Anda di halaman 1dari 39

SMF ILMU PENYAKIT DALAM

PANDUAN PRAKTEK KLINIS


SMF ILMU PENYAKIT DALAM
KETOASIDOSIS DIABETIK
2014
RSUP SANGLAH
DENPASAR
1.
2.
3.

No. ICD 10
Diagnosis
Pengertian

4.

Anamnesis

5.

Pemeriksaan Fisik

6.

Kriteria Diagnosis

E10-E14
Ketoasidosis Diabetik
Merupakan dekompensasi metabolik yang akut ditandai dengan trias
hiperglikemia, asidosis metabolik dan hiperketonemia terutama disebabkan
oleh defisiensi insulin absolut atau relatif.
Poliuri, polidipsi, penurunan berat badan, riwayat berhenti menyuntik
insulin, demam, mual, muntah, nyeri perut (gastropati diabetikum).
Penurunan kesadaran; mulai delirium, depresi sampai koma, pernafasan
cepat dan dalam (Kussmaul), dehidrasi (turgor kulit menurun, lidah dan
bibir kering), bau aseton dari hawa nafas tidak terlalu mudah tercium,
takikardi, hipotensi.
1. Kadar glukosa darah yang tinggi > 250 mg/dL
2. pH darah < 7,3
3. Peningkatan kadar keton serum > 5 mEq/L (asam hidroksibutirat > 0,6
mEq/L), diserat dengan keton urine positif

7.
8.

Diagnosis Banding
Pemeriksaan Penunjang

9. Konsultasi
10. Perawatan Rumah Sakit
11. Terapi / tindakan
(ICD 9-CM)

4. Kadar serum bikarbonat 18 mEq/L dan peningkatan anion gap.


Ketosis diabetik, status hyperosmolar hiperglikemi (HHS)
Glucose sticks, urine strip, kadar HCO3, anion gap, pH darah dan juga
idealnya pemeriksaan kadar keton dalam darah.
Neurologi, nefrologi, sesuai dengan diagnosis faktor pencetus dan penyulit
Tipe A, B
1. Cairan: digunakan larutan fisiologis berdasarkan perkiraan hilangnya
cairan pada KAD mencapai 100 cc/kgBB atau sebesar 5-8 liter jam
pertama: 1 liter, jam kedua: 1 liter dan selanjutnya 1 liter setiap 4 jam
sampai pasien terehidrasi.
2. Insulin: insulin intravena paling umum digunakan. Insulin
intramuskuler atau subkutan adalah alternatif bila pompa infus tidak
tersedia atau bila akses vena mengalami kesulitan, misal: pada anak
kecil. Jika tidak terdapat hipokalemia (K < 3,3 mEq/l), dapat diberikan
insulin regular 0,15 u/kgBB, diikuti dengan infus kontinu 0,1
u/kgBB/jam (5 -7 u/jam). Jika kadar kalium < 3,3 mEq/l, maka harus
dikoreksi dahulu untuk mencegah perburukan hipokalemia yang akan
dapat mengakibatkan aritmia jantung, dengan target penurunan gula
darah 50-75 mg/dL. Jika gula darah tidak menurun sebesar 50 mg/dl

dari nilai awal pada jam pertama, periksa status hidrasi pasien. Jika
status hidrasi mencukupi, infus insulin dapat dinaikkan 2 kali lipat
setiap jam sampai tercapai penurunan gula darah konstan antara 50 - 75
mg/dl/jam. Ketika kadar gula darah mencapai 250 mg/dl, turunkan infus
insulin menjadi 0,05 - 0,1 u/kgBB/jam (3 - 6 u/jam), dan tambahkan
infus dextrose 5 - 10%. Pada kondisi klinik pemberian insulin intravena
tidak dapat diberikan, maka insulin diberikan dengan dosis 0,3 iu (0,4 0,6 iu)/kgBB yang terbagi menjadi setengah dosis secara intravena dan
setengahnya lagi secara subkutan atau intramuskular, selanjutnya
diberikan insulin secara intramuskular atau subkutan 0,1 iu/kgBB/jam,
selanjutnya protokol penatalaksanaannya sama seperti pemberian drip
intravena.
3. Kalium: Total deficit K yang terjadi selama KAD diperkirakan
mencapai 3-5 mEq/kgBB. Terapi kalium dimulai saat terapi cairan
sudah dimulai, dan tidak dilakukan jika tidak ada produksi urine,
terdapat kelainan ginjal, atau kadar kalium > 6 mEq/L
4. Glukosa: Bila kadar glukosa mencapai < 200 mg% maka dapat dimulai
infus mengandung glukosa
5. Bikarbonat: masih kontroversial, hanya dianjurkan pada KAD yang
berat (pH<7,1)
6. Pengobatan lain:
a. Antibiotik yang adekuat
b. Oksigen bila pO2 < 80 mmHg
12. Tempat Pelayanan
13. Penyulit
14. Informed Consent
15. Tenaga Standar
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.

Lama Perawatan
Masa Pemulihan
Hasil
Patologi
Otopsi
Prognosis
Tindak Lanjut

23. Tingkat Evidens &


Rekomendasi
24. Indikator Medis

c. Heparin bila ada DIC atau bila hiperosmolar (>380 mOsm/L)


Ruang intensive care, semi intensif RSUP Sanglah Denpasar
Edema otak, Adult Respiratory Distress Syndrome (ARDS), thrombo
emboli
Diperlukan
Dokter Spesialis Penyakit Dalam, Konsultan Endokrinologi, Metabolik
Diabetes
7 hari
3 hari
Baik dengan pengobatan yang tepat
Tidak diperlukan
Tidak diperlukan
Dubius ad bonam
Pemantauan: Kontrol rutin dan mengikuti saran yang diberikan.
IA
Kesadaran membaik
Sesak berkurang

Analisa gas darah normal


25. Edukasi

26. Kepustakaan

Gula darah normal


Edukasi DM (pemberian dosis insulin / OAD yang tepat dan kepatuhan),
komunikasi efektif terutama saat penyandang DM mengalami sakit akut
(misalnya batuk, pilek, diare, demam, luka)
1. Soewondo P. Ketoasidosis Diabetik. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B,
Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku ajar Ilmu Penyakit
Dalam. 4th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI; 2006.p.1896-9.
2. Gotera W, Budiyasa DGA. Penatalaksanaan Ketoasidosis Diabetic
(KAD). Jurnal Penyakit Dalam; 2010. Vol 11.

PANDUAN PRAKTEK KLINIS


SMF ILMU PENYAKIT DALAM
KOMA HIPOGLIKEMIA
2014
RSUP SANGLAH
DENPASAR
1.
2.
3.

No. ICD 10
Diagnosis
Pengertian

4.

Anamnesis

5.

Pemeriksaan Fisik

6.

Kriteria Diagnosis

E 16.2
Koma Hipoglikemia
Hipoglikemia merupakan keadaan dimana kadar Glukosa Darah Sewaktu
(GDS) < 60mg/dL dengan gejala klinis.
Bila terdapat penurunan kesadaran pada penderita diabetes dengan obat
hipoglikemik seperti sulfoniluria, meglitinid, insulin atau kombinasi dari
obat-obat ini harus selalu dipikirkan kemungkinan terjadinya hipoglikemi.
Gejala hipoglikemi terdiri dari adrenergik (berdebar-debar, banyak
berkeringat, gemetar, dan rasa lapar) dan gejala neuro-glikopenik (pusing,
gelisah, kesadaran menurun sampai koma dan kejang-kejang).
Trias dari Whipple untuk hipoglikemi:
1. Gejala yang sesuai dengan hipoglikemia
2. Kadar glukosa darah rendah pada saat timbulnya gejala < 60 mg/dl

7.

Diagnosis Banding

3. Gejala membaik setelah kadar glukosa darah normal.


1. Obat-obatan (insulin, insulin sekretagogus, alkohol, pentamidin, kinine,
indometasin, glukagon, artesunate)
2. Penyakit kritis (gagal hati, gagal ginjal, gagal jantung, sepsis dan
inanisi.
3. Defisiensi hormonal (kortisol, glukagon dan epinefrin)
4. Insulinoma, non-islet cell tumor.

5. Gangguan fungsi sel beta.


8.
9.
10.
11.

Pemeriksaan Penunjang
Konsultasi
Perawatan Rumah Sakit
Terapi / tindakan
(ICD 9-CM)

12. Tempat Pelayanan


13. Penyulit
14. Informed Consent
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.

Tenaga Standar
Lama Perawatan
Masa Pemulihan
Hasil
Patologi
Otopsi
Prognosis
Tindak Lanjut

23. Tingkat Evidens &


Rekomendasi
24. Indikator Medis
25. Edukasi
26. Kepustakaan

6. Hipoglikemi autoimun (antibodi insulin, antibodi reseptor insulin)


Kadar Glukosa Darah, fungsi ginjal, fungsi hati, C-Peptide, Hb A1C
Neurologi (kalau diperlukan)
Tipe A, B
Bagi pasien dengan kesadaran yang baik dan kooperatif diberikan makanan
yang mengandung glukosa secara oral (jus buah, gula, tablet glukosa atau
larutan yang setara dengan 15-20 gram karbohidrat). Panderita dengan
penurunan kesadaran diberikan glukosa intravena (50 ml 50% dektrose
atau glukosa dilanjutkan dengan infus dektrose 5% atau 10%) atau suntikan
glukagon intravena. Terkadang diperlukan waktu yang cukup lama untuk
pengawasannya (24-72 jam) atau lebih, terutama pada pasien dengan gagal
ginjal kronik atau yang mendapatkan terapi obat hipoglikemik oral kerja
panjang.
Ruang Intensif, semi intensif care RSUP Sanglah Denpasar
Stroke dan transient ischaemic attack, kehilangan memori, gangguan
kognitif, infark miokard, injury, kematian.
Komunikasi Informasi Edukasi (KIE) penyebab hipoglikemia,
penatalaksanaan dan upaya mencegah terjadinya hipoglikemia
Dokter Spesialis Penyakit Dalam, Konsultan Endokrin Metabolik Diabetes
1-3 hari
1-3 hari
Umumnya baik. Bila terlambat bisa terjadi sekuele otak atau kematian
Tidak diperlukan
Tidak diperlukan
Dubia ab bonam
Monitor GDS secara berkala, atur dosis insulin / obat diabetes oral dan
pola makan
IA
Kesadaran compos mentis
Kadar gula darah normal
Edukasi DM (pemberian dosis insulin dan obat hipoglikemik oral, pola
makan)
1. PERKENI. Petunjuk Praktis Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 2.
2002. Waspadji S.
2. Kegawatan pada Diabetes Melitus. Dalam prosiding simposium
Penatalaksanaan Kedaruratan di bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta,
15-16 April 2000;83-8
3. Cryer PE. Hypoglycemia. In Williams Textbook of Endocrinology
Editor Melmed S, Polonsky KS, Larsen PR, KronenbergHM, 12th
Edition Philadelphia, ELSEVIER., Saunders 2011 p 1552-1577.

PANDUAN PRAKTEK KLINIS


SMF ILMU PENYAKIT DALAM
LIMFOMA MALIGNA NON-HODGKIN
2014
RSUP SANGLAH
DENPASAR
1.
2.
3.

No. ICD 10
Diagnosis
Pengertian

4.

Anamnesis

5.

Pemeriksaan Fisik

6.

Kriteria Diagnosis

7.
8.

