasien yang dirawat
di RS dan pada saat mulai dirawat tidak timbul gejala atau dalam masa inkubasi,
penyebab demam tak diketahui dalam waktu 3 hari, termasuk 2 hari telah diperiksa
kultur.
ETIOLOGI
FUO disebabkan karena infeksi (30 -40 %), neoplasma (20-30%), penyakitkolagen
vaskular (10 - 20 %), dan beberapa penyakit lainnya (15- 20%). FUO yang menetap
selama lebih dari 1 tahun cenderung disebabkan oleh infeksi atau neoplasma dan
kebanyakan adalah penyakit granulomatosa.
PENDEKATAN DIAGNOSIS3
Pemeriksaan Penunjang
Sesuai mikroorganisme dan organ terkait. Pemeriksaan hematologi, kimia darah,
urine Lengkap, mikrobiologi, imunologi, radiologi, EKG , biopsi jaringan tubuh,
pencitraan, sidikan [ scanning ) , endoskopi / peritoneoskopi, angiografi, limfografi,
tindakan bedah (laparatomi percobaan), uji pengobatan, PET scan.
DIAGNOSIS BANDING
Infeksi, penyakit kolagen, neoplasma, efek samping obat
TATALAKSANA
Tidak ada pengobatan untuk FUO sampai penyakit yang mendasari teridentifikasi.
Obat-obatan untuk mengurangi demam tidak didukung bukti yang kuat. Pengobatan
empirik dengan menggunakan antibiotik, antituberkulosis, atau kortikosteroid tidak
direkomendasikan bila belum ditegakkan diagnosis pasti
KOMPLIKASI
Efek samping dari tes diagnostik untuk mencari etiologi FUO
PROGNOSIS
• 19-34 % pasien dengan FUO tidak pernah mengetahui diagnosisnya
• Pasien dengan FUO idiopatik mempunyai prognosis yang baik sebab pada sebagian
besar kasus, penyakit dapat sembuh dengan spontan.
905
Panduan
. Praktik KlinKs Tropik Infeksi
«loiti PonvoWI
Poihimpuwm OoU v 3p lnidon«*
OafQm a
UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : Divisi Pulmonologi , Divisi Hematologi - Onkologi Medik .
Divisi Reumatolbgi - Departemen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : -
REFERENSI
1. ErgonOI O, Wlllke A, Azap A, et al. Revised definition of fever of unknown origin : limitations and
‘ '
. .
opportunities. J Infect 2005;50 ( l ):l -5
2. . .
Cunha BA Fever of Unknown Origin New York, NY: Informa Healthcare; 2007.
3. Arnow PM, Flaherty JP. Fever of unknown origin. Lancet.1997;350:575-80 .
4. http:/ /medical-mdstermind-communlty,com/uploads/ Fever-of-Unkhown-Origin pdf .
906
907
FILARIASIS
PENGERTIAN
Filariasis adalah infeksi pada saluran limfe atau kelenjar limfe yang disebabkan
oleh cacing Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, atau B. timori , dengan klinis bervariasi
mulai dari infeksi subklinis, limfedema, sampai hidrokel, dan kaki gajah (elephantiasis) .
Toksin yang dilepaskan oleh cacing dewasa menyebabkan limfangiektasia, apabila
cacing dewasa telah mati dapat mengakibatkan limfangitis filaria akut dan obstruksi
saluran limfe .12
PENDEKATAN DIAGNOSIS2
Filariasis dapat berlangsung selama beberapa tahun dengan gambaran klinis yang
berbeda -beda .
Infeksi filaria , dibagi 3 stadium:
1. Bentuk tanpa gejala / asimptomatik
• Pembesaran kelenjar limfe terutama daerah inguinal
• Dalam darah ditemukan banyak mikrofilaria, disertai eosinofilia.
2. Filariasis dengan peradangan [akut]
• Demam, menggigil (bila ada infeksi sekunder karena bakteri) , sakit kepala
,
iliopsoas
• Infeksi kulit , plak edematosa , disertai vesikel , ulkus steril ( cairan
serosanguineus), dan hiperpigmentasi .
• Lekositosis dengan eosinofilia
• Sindroma eosinofilia paru tropik ( tropical pulmonary eosinophilia) , kejadian
< 1% dari seluruh kasus filariasis, ditandai dengan:
kadar eosinofil darah tepi yang sangat tinggi ,
gejala mirip asma, mengi, batuk
penyakit paru restriktif (dan kadang obstruktif )
PanduanPraktik Klinis
Perhimpunan Dokler Speslalis Penyakit Dalam Indonesia
($ y PanduanPraktik Klinis Trorjik Infpk Ji
wM
Peihimpunan Dokler Sposiolls Ponyakil Dalam Indonesia 1 1 1
^ 11 1 1
^^ ^ 1
Pemeriksaan Penunjang
• Pemeriksaan parasitologi mikroskopik, ditemukan mikrofilaria dalam darah
(kapiler lebih baik daripada vena), cairan hidrokel, atau cairan tubuh lainnya.
Kesulitan penegakan diagnosis sering dialami, karena mikrofilaria menghilang
setelah cacing dewasa mati, dan cacing dewasa hidup yang ada di pembuluh limfe
atau KGB sulit dijangkau .
• Limfoskintigrafi dengan radionuklir pada sistem limfatik ekstremitas
• USG Dopier pada skrotum atau payudara, terlihat cacing dewasa aktif
• ELISA dan ICT untuk antigen W. bancrofti yang bersirkulasi (sensitivitas
96-100 %, spesifisitas hampir 100%)
• Polymerase chain reaction [ PCR ) untuk deteksi DNA W. Bancrofti
DIAGNOSIS BANDING2
Pada episode akut: tromboflebitis, infeksi, keganasan, gagal jantung kongestif,
trauma, abnormalitas sistem limfatik.
TATALAKSANA1 2 3
• Umum: tirah baring, penggunaan stocking elastis untuk kompresi edema, antibiotik
bila ada infeksi sekunder atau abses.
• Spesifik:
Pengobatan infeksi:
Dietilkarbamazin [ DEC ] , 6 mg / kgBB/ hari selama 12 hari, dapat diulangi
1 - 6 bulan kemudian bila perlu, atau selama 2 hari per bulan ( 6 - 8 mg
/
kgBB/ hari)
908
Filariasis
KOMPLIKASI2
• Abses pelvis renalis sampai kerusakan ginjal
• Fibrosis interstisial paru kronik dan gagal nafas
• Rejeksi sosial, disabilitas seksual, depresi
PROGNOSIS
Prognosis baik pada kasus yang terdeteksi dini dan sedang, sedangkan prognosis
lebih burukpada kasus yang sudah lanjutterutama dengan edema genitalia (skrotum)
dan tungkai / elephantiasis, dapat menyebabkan kecacatan permanen.
2, 4
REFERENSI
1. Colledge NR, Walker BR , Ralston SH, editors. Infections caused by helminths. In: Davidson ' s
Principles and Practice of Medicine 21s ed. Churchill Livingstone-Elsevier: 2010. page 366 - 8.
'
2. .
Herdiman T Pohan. Filariasis Dalam: Buku Ajar llmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen llmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Indonesia, 2011.
3 . Filarial and Related Infections. Inlongo DL, Kasper DL, Jameson DL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo
J, editors. Harrison ' s Principals of Internal Medicine 18 ed. Me Graw Hill. Chapter 218
th
909
910
LEPTOSPIROSIS
PENGERTIAN
Adalah penyakit zoonotik yang disebabkan spirochaeta dari genus Leptospira. Dalam
tubuh hewan, leptospira akan menetap dan membentuk koloni serta berkembang biak
di dalam epitel tubulus ginjal dan secara terus-menerus ikut mengalir dalam filtrat urin.
Leptospira menginfeksi manusia melalui mukosa atau melalui abrasi kulit, memasuki
aliran darah dan berkembang. Masa inkubasi berkisar antara 2-26 hari, rata-rata 10 hari.
Leptospira dapat melewati rongga interstisial ginjal, menembus membran basal tubulus
proksimal ginjal dan sel tubuloepitel proksimal ginjal dan menempel pada brush border
tubulus proksimal ginjal, sehingga dapat diekskresikan ke urin.1-3
Penyakit Weil's merupakan bentuk berat leptospirosis yang ditandai oleh demam,
ikterus, gagal ginjal akut, syok refrakter dan perdarahan (terutama perdarahan paru).2
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis1 3
Riwayat paparan / kontak dengan urin serta air, tanah, atau makanan yang
terkontaminasi urin dari hewan yang terinfeksi (hewan ternak, babi, kuda, anjing,
kucing, hewan pengerat, atau hewan liar)
Riwayat pekerjaan risiko tinggi, mencakup tukang potong hewan, petani, peternak,
pekerja limbah, dan pekerja kehutanan
Demam yang muncul mendadak, bersifatbifasikyaitu demam remiten tinggi pada
fase awal leptospiremia (berlangsung antara 3-10 hari) kemudian demam turun
dan muncul kembali pada fase imun.
Sakit kepala, terutama di bagian frontal
Anoreksia
Nyeri otot
Mata merah / fotofobia
Mual, muntah
Nyeri abdomen
PanduanPrakUk Minis
Perhimpunan DoklerSpeslalis Penyakil Dalam Indonesia
Leptospirosis
Pemeriksaan Fisik1 3
Demam
Injeksi konjungtiva tanpa sekret purulen
Bradikardi
Eritema faring tanpa eksudat
Nyeri tekan otot, terutama pada betis dan daerah lumbal
Ronki pada auskultasi paru
Redup pada perkusi dada di atas area perdarahan paru
Ruam (dapat berupa makula, makulopapula, eritematosa, petekia, atau ekimosis)
Ikterus
Meningismus
Hipo - atau arefleksia, terutama pada tungkai.
Penyakit Weil's ditandai oleh ikterus, gagal ginjal akut, hipotensi dan perdarahan
( terutama perdarahan paru namun juga dapat mengenai saliran cerna ,
retroperitonium, perikardium dan otak). Sindrom lainnya mencakup meningitis
aseptik, uveitis , kolesistitis, akut abdomen, dan pankreatitis. Hepar dapat
membesar dan nyeri. Splenomegali dapat terjadi pada sebagian kecil kasus.
Pemeriksaan Penunjang' 3
Leukositosis atau leukopenia disertai gambaran netrofilia dan laju endap darah
yang meninggi.
- Anemia hemolitik
- Trombositopeni
Urinalisis: proteinuria, leukosituria, sedimen abnormal (leukosit, eritrosit, cast
hialin dan granular)
Diagnosis definitif : pemeriksaan langsung urin atau darah dengan mikroskop
lapang gelap.
Microscopic Agglutination Test (MAT) atau Macroscopic Slide Agglutination Test
( MSAT)
Kultur ganda darah atau LCS pada 7-10 hari pertama, kultur urin mulai minggu
kedua.
Peningkatan kreatin kinase isoform nonkardiak, menunjukkan kerusakan otot
rangka
Penyakit Weil ditandai dengan peningkatan blood urea nitrogen dan kreatinin
serum, campuran hiperbilirubinemia terkonjugasi dan tak terkonjugasi, serta
peningkatan aminotransferase sampai kurang dari 5 kali batas atas normal.
911
f\
, ndi iPraktikKlinis Tronik Infeksi
^
Perhimpunan Dokler Spesialls Penyakil Dalam Indonesia 11 IIX 1 1 M FWI
DIAGNOSIS BANDING
Influenza, malaria, infeksi dengue, chikungunya, demam tifoid, hepatitis virus
TATALAKSANA
Nonfarmakologis1 3
Tirah baring
Farmakologis
1. Pengobatan suportif dengan observasi ketatuntukmengatasi dehidrasi, hipotensi,
perdarahan, gagal ginjal1 3 '
2. Antibiotik:14
a. Leptospirosis ringan:
Doksisiklin oral 2 x 100 mg selama 7 hari
Amoksisilin oral 4 x 500 mg selama 7 hari
- Ampisilin oral 4 x 500-750 mg selama 7 hari
Azitromisin oral lxl gram pada hari pertama, selanjutnya lx 500 mg
pada hari kedua dan ketiga.5
b. Leptospirosis sedang-berat:
Penisilin G intravena 1,5 juta unit/6 jam selama 7 hari
Seftriakson intravena 1 gram / 24 jam selama 7 hari
Doksisiklin intravena 100 mg/12 jam selama 7 hari
Amoksisilin intravena 1 gram /6 jam selama 7 hari
Ampisilin intravena 1 gram / 6 jam selama 7 hari
Sefotaksim intravena 1 gram / 6 jam selama 7 hari
KOMPLIKASI
Gagal ginjal, meningitis aseptik, pankreatitis, perdarahan masif , hepatitis,
miokarditis
PROGNOSIS
Usia lanjut, keterlibatan paru , peningkatan kadar kreatinin serum, oliguria,
dan trombositopeni terkait dengan prognosis yang buruk. Faktor independen yang
terkait dengan keparahan penyakit meliputi hipertensi kronik, alkoholisme kronik,
keterlambatan pemberian antibiotik, hasil pemeriksaan auskultasi dada yang abnormal,
ikterus, oligoanuria, gangguan kesadaran, peningkatan AST, hiperamilasemia, dan
912
Leptospirosis
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : DivisiGinjal - Hipertensi - DepartemenPenyakitDalam
• RS non pendidikan
REFERENSI
, penyunting.
1 . Zein U. Leptospirosis.Dalam: Sudoyo AW , Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M Setiati S
,
2. Dalam: Longo DL. Kasper DL. Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J penyunting
, . Harrison’s
principle of internal medicine. Edisi XVIII. McGraw-Hill Companies ; 2012 . Hal .
3. Levett PN, Haake DA . Leptospira species . Dalam: Mandell GL , Bennett JE, Dolin R, penyunting.
Mandell, douglas, and bennett ' s principles and practice of infectious diseases Edisi
VII..
Philadelphia : Churchill Livingstone Elsevier; 2010.
Gilbert DN, et al. The sanford guide to antimicrobial therapy. Edisi ke 40. 2010
-
4.
5. Phimda K, Hoontrakul S, Suttinont C, Chareonwat S, Losuwanalu k K, Chueasuwanchai S, et al.
Doxycycline versus azithromycin for treatment of leptospirosis and scrub typhus. Antimicrob
Agents Chemother 2007; 51 ( 9 ) : 3259- 63
6 Ko AL Leptospirosis. Dalam: Goldman L, Schafer Al, penyunting. Goldman ' s Cecil medicine
. Edisi
XXIV . Philadelphia : Elsevier. 2012 .
