PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Gagal ginjal akut (GGA) adalah sindroma klinis dimana terjadi penurunan fungsi ginjal
mendadak dengan akibat hilangnya kemampuan ginjal untuk mempertahankan homeostasis
tubuh. Akibatnya terjadi peningkatan metabolit persenyawaan nitrogen seperti ureum,
kreatinin dan gangguan keseimbangan cairan, elektrolit, dan asam basa.1-4
Kejadian GGA pada anak yang dirawat di rumah sakit semakin meningkat. GGA terjadi
pada 2-3% anak yang dirawat di pediatric tertiary care centers dan 3-10% dari bayi yang
dirawat di Neonatal Intensive Care Units (NICU).1,3,5 Penelitian pada neonatus menyatakan
insidens GGA berkisar dari 8% hingga 24% dari bayi baru lahir. Insidensi GGA pada bayi
baru lahir di negara berkembang yaitu sebesar 3.9/1000 kelahiran hidup dan 34.5/1000
neonatus yang dirawat di bagian perinatologi.2
Di Indonesia, angka kejadian GGA juga cenderung meningkat. Bila menggunakan
kriteria kebutuhan terapi pengganti ginjal (renal replacement theraphy), angka kejadian GGA
di Pediatric Intensive Care Unit (PICU) kurang dari 1-2%, tetapi apabila menggunakan
kriteria peningkatan kadar kreatinin serum dua kali lipat, maka jumlah meningkat menjadi 1-
21%. GGA cenderung meningkatkan lama rawat di PICU maupun di rumah sakit, dan
dilaporkan memiliki angka kematian sampai 46% pada anak dalam kondisi sakit kritis, atau
4-5 kali lebih tinggi risiko kematiannya. Angka kejadian GGA pada anak juga mengalami
pergeseran etiologi dari yang dahulu terutama disebabkan oleh penyakit ginjal primer, saat ini
lebih banyak disebabkan berbagai penyakit lain di luar ginjal, misalnya sepsis, serta dapat
pula timbul sebagai komplikasi tindakan seperti pada pasien operasi bypass kardiopulmonal.4
Dari berbagai alasan dan penjelasan inilah, penulis ingin mengangkat topik GGA pada
anak mulai dari definisi hingga tatalaksana.
1.2. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk mempelajari definisi, etiologi,
pathogenesis, diagnosis dan tatalaksana GGA pada anak.
1
2.1. Definisi
Gagal Ginjal Akut (GGA) adalah sindroma klinis dimana terjadi penurunan fungsi ginjal
mendadak dengan akibat hilangnya kemampuan ginjal untuk mempertahankan homeostasis
tubuh. Akibatnya terjadi peningkatan metabolit persenyawaan nitrogen seperti ureum,
kreatinin dan gangguan keseimbangan cairan, elektrolit, dan asam basa.1-4
2.2. Epidemiologi
Terdapat peningkatan insidensi GGA pada anak yang dirawat di rumah sakit. Penyebab
tersering terjadinya GGA pada anak yang dirawat di rumah sakit terletak pada tindakan post-
bedah jantung dan pada anak yang menjalani transplantasi stem cell. GGA pada pasien
tersebut sering terjadi karena berbagai faktor, dimana cedera iskemik/hipoksia dan
nefrotoksik disebut sebagai kontributor tersering dalam menyebabkan GGA.2
Kejadian GGA pada anak yang dirawat di rumah sakit semakin meningkat. GGA terjadi
pada 2-3% anak yang dirawat di pediatric tertiary care centers dan 3-10% dari bayi yang
dirawat di NICU.1,3,5
GGA karena hipoksia/iskemik dan nefrotoxic-induced merupakan penyebab yang sering
pada pasien neonatus, anak, dan remaja. Penelitian pada pasien pediatrik pada rumah sakit
tersier, 227 pasien menjalani dialisis dalam interval 8 tahun untuk keseluruhan insidensi yaitu
sebesar 0.8 per 100.000 dari total populasi.2
Insidensi GGA berkisar dari 8% hingga 24% dari bayi baru lahir, dan GGA sering
ditemukan pada neonatus yang menjalani pembedahan jantung. Neonatus dengan asfiksia
berat memiliki tingkat insidensi GGA yang tinggi, sedangkan neonatus dengan asfiksia
sedang lebih jarang menderita GGA. Insidensi GGA pada bayi baru lahir di negara
berkembang yaitu sebesar 3.9/1000 kelahiran hidup dan 34.5/1000 neonatus yang dirawat di
bagian perinatologi. Beberapa penelitian menunjukan bahwa, sebagai tambahan dari faktor
lingkungan, mungkin terdapat faktor risiko genetik untuk terjadinya GGA pada neonatus dan
anak.2
Di Indonesia, angka kejadian GGA juga cenderung meningkat. Bila menggunakan
kriteria kebutuhan terapi pengganti ginjal (renal replacement theraphy), angka kejadian GGA
di PICU kurang dari 1-2%, tetapi apabila menggunakan kriteria peningkatan kadar kreatinin
serum dua kali lipat, maka jumlah meningkat menjadi 1-21%. GGA cenderung meningkatkan
lama rawat di PICU maupun di rumah sakit, dan dilaporkan memiliki angka kematian sampai
46% pada anak dalam kondisi sakit kritis, atau 4-5 kali lebih tinggi risiko kematiannya.