Diagnosis Banding
Pemeriksaan Penunjang

9. Konsultasi
10. Perawatan Rumah Sakit
11. Terapi / tindakan
(ICD 9-CM)

C82-C85
Limfoma Maligna Non-Hodgkin
Penyakit keganasan primer dari jaringan limfoid yang bersifat padat (solid),
dapat menyebar secara sistemik ditandai oleh kumpulan limfosit abnormal,
kadang-kadang histiosit yang bersifat nodular atau difus.
Pembesaran kelenjar, single / multiple, tidak nyeri, asimetri, kenyal,
terdapat gejala demam, penurunan BB >10%, dan keringat malam.
Pembesaran kelenjar getah bening tidak nyeri, single / multiple, asimetri,
padat kenyal seperti karet, bisa terdapat di leher, aksila, inguinal,
mediastinal, hilus paru, kelenjar para-aorta, dan retroperitoneal. Kadangkadang lesi muncul pada jaringan ekstranodal seperti kulit, paru, otak, dan
sumsum tulang belakang.
Klinis, pemeriksaan penunjang (labratorium, pencitraan), dan histopatologis
jaringan
Lymphoma Hodgkin, limfadenitis TB
1. DL, GOT, GPT, Bun, Sc, Gula darah, AU, elektrolit, Foto thorax, USG
abdomen
2. BMP, CT scan, MRI, PET Scan (jika diperlukan)
Bedah dan THT untuk biopsi kelenjar
Ya
1. Terapi simptomatis dan suportif
2. Sesuai staging; stadium I-II radioterapi dengan atau tanpa kemoterapi,
stadium III-IV kemoterapi
3. Kemoterapi standar dengan CHOP & R-CHOP
a. Premedikasi: ondansentron 8 mg i.v (high moderate
emetogenecity), deksametason 10 mg i.v, Acetaminophen 1000 mg
i.o, Dipenhidramin 25-50 mg i.v (risiko reaksi alergi)
b. Kemoterapi:
a) CHOP Cyclophosphamide 750 mg/m2 + Doxorubicin 50
mg/m2 + Vincristine 1,4 mg/m2 (maks dosis 2 mg/siklus) +
prednisone 40 mg/m2 hari 1-5. Setiap 21 hari, 6-8 siklus.
b) R-CHOP Rituximab 375 mg/m2 + cyclophosphamide 750
mg/m2 + Doxorubicin 50 mg/m2 + Vincristine 1,4 mg/m2 (maks
dosis 2 mg/siklus) + prednisone 40 mg/m2 hari 1-5. Setiap 21

hari, 6-8 siklus.


12. Tempat Pelayanan
13. Penyulit
14. Informed Consent
15. Tenaga Standar
16. Lama Perawatan
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.

Masa Pemulihan
Hasil
Patologi
Otopsi
Prognosis
Tindak Lanjut
Tingkat Evidens &
Rekomendasi
24. Indikator Medis
25. Edukasi
26. Kepustakaan

RSUP Sanglah Denpasar


Pada kasus progressive disease dan incomplete response setelah
kemoterapi
Tertulis
Dokter Spesialis Penyakit Dalam, Konsultan Hematologi dan Onkologi
Medik
1. Mulai dari biopsi dan kemoterapi 2 minggu
2. Kemoterapi 5 hari
1 minggu
Respon kemoterapi dinilai berdasarkan kriteria RECIST, 2009
Sesuai dengan hasil histopatologi
Tidak diperlukan
Dubius ad bonam
Kemoterapi setiap 21 hari
IIA
Pembesaran kelenjar berkurang
Pentalaksanaan terapi sesuai staging, efek samping kemoterapi
NCCN guideline 2013, Amerian Cancer Society 2013

PANDUAN PRAKTEK KLINIS


SMF ILMU PENYAKIT DALAM
FEBRIL NEUTROPENIA
2014
RSUP SANGLAH
DENPASAR
1.
2.
3.

No. ICD 10
Diagnosis
Pengertian

4.

Anamnesis

5.

Pemeriksaan Fisik

ICD-9-CM
Febril Neutropenia
Demam, dengan suhu aksila kiri / kanan 38 0C dua kali pengukuran dalam
waktu 1 jam atau lebih (untuk tumor solid) dan 37,5 0C (untuk keganasan
hematologi) atau 38,30C dalam 1 kali pengukuran dan tidak didapatkan
tanda-tanda non infeksi, jumlah neutrofil (batang segmen) kurang dari 500
sel/mm3 atau kurang dari 1000 sel/mm3 dengan kecenderungan turun
menuju 500 sel/mm3 dalam 2 hari berikutnya.
Demam, kadang terdapat keluhan infeksi sesuai dengan fokus infeksi
seperti batuk, sesak, nyeri BAK, diare.
Tanda infeksi pada saluran pernafasan atas dan bawah, traktus urogenitalis,
abdomen dan region perianal, monitoring tekanan darah, nadi, frekuensi

6.

7.
8.
9.
10.
11.

Kriteria Diagnosis

Diagnosis Banding
Pemeriksaan Penunjang
Konsultasi
Perawatan Rumah Sakit
Terapi / tindakan
(ICD 9-CM)

12.
13.
14.
15.

Tempat Pelayanan
Penyulit
Informed Consent
Tenaga Standar

16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.

Lama Perawatan
Masa Pemulihan
Hasil
Patologi
Otopsi
Prognosis
Tindak Lanjut
Tingkat Evidens &
Rekomendasi

pernafasan dan suhu serta kesadaran.


1. Suhu aksila kiri / kanan 380C dua kali pengukuran dalam waktu 1 jam
atau lebih (untuk tumor solid) dan 37,5 0C (untuk keganasan
hematologi) atau 38,30C dalam 1 kali pengukuran dan tidak
didapatkan tanda-tanda non infeksi dan disertai,
2. ANC < 500 sel/mm3 atau ANC ysng diperkirakan akan menurun s/d <
500 sel/mm3 dalam 48 jam kedepan.
Darah lengkap (absolute neutrophil count), kultur mikrobiologi
Sesuai dengan lokasi fokus infeksi
Ruang isolasi semi steril
Antibiotik empirik (monoterapi atau kombinasi terapi) dengan property anti
pseudomonas, anti jamur (bila demam masih berlangsung dalam 72 96
jam), Growth Factor, terapi suportif lainnya.
Ruang isolasi semi steril di RSUP Sanglah Denpasar
Sepsis, syok sepsis
Diperlukan
Dokter Spesialis Penyakit Dalam, Konsultan Hematologi dan Onkologi
Medik
1-2 minggu
1 minggu
Bebas demam selama 3 hari, ANC 2000 sel/mm3
Sesuai dengan lokasi fokus infeksi
Tidak dilakukan
Dubius ad bonam
Kontrol rutin dan mengikuti saran yang diberikan
1. Penggunaan antibiotik profilaksis untuk ANC 100 sel/mm 3
(evidence A-II)
2. Penggunaan antibiotik empirik (evidence A-I)
3. Penggunaan anti jamur empirik atau preemptif (evidence A-I)

24. Indikator Medis


25. Edukasi
26. Kepustakaan

4. Penggunaan Growth Factor (GCSF) profilaksis diindikasikan untuk


pasien dengan risiko febris dan neutropenia 20% (evidence A-II), dan
umumnya tidak direkomendasikan sebagai terapi pada kasus febris dan
neutropenia (evidence B-II).
Suhu tubuh 37,50C, tidak ada tanda infeksi, ANC 2000 sel/mm3
Menjaga higienis diri sendiri serta sanitasi, mengkonsumsi makanan
matang, menghindari kontak dengan orang sakit.
Panduan Tata Laksana Febril Neutropenia Pada Pasien Kanker,
Perhompedin 2006, IDSA Guidelines 2011.

PANDUAN PRAKTEK KLINIS


SMF ILMU PENYAKIT DALAM
TUBERKULOSIS PARU (TB PARU)
2014
RSUP SANGLAH
DENPASAR
1.
2.
3.

No. ICD 10
Diagnosis
Pengertian

4.

Anamnesis

5.

Pemeriksaan Fisik

6.

Kriteria Diagnosis

A.15.0
Tuberkulosis Paru (TB Paru)
Penyakit infeksi menular pada jaringan paru akibat infeksi mikobakterium
tuberkulosis
Batuk 2-3 minggu, berdahak, kadang batuk darah, sesak, nyeri dada
Demam, nafsu makan menurun, berat badan menurun, berkeringat malam
Lesi minimal pemeriksaan fisik dalam batas normal. Pada lesi yang berat
dapat dijumpai tanda konsolidasi (perkusi redup, fremitus mengeras, suara
napas bronkial, ronki )
1. Anamnesis: ada batuk 2-3 minggu, berdahak, kadang batuk darah,
kadang nyeri dada. Demam, nafsu makan menurun, berat badan
menurun, berkeringat malam.
2. Pemeriksaan fisik: dapat dijumpai tanda-tanda konsolidasi

7.
8.

Diagnosis Banding
Pemeriksaan Penunjang

3. Pemeriksaan penunjang: Sputum BTA Positif, Rontgen toraks sesuai


gambaran TB
Pneumonia, Bronkiektasis, abses paru
1. BTA sputum SPS
2. Rontgen toraks
3. Gen Expert sputum bila pada pasien ODHA dan pada suspek TB MDR
4. Kultur BTA dan DST bila suspek TB MDR

9. Konsultasi
10. Perawatan Rumah Sakit
11. Terapi / tindakan
(ICD 9-CM)

5. DL, Bun/Sc, GOT/GPT


Bedah torak, intensivist
Diperlukan bila ada komplikasi seperti: batuk darah, panas tinggi, sesak
nafas berat
1. Untuk kasus baru: OAT (Obat anti TB) Kategori I (2RHZE / 4HR) /
(2HRZE / 4H3R3)
2. Untuk Kasus pengobatan ulangan: OAT Kategori II (2RHZES / HRZE /
5RHE) / (2RHZE / RHZE / 5H3R3E3)

12. Tempat Pelayanan


13. Penyulit

3. Untuk Kasus TB MDR paduan obat: Km-Eto-Lfx-Z(E) / Eto-Lfx-CsZ(E)


1. Rawat Jalan: Poliklinik Paru
2. Rawat Inap: di ruangan isolasi (Nusa Indah)
1. Batuk darah (Hemoptisis)
2. Pneumotoraks
3. Gagal nafas

14.
15.
16.
17.
18.

Informed Consent
Tenaga Standar
Lama Perawatan
Masa Pemulihan
Hasil

Lisan
Residen Penyakit Dalam, DPJP
5-7 hari
2 minggu
Batuk menghilang, panas turun, berat badan meningkat, BTA sputum
menjadi negatif, Kultur BTA negatif pada TB MDR

19.
20.
21.
22.

Patologi
Otopsi
Prognosis
Tindak Lanjut

Tidak diperlukan
Tidak diperlukan
Dubius ad bonam
1. Kontrol teratur sesuai jadwal yang telah ditentukan
2. Pantau dan timbang berat badan
3. Cek ulang BTA sputum
4. Cek ulang kultur BTA untuk kasus TB MDR
5. Evaluasi kemungkinan efek samping obat TB

23. Tingkat Evidens &


Rekomendasi
24. Indikator Medis

1. Tingkat eviden 1a/1b


2. Rekomendasi A / B
1. Hilangnya gejala batuk
2. Hilangnya demam
3. Berat badan naik
4. BTA Sputum negatif
5. Kultur BTA Negatif untuk TB MDR

25. Edukasi

1. Minum obat teratur tidak boleh memutus obat tanpa sepengetahuan


Dokter / petugas medis
2. Menggunakan masker sehingga tidak menulari orang sekitarnya
3. Tidak berdahak sembarangan
4. Pentingnya ventilasi sehingga sinar dapat tembus ke kamar tidur
5. Penyakit TB dapat sembuh

26. Kepustakaan

Kementrian Kesehatan RI, Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran


Tatalaksana Tuberkulosis, 2013.

PANDUAN PRAKTEK KLINIS


SMF ILMU PENYAKIT DALAM
ASMA EKSASERBASI AKUT BERAT
2014
RSUP SANGLAH
DENPASAR
1.
2.
3.

No. ICD 10
Diagnosis
Pengertian

4.
5.