Herrmann-Storck C, Louis MS, Foucand T, Lamaury I, Deloumeaux J, Baranton G et al. Severe
,
7
patients guadeloupe . Emerging Infectious Diseases 2010 ; 16 ( 2) :331 - 4
leptospirosisin hospitalized ,
913
914
PENGER TIAN
Infeksi HIV adalah suatu spektrum penyakit yang menyerang sel -sel kekebalan
tubuh (dari infeksi primer, dengan atau tanpa sindrom akut, stadium asimtomatik,
hingga stadium lanjut) yang disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus.12
PENDEKATAN DIAGNOSIS
' 4
Anamnesis
• Kemungkinan sumber infeksi HIV
• Gejala dan keluhan pasien saat ini
• Riwayat penyakit sebelumnya, diagnosis dan pengobatan yang diterima termasuk
infeksi oportunistik
• Riwayat penyakit dan pengobatan tuberkulosis (TB) termasuk kemungkinan
kontak dengan TB sebelumnya
• Riwayat kemungkinan infeksi menular seksual (IMS)
• Riwayat dan kemungkinan adanya kehamilan
• Riwayat penggunaan terapi anti retroviral (Anti Retroviral Therapy (ART) )
termasuk riwayat rejimen untuk PMTCT ( prevention of mother to child transmission)
sebelumnya
• Riwayat pengobatan dan penggunaan kontrasepsi oral pada perempuan
• Kebiasaan sehari-hari dan riwayat perilaku seksual
• Kebiasaan merokok
• Riwayat Alergi
• Riwayat vaksinasi
• Riwayat penggunaan NAPZA suntik
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Fisik meliputi tanda-tanda vital, berat badan, tanda - tanda yang
PanduanPraktik Minis
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
Human immunodeficiency virus ( HIV ) /
acquired immunodeficiency syndrome ( AIDS ) °
mengarah kepada infeksi oportunistik sesuai dengan stadium klinis HIV seperti yang
terdapat pada tabel di bawah ini. Pemeriksaan fisik juga bertujuan untuk mencari
faktor risiko penularan HIV dan AIDS seperti needle track pada pengguna NAPZA
suntik, dan tanda -tanda IMS.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Darah untuk Skrining HIV
• Anti HIV rapid
Pemeriksaan Darah untuk Diagnosis HIV
• Anti-HIV ELISA 3 X
• Anti- HIV Western Blot 1 X
Pemeriksaan Darah lainnya
• DPL dengan Diff Count
• Total Limfosit Count (TLC) atau hitung limfosit total: % limfosit x jumlah Leukosit
( dengan catatan jumlah leukosit dalam batas normal)
• Prediksi Hitung CD 4 + Berdasarkan Hitung Limfosit Total
CD4+ = 0, 3 limfosit - 8, 2
Persamaan ini digunakan bila tidak didapatkan faktor perancu seperti infeksi CMV
dan Tuberkulosis.
9)5
Panduan Praktik Klinis Tropik Infeksi
Perhimpunan DoklerSpesialis Penyakil Dalam Indonesia
• Pekerjaanyangberisikotinggi
• Aktif secara seksual dan mempunyai banyak mitra seksual.
Berikut merupakan strategi penyaring tes HIV menurut WHO dan UNAIDS (tabel 1).
Tabel 1. Strategi Penyaring Tes HIV menurut WHO dan UNAIDS Berdasarkan Tujuan Pemeriksaan
dan Prevalens Infeksi pada Populasi Sampel3
Tujuan Pemeriksaan Prevalensi Infeksi Strategi Pemeriksaan1
Keamanan transfusi/ Semua Prevalensi
tranplantasi
>10%
Surveilans
<10%
Diagnosis Terdapat gejala klinis >30%
infeksi HIV <30%
Tanpa gejala klinik > 10%
infeksi HIV <10%
Stadium WHO 2
• Stadium 1: asimtomatik, limfadenopati generalisata
• Stadium 2
Berat badan turun <10%
Manifestasi mukokutan minor (dermatitis seboroik, prurigo, infeksi jamur
kuku, ulkus oral rekuren, cheilitis angularis)
Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir
Infeksi saluran napas atas rekuren
• Stadium 3
Berat badan turun >10%
Diare yang tidak diketahui penyebab, >1 bulan
Demam berkepanjangan (intermiten atau konstan), >1 bulan
Kandidiasis oral
Oral hairy leucoplakia
Tuberkulosis paru
Infeksi bakteri berat (pneumonia, piomiositis)
• Stadium 4
HIV wasting syndrome
Pneumonia Pneumocystis carinii
Toksoplasma serebral
Kriptosporidiosis dengan diare >1 bulan
- Sitomegalovirus pada organ selain hati, limpa atau kelenjar getah bening
(misalnya retinitis CMV)
916
Human immunodeficiency virus ( HIV ) /
acquired immunodeficiency syndrome ( AIDS ) °
Infeksi herpes simpleks, mukokutan (>1 bulan) atau viseral
Progressive multifocal leucoencephalopathy
Mikosis endemic diseminata
Kandidiasis esofagus, trakea, dan bronkus
Mikobakteriosis atipik, diseminata atau paru
Septikemia salmonela non -tifosa
Tuberkulosis ekstrapulmonar
Limfoma
Sarkoma kaposi
Ensefalopati HIV
DIAGNOSIS BANDING1 2
Penyakit imunodefisiensi primer
TATALAKSANA1 4
• Konseling
• Suportif
• Terapi infeksi oportunistik dan pencegahan infeksi oportunistik (dapat dilihat
pada bab Infeksi Oportunistik )
• Terapi antiretrovirus (ARV) kombinasi, efek samping dan penanganannya
917
fftj
WIV
-
PanduanPiaktikKIinis Tronik Infeksi
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
11 11 1
Data
No Nama Generlk Formulasl Dosis
farmakoklnoflk
3. Kombinasi tetap Tablet: 300 mg Remaja dan Dosis maksimal:
ZDV + 3TC ZDV plus 150 Dewasa > 13 tahun atau > 60 kg:
mg 3TC 1 tablet/dosis, 2x/hari
( tidak untuk berat badan
< 30 kg)
4. Nevirapin (NVP) Tablet: 200 mg Semua umur < 8 tahun: 200 mg / m2, dua
.
minggu pertama sekali sehari.
Selanjutnya dua kali sehari.
> 8 tahun: 120-150 mg/m2, dua
minggu pertama sekali sehari.
Selanjutnya dua kali sehari.
5. Efavirenz ( EFV ) 600 mg Hanya untuk 10-15 kg: 200 mg sekali sehari
anak > 3 tahun 15 - < 20 kg: 250 mg
dan berat > sekali sehari
10 kg 20 - < 25 kg: 300 mg
sekali sehari
25 - < 33 kg: 350 mg sekali sehari
33 - < 40 kg: 400 mg
sekali sehari
Dosis maksimal:
> 40 kg: 600 mg sekali sehari
6. Stavudin ( d4T) Tablet: 30 mg Semua umur < 30 kg: 1 mg/kg/dosis,
2x/hari
30kg atau lebih: 30 mg/dosis,
2x/hari
7. Abacavir ( ABC ) Tablet: 300 mg Umur > 3 bulan < 16 tahun atau < 37.5 kg: 8
mg/kg/dosis, 2x /hari
Dosis maksimal:
> 16 tahun atau > 37.5 kg:
300 mg/dosis, 2x/hari,
8. Tenofovir disoproxil Tablet : 300 mg Diberikan setiap 24 jam
fumarat ( TDF) Interaksi obat dengan
didanosine ( ddl) , tidak lagi
dipadukan dengan ddl
9. Tenofovir + Emtricitabin Tablet 200 mg/
300 mg
Lini Kedua
1. Lopinavir / ritonavir Tablettahansuhu > 6 bulan 400 mg/ 100 mg setiap 12 jam-
(LPV /r) panas, 200mg untuk pasien naif baik dengan
lopinavir + 50 mg atau tanpa kombinasi EFV
ritonavir atau NVP
600 mg/ 150 mg setiap 12 jam
bila dikombinasi dengan EFV
atau NVP-untuk pasien yang
pernah mendapat terapi ARV
2 minggu-6 bulan : 16 mg/ 4 mg
/kgBB 2x/hari
6 bulan-18 tahun : 10 mg/kgBB /
dose lopinavir
2. TDF Tablet : 300 mg Diberikan setiap 24 jam
— Interaksi obat dengan ddl, tidak
lagi dipadukan dengan ddl
918
Human immunodeficiency virus ( HIV ) /
acquired immunodeficiency syndrome ( AIDS )
Tabel 3. Rekomendasi Rejimen Uni Pertama pada Target Populasi yang belum pernah Terapi ARV
15
Tabel 4. Rekomendasi Pemeriksaan Laboratorlum untuk Memonitor Paslen dalam Terapi ArV
(Modifikasi Depkes)3
Tahap Terapi ARV Tes yang Dlrekomendasikan Tes yang Dlanjurkan
Pada saat diagnosis HIV CD4 - HbsAg (periksa HCV ?? )
Sebelum memulai ARV CD4
Pada saat memulai ARV CD4 - Hb untuk ZDV
- Kreatinin Klirens untuk TDF
- SGPT untuk NVP
Pada saat menjalani ARV CD4 ( tiap berapa bulan ) - Hb untuk ZDV
- Kreatinin Klirens untuk TDF
- SGPT untuk NVP
Pada saat kegagalan klinis CD4 - Viral load
Pada saat kegagalan imunologis Viral load
Wanita yang menjalani PMTCT Viral load enam bulan
dengan NVP dosis tunggal dengan setelah memulai terapi ARV
lanjutan dalam 12 bulan
919
Panduan Praktik Klinis Tropik Infeksi
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyaklt Dalam Indonesia
920
Human immunodeficiency virus ( HIV ) /
acquired immunodeficiency syndrome ( AIDS )
-
• Pertolongan pertama diberikan segera setelah cedera: luka dan kulit yang terkena
darah atau cairan tubuh dicuci dengan sabun dan air, dan permukaan mukosa
dibilas dengan air.
• Penilaian pajanan tentang potensi penularan infeksi HIV (berdasarkan cairan
tubuh dan tingkat berat pajanan).
• PPP ( profilaksis pasca pajanan) untuk HIV dilakukan pada pajanan bersumber
dari ODHA (atau sumber yang kemungkinan terinfeksi dengan HIV).
• Sumber pajanan perlu dievaluasi tentang kemungkinan adanya infeksi HIV.
Pemeriksaan HIV atas sumber pajanan hanya dapat dilaksanakan setelah diberikan
konseling pra - tes dan mendapatkan persetujuan ( informed consent), dan tersedia
rujukan untuk konseling, dukungan selanjutnya serta jaminan untuk menjaga
konfidensialitas.
• Evaluasi klinik dan pemeriksaan terhadap petugas yang terpajan hanya
dilaksanakan setelah diberikan konseling dan dengan persetujuan ( informed
consent ).
• Edukasi tentang cara mengurangi pajanan yang berisiko terkena HIV perlu
diberikan oleh konselor yang menilai urutan kejadian pajanan dengan cara yang
penuh perhatian dan tidak menghakimi.
• Harus dibuat laporan pajanan.
921
Panduan Praktik Minis Tropik Infeksi
Perhimpunan Dokler Speslalls Penyakil Dalam Indonesia
HIV poslttf
HIV poslttf
Jenis Pajanan Tingkat 2° b Tidak dlketahul Tidak dlketahul HIV
Tingkat 1° staus HIV - nyac sumbernyad negattf
Kurang berat' Dianjurkan Anjuran Umumnya Umumnya Tidak
Pengobatan pengobatan Tidak perlu PPP, Tidak perlu perlu PPP
dasar dengan pertimbangkan9 pPPh.i
2 - obat PPP 3 -obat PPP 2-obat PPP bila
sumber berisikof’
Leblh beraf Pengobatan Anjuran
Umumnya Umumnya Tidak
dengan pengobatan
Tidak perlu PPP Tidak perlu perlu PPP
3 -obat PPP dengan
pertimbangkan ppph.i
3 -obat PPP
2-obat PPP bila
sumber berisikoh
Pajanan pada laplsan mukosa atau pajanan pada luka di kullt
Status Infeksi sumber pajanan
Volume Pertimbangkan Anjuran Umumnya Umumnya Tidak
sediklt Pengobatan pengobatan Tidak perlu PPP Tidak perlu perlu PPP
( beberapa dasar dengan pertimbangkan9 PPPh '
tetes) 2 - obat PPPh 3 -obat PPP 2-obat PPP bila
sumber berisikoh
Volume Dianjurkan Anjuran Umumnya Umumnya Tidak
banyak Pengobatan pengobatan Tidak perlu PPP Tidak perlu perlu PPP
( tumpahan dasar dengan pertimbangkan PPPhii
banyak 2 - obat PPP 3 -obat PPP 2-obat PPP bila
darah) sumber berisikohJ
Keterangan:
a HIV Asimtomatis atau diketahui viral load rendah ( yaitu <1500 RNA /mL)
b HIV Simtomatis, AIDS, serokonversi akut, atau diketahui viral load tinggi, bila dikhawatirkan adanya resistensi
obat, konsultasikan kepada ahlinya. Pemberian PPP tidak boleh ditunda dan perlu tersedia sarana untuk
melakukan perawatan lanjutan secepatnya
.
c contoh, pasien meninggal 8 tidak dapat dilakukan pemeriksaan darah
922
Human immunodeficiency virus ( HIV ) /
acquired immunodeficiency syndrome ( AIDS )
d contoh, jarum dari tempat sampah
e y.i. jarum buntu, luka di permukaan
darah pada alat, atau jarum bekas dipakai pada arteri
f y.i. jarum besar berlubang, luka tusuk dalam, nampak
atau vena
g Pernyataan “Pertimbangkan PPP " menunjukkan bahwa
PPP merupakan pilihan lidak mutlak dan harus
,
yang terpajan dan keahlian dokternya. Namun
diputuskan secara individual tergantung dari orang
PPP bila ditemuka n faktor risiko pada sumber pajanan ,
pertimbangkanlah pengobatan dasar dengan 2- obat
atau bila terjadi di daerah dengan risiko tinggi HIV.
h Bila diberikan PPP dan diterima, dan sumber pajanan
kemudian diketahui HIV negatif, maka PPP harus
dihentikan.
tanda-tanda kulit yang tidak utuh ( seperti, dermatitis
,
i Pada pajanan kulit, tindak lanjut hanya diperlukan bila ada
abrasi atau luka )
923
( jSS-
y
PanduanPraktik Minis Trnnik Infpksi
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakif Dalam Indonesia 11
Status HIV
dari Wanita
ZDV+3TC+NVP atau
TDF+3TC+EFC ata TDF+3TC
( atau FTCJ +EFV
ir
924
Human immunodeficiency virus ( HIV ) / A
acquired immunodeficiency syndrome ( AIDS ) *
KOMPLIKASI
Infeksi oportunistik, kanker terkait HIV, dan manifestasi HIV pada organ lain.1 4 ’
PROGNOSIS
Pemberian terapi ARV kepada orang dengan HIV / AIDS (ODHA) dapat menurunkan
penyebaran virus Human Immunodefficiency Virus ( HIV] hingga 9 2 %.1-4
UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : Divisi Pulmonologi, Divisi Hematologi - Departemen Penyakit
Dalam
• RS non pendidikan
REFERENSI
1. Fauci AS, Lane HC. Human Immunodeficiency Virus: AIDS and related disorders. In: Fauci A,
Braunwald E, Kasper D. Harrison ' s Principles of Internal Medicine. 17 th ed. New York: McGraw-
Hill; 2009: 1138- 1204
2. HIV . Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar llmu Penyakit
Dalam. Jakarta: Interna Publishing; 2009.p. 2130-32.
3. Departemen Kesehatan Rl. Tata Laksana HIV/ AIDS. 2012
4. World Health Organization. Antiretroviral therapy for hiv infection in adults and adolescent. 2010
revision. [Update 2010; cited 2011 Mar 11 ] Available from http:/ / www.who.int
5 . Antiretroviral Drugs for Treating Pregnant Women and Preventing HIV Infections in Infants:
Guidelines on care, treatment and support for women living with HIV / AIDS and their children in
resource-constrained settings. World Health Organization. Switzerland. 2004
6. Centers for Disease Control and Prevention. Recommended Adult Immunization Schedule. United
States. 2012. Diunduh dari http:/ / www.cdc.gov / vaccines/recs /schedules/ downloads /adult /
adult-schedule.pdf pada tanggal 2 Mei 2012.