Angka kejadian GGA pada anak juga mengalami pergeseran etiologi dari yang dahulu
2
terutama disebabkan oleh penyakit ginjal primer, saat ini lebih banyak disebabkan berbagai
penyakit lain di luar ginjal, misalnya sepsis, serta dapat pula timbul sebagai komplikasi
tindakan seperti pada pasien operasi bypass kardiopulmonal.4
Jika ginjal dibagi dua dari atas ke bawah, dua daerah utama yang dapat digambarkan
yaitu korteks di bagian luar dan medula di bagian dalam. Medula ginjal terbagi menjadi
beberapa massa jaringan berbentuk kerucut yang disebut piramida ginjal. Dasar dari setiap
piramida dimulai dari perbatasan antara korteks dan medula serta diakhiri pada papila, yang
menonjol ke dalam ruang pelvis ginjal, yaitu sambungan berbentuk cerobong dari ujung akhir
ureter. Perbatasan pelvis sebelah luar terbagi menjadi kantong dengan ujung terbuka yang
disebut kalises mayor, yang meluas ke bawah dan terbagi menjadi kalises minor, yang
mengumpulkan urin dari tubulus setiap papila. Dinding kalises, pelvis, dan ureter terdiri dari
elemen-elemen kontraktil yang mendorong urin menuju kandung kemih.6
3
2.3.2. Suplai Darah Ginjal
Aliran darah yang menuju kedua ginjal normalnya sekitar 22% dari kardiak output,
atau 1100 ml/menit. Arteri renalis memasuki ginjal melalui hilum dan kemudian bercabang
secara progresif untuk membentuk arteri interlobaris, arteri arkuata, arteri interlobular
(disebut juga arteri radialis) dan arteriol aferen, yang membentuk kapiler glomerulus, dimana
sejumlah besar cairan dan larutan (kecuali protein plasma) disaring sebagai awal
pembentukan urin (Gambar 2). Ujung kapiler-kapiler distal masing-masing glomerulus
bersatu membentuk arteriol eferen, yang mana membentuk jaringan kapiler ke-dua, kapiler
peritubular, yang mengelilingi tubulus renalis.6
Sirkulasi ginjal mempunyai dua capillary beds, glomerulus dan kapiler-kapiler
peritubular, yang tersusun berkelompok dan terpisah oleh arteriol eferen, yang membantu
pengaturan tekanan hidrostatik pada keduanya. Tekanan hidrostatik yang tinggi pada kapiler
gromerulus (sekitar 60 mm Hg) menyebabkan filtrasi cairan yang cepat, sedangkan tekanan
hidrostatik yang lebih rendah pada kapiler peritubular (sekitar 13 mm Hg) memungkinkan
reabsorpsi cairan yang cepat. Dengan menyesuaikan resistansi dari arteriol-arteriol aferen
dan eferen, ginjal bisa mengatur tekanan hidrostatik pada glomerulus dan kapiler peritubular,
dengan cara demikian mengubah laju filtrasi glomerulus, reabsorpsi tubulus, atau keduanya
sebagai respon tuntutan homeostatik tubuh. Kapiler-kapiler peritubular mengosongkan
pembuluh-pembuluh darah sistem vena, yang mana berjalan paralel menuju pembuluh
arteriol dan secara progresif membentuk vena interlobularis, vena arkuata, vena interlobar,
dan vena renalis, yang mana meninggalkan ginjal bersanding dengan arteri renalis dan
ureter.6
4
Gambar 2. Pembuluh darah utama yang menyuplai aliran darah ginjal dan bagan dari
mikrosirkulasi nefron6
Masing-masing ginjal pada manusia mempunyai sekitar 1 juta nefron, yang mampu
membentuk urin. Ginjal tidak mampu meregenerasi nefron baru. Oleh sebab itu, dengan
cedera ginjal, penyakit, atau proses penuaan normal, terjadi penurunan perlahan-lahan jumlah
nefron. Setelah usia 40 tahun, jumlah nefron yang berfungsi biasanya menurun sekitar 10%
setiap 10 tahun; dengan demikian, saat usia 80 tahun, banyak orang mempunyai 40% lebih
sedikit jumlah nefron yang berfungsi daripada saat usia mereka 40 tahun. Kehilangan ini
bukanlah suatu ancaman kehidupan karena perubahan yang adaptif pada nefron yang tersisa
memungkinkan mereka mengekskresikan jumlah air, elektrolit, dan hasil limbah yang cukup.6
Masing-masing nefron mempunyai (1) kapiler glomerulus yang disebut glomerulus,
melalui ini sejumlah besar cairan difiltrasi dari darah, dan, (2) sepanjang tubulus dimana
cairan yang telah difiltrasi dikonversi menjadi urin menuju pelvis ginjal (Gambar 3).6
5
Gambar 3. Segmen tubulus dasar nefron6
6
memiliki sifat vasokonstriktor ringan. Renin menetap dalam darah selama 30 menit sampai 1
jam dan terus menyebabkan pembentukan angiotensin I selama sepanjang waktu tersebut.6,7
Dalam beberapa detik sampai menit setelah pembentukan angiotensin I, dua asam
amino tambahan dipecah dari angiotensin I untuk membentuk angiotensin II peptide asam
amino-8. Perubahan ini hampir seluruhnya terjadi di paru-paru sewaktu darah mengalir
melalui pembuluh kecil pada paru-paru, yang dikatalisis oleh Angiotensin Converting
Enzyme yang terdapat di endotelium pembuluh paru.6,7
Angiotensin II merupakan vasokonstriktor yang sangat kuat dan juga mempengaruhi
fungsi sirkulasi. Angiotensin II hanya menetap di dalam darah hanya selama1 atau 2 menit
karena angiotensin II secara cepat akan diinaktivasi oleh berbagai enzim darah dan jaringan
secara bersama-sama disebut angiotensinase.6,7
Selama angiotensin II ada di dalam darah, maka angiotensin II mempunyai dua
pengaruh utama yang dapat meningkatkan tekanan arteri. Pengaruh pertama yaitu
vasokonstriksi timbul dengan cepat terutama di arteriol dan sedikit lebih lemah pada vena.