Anamnesis
Pemeriksaan Fisik

6.

Kriteria Diagnosis

J45-J46
Asma Eksaserbasi Akut Berat
Eksaserbasi pada asma atau disebut juga serangan asma akut adalah suatu
keadaan yang ditandai dengan episode sesak / napas pendek, batuk, mengi
dan rasa berat di dada yang bertambah secara progresif.
Sesak napas saat istirahat, batuk, napas mengi, dada terasa berat.
Posisi: duduk membungkuk, cara bicara: kata demi kata. Kesadaran:
tampak gelisah. Frekuensi napas > 30 x/menit. Tampak kontraksi otot bantu
napas dan retraksi suprasternal paradoksal. Kadang sianosis. Nadi >120
x/menit. Pulsus paradoksus sering ada (>25 mmHg). Pada auskultasi paru
mengi terdengar keras.
1. Keluhan dan gejala sesuai anamnesis dan pemeriksan fisik.
2. Dari analisa gas darah: PaO2 < 60 mmHg dengan atau PaCO2 > 45
mmHg, Saturasi oksigen < 90%

7.
8.
9.
10.
11.

Diagnosis Banding
Pemeriksaan Penunjang
Konsultasi
Perawatan Rumah Sakit
Terapi / tindakan
(ICD 9-CM)

12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.

Tempat Pelayanan
Penyulit
Informed Consent
Tenaga Standar
Lama Perawatan
Masa Pemulihan
Hasil

19.
20.
21.
22.
23.

Patologi
Otopsi
Prognosis
Tindak Lanjut
Tingkat Evidens &
Rekomendasi

3. Arus puncak ekspirasi < 60% prediksi


PPOK eksaserbasi akut, gagal jantung
DL, foto toraks, analisa gas darah
Sesuai komplikasi dan adanya penyakit penyerta
IGD-MS, ruang intensif
Oksigen, Inhalasi agonis 2 kerja singkat (salbutamol, terbutalin),
Antikolinergik, glukokortikosteroid sistemik, bila perlu magnesium
intravena. Dapat pertimbangkan aminophilin intravena, epinefrin.
IGD-MS, ruang intensif RSUP Sanglah Denpasar.
Gagal napas, pneumotoraks
Diperlukan
Spesialis Penyakit Dalam, Spesialis Paru
3-5 hari
7 hari
Bebas sesak, frekuensi napas menjadi normal, nadi normal, analisa gas
darah normal
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Dubius ad bonam
Perlu kontrol teratur dan mengikuti saran yang diberikan
1. Pengunaan Inhalasi agonis 2 kerja singkat (evidence A)
2. Kombinasi Inhalasi agonis 2 kerja singkat dan itratropium bromid
10

lebih baik daripada digunakan sendiri (evidence B)


3. Pemberian glukokortokosteroid sistemik pada asma eksaserbasi
mempercepat perbaikan eksaserbasi (evidence A)

24. Indikator Medis


25. Edukasi
26. Kepustakaan

4. Nebuliser salbutamol dengan isotonik magnesium sulfat memberi


keuntungan lebih besar dibanding diberikan dengan normal saline
(evidence A)
Kesadaran baik (GCS E4V5E6), frekuensi nafas normal (18-20x/menit),
nadi normal, analisa gas darah normal
Minum obat sesuai aturan, setelah pulang mohon kontrol secara teratur,
hindari faktor pencetus yang ada, edukasi tentang penyakit asma.
1. GINA. Global strategy for asthma management and prevention updated
2012.
2. Panduan Pelayanan Medik Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit
Dalam Indonesia(PAPDI), 2006
3. PDPI. Program penatalaksanaan asma In. Mangunnegoro H, Amin M,
Yunus F, dkk. Editor. Asma. Jakarta: Balai Penerbit UI; 2004. P28-27

PANDUAN PRAKTEK KLINIS


SMF ILMU PENYAKIT DALAM
LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK
2014
RSUP SANGLAH
DENPASAR
1.

No. ICD 10

M.32

2.

Diagnosis

Lupus Eritematosus Sistemik

3.

Pengertian

Penyakit sistemik yang bersifat kronik-progresif dan merupakan penyakit


autoimun ditandai dengan adanya antibodi terhadap inti sel

4.

Anamnesis

5.

Pemeriksaan Fisik

1. Gejala Konstitusional: lemah, demam, anoreksia, penurunan berat


badan.
2. Gejala Khas : tergantung manifestasi SLE yang muncul
Sesuai manifestasi SLE yang muncul

6.

Kriteria Diagnosis

Memenuhi 4 dari 11 kriteria ARA (American Rheumatism Association)


tahun 1997:
1. Ruam malar: eritema menetap, datar atau menonjol, pada malar

11

eminence dan lipatan nasolabial


2. Ruam diskoid: bercak eritama menonjol dengan gambaran SLE
keratotik dan sumbatan folikular. Pada SLE lanjut dapat ditemukan
parut atropik.
3. Fotosensitivitas: ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal terhadap
sinar matahari, baik dari anamnesis pasien atau yang didapatkan pada
pemeriksaan fisik.
4. Ulkus mulut: ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak nyeri
5. Artritis non erosive: melibatkan dua atau lebih sendi perifer, ditandai
oleh rasa nyeri, bengkak atau efusi.
6. Pleuritis atau Perikarditis:
a. Pleuritis: riwayat nyeri pleuritik atau pada pemeriksaan didapatkan
pleuritic friction rub atau bukti efusi pleura dari pencitraan, atau
b. Perikarditis: pada pemeriksaan didapatkan pericardial friction rub
atau bukti rekaman EKG atau bukti efusi perikard dari pencitraan.
7. Gangguan renal:
a. Proteinuria menetap: > 0,5 gram per hari atau secara kualitatif > 3+
b. Silinder/cast pada urin: dalam bentuk silinder
haemoglobin, granular, tubular, atau gabungan.

eritrosit,

8. Gangguan neurologi:
Kejang atau psikosis tanpa disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan
metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis, atau ketidakseimbangan
elektrolit).
9.

Gangguan hematologik:
a. Anemia hemolitik, atau
b. Leukopenia < 4.000/mm2 pada dua kali pemeriksaan, atau
c. Trombositopenia <100.000/mm2 tanpa disebabkan oleh obatobatan.

10.

Gangguan Imunologik:
a. Anti-DNA: dengan titer yang abnormal, atau
b. Adanya Anti-Sm, atau
c. Temuan positif terhadap antibodi antifosfolipid yang didasarkan
atas:
a) Kadar serum antibodi antikardiolipin abnormal baik IgG atau
IgM, atau
b) Tes lupus antikoagulan positif menggunakan metode standar,
atau
c) Hasil tes positif palsu paling tidak selama 6 bulan dan
dikonfirmasi dengan tes imobilisasi Treponema pallidum atau
tes fluoresensi absorpsi antibodi treponemal.

11.

Antibodi antinuclear positif (ANA): titer abnormal dari


12

antibodi anti-nuklear berdasarkan pemeriksaan imunofluoresensi atau


pemeriksaan yang setara.
7.
8.

Diagnosis Banding
Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan laboratorium rutin:


DL, UL, LED, CRP
2. Pemeriksaan imunologis:
a. Pemeriksaan autoantibody: ANA (Antinuclear Antibody), AntiDsDNA, Antibodi Anti-Sm
b. Pemeriksaan sel LE
c. Pemeriksaan C3,C4 komplemen,
d. Pemeriksaan antibodi antifosfolipid (kadar serum antibodi
antikardiolipin baik IgG atau IgM, dan pemeriksaan lupus
antikoagulan positif menggunakan metode standar.
e. Positif palsu untuk tes sifilis,
3. Pemeriksaan biokimia, terjadi hipergamaglobulinemia. Pemeriksaan
fungsi faal ginjal apabila diperkirakan ada kelainan organ tersebut.
4. Pemeriksaan lain, tergantung manifestasi organ yang terkena, seperti
foto dada, Body Scan, ensefalogram, dan lain-lain.

9.

Konsultasi

10. Perawatan Rumah Sakit


11. Terapi / tindakan
(ICD 9-CM)

Dirawat divisi Reumatologi-immunologi, konsultasi sesuai dengan organ


yang terkena
Ya, sesuai dengan derajat beratnya penyakit
Pilar penanganan LES meliputi:
1. Edukasi dan konseling
2. Proteksi terhadap sinar matahari, sinar ultraviolet dan sinar fluoresin
3. Latihan / program rehabilitasi
4. Terapi obat sesuai derajat beratnya penyakit:
a. SLE derajat ringan (manifestasi kulit dan Artritis):
a) Penghilang nyeri seperti paracetamol 3 x 500 mg, bila
diperlukan.
b) Obat anti inflamasi non steroidal (OAINS), sesuai panduan
diagnosis dan pengelolaan nyeri dan inflamasi.
c) Glukokortikoid topikal untuk mengatasi ruam (gunakan
preparat dengan potensi ringan)
d) Klorokuin basa 3,5-4,0 mg/kg BB/hari (150-300 mg/hari) (1
tablet klorokuin 250 mg mengandung 150 mg klorokuin basa)
catatan periksa mata pada saat awal akan pemberian dan
dilanjutkan setiap 3 bulan, sementara hidroksiklorokuin dosis 56,5 mg/kg BB/ hari (200-400 mg/hari) dan periksa mata setiap
6-12 bulan.
e) Kortikosteroid dosis rendah seperti prednison < 10 mg / hari
atau yang setara.
f) Tabir surya: Gunakan tabir surya topikal dengan sun protection
factor sekurang-kurangnya 15 (SPF 15)
b. SLE derajat sedang (nefritis ringan sampai sedang),
trombositopenia (trombosit 20-50 x 103/mm3, serositis mayor):

13

a) Terapi induksi: Metyl prednisolon i.v (0,5-1gr/hari selama 3


hari diikuti oleh AZA (2 mg/kgBB/hr) atau MMF (2-3 gr/hari)
+ Kortikosteroid 0,5-0,6 mg/kg/hr selama 4-6 minggu
Dilanjutkan dengan:
b) Terapi pemeliharaan: AZA (1-2 mg/kg BB/hr) atau MMF (1-2
gr/hr) + KS(diturunkan sampai dosis 0,125 mg/kg/hr
c. SLE derajat berat (nefritis berat kls IV, III+V, IV+V atau III-V
dengan gangguan fungsi ginjal), trombositopenia refrakter berat <
20 x 103, anemia hemolitik refrakter berat, keterlibatan paru-paru
(hemoragik), NPSLE (serebritis,mielitis), vaskulitis abdomen:
a) Terapi Induksi : Metylprednisolon 0,5-1 gr/hr selama 3 hari +
cyclophospamide i.v (0,5-0,7 gr/m2/bln x 7 dosis), bila respon
penuh dilanjutkan dengan terapi pemeliharaan dengan
Azathioprin (1-2 mg/kgBB/hari) atau MMF (2-3 gr/hari)
ditambah KS dosis diturunkan sampai 0,125 mg/kgBB/hr
selang sehari. Bila respon sebagian dilanjutkan dengan terapi
pemeliharaan dengan Cyclophospamid i.v 0,5-0,75 gr/m2/3 bln
selama satu tahun, bila tidak respon maka dilanjutkan dengan
terapi Rituximab atau Inhibitor calcineurin (cyclosporine) atau
Ig i.v.
12. Tempat Pelayanan
13. Penyulit
14. Informed Consent
15. Tenaga Standar
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.

