Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

A. DEFENISI

Gagal ginjal  adalah gangguan fungsi ginjal yang progresif dan irreversibel dimana kemampuan
tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit yang
dapat menyebabkan uremia yaitu retensi cairan dan natrium dan sampah nitrogen lain dalam
darah (Smeltzer, 2002).

Gagal ginjal akut adalah penurunan laju filtrasi glomerulus secara tiba-tiba, sering kali dengan
oliguri, peningkatan kadar urea dan kreatinin darah, serta asidosis metabolic dan hiperkalemia.
( D. Thomson 1992 : 91 )
Gagal ginjal akut (acute renal failure, ARF) merupakan suatu sindrom klinis yang secara cepat
(biasanya dalam beberapa hari) yang menyebabkan azotemia yang berkembang cepat. Laju
filtrasi gromelurus yang menurun dengan cepat menyebabkan kadar kreatinin serum meningkat
sebanyak 0,5 mg/dl/hari dan kadar nitrogen urea darah sebanyak 10 mg/dl/hari dalam beberapa
hari. ARF biasanya disertai oleh oligurea (keluaran urine < 400 ml/hari). Criteria oliguria tidak
mutlak tapi berkaitan dengan fakta bahwa rata-rata diet orang amerika mengandung sekitar 600
mOsm zat terlarut. Jika kemampuan pemekatan urine maksimum sekitar 1200 mOsm /L air,
maka kehilangan air obligat dalam urine adalah 500 ml. oleh karna itu ,bila keluaran urine
menurun hingga kurang dari 400 ml/hari, penambahan Zat terlarut tidak bisa dibatasi dengan
kadar BUN serta kreatinin meningkat. Namun oliguria bukan merupakan gambaran penting pada
ARF. Bukti penelitian terbaru mengesankan bahwa pada sepertiga hingga separuh kasus ARF,
keluaran urine melebihi 400 ml /hari dan dapat mencapai hingga 2L/hari. Bentuk ARF ini disebut
ARF keluaran-tinggi atau disebut non-ologurik. ARF menyebabkan timbulnya gejala dan tanda
menyerupai sindrom uremik pada gagal ginjal kronik, yang mencerminkan terjadinya kegagalan
fungsi regulasi, eksresi, dan endokrin ginjal. Namun demikian , osteodistrofi ginjal dan anemia
bukan merupakan gambaran yang lazim terdapat pada ARF karena awitanya akut.

Gagal ginjal akut berat yang memerlukan dialisis, mempunyai mortalitas tinggi melebihi
50%. Nilai ini akan meningkat apabila disertai kegagalan multi organ. Walaupun terdapat
perbaikan yang nyata pada terapi penunjang, angka mortalitas belum berkurang karena usia
pasien dan pasien dengan penyakit kronik lainnya.

1
Di negara maju, angka penderita gangguan ginjal tergolong cukup tinggi. Di Amerika
Serikat misalnya, angka kejadian gagal ginjal meningkat dalam 10 tahun. Pada 1990, terjadi 166
ribu kasus GGT (gagal ginjal tahap akhir) dan pada 2000 menjadi 372 ribu kasus. Angka tersebut
diperkirakan terus naik. Pada 2010, jumlahnya diestimasi lebih dari 650 ribu (Djoko, 2008).

Hal yang sama terjadi di Jepang. Di Negeri Sakura itu, pada akhir 1996 ada 167 ribu
penderita yang menerima terapi pengganti ginjal. Menurut data 2000, terjadi peningkatan
menjadi lebih dari 200 ribu penderita. Berkat fasilitas yang tersedia dan berkat kepedulian
pemerintah yang sangat tinggi, usia harapan hidup pasien dengan GGA di Jepang bisa bertahan
hingga bertahun-tahun. Bahkan, dalam beberapa kasus, pasien bisa bertahan hingga umur lebih
dari 80 tahun. Angka kematian akibat GGA pun bisa ditekan menjadi 10 per 1.000 penderita. Hal
tersebut sangat tidak mengejutkan karena para penderita di Jepang mendapatkan pelayanan cuci
darah yang baik serta memadai (Djoko, 2008).

Di indonesia GGA pada 1997 berada di posisi kedelapan. Data terbaru dari US NCHS
2007 menunjukkan, penyakit ginjal masih menduduki peringkat 10 besar sebagai penyebab
kematian terbanyak. Faktor penyulit lainnya di Indonesia bagi pasien ginjal, terutama GGA,
adalah terbatasnya dokter spesialis ginjal. Sampai saat ini, jumlah ahli ginjal di Indonesia tak
lebih dari 80 orang. Itu pun sebagian besar hanya terdapat di kota-kota besar yang memiliki
fakultas kedokteran. Maka, tidaklah mengherankan jika dalam pengobatan kerap faktor penyulit
GGA terabaikan.

Melihat situasi yang banyak terbatas itu, tiada lain yang harus kita lakukan, kecuali
menjaga kesehatan ginjal. Jadi, alangkah lebih baiknya kita jangan sampai sakit ginjal. Mari
memulai pola hidup sehat. Di antaranya, berlatih fisik secara rutin, berhenti merokok, periksa
kadar kolesterol, jagalah berat badan, periksa fisik tiap tahun, makan dengan komposisi
berimbang, turunkan tekanan darah, serta kurangi makan garam. Pertahankan kadar gula darah
yang normal bila menderita diabetes, hindari memakai obat antinyeri nonsteroid, makan protein
dalam jumlah sedang, mengurangi minum jamu-jamuan, dan menghindari minuman
beralkohol. Minum air putih yang cukup (dalam sehari 2-2,5 liter). (Djoko, 2008).

B. ANATOMI FISIOLOGI

Ginjal adalah organ ekskresi yang berperan penting dalam mempertahankan keseimbangan
internal dengan jalan menjaga komposisi cairan tubuh/ekstraselular. Ginjal merupakan dua buah

2
organ berbentuk seperti kacang polong, berwarna merah kebiruan. Ginjal terletak pada dinding
posterior abdomen, terutama di daerah lumbal disebelah kanan dan kiri tulang belakang,
dibungkus oleh lapisan lemak yang tebal di belakang peritoneum atau di luar rongga peritoneum.

Ketinggian ginjal dapat diperkirakan dari belakang di mulai dari ketinggian vertebra torakalis
sampai vertebra lumbalis ketiga. Ginjal kanan sedikit lebih rendah dari ginjal kiri karena letak
hati yang menduduki ruang lebih banyak di sebelah kanan. Masing-masing ginjal memiliki
panjang 11,25 cm, lebar 5-7 cm dan tebal2,5 cm.. Berat ginjal pada pria dewasa 150-170 gram
dan wanita dewasa 115-155 gram.