Konstriksi pada arteriol meningkatkan resistensi perifer total, berakibat pada peningkatan
tekanan arteri. Angiotensin II merangsang korteks adrenal untuk mensekresikan hormon
aldosteron, yang merangsang reabsorbsi Na+ oleh ginjal. Retensi Na+ menimbulkan efek
osmotik yang menahan lebih banyak H2O di cairan ekstrasel. 6,7
7
Gambar 4. Mekanisme Renin-Angiotensin-vasokonstriktor untuk pengaturan tekanan arteri6
2.4. Etiologi
Penyebab gagal ginjal akut secara garis besar dibagi menjadi 3 bagian, yaitu prerenal,
renal, dan postrenal.1
1. Prerenal
Penyebab prerenal pada anak adalah menurunnya tekanan arteri efektif dengan akibat
perfusi ginjal menurun. Penyebab hipoperfusi ginjal adalah :
a. Hipovolemia karena perdarahan atau dehidrasi.
b. Penurunan volume vaskular efektif yang dapat terjadi pada :
i. Sepsis akibat vasodilatasi
ii. Luka bakar, trauma akibat pengumpulan cairan di ruang ketiga
iii. Sindrom nefrotik akibat hipoalbuminemia dan edema yang hebat
c. Penurunan curah jantung akibat gagal jantung, kardiomiopati, pascabedah jantung
2. Renal
GGA renal atau disebut renal intrinsik dapat disebabkan karena beberapa keadaan,
yaitu :
a. Glomerulonefriris
i. Pasca infeksi/ Pasca Streptokok
ii. Lupus eritematosa
iii. Henoch-Schonlein purpura
iv. Membranoproliferative
v. Anti-glomerular basement membrane
b. Sindrom hemolitik uremik
c. Nekrosis tubular akut
8
d. Nekrosis kortikal
e. Trombosis arteri/vena renalis
f. Rabdomiolisis
g. Nefritis interstisial akut
h. Infiltasi tumor
i. Sindrom lisis tumor
3. Post renal
Penyebab GGA post renal adalah uropati obstruktif yang bisa terjadi karena:
a. Kelainan kongenital, yaitu katup uretra posterior; obstruksi ureter bilateral pada
hubungan ureterovesika atau ureteropelvis
b. Ureterocele
c. Tumor
d. Urolitiasis
e. Sistitis hemoragik
f. Neurogenic bladder
9
2.5. Patogenesis
GGA dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori, yaitu prerenal, renal dan post renal.
Klasifikasi ini berperan dalam patogenesis terjadinya GGA.
10
sedangkan konsentrasi natrium urin tinggi (>20 mmol/L) dan fraksi ekskresi natrium juga
tinggi (>1 %). Pemeriksaan ini dapat digunakan untuk membedakan apakah pasien GGA
prerenal yang terjadi sudah menjadi renal. GGA renal terjadi bila hipoperfusi pada GGA
prerenal tidak cepat ditanggulangi, sehingga terjadi kerusakan parenkim ginjal.1,4
11
Tabel 3. Daftar obat yang bersifat nefrotoksik
12
Drug class/drug(s) Pathophysiologic mechanism of renal injury
Carmustine (Gliadel), semustine Chronic interstitial nephritis
(investigational)
Cisplatin (Platinol) Chronic interstitial nephritis, tubular cell toxicity
Interferon-alfa (Intron A) Glomerulonephritis
Methotrexate Crystal nephropathy
Mitomycin-C (Mutamycin) Thrombotic microangiopathy
Contrast dye Tubular cell toxicity
Diuretics
Loops, thiazides Acute interstitial nephritis
Triamterene (Dyrenium) Crystal nephropathy
Drugs of abuse
Cocaine, heroin, ketamine (Ketalar), Rhabdomyolysis
methadone, methamphetamine
Herbals
Chinese herbals with aristocholic acid Chronic interstitial nephritis
Proton pump inhibitors
Lansoprazole (Prevacid), omeprazole Acute interstitial nephritis
(Prilosec), pantoprazole (Protonix)
Others
Allopurinol (Zyloprim) Acute interstitial nephritis
Gold therapy Glomerulonephritis
Haloperidol (Haldol) Rhabdomyolysis
Pamidronate (Aredia) Glomerulonephritis
Phenytoin (Dilantin) Acute interstitial nephritis
Quinine (Qualaquin) Thrombotic microangiopathy
Ranitidine (Zantac) Acute interstitial nephritis
Zoledronate (Zometa) Tubular cell toxicity
13
f. Gangguan aliran darah renal (siklosporin, takrolimus, inhibitor ACE, agen
radiokontras)
Pemeriksaan patologi yang khas pada NTA adalah nekrosis sel tubulus, namun
perubahan histologis yang signifikan biasanya tidak ditemukan pada pasien dengan gejala
klinis NTA. Mekanisme kerusakan pada NTA meliputi perubahan hemodinamik intrarenal,
obstruksi tubulus, dan passive backleak filtrat glomerulus dari sel tubulus ke dalam kapiler
peritubulus.1
2.5.2.2 Kelainan Vaskuler
Kelainan vaskuler sebagai penyebab GGA dapat berupa trombosis atau vaskulitis.