Lama Perawatan
Masa Pemulihan
Hasil
Patologi
Otopsi
Prognosis
Tindak Lanjut
Tingkat Evidens &
Rekomendasi
24. Indikator Medis
25. Edukasi
26. Kepustakaan

Sesuai derajat beratnya aktifitas penyakit


1. SLE dengan manifestasi berat dan mengancam nyawa
2. Komplikasi SLE
Tertulis
Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan Dokter Spesialis Penyakit Dalam
Konsultan Reumatologi
Sesuai derajat beratnya aktifitas penyakit
Sesuai derajat beratnya aktifitas penyakit
Sesuai derajat beratnya aktifitas penyakit
Tidak diperlukan
Tidak diperlukan
Sesuai derajat beratnya aktifitas penyakit
Kontrol ke poliklinik
II A
Sledai skor (menilai aktivitas penyakit Lupus)
Perawatan teratur, hindari paparan matahari langsung, hindari stres, hindari
infeksi
Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia untuk Diagnosis dan
Pengelolaan Lupus Eritematosis Sistemik tahun 2011

14

PANDUAN PRAKTEK KLINIS


SMF ILMU PENYAKIT DALAM
ANAFILAKSIS / SYOK ANAFILAKSIS
2014
RSUP SANGLAH
DENPASAR
1.
2.
3.

4.

No. ICD 10
Diagnosis
Pengertian

Anamnesis

T782
Anafilaksis / Syok Anafilaksis
Anafilaksis merupakan reaksi hipersensitivitas sistemik, akut dan
mengancam nyawa yang dimediasi oleh IgE (IgE-mediated) akibat
pelepasan mediator oleh sel mast, basofil.
Syok anafilaksis keadaan anafilaksis yang ditandai dengan (hipotensi)
penurunan tekanan darah sistolik <90 mmHg akibat respons
hipersensitivitas tipe I (adanya reaksi antigen dengan antibodi Ig E).
1. Reaksi sistemik ringan:
Rasa geli / gatal serta hangat, rasa penuh di mulut tenggorokan, hidung
tersumbat dan terjadi edema di sekitar mata, kulit gatal, mata berair,
bersin-bersin, onset biasanya 2 jam setelah paparan antigen.
2. Reaksi sistemik sedang:
Spasme bronkus dan atau edema saluran napas, sesak, batuk, mengi,
angioedema, urtikaria menyeluruh, mual, muntah, gatal, badan terasa
hangat, gelisah, onset seperti reaksi anafilaktik ringan.
3. Reaksi anafilaksis berat:

5.

Pemeriksaan Fisik

6.

Kriteria Diagnosis

Terjadi mendadak, spasme bronkus, edema laring, suara serak, stridor,


sesak nafas, sianosis, henti napas. Edema dan hipermotilitas saluran
cerna sehingga sakit menelan, kejang perut, diare dan muntah. Kejang
uterus, kejang umum. Gangguan kardiovaskular, aritmia jantung, koma.
Adanya angioedema, urtikaria, sesak nafas, mengi, edema laring, suara
serak, stridor, sianosis, henti napas. Edema dan hipermotilitas saluran cerna
sehingga sakit menelan, kejang perut, diare dan muntah. Kejang uterus,
kejang umum. Gangguan kardiovaskular, aritmia jantung, koma. Bila
terjadi syok terdapat penurunan tekanan darah sistolik < 90 mmHg atau
penurunan lebih dari 30% dari tekanan darah sebelumnya.
Diagnosis anafilaksis berdasarkan kriteria Sampson HA ( JACI 2006);
1.

Onset akut (dalam hitungan menit sampai beberapa jam) dengan


melibatkan jaringan kulit dan mukosa, atau keduanya (pruritus
generalisata, flushing, sembab bibir, lidah dan ovula).
Dan minimal salah satu yang berikut:
a. Keluhan

sistem

respirasi

(sesak

nafas,

wheezing,

stridor,

15

hipoksemia)
b. Penurunan tekanan darah, kolaps, sinkope, inkontinensia.
2.

Dua atau lebih dari gejala gambaran klinis berikut yang terjadi segera
paska paparan:
a. Keterlibatan jaringan kulit dan mukosa (pruritus generalisata,
flushing, urtika, sembab bibir, lidah dan ovula).
b. Keterlibatan sistem respirasi (sesak nafas, wheezing, stridor,
hipoksemia).
c. Penurunan tekanan darah, kolaps, sinkope, inkontinensia.
d. Gejala gastrointestinal (mual, muntah, kram perut).

3.

7.
8.
9.
10.
11.

Penurunan tekanan darah segera paska paparan: tekanan darah sistolik <
90 mmHg atau penurunan lebih dari 30% dari tekanan darah
sebelumnya.

Diagnosis Banding
Pemeriksaan Penunjang
Konsultasi
Perawatan Rumah Sakit
Terapi / tindakan

Syok Kardiogenik, Syok hipovolemik


Darah rutin, ureum, kreatinin, elektrolit, analisis gas darah, EKG, IgE total
Intensivist, Kardiologi
Ruang intensif / semi intensif
1. Oksigen

(ICD 9-CM)

2. Adrenalin (epinephrine) lar 1 : 1000 dosis 0,3 0,5 ml i.m. Ulangi 1015 menit (bila tidak ada perbaikan)
3. Antihistamin 10-20 mg i.m / i.v pelan
4. Tambahan:
a. Cairan kristaloid untuk replacement
b. Kortikosteroid
a) Metil prednisolon 125-250 mg i.v
b) Dexametason 20 mg i.v
c) Hidrokortison 100-500 mg i.m / i.v plan
dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan (lebih rendah)
c. Inhalasi agonis -2 kerja pendek bila ada bronkospasme

12. Tempat Pelayanan


13. Penyulit

d. Vasopressor (dopamine, dobutamine) dengan dosis titrasi


RSUP Sanglah Denpasar
1. Umur; umumnya umur tua memberikan prognosis lebih buruk
2. Alergen; obat-obatan lebih sering memberikan prognosis lebih buruk
3. Atopi
4. CVD (Cardiovascular Disease)
5. PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik)
6. Asma bronkial
7. Gangguan kesimbangan asam basa dan elektrolit
8. Obat-obatan (beta-blocker, ACE-inhibitor)
9. Waktu pemberian adrenalin dari saat paparan.

16

14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.

Informed Consent
Tenaga Standar
Lama Perawatan
Masa Pemulihan
Hasil
Patologi
Otopsi
Prognosis
Tindak Lanjut
Tingkat Evidens &
Rekomendasi

Diperlukan jika akan dikonsulkan ke intensivis dan kardiologis


Dokter umum dan Dokter Spesialis Penyakit Dalam
3 hari
1-3 hari
Bebas keluhan dan hemodinamik stabil
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tergantung organ yang terlibat dan beratnya gejala
Kontrol dan mengikuti saran yang diberikan, menghindari alergen
1. Penggunaan adrenalin (epinephrine) segera diberikan setelah ada
paparan alergen yang dicurigai, maksimal dosis pemberian 3x,
penyesuaian dosis dilakukan pada usia tua dan terdapat kelainan
kardiovaskular.
2. Inhalasi agonis -2 kerja pendek bila ada bronkospasme dan bila
pemberian adrenalin tidak membaik.

24. Indikator Medis


25. Edukasi
26. Kepustakaan

3. Vasopressor (dopamine, dobutamine,nor epinephrine) dengan dosis


titrasi apabila dengan pemberian adrenalin 3x tidak membaik, atau bila
terjadi syok berkepanjangan.
Gejala hilang, perbaikan hemodinamik
Hindari allergen
1. Lieberman PL. Anaphylaxis. In: Allergy principles and practice. 7 th ed.
Mosby 2009; 1027-1049.
2. Dreskin SC. Anaphylaxis. Last update October 7, 2005. Available on:
http//www.emedicine.com
3. Krause SC. Anaphylaxis. Last update March 18, 2004. Available on:
http//www.emedicine.com
4. Adelman DC, Casale TB, Corren J, 2002. Manual of Alergy and
Immunology 4th ed. Lipincott Williams & Wilkins; Philadelphia.
5. Lawlor GJ, Fischer TJ, Adelman DC, 1997. Manual of Allergy and
Immunology 3rd ed. Little, Brown and Company; USA.
6. Tang AW. A Practical to Anaphylaxis. Am Fam Physician 2003: 68:
1325-32.
7. McLean-Tooke APC, Bethune CA, Fay AC, Spickett GP. Adrenaline in
The Treatment of Anaphylaxis: what is the evidence. BMJ 2003;
327:1332-5.
8. Brown SGA. Clinical Features and Severity Grading of Anaphylaxis. J
Allergy Clin Immunol 2004; 114:371-6.
9. Kemp SF, Lockey RF. Anaphylaxis: a Review of Causes and
Mechanism. J Allergy Clin Immunol 2002; 110:341-8.
10. Roitt I. Ypersensitivity Type-I. In: Immunology 4 th ed. Mosby
1996;22.3
11. Djauzi S.Syok anafilaktik. In: Subekti I, Lydia A, Rumende CM, Syam
AF, Suprohaita, Mansjoer A, editors. Penatalaksanaan kedaruratan di
bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Pusat Informasi dan Penerbitan
Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI : 2000.p.97-100

17

12. Mahdi AD. Syok Anafilaktik. In : Setiati S, Alwi I, Maryantoro, Gani


RA, Mansjoer A, editors. Pedoman Diagnosis dan Terapi di bidang
Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian
Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 1999.p. 8-10.

PANDUAN PRAKTEK KLINIS


SMF ILMU PENYAKIT DALAM
ARTRITIS GOUT
2014
RSUP SANGLAH
DENPASAR
1.
2.
3.

No. ICD 10
Diagnosis
Pengertian

4.

Anamnesis

M.10
Artritis Gout
Penyakit yang disebabkan oleh deposisi kristal Monosodium urat (MSU) di
sendi
Gejala klinis Artritis Gout dapat dibagi 3 stadium:
1. Stadium Akut:
Terjadi artritis akut dengan keluhan nyeri sendi akut, yang didahului
adanya faktor pencetus. Faktor pencetus serangan akut antara lain
trauma lokal, diet tinggi purin, kelelahan fisik, stres, tindakan operasi,
obat diuretik, atau penurunan dan peningkatan asam urat. Gejala akut
ini dapat hilang sendiri dalam beberapa hari.
2. Stadium Interkritik (Stadium Interval):
Stadium diantara serangan akut, tanpa adanya keluhan.
3. Stadium Kronis dengan pembentukan topi:

5.

Pemeriksaan Fisik

Terjadi kelainan berupa oligo atau poliartritis, kecacatan sendi,


pembentukan topi, kelainan ginjal. Komplikasi dan kelainan yang
sering bersama gout antara lain kelainan parenkim ginjal (nefropati
urat), batu urat, hipertensi, aterosklerosis jantung dan otak, diabetes
mellitus, dan hiperlipidemia.
Sesuai stadium Artritis Gout:
1. Akut: terdapat pembengkakan sendi, kemerahan, nyeri tekan, teraba
hangat pada sendi monoartikuler, terutama pada sendi
metatarsofalangeal I (Podagra).
2. Interkritik: tidak terdapat keradangan sendi

6.

Kriteria Diagnosis

3. Kronik: oligo atau poliartritis, kecacatan sendi dan pembentukan topus


Berdasarkan kriteria The American Rheumatism Association, Sub Commitee
on Classification Criteria for Gout (1997), yaitu:

a. Terdapat kristal urat pada cairan sendi, dan atau


b. Terdapat kristal urat pada topi yang secara kimiawi atau secara
18

mikroskop cahaya dengan teknik polarisasi dan atau

c. Memenuhi paling sedikit 6 dari 12 kriteria dibawah ini:


1. Peradangan memuncak dalam waktu sehari
2. Serangan artritis akut lebih dari satu kali
3. Artritis monoartikuler
4. Kemerahan sekitar sendi
5. Nyeri atau pembengkakan sendi metatarso-falangeal I
6. Serangan sendi metatarso-falangeal I unilateral
7. Serangan sendi tarsal unilateral
8. Dugaan adanya topi
9. Hiperurikemia
10. Foto sendi terlihat pembengkakan asimetris
11. Foto sendi terlihat kista subkortikal tanpa erosi
7.
8.