Ginjal ditutupi oleh kapsul tunikafibrosa yang kuat, apabila kapsul di buka terlihat permukaan
ginjal yang licin dengan warna merah tua. Ginjal terdiri dari bagian dalam, medula, dan bagian
luar, korteks. Bagian dalam (interna) medula. Substansia medularis terdiri dari pyramid renalis
yang jumlahnya antara 8-16 buah yang mempunyai basis sepanjang ginjal, sedangkan apeksnya
menghadap ke sinus renalis. Mengandung bagian tubulus yang lurus, ansahenle, vasa rekta dan
duktuskoli gensterminal. Bagianluar (eksternal) korteks. Subtansia kortekalis berwarna coklat
merah, konsistensi lunak dan bergranula. Substansia ini tepat dibawah tunika fibrosa,
melengkung sepanjang basis piramid yang berdekatan dengan sinus renalis, dan bagian dalam di
antara pyramid dinamakan kolumnarenalis. Mengandung glomerulus, tubulus proksimal dan
distal yang berkelok-kelok dan duktus koligens.

Struktur halus ginjal terdiri atas banyak nefron yang merupakan satuan fungsional ginjal. Kedua
ginjal bersama-sama mengandung kira-kira 2.400.000 nefron. Setiap nefron bias membentuk urin
sendiri. Karena itu fungsi dari satu nefron dapat menerangkan fungsi dari ginjal.

C. ETIOLOGI

Sampai saat ini para praktisi klinik masih membagi etiologi gagal ginjal akut dengan tiga
kategori meliputi :

a) Prarenal

Kondisi prarenal adalah masalah aliran darah akibat hipoperpusi ginjal dan turunnya laju
filtrasi glomeruls. Gagal ginjal akut Prerenal merupakan kelainan fungsional, tanpa adanya
kelainan histologik atau morfologik pada nefron. Namun bila hipoperfusi ginjal tidak segera
diperbaiki, akan menimbulkan terjadinya nekrosis tubulat akut (NTA). Kondisi ini meliputi
hal-hal sebagai berikut :

3
1) Hipovolemik (perdarahan postpartum, luka bakar, kehilangan cairan dari gastrointestinal
pankreatitis, pemakaian diuretik yang berlebih)
2) Vasodilatasi (sepsis atau anafilaksis)
3) Penurunan curah jantung (disaritmia, infark miokard, gagal jantung, syok kardioenik dn
emboli paru)
4) Obstruksi pembuluh darah ginjal bilateral (emboli, trombosis)
b) Renal

Pada tipe ini Gagal Ginjal Akut timbul akibat kerusakan jaringan ginjal. Kerusakan dapat
terjadi pada glomeruli atau tubuli sehingga faal ginjal langsung terganggu. Dapat pula terjadi
karena hipoperfusi prarenal yang tak teratasi sehingga mengakibatkan iskemia, serta nekrosis
jaringan ginjal Prosesnya dapat berlangsung cepat dan mendadak, atau dapat juga
berlangsung perlahan–lahan dan akhirnya mencapai stadium uremia. Kelainan di ginjal ini
dapat merupakan kelanjutan dari hipoperfusi prarenal dan iskemia kemudian menyebabkan
nekrosis jaringan ginjal. Beberapa penyebab kelainan ini adalah :

1) Koagulasi intravaskuler, seperti pada sindrom hemolitik uremik, renjatan sepsis dan
renjatan hemoragik.  
2) Glomerulopati (akut) seperti glomerulonefritis akut pasca sreptococcus, lupus nefritis,
penolakan akut atau krisis donor ginjal.
3) Penyakit neoplastik akut seperti leukemia, limfoma, dan tumor lain yang langsung
menginfiltrasi ginjal dan menimbulkan kerusakan.
4) Nekrosis ginjal akut misal nekrosis tubulus akut akibat renjatan dan iskemia lama,
nefrotoksin (kloroform, sublimat, insektisida organik), hemoglobinuria dan
mioglobinuria.
5) Pielonefritis akut (jarang menyebabkan gagal ginjal akut) tapi umumnya pielonefritis
kronik berulang baik sebagai penyakit primer maupun sebagai komplikasi kelainan
struktural menyebabkan kehilangan faal ginjal secara progresif.
6) Glomerulonefritis kronik dengan kehilangan fungsi progresif.
c) Pascarenal / Postrenal

GGA pascarenal adalah suatu keadaan dimana pembentukan urin cukup, namun alirannya
dalam saluran kemih terhambat. Etiologi pascarenal terutama obstruksi aliran urine pada
bagian distal ginjal, ciri unik ginjal pasca renal adalah terjadinya anuria, yang tidak terjadi
pada gagal renal atau pre-renal. Kondisi yang umum adalah sebagai berikut :

4
1) Obstruksi muara vesika urinaria: hipertropi prostat< karsinoma
2) Obstruksi ureter bilateral oleh obstruksi batu saluran kemih, bekuan darah atau sumbatan
dari tumor (Tambayong, 2000).

Tabel Klasifikasi GGA menurut The Acute Dialysis Quality Initiations Group (Roesli R, 2007).

Kategori Peningkatan Kadar Penurunan Laju Kriteria Urine


Serum Cr Filtrasi Glomerulus Output
Risk >1,5 kali nilai dasar >25% nilai dasar <0,5 mL/kg/jam,
>6 jam
Injury >2,0 kali nilai dasar >50% nilai dasar <0,5 mL/kg/jam,
>12 jam
Failure >3,0 kali nilai dasar >75% nilai dasar <0,3 mL/kg/jam, >24
jam

5
Loss Penurunan fungsi ginjal menetap selama lebih dari 4
Minggu
End stage Penurunan fungsi ginjal menetap selama lebih dari 3
Bulan

D. MANIFESTASI KLINIS

Menurut Smeltzer (2002) terdapat empat tahapan klinik dan gagal ginjal akut, yaitu periode awal,
periode oligunia, periode diuresis, dan periode perbaikan. Gagal ginjal akut azotemia dapat saja
terjadi saat keluaran urine lebih dari 400 ml/24 jam.

a.    Periode awal dengan awitan awal dan diakhiri dengan terjadinya oliguria.