Trombosis arteri dan vena renalis dapat terjadi pada neonatus yang mengalami kateterisasi a.
umbilikalis, diabetes mellitus maternal, asfiksia, dan kelainan jantung bawaan sianotik. Pada
anak besar kelainan vaskular yang menyebabkan GGA ditemukan pada pasien sindrom
hemolitik uremik (SHU). Pada SHU terjadi kerusakan sel endotel glomerulus yang
mengakibatkan terjadinya deposisi trombus trombosit-fibrin. Selanjutnya terjadi konsumsi
trombosit, kerusakan eritrosit yang melewati jaringan-jaringan fibrin, dan obliterasi kapiler
glomerulus. Kelaian ini disebut mikroangiopati.
Kelaian vaskuler lainnya yang menyebabkan GGA renal adalah vaskulitis. Kelainan
patologi di glomerolus disebut sebagai glomerulitis eksudatif dan seringkali disertai
pembentukan kresen. Penurunan LFG disebabkan oleh beberapa hal, yaitu penurunan aliran
darah ginjal oleh karena peningkatan resistensi akibat kerusakan pembuluh darah dan
penurunan permukaan filtrasi.
15
kondisi kongenital seperti katup uretra posterior, dan obstruksi hubungan ureteropelvis
bilateral, merupakan penyebab utama dari GGA post renal. Bila obstruksi terjadi di daerah
ureter, baik pada hubungan uteropelvis maupun uterovesika, harus bersifat bilateral, kecuali
pada ginjal soliter. Penyebab yang didapat seperti urolitiasis, tumor (lesi intraabdominal atau
traktur urinarius), sistitis hemoragik, dan neurogenic bladder, dapat menyebabkan GGA pada
anak dan remaja. Bila obstruksi diatasi biasanya fungsi ginjal akan kembali normal, kecuali
pada pasien dengan displasia renal atau obstruksi traktus urinarius berkepanjangan.1,2,5
2.6. Kriteria diagnostik
Tabel 4. Pediatric-Modified RIFLE (pRIFLE) Criteria1,5
Kriteria LFG Kriteria Output Urin (OU)
RISK Penurunan eCCl 25% OU < 0,5 ml/kg/jam
(selama 8 jam)
16
2.7. Diagnosis
2.7.1 Anamnesis
Anamnesa yang teliti merupakan hal penting untuk menentukan penyebab GGA.
Seorang bayi dengan riwayat muntah dan diare selama 3 hari kemungkinan besar mengalami
GGA prerenal karena penurunan volume. Kasus lainnya pada anak usia 6 tahun dengan
riwayat faringitis disertai dengan edema periorbital, hipertensi dan gross hematuria
kemungkinan besar mengalami GGA renal terkait dengan glomerulonefritis akut pasca
infeksi. Pada anak yang sakit berat dengan riwayat konsumsi obat-obatan yang nefrotoksik
akan cenderung mengalami NTA.1,5 Neonatus dengan riwayat hidronefrosis pada USG
prenatal dan kandung kemih yang teraba akan mengarah kepada obstruksi traktus urinarius
kongenital.1
Yang penting dalam anamnesis pada penderita GGA yaitu :
a) Membedakan antara GGA dengan GGK eksaserbasi akut. Riwayat gejala yang
berlangsung kronik berupa fatique, berat badan turun, anoreksia, nokturia, dan
pruritus.
b) Muntah, diare dan demam mendukung kearah dehidrasi dan prerenal azotemia. Tetapi
gejala ini dapat juga merupakan perkembangan dari sindrom hemolitik uremik atau
trombosis vena renalis.
c) Urin seperti air cucian daging atau cola dengan riwayat infeksi kulit atau tenggorokan
mendukung ke arah glomerulonefritis.
d) Ada riwayat pajanan obat dan zat kimia.
e) Riwayat menkonsumsi jengkol beberapa hari sebelumnya.
f) Riwayat tumor intra abdomen, infeksi saluran kemih, atau buang air kecil
berpasir/keluar batu membantu kecurigaan GGA post renal.
g) Penderita dengan penyakit hipertensi, gagal jantung kongestif, diabetes, myeloma,
infeksi kronik, penyakit mieloproliferatif memiliki resiko lebih besar untuk terjadinya
GGA.
17
Massa dapat teraba pada thrombosis vena renal, penyakit kistik atau obstruksi traktus
urinarius.1
Pemeriksaan fisik yang perlu diperhatikan yaitu :
a) Sistem saraf pusat: kejang, penurunan kesadaran.
b) Kulit: petekie, purpura, ekimosis mengarah pada suatu penyakit inflamasi dan
vascular, penyakit infeksi, DIC atau fenomena emboli.
c) Mata: perubahan pada retina dapat terjadi pada hipertensi berat atau penyakit
ateroemboli; pada nefritis interstisial dan necrotizing vasculitis dapat disertai uveitis
d) Sistem kardiovaskuler: denyut nadi, tekana darah, tekana vena jugularis, pemeriksaan
jantung dan paru, turgor kulit dan mukosa untuk menilai dehidrasi, serta penilaian
edema perifer.
e) Abdomen: adanya tumor intra abdomen mendukung kecurigaan GGA post renal
akibat tumor. Retensi urin dengan vesika urinaria yang teraba membesar
menunjukkan adanya sumbatan dibawah vesika urinaria katup uretra posterior.