Diagnosis Banding
Pemeriksaan Penunjang

12. Kultur cairan sendi tanpa pertumbuhan kuman.


Rematoid atritis
1. Laboratorium:
a. Darah lengkap, LED, leukosit biasanya tidak lebih dari 15.000/mm.
b. Asam urat darah
c. Pemeriksaan lain, seperti fungsi ginjal, gula darah, atau kadar lipid
darah.
d. Pemeriksaan urin rutin, asam urat dalam urin 24 jam dan kreatinin
urin 24
e. Pemeriksaan cairan sendi
Dengan pemeriksaan mikroskop lapangan gelap atau mikroskop
dengan teknik polarisasi terlihat kristal MSU yang runcing. Terjadi
peningkatan jumlah leukosit cairan sendi. Leukosit cairan sendi
biasanya antara 5000 50.000/mm3, dominan neutrofil.
2. Pemeriksaan radiologis: foto sendi yang mengalami kelainan
a. Pada fase awal sering pemeriksaan radiologis dalam batas normal
atau hanya terlihat pembengkakan jaringan lunak sekitar sendi.

9. Konsultasi
10. Perawatan Rumah Sakit
11. Terapi / tindakan
(ICD 9-CM)

b. Pada stadium lanjut terlihat erosi dari tulang (punched out lession).
Kelainan topi dapat terlihat berupa pembengkakan jaringan lunak
yang ireguler dan sering dengan kalsifikasi.
Reumatologi, Nefrologi, Urologi, Gizi
Ya pada stadium akut
1. Edukasi dan diet rendah purine
2. Pengobatan fase akut: kolkisin, Obat Anti Inflamasi Non Steroid
(OAINS), Glukokortikoid dosis rendah
3. Pengobatan fase interkritik: menjaga kadar asam urat tetap dibawah
normal dan mencegah terjadinya eksaserbasi

19

4. Pengobatan fase kronik:

16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.

Pengobatan hiperurikemia: diet rendah purin, obat penghambat Xantin


Oksidase, dan obat urikosurik
Ruang rawat inap untuk fase serangan akut
Artritis gout dengan komplikasi
Tidak diperlukan
Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan Dokter Spesialis Penyakit Dalam
Konsultan Reumatologi
Fase akut 5 hari
5 hari
Baik bila belum terjadi kontraktur sendi
Tidak diperlukan
Tidak diperlukan
Baik
Kontrol poliklinik
1A

25. Edukasi
26. Kepustakaan

Pasien dapat melakukan aktifitas sehari-hari dengan baik (fungsi sendi


baik)
Hindari makanan tinggi purin
Rekomendasi IRA untuk diagnosis dan pengelolaan gout

12.
13.
14.
15.

Tempat Pelayanan
Penyulit
Informed Consent
Tenaga Standar

Lama Perawatan
Masa Pemulihan
Hasil
Patologi
Otopsi
Prognosis
Tindak Lanjut
Tingkat Evidens &
Rekomendasi
24. Indikator Medis

PANDUAN PRAKTEK KLINIS


SMF ILMU PENYAKIT DALAM
DEMAM DENGUE / DEMAM BERDARAH DENGUE
2014
RSUP SANGLAH
DENPASAR
1.
2.

No. ICD 10
Diagnosis

3.

Pengertian

A90 / A91
Demam Dengue (DB) / Demam berdarah dengue (DBD) adalah infeksi
viral akut yang disebabkan oleh virus dengue. Spektrum klinis infeksi virus
dengue bervariasi mulai dari tanpa tanda bahaya (dengue without warning
sign), dengan tanda bahaya (dengue with warning sign) dan infeksi dengue
berat (severe dengue infection). (WHO 2009).
Demam Dengue (DB) / Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit
demam akut yang disebabkan oleh virus Dengue.
Presumtif diagnosis infeksi dengue adalah: demam akut selama 2-7 hari,
tinggal di daerah endemis infeksi dengue atau riwayat bepergian ke daerah

20

endemis dengue. Disertai dua dari gejala:


1. Anoreksia & nausea
2.
Rash (ruam kulit)
3.

Mialgia / artralgia

4.

Ruam kulit

5.

Leukopenia

6.

Manifestasi tanda bahaya infeksi dengue (warning sign)


Tanda bahaya (warning sign):
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.

4.

Anamnesis

Nyeri perut
Muntah persisten
Tanda akumulasi cairan (asites atau efusi pleura)
Pendarahan mukosa
Kelemahan atau gelisah
Pembesaran hati >2 cm
Laboratorium: peningkatan hematokrit disertai penurunan platelet

Demam akut selama 2-7 hari, tinggal di daerah endemis infeksi dengue atau
riwayat bepergian ke daerah endemis dengue. Disertai dua dari gejala:
1. Anoreksia & nausea
2.
Rash (ruam kulit)
3.

Mialgia / artralgia

4.

Ruam kulit

5.

Leukopenia

6.

Manifestasi tanda bahaya infeksi dengue (warning sign)


Tanda bahaya (warning sign):
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.

5.

Pemeriksaan Fisik

Nyeri perut
Muntah persisten
Tanda akumulasi cairan (asites atau efusi pleura)
Pendarahan mukosa
Kelemahan atau gelisah
Pembesaran hati >2 cm
Laboratorium: peningkatan hematokrit disertai penurunan platelet

1. Terdapat satu atau lebih manifestasi perdarahan, seperti uji tourniquet


(tes Rumple Leed) posisi Petekie, purpura, ekimosis, perdarahan
mukosa seperti: epistaksis, perdarahan gusi, hematesis melana,
hematuria, pendarahan per vagina.
2. Dapat ditemukan tanda kebocoran plasma seperti: efusi pleura, asites.
3. Pembesaran hati (hepatomegali)
4. Tanda warning sign seperti:
a. Kebocoran plasma berat ditandai dengan syok, atau akumulasi
cairan disertai distress pernafasan. Syok ditandai dengan; nadi
lemah, cepat dan kecil sampai tidak teraba, tekanan nadi turun
menjadi 20 mmHg atau kurang, kulit teraba dingin dan lembab,
tertutama di daerah akral seperti ujung hidung, jari tangan dan kaki,

21

sianosis di sekitar mulut, ujung jari tangan dan kaki.


b. Pendarahan berat
6.

Kriteria Diagnosis

c. Gangguan organ berat


Kriteria klinis
1. Demam mendadak tinggi terus menerus selama 2-7 hari
2. Terdapat manifestasi perdarahan, seperti uji tourniquet (tes Rumple
Leed) ptekie, purpura, ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi, hematesis
melana, hematuria, pendarahan per vagina.
3. Pembesaran hati (hepatomegali)
4. Tanpa atau dengan gejala-gejala syok, seperti:
a. Nadi lemah, cepat dan kecil sampai tidak teraba
b. Tekanan nadi turun menjadi 20 mmHg atau kurang
c. Kulit teraba dingin dan lembab, tertutama di daerah akral seperti
ujung hidung, jari tangan dan kaki
d. Sianosis di sekitar mulut, ujung jari tangan dan kaki.
Kriteria laboratories:
1. Trombositopenia (trombosit 100.000/mm3 atau kurang)
2. Hemokonsentrasi (adanya peningkatan hematokrit > 20% dibandingkan
standar sesuai dengan umur dan jenis kelamin atau penurunan
hematokrit > 20% setelah mendapat terapi cairan dibandingkan dengan
nilai hematokrit sebelumnya)
3. Pemeriksaan NS-1 positif pada hari ke-2 sampai ke-3 / Serology DHF
positif pada pemeriksaan hari ke-5 atau sesudahnya
Klasifikasi derajat penyakit DBD (WHO 1997):
1. Derajat I: demam tinggi yang disertai gejala klinis yang tidak khas dan
satu-satunya manifestasi perdarahan, adalah uji tourniquet positif.
2. Derajat II: seperti derajat I, tetapi disertai perdarahan spontan di kulit
dan atau perdarahan nyata lain (petekie, perdarahan gusi, perdarahan
hidung hematemesis melana).
3. Derajat III: seperti derajat II yang disertai tanda adanya kegagalan
sirkulasi yaitu: denyut nadi yang cepat dan kecil, tekanan nadi menurun
atau hipotensi, sianosis disekitar mulut, kulit menjadi dingin dan
lembab, penderita tampak gelisah.
4. Derajat IV: sudah terjadi syok (profound shock) dimana nadi tidak
teraba dan tekanan darah tidak terukur.
Klasifikasi derajat penyakit DBD (WHO 2009):
1. Dengue tanpa tanda bahaya (Dengue without Warning Sign)
2. Dengue dengan tanda bahaya (Dengue with Warning Sign):
a. Nyeri perut

22

b. Muntah berkepanjangan
c. Terdapat akumulasi cairan
d. Perdarahan mukosa
e. Letargi, lemah
f.

Pembesaran hati > 2cm

g. Kenaikan hematokrit seiring dengan penurunan jumlah trombosit


yang cepat
3. Dengue Berat (Severe Dengue)

7.

Diagnosis Banding

Sampai saat ini masih digunakan kombinasi kriteria WHO 1997 dan WHO
2009
1. Demam Tifoid
2. Campak
3. Influenza
4. Chikungunya
5. Leptospirosis

8.

Pemeriksaan Penunjang

6. Malaria
1. Leukosit: dapat normal atau menurun. Mulai hari ke-3 dapat ditemui
limfositosis relatif (>45 % dari total leukosit) disertai adanya limfosit
plasma biru (LPB) > 15% total leukosit yang pada fase syok akan
meningkat
2. Trombositopenia (trombosit 100.000/mm3 atau kurang)
3. Hemokonsentrasi (adanya peningkatan hematokrit > 20% dibandingkan
standar sesuai dengan umur dan jenis kelamin atai penurunan
hematokrit > 20% setelah mendapat terapi cairan dibandingkan dengan
nilai hematokrit sebelumnya)
4. Diagnosis pasti didapatkan dari hasil isolasi virus dengue (cell culture)
atau deteksi antigen virus RNA dengue dengan teknik RT-PCR, namun
karena teknik yang rumit, saat ini dilakukan tes serologi yang
mendeteksi adanya antibodi spesifik terhadap dengue berupa NS-1, IgM
maupun IgG anti dengue
5. Hemostasis: dilakukan pemeriksaan PT, APTT, Fibrinogen, D-Dimer,
atau FDP pada keadaan yang dicurigai terjadi perdarahan atau kelainan
pembekuan darah
6. Tanda kebocoran Plasma : Hipoalbuminemia atau hiponatremia
7. SGOT/SGPT : dapat meningkat
8. Ureum, Kreatinin: dapat meningkat pada keadaan gagal ginjal akut.