b.    Stadium oliguria

Periode oliguria (volume urine kurang dari 400 ml/24 jam) disertai dengan peningkatan
konsentrasi serum dan substansi yang biasanya diekskresikan oleh ginjal (urea, kreatinin,
asam urat, serta kation intraseluler-kalium dan magnesium). Jumlah urine minimal yang
diperlukan untuk membersihkan produk sampah normal tubuh adalah 400 ml. Oliguria timbul
dalam waktu 24-48 jam sesudah trauma dan disertai azotemia. Pada bayi, anak-anak
berlangsung selama 3–5 hari. Terdapat gejala-gejala uremia (pusing, muntah, apatis, rasa
haus, pernapasan kusmaul, anemia, kejang), hiperkalemi, hiperfosfatemi, hipokalsemia,
hiponatremia, dan asidosis metabolik.

c.    Stadium diuresis

Periode diuresis, pasien menunjukkan peningkatan jumlah urine secara bertahap, disertai
tanda perbaikan filtrasi glomerulus. Meskipun urine output mencapai kadar normal atau
meningkat, fungsi renal masih dianggap normal. Pasien harus dipantau dengan ketat akan
adanya dehidrasi selama tahap ini, jika terjadi dehidrasi, tanda uremik biasanya meningkat.

1) Stadium GGA dimulai bila keluaran urine lebih dari 400 ml/hari
2) Berlangsung 2-3 minggu
3) Pengeluaran urine harian jarang melebihi 4 liter, asalkan pasien tidak mengalami hidrasi
yang berlebih
4) Tingginya kadar urea darah
5) Kemungkinan menderita kekurangan kalium, natrium dan air

6
6) Selama stadium dini dieresis, kadar BUN mungkin meningkat terus
b. Stadium penyembuhan

Stadium penyembuhan GGA berlangsung sampai satu tahun, dan selama itu anemia dan
kemampuan pemekatan ginjal sedikit demi sedikit membaik. Nilai laboratorium akan kembali
normal.

Gejala klinis yang terjadi pada penderita GGA, yaitu:

1) Penderita tampak sangat menderita dan letargi disertai mual, muntah, diare, pucat
(anemia), dan hipertensi.
2) Nokturia (buang air kecil di malam hari).
3) Pembengkakan tungkai, kaki atau pergelangan kaki. Pembengkakan yang  menyeluruh
(karena terjadi penimbunan cairan).
4) Berkurangnya rasa, terutama di tangan atau kaki.
5) Tremor tangan.
6) Kulit dari membran mukosa kering akibat dehidrasi.
7) Nafas mungkin berbau urin (foto uremik), dan kadang-kadang dapat dijumpai adanya
pneumonia uremik.
8) Manisfestasi sistem saraf (lemah, sakit kepala, kedutan otot, dan kejang).
9) Perubahan pengeluaran produksi urine (sedikit, dapat mengandung darah, berat jenis
sedikit rendah, yaitu 1.010 gr/ml)
10) Peningkatan konsentrasi serum urea (tetap), kadar kreatinin, dan laju endap darah (LED)
tergantung katabolisme (pemecahan protein), perfusi renal, serta asupan protein, serum
kreatinin meningkat pada kerusakan glomerulus.
11)  Pada kasus yang datang terlambat gejala komplikasi GGA ditemukan  lebih menonjol
yaitu gejala kelebihan cairan berupa gagal jantung kongestif, edema paru, perdarahan  
gastrointestinal berupa hematemesis, kejang-kejang dan kesadaran menurun sampai
koma.

E. PATOFISIOLOGI

Meskipun sudah ada kesepakatan mengenai patologi kerusakan ginjal ARF (acute renal fallure)
tipe NTA (necrosis tubular acute), tetapi masih ada kontroversi mengenai patogenitas penekanan
fungsi ginjal dan oliguria yang biasanya menyertai. Sebagian besar konsep modern mengenai
faktor-faktor penyebab mungkin didasarkan pada penyelidikan menggunakan model hewan

7
percobaan, dengan menyebabkan gagal ginjal akut nefrotoksik melalui penyuntikan merkuri
klorida, uranil sitrat, atau kromat, sedangkan kerusakan iskemik ditimbulkan renalis.

Menurut Price, (2005) ada beberapa kondisi yang menjadi faktor predisposisi yang dapat
menyebabkan pengurangan aliran darah renal dan gangguan fungsi ginjal, yaitu sebagai berikut :

1) Obstruksi tubulus
2) Kebocoran cairan tubulus
3) Penurunan permeabilitas glomerulus
4) Disfungsi vasomotor
5) Umpan balik tubulo-glomerulus

Tidak satupun dari mekanisme diatas yang dapat menjelaskan semua aspek ARF (acute renal
fallure) tipe NTA (necrosis tubular acute) yang bervariasi itu (schrier, 1986).

Teori obstruksi tubulus menyatakan bahwa NTA (necrosis tubular acute) mengakibatkan
deskuamasi sel tubulus nekrotik dan bahan protein lainnya, dan kemudian membentuk silinder-
silinder dan menyumbat lumen tubulus. Pembengkakan seluler akibat iskemia awal, juga ikut
menyokong terjadinya obstruksi dan memperberat iskemia. Tekanan intratubulus menigkat,
sehingga tekanan filtrasi glomerulus menurun. Obstruksi tubulus dapat merupakan faktor penting
pada ARF (acute renal fallure) yang disebabkan oleh logam berat, etilen glikol, atau iskemia
berkepanjangan.

Hipotesis kebocoran tubulus mengatakan bahwa filtrasi glomerulus terus berlangsung normal
tetapi cairan tubulus bocor keluar dari lumen melalui sel-sel tubulus yang rusak dan masuk ke
dalam sirkulasi peritubular. Kerusakan membrane basalis dapat terlihat pada NTA (necrosis
tubular acute)  yang berat, yang merupakan dasar anatomic mekanisme ini.

Meskipun sindrom NTA (necrosis tubular acute)  menyatakan adanya abnormalitas tubulus
ginjal, bukti-bukti terakhir menyatakan bahwa dalam keadaan-keadaan tertentu sel-sel endotel
kapiler glomerulus dan /atau sel-sel membrane basalis mengalami perubahan yang
mengakibatkan menurunnya permeabilitas luas permukaan filtrasi. Hal ini mengakibatkan
penurunan ultrafiltasi glomerulus.