925
926
INFEKSI JAMUR
PENGERTIAN
Mayoritas jamur tidak patogenik bagi orang yang imunokompeten, namun
beberapa jamur dapat menginfeksi orang sehat, diantaranya dermatofita (trikofiton,
epidermofiton , dan mikrosporum), histoplasma, blastomyces , cryptococcus,
coccidioides, dan paracoccidioides.1
Pada individu dengan imunokompromis berisiko terkena infeksi oportunistik
oleh jamur seperti kandida, aspergillus, fusarium atau mukor. Mereka yang terkena
diantaranya adalah infeksi HIV, terapi imunosupresan, kemoterapi kanker, pasien
netropenik, pasien dengan diabetes melitus yang tidak terkontrol. Pada keadaan
tertentu, jamur dapat menginfeksi hampir semua organ atau dapat terjadi diseminasi
dan menyebabkan sepsis fungal.
KANDIDIASIS
Definisi1
Kandidiasis adalah infeksi yang disebabkan oleh organisme dari genus Candida ,
yang paling sering Candida albicans. Infeksi kandida pada penderita imunokompromais
dapat dilihat pada bab Infeksi Oportunistik.
Faktor Risiko
Faktor risiko untuk infeksi kandida adalah netropenia, imunosupresi, antibiotik
spektrum luas, terpasang infus, pengguna jarum suntik, operasi abdomen, DM, gagal ginjal
Manifestasi Klinis
Tergantung dari lokasi terkenanya, kandidiosis memiliki manifestasi klinis :
• Mukokutan : kutan (merah, lesi maserasi, zona intertriginosa)
• Candidiuria : kolonisasi karena antibiotik spektrum luas dan atau indwelling catheter
• Candidemia : (nosocomial bloodstream infection)
• Hepatosplenik : intestinal seeding of portal and venous circulation ; ditemukan
pada leukimia akut
• Diseminasi hematogenus : paru -paru, otak, meningen
PandiianPraktik Klinis
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
Infeksi Jcrnnur |g|
Diagnosis4
Untuk menegakkan diagnosis candidiasis dengan menemukan pseudohifa atau
hifa spesies Candida pada kultur spesimen.
Sebelum menunggu hasil kultur, kondisi pasien dapat kita nilai dengan
menggunakan scoring kandida untuk menentukan apakah ia memiliki kecenderungan
menderita infeksi jamur. Skoring kandida secara lengkap dibahas pada appendiks.
Tatalaksana 2 3
Terapi empirik
Terapi empirik
Prognosis
Pada pasien sehat dengan kandidiosis superfisial, terapi yang tepat dapat
sembuh sempurna tanpa meninggalkan kerusakan permanen . Candidiosis tidak akan
kambuh bila pasien tetap sehat dan asupannya baik. Pada pasien immunokompromis,
kandidiosis lebih persisten dan lebih resisten terhadap terapi.
ASPERGILLOSIS
Definisi1
Aspergilosis adalah infeksi yang disebabkan oleh jamur Aspergillus.
Manifestasi Klinis
Beberapa bentuk aspergillosis
• Aspergilloma : biasanya didahului adanya kavitas ( dari TB ) ; kebanyakan
asimptomatik tapi dapat menyebabkan hemoptisis
• Necrotizing tracheitis: pseudomembran nekrotik putih pada pasien dengan AIDS
transplan paru
• Necrotizing kronik : pada pasien dengan PPOK; imunosupresi ringan
927
O PanduanPraktikKIinis Trooik
Il Jfw/ IIV Infpksi
' llllt? lvOl
Perhimpunan DokterSpesialis Penyakit Dalam Indonesia
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Laboratorium: Kultur, pemeriksaan antibodi, deteksi antigen [histo urin / serum
Ag, 1, 3 - p - D -glucan, Galactomannan, Crypto Ag ) , pemeriksaan histopatologik.
TATALAKSANA4
Nonfarmakologis
Lepaskan akses intravaskular, menjaga higienitas
Farmakologis
Fungus ball biasanya tidak diterapi dengan antijamur kecuali ada perdarahan pada
jaringan paru - paru. Pada kasus tersebut, diperlukan tindakan operasi . Aspergillosis
invasiv diterapi dengan antijamur voriconazole oral atau intravena . Dapat juga
menggunakan Amphotherisin B, Ekinokandin, atau Itraconazole . Endokarditis yang
disebabkan Aspergillus diterapi dengan tindakan operasi mengambil katup jantung
yang terinfeksi serta terapi antijamur dalam jangka panjang.
PROGNOSIS
Invasif aspergilosis sulit membaik dengan terapi farmakologis, dapat menyebabkan
kematian .
UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : Divisi Pulmonologi - Departemen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : -
REFERENSI
1. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam.
Jakarta: Interna Publishing: 2009.p. 2130-32.
2. CharlierC , HartE , LefortA, etal. Fluconazole for the management of invasive candidiasis : where
do we stand after 15 years?. J Antimicrob Chemother. Mar 2006;57(3 ) :384-410. [ Medline] ,
928
Infeksi Jamur 0
3. Kuse ER , Chetchotisakd P , da Cunha CA, et al . Micafungin versus liposomal amphotericin B for
candidaemia and invasive candidosis : a phase III randomised double- blind trial . Lancet. May 5
2007:369 ( 9572 ] : 1519-27 . [ Medline] ,
4. Faunci et all. Harrison ' sPrincipal of Internal Medicine 18lh Edition.
929
930
PENGERTIAN1
Infeksi oportunistik adalah infeksi yang timbul akibat penurunan kekebalan
tubuh. Infeksi ini dapat timbul karena mikroba yang berasal dari luar tubuh, maupun
yang sudah ada dalam tubuh manusia namun dalam keadaan normal terkendali
oleh kekebalan tubuh. Infeksi oportunistik pada ODHA dihubungkan dengan tingkat
kekebalan tubuhnya (kadar CD 4).
Berikut akan dibahas infeksi oportunistik yang sering terjadi pada ODHA di
Indonesia.
TUBERKULOSIS
Pendekatan Diagnosis
• Anamnesis: demam diurnal, keringat malam, batuk kronik lebih dari 3 minggu,
hemoptisis, penurunan berat badan, penurunan napsu makan, rasa letih, dan
nyeri dada pleuritik.
• Pemeriksaan fisik: febris, kakeksia, takipnea, suara napas bronkial, amorfik, suara
napas melemah, ronki basah yang terdengar jelas saat inspirasi.
• Pemeriksaan penunjang: sputum BTA yang positif minimal 2 dari 3 spesimen SPS
pada waktu yang bersamaan, foto rontgen toraks (infiltrat, pembesaran KGB hilus /
paratrakeal, milier, kavitasi, efusi pleura), laju endap darah meningkat, kultur
Mycobacterium tuberculosis yang positif, tes Mantoux positif, tes IGRA positif .
Diagnosis Banding
Pneumonia, tumor / keganasan paru, bronkiektasis, abses paru.
Panduan
Dokiet
Perhimpunan
Praktik Klinis
Spesialis Penyakif Dalam
Indonesia
Infeksi Oportunistik pada AIDS $?$ •
Tatalaksana
• Obat antituberkulosis ( OAT) yang diberikan pada pasien ODHA tidak berbeda
pada pasien biasa.
• Semua pasien ODHA harus menerima terapi antiretroviral (ARV). OAT diberikan
lebih dahulu, disusul pemberian ARV sesegera mungkin selambat-lambatnya 8
minggu setelah dimulainya OAT.
• ARV yang dianjurkan adalah zidovudin atau tenofovir disoproksil fumarat ( NRTI /
Nucleotide Reverse Transcriptase Inhibitor) dikombinasikan dengan lamivudin atau
emtrisitabin. Untuk NNRTI / Non - Nucleotide Reverse Transcriptase Inhibitor, WHO
merekomendasikan efavirenz atau nevirapin.
• Anamnesis: demam, penurunan berat badan, keringat malam, rasa letih, diare.
• Pemeriksaanfisik: limfadenopati, hepatosplenomegali, anemia.
• Pemeriksaan penunjang: gangguan fungsi hati, peningkatan alkali fosfatase serum,
leukopenia, anemia, kultur darah atau cairan lain yang steril, pemeriksaan sputum
yang menunjukkan MAC positif sebanyak 2 kali, biopsi sumsung tulang atau hati.
Diagnosis Banding
Tuberkulosis
Tatalaksana
931
Panduan Praktik Klinis Tropik Infeksi
Perhlmpunan Dokler Speslalis Penyakit Dalam Indonesia
KANDIDIASIS
Pendekatan Diagnosis
• Anamnesis:
Diagnosis Banding
• Kandidiasis orofaring: lik-en planus, karsinoma sel skuamosa, leukoplakia,
aspergilosis invasif, mukormikosis, blastomikosis, histoplasmosis.
• Kandidiasis esofagus: esofagitis radiasi, GERD, infeksi CMV, esofagitis herpes
simpleks.
• Kandidiasis vulvovagina: trikomoniasis, vaginosis bakterialis.
• Kandidiasis kulit: eritroderma, infeksi jamur lainnya .
Tatalaksana
• Kandidiasis orofaring:
Terapi pilihan:
Nistatin drop 4 - 5x kumur 500.000 U hingga lesi hilang (10 - 14 hari)
Flukonazol oral 1x100 mg selama 10 - 14hari
932
Infeksi Oportunistik pada AIDS
Terapi alternatif :
Itrakonazol suspensi 200 mg / hari saat perut kosong
Amfoterisin B iv 0, 3 mg / kgBB
• Kandidiasis esofagus:
Terapi pilihan:
Flukonazol oral 200 mg/ hari hingga 800 mg / hari selama 14 21 hari
-
-
Itrakonazol suspensi 200 mg/ hari selama 14 21 hari
Terapi alternatif: Amfoterisin B iv 0,3 mg/ kgBB
• Kandidiasis vulvovagina:
Terapi pilihan:
Klotrimazol krim 1% 5mg/ hari selama 3 hari atau tablet vagin
Mikonazolkrim 2 % 5 mg / hari selama 7 hari Tiokonazolkrim 0 8 % 5 /
, mg hari
selama 3 hari
Terapi alternatif:
- Flukonazol oral 1x150 mg tunggal
- Itrakonazol oral 1 - 2x 200 mg selama 3 hari
Ketokonazol oral 1x200 mg selama 5-7hariatau 2 x 200mg selama 3 hari
• Kandidiasis kulit:
, sulkonazol,
Krim atau losio klotrimazol, mikonazol, ekonazol, ketokonazol
oksikonazol.
933
Panduan Praktik Klinis Tropik Infek
si
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
• Pemeriksaan penunjang
CT scan / MRI otak: hidrosefalus, edema difus, atrofi, penyang
atan meningen
dan pleksus koroideus.
Isolasi jamur ( pewarnaan tinta India ) dari darah, cairan serebrospinal,
urin,
cairan pleura, sputum, bilasan bronkus, lesi kulit.
Histopatologi.
- Serologi antigen C neoformans. .
Diagnosis Banding
Tuberkulosis, tuberkuloma,sifilis sistem saraf pusat
Tatalaksana
• Meningitis kriptokokus
Menurunkan tekanan intrakranial/ TIK hingga < 200 mmHg dengan : punksi
lumbal (bila TIK > 250 mmHg), pemasangan drain lumbal (bila TIK
> 400
mmHg), VP shunt ( bila kedua terapi di atas gagal).
Antijamur pilihan pertama :
Induksi: amfoterisin B iv 0, 7 - lmg / kgBB/ hari dan 5- fluorositosin oral
100 mg / kgBB/ hari selama 2 minggu.
Konsolidasi:flukonazol oral 400 mg/ hari selama 8 minggu atau hingga cairan
serebrospinal steril.
Pilihan kedua:
Induksi: amfoterisin B iv 0,7 - lmg/ kgBB / hari selama 2 minggu.
Konsolidasi:flukonazol oral 400 mg/ hari selama 10 minggu atau hingga cairan
serebrospinal steril.
Pilihan ketiga:
Flukonazol oral 400 - 800 mg/ hari dan fluorositosin oral 100 mg kgBB
/ / hari
selama 6 - 10 minggu
• Kriptokokosis paru, kriptokokosis diseminata dan antigenemia :
Flukonazol 200 - 400 mg / hari secara oral hingga nilai CD 4 > 200 sel pL.
/
934
Infeksi Oportunistik pada AIDS $$
Diagnosis Banding
oma, progressive
• Ensefalitis toksoplasma: limfoma sistem saraf pusat, tuberkul
multifocal leucoencephalopathy.
mosis.
• Korioretinitis toksoplasma: korioretinitisTB, sifilis, lepra, histoplas
Tatalaksana
• Pilihan pertama
Fase akut: pirimetamin oral 200mg hari pertama, selanjutnya 50 - 75 /
mg hari +
.
leukovorin oral 10 - 20 mg / hari + sulfadiazin oral 1000 - 1500mg/ hari
Rumatan: pirimetamin oral 25 - 50 mg/ hari + leukovorin oral 10 - 20
mg / hari
+ sulfadiazine oral 500 - lOOOmg/ hari.
935
Panduan Praktik Klinis Tropik Infek
Daiam si
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Indonesia
• Pilihan kedua
Fase akut: pirimetamin + leukovorin + klindamisin oral atauiv4x600 mg
Rumatan: pirimetamin +leukovorin (dosis rumatan) + klindamisinoral4
x300-450 mg
• Pilihan ketiga :
Fase akut: pirimetamin + leukovorin + salah satu : atovaquone oral 2 x1500
mg,
-
azitromisin oral 1x900 1200 mg,klaritromisinoral 2 x500 mg, dapson
oral 1x100
mg, minosiklinoral 2xl50-200 mg.
Fase rumatan: pirimetamin + leukovorin (dosis rumatan) + salah satu antibioti
k
tersebut dosis sama.
• Di Indonesia tidak terdapat sulfadiazin dan pirimetamin tunggal karena
itu dapat
digunakan fansidar (pirimetamin 25mg dan sulfadoksin 500 mg) dengan
dosis
pirimetamin seperti di atas.
936
Infeksi Oportunistik pada AIDS If ]
Diagnosis Banding
Pneumonia bakterialis, pneumonitis interstitial nonspesifik
Tatalaksana
• Derajat sedang - berat [sesak napas saat istirahat / PaO < 70 mmHg dalam udara
kamar atau AaDC> 2 > 35 mmHg):
Rawat inap, oksigen, ventilator bila perlu .
Kotrimoksazol iv atau trimetoprim oral 15 - 20 mg / kgBB / hari dan 75 - 100
mg/ kgBB / hari sulfametoksazol dibagi 4 dosis selama 21 hari.
Prednison oral 2x40 mg 5 hari pertama, 1x40 mg 5 hari berikutnya dilanjurkan
20 mg / hari hingga terapi selesai atau metilprednisolon iv dosis 75% dosis
prednison atau hidrokortison iv dosis awal 4xl 00 mg.
- Alternatif : primakuin 30 mg / hari + klindamisin 3x600 mg atau pentamidin
4 mg/ kgBB / hari.
• Derajat ringan - sedang (sesak napas pada latihan, PaO > 70 mmHg dalam udara
kamar, AaDO > 35 mmHg) :
Trimetoprim oral 15 - 20 mg / kgBB / hari dan 75 - 100 mg / kgBB / hari
sulfametoksazol dibagi 4 dosis selama 21 hari.
Alternatif : primakuin pral 30 mg / hari + klindamisin 3x 600 mg / hari atau
atovaquone 2x750 mg selama 21 hari.