9. Konsultasi
10. Perawatan Rumah Sakit

9. Pemeriksaan radiologis, foto rontgen dada, dan USG abdomen bila


dicurigai ada tanda-tanda kebocoran plasma
Jika diperlukan konsultasi ke Intensive Care Unit
1. Bila Trombosit < 100.000, dengan atau tanpa perdarahan
2. Tanda-tanda perdarahan spontan yang berat (Pendarahan Mayor)

23

3. Tanda-tanda ancaman syok


4. Tanda-tanda penyulit seperti gagal ginjal, gagal nafas, kejang dan
keadaan yang memerlukan terapi dengan titrasi.
11. Terapi / tindakan

24

12. Tempat Pelayanan


13. Penyulit

Ruangan perawatan, MS, ICU / RTI RSUP Sanglah Denpasar


Syok (DSS)
DIC
ARDS
Ensefalopathy

14. Informed Consent


15. Tenaga Standar
16. Lama Perawatan
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.

Masa Pemulihan
Hasil
Patologi
Otopsi
Prognosis
Tindak Lanjut
Tingkat Evidens &
Rekomendasi
24. Indikator Medis
25. Edukasi
26. Kepustakaan

Myocarditis
Tertulis
Dokter Spesialis Penyakit Dalam, Dokter Spesialis Konsultan Penyakit
Tropik dan infeksi
5-8 hari (bila perawatan dimulai pada hari ke-3 demam) dan tanpa penyulit
serta ko-morbid
1 minggu
Baik
Tidak diperlukan
Tidak diperlukan
Dubius ad bonam bila tidak ada komplikasi dan penyakit Ko-morbid
Kontrol ke poliklinik
1A
Keadaaan umum membaik, keluhan pasien menghilang, Kadar trombosit
meningkat, hematokrit membaik.
Tentang prognosis pasien
1. World Health Organization. DENGUE Guidelines for diagnosis,
treatment, prevention and control. New Edition 2009
2. World Health Organization. DENGUE Guidelines for diagnosis,
treatment, prevention and control. New Edition 1997
3. Pedoman Tatalaksana Klinis Infeksi Dengue di Sarana Pelayanan
Kesehatan, 2005

PANDUAN PRAKTEK KLINIS


SMF ILMU PENYAKIT DALAM
DEMAM TIFOID
2014
RSUP SANGLAH
DENPASAR
1.
2.
3.

No. ICD 10
Diagnosis
Pengertian

A01.0
Demam Tifoid
Demam tifoid (typhoid fever) adalah infeksi sistemik akut yang disebabkan
oleh Salmonella typhi. Infeksi golongan salmonella bisa juga disebabkan

25

oleh strain Salmonella paratyphi A, B dan C (disebut demam paratifoid,


bersama dengan demam tifoid digolongkan sebagai enteric fever) atau
Salmonella non-typhi (disebut sebagai non-typhoidal salmonellosis)
4.

Anamnesis

Keluhan dan gejala Demam Tifoid pada minggu pertama tidak khas.
Perjalanan penyakit bervariasi dari gejala seperti flu ringan sampai tampilan
sakit berat dan fatal yang mengenai banyak sistem organ. Secara klinis
gambaran penyakit Demam Tifoid berupa demam berkepanjangan,
gangguan fungsi usus, dan keluhan susunan saraf pusat.
1. Panas lebih dari 5 hari, biasanya mulai dengan sumer yang makin hari
makin meninggi terutama sore dan malam hari (step ladder pattern)
pada minggu pertama. Pada minggu ke-2 panas tinggi terjadi terus
menerus. Dapat disertai batuk kering, rasa nyeri kepala, anoreksia dan
malaise.
2. Gejala gastrointestinal dapat berupa abdominal tenderness, obstipasi,
diare, mual, muntah, dan kembung

5.

Pemeriksaan Fisik

3. Gejala saraf sentral berupa delirium, apatis, somnolen, sopor, bahkan


sampai koma pada akhir minggu II III demam.
1. Panas badan meningkat dengan pola anak tangga (step ladder pattern)
pada minggu pertama, continuous fever pada minggu kedua.
2. Bradikardi relatif dan dicrotic pulse (minggu kedua demam)
3. Typhoid tongue (lidah kotor dengan tepi hiperemi dan tremor).
4. Penurunan kesadaran (delirium, apatis, somnolen, sopor atau koma)
pada akhir minggu kedua atau minggu ketiga demam
5. Rose spot pada daerah dada dan abdomen pada minggu kedua demam
6. Pembesaran hati (hepatomegaly) dan atau limpa (splenomegaly)

6.

Kriteria Diagnosis

7. Tanda komplikasi perforasi abdomen


Kriteria klinis:
1. Demam selama lebih dari 5 hari
2. Gejala gangguan gastrointestinal (berupa abdominal tenderness,
obstipasi, diare, mual, muntah, kembung, hepatomegali, splenomegali,
tanda perforasi abdomen)
3. Gejala saraf sentral berupa delirium, apatis, somnolen, sopor, bahkan
sampai koma (akhir minggu II III demam)
Kriteria laboratoris:
1. Diagnosa pasti: Kultur darah (media kultur 10% aqueus oxgall) dan
sekresi intestinal berupa muntahan atau aspirasi duodenum (minggu I),
kultur aspirasi sumsum tulang (minggu I & II), kultur tinja (minggu II),
kultur kemih (minggu III).
2. Tes serologi spesifik: IgM anti Salmonella typhi, tes Widal (titer tunggal

26

S.typhi O >1/320 atau peningkatan titer > 4x)

7.

Diagnosis Banding

3. Non-spesifik: Leukopenia dengan limfopenia relatif, monositosis


anemia, thrombositopenia dan peningkaran laju endap darah.
Peningkatan serum transaminase dan bilirubin (hepatitis tifosa)
1. Demam Dengue / Demam Berdarah Dengue
2. Malaria
3. Gastroenteritis
4. Hepatitis virus akut
5. Akut abdomen karena etiologi lain (appendicitis, abdominal abses,
abses hati)
6. Tuberkulosis

8.

Pemeriksaan Penunjang

7. Toxoplasmosis
1. Leukosit dapat menurun atau normal dengan limfopenia relatif,
monositosis, anemia, thrombositopenia dan peningkaran laju endap
darah. Peningkatan serum transaminase dan bilirubin (hepatitis tifosa).
Pemeriksaan PT, APTT, Fibrinogen, D-Dimer, atau FDP bila dicurigai
DIC, Elektrolit (Natrium dan Kalium), Lipase dan amylase (komplikasi
pancreatitis)
2. Tes serologi spesifik: IgM anti Salmonella typhi, tes Widal (titer tunggal
S.typhi O >1/320 atau peningkatan titer > 4x)
3. Diagnosa pasti: Kultur darah (media kultur 10% aqueus oxgall) dan
sekresi intestinal berupa muntahan atau aspirasi duodenum (minggu I),
kultur aspirasi sumsum tulang (minggu I & II), kultur tinja (minggu II),
kultur kemih (minggu III).

9. Konsultasi
10. Perawatan Rumah Sakit

4. Pencitraan: Foto abdomen tiga posisi (kecurigaan perforasi), USG


abdomen, Foto rontgen dada (Kecurigaan pneumonitis), CT-scan kepala
(gangguan kesadaran)
Jika diperlukan konsultasi ke Bedah Digestif , Neurologi
1. Demam tifoid klinis
2. Demam tifoid dengan kedaruratan
3. Demam tifoid dengan komplikasi

11. Terapi / tindakan

4. Demam tifoid dengan konfirmasi


Tatalaksana Umum:

(ICD 9-CM)

1. Tirah baring selama masih demam


2. Hidrasi adekuat
3. Diet TKTP rendah serat
4. Kompres hangat bila demam, antipiretik bila t >38,2C
5. Upaya pencegahan dekubitus
6. Monitoring cairan masuk & cairan keluar, gejala perforasi (kembung,
perburukan / nyeri abdomen akut, berak darah)
Medikamentosa:

27

1. Antibiotik:
a. Fluoroquinolon (7 hari): Ciprofloxacin (2x400 mg i.v atau 2x500
mg i.o); Ofloxacin (2x200 400 mg i.o); Levofloxacin (1x500 mg
i.v atau i.o). Tidak dianjurkan pada usia < 18 tahun
b. Cephalosporin generasi III (5-7 hari ): Ceftriaxone (2 4 gram/hari
i.v)
c. Cefixime 2x100 mg i.o (10 hari)
d. Macrolide (7 hari): Azithromycin (1x500 mg i.o)
e. Chloramphenicol (14 hari) dosis 50-100 mg/kgBB. Tidak diberikan
bila leukosit < 2000/uL, lakukan monitoring leukosit setiap 5 hari
f.

Tiamphenicol (14 hari) 4x500 mg i.o

g. Penicillin (14 hari): Amoxicillin (2x2 gram i.v) atau Ampicillin


(4x1-2 gram i.v)
h. Co-trimoxazole (2x960 mg i.o) selama 14 hari
i.

Ditambah dengan Metronidazole (20 mg/kgBB i.v) bila terjadi


perforasi

2. Terapi lain:
a. Hindari pemberian laxantia, lavament dan salisilat
b. Antiemetik dan antipiretik bila diperlukan
c. Pembedahan bila terjadi perforasi
Follow Up:
1. Observasi berkala hasil terapi
2. Evaluasi kemungkinan penyebab lain demam
3. Evaluasi kemungkinan komplikasi
4. Bila panas badan turun sebelum hari ketiga terapi antibiotik (golongan
fluoroquinolon, cephalosporin, macrolide) atau hari kelima (golongan
chloramphenicol, penicillin, co-trimoxazole): terapi dilanjutkan
5. Bila panas badan belum turun setelah hari ketiga, namun puncak
demam menurun dengan antibiotik (golongan fluoroquinolon,
cephalosporin, macrolide) atau hari kelima (golongan chloramphenicol,
penicillin, co-trimoxazole): terapi dilanjutkan
6. Bila tidak terjadi perbaikan klinis pertimbangkan: adanya infeksi
campuran, resistensi obat atau terjadi infeksi nosokomial
12. Tempat Pelayanan
13. Penyulit

Ruangan perawatan, MS, ICU / RTI RSUP Sanglah Denpasar


1. Perdarahan usus
2. Perforasi abdomen, peritonitis
3. Ensefalopathy typhoid (typhoid toxic)
4. Syok
5. Hepatitis typhosa
6. Pancreatitis

28

7. Myocarditis, endokarditis, perikarditis


8. Pneumonia
9. Cholecystitis
10. Abses
11. DIC
14. Informed Consent
15. Tenaga Standar
16. Lama Perawatan
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.

Masa Pemulihan
Hasil
Patologi
Otopsi
Prognosis
Tindak Lanjut
Tingkat Evidens &
Rekomendasi
24. Indikator Medis
25. Edukasi
26. Kepustakaan

12. Arthritis
Tertulis
Dokter Spesialis Penyakit Dalam, Dokter Spesialis Konsultan Penyakit
Tropik dan Infeksi
5 hari (bila perawatan menggunakan antibiotik golongan Fluoroquinolon,
cephalosporin atau macrolide) dan tanpa penyulit serta ko-morbid
2 minggu
Baik
Bila terjadi komplikasi
Tidak diperlukan
Dubius ad bonam bila tidak ada komplikasi dan penyakit Ko-mobid
Kontrol ke poliklinik
1A
Keadaaan umum membaik, keluhan pasien menghilang, bebas panas dan
tanpa antipiretik > 24 jam
Tentang penyakit, tata laksana, komplikasi, prognosis pasien dan cara
pencegahan penularan
1. World Health Organization. Backgrounddocument: the diagnosis,
treatment and prevention of typhoid fever.2003
2. Keputusan Menteri Kesehatan (KMK) No. 364/MENKES/SK/V/2006
tentang Pedoman Pengendalian Demam Tifoid. 2006

PANDUAN PRAKTEK KLINIS


SMF ILMU PENYAKIT DALAM
SEPSIS
2014
RSUP SANGLAH
DENPASAR
1.
2.
3.

No. ICD 10
Diagnosis
Pengertian

4.
5.

Anamnesis
Pemeriksaan Fisik

R65.20
Sepsis
Merupakan sindrom respon inflamasi sistemik (SIRS) yang disebabkan oleh
infeksi.
Demam, hipotermi, takikardi, sesak nafas
1. Sesuai dengan lokasi infeksi
29

2. Suhu badan >38C atau <36C


3. Frekuensi denyut jantung > 90 x/menit
4. Frekuensi pernafasan > 24 x/menit atau PaCO2 < 32

6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.