Aliran darah ginjal total (RBF) dapat berkurang sampai 30% dari normal pada ARF oliguria.
Tingkat RBF ini cocok dengan GFR (glomerular filtration rate) yang cukup besar. Pada
kenyataannya, RBF pada gagal ginjal kronik sering sama rendahnya atau lebih rendah dari pada

8
bentuk akut, tetapi fungsi ginjal masih memadai atau berkurang. Selain itu, bukti-bukti percobaan
membuktikan bahwa RBF harus kurang dari 5% sebelum terjadi kerusakan parenkim ginjal
(merriill, 1971).

Dengan demikian hipoperfusi ginjal saja tidak menyebabkan penurunan GFR dan lesi-lesi
tubulus yang terjadi pada ARF (acute renal fallure). Meskipun demikian, terdapat bukti
perubahan bermakna pada distribusi aliran darah intrarenal dari korteks ke medulla selama
hipotensi akut dan memanjang. Pada ginjal normal, kira-kira 90% darah didistribusikan ke
korteks (glomeruli) dan 10% menuju ke medulla. Dengan demikian ginjal dapat memekatkan
urin dan menjalankan fungsinya. Sebaliknya pada ARF perbandingan antara distribusi korteks
dan medulla ginjal menjadi terbalik, sehingga terjadi iskemia relative pada korteks ginjal.
Kontriksi arteriol aferen merupakan dasar vascular dari penurunan laju filtrasi glomerulus (GFR).

Iskemia ginjal akan mengaktifasi sistem renin-angiotensin dan memperberat iskemia korteks
setelah hilangnya rangsangan awal. Kadar renin tertinggi ditemukan pada korteks luar ginjal,
tempat terjadinya iskemia paling berat selama berlangsungnya ARF (acute renal fallure)  pada
hewan maupun manusia (schrier, 1996).

Beberapa penulis mengajukan teori mengenai prostaglandin dalam disfungsi vasomotor pada
ARF (acute renal fallure). Dalam keadaan normal, hipoksia ginjal merangsang sintesis
prostaglandin E dan prostaglandin A (PGE dan PGA) ginjal (vasodilator yang kuat), sehingga
aliran darah ginjal diredistribusi ke korteks yang mengakibatkan diuresis. Agaknya, iskemia akut
yang berat atau berkepanjangan dapat menghambat sintesis prostaglandin ginjal tersebut.
Penghambat prostaglandin seperti aspirin diketahui dapat menurunkan RBF pada orang normal
dan dapat menyebabkan NTA (necrosis tubular acute) (Harter, martin, 1982).

Umpan balik tubuloglomerulus merupakan suatu fenomena saat aliran ke nefron distal diregulasi
oleh reseptor dalam makula densa tubulus distal, yang terletak berdekatan dengan ujung
glomerulus. Apabila peningkat aliran filtrate tubulus kea rah distal tidak mencukupi, kapasitas
reabsorbsi tubulus distal dan duktus kolegentus dapat melimpah dan menyebabkan terjadinya
deplesi volume cairan ekstra sel. Oleh karena itu TGF merupakan mekanisme protektif. Pada
NTA (necrosis tubular acute), kerusakan tubulus proksimal sangat menurunkan kapasitas absorbs
tubulus. TGF diyakini setidaknya berperan dalam menurunnya GFR (glomerular filtration rate)
pada keadaan NTA (necrosis tubular acute) dengan menyebabkan konstriksi arteriol aferen atau
kontriksi mesangial atau keduanya, yang berturut-turut menurun kan permeabilitas dan tekanan

9
kapiler intraglomerulus. Oleh karena itu, penurunan GFR akibat TGF dapat dipertimbangkan
sebagai mekanisme adaptif pada NTA.

10
WOC CKD

11
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1) Darah: ureum, kreatinin, elektrolit, serta osmolaritas
2) Urin: ureum, kreatinin, elektrolit, osmolaritas, dan berat jenis.
3) Kenaikan sisa metabolisme proteinureum kreatinin dan asam urat.
4) Gangguan keseimbangan asam basa: asidosis metabolik.
5) Gangguan keseimbangan elektrolit: hiperkalemia, hipernatremia atau hiponatremia,
hipokalsemia dan hiperfosfatemia.
6) Volume urine biasanya kurang dari 400 ml/24 jam yang terjadi dalam 24 jam setelah ginjal
rusak.
7) Warna urine: kotor, sedimen kecoklatan menunjukan adanya darah, Hb, Mioglobin, porfirin.
8) Berat jenis urine: kurang dari 1,020 menunjukan penyakit ginjal, contoh: glomerulonefritis,
piolonefritis dengan kehilangankemampuan untuk memekatkan; menetap pada 1,010
menunjukan kerusakan ginjal berat.
9) PH Urine: lebih dari 7 ditemukan pada ISK, nekrosis tubular ginjal, dan gagal ginjal kronik.
10) Osmolaritas urine: kurang dari 350 mOsm/kg menunjukan kerusakan ginjal, dan ratio
urine/serum sering.
11) Klierens kreatinin urine: mungkin secara bermakna menurun sebelum BUN dan kreatinin
serum menunjukan peningkatan bermakna.
12) Natrium Urine: Biasanya menurun tetapi dapat lebih dari 40 mEq/L bila ginjal tidak mampu
mengabsorbsi natrium.
13) Bikarbonat urine: Meningkat bila ada asidosis metabolik.
14) SDM urine: mungkin ada karena infeksi, batu, trauma, tumor, atau peningkatan GF.
15) Protein: protenuria derajat tinggi (3-4+) sangat menunjukan kerusakan glomerulus bila SDM
dan warna tambahan juga ada. Proteinuria derajat rendah (1-2+) dan SDM menunjukan
infeksi atau nefritis interstisial. Pada NTA biasanya ada proteinuria minimal.
16) Warna tambahan: Biasanya tanpa penyakit ginjal ataui infeksi. Warna tambahan selular
dengan pigmen kecoklatan dan sejumlah sel epitel tubular ginjal terdiagnostik pada NTA.
Tambahan warna merah diduga nefritis glomular.
G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1) Elektrokardiogram (EKG)
2) Perubahan yang terjadi berhubungan dengan ketidakseimbangan elektrolit dan gagal jantung.
3) Kajian foto toraks dan abdomen
4) Perubahan yang terjadi berhubungan dengan retensi cairan.
5) Osmolalitas serum Lebih dari 285 mOsm/kg