2) Indeks urin dapat membedakan GGA prerenal dan renal. Pada GGA prerenal fungsi
reabsorbsi tubulus masih baik sehingga masih bisa menyerap natrium dan air sehingga
didapat urinnya yang pekat. BJ tinggi (>1.020) dan osmolalitas tinggi (>500
mOsm/kg), dan natrium urin renda (UNa <20 mEq/L), dan fraksi eksresi sodium <1%
(<2,5% pada neonatus). Sedangkan pada AKI renal karena sudah terjadi gangguan
fungsi reabsorpsi tubulus dalam pemekatan urin maka didapatkan BJ urin rendah
(<1.010), osmolalitas urin rendah (<350 mOsm/Kg), natrium urin tinggi (UNa > 40
mEq/L), dan fraksi eksresi natrium >2% (>10% pada neonatus).1,3
19
k = 0.55 pada anak dan dewasa muda wanita
k = 0.70 pada dewasa muda pria
Perubahan serum kreatinin menggambarkan perubahan LFG. Perubahan
dari kreatinin serum berkolerasi dengan perubahan LFG dengan gambaran
sebagai berikut :
Kreatinin 1,0 mg/dl – LFG normal
Kreatinin 2,0 mg/dl – penurunan LFG 50%
Kreatinin 4,0 mg/dl – penurunan LFG 70-85%
Kreatinin 8,0 mg/dl – penurunan LFG 90-95%
5) Pemeriksaan pencitraan
20
a) USG renal dapat menunjukkan adanya hidronefrosis dan/atau hidroureter yang
mengarah pada obstruksi traktus urinarius.
b) USG Doppler : untuk menilai aliran darah ginjal sehingga dapat membantu
menegakkan diagnosis adanya tromboemboli atau penyakit renovaskuler.
c) Foto thoraks : untuk menilai adanya kardiomegali, kongesti paru dan efusi pleura
sebagai tanda kelebihan cairan.1
6) Biopsi ginjal
Biopsi renal dibutuhkan untuk membedakan penyebab pasti dari GGA pada pasien
yang tidak jelas mengalami GGA prerenal atau post renal. Biopsi renal juga dilakukan
pada keadaan khusus yaitu bila dicurigai adanya glomerulonefritis progresif cepat
atau nefritis interstisial. 1
7) Biomarker GGA
Berikut adalah biomarker yang dapat digunakan untuk mendeteksi GGA secara dini:
5,9
21
2.8. Tatalaksana GGA
Pada dasarnya, tatalaksana GGA sangat ditentukan oleh penyebab GGA.
2.8.1. Tatalaksana konservatif
Pada bayi dan anak dengan obstruksi traktus urinarius, seperti neonatus dengan suspek
katup uretra posterior, segera dilakukan pemasangan kateter urin untuk memastikan drainase
yang adekuat. Pemasangan kateter juga perlu dipertimbangkan pada anak dan remaja untuk
memantau output urin selama GGA.1
Penentuan status volume merupakan hal yang penting saat evaluasi awal pasien dengan
GGA. Bila tidak ditemukan adanya tanda overload cairan maka volume intravaskular harus
diperluas dengan memberikan larutan isotonik saline atau ringer laktat 20 ml/kg selama 30
menit, dan dapat diulangi dua kali bila perlu. Setelah resusitasi volume, pasien hipovolemik
akan BAK dalam 2 jam, bila hal ini tidak terjadi mengindikasikan adanya GGA renal atau
post renal. Hipotensi yang disebabkan oleh sepsis memerlukan resusitasi cairan agresif diikuti
dengan infus norepinefrin.1,4,5
Terapi diuretik perlu dipertimbangkan setelah volume sirkulasi efektif sudah optimal
dan pasien tidak dehidrasi. Furosemide (2-4 mg/kg) dan mannitol (0.5 g/kg) dapat diberikan
sebagai dosis tunggal intravena. Furosemide dapat meningkatkan aliran urin sehingga
mengurangi obstruksi intratubular, selain itu furosemide juga menghambat Na+ K+ ATPase
sehingga membatasi konsumsi oksigen dan menurunkan kebutuhan energi pada tubulus yang
telah rusak dengan suplai oksigen yang rendah. 2,4,5,10 Manitol bekerja dengan meningkatkan
translokasi cairan ke intravaskular.10 Bumetanide (0.1 mg/kg) dapat digunakan sebagai
22
alternatif furosemide. Bila output urin tidak meningkat, infus diuretik secara kontinu dapat
diberikan.1 Pemberian diuretik dapat mengubah GGA oliguria menjadi non-oliguria, tetapi
tidak ada bukti bahwa perubahan ini dapat memperbaiki prognosis.4
Untuk meningkatan perfusi renal, klinisi dapat menambahkan dopamin “dosis renal” (2-
3µg/kg/min) sebagai tambahan terapi diuretik. 1,2,5 Dopamin bekerja melalui efek vasodilatasi
pembuluh darah ginjal dan menghambat Na+K+ ATPase dengan efek akhir peningkatan
aliran darah ginjal, LFG dan natriuresis (meningkatkan output urin).2,5,10,11
Bila pasien oligouria tidak merespon dengan terapi diuretik, makan diuretik harus
dihentikan dan dilakukan restriksi cairan. Pemberian cairan pada pasien dengan volume
intravaskular yang normal sebaiknya dibatasi dengan memberikan 300-400 ml/m 2/24 jam
(insensible loss) ditambah dengan sejumlah cairan yang sama dengan output urin hari
tersebut. Kehilangan cairan ekstrarenal (darah dan saluran cerna) harus digantikan milliliter
untuk militier. Intake cairan, output urin dan feses, berat badan dan kimia serum sebaiknya
dipantau setiap hari. 1,5
Pada GGA, terjadinya hiperkalemi (kalium serum >6mEq/L) dapat menyebabkan
aritmia jantung, henti jantung, dan kematian. Tanda awal yang ditemukan pada EKG adalah
gelombang T tinggi, yang kemudian diikuti dengan pelebaran interval QRS, depresi segmen
ST, aritmia ventrikel dan henti jantung. 1,3 Prosedur untuk mengurasi kalium serum harus
dimulai saat nilai kalium >6.0 mEq/L. Sumber kalium eksogen (makanan, cairan intravena,