Kriteria Diagnosis
Diagnosis Banding
Pemeriksaan Penunjang
Konsultasi
Perawatan Rumah Sakit
Terapi / tindakan
(ICD 9-CM)
Tempat Pelayanan
Penyulit
Informed Consent
Tenaga Standar
Lama Perawatan
Masa Pemulihan
Hasil
Patologi
Otopsi
Prognosis
Tindak Lanjut
Tingkat Evidens &
Rekomendasi
Indikator Medis
Edukasi
Kepustakaan

5. Hitung leukosit > 12.000/mm3 atau <4.000/mm3, atau adanya >10%


batang
SIRS + fokus infeksi
DL, kimia darah, kultur darah, kultur dari organ infeksi
Sesuai dengan lokasi organ
Ruang intensif
Suportif Antibiotika + motropil (bila syok septik)
Ruang Intensif RSUP Sanglah Denpasar
Syok Septik
Diperlukan
Internist, Intensivist
1-2 minggu
3-5 hari
Klinis membaik
Sesuai lokasi infeksi
Tidak diperlukan
Dubius ad malam
Konsul intensifis
IIA
Kesadaran membaik, sesak berkurang, demam berkurang
Hindari infeksi
Panduan Pelayanan Medik, PB PAPDI 2001

PANDUAN PRAKTEK KLINIS


SMF ILMU PENYAKIT DALAM
SIROSIS HATI
2014
RSUP SANGLAH
DENPASAR
1.
2.
3.

No. ICD 10
Diagnosis
Pengertian

K74.6
Sirosis Hati
Merupakan penyakit hati menahun yang difus ditandai dengan adanya
nekrosis, pembentukan jaringan ikat disertai nodul

30

4.
5.

Anamnesis
Pemeriksaan Fisik

6.

Kriteria Diagnosis

7.

Diagnosis Banding

8.

Pemeriksaan Penunjang

9. Konsultasi
10. Perawatan Rumah Sakit

11. Terapi / tindakan


(ICD 9-CM)
12. Tempat Pelayanan
13. Penyulit
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.

Informed Consent
Tenaga Standar
Lama Perawatan
Masa Pemulihan
Hasil
Patologi
Otopsi
Prognosis
Tindak Lanjut
Tingkat Evidens &
Rekomendasi
24. Indikator Medis
25. Edukasi
26. Kepustakaan

Lemah, perut membesar, muntah darah, bengkak pada kaki


Ikterus, spider angioma, ginekomasti, ascites, kolateral, eritema palmaris,
caput medusa, hemorrhoid interna, atropi testis, spleenomegali, rambut
pubis dan ketiak rontok
Secara klinis didapatkan tanda-tanda seperti adanya varises esophagus,
splenomegali, (dan / atau perubahan darah tepi yang sesuai dengan
hipersplenisme), asites, hepatosplenomegali, muscle wasting, perubahan
dermovaskuler seperti spider angioma, pada pemeriksaan ultrasonografi
didapatkan tanda seperti adanya nodulasi pada parenkim hati, asites,
splenomegali, atau perubahan vaskuler akibat sirosis
1. Dekompensasi kordis
2. Sindrom Nefrotik Koma Uremikun
3. Koma diabetikus
4. Malnutrisi
5. Stroke
Laboratorium rutin, LFT, gula darah, elektrolit, Bun / SC, petanda virus,
USG Abdomen, Endoskopi saluran cerna bagian atas.
Ke Dokter Spesialis lain yang terkait
Penderita compensated dapat rawat jalan,
indikasi dirawat bila ada: ikterus, asites permagna, hematemesis melena,
ensefalopatihepatic, skleroterapi dan operasi shunting.
Terapi meliputi: roburansia, diet seimbang (tergantung kondisi klinis),
terapikomplikasi
Ruang perawatan Penyakit Dalam
Perdarahan
varices,
syok,
ensefalopati
hepatic,
Bacterial Peritonitis , tumor hati
Lisan
Spesialis Penyakit Dalam Divisi Gastro entero hepatologi
Sampai indikasi perawatan menghilang, sekitar 1 bulan
Sirosis Hati merupakan Long Life Disease
Compensated
Tidak perlu
Tidak perlu
Dubius ad malam
Kontrol poliklinik gastroenterohepatologi
2a/ B

Spontaneus

Perbaikan dari komplikasi yang terjadi


Minum obat dan control secara teratur
Panduan Pelayanan Medik Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam
Indonesia, 2006

31

PANDUAN PRAKTEK KLINIS


SMF ILMU PENYAKIT DALAM
PANKREATITIS AKUT
2014
RSUP SANGLAH
DENPASAR
1.
2.
3.

No. ICD 10
Diagnosis
Pengertian

4.

Anamnesis

5.

Pemeriksaan Fisik

6.

Kriteria Diagnosis

K.85
Pankreatitis Akut
Peradangan akut pada kelenjar pankreas yang dapat pula melibatkan
jaringan peripankreas dan atau disfungsi sistem organ lain.
Nyeri abdomen akut yang hebat dan konstan di daerah epigastrium atau
kanan atas atau kiri atas atau seluruh perut bagian atas, dapat menjalar ke
punggung, disertai muntah, diperburuk oleh masuknya makanan dan
kadang demam. Nyeri berkurang dengan posisi membungkuk dan
bertambah dalam posisi terlentang.
Nyeri tekan di daerah epigastrium. Pemeriksaan fisik yang lain tergantung
tingkat keparahan penyakit. Pada pankreatitis akut ringan dapat ditemukan
nyeri tekan di abdomen atas, tanda Cullen (periumbilikus) dan tanda GreyTurner (pinggang).
1. Klinis dengan nyeri perut yang khas di daerah epigastrium
2. Peningkatan enzyme amylase dan atau lipase serum 3 kali batas atas
normal
3. Temuan khas pankreatitis akut pada pemeriksaan USG atau CT scan

7.

Diagnosis Banding

8.

Pemeriksaan Penunjang

9. Konsultasi
10. Perawatan Rumah Sakit
11. Terapi / tindakan
(ICD 9-CM)

Jika 2 dari 3 kriteria diatas terpenuhi, diagnosis dapat ditegakkan.


Perforasi ulkus peptikum, kolangitis akut, kolesistitis akut, apendisitis akut,
infark miokard akut inferior.
DPL, amylase serum, lipase serum, gula darah, kalsium serum, LDH serum,
fungsi ginjal, SGOT / SGPT, AGD, elektrolit.
Bedah Digestif, ICU
Dirawat
1. Non farmakologis:
Puasa dan nutrisi parenteral total sampai amylase / lipase serum normal
atau mendekati normal, dan pada selang nasogastric cairan < 300 cc,
dan pasien tidak merasakan nyeri ulu hati.
2. Farmakologis:
a. Analgetik dan sedatif, infuse cairan, pasang selang lambung
b. Antibiotik profilaksis (bila ada tanda infeksi)
c. Anti sekresi (PPI, somatostatin / octreotide)
3. Terapi etiologi

12. Tempat Pelayanan

4. Terapi komplikasi.
Ruang terapi intensif (pada yang berat) RSUP Sanglah Denpasar
32

13. Penyulit

14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.

Informed Consent
Tenaga Standar
Lama Perawatan
Masa Pemulihan
Hasil
Patologi
Otopsi
Prognosis

22. Tindak Lanjut


23. Tingkat Evidens &
Rekomendasi

24. Indikator Medis


25. Edukasi
26. Kepustakaan

Pseudokista pankreas, abses pankreas, peradangan hemoragik, nekrosis


organ sekitar, pembentukan fistel, ulkus duodenum, ikterus obstruktif,
ascites, sepsis, multi organ failure.
Perlu
Dokter Spesialis Penyakit Dalam Konsultan Gastroentero-hepatologi
7 hari
7 hari
Tidak nyeri, Amilase normal
Tidak diperlukan
Tidak diperlukan
1. Pankreatitis akut ringan: dubia ad bonam
2. Pankreatitis akut berat: dubia ad malam
Kontrol sesuai saran yang diberikan
1. Puasa dan nutrisi parenteral total (tingkat evidens IVC)
2. Analgetik dan sedatif, infus cairan, pasang selang lambung (tingkat
evidens IVC)
3. Antibiotik profilaksis (bila ada tanda infeksi) (tingkat evidens IB)
4. Antisekresi (PPI, somatostatin/octreotide) (tingkat evidens IVC)
Tidak nyeri, Amilase normal, semua komplikasi yang timbul dapat
ditangani dengan baik.
Menghindari faktor risiko sehingga tidak berulang.
1. Panduan Pelayanan Medik Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit
Dalam Indonesia, 2006
2. Konsensus Nasional Penatalaksanaan Pankreatitis Akut di Indonesia
Perkumpulan Gastroenterology Indonesia, 2011
3. www.Uptodate.com

PANDUAN PRAKTEK KLINIS


SMF ILMU PENYAKIT DALAM
KRISIS HIPERTENSI
2014
RSUP SANGLAH
DENPASAR
1.
2.
3.

No. ICD 10
Diagnosis
Pengertian

Krisis Hipertensi
Suatu keadaan peningkatan tekanan darah yang mendadak (sistole > 180
mmHg dan atau diastole > 120 mmHg)
Klasifikasi krisis hipertensi:
1. Hipertensi emergensi: kenaikan tekanan darah mendadak yang disertai
kerusakan organ target yang progresif. Pada keadaan ini diperlukan

33

tindakan penurunan tekanan darah yang segera dalam kurun waktu


menit/jam.

4.

5.

Anamnesis

Pemeriksaan Fisik

2. Hipertensi urgen: kenaikan tekanan darah mendadak yang tidak disertai


kerusakan organ target. Penurunan tekanan darah harus dilaksanakan
dalam kurun waktu 24-48 jam.
1. Riwayat hipertensi (awal hipertensi, jenis obat anti hipertensi,
keteraturan konsumsi obat)
2. Gangguan organ (kardiovaskular, serebrovaskular, renovaskular dan
organ lain)
1. Pengukuran tekanan darah di kedua lengan
2. Palpasi denyut nadi di keempat ekstremitas
3. Auskultasi untuk mendengar ada / tidak bruit pembuluh darah besar,
bising jantung dan ronkhi paru.
4. Pemeriksaan neurologis umum.

6.

Kriteria Diagnosis

7.
8.

Diagnosis Banding
Pemeriksaan Penunjang

5. Pemeriksaan funduskopi.
Tekanan darah > 180/120 mmHg perlu diperhatikan kecepatan kenaikan
tekanan darah tersebut dan derajat gangguan organ target yang terjadi.
1. Urinalisis
2. Hemoglobin, Hematokrit, gula darah dan elektrolit
3. EKG
4. Foto Thoraks

9. Konsultasi
10. Perawatan Rumah Sakit
11. Terapi / tindakan
(ICD 9-CM)

5. Pemeriksaan lain bila memungkinkan: CT scan kepala, Ekokardiografi,


USG
Neurologi, Mata, Kardiologi
ICU
1. Penanggulangan hipertensi emergensi harus dilakukan di rumah sakit
dengan fasilitas dan pemantauan yang memadai.
2. Pengobatan parenteral (Clonidin / Diltiazem / Nicardipin, Nitrosin)
diberikan secara bolus dalam hitungan menit sampai jam dengan
langkah sebagai berikut:
a. 5 menit-120 menit pertama tekanan darah rata-rata (Mean Arterial
Blood Pressure) diturunkan 20-25%
b. 2-6 jam kemudian tekanan darah diturunkan sampai 160/100
mmHg.
c. 6-24 jam berikutnya diturunkan sampai < 140/90 mmHg bila tidak
ada gejala iskemi organ.
d. Clonidin / Catapres i.v (150 mcg/ampul) 900 mcg dimasukkan
dalam cairan infuse D5% 500 cc dan diberikan dengan mikrodrip
12 tetes/menit. Setiap 15 menit dapat dinaikkan 4 tetes sampai
tekanan darah yang diharapkan tercapai. Bila tekanan darah
tercapai, pasien diobservasi selama 4 jam kemudian diganti dengan
34

Clonidin tablet oral sesuai kebutuhan.


e. Diltiazem (Herbesser) i.v (10 mg dan 50 mg/ampul)
Diltiazem 10 mg i.v diberikan dalam 1-3 menit kemudian
dilanjutkan dengan infus 50 mg/jam selama 20 menit. Bila tekanan
darah telah turun > 20% dari awal, dosis diberikan 30 mg/menit
sampai target tercapai. Diteruskan dengan dosis 5-10 mg/jam
dengan observasi 4 jam kemudian diganti dengan tablet oral.
f.