12
6) Pelogram Retrograd
7) Abnormalitas pelvis ginjal dan ureter
8) Ultrasonografi Ginjal
9) Untuk menentukan ukuran ginjal dan adanya masa, kista, obstruksi pada saluran perkemihan
bagian atas
10) Endoskopi Ginjal, Nefroskopi
11) Untuk menentukan pelvis ginjal, keluar batu, hematuria dan pengangkatan tumor selektif
12) Arteriogram Ginjal
13) Mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi ekstravaskular
H. PENATALAKSANAAN
a) Penatalaksanaan secara umum adalah:Kelainan dan tatalaksana penyebab.
1) Kelainan praginjal. Dilakukan klinis meliputi faktor pencetus keseimbangan cairan,
dan status dehidrasi. Kemudian diperiksa konsentrasi natrium urin, volume darah
dikoreksi, diberikan diuretik, dipertimbngkan pemberian inotropik dan dopamin.
2) Kelainan pasca ginjal. Dilakukan pengkajian klinis meliputi apakah kandung kemih
penuh, ada pembesaran prostat, gangguan miksi atau nyeri pinggang. Dicoba
memasang kateter urin, selain untuk mengetahui adanya obstruksi juga untuk
pengawasan akurat dari urin dan mengambil bahan pemeriksaan. Bila perlu dilakukan
USG ginjal.
3) Kelainan ginjal. Dilakukan pengkajian klinis, urinalinasi, mikroskopik urin, dan
pertimbangkan kemungkinan biopsi ginjal, arteriografi, atau tes lainnya
b) Penatalaksanaan gagal ginjal
1) Mencapai dan mempertahankan keseimbangan natrium dan air. Masukan natrium
dibatasi hingga 60 mmol/hari dan cairan cukup 500 ml/hari di luar kekurangan hari
sebelumnya atau 30 mmol/jam di luar jumlah urin yang dikeluarkan jam sebelumnya.
Namun keseimbangan harus tetap diawasi.
2) Memberikan nutrisi yang cukup. Bisa melalui suplemen tinggi kalori atau
hiperalimentaasi intravena. Glukosa dan insulin intravena, penambahan kalium,
pemberian kalsium intravena pada kedaruratan jantung dan dialisis.
3) Pemberian manitol atau furosemid jika dalam keadaan hidrasi yang adekuat terjadi
oliguria.
4) Mencegah dan memperbaiki infeksi, terutama ditujukan terhadap infeksi saluran
napas dan nosokomial. Demam harus segera harus dideteksi dan diterapi. Kateter
harus segera dilepas bila diagnosis obstruksi kandung kemih dapat disingkirkan.
13
5) Mencegah dan memperbaiki perdarahan saluran cerna. Feses diperiksa untuk adanya
perdarahan dan dapat dilakukan endoskopi. Dapat pula dideteksi dari kenaikan rasio
ureum/kreatinin, disertai penurunan hemoglobin. Biasanya antagonis histamin H
(misalnya ranitidin) diberikan pada pasien sebagai profilaksis.
6) Dialisis dini atau hemofiltrasi sebaiknya tidak ditunda sampai ureum tinggi,
hiperkalemia, atau terjadi kelebihan cairan. Ureum tidak boleh melebihi 30-40
mmol/L. Secara umum continous haemofiltration dan dialisis peritoneal paling baik
dipakai di ruang intensif, sedangkan hemodialisis intermitten dengan kateter subklavia
ditujukan untuk pasien lain dan sebagai tambahan untuk  pasien katabolik yang tidak
adekuat dengan dialisis peritoneal/hemofiltrasi.
7) Monitoring keseimbangan cairan, pemasukan dan pengeluaran cairan atau makanan,
menimbang berat badan, monitoring nilai elektrolit darah, nilai BUN dan nilai
kreatinin.
8) Penanganan Hiperkalemia. Keseimbangan cairan dan elektrolit merupakan masalah
utama pada gagal ginjal akut; hiperkalemia merupakan kondisi yang paling
mengancam jiwa pada gangguan ini. Oleh karena itu pasien dipantau akan adanya
hiperkalemia melalui serangkaian pemeriksaan kadar elektrolit serum (nilai kalium
>5.5 mEq/L; SI: 5.5 mmol/L), perubahan EKG (tinggi puncak gelombang T rendah
atau sangat tinggi), dan perubahan status klinis. Peningkatan kadar kalium dapat
dikurangi dengan pemberian ion pengganti resin (natrium polistriren sulfonat), secara
oral atau melalui retensi enema.

I. KOMPLIKASI
1) Jantung: edema paru, aritmia, efusi pericardium.
2) Gangguan elektrolit: hyperkalemia, hiponatremia, asidosis.
3) Neurologi: iritabilitas neuromuskuler, flap, tremor, koma, gangguan kesadaran, kejang.
4) Gastrointestinal: nausea, muntah, gastritis, ulkus peptikum, perdarahaan gastrointestinal.
5) Hematologi: anemia, diathesis hemoragik.
6) Infeksi: pneumonia, septikemis, infeksi nosocomial.

14
BAB II
ASKEP GAGAL GINJAL AKUT

A. PENGKAJIAN ANAMNESIS

Pada pengakajian anamnesis data yang diperoleh yakni identitas klien dan identitas penanggung
jawab,identitas klien yang meliputi nama, usia, jenis kelamin, pekerjaan,serta diagnosa medis.
Penyakit Gagal Ginjal Akut dapat menyerang pria maupun wanita dari rentang usia
manapun,khususnya bagi orang yang sedang menderita penyakit serius, terluka serta usia dewasa
dan pada umumnya lanjut usia. Pada pengkajian jenis kelamin, pria disebabkan oleh hipertrofi
prostat sedangkan pada wanita disebabkan oleh infeksi saluran kemih yang berulang, serta pada
wanita yang mengalami perdarahan pasca melahirkan. Untuk pengkajian identitas penanggung
jawab data yang didapatkan yakni meliputi nama, umur, pekerjaan, hubungan dengan si
penderita.