total parenteral nutrition) harus segera dihentikan. Sodium polystyrene sulfonate resin
(Kayexalate), 1g/kg, diberikan per oral atau dengan retensi enema. Dosis tunggal 1g/kg
diharapkan dapat menurunkan kalium sebesar 1 mEq/L. Terapi resin dapat diulang setiap 2
jam, dan frekuensi dibatasi oleh risiko overload natrium. 1,3
Peningkatan kalium yang lebih berat (>7 mEq/L), terutama bila disertai dengan
perubahan EKG, membutuhkan terapi emergensi sebagai tambahan terapi resin. Agen berikut
dapat diberikan: 1,4
Kalsium glukonat 10%, 1 ml/kg, selama 3-5 menit
Natrium bikarbonat, 1-2 mEq/kg/dosis IV, selama 5-10 menit
Regular insulin, 0.1 unit/kg, dengan larutan glukosan 50%, 1ml/kg, selama 1 jam
Inhalasi ß2 agonis yaitu albuterol/sabutamol
Asidosis metabolik ringan umum ditemui pada GGA karena adanya retensi ion
hydrogen, fosfat, dan sulfat, namun jarang membutuhkan terapi. Bila asidosis berat (pH arteri
23
<7.15; bikarbonat serum <8 mEq/L) atau berkontribusi terhadap hiperkalemia, maka terapi
dibutuhkan. Asidosis metabolik dapat dikoreksi degan natrium bikarbonat dengan rumus:
Berat badan x ekses basa x 0,3 (mEq)
Koreksi dapat dilakukan dengan pemberian bikarbonat intravena hingga pH arteri mencapai
pH mencapai 7.20, kemudian ditambahkan dengan pemberian natrium bikarbonat per oral
setelah normalisasi kalsium dan fosforus serum. 1,4 Data ekses basa didapatkan dari
pemeriksaan analisis gas darah, dan bila pemeriksaan ini tidak dapat diakukan makan natrium
bikarbonat diberikan 2-3 mEq/kg.4
Hiperfosfatemia ditatalaksana dengan restriksi fosfat dari diet dan pemberian pengikat
fosfat, yaitu kalsium karbonat 50 mg/kg/hari yang diberikan bersamaan dengan saat makan.
Hipokalsemia diatasi dengan menurunkan kadar fosfor pada serum. Pasien diedukasi untuk
mengomsumsi diet rendah fosfor dan pemberian phosphate-binders secara oral untuk
mengikat fosfat dan meningkatkan eksresi fosfat saluran cerna.1 Phosphate-binders yang
dapat diberikan antara lain adalah sevelamer, kalsium karbonat, kalsium glukonat dan
kalsium asetat.1,10 Hipokalsemia harus segera dikoreksi bila terdapat tetani, yaitu dengan
kalsium glukonas 10% 0.5 ml/kg IV dalam 5 – 10 menit, dilanjutkan dengan dosis rumatan 1-
4 gram/hari.4
Hiponatremia paling sering disebabkan oleh gangguan dilusional, sehingga lebih baik
dikoreksi dengan restriksi cairan dibandingkan dengan pemberian natrium klorida.1,3
Pemberian salin hipertonik (3%) harus dibatasi hanya pada pasien dengan hiponatremia
simptomatik (letargi, kejang) atau pasien dengan kadar natrium <120 mEq/L.1
Hipertensi pada GGA dapat disebabkan oleh hiperreninemia terkait dengan penyakit
yang mendasari dan/atau volume cairan ekstraselular dan biasanya terjadi pada pasien GGA
dengan glomeruloneftritis akut atau SHU. Beberapa agen anti hipertensi yang dapat diberikan
adalah: 1,5
Isradipine (0.05 – 0.15 mg/kg/dosis, maksimum 5 mg qid) untuk mengurangi tekanan
darah secara cepat.
Penghambat kanal kalsium Amlodipin (0.1 – 0.6 mg/kg/24 jam qd atau dibagi
menjadi bid)
Penghambat ß
o Propanolol 0.5 – 8.0 mg/kg/24 jam dibagi menjadi bid atau tid
o Labetalol 4 – 40 mg/kg/24 jam dibagi menjadi bid atau tid
24
Pasien dengan hipertensi berat simptomatik (hipertensi urgensi atau emergensi) dapat
diterapi dengan infuse nicardipine (0.5 – 5.0 µg/kg/min), sodium nitroprusside (0.5 – 10.0
µg/kg/min), labetalol (0.25 – 0.3 µg/kg/jam) atau esmolol (150 – 300 µg/kg/min).1,5
Anemia pada GGA biasanya ringan (hemoglobin 9–10 g/dL) dan biasanya disebabkan
oleh hemodilusi. Anak dengan SHU, SLE, perdarahan aktif, atau GGA berlanjut dapat
membutuhkan tranfusi packed red cell (PRC) bila hemoglobin <7 g/dL.1,5 Pasien pasien
hipervolemia, transfusi darah dapat semakin memperberat volume expansion, yang dapat
menyebabkan terjadinya hipertensi, gagal jantung, dan edema pulmo. Maka dari itu transfusi
PRC 10 ml/kg secara lambat (4-6 jam) dapat dilakukan untuk mengurangi risiko terjadinya
hipervolemia.1
Nutrisi memiliki peranan penting dalam tatalaksana pasien dengan GGA. Asupan
protein harus di batasi (0,8-2 g/kg/hari) dan memaksimalkan kalori untuk mengurangi
akumulasi nitrogenous waste. Pada kebanyakan kasus, natrium, kalium dan fosfor harus
direstriksi. Pada pasien GGA yang kritis, dapat dipertimbangkan hiperalimentasi parenteral
dengan asam amino esensial.1,3,4
2.8.2. Dialisis
Indikasi dialisis pada pasien dengan GGA adalah sebagai berikut: 1,3,5
Anuria/oliguria
Overload cairan dengan tanda hipertensi dan/atau edema paru yang refrakter
terhadap terapi diuretik
Hiperkalemia persisten (> 6.5 mEq/L), disertai kelainan pada gambaran EKG
yang tidak dapat diatasi dengan obat-obatan
Asidosis metabolik berat yang tidak merespon terhadap tatalaksana farmakologis
Uremia (ensefalopati, perikarditis, neuropati)
Blood urea nitrogen > 100 – 150 mg/dL
Serum kreatinin >10 mg/dL
Ketidakseimbangan kalsium:fosfor, dengan tetani hipokalsemi yang tidak dapat
dikontrol dengan terapi lain
Gagal jantung kongestif
Tidak dapat memenuhi intake nutrisi yang adekuat karena restriksi cairan ketat.