12. Tempat Pelayanan


13. Penyulit

14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.

Informed Consent
Tenaga Standar
Lama Perawatan
Masa Pemulihan
Hasil
Patologi
Otopsi
Prognosis
Tindak Lanjut
Tingkat Evidens &
Rekomendasi

24. Indikator Medis


25. Edukasi

Nicardipin (Perdipin) i.v (2 mg dan 10 mg/ampul)

Nicardipin diberikan 10-30 mcg/kgBB bolus. Bila tekanan darah


tetap stabil diteruskan 0,5-6 mcg/kgBB/menit sampai tekanan darah
tercapai.
RSUP Sanglah Denpasar
Infark serebral (24,5%), encefalopati (16,3%), perdarahan intraserebral /
subarkhnoid (4,5%), gagal jantung akut / edema paru (36,8%), infark
miokard akut atau angina pectoris tidak stabil (12%), diseksi aorta (2%),
eklampsia (4-5%), gangguan ginjal (1%)
Diperlukan
Spesialis Penyakit Dalam / Konsultan Ginjal Hipertensi
Sesuai penyakit dasar dan komplikasi yang terjadi
Sesuai penyakit dasar dan komplikasi yang terjadi
Tidak ada keluhan, tekanan darah terkontrol sesuai target < 140/90 mmHg
Tidak diperlukan
Tidak diperlukan
Dubia ad bonam
Kontrol poliklinik Penyakit Dalam
Tidak ada keluhan, tekanan darah tercapai < 140/90 mmHg
1. Berhenti merokok
2. Hindari stress
3. Olah raga teratur
4. Diet rendah garam, rendah lemak, hindari alkohol

26. Kepustakaan

5. Kontrol dan minum obat anti hipertensi secara teratur.


Krisis Hipertensi. Perhimpunan Hipertensi Indonesia (InaSH) Jakarta, 2008.

PANDUAN PRAKTEK KLINIS


SMF ILMU PENYAKIT DALAM
HIPERKALEMIA
2014
RSUP SANGLAH

35

DENPASAR
1.
2.
3.
4.
5.

No. ICD 10
Diagnosis
Pengertian
Anamnesis
Pemeriksaan Fisik

6.

Kriteria Diagnosis

7.
8.
9.
10.
11.

Diagnosis Banding
Pemeriksaan Penunjang
Konsultasi
Perawatan Rumah Sakit
Terapi / tindakan
(ICD 9-CM)

E 87.5
Hiperkalemia
Kadar Kalium plasma lebih dari 5 mEq/L
Bisa tanpa gejala, berdebar, lemah otot, dapat terjadi sesak nafas.
Frekuensi nafas meningkat dengan perubahan pola nafas (cepat dan dangkal
bila disertai asidosis metabolik), gangguan irama jantung, penurunan tonus
otot sampai dengan paralisis.
Kadar kalium palasma lebih dari 5 mEq/L, perubahan gambaran EKG
berupa peninggian gelombang T (tall T), pemanjangan interval PR dan
QRS, mendatar sampai hilangnya gelombang P, irama idioventrikular
sampai fibrilasi ventrikel.
Pseudohiperkalemia
Kalium plasma, EKG
Spesialis Penyakit Dalam Divisi Nefrologi
Rawat inap ruang akut.
1. Pemberian kalsium glukonat 10 ml melalui intravena dalam waktu 2-3
menit dengan monitor EKG. Bila perubahan EKG akibat hiperkalemia
masih ada, pemberian kalsium glukonat dapat diulang setelah 5 menit.
Bila kadar kalium lebih dari 6,4 mEq/L dan EKG dengan gambaran tall
T, dapat dipertimbangkan pemberian kalsium glukonat dengan infus
kontinyu.
2. Insulin-Glukosa. Insulin 10 unit dalam glukosa 40%, 50 ml bolus
intravena, diikuti dengan infus glukosa 10% 75 ml/jam untuk mencegah
hipoglikemi.
3. Pemberian natrium bikarbonat dianjurkan bila kadar pH kurang adri 7,2
4. Pemberian2-agonis melalui nebulizer dengan dosis 10-20 mg dalam 4
ml larutan salin.
5. Bila fungsi ginjal adekuat, dapat diberikan obat untuk diuresis yaitu
furosemide dan tiasid.
6. Pemberian resin penukar untuk mengeluarkan kalium lewat feses.
Dapat diberikan per oral atau suposituria.

12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.

Tempat Pelayanan
Penyulit
Informed Consent
Tenaga Standar
Lama Perawatan
Masa Pemulihan
Hasil
Patologi
Otopsi

7. Hemodialisis emergensi bila kadar kalium 6,5 mEq/L


RSUP Sanglah Denpasar
Asidosis metabolik, oedem paru uremik
Diperlukan
Spesialis Penyakit Dalam
Sesuai penyakit dasar
Sesuai penyakit dasar
Penurunan kadar kalium kurang dari 5 mEq/L
Tidak diperlukan
Tidak diperlukan
36

21. Prognosis
22. Tindak Lanjut
23. Tingkat Evidens &
Rekomendasi
24. Indikator Medis
25. Edukasi
26. Kepustakaan

Dubius ad bonam
Penatalaksanaan penyakit dasar yang menyebabkan hiperkalemia
IIA
Kadar kalium normal (3,5-5 mEq/L)
Hindari buah yang mengandung tinggi kalium
1. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid 1, Edisi IV, hal 138
2. Comprehensive Clinical Nephrology, 4th edition, p 125-129
3. Current Diagnosis & Treatment Nephrology & Hypertension, p 39-41.

PANDUAN PRAKTEK KLINIS


SMF ILMU PENYAKIT DALAM
UROSEPSIS
2014
RSUP SANGLAH
DENPASAR
1.
2.
3.
4.

No. ICD 10
Diagnosis
Pengertian
Anamnesis

5.
6.
7.

Pemeriksaan Fisik
Kriteria Diagnosis
Diagnosis Banding

8.

Pemeriksaan Penunjang

9. Konsultasi
10. Perawatan Rumah Sakit
11. Terapi / tindakan
(ICD 9-CM)

Urosepsis
Infeksi saluran kemih berat dengan manifestasi respon inflamasi sistemik.
Nyeri pinggang, riwayat batu dan atau infeksi saluran kemih terkomplikasi,
panas.
Nyeri ketok angulus costoverte
Infeksi saluran kemih terkomplikasi
1. SIRS (Systemic Inflammation Responses Syndrome)
2. Peritonitis, abses retroperitoneal
Darah lengkap, urinalisis, kultur urine, USG ginjal / urologi, foto polos
abdomen.
Bagian Urologi
Rawat Inap
1. Antibiotik parenteral / sesuai dengan kultur urine
2. Kalau perlu tindakan urologi

12. Tempat Pelayanan


13. Penyulit

3. Drainage urine atau pus.


Bangsal Penyakit Dalam RSUP Sanglah Denpasar
1. Gagal Ginjal Akut

14. Informed Consent

2. Septic Shock
Ya

37

15. Tenaga Standar

1. Spesialis Penyakit Dalam

16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.

2. Ahli Bedah Urologi


7-10 hari
5 hari sampai hilangnya tanda dan gejala ISK
Urinalisis normal
Tidak diperlukan
Tidak diperlukan
Dubia ad bonam
Monitor urinalisis, darah lengkap
Level 1

Lama Perawatan
Masa Pemulihan
Hasil
Patologi
Otopsi
Prognosis
Tindak Lanjut
Tingkat Evidens &
Rekomendasi
24. Indikator Medis
25. Edukasi
26. Kepustakaan

Eritrosit uria dan leukosit uria berkurang


Periksa urine berkala
Comprehensive Clinical Nephrology, 4th edition, p 125-129
Current Diagnosis & Treatment Nephrology & Hypertension, p 39-41.

PANDUAN PRAKTEK KLINIS


SMF ILMU PENYAKIT DALAM
SINDROM DELIRIUM (ACUTE CONFUSION STATE)
2014
RSUP SANGLAH
DENPASAR
1.
2.
3.

No. ICD 10
Diagnosis
Pengertian

4.

Anamnesis

5.

Pemeriksaan Fisik

6.

Kriteria Diagnosis

F05
Sindrom Delirium (Acute Confusion State)
Penurunan kesadaran (disorientasi dan confusion) yang terjadi dengan onset
yang cepat dan intensitas yang fluktuatif
Terjadi perubahan atau penurunan kesadaran yang mendadak, pada pasien
geriatri yang menderita penyakit dasar yang berat seperti infeksi, penyakit
jantung, ataupun pada pasien yang mengalami kelainan organik di otak.
Ditemukan penurunan kesadaran (GCS), disertai tanda dan gejala penyakit
dasar, seperti febris, penurunan tekanan darah, dan gejala lain yang sesuai
dengan penyakit dasar pasien.
CAM (Confusion Assessment Method for Delirium):
1. Onset akut dan perjalanan yang fluktuatif
2. Inatensi
3. Pikiran yang tidak terorganisir
4. Perubahan tingkat kesadaran
(Diagnosis ditegakkan apabila ditemukan kriteria 1 dan 2, ditambah 3 atau

38

7.
8.

Diagnosis Banding
Pemeriksaan Penunjang

9. Konsultasi
10. Perawatan Rumah Sakit
11. Terapi / tindakan
(ICD 9-CM)

12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.

Tempat Pelayanan
Penyulit
Informed Consent
Tenaga Standar
Lama Perawatan
Masa Pemulihan
Hasil

Patologi
Otopsi
Prognosis
Tindak Lanjut
Tingkat Evidens &
Rekomendasi
24. Indikator Medis
25. Edukasi
26. Kepustakaan

4)
Demensia, Psikosis
DL, BUN, SC, GDS, SGOT, SGPT, UL, Natrium, Rontgen Thorax, CT
Scan Kepala
Konsultasi dengan divisi atau departemen sesuai bidang keilmuan
Ruang akut geriatri
Perawatan sesuai penyakit dasar, perawatan penunjang untuk pasien dengan
penurunan kesadaran: kebutuhan nutrisi dan cairan, positioning, dan
perawatan suportif lainnya. Pada sindrom delirium dengan gejala utama
gaduh gelisah dapat diberikan haloperidol 0,5-1 mg (untuk tipe gaduh
gelisah)
Ruang rawat akut Geriatri di RSUP Sanglah Denpasar
Pneumonia aspirasi, ulkus dekubitus, dan komplikasi akibat penyakit dasar.
Diperlukan
Dokter Spesialis Ilmu penyakit Dalam, Konsultan Geriatri
1-2 minggu
1 minggu
Perbaikan kesadaran, dan parameter pemeriksaan fisik dan penunjang lain
dalam batas normal.
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Dubius ad malam
Perawatan pasca delirium dan perawatan di rumah oleh caregiver
Haloperidol mulai dosis kecil (0,5 mg sd 1 mg) untuk sindrom delirium
dengan keluhan gaduh gelisah: Randomised Clinical Trial (IA)
GCS: E4V5M6
Melakukan perawatan pasca delirium, mengedukasi pasien dan caregiver
Marcantonio ER, Fearing MA, Inouye SK. 2009. Delirium. In: Halter JB,
Ouslander JG, Tinetti ME, Studenski S, High KP, Asthana S. Hazzards
Geriatric Medicine and Gerontology. 6th eds. New York: Mc Graw
Hill.p.647-658.

39

Anda mungkin juga menyukai