• Repons pengobatan dapat dilihat setelah hari ke-5 sampai ke- 7.
CYTOMEGALOVIRUS (CMV)
Pendekatan Diagnosis
Anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang:
• Korioretinitis :
- Gangguan penglihatan unilateral, penglihatan floater, fotopsia, skotoma,
gangguan lapang pandang unilateral.
Funduskopi : perdarahan retina brush - fire, catchup - sauce appearance,
pigmentasi granuler atau eksudat kekuningan seperti pizza pie appearance,
cotton - wool spot pada daerah perifer atau fundus.
Pemeriksaan antigen CMV secara serologis.
• CMV saluran cerna:
Diare, sariawan, nyeri epigastrium, ulkus pada sfinkter esofagus, ulkus rectum,
perforasi ileum.
937
tfS PanduanPraMik Minis Trnnik Infpksi
M 01
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyokil
Dalam Indonesia
1 1 W 1 11 1 1 W 1X
Biopsi mukosa saluran cerna: tanda inflamasi dan CMV inclusion body.
Pemeriksaan antigen CMV secara serologis.
• Pneumonitis CMV:
- Sesak napas yang memburuk perlahan, sesak saat aktivitas, batuk non -
produktif, ronki minimal.
Roentgen dada: infiltrat difus interstitialis seperti PCP.
Biopsi paru / makrofag dari bilasan bronkoalveoler: CMV inclusion body
intraselular.
Pemeriksaan antigen CMV secara serologis.
• Ventrikuloensefalitis CMV:
Letargi, gangguan mental, delirium, demam, sulit konsentrasi, sakit kepala,
somnolen, gangguan saraf kranial .
Pemeriksaan cairan serebrospinal: ditemukan antigen atau DNA CMV dan
kultur.
Pemeriksaan antigen CMV secara serologis.
Tatalaksana
• Mata
Gansikloviriv 2 x 5 mg/ kgBB / hari dalam infus 1 jam selama 2 - 3 minggu,
dilanjutkan dengan dosis rumatan iv 5mg/ kgBB / hari sekali sehari.
- Valgansiklovir oral 2x900 mg selama 21 hari dilanjutkan dosis rumatanlx900mg.
Foscarnet iv 2 x 60 mg / kgBB atau 2 x 90 mg/ kgBB selama 2 - 3 minggu
dilanjutkan dosis rumataniv 2 x90-120 mg/ kgBB.
Pada ancaman gangguan penglihatan berat dan pemulihan sistem imun
sulit diharapkan, dipasang implant gansiklovir intraokuler per 6 -8 bulan
dikombinasi dengan valgansiklovirorallx900mg.
Saluran cerna
Gansiklovir iv 2x5 mg/ kgBB selama 2 - 3 minggu .
Valgansiklovir 2 x900 mgselama 2 - 3 minggu.
Foscarnetiv3x60 mg/ kgBBatau 2x90 mg/ kgBB selama 2 - 3 minggu.
Tidak diperlukan terapi rumatan kecuali relaps selama atau setelah terapi
Paru
Gansiklovir iv 2x5 mg / kgBB selama > 21 hari.
Valgansiklovir 2 x900 mgselama 21 hari.
Foscarnetiv3x60 mg/ kgBBatau 2x90mg/ kgBBselama > 21hari.
938
Infeksi Oportunistik pada AIDS
• Sistem saraf
Gansiklovir iv 2 x 5 mg/ kgBB kombinasi dengan foscarnet iv 3x60 mg / kgBB
atau 2x90 mg/ kgBB selama 3 - 6 minggu, dilanjutkan dengan dosis rumatan
seperti pada mata.
Gansiklovir iv 2 x5 mg / kgBB selama 3-6 minggudilanjutkan dengan rumatan
gansiklovir iv atau valgansiklovir seperti dosis pada mata.
Diagnosis banding
Diare karena parasit lain , amebiasis, infeksi Campylobacter , colitis CMV,
gastroenteritis virus, gastroenteritis bakteri, giardiasis.
Tatalaksana
• Cryptosporidia sp.:Tidak ada terapi spesifik untuk infeksi Cryptosporidia sp. Infeksi
ini akan mengalami resolusi dengan sendirinya apabila kadar CD 4 >100sel / pL.
Alternatif: paramomisin 500 mgperoral 3xsehariselamal 4hari.
• Microsporidia :
Albendazol 400 mg 2 x sehari selama 14 hari. Untuk infeksi diseminata ,
albendazol dapat dikombinasikan dengan itrakonazol 200 - 400 mg/ hari.
Infeksi okular dapat mendapat terapi tambahan fumagilin bisiloheksilammonium
topikal
• Isospora belli:
Kotrimoksazoll 60 mg TMP / 800 mg SMX oral atau iv 2 - 4x sehari selama 10
hari, dapat diperpanjang hingga 3 - 4 minggu bila gejala menetap.
Alternatif : pirimetamin 50 - 75 mg / hari [+ asam folat 5 - 10 mg / hari) atau
siprofloksasin 500mg oral 2 x sehari selama 7 hari.
Terapi rumatan : kotrimoksazol 320 mgTMP /1.600 SMX lx sehari atau 3x
seminggu bila CD4 < 200sel / pL atau pirimetamin 25 mg/ hari.
939
Panduan Praktik Klinis Tropik Infeksi
Perhimpunan Dokfer Spesiolis Penyakit Dalam Indonesia
KOMPLIKASI
Kematian, komplikasi sesuai organ yang terlibat, komplikasi akibat pengobatan
PROGNOSIS
Sebagian besar infeksi oportunistik dapat diobati, namun jika kekebalan tubuh
tetap rendah, infeksi oportunistik dapat kambuh kembali atau juga timbul infeksi
oportunistik yang lain.
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Semua Divisi di lingkungan Departemen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan
REFERENSI
.
Yunihastuti E, Djauzi S, Djoerban Z, editors. Infeksi oportunistik pada AIDS Jakarta; Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005.
2. Nasronudin. Infeksi jamur. In: Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku
ajarilmu penyakit dalam. 5th ed. Jakarta; Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian llmu Penyakit
Dalam FKUI, 2009:2871 - 80
3. Pohan HT.. Toksoplasmosis. In; Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors.
Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5th edition. Jakarta; Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian llmu
Penyakit Dalam FKUI, 2009:2881 - 8
4. .
FauciAS ,LaneHC Humanimmunodeficiencyvirusdisease:AIDSandrelateddisorders.ln:FauciA ,
Kasper D, Longo D, Braunwald E, HauserS, Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison ' s principles of
.
internalmedicine l 8thed.UnitedStatesofAmerica;TheMcGraw-HillCompanies,2012:1506-87
5. World Health Organization. Treatment of tuberculosis guidelines. 4th edition. 2010:65 - 74
6. Kaplan JE, Benson C, Holmes KH, Brooks JT, Pau A, Masur H. Guidelines for prevention and
treatment of opportunistic infections in HIV-infected adults and adolescents: recommendations
from CDC , the National Institutes of Health, and the HIV Medicine Association of the Infectious
Diseases Society of America . MMWR Recomm Rep. 2009;58( RR -4) : 1 -207.
7. LimperAH,KnoxKS,SarosiGA,AmpelNM,BennettJE,CatanzaroA.AnofficialAmericanthoracic society
statement: treatment of fungal infections in adult pulmonary and critical care patients. Am J
Respir Crit Care Med.2011;183:96 - 128
940
941
PENGERTIAN
Infeksi telah lama diketahui sebagai penyebab utama morbiditas dan mortalitas
ibu dan janin di seluruh dunia, dan infeksi ini masih menjadi masalah di abad 21 .
Faktor -faktor seperti status serologis maternal , waktu terjadinya infeksi saat hamil,
cara penularan, dan status imunologis mempengaruhi manifestasi penyakitnya. Infeksi
1
akut selama kehamilan yang sering seperti infeksi kulit atau infeksi saluran nafas ,
biasanya bukan merupakan masalah yang serius, namun pada beberapa kasus dapat
mempengaruhi persalinan ataupun pemilihan cara persalinan, dan meningkatkan
resiko kejadian abortus, ketuban pecah dini, kelahiran prematur, dan stillbirth . *
2
PENDEKATAN
Berikut merupakan beberapa infeksi yang sering ditemukan selama kehamilan
(tabel 1) .
label 1. Diagnosis, Pencegahan, Terapi, dan Komplikasi pada macam- macam Infeksi dalam
Kehamilan ' " 5
TES
INFEKSI PENCEGAHAN TERAPI KOMPUKASI
LABORATORIUM
Rubella Isolasi virus, PCR, Vaksinasi dengan Simptomatik Sindrom rubella kon-
serologis ELISA interval 3 bulan genital
IgM dan IgG sebelum hamil,
hindari kontak
dengan penderita
CMV Isolasi virus, PCR, Imunisasi Simptomatik, Pertumbuhan janin
serologis ELISA pasif dengan ganciclovirl terhambat ( IUGR ) ,
IgM dan IgG imunoglobulin mikrosefali, prema-
( IG) CMV , hindari turitas, oligo / polihi-
kontak dengan dramnion
penderita
Varicella Klinis, sitologis, Vaksinasi tidak Isolasi, rawat inap Infeksi neonatorum,
zoster virus isolasi virus dianjurkan pada bila komplikasi malformasi
( VZV ) wanita hamil, VZIG ( +) , asiklovir 10- 15 kongenital, infeksi
profilaksis2 625 unit im mg/kgBB tiap 8 berat pada ibu
jam
( bila riwayat cacar
air dan seronegatif
VZV ) dalam kurun
waktu 96 jam paska
paparan.
TES
INFEKSI PENCEGAHAN TERAPI KOMPUKASI
LABORATORIUM
Herpes simplex Klinis, sitologis, Kontrasepsi barrier
Asiklovir atau Infeksi neonatorum,
isolasi virus, PCR, (kondom) , hindari
valasiklovir, infeksi berat pada
serologis kontak dengan
pertimbangan ibu
penderita sectio caesarea
(SC ) . Neonatus
yang terinfeksi
diberikan asiklovir.
Hepatitis B Lihat pembahasan pada bab Hepatitis Virus Akut
HIV Lihat pembahasan pada bab HIV
Parvovirus B19 PCR, Serologis Simptomatik Anemia fetus,
antibodi IgG dan abortus spontan,
IgM hydrops fetalis
Campak Klinis, PCR, Vaksinasi tidak Simptomatik Abortus, prematuritas,
(Rubeola / serologis dianjurkan pada berat badan lahir
Measles) wanita hamil rendah ( BBLR )
Sifilis
Neisseria gon-
orrhoeae and Lihat pembahasan pada bab Infeksi Menular Seksuai
Chlamydia
trachomatis
Listeriosis Kultur darah Hindari keju atau Ampisilin + Infeksi fetus, stillbirth
produk susu yang gentamisin, bila
tidak dipasteurisasi, alergi a trime-
mencuci sayur toprim-sulfametok-
mentah, memasak sazol (TMP-SMX)
dengan matang
Brucellosis Riwayat paparan, Hindari produk Dual therapy Abortus spontan
isolasi bakteri susu yang tidak antimikroba: TMP-
dari darah atau terpasteurisasi SMX, rifampin
jaringan, kultur,
PCR, serologis, tes
aglutinasi, dipstick
Infeksi Strepto- Klinis, darah Profilaksis: Penicillin Sesuai dengan Sepsis maternal post
coccus Grup B lengkap, kultur G 5 juta unit iv ( dosis profilaksis partum, infeksi neona-
dari swab vagina awal), dilanjutkan torum
dan rektum 2,5 juta unit iv tiap 4
jam s/d partus atau
ampisilin 2 g iv ( dosis
awal), dilanjutkan
1 giv tiap 4 jam s /d
partus.
Bila alergi penisilin:
Cefazolin 2 g iv ( dosis
awal), dilanjutkan
1 g iv tiap 8 jam
s/d partus atau
klindamisin 900 mg iv
tiap 8 jam s /d partus
atau eritromisin 500
mg iv tiap 6 jam
s /d partus atau
vancomycin 1 g
iv tiap 12 jam s/d
partus
942
Infeksi pada Kehamilan Q
PROGNOSIS
Tergantung infeksi
• RS non pendidikan : -
REFERENSI
Cunningham, Leveno, Bloom et al. Williams Obstetrics 23 Ed. United States of America. McGraw
rd -
1.
Hill. 2010;58:1210-34.
2. Brocklehurst P. Infection and preterm delivery. BMJ 1999;318:548e9.
Goldenberg RL, Hauth JC, Andrews WW Intrauterine infection and preterm delivery. N Engl
. J
3.
Med 2000:342:1500e7.
e90.
Goldenberg RL, McClure EM, Saleem S, et al. Infection-related stillbirths. Lancet 2010:375 1482
:
4.
5. Gershon A. Chapter 186: Rubella ( German Measles) . In: Longo Fauci Kasper Harrison’
, s Principles
of Internal Medicine 17 lh
edition. United States of America . McGraw .
Hill 2008
943
Panduan Praktik Klinis Tropik Infeksi
PofhlmfiunonDotiry SpesJob Periyukil Dokim IrdonMio
6. YInon Y, Farine D, Yudin Met al. Cytomegatovlius Infection in Pregnancy. Society of Obstetricians
. ^ ^
afYd "Gyhcte&ologists of Canacid (SOGC) Clfrtlb l F fa ’tldal Guideline no» 24Q,.April 20if Sftfdnduh
dari http;//www sogc.org/guidellnes/documents/’gul240CPG1004E pdf pada tqnggal 2 Mei 2012
. <
.
7. .
Anzivino E, Floritl D, Mischltelli M et al Herpes simplex virus Infection in pregnancy and in neonate:
status of art of epidemiology, diagnosis, therapy arid' prevention. Virology Journal 2009, 6:40
. .
doi:10.1186/1743-422X-6-40 Diunduh dari http://wvyw virologyj.com/content/pdf /1743-422X-6-40.
pdf pada tanggal 2 Mel 2012.
8. .
Parvovirus B19 Infection in Pregnancy: Information Pack. Diunduh dari http://www fifthdisease .
9. . .
Pappas G, Akritidis N, Bosilkovski M, et al Brucellosis N Ehgl J Med 2005; 352:2325
-2336 Diunduh.
. .
dari http:/ /www nejm org/doi/full/10.1056/NEJMrad5057Cj pada tanggal 2 Mei 2012 .
. .
10 Khan M, Mah M, Memish Z Brucellosis in Pregnant Women. Clinical Infectious Diseases
2001;
-
32:1172 7. Diunduh dari http://cid.oxfordjournals Org/content /32/8/ l 172 full pdf pada tanggal
. . .
2 Mei 2012 .
944
945
INTOKSIKASI ORGANOFOSFAT
PENGERTIAN
osfat
Adalah intoksikasi akibat zat yang mengandung organofosfat. Organof
enzim
digunakan sebagai insektisida. Mekanisme kerjanya adalah melalui inhibisi
kolinergik,
asetilkolinesterase, menyebabkan akumulasi asetilkolin pada sinaps-sinaps
g reseptor
baik perifer maupun sentral. Asetilkolin berlebih menyebabkan triggerin
sistem saraf
asetilkolin secara konstan, stimulasi berlebih pada sinaps kolinergik di
pusat, sistem saraf otonom, dan neuromuscular junction.
13 '
ik akut,
Intoksikasi organofosfat bermanifestasi dalam 3 fase, yaitu krisis kolinerg
intermediate neurotoxic syndrome, dan delayed polyneuropathy.