Gejala neurologis seperti gangguan status mental dan kejang
25
Pada pasien dengan GGA, dialysis dapat dilakukan selama beberapa hari hingga
mencapai 12 minggu, namun biasanya berkisar antara 1 – 3 minggu. Secara umum, terdapat 3
tipe dialisis, yaitu: 1,4,11
1. Intermittent hemodialysis
Intermittent hemodialysis (IHD) bermanfaat bagi pasien dengan
hemodinamik yang relatif stabil. IHD memiliki keuntungan dapat lebih cepat
mengoreksi kelainan biokimia dalam darah dan dapat dilakukan pada pasien pasca
operasi intra abdomen. Proses hemodialisis ini dapat mencapai pengeluaran cairan
dan elektrolit dalam 3-4 jam dengan menggunakan pump-driven extracorporeal
circuit dan kateter vena sentral yang besar. IHD dilakukan 3-7 kali dalam
seminggu tergantung dari keseimbangan cairan dan elektrolit pasien.
2. Peritoneal dialysis
Peritoneal dyalisis (PD) biasanya diterapkan pada neonatus dan bayi dengan
GGA, meskipun modalitas ini juga dapat diterapkan pada anak dan remaja. PD
mudah dilakukan pada bayi kecil karena tidak memerlukan akses vaskular, tidak
memerlukan alat yang canggih dan dapat dilakukan di daerah terpencil.(4) Dialisat
hiperosmolar akan dimasukkan ke dalam rongga peritoneal melalui kateter dialisis
yang dipasang melalui kulit atau operasi. Cairan tersebut akan dibiarkan dalam
rongga peritoneum selama 45-60 menit dan kemudian akan dikeluarkan dari tubuh
pasien dengan mengandalkan gravitasi (secara manual atau machine-driven
cycling), sehingga pengeluaran cairan dan elektrolit dapat tercapai. Siklus dapat
diulang selama 8-24 jam/hari, tergantung pada keseimbangan cairan dan eletrolit
pasien. Penggunaan anti koagulan tidak diperlukan. PD merupakan kontraindikasi
bagi pasien dengan patologi abdomen yang signifikan.
3. Continous renal replacement therapy
Continous Renal Replacement Therapy (CRRT) akan bermanfaat pada
pasien dengan hemodinamik tidak stabil, sepsis, keadaan kelebihan cairan atau
kegagalan multiorgan pada setting intensive care.(1,3) CRRT merupakan terapi
extracorporeal dimana cairan, elektrolit dan zat terlarut berukuran kecil hingga
sedang secara kontinu dikeluarkan dari darah (24 jam/hari) dengan menggunakan
pump-driven machine khusus. Biasanya kateter lumen ganda akan dipasang pada
vena subclavia, vena jugular atau vena femoral. Pasien kemudian dihubungkan ke
sirkuit CRRT, yang secara kontinu akan mengantar darah pasien melewati highly
permeable filter.
26
Akhir-akhir ini banyak dipakai CRRT untuk penanggulangan GGA dengan
cara continous veno-venous hemofiltration (CVVH). Ada 3 metode pilihan terapi
pada CVVH, yaitu CVVH, CVVH dengan dialisis (CVVHD) dan continous veno-
venous hemodiafiltration (CVVHDF).