B. RIWAYAT KESEHATAN
1. Keluhan Utama
Keluhan utama yang sering adalah terjadi penurunan produksi miksi.
2. Riwayat kesehatan Sekarang
Pengkajian ditujukan sesuai dengan predisposisi etiologi penyakit terutama pada prerenal dan
renal. Secara ringkas perawat menanyakan berapa lama keluhan penurunan jumlah urine
output dan apakah penurunan jumlah urine output tersebut ada hubungannya dnegna
predisposisi penyebab, seperti pasca perdarahan setelah melahirkan, diare, muntah berat, luka
bakar nluas, cedera luka bakar, setelah mengalami episode serangan infark, adanya riwayat
minum obat NSAID atau pemakaian antibiotik, adanya riwayat pemasangan tranfusi darah,
serta adanya riwayat trauma langsung pada ginjal.
3. Riwayat Kesehatan Dahulu
Kaji adanya riwayat penyakit batu saluran kemih, infeksi sistem perkemihan yang berulang,
penyakit diabetes melitus dan penyakit hipertensi pada masa sebelumnya yang menjadi
predisposisi penyebab pasca renal. Penting untuk dikaji tentang riwayat pemakaian obat-
obatan masa lalu dan adanya riwayat alergi terhadap jenis obat dan dokumentasikan.
4. Riwayat psikososial cultural
Adanya kelemahan fisik, penurunan urine output dan prognosis penyakit yang berat akan
memberikan dampak rasa cemas dan koping yang maladaptif pada klien

15
C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan umum dan TTV

Keadaan umum klien lemah, terlihat sakit berat, dan letargi. Pada TTV sering didapatkan
adanya perubahan, yaitu pada fase oliguri sering didapatkan suhu tubuh meningkat, frekuensi
denyut nadi mengalami peningkatan dimana frekuensi meningkat sesuai dengan peningkatan
suhu tubuh dan denyut nadi. tekanan darah terjadi perubahan dari hipetensi rinagan sampai
berat.

2. Pemeriksaan Pola Fungsi

B1 (Breathing).

Pada periode oliguri sering didapatkan adanya gangguan pola napas dan jalan napas yang
merupakan respons terhadap azotemia dan sindrom akut uremia. Klien bernapas dengan bau
urine (fetor uremik) sering didapatkan pada fase ini. Pada beberapa keadaan respons uremia
akan menjadikan asidosis metabolik sehingga didapatkan pernapasan kussmaul.

B2 (Blood).

Pada kondisi azotemia berat, saat perawat melakukan auskultasi akan menemukan adanya
friction rub yang merupakan tanda khas efusi perikardial sekunder dari sindrom uremik. Pada
sistem hematologi sering didapatkan adanya anemia. Anemia yang menyertai gagal ginjal
akut merupakan kondisi yang tidak dapat dielakkan sebagai akibat dari penurunan produksi
eritropoetin, lesi gastrointestinal uremik, penurunan usia sel darah merah, dan kehilangan
darah, biasanya dari saluran G1. Adanya penurunan curah jantung sekunder dari gangguan
fungsi jantung akan memberat kondisi GGA. Pada pemeriksaan tekanan darah sering
didapatkan adanya peningkatan.

B3 (Brain).

Gangguan status mental, penurunan lapang perhatian, ketidakmampuan berkonsentrasi,


kehilangan memori, kacau, penurunan tingkat kesadaran (azotemia, ketidakseimbangan
elektrolit/asam/basa). Klien berisiko kejang, efek sekunder akibat gangguan elektrolit, sakit
kepala, penglihatan kabur, kram otot/kejang biasanya akan didapatkan terutama pada fase
oliguri yang berlanjut pada sindrom uremia.

16
B4 (Bladder).

Perubahan pola kemih pad aperiode oliguri akan terjadi penurunan frekuensi dan penurunan
urine output <400 ml/hari, sedangkan pada periode diuresis terjadi peningkatan yang
menunjukkan peningkatan jumlah urine secara bertahap, disertai tanda perbaikan filtrasi
glomerulus. Pada pemeriksaan didapatkan perubahan warna urine menjadi lebih pekat/gelap.

B5 (Bowel).

Didapatkan adanya mual dan muntah, serta anoreksia sehingga sering didapatkan penurunan
intake nutrisi dari kebutuhan.

B6 (Bone).

Didapatkan adnaya kelemahan fisik secara umum efek sekunder dari anemia dan penurunan
perfusi perifer dari hipetensi.

D. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

Laboratorium

Urinalisis didapatkan warna kotor, sedimen kecoklatan menunjukkan adanya darah, Hb, dan
myoglobin. Berat jenis <1.020 menunjukkan penyakit ginjal, pH urine >7.00 menunjukkan ISK,
NTA,d an GGK. Osmolalitas kurang dari 350 mOsm/kg menunjukkan kerusakan ginjal dan rasio
urine : serum sering 1 : 1.

Pemeriksaan BUN dan kadar kreatinin. Terdapat peningkatan yang tetap dalakm BUN dan laju
peningkatannya bergantung pada tingkat katabolisme (pemecahan protein), perfusi renal dan
masukan protein. Serum kratinin meningkat pada kerusakan glomerulus. Kadar kreatinin serum
bermanfaat dalam pemantauan fungsi ginjal dan perkembangan penyakit.

Pemeriksaan elektrolit. Pasien yang mengalami penurunan laju filtrasi glomerulus tidak mampu
mengeksresikan kalium. Katabolisme protein mengahasilkan pelepasan kalium seluler ke dalam
cairan tubuh, menyebabkan hiperkalemia berat. Hiperkalemia menyebabkan disritmia dan henti
jantung.

Pemeriksan pH. Pasien oliguri akut tidak dapat emngeliminasi muatan metabolik seperti
substansi jenis asam yang dibentuk oleh proses metabolik normal. Selain itu, mekanisme bufer

17
ginjal normal turun. Hal ini ditunjukkan dengan adanya penurunan kandungan karbon dioksida
darah dan pH darah sehingga asidosis metabolik progresif menyertai gagal ginjal.

E. PENATALAKSANAAN MEDIS

Tujuan penatalaksanaan adalah menjaga keseimbangan dan mencegah komplikasi, yang meliputi
hal-hal sebagai berikut.

a. Dialisis. Dialisis dapat dilakukan untuk mencegah komplikasi gagal ginjal akut yang serius,
seperti hiperkalemia, perikarditis, dan kejang. Dialisis memperbaiki abnormalitas biokimia,
menyebabkan cairan, protein, dan natrium dapat dikonsumsi secara bebas; menghilangkan
kecenderungan perdarahan dan membantu penyembuhan luka.
b. Koreksi hiperkalemi. Peningkatan kadar kalium dapat dikurangi dengan pemberian ion
pengganti resin (natrium polistriren sulfonat), secara oral atau melalui retensi enema. Natrium
polistriren sulfonat bekerja dengan mengubah ion kalium menjadi natrium di saluran
intenstinal.
c. Terapi cairan
d. Diet rendah protein, tinggi karbohidrat
e. Koreksi asidosis dengan natrium bikarbonat dan dialisis

F. ANALISA DATA

Symptom Etiologi Problem

DS:- Penurunan laju filtrasi kelebihan volume


DO:-perubahan pola kemih, warna ginjal cairan
urin pekat, penurunan urine output
<400 ml/hari.