3
PENDEKATAN DIAGNOSIS
, bau pestisida
• Riwayat minum / kontak dengan zat yang mengandung organofosfat
• Gambaran klinis khas krisis kolinergik akut:
, Bradikardi,
a. Gejala dan tanda muskarinik: Diare, banyak berkemih, Miosis
LS),
Bronchorrhoea , Bronkokonstriksi, Emesis, Lakrimasi, Salivasi ( DUMBE
hipotensi, aritmia jantung
gagal
b. Gejala dan tanda nikotinik: fasikulasi, tremor, kelemahan otot dengan
napas, hipertensi, takikardi, berkeringat, midriasis
c. Gejala SSP: gangguan kesadaran, kejang
• Gambaran klinis intermediate neurotoxic syndrome
Cranial nerve palsies, kelemahan leher dan ekstremitas proksimal, dan gagal
napas tipe II
•
• Gambaran klinis delayed polyneuropathy
n
• Gangguan neurologis 1- 3 minggu setelah paparan akut, terutama ganggua
motorik, namun juga dapat sensorik
Pemeriksaan Penunjang3
4
plasma
• Berkurangnya aktivitas kolinesterase darah atau butirilkolinesterase
• < 80 % menunjukkan paparan signifikan
PanduanPrakdk Klinis
Pertilmpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
# SSBflSBBB Tropik Infeksi
• EKG: bradikardi, pemanjangan QT, torsade de pointes ventricular tachycar
dia ,
ventricular fibrillation
DIAGNOSIS BANDING
Intoksikasi karbamat, perdarahan pontin
TATALAKSANA
Nonfarmakologis56
• Membebaskan jalan napas
• Melepas pakaian yang terpapar
• Dekontaminasi kulit dengan air dan sabun
• Menempatkan pasien pada posisi lateral dekubitus kiri
Farmakologis5
1. Resusitasi adekuat: oksigen, cairan normal saline ( NS] 0,9%
2. Antagonis muskarinik: Atropin; untuk memperbaiki tanda dan gejala muskarin
ik
Dosis awal 1- 3 mg bolus
5 menit setelahnya, periksa nadi, tekanan darah, ukuran pupil, keringat dan
auskultasi dada. Jika belum ada perbaikan, gandakan dosis pertama
Pantau setiap 5 menit, gandakan dosis jika respon masih belum muncul.
Jika
terjadi perbaikan, hentikan penggandaan dosis. Gunakan dosis yang sama
atau lebih kecil.
Berikan atropin bolus sampai denyut jantung >80 kali menit, dan tekanan
/
darah sistolik >80 mmHg dan lapang paru bersih.
- Setelah pasien stabil, berikan infus atropin setiap jam sebesar 10-20% total
dosis yang dibutuhkan untuk menstabilkan pasien.
.
3 Reaktivator kolinesterase: pralidoxime ( 2 - PAM ), obidoxim ,
e trimedoxime,
metohoxime, dll untuk memperbaiki tanda dan gejala nikotinik 7 8
-
2 g IV selama 20-30 menit dilanjutkan dengan 0,5 1 g jam dalam NS ,9
/ 0 %. Berikan
pralidoxime sampai atropin tidak digunakan lagi selama 12- 24 jam dan
pasien
telah diekstubasi
.
4 Diazepam jika agitasi dan kejang
Dosis awal 2-10 mg, dosis maksimal 30 mg.
5. Kumbah lambung
Hanya dilakukan setelah pasien stabil, biasanya dilakukan < 4 jam setelah keracuna
n,
946
Intoksikasi Organofosfat .0
yaitu dengan cara memberikan dan mengaspirasi 5 ml cairan / kgBB melalui French
orogastric tube (OGT). Dapat menggunakan air atau NS.
6. Pemberian activated charcoal 50 mg dalam bentuk suspensi secara oral melalui
cangkir, sedotan, atau nasogastric tube (NGT ]
7. Ventilasi mekanik jika terjadi gagal napas
KOMPLIKASI
9,10
Hipoksia, asidosis, pneumonia, gagal napas, aritmia jantung.
PROGNOSIS
Angka kematian lebih dari 15 %. Skor APACHE II awal dapat digunakan sebagai
indikator prognostik. Nilai GCS juga dapat digunakan untuk memprediksi outcome .
Hipoksemia, asidosis, dan gangguan elektrolit merupakan faktor predisposisi komplikasi
jantung.910
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Divisi Pulmonologi, Divisi Psikosomatik , Divisi
Gastroenterologi - Departemen Penyakit Dalam, Unit
Perawatan ICU
• RS non pendidikan : Unit Perawatan ICU
REFERENSI
1 . Dalam: Sudoyo AW , Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, penyunting. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. Edisi V. Jakarta: InternaP ublishing; 2009. Hal
2. Poisoning and drug overdose. Dalam: Longo DL. Kasper DL. Jameson JL, Fauci AS, Hauser
SL, Loscalzo J, penyunting. Harrison ' s principle of internal medicine. Edisi XVIII. McGraw-Hill
.
Companies: 2012 Hal.
3. Aardema H, Meertens JHJM, Ligtenberg JJM, Peters-Polman OM, Tulleken JE, Zijlstra JG.
Organophosphorus pesticide poisoning: cases and developments. The Netherlands Journal of
Medicine 2008: 66 ( 4) : 149- 153
4. Karki P, Ansari JA, Bhandary S, Koirala S. Cardiac and electrocardiographical manifestations of
acute organophosphate poisoning. Singapore Med J 2004: 45 ( 8) : 385
5. Eddlestone M, Buckley NA, Eyer P, Dawson AH. Management of acute organophosphorus
pesticide poisoning. Lancet 2008; 371 ( 9612): 597-607
947
O ssasaasas! Trap* mteksi
6. .
Roberts MD, Aqron CK. Managing acute organophosphorus pesticide poisoning BMJ 2007; 334;
629-34
7. Eddleston M, Eyer P, Worek F, Juszczak E, Alder N, Mohamed F, et al. Pralidoxinrie in acute
- .
^
; arganaphosphorys insectiside poisoning a rqndprn ed controlled trial PLoS Med 2009:6 ( 6)
.
8. Bajgar J Treatment and prophylaxis of nerve agent. Organophosphates intoxication. Therapeutics
pharmacology and clinical toxicology 2009; 13(3):hal 247-253
9. Kang EJ, Seok SJ, Lee KH, Gil HW, Yang JO, Lee EY, etai 'Fdctors for determining survival in acute
.
organophosphorus poisoning. Korean J Intern Med 2009;24:362-267
TO. Cander B, Dur A, Yildiz M, Koyuncu F, Girlsgin AS, Gul M, et al.The prognostic value Qf the glasgow
coma scale, serum acetylcholinesterase and leukocyte levels in acute organophosphorus
poisoning. Ann Saudi Med 2011:31|2j;i63
^
948
949
INTOKSIKASI OPIAT
PENGERTIAN
Intoksikasi opiat merupakan intoksikasi akibat penggunaan obat golongan opiat
yaitu morfin, petidin, heroin, opium, pentazokain, kodein, loperamid, dekstrometorfan1
PATOFISIOLOGI
Opiat akan berikatan dengan reseptor opiat pada sistem saraf pusat, menyebabkan
inhibisi jalur nyeri ascending , menyebabkan perubahan persepsi dan respons terhadap
stimulus nyeri. Opiat juga bekerja pada sistem neurotransmitter SSP lain seperti
dopamine, GABA, dan glutamate, menyebabkan depresi SSP secara umum.2
PENDEKATAN DIAGNOSIS1 2
Anamnesis
Informasi mengenai seluruh obat yang digunakan, sisa obat yang ada
Pemeriksaan Fisik
Perubahan status mental (somnolen, konfusi, stupor, koma), miosis pupil, hipotensi,
sinus bradikardia, bising usus menurun, kelemahan otot, depresi napas, apneu, koma,
kejang (lebih sering karena overdosis propoksifen dan meperidin)
Pemeriksaan Penunjang
Opiat urin /darah, AGD, elektrolit, gula darah, rontgen toraks
Pemeriksaan Lain
Penemuan needle track sign, respon cepat terhadap pemberian nalokson
menunjang diagnosis intoksikasi opiat
DIAGNOSIS BANDING
Intoksikasi obat sedatif : barbiturat, benzodiazepin, etanol.1,2
TATALAKSANA
A. Penanganan kegawatan: resusitasi A-B-C [ airway, breathing, circulation) dengan
memperhatikan prinsip kewaspadaan universal. Bebaskan dan proteksi jalan
napas, berikan oksigen sesuai kebutuhan, pemasangan infus dan pemberian cairan
sesuai kebutuhan.2-5
B . Pemberian antidot nalokson 2'3 6
1. Glukosa [D 5W), tiamin 100 mg dan nalokson 2 mg harus diberikan pada semua
pasien dengan perubahan kesadaran dan ada kecurigaan keracunan.4
2. Tanpa hipoventilasi: dosis awal nalokson 0,4 mg intravena pelan - pelan atau
diencerkan
3. Dengan hipoventilasi: dosis awal nalokson 1-2 mg intravena pelan - pelan atau
diencerkan
4. Bila tak ada respon, diberikan nalokson 1- 2 mg intravena tiap 5 -10 menit hingga
timbul respons (perbaikan kesadaran, hilangnya depresi pernapasan, dilatasi
pupil) atau telah mencapai dosis maksimal 10 mg. Bila tetap tak ada respon,
diagnosis intoksikasi opiat perlu dikaji ulang,
5. Efek nalokson berkurang dalam 20-40 menit dan pasien dapat jatuh kedalam
keadaan overdosis kembali, sehingga perlu pemantauan ketat tanda vital,
kesadaran, dan perubahan pupil selama 24 jam. Untuk pencegahan dapat diberikan
drip nalokson satu ampul dalam 500 ml D5% atau NaCl 0,9 % diberikan dalam
4 - 6 jam.
6. Simpan sampel urin untuk pemeriksaan opiat urin dan lakukan foto toraks
7. Pertimbangan pemasangan pipa endo trakeal bila: pernapasan tak adekuat setelah
pemberian nalokson yang optimal, oksigenasi kurang meski ventilasi cukup, atau
hipoventilasi menetap setelah 3 jam pemberian nalokson yang optimal
8. Pasien dipuasakan 6 jam untuk menghindari aspirasi akibat spasme pilorik, bila
diperlukan dapat dipasang NGT untuk mencegah aspirasi atau bilas lambung pada
intoksikasi opiat oral
9. Activated charcoal dapat diberikan pada intoksikasi peroral dengan memberikan
240 ml cairan dengan 30 gram charcoal, dapat diberikan sampai 100 gram
10. Bila terjadi kejang dapat diberikan diazepam intravena 5-10 mg dan dapat diulang
bila perlu
Pasien dirawat untuk penilaian keadaan klinis dan rencana rehabilitasi.
KOMPLIKASI
Pneumonitis aspirasi, gagal napas, edema paru akut12
950
Intoksikasi Opiat
PROGNOSIS
Dubia
UNITTERKAIT » 1 - f i: ’
’
" I
RBFERENSI
.
1 ; Griffith;GH: Hoelleln .
AR- Feddopk GAt Harrell HE/ First Exposure to Internal Medicine; Hospital
Medicine. Edlsl. McGraw-Hill Companies; 2Q07. Hal; 4 1-2 ,
-
2. . . . ^ .
Toxicology in adults Dalam:Hall JB Schmidt GA Hogarth DK, penyuntlng Critical Care Medicine
» ,
. .
just the facts Edisi McGraw-Hill Companies: 2007, Hgl: 377-: i .
.
SsSSwS ^. *^^ '.
3' JOnSS P 0id P walk ng fb © 'tlghtrepev iEmerg
S
4. .
Poisoning and drug overdose Dalam: Longo DL Kasper DL Jameson JL, Fauci AS, Hauser
. . .
SL, L<5$daiZ6: J, periyuhtlng Harrison's principle Of internal medicine Edisi XVIII McGraw Hill -
.
Companies; 2012 Hal
5. .
The American Heart ' Association Guidelines 2005 for cardiopulmonary resuscitation and
1
951
952
KERACUNAN MAKANAN
PENGERTIAN
Adalah penyakit yang disebabkan oleh konsumsi makanan yang terkontaminasi
bakteri , toksin bakteri , parasit, virus , atau zat kimia.1 3 Yang dibahas di sini adalah
'
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Hal yang perlu ditanyakan adalah makanan yang dikonsumsi; periode waktu antara
konsumsi makanan dengan awitan gejala; gejala klinis yang dominan; jumlah orang
yang mengonsumsi makanan dan berapa banyak yang menjadi sakit; cara penyiapan
dan penyimpanan makanan yang dicurigai 3
Tabel 1 . Keracunan Makanan Akibat Bakteri 2 4 ’
Masa Inkubasl,
Gejala Sumber makanan Pemertksaan penunjang
Organism©
1-6 jam
Staphylococcus Mual, muntah, Ham, daging unggas, identifikasi toksin dan kultur
aureus diare salad kentang atau pada feses, muntahan dan
telur, mayonais makanan
Bacillus cereus tipe Mual, muntah, Nasi goreng identifikasi toksin dan kultur
emetik diare pada feses dan makanan
8-16 Jam
Clostridium perfringens Kram perut, diare Daging sapi, daging pemeriksaan enterotoksin dan
(muntah jarang unggas, kacang- kultur kuantitatif pada feses
terjadi) kacangan
Bacillus cereus tipe Kram perut, diare Daging, sayuran, identifikasi toksin dan kultur
diare (muntah jarang kacang kering, sereal pada feses dan makanan
terjadi)
> 16 jam
Clostridium botulinum Muntah, diare, Makanan kaleng yang pemeriksaan neurotoksin
pandangan diawetkan secara pada feses, serum, dan
kabur, diplopia, tidak benar, kentang makanan; kultur pada feses
disfagia, panggang dalam dan makanan
kelemahan otot aluminium foil, saus keju,
descending bawang putih botol
Vibrio cholerae Diare berair Kerang-kerangan, air Kultur feses pada media
khusus
E. coli enterotoksigenik Diare berair Salad, keju, daging, air Kultur feses dengan teknik
( ETEC) khusus
DIAGNOSIS BANDING
Keracunan makanan akibat penyebab lain, gastroenteritis non-infeksi
TATALAKSANA
35
Tabel 2. Tatalaksana Keracunan Makanan Akibat Bakteri
Organisms Tatalaksana
Staphylococcus aureus Suportif
Bacillus cereus tipe emetik Suportif
Clostridium perfringens Suportif
Bacillus cereus tipe diare Suportif
Clostridium botulinum Suportif; antitoksin botulinum equine trivalen dosis tunggal 10 ml
Vibrio cholerae Suportif dengan rehidrasi oral dan intravena agresif; pada kasus kolera
confirmed , antibiotik direkomendasikan ( lihat di bab diare infeksi)
(lihat di bab diare infeksi)
E. coli enterotoksigenik (ETEC) Suportif; antibiotik diberikan pada kasus berat
dan trombosit secara ketat
E. coli enterohemoragik ( EHEC) Suportif; pantau fungsi ginjal Hb ,
Salmonella spp. Suportif ; selain untuk S. typhii dan S . paratyphii , antibiotik tidak
diindikasika n kecuali terdapat penyebaran ekstra -intestinal ( lihat
di bab diare infeksi)
Campylobacter jejuni Suportif; pada kasus berat dapat diberikan antibiotik (lihat di bab
Diare Infeksi)
Shigella spp. Suportif; antibiotik lihat di bab Diare Infeksi
Vibrio parahaemolyticus Suportif, antibiotik direkomendasikan pada kasus berat ( lihat di
bab Diare Infeksi)
953
fA
(
WW
Panduan Praktik Minis Tronik Infpksi
^ * -
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakif Dalam Indonesia II I I V / IVJI
KOMPLIKASI
• Dehidrasi
• Gangguan elektrolit dan keseimbangan asam basa
• Perforasi, perdarahan dan sepsis (kasus C . perfringens tipe C)
• Gagal napas (kasus botulisme)
PROGNOSIS
Sebagian sembuh sendiri. Mortalitas akibat C. perfringens tipe C 40 %. Mortalitas
akibat C . botulinum 10- 46%
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Bagian Mikrobiologi, ICU
• RS non pendidikan : -
REFERENSI
l. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, penyunting. Buku ajar
ilmu
.
penyakit dalam Edisi V. Jakarta; InternaPublishing; 2009. hal
2. Acute infectious diarrheal diseases and bacterial food poisoning. Dalam: Longo DL
. Kasper DL.
Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J , penyunting. Harrison ' s principle of
internal medicine.
Edisi XVIII. McGraw-Hill Companies; 2012. Hal.
3. Giannella RA. Infectious enteritis and proctocolitis and bacterial food poisoning.
Dalam: Feldman
M, Friedman LS, Brandt LJ, penyunting.Sleisenger and fordtran s gastrointestinal
’ and liver disease:
.
pathophysiology / diagnosis/ management Edisi IX. Philadelphia: Saunders Elsevier.
2010
4. .
CDC Diagnosis and management of foodborne ilnesses. MMWR 2004; 53(RR04) : 1 33
-
5. Lawrence DT, Dobmeier SG, Bechtel LK, Holstege CP. Food poisoning. Emerg
Med Clin N Am
2007; 25: 357-373
954
955
MAL ARIA
PENGERTIAN1 4 '
Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit genus Plasmodium
.
( P falsiparum, P.vivax, P.ovale, atau P.malariae, P.knowlesi) yang hidup dan berkembang
biak dalam sel darah merah manusia (eritrositik) atau jaringan (stadium ekstra
eritrositik], Penyakit ini secara alami ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles
betina. (WHO 2010)
PENDEKATAN DIAGNOSIS
• Klinis :demam, menggigil, berkeringat, sakit kepala, mual, muntah, diare, nyeri
otot, penurunan kesadaran.
• Parasitologi: Sediaan Apus Darah Tepi (SADT) tebal dan tipis dijumpai parasit malaria
Tanda dan gejala klinis malaria sangat tidak spesifik. Secara klinis, kecurigaan
malaria sebagian besar berdasarkan riwayat demam. Diagnosis berdasarkan gambaran
klinis sendiri memiliki spesifisitas yang sangat rendah dan dapat berakibat pada
tatalaksana yang berlebihan.3
ANAMNESIS
Riwayat demam intermiten atau terus menerus, riwayat dari atau pergi ke daerah
endemis malaria, dan trias malaria (keadaan menggigil yang diikuti dengan demam dan
kemudian timbul keringatyangbanyak; pada daerah endemis malaria, trias malaria mungkin
tidak ada, diare dapat merupakan gejala utama).
12
m
adanya disfungsi organ vital.5
PanduanPraktik Klinis
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
itiS . PanduanPraklikMinis Tronik Infpksi
^ *
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia III l\JI
Pemeriksaan Fisik
Demam > 37,5°C, konjungtiva atau telapak tangan pucat, sklera ikterik, hepato
/
splenomegali .1 2'4,5 -
Pemeriksaan Penunjang
Sediaan darah tebal dan tipis ditemukan plasmodium, serologi malaria ( + ).12 4'5 -
Pada tersangka malaria P. falciparum berat, kriteria diagnosis berdasarkan
ditemukannya P. falciparum stadium aseksual disertai satu atau lebih gejala klinis
atau laboratorium berikut:1'2,45
Kriteria Diagnosis
1. Malaria Berat :
Klinis
Parasitologik
2 . Malaria Ringan :
Klinis
Parasitologik (WHO, 2010 ]
956
Malaria
Gejala Klinis
1. Gangguan kesadaran atau koma yang tidak dapat dibangunkan
2. Prostrasi, contoh kelemahan menyeluruh (generalized weakness ) sehingga pasien
tidak dapat duduk atau berjalan tanpa bantuan
3. Tidak dapat makan ( failure to feed ]
4. Kejang berulang - lebih dari 2 episode dalam 24 jamsetelah pendinginan pada
hipertermia
5. Napas dalam, distres pernapasan ( napas Kussmaul )
6. Gagal sirkulasi atau syok, tekanan sistolik < 70 mraHg pada dewasa dan < 50 mmHg
pada anak-anakdisertai keringat dingin atau perbedaan temperatur kulit-mukosa >1°C
7. Ikterik disertai tanda disfungsi organ vital
8. Hemoglobinuria
9. Perdarahan spontan dan disertai abnormaldari hidung, gusi, saluran cerna, dan /
atau disertai gangguan koagulasi intravaskular
10. Edema paru ( radiologis) / acute respiratory distress syndrome (ARDS)
Laboratorium
1. Hipoglikemia (gula darah < 2.2 mmol / L atau <40 mg/ dL)
2. Asidosis metabolik ( pH 7, 25, plasma bikarbonat <15 mEq / L)
3. Anemia normositik berat pada keadaan hitung parasit >10.000 / ul(Hb < 5 gr / dL
atau Ht<15%)
4. Hemoglobinuri amakroskopik oleh karena infeksi malaria akut (bukan karena efek
samping obat antimalaria pada pasien dengan defisiensi G 6 PDj
5. Hiperparasitemia (> 2 % /100 000 / pl pada area transmisi rendah atau 5% atau
250 000 / pl pada area transmisi tinggi)
6. Hiperlaktatemia (laktat > 5 mmol /1)
7. Gangguan ginjal (urin < 400 ml / 24 jam pada orang dewasa, atau <12 ml / kgBB pada
anak-anak setelah dilakukan rehidrasi disertai kreatinin > 3 mg / dl).
8. Ditemukannya P. Falciparum yang padat pada pembuluh darah kapiler jaringan
otak apabila dilakukan otopsi
Beberapa keadaan yang juga digolongkan sebagai malaria berat sesuai dengan
gambaran klinis daerah setempat:2 4
1. Gangguan kesadaran
2. Kelemahan otot tanpa kelainan neurologis (tak bisa duduk / jalan )
3. Hiperparasitemia > 5% pada daerah hipoendemis atau daerah tak stabil malaria
4. Ikterus (bilirubin > 3 mg / dl)
5. Hiperpireksia (suhu rektal >40°C)
957
Panduan Praktik Klinis Tropik Infeksi
Perhlmpunan Dokfer Spesialis Penyakil Dalam
Indonesia
Kriteria Diagnosis2 5
1. Konfirmasi ditemukannya parasit malaria dibawah mikroskop atau alternatif
lainnya dengan rapid diagnostic test (RDT) dianjurkan bagi semua pasien tersangka
malaria sebelum dimulainya pengobatan.
2 , Tatalaksana hanya berdasarkan kecurigaan klinis sebaiknya hanya dipertimbangkan
apabila diagnosis parasitologis tidak tersedia.
Pemeriksaan Penunjang
Darah tebal dan tipis malaria, serologi malaria, DPL, tes fungsi ginjal, tes fungsi
hati, gula darah, urin lengkap, AGD, elektrolit, hemostasis, foto toraks, EKG.1A4,S
DIAGNOSIS BANDING
Infeksi virus, demam tifoid toksik , hepatitis fulminan , leptospirosis ,
meningoensefalitis.2’45
TATALAKSANA2 4 5
Dosis obat diberikan sesuai dengan berat badan atau kelompok umur penderita
(lihat Tabel 1 dan 2 ).
-
-
0 1 bulari - , -
2 11 bulan 1 4 tahun - -
5 ftahun 10 14 tahon 215 tahun 215 tahun
13
I
DHP
Primakuin
V
V
I
. 114
I Vi
2
2
3
2
4
3
ATAU
958
Malaria
ATAU
Tabel 4. Pengobatan dengan Artesunat + Amodiakuin dan Primakuin
Jumlah tablet per harl menurut berat badan
Harl Jenls obat £5 kg 6 - 10kg ll - 17 kg 18 - 30kg 31 -40kg 41 - 4?kg 50 59kg 260kg -
0-1
bulan
2 11
bulan
1 -4
tahun
- 5-9
tahun
10 - 14
tahun
215
tahun
215
tahun 215 tahun
Artesunat 'A 'A 1 154 2 3 4 4
1 -3
Amodiakuin 'A 'A VA 2 3 4 4
1 -14 Primakuin VA 'A % 1 1 1
959
tiS:
'
xMjJpy
PanduanPraktikKIinis jronik Infeksi
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
ATAU
Tabel 6 . Pengobatan dengan Artesunat+ Amodiakuin dan Primakuin
Jumlah tablet per hari menurut berat badan
960
Malaria
.
Tabel 8 Pengobatan malaria vivaks
Umur kehamllan Pengobatan
Trimester I (0-3bulan) Kina 3x2tablet selama 7 hari
Trimester II ( 4-6bulan ) ACT tablet selama 3 hari
Trimester III ( 7-9bulan) ACT tablet selama 3 hari
.
Dosis kiindamisin lOmg /kgBB diberikan 2 kali sehari
961
f\
, PanduanPraktikKIinis Trooik
Vm > ry w Infeksi
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia I I IIV II I I W IVO I
• Setelah itu diberikan lagi dosis rumatan seperti diatas sampai penderita
dapat minum kina per-oral.
• Bila sudah dapat minum obat, pemberian kina IV diganti dengan kina
tablet per-oral dengan dosis lOmg/ kgBB / kali diberikan tiap 8 jam.
Kina oral diberikan bersama doksisiklin atau tetrasiklin pada orang
dewasa atau klindamisin pada ibu hamil. Dosis total kina selama 7 hari
dihitung sejak pemberian kina perinfus yang pertama.
Dosis pemberian kina pada anak:
Kina HC1 25% perinfus dosis lOmg/ kgBB (bila umur < 2 bulan : 6 -8 mg/
kgBB) diencerkan dengan Dextrose 5% atau NaCl 0,9 % sebanyak 5-1Occ /
kgBB diberikan selama 4 jam, diulang setiap 8 jam sampai penderita dapat
minum obat.
Kemasan: Obat ini dikemas dalam bentuk ampul kina dihidroklorida 25%.
Satu ampul berisi 500mg/ 2 ml.
Catatan:
• Kina tidak boleh diberikan secara bolus intravena, karena toksik bagi
jantung dan dapat menimbulkan kematian.
• Dosis kina maksimum dewasa: 2000 mg/ hari.
PEMANTAUAN PENGOBATAN
Hitung parasit minimal tiap 24 jam, target hitung parasit pada HI 50 % HO dan
H3 < 25% HO. Pemeriksaan diulang sampai dengan tidak ditemukan parasit malaria
dalam 3 kali pemeriksaan berturut-turut.24,5
PENCEGAHAN2 4 5
WHO menetapkan langkah ABCD untuk pencegahan malaria, yakni dengan:
A . Awareness (Pengetahuan)
Mengetahui segala hal yang berisiko untuk terkena malaria, habitat nyamuk
Anopheles, sadari masa inkubasi dan gejala utamanya.
962
Malaria
C . Chemoprophylaxis (Kemoprofilaksis)
Doksisiklin: diberikan 1- 2 hari sebelum keberangkatan, diminum pada waktu yang
sama pada setiap harinya, sampai 4 minggu setelah meninggalkan daerah tersebut
.
Obat ini tidak boleh diberikan kepada anak-anak < 8 tahun dan ibu hamil .
Dosis dewasa: lxlOOmg
- Dosis anak tahun: 2 mg/ kgBB / hari, maksimum lOOmg
• Untuk daerah dengan infeksi P.vivax :
Primakuin dengan cara pemberian yang sama dengan pemberian obat malaron Obat
.
ini tidak boleh diberikan pada pasien defisiensi G6PD, ibu hamil dan menyusui (kecuali
bayi yang disusui mempunyai bukti dokumen dengan level G 6PD yang normal) .
Dosis dewasa: primakuin basa lx 30mg
Dosis anak : primakuin basa 0, 5 mg / kgBB / hari , maksimum 30 mg / hari
,
963
/V > PanduanPraktikKIinis Trooik Infeksi
^
,
Perhimpunon Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia 1 11 1 1
D. Diagnosis
• Segera dapatkan diagnosis dan terapi apabila mengalami gejala malaria yang
muncul 1 minggu setelah memasuki daerah rawan malaria sampai 3 bulan setelah
meninggalkan daerah tersebut .
KOMPLIKASI
Malaria berat, renjatan, gagal napas, gagal ginjal akut . 1'2-4-5 Pada kehamilan, dapat
menimbulkan abortus spontan , pertumbuhan janin terhambat ( IUGR ) , BBLR , malaria
kongenital ( < 5% pada bayi dari ibu terinfeksi ) , malaria berat pada ibu, kematian ibu
dan janin . 7
PROGNOSIS' 2 4
• Malaria falsiparum ringan / sedang, malaria vivax , atau malaria ovale : bonam .
• Malaria berat: dubia ad malam. Prognosis malaria berat tergantung kecepatan dan
ketepatan diagnosis serta pengobatan . Apabila tidak ditanggulangi, dilaporkan
bahwa mortalitas pada anak-anak 15%, dewasa 20%, dan pada kehamilan meningkat
sampai 50%. Mortalitas dengan kegagalan 3 fungsi organ adalah 50%, kegagalan
4 fungsi organ atau lebih adalah 75 %. Adanya korelasi antara kepadatan parasit
dengan mortalitas yaitu :
964
Malaria
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Divisi Ginjal- Hipertensi, Divisi Pulmonologi - Departemen
Penyakit Dalam dan Departemen Neurologi, ICU
• RS non pendidikan : Bagian Neurologi
REFERENSI
et al.
White NJ , Breman JG . Malaria Introduction . In : Kasper, Braunwald Fauci
,
1.
Harrison ' s Principles of Internal Medicine vol I 17 ^ ed. McGrawhill . 2009: 1280 - 1293
2 . Harijanto PN. Malaria. Dalam : Sudoyo K, Setiyohadi B, et al., ed. Buku Ajar llmu Penyakit
Dalam . Edisi ke - 4. Jakarta : Pusat Penerbitan llmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia: 2006: 1732- 1744.
3. Ireiman M, Warberg J . Chapter 33: Infectious Diseases In: Paulev . PE, Textbook
in Medical Physiology and Pathophysiology: Essentials and clinical
problems .
Copenhagen Medical Publishers. 1999- 2000. Chapter 33 .
Penyehatan
4. Buku saku penatalaksanaan kasus malaria. Ditjen Pengendalian Penyakit dan
Lingkungan Kementrian Kesehatan Rl. 2012.
Rl. 2008.
5. Pedoman Penatalaksanaan Malaria di Indonesia. Departemen Kesehatan
6. WHO. Guidelines for the treatment of Malaria. 2
nd Edition . 2010 . Diunduh dari http:/ /
. pada tanggal 26 April
whqlibdoc . who.int / publications / 2010 / 978924154 7925 _eng pdf
2012.
WHO Expert Committee on Malaria. Twentieth report. Geneva, World Health
Organization,
7.
2000 in WHO Technical Report Series, No . 892.
8. Marchesini P, Crawley J. Reducing the burden of malaria in pregnancy
. Roll Back
Organization 2004 . Diunduh darihttp :/ / www.