2.9. Prognosis
Angka kematian pada anak dengan GGA bervariasi dan tergantung pada etiologi dan
umur pasien.1,2 Anak dengan GGA yang disebabkan oleh kondisi yang terbatas pada ginjal
seperti glomerulonefritis post infeksi memiliki angka kematian yang rendah (<1%),
sedangkan pada GGA yang disebabkan oleh kegagalan multi organ akan memiliki angka
kematian yang sangat tinggi (>90%).1,2,4
Pasien GGA non oligurik mempunyai laju filtrasi glomerulus dan volume urin yang
lebih tinggi daripada GGA oligurik sehingga air, metabolit nitrogen, dan elektrolit lebih
banyak dikeluarkan melalui urin. Komplikasi yang ditemukan lebih sedikit, periode azotemia
lebih singkat, lebih jarang memerlukan dialisis dan mortalitasnya lebih rendah.10
Perbaikan fungsi ginjal bergantung pada kelainan yang mencetuskan GGA. GGA
yang disebabkan oleh prerenal, SHU, NTA, neftritis interstitial akut, atau sindrom lisis tumor
umunya fungsi ginjal dapat kembali normal. Pada GGA yang disebabkan oleh Rapidly
27
Progressive Glomerulonephritis (RPGN), thrombosis vena renal bilateral atau nekrosis
korteks bilateral biasanya fungsi ginjal tidak dapat kembali seperti semula dan dapat
baerakhir menjadi gagal ginjal terminal. 1,5
Untuk prognosis jangka panjang dahulu dianggap bahwa pasien yang sembuh dari
GGA dan memiliki fungsi ginjal normal kembali memiliki risiko morbiditas dan mortalitas
yang sama dengan populasi umum. Belakangan dilaporkan bahwa sekitar 10% anak pada
kondisi yang disebutkan di atas didapatkan hiperfiltrasi, hipertensi, dan mikroalbuminuria
pada 6-12 bulan pasca GGA. Hal ini tentu menempatkan populasi ini pada risiko yang lebih
tinggi untuk mengalami penurunan fungsi ginjal yang progresif. Atas dasar temuan ini maka
anak yang sembuh dari GGA perlu dipantau untuk dapat mendeteksi dini tanda kerusakan
ginjal sehingga dapat dilakukan intervensi dini pula.4
28
BAB III
KESIMPULAN
Gagal Ginjal Akut (GGA) adalah penurunan fungsi ginjal mendadak dengan akibat
hilangnya kemampuan ginjal untuk mempertahankan homeostasis tubuh yang ditandai
dengan peningkatan kreatinin serum atau ureum serum, penurunan output urin, penurunan.
LFG, atau kebutuhan absolut untuk dialisis. Etiologi GGA dapat diklasifikasikan menjadi
prerenal, renal, dan post renal.
Penegakan diagnosis terdiri dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang. Dalam anamnesa diketahui adanya muntah, diare, dan demam yang mendukung
kearah GGA prerenal. Riwayat infeksi kulit atau tenggorokan akan mendukung kearah
glomerulonefritis (GGA renal), bisa juga ditemukan pada seseorang yang mempunyai riwayat
pajanan obat atau zat kimia. Pada pasien yang mempunyai riwayat tumor intraabdomen,
infeksi saluran kemih, atau buang air kecil berpasir/batu menyokong kecurigaan suatu GGA
post renal.
Pemeriksaan fisik harus dilakukan secara menyeluruh, dengan perhatian khusus pada
status volume. Takikardia, mukosa kering, dan perfusi perifer yang buruk menggambarkan
kemungkinan terjadinya GGA prerenal. Hipertensi, edema perifer, rhonki, dan gallop
mengindikasikan kemungkinan terjadinya GGA renal akibat glomerulonefritis atau NTA.
Munculnya ruam dan arthritis mengarah kepada lupus eritematosus atau nefritis Henoch-
Schoenlein purpura. Massa dapat teraba pada thrombosis vena renal, penyakit kistik atau
obstruksi traktus urinarius.
Pemeriksaan penunjang terdiri dari pemeriksaan laboratorium dan penunjang lainnya.
Pemeriksaan darah, urinalisa, pemeriksaan fraksi ekskresi natrium (FENa), indeks urin,
biomarker protein, pencitraan, dan biopsi ginjal dapat digunakan untuk menemukan penyakit
atau penyebab dasar GGA pada anak.
Penatalaksanaan anak dengan GGA terdiri dari tatalaksana konservatif dan dialisis.
Tatalaksana konservatif meliputi terapi cairan, nutrisi yang adekuat, terapi diuretik, dopamin,
dan terapi lainnya bertujuan untuk mengatasi komplikasi yang terjadi pada GGA seperti
hiperkalemi, hiponatremi, hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis metabolik, hipertensi, dan
anemia. Terapi dialisis dilakukan untuk mengatasi komplikasi GGA berat yang tidak
merespon dengan tatalaksana konservatif.
29
DAFTAR PUSTAKA
1. Kliegmen RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF. Nelson Textbook of Pediatric. Ed
ke-20. Philadelphia: Elsevier; 2007.
2. Andreoli SP. Acute kidney injury in children. Pediatr Nephrol. 2009; 24: 253-263.
3. Chan JMC, Williams DM, Roth KS. Kidney Failure in Infants and Children. Pediatrics in
Review. 2002; 23(2): 47-59.
4. Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Tata Laksana Berbagai Keadaan Gawat Darurat
pada Anak. Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM. 2013: 33-42.
5. Katibi OS, et al. Current trends in the management of acute kidney injury in children.
Niger J Paed. 2013; 40(3): 314-320.
6. Guyton AC, Hall JE. Textbook of Medical Physiology. 11 th edition. Philadelphia:
Saunders;2006.
7. Sherwood L. Human Physiology From Cells to Systems. 7 th edition. Canada: Brooks/Cole
Cengage learning; 2007.
8. Kinsey GR, Okusa MD. Pathogenesis of Acute Kidney Injury: Foundation for Clinical
Practice. Am J Kidney Dis. 2011; 58(2): 291-301.
9. Edelstein CL. Biomarkers of Acute Kidney Injury. Adv Chronic Kidney Dis. 2008; 15(3):
222-234.
10. Nainggolan G, Sinto R. Acute Kidney Injury: Pendekatan Klinis dan Tata Laksana. Maj
Kedokt Indon. 2010; 60(2): 81-88.
11. Bunchman TE. Treatment of acute kidney injury in children: from conservative
management to renal replacement therapy. Nature Clinical Practice Nephrology. 2008;
4(9): 510-514.
30