DS:- penurunan pH pada Aktual/risiko tinggi


DO:pernapasan kussmaul, faktor ciaran serebrospinal, pola napas tidak
uremik, perembesan cairan, efektif

DS:- gangguan konduksi Aktual/risiko tinggi


DO:klien gelisah,Terdapat papil elektrikal efek aritmia.
edema, deficit neurologis, kadar sekunder dari

18
kalium serum meningkat. hiperkalemi

DS:- kerusakan hantaran Aktual/risiko tinggi


DO:peningkatan suhu tubuh, saraf sekunder dari kejang
penglihatan kabur, kram otot, abnormalitas elektrolit
azotemia. dan uremia.

DS:- gangguan transmisi Aktual/risiko tinggi


DO:kehilangan kemampuan sel-sel saraf sekunder defisit neurologis
konsentrasi, kehilangan memori, dari hiperkalsemi
penurunan lapang pandang.

DS:- intake nutrisi yang Ketidakseimbangan


DO:muntah, anoreksia, lemah. tidak adekuat sekunder nutrisi kurang dari
dari anoreksi, mual, kebutuhan tubuh
muntah

DS:- edema ekstremitas, Gangguan ADL


DO:lemah,ada edema, terlihat kelemahan fisik secara (Activity Daily Living)
sakit berat. umum

DS:- prognosis penyakit, cemas


DO:bingung dengan kondisinya, ancaman, kondisi
peningkatan TTV, sakit, dan perubahan
ketidakmampuan berkonsentrasi, kesehatan

G. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1) Defisit volume cairan
2) Aktual/risiko tinggi pola napas tidak efektif
3) Aktual/risiko tinggi menurunnya curah jantung Aktual/risiko penurunan perfusi serebral
4) Aktual/risiko tinggi aritmia

19
5) Aktual/risiko tinggi kejang
6) Aktual/risiko tinggi defisit neurologis
7) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
8) Gangguan ADL (Activity Daily Living)
9) Kecemasan
a. Kelebihan volume cairan
b. Penurunan curah jantung
c. Pola nafas tidak efektif
d. Nyeri akut
e. Gangguan perfusi jaringan
f. Intoleransi aktifitas

H. INTERVENSI

Rencana keperawatan yang dilakukan bertujuan menurunkan keluhan klien, menghindari


penurunan dari fungsi ginjal, serta menurunkan risiko komplikasi.

NO DIAGNOSA TUJUAN DAN INTERVENSI


KEPERAWATAN KRITERIA HASIL
1 Kelebihan volume cairan Noc: Nic: Fluid management
elektrolit dan asam basa pertahankan catatan intake dan out
balance fluid balance put yang akurat
hydration kriteria hasil:  Pasang urine kateter jika
 terbebas dari edema diperlukan
 Tidak ada sesak  Monitor hasil hb yang sesuai
nafas dengan retensi cairan
 Terbebas dari  Monitor vital sign
kelelahan/lemas  Monitor kelebihan
menjelaskan cairan( Edema) kaji lokasi
indikator kelebihan dan luas edema
cairan  Monitor masukan
makanan/cairan dan hitung
intake kalori

20
 Monitor status nutrisi
 Kolaborasi pemberian
diuretik sesuai interuksi
 kolaborasi dokter jika tanda
cairan berlebih muncul
memburuk
Fluid monitoring
 Tentukan riwayat jumlah dan
tipe intake cairan dan
eliminasi
 Tentukan kemungkinan
faktor resiko dari ketidak
seimbangan cairan
 monitor berat badan
 Monitor elektrolit urine
 Monitor tanda dan gejala dari
oedema
2 Penurunan curah jantung Noc: Nic:
 Pompa jantung perawatan cardiac:
efektif bekerja  Monitor status kardiovaskuler
 Status sirkulasi  monitor keseimbangan cairan
 Status vital sign  monitor adanya perubahan
Kriteria hasil: tekanan darah
 tanda vital dalam  monitor adanya sesak nafas
rentang normal  Monitor vital sign
 Dapat mentoleransi  Monitor td,nadi,suhu
aktivitas, tidak ada  Catat adanya fluktuasi
kelelahan tekanan darah
 Tidak ada edema
paru dan tidak ada
asites

3 Pola nafas tidak efektif NOC: NIC:


a. Tidak ada dispneu Oksigen therapy
b. Kedalaman nafas normal a. Atur posisi senyaman mungkin

21
c. Tidak ada retrasi dada b. Batasi untuk beraktifitas
atau penggunaan otot c. Kolaborasi pemberian oksigen
bantu pernafasan
d. Aukultasi bunyi nafas, catat adanya
crakless

e. Ajarkan pasien nafas dalam


f. Atur posisi senyaman mungkin

g. Batasi untuk beraktifitas


h. Kolaborasi pemberian oksigen

4 Intoleransi Aktivitas NOC: NIC:


 Self Care: ADLs  Observasi adanya
 Toleransi Aktivitas pembatasan klien dalam
 Konservasi Energi melakukan aktivitas

Kriteria Hasil :  Kaji adanya faktor yang

 Berpartisipasi dalam menyebabkan kelelahan

aktivitas fisik tanpa  Monitor nutrisi  dan sumber

disertai peningkatan energi yang adekuat

tekanan darah,nadi  Monitor pasien akan adanya

dan RR kelelahan fisik dan emosi

 Mampu Melakukan secara berlebihan

Aktivitas sehari-hari  Monitor respon kardivaskuler

(ADLs) secara terhadap aktivitas (takikardi,

mandiri disritmia, sesak nafas,


diaporesis, pucat, perubahan
 Keseimbangan
hemodinamik)
Aktivitas dan
 Monitor pola tidur dan
istirahat
lamanya tidur/istirahat pasien
 Kolaborasikan dengan
Tenaga Rehabilitasi Medik
dalam merencanakan progran
terapi yang tepat.
 Bantu klien untuk
mengidentifikasi aktivitas
yang mampu dilakukan
 Bantu untuk memilih
aktivitas konsisten yang

22
sesuai dengan kemampuan
fisik, psikologi dan sosial
 Bantu untuk mengidentifikasi
dan mendapatkan sumber
yang diperlukan untuk
aktivitas yang diinginkan
 Bantu untuk mendpatkan alat
bantuan aktivitas seperti kursi
roda, krek
 Bantu untuk
mengidentifikasi aktivitas
yang disukai
 Bantu klien untuk membuat
jadwal latihan diwaktu luang
 Bantu pasien/keluarga untuk
mengidentifikasi kekurangan
dalam beraktivitas
 Sediakan penguatan positif
bagi yang aktif beraktivitas
 Bantu pasien untuk
mengembangkan motivasi
diri dan penguatan
 Monitor respon fisik, emosi,
sosial dan spiritual.

I. IMPLEMENTASI DAN EVALUASI

TGL/HR NO.DX IMPLEMENTASI EVALUASI


3 Oksigen therapy S: Nafas sesak bekurang.

1. Aukultasi bunyi nafas, catat O: RR=<40x/I, Spo2=95%,


retraksi intercostal tampak,
adanya crakless
PaCO2=<56, PaO2= >69 BE=-8
2. Ajarkan pasien nafas dalam
pat hipoventilasi, Eks:ins=1:1
3. Atur posisi senyaman mungkin A: M.B.T
4. Batasi untuk beraktifitas P: I. 1-5 Lanjut

5. Kolaborasi pemberian oksigen

23
2 perawatan cardiac: S: dada berdebar-debar bila

1. Monitor status kardiovaskuler beraktifitas, nafas sesak


>>dengan aktifitas.
2. monitor keseimbangan cairan
O: TD:<214/109, HR:< 115x/i
3. monitor adanya perubahan
ireguler, Nfs: 41x/I, SpO2=95%,
tekanan darah
udem ektremitas+,
4. monitor adanya sesak nafas
Baal+, BC +400 dalam 12 jam,
5. Monitor vital sign
UO < 0.5kg BB/jam dalam 12
6. Monitor td,nadi,suhu
jam, EKG ST depresi,
7. Catat adanya fluktuasi tekanan
A: M.B.T
darah P: I.1-13 Lanjut
8. kolaborasi dalam pemberian
perdipin, cedocard
1 Fluid management S: badan terasa membengkak,

pertahankan catatan intake dan out put kaki dan tangan terasa berat
dan kebal,
yang akurat
O: TD: 214/109, HR: 114x/i
1. Pasang urine kateter jika
ireguler, Nfs: 41x/I, SpO2=96%,
diperlukan
piting udem ekstremitas +,
2. Monitor hasil hb yang sesuai
baal+, UO <0.5kg BB/jam
dengan retensi cairan
dalam 12 jam, BC: +200 dalam
3. Monitor vital sign
12 jam, HB: 9, Na= 152,
4. Monitor kelebihan cairan( Edema)
K=3.7, Cl= 99
kaji lokasi dan luas edema
A: M.B.T
5. Monitor masukan makanan/cairan
P: I.L
dan hitung intake kalori
6. Monitor status nutrisi
7. Kolaborasi pemberian diuretik
sesuai interuksi
8. kolaborasi dokter jika tanda
cairan berlebih muncul memburuk
Fluid monitoring
9. Tentukan riwayat jumlah dan tipe
intake cairan dan eliminasi
10. Tentukan kemungkinan faktor
resiko dari ketidak seimbangan
cairan

24
11. monitor berat badan
12. Monitor elektrolit urine
13. Monitor tanda dan gejala dari
oedema

4 perawatan cardiac: S: dada berdebar-debar bila

1. Monitor status kardiovaskuler beraktifitas, nafas sesak


>>dengan aktifitas.
2. monitor keseimbangan cairan
O: TD: 165/109, HR: 112x/i
3. monitor adanya perubahan
ireguler, Nfs: 19x/I, SpO2=96%,
tekanan darah
udem ektremitas+,
4. monitor adanya sesak nafas
Baal+, BC +200 dalam 12 jam,
5. Monitor vital sign
UO < 0.5kg BB/jam dalam 12
6. Monitor td,nadi,suhu Catat
jam
adanya fluktuasi tekanan darah
A: M.B.T
7. P: I.1-13 Lanjut
3 Oksigen therapy S: Nafas sesak bekurang.

1. Aukultasi bunyi nafas, catat O: RR=<40x/I, Spo2=95%,


retraksi intercostal tampak,
adanya crakless
PaCO2=<56, PaO2= >69 BE=-8
2. Ajarkan pasien nafas dalam
pat hipoventilasi, Eks:ins=1:1
3. Atur posisi senyaman mungkin A: M.B.T
4. Batasi untuk beraktifitas P: I. 1-5 Lanjut

5. Kolaborasi pemberian oksigen


1 Fluid management S: badan terasa membengkak,

pertahankan catatan intake dan out put kaki dan tangan terasa berat
dan kebal,
yang akurat
O: TD:< 214/109, HR: <114x/i
1. Pasang urine kateter jika
ireguler, Nfs:< 41x/I,
diperlukan
SpO2=96%, piting udem
2. Monitor hasil hb yang sesuai
ekstremitas +, baal+/-, UO
dengan retensi cairan
<0.5kg BB/jam dalam 12 jam,
3. Monitor vital sign
BC: +200 dalam 12 jam, HB: 9,
4. Monitor kelebihan cairan( Edema)
Na= 152, K=3.7, Cl= 99
kaji lokasi dan luas edema
A: M.B.T
5. Monitor masukan makanan/cairan
P: I.L
dan hitung intake kalori
6. Monitor status nutrisi

25
7. Kolaborasi pemberian diuretik
sesuai interuksi
8. kolaborasi dokter jika tanda
cairan berlebih muncul memburuk
Fluid monitoring
1. Tentukan riwayat jumlah dan tipe
intake cairan dan eliminasi
2. Tentukan kemungkinan faktor
resiko dari ketidak seimbangan
cairan
3. monitor berat badan
4. Monitor elektrolit urine
5. Monitor tanda dan gejala dari
oedema

H. EVALUASI

Hasil yang diharapkan setelah mendapatkan intervensi adalah sebagai berikut:

1.      Kelebihan volume cairan teratasi

2.      Pola napas kembali efektif

3.      Tidak terjadi penurunan curah jantung

4.      Peningkatan perfusi serebral

5.      Tidak terjadi aritmia

6.      Tidak terjadi kejang

7.      Pasien tidak mengalami defisit neurologis

8.      Asupan nutrisi tubuh terpenuhi

9.      Terpenuhinya aktivitas sehari-hari

10.  Kecemasan berkurang.

26
27

Anda mungkin juga menyukai