Malaria Department. Geneva World Health
, ,
publications / atoz / merajan 2003 .pdf pada tanggal 1 Mei 2012.
who.int /malaria /
965
966
PENGERTIAN
Merupakan penyakit akibat gigitan ular. Berdasarkan morfologi gigi taringnya, ular
dapat diklasifikasikan ke dalam 4 famili utama yaitu Famili Elapidae (ular sendok, ular
wereg), Famili Viperidae (ular tanah, ular hijau ), Famili Hydrophidae (ular laut), dan
-
Famili Colubridae (ular pohon}. Ciri ciri ular tidak berbisa yaitu bentuk kepala segi
empat panjang, gigi taring kecil, bekas gigitan berupa luka halus berbentuk lengkungan.
Sedangkan ciri -ciri ular berbisa yitu kepala segi tiga, dua gigi taring besar di rahang
atas, dua luka gigitan akibat gigi taring. 1
Sedangkan berdasarkan dampak yang ditimbulkan yang banyak di Indonesia yaitu:1
• Hematotoksik: menyebabkan perdarahan spontan dan kerusakan endotel (racun
prokoagulan memicu kaskade pembekuan)
• Neurotoksik: neurotoksin pasca sinaps seperti a-bungarotoxindan dan cobratoxin
terikat pada reseptor asetilkolin pada motor end - plate, sedangkan neurotoksin
prasinaps seperti /3-bungarotoxin, crotoxin, taipoxin , dan notexin merupakan
fosfolipase A- 2 yang mencegah pelepasan asetilkolin pada neuromuscular junction.
MANIFESTASI KLINIS 1 2
• Gejala lokal : edema , nyeri tekan pada luka gigitan , ekimosis ( dalam
30 menit- 24 jam)
• Gejala sistemik: hipotensi, kelemahan otot, berkeringat, menggigil, mual,
hipersalivasi, muntah, nyeri kepala, dan pandangan kabur
• Gejala khusus gigitan ular berbisa:
Hematotoksik: perdarahan di tempat gigitan, paru, jantung, ginjal, peritoneum,
otak, gusi, hematemesis dan melena, perdarahan kulit, hemoptoe, hematuria,
koagulasi intravascular diseminata (KID)
Neurotoksik: hipertonik, fasikulasi, paresis, paralisis pernapasan, ptosis,
oftalmoplegi, paralisis otot laring, refleks abnormal, kejang, koma.
- Kardiotoksik: hipotensi, henti jantung, koma
Sindrom kompartemen : edema tungkai dengan tanda 5P { pain, pallor,
paresthesia, paralysis, pulseslesness ).
nduanPraktikKIinis
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
Penatalaksanaan Gigitan Ular
erttema SlJtemlk
^ jp
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Identitas individu, waktu dan tempat kejadian, memastikan bahwa benar digigit
oleh ular, jenis, dan ukuran ular, riwayat penyakit sebelumnya. Perlu ditanyakan lokasi
yang tergigit, jarak dan waktu dari tergigit sampai ke pusat kesehatan, keberadaan
ular tersebut saat ini apakah sudah mati dan dibawa hal ini dapat mempermudah
mengetahui jenis spesies . Menanyakan bagaimana keadaan pasien saat ini, apakah
ada yang dirasakan nyeri , apakah pasien cenderung mengantuk.
2
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan meliputi status umum dan lokal, serta perkembangannya setiap 12 jam .
967
@ ESSSPJE
^ JSSS, Tropik Infeksi
anisokor, kejang, atau gangguan kesadaran; perlu dibuktikan apakah ada perdaraha
n
intrakranial. 2
Pemeriksaan Penunjang1
• Laboratorium : Hb, leukosit, trombosit, kreatinin, urea N, elektrolit, waktu
perdarahan, waktu pembekuan, waktu protrombin, fibrinogen, APTT, D - dimer, uji
faal hepar, golongan darah dan uji cocok silang.
• Pemeriksaan urin: hematuria, glikosuria, proteinuria
• EKG
• Foto dada
DIAGNOSIS BANDING
Gigitan hewan lain seperti binatang laut, sengatan lebah 2
TATALAKSANA
1. Penatalaksaan sebelum penderita dibawa ke pusat pengobatan yaitu:1'24
• Penderita diistarahatkan dalam posisi horisontal terhadap luka gigitan
• Jangan memanipulasi daerah gigitan
• Penderita dilarang berjalan dan dilarang minum minuman yang mengandung
alkohol.
• Apabila gejala timbul secara cepat sementara belum tersedia antibisa, ikat
daerah proksimal dan distal dari gigitan. Tindakan ini kurang berguna jika
dilakukan lebih dari 30 menit setelah gigitan. Tujuan ikatan adalah untuk
menahan aliran limfe, bukan menahan aliran vena atau arteri,
2. Penatalaksanaan setelah penderita tiba di pusat pengobatan diberikan terapi suportif: l2A
• Penatalaksanaan jalan napas, fungsi pernapasan, sirkulasi (beri infus cairan
kristaloid )
• Beri pertolongan pertama pada luka gigitan: verban ketat dan luas di atas luka,
imobilisasi dengan bidai
-
• Cek pemeriksaan laboratorium: ambil 5 10 ml darah untuk pemeriksaan waktu
protrombin, APTT, D - Dimer, fibrinogen, Hb, Leukosit, trombosit, kreatinin,
urea, elektrolit (terutama kalium ), CK. Jika waktu pembekuan > 10 menit
menunjukkan kemungkinan adanya kogulopati.
• Apus tempat gigitan dengan venom detection.
• Berikan SABU [Serum Anti Bisa Ular, merupakan serum kuda yang dikebalkan ]
polivalen 1 ml.
968
Penatalaksanaan Gigitan Ular
Indikasi: adanya gejala venerasi sistemik dan edema hebat pada bagian
luka.
Kontraindikasi: tidak ada kontraindikasi absolut. Perhatian diberikan
pada individu yang mempunyai riwayat alergi terhadap serum kuda atau
domba, seperti pada anti tetanus serum, anti rabies serum. Serta pada
individu yang mempunyai riwayat dermatitis atopi, misalnya asma berat;
atau diperkirakan akan mengalami reaksi berat. Pada kasus seperti ini,
pemberian antivenom ditunda sampai muncul gejala sistemik.
Cara pemberian: 2 vial (@ 5 ml] dalam 500 ml NaCl 0.9% atau Dekstrosa 5%
diberikan melalui intravena dengan kecepatan 40-80 tetes / menit. Jumlah
maksimal 100 ml ( 20 vial). Tidakboleh diberikan secara infiltrasi pada luka .
13
Pedoman terapi SABU berdasarkan Schwartz dan Way
• Derajat 0 dan I : tidak memerlukan SABU, evaluasi dalam 12 jam, jika ditemukan
peningkatan derajat maka diberikan SABU
• Derajat II 3 - 4 vial SABU
• Derajat Ill 5-15 vial
• Derajat IV berikan penambahan 6-8 vial SABU
969
mXCfJy
Panduan PraktikKlinis Tronik Infpksi
" ^
Perhlmpunan Dokter Spesialis Penyakil Dalam Indonesia II ll / rwi
KOMPLIKASI2
• Kehilangan permanen fungsi ekstremitas yang terkena gigitan
• Hipotensi dan syok
• Gagal ginjal akut
• Gangguan pembekuan darah
• Sindrom kompartemen
970
Penatalaksanaan Gigitan Ular
PROGNOSIS
Angka kematian karena gigitan ular berbisa rendah pada area yang dekat dengan
pusat kesehatan dan tersedianya antivenom. Pada individu yang inendapat antivenom
,
REFERENSI
1. Djoni D. Penatalaksanaan Gigitan Ular Berbisa. Bukuxijqr IJmy. ;Penyakit Dalarp. Edisi IV
jllid 1 .
Jakarta: Pusat Penerbitan llmu Penyakit Dalam ; 2006: rial 210-212 .
Warrell David A WHO: Guideline for the management of snake-bites 2010. Diunduh
. dari
2.
. . .
http://www searo who int/LinkFiles/BCfiShbkifc.Ht4igUicleilnes .pdf pada tahqqdl 2M &1 2012 :<
3 . .
Depkes.2001.Penatalaksanaan gigitan ularbgrbisa. Dalam SIKer Ditjen POM Depkespi Pedoman .
Harrison' s Principles of Intefndl’Mealcine ‘18« edltioh,United States of AmericaiMcgraw
Hill.2008
971
972
-
Karena hasil kultur resistensi mikrobologi belum tersedia dalam 24 72 jam, terapi awal
untuk infeksi adalah terapi empirik. Terapi yang inadekuat pada pasien kritis di rawat
inap terkait dengan outcome yang buruk, peningkatan morbiditas dan mortilitas, dan
juga peningkatan length of stay.Antibiotik empirik awal yang dipilih biasanya antibiotik
PanduanPraktik Klinis
Perhimpunan Dokler Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
Penggunaan Antibiotika Rasional ®!j
spektrum -luas (atau antibiotik kombinasi) dengan tujuan untuk mencakup patogen
multipel yang paling mungkin menginfeksi, dengan mempertimbangkan apakah
infeksinya didapat dari komunitas atau nosokomial. Pemilihan antibiotik dilakukan
berdasarkan pola kuman rumah sakit setempat, lokasi infeksi, serta uji klinis. Rejimen
antibiotik sebaiknya mengikuti pedoman penggunaan antibiotik (PPAB) setempat
kecuali ada pertimbangan khusus, antara lain riwayat memakai antibiotik yang sama
dalam waktu dekat, sudah ada hasil kultur yang resisten terhadap antibiotik tersebut,
serta alergi terhadap antibiotik tersebut.
Setelah hasil mikrobiologi keluar, terapi untuk infeksi merupakan terapi
definitif. Pemberian antibiotik definitif ini mengikuti hasil kultur resistensi pada
spesimen yang didapatkan sesuai lokasi infeksi, dengan perhatian khusus yaitu
mempertimbangkan pola kultur dari sumber infeksi yang paling berat, dan waspada
kolonisasi atau flora normal. Antibiotik yang dipilih harus merupakan drug of
choice bakteri yang diisolasi, dengan spektrum paling sempit dan diutamakan
monoterapi. Jika kuman resisten, optimalisasi dilakukan dengan dosis yang lebih
besar atau terapi kombinasi.
4. Strategi eskalasi vs strategi de -eskalasi
Strategi eskalasi adalah strategi terapi awal dengan satu antibiotik. Jika pendekatan
ini gagal setelah 72 jam, digunakan antibiotik yang lebih poten . Terapi eskalasi
dilakukan dengan pertimbangan spektrum antibiotik yang digunakan sebelumnya;
jika spektrum antibiotik yang sebelumnya sudah luas, gunakan antibiotik dengan
spektrum yang lebih luas dari antibiotik tersebut. Strategi ini umumnya digunakan
pada infeksi ringan.
Strategi menggunakan terapi kombinasi antibiotik empirik spektrum luas
kemudian setelah hasil kultur resistensi keluar, dilakukan pengurangan jumlah
antibiotik dan penyempitan spektrum disebut terapi de-eskalasi. Terapi de-eskalasi
umumnya dilakukan pada pasien kritis atau sepsis, dan jika lokasi infeksi berisiko
tinggi dan memiliki dampak besar jika terapi gagal (contoh: infeksi pada sendi,
prostesis, mata, dan meningoensefalitis). Antibiotik yang paling sering dide -
eskalasi adalah aminoglikosida.
5 . Interpretasi Hasil Kultur Resistensi
Data hasil kultur resistensi dilaporkan dalam bentuk minimum inhibitory
concentration ( MIC ) dan diinterpretasikan laboratorium sebagai "sensitif ",
"resisten”, atau "intermediet”. Hasil ini memiliki beberapa keterbatasan. Yang
pertama, klinisi dan petugas lab harus waspada terhadap lokasi infeksi karena
suatu antibiotik, walaupun sensitif secara in vitro, belum tentu mencapai
973
# E5SHHSK5H! Tropik Infeksi
konsentrasi terapeutik pada lokasi infeksi tertentu. Kemudian, beberapa bakteri
memiliki enzim yang ketika diekspresikan secara in vivo, dapat menginaktivasi
antibiotik yang sensitif secara in vitro.
6. Terapi Bakterisidal vs Terapi Bakteriostatik
Antibiotik bakterisidal lebih dipilih pada kasus infeksi berat seperti endokarditis
dan meningitis untuk cepat mencapai kesembuhan (lihat Tabel 1)
974
Penggunaan Antibiotika Rasional
975
fy\ PanduanPraktikMinis Tronik Infeksi
^ r^
Perhimpunan DoklerSpesialis Penyakit Dalam Indonesia l l v i r V 11
(SSP], prostesi dan infeksi vaskular. Pemberian antibiotik yang terlalu lama akan
meningkatkan resistensi dan menurunkan efikasi.
2 . Pengkajian Respons Terapi
Respon terapi dapat dinilai dengan parameter klinis dan mikrobiologi. Parameter
klinis mencakup gejala dan tanda, nilai laboratorium, dan temuan radiologik.
Parameter mikrobiologi antara lain hilangnya bakteremia.
3 . Efek Samping
Efek samping yang dapat timbul antara lain:
a. Efek langsung
Alergi
Toksisitas
Interaksi obat
Kegagalan terapeutik
b. Efek tidak langsung
Efek terhadap flora komensal: infeksi Clostridium difficile, meningkatnya
kemungkinan terinfeksi oleh MDRO
Efek terhadap flora lingkungan
REFERENSI
1. World Health Organization. Managing for rational medicine use. Management Sciences for
Health. 2012. Chapter 27, p27.1-27.6.
2. Leekha S, Terrell CL, Edson RS. General principles of antimicrobial therapy. Mayo Clin Proc
2011:
86 ( 2): 156-167
3. Morel J, Casoetto J, Jospe R , Aubert G, Terrana R, Dumont A, et al. De-escalation as part
of a
global strategy of empiric antibiotherapy management: a retrospective study in a
medico-surgical
intensive care unit . Critical Care 2010: 14:R 225
4. Mouton JW, Ambrose PG, Canton R, Drusano GL, Harbarth S, MacGowan A, et al. Conserving
antibiotics for the future: new ways to use old and new drugs from a pharmacokineticand
pharmacodynamic perspective. Drug Resistance Updates 2011; 14: 107- 117
5. Rodloff AC, Goldstein EJC, Torres A. Two decades of imipenem therapy. Journal of Antimicrobia
l
Chemotherapy 2006; 58:916-929
6. Kohanski MA, Dwyer DJ , Collins JJ. How antibiotics kill bacteria: from targets to networks. Nat Rev
Microbiol 2010; 8 (6) :423-35
976
977
RABIES
PENGERTIAN
Rabies adalah infeksi virus akut dari sistem saraf pusat (SSP) yang ditransmisikan
dari hewan yang terinfeksi ke manusia dan dapat bermanifestasi sebagai ensefalitis
bahkan dapat menyebabkan koma dan kematian.1
ETIOLOGI
Infeksi disebabkan virus rabies yang termasuk dalam genus Lyssavirus dan famili
Rhabdoviridae. Virus menular melalui gigitan hewan yang tertular, seperti anjing yang
merupakan reservoir pertama dan vektor untuk rabies.1
MANIFESTASI KLINIS
• Pemeriksaan cairan serebro spinal (CSS): bisa ditemui peningkatan ringan sel
mononuklear, peningkatan kadar protein, dan pleositosis. Pleositosis berat ( >
1000 sel / pl ) sangat jarang ditemui dan harus dicari penyebab lain. Infeksi virus
rabies dicurigai jika ditemukan antibodi spesifik virus rabies pada CSS.
• Isolasi Virus: dari saliva, CSS, atau serum.
• CT Scan kepala: umumnya normal pada kasus rabies.
• MRI kepala: abnormalitas pada batang otak dan area lain, tetapi sangat bervariasi.
• Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction ( RT- PCR): mendeteksi RNA virus
rabies dan membedakan variasi virus. Dapat ditemukan pada saliva, CSS, dan jaringan
• Pemeriksaan Direct Fluorescent Antibody ( DFA): antibodi dikonjugasikan ke bahan
PanduanPraktik Klinis
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakil Dalam Indonesia
HI KttJSSSJBK Tropik Infeksi
pewarna flouresens , dapat dilakukan pada jaringan otak, biopsi kulit dari leher,
saraf kutaneus pada dasar folikel rambut. Pemeriksaan ini mempunyai sensitifitas
dan spesifisitas yang tinggi .
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesia
Riwayat tergigit binatang, adanya saliva binatang yang mengenai membran mukosa,
bekas garukan, atau luka terbuka. Diagnosa rabies dicurigai pada kasus ensefalitis akut
atau dengan ascending paralysis yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya . 1
Pemeriksaan Fisik
Pada fase prodromal belum ada tanda-tanda yang spesifik. Jika memasuki fase
neurologik akut dapat ditemukan kelainan neurologi seperti hidrofobia, paresis ,
disfagia . Jika selama pemeriksaan tidak ditemukan perubahan neurologi dan penyakit
sudah berlangsung selama > 2 - 3 minggu makan dapat dipikirkan penyebab lainnya. 3
Pemeriksaan Penunjang
• Laboratorium: pemeriksaan darah lengkap. Pada fase awal pemeriksaan mungkin
dalam batas normal .1 2,
DIAGNOSA BANDING1 2
Fase awal : penyebab lain ensefalitis, seperti infeksi virus herpes simpleks tipe 1
atau virus herpes lainnya, enterovirus , virus yang menular melalui arthropoda .
Ensefalitis setelah vaksinasi rabies (contohnya: Semple vaccine ) .
Reaksi obat
Vaskulitis
Rabies histeria : kelainan karena rasa ketakutan berlebihan terhadap rabies
yang bermanifestasi perilaku agresif, kehilangan kemampuan menelan atau
berkomunikasi .
Guiliain - Barre syndrome: fase paralitik.
Poliomielitis
Delirium tremens
978
Rabies
TATALAKSANA
Nonfarmakologis2
• Isolasi pasien untuk mencegah transmisi virus ke orang lain.
• Terapi suportif
Farmakologis1 2
• Tidak ada terapi spesifik untuk rabies.
• Profilaksis pada individu yang terpapar seperti pembersihan dan irigasi luka secepat
mungkin, imunisasi aktif dan pasif efektif dalam 72 jam setelah terpapar.
Tabel 2. Vaksinasi Virus Rabies34
Jadwal
Vaksinasi Cara pemberian Keterangan
pemberian
Intramuskular
Human diploid cell Hari ke lml intramuscular ( deltoid) Tidak boleh diberikan
vaccine (HDCV) 0,3,7,14, dan pada area gluteus
28
Human rabies .
20 lU/kg Infiltrasi sekitar pada individu yang
imunoglobulin ( RIG) luka sebanyak mungkin, belum pernah
dan disuntikkan secara mendapat imunisasi
intramuscular pada lokasi lain
yang jauh dari luka.
Vaksinasi intradermal
Human diploid cell 0.1 ml di 8 lokasi secara Dapat digunakan
vaccine (HDCV ) intradermal ( 8-0-4-0-1-1 ) pada kasus darurat
yang tidak tersedia RIG
Purified vero cell 0, 1 mL di 2 lokasi secara
vaccine (PVRV ) intradermal ( 2-2-2-0- 1 - 1 )
Purified chick embryo 0.1 ml di 8 lokasi secara
cell vaccine ( PCECV ) intradermal ( 8-0-4-0-1 - 1 )
atau 0,2 mLdi 2 lokasi secara
intradermal ( 2-2-2-0-1 -1 )
979
tSSSSSSSSL Tropik Infeksi
PROGNOSIS
Rabies merupakan penyakit yang fatal. Pada umumnya pasien dengan rabies
meninggal dalam beberapa hari meskipun sudah mendapat perawatan pada unit
internsif . Akan tetapi, hal ini dapat dicegah dengan penanganan yang tepat setelah
terkena infeksi dan pemberian profilaksis setelah terpapar. Vaksinasi akan efektif jika
diberikan dalam waktu 2 hari setelah terpapar, seiring bertambahnya hari makan
tingkat efektivitasnya akan menurun. Walaupun demikian selama belum ada gejala,
vaksinasi akan tetap efektif diberikan dalam beberapa minggu sampai beberapa bulan
setelah terpapar.1
Jika gejala sudah muncul, koma dan kematian akan terjadi dalam 3- 20 hari setelah
awal mulai gejala . Hampir 100 % individu yang menunjukkan gejala akan meninggal.
Hanya kurang dari 10 kasus yang sembuh dan 2 diantaranya tidak ada riwayat
profilaksis sebelum maupun sesudah terpapar. 56
980
Rabies $jp
.
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan
• RS non pendidikan : -
RIEBRINSli /' jj
1. . .
Jackson Alan C Rabies and Other Rhabdovirus Infections In: Hdrrison' s Internal Medicine 17Jh
. .
ed United States of America Mcgraw Hill . .
! 2. . .
Opal Steven M, Policar Maurice Rabies In: Ferri ' s Clinical Advisor 2008. 10th ed. Mosby. 2008.
3 . .
WHO Current WHO Guide for Rabies Pre and Post -exposure Treatment in Human Diunduh
_ _
.
.
dari http:/ /www.who int /rabies/ en/ WHO_guide rabies_pre_post_exp_ treat humans pdf pada .
.
tanggal 2 Mei 2012 , ; ; jS '.
. til. f,y lin fpr ,R,q p(<?s
4 gJiondl,(
. ^^. ^ ^
j r r p q l Adml iftr
. ^
Vaccine 2007 National Institute of Communicable Diseases New Delhi Diunduh dari http;//
.
^.
n pf.c.e|| Culture Rabies
.
. . .
^
www ncdc gov In/Rabies_Gblde!lifies dfpaid8i!tdHggdf 2:Miai ;2'(5l2 n;i i
;' ' 1 1
' 1
5. > -©DCi Rabies;. Dliiihduh dari httpV /www.edc gov /rabies/SyhnptO'itffs/iHdexlhtml pada tanggal 2
. .
Mei 2012 .
. . . .
6
tanggal 2 Ivtei 2012. ’ "
^ ^
/v|piGyi !ipes Raples Diunduh . dari http:/ / www nndgufi lines,p m/rabies/prpgnosis pada
^
981
982
PENGERTIAN1
Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) adalah pasien yang memiliki
dua atau lebih kriteria sebagai berikut:
a ) suhu > 38° C atau < 36° C,
b) denyut jantung >90 denyut/ menit,
c) respirasi > 20 / menit atau PaC 02 < 32 mmHg,
d ) hitung leukosit >12.000 / mm 3 atau >10% sel imatur [ band ) .
Sepsis adalah SIRS ditambah sumber infeksi yang diketahui (ditandai dengan
biakan positif terhadap organisme dari tempat tersebut).
Sepsis berat adalah sepsis ditambah dengan satu atau lebih disfungsi organ seperti
berikut:
• Tekanan sistolik darah < 90 mmHgatau MAP < 70 mmHgyangberespon terhadap
pemberian cairan intravena,
• keluaran urin < 0,5 mL/ kg/ jam untuk selama 1 jam dengan resusitasi cairan,
• Pa 02 / FI 02 < 300,
• Trombosit < 100.000,
• pH < 7, 30 atau defisit basa > 5,0 mEq / L dan laktat plasma >1,5 kali batas atas nilai
normal, (> / mmol / L)
• adanya resusitasi cairan yang adekuat ditandai dengan tekanan arteri paru
>12 mmHg atau tekanan vena sentral >8 mmHg.
Renjatan septik adalah sepsis dengan hipotensi ( tekanan darah sistolik
< 90 mmHg atau 40 mmHg lebih rendah dari tekanan darah pasien yang biasa ) selama
kurang lebih satu jam dengan resusitasi cairan adekuat atau pasien memerlukan
vasopresor untuk mempertahankan tekanan sistolik >90 mmHg atau MAP > 70 mmHg.
PENDEKATAN DIAGNOSIS3
Anamnesis
• Menentukan apakah infeksi didapat dari komunitas atau nosokomial atau apakah
pasien imunokompromais
Pandnan
Dokter
Perhimpunan
PraktikDalam
Klinis
Indonesia
Spesialis Penyakil
Sepsis dan Renjatan Septlk fp
• Demam
• Sesak napas
• Disorientasi, bingung, perubahan status mental
• Perdarahan
• Mual, muntah, diare, ileus
Pemeriksaan Fisik
• Hipotensi
• Sianosis
• Nekrosis iskemik jaringan perifer, umumnya jari
• Selulitis, pustul, bula atau lesi hemoragik pada kulit
• Ikterik
• Pemeriksaan fisik lengkap untuk mencari sumber infeksi
Pemeriksaan Penunjang
• Darah perifer lengkap dengan hitung diferensial
• Urinalisis
• Gambaran koagulasi
• Glukosa darah
• Urea darah, kreatinin
• Tes fungsi hati
• Kadar asam laktat
• Analisis gas darah
• Kadar asam laktat
• Biakan darah (minimal 2 set dalam 24 jam], sputum, urin dan tempat lain yang
dicurigai terinfeksi
DIAGNOSIS BANDING
Renjatan kardiogenik, renjatan hipovolemik
TATALAKSANA245
Nonfarmakologis
• Stabilisasi pasien (pemulihan airway, breathing, circulation]
• Perawatan ICU
• Dialisis
983
Panduan Praktik Klinis Tropik Infeksi
Pertiimpunan DokferSpes'rafe Penyakif Dalam Indonesia
• Nutrisi, pemantauan glukosa hingga <150 mg/ dL setiap 1 - 2 jam hingga 4 hari
• Transfusi darah PRC apabila Hb < 7 g / dL , TC apabila trombosit < 5000 tanpa
perdarahan atau 5.000 - 30.000 dengan perdarahan
• Menghilangkan fokus infeksi (penyaluran eksudat purulen, nekrotomi, drainase abses)
Farmakologis
• Cairan kristaloid atau koloid
• Obat-obatan vasoaktif untuk kondisi renjatan: dopamin (> 8 mcg/ kg/ menit),
norepinefrin (0,03 - 1,5 mcg/ kg/ menit), epinefrin (0,1 - 0,5 mcg/ kg/ menit) atau
fenilefrin ( 0,5 - 8 mcg/ kg/ menit)
• Obat- obatan inotropik: dobutamin ( 2 - 28mcg/ kg/ menit), dopamin (3 - 8 meg/
kg/ menit), epinefrin (0,1- 0,5/ kg/ menit) atau fosfodiesterase inhibitor (amrinon
dan milrinon).
• Dalam 6 jam pertama, target resusitasi adalah: tekanan vena sentral 8 - 12 mmHg,
MAP > 65 mmHg, keluaran urin > 0,5 ml / kg / jam, saturasi oksigen vena sentral
atau campuran berturut-turut >70% atau >65%. Target tekanan vena sentral
pada penggunaan ventilasi mekanik atau penurunan compliance ventrikel adalah
12 - 15 mmHg.
• Sodium bikarbonat bila pH < 7,2 atau bikarbonat serum <9 meq / L
• Antagonis reseptor H 2 atau penghambat pompa proton pada sepsis berat untuk
mencegah stress ulcer
• Kortikosteroid dosis rendah (hidrokortison 200 - 300 mg/ hari terbagi dalam 3 - 4
dosis selama 7 hari) bila terbukti insufisiensi adrenal
• Bila terdapat KID dan didapatkan bukti terjadinya tromboemboli, dapat diberikan
heparin dengan dosis 100 IU / kgBB bolus, dilanjutkan 15-25 IU / kgBB / jam dengan
infus kontinu, dosis lanjutan disesuaikan untuk mencapai target aPTT 1,5- 2 kali
kontrol atau antikoagulan lainnya
• Antimikroba empirik diberikan sesuai dengan tempat infeksi, dugaan kuman
penyebab, profil antimikroba (farmakokinetik dan farmakodinamik), keadaan
fungsi ginjal dan fungsi hati. Antimikroba definitif diberikan bila hasil kultur
mikroorganisme telah diketahui, antimikroba dapat diberikan sesuai hasil uji
kepekaan mikroorganisme. Antimikroba yang dipakai adalah yang dianggap
tidak menyebabkan pelepasan lebih banyak lipopolisakarida ( LPS) sehingga
menimbulkan masalah yang lebih banyak. Antimikroba yang dianggap tidak
menyebabkan perburukan adalah: karbapenem, seftriakson , sefepim, glikopeptida,
aminoglikosida, kuinolon.
984
Sepsis dan Renjatan Septik
KOMPLIKASI6
• Sindrom distres pernapasan dewasa (ARDS)
• Koagulasi intravascular diseminata (DIC)
• Gagal ginjal akut (ARF)
• Perdarahan usus
• Gagal hati
• Disfungsi sistem saraf pusat (SSP)
• Gagal jantung
• Kematian
985
Panduan Praktik Klinis Tropik Infeksi
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
PROGNOSIS4
Sekitar 20 - 35 % pasien dengan sepsis berat dan 40 - 60% pasien dengan renjatan
septik meninggal dalam 30 hari. Sistem stratifikasi prognosis seperti APACHE II
menunjukkan bahwa usia pasien, penyakit dasar dan berbagai variabel fisiologi
menentukan risiko kematian pada sepsis berat. Pada pasien tanpa penyakit morbiditas
sebelumnya, case- fatality rate di bawah 10% hingga usia dekade keempat, dan setelahnya
meningkat hingga 35 %.
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Semua Divisi di lingkungan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : -
REFERENSI
1. Bone RC, Balk RA, Cerra FB, et al. Definitions for sepsis and organ failure and guidelines for the use
of innovative therapies in sepsis. The ACCP /SCCM Concensus Conference Committee. American
. .
College of Chest Physicians/ Scoiety of Critical Care Medicine Chest. 1992 101:1644 - 55
2. . .
Chen K, Pohan HT Penatalaksanaan syok setiks In: Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M,
Setiati S, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5lh ed. Jakarta; Pusat Informasi dan Penerbitan
Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2009:252 - 7
3. .
Guntur A Sirs & sepsis. Is1 edition. Surakarta; Sebelas Maret University Press, 2006:1 66-
4. Dellinger P, Carlet J, Masur Pi, Gerlach PI, Calandra T, Cohen J, et al. Surviving sepsis campaign
guidelines for management of severe sepsis and septic shock. Crit Care Med. 2004;32:858 - 7.
5. Dellinger P, Levy M, Carlet J, Bion J, Parker M, Jaeschke R. Surviving sepsis campaign: international
guidelines for management of severe sepsis and septic shock:2008. Intensive Care Med. 2008;34: 17 - 60.
6. Reus V . Severe sepsis and septic shock, In: Fauci A, Kasper D, Longo D, Braunwald E, Plauser S,
Jameson J, Loscalzo J, editors. Plarrison ' s principles of internal medicine. 18 th ed. United States of
America; The McGraw-Hill Companies, 2012: 2710 - 